kem raan partnership
Kinerja Otonomi Khusus Papua Editor : Agung Djojosoekarto Rudiarto Sumarwono Cucu Suryaman Penulis : Agung Djojosoekarto Drs. JRG. Djopari, MA Prof. Sutriyono, M.Sc. Ph.D Dr. Daniel Lantang, M.Kes Indra Jaya Piliang Drs. Agustinus Fatem, MT Drs. Naffi Sanggenafa, MA Design & Layout : Ashep Ramdhan Katalog Dalam Terbitan Cetakan Pertama, Desember 2008 Kinerja Otonomi Khusus Papua Cet. I - Jakarta: Kemitraan, 2008; 154 hlm. ; 148 x 210mm; ISBN : 978-979-26-9656 Diterbitkan oleh: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia. Menara Eksekutif , Lt 10 MH. Thamrin Kav. 9 Jakarta 10350 Telp: (+62-21) 3902566 ; 3902626 Fax : (62-21)2302933 ; 2303924 www.kemitraan.or.id
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
1
KINERJA OTONOMI KHUSUS
PAPUA
2
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
DAFTAR ISI Bagian Kesatu PENDAHULUAN
3
Bagian Kedua KEBIJAKAN UMUM
28
Bagian Ketiga PENDIDIKAN
50
Bagian Keempat KESEHATAN
68
Bagian Kelima MASYARAKAT SIPIL
89
Bagian Keenam INFRASTRUKTUR
113
Bagian Ketujuh EKONOMI KERAKYATAN
130
Bagian Kedelapan SIMPULAN
135
Bagian Kesembilan PEMBELAJARAN
145
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
3
Bagian Pertama
PENDAHULUAN
1.1. Memahami Papua Papua1 adalah salah satu bagian dari Indonesia yang mempunyai ironi paling besar--memiliki kekayaan alam begitu melimpah di satu sisi, kemiskinan dan keterbelakangan yang nampak dengan mata telanjang di sisi lain--. Kawasan ini adalah kawasan yang paling akhir2 mendapatkan pengakuan internasional sebagai bagian dari Indonesia setelah Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) menyerahkan Papua ke Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 melalui negosiasi yang berat berhadapan dengan Pemerintah penjajah Belanda. Pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia dinilai oleh masyarakat Papua sebagai pembangunan yang tidak berhasil. Salah satu indikatornya adalah adanya gejolak disintegrasi di kawasan ini, dengan digerakkan oleh berbagai kelompok 1 Yang dimaksud dengan Papua di sini dan seterusnya adalah kawasan Pulau Papua bagian barat, kawasan yang menjadi bagian dari Indonesia. 2 Timor-Timur, yang kemudian merupakan provinsi terakhir di Indonesia tidak dianggap sebagai kawasan yang paling akhir menjadi bagian dari Indonesia karena dua alasan, yaitu karena proses integrasinya dilatarbelakangi kepentingan negara-negara besar yang anti-komunis, sehingga prosesnya mengandung unsur aneksasi, dan karena kawasan ini telah menjadi negara merdeka, setelah negara-negara yang anti komunis yang mendukung aneksasi tersebut memaksa Republik Indonesia untuk melepaskan Timor Timur menjadi negara merdeka, dan pada saat ini Timor Timur menjadi negara merdeka dengan nama Republik Timor Loro Sae.
4
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
separatis. Indikator lain yang memperkuat penilaian tersebut adalah munculnya gerakan besar dari masyarakat Papua untuk menjadikan Papua sebagai kawasan dengan perhatian khusus dari Pemerintah Indonesia. Bersama Aceh, Papua menjadi kawasan yang paling bergejolak setelah reformasi digulirkan pada tahun 1998. Kekecewaan yang mendalam terhadap perjalanan selama 35 tahun (196331998) menjadi bagian dari Republik Indonesia ditengarai menjadi bagian inti dari gejolak tersebut. Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 memberikan ruang baru bagi Papua untuk melakukan exercise model baru pembangunan untuk kawasan ini. Upaya tersebut dijalankan dengan berbagai cara, termasuk melakukan “pembangkangan politik”4 dalam bentuk gerakan-gerakan yang mendekati arah ke separatisme. Tidak mengherankan jika Papua menjadi salah satu kawasan yang menjadi perhatian utama dari Pemerintah Jakarta setelah reformasi. 3 PBB secara resmi menyerahkan wilayah Papua kepada Republik Indonesia pada tanggl 1 Mei 1963 4 ����������������������������������������������������������������������������������������������� “pembangkangan” dalam “tanda petik” dirupakan dalam bentuk penentangan-penentangan halus hingga mengarah kepada penciptaan konflik disintegrasi yang berjalan secara terus-menerus sejak reformasi.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
5
Sebelum reformasi, kawasan yang berupa bagian barat dari Pulau Papua –karena sebelah timur adalah Negara Papua New Guinea—bernama Irian Jaya, sebuah nama yang dipilih oleh Pemerintah Indonesia setelah kawasan ini resmi menjadi bagian dari Republik Indonesia pada 1 Mei 1962, melalui negosiasi yang alot dan sengit di forum Internasional (Bachtiar, 1994: 88). Nama “Irian” diperkenalkan pada Konferensi Malino pada tahun 1946. Dalam bahasa Biak, kata itu berarti “sinar matahari menghalau kabut di laut”. Presiden Soekarno menjadi penganjur utama penggunaan nama Irian, dengan mengakronimkan IRIAN sebagai “Ikut Republik Indonesia Anti Nederland” (Koentjaraningrat, 1994: 3-5). Sebelum diberi nama “Irian Jaya”, kawasan ini dikenal dengan nama “Papua”. Nama “Papua” pada awalnya dipergunakan oleh pelaut Portugis Antonio d’Arbrau, yang mendarat di pulau ini pada tahun 1521. Diperkirakan, kata “papua” berasal dari kata dalam bahasa Melayu kuno “pua-pua”, yang berarti “keriting”. Nama ini kemudian dipakai oleh Antonio Pigafetta yang ikut dalam pelayaran dengan Ferdinand Magellan mengelilingi bumi. Versi lain dari penamaan papua adalah dari Papua bagian Timur, kini menjadi Papua Nieuw Guinea. Sebutan “Nieuw Guinea” digunakan oleh para pelaut Belanda, menggunakan penamaan dari seorang pelaut Spanyol, Ynigo Ortiz de Retes, yang mengunjungi kawasan utara pulau ini pada tahun 1545. Dinamakan “Nieuw Guinea” karena penduduk yang ditemui berwarna hitam, seperti penduduk di Pantai Guinea, Afrika. Papua mempunyai kondisi sosial-budaya-politik yang khas. Ciri-ciri fisiologi Tanah Papua yang beragam menyebabkan diferensiasi sistem mata pencaharian. Bukan hanya itu, perkembangan struktur sosial masyarakat juga turut dipengaruhi oleh proses-proses adaptasi manusia terhadap lingkungan alam. Sifat kemajemukan penduduk Papua juga dapat dilihat dari prinsip hak ulayat tanah. Di antara masyarakat Papua terdapat kolektif-kolektif etnik yang mengatur sistem hak ulatnya melalui klan (merupakan hak komunal). Selain itu terdapat pula kolektifkolektif lain yang mengatur hak ulayatnya melalui keluarga inti atau hak individu. M.T. Walker dan J.R. Mansoben5 mencatat bahwa keanekaragaman orang Papua bertalian erat dengan pola adaptasi sosio-ekonomi penduduk pada zona ekologi utama. Setidaknya ada empat zona ekologi utama. Pertama, ekologi rawa, 5 Dikutip Johsz R Mansoben, Sistem Politik Tradisonal di Irian Jaya, Indonesia: Studi Perbandingan, P.hD Thesis, Leiden University, 1994
6
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
daerah pantai, dan muara sungai; kedua, dataran pantai; ketiga, kaki gunung dan lembah-lembah kecil; dan keempat pegunungan tinggi. Lingkungan ekologi yang berpengaruh terhadap pola-pola adaptasi tercermin dalam sistem mata pencaharian hidup meliputi teknologi dan sistem pembagian kerja. Semakin kompleks inovasi teknologi dan sistem pembagian kerja, maka aspek budaya lain seperti organisasi sosial dan sistem ideologi (ritual agama) juga kian rumit. Di zona ekologi pegunungan tengah, misalnya, masyarakat hidup dalam rumahrumah besar dalam hubungan keluarga yang luas, dengan jaringan luas dari sistem klan, gabungan klan, dan federasi yang kompleks. Contoh penduduk yang menganut pola ini adalah suku Dani. Tipe ini menghasilkan ikatan horisontal yang kuat. Pada zona ekologi muara sungai, kepulauan dan pesisir pantai, penduduk hidup dalam keluarga-keluarga inti kecil yang amat bersifat individualis. Karena wilayah pesisir dan kepulauan relatif sulit dijadikan lahan pertanian, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mendorong mereka untuk berdagang. Contoh masyarakat ini adalah penduduk pantai utara. Kedua tipe ini menghasilkan relasi yang berbeda sehingga berpengaruh terhadap ikatan kolektif yang terbentuk. Di sinilah kemudian makna keluarga mendapat tempat dalam struktur hierarki masyarakat. Di satu sisi, keluarga mempunyai fungsi produktif, di sisi lain keluarga merupakan identitas untuk sarana reproduksi kekuasaan. Aktifitas perang lantas menjadi bagian dari persaingan produksi, sedangkan perkawinan sebagai sarana reproduksi kekuasaan. Tidak mengherankan jika ritual ini menyedot konsumsi besar untuk keperluan pesta adat. Kebutuhan pesta adat inilah yang di kemudian hari memberikan porsi bagi munculnya pola patron-klien dimana patron merupakan pihak yang mensponsori pesta. Lebih jauh, Antroplog J. van Baal mencermati bahwa ekologi muara, dengan aktifitas produksinya meramu sagu, pada umumnya menyelenggarakan upacara keagamaan jauh lebih meriah dibanding dengan penduduk yang menggantungkan dirinya dari bertani umbi-umbian. Kompleksitas sistem ritus dan keagaman yang berbeda ini dipengaruhi oleh lingkungan alam yang berbeda6. Mekanisme hierarki internal suku terbentuk berdasar pola pembagian kerja dan adanya ritual tertentu. Dua hal yang penting untuk dilihat adalah mekanisme penurunan kekuasaan dan sistem politik yang terbentuk. Lebih jauh untuk 6 Baal (1954) dikutip dalam Mansoben, ibid.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
7
memahami pola dan keteraturan macam apa yang mendasari hierarki kekuasaan dalam suatu suku, Mansoben mengidentifikasi empat sistem politik tradisional, yaitu: pertama, sistem pria berwibawa. Sistem ini bercirikan bahwa kedudukan pemimpin diperoleh melalui pencapaian individu yang bersumber pada kemampuan individual, keberhasilan dalam mendistribusikan kekayaan, kepandaian berdiplomasi dan pidato, keberanian memimpin perang, bertubuh besar dan tegap, dan sifat murah hati. Dalam sistem ini, kekuasaan dijalankan oleh satu orang serta tidak mengenal organisasi kerja dan pembagian kerja. Oleh karena itu keputusan yang diambil oleh pemimpin selalu dianggap benar dari segi kepentingan umum. Masyarakat adat yang menerapkan sistem ini adalah suku Dani, suku Asmat, suku Me, suku Meybrat, dan suku Muyu. Walau sistem organisasi kerja tidak ada, di suku Dani mengenal empat kesatuan wilayah, yakni kompleks (uma), gabungan kompleks (o-ukul, setara dengan desa), wilayah bertetangga (ap-logalek), dan konfederasi. Masing-masing kesatuan wilayah dipimpin oleh seorang kain. Semakin menonjol peran kain di tingkatan itu, makin besar peluang untuk menjadi pemimpin di tingkat yang lebih tinggi. Wewenang dan kekuasaan terpenting dari kain pada tingkat uma adalah mengatur pemanfaatan tanah milik uma. Sedangkan wewenang dan kekuasaan kain tingkat o-ukul adalah mengatur masalah-masalah penting yang menyangkut kehidupan politik, ekonomi dan agama antar-desa. Pemimpin ap-logalek memiliki wewenang yang hampir sama dengan okul, hanya wilayahnya lintas okul. Sementara pemimpin konfederasi hanya berwenang dalam memimpin perang dan mensponsori penyelenggaraan pesta babi. Pesta babi adalah ritual penting bagi suku Dani karena merupakan media untuk memperkuat solidaritas kesatuan sosial kelompok. 7 Kedua, sistem politik kerajaan. Ciri utama sistem ini adalah pola kepemimpinan yang bersumber pada pewarisan kedudukan pemimpin. Pewarisan bersifat senioritas baik dilihat dari urutan kelahiran maupun klan. Sistem ini sudah mengenal pembagian fungsi dalam melaksanakan kekuasaan dengan berbasis pada teritori. Karena banyak dipengaruhi oleh kerajaan di Maluku, prinsipprinsip organisasi sudah menampilkan struktur mapan dengan wewenang dan kewajiban yang ketat dan tersentralisasi. Sistem upeti dan pemungutan pajak sudah dikenal dalam masyarakat ini. Pusat orientasi kekuasaannya adalah perdagangan. Masyarakat pendukung sistem ini meliputi kepulauan Raja Ampat, suku di Semananjung Onin, Teluk Berau, dan daerah Kaimana. Di kerajaan Raja Ampat, struktur organisasi terdiri dari dua bentuk, yaitu struktur organisasi pusat dengan seorang raja yang dibantu 5 orang. Di samping itu, terdapat pula dewan adat yang diketuai raja dengan anggota terdiri dari kepala klan kecil. Dewan adat 7 Ibid.
8
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
berfungsi merundingkan dan memutuskan secara musyawarah persoalan yang berkaitan dengan pemilihan pemimpin baru. Bentuk kedua adalah organisasi di tingkat daerah. Pada tiap kampung (pnu) di daerah, raja mengangkat seorang pembantu yang diberi gelar marinpnu untuk meneruskan perintah raja yang berkaitan dengan penarikan upeti dan pemungutan pajak pada rakyat di wilayahnya.8 Ketiga, sistem politik ondoafi atau kepala suku. Ciri utama kepemimpinan sistem ini adalah melalui pewarisan kedudukan. Sistem kepemimpinan ini mengenal suatu organisasi terdiri dari seorang kepala, dan sejumlah pembantu dengan pembagian tugas yang jelas. Berbeda dengan sistem kerajaan yang berdasar pada wilayah teritori, sistem ini hanya terbatas pada satu golongan atau klan saja. Pusat orientasi kekuasaanya adalah religi. Pendukung sistem ini adalah suku Sentani, suku Genyem (Nimboran), suku di Teluk Yos Sudarso, suku Tabla, suku Yaona, suku Yakari-Skao, dan suku Arso-Waris. Seperti halnya suku Dani, sistem ini pun mengenal tingkatan organisasi, yakni klan kecil dengan pemimpin yang disebut khoselo dengan dibantu dua pembantu pelaksana ritus (abu-akho) dan bendahara (akhona-fafa). Tugas Khoselo adalah bertindak sebagai hakim untuk mengurus dan memutuskan perkara-perkara yang menyangkut warganya, memimpin upacara adat, mengurus perkawinan, dan mengatur pemanfaatan sumber daya alam bagi warganya. Tingkat di atas klan kecil adalah kampung yang merupakan gabungan sejumlah klan kecil. Pemimpinnya disebut ondoafi. Ondoafi mempunyai hak atas semua sumber-sumber hidup (tanah, air, dan hutan) dalam lingkungan kekuasaannya yang disebut phuke khelahe. Organisasi di tingkat kampung sudah memiliki empat fungsi yang jelas dengan empat bidang utama, yaitu bidang religi, bidang keamanan, bidang kemakmuran, dan bidang ketertiban. Para fungsionaris yang membidangi empat fungsi tersebut biasanya diambil dari khosole. Di samping itu, di kampung juga dibentuk satu dewan adat (yonow) sebagai tempat membicarakan semua urusan dan persoalan penting yang menyangkut kehidupan kampungnya. Tingkat di atas kampung adalah konfederasi atau gabungan kampung dengan syarat mempunyai latar asal-usul moyang yang sama. Pemimpinnya disebut Hu Ondoafi yang bertempat di kampung asal moyang pertama yang sekaligus berperan sebagai pusat persebaran bagi kampung-kampung lain dalam konfederasi. Wewenang utama hu ondoafi adalah memimpin perang antar konfederasi dan memimpin upacara inisiasi bagi pemuda kampungnya.9 8 ibid 9 ibid
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
9
Keempat, sistem kepemimpinan campuran. Ciri sistem campuran adalah kedudukan pemimpin diperoleh melalui pewarisan dan pencapaian. Mekanisme pewarisan dilaksanakan jika situasi dalam keadaan tenang. Dan melalui pencapaian jika terjadi situasi tertentu yang menuntut penampilan pemimpin untuk menjawab tantangan tersebut. Situasi bisa berupa peperangan, bencana alam, dll. Berbeda dengan sistem kerajaan dan ondoafi, dalam sistem campuran ini tidak mengenal birokrasi. Pendukung sistem ini adalah suku-suku di Teluk Cendarwasih (Biak, Wandamen, Waropen, Yawa, dan Maya). Walau tidak mengenal birokrasi, di suku Biak dan suku Waropen mengenal pula hierarki model sistem ondoafi dengan hierarki tertinggi berada di kampung. Di Biak pemimpinnya disebut mananwir. Pada soal-soal tertentu mananwir akan mengkoordinasikan kepalakepala klan kecil (keret) dengan tokoh masyarakat untuk membuat keputusan yang menyangkut kepentingan kampung lewat lembaga yang disebut kainkain karkara mnu. Jadi, mananwir mnu membuat keputusan berdasarkan keputusan bersama. Dengan adanya keempat sistem ini, bisa dikatakan bahwa suku-suku di Papua memiliki persyaratan dari sebuah negara yang sifatnya struktural fungsional dalam artian pemerintahan yang berdasar pada teritori tertentu yang efektif. Walau kental dengan nuansa hubungan darah dan kekerabatan, sebagai unit yang otonom, perangkat-perangkat semacam eksekutif, legislatif dan yudikatif berlaku efektif dan menjadi kesatuan yang dipatuhi oleh seluruh anggota suku. Tabel 1.1 Tipologi Sistem Politik Masyarakat Adat di Papua No
1.
10
Sistem Politik
Pria berwibawa: Suku Dani, suku Asmat, suku Me, suku Meybrat, dan suku Muyu
Tipe Ekologi
Pegunungan Tinggi
Corak Produksi • Pertanian konvensional, terutama umbi-umbian dan sayuran • Kegiataan ekstraksi (meramu) dan berburu • Mengenal peternakan sederhana
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Sistem Pemerintahan • Kepemimpinan diperoleh melalui pencapaian individu pada kemampuan individual • one man show, belum ada pembagian kerja dan birokrasi • mengenal hierarki wilayah
• kepemimpinan melalui sistem pewarisan • mengenal hierarki
Sistem Kerajaan:
2.
Suku di kepulauan Raja Ampat, suku di Semananjung Onin, Teluk Berau, dan daerah Kaimana
Dataran pantai
3.
Sistem Ondoafi: suku Sentani, suku Genyem (Nimboran), suku di Teluk Yos Sudarso, suku Tabla, suku Yaona, suku Yakari-Skao, dan suku ArsoWaris
Lembah dan kaki gunung kecil
4.
Sistem campuran: suku-suku di Teluk Cendarwasih (Biak, Wandamen, Waropen, Yawa, dan Maya)
rawa, daerah pantai, dan muara sungai
Berdagang
• Kegiataan ekstraksi (meramu) dan menangkap ikan • Berladang • Mengenal beternak sederhana
• Berladang dan menangkap ikan • berdagang
wilayah berdasarkan teritorial, tersentral • prinsip-prinsip organisasi menampilkan struktur mapan dengan wewenang dan kewajiban yang ketat dan tersentralisasi • kepemimpinan diperoleh melalui sistem pewarisan • mengenal hierarki wilayah berdasar klan • Pusat orientasi kekuasaanya adalah religi • Sudah ada pelembagaan dengan struktur yang sederhana • Kepemimpinan diperoleh melalui pewarisan dan pencapaian • tidak ada birokrasi • mengenal hierarki wilayah
Selain itu, pengetahuan tentang ekologi dan sistem kepemimpinan dari tipe yang ada, setidaknya memberikan catatan bagi pengambil kebijakan di Papua untuk memperhatikan, terutama: pertama, dimensi sosio-politik pemimpin suku atas persoalan yang berada pada lingkup tanah ulayatnya, terutama pola relasi antara pemimpin dengan masyarakatnya. Kedua, konsekuensi hukum adat yang berlaku, apabila dilanggar, bukan mengikat individu tapi mencakup keseluruhan komunal atau klan. Ketiga, macam-macam prioritas dalam dimensi sosioekonomis masyarakat ulayat, ini akan berlanjut pada hal-hal yang dimonopoli dan atau dipersaingkan. Keempat, reproduksi kekuasaan melalui perkawinan, ritus agama, dan mekanisme mengukuhkan pemimpin (lewat perang, atau
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
11
kecakapan tertentu) yang melibatkan sumber daya dalam hal upacara adat yang memerlukan biaya besar. 1.2. Papua dan Indonesia Wilayah kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), ketika diproklamirkan kemerdekannya pada tanggal 17 Agustus 1945, secara de jure mencakup seluruh wilayah bekas jajahan Kerajaan Hindia Belanda. Berdasarkan nota kesepakatan antara pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda pada Konferensi Meja Bundar (KMB), maka wilayah Irian Barat (Papua sekarang) akan diserahkan kemudian. Namun nota kesepakatan itu diingkari oleh pihak Kerajaan Belanda yang memunculkan reaksi dari pemerintah Indonesia pada tahun 1963 dengan melahirkan kebijakan melalui Komando Mobilisasi Umum, -yang terkenal dengan sebutan Tiga Komando Rakyat (Trikora)- untuk merebut kembali wilayah Irian Barat (Papua sekarang). Wilayah Irian Barat akhirnya terintegrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada bulan Mei 1963. Dengan latar seperti itu, maka kebijakan pembangunan di wilayah ini berbeda dengan wilayah lain yang berimplikasi luas dalam aspek pembangunan sosial, ekonomi dan politik. Provinsi Papua yang didirikan dengan dasar hukum UU No. 12 Tahun 1969 dan UU No. 45 Tahun 1999, mempunyai luas wilayah 317.062 km2, atau sekitar 20% dari luas daratan Indonesia. Provinsi ini berbatasan di sebelah timur dengan negara Papua Nieuw Guinea, di sebelah selatan Laut Arafura. Provinsi Papua terdiri dari 19 Kabupaten dan Kota, yaitu 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
12
Kabupaten Asmat Kabupaten Biak Numfor Kabupaten Boven Digoel Kabupaten Jayapura Kabupaten Jayawijaya Kabupaten Keerom Kabupaten Mappi Kabupaten Merauke Kabupaten Mimika Kabupaten Nabire Kabupaten Paniai Kabupaten Pegunungan Bintang Kabupaten Puncak Jaya Kabupaten Sarmi
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
15. 16. 17. 18. 19.
