KAJIAN PENURUAN KUALITAS GABAH-BERAS DILUAR KUALITAS DI PROVINSI JAWA TENGAH I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Lokasi, Data dan Informasi Kajian ini dilakukan di Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Demak. Data yang digunakan meliputi data sekunder dan primer. Data sekunder di tingkat provinsi diperoleh dari instansi terkait, yakni Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Tengah, Badan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Tengah, Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Provinsi Jawa Tengah dan Bulog Divisi Regional (Divre) Jawa Tengah. Sedangkan data sekunder di tingkat kabupaten terutama diperoleh dari Dinas Pertanian dan Bulog Subdivre Semarang. Sementara itu penggalian data primer yang lebih mendalam di tingkat pedagang, penggilingan padi (RMU) dan petani di tiga desa di Kabupaten Demak, yakni: a) Desa Demung Karang Kulon, Kecamatan Wonosalam, b) Desa Sedu, Kecamatan Demak, dan c) Desa Dempet, Kecamatan Dempet. Beberapa informasi dan data yang ditelusuri antara lain: a) luas panen, produksi dan produktivitas padi, b) perkembangan harga dan kualitas gabah dan beras periode Februari hingga Mei tahun 2009 vs 2010, c) kriteria penentuan gabah dan beras, d) pengadaan gabah oleh Bulog Divre Jawa Tengah, e) curah hujan, f) luas lahan yang terkena serangan hama dan penyakit, g) luas lahan yang terkena banjir dan kekeringa dan h. alur pemasaran gabah/beras di Jawa Tengah. II. Perkembangan Komoditas Padi 2.1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Propinsi Jawa Tengah termasuk tiga besar produsen padi, secara nasional produksi padi Jawa Tengah pada tahun 2009 memberikan konstribusi sekitar 17 persen produksi padi nasional. Produksi padi sangat dipengaruhi luas panen padi dan produktivitas. Pada tabel 1 dapat dijelaskan bahwa pada musim hujan (MH) baik luas panen maupun produksi meningkat dalam kurun waktu 2007-2010 dengan tingkat pertumbuhan luas panen 9.8 persen per tahun. Sedangkan produksi meningkat 11.8 persen per tahun. Sementara untuk perkembangan luas panen dan produksi pada musim tanam kemarau (MK) dalam kurun yang sama cenderung menurun, penurunan yang signifikan adalah dari sisi luas panen dengan tingkat pertumbuhan -8.35 persen per tahun. Luas panen MK merupakan akumulasi dari MK I dan MK II, karena sebagian wilayah di Jawa Tengah, terdapat lahan sawah dengan ketersediaan air irigasinya mencukupi untuk ditanami padi, petani cenderung menanam padi pada MK II (IP padi 300), seperti yang ditemukan di Sragen dan Klaten. Walau luas panen MK merupakan akumulasi dua musim, namun luas panen pada MK tidak selalu lebih besar dibanding pada MH antara lain karena pada musim tersebut sebagian lahan ditanami komoditas non padi, terutama pada MK II seperti palawija dan sayuran, bahkan sebagian lahan pada MK II diberakan, terutama untuk lahan yang terbatas ketersediaan air irigasinya pada MK, Produktivitas padi rata-rata di Jawa Tengah antar musim relatif sama yakni 55.16 kuintal per Hektar pada MH dan 55.54 kuintal pada MK.
Tabel 1. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi di Provinsi Jawa Tengah, 2007 – 2010 Tahun
Luas Panen (ha) MH
MK
Produksi GKG (ton) MH
MK
Produktivitas (ku/Ha) MH
MK
2007
629386
984712
3381250
5235605
53.72
54.00
2008
802573
856741
4393479
4742926
54.74
55.59
2009
822497
902537
4560509
5039906
55.45
56.63
2010*
817510
745442
4637734
4170551
56.73
55.95
767992
872358
4243243
4797247
55.16
55.54
9.80
-8.35
11.81
-6.80
1.83
1.21
Rataan Pertumbuhan (%/th)
Keterangan : * 2010 = Data tahun 2010 adalah sampai dengan bulan Agustus. Sumber : BPS Jawa Tengah Untuk melihat dinamika luas panen per bulan selama enam tahun terakhir, dapat ditunjukkan pada gambar 1, tampak bahwa puncak panen raya pada MH terjadi pada bulan Februari-Maret, sementara pada MK terjadi pada Juni-Juli. Biasanya pada masa tersebut harga gabah di petani cenderung rendah, dibanding di bulan lainnya. Bulan panen pada periode tahun 2005, 2006, 2008, 2009 dan 2010 mempunyai pola yang sama yaitu Februari-Maret, sedangkan pada tahun 2007 bergeser atau mengalami keterlambatan panen, hal ini karena terjadi kemarau panjang sehingga musim tanam padi pada tahun tersebut juga bergeser akibatnya masa panen juga berubah.dengan puncak panen raya jatuh pada bulan Maret-April. Data produktivitas atau produksi padi tidak tersedia bulanan, tetapi menurut subroun (per empat bulanan) atau per musim, sehingga untuk analisis produksi bulanan dapat didekati dengan besarnya luas panen dan produktivitas per subroun periode yang sama. Dengan demikian produksi berbanding lurus dengan luas panen, makin besar luas panen berarti makin tinggi produksi padi.
