KAJIAN PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE SECARA BERKELANJUTAN KOTA TARAKAN KALIMANTAN TIMUR (Studi Kasus Desa Binalatung Kecamatan Tarakan Timur)
DORI RACHMAWANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
KAJIAN PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE SECARA BERKELANJUTAN KOTA TARAKAN KALIMANTAN TIMUR (Studi Kasus Desa Binalatung Kecamatan Tarakan Timur)
DORI RACHMAWANI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Megister Sains Pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
”Sungguh, tidak ada suatu keyakinan kecuali Di dalamnya terkandung keraguan ” (Ibrahim Al-Nazhzham)
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini, saya menyatakan bahwa Tesis Kajian Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan Kota Tarakan Kalimantan Timur (Studi Kasus Desa Binalatung Kecamatan Tarakan Timur) adalah karya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Tesis ini. Bogor, Agustus 2007
Dori Rachmawani C251040301
Judul Tesis
:
Kajian Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan Kota Tarakan Kalimantan Timur (Studi Kasus Desa Binalatung Kecamatan Tarakan Timur)
Nama Mahasiswa
:
Dori Rachmawani
Nomor Pokok
:
C251040301
Program Studi
:
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc Ketua
Ir. Gatot Yulianto, M.Si Anggota
Diketahui, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Dekan Sekolah Pacasarjana
Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 13 Agustus 2007
Tanggal Lulus :
ABSTRAK DORI RACHMAWANI. Kajian Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan Kota Tarakan Kalimantan Timur (Studi Kasus Desa Binalatung Kecamatan Tarakan Timur). Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA dan GATOT YULIANTO. Potensi sumberdaya pesisir Kota Tarakan, hingga saat ini belum mengalami pengelolaan yang optimal. Ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu potensi yang dimiliki, dan saat ini mengalami degradasi yang sangat tinggi. Kondisi tersebut akan berdampak terhadap keberlanjutan pembangunan di masa yang akan datang. Pengelolaan sumberdaya secara optimal dan berkelanjutan akan memberikan manfaat terhadap masyarakat (welfare society) dan manfaat terhadap negara (welfare state). Tujuan penelitian yaitu 1) Mengetahui potensi dan permasalahan pemanfaatan ekosistem hutan mangrove, 2) Merumuskan alternatif pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Penelitian ini bersifat studi kasus (case study) dengan mengambil data primer dan data sekunder. Analisis yang dilakukan adalah analisis potensi biofisik, analisis NET (nilai ekonomi total) dan analisis MCDM (multy criteria decision making). Hasil penelitian diperoleh bahwa nilai kerapatan relatif jenis (RDi) api-api (Avicennia sp) sebesar 51,37% dan prepat (Sonneratia sp) sebesar 48,63%, nilai frekuensi relatif jenis (RFi) api-api (Avicennia sp) sebesar 50% dan prepat (Sonneratia sp) sebesar 50%, nilai penutupan relatif jenis (RCi) api-api (Avicennia sp) sebesar 49,86% dan prepat (Sonneratia sp) sebesar 50,14%, berdasarkan hasil tersebut diperoleh bahwa peranan api-api (Avicennia sp) lebih dominan dalam ekosistem dibanding dengan jenis prepat (Sonneratia sp) dengan indeks nilai penting (INP) untuk api-api (Avicennia sp) sebesar 151,23 dan prepat (Sonneratia sp) sebesar 148,77. Nilai ekonomi total (NET) diperoleh Rp.1.112.305.240. Hasil pengamatan dan pengukuran diperoleh bahwa penyebab utama terjadinya degradasi hutan mangrove yakni sedimentasi di muara sungai dan genangan air tawar yang tinggi. Untuk itu diperlukan alternatif pengelolaan ekosistem hutan mangrove kedepan. Berdasarkan hasil analisis MCDM diperoleh bahwa program rehabilitasi kawasan hutan mangrove merupakan alternatif utama dengan nilai keputusan 0,525, dan alternatif kedua yakni program pengelolaan DAS dengan nilai keputusan 0,418. Kata kunci: Pengelolaan Berkelanjutan, Ekosistem Mangrove, Desa Binalatung
ABSTRACT DORI RACHMAWANI. Sustainable Mangrove Ecosystem Management Study in the Tarakan City of East Kalimantan (Case Study Binalatung Village, Tarakan Timur Sub District). Under Supervisor of FREDINAN YULIANDA and GATOT YULIANTO. Potency of coastal resources in the Tarakan City, until right now utalization unoptimalize. The mangrove ecosystem is potency there, and curently has degradation happened highly. The condition will be effect of sustainable development to the future. Resources management by optimal and sustainable will give benefit to community (welfare society) and well being to state (welfare state). The research aims were: 1) to know of potency and utilization problem of mangrove acosystem, 2) to alternative formulate of mangrove ecosystem management. The research is case study by use primer and secunder data. The method analysis used were biofisic potency analysis, total economic value (TEV), and multy criteria decision making analysis. The results of research were value of species relative density (RDi) Avicennia sp is 51.37% and Sonneratia sp is 48.63%, value of species relative frekuency (RFi) Avicennia sp is 50% Sonneratia sp is 50%, value of species relative covered (RCi) Avicennia sp is 49.86% Sonneratia sp is 50.14%, based on the resulsts so that found is contirbution of Avicennia sp is dominant more on mangrove ecosystem with important value index (INP) of Avicennia sp is 151,23 and Sonneratia sp is 148,77. The Total Economic Value (TEV) is Rp.1.112.305.240. The results observation and analyze found that is primery factor of degradation of mangrove ecosystem were sedimention and freshwater fully. The alternative of mangrove ecosystem management to the future based on of results from MCDM analysis were rehabilition programe and DAS management programe. Key words: Sustainable Management, Mangrove Ecosystem, Binalatung Village
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm dan sebagainya
PRAKATA
ALLHAMDULILLAH.......,Segala puji dan syukur dihaturkan kepada Sumber daripada Kebenaran, Penggiat Semangat, Maha Penolong, Terbaik Sandaran, Maha Pemberi Hidayah, Maha Penyayang, ALLAH Subhanahu Wa Ta’ala karena berkat-NYA penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan hasil penelitian ini. Penelitian yang berisi tentang informasi pengelolaan ekosistem mangrove di daerah pesisir pulau Kota Tarakan kajian studi kasus Desa Binalatung. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan tertinggi yang tak ternilai kepada : 1.
Yth Bapak Dr. Fredinan Yulianda dan Bapak Gatot Yulianto, M.Si selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, atas keikhlasan waktu, kesabaran, bimbingan,
nasehat,
arahan
serta
dorongan
selama
perencanaan,
pelaksanaan hingga penulisan hasil penelitian 2.
Yth Bapak Dr. Unggul Aktani selaku penguji, atas waktu, kritik dan saran
3.
Yth Bapak Prof. Ismudi Muchsin, Dr. Ernan Rustiadi dan Dr. Jhon I Pariwono
yang
telah
memberikan
semangat
pada
penulis
untuk
menyelesaikan studi 4.
Yth Bapak Prof. Rohmin Dahuri, selaku Ketua Program Studi Pengelolan Sumberdaya Pesisir dan Lautan beserta staff Dosen dan staff Tata Usaha
5.
Ayahnda H. Saukani Daik, MM dan Ibunda Hj. Nur Asyikin, M.Si, kakanda Rachmawati, S.Sos dan Muhammad Yusuf Halim, M.Si atas dukungan dan doa yang tak terhingga
6.
Yth Bapak Drs Suriansyah. A, MAP, Pimpro MCRMP Kota Tarakan
7.
Yth Bapak Muhammad Firdaus, M.Si selaku PD II FPIK Universitas Borneo Kota Tarakan serta Bapak Amrullah Taqwa, S.Pi (Novi & QQ) atas bantuannya selama pelaksanaan penelitian
8.
Yth Keluarga besar bapak Ahmad dan ibu (RT 12) Desa Binalatung
9.
Rekan-Rekan Mahasiswa Program Studi Sumberdaya Pesisi dan Lautan khususnya angkatan XI atas kerjasama dan kebersamaannya
10.
Yht Bapak H. Nurdin Effendi, SE sekeluarga serta warga MEGA KOS Bogor
11.
Mba Handayani Boa, M.Si (EPN), Mba Nurul Ovia Oktawati (ESK), Mr Amin (PSL), Alm Bapak Nizamuddin, M.Si (SPL), Dimas Wiharyanto, M.Si (SPL), Mr Heppi Iromo, M.Si (BIOREP), Rizal Bahtiar (ESK) dan Mba Nana Perpus PKSPL atas dukungan, semangat dan bantuan selama penulis berada di IPB.....Hanya ALLAH SWT yang dapat membalasNYA. Amin Semoga semua yang telah diberikan mendapat balasan yang setimpal dari
ALLAH SWT, Amin.
Bogor, Agustus 2007
Dori Rachmawani
RIWAYAT HIDUP Penulis adalah anak bungsu dari pasangan ayahnda H. Saukani Daik, dan Ibunda Hj. Nur Asyikin, dilahirkan pada taggal 17 Desember 1981 di Tanjung Selor Kalimantan Timur. Pada tahun 1999 penulis lulus dari SMUN 1 Tanjung Selor, tahun 1999 penulis diterima di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman Samarinda pada Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan. Tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan Magister dan diterima pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh studi di Institut Pertanian Bogor, penulis juga melaksanakan kegiatan Magang pada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jakarta.
DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. i KATA PENGANTAR....................................................................................... ii DAFTAR ISI...................................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR......................................................................................... iv DAFTAR TABEL ............................................................................................. v PENDAHULUAN Latar Belakang .............................................................................................. 1 Perumusan Masalah ...................................................................................... 3 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 5 Manfaat Penelitian ........................................................................................ 5 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengelolaan Bekelanjutan................................................................ 6 Pembangunan Wilayah Pesisir Secara Terpadu ............................................ 8 Pulau-pulau Kecil.......................................................................................... 9 Ekosistem Hutan Mangrove.......................................................................... 11 Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Kehidupan Mangrove............... 14 Faktor Pembatas Ekosistem Mangrove......................................................... 20 Adaptasi mangrove Terhadap Habitatnya..................................................... 23 Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove.................................................... 25 KERANGKA PEMIKIRAN PENELITIAN ................................................. 27 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................................ 30 Sifat dan tipe Penelitian ................................................................................ 30 Alat yang Digunakan .................................................................................... 31 Jenis dan Sumber Data .................................................................................. 32 Pengumpulan Data ........................................................................................ 32 Analisis Data ................................................................................................. 34
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Potensi Sumberdaya Alam Potensi Fisik Wilayah ............................................................................. 45 Potensi Sumberdaya Pesisir .................................................................... 49 Sosial Ekonomi Masyarakat Kondisi Sosial ......................................................................................... 50 Kegiatan Penangkapan ............................................................................ 52 Kegiatan Pengolahan Hasil ..................................................................... 55 Aksesibilitas, Sarana dan Prasarana.............................................................. 55 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Ekosistem Bakau............................................................................ 58 Degradasi Hutan Bakau Sedimentasi Muara Sungai...................................................................... 60 Arus menyusur Pantai .................................................................... 61 Pasang surut ................................................................................... 64 Kualitas Perairan ............................................................................ 69 Aktivitas Masyarakat di Darat (Upland)........................................ 71 Genangan Air Tawar Curah Hujan ................................................................................... 79 Limpahan Air Buangan Masyarakat .............................................. 80 Kadar Garam Rendah (Salinitas) ............................................................ 81 Potensi Hutan dan Nilai Manfaat Ekonomi Potensi Biofisik ....................................................................................... 83 Nilai Total Ekonomi................................................................................ 86 Penentuan Prioritas Pengelolaan ................................................................... 94 Strategi Program Pengelolaan ....................................................................... 99 Arahan Pengendalian Sedimen ..................................................................... 101 KESIMPULAN.................................................................................................. 112 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 114 LAMPIRAN....................................................................................................... 118
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Grafik Penurunan Luasan Ekosistem Hutan Mangrove .............................. 4
2.
Tiga Pilar Pengelolaan Berbasis Ekososiosistem ........................................ 7
3.
Hubungan Timbal Balik Antara Ekosistem Alam dan Sistem Sosial di Wilayah Pesisir dan Lautan dalam Konteks Pembangunan Berkelanjutan. 8
4.
Zonasi Penyebaran Jenis Mangrove ............................................................ 18
5.
Bentuk Spesifikasi Akar pada Mangrove .................................................... 24
6.
Hubungan Ketergantungan dalam Ekosistem Mangrove ............................ 26
7.
Kerangka Pendekatan Masalah.................................................................... 29
8.
Peta Lokasi Penelitian ................................................................................. 31
9.
Desain Metode Transek Kuadrat ................................................................. 33
10. Tipologi Nilai Ekonomi Total (TEV).......................................................... 37 11. Diagram Analisis SWOT............................................................................. 43 12. Fisiografi Pulau Kota Tarakan..................................................................... 46 13. Formasi Batuan Pulau Kota Tarakan........................................................... 47 14. Ilustrasi Alat Tangkap Tugu (Trap Net) ...................................................... 53 15. Aksesibilitas Berupa Sarana Transfortasi.................................................... 56 16. Wadah Penampungan Air dan Bangunan MCK.......................................... 56 17. Bangunan Sekolah Dasar............................................................................. 57 18. Ekosistem Mangrove Pesisir Utara Desa Binalatung .................................. 59 19. Kondisi Ekosistem Mangrove ..................................................................... 60 20. Lokasi Aktivitas Masyarakat Penambang ................................................... 62 21. Kecepatan Rata-rata Arus Permukaan......................................................... 63 22. Tipe Pasang Surut Harian Ganda Kota Tarakan.......................................... 65 23. Kondisi Pasang Surut Kota Tarakan tahun 2005......................................... 67 24. Kontribusi Sektor Galian terhadap PDRB Kota Tarakan............................ 71 25. Aktivitas Penambangan Pasir dan Krikil..................................................... 73 26. Kondisi Curah Hujan Kota Tarakan tahun 2005 ......................................... 79 27. Indeks Nilai Penting (INP) ekosistem mangrove ........................................ 85 28. Lokasi Pembuatan Breakswaters Batu Ampar, Pontianak .......................... 93 29. Grafik Perbandingan antar Kriteria ............................................................. 95
30. Hirarki Penentuan Prioritas Pengelolaan..................................................... 95 31. Prioritas Pengelolaan ................................................................................... 97 32. Kontribusi Kriteria terhadap Prioritas Pengelolaan..................................... 97 33. Propagul dari Jenis Api-api (Avicennia spp) dan Prepat (Sonneratia spp) . 103 34. Konstruksi Bangunan Persemaian Bibit Mangrove .................................... 106 35. Konstruksi Alat Penahan Ombak (APO)..................................................... 107 36. Sketsa Penanaman Mangrove dengan Pembanagunan APO....................... 108
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Penyebaran Jenis-jenis Mangrove Berdasarkan Kelas Genangan............... 14
2.
Ikhtisar Dampak Kegiatan Manusia pada Ekosistem Mangrove................. 22
3.
Alat-alat yang Digunakan Dalam Penelitian ............................................... 31
4.
Jenis Data Primer dan Data Sekunder ......................................................... 32
5.
Definisi dan Contoh Komposisi Total Nilai Ekonomi (TEV)..................... 37
6.
Skala Banding secara Berpasangan ............................................................. 42
7.
Matrik SWOT .............................................................................................. 43
8.
Luas dan Sebaran Ekosistem Mangrove...................................................... 48
9.
Data Kependudukan Desa Binalatung......................................................... 50
10. Hasil Tangkapan Tugu (Togo) .................................................................... 54 11. Kondisi Hutan Mangrove dan Kriteria Baku KLH ..................................... 59 12. Parameter Perairan Pesisir Kota Tarakan .................................................... 69 13. Volume Aktivitas Penambang Pasir ............................................................ 72 14. Jumlah Pembudidaya dan Luas Lahan Budidaya ........................................ 74 15. Lokasi Usaha Penambangan Pasir Darat ..................................................... 78 16. Kualitas Air Genangan di Sekitar Mangrove Desa Binalatung................... 82 17. Jumlah Individu, Diameter Batang dan Tipe Substrat................................. 83 18. Nilai RDi, RFi, RCi, Indeks Nilai Penting .................................................. 84 19. Identifikasi Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove ........................................ 86 20. Total Nilai Manfaat Langsung..................................................................... 88 21. Total Nilai Manfaat Tidak Langsung .......................................................... 90 22. Nilai Ekonomi Total .................................................................................... 92 23. Nilai Pembobotan terhadap Sub Kriteria..................................................... 94 24. Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove dengan Rehabilitasi ........................... 98 25. Bobot, Rating dan Skor untuk Faktor Internal (IFAS) ................................ 99 26. Bobot, Rating dan Skor untuk Faktor Eksternal (EFAS) ............................ 100
PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pulau Kota Tarakan merupakan salah satu pulau yang berada di Propinsi Kalimantan Timur bagian utara yang kaya akan potensi daerah. Selain secara geografis pulau yang memiliki posisi sangat strategis sebagai jalur transportasi skala regional maupun skala internasional pulau ini juga memiliki potensi sumberdaya alam yang secara optimal belum termanfaatkan, baik yang bersifat sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resource) maupun sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resource) serta jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut. Pulau Kota Tarakan yang terletak diantara 117o34’ garis bujur barat sampai dengan 117o38’ garis bujur timur dan antara 3o19’ garis lintang utara sampai dengan 3o20’ garis lintang selatan, dengan luas 657 km2 (daratan seluas 250,80 km2 dan lautan seluas 406,53) memiliki satu atau lebih ekosistem pesisir. Ekosistem pesisir Kota Tarakan diantaranya adalah hutan mangrove (mangrove forests), karang tepi (fringging reefs) padang lamun (seagrass beds), dan pantai berpasir (sandy beach), yang mana ekosistem-ekosistem tersebut menyediakan sumberdaya alam produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan energi, media komunikasi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata. Sebagai suatu ekosistem pesisir utama pulau Kota Tarakan keberadaan ekosistem mangrove sepanjang pantai memberikan kontribusi yang sangat penting baik manfaat langsung (direct) maupun manfaat tidak langsung (indirect). Manfaat tersebut diantaranya secara fisik, khususnya dalam melindungi pantai dari gelombang, angin dan badai. Tegakan mangrove dapat melindungi pemukiman, bangunan dan pertanian dari angin kencang dan intrusi air laut. Mangrove juga memainkan peranan penting dalam melindungi pesisir dari terpaan badai. Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat lumpur, pohonnya mengurangi energi gelombang dan memperlambat arus, sementara vegetasi secara keseluruhan dapat memerangkap sedimen. Zonasi sepanjang pantai mangrove
2
tidak hanya penting untuk memperluas pantai dan membentuk pulau, tetapi juga melindungi pantai dari pengikisan secara dahsyat yang ditimbulkan oleh badai tropika yang hebat. Pada pulau-pulau di daerah delta yang berlumpur halus ditumbuhi mangrove. Peranan mangrove sangat besar untuk mempertahankan keberadaan pulau tersebut. Sebaliknya pada pulau yang hilang mangrovenya, pulau tersebut mudah disapu oleh ombak dan arus musiman selain itu jika mangrove tidak ada maka produksi laut dan pantai akan berkurang secara nyata (Naamin, 1991). Selain itu ekosistem ini juga memiliki nilai ekonomi yang bersifat long term (jangka panjang dengan tingkat diskonto rendah) sedangkan sumberdaya migas memiliki nilai ekonomi yang bersifat short term (jangka pendek dengan tingkat diskonto tinggi). Walaupun kontribusi ekonomi nyata ekosistem mangrove kurang signifikan namun kontribusi nyata dan tidak langsung (salah satunya seperti pelindung pantai dan pendukung perairan pesisir) tinggi dan kontinyu (Bengen, 2006). Obsesi pembangunan jangka panjang Kota Tarakan di era Otonomi Daerah ialah menjadikannya sebagai salah satu little singapore atau second singapore diantara little singapore yang ada di Indonesia. Obsesi ini di bangun karena diharapkan mampu menjadi daya ungkit pembangunan Indonesia menjadi “the big singapore” serta dapat divisualisasikan oleh masyarakat pulau Kota Tarakan berdasarkan kondisi geografisnya. Obsesi ini terlihat dari pesatnya peningkatan PAD dari tahun ketahun. Pada tahun 2001 nilai PAD sebesar Rp.7.866.451.361 dan jumlah tersebut meningkat pada tahun 2002 yaitu sebesar Rp.12.142.940.000. Peningkatan PAD ini menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan pemerintah dalam membangun daerah. Mengingat tujuan pembangunan Kota Tarakan adalah menjadikannya sebagai salah satu ”little singapore” diantara little singapore lainnya yang ada di Indonesia. Sementara itu, disisi lain pertambahan penduduk Kota Tarakan yang cukup pesat dari tahun ke tahun memberikan kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja di bidang usaha (investasi). Menurut BKCSKB (2005) bahwa jumlah penduduk Kota Tarakan pada tahun 2000 tercatat sekitar 116.995 jiwa dan pada tahun 2005 jumlah tersebut bertambah menjadi 168.331 jiwa atau sekitar 43,88 %.
3
Pembangunan ekonomi dan pertambahan penduduk yang terus meningkat tentunya akan memberikan pengaruh nyata terhadap keberadaan ekosistem mangrove yang ada. Akibatnya ialah jika daya dukung lingkungan (carrying capacity) mangrove tidak lagi dapat menunjang aktivitas tersebut maka degradasi lingkungan akan semakin parah. Isu utama dalam upaya pelaksanaan pembangunan saat ini adalah mengenai masalah lingkungan. Pembangunan yang selama ini berorientasi pada pertumbuhan ekonomi cenderung mengabaikan aspek lingkungan terbukti berdampak buruk tidak saja pada aspek ekologi sumberdaya, tapi juga pada aspek sosial ekonomi masyarakat seperti bencana banjir, abrasi pantai, menurunkan hasil tangkapan berupa ikan dan udang di perairan lepas pantai, pencemaran laut, erosi garis pantai, intrusi kadar garam dan lain sebagainya. Menjaga sumber kekayaan alam yang merupakan nikmat Allah SWT bagi makhluk-Nya adalah kewajiban setiap manusia. Barang siapa yang hendak mensyukuri nikmat tersebut, haruslah menjagannya dari pencemaran, kehancuran serta bentuk-bentuk lain yang termasuk dalam kategori perusakan diatas muka bumi (Al Qardhawi, 2001). Perumusan Masalah Mangrove sebagai ekosistem utama pesisir pulau Kota Tarakan memiliki fungsi yang sedemikian kompleks sebagai penunjang kehidupan dan keberadaan daerah ini. Namun peranan yang multikompleks tersebut tidak dapat berfungsi secara optimal menopang lajunya pertumbuhan penduduk dan pesatnya pembangunan daerah menuju little singapore, akibatnya luasan hutan mangrove Kota Tarakan terus mengalami penurunan yang signifikan selama dua tahun terkhir. Laporan diperoleh dari hasil kegiatan MCRMP (2004) dan Dinas Kehutanan Kota Tarakan (2005). Secara grafis penurunan luasan eksositem hutan mangrove dapat dilihat pada gambar 1. Degradasi ekosistem mangrove Kota Tarakan berdasarkan penyebabnya dapat diidentifikasi dari 2 (dua) faktor, yakni faktor internal seperti pemanfaatan secara tradisional melalui pengambilan hasil-hasil hutanya secara langsung melampaui batas dan konversi lahan untuk berbagai peruntukan. Selanjutnya penyebab dari faktor ekternalnya (di luar habitatnya) seperti penggundulan hutan
4
di daerah aliran sungai, pembangunan waduk penampung air di daerah hulu atau memindahkan aliran sungai. Departemen Kehutanan (2004) memberikan gambaran bahwa ancaman serius berasal dari manajemen DAS yang kurang baik dan meningkatnya bahan pencemar hasil industri dan domestik (rumah tangga) yang masuk kedalam daur hidrologi.
Luasan Mangrove (ha)
1400 1200
1250
1000 800
766.6
600 400 200 0 2004
2005
Gambar 1. Grafik Penurunan Luasan Ekosistem Hutan Mangrove Isu kasus kematian massal (dieback) terhadap ekosistem mangrove pesisir utara Desa Binalatung diakibatkan oleh genangan air tawar dan akar penyebabnya berasal dari faktor ekternal (diluar habitatnya) yakni berupa aktivitas masyarakat upland yang kurang tertata dengan baik sehingga dampak yang ditimbulkan berupa sedimentasi muara sungai. Proses sedimentasi muara sungai secara langsung menghambat terjadi proses percampuran air tawar dan air laut yang dibutuhkan oleh ekosistem mangrove sehingga kematian massal pada ekosistem mangrove tidak dapat dihindari. Berdasarkan kondisi tersebut pemerintah yang dalam hal ini selaku pengambil kebijakan daerah melakukan langkah-langkah aktif untuk mengurangi resiko degradasi lingkungan mangrove dengan perencanaan sampai pelaksanaan aksi pengelolaan melalui kegitan MCRMP khusus Kota Tarakan tahun 2001. Langkah-langkah aktif yang telah diupayakan diantaranya ialah dengan melakukan rehabilitasi kawasan mangrove, pemberdayaan masyarakat pesisir, dan pembangunan infrastruktur desa. Namun upaya ini dirasa kurang mampu menjawab permasalahan krusial yang terjadi khususnya di kawasan Desa Binalatung sehingga diperlukan langkah-langkah yang lebih konkrit yang
5
dibarengi dengan kajian ilmiah sehingga diharapkan mampu mengurangi permasalahan degradasi lingkungan khususya ekosistem mangrove yang terletak di pesisir utara Desa Binalatung.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian adalah: 1. Mengetahui potensi dan isu permasalahan ekosistem mangrove peisisr utara Desa Binalatung 2. Merumuskan alternatif program pengelolaan ekosistem mangrove Desa Binalatung Manfaat penelitian adalah: 1. Sebagai acuan program pengelolaan ekosistem mangrove berkelanjutan di Kota Tarakan 2. Sebagai bahan dan informasi terbaru dalam pengembangan ilmu dan pengetahuan bidang kajian pengelolaan ekosistem mangrove
TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengelolaan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED, 1987) dalam Dahuri et al., (2004). Selanjutnya Bengen (2004) berpendapat bahwa pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan visi dunia internasional sudah saatnya juga merupakan visi nasional. Visi pembangunan berkelanjutan tidak melarang aktivitas pembangunan ekonomi, tetapi meganjurkannya dengan persyaratan bahwa laju (tingkat) kegiatan pembangunan tidak melampaui daya dukung (carrying capacity) lingkungan alam. Dengan demikian, generasi mendatang tetap memiliki aset sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental service) yang sama atau kalau dapat lebih baik dari pada generasi yang hidup sekarang. Pada dasarnya pembangunan berkelanjutan merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang batas (limit) pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada didalamnya. Ambang batas yang dimaksud tidaklah bersifat mutlak (absolute), melainkan merupakan batasan yang luwes (fleksibel) yang bergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfer untuk menerima dampak kegiatan manusia. Secara garis besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi: (1) dimensi ekologis, (2) dimensi sosial ekonomi budaya, (3) dimensi sosial politik, dan (4) hukum dan kelembagaan. (Dahuri et al., 2004). Konsep pengelolaan lain yang berbasis Sosial-Ekosistem yang juga telah diperkenalkan oleh Meffe et al., (2002) dalam INRR (2005) menggambarkan bahwa pada dasarnya pendekatan ini mengintegrasikan antara pemahaman ekologi dan nilai-nilai sosial ekonomi. Dalam hal ini tujuan pengelolaan berbasis ekosistem adalah memelihara, menjaga kelestarian dan integritas ekosistem sehingga pada saat yang sama mampu menjamin keberlanjutan suplai sumberdaya untuk kepentingan sosial ekonomi manusia. Rejim kolaboratif untuk mencapai
7
tujuan tersebut adalah tiga pilar pengelolaan berbasis ekologi, sosial ekonomi dan institusi (Gambar 2). Dari gambar tersebut, terdapat 4 konteks kebijakan yang masing-masing merupakan irisan dari dua perspektif tersebut.
Gambar 2 Tiga Pilar Pengelolaan Berbasis Sosial-Ekosistem (Meffe et al., 2002) Gambar diatas dapat dijelaskan bahwa daerah A adalah zona otoritas pengelolaan (zone of management authority) dimana institusi pengelola mendapatkan mandat dari masyarakat untuk melakukan regulasi terhadap pengambilan keputusan yang terkait dengan ekosistem. Daerah B disebut sebagai darah kewajiban masyarakat (zone of societal obligations) dimana kebijakan yang diambil institusi menitikberatkan pada kepentingan masyarakat. Sementara itu daerah C adalah daerah pengaruh (zone of influence) di mana dinamika keterkaitan antara sistem alam dan sistem sosial ekonomi terjadi dalam konteks proses dan bukan pada regulasi atau otoritas. Dengan kata lain proses saling mempengaruhi antar keduanya menjadi fokus utama dari perspektif daerah C. Terakhir daerah D sering pula disebut sebagai daerah interaksi bersama (zone of win-win-win partnership) di mana fokus utama pembangunan berbasis pada sistem sosial-ekologi berada. Dalam konteks ini, pandangan ketiga pilar pengelolaan berbasis sosial-ekosistem menjadi sama penting dan diwujudkan dalam kebijakan pembangunan yang komprehensip dan terpadu.
8
Pembangunan Wilayah Pesisir Secara Terpadu Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya dan kegiatan pembangunan secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Cicin-Sain dan Knect (1998) menyatakan bahwa pengelolaan terpadu adalah suatu proses dinamis dan kontinyu dalam membuat keputusan untuk pemanfaatan, pembangunan dan perlindungan kawasan pesisir lautan beserta sumberdaya alamnya secara berkelanjutan. Secara tekhnis didefinisikan bahwa suatu upaya pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam kawasan pesisir dan lautan untuk kesejahteraan manusia sedemikian rupa, sehingga laju (tingkat) pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan termasuk tidak melebihi daya dukung (carrying capacity) kawasan pesisir dan lautan untuk menyediakannya. Kebijakan dan program Pembangunan : 2 Ekonomi 2 Ekologi 2 Sosial
Pemantauan & Evaluasi
Ekstraksi SDA Sistem Alam (Ekosistem Pesisir & Lautan)
Pemanfaatan Ruang
Barang Aktivitas Pembangunan
Jasa
Sistem Sosial (Manusia)
Pemanfaatan Jasling Pencemaran Limbah Tangkap
Kepunahan Jenis
Erosi / Sedimentasi
Overeksploitasi Sumberdaya Alam Degradasi Fisik Habitat Modifikasi Bentang Alam
Gambar 3 Gambar Hubungan Timbal Balik Antara Ekosistem Alam dan Sistem Sosial di Wilayah Pesisir dan Lautan dalam Konteks Pembangunan Berkelanjutan (Dahuri, 2006)
9
Konteks keterpaduan (integration) mengandung tiga dimensi yakni dimensi sektoral, dimensi bidang ilmu dan dimensi keterkaitan ekologis (Dahuri et al., 2004). 1.
Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration) dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten sampai tingkat pusat (vertical intergration)
2.
Keterpaduan dari sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa di dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan dasar pendekatan interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu
3.
Wilayah pesisir tersusun dari berbagai macam ekosistem yang satu sama lainnya saling terkait, tidak berdiri sendiri. Perubahan dan kerusakan yang menimpa satu ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya. Selain itu, wilayah pesisir juga di pengaruhi oleh berbagai kegiatan manusia (up lands areas) maupun lautan lepas (oceans). Keterpaduan diperlukan karena memperhatikan segenap keterkaitan ekologis (ecological linkage) yang dapat mempengaruhi suatu wilayah pesisir Pulau-pulau Kecil Batasan pulau kecil sebagaimana yang dituangkan dalam UNCLOS (1992,
Bab VIII Pasal 121 ayat 1) ” Pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu berada / muncul di atas permukaan air pasang tinggi”. Selanjutnya berdasarkan SK Mentri Kelautan dan Perikanan No.41 tahun 2000 yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau yang mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan 10.000 km2, dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 200.000 orang. Batasan yang sama juga digunakan oleh Hess dalam Bengen at al., (2006) namun dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 500.000 orang. Alternatif batasan pulau kecil yang dikemukakan pada pertemuan CSC, 1984 menetapkan pulau kecil adalah pulau dengan luas area maksimum 5.000 km2 .
