DISTRIBUSI SPASIOTEMPORAL PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA PALEMBANG PROVINSI SUMATERA SELATAN TAHUN 2009-2013
SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh:
ZATA ISMAH NIM. 1110101000044
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H / 2014M
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI Skripsi, Juni 2014 Zata Ismah, NIM : 1110101000044 Distribusi Spasiotemporal Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2009-2013 142 halaman, 17 tabel, 8 peta, 5 grafik, 2bagan, 2 gambar, 12 lampiran ABSTRAK Analisis Epidemiologi deskriptif dengan pendekatan spasial memegang peran penting dalam menggambarkan besar masalah kesehatan antar wilayah. Penelitian dengan metode ini masih sangat jarang dilakukan di Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui distribusi Spasiotemporal penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan tahun 2009-2013. Studi epidemiologi ini menggunakan desain studi ekologi. Data dikumpulkan dari data laporan mingguan Demam Berdarah Dinas Kesehatan Kota Palembang dan Laporan Survei Kekumuhan perumahan dari PU Cipta Karya dan perumahan kota Palembang. Secara spasial, distribusi kejadian DBD di Kota Palembang selama 5 tahun banyak terjadi di wilayah Pusat dan Utara Kota. Dari hasil Survei didapatkan daerah Utara Kota mayoritas penduduknya memiliki banyak tandon dan penampungan air. Pola sebaran kejadian DBD yang tinggi (>50 per 100.000 pddk) menunjukkan angka bebas jentiknya rendah (<95%), kepadatan penduduk yang tinggi (>150jiwa/ha), persentase rumah sehat yang tinggi (>80%), wilayah yang tidak kumuh, dan persentasependudukmiskin yang rendah (<26%). Secara temporal (trend), terjadi penurunan kasus DBD selama 5 tahun terakhir diiringi dengan peningkatan angka bebas jentik (78% menjadi 89%), peningkatan kepadatan penduduk (98 jiwa/ha menjadi 99 jiwa/ha), penurunan rumah sehat (83% menjadi 75%), dan penurunan penduduk miskin (34% menjadi 27%). Dengan demikian, diperlukan intervensi penanggulangan penyakit Demam Berdarah Dengue di wilayah prioritas Pusat dan Utara Kota (diutamakan melakukan perbaikan suplai air, kolaborasi kegiatan GERTAK PSN DBD dengan PSN 60 menit, dan mengajak kader dari masyarakat kelas ekonomi menengah keatas), melakukan siap siaga terhadap siklus 5 tahun. Kata kunci : Spasial, Temporal, Epidemiologi, DBD, Palembang
i
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM EPIDEMIOLOGY Skripsi, June 2014 Zata Ismah, NIM: 1110101000044 Spatiotemporal Distribution of Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) in Palembang, South Sumatra Province Year 2009-2013 142 pages, 17 tables, 8 maps, 5 graphs, 2 bagan, 2 picture, 12 attachment ABTRACT Descriptive Epidemiology analysis method with spatial approach an important role in describing the health problems between regions. The research with this methodof Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is rarely found in Palembang, the province of South Sumatra, Indonesia. The purpose of this study was to determine the Spatiotemporal distribution of Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) in Palembang, the province of South Sumatra, Indonesia in year 20092013. This epidemiological study using a study design ecology. Method of data collection is collected from data analysis reports weekly Palembang City Health Department and reports of PU Cipta Karya and housing Palembang. In the spatial distribution, a lot of the incidence of dengue in Palembang happening in the Centre area, and Northern area. Survey results obtained from the North City area predominantly has many reservoir and water reservoir. The Insidence Rate of DHF is high (> 50 per 100,000 population) shows at rate of larva-free is low (<95%), medium population density (>150 person/hectares), high percentage of healthy house (>80%), non-a slums areas, and the proportion of poor people is low (<26%). In the Temporally (trend) a decline of dengue cases during the last 5 years was accompanied by an increase rate of larva-free (78% to 89%), increases the high population density (98 person/hectares to 99 person/ hectares), decrease the healthy house (83% to 75%), and decrease the poor people (34% to 27%). Therefore, interventions of preventing Dengue Hemorrhagic Fever in priority areas is North and Centre area (preferred improvement of water supply, a collaborative activity with GERTAK PSN DBDwithPSN 60 minutes, and inviting cadres of middle and upper economic class society), doing alert to 5-year cycle. Keywords: Spatial, Temporal, Epidemiology, DHF, Palembang
ii
LEMBAR PERSETUJUAN
iii
LEMBAR PENGESAHAN
iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Zata Ismah
Jenis Kelamin
: Perempuan
TTL
: Palembang 18 Januari 1993
Usia
: 21 Tahun
No. Telp
: 081994950243/ 089615104240
Alamat
: Jln Naskah 2 Komplek Bukit Naskah Indah Blok C nomor 6 KM.7 Sukarame Kota Palembang, Sumatera Selatan
Email
:
[email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN 2010-sekarang
2007 – 2010 2004 – 2007 1998 – 2004 1997-2004
: Peminatan Epidemiologi, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syaraif Hidayatullah Jakarta : MAN 2 Palembang : MTS N 1 Palembang : SD Muhammadyah 1 Palembang : TK TPA Al-quran
PENGALAMAN ORGANISASI 2013
:
2012-2013
:
2011-2012
:
Seketaris Epidemiologi Student Assosiation – UIN Jakarta Seketaris Departemen Pengabdian dan Pengembangan Masyarakat Pergerakan Anggota Muda IAKMI DKI Jakarta Seketaris Umum Mahasiswa Kemitraan Dinas Pendidikan Provinsi Sumsel “SJD-SS (Santri Jadi Dokter Sumatera Selatan)”
vi
LEMBAR PERSEMBAHAN
MOTTO : “Dunia Bagai Setetes air. Sedangkan akhirat adalah samudera yang luas. Bagaimana bisa mengorbankan akhirat demi dunia?” “Orang yang cerdas hatinya, yang jernih pikirannya, yakin akan pertolongan Allah, yang sadar rahmat Allah itu luas, yang mengerti segalanya ada waktunya, maka ia tidak akan pernah merasa putus asa bila di timpa kegagalan, keterpurukan, kesulitan hidup, kecemasan dan kegalauan melanda jiwa” ” َو اﻟﺗِ ّﯾ ِن َو ﱠ ﺳ ِن ﺗ َﻘْ ِو ﯾ ٍم َ ﺳ ﺎ َن ﻓِﻲ أ َ ْﺣ َ ْور ِﺳ ﯾﻧِﯾ َن َو ھَ ذ َا اﻟْ ﺑَﻠَ ِد اﻷ ِﻣ ﯾ ِن ﻟَﻘَدْ َﺧ ﻠَﻘْ ﻧَﺎ اﻹﻧ ِ ُاﻟز ﯾْ ﺗ ُو ِن َو ط
“Demi (buah) Tin dan buah Zaitun, dan demi Bukit Sinai, dan demi Kota (Mekkah) Ini yang aman, sesungguhnya Kami kelak menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. (QS : At-Tiin 1-4)
ْ ض َو ٍ ﺎر َﻵﯾَﺎ َب اﻟﱠذِﯾنَ ﯾَذْ ُﻛ ُرون ِ ﺳ َﻣ َﺎوا ﻖ اﻟ ﱠ ِ اﺧﺗِ َﻼ ِ ت َو ْاﻷ َ ْر ِ ت ِﻷُو ِﻟﻲ ْاﻷ َ ْﻟﺑَﺎ ِ ف اﻟﻠﱠ ْﯾ ِل َواﻟﻧﱠ َﮭ ِ إِ ﱠن ﻓِﻲ ﺧ َْﻠ ض َرﺑﱠﻧَﺎ َﻣﺎ َﺧﻠَ ْﻘتَ َھذَا ِ ﺳ َﻣ َﺎوا ﻖ اﻟ ﱠ ِ ت َو ْاﻷ َ ْر ِ ا ﱠ َ ﻗِﯾَﺎ ًﻣﺎ َوﻗُﻌُودًا َو َﻋﻠَﻰ ُﺟﻧُوﺑِ ِﮭ ْم َوﯾَﺗ َ َﻔ ﱠﻛ ُرونَ ﻓِﻲ ﺧ َْﻠ ﺎر ُ ﺎط ًﻼ ِ َﺑ َ َﺳ ْﺑ َﺣﺎﻧَكَ ﻓَ ِﻘﻧَﺎ َﻋذ ِ اب اﻟﻧﱠ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang ada tanda-tanda bagi orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri atau duduk atau berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata: Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.(QS: Ali 'Imran: 190-191).
Skripsi ini aku persembahkan untuk : ფ Allah SWT, Rabbi Semesta Alam ფ Abi dan Umi yang teramat kucintai ფ Ayuk, kakak dan adikku terkasih ფ Sahabat perjuangan tersayang ფ Almamaterku UIN SH Jakarta vii
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Bismillahirrahmaanirrohim Dengan memohon ridho dari Allah SWT penulis mempersembahkan rasa syukur yang terdalam.Semoga taufik dan hidayah-Nya selalu dilimpahkan-Nya kepada setiap insan yang selalu bertaqwa kepada-Nya, amin. Selanjutnya berselawat serta salam kita kepada nabi Muhammad SAW agar syafa’atnya selalu mengiringi kita hingga akhir zaman. Alhamdullilah penelitian yang berjudul Distribusi Spasiotemporal Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2009-2013, dengan perjalanan waktu akhirnya bisa penulis selesaikan. Ucapan cinta dan kasih sayangsampaikan kepada kedua orangtua saya yaitu Abi Hambali Yusuf S.H.,M.Hum dan Umi Dra. Siti Hasanah Sri. Keduaorangtua yang sangat luar biasa dan keajaiban Allah untuk saya. Tak hanya doa-doa yang kalian panjatkan padasiang dan malam, tetapi support dan bantuan langsung yang tiada putus untuk Anandamu tercinta ini. Tidaklah terhitung banyaknya bantuan Abi dan Umi dalam menyelesaikan skripsi ini. Dari mulai pencarian data, diskusi, hingga tukar pikiran.I Love You, Maha Suci Allah menitipkan Hamba kepada mereka. Kemudian saya ucapkan banyak terimakasih yang setulus-tulusnya kepada pihak-pihak yang membantu secara langsung maupun tidak langsungdalam penelitian ini, kepada yang terhormat : 1. Gubernur Sumatera Selatan Bapak Ir. Alex Noerdin, yang telah menganugerahkan Beasiswa Santri jadi dokter, sehingga saya bisa melanjutkan pendidikan ke Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan bebas biaya. 2. Jajaran Dinas Pendidikan Povinsi Sumatera Selatan yang sudah mengurus kami dari mulai matrikulasi hingga menyelesaikan studi Bapak Drs.Widodo, M.Pd, Bapak Junaidi dan Bapak Jatmiko. 3. Dekan Fakultas Keodkteran dan Ilmu Kesehatan Prof. MK. Tadjudin
viii
4. Ketua Prodi Kesehatan MasyarakatIbu Febrianti dan Seketaris Prodi Kesehatan MasyarakatIbu Catur Rosidati yang telah mengizinkan saya untuk menyelesaikan studi ini dengan secepat mungkin. 5. Ibu Minsarnawati Tahangnacca S.KM.M.Kes sebagai pembimbing 1 yang membantu saya dalam pemilihan judul dan nasihat yang selalu saya ingat. 6. Ibu Yuli Amran, SKM.MKM, sebagai pembimbing 2 saya yang banyak membantu dalam membimbing penelitian saya. Tidak pernah melepaskan saya dan selalu memberikan semangat setiap ujian saya. 7. Bapak Sholah Imari yang banyak meluangkan waktu untuk berdiskusi dan bertukar pikiran, hingga akhirnyaBapak jugalah menjadi Penguji Saya. Jasa-jasa Bapak tidak akan saya lupakan. Bapak is the best lecture!!! 8. Bapak Fajar Anugrah yang memperkenalkan kami dengan ilmu baruGIS (Geografis Information System). Bapak banyak sekali membantu saya dalam pembuatan peta. Berdiskusi tentang ilmu spasial dan temporal. 9. Jajaran Dinas Kesehatan Kota Palembang yang menjadi keluarga ke-2 saya di Palembang. Kepada dr. Anton selaku kepala Dinas kesehatan kota Palembang yang telah memberikan saya izin untuk melaksananakan penelitian di instutisi ini. Atas anjuran dan semangat dari Bapak, saya optimis untuk meneruskan penelitian saya ini. Terimakasih kepada Ibu Afrimelda selaku Kabid PMK yang telah memberikan bimbingan dan mengikut sertakan saya dalam setiap kegiatan di PMK. Terimakasih kepada Bapak Yudhi Setiawan, SKM, M.Epid selaku kepala seksi P2P Dinas Kesehatan Kota Palembang sekaligus sebagai pembimbing lapangan saya sewaktu mengumpulkan data. Terimakasih sebesar-besarnya dan terkhusus kepada Bapak M. Idrus, S.Kp. M.kes selaku Pemegang Program demam berdarah Dinkes Kota Palembang dan Kak Yendra Jaya,SKM yang telah banyak memberikan masukan dan diskusi, memberikan pencerahan dan support setiap saya ujian. 10. Terimakasih kepada Ibu Rosita, Ayuk Mahda dan Ayuk Kiki selaku pemegang program demam berdarah Puskesmas Sei Baung dan Taman
ix
Bacaan Kota Palembang, yang telah memberikan ilmu sangat banyak kepada saya mengenai demam berdarah dan masalah lingkungan di lapangan. Berkat beliau, terbuka mata saya mengenai keadaan lingkungan yang sebenarnya terjadi di Kota Kelahiran saya ini. 11. Terimakasih kepada saudara-saudariku: Ayuk Ulil, Kakak A’la, Dek Dhia, Dek Uci, dan Dek Dini. Kalian semangatku, kalian pelipur lara dan tempat mencurahkan hati yang paling setia. 12. Ke- 14 sahabat sejawat perintis peminatan Epidemiologi 2010: Ati, Rizka, Karlin, ii, Wiwid, Najah, Nida, Bebe, Tika, Lutfi, Ana,Putri, , Kk Harun, Bayu. Atas kerja keras motivasi dan kerjasama kalian. Kisah yang tak habis dan tak akan saya lupakan. Persahabatan yang kuat seperti baja. Saudara ke-2 di rantauan dan kecintaan kalian kepada Rabb sehingga kita terus saling mengingatkan dan istiqamah. Semoga persahabatan kita kokoh dan tidak pudar terkikis waktu. 13. Sahabatkemitraan Sumsel SJD-SS dan PPI : Yuk Ayu, Rosi, Rusti, Kak Rendi, Qoyin, Randy, Finti, Luluk, Lisa, Luther, iid, Arum, Qori, Rico, Meli, Fifin, Nando, dan Kak Ali. Kita bersama-sama melukis citacita digerbang FKIK UIN Jakarta dan membulatkan tekat untuk kembali membangun daerah kita. Sumatera Selatan. 14. Teman seperjuangan Fitria Aryani, dan Fitri Azhari yang sering pusing bersama dan memecahkan masalah bersama. 15. Sahabatku Yunus yang membantu survei di Palembang, saat saya berada di Jakarta. Sahabatku Ersyad, membantu membaca peta dan memberikan gambaran spasial Kota Palembang. Sahabatku Darwin, Muti, Dedek, dan Cek Melisa, yang tidak membiarkanku berhenti disaat piluh melanda. Terakhir, peneliti menyadari masih banyak sekali kekurangan-kekurangan dalam proposal penelitian ini, namun penulis tetap berharap bantuan kritik maupun saran pembaca yang membangun demi penyempurnaan penelitian ini. Wassalamu’alaikumWarahmatullahi Wabarakatuh Jakarta, 11 Juli 2014
x
DAFTAR SINGKATAN International Health Regulation
IHR
:
ABJ
: Angka Bebas Jentik
CFR
: Case Fatality Rate (%)
SIG
: Sistem Informasi Geografis
IR
: Insidens Rate
Jumantik
: Juru Pemantau Jentik
KLB
: Kejadian Luar Biasa
PJB
: Pemantauan Jentik Berkala
PSN 3 M
: Pemberantasan Sarang Nyamuk dengan Menutup Menguras Mengubur
SKD-KLB
: Sistem Kewaspadaan Dini-Kejadian Luar Biasa
PWS
: Pemantau Wilayah Setempat
Pokjanal
: Kelompok Kerja Regional
LSM
: Lembaga Swadaya Masyarakat
UKS
: Unit Kesehatan Sekolah
COMBI
: Comunication for Behavioral Impact
PSP
: Pengetahuan Sikap dan Perilaku
UPT
:
Unit Pelaksana Teknis
PU
:
Perusahaan Umum
Dpl
:
Dibawah Permukaan Laut
BPTKL
: Badan Penelitian Teknis Kesehatan Lingkungan
TPA
: Tempat Penampungan Air
GERTAK PSN: Gerakan Serentak Pemberantasan Sarang Naymuk DTPK
: Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan
xi
DAFTAR ISI ABSTRAK ............................................................................................................... i ABTRACT .............................................................................................................. ii LEMBAR PERSETUJUAN................................................................................... iii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iv PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI .................................................................... v DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................... vi LEMBAR PERSEMBAHAN ............................................................................... vii KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii DAFTAR SINGKATAN ....................................................................................... xi DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii DAFTAR BAGAN ............................................................................................... xv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xv DAFTAR GRAFIK ............................................................................................... xv DAFTAR TABEL ................................................................................................. xv DAFTAR PETA ................................................................................................... xvi BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1
Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah .................................................................................... 5
1.3
Pertanyaan Penelitian ............................................................................... 5
1.4
Tujuan ....................................................................................................... 6
1.4.1
Umum................................................................................................ 6
1.4.2
Khusus ............................................................................................... 7
1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................................ 7 1.5.1 Dinas Kesehatan Kota Palembang ......................................................... 7 1.5.2 Peneliti ................................................................................................... 8 1.6 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................. 8
xii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 9 2.1 Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) .................................................. 9 2.1.1 Definisi .................................................................................................. 9 2.1.2 Cara Penularan ....................................................................................... 9 2.2 Epidemiologi Deskriptif .............................................................................. 12 2.2.1 Definisi ................................................................................................. 12 2.2.2 Segitiga Utama Epidemiologi .............................................................. 13 2.3
Epidemiologi Demam Berdarah ............................................................. 18
2.3.1 Pejamu .................................................................................................. 18 2.3.2 Agen/penyebab.................................................................................... 21 2.3.3 Lingkungan ......................................................................................... 22 2.3
Kebijakan Pengendalian Penyakit DBD................................................. 34
2.3 Sistem Informasi Geografis ........................................................................ 39 2.3.1 Definisi ................................................................................................. 39 2.3.3 Kegunaan.............................................................................................. 39 2.4Analisis Spasial ............................................................................................ 41 2.4.1 Definisi ................................................................................................. 41 2.4.1 Teknik Analisis Overlay ...................................................................... 42 2.5 Kerangka Teori............................................................................................ 43 BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ................. 44 3.1
Kerangka Konsep ................................................................................... 44
3.2 Definisi Operasional.................................................................................... 47 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 49 4.1 Desain Penelitian........................................................................................ 49 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................................... 49 4.3 Populasi ....................................................................................................... 49 4.4 Manajemen Data ......................................................................................... 49 4.4.1 Pengumpulan Data ............................................................................... 49 4.4.2 Pengolahan Data................................................................................... 52 4.4.3 Analisis Data ....................................................................................... 54
xiii
BAB V HASIL ...................................................................................................... 55 5.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian ............................................................. 55 5.1.1 Letak Geografis ........................................................................................ 55 5.1.2 Keadaan Alam .......................................................................................... 57 5.1.3 Luas Wilayah ........................................................................................... 61 5.2 Sarana Kesehatan ........................................................................................ 62 5.6 Distribusi Kejadian Penyakit DBD ............................................................. 64 5.7 Distribusi Angka Bebas Jentik Menurut Wilayah Kerja Puskesmas .......... 70 5.8 Distribusi Kepadatan Penduduk Menurut Wilayah Kerja Puskesmas ........ 76 5.9 Distribusi Rumah Sehat Menurut Wilayah Kerja Puskesmas ..................... 83 5.10 Distribusi Derajat Kekumuhan Menurut Wilayah Kerja Puskesmas ........ 89 6.7 Distribusi Penduduk Miskin Menurut Wilayah Kerja Puskesmas .............. 92 BAB VI PEMBAHASAN ..................................................................................... 99 6.1 Keterbatasan Penelitian ............................................................................... 99 6.2 Distribusi Kejadian DBD Di Kota Palembang.......................................... 100 6.3 Distribusi Kejadian DBD Berdasarkan Lingkungan Biologi .................... 106 6.3.1 Kepadatan Vektor............................................................................... 106 6.3.2 Kepadatan Penduduk.......................................................................... 109 6.4 Distribusi Kejadian DBD Berdasarkan Lingkungan Sosial dan Ekonomi ..................................................................................................................... 113 6.4.1 Rumah Sehat ...................................................................................... 113 6.4.2 Derajat Kumuh ................................................................................. 118 6.4.3 Kemiskinan ........................................................................................ 124 BAB VII PENUTUP ........................................................................................... 128 7.1
Simpulan ............................................................................................... 128
7.2
Saran ..................................................................................................... 129
7.2.1 Dinas Kesehaatan Kota Palembang ................................................... 129 7.2.2
Peneliti Selanjutnya....................................................................... 130
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 131 LAMPIRAN ........................................................................................................ 142
xiv
DAFTAR BAGAN Bagan 2.8 Kerangka Teori ...................................................................................43 Bagan 3.1 Kerangka Konsep .................................................................................46
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.2 Segitiga Utama Epidemiologi ..........................................................14 Gambar 2.7 Sistem Dasar Teknik Overlay ...........................................................42
DAFTAR GRAFIK Grafik 5.7
Distribusi Jumlah Puskesmas di Kota Palembang Berdasarkan Insiden Rate DBD Tahun 2009-2013 ...............................................66 Grafik 5.12 Jumlah Puskesmas di Kota Palembang Berdasarkan Angka Bebas Jentik Tahun 2009-2012 ...................................................................72 Grafik 5.15 Jumlah Puskesmas di Kota Palembang yang Memiliki Kepadatan Penduduk Tinggi Tahun 2009-2013 .................................................77 Grafik 5.18 Jumlah Puskesmas di Kota Palembang yang Memiliki Persentase Rumah Sehat Rendah Tahun 2009-2013 ..........................................84 Grafik 5.24 Jumlah Puskesmas di Kota Palembang yang Memiliki Persentase Penduduk Miskin Tinggi Tahun 2009-2012 .....................................93
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Ciri-ciri Setiap Tahapan Nyamuk Aedes Aegpti ....................................10 Tabel 2.3 Parameter Rumah Sehat .........................................................................28 Tabel 2.4 Standar Minimal Komponen Fisik Prasarana Lingkungan Permukiman ...........................................................................................32 Tabel 3.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian ...............................................47 Tabel 4.1 Jenis Data Penelitian .............................................................................50 Tabel 4.2 Cara Pengumpulan Data Setiap Variabel oleh Instansi Terkait .............51 Tabel 4.3 Ukuran Epidemiologi Pada Variabel Penelitian ....................................54 Tabel 5.4 Luas Wilayah Kecamatan di Kota Palembang Tahun 2012 ..................61 Tabel 5.5 Jumlah Puskesmas Berdasarkan Tahun Berdiri, dan Luas Wilayah Kerja Di Kota Palembang 2012 .............................................................63 Tabel 5.6 Distribusi IR DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Palembang Tahun 2009-2013 ...................................................................................65
xv
Tabel 5.11 Distribusi Angka Bebas Jentik di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Palembang Tahun 2009-2013 ................................................................71 Tabel 5.14 Distribusi Kepadatan Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Palembang Tahun 2009-2013 .......................................................76 Tabel 5.19 Distribusi Jumlah Rumah Sehat di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Palembang 2009-2012 ..................................................................86 Tabel 5.20 Distribusi Skor Kumuh di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Palembang Tahun 2009 .........................................................................89 Tabel 5.21Distribusi Derajat Kumuh Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Palembang Tahun 2009 .........................................................................90 Tabel 5.23 Distribusi Masyarakat Miskin di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Palembang Tahun 2009-2013 ................................................................93
DAFTAR PETA Peta 5.1 Letak Kota Palembang di Provinsi Sumatera Selatan ............................ 55 Peta 5.2 pembagian Wilayah Kota Palembang Berdasarkan Arah Kota ...................................................................................................... 57 Peta 5.3 Keadaan Alam di Kota Palembang ........................................................ 59 Peta 5.8 Perkembangan Insiden Rate Demam Berdarah Dengue per 100.000 penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Palembang dari Tahun 2009-2013 ........................................................ 68 Peta 5.13 Distribusi IR DBD dengan Angka Bebas jentik di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Palembang dari Tahun 2009-2012 ............................................................................................. 73 Peta 5.14 Distribusi IR DBD dengan Kepadatan Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Palembang dari Tahun 2009-2013 ............................................................................................. 79 Peta 5.17 Distribusi IR DBD Dengan Rumah Sehat di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Palembang dari Tahun 2009-2012 .................. 83 Peta 5.22 Distribusi IR DBD dengan Derajat Kumuh di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Palembang Tahun 2009 ................................... 90 Peta 5.25 Distribusi IRDBD dengan Jumlah Masyarakat Miskin di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Palembang dari Tahun 2009-2012 ............................................................................................. 95
xvi
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang berpotensi menjadi Kejadian Luar Biasa dan masih sering terjadi di berbagai daerah Indonesia. Hal ini membuat Resolusi Majelis Kesehatan Dunia merevisi Peraturan Kesehatan Internasional (IHR) 2005 menyatakan bahwa demam berdarah dengue menjadi penyakit yang dapat menimbulkan masalah kesehatan masyarakat darurat dan harus menjadi perhatian internasional. DBD menjadi implikasi untuk keamanan kesehatan karena gangguan dan epidemi yang cepat menyebar ke luar perbatasan nasional (WHO, 2010). Angka InsidenRate (IR) penyakit DBD di Indonesia cenderung mengalami peningkatan. Tahun 2005 IR DBD Indonesia sebesar 43,31 per 100.000 penduduk hingga pada tahun 2010 mencapai 65,07 per 100.000 penduduk(Kemenkes RI, 2011). Pesebaran kabupaten/kota yang terjangkit DBD juga sangat pesat, dari tahun 2005 sebesar 43,31% kabupaten/kota yang terjangkit, DBD meningkat menjadi 75,25%
pada tahun
2011(Kemenkes RI, 2012). Perkembangan kasus DBD di Kabupaten/Kota Sumatera Selatan selama 4 tahun juga terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2008 Kabupaten/Kota yang terjangkit DBD sebesar 60% kemudian pada tahun 2011 kabupaten/kota di Sumatera Selatan yang terjangkit DBD sebesar
1
93,33%. Angka tersebut jauh diatas angka nasional pada tahun itu yaitu sebesar 75,25% (Kemenkes RI, 2012). Provinsi Sumatera Selatan tahun 2011 memiliki IR DBD sebesar 26,57 per 100.000 penduduk dan memiliki selisih yang kecil dengan angka nasional yaitu 27,56 per 100.000 penduduk. Akan tetapi, CFR DBD di Sumatera Selatan tahun 2011 sebesar 1,59% jauh diatas angka nasional yaitu 0,91%. Sedangkan Target Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan dalam menurunkan kasus demam berdarah adalah menerapkan indikator berupa menurunkan angka kesakitan kurang dari 20 per 100.000 penduduk dan angka kematian Case Fatality Rate (CFR) <1%(Dinkes Sumsel, 2010). Di Kota Palembang sendiri penyakit DBD merupakan masalah kesehatan yang tidak pernah selesai. DBD merupakan penyakit yang endemis di Kota Palembang. Hal ini dikarenakan memiliki daerah tropis dengan angin lembab nisbi,suhu udara berkisar 23,4º-31,7º C, memiliki curah hujan rata-rata 227,23mm setiap tahun(BMKG, 2008). Kondisi iklim ini sesuai dengan penelitian Prasetyo (2011) mengatakan bahwa kasus demam berdarah akan meningkat pada suhu udara antara 25,50 0C – 28,50 0
C dan curah hujan antara 3mm – 374mm. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilaksanakan, Kota
Palembang menduduki peringkat ke-2 sebagai kota/kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2009 untuk IR tertinggi setelah Kabupaten Prabumulih. Akan tetapi angka CFR DBD di Kota Palembang lebih tinggi yaitu 0,21% daripada Kabupaten Prabumulih sebesar 0%.