Gambar 1. Perkembangan Luas Panen Padi di Provinsi Jawa Tengah, 2005 – 2010
Keragaan perkembangan luas panen dan produksi padi di Kabupaten contoh berbeda dengan kondisi rata-rata di Jawa Tengah. Bila di Jawa Tengan perkembangan luas panen dan produksi padi cenderung menurun pada MK, hal yang berbeda ditemukan di Kabupaten Demak, tingkat pertumbuhan luas panen, produksi dan produktivitas meningkat selama kurun waktu 2007 -2010, baik untuk MH maupun MK. Tingkat pertumbuhan luas panen dan produksi masing-masing meningkat 4.46 dan 4.88 persen per tahun pada masa MH, sedangkan pada MK tingkat pertumbuhan luas panen meningkat 7.58 persen per tahun dan produksi meningkat 8.81 persen per tahun. Sementara untuk produktivitas meningkat dengan tingkat pertumbuhan 0.51 persen per tahun dan 1.48 persen per tahun pada periode yang sama. Rata-rata produktivitas padi pada MH cenderung lebih tinggi dibanding pada MK, menurut petani pada musim tersebut ketersediaan air cukup, sementara pada MK relatif berkurang. Tabel 2. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, 2007 – 2010 Tahun
Luas Panen (ha) MH
MK
Produksi GKG (ton) MH
MK
Produktivitas (ku/Ha) MH
MK
2007
44595
46,921.00
249820
252,587.00
56.02
53.85
2008
46187
46,358.00
267216
276,044.00
57.86
57.82
2009
46959
50,651.00
281595
291,680.21
59.97
59.84
2010*
50780
58,086.66
288075
325,194.52
56.73
55.98
47130
50504
271677
286376
57.64
56.87
4.46
7.58
4.88
8.81
0.51
1.48
Rataan Pertumbuhan (%/th)
Keterangan : * 2010 = Data tahun 2010 adalah sampai dengan bulan Agustus. Sumber : BPS Jawa Tengah
Gambar 2. Perkembangan Luas Panen Padi di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, 2007 – 2010
Pada gambar 2 menunjukkan perkembangan luas panen di Kabupaten Demak, dari gambar tersebut mengilustrasikan bahwa panen puncak pada bulan Februari –Maret untuk MH, sedangkan pada MK terjadi pada Juni-Juli. Dari grafik tersebut juga dapat dijelaskan bahwa masa panen raya antar tahun terdapat pergeseran, seperti pada tahun 2009 untuk MH terbanyak luas panen terdapat pada Februari. Biasanya pada masa tersebut harga gabah di petani cenderung rendah, dibanding di bulan lainnya. Bulan panen pada periode tahun 2005, 2006, 2008, 2009 dan 2010 mempunyai pola yang sama yaitu Februari-Maret, sedangkan pada tahun 2007 bergeser atau mengalami keterlambatan panen, hal ini karena terjadi kemarau panjang sehingga musim tanam padi pada tahun tersebut juga bergeser akibatnya masa panen juga berubah.dengan puncak panen raya jatuh pada bulan Maret-April. Keragaan luas panen dan produksi di Kabupaten Demak pada tahun 2007 relatif sama dengan rata-rata Jawa Tengah, pada tahun tersebut rataan luas panen relatif rendah akibat kemarau panjang. Pada kondisi tahun 2010 fenomena dinamika luas panen relatif sama dengan kondisi tahun 2007, hanya pada tahun 2010 justru adanya perubahan cuaca/iklim, curah hujan dan hari hujan relatif tinggi, juga meluasnya serangan OPT berdampak pada berkurangnya luas panen dan produksi padi. 2.2. Perkembangan Harga Aktual dan HPP Gabah (GKP dan GKG) Harga Pembelian Pemerintah (HPP) merupakan dasar pembelian Bulog dalam menyerap gabah/beras melalui mitra kerharga maupun satgas Bulog. Selama ini HPP ditetapkan melalui INPRES yang tiap tahun diperbarui. Tabel 3 menyajikan analisis perkembangan harga aktual dan HPP selama kurun waktu 2007-2010. Kenaikan HPP rata-rata sekitar 9-10 persen per tahun, sedangkan untuk kenaikan harga aktual di petani tidak mempunyai pola tertentu. Antara tahun 2007-2008 kenaikan harga mencapai 15.17 persen, sementara kenaikan antara 2008-2009 hanya 2.32 persen dan antara 2009-2010 justru mengalami penurunan (0.32 persen). Namun demikian harga aktual GKP rata-rata di petani cenderung lebih tinggi dibanding HPP pada periode yang sama. Berdasarkan hasil analisis pada tabel 3 selama periode 2007-2010, menunjukkan bahwa selisih harga aktual dan HPP semakin kecil. Untuk produk GKG, kenaikan HPP GKG tiap tahun 7-10 persen, persentase kenaikan ini lebih rendah dibanding kenaikan HPP GKP. Namun demikian selisih HPP dan harga GKG aktual lebih rendah, di lapang harga rata-rata GKG aktual di tingkat petani cenderung lebih rendah dibanding HPP GKG yang berlaku, kecuali pada periode Mei-Desember 2008. Rendahnya harga aktual tersebut karena kualitas atau kadar air yang tidak sesuai standar kualitas pembelian Bulog. Tingginya kadar air gabah yang diproduksi menyebabkan kualitas rendah akibatnya harga yang diterima petani juga relatif rendah.
Tabel 3 Perkembangan Harga Aktual dan HPP Gabah (GKP dan GKG) di Provinsi Jawa Tengah, 2007 – 2010 Uraian HPP GKP Persentase Kenaikan Harga Aktual GKP Petani Persentase Kenaikan Harga Aktual GKP Petani-HPP GKP Persentase terhadap HPP GKP HPP GKG
Apr 07-Apr 08 2,000 -
Mei-Des 08
Jan-Des 09
Jan-Agt '10
2,200 10.00
2,400 9.09
2,640 10.00
2,612
2,672
2,664
15.17
2.32
(0.32)
268.00
412.01
272.49
24.00
13.40
18.73
11.35
0.91
2,575
2,800 8.74
3,000 7.14
3,300 10.00
2,541
2,863
2,841
2,612
8.11
8.11
8.11
(34.00)
63.44
(159.20)
(687.99)
(1.32)
2.27
(5.31)
(20.85)
1.29
1.27
1.25
1.25
1.12 4000
1.10 4300 7.50
1.06 4600 6.98
0.98 5060 10.00
4,327
4,757
4,928
5,471
43,00
17,10
54,30
2,268
Persentase Kenaikan Harga Aktual GKG Petani Persentase Kenaikan Harga Aktual GKG Petani-HPP GKG Persentase terhadap HPP GKG Rasio HPP GKG : HPP GKP Rasio Harga aktual GKG Penggilingan-Harga Aktual GKP Harga Beras Medium Persentase Kenaikan Harga Beras di Pasar Semarang Persentase Kenaikan
Sumber : Bulog Divre Jawa Tengah (diolah) Ganbar 3. menyajikan perkembangan Harga Aktual bulanan dan HPP Gabah (GKP dan GKG) di Provinsi Jawa Tengah, 2007-2010. Bila dibandingkan harga aktual bulanan terhadap HPP menurut periode pemberlakuan HPP tampak bahwa harga aktual GKP cenderung di atas HPP yang berlaku, selisih yang besar terutama pada bulan September-Januari, pada bulanbulan tersebut sangat langka ketersediaan gabah/GKP di pasaran karena tidak ada panen. Kasus pada panen raya (Februari-April) tahun 2010 harga rata-rata aktual di pasaran relatif lebih rendah dibanding HPP yang berlaku. Kondisi ini terutama disebabkan kualitas gabah
yang diproduksi petani kurang baik akibat serangan OPT dan kadar air yang tinggi. Pada panen MH curah hujan tinggi, sehingga gabah yang dipanen relatif basah atau kadar air tinggi.
Grafik 3. Perkembangan HPP dan Harga Aktual GKP dan GKG di Provinsi Jawa Tengah, 2007 – 2010 Perkembangan harga GKG pada kurun waktu Apriil 2007 sampai Juli 2009 cenderung stabil mendekati HPP, namun pada rentang waktu September 2009 – Juli 2010 terjadi fluktuasi harga yang besar, bahkan harga GKP pada bulan september 2009 harga GKG turun drastis dan semakin meningkat sampai melebihi HPP, namun pada masa panen raya padi harga aktual GKG menurun bahkan pada bulan Maret-Mei rata-rata dibawah HPP GKG. Pada umumnya masa panen raya MH terganggu dalam proses pengeringan, karena sebagian besar pengeringan dilakukan dengan cara penjemuran dengan mengandalkan panas matahari, hal ini dialami pada MH tahun 2010, sehingga gabah yang diperoleh dari hasil pengeringan yang tidak sempurna tersebut menyebabkan kualitas gabah kering juga rendah, akibatnya harga yang diterima juga rendah. 2.3. Pemasaran Gabah dan Beras Daerah Jawa Tengah sebagai sentra produksi padi, tiap tahun mengalami surplus produksi. Tingginya surplus produksi di wilayah ini tentunya akan terjadi pemasaran produk tersebut ke luar daerah. Menurut Badan Ketahanan Pangan Jawa Tengah pada tahun 2010 tercatat 2 804 755 ton, kelebihan tersebut diperdagangkan ke luar daerah bahkan antar pulau. Sebagai ilustrasi alur beras Jawa Tengah, gambar 4 dan 5 dapat menjelaskan fenomena pemasaran beras dari Jawa Tengah kemana saja beras tersebut diperdagangkan dan beras yang masuk ke Kabupaten Demak. Pada gambar 4 menjelaskan alur beras yang keluar antar pulau, jumlah yang dominan adalah dengan tujuan utama ke Pulau Kalimantan terutama ke Pontianak. Sementara data yang tercatat melalui jembatan timbang merupakan alur keluar masuknya beras dari dan ke Kabupaten Demak. Namun demikian data tersebut terbatas yang termonitor dan tercatat di jembatan timbang dan pelabuhan Tanjung Mas, sementara gabah/beras yang tidak melewati kedua tempat tersebut tidak tercatat.
