Kajian Pengenaan PPN atas Penyediaan Air Bersih dan Biaya Jasa Penggelolaan SDA (BPSDA) Oleh : Benny Gunawan Ardiansyah, Peneliti Badan Kebijakan Fiskal 1.
Pendahuluan Pasal 33 Undang-‐undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa air dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-‐besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 3 UU 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) juga menyebutkan bahwa SDA dikelola secara menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan SDA yang berkelanjutan untuk sebesar-‐besar kemakmuran rakyat. Pengaturan SDA harus dilakukan secara bijaksana dan diolah secara seimbang antara pasokan dan kebutuhan. Sehingga dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pokok disamping kebutuhan strategis. Penyediaan air bersih untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat merupakan tugas negara (pemerintah) yang selaras dengan Millenium Development Goals (MDG). Salah satu sasaran MDG adalah dengan menetapkan pencapaian sasaran tahun 2015 berupa pengurangan proporsi jumlah penduduk yang kesulitan memperoleh akses terhadap air minum aman dan sanitasi yang memadai. Pemerintah Indonesia telah bertindak untuk memastikan kelestarian lingkungan hidup dengan target mengurangi setengah dari jumlah orang yang tidak memiliki akses air minum yang sehat pada tahun 2015. Dengan demikian, pada tahun tersebut seharusnya sebanyak 68,87% masyarakat Indonesia telah mendapatkan akses air yang aman untuk diminum. Akan tetapi, sampai dengan saat ini pencapaian baru mencapai 55%. Salah satu permasalahan pokok yang dihadapi oleh pemerintah dalam melaksanakan pengelolaan SDA adalah adanya keterbatasan dana. Kebutuhan dana tersebut adalah dalam rangka pembiayaan: pertama, pengembangan SDA untuk menyediakan air baku dalam memenuhi permintaan berbagai pihak (domestik, industri, pertanian, pembangkit energi dan lingkungan); kedua, kegiatan operasi dan pemeliharaan prasarana SDA dan sumber-‐sumber air; ketiga, kegiatan konservasi tanah dan air; dan keempat, komponen lain dari biaya pengelolaan SDA. Dalam peraturan perundangan yaitu Undang-‐undang Nomor 7 tahun 2004 tentang SDA 1
dan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2008 tentang Pengelolaan SDA mengatur bahwa sumber dana untuk setiap jenis pembiayaan pengelolaannya dapat berupa anggaran pemerintah, anggaran swasta dan/atau hasil penerimaan biaya jasa pengelolaan SDA. Untuk itu, Pemerintah Indonesia melibatkan pihak ketiga dalam memenuhi kebutuhan air minum yang sehat, yaitu perusahaan yang ditugaskan untuk mengelola SDA selain bertujuan untuk mengejar keuntungan. Perusahaan pengelola SDA tersebut dapat memungut Biaya Pengelolaan SDA (BPSDA), yaitu biaya yang dibutuhkan untuk melakukan pengelolaan sumber daya air agar dapat didayagunakan secara berkelanjutan. Hasil pungutan BPSDA sepenuhnya dikembalikan untuk pengelolaan SDA. Hal ini berbeda dengan pajak air permukaan yang umumnya menjadi penerimaan umum kas daerah dan penggunaannya merupakan wewenang pemerintah daerah. BPSDA merupakan sumber penghasilan bagi perusahaan sehingga menjadi obyek pajak, baik itu berupa obyek pajak penghasilan (PPh) maupun obyek pajak pertambahan nilai (PPN). Berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat (1) huruf e UU PPN nomor 42 tahun 2009, maka BPSDA termasuk dalam penyerahan yang terutang PPN mengingat bahwa terdapat penyerahan barang yang tidak termasuk kriteria penyerahan air bersih oleh perusahaan air minum. Sedangklan atas penjualan air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh Perusahaan Air Minum termasuk dalam Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sehingga atas impor dan penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 jo Nomor 43 Tahun 2002 jo Nomor 46 Tahun 2003 jo Nomor 7 Tahun 2007 jo Nomor 31 Tahun 2007). Pemberian tax exemption (pembebasan PPN) akan mengakibatkan masalah ketika mekanismenya tidak berjalan yang berarti bahwa pajak output dibebaskan sementara pajak input tidak dapat dikreditkan. 2. Proses Bisnis Penyediaan Air Bersih Perusahaan Umum Jasa Tirta didirikan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1970 jo Nomor 7 Tahun 2010. Perum ini berkewajiban untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab dalam pengusahaan SDA wilayah sungai dan pengelolaan SDA di wilayah kerja masing-‐masing. Untuk itu, Perum Jasa Tirta diberi kewenangan memungut, 2