Kabupaten Talikara Kabupaten Waropen Kabupaten Yakuhimo Kabupaten Yapen Waropen Kota Jayapura
Provinsi Papua ditandai oleh tiga ekologi wilayah utama, yakni; (1) ekologi wilayah rawa-rawa, dataran rendah, dan kaki gunung; (2) ekologi wilayah pesisir, pantai, dan kepulauan; dan (3) ekologi wilayah pegunungan tinggi. Sekitar 70% penduduk asli Papua bertempat tinggal di kampung-kampung yang terpencil, pedalaman, pulau-pulau kecil, dan perbatasan negara, dengan kondisi topografis yang sulit diakses oleh pelayanan pembangunan, pemerintahan, dan pelayanan jasa kemasyarakatan. Pada dasarnya, proses pembangunan oleh Pemerintah Indonesia di Tanah Papua baru efektif dimulai pada awal tahun 1980an. Itupun masih sangat bersifat sporadis, belum sempat terencana secara matang seperti yang telah dilakukan di provinsi lainnya dengan format REPELITA-GBHN. Terlambatnya mengawali proses pembangunan tersebut lebih disebabkan oleh kesibukan Pemerintah dalam hal penyelesaian masalah politik kembalinya Irian Barat ke Pangkuan Ibu Pertiwi. Berbarengan dengan itu, akselerasi pertumbuhan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia tidak dapat diimbangi oleh kemajuan pembangunan di Tanah Papua Kondisi ini, diperburuk oleh pola anutan sentralistik di bawah pengaruh kekuasaan Orde Baru, yang ternyata telah menggiring eksistensi masyarakat Papua ke dalam situasi enclave. Praktis, hal ini menjadi motif utama bagi munculnya ketidakpuasan yang menyuburkan intensitas pergerakan kemerdekaan politik bagi sebagian komponen masyarakat, setelah merasa dikecewakan dalam peristiwa Pepera Tahun 1969. Desakan untuk menggunakan kembali nama “Papua” berangkat dari kekecewaan elit politik lokal karena selama 36 tahun (1962-1998) menjadi bagian dari Indonesia di bawah tatanan Orde Lama (1945-1965) dan Orde Baru (1966-1998), kawasan ini tetap menjadi kawasan terbelakang dan semakin tertinggal dibanding kawasan lain. Meskipun merupakan kawasan yang secara kategori pembangunan disebut terbelakang, namun Papua memiliki kekayaan alam yang melimpah. Ada proven deposit 2,5 milyar ton bahan tambang emas & tembaga (konsesi Freeport saja); 540 juta m3 potensi lestari kayu komersial; dan 9 juta ha hutan konversi untuk
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
13
pembangunan perkebunan skala besar. Panjang pantai wilayah ini mencapai 2.000 mil, luas perairan 228.000 km2, dengan tidak kurang dari 1,3 juta ton potensi lestari perikanan per tahun. Namun demikian, di balik semua keberlimpahan tersebut, Papua juga dikenal sebagai provinsi dengan jumlah masyarakat miskin terbanyak. Dibanding daerah-daerah lain di Indonesia, kawasan ini tetap menjadi kawasan paling terbelakang dan paling miskin, tidak berbeda dengan posisinya pada saat bergabung dengan Republik Indonesia pada tahun 1963. Papua merupakan provinsi yang paling terbelakang di Indonesia. Pada tahun 1997 –sebelum krisis-- tingkat kemiskinan Papua dilaporkan di atas 50%, sementara rerata tingkat kemiskinan nasional telah mendekati 14%. Papua menjadi provinsi dengan populasi miskin terbesar di Indinesia. Pada tahun 1999 dilaporkan persentase penduduk miskin Papua adalah 54,75%, yang menjadikan Papua tetap sebagai provinsi dengan populasi miskin terbesar, disusul Nusa Tenggara Timur 46,73%, dan Maluku 46,14%. Tahun 2000, persentase kemiskinan menurun menjadi 41,80%, tetapi masih yang terbesar di Indonesia, disusul Maluku 46,14%,dan Nusa Tenggara Timur 36,52%. Kemiskinan dan keterbelakangan yang mendalam di Papua, sudah pada tempatnya, diakui sebagai kegagalan pendekatan pembangunan Papua selama masa Orde Baru. Dibanding kawasan Indonesia lainnya, Papua merupakan kawasan dengan kondisi keterbelakangan yang paling tinggi. Kondisi keterbelakangan ini, secara internal, disebabkan lima hal utama, yaitu bahwa pada saat menjadi bagian dari Indonesia: 1. sebagian besar masyarakat Papua hidup dalam kondisi keterbelakangan, atau dalam bahasa akademis disebut keprimitifan; 2. tidak terdapat infrastruktur fisik, dalam arti transportasi dan telekomunikasi, yang memadai, bahkan pada tingkat paling minimal; 3. rendahnya tingkat kesejahteraan dan kesehatan karena rendahnya tingkat pendidikan; 4. rendahnya kemampuan dari sumberdaya manusia di kawasan ini untuk dapat secara langsung masuk ke dalam “mesin” pembangunan yang berjalan dengan “mode” masyarakat dengan kondisi seperti di Jawa dan kawasan lain yang lebih maju dari Papua; 5. rendahnya kemampuan dari sumberdaya manusia di jajaran elit lokal untuk menjadi bagian dari sistem kepemerintahan modern.
14
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Simpulan yang dapat diambil adalah meskipun keputusan politik penyatuan Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur yaitu membangun rakyat di Papua (Barat) menjadi masyarakat modern dan makmur, kenyataan yang terjadi masih jauh dari harapan. Paling tidak, dua hal mendasar yang mendesakkan keinginan untuk memperoleh Otonomi khusus sebagai salah satu varian konsep desentralisasi yang dikenal dengan desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization), sebagai “pilihan antara” atas pilihan biner yang ada. Pertama, pendekatan dalam kebijakan pembangunan Papua (atau Irian Jaya, pada saat itu) selama masa Orde Baru lebih ditentukan oleh Pusat daripada aspirasi setempat. Pendekatan ini biasanya disebut sebagai “pendekatan sentralistik”. Sebuah pendekatan yang dinilai lazim pada awal tahun 1970n hingga 1980an, di mana Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang “membangun”, di dalam arti sedang melakukan “perubahan sosial yang dipercepat”, yang memerlukan pola yang “satu ide, satu komando”, atau perencanaan dan pengendalian pembangunan yang terpusat. Terlepas dari upaya dari Pemerintah Pusat untuk melakukan pemahaman permasalahan pembangunan di tingkat lokal, namun kebijakan pembangunan di Papua lebih banyak ditentukan oleh Pemerintah Pusat, sebagaimana kebijakan pembangunan di daerah-daerah di Indonesia pada umumnya. Selain berasal dari paradigma pembangunan yang ada dan diyakini pada saat itu, pendekatan yang sentralistik juga didukung oleh elit politik di tingkat nasional dan elit politik Papua yang berkepentingan dengan pemusatan kebijakan pembangunan Papua di Jakarta. Pendekatan pembangunan yang dijalankan, yang berpola sentralistik tidak cukup berhasil membuat Papua menjadi kawasan yang maju dan makmur. Kemakmuran cenderung lebih dinikmati perusahaan-perusahaan multinasional dan nasional yang beroperasi di Papua, yang melakukan eksploitasi alam, dan para pendatang dari luar Papua. Kedua, momentum reformasi di Indonesia memberi peluang bagi timbulnya pemikiran dan kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Sehubungan dengan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 Bab IV huruf (g) angka 2. Dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang antara lain menekankan tentang pentingnya segera merealisasikan Otonomi Khusus
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
15
tersebut melalui penetapan suatu undang-undang otonomi khusus bagi Provinsi Irian Jaya dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Hal ini merupakan suatu langkah awal yang positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah, sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kokoh bagi berbagai upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua. Dapat disimpulkan, pembangunan Irian Jaya dipersepsikan oleh masyarakat lokal belum sesuai dengan keinginan dan aspirasinya, karena dibanding seluruh provinsi di Indonesia, Irian Jaya merupakan kawasan yang paling tertinggal dari berbagai sisi pembangunan. Ironisnya, Irian Jaya merupakan salah satu kawasan Indonesia yang memberikan sumbangan pendapatan nasional yang tinggi, terutama dari hasil eksploitasi pertambangan. 1.3. Papua dan Reformasi Indonesia Krisis ekonomi yang dialami Indonesia pada tahun 1998 mendorong lahirnya gerakan reformasi yang merubah peta politik, sosial, dan ekonomi nasional. Momentum perubahan besar ini dipergunakan oleh masyarakat dan elit di Irian Jaya bagi reformasi hubungan Pusat-Irian Jaya, dengan tujuan meletakkan Irian Jaya sebagai sebuah daerah yang mendapatkan prioritas pembangunan yang sama besar dengan daerah lain di Indonesia. Berbeda dengan gerakan sebelumnya yang bersifat separatis seperti gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM), maka gerakan rakyat dan elit Irian Jaya mengarah kepada dua isu, yaitu (1) penggantian nama Irian Jaya, dan (2) perlakuan khusus dalam kebijakan otonomi daerah yang diberikan Pusat kepada Irian Jaya. Momentum pertama diperoleh pada tahun 2000. Presiden Abdurrahman Wahid memberikan dukungannya untuk merubah nama Irian Jaya menjadi Papua, sebagaimana aspirasi lokal yang disampaikan ke Pusat. Perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua ini tertuang dalam Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus 2000 tentang Pengembalian Nama Irian Jaya Menjadi Papua. Perubahan nama ini merupakan instrumen penting untuk mendorong perlakuan khusus Papua sebagai daerah otonom. Pada tahun 2000-2001, delegasi Papua memperjuangkan adanya kebijakan “otonomi khusus” bagi Papua. Setelah melalui pengkajian yang komprehensif dan melibatkan berbagai fihak yang terkait, maka Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan Presiden memberikan persetujuan untuk
16
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
menerbitkan kebijakan Otonomi Khusus (Otsus), dalam bentuk UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang ditandatangani oleh Presiden Megawati pada tanggal 21 November 2001. Pada tahun 2003, Presiden Megawati menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 1 Tahun 2003 yang membagi Provinsi Papua menjadi dua: Papua dan Irian Jaya Barat. Pada saat ini, berkembang wacana untuk membagi Papua menjadi dua provinsi baru, Papua Barat dan Papua Tengah. UU Otsus merupakan hasil tawar-menawar antara rakyat Papua dengan Pemerintah RI tanggal 26 Februari 1999 di Istana Negara ketika 100 delegasi resmi, yang mewakili elemen di Papua dengan dipimpin Thomas Beanal, menemui Presiden BJ Habibie. Namun Presiden Habibie tidak memberikan dukungan kepada pemintaan tersebut. Desakan ini akhirnya mendapatkan “angin segar” ketika Presiden Abdurrahman Wahid memberikan dukungan untuk menggunakan kembali nama Papua sebagai ganti Irian Jaya, dan pemberian ijin untuk mempergunakan bendera Bintang Kejora sebagai bendera provinsi. Pada tahun 2000, desakan integrasi semakin menguat dan memuncak pada Kongres Papua II di Jayapura tanggal 29 Mei – 3 Juni 2000. Presiden Megawati, yang menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2001, merespon tuntutan merdeka untuk Papua dengan menandatangani UU No. 21 Tahun 2001 tanggal 21 November 2001 tentang otonomi khusus. Lahirnya undang-undang tentang otonomi khusus ini dapat dilihat sebagai penyelesaian konflik, win-win solution antara rakyat Papua yang berkeinginan terlepas dari NKRI serta Pemerintah RI yang kokoh-teguh mempertahankan kedaulatan NKRI. Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Nomor 21 tahun 2001 merupakan pengakuan Pemerintah RI untuk melindungi hak ulayat orang Papua akan tanah, air, dan kekayaan Papua. Sebuah prasyarat untuk mengangkat orang Papua dari ketertinggalan dibanding saudaranya di kawasan tengah dan timur. Pada tahun 2003, terjadi perubahan signifikan, yaitu pemekaran provinsi Papua menjadi dua: Provinsi Papua, yang berada di timur, dan Provinsi Irian Jaya Barat, yang merupakan Papua bagian barat, atau disebut sebagai bagian “Kepala Burung”, melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 1 Tahun 2003. Sebuah
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
17
eksekusi dari wacana yang berkembang pada tahun 1999. Otonomi khusus untuk Papua menjadi fakta bagi sketsa baru dari tata hubungan pusat-deerah pasca reformasi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, presiden terpilih pada Pemilu 2004, mengembangkan pemahaman bahwa membangun Papua harus komprehensif, demokratis, dan bermartabat. Karenanya, masalah Papua hanya terselesaikan melalui kompromi dengan didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap rakyat Papua. Dengan demikian, Presiden Yudhoyono mendukung kebijakan Otsus, yang pada saat dirumuskannya beliau menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, dan menjadi salah satu pemikir utama kebijakan otsus bagi Papua. 1.4. Papua dan UU Otsus Sebagaimana dikemukakan pada UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, maka yang dimaksud Provinsi Papua adalah Provinsi yang sebelumnya bernama Irian Jaya, yang diberi status Otonomi Khusus, yang merupakan bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang memiliki keragaman suku dan lebih dari 250 bahasa daerah serta dihuni juga oleh suku-suku lain di Indonesia. Wilayah Provinsi Papua pada saat ini terdiri atas 12 Kabupaten dan dua Kota, yaitu: Kabupaten Jayapura, Kabupaten Merauke, Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Mimika, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Paniai, Kabupaten Nabire, Kabupaten Sorong, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Yapen Waropen, Kabupaten Manokwari, Kota Jayapura, dan Kota Sorong. Provinsi Papua memiliki luas kurang lebih 421.981 km2 dengan topografi yang bervariasi, mulai dari dataran rendah yang ber-rawa sampai dengan pegunungan yang puncaknya diselimuti salju. Wilayah Provinsi Papua berbatasan di sebelah utara dengan Samudera Pasifik, di sebelah selatan dengan Provinsi Maluku dan Laut Arafura, di sebelah barat dengan Provinsi Maluku dan Maluku Utara, dan di sebelah timur dengan Negara Papua New Guinea. Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan
18
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua, yang tercermin melalui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum adat. Hal-hal mendasar yang menjadi isi Undang-Undang ini adalah: pengaturan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan; pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar; mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang berciri: a) partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan; b) pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat; c) penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggungjawab kepada masyarakat. pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
19
Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain. Undang-Undang ini menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai subjek utama pembangunan. Keberadaan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta perangkat di bawahnya, semua diarahkan untuk memberikan pelayanan terbaik dan pemberdayaan rakyat. Undang-Undang ini juga mengandung semangat penyelesaian masalah dan rekonsiliasi, antara lain dengan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pembentukan komisi ini dimaksudkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di masa lalu dengan tujuan memantapkan persatuan dan kesatuan nasional Indonesia di Provinsi Papua. Pada UU No. 21 Tahun 2001 ini juga disebutkan agenda-agenda yang mendasari penerbitannya, yaitu berkenaan dengan cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tertuang dalam konstitusi UUD 1945, yaitu membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam agenda ini dipahami bahwa masyarakat Papua memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar. Dari segi yuridis, sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UndangUndang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undangundang. Dari sisi politik, Pemerintah menilai bahwa integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, melalui penetapan daerah Otonomi Khusus. Dengan melihat bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri, maka kebijakan otonomi khusus dapat diberikan. Pertimbangan tersebut juga didasari oleh pengakuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan
20
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua, termasuk bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua. Di sisi lain, hal yang utama adalah otonomi khusus diberikan dalam konteks untuk mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemberian kebijakan Otsus sendiri diberikan dengan melihat sisi penegakan hakhak dasar di Papua. Pada UU ini disebutkan bahwa pemberlakuan kebijakan khusus didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara. Pemberian otonomi khusus dengan demikian juga diletakkan pada keyakinan bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua. Pemberian Otsus didukung oleh masyarakat dan elit Papua, khususnya untuk merespon kemiskinan di Papua. Pada tahun 2002, Gubernur Papua pada saat itu –sebelum pemekaran—JP Solosa, menyampaikan bahwa sekitar 75% warga Papua diperkirakan masih hidup di bawah garis kemiskinan akibat keterbatasan sarana dan prasarana transportasi laut, darat, dan udara di daerah10 itu. Keterbatasan sarana dan prasarana transportasi menghambat program-program pembangunan pemerintah yang akan dilaksanakan bagi kepentingan masyarakat di seluruh Papua. Gubernur Solosa menyatakan optimis dengan pemberlakuan UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Dengan Otsus, Papua dapat mengatasi persoalan ketertinggalan dan kemiskinan Permasalahannya adalah, bagaimana kinerja Papua setelah dilaksanakannya 10 Republika, 24 Agustus 2002. Data KPK-BPS menyebutkan pada tahun 2002 kemiskinan di Papua adalah 41,80%, berbeda dengan data dari Gubernur Papua.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
21
Kebijakan Otonomi Khusus?. Pertanyaan ini mengemuka karena isu tentang keberlimpahan sumber daya alam dan semua potensi yang dimiliki Papua yang tidak sepenuhnya bisa dinikmati oleh penduduknya muncul kembali di era otonomi khusus. Situasi ini yang menyebabkan Papua mengalami kondisi yang biasa disebut sebagai problems of plenty atau masalah dari keberlimpahruahan. Sebuah ironi tentang tetap miskinnya penduduk Papua di tengah keberlimpahan sumber daya alam yang dimilikinya, meskipun status Otonomi Khusus telah diberikan. Jawaban dari pertanyaan inilah yang menjadi bagian ini dari tulisan ini. 1.5. Evaluasi Kinerja Otsus Laporan ini merupakan sintesa hasil implementasi kebijakan Otonomi Khusus di Provinsi Papua. Dasar pemikirannya adalah bahwa Kebijakan Otonomi Khusus merupakan kebijakan yang bertujuan untuk memperbaiki berbagai ketertinggalan serta ketimpangan yang ada di Provinsi Papua. Provinsi Papua merupakan provinsi di wilayah timur Indonesia yang menghadapi berbagai persoalan mendasar terkait dengan fakta ketertinggalan wilayah. Daerah yang sebenarnya sangat kaya dengan potensi sumberdaya alam (SDA) ternyata pada tataran riil menghadapi fakta yang bertolak belakang. Ketertinggalan perekonomian masyarakat, minimnya penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas, jaringan infrastruktur yang masih memprihatinkan, hingga persoalan rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) merupakan permasalahan mendasar di wilayah ini. Kontradiksi seperti ini lambat laun menciptakan kesenjangan yang secara langsung sangat dirasakan oleh masyarakat Papua. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah ternyata justru membawa dampak negatif yang sangat besar, mulai dari kerusakan lingkungan hingga peminggiran hak-hak masyarakat asli.11 Berbagai aspirasi dan tuntutan agar pemerintah lebih memperhatikan ketertinggalan Papua telah lama disuarakan oleh masyarakat. Namun lambannya respon pemerintah menyebabkan aspirasi dan tuntutan tersebut berubah menjadi resistensi masyarakat yang tidak jarang berubah menjadi konflik fisik yang mengarah pada tuntutan kemerdekaan. Masyarakat asli Papua mulai mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam mencari solusi berbagai persoalan mendasar di Papua. Terlebih lagi, berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat 11 Arifah Rahmawati, Papua Ethno-Political Conflict: Causes, Context, and Policy Implication, Thesis, 2004, Naval Post Graduate School Menterey, California. hal. 19-20.
22
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
terkait dengan kekayaan alam Papua terkesan sangat eksploitatif dan justru meminggirkan peran masyarakat lokal yang berdampak pada mandegnya tingkat kesejahteraan mereka.12 Intensitas konflik fisik maupun tuntutan kemerdekaan yang semakin tinggi akhirnya membuat pemerintah mau tidak mau harus secara serius memperhatikan perkembangan aspirasi masyarakat Papua. Seiring dengan semakin populernya konsep desentralisasi pemerintahan sejak UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disahkan, penyelenggaraan pemerintahan yang lebih sensitif terhadap konteks lokal mulai menjadi mainstream utama reformasi pemerintahan. Konsep desentralisasi juga mulai diterapkan oleh pemerintah untuk konteks wilayah Papua. Penyelenggaraan pemerintahan mulai dijalankan dengan pendekatan yang berbeda, yang diharapkan dapat menciptakan perbaikan kualitas penyelenggaraan pemerintahan di Papua. Lahirnya kebijakan Otonomi Khusus merupakan sebuah pilihan kebijakan pemerintah pusat dan rakyat Papua sebagai suatu bentuk langkah kompromistis antara kepentingan nasional dan desakan pemenuhan tuntutan rakyat Papua.13 Sebagaimana dikemukakan di depan, otonomi khusus merupakan salah satu varian konsep desentralisasi yang dikenal dengan desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization). Kebijakan otonomi khusus akhirnya diambil oleh pemerintah pusat guna menyelesaikan berbagai persoalan di Papua.14 Kebijakan ini diterapkan secara resmi melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU No. 21 Tahun 2001). Mekanisme 12 Untuk Elaborasi mendalam terkait dengan ketertinggalan pembangunan dan kualitas kehidupan masyarakat Papua, salah satunya dapat dilihat dalam tulisan John Robert Wing, Irian Jaya Development and Indigenous Welfare The Impact of Development on The Population and Environment of The Indonesian Province of Irian Jaya (Melanesia West New Guinea or West Papua), Thesis, University of Sydney, 1994. Thesis ini membahas pengaruh program percepatan pembangunan Indonesia Timur pada masa Orde Baru terhadap kondisi di Irian Jaya. Pada saat itu, pembangunan lebih banyak diwujudkan dalam bentuk eksploitasi alam secara besar-besaran. Akibatnya, meskipun secara de jure pemilik kekayaan tanah Papua adalah masyarakat lokal, tetapi secara secara de facto mereka justru tersingkir dari proses pembangunan. Bahkan banyak hak-hak masyarakat lokal (misalnya kepemilikan tanah adat) yang justru banyak yang dinafikkan. 13 Laporan Studi Evaluasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua, Bidang Kebijakan Umum, Departemen Dalam Negeri, halaman 13 dan halaman 28-32. 14 Salah satu tulisan yang mengelaborasi sejarah atau latar belakang implementasi kebijakan Otonomi Khusus di Papua menyebutkan bahwa kebijakan ini dilatarbelakangi antara lain oleh ketidakpuasan masyarakat lokal terhadap pemerintah pusat, konflik yang muncul di dalamnya yang akhirnya membuat kebijakan Otonomi Khusus dipilih sebagai solusi. Lihat dalam Arifah Rahmawati, Papua Ethno-Political Conflict: Causes, Context, and Policy Implication, Thesis, 2004, Naval Post Graduate School Menterey, California.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
23
baru penyelenggaraan pemerintahan ini dimaksudkan sebagai jalan tengah untuk memfasilitasi aspirasi masyarakat daerah dengan kepentingan pemerintah nasional. Pada dasarnya kebijakan otonomi khusus dimaksudkan untuk memberikan ruang dan otoritas yang lebih luas dan adil bagi pemerintah daerah dan masyarakat Papua untuk mengelola wilayahnya sesuai dengan karakter dan keunikan lokal. Otoritas yang diberikan mencakup jaminan hak agar provinsi ini dapat mengelola kekayaan alam di Papua sehingga dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat asli. Dengan kata lain, kebijakan Otonomi Khusus menciptakan sebuah tata pemerintahan daerah Papua yang unik dan berbeda dengan wilayah lain.15 Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 merupakan kerangka kebijakan umum yang menjadi pedoman dalam melaksanakan Otonomi Khusus di Tanah Papua. UU ini mengatur berbagai sektor dasar yang menjadi bagian dari pelaksanaan Otonomi Khusus. Sektor-sektor yang diatur dalam undang-undang ini menciptakan karakter spesifik pada arah kebijakan daerah di tanah Papua yang membedakannya dengan daerah lain di NKRI. Sebagai bentuk kebijakan umum di tanah Papua, UU No. 21 Tahun 2001 ini memiliki filosofi perlindungan, pemberdayaan, dan pemihakan.16 Filosofi ini diharapkan dapat menjadi solusi untuk berbagai persoalan di Papua.17 Harapannya, kebijakan ini dapat menjadi instumen efektif dalam mengakomodasi hak masyarakat Papua secara lebih proporsional serta menyelesaikan berbagai persoalan mendasar di Papua seperti kemiskinan, keterbelakangan, masalah sosial yang berkepanjangan, hingga kesenjangan ekonomi. Dengan demikian, kebijakan Otonomi Khusus pada tataran umum sebenarnya merupakan kebijakan yang dimaksudkan untuk mengakomodasi tiga hal; menjawab kebutuhan peningkatan dan perbaikan kesejahteraan daerah, mempertahankan integrasi NKRI dan mencari jalan tengah terhadap berbagai kemelut selama ini.