Gambar 4. Alur distribusi beras di Jawa Tengah yang tercatat di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Tahun 2010 Sumber : Badan Ketahanan Pangan Jawa Tengah (2010)
Gambar 5. Alur distribusi beras di Jawa Tengah yang tercatat di Jembatan Timbang, Tahun 2010 Sumber : Badan Ketahanan Pangan Jawa Tengah (2010) Pada umumnya petani di wilayah Demak menjual langsung hasil padinya dalam bentuk GKP dan dominan dengan sistem tebasan. Lebih dari 95 persen petani pada MH menjual sebagian besar hasil padinya dengan tebasan, petani enggan melakukan pasca panen pada MH, karena pada musim tersebut sulit melakukan proses pengeringan/penjemuran. Selain itu petani lebih berkonsentrasi untuk penyiapan tanam untuk musim berikutnya. Sementara untuk konsumsi beras umumnya petani memperoleh dengan membeli di pasar atau penggilingan padi.
Petani
GKP
Pedagang Pengumpul
Beras
RMU
‐‐Pedagang Besar (Grosir) ‐‐Bulog
Pengecer
Konsumen Gambar 6. Alur pemasaran Gabah/Beras di Kabupaten Demak, Tahun 2010 Sumber : Data Primer (2010) Untuk melihat alur pemasaran dari produsen ke konsumen dapat dilihat pada ilustrasi gambar 6 yang menggambarkan rantai pemasaran gabah/beras di Kabupaten Demak. Dari gambar tersebut dapat dikemukakan bahwa padi dari petani dibeli oleh pedagang pengumpul desa atau sebagian besar adalah penebas. Dari penebas, gabah tersebut dijual ke RMU, sebagian penebas ada yang melakukan proses pengeringan dan sebagian langsung dijual dalam bentuk GKP. Beberapa penebas besar, umumnya memproses gabahnya tersebut menjadi beras dengan memanfaatkan jasa RMU, kemudian pedagang tersebut langsung memasarkan berasnya sesuai pasar yang biasa dituju, sebagian besar sudah mempunyai pelanggan tetap. Sebagai informasi bahwa RMU dapat berperan hanya sebagai penjual jasa, artinya menyediakan jasa sewa lantai jemur dan jasa penggilingan, bahkan beberapa RMU besar menyediakan juga jasa gudang. Hal tersebut ditunjukkan pada gambar 6 yang berupa garis putus-putus, ini memperlihatkan bahwa pedagang pengumpul memanfaatkan RMU hanya sebagai penyedia jasa penggilingan. Sementara beberapa RMU selain menyediakan jasa juga merangkap sebagai pedagang. Untuk kasus ini biasanya RMU mempunyai beberapa kaki tangan yang berfungsi sebagai pencari bahan baku (gabah). Kaki tangan ini sebagian besar adalah penebas, biasanya kaki tangan ini diberi modal opersional untuk mencari bahan baku gabah. Penebas inilah yang melakukan transaksi pembelian gabah baik di Kabupaten Demak sendiri maupun ke luar kota, dimana wilayah tersebut terdapat panen padi. Dari penebas inilah gabah dari luar kabupaten antara lain dari Kendal, Sragen, Ngawi, Bojonegoro dan sebagainya masuk ke wilayah Demak. Sebaliknya gabah dari Demak sebagian juga dibeli oleh pedagang dari luar kabupaten (Karawang, Subang dsb), pergerakan perdagangan gabah terjadi antar wilayah biasanya sesuai dengan waktu panen di wilayah masing-masing, bila di daerah Demak panen maka banyak pedagang luar daerah masuk ke Demak, dan sebaliknya bila pasokan gabah di Demak kurang maka gabah dari daerah lain masuk. Mengingat daerah Demak terdapat RMU. Pedagang besar rekanan Dolog, menjual dalam bentuk gabah sesuai kualitas GKG yang tertera dalam Inpres Perberasan yaitu kadar air maksimum 14 persen dan kadar hampa/kadar kotoran maksimum 3 persen. Harga yang diterima pedagang dari penyetoran GKG ke Dolog hanya satu harga, sesuai dengan Inpres Perberasan sebesar Rp. 3.345/kg.. Sedangkan bagi pedagang rekanan yang mempunyai kontrak giling dengan pihak Dolog menerima kerjasama giling gabah yang telah disetorkan tersebut menjadi beras. Dengan pembelian gabah basah dari petani sebesar Rp. 2.500/kg, rendemen GKG beras sebesar 65
persen dan HPP beras berdasarkan Inpres No. 7/2009 adalah sebesar Rp. 5.060/kg, maka besar keuntungan penjualan per kg beras mencapai Rp. ...(Tabel 4). Tabel 4. Marjin Keuntungan Pedagang Beras Rekanan Dolog di Kabupaten Karawang, 2010 (Rp/kg). No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Uraian Pembelian GKP dari Petani Biaya pengumpulan gabah Biaya Buruh Bongkar Muat Ongkos Angkut Biaya "agen" Biaya Penjemuran Ongkos Giling dan tenaga kerja Biaya Buruh Muat Ke Truk Biaya lain-lain Ongkos Angkut Ke Gudang Dolog Rendemen Gabah Ke Beras (%) HPP Beras
Marjin Keuntungan Sumber : Primer, 2010.
Nilai 2.450 40 20 35 60 20 187 14 10 50 0,65
Jumlah 2490 2510 2545 2605 2625 2812 2826 2836 2886
Jenis Produk GKP GKP GKP GKP GKP GKG Beras Beras
5.060
Beras Beras Beras
217
Beras
Bila dilihat perkembangan harga di tingkat petani berdasarkan monitoring dan pengamatan BPS Kabupaten Demak selama Februari-Mei 2010 menunjukkan seperti yang disajikan pada Tabel 5. Dalam rentang waktu tersebut, harga rataan terendah terjadi pada bulan Februari yaitu Rp 2450/Kg, lebih rendah Rp 190 dibanding HPP. Tingkat harga yang rendah tersebut sesuai dengan kualitas gabah yang diperjual belikan yakni kadar air sekitar 27.6 % dan kadar hanya mencapai 33 %. Tingginya kadar hampa tersebut terutama akibat serangan OPT. Bulan Februari-Maret merupakan masa panen raya di wilayah Demak, sehingga masih ada petani yang menerima harga dibawah HPP, bahkan pada Bulan April harga rata-rata GKP di tingkat petani masih dibawah HPP, pada hal dari sisi kualitas relatif bagus kadar air rata-rata 14 % dan kadar hampa sekitar 7.8 %. Dilihat dari kualitas (dari indikator kadar air dan kadar hampa) gabah yang dipanen bulan April relatif bagus dibanding hasil panen Februari-Maret, pada bulan tersebut curah hujan lebih rendah dibanding bulan Februari-Maret, dengan demikian tingkat kekeringan GKP lebih baik bahkan cenderung kadar air tersebut bisa dikategorikan GKG. Pada bulan tersebut panen juga sudah berkurang, tingkat harga relatif stabil (Rp 2700/Kg), walaupun dengan kualitas yang berbeda.