menerima dan menggunakan biaya jasa pengelolaan SDA untuk membiayai seluruh pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) PP Nomor 7/2010. Dalam pengelolaan SDA, skema umum yang digunakan adalah sebagai berikut : Gambar 1 Skema Penyediaan Air Bersih
SDA
Hulu
Hilir
Konsumen Akhir
Pada dasarnya, perusahaan yang berada di bagian hulu, memiliki beberapa peranan, yaitu memberikan pelayanan dan penjaminan ketersediaan air; mengoperasikan dan memelihara prasarana SDA; mengoperasikan jaringan irigasi pada daerah irigas; serta memelihara sumber air. Oleh karena itu, mengingat banyaknya tugas yang merupakan fungsi pemerintah maka sebagian besar berbentuk Badan Usaha Milik Negara/BUMN (badan usaha yang sebagian atau seluruh kepemilikannya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia). Beberapa BUMN dapat pula berupa perusahaan nirlaba yang bertujuan untuk menyediakan barang atau jasa bagi masyarakat dan tidak menjadikan keuntungan (profit) sebagai tujuan utama. 3. Perkembangan Penyediaan Air Minum di Indonesia Dari total penduduk Indonesia yang diperkirakan mencapai 239 juta jiwa, kurang lebih baru 131 juta jiwa (55 persen) penduduk yang dapat terlayani air minum perpipaan yang diselenggarakan sekitar 333 PDAM. Dari jumlah tersebut, sebagian besar, 107 juta jiwa (45 persen) adalah mereka yang tinggal di perkotaan, sedangkan sisanya, 24 juta jiwa (10 persen), tinggal di pedesaan. Bagi penduduk yang belum terlayani air minum perpipaan, mereka memenuhi kebutuhannya dari mata air, sumur dalam, sumur dangkal, penampungan air hujan, dan penjaja air (water vendor) yang tidak terjamin kualitasnya. Ironisnya, masyarakat miskin yang belum terlayani sistem perpipaan harus membeli air dengan harga yang lebih mahal. 3
Selain masalah jangkauan pelayanan, persoalan penyediaan air minum di Indonesia juga menghadapi masalah kualitas pelayanan. Pada umumnya, air yang diterima masyarakat belum memenuhi standar kualitas air minum. Selain itu, tingkat konsumsi air minum pun masih rendah, yakni kurang lebih baru mencapai 14 m3 per bulan per rumahtangga. Sementara itu tingkat kehilangan air penyelenggaraan air minum pun sangat tinggi, yakni mencapai 40 persen pada 2002 dan 37 persen pada 2004. Sejak tahun 1970, pemerintah sudah meluncurkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pengadaan air minum ini. Selain di bidang biaya dan permodalan, pemerintah juga pernah melansir bantuan air minum yang besarnya 60 liter per hari untuk setiap orang dengan cakupan 60 persen penduduk. Tahun 1997, ketika krisis ekonomi melanda Indonesia, kualitas dan kuantitas penyediaan air minum pun terkena imbasnya. Dapat dikatakan, pembangunan air minum mengalami stagnasi. 4. Kinerja Perusahaan Hulu Ketentuan pasal 3 UU Nomor 7 Tahun 2004 menyebutkan bahwa SDA dikelola secara menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan hidup. Pengelolaan SDA dilakukan oleh institusi yang diberi wewenang untuk melaksanakannya sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat 26. Sementara itu, Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2008 Pasal 115-‐116 menyebutkan bahwa pembiayaan pengelolaan SDA (termasuk biaya operasi dan pemeliharaan) ditetapkan berdasarkan kebutuhan nyata pengelolaannya. Definisi “kebutuhan nyata” adalah dana yang dibutuhkan hanya untuk membiayai pengelolaan SDA agar pelaksanaannya dapat dilakukan secara wajar untuk menjamin kesinambungan fungsinya. Sumber dana untuk pembiayaan pengelolaan SDA dapat berasal dari anggaran pemerintah, anggaran swasta dan/atau hasil penerimaan biaya jasa pengelolaan yang dipungut terhadap penggunaan/pengusahaan SDA. Pendapatan usaha jenis ini sebagian besar berasal dari penjualan listrik (antara 55% s.d 70%) dan sisanya berasal dari penjualan air baku. Pada umumnya perusahaan yang bergerak di sektor hulu seperti ini menanggung misi menjaga barang publik, dalam hal ini melakukan perlindungan dan pemeliharaan SDA. Oleh karena itu, pendapatan operasional hanya mampu menutupi 20%-‐30% dari seluruh biaya operasi dan pemeliharaan maksimal yang diperlukan untuk mengoptimalkan pelayanan dan 4