10
Bila batasan pulau kecil didasarkan pula pada pemanfaatan sosial ekonomi dan demografi, maka pemanfaatan pulau kecil dengan ukuran kurang dari 2000 km2 hendaknya berbasis pada konservasi. Dengan berpijak pada basis konservasi maka hanya sekitar 50% dari luas area pulau kecil dimaksud yang seyogyanya dimanfaatkan bagi berbagai peruntukan sosial ekonomi dan demografi. Apabila mengacu pada batasan pulau kecil yang ditetapkan oleh DKP tahun 2001 dan pemanfaatan yang berbasis konservasi, maka pulau kecil dengan ukuran kurang dari 2000 km2 hendaknya berjumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 20.000 jiwa. Secara topografi pulau daratan Kota Tarakan termasuk dalam kelompok pulau alluvium. Pulau alluvium umumnya terbentuk didataran pantai yang landai sebuah pulau atau di depan muara-muara sungai besar, dimana laju pengendapan sedimen lebih tinggi dibandingkan dengan laju erosi oleh arus dan gelombang laut. Potensi penyebaran air tanah ditemukan pada ekuifer pasir di alur sungai atau di pasir sempadan pantai dan dipengaruhi oleh perubahan musim. Sedimen pulau alluvium sebagian terbentuk oleh endapan sedimen klasik kasar dan sebagian berpasir dan lempung serta ada juga yang bergambut dan biasa terdapat alur sungai kecil, dengan tumbuhan nipah dan mangrove terlihat mendominasi. (Bengen et al., 2006) Beberapa karakteristik yang umum dijumpai di pulau-pulau kecil dapat dikategorikan kedalam aspek lingkungan hidup, sosial-ekonomi dan budaya. Karakteristik yang berkaitan dengan lingkungan hidup menurut Brookfield (1990) dalam Dahuri (2003) antara lain: (1) Pulau kecil memiliki daerah resapan (catchment area) yang sempit, sehingga sumber air tanah yang tersedia sangat rentan terhadap pengaruh intrusi air laut, terkontaminasi akibat netrifikasi dan kekeringan (2) Pulau-pulau kecil memiliki daerah pesisir yang sangat terbuka (ratio antara panjang garis pantai dengan luas area relatif besar sehingga lingkungannya sangat mudah dipengaruhi oleh aksi gelombang yang berasal dari badai (3) Spesises organisme yang hidup di pulau-pulau kecil pada umumnya bersifat endemik dan perkembangannya lambat, sehingga mudah tersaingi oleh organisme tertentu yang didatangkan dari luar pulau
11
(4) Pulau-pulau kecil memiliki sumber daya alam terrestrial yang sangat terbatas, baik yang berkaitan dengan sumberdaya alam mineral, air tawar maupun dengan kehutanan dan pertanian Selanjutnya karakteristik yang berkaitan dengan faktor sosial-ekonomi dan budaya, menurut Hein (1990) dalam Dahuri (2003) antara lain adalah: (1) Pulau-pulau kecil memiliki infrastruktur yang sangat terbatas sehingga sulit mengundang kegiatan bisnis dari luar pulau (diseconomies of scale) (2) Pulau-pulau kecil memiliki pasar domestik dan sumberdaya alam yang kecil, sehingga iklim usahanya kurang kompetitif. Hal ini akan mempersulit terjalinnya kerjasama melalui perdagangan internasional yang sangat kompetitif (3) Kegiatan ekonomi di pulau-pulau kecil sangat terspesialisasi, yakni untuk ekspor dan tergantung pada impor. Secara historis hal ini mungkin di pengaruhi oleh kebiasaan pada zaman kolonial, dimana wilayah daratan pulau-pulau kecil hanya dikembangakan untuk penanaman rempah-rempah, kelapa atau coklat (4) Pulau-pulau kecil biasanya sangat tergantung pada bantuan luar meskipun memiliki potensi sebagai tempat yang posisinya bernilai strategis (5) Penduduk pulau-pulau kecil jumlahnya tidak banyak dan biasanya mereka saling mengenal satu sama lain serta terikat oleh hubungan persaudaraan. Hal ini akan menyulitkan pengambilan kebijakan, proses administrasi, dan manajemen program kegiatan Ekosistem Mangrove Ekosistem
mangrove
sangat
penting
artinya
dalam
pengelolaan
sumberdaya pesisir terutama pulau-pulau kecil. Fungsi terpenting mangrove adalah sebagai penyambung darat dan laut. Tumbuhan, hewan, benda-benda lainnya dan nutrisi tumbuhan ditransfer ke arah darat atau ke arah laut melalui mangrove. Mangrove berperan sebagai filter untuk mengurangi efek yang merugikan dan perubahan lingkungan utama dan sebagai sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan biota darat. Selain itu, ekosistem ini juga berfungsi dalam
12
mengolah limbah melalui penyerapan kelebihan nitrat dan phospat sehingga dapat mencegah pencemaran dan kontaminasi di perairan sekitarnya. Salah satu komponen utama penyusun ekosistem mangrove adalah mangrove. Mangrove atau mangal adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (Nybakken, 1988). Mangrove adalah salah satu diantara sedikitnya tumbuh-tumbuhan tanah timbul yang tahan terhadap salinitas laut terbuka (Odum, 1993). Kita seringkali mendengar dan menyebut: “mangrove”. Istilah mangrove adalah sebutan bagi jenis utama pohon mangrove (Rhizophora spp.) yang dominan hidup di habitat pantai. Walaupun tidak sama dengan istilah mangrove banyak orang atau penduduk awam menyebut mangrove sebagai mangrove atau secara singkat disebut mangrove. Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon (seperti : Avicennia spp., Sonneratia spp., Rhizophora spp., Bruguiera spp., Ceriops spp., Lumnitzera spp., Exoecaria spp., Xylocarpus spp., Aegiceras spp., Scyphyphora spp. dan Nypa spp.) yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2004). Menurut Snedaker (1978) mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa disuatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob. Mangrove adalah tumbuhan halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketingian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis (Aksornkoae, 1993). Karakteristik habitat mangrove yakni; (1) umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir, (2) daerah yang tergenang air laut secara berkala baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi mangrove, (3) menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat, (4) terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air yang bersalinitas payau (2-22 permil) hingga asin (mencapai 38 permil).
13
Cakupan sumberdaya mangrove secara keseluruhan menurut Kusmana et al, (2005) terdiri atas: (1) satu atau lebih spesies tumbuhan yang hidupnya terbatas di habitat mangrove, (2) spesies-spesies tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun juga dapat hidup di habitat non-mangrove, (3) biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri dan lain-lain) baik yang hidupnya menetap, sementara, sekalikali, biasa ditemukan, kebetulan maupun khusus hidup di habitat mangrove, (4) proses-proses alamiah yang berperan dalam mempertahankan ekosistem ini baik yang berada didaerah bervegetasi maupun diluarnya, dan (5) daratan terbuka/hamparan lumpur yang berada antara batas hutan sebenarnya dengan laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi serta kondisi tanah yang kurang stabil. Dengan kondisi lingkungan seperti ini beberapa jenis mangrove mengembangkan mekanisme yang memungkinkan aktif mengeluarkan garam dari jaringan, sementara yang lain mengembangkan sistem akar nafas untuk membantu memperoleh oksigen bagi sistem perakarannya. Mangrove dapat berkembang sendiri yakni tempat dimana tidak terdapat gelombang, kondisi fisik pertama yang harus terdapat pada daerah mangrove ialah gerakan air yang minimal. Kurangnya gerakan air ini mempunyai pengaruh yang nyata. Gerakan air yang lambat dapat menyebabkan partikel sedimen yang halus cenderung mengendap dan berkumpul di dasar. Hasilnya berupa kumpulan lumpur, jadi substrat pada rawa mangrove biasanya lumpur. Substrat inilah yang nantinya bermanfaat bagi penambahan luasan suatu daerah. Jenis-jenis pohon mangrove umumnya menyebar di pantai yang terlindung dan di muara-muara sungai, dengan komposisi jenis yang berbeda bergantung pada kondisi habitatnya. Berdasarkan berbagai hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa penyebaran jenis mangrove tersebut berkaitan dengan salinitas, tipe pasang, dan frekuensi penggenangan. Dalam hal ini, Watson (1928), Chapman (1994) dan de Hann (1931) membuat korelasi antara salinitas, frekuensi genangan pasang (kelas genangan) dan jenis pohon mangrove yang tumbuh pada daerah yang bersangkutan. (Tabel 1)
14
Tabel 1 Penyebaran Jenis-jenis Pohon Mangrove Berdasarkan Kelas Genangan Tipe Pasang/Kelas Penggenagan Watson (1928)
Kelas Penggenangan (Salinitas dan Frekuensi)
Frekuensi Pengenangan Chapman (1944)
Jenis Pohon Dominan
A. Payau sampai asin, salinitas 10-30 ppt, selalu tergenang A1. 1-2 Kulur, min 20 hr/bln
530 - 700 kali
Avicennia spp Sonneratia spp
400 - 530 kali/th
Rhizophora spp Bruguiera spp
1. Pasang tingi tertinggi
2. Pasang tinggi ratarata
A2. 10-19 hr/bln
3. Pasang tinggi normal
A3. 9 hr/bln
4. Pasang tinggi musim
A4. Beberpa hr/bln
5. Pasang tinggi badai
B. Air tawar sampai payau B1. Jarang tergenang pasang
Xylocarpus spp Heritiera spp 150 - 250 kali/th
4-100 kali/th
Lumnitzera spp Bruguiera spp Scyphypora spp jenis-jenis 'marginal' halophyta Nypa frutican Oncosperma, Carbera
Sumber: Kusmana (2005)
Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kehidupan Mangrove Menurut Dahuri et al., (2004) bahwa batasan lingkungan utama yang dapat memberikan pengaruh terhadap kelestarian mangrove (menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove), yaitu: 1.
Suplai air tawar dan salinitas Ketersediaan air tawar dan konsentrasi kadar garam (salinitas)
mengendalikan efisiensi metabolik (metabolic efficiency) dan ekosistem mangrove. Ketersediaan air tawar bergantung pada: (a) frekuensi dan volume air dari sistem sungai dan irigasi dari darat, (b) frekuensi dan volume air pertukaran pasang surut, dan (c) tingkat evaporasi ke atmosfer. Walaupun spesies mangrove memiliki mekanisme adaptasi terhadap salinitas tinggi (ekstrem), namun tidak adanya suplai air tawar yang mengatur kadar garam tanah dan isi air bergantung pada tipe tanah dan sistem pembuatan irigasi. Perubahan penggunaan lahan darat mengakibatkan terjadinya modifikasi masukan air tawar, tidak hanya mengubah kadar garam yang ada, tetapi dapat mengubah aliran nutrien dan sedimen.
15
2.
Pasokan Nutrien Pasokan nutrien bagi ekosistem mangrove ditentukan oleh berbagai proses
yang saling terkait, meliputi input dari ion-ion mineral anorganik dan bahan organik serta pendaurulangan nutrien secara internal melalui jaring-jaring makanan berbasis detritus (detrital food web). Konsentrasi relatif dan nisbah (rasio) optimal dari nutrien yang diperlukan untuk pemeliharaan produktivitas ekosistem mangrove ditentukan oleh: (a) frekuensi, jumlah dan lamanya penggenangan oleh air asin atau air tawar dan (b) dinamika sirkulasi internal dari kompleks detritus. 3.
Stabilitas Substrat Kestabilan substrat, rasio antara erosi dan perubahan letak sedimen diatur
oleh velositas air tawar, muatan sedimen, semburan air pasang surut dan gerak angin. Arti penting dari perubahan sedimentasi terhadap spesies mangrove tergambar dari kemampuan mangrove untuk menahan akibat yang menimpa ekosistemnya. Pokok-pokok perubahan sedimentasi dalam ambang batas kritis meliputi: (a) penggumpalan sedimen yang diikuti dengan kolonisasi oleh mangrove, (b) nutrien, bahan pencemar dan endapan lumpur yang dapat menyimpan nutrien dan menyaring bahan beracun (waste toxic). Kusmana et al., (2005) berpendapat bahwa terdapat beberapa faktor lingkungan yang mendukung ekosistem mangrove (struktur, fungsi, komposisi dan distribusi spesies, dan pola pertumbuhan) yakni, sebagai berikut: 1.
Fisiografi Pantai Topografi pantai merupakan faktor penting yang mempengaruhi
karakteristik strukur mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi spesies dan ukuran serta luas mangrove. Semakin datar pantai dan semakin besar pasang surut, maka semakin lebar mangrove yang akan tumbuh 2.
Iklim 2.1 Cahaya Umumnya tanaman mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari tinggi dan penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat ideal bagi mangrove. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk pertumbuhan
16
mangrove adalah 3000-3800 kkal/m2/hari. Pada saat masih kecil (semai) tanaman mangrove memerlukan naungan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa: -
Intensitas cahaya 50% dapat meningkatkan daya tumbuh bibit Rizophora mucronata dan Rhizophora apiculata
-
Intensitas cahaya 75% mempercepat pertumbuhan bibit Bruguiera gymnorrhiza
-
Intensitas cahaya 75% menigkatkan pertumbuhan tinggi bibit Rhizophora
mucronata,
Rhizophra
apiculata,
dan
Bruguiera
gymnorrhiza 2.2 Curah hujan Curah hujan mempengaruhi faktor lingkungan seperti suhu air dan udara, salinitas air permukaan tanah yang berpengaruh pada daya tahan spesies mangrove. Dalam hal ini mangrove tumbuh subur di daerah dengan curah hujan rata-rata 1500-3000 mm/tahun. 2.3 Suhu udara Suhu penting dalam proses fisiologis seperti fotosíntesis dan respirasi. Kusmana (1993) mendapatkan bahwa mangrove yang terdapat di bagian Timur pulau Sumatera tumbuh pada suhu rata-rata bulanan dengan kisaran dari 26,3oC pada bulan Desember sampai dengan 28,7oC. Hutching dan Saenger (1987) mendapatkan kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan beberapa jenis tumbuhan mangrove, yaitu Avicennia marina tumbuh baik pada suhu 18-20oC, Rhizophora stylosa, Criops spp., Exceocaria agallocha dan Lumnitzera racemosa petumbuhan daun segar tertinggi dicapai pada suhu 26-28oC, suhu optimum Bruguiera spp. 27oC, Xylocarpus spp. bekisar antara 21-26oC dan Xylocarpus granatum 28oC. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 20oC dan pebedaan suhu musiman tidak melebihi 5oC kecuali di Afrika Timur dimana perbedan suhu musiman mencapai 10oC.
17
2.4 Angin Angin berpengaruh tehadap gelombang dan arus pantai, yang dapat menyebabkan abrasi dan mengubah struktur mangrove, meningkatkan evapotranspirasi dan angin kuat dapat menghalangi pertumbuhan dan menyebabkan karakteristik fisiologis abnormal, namun demikian diperlukan untuk proses polinasi dan penyebaran benih tanaman 3.
Pasang Surut Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove.
Durasi pasang surut berpengaruh besar tehadap perubahan salinitas pada areal mangrove. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi spesies mangrove, terutama distribusi horizontal. Pada areal yang selalu tergenang hanya Rhizophora mucronata yang tumbuh baik, sedang Bruguiera spp dan Xylocarpus spp jarang mendominasi daerah yang sering tergenang 4.
Gelombang dan Arus Gelombang pantai yang dipengaruhi angin dan pasut merupakan penyebab
penting abrasi dan suspensi sedimen. Pada pantai berpasir dan berlumpur, gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut. Partikel besar atau kasar akan mengendap, terakumulasi membentuk pantai berpasir. Mangrove akan tumbuh pada lokasi yang arusnya tenang 5.
Salinitas Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dalam
pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10-30 ppt. Beberapa spesies dapat tumbuh di daerah dengan salinitas sangat tinggi. Di Australia dilaporkan Avicennia marina dan Exceocaria agallocha dapat tumbuh di daerah dengan salinitas maksimum 63 ppt, Ceriops spp 72 ppt, Sonneratia spp 44 ppt, Rhizophora apiculata 65 ppt dan Rhizophora stylosa 74 ppt. Mangrove merupakan vegetasi yang bersifat salt-tolerant bukan salt-demanding, oleh karenanya mangrove dapa tumbuh secara baik di habitat air tawar. Kebanyakan mangrove tumbuh di habitat maritim mungkin disebabkan oleh beberapa faktor
18
sebagai berikut: (a) penyebaran biji/propagul mangrove terbatas oleh daya jangkau pasang surut, (b) anakan mangrove kalah bersaing dengan tumbuhan darat, dan (c) mangrove dapat mentoleransi kadar garam. Berdasarkan salinitas kita mengenal zonasi mangrove sebagai berikut (De Hann dalam Russell dan Yonge, 1968) dalam Bengen, (2004): Zona air payau hingga air laut dengan salinitas pada waktu terendam air pasang berkisar antara 10-30 ppt: -
Area yang terendam sekali atau dua kali sehari selama 20 hari dalam sebulan hanya Rhizophora mucronata yang masih dapat tumbuh
-
Area yang terendam 10-19 kali per bulan, ditemukan Avicennia (Avicennia alba, Avicennia marina), Sonneratia spp dan dominan Rhizophora spp
-
Area yang terendam kurang dari sembilan kali setiap bulan, ditemukan Rhizophora spp, Bruguiera spp
-
Area yang terendam hanya beberapa hari dalam setahun, Bruguiera gymnorrhiza dominan dan Rhizophora apiculata masih dapat hidup
Zona Air Tawar hingga air payau, dimana salinitas berkisar antara 0-10 ppt : -
Area yang kurang lebih masih dibawah pengaruh pasang surut, asosiasi Nipah
-
Area yang terendam secara musiman, Hibiscus dominan
Gambar 4 Zonasi Penyebaran Jenis Mangrove (DepHut, 2006)
19
6.
Oksigen terlarut Oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove
(terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan dekomposisi serasah sehingga konsentrasi oksigen terlarut beperan mengontrol distribusi dan pertumbuhan mangrove. Konsentrasi oksigen terlarut bervareasi menurut waktu, musim, kesuburan tanah dan organisme akuatik. Konsentrasi oksigen terlarut harian tertinggi dicapai pada siang hari dan terendah pada malam hari. Aksornkoae (1978) mendapatkan konsentrasi oksigen terlarut di mangrove 17-34 mg/l, lebih rendah dibanding di luar mangrove yang besarnya 4,4 mg/l. 7.
Tanah Tanah mangrove dibentuk oleh akumulasi sedimen yang berasal dari
pantai dan erosi daerah hulu sungai. Mangrove terutama tumbuh pada tanah lumpur, namun berbagai jenis mangrove dapat tumbuh di tanah berpasir, koral, tanah berkerikil bahkan tanah gambut. 8.
Nutrien Nutrien mangrove dibagi atas nutrien inorganik dan detritus organik.
Nutrien inorganik penting adalah N dan P (jumlahnya sering terbatas), serta K, Mg, dan Na (selalu cukup). Sumber nutrien inorganik adalah hujan, aliran permukaan, sedimen, air laut dan bahan organik yang terdegradasi. Detritus organik adalah nutrien organik yang berasal dari bahan-bahan biogenik melalui beberapa tahap degradasi mikrobial. Detritus organik berasal dari authochthonous (fitoplankton, diatom, bakteri, algae, sisa orgaisme dan kotoran organisme) dan allochthonous (partikulat dari air, limpasan sungai, partikel tanah dari pantai dan erosi tanah, serta tanaman dan hewan yang mati di zona pantai dan laut). 9.
Proteksi Mangrove berkembang baik pada daerah pesisir yang terlindungi dari
gelombang yang kuat dapat menghempaskan anakan mangrove. Daerah yang dimaksud dapat berupa laguna, teluk, estuaria, delta dan lain-lain. Beberapa ahli ekologi mangrove bependapat bahwa faktor-faktor lingkungan yang paling berperan dalam pertumbuhan mangrove adalah tipe tanah, salinitas, drainase dan
20
arus yang semuannya diakibatkan oleh kombinasi pengaruh dari fenomena pasang surut dan ketinggian tempat dari rata-rata muka air laut. Faktor Pembatasan Lingkungan Mangrove Supriharyono (2000), mengemukakan bahwa faktor-faktor pembatas lingkungan mangrove diantaranya adalah berupa faktor fisika-kimia dan adanya aktivitas manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. 1.
Faktor Fisika-Kimia Mangrove diketahui memiliki daya adaptasi fisiologi yang sangat tinggi.
Mereka tahan terhadap lingkungan dengan suhu perairan tinggi, fluktuasi salinitas yang luas dan tanah yang anaerob (tanpa udara). Salah satu faktor yang penting dalam adaptasi fisiologis tersebut adalah sistem pengudaraan di akar-akarnya. Tidak semua tumbuhan memperoleh oksigen untuk akar-akarnya dari tanah yang mengandung oksigen, mangrove tumbuh di tanah yang tidak mengandung oksigen dan harus memperoleh hampir seluruh oksigen untuk akar-akar mereka dari atmosfer. Walaupun tumbuhan mangrove dapat berkembang pada kondisi lingkungan yang buruk, akan tetapi setiap tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mempertahankan diri terhadap kondisi lingkungan fisik-kimia di lingkungannya. 2.
Aktivitas Manusia 2.1 Pencemaran Pencemaran yang terjadi pada areal mangrove terutama disebabkan oleh minyak dan logam berat. Dua sumber utama pencemaran areal mangrove ini merupakan dampak negatif dari kegiatan pelayaran, industri serta kebocoran pada pipa/tanker industri dan tumpahan dalam pengangkutan 2.2 Konversi Lahan Hutan Budidaya Perikanan Konversi mangrove untuk bididaya perikanan, terutama untuk tambak ikan menyebabkan terdegradasinya mangrove yang subur dalam skala yang cukup luas
21
Pertanian Sebagian besar pertanian di areal mangrove terdiri atas pada sawah dan perkebunan kelapa. Kegiatan ini dilakukan oleh penduduk di kawasan pesisir Jalan Raya, Industri serta Jalur dan Pembangkit Listrik Area mangrove banyak yang dikonversi untuk pembuatan jalan raya, pembangunan pembangkit dan jalur listrik guna mendukung arus transportasi hasil industri, perdagangan, penduduk dan hasil-hasil lainnya yang melewati kawasa mangrove. Industri perikanan, industri tanaman dan hasil hutan kayu, pengeringan udang dan sebagainya yang didirikan di kawasan mangrove juga telah mengkonversi hutan ini dalam areal yang cukup luas Produksi Garam Garam dihasilkan dari air laut yang pembuatannya banyak dilakukan di areal mangrove. Tempat pembuatan garam ini merupakan areal mangrove yang dikonversi yang tingkat kerusakannya bersifat irreversible Perkotaan Urbanisasi menybabkan terjadinya konversi mangrove yang lokasinya
berdekatan
dengan
perkotaan.
Selain
dijadikan
lokasi
pemukiman, mangrove tersebut dikonversi pula untuk keperluan jalan raya, tambak, pelabuhan, pembuangan limbah dan lain-lain Pertambangan Pertambangan, terutama minyak bumi cukup banyak dilakukan di areal mangrove. Lahan diperlukan untuk tempat penggalian sumur bor, tempat penyimpanan minyak mentah, pipa, pelabuhan, perkantoran dan pemukiman pekerja. Minyak yang mencemari mangrove dalam berbagai cara juga menyebabkan degradasi mangrove Penggalian Pasir Penggalian
pasir
menyebabkan
kerusakan
mangrove. Penambangan pasir dalam skala luas
pada
ekosistem
22
2.3 Penebangan (Pemanenan Hasil Hutan) yang Berlebihan Penebangan kayu mangrove secara legal maupun illegal dilakukan untuk produksi kayu bakar, arang, chips dan sebagainya telah berlangsung lama. Eksploitasi
tersebut
dilakukan
secara
berlebihan,
sehingga
telah
menimbulkan kerusakan yang berat dan menurunkan fungsi serta potensi produksi sebagian besar mangrove. Uraian secara ringkas dampak kegiatan manusia pada ekosistem mangrove dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2 Ikhtisar Dampak Kegiatan Manusia Terhadap ekosistem Mangrove Kegiatan
Dampak Potensial
1.
Tebang Habis.
2.
Penggalian aliran air tawar, 2 misalnya pada 2 pembangunan irigasi.
3.
Konversi menjadi lahan 2 pertanian, perikanan, pemukiman dan lain-lain. 2
2 2
2 2
Berubahnya komposisi tumbuhan mangrove Tidak berfungsinya daerah mencari makanan dan pengasuhan Peningkatan salinitas mangrove Menurunnya tingkat ksuburan hutan
Mengancam regenerasi stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan mangrove Terjadi pecemaran laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya diikat oleh substrat mangrove Pendangkala perairan pantai Erosi garis pantai dan intrusi garam
4.
Pembuangan sampah cair
2
Penurunan kandungan oksigen terlarut, timbul gas H2S.
5.
Pembuangan sampah padat
2
Kemungkinan terlapisnya pneumatofora yang mengakibatkan matinya pohon mangrove Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat.
2
6.
Pencemaran tumpahan
7.
Penebangan dan ekstraksi 2 mineral, baik di dalam hutan maupun di daratan 2 sekitar mangrove
Sumber : Bengen, 2004
minyak 2
Kematian pohon mangrove
Kerusakan total ekosistem mangrove, sehingga memusnahkan fungsi ekologis mangrove (daerah mencari makanan dan asuhan) Pengendapan sediemen yang dapat mematikan pohon mangrove.
23
Adaptasi Mangrove Terhadap Habitatnya Tumbuhan pada habitat mangrove telah mengembangkan beberapa penyesuaian sehingga dapat mempertahankan diri di dalam lingkungan yang berkadar garam tinggi dan tergenang air, seperti: 1.
Adaptasi terhadap Konsentrasi Garam Tinggi Dalam kaitannya dengan adaptasi terhadap kandungan garam, mangrove di
kelompokkan menjadi: (a) salt-excreting mangrove (Avicennia spp, Aegiceras spp, Aegialitis spp) dan (b) non-salt excreting mangrove (Rhizophora spp, Bruguiera spp, Sonneratia spp, dan lain-lain). Sehubungan dengan ini Hutching dan Saeger (1987) dalam Kusmana et al, (2005) mengemukakan tiga cara mangrove beradaptasi terhadap garam sbagai berikut: 1.1 Sekresi Garam (salt extrusion/salt secretion) Tumbuhan mangrove menyerap air dengan salinitas tinggi kemudian mengeksresikan garam dengan kelenjar garam yang terdapat pada daun. Mekanisme ini dilakukan oleh Avicennia spp, Sonneratia spp, Aegiceras spp, Aegialitis spp, Acanthus spp, Laguncularia spp dan Rhizophora spp (melalui unsur-unsur gabus pada daun) 1.2 Mencegah Masuknya Garam (salt exclusion) Tumbuhan mangrove menyerap air tetapi mencegah masuknya garam melalui saringan (ultra filter) yang terdapat pada akar. Mekanisme ini dilakukan oleh Rhizophora spp, Ceriops spp, Sonneratia spp, Avicennia spp, Osbornia spp, Bruguiera spp, Excoecaria spp, Aegiceras spp, Aegalitis spp, dan Acrostichum spp. 1.3 Akumulasi Garam (salt accumulation) Tumbuhan mangrove seringkali menyimpan Na dan Cl pada bagian kulit kayu, akar dan daun yang lebih tua. Daun menyimpan garam umumnya sekulen dan pengguguran daun sekulen ini diperkirakan merupakan mekanisme mengeluarkan kelebihan garam yang dapat menghambat pertumbuhan dan pembentukan buah. Mekanisme adaptasi akumulasi garam ini terdapat pada Excoecaria spp, Lumnitzera spp, Avicennia spp, Osbornia spp, Rhizophora spp, Sonneratia spp dan Xylocarpus spp.
24
2.
Adaptasi terhadap Substrat Lumpur dan Kondisi Tergenang Untuk menghadapi habitatnya berupa substrat lumpur dan selalu tergenang
(reaksi anaerob), tumbuhan mangrove beradaptasi dengan membentuk akar-akar khusus untuk dapat tumbuh dengan kuat dan membantu mendapatkan oksigen. Bentuk perakaran mangrove tersebut adalah sebagai berikut : 2.1 Akar Pasak (pneumatophore) Akar pasak berupa akar yang muncul dari sistem akar kabel dan memanjang ke luar arah udara seperti pasak. Akar pasak ini terdapat pada Avcennia spp, Xylocarpus spp dan Sonneratia spp. 2.2 Akar Lutut (knee root) Akar lutut merupakan modifikasi dari akar kabel yang pada awalnya tumbuh kearah permukaan substrat. Kemudian melengkung menuju ke substrat lagi. Akar lutut ini terdapat pada Bruguiera spp. 2.3 Akar Tunjang (stilt root) Akar tunjan merupakan akar (cabang-cabang akar) yang keluar dari batang dan tumbuh ke dalam substrat. Akar ini terdapat pada Rhizophora spp. 2.4 Akar Papan (buttress root) Akar papan hampir sama dengan akar tunjang tetapi akar ini melebar menjadi bentuk lempeng mirip struktur silet. Akar ini tedapat pada Heritiera. 2.5 Akar Gantung (aerial root) Akar gantung adalah akar yang tidak bercabang yang muncul dari batang atau cabang bagian bawah tetapi biasanya tidak mencapai substrat. Akar gantung terdapat pada Rizophora sp, Avicennia sp, dan Acanthus sp. 1
4
2
3
Gambar 5 Bentuk Spesifikasi Akar pada Bakau (Dori.R, 2006) (1. Akar Papan, 2. Akar Lutut, 3. Akar Tongkat, 4. Akar Cakar Ayam)
25
Fungsi dan Manfaat Ekologis Sebagai mana tumbuhan lainnya, mangrove mengkonversi cahaya matahari dan unsur hara (nutrien) menjadi jarigan tumbuhan (bahan organik) melalui proses fotosintesis. Tumbuhan mangrove merupakan sumber makanan potensial, dalam berbagai bentuk bagi semua biota yang hidup di ekosistem mangrove. Bengen (2004), komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem mangrove berbeda dengan tumbuhan pada umumnya, bukan tumbuhan itu sendiri melainkan detritus yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, buah, batang dan sebagainya). Nutrien mangrove di bagi atas nutrien anorganik dan detritus organik. Nutrien anorganik penting adalah N dan P (jumlahnya sering terbatas), serta K, Mg, dan Na (selalu cukup). Sumber nutrien anorganik adalah hujan, aliran permukaan, sedimen, air laut dan bahan organik yang terdegradasi. Detritus organik adalah nutrien organik yang berasal dari bahan biogenik melalui beberapa tahap degradasi mikrobial. Detritus organik berasal dari authochthonous (fitoplankton, diatom, bakteri, algae, sisa organisme dan kotoran organisme) dan allochthonous (partikulat dari air limpasan sungai, partikel tanah dari pantai dan erosi tanah, serta tanaman dan hewan yang mati di zona pantai dan laut). Sebagian detritus didekomposisi oleh bakteri dan fungi menjadi nutrien yang terlarut dapat secara langsung dimanfaatkan oleh fitoplankton, algae maupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses fotosintesis. Sebagian lain dari detritus dimanfaatkan oleh ikan, udang dan kepiting sebagai makanannya. Proses makan memakan dalam berbagai kategori dan tingkatan biota membentuk suatu jala makanan (CSC/NOAA, 2001 dalam Prihatini, 2003)
26
(b)
(a)
Gambar 6. (a) Hubungan Ketergantungan dalam Ekosistem Mangrove. (b) Asosiasi Ekosistem Mangrove. (DepHut, 2006) Fungsi ekologis mangrove sebagai suatu ekosistem khas wilayah pesisir, diantaranya adalah: -
Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran permukaan (run off)
-
Sebagai penghasil sejumlah besar detritus
-
Sebagai daerah asuhan, daerah mencari makanan dan daerah pemijahan bermacam biota perairan baik yang hidup di perairan pantai maupun lepas pantai
KERANGKA PEMIKIRAN
Aktivitas-aktivitas pengembangan wilayah dalam rangka menuju little singapore memberikan kontribusi yang cukup tinggi bagi peningkatan PDRB pulau Kota Tarakan namun di sisi lain tingginya nilai ekonomi dari dampak lingkungan yang timbul akibat adanya aktivitas-aktivitas tersebut juga tak dapat dihindari. Secara logis kedua fenomena tersebut saling memainkan peranan penting bagi kemajuan pembangunan dan eksistensi suatu pulau. Menurut Bengen (2006) bahwa fungsi dan peranan ekosistem pesisir dan laut di pulau-pulau kecil adalah sebagai pengatur iklim global, siklus hidrologi dan biogeokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan. Pengelolaan berkelanjutan berbasis ekosistem menjadi instrumen penting dalam menunjang aktivitas ekonomi pulau Kota Tarakan. Dimana pada dasarnya konsep ini menggambarkan bahwa pulau Kota Tarakan dengan wilayah laut yang luas, merupakan himpunan integral dari komponen hayati dan nir-hayati yang mutlak dibutuhkan masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. (Bengen, 2006). Komponen hayati dan nir-hayati secara fungsi saling berinteraksi membentuk suatu sistem, yang mana apabila terjadi perubahan pada salah satu dari kedua komponen tersebut maka akan dapat mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada baik dalam kesatuan struktur fungsi maupun dalam keseimbangannya. Kelangsungan fungsi kawasan pulau Kota Tarakan sangat menentukan kelestarian dari sumberdaya hayati sebagai komponen utama dalam ekosistem pulau tersebut. Langkah pertama yang dilakukan untuk menelaah isu degradasi ekosistem mangrove yakni dengan menduga penyebab kematian masal (dieback) pada mangrove disebabkan oleh kadar salinitas air genangan yang rendah disekitar ekosistem tersebut. Kadar salinitas yang rendah utamanya dipicu oleh sedimentasi muara sungai dan genangan air tawar. Dimana kedua hal tersebut secara langsung dapat menghambat terjadinya proses sirkulasi air laut dan tawar yang sangat dibutuhkan oleh ekosistem mangrove, sehingga pada akhirnya kematian massal (dieback) tak dapat dihindari.