15 Democratic Center Cenderawasih University, Principal Thoughts Concerning Development Policies in Papua Province, Jayapura, June 2003. halaman 8. 16 Laporan Studi Evaluasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua, Bidang Kebijakan Umum. Departemen Dalam Negeri, halaman 14. 17 Latar belakang munculnya filosofi ini dapat dilihat dalam uraian Jason Mcleod, Morning Star Rising: Maximising The Effectiveness of The Non Violent Struglles in West Papua. Thesis, 2002, School of Social Sciences, La Trobe University, halaman 13-16.
24
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Seperti telah disebutkan sebelumnya, kebijakan otonomi khusus mulai diimplementasikan setelah pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 (UU No. 21 Tahun 2001). Artinya, saat tulisan ini sedang dibuat pada April 2008, kebijakan otonomi khusus telah berjalan kurang lebih tujuh tahun. Dari rentang waktu tersebut, berbagai langkah nyata telah dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan implementasi otonomi khusus di atas. Kebijakan-kebijakan strategis di bidang pelayanan dasar telah diimplementasikan dengan melibatkan mobilisasi sumberdaya dan sumberdana yang jumlahnya sangat signifikan. Kebijakan strategis tersebut meliputi bidang kebijakan umum, bidang perekonomian, bidang infrastruktur, bidang pendidikan, kesehatan, dan bidang masyarakat sipil. Terkait dengan hal ini, untuk menilai efektivitas implementasi kebijakan ini, diperlukan sebuah instrumen evaluasi yang dapat digunakan sebagai tolokukur keberhasilan maupun kekurangan implementasi kebijakan ini. Kemitraan bekerjasama dengan Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia (Depdagri) telah melakukan penelitian yang terkait dengan evaluasi implementasi kebijakan Otonomi Khusus di Papua. Penelitian yang dilakukan meliputi evaluasi: 1. 2. 3. 4. 5.
kebijakan umum, kebijakan bidang kesehatan, kebijakan bidang pendidikan, kebijakan bidang infrastruktur, kebijakan pengembangan masyarakat sipil.
Evaluasi tersebut dilakukan untuk melihat efektifitas implementasi kebijakan otonomi khusus dalam meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat asli Papua. Sebagai sebuah sintesa, maka laporan ini berisi intisari temuan-temuan lapangan yang berguna sebagai dasar evaluasi keberhasilan maupun langkahlangkah perbaikan yang dapat diambil oleh pemerintah terkait dengan kebijakan implementasi otonomi khusus. Tujuan penulisan sintesa ini adalah untuk memetakan pencapaian hasil maupun kelemahan-kelemahan implementasi kebijakan Otonomi Khusus di Papua. Capaian hasil dapat digunakan sebagai motivasi untuk meningkatkan keberhasilan yang telah diperoleh, maupun untuk meningkatkan target manfaat implementasi kebijakan otonomi khusus di masa yang akan datang. Di sisi lain, pemetaan berbagai kekurangan maupun kelemahan implementasi kebijakan Otonomi Khusus dapat dimanfaatkan sebagai dasar penyempurnaan kelemahan
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
25
kebijakan. Aktifitas ini dilakukan sebagai bagian dari proses pembelajaran untuk merancang kebijakan yang lebih aspiratif dan efektif dalam mewujudkan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat Papua. Melalui pemetaan ini, akan didapatkan sebuah dasar yang bermanfaat bagi perumusan rekomendasi kebijakan dan tindak lanjut kebijakan yang tepat. Rumusan rekomendasi ini akan berguna untuk menentukan langkah tindaklanjut yang dapat dilakukan oleh semua level pemerintahan, dalam hal ini adalah pemerintah nasional, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota. Penulisan sintesa penelitian ini dengan demikian diharapkan dapat menjadi salah satu referensi dan instrumen evaluasi bagi segenap stakes holders yang terlibat untuk mewujudkan kualitas kehidupan masyarakat dan kondisi umum di Papua yang lebih baik melalui kebijakan Otonomi Khusus. Laporan sintesa hasil penelitian evaluasi kebijakan otonomi khusus ini ditulis dengan bersumber pada enam Laporan Penelitian di beberapa kabupaten/kota di Papua yang dilakukan oleh beberapa Perguruang Tinggi dan Lembaga Swasta bekerjasama dengan Kemitraan dan Depdagri. Selain berdasarkan hasil laporan penelitian tersebut, sumber penulisan juga diperkaya dengan berbagai referensi yang berasal dari sumber-sumber dokumen pendukung lain serta interaksi Tim Penulis yang cukup intens dengan masyarakat maupun pengambil kebijakan di Papua. Kunjungan lapangan yang dilakukan Tim Penulis ke beberapa kabupaten/ kota di dan lingkungan pemerintah Provinsi Papua ditambah dengan interaksi dengan para pengambil kebijakan di tempat itu menjadi referensi penting dalam penulisan sintesa hasil penelitian ini. Dengan dukungan sumber penulisan yang cukup lengkap semacam ini, diharapkan laporan sintesa hasil penelitian ini dapat menyajikan informasi yang komperhensif terkait dengan evaluasi kebijakan otonomi khusus di Papua. Sintesa hasil penulisan ini juga diharapkan bisa memberikan gambaran secara komprehensif tentang peta masalah yang dihadapi pemerintah daerah dan masyarakat Papua dalam implementasi kebijakan Otonomi Khusus, dan alternatif kebijakan strategis yang bisa dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
26
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Bagian Kedua
KEBIJAKAN UMUM1
2.1. Proses Kebijakan Kebijakan umum pemerintahan dan pembangunan di Papua adalah kebijakan otonomi khusus. Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.2 disebut sebagai “otonomi khusus” karena memberikan perlakuan yang khusus, dalam arti mendapatkan prioritas dukungan yang lebih banyak daripada daerah lain. Kebijakan umum tentang Papua dilembagakan dalam bentuk UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua atau UU Otsus. UU Otsus merupakan respon dari kekecewaan Papua terhadap kebijakan sentralistik yang dilakukan pada masa Orde Baru, dan merupakan ekstrapolasi dari kebijakan desentralisasi yaitu UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang menggantikan kebijakan sebelumnya, UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah. Momentum reformasi yang dihela oleh euforia 1 Bagian ini mengambil materi dari Laporan Evaluasi Otonomi Khusus Papua Bidang Kebijakan Umum, 2008, Jakarta: Kemitraan untuk Tata Kelola yang Baik. 2 Undang-Undang No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua, “Ketentuan Umum”
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
27
demokrasi dan kebebasan memunculkan suara “merdeka secara berdaulat”, dan berkembang dari konteks lokal, nasional, dan memasuki diskusi internasional. Kondisi politik domestik tidak menguntungkan, karena Timor Timur baru saja merdeka dari Indonesia. Pemerintah daerah, yaitu Pemerintah Provinsi Irian Jaya mengambil inisiatif dengan membentuk “Tim Asistensi” yang terdiri dari sejumlah akademisi Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura, yang memperoleh dukungan penuh dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Irian Jaya. Tim ini diberi mandat untuk menyusun naskah akademis otonomi daerah yang “berpihak kepada masyarakat lokal”. Pada saat yang sama, Pemerintah Pusat mengambil langkah paralel, di mana Depdagri menyusun draf Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus. Dari evaluasi ini ditemukan bahwa RUU versi Tim Asistensi ditentang oleh Pemerintah Pusat. Keterlibatan pemerintah pusat dalam proses pembentukan UU Otsus dipandang sangat kuat. Materi perdebatan memuncak pada kecurigaan terhadap kemungkinan penyalahgunaan isi pasalpasal yang terkandung di dalam rancangan undang-undang yang diusulkan oleh Tim Asistensi Universitas Cenderawasih keluar dari bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tercatat, perdebatan di seputar eksistensi Majelis Rakyat Papua (MRP) yang dapat dipandang setara dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Padahal MRP sesungguhnya hanya merupakan institusi “pelengkap” dalam tata pemerintahan Papua, sebagai representasi kultural dari masyarakat Papua. Disamping itu, kekhawatiran lain berkisar pada penggunaan identitas daerah seperti lambang, bendera dan lagu. Selain itu, terjadi tarik ulur yang cukup kencang dalam pengaturan kewenangan pengelolaan sumber daya alam. Bagi Pemerintah, kemerdekaan yang diperjuangan oleh beberapa tokoh dan kelompok masyarakat di Tanah Papua, tidak untuk memisahkan diri dari NKRI. Papua dalam keIndonesiaan adalah harga mati. Persitiwa Pepera Tahun 1969 adalah sah sebagai bagian dari sejarah bangsa yang sudah permanen, tidak dapat ditawar-tawar lagi. Atas dasar itu, setiap pergerakan kelompok masyarakat yang bermaksud untuk menggugat keabsahannya, senantiasa dihadapi dengan diplomasi yang meneguhkan prinsip “tetap satu dalam keIndonesiaan, baik dalam forum nasional, domestik, maupun internasional. Sehubungan dengan itu, Pemerintah lebih mengutamakan kepentingan nasional demi terwujudnya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi wilayah di Tanah Papua. Pemerintah menyadari bahwa ada kesalahan penerapan kebijakan pembangunan di Tanah Papua pada masa lalu, yang harus diperbaiki. Oleh karena itu, solusinya bukanlah keluar dari NKRI, tetapi perlu diterapkan special treatment
28
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
dengan bersungguh sungguh memperhatikan dimensi-dimensi sosio-budaya masyarakat Papua. Sebagai suatu produk kebijakan nasonal, UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, telah melalui mekanisme penyusunan yang dipandang bersifat akademis, partisipatif, dan demokratis. Sumber inspirasi penyusunan materi muatan pasal-pasalnya berasal dari dua pihak dengan pendekatan yang berbeda. Pertama, pendekatan dari bawah sebagaimana dilakukan oleh Tim Asistensi Univeristas Cenderawasih. Melalui kajian akademis, berbagai langkah partisisipatif yang demokratis telah ditempuh sejak lahirnya draft awal hingga diwujudkannya draft akhir. Dari berbagai momentum penjaringan aspirasi masyarakat Papua hingga konsultasi publik diberbagai forum lokal. Kedua, pendekatan dari atas sebagaimana dilakukan oleh Pemerintah – dalam hal ini Depdagri, melalui penyusunan draft rancangan berdasarkan hasil kajian komprehensif pada skala nasional yang mencoba mengakomodasi kepentingan semua pihak. Kedua draf rancangan tersebut, kemudian dipersandingkan untuk menemukan persamaan dan perbedaannya, yang kemudian melahirkan satu format draf usulan yang diajukan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas menjadi undang-undang. Dalam pembahasan tersebut, telah dilakukan klarifikasi kepada semua pihak yang berkepentingan, baik dari Pemerintah maupun dari pemerintah Provinsi Papua dan Tim Asistensi Universitas Cenderawasih. Dialog-dialog yang terjadi di forum Dewan, cukup mencerminkan aspek partisipatif dan demokratis dalam mewujudkan undang-undang ini. Pada akhirnya, ditetapkan kebijakan otonomi khusus dalam bentuk UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, yang merupakan “kompromi” antara Pemerintah Pusat dan elit Papua. Meskipun merupakan “kompromi”, masyarakat Papua menerima kebijakan ini dengan baik, karena kebijakan ini memuat “pernyataan maaf” dari Pemerintah nasional kepada Papua, yang dinyatakan dalam muatan perundangan Otsus. Secara eksplisit UU Otsus mengatakan bahwa keputusan politik penyatuan Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur. Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
29
penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya kesenjangan pada hampir semua sektor kehidupan, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan dan sosial politik. Pelanggaran HAM, pengabaian hakhak dasar penduduk asli dan adanya perbedaan pendapat mengenai sejarah penyatuan Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah masalahmasalah yang perlu diselesaikan. Upaya penyelesaian masalah tersebut selama ini dinilai kurang menyentuh akar masalah dan aspirasi masyarakat Papua, sehingga memicu berbagai bentuk kekecewaan dan ketidakpuasan3. Pernyatan-pernyataan ini secara tegas menggaris-bawahi kebijakan di masa lalu yang mengorbankan Papua. Pernyataan tersebut diperkuat dengan pernyataan yang memberikan keabsahan bagi kekhususan otonomi Papua dengan menyebut adanya momentum reformasi sebagai ruang bagi timbulnya pemikiran dan kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Sehubungan dengan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 Bab IV huruf (g) angka 2. Dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang antara lain menekankan tentang pentingnya segera merealisasikan Otonomi Khusus tersebut melalui penetapan suatu undang-undang otonomi khusus bagi Provinsi Irian Jaya dengan memperhatikan aspirasi masyarakat . Hal ini merupakan suatu langkah awal yang positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah, sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kokoh bagi berbagai upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua. Kebijakan Otsus merupakan kebijakan “kompromi” antara kepentingan nasional dan desakan pemenuhan tuntutan rakyat Papua. Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia . Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai 3 UU Otsus, Penjelasan.
30
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosialbudaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua, yang tercermin melalui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum adat.4 2.2. Muatan Kebijakan Sebagaimana dikemukakan pada bagian “penjelasan” UU Otsus, hal-hal mendasar yang menjadi isi Undang-Undang ini adalah, pertama, pengaturan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan; kedua, pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar; dan ketiga, mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang berciri: 1. partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan; 2. pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat; dan 3. penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggungjawab kepada masyarakat. Keempat, pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu. 4 Ibid.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
31
Simpulan yang dibuat oleh Otsus adalah bahwa kebijakan pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain. Muatan kebijakan otsus sebangun dengan kebijakan penyelenggaraan desentralisasi dari Pemerintahan Indonesia, yaitu UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi dan berubah menjadi No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal yang dengan eksplisit menunjukkannya adalah pasal 4 UU No. 21 Tahun 2001 yang memilah kewenangan antara Pemerintah Pusat (nasional) dan Pemerintah Daerah, dengan menyebutkan pemilahan kewenangan sebagai berikut: (a) Kewenangan Umum yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada Pemerintah Provinsi Papua, kecuali urusan politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter dan fiskal, agama, peradilan, dan kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan; (b) Kewenangan khusus yang diberikan kepada Pemerintah Provinsi Papua maupun Pemerintah Kabupaten/Kota. Rincian kewenangan tertentu di bidang lain, yang tidak diserahkan oleh Pemerintah Pusat ke Provinsi Papua, meliputi: (a) Kebijakan makro tentang perencanaan dan pengendalian pembangunan nasional, (b) Dana perimbangan keuangan, (c) Sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, (d) Pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, (e) Pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, dan (f ) Konservasi dan stándarisasi nasional. Sementara itu, kewenangan umum bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dilaksanakan berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004. Padahal, rincian kewe-nangan tertentu tersebut tidak diatur lagi di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota sebagai penjabaran lebih lanjut dari UU No. 8 Tahun 2005 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 3 Tahun 2005 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Adapun rincian kewenangan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana disebutkan di dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 14 adalah : (a) Urusan Wajib meliputi 16 urusan, yaitu : perencanaan dan pengendalian pembangunan; perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; penyelenggaraan
32
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
ketertiban umum dan ketertiban masyarakat; penyediaan sarana dan prasarana umum; penanganan bidang kesehatan; penyelenggaraan pendidikan; penanggulangan masalah social; pelayanan bidang ketenagakerjaan; fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; pengendalian lingkungan hidup; pelayanan pertanahan; pelayanan kependudukan dan catatan sipil; pelayanan administrasi umum dan pemerintahan; pelayanan administrasi penanaman modal; penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangan; (b) Urusan yang bersifat pilihan, meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah. Jika dibandingkan dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang meletakkan otonomi daerah di tingkat kabupaten/kota, maka UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus meletakkan otonomi daerah pada tingkat provinsi. Dengan demikian, secara muatan kebijakan, terjadi perbedaan penting antara kebijakan di tingkat nasional dengan kebijakan di Papua. Namun demikian, jika dibandingkan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan di Daerah, terjadi kesebangunan, karena kebijakan ini meletakkan kekuatan otonomi di tingkat provinsi, meskipun tidak menghilangkan keotonomian di tingkat kabupaten/kota. Dalam komparasi kebijakan, ditemukan hal-hal dasar berkenaan dengan karakter kekhususan dari kebijakan Otsus Papua tidak berbeda dengan otonomi bagi daerah-daerah lain di Indonesia. Namun demikian, terdapat tiga hal dalam muatan kebijakan yang memang menjadikan otonomi di Papua bersifat khusus. Pertama, di Papua dibentuk institusi representasi kultural. Di provinsi Papua terdapat lembaga Majelis Rakyat Papua, yang selanjutnya disebut MRP, yang difahami sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. Representasi kultural ini menjadikan hukum-hukum adat yaitu aturan atau norma tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta mempunyai sanksi, khususnya yang berkenaan dengan hak atas tanah ulayat, yaitu hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
33
memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, diakui keabsahannya sebagai hukum formal. Kedua, kekhususan dalam pendapatan daerah untuk Papua. Sebagaimana diatur pada UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka antara Daerah Otonomi Khusus Papua dan daerah lain di Indonesia tidak berbeda dalam hal sumber penerimaan daerah, yaitu dalam bentuk pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman Daerah, lain-lain penerimaan yang sah. Kekhususan Papua adalah pada besaran dana bagi hasil untuk sumberdaya alam di sektor pertambangan minyak bumi sebesar 70% dan pertambangan gas alam sebesar 70%. Persentase ini lebih besar dari persentase yang diatur untuk daerah lain, di mana bagi hasil pertambangan minyak bumi untuk daerah adalah 15,5% dan untuk gas alam 30,05%. Hal yang membedakan Papua dengan daerah lain adalah adanya “Penerimaan Khusus” dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2% dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan; dan dana tambahan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur. Diatur di dalam UU No. 21 Tahun 2001 bahwa penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 4) dan angka 5) berlaku selama 25 tahun. Selanjutnya, mulai tahun ke-26, penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi 50% untuk pertambangan minyak bumi dan sebesar 50% untuk pertambangan gas alam. Sementara itu, penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus berlaku selama 20 tahun. Ketiga, penggunaan peristilahan yang secara semantik berbeda, meskipun tidak mempunyai perbedaan signifikan dalam makna. Pertama, berkenaan dengan eksistensi kultural. Disebutkan bahwa “Lambang Daerah” adalah panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera Daerah dan lagu Daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan. Kedua, penamaan lembaga legislatif daerah, di mana tidak dikenal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Papua, namun Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). DPRP adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua yang berfungsi sebagai badan legislatif Daerah Provinsi Papua. Ketiga, kebijakan di tingkat daerah diberi penamaan yang berbeda, yaitu Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi). Perdasus adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam Undang-undang
34
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
dan Perdasi adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. 2.3. Implementasi Kebijakan 2.3.1. Implementasi Pasal-Pasal Pada prinsipnya, UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua merupakan salah satu acuan dan wadah utama bagi pelaksanaan pembangunan di Tanah Papua. Hal ini, terutama dikaitkan dengan eksistensi dan treatment Orang Asli Papua. Tetapi, dalam perjalanan implementasinya hingga Tahun 2006, masih belum dapat dioptimalkan sebagai sumber acuan legalistik. Acuan dimaksud, terdiri dari sekurang-kurangnya 2 PP, 2 Keppres, 13 Perdasus, dan 21 Perdasi. Berikut ini, ditampilkan pasal-pasal otsus yang belum ditindak lanjuti. Tabel 2.1 Pasal Otsus yang Belum Ditindaklanjuti PasalPasal Pasal 2
Aturan Tindak Lanjut
Status T. Lanjut
Perdasus
-
Peraturan Perundangan
-
Perda Kab/Kota
-
• Kawasan Khusus
Peraturan Perundangan
-
• Kewenangan Pemeritahan pada Level Provinsi
Peraturan Perundangan
-
Perdasi/Perdasus
-
Peraturan Perundangan
-
Perdasi/Perdasus
-
Peraturan Perundangan
-
Perdasus
-
• Kerjasama Luar Negeri
Peraturan Perundangan
-
• Tata ruang Pertahanan
-
-
• Tatacara pertimbangan
Perdasus
-
Isu Utama Lambang Daerah • Pemekaran Kabupaten
Pasal 3
• Pemekaran Distrik/Kampung
• Kewenangan Khusus Provinsi • Kewenangan Pemerintahan Kab/Kota Pasal 4
• Kewenangan kab/kota lainnya • Perjanjian Internasional • Tata cara Perjanjian
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
35
Pasal 5 Pasal 6
Pembagian Pemerintahan Keanggotaan DPRP Kedudukan Keuangan DPRD Tugas dan Wewenang DPRP
36
Peraturan Perundangan
-
Tatip DPRP
-
Pasal 7
Pelaksanaan tugas & wewenang DPRD
Pasal 8
Pelaks. Hak-hak DPRP
Pasal 9
Hak-hak Anggota DPRP
Pasal 10
Pelaksanaan kewajiban DPRP
Pasal 11
Tatacara pemilihan Gub/Wagub
Perdasus
-
Pasal 12
Syarat-syarat Orang Asli Papua
-
-
Pasal 13
Pengangkatan/pelantikan Gub/ Wagub
Pasal 14
Kewajiban Gubernur
Pasal 15
Pelaksanaan tugas dan wewenang Gub.
Pasal 16
Tugas Wakil Gubernur
Pasal 17
Masa Jabatan Wagub
Pasal 18
Tatacara Pertanggung-jawaban Gub.