pelestarian fungsi prasarana dan sarana infrastruktur pengelolaan SDA. Jika hanya mengandalkan penghasilan semi komersial (penjualan air baku) maka dipastikan akan merugi, sehingga umumnya perusahaan sangat mengandalkan penghasilan komersial (penjualan energi). Berdasarkan hasil analisis laporan keuangan diketahui bahwa keuntungan yang diperoleh dari hasil pendapatan jasa dikurangi beban-‐beban yang diperkenankan dalam menghitung BPSDA berada di kisaran 20% yang menunjukkan tingginya tingkat profit margin seharusnya sangat cukup tinggi. 5. Kinerja Perusahaan Hilir Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sebagai salah satu wujud Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) merupakan salah satu sumber penerimaan dari sebuah pemerintahan daerah. PDAM adalah sebuah perwujudan dari peran pemerintah daerah dalam pembangunan ekonomi daerah. Akan tetapi, kinerja PDAM umumnya termasuk buruk yang berakibat pada buruknya pelayanan publik di Indonesia. Beberapa riset yang dilakukan Pusat Studi Kawasan dan Center of Population and Policy Studies Universitas Gadjah Mada pada tahun 2001 di beberapa daerah di Indonesia berhasil mengidentifikasikan budaya negatif dalam pelayanan publik di Indonesia, seperti mendahulukan kepentingan pribadi, golongan atau kelompok, adanya perilaku malas dalam mengambil inisiatif, selalu menunggu perintah atasan, acuh terhadap keluhan masyarakat dan lamban dalam memberikan pelayanan (Tarigan, 2003). Kondisi tingkat layanan PDAM seluruh Indonesia dewasa ini sangat memprihatinkan. Tingkat penyambungan air minum rata-‐rata nasional baru 29 persen, jauh lebih kesil dibandingkan dengan tingkat layanan listrik sudah mencapai 64 persen dan telekomunikasi yang telah mencapai 50 persen. Untuk itu diharapkan agar PDAM dapat menekan kebocoran fisik dan manajemen kurang dari 5 persen tiap tahunnya dari kondisi sekarang yang masih mencapai 20 persen. Kapasitas terpasang PDAM seluruh Indonesia dewasa ini mencapai 137 meter kubik per detik termasuk 45 persen di kota, 10 persen di desa, dan 24 persen nasional. Untuk jangka panjang PDAM difokuskan pada penambahan sambungan baru dan merestrukturisasi utang pokok Rp 1,4 triliun dan denda/bunga Rp 3,1 triliun. 5
Dewasa ini, hanya 22,82 persen dari 333 PDAM yang berada dalam kondisi keuangan sehat. Di antara 206 PDAM yang memiliki utang, 178 di antaranya tidak lancar membayar utang tersebut, dengan jumlah tunggakan mencapai Rp 4,4 triliun. Kondisi itu diperparah dengan masih tingginya rata-‐rata angka kebocoran PDAM, yakni sebesar 34,04 persen. Lemahnya kondisi PDAM saat ini juga disebabkan masih tingginya biaya produksi dibandingkan tarif air minum yang dijual kepada masyarakat. Dewasa ini, tercatat 47,6 persen PDAM menetapkan tarif lebih rendah dibandingkan biaya produksi air minumnya, rasio karyawan per pelanggan tinggi, efisiensi penagihan yang rendah, dan masih adanya pembayaran kepada pemerintah daerah walaupun PDAM tersebut dalam kondisi merugi. Salah satu permasalahan yang dihadapi PDAM dalam upaya peningkatan kinerja adalah masalah utang. Permasalahan PDAM ini diduga berawal dari rendahnya tarif air minum PDAM. Hasil studi ke berbagai PDAM juga menunjukkan bahwa masalah tarif ini memang cukup pelik. Hampir disejumlah daerah, air dijadikan komoditas politis, akibatnya setiap manajemen PDAM mengajukan usulan kenaikan tarif, selalu mendapat respon yang negative dari DPRD. Kondisi ini mengakibatkan PDAM mengalami kesulitan dalam operasionalnya. Untuk itu banyak PDAM yang menutupi kekurangan biaya operasional dengan melakukan pinjaman sehingga menimbulkan utang. 6. Rekomendasi Pengenaan PPN pada perusahaan penyediaan air bersih, baik perusahaan di hulu maupun di hilir, akan memperparah perkembangan penyediaan air minum di Indonesia. Sementara itu, pencanangan target sepertinya akan selalu mencapai kegagalan. Praktek saat ini, yaitu perusahaan hulu tidak mengenakan PPN atas penyerahan jasa kepada perusahaan hilir, mendapatkan koreksi dari otoritas pajak. Jika perusahaan hulu akan mengenakan PPN terhadap transaksi tersebut, maka hal ini dipastikan akan mengganggu ekulibrium pada sektor ini. Perusahaan hilir akan menanggung beban PPN masukan dan akan memperburuk kinerja sebagian besar perusahaan air minum yang sudah berada pada titik kritis. Oleh karena itu, direkomendasikan agar membebaskan pengenaan PPN pada seluruh alur produksi penyediaan air bersih. 6