Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus Aceh
November 2011
Decentralization Support Facility (DSF) Gedung Bursa Efek Indonesia Jln. Jenderal Sudirman Kav. 52-53 Jakarta-12190 Telp. (+62 21 5399 3199) Faks. (+62 21 5299 3299) www.dsfindonesia.org
Laporan ini dicetak pada Bulan November 2011
Kajian Pengeloaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus Aceh merupakan kerjasama tim peneliti Universitas Syiah Kuala dan Universitas Malikussaleh, dan staf DSF. Temuan, interpretasi, dan kesimpulan dalam laporan ini tidak mencerminkan pendapat Decentralization Support Facility, maupun pemerintah yang mereka wakili.
Decentralization Support Facility tidak menjamin keakuratan data yang terdapat dalam laporan ini. Batasan, warna, angka, dan informasi lain yang tercantum pada tiap peta dalam laporan ini tidak mencerminkan penilaian DSF tentang status hukum suatu wilayah atau merupakan bentuk pengakuan dan penerimaan atas batasan tersebut.
Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus Aceh
Kerjasama antara:
Universitas Syiah Kuala
Universitas Malikussaleh
Dengan dukungan:
Ucapan Terima Kasih Laporan ini disusun oleh Tim dari Universitas Syiah Kuala, dan Universitas Malikussaleh, dengan dukungan teknis dari Decentralization Support Facility (DSF)-World Bank. Tim Universitas Syiah Kuala terdiri dari Dr. Aliasudin, dan Weri, SE, MA (Pimpinan Tim), Abd. Jamal, Muhamad Nasir, Muhamad Ilhamsyah Siregar, Fakhrudin, dan Muhamad Abrar (Anggota Tim). Tim dari Universitas Malikussaleh terdiri dari Dr. Ichsan (Pimpinan Tim), Muhammad Nasir, Khairil Anwar, Damanhur, Mohd. Heikal, M. Fauzan, Yurnalis, Herman Fithra, Fadhliani, Amru Usman, dan Mariyadi (Anggota Tim). Tim Decentralization Support Facility (DSF)/World Bank terdiri dari Ahmad Zaki Fahmi dan Harry Hasan Masyrafah. Supervisi dan keseluruhan manajemen atas kegiatan kajian ini dipimpin oleh Gregorius.D.V.Pattinasarany (Task Team Leader, DSF). Selama proses penyusunan kajian tim mendapatkan masukan-masukan yang berharga dari para penasihat tim yaitu: Prof. Dr. Raja Masbar (Dekan FE Unsyiah), Dr. Islahudin (FE Unsyiah), Wahyudin, SE, MSi (Dekan FE Unimal), H.T. Harmawan (Ketua Tim Sekretariat TDBH Dana Migas dan Otsus Migas Pemerintah Aceh), dan Ahya Ihsan (World Bank) . Dukungan editorial dan produksi laporan diberikan oleh Maulina Cahyaningrum serta dukungan logistik dan administrasi diberikan oleh Ariza Nurana, dan Sarika Salmaria. Kami ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pemerintah Aceh, khususnya Sekretaris Daerah, Bapak H.T Setiabudi, beserta jajarannya serta Direktur Dana Perimbangan, Kementerian Keuangan, Bapak Drs. Pramudjo, MSocSc beserta jajarannya atas dukungan dan arahan yang diberikan selama pelaksanaan kajian. Terima kasih secara khusus juga diberikan kepada Asisten II Setda Aceh, Bapak H.T Said Mustafa selaku Wakil Ketua Kelompok Kerja Pengarah Kajian atas arahan, dan masukan yang diberikan dalam rangka pelaksanaan kajian, demikian pula dengan para anggota Kelompok Kerja Pengarah dari unsur pemerintah Aceh yang terdiri dari perwakilan Dinas Pendidikan, Dinas Bina Marga dan Cipta Karya, Dinas Kesehatan, Bappeda, Inspektorat, Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan, serta Biro Administrasi Pembangunan. Di jajaran Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, kami mengucapkan terima kasih atas masukan serta akses terhadap data kepada Ibu Wendy Julianti (Kasubdit DAU), Bapak Faisal (Kasi DAU I), Bapak Andre dan Bapak Saiful (Sekretariat Direktorat DAPER), dan Bapak Waliaji (Kasi Informasi dan Dukungan Teknis). Penghargaaan juga diberikan kepada Forum Komunikasi Kabupaten/Kota Aceh, dan jajaran Bupati, Walikota beserta Pemerintah Kabupaten/Kota tempat dilaksanakannya Focus Group Discussion (FGD) dan survei penelusuran output, yaitu Aceh Timur, Gayo Lues, Aceh Selatan, Banda Aceh serta Subulussalam. Terima kasih juga diucapkan atas masukan yang berharga dari seluruh peserta FGD, serta lokakarya konsultasi yang berasal dari pemerintah kabupaten/kota di Aceh yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu. Demikian pula para anggota tim surveyor penelusuran output yang berasal dari Universitas Malikussaleh yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu-satu. Masukan berharga juga didapatkan dari para peserta yang menghadiri presentasi hasil kajian di Kantor World Bank Jakarta dan dihadapan Tim Asistensi Menteri Keuangan Untuk Desentralisasi Fiskal. Secara khusus, terima kasih diberikan kepada para penanggap pada presentasi hasil kajian di Jakarta dan Banda Aceh, yaitu Bapak Mawardy Nurdin (Walikota Banda Aceh), Bapak Putut Hari Satyaka (Kasubdit Evaluasi Dana Desentralisasi, DJPK), dan Bapak Zulkifly Rasyid (Kepala Bappeda Aceh Besar). Akhirnya, tim ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak di Aceh dan Jakarta yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu dan telah berperan besar untuk penyelesaian kajian ini, seperti para responden tim penelusuran output, para guru, dokter, bidan serta masyarakat Aceh lainnya yang telah bersedia memberikan data dan informasi yang diperlukan untuk keperluan kajian ini.
Kata Pengantar Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, Aceh mendapatkan Dana Otonomi Khusus berupa tambahan dana transfer yang sebanding dengan 2 persen dari alokasi DAU nasional untuk 15 tahun mulai tahun 2008 dan 1 persen untuk lima tahun berikutnya setelah masa 15 tahun berlalu. Sampai dengan tahun 2011 ini, pelaksanaan penerimaan dana otonomi khusus telah memasuki tahun ke empat dengan jumlah dana yang diterima mencapai kurang lebih Rp. 16 triliun. Selama kurun waktu pelaksanaan tersebut telah banyak kegiatan yang dibiayai Dana Otonomi Khusus dalam rangka menunjang pelaksanaan pembangunan di Aceh. Namun demikian, gambaran utuh mengenai pengelolaan dan pemanfaatan dana tersebut masih belum sepenuhnya didokumentasikan secara sistematis. Laporan “Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus Aceh” yang disusun oleh Tim dari Universitas Syiah Kuala dan Universitas Malikussaleh dengan dukungan teknis dari Decentralization Support Facility serta mendapatkan arahan dari Pemerintah Aceh dan Direktorat Dana Perimbangan, Kementerian Keuangan ini merupakan upaya awal untuk secara sistematis memberikan gambaran terhadap pelaksanaan dan pemanfaatan Dana Otonomi Khusus, serta mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan pelaksanaan selama ini sehingga dapat dirumuskan upaya perbaikannya di masa yang akan datang. Kajian yang ditelaah dalam laporan ini meliputi kajian mengenai pengelolaan Dana Otonomi Khusus yang meliputi kajian atas prosedur dan praktik manajemen pengelolaan dalam siklus yang utuh dari mulai perencanaan sampai dengan pengawasan, serta kajian mengenai pola alokasi yang mencoba menganalisis penggunaan Dana Otonomi Khusus berdasarkan jenis output yang dibiayai. Hasil dari kajian ini menunjukkan bahwa pengelolaan Dana Otonomi Khusus masih dapat diperbaiki efektivitas penggunaannya baik dari aspek pengelolaan maupun dari segi pola alokasi. Dari sisi aspek pengelolaan, laporan mengidentifikasi beberapa hal yang dapat dilaksanakan dalam memperbaiki pelaksanaan Dana Otonomi Khusus, antara lain perbaikan mekanisme perencanaan dan mekanisme penganggaran dan pelaksanaan anggaran sementara dalam hal aspek pola alokasi laporan ini mengidentifikasi perlunya perbaikan dalam pola alokasi yang mengarah kepada investasi dalam modal fisik dan modal manusia yang memiliki dampak jangka panjang. Kami berharap kajian ini dapat bermanfaat bagi perbaikan pengelolaan Dana Otonomi Khusus di masa-masa yang akan datang.
Banda Aceh, November 2011
H. T. Setia Budi Sekretaris Daerah Aceh
William Wallace Program Manager Decentralization Support Facility
Daftar Isi Ucapan Terima Kasih .................................................................................................................................................... iv Kata Pengantar .............................................................................................................................................................. v Daftar Isi ....................................................................................................................................................................... vi Daftar Gambar ............................................................................................................................................................. vii Daftar Tabel ................................................................................................................................................................ viii Daftar Kotak ................................................................................................................................................................ viii Ringkasan Eksekutif .......................................................................................................................................................1 Bab I Pendahuluan .......................................................................................................................................................15 1.1 Latar belakang dan tujuan studi ........................................................................................................................15 1.2 Metodologi ........................................................................................................................................................17 1.3 Susunan laporan ................................................................................................................................................19 Bab 2 Gambaran Umum Pengelolaan Dana Otonomi Khusus .....................................................................................20 2.1 Gambaran mekanisme penyaluran dan pencairan Dana Otsus oleh pemerintah pusat ..................................20 2.2 Gambaran perencanaan dan penganggaran Dana Otonomi Khusus ................................................................21 2.3 Gambaran pelaksanaan anggaran Dana Otonomi Khusus ................................................................................24 2.4 Kesimpulan dan rekomendasi ...........................................................................................................................26 Bab 3 Gambaran Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus ...............................................................................................31 3.1 Gambaran alokasi dan realisasi Dana Otonomi Khusus menurut sektor, program, dan kegiatan. ...................31 3.2 Gambaran alokasi dan realisasi Dana Otonomi Khusus menurut perspektif antar wilayah .............................38 3.3 Kajian alokasi vs. realisasi Dana Otsus ..............................................................................................................40 3.4 Kesimpulan dan rekomendasi ...........................................................................................................................45 Bab 4 Penelusuran Output Proyek yang Dibiayai Dana Otonomi Khusus Tahun Anggaran 2010 ...............................48 4.1 Pendahuluan .....................................................................................................................................................48 4.2 Fungsionalitas Proyek Otsus ..............................................................................................................................49 4.3 Kesesuaian output proyek dengan perencanaan proyek. .................................................................................51 4.4 Manfaat proyek .................................................................................................................................................52 4.5 Aspek keberlanjutan proyek..............................................................................................................................55 Bab 5 Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Untuk Perbaikan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus Aceh ..........56
Daftar Gambar Gambar 1. Pendapatan daerah per kapita seluruh provinsi di Indonesia TA 2010 .......................................................1 Gambar 2a. Angka kemiskinan provinsi di Indonesia 2000 ...........................................................................................2 Gambar 2b. Angka kemiskinan provinsi di Indonesia 2008 ...........................................................................................2 Gambar 2c. IPM provinsi di Indonesia 1999 ..................................................................................................................2 Gambar 2d. IPM provinsi di Indonesia 2008 ..................................................................................................................2 Gambar 3. Rencana vs Realisasi APBA dan Otsus 2008-2010 ........................................................................................3 Gambar 4. Sebaran skala kegiatan Dana Otsus berdasarkan persentase atas jumlah kegiatan ...................................4 Gambar 5. 10 Program dengan alokasi terbesar TA 2010 .............................................................................................7 Gambar 6. Komposisi alokasi program bidang pemberdayaan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, TA 2010 .......8 Gambar 7. Jenis output Bidang Pendidikan, TA 2010 ..................................................................................................10 Gambar 1.1. Angka kemiskinan provinsi di Indonesia 2008 ........................................................................................15 Gambar 1.2. Indeks Pembangunan Manusia provinsi di Indonesia 2008 ....................................................................16 Gambar 2.1a. Penyaluran Dana Otsus PMK vs realisasi 2009 .....................................................................................21 Gambar 2.1b. Penyaluran Dana Otsus PMK vs realisasi 2010 .....................................................................................21 Gambar 3.1. Alokasi Dana Otonomi Khusus Aceh per bidang (2008-2011) ................................................................31 Gambar 3.2. Alokasi berdasarkan bidang TA 2010 ......................................................................................................32 Gambar 3.3. 10 Program dengan alokasi terbesar TA 2010 ........................................................................................33 Gambar 3.4. Alokasi menurut jenis Infrastruktur TA 2010 ..........................................................................................33 Gambar 3.5. Komposisi alokasi program bidang pemberdayaan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, TA 2010 ..34 Gambar 3.6. Komposisi alokasi program bidang pendidikan, TA 2010 .......................................................................36 Gambar 3.7. Jenis output Bidang Pendidikan, TA 2010 ...............................................................................................36 Gambar 3.8. Komposisi alokasi program Bidang Kesehatan, TA 2010 ........................................................................37 Gambar 3.9. Jenis output yang dibiayai Dana Otsus, TA 2010 ....................................................................................37 Gambar 3.10.a. Sebaran skala kegiatan Dana Otsus berdasarkan persentase atas jumlah kegiatan .........................38 Gambar 3.10.b. Sebaran skala kegiatan Dana Otsus berdasarkan persentase atas jumlah anggaran ........................38 Gambar 3.11. Alokasi Otsus, APBK, dan tambahan penerimaan daerah, 2010 ..........................................................39 Gambar 3.12. Nilai pagu vs. nilai kontrak, 2010 ..........................................................................................................41 Gambar 3.13. Lama pelaksanaan Proyek Otsus Aceh, 2008-2009 ..............................................................................42 Gambar 3.14. Realisasi anggaran beberapa dinas TA 2009 .........................................................................................42 Gambar 3.15. Perkembangan tingkat kemiskinan di Aceh ..........................................................................................44 Gambar 3.16. Angka Partisipasi Murni Provinsi di Indonesia, 2010 ............................................................................44 Gambar 4.1. Fungsionalitas proyek, sektoral ..............................................................................................................49 Gambar 4.2. Fungsionalitas Proyek Otsus, kabupaten kota 2010 ...............................................................................51 Gambar 4.3. Proyek yang secara fisik tidak sesuai dengan kontrak ............................................................................51 Gambar 4.4. Tingkat manfaat Proyek Otsus, 2010 ......................................................................................................53 Gambar. 4.5 Tingkat manfaat Proyek Otsus, sektoral,2010 ........................................................................................53 Gambar 4.6. Alokasi belanja pemeliharaan, Proyek Otsus 2010 .................................................................................55
Daftar Tabel Tabel 1. Kelebihan dan kekurangan penggunaan mekanisme transfer dari provinsi dalam penganggaran bagian alokasi kabupaten/kota .......................................................................................................................5 Tabel 2. Komposisi kegiatan yang dibiaya Dana Otsus TA 2010 di Dinas Pertanian serta Dinas Kehutanan dan Perkebunan .....................................................................................................................................................9 Tabel 3. Bagian alokasi untuk masing-masing kabupaten/kota relatif terhadap total Dana Otsus.............................11 Tabel 4. Indeks Williamson Alokasi Dana Otsus dan DAU, 2010 .................................................................................12 Tabel 2.1. Kekuatan dan kelemahan penggunaan mekanisme transfer dari provinsi dalam penganggaran bagian alokasi kabupaten/kota ...................................................................................................................23 Tabel 3.1. Komposisi kegiatan yang dibiaya Dana Otsus TA 2010 di Dinas Pertanian & Dinas Kehutanan & Perkebunan** ...............................................................................................................................................35 Tabel 3.2. Indeks Williamson alokasi Dana Otsus dan DAU, 2010 ...............................................................................40 Tabel 3.3. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tahun 2004 – 2009 .........................................................................43 Tabel 3.4. Angka Partisipasi Murni dan Angka Partisipasi Kasar Tahun 2008-2010 ....................................................45 Tabel 3.5. Peningkatan prasarana jalan di Provinsi Aceh ...........................................................................................45 Tabel 4.1. Kabupaten/kota dan jumlah sampel proyek ..............................................................................................48 Tabel 4.2. Pertanyaan penelitian dan indikator kunci .................................................................................................49
Daftar Kotak Kotak 2.1. Temuan Tim Monitoring dan Evaluasi: Banyak Proyek Otsus 2009 belum dikerjakan...............................24 Lampiran 1. Posedur penyaluran Dana Otsus dari pemerintah pusat ke daerah menurut PMK 04/PMK.07/2008 .................................................................................................................................29 Lampiran 2. Substansi Qanun No. 2/2008 yang mengatur tentang perencanaan Dana Otsus ...................................30 Kotak 4.1. Perumahan Dokter RSU Meuraxa, Banda Aceh ..........................................................................................50 Kotak 4.2. Pembangunan Mess Guru SDN 4 Pantan Cuaca (Remukut, Gayo Lues) .....................................................52 Kotak 4.3. Pembangunan jembatan 4 unit (Desa Alue Bu Baroh, Aceh Timur) meningkatkan penjualan komoditas Kelapa ............................................................................................................................................................54
RINGKASAN EKSEKUTIF 1. Pendahuluan Dengan dimulainya penerimaan dana otonomi khusus pada tahun 2008, Aceh memperoleh tambahan sumber daya fiskal secara signifikan. Sejak tahun 2008, Dana Otonomi Khusus (Otsus) menjadi sumber terbesar bagi penerimaan publik Aceh dengan porsi mencapai 62 persen dari anggaran provinsi di tahun 2010, atau sekitar 25 persen dari total anggaran seluruh daerah di Aceh (provinsi dan kabupaten/kota). Dana Otsus memiliki peran menggantikan dana bagi hasil Migas yang jumlahnya terus menurun semenjak 2008. Penerimaan dana otonomi khusus telah membuat Aceh menjadi salah satu provinsi dengan sumber daya fiskal terbesar di Indonesia. Jika tanpa Dana Otsus, Aceh berada di urutan ke 15 dalam hal nilai pendapatan daerah per kapita, dengan adanya Dana Otsus, Aceh naik ke urutan 7 provinsi di Indonesia dengan pendapatan daerah per kapita tertinggi. Penerimaan Dana Otsus ini akan berlangsung selama 20 tahun sampai dengan tahun 2027 dengan proyeksi total peneriman sebesar Rp. 100 trilyun dengan asumsi rata-rata pertumbuhan rata-rata sebesar 5 persen per tahun. Gambar 1. Pendapatan daerah per kapita seluruh provinsi di Indonesia TA 2010 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000
- -
3513 3215
3492
- - - - - - -
- - - - - - - - - - - - - - - -
Papua Barat Papua Kalimantan Timur Maluku Utara Kalimantan Tengah Maluku Kepulauan Riau Bengkulu Sulawesi Tenggara Sulawesi Utara Bangka Belitung Riau Gorontalo Kalimantan Selatan Aceh Sulawesi Tengah DKI Jakarta Jambi Sulawesi Barat Sumatera Barat Kalimantan Barat Bali Sumatera Selatan Nusa Tenggara Timur Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Barat Sumatera Utara DI Yogyakarta Lampung Jawa Timur Jawa Tengah Banten Jawa Barat
-
-
Pendapatan Daerah/Kapita
Otsus
Sumber: Diolah dengan menggunakan data dari SIKD Kemenkeu dan BPS. Catatan: Angka dalam gambar adalah dalam ribu rupiah.
Tambahan sumber daya fiskal tersebut jika dikelola secara efektif dapat menjadi peluang emas bagi Aceh untuk memacu pembangunan dan membalikkan trend kemunduran yang dialami Aceh selama dekade yang lalu. Perkembangan indikator sosial ekonomi Aceh selama awal hingga akhir dekade yang lalu, menunjukkan perkembangan yang memperihatinkan. Jika pada tahun 2000, posisi Aceh berada di papan tengah dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia dalam hal indikator-indikator sosial ekonomi, ditandai dengan angka kemiskinan yang berada di bawah angka nasional (18,37 vs 18,95), dan peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang berada pada pada urutan ke 12 secara nasional.
1
2
Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
Pada tahun 2008, saat dimulainya alokasi Dana Otsus, capaian indikator sosial ekonomi tersebut mengalami penurunan, menjadikan Aceh tertinggal dibandingkan dengan beberapa daerah lain di Indonesia. Pada tahun 2008, Aceh merupakan provinsi yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi keenam di Indonesia (setelah Papua, Papua Barat, Maluku, NTT, dan Gorontalo) dengan proporsi penduduk miskin sebesar 23,55 persen, diatas angka nasional yang berada pada tingkat 15,42 persen. Sementara, IPM Aceh menempati urutan ke 17 dari 33 provinsi (nomor 2 terendah di Sumatera setelah Lampung) dan angkanya berada dibawah angka nasional.
Tingkat Kemiskinan Propinsi
di
Sumatera Selatan
Jawa Timur
DI Yogyakarta
Jawa Tengah
Sulawesi Tenggara
Bengkulu
Lampung
Sulawesi Tengah
Aceh
Nusa Tenggara Barat
Gorontalo
Nusa Tenggara Timur
Maluku
15.42
Tingkat Kemiskinan Nasional
Gambar 2d. IPM provinsi di Indonesia, 2008 78 76
65.3
74
64.3
71.17
72
70.76
70 68
IPM Nasional
Sumber: Diolah dengan menggunakan data BPS.
DKI Jakarta Sulawesi Utara Riau Yogyakarta Kalimantan Timur Kepulauan Riau Kalimantan Tengah Sumatera Utara Sumatera Barat Bangka Belitung Bengkulu Sumatera Selatan Jambi Jawa Tengah Jawa Barat Bali Aceh Jawa Timur
DKI Jakarta Yogyakarta Kalimantan Timur Riau Maluku Sulawesi Utara Kalimantan Tengah Sumatera Utara Sumatera Barat Bali Jambi Aceh Bengkulu Jawa Barat Jawa Tengah Sumatera Selatan Sulawesi Selatan Lampung
66
IPM Provinsi
2
provinsi
23.53
Tingkat Kemiskinan Propinsi
Tingkat Kemiskinan Nasional
Gambar 2c. IPM provinsi di Indonesia, 1999 74 72 70 68 66 64 62 60 58
40 35 30 25 20 15 10 5 0 Irian Jaya Barat
18.95 18.37
Papua Maluku Nusa Tenggara Timur Daerah Istimewa… Lampung Kalimantan Barat Nusa Tenggara Barat Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Jawa Timur Jawa Tengah Jambi Aceh Bengkulu
40 35 30 25 20 15 10 5 0
Gambar 2b. Angka kemiskinan Indonesia (dalam %), 2008
Papua
Gambar 2a. Angka kemiskinan provinsi di Indonesia (dalam %), 2000
IPM Provinsi
IPM Nasional
Ringkasan Eksekutif
3
Transformasi dari ketersediaan sumber daya fiskal yang besar tersebut menjadi hasil nyata pembangunan sangat tergantung kepada pola pemanfaatannya. Aceh memiliki kesempatan yang besar untuk melakukan lompatan transformasi pembangunan dengan ketersediaan sumber daya fiskal yang signifikan. Namun, transformasi tersebut hanya dapat terealisasi jika sumber daya tersebut digunakan secara efektif. Paling tidak terdapat dua aspek yang perlu dikaji agar pemanfaatan dapat berjalan efektif, yaitu, pertama aspek tata kelola Dana Otsus dari mulai perencanaan, penganggaran, pelaksanaan anggaran sampai dengan pengawasan, monitoring dan evaluasi. Aspek tata kelola ini perlu dikaji untuk melihat apakah pola tata kelola Otsus telah menunjang pelaksanaan yang efektif; sementara aspek kedua adalah aspek pola alokasi untuk melihat apakah pemilihan program-program dan kegiatan yang dibiayai Otsus telah mengarah kepada pemanfaatan yang efektif.