Tabel 5. Perkembangan Harga dan Kualitas GKP Tingkat Petani di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Februari – Mei, 2010 No
Bulan
Level Harga
Harga GKP di Petani (Rp/kg)
1 Februari
Rataan 2688 Tertinggi 2800 Terendah 2450 2 Maret Rataan 2700 Tertinggi 2800 Terendah 2600 3 April Rataan 2620 Tertinggi 2650 Terendah 2600 4 Mei Rataan 2700 Tertinggi 2700 Terendah 2700 Sumber : BPS Propinsi Jawa Tengah, 2010
Kadar Air (%) 23.33 15.30 27.60 15.27 14.63 15.67 13.77 13.43 14.02 17.71 15.12 20.30
Kadar Hampa (%) 15.62 9.34 33.00 10.00 9.66 10.62 7.83 6.68 9.15 7.02 6.03 8.00
HPP GKP (Rp/kg) 2640 2640 2640 2640 2640 2640 2640 2640 2640 2640 2640 2640
Diatas HPP (Rp/kg) 48 160 -190 60 160 -40 -20 10 -40 60 60 60
2.4. Penentuan Kriteria Dalam Transaksi Gabah di Tingkat Petani Kualitas gabah ditentukan dari berbagai variabel, standar kualitas secara kuantitatif yang diacu oleh Bulog adalah kadar air, kadar hampa dan kadar kotoran (jerami), makin kering dan makin bernas serta semakin sedikit kotoran adalah makin baik. Kualitas gabah yang dihasilkan petani di Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Demak mengalami penurunan pada empat musim terakhir, dua tahun berturut-turut (2009-2010). Penyebab menurunnya kualitas terutama karena serangan hama (wereng), tingkat serangan hama tahun 2010 termasuk paling parah. Petani menginginkan bibit varietas baru yang tahan serangan wereng untuk memutus siklus hama tersebut. Coverage area yang terkena serangan meluas, baik daerah pantura maupun daerah bagian selatan Jawa Tengah bahkan hingga Ngawi yang topografinya terrasering juga terkena serangan hama tersebut. Selain itu faktor curah hujan tinggi menyebabkan penurunan kualitas gabah. Tabel 6. Kriteria Penentuan Gabah Basah dan Gabah Kering Secara Visual Berdasarkan Persepsi Petani No. 1. 2. 3. 4.
Kriteria Kualitas Warna Umur Panen Kotoran Jerami Gabah diremas atau ditimbangtimbang dengan tangan
5.
Kadar air
Derajat Kualitas Kuning cerah (tidak ada warna kehitaman) 112 – 117 Hari Makin sedikit makin baik Jika gabah diremas berbunyi “kres” (artinya gabah bernas/berisi dan tidak hampa), makin berat makin baik Makin kering makin bagus
Kualitas gabah selain mengikuti indikator variabel kuantitas, petani juga dapat memberikan kriteria kualitas gabah yang baik secara visual. Gambaran derajat kualitas yang baik menurut persepsi petani disajikan pada Tabel 6. Dari sisi warna gabah disebutkan bahwa kualitas yang baik mempunyai warna kuning cerah, tidak ada noda hitam. Gabah yang
terserang OPT biasanya warna kuning pucat dan terdapat noda atau bercak hitam kadang juga putih. Kualitas secara visual tersebut juga dipakai acuan harga dalam pembelian gabah oleh pedagang. Umur panen biasanya tergantung jenis varietas yang ditanam, karena varietas tertentu ada yang berumur pendeh/genjah dan ada yang berumur panjang. Namun demikian karena pada umumnya petani di Kabupaten Demak menanam jenis IR 64 dan Ciherang, maka menurut petani umur yang optimal agar diperoleh gabah yang baik adalah berkisar 112 – 117 hari. Bila umur panen muda (<112 hari) maka hasil gabah tersebut bila diproses menjadi beras maka akan diperoleh beras dengan kadar patah (broken) lebih banyak. Demikian halnya untuk panen yang sudah lewat kisaran umur tersebut, butiran beras yang dihasilkan cenderung rapuh, sehingga butiran beras banyak yang patah. Dari sisi kotoran (jerami ikutan) semakin sedikit semakin baik. Proses perontokan sangat mempengaruhi besar kecilnya kotoran. Perontokan dengan menggunakan power threser yang dilengkapi dengan blower, diperoleh hasil yang lebih baik, karena kotoran jerami ikutan relatif sedikit. Sebaliknya bila menggunkan pedal threser, maka kotoran jerami yang terikut di gabah tersebut relatif lebih banyak dibanding dengan menggunakan power threser. Kondisi yang ditemukan di lapang masih dominan menggunakan threser pedal, karena ketersediaan power threser masih terbatas, kurang dari 30 % petani yang menggunkannya. Secara visual untuk menentukan kualitas baik tidaknya juga dapat dilakukan dengan menggenggam, gabah yang digenggam tersebut diremas-remas dan ditimbang-timbang. Maksud dari tes uji ini antara lain dapat diprediksi apakah gabah tersebut bernas atau sebaliknya, makin berat berarti semakin baik. Sementara untuk kadar air, secara visual terlihat semakin kering semakin bagus kualitasnya. Ada tiga kriteria menurut persepsi pedagang (Tabel , yakni : a) Kualitas 1 : penanganan packa panen perontoka dengan menggunkan power threser dg sistem blower (kadar kotoran kecil, kadar hampa rendah), rendemen 60 – 65 %, warna kuning cerah, b) Kualitas 2 : panen dengan pedal threser, rendemen 57 – 58%, warna kuning kurang cerah dan c) Kualitas 3 : panen dengan pedal threser, kadar air tinggi, gabah kena serangan OPT, rendemen 51 – 53%, warna kuning kehitaman terdapat noda hitam atau putih. Petani sulit memenuhi kriteria kekeringan kadar air 14% (jemur 2 hari) karena musim dan keterbatasan alat pengeringan (open), apalagi untuk musim panen MH, umumnya kesulitan dalam proses pengeringan, oleh karena itu sebagian besar petani menjual dengan sistem tebasan. Untuk mencapai butiran beras patah (broken) kecil juga mengalami kesulitan, padahal jika gabah terlalu kering kecenderungan patah cukup besar, dan bila diproses lebih lanjut untuk memperoleh beras putih sulit, biasanya warna agak kusam. Solusi untuk mencapai tingkat keputihan beras yang baik, dilakukan penggilingan beras dicampur dengan katul sehingga kriteria persyaratan warna putih dapat terpenuhi, namun sebaliknya mengurangi tingkat rendemen beras yang bersangkutan.
Tabel 7. Kriteria Penentuan Gabah Basah dan Gabah Kering Secara Visual Berdasarkan Persepsi Petani Kriteria Kualitas
No.
