EVALUASI KINERJA DANA OTONOMI KHUSUS DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Abstrak Setelah reformasi keuangan negara, rakyat Indonesia bersemangat tinggi untuk semakin dapat mengetahui sejauh mana akuntabilitas kinerja kegiatan-kegiatan pemerintah baik di Pemerintah Pusat dan Daerah dalam segala bidang, termasuk mengenai penggunaan Dana Otonomi Khusus. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang mendapakan Dana Otonomi Khusus dari Pemerintah Pusat (Dana Otsus) karena merupakan Daerah Istimewa. Dana Otsus di Propinsi Yogyakarta selama ini telah dipergunakan dalam lima bidang kegiatan yaitu tata cara pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur, kelembagaan Daerah Istimewa Yogyakarta, kebudayaan, pertanahan dan tata ruang. Dalam artikel ini akan mencoba melakukan evaluasi kinerja pengimplementasian Dana Otonomi Khusus yang selama ini telah diterima di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kata Kunci : reformasi keuangan negara, evaluasi kinerja, Dana Otonomi
1
Khusus, Daerah Yogyakarta.
Istimewa
Abstract After the reform of state finances, Indonesian people has high demand to determine the extent of the performance accountability of government activities in all fields in Central and Local Governments, include Special Autonomy Fund. Yogyakarta Special Region is one of the provinces in Indonesia which is assigned the mandate of the Central Government that the Special Autonomy Fund (Autonomy). Special Autonomy Fund in Yogyakarta Special Regiaon during this time is used in five areas of activities namely the procedures for filling the post of governor and deputy governor, institutional Yogyakarta, culture, land and spatial planning. In this article will try to evaluate the performance of the implementation of the special autonomy funds for this in Yogyakarta. Keywords: reform of state finances, performance evaluation, Special Autonomy Fund, Yogyakarta Special Region..
2
Pendahuluan Setelah reformasi di Indonesia tahun 1998, reformasi terjadi di semua bidang termasuk bidang keuangan negara. Negara kita saat ini sedang mengalami masa pemulihan akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Salah satu upaya untuk
mengembalikan
kepercayaan
rakyat
kepada pemerintah, yaitu dengan berusaha mewujudkan suatu pemerintahan yang bersih dan berwibawa atau yang lebih sering disebut dengan good governance. Arie Soelendro mengemukakan “beberapa unsur terwujudnya good governance ini adalah transparency, fairness, responsibilty dan accountability” (Arie Soelendro 2000, 1). Sedangkan Hadori Yunus (2000:1)
mengemukakan
“bahwa
aspek
terwujudnya good governance adalah tuntutan keterbukaan
(transparency),
peningkatan
efisiensi di segala bidang (efficiency), tanggung jawab yang lebih jelas (responsibility) dan kewajaran (fairness)” (Hadori Yunus, 2000;1). Sehingga pemerintah sebagai pelaku utama
3
terlaksananya good governance, dituntut untuk memberi
pertanggungjawaban
dan
pertanggungjelasan kepada masyarakat. Memasuki era reformasi, rakyat Indonesia mulai membahas laporan pertanggungjawaban kepala daerah masing-masing. Beberapa kali terjadi pernyatan ketidakpuasan atas kepemimpinan kepala daerah dalam melakukan pelayanan kepada
masyarakat
maupun
penggunaan
anggaran daerah. Masyarakat saat ini semakin ingin tahu akuntabilitas pemerintah, tidak hanya pertanggungjawaban keuangan saja tetapi juga pertanggunjawaban kinerja, apakah pemerintah yang dipilh telah menjalankan amanah dengan ekonomis, efisien dan efektif. Setelah reformasi, pada tahun 2001 Indonesia memasuki
era
otonomi
daerah.
Dengan
berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839). Pada Tahun 2004 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
4
dianggap sudah tidak sesuai lagi sehingga diganti menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437). Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hingga saat ini telah mengalami beberapa kali perubahan, terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang
Nomor
Pemerintahan
32
Daerah
Tahun
2004
tentang
(Lembaran
Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Nomor 4844). Selain
disyahkan
Undang-Undang
tentang
Pemerintahan Daerah, juga disyahkan UndangUndang Nomor 25 Tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah
Daerah,
yang
kemudian
diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Hal tersebut memberikan
5
kewenangan
daerah
untuk
melakukan
pengelolaan keuangan daerah dalam sebuah sistem.