2
Insiden Rate DBD Kota Palembang dari tahun 2009 hingga 2013 terus mengalami penurunan. Pada tahun 2009 Insiden Rate DBD mencapai 68,10 per 100.000 pendudukhingga pada tahun 2013 kasus DBD di Kota Palembang mengalami penurunan yang sangat drastis yaitu 29,56 per 100.000.Akan tetapi, setelah ditelusuri hingga tingkat kelurahan ditemukan 21 dari 107 kelurahan atau 18,6% kelurahan yang Insiden Ratenyamencapai >50 per 100.000 penduduk. Angka ini juga sangat mengkhawatirkan karena kelurahan yang memiliki IR DBD tertinggi mencapai 230,59 per 100.000 pendudukpada tahun 2013(Bidang PMK Dinkes Kota Palembang, 2013). Faktor risiko penularan DBD sangat kompleks. Antar daerah faktor resiko tersebut biasanya berbeda. Akan tetapi secara umum daerah yang memiliki lingkungan potensial bagi jentik Aedes Aygepti akan berisiko memiliki angka IR yang tinggi. Lingkungan potensial tersebut seperti kondisi ekonomi penduduk, kondisi iklim yang mendukung, tipe perumahan, kepadatan penduduk yang tinggi, didukung oleh perilaku masyarakat yang jarang membersihkan penampungan air serta manajemen pelayanan kesehatan yang dapat mengurangi faktor resiko tersebut (Kemenkes RI, 2011; Erliyanti, 2008; Firmansyah, 2007; Haning, 2004; Prastiarso, 2006). Langkah paling
awal
dalam
penyusunan
rencana strategi
pemberantasan DBD adalah dengan analisis situasi demam berdarah dengue di daerah kabupaten/kota.Rencana stategi program sangat ditentukan
3
oleh baik tidaknya pelaksanaan analisis situasi DBD kabupaten dan kota(Bustan, 2006). Berdasarkan hasil penelitian Astuti (2010)mengatakan bahwa aplikasi sistem informasi geografis (SIG) dalam penyebaran penyakit DBDberperan sebagai toolsuntukmemberikan informasi jumlah terjangkit dan wilayah bahaya wabah DBD dan fogging yang dilakukan di setiap daerah. Kelebihan SIG ini dapat memvisualisasikan warna. Dengan visualisasi, pengguna dapat melihat perkembangan kejadian DBD berdasarkan lokasi potensial dari tahun ke tahun sehingga akan diketahui kelurahan yang rawan dan tidak rawan agar segera menjadi perhatian dan prioritas pemerintah dinas kesehatan kota dalam upaya penanggulangan DBD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis sebaran penyakit dengan metode keruangan/spasial dalam penyebaran penyakit DBD berperan untuk memberikan informasi jumlah terjangkit dan wilayah bahaya wabah DBD. Metode ini dapat melihat perkembangan kejadian DBD berdasarkan lokasi potensial dari tahun ke tahun sehingga akan diketahui kelurahan yang rawan dan tidak rawan. Setiap batasan-batasan wilayah dapat diberikan perbedaan warna mulai dari kecamatan dan kelurahan sehingga dapat lebih mudah melihat daerah yang paling banyak terjangkit (Astuti, 2010; Ruliansyah, 2010). Hampir di seluruh dinas kesehatan kota di Indonesia memiliki peta rawan DBD, akan tetapi di puskesmas sebagai unit pelayanan peta rawan
4
tidak selalu tersedia (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2006). Dinas Kesehatan kota Palembang sendiri hanya memiliki peta rawan DBD berdasarkan Kecamatan, sedangkan peta rawan berdasarkan kelurahan tidak tersedia. Padahal berdasarkan studi pendahuluan, didapatkan banyaknya kelurahan endemis dan memiliki angka IR DBD diatas > 50 per 100.000 penduduk. 1.2 Rumusan Masalah Kondisi iklim yang tropis di Kota Palembang yang sangat potensial bagi perkembangan nyamuk Aedes Aegypti menyebabkan kota Palembang menjadi daerah endemis demam berdarah. Kemudian angka Insiden Ratedibeberapa kelurahan melebihi batas indikator nasional dan indikator provinsi sehingga menjadi masalah kesehatan. Analisis Epidemiologi deskriptif dengan pendekatan spasial memegang peran penting dalam menggambarkan besar masalah kesehatan disuatu wilayah. Analisis data dengan memanfaat SIG diwilayah kerja puskesmas sangat jarang dilakukan karena biasanya pemetaan dilakukan hanya sebatas sebaran kasus per kecamatan oleh Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, begitupula yang terjadi di Kota Palembang. Dengan demikian, masalah penelitian ini adalah bagaimana distribusi spasiotemporal demam berdarah di kota Palembang tahun 2009-2013. 1.3 Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimanakah distribusi spasiotemporal penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan tahun 2009-2013? 5
2. Bagaimanakah
spasiotemporalDemam
distribusi
Berdarah
Dengue
berdasarkan angka bebas jentik diseluruh Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Palembang tahun 2009-2012? 3. Bagaimanakah
spasiotemporalDemam
distribusi
Berdarah
Dengue
berdasarkan kepadatan penduduk diseluruh Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Palembang tahun 2009-2013? 4. Bagaimanakah
distribusispasiotemporalDemam
Berdarah
Dengue
berdasarkan persentase rumah sehat diseluruh Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Palembang tahun 2009-2012? 5. BagaimanakahdistribusispasiotemporalDemam
Berdarah
Dengue
berdasarkan status derajat kekumuhandiseluruhWilayah Kerja Puskesmas di Kota Palembang tahun 2009? 6. Bagaimanakah
distribusi
berdasarkan persentase
spasiotemporalDemam
Berdarah
Dengue
penduduk miskin diseluruh Wilayah Kerja
Puskesmasdi Kota Palembang tahun 2009-2012?
1.4 Tujuan 1.4.1 Umum Mengetahui distribusi spasiotemporal penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan tahun 2009-2013
6
1.4.2 Khusus 1. Untuk mengetahui distribusi spasiotemporal Demam Berdarah Dengue berdasarkan angka bebas jentik diseluruh Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Palembang tahun 2009-2012 2. Untuk mengetahui distribusi spasiotemporal Demam Berdarah Dengue berdasarkan Kepadatan penduduk diseluruh Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Palembang tahun 2009-2013? 3. Bagaimanakah distribusi spasiotemporal Demam Berdarah Dengue berdasarkan persentase rumah sehat diseluruh Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Palembang tahun 2009-2012 4. Untuk mengetahui distribusi spasiotemporal Demam Berdarah Dengue berdasarkan status derajat kekumuhan diseluruh Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Palembang tahun 2009 5. Untuk mengetahui distribusi spasiotemporal Demam Berdarah Dengue berdasarkan persentase
penduduk miskin diseluruh Wilayah Kerja
Puskesmas di Kota Palembang tahun 2009-2012
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Dinas Kesehatan Kota Palembang Hasil dapat dijadikan bahan pertimbangan kebijakan terutama bagi program pengendalian penyakit demam berdarah sebagai peningkatan sistem kewaspadaan dini demam berdarah di Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan. 7
1.5.2 Peneliti Sebagai bahan referensi tentang Studi Epidemiologi untuk penelitian gambaran kejadian demam berdarah. Sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu kesehatan.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini tentang distribusi spasiotemporal penyakit demam berdarah dengue (DBD) di Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan tahun 2009-2013. Studi epidemiologi ini menggunakan desain studi ekologi. Cara pengumpulan data dilakukan dengan analisis data laporan mingguan demam berdarah di Dinas Kesehatan Kota Palembang, Laporan perumahan dari PU Cipta Karya dan Perumahan Kota Palembang. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai bulan Juni 2014.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) 2.1.1 Definisi Penyakit demam berdarah Dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus DEN-1, DEN-2, DEN-3 atau DEN-4 yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegyti dan Aedes albopictus yang sebelumnya telah terinfeksi oleh virus dengue dari penderita DBD (Ginanjar, 2004). Dengue ditularkan oleh gigitan nyamuk Aedesaegyti yang terinfeksi dengan salah satu dari empat virus dengue. Hal ini umunya terjadi di daerah tropis dan sub-tropis di seluruh dunia. Sedangkan Dengue haemorrhagic fever (demam, sakit perut, muntah, pendarahan) merupakan komplikasi yang
berpotensi
mematikan,
yang
mempengaruhi
terutama
anak-
anak(WHO, 2013). 2.1.2 Cara Penularan Penyakit DBD tidak ditularkan langsung dari orang ke orang. Penyakit dapat ditularkan apabila penderita menjadi infektif bagi nyamuk pada saat viremia, yaitu saat menjelang demam hingga demam berakhir yaitu 3-5 hari. Nyamuk akan menjadi infektif selama 8-12 hari sesudah menghisap darah penderita sehingga nyamuk telah terinfeksi virus dengue dan tetap infektif selama hidupnya dan potensial menularkan virus dengue kepada manusia
9
lain (Ginanjar, 2004). Pada suhu 30C didalam tubuh nyamuk memerlukan 8-10 hari untuk inkubasi extrinsik dari lambung sampai kelenjar ludah nyamuk (Depkes RI, 2007) a. Jenis Vektor Di Indonesia ada tiga jenis nyamuk Aedes yang menularkan DBD. Ketiga jenis Aedes tersebut adalah Aedes aegypti, Aedes albopictus, Aedes scutellari. Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang paling berperan dalam penularan(Depkes RI, 2007). Nyamuk aedes terdapat hampir diseluruh Indonesia kecuali di ketinggian 1000 meter diatas permukaan laut. Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor yang efektif sebagai penyebar penyakit DBD karena tinggal di sekitar pemukiman penduduk. Sedangkan nyamuk Aedes albopictus
banyak di daerah perkebunan dan
semak-semak (Ginanjar, 2004) b. Siklus Hidup Vektor Menurut Depkes RI (2004) siklus hidup nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes albopictus dibagi menjadi 4 tahapan siklus yaitu: Tabel 2.1 Ciri-ciri Setiap Tahapan Nyamuk Aedes Aegpti No. 1.
Tahapan Telur
Ciri-ciri 1. Satu per satu pada dinding bejana 2. Telur tidak berpelampung 3. Sekali bertelur nyamuk betina menghasilkan sekitar 100-250 butir 4. Telur kering dapat tahan 6 bulan 5. Telur akan menjadi jentik setelah sekitar 2 hari
10
No. 2.
Tahapan Jentik
3.
Pupa
4.
Nyamuk Dewasa
1. 2. 3. 1. 2. 3. 1. 2. 3.
Ciri-ciri Sifon dengan satu kumpulan rambut Pada waktu istirahat membentuk sudut dengan permukaan air 6-8 hari menjadi pupa Sebagian kecil tubuhnya kontak dengan permukaan air Bentuk terompet panjang dan ramping 1-2 hari menjadi nyamuk Aedes aegypti Panjang 3-4 mm Bintik hitam dan putih pada badan dan kepala Terdapat ring putih di kakinya.
Sumber : Depkes RI 2004 c.
Bionomik Vektor Bionomik adalah kesenangan tempat perindukan atau Bredding Place. Tempat perindukan nyamuk di dalam tempat penampungan air seperti bak mandi, tempayan, drum, vas bunga, lekukan pohon, dan barang bekas yang dapat menampung air hujan.
Berikut
beberapa
tempat
potensial
perindukan
nyamuk(Depkes RI, 2007) : 1. Penampungan air : tempayan, bak mandi, bak WC, ember dll 2. Non penampungan air : tempat minum hewan, barang bekas, vas kembang, penampungan air dispenser dll 3. Tempat penampungan buatan alam: lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, kulit kerang, tempurung kelapa, potongan bambu Nyamuk betina tertarik meletakkan telurnya pada kontainer berair nyang berwarna gelap, terbuka dan tempat yang terlindung dari sinar matahari. Telur diletakkan diatas permukaan air. Ketika
11
air mengenai telur maka telur menetas menjadi jentik. setelah 510 hari larva menjadi pupa, kemudian 2 hari berikutnya menjadi nyamuk dewasa. Nyamuk dapat terbang 50-100 meter (Depkes RI, 2007). Nyamuk biasa menggigit pada pagi 08.00 – 12.00 hingga sore hari 15.00-17.00. nyamuk lebih senang menggigit dirumah dari pada diluar dan frekuensi menggigit bisa lebih dari sekali. Kebiasan beristirahat lebih banyak di dalam rumah terutama pada benda yang bergantung, berwarna gelap dan terlindungi dari sinar matahari (Depkes RI, 2007). 2.2 Epidemiologi Deskriptif 2.2.1 Definisi Epidemiologi desriptif adalah studi yang ditujukan untuk menentukan jumlah atau frekuensi dan distribusi penyakit di suatu daerah berdasarkan variabel orang, tempat dan waktu. Epidemiologi deskriptif adalah ilmu yang menggambarkan penyebaran atau distribusi penyakit yang terjadi
di
masyarakat
berdasarkan
variabel
epidemiologi
yang
mempengaruhinya (Bustan, 2006). Hasil dari analisis epidemiologi deskriptif akan mampu menjawab mengenai faktor Who, where, when.Epidemiologi ini merupakan langkah awal untuk mengetahui adanya masalah kesehatan dengan menjelaskan siapa yang terkena dan dimana serta kapan terjadinya masalah itu (Bustan, 2006). 12
Deskripsi yang tepat akan dapat menggambarkan besarnya masalah dan juga dapat memberi gambaran tentang aspek – aspek tambahan pengetahuan yang beraitan degan deskripsi tersebut (Bustan, 2006). Secara umum terdapat 4 peran utama epidemiologi yaitu (WHO 2010) : 1. Mencari kausa; faktor-faktor yang mempengarui derajat kesehatan masyarakat dan yang menyebabkan terjadinya penyakit 2. Riwayat alamiah penyakit 3. Deskripsi status kesehatan masyarakat; menggambarkan proporsi menurut status kesehatan, perubahan menurut waktu, perubahan menurut umur. 4. Evaluasi hasil intervensi ; menilai bagaimana keberhasilan berbagai intervensi seperti promosi kesehatan, upaya pencegahan dan pelayanan kesehatan 2.2.2 Segitiga Utama Epidemiologi Gambaran tentang hubungan antara tiga faktor utama dalam terjadinya penyakit atau masalah kesehatan lainnyamerupakan konsep dasar epidemiologi dalam teori segitiga epidemiologi atau trias epidemiologi. Dalam
segitiga tersebut menjelaskan keseimbangan
interaksi antara faktor penjamu, agen,dan environtment. Jika terjadi gangguan terhadap keseimbangan hubungan segitiga maka akan menimbulkan status sakit. Trias epidemiologi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
13
Gambar 2.2 Segitiga Utama Epidemiologi Pejamu
Agen
Environment
Sumber : John Gordon dalam Bustan 2006 a. Faktor Pejamu Pejamu adalah manusia atau makhluk hidup lainnya. Yang termasuk dalam faktor penjamu adalah (Bustan, 2006) 2006): 1. Genetik : misalnya Sickle cell disease 2. Umur : ada kecenderungan penyakit menyerang umur tertentu 3. Jenis kelamin ((gender) : ditemukan penyakit yang terjadi lebih banyak atau hanya mungkin pada wanita 4. Suku/ras/warna kulit : dapat ditemukan perbedaan antara ras kulit putih dengan orang kulit hitam di Amerika 5. Keadaan fisiologis tubuh : kelelahan, kehamilan, pubertas, str stres, atau keadaan gizi 6. Keadaan imunologis : kekebalan yang diperoleh karena adanya infeksi sebelumnya, memperoleh antibodi dari ibu, atau pemberian kekebalan buatan (vaksinasi) 7. Tingkah laku : gaya hidup, personal hygiene, hubungan antarpribadi, dan rekreasi 14
b. Faktor agen/penyebab Agen (faktor penyebab) adalah suatu unsur, organisme hidup atau kuman infektif yang dapat menyebabkan terjadinya suatu penyakit. Konsep faktor agen ini secara klasik memang hanya mendefinisikan sebgaai organisme hidup atau kuman infektif yang dapat menyebabkan penyakit. Dalam pengertian klinik faktor agen ini setara maksudnya dengan istilah etiologi. (Bustan, 2006). Beberapa karakteristik agen berupa : 1. Infektivitas: kesanggupan dari organisma untuk beradaptasi sendiri terhadap lingkungan dari penjamu untuk mampu tinggal dan berkembangbiak (multiply) dalam jaringan penjamu. Umumnya
diperlukan
jumlah
tertentu
dari
suatu
mikroorganisma untuk mamppu menimbulakan infeksi terhadap penjamunya. 2. Patogenensis: kesanggupan organisma untuk menimbulakan suatu reaksi klinik khusus yang patologis setelah terjadinya infeksi pada penjamu yang diserang. 3. Virulensi: kesanggupan organisma tertentu untuk menghasilkan reaksi patologis menyebabkan
yang berat
kematian.
yang selanjutnya mungkin
Virulensi
kuman
menunjukkan
beratnya (suverity) penyakit. 4. Toksisitas: kesanggupan organisma untuk memproduksi reaksi kimia yang toksis dari substansi kimia yang dibuatnya. Dalam
15
upaya merusak jaringan untuk menyebabkan penyakit berbagai kuman mengeluarkan zat toksis. 5. Invasitas: kemampuan organisma untuk melakukan penetrasi dan menyebar setelah memasuki jaringan. 6. Antigenisitas: kesanggupan organisma untuk merangsang reaksi imunologis dalam penjamu. Beberapa organisma mempunyai antigenesitas lebih kuat dibanding yang lain. c. Lingkungan Lingkungan adalah semua faktor luar dari suatu individu yang dapat berupa lingkungan fisik, biologis, dan sosial. Yang tergolong faktor lingkungan meliputi (Bustan, 2006) : 1. Lingkungan fisik : geologi, iklim, geografik 2. Lingkungan biologis : misalnya kepadatan penduduk, flora (sebagai sumber bahan makanan) dan fauna (sebagai sumber protein) 3. Lingkungan sosial : berupa migrasi/urbanisasi, lingkungan kerja, keadaan perumahan keadaan sosial masyarakat (kekacauan, bencana alam, perang, dan banjir) Karakteristik lingkungan berupa : 1. Topografi: situasi lingkungan tertentu, baik yang natural maupun buatan manusia yang mungkin mempengaruhi terjadinya dan penyebaran suatu penyakit tertentu.
16
2. Geografis: keadaan yang berhubungan dengan struktur geologi dari bumi yang berhubungan dengan kejadian penyakit. Menurut LL. Benard dalam Siahaan (2004) membagi lingkungan menjadi empat macam yaitu : 1. Lingkungan fisik atau anorganik, yaitu lingkungan yang terdiri dari gaya kosmik dan fisiogeografis seperti tanah, udara, laut, radias, gaya tarik, ombak, dan sebaginya 2. Lingkungan biologi atau organik yaitu segala sesuatu yang bersifat biotis berupa mikroorganisme, parasit, hewan, tumbuhtumbuhan 3. Lingkungan sosial. Terbagi lagi menjadi tiga bagian : a. Lingkungan fisiososial yaitu meliputi kebudayaan materil : peralatan, senjata, mesin, gedung-gedung dan lain-lain b. Lingkungan biososial manusia dan bukan manusia, yaitu manusia dan interaksinya terhadap sesamanya dan tumbuhan beserta hewan domestik dan semua bahan yang digunakan manusia yang berasal dari sumber organik c. Lingkungan psikososial, yaitu yang berhubungan dengan tabiat batin manusia seperti sikap, pandangan, keinginan, keyakinan. Terlihat melalui kebiasaan, agama, ideologi, bahasa dan lain-lain
17
4. Lingkungan komposit, yaitu lingkungan yang diatur secara institusional berupa lembaga-lembaga masyarakat, baik yang terdapat diaerah kota atau desa. Pembagian lingkungan hidup dalam Undang-undang ketentuan Pokok Lingkungan Hidup (UKPPLH) N. 4 Tahun 1982 terdiri dari : 1. Lingkungan fisik berupa benda-benda dan daya (energi) 2. Lingkungan biologi berupa manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan makhluk-makluk organisme 3. Lingkungan sosial berupa tabiat, watak dan perilaku 4. Lingkungan institusional berupa lembaga-lembaga yang terdapat dalam measyarakat yang bertujuan mencapai kesejahteraannya
2.3 Epidemiologi Demam Berdarah 2.3.1 Pejamu a. Umur Beberapa penelitian menunjukkan anak-anak cenderung lebih rentan dibandingkan orang dewasa. Hal ini dikarenakan imunitas anakanak yang lebih rendah dibandingkan orang dewasa meski DBD menyerang semua usia. Indonesia sendiri penyakit DBD banyak menyerang pada usia 5-11 tahun dan mengenai semua jenis kelamin(Ginanjar, 2004). Akan tetapi terjadi pergerseran
peningkatan proporsi penderita
pada kelompok umur 15-44 tahun sehingga penderita DBD tertinggi sekarang adalah kelompok
umur <15 tahun 18
(95%) ,
sedangkan
proporsi penderita DBD pada kelompok umur >45 tahun sangat rendah seperti yang terjadi di Jawa Timur berkisar 3,64% (Soegijanto, 2006). Hal ini sama dengan penelitian Candra, 2010 Kasus DBD perkelompok umur dari tahun 1993 - 2009 terjadi pergeseran. Dari tahun 1993 sampai tahun 1998 kelompok umur terbesar kasus DBD adalah kelompok umur <15 tahun, tahun 1999 - 2009 kelompok umur terbesar kasus DBD cenderung pada kelompok umur >=15 tahun. b. Status Gizi Menurut Siagian (2004) menyatakan bahwa pada umumnya dampak
kekurangan gizi pada penyakit infeksi
dikaitkan dengan
menurunnya fungsi imunitas tubuh. Kekurangan energi-protein berkaitan dengan gangguan imunitas berperantara sel (cell-mediated immunity), fungsi fagosit, sistem komplemen, sekresi antibodi imunoglobulin A, dan produksi sitokin. Kebiasaan makan seseorang akan mempengaruhi stattus gizi. Penelitian Febriyanti (2006)bahwa terdapat hubungan antara kebiasaan makan dengan kejadian DBD. Dalam penelitian tersebut didapatkan bahwa sebagian besar penderita DBD mengkonsumsi beberapa jenis bahan pangan dengan frekuensi kurang. Selain menjadi faktor risiko demam berdarah status gizi juga memperparah keadaan seseorang yang terkena penyakit tersebut. Sesuai dengan penelitian Rahman (2009) bahwa ada hubungan antara status gizi dan tingkat keparahan DBD pada pasien DBD.
19
c. Tingkat Pendidikan Penelitian
Erliyanti
(2008) bahwa
ada hubungan
antara
pendidikan dengan DBD. Pendidikan akan membuat seseorang mudah dalam menyerap informasi sehingga dapat mengubah perilaku menjadi lebih baik. Orang berpendidikan tinggi akan memiliki cara berfikir yang luas daripada yang berpendidikan rendah.
d. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Dalam pedoman pembinaan perilaku hidup bersih dan sehat Kemekes RI (2011) Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan seseorang dan keluaga, kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (mandiri) di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat. PHBS mencakup beratus-ratus bahkan mungkin beribu-ribu perilaku yang harus dipraktikkan dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi tingginya. Dibidang pencegahan dan penanggulangan penyakit serta penyehatan lingkungan salah satu perilaku yang harus dipraktikan adalah memberantas jentik nyamuk. Menurut hasil penelitian bahwa perilaku individu yang tidak menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) berisiko terkena demamberdarah diantaranya, perilaku menggantung pakaian luar lemari 4 kali berisiko,tidak terbiasa menutup tempat penampungan air berisiko
20
3 kali, tidak mengubur barang bekas 3 kali berisiko dan 24% kelompok yang tidak memakai repelent terkena DBD. Kemudian perilaku seperti menggantung pakaian diluar lemari, memakai repelent, kebiasaan tidur pagi dan sore berhubungan dengan kejadian DBD (Widiyanto, 2007 ; Rahayu, 2010 ; Purwanto, 2007) . 2.3.2 Agen/penyebab Sumber penyakit dari DBD adalah virus DEN-1, DEN-2, DEN-3. Virus dengue (DEN) adalah virus RNA beruntai tunggal kecil yang terdiri dari empat serotipe yang berbeda (DEN-1 sampai -4). Serotipe erat terkait dengan genus Flavivirus, famili Flaviviridae (WHO, 2010) Penyakit Demam berdarah pertama kali dikenali di Filipina pada tahun 1953. Virus DEN-2 dan DEN-4 berhasil diisolasi di Filipina pada tahun 1956. Selang dua tahun keempat virus berhasil diisolasi di Thailand. Kemudian tiga dekade selanjutnya DBD ditemukan di Kamboja, Cina, Indonesia, Laos, Malaysia, Maldives, Myanmar, Singapura, Srilanka, Vietnam, dan beberapa wilayah di kepulauan Pasifik.Virus tipe 2 dan 3 adalah virus tipe yang dominan di Indonesia. Virus tipe 3
ini
menyebabkan kasus penyakit DBD menjadi berat dan fatal(Ginanjar, 2004) Di Asia Tenggara dan Pasifik Barat pada tahun sebelum 1970 Hanay Sembilan adalah negara yang mengalami epidemi. Pada 1995,Demam berdarah mengalami peningkatan empat kali lipat. Penyakit ini menjadi maslaah kesehatan masyarakat di banyak negara tropis Asia Tenggara dan
21
wilayah Pasifik Barat(Ginanjar, 2004). Sekitar 1,8 miliar (lebih dari 70%) terdapat populasi yang berisiko untuk demam berdarah di seluruh dunia tinggal di negara anggota WHO Wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat Wilayah, yang menanggung hampir 75% dari beban penyakit global akibat DBD.(WHO, 2010). 2.3.3 Lingkungan Kejadian penyakit merupakan hasil hubungan interaksi antara manusia dan komponen lingkungan yang memiliki potensi penyakit.Sesuai dengan pembagian lingkungan oleh LL Benard dan UUKPPLH No. 4 Tahun 1982 maka lingkungan yang mempengaruhi kejadian Demam Berdarah sebagai berikut : 1. Fisik a. Iklim Pola berjangkitnya infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32 C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes aegypti akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat maka pola terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat(Ginanjar, 2004). Curah hujan menambah genangan air sebagai tempat perindukan. Sedangkan banyaknya hari hujan akan mempengaruhi kelembaban udara di daerah pantai dan mempengaruhi suhu di
22
daerah pegunungan (Depkes RI, 2007). Resiko terjadinya tingkat endemik berat terjadi pada kota padat penduduk, hujan tahunannya relatif besar (lebih dari 1000 mm) tetapi memiliki bulan dengan curah hujan kurang dari 60 mm (Hidayati, 2008). Demam berdarah di Indonesia setiap tahun terjadi pada bulan September s/d Februari dengan puncak yang bertepatan dengan musim hujan pada bulan Desember atau Januari. Akan tetapi hal ini akan berbeda pada kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogjakarta dan Surabaya musim penularan pad bulan Maret s/d Agustus dengan puncak bulan Juni atau juli (Siregar, 2004). Tingkat replikasi virus dengue berhubungan dengan kenaikan temperatur. Pengaruh perubahan temperatur secara relatif akan memberikan virus kesempatan untuk memasuki populasi manusia yang rentan terhadap risiko terjangkit (Depkes RI, 2012). b. Geografis Demam berdarah merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di negara-negara yang berada di monsoon tropis dan zona khatulistiwa. Masalah
tersebut terutama di negara Indonesia,
Myanmar, Sri Lanka, Thailand dan Timor Leste di mana Aedes aegypti tersebar luas baik di daerah perkotaan dan daerah pedesaan. Beberapa serotipe virus yang beredar adalah penyebab utama rawat inap dan kematian pada anak-anak (WHO, 2010)
23
Di India, Indonesia dan Myanmar, wabah di daerah perkotaan telah melaporkan kasus fatalitas tingkat 3 - 5%. Di Indonesia, lebih dari 35% dari penduduk hidup di daerah perkotaan, 150.000 kasus dilaporkan pada tahun 2007 (angka tertinggi) dengan lebih dari 25 000 kasus dilaporkan dari Jakarta dan Jawa Barat dengan tingkat fatalitas kasus adalah sekitar 1% (WHO, 2010). Di Indonesia DBD pertama kali mencul di Surabaya pada tahun 1970. Di Jakarta kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian kab/kota berturut-turut melaporkan adalah Bandung dan Jogyakarta pada 1972. Di luar Jawa pada tahun 1972 pertama kali dilaporkan di Sumatra Barat dan Nusa Tenggara Barat. Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat melaporkan kasus pada tahun 1974. Penyakit ini masuk kedaerah perdesaan pada tahun 1975(Ginanjar, 2004). Secara historis, demam berdarah telah dilaporkan terutama di kalangan perkotaan dan pinggiran kota dimana populasi kepadatan penduduk yang tinggi dapat memfasilitasi transmisi. Namun, dari wabah barubaru ini, di Kamboja pada tahun 2007, menunjukkan bahwa demam berdarah sekarang terjadi di daerah pedesaan(WHO, 2010)
24
2. Biologi a. Kepadatan penduduk Kepadatan
penduduk
merupakan
ledakan
penduduk.