Peraturan Perundangan
Peraturan Perundangan
-
Keppres
Belum
Pasal 19
Keanggotaan MRP Kedudukan Keuangan MRP
PP
PP No. 54 Tahun 2004
Pasal 20
Tugas dan Wewenang MRP
Perdasus
-
Pasal 21
Pelaksanaan Hak MRP
Perdasus
-
Pasal 22
Pelaksanaan Hak Anggota MRP
Tatip MRP berpedoman pada PP
-
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Pasal 23
Pelaksanaan Kewajiban MRP
PP
PP No. 54 Tahun 2004
Perdasi - dasar PP
Perdasi No. 4 Tahun 2004
PP
PP No. 54 Tahun 2004
Perangkat Pemerintah Provinsi
Perdasi
-
Pasal 27
Kebijakan Kepegawaian
Perdasi
-
Pasal 28
Parpol : rekrut prioritas Penduduk Papua
-
-
Peraturan Perundangan
PP No. 54 Tahun 2004
Pasal 24
Tatacara Pemilihan Anggota MRP
Pasal 25
Tatacara pengesahan dan pelantikan anggota MRP
Pasal 26
Pasal 29
Tatacara pembuatan Perda
Pasal 30
Pelaksanaan Perdasus/Perdasi
Keputusan Gubernur
-
Pasal 31
Keputusan Gubernur tentang Perdasus/Perdasi
Lembaran Daerah Provinsi
-
Pasal 32
Efektivitas pembentukan & pelaksanaan hukum (Pembentukan Komisi Ad Hoc)
Perdasi
-
Pembiayaan tugas DPRP/MRP
Perdasi
-
Pembiayaan tugas pemprov
Perdasi
-
Peraturan Perundangan
-
Perdasus
-
Perdasi
-
Pasal 33
Pasal 34 Pasal 35
Dana Alokasi Umum Pembagian Dana Otsus Ketentuan pelaksanaan BLN
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
37
Pasal 36
38
Perubahan dan Perhitungan APBD
Perdasi
-
Tatacara penyusunan & pelaksanaa APBD
Perdasi
-
-
-
Perdasus
-
Pasal 37
Penyampaian Data dan informasi penerimaan pajak dan PNBP oleh Pemerintah kepada Pemprov dan DPRP tiap tahun
Pasal 38
Usaha-usaha perekonomian, penghormatan hak-hak adat, jaminan hukum, pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan
Pasal 39
Pengelolaan SDA
-
-
Pasal 40
Perizinan dan Perjanjian Kerjasama
-
-
Pasal 41
Tatacara penyertaan modal
Perdasi
-
Pasal 42
Ekonomi Kerakyatan
-
-
Pasal 43
Pelaksanaan hak ulayat oleh penguasa adat
Peraturan Perundangan
-
Pasal 44
Hak kekayaan intelektual
Peraturan Perundangan
-
Pasal 45
HAM
Peraturan Perundangan
-
Pasal 46
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Keppres - usul Gubernur
-
Pasal 47
Penegakan HAM Perempuan
-
-
Pasal 48
Tugas ketertiban, ketenteraman dan biaya
Perdasi
-
Pengangkatan Kapolda
Persetujuan Gubernur
-
Pasal 49
Penempatan, relokasi satuan polisi
Koordinasi Gubernur
-
Pasal 50
Kekuasaan Kehakiman
Peraturan Perundangan
-
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Pasal 51
Peradilan Adat
-
-
Pasal 52
Pengangkatan Jaksa Tinggi
Persetujuan Gubernur
-
Pasal 53
Hak dan kebebasan untuk memeluk agama
-
-
Pasal 54
Kewajiban pemerintah dalam pengembangan keagamaan
-
-
Pasal 55
Dukungan Pemerintah dalam pengembangan keagamaan
-
-
Pasal 56
Penyelenggaraan Pendidikan
Perdasi
Perdasi No. 5 Tahun 2006
Pasal 57
Perlindungan,pembinaan, dan pengembangan budaya asli Papua
Perdasi
-
Pasal 58
Pelestarian bahasa & sastra daerah
-
-
Pasal 59
Pelayanan kesehatan
Perdasi
-
Perbaikan gizi
Perdasi
-
Penempatan penduduk
Perdasi
-
Pasal 62
Kesempatan kerja orang asli papua
Perdasi
-
Pasal 63
Pembangunan berkelanjutan
-
-
Pasal 64
Pengelolaan lingkungan hidup
Perdasi
-
Pasal 65
Penyandang masalah sosial
Perdasi
-
Pasal 66
Penanganan suku terasing
Perdasus
-
Pasal 67
Pengawasan hukum, politik, sosial
Perdasus
-
Pasal 68
Pengawasan fungsional
Peraturan Perundangan
-
Pasal 60
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
39
Pasal 69
Kerjasama ekonomi, sosial, budaya dgn provinsi lain Perselisihan antar kab/kota
Pasal 70
Perselisihan kab/kota dan provinsi
Pilihan hukum yang disepakati
-
Fasilitasi provinsi Fasilitasi pemerintah
-
-
-
-
PP No. 54 Tahun 2004
Pasal 71
Pengaturan Pimpinan Daerah sebelum Otsus
Pasal 72
Tatacara pemilihan anggota MRP untuk pertamakalinya
Pasal 73
Kewenangan atas pengelolaan sumberdaya (biaya, personil, peralatan dan dokumen
Peraturan Perundangan
-
Pasal 74
Hal yang tidak diatur
Peraturan Perundangan
-
Pasal 75
Peraturan pelaksanaan UU otsus
-
-
Pasal 76
Pemekaran provinsi
Persetujuan MRP dan DPRP
-
Pasal 77
Perubahan UU Otsus
Diusulkan oleh rakyat melalui MRP dan DPP
-
Pasal 78
Evaluasi Tahunan UU otsus Dan 3 tahunan
-
-
Pasal 79
Pengundangan
-
-
Sumber : Hasil Kajian, 2006.
2.3.2. Implementasi Kelembagaan Implementasi kebijakan Otsus secara kelembagaan adalah dalam rupa pembentukan DPR Papua dan Majelis Rakyat Papua. Kedua lembaga ini bekerja sebagai representasi politik dan representasi kultural dari masyarakat Papua, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus. Kelembagaan Otsus mengalami perubahan penting ketika Pemerintah
40
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Pusat mengakomodasi usulan lokal untuk pemekaran wilayah Papua menjadi dua: Provinsi Papua, yang berada di timur, dan Provinsi Irian Jaya Barat, yang merupakan Papua bagian barat, atau disebut sebagai bagian “Kepala Burung”, melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 1 Tahun 2003. Untuk mempercepat kinerja Otsus, secara kelembagaan, pada tahun 2007 Presiden Yudhoyono menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Inpres ini mengamanatkan kepada 11 Menteri untuk memberikan dukungan secara khusus kepada pembangunan Papua. Menko Perekonomian ditunjuk untuk menjadi Ketua Tim Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Untuk melaksanakan Inpres ini, Menko Perekonomian menerbitkan Surat Keputusan Menko Perekonomian Nomor Kep-38/M.Ekon/07/2007 tentang Pelaksana Harian Tim Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, yang menunjuk Meneg PPN/Ka-Bappenas sebagai Pelaksana Harian Tim Asistensi Inpres No. 5 Tahun 2007. Untuk melaksanakan tugasnya, Meneg PPN/Ka-Bappenas dibantu oleh “nara-sumber”, yang terdiri dari Rektor Universitas Cenderawasih, Rektor Universitas Papua, Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dari Universitas Indonesia, dan Drs. Manuel Kaisiepo, mantan Menteri Kawasan Tertinggal. Kebijakan ini dipandang sebagai respon Pemerintah untuk perlunya program khusus untuk mempromosikan pembangunan Papua, sebagai penajaman dan perkuatan dari kebijakan otonomi khusus. Inpres ini banyak disebut sebagai “pendekatan kebijakan baru” atau “the new deal policy for Papua” yang memuat lima aspek strategis, yakni: 1. 2. 3. 4.
Pemantapan ketahanan pangan dan pengurangan kemiskinan; Peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan; Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan; Peningkatan infrastruktur dasar guna meningkatkan aksesibilitas di wilayah terpencil, pedalaman dan perbatasan negara; dan 5. Perlakuan khusus (affirmative action) bagi pengembangan kualitas sumberdaya manusia putra-putri asli Papua.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
41
Gambar 2.1 Kerangka Kerja Tim Asistensi dengan Gubernur
Untuk melaksanakan tugas keseharian dari tim pelaksana harian, maka Menko Perekonomian menerbitkan lagi Surat Keputusan Menko Perekonomian Nomor KEP-39/M.EKON/07/2007 tentang Sekretariat dan Tim Teknis pada Tim Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, yang menunjuk Kepala adalah Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, sebagai ketua, dengan Wakil Ketua Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Badan Perencanaan, dan delapan anggota, yang terdiri dari Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum, Deputi Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri, Direktur Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah, Departemen Dalam Negeri, Direktur Jenderal Anggaran, Departemen Keuangan, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Departemen Keuangan, Staf Ahli Bidang Otonomi
42
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Daerah, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, dan Dr. Mohamad Ikhsan, Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa kebijakan percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat ditata pada kebijakan yang sangat berjenjang, sebagaimana digambarkan berikut ini:
Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
Instruksi Presiden No. 5/2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
Surat Keputusan Menko Perekonomian Nomor Kep38/M.Ekon/07/2007 tentang Pelaksana Harian Tim Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Surat Keputusan Menko Perekonomian Nomor KEP39/M.EKON/07/2007 tentang Sekretariat dan Tim Teknis pada Tim Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
“Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat”
Keberadaan tim khusus dari Pemerintah Pusat untuk melakukan percepatan pembangunan Papua merupakan strategi utama dari dukungan khusus Pemerintah Pusat secara kelembagaan. Namun demikian, dukungan yang paling utama diharapkan adalah dukungan keuangan. Sebagaimana dikemukakan di depan, kebijakan otonomi khusus diarahkan kepada kewenangan dari masyarakat Papua untuk mengembangkan kebijakan pembangunan yang menjadi aspirasinya.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
43
2.3.3. Implementasi Pendanaan/Pembiayaan Kebijakan otonomi khusus didukung oleh dana perimbangan, sebagaimana daerah lain di Indonesia, yang terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus, ditambah dengan dana penyesuaian. Untuk Papua, telah ditambahkan dana otonomi khusus. Mekanisme alur dana Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah Papua sebagai berikut. Gambar 2.2 Alur Dana dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah Papua5
Sesuai dengan pasal 34 UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus, diatur dana perimbangan dalam konteks otonomi khusus sebagai berikut.
5 Departemen Keuangan Republik Indonesia, 2007, Peta Alur Dana Pemerintah Pusat ke Provinsi Papua dan Irian Jaya Barat Tahun 2006-2007, presentasi.
44
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Tabel 2.2 Aturan Dana Perimbangan dalam Otonomi Khusus Bagi hasil pajak • • •
90% dari pajak bumi dan bangunan (PBB) 80% dari bea BB (BBB) 20% dari pajak penghasilan perseorangan
Bagi hasil sumberdaya alam
Bagi hasil dana alokasi umum
• 80% dari kehutanan, perikanan, dan pertambangan umum • 70% dari minyak bumi* dan gas bumi*
• DAK sesuai perundang-undangan • 20% dari DAU khusus untuk pendidikan dan kesehatan** • DAK untuk infrastruktur (berdasarkan usulan provinsi dan ditetapkan Pemerintah dan DPR)
* selama 25 tahun, kemudian menjadi 50% ** selama 20 tahun
Dengan keberadaannya sebagai daerah yang ditata dengan otonomi khusus, maka Pemerintah Pusat memberikan alokasi dana khusus otonomi atau Dana Otsus. Dana ini diberikan sejak tahun 2002 sebesar Rp 1,38 trilyun. Jumlah tersebut terus meningkat menjadi Rp 1,53 trilyun pada tahun 2003, Rp 1,64 trilyun pada tahun 2004, Rp 1,77 trilyun pada tahun 2005, Rp 2,91 trilyun pada tahun 2006, Rp 3,20 trilyun pada tahun 2007, dan pada tahun 2008 dirancang senilai Rp 3,81 trilyun. Total dana otonomi khusus selama 2002-2008 mencapai Rp 16,24 trilyun. Suatu jumlah yang sangat besar dibandingan dengan jumlah manusia yang dikelola, sekitar 1,8 juta jiwa. Tabel 2.3 Dana Otsus dari Tahun ke Tahun Tahun
Dana Otsus (Rupiah)
2002
1,038,000,000,000
2003
1,539,560,000,000
2004
1,642,617,943,000
2005
1,775,312,000,000
2006
2,913,218,000,000
2007
3,274,230,000,000
Sumber : Departemen Keuangan, sesuai tahun.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
45
2.3.4. Implementasi Pembangunan Implementasi kebijakan dalam bentuk program pembangunan, Pemerintah kabupaten/kota di lokasi sasaran evaluasi, hanya berpedoman pada petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Papua setiap tahun anggaran. Sebagai contoh, pada tahun 2006 adalah : (a) Nota Kesepahaman antar Gubernur Provinsi Papua dengan Bupati/Walikota se Provinsi Papua Tanggal 10 Pebruari 2006 tentang Pembagian Dana Otonomi Khusus Tahun Anggaran 2006.; (b) Rencana Definitif Penggunaan Dana Otsus Provinsi Papua Tahun Anggaran 2006 yang dikeluarkan pada Bulan April 2006, mencakup bidang : Pendidikan, Kesehatan, Infrastruktur, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, dan Penunjang Lainnya; dan (c) Pedoman Teknis Kebijakan alokasi penggunaan dana otonomi khusus untuk pembangunan Provinsi Papua, Tahun Anggaran 2006. Dalam hal ini, tidak ditemukan langkah-langkah kebijakan kabupaten/kota untuk menerjemahkannya lebih lanjut, misalnya dalam bentuk Peraturan Daerah atau keputusan Bupati/Walikota. a. Pendidikan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Pasal 56 : 1-6, mengatur tentang hak setiap penduduk memperoleh pendidikan bermutu pada semua jenjang, jalur dan jenis pendidikan dengan meminimalkan beban masyarakat yang sekecil mungkin. Pihak swasta (Lembaga Agama, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Dunia Usaha) yang memenuhi syarat diberi kesempatan yang luas untuk berperan dalam mengembangkan program-program. Sehubungan dengan itu, Pemerintah Provinsi Papua dan Kabupaten/Kota diharuskan memfasilitasi dalam bentuk bantuan/subsidi yang diatur lebih lanjut di dalam Perdasi tentang pendidikan. Terkait dengan regulasi di atas, maka bidang pendidikan menjadi bagian penting dalam kerangka kebijakan dan strategi pembangunan di kabupaten/kota. Diakui bahwa kebijakan pendidikan kabupaten/kota (misalnya di Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Merauke, Kabupaten Jayawijaya, dan Kabupaten Teluk Bintuni) diarahkan pada peningkatan pemerataan dan mutu pelayanan pendidikan, terutama untuk suksesnya Wajar 9 tahun dengan memanfaatkan secara optimal prasarana dan sarana fisik/nonfisik dan meningkatkan jumlah dan mutu pengajar. Dalam implementasinya, dana otsus yang disediakan Pemerintah Daerah untuk dikelola oleh Dinas terkait, tidak sesuai kebutuhan dan masih kurang transparan terhadap besaran alokasi dana. Terjadi pemangkasan atau pengalihan peruntukan pembiayaan di bidang lain, terutama bidang infrastruktur.
46
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Masih ada kesangsian dari masyarakat, apakah ada kesungguhan pemerintah untuk menerapkan kebijakan pembangunan pendidikan yang telah diagendakan itu. Kesangsian tersebut cukup beralasan jika mencermati berapa argumen indikatif yang diajukan : Pertama, Selama 6 tahun implementasi otonomi khusus, pendidikan bermutu pada semua jenjang, jalur dan jenis pendidikan umumnya hanya dapat dinikmati oleh masyarakat asli Papua yang tinggal di perkotaan dan sekitarnya. Sedangkan mereka yang berada di kampung-kampung yang sulit diakses dari ibukota kabupaten/kota belum memperoleh layanan pendidikan yang memadai; Kedua, alokasi bantuan beasiswa menjadi sangat terbatas dan tidak lancar. Padahal undang-undang Otonomi khusus Pasal 56 ayat (3) dan penjelasannya telah mengamanatkan perlunya alokasi pembiayaan seluruh atau sebagian biaya pendidikan bagi putra putri asli Papua pada semua jenjang pendidikan. Masyarakat sangat berharap agar dengan penuh kejujuran, Pemerintah dapat membebaskan biaya anak sekolah hingga ke jenjang Perguruan Tinggi. Lahirnya Perdasi Provinsi Papua Nomor : 5 Tahun 2006 tentang pembangunan pendidikan di Provinsi Papua, diharapkan menjadi landasan utama bagi suksesnya implementasi otonomi khusus di bidang pendidikan. Sehingga alokasi dana untuk pendidikan minimal 30% yang selama ini belum berjalan sebagaimana mestinya, segera dapat diwujudkan. Hingga tahun 2006, alokasi dana untuk pendidikan di kabupaten/kota sasaran evaluasi, baru berkisar antara 12-21% saja. b. Kesehatan Amanat Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001, agar Pemerintah provinsi wajib menetapkan standar mutu dan memberikan pelayanan kesehatan dan gizi (Pasal 59 ayat (1)), di mana setiap penduduk asli Papua berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu dengan beban masyarakat serendah-rendahnya (Pasal 59 ayat (3)), tampaknya belum dapat diwujudkan dengan baik. Sementara itu, pihak swasta dan lembaga sosial keagamaan yang diberi peran untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan, masih memiliki keterbatasan sehingga seringkali harus menerapkan pelayanan berbiaya mahal. Rendahnya mutu pelayanan kesehatan umumnya disebabkan sulitnya akses penduduk ke pusatpusat pelayanan kesehatan karena kendala geografis dan transportasi. Penyebab lainnya adalah adanya keterbatasan tenaga, sarana dan fasilitas pelayanan kesehatan. Alokasi dana otonomi khusus untuk pembangunan kesehatan sekitar 15% tidak cukup signifikan untuk menolong perbaikan layanan kesehatan masyarakat Papua. Sasaran penggunaan dana belum terfokus pada upaya nyata
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
47
peningkatan derajat kesehatan masyarakat secara langsung. Pelayanan kesehatan bagi penduduk dengan beban masyarakat yang serendahrendahnya masih jauh dari harapan. Hal ini terutama dirasakan oleh penduduk yang jauh dari perkotaan. Pelayanan kesehatan di rumah sakit masih dirasakan mahal terutama pembelian obat-obatan. Keikutsertaan lembaga non pemerintah, terutama lembaga agama dalam pelayanan kesehatan telah terlaksana selama ini, terutama terhadap penduduk di wilayah pedalaman dan terpencil. Ada juga lembaga swadaya masyarakat yang terlibat dalam pelayanan kesehatan, namun jumlahnya masih minim. Sedangkan dunia usaha sangat minim keterlibatannya dalam upaya pelayanan kesehatan. Kebijakan pemerintah kabupaten/kota sasaran evaluasi, dalam rangka implementasi Otonomi khusus di bidang kesehatan diarahkan pada peningkatan jangkauan/pemerataan dan mutu pelayanan kesehatan. c. Ekonomi Kerakyatan Pembangunan ekonomi kerakyatan di kabupaten/kota sasaran evaluasi pada umumnya terumuskan dalam rangkuman arahan kebijakan sebagai berikut: Peningkatan kemampuan komoditi ekonomi tradisional masyarakat; Pembentukan dan peningkatan sentra ekonomi rakyat dan produksi masyarakat; Penciptaan sirkulasi ekonomi rakyat terpadu; Pelatihan dan magang peningkatan ekonomi rakyat; Peningkatan perilaku yang berorientasi pada usaha produktif; Peningkatan pendapatan dan daya beli masyarakat. Pemberdayaan ekonomi rakyat bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai aktivitas pembangunan khususnya di bidang ekonomi, peningkatan kualitas sumber daya manusia agar mampu mengolah sumber daya alam secara efisien dan berkelanjutan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Mendorong masyarakat, pengusaha kecil dan menengah untuk berkembang serta mampu mendorong berkembangnya ekonomi daerah dan menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha. Untuk merealisasikan hal tersebut, maka sejalan dengan semangat dan filosofi undang-undang otonomi khusus, pemerintah kabupaten/kota telah berupaya menerjemahkannya dalam berbagai bentuk program disemua sektor ekonomi di perkotaan dan di kanpung-kampung. Namun dalam bidang ekonomi kerakyatan masih memerlukan pelatihan dan sosialisasi yang intensif terhadap masyarakat.
48
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Bagian Ketiga
PENDIDIKAN1
3.1. Muatan Kebijakan Undang-Undang Otsus mengatur hal-hal yang berkenaan dengan pendidikan, terutama pada pasal 56. Pada pasal ini disebutkan bahwa Pemerintah Provinsi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi Papua. Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan umum tentang otonomi perguruan tinggi, kurikulum inti, dan standar mutu pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan sebagai pedoman pelaksanaan bagi pimpinan perguruan tinggi dan Pemerintah Provinsi. Mengingat tujuan Otsus adalah membangun sumberdaya manusia Papua yang unggul, maka pada pasal ini ditetapkan bahwa setiap penduduk Provinsi Papua berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sampai dengan tingkat sekolah menengah dengan beban masyarakat serendah-rendahnya. Pada pasal ini juga diatur bahwa dalam mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi syarat sesuai dengan peraturan perundangundangan untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu di Provinsi Papua. Untuk itu, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota 1
Bagian ini mengambil materi dari Laporan Evaluasi Otonomi Khusus Papua Bidang Pendidikan, 2008, Jakarta: Kemitraan untuk Tata Kelola yang Baik.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
49
dapat memberikan bantuan dan/atau subsidi kepada penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Pengaturan diatas didukung oleh Pasal 57 dan Pasal 58. Pada Pasal 57 diatur bahwa Pemerintah Provinsi wajib melindungi, membina, dan mengembangkan kebudayaan asli Papua. Dalam melaksanakan kewajiban tersebut, Pemerintah Provinsi memberikan peran sebesar-besarnya kepada masyarakat, termasuk lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi persyaratan, termasuk di dalamnya memberikan pembiayaan. Pada Pasal 58 disebutkan bahwa Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa dan sastra daerah guna mempertahankan dan memantapkan jati diri orang Papua. Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa kedua di semua jenjang pendidikan. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di jenjang pendidikan dasar sesuai kebutuhan. Untuk melaksanakannya, pada 27 April tahun 2006 diterbitkan Perdasi No. 5 tahun 2006 Dalam Perda tersebut telah diatur berbagai kebijakan di bidang pendidikan yang mencerminkan pengelolaan pendidikan di Papua. Diantara kebijakan tersebut adalah menyangkut: Tabel 3.1 Pasal Pasal Perdasi No. 5 Tahun 2006 Terkait Pengelolaan Pendidikan Pasal 9
Hak atas pendidikan dengan pola khusus bagi setiap orang asli Papua yang bermukim di daerah terisolasi, terpencil, dan terabaikan.
2
Pasal 11
Hak setiap keluarga Papua untuk menyelenggarakan pendidikan berdasarkan nilai dan norma agama dan adat yang dianut, serta memperoleh bimbingan kependidikan untuk penyelenggaraan pendidikan dalam keluarga. Kewajiban setiap orang tua di Papua untuk (a) melindungi anggota keluarga dari pengaruh merugikan, serta memberi arah bagi keluarga untuk berperilaku baik sesuai dengan norma agama, adat, sosial dan hukum, (b) menyekolahkan anaknya serendah-rendahnya pada jenjang pendidikan dasar.
3
Pasal 12 ayat (2)
Hak pengelola pendidikan swasta atas bantuan teknis, subsidi dana, serta sumber daya lainnya secara adil dan proporsional dari Pemerintah dan Pemda
1
50
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
4
Pasal 14, ayat (1) & (2)
Hak peserta didik yang berasal dari keluarga ekonomi lemah dan tidak mampu membiayai pendidikannya serta memiliki kemampuan akademik untuk mendapat biaya pendidikan dari Pemerintah dan Pemda
5
Pasal 15 ayat (1) huruf f
Hak pendidik dan tenaga pendidik: Gaji, pensiun, tunjangan fungsional, tunjangan daerah terpencil, serta tunjangan lain sesuai dengan undang-undang. Memperoleh pelayanan transportasi pulang pergi bagi yang bekerja di daerah terpencil.
6
Pasal 19 ayat (2)
Penerapan pola pendidikan khusus sperti sekolah khusus, kelas ganjil-genap, plasma induk, kelas khusus dll.