28
Langkah kedua ialah menganalisis potensi ekosistem yang tersisa dengan menggunakan analisis biofisik ekosistem mangrove dan penilaian ekonomi total dari ekosistem tersebut. Dari kedua analisis tersebut diperoleh gambaran persentase penutupan dan kerapatan pohon mangrove (pohon/ha) serta nilai ekonomi total yang dimiliki oleh ekosistem mangrove yang tersisa guna menentukan arahan program pengelolaan selanjutnya yang akan dilaksanakan untuk mengurangi degradasi ekosistem. Langkah ketiga ialah membuat rencana strategi dan program pengelolaan ekosistem mangrove Desa Binalatung berdasarkan atas isu kematian massal (dieback) yang terjadi dan analisis potensi ekosistem mangrove aktual dengan menggunakan analisis pengambilan keputusan berdasarkan pada banyak kriteria atau dapat disebutkan Multy Criteria Decision Making (MCDM). Dalam melakukan analisis MCDM semua komponen analisis di input untuk mendukung kerangka pengelolaan terhadap ekosistem mangrove, baik data yang sifatnya kuantitatif maupun kualitatif. Komponen yang di input meliputi: dimensi ekologiekosistem, dimensi sosial-ekonomi masyarakat dan dimensi kelembagan pemerintah berupa PERDA yang berkaitan dengan wilayah pesisir Kota Tarakan. Dari analisis MCDM diperoleh tingkat prioritas kepentingan terhadap strategi pengelolaan berkelanjutan ekosistem mangrove yang di rekomendasikan. Dalam program pengelolaan berkelanjutan khususnya Desa Binalatung diharapkan pada tujuan akhir akan di capai pengelolaan yang diarahkan pada perlindungan kawasan atau konservasi ekosistem mangrove. Konteks kawasan perlindungan yang direkomendasikan bukan berarti tidak ada pemanfaatan namun sebaliknya kawasan yang sifatnya sustainable use. Hal ini utamanya bagi masyarakat setempat yang sebagian besar menggantungkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dari hasil perikanan yang disediakan oleh ekosistem mangrove. Secara terperinci kerangka pendekatan masalah untuk mengurangi degradasi ekosistem bakau Desa Binalatung dapat dilihat pada Gambar 7 berikut.
29
Pengelolaan Ekosistem Mangrove Desa Binalatung yang Berkelanjutan
(Yes)
Sedimentasi muara sungai Salinitas
Ekosistem Mangrove
Genangan Air Tawar
Sustainable Use
(No) Perlindungan dan Rehabilitasi Kawasan mangrove
Degradasi Ekosistem Mangrove
Analisis Strategi Pengelolaan
Analisis Potensi dan Nilai Manfaat
Multy Criteria Decision Making (MCDM)
Strategi dan Program Pengelolaan Mangrove Desa Binalatung
Gambar 7 Kerangka Pendekatan Masalah
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksananakan pada bulan Maret sampai dengan bulan Mei 2006 di Desa Binalatung Kecamatan Tarakan Timur Kota Tarakan Propinsi Kalimantan Timur. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa: (i) belum optimalnya program pengelolaan ekosistem mangrove yang ditawarkan oleh Pemerintah Kota Tarakan melalui kegiatan MCRMP; (ii) tingkat kerusakan sumberdaya ekosistem mangrove tergolong tinggi. Lokasi dapat dilihat pada Gambar 8. Sifat dan Tipe Penelitian Penelitian yang digunakan adalah studi kasus (case study). Penelitian ini adalah penelitian yang menjelaskan bahwa: studi kasus adalah arah mikro (menyorot satu atau beberapa kasus) dan studi kasus adalah strategi penelitian yang bersifat multi-metode. Lazimnya penelitian kasus akan memadukan metode pengamatan, wawancara dan analisis dokumen. (Stake, 1994:236; Adelman dkk. dikutip Nisbet dan Watt, 1994: 4; Yin, 1996: 18 dalam Sitorus, 1998). Kajian studi kasus yang dilakukan dalam penelitian ini merujuk pada tipe studi kasus instrumental yang menyatakan bahwa kajian atas suatu kasus khusus untuk memperoleh wawasan atas suatu isu atau wawasan untuk menyempurnakan teori. Dalam hal ini fungsi kasus adalah sebagai pendukung atau instrument untuk membantu peneliti dalam memahami suatu permasalah tertentu. (Stake, 1994; 237 dalam Sitorus, 1998). Strategi studi kasus merupakan metode yang dianggap tepat untuk sebuah studi yang berkaitan dengan ”how” dan ”why”, serta tepat pula bagi para peneliti yang hanya memilki peluang sangat kecil atau tidak mempunyai peluang sama sekali untuk melakukan kontrol terhadap peristiwa tersebut (Yin, 1997 dalam Lenggono, 2004).
31
Gambar 8 Peta Lokasi Penelitian (Desa Binalatung) Alat yang Digunakan Alat-alat yang digunakan selama mengadakan survei lapangan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Alat-alat yang Digunakan dalam Penelitian No Alat
Fungsi
1.
GPS
Mengetahui posisi atau titik pengamatan
2.
Roll Meter
Membuat transek kuadrat
3.
Alat Tulis
Sarana pengumpulan data
4.
Tali Rafia
Membuat transek kuadrat
5.
Hand Held Refractometer
Mengetahui Salinitas
6.
Hanna Instrument
Mengetahui suhu
7.
Handycam
Dokumentasi
8.
Buku identifikasi mangrove
Mengetahui jenis mangrove
9.
Kuisioner
Untuk memperoleh informasi dari berbagai pihak yang terkait (masyarakat, stakeholders dan institusi pemerintah yang terkait)
Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer terdiri data potensi dan manfaat keberadaan hutan mangrove serta data sosial ekonomi masyarakat Desa
32
Binalatung, sementara data sekunder terdiri dari sumber-sumber yang menunjang penelitian seperti penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, PERDA yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove, laporanlaporan yang berasal dari instansi terkait. Secara lengkap data primer dan sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini tersaji pada Tabel 4. Tabel 4 Jenis Data Primer dan Data Sekunder No 1.
Data Primer
Data Sekunder Kondisi oseanografi daerah kajian
Ekosistem Mangrove
a. Potensi (jenis mangrove, jumlah Laporan kegiatan MCRMP Kondisi topografi dan fisiografi
tegakan serta jenis substrat)
b. Nilai Manfaat Ekonomi (manfaat Kota Tarakan dalam Angka langsung, manfaat tidak langsung, Perda Tata Ruang 2006 manfaat
pilihan
dan
manfaat Perda No.4 th 2002 ttg larangan dan pengawasan hutan mangrove Kota
keberadaan) 2.
Sosial
Ekonomi
Masyarakat
Binalatung. 3.
Desa Tarakan Perda No.18 th 2002 ttg ijin usaha
Sosial Ekonomi Masyarakat Penambang pertambangan bahan galian gol C Pasir Juata.
Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi: (1) data ekosistem mangrove, dan (2) data sosial ekonomi masyarakat setempat. Secara terperinci pengumpulan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.
Data ekosistem mangrove a. Potensi Tegakan Metode penentuan atau peletakan transek kuadrat dilakukan secara acak (random sampling) dan ukuran transek kuadrat 30m x 30m. Kusmana (1997) pertimbangan utama dalam penentuan ukuran kuadrat adalah kehomogenan vegetasi dan morfologi jenis tumbuhan yang diukur. Dalam hutan yang homogen ketepatan untuk intensitas sampling tertentu cenderung lebih besar karena jumlah satuan contoh bersifat bebas satu sama lain akan banyak.
33
10m 30m x 30m
30m x 30m
30m x 30m
Gambar 9 Desain Metode Transek Kuadrat b. Pendekatan Nilai Manfaat Nilai manfaat ekonomi suatu ekosistem mangrove didekati dengan beberapa metode penilaian dengan mengkuantifikasikannya ke dalam nilai uang (Rp), seperti: -
Nilai Pasar Nilai atau harga pasar sebenarnya (actual price) dari barang dan jasa yang diperdagangkan dalam suatu sistem tukar-menukar yang lazim di daerah tersebut. Pendekatan ini digunakan untuk komponen sumberdaya yang dapat langsung diperdagangakan, seperti potensi perikanan (kepiting), dan daun nipah serta digunakan untuk menilai manfaat langsung dari penggunaan suatu komponen sumberdaya.
-
Harga tidak langsung Pendekatan ini digunakan bila mekanisme pasar gagal memberikan nilai manfaat tidak langsung suatu komponen sumberdaya (market failure) karena terjadi gangguan terhadap pasar komponen sumberdya tersebut (market distortion) atau komponen sumberdaya tersebut belum memiliki pasar (non-existence of market). Estimasi manfaat hutan mangrove sebagai penahan abrasi pantai. Metode yang digunakan adalah replacement cost atau biaya penganti. Biaya dari pembuatan beton tersebut sebagai biaya pengganti akibat dampak lingkungan, dapat digunakan sebagai perkiraan minimum dari manfaat yang diperoleh untuk memelihara maupun memperbaiki lingkungan.
34
-
CVM (Contigent Valuation Method) Contigent Valuation merupakan salah satu teknik valuasi yang bersifat partisipatif karena memungkinkan terjadinya diskusi publik. Meskipun demikian kelemahan utama dalam teknik ini adalah asumsi bahwa individu maupun kelompok individu merupakan target contigent valuation akan berfikir secara rasional dalam menentukan nilai ekonomi sebuah fungsi ekosistem, padahal dalam kenyataanya sifat ini tidak semua dimiliki oleh individu atau kelompok individu. (Adrianto, 2006)
-
Nilai Ekonomi Total (NET) Nilai ekonomi total merupakan penjumlahan dari seluruh manfaat yang telah diidentifikasi, yaitu nilai manfaat langsung (NML), nilai manfaat tidak langsung (NMTL), nilai manfaat pilihan (NMP), nilai manfaat keberadaan (NMK).
2.
Data Sosial Ekonomi Masyarakat Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling dengan
pertimbangan bahwa sampel yang diambil adalah masyarakat yang lama tinggal di daerah setempat, sehingga diharapkan mampu memberikan gambaran secara terperinci mengenai kondisi wilayah kajian. Data sosial ekonomi ini dikumpulkan melalui teknik wawancara secara mendalam (depth interview). Teknik ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh semua informasi yang diperlukan. Secara garis besar data sosial ekonomi meliputi: identitas responden, pekerjaan utama, persepsi masyarakat terhadap ekosistem mangrove serta persepsi masyarakat terhadap degradasi lingkungan. Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian berupa analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Metode analisis deskriptif digunakan untuk: (i) mendeskripsikan pengelolaan aktual ekosistem mangrove, (ii) mendeskripsikan kondisi pesisir khususnya pasut, arus, dan iklim. Metode analisis kuantitatif digunakan untuk: (i) mengetahui potensi biofisik ekosistem mangrove desa Binalatung; (ii) mengetahui nilai manfaat dari keberadaan suatu ekosistem
35
mangrove serta; (iii) memberikan alternatif program pengelolaan berdasarkan bobot penilaian. Analisis Potensi Biofisik Ekosistem Mangrove Analisis potensi ekosistem mangrove dimaksudkan untuk mengetahui persentase penutupan dan kerapatan pohon (pohon/ha). Analisis ini menggunakan data hasil pengukuran langsung di lapangan, berupa jumlah individu (IND), diameter batang (DB), tipe substrat dan luas petak contoh yang diambil. Selanjutnya dilakukan analisis potensi: 1.
Kerapatan Jenis (Di) adalah jumlah tegakan jenis i dalam satuan unit area :
Di =
ni ........................................................ A
(1)
dimana ni adalah jumlah total tegakan dari jenis i dan A adalah luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/Plot) 2.
Kerapatan Relative Jenis (RDi) adalah perbandingan antara jumlah tegakan jenis I (ni) dan jumlah total tegakan seluruh jenis (Σn) : ⎛n ⎞ RDi = ⎜⎜ i ⎟⎟ x100 ............................................ ⎝ Σn ⎠
3.
(2)
Frekuensi Jenis (Fi) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam petak contoh/plot yang diamati :
Fi =
pi .......................................................... Σp
(3)
dimana Fi adalah frekuensi jenis i, pi adalah jumlah petak contoh/plot dimana ditemukan jenis i, dan p adalah jumlah total petak contoh/plot yang diamati. 4.
Frekuensi Relatif Jenis ( RFi ) adalah perbandingan antara frekuensi jenis ( Fi ) dan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis ( ΣF ) :
⎛ F ⎞ RFi = ⎜ i ⎟ x100 ........................................... ⎝ ΣF ⎠ 5.
(4)
Penutupan Jenis ( Ci ) adalah luas penutupan jenis i dalam suatu unit area:
Ci =
ΣBA ....................................................... A
(5)
36
BA =
πDBH 2 4
dalam cm2, DBH = πCBH dalam cm, CBH adalah lingkaran
pohon. 6.
Penutupan Relatif Jenis (RCi) adalah perbandingan antara luas area penutupan jenis i (Ci) dan luas total area penutupan untuk seluruh jenis ( ΣC ), ⎛C ⎞ RC i = ⎜ i ⎟ x100 ........................................... ⎝ ΣC ⎠
7.
(6)
Nilai Penting Jenis (IVi) : IVi = RDi + RFi + RCi Nilai penting memberikan gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove.
Analisis Nilai Manfaat Ekonomi Ekosistem Mangrove
Analisis nilai manfaat ekonomi (economic valuation) terhadap ekosistem mangrove dimaksudkan bahwa dalam konteks pembangunan berkelanjutan dimensi ekologi diperlukan suatu penilaian terhadap ekosistem hutan mangrove. Hal ini mutlak diperlukan agar institusi pemerintah selaku pembuat dan pengambil kebijakan perlu mempertimbangkan nilai fungsi yang terkandung dalam ekosistem tersebut agar dalam melaksanakan pembangunan daerah otonom keberadaan ekosistem mangrove menjadi pertimbangan yang penting untuk keberlanjutan suatu pulau. Nilai ekonomi total (TEV) merupakan penjumlahan dari nilai ekonomi berbasis pemanfaatan/penggunaan (Use Value; UV) dan nilai ekonomi berbasis bukan pemanfaatan/penggunaan (Non-use Value; NUV).(Barton, 1994, Barbier, 1993, Freeman III, 2002 dalam Adrianto, 2006). Gambar 10 menyajikan diagram nilai ekonomi total (TEV) dari ekosistem mangrove pesisir utara Desa Binalatung.
37
Total Economic Value
Use Value
Direct Use Value
Non-Use Value
Indirect Use Value
Option Value
Existance Value
Gambar 10 Tipologi Nilai Ekonomi Total (TEV) Secara garis besar definisi dari tipologi nilai-nilai ekonomi yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Definisi dan Contoh Komposisi Total Nilai Ekonomi (TEV) No
Jenis Nilai
Definisi
1.
Direct Use Value
2.
Indirect Value
3.
Option Value
Nilai ekonomi yang diperoleh dari potensi pemanfaatan langsung maupun tidak langsung dari sebuah sumberdaya/ ekosistem di masa datang
Manfaat keanekaragaman hayati, spesies baru dll
4.
Exisance Value
Nilai ekonomi yang diperoleh dari sebuah persepsi bahwa keberadaan (existance) dari sebuah ekosistem/sumberdaya itu ada, terlepas dari apakah ekosistem/sumberdaya tersebut dimanfaatkan atau tidak
Habitat terancam punah; endemic spesies
Nilai ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan langsung dari sebuah sumberdaya/ekosistem
Use Nilai ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan tidak langsung dari sebuah sumbrdaya/ ekosistem
Sumber :Adrianto, 2004
Contoh Manfaat perikanan kayu mangrove, genetic material dll Fungsi ekosisetem mangrove sebagai natural breakwaters, fungsi terumbu karang sebagai spawning ground bagi jenis ikan karang dll
38
Identifikasi manfaat dan fungsi yang terkait dengan sumberdaya ekosistem mangrove Desa Binalatung: 1.
Nilai Manfaat langsung (NML). Nilai manfaat langsung adalah nilai ekonomi yang diperoleh dari
pemanfaatan langsung dari sebuah sumberdaya atau ekosistem. Berdasarkan hasil observasi langsung yang dilakukan di Desa Binalatung bahwa nilai ini diperoleh dari pemanfaatan kepiting mangrove (Scylla sp) dan daun Nipah (Nypa). potensi pohon sebagai penyedia bahan tiang pancang. Nilai manfaat ini dapat dirumuskan sebagai berikut : n
DUV = ∑ DUVi ............................................
(7)
i =1
Dimana, DUV1 : manfaat penangkapan kepiting DUV2 : manfaat daun Nipah 2.
Nilai Manfaat Tidak Langsung (NMTL) Nilai manfaat tidak langsung adalah nilai ekonomi yang diperoleh dari
pemanfaatan tidak langsung dari suatu ekosistem mangrove yang dalam hal ini adalah manfaat fisik berupa penahan abrasi atau erosi pantai dan potensi pohon sebagai tempat berasosiasinya berbagai macam biota perairan serta manfaat biologi sebagai tempat penyedia makanan bagi ikan. Penilaian manfaat fisik diestimasi dari fungsi ekosistem mangrove sebagai penahan abrasi/erosi pantai. Pengestimasian nilai dengan menggunakan alat pemecah gelombang (breakswater) yang terbuat dari bahan beton dengan daya tahan bangunan selama 10 tahun. Menurut Aprilwati (2001) untuk membuat bangunan pemecah gelombang dengan ukuran 1m x 11m x 2,5m (p x l x t) diperlukan biaya sebesar Rp.4.163.880, kemudian biaya tersebut dikonversi dengan besaran nilai inflasi BI rate yang terjadi tahun 2005. Sementara itu fungsi pohon didekati dengan penjualan kayu mangrove (harga pasar lokal). Penilaian manfaat biologis dilakukan dengan cara melihat fungsi mangrove sebagai feeding ground bagi spesies-spesies perairan pasut. Fungsi ini didekati dengan model hubungan regresi antara luasan hutan mangrove (ha)
39
dengan produksi udang (kg) (Naamin, 1984 dalam Fachrudin, 1996). Model regresi yang dimaksud adalah sebagai berikut: Y = 16,286 + 0,0003536 X ...........................................
(8)
Dimana, Y : Produksi udang (kg) X : Luasan hutan mangrove (ha)
Secara keseluruhan total nilai manfaat tidak langsung yang disediakan oleh sumberdaya ekosistem mangrove adalah : n
IUV = ∑ IUVi ...............................................
(9)
i =1
Dimana, IUV1 : Manfaat penahan abrasi pantai IUV2 : Manfaat pohon IUV2 : Manfaat hutan ekosistem mangrove sebagai feeding ground. 3.
Nilai Manfaat Pilihan (NMP) Nilai manfaat pilihan merupakan suatu nilai yang diperoleh dari potensi
pemanfaatan langsung maupun tidak langsung dari sebuah sumberdaya/ekosistem di masa datang. Manfaat pilihan untuk hutan mangrove biasanya didekati dengan menggunakan metode benefit transfer. Metode ini dilakukan dengan cara menilai perkiraan manfaat dari tempat lain (di mana sumberdaya tersebut tersedia) kemudian manfaat tersebut ditransfer untuk memperoleh perkiraan yang kasar mengenai manfaat dari lingkungan (Fauzi, 1999 dalam Santoso, 2005). Untuk menilai manfaat pilihan suatu ekosistem mangrove maka dilakukan dengan pendekatan nilai keanekaragaman hayati (Biodeversity). Manfaat ini diperoleh berdasarkan hasil penelitian Ruitenbeek (1991) dalam Fachruddin (1996). Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut: OV = US $ 15 per ha x luas hutan mangrove.................................... (10)
40
4.
Nilai Manfaat Keberadaan (NMK) Nilai Manfaat Keberadaan di peroleh dengan cara mengalikan nilai rata-
rata (Rp) yang diberikan oleh responden terhadap keberadaan hutan mangrove per ha per tahun dengan luas hutan mangrove secara keseluruhan. Menurut FAO (2000) dalam Adrianto (2005). MWTP =
1 n ∑ Yi ............................................. n i =1
(11)
Dimana, n = Jumlah sampel Yi = Besarnya WTP yang diberikan responden ke-i Selanjutnya untuk mengestimasi nilai reboisasi (pemeliharaan) terhadap ekosistem mangrove pesisir utara Desa Binalatung yang terdegradasi akibat kematian secara massal (dieback) selama 10 (sepuluh) tahun dilakukan dengan menggunakan Cost-Benefit Analysis (CBA), yaitu :
(Bt − Ct ) t t =1 (1 + r ) n
NPV = ∑
...................................................
(12)
Dimana : Bt : manfaat yang diperoleh dari penggunaan ekosistem mangrove Ct : biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh manfaat dari penggunaan
ekosistem mangrove terssebut t
: kurun waktu penilaian (tahun)
r
: faktor diskonto (discount rate)
Kurun waktu penilaian (t) yang digunakan adalah 10 (dua puluh) tahun. Secara ekologi kurun waktu tersebut digunakan berdasarkan perkiraan bahwa umur mangrove sudah mencapai pada pembentukan sistem ekologis. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Mackinnon, et.al. (2000) bahwa mangrove jenis Rhizophora sp mulai berbuah pada umum empat tahun dan pada umumnya
melakukan regenerasi dengan baik.
41
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam mealakukan cost-benefit analysis meliputi: 1.
Tidak terjadi bencana alam seperti gelombang pasang, illegal logging, dan konvesi areal mangrove.
2.
Kegiatan reboisasi (pemeliharaan) berjalan dengan baik selama waktu yang telah digunakan.
Multy Criteria Decision Analisis (MCDM)
Metode MCDM merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengambil suatu keputusan berdasarkan pada analisis yang dilakukan terhadap kriteria. Metode ini menitikberatkan pada kriteria-kriteria yang dibangun berdasarkan kondisi aktual yang terjadi seperti kriteria ekologi-ekosistem mangrove, sosial-ekonomi masyarakat dan kelembagaan (kebijakan pemerintah). Metode MCDM terbagi lagi kedalam tiga kategori yakni mutiple attribute utility theory (MAUT), outranking methods dan interactive methods. Dalam
penelitian ini peneliti memfokuskan pada penggunaan metode multiple attribute utility theory (MAUT). Metode ini menitikberatkan pada hubungan yang saling
terkait antara atribut (kriteria), atau dengan kata lain bagaimana keterkaitan antara kriteria-kriteria
yang
dibangun
(ekologi-ekosistem,
sosial-ekonomi
dan
kelembagaan) dapat menjadi suatu dasar yang kuat dalam mengambil suatu keputusan dalam upaya mengurangi tingkat degradasi kawasan ekosoistem mangrove khususnya Desa Binalatung. Bidang analisis ini memerlukan sejumlah pendekatan dengan menghitung banyak sub-sub kriteria untuk membentuk struktur yang mendukung proses pengambilan keputusan. Dalam formulasi digunakan software CRIPLUS versi 3.0. MCDM dibuat dalam bentuk hirarkhi dengan empat elemen, yaitu goal, objectives, criteria dan alternative. Penerimaan Metode MCDM pada beberapa
bidang ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya: 1) metode ini memiliki kemampuan menangani jenis data yang bervariasi (kuantitatif, kualitatif, campuran dan pengukuran yang intangible), 2) dapat mengakomodasi perbedaan yang diinginkan dalam kriteria, 3) skema bobot yang bervariasi, menghadirkan prioritas yang berbeda atau pandangan dari stakeholders yang berbeda, dapat diterapkan pada MCDM, 4) Teknik MCDM tidak membutuhkan penentuan nilai,
42
5) prosedur analisis atau agregasi dalam MCDM relatif sederhana dan straigforward
Tahapan proses yang dilakukan dalam untuk melakukan analisis Multy Criteria Decision Making (MCDM), terdiri atas:
1.
Identifikasi kriteria dan sub kriteria
2.
Penilaian dalam hal ini adalah pemberian bobot terhadap subkriteria dengan menggunakan SMART (simple multyattribute rating technique). Pembobotan menggunakan skala 1-9 (Saaty, 1991). Secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Skala yang Digunakan dalam Subkriteria dalam Analisis MCDM Intensitas Definisi Pentingnya Kedua elemen sama pentingnya. 1
Penjelasan Dua elemen menyumbangnya sama besar pada sifat itu.
3
Elemen yang satu sedikit lebih Pengalaman dan pertimbangannya sama menyokong satu elemen atas penting ketimbang yang lainnya. yang lainnya.
5
dan pertimbangan Elemen yang satu esensial atau Pengalaman sangat penting ketimbang elemen dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen yang lainnya. yang lainnya.
7
Satu elemen jelas lebih penting Satu elemen dengan kuat di sokong dan dominannya telah terlihat dalam dari elemen yang lainnya praktik.
9
Satu elemen mutlak lebih penting Bukti yang menyokong elemen yang satu atas yang lain memiliki tingkat ketimbang elemen yang lainnya penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan
2,4,6,8
Nilai-nilai antara di antara dua Kompromi diperlukan antara dua pertimbangan pertimbangan yang berdekatan
Sumber : Saaty, 1991 Analisis SWOT/Formulasi Strategi
Menentukan strategi dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove Desa Binalatung saat ini digunakan analisis SWOT. Secara umum SWOT adalah singkatan dari lingkungan internal Strengths dan weaknesses serta lingkungan ekternal opportunities dan threats. Secara rinci analisis ini membandingkan antara faktor eksternal peluang (opportunities) dan ancaman (threats) dengan faktor
43
internal kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 11. Berbagai Peluang 3. Mendukung strategi turn-around
1. Mendukung Strategi agresif
Kelemahan Internal
Kekuatan Internal 4. Mendukung Strategi defensif
2. Mendukung Strategi Diversifikasi
Berbagai Ancaman
Gambar 11 Diagram analisis SWOT Proses penyusunan perencanaan strategi melalui 3 (tiga) tahap analisis, yaitu: a.
Tahapan pengumpulan data, dalam tahap ini data-data yang digunakan adalah data yang telah dikumpulkan dalam analisis MCDM
b.
Tahapan analisis, pada tahapan ini digunakan pendekatan dengan matrik SWOT. Hal pertama yang dalam penentuan martik tersebut ialah dengan mengetahui faktor strategi internal (IFAS) dan faktor strategi eksternal (EFAS). Selanjutnya unsur-unsur yang terdapat didalam IFAS dan EFAS dihubungkan dalam bentuk matrik dengan tujuan untuk mendapatkan alteratif strategi. Secara terperinci bentuk marik SWOT dapat dilihat pada Tabel 7
Tabel 7 Matrik SWOT IFAS
Kekuatan (Strengths)
EFAS Peluang Strategi Kekuatan Peluang (Opportunies) Menciptakan strategi menggunakan kekuatan memanfaatkan peluang Ancaman Strategi Kekuatan Ancaman (Treaths) Menciptakan strategi menggunakan kekuatan mengatasi ancaman Sumber: Rangkuti, 2004
Kelemahan (Weaknesses)
Strategi Kelemahan Peluang yang Menciptakan strategi yang untuk meminimal kelemahan untuk memanfaatkan peluang Strategi Kelemahan Ancaman yang Menciptakan strategi kelemahan yang dan menghindari ancaman
44
-
Strategi kekuatan peluang, dibuat untuk memanfatkan seluruh kekuatan guna memanfaatkan pelung sebesar-besarnya
-
Strategi kelemahan peluang, dibuat untuk menggunakan seluruh kekuatan untuk mengatasi ancaman
-
Strategi kelemahan peluang, diterakan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada
-
Strategi kelemahan ancaman, didasarkan pada kegiatan yang bersifat bertahan dan berusaha meminimalkan kelemahan
c.
Tahap pengambilan keputusan
KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Kawasan Desa Binalatung yang terletak pada posisi 3o21’43,46” utara dan 117o39’17,11” timur secara administratif termasuk dalam wilayah Kelurahan Pantai Amal Kecamatan Tarakan Timur. Desa yang terletak di pesisir utara Pantai Amal atau berada di Timur Laut pulau Kota Tarakan. Di tengah-tengah desa mengalir sungai Binalatung yang bermuara di ujung desa dan di selatan desa terdapat sungai pasang surut. Desa ini juga dikelilingi hutan rawa yang memanjang mulai dari bagian barat sampai ke bagian utara. Desa yang memiliki banyak potensi sumberdaya alam belum secara optimal dapat dimanfaatkan oleh masyarakat karena keterbatasan pegetahuan masyarakat setempat dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap kondisi desa tersebut. Potensi sumberdaya alam dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terdapat di Desa Binalatung dapat digambarkan sebagai berikut:
Potensi Sumberdaya Alam 1.
Potensi Fisik Wilayah Secara topografis Desa Binalatung merupakan daerah datar dengan kelas
ketinggian berkisar antara 0-25 meter di atas permukaan laut. Pada umumnya daerah yang memiliki ketinggian tersebut memiliki karakteristik sebagai berikut: -
Tanah yang bersifat organik kadang-kadang asam (pH < 7)
-
Air tanah payau
-
Daerah pengendapan sungai
-
Dataran rendah sampai sedikit berlereng
-
Tanggul pantai, tanggul sungai berisi air tanah dan tidak terendam
-
Kelembaban udara dan suhu tinggi
-
Kadang-kadang tergenang
-
Mempunyai air tahan yang baik dan mudah dicapai
-
Kemungkinan untuk dapat diairi cukup besar
-
Tanah cukup dalam dan subur
-
Dapat terjadi erosi
46
Fisiografi merupakan bentuk permukaan bumi di pandang dari faktor dan posisi pembentuknya. Fisiografi suatu daerah dapat dipakai untuk mengetahui faktor dan proses pembentukan permukaan bumi. Sedangkan pembagian bentuk permukaan bumi berdasarkan tipe fisiografinya dimaksudkan untuk memberikan gambaran dan memudahkan dalam melakukan identifikasi penggunaan tanah. Sehingga kenampakan fisiografi merupakan hal yang cukup penting dalam membantu proses perencanaan wilayah. Secara keseluruhan wilayah Desa Binalatung bila ditinjau dari fisiogafinya termasuk dalam daerah endapan pasir pantai (beaches) dan daerah rawa pasut (tidal swamp). Daerah endapan pasir pantai yaitu daerah punggung pasir di pantai pesisir dengan wilayah dasar vareasi lereng kurang dari 2% dan perbedaan tinggi kurang dari 2 meter; sedangkan daerah rawa pasut yaitu daerah dataran rendah di tepi pantai yang selalu dipengaruhi pasang surut air laut dan ditumbuhi hutan mangrove dan nipah, bentuk wilayah datar dengan vareasi lereng kurang dari 2% dan perbedan tinggi kurang dari 2 meter. Potensi fisiografi Desa Binalatung dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12 Fisiografi Pulau Kota Tarakan
47
Secara umum formasi jenis batuan yang terdapat di pulau Kota Tarakan yang tersebar di empat kecamatan meliputi Qa berupa lumpur lanau, pasir, kerikil dan kerakal seluas 9.022 ha atau 35,97%; dan TPQs berupa Batu, pasir kwarsa, batu lempung, batu lanau, batu bara, lignit dan konglomerat seluas 16.058 ha atau 64,03%. Berdasarkan peta geologi lembar Tarakan Kalimantan Timur skala 1:250.000 (Dishut Propinsi Kaltim, 2006) formasi yang terdapat di Kota Tarakan secara keseluruhan tersusun dari batuan sedimen kuarter. Batuan tersebut tersusun dari bahan-bahan lepas yang terdiri atas liat, debu, pasir, krikil dan bahan organik. Secara sfesifik formasi tersebut dikenal sebagai formasi aluvium (Qa) dengan batuan penyusun lumpur, lanau, pasir, kerikil dan kerakal yang menindih formasi di bawahnya secara tak selaras, berasal dari endapan sungai, rawa da pantai, berumur holosen sampai resen. Untuk jenis batuan yang ada di Desa Binalatung yang termasuk dalam jenis batuan Qa yang dominan lumpur lanau dan pasir, dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Formasi Batuan Pulau Kota Tarakan
48
Telaah peta land system tahun 1997, bahwa habitat mangrove yang terdapat di Kota Tarakan tersebar pada dua satuan lahan yakni satuan lahan kahayan (KHY) dan satuan lahan kajapah (KJP). Secara jelas luasan satuan lahan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Luas dan sebaran Ekosistem Mangrove pada setiap satuan lahan pada kecamatan pesisir Kota Tarakan No
Kecamatan
Satuan Lahan (ha) KHY
KJP
Jumlah
1
Tarakan Barat
1079
513
1592
2
Tarakan Tengah
429
-
429
3
Tarakan Timur
1019
-
1019
4
Tarakan Utara
1598
56
1654
Jumlah
4125
569
4694
Satuan lahan KHY terbentuk dari bahan induk endapan sungai berupa pasir atau bahan organik. Fisiografi lahan berupa daratan atau cekungan dengan kemiringan lahan <2%. Tanah-tanah pada satuan lahan KHY pada umumnya tersebar agak kedalam dimana pengaruh air sungai masih kuat. Hasil telaah peta tanah pulau Kalimantan skala 1:1.000.000 yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (PPT), badan Pengembangan Pertanian tahun 1993 bahwa jenis tanah yang ada pada sistem lahan ini merupakan asosiasi jenis tropaquepts, fluvaquents dan tropohemist (USDA, 1990). Berdasarkan sistem klasifikasi tanah PPT tahun 1983 termasuk kedalam jenis gleisol, alluvial dan organosol (tanah gambut) yang mana tanah-tanah tersebut tergolong ke dalam tanah dengan tingkat perkembangan awal. Tanah gleisol dalam proses pembentukannya sering dipengaruhi oleh air yang ditandai adanya lapisan glei yang berwarna keabu-abuan, memiliki tekstur tanah yang tergolong halus (lempung) serta konsistensi tanah tergolong lekat. Tanah alluvium merupakan tanah yang belum dikembangkan dan merupakan hasil pengendapan bahan–bahan berupa partikel yang terbawa oleh aliran sungai ataupun laut dan terendapkan di sekitar pinggiran sungai ataupun pantai, tekstur tanah tergolong halus (lempung) serta konsistensi tanah tergolong gembur. Tanah organosol (tanah gambut) merupakan hasil pelapukan bahan organik (sisa-sisa
49
tanaman), pada umumnya menempati wilayah rawa bagian belakang (back swamp) memiliki ketebalan bahan organik >60 cm serta tidak berstektur (berupa lumpur) serta memiliki pH tanah tergolong asam (<5,0). Berdasarkan pertimbangan kondisi tekstur tanah maka ketiga jenis tanah tersebut digolongkan kedalam tanah kurang peka terhadap erosi/abrasi. Satuan lahan KJP merupakan dataran lumpur di daerah pasang surut nipah dan mangrove. Jenis tanah yang dijumpai pada sistem lahan ini terbentuk dari hasil
endapan
yang
dipengaruhi
oleh
air
laut.