Kepadatan penduduk menjadi masalah lingkungan.
Namun
ledakan penduduk juga mempengaruhi aspek hidup atau kualitas hidup secara kompleks seperti pemukiman, ketentraman dan ketertiban. Penularan virus dengue melalui gigitan nyamuk lebih banyak terjadi pada tempat yang padat penduduk seperti perkotaan dan perdesaan pinggir kota (Yatim, 2007). Penelitian Haryadi (2007) didapatkan bahwa kecamatan yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi berisiko 16 kali tertular DBD. Menurut PU jumlah kepadatan penduduk yang berpotensi kumuh diindikasikan dari kepadatan penduduk min 16 jiwa/Ha dan kepadatan rumah/bangunan min 3,5 bang/Ha. Sedangkan untuk penetapan tingkatan kepadatan penduduk adalah Rendah jika penduduk < 50 jiwa/ha , kepadatan Sedang 51-150 jiwa/ha dan kepadatan tinggi > 150 jiwa/ha. b. Kepadatan Vektor Peningkatan penyebaran dan kepadatan vektor nyamuk menyebabkan munculnya kembali epidemi dengue ditambah dengan kurang efektifnya pengendalian nyamuk(WHO, 2010).
25
Tingkat kepadatan vektor digambarkan dalam Angka Bebas Jentik. Berdasarkan pedoman dari Kemenkes RI (2012) bahwa pencapaian ABJ hingga 95% akan mampu menurunkan kejadian Demam Berdarah. Angka bebas jentik adalah jumlah rumah, bangunan, atau tempat umum yang tidak ditemukan jentik pada pemeriksaan jentik berkala di bandingkan dengan rumah, bangunan atau tempat umum yang diperiksa. Adapun Target Depkes untuk pencapaian angka bebas jentik di Indonesia berdasarkan pedoman pengendalian DBD oleh Kemenkes RI memiliki nilai indikator minimal 95%. Virus dengue ternyata juga terbukti ditemukan dalam telur nyamuk Aedes. Selin itu di tiap stadium Aedes spesies mengandung virus Dengue, sehingga pemberantasan vektor DBD tidakcukup dengan membasmi nyamuk dewasa Aedes spesies saja (insektisida), tetapi jugapada semua stadium khususnya stadium larva (larvasida)(Mashoedi, 2009) c. Keberadaan predator jentik Pengendalian
secara
biologis
merupakan
upaya
pemanfaatan agenbiologi untuk pengendalian vektor DBD. Beberapa
agen biologis yang sudah digunakan dan terbukti
mampu mengendalikan populasi larva vektor DB/DBD adalah
26
dari kelompok bakteri, predator seperti ikan pemakan jentik dan cyclop (Copepoda)(Wahyono, 2010). Predator larva yang bisa digunakan untuk pengendalian larva vektor DBD tidak banyak jenisnya, akan tetapi yang paling mudah didapat dan dikembangkan masyarakat serta murah adalah ikan pemakan jentik. Berdasarkan penelitian Taviv (2004) keberadaan predator alami seperti ikan cupang akan mampu menurunkan
angka kepadatan jentik. Mayoritas
penduduk lebih menyukai menggunakan Ikan Cupang dalam pengendalian DBD di lingkungannnya dengan alasan alami. Ikan Cupang langsung memakan jentik, dan tidak mengubah rasa air. 3. Sosial a. Rumah Sehat DBD adalah penyakit yang erat dengan kondisi lingkungan rumah. Rumah sehat merupakan bangunan tempat tinggal yang memenuhi syarat kesehatan yaitu rumah yang memiliki jamban yang sehat, sarana air bersih, tempat pembuangan
sampah,
sarana
pembuangan
air
limbah,
ventilasi yang baik, kepadatan hunian rumah yang sesuai dan lantai rumah yang tidak terbuat dari tanah (Depkes RI, 2003).
27
Kualitas pemukiman yang kurang baik merupakan kondisi ideal untuk perkembang biakan vektor DBD karena berkaitan dengan jarak antar rumah, pencahayaan, bentuk rumah, dan bahan bangunan(Musadad, 1997) Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya dinding rumah dan lantai kelompok penderita DBD 20% lebih memiliki atap rumah asbes. Lebih dari 5% rumah terdapat jentik pada kontainer di dalam rumah dan lebih dari 20% memiliki pencahayaan di dalam rumah dan ventilasi yang cukup atau kurang (Wahyono, 2010) Adapun parameter dan indikator penilaian rumah sehat tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan 829/Menkes/SK/VII/1999
tentang
Persyaratan
Nomor kesehatan
perumahan meliputi 3 lingkup kelompok komponen penilaian, yaitu dapat terlihat dalam tabel berikut : Tabel 2.3 Parameter Rumah Sehat Komponen
Komponen Rumah
Kelompok sarana sanitasi Kelompok
Parameter 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 1. 2. 3. 4. 1.
Langit-langit Dinding Lantai jendela kamar tidur Jendela ruang keluarga dan ruang tamu Ventilasi Sarana pembuangan asap Dapur dan pencahayaan Sarana air bersih Sarana pembuangan kotoran Saluran pembuangan air limbah Sarana tempat pembuangan sampah Membuka jendela kamar tidur
28
Komponen perilaku penghuni
Sumber:
Parameter 2. 3. 4. 5.
Membuka jendela ruang keluarga Membersihkan rumah dan halaman Membuang tinja bayi dan balita ke jamban Membuang sampah pada tempat sampah
Keputusan Menteri Kesehatan 829/Menkes/SK/VII/1999
RI
Nomor
Kemiskinan menurut BPS adalah kondisi di
mana
b. Kemiskinan
seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan
yang
bermartabat. Penduduk
miskin adalah penduduk yang pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis Kemiskinan. Kota palembang sendiri garis kemiskinan adalah sebesar Rp315634. Masyarakat miskin adalah mereka yang selalu hidup serba kekurangan secara ekonomis. Dalam kondisi semacam itu, syarat hidup sehat, lingkungan yang kumuh, gizi yang buruk dan keadaan hygiene serta sanitasi yang jauh dari baik rata-rata penduduk yang menjadi korban penyakit DBD didominasi oleh anak-anak dari kalangan miskin (Firmansyah, 2007). Jumlah anggota rumah tangga miskin lebih besar dibandingkan dengan rumahtangga tidak miskin (4,64 orang dibanding 3,79 orang). Hal ini menyebabkan rumahtangga miskin cenderung mempunyai tingkat kelahiran yang tinggi. Rumahtangga miskin umumnya memiliki keterbatasan akses
29
terhadap pendapatan dan kesehatan yang dapat mengakibatkan kurangnya pemenuhan gizi anak-anak rumahtangga miskin (BPS, 2008). Jumlah penduduk miskin di suatu wilayah dapat mencerminkan tingkat kemiskinan di suatu wilayah. Kemiskinan masyarakat dapat diukur melalui indikator persentase penduduk miskin. Proporsi penduduk miskin dan penduduk yang bertempat tinggal berjarak > 5 km dari fasilitas kesehatan di masing-masing kabupaten terbukti berhubungan bemakna tidak dapat mengakses fasilitas kesehatan(Retnaningsih, 2004). Semakin miskin rumah tangga semakin jelek sanitasi dasarnya (Musadad, 1996). c. Derajat Kumuh Kawasan kumuh adalah kawasan di mana rumah dan kondisi hunian masyarakat di kawasan tersebut sangat buruk. Rumah maupun sarana dan prasarana yang ada tidak sesuai dengan
standar
yang
berlaku, baik standar
kepadatan bangunan, persyaratan
kebutuhan,
rumah sehat, kebutuhan
sarana air bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan prasarana jalan, ruang terbuka, serta kelengkapan fasilitas sosial lainnya (Kurniasih, 2007). Salah satu penyebab kemunculan kembali epidemi dengue menurut WHO (2010) adalah manajemen sampah yang tidak
30
adekuat. Hasil penelitian erliyanti (2008) bahwa sampah-sampah yang berserakan dapat menampung air dan memberikan kontribusi yang besar terhadap keberadaan jentik . Orang yang memiliki halaman yang kurang bersih dari sampah dan barangbarang bekas memiliki risiko terkena 2,6 kali. Perilaku bertelur Aedes aegypti ternyata juga bertelur pada air selokan. Hal ini terbukti pada penelitian (Adifian, 2013) jumlah telur Aedes Aegypti yang ditemukan tidak berbeda secara nyata antara ovitrap berisi air hujan dan air selokan. Hasil
penelitian ini juga pada
larva
Aedes Albopictus sp
persentase tertinggi terdapat pada air selokan dibandingkan dengan jumlah yang terdapat pada air hujan dan pada air sumur gali. Telur dan larva angka tertinggi lebih dominan pada air selokan dan pada saat menjadi pupa angka yang lebih tinggi terdapat pada air hujan karena proses dari larva menjadi pupa membutuhkan waktu yang lebih singkat daripada air selokan dan air sumur gali. Menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya, lokasi kawasan perumahan yang layak harus memenuhikriteria pada tabel berikut:
31
Tabel 2.4 Standar Minimal Komponen Fisik Prasarana Lingkungan Permukiman No
1.
2.
3.
4.
Komponen
Kriteria Teknis
1. Jarak minimum setiap rumah 100 m dari jalan kendaraan satu arah dan 300 m dari jalan 2 arah. 2. Lebar perkerasan minimum untuk jalan 2 Jaringan Jalan arah 4m. 3. Kepadatan jalan minimal 50-100 m/ha untuk jalan 2 arah. 4. Pedestrian yang diperkeras minimal berjarak 20 m,dengan perkerasan 1-3 m 1. Kapasitas layanan minimum 201/org/hari 2. Kapasitas jaringan jaringan minimum 60 lt/org/hr 3. Cakupan layanan 20-50 kk/unit Sanitasi 4. Fire Hidrant dalam radius 60 m-120 m 5. Tangki septict individu, resapan individu 6. Tangki septict bersama, resapan bersama Mini IPAL 1. Minimal Jarak TPS/Transfer 2. Depo 15 menit perjalanan gerobag sampah 3. Setiap gerobag melayani 30 sampai 50 unit Persampahan rumah 4. Pengelolaan sampah lingkungan ditangani masyarakat setempat. 1. Jaringan drainasi dibangun memanfaatkan jaringan jalan dan badan air yang ada. 2. Dimensi saluran diperhitungkan atas dasar layanan (coverage area) blok/lingkungan bersangkutan. 3. Penempatan saluran memperhitungkan Drainase ketersediaan lahan (dapat disamping atau dibawah jalan). 4. Jika tidak tersambung dengan sistim kota,harus disiapkan resapan setempat atau kolam retensi
Sumber : PU Citra Karya dan Perumahan PU Kota Palembang sendiri memiliki kriteria dalam menentukan kawasan kumuh. Dalam menentukan tingkat kumuhdilakukan beberapa langkah-langkah sebagai berikut :
32
1) Menyusun daftar panjang Kecamatan kelurahan-kelurahan yang berada di Kota Palembang yang berpotensi kumuh diindikasikan dari kepadatan penduduk min 16 jiwa/Ha dan kepadatan rumah/bangunan min 3,5 bang/Ha. 2) Selanjutnya dilakukan tinjauan pada tingkat kawasan pada Kecamatan kelurahan-kelurahan terpilih (hasil tinjauan poin 1) berdasarkan kepadatan penduduk min 16 jiwa/Ha dan kepadatan rumah/bangunan min 3,5 bang/Ha. 3) Hasil dari tinjauan pada tingkat kawasan pada kelurahankelurahan terpilih inilah yang akan diusulkan sebagai lokasi kawasan kumuh, untuk selanjutnya dilakukan tinjauan ke lapangan dan perhitungan tingkat kekumuhan. Cara perhitungan skortingkat derajat kekumuhanadalah dengan menghitung pencapaian skor I, II, III: 1) Jumlah tingkat kekumuhan sama dengan 1
: Tidak kumuh
2) Jumlah tingkat kekumuhan antara 1 s/d sama dengan 3: Kumuh sedang 3) Jumlah tingkat kekumuhan antara 3 s/d 5
: Kumuh berat
4) Jumlah tingkat kekumuhan sama dengan 5
:Sangat kumuh
4. Institusional Keberadaan puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan sangat berperan dalam menekan kejadian demam
33
berdarah. Puskesmas yang memiliki fungsi sebagai pelayanan kesehatan Preventif, Promotif, dan Kuratif memiliki beberapa program kesehatan yang didalamnya berupa kegiatan dimulai dari penyuluhan,
tatalaksana
kasus
juga
melakukan
kgegiatan
pengendalian vektor DBD(Kemenkes RI, 2011). Puskesmas yang optimal dalam menjangkau masyarakat akan mampu mengerahkan kader dan melatih kader dalam hal kegiatan penganggulangan vektor. Hasil penelitian Taviv (2009) kader
menjadikan masyarakat rajin untuk membersi hkan
penampungan airn ya apabila ada jentik dan
membeli
ikan
pemakan jentik apabila ikan yang diditribusikan mati untuk upaya pemberantasan jentik, disamping memberikan
teguran
bagi
masyarakat
itu yang
kader
akan
penampungan
airnya masih ditemukan sehingga menimbulkan budaya malu. 2.3 Kebijakan Pengendalian Penyakit DBD Berdasarkan Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2011) dalam menargetkan
pengendalian
DBD
tertuang
dalam
dokumen
Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kesehatan 2010-2014 dan KEPMENKES 1457 tahun 2003 tentang Standar Pelayanan Minimal yang menguatkan pentingnya upaya
pengendalian
penyakit
DBD
34
di
Indonesia
hingga
ketingkat
Kabupaten/Kota bahkan sampai ke desa, maka kegiatan pengendalian DBD diharapkan sesuai dengan pencapaian rencana strategis Indonesia. Adapun kegiatan pokok pengendalian demam berdarah terdiri dari surveilans epidemiologi, penemuan dan tata laksana kasus, pengendalian vektor, peningkatan peran masyarakat, SKD-KLB, penyuluhan, penelitian, monitoring dan evaluasi. a. Surveilans Epidemiologi Surveilans pada pengendalian DBD meliputi kegiatan surveilans, kasus secara aktif maupun pasif, surveilans vektor, surveilans laboratorium dan surveilans terhadap faktor risiko penularan penyakit seperti pengaruh curah hujan, kenaikan suhu dan kelembaban serta surveilans akibat adanya perubahan iklim (climate change). b. Penemuan dan tatalaksana kasus Penyediaan sarana dan prasarana untuk melakukan pemeriksaan dan penanganan penderita di Puskesmas dan Rumah Sakit c. Pengendalian vektor Upaya pengendalian vektor dilaksanakan pada fase nyamuk dewasa dan jentik nyamuk. Pada fase nyamuk dewasa dilakukan dengan cara pengasapan untuk memutuskan rantai penularan antara nyamuk yang terinfeksi kepada manusia. Pada fase jentik dilakukan upaya PSN dengan kegiatan 3M Plus : 1) Secara fisik dengan menguras, menutup dan memanfaatkan barang bekas
35
2) Secara kimiawi dengan larvasidasi. Golongan insektisida kimiawi untuk pengendalian DBD adalah sasaran dewasa (nyamuk) adalah Organophospat
(Malathion,
methylpirimiphos),
Pyrethroid
(Cypermethrine, lamda-cyhalotrine, cyflutrine, Permethrine & SBioalethrine).
Yang
ditujukan
untuk
stadium
dewasa
yang
diaplikasikan dengan cara pengabutan panas/fogging dan pengabutan dingin/ULV sedangkan sasaran pra dewasa (jentik) Organophospat (Temephos) 3) Secara biologis vektor biologi menggunakan agen biologi seperti predator/pemangsa, parasit, bakteri, sebagai musuh alami stadium pra dewasavektor DBD. Jenis predator yang digunakan adalah Ikan pemakan jentik (cupang,tampalo, gabus, guppy, dll), sedangkan larva Capung, Toxorrhyncites,Mesocyclopsdapat juga berperan sebagai predator walau bukan sebagai metodeyang lazim untuk pengendalian vektor DBD 4) Cara lainnya (menggunakan repellent, obat nyamuk bakar, kelambu, memasang kawat kasa dll Dalam kegiatan pengendalian vektor dilapangan dilakukan dengan cara mengaktifkan jumantik, melaksanakan bulan bakti “Gerakan 3M” pada saat sebelum musim penularan, Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) setiap 3 bulan sekali dan dilaksanakanoleh petugas Puskesmas dan Pemantauan wilayah setempat (PWS) dan dikomunikasikan kepada
36
pimpinan wilayah pada rapat bulanan POKJANAL DBD, yang menyangkut hasil pemeriksaan Angka Bebas Jentik (ABJ). Pemeriksaan jentik berkala (PJB) adalah pemeriksaan tempattempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypty yang di lakukan secara teratur oleh petugas pemantau jentik (jumantik).Tujuannya untuk melakukan pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD termasuk memootivasi keluaarga/ masyarakat dalam melaksanakan PSN DBD, dengan kunjungan yang berulang- ulang disertai penyuluhan. d. Peningkatan peran serta masyarakat Sasaran peran serta masyarakat terdiri dari keluarga melalui peran PKK dan organisasi kemasyarakatan atau LSM, murid sekolah melalui UKS dan pelatihan guru, tatanan institusi (kantor, tempat0tempat umum dan tempat ibadah). e. Sistem kewaspadaan dini (SKD) dan penanggulangan KLB Upaya dilapangan SKD–KLB yaitu dengan melaksanakan kegiatan penyelidikan epidemiologi (PE) dan penanggulangan seperlunya meliputi foging fokus, penggerakan masyarakat dan penyuluhan untuk PSN serta larvasidasi. Demikian pula kesiapsiagaan di RS untuk dapat manampung pasien DBD, baik penyediaan tempat tidur, sarana logistik, dan tenaga medis, paramedis dan laboratorium yang siaga 24 jam. Pemerintah daerah menyiapkan anggaran untuk perawatan bagi pasien tidak mampu. Penyelidikan epidemiologi adalah kegiatan pencarian penderita DBD atau tersangka DBD lainnya dan pemeriksaan jentik nyamuk
37
penular DBD di tempat tinggal penderita dan rumah/bangunan sekitarnya, termasuk tempat - tempat umum dalam radius sekurangkurangnya
100
meter.
Penyelidikan
epidemiologis
terdiri
dari
penanggulangaan fokus dan penanggulangan vector pada kejadian luar biasa (KLB) DBD. Tujuannya adalah untuk mengetahui penularan dan penyebaran DBD lebih lanjut serta tindakan penanggulangan yang perlu dilakukan di wilayah sekitar tempat penderita. PE juga dilakukan untuk mengetahui adanya penderita dan tersangka DBD lainnya, mengetahui ada tidaknya jentik nyamuk penular DBD, dan menentukan jenis tindakan (penanggulangan fokus) yang akan dilakukan f. Penyuluhan Promosi
kesehatan
tentang
penyakit
DBD
tidak
hanya
menyebarkan leaflet atau poster tetapi juga ke arah perubahan perilaku dalam pemberantasan sarang nyamuk sesuai dengan kondisi setempat. Metode ini antara lain dengan COMBI (Comunication for Behavioral) Impact. g. Penelitian dan survei Penelitian ini menyangkut beberapa aspek yaitu bionomik vektor, penanganan kasus, laboratorium, perilaku, obat herbal dan saat ini sedang dilakukan uji coba terhadap vaksin DBD. Penelitian dilaksanakan oleh berbagai pihak, antara lain universitas, Rumah Sakit, Litbang, LSM h. Monitoring dan evaluasi
38
Monitoring dan evaluasi ini dilaksanakan secara berjenjang dari tingkat kelurahan/desa sampai ke pusat yang menyangkut pelaksanaan pengendalian DBD, dimulai dari input, proses, output dan outcome yang dicapai pada setiap tahun. 2.3 Sistem Informasi Geografis 2.3.1 Definisi Sistem Informasi Geografis merupakan bagian dari Geografi Teknik berbasis komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi data keruangan. Sistem Informasi Geografis atau disingkat dengan SIG adalah suatu sistem informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan,
memanggil
kembali,
mengolah,
menganalisis,
dan
menghasilkan data berdeferensi geografis atau data geospasial (Hartono, 2007). Akronim GIS sering dipakai sebagai istilah Geographical information Sience
yang merupakan ilmu studi atau pekerjaan yang berhubungan
dengan Geographicinformation System
yang dapat disimpulkan dari
gabungan katografi, analisis statistik dan teknologi sistem basis data (database) (Irwansyah, 2013). 2.3.3 Kegunaan Beberapa penelitian demam berdarah yang menggunakan SIG dimanfaatkan untuk mengetahui hubungan antara persebaran lokasi potensial sumber
perkembangbiakan jentik nyamuk Aedes aegypti dan
39
Aedes albopictus, dan jumlah penderita pada lokasi tersebut. Untuk mendapatkan hubungan di antar variabel, metode yang dilakukan adalah dengan menampalkan peta lokasi potensial sumber jentik, dengan jumlah penderita (Widyawati, 2011). Berdasarkan hasil penelitian Annas (2013) bahwa dengan adanya sistem informasi geografis surveilans penyakit DBD dapat digunakan untuk mengetahui informasi dan perkembangan penyakit DBD karena memiliki output berupa angka dan grafik. Dengan demikian dapat memudahkan dalam pengambilan keputusan tindak penanggulangannya. Begitupula hasil penelitian
Hidayatullah (2010) Sistem informasi
geografis yang dibangun berhasil memberikan gambaran mengenai distribusi penyebaran penyakit demam berdarah di berdasarkan karakteristik orang tempat, waktu (tahun) dengan pendekatan sistem informasi geografis. Penelitian Astuti (2010) perancangan sistem informasi geografis (GIS) dapat menggambarkan penyebaran
penyakit
demam berdarah
dengue (DBD) agar dapat mengetahui jumlah terjangkit dan wilayah bahaya wabah demam berdarah dengue dan fogging yang dilakukan di setiap daerah dalam mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Dalam segi visualisasi warna, di setiap wilayah memiliki warna yang berbeda di
setiap
batasan-batasan
dari kecamatan
dan
kelurahan, sehingga
pengguna dapat lebih mudah melihat daerah yang paling banyak terjangkit demam berdarah.