2. Kajian atas aspek tatakelola Ditinjau dari aspek realisasi anggaran, pelaksanaan anggaran dana Otsus telah mengalami perbaikan sejak pertama kali diselenggarakan pada tahun 2008. Pada tahun anggaran 2008, hanya 67,2 persen dari anggaran kegiatan yang didanai oleh Otsus yang terealisasi anggarannya, tingkat realisasi ini naik menjadi 77 persen pada tahun 2008 walaupun angka realisasi anggaran ini masih terbilang rendah. Sayangnya data realisasi untuk kegiatan Otsus pada tahun 2010 belum tersedia, namun jika mengacu pada tingkat realisasi APBA yang sejak 2008 tidak jauh berbeda dengan realisasi dana Otsus, maka realisasi untuk tahun anggaran 2010 diperkirakan jauh lebih baik (lihat gambar 3). Walaupun sulit untuk secara persis mengukur derajat perbaikan dalam pengelolaan Dana Otsus sejak tahun 2008, mengingat terbatasnya data, namun berdasarkan hasil dari Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan di 4(empat) kabupaten, pelaksanaan Otsus pada tahun 2010 dipandang oleh para pejabat kabupaten/kota telah mengalami perbaikan dari pelaksanaan tahun-tahun sebelumnya, terutama jika dipandang dari indikator tingkat penyelesaian proyek. Pelaksanaan pada tahun 2008 dan 2009 diwarnai dengan beberapa kasus berupa proyek yang tidak dapat diselesaikan oleh pihak kontraktor. Gambar 3. Rencana vs Realisasi APBA dan Otsus, 2008-2010 12
91%
10 8
67.2%
76.8%
100% 80% 60%
6
40%
4 2
20%
-
0%
2008
2009
2010
APBA_Rencana
APBA_Realisasi
Otsus_Rencana
Otsus_Realisasi
Tingkat Realisasi APBA
Tingkat Realisasi Otsus
Sumber: Diolah dengan menggunakan data dari Bappeda Aceh.
3
4
Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
Berbeda dengan tahun anggaran sebelumnya, pelaksanaan pada tahun anggaran 2010 memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah kabupaten/kota. Pada tahun anggaran 2008 dan 2009, pelaksanaan proyek yang dibiayai oleh Dana Otsus dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh dengan menggunakan mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA), dimana Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) berada pada Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA), dengan demikian seluruh proses pelaksanaan anggaran mulai dari penerbitan dokumen pelaksanaan anggaran, pengadaan barang dan jasa, proses pengawasan pelaksanaan proyek dan pembayaran kepada pihak ketiga dilaksanakan sepenuhnya oleh pihak provinsi. Semenjak 2010, proses pelaksanaan anggaran dilaksanakan oleh pihak kabupaten/kota dengan KPA dan PPTK berada pada Satuan Kerja Perangkat Kabupaten/Kota, sementara provinsi berperan menyetujui pemilihan kegiatan, mengesahkan pemenang pengadaan, melakukan pembayaran dan melakukan pemeriksaan setelah selesainya proyek oleh inspektorat. Hasil yang terlihat di lapangan dari perubahan kebijakan tersebut adalah lebih tingginya tingkat penyelesaian proyek. Pelaksanaan yang sepenuhnya dilakukan oleh provinsi menyebabkan rentang kendali yang terlalu jauh sehingga proyek/kegiatan tidak optimal dikelola dan diawasi. Proses perencanaan dan penyusunan program kegiatan yang dibiayai oleh Dana Otsus menjadi salah satu titik lemah dalam tata kelola Dana Otsus. Tampaknya proses perencanaan dan penyusunan program kegiatan belum mengacu pada suatu dokumen perencanaan yang memiliki landasan kuat. Hasil FGD menunjukkan bahwa RPJM tidak cukup spesifik untuk dijadikan acuan pengajuan usulan program, sementara itu rencana induk (masterplan) penggunaan Dana Otsus juga belum tersedia sehingga belum bisa dijadikan acuan. Walaupun terdapat keluhan bahwa usulan dari kabupaten/kota sering mengalami perubahan baik dalam hal jenis maupun bentuk kegiatan, namun secara umum, hasil survei lapangan menunjukkan bahwa kegiatan yang dilaksanakan umumnya berasal dari usulan kabupaten/kota. Survei terhadap 136 proyek di 3 kabupaten dan 2 kota menunjukkan bahwa 52 persen usulan kegiatan berasal dari pihak eksekutif kabupaten/kota Gambar 4. Sebaran skala kegiatan Dana Otsus (Dinas dan Kepala Daerah), 30 persen berdasarkan persentase atas jumlah kegiatan merupakan usulan dari calon penerima manfaat (seperti sekolah dan rumah sakit), masing-masing 5 persen berasal dari tokoh masyarakat dan anggota DPRK, dan hanya 6 persen yang berasal dari proses perencanaan melalui Musrenbang. Salah satu akibat dari ketiadaan acuan perencanaan dan petunjuk pengusulan kegiatan adalah banyaknya kegiatan berskala kecil (< Rp. 100 juta). Jumlah kegiatan berskala kecil yang terlalu banyak, berpotensi menyulitkan manajemen dan supervisi. Pada tahun anggaran 2010, terdapat 2.798 kegiatan
4
Sumber: Diolah dengan menggunakan data dari Pemerintah Aceh.
Ringkasan Eksekutif
5
yang nilai kontraknya dibawah Rp. 100 juta, jumlah ini merupakan kurang lebih 53 persen dari total jumlah kegiatan sejumlah 5.313. Jika digabungkan dengan kegiatan bernilai dibawah Rp. 500 juta, jumlahnya akan mencapai 4.303 atau 81 persen dari total kegiatan (lihat gambar 4). Proses penganggaran dana Otsus untuk bagian alokasi kabupaten masih ditandai dengan belum jelasnya prosedur penganggaran sisa lebih penggunaan anggaran yang menyebabkan bagian alokasi belum diterima secara utuh oleh kabupaten/kota. Pada tahun anggaran 2010, secara total (alokasi kabupaten/kota + alokasi provinsi), besar perbandingan antara nilai kontrak dengan nilai pagu1 adalah 93,8 persen atau terdapat sekitar 6,2 persen pagu anggaran yang tidak terealisasi menjadi kontrak. Dari proporsi tersebut, rasio pagu alokasi kabupaten yang menjadi kontrak adalah 92 persen atau 8 persen dari pagu tersebut tidak terealisasi menjadi kontrak. Karena kegiatan-kegiatan tersebut dianggarkan dalam APBA maka sisa pagu tersebut kembali menjadi bagian dari penerimaan provinsi. Hal tersebut menyebabkan realisasi alokasi Otsus bagian alokasi kabupaten/kota menjadi lebih sedikit dari yang seharusnya. Kondisi tersebut menimbulkan timbulnya alternatif pemikiran agar mekanisme penganggaran Dana Otsus untuk bagian alokasi kabupaten/kota dilaksanakan melalui mekanisme transfer. Meskipun UU PA (UU No. 11/2006) mengatur bahwa Dana Otsus pengelolaannya diadministrasikan pada Pemerintah Provinsi Aceh sehingga transfer dari pusat harus disampaikan kepada kas provinsi dan dianggarkan dalam APBA, namun mekanisme transfer dimungkinkan untuk dilakukan dari provinsi ke kabupaten/kota. Mekanisme transfer ini walaupun di satu sisi menjamin penerimaan alokasi kabupaten/kota secara utuh dan ideal dalam hal mekanisme akuntabilitas pelaksanaan anggaran, namun juga memiliki beberapa kekurangan terutama dalam hal kemungkinan pemilihan kegiatan oleh Kabupaten/Kota menjadi tidak terkendali dan kehilangan keterkaitannya dengan perencanaan tingkat provinsi. Kelebihan dan kekurangan dari mekanisme transfer diuraikan dalam Tabel 1 dibawah ini. Tabel 1. Kelebihan dan kekurangan penggunaan mekanisme transfer dari provinsi dalam penganggaran bagian alokasi kabupaten/kota Kekuatan
Kelemahan
Kabupaten/Kota dapat menerima bagian alokasinya secara utuh, termasuk sisa lebih penggunaan anggaran
Menambah rantai proses penganggaran (dianggarkan di APBA sebagai belanja transfer, kemudian dianggarkan sebagai belanja kegiatan di APBK) yang berpotensi memperlambat pelaksanaan
Beban kerja SKPA dalam mengawasi dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan Otsus bagian alokasi kabupaten/kota menjadi berkurang
Kehilangan koherensi dalam perencanaan tingkat provinsi terdapatnya kemungkinan pihak kabupaten/kota tidak mempertimbangkan kepentingan sinergis antar daerah dalam pemilihan kegiatan
Mekanisme akuntabilitas pekerjaan dan pertanggungjawaban menjadi jelas (PA di SKPK menjadi sepenuhnya bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pekerjaan termasuk tindak lanjut pemeriksaan)
Pemilihan kegiatan dan pemrograman menjadi tidak terkendali dan kemungkinan dapat menghasilkan program-program yang tidak strategis.
1
Sumber Data: Biro Administrasi Pembangunan, Setda Aceh.
5
6
Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
Beberapa masalah lain yang lebih bersifat teknis juga mengemuka dalam kaitan perencanaan dan penganggaran Dana Otsus. Berdasarkan hasil FGD dan wawancara baik dengan SKPA maupun SKPK beberapa persoalan dapat diidentikasi dalam kaitan dengan perencanaan Dana Otsus. Beberapa dari masalah yang mengemuka adalah: (i) pengusulan program pembangunan fisik tidak selalu disertai dengan dokumen teknis perencanaan yang dibutuhkan; (ii) kabupaten/kota menyebutkan masih terjadinya revisi maupun perubahan, jenis dan bentuk kegiatan, termasuk pagu anggarannya tanpa melalui konsultasi dengan SKPK ; (iii) ketiadaan anggaran penunjang operasional di kabupaten/kota karena Dana Otsus tidak diperkenankan untuk administrasi kegiatan, sementara APBK sering tidak bisa menganggarkan karena umumnya alokasi anggaran APBK telah ditetapkan sebelum informasi pasti mengenai penetapan kegiatan yang dibiayai Otsus diketahui. Sempitnya waktu pelaksanaan oleh karena keterlambatan pengesahan APBA menjadi salah satu hal yang dikeluhkan dalam aspek pelaksanaan anggaran. Mengingat kegiatan yang dibiayai Dana Otsus dianggarkan dalam APBA, maka pelaksanaannya tergantung kepada pengesahan APBA. Untuk tahun anggaran 2008, dan 2011, APBA disahkan cukup terlambat, yaitu ketika sudah memasuki triwulan ke II tahun anggaran, setelah ditambah dengan proses selanjutnya untuk penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran dan penyusunan organisasi proyek, dan pengadaan, menyisakan waktu pelaksanaan hanya sekitar 4 bulan. Persoalan lain timbul karena tidak sinkronnya waktu penganggaran antara kabupaten/kota dengan provinsi sehingga banyak kabupaten/kota yang tidak menganggarkan anggaran pendamping untuk kegiatan operasional dan administrasi proyek, padahal dalam anggaran kegiatan yang dibiayai Otsus tidak diperbolehkan untuk membiayai kegiatan operasional proyek. Kesulitan yang timbul dalam pemeriksaan dan pengawasan Dana Otsus timbul karena antara lain tidak terdapat identifikasi khusus untuk kegiatan yang dibiaya oleh Dana Otsus. Sampai dengan tahun anggaran 2010, tidak terdapat label khusus yang mengidentifikasi kegiatan yang dibiayai Dana Otsus, sehingga identifikasi harus dilakukan dengan melacak usulan kegiatan yang diusulkan oleh kabupaten/kota. Selain itu kesulitan juga timbul dalam menindaklanjuti temuan hasil pemeriksaan karena pihak pengguna anggaran (PA) yang merupakan Kepala SKPA tidak dapat secara langsung mengendalikan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang berada di kabupaten/kota karena bukan merupakan bawahannya secara langsung.
3. Kajian atas pola alokasi 3.1. Alokasi berdasarkan bidang/program/kegiatan Kajian atas pola alokasi hanya dilaksanakan terhadap alokasi Dana Otsus TA 2010 dikarenakan sulitnya mendapatkan data yang komprehensif. Data alokasi sektoral/program/kegiatan sangat terbatas ketersediannya, mengingat belum tuntasnya labelisasi kegiatan yang dibiayai Otsus, sehingga analisis tidak dapat dilakukan secara komprehensif pada seluruh tahun pelaksanaan Otsus, dan hanya berfokus pada tahun dan sektor tertentu dimana data tersedia, yaitu sebagian besarnya menggunakan data TA 2010.
6
Ringkasan Eksekutif
7
Pola alokasi Dana Otsus per bidang telah menunjukkan konsistensi dengan ketentuan dalam UUPA, namun penelaahan lebih lanjut terhadap bauran program (program mix) dan terutama jenis kegiatan menunjukkan beberapa hal masih dapat diperbaiki. UUPA menyebutkan bahwa pemanfaatan Dana Otsus diatur untuk: (i) Membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur; (ii) Pemberdayaan ekonomi rakyat; (iii) Pengentasan kemiskinan; dan (iv) Pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Selama periode 2008-2010, bidang infrastruktur selalu mendapat alokasi tertinggi dalam pemanfaatan dana otonomi khusus. Alokasi untuk bidang infrastruktur pekerjaan umum pada tahun 2010 mencapai Rp. 1,4 trilyun atau merupakan 37 persen dari seluruh alokasi Otsus, diikuti oleh bidang pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi Rp. 1,02 trilyun (27%), bidang pendidikan Rp. 672 milyar (18%), Kesehatan, Rp. 558 milyar (14%), Keistimewaan Aceh Rp. 159 milyar (4%), dan Sosial Rp. 18 milyar (0,6%). Jika dilihat dari alokasi berdasarkan program, alokasi terbesar pada tahun 2010, digunakan untuk pembangunan jalan dan jembatan dengan alokasi sebesar Rp. 782 milyar atau 20,3 persen dari total anggaran. Alokasi untuk 10 program yang mendapat anggaran terbesar mencapai 71 persen dari total alokasi anggaran (Gambar 5). Selain pembangunan jalan dan jembatan, alokasi terbesar lainnya didapatkan oleh program-program berikut ini: (i) Program Peningkatan Keberdayaan Masyarakat Pedesaan yang diantaranya digunakan untuk Bantuan Keuangan Pemakmoe Gampong (BKPG), sebuah program yang sejenis dengan PNPM, dengan alokasi sebesar Rp. 418 milyar (10,9%); (ii) Program Kemitraan Peningkatan Pelayanan Kesehatan yang sebagian besarnya digunakan untuk program Jaminan Kesehatan Aceh, alokasi Rp. 385 milyar (10%); (iii) Program wajib belajar pendidikan 9 tahun dan Program pendidikan menengah, yang sebagian besarnya digunakan untuk pembangunan dan rehabilitasi gedung sekolah, alokasi untuk kedua program tersebut adalah 470 milyar (12,2%); (iv) Program Peningkatan Produksi Pertanian/Perkebunan, alokasi 167,4 milyar (4%) Program Pengembangan dan Pengelolaan Jaringan Irigasi, alokasi 154,4 milyar (4%). Program lainnya yang termasuk dalam program dengan alokasi terbesar dengan persentase alokasi masing-masing sekitar 3 persen adalah pengembangan infrastruktur pedesaan, dan bantuan sosial, dan pengendalian banjir. Gambar 5. 10 Program dengan alokasi terbesar TA 2010 Program Pengendalian Banjir Belanja Bantuan Sosial Program Pengembangan Infrastruktur Pedesaan Program Pengembangan dan Pengelolaan Jaringan Irigasi… Program Peningkatan Produksi Pertanian/Perkebunan Program Pendidikan Menengah Program Wajib Belajar Pendidikan 9 Tahun Program Kemitraan Peningkatan Pelayanan Kesehatan Program Peningkatan Keberdayaan Masyarakat Pedesaan Program Pembangunan Jalan dan Jembatan 0
117.5 121.5 122 154.43 167.4 230 240 385 418 782 200
400
600
800
1000
Sumber: Diolah dengan menggunakan data dari Pemerintah Aceh dan Kemenkeu. Catatan: Angka dalam gambar adalah dalam milyar rupiah.
7
8
Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
Di bidang pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi sebagian besar alokasi diberikan kepada sektor pertanian dan pedesaan. Jika mempertimbangkan bahwa struktur perekonomian di Aceh masih didominasi oleh sektor pertanian yang kontribusinya mencapai 24 persen dari PDRB, maka alokasi program andalan untuk program sektor pertanian dan pedesaan tersebut telah berada pada jalur yang benar. Program-program di sektor pertanian dalam arti luas termasuk perikanan, perkebunan, kehutanan dan peternakan mendapatkan porsi alokasi sebesar Rp. 482,51 milyar atau 47 persen dari alokasi bidang pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi. Program andalan lainnya adalah Bantuan Keuangan Pemakmoe Gampong (BKPG) dengan alokasi sebesar Rp. 418 milyar atau 41 persen dari total alokasi. Jika digabungkan, alokasi yang berfokus pada pertanian dan pedesaan ini mencakup 88 persen dari alokasi bidang pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi. Sementara program-program sektor perdagangan, industri, dan UKM mendapat alokasi kurang lebih Rp. 68,05 milyar atau 6,7 persen dari alokasi bidang pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi. Pendekatan yang digunakan pada program-program di sektor pertanian dan perkebunan masih masih didominasi oleh pemberian bantuan input produksi daripada penyediaan barang publik (public goods) sebagai penunjang kegiatan Gambar 6. Komposisi alokasi program bidang pemberdayaan produksi. Jika ditelusuri dari jenis ekonomi dan pengentasan kemiskinan, TA 2010 kegiatan Dinas Pertanian dan 35.49 100% Dinas Kehutanan dan 22.96 68.75 Perkebunan pada tahun 90% Program-Program Penguatan Anggaran 2010, terlihat bahwa Kapasitas Aparatur 80% porsi terbesar anggaran 70% Program-Program Sektor 418.05 digunakan untuk memberi Ketenagakerjaan 60% bantuan input produksi kepada Program Sektor Industri, petani berupa benih dan bibit, 50% Perdagangan, dan UKM serta sarana dan input produksi 40% lainnya (pupuk, herbisida, Bantuan Keuangan Pemakmoe 30% Gampong fungisida, alat pertanian kecil, 482.51 20% traktor, dll) sementara Program-Program Sektor Pertanian penyediaan barang publik, 10% seperti jalan pertanian, perbaikan 0% jaringan irigasi, mesin pengering Sumber: Diolah dengan menggunakan data dari Pemerintah Aceh dan yang bisa dipakai bersama, kilang Kemenkeu. pengolahan sawit, dll memperoleh porsi lebih sedikit.
8
Ringkasan Eksekutif
9
Tabel 2. Komposisi kegiatan yang dibiaya Dana Otsus TA 2010 di Dinas Pertanian serta Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kelompok Kegiatan
Pemberian Bantuan Bibit dan Benih Pemberian Bantuan Input Produksi (pupuk, Alat, Herbisida, Fungisida, dll) Barang Publik (Public Goods)
Alokasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Rp Milyar)
Alokasi Dinas Pertanian (Rp Milyar)
Total Alokasi (Rp Milyar)
% dari Total Alokasi Dinas Kehutanan, Perkebunan, dan Pertanian
37,97
5,23
43,2
17,2 %
32,75
56,96
89,71
35,8%
54,57
38,75
93,32
37,2%
Sumber: Diolah dengan menggunakan data dari Pemerintah Aceh.
Di bidang pendidikan, alokasi terbesar diberikan pada program wajib belajar pendidikan 9 tahun dan pendidikan menengah. Alokasi untuk kedua program tersebut menyerap 70 persen dari alokasi bidang pendidikan, selain itu terdapat pula alokasi untuk program pembinaan dan pengembangan pendidikan tinggi serta kualitas dan kuantitas tenaga kependidikan (11,3%), pendidikan anak usia dini (6,7%), pendidikan dayah (5,1%), sementara program lainnya mendapat alokasi relatif kecil, yaitu pembinaan olahraga dan kepemudaan (2,2%), pengembangan mutu pendidik (1,9%), pendidikan non formal (1,6%) dan perpustakaan (1,1%). Jika dilihat dari output kegiatannya, output yang mendapat alokasi terbesar di bidang pendidikan adalah pembangunan ruang kelas baru (RKB), dan pembangunan pagar sekolah.2 Pembangunan RKB menyerap 17 persen dari alokasi kegiatan bidang pendidikan, sementara pembangunan pagar dan paving block halaman menyerap 13 persen dari total alokasi, sementara pembangunan fasilitas penunjang kegiatan belajar mengajar seperti laboratorium, perpustakaan, dll memiliki porsi alokasi yang sama dengan pengadaan alat penunjang pembelajaran, buku teks, dan komputer yaitu 8 persen. Pembangunan Unit Sekolah Baru hanya menyerap 7 persen dari total alokasi. Sisanya digunakan untuk pembangunan ruang kantor dan rumah dinas, rehabilitasi sekolah, bantuan biaya operasional dan kegiatan peningkatan mutu (seperti pelatihan tenaga pendidik, perlombaan mata pelajaran, dll).
2
Output kegiatan yang dibahas dalam bagian ini tidak termasuk program beasiswa anak yatim yang tidak dikontrakkan.
9
10
Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
Gambar 7. Jenis output Bidang Pendidikan, TA 2010 (% atas total output) 1% 5%
Pembangunan RKB
3%
5%
27%
6%
Pagar +Paving Block Pembangunan Fasilitas Penunjang KBM Meubelair
7%
Alat Penunjang Pembelajaran, Buku Teks, Komputer Pembangunan USB
8% 17% 8% 13%
Pembangunan Ruang Kantor & Rumah Dinas Lainnya
Sumber: Diolah dengan menggunakan data dari Pemerintah Aceh dan Kemenkeu.
Di bidang Kesehatan, 70 persen alokasi Otsus digunakan untuk program peningkatan pelayanan kesehatan, yang bagian terbesarnya digunakan untuk membiayai jaminan kesehatan Aceh. Program pembangunan dan peningkatan infrastruktur Puskesmas dan RS menyerap 20 persen berikutnya dari alokasi bidang kesehatan, sementara 10 persen yang selebihnya digunakan layanan medis, obat-obatan serta program promosi kesehatan masyarakat. Berdasarkan jenis output kegiatan yang dibiayai secara keseluruhan, bagian terbesar dari penggunaan Dana Otsus digunakan untuk membangun jalan dan jembatan (19%), pembangunan pagar menjadi salah satu output terbesar yang dibangun dengan jumlah alokasi anggaran sebesar Rp. 62 milyar. Alokasi besar lainnya digunakan untuk Bantuan Keuangan Pemakmue Gampong (BKPG) sebesar 12 persen, yang merupakan bantuan bagi masyarakat untuk membangun sarana dan prasarana kemasyarakatan skala kecil, Jaminan Kesehatan Aceh (9%), bangunan sekolah (7,1%), bangunan gedung non sekolah/kesehatan (11%). Jumlah yang dialokasikan untuk pembangunan pagar mencapai Rp. 62 milyar (2,4%), sehingga membuat pembangunan pagar menjadi salah satu dari 10 besar output dana otsus dengan jumlah alokasi yang hampir sama dengan jumlah alokasi bangunan kesehatan Rp. 65 milyar (2,5%). Agar pemanfaatan Dana Otsus dapat lebih optimal, perlu dipertimbangkan kembali beberapa hal: (i) keseimbangan alokasi antara bantuan langsung input produksi dengan penyediaan barang publik di sektor pertanian serta perbandingan efektivitas antara kedua program tersebut ; (ii) banyaknya kegiatan yang lebih bersifat keindahan lingkungan sekolah, seperti pagar dan paving block di sektor pendidikan dibandingkan dengan fasilitas penunjang kegiatan belajar mengajar seperti laboratorium; dan (iii) keseimbangan antara program yang bersifat kuratif dan preventif di sektor kesehatan.