7
Pasal 20 ayat (1) & (2)
Peluang untuk menyelenggaran pendidikan berasrama atau semi asrama, yang disesuaikan dengan kebutuhan, lingkungan dan usia peserta didik, serta mengakui dan menghormati tradisi dan kebudayaan masyarakat setempat.
8
Pasal 23 ayat (2)
Penyelenggaraan PAUD dengan model Sekolah Minggu.
9
Pasal 24 ayat (3)
Peran pemerintah kampung dan lembaga adat dalam membina dan mengembangkan pendidikan kearifan lokal yang dilaksanakan setiap keluarga, termasuk peran laki-laki dalam mengelola keluarga.
10
Pasal 29
Pemaduan bahan ajar kurikulum nasional dengan keanekaragaman fisik, bahasa, dan sosial budaya Papua
11
Pasal 30
Muatan kurikulum lokal yang antara lain mencakup etnosains, bahasa daerah, sejarah lokal, teknologi lokal dll. Pengetahuan kearifan lokal dipelajari sebagai materi muatan lokal yang diintegrasikan kedalam mata pelajaran terkait.
12
Pasal 34
Akreditasi sekolah-sekolah khusus
13
Pasal 36
Penetapan bahasa Inggris sebagai bahasa wajib kedua di lembagalembaga pendidikan formal
14
Pasal 44
Jenis-jenis pendidikan khusus di Papua mencakup: Kolese Pendidikan Guru, pembinaan keagamaan peserta didik, sekolah ketrampilan lapangan bagi masyarakat, sekolah ketrampilan kerumahtanggaan, dll.
15
Pasal 45
Sumber-sumber pendanaan pendidikan
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
51
16
Pasal 48
Pemerintah daerah memberikan subsidi dalam bentuk hibah untuk keperluan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan swasta.
17
Pasal 54
Kualifikasi pendidik untuk PAUD dan SD minimal DII Keguruan.
3.2. Implementasi Kebijakan Kebijakan Otonomi Khusus Bidang Pendidikan di Papua dipahami sebagai perhatian pemerintah Pusat terhadap Provinsi Papua terutama masalah pendidikan, yang memungkinkan terjadinya peningkatan pembangunan di bidang pendidikan. Otonomi Khusus bidang pendidikan ini juga dipahami sebagai pengalokasian dana yang cukup besar dari pemerintah pusat untuk pembangunan pendidikan bagi masyarakat asli Papua melalui Pemerintah Kabupaten dan Provinsi. Dengan Otonomi Khusus juga memungkinkan pendidikan di Papua disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sesuai dengan budaya dan keadaan geografis. Termasuk dalam pengelolaan sekolah, penyusunan kurikulum, penyediaan akses pendidikan yang lebih luas dan merata, kewenangan mengatur dirinya sendiri sesuai dengan manajemen berbasis sekolah. Semasa Otonomi Khusus masyarakat sudah merasakan ada perbedaan yang berarti dalam hal pendidikan, khususnya di Jayapura. Perbedaan tersebut tampak dari dibangunnya sekolah berstandar nasional dan internasional, melalui dana Otonomi Khusus. Sedangkan masyarakat di dua kabupaten lain (Merauke dan Manokwari), belum merasakan seperti yang diharapkan, yaitu seperti di Jayapura. Beberapa perubahan yang dirasakan antara lain dalam hal pembebasan biaya pendaftaran masuk, penyediaan seragam bagi murid baru, penyediaan buku paket, alat tulis, rehabilitasi gedung sekolah, tunjangan kelebihan mengajar bagi guru, penyediaan kendaraan bermotor bagi Kepala Sekolah, serta penyediaan rumah dinas bagi guru. Perubahan sebelum dan sesudah Otonomi Khusus di Jayapura menjadi lebih signifikan jika dibanding dengan di Merauke dan Manokwari. Sebagian dari responden hanya mendengar bahwa sebelum Otonomi Khusus pendanaan berasal dari pusat sedangkan sesudah Otonomi Khusus pendanaan berasal dari Kabupaten/Kota atau Provinsi, di mana pendanaan ini masih dirasa juga belum cukup menunjang pengembangan profesi guru. Beberapa responden menyatakan
52
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
bahwa dukungan bagi guru untuk meningkatkan karirnya cenderung berkurang, misalnya dengan berkurangnya frekuensi pelatihan dan penataran untuk guru, beasiswa bagi guru untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya, jika dibandingkan sebelum masa Otonomi Khusus. Padahal menurut mereka itulah salah satu cara untuk komunikasi dengan guru dari lain daerah. Hal ini penting karena melalui pelatihan dapat saling tukar informasi. Bagi siswa dan orang tua, sudah dirasakan adanya perubahan, dengan dihapuskannya uang sekolah, uang pendaftaran masuk sekolah, pemberian seragam, alat tulis dan buku pelajaran. Khusus untuk buku pelajaran, penggunaan buku tersebut belum optimal. Maka dari itu, beberapa responden minta agar dalam hal pengadaan buku, pihak sekolah atau guru perlu dilibatkan sehingga buku yang dibeli dapat bermanfaat langsung bagi siswa. Dalam proses pembuatan peraturan-peraturan bidang pendidikan di aras provinsi dan kabupaten, diperoleh data bahwa banyak masyarakat yang belum mengetahui dengan jelas. Masyarakat menghimbau agar pembuatan peraturan tersebut melibatkan unsur-unsur masyarakat yang terkait, yaitu birokrat, praktisi pendidikan, pengamat pendidikan, yayasan-yayasan dan LSM pendidikan, perguruan tinggi, serta perwakilan orang tua murid. Dirasa oleh sebagian masyarakat, dalam masa Otonomi Khusus juga belum dibuat suatu formula atau desain untuk mendidik anak Papua sesuai kondisi sosial dan budaya (misalnya berdasarkan pemetaan wilayah kota (modern), kabupaten (pra-modern), distrik/ kampung (tradisional); Yaitu model pendidikan yang berorientasi pada budaya lokal (daerah) Papua. Pendidikan yang sekarang dijalankan masih mengacu pada standar nasional, tanpa adanya penyesuaian yang signifikan dengan lokalitas daerah. Untuk membuat desain ini, responden menyarankan adanya kajian khusus tentang hal tersebut, yang meliputi antara lain materi pengajaran, mentalitas pengajar, penggunaan buku, dan sarana pendukung pendidikan lainnya. 3.2.1 Kurikulum Kebijakan Otonomi Khusus Bidang Pendidikan untuk pengembangan kurikulum di Papua belum mendapat respon yang optimal kecuali di Sekolah Unggulan/ rintisan SBI; Jangankan kebijakan tentang kurikulum, sampai saat evaluasi dilakukan, diperoleh informasi masih adanya kabupaten yang belum memiliki sekolah. Walau begitu secara umum telah diusahakan adanya kebijakan Kurikulum, misalnya untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Jurusan Pertanian dan Pengolahan Hasil Pertanian kurikulumnya harus disesuaikan dengan potensi
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
53
wilayah/daerah Papua, sedangkan untuk sekolah umum kurikulum ekstra kurikulernya-pun perlu menyesuaikan juga. Dengan pengembangan kurikulum yang demikian, siswa diberi peluang untuk mengembangkan diri dan berkreasi dalam rangka peningkatan kemampuan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Selain itu, pengembangan Kurikulum perlu mengikuti Model Pendidikan Dasar yang Berorientasi Budaya Lokal/Daerah Papua. Namun sampai saat evaluasi, belum ada muatan lokal khas Papua dalam kurikulum sekolah baik intra maupun ekstra kurikuler. Hiruk pikuk pembaharuan kurikulum di tingkat Nasional baik dalam bentuk Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) maupun KTSP cukup dirasakan mengganggu dinamika implementasi di dua kabupaten, Merauke dan Manokwari. Stakeholders berharap agar pengembangan kurikulum tidak dilakukan berdasarkan hasil kajian di sekolah-sekolah di Jawa melainkan lebih merupakan kajian kebutuhan nyata masyarakat Papua. Lebih dari itu sekiranya akan diimplementasikan kurikulum baru, proses penyiapan guru dan aparat pendidikan harus dilakukan terlebih dahulu agar pembaharuan pendidkan itu benar-benar dapat dilaksanakan. Penyelenggaraan Ujian Akhir National (UAN) juga dianggap sebagai kendala tersendiri bagi pengembangan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 3.2.2. Muatan Lokal Pada implementasinya, kebijakan pendidikan memasukkan muatan lokal. Muatan lokal berupa mata pelajaran pengetahuan masyarakat setempat, bahasa daerah, sejarah lokal, kebudayaan asli Papua, diberikan dengan tujuan untuk mempersiapkan peserta didik agar mampu beradaptasi dengan perubahan global dengan tetap berakar pada nilai-nilai budaya Papua. Namun demikian, muatan lokal yang mengatur tentang sikap dan perilaku yang luhur masih sangat jarang diberikan di sekolah. Memang ada sekolah yang memberikan muatan lokal, misalnya di Merauke dan Manokwari. Sebuah Sekolah Menengah Atas (SMA) di Merauke memasukkan budaya lokal dalam mata pelajaran seperti seni suara maupun seni tari lokal. Juga dimasukkan nilai kehidupan lokal seperti masamu melalui pelajaran PKn, dan bahasa Indonesia. Sedang di Manokwari ada sekolah SMP yang memberikan muatan lokal berupa pelajaran ketrampilan membuat panah dan anak panah. Ketrampilan membuat anak panah dan panah ini diberikan karena sementara ini panah masih banyak digunakan sebagai alat untuk berburu binatang sebagai mata pencaharian sebagian penduduk di Papua.
54
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Bidang Pendidikan di Papua juga diwujudkan dalam bentuk kebijakan mutu pendidikan melalui Sekolah Unggulan, sebagai perhatian lebih khusus tentang kebijakan dan kewenangan yang diberikan untuk kemajuan mutu pendidikan. Dengan kebijakan sekolah unggulan ini diharapkan terjadi persaingan positif di antara siswa, dan juga yang lebih utama adalah mendorong adanya kompetisi antar sekolah-sekolah di daerah yang mengarah ke sekolah bermutu/favorit dan menuju sekolah bertaraf internasional. Kebijakan ini disadari cukup banyak menyedot dana, walaupun begitu jika bercermin dari satu sekolah aras Provinsi dan satu sekolah di Kota Jayapura, hasilnya cukup menggembirakan, terbukti dengan diperolehnya prestasi dalam berbagai kejuaraan olimpiade. Sayangnya kebijakan ini belum bisa bergulir ke daerah/kabupaten lain diluar Jayapura. 3.2.3. Mutu Pendidikan Kebijakan Otonomi Khusus Bidang Pendidikan dalam Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar, Menengah dan Tinggi, menunjukkan bahwa pemerintah mempunyai kepedulian yang tinggi tentang mutu pendidikan yaitu dengan kebijakan menjadikan Sekolah-Sekolah Ber-Standar Nasional (SSN) dan menuju Sekolah Ber-Standar Internasional (SSI) mulai dari rintisan sekolah pada aras Provinsi dengan Model SMA sebagai Sekolah Unggul dengan Berasrama dan di Kota Jaya Pura dengan Model Sekolah Satu Atap SD, SMP dan SMA; Keberhasilan kebijakan ini bisa diidentifikasi misalnya: murid mulai sejak tingkat SD sudah dapat mengikuti Olimpiade Matematika dan IPA tingkat Nasional; siswa-siswa berhasil dalam lomba olimpiade Sience Nasional dan Internasional. Kebijakan mutu pendidikan dalam Kebijakan Otonomi Khusus Bidang Pendidikan di daerah perkotaan seperti Jayapura, sudah dapat dikatakan telah berhasil membuat mutu pendidikan hampir sama dengan mutu pendidikan di daerah lain di luar Papua. Hal ini bisa dilihat dari sangat tingginya kesadaran siswa akan arti pentingnya sekolah.Hasilnya adalah: (1) Anak-anak bisa mengikuti pelajaran lebih baik, dapat meningkatkan cara belajarnya yang lebih baik, termasuk melalui belajar berkelompok, terciptanya siswa yang mandiri, sangat kreatif, dan berkemampuan yang bermutu/sangat baik. Murid-murid sejak SD mendapat pelajaran komputer (teori dan praktek) di sekolahnya masing-masing, sehingga hasil UAN maupun prestasi dalam mengikuti lomba-lomba pada tingkat nasional terus meningkat (terlebih Khusus SMK); (2) Sebagian besar tamatan terserap di lapangan kerja, dan atau melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi; (3) Jumlah mahasiswa asli Papua pada perguruan tinggi negeri (di Papua maupun di luar
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
55
Papua) semakin meningkat. Bahkan sekalipun penduduk asli Papua yang berasal dari pedalaman-pun dapat memperoleh pendidikan dokter di Perguruan Tinggi ternama. Sayangnya hal ini masih terpusat di kota Jayapura saja, dan belum sampai daerah kabupaten yang lain.
56
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Kebijakan Otonomi Khusus Bidang Pendidikan Di kalangan Perguruan Tinggi di Papua juga telah berhasil karena telah terjadi peningkatan jenjang pendidikan dosen dari S1 menjadi S2 dan S3 yang sebagian dibiayai dari dana Otonomi Khusus; Selain itu para dosen juga dapat mengadakan penelitian dengan menggunakan peralatan laboratorium dan dana yang sebagian bersumber dari Otonomi Khusus. Lebih lanjut, Sumber Daya Manusia yang berkualifikasi S1, S2 dan S3 semakin meningkat jumlahnya baik dari lulusan Papua maupun luar Papua, baik dari dalam maupun luar negeri. 3.2.4. Kesempatan Pendidikan Kebijakan yang menyangkut perluasan kesempatan masyarakat memperoleh pendidikan secara khusus dan tersurat dalam era Otonomi Khusus ini belum dipahami benar oleh para birokrat peserta Focus Group Discussion (FGD), namun dengan semakin tingginya animo masyarakat akan pentingnya pendidikan dapat dipakai sebagai tolok ukur keberhasilan dalam kebijakan ini. Selain itu juga semakin tinggi jumlah penduduk asli Papua dari pedalaman yang melanjutkan pendidikan ke jenjang Pendidikan Tinggi; Murid SD, SMP memperoleh dana Otonomi Khusus dan juga Biaya Operasional Sekolah (BOS), siswa SMTA mendapatkan subsidi; Demikian juga mahasiswa berprestasi memperoleh bea siswa, dan atau bantuan tugas akhir dari Dinas Pendidikan dan Pengajaran (P dan P), mengarah ke pertanda semakin luasnya kesempatan penduduk asli Papua untuk memperoleh pendidikan. Walaupun begitu, juga diakui ada banyak siswasiswa (terutama asli Papua) dengan tingkat kemampuan rendah yang semakin tersisih dari pendidikan, utamanya di sekolah bermutu seperti di SSN atau SNBI. Berbeda dengan di Merauke maupun di Manokwari, komitmen pemerintah untuk membuka seluas mungkin akses pendidikan bagi masyarakat Papua khususnya yang ada di pedalaman kurang bersambut baik dengan sistem reward bagi para pendidik yang bertugas di pedalaman maupun kesadaran warga masyarakat untuk menyekolahkan putra putri mereka. Kondisi geografis yang membatasi jangkauan layanan pendidikan yang bermutu dan kekayaan alam juga menjadi kendala rendahnya partisipasi masyarakat. Rendahnya kesadaran akan pentingnya pendidikan membuat mereka merasa bebas untuk bersekolah, dalam artian bebas masuk dan bebas keluar. Penghargaan terhadap guru di daerah pedalaman juga menurun atau merosot, yang disebabkan juga karena kualitas guru itu sendiri. Sementara sekolah yang bermutu di kota lebih didominasi putra-putri pendatang, sedangkan putra-putri Papua sendiri tergeser ke sekolah yang kurang bermutu.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
57
3.2.5. Partisipasi Masyarakat Otonomi Khusus di bidang pendidikan di Papua memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat guna berpartisipasi dalam pendidikan. Mengingat semakin banyaknya siswa-siswa (terutama asli Papua) yang tingkat kemampuannya rendah tersisih dari sekolah yang bermutu, maka partisipasi masyarakat semakin terbuka, baik dalam penyelenggaraan pendidikan, atau memberi dukungan kepada sekolah yang sudah ada. Partisipasi tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk pengadaan dan pemeliharaan sarana/prasarana (laboratorium, perpustakaan) juga alat dan bahan baik yang bersumber dari dana Orang Tua Murid ataupun dari Otonomi Khusus/Pemerintah. Selain itu juga dalam bentuk pengawasan terhadap kebijakan pendidikan, mekanisme pengucuran dana, penyelenggaraan MBS di sekolah, penggunaan dana dari masyarakat, kualitas PBM, dan lain-lainnya. Partisipasi masyarakat dalam pendidikan cukup besar baik dalam bentuk pendirian sekolah formal maupun non formal. Sekolah yang didirikan oleh masyarakat ini sangat berperan terutama sebelum adanya sekolah Inpres. Awalnya sekolah didirikan oleh lembaga-lembaga keagamaan. Kehadiran sekolah ini dipandang oleh pemerintah sangat penting karena keterbatasan pemerintah untuk menyediakan fasilitas sekolah bagi semua putra-putri Papua. Bagaimanapun beberapa sekolah yang didirikan oleh masyarakat ini masih banyak kendala terkait dengan kualitas guru, sarana dan prasarana, jumlah dan kualitas guru yang terbatas, kurangnya masyarakat dalam membayar uang sekolah, kemampuan sekolah untuk membayar guru, dan penyediaan rumah guru, dibandingkan dengan sekolah negeri. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kualitas sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat ini sangat beragam. Pemerintah daerah sudah membantu sekolah swasta ini dengan berbagai bantuan yang berupa guru sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) diperbantukan, sarana prasarana, BOP dan lain-lain. Meskipun sejak Otonomi Khusus sudah terbentuk komite sekolah pada sekolah-sekolah swasta ini, tetapi cara kerjanya masih sama dengan cara kerja BP3 pada waktu sebelumnya. Peran masyarakat dalam pendidikan melalui sekolah swasta makin menurun, khususnya yang berada di daerah pedalaman.