Pengelolaan
keuangan
daerah
merupakan sub sistem dari sistem pengelolaan keuangan negara dan merupakan elemen pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selain beberapa Undang-Undang tersebut, masih terdapat
beberapa
peraturan
perundang-
undangan yang menjadi acuan pengelolaan keuangan daerah, antara lain: Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan
Undang
Nomor
15
Negara,
Tahun
2004
Undangtentang
Pemeriksaan Pengeloaan dan Tanggung jawab Keuangan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Selanjutnya secara teknis pengelolaan
keuangan
daerah
berpedoman
kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah menjadi Peraturan Menteri Dalam Negeri
6
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Setelah pelaksanaan otonomi daerah, maka hak bagi
pemerintah
daerah
untuk
dapat
menunjukkan kemampuannya untuk mengelola daerah
dan
mempertanggungjawabkannya
kepada masyarakat. Sumber-sumber keuangan yang menjadi penerimaan pemerintah daerah terdiri dari Pendapatan Asli daerah (PAD), Dana Perimbangan dan Lain-Lain Pendapatan yang sah diatur dalam Undang-Undang nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Demikian juga dengan salah satu daerah di Indonesia yang memperoleh hak keistimewaan yaitu Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai daerah istimewa yang dulu pernah menjadi Ibukota Negara Republik Indonesia dan sangat aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah, setiap tahun Daerah
Istimewa
Yogyakarta
(DIY)
7
mendapatkan hak dari Pemerintah Pusat tidak hanya Dana Alokasi Umum (DAU) saja, melainkan juga mendapatkan Dana Alokasi Khusus (DAK) serta Dana Otonomi Khusus yang merupakan sumber pendapatan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dana Alokasi
Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK)
merupakan
Dana
Perimbangan.
Sedangkan Dana Otonomi Khusus merupakan Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah. Dalam artikel ini akan membahas evaluasi penilaian kinerja Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya dalam hal penggunaan dana otonomi khusus. Evaluasi akan dilakukan melalui data sekunder yang diperoleh serta pengalaman dan pengamatan penulis selama ini sebagai warga Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta Kondisi Geografis Daerah Menurut Bappeda DIY, “Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di Pulau jawa bagian tengah
8
dengan sisi selatan dibatasi Samudra Indonesia. Sedangkan di bagian lainnya dibatasi Wilayah Propinsi Jawa Tengah yang meliputi” (Bappeda DIY, 2013) ; •
Sebelah Timur Laut berbatasan dengan Kabupaten
Klaten
dan
Kabupaten
Sukohardjo. •
Sebelah Timur dan Tenggara berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri.
•
Sebelah
Barat
berbatasan
dengan
Kabupaten Purworejo. •
Sebelah Barat Laut berbatasan dengan Kabupaten Magelang.
•
Sebelah
Utara
berbatasan
dengan
Kabupaten Boyolali. Menurut Bappeda DIY 2013, “ Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri atas satu kota dan empat kabupaten dengan 78 kecamatan dan 438 desa/kelurahan,
dengan
perincian
sebagai
berikut”: •
Kota
Yogyakarta
terdiri
atas
14
kecamatan dan 45 kelurahan/desa
9
•
Kabupaten
Bantul
terdiri
dari
17
kecamatan, 75 kelurahan/desa •
Kabupaten Kulon Progo terdiri atas 12 kecamatan, 88 kelurahan/desa
•
Kabupaten Gunung Kidul terdiri atas 18 kecamatan dan 144 kelurahan/desa
•
Kabupaten
Sleman
terdiri
atas
17
kecamatan dan 86 kelurahan/desa Akuntabilitas Kinerja Menurut Rowan Jones dan Maurice Pendlebury “ Akuntabilitas diartikan sebagai hubungan antara pihak yang memegang kendali dan mengatur entitas dengan pihak yang memiliki kekuatan formal atas pengendali tersebut “ (Rowan Jones dan Maurice Pendlebury, 1996) Akuntabilitas itu sendiri dapat dipandang dari berbagai perspektif. Dari perspektif Akuntansi, American mengemukakan
Accounting bahwa
Association
akuntabilitas
suatu
entitas pemerintahan dapat dibagi dalam empat kelompok, yaitu akuntabilitas terhadap : 1. Sumber daya finansial
10
2. Kepatuhan terhadap aturan hukum dan kebijaksanaan administratif 3. Efisisensi
dan
ekonomisnya
suatu
kegiatan 4. Hasil program dan kegiatan pemerintah yang tercermin dalam pencapaian tujuan, manfaat dan efektifitas. Sedangkan dari perspektif fungsional, American Accounting Association mengemukakan bahwa akuntabilitas dilihat sebagai suatu tingkatan dengan lima tahap yang berbeda yaitu ; 1. Probity and legally accountability, hal ini
menyangkut
penggunaan
pertanggungjawaban
dana
sesuai
dengan
anggaran yang telah disetujui dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (compliance). 2. Process
accountability,
menggunakan
proses,
ukuran-ukuran
dalam
prosedur
yaitu atau
melaksanakan
kegiatan yang ditentukan.