40
Informasi geospasial dapat dengan mudah mengidentifikasi daerah sasaran
tanpa
dilakukan survei pendahuluan ke lapangan. Sistem ini
mampu mengetahui daerah yang rawan DBD walaupun pada tahun sebelumnya tidak terdapat kasus dan juga pola pergerakan kasus dari tahun-tahun sebelumnya, sehingga dapat memprediksi perkiraan daerah yang
kemungkinan
terjangkit
DBD pada
tahun
selanjutnya, maka
pengendalian dan pencegahan penyebaran DBD dapat dilakukan dengan efektif dan efisien (Ruliansyah, 2010). 2.4Analisis Spasial 2.4.1 Definisi Anaisis spasial adalah teknik yang menggunakan sejumlah hitungan dan evaluasi logika dalam rangka mencari atau menemukan potensi hubungan atau pola-pola yang terdapat diantara unsur geografis. Hasilnya sangat tergantung pada lokasi objek yang sedang dianalisis dan teknik yang memerlukan akses terhadap objek maupun atributnya (Prahasta, 2009). Analisis spasial adalah sebagai teknik-teknik yang digunakan untuk meneliti dan mengeksplorasi data dari perspektif keruangan (Kemenristek, 2013). Epidemiologi spasial adalah analisis distribusi geografis keruangan kejadian penyakit. Dalam bentuk sederhana tujuan dari pemetaan adalah menetukan lokasi dari penyakit dan hubungannya dengan faktor-faktor yang berkaitan dengan hasil analisis statistik (Lawson, 2005).Sedangkan data Spasial merupakan data yang menunjuk posisi geografi dimana setiap
41
karakteristik memiliki satu lokasi yang harus ditentukan dengan cara yang unik (Tuman, 2001). 2.4.1 Teknik Analisis Overlay Overlay adalah fungsi yang menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial yang menjadi dua data spasial yang menjadi masukannya
Gambar 2.7 Sistem Dasar Teknik Overlay
Sumber : Budiyanto (2002) Tiga tipe fitur masukan, melalui overlay yang merupakan polygon yaitu : 1. Titik dengan poligon, menghasilkan keluaran dalam bentuk titik-titik 2. Garis dengan poligon, menghasilkan keluaran dalam bentuk garis 3. Poligon dengan poligon menghasilkan keluaran dalam bentuk poligon
42
2.5 Kerangka Teori Berdasarkan Teori John Gordon bahwa penyakit infeksi merupakan hasil dari interaksi antara lingkungan, agen dan pejamu. Pada kejadian Demam berdarahfaktor Pejamu terdiri dari umur, status gizi, pendidikan, pengetahuan dan perilaku 3M. Faktor agen terdiri dari virulensi berupa jenis virus itu sendiri. Sedangkan faktor lingkungan terdiri dari lingkungan institusional, sosial, biologi dan fisik. Maka peneliti dapat membuat kerangka teori sebagai berikut : Bagan 2.8 Kerangka Teori Pejamu 1. Umur 2. Status Gizi 3. Pendidikan 4. Pengetahuan 5. Perilaku 3M Agen Virulensi : Serotipe virus (DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4)
Lingkungan 1. Institusional Tersedianya pelayanan kesehatan 2. Fisik a. Geografis (perdesaan/perkotaan) b. Iklim 3. Biologi a. Kepadatan vektor (ABJ) b. Kepadatan Penduduk c. Predator alami 4. Sosial dan ekonomi a. Rumah sehat b. Derajat kumuh c. Kemiskinan
43
Kejadian Demam Berdarah
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Konsep Dari semua faktor yang terdapat dalam kerangka teori, tidak semua dijadikan sebagai variabel penelitian ini. Variabel penelitian ini adalah variabel lingkungan.Lingkungan biologi yaitu kepadatan vektor, lingkungan sosial dan ekonomi yaitu rumah sehat, derajat kumuh, dan kemiskinan. Kepadatan vektor akan dilihat dari Angka Bebas Jentik. Sesuai dengan petunjuk dari Kemenkes RI dalam pedoman pengendalian demam berdarah dalam kegiatan pengendalian vektor. Semakin rendah angka bebas jentik maka semakin tinggi kepadatan vektor. Variabel angka bebas jentik diteliti karena terkait langsung dengan kepadatan vektor. Kepadatan vektor adalah faktor utama/langsung yang mempengaruhi kejadian demam berdarah.. Kepadatan penduduk diteliti karena Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit infeksi dan salah satu penyakit yang mudah mencetuskan KLB. Variabel kepadatan penduduk diteliti karena merupakan variabel yang mempengaruhi morbiditas penyakit DBD Kepadatan penduduk erat kaitannya dengan kondisi rentan dari masyarakat, karena semakin banyak masyarakat yang rentan maka Demam Berdarah Dengue akan mudah menuar. Varibel rumah sehat diteliti karena Demam Berdarah Dengue sangat erat dengan kondisi perumahan. Vektor Demam Berdarah Dengue adalah vektor yang sangat erat dengan kehidupan manusia dan habitatnya banyak
44
bergantung pada kondisi perumahan yang secara tidak langsung menjadi habitat buatan untuk vektor. Variabel derajat kumuh diteliti karena merupakan faktor yang mempengrahi banyaknya tempat bertelur nyamuk. Derajat kumuh hanya diteliti pada tahun 2009. Hal ini dikarenakan data yang tersedia hanya 2009. Pendataan derajat kumuh tidak dilaksanakan rutin tahunan akan tetapi dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Kemiskinan diteliti karena Demam Berdarah Dengue menyerang semua kelompok kelas ekonomi namun, setiap daerah akan berbeda. Hal ini bisa terkait karena faktor kemampuan akses pelayanan, atau justru karena pola perilaku yang berbeda dari setiap kelas ekonomi. Dalam penelitian ini peneliti ingin melihat kelompok kelas ekonomi yang mana yang banyak diserang oleh Demam Berdarah Dengue. Dalam penelitian ini tidak melakukan pengujian hipotesis. Penelitian hanya ingin melihat variabel tersebut secara epidemiologi deskriptif yang disajikan dalam bentuk peta, tabel dan grafik. Variabel faktor risiko (kepadatan vektor, rumah sehat, derajat kumuh suatu wilayah, dan kemiskinan)
kemudian akan digambarkan secara tumpang susundengan
kejadian demam berdarah melalui SIG (Sistem Infomasi Geografis). Variabel pejamu dan agen tidak diteliti karena variabel tersebut tidak sesuai untuk desain studi ekologi yang unit analisisnya merupakan populasi. Sedangkan kedua variabel tersebut merupakan karakteristik dari individu.
45
Karakteristik lingkungan biologi berupa variabel predator jentik tidak diteliti karena karena sudah ada penelitian terdahulu oleh Taviv (2010) tentang Pengendalian DBD Melalui Pemanfaatan Pemantau Jentik dan Ikan Cupang di Kota Palembang. Lingkungan fisik yaitu iklim tidak diteliti karena variabel ini tidak memiliki variasi jika dilihat hanya sebatas area kota Palembang. Begitu pula untuk variabel geografis perdesaan atau perkotaan karena semua kelurahan di Kota Palembang merupakan kelurahan yang berada di geografis perkotaan, sehingga tidak memiliki variasi antar kelurahan. Berikut beberapa variabel yang diteliti dapat digambarkan dalam kerangka konsep dibawah ini. Bagan 3.1 Kerangka Konsep
Angka Bebas Jentik
Kepadatan penduduk
Kejadian Demam Berdarah
Rumah sehat
Derajat kumuh
Kemiskinan
46
3.2 Definisi Operasional
Tabel 3.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian Variabel
Kejadian Demam Berdarah
Angka Bebas Jentik
Kepadatan Penduduk
Definisi Jumlah penderita penyakit demam berdarah yang dinyatakan secara klinis dan bukti laboratorium yang di temukan pada jangka waktu tahun 2009-2013 Jumlah rumah, bangunan, atau tempat umum yang tidak ditemukan jentik pada pemeriksaan jentik berkala di bandingkan dengan rumah, bangunan atau tempat umum yang diperiksa
Jumlah penduduk per wilayah kelurahan di kota Palembang dalam hektar luas area
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala
Observasi data sekunder
Laporan P2P Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 20092013
Angka Insiden Rateper 100.000 penduduk
Rasio
Observasi data sekunder
Laporan Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2009-2013
Observasi data sekunder
Laporan Tahunan Data Dasar Dinkes Kota Palembang tahun 2009-2013
47
1. Rendah (merah) :< 95% 2. Tinggi (hijau) : > 95%
Ordinal
Sumber : Kemenkes RI, 2011 1. Rendah (hijau)< 50 jiwa/ha 2. Sedang (kuning) 51-150 jiwa/ha 3. Tinggi (merah)> 150 jiwa/ha Sumber : PU Cipta Karya dan Perumahan Kota Palembang
Ordinal
Variabel
Derajat kumuh
Definisi
Tingkat kekumahan wilayah berdasarkan total skor darihasil penjumlahan poinpenilaian karakteristik kumuholeh PU Kota Palembang
Cara Ukur
Observasi data sekunder
Alat Ukur
Laporan Proyek Updating Data Base Kondisi Perumahan dan Pemukiman Kumuh PU Cipta Karya dan Perumahan Kota Palembang tahun 2009
Hasil Ukur 1. Sangat kumuh (merah) : >5 2. Kumuh berat (merah muda) : >3 – 4,9 3. Kumuh sedang (kuning) : >1 –3 4. Tidak kumuh (hijau) :1
Skala
Ordinal
Sumber : PU Cipta Karya dan Perumahan Kota Palembang
Rumah Sehat
Kemiskinan
Jumlah bangunan tempat tinggal yang memenuhi syarat kesehatan berdasarkan indikator rumash sehat di Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 Jumlah penduduk yang dikategorikan miskin olehBPS kota Palembang berupa penduduk yang pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis Kemiskinan (Rp315634)
Observasi data sekunder
Laporan Tahunan Data dasar kesehatan Dinkes Palembang tahun 2009-2013
Observasi data sekunder
Laporan Tahunan Data dasar kesehatan Dinkes Palembang tahun 2009-2013
48
1. Rendah (merah) :<80% 2. Tinggi (hijau) : > 80%
Ordinal
Sumber : Kemenkes RI, 2010
1. Rendah <26%, 2. Sedang >26%-35% 3. Ttingi >35%
Ordinal
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan Studi Epidemiologi deskriptif dengan Desain studi Ekologi. Desain studi ekologi adalah desain studi epidemiologi dengan populasi sebagai unit analisis, yang bertujuan mendeskripsikan antara penyakit dan faktor-faktornya. Unit observasi dan unit analisis pada studi ini adalah kelompok (aggregat) individu, komunitas atau populasi yang lebih besar yang dibatasi oleh secara geografik. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Palembang yang mencakup 39 Puskesmas. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai bulan Juni 2014. 4.3 Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wilayah kerja puskesmas di Kota Palembang dan seluruh puskesmas menjadi unit analisis dalam penelitian ini (39 puskesmas). 4.4 Manajemen Data 4.4.1Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berupa data spasial dan non spasial. Data spasial adalah data yang memiliki nilai keruangan sedangkan data non spasial berupa data tabular. Data ini
49
kemudian memanfaatkan sistem informasi geografis sebagai tools untuk mendapatkan sebaran Demam Berdarah Dengue berdasarkan faktor lingkungan secara pemetaan. Berikut data-data yang dikumpulkan dalam penelitian ini: Tabel 4.1 Jenis Data Penelitian No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Data Peta Kota Palembang per kelurahan Peta wilayah kerja puskesmas Insidens Rate per Puskesmas
Jenis data Spasial
Sumber Data Bappeda Kota Palembang
Spasial
Bappeda Kota Palembang
Non Spasial
Laporan Mingguan Seksi P2P Dinkes Kota Palembang
Angka Bebas Jentik Per Wilayah Kerja Puskesmas Rumah Sehat Per Wilayah Kerja Puskesmas Jumlah Puskesmas Per Wilayah Kerja Puskesmas Jumlah Penduduk Per Wilayah Kerja Puskesmas Penduduk Miskin Per Wilayah Kerja Puskesmas Luas wilayah Per Wilayah Kerja Puskesmas Derajat Kekumuhan Wilayah Per Wilayah Kerja Puskesmas
Non Spasial Non Spasial Non Spasial Non Spasial Non Spasial Non Spasial Non Spasial
Profil Dinkes Kota Palembang 2009-2013 Profil Dinkes Kota Palembang 2009-2013 Data Dasar Kesehatan Dinkes Kota Palembang 2009-2013 Data Dasar Kesehatan Dinkes Kota Palembang 2009-2013 Data Dasar Dinkes Kota Palembang 2009-2013 Bappeda Kota Palembang Laporan Proyek Updating Data Base Kondisi Perumahan dan Pemukiman Kumuh PU Cipta Karya dan Perumahan Kota Palembang tahun 2009
Adapun cara pengumpulan data yang dilakukan oleh instansi terkait dengan varibel tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :
50
Tabel 4.2 Cara Pengumpulan Data Setiap Variabel oleh Instansi Terkait No.
Variabel
1.
Insidens Rate per
Dinas Kota Palembang mengumpulkan data kejadian DBD
Puskesmas
dari; 1. RS disertai bukti laboratorium (KDRS),
Cara Pengumpulan Data
2.
Puskesmas melaporkan setiap minggu dengan form W2, 3. klinik swasta biasanya merujuk pasien ke RS dan melaporkan ke Dinkes bidang yankes. Kasus DBD yang dilaporkan oleh laporan mingguan P2P Dinkes Kota Palembang adalah penderita yang dinyatakan positif disertai dengan bukti laboratorium serta alamat penderita yang jelas. 2.
Angka Bebas Jentik
Kader
jumantik
dari
setiap
puskesmas
melakukan
Per Wilayah Kerja
pemeriksaan jentik setiap bulan dengan jumlah 10
Puskesmas
rumah/RT. Laporan ini akan dilaporkan setiap bulan ke Puskesmas. Puskesmas melaporkan ke Dinkes setiap triwulan
3.
Rumah Sehat Per
Pemegang program sanitarian dari setiap puskesmas
Wilayah Kerja
melakukan peemriksaan rumah sehat setiap bulan dengan
Puskesmas
sampling 10 rumah/RT dan dilakukan secara bergilir. Penilaian dengan menggunakan form rumah sehat yang diberikan oleh Dinas Kesehatan.
4.
Jumlah penduduk
Dinas Kesehatan kota Palembang selalu mendata jumlah
dan Kepadatan
penduduk dan luas wilayah kerja puskesmas setiap bulan
penduduk
untuk laporan bulanan kepada walikota. Setiap puskesmas memiliki data jumlah penduduk yang bekerjasama dengan Kelurahan,
5.
Penduduk Miskin
Data Penduduk miskin berasal dari bagian Jamkesmas
Per Wilayah Kerja
Dinkes Kota Palembang dan dilaporkan didalam Data Dasar
Puskesmas
Kesehatan Kota Palembang.
Sebelumnya, Data tersebut
berasal dari survei Badan Pusat Stastik yang dilakukan setiap tahun.
51
Cara Pengumpulan Data
No.
Variabel
6.
Derajat Kekumuhan
Penilaian kumuh dilakukan oleh PU Cipta Karya dan
Wilayah Per
perumahan. Tahapan kegiatan penilaian adalah sebagai
Wilayah Kerja
berikut :
Puskesmas
1. Identifikasi,
inventarisasi
kawasan/lingkungan/
dan
permukiman
pemetaan kumuh
kota
berdasarkan acuan teknis dari buku Konsep Panduan Identifikasi
Perumahan
dan
Departemen
Permukiman
Permukiman
Kumuh,
Prasarana
Wilayah,
dan
Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman. 2. Analisa data dan informasi kondisi eksisting kawasan kumuh untuk menentukan metode penanganan dan pengendalian yang paling tepat. Data dan informasi ini mencakup karakteristik fisik lahan, permukiman dan lingkungan, sarana dan prasarana dan sosial ekonomi masyarakat. 3. Pemetaan lokasi-lokasi kawasan kumuh beserta sarana dan
prasarana
yang
segera/prioritas
memerlukan
penanganan.
4.4.2 Pengolahan Data Pengolahan data melalui pengolahan data tabular dan data spasial dengan SIG. Untuk tahapan pengolahan data dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Data tabular a. Entri data kedalam software yang mendukung untuk pengolahan data tabular, agar data lebih mudah dianalisis b. Pengecekkan kembali data yang telah dientri untuk menghindari kesalahan selama mengentri.
52
c. Data di bagi-bagi menjadi beberapa kategori sesuai dengan variabel masing-masing. Kategori ini ditetapkan berdasarkan target nasional. Untuk variabel derajat kekumuhan tidak dilakukan kategori oleh peneliti, namun pengkategorian sudah dilakukan oleh PU Cipta Karya dan Perumahan kota Palembang. d. File disimpan dalam format dbf untuk diubah menjadi data spasial. Data ini dijoin dengan software yang mendukung untuk pengolahan data spasial. 2. Data Spasial a. Variabel Insiden Rate DBD, dan kemiskinan dikelompokkan menjadi 2 bagian, merah untuk kategori tinggi dan hijau untuk kategori
rendah.
Sedangkan
angka
bebas
jentik
juga
dikelompokkan menjadi 2 bagian namun sebaliknya. Kepadatan penduduk dikelompokkan menjadi 3 bagian hijau untuk kategori rendah atau tidak, kuning untuk kategori sedang, merah untuk kategori berat atau tinggi. Derajat kumuh dikelompokkan menjadi 4 bagian hijau untuk kategori tidak kumuh, kuning untuk kategori sedang, merah untuk kategori berat, merah tua untuk kategori sangat. b. Sebaran kasus demam berdarah yang di join dengan faktor risiko diberiwarna yang lebih gelap dengan batasan yang berwarna biru tua pada wilayah kerja puskesmas yang memiliki IR DBD tinggi.
53
c. Data sebaran demam berdarah dan lingkungan diolah melalui software Sistem Informasi Geografis menjadi sebuah peta. d. Peta di save as dalam bentuk Jpeg 4.4.3 Analisis Data Analisis data penelitian ini menggunakan analisis univariat dan analisis spasial. Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik masing-masing variabel yang diteliti. Berikut ukuran epidemiologi untuk masing-masing variabel : Tabel 4.3 Ukuran Epidemiologi Pada Variabel Penelitian No.
Data
Ukuran
1.
Insidens RatePer Wilayah Kerja Puskesmas
2.
Angka Bebas Jentik Per Wilayah Kerja Puskesmas
Proporsi
3.
Rumah Sehat Per Wilayah Kerja Puskesmas
Proporsi
4. 5.
Penduduk Miskin Per Wilayah Kerja Puskesmas Kepadatan penduduk Per Wilayah Kerja Puskesmas
Proporsi Proporsi
6.
Derajat Kekumuhan Wilayah Per Wilayah Kerja Puskesmas
Proporsi
Rate
Sedangkan distribusi secara spasiotemporal dalam penelitian hanya dipaparkan dan diambil kesimpulan secara visualisasi (gambar peta). Sistem informasi geografis digunakan sebagai alatmembuat peta sebaran Insiden RateDBD dan faktor risikonya. Variabel sebaran DBD serta variabel faktor risiko ditampilkan secara area mapberdasarkan hasil kategori yang sudah dilakukan pada saat pengolahan data. Tumpang susun antara variabel sebaran DBD dengan faktor risikomemperlihatkan distribusikejadian demam berdarah berdasarkan masing-masing karakteristik wilayah kerja puskesmas.
54
BAB V HASIL 5.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian 5.1.1 Letak Geografis Secara geografis Kota Palembang terletak diantara 2,52º - 3,5º LS dan 104,37º - 104,52º BT.
Kota ini merupakan ibu kota Provinsi
Sumatera Selatan. Berikut dapat dilihat pada peta 5.1 letak Kota Palembang di Provinsi Sumatera Selatan:
Peta 5.1 Letak Kota Palembang di Provinsi Sumatera Selatan
: Sumber :(Pekerjaan Umum RI, 2012) Pada peta diatas, terlihat Kota Palembang berbatasan dengan daerah-daerah daerah sebagai berikut :
55
a. Sebelah Utara : berbatasan dengan desa Pangkalan Benteng, desa Gasing,
dan Kenten Laut Kecamatan Talang
Kelapa Kab. Banyuasin. b. Sebelah Selatan : berbatasan dengan desa Bakung Kec. Inderalaya Kab. Ogan Komering Ilir dan Kec. Gelumbang Kab.Muara Enim. c. Sebelah Timur : berbatasan dengan desa Balai Makmur Kec. Banyuasin I Kab. Banyuasin d. Sebelah Barat : berbatasan dengan desa Sukajadi Kec. Talang Kelapa Kab. Banyuasin Palembang merupakan Kota Bahari. Sungai Musi membelah kota menjadi dua bagian yaitu Seberang Ulu dan Ilir yang dihubungkan dengan Jembatan Ampera. Sungai Musi memiliki debit air yang besar dari hulu pada musim hujan akan bermuara ke Selat Bangka dengan jarak + 105 KM,
pasang – surut air laut antara 3 – 5 M dan sangat
berpengaruh pada debit aliran Sungai Musi. Seberang
Ulu
merupakan
daerah
dimana
sebagian
besar
penduduknya banyak yang langsung menggunakan sungai musi sebagai sumber air untuk keperluan sehari-hari. Sedangkan di Seberang Ilir Masyarakatnya bergantung pada PDAM. Berikut dapat dilihat pembagian Kota Palembang :
56
Peta 5.2 Pembagian Wilayah Kota Palembang Berdasarkan Arah Kota
5.1.2 Keadaan Alam Kota Palembang merupakan daerah tropis dengan angin lembab nisbi. Suhu udara cukup panas berkisar 23,4º-31,7ºC. Curah hujan terbanyak pada bulan April sebanyak 338 mm, minimal pada bulan September dengan curah hujan 10 mm. Menurut topografinya, Kota Palembang dikelilingi oleh air, bahkan terendam oleh air. Air tersebut bersumber baik dari sungai maupun rawa, juga air hujan. Bahkan saat ini kota Palembang masih terdapat 52,24 % tanah yang yang tergenang oleh air. Kondisi inilah maka nenek moyang orang-orang kota ini menamakan sebagai Pa-lembang dalam bahasa melayu Pa atau Pe sebagai kata tunjuk suatu tempat atau keadaan;
57
sedangkan lembang atau lembeng artinya tanah yang rendah, lembah akar yang membengkak karena lama terendam air (menurut kamus melayu), sedangkan menurut Bahasa Melayu-Palembang, lembang atau lembeng adalah genangan air. Jadi Palembang adalah suatu tempat yang digenangi oleh air. Pada umumnya Kota Palembang merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata + 4 – 12 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar tanah di Kota Palembang selalu digenangi air pada saat atau sesudah
hujan. Gambaran tanah dataran Kota Palembang dengan
komposisi: 48% tanah dataran yang tidak tergenang air, 15% tanah tergenang secara musiman dan 35% tanah tergenang terus menerus sepanjang musim. Pada peta berikut dapat dilihat keberadaan air pada setiap kecamatan di Kota Palembang :
58
Peta 5.3 Keadaan Alam di Kota Palembang
Sumber : (Pekerjaan Umum RI, 2012) 1999Berdasarkan data RT/RW di Kota Palembang dari tahun 1999 2009, sekitar 30% dari total luas Kota Palembang adalah berupa rawa yang terdiri atas rawa reklamasi dan dan rawa perlindungan. Struktur rawa yang ada di Kota Palembang juga dipengaruhi oleh pasang surut Sungai Musi dan sungai-sungai sungai sungai lain yang bermuara di Sungai Musi. Satuan geomorfik rawa banyak mendominasi terutama kawasan Barat, kawasan Timur, daerah Seberang Seberang Ulu I, dan Seberang Ulu II Kota Palembang. Daerah ini dikenal dengan daerah tangkapan air yang banyak digunakan untuk kolam retensi banjir yaitu di Kecamatan Ilir Barat I, Kambang Iwak Talang Semut di Kecamatan Ilir Timur I, kolam retensi Rumah
59
Sakit Siti Khodijah, kolam retensi depan Kapolda dan kolam retensi Kenten di Kecamatan Ilir Timur II. Lokasi daerah yang tertinggi berada di Bukit Seguntang Kecamatan Ilir Barat I, dengan ketinggian sekitar 10 meter dpl. Sedangkan kondisi daerah terendah berada di daerah Sungai Lais, Kecamatan Ilir Timur II. Kota Palembang dibedakan menjadi daerah dengan tofografi mendatar sampai dengan landai, yaitu dengan kemiringan berkisar antara ± 0 3o dan daerah dengan topografi bergelombang dengan kemiringan berkisar antara ± 2–10o. Sebagian besar dari wilayah Kota Palembang merupakan dataran rendah yang landai dengan ketinggian tanah ratarata + 12 meter di atas permukaan laut, sedangkan daerah yang bergelumbang ditemukan di beberapa tempat seperti Kenten, Bukit Sangkal, Bukit Siguntang dan Talang Buluh-Gandus. Terdapat perbedaan karakter topografi antara Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Wilayah Seberang Ulu pada umumnya mempunyai topografi yang relatif datar dan sebagian besar dengan tanah asli berada dibawah permukaan air pasang maksimum Sungai Musi (±3,75 m diatas permukaan laut) kecuali lahan-lahan yang telah dibangun dan akan dibangun dimana permukaan tanah telah mengalami penimbunan dan reklamasi. Dibagian wilayah Seberang Ilir ditemui adanya variasi topografi (ketinggian) dari 4 m sampai 20 m diatas permukaan laut.
60
5.1.3 Luas Wilayah Kota Palembang mempunyai luas wilayah 418.994 km2. Secara administratif, Kota ini terbagi dalam 16 Kecamatan dan 107 Kelurahan. Berikut luas wilayah kecamatan masing-masing dapat dlihat pada tabel dibawah ini: Tabel 5.4 Luas Wilayah Kecamatan di Kota Palembang Tahun 2012 No. Kecamatan 1. Ilir Barat II 2. Gandus 3. Seberang Ulu I 4. Kertapati 5. Seberang Ulu II 6. Plaju 7. Ilir Barat I 8. Bukit Kecil 9. Ilir Timur I 10. Kemuning 11. Ilir Timur II 12. Kalidoni 13. Sako 14. Sematang Borang 15. Sukarame 16. Alang-alang Lebar Jumlah Kota Palembang
Jumlah Kelurahan 7 5 10 6 7 7 6 6 11 6 12 5 4 4 7 4 107
Luas Wilayah (ha) 62,2 687,8 174,4 425,6 106,9 151,7 197,7 99,2 65,0 90,0 255,8 279,2 180,4 514,6 369,8 345,8 4189,94
Sumber : Dinkes Kota Palembang Dari tabel diatas telihat bahwa kecamatan Sematang Borang merupakan kecamatan yang paling luas yaitu 514,6 ha. Sedangkan kecamatan yang paling sempit adalah kecamatan ilir Barat II dengan luas 62,2 ha. Akan tetapi, kecamatan Sematang Borang merupakan Kecamatan dengan jumlah kelurahan yang sedikit yaitu sebanyak 4 kelurahan, sedangan kecamatan ilir Barat II memiliki kelurahan yang lebih banyak yaitu sebanyak 7 kelurahan.
61
5.2 Sarana Kesehatan Kota Palembang memiliki 39 Puskesmas yang tersebar di 16 Kecamatan di Kota Palembang. Kecamatan Ilir Timur II dan Seberang Ulu I memiliki Puskesmas terbanyak yaitu 5 puskesmas. Kecamatan Ilir Barat I memiliki 4 Puskesmas. Kecamatan Kalidoni, Ilir Timur I dan Sukarami memiliki masing-masing 3 puskesmas. Kecamatan Kertapati, Seberang Ulu II, Bukit Kecil, dan Kemuning
masing-masing memiliki 2
Puskesmas. Kecamatan Ilir Barat II, Gandus, Plaju, Sako, Sematang Borang
dan
Alang-Alang Lebar masing-masing hanya memiliki 1
Puskesmas. Puskesmas yang pertama berdiri di Kota Palembang adalah Puskesmas Dempo (tahun 1950). Sedangkan Puskesmas yang terakhir berdiri adalah Puskesmas Karya Jaya (tahun 2011). Puskesmas yang luas wilayah kerja paling lebar adalah Puskesmas Gandus dan yang paling kecil adalah Puskesmas Talang Ratu.Berikut Puskesmas yang berada di Kota Palembang berdasarkan tahun berdiri, luas wilayah dan jumlah pustu : Tabel 5.5 Jumlah Puskesmas Berdasarkan Tahun Berdiri, dan Luas Wilayah Kerja Di Kota Palembang 2012 No. 1.
Puskesmas Makrayu
Tahun berdiri 1974
Luas Wilayah Kerja (ha)
2.
Gandus
1953
4807,814
3.
Pembina
1974
4. 5. 6.
1 Ulu OPI 4 Ulu
1983 1998 1975
581,442 115,796 651,038
62
411,711
256,318
Tabel 5.5 Jumlah Puskesmas Berdasarkan Tahun Berdiri, dan Luas Wilayah Kerja Di Kota Palembang 2012 (Lanjutan) No. 7.
Puskesmas 7 Ulu
8.
Kertapati
1971
531,392
9.
Keramasan
1980
1870,186
10.
Karya Jaya
2011
1904,227
11.
Nagaswidak
1978
229,260
12.
Taman Bacaan
1968
730,616
13.
Plaju
1969
1392,691
14.
Kampus
1978
307,107
15.
Pakjo
1970
1731,365
16.
Padang Selasa
1984
3194,188
17.
Sei Baung
1970
354,493
18.
Merdeka
1956
123,432
19.
23 Ilir
1984
98,017
20.
Ariodillah
1982
149,374
21.
Dempo
1950
280,506
22.
Talang Ratu
1964
75,139
23.
Basuki Rahmat
1981
375,016
24.
Sekip
1964
315,900
25.
Boom Baru
1955
129,324
26.
Kenten
1980
377,978
27.
Sabokingking
1983
28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39.