10
Ringkasan Eksekutif
11
3.2. Alokasi Dana Otsus antar kabupaten/kota Alokasi untuk masing-masing kabupaten/kota secara relatif terhadap total Dana Otsus yang tersedia mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Setidaknya terdapat 7 kabupaten yang bagian alokasinya secara relatif mengalami rata-rata pertumbuhan yang negatif dibandingkan dengan tahun 2008 (lihat Tabel 3). Walaupun Qanun No. 2/2008 telah mengatur bahwa pembagian kepada masing-masing kabupaten/kota adalah mengikuti formula yang mempertimbangkan indikator seperti jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK), dan indikator lain yang relevan, namun mengingat data dasar untuk perhitungan alokasi tidak dipublikasikan sulit memastikan bahwa alokasi yang diterima oleh kabupaten/kota telah sesuai formula yang ditetapkan. Tabel 3. Bagian alokasi untuk masing-masing kabupaten/kota relatif terhadap total Dana Otsus 2008 (%)
2009 (%)
2010 (%)
2011 (%)
Simeulue
2,5
2,2
2,3
2,4
Rata-rata Pertumbuhan/Tahun (%) -0,1
Aceh Singkil
2,5
2,2
2,5
2,6
0,0
Aceh Selatan
3,3
2,8
3,1
3,1
-0,1
Aceh Tenggara
2,9
2,6
2,9
3,2
0,1
Aceh Timur
4,5
4,1
4,2
4,5
0,0
Aceh Tengah
3,2
2,7
3,0
3,0
-0,1
Aceh Barat
2,7
2,6
2,4
2,6
0,0
Aceh Besar
2,8
3,0
2,8
3,1
0,1
Pidie
2,6
2,7
2,9
3,0
0,1
Bireuen
2,6
3,0
2,6
2,8
0,1
Aceh Utara
2,9
3,4
3,3
3,1
0,1
Aceh Barat Daya
2,2
2,4
2,2
2,4
0,1
Gayo Lues
4,3
2,6
3,8
3,7
-0,2
Aceh Tamiang
2,7
2,8
2,6
2,4
-0,1
Nagan Raya
3,4
2,7
2,7
3,0
-0,1
Aceh Jaya
3,1
2,4
3,1
3,1
0,0
Bener Meriah
2,2
2,3
2,1
2,1
0,0
Pidie Jaya
1,6
2,2
1,8
1,9
0,1
Banda Aceh
1,5
2,5
1,5
1,6
0,0
Sabang
1,3
1,9
1,2
1,3
0,0
Langsa
1,8
2,2
1,6
1,7
0,0
Lhokseumawe
1,8
2,5
1,5
1,6
-0,1
Subulussalam Alokasi kab/kota Alokasi Provinsi
1,8 60,0 40,0
2,2 60,0 40,0
2,0 58,1 41,9
2,0 60,0 40,0
0,1
Kabupaten/Kota
Sumber: Diolah dengan menggunakan data dari Bappeda Aceh.
11
12
Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
Distribusi Alokasi Dana Otsus ke kabupaten/kota pada tahun 2010 memiliki korelasi yang kuat dengan luas wilayah yang dimiliki kabupaten/kota tersebut. Koefisien korelasi antara alokasi Otsus dengan luas wilayah mendekati angka satu (0,96) yang menunjukkan korelasi yang hampir sempurna, sementara korelasi antara alokasi Otsus dengan jumlah penduduk terlihat lebih lemah (0,4). Sehingga tidak mengherankan jika kota-kota yang umumnya memiliki luas wilayah yang lebih yang lebih sempit daripada kabupaten-kabupaten mendapatkan alokasi yang lebih sedikit. Korelasi dengan Indeks Pembangunan Manusia menunjukkan hubungan korelasi negatif dengan koefisien korelasi sebesar -0,5 yaitu bahwa kabupaten/kota yang IPMnya rendah cenderung mendapatkan alokasi yang lebih tinggi. Alokasi Otsus secara per kapita menunjukkan Tabel 4. Indeks Williamson Alokasi Dana Otsus tingkat pemerataan yang serupa dengan dan DAU, 2010 pemerataan alokasi DAU secara nasional, dan tidak Jenis Alokasi Nilai Indeks Williamson secara signifikan meningkatkan ketimpangan 0,649 sumber daya fiskal antar kabupaten/kota secara Otsus keseluruhan. Tingkat pemerataan fiskal antar daerah DAU Nasional 0,718 setelah menunjukkan kecenderungan yang hampir 0,443 sama dengan DAU. Indikator yang digunakan adalah APBK Indeks Williamson, yang pada dasarnya mengukur APBK+Otsus 0,468 tingkat variasi alokasi antar daerah relatif terhadap variasi dalam jumlah penduduk. Perhitungan Indeks Sumber: Hasil perhitungan. Williamson atas alokasi Dana Otsus tahun 2010 menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda dengan Indeks Williamson DAU secara nasional. Hasil perhitungan Indeks Williamson yang disajikan dalam Tabel 4 juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara angka indeks untuk penerimaan APBK tanpa alokasi Dana Otsus dengan apabila angka alokasi Otsus ditambahkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa alokasi Dana Otsus tidak secara signifikan memperbaiki atau memperburuk variasi sumber daya fiskal antar kabupaten/kota.
4. Penelusuran output proyek yang dibiayai Dana Otonomi Khusus TA 2010 Bagian ini akan membahas mengenai hasil survei penelusuran output dari proyek-proyek yang didanai oleh Dana Otsus. Tujuan dari survei ini adalah untuk mengkaji efektivitas output dari proyek-proyek yang didanai oleh Dana Otsus, khususnya untuk TA 2010, dalam hal fungsi, manfaat, dan keberlanjutannya. Survei ini dimaksudkan untuk menelusuri, mengobservasi, dan mengkaji proyekproyek yang didanai Dana Otsus di lapangan. Survei penelusuran output menunjukkan bahwa terdapat 26,5 persen dari output kegiatan TA 2010 yang dibiayai oleh Otsus yang belum berfungsi. Survei yang dilaksanakan terhadap sampel output proyek di sektor infrastruktur (jalan, jembatan, dan air bersih), pendidikan dan kesehatan menunjukkan terdapat 36 dari 136 output yang di survei yang belum berfungsi sebagaimana mestinya. Sektor kesehatan merupakan sektor yang memiliki proporsi output belum berfungsi tertinggi yaitu 16 dari 25 (64%), selanjutnya sektor infrastruktur jalan dan air bersih (25% atau 7 dari 24 output) dan sektor pendidikan memiliki proporsi output belum berfungsi mencapai 17 persen (15) dari 86 proyek yang
12
Ringkasan Eksekutif
13
belum berfungsi. Secara geografis, proporsi output belum berfungsi terbesar terdapat di Banda Aceh (7 dari 11 atau 64%), sementara di 4 kabupaten/kota lainnya yaitu Aceh Timur, Aceh Selatan, Gayo Lues, dan Subulussalam, jumlah proyek yang belum berfungsi mencapai 20 persen (Gayo Lues, Subulussalam), 25 persen (Aceh Timur), dan 28 persen (Aceh Selatan). Beberapa penyebab dari output yang belum difungsikan adalah: (1) Belum seluruh komponen output lengkap; (ii) tidak ada personil yang memfungsikan output tersebut. Tidak lengkapnya komponen output misalnya terjadi karena pembangunan sekolah belum disertai dengan meubelair, atau masih kekurangan beberapa ruangan yang dibutuhkan (ruang guru, akses jalan masuk, atau ruang kelas yang belum seluruhnya dibangun). Sementara dalam beberapa kasus seperti pembangunan pos kesehatan desa, personil yang seharusnya ditempatkan di lokasi tersebut belum tersedia atau tidak menempati lokasi tersebut. Berdasarkan pengamatan (observasi) visual terhadap kondisi proyek-proyek sampel dan pemeriksaan atas dokumen-dokumen proyek yang tersedia, secara umum terlihat rata-rata tingkat kesesuaian antara output dan dokumen proyek, baik dari sisi fisik maupun keuangan, berada di atas 97 persen. Perbandingan antara hasil observasi keuangan dan laporan realisasi menunjukkan persentase rata-rata tertinggi (98%), sementara perbandingan hasil observasi fisik dan dokumen kontrak memiliki persentase lebih rendah (97,85%). Lebih rendahya persentase kesesuaian antara observasi fisik atas output dengan dokumen kontrak disebabkan karena terjadinya perbedaan antara realisasi fisik dengan desain perencanaan yang termaktub dalam kontrak di beberapa proyek sampel (total 20 proyek atau 15%). Persentase rata-rata tingkat kesesuaian realisasi fisik dengan dokumen kontrak untuk proyek-proyek yang tidak mencapai realisasi fisik 100 persen berkisar antara 60-96 persen. Tingkat kepuasan penerima manfaat terhadap output proyek di lima kabupaten/kota sampel secara keseluruhan cukup bervariasi. Persepsi penerima manfaat terhadap manfaat proyek, tingkat fungsionalitas proyek, dan kesesuaian output proyek dengan peruntukan dan/atau kontrak, mempengaruhi hasil penilaian kepuasan penerima manfaat. Berdasarkan parameter tersebut, persentase proyek dengan kategori manfaat sangat dirasakan mencapai persentase tertinggi, yaitu 61 persen (83) proyek, diikuti oleh proyek dengan kategori manfaat dirasakan (29% atau 39 proyek), dan output proyek dengan kategori manfaat kurang dirasakan (10% atau 14 proyek). Dari seluruh sektor yang disurvei, sektor infrastruktur memiliki kategori manfaat kurang dirasakan dengan persentase tertinggi, yakni 25 persen (6) proyek. Rendahnya tingkat kepuasan penerima manfaat di sektor infrastruktur terutama disebabkan karena relatif besarnya penyusutan nilai manfaat beberapa proyek di sektor ini yang diakibatkan oleh keberadaan sejumlah proyek yang belum selesai dibangun (17% atau 4 proyek). Sementara sektor pendidikan memiliki persentase output proyek tertinggi yang digolongkan oleh penerima manfaat sebagai sangat dirasakan, yaitu 67 persen (58) proyek dari total 87 proyek sampel. Untuk output proyek dengan sedangkan sektor kesehatan memiliki persentase terendah, yaitu 4 persen (1) proyek. Sebagian besar output proyek masih belum memiliki anggaran yang jelas untuk pemeliharaannya. Untuk aset yang merupakan aset kabupaten/kota, hanya 28 output (28%) telah jelas alokasi anggaran
13
14
Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
pemeliharaanya, sementara 71 persen lainnya (101) belum diketahui sumber dana pemeliharaanya. Sementara untuk aset yang diakui sebagai aset provinsi, 5 proyek sudah diketahui sumber pendanaannya, sementara 2 lainnya belum diketahui sumber pendanaannya. Secara umum hasil survei penelusuran output menunjukkan bahwa output yang dibangun atas biaya Dana Otsus TA 2010 telah terwujud sesuai dengan yang direncanakan, namun survei tidak dapat mengukur efisiensi pelaksanaan proyek. 98 persen hasil observasi fisik lapangan atas 136 sampel menunjukkan kesesuaian dengan laporan realisasi fisik proyek, namun data tersebut belum dapat mengukur tingkat efisiensi penggunaan dana dalam hal apakah anggaran yang dikeluarkan telah sebanding dengan keluaran yang terwujud. Pengukuran efisiensi juga penting agar setiap rupiah anggaran yang dikeluarkan dapat dimanfaatkan secara optimal. Karena itu pengukuran melalui audit keuangan atau audit kinerja yang lebih bersifat mendalam daripada survei perlu dilakukan. Survei juga menemukan bahwa tingkat keberfungsian proyek mempengaruhi nilai manfaat yang dirasakan penerima manfaat, sehingga mungkin lebih baik menuntaskan keberfungsian proyek daripada membangun banyak proyek secara tidak tuntas.
14
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang dan tujuan studi Seiring dengan pemberlakuan status Otonomi Khusus, Aceh juga menerima alokasi dana khusus yang diperuntukkan untuk membiayai percepatan pembangunan di Aceh. Pemberlakuan Otonomi Khusus di Aceh diatur dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam konsiderans undang-undang tersebut disebutkan bahwa pemberian status Otonomi Khusus ini selain didasarkan pada pengakuan akan karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh, juga mempertimbangkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia. Tersirat dari pertimbangan tersebut bahwa penerimaan dana otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh dimaksudkan agar kebutuhan khusus pembangunan Aceh dapat dipenuhi, terutama ketertinggalan pembangunan yang disebabkan konflik dan pembagian penerimaan sumber daya alam yang timpang di masa lalu. Gambar 1.1. Angka kemiskinan provinsi di Indonesia, 2008
23.53 15.42
40 35 30 25 20 15 10 5 0
Papua Irian Jaya Barat Maluku Nusa Tenggara Timur Gorontalo Nusa Tenggara Barat Aceh Lampung Sulawesi Tengah Bengkulu Sulawesi Tenggara Jawa Tengah Jawa Timur DI Yogyakarta Sumatera Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Selatan Jawa Barat Sumatera Utara Maluku Utara Kalimantan Barat Sumatera Barat Riau Sulawesi Utara Kalimantan Timur Jambi Kepulauan Riau Kalimantan Tengah Bangka Belitung Banten Kalimantan Selatan Bali DKI Jakarta
40 35 30 25 20 15 10 5 0
Sumber: Badan Pusat Statistik.
Kondisi beberapa indikator sosial ekonomi Aceh pada saat dimulainya alokasi dana otonomi khusus menunjukkan bahwa Aceh masih tertinggal dibandingkan dengan beberapa daerah lain di Indonesia. Pada tahun 2008, Aceh merupakan provinsi yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi kelima di Indonesia (setelah Papua, Papua Barat, Maluku, dan NTT) dengan proporsi penduduk miskin sebesar 23,55 persen, diatas angka nasional yang berada pada tingkat 15,42 persen. Sementara, Indeks Pembangunan Manusia Aceh menempati urutan ke 17 dari 33 propinsi (nomor 2 terendah di Sumatera setelah Lampung) dan angkanya berada dibawah angka nasional. Dalam bidang infrastruktur, tingkat ketersediaan jalan di Aceh yaitu 0,33 per km2 luas wilayah (untuk seluruh jenis jalan mencakup jalan
15
Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
16
negara, provinsi dan kabupaten) berada pada urutan ke 16 dari 33 provinsi. Walaupun demikian, Aceh cukup unggul untuk indikator-indikator sektor pendidikan dimana Angka Partisipasi Sekolah Murni (APM) Aceh adalah merupakan yang tertinggi di Indonesia baik di tingkat sekolah dasar, menengah maupun menengah atas. Gambar 1.2. Indeks Pembangunan Manusia provinsi di Indonesia, 2008
78 76 74 72 70 68 66 64 62 60
DKI Jakarta Sulawesi Utara Riau Yogyakarta Kalimantan Timur Kepulauan Riau Kalimantan Tengah Sumatera Utara Sumatera Barat Bangka Belitung Bengkulu Sumatera Selatan Jambi Jawa Tengah Indonesia Jawa Barat Bali Aceh Jawa Timur Maluku Lampung Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Banten Gorontalo Sulawesi Tenggara Kalimantan Selatan Sulawesi Barat Maluku Utara Kalimantan Barat Papua Barat Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Papua
70.76
Sumber: Badan Pusat Statistik.
Alokasi dana otonomi khusus yang diproyeksikan akan mencapai lebih dari Rp. 100 trilyun sampai dengan tahun 2027 telah meningkatkan kapasitas fiskal Aceh secara signifikan. Penerimaan Dana Otonomi Khusus untuk Aceh yang dimulai sejak 2008 dengan besaran 2 (dua) persen dari total Dana Alokasi Umum (DAU) nasional selama 15 (lima belas) tahun dan satu persen selama lima tahun berikutnya sampai dengan tahun 2027 diproyeksikan secara total akan berjumlah sebesar Rp. 100 trilyun3. Dana Otonomi Khusus menjadi sumber penerimaan publik terbesar Aceh dengan porsi mencapai 62 persen dari anggaran propinsi di tahun 2010, atau sekitar 25 persen dari total anggaran publik di Aceh (provinsi dan kabupaten/kota). Dana Otsus telah menjadi sumber penerimaan publik terbesar diluar Dana Alokasi Umum. Keberadaan Dana Otsus memiliki peran menggantikan dana bagi hasil Migas yang jumlahnya terus menurun semenjak 2008 seiring dengan semakin berkurangnya produksi migas yang dihasilkan Aceh. Transformasi sumber daya fiskal yang besar tersebut menjadi hasil nyata pembangunan sangat tergantung kepada pola pemanfaatan sumber daya tersebut. Aceh memiliki kesempatan yang besar untuk melakukan lompatan transformasi pembangunan dengan sumber daya fiskal yang sekarang ini tersedia. Namun, transformasi tersebut dapat terealisasi hanya jika sumber daya tersebut digunakan secara efektif. Sebagai salah satu sumber fiskal yang signifikan bagi Pemerintah Aceh namun penyalurannya memiliki batas waktu tertentu diharapkan program-program yang dibiayai Dana Otsus mampu menghasilkan kemandirian fiskal daerah setelah berakhirnya masa pemberian Dana Otsus pada 3
16
Berdasarkan asumsi rata-rata pertumbuhan alokasi sebesar 5 persen per tahun.
Bab 1 Pendahuluan
17
tahun 202, serta memiliki nilai strategis untuk meningkatkan pelayanan publik, percepatan pembangunan, dan penguatan perekonomian. Dalam hal pelayanan publik orientasi program yang dibiayai Dana Otonomi Khusus diharapkan mampu meningkatkan kualitas infrastruktur utama, serta peningkatan layanan yang berdampak pada peningkatan mutu modal manusia Aceh. Kajian ini berupaya untuk meninjau pemanfaatan dan tata kelola Dana Otsus. Sebuah kajian yang komprehensif di masa awal periode pemanfaatan Dana Otsus diharapkan akan memberikan masukan bagi perbaikan pemanfaatan dana Otsus. Sampai dengan saat ini dimana pemberian dana Otsus telah memasuki tahun keempat dan penerimaan dana Otsus telah mencapai Rp. 16 trilyun atau 16 persen dari proyeksi total penerimaan Dana Otsus yang akan diterima belum ada suatu studi komprehensif yang dilakukan untuk meninjau pemanfaatan dan tata kelola Dana Otsus. Informasi yang dimiliki oleh Pemerintah Aceh dan pemerintah pusat saat ini hanya bersumber pada evaluasi dan pengawasan Dana Otsus yang bersifat ad hoc dan parsial. Dengan adanya kajian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat bagi perbaikan pelaksanaan Dana Otsus yang lebih efektif, baik dari segi alokasi, maupun manajemennya. Paling tidak terdapat dua aspek yang perlu dikaji agar pemanfaatan dapat berjalan efektif, yaitu, pertama aspek tata kelola dana Otsus dari mulai perencanaan, penganggaran, pelaksanaan anggaran sampai dengan pengawasan, monitoring dan evaluasi. Aspek tata kelola ini perlu dikaji untuk melihat apakah pola tata kelola Otsus telah menunjang pelaksanaan yang efektif; sementara aspek kedua yang perlu dikaji adalah aspek pola alokasi dan keluaran untuk melihat apakah program dan kegiatan yang dibiayai Otsus telah mengarah kepada pemanfaatan yang efektif.
1.2 Metodologi Dalam mengkaji pemanfaatan dan tata kelola Dana Otsus, kajian ini mengkombinasikan analisis terhadap dokumen dan data sekunder, Focus Group Discussion (FGD), dan survei lapangan untuk menelusuri output (keluaran) dari proyek yang dibiayai dana Otsus pada tahun 2010. Untuk melihat aspek tatakelola Dana Otsus, dilakukan studi kualitatif terhadap berbagai aspek tata kelola Dana Otsus. Tatakelola yang dimaksud dimulai dari berbagai hierarki peraturan dan perundang-undangan yang mengatur Dana Otsus, transfer Dana Otsus dari pemerintah pusat kepada Pemerintah Aceh selanjutnya kepada pemerintah kabupaten/kota, hingga proses perencanaan, penganggaran implementasi dan evaluasi. Pengkajian ini dilakukan untuk memberikan gambaran tentang aspek tata kelola Dana Otsus dan mengidentifikasi berbagai persoalan (bottlenecks) yang berpotensi mengganggu kinerja pemanfaatan Dana Otsus. Hambatan birokrasi dan teknis dipetakan dengan seksama dan dibahas secara komprehensif untuk mendiagnosis kendala-kendala teknis dan birokratis agar studi dapat memberikan rekomendasi yang komprehensif dan aplikatif. Pengkajian tentang aspek pemanfaatan dilakukan untuk melihat komposisi alokasi program dan output yang dibiayai dana Otsus serta perimbangan dalam alokasi antar daerah. Kajian pemanfaaatan dilakukan dengan menelaah pola alokasi Dana Otsus berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari Pemerintah Aceh. Telaah dilakukan terhadap beberapa tolok ukur yaitu: (i) apakah komposisi program telah mengikuti prioritas seperti diatur dalam UU PA yaitu untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, pengadaan,
17
18
Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
pendidikan, sosial dan kesehatan; (ii) apakah pola alokasi telah mengarah pada tercapainya kemandirian fiskal, peningkatan mutu modal manusia, dan peningkatan kapasitas ekonomi; (iii) apakah pola alokasi antar daerah telah menunjang pemerataan fiskal antar daerah. Selain itu akan dicoba dilakukan pengukuran perkembangan atau perubahan alokasi belanja langsung dan belanja tidak langsung dalam APBK dengan harapan selama masa waktu tersebut, penganggaran pemerintah kabupaten/kota menjadi lebih baik. Hal ini ditandai dengan kecenderungan meningkatnya belanja langsung yang alokasinya lebih diutamakan untuk sektor-sektor utama seperti pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial lainnya. Walaupun studi ini tidak mengukur dampak pelaksanaan Otsus mengingat dalam 3 tahun pelaksanaan mungkin dampak belum dapat diobservasi, kajian ini juga mengkaji berbagai perubahan indikator pembangunan baik mikro maupun makro selama kurun waktu 2008- 2010. Hal ini dilakukan dengan harapan ditemukannya suatu pola yang konklusif terhadap kecenderungan kemampuan pemanfaatan Dana Otsus dalam mempengaruhi indikator-indikator tersebut. Hasil dari analisis data sekunder tersebut dikombinasikan dengan hasil survei penelusuran Output kegiatan yang dibiayai dana Otsus dan FGD terhadap aspek tata kelola di beberapa kabupaten sampel. Survei penelusuran output dimaksudkan untuk menelusuri, mengobservasi, dan mengkaji proyek-proyek yang didanai dana otonomi khusus di lapangan. Survei difokuskan pada tiga sektor prioritas yang disebutkan dalam UUPA, yaitu: I) Infrastruktur (jalan dan jembatan); II) Pendidikan; dan III) Kesehatan. Hasil dari survei berupa data mengenai efektivitas output dari proyek-proyek yang didanai oleh Dana Otsus, khususnya untuk TA 2010, dalam hal fungsi, manfaat, dan keberlanjutannya. Survei dilaksanakan di 3 Kabupaten (Gayo Lues, Aceh Timur, dan Aceh Selatan) dan 2 kota di Aceh (Banda Aceh dan Subulussalam) terhadap 136 proyek yang merupakan 43 persen dari proyek fisik untuk ketiga sektor yang disurvei. Kabupaten/kota tempat dilangsungkannya survei dipilih dengan mempertimbangkan karakteristik geografis yaitu kabupaten wilayah pantai timur, pantai barat, wilayah pegunungan, dan wilayah perkotaan serta dengan memperhitungkan besarnya alokasi Dana Otonomi Khusus pada tahun 2010. Sementara untuk melengkapi informasi mengenai tata kelola Otsus dilakukan FGD di kabupaten/kota tersebut yang melibatkan pihak-pihak yang terkait langsung dengan pengelolaan Dana Otsus di tingkat kabupaten/kota. Hal ini dilakukan untuk menggali dan mendalami berbagai permasalahan yang dihadapi selama mengelola Dana Otsus, mendapatkan informasi tentang tata kelola Dana Otsus, dan memahami pemanfaatan Dana Otsus baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Beberapa batasan dari kajian ini, antara lain, adalah: kajian ini tidak dimaksudkan untuk mengukur dampak Otsus, serta tidak mengukur efisiensi dalam penggunaan sumber daya. Seperti diungkapkan diatas, alokasi dana otonomi khusus mungkin memerlukan waktu beberapa tahun sampai dampaknya dapat diukur dengan persis. Alokasi dana publik untuk infrastruktur mungkin belum dapat dilihat dampaknya kepada peningkatan kapasitas ekonomi dalam jangka waktu pendek, demikian pula dengan investasi di bidang pendidikan dan kesehatan. Di lain pihak, kajian ini juga tidak mengukur tingkat efisiensi penggunaan dana dalam hal apakah anggaran yang dikeluarkan telah sebanding dengan keluaran yang terwujud. Pengukuran efisiensi juga penting agar setiap rupiah anggaran yang dikeluarkan dapat dimanfaatkan secara optimal. Pengukuran efisiensi memerlukan audit keuangan atau audit kinerja yang lebih bersifat mendalam sementara hal tersebut bukan merupakan mandat dari tim pengkaji.