Berdasarkan
proses
pembentukannya tanah-tanah ini berkembang pada fisiografi dataran lumpur antara pasang dan surut serta dicirikan oleh keadaan tanah yang selalu tergenang. Telaah peta tanah pulau Kalimantan skala 1:1.000.000 yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian tahun 1993, jenis tanah yang terbentuk pada satuan lahan KJP adalah jenis Sulfaquents dan Hydroquents (USDA, 1990). Berdasarkan sistem klasifikasi tanah PPT tahun 1983 termasuk ke dalam tanah regosol dan alluvial. Tanah regosol dan alluvial tergolong kedalam jenis tanah yang belum berkembang sehingga tidak memiliki horizon (lapisan) penciri khusus pada penampangnya, akan tetapi memiliki kedalaman solum yang cukup dalam (lebih dari 1 m). Sifat umum dari jenis tanah regosol dan alluvial adalah sebagai berikut: (1) Permeabilitas sangat cepat dan sering tergenang air (kedalaman genangan air dapat mencapai 100 cm), sehingga penampang atas tanah (0-60 cm) menunjukkan sifat hidromof yang dicirikan warna warna tanah hitam sampai coklat sangat gelap keabuan, (2) tekstur tanah lempung liat berdebu sampai lempung berliat, (3) konsistensi tanah lekat dan plastis, (4) pH tanah agak masam. Berdasarkan prosentase partikel-partikel penyusun tanah (tekstur tanah), tanah regosol memiliki kepekaan tinggi terhadap abrasi/erosi. 2.
Potensi Sumberdaya Pesisir Potensi ekosistem pesisir yang terdapat di Desa Binalatung terdiri atas
ekosistem hutan pantai dan ekosistem pantai berpasir. a. Ekosistem hutan pantai yang bertipe vegetasi dataran rendah seperti hutan mangrove, hutan gambut, hutan rawa pasut dan hutan rawa air tawar. Pada kawasan tertentu banyak tumbuh pohon cemara pantai (Casuarina spp),
50
pohon kelapa, waru (Hibiscus tiliaceus), ketapang (Terminalia catappa) dan pandan duri (Pandanus spinosus). Sedangkan ekosistem hutan mangrove yang mendominasi pesisir bagian utara Desa Binalatung adalah jenis api-api (Avicennia spp), Prepat (Sonneratia spp), Mangrove (Rhizophora sp) dan Nipah (Nypa). b. Ekosistem pantai berpasir terletak antara garis air surut terendah dan air pasang tertinggi (Bengen, 2004). Secara morfologi tipe pantai yang terdapat di Desa Binalatung tergolong Pantai yang terbentuk karena adanya erosi. Dahuri (2003) menjelaskan bahwa morfologi pantai semacam ini terjadi karena sedimen yang terangkut oleh arus dan aliran sungai akan mengendap di daerah pantai. Pantai yang terbentuk dari endapan semacam ini dapat mengalami perubahan dari musim ke musim, baik secara alamiah maupun akibat kegiatan manusia yang cenderung melakukan perubahan terhadap bentang alam. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat 1. Kondisi Sosial Masyarakat Desa Binalatung yang berpenduduk sekitar 911 jiwa, jumlah KK sekitar 185 orang terbagi dalam beberapa rukun tetangga (RT). Secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Data Kependudukan Desa Binalatung Jumlah Laki-laki Perempuan
No
Lingkungan
Jumlah KK
Jumlah Jiwa
1
RT. 12
151
151
56
302
2
RT. 13
131
111
51
243
3 RT. 14 203 164 Sumber : Monografi Kelurahan, Maret 2006.
78
367
Berdasarkan data penduduk Tabel 9 jumlah penduduk terbanyak terdapat di RT 14 berjumlah 367 jiwa pada bulan maret 2006 dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 78 orang. Hal ini diindikasikan bahwa pertambahan jumlah yang signifikan diakibatkan oleh adanya ikatan keluarga yang sebelumnya telah ada didaerah asal sehingga hubungan kekeluargaan atau kekerabatan turut menjadi pemicu bertambahnya penduduk di daerah tempat mereka melakukan urbanisasi
51
yakni Desa Binalatung. Penduduk Desa Binalatung sebagian besar merupakan penduduk pendatang (urban) yang berasal dari berbagai suku seperti Bugis, Makassar dan Nusa Tenggara. Alasan warga pendatang melakukan migrasi ke daerah ini karena mengikuti keluarga yang telah merantau sebelumnya dan sekaligus mencari penghidupan yang lebih baik dari sebelum mereka melakukan migrasi. Salah satu yang menjadi daya tarik para pendatang datang ke wilayah ini adalah keberadaan sumberdaya pesisir terutama perikanan tangkap. Penduduk desa sebagian besar berprofesi sebagai nelayan dengan alat tangkap yang biasa digunakan adalah tugu (togo). Kegiatan penangkapan dilakukan karena warga tidak memiliki alternatif pekerjaan lain di desa, mengingat tingkat pendidikan warga yang tergolong rendah serta menurut mereka bahwa kegiatan menangkap tidak membutuhkan keterampilan (skill) yang khusus seperti yang biasa diperoleh secara formil dengan biaya yang mahal. Nelayan Desa Binalatung termasuk nelayan tradisional (operasional penangkapan dan waktu penangkapan masih bergantung pada kondisi alam/arus pasang surut). Kegiatan penangkapan di laut biasanya mereka lakukan 5 sampai 6 hari trip penangkapan kemudian setelah itu mereka kembali. Umumnya nelayan Desa Binalatung tidak memiliki rutinitas khusus yang dilakukan secara bersama-sama ketika tidak melaksanakan aktivitas melaut melainkan memperbaiki jaring togo yang rusak, pengolahan sisa hasil tangkapan dan melakukan diversifikasi pekerjaan seperti berkebun, bertani atau pekerjaan lain yang mereka anggap dapat membantu prekonomian keluarga. Sementara disisi lain, peran ibu-ibu rumah tangga nelayan yang membantu dalam melaksanakan
kegiatan
pengolahan
hasil
tangkapan
sangat
membantu
prekonomian keluarga. Pada kondisi seperti inilah anggota-anggota rumah tangga juga harus memiliki kepedulian terhadap kelangsungan hidup rumah tangga diatas kepentingan-kepentingan pribadi. Setiap anggota rumah tangga bisa memasuki beragam pekerjaan (occupational multyplicity) yang dapat diakses sehingga memperoleh penghasilan yang berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup bersama. Dalam situasi demikian, sistem pembagian kerja yang berlangsung bersifat fleksibel dan adaptasi terhadap upaya pemenuhan kebutuhan hidup rumah tangga.
52
Dalam aktivitas penangkapan dan pemasaran hasil tangkaan nelayan dibantu oleh ponggawa. Peranan ponggawa disini hanya sebagai pendistribusi hasil-hasil tangkapan nelayan. Pola pemasaran yang dilakukan oleh nelayan dan ponggawa selama ini adalah ponggawa melalui anak buahnya mengambil hasilhasil tangkapan nelayan setiap hari di tugu dan membawanya ke Kota Tarakan sementara nelayan hanya cukup menunggu di tugu. Namun tidak pula menutup kemungkinan bagi masyarakat sekitar yang ingin langsung membeli hasil tangkapan berupa udang dan ikan bisa langsung datang ke tugu. Pola pembagian hasil pemasaran selama ini dilakukan adalah berdasarkan jumlah hasil tangkapan yang diperoleh. 2. Kegiatan Penangkapan Potensi sumberdaya pesisir Desa Binalatung berupa perikanan tangkap merupakan potensi utama yang dapat menggerakkan kegiatan prekonomian desa. Secara umum kegiatan prekonomian desa bersifat fluktuatif karena sangat tergantung dari tinggi rendahnya produktivitas perikanan. Jika hasil tangkapan yang diperoleh tinggi, tingkat penghasilan nelayan akan meningkat sehingga daya beli masyarakat yang sebagian besar nelayan juga akan meningkat. Sebaliknya, jika hasil tangkapan yang diperoleh sedikit, tingkat penghasilan nelayan akan menurun sehingga tingkat daya beli mereka juga ikut menurun. Kondisi ini juga secara langsung dapat mempengaruhi kegiatan prekonomian desa. Masyarakat Desa Binalatung sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan tugu. Profesi nelayan tugu telah lama digeluti karena menurut mereka pekerjaan inilah yang dapat membantu kondisi prekonomian keluarga mengingat keterbatasan pendidikan dan sempitnya lowongan pekerjaan yang ditawarkan di daerah ini. Sebagian besar nelayan Desa Binalatung termasuk dalam kategori nelayan tradisional dengan struktur masyarakat terbagi dalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil, dimana nelayan besar merupakan pemilik modal yang diinvestasikan relatif besar sementara nelayan kecil justru sebaliknya. Kegiatan penangkapan biasanya dilakukan di perairan lepas pantai pada musim-musim tertentu dengan menggunakan alat tangkap tugu. Alat tangkap ini termasuk dalam klasifikasi alat tangkap perangkap (trap net) yang memanfaatkan keberadaan arus pasang-surut, sehingga ikan-ikan banyak tertangkap masuk dalam
53
kantong pada saat pasang. Tujuan pengoperasian alat tangkap tersebut ialah untuk menangkap udang yang bermigrasi ke pantai mengikuti pola arus pasang surut. Oleh karena itu keberadaan udang disepanjang pesisir pantai Desa Binalatung dan sekitanya merupakan modal utama kehidupan masyarakat di desa ini. Subani dan Barus (1989) mendeskripsikan alat tangkap tugu sebagai alat perangkap pasang surut (filter net) sama seperti sici, bubu ambai, gombang dan bubu apolo. Dalam operasi penangkapanya juga disusun berderet-deret yang tiap deret (unit) terdiri dari 10-22 buah, disamping itu di beberapa tempat dipasang sendiri-sendiri (togo tunggal) dan dalam pemasangannya dapat dibolak-balik menghadap datangnya arus. Pada kanan-kiri mulut jaring di pasang gelang-gelang dari rotan untuk memudahkan pengangkatan dan penurunan pada waktu dioperasikan. Pada tugu ini kadang dilengkapi dengan jajaran tiang-tiang pancang yang merupakan kaki/sayap seperti halnya jermal walaupun tidak sepanjang sayap/kaki jermal. Untuk tiap tugu ganda dilengkapi dengan sayap kaki pemasangnya diatur sedemikian rupa sehingga merupakan bangunan yang berbentuk siku keluang (zigzag) untuk mana tiap sudut di pasang jaring tugu. Dengan cara demikian tugu tersebut dapat dipasang terus menerus di sesuaikan dengan datangnya arus air.
Gambar 14 Jenis Alat Tangkap Tugu (trap net) nelayan Desa Binalatung
54
Hasil tangkapan (Tabel 10) yang diperoleh nelayan sangat berfluktuasi karena pada umumnya nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan masih bergantung pada kondisi alam.
Misalnya seperti pada musim utara hasil
tangkapan mencapai 10kg, musim pancaroba hasil tangkapan bisa mencapai mencapai 30kg sampai 40kg dan pada musim selatan hasil tangkapan mencapai 10kg. Jumlah hasil tangkapan berpengaruh terhadap pendapatan mereka. Dari hasil tangkapan tersebut rata-rata pendapatan yang bisa mereka peroleh berkisar antara Rp.3.000.000 sampai Rp.4.500.000 per bulan. Tabel 10 Hasil Tangkapan Tugu No
Jenis Biota Udang Bintik Udang White Udang Tiger Udang lainnya Ikan Perak Ikan Bawal Ikan Senangin Ikan Kakap Ikan Pari Ikan Pepija Ikan Gulama Ikan Layur Ikan Selar Ikan Puput Sumber : Data Primer, 2006
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11. 12. 13. 14.
Harga (Rp/kg) 4.000 28.000 39.000 4.000 1.500 1.500 1.500 4.000 2.000 1.500 1.500 1.500 1.750 1.500
Harga hasil perikanan dipengaruhi oleh musim, jenis dan kualitas tangkapan. Selain itu juga hubungan kelembagaaan antar penampung hasil perikanan dengan para nelayan berpengaruh terhadap harga hasil perikanan yang diterima para nelayan karena penampung hasil yang memberikan bantuan modal produksi kepada nelayan dan sebagai jaminan maka para nelayan harus menjualkan hasil tangkapan kepada penampung tersebut, biasanya pembagian hasil penjualan yang mereka dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (nelayan dan toke). Sementara penampung besar yang berada di Kota Tarakan biasanya menjualkan hasil tangkapan mereka kepada perusahaan pembekuan udang atau cold storage atau pasar-pasar lokal.
55
3. Kegiatan Pengolahan Hasil Tangkapan Hasil tangkapan segar yang diperoleh nelayan (Tabel 10) tidak semuanya dapat di pasarkan, hal tersebut disebabkan oleh mutu atau kualitas dari hasil tangkapan maupun ukuran yang diperoleh tidak sesuai dengan pasaran yang ada. Hasil tangkapan target nelayan berupa udang umumnya dipasarkan dipenampung besar (cold storage) yang ada di Kota Tarakan. Jadi jika hasil tangkapan tidak memenuhi standard penampung maka hasil tangkapan tadi baru di pasarkan di pasar-pasar lokal yang ada di Kota Tarakan. Karena kendala itulah para nelayan yang dibantu oleh istri-istri mereka membuat alternatif dengan cara melakukan pengolahan hasil tangkapan, seperti pengolahan ikan asin kering dan pembuatan ebi. Kegiatan pengolahan ini membutuhkan waktu yang relatif cukup lama karena masih menggunakan cara yang sangat tradisional yakni mengeringkan ikan atau udang tersebut di bawah panas sinar matahari. Biasanya kegiatan pengolahan ini dilakukan oleh para istri-istri nelayan setelah para nelayan pulang dari melaut. Pada awalnya kegiatan ini mereka lakukan untuk mensiasati hasil tangkapan segar yang tidak laku dipasaran namun lama kelamaan kegitan ini menjadi rutinitas ibu-ibu nelayan dalam membantu prekonomian keluarga. Rata-rata jumlah komoditi yang dapat diolah sebanyak 50 kg/musim tangkapan untuk semua jenis dengan harga jual yang ditawarkan berkisar antara Rp.20.000 sampai dengan Rp.25.000 per kg. Saat ini pemasaran hasil produk olahan di pasar-pasar lokal Kota Tarakan. Pada umumnya nelayan melakukan aktivitas pemasaran dibantu oleh para pedagang pengumpul (tengkulak) yang ada di Kota Tarakan tapi ada juga sebagian warga yang melakukan kegiatan pemasaran sendiri. Aksesibilitas Sarana dan Prasaran Desa Perjalanan menuju lokasi Desa Binalatung dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan bermotor melalui jalan darat dan jalan pantai. Jalan darat yang dilewati merupakan jalan setapak yang melewati perkampungan desa nelayan Pantai Amal di sepanjang pesisir Pantai Amal, sementara jalan pantai yang dilalui merupakan alternatif lain yang dilakukan oleh sebagian besar warga kampung pada saat air surut. Lapangan volly yang di buat oleh warga di tengah-
56
tengah pemukiman mereka merupakan wadah yang tepat bagi warga untuk bermain sekaligus bersosialisasi setelah melaksanakan aktivitas rutin di laut.
Gambar 15. Aksesibilitas Berupa Sarana Transportasi Desa Binalatung merupakan desa terakhir yang berada di ujung utara pantai Amal ialah desa yang nyaris terisolir bila saja tidak ada jaringan jalan dan listrik yang melewatinya. Namun semenjak adanya kegiatan MCRMP Kota Tarakan, desa ini mendapat prioritas utama pembangunan sarana infrastruktur Desa berupa bangunan MCK, bak penampung air dan pembuatan saluran air bagi warga untuk memenuhi kebutuhannya akan air bersih. Sumur-sumur penduduk yang ada berair payau dan hanya digunakan untuk keperluan mandi, mencuci kecuali untuk masak dan minum masyarakat menggunakan air penampungan hujan. PEMDA setempat telah membangun beberapa sarana MCK akan tetapi tidak dapat di pergunakan secara maksimum karena kondisinya yang telah rusak akibat terjadinya abrasi pantai.
Gambar 16. Wadah Penampung dan Bangunan MCK
57
Secara khusus desa ini tidak memiliki bangunan adat untuk melaksanakan acara-acara pertemuan-pertemuan kecuali memanfaatkan masjid untuk sarana bersosialisasi, pertemuan-pertemuan rutin warga dan acara-acara besar lainnya. Selain itu juga sarana belajar dan mengajar seperti sekolah dapat ditemui di desa ini. Kondisi bangunan sekolah yang terlihat baru dengan suasana bangunan sekolah yang langsung berhadapan dengan pantai menambah nuansa yang menyenangkan ketika para siswa memulai untuk melakukan aktifitas belajar mengajar di SDN 045 Desa Binalatung Tarakan Timur. Jarak sekolah dengan pemukiman penduduk cukup jauh sehingga dapat juga ditempuh dengan mengendarai sepeda atau berjalan kaki.
Gambar 17. Bangunan Sekolah Dasar di Desa Binalatung
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Ekosistem Mangrove Hasil pengolahan data citra satelit Landsat TM-7 tahun 2002 dengan kombinasi RGB 453 diperoleh total luasan hutan mangrove pesisir Desa Binalatung sekitar 23,123 ha dengan jenis vegetasi terdiri atas: api-api (Avicennia spp), prepat (Sonneratia spp), mangrove (Rhizophora spp) dan nipah (Nypa fruticans). Umumnya zonasi hutan mangrove terdiri atas: kelompok api-api (Avicennia spp) pada daerah pantai, kemudian kelompok prepat (Sonneratia spp), kelompok mangrove (Rhizophora spp) dan nipah (Nypa frutican). Hutan mangrove pesisir utara Desa Binalatung Kelurahan Pantai Amal Kecamatan Tarakan Timur telah dijadikan sebagai kawasan rehabilitasi sejak tahun 2000. Kematian secara alami yang disebabkan oleh genangan air tawar dan proses sedimentasi membuat kondisi hutan mangrove mengalami penurunan potensi baik jumlah tegakan maupun potensi biota perairan yang secara langsung berasosiasi dengan kawasan mangrove. Dampak degradasi ekosistem mangrove mengakibatkan abrasi pantai dan penurunan hasil tangkapan nelayan serta semakin jauhnya daerah penangkapan ikan (fishing ground). Kondisi tersebut semakin memperihatinkan, khususnya degradasi sumberdaya alam. Untuk itu, pemerintah daerah melalui PERDA No.03 tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tarakan menetapkan kawasan ekosistem yang ada untuk dikembangkan menjadi kawasan hutan konservasi (green belt) selebar ±130 m.
59
Gambar 18 Ekosistem Mangrove Pesisir Utara Desa Binalatung Degradasi Hutan Mangrove Degradasi sering dijadikan sebagai indikator pengukuran tingkat keberlangsungan sumberdaya. Kondisi ekosistem mangrove Desa Binalatung saat ini telah mengalami degradasi yang cukup tinggi. Kondisi tersebut tergambarkan secara nyata pada terjadinya kematian massal (dieback) hutan mangrove serta semakin menurunnya luasan hutan mangrove tersebut. Secara ekologi degradasi hutan mangrove tampak pada nilai kerapatan relatif jenis (RDi) dan nilai penutupan relatif jenis (RCi) lebih kecil dari pada nilai kriteria baku kerusakan mangrove yang dikeluarkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup tahun 2005. Kondisi hutan mangrove Desa Binalatung didasarkan pada kriteria baku mutu KLH. Lebih jelas disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Kondisi Hutan Mangrove Desa Binalatung dan Kriteria Baku Mutu KLH Hutan Mangrove Baku Mutu Kriteria Desa Binalatung KLH Penutupan Kerapatan Penutupan Kerapatan Kerapatan Status (%) -
(pohon/ha) -
(%) >70
(pohon/ha) >1500
-
-
>50->75
>1000-<1500
Sedang
Rusak
50
535
<50
<1000
Jarang
Rusak Parah
Sumber: Olah Data, 2007 dan KLH, 2005
Sangat Padat Baik
60
Degradasi ekosistem mangrove di Desa Binalatung berdasarkan hasil pengukuran dan pengamatan di lapangan diperoleh bahwa terdapat dua faktor dominan yang menyebabkan terjadinya kematian massal (dieback) hutan mangrove yakni: 1) sedimentasi skala besar di muara sungai dan 2) genangan air tawar yang tinggi pada ekosistem mangrove. Lokasi kematian massal (dieback) hutan mangrove tampak pada Gambar 19.
Gambar 19 Kondisi Ekosistem Mangrove Desa Binalatung Tertutupnya muara sungai oleh sedimentasi menyebabkan terhambatnya proses sirkulasi air laut, sehingga mengakibatkan proses pencucian daerah mangrove tidak terjadi. Suplai air tawar yang tinggi mengakibatkan penggenangan daerah mangrove. Kedua faktor ini menjadi penyebab utama terjadinya dieback hutan mangrove di Desa Binalatung. 1. Sedimentasi Muara Sungai Sedimentasi merupakan proses pengendapan material sedimen yang terangkut oleh gerakan air ataupun angin ke tempat lain. Proses pendakalan perairan pantai atau lazim dikenal sedimentasi dan tergerusnya garis pantai merupakan proses alami yang dapat terjadi di semua pantai. Jika terjadi proses abrasi disuatu kawasan pantai, maka sesuai dengan hukum keseimbangan akan ada kawasan yang pantai ditempat lain yang akan bertambah (Pariwono, 2005).
61
Sedimentasi yang terjadi di muara sungai kemudian menjadi penghalang masuknya air laut ke sungai, sehingga proses pencucian dan suplai air laut tidak terjadi. Kondisi ini menyebabkan kematian secara massal (dieback) terhadap mangrove yang tumbuh di daerah-daerah aliran sungai untuk jangka waktu tertentu. Proses kematian massal (dieback) tersebut berawal dari penimbunan oleh sedimen dalam skala besar. Penimbunan tersebut kemudian mengganggu sistem respirasi tumbuhan mangrove, dimana akar napas (pneumatofora) pada mangrove menjadi terhalang oleh sedimen. Apabila proses pencucian tidak terjadi, maka suplai oksigen bagi tumbuhan akan terhambat akibat tertutupnya akar nafas (pneumatofora) pada mangrove dan berdampak pada perkembangan dan pertumbuhan mangrove tersebut dan akhirnya menyebabkan kematian. Kondisi ini terjadi, karena tumbuhan mangrove merupakan tumbuhan yang hidup pada substrat anaerob (tanpa udara), sehingga kebutuhan akan oksigen sangat bergantung pada oksigen terlarut dalam air dan oksigen dari udara. Bengen (2004) menyatakan bahwa sistem perakaran yang terdapat pada pohon mangrove merupakan pola adaptasi terhadap kadar oksigen rendah. Selanjutnya, bahwa pada akar pohon mangrove terdapat pneumatofora yang berfungsi untuk mengambil oksigen dari udara. Lebih jauh Dahuri et al., (1996) menyatakan bahwa tumbuhan mangrove sangat peka terhadap pengendapan atau sedimentasi, tinggi rata-rata permukaan air, pencucian serta tumpuhan minyak. Keadaan ini mengakibatkan penurunan kadar oksigen dengan cepat untuk kebutuhan respirasi dan akhirnya menyebabkan kematian pada mangrove. Sedimentasi muara sungai yang terjadi di Desa Binalatung berdasarkan faktor pembangkitnya terdiri atas: 1) arus menyusur pantai (longshore current), 2) pasang surut, 3) kualitas perairan dan 4) aktivitas manusia di hulu (upland). Arus Menyusur Pantai (Longshore Current) Arus laut digerakkan oleh beberapa faktor yakni angin, pasut, gradien tekanan dan gradien densitas yang merupakan faktor penggerak dominan. Kontribusi dari masing-masing fakor penggerak tergantung pada kondisi geografis. Misalnya di perairan semi tertutup, pasut memainkan peranan utama penggerak arus, namun di perairan terbuka faktor yang dominan adalah angin dan
62
gradien tekanan. Dalam kaitannya dengan sedimentasi yang terjadi arus merupakan salah satu faktor penting khusunya dalam transpor sedimen. Arus merupakan pergerakan massa air akibat perubahan tekanan, densitas baik yang disebabkan oleh perubahan suhu perairan, gelombang dan angin, pasang surut, letusan gunung bawah laut serta aktivitas manusia secara langsung. Arus pantai pada umumnya ditentukan oleh besarnya sudut yang dibentuk antara gelombang yang datang dengan garis pantai. Bila sudut datang cukup besar akan terbentuk arus menyusur pantai (longshore current) yang disebabkan oleh perbedaan tekanan hidrostatik. Sedang apabila sudut datang kecil atau sama dengan nol (gelombang yang datang sejajar garis pantai) maka akan terbentuk arus meretas pantai (rip current) dengan arah menjauhi pantai.
Gambar 20 Lokasi Aktivitas Masyarakat Penambang Pasir dan Tambak Kondisi pantai Kota Tarakan yang langsung berhadapan dengan laut bebas (Laut Sulawesi) membentuk sudut datang gelombang yang cukup besar sehingga menyebabkan terjadinya arus menyusur pantai (longshore current) yang cukup besar pula. Semakin besar sudut datang yang terbentuk, maka akan semakin besar kecepatan arus menyusur pantai yang terjadi. Kondisi ini akan sangat berdampak terhadap topografi pantai akibat terjadinya pengangkutan sedimen oleh arus menyusur pantai tersebut. Besarnya sedimentasi yang terjadi sangat ditentukan oleh kecepatan arus yang terbentuk serta partikel-partikel sedimen yang terangkut. Aktivitas pengerukan pasir pada suatu wilayah akan menyebabkan terjadinya
63
abrasi (erosi) pada wilayah tersebut yang selanjutnya pada wilayah lain akan terjadi akresi (sedimentasi). Material yang tergerus tersebut terangkut oleh aliran litoral dan terdeposit pada suatu wilayah. Berdasarkan hasil penelitian di Selat Makassar diketahui bahwa secara umum arus perairan Selat Makassar dan sekitarnya mengalir ke selatan sepanjang tahun dengan kecepatan bervariasi (Wyrtki, 1961; Tomczak dan Godfrey, 1994). Sementara hasil penelitian yang dilakukan oleh DISHIDROS (2005) ditemukan bahwa kecepatan arus perairan pantai amal Kota Tarakan sangat bervariasi dimana kecepatan tersebut berkisar antara 12,25-29,17 cm/dt (Gambar 20). Arus yang terjadi tersebut lebih didominasi oleh pengaruh gelombang dan pasang surut, khususnya pada wilayah penelitian Desa Binalatung yang berada di daerah sebelah timur, memiliki letak geografi yang berhadapan langsung dengan laut lepas (Laut Sulawesi), sehingga sudut datang gelombang dan garis pantai yang terbentuk cukup besar. Kondisi ini akan membangkitkan terjadinya arus menyusur pantai. Arus menyusur pantai (longshore current) yang terbentuk tersebut akan mengangkut sedimen dari utara menuju selatan. Gambar 21 berikut adalah ratarata kecepatan arus permukaan laut Kota Tarakan.
K ecep atan (cm /d t)
35 30 25 20 15 10 5 0 Jan Peb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nop Des Bulan
Gambar 21 Kecepatan Rata-rata Arus Permukaan Laut Kota Tarakan (DESHIDROS, 2005) Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh kecepatan arus permukaan laut rata-rata di Kota Tarakan yaitu 12,25 cm/detik hingga 29,17 cm/detik. Seperti pada Gambar 20 di atas tampak bahwa kecepatan arus permukaan laut tertinggi terjadi pada bulan Desember sedang kecepatan arus permukaan laut terendah
64
terjadi pada bulan Januari. Tinggi rendahnya kecepatan arus permukaan laut yang terjadi di perairan Kota Tarakan lebih disebabkan karena pengaruh angin. Angin merupakan pergerakan massa udara dari tekanan tinggi ke tekanan rendah. Angin terjadi karena adanya perbedaan tekanan udara tersebut yang merupakan hasil dari pengaruh ketidakseimbangan pemanasan sinar matahari pada tempat yang berbeda di permukaan bumi. Tingginya kecepatan arus pada bulan Desember, disebabkan karena pada waktu tersebut terjadi muson barat, yakni pergerakan massa udara dari kutub utara menuju Samudera Hindia melewati Indonesia. Pada musim ini terjadi angin kencang disertai hujan pada daerah-daerah yang dilewati. Angin tersebut menimbulkan arus permukaan laut yang tinggi. Menurut Hutabarat (1993), bahwa pada umumnya tenaga angin yang diberikan pada lapisan permukaan air dapat membangkitkan timbulnya arus permukaan yang mempunyai kecepatan sekitar 2% dari kecepatan angin itu sendiri. Sementara itu kecepatan arus permukaan yang rendah terjadi pada bulan Januari, lebih disebabkan karena pada tahun 2005 tersebut kecepatan angin pada bulan yang sama menurun. Kondisi ini sulit untuk membangkitkan kecepatan arus permukaan laut. Besarnya kecepatan arus menyusur pantai yang terjadi di Kota Tarakan, sebagai pengaruh dari besarnya sudut datang gelombang, kecepatan angin, pasang surut, dan topografi pantai, menjadi faktor pembangkit tingginya sedimentasi yang terjadi. Sedimentasi tersebut dipicu oleh aktivitas upland diantaranya seperti penambangan pasir darat, pembukaan areal pertambakan secara tradisional serta tingkat curah hujan Kota Tarakan. Proses sedimentasi terjadi melalui perombakan struktur-struktur pasir, dimana partikel-partikel pasir tersebut merenggang dan akan semakin mudah terpisahkan. Partikel-partikel pasir halus akan terangkut dan terbawa oleh arus menyusur pantai, pasang surut dan angin ke tempat lain. Pasang Surut Pasang surut (pasut) didefinisikan sebagai proses naik turunnya muka laut secara periodik karena gaya tarik benda-benda angkasa, terutama bulan dan matahari. Tipe pasut yang terjadi ditentukan oleh frekuensi genangan air pasang dan air surut setiap hari. Pasut di perairan Desa Binalatung berasal dari Samudera Fasifik melalui Laut Sulawesi.