58
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
3.2.6. Pembiayaan Selama dekade terakhir ini di Jayapura, sebagai ibukota provinsi Papua, animo masyarakat akan pentingnya pendidikan semakin tinggi. Hal ini tidak terlepas dari adanya perhatian serius pemerintah provinsi Papua. Apalagi ditambah dengan adanya dukungan dana Otonomi Khusus yang dinilai cukup memadai untuk provinsi saja. Kebijakan sehubungan dana pendidikan tersebut nampak dengan adanya alokasi dana yang cukup besar untuk dunia pendidikan khususnya bagi daerah-daerah (kabupaten dan distrik), antara lain meliputi: pembebasan dana pendidikan bagi penduduk asli Papua mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan menengah atas, pengadaan alat Laboratorium dan program ketrampilan, pengadaan dan atau renovasi sarana prasarana pendidikan dan secara khusus penyelenggaraan Sekolah Unggulan baik aras Provinsi maupun Kota di Jayapura. Menurut informasi, di samping perdasi tersebut, juga sudah ditetapkan perda tentang mekanisme pengaturan dan pertanggungjawaban keuangan Otonomi Khusus. Namun, sampai saat penelitian ini dilakukan, peraturan tersebut belum disosialisasikan. Kebijakan-kebijakan tersebut perlu segera disosialisasikan dengan lebih efektif lagi. Sementara di kabupaten Manokwari dan Merauke, pemerintah kabupaten memberikan bantuan pembebasan uang pendaftaran untuk masuk ke sekolah, dan pakaian seragam bagi siswa kelas satu, dan alat transportasi untuk putra daerah, serta bantuan uang ujian Evaluasi Belajar Tahap Akhir (Ebta). Hanya saja realisasi bantuan seragam sering mengalami keterlambatan karena luasnya rentang kendali. Oleh karena itu sistem pengaturannya perlu ada modifikasi. Pengaturan yang lebih efisien perlu dilakukan supaya paling lama satu bulan setelah masuk, siswa sudah dapat menggunakan seragam yang dibagikan tersebut. Khusus untuk kabupaten Merauke, siswa yang tidak mampu juga diberi bantuan sepeda sebagai alat transportasi. Beasiswa juga disediakan bagi siswa berprestasi dan siswa tidak mampu secara ekonomi. Bagi guru, diberi insentif untuk kelebihan jam mengajar, dan disediakan sepeda motor bagi Kepala Sekolah, serta pembangunan rumah guru di sekolah. Sesuai dengan Perda No. 5 Tahun 2006, alokasi dana Otonomi Khusus diperuntukkan bagi enam pos, yaitu biaya penyelenggaraan pendidikan publik, subsidi penyelenggaraan pendidikan keagamaan, biaya pelaksanaan akreditasi, pengawasan, dan pengendalian mutu pendidikan, subsidi/hibah bagi lembaga
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
59
pendidikan swasta, bantuan kepada lembaga pendidikan swasta nasional, biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi dan swasta. Pada aras provinsi juga digunakan untuk pengadaan sekolah menengah yang bertaraf internasional, berlokasi di Abepura. Di Jayapura juga dikembangkan hal yang sama untuk jurusan IPA dan Matematika. Untuk Merauke dan Manokwari, dana Otonomi Khusus dimasukkan sebagai pos penerimaan dana kabupaten atau kota. Pengalokasian dana di level provinsi, sebagian untuk pengembangan sekolah bertaraf internasional, sebagian disalurkan ke kabupaten atau kota yang oleh Pemerintah Kota/ Kabupaten dimasukkan sebagai pos penerimaan daerah. Dalam realisasinya tidak lagi dibedakan berdasarkan dana Otonomi Khusus atau bukan. Oleh karena itu, wajar jika sebagian besar responden tidak tahu pasti porsi 30% dana Otonomi Khusus apakah benar-benar dipakai untuk pendidikan. Yang mereka pahami adalah adanya penyaluran dana ke berbagai lembaga penyelenggara pendidikan umum, tetapi sumbernya tidak jelas apakah dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), atau dana Otonomi Khusus. Perbedaan antara tahun takwin dengan tahun ajaran juga menjadi kesulitan bagi pengelolaan keuangan pendidikan di kabupaten/kota karena biasanya sekolah sudah berjalan enam bulan, dana baru turun. Penyaluran dana ke sekolah swasta disarankan tidak langsung ke sekolah, tetapi ada koordinasi dan pengawasan dari yayasan. 3.2.7. Sarana dan Prasarana Kebijakan Otonomi Khusus Bidang Pendidikan untuk pengembangan sarana dan prasarana pendidikan di Papua dipahami sebagai usaha Pemerintah membantu pengadaan sarana dan prasarana sekolah, alat Laboratorium dan pemeliharaannya, pengadaan perpustakaan beserta koleksinya, dan juga alat dan bahan pembelajaran dari dana Otonomi Khusus/Pemerintah. Selain penghapusan SPP dari tingkat SD sampai SMP bagi penduduk asli Papua, Otonomi Khusus juga dipahami sebagai bantuan sarana/fasilitas sekolah setiap anak, terlebih bagi mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu. Walau begitu dalam implementasinya, belum berjalan seperti yang mereka harapkan. Indikatornya: masih banyak gedung sekolah yang rusak dan tidak diperbaiki, sementara mengharapkan partisipasi masyarakat sangatlah sedikit. Memang diakui bahwa partisipasi masyarakat sangat menonjol di daerah perkotaan, tapi di daerah pedalaman belum menggembirakan. Di sekolah tertentu yang ada di Jayapura tersedia sarana dan prasarana pendidikan yang relatif memadai, bahkan peralatan laboratorium di beberapa sekolah juga meningkat jumlah maupun jenisnya. Sama halnya dengan kondisi di Manokwari dan Merauke, terdapat sekolah yang kondisi sarana prasarananya sangat bervariasi. Sebagai ilustrasi,
60
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
keadaan laboratorium SMKN 1 Manokwari, di jurusan perkayuan peralatan laboratoriumnya begitu lengkap, tetapi di jurusan elektro sangatlah minim. 3.3. Kinerja Kebijakan Visi Pendidikan Provinsi Papua pada tahun 2001/2002 adalah: “Pada Tahun 2005, Terselenggara pendidikan dan pengajaran yang kontekstual, merata dan bermutu bagi masyarakat Papua guna memiliki ketrampilan hidup yang berorientasi pada kebutuhan pembangunan daerah Provinsi Papua, sehingga mampu meletakkan landasan ekonomi, sosial, budaya, politik yang kokoh bagi terwujudnya masyarakat Papua menjadi Tuan di negeri sendiri”. Visi ini diimplementasikan dalam bentuk kebijakan pendidikan untuk anak usia dini hingga perguruan tinggi, sebagaimana dipaparkan berikut ini. 3.3.1. Pendidikan Anak Usia Dini Program Pendidikan Anak Usia Dini diselenggarakan melalui pendidikan formal pada jenjang Taman Kanak-kanak ditangani oleh Sub Dinas Dikdasmen, sedangkan pendidikan anak usia Taman Kanak-kanak yang tidak tertampung pada pendidikan formal ditangani oleh Sub Dinas PLS. Pada tahun pelajaran 1999/2000 Penduduk usia 4 – 6 tahun sebanyak 206.692 anak, terbagi dalam: 13.943 anak tertampung di TK, pada lembaga taman kanak-kanak dan 192.249 anak belum tertampung pada pendidikan TK. Sampai dengan tahun 2000 jumlah lembaga pendidikan TK sebanyak 6 TK Negeri yang terdapat di 6 kabupaten. Masih terdapat 8 kabupaten/kota yang belum memiliki TK Negeri. Selain TK negeri, terdapat TK swasta sebanyak 261 lembaga. Dari 267 TK Negeri dan TK swasta tersebut terdapat tenaga guru sebanyak 886 orang, terdiri dari 26 orang guru negeri dan 260 orang guru swasta. Sebgian besar guru negeri/swasta tersebut tidak memiliki kualifikasi sebagai tenaga guru TK, serta sebagian besar belum pernah mengikuti pelatihan yang dipersyaratkan. Berbagai kendala tersebut berpengaruh pada rendahnya jumlah anak usia 4-6 tahun yang masuk pada lembaga TK. Sampai dengan tahun 2001 kondisi pendidikan secara umum adalah: belum semua kecamatan/distrik memiliki TK, sangat terbatas prasarana pendidikan yang tersedia, kurangnya kesadaran orang tua memasukkan anaknya pada lembaga TK, serta kemampuan ekonomi orang tua yang masih terbatas. Pada tahun 2006 jumlah lembaga Taman Kanak-kanak di Provinsi Papua sebanyak 157 buah terdiri dari 6 TK negeri dan 151 TK swasta, dengan jumlah murid sebanyak 16.653 anak , dengan tenaga pengajar sebanyak 703 orang guru tetap
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
61
pemerintah maupun yayasan serta dibantu dengan 529 guru tidak tetap dan lembaga PAUD yang terdiri dari kelompok Bermain, Penitipan Anak dan Satuan Paud Sejenis sebanyak 125 kelompok dengan jumlah 6.606 siswa dan tenaga pendidik 495 orang. Lembaga PAUD yang tersebar di Provinsi Papua sebanyak 150 kelompok dengan jumlah peserta didik sebanyak 7.642 anak dan tenaga pendidik sebanyak 610 orang, yang terdiri dari kelompok bermain, penitipan anak dan satuan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sejenis. Kebutuhan pendidikan untuk kelompok umur 0-4 tahun maupun 5-6 tahun, baik melalui jalur pendidikan TK dan yang sederajat, maupun jalur pendidikan luar sekolah belum dapat terlayani secara layak dan memadai. Hal ini karena sangat terbatasnya TK yang disediakan oleh pemerintah serta lembaga PAUD yang tersedia di kabupaten/kota. Untuk lembaga TK bahkan terdapat beberapa kabupaten yang belum tersedia TK negeri maupun swasta. Demikian halnya dengan lembaga PAUD yang diselenggarakan oleh pemerintah, yayasan maupun masyarakat juga belum mampu menjangkau seluruh kabupaten yang ada. Jumlah penduduk usia 0-6 tahun mencapai 277.791 anak dan baru terlayani sekitar 22.259 anak (9,01%), baik melalui lembaga PAUD maupun TK. 3.3.2. Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun Pada tahun 2001, keadaan Pendidikan Dasar di Provinsi Papua yang meliputi SD dan SMP bila dikaitkan dengan peserta didik dan penduduk berumur 7-12 tahun untuk usia SD dan 13-15 tahun untuk usia SMP saat itu, kesenjangan yang terjadi masih jauh dibandingkan dengan target program penuntasan wajib belajar Pendidikan Dasar. Ini dapat dilihat dari data yang menunjukkan bahwa jumlah usia sekolah yang tertampung di SD baru mencapai 83,07% dan untuk SMP baru mencapai 38,25%. Dari jumlah anak usia 7-12 tahun, sebanyak 349.341 orang dan usia 13-15 tahun, sebanyak 181.845 orang belum tertampung di SD dan SMP. Pada tahun pelajaran 2004/2005 jumlah murid SD/MI sebanyak 288.437 anak dan bila dibandingkan dengan penduduk usia 7 – 12 tahun sebanyak 270.850 orang maka Angka Partisipasi Kasar mencapai 106,49%. Angka putus sekolah jenjang SD mencapai 7,68%, atau 22.152 anak. Dari jumlah penduduk usia 7 – 12 tahun yang tertampung di SD sebanyak 237.102 orang; dengan demikian Angka Partisipasi Murni (APM) baru mencapai 87,54%. Pada tahun 2005/2006 Provinsi Papua dengan jumlah penduduk usia 7 – 12 tahun sebanyak 365.838 orang, tersedia SD dan MI sebanyak 2.703 yang terdiri dari 1.600 SD Negeri dan 1.103 SD Swasta yang tersebar di 29 kabupaten/kota.
62
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Tenaga pendidik SD/MI pada tahun 2005/2006 sebanyak 11.796 guru negeri dan dibantu guru tidak tetap sebanyak 1.708 orang, dan ini masih dirasakan kurang terutama pada daerah pedalaman. Ruang belajar yang tersedia sebanyak 9.718 ruang, terdiri dari 5.915 ruang belajar SD Negeri dan 3.803 ruang belajar SD Swasta. Dari ruang belajar yang tersedia kurang lebih 45% sudah mengalami kerusakan baik rusak ringan dan rusak berat, bahkan untuk sekolah yang berlokasi di daerah pedalaman kondisinya sudah tidak layak lagi untuk dihuni. Pada tahun 2001 terdapat 348 sekolah SMP, dengan perincian 236 SMP/MTS Negeri dan 112 SMP/MTS Swasta, dengan jumlah murid 8.592 orang; memiliki ruang belajar 2.021 ruang dengan kondisi baik dan rusak ringan, serta 248 ruang dalam keadaan rusak. Angka partisipasi siswa pada tingkat SMP baru 38,25%. Tenaga pengajar pada di 236 sekolah SMP Negeri dan 112 SMP Swasta terdapat 3.225 tenaga guru tetap yang diangkat oleh pemerintah, 186 guru tetap yayasan dan dibantu 1.083 tenaga guru honorer. Sejak terjadinya pemekaran kabupaten/ kota yang diikuti dengan pengembangan distrik, terdapat beberapa distrik yang belum memiliki SMP. Lima tahun ke depan, secara bertahap, diharapkan setiap distrik memiliki SMP, untuk menampung lulusan SD disekitarnya, yang pada akhirnya dapat meningkatkan angka partisipasi. Pada tahun 2004/2005 jumlah penduduk usia 13 -15 sebanyak 123.638 orang, dengan jumlah murid SMP/MTs yang tertampung pada 308 sekolah sebanyak 75.027 orang. Dengan demkian angka partisipasi kasar mencapai 60,68%, sedangkan angka partisipasi murni 47,24%, dengan jumlah murid usia 1315 tahun di SMP/MTs sebanyak 58.407 orang. Angka putus sekolah pada SMP mencapai 8,07% atau 6,055 siswa. Pendidik pada 308 SMP/MTs negeri dan swasta berjumlah 3.157 orang guru tetap yang diangkat oleh pemerintah maupun swasta serta dibantu oleh 1.574 guru tidak tetap. 3.3.3. Pendidikan Menengah Untuk penduduk usia 16-18 tahun yang telah tamat pada jenjang pendidikan tingkat SMP sampai tahun 1999/2000 telah tersedia 44 SMA Negeri dan 68 SMA Swasta, dengan jumlah ruangan kelas sebanyak 803 ruangan dalam kondisi baik dan rusak ringan, serta 57 ruangan lainnya dalam keadaan rusak. Dengan jumlah ruang 860 lokal mempunyai kapasitas maksimal 24.400 siswa, untuk Provinsi Papua memiliki ruang kelas 860 lokal dan jumlah 35.407 siswa, didukung oleh tenaga guru sebanyak 1.586 orang guru negeri dan 92 orang guru tetap yayasan serta dibantu 946 guru tidak tetap. Jumlah sekolah menengah kejuruan sebanyak
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
63
32 SMK Negeri dan 18 SMK Negeri dan 14 SMK Swasta dengan jumlah ruang belajar 259 ruang dengan pengajar sebanyak 695 guru negeri dan 133 guru tetap yayasan, serta 346 guru tidak tetap. Pada tahun 2004/2005 jumlah sekolah sebanyak 169 sekolah yang terdiri dari 116 SMA, 7 MA dan 46 SMK, dengan jumlah peserta didik sebanyak 49.985 orang yang mengikuti pendidikan pada SMA berjumlah 34.297 orang MA 314 orang dan SMK 15.374 orang, dengan APK sebesar 45.07% dari jumlah penduduk usia 6-18 tahun yang berjumlah 115.675 orang. Angka putus sekolah SMA sebesar 12.34% dan pada Sekolah Menengah Kejuruan sebesar 18.43%. 3.3.4. Pendidikan Tinggi Sampai tahun 2001/2002, Provinsi Papua telah memiliki dua Perguruan Tinggi Negeri dan 24 Perguruan Tinggi Swasta yang tersebar di berbagai kabupaten/ kota. Pada umumnya ke 24 PTS ini masih menggunakan sarana gedung sekolah SD/SMP yang ada di kabupaten/kota. Ketersediaan buku/alat bantu pendidikan masih kurang. Sampai dengan tahun 2006, berbagai program yang telah dilaksanakan antara lain: Pembangunan KPG di empat lokasi (Nabire, Merauke, Timika dan Sorong). KPG ini bertujuan untuk mencetak guru-guru SD yang siap terjun ke lapangan, yang sekaligus juga untuk mengatasi kekurangan guru yang dikhususkan bagi guru SD di daerah pedalaman/terpencil. Berbagai fasilitas KPG telah dilengkapi, secara bertahap akan terus dibenahi. 3.3.5. Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Pada tahun 2005/2006 siswa Paket A dan Paket B berjumlah 53.958 orang, kondisi ini dapat mengangkat angka partisipasi kasar pada program wajib belajar 6 tahun dari 106.49% yang dicapai oleh Sekolah Dasar, menjadi 126,41% dengan jumlah peserta didik pada paket A dan SD/MI sebanyak 342.695 orang. Peserta kejar paket B berjumlah 14.368 orang, dan capaian tersebut sangat menopang dalam pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun. Penyelenggaraan paket C telah menampung peserta kejar sebanyak 6.570 orang. Sampai tahun 2005/2006, jumlah penduduk penyandang buta aksara di 29 kabupaten/kota sebanyak 367.721 orang, sementara yang berada di Provinsi Papua berjumlah 296.436 orang dan IJB 71.289 orang.
64
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
3.4. Simpulan Undang-undang Otonomi Khusus yang telah ditindaklanjuti dengan Perda dan SK walaupun belum efektif, tetapi menjadi pedoman bagi penyelenggaraan pendidikan di semua jenjang; Kebijakan pembiayaan dengan adanya pengalokasian dana yang besar untuk kemajuan pendidikan ini menghasilkan serangkaian dampak positif seperti: 1. Pihak sekolah dan masyarakat merasa semakin diperhatikan, 2. Kebutuhan guru terutama di kota Jaya Pura semakin terpenuhi, tetapi untuk daerah-daerah pedalaman masih banyak mengalami kesulitan. 3. Terjadinya peningkatan mutu pendidikan, dengan dibentuknya sekolah unggulan bertaraf internasional, telah terjadi persaingan positif di antara siswa, dan mendorong adanya kompetisi antar sekolah sebagai sekolah bermutu dan favorit. Pada gilirannya akan memunculkan juara-juara olimpiade, sehingga peran Papua diakui di dunia Internasional maupun nasional. 4. Bertambahnya sekolah-sekolah baru khususnya di daerah pedalaman atau terpencil serta dibangunnya rumah guru untuk Sekolah Dasar seperti di Kab. Manokwari dan Merauke. 5. Jumlah mahasiswa asli Papua di perguruan tinggi negeri Papua maupun di luar Papua semakin meningkat, yang kelak diharapkan menjadi SDM yang berperan penting bagi kemajuan Papua. Walaupun begitu, kebijakan pembiayaan pendidikan tersebut tidak luput dari dampak negatif, antara lain: 1. Sebagian besar keluarga Papua yang miskin mengeluhkan beratnya beban biaya pendidikan yang masih harus ditanggung, walaupun sudah ada BOS dan dana Otonomi Khusus. Ini disebabkan karena orang tua masih harus menanggung biaya lain, seperti uang masuk, transport, uang saku, dan peralatan sekolah. Sebagai contoh untuk masuk SMP yang bagus di Kota Jayapura dikenai uang masuk sekitar lima ratus sampai satu juta rupiah, SPP sebesar empat puluh sampai delapan puluh ribu rupiah, dan masih ditambah biaya transport, uang saku, dan peralatan sekolah yang lain. Biaya yang harus ditanggung orang tua murid sekitar lima ratus ribu rupiah setiap bulan, dinilai cukup memberatkan. 2. Biaya yang ditanggung masyarakat serendah-rendahnya, disalahartikan sebagai sekolah gratis. Konsekuensinya menciptakan ketidakadilan antara orang tua yang kaya dan yang miskin. Konsep sekolah gratis juga membawa kesulitan bagi sekolah jika akan menarik dana dari orang tua,
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
65
3. 4. 5. 6.
7.
66
sebagai partisipasi masyarakat dalam pendidikan. Sementara masih banyak kebutuhan sekolah yang belum bercukupi dari dana-dana yang datang dari pemerintah. Konsep sekolah gratis, ditangkap oleh masyarakat bahwa segala-galanya gratis, tanpa harus membayar, berakibat pada turunnya keperdulian masyarakat terhadap pengembangan pendidikan di sekolah. Peruntukan dana Otonomi Khusus belum dapat mengatasi keseluruhan gedung yang rusak, perlengkapan/peralatan laboratorium, dan biaya operasional. Dana Otonomi Khusus belum mampu menggaji pengangkatan guru lebih banyak lagi sesuai kebutuhan di daerah pedalaman, dengan tunjangan khususnya yang memadai. Adanya kekurangan guru untuk mata guru pelajaran eksakta dan bahasa Inggris. Khusus di SMK, juga mengalami kekurangan guru mata pelajaran dan praktek. Pemaknaan beban biaya yang serendah-rendahnya dari masyarakat yang sama dengan sekolah gratis justru menyulitkan pihak sekolah untuk menggalang dana dari masyarakat, sementara dana dari pemerintah, termasuk dana Otonomi Khusus, belum mencukupi. Dengan konsep sekolah gratis tersebut, orang tua merasa tidak perlu lagi ikut berpartisipasi terhadap kebutuhan sekolah. Dampaknya, tanggung jawabnya dalam hal pendidikan anak menurun, yang dapat menurunkan kualitas pendidikan. Kurangnya kesadaran orangtua akan sistem pendidikan yang seharusnya berjalan. Banyak anak Papua yang masuk pada awal-awal sekolah, dan selanjutnya menghilang. Mereka datang lagi pada saat akan ujian atau ulangan dan dipastikan hasilnya akan tidak menggembirakan. Namun demikian, pada akhir tahun orangtua tetap memaksa anaknya naik kelas atau lulus dalam ujian. Banyak sekolah terpaksa meloloskan permintaan orang tua, tetapi ada juga sekolah yang berani menolak permintaan orang tua tersebut. Sekolah ini biasanya adalah sekolah yang cukup favorit dan berada di perkotaan. Pada umumnya orang tua di daerah perkotaan telah banyak yang mempunyai kesadaran akan sistem pendidikan yang berlaku.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Bagian Keempat
KESEHATAN1
4.1. Muatan Kebijakan Salah satu prioritas dalam otonomi khusus adalah pembangunan kesehatan. Pada pasal 34 ayat (2) disebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2% dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan. Pada pasal 36 ayat (2) dikatakan bahwa sekurang-kurangnya 30% penerimaan sebagaimana yang dimaksud dialokasikan untuk biaya pendidikan, dan sekurang-kurangnya 15% untuk kesehatan dan perbaikan gizi. Bab XVII UU Otsus secara spesifik mengatur masalah pembangunan kesehatan di Papua, yang diatur pada pasal 59 dan 60. Pada pasal 59 disebutkan bahwa Pemerintah Provinsi berkewajiban menetapkan standar mutu dan memberikan pelayanan kesehatan bagi penduduk. Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban mencegah dan menanggulangi penyakit-penyakit endemis dan/atau penyakit-penyakit yang membahayakan kelangsungan hidup penduduk. Selanjutnya ditetapkan bahwa setiap penduduk Papua berhak memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud, 1 Bagian ini mengambil materi dari Laporan Evaluasi Otonomi Khusus Papua Bidang Kesehatan, 2008, Jakarta: Kemitraan untuk Tata Kelola yang Baik.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
67
dengan beban masyarakat yang serendah-rendahnya. Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud, Pemerintah Provinsi memberikan peranan sebesar-besarnya kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan. Ketentuan mengenai kewajiban menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan beban masyarakat serendahrendahnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan keikutsertaan lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, serta dunia usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Perdasi. Pada pasal 60 ditetapkan bahwa Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota berkewajiban merencanakan dan melaksanakan program-program perbaikan dan peningkatan gizi penduduk, dan pelaksanaannya dapat melibatkan lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan, di mana pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Perdasi. Kebijakan pembangunan kesehatan di bawah kebijakan Otsus diarahkan untuk meningkatkan jangkauan dan mutu pelayanan kesehatan melalui; (1) Program Pemberantasan Penyakit, (2) Pencegahan dan Penangulangan HIV/AIDS, (3) Peningkatan SDM di bidang kesehatan baik medis dan para medis, (4) Pelayanan Puskesmas, (5) Pelayanan Rumah Sakit, (6) Penyediaan Obat-obatan, (7) perbaikan gizi dan penyehatan lingkungan. Kebijakan ini diarahkan kepada enam isu, yaitu (1) terbangunnya kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam penyediaan sarana dan prasarana kesehatan; (2) Peningkatan derajat kesehatan masyarakat; (3) Meningkatnya angka harapan hidup menjadi 70 tahun; (4) Melakukan rekruitmen dan pembinaan tenaga medis dan paramedis kearah profesional; (5) Meningkatkan peran serta masyarakat di dalam penanggulangan HIV/AIDS dan rehabilitasi orang yang terinfeksi HIV/AIDS; dan (6) Peningkatan jangkauan dan manajemen pelayanan kesehatan. Kebijakan ini diambil sebagai responsi dan antisipasi dari permasalahan kesehatan yang muncul dan diperkirakan akan berkembang di Papua, yang dapat dikelompokkan menjadi enam isu, yaitu (1) Tenaga medis dan paramedis masih sangat terbatas; (2) Pelayanan kesehatan bagi masyarakat ditingkat puskemas dan pustu serta posyandu masih perlu dioptimalkan; (3) Ketersediaan obat-obatan di tingkat Puskesmas dan Pustu masih perlu ditingkatkan; (4) Sarana dan prasarana kesehatan yang belum lengkap; (5) Masih rendahnya pemahaman masyarakat tentang pola hidup sehat; (6) Belum optimalnya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular.