11
3. Performance accountability, pada tahap ini dilihat apakah kegiatan yang telah dilakukan sudah memenuhi kriteria value for money, efeien, efektif dan ekonomis. 4. Program accountability, dalam tahap ini dilakukan pemilihan berbagai kebijakan yang akan diterapkan Kinerja Keuangan Menurut Laporan Kinerja Instansi Pemerintah “Desentralisasi
fiskal
bertujuan
untuk
mendekatkan pemerintah dengan masyarakat daerah. Dengan desentralisasi fiskal, preferensi masyarakat akan pelayanan publik akan lebih terungkap dan lebih dapat dipenuhi. Tujuan desentralisasi fiskal adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat”. Pengelolaan keuangan daerah Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta
berpedoman
kepada
Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Pengelolaan
12
keuangan daerah Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dilaksanakan berdasarkan prinsip kehati-hatian, akuntabilitas, transparansi dan tepat guna, berorientasi kepada value for money. Sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah dituangkan dalam Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 30 Tahun 2015 tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan Daerah. Sejak tahun 2010 dari sisi pertanggungjawaban dan
pelaporan
keuangan,
bahwa
laporan
keuangan Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atau unqualified opinion dari
Badan
Dengan
Pemeriksa
mendapatkan
Keuangan opini
WTP
(BPK). maka
mencerminkan komitmen Pemerintah Propinsi DIY
untuk
menyelenggarakan
administrasi
keuangan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan yang berlaku. Opini audit ini merupakan
bukti
nyata
tentang
kualitas
pengelolaan keuangan Pemerintah DIY.
13
Perubahan standar akuntansi pemerintahan dari cash basis menuju kepada accrual basis (sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004) mampu diatasi dengan baik sehingga opini WTP bisa tetap dipertahankan. Sesuai dengan tujuan desentralisai fiskal yaitu memanfaatkan seoptimal mungkin Pendapatan Asli
Daerah
(PAD).
Namun
mengingat
Pemerintah DIY tidak memiliki sumber daya alam (SDA) yang melimpah maka optimalisasi PAD dilakukan dengan meningkatkan berbagai sumber terutama sektor pariwisata yang menjadi keuanggulan Pemerintah Daerah DIY. Meskipun Pendapatan Asli Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta meningkat dalam lima tahun terakhir ini, namun belanja Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta masih didukung oleh
Dana
Perimbangan
sebagai
sumber
utamanya. Dana Perimbangan Instrumen
utama
desentralisasi
fiskal
di
Indonesia adalah dana transfer ke daerah. Dana
14
transfer ini meliputi Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus. Dana Perimbangan merupakan komponen terbesar dana transfer ke daerah. Dana Perimbangan ini bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah. Dana Perimbangan berperan penting untuk mendanai penyelenggaraan pemerintah daerah. Setiap
jenis
dana
perimbangan
memiliki
fungsinya masing-masing. Dana Bagi hasil berperan sebagai penyeimbang fiskal antara Pemerintah Pusat dan daerah. Dana Alokasi Umum (DAU) berperan sebagai pemerataan fiskal antar daerah sedangkan Dana Alokasi Khusus (DAK) berperan sebagai dana yang didasarkan pada kebijakan yang bersifat khusus untuk membiayai pelaksanaan program-program prioritas nasional di daerah. Selama tahun 2011-2015, Dana Perimbangan Pemerintah