65
Berdasarkan data DISHIDROS-AL (2005) diperoleh bahwa tipe pasut yang terjadi di perairan Kota Tarakan khususnya lokasi penelitian Desa Binalatung yakni bertipe pasut harian ganda (semidiurnal tide). Hasil tersebut didasarkan pada formzhal index yakni stasiun pengamatan Kota Tarakan diperoleh kisaran pasut sebesar 0,23. Dahuri et al., (2004) menyatakan bahwa pasut yang terjadi pada perairan pulau Kota Tarakan memiliki tipe pasut harian ganda (semidiurnal tide). Secara grafis tipe pasut harian yang terjadi di perairan Desa Binalatung dapat dilihat pada Gambar 22. 4.0 Tgl 26 April 2005
K e tin g g ia n ( m )
3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 0 1 2 3 4 5 6 7 Waktu Pengamatan (jam)
Gambar 22 Tipe Pasut Harian Ganda (semidiurnal tide) Tampak pada Gambar 22 bahwa terjadi dua kali pasang dan dua kali surut. Pasang tinggi pertama terjadi pada pukul 13.00 yaitu sekitar 3,6 m dan pasang tinggi kedua terjadi pada pukul 01.00 yaitu sekitar 2,9 m. Sedangkan surut terendah terjadi pada pukul 20.00 yaitu sekitar 0,1 m dan pukul 07.00 yaitu sekitar 0,3 m. Tipe pasut perairan tersebut yakni harian ganda. Tipe pasut harian ganda (semidiurnal tide) yaitu terjadinya dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari. Tipe pasut tersebut sama dengan tipe pasut yang terjadi di Kota Balikpapan yang mempunyai tipe pasut harian ganda (semidiurnal tide) (Formzhal index dari stasiun Balikpapan 0,22). Sementara untuk tipe pasut di daerah Delta Mahakam berbeda dimana memiliki tipe pasut campuran dominansi ganda (Formzhal Index dari stasiun Selat Makasaar dan Muara Pegah berkisar antara 0,38 dan 0,40). Perbedaan tipe pasang tersebut dikarenakan terjadinya perbedaan kondisi geografis lokal pada masing-masing wilayah tersebut. Kondisi geografis perairan
66
Kota Tarakan dan Balikpapan tidak terdapat sungai besar seperti halnya Delta Mahakam sehingga kondisi pasut yang terjadi sedikit berbeda dengan kedua wilayah tersebut. Triatmojo (1999) mengatakan bahwa pada kenyataannya di permukaan bumi terdapat pulau-pulau dan benua-benua, selain itu juga dasar laut juga tidak rata karena adanya palung yang dalam, perairan dangkal, selat, teluk, gunung bawah laut dan sebagainya sehingga keadaan ini menyebabkan terjadinya penyimpanngan-penyimpangan dari kondisi ideal serta dapat menimbulkan ciriciri pasut yang berbeda dari satu lokasi lainnya. Pasut di perairan Indonesia dipengaruhi oleh bentuk geografis dan batimetri yang menyebabkan perbedaan karakteristik pada lokasi yang berbeda (INRR, 2005). Tipe pasut yang terjadi pada suatu wilayah perairan akan sangat menentukan perkembangan dan zonasi hutan mangrove di wilayah tersebut. Mangrove berkembang pada perairan dangkal dan aerah intertidal sehingga sangat dipengaruhi oleh pasut. Pasut dan kisaran vertikalnya yang membedakan periodesitas penggenangan mangrove tersebut. Perbedaan penggenangan akan menyebabkan perbedaan kumpulan mangrove yang tumbuh pada suatu daerah dan menyebabkan perbedaan tipe-tipe zonasi hutan mangrove (Nybakken, 1988). Selanjutnya Dahuri et al., (2004) menyatakan bahwa mangrove dapat tumbuh dan berkembang secara maksimum dalam kondisi dimana terjadi penggenangan dan sirkulasi air permukaan yang menyebabkan pertukaran dan pergantian sedimen secara terus-menerus, sirkulasi yang tetap (terus menerus) tersebut meningkatkan pasokan oksigen dan nutrien untuk keperluan respirasi dan produksi yang dilakukan oleh tumbuhan. Kisaran yang terjadi di perairan pantai timur Kota Tarakan sepanjang tahun 2005 dapat dilihat pada Gambar 23. Kondisi pasut untuk tahun 2005 pasang tertiggi (high tides) di perairan Kota Tarakan terjadi pada bulan April yaitu 3,6 m. Sedangkan surut terendah (low tides) terjadi pada bulan Maret, April, September dan Oktober. Rata-rata pasang tertinggi di perairan Kota Tarakan setiap bulan berkisar 3,47 m dan surut terendah berkisar 0,15 m. Berdasarkan nilai tersebut diperoleh bahwa kisaran pasut (tidal range) di perairan Kota Tarakan yaitu berkisar 3 m. Tidal range tersebut merupakan kisaran pasut pada umumnya yang terjadi di muka bumi yakni antara 1-3 m (Dahuri et al., 2004)
67
0.45
Surut
Pasang
0.4
3.65 3.6
0.35 Surut (m )
0.25
3.5
0.2
3.45
0.15
Pasang (m)
3.55
0.3
3.4
0.1 3.35
0.05 0
3.3 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan
Gambar 23 Kondisi Pasut yang terjadi di Kota Tarakan (2005) Berdasarkan tipe pasut yang terjadi berupa tipe harian ganda (semidiurnal tide), dimana terjadi dua kali pasang dalam sehari memberikan suplai air laut yang tinggi sehingga sangat bepengaruh terhadap jenis mangrove yang tumbuh di daerah tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis yang umumnya dijumpai dilokasi adalah jenis api-api (Avicennia spp) dan prepat (Sonneratia spp) terutama pada bagian pantai terdepan. Hal ini dikarenakan tipe pasut yang terjadi, sehingga hanya jenis-jenis tertentu yang dapat hidup dan berkembang pada kondisi salinitas tinggi. Nontji (1993) menyatakan bahwa karena sifat lingkungannya yang keras seperti genangan pasut air laut, perubahan salinitas yang besar, perairan yang berlumpur tebal dan anaerobik sehingga menyebabkan pertumbuhan mangrove jenis api-api (Avicennia spp) dan prepat (Sonneratia spp) dominan di daerah ini. Tumbuhan mangrove dapat berkembang pada kondisi lingkungan yang ekstrim, akan tetapi setiap tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mempertahankan diri terhadap kondisi lingkungan fisik-kimia. Macnea (1968) bahwa terdapat empat faktor utama yang menentukan penyebaran tumbuhan mangrove yakni: a) frekuensi pasut, b) salinitas tanah, c) air tanah dan d) suhu air. Tinggi dan waktu pengenangan air pasang yang cukup lama akan sangat menentukan salinitas tanah. Sehingga diyakini bahwa salah satu faktor dominan yang terjadi di Desa Binalatung terhadap pertumbuhan mangrove yakni tinggi dan lamannya waktu penggenangan air laut, sehingga menyebabkan kondisi
68
tanah menjadi bergaram. Akhirnya jenis mangrove yang mampu bertahan hidup dan berkembang adalah jenis api-api (Avicennia spp) dan prepat (Sonneratia spp). Salah satu fungsi pasut selain suplai air laut juga sebagai sirkulasi air dan transfor bahan-bahan organik. Sirkulasi air yang baik akan menyebabkan terjadinya pencucian mangrove sehingga kondisi ini akan sangat menentukan proses pertukaran air untuk memelihara pertumbuhan mangrove. Traspor bahan organik dan sirkulasi air tersebut akan sangat menentukan tipe substrat yang terbentuk. Dengan sistem perakaran yang dapat memiliki peran sebagai parangkap sedimen yang baik, sehingga laju pasut sangat berperan dalam menjaga keseimbangan mangrove. Massa air yang masuk pada saat pasang tinggi akan membawa kadar garam yang baru yang berfungsi untuk menetralisir keasaman tanah yang terjadi akibat penurunan salinitas tanah dan suplai air tawar, sementara pada saat surut massa air akan bergantian dan akan membawa unsur-unsur hara serta dekomposisi unsur hara yang tinggi ke arah laut dan menyebabkan terjadinya keseimbangan dinamis hutan mangrove. Pada kondisi ekstrim, dimana terjadi perubahan faktor-faktor pembatas tersebut mangrove memiliki pola adaptasi yang unik yaitu dengan cara mengembangkan sistem perakaran untuk memungkinkan pertukaran gas terjadi di atas tanah yang tergenang air dan miskin oksigen (Mann, 1982 dalam Mackinnon et al., 2000) terutama yang berkaitan dengan kontrol terhadap pola salinitas substrat akan menyebabkan perubahan komposisi spesies mangrove. Akar-akar nafas ini dikenal dengan “pneumatofora”. Salinitas yang lebih dari 90 ppt dapat mengakibatkan biota dalam jumlah besar serta hanya jenis mangrove tertentu saja yang akan mampu bertahan hidup. Kondisi ini terjadi karena tingginya suplai air laut mendorong tingginya salinitas substrat, perubahan salinitas dapat diakibatkan oleh perubahan siklus hidrologi, aliran air tawar dan pencucian terus-menerus seperti kegiatan pengerukan, bendungan dan penyekatan (Dahuri et al., 1996). Sementara apabila suplai air laut rendah atau dengan kata lain proses pencucian tidak terjadi dengan baik dan disisi lain terjadi suplai air tawar yang tinggi maka akan menyebabkan terjadinya pengendapan (sedimentasi) yang tinggi di daerah mangrove tersebut. Keadaan ini mengakibatkan penurunan kadar oksigen dengan cepat untuk kebutuhan respirasi dan akhirnya menyebabkan kematian mangrove
69
(Dahuri et al., 2004). Selanjutnya Dahuri (1996) menegaskan bahwa secara umum mangrove dapat tumbuh dan tahan terhadap berbagai gangguan dan tekanan lingkungan, namun demikian mangrove tersebut juga sangat peka terhadap pengendapan (sedimentasi), tinggi rata-rata permukaan air, pencucian serta tumpahan minyak. Kualitas Perairan Kualitas perairan merupakan faktor utama kelangsungan hidup biota air. Kualitas perairan dapat diukur baik dari parameter fisika, kimia organikanorganik, mikrobiologi dan radioaktif. Dalam kaitannya dengan sedimentasi muara sungai Desa Binalatung beberapa parameter kualitas air menjadi indikator antara lain: kandungan nitrat, fosfat, amonia, oksigen terlarut, H2S, kekerurahan serta zat padat terlarut (TSS). Hasil pengukuran parameter kualitas air di beberapa lokasi (sungai) di Desa Binalatung, secara lebih rinci disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Parameter Perairan Pesisir Kota Tarakan Lokasi
Parameter Lingkungan Amonia DO H2S (mg/lt) (mg/lt) (mg/lt) 0,091 5,3 1,6*
Kekeruhan (NTU) 13*
TSS (mg/lt) 44*
1,2*
25*
40*
5,4
0,8*
57*
70*
0,084
5,7
0,8*
14*
64*
0,037
4,1*
0,8*
15*
60*
0,385*
0,071
5,8
2,4*
47*
74*
0,013*
0,929*
0,104
6,4
1,6*
62*
72*
-
0,553*
0,157
7,2
0,8*
1
12
Misaya
Nitrat (mg/lt) 0,009*
Fosfat (mg/lt) 0,908*
Sungai Maya
0,022*
0,553*
0,144
5,2
Beringin
0,058*
0,657*
0,031
Pulau Sadau (A)
0,058*
0,826*
Pulau Sadau (B)
0,054*
0,741*
-
ASDP Tanjung Binalatung Tanjung Batu Selayung
0,030*
0,783*
0,117
6,0
0,4*
7*
44*
Pantai Amal
0,035*
170,286*
0,104
6,5
0,2*
32*
78*
Tanjung Harapan
0,102*
0,218*
0,051
5,9
0,1*
16*
52*
Tanjung Pasir
0,094*
0,427*
0,064
4,4*
0,4*
8*
78*
Sumber Data: MCRMP Kota Tarakan, 2001 Keterangan: *Melewati Baku Mutu Nitrat:0.008, Fosfat:0.015, Ammonia:0.3, DO:>5, H2S:0,01 Kekeruhan: <5 NTU (Biota Laut), TSS: 20 mg/lt (Mangrove)
Tingginya kandungan nitrat dan fosfat pada semua lokasi pengamatan dan pengukuran yang dilakukan mengindikasikan betapa tingginya kegiatan manusia pada lahan atas dan disekitar perairan. Nilai nitrat tertinggi dijumpai di lokasi Tanjung Harapan yaitu 0,102 mg/lt sangat jauh dari ambang batas/baku mutu nitrat yaitu 0,008 mg/lt. Sementara itu fosfat tertinggi dijumpai di lokasi Pantai Amal yaitu 170,286 mg/lt dan sangat tinggi melampaui baku mutu fosfat yaitu
70
0,015 mg/lt. Tingginya parameter nitrat dan fosfat pada kedua lokasi tersebut, lebih disebabkan oleh tingginya aktivitas manusia yang terjadi. Kedua lokasi tersebut merupakan daerah padat penduduk serta merupakan daerah wisata. Kandungan nitrat dan fosfat dalam perairan dapat bersumber dari bahan-bahan organik yang terbuang atau sisa makanan serta bersumber dari feses manusia. Tingginya aktivitas manusia, akan menyuplai nitrat dan fosfat dalam perairan yang tinggi pula. Aktivitas manusia tersebut dapat berupa kegiatan perikanan, pertanian, perkebunan maupun aktivitas wisata. Kelimpahan bahan organik akan menyebabkan terjadinya blooming dalam perairan. Blooming tersebut akan menyebabkan perairan menjadi kekurangan oksigen, sehingga O2 dalam perairan menjadi terbatas. Disisi lain kelimpahan fitoplankton tersebut akan menjadi racun dan menyebabkan kematian pada beberapa jenis organisme perairan. Fitoplankton yang melimpah akan menyebabkan kelimpahan bahan organik kembali dalam perairan serta perairan menjadi keruh akibat partikel sedimen halus yang bersumber dari bahan-bahan organik tersebut. Proses penguraian dan atau perombakan bahan-bahan organik menjadi senyawa yang lebih sederhana oleh bakteri akan menimbulkan gas-gas yang bersifat racun seperti; Amoniak, Nitrit, Karbondioksida dan Hydrogen Sulfide (H2S) kandungan gas-gas tersebut dalam jumlah tertentu akan membahayakan bagi kehidupan organisme perairan. Kelimpahan bahan organik dan terjadinya blooming, selanjutnya dapat menyebabkan kematian massal jenis organisme tertentu. Kematian organisme dan fitoplankton akan menyuplai sedimentasi dalam perairan. Partikel sedimen yang tersuplai merupakan partikel sedimen halus yang bersumber dari organisme tersebut. Tingginya tingkat kekeruhan suatu perairan disebabkan oleh tingginya partikel-pertikel sedimen yang ada dalam perairan, baik yang bersumber dari bahan organik maupun non-organik. Berdasarkan hasil pengukuran tingkat kekeruhan di beberapa lokasi di Desa Binalatung diperoleh bahwa tingkat kekeruhan tertinggi terjadi di Tanjung Binalatung yaitu 62 NTU, sementara jumlah zat padat terlarut (TSS) tertinggi ditemukan di lokasi Tanjung Harapan dan Tanjung Pasir yaitu 78 mg/lt. Tingginya tingkat kekeruhan di Tanjung Binalatung, disebabkan oleh padatnya aktivitas manusia di lokasi tersebut. Tanjung Binalatung merupakan daerah pemukiman dan tempat berlabuhnya kapal-kapal
71
nelayan (fishing base). Aktivitas manusia yang padat, akan menimbulkan perombakan struktur tanah. Perombakan struktur tersebut akan menyebabkan partikel-pertikel halus terpisah dan melayang-layang di kolom air dan akhirnya terangkut oleh arus dan gelombang ke tempat yang lain dan mengendap membentuk sedimentasi. Aktivitas Masyarakat di Hulu Aktivitas masyarakat di daerah hulu (upland) merupakan salah satu faktor penyuplai sedimentasi yang terjadi di daerah muara sungai. Aktivitas manusia manusia tersebut antara lain kegiatan penambangan pasir dan krikil sungai serta kegiatan pertambakan di daerah aliran sungai dan daerah pantai. Melaui proses fisika pantai dan sungai, sedimentasi terangkut dan mengendap pada daerah muara. a. Penambangan Pasir dan Krikil Aktivitas penambangan pasir sudah sejak lama dilakukan sebagian mayarakat Kota Tarakan terutama mereka yang mendiami daerah-daerah pesisir pantai. Kegiatan yang merupakan salah satu aktivitas ekonomi masyarakat baik dalam skala kecil maupun dalam skala industri secara signifikan cukup memberikan kontribusi terhadap peningkatan PDRB Kota Tarakan. Hal tersebut terlihat pada Gambar 24 tampak bahwa pada tahun 2001 pendapatan daerah yang diperoleh dari penggalian sebesar 5 juta rupiah per tahun. Selanjutnya peningkatan yang sangat drastis terjadi pada tahun 2002 sebesar 24 juta rupiah. Penggalian
30 Ju taan R u p iah
25 20 15 10 5 0 2000
2001
2002
2003
2004
Gambar 24 Kontribusi Sektor Galian terhadap PDRB Kota Tarakan
72
Di sisi lain kegiatan ini merupakan salah satu sumber penyuplai proses sedimentasi yang terjadi di wilayah pesisir. Kegiatan penambangan akan menyebabkan perombakan fraksi-fraksi tanah, yang semula padat menjadi renggang dan terpisah-pisah. Proses ini selanjutnya memisahkan partikel-partikel substrat halus dengan substrat kasar. Partikel-partikel yang lebih halus kemudian terangkut oleh aliran ke tempat yang lain. Proses ini kemudian dikenal dengan sedimentasi. Kegiatan penambangan pasir yang terjadi saat ini di daerah Tarakan, banyak dilakukan di daerah aliran sungai. Kondisi tersebut memperparah wilayah pesisir, dengan proses perombakan partikel-partikel pasir di daerah aliran sungai tersebut, menyebabkan pengangkutan secara terus menerus oleh run off menjadi faktor utama penyuplai sedimen di wilayah pesisir. Semakin besar volume kegiatan penambangan pasir yang dilakukan maka semakin tinggi volume sedimen yang akan terangkut. Tingginya sedimentasi yang terjadi, sangat ditentukan oleh besaran volume kegiatan penambangan yang dilakukan dan volume atau debit air sungai yang mengalir. Volume aktivitas penambangan pasir darat Kota Tarakan, lebih rinci disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Volume Aktivitas Penambangan Pasir di Beberapa Sungai Kota Tarakan Luas Das (km2)
Debit (m3/dt)
Sungai Sesanip
6.678
0,583
Sungai Bengawan
12.363
1,080
Sungai Belalung
9.737
0,850
Nama Sungai
Sumber : Basis Data LISDA, 2005
Aktivitas penambangan pasir darat yang dilakukan masyarakat selama ini menggunakan mesin penyedot pasir (Sungai Sesanip dan Sungai Bengawan) dan tenaga manusia dengan bantuan alat sekop (Sungai Belalung). Umumnya aktivitas ini dilalakukan pada saat musim hujan karena dengan kondisi seperti itu memudahkan warga untuk meperoleh lebih banyak pasir dari pegunungan melalui limpasan air permukaan. Begitu pula halnya dengan aktivitas penambangan batu kerikil yang juga dilaksanakan pada saat musim hujan dengan begitu memudahkan untuk mensortir kerikil yang terangkut oleh air sungai.
73
Gambar 25 Aktivitas Penambangan Pasir dan Krikil Berdasarkan jenis erosi yang terjadi di beberapa tempat di pulau Kota Tarakan dapat digolongkan kedalam erosi dipercepat (accelarated erosion). Erosi tersebut terjadi karena prosesnya dipercepat dengan intervensi masyarakat terhadap lingkungan seperti aktivitas pembangunan daerah dan upaya masyarakat dalam upaya memenuhi kesejahterannya. Selanjutnya dalam melakukan pendugaan erosi akibat adanya kegiatan penambangan pasir di daerah Juata Kecamatan Tarakan Utara dengan menggunakan formula USLE (Universal Soil Loss Equation) diperoleh jumlah tanah yang yang hilang rata-rata setiap tahun sebesar 10,4 ton/ha/tahun. (Ansahar, 2005). Nilai ini mengandung arti bahwa setiap tahun, tanah yang mengalami erosi akibat adanya kegiatan penambangan pasir dan krikil di daerah Juata Laut sebesar 10,4 ton. Material yang mengalami proses erosi tersebut diduga mengalami pengendapan (sedimentasi) di daerah mangrove Desa Binalatung melalui proses dinamika pantai seperti arus menyusur pantai (longshore current) yang membawa butiran-butiran sedimen menuju wilayah pesisir. b. Tambak Tradisional Pada pertengahan tahun 1990-an lahan tambak tradisional di Kota Tarakan berangsur-angsur tidak produktif dan
masyarakat
mulai
mencari areal
pertambakan di luar pulau Tarakan. Luas tambak Kota Tarakan tahun 2000 berjumlah 1.579 ha dan tahun 2004 menjadi 835,3 ha. Kawasan mangrove yang dikonversi menjadi budidaya tambak 835,3 ha terdiri dari tambak produktif 788,3
74
ha dan tambak yang sedang dibangun 47,0 ha (Tabel 13). Berkurangnya lahan ini antara lain digunakan untuk pemukiman, pasar, perluasan bandara dan tidak difungsikan kembali karena sudah tidak menguntungkan. Tabel 14 Jumlah Pembudidaya Dan Luas Lahan Budidaya Kota Tarakan (20002004) Tahun 2000
Budidaya Air Payau (Tambak) Jumlah Luas (ha) Pembudidaya Produktif Non Produktif 170 716,3 219,9
Jumlah (ha) 935,9
2001
170
807,3
28,0
835,3
2002
173
783,1
52,2
835,3
2003
175
788,3
47,0
835,3
2004
175
788,3
47,0
835,3
Jumlah
3.883,3
394,1
4.277,4
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Tarakan, 2005
Tambak merupakan salah satu kegiatan ekonomi masyarakat yang banyak dilakukan di daerah-daerah pesisir pantai dan lahan basah. Kegiatan pertambakan umumnya dilakukan secara tradisional oleh masyarakat dengan pengetahuan yang diperoleh secara turun-temurun. Kegiatan tambak merupakan kegiatan budidaya dengan memelihara dan membesarkan organisme seperti; udang dan bandeng. Kebutuhan lahan yang luas baik untuk ekstensifikasi maupun intensifikasi merupakan salah satu faktor yang sering menjadi kendala dalam kegiatan pertambakan. Konversi lahan untuk areal pertambakan banyak dilakukan baik dari hutan mangrove maupun dari areal persawahan. Pemilihan lahan untuk kegiatan pertambakan harus memenuhi persyaratan-persyaratan teknis, ekologis dan ekonomis. Pemilihan lahan yang baik akan memberikan produktivitas yang tinggi dan sebaliknya pemilihan lokasi yang salah akan menyebabkan kerugian dalam kegiatan usaha tambak. Untuk komponen teknis, perlu diperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan teknis operasional seperti, sumber benih, pemasaran, keamanan, dan aksesibiltas. Sedangkan untuk komponen ekologis perlu memperhatikan halhal seperti sumber air, topografi, tekstur tanah/substrat, dan vegetasi. Menurut Poernomo (1992) bahwa Secara fisik pada umumnya tambak-tambak tradisional yang pengairannya sangat bergantung pada karakteristik pasut, tambak harus dibangun pada lokasi yang elevasinya terletak diantara air pasang rata-rata dan air surut rata-rata. Untuk komponen ekonomis perlu memperhatikan biaya dan waktu
75
yang dibutuhkan dalam pembuatan/kontruksi tambak,
biaya dan lama
pemeliharaan serta pajak atau retribusi. Dalam pemilihan lokasi khususnya yang berkaitan dengan komponen ekologis sangat penting memperhatikan jenis tanah/substrat serta sumber air. Umumnya jenis tanah/substrat yang menjadi areal pertambakan adalah jenis substrat lempung berpasir. Selain itu juga persyaratan tekstur tanah turut berperan bagi ketersediaan pakan berupa klekap. (klekap: ganggang dasar yang merupakan makanan alam bagi hewan budidaya) Untuk tambak jenis ini biasanya dasar tambak harus berupa tanah lempung sampai liat berpasir. (Poernomo, 1992) Jenis tanah tersebut memiliki kadar liat yang tinggi dengan kandungan pasir yang rendah. Tekstur atau jenis substrat tersebut merupakan jenis yang stabil dan memiliki kemampuan untuk menahan air yang tinggi (kedap air). Tekstur tanah/substrat tersebut mudah dipadatkan dan tidak pecah-pecah pada waktu musim panas. Selain itu jenis substrat tersebut merupakan jenis substrat yang disukai oleh kedua jenis organisme yang umum dipelihara yakni udang dan bandeng. Hal tersebut disebabkan tipe substrat
lempung berpasir merupakan
habitat utama udang dan bandeng pada fase spawning dan nursery ground di ekosistem air payau seperti muara sungai dan hutan mangrove. Pembukaan lahan untuk areal pertambakan umumnya dilakukan dengan penggunaan alat-alat berat seperti excapator dan buildoser untuk membetuk kontruksi tambak terutama untuk areal-areal tambak yang memiliki kontur dan tekstur tanah agak keras dan bergelombang. Namun pembukaan lahan dengan menggunakan alat-alat ringan seperti skop dan cangkul juga umum dilakukan, namun banyak dijumpai pada areal-areal tambak yang berkontur landai dan bertekstur basah, biasanya pada daerah-daerah yang dekat dengan muara ataupun pantai. Pembuatan konstruksi tambak tersebut akan menyebabkan partikel-partikel tanah atau substrat menjadi terpecah, dimana fraksi-fraksi tanah menjadi terpisah sehingga partikel-partikel yang semula memadat dan keras akhirnya menjadi renggang. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya pemisahan partikel-partikel halus dengan partikel-partikel kasar. Partikel-partikel halus selanjutnya akan mudah berpindah tempat dan hanyut yang terbawa oleh air dan mengendap pada tempat yang lain menjadi sedimentasi. Pengangkutan partikel-partikel tanah
76
tersebut sangat bergantung pada besar kecilnya atau halus kasarnya serta debit dan kecepatan arus yang mengangkut. Semakin halus partikel-partikel tanah dan semakin besar debit dan kecepatan arus, maka peluang terangkutnya sedimen tersebut akan semakin besar pula. Dengan demikian pembukaan areal pertambakan akan menjadi salah satu faktor penyuplai terjadinya sedimentasi pada daerah-daerah pesisir. Semakin luas lahan yang dibuka untuk kegiatan pertambakan maka akan semakin besar volume sedimen yang akan terangkut. Selain dari kegiatan kontruksi tambak, sedimentasi juga dapat terjadi dari sumber sedimen lain yang bersumber dari tambak yakni yang berasal dari sisa-sisa pemberian pakan (pakan yang tidak terkonsumsi oleh organisme, selanjutnya mengendap di dasar) dan hasil ekresi berupa feses dari aktivitas metabolisme. Sisa pakan dan feses organisme tersebut yang mengendap di dasar perairan kaya akan nutrien yakni Nitrogen (N) dan Fosfor (P). Namun kelimpahan bahan organik yang tinggi dari Nitrogen dan Fosfor akan menyebabkan penurunan konsentrasi oksigen di dalam perairan. Hal tersebut terjadi karena oksigen dibutuhkan oleh mikroorganisme (bakteri) aerob untuk merombak bahan organik tersebut menjadi senyawa yang lebih sederhana. Kondisi ini dapat menyebabkan perairan menjadi aerob. Selain itu proses penguraian (dekomposisi) yang terjadi tersebut juga menghasilkan gas-gas yang bersifat (toksik) seperti, Amoniak, Nitrit, Karbondioksida, dan Hydrogen Sulfide. Kandungan gas-gas tersebut dalam jumlah tertentu akan membahayakan bagi kehidupan organisme budidaya, serta dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi dalam perairan seperti terjadinya blooming (red tide). Selanjutnya organisme akan mengalami kematian dalam jumlah massal. Kelimpahan bahan organik di tambak sangat dipengaruhi oleh lamanya masa pemeliharaan dan intensitas pemberian pakan. Waktu pemeliharaan yang lama akan meningkatkan volume sisa-sisa pakan dalam tambak, dan penambahan hasil ekresi dari aktivitas metabolisme oleh organisme. Pemberian pakan dengan jumlah dua kali lipat produk biomassa (basah), bila dihitung konversinya maka hanya sekitar 10-20% yang dapat dipanen menjadi biomassa sedangkan 90% sisanya terbuang ke perairan. Dengan demikian kelimpahan bahan organik akan menyebabkan peningkatan sedimentasi yang terjadi di suatu perairan. Selanjutnya
77
sedimen tersebut akan terangkut oleh proses pergantian air (mixing) yang terjadi. Kandungan air tambak dalam perairan kemudian dialirkan keluar menuju ke laut melalui sungai, yang akhirnya mengalami proses pengendapan seiring semakin melemahnya air. Aktivitas penambangan pasir di beberapa sungai (sungai sesanip, sungai bengawan dan sungai belalung) (Gambar 24) dan pembukaan areal tambak di tepi pantai telah menimbulkan dampak yang begitu besar bagi lingkungan. Salah satu dampak yang paling nyata adalah sedimentasi muara sungai. Dalam hal percepatan terjadinya proses sedimentasi muara sungai peranan DAS sangat penting dalam artinya DAS merupakan satu kesatuan hidrologi yang berfungsi sebagai penerima, penampung dan penyimpan air hujan untuk kemudian dialirkan ke laut. DAS bisa disebut juga sebagai watersheed atau catchment area. Aliran air sungai akan semakin besar, seiring tingginya curah hujan yang terjadi, serta limpahan air dari pemukiman masyarakat. Kegiatan penebangan hutan di hulu dan pembangunan pemukiman di daerah-daerah sekitar aliran sungai akan mengurangi luasan catchment area, sehingga limpahan air hujan dan air yang berasal dari pemukiman masyaraklat akan langsung masuk ke sungai dan menambah debit sungai tersebut. Debit sungai yang tinggi, akan mengangkut partikel-partikel sedimen dalam jumlah dan volume yang lebih besar menuju ke muara dan akhirnya akan mengalami pengendapan (sedimentasi). Kegiatan penambagan pasir darat dan pembukaan areal pertambakan di sekitar daerah aliran sungai, akan menjadi pemicu terjadinya sedimentasi dalam skala besar. Perombakan struktur-struktur tanah dan pasir menjadi partikel-pertikel yang mudah terpisahkan akan terangkut oleh aliran sungai menuju ke muara. Kondisi ini menimbulkan terjadinya erosi di suatu tempat dan sedimentasi di tempat lain (di muara sungai). Berdasarkan data LISDA Kota Tarakan (2005), diperoleh bahwa kegiatan penambangan pasir darat di Kota Tarakan terdapat di 3 lokasi yakni Kelurahan Juata Laut dengan luas 53.132 m2 Kelurahan Juata Kerikil dengan luas 5.106 m2 dan Kelurahan Juata Permai dengan luas 12.450 m2. Lebih rinci seperti pada Tabel 15.