18
Bab 1 Pendahuluan
19
1.3 Susunan laporan Laporan ini disusun dalam empat bab. Bab Satu berupa pendahuluan yang berisikan latar belakang serta pendekatan yang digunakan dalam melakukan kajian. Bab Dua, akan membahas mengenai tata kelola dana otonomi khusus serta mengidentifikasi aspek-aspek tata kelola yang perlu diperbaiki agar Otsus dapat dimanfaatkan secara lebih efektif. Bab Tiga, membahas mengenai gambaran umum pemanfaatan Dana Otonomi Khusus dimulai dari pola alokasi antar daerah, dilanjutkan dengan pola alokasi antar program/sektor serta pola output yang dibiayai dana Otsus, akan dibahas pula perkembangan komposisi pengeluaran publik di Aceh setelah adanya Otsus dan perkembangan indikator ekonomi di Aceh pasca Otsus. Bab Empat akan berfokus pada hasil survei penelusuran output kegiatan yang dibiayai dana otonomi khusus untuk melihat apakah output yang dihasilkan berfungsi secara efektif dan berkelanjutan.
19
BAB 2 GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS 2.1 Gambaran mekanisme penyaluran dan pencairan Dana Otsus oleh pemerintah pusat Dana Otonomi Khusus merupakan bagian dari dana transfer daerah yang pengalokasian dan penyalurannya dilaksanakan oleh Menteri Keuangan selaku pengguna anggaran transfer ke daerah. Sesuai dengan amanat UU Pemerintaan Aceh (UU No. 11/2006), dana otonomi khusus diberikan sebagai persentase dari dana alokasi umum, yaitu 2 persen untuk 15 tahun pertama dan 1 persen untuk 5 tahun berikutnya. Karena itu, dana tersebut menjadi bagian dari anggaran transfer daerah dengan Menteri Keuangan sebagai pengguna anggaran dan Dirjen Perimbangan Keuangan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Mekanisme penyaluran/tata cara transfer diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang diterbitkan setiap tahunnya. Salah satu hal yang diatur dalam PMK tersebut adalah tahapan dan waktu penyaluran. Pada tahun anggaran 2008 sampai dengan 2010, tahapan penyaluran dilaksanakan selama 4 tahap, yaitu: (i) Tahap I dilaksanakan pada bulan Maret sebesar 15 persen dari alokasi; (ii) Tahap II dilaksanakan pada bulan Juni sebesar 30 persen dari alokasi; (iii) Tahap III dilaksanakan pada Bulan September sebesar 40 persen dari alokasi; (iv) Tahap IV dilaksanakan pada bulan November sebesar 15 persen dari alokasi. Semenjak TA 2011, penyaluran disederhanakan hanya menjadi 3 tahap yaitu: (i) Tahap I dilaksanakan pada bulan Maret sebesar 30 persen dari alokasi; (ii) Tahap II dilaksanakan pada bulan Juli sebesar 45 persen dari alokasi; (iii Tahap III dilaksanakan pada Bulan Oktober sebesar 25 persen dari alokasi. Transfer dilakukan ke rekening kas umum pemerintah Aceh selaku pengelola administrasi dana otonomi khusus. Penyaluran tahap II dan seterusnya dilaksanakan setelah mendapatkan pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri. Lampiran 1 bab ini menguraikan secara lebih rinci langkah-langkah penyaluran dana otonomi khusus dari pemerintah pusat ke pemerintah Aceh. Penyaluran Dana Otonomi Khusus dari pemerintah pusat ke Pemerintah Aceh pada tahun anggaran 2008 sampai dengan 2010 mengalami keterlambatan selama kurang lebih 1 -2 bulan, namun mengingat penetapan APBA yang juga terlambat, hal tersebut tampaknya tidak sampai mengganggu pelaksanaan anggaran. Seperti terlihat dalam Gambar 2.1a. dan 2.1b. dibawah ini, penyaluran dana Otsus umumnya lebih lambat 1 sampai dengan 2 bulan dari ketentuan normatif dalam PMK, Dilain pihak, penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) dimana program-program pembangunan yang dibiayai oleh dana otonomi khusus dianggarkan pun umumnya baru disahkan paling cepat pada awal triwulan II, sehingga pelaksanaan anggaran paling cepat baru dimulai pada akhir triwulan II, dengan demikian sejauh ini keterlambatan penyaluran dari pusat diperkirakan belum sampai mengganggu pelaksanaan kegiatan. Sebagai langkah koreksi atas keterlambatan ini dan untuk mencegah gangguan atas pelaksanaan kegiatan, mulai tahun
20
Bab 2 Gambaran Umum Pengelolaan Dana Otonomi Khusus
21
anggaran 2011, Kementerian Keuangan menyederhanakan tahapan pencairan menjadi tiga tahapan seperti telah diuraikan diatas Gambar 2.1a. Penyaluran Dana Otsus PMK vs Gambar 2.1b. Penyaluran Dana Otsus PMK vs realisasi, 2009 realisasi, 2010 50%
30%
30%
30% 15%
15%
15% 15%
10%
20%
15%
30%
15%
15%
15%
10%
0%
2009_PMK
2009_Realisasi
2010_PMK
Oktober
September
Agustus
Juli
Juni
Mei
April
Desember
Nopember
Oktober
September
Agustus
Juli
Juni
Mei
April
Maret
0%
Maret
20%
40%40%
40%
30%
Desember
30%
50%
40%
Nopember
40%
40%
2010_Realisasi
Sumber: Database Ditjen Perimbangan Keuangan.
2.2 Gambaran perencanaan dan penganggaran Dana Otonomi Khusus Perencanaan dan Penganggaran Dana Otsus diatur dalam Qanun No. 2 Tahun 2008. Dalam qanun yang juga mengatur tentang pelaksanaan Dana Otsus secara garis besar diatur bahwa Dana Otsus dibagi ke dalam alokasi propinsi dan alokasi kabupaten/kota, namun penganggarannya dilaksanakan dalam anggaran pemerintah provinsi. Perencanaan Dana Otsus untuk alokasi provinsi dilakukan oleh Satuan Kerja Provinsi/SKPA yang didiskusikan secara intensif dengan bupati/walikota, sementara alokasi untuk kabupaten/kota tidak diberikan dalam bentuk dana tunai yang ditransfer, akan tetapi diberikan dalam bentuk pagu yang setiap tahun ditetapkan oleh gubernur setelah mendapat persetujuan Pimpinan DPRA. Pagu untuk alokasi provinsi ditetapkan maksimal sebanyak 40 persen sementara pagu untuk alokasi kabupaten/kota maksimal sebanyak 60 persen. Alokasi untuk masing-masing kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan formula dengan menggunakan beberapa indikator seperti jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) dan indikator lainnya yang relevan. Rincian substansi Qanun No. 2/2008 yang mengatur tentang perencanaan Dana Otsus dapat dilihat pada Lampiran 2 bab ini. Secara normatif usulan program dan kegiatan pembangunan yang diajukan SKPA dan kabupaten/kota harus merujuk pada dokumen rencana pembangunan. Dokumen yang disebutkan dalam Qanun No. 2/2008 adalah RPJP Aceh dan kabupaten/kota, RPJM provinsi dan RPJM kabupaten/kota, serta Rencana Kerja Pemerintah Aceh (RKPA) dan RKPK. Dalam perkembangannya, pemerintah Aceh juga sedang menyusun rencana induk ( master plan)
21
Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
22
penggunaan dana otonomi khusus sebagai dokumen perencanaan yang khusus ditujukan untuk kegiatan yang dibiayai dana otonomi khusus. Namun, berdasarkan hasil FGD di kabupaten/kota ditemukan bahwa dokumen perencanaan seringkali tidak diacu dalam pengusulan maupun pemilihan kegiatan yang akan dibiayai oleh dana otonomi khusus. Hasil FGD menunjukkan bahwa RPJM tidak banyak diacu dalam pengusulan program, sementara itu rencana induk (masterplan) penggunaan Dana Otsus juga belum tersedia sehingga belum bisa dijadikan acuan. Walaupun terdapat keluhan bahwa usulan dari kabupaten/kota sering mengalami perubahan baik dalam hal jenis maupun bentuk kegiatan, namun secara umum, hasil survei lapangan menunjukkan bahwa kegiatan yang dibiayai oleh dana Otsus umumnya berasal dari usulan kabupaten/kota. Survei terhadap 136 proyek di 3 kabupaten dan 2 kota menunjukkan bahwa 52 persen usulan kegiatan berasal dari pihak eksekutif kabupaten/kota (Dinas dan Kepala Daerah), 30 persen merupakan usulan dari calon penerima manfaat (seperti sekolah dan rumah sakit), masingmasing 5 persen berasal dari tokoh masyarakat dan anggota DPRK, dan hanya 6 persen yang berasal dari proses perencanaan melalui Musrenbang. Ketiadaan kriteria tentang pemilihan kegiatan dan belum adanya dokumen perencanaan yang ditetapkan sebagai acuan menyebabkan kegiatan yang dipilih menjadi terfragmentasi dan cenderung kurang stratejik. Kegiatan yang dibiayai oleh dana Otsus ditandai dengan masih banyaknya kegiatan berskala kecil (<100 juta). Jumlah kegiatan berskala kecil yang terlalu banyak, berpotensi menyulitkan manajemen dan supervisi. Pada tahun anggaran 2010, terdapat 2.798 kegiatan yang nilai kontraknya dibawah 100 juta, jumlah ini merupakan kurang lebih 53 persen dari total jumlah kegiatan yaitu sejumlah 5.313 kegiatan/proyek. Jika digabungkan dengan kegiatan bernilai dibawah 500 juta, jumlahnya akan mencapai 4.303 atau 81 persen dari total kegiatan. Salah satu dari 10 besar output dana otsus di tahun 2010 adalah pembangunan pagar dengan jumlah alokasi sebesar Rp. 62 milyar. Walaupun, tentu saja pembangunan pagar penting dan bermanfaat bagi penggunanya, namun nilai stratejiknya tidak terlalu besar. Persoalan lain yang timbul dari ketiadaan kriteria yang jelas ini adalah terjadinya beberapa kasus politisasi pemilihan kegiatan yang timbul karena usulan kegiatan dari kabupaten/kota harus disepakati bersama oleh Pemerintah daerah dan DPRK4 Prosedur penganggaran sisa pagu alokasi kabupaten/kota yang tidak terealisasi masih belum jelas. Pada tahun anggaran 2010, besar perbandingan antara nilai kontrak dengan nilai pagu anggaran5 adalah 93,8 persen atau terdapat sekitar 6,2 persen pagu anggaran yang tidak terpakai. Dari proporsi tersebut, rasio pagu alokasi kabupaten yang tidak terealisasi menjadi kontrak adalah 8 persen. Karena kegiatankegiatan tersebut dianggarkan dalam APBA maka sisa pagu tersebut kembali menjadi bagian dari penerimaan provinsi. Hal tersebut menyebabkan realisasi alokasi Otsus yang diterima kabupaten/kota menjadi lebih sedikit dari yang seharusnya. Kondisi tersebut menimbulkan usulan dari beberapa kabupaten/kota agar mekanisme penganggaran Dana Otsus untuk bagian alokasi kabupaten/kota dilaksanakan melalui mekanisme transfer. Meskipun UU PA mengatur bahwa Dana Otsus pengelolaanya diadministrasikan pada pemerintah Provinsi Aceh 4 5
22
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu SKPA. Sumber Data: Biro Administrasi Pembangunan, Setda Aceh.
Bab 2 Gambaran Umum Pengelolaan Dana Otonomi Khusus
23
sehingga transfer dari pusat harus dianggarkan dalam APBA, namun mekanisme transfer dimungkinkan untuk dilakukan dari provinsi ke kabupaten/kota. Terdapat kekuatan dan kelemahan dari digunakannya mekanisme transfer seperti diuraikan dalam Tabel 2.1. dibawah ini. Tabel 2.1. Kekuatan dan kelemahan penggunaan mekanisme transfer dari provinsi dalam penganggaran bagian alokasi kabupaten/kota Kekuatan
Kelemahan
Kabupaten/kota dapat menerima bagian alokasinya secara utuh, termasuk sisa lebih penggunaan anggaran
Menambah rantai proses penganggaran (dianggarkan di APBA sebagai belanja transfer, kemudian dianggarkan sebagai belanja kegiatan di APBK) yang berpotensi memperlambat pelaksanaan
Beban kerja SKPA dalam mengawasi dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan Otsus bagian alokasi kabupaten/kota menjadi berkurang
Kehilangan koherensi dalam perencanaan karena pihak kabupaten/kota tidak mempertimbangkan kepentingan stratejik antar daerah dalam pemilihan kegiatan
Mekanisme akuntabilitas pekerjaan dan pertanggungjawaban menjadi jelas (PA di SKPK menjadi sepenuhnya bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pekerjaan termasuk tindak lanjut pemeriksaan)
Jikapun mekanisme transfer yang hendak dipilih terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan agar pelaksanaanya dapat berjalan efektif, yaitu: (i) transfer hanya bisa dilaksanakan jika telah tersedia acuan pemilihan kegiatan dalam bentuk rencana induk penggunaan Dana Otsus, disertai kriteria yang jelas mengenai jenis kegiatan yang dapat dibiayai oleh Dana Otsus; (ii) provinsi memiliki kewenangan untuk menyetujui kegiatan yang dapat dibiayai dana Otsus untuk menjaga koherensi program dan sinkronisasi dengan rencana jangka panjang pemanfaatan Otsus; (iii) fungsi monitoring dan evaluasi provinsi perlu diperkuat dengan kewenangan untuk memberikan sanksi seperti menunda penyaluran dana jika ditemukan penggeseran kegiatan dari yang sebelumnya telah disepakati; (iv) penganggaran transfer pada APBK dilakukan setelah mendapatkan provinsi memberikan pagu indikatif di awal tahun anggaran untuk mencegah terhambatnya proses penganggaran, jika penganggaran dilakukan setelah terdapat keputusan alokasi dalam APBA. Beberapa masalah lain yang lebih bersifat teknis juga mengemuka dalam kaitan perencanaan dan penganggaran dana Otsus. Berdasarkan hasil FGD dan wawancara baik dengan SKPA maupun SKPK beberapa persoalan dapat diidentifikasi dalam kaitan dengan perencanaan dana otonomi khusus. Beberapa dari masalah yang mengemuka adalah: (i) pengusulan program pembangunan fisik tidak selalu disertai dengan dokumen teknis perencanaan yang dibutuhkan; (ii) kabupaten/kota menyebutkan masih terjadinya revisi maupun perubahan, jenis dan bentuk kegiatan, termasuk pagu anggarannya tanpa melalui konsultasi dengan SKPK ; (iii) ketiadaan anggaran penunjang operasional di kabupaten/kota karena Dana Otsus tidak diperkenankan untuk administrasi kegiatan, sementara APBK sering tidak bisa menganggarkan karena umumnya alokasi anggaran APBK telah ditetapkan sebelum informasi pasti mengenai penetapan kegiatan yang dibiayai Otsus diketahui.
23
24
Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
2.3 Gambaran pelaksanaan anggaran Dana Otonomi Khusus Pelaksanaan Anggaran Dana Otonomi Khusus pada Tahun Anggaran 2008 dan 2009 sepenuhnya dilaksanakan oleh Satuan Kerja Tingkat Provinsi (SKPA). Pada tahun-tahun awal pelaksanaan Dana Otsus, pelaksanaan anggaran baik yang menjadi alokasi provinsi maupun alokasi Kabupaten/Kota sepenuhnya dilaksanakan oleh SKPA. Kewenangan Kabupaten/Kota terbatas pada pengusulan kegiatan, sementara pengguna anggaran dan pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK) berada di Satuan Kerja Tingkat Propinsi. Dengan demikian, kewenangan untuk pelaksanaan kegiatan dari mulai pengadaan barang dan jasa sampai ke pengawasan pekerjaan dan persetujuan pembayaran berada pada SKPA. Kondisi ini menimbulkan rentang kendali (span of control) pelaksanaan kegiatan menjadi sangat luas, apalagi mengingat jumlah kegiatan yang dilaksanakan yang tidak sedikit. Hal ini mengakibatkan kualitas pelaksanaan anggaran menjadi menurun, ditandai dengan tingkat penyelesaian proyek yang rendah dan adanya proyek-proyek yang terbengkalai seperti diilustrasikan dalam Kotak 1 berikut ini. Kotak 2.1. Temuan Tim Monitoring dan Evaluasi: Banyak Proyek Otsus 2009 belum dikerjakan TAKENGON – Tim Terpadu Monitoring dan Evaluasi (Monev) APBA 2009 yang diturunkan Bappeda Aceh ke kabupaten/kota, Selasa (20/10), menemukan keterlambatan pelaksanaan berbagai proyek fisik dan nonfisik yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus (Otsus). Bahkan ada proyek yang hingga minggu ketiga bulan Oktober ini, belum dikerjakan. Kepala Bappeda Aceh Prof Dr Munirwansyah MSc mengatakan, jika dibiarkan, kondisi ini bisa menghambat pencairan Dana Otsus Aceh 2009 ke Jakarta. “Sebab pencairan Dana Otsus 2009 Aceh senilai Rp. 3,7 trilyun dari Depkeu, berdasarkan daya serap Dana Otsus kabupaten/kota dan provinsi pada tahun berjalan,” ujar Munirwansyah kepada Serambi, usai meninjau lokasi proyek fisik yang dibiayai melalui sumber dana Otsus di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah. Dua staf Bappeda Aceh yang menjadi anggota Tim Monev, Salahuddin dan Muslim menyebutkan contoh kasus pada proyek pembangunan Gedung Olah Raga (GOR) di Kabupaten Bener Meriah senilai Rp. 4,7 milyar. Sampai Selasa kemarin, pekerjaan proyek ini belum dilakukan, sementara sisa masa kerja tahun anggaran 2009 tinggal 60 hari lagi. Kecuali itu, ungkap Muslim dan Salahuddin, masih banyak proyek fisik lainnya yang pembiayaannya bersumber dari Dana Otsus terlambat dikerjakan. Antara lain, pembangunan gudang peralatan kesehatan Rumah Sakit Umum (RSU) Bener Meriah dengan nilai kontrak Rp. 756 juta, realisasi fisiknya baru 7 persen. Masih di lokasi yang sama, pembangunan gudang gizi dengan nilai kontrak Rp. 860 juta, realisasi fisik proyeknya sedikit lebih baik telah mencapai 25 persen, dan pembangunan ruang rawat inap yang bersumber dari APBN dengan nilai kontrak Rp. 694 juta, realisasi fisiknya masih rendah baru 10 persen. Untuk bidang infrastruktur, di antaranya proyek penurunan ketinggian badan jalan Bale Atu-Totor Besi, hasilnya juga belum menggembirkan. Pagu anggaran Rp. 2,8 milyar, realisasi fisik proyeknya sampai kini baru di bawah 5 persen, atau dari progres proyeknya bulan ini telah minus 40 persen lebih. Hal ini disebabkan, pekerjaannya lapangannya baru dilakukan tiga hari lalu. Kondisi hampir sama juga terjadi pada proyek pelebaran badan jalan Pondok Baru-Samar Kilang senilai Rp. 2,5 milyar. Realisasi fisik proyeknya juga masih rendah, faktornya sama akibat terlambat dan baru dikerjakan pada bulan ini. Juga pada proyek jalan multi years, Simpang Tritit-Pondok Baru dengan pagu Rp. 15 milyar. Realisasi fisik proyeknya barunya, masih di bawah 50 persen, padahal proyeknya telah dikontrakkan November 2008 lalu.
Sumber: Diringkas dari Harian Serambi Indonesia, 22 Oktober 2009.
24
Bab 2 Gambaran Umum Pengelolaan Dana Otonomi Khusus
25
Semenjak Tahun Anggaran 2010, pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenangan yang lebih besar dalam pelaksanaan anggaran. Berbeda dengan tahun anggaran sebelumnya, walaupun masih dianggarkan dalam APBA, pelaksanaan anggaran dana Otsus hampir seluruhnya diserahkan kepada kabupaten/kota. Satuan Kerja tingkat kabupaten/kota (SKPK) menjadi Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) berada di SKPK. Dengan demikian, kewenangan kabupaten/kota diperluas menjadi meliputi kewenangan pengadaan barang dan jasa (provinsi hanya menetapkan pemenang), pengawasan pekerjaan, termasuk menentukan apakah pekerjaan sudah bisa dibayar, sementara provinsi masih memiliki kewenangan dalam menyetujui pemilihan kegiatan, mengesahkan pemenang pengadaan barang dan jasa, melakukan pembayaran dan dan melakukan pemeriksaan setelah selesainya proyek oleh inspektorat. Walaupun tidak terdapat data yang memperbandingkan pelaksanaan tahun anggaran 2010 dengan tahun anggaran sebelumnya, namun hasil yang terlihat di lapangan dari perubahan kebijakan tersebut adalah lebih tingginya tingkat penyelesaian proyek. Sempitnya waktu pelaksanaan oleh karena keterlambatan pengesahan APBA menjadi hal lain yang dikeluhkan dalam aspek pelaksanaan anggaran. Mengingat kegiatan yang dibiayai dana Otsus dianggarkan dalam APBA, maka pelaksanaannya tergantung kepada pengesahan APBA. Untuk tahun anggaran 2008, dan 2011, APBA disahkan cukup terlambat, yaitu ketika sudah memasuki triwulan ke II tahun anggaran, setelah ditambah dengan proses selanjutnya untuk penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran dan penyusunan organisasi proyek, dan pengadaan, menyisakan waktu pelaksanaan hanya sekitar 4 bulan. Di beberapa daerah pelaksanaan Otsus juga diperlambat dengan adanya pengadaan terpusat oleh satu panitia.
2.3.1 Gambaran mekanisme pengawasan, pemeriksaan, monitoring dan evaluasi Dana Otsus Pengawasan pelaksanaan Otonomi khusus secara garis besar dilaksanakan oleh aparat pengawas dalam konteks pengawasan fungsional, DPRA dalam konteks pengawasan umum dan oleh Pengguna Anggaran dan/atau konsultan pengawas yang ditunjuk oleh Pengguna Anggaran. Ketentuan mengenai mekanisme pengawasan ini diatur dalam dalam Pasal 16 Peraturan Gubernur No. 48/2009 dimana disebutkan bahwa: (i) untuk alokasi provinsi, Kepala SKPA selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang bertanggung jawab terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program dan kegiatan yang didanai oleh Dana Otsus kepada Gubernur Aceh; (ii) Untuk alokasi kabupaten/kota, Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Barang SKPK bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan yang didanai oleh Dana Otsus kepada Kepala SKPA selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang melalui bupati/walikota; (iii) Dalam rangka pengendalian terhadap pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Barang SKPA, Kepala SKPA selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang dapat melakukan Rapat Koordinasi dan Evaluasi sekurang-kurangnya 3 bulan sekali untuk mengetahui kemajuan pelaksanaan fisik dan keuangan program dan kegiatan Otsus. Pemeriksaan Internal terhadap pelaksanaan Otsus utamanya dilakukan oleh inspektorat Aceh mengingat bahwa kegiatan tersebut
25
26
Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
dicatat dalam anggaran propinsi, sementara inspektorat kabupaten/kota dapat dilibatkan dalam melakukan pemeriksaan bersama (joint audit), sementara pemeriksaan eksternal dilakukan oleh BPK dalam rangka pemeriksaan APBA dan pemeriksaan khusus. Kesulitan yang timbul dalam pemeriksaan dan pengawasan Dana Otonomi Khusus timbul karena antara lain tidak terdapat identifikasi khusus untuk kegiatan yang dibiaya oleh Dana Otsus. Sampai dengan tahun anggaran 2010, tidak terdapat label khusus yang mengidentifikasi kegiatan yang dibiayai dana otonomi khusus, sehingga identifikasi harus dilakukan dengan melacak usulan kegiatan yang diusulkan oleh Kabupaten/Kota. Prosedur tindak lanjut hasil pemeriksaan oleh Inspektorat belum terlalu jelas. Mengingat petugas pelaksana teknis kegiatan serta KPA yang berada di Kabupaten/Kota bukan merupakan bawahan langsung dari pengguna anggaran (PA) yang berkedudukan di provinsi, terkadang PA tidak dapat secara langsung menindaklanjuti temuan pemeriksaan dari Inspektorat, termasuk menyelesaikan tuntutan ganti rugi yang timbul dari hasil temuan.
2.4 Kesimpulan dan rekomendasi 1. Penyaluran Dana dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Aceh Kesimpulan: Walaupun Penyaluran Dana Otsus dari Pemerintah pusat kepada Pemerintah Aceh selama periode 2009-2010 dari sisi ketepatan waktu mengalami keterlambatan transfer namun hal tersebut diperkirakan belum menghambat pelaksanaan kegiatan mengingat terlambatnya pelaksanaan kegiatan. Semenjak TA 2011 sudah dilaksanakan langkah koreksi untuk menyederhanakan penyaluran menjadi 3 kali dari 4 kali. Penyaluran setelah tahap 1 memerlukan rekomendasi dari Kemendagri, walaupun demikian tim kajian tidak berhasil mendapatkan informasi mengenai substansi dari rekomendasi Kemendagri selama ini. Rekomendasi: (1) Pemerintah pusat perlu meminimalkan keterlambatan transfer; (ii) Mekanisme penyaluran saat ini yang tidak mensyaratkan persentase penyerapan anggaran sudah tepat, karena jika penyerapan anggaran dijadikan persyaratan kemungkinan realisasi dana Otsus yang diterima Aceh akan berkurang dari alokasi 2 persen dari DAU; (iii) pemerintah pusat dapat mempengaruhi efektifitas penggunaan dana Otsus melalui mekanisme pemberian rekomendasi mengenai arahan pemanfaatan dana otonomi khusus kepada pemerintah Aceh 2.
Perencanaan dan Penganggaran Dana Otonomi Khusus Kesimpulan: Proses perencanaan dan pemrograman kegiatan yang dibiayai oleh dana Otsus menjadi salah satu titik terlemah dalam tata kelola dana Otsus. Tampaknya proses perencanaan dan pemrograman kegiatan belum mengacu pada suatu dokumen perencanaan yang memiliki landasan kuat. Hasil FGD menunjukkan bahwa RPJM tidak banyak diacu dalam pengusulan program, sementara itu rencana induk (masterplan) penggunaan Dana Otsus juga belum tersedia sehingga
26
Bab 2 Gambaran Umum Pengelolaan Dana Otonomi Khusus
27
belum bisa dijadikan acuan. Akibatnya pemilihan kegiatan menjadi terfragrementasi dan menghasilkan kegiatan-kegiatan yang kurang stratejik. Rekomendasi: (i) Pemerintah Aceh perlu segera menerbitkan rencana induk pemanfaatan Dana Otonomi Khusus, namun penerbitan rencana induk saja tidak cukup, melainkan diperlukan penerapan yang ketat dari rencana tersebut dengan memberikan bobot politik dan hukum kepada rencana induk (misalnya dengan menjadikannya sebagai Qanun), sehingga rencana induk tersebut dapat menjadi dokumen rujukan bagi pengusulan program dan kegiatan yang akan dibiayai oleh Dana Otonomi Khusus; (ii) Diperlukan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang tegas mengenai jenis-jenis kegiatan yang dapat dibiayai oleh Dana Otonomi Khusus. Dalam rangka mengarahkan pemilihan kegiatan pada kegiatan yang bersifat strategis sesuai dengan karakteristik dana otsus, diperlukan suatu Juklak dan Juknis yang jelas dengan secara tegas mencantumkan kegiatan apa saja yang tidak bisa dibiayai oleh Dana Otsus (Daftar Negatif). Seleksi pertama untuk pemilihan kegiatan selama ini dijalankan oleh masing-masing SKPA, selanjutnya perlu juga diperkuat sebuah unit kerja di Bapeda yang mensinkronkan pemilihan kegiatan ini dengan Juknis pemilihan kegiatan dan rencana induk pemanfaatan dana otonomi khusus. Juklak/Juknis yang tegas ini juga akan menimalisir unsur politisasi dalam pengusulan kegiatan yang mungkin saja timbul. Kesimpulan: Proses penganggaran dana Otsus untuk bagian alokasi Kabupaten masih ditandai dengan belum jelasnya prosedur penganggaran sisa lebih penggunaan anggaran yang menyebabkan bagian alokasi belum diterima secara utuh oleh Kabupaten/Kota, usulan untuk menggunakan mekanisme transfer dapat saja dilakukan jika dilakukan dari pemerintah propinsi ke Kabupaten/Kota. Namun usulan ini memiliki beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan selain dari kekuatannya dalam memungkinkan kabupaten/kota memiliki kendali penuh dalam pelaksanaan dana otonomi khusus bagian alokasi Kabupaten/Kota. Rekomendasi: Beberapa hal perlu diperhatikan jika mekanisme transfer dari Provinsi hendak dilaksakan yaitu, yaitu: (i) transfer hanya bisa dilaksanakan jika telah tersedia acuan pemilihan kegiatan dalam bentuk rencana induk penggunaan Dana Otsus, disertai kriteria yang jelas mengenai jenis kegiatan yang dapat dibiayai oleh Dana Otsus; (ii) propinsi memiliki kewenangan untuk menyetujui kegiatan yang dapat dibiayai dana Otsus untuk menjaga koherensi program dan sinkronisasi dengan rencana jangka panjang pemanfaatan Otsus; (iii) fungsi monitoring dan evaluasi propinsi perlu diperkuat dengan kewenangan untuk memberikan sangsi seperti menunda penyaluran dana jika ditemukan penggeseran kegiatan dari yang sebelumnya telah disepakati; (iv) penganggaran transfer pada APBK dilakukan setelah mendapatkan provinsi memberikan pagu indikatif di awal tahun anggaran untuk mencegah terhambatnya proses penganggaran, jka penganggaran dilakukan setelah terdapat keputusan alokasi dalam APBA 3. Pelaksanaan Anggaran Dana Otonomi Khusus Kesimpulan: Pelaksanaan Anggaran Dana Otsus telah mengalami perbaikan sejak pertama kali diselenggarakan pada tahun 2008. Walaupun sulit untuk secara persis mengukur derajat perbaikan dalam pengelolaan dana Otonomi Khusus semenjak tahun 2008 mengingat terbatasnya data,
27
28
Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
terutama karena pelaksanaan pada tahun anggaran 2008 dan 2009 tidak secara khusus memberikan label pada kegiatan-kegiatan yang dibiayai oleh dana Otsus, namun berdasarkan data dari FGD yang dilaksanakan di 4 (empat) kabupaten, pelaksanaan anggaran dana Otsus pada tahun 2010 dipandang oleh para pejabat kabupaten/kota telah mengalami perbaikan dari pelaksanaan tahun-tahun sebelumnya terutama jika dipandang dari indikator tingkat penyelesaian proyek. Hal ini disebakan oleh pemberian kewenangan yang lebih besar pada SKPK, namun pelaksanaan dana Otsus masih diwarnai oleh sempitnya waktu pelaksanaan karena terlambatnya pengesahan APBA. Rekomendasi: Pemerintah Aceh bersama-sama dengan DPRA perlu memperkuat komitmen terhadap pengesahan APBA tepat waktu setiap tahunnya sesuai dengan yang direncanakan. 4. Pengawasan, Pemeriksaan, Monitoring dan Evaluasi Dana Otsus Kesimpulan: pemeriksaan dan pengawasan dana otonomi Khusus tidak gampang dilakukan karena tidak terdapat identifikasi khusus untuk kegiatan yang dibiayai oleh Dana Otsus. Rekomendasi: Diperlukan identifikasi yang jelas terdapat kegiatan yang sumber dananya berasal dari Dana Otsus melalui labeling.
28
Bab 2 Gambaran Umum Pengelolaan Dana Otonomi Khusus
Lampiran 1. Posedur penyaluran Dana Otsus dari pemerintah pusat ke daerah menurut 04/PMK.07/2008
29
PMK
a. Menteri Keuangan bertindak selaku Pengguna Anggaran Transfer ke Daerah dan mempunyai kewenangan atas pelaksanaan anggaran Transfer ke Daerah. Menteri Keuangan memiliki kewenangan: (1) Menyusun DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) Transfer Ke Daerah; (2) Memerintahkan pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah sebagai pelaksanaan anggaran; (3) Menyusun dan menyampaikan Laporan Keuangan sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran. b. Untuk menjalankan dan melaksanakan kewenangannya sebagai Pengguna Anggaran Transfer ke Daerah tersebut, Menteri Keuangan menunjuk Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Transfer ke Daerah. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melimpahkan sebagian kewenanga n sebagaimana dimaksud kepada pejabat yang ditunjuk. c. Anggaran Transfer ke Daerah tahun 2008 ini ditetapkan dalam APBN 2008, di mana alokasi Dana Otsus Aceh tahun 2008 tersebut tertera sejumlah Rp. 3.590.142.897.000,- dan dituangkan dalam DIPA 2008, disusun untuk setiap jenis Transfer ke Daerah, termasuk didalamnya alokasi transfer untuk Dana Otsus 2008 bagi Provinsi Aceh. DIPA ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk mendapatkan pengesahan. d. Pengesahan oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dan Direktur Jenderal Perbendaharaan menjadi dasar pelaksanaan transfer ke Daerah. e. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) kepada Direktur Jender al Perbendaharaan melalui Direktur Pengelolaan Kas Negara sebagai perintah pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah. f. Atas terbitnya SPM ini, Direktur Jenderal Perbendaharaan, atas nama Menteri Keuangan, menerbitkan Surat Pe rintah Pencairan Dana (SP2D). g. Untuk menindaklanjuti terbitnya SP2D dari Direktur Jenderal Perbendaharaan, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan mengirimkan permintaan konfirmasi atas penyaluran t;ransfer ke Daerah kepada masing -masing kepala daerah, paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah SP2D diterima dari Direktur Jenderal Perbendaharaan. h. Pemerintah Daerah menyampaikan jawaban atas permintaan konfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah permintaan konfirmasi tersebut diterima. i. Khusus untuk Dana Otsus, transfer dilakukan dalam 4 (empat) tahapan: Tahap I (bulan Maret) sebesar 15 persen dari total alokasi; Tahap II (bulan Juni) sebesar 30 persen dari total alokasi; Ta hap III (bulan September) sebesar 40 persen dari total alokasi dan Tahap IV (bulan November) sebesar 15 persen dari total alokasi. j. Penyaluran tahap II, III dan IV dilaksanakan setelah mendapatkan pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri.
29
30
Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
Lampiran 2. Substansi Qanun 2/2008 yang mengatur tentang perencanaan Dana Otsus Pasal 10: (1) Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ditujukan untuk membiayai program dan kegiatan pembangunan, terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. (2) Selain ditujukan untuk membiayai program dan kegiatan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dana Otonomi Khusus dapat juga dialokasikan untuk membiayai program pembangunan dalam rangka pelaksanaan Keistimewaan Aceh. (3) Program pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dituangkan dalam program pembangunan Aceh dan kabupaten/kota, yang disepakati bersama antara Pemerintah Aceh dengan pemerintah kabupaten/kota. Pasal 11: (1) Pengalokasian Dana Otonomi Khusus a. Paling banyak 40 (empat puluh) persen dialokasikan untuk program dan kegiatan pembangunan Aceh. b. Paling sedikit 60 (enam puluh) persen dialokasikan untuk program dan kegiatan pembangunan Kabupaten/Kota. (2) Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dibagi antar Kabupaten/Kota setiap tahun dengan menggunakan suatu formula yang memperhatikan keseimbangan kemajuan pembangunan anta r Kabupaten/Kota. (3) Formula perhitungan besaran alokasi sebaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan beberapa indikator seperti jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) dan indikator lainnya yang relevan. Ayat lain dalam Pasal ini yang mendukung pengalokasian Dana Otsus adalah: (6) Pengalokasian anggaran tidak diberikan dalam bentuk dana tunai, akan tetapi diberikan dalam bentuk pagu yang setiap tahun ditetapkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan Pimpinan DPRA. Pasal 12: (1) Penyusunan program dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 mengacu pada RPJP Aceh dan kabupaten/kota, RPJM Aceh dan kabupaten/kota, serta RKPA dan RKPK. (2) Kriteria dan persyaratan seleksi program dan kegiatan pembangunan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) yang diusulkan oleh kabupaten/kota untuk dibiayai dari Dana Otonomi Khusus setiap tahun ditetapkan oleh gubernur. (3) Kabupaten/kota menyiapkan usulan program sesuai dengan kriteria dan persyaratan seleksi dalam batas pagu ya ng dialokasikan kepadanya setelah mendapat kesepakatan dengan DPRK. (4) Kabupaten/kota menyampaikan usulan program dan kegiatan pembangunan sebagimana dimaksud pada ayat (3) kepada Pemerintah Aceh, selambat-lambatnya pada bulan Mei tahun anggaran berjalan untuk program dan kegiatan pembangunan tahun anggaran berikutnya. (5) Usulan program dan kegiatan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disertai rincian anggaran dan dokumen pendukung lainnya sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Pemerintah kabupaten/kota memprioritaskan usulan program yang bersifat tahun jamak setelah mendapat kesepakatan bersama DPRK. (7) Pemerintah Aceh mengkaji dan menyetujui usulan program dan kegiatan yang disampaikan oleh kabupaten/kota berdasarkan kriteria dan persyaratan seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 13 Ayat (2): Program dan kegiatan sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 pembangunan yang telah dikaji dan disepakati bersama antara Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dilaksanakan, diawasi dan dipertanggungjawabkan oleh Pemerintah Aceh melalui satuan kerja yang dibentuk oleh Pemerintah Aceh atas usulan bupati/walikota sesuai dengan kualifikasi/kriteria yang ditetapkan oleh gubernur. Pasal 14 Ayat (1): Untuk mengkoordinasikan Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Dana Otonomi Khusus, gubernur dapat membentuk Tim Koordinasi Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Dana Otonomi Khusus setelah mendapat persetujuan DPRA.
30
BAB 3 GAMBARAN PEMANFAATAN DANA OTONOMI KHUSUS Bagian ini membahas dan menganalisa pemanfaatan dana Otsus dalam perspektif antar sektor, antar program dan antar daerah dalam hal alokasi dan realisasinya. Fokus pembahasan ditujukan pada alokasi dan realisasi dana Otsus menurut sektor/program/kegiatan, sayangnya data alokasi sektoral/program/kegiatan ini sangat terbatas ketersediannya, mengingat belum tuntasnya labelisasi kegiatan yang dibiayai Otsus, sehingga analisis tidak dapat dilakukan secara komprehensif pada seluruh tahun pelaksanaan Otsus, dan hanya berfokus pada tahun dan sektor tertentu dimana data tersedia, yaitu sebagian besarnya menggunakan data TA 2010. Bagian selanjutnya membahas kajian alokasi dan realisasi dana Otsus menurut perspektif antar daerah.
3.1 Gambaran alokasi dan realisasi Dana Otonomi Khusus menurut sektor, program, dan kegiatan. Arahan mengenai alokasi pemanfaatan dana Otsus diatur dalam UUPA. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa pemanfaatan dana Otsus diatur untuk: (i) Membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur; (ii) Pemberdayaan ekonomi rakyat; (iii) Pengentasan kemiskinan; dan (iv) Pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Namun, berbeda dengan tambahan dana bagi hasil Migas yang secara jelas menyebutkan bahwa 30 persen nya dialokasikan untuk membiayai pendidikan, alokasi Dana Otsus tidak ditentukan secara persis persentase alokasi per sektornya. Gambar 3.1. Alokasi Dana Otonomi Khusus Aceh per bidang (2008-2011) 2,000 1,800 1,600 Rp Milyar
1,400
Infrastruktur
1,200
Pemberdayaan Ekonomi
1,000 800
Pengentasan Kemiskinan
600
Pendidikan
400
Kesehatan
200
Sosial dan Keistimewaan Aceh
0 2008
2009
2010
2011
Tahun
Sumber: Pemerintah Aceh dan Kemenkeu (data diolah).
31
32
Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
Selama periode 2008-2010, bidang infrastruktur selalu mendapat alokasi tertinggi dalam pemanfaatan dana otonomi khusus. Termasuk dalam infrastruktur menurut definisi laporan Pemerintah Aceh adalah infrastruktur bangunan pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Sehingga, proporsi infrastruktur yang berkaitan dengan prasarana transportasi dan prasarana pelayanan dasar, seperti air minum dan sanitasi mungkin lebih kecil proporsinya. Selain infrastruktur, bidang lain yang mendapat alokasi besar adalah pemberdayaan ekonomi dan pendidikan (lihat Gambar 3.1). Pada tahun anggaran 2010, alokasi terbesar diperoleh oleh bidang Infrastruktur Pekerjaan Umum. Jika kriteria infrastruktur yang digunakan hanya menyangkut bidang pekerjaan umum (jalan, jembatan, drainase, pemukiman dan pengembangan wilayah, air minum dan sanitasi, irigasi, sumber daya air, dan infrastruktur perhubungan), maka alokasi untuk bidang infrastruktur pada tahun 2010 mencapai Rp. 1,4 trilyun atau merupakan 37 persen dari seluruh alokasi Otsus, diikuti oleh bidang pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi Rp. 1,02 trilyun (27%), bidang pendidikan Rp. 672 milyar (18%), Kesehatan, Rp. 558 milyar (14%), Keistimewaan Aceh Rp. 159 milyar (4%), dan Sosial Rp. 18 milyar (0,6%). Jika dilihat dari alokasi Gambar 3.2. Alokasi berdasarkan bidang TA 2010 (dalam Rp Milyar) berdasarkan program, alokasi 0.5% 4.1% Infrastruktur PU terbesar pada tahun 2010, digunakan untuk Pendidikan 14.5% pembangunan jalan dan 36.7% Pengentasan kemiskinan jembatan dengan alokasi dan pemberdayaan ekonomi sebesar Rp. 782 milyar atau Kesehatan 20,3 persen dari total 26.7% Sosial anggaran. Alokasi untuk 10 program yang mendapat Keistimewaan Aceh 17.5% anggaran terbesar mencapai 71 persen dari total alokasi anggaran (Gambar 3.2). Selain Sumber: Pemerintah Aceh dan Kemenkeu (diolah). pembangunan jalan dan jembatan, alokasi terbesar lainnya didapatkan oleh program-program berikut ini: (i) Program Peningkatan Keberdayaan Masyarakat Pedesaan yang diantaranya digunakan untuk Bantuan Keuangan Pemakmoe Gampong (BKPG), sebuah program yang sejenis dengan PNPM, dengan alokasi sebesar Rp. 418 milyar (10,9%); (ii) Program Kemitraan Peningkatan Pelayanan Kesehatan yang sebagian besarnya digunakan untuk program Jaminan Kesehatan Aceh, alokasi Rp. 385 milyar (10%); (iii) Program wajib belajar pendidikan 9 tahun dan Program pendidikan menengah, yang sebagian besarnya digunakan untuk pembangunan dan rehabilitasi gedung sekolah, alokasi untuk kedua program tersebut adalah 470 milyar (12,2%); (iv) Program Peningkatan Produksi Pertanian/Perkebunan, alokasi 167,4 milyar (4%) Program Pengembangan dan Pengelolaan Jaringan Irigasi, alokasi 154,4 milyar (4%). Program lainnya yang termasuk dalam program dengan alokasi terbesar dengan persentase alokasi masing-masing sekitar 3 persen adalah pengembangan infrastruktur pedesaan, dan bantuan sosial, dan pengendalian banjir.
32
Bab 3 Gambaran Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
33
Gambar 3.3. 10 Program dengan alokasi terbesar TA 2010 (dalam Rp Milyar) Program Pengendalian Banjir Belanja Bantuan Sosial Program Pengembangan Infrastruktur Pedesaan Program Pengembangan dan Pengelolaan Jaringan Irigasi … Program Peningkatan Produksi Pertanian/Perkebunan Program Pendidikan Menengah Program Wajib Belajar Pendidikan 9 Tahun Program Kemitraan Peningkatan Pelayanan Kesehatan Program Peningkatan Keberdayaan Masyarakat Pedesaan Program Pembangunan Jalan dan Jembatan
0
117.5 121.5 122 154.43 167.4 230 240 385 418 782
100
200
300
400
500
600
700
800
900
Sumber: Pemerintah Aceh dan Kemenkeu (diolah).
Sebagian besar alokasi bidang infrastruktur pekerjaan umum digunakan untuk pembangunan dan pemeliharaan jalan dan jembatan. Alokasi untuk kedua program tersebut mencakup 58 persen dari alokasi bidang infrastruktur6. Selain itu alokasi yang menonjol juga diberikan kepada infrastruktur irigasi (11%), konservasi sungai dan pengendalian banjir (9,8%), infrastruktur pedesaan (8,7%), dan perumahan dan pemukiman (6,6%). Gambar 3.4. Alokasi menurut jenis Infrastruktur TA 2010 (dalam Rp Milyar) 2%
1%
Jalan dan Jembatan
10%
Air Minum dan Air Limbah Perumahan dan Pemukiman
11%
Infrastruktur Pedesaan Irigasi dan Pengairan lainnya
8%
58% 7% 3%
Konservasi Sungai dan Pengendalian Banjir Sarana dan Prasarana Perhubungan Lainnya
Sumber: Pemerintah Aceh dan Kemenkeu (diolah).
6
Klasifikasi infrastruktur disini mencakup program bidang Ke PU-an (jalan, jembatan, drainase, pemukiman dan pengembangan wilayah, air minum dan sanitasi, irigasi, sumber daya air, dan infrastruktur perhubungan) sehingga berbeda dengan data asli dari Pemprov Aceh yang memasukkan bangunan pendidikan, kesehatan, sosial dan pertanian/perikanan sebagai bagian bidang infrastruktur.
33
34
Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
Di bidang pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi sebagian besar alokasi diberikan kepada sektor pertanian dan pedesaan. Program-program di sektor pertanian dalam arti luas termasuk perikanan, perkebunan, kehutanan dan peternakan mendapatkan porsi alokasi sebesar Rp. 482,51 milyar atau 47 persen dari alokasi bidang pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi. Program andalan lainnya adalah Bantuan Keuangan Pemakmoe Gampong (BKPG) dengan alokasi sebesar Rp. 418 milyar atau 41 persen dari total alokasi. Jika digabungkan, alokasi yang berfokus pada pertanian dan pedesaan ini mencakup 88 persen dari alokasi bidang pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi. Jika mempertimbangkan bahwa struktur perekonomian di Aceh masih didominasi oleh sektor pertanian yang kontribusinya mencapai 24 persen dari PDRB, maka alokasi program andalan untuk program sektor pertanian dan pedesaan tersebut telah berada pada jalur yang benar. Sementara program-program sektor perdagangan, industri, dan UKM mendapat alokasi kurang lebih Rp. 68,05 milyar atau 6,7 persen dari alokasi bidang pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi. Program utama dalam Gambar 3.5. Komposisi alokasi program bidang pemberdayaan sektor pertanian terdiri ekonomi dan pengentasan kemiskinan, TA 2010 (dalam Rp Milyar) dari program peningkatan 35.49 100% 22.96 produksi pertanian/ 68.75 90% perkebunan dan Program-Program Penguatan 80% peningkatan penerapan Kapasitas Aparatur 70% teknologi. Seperti telah Program-Program Sektor 418.05 Ketenagakerjaan 60% disinggung diatas, program Program Sektor Industri, peningkatan produksi 50% Perdagangan, dan UKM pertanian/perkebunan 40% Bantuan Keuangan merupakan salah satu Pemakmoe Gampong 30% program utama yang 482.51 Program-Program Sektor 20% Pertanian mendapat alokasi terbesar 10% yang secara keseluruhan 0% mendapat alokasi 4 persen dari Dana Otsus. Sementara Sumber: Pemerintah Aceh dan Kemenkeu (diolah). untuk sektor pertanian, program tersebut menyerap 35 persen dari alokasi sektor pertanian. Program lain yang menjadi program utama sektor pertanian adalah program peningkatan penerapan teknologi yang menyerap 14 persen dari alokasi untuk sektor pertanian. Sehingga kedua program tersebut dapat dikatakan menjadi andalan untuk bidang pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi. Pendekatan yang digunakan dalam rangka peningkatan produksi dan peningkatan penerapan teknologi masih didominasi oleh pemberian bantuan input produksi. Jika ditelusuri dari jenis kegiatan Dinas Pertanian dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan pada tahun Anggaran 2010, terlihat bahwa porsi terbesar anggaran digunakan untuk memberi bantuan input produksi kepada petani. Kedua Dinas tersebut menerima alokasi Dana Otsus pada tahun anggaran 2010, masing-masing sebesar Rp. 112,7
34
Bab 3 Gambaran Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
35
milyar dan Rp. 138,05 milyar7. Setelah dilakukan klasifikasi atas kegiatan-kegiatannya, terlihat bahwa terdapat 3 golongan besar kegiatan yang dilakukan oleh kedua dinas tersebut, yaitu: (i) pemberian bantuan benih dan bibit; (ii) pemberian bantuan sarana produksi dan input produksinya (pupuk, herbisida, fungisida, alat pertanian kecil, traktor, dll); dan (iii) penyediaan barang publik (infrastruktur publik penunjang produksi) seperti jalan pertanian, optimalisasi lahan terlantar, pencetakan sawah, perbaikan jaringan irigasi, mesin pengering yang bisa dipakai bersama, kilang pengolahan sawit, dll. Perbandingan komposisi antara 3 jenis kegiatan tersebut menunjukkan bahwa pendekatan yang dilakukan oleh kedua dinas tersebut lebih besar porsinya untuk pemberian bantuan langsung (benih dan input produksi lainnya) daripada penyediaan barang publik (public goods) yang bisa digunakan bersamasama, seperti terlihat dalam Tabel 3.1. dibawah ini: Tabel 3.1. Komposisi kegiatan yang dibiaya Dana Otsus TA 2010 di Dinas Pertanian & Dinas Kehutanan & Perkebunan** Kelompok Kegiatan
Alokasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Rp Milyar) 37,97
Alokasi Dinas Pertanian (Rp Milyar)
Total Alokasi (Rp Milyar)
5,23
43,2
% dari Total Alokasi Dinas Kehutanan, Perkebunan, dan Pertanian 17,2 %
Pemberian Bantuan Input Produksi (pupuk, Alat, Herbisida, Fungisida, dll)
32,75
56,96
89,71
35,8%
Barang Publik (Public Goods)
54,57
38,75
93,32
37,2%
Lainnya
12,76
11,72
24,48
9,8%
138,05
112,66
250,71
100%
Pemberian Bantuan Bibit dan Benih
Total Alokasi
Sumber: Pemprov Aceh,data diolah. Keterangan: ** Data alokasi berdasarkan alokasi kegiatan yang dikontrakkan TA 2010.
Di bidang pendidikan, alokasi terbesar diberikan pada program wajib belajar pendidikan 9 tahun dan pendidikan menengah. Alokasi untuk kedua program tersebut menyerap 70 persen dari alokasi bidang pendidikan, selain itu terdapat pula alokasi untuk program pembinaan dan pengembangan pendidikan tinggi serta kualitas dan kuantitas tenaga kependidikan (11,3%), pendidikan anak usia dini (6,7%), pendidikan dayah (5,1%), sementara program lainnya mendapat alokasi relatif kecil, yaitu pembinaan olahraga dan kepemudaan (2,2%), pengembangan mutu pendidik (1,9%), pendidikan non formal (1,6%) dan perpustakaan (1,1%). Jika dilihat dari output kegiatannya, output yang mendapat alokasi terbesar di bidang pendidikan adalah pembangunan ruang kelas baru (RKB), dan pembangunan pagar sekolah8. Pembangunan RKB menyerap 17 persen dari alokasi kegiatan bidang pendidikan, sementara pembangunan pagar dan paving block halaman menyerap 13 persen dari total alokasi, sementara pembangunan fasilitas penunjang kegiatan
7 8
Data Biro Administrasi Pembangunan Aceh. Output kegiatan yang dibahas dalam bagian ini tidak termasuk program beasiswa anak yatim yang tidak dikontrakkan.
35
36
Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
belajar mengajar seperti Gambar 3.6. Komposisi alokasi program bidang pendidikan, TA 2010 laboratorium, (dalam Rp Milyar) perpustakaan, dll memiliki porsi alokasi yang sama 100% 15.09 dengan pengadaan alat Budaya Baca dan Perpustakaan 34.57 90% penunjang pembelajaran, 45.33 Pendidikan Non Formal 80% buku teks, dan komputer 76.12 Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga yaitu 8 persen. 70% Kependidikan Pembangunan Unit Olahraga 60% Sekolah Baru hanya Pendidikan Dayah 229.59 50% menyerap 7 persen dari Pendidikan Anak Usia Dini total alokasi. Sisanya 40% Pendidikan Tinggi dan Pengembangan digunakan untuk Kuantitas/Kualitas Tenaga Kependidikan 30% pembangunan ruang Pendidikan Menengah 20% kantor dan rumah dinas, 240.17 Wajib Belajar Pendidikan 9 tahun rehabilitasi sekolah, 10% bantuan biaya operasional 0% dan kegiatan peningkatan mutu (seperti pelatihan Sumber: Pemprov Aceh, diolah. tenaga pendidik, perlombaan mata pelajaran, dll). Gambar 3.7. Jenis output Bidang Pendidikan, TA 2010 (dalam Rp Milyar) 1% 5%
Pembangunan RKB
3%
Pagar +Paving Block
5% 27% 6%
Meubelair Alat Penunjang Pembelajaran, Buku Teks, Komputer Pembangunan USB
7%
Pembangunan Ruang Kantor & Rumah Dinas Lainnya
8% 17% 8%
Sumber: Pemerintah Aceh,diolah.
Rehabilitasi Sekolah Kegiatan Peningkatan Mutu
13%
36
Pembangunan Fasilitas Penunjang KBM
Bantuan Biaya Operasional
Bab 3 Gambaran Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
37
Di bidang Kesehatan, 70 persen alokasi Otsus digunakan untuk program peningkatan pelayanan kesehatan, yang bagian terbesarnya digunakan untuk membiayai jaminan kesehatan Aceh. Program pembangunan dan peningkatan infrastruktur Puskesmas dan RS menyerap 20 persen berikutnya dari alokasi bidang kesehatan, sementara 10 persen yang selebihya digunakan layanan medis, obat-obatan serta program promosi kesehatan masyarakat. Berdasarkan jenis output kegiatan Gambar 3.8. Komposisi alokasi program Bidang Kesehatan, TA yang dibiayai, bagian terbesar 2010 (dalam Rp Milyar) dari penggunaan dana Otsus 10.7 100% 13.86 digunakan untuk membangun 30.91 90% Upaya Kesehatan Masyarakat 51.8 jalan dan jembatan (19%). Alokasi 80% Lainnya 65.51 besar lainnya digunakan untuk 70% Bantuan Keuangan Pemakmoe Pelayanan Medis dan Penunjang 60% Pelayanan Gampong (BKPG) sebesar 12 Sarana dan Prasarana 50% persen yang merupakan bantuan Puskesmas/Pustu 40% Sarana dan Prasarana Rumah bagi masyarakat untuk 385.16 Sakit 30% Peningkatan Pelayanan Kesehatan membangun sarana dan prasarana 20% kemasyarakatan skala kecil, 10% Jaminan Kesehatan Aceh (9%), 0% bangunan sekolah (7,1%), bangunan gedung non Sumber: Pemprov Aceh, diolah. sekolah/kesehatan (11%). Jumlah yang dialokasikan untuk pembangunan pagar dan paving block mencapai Rp. 63 milyar (2,4%), sehingga membuat pembangunan pagar menjadi salah satu dari 10 besar output dana otsus dengan jumlah alokasi yang hampir sama dengan jumlah alokasi bangunan kesehatan Rp. 65 milyar (2,5%). Hal tersebut konsisten dengan alokasi per program yang menunjukkan program pembangunan jalan dan jembatan sebagai program dengan alokasi terbesar 20,3 persen, diikuti oleh program peningkatan keberdayaan masyarakat pedesaan, termasuk didalamnya BKPG (10,9%), program kemitraan peningkatan pelayanan kesehatan (termasuk JKA) 10 persen, program wajib belajar pendidikan dasar (6,2%) dan program pendidikan menengah (6%). Gambar 3.9. Jenis output yang dibiayai Dana Otsus, TA 2010 (dalam Rp Milyar) Lainnya Perencanaan Pengawasan Pagar Bangunan Kesehatan Irigasi Bangunan Sekolah Jaminan Kesehatan Aceh Gedung (Diluar Bangunan Kesehatan & Pendidikan Bantuan Keuangan Pemakmue Gampong (BKPG) Jalan dan Jembatan
26.6% 1.5% 2.2% 2.3% 2.5% 6.4% 7.1% 9.2% 10.8% 12.1% 19.2%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
Sumber: Pemprov Aceh, diolah.
37
38
Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
Sementara jika diuraikan berdasarkan ukuran proyek, kegiatan yang dibiayai oleh dana Otsus ditandai dengan masih banyaknya kegiatan berskala kecil (<100 juta). Jumlah kegiatan berskala kecil yang terlalu banyak, berpotensi menyulitkan manajemen dan supervisi. Pada tahun anggaran 2010, terdapat 2.798 kegiatan yang nilai kontraknya dibawah 100 juta, jumlah ini merupakan kurang lebih 53 persen dari total jumlah kegiatan sejumlah 5.313. Jika digabungkan dengan kegiatan bernilai dibawah 500 juta, jumlahnya akan mencapai 4.303 atau 81 persen dari total kegiatan. Namun, dari segi alokasi anggaran, kegiatan berskala kecil dengan anggaran dibawah 500 juta hanya merupakan 19 persen dari total alokasi anggaran, sementara 71 persen anggaran diserap oleh kegiatan yang berskala diatas Rp. 1 milyar. Gambar 3.10.a. Sebaran skala kegiatan Dana Otsus Gambar 3.10.b. Sebaran skala kegiatan Dana berdasarkan persentase atas jumlah kegiatan Otsus berdasarkan persentase atas jumlah anggaran 1%
4%
8% 7%
15% 36% 10%
54%
30%
35%
s.d 100 juta >1-5 Milyar
> 100-500 Juta > 5 Milyar
> 500 Juta-1 Milyar
s.d 100 juta
> 100-500 Juta
>1-5 Milyar
> 5 Milyar
> 500 Juta-1 Milyar
Sumber: Pemprov Aceh, diolah.
3.2 Gambaran alokasi dan realisasi Dana Otonomi Khusus menurut perspektif antar wilayah Pembagian Dana Otsus antara provinsi dan kabupaten diatur menurut Qanun No. 2 tahun 2008. Berdasarkan Pasal 11 Qanun No. 2 Tahun 2008, pengalokasian Dana Otsus: a. Paling banyak 40 (empat puluh) persen dilakukan untuk program dan kegiatan pembangunan Aceh. b. Paling sedikit 60 (enam puluh) persen dialokasikan untuk program dan kegiatan pembangunan kabupaten/kota. Dana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b di atas, dibagi antar kabupaten/kota setiap tahun dengan menggunakan suatu formula yang memperhatikan keseimbangan pembangunan antar kabupaten/kota. Formula perhitungan besaran alokasi menggunakan beberapa indikator seperti jumlah
38
Bab 3 Gambaran Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
39
penduduk, luas wilayah, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK), dan indikator lain yang relevan. Kemudian, pengalokasian dana tidak diberikan dalam bentuk tunai, namun dalam bentuk pagu yang setiap tahun ditetapkan oleh gubernur dengan persetujuan DPRA. Distribusi alokasi Dana Otsus ke kabupaten/kota memiliki korelasi yang kuat dengan luas wilayah yang dimiliki kabupaten/kota tersebut. 9 dari 10 penerima alokasi terbesar Otsus adalah juga merupakan kabupaten/kota yang memiliki luas wilayah terbesar, satu kabupaten lain yang termasuk 10 besar penerima alokasi, yaitu Aceh Besar, berada di urutan ke 11 kabupaten/kota yang memiliki wilayah terbesar. Koefisien korelasi antara alokasi Otsus dengan luas wilayah mendekati angka satu (0,96) yang menunjukkan korelasi yang hampir sempurna, sementara korelasi antara alokasi Otsus dengan jumlah penduduk terlihat lebih lemah (0,4). Sehingga tidak mengherankan jika kota-kota yang umumnya memiliki luas wilayah yang lebih yang lebih sempit daripada kabupaten-kabupaten mendapatkan alokasi yang lebih sedikit. Korelasi dengan Indeks Pembangunan Manusia menunjukkan hubungan korelasi negatif dengan koefisien korelasi sebesar -0,5 yaitu bahwa kabupaten/kota yang IPMnya rendah cenderung mendapatkan alokasi yang lebih tinggi. Secara rata-rata, alokasi Otsus yang diterima kabupaten/kota, jika diterima secara utuh, akan meningkatkan penerimaan daerah mereka sebesar 25 persen di tahun 2010. Kabupaten Gayo Lues merupakan kabupaten yang paling meningkatkan penerimaan daerahnya karena Otsus dengan peningkatan sebesar 47 persen atau hampir setengah dari penerimaan dalam APBDnya, sementara untuk 4 kota di Aceh tambahan penerimaan secara rata-rata adalah 16 persen dengan Banda Aceh sebagai kota yang tambahan penerimaanya paling sedikit (12%). Gambar 3.11. Alokasi Otsus, APBK, dan tambahan penerimaan daerah, 2010
APBD Reguler
Otsus
Sabang
Lhokseumawe
Banda Aceh
Nagan Raya
Aceh Besar
Aceh Jaya
Pidie
Aceh Tengah
Aceh Tenggara
Aceh Selatan
Aceh Utara
Gayo Lues
Aceh Timur
0
Langsa
100
Pidie Jaya
200
Bener Meriah
300
Subulussalam
117.8
400
Aceh Tamiang
122.2 119.6
147.6
Simeulue
600 Rp Milyar
112.0
119.3
Aceh Barat Daya
118.7
700 500
50% 45% 40% 101.2 35% 62.0 110.9 91.6 30% 96.8 63.1 61.5 80.7 72.8 94.5 92.6 102.3 25% 49.2 81.4 20% 15% 10% 5% 0%
123.0
Aceh Barat
168.9
Bireuen
800
Aceh Singkil
900
% Tambahan Penerimaan Daerah
Sumber: Pemprov Aceh, Kemenkeu, diolah.
39
Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
40
Alokasi Otsus secara per kapita menunjukkan tingkat pemerataan yang serupa dengan pemerataan alokasi DAU secara nasional. Pada dasarnya formula alokasi yang digunakan untuk perhitungan alokasi dana Otsus adalah hampir serupa dengan formulasi yang digunakan untuk perhitungan alokasi DAU secara nasional. Karena itu tingkat pemerataan antar daerah yang diperoleh menunjukkan angka yang hampir sama. Indikator ketimpangan yang digunakan adalah indeks Williamson, yang pada dasarnya mengukur tingkat variasi alokasi antar daerah relatif terhadap variasi dalam jumlah penduduk. Perhitungan indeks Williamson atas alokasi Dana Otsus tahun 2010 menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda dengan indeks Williamson DAU secara nasional9. Walaupun demikian nilai indeks Williamson yang lebih besar dari 0,5 menunjukkan bahwa tingkat pemerataan Otsus cenderung timpang jika dipandang secara relatif terhadap distribusi jumlah penduduk. Namun demikian, alokasi Dana Otsus tidak secara signifikan meningkatkan ketimpangan sumber daya fiskal antar kabupaten/kota secara keseluruhan. Hasil perhitungan indeks Williamson seperti termaktub dalam Tabel 3.2 diatas menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara angka indeks untuk penerimaan APBK tanpa alokasi Dana Otsus dengan apabila angka alokasi Otsus ditambahkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa alokasi Dana Otsus tidak secara signifikan memperbaiki atau memperburuk variasi sumber daya fiskal antar kabupaten/kota.
Tabel 3.2. Indeks Williamson alokasi Dana Otsus dan DAU, 2010 Jenis Alokasi
Nilai Indeks Williamson
Otsus
0,649
DAU Nasional
0,718
APBK
0,443
APBK+Otsus
0,468
Sumber : Hasil perhitungan.
3.3 Kajian alokasi vs. realisasi Dana Otsus Pada tahun anggaran 2010, besaran perbandingan antara nilai kontrak dengan nilai pagu10 adalah 93,8 persen atau terdapat sekitar 6,2 persen pagu anggaran yang tidak terealisasi. Dari proporsi tersebut,
9
IW
1 y
( y i y) 2
di mana : Ai =
10
40
Ai Atot
jumlah penduduk kab/kota
Atot =
jumlah penduduk provinsi
yi
=
APBK (dana otsus) per kapitakab/kota
y
=
APBK (dana otsus) per kapita provinsi
Sumber Data: Biro Administrasi Pembangunan, Setda Aceh.
Bab 3 Gambaran Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
41
rasio pagu alokasi kabupaten yang menjadi kontrak adalah 92 persen atau 8 persen dari pagu tersebut tidak terealisasi menjadi kontrak. Sementara untuk pagu provinsi yang dikontrakkan, 99 persennya terealisasi menjadi kontrak. Daerah yang realisasi kontraknya paling rendah adalah Pidie, dimana hanya 87 persen dari pagu menjadi kontrak, sementara daerah yang realisasi kontraknya tertinggi adalah Aceh Tenggara dengan realisasi mencapai 98 persen. Gambar 3.12. Nilai pagu vs. nilai kontrak, 2010 800 700 600 500 400 300 200 100 Aceh Aceh Barat Aceh Barat Daya Aceh Besar Aceh Jaya Aceh Selatan Aceh Singkil Aceh Tamiang Aceh Tengah Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Utara Banda Aceh Bener Meriah Bireuen Gayo Lues Langsa Lhokseumawe Nagan Raya Pidie Pidie Jaya Sabang Simeulue Subulussalam
100% 98% 96% 94% 92% 90% 88% 86% 84% 82% 80%
Nilai Pagu
Nilai Kontrak
% Kontrak/Pagu
Sumber: Pemprov Aceh diolah.
Perbandingan antara anggaran dengan realisasi keuangan menunjukkan bahwa pada tahun 2009, hanya 80 persen dari anggaran yang terealisasi. Tim pengkaji tidak berhasil mendapatkan angka realisasi anggaran secara agregat untuk seluruh Dana otsus dan untuk keseluruhan tahun pelaksanaan, namun berdasarkan data realisasi di 3 dinas utama (Bina Marga dan Cipta Karya/BMCK, Pendidikan, dan Kesehatan, termasuk RS) pada tahun 2009, angka realisasi mencapai 80 persen dari anggaran. Realisasi tertinggi terjadi pada Dinas BMCK dengan realisasi sebesar 87,1 persen, sementara realisasi anggaran di Dinas Pendidikan dan SKPA Kesehatan (Dinas dan RS), masing-masing adalah: 69,2 persen dan 66,5 persen. Angka realisasi ini diperkirakan naik pada tahun 2010 dengan adanya perbaikan dalam mekanisme pelaksanaan anggaran. Keterlambatan dalam pengesahan anggaran di tingkat propinsi membawa dampak merugikan bagi kabupaten/kota karena ketidaksesuaian dalam perencanaan, pelelangan dan eksekusi pelaksanaan proyek. Di Tahun 2009, pengesahan RAPBA dilakukan pada bulan Maret diikuti dengan proses lelang di Bulan Mei. Karena pengesahan lebih awal, masa efektif pelaksanaan proyek menjadi lebih lama yaitu Agustus-Desember 2009. Jika dilihat perkembangan setiap tahun, ada peningkatan lama waktu pelaksanaan proyek dari tahun 2008 ke tahun 2009 dan 2010. Masa efektif pelaksanaan proyek
41
42
Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
meningkat dari rata-rata 3 bulan di tahun 2008 menjadi rata-rata 6 bulan di tahun 2009 dan 2010 (lihat Gambar 3.13). Tahun 2011, walaupun pelelangan proyek dilakukan lebih awal (Februari 2011), namun karena pengesahan anggarannya April, maka efektivitas masa pelaksanaan proyek juga menjadi lebih singkat. Gambar 3.13. Lama pelaksanaan Proyek Otsus Gambar 3.14. Realisasi anggaran beberapa dinas Aceh, 2008-2009 TA 2009
Bulan
6
100%
87% 69%
80%
4
80% 67%
60%
2
40%
0
20% 2008
2009
Lama Pelaksanaan Proyek Sumber: Hasil penelitian (2011).
2010
0% BMCK
Disdik
SKPA Total SKPA Kesehatan Sampel
Sumber: Pemprov Aceh, diolah.
3.2.3 Perkembangan indikator sosial ekonomi Aceh pasca Otsus Bagian ini akan membahas perkembangan beberapa indikator sosial ekonomi di Aceh pasca pelaksanaan Otsus semata-mata untuk memonitor apakah terjadi perbaikan dalam indikator tersebut. Hal ini tidak selalu berarti bahwa perbaikan atau memburuknya indikator tersebut disebabkan oleh adanya intervensi dana otonomi khusus, melainkan hanya menunjukkan apakah setelah adanya dana Otsus, indikator tersebut berada pada arah yang benar atau justru memburuk. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh mengalami peningkatan selama periode 2008-2009. IPM merupakan salah satu indikator yang mengukur tingkat kemajuan pembangunan modal manusia di suatu daerah. Angka IPM Aceh pada tahun 2009 adalah 71,31 membaik sebanyak 0,55 poin dari angka tahun 2008 yaitu sebesar 70,76. Peningkatan dalam IPM sebesar 0,8 persen ini merupakan peningkatan tercepat sejak 2006. Secara nasional, peningkatan IPM yang dialami Aceh selama periode ini berada pada peringkat ke 13. Peningkatan ini belum mampu mengubah peringkat IPM Aceh secara nasional pada peringkat ke 17. Peringkat terbaik yang pernah diperoleh Aceh terjadi pada tahun 1996 yaitu peringkat 9 secara nasional. Kondisi IPM kabupaten/kota di Aceh secara umum membaik antara tahun 2008 dan 2009. Beberapa daerah memilik IPM yang lebih tinggi dari IPM Provinsi Aceh seperti Kabupaten Bireuen, Aceh Besar, Kota Banda Aceh, Sabang dan Lhokseumawe. Kabupaten/kota ini masuk dalam kategori IPM relatif tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Provinsi Aceh. Perbandingan dan perkembangan IPM kabupaten/kota yang ada di Provinsi Aceh dapat dilihat di Tabel 3.3.
42
Bab 3 Gambaran Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
43
Tabel 3.3. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tahun 2004 – 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Kabupaten/Kota Kabupaten Simeulue Kabupaten Aceh Singkil Kabupaten Aceh Tenggara Kabupaten Aceh Selatan Kabupaten Aceh Utara Kabupaten Aceh Barat Kabupaten Bireuen Kabupaten Gayo Lues Kabupaten Aceh Tamiang Kabupaten Aceh Timur Kabupaten Aceh Tengah Kabupaten Aceh Besar Kabupaten Pidie Kabupaten Aceh Barat Daya Kabupaten Nagan Raya Kabupaten Aceh Jaya Kabupaten Bener Meriah Kabupaten Pidie Jaya Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Kota Subulussalam
2004 64,5 65,8 69,4 66,9 68,6 66,7 71,3 64,8 67,3 67,7 69,9 70,6 68,8 65,9 65,5 66,2 66,3 74,0 72,5 69,5 72,8 -
2005 65,2 66,5 70,2 67,7 69,7 67,4 71,5 66,1 68,3 68,4 70,8 71,4 69,5 66,9 66,3 66,8 67,4 74,7 73,3 70,4 73,1 -
2006 66,4 67,2 70,6 68,4 70,4 68,1 72,2 66,6 68,7 68,8 71,16 71,87 69,99 67,52 66,88 67,77 68,12 69,40 75,44 73,66 71,51 73,80 67,80
2007 67,97 67,97 70,96 68,87 71,39 69,28 72,45 67,8 69,17 69,40 72,11 72,71 70,76 68,37 67,64 68,23 68,88 69,96 76,31 74,48 72,22 74,65 68,28
2008 68,60 68,12 70,99 69,18 71,47 69,66 72,60 67,17 69,81 69,55 72,81 72,84 71,21 69,38 68,47 68,94 69,77 71,23 76,74 75,00 72,79 75,00 68,42
2009 68,92 68,29 71,23 69,64 71,90 70,32 72,86 67,59 70,50 70,19 73,22 73,10 71,60 69,81 68,74 69,39 70,38 71,71 77,00 75,49 73,20 75,54 68,85
Provinsi Aceh
68,7
69,0
69,41
70,35
70,76
71,31
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, 2010.
Tingkat Kemiskinan di Aceh mengalami penurunan antara tahun 2008-2010 sebanyak 2,55 persen dari 23,53 persen menjadi 20,58 persen. Persentase penurunan yang terjadi kurang lebih sama dengan penurunan secara nasional yaitu 2,09 persen. Namun demikian angka kemiskinan di Aceh masih jauh diatas angka nasional pada 13,33 persen, dan masih belum merubah posisi Aceh pada peringkat 6 propinsi yang memiliki penduduk miskin tertinggi. Persentase penduduk miskin pada saat konflik dan tsunami cenderung mengalami peningkatan terutama di daerah perkotaan. Pada tahun 2004, persentase penduduk miskin di perkotaan sebesar 17,49 persen, meningkat menjadi 19,04 persen (2005) dan meningkat lagi menjadi 19,22 persen (2006). Persentase penduduk miskin perkotaan mengalami penurunan seiring semenjak 2007 seiring dengan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Persentase penduduk miskin pada tahun 2007 sebesar 18,68 persen, menurun menjadi 16,67 persen (2008) dan 15,44 persen (2009), dan 14,65 persen (2010). Di pedesaan, angka kemiskinan mulai mengalami penurunan sejak 2006, dari 32,60 persen (2005) menjadi 31,98 persen (2006). Persentase penduduk miskin di pedesaan ini terus mengalami penurunan pada
43
44
Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
tahun 2007 (29,87 %) dan 2008 (26,30 %) dan 2010 (23,54 %). Perkembangan persentase penduduk miskin ini dapat dilihat di Gambar 3.15.
Gambar 3.15. Perkembangan tingkat kemiskinan di Aceh 35 30 25 20
Angka Partisipasi Sekolah Murni 15 (APM) umumnya mengalami 10 peningkatan untuk semua tingkat 5 sekolah di Aceh antara tahun 2008 0 sampai 2010. Angka Partisipasi 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sekolah di Aceh cenderung berada di atas tingkat nasional, terutama untuk Kota Desa Jumlah tingkat SMP dan SMA, bahkan APM Aceh untuk semua tingkat sekolah Sumber: Badan Pusat Statistik. adalah yang tertinggi di Indonesia sejak 2008. Kecenderungan tersebut dapat dipertahankan pada 2010. Gambar 3.16. Angka Partisipasi Murni Provinsi di Indonesia, 2010
Aceh Maluku Dista Yogyakarta Bali Sumatera Utara Sumatera Barat Kepulauan Riau Kalimantan Timur Maluku Utara Riau Sulawesi Utara DKI Jakarta Bengkulu Nusa Tenggara Barat Jawa Timur Sulawesi Tenggara Jambi Jawa Tengah Sumatera Selatan Sulawesi Selatan Lampung Sulawesi Tengah Kalimantan Tengah Banten Gorontalo Jawa Barat Kep Bangka Belitung Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Nusa Tenggara Timur Sulawesi Barat Papua Barat Papua
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
SD Sumber:Badan Pusat Statistik.
44
SMP
SMA
Bab 3 Gambaran Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
45
Pelaksanaan Rehabilitasi dan Tabel 3.4. Angka Partisipasi Murni dan Angka Partisipasi Rekonstruksi Pasca Tsunami dan Dana Kasar Tahun 2008-2010 Otsus di Aceh antara tahun 2008-2010 Capaian (%) Indikator Akses telah meningkatkan kuantitas dan 2008 2009 2010 kualitas jalan. Jalan mungkin adalah Angka Partisipasi Murni (APM) 96.05 96.95 97.32 output fisik dari pelaksanaan Otsus SD/MI/Paket A yang paling bisa terlihat hasilnya. SMP/Mts/SMPLB/Paket B 76.58 77.40 78.58 Alokasi Otsus untuk jalan digunakan SMA/MA/SMK/SMALB/Paket C 62.19 62.12 62.42 untuk jalan provinsi dan jalan kabupaten/kota. Untuk Jalan Angka Partisipasi Kasar (APK) 2007 2008 2009 kabupaten/kota telah terjadi 96,59 97,16 101,28 penambahan panjang jalan sejauh 316 SMP/Mts/SMPLB/Paket B Km antara tahun 2008 dan 2010. SMA/MA/SMK/SMALB/Paket C 72,06 73,60 74,75 Sementara, jalan provinsi bertambah Perguruan Tinggi 19,00 19,15 19,40 sejauh 17,08 km, namun persentase jalan provinsi dengan kualitas baik Sumber: APM: BPS, 2010; APK: Dinas Pendidikan Aceh, 2010. terus meningkat dari tahun 2008 (58,81 persen). Menjadi 75,89 persen dan 80 persen pada tahun 2010. Tabel 3.5. Peningkatan prasarana jalan di Provinsi Aceh Jalan 1.
2.
3.
Jalan Nasional a. Kondisi Mantap (%) b. Panjang (Km) Jalan Provinsi a. Kondisi Mantap (%) b. Panjang (Km) Pembangunan dan Peningkatan Jalan Kabupaten/Kota (Km)
Capaian 2009
2007
2008
2010
81,17 1.447,17
87,58 1.561,29
89,62 1.597,65
95,00 1.713,22
57,55 1.069,55 486,00
58,81 1.086,84 768,00
75,12 1.388,24 578,00
75,89 1.402,29 420,00
Target
1.803,36
1.847,91 10.427,56
Sumber: Dinas Bina Marga dan Cipta Karya Provinsi Aceh, 2011.
3.4 Kesimpulan dan rekomendasi 1. Kesimpulan: Uraian pada bagian diatas terlihat bahwa meskipun alokasi per bidang telah sesuai dengan prioritas yang disebutkan dalam UUPA, namun analisis terhadap komposisi program dan kegiatan per bidang masih dapat diperbaiki. Alokasi Dana Otsus per bidang menunjukkan konsistensi dengan ketentuan dalam UUPA dimana disebutkan bahwa pemanfaatan Otsus digunakan untuk bidang infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, sosial dan keistimewaan Aceh. Walaupun demikian, penelaahan lebih lanjut terhadap bauran program (program mix) dan terutama jenis kegiatan menunjukkan beberapa hal yang dapat diperbaiki antara lain: alokasi di sektor pertanian masih terlalu didominasi oleh alokasi untuk bantuan berupa benih, bibit dan input
45
Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
46
produksi lainnya, tingginya jenis kegiatan pendidikan yang sifatnya lebih kepada keindahan dan berskala kecil (pagar dan paving block), serta dominasi alokasi yang bersifat kuratif daripada preventif untuk bidang kesehatan. Rekomendasi: 1. Arahkan alokasi Dana Otsus kepada alokasi yang dapat mendukung kapasitas fiskal yang berkelanjutan. Salah satu prinsip yang sederhana dan bersifat intuitif dengan mengikuti “Hartwick’s Rule”11 yang pada mulanya digunakan untuk memandu alokasi pendapatan hasil eksplorasi sumber daya alam. “Hartwick’s Rule” menyebutkan bahwa jika ingin mempertahankan tingkat kemakmuran di masa depan maka pendapatan hasil sumber daya alam dimasa kini harus digunakan untuk pembentukan modal baik modal fisik maupun modal manusia. Alokasi untuk pembentukan modal fisik melalui pembangunan infrastruktur sudah merupakan prioritas yang tepat yang harus diiringi oleh pembentukan modal manusia dalam investasi di bidang pendidikan dan kesehatan. 2. Alokasi di bidang pendidikan untuk kegiatan berskala kecil sebaiknya diarahkan untuk dibiayai oleh APBK sehingga Otsus dapat difokuskan pada kegiatan yang bersifat stratejik. 3. Perlu dilakukan review atas program yang menjadi andalan di bidang pemberdayaan ekonomi dan peningkatan kemiskinan terutama mengenai efektivitas program yang bersifat memberikan bantuan input produksi seperti benih dan bibit dibandingkan program yang bersifat barang publik (public goods). 4. Di bidang kesehatan, perlu dilakukan kajian mengenai pola pembiayaan kesehatan yang bersifat kuratif, seperti Jaminan Kesehatan Aceh, untuk memastikan keberlanjutan program di masa depan. 2. Kesimpulan: Pemerataan alokasi Otsus antar daerah bisa diperbaiki. Formula yang digunakan saat ini yang serupa dengan DAU menghasilkan tingkat pemerataan yang sebanding dengan alokasi DAU. Secara Keseluruhan, alokasi Otsus tidak secara signifikan memperburuk ketimpangan fiskal antar daerah. Rekomendasi: 1. Pertahankan alokasi berdasarkan formula karena menimbulkan transparansi dan kepastian dalam alokasi. 2. Perlu dilakukan review terhadap formula alokasi yang menjamin peningkatan pemerataan fiskal. 3. Kesimpulan: Tidak semua pagu alokasi kabupaten/kota diterima secara utuh. Realisasi anggaran masih rendah untuk tahun 2009 namun mungkin membaik di TA 2010 seiring dengan penyerahan kewenangan pelaksanaan kepada kabupaten/kota.
11
Hartwick, John M. 1977. “Intergenerational Equity and the Investing of Rents from Exhaustible Resources.” American Economic Review 66: 972–74.
46
Bab 3 Gambaran Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
47
Rekomendasi: 1. Perlu ada mekanisme untuk mengembalikan pagu alokasi kabupaten/kota yang menjadi sisa lebih penggunaan anggaran, baik melalui labelisasi dan penganggaran kembali ataupun penyaluran yang bersifat transfer dari provinsi dengan mengikuti syarat-syarat yang telah diuraikan dalam Bab II. 2. Pemerintah Aceh dan DPRK perlu memperhatikan ketepatan waktu pengesahan anggaran, sehingga terdapat cukup waktu untuk pelaksanaan kegiatan dan dengan demikian memperbaiki tingkat realisasi anggaran. 4. Kesimpulan: Perkembangan Indikator Sosial Ekonomi pasca 2008 menunjukkan arah yang positif walaupun belum bisa diukur kontribusi Otsus dalam hal ini. Rekomendasi: 1. Salah satu indikator ekonomi yang masih perlu mendapatkan perhatian adalah tingkat kemiskinan yang masih tinggi dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Alokasi Otsus untuk pengurangan kemiskinan yang bertumpu pada BKPG perlu direview tingkat efektivitasnya, sementara untuk komponen-komponen dalam IPM yaitu: (i) angka harapan hidup bisa dipengaruhi oleh program di bidang kesehatan; (ii) angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah memerlukan program perluasan akses untuk sekolah menengah; (iii) konsumsi per kapita riil dipengaruhi oleh program bidang pemberdayaan ekonomi dan pengurangan kemiskinan.
47
BAB 4 PENELUSURAN OUTPUT PROYEK YANG DIBIAYAI DANA OTONOMI KHUSUS TAHUN ANGGARAN 2010 4.1 Pendahuluan Bagian ini akan membahas mengenai hasil survei penelusuran output dari proyek-proyek fisik yang didanai oleh Dana Otsus. Tujuan dari survei ini adalah untuk mengkaji efektivitas output dari proyekproyek yang didanai oleh Dana Otsus, khususnya untuk TA 2010, dalam hal fungsi, manfaat, dan keberlanjutannya. Survei ini dimaksudkan untuk menelusuri, mengobservasi, dan mengkaji proyekproyek yang didanai Dana Otsus di lapangan. Survei dilakukan terhadap proyek-proyek Otsus pada tiga sektor utama; infrastruktur, pendidikan dan kesehatan12. Survei dilakukan pada bulan Juni 2011 terhadap proyek-proyek Otsus tahun anggaran 2010 dan dilakukan di kabupaten yang mewakili sebaran geographis serta memiliki nilai alokasi Dana Otsus yang terbesar. Pemilihan daerah kota juga dilakukan terhadap kota yang relatif maju dan terpencil, seperti Banda Aceh dan Kota Subulussalam (Tabel 4.1). Tabel 4.1. Kabupaten/kota dan jumlah sampel proyek Kabupaten/Kota Kab. Aceh Selatan Kab. Aceh Timur Kab. Gayo Lues Kota Subulussalam Kota Banda Aceh Total
Sebaran Geografis Pantai Barat Pantai Timur Dataran tinggi Kota (kecil) Kota (besar)
Nilai Proyek (Rp Milyar) 103,48 145,70 130,20 67,18 30,80
Jumlah Populasi Proyek 60 128 71 35 24
Jumlah Sampel Proyek 25 55 30 15 11 136
Secara garis besar isu-isu yang ingin diteliti dalam survei ini adalah mencakup fungsionalitas, manfaat, dan keberlanjutan dari proyek-proyek yang didanai oleh dana Otsus. Rincian pertanyaan penelitian dan indikator kunci yang dikumpulkan dapat dilihat pada Tabel 4.2 dibawah ini:
12
48
Sampel proyek yang diteliti adalah merupakan 42,7 persen dari total proyek di 3 sektor tersebut.
Bab 4 Penelusuran Output Proyek yang Dibiayai Dana Otonomi Khusus Tahun Anggaran 2010
49
Tabel 4.2. Pertanyaan penelitian dan indikator kunci Pertanyaan Penelitian
Indikator Kunci
Apakah proyek-proyek tersebut berfungsi secara efektif?
% proyek yang digunakan dan difungsikan secara efektif
Apakah output yang dilaporkan sesuai dengan output aktual yang terdapat di lapangan?
% perbedaan antara output yang dilaporkan dan output yang disurvei di lapangan.
Apakah progres keuangan yang dilaporkan sesuai dengan progres fisik di lapangan?
% rata-rata perbedaan antara kemajuan keuangan yang dilaporkan dengan kemajuan fisik proyek tersebut.
Apakah pengelolaan proyek berjalan efektif?
- % proyek yang dibangun berdasarkan spesifikasi yang diusulkan. - % proyek yang selesai sesuai dana yang dianggarkan dan waktu yang ditetapkan.
Apakah proyek-proyek tersebut bermanfaat bagi para penerima manfaat yang ditargetkan?
- Tingkat kepuasan dari para penerima manfaat utama - Manfaat ekonomi dari proyek tersebut terhadap para penerima manfaat
4.2 Fungsionalitas Proyek Otsus Sebanyak 73 persen proyek yang dibiayai oleh dana otsus tahun anggaran 2010 telah berfungsi dengan baik dan telah digunakan. Survei yang dilakukan terhadap 136 sampel proyek, menemukan bahwa hanya sebanyak 37 proyek ditemukan tidak berfungsi dengan baik. Meskipun sarana-sarana ini telah berfungsi dan digunakan dengan baik, masih terdapat beberapa catatan terhadap beberapa proyek; seperti tidak sesuainya spesifikasi teknik pada kontrak dan realisasi di lapangan, serta kualitas proyek yang relatif rendah. Minimnya sarana pendukung serta kendala teknis administrasi Gambar 4.1. Fungsionalitas proyek, sektoral 90% merupakan alasan utama terhadap 83% 80% 75% 64% disfungsionalitas proyek. Sebanyak 70% 27 persen persen dari proyek otsus 60% 50% 2010 didapati tidak di fungsikan. 36% 40% Fasilitas yang tidak berfungsi ini 25% 30% 17% 20% sebahagian besar diakibatkan oleh 10% permasalahan teknis seperti; belum 0% selesainya pengerjaan proyek, tidak Pendidikan Infrastruktur Kesehatan tersedianya sarana pendukung Berfungsi Tidak berfungsi tambahan (alat peraga/alat Sumber: Survei Otsus, 2011. laboratorium pada sektor pendidikan dan kesehatan), termasuk belum terjadinya serah terima proyek antar pembangun dan pengguna.
49
50
Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
Proyek di sektor pendidikan memiliki fungsionalitas yang tinggi. Sebagian besar proyek fisik yang didanai oleh Dana Otsus disektor pendidikan adalah pembangunan ruang kelas belajar atau laboratorium sekolah. Sebanyak 73 sarana pendidikan atau 83 persen dari sampel di sektor pendidikan telah difungsikan dengan baik. Sebagian besar proyek yang belum difungsikan diakibatkan oleh belum tersedianya sarana pendukung seperti perlengkapan mobiler, alat laboratorium serta belum terjadinya serah terima antara pembangun dengan pemerintah (Gambar 4.1). Sektor kesehatan memiliki tingkat fungsional yang terendah. Terhitung sebesar 64 persen dari sarana kesehatan yang dibangun dengan Dana Otsus tahun 2010 belum difungsikan dengan baik. Sebagian besar sarana ini adalah Poskesdes dan rumah dokter yang belum ditempati. Minimnya tenaga medis seperti bidan dan dokter serta kurangnya peralatan merupakan penyebab utama dari tingkat fungsionalitas sektor ini cukup rendah. Belum ditempatkannya bidan desa pada proyek Poskesdes merupakan faktor utama tidak berfungsinya sarana ini. Pada kasus lainnya, bidan desa lebih memilih tinggal di rumah mereka sendiri dibandingkan di Poskesdes, diakibatkan lokasi yang relatif terpencil, serta kualitas proyek yang kurang memadai. Kotak 4.1. Perumahan Dokter RSU Meuraxa, Banda Aceh
Proyek Pembangunan Perumahan Dokter Rumah Sakit Umum (RSU) Meuraxa terletak di Kecamatan Banda Raya, Banda Aceh. Proyek tersebut dikerjakan oleh CV Mutiara Aceh dengan anggaran Rp. 347 juta. Proyek telah mencapai realisasi fisik dan keuangan 100 persen sejak Oktober 2010. Rumah dokter ini terdiri dari 2 unit type 70 terletak di komplek RSU Meuraxa. Secara teknis material rumah ini menggunakan pondasi tapak beton dan ikatan batu gunung. Seluruh struktur menggunakan beton bertulang. Dinding batubata, lantai keramik, plafond gypsum, rangka atap baja ringan dan bahan atap seng onduline. Luas lantai keseluruhan sebagaimana tertera dalam 2 Rencana Anggaran Biaya adalah 148,40 m . Direncanakan rumah dinas tersebut akan ditempati oleh dokter spesialis mata dan dokter spesialis radiologi, yang selama ini menempati rumah yang disewakan pihak RSU Meuraxa. Sampai saat ini rumah dinas ini belum dapat ditempati karena jalan akses masuk ke rumah tersebut belum ada, serta belum dibangunnya pagar pembatas antar rumah. Biaya penimbunan jalan telah diusulkan bersamaan biaya konstruksi rumah dan beberapa kegiatan prioritas lainnya pada tahun anggaran 2010. Namun pihak Pemerintah Kota Banda Aceh hanya menyanggupi anggaran kegiatan pembangunan rumah dinas pada tahun tersebut atas persetujuan pihak RSU. Sementara kegiatan penimbunan jalan akses ke rumah dinas direncanakan dilaksanakan pada tahun anggaran 2011.
50
Bab 4 Penelusuran Output Proyek yang Dibiayai Dana Otonomi Khusus Tahun Anggaran 2010
51
Secara umum, tingkat fungsionalitas relatif bervariasi antar sebaran geographis. Kabupaten yang terletak di pesisir pantai barat dan timur memiliki tingkat fungsionalitas yang hampir serupa, lebih besar daripada 70 persen, sedangkan daerah dataran tinggi dari Aceh memiliki tingkat fungsionalitas yang lebih tinggi, terhitung sebesar 80 persen. Variasi ini juga terjadi antar daerah yang dekat dengan pusat pemerintahan dan relatif terpencil (Gambar 4.2). Kota Banda Aceh sebagai ibukota provinsi memiliki tingkat disfungsionalitas yang tertinggi. Sebagian besar dari Proyek Otsus yang tidak berfungsi adalah proyek penyempurnaan distribusi air bersih dan penyelesaian ruang kelas belajar. Proyek ini sebagian besar belum berfungsi akibat permasalahan teknis seperti tekanan air yang rendah sehingga air belum dapat terdistribusi dengan baik di sektor infrastruktur. Di sektor pendidikan, masih terbatasnya peralatan laboratorium dan sarana penunjang lainnya merupakan faktor utama belum berfungsinya kelas yang telah dibangun.
Gambar 4.2. Fungsionalitas Proyek Otsus, kabupaten kota 2010 100% 87%
90%
80%
80%
75%
72%
70%
64%
60% 50% 36%
40% 30%
28%
25%
20%
20%
13%
10% 0% Aceh Selatan
Aceh Timur Berfungsi
Banda Aceh
Gayo Lues
Subulussalam
Tidak Berfungsi
Sumber : Survei Otsus, 2011.
Kota Subulussalam yang merupakan salah satu daerah pemekaran terbaru memiliki tingkat fungsionalitas Proyek Otsus tertinggi, sebesar 87 persen. Berbeda dengan kota Banda Aceh, sebagian besar proyek yang dilaksanakan di kota Subulussalam telah difungsikan dengan baik. Ruang kelas belajar di sektor kesehatan dan sejumlah rumah sehat telah difungsikan. Sarana yang tercatat kurang difungsikan dengan maksimal adalah adalah rumah sakit ibu dan anak, dikarenakan minimnya tenaga medis dan peralatan yang tersedia di rumah sakit pada saat survei dilaksanakan.
4.3 Kesesuaian output proyek dengan perencanaan proyek. Secara umum, 87 persen proyek yang dilaksanakan dengan Dana Otsus 2010 sesuai dengan kontrak pelaksanaan proyek. Berdasarkan pengamatan visual terhadap kondisi proyek-proyek sampel dan pemeriksaan terhadap dokumen-dokumen proyek yang tersedia, secara umum terlihat rata-rata tingkat kesesuaian antara output dan dokumen proyek, baik dari sisi fisik maupun realisasi keuangan.
Gambar 4.3. Proyek yang sesuai dengan kontrak
secara fisik tidak
25% 21% 20% 16% 15%
10%
9%
5%
0%
Proyek-proyek di sektor infrastruktur memiliki tingkat ketidak sesuaian tertinggi antara dokumen
Pendidikan
Infrastruktur
Kesehatan
Sumber:Survei Otsus, 2011.
51
52
Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
kontrak dengan kondisi fisik proyek. Ketidaksesuaian ini mencakup volume pengerjaan yang tidak sesuai dengan kontrak, kualitas yang buruk terhadap pengerjaan proyek, serta beberapa penyesuaian pengerjaan proyek yang tidak dilengkapi dengan dokumen-dokumen pendukung. Pada sektor kesehatan; kualitas dari pengerjaan proyek merupakan permasalahan utama disamping tidak sesuainya gambar pada dokumen perencanaan proyek dengan proyek yang dilaksanakan. Kotak 4.2. Pembangunan Mess Guru SDN 4 Pantan Cuaca (Remukut, Gayo Lues)
Bangunan Baru Mess Guru SDN 4 Pantan Cuaca, Gayo Lues Proyek Pembangunan Mess Guru SDN 4 Pantan Cuaca, dengan jumlah anggaran Rp. 169.413.000, berada di bawah Dinas Pendidikan dan Pengajaran (DIKJAR) Kabupaten Gayo Lues. Proyek ini berada di desa Remukut, Kecamatan Pantan Cuaca. Secara topografi SDN Pantan Cuaca terletak di daerah yang terpencil. Di desa tersebut terdapat 2 SD, yaitu SDN 4 dan SDN 5 Pantan Cuaca. Masih terbatasnya sarana dan prasarana, termasuk jalan menuju ke desa yang masih jalan tanah berbatu. Walaupun telah selesai dibangun, mess guru ini belum dimanfaatkan untuk tempat tinggal guru karena belum ada serah terima kunci dari kontraktor (masalah administrasi proyek). Proyek pembangunan mess guru ini pun dirasakan pihak sekolah bukan merupakan prioritas utama mengingat SDN 4 Pantan Cuaca telah memiliki mess 4 pintu (3 diantaranya dimanfaatkan sebagai tempat tinggal guru, sementaranya 1 lagi masih belum ditempati). Tampaknya mess yang sudah dibangun sebelumnya memiliki resiko yang tinggi karena terletak di bantaran sungai, sehingga dikhawatirkan apabila sungai meluap dapat membahayakan penghuni mess. Bagi pihak sekolah, yang menjadi prioritas utama bagi SDN 4 Pantan Cuaca adalah pembangunan pagar sekolah, karena sampai sekarang sekolah belum memiliki pagar yang permanen.
4.4 Manfaat proyek Secara umum, masyarakat penerima manfaat menyatakan bahwa Proyek Otsus yang dibangun pemerintah cukup bermanfaat. Sekitar 51 persen penerima manfaat menyatakan bahwa Proyek Otsus cukup bermanfaat, dan hanya 10 persen penerima manfaat menyatakan kurangnya manfaat dari Proyek Otsus yang didanai pada tahun 2010 di ketiga sektor kunci, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi penerima manfaat seperti tingkat fungsionalitas,
52
Bab 4 Penelusuran Output Proyek yang Dibiayai Dana Otonomi Khusus Tahun Anggaran 2010
kesesuaian tujuan proyek dan pertuntukan serta kualitas proyek merupakan faktor yang juga mempengaruhi persepsi penerima manfaat terhadap tingkat manfaat yang dirasakan.
53
Gambar 4.4. Tingkat manfaat Proyek Otsus, 2010 60% 51% 50% 40%
39%
Proyek-proyek di sektor pendidikan dianggap 30% proyek yang paling bermanfaat dibandingkan 20% dengan sektor lain. Sekitar 65 persen proyek 10% pendidikan dianggap oleh penerima manfaat 0% Sangat Bermanfaat Bermanfaat merupakan proyek yang sangat dirasakan manfaatnya. Sebagian besar dari proyek ini Sumber: Survei Otsus, 2011. diusulkan oleh dinas terkait, hanya sebagian kecil yang diusulkan oleh anggota dewan perwakilan rakyat kabupaten/kota.
10%
Kurang Bermanfaat
Proyek-proyek yang kurang bermanfaat didapati pada sektor infrastruktur. Meskipun terdapat 75 persen proyek di infrastruktur Gambar. 4.5 Tingkat manfaat Proyek Otsus, sektoral,2010 yang dianggap bermanfaat, sektor infrastruktur memiliki proyek yang dikategorikan 100% 4% 7% 90% kurang bermanfaat tertinggi 25% 25% 80% 36% dari proyek-proyek yang 70% disurvei, terhitung sebesar 25 60% 42% 50% persen. Rendahnya tingkat 40% 68% kepuasan penerima manfaat 30% 60% 20% di sektor infrastruktur 33% 10% terutama disebabkan karena 0% infrastruktur kesehatan pendidikan relatif rendahnya kualitas, belum selesainya pengerjaan Sangat Bermanfaat Bermanfaat Kurang Bermanfaat proyek sepenuhnya. Sumber: Survei Otsus, 2011.
53
54
Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
Kotak 4. 3. Pembangunan jembatan 4 unit (Desa Alue Bu Baroh, Aceh Timur) meningkatkan penjualan komoditas Kelapa
Pengelola proyek Pembangunan Jembatan Desa Alue Bu Baroh (4 Unit) ini mulai dari proses desain, pelelangan, sampai dengan tahapan pengawasan konstruksi adalah Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Aceh Timur. Proyek ini memiliki anggaran sebesar Rp. 563.999.000,- dan berlokasi di Desa Alue Bu Paroh, Kecamatan Peureulak Barat dan Desa Paya Dua, Kecamatan Peudawa. Jenis material jembatan (bangunan atas) dibuat dengan beton bertulang. Volume jembatan (bangunan atas) terdiri dari panjang satu 4 m, panjang dua 5 m, panjang tiga 6 m dan lebar 4 m serta tebal pelat lantai 20 cm dan reiling pengaman tersedia. Sedangkan jenis material jembatan (bangunan bawah), volume jembatan dengan abutment panjang 5,2 m dan lebar 2.3 m. Jembatan yang dibangun ini merupakan permintaan masarakat di Desa Alue Bu Jalan Baroh, karena masyarakat sangat membutuhkannya untuk kelancaran transportasi di desa tersebut. Meski memiliki beberapa masalah teknis (oprit pada dua jembatan cukup tinggi dan menggunakan material sirtu yang tidak dilapisi oleh aspal, serta 3 jembatan terletak di persimpangan jalan), pembangunan jembatan ini membawa manfaat ekonomi yang sangat besar bagi masyarakat Desa Alue Bu Baroh. Jembatan sebelumnya yang digunakan oleh masyarakat Desa Alue Bu Baroh adalah jembatan kayu. Jembatan kayu ini tidak pernah dilalui oleh mobil karena keterbatasan daya tahan beban jembatan tersebut, sehingga masyarakat kesulitan dalam mengangkut hasil panen mereka. Proyek ini merupakan permintaan masyarakat setempat dengan harapan mereka dapat mengangkut hasil panen ke pasar kecamatan dan kabupaten. Kelapa yang menjadi komoditi unggulan Desa Alue Bu Baroh, sekarang dengan mudah diangkut hasil panennya ke pasar dalam kuantitas yang lebih besar dari sebelumnya. Kemudahan dan kelancaran arus transportasi ini pada gilirannya juga menghemat biaya angkut komoditi. Pembangunan jembatan baru ini juga telah membuka usaha baru bagi masyarakat setempat seperti usaha ojek yang memanfaatkan kelancaran lalu lintas akibat kehadiran jembatan tersebut.
54
Bab 4 Penelusuran Output Proyek yang Dibiayai Dana Otonomi Khusus Tahun Anggaran 2010
55
4.5 Aspek keberlanjutan proyek Hampir keseluruhan proyek yang Gambar 4.6. Alokasi belanja pemeliharaan, Proyek Otsus 2010 dibangun merupakan aset 60% kabupaten/kota. Tercatat sebesar 95 persen dari proyek yang 50% dibangun di tiga sektor utama 40% tercatat sebagai aset 30% kabupaten/kota. Meskipun telah 54% diakui sebagai asset 20% kabupaten/kota, aset-aset yang 28% 24% 10% didanai oleh Dana Otsus ini belum 0% memiliki dokumen yang lengkap. Infrastruktur Kesehatan Pendidikan Belum adanya peraturan yang jelas terhadap pencatatan aset daerah Sumber: Survei Otsus, 2011. yang diperoleh dengan menggunakan Dana Otsus merupakan salah satu tantangan utama pengelolaan dana otsus. Secara umum, hanya 31 persen proyek yang didanai Otsus tahun 2010 telah menganggarkan belanja pemeliharaan proyek. Belum jelasnya sumber anggaran untuk pemeliharaan serta belum tercatatnya aset di neraca daerah merupakan salah satu faktor utama rendahnya alokasi belanja pemeliharaan sarana-sarana yang didanai Otsus. Sektor pendidikan terhitung sebagai sektor terendah yang belum menganggarkan belanja pemeliharaan terhadap proyek yang selesai dibangun. Rendahnya alokasi belanja pemeliharaan terhadap proyek-proyek ini menimbulkan resiko yang relatif besar terhadap keberlangsungan serta tingkat fungsionalitas dari sarana-sarana ini.
55
BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN UNTUK PERBAIKAN PEMANFAATAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH Berdasarkan temuan-temuan hasil kajian, tim pengkaji dapat merumuskan beberapa kesimpulan dan rekomendasi seperti diuraikan dalam matriks dibawah ini. Kajian Tata Kelola Aspek
Isu Utama
Rekomendasi (1) Pemerintah Pusat perlu meminimalkan keterlambatan transfer;
Penyaluran Dana dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Aceh
Walaupun Penyaluran Dana Otsus dari pemerintah pusat kepada Pemerintah Aceh selama periode 2009-2010 dari sisi ketepatan waktu mengalami beberapa kali keterlambatan transfer namun hal tersebut diperkirakan belum menghambat pelaksanaan kegiatan mengingat terlambatnya permulaan kegiatan di Aceh (karena kelambatan pengesahan APB). Sudah dilaksanakan langkah koreksi dengan menyederhanakan penyaluran menjadi 3 kali dari 4 kali pada tahun anggaran 2011.
Kerangka Kerja Utama Regulasi
Kerangka kerja utama regulasi saat ini yaitu Qanun no. 2/2008 disiapkan ketika Dana Otsus belum berjalan, setelah pelaksanaan selama kurang lebih 4 tahun, banyak pelajaran serta perkembangan baru yang perlu diakomodasi untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan Dana Otsus, seperti yang termaktub dalam bagian-bagian dibawah ini.
(2) Mekanisme penyaluran saat ini yang tidak mensyaratkan persentase penyerapan anggaran sudah tepat, karena jika penyerapan anggaran dijadikan persyaratan kemungkinan realisasi Dana Otsus yang diterima Aceh akan berkurang dari seharusnya; (3) Pemerintah pusat dapat mengarahkan efektivitas penggunaan Dana Otsus melalui mekanisme pemberian rekomendasi secara reguler mengenai pemanfaatan Dana Otsus kepada Pemerintah Aceh sesuai dengan kewenangan pembinaan keuangan daerah yang dimiliki pemerintah pusat. Perlu dilakukan pembaharuan/revisi atas kerangka kerja regulasi utama pelaksanaan dana otonomi khusus (Qanun 2/2008) secara periodik sehingga dapat mengakomodasi perkembangan-perkembangan baru serta pelajaran yang didapatkan dari pelaksanaan otonomi khusus.
Bab 5 Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Untuk Perbaikan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus Aceh
1. Proses perencanaan dan pemrograman kegiatan yang dibiayai oleh Dana Otsus menjadi salah satu titik lemah dalam tata kelola Dana Otsus. Proses perencanaan dan pemrograman kegiatan belum mengacu pada suatu dokumen perencanaan yang memiliki landasan kuat, sehingga terjadi pemilihan proyek yang belum sesuai dengan karakteristik Otsus.
Perencanaan dan Penganggaran Dana Otonomi Khusus
2. Proses penganggaran Dana Otsus untuk bagian alokasi Kabupaten masih ditandai dengan belum jelasnya prosedur penganggaran sisa lebih penggunaan anggaran yang menyebabkan bagian alokasi belum diterima secara utuh oleh kabupaten/kota. Alternatif pemikiran untuk menggunakan mekanisme transfer dari provinsi ke kabupaten/kota memang lebih menjamin keutuhan alokasi kabupaten/kota dan memperlancar pelaksanaan anggaran, namun memiliki kelemahan karena berpotensi menghilangkan sinergi perencanaan antar kabupaten/kota dan pemilihan kegiatan menjadi semakin tidak terkendali.
57
(i)
Pemerintah Aceh perlu segera menerbitkan rencana induk pemanfaatan Dana Otonomi Khusus, dilanjutkan dengan penerapan yang ketat dari rencana tersebut dan memberikan bobot politik dan hukum kepada rencana induk (misalnya dengan menjadikannya sebagai Qanun), sehingga rencana induk tersebut dapat menjadi dokumen rujukan bagi pengusulan program dan kegiatan yang akan dibiayai oleh Dana Otsus;
(ii)
Diperlukan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang tegas mengenai jenis-jenis kegiatan yang dapat dibiayai oleh Dana Otsus. Dalam rangka mengarahkan pemilihan kegiatan pada kegiatan yang bersifat strategis sesuai dengan karakteristik dana tersebut.
Jika mekanisme transfer dari provinsi hendak dilaksanakan perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu: (i)
Transfer hanya bisa dilaksanakan jika telah tersedia acuan pemilihan kegiatan dalam bentuk rencana induk penggunaan Dana Otsus, disertai kriteria yang jelas mengenai jenis kegiatan yang dapat dibiayai oleh Dana Otsus;
(ii)
Provinsi memiliki kewenangan untuk menyetujui kegiatan yang dapat dibiayai dana Otsus untuk menjaga koherensi program dan sinkronisasi dengan rencana jangka panjang pemanfaatan Otsus;
(iii)
fungsi monitoring dan evaluasi provinsi perlu diperkuat dengan kewenangan untuk memberikan sanksi seperti menunda penyaluran dana jika ditemukan penggeseran kegiatan dari yang
57
Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
58
sebelumnya telah disepakati; (iv)
Pelaksanaan Anggaran Dana Otonomi Khusus
58
Pelaksanaan Anggaran Dana Otsus telah mengalami perbaikan sejak pertama kali diselenggarakan pada tahun 2008, seiring dengan pemberian kewenangan yang lebih besar pada SKPK, namun pelaksanaan Dana Otsus masih diwarnai oleh sempitnya waktu pelaksanaan karena terlambatnya pengesahan APBA.
penganggaran transfer pada APBK dilakukan setelah provinsi memberikan pagu indikatif di awal tahun anggaran untuk mencegah terhambatnya proses penganggaran.
Pemerintah Aceh bersama-sama dengan DPRA perlu memperkuat komitmen terhadap pengesahan APBA tepat waktu setiap tahunnya sesuai dengan yang direncanakan.
Bab 5 Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Untuk Perbaikan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus Aceh
59
Kajian Pola Alokasi Aspek
Isu Utama 1. Alokasi per bidang telah sesuai dengan prioritas yang disebutkan dalam UUPA, dimana alokasi terbesar diperoleh bidang infrastruktur, diikuti oleh bidang pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan keistimewaan Aceh.
Pola Alokasi antar Bidang, Program, dan Kegiatan 2.
3.
4.
13
Masih besarnya porsi ouput kegiatan berskala kecil dan tidak terlihat strategis, seperti pembangunan pagar, paving block dan toilet. Bauran program di sektor pertanian dan perkebunan (yang menjadi andalan bidang pemberdayaan ekonomi) porsinya lebih besar pada bantuan langsung input produksi (benih, bibit, pupuk, dll) daripada penyediaan public goods seperti irigasi, jalan tani, kilang bersama. Program di bidang kesehatan didominasi oleh pemberian layanan kesehatan sementara alokasi untuk program yang bersifat preventif lebih sedikit.
Rekomendasi Arahkan alokasi Dana Otsus kepada alokasi yang dapat mendukung kapasitas fiskal yang berkelanjutan. Salah satu prinsip yang sederhana yang dapat diikuti adalah “Hartwick’s 13 Rule” yang menyebutkan bahwa untuk pendapatan yang terbatas waktu penerimaannya, maka pendapatan tersebut harus digunakan untuk pembentukan modal baik modal fisik (seperti infrastruktur) maupun modal manusia (pendidikan, kesehatan) dan tidak untuk konsumsi saat ini. Alokasi untuk pembentukan modal fisik melalui pembangunan infrastruktur sudah merupakan prioritas yang tepat yang harus diiringi oleh pembentukan modal manusia dalam investasi di bidang pendidikan dan kesehatan. Alokasi kegiatan berskala kecil dapat diarahkan untuk dibiayai oleh APBK sehingga Otsus dapat difokuskan pada kegiatan yang bersifat strategis. Perlu dilakukan kajian mengenai efektivitas bantuan langsung input produksi pada peningkatan produksi agar program yang menjadi tulang punggung pemberdayaan ekonomi dapat mencapai tujuannya. Model pelayanan kesehatan yang bertumpu pada jaminan kesehatan yang dibiayai Dana Otsus perlu dikaji agar dapat berkelanjutan setelah Otsus tidak ada.
Pada mulanya digunakan sebagai panduan untuk mengelola pendapatan dari sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Hartwick, John M. 1977. “Intergenerational Equity and the Investing of Rents from Exhaustible Resources.” American Economic Review 66: 972–74.
59
Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus
60
Pola Alokasi antar Daerah
Pola alokasi yang menggunakan formula serupa dengan DAU menghasilkan tingkat pemerataan fiskal antar daerah yang serupa.
1. Pertahankan alokasi berdasarkan formula disertai dengan publikasi data dasar perhitungannya untuk meningkatkan transparansi dan kepastian dalam alokasi. 2. Perlu dilakukan review periodik terhadap formula alokasi untuk menjamin peningkatan pemerataan fiskal.
60
Bab 5 Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Untuk Perbaikan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus Aceh
61
Kajian Penelusuran Output Aspek
Fungsionalitas Proyek
Isu Utama
26,5% dari output kegiatan TA 2010 yang menjadi sampel belum berfungsi.
Rekomendasi Salah satu penyebab ketidak berfungsian adalah penyelesaian proyek yang tidak tuntas dalam satu tahun anggaran. Perlu dipertimbangkan untuk berfokus pada satu proyek hingga tuntas daripada banyak proyek yang dibangun tapi tidak sampai tuntas. Penyebab lain dari ketidakberfungsian adalah tiadanya personil yang menempati fasilitas tersebut (rumah dinas, polindes). Perlu dipikirkan efektivitas dari kegiatan pembangunan fasilitas dibandingkan dengan alternatifnya seperti bantuan transportasi untuk mobilitas atau pendidikan bagi warga setempat dalam penanganan kesehatan.
Tingkat Realisasi Proyek
Secara umum rata-rata tingkat kesesuaian antara output dan dokumen proyek, baik dari sisi fisik maupun keuangan, berada di atas 97%, namun namun survei belum dapat mengukur efisiensi pelaksanaan proyek.
Pengukuran efisiensi juga penting agar setiap rupiah anggaran yang dikeluarkan dapat dimanfaatkan secara optimal. Karena itu pengukuran melalui audit keuangan atau audit kinerja yang lebih bersifat mendalam daripada survei perlu dilakukan.
Manfaat Proyek
Tingkat kepuasan penerima manfaat terhadap output proyek di lima kabupaten/kota sampel secara keseluruhan cukup bervariasi. Persepsi penerima manfaat terhadap manfaat proyek dipengaruhi oleh tingkat fungsionalitas proyek, dan kesesuaian output proyek dengan peruntukan dan/atau kontrak.
Tingkat keberfungsian perlu ditingkatkan agar manfaat dapat dirasakan oleh penerima manfaat
Keberlanjutan Output
Sebagian besar output proyek masih belum memiliki anggaran yang jelas untuk pemeliharaannya.
Perlu dilakukan penuntasan transfer aset proyek sehingga SKPK/SKPA yang bersangkutan dapat menganggarkan biaya pemeliharaan dimasa depan.
61
Bab 5 Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Untuk Perbaikan Pemanfaata 63