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 9,0 persen per tahun. Dana
15
Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. Dana Bagi Hasil mengalami penurunan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar -6,67 persen per tahun. Sebaliknya Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus mengalami peningkatan
dengan
pertumbuhan
rata-rata
10,35 persen dan 19 persen per tahun. Besarnya Dana Alokasi Umum yang ditransfer ke daerah ditentukan oleh Alokasi dasar (AD) dan Celah Fiskal (CF). Faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi dasar adalah gaji PNS di daerah. Sedangkan Celah Fiskal merupakan selish antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal, yang dipengaruhi oleh jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Kemahalan Konstruksi dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita serta besarnya belanja daerah. Kapasitas fiskal adalah penjumlahan Pendapatan Asli daerah (PAD), Dana Bagi Hasil Pajak, Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam. Apabila variabel-variabel
16
tersebut diproyeksi maka akan dapat diproyeksi juga besaran DAU yang akan diterima daerah. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Penyesuaian Otonomi Khusus DIY merupakan sumber pendapatan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta. DAU dan DAK
merupakan
bagian
dari
Dana
Perimbangan. Sedangkan Dana Otonomi Khusus merupakan Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah. Rata-rata
persentase
DAU
terhadap
Dana
Perimbangan sebesar 82 persen. Sementara itu, persentase DAK dan Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak masing-masing sebesar 8 persen dan 10 persen.
17
Tabel 1: Dana Perimbangan DIY Tahun 2009-2016 (dalam jutaan Rupiah)
Tahu
Dana
Dana
Dana
Dana
n
Perimbang
Bagi
Aloka
Aloka
an
Hasil
si
si
Pajak
Umum Khusu
&Bagi
s
Hasil Bukan Pajak 2009
618,382
61,052 523,92
33,41
2010
615,335
76,479 527,47 11,384 1
2011
714,542
74,24
620,81
19,49
2 2012
850,513
74,404 757,05 19,053 7
2013
961,191
98,36
828,33 34,496 5
2014
1,038,621
101,56 899,92 37,132 6
4
18
2015
1,046,869
87,24
920,54 39,084 5
2016
1,768,772
108,90 940,83 719,03 2
5
4
Sumber : Kemenkeu, 2016
Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah Selama kurun waktu 2011-2015, Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah Pemerintah Daerah
Istimewa
Yogyakarta
mengalami
peningkatan, dengan tingkat pertumbuhan ratarata sebesar 166,7 persen per tahun. Hal ini disebabkan adanya Dana Keistimewaan yang telah diterima oleh DIY sejak tahun 2013 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang
Keistimewaan
Yogyakarta.
Daerah
Istimewa
Pemerintah Daerah Istimewa
Yogyakarta mendapatkan Dana Keistimewaan untuk
dialokasikan
pada
lima
urusan
keistimewaan, yaitu
19
1) Tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur 2) Kelembagaan Pemerintah Daerah DIY 3) Kebudayaan 4) Pertanahan 5) Tata Ruang Sebenarnya yang termasuk dalam komponen Lain-Lain Pendapatan Yang Sah adalah Hibah, Dana Darurat, Dana Bagi hasil Pajak dari Propinsi dan Pemda Lainnya, Dana Otonomi Khusus
(Otsus),
Bantuan
Keuangan
dari
Propinsi dan Pemda Lainnya serta lain-lain. Namun untuk Daerah Istimewa Yogyakarta selama Tahun 2009-2016 hanya ada dua sumber yaitu Dana Otsus dan Hibah.