78
Tabel 15 Lokasi Usaha Penambangan Pasir Darat di Kota Tarakan No
1
2
3
Kelurahan
Juata Laut
Juata Kerikil
Juata Permai
Lokasi Penambangan
Luas (m2)
RT 6 Sungai Bengawan RT 09 RT 01 Sungai Belalung RT 14 RT 6 Cabang Sungai Belalung RT 2 Sungai Bengawan RT 2 Pasir Putih RT 3 RT 1 Muara Sungai Bengawan RT 1
4.000 5.000 4.320 12.000 6.500 2.358 1.200 35.000 12.498 2.100 100.000 22.400
Sumber: LISDA Kota Tarakan, 2005 Berdasarkan Tabel 14 di atas, tampak bahwa lokasi penambangan pasir darat terjadi di daerah-daerah aliran sungai. Aktivitas tersebut kemudian menjadi sumber sedimentasi yang terjadi di muara sungai melalui pengangkutan oleh aliran air sungai (run off). Proses pengangkutan berlangsung terus menerus sepanjang musim, sehingga lambat laun volume sedimen yang terdeposit semakin bertambah, menyebabkan terjadinyan pengumpulan dalam jumlah yang banyak. Kondisi yang berlebih tersebut selanjutnya akan mengganggu perkembangan tumbuhan dan organisme di wilayah pesisir termasuk mangrove. Proses sedimentasi yang berlebih selanjutnya menyebabkan kematian massal (dieback) pada mangrove. Proses kematian ini terjadi karena sulitnya mangrove untuk melakukan respirasi akibat penimbunan akar napas oleh sedimentasi. 2. Genangan Air Tawar Tingginya degradasi hutan mangrove yang terjadi selain disebabkan oleh sedimentasi dalam skala besar di daerah muara sungai, juga disebabkan oleh genangan air tawar dalam jumlah yang banyak. Proses kematian secara massal hutan mangrove oleh genangan air tawar, terjadi dimana limpahan air tawar dalam jumlah yang tinggi akan mengganggu pertumbuhan mangrove, yang merupakan tumbuhan estuaria, yakni tumbuhan yang membutuhkan suplai air asin dan suplai air tawar. Volume air tawar yang tinggi akan menyebabkan perairan menjadi
79
tawar dan selanjutnya pertumbuhan mangrove akan menjadi terganggu. Peristiwa penggenangan air tawar dalam jumlah yang tinggi, dapat disebabkan oleh tingginya curah hujan yang terjadi dan limpahan air buangan masyarakat dari pemukiman. Kedua faktor tersebut didukung pula oleh semakin sempitnya catchment area, sebagai akibat dari kegiatan penebangan hutan di hulu dan pembukaan lahan di daerah-daerah sekitar sungai untuk pemukiman maupun untuk kegiatan lainnya. Selain itu peristiwa pengenangan air tawar juga disebabkan karena tertutupnya daerah muara oleh sedimentasi, sehingga limpahan air tawar tersebut menjadi tertahan dan suplai air laut tidak masuk. Tingginya genangan air tawar di daerah muara, dapat dipicu oleh intensitas curah hujan yang terjadi dan tingginya limpahan air buangan dari pemukiman dan pabrik-pabrik serta aktivitas lainnya yang ada di daerah aliran sungai. Kondisi tersebut diperparah dengan semakin sempitnya daerah resapan air (catchment area), sehingga limpahan air baik oleh hujan maupun dari masyarakat akan langsung masuk ke badan sungai. Curah Hujan Curah hujan merupakan volume hujan dalam setiap bulan. Volume hujan biasanya dinyatakan dalam satuan mili meter (mm). Selain curah hujan, hari hujan (HH) juga menjadi indikator intensitas hujan pada suatu daerah. Hari hujan merupakan frekuensi terjadinya hujan yang diukur dengan banyaknya hujan harian dalam sebulan. Berikut, secara grafis digambarkan tingkat curah hujan dan hujan hari di Kota Tarakan dalam kurun waktu tahun 2005. 450.0
30
400.0
Curah Hujan (mm)
300.0
20
250.0 15 200.0 150.0
10
100.0
Hari Hujan (Hari/Bulan)
25 350.0
5
Curah Hujan
50.0
Hari Hujan
0.0
0 Jan Peb Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu Sep Okt
Nop Des
Bulan
Gambar 26 Kondisi Curah Hujan yang terjadi di Kota Tarakan (2005)
80
Curah hujan bulanan yang terjadi di Kota Tarakan selama tahun 2005 bervariasi antara 124,9-412,8 mm/bulan. Frekuensi atau lama hari hujan yang terjadi di Kota Tarakan berkisar antara 12–26 hari/bulan. Selama kurun waktu satu tahun (2005) curah hujan berada pada nilai >100 mm/bulan. Dapat dikatakan bahwa selama tahun 2005 Kota Tarakan tidak mengalami musim kering (curah hujan <100 mm/bulan). Curah hujan tertinggi mencapai 412 mm/bulan pada bulan April, sementara curah hujan terendah terjadi pada bulan Pebruari yaitu 124,9 mm/bulan. Sementara frekuensi hujan tertinggi terjadi pada bulan Oktober yaitu 26 hari/bulan, dan frekuensi terendah terjadi pada bulan Januari yaitu hanya sekitar 12 hari/bulan. Curah hujan yang tinggi dengan frekuensi yang tinggi akan memberikan limpahan air tawar yang tinggi kedalam badan sungai dan selanjutnya akan menuju muara. Kondisi curah hujan yang tinggi tersebut akan mengangkut bahanbahan material berupa sedimen dan bahan organik serta bahan bahan anorganik menuju ke laut. Bahan-bahan material yang padat akan tenggelam seiring berkurangnya debit air sungai dan akhirnya mengendap di dasar perairan. Limpahan air tawar tersebut mengalir melalui run off menuju ke laut, namun karena kondisi muara sungai yang tertimbun oleh sedimen akhirnya limpahan air tawar tersebut tertahan dan menggenangi ekosistem mangrove disepanjang aliran sungai dan daerah muara sungai tersebut. Genangan air tawar dalam jumlah banyak akan mempengaruhi salinitas perairan dan keasaman tanah. Apabila kondisi ini terus menerus berlangsung dan dalam jangka waktu yang lama, akan berdampak terhadap terganggunya ekosistem mangrove dan akhirnya akan terjadi kematian secara massal pada mangrove tersebut. Limpahan Air Buangan Masyarakat Selain faktor curah hujan yang tinggi, genangan air tawar juga dapat bersumber dari limpahan air buangan masyarakat dan aktivitas pembangunan lainnya yang ada di daerah aliran sungai. Limpahan air tawar yang bersumber dari buangan rumah tangga dan pabrik pada umumnya disertai dengan bahan-bahan organik, anorganik serta limbah cair beracun. Limpahan air tawar tersebut langsung masuk ke badan sungai dan terus mengalir ke muara sungai melalui run
81
off. Limpahan air buangan masyarakat tersebut selanjutnya tertahan di daerah muara karena tertimbunnya muara oleh sedimentasi. Besarnya limpahan air tawar yang bersumber dari faktor intensitas curah hujan dan air buangan dari masyarakat dan pabrik, semakin sulit tertahan karena semakin menurunnya (sempitnya) catchment area. Aktivitas pembangunan yang padat dan disertai intensitas curah hujan yang tinggi, akan menghasilkan debit sungai yang tinggi. Debit air sungai yang tinggi akan bergerak menuju ke laut. Limpahan air tawar dalam jumlah yang banyak akan mendorong dan menekan garam-garam untuk keluar, meskipun limpahan air tersebut juga membawa bahanbahan organik dan oksigen terlarut yang baru sebagai kebutuhan dari tumbuhan dan organisme perairan. 3. Kadar Garam Rendah Adaptasi terhadap kadar garam (salinitas) merupakan salah satu faktor pembatas terhadap pertumbuhan ekosistem mangrove. Supriharyono, (2000) mengatakan walaupun tumbuhan mangrove dapat berkembang pada kondisi lingkungan yang buruk, akan tetapi setiap tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mempertahankan diri terhadap kondisi lingkungan fisika-kimia di lingkungannya salah satunya berupa salinitas tanah. Tinggi dan waktu penggenangan air pasang yang cukup lama akan sangat menentukan salinitas tanah, yang mana selanjutnya salinitas ini akan menentukan kehidupan jenis tumbuhan mangrove. Mangrove sangat rentan terhadap kadar garam yang rendah dan tinggi. Untuk mensiasati setiap kondisi ekstrim yang terjadi mangrove memiliki pola adaptasi khusus, salah satunya yakni mangrove memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. Dengan kata lain pola adaptasi terhadap kadar garam tinggi dilakukan dengan bentuk daun yang tebal dan kuat yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam. Selain itu daunnya juga memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi terjadinya penguapan. Penguapan yang tinggi akan menyebabkan berkurangnya kandungan air pada daun, sehingga salinitas yang tinggi akan berdampak terhadap pertumbuhan dan perkembangan mangrove. Sementara itu, mangrove juga rentang terhadap kondisi kadar garam yang rendah. Mangrove membutuhkan
82
garam untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Hasil pengukuran kualitas air genangan Desa Binalatung, disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Kualitas Air Genangan di Daerah Sekitar Mangrove Desa Binalatung No
Keterangan
Pengamatan Stasiun 1
Stasiun II
Stasiun III
1.
pH
6,34
6,27
6,04
2.
Suhu (OC)
33,2
32,4
32,5
3.
Salinitas (ppm)
5,3
3,7
1,8
4. Oksigen (mg/lt) 4,19 Sumber : Data Pengukuran,Juli 2007
3,6
3,9
Berdasarkan hasil pengukuran pada tiga stasiun diperoleh kandungan kadar garam bervariasi antara 1,8-5,3 ppm. Nilai kadar garam tersebut terbilang rendah dan tergolong genangan air tawar. Kandungan kadar garam yang rendah tersebut disebabkan oleh limpahan air hujan dan aktivitas di sepanjang daerah aliran sungai yang tinggi, serta akibat terjadinya sedimentasi daerah muara yang menyebabkan suplai air laut tidak bisa masuk ke dalam badan sungai, sehingga perairan kemudian didominasi oleh suplai air tawar yang sangat tinggi. Tidak adanya suplai air laut akibat terhalangnya muara sungai, menyebabkan kadar perairan menjadi tawar dan minim akan kandungan garam. Kondisi ini menyebabkan mangrove secara perlahan-lahan mengalami dehidrasi kandungan garam yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga lambat laun, mangrove menjadi mati. Pengamatan yang dilakukan secara visual menunjukkan bahwa vegetasi nipah (Nypa fruticans) mendominasi kawasan genangan air tersebut. Jenis vegetasi nipah juga merupakan salah satu indikator perairan dengan kadar salinitas rendah dan tergolong rendah. Menurut de Hann (1931) dalam Kusmana (2005) bahwa penyebaran jenisjenis vegetasi mangrove berdasarkan salinitas dan genangan air laut terdiri atas: 1) zona air payau hingga air laut dengan salinitas berkisar antara 10-30 ppm dengan frekuensi penggenangan (a) 1-2 kali/hari genangan pasang dengan dominan jenis pohon Avicennia spp dan Sonneratia spp, (b) 10-19 hr/bulan genangan pasang dengan dominan jenis pohon Rhizophora spp dan Bruguiera spp, (c) 9 hari/bulan genangan pasang dengan dominan jenis pohon Xylocarpus spp dan Heritiera spp, (d) beberapa hari/bulan genangan pasang dengan dominan jenis pohon Lumnitzera
83
spp, Bruguiera spp dan Scyphyphora spp; dan 2) zona air tawar hingga air payau, dimana salinitas berkisar antara 0-10 ppm dengan jenis ‘marginal’ halophyla, Nypa fruticans dan Oncosperma, Cerbera.
Potensi Hutan dan Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove Potensi Hutan Mangrove Berdasarkan hasil pengamatan serta pengukuran di lapangan diperoleh data luas hutan mangrove sekitar 5,123 ha dengan jenis vegetasi api-api (Avicennia spp) dan jenis prepat (Sonneratia spp). Potensi keberadaan vegetasi hutan mangrove penyusun pesisir Desa Binalatung terdiri atas: jumlah individu pohon, diameter batang pohon setinggi dada dan tipe substrat (Tabel 17). Tabel 17 Jumlah Individu, Diameter Batang dan Tipe Substrat No. Transek
Pohon (Diameter > 4cm) Avicennia sp Sonneratia sp Ind db (cm) Ind db (cm) 32 9,8 27 10,0 19 10,0 22 9,5 24 9,0 22 9,4
1 2 3 ∑ Total 75 Ind/Jenis Sumber: Data Olah, 2005
-
71
-
∑ Total Ind/transek (L= 900m2) 59 41 46
Pasir Berlumpur Pasir Berlumpur Pasir Berlumpur
146
-
Tipe substrat
Tabel 17 menujukkan jenis dominan yang terdapat di kawasan pesisir utara Desa Binalatung yakni jenis Api-api (Avicennia spp) dan prepat (Sonneratia spp). Berdasarkan hasil identifikasi diperoleh bahwa jumlah tegakan individu per jenis yaitu 19-32 pohon untuk jenis Api-api (Avicennia spp) dan 22-27 pohon untuk jenis (Sonneratia spp). Dalam artian bahwa dalam ukuran transek 900 m2, maka dijumpai rata-rata 25 pohon untuk jenis api-api dan 24 pohon untuk jenis prepat. Sementara ukuran diameter batang dari kedua jenis mangrove tersebut berkisar antara 9,4-10,0 cm. Ukuran ini menunjukkan ukuran pohon yakni >4 cm (Bengen, 2004). Vegetasi hutan mangrove Desa Binalatung yang didominasi oleh jenis api-api (Avicennia spp) dan prepat (Sonneratia spp), memungkinkan terjadi karena didasarkan pada jenis substrat yakni pasir berlumpur. Pada substrat jenis ini sering ditumbuhi oleh kedua jenis mangrove tersebut. Pada substrat berpasir sering ditumbuhi oleh Avicennia spp dan umumnya berhadapan dengan laut,
84
sehingga jenis ini dikenal pula sebagai vegetasi pioner, sementara pada substrat yang agak berlumpur dijumpai jenis Sonneratia spp, dimana pada substrat ini kaya akan bahan organik. Selanjutnya dari hasil tersebut diperoleh pula nilai kerapatan relatif jenis (RDi) api-api (Avicennia spp) sebesar 51,37% dan prepat (Sonneratia spp) sebesar 48,63%, nilai frekuensi relati jenis (RFi) api-api (Avicennia spp) sebesar 50% dan prepat (Sonneratia spp) sebesar 50%, nilai penutupan relatif jenis (RCi) api-api (Avicennia spp) sebesar 49,86% dan prepat (Sonneratia spp) sebesar 50,14%. Secara rinci nilai komponen-komponen tersebut dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Nilai Kerapatan Relatif Jenis (RDi), Frekuensi Relatif Jenis (RFi), Penutupan Relatif Jenis (RCi), dan Indeks Nilai Penting (IV) Jenis
Di
RDi
Fi
RFi
Ci
RCi
IV
Api-api (Avicennia sp)
0,0833
51,37
1,00
50
2,39
49,86
151,23
Prepat (Sonneratia sp)
0,0789
48,63
1,00
50
2,40
50,14
148,77
Sumber: Data Olah, 2006
Nilai kerapatan relatif jenis Avicennia spp yaitu 51,37%, lebih besar bila dibanding dengan jenis Sonneratia spp yaitu 48,63%. Nilai ini menunjukkan tingkat kerapatan relatif dari masing-masing jenis dalam vegetasi. Besarnya nilai kerapatan relatif jenis dari api-api (Avicennia spp) disebabkan karena jenis ini lebih mampu untuk beradaptasi bila dibanding dengan jenis Sonneratia spp ataupun yang lainnya. Kondisi ini, memungkinkan disebabkan tipe substrat yakni pasir berlumpur, serta topografi pantai yang terbuka (berhadapan langsung dengan laut bebas), dimana pengaruh oseanograpi sangat besar, seperti pasang surut, gelombang dan arus pantai. Sementara nilai frekuensi dari kedua jenis mangrove yakni 50%. Nilai ini menujukkan bahwa kedua jenis memiliki frekuensi kemunculan yang sama, atau dapat dijumpai dengan peluang yang sama besar. Berdasarkan nilai penutupan relatif jenis (RCi) untuk kedua jenis mangrove api-api (Avicennia spp) dan prepat (Sonneratia spp), diperoleh bahwa ekosistem mangrove Desa Binalatung tergolong rusak. Tingkat penutupan relatif jenis yang sekitar 49,86%-50,14%, nilai ini merupakan salah satu indikator rusaknya ekosistem mangrove tersebut. Kondisi ini, disebabkan oleh besarnya tekanan dari aktivitas manusia di daerah hulu (upland) seperti penebangan hutan
85
lindung, penambangan pasir darat di sepanjang belantaran sungai, aktivitas pembangunan, konversi lahan pemukiman, pembukaan lahan tambak tradisional, serta limbah buangan rumah tangga atau industri. Aktivitas-aktivitas tersebut mengakibatkan semakin besarnya tekanan terhadap ekosistem mangrove sehingga sebagai ekosistem yang memiliki kemampuan sebagai filter terhadap lingkungan dinamisnya sendiri tidak dapat dioptimalkan lagi. Indeks nilai penting memiliki kisaran nilai antara 0-300, indeks ini menunjukkan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan (vegetasi) dalam komunitas. Semakin tinggi INP suatu jenis vegetasi maka peranannya dalam komunitas semakin baik. Secara grafis indeks nilai penting dari kedua jenis mangrove terlihat pada Gambar 27.
Sonneratia spp Avicennia spp
148.77 1
151.23
Indeks Nilai Penting
Gambar 27 Indeks Nilai Penting Ekosistem Mangrove Desa Binalatung Berdasarkan Gambar 27 terlihat bahwa indeks nilai penting dari jenis apiapi (Avicennia spp) lebih besar dibanding dengan jenis prepat (Sonneratia spp). Indeks nilai penting untuk jenis api-api (Avicennia spp) yaitu 151,23 dan jenis prepat (Sonneratia spp) yaitu 148,77. Nilai ini menunjukkan bahwa peranan atau pengaruh dari jenis Api-api (Avicennia spp), lebih baik bila dibanding dengan jenis prepat (Sonneratia spp). Meskipun sesungguhnya nilai tersebut tidak terlalu jauh berbeda. Hal ini dapat terlihat dengan nilai-nilai yang diperoleh seperti nilai kerapatan relatif jenis, nilai penutupan relatif jenis dan nilai frekuensi relatif jenis yang kesemuanya tidak terlalu berbeda.
86
Nilai Manfaat Ekonomi Ekosistem Nilai ekonomi ekosistem mangrove dalam penelitian ini, terdiri dari nilai manfaat langsung (ML), nilai manfaat tidak langsung (MTL), manfaat pilihan (MP) dan manfaat keberadaan (MK). Identifikasi nilai manfaat dan pendekatan nilai valuasi dari keberadaan ekosistem mangrove Desa Binalatung dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Identifikasi Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove Desa Binalatung Kategori Pemanfaatan Manfaat 1 Manfaat Langsung Perikanan Kepiting Daun Nipah 2 Manfaat Tidak Panahan Abrasi Langsung (Break Water 6,5 km) Penyedia Sumberdaya Perikanan (Naamin dan Martosubroto, 1984) Bibit Mangrove Kayu Mangrove 3 Manfaat Pilihan Nilai Biodeversity (Ruitenbeek, 1991) 4 Manfaat Dampak Abrasi Keberadaan Sumber : Data primer, 2006 No
Pendekatan Nilai Valuasi Actual Price (market price) Opportunity Cost Biaya pengganti (Replacement Cost) Benefit transfer Biaya Reboisasi MCRMP Actual Price (market price) Benefit transfer Willingness to Pay
Manfaat Langsung (ML) Manfaat langsung dari ekosistem mangrove Desa Binalatung yang diperoleh berupa pemanfaatan hasil hutan (daun nipah) dan pemanfaatan sumberdaya perikanan (kepiting). Pemanfaatan hasil hutan berupa daun nipah untuk atap, sedang pemanfaatan sumberdaya perikanan berupa kegiatan penangkapan kepiting. a. Manfaat Kepiting Penangkapan kepiting oleh masyarakat setempat umumnya menggunakan alat tangkap berupa jaring/perangkap (ambau). Perangkap ini sifatnya pasif yang dioperasikan pada saat air surut dengan cara meletakkannya di dekat akar-akar mangrove lalu diikat dan di beri umpan berupa insang ikan. Hal tersebut dilakukan dengan harapan target tangkapan (kepiting) dengan cepat dan mudah tertangkap. Selama ini kepiting merupakan hasil tangkapan sampingan oleh nelayan dan dimanfaatkan hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah
87
tangga nelayan itu sendiri. Hasil wawancara menyebutkan bahwa jika hasil tangkapan didistribusikan keluar dari Desa Binalatung maka akan membutuhkan biaya transportasi yang cukup mahal karena keterbatasan prasarana jalan yang menghubungkan desa dengan pasar-pasar tradisional Kota Tarakan masih dalam kondisi perbaikan. Hingga saat ini sarana transportasi yang dapat digunakan warga desa untuk pergi ke Kota Tarakan ialah kendaraan roda dua (motor). Selanjutnya dalam melakukan pendekatan untuk mengestimasi nilai manfaat langsung dari ekosistem mangrove dilakukan dengan menggunakan hasil tangkapan perikanan berupa kepiting. Pendekatan ini menggunakan harga pasarpasar tradisional (market price). Pada saat penelitian harga jual kepiting sebesar Rp.8.000 per kg. Rata-rata nilai manfaat langsung yang diperoleh dari komoditas perikanan berupa kepiting per hektar berjumlah Rp.2.621.901 per tahun dengan biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.102.460 per tahun. (Lampiran 4) b. Manfaat Daun Nipah Daun nipah dimanfaatkan warga sebagai bahan atap togo (alat penangkap ikan) selain bahan bakunya mudah diperoleh juga lebih ekonomis karena daya tahannya bisa mencapai dua hingga tiga tahun pemakaian jika dibandingkan dengan atap yang terbuat dari bahan baku lainnya seperti seng atau genteng. Pemanfaatan daun-daun yang telah diolah ini tidak untuk memenuhi kebutuhan pasar tradisional melainkan digunakan untuk kebutuhan sendiri. Hal ini terjadi karena tidak ada permintaan pasar Kota Tarakan. Selanjutnya dalam pemanfaatannya warga biasa melakukannya secara berkelompok 2 hingga 3 orang dengan menggunakan alat mandau (parang) dan tali. Frekuensi rata-rata pengumpulan daun nipah untuk setiap rumah tangga adalah 2,4 kali per bulan atau 28 kali dalam setahun. Setiap trip keberangkatan warga membutuhkan waktu sekitar 4 jam (pukul 06.00 s/d pukul 09.00) sampai tiba kembali di rumah karena jarak yang ditempuh sekitar 1km dari pemukiman warga desa. Dalam pemanfatannya warga tidak memerlukan biaya operasional karena lokasi pengambilan yang dekat membuat tidak adanya biaya bahan bakar. Karena tidak ditemukan adanya biaya secara langsung yang digunakan dalam mengestimasi kegiatan ini maka pendugaan nilai manfaat daun nipah adalah pendekatan biaya oppurtunitas (frekuensi hari pengumpulan). Kusumastanto (2000) menyatakan
88
bahwa biaya oppurtunitas adalah hasil atau keuntungan yang diperoleh dari alternatif investasi yang diabaikan. Selanjutnya dikatakan juga bahwa metode ini dapat dipakai untuk menghitung nilai ekonomi suatu proyek pemanfaatan lahan pesisir yang tidak dapat diukur dengan menggunakan nilai pasar. Untuk itu metode ini di gunakan untuk memperoleh manfaat langsung dari kegiatan memanfaatkan daun nipah dengan asumsi bahwa frekuensi pengumpulan (hari) merupakan biaya investasi yang diabaikan. Kemudian frekunsi hari pengumpulan tersebut dikonversi dengan besarnya upah buruh yang berlaku untuk Kota Tarakan yakni sebesar Rp.50.000 per hari. Jika frekuensi rata-rata pengumpulan yang digunakan dalam pemanfaatan adalah 2,4 kali per bulan atau 28 kali dalam setahun maka nilai manfaat rata-rata per hektar yang diperoleh sebesar Rp.1.420.000 per tahun dengan biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.256.150 per tahun. (Lampiran 4) Berdasarkan dari data komponen manfaat langsung hasil hutan maupun hasil perikanan, maka nilai manfaat langsung ekosistem mangrove di Desa Binalatung dapat diestimasi. Selanjutnya hasil perhitungan total nilai manfaat langsung ekosistem mangrove dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Total Nilai Manfaat Langsung Ekosistem Mangrove Pesisir Utara, Desa Binalatung tahun 2006. No
Jenis Manfaat
Nilai Manfaat (Rp/th)
Persentase (%)
1
Perikanan Kepiting
Rp
2.621.901
64,9
2
Daun Nipah
Rp
1.420.000
35,1
Total Nilai Manfaat
Rp
4.041.901
100
Sumber: Data olah, 2006
Manfaat Tidak Langsung (MTL) Manfaat tidak langsung yang dapat diidentifikasi dari ekosistem mangrove Desa Binalatung berupa manfaat fisik, manfaat biologi dan manfaat sebagai penyedia bibit mangrove. Manfaat fisik seperti fungsi mangrove sebagai penahan abrasi pantai dari serangan gelombang dan juga manfaat biologi yang disediakan dari ekosistem mangrove yakni sebagai nursery ground. a.
Manfaat Fisik -
Penahan gelombang
89
Pendugaan nilai manfaat fisik dari hutan mangrove yaitu fungsinya sebagai penahan abrasi pantai yang didekati dengan penilaian biaya bangunan pantai (breaks water). Nilai ini merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan Aprilwati (2000) dimana biaya yang dikeluarkan untuk membuat breaks water dengan ukuran 1m x 11m x 2,5m (panjang x lebar x dalam) dengan daya tahan bangunan 10 tahun sebesar Rp.4.163.880. Untuk mendapatkan estimasi nilai sekarang maka nilai tersebut dikonversi dengan nilai inflasi yang terjadi pada saat penelitian yakni bulan mei 2006 sebesar 15,60% (www.bi.go.id). Selanjutnya hasil konversi dikalikan dengan panjang Pantai Amal sampai Tanjung Binalatung 6,5 km. Jadi biaya yang diperlukan untuk membuat bangunan pantai bagi kawasan pantai timur Kota Tarakan seluruhnya adalah sebesar Rp.3.121.225.432 dan per ha luasan hutan mangrove adalah sebesar Rp.135.705.454. Asumsi yang digunakan dalam pembuatan breaks water daerah penelitian adalah biaya yang dikeluarkan untuk pembelian material pembuatan beton penahan pantai dianggap sama dengan biaya material yang tersedia di kawasan Batu Ampar, Pontianak. -
Penyedia Kayu Mangrove Hasil wawancara menyebutkan bahwa pemanfaatan terhadap kayu
mangrove tidak dilakukan oleh warga, karena bentuk batang pohon dari jenis mangrove api-api (Avicennia spp) dan prepat (Sonneratia spp) tidak dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan warga seperti pembuatan tiang pancang rumah, kayu bakar dan pembuatan kapal. Selain karena bentuk batang yang tidak sesuai untuk kebutuhan rumah dan pembuatan kapal juga daya bakar kedua jenis ini tidak sekuat jenis mangrove (Rhizophora spp). Keberadaan potensi kayu yang disediakan oleh ekosistem mangrove Desa Binalatung tidak dapat ditiadakan meskipun pemanfaatan secara langsung tidak dilakukan oleh warga setempat namun secara ekologi potensi kayu sangat besar kontribusinya terhadap siklus daur hidup sumberdaya perikanan yang berasosiasi dengannya. Untuk itu secara ekonomi nilai manfaat ini memberikan sumbangan tersendiri dalam penilaian manfaat tidak langsung dari keberadaan ekosistem tersebut.
90
Potensi kayu yang disediakan oleh ekosistem mangrove Desa Binalatung berkisar 553 pohon per ha (>4cm) dengan tinggi rata-rata kurang lebih 10 meter. Jika harga pasar (market price) yang tersedia khususnya Kota Tarakan untuk kayu mangrove sebesar Rp.14.000 per 5meter, maka nilai manfaat yang tersedia dari keberadaan potensi kayu mangrove sebesar Rp.15.484.000 ha per tahun. b.
Manfaat Biologi Manfaat biologi dilakukan dengan pendekatan fungsi dari ekosistem
mangrove sebagai daerah feeding ground bagi komoditas udang. Pendekatan ini merujuk pada persamaan regresi Naamin (1984) dalam Fachrudin (1996) yang menggambarkan fungsi luasan hutan mangrove terhadap kelimpahan biota perairan mangrove tersebut. Selanjutnya dari hasil formula tersebut diperoleh bahwa manfaat biologi dari ekosistem mangrove Desa Binalatung seluas 23 ha sebesar Rp.81.470.664. c.
Manfaat Penyedia Bibit Mangrove Manfaat sebagai penyedia bibit mangrove ini didekati dengan biaya yang
dikeluarkan oleh kegiatan MCRMP tahun 2000 khususnya untuk program pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Binalatung. Biaya yang dikeluarkan oleh kegiatan MCRMP khususnya untuk penanaman bibit mangrove sebanyak 14000 anakan dengan Rp.5.000 per anakan jadi total biaya sebesar Rp.70.000.000. Berdasarkan dari tiga komponen nilai manfaat tidak langsung yang telah diperoleh, maka selanjutnya dihitung total nilai manfaat tidak langsung dari ekosistem mangrove Desa Binalatung. Total nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Total Nilai Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Mangrove Pesisir Utara Desa Binalatung Tahun 2006 No
Jenis Manfaat
Nilai Manfaat
Persentase (%) 95,7
1
Penahan Gelombang
Rp
3.121.225.432
2
Penyedia Kayu
Rp
14.980.000
0,5
3
Penyedia sda perikanan
Rp
54.406.109
1,7
4
Bibit Mangrove
Rp
70.000.000
2,1
Rp
3.260.611.541
100
Total Nilai Manfaat Sumber : Data olah, 2006
91
Manfaat Pilihan (MP) Nilai manfaat pilihan dari suatu ekosistem mangrove didekati dengan nilai keanekaragaman hayati (biodeversity). Manfaat pilihan ini diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Ruitenbeek (1991). Dari formula tersebut diperoleh nilai manfaat pilihan dari ekosistem mangrove Desa Binalatung Rp.2.559.900 per tahun setelah dikonversi dari kurs mata uang dolar (US$) ke rupiah (Rp.) pada bulan mei 2006 yaitu sebesar Rp.7.420 (www.bi.go.id). Manfaat Keberadaan (MK) Suatu
ekosistem
akan
sangat
bermanfaat
jika
telah
diketahui
kerusakannya, seperti halnya ekosistem mangrove di Desa Binalatung. Kerusakan ekosistem hutan mangrove Desa Binalatung telah menurunkan fungsi fisik dan fungsi biologi secara signifikan. Fungsi fisik dari ekosistem mangrove yakni sebagai penahan abrasi pantai dan penyedia kayu sementara fungsi biologi sebagai daerah asuhan. Manfaat keberadaan yang diberikan oleh warga setempat cukup bervariasi. Hal ini didasarkan pada letak atau posisi tempat tinggal warga. Sebagian warga yang tinggal di daerah pinggiran pantai akan memberikan nilai keberadaan yang tinggi dibandingkan dengan warga yang tinggal jauh dari pantai. Secara keseluruhan nilai manfaat yang diberikan oleh warga Desa Binalatung terhadap keberadaan suatu ekosistem mangrove sebesar Rp.329.783 per tahun. Nilai Ekonomi Total (TEV) Nilai Ekonomi Total (NET) ekosistem mangrove Desa Binalatung diperoleh dari penjumlahan nilai manfaat langsung (NML), manfaat tidak langsung (NMTL), manfaat pilihan (MP) dan manfaat keberadaan (NK). Total nilai manfaat tersebut yang diberikan terhadap ekosistem mangrove Desa Binalatung sebesar Rp.3.267.583.125 per tahun. Secara rinci nilai-nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel 22.