Kadar Hampa (%)
Kadar Air (%)
1.
Kualitas 1
14
2.
Kualitas 2
14 - 16
3.
Kualitas 3
Diatas 16
Warna
Tingkat Rendemen (%) 60 - 65
2
Kuning cerah
2–4
Kuning 57 – 58 kurang cerah Kehitaman, 51 - 53 terdapat bintik bekas serangan OPT
Di atas 4
Penggunaan Alat Perontokan Dengan threser blower Dengan threser pedal Dengan threser pedal
III. Indikasi Penurunan Kualitas Gabah-Beras 3.1. Luas Serangan OPT, Kebanjiran dan Kekeringan Penurunan kualitas gabah dan beras dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain oleh serangan hama dan penyakit (OPT) serta pengaruh iklim, dalam hal ini karena faktor kebanjiran dan kekeringan. Berdasarkan data yang ditunjukkan pada tabel 9, pengaruh serangan OPT, kebanjiran dan kekeringan cukup menonjol dan menunjukkan kecenderungan yang meningkat dalam enam tahun terakhir. Pengaruh ketiga bencana tersebut kepada luas tanam padi di Provinsi Jawa Tengah cukup menarik karena terlihat ada fenomena peningkatan serangan bencana tersebut secara periodik, yakni tiga tahunan. Pada periode 2005 – 2007 terlihat adanya peningkatan serangan ketiga bencana terhada luas tanam padi, namun intensitas serangan tersebut kemudian menurun dan terlihat mengalami peningkatan kembali selama kurun waktu 2008 hingga bulan April 2010. Tabel 9. Luas Serangan OPT, Kebanjiran dan Kekeringan di Provinsi Jawa Tengah, 2005 2010 Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010*
Luas Tanam Padi (Ha) 1771671 1494527 1967395 1770653 1653104 748202
Bencana (Ha) Serangan OPT 68894 (3,89) 59717 (4,00) 60000 (3,05) 62962 (3,56) 84023 (5,08) 67843 (9,07)
Kebanjiran 16113 (0,91) 36017 (2,41) 51122 (2,60) 30368 (1,72) 48239 (2,92) 25112 (3,36)
Kekeringan 81660 (4,61) 18585 (1,24) 134934 (6,86) 47653 (2,69) 28441 (1,72) 1961 (0,26)
Total
% Bencana Terhadap Luas Tanam
166667
9.41
114319
7.65
246057
12.51
140983
7.96
160702
9.72
94916
12.69
Keterangan : * Data tahun 2010 untuk luas tanam adalah kumulatif dari bulan Januari hingga April, sedangkan untuk data luas lahan terkena serangan OPT, banjir dan kekeringan adalah kumulatif dari bulan Januari hingga Juli. ( ) Angka dalam kurung menunjukkan prosentase pengaruh masing-masing bencana terhadap luas tanam padi (%) Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah dan Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Jawa Tengah (diolah) Konsistensi fenomena tiga tahunan ini akan terlihat lebih menarik jika data yang tersedia lebih panjang, namun demikian dalam rentang waktu enam tahun tersebut cukup menunjukkan fluktuasi pengaruh bencana terhadap luas tanam padi di Jawa Tengah. Untuk itu semua stakeholder diharapkan mengantisipasi adanya peningkatan bencana terhadap penanaman padi sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Petani diharapkan dapat melakukan penanaman serempak dan menggunakan benih unggul untuk mengantisipasi serangan hama dan penyakit serta melakukan pemeliharaan jaringan irigasi lahannya, di sisi lain instansi pemerintah juga meningkatkan pengamatan kondisi tanaman padi di lapang, melakukan penyuluhan yang intensif kepada petani serta membangun dan melakukan pemeliharaan jaringan irigasi dan jalan usahatani. Jika seluruh stakeholder melakukan peranannya dengan baik, maka diharapkan dapat meminimalisir pengaruh ketiga bencana tersebut terhadap luas penanaman padi di Provinsi Jawa Tengah. Jika dilihat lebih mendalam pengaruh masing-masing bencana tersebut terhadap luas tanam padi, serangan OPT terlihat mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam tiga tahun terakhir sedangkan kekeringan merupakan pengaruh bencana yang kurang menonjol. Hal ini berkaitan erat dengan pola curah hujan pada periode waktu tersebut. Pada gambar 6 terlihat bahwa jika ada peningkatan curah hujan maka luas lahan yang terkena serangan OPT juga mengalami peningkatan. Namun demikian pada sekitar periode Mei hingga Juli 2009 (Musim Kemarau), pola umum keterkaitan antara luas tanam dan curah hujan terhadap luas lahan yang terkena OPT tersebut tidak berlaku. Pada rentang waktu tersebut, luas tanam padi dan curah hujan relatif rendah namun luas lahan yang terkena serangan OPT meningkat tajam. Hal ini disebabkan oleh serangan tikus yang cukup tinggi pada rentang waktu tersebut yang diiringi pula dengan peningkatan serangan WBC dan penggerek batang. Jenis OPT utama lainnya yang cukup menonjol di Provinsi Jawa Tengah adalah tungro dan keong mas.
Gambar 6. Keterkaitan Luas Tanam Padi, Luas Lahan Terkena Serangan OPT dan Curah Hujan di Provinsi Jawa Tengah, 2007 – 2010 (bulanan) Pada tingkat kabupaten, serangan ketiga jenis bencana juga cenderung meningkat pada empat tahun terakhir di Kabupaten Demak (Tabel 10). Faktor yang paling berperanan terhadap peningkatan bencana adalah serangan OPT dan kebanjiran, bahkan serangan OPT merupakan faktor yang cukup signifikan mempengaruhi penanaman padi di Kabupaten Demak, yakni 6,43 persen. Di sisi lain, kekeringan juga bukan merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi luas penanaman padi di kabupaten tersebut. Jenis OPT yang cukup utama di Kabupaten Demak adalah penggerek batang, tikus, WBC dan hama putih palsu. Tabel 10. Luas Serangan OPT, Kebanjiran dan Kekeringan di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, 2007 - 2010 Tahun
Luas Tanam Padi (Ha)
Bencana (ha)
% Bencana Terhadap Luas Tanam
Serangan OPT Kebanjiran Kekeringan Total 1752 1719 1938 2007 103314 (1.66) 5.24 (1.70) (1.88) 5409 2107 4214 56 2008 97057 6.57 (2.17) (4.34) (0.06) 6377 1631 4884 5 2009 99086 6.58 (1.65) (4.93) (0.01) 6520 3028 1954 0 2010* 47087 10.58 (6.43) (4.15) (0.00) 4982 Keterangan : * Data tahun 2010 untuk luas tanam adalah kumulatif dari bulan Januari hingga April, sedangkan untuk data luas lahan terkena serangan OPT, banjir dan kekeringan adalah kumulatif dari bulan Januari hingga Juli. ( ) Angka dalam kurung menunjukkan prosentase pengaruh masing-masing bencana terhadap luas tanam padi (%) Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah dan Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Jawa Tengah (diolah)