20
Tabel 2: Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah DIY Tahun 2009-2016 (dalam jutaan Rupiah) Tahun
Lain-Lain
Hibah
Dana
DBH
Dana
Bantuan
Lain-
Darurat
pajak
Penyesuaian
Keuangan
Lain
Daerah
dari
dan Otsus
dari
Yang Sah
Propinsi
Propinsi
dan
atau Pemda
Pemda
lainnya
pendapatan
Lainnya
2009
6,361
3,827
-
-
2,534
-
-
2010
4,057
4,057
-
-
-
-
-
2011
4,594
4,594
-
-
-
-
-
2012
284,778
5,496
-
-
279,282
-
-
2013
311,575
8,815
-
-
302,759
-
-
2014
827,838
9,177
-
-
818,662
-
-
2015
924,194
9,015
-
-
915,178
-
-
2016
599,117
10,956
-
-
588,161
-
-
Sumber : Kemenkeu, 2016 Dana keistimewaan DIY berbeda dengan dana otonomi khusus yang diberikan kepada Propinsi Papua dan Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD), dimana Dana Otsus untuk Propinsi Papua
dan
NAD
merupakan
tanggapan
21
Pemerintah
Pusat
atas
tekanan
seputar
pembagian penerimaan sumber daya alam. Dana Otsus
memberikan
70
persen
penerimaan
sumber daya alam kepada masing-masing Propinsi Papua dan NAD serta tambahan penerimaan dari migas diterima langsung oleh Pemerintah Propinsi Papua dan NAD yang bertanggungjawab
akan
penggunaan
dana
kepada seluruh kabupaten dan kota dengan formulanya sendiri. Dana Keistimewaan DIY sama sekali tidak berkaitan
dengan
pembagian
penerimaan
sumber daya alam sehingga besarnya tidak sebesar Dana Otsus untuk Propinsi Papua dan NAD. Dana Keistimewaan DIY bersifat historis dan
lebih
mencerminkan
keinginan
dari
masyarakat dan bersifat bottom up. Sifat lain dari Dana Keistimewaan DIY ini adalah bahwa dana ini tidak berpagu dan tidak berjangka waktu. Pemerintah DIY diberikan kewenangan untuk
mendefinisikan
kewenangannya
dan
menuangkan dalam Peraturan Daerah Istimewa (Perdais).
22
Untuk
memperjelasnya,
bersama
ini
disampaikan
gambar
struktur
urusan
pemerintahan
dalam
pengelolaan
Dana
Keistimewaan DIY ;
Sumber : Kemenkeu, 2016
23
Sedangkan Pendanaan Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sesuai dengan sumber dari Kementrian Keuangan digambarkan sebagai berikut:
Sumber : Kemenkeu, 2016
24
Tahap-tahap pengalokasian Dana Keistimewaan DIY sesuai dengan PMK 124/PMK.07/2015 dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Gubernur
DIY
mengajukan
usulan
rencana kebutuhan Dana Keistimewaan DIY yang dilengkapi dengan rerangka acuan kerja (program/kegiatan) kepada Menteri
Keuangan
c.q.
Dirjen
Perimbangan Keuangan paling lambat minggu pertama Januari. 2) Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri dan Kementrian (K) /Lembaga Pemerintah Non Kementrian (LPNK) terkait, melakukan penilaian kelayakan program/kegiatan Keistimewaan
DIY.
usulan
Dana
Hasil
penilaian
dituangkan dalam berita acara paling lambat minggu kedua Januari. 3) Direktorat
Jenderal
Perimbangan
Keuangan bersama dengan Direktorat Jenderal Keuangan dan Badan Kebijakan
25
Fiskal melakukan pengkajian usulan Dana Keistimewaan DIY. 4) Direktorat Keuangan
Jenderal
Perimbangan
menyampaikan
indikasi
kebutuhan Dana Keistimewaan kepada Direktorat
Jenderal
Anggaran
Kementrian Keuangan pada minggu ketiga Januari. 5) Menteri Keuangan menetapkan pagu indikasi dan pagu anggaran akhir Juni sesuai PMK 177 Tahun 2014 tentang Tata Cara Perencanaan, Penelaahan dan Penetapan Alokasi Bagian Anggaran (BA) Bendahara Umum Negara (BUN). 6) Pagu
indikatif
dibahas
dan
dengan
pagu
Dewan
anggaran Perwakilan
Rakyat (DPR) dan ditetapkan menjadi alokasi Dana Keistimewaan DIY dalam Peraturan Presiden (Perpres) mengenai rincian
Anggaran
Pendapatan
dan
Belanja Negara (APBN) setelah UndangUndang
Anggaran
Pendapatan
dan
Belanja Negara (UU APNB) disyahkan.
26
Ketentuan Penyaluran Dana Keistimewaan DIY sesuai
Kementrian
Keuangan
Republik
Indonesia adalah sebagai berikut ; 1) Penyaluran Dana Keistimewaan DIY dilakukan melalui tata cara pemindah bukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah. 2) Penyaluran Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dilakukan secara bertahap pencapaian
sesuai kinerja
dengan dengan
laporan rincian
sebagai berikut: a. Tahap 1 disalurkan sebesar 15% dari pagu dana keistimewaan; b. Tahap II disalurkan sebesar 65% dari pagu dana keistimewaan setelah laporan pencapaian kinerja tahap 1 mencapai minimal 80%; dan c. Tahap III disalurkan sebesar 20% dari pagu dana keistimewaan setelah laporan pencapaian kinerja tahap 1 dan tahap II mencapai minimal 80%.
27
3) Penyaluran Dana Keistimewaan DIY dilakukan berdasarkan Surat Permintaan Penyaluran Dana Keistimewaan yang disampaikan oleh Gubernur DIY atau pejabat yang diberi kuasa kepada Kuasa Pengguna
Anggaran
Dana
Keistimewaan. 4) Surat
Permintaan
Penyaluran
Dana
Keistimewaan DIY disampaikan paling lambat tanggal 1 November. 5) Syarat Penyaluran Dana Keistimewaan DIY tahap 1 : a) Peraturan
daerah
mengenai
APBD tahun anggaran berjalan; b) SPTJM yang ditandatangani oleh Gubernur DIY atau pejabat yang diberi kuasa; c) Rencana
penggunaan
dana
keistimewaan tahap 1; d) Laporan
realisasi
penyerapan
dana keistimewaan tahap akhir tahun anggaran sebelumnya yang telah diverifikasi;
28
e) Laoran pencapaian kinerja dana keistimewaan tahap akhir tahun anggaran sebelumnya yang telah diverifikasi
kepada
Direktur
Jenderal Perimbangan Keuangan 6) Syarat Penyaluran Dana Keistimewaan DIY tahap II / III : 1) SPT JM yang ditandatangani oleh Gubernur DIY atau pejabat yang diberi kuasa; 2) Rencana
penggunaan
dana
keistimewaan tahap II / III; 3) Laporan
realisasi
penyerapan
dana keistimewaan tahap I /II yang telah diverifikasi kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. 7) Sisa anggaran Dana Keistimewaan DIY yang tidak terserap dan berada di Kas Daerah
Pemerintah
diperhitungkan
sebagai
DIY
akan
pengurang
penyaluran Dana Keistimewaan tahap 1 pada Tahun Anggaran berikutnya.
29
Menurut
Dinas
Pengelolaan
Pendapatan
Keuangan dan Aset (DPPKA) DIY, secara ringkas pengelolaan dana keistimewaan DIY adalah sebagai berikut : Setelah Dana Keistimewaan diterima maka: 1) Dianggarkan pada kelompok Pendapatan Lain-Lain 2) Jenis Pendapatan dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus 3) Obyek
Pendapatan
Dana
Otonomi
Khusus dan Rincian Obyek Pendapatan Dana Keistimewaan DIY
30
Di bawah ini adalah usulan, alokasi dan realisasi Dana Keistimewaan DIY Tahun 2013-2017; Tabel 3:Usulan, Alokasi dan Realisasi Dana Keistimewaan DIY Tahun 2013 - 2017 Tahu
Usulan
Alokasi
Realisasi
%
n
Rea
Angg
l
aran
thd Alo kasi
2013 2014 2015 2016 2017
535.214.0
231.392.
54.562.1
23,5
33.670
653.500
80.053
8%
787.703.7
523.874.
272.056.
51,9
69.500
719.000
608.289
3%
1.023.273.
547.450.
477.494.
87,2
302.700
000.000
515.166
2%
1.397.466.
547.450.
???
???
516.999
000.000
1.573.834.
???
???
???
354.400 Sumber : Kemenkeu, 2016
31
Kronologis Penyaluran Dana Keistimewaan DIY
Tahun
2016
Tahap
1
(pertama)
digambarkan sebagai berikut :
32
Sumber
:
Dinas
Pengelolaan
Pendapatan
Keuangan dan Aset (DPPKA) DIY, 2016
33
Sumber
:
Dinas
Pengelolaan
Pendapatan
Keuangan dan Aset (DPPKA) DIY, 2016
Penilaian Kelayakan Program / Kegiatan Sesuai dengan Kementrian Keuangan Republik Indonesia bahwa penilaian akuntabilitas kinerja
34
Dana
Otsus
Daerah
Istimewa
dinilai
usulan
dengan
berdasarkan; 1. Kesesuaian
antara
program prioritas nasional; 2. Kesesuaian
antara
usulan
dengan
Perdais; 3. Kewajaran nilai program dan kegiatan; 4. Asas efisiensi dan efektivitas; 5. Hasil
pemantauan
dan
evaluasi
pelaksanaan Dana Keistimewaan DIY Penggunaan Dana Istimewa di DIY menurut Dinas Pendapatan pengelolaan Keuangan dan Aset DIY sebagai berikut: “Dianggarkan pada belanja tiga pihak pengguna anggaran, yaitu Sekretaris Daerah, Dinas Kebudayaan dan Dinas Pekerjaan Umum Energi Sumber Daya Mineral”. Pada Tahun 2016 Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset DIY telah menyusun Skala Nilai
Peringkat
Kinerja
(berdasarkan
Permendagri Nomor 54 Tahun 2010) untuk mengevaluasi dan mengukur pengumpulan data
35
kinerja
yang
hasilnya
akan
memberikan
gambaran keberhasilan dan kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran sebagai berikut ; Tabel 4: Skala Nilai Peringkat Kinerja No
Interval Nilai
Kriteria
Realisasi
Penilaian
Kinerja
Realisasi
Kode
Kinerja 1.
91 ≤ 100
Sangat Baik
Hijau Tua
2.
76 ≤ 90
Tinggi
Hijau Muda
3.
66 ≤ 75
Sedang
Kuning Tua
4.
51 ≤ 65
Rendah
Kuning Muda
5.
≤ 50
Sangat
Merah
Rendah Sumber
:
Dinas
Pendapatan
Pengelolaan
Keuangan dan Aset DIY
36
Kesimpulan 1. Bahwa sesuai dengan Undang-Undang No.13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta
(DIY)
maka
Pemerintah DIY berhak mendapatkan Dana Otonomi Khusus (Otsus) yaitu berupa Dana Keistimewaan untuk dialokasikan dalam lima kegiatan meliputi ; a) Tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan weewnang Gubernur dan Wakil Gubernur. b) Kelembagaan
Pemerintah
Daerah
Istimewa Yogyakarta. c) Kebudayaan. d) Pertanahan. e) Tata Ruang. 2. Dana Otonomi Khusus yang diterima oleh Daerah Istimewa Yogyakarta berbeda dengan Dana Otsus yang diterima oleh Propinsi Papua dan Propinsi Nangroe Aceh Darusalam (NAD) . Dana Otsus yang diterima oleh DIY bersifat historis dan lebih mencerminkan
37
keinginan masyarakat DIY dan bersifat bottom up. Dana Keistinewaan yang diterima DIY tidak berpagu dan tidak berjangka waktu.
Pemerintah
Daerah
DIY
diberi
kewenangan untuk mendefinisikan sendiri penggunaan
Dana
Keistimewaan
dan
disampaikan dalam Perda Istimewa (Perdais). 3. Sesuai dengan Kemetrian Keuangan Republik Indonesia
bahwa
penilaian
akuntabilitas
kinerja Dana Otsus Daerah Istimewa dinilai berdasarkan ; 1. Kesesuaian
antara
usulan
dengan
program prioritas nasional; 2. Kesesuaian
antara
usulan
dengan
Perdais; 3. Kewajaran nilai program dan kegiatan; 4. Asas efisiensi dan efektivitas; 5. Hasil
pemantauan
dan
evaluasi
pelaksanaan Dana Keistimewaan DIY 4.
Sejak
tahun
pertanggungjawaban
2010 kinerja
dari
sisi
keuangan,
38
bahwa laporan keuangan Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atau unqualified opinion dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Dengan mendapatkan
opini WTP maka mencerminkan komitmen Pemerintah
Propinsi
menyelenggarakan sesuai
dengan
DIY
untuk
administrasi
keuangan
Standar
Akuntansi
Pemerintahan yang berlaku. Opini audit ini merupakan bukti nyata tentang kualitas pengelolaan keuangan Pemerintah DIY. Saran 1. Tolok ukur kinerja dalam penggunaan dana otsus di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta sebaiknya dibuat lebih rinci karena beberapa tolok ukur kinerja belum
ssesuai
apabila
dilihat
dari
struktur belanjanya. Contoh : Dalam penggunaan kebudayaan, mengetahui
dana
Otsus
di
bidang
masih
sulit
untuk
indikator
pada
volume
39
penyelenggaraan seni dan budaya di DIY, apakah diukur dengan banyaknya group yang melakukan seni pertunjukkan atau banyaknya event seni pertunjukkan. 2. Belum ada kegiatan yang dianggap mencerminkan sesuatu yang berbeda/luar biasa (yang bisa dibandingkan dan dilihat secara nyata) dengan adanya penggunaan Dana Otsus tersebut ataupun tidak. 3. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta sebaiknya
menyusun
indikator
keberhasilan pencapaian kinerja semua kegiatan yang dibiayai dengan Dana Otsus, baik pembangunan fisik maupun non fisik. 4. Program dan kegiatan yang disusun dalam penggunaan Dana Otsus belum fokus dan terkesan asal jalan. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta sebaiknya perlu
menyusun
perencanaan
yang
matang.