92
Tabel 22 Nilai Ekonomi Total Ekosistem Mangrove Desa Binalatung tahun 2006. No
Kategori
Nilai Manfaat
Persentase (%)
1
Nilai Manfaat Langsung
Rp
4.041.901
0,12
2
Nilai Manfaat Tidak Langsung
Rp
3.260.611.541
99,79
3
Nilai Manfat Pilihan
Rp
2.599.900
0,08
4
Nilai Manfaat Keberadaan
Rp
329.783
0,01
Rp
3.267.583.125
100
Nilai Manfaat Total Sumber : Data olah, 2006
Berdasarkan Tabel 22 di atas, diperoleh bahwa nilai manfaat total (TEV) yang dimiliki ekosistem mangrove pesisir utara Desa Binalatung seluas 23 hektar sebesar 3 milyar rupiah per tahun. Dengan komponen nilai-nilai manfaat penyusun terdiri atas: 1) nilai manfaat tidak langsung ekosistem mangrove sebesar 99.33% atau sebesar 3 milyar rupiah, selanjutnya nilai manfaat tidak langsung sebesar 0.58% atau sebesar 19 juta rupiah, nilai manfaat pilihan sebesar 0.08% atau sebesar 2 juta rupiah dan nilai manfaat keberadaan dari ekosistem tersebut yakni 0.01% atau sebesar 329 ribu rupiah. Hasil Penelitian Terdahulu Nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam sumberdaya khususnya ekosistem mangrove di suatu kawasan sangat berperan dalam penentuan pengelolaan yang berkelanjutan bagi kawasan tersebut. Sehingga alokasi dan aternatif pengelolaannya dapat efisien dan berkelanjutan. Kerangka nilai ekonomi yang sering digunakan dalam evaluasi sumbedaya ini adalah konsep nilai ekonomi total (NET) (Adrianto, 2004). Hasil perolehan nilai ekonomi total (NET) pada suatu kawasan berbeda dengan kawasan lainnya hal ini bisa terjadi karena input dari nilai-nilai penyusun NET yang tergantung pada kondisi wilayah masingmasing. Nilai penyusun yang dimaksud terdiri dari nilai pakai langsung (direct use value), nilai pakai tak langsung (indirect use value) dan nilai non pakai (non use value). Salah satu contoh penggunaan nilai manfaat tidak langsung seperti jasa yang disediakan oleh suatu ekosistem mangrove sebagai penahan abrasi (manfaat fisik) di kawasan Batu Ampar, Pontianak, Kalimantan Barat bernilai 4 juta rupiah dengan daya tahan 10 tahun. Nilai tersebut diestimasi dari konstruksi bangunan
93
beton yang berfungsi sebagai pemecah ombak (breaks water). Jika ditinjau kembali bahwa perolehan nilai tersebut dapat dikatakan sesuai berdasarkan kondisi wilayah Batu Ampar yang posisi geografis berada pada perairan teluk Padang Tikar dimana secara alami kondisi dinamika perairan pesisir tidak terlalu ekstrim perubahannya. Hal tersebut tentunya akan jauh berbeda dengan kondisi pesisir utara Desa Binalatung yang perubahan kondisi dinamika pesisir cukup besar pengaruhnya dari perairan Laut Sulawesi. Secara tegas dikatakan Bengen, et.al (2006) bahwa kondisi arus di perairan sekitar pulau-pulau kecil akan sangat ditentukan oleh dimana lokasi pulau tersebut berada. Jika pulau kecil itu berada pada perairan yang semi tertutup, maka arusnya akan cenderung lemah, sedangkan jika pulau tersebut berada pada perairan yang terbuka (di laut lepas), arusnya cenderung kuat. Sehingga dapat diduga bahwa nilai bahan bangunan pemecah ombak (breaks water) untuk pesisir Desa Binalatung lebih kuat beberapa kali lipat dibanding dengan konstruksi bangun pemecah ombak perairan Batu Ampar. Secara jelas gambaran kondisi tersebut dapat dilihat pada peta lokasi berikut.
Gambar 28 Lokasi Pembuatan Breaks Water
94
Penentuan Prioritas Pengelolaan Penentuan prioritas pengelolaan ekosistem mangrove Desa Binalatung didasarkan pada kajian terhadap kondisi lingkungan habitat mangrove, kondisi sosial masyarakat dan juga pertimbangan dari prangkat kebijakan berupa PERDA yang diberlakukan di Kota Tarakan. Selanjutnya dalam pelaksanaan penentuan prioritas dilakukan pembobotan. Nilai pembobotan dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Nilai pembobotan terhadap sub kriteria pengelolaan No Kriteria 1 Ekologi-Ekosistem
2
3
Sosial-Ekonomi
Kelembagaan
Sub Kriteria Faktor Oseanografi
Bobot 0,092
Jenis substrat
0,078
Nilai dampak lingkungan penambangan pasir
0,069
Nilai ekonomi total
0,086
Kerusakan daerah DAS
0,076
Sedikitnya pemanfaatan ekosistem mangrove
0,067
Sifat gotong royong yang baik
0,059
Sumber pendapatan masyarakat
0,083
Mobilitas penduduk tinggi
0,049
Belum optimal pelibatan masyarakat
0,080
Kelembagaan penambang pasir
0,041
Perda No.08 th 2003 ttg pemanfaatan lahan pertambakan.
0,059
Perda No.18 th 2002 ttg ijin usaha pertambangan dan galian gol C
0,067
Perda Tata Ruang Wilayah Kota Tarakan
0,094
Jumlah
1,000
Sumber : hasil olah, 2006
Dari Tabel 23 diatas penilaian terhadap tingkat kepentingan pada kriteria ekologi-ekosistem memiliki porsi nilai sebesar 0,40, kriteria sosial-ekonomi masyarakat Desa Binalatung memiliki porsi nilai sebesar 0,38 dan kriteria kelembagaan dengan porsi nilai sebesar 0,22. Apabila di bandingkan antar ketiga kriteria maka kriteria ekologi-ekosistem memiliki porsi nilai lebih tinggi daripada kedua kriteria lainnya. Untuk jelasnya grafik perbandingan tersebut dapat dilihat pada Gambar 29.
95
0.40 0.40
0.38
0.35 0.30 0.22
0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 Ekologi-Ekosistem
Sosial-Ekonomi
Kelembagaan
Gambar 29 Grafik perbandingan antar kriteria pengelolaan Dari grafik diatas dapat di katakan bahwa pengelolaan ekosistem mangrove Desa Binalatung saat ini lebih mementingkan pada kriteria ekologiekosistem dan sosial ekonomi masyarakat dari pada kriteria kelembagaan. Selanjutnya hasil pembobotan pada Tabel 23 dianalisis dengan menggunakan software criplus 3.0 dengan teknik simple multi attribute rating technique (SMART). Hirarki prioritas dan hasil bobot pengelolaan berdasarkan kriteria ekologi-ekosistem, sosial-ekonomi dan kelembagaan dapat dilihat pada Gambar 30.
Gambar 30 Hirarki Penentuan Prioritas Pengelolaan Ekosistem Mangrove
96
Hasil analisis pada gambar 29 menunjukkan bahwa pada kriteria ekologiekosistem memiliki bobot tertinggi sebesar 0,345 daripada kriteria sosial-ekonomi dan kelembagaan sebesar 0,328. Pada kriteria ekologi-ekosistem terlihat bahwa subkriteria faktor oceanografi menunjukkan bobot yang paling tinggi yakni 0,079, hal ini disebabkan karena kondisi perairan laut terbuka yang berhubungan langsung dengan Laut Sulawesi menyebabkan kondisi oceanografi sangat ekstrim terjadi di kawasan pesisir utara Desa Binalatung. Selanjutnya nilai ekonomi total (NET) ekosistem mangrove memiliki nilai sebesar 0,074, hal ini menunjukkan bahwa ekosistem mangrove yang sudah mengalami degradasi masih memiliki sumbangan nilai ekonomi yang cukup signifikan. Jadi dengan kata lain secara ekonomi nilai investasi yang sangat besar turut disumbangkan oleh ekosistem mangrove yang telah terdegradasi. Pada kriteria sosial-ekonomi bobot sumbangan terbesar diberikan oleh subkriteria sumber pendapatan masyarakat sebesar 0,072. Sebagian besar warga meyakini bahwa produk prikanan (udang dan ikan) hasil tangkapan togo berasal dari asosiasi biota perairan dengan ekosistem mangrove. Hal tersebut mereka rasakan dari hasil tangkapan yang terus berkurang baik jumlah maupun ukuran biota seiring dengan berkurangnya luasan ekosistem mangrove. Selanjutnya sub kriteria yan juga turut memberikan sumbangan yakni belum optimalnya pelibatan masyarakat sebesar 0,069, pelibatan masyarakat tidak hanya sebatas pada pelaksana program kegiatan tetapi juga pelibatan ini lebih dititikberatkan pada pembuatan kelembagaan lokal masyarakat yang mana nantinya kelembagaaan yang terbentuk akan menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam pelaksanaan pengelolaan ekosistem mangrove. Pada kriteria kelembagaan bobot sumbangan terbesar diberikan dari subkriteria Perda Tata Ruang No.03 tahun 2006 sebesar 0,140. Peran kelembagaan berupa produk peraturan daerah secara tidak langsung juga turut memberikan kontribusi terhadap rencana pengelolaan yang akan dijalankan, karena ekosistem mangrove yang saat ini telah direkomendasikan oleh perda Tata Ruang kota tarakan sebagai kawasan konservasi dan rehabilitasi.
97
Secara keseluruhan hasil analisis prioritas terhadap pengelolaan ekosistem mangrove menunjukkan bahwa nilai rehabilitasi kawasan sebesar 0,539 dan nilai perbaikan daerah DAS sebesar 0,394. Nilai keputusan tersebut menunjukkan bahwa prioritas pertama yang akan diajukan ialah rehabilitasi kawasan dan yang kedua ialah penataan kawasan daerah aliran sungai (DAS). Secara grafis diagram batang skor dari analisis prioritas pengelolaan ekosistem mangrove dengan menggunakan teknik SMART dapat dilihat pada Gambar 31.
Gambar 31 Prioritas pengelolaan ekosistem mangrove Desa Binalatung Setiap prioritas pengelolaan tersebut mengandung nilai-nilai dari kriteria. Sehingga upaya-upaya dalam melakukan strategi pengelolaan harus berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang di gambarkan dalam kriteria-kriteria tersebut. Secara terperinci kontribusi setiap kriteria terhadap pengelolaan ekosistem mangrove dapat dilihat pada Gambar 30. Contributions to Pengelolaan from Level:Kriteria 0.6
0.6
0.5
0.5
0.4
0.4
0.3
0.3
0.2
0.2
0.1
0.1
P:Ekologi-Ekosistem P:Sosial-Ekonmi P:Kelembagaan
0.0
0.0 Rehabilitasi
DAS
Gambar 30 Kontribusi Kriteria Terhadap Prioritas Pengelolaan
98
Kontribusi kriteria ekologi-ekosistem dan sosial-ekonomi yang yang digambarkan dalam prioritas pengelolaan rehabilitasi tidak memiliki perbedaan yang signifikan, artinya bahwa keduan kriteria tersebut memiliki kontribusi yang sama besarnya dalam upaya pengelolaan ekosistem mangrove yang ada. Secara ekologi hal ini tampak pada kondisi wilayah kajian yang mengalami degradasi dan disisi lain investasi dari ekosistem yang terdegradasi cukup memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan daearah dalam 10 tahun yang akan datang. Hal tersebut terlihat dapat dilihat dari tabel hasil perhitungan costbenefit analisis berupa nilai manfaat sekarang yang diperoleh dengan discount rate sebesar 12,75% Tabel 24 Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove dengan Rehabilitasi No
Uraian
1
NPV (Net Present Value)
2
Net B/C
Nilai Rp. 14.330.728.430 5,07
Sumber: data primer 2006.
Kontribusi kriteria kelembagaan memberikan sumbangan terbesar untuk prioritas penataan kawasan DAS. Hal tersebut mengandung arti bahwa produkproduk kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah saat ini memegang peranan penting untuk menjadi salah satu kekuatan untuk penataan kembali kawasan daerah aliran sungai yang telah terdegradasi baik dari aktivitas penambangan pasir darat maupun dampak dari konversi lahan lainnya. Seperti dalam penelitian Ansahar, (2005) terhadap aktivitas penambangan pasir darat dengan indeks bahaya erosi yang terjadi sebesar 1,3 (termasuk kelas sedang). Selain itu dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas tersebut sangat besar kontribusinya terhadap pembangunan daerah. Hal ini terlihat dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk mengganti dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas tersebut yakni sebesar Rp.80.945.000 per tahun dengan komponen penyusun nilai meliputi: (1) biaya pengganti dampak penurunan kualitas udara dan partikel debu (Rp.2.945.000); (2) biaya pengganti tanaman produktif (Rp.20.945.000); dan (3) biaya pengganti dampak erosi tanah dan kerusakan lahan (Rp.69.000.000).
99
Strategi Program Pengelolaan Ekosistem Mangrove Penentuan strategi pengelolaan dilakukan dengan meggunakan analisis SWOT. Berdasarkan hasil analisis pada kondisi aktual dapat diidentifikasi dua faktor yang mempengaruhi kondisi lingkungan ekosistem mangrove yakni faktor eksternal (EFAS) dan faktor internal (IFAS). Faktor internal (IFAS) dibagi dalam dua jenis yakni faktor kekuatan dan faktor kelemahan yang lebih jelas disajikan dalam Tabel 25 berikut. Tabel 25 Bobot, rating dan skor dari masing-masing Sub Kriteria untuk Faktor Internal Kekuatan :
Bobot
Rating
Skor
Jenis substrat
0,08
4
0,32
Sedikitnya pemanfaatan secara langsung
0,12
3,5
0,42
Nilai ekonomi total
0,28
4
1,12
Sifat gotong royong yang baik
0,2
2
0,4
Bobot
Rating
Skor
Faktor oseanografi (arus dan pasang surut)
0,12
4
0,48
Belum optimalnya pelibatan masyarakat
0,12
3
0,36
Mobilitas Penduduk tinggi
0,08
3
0,24
Kelemahan :
Jumlah
1
3,34
Sumber: Data olah, 2006 Hasil
analisis
terhadap
faktor-faktor
internal
(kekuatan)
yang
mempengaruhi lingkungan ekosistem mangrove diproleh jenis substrat memiliki rating sebesar 4, hal ini berarti bahwa keberadan vegetasi khususnya api-api (Avicennia spp) dan prepat (Sonneratia spp) sangat cocok untuk kawasan pesisir tersebut. Sebagai vegetasi pionir, keberadaannya sangat penting bagi kondisi lingkungan yang sangat dinamis ditinjau dari segi ekologi mangrove. Sub kriteria dari nilai ekonomi total yang disediakan oleh ekosistem mangrove sebesar 4, dimana keberadaan dari ekosistem mangrove tersebut dapat menjadi benteng sekaligus pelindung pantai dari ancaman abrasi pantai. Faktor internal (kelemahan) yang secara langsung berperan terhadap lingkungan ekosistem mangrove yaitu faktor oseanografi (arus dan pasang surut) memiliki rating sebesar 4. Secara geografis pesisir Desa Binalatung yang merupakan daerah terbuka (Laut Sulawesi) memiliki kondisi yang sangat rentan
100
terhadap perubahan iklim khususnya arus dan pasut yang datang dari Laut Sulawesi oleh karena itu sebagai ekosistem utama pulau Kota Tarakan keberadaan ekosistem mangrove dapat meminimalisir dinamika pesisir tersebut. Selanjutnya Faktor Eksternal (EFAS) dalam hal ini terbagi kedalam faktor ancaman dan faktor peluang. Rincin faktor yang merupakan bagian EFAS dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Bobot, Rating dan Skor dari masing-masing Sub Kriteria untuk Faktor Eksternal Ancaman :
Bobot
Rating
Skor
Perda No.18 th 2002 tentang ijin usaha pertambangan galian Gol. C
0,17
2
0,33
Kerusakan daerah DAS
0,17
1
0,17
Bobot
Rating
Skor
Perda Tata Ruang 2006
0,15
2
0,29
Perda No.08 th 2003 tentang pemanfaatan lahan pertambakan.
0,10
3
0,31
Sumber pendapatan masyarakat
0,17
3.5
0,58
Nilai dampak lingkungan penambangan pasir
0,15
3
0,44
Kelembagaan penambang pasir
0,10
2
0,21
Jumlah
1,00
Peluang :
2,33
Sumber : Data olah, 2006 Hasil analisis terhadap faktor-faktor eksternal (ancaman) dilihat dari kerusakan daerah DAS memiliki rating sebesar 1. Kerusakan tersebut menjadi ancaman bagi kondisi lingkungan mangrove karena hasil buangan yang berasal dari aktivitas penambangan pasir dan konversi lahan mangrove yang dijadikan sebagai areal budidaya (tambak) dapat dibawa langsung melalui limpasan air sungai (run off) menuju laut lepas. Faktor ekternal (peluang) Perda Tata Ruang Kota Tarakan 2006 dengan rating 2. Berpijak pada perda Tata Ruang: “kawasan mangrove yang ada di pesisir pantai Kota Tarakan dipertahankan untuk mencegah kawasan pantai dan intrusi air laut”. Meskipun belum dinyatakan secara sesifik kawasan mangrove Desa Binalatung diarahkan sebagai daerah konservasi namun mengingat kondisi lingkungan yang terus mengalami karusakan maka yang utama perlunya diadakan rehabilitasi secara kontinyu.
101
Selanjutnya adalah kelembagaan penambang pasir dengan rating sebesar 2. Mengingat pendekatan sosial kebudayaan masyarakat dapat dilakukan dalam rangka pemberian pemahaman untuk menanggulangi permasalah lingkungan. Dari hasil analisis identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi eksistensi ekosistem hutan mangrove diperoleh bahwa nilai (skor) dari faktor-faktor internal sebesar 3,34 berarti bahwa kondisi internal masyarakat Desa Binalatung dalam upaya pengelolaan ekosistem hutan mangrove termasuk pada tingkat rata-rata dan faktor-faktor eksternal sebesar 2,33 berarti bahwa masyarakat memiliki kemampuan dalam upaya merespon situasi eksternal secara rata-rata. Arahan Pengendalian Sedimentasi Ekosistem Mangrove Memperhatikan pada kriteria ekologi-ekosistem, kriteria sosial-ekonomi masyarakat serta kriteria kelembagaan yang dalam hal ini berupa produk-produk PERDA maka alternatif program pengelolaan serta jenis kegiatan pengendalian sedimentasi ekosistem mangrove meliputi: Program : Rehabilitasi kawasan mangrove Desa Binalatung Jenis Kegiatan : 1.
Penanaman kembali mangrove jenis api-api (Avicennia spp), prepat (Sonneratia spp) dan jenis mangrove (Rhizophora spp). Tujuan penanaman mangrove diantaranya ialah rehabilitasi lahan untuk
mengembalikan fungsi ekologi dari lahan mangrove yang rusak. Dalam upaya melakukan upaya rehabilitasi sebaiknya dilakukan dengan mengandalkan bibitbibit lokal dan teknik penanaman yang baik (Kusmana, 2005). Sesuai dengan kondisi substrat ekosistem mangrove Desa Binalatung dominan ditemukan pasir berlumpur dengan butiran-butiran halus, untuk jenis vegetasi di areal kawasan ini ialah berupa jenis vegetasi pionir seperti api-api (Avisennia spp) dan jenis prepat (Sonnerati spp). Selanjutnya untuk pemenuhan kebutuhan jenis ini dapat menggunakan bibit lokal dari Desa setempat. Yang secara ekologis memiliki kelebihan yaitu: sesuai dengan kondisi lingkungan setempat, akrab sosial-ekonomi dan memudahkan dalam kegiatan rehabilitasi dan pengelolaanya (Nyoto. et.,al, 2007). Teknik penanaman yang baik tidak cukup hanya secara fisik saja dalam artian ketika bibit diperoleh dapat langsung dilakukan penanaman, karena akan
102
berakibat pada kematian dan kegagalan dalam proses pertumbuhan mangrove yang ditanam. Kusmana (2005) memberikan tahapan dalam melakukan penanaman yakni: jenis bahan tanaman, pemilihan jenis bahan tanaman, penentuan kematangan propagul, cara pengumpulan propagul, waktu penanaman dan tekhnik penanaman. Untuk jelasnya masing-masing tahapan akan dijelaskan secara singkat berikut ini:
Jenis Bahan Tanaman Secara umum ada 2 (dua) jenis bahan tanaman (bibit) di dalam kegiatan
penanaman mangrove, yakni : 1) berupa propagul (buah) dan berupa anakan (bibit dalam pot), baik yang berasal dari persemaian maupun yang berasal dari alam. Penggunaan bahan tanaman berupa anakan biasanya digunakan untuk mengatasi masalah pemangsaan terhadap anakan mangrove di lapangan (misalnya oleh kepiting) atau untuk penanaman daerah-daerah bermasalah, misalnya pada pata tanah yang berlumpur dalam. Adapun beberapa kelebihan dan kekurangan yang terdapat pada setiap jenis bahan tanaman (bibit) yang akan digunakan dalam upaya rehabilitasi ekosistem mangrove diantaranya adalah : 1.
Penanaman menggunakan propagul (buah) Kelebihan : -
Penanganan lebih mudah karena propagul (buah) lebih ringan dan sederhana bentuknya.
-
Biaya penanaman relatif murah karena tidak perlu biaya persemaian dan penanaman dapat dilakukan dengan waktu yang relatif singkat.
Kekurangan : -
Kegiatan penanaman hanya terbatas waktunya pada musim berbuah masak, karena propagul (buah) ini tidak bisa disimpan lama.
-
Setelah ditanam, propagul relatif lebih mudah diganggu oleh kepiting dan tritip.
-
Penanaman dengan buah tidak untuk semua jenis mangrove dapat dilakukan, misalnya untuk buah dari jenis api-api yang relatif berukuran kecil tidak mungkin ditanam dengan kondisi perairan yang arus dan
103
gelombang yang kuat dan dengan demikian sebelum dilakukan penanaman sebaiknya dilakukan penyemaian terlebih dahulu.
1
2
Gambar 32. Propagul dari mangrove jenis 1) api-api (Avicennia spp) dan 2) prepat (Sonneratia spp). (Dori,R. 2006) 2.
Penanaman menggunakan anakan (bibit dalam pot). Hasil percobaan yang dilakukan terhadap jenis api-api dapat dilihat pada Lampiran 4. a. Anakan yang berasal dari persemaian Kelebihan: -
Cukup fleksibel dari segi jadwal penanaman (tidak tergantung dari musim kemasakan buah)
-
Kualitas bahan tanaman lebih mudah untuk diusahakan menjadi seragam
-
Kadangkala penggunaan bibit dalam pot, lebih besar peluang keberhasilannya dan lebih cepat tumbuhnya dibandingkan dengan penanaman propagul (buah) langsung
-
Relatif tahan terhadap gangguan hama
Kekurangan: -
Penanganan lebih sulit karena bahan tanaman yang lebih berat dan kompleks
-
Biaya penanaman relatif mahal karena perlu biaya persemaian
-
Akar bibit dalam pot ini mudah rusak kalau pekerja ceroboh ketika mengangkut dan menanam. Karena itu metode ini membutuhkan pengawasan yang lebih ketat
104
b. Anakan yang berasal dari Alam Kelebihan: -
Cara ini efektif dalam mengatasi faktor perusak seperti gangguan kepiting, monyet, dan jenis tumbuhan paku (Acrostichum spp)
-
Biaya lebih murah dibanding dengan menggunakan anakan yang berasal dari persemaian, yakni anakan alam yang tersedia dapat segera ditanam tanpa menunggu waktu 5-6 bulan
Kekurangan: -
Cara penanaman anakan alam jauh lebih mahal dibanding dengan penanaman propagul
Pemilihan Jenis Bahan Tanaman Meskipun penanaman langsung dengan propagul (buah) lebih murah, tapi
metode ini kadangkala sulit dilakukan untuk penanaman dalam skala besar karena jadwal pelaksanaanya hanya terbatas pada musim berbuah masak (propagul tidak bisa disimpan lama) dan perlu rekruitmen buruh dalam jumlah besar dalam waktu yang relatif singkat (ketika musim berbuah masak), karena itu kegiatan pertanaman berskala besar lebih banyak mengkombinasikan penanaman langsung propagul dan bibit dalam pot untuk meratakan beban kerja sepanjang tahun.
Waktu Penanaman Sebelum melakukan penanaman, harus diperhatikan beberapa faktor fisik
penunjang keberhasilan penanaman seperti pasang surut, musim ombak dan kesesuaian jenis tanaman dengan lingkungannya. Selain itu, faktor pelibatan masyarakat (termasuk perempuan dan anak-anak) dalam kegiatan penanaman juga menentukan keberhasilan penanaman. Dengan keterlibatan ini akan timbul rasa memiliki dan keinginan menjaga dan memelihara tanaman (Khazali, 2005). Saat melakukan penanaman sebaiknya ditentukan dengan melihat jadual pasang surut di suatu lokasi sehingga diusahakan paling sedikit seminggu setelah ditanam, tanaman tak tergenang. Jadwal pasang surut biasanya tersedia pada pelabuhan laut terdekat atau jika jadual pasang surut tidak tersedia, masyarakat lokal perlu diwawancarai. Walaupun demikian untuk penanaman langsung menggunakan propagul kadang-kadang masih dimungkinkan penanaman dalam
105
keadaan air pasang, sepanjang tangan pekerja masih bisa menjangkau permukaan tanah dan wajah pekerja tidak tenggelam dalam air pasang tersebut. Penanaman memakai bibit dalam pot harus dilakukan pada saat air surut, sebab kalau dilakukan dalam keadaan air pasang, media dalam pot yang menyelimuti akar dikhwatirkan rusak.
Teknik Penanaman Tahapan kegiatan penanaman jenis anakan mangrove adalah sebagai berikut : a.
Pada lokasi yang mempunyai tanah agak keras (misalnya tanah pasir) dibuat lubang dengan kedalaman yang cukup pada saat air surut. Kemudian didekat lubang tanam dipasang ajir sebagai tempat pengikat propagul/anakan.
b.
Kedalaman penanaman propagul adalah sekitar 5-7 cm atau 1/4 sampai 1/3 panjang propagul. Jika propagul ditanam terlalu dalam, lumpur akan menutup lentisel dan hipokotil tidak dapat berespirasi dan hal ini akhirnya dapat menyebabkan kematian. Demikian juga sebaliknya, apabila propagul ditanam terlalu dangkal dia akan mudah hanyut terbawa oleh ombak dan air pasang.
c.
Segera setelah dibuat lubang, propagul ditanam secara tegak dengan bakal kecambah menghada ke atas. Khusus untuk anakan yang berasal dari persemaian, sebelum ditanam kantong plastik (polybag) harus di sobek atau disayat secara hati-hati sehingga tidak terjadi kerusakan pada perakaran anakan. Polybag bekas tersebut kemudian disangkutkan pada ujung ajir (tiang penyangga) sebagai tanda bahwa anakan sudah ditanam. Kemudian, tanah atau lumpur ditimbunkan ke dalam lubang tanam sehingga propagul dapat berdiri tegak. Kemudian bila perlu propagul tersebut diikatkan pada ajir, supaya tanaman kokoh kedudukannya dan tidak mudah terbawa arus air. Yang perlu diperhatikan bila tanaman dikaitkan pada ajir adalah bahwa ajir haruslah kokoh kedudukannya di substrat mangrove. Bila kedudukan ajir tersebut lebih lemah dibanding bahan tanaman maka pengikatan tersebut malah akan membebani tanaman dan juga akan semakin memperbesar peluang hanyutnya tanaman terbawa oleh arus.
106
2.
Pembangunan sarana budidaya mangrove khusus Desa Binalatung yang dikelola langsung oleh masyarakat setempat. Upaya dengan membuat sarana budidaya khususnya di lokasi mangrove
Desa Binalatung adalah bertujuan agar warga 1) dapat belajar dengan alam bagaimana mendapatkan bibit yang baik, 2) warga dapat memahami arti pentingnya keberadaan ekosistem ini sehingga rasa memiliki dan menjaga lingkungan dapat terlaksana dengan baik. Selanjutnya dalam pelaksanaan pembangunan konstruksi bangunan ini diupayakan untuk meminimalisasi setiap kebutuhan (biaya) sehingga dengan begitu warga diharapkan akan sangat terbiasa dengan melakukan kegiatan yang dianggap bermanfaat tanpa harus menunggu bantuan yang diberikan oleh pemerintah dan secara tidak langsung warga diajak untuk bekerja mandiri. Menurut Khazali (2005) bahwa dari luas areal yang ditentukan untuk tempat persemaian sekitar 70% diperlukan untuk keperluan bedeng pembibitan sisanya 30% digunakan untuk jalan inspeksi dan saluran air. Ukuran tempat persemaian tergantung pada kebutuhan jumlah buah yang akan dibibitkan. Bahan tempat
persemaian
dapat
menggunakan
bambu.
Atap/naungan
dapat
menggunakan daun nipah atau alang-alang dengan ketinggian antara 1-2 meter. Apabila di sekitar lokasi persemaian terdapat banyak hewan-hewan peliharaan seperti kambing dan lain-lain maka bangunan persemaian harus dirancang agar binatang-binatang tersebut tidak mengganggu. Gambaran konstruksi bangunan dapat dilihat pada Gambar 33.
Gambar 33 Konstruksi Bangunan Persemaian Bibit Mangrove (Khazali, 2005)
107
3.
Mengembangkan program penelitian untuk mendukung inisiatif pengelolaan Berdasarkan Perda Tata Ruang Kota Tarakan 2006 bahwa kawasan
ekosistem mangrove pesisir utara Desa Binalatung yang ada dikembangkan mejadi kawasan hutan konservasi (green belt) selebar ± 130 m. Sesuai dengan ketentuan yang ada maka kawasan yang terkena sedimentasi perlu terus diminimalisasi potensi sedimentasinya dengan cara peningkatan program penelitian yang dilakukan secara bertahap dan teliti. Identifikasi kondisi lingkungan yang meliputi kondisi fisik (tanah, air, iklim, pasang surut, gelombang dan pola arus), kondisi biologi (keanekaragaman flora dan fauna) serta kondisi sosial ekonomi yang lebih intensif, yang mana hal-hal tersebut sangat penting dijadikan dasar penentuan motodologi dalam upaya mengurangi sedimentasi ekosistem mangrove. (Nyoto. el, al. 2007) 4.
Pembuatan Alat Penahan Ombak (APO) yang sesuai dengan kondisi tumbuh anakan mangrove. Garis pantai yang terbuka dan terkena ombak yang kuat seperti pesisir
utara Desa Binalatung merupakan daerah yang kurang cocok untuk diadakan penanaman mangrove. Ombak bisa mencabut tanaman mangrove yang sudah ditanam. Oleh karena itu, sebelum kawasan tersebut ditanami, maka harus dibuat bangunan penahan ombak (APO). Konstruksi akan dibuat dari bahan bambu sesuai dengan kemudahan mendapatkan bahan yang bentuknya disajikan pada Gambar 34 dan 35, sehingga tanaman terlindung dari ombak dan dapat tumbuh secara optimal.
Gambar 34 Konsruksi Alat Penahan Ombak (bahan bambu) (Bengen, 2006)
108
Gambar 35 Sketsa penanaman mangrove dengan pembangunan APO (Bengen, 2006) Struktur APO harus memenuhi syarat stabilitas oleh gaya gelombang yang bekerja pada dindingnya. Menurut Nyoto.et, al. (2007), dasar pertimbangan teknis yang diperlukan untuk perencanaan APO adalah sebagai berikut : a.
Fungsi APO sebagai peredam ombak harus memenuhi syarat : -
Mempunyai
kemampuan
meredam
gelombang,
sehingga
tinggi
gelombang yang ditransmisikan menuju tanaman mangrove tidak melebihi tinggi yang diisyaratkan oleh tanaman mangrove untuk dapat tumbuh tanpa mengalami gangguan berarti. -
Struktur APO harus memenuhi syarat stabilitas, tidak tercabut, tidak rubuh atau patah oleh gaya gelombang.
-
Umur APO harus dapat bertahan hingga perakaran mangrove cukup kuat untuk menahan gelombang.
b.
Fungsi APO sebagai penangkap sedimen suspensi harus memenuhi syarat : -
Bentuk APO harus efektif menangkap sedimen dengan memanfaatkan fenomena difraksi gelombang pada dinding APO.
-
Porositas dinding APO harus mampu menurunkan kecepatan arus di belakangnya, sehingga memberi peluang terjadinya sedimentsi untuk substrat dasar.
5.
Pembuatan break swater yang sesuai dengan kondisi pesisir Desa Binalatung. Kondisi pantai Desa Binalatung yang terus terjadi abrasi pantai
mengisyaratkan bahwa tidak cukup hanya dengan upaya penanaman mangrove
109
saja namun dapat juga dipertimbangkan untuk pembuatan breaks water yang permanen yakni dengan konstruksi bangunan dari bahan yang lebih kuat (sesuai dengan kondisi dinamika peisir Desa Binalatung) seperti beton. 6.
Pelibatan masyarakat secara langsung dalam pengelolaan program terpadu. Pengelolaan berkelanjutan khususnya Desa Binalatung haruslah dibangun
dari kesadaran masyarakat untuk menjaga dan mamelihara lingkungannya. Upaya ini diharapkan dapat memberikan dan sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan yakni dengan upaya menempatkan masyarakat pada posisi sebagai pelaku utama dalam proses pengelolaan kawasan mereka sendiri yang dimulai dari perencanaan, pengadaan bibit, penyemaian, penanaman, pemeliharaan, pengawasan, penataan sarana dan prasarana kebutuhan mereka sehingga dengan begitu diharapkan rasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap lingkungan akan terus berkembang. Dengan kata lain dalam lingkungan masyarakat itu sendiri perlu di bentuk suatu kelembagaan yang akan mengakomodisikan semua proses pengelolaan ekosistem mangrove. Program: Strategi Pengelolaan Kawasan DAS 1.