Serangan OPT sangat berpengaruh terhadap penurunan kualitas gabah dan beras. Padi yang terkena OPT akan mempunyai penampakan gabah yang kehitaman dan berasnya pun juga berkualitas kurang baik. Hal ini selanjutnya berpengaruh terhadap penurunan harga gabah dan beras tersebut. Untuk itu penggunaan benih unggul tahan hama, pengamatan tanaman yang intensif serta aplikasi obat-obatan yang tepat dosis dan tepat waktu sangat dianjurkan dalam teknis budidaya tanaman padi. 3.2. Volume Gabah/Beras yang Ditolak Oleh Bulog Gabah atau beras yang masuk ke Bulog harus memenuhi standar minimal kualitas Bulog, dengan kualitas sesuai standar Bulog akan membeli dengan harga sesuai HPP. Masalahnya bila petani atau mitra kerja Bulog menjual dengan standar yang lebih baik, tidak ada insentif untuk memacu agar rekanan Bulog tersebut meningkatkan kualitas produk yang dijual. Kualitas gabah terutama pada musim hujan biasanya kurang baik, demikian halnya untuk beras. Masalah utama dalam pengeringan atau penjemuran, karena sebagian besar mitrakerja Bulog tidak memiliki oven atau drying mesin. Hanya sebagian kecil RMU yang memiliki oven atau alat pengering. Bila ada hanya terbatas diopersikan pada musim hujan, dengan kapasitas yang kurang memadai. Dengan proses pengeringan yang mengandalkan panas matahari, kualitas gabah yang dihasilkan sangat tergantung dengan intensitas panas matahari waktu penjemuran. Bila kondisi normal biasanya penjemuran dilakukan dua hari. Untuk memenuhi standar minimal kualitas Bulog tidak selalu bisa diterapkan mitra Bulog, hal ini diindikasikan hampir selalu ada gabah atau beras yang ditolak oleh Bulog. Menurut mitra kerja Bulog yang diwawancara, kebanyakan kalau gabah adalah kadar air dan kadar hampa tidak memenuhi syarat. Untuk mengatasi hal ini para mitra membeli alat tester untuk mengukur kadar air, sehingga sebelum masuk Bulog sudah dilakukan tes kadar air. Sementara untuk mengurangi kadar hampa pada waktu perontokan digunakan power threser dengan blower. Hasil wawancara dengan mitra kerja Bulog rata-rata jumlah yang ditolah oleh Bulog adalah sekitar 5 % dari rata-rata jumlah beras yang disetor 8000 ton. Namun demikian bila harga di pasaran lebih tinggi dari HPP, mitra kerja cenderung mengurangi jumlah kontrak dengan Bulog, dan sebaliknya bila harga dipasaran relatif rendah dibanding HPP maka mitra berusaha meningkatkan jumlah tonase ke Bulog. Demikian halnya bila harga hampir sama dengan HPP, mitra cenderung menjual ke Bulog karena adanya kepastian harga dan uang yang diterima juga lebih cepat dibanding bila ke pedagang.
3.3. Harga gabah dan beras bulanan di tingkat pedagang
Grafik 7. Perkembangan Harga Beras Jenis IR-64 Medium di Tingkat Pedagang di Jawa Tengah, 2007 - 2010 (Rp/kg) IV. Stock Gabah-Beras Petani Perilaku petani dalam mengelola hasil padinya bervariasi antar petani dan wilayah. Di Kabupaten Demak, pada MH petani cenderung menjual hampir semua produksinya sehingga tidak ada simpanan/stock pada musim tersebut. Namun pada MK, umumnya petani menjual hasilnya 40 hingga 50 persen, sedangkan sisanya 50 – 60 persen disimpan untuk konsumsi pangan hingga musim panen berikutnya dan modal untuk usahatani musim berikutnya. Jumlah atau persentase yang disimpan disesuaikan dengan kebutuhan konsumsi rumahtangga petani tersebut, semakin banyak anggota keluarga biasanya semakin banyak gabah yang disimpan untuk cadangan pangan, paling tidak sampai menjelang panen musim berikutnya (MH). Demikian halnya luas lahan yang dikelola, berpengaruh juga terhadap jumlah persentase gabah yang disimpan. Tabel 10. Data Perolehan Gabah Kering Giling dan Alokasinya Pada Tiap-Tiap Rumahtangga Tani di Provinsi Jawa Tengah, 2009/2010. No .
Uraian
Nilai (kg)
MH % Thd Produksi
Nilai (kg)
MK % Thd Produksi
2
Jumlah GKG : Produksi Konsumsi Rumahtangga
312
10.6
311
11.1
3
Penggunaan Lain-Lain
178
6.1
264
9.4
1
2,929
100.0
4 Dijual 2,439 83.3 Keterangan : Jumlah responden 57 orang di empat kabupaten Sumber : Tim PATANAS PSEKP 2010
2,799
2,225
100.0
79.5
Berdasarkan hasil penelitian Panel Petani Nasional (PATANAS) di Jawa Tengah (Susilowati et al, 2010) yang meliputi empat kabupaten sentra produksi padi (Pati, Sragen, Klaten dan Cilacap) diperoleh gambaran sementara seperti ditunjukkan pada tabel 10. Tampak bahwa dari jumlah rata-rata produksi 292.9 kuintal per rumahtangga tani pada MH sebagian besar (sekitar 83 %) dijual. Sementara hanya 10.6 persen dicadangkan untuk konsumsi dan sisanya untuk penggunaan lainnya, antara lain untuk kebutuhan sosial seperti untuk sumbangan hajatan, zakat dan sebagainya. Perilaku petani pada MK juga hampir sama dengan pada MH, secara kuantitas jumlah yang dicadangkan untuk dikonsumsi relatif sama antara MH dan MK, begitu pula secara persentase relatif tidak berbeda. Namun demikian kasus di salah satu kabupaten contoh PATANAS (Desa Tambah Mulyo, Kecamatan Jakenan, Kabupaten Pati), perilaku menyimpan gabah antara MH dan MK sangat berbeda, pada MH seperti pada umunya rata-rata di daerah Jawa Tengah sebagian besar dijual, namun pada MK sebagian besar disimpan (>75 %), biasanya bila diperlukan rumahtangga petani tersebut menjual gabah simpanannya yang diproses untuk dijual dalam bentuk beras. Bagi petani yang hasil produksinya cukup banyak dan tidak mempunyai gudang penyimpanan, biasanya mereka menitipkan simpanan gabahnya di penggilingan padi tanpa dipungut biaya, hanya bila diproses giling dilakukan di tempat tersebut. Yang menarik hasil penelitian di Desa Tambah Mulyo adalah perilaku menyimpan gabah tidak hanya dilakukan oleh petani saja, bahkan rumahtangga non tani terutama buruh tani maupun buruh non pertanian juga menyimpan gabah, gabah tersebut bisa diperoleh dari upah panen atau hasil membeli, istilah setempat membeli gabah adalah “nguyang”. Hal tersebut dilakukan bahwa menurut kepercayaan setempat bahwa bila menyimpan gabah ada kenyamanan tersendiri. Kondisi ini berbeda dengan perilaku rumahtangga petani di wilayah Kabupaten Demak yang jarang menjual dalam bentuk beras, selain GKP, biasanya petani menjual dalam bentuk GKG. V. Pengadaan Gabah-Beras Oleh Bulog Pengadaan gabah/beras oleh Bulog dilakukan dengan cara kontrak dengan rekanan, dalam kontrak tersebut terdapat sistem putus dan tidak putus. Putus artinya Bulog dengan rekanan melakukan kontrak pembelian gabah, gabah yang dibeli Bulog tersebut langsung diproses oleh Bulog, rekanan tidak mempunyai kewajiban untuk memproses lebih lanjut. Sementara untuk kontrak tidak putus, setelah rekanan menjual gabah (GKG) ke Bulog rekanan masih terikat dengan kewajiban untuk menggiling. Untuk itu Bulog mempunya standar rendemen (GKG ke Beras) 63.5 %, bila ternyata rendemennya kurang dari standar tersebut maka rekanan harus menambah beras sampai memenuhi jumlah rendemen tersebut, sebaliknya bila rendemen lebih dari standar, maka kelebihan rendemen tersebut dibeli oleh Bulog diperhitungkan kembali, aturan ini baru berlaku tahun 2010 masih uji coba, sebelumnya kelebihan rendemen tersebut hak petani tidak harus dijual ke Bulog. Untuk menentukan kontrak tersebut sistem putus atau tidak putus biasanya pihak Bulog melihat kecenderungan besarnya rendemen, kalau kecenderungan rendemen kurang dari 60 % dilakukan kontrak tidak putus agar mitra bisa mengusahakan untuk mencapai rendemen 63.5 %. Sebaliknya bila kualitas gabah bagus diperkirakan rendemen lebih dari 63.5 % maka Bulog cenderung memilih kontrak putus. Kreteria penentuan gabah dan beras standar yang dapat dibeli oleh Bulog ditampilkan pada Tabel 11. Pada tabel tersebut merupakan standar minimal kualitas produk yang dibeli Bulog, selain variabel tersebut Bulog juga menerapkan persyaratan secara viisual, seperti aroma tidak terkontaminasi dengan aroma gas atau pestisida, tidak bersifat kimiawi lain serta warna beras tidak kekuning-kuningan.