68
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Dalam pelaksanaannya, kebijakan tersebut ditata dalam delapan program prioritas, yaitu (1) Program-program Pembangunan Bidang Kesehatan; (2) Peningkatan SDM tenaga medis; (3) Peningkatan jangkauan pelayanan kesehatan ke masyarakat; (4) Peningkatan pengelolaan manajemen puskesmas dan pustu yang lebih profesional; (5) Peningkatan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan; (6) Peningkatan pencegahan dan pemberantasan penyakit menular; Peningkatan kesehatan keluarga; (7) Peningkatan kesadaran masyarakat tentang sanitasi lingkungan; dan (8) Pemahaman tentang tentang perlunya tanaman obat keluarga (obat alternatif ). Kebijakan di bidang kesehatan difokuskan pada delapan sasaran, yaitu (1) Tersedianya sarana dan prasarana kesehatan yang memadai; (2) Menurunnya persebaran penyakit infeksi dan menular, khususnya 10 besar angka kesakitan; (3) Terpenuhinya tenaga medis dan paramedis yang tersebar secara merata di seluruh puskesmas; (4) Menurunkan angka kematian ibu dan anak; (5) Menurunkan angka kesakitan masyarakat; (6) Terbinanya kesadaran kesehatan lingkungan oleh masyarakat; (7) Peningkatan sarana puskesmas keliling; (8) Terbinanya manajemen puskesmas dan puskemas tunggu serta puskemas keliling. Kedelapan sasaran ini merupakan key success indicator dari pembangunan kesehatan Papua di bawah kebijakan Otsus. 4.2 Implementasi Kebijakan Kesehatan 4.2.1. Impelementasi di Tingkat Provinsi Implementasi kebijakan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Papua dalam mengimplementasikan Otsus, masih berpegang pada UU No. 21. Tahun 2001, sebagaimana yang diamanatkan pada BAB XVII, Pasal 59 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) serta pasal 60, ayat (1) dan (2). Dana Otsus yang dikelola Oleh Provinsi lebih banyak digunakan untuk pelayanan dasar yaitu belanja Obat, Pelatihan, Pembiayaan Mikro Nutrien dan gisi, sedangkan untuk infrastruktur dan peralatan medis serta Pusling dananya diambil dari dana DAK. Kendala yang dihadapi di dalam memaksimalkan program agar dapat mencapai sasaran secara maksimal adalah dana Otsus selalu turun terlambat yang berakibat program tidak dapat terealisasi 100%. Untuk tahun 2007, saat ini sudah bulan November namun dana triwulan 3 dan 4 belum turun, padahal bulan Desember sudah harus dilaporkan penggunaan dana tersebut. Terbatasnya tenaga
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
69
kesehatan di tempat-tempat pelayanan kesehatan dan di dinas Kesehatan, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Dengan adanya Otonomisasi, provinsi kesulitan mendata program dari kabupaten/kota. Program kesehatan bersumber dana Otsus pada dasarnya telah diarahkan dari Provinsi, namun ada beberapa Kabupaten yang menggunakan untuk sektor lain sehingga target/sasaran tidak tercapai. Waktu pelaksanaan sangat singkat dan turunnya dana selalu terlambat. Adanya kegiatan Kabupaten Pemekaran masuk dalam DASK Provinsi, namun dalam proses administrasi, misalnya dalam hal pertanggungjawaban, sangat sulit diperoleh setelah dana tersebut di transfer. Tabel 4.1 Dana Otsus dan Dana Kesehatan Provinsi Papua Tahun 2002
2003
2004
2005
2006
Dana Otsus
1.382.300
1.539.560
1.642.617
1.775.312
2.913.218
Kesehatan
87.239
85.191
111.898
62.724
862.383
%
15, 9%
18,7%
14,6%
28,3%
33,7%
Keterangan : dalam juta rupiah Sumber : Pemprov Papua 2002-2007
Bidang kesehatan yang paling banyak menyerap dana Otsus sejak tahun 20052006 yaitu 70,69% dan 46,67% adalah bidang pembangunan rumah-rumah sakit berstandar nasional, yang diharapkan selesai pada anggaran tahun 2008. Rumah sakit ini diprioritaskan berdasarkan kebijakan Gubernur Papua yaitu rumah sakit rujukan di Jayapura, Sorong, dan Biak, masing-masing satu. Kebijakan ini dilakukan oleh pemerintah untuk meminimalisasi rujukan pasien ke luar Papua yang memerlukan biaya yang sangat mahal. 4.2.2. Implementasi di Tingkat Kabupaten/Kota Kabupaten Sorong Kabupaten Sorong termasuk daerah kepala burung Papua, dengan mempunyai luas wilayah 1.10945 km2 dan jumlah penduduk 78.806 jiwa. Komitmen pemerintah kabupaten Sorong dalam memberikan pelayanan kepada masayarakat sebaik mungkin di era Otonomi Khusus terus dilakukan melalui peningkatan sarana
70
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
dan prasarana dan peningkatan sumber daya manusia dibidang kesehatan, hal ini tertuang dalam berbagai program yang bersumber dana Otsus tahun 20022006. Kebijakan pembangunan kesehatan di kabupaten Sorong di bawah Otsus pada tahun 2002 sampai tahun 2006 menyerap anggaran sebesar Rp 51,96 milyar, dilaksanakan dalam bentuk kegiatan pembangunan kesehatan sebagai berikut: 1. Pembangunan Puskesmas dan Rumah Jabatan Kepala Puskesmas di ibukota distrik, 2. Peningkatan Pelayanan Kesehatan Dasar di kabupaten Sorong, 3. Operasional dan Pemeliharaan RSUD Sorong, 4. Proyek Pelayanan Kesehatan Dasar di kabupaten Sorong, 5. Pendidikan Tenaga Keseahatan di kabupaten Sorong, 6. Penanggulangan gizi buruk dan Pengembangan Posyandu di kabupaten Sorong, 7. Pencegahan penanggulangan penyakit menular dan HIV/AIDS di kabupaten Sorong, 8. Pembangunan Puskesmas dan Rumah Jabatan Kepala Puskesmas di ibuklota Distrik, 9. Peningkatan Pelayanan Kesehatan Dasar, 10. Operasional Puskesmas, a) Pelayanan Kesehatan Dasar, b) Operasional Puskesmas, c) Pelayanan KIA. 11. Pembangunan Rumah Sakit Rujukan, 12. Operasional dan Pemeliharaan RSUD Sorong, 13. Pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (Rumah Sakit Rujukan Kabupaten Sorong) di Aimas. Kabupaten Nabire. Kabupaten Nabire secara ekologis masuk ke dalam wilayah ekologis Teluk Cenderawasih, dengan luas wilayah 13.397,59 km2, jumlah penduduk 11174 jiwa. Implementasi dana Otonomi Khusus bidang kesehatan di kabupaten Nabire Otsus pada tahun 2002 sampai tahun 2006 dengan besaran dana sebesar Rp 8,02 milyar, dilaksanakan dalam bentuk kegiatan pembangunan kesehatan sebagai berikut:
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
71
1. Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan, yang mencakup kegiatan: a. Pengadaan Obat dan BHP Puskesmas, b. Operasional Penyelenggaraan Puskesmas, c. Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, d. Penyelesaian Pembangunan Kantor Dinas Kesehatan, e. Penyenggalaraan Pendidikan Akademi Keperawatan. 2. Peningkatan pelayanan RSUD: a. Pengadaan BHP, b. Pengadaan Obat-Obatan. Besaran dana tersebut tidak semuanya diserahkan ke dinas Kesehatan, melainkan kebutuhan Puskesmas, kebutuhan rumah sakit diserahkan langsung ke Puskesmas dan rumah sakit. Kabupaten Pegunungan Bintang Kabupaten Pegunungan Bintang adalah salah satu kabupaten yang masuk zona ekologis pegunungan tengah dengan luas wilayah 15.683 km2 dengan jumlah penduduk 88.529 jiwa. Penduduk tersebut tersebar di 10 distrik dengan kondisi geografis yang sangat sulit. Kebijakan pembangunan kesehatan di Kabupaten Pegunungan Bintang di bawah Otsus pada tahun 2002 sampai tahun 2006 menyerap anggaran sebesar Rp 6.04 milyar dilaksanakan dalam bentuk kegiatan pembangunan kesehatan sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
72
Pembangunan Balai Pengobatan di distrik Pepera, Pembangunan Rumah Dokter di Kwirok, Pembangunan Puskesmas Pembantu MOT di Batom, Rehabilitasi Rumah Dokter, Pembangunan Barak Pegawai Puskesmas di Oksibil, Program Upaya Kesehatan, yang mencakup: a. Administrasi Kesehatan Imunisasi, b. Penanggulangan TB paru, c. survey filariasis di 12 distrik, d. Pusling dokter terbang, e. Rujukan rawat nginap dan gadar, f. Pelatihan PWS dan Juru Imunisasi,
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
7. 8. 9. 10.
g. Distribusi Obat-obatan dan alat kesehatan, h. Bintek Subdin P2MPL ke 10, i. Bintek Subdin Yankes ke 10, j. Monev Program. Pengadaan Obat-obatan di 12 distrik, Pengadaan alat Kesehatan Medis dan Non Medis di 12 distrik, Program KIA di 12 distrik, Penanggulangan gizi buruk di 12 distrik.
Kabupaten Kerom. Implementasi kebijakan kesehatan di Kabupaten Kerom tidak berjalan sebagaimana yang direncanakan, di mana dana otonomi khusus selalu mengalami keterlambatan sampai, yaitu menjelang akhir tahun. Implementasi program dilaporkan berjalan hanya pada kuartal ke empat setiap tahun, dengan pertanggungjawaban pada akhir tahun. Sumber dana dana untuk pembangunan kesehatan Kabupaten Kerom berasal dari tiga pos: Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Otsus. Sumber dana DAU dengan peruntukan membayar gaji pegawai dan administrasi. Sumberdana DAK untuk membangun infrastruktur dan pengadaan peralatan medis. Peneliti evaluasi bidang kesehatan dari Kemitraan tidak memberikan informasi jumlah dana otsus untuk bidang kesehatan di Kabupaten Kerom tahun 20022006, tetapi dipaparkan bahwa kebijakan pembangunan kesehatan di era otsus dilaksanakan dalam bentuk: 1. 2. 3. 4.
pengadaan obat-obatan, terutama untuk Puskesmas dan Pustu; Program pencegahan penyakit menular; Program peningkatan mutu gizi masyarakat; Insentif tenaga dokter tetap, dokter PTT, paramedis.
Kabupaten Merauke Merauke merupakan salah satu dari beberapa Kabupaten yang masuk wilayah ekologis Pantai Selatan Papua, dengan luas wilayah 45.071 km2 dengan jumlah penduduk 180.781 jiwa, yang tinggal di 11 distrik dan 160 kampung dan 8 kelurahan.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
73
Peneliti evaluasi bidang kesehatan dari Kemitraan tidak memberikan informasi jumlah dana otsus untuk bidang kesehatan di Kabupaten Kerom tahun 20022006, tetapi dipaparkan bahwa kebijakan pembangunan kesehatan di era otsus dilaksanakan dalam bentuk: 1.
Program peningkatan mutu pelayanan dilaksanakan melalui upaya peningkatan pelayanan kesehatan dasar, sarana dan prasarana tenaga pelayanan kesehatan, meliputi : a. Pelayanan kesehatan dasar 1) Pelayanan kesehatan di daerah terpencil, 2) Bimbingan teknis upaya kesehatan. b. Pembangunan sarana dan prasarana kesehatan 1) Peningkatan puskesmas pembantu menjadi puskesmas, 2) Pembangunan PUSTU dan POLINDES.
2.
Program pengembangan tenaga kesehatan dilaksanakan untuk melakukan analisis kebutuhan tenaga kesehatan dan pengembangannya serta pembinaan teknis akreditasi tenaga kesehatan dan sarana kesehatan. Kegiatan program pengembangan tenaga kesehatan meliputi : a. Kegiatan program pengembangan tenaga kesehatan, terdiri dari: 1) Melaksanakan analisis kebutuhan tenaga kesehatan; 2) Merencanakan pengembangan tenaga kesehatan; 3) Melaksanakan seleksi dan pengusulan pendidikan tenaga kesehatan; 4) Melaksanakan koordinasi untuk penyelenggaraan pelatihan pengembangan tenaga kesehatan, penyelenggaraan Program D-3 Keperawatan Merauke. b. Kegiatan program pembinaan tenaga kesehatan dan sarana kesehatan, terdiri dari: 1) Membuat penilaian/akreditasi tenaga kesehatan melalui penetapan angka kredit (PAK); 2) Melaksanakan pembinaan teknis akreditasi tenaga kesehatan; 3) Membuat penilaian/akreditasi sarana kesehatan; 4) Melaksanakan pembinaan teknis akreditasi sarana Kesehatan.
3.
Program Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit dilaksanakan melalui upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit secara terpadu, peningkatan peran dan tanggung jawab masyarakat dan koordinasi dengan program dan sektor terkait, dengan tujuan : mencegah berjangkitnya
74
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
penyakit, menurunkan angka kematian dan kesakitan serta mengurangi akibat buruk penyakit. Kegiatan Program Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit meliputi: a. Pemberantasan penyakit bersumber binatang (P2B2), yakni; 1) Pemberantasan penyakit malaria, 2) Pemberantasan penyakit demam berdarah dengue (DBD), 3) Pemberantasan penyakit filariasis. b. Pemberantasan penyakit menular langsung (P2ML), yakni; 1) Pemberantasan penyakit diare, 2) Pemberantasan penyakit ISPA (Pneumonia), 3) Pemberantasan penyakit kelamin/PMS, 4) Pemberantasan penyakit TB Paru, 5) Pemberantasan penyakit kusta, 6) Pemberantasan penyakit frambusia, 7) Pemberantasan penyakit kecacingan. c. Pengamatan penyakit menular dan imunisasi, yakni; 1) Pengamatan penyakit potensial wabah (W1 dan W2), 2) Pengamatan penyakit khusus (AFP = Acute Flaccid Paralysis), 3) Imunisasi rutin, 4) Bulan imunisasi anak sekolah (BIAS), 5) TT WUS. 4.
Program pelayanan dan pengendalian perizinan di bidang kesehatan dilaksanakan untuk mengemban kewenangan perizinan yang diberikan Menteri Kesehatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten sejalan dengan Program Desentralisasi. Kegiatan program pelayanan dan pengendalian perizinan di bidang kesehatan meliputi : Pemeriksaan setempat pada sarana kesehatan dan memeriksa kelengkapan berkas sarana dan tenaga kesehatan, menerbitkan izin kerja/praktek kepada sarana dan tenaga kesehatan, dan sarana distribusi obat (Apotek dan Toko Obat), serta pengawasan dan pengendalian terhadap izin .
5.
Program Penyuluhan Kesehatan Masyarakat terselenggara melalui upaya penyuluhan kesehatan langsung maupun secara massal dalam rangka meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat untuk hidup bersih dan sehat serta peran aktif masyarakat, termasuk dari dunia usaha. Kegiatan program kesehatan masyarakat meliputi: a. Pemberdayaan Masyarakat
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
75
b. c.
6.
1) Penyebarluasan informasi melalui media masa, 2) Penyuluhan langsung, 3) Pelatihan/Orientasi (capacity building). Pembinaan suasana 1) Pengembangan potensi swadaya masyarakat, 2) Pengembangan penyelenggaraan penyuluhan. Advokasi kesehatan 1) Pengembangan kebijakan pelayanan kesehatan melalui pertemuan dengan para pengambil keputusan.
Program Perbaikan Gizi Masyarakat dilaksanakan melalui upaya pembinaan gizi masyarakat dan penanggulangan gizi buruk dengan tujuan: meningkatkan pelayanan dan pencegahan masalah gizi untuk mencapai keadaan gizi yang baik dengan menurunkan prevalensi gizi kurang, meningkatkan kemandirian keluarga dalam upaya perbaikan status gizi guna mencapai hidup sehat, meningkatkan intelektualitas dan produktifitas sumber daya manusia melalui dukungan gizi dan meningkatkan penganekaragaman konsumsi pangan bermutu untuk memantapkan ketahanan pangan tingkat rumah tangga. Targetnya adalah penurunan prevalensi ketidakseimbangan antara kebutuhan dan cakupan energi dan protein sehingga tercapai peningkatan status gizi masyarakat. Kegiatan Program Perbaikan Gizi Masyarakat meliputi : a. Pemantauan status gizi bayi, bawah lima tahun (balita) dan ibu hamil (bumil); b. Penangggulangan gizi buruk pada bayi, balita dan bumil; c. Pemberian vitamin A pada bayi, anak dan bufas; d. Penangggulangan anemia WUS, bumil dan bufas; e. Penyuluhan gizi masyarakat; f. Pemantapan sistim kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG); g. Revitalisasi Posyandu; h. Lomba Balita Sejahtera Indonesia (LBSI).
4.3. Kinerja Kebijakan 4.3.1. Kinerja di Tingkat Provinsi Dari segi alokasi anggaran, yaitu pada pasal 36 ayat (2) UU Otsus yang menyebutkan bahwa sekurang-kurangnya 15% untuk kesehatan dan perbaikan gizi, maka implementasi kebijakan kesehatan dalam kerangka Otsus telah
76
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
mencapai kinerja yang baik, di mana pada tahun 2002 dana yang dialokasikan untuk pembangunan kesehatan mencapai 15,9% dari dana otsus, tahun 2003 sebesar 18,7%, tahun 2004 sebesar 14,6%, tahun 2005 sebesar 28,5%, dan tahun 33,7%, atau sebesar 22,24% per tahun. Dari segi penyaluran, kinerja pembangunan kesehatan masih perlu diperbaiki, karena masih terdapat kendala keterlambatan penyaluran dana, bahkan untuk Kabupaten Kerom terlambat hingga pada kuartal akhir setiap tahun. Tantangan bagi provinsi adalah koordinasi pembangunan kesehatan antar kabupaten/kota, yang masih perlu untuk ditingkatkan. Untuk tingkat ketercapaian, akan dievaluasi di tingkat kabupatren/kota dengan ukuran sasaran pembangunan kesehatan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi, yang sekaligus merupakan indikator kinerja pembangunan kesehatan, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Tersedianya sarana dan prasarana kesehatan yang memadai; Menurunnya persebaran penyakit infeksi dan menular, khususnya 10 besar angka kesakitan; Terpenuhinya tenaga medis dan paramedis yang tersebar secara merata di seluruh puskesmas; Turunnya angka kematian ibu dan anak; Turunnya angka kesakitan masyarakat; Terbinanya kesadaran kesehatan lingkungan oleh masyarakat; Peningkatan sarana puskesmas keliling; Terbinanya manajemen puskesmas dan puskemas tunggu serta puskemas keliling.
4.3.2. Kinerja di Tingkat Kabupaten/Kota Kabupaten Sorong Tersedianya sarana dan prasarana kesehatan yang memadai. Kabupaten Sorong mempunyai dua rumah sakit yaitu rumah sakit Pertamina dan rumah sakit umum. Sejak tahun 2005 pemerintah telah membangun rumah sakit rujukan yang saat ini masih dalam tahap penyelesaian. Dengan selesainya rumah sakit rujukan diharapkan masyarakat memperoleh pelayanan lebih baik. Jumlah Puskesmas di Kabupaten Sorong sebelum dan diera otsus tidak bertambah, sedangkan Puskesmas rawat ginap dari tahun 2001 hingga tahun 2006 terjadi
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
77
peningkatan. Pustu cenderung menurun secara drastis demikian halnya dengan polindes dan posyandu sedangkan pusling bertambah 2 unit. Dari target tersedianya sarana dan prasarana kesehatan yang memadai, Kabupaten Sorong telah berhasil mencapai kemajuan yang penting. Menurunnya persebaran penyakit infeksi dan menular dan Menurunnya angka kesakitan masyarakat. Penyakit malaria merupakan penyakit dominan di Kabupaten Sorong, dan merupakan penyakit endemik di Papua, kemudian ISPA, penyakit kulit, kecacingan, scabies, serta penyakit telinga dan frambosia. Pada tahun 2003 total penderita jenis penyakit menular sebesar 24.916 jiwa, dan dapat diturunkan menjadi 24.486 pada tahun 2004. Data tahun 2005 dan 2006 tidak didapatkan. Jika mempergunakan data 2003-2004, dari target upaya penurunan persebaran penyakit infeksi dan menular, telah terjadi pencapaian sebagaimana dihrapkan. Terpenuhinya tenaga medis dan paramedis yang tersebar secara merata. Pada tahun 2006, Kabupaten Sorong mempunyai dokter spesialis sebanyak 15, dokter umum 35,dokter gigi 5, perawat 392, bidan 135, non perawat 110 serta apoteker 5. Jika dilihat dari perkembangan tenaga kesehatan, maka cenderung meningkat setiap tahun. Jika dibandingkan dengan ratio penduduk dan dokter, maka untuk tenaga dokter, perawat, bidan di Kabupaten Sorong termasuk baik. Dari target terpenuhinya tenaga medis dan paramedis yang tersebar secara merata, Kabupaten Sorong telah berhasil mencapai taget dalam jumlah, namun masih perlu peningkatan dalam kemerataan tenaga medis. Kesadaran kesehatan, Kesehatan Ibu dan Anak, dan Angka Kesakitan. Untuk mencegah adanya penyakit infeksi dan menular untuk anak-anak, antara tahun 2001-2005 Pemerintah telah melakukan 41.052 imunisasi yang terdiri dari imunisasi BCG, DPT, polio, campak, TT, dan BUMIL. Kebijakan pemerintah Kabupaten Sorong adalah memberikan keringanan biaya serendah-rendahnya kepada masyarakat, menyebabkan animo masyarakat berobat secara medis cenderung meningkat. Hasil dari kebijakan ini adalah meningkatnya kesehatan publik secara relatif, termasuk di antaranya kesehatan ibu dan anak, dan menurunnya angka kesakitan masyarakat. Namun kebijakan ini masih perlu untuk ditingkatkan di tingkat pelaksanaannya, karena masih ditemukan laporan yang menyebutkan adanya oknum petugas medis dan pengurus Askeskin yang memungut biaya secara tidak sah dari masyarakat.