Rehabilitasi kawasan-kawasan hutan lindung yang vegetasinya mengalami kerusakan Penebangan hutan lindung marak terjadi di Kota Tarakan, hal ini terjadi
karena dipicu : 1) pertambahan jumlah penduduk yang bermukim di Kota Tarakan dari tahun ke tahun semakin meningkat, 2) pembangunan dan pengembangan imfrastruktur daerah, dan 3) penetapan beberapa jalur hutan lindung oleh pemda di beberapa lokasi belum melalui sosialisasi yang jelas sehingga tumpang tindih kepentingan terus berlangsung yang pada akhirnya berakibat pada berkurangnya luasan areal hutan lindung tersebut. Secara ekologis berkurangnya luasan areal tersebut dapat mengurangi fungsi hutan sebagai daerah tangkapan (catchment area), intersepsi air hujan oleh daun dan mengurangi besaran erosi terhadap tanah (run off). Contoh sederhana yakni erosi tanah yang berdampak pada menurunnya kemampuan tanah untuk meresap air (infiltrasi). Penurunan kemampuan ini akan meningkatkan limpasan air permukaan yang akan mengakibatkan banjir di sungai. Selain itu butiran tanah yang terangkut oleh aliran air permukaan pada akhirnya
110
akan mengendap di sungai (sedimentasi) yang selanjutnya akan berakibat pada pendangkalan sungai sehingga dapat mempengaruhi kelancaran jalur pelayaran. 2.
Rehabilitasi fisik kawasan DAS dengan melakukan adopsi dari berbagai hasil kajian Konsep daerah aliran sungai (DAS) merupakan dasar dari semua
perencanaan hidrologi. Menurut kamus Wabster dalam Suripin (2004) adalah suatu daerah yang dibatasi oleh pemisah topografi yang menerima hujan, menampung, menyimpan dan mengalirkan ke sungai dan seterusnya ke danau atau ke laut. Sebagai suatu ekosistem maka setiap ada masukan (input) kedalamnya proses yang terjadi dan berlangsung di dalamnya dapat dievaluasi berdasarkan keluaran (output) dari ekosistem tersebut. Rehabilitasi kawasan bekas penambangan pasir daerah Juwata dilakukan dengan penghutanan kembali (reboisasi). Dalam kaitannya dengan usaha konservasi penghutanan kembali, tanaman yang dipilih hendaknya mempunyai persyaratan sebagai berikut (Suripin, 2004) : a. Mempunyai sistem perakaran yang kuat, dalam dan luas, sehingga membentuk jaringan akar yang tepat b. Pertumbuhan yang cepat, sehingga mampu menutup tanah dalam waktu yang singkat c. Mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, baik kayunya maupun hasil sampingan d. Dapat memperbaiki kualitas dan kesuburan tanah 3.
Pemberdayaan masyarakat penambang melalui kelembagaan penambang pasir Peranan kelembagaan stakeholders (pemerintah dan institusi) menjadi
penting karena mempunyai kekuatan logika manajemen dan hubungan di dalam warga menjadi tatanan sosio-institusional dari masyarakat menuju proses pendemokrasian.
Masyarakat
pedesaan
mengandung
keanekaragaman
sumberdaya alam yang mampu menganalisis dinamika dan kerjasama kolektif yang memperhitungkan peranan masyarakat lokal (Sutandar dalam Ansahar, 2005). Selanjutnya bahwa peran kelembagaan sangat dirasakan dalam mengurangi biaya transaksi penambangan pasir di daerah Juwata. Selain itu juga masyarakat
111
penambang pasir menyadari sumberdaya alam mengalami degradasi, bahkan terjadi kelangkaan jika hanya dieksploitasi besar-besaran dan terus-menerus tanpa adanya upaya untuk mempertahankan kelestariannya. Masyarakat kelurahan Juwata menginginkan adanya kerjasama dengan pemerintah dalam upaya melakukan pemeliharaan terhadap lingkungan yang terkena dampak dari kegiatan penambang tersebut.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh simpulan dalam upaya pengelolaan berkelanjutan ekosistem hutan mangrove Kota Tarakan antara lain: 1.
Isu degradasi ekosistem mangrove daerah pesisir utara Desa Binalatung disebabkan oleh kadar garam rendah (salinitas) yang terjadi akibat proses sedimentasi muara sungai dan genangan air tawar. Proses sedimentasi muara dipicu oleh aktivitas masyarakat di hulu (upland) seperti pembukaan lahan untuk berbagai peruntukan, penebangan hutan, pembuatan lahan pertanian, tambak dan lain-lain. Sedangkan terjadinya genangan air tawar akibat intensitas curah hujan yang tinggi dan debit air sungai.
2.
Potensi ekosistem mangrove pesisir utara Desa Binalatung terdiri atas vegetasi api-api (Avicennia spp) dan prepat (Sonneratia spp) yang terbagi menjadi dua bagian, yakni potensi fisik hutan dan potensi nilai total ekonomi. a. Potensi biofisik -
Nilai kerapatan jenis (RDi) jenis api-api (Avicennia spp) sebesar 51,37% dan jenis prepat (Sonneratia spp) sebesar 48,63 %
-
Nilai penutupan relatif jenis (RCi) jenis api-api (Avicennia spp) sebesar 49,86 % dan prepat (Sonneraia spp) sebesar 50,14 %
-
Indeks nilai penting (INP) jenis api-api (Avicennia spp) sebesar 151,23 dan prepat (Sonneratia spp) sebesar 148,77.
b. Potensi nilai ekonomi total Nilai ekonomi total (NET) ekosistem mangrove pesisir utara Desa Binalatung sebesar Rp.3.267.583.125 yang terdiri atas nilai manfaat langsung (NML) sebesar Rp 48,780,376, nilai manfaat tidak langsung (NMTL) sebesar Rp 2,851,462,600, nilai manfaat pilihan (NMP) sebesar Rp.882,000, dan nilai manfat keberadaan yakni sekitar Rp.1,199,417 3.
Alternatif program pengelolaan ekosistem mangrove pesisir Utara Desa Binalatung yang diajukan berdasarkan kondisi kerusakan ekosistem dan indikasi penyebab kerusakannya berupa rehabilitasi kawasan mangrove dan
113
pengelolaan
daerah
aliran
sungai
(DAS).
Hasil
analisis
SMART
menunjukkan bahwa prioritas utama yang diajukan adalah program rehabilitasi dengan bobot nilai sebesar 0,525 dan program pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) sebesar 0,418.
Saran Berdasarkan hasil kajian dan simpulan yang ada, maka arahan pengelolaan sumberdaya mangrove Kota Tarakan harus mendapatkan perhatian khusus dan prioritas utama dari pemerintah dan seluruh pihak terkait. Untuk hal itu perlu dilakukan; (1) kajian daya dukung ekosistem mangrove untuk aktivitas pembangunan dengan pertimbangan 60% kawasan konservasi: 20% kawasan preservasi: 20% kawasan pemanfaatan. Pertimbangan tersebut digunakan diluar kondisi mangrove yang existing; (2) mengkaji laju sedimentasi dan kondisi oseanografi fisik Kota Tarakan; (3) penataan kawasan daerah aliran sungai (DAS) dan wilayah pesisir Kota Tarakan dan; (4) perlu adanya sosialisasi terhadap Perda Tata Ruang 2006.
DAFTAR PUSTAKA Adrianto, L. 2006. Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. PKSPL. Institut Pertanian Bogor. 66 hlm. Ansahar. 2005. Valuasi Ekonomi dan Dampak Lingkungan Pada Penambangan Pasir Darat Di Kota Tarakan Propinsi Kalimantan Timur. (Tesis). Institut Pertanian Bogor. 75 hlm. Aprilwati, S. 2001. Analisis Ekonomi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove di Kawasan Batu Ampar Kabupaten Pontianak. (Tesis). Institut Pertanian Bogor. 122 hlm. Badan Kependudukan, Catatan Sipil dan Keluarga Berencana Kota Tarakan (2004). Laporan Data Penduduk Tahunan Kota Tarakan. Bengen, DG. 2000. Sinopsis. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. FakultasPerikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. 86 hlm. Bengen, DG 2004. Sinopsis. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsif Pengelolaannya. PKSPL. Institut Petanian Bogor. 72 hlm. Bengen, DG. 2004. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL. Institut Pertanian Bogor. 60 hlm. Bengen, DG. 2004. Menuju Pembangunan Pesisir dan Lautan Berkelanjutan Berbasis Ekosistem. P4L. Bogor. 106 hlm. Bengen, DG., dan Retraubun, AS.W, 2006. Menguak Realitas dan Urgensi Pengelolaan Berbasis Eko-Sosio Sistem Pulau-pulau Kecil. Brotowidjoyo, MD., Tribawono, D., Mulbyantoro, E. 1995. Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Liberty. Yokyakarta. 259 hlm. Cicin-Sain, B and R.W. Knecht .1998.. Integrated Coastal Zone Management: Concepts and Practices, Island Press, Washington D.C. 517 hlm. Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta 412 hlm. DEPHUT. 2004. Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove Indonesia. 124 hlm.
115
DEPHUT. 2006. Inventarisasi dan Identifikasi Mangrove Provinsi Kalimantan Timur. 112 hlm. DKP Kota Tarakan. 2004. Informasi Kelautan dan Perikanan Kota Tarakan (Buku Saku). Statistik Perikanan (tahun 2000-2004). 71 hlm. LISDA Kota Tarakan. 2005. Basis Data Lingkungan Hidup Daerah Kota Tarakan. Diterbitkan Desember 2005 (Data : Januari 2005 – Desember 2005). LISDA Kota Tarakan. 2005. Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Tarakan. Diterbitkan Desember 2005 (Data: Januari 2005 – Desember 2005). English, S. Wilkinson, C and Baker, V. 1994. Survey Manual For Tropical Marine Resources. ASEAN-Australia Marine Science Project: Living Coastal Resources. 368hlm. Fahrudin, A. 1996. Analisis Ekonomi Pengelolaan Lahan Pesisir Kabupaten Subang, Jawa Barat. (Tesis). Institut Pertanian Bogor. 145 hlm. Fauzi, A. 1992. An Evaluation of Resolving Conflict Among user groups in Indonesia Fisheries. Dept. of Economics, Simon Fraser University, Burnaby, BC.V5A IS6. Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta. 259 hlm. INRR. 2005.Delta Mahakam Dalam Ruang dan Waktu. Ekosistem, Sumberdaya dan Pengelolaannya. INRR Org. Bogor. 189 hlm. Jusuf, S.K. 2003. Implementasi Otonomi Daerah di Kota Tarakan. Sebuah Gagasan, Wawasan, Terapan dan Renungan. Media OTDA. Jakarta. 241 hlm Kusmana, C. 1997. Metode Survei Vegetasi. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Bogor. 173 hlm. Kusumastanto, T. 2000. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (bahan kuliah). Institut Pertanian Bogor. 68 hlm. Lenggono, PS. 2004. Modal Sosial dalam Pengelolaan Tambak (Studi Kasus: Pada Komunitas Petambak di Desa Muara Pantuan Kecamatan Anggana Kabupaten Kutai Kartanegara). (Tesis). Institut Pertanian Bogor. 390 hlm. Mackinnon, K., Hatta, G., Halim, H., dan Mangalik, A. 2000. Ekologi Kalimantan. Seri Ekologi Indonesia. Buku III. Prenhalindo. Jakarta. 806 hlm.
116
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. 367 hlm. Nikijuluw, V.P.H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional. Jakarta. 254 hlm. Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut: Suatu Tinjauan Ekologis (terjemahan). Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 459 hlm. Odum, E. P. 1994. Dasar-dasar Ekologi (edisi ketiga). Gadjah Mada University Press. 697 hlm Pemerintah Kota Tarakan. 2004. Rencana Strategis Pengelolaan Pesisir dan Laut Terpadu Kota Tarakan 2004-2009. 66hlm. Pemerintah Kota Tarakan/MCRMP. 2005. Action Plan Kota Tarakan Propinsi Kalimantan Timur. 58 hlm. Prihatini, TR. 2003. Pemodelan Dinamika Spasial Bagi Pemanfaatan Sumberdaya Alam Pesisir Yang Berkelanjutan studi kasus: Konversi Lahan Mangrove Menjadi Pertambakan Udang di Delta Mahakam Kalimantan Timur. (Desertasi). Institut Pertanian Bogor. 180 hlm. Puspita L., Ratnawati E, Suryadiputra INN, Meutia AA. 2005. Lahan Basah Buatan di Indonesia. Wetlands Internasional. Indonesia Programme. 261 hlm. Robertson A.I dan Alongi DM. 1992. Coastal and Estuarine Studies (Tropical Mangrove Ecosystems). American Geophysical Union. Washington DC. 329 hlm. Santoso, N. Yulianda, F. dan Anwar, S. 2007. Laporan Survei Pengendalian Abrasi di Desa Weriagar dan Desa Mogotira Kecamatan Arandai, Kabupaten Bintuni-Propinsi Papua. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. 24 hlm. Setyaastuti, T.A. 2002. Kajian Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat di Desa Sambelia Kabupaten Lombok Timur Propinsi Nusa Tenggara Barat. (Tesis). Institut Pertanian Bogor. Bogor. Simamora, B. 2005. Analisis Multivariat Pemasaran. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 346 Sitorus, F. 1998. Penelitian Kualitatif Suatu Perkenalan. Kelompok Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial. Institut Pertanian Bogor. 73 hlm. Subani, W dan Barus HR. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia (Fishing Gears For Marine Fish and Shrimp in Indonesia). Balai Penelitian Perikanan Laut Jakarta. 248 hlm.
117
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 246 hlm. Suripin. 2004. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Andi Yogyakarta. 208 hlm Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset. Yogyakarta. 395 hlm. Watthayu, W and Peng, Y. 20004. A Bayesian Network Based Framework For Multi-Criteria Decision Making. Department of Computer Science and Electrical Engineering University of Maryland, Baltimore County. {wwatth1, ypeng}@csee.umbc.edu Witjaksono, J. 2001. Struktur Komunitas Mangrove dan Analisis Finansial Usaha pada Lahan Konservasi Hutan Mangrove di Pesisir Teluk Kendari. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Lampiran 1. Identifikasi Jenis Pohon Bakau di Desa Binalatung No
Jenis
Identifikasi
1.
Api-api (Avicennia spp)
Pohon atau perdu, dengan daun bulat atau seperti mata tombak, bagian atas mengkilap, bagian bawah bermiang. Pneumatofora seperti pensil. Buah berbulu seperti beludru, lembaga dilengkapi keping berbiji berwarna hijau terlipat. Bunga kecil berbentuk bungkul
2.
Prepat (Sonneratia spp)
Pohon semak, daun tebal, hijau pudar, ujungnya bertakik atau bundar. Pneumatofora kuat berbentuk kerucut tumpul. Bunga dengan sejumlah benang sari panjang berwarna putih. Buah keras, hijau dengan tangkai putik tunggal
3.
Bakau (Rhizophora spp)
Pohon dengan ukuran sedang sampai besar dan dau lebar berbentuk bulat telur. Tidak mempunyai pneumatofora (akar nafas), tetapi memiliki akar yang mencuat dan akar yang bergelantungan di udara. Hipokotil berbentuk cerutu. Bunga: berkelopak 4 dan berdaun 4
4.
Nypa
Palma kecil tegak, dengan batang bawah tanah, mendatar. Daun bersirip panjang 3-9 m. Buah berbentuk bulat pada rumpun daun buah.
Sumber: Identifikasi Lapangan dengan Modifikasi dari Morton, 1990
Lampiran 2. Identifikasi Jenis Biota Perairan Bakau Desa Binalatung
Venericardia purpurata Deshayes
Tectus conus Gmelin
Latiaxiz idoleum Jonas
Fascio heynemanni Dunker
Polinices flemingiana Recluz
Lutjanus bitaeniatus Valenciannes
Latiaxiz idoleum Jonas
Lutjanus gibbus forsskal
Lampiran 3. Tebel rekapitulasi data per plot No. Transek 1 2 3 T.Individu / jenis
1.
Pohon (Diameter > 4cm) Avicennia sp Sonneratia sp Ind db (cm) Ind db (cm) 32 9,8 27 10 19 10 22 9,5 24 9 22 9,4 75
-
71
T.Individu / transek (L: 900m2)
Tipe substrat
59 41 46
Pasir Berlumpur Pasir Berlumpur Pasir Berlumpur
146
-
-
Dari data pohon bakau jenis api-api (Avicennia sp) diatas diperoleh : n
∑ y = 75 i =1 n
∑y
2
= 1961
i =1
L. populasi = 56,92.transek L.transek n = (5% ).( N ) = 3.transek N=
a.
Nilai dugaan bagi rata-rata jumlah pohon per ha :
⎡ n y⎤ y = L ⎢∑ ⎥ = 275 pohon / ha ⎣ i =1 n ⎦ 1 L= = 11. plot 0,09
b.
Nilai dugaan bagi ragam rata-rata jumlah pohon per ha : 2
⎛ n ⎞ ⎜∑ y⎟ n 2 y − ⎝ i =1 ⎠ ∑ n Sy 2 = i =1 = 43 n −1
()
⎡ Sy 2 ⎛ n ⎞⎤ 2 V y = L2 ⎢ ⎜1 − ⎟⎥ = 1642,55( pohon / ha ) ⎣ n ⎝ N ⎠⎦ c.
Pendugaan selang bagi rata-rata jumlah pohon per ha :
(
)
Yˆ = y ± t. V ( y ) = 356 : 194( pohon / ha )
d.
Kesalahan penarikan contoh (sampling error)
SE = e.
t. V ( y ) x100% = 29,5% y
Nilai dugaan bagi total pohon dalam tegakan :
Yˆ = y. X = 1409 pohon f.
Pendugaan selang bagi total pohon dalam tegakan :
(
)
Yˆ = X . y1 ± t V ( y ) = 994;1824 pohon Kesimpulan : Jumlah pohon per ha untuk jenis api-api (Avicennia sp) berkisar antara 356-194 pohon dengan rata-rata 275 pohon/ha, sedangkan jumlah pohon api-api (Avicennia sp) dalam tegakan seluas 5,123 ha adalah 1409 pohon dengan kisaran 994-1824 pohon. 2.
Dari data pohon bakau jenis prepat (Sonneratia sp) diatas diperoleh : n
∑ y = 71 i =1 n
∑y
2
= 1697
i =1
L. populasi = 56,92.transek L.transek n = (5% ).( N ) = 3.transek N=
a.
Nilai dugaan bagi rata-rata jumlah pohon per ha : ⎡ n y⎤ y = L ⎢∑ ⎥ = 260 pohon / ha ⎣ i =1 n ⎦ 1 L= = 11. plot 0,09
b.
Nilai dugaan ragam rata-rata jumlah pohon per ha : 2
⎛ n ⎞ ⎜∑ y⎟ n 2 y − ⎝ i =1 ⎠ ∑ n = 8,335 Sy 2 = i =1 n −1
()
⎡ Sy 2 ⎛ n ⎞⎤ 2 V y = L2 ⎢ ⎜1 − ⎟⎥ = 318,42( pohon / ha ) N ⎠⎦ ⎣ n ⎝
c.
Pendugaan selang bagi rata-rata jumlah pohon per ha :
(
)
Yˆ = y ± t. V ( y ) = 296;224( pohon / ha ) d.
Sampling error :
SE = e.
t. V ( y ) x100% = 13,73% y
Nilai dugaan bagi total pohon dalam tegakan : Yˆ = y. X = 1332 pohon
f.
Pendugaan selang bagi total pohon dalam tegakan :
(
)
Yˆ = X . y1 ± t V ( y ) = 1149;1515 pohon
Kesimpulan : Jumlah pohon per ha untuk jenis prepat (Sonneratia sp) berkisar antara 296-224 pohon dengan rata-rata 260 pohon/ha, sedangkan jumlah pohon prepat (Sonneratia sp) dalam tegakan seluas 5,123 ha adalah 1409 pohon dengan kisaran 1149-1515 pohon.
Lampiran 4 Nilai Manfaat Langsung Manfaat
Resp
Kepiting
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Jumlah Rata-rata
Volume produksi (per hari) 0.976 0.976 1.366 1.757 1.464 0.976 0.781 1.074 0.781 0.976 0.976 0.976 1.171 0.878 1.366 0.781 0.976 1.074 0.976 1.074 0.976 1.562 1.171 0.976 0.976 1.074 0.976 1.562 1.854 1.366 33.867 1.129
Hari
365 365 365 365 365 365 365 365 365 365 365 365 365 365 365 365 365 365 365 365 365 365 365 365 365 365 365 365 365 365
Harga jual
Biaya alat tangkap (ambau)
Hasil
Luas
Volume produksi
(kg) 5.0 5.0 7.0 9.0 7.5 5.0 4.0 5.5 4.0 5.0 5.0 5.0 6.0 4.5 7.0 4.0 5.0 5.5 5.0 5.5 5.0 8.0 6.0 5.0 5.0 5.5 5.0 8.0 9.5 7.0 173.5
(ha) 5.123 5.123 5.123 5.123 5.123 5.123 5.123 5.123 5.123 5.123 5.123 5.123 5.123 5.123 5.123 5.123 5.123 5.123 5.123 5.123 5.123 5.123 5.123 5.123 5.123 5.123 5.123 5.123 5.123 5.123 153.69
(per tahun) 356.237 356.237 498.731 641.226 534.355 356.237 284.989 391.860 284.989 356.237 356.237 356.237 427.484 320.613 498.731 284.989 356.237 391.860 356.237 391.860 356.237 569.979 427.484 356.237 356.237 391.860 356.237 569.979 676.850 498.731 12361.409
(kg) 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 240,000
(per unit) 20,000 20,000 20,000 20,000 20,000 20,000 20,000 20,000 20,000 20,000 20,000 20,000 20,000 20,000 20,000 20,000 20,000 20,000 20,000 20,000 20,000 20,000 20,000 20,000 20,000 20,000 20,000 20,000 20,000 20,000 600,000
(Rp/th) 2,829,893 2,829,893 3,969,850 5,109,807 4,254,839 2,829,893 2,259,914 3,114,882 2,259,914 2,829,893 2,829,893 2,829,893 3,399,871 2,544,903 3,969,850 2,259,914 2,829,893 3,114,882 2,829,893 3,114,882 2,829,893 4,539,828 3,399,871 2,829,893 2,829,893 3,114,882 2,829,893 4,539,828 5,394,796 3,969,850 98,891,275
5.783
5.123
412.047
8000
20,000
3,296,376
Nilai manfaat
Lanjutan........ Nilai Manfaat Langsung Manfaat
Resp
Upah tenaga kerja (per hari)
Daun Nipah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Jumlah Rata-rata
50,000 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000 1,500,000 50,000
Frek. Pengumpulan Kali/bulan
Kali/tahun
2 3 2 2 2 3 2 3 3 3 2 2 2 3 2 3 3 2 2 3 3 2 2 2 2 2 2 2 2 3 71 2.367
24 36 24 24 24 36 24 36 36 36 24 24 24 36 24 36 36 24 24 36 36 24 24 24 24 24 24 24 24 36 852 28.4
Nilai Manfaat per bulan (Rp) 100,000 150,000 100,000 100,000 100,000 150,000 100,000 150,000 150,000 150,000 100,000 100,000 100,000 150,000 100,000 150,000 150,000 100,000 100,000 150,000 150,000 100,000 100,000 100,000 100,000 100,000 100,000 100,000 100,000 150,000 3,550,000 118,333
per tahun (Rp) 1,200,000 1,800,000 1,200,000 1,200,000 1,200,000 1,800,000 1,200,000 1,800,000 1,800,000 1,800,000 1,200,000 1,200,000 1,200,000 1,800,000 1,200,000 1,800,000 1,800,000 1,200,000 1,200,000 1,800,000 1,800,000 1,200,000 1,200,000 1,200,000 1,200,000 1,200,000 1,200,000 1,200,000 1,200,000 1,800,000 42,600,000 1,420,000
Lampiran 5 Manfaat Tidak Langsung (MTL) 1. Penahan Abrasi Pantai, pendekatan Breakswater a. Panjang pantai amal-tanjung batu b. Harga breakswater (tahun 2001) daya tahan 10 tahun c. Inflasi bulan Mei 2006 (15.60 %) d. Harga breaks water setelah dikonversi dengan inflasi e. Harga breaks water (tahun 2006) daya tahan 10 tahun f. Biaya pembuatan breaks water g. Biaya pembuatan per tahun h. Biaya pembuatan breaks water per ha Nilai manfaat tidak langsung sebagai penahan abrasi Nilai manfaat tidak langsung sebagai penahan abrasi per th
2. Penyedia Pakan a. Luasan hutan mangrove b. harga pakan udang c. Kurs rupiah terhadap dollar (mei 2006) d. Harga pakan setelah dikonversi dalam rupiah e. Harga pakan f. kebutuhan pakan sekali produksi g. kebutuhan pakan setahun h. Kebutuhan pakan untuk tambak per hektar i. Persamaan Regresi (Naamin dan Martosubroto, 1979) Y=16.286 + 0.0003536X Y=16.286 + 0.0003536 (23)
j. Nilai penyedia pakan per ha
Manfaat Pilihan (MP) Nilai Manfaat Pilihan Nilai Biodiversity Luas Hutan Mangrove Kurs Rupiah thdp Dollar (Mei 2006) Nilai Biodiversity
6,500 4,153,880 0.156 Rp 648,005 Rp 4,801,885 Rp 1,212,254,320 Rp 3,121,225,432 Rp 135,705,454 Rp 1,212,254,320 Rp
m per m3
Rp 3,121,225,432
Rp Rp Rp
Rp
23 1500 7.420 11.130.000 11.130 150 300 3.339.000
hektar $/ton per ton per kg kg kg/ha
16.294133 Rp
Rp Rp
54.406.109
15 23 hektar 7.420 2.559.900
Lampiran 7. Kualitas Perairan Kota Tarakan
Lanjutan……….
Lampiran 6 No
Tahun Ke
Uraian 1
I
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Manfaat A.Manfaat Langsung - Kepiting
Rp 2,621,901
Rp
2,621,901
Rp
2,621,901
Rp
2,621,901
Rp
2,621,901
Rp
2,621,901
Rp
2,621,901
Rp
2,621,901
Rp
2,621,901
Rp
2,621,901
- Nipah B.Manfaat Tidak Langsung
Rp 1,420,000
Rp
1,420,000
Rp
1,420,000
Rp
1,420,000
Rp
1,420,000
Rp
1,420,000
Rp
1,420,000
Rp
1,420,000
Rp
1,420,000
Rp
1,420,000
- Penahan Abrasi
Rp ,121,225,432
Rp 3,121,225,432
Rp 3,121,225,432
Rp3,121,225,432
Rp3,121,225,432
Rp3,121,225,432
Rp3,121,225,432
Rp3,121,225,432
Rp3,121,225,432
Rp3,121,225,432
- Peyedia Kayu - Penyedia sumberdaya
Rp 14,980,000
Rp
14,980,000
Rp
14,980,000
Rp
14,980,000
Rp
14,980,000
Rp
14,980,000
Rp
14,980,000
Rp
14,980,000
Rp
14,980,000
Rp
14,980,000
Rp 54,406,109
Rp
54,406,109
Rp
54,406,109
Rp
54,406,109
Rp
54,406,109
Rp
54,406,109
Rp
54,406,109
Rp
54,406,109
Rp
54,406,109
Rp
54,406,109
- Penyedia bibit
Rp 70,000,000
Rp
70,000,000
Rp
70,000,000
Rp
70,000,000
Rp
70,000,000
Rp
70,000,000
Rp
70,000,000
Rp
70,000,000
Rp
70,000,000
Rp
70,000,000
Rp
2,599,900
Rp
2,599,900
Rp
2,599,900
Rp
2,599,900
Rp
2,599,900
Rp
2,599,900
Rp
2,599,900
Rp
2,599,900
Rp
2,599,900
Rp
2,599,900
329,783
Rp
329,783
Rp
329,783
Rp
329,783
Rp
329,783
Rp
329,783
Rp
329,783
Rp
329,783
Rp
329,783
Rp
329,783
C.Manfaat Pilihan - Biodiversity D.Manfaat Keberadaan
II
- WTP
Rp
Jumlah Manfaat Tingkat Diskonto (12.75%)
Rp3,267,583,125 0.8869
0.7866
0.6977
0.6188
0.5488
0.4867
0.4317
0.3829
0.3396
Nilai Sekarang
Rp2,898,078,160
Rp 2,570,357,570
Rp 2,279,696,292
Rp2,021,903,585
Rp1,793,262,603
Rp1,590,476,810
Rp1,410,622,448
Rp1,251,106,384
Rp1,109,628,722
Rp 3,267,583,125
Rp 3,267,583,125
Rp3,267,583,125
Rp3,267,583,125
Rp3,267,583,125
Rp3,267,583,125
Rp3,267,583,125
Rp3,267,583,125
Rp3,267,583,125 0.3012 Rp 984,149,642
Biaya 1. Nilai Ekonomi a.Manfaat Langsung
III IV V VI VII
- Kepiting
Rp
102,460
Rp
102,460
Rp
102,460
Rp
102,460
Rp
102,460
Rp
102,460
Rp
102,460
Rp
- Nipah
Rp
256,150
Rp
256,150
Rp
256,150
Rp
256,150
Rp
256,150
Rp
256,150
Rp
256,150
Rp
102,460 256,150
Rp
102,460
Rp
102,460
Rp
256,150
Rp
256,150
b. Pemeliharaan
Rp 802,383,755
Rp
671,283,750
Rp
613,783,750
Rp 613,783,750
Rp 613,783,750
Rp 613,783,750
Rp 613,783,750
Rp 613,783,750
Rp 613,783,750
Rp 613,783,750
Jumlah Biaya Tingkat Diskonto (12.75 %)
Rp 802,742,365
Rp
671,642,360
Rp
614,142,360
Rp 614,142,360
Rp 614,142,360
Rp 614,142,360
Rp 614,142,360
Rp 614,142,360
Rp 614,142,360
Rp 614,142,360
Nilai Sekarang Manfaat Bersih (PV) Nilai Sekarang Bersih Rasio Manfaat Biaya
Rp 711,966,621
Rp
Rp2,186,111,539
Rp 2,042,027,927
0.8869
Rp4,330,728,430 5.00
0.7866 528,329,642
0.6977
0.6188
0.5488
0.4867
0.4317
0.3829
0.3396
428,468,996
Rp 380,016,848
Rp 337,043,768
Rp 298,930,171
Rp 265,126,537
Rp 235,145,488
Rp 208,554,756
Rp 184,970,959
Rp 1,851,227,296
Rp1,641,886,737
Rp1,456,218,836
Rp1,291,546,639
Rp1,145,495,911
Rp1,015,960,896
Rp 901,073,966
Rp 799,178,684
Rp
0.3012
Lampiran 8 Matriks Pembobotan Responden terhadap Pengelolaan Ekosistem Mangrove Desa Binalatung No 1
2
3
Kriteria / Sub Kriteria
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Jml
Rata-rata
S. Kriteria
Ekologi-Ekosistem
0,40
Faktor Oseanografi
9
9
9
9
5
6
7
8
9
9
80
8,00
0,092
Jenis substrat
7
7
9
5
7
7
6
6
5
9
68
6,80
0,078
Nilai dampak lingkungan penambangan pasir
5
5
5
4
5
9
7
6
6
8
60
6,00
0,069
Nilai ekonomi total
7
7
5
7
5
8
9
9
9
9
75
7,50
0,086
Kerusakan daerah DAS
7
6
5
6
7
7
7
6
6
9
66
6,60
0,076
Sosial-Ekonomi
0,38
Sedikitnya pemanfaatan secara langsung
4
4
5
6
6
6
8
6
6
7
58
5,80
0,067
Sifat gotong royong yang baik
4
4
5
6
7
6
5
4
5
5
51
5,10
0,059
Sumber pendapatan masyarakat
7
9
7
7
7
7
6
6
7
9
72
7,20
0,083
Mobilitas penduduk tinggi
4
4
3
3
3
4
5
5
6
6
43
4,30
0,049
Pelibatan Masyarakat
7
7
7
7
7
7
7
5
7
9
70
7,00
0,080
Kelembagaan penambang pasir
3
3
3
2
2
5
3
4
4
7
36
3,60
0,041
Kelembagaan
0,22
Perda No.08 th 2003 ttg pemanfaatan lahan pertambakan. Perda No.18 th 2002 ttg ijin usaha pertambangan dan galian gol C
5
4
5
5
4
5
6
5
5
7
51
5,10
0,059
7
5
5
5
5
6
7
5
6
7
58
5,80
0,067
Perda Tata Ruang Wilayah Kota Tarakan
9
9
9
9
7
7
8
8
7
9
82
8,20
0,094
85
83
82
81
77
90
91
83
88
110
870
87
1.00
Jumlah Penilain secara numerik (skala 1 hingga 9) Skala : 1 : Tidak penting 3 : Sedikit Penting 5 : Penting 7 : Lebih Penting 9 : Sangat Penting 2,4,6,8 : Merupakan angka kompromi antar dua penilaian
Kriteria