Tabel 11. Kriteria Penentuan Gabah dan Beras oleh Bulog/Dolog*)
Kriteria Kualitas
Kadar Air Max (%)
Kadar Hampa Max (%)
Rendemen Gabah (%)**)
Harga Gabah (Rp/kg)
Butir Pecah Max (%)
Derajat Sosoh Min (%)
Menir Max (%)
GKP di tingkat Petani 25 10 0 2,640 0 0 0 GKP di tingkat Penggilingan 25 10 0 2,685 0 0 0 GKG di tingkat Penggilingan 14 3 0 3,300 0 0 0 GKG di Gudang Bulog 14 3 63.5 3,345 0 0 0 Beras di Gudang Bulog 14 0 0 20 95 2 Keterangan : *) Sesuai Inpres 7/2009 tanggal 29 Desember 2009 **) Sesuai Keputusan Direksi Perum Bulog No. KD-36/DO300/02/2007 ttg Pedoman Umum Giling Gabah di Lingkungan Perum Bulog Pengadaan gabah oleh Bulog diperoleh dari tiga kelompok yaitu mitra kerja, satgas Sub Divre dan unit pengolahan gabah-beras (UPGB). Bulog Divre Jawa Tengah memiliki 22 unit UPGB, 7 unit diantaranya kondisi rusak, dengan kondisi ini berarti mengurangi kapasitas penyerapan yang melalui UPGB. Dari ketiga kelompok tersebut pengadaan dari mitra kerja adalah yang dominan baik untuk pengadaan gabah maupun beras (Tabel 12 dan 13) Pada tahun 2009 konstribusi pengadaan dari mitra kerja Bulog mencapai 89 % gabah dan 92 % beras, sementara pada tahun 2010 persentase tersebut lebih tinggi lagi masing-masing 95 % untuk gabah dan 91 % untuk beras. Selama ini kapasitas produksi padi Jawa Tengah hanya sekitar 6-7 % dari total produksi. Pengadaan biasanya dimulai bulan Maret tiap tahunnya, maka prognosa pengadaan biasanya diperhitungkan satu tahun tiga bulan. Daya serap Bulog disesuaikan dengan kebutuha setahun untuk antisipasi kekurangan ditambah untuk kebutuhan Bulan Januari-Februari tahun berikutnya. Bila di selang waktu tersebut kekurangan untuk penyaluran, maka dapat ditambah pengadaannya dengan melakukan revisi penambahan. Bila dilihat pengadaan bulanan, untuk gabah terbanyak pada bulan Maret-April dan JuliAgustus, selang waktu tersebut merupakan puncak panen raya di Jawa Tengah, diharapkan HPP sebagai patokan harga pembelian gabah ke petani dapat diacu juga oleh pedagang bebas yang membeli gabah petani. Pengadaan gabah pada bulan November dan Desember tidak ada, karena pada bulan tersebut relatif tidak ada panen ketersediaan gabah di pasar terbatas, demikian halnya biasanya harga tinggi. Karena penyaluran dilakukan tiap bulan, pengadaan beras setiap bulan, pengadaan beras ini diperoleh dari kontrak putus dan tidak putus. Sebelum melakukan penyaluran beras tersebut harus masuk gudang dulu, bila gudang Bulog tidak mencukupi biasanya menyewa gudang milik mitra kerja atau non mitra.
Tabel 12. Pengadaan Gabah dan Beras oleh Divisi Regional Jawa Tengah Perum Bulog Berdasarkan Sumber Pengadaan, 2009 (ton)
Bulan
Sumber Pengadaan Satgas Sub Mitra Kerja Divre Gaba Gabah Beras Beras h
Unit Pengolahan Gabah-Beras Gabah
Beras
Jumlah Gabah
Beras
100.00
10,681.2 9
-
-
-
135.00
100.00
10,816.29
2,216.60
22,963.6 5
50.00
522.32
127.00
563.01
2,393.60
24,048.98
Maret
16,395.85
158,543. 38
1,522. 75
5,262.5 0
790.10
7,168.2 3
18,708.7 0
170,974.10
April
11,293.30
130,189. 41
633.75
4,053.0 2
690.30
8,356.3 5
12,617.3 5
142,598.78
Mei
5,042.65
95,086.7 9
55.00
2,675.6 9
990.15
4,444.0 2
6,087.80
102,206.49
Juni
7,296.10
74,758.2 9
800.00
326.31
72.55
3,727.9 1
8,168.65
78,812.51
Juli
13,486.15
34,827.1 6
16.10
991.24
2,059.45
5,430.2 3
15,561.7 0
41,248.63
Agustus Septem ber
11,074.85
16,303.4 7
31.75
130.43
659.50
2,165.0 6
11,766.1 0
18,598.95
3,409.55
4,290.97
20.65
-
86.40
265.04
3,516.60
4,556.01
Oktober Novemb er Desemb er
2,740.00
38.33
-
-
600.00
805.22
3,340.00
843.54
-
1,548.44
-
-
-
188.49
-
1,736.93
-
774.17
-
-
-
81.51
-
855.68
Januari
Pebruari
33,330. 550,005. 3,130. 13,961. 82,260.5 50 6,075.45 05 00 73,055.05 33 (5.58) 0 (7.39) (3.80) (2.34) (92.08) TOTAL (88.81) Keterangan : Angka dalam kurung merupakan persen dari total pengadaan
597,296.87
Tabel 15. Pengadaan Gabah dan Beras oleh Divisi Regional Jawa Tengah Perum Bulog Berdasarkan Sumber Pengadaan, 2010* (ton) Sumber Pengadaan Bulan
Mitra Kerja Gabah
Beras
Satgas Sub Divre
Unit Pengolahan Gabah-Beras
Gabah
Gabah
Beras
Jumlah
Beras
Gabah
Beras
Januari
-
-
-
-
-
-
-
-
Pebruari
185.00
21.00
-
-
-
-
185.00
21.00
Maret
25,842.8 5
26,268.7 8
-
-
664.95
2,016.5 7
26,507. 80
28,285.3 5
April
44,932.5 5
59,512.0 8
205.00
1,065.00
2,497.5 0
4,972.4 9
47,635. 05
65,549.5 6
Mei
24,278.6 5
64,378.9 8
1,386. 60
866.21
287.70
3,835.4 4
25,952. 95
69,080.6 3
Juni
7,338.20
38,768.8 5
643.40
1,526.85
165.05
3,635.5 4
8,146.6 5
43,931.2 4
Juli
754.25
18,153.6 9
10.00
860.93
-
1,023.3 8
764.25
20,037.9 9
103,331. 50 (94.63)
207,103. 38 (91.27)
2,245. 00 (2.06)
4,318.98 (1.90)
3,615.2 0 (3.31)
15,483. 41 (6.82)
109,191 .70
226,905. 76
Agustus Septemb er Oktober Novemb er Desemb er
TOTAL
Keterangan : * Data per 31 Juli 2010 Angka dalam kurung merupakan persen dari total pengadaan
Berdasarkan data series bulanan tahun 2005-2010, pengadaan gabah oleh mitra kerja Bulog cenderung meningkat seperti yang ditunjukkan pada gambar 8. Pengadaan ini biasanya dengan sistem tidak putus, Bulog membeli dalam bentuk gabah. Pengadaan gabah yang melalui Satgas Sub Divre serta UPGB relatif kecil dan cenderung stabil. Oleh karena itu pengadaan gabah sangat ditentukan dari pengadaan mitra kerja Bulog, sehingga kualitas gabah yang diperoleh mitra kerja akan berpengaruh terhadap kualitas gabah yang dipersediaan Bulog.
Gambar 8. Pengadaan Gabah oleh Divisi Regional Jawa Tengah Perum Bulog, 2007-2010 (ton) Gambar 9 menunjukkan gambaran yang berlawanan dengan gambar 8, ini menunjukkan bahwa pembelian oleh Bulog dalam bentuk beras makin menurun. Berdasarkan data series bulanan tahun 2005-2010, pengadaan beras oleh mitra kerja Bulog cenderung menurun. Pada tahun 2007 puncak pengadaan pada bulan April-Juli, sedangkan Agustus 2007- Februari 2008 tidak ada pengadaan. Berbeda dengan periode Maret 2008- Agustus 2009 secara kontinyu terdapat pengadaan walaupun jumlahnya berfluktuasi, tetapi puncaknya relatif sama yaitu Maret-April, sementara untu tahun 2010 Maret-Mei.
Gambar 9. Pengadaan Beras oleh Divisi Regional Jawa Tengah Perum Bulog, 2007-2010 (ton) KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Dari sisi luas panen dan produksi padi di Jawa Tengah cenderung meningkat selama kurun waktu 2007-2010, namun bila dilihat per musim, maka pada MK perkembangan luas panenpada masa tersebut cenderung menurun, berkurangnya produksi tersebut karena adanya tanaman saingan padi. Gabah dengan kualitas kurang baik yang diproduksi di Jawa Tengah terjadi dua tahun terakhir, penyebab utama rendahnya kualitas adalah adanya serangan OPT. Implikasi dari hal tersebut perlu adanya adopsi bibit unggul tahan wereng karena bibit dominan yang selama ini digunakan sudah rentan terhadap wereng, oleh karena itu untuk memutus siklus hama tersebut perlu diadopsi bibit unggul yang tahan wereng. Pada musim panen raya di Jawa Tengah rata-rata harga masih dibawah HPP, rendahnya harga tersebut karena memang kualitas yang diproduksi petani dibawah standar kualitas minimal Bulog. Walaupun demikian HPP efektif mengendalikan harga di pasaran.
LAMPIRAN Tabel Lampiran 1. Perkembangan HPP1) dan Harga Aktual2) Gabah3), Bulanan, 2007-2010 (Rp/Kg) Tahun 2007 Bulan
HPP
Tahun 2008
Harga Aktual
HPP
Tahun 2009
Harga Aktual
HPP
Tahun 2010
Harga Aktual
HPP
Harga Aktual
G K P
G K G
GK P
GK G
G K P
G K G
GK P
GK G
G K P
G K G
GK P
GK G
G K P
G K G
GK P
GK G
Janua ri
17 30
22 50
26 45
26 41
20 00
25 75
23 70
0
24 00
30 00
28 35
29 87
26 40
33 00
29 23
35 13
Pebru ari
17 30
22 50
27 45
34 00
20 00
25 75
24 62
29 27
24 00
30 00
24 72
30 19
26 40
33 00
28 72
35 14
Maret
17 30
22 50
25 04
34 00
20 00
25 75
20 05
24 33
24 00
30 00
25 23
27 27
26 40
33 00
24 66
31 13
April
20 00
25 75
21 02
25 01
20 00
25 75
21 13
23 34
24 00
30 00
25 34
28 40
26 40
33 00
24 25
31 97
Mei
20 00
25 75
21 57
24 33
22 00
28 00
24 10
26 67
24 00
30 00
27 10
30 27
26 40
33 00
24 29
28 54
Juni
20 00
25 75
21 76
25 00
22 00
28 00
25 35
28 94
24 00
30 00
26 26
29 55
26 40
33 00
25 25
30 21
Juli
20 00
25 75
21 98
25 10
22 00
28 00
25 19
28 67
24 00
30 00
25 99
26 83
26 40
33 00
27 27
32 47
Agust us
20 00
25 75
23 35
25 20
22 00
28 00
26 72
28 45
24 00
30 00
26 66
29 20
26 40
33 00
29 43
34 65
Septe mber
20 00
25 75
23 81
25 88
22 00
28 00
28 08
29 30
24 00
30 00
28 43
22 47
Oktob er
20 00
25 75
23 74
0
22 00
28 00
26 51
28 91
24 00
30 00
29 17
30 04
Nove mber
20 00
25 75
23 91
25 25
22 00
28 00
25 64
28 87
24 00
30 00
28 80
26 25
Dese mber
20 00
25 75
24 22
26 80
22 00
28 00
27 38
29 27
24 00
30 00
29 02
30 69
Keterangan : 1) Perkembangan HPP disesuaikan dengan Inpres : Tahun 2007 = - Inpres 13 tahun 2005 tanggal 10 Oktober 2005 (berlaku tmt 1 Januari 2006) - Inpres 3 tahun 2007 tanggal 31 Maret 2007 (berlaku tmt 1 April 2007) Tahun 2008 = Inpres 1 tahun 2008 tanggal 22 April 2008 (berlaku tmt 22 April 2008) Tahun 2009 = Inpres 8 tahun 2008 tanggal 24 Desember 2008 (berlaku tmt 1 Januari 2009) Tahun 2010 = Inpres 7 tahun 2009 tanggal 29 Desember 2009 (berlaku tmt 1 Januari 2010) 2) Harga Aktual berdasarkan data BPS Provinsi Jateng diolah 3) Gabah terinci GKP tingkat petani dan GKG tingkat penggilingan