5 Ilir 11 Ilir Bukit Sangkal Kalidoni Sei Selincah Multi Wahana Sematang borang Sosial Sukarami Tl, Betutu Punti Kayu Alang-alang Lebar
1983 1996 1985 1979 1956 1996 1981 1984 1990 1993 1984 2010
958,603 258,532 116,545 449,761 1613,977 1871,444 1702,352 2661,385 1119,435 1044,472 2400,383 925,680 1388,327
Tahun berdiri 1969
Luas Wilayah Kerja (ha) 112,935
Sumber : Dinkes Kota Palembang Wilayah kota di Seberang Ulu terdiri dari wilayah kota bagian Selatan, Barat dan Timur. Beberapa puskesmas yang ada di Seberang Ulu adalah
63
Puskesmas di Selatan Kota adalah Nagaswidak; 7 Ulu; 4 Ulu; 1 Ulu; OPI; Pembina. Puskesmas di Barat Kota adalah Keramasan; Karya Jaya dan Kertapati . Puskesmas di Timur Kota adalah Taman Bacaan dan Plaju. Wilayah kota di Seberang Ilir terdiri dari wilayah kota bagian Pusat; Utara; Barat dan Timur. Beberapa puskesmas yang ada di Seberang Ilir adalah Puskesmas di Pusat Kota adalah Sei Baung; Kampus; Ariodillah; Dempo; 11 Ilir; Talang Ratu; Boom Baru; 23 Ilir; Merdeka; dan 5 Ilir. Puskesmas di Utara Kota adalah Talang Betutu; Alang-alang Lebar; Puntikayu; Sukarami; dan Sosial. Puskesmas di Timur Kota Multi Wahana; Sako; Sei Selincah; Kalidoni; Sabokingking; Bukit Sangkal; Kenten; Basuki Rahmat; dan Sekip. Puskesmas di Barat Kota Pakjo; Padang Selasa; dan Gandus
5.6 Distribusi Kejadian Penyakit DBD Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilaksanakan, diperoleh informasi perkembangan kasus Demam Berdarah Dengue Tahun 2009-2013 di wilayah kerja Puskesmas Kota Palembang. Angka kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas kota Palembang selama 5 tahun (2009 – 2013) cenderung mengalami penurunan. Penurunan ini terlihat pada distribusi Insiden Rate DBD diwilayah kerja puskesmas yang setiap tahun mengalami penurunan.
64
Pada tabel 5.6 berikut dapat dilihat disribusi wilayah kerja Puskesmas di Kota Palembang yang memiliki angka Insiden Rate DBD terendah dan tertinggi dibandingan wilayah Kerja Puskesmas lain di Kota Palembang selama 5 tahun terakhir (Tahun 2009-2013): Tabel 5.6 Distribusi Insiden Rate DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Palembang Tahun 2009-2013 Insiden Rate Tahun 2009 2010 2011 2012 2013
Kota Palembang 68,10 46,22 46,68 59,59 29,56
Min
(Puskesmas)
Maks
(Puskesmas)
0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
Sei Lincah Karya Jaya Karya Jaya Karya Jaya Karya Jaya
187,34 186,49 149,85 177,97 106,08
11 ilir 11 ilir Ariodillah 11 ilir Puntikayu
Target nasional dalam menurunkan kejadian DBD adalah dengan menentukan indikator pencapaian Insiden Rate DBD sebesar dibawah 50 per 100.000 penduduk. Pada tabel 5.6 diatas Insiden Rate DBD di Kota Palembang pada tahun 2009, dan 2012 tidak dapat mencapai target nasional. Sedangkan pada tahun 2010, 2011 dan 2013 rata-rata Insiden Rate DBD di Kota Palembang dapat mencapai target tersebut. Pada tabel 5.6 diatas juga terlihat bahwa angka Insiden Rate DBD terendah di Wilayah Kerja Puskesmas selama 5 tahun terakhir adalah sebesar 0,00 per 100.000 penduduk. Dua puskesmas dari 38 puskesmas yang memiliki angka Insiden Rate DBD terendah ini adalah Puskesmas Sei Lincah (tahun 2009) dan Karya Jaya (tahun 2010-2013). Angka Insiden Rate DBD tertinggi di wilayah Kerja Puskesmas dari tahun 2009-2013 mengalami penurunan. Angka tersebut yaitu dari 65
sebesar 187,34 ditahun 2009 menjadi 106,082 per 100.000 penduduk ditahun 2013. Tiga puskesmas yang memiiki angka Insiden Insiden Rate DBD tertinggi dari tahun 2009-2013 2009 2013 yaitu Puskesmas 11 ilir, Ariodillah, dan Alang-alang alang lebar.Untuk melihat distribusi jumlah puskesmas terhadap sebaran kejadian DBD 5 tahun terakhir, dapat dilihat pada grafik berikut : Grafik 5.7 Distribusi Jumlah Puskesmas di Kota Palembang BerdasarkanInsiden BerdasarkanInsiden Rate DBD Tahun 2009-2013 Rendah < 50 per 100.000 penduduk
Tinggi > 50 per 100.000 penduduk 26
23
15
2009
22
23
21 18
17
16 13
2010
2011
2012
2013
Pada grafik 5.7 terlihat jumlah puskesmas dengan sebaran Insiden Rate DBD per 100.000 penduduk. Dari tahun 2009 sampai tahun 2013 mengalami peningkatan jumlah puskesmas yang mencapai target nasional pu mas dengan Insiden (<50 per 100.000 penduduk). Peningkatan jumlah puskesmas Rate DBD dibawah 50 per 100.000 penduduk yaitu sebanyak 15 puskesmas (dari 38 puskesmas) kesmas) pada tahun 2009, menjadi sebanyak 26 puskesmas (dari 39 puskesmas) pada tahun 2013.
66
Jumlah puskesmas yang Insiden Rate DBD-nya tidak mencapai target nasional dari tahun 2009 sampai tahun 2013 mengalami penurunan. Jumlah puskesmas yang Insiden Rate DBD diatas 50 per 100.000 penduduk yaitu sebanyak 23 puskesmas (dari 38 puskesmas) pada tahun 2009, menjadi 13 puskesmas (dari 39 puskesmas) pada tahun 2013. Untuk melihat sebaran Puskesmas tersebut beradasarkan spasiotemporal, dapat dilihat melalui peta 5.8 :
67
Peta 5.8 Perkembangan SpasiotemporalInsiden Spasiotemporal Rate Demam Berdarah Dengue per 100.000 penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Palembang dari Tahun 2009 2009-2013 2011
2012
2010
2013
2009
68
Pada peta 5.8, terlihat wilayah kerja Puskesmas yang memiliki IR DBD tinggi (>50 per 100.00 penduduk)
ditandai dengan warna merah,
sedangkan wilayah kerja Puskesmas yang memiliki IR DBD rendah (<50 per 100.00 penduduk) ditandai dengan warna hijau. Secara umum, berdasarkan spasial, terlihat bahwa kejadian DBD cenderung banyak menyerangKota bagian Seberang Ilir dari arah Pusat Kota hingga Utara Kota. Sedangkan secara temporal, kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas di Kota Palembang dari tahun 2009 hingga 2013 terlihat cenderung berkurang. Tahun 2009,kejadian DBD yang tinggi, menyerang hampir semua Puskesmas yang berada di Seberang Ilir sedangkan puskesmas yang berada di Seberang Ulu tidak ada yang mengalami kejadian DBD yang tinggi. Total puskesmas di Seberang Ilir yang
memiliki IR DBD >50 per 100.000
penduduk yaitu sebanyak 24 dari 38 Puskesmas. Puskesmas-puskesmas tersebut tersebar di Pusat, Utara, Barat, dan Timur Kota. Akan tetapi, Puskesmas yang tersebar di Pusat Kota dan Utara Kota merupakan Puskesmas yang paling banyak terserang DBD. Pada tahun 2010 kejadian DBD yang tinggi di Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Palembang yang berada di Seberang Ilir terlihat berkurang di bandingkan tahun 2009. Pengurangan ini terjadi di wilayah Utara dan Timur Kota. Jumlah puskesmas di pusat kota yang memiliki IR DBD tinggi terlihat tetap banyak walaupun terjadi pengurangan dari 10 puskesmas menjadi 9 puskesmas.
69
Pada tahun 2011 terjadi peningkatan jumlah wilayah kerja puskesmas yang banyak terserang kejadian DBD dibandingkan dengan tahun 2010. Peningkatan jumlah puskesmas ini terjadi terutama di puskesmas yang berada di Utara Kota. Sedangkan di wilayah Pusat Kota, jumlah puskesmas yang banyak terserang kejadian DBD terlihat tetap dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2012 pola sebaran kejadian DBD di berbagai wilayah kerja puskesmas menyerupai pola sebaran pada tahun 2009. Artinya, pada tahun ini kembali terjadi peningkatan kejadian DBD di berbagai wilayah Puskesmas di bandingkan tahun 2010 dan 2011. Namun, pada tahun ini terjadi perbedaaan daripada tahun-tahun sebelumnya. Perbedaan tersebut yaitu terjadinya kejadian DBD yang tinggi di wilayah Puskesmas yang berada di Seberang Ulu. Pada tahun 2013 terjadi penurunan kejadian DBD hampir diseluruh wilayah kerja puskesmas di Kota Palembang. Di wilayah Pusat Kota, Puskesmas dengan IR DBD tinggi mengalami penurunan yang sangat drastis. Hanya satu puskesmas di wilayah Pusat Kota yang memiliki IR DBD tinggi yaitu Puskesmas Sei Baung. Sedangkan jumlah puskesmas yang paling banyak terjadi serangan DBD berada di Utara dan Timur Kota 5.7 Distribusi Angka Bebas Jentik Menurut Wilayah Kerja Puskesmas Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilaksanakan, diperoleh informasi perkembangan angka bebas jentik tahun 2009-2012 di wilayah kerja Puskesmas Kota Palembang. Angka bebas jentik selama 5 tahun (2009– 70
2012) cenderung mengalami peningkatan. Pada tabel berikut dapat dilihat disribusi wilayah kerja Puskesmas di Kota Palembang yang memiliki angka terendah dan tertinggi angka bebas jentik selama 5 tahun terakhir. Tabel 5.11 Distribusi Frekuensi Angka Bebas Jentik di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Palembang Tahun 2009-2013 Angka Bebas Jentik (%) Tahun 2009 2010 2011 2012
Kota Palembang 77,90 89,35 81,22 89,35
Min
(Puskesmas)
Maks
(Puskesmas)
29,30 70,40 56,56 75,88
Padang Selasa Boom Baru Keramasan Alang-alang Lebar
98,86 98,50 98,82 98,17
Pembina Sei lincah Sei Baung Nagaswidak
Untuk menurunkan kepadatan populasi
vektor, Kemenkes RI
menetapkan target angka bebas jentik <95%. Pada tabel 5.11 diatas, ABJ di Kota Palembang pada tahun 2009 hingga 2012 dapat mencapai target tersebut.
Pada tabel 5.11 diatas, juga terlihat bahwa angka angka bebas jentik terendah dari tahun 2009-2012 mengalami peningkatan. Peningkatan angka bebas jentik ini dari sebesar 29,30% ditahun 2009 menjadi 75,88% pada tahun 2012. Empat Puskesmas yang memiliki angka terendah ini yaitu Puskesmas Padang selasa, Boom Baru, Keramasan dan Alang-alang Lebar. Angka bebas jentik yang tertinggi di wilayah kerja Puskesmas di Kota Palembang terjadi penurunan dari tahun 2009-2012. Angka tersebut yaitu dari sebesar 98,86% ditahun 2009 menjadi 98,17% pada tahun 2012. Puskesmas yang memiliki angka angka tetringgi ini adalah puskesmas Sukarami, Sei lincah, Sei Baung, dan Nagaswidak.Untuk melihat distribusi 71
jumlah puskesmas terhadap angka bebas jentik selama 5 tahun terakhir, dapat dilihat pada da grafik berikut Grafik 5.12 Jumlah Puskesmas di Kota Palembang Berdasarkan Angka Bebas Jentik Tahun 2009-2012 ABJ Tinggi 32
33
ABJ rendah 33
7
6
4
32
3
2009
2010
2011
2012
Pada grafik 5.12 terlihat jumlah puskesmas berdasarkan angka bebas jentik. Dari tahun 2009 sampai tahun 2012 terjadi peningkatan jumlah puskesmas esmas yang mencapai target nasional angka bebas jentik ((>95%). 95% yaitu sebanyak Peningkatan jumlah puksemas dengan angka bebas jentik >95% 4 puskesmas (dari 37 puskesmas) pada tahun 2009, menjadi sebanyak 7 puskesmas (dari 39 puskesmas) pada tahun 2012. Jumlah lah puskesmas yang angka bebas jentik tidak mencapai target nasional dari tahun 2009 sampai tahun 2012 mengalami penurunan. Jumlah puskesmas yang angka bebas jentik <95% yaitu sebanyak 33 puskesmas (dari 37 puskesmas) pada tahun 2009, menjadi 32 puskesmas (dari 39 puskesmas) pada tahun 2012.
Untuk
melihat
sebaran
Puskesmas tersebut
spasiotemporal, dapat dilihat melalui peta 5.13 :
72
berdasarkan
Peta5.12 Distribusi SpasiotemporalInsiden Rate DBD dengan Angka Bebas jentik di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Palembang dari Tahun 2009-2012 2011
2012
2010
2009
73
Pada peta 5.13, terlihat wilayah kerja Puskesmas yang memiliki angka bebas jentik rendah (<95%) ditandai dengan warna merah, sedangkan wilayah kerja Puskesmas yang memiliki angka bebas jentik tinggi (>95%) ditandai dengan warna hijau. Secara umum, berdasarkan
spasial, bahwa sebaran
puskesmas yang memiliki banyak jentik rata-rata tersebar diseluruh Kota Palembang. Kemudian wilayah kerja puskesmas yang memiliki angka bebas jentik yang rendah (banyak ditemukan jentik) menunjukkan Insiden Rate DBD yang tinggi. Sedangkan secara temporal, sebaran jentik di wilayah puskesmas Kota Palembang dari tahun 2009 ke tahun 2013 semakin berkurang. Tahun 2009 hampir semua Puskesmas yang berada di Kota Palembang memiliki angka bebas jentik rendah, yaitu sebanyak 33 dari 37 Puskesmas. Puskesmas yang berada di Seberang Ilir lebih banyak ditemukan jentik, daripada Puskesmas yang berada di Seberang Ulu. Kemudian,serangan DBD banyak terjadi di wilayah kerja puskesmas yang banyak ditemukan jentik atau angka bebas jentiknya rendah. Jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBDyang tinggi dengan angka bebas jentik yang rendah adalah sebanyak 63% (21 dari 33 puskesmas). Sedangkan Jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBD yang tinggi dengan angka bebas jentik yang tinggi sebanyak 25% (1 dari 4 puskesmas). Tahun 2010 terjadi penurunan jumlah puskesmas yang ditemukan jentik. Pengurangan jumlah puskesmas yang ditemukan sedikit jentik tersebut
74
banyak terjadi di wilayah Seberang Ulu. Kemudian serangan DBD banyak terjadi di wilayah kerja puskesmas yang banyak ditemukan jentik. Jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBD tinggi dan angka bebas jentik yang rendah adalah sebanyak 37% (12 dari 32 puskesmas). Sedangkan Jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBD tinggi dengan angka bebas jentik yang tinggi adalah sebanyak 33% (2 dari 6 puskesmas). Pada tahun 2011 sebaran wilayah kerja puskesmas di Kota Palembang yang ditemukan banyak jentik terlihat bertambah dibandingkan tahun 2010. Peningkatan ini terjadi merata diseluruh bagian kota. Sedangkan puskesmas yang memiliki jentik yang sedikit hanya berada di Pusat Kota. Kemudian, jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBD tinggi dengan angka bebas jentik rendah adalah sebanyak 44% (15 dari 34puskesmas). Sedangkan jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBD tinggi dengan angka bebas jentik tinggi adalah sebanyak 100% (3 dari 3 puskesmas). Pada tahun 2012terjadi penurunan jumlah puskesmas yang ditemukan banyakjentik bandingkan tahun 2011. Peningkatan ini terjadi baik di wilayah kota Seberang Ilir dan Seberang Ulu.
Kemudian,jumlah puskesmas yang
memiliki Insiden Rate DBD tinggi dengan angka bebas jentik rendah adalah sebanyak 59% (19 dari 32puskesmas). Sedangkan jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBD tinggi dengan angka bebas jentik tinggi adalah sebanyak 42% (3 dari 7 puskesmas).
75
5.8 Distribusi Kepadatan Penduduk Menurut Wilayah Kerja Puskesmas Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilaksanakan, diperoleh informasi perkembangan kepadatan penduduk tahun 2009-2013 di wilayah kerja Puskesmas Kota Palembang. Jumlah Puskesmas yang memilki kepadatan penduduk yang tinggi (>150 jiwa/ha) selama 5 tahun (2009 – 2013) cenderung mengalami peningkatan. Pada tabel berikut dapat dilihat disribusi wilayah kerja Puskesmas di Kota Palembang yang memiliki angka kepadatan penduduk terendah dan kepadatan penduduk tertinggi selama 5 tahun terakhir. Tabel 3.14 Distribusi Frekuensi Kepadatan Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Palembang Tahun 2009-2013 Kepadatan Penduduk (jiwa/ha) Tahun 2009 2010 2011 2012 2013
Kota Palembang 98,82 94,26 94,94 94,55 99,24
Min
(Puskesmas)
Maks
(Puskesmas)
12,92 4,29 4,40 5,32 3,79
Sako Karya Jaya Karya Jaya Karya Jaya Karya Jaya
273 286,06 290,93 284,53 352,30
4 Ulu Nagaswidak Nagaswidak 7 Ulu 1 Ulu
Dinas PU Kota Palembang menetapkan 3 kategori kepadatan penduduk. Kepadatan rendah jika penduduk <50 jiwa/ha, kepadatan sedang 51-150 jiwa/ha dan kepadatan tinggi > 150 jiwa/ha. Pada tabel 8 diatas kepadatan penduduk di Kota Palembang. Kota Palembang dari tahun 2009 hingga tahun 2013 memiliki kepadatan penduduk yang cenderung meningkat yaitu dari 98,82 jiwa/ha menjadi 99,24 jiwa/ha
Pada tabel5.14 diatas terlihat bahwa angka kepadatan penduduk terendah dari tahun 2009-2013 mengalami penurunan yaitu dari sebesar 12,92
76
jiwa/ha ditahun 2009 menjadi 3,79 jiwa/ha pada tahun 2013. Dua puskesmas yang memiliki angka kepadatan penduduk terendah terendah ini adalah Puskesmas Sako (tahun 2009), dan Karya Jaya (tahun 2009-2013) 2009
Angka kepadatan penduduk tertinggi di wilayah kerja puskesmas dari tahun 2009-2013 2009 2013 terjadi peningkatan yaitu dari sebesar 273 jiwa/ha menjadi 352,30 jiwa/ha. Empat puskesmas yang memiliki angka kepadatan penduduk tertinggi ini adalah Puskesmas 4 Ulu (tahun 2009), Nagaswidak 2011), 7 Ulu (tahun 2011), 1 Ulu (tahun 2013).Untuk melihat (tahun 2010-2011), distribusi jumlah puskesmas yang memiliki kepadatan penduduk tinggi selama 5 tahun terakhir, tera dapat dilihat pada grafik berikut : Grafik 5.15 Jumlah Puskesmas di Kota Palembang yang Memiliki Kepadatan Penduduk Tinggi Tahun 2009-2013 tinggi
sedang
18
17
16 13
rendah 17 15
14
13
13
13 11
9
8
2009
2010
9
8
2011
2012
2013
Pada grafik 5.15 terlihat jumlah puskesmas yang memiliki kepadatan penduduk tinggi (>150 jiwa/ha). Dari tahun 2009 sampai tahun 2013 terjadi 77
peningkatan jumlah puskesmas yang memiliki kepadatan penduduk tinggi. Peningkatan jumlah puksemas kepadatan penduduk tinggi yaitu sebanyak 9 puskesmas (dari 38 puskesmas) pada tahun 2009, menjadi sebanyak 11 puskesmas (dari 39 puskesmas) pada tahun 2013. Jumlah puskesmas yang memiliki kepadatan penduduk sedang dari tahun 2009 sampai tahun 2012 mengalami peningkatan. Jumlah puskesmas yang memiliki kepadatan penduduk sedang yaitu sebanyak 13 puskesmas (dari 38 puskesmas) pada tahun 2009, menjadi 15 puskesmas (dari 39 puskesmas) pada tahun 2013. Jumlah puskesmas yang memiliki kepadatan penduduk rendah dari tahun 2009 sampai tahun 2012 mengalami penurunan. Jumlah puskesmas yang angka memiliki kepadatan penduduk rendah
yaitu sebanyak 16
puskesmas (dari 38 puskesmas) pada tahun 2009, menjadi 13 puskesmas (dari 39 puskesmas) pada tahun 2013. Untuk melihat Puskesmas yang memiliki kepadatan penduduk tinggi, sedang, rendah secara spasiotemporal dapat dilihat melalui peta 5.16. Berikut dapat digambarkan perkembangan kepadatan penduduk di Puskesmas Kota Palembang dari tahun 2009-2013 :
78
Peta 5.13 Wilayah Kerja Distribusi Spasiotemporal SpasiotemporalInsiden Rate DBD dengan Kepadatan Penduduk di Wilay Puskesmas Kota Palembang dari Tahun 2009 2009-2013 2011
2012
2010
2013
2009
79
Pada peta 5.14, terlihat wilayah kerja Puskesmas yang memiliki kepadatan penduduk tinggi ditandai dengan warna merah, wilayah kerja Puskesmas yang memiliki memiliki kepadatan penduduk sedang ditandai dengan warna kuning, sedangkan wilayah kerja Puskesmas yang memiliki kepadatan penduduk rendah ditandai dengan warna hijau. Secara umum, berdasarkan spasial, sebaran puskesmas memiliki kepadatan penduduk yang tinggi hingga sedang rata-rata tersebar di Pusat Kota Palembang dan sekitarnya. Sedangkan wilayah kerja Puskesmas yang memiliki kepadatan penduduk yang rendah tersebar jauh dari Pusat Kota. Kejadian DBD tersebar di puskesmas yang memiliki kepadatan penduduk tinggi, sedang, dan rendah, namun lebih banyak menyerang pada kepadatan penduduk sedang. Kemudian secara temporal, sebaran kepadatan penduduk di berbagai wilayah dari tahun 2009 hingga 2013 semakin meningkat. Tahun 2009 Puskesmas yang berada di wilayah Seberang Ulu memiliki penduduk yang lebih padat daripada puskesmas di Seberang ilir. Kemudian semua Puskesmas yang berada di Pusat Kota Palembang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi hingga sedang, sedangkan Puskesmas yang berada di Utara dan Barat Kota semuanya memiliki kepadatan penduduk rendah. Kejadian DBD banyak terjadi di kepadatan penduduk yang rendah. Sebanyak 37% (9 dari 24 puskesmas) dengan kepadatan penduduk rendah yang mengalami Insiden Rate DBD tinggi, 33% (8 dari 24 puskesmas) dengan kepadatan penduduk sedang yang mengalami Insiden Rate DBD tinggi, 29% (7
80
dari 24 puskesmas) dengan kepadatan penduduk tinggi yang mengalami Insiden Rate DBD tinggi. Tahun 2010 Pola sebaran kepadatan penduduk pada tahun ini hampir sama dengan tahun 2009. Akan tetapi, pada tahun ini terdapat beberapa peningkatan kepadatan penduduk. Puskesmas yang berada di Seberang Ulu dan Seberang Ilir yang di wilayah Utara Kota dan Timur Kota mengalami penambahan jumlah puskesmas dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Kejadian DBD banyak terjadi di kepadatan penduduk yang sedang. Sebanyak 16% (2 dari 12 puskesmas) dengan kepadatan penduduk rendah mengalami Insiden Rate DBD tinggi, 50% (6 dari 12 puskesmas) dengan kepadatan penduduk sedang
mengalami Insiden Rate DBD tinggi, 33% (4 dari 12
puskesmas) dengan kepadatan penduduk tinggi mengalami Insiden Rate DBD tinggi. Pada tahun 2011 sebaran kepadatan penduduk di berbagai Wilayah Kerja Puskesmas Kota Palembang menyerupai pola pada tahun 2010. Kejadian DBD banyak terjadi di kepadatan penduduk yang sedang. Sebanyak 50% (6 dari 12 puskesmas) dengan kepadatan penduduk rendah yang mengalami Insiden Rate DBD tinggi, 66% (8 dari 12 puskesmas) dengan kepadatan penduduk sedang yang mengalami Insiden Rate DBD tinggi, 25% (3 dari 12 puskesmas) dengan kepadatan penduduk tinggi yang mengalami Insiden Rate DBD tinggi.
81
Pada tahun 2012, jugaterjadi lagi peningkatan kepadatan penduduk di puskesmas yang berada wilayah Timur dan Utara Kota. Kejadian DBD banyak terjadi di kepadatan penduduk yang sedang. Sebanyak 26% (5 dari 19 puskesmas) dengan kepadatan penduduk rendah yang mengalami Insiden Rate DBD tinggi, 57% (11 dari 19 puskesmas) dengan kepadatan penduduk sedang yang mengalami Insiden Rate DBD tinggi, 17% (3 dari 17 puskesmas) dengan kepadatan penduduk tinggi yang mengalami Insiden Rate DBD tinggi. Pada tahun 2013, jumlah puskesmas dengan kepadatan penduduk yang tinggi menyebar ke semua puskesmas yang berada di Pusat Kota. Kemudian kepadatan penduduk yang tinggi ini juga menyebar hingga ke beberapa puskesmas yang berada di wilayah Timur Kota. Tahun ini terjadi perbedaan dari tahun-tahun sebelumnya, karena Insiden Rate DBD banyak terjadi diwilayah yang kepadatan penduduk yang rendah. Kejadian DBD banyak terjadi di kepadatan penduduk yang sedang. Sebanyak 40% (2 dari 5 puskesmas) dengan kepadatan penduduk rendah yang mengalami Insiden Rate DBD tinggi, 60% (3 dari 5 puskesmas) dengan kepadatan penduduk sedang yang mengalami Insiden Rate DBD tinggi, 0% (0 dari 5 puskesmas) dengan kepadatan penduduk tinggi yang mengalami Insiden Rate DBD tinggi.
82
5.9 Distribusi Rumah Sehat Menurut Wilayah Kerja Puskesmas Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilaksanakan, diperoleh informasi perkembangan persentase rumah sehat tahun 2009-2012 di wilayah kerja Puskesmas Kota Palembang. Jumlah Puskesmas yang memiliki persentase rumah sehat yang rendah (<80%) selama 4 tahun (2009 – 2012) cenderung mengalami peningkatan. Pada tabel berikut dapat dilihat disribusi wilayah kerja Puskesmas di Kota Palembang yang memiliki persentase rumah sehat terendah dan tertinggi selama 5 tahun terakhir. Tabel 5.17 Distribusi Frekuensi Rumah Sehat di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Palembang 2009-2012 Rumah Sehat (%) Tahun 2009 2010 2011 2012
Kota Palembang 84 80,10 80,10 76,06
Kemenkes RI
Min
(Puskesmas)
Maks
(Puskesmas)
66,40 56,56 56,56 22,40
Keramasan Keramasan Keramasan Ariodilah
95,00 98,82 98,82 99,57
Sei Baung Sei Baung Sei Baung Sei Baung
menetapkan target rumah sehat adalah sebesar
<85%. Pada tabel 15 diatas, persentase rumah sehat di Kota Palembang pada tahun 2009 hingga 2012 tidak dapat mencapai target tersebut. Jumlah rumah sehat di Kota Palembang cenderung menurun yaitu dari 84% pada tahun 2009 menjadi 76,06 pada tahun 2012. Pada tabel 5.17 diatas, terlihat bahwa wilayah kerja puskesmas yang memiliki persentase rumah sehat terendah dari tahun 2009-2013 mengalami penurunan angka, yaitu dari sebesar 66,4% ditahun 2009 menjadi 22,4% pada
83
tahun 2012. Dua puskesmas yang memiliki persentase persentase terendah ini adalah Puskesmas Keramasan (tahun 2009-2011), 2009 2011), dan Ariodillah (tahun 2012). Wilayah kerja puskesmas yang memiliki persentase rumah sehat tertinggi dari tahun 2009 2009-2012 2012 mengalami peningkatan. Angka Persentase rumah sehat tertinggi di wilayah kerja puskesmas Kota Palembang dari tahun 2009-2012 2012 yaitu dari sebesar 95% menjadi 99,57%. Puskesmas yang (2009memiliki persentase tertinggi ini adalah Puskesmas Sei Baung (2009 2012).Untuk melihat distribusi jumlah wilayah kerja puskesmas terhadap persentase rumah sehat selama 4 tahun, dapat dilihat pada grafik 4 berikut : Grafik 5.18 Jumlah Puskesmas di Kota Palembang Berdasarkan Persentase Rumah Sehat Tahun 2009-2012 rendah
tinggi
28 22
24
22 17
17
15
9
2009
2010
2011
2012
Pada grafik 5.18 terlihat jumlah puskesmas yang memiliki persen persentase rumah sehat yang rendah (<80%). Dari tahun 2009 sampai tahun 2012 terjadi peningkatan jumlah puskesmas yang memiliki persentase rumah sehat yang rendah. Peningkatan jumlah puskesmas dengan persentase rumah sehat 84
yangrendah yaitu sebanyak 9 puskesmas (dari 37 puskesmas) pada tahun 2009, menjadi sebanyak 15 puskesmas (dari 39 puskesmas) pada tahun 2012. Jumlah puskesmas yang memiliki persentase rumah sehat yang tinggi dari tahun 2009 sampai tahun 2012 mengalami penurunan. Jumlah puskesmas yang angka memiliki persentase rumah sehat yang tinggi yaitu sebanyak 28 puskesmas (dari 37 puskesmas) pada tahun 2009, menjadi 15 puskesmas (dari 39 puskesmas) pada tahun 2012. Untuk melihat Puskesmas terhadap persentase rumah sehat yang tinggi dan rendah secara spasiotemporal dapat dilihat melalui peta 5.19:
85
Peta 5.19 Distribusi SpasiotemporalInsiden Insiden Rate DBD Dengan Rumah Sehat di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Palembang dari Tahun 2009-2012 2011
2012
2010
2009
86
Pada peta 5.19, terlihat wilayah kerja Puskesmas yang memiliki persentase rumah sehat yang rendah (<80%) ditandai dengan warna merah, sedangkan wilayah kerja Puskesmas yang memiliki persentase rumah sehat yang tinggi (>80%) ditandai dengan warna hijau. Secara umum, berdasarkan spasial, sebaran puskesmas yang memiliki rumah yang tidak sehatrata-rata tersebar diseluruh Kota Palembang. Sedangkan wilayah kerja puskesmas yang terdapat banyak rumah sehattersebar di sekitar Pusat kota hingga ke wilayah Utara Kota. Wilayah kerja puskesmas yang banyak memiliki rumah sehat tersebut, menunjukkan kejadian DBD yang tinggi. Sedangkan secara temporal, sebaran rumah yang tidak sehat tahun 2009 ke tahun 2013 semakin bertambah. Tahun 2009 rata-rata puskesmas yang berada di seberang Ulu memilikirumah sehat yang sedikit, sedangkan puskesmas di Seberang Ilir banyak ditemukan rumah yang sehat terutama puskesmas yang berada di Utara dan Timur kota.Kemudian, kejadian DBD banyak terjadi di rumah yang sehatdaripada rumah yang tidak sehat. Jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBD yang tinggi dengan persentase rumah sehat yang tinggi sebanyak 42% (12 dari 28 puskesmas). Sedangkan jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBD yang tinggi dengan persentase rumah sehat yang rendah sebanyak 4,54% (1 dari 22 puskesmas). Tahun 2010 sebaran
rumah yang tidak sehat di Wilayah Kerja
Puskesmas Kota Palembang terlihat bertambah dibandingkan tahun 2009. Peningkatan ini banyak terjadi baik di wilayah Seberang Ulu dan Seberang Ilir. 87
Kemudian, kejadian DBD banyak terjadi di rumah yang sehatdaripada rumah yang tidak sehat. Jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBD yang tinggi dengan persentase rumah sehat yang tinggi sebanyak 70% (12 dari 17 puskesmas). Sedangkan jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBD yang tinggi dengan persentase rumah sehat yang rendah sebanyak 18% (4 dari 22 puskesmas). Pada tahun 2011 kembali terjadi peningkatan rumah yang tidak sehat di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Palembang. Peningkatan ini terjadi di bagian Utara Kota. Kemudian, kejadian DBD banyak terjadi di rumah yang sehatdaripada rumah yang tidak sehat. Jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBD tinggi dengan persentase rumah sehat tinggi sebanyak 76,4% (13 dari 17 puskesmas). Sedangkan jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBD tinggi dengan persentase rumah sehat rendah sebanyak 22,7% (5 dari 22 puskesmas). Pada tahun 2012, juga terjadi peningkatan rumah yang tidak sehat di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Palembang . Peningkatan ini terjadi di bagian Pusat Kota dan Timur Kota. Kemudian, kejadian DBD banyak terjadi di rumah yang sehatdaripada rumah yang tidak sehat. Jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBD yang tinggi dengan persentase rumah sehat yang tinggi sebanyak 73% (11 dari 15 puskesmas). Sedangkan jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBD yang tinggi dengan persentase rumah sehat yang rendah sebanyak 33% (8 dari 24 puskesmas).
88
5.10 Distribusi Derajat Kekumuhan Menurut Wilayah Kerja Puskesmas Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilaksanakan, diperoleh informasi skor derajat kumuh di wilayah kerja Puskesmas Kota Palembang. Pada tabel berikut dapat dilihat disribusi wilayah kerja Puskesmas di Kota Palembang yang memiliki skor derajat kumuh terendah dan tertinggi tahun 2009 : Tabel 5.20 Distribusi Frekuensi Skor Kumuh di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Palembang Tahun 2009 Distribusi Minimum Maksimum Median Mean
Skor 1 4,98 1,93 2,2
Puskesmas Karya jaya, Sako dan Talang Betutu Pembina -
Pada tabel 5.20 terlihat bahwa skor kekumuhan terendah tahun 2009 oleh puskesmas Karya Jaya, Sako dan Talang Betutu. Sedangkan skor kekumuhan tertinggi tahun 2009 dicapai oleh Puskesmas Pembina. Artinya tidak ada wilayah puskesmas yang memiliki skor kumuh sebesar 5. Menurut PU Kota Palembang, derajat kekumuhan dikategorikan menjadi empat kategori yaitu sangat kumuh (skor >5), kumuh berat (skor 34,9), kumuh sedang (skor >1-3), dan tidak kumuh (skor 1). Berikut pada tabel 5.21 dapat dilihat jumlah wilayah kerja puskesmas berdasarkan status derajat kumuh tahun 2009:
89
Tabel 5.21 Distribusi Frekuensi Derajat Kumuh Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Palembang Tahun 2009 Derajat Kumuh Sangat kumuh (skor >5) Kumuh berat (skor 3 – 4,9) Kumuh sedang (skor >1 – 3) Tidak kumuh (skor 1)
N 0 4 28 7
% 0,00 10,26 71,79 17,95
Pada tabel 5.21 terlihat bahwa pada tahun 2009 status kumuh yang paling banyak di wilayah kerja puskesmas di Kota ota Palembang adalah kumuh sedang yaitu sebanyak sebesar 71,79%. Sedangkan untuk status sangat kumuh, tidak ada atau sebesar 0%. Secara spasial, sebaran Insiden Rate DBD wilayah puskesmas berdasarkan status derajatkumuh dapat dilihat pada peta 5.22: Peta 5.22 Distribusi SpasiotemporalInsiden Spasiotemporal Rate DBD dengan Derajat Kumuh di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Palembang Tahun 2009
90
Pada peta 5.22, terlihat wilayah kerja Puskesmas yang memiliki skor sangat kumuh ditandai warna merah tua. Wilayah kerja Puskesmas yang memiliki skor kumuh berat ditandai warna merah. Wilayah kerja Puskesmas yang memiliki skor kumuh sedang ditandai warna kuning. Wilayah kerja Puskesmas yang memiliki skor tidak kumuh ditandai warna hijau. Secara Spasial, sebaran puskesmas yang memiliki skor kumuh sedang banyak tersebar diseluruh Kota Palembang. Namun, Puskesmas yang berada diseberang Ulu, rata-rata memiliki tingkat kekumuhan yang lebih tinggi daripada Seberang Ilir. Puskesmas di Seberang Ulu memiliki skor tidak kumuh, kumuh sedang hingga kumuh berat. Puskesmas di Seberang Ulu yang memiliki skor kumuh berat yaitu Nagaswidak, 7 Uu, 4 Ulu, 1 Ulu, Kertapati, dan Opi, hanya satu wilayah kerja puskesmas yang tidak kumuh yaitu Karya Jaya (Wilayah Selatan Kota). Puskesmas di Seberang Ilir tidak terdapat wilayah yang memiliki skor kumuh berat. Puskesmas di wilayah Seberang Ilir memiliki skor dari kumuh sedang hingga tidak kumuh. Kemudian, puskesmas-puskesmas yang berada jauh dari Pusat Kota rata-rata memiliki skor tidak kumuh. Puskesmas tersebut yaitu Talang betutu (di wilayah Utara Kota), Sako dan Seilincah (di wilayah Timur Kota). Kejadian DBD banyak menyerang daerah yang tidak kumuh. Daerah yang kumuh justru kejadian DBD yang ditemukan sedikit. Jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBD yang tinggi dengan skor 91
kumuh berat sebanyak 0% (0 dari 7 puskesmas). Jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBD yang tinggi dengan skor kumuh sedang sebanyak 82% (23 dari 28 puskesmas). Sedangkan jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBD yang tinggi dengan skor tidak kumuh sebanyak 14% (1 dari 7 puskesmas). 6.7 Distribusi PendudukMiskin Menurut Wilayah Kerja Puskesmas Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilaksanakan, diperoleh informasi perkembangan Penduduk Miskin di wilayah kerja Puskesmas Kota Palembang. Pada tabel berikut dapat dilihat disribusi wilayah kerja Puskesmas di Kota Palembang yang memiliki persentase penduduk miskin terendah dan tertinggi tahun 2009-2012 Tabel 5.23 Distribusi Frekuensi Penduduk Miskin di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Palembang Tahun 2009-2013 Masyarakat Miskin (%) Tahun 2009 2010 2011 2012
Kota Palembang 34,42 31,97 31,02 27,49
Min
(Puskesmas)
Maks
(Puskesmas)
12,48 9,37 7 8,00
Ariodillah 23 ilir Sabokingking Kalidoni
91,15 68,22 72 68,08
23 ilir Boom Baru Boom Baru Karya Jaya
Target pemerintah dalam menurunkan kemiskinan adalah menetapkan target untuk menurunkan penduduk miskin hingga 7,5%. Dalam penelitian ini kategori status kemiskinan ditetapkan dengan ukuran quartil. Jumlah wilayah kerja puskesmas yang memilikipenduduk miskin rendah jika <26%, Sedang >26%-35%, tingi >35%. Pada tabel 5.23 diatas persentase penduduk miskin di Kota Palembang adalah sedang. Dari tahun 2009 hingga tahun 2012
92
rata-rata rata persentase penduduk miskin wilayah kerja puskesmas Kota Palembang cenderung menurun yaitu dari 34,4% menjadi 27,49%. Pada tabel 5.23 diatas terlihat bahwa angka terendah persentase penduduk miskin dari tahun 2009-2012 2009 2012 mengalami penurunan dari sebesar 12,48% ditahun 2009 menjadi 8% pada tahun 2012. Tiga puskesmas yang memiliki angkaa terendah ini berturut-turut berturut turut oleh puskesmas Ariodillah, 23 ilir, Sabokingking, dan Kalidoni Persentase penduduk miskin tertinggi di wilayah kerja puskesmas dari tahun 2009--2013 2013 terjadi peningkatan yaitu dari sebesar 91,15% menjadi 68,08% dari tahun 2009-2012 2009 2012 .Puskesmas yang memiliki persentase penduduk miskin tertinggi ini adalah puskesmas 23 ilir, Boom Baru, dan Karya Jaya.Untuk melihat jumlah puskesmas yang memiliki persentase penduduk miskin yang tinggi selama 5 tahun terakhir, dapat dilihat pada afik 5.24 berikut : grafik Grafik 5.24 Jumlah Puskesmas di Kota Palembang Berdasarkan Persentase Penduduk Miskin Tahun 2009-2012 tinggi
sedang
rendah
20
17 15
14
15
11 11
11
10
11
10 8
2009
2010
2011
93
2012
Pada grafik 5.24 terlihat jumlah puskesmas yang memiliki persentase penduduk miskin tinggi (>35%). Dari tahun 2009 sampai tahun 2012 terjadi penurunan jumlah puskesmas yang memiliki memiliki persentase penduduk miskin yang tinggi. Peningkatan jumlah puksemas yang memiliki persentase penduduk miskin yang tinggi yaitu sebanyak 11 puskesmas (dari 37 puskesmas) pada tahun 2009, menjadi sebanyak 8 puskesmas (dari 39 puskesmas) pada tahun 2012. Jumlah puskesmas yang memiliki persentase penduduk miskin yang sedang dari tahun 2009 sampai tahun 2012 tidak mengalami perubahan. Jumlah puskesmas yang memiliki angka persentase penduduk miskin yang sedang (>2635%) yaitu sebanyak 11 puskesmas (dari 38 puskesmas) pada tahun 2009, menjadi 11 puskesmas (dari 39 puskesmas) pada tahun 2012. Sedangkan jumlah puskesmas yang memiliki persentase penduduk miskin yang rendah dari tahun 2009 sampai tahun 2012 mengalami peningkatan. Jumlah puskesmas yang memiliki persentase penduduk miskin rendah yaitu sebanyak 15 puskesmas (dari 37 puskesmas) pada tahun 2009, menjadi 20 puskesmas (dari 39 puskesmas) pada tahun 2012. Untuk melihat Puskesmas mana saja yang dapat yang memiliki penduduk miskin yang tinggi, sedang, rendah dapat dilihat melalui peta 5.25. Berikut dapat digambarkan perkembangan penduduk miskin di Puskesmas Kota Palembang dari tahun 2009-2012 :
94
Peta 5.25 Distribusi SpasiotemporalInsiden Spasiotemporal Rate DBD dengan Jumlah umlah Penduduk Miskin di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Palembang dari Tahun 2009 2009-2012 2011
2012
2010
2009
95
Pada peta 5.25, terlihat wilayah kerja Puskesmas yang memiliki persentase penduduk miskin yang tinggi ditandai dengan warna merah, sedangkan wilayah kerja Puskesmas yang memiliki persentase penduduk miskin yang sedang ditandai dengan warna kuning, dan wilayah kerja Puskesmas yang memiliki persentase penduduk miskin yang rendah ditandai dengan warna hijau. Secara umum, berdasarkan spasial, sebaran puskesmas yang memiliki persentase penduduk yang miskin rendah rata-rata tersebar diarah Utara Kota. Kejadian DBD lebih banyak menyerang diwilayah kerja puskesmas dengan persentase penduduk miskin yang rendah. Sedangkan secara temporal, sebaran penduduk miskin di berbagai wilayah kerja puskesmas dari tahun 2009 ke tahun 2013 semakin berkurang. Tahun 2009 puskesmas yang berada di Seberang Ulu rata-rata memiliki persentase penduduk miskin lebih banyak dari pada di Seberang Ilir. Di Seberang Ilir, Puskesmas yang berada di Pusat Kota Palembang rata-rata memiliki persentase penduduk miskin yang lebih banyak dari pada wilayah Seberang Ilir lainnya. Kemudian, kejadian DBD banyak terjadi di wilayah kemiskinan yang rendah daripada wilayah kemiskinan yang tinggi. Jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBD tinggi dengan persentase penduduk miskin yang tinggi sebanyak 58% (7 dari 11 puskesmas). Jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBD tinggi dengan persentase penduduk miskin yang sedang sebanyak 27% (3 dari 11 puskesmas). Sedangkan Jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBD tinggi dengan persentase penduduk miskin yang rendah sebanyak 60% (9 dari 15 puskesmas).
96
Tahun 2010 puskesmas yang berada di Seberang Ulu mengalami kenaikan persentase penduduk miskin. Sedangkan puskesmas yang berada di Seberang ilir mengalami penurunan penduduk miskin. Puskesmas yang paling sedikit penduduk miskinnya berada di Utara Kota. Kemudian, kejadian DBD banyak terjadi di wilayah kemiskinan yang rendah daripada wilayah kemiskinan yang tinggi. Pada tahun ini jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBD yang tinggi dengan persentase penduduk miskin yang tinggi sebanyak 35% (5 dari 14 puskesmas). Jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBD tinggi dengan persentase penduduk miskin yang sedang sebanyak 6,6% (3 dari 15 puskesmas). Sedangkan jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBD yang tinggi dengan persentasependuduk miskin yang rendah sebanyak 60% (6 dari 10 puskesmas). Pada
tahun
2011
banyak
terjadi
penurunan
persentasependudukdibeberapa puskesmas, baik puskesmas yang di wilayah Seberang Ulu maupun Seberang Ilir. Semua puskesmas di Utara Kota memiliki persentasependuduk miskin yang rendah. Namun puskesmas di Seberang Ulu tetap menjadi wilayah dengan jumlah penduduk miskin yag paling banyak. Kemudian, kejadian DBD banyak terjadi di wilayah kemiskinan yang rendah daripada wilayah kemiskinan yang yang tinggi. Jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBD yang tinggi dengan persentase penduduk miskin yang tinggi sebanyak 27% (3 dari 11 puskesmas). Jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBD yang tinggi dengan persentase penduduk miskin sedang sebanyak 30% (3 dari 10 puskesmas). Sedangkan Jumlah puskesmas
97
yang memiliki Insiden RateDBD yang tinggi dengan persentase penduduk miskin rendah sebanyak 58% (10 dari 17 puskesmas). Pada tahun ini Pada tahun 2012, puskesmas di Seberang Ilir banyak mengalami penurunan persentase penduduk miskin dari sedang ke rendah. Sedangkan puskesmas yang berada di Seberang Ulu mengalami peningkatan persentase penduduk miskin yang sedang hingga tinggi dan tidak ada puskesmas yang memiliki persentase penduduk miskin rendah. Kemudian, kejadian DBD banyak terjadi di wilayah kemiskinan yang rendah daripada wilayah kemiskinan yang tinggi. Jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBD yang tinggi dengan persentase penduduk miskin yang tinggi sebanyak 25% (2 dari 8 puskesmas). Jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBD yang tinggi dengan persentase penduduk miskin yang sedang sebanyak 9% (1 dari 11 puskesmas). Sedangkan Jumlah puskesmas yang memiliki Insiden Rate DBD yang tinggi dengan persentase penduduk miskin yang rendah sebanyak 75% (15 dari 20 puskesmas).
98
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu pada keterbatasan data. Adapun keterbatasan tersebut adalah sebagai berikut : 1.
Keterbatasan data pada dua wilayah kerja Puskesmas Puskesmas Opi dan Alang-alang Lebar. Peneliti tidak dapat menganalisis sebaran DBD dua Puskesmas tersebut adalah. Adapun data yang tidak didapatkan dari kedua puskesmas tersebut adalah data rumah sehat, ABJ dan jumlah penduduk miskin tahun 2009, 2010, 2011.
2.
Pada variabel kumuh, peneliti tidak dapat melihat sebaran wilayah kerja puskesmas berdasarkan temporal (tahun 2010-2013). Oleh karena survei status kumuh oleh PU Citra Karya Kota Palembang terakhir dilakukan pada tahun 2009.
Survei ini diadakan hanya berkisar 5 tahun sekali.
Sehingga peneliti hanya dapat melihat sebaran kejadian DBD dengan status kumuh secara Spasial pada tahun 2009. 3.
Penelitian ini menggunakan data sekunder, sehingga peneliti harus melakukan cleaning data. Terdapat data yang tidak diikutsertakan dalam analisis karena bernilai ekstrim atau tidak sesuai dengan nilai yang biasanya. Adapun data tersebut adalah data penduduk miskin di Puskesmas Karya Jaya pada tahun 2011.
4.
Unit analisis penelitian ini hanya sebatas wilayah kerja puskesmas.Namun, akan menjadi lebih baik jika unit analisis dalam penelitian ini diperkecil
99
hingga batas kelurahan. Bentuk pelaporan data oleh Dinas Kesehatan Kota Palembang
dikelompokkan
menurut
wilayah
kerja
puskesmas.
Pengelompokakan ini bertujuan untuk memudahkan Dinas Kesehatan Kota Palembang dalam kegiatan monitoring dan evaluasi setiap puskesmas. 6.2 Distribusi Kejadian DBD Di Kota Palembang Kejadian penyakit DBD di Kota Palembang selama kurun waktu 5 tahun dari tahun 2009 hingga 2013 cenderung mengalami penurunan. Terlihat pada tabel 5.7,pada tahun 2009 angka Insiden Rate DBD tertinggi di Kota Palembang sebesar 187,34 per 100.000 penduduk menurun menjadi 106,08 per 100.000 penduduk pada tahun 2013. Walaupun terjadi penuruan, angka ini masih termasuk tinggi dibandingkan target indikator Nasional dan target Dinkes Kota Palembang yaitu menurunkan Insiden Rate DBD menjadi dibawah 50 per 100.000 penduduk. Selain itu, Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan kejadian infeksi yang sudah terjadi untuk kedua kalinya atau infeksi yang terjadi oleh Virus Dengue dengan tipe yang berbeda. Oleh sebab itu, diperkirakan kejadian infeksi Dengue yang sebenarnya menjadi lebih banyak daripada data yang tercatat di Dinas Kesehatan. Secara geografis, Kota Palembang merupakan daerah tropis terletak diantara 2,52º - 3,5º LS dan 104,37º - 104,52º BT. Faktor geografis tersebut menyebabkan Kota Palembang endemik terhadap DBD karena menjadi daerah yang optimal untuk perkembangbiakan vektor DBD. Pada kota yang dekat dengan ekuator memungkinkan menjadi resevoir dengue yang tetap dan
100
endemik terhadap penyakit DBD. Negara dan pulau di belahan Barat, 100 Utara atau Lintang Selatan merupakan daerah endemik DBD(Sabin, 1972). Kota Palembang memiliki suhu udara cukup panas berkisar 23,4º31,7ºC. Hal ini menjadikan Kota Palembang banyak terjadi penyakit DBD sepanjang tahun. Menurut WHO (2010) penyakit DBD banyak terjadi selama musim hangat. Didukung dengan hasil penelitian Boekoesoe (2013) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara suhu >270 C dengan jumlah kasus DBD. Pada suhu yang optimum, vektor DBD dapat hidup sepanjang 1 sampai 3 bulan. Pada suhu yang demikian, daerah ini juga sangat menguntungkan bagi telur. Telur nyamuk pada daerah kering dapat bertahan dalam waktu lama hingga mencapai lebih dari satu tahun. Hendaknya data surveilans DBD yang diolah berupa kasus dan faktor risiko vektor secara bersama-sama. Hal tersebut dikarenakan suhu di Kota palembang yang optimal bagi Vektor DBD, maka surveilans cuaca dan suhu (yang merupakan bagian dari surveilans faktor risiko vektor) perlu diperketat. Selain itu, perlu dilakukan analisis terhadap data surveilans secara mingguan karena masa inkubasi penyakit ini adalah mingguan. Kota Palembang merupakan ibu kota Provinsi Sumatera Selatan. Kota ini terkenal strategis sebagai jalur perdagangan sebagai bagian dari peninggalan peradaban dari zaman Kerajaan Sriwijaya. Air menjadi sarana transportasi yang punya daya jangkau dengan kecepatan tinggi. Kondisi alam menjadikan Kota Palembang berada di letak strategis yang berada dalam satu
101
jaringan yang mampu mengendalikan lalu lintas antara tiga kesatuan wilayah (Pemkot Palembang, 2010). Faktor wilayah yang strategis inilah menyebabkan tingkat mobilitas penduduk di Kota Palembang tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian Chandra (2010) mengatakan bahwa faktor risiko penularan DBD salah satunya adalah membaiknya sarana dan prasarana transportasi sehingga menyebabkan mobilisasi penduduk yang tinggi. WHO (2010) menyatakan bahwa mobilitas penduduk yang tinggi merupakan salah satu faktor penularan DBD. Mobilisasi penduduk akan menyebabkan mudahnya penularan DBD dari satu tempat ke tempat lain. Oleh sebab itu, mobilisasi penduduk dari luar Kota Palembang yang terinfeksi virus Dengue dan mengalami viremia menyebabkan peluang populasi nyamuk Aedes Aeypti yang infektif virus Dengue akan semakin banyak. Bertambahnya nyamuk Aedes yang infektif akan menambah kerentanan penduduk untuk terkena DBD. Selain perpindahan manusia yang menyebabkan kejadian DBD ini tinggi, perpindahan nyamuk yang secara pasif juga menjadi faktor risiko. Perpindahan nyamuk secara pasif seperti terbawa kendaraan sehingga menyebabkan nyamuk dapat berpindah lebih jauh lagi. International Health Regulation (IHR) tahun 2005 membuat peraturan bahwa DBD menjadi penyakit ancaman internasional. DBD merupakan penyakit potensial wabah dan perlu diperketat penyebarannya. Pencegahan ini juga sudah diajarkan oleh islam dalam hal mencegah kejadian wabah disuatu daerah. Dalam sebuah hadist berbunyi :
102
“At-Tha’un (penyakit menular) adalah na’jis yang dikirimkan kepada suatu golongan dari golongan orang israil dan kepada orang-orang sebelummu. Maka apabila kamu mendengar penyakit menular tersebut terjangkit disuatu tempat, janganlah kamu memasuki daerah tersebut . dan apabila di suatu tempat berjangkit penyakit menular tersebut sedang kamu sedang kamu berada di dalamnya janganlah kamu keluar atau lari dari padanya.”(HR. Bukhari dan Muslim) Kemudian Islam juga menganjurkan kepada orang yang sakit agar diisolasi dan dipisahkan dengan orang sakit. “Orang yang sakit jangan dibawa mendekati orang yang sehat”(HR. Bukhari dan muslim) Selain kondisi geografis, suhu dan mobilitas yang menjadikan kota Palembang daerah endemis DBD, faktor risiko dari topografi juga mempengaruhi. Secara letak topografi, Kota Palembang merupakan daerah dengan dataran rendah dengan rata-rata ketinggian 4 – 12 meter diatas permukaan laut. Di Pusat kota merupakan tempat dengan tingkat mobilisasi tinggi dan memiliki daratan yang terendah dibandingkan wilayah kota yang lain. Kecamatan di Pusat Kota dengan daratan yang paling terendah adalah Kecamatan Ilir Timur II dan Kecamatan Ilir Timur I. Sedangkan di Kecamatan Ilir Timur II ini terdapat Puskesmas 11 ilir yang merupakan wilayah Kerja Puskesmas dengan angka IR DBD tertinggi pada tahun 2009, 2010 dan 2012, dan di Kecamatan Ilir Timur I terdapat wilayah kerja Puskesmas Ariodillah yang merupakan wilayah dengan kejadian DBD tertinggi pada tahun 2011. Faktor daratan yang rendah dan mobilisasi penduduk yang tinggi di pusat kota
103
inilah menyebabkan IR DBD lebih tinggi dari pada wilayah Kota Palembang bagian lainnya. Depkes RI (2005) menyatakan bahwa topografi daratan yang rendah dan mobilisasi yang tinggi menyebabkan suatu daerah rentan penularan DBD yang tinggi. Berdasarkan penelitian Hasyim (2009) menyatakan bahwa dari semua kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan, Kota Palembang merupakan Kota yang paling banyak terjadi kejadian DBD dari pada kota/kabupaten lain. Berdasarkan hasil analisis korelasi penelitian Hasyim (2009) tersebut didapatkan hubungan topografi wilayah dan kasus DBD yaitu kuat dan berlangsung secara negatif, artinya semakin rendah topografi suatu wilayah akan memungkinkan peningkatan Kasus DBD. Sejalan dengan penelitian Boekoesoe (2013) menyatakan bahwa topografi tempat dibawah 50 m dpl memiliki kasus DBD yang lebih banyak daripada di ketinggian tempat 50 sampai diatas 100 m dpl. Menurut Depkes RI (2005) bahwa vektor DBD dapat ditemukan pada ketinggian 0 - 1000 m. Pada ketinggian yang rendah (dibawah 500 m) memiliki tingkat kepadatan populasi vektor yang sedang sampai berat, sedangkan di daerah pegunungan (diatas 500m) kepadatan populasi vektor rendah. Ketinggian tempat ini mempengaruhi pertumbuhan virus di tubuh nyamuk sedangkan kelembaban mempengaruhi usia nyamuk. Di daerah pada ketinggian yang rendah biasanya memiliki kelembaban yang tinggi sehingga dapat memperpanjang usia nyamuk hingga mencapai 2-3 bulan.
104
Berdasarkan penelitian Boekoesoe (2013) dan Depkes RI (2005) tersebut, maka Kota Palembang sebagai Kota dengan daratan yang rendah memiliki beban ganda pada masalah kesehatan penyakit DBD ini. Beban ganda tersebut yaitu umur nyamuk yang semakin panjang dan masa inkubasi virus yang lebih pendek. Oleh karena itu, untuk mengatasinya dapat dilakukan dengan memotong siklus hidup nyamuk. Menurut Nadesul (2004) ada dua cara mengurangi populasi nyamuk. Pertama, pada nyamuk dewasa jika belum terjadi epidemi dapat diberantas dengan cara melestarikan kembali predator alami seperti kelelawar dan burung. Namun, jika terjadi epidemi nyamuk dewasa harus diberantas dengan fogging atau penyemperotan. Cara yang kedua pada larva, diberantas dengan pelestarian predator alami seperti burung air, serangga dan ikan. Selain itu, dengan menaburkan bubuk abate secara tepat juga ampuh mengurangi jentik. Bubuk abate akan membentuk lapisan dalam bak, dan betahan selama 3 bulan. Penaburan abate ini sebanyak 10gr/100liter air pada tempat yang tak terusik atau penampungan air yang jarang digunakan. Dalam buku pedoman Depkes RI (2011) dalam pemberantasan jentik juga dilakukan upaya PSN dengan kegiatan 3M Plus secara fisik. Kegiatan 3M plus yaitu kegiatan dengan menguras, menutup dan memanfaatkan barang bekas. Selain itu, memproteksi penduduk dari nyamuk dewasa yaitu dengan menggunakan repellent, obat nyamuk bakar, kelambu, memasang kawat kasa.
105
6.3 Distribusi Kejadian DBD Berdasarkan Lingkungan Biologi 6.3.1 Kepadatan Vektor Ada beberapa ukuran-ukuran yang digunakan dalam menentukan kepadatan vektor. Salah satu ukuran yang dipakai untuk menilai kepadatan vektor dalam program pengendalian DBD oleh Dinas Kesehatan Kota Palembang adalah Angka Bebas Jentik. Dalam modul pengendalian DBD oleh Kemenkes RI (2011) bahwa apabila terjadi penurunan angka bebas jentik >95% maka perlu dilakukan kewaspadaan dini yaitu suatu kewaspadaan terhadap peningkatan kasus dan atau faktor resiko DBD. Dari hasil penelitian ini, didapatkan bahwa secara spasial terlihat ratarata Puskesmas di Seberang Ilir memiliki angka bebas jentik yang lebih rendah dari pada di Seberang Ulu. Sementara itu, secara temporal dari tahun 2009 jumlah puskesmas yang memiliki angka bebas jentik rendah sebanyak 89,7% puskesmas dan menurun menjadi 82,1% puskesmas pada tahun 2013. Menurut temporal tersebut terlihat pola dimana wilayah puskesmas yang memiliki sebaran kejadian DBD yang tinggi juga memilikiangka bebas jentikyang rendah. Kepadatan vektor adalah faktor yang sangat berperan langsung dalam penularan dan penyebaran IR DBD. Menurut WHO (2010) peningkatan penyebaran dan kepadatan vektor nyamuk menyebabkan munculnya kembali Epidemi Dengue. Keadaan epidemi tersebut akan memperparah jika ditambah dengan kurang efektifnya pengendalian nyamuk.
106
Angka bebas jentik yang rendah merupakan tanda bahwa banyak ditemukannya jentik disuatu wilayah. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sunardi (2007) yang menyatakan bahwa secara spasial pola aggregat kasus DBD menurut tingkat angka bebas jentik menunjukkan lebih banyaknya persentase kasus pada daerah dengan angka bebas jentik kurang 95%. Sejalan juga dengan hasil penelitian Erliyanti (2008) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara keberadaan jentik terhadap kejadian DBD. Sofiyana (2009) juga menyebutkan bahwa terdapat korelasi yang kuat dan berlangsung secara negatif antara angka bebas jentik dengan kejadian DBD. Artinya semakin tinggi tingkat angka bebas jentik, maka semakin berkurang kejadian DBD. Pemberantasan terhadap nyamuk dewasa tidaklah cukup. Hal ini dikarenakan dalam penelitian Hasyimi (2011) yang menyatakan bahwa telah terjadi penularan virus pada vektor melalui transovarian. Mahoedi (2009) juga dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa Virus Dengue ternyata juga ditemukan dalam telur Aedes Aegypti. Disetiap stadiumnya Aedes Aegypti dapat mengandung virus Dengueatau penularan secara transovarian. Melalui penularan transovarian, dalam fase telur nyamuk sudah bisa terinfeksi virus, tanpa harus melalui mengigit manusia yang dalam masa viremia.Faktor ini akan berdampak pada semakin mudahnya Virus Denguemenyebar ke manusia. Menurut Kemenkes RI (2011) saat ini tidak ada cara lain dalam memberantas DBD kecuali memberantas vektor penyakitnya karena vaksin 107
dan obat untuk membasmi penyakit ini belum ditemukan. Faktor inilah yang menjadikan kepadatan vektor merupakan bagian dari indikator indikator pemberantasan DBD. Menekan kepadatan vektor, akan berdampak pada penurunan kejadian DBD. Menurut Helth Organisation expert Comittee on vector biology and controldalam dalam WHO (2010) (2010), cara mengurangi kepadatan vektor salah satunya dengan modifikasi dan manipulasi lingkungan. Bentuk kegiatan dari modifikasi lingkungan adalah berupa transformasi fisik jangka panjang dari habitat vektor. Sedangkan manipulasi lingkungan berupa perubahan temporer pada habitat vektor sebagai hasil aktivitas yangg direncanakan untuk menghasilkan kondisi tidak disukai dalam perkembangbiakan vektor. Selain modifikasi lingkungan, perubahan perilaku manusia untuk membersihkan jentik juga akan menurunkan populasi nyamuk (WHO, 2010). Seperti di Negara Singapura dan Malaysia menetapkan an hukuman pada rumah jentik yang memiliki jentik(Nadesul, 2004).. Dalam Islam juga sudah diajarkan kepada manusia agar menjaga derajat kesehatan perorangan yang akan berdampak pada lingkungan. Dalam Al-qur’an Al qur’an Allah SWT berfirman :
“dan Allah menyukai orang orang-orang yang bersih” (Qs At--Taubah 108) Adapun tafsir dari potongan ayat ini adalah bahwa Allah SWT menyukai orang-orang orang yang sangat menjaga kebersihan jiwa dan jasmaninya, karena
108
kesempurnaan manusia terletak pada kesuciannya lahir batin. Oleh sebab itu mereka sangat membenci kekotoran lahiriah, seperti kotoran pada badan, pakaian dan tempat, maupun kotoran batin yang timbul karena perbuatan maksiat terus-menerus, serta budi pekerti yang buruk (Depag RI, 2014). 6.3.2 Kepadatan Penduduk Kepadatan penduduk adalah jumlah penduduk suatu daerah per satuan luas. Dalam penelitian ini kepadatan penduduk adalah jumlah penduduk total per luas wilayah dalam hektar. Kepadatan penduduk di klasifikasikan oleh PU Cipta Karya dan Perumahan menjadi tiga yaitu kepadatan rendah jika penduduk <50 jiwa/ha, kepadatan sedang 51-150 jiwa/ha dan kepadatan tinggi > 150 jiwa/ha. Secara spasial terlihat bahwa kepadatan penduduk yang tinggi banyak ditemukan di Pusat Kota. Kepadatan penduduk yang tinggi di Pusat Kota ini juga menunjukkan sebaran kasus DBD yang tinggi. Sedangkan berdasarkan temporal (trend), sebaran DBD di wilayah kerja Puskesmas yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi mengalami kecenderungan yang meningkat dari tahun 2009-2013, padahal kecenderungan Iniseden Rate DBD dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Sejalan dengan penelitian Sunardi (2007), secara spasial kejadian DBD menunjukkan adanya pengelompokkan kasus DBD pada daerah yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi atau kepadatan diatas 13.090 org/km2 atau 130 jiwa/ha. Selain itu, hasil penelitian Fitriyani (2007) dengan
109
metode analisis dan pemetaan wilayah tingkat kerawanan DBD didapatkan bahwa wilayah-wilayah yang termasuk ke dalam ketegori sangat rawan dan rawan biasanya adalah ibukota kabupaten atau ibukota propinsi dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Kota Palembang sendiri berdasarkan hasil penelitian ini termasuk dalam kabupaten/kota yang sangat rawan dengan indexs kerawanan 8,65 dari rentang skor sangat rawan adalah sebesar 5 untuk pulau Sumatera. Hasil penelitian Haryadi (2007) didapatkan bahwa kecamatan yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi berisiko 16 kali tertular DBD.
Kemudian penelitian Hasyim (2009) terdapat hubungan antara
kepadatan penduduk dan kasus DBD dan berlangsung secara positif, artinya semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk akan menyebabkan kemungkinan peningkatan kasus DBD. Keberadaan manusia secara langsung akan menarik berbagai energi. Manusia yang berkumpul akan membentuk suatu perubahan lingkungan. Pergerakan manusia dan intensitas pergerakan barang dan jasa akan mengakibatkan mudahnya penularan penyakit (Achmadi, 2011). Depkes RI (2007) mengatakan bahwa kepadatan penduduk merupakan faktor yang terkait dalam penularan DBD. Semakin padat, akan semakin mudah terjadi penularan DBD, karena jarak terbang nyamuk 50-100 meter. Menurut WHO (2010) pada area dengan kejenuhan manusia yang tinggi, banyak orang yang mungkin terpajan. Nyamuk akan mudah terinfeksi karena mengigit manusia
110
yang dalam waktu waktu viremia akan terinfeksi dan virus berkembang biak 8-10 hari. Penularan virus dengue melalui gigitan nyamuk lebih banyak terjadi pada tempat yang padat penduduk seperti perkotaan dan perdesaan pinggir kota. Umumnya penduduk di pemukiman baru di pinggir kota berasal dari berbagai wilayah, oleh sebab itu diperlukan diantaranya terdapat penderita atau karier yang membawa tipe virus dengue yang berlainan dari masingmasing lokasi asal (Yatim, 2007). Penduduk yang padat akan berdampak pada mudahnya nyamuk dalam menginfeksi penduduk karena jarak tempuh terbang nyamuk untuk mengigit orang ke orang semakin kecil (Musadad, 1997). Tempat-tempat umum merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang datang dari berbagai wilayah, sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus dengue cukup besar (Depkes RI, 2007).Dalam penelitian Boewono, dkk (2011) menyatakan bahwa pola sebaran kasus DBD adalah mengelompok dan terkonsentrasi di pemukiman padat penduduk. Adapun jarak antar kasus DBD paling jauh mencapai 6.830 m dan paling dekat 0,5 m. Dengan rata-rata jarak antar kasus 50-100 meter. Menurut Depkes (2007) nyamuk betina hanya membutuhkan 1-3 hari saja yang untuk mengenali host vertebrata. Melalui
penggunaan
aroma
kimia yang dikeluarkan host vertebrata, akan membantu nyamuk dalam mengenali Host. Aroma ini efektif sampai jarak 7 – 30 meter, dan dapat
111
mencapai 60 meter. Pada jarak 1-2 meter nyamuk betina akan mendekati host potensial. Sehingga apabila penduduk yang padat, jarak terbang yang diperlukan nyamuk untuk hinggap pada satu manusia ke manusia lain menjadi semakin dekat Faktor risiko dari kejadian penyakit selalu kompleks dan saling terkait.
Pada
dasarnya
penyakit
diakibatkan
oleh
lingkungan
dan
kependudukan (Achmadi, 2011). Intervensi yang tepat untuk mengatasi sebaran DBD ini tetap pada vektornya. Walaupun penduduk padat, namun jika vektor sedikit dan tidak infektif tentu penduduk tidak akan menjadi rentan(Depkes RI, 2007). Kejadian penyakit merupakan hasil dari sebuah proses. Proses terjadinya penyakit tersebut melibatkan institusi dalam sebuah wilayah. Kejadian penyakit yang melibatkan berbagai institusi, maka perlu suatu pencegahan penyakit dalam sebuah perpektif sebuah sistem dalam wilayah(Achmadi, 2011).Masalah kepadatan penduduk sendiri perlu dibahas dengan berbagai lintas vektor dan dibuat sebuah rencana program yang jangka panjang untuk menekan kepadatan penduduk. Sebuah program peningkatan kearifan lokal didaerah yang masih jarang penduduk seperti program DTPK (Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan) bisa diterapkan. Pemerintah Kota Palembang bisa bekerjasama dengan Pemerintah Kota/Kabupaten tetangga yang memiliki jumlah penduduk yang masih rendah. Dengan demikian, penduduk didalam Kota Palembang dapat di alihkan ke Kabupaten tersebut. 112
Apabila dilihat dari tahun ketahun, terlihat kepadatan penduduk semakin meningkat namun kejadian DBD semakin menurun. Distribusi kejadianini terlihat seperti hubungan dengan arah negatif antara kepadatan penduduk dan IR DBD. Hal ini mungkin disebabkan karena memang pola aktivitas epidemik DBD terjadi setiap 2-5 tahun. Menurut WHO (2010) kejadian DBD memiliki dua pola epidemik penting. Pola umum adalah kasus sporadik atau wabah kecil di area perkotaan yang ukurannya meningkat dengan tetap sampai terjadi wabah besar. Pola aktivitas epidemik ini akan terjadi setiap 2-5 tahun. Sehingga setiap 5 tahun sekali DBD akan meningkat dan kemudian turun kembali. Oleh sebab itu, Dinas Kesehatan Palembang perlu melakukan siap siaga terhadap siklus 5 tahunan ini. Hendaknya masyarakat diberikan penyuluhan dan juga diajak untuk bersiap siaga terhadap siklus ini. Siap siaga ini berupa kegiatan SKDKLB dengan melaksanakan kegiatan penyelidikan epidemiologi (PE) dan penanggulangan seperlunya meliputi foging fokus, penggerakan masyarakat dan penyuluhan untuk PSN serta larvasidasi. 6.4 Distribusi Kejadian DBD Berdasarkan Lingkungan Sosial dan Ekonomi 6.4.1 Rumah Sehat Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, Perumahan Rumah sehat adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. Kemenkes RI (2002)
113
pedoman dalam penilaian rumah sehat adalah mencakup 3 komponen yaitu komponen rumah, sarana sanitasi dan perilaku penghuni. Hasil penelitian ini, secara spasial, wilayah kerja puskesmas yang terdapat banyak rumah sehat tersebar di sekitar Pusat kota hingga ke wilayah Utara Kota. Secara temporal (trend), Jumlah wilayah kerja Puskesmas dengan rumah yang tidak sehat mengalami kecenderungan meningkat dan diiringi dengan Insiden rate DBD yang cenderung menurun. Kejadian DBD paling banyak terjadi di rumah yang sehat. Hal ini dapat terlihat bahwa angka Insiden Rate DBD yang paling tinggi terjadi pada tahun 2009, namunpada tahun itu juga terdapat jumlah rumah sehat yang lebih banyak dibandingkan tahun lainnya. Sedangkan pada tahun 2012, ketika Insiden Rate lebih rendah dibandingkan tahun 2009, namun ditemukan persentase rumah tidak sehat yang lebih banyak. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Octaviana (2007) menyatakan bahwa di daerah endemis DBD adalah daerah yang biasanya memiliki kondisi fisik rumah yang lebih baik daripada wilayah sporadis yang dominan kondisi rumahnya buruk. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh peneliti, masyarakat di daerah Seberang Ulu adalah masyarakat asli Kota Palembang. Masyarakat di daerah Seberang Ulu masih bertahan dengan budaya asli yaitu tinggal diperumahan adat mereka yaitu Rumah Panggung. Rumah Panggung adalah rumah berbentuk panggung atau dasar rumah tidak menempel pada
114
tanahRumah panggungdibangun untuk tujuan mencegah banjir.Rumah panggung tidak memiliki tandon/saluran air hujan, sehingga air hujan turun langsung di serap ketanah. Air hujan yang tidak sempat tertampung ditandon air, menyebabkan air tidak menjadi tempat potensial perindukan nyamuk. Dari zaman Sriwijaya wilayah SeberangIlir merupakan daerah yang lebih maju daripada Seberang Ulu.Rata-rata masyarakat di Seberang Ilir merupakan masyarakat pendatang dari luar Kota Palembang. Masyarakat di daerah ini banyak membangun dan menempati rumah-rumah permanen. Di daerah ini banyak berdiri toko dan mall serta bangunan perkantoran. Pusat kota merupakan wilayah vital dan paling banyak dibangun pusat-pusat perbelanjaan serta gedung-gedung kantoran. Pola sebaran peningkatan rumah yang tidak sehat terjadi di wilayah Barat dan Pusat kota. Rata-rata bentuk perumahan di wilayah Barat kota dan Pusat Kota adalah rumah bedeng (rumah petakan). Rumah petakan ini dibangun untuk memenuhi kebutukan masyarakat disana. Pada wilayah tersebut terdapat beberapa universitas dan sekolahan.Keberadaan fasilitas umum ini mengakibatkan bermunculan masyarakat yang membangun bisnis rumah kontrakan dan kos-kosan. Menurut WHO (2010) sarang telur Aedes aegypti paling banyak ditemukan di negara-negara Asia Tenggara adalah pada tandon air rumah tangga buatan manusia. Selain itu, wadah penampungan air juga menjadi
115
sarang telur Aedes aegypti. Wadah air tersebut mencakup semua wadah yang ada di sekitar perkotaan (rumah tangga, lokasi pembangunan, pabrik) seperti kendi air, pot bunga, vas bunga, bak mandi semen, ban, kaleng, ember, cangkir plastik, aki bekas, pipa pembuangan, dan perangkap semut. Rumah yang berbentuk permanen justru kemungkinan menambah tempat bertelur nyamuk. Tipe bangunan seperti ini, menurut WHO (2010) adalah bangunan yang justru menambah tempat penampungan buatan manusia sehingga tempat perindukan nyamuk semakin banyak. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Admiral (2010), bahwa secara spasial bangunan yang tergolong tinggi atau banyak biasanya memiliki jentik yang tinggi. Oleh karena itu,pada tempat tinggal atau bangunan bertingkat, populasi per unit area menjadi lebih tinggi, dengan demikian data survei untuk tempat tinggal atap tunggal dan bangunan harus dibuat terpisah. Kejadian DBD yang tinggi di Kota Palembang secara umum terjadi di daerah yang jauh dari aliran Sungai Musi (Seberang Ilir), sedangkan kejadian DBD yang rendah terjadi di Seberang Ulu. Warga Seberang Ulu tinggal di sepanjang Sungai Musi, mereka jarang menggunakan tempat penampungan air. Mereka lebih banyak menggunakan sungai musi secara langsung untuk keperluan sehari-hari seperti mandi, memasak, dan mencuci. Akan tetapi, warga yang berada di Seberang Ilir (khususnya dari pusat kota ke Utara Kota) merupakan daerah yang tidak dilalui oleh sungai Musi dan
116
merupakan wilayah terkering dibandingkan wilayah di bagian Kota Palembang lainnya. Diperkuat oleh BPTKL (Badan Penelitian Teknis Kesehatan Lingkungan) dan Kota Palembang yang melaksanakan survei jentik Kota Palembang tahun 2013. Hasil survei didapatkan bahwa kebanyakan jentik DBD banyak ditemukan pada tempat penampungan air buatan manusia. Penampungan air yang banyak ditemukan jentik baik berupa bak mandi, ember, tempayan. Hasil penelitian Lasut (2009) menyatakan bahwa kejadian DBD banyak terjadi pada masyarakat yang suka menampung air bersih. Kemudian didukung hasil penelitian Zainudin (2003) menyatakan bahwa Negara Mali, Volta, Ghana, Togo termasuk dalam negara yang ditemukan kejadian DBD yang tinggi. Negara ini memiliki penyimpanan air domestik dengan menggunakan penampungan air yang besar. Sedangkan Negara Afika timur, Madagaskar ditemukan Aedes dengan jumlah yang sedikit karena penduduknya mengggunakan wadah yang kecil untuk penampungan air. Daerah yang panas dan kering, masyarakat berperilaku sering menyimpan tanki air di atas dan di bawah tanah. Tanki tersebut bisa menjadi habitat utama larva.
Daerah yang kekurangan air, banyak ditemukan
penyimpanan air untuk
kebutuhan
rumah
bertambahnya jumlah habitat larva (WHO, 2010).
117
tangga menjadi faktor
Seperti yang telah diajarkan dalam Islam, bahwa setiap umat harus menjaga kebersihan terutama pada air, sebagai sumber sarana kebersihan. Dalam hadist disebutkan : “Tutuplah bejana dan tempat minum, sebab sesungguhnya dalam setahun ada satu malam waktu wabah penyakit diturunkan, bila wabah itu lewat sedang makanan/minuman terbuka, maka wabah tersebut akan masuk kedalamnya” (HR. Ahmad dan Muslim). Intervensi
pada perubahan
tipe
perumahan
sangatlah tidak
memungkinkan. Oleh karena itu, diperlukan suatu alternatif program seperti penata laksana lingkungan perbaikan suplai dan penyimpanan air. Program ini dimaksudkan supaya masyarakat mengurangi kebiasaan menyimpan air dengan cara menampungnya dengan wadah-wadah air yang besar. Namun, bisa juga dibuat inovasi pada penyimpanan air agar tidak menjadi habitat larva. Sebagai contoh, di Negara Malaysia wadah penampungan air dibuat menjadi antinyamuk. Wadah ini dibuat dengan politien densitas tinggi yangg mempunyai layar fiberglass pada lubang yng memungkinkan air hujan masuk, namun mencegah nyamuk dewasa keluar. 6.4.2 Derajat Kumuh Kawasan kumuh adalah kawasan dimana rumah dan kondisi hunian
masyarakat di kawasan tersebut sangat buruk. Rumah maupun
sarana dan prasarana yang ada tidak sesuai dengan standar yang berlaku, baik standar kebutuhan, kepadatan bangunan, persyaratan rumah sehat, kebutuhan sarana
air bersih, sanitasi maupun
118
persyaratan
kelengkapan prasarana jalan, ruang terbuka, serta kelengkapan fasilitas sosial lainnya(Kurniasih, 2007). Secara spasial terlihat wilayah kumuh berat berada wilayah kerja puskesmas di Seberang Ulu, kumuh sedang tersebar disekitar Pusat Kota dan wilayah yang tidak kumuh berada di Puskesmas Utara Kota. Pola sebaran DBD berdasarkan derajat kumuh ini berpola sama dengan rumah sehat. Wilayah Kerja Puskesmas yang kumuh berat justru memiliki IR DBD yang rendah dan Wilayah Kerja Puskesmas yang tidak kumuh memiliki IR DBD yang tinggi. Fenomena ini terlihat seperti korelasi negatif, dimana sebaran IR DBD yang tinggi banyak menyerang wilayah-wilayah yang tidak kumuh. Hal ini sejalan dengan penelitian Schmidt (2011) yang menemukan bahwa secara spasial penduduk yang berada di wilayah pedesaan dengan pasokan air bersih yang kurang memadai, akan menyimpan air tersebut dalam berbagai wadah sebagai bentuk antisipasi saat kekurangan air, sehingga memungkinkan nyamuk Aedes aegypti untuk berkembangbiak. Sejalan juga dengan hasil penelitian Wahyuni (2013) menyatakan bahwa orang yang menderita DBD memiliki penyediaan air bersih yang baik. Mereka menggunakan air bersih melalui penyedian PDAM, sehingga masih memerlukan tempat penampungan air baik bak besar maupun bak kecil serta ember dan loyang.
119
Daerah Utara Kota merupakan daerah yang termasuk wilayah tidak kumuh. Rata-rata perumahan yang berada di Utara Kota banyak bertipe elit, sehingga diperkirakan banyaknya perumahan yang memiliki tandon air. Hal ini juga sama terjadi di Jakarta Barat. Dari website resmi Pemprov DKI Jakarta, Beritajakarta.com,memberitakan bahwa pada Bulan Januari hingga Maret 2011, ditemukan 11 warga di perumahan warga elit di Jakarta Barat terserang DBD. Menurut Kasudin Jakarta Barat peurmahan elit tidak menjamin bebasnya warga terhadap serangan DBD. Serangan DBD di perumahan elit ini dikarenakan banyaknya tempat penampungan air menjadi tempat berkembangbiaknya nyamuk seperti pot bunga, kolam kosong. Selain lingkungan, diperkirakan pengetahuan dan sikap juga mempengaruhi kejadian DBD pada kelompok elit. Berdasarkan penelitian Taviv (2010) ada hubungan antara sikap yang kurang baik dan pengetahuan yang kurang terhadap kejadian DBD di salah satu wilayah kerja puskesmas di Pusat Kota. Perilaku dan sikap tersebut berpengaruh langsung terhadap indeks larva atau kepadatan jentik yang tinggi. Hasil penelitian Hasyimi (2011) menyatakan bahwa vektor yang paling banyak berada di Kota Palembang adalah Aedes Aegypti. Hasil penelitian inidiperkuat dari penelitian pada hasil survei jentik terbaru oleh BTKL Kota Palembang pada tahun 2013. Hasil penelitian BTKL Kota Palembang ini ditemukan 86% jentik di Kota Palembang merupakan spesies dari Aedes Aegypti.
120
Penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian Adifian (2013) yang mengatakan bahwa jumlah telur Aedes Aegypti ditemukantidak berbeda secara nyata antara penampungan air hujan dan air selokan. Sedangkan pada telur dan larva Aedes Albopictus sp persentase tertinggi terdapat pada air selokan dibandingkan dengan penampungan air hujan dan pada air sumur gali. Hasil penelitan ini sejalan dengan penelitian Sukamto (2007) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kekeruhan air dengan kejadian DBD. Nyamuk Aedes aegypti lebih menyukai kontainer-kontainer yang terdapat air jernih. Sedangkan pada kontainer-kontainer yang airnya keruh tidak disukai oleh nyamuk Aedes aegypti sebagai tempat breeding place. Dari penelitian Scmith (2004), Hasyim (2010), Adifian (2013), dan Sukamto (2007) tersebut, peneliti berasumsi bahwa kejadian DBD yang tinggi pada daerah yang tidak kumuh di Kota Palembang dikarenakan vektor Aedes Aegypti. Vektor Aedes Aegypti ini menyukai air bersih untuk bertelur. Keberadaan air bersih tentunya banyak ditemukan pada daerah yang tidak kumuh dan memiliki persentase jumlah rumah sehat yang tinggi. Intervensi terhadap perubahan lingkungan merupakan suatu proses yang membutuhkan waktu yang lama. Salah satu program PSN unggulan yang sudah ada di Kota Palembang adalah GERTAK PSN DBD yang diadakan satu tahun sekali. Program ini berisi kegiatan berupa pembagian iwak tempalo (ikan cupang) dan pembagian mesin fogging. Program
121
pencegahan yang sudah berjalan ini mungkin bisa dikolaborasikan dengan Program pencegahan yang sudah digalakan di Kota Mojokerto. Kegiatan
di
Kota
Mojokerto
ini
diberikan
nama
gerakan
pemberantasan sarang nyamuk 60 menit. Kegiatan ini dikeluarkan berdasarkan Intruksi walikota Mojokerto No. 1 tahun 2006. Kegiatan dipadukan dengan PHBS setiap jum’at setiap pukul 08.00 WIB -09.00 WIB. Kegiatan ini berhasil menaikkan angka bebas jentik hingga 95% sehingga menurunkan angka IR DBD yang sebelumnya sangat meresahkan pemerintah. Adapun gambaran kegiatan tersebut dapat dilihat sebagai berikut (Simanjuntak, Mujiwati, & Murtini, 2007) 1. Tahapan kegiatan a.
Sosialisasi tim pengendali kota dan dan tim kecamatan, RT/RW, takmir masjid, kepala sekolah dan lintas sektor
b.
Pelatihan kader jumantik oleh tim PKK Kota
c.
Perancangan gerakan jumat bersih berseri + PSN 60 menit
2. Pelaksanaan a. Kegiatan dilaksanakan berupa PSN serentak ditandai bunyi sirene b. Monitoring akan dilakukan oleh kader dengan mengunjungi rumah. Rumah diacak secara lotre /arisan c. RT yang berjumlah dibawah 30 KK maka jumlah rumah yang dikunjungi sebanyak 10 rumah, sedangkan RT yang berjumlah diatas 30 KK maka rumah yang dikunjungi sebanyak 20 rumah
122
d. Rumah yang ditemukan jentik akan diberikan bendera merah dan diberikan penyuluhan keluarga e. Kader memberikan laporan tertulis kepada RW pada hari itu juga f. Walikota juga secara langsung mengunjungi beberapa rumah penduduk bersama kader 3. Pendukung a.
Dukungan pemerintah (walikota, DPRD dan lintas sektor)
b.
Kader dilengkapi sarana dan prasarana
c.
Kader diberikan penghargaan (seragam tas topi honor transport, pertemuan/refreshing, jalan santai keluarga sehat dan pemberian door prize pada acara HUT PSN kota mojokerto)
d.
Evaluasi kegiatan diadakan seperti Lomba PSN (Evaluasi kegiatan) Berdasarkan penelitian Taviv (2010) bahwa Kota Palembang
memiliki program pencegahan yang berbeda dari daerah lain. Program kegiatan tersebut adalah seperti pendistribusian iwak tempaloatau Ikan Cupangoleh Pemerintah Kota Palembang. Kegiatan tesebut sepertinya sudah bisa menjadi solusi yang efektif untuk wilayah kerja puskesmas yang masyarakatnya suka menampung air seperti di wilayah Seberang Ilir. Akan tetapi kegiatan ini masih perlu pengawasan dan evaluasi oleh Dinas Kesehatan Kota Palembang. Dari hasil wawancara dengan sanitarian,yang dilakukan oleh peneliti disalah satu puskesmas di Kota Palembang,bahwa program unggulan Kota Palembang pada pelestarian iwak tempalosepertinya kurang efektif. Iwak 123
Tempalo yang didistribusikan oleh Dinas Kesehatan tidak bertahan hidup lama.Hal ini dikarenakan masyarakat kurang memahami cara memelihara ikan tersebut. Oleh karena itu, kegiatan ini perlu dikolaborasikan dengan kegiatan PSN 60 menit karena didalam kegiatan ini dapat ditambahkan kegiatan monitoring terhadap kondisi iwak tempalo yang sudah dibagikan pada saat kader melakukan kunjungan kerumah warga. 6.4.3 Kemiskinan Kemiskinan menurut BPS adalah kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Penduduk miskin adalah penduduk yang pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis Kemiskinan. Kota Palembang sendiri penduduk yang berada di garis kemiskinan adalah penduduk yang pengeluaran perkapita per bulan dibawah Rp315634. Secara spasial, hasil penelitian ini terlihat bahwa wilayah kerja puskesmas yang kejadian DBD-nya tinggi banyak terjadi di wilayah dengan persentase
penduduk miskin yang sedikit. Sedangkan Jumlah Wilayah
Kerja Puskesmas berada di Utara Kota yang memiliki jumlah penduduk tidak miskin ditemukan lebih banyak dibandingkan tempat lain. Hal ini juga seiring dengan variabel kumuh dan rumah sehat, dimana wilayah Utara Kota merupakan daerah tidak kumuh dan memiliki persentase rumah sehat yang lebih banyak dibandingkan daerah lain. Sementara itu, daerah di Seberang
124
Ulu merupakan daerah yang didominasi oleh penduduk miskin, tingkat kumuh berat dan rumah sehat yang rendah. Berdasarkan hasil survei peneliti, bahwa arah Pusat dan Utara Kota merupakan kawasan dominan kelompok elit. Rata-rata penduduk yang berada diwilayah ini adalah pejabat di Pemerintahan Kota Palembang. Para ayah sebagian besar bekerja dikantoran dan para ibu tidak bekerja atau ibu rumah tangga. Sedangkan wilayah Seberang Ulu, kebanyakan mata pencaharian penduduknya lebih banyak beraktifitas diluar ruangan seperti berdagang di Pasar 16 yang berada Pusat Kota. Faktor ekonomi yang berhubungan dengan DBD bukan dilihat secara materi seperti kemampuan antar kelas ekonomi dalam mengakses pelayanan kesehatan. Namun, kondisi ekonomi juga akan berpengaruh terhadap gaya hidup dan perilaku individunya. Sehingga, dapat diperkirakan bahwa kejadian DBD yang tinggi diwilayah Pusat dan Utara Kota salah satunya dipengaruhi oleh gaya hidup status ekonomi menengah keatas. Penduduk
yang memiliki status ekonomi menegah keatas lebih
banyak terpapar dengan vektor Aedes aegypti karena aktifitas mereka yang lebih banyak digedung dan di rumah. Hal ini sejalan dengan penelitian Djati, dkk (2011) bahwa kondisi kerja yang lebih banyak duduk diam dalam gedung berisiko terkena DBD 4,930 kali dibandingkan di lapangan. Kemudian kondisi kerja yang berkeliling dalam gedung 15,719 kali berisiko terkena DBD daripada di lapangan.
125
Dalam penelitian Superiyatna (2011) mengatakan bahwa keberadaan di dalam rumah yang lama merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian DBD. Hal tersebut dikarenakan menurut Kemenkes RI (2011) nyamuk menghisap darah dan beristirahat di dalam dan sekitar rumah atau bangunan. Sehingga kejadian penularan DBD banyak terjadi pada orang yang banyak aktifitasnya di dalam ruangan. Sejalan dengan penelitian Chandra (2010) mengatakan bahwa DBD menyerang semua kelompok golongan. Orang yang miskin mengakibatkan orang tidak mempunyai kemampuan untuk menyediakan rumah yang layak dan sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah yang benar. Akan tetapi,
DBD juga bisa menyerang penduduk yang lebih
makmur karena intensitas mereka dalam rumah. Oleh sebab itu, untuk daerah yang banyak memiliki kelompok penduduk kelas ekonomi kebawah, dapat di intervensidengan perbaikan lingkungan seperti perbaikan pengelolaan sampah dan perilaku 3M. Kelompok menengah keatas merupakan kelompok yang biasanya sulit untuk diintervensi karena sifat individualisme pada kelompok tersebut. Seperti yang terjadi dibeberapa Ibu Kota bahwa di dalam perumahan elit biasanya tidak ada warga yang menjadi kader jumantik. Padahal dengan adanya kader jumantik minimal mampu menekan angka kasus penyakit demam berdarah di perumahan tersebut(beritajakarta.com, 2014). Oleh karena itu,pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Palembang, dapat melakukan pendekatan dengan penduduk kelas ekonomi menengah 126
keatas dengan cara mengajak mereka menjadi kader. Menurut pengamatan peneliti, para ibu dari ekonomi menengah ketas di perumahan elit banyak yang tidak bekerja (ibu rumah tangga). Dengan demikian mereka yang berasal dari kelas ekonomi keatas dapat diajak. Ibu-ibu tersebut akan mudah juga mengintervensi sesama kelompok mereka. Selain menjadikan kader, Dinas Kesehatan Kota Palembang juga bisa memberikan funishment/hukuman pada setiap rumah yang ditemukan jentik. Disetiap pemeriksaan jentik berkala, kader mencatat rumah-rumah yang ditemukan jentik. Hasil pemeriksaan tersebut segera dilaporkan kepada ketua RT. Rumah yang ditemukan jentik kemudian diberikan hukuman. Bentuk hukuman bisa mencontoh dari program PSN 60 menit Kota Mojokerto, yaitu memberikan bendera merah pada rumah tersebut. Dengan demikian pemilik rumah akan merasa malu dan segera membersihkan rumahnya dari jentik.
127
BAB VII PENUTUP 7.1 Simpulan 1. Distribusi kejadian DBD di Kota Palembang secara spasial banyak terjadi di wilayah Pusat Kota, dan Bagian Utara Kota. Sedangkan secara temporal (trend) terjadi penurunan kasus DBD selama 5 tahun terakhir dengan IR 71,25 per 100.000 penduduk pada tahun 2009 menjadi 34,85 per 100.000 penduduk pada tahun 2013. 2. Distribusi kejadian DBD berdasarkan angka bebas jentik terlihat wilayah kerja puskesmas yang dikategorikan angka bebas jentiknya rendah menunjukkan IR DBD-nya tinggi. Secara temporal (trend) terjadi peningkatan proporsi wilayah kerja puskesmas yang angka bebas jentiknya tinggi diiringi dengan IR DBD yang semakin menurun. 3. Distribusi kejadian DBD berdasarkan kepadatan penduduk terlihat wilayah kerja puskesmas yang dikategorikan kepadatan tinggi menunjukkan IR DBD-nya tinggi. Secara temporal (trend) terjadi peningkatan kepadatan penduduk yang tinggi diiringi dengan IR DBD yang semakin menurun. 4. Distribusi kejadian DBD berdasarkan rumah sehat terlihat wilayah kerja puskesmas yang dikategorikan banyak rumah sehat menunjukkan IR DBDnya tinggi. Secara temporal (trend) terjadi penurunan proporsi wilayah kerja puskesmas yang memiliki banyak rumah sehat diiringi dengan IR DBD yang semakin menurun.
128
5. Distribusi kejadian DBD berdasarkan derajat kumuh terlihat wilayah kerja puskesmas yang dikategorikan kumuh berat menunjukkan IR DBD-nya rendah yaitu hanya sebanyak 14%. 6. Distribusi kejadian DBD pada wilayah kerja puskesmas yang dikategorikan proporsi penduduk miskin rendah menunjukkan IR DBD yang tinggi. Secara temporal (trend) terjadi penurunan jumlah puskesmas yang memiliki persentase penduduk miskin yang tinggi. 7.2 Saran 7.2.1 Dinas Kesehaatan Kota Palembang 1. Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kota Palembang untuk melakukan intervensi pencegahan penyakit Demam Berdarah Dengue di wilayah prioritas yaitu Pusat Kota dan ke Utara Kota. Intervensi tersebut berupa: a. Terus menggalakkan kegiatan GERTAK PSN DBD dengan kolaborasi PSN 60 Menit. Dalam kegiatan ini difokuskan pada pelestarian iwak tempalo, peranserta kader danmenerapkan hukuman bagi rumah yang memiliki jentik seperti memberikan bendera merah pada rumah tersebut b. Diperlukan modifikasi lingkungan dengan mencanangkan suatu program penatalaksanaan lingkungan. Kegiatan tersebut seperti perbaikan suplai dan penyimpanan air agar masyarakat tidak menampung air pada wadah-wadah yang besar c. Melakukan pendekatan dengan masyarakat kelas ekonomi keatas dengan cara mengajak para ibu menjadi kader. Dengan demikian 129
mereka yang berasal dari kelas ekonomi keatas akan mudah juga mengintervensi sesama kelompok mereka. Selain itu juga perlu diterapkannya hukuman bagi warga yang ditemukan jentik pada tandon airnya. 2. Melakukan siap siaga terhadap siklus 5 tahunan ini. Hendaknya masyarakat diberikan penyuluhan dan juga diajak untuk bersiap siaga terhadap siklus ini. Siap siaga ini berupa kegiatan SKD-KLB dengan melaksanakan
kegiatan
penyelidikan
epidemiologi
(PE)
dan
penanggulangan seperlunya meliputi foging fokus, penggerakan masyarakat dan penyuluhan untuk PSN serta larvasidasi. 7.2.2
Peneliti Selanjutnya Saran yang dapat diberikan untuk peneliti selanjutnya yaitu melakukan penelitian lebih lanjut dengan pendekatan desain studi kasus tentang faktor-faktor yang menyebabkan kelompok masyarakat di Seberang Ilir lebih rentan terkena DBD dibandingkan wilayah dibagian Seberang Ulu. Kemudian juga bisa disarankan untuk melakukan penelitian deskriptif untuk menganalisis pola epidemiologi DBD di Kota Palembang. Penelitian dapat dilakukan dengan memperpanjang waktu penelitian hingga 15-20 tahun untuk melihat pola 5 tahunan epidemik DBD.
130
DAFTAR PUSTAKA Achmadi, U. F. (2011). Dasar-dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Adifian. (2013). Kemampuan Adaptasi Nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus Dalam Berkembang Biak Berdasarkan Jenis Air. Kesehatan Lingkungan FKM UNHAS . Admiral. (2007). Analisis Sapsial Area Makam dan Faktor Resiko Lainnya Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kota Administrasi Jakarta Selatan. Tesis . Annas, K. (2013). Perancangan Sistem Informasi Geografis Untuk Surveilans Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Wilayah Kota Yogyakart. Naskah Publikasi STMIK Yogyakarta . Astuti, H. D. (2010). Perancangan program aplikasi SIG pada daerah-daerah yang terkena demam berdarah dengue (DBD). Badan
Perencanaan
Pembangunan
Nasional.
(2006).
Kajian
Kebijakan
Penanggulangan (Wabah) Penyakit Menular Studi Kasus DBD. Beritajakarta.com. (2014, Maret 8). Website Resmi Pemprov DKI Jakarta. Dipetik Juli 6, 2014, dari Warga Perumahan Elit di Jakbar Terserang DBD: http://beritajakarta.com/read/893/Warga_Perumahan_Elit_di_Jakbar_ Terserang_DBD
131
Bidang PMK Dinkes Kota Palembang. (2013). Laporan Mingguan Kasus Demam Berdarah. Palembang: Dinkes Kota Palembang. BMKG. (2008). Laporan Iklim Kota Palembang. Boekoesoe, L. (2013). Kajian Faktor Lingkungan Terhadap Kasus Demam Berdarah Dengue (dbd) (studi Kasus Di Kota Gorontalo Provinsi Gorontalo). Disertasi, Universitas Gadjah Mada . Boewono, D. T., Ristiyanto, Widiarti, & Widyastuti, U. (2012). Distribusi Spasial Kasus Demam Berdarah Dengue, Analsiis Indeks Jarak dan Alternatif Pengendalian Vektor di Kota Samarinda Provinsi Kalimantan Timur. Media Litbang Kesehatan vol 22 . BPS. (2008). Kemiskinan di Indonesia. Budiyanto, E. (2002). Sistem Informasi Geografis Menggunakan ARC VIEW GIS. Yogyakarta: Andi Yogyakarta. Bustan, M. (2006). Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta. Candra, A. (2010). Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor Risiko Penularan. Aspirator Vol 2 . Chandra, B. (2009). Ilmu Kedokteran Pencegahan & Komunitas. Jakarta: EGC. Depag RI. (2014). Tafsir Surat : At-Taubah. Dipetik Juli 5, 2014, dari http://users6.nofeehost.com/alquranonline/Alquran_Tafsir.asp?pageno =6&SuratKe=9
132
Depkes RI. (2007). Survai Entomologi Demam Berdarah Dengue. Pedoman . Depkes RI. (2012). Survai Entomologi Demam Berdarah Dengue. Dinkes Sumsel. (2010). Profil Kesehatan 2010. Dipetik 05 22, 2013, dari http://www.depkes.go.id/downloads/profil_kesehatan_prov_kab/profil _kes_sumsel_2010.pdf Direkektorat kesehatan dan gizi masyarakat. (2006). Laporan kajian kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular. Laporan akhir kajian . Djati, A. P., Rahayujati, B., & Raharto, S. (2010). Faktor Resiko Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunung Kidul Provinsi DIY Tahun. Prosiding Seminar Nasional Kesehatan ; Balai Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang Banjarnegara . Erliyanti. (2008). Hubngan Lingkungan Fisik Rumah dan Karakteristik Individu Terhadap Kejadian DBD Di Kota Metro Tahun 2008. Tesis . Febriyanti, F. (2006). Kebiasaan Makan dan PHBS pada Penderita DBD dan Non DBD di Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Skripsi . Firmansyah, E. (2007). Demam Berdarah, Kemiskinan, dan Kesehatan ProRakyat. Institute of Reaseach Social Politic and Democracy Jakarta .
133
Fitriyani. (2007). Penentuan Wilayah Rawan Demam Berdarah Dengue di Indonesia dan Analisis Pengaruh Pola Hujan Terhadap Tingkat Serangan. Skripsi . Ginanjar, G. (2004). Demam Berdarah. Jakarta: PT Mizan Publika. Gumelar, D. (2007). Data Spasial. Komunitas eLearning IlmuKomputer.Com. Gunawan, A. T. (1995). Beberapa Faktor Lingkungan Rumah yang Berhubungan Dengan Kejadian Rumah Positif Jentik Nyamuk Penular Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kelurahan Depok Jaya dan Kelurahan Mampang Kotik, Depok 1995. Tesis . Haning, F. W. (2004). Kejadian DBD dengan Faktor-faktor yang berhubungan di tingkat kelurahan di Kotamadya Jakarta Utara tahun 2003. Skripsi . Hartono. (2007). Geografi : Jelajah Bumi dan Alam Semesta. Bandung: Citra Praya. Haryadi, D. (2007). Analisis Spasial Penyakit DBD Kabupaten Karawang Tahun 2005-2007. Tesis . Hashim et al. (2009). Distribution pattern of a dengue fever outbreak. Journal of Enviromental Health Research . Hasyim, H. (2009). Analisis Spasial DBD Di Provinsi Sumatera Selatan 20032007. Jurnal Kesehatan Indonesia .
134
Hidayati, R. (2008). Sebaran Daerah Rentan Demam Berdarah Penyakit DBD Menurut Keadaan Iklim dan Non Iklim. Hidayatullah, A. F. (2010). Aplikasi Sistem Informasi Geografis Untuk Penanganan Penyebaran Penyakit Demam Berdarah. Skripsi . Irwansyah, E. (2013). Sistem Informasi Geografis : prinsip dasar dan pengembangan aplikasi. Yogyakarta: Digibooks. Kemenkes RI. (2010). Profil Kesehatan Indonesia 2009. Kemenkes RI. (2011). Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue. Kemenkes RI. (2011). Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Pedoman . Kemenkes RI. (2012). Profil Kesehatan Indonesia 2011. Kemenkes RI. (2011). Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2010. Dalam Pengendalian Penyakit Arbovirus (hal. 143). Jakarta: Kemenkes RI. Kemenristek. (2013). Analisis Spasial. Modul 3 . Kurniasih, S. (2007). Usaha Perbaikan Pemukiman Kumuh Di Petukangan Utara Jaksel. Lasut, D. (2009). Karakteristik Dan Pergerakan Sebaran Penderita DBD Berdasarkan Geographic Information System Sebagai Bagian Sistem
135
Informasi Surveilans di Kecamatan Karawang Barat Kabupaten Karawang Provinsi Jawa Barat. Loka Litbang P2B2 Ciamis . Lawson, A. B. (2005). Statistical Methodos In Spatial Epidemiology. British: John Wiley & Sons, Ltd (British Library Catologuing in Publication Data). Mashoedi, I. D. (2009). Detesi Virus Dengue pada Telur Nyamuk Aedes spesies di Daerah Endemis DBD (Studi Kasus di Kota Semarang). Sains Medika, Vol.1,No.1 . Meylia, I. T. (2007). Deskripsi Epidemiologi dan Faktor Risiko kepadatan penduduk dan ketinggian wilayah sebagai determinan dari kejadian DBD di Kabupaten Tanah Datar, Sematera Barat tahun 2007. Skripsi . Musadad, A. (1997). Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Insiden Demam Berdarah Dengue di Tingkat Kelurahan di Wilayah Jakarta Timur. Balitbangkes Depkes RI . Musadad, A. (1996). Kesehatan Lingkungan dan Kemiskinan. Media Litbangkes . Muyono. (2002). Hubungan iklim dengan kejadian penyakit demam berdarah di kota Palembang tahun 1998-2002. Tesis . Nadesul, H. (2004). 100 Pertanyaan + Jawaban Demam Berdarah. Jakarta: Kompas.
136
Octaviana, D. (2007). Faktor Risiko Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kecamatan Purwodadi Kabupaten Grobogan Jawa Tengah'. Tesis . Pekerjaan Umum RI. (2012). Peta Infrasturktur Kota Palembang. Dipetik Mei 2014, 01, dari http://loketpeta.pu.go.id/peta/peta-infrastruktur-kotapalembang-2012/ Prahasta, E. (2009). Sistem Informasi Geografis : Konsep-konsep Dasar. Bandung: Informatika. Prasetyo, A. (2011). Analisis Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan. Prastiarso, A. (2006). Hubungan Faktor Kependudukan dan Angka Bebas Jentik Dengan Insiden DBD di Kabupaten Bogor Tahun 2004. Skripsi . PU Cipta Karya dan Perumahan. (t.thn.). Pedoman Identifikasi Kawasan Pemukiman Kumuh Daerah Penyangga Kota Metropolitan. Purwanto, H. (2012). Hubungan Kondisi kesehatan lingkungan rumah dan perilaku pencegahan DBD denagn kejadian penyakit demam berdarah di 3 kecamatan endemis DBD kabupaten karawang tahun 2012. Tesis . Rahayu, M. (2010). Studi Kohort Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue. Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 26 .
137
Rahman, A. (2009). Hubungan Antara Status Gizi Pada Balita dan Tingkat Keparahan DBD di RSU Kabupaten Cilacap (Periode 1 Januari s/d 31 Juli 2009). Tesis . Retnaningsih, E. (2004). Pengaruh Kemiskinan Konstektual Terhadap Akses Layanan Kesehatan Suspek Penderita Tuberkulosis di Indonesia. Jurnal Pembangunan Indonesia . Ruliansyah, A. (2010). Perspektif Informasi Keruangan (Geospasial) dalam Melihat Fenomena Demam Berdarah Dengue. Aspirator Vol.2 Ni.1 . Sabin, A. B. (1972). Dengue. Dalam G. W. Hunter, A Manual Of Tropical Medicine (hal. 15). Japan: W.B. Saunders Company. Santoso. (2008). hubungan Pengetahuan Sikap dan Perilaku (PSP) Masyarakt Terhadap Vektor DBD di Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol.7 No 2 . Sari, S. K. (2007). Pencapaian Program Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue di Puskesmas Sukarami Palembang. Palembang: FK UNSRI. Schmidt, W. e. (2011). Population Density, Water Supply, and the Risk of Dengue Fever in Vietnam: Cohort Study and Spatial Analysis. [online] PLoS Medicine. Volume 8 . Siagian, A. (2004). Gizi,Imunitas dan Penyakit Infeksi. Universitas Sumatera Utara .
138
Siahaan, N. H. (2004). Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Erlangga. Simanjuntak, R., Mujiwati, S., & Murtini, S. (2007). "Kecil Kotanya Tidak Kecil Semangatnya", Jumat Berseri + PSN 60 Menit, Kota Mojokerto mencegak kejadian DBD. Jakarta: Depkes RI. Siregar, F. (2004). Epidemiologi dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue Di Indonesia. USU digital library . Soegijanto, W. A. (2006). Epidemiologi Demam Berdarah Dengue. Airlangga University Press . Sofiyana, E. (2009). Analisis Spasial Penyakit DBD di Kota Depok, 2006-2008. Skripsi . Sukamto. (2007). Studi Karaketeristik Wilayah dengan Kejadian DBD di Kecamatan Cilacap Selatan Kabupaten Cilacap. Tesis . Sunardi. (2007). Deteksi Faktor Endemisitas Demam Bedarah Dengue. Tesis . Superiyatna, H. (2011). Hubungan Faktor Risiko dengan Kejadian DBD Di Kabupaten Cirebon. Tesis . Taviv, Y. (2004). Efektifitas Ikan Cupang (Ctenops Vitatus) Dalam Pengendalian Larva dan Daya Tahannya Terhadap Temephos (Uji Laboratorium dan Lapangan). Loka Litbang P2B2 Baturaja . Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). (2011). Indikator kesejahteraan Daerah Provinsi Sumatera Selatan.
139
Trihono, & Gitawati, R. (2009). Hubungan antara Penyakit Menular dengan Kemiskinan di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi . Tuman.
(2001).
Overview
GIS.
Dipetik
Mei
13,
2014,
dari
http://www.gisdevelopment.net/tutorials/ Utoyo, B. (2007). Geografi : Mmebuka Cakrawala Dunia. Bandung: PT Setia Purna Inves. Wahyono, T. Y. (2010). Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah dan Upaya Penanggulanganya di Kecamatan Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Buletin Jendela Epidemiologi . Wahyuni, N. I. (2013). faktor risiko sanitasi lingkungan rumah terhadap kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas Limboto Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo. Kim.ung.ac.id . WHO. (2010). Demam Berdarah Dengue Diagnosis, pengobatan, pencegahan dan pengendalian. Jakarta: EGC. WHO.
(2013).
Dengue.
Dipetik
05
22,
2013,
dari
http://www.who.int/topics/dengue/en/ WHO. (2005). Pencegahan dan Pengendalian Demam Berdarah. Jakarta: EGC.
140
Widiyanto, T. (2007). Kajian manajemen lingkungan terhadap DBD di kota Purwokerto jawa-tengah. Tesis . Widyawati. (2011). Penggunaan Sistem Informasi Geografi Efektif Memprediksi Potensi Demam Berdarah Di Kelurahan Endemik. Makara Kesehatan Yatim, F. (2007). Macam - Macam Penyakit Menular & Cara Pencegahanya. EGC. Zainudin. (2003). Analisis Spasial Kejadin Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kota Bekasi Tahun 2003. Tesis .
141