40
DAFTAR PUSTAKA Badan
Perencanaan
Pembangunan
Daerah
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2013.
Peta
Administrasi
Daerah
Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta. Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Istimewa Yogyakarta, 2016. Penganggaran
Dana
Keistimewaan.
Yogyakarta. Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset
Daerah
Istimewa
Yogyakarta,
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2016. Yogyakarta. Govermental Accounting Standard Board, 1994. Concepts Statements No.2; Service Effort and
Accomplishment
Reporting.
41
http://www.gasb.org/st/concepts/gconsu m2.html. Jones, Rowan dan Pendlebury, Maurice, 1996. Public
Sector
Accounting.
Edisi
Keempat. London : Pitman Publishing. Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2016.
Kondisi Pengelolaan Keuangan
Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta. Soelendro, Ari, 2000. Paradigma Baru Aparat Pengawasan
Intern
Pemerintah.
Makalah Kongres Nasional Akuntan Indonesia IV. Jakarta. Yunus, Hadori, 200. Paradigma Baru Akuntansi Sektor
Publik.
Makalah
Kongres
Nasional Akuntan Indonesia IV. Jakarta.
42
Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2004.
Pemerintahan Daerah. Sinar Grafika. Jakarta. Undang-Undang
Nomor
Perimbangan
33
Tahun
Keuangan
2004.
Keuangan
Pemerintah Pusat dan Daerah. Sinar Grafika. Jakarta. Undang-Undang
Nomor
17
Tahun
Keuangan
2003. Negara.
http://www.bpk.go.id/assets/files/storage /2013/12/file_storage_1386152419.pdf Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
Perbendaharaan
2004. Negara.
http://www.bpk.go.id/assets/files/storage /2013/12/file_storage_1386161111.pdf Undang-Undang
Nomor
15
Tahun
2004.
Pemeriksaan Pengeloaan dan Tanggung jawab
Keuangan
Negara.
43
http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/UU152004PemeriksaanKeuangan.pdf Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005. Pengelolaan
Keuangan
Daerah.
http://www.djpk.depkeu.go.id/attach/post -no-58-tahun-2005-tentang-pengelolaankeuangan-daerah/--376-490PP58_2005.pdf Undang-Undang
No.13
Keistimewaan
Tahun
Daerah
2012. Istimewa
Yogyakarta. http://otda.kemendagri.go.id/CMS/Image s/DaftarSPM/UU%20Nomor%2013%20 Tahun%202012.PDF PMK 124/PMK.07/2015. Pengalokasian Dana Keistimewaan
DIY.
http://jdih.bpk.go.id/wpcontent/uploads/2015/12/124PMK.07201 5Per.pdf
44
Permendagri Nomor 21 Tahun 2011. Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan
Keuangan
Daerah. http://dppka.jogjaprov.go.id/upload/files/ pmdn_21_tahun_2011.pdf Permendagri
Nomor
Pelaksanaan
54
Tahun
Peraturan
2010.
Pemerintah
Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan
Rencana
Pembangunan
Daerah. http://www.kinerja.or.id/pdf/5241bcec8261-4a47-b413-1646706ca612.pdf Peraturan
Gubernur
Daerah
Istimewa
Yogyakarta Nomor 30 Tahun 2015. Sistem
dan
Prosedur
Pengelolaan
Daerah. http://dppka.jogjaprov.go.id/upload/files/
45
pergub_30_th_2015_sisdur_pengelolaan _keuangan_daerah(lengkap).pdf
46