78
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Terbinanya kesadaran kesehatan lingkungan oleh masyarakat. Dari data penyakit terbesar diderita adalah ISPA, penyakit kulit, kecacingan, scabies, serta penyakit telinga dan frambosia dapat dilihat bahwa tingkat kesadaran kesehatan lingkungan oleh masyarakat masih belum tinggi. Kabupaten Nabire. Tersedianya sarana dan prasarana kesehatan yang memadai; Rumah sakit yang terdapat di Kabupaten Nabire sampai tahun 2006 atau selama 5 tahun Otonomi Khusus berjalan, terdapat 1 rumah sakit umum dengan kapasitas 79 tempat tidur, dan 1 rumah sakit ABRI . Sarana pelayanan kesehatan dasar di Kabupaten Nabire menunjukkan adanya peningkatan secara bertahap, Puskesmas hingga tahun 2006 berjumlah 25 unit, 4 diantaranya telah dikembangkan menjadi Puskesmas Perawatan atau Puskesmas Rawat nginap, dan semua distrik telah mempunyai Puskesmas bahkan terdapat distrik yang mempunyai 3 sampai 6 Puskesmas, selain itu terdapat 36 unit Balai Pengobatan. Dalam meningkatkan pelayanan di kampung-kampung baik antara pulau, maupun darat, didukung oleh 1 pearahu, 21 roda 4 dan 51 roda dua. Puskesmas keliling untuk menunjang efektifitas pelayanan di daerah yang tingkat kesulitannya tinggi yaitu dengan menggunakan kendaraan roda empat dan perahu motor. Menurunnya persebaran penyakit infeksi dan menular dan Menurunnya angka kesakitan masyarakat. Pada tahun 2001-2006 terjadi peningkatan penanganan penduduk yang terkena penyakit infeksi dan menular. Penyakit terbesar yang diderita adalah malaria, diare/kolera, penyakit kulit/kelamin, dan HIV. Total penderita yang dilayani pada tahun 2001 tercatat 5.166 jiwa, meningkat menjadi 55.448 jiwa (2002), meningkat menjadi 75.093 (2003), menurun menjadi 53.645 (2004), menurun menjadi 36.666 (2005), meningkat kembali menjadi 109.202 (2006). Terpenuhinya tenaga medis dan paramedis yang tersebar secara merata di seluruh puskesmas dan Peningkatan sarana puskesmas keliling; Dokter spesialis sebelum Otonomi Khusus yang bertugas di rumah sakit 5 orang meliputi spesialis Bedah, spesialis kebidanan, spesialis patologi klinik, spesialis penyakit dalam, dan spesialis radiology. setelah era Otonomi Khusus dokter spesialis cenderung tetap, hal ini disebabkan ada yang telah dimutasi ke daerah lain sehingga saat ini rumah sakit di kabupaten Nabire baru mempunyai 5 dokter spesialis. Dokter umum yang bertugas baik di rumah sakit maupun di Puskesmas sampai tahun 2006 berjumlah 18 dokter, juga terjadi penurunan tenaga dokter
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
79
umum dan gigi jika dibandingkan dengan tenaga dokter yang bertugas pada tahun 2001 dan 2002. Adanya penurunan tenaga dokter umum dan gigi disebabkan oleh adanya bencana alam yang melanda Nabire dengan berbagai issue sehingga sebagian dari pegawai banyak yang berpindah tugas ke tempat lain. Sedangkan tenaga perawat dan bidan serta Apoteker dari tahun 2001 sampai tahun 2005 hampir tidak mengalami perubahan. Yang menjadi kendala adalah tenaga kesehatan tidak terdistribusi secara merata, umumnya di dinas kesehatan dan Pusat pelayanan kesehatan di kota dan daerah pinggiran kota. Menurunkan angka kematian ibu dan anak. Cakupan Imunisasi dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 belum maksimal bahkan ada yang mengalami penurunan, namun ada juga yang mengalami kenaikan. beberapa yang mengalami penurunan antara lain BCG, DPT-1, dan campak, sedangkan yang lainnya cenderung meningkat. Kesehatan ibu hamil masih tertinggal, yang disebabkan karena masih masih banyak ibu hamil yang ditangani oleh dukun, sebagai konsekwensi tidak adanya bidan yang bertugas di tingkat kampung. Untuk kesehatan anak-anak, terdapat program pemberian makanan makanan tambahan, namun program ini dibiayai oleh bantuan provinsi, dan tidak disebutkan dari dana Otsus. Sebelum Otsus juga terdapat dana untuk Posyandu, namun tidak ada lagi setelah Otsus. Akibatnya, banyak posyandu yang tidak berfungsi lagi. Terbinanya kesadaran kesehatan lingkungan oleh masyarakat. Dari data penyakit terbesar diderita adalah malaria, diare/kolera, penyakit kulit/kelamin, dan HIV dapat dilihat bahwa tingkat kesadaran kesehatan lingkungan oleh masyarakat masih belum tinggi. Kabupaten Kerom Tersedianya sarana dan prasarana kesehatan yang memadai, Peningkatan sarana puskesmas keliling, dan Terbinanya manajemen puskesmas dan puskemas tunggu serta puskemas keliling. Hingga tahun 2007 Kabupaten Kerom belum mempunyai Rumah Sakit, pasien yang mendapat rujukan umumnya dirujuk ke rumah sakit Kota Jayapura yaitu Abepura, Dian harapan, RSUD Jayapura, serta Rumah sakit ABRI. Hingga saat ini pemerintah Kerom belum menentukan lokasi pembangunan rumah sakit, karena terkait dengan akan dipindahkannya pusat pemerintahan dari Arso Kota ke Waris. Sarana pelayanan kesehatan dasar di kabupaten Kerom hingga tahun 2006 adalah terdapat 6 puskesmas, dua diantaranya terdapat di Distrik Arso sedangkan distrik yang lain masing-masing
80
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
dilayani oleh satu Puskesmas. Puskesmas pembantu 30 unit, Pusling 6 M, 14 SPM, posyandu 65, polindes 9, rumah bersalin 1, Apotik 1 dan toko obat swasta 1. Pasien yang perlu mendapat pelayanan rawat nginap, perawatannya di lakukan di Puskesmas Arso Kota dan Arso 5. Menurunnya persebaran penyakit infeksi dan menular dan Menurunnya angka kesakitan masyarakat. Pada tahun 2004-2006 terjadi peningkatan penanganan penduduk yang terkena penyakit infeksi dan menular. Berdasarkan laporan Puskesmas di kabupaten Kerom sepuluh besar penyakit adalah, malaria, ISPA, Diare, penyakit kulit, campak dan TB. Paru sebagai penyebab utama kesakitan. Masyarakat yang umumnya terinfeksi penyakit tersebut di atas adalah masyarakat lokal atau orang asli Papua. Total penderita yang dilayani pada tahun 2004 tercatat 68250 jiwa, meningkat menjadi 70170 jiwa (2005), meningkat menjadi 70910 (2006). Terpenuhinya tenaga medis dan paramedis yang tersebar secara merata di seluruh puskesmas; Situasi tenaga kesehatan di Kabupaten Kerom dari tahun 2004 sampai tahun 2006, untuk tenaga dokter cenderung meningkat. Pada tahun 2004 terdapat 7 dokter umum dan 2 dokter gigi. Tahun 2005 terdapat 8 dokter umum dan 2 dokter gigi. Tahun 2006 terdapat 15 dokter umum, 3 dokter gigi, dan 3 dokter spesialis/ahli. Meskipun jumlah dokter dan perawat setiap tahun cenderung meningkat, akan tetapi belum dapat memenuhi jumlah tenaga yang ada di setiap Puskesmas atau pendistribusian tenaga belum merata secara baik, hal ini terutama disebabkan kondisi geografis yang sulit untuk melakukan pelayanan secara maksimal. Menurunkan angka kematian ibu dan anak. Pada tahun 2004 dilakukan 7.224 imunisasi untuk jenis BCG, DPT, polio, DT, campak, TT anak, dan TT BUMIL. Pada tahun 2005 dilakukan 10.015 imunisasi untuk jenis yang sama. Pada tahun 2006 jumlah imunisasi dilaporkan hanya 4.085. Cakupan imunisasi umumnya masih terpusat di ibu kota kabupaten, serta daerah pinggiran kota yang mudah terjangkau, sedangkan daerah yang sulit cakupan imunisasinya dilaporkan masih rendah. Berdasarkan trend perkembangan derajat kesehatan menunjukkan kelahiran hidup, AKB, AKABA, dan AKI cenderung mengalami penurunan. Adanya kecenderungan ini menunjukkan bahwa di erah Otonomi Khusus terjadi peningkatan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, serta kesadaran masyarakat, khususnya kaum Ibu-ibu, untuk memeriksakan kesehatannya ke Puskesmas. Selain itu kemampuan laboratorium di Puskesmas semakin baik dan memberikan kepuasan pelayanan kepada masyarakat.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
81
Terbinanya kesadaran kesehatan lingkungan oleh masyarakat. Dari data penyakit terbesar diderita adalah malaria, ISPA, Diare, penyakit kulit, campak dan TB. Paru sebagai penyebab utama kesakitan dapat dilihat bahwa tingkat kesadaran kesehatan lingkungan oleh masyarakat masih belum tinggi. Kabupaten Pegunungan Bintang Tersedianya sarana dan prasarana kesehatan yang memadai. Hingga tahun 2007 Kabupaten Pegunungan Bintang belum mempunyai Rumah Sakit, pasien yang mendapat rujukan umumnya dirujuk ke rumah sakit Kota Jayapura yaitu Abepura, Dian harapan, RSUD Jayapura, serta Rumah sakit ABRI. Menurunnya persebaran penyakit infeksi dan menular dan Terbinanya kesadaran kesehatan lingkungan oleh masyarakat. Pada tahun 2006 dilaporkan terdapat 47.627 kasus penyakit menular, yang didominasi oleh penyakit Malaria, Penyakit Kulit, ISPA, dan Diare/Kolera. Penyakit lain adalah cacingan dan TB.Paru. Dari data penyakit terbesar diderita tersebut, dapat dikatakan bahwa tingkat kesadaran kesehatan lingkungan oleh masyarakat masih belum tinggi. Terpenuhinya tenaga medis dan paramedis. Tenaga kesehatan yang bertugas di Kabupaten Pegunungan Bintang meliputi tenaga dokter sebanyak 7 orang, 3 diantaranya dokter tetap dan semuanya bertugas di Oksibil, sedangkan dokter PTT2 orang ditempatkan di Kwirok dan Iwur, untuk Puskesmas lainnya belum mempunyai dokter. Tenaga perawat sebanyak 124 orang, sebagian besar bertugas di Oksibil. Peningkatan sarana puskesmas keliling dan Terbinanya manajemen puskesmas dan puskemas tunggu serta puskemas keliling. Kabupaten Pegunungan Bintang telah mempunyai Puskesmas di setiap distrik dan Puskesmas pembantu, namun belum tersedia Puskesmas rawat inap, sedangkan sarana kesehatan yang lainnya belum tersedia. Minimnya sarana dan Prasarana kesehatan di Kabupaten Pegunungan Bintang disebabkan oleh rentang geografis yang sangat sulit serta kurang sumberdaya manusia dalam merencanakan pembangunan kesehatan. Kabupaten Merauke Tersedianya sarana dan prasarana kesehatan yang memadai. Rumah sakit yang terdapat di Kabupaten Merauke sampai tahun 2006 atau selama 5 tahun Otonomi Khusus berjalan, terdapat 1 rumah sakit umum dengan kapasitas 142
82
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
tempat tidur. Rumah sakit tersebut telah dibangun sejak Otonomi khusus dengan kapasitas 110 tempat tidur, dengan demikian terdapat penambahan tempat tidur sebanyak 32 di era Otonomi khusus. Sarana kesehatan tahun 2005 terdiri atas : 1 Rumah Sakit Daerah, 2 RS swasta, 6 Balai Pengobatan (4 milik TNI/POLRI), 11 Puskesmas (9 puskesmas rawat inap), 92 Pustu dan 12 Polindes. Sarana kesehatan dengan kemampuan laboratorium meningkatan dari 77,8% (pada tahun 2004) menjadi 100% (pada tahun 2005). Pelayanan Kesehatan Spesialis Dasar di RS adalah pelayanan kandungan dan kebidanan, bedah, penyakit dalam serta anak. RSUD Merauke merupakan rumah sakit satu-satunya di Kabupaten Merauke. Pada tahun 2005 RSUD Merauke dengan klasifikasi tipe C telah memiliki 5 dokter spesialis dasar (2 dokter spesialis bedah) dan 1 spesialis THT. Hampir seluruh persediaan obat (90%) untuk pelayanan kesehatan dasar maupun mendukung pelayanan kesehatan rujukan merupakan obat generik berlogo (OGB). Menurunnya persebaran penyakit infeksi dan menular, Menurunkan angka kesakitan masyarakat, dan Terbinanya kesadaran kesehatan lingkungan oleh masyarakat. Penyebab utama kesakitan masih didominasi penyakit malaria, penyakit kulit, TB Paru, dan frambosia, kemudian diikuti oleh penyakit lainnya. Pada tahun 2002 tercatat 241.558 penderita. Pada tahun 2003 tercatat 265.314 penderita. Pada tahun 2003 tercatat 200.212 penderita. Pada tahun 2003 tercatat 356.935 penderita. Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa kesadaran kesehatan lingkungan masyarakat sudah cukup tinggi dibanding kabupaten lain. Terpenuhinya tenaga medis dan paramedis. Pada tahun 2002 terdapat 35 dokter umum, 4 dokter gigi, 34 dokter ahli/spesialis, dan 95 perawat. Pada tahun 2006, terdapat 27 dokter umum, 6 dokter gigi, 6 dokter ahli/spesialis, 190 perawat, 198 bidan, dan 6 apoteker. Menurunkan angka kematian ibu dan anak. Cakupan imunisasi di kabupaten Merauke sejak tahun 2002 sampai tahun 2005 cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2002 dilakukan 376.605 imunisasi untuk jenis BCG, DPT, polio, DT, campak, dan TT BUMIL. Pada tahun 2003 dilakukan 388421imunisasi untuk jenis yang sama. Pada tahun 2004 dan 2005 dilakukan 386.472 dan 360.806 imunisasi. Persalinan oleh tenaga kesehatan adalah persalinan yang ditolong oleh dokter spesialis kebidanan atau dokter umum atau pembantu bidan atau perawat bidan. Ibu bersalin yang mendapatkan pertolongan persalinan oleh bidan atau tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan pada tahun 2005 sebesar 60,1%,
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
83
sedikit menurun dibanding tahun 2004 (67,3%), walaupun jika dibandingkan dengan target yang ditentukan (90%) masih agak jauh kesenjangannya (22,7%). Hal ini berarti masih banyak bumil yang menjalani persalinan di luar tenaga kesehatan seperti dukun atau keluarga sendiri dengan resiko persalinan yang besar. Demikian juga kemampuan bidan desa untuk melaksanakan pelayanan ke daerah terpencil masih sangat terbatas. Peningkatan sarana puskesmas keliling dan Terbinanya manajemen puskesmas dan puskemas tunggu serta puskemas keliling. Kabupaten Merauke hingga tahun 2007 telah memiliki 10 Puskesmas dan semuanya telah dikembangkan menjadi Puskesmas rawat inap, demikian pustu cenderung bertambah dengan bertambahnya jumlah Pustu, maka diharapkan semua masyarakat dapat terlayani dengan baik, lain halnya dengan Polindes yang cenderung menurun atau berkurang. Hal ini dapat terjadi karena beberapa daerah yang sebelumnya masuk wilayah pemerintahan Kabupaten Merauke telah dimekarkan sehingga masuk ke kabupaten lain atau kabupaten pemekaran. Penduduk yang memanfaatkan puskesmas adalah penduduk yang datang berkunjung ke puskesmas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang diberikan di puskesmas (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif ). Persentase penduduk yang memanfaatkan puskesmas mengalami peningkatan dari 94,43% (tahun 2004) menjadi 98% (tahun 2005). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah mengetahui tempat yang ditujukan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, dan dapat berarti tenaga kesehatan di puskesmas telah melaksanakan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Penduduk yang memanfaatkan rumah sakit adalah penduduk yang datang berkunjung ke rumah sakit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang diberikan rumah sakit (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif ), baik milik pemerintah maupun swasta. Persentase penduduk yang memanfaatkan Rumah Sakit pada tahun 2005 hanya sedikit mengalami peningkatan, yaitu 43,6% dari 43,22%. Kecilnya peningkatan pemanfaatan RS disebabkan sistem pencatatan dan pelaporan RS yang belum optimal. Persentase desa Universal Child Imunization (UCI): 60 % Desa mencapai UCI adalah desa/kelurahan dengan cakupan imunisasi dasar lengkap (BCG 1 kali, DPT 3 kali, HB 3 kali, Polio 4 kali dan campak 1 kali) pada bayi > 80%. Jika dibandingkan dengan target yang diharapkan > 80%, terdapat kesenjangan > 20%, hal ini berarti masih ada desa/kelurahan yang belum mencapai UCI.
84
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
4.4. Simpulan Kebijakan Otsus telah mempunyai turunan dalam bentuk kebijakan pembangunan kesehatan dengan indikator keberhasilan yang telah ditetapkan dengan baik, yang terdiri dari 8 indikator yaitu: Tersedianya sarana dan prasarana kesehatan yang memadai; Menurunnya persebaran penyakit infeksi dan menular, khususnya 10 besar angka kesakitan; Terpenuhinya tenaga medis dan paramedis yang tersebar secara merata di seluruh puskesmas; Menurunnya angka kematian ibu dan anak; Menurunnya angka kesakitan masyarakat; Terbinanya kesadaran kesehatan lingkungan oleh masyarakat; Peningkatan sarana puskesmas keliling; dan Terbinanya manajemen puskesmas dan puskemas tunggu serta puskemas keliling. Implementasi kebijakan pembangunan kesehatan di bawah Otsus dilaksanakan dengan fokus kepada target kinerja tersebut di bawah bimbingan provinsi. Kendala utama implementasi adalah kondisi geografis yang sangat berat membuat pemberian pelayanan kesehatan menjadi amat mahal. Kendala kedua adalah penyaluran dana otsus yang terlambat, sehingga mengganggu kelancaran pembangunan kesehatan yang telah diprogramkan. Dilaporkan bahwa pengelolaan dana otsus masih lebih besar di provinsi daripada kabupaten/kota dengan komposisi 40% Provinsi dan 60% Kabupaten/Kota. Kendala ketiga yang terpengaruh atas dua kendala tersebut adalah ketersediaan sarana kesehatan, tenaga medis, dan sistem administrasi kesehatan yang memadai. Kendala ke empat adalah secara kesadaran kesehatan dan lingkungan masyarakat Papua masih rendah. Kelima, ditengarai terdapat kasus-kasus korupsi dalam pelayanan kesehatan, terutama dalam pengadaan obat-obatan. Tantangannya adalah mengembangkan transparansi implementasi kebijakan otsus kesehatan. Kendala-kendala implementasi tersebut menyebabkan kinerja pembangunan kesehatan di era otsus masih perlu ditingkatkan. Sementara itu, dari kabupaten yang diteliti, Kabupaten Merauke merupakan kabupaten yang paling maju pembangunan kesehatannya.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
85
86
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Bagian Kelima
MASYARAKAT SIPIL1
5.1. Muatan Kebijakan Istilah “masyarakat sipil” diperkirakan berasal dari istilah Romawi kuno societas civilis atau istilah Yunani koinonia politike yang pada dasarnya bermakna “arena bagi warganegara yang aktif secara politik”.2 Hegel mendefinisikan masyarakat sipil sebagai agen penyangga sekaligus jembatan penghubung antara rakyat dengan negara. Pemahaman paling populer tentang masyarakat sipil adalah pemahaman yang dikembangkan pemikir Marxis Antonio Gramsci yang menyebutkan bahwa masyarakat sipil sebagai bagian dari negara yang terlepas dari pemaksaan atau aturan formal, meskipun tetap mengandung unsur rekayasa sebagaimana halnya institusi politik3. Konsep masyarakat sipil menjadi populer sejak terjadi proses kejatuhan negara-negara komunis, di mana pemahaman “masyarakat sipil” sebagai sebuah proses di mana masyarakat membangun partisipasi yang lepas dari kekangan politik otoritarian, dan menuju masyarakat demokrasi yang bersifat pluralistik. Secara sederhana, konsep “masyarakat sipil” 1 Bagian ini mengambil materi dari Laporan Evaluasi Otonomi Khusus Papua Bidang Masyarakat Sipil, 2008, Jakarta: Kemitraan untuk Tata Kelola yang Baik. 2 Khrisnan Kumar, Civil Society, dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper, 2000, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: Rajawali Press, hh.113-115. 3 Ibid.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
87
hadir sebagai sebuah alternatif untuk melawan kekuasaan yang otoriter. Dalam bentuk yang umum, sebagaimana pemahaman Gramsci, bentuk kelembagaan masyarakat sipil adalah organisasi-organisasi bukan negara yang bergerak di ranah politik atau berkenaan dengan politik, secara langsung atau tidak langsung. Di antaranya adalah lembaga keagamaan, sekolah, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan sejenisnya. Pemahaman “masyarakat sipil” di Papua berkaitan dengan dengan pemahaman umum di atas, yaitu semacam kelembagaan di tingkat rakyat yang bersifat bukan negara yang mempunyai peran untuk membangun demokrasi yang pluralis di Papua. Pada evaluasi, masyarakat sipil didefinisikan sebagai sebuah entitas yang sadar politik dan memiliki peran tertentu dalam mendorong proses perubahan di Papua. Komunitas ini berada di luar Negara - Birokrasi politik, polisi, angkatan bersenjata, dan pengadilan. Karena itu definisi masyarakat sipil yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kelompok masyarakat, baik lembaga maupun individu yang mewakili (1) Komunitas Adat, (2) Komunitas Agama, dan (3) Komunitas Perempuan. Dalam konteks UU Otsus Papua, ketiga komunitas ini merupakan komunitas kultural yang terwakili dalam Majelis Rakyat Papua (MRP). UU Otsus tidak secara spesifik menyebutkan hal tentang “masyarakat sipil”. Meskipun demikian terdapat beberapa pasal yang dapat dikaitkan dengan upaya membangun masyarakat sipil. Pasal 5 tentang bentuk dan susunan pemerintahan menyebutkan pengakuan terhadap lembaga masyarakat nonnegara dalam proses politik, yaitu “Majelis Rakyat Papua” sebagai representasi kultural masyarakat Papua. Pada pasal 5 ayat (2) disebutkan dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua yang merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Pada pasal 5 ayat (7) disebutkan bahwa di Kampung dibentuk Badan Musyawarah Kampung dan Pemerintah Kampung atau dapat disebut dengan nama lain. Di tingkat legislatif, pada pasal 10 disebutkan bahwa DPRP mempunyai kewajiban membina demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah berdasarkan demokrasi ekonomi, dan memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan
88
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
pengaduan masyarakat, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya. Di tingkat eksekutif, tidak disebutkan secara spesifik tugas Gubernur dan Bupati/ Walikota berkenaan dengan pengembangan masyarakat sipil. Salah satu pasal yang relatif berkaitan adalah pasal 43 yang menyebutkan bahwa Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku, dan bahwa Pemerintah Provinsi, Kabupaten/ Kota memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan. 5.2. Implementasi Kebijakan Berkenaan dengan implementasi kebijakan berkenaan dengan pengembangan masyarakat sipil di bawah Otsus, terdapat tiga tujuan, yaitu (1) Mengevaluasi dari segi konsep dan Implementasi UU No. 21 Tahun 2001 khususnya, yang berkaitan dengan masyarakat sipil (2) Menilai kapasitas masyarakat sipil dalam menindaklanjuti kebijakan otonomi khusus dalam arena mereka masing-masing, (3) Menilai perkembangan dan aktivitas jaringan kerja antara masyarakat sipil dengan negara, bisnis, perusahaan dan lain sebagainya. Implementasi kebijakan Otsus di Papua berkenaan dengan peta sikap dari lembaga-lembaga masyarakat sipil terhadap Otsus, sebagaimana tabel sebagai berikut: Tabel 5.1 Peta Sikap Lembaga Masyarakat Sipil Terhadap Otsus No
Nama Lembaga
Bidang Kegiatan
Sikap Terhadap Otsus
1
Forum Kerjasama LSM (Foker LSM)
Kajian Kebijakan
Berpartisipasi aktif dalam memberikan kritik, saran dan masukan terhadap pelaksanaan Otsus
2
Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa (YPMD)
Ekonomi kerakyatan
Moderat
3
Solidaritas Perempuan Papua (SPP)
Lembaga perempuan
Moderat tetapi tidak pernah merasa dilibatkan pemerintah dalam kegiatan pemberdayaan perempuan
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
89
4
Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP)
Kajian Kebijakan dan Advokasi
Pasif tetapi tidak menarik diri secara menyeluruh terhadap isu Otsus
5
Presidium Dewan Papua (PDP)
Organ Politik
Pasif dan skeptis terhadap pelaksanaan Otsus
6
Dewan Adat Papua (DAP)
Lembaga Adat
Menganggap Otsus sebenarnya telah dikembalikan oleh rakyat Papua.
7
FP3
Kajian Kebijakan
Pasif karena organisasi tersebut tidak lagi aktif
8
PPMA
Pemberdayaan masyarakat Adat
9
ICS
Kajian Kebijakan
Moderat dengan masukan untuk perbaikan terutama dalam hal aturan tatalaksana
10
Jujur Bicara (Jubi)
Pers
Pers
11
Aliansi Jurnalis Independen Papua (AJI)
Pers
Pers
12
LP3AP
Lembaga Perempuan
Sedikit skeptis karena merasa tidak pernah terlibat dalam tataran pelaksanaan kebijakan Pelaksanaan Otsus telah banyak melenceng dari idealismenya Menarik diri dari isu Otsus tetapi tetap berusaha melakukan pemberdayaan masyarakat
13
Keuskupan Jayapura
Lembaga agama
14
Klasis Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jayapura
Lembaga agama
Otsus perlu dilanjutkan tetapi perlu koreksi terhadap pelaksaan Otsus serta revisi UU Otsus
15
Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Jayapura
Organisasi Kemahasiswaan
Pasif
16
Persatuan Mahasiwa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Jayapura
Organisasi Kemahasiswaan
Pasif
90
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
17
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Jayapura
Organisasi Kemahasiswaan
Pasif
Dengan mempergunakan data di atas, dengan mengeluarkan lembaga yang tidak mempunyai posisi yang tegas terhadap Otsus, dapat dibuat pemetaan lembaga masyarakat sipil sebagai berikut. Gambar 5.1 Peta Lembaga Masyarakat Sipil
Beberapa bentuk jaringan kerjasama yang muncul di tengah kelompok masyarakat sipil Papua di Jayapura antara lain :
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
91
1. Forum Kerjasama LSM Foker adalah bentuk kerjasama kelompok masyarakat sipil yang terlembagakan sejak tahun 1991. Forum ini menampung sekitar 64 LSM di seluruh Papua yang bergerak dalam berbagi bidang. Dengan kerjasama strategis seperti ini, maka dimungkinkan kajian komperehensif menyangkut banyak isu yang terjadi di Papua. Pendekatan yang komprehensif ini kelak menghasilkan kritisi, saran dan masukan kepada setiap pemangku kebijakan di Papua. Salah satu hasil konkret dari keberadaan Foker LSM adalah draft Otoritas Khusus yang menjadi inisiatif awal dari UU Otsus Papua. 2. Kongres Rakyat Papua Ajang Kongres Rakyat Papua II pada tahun 200 terbukti telah menjadi forum besar berbagai elemen masyarakat sipil Papua. Berbeda dengan Foker yang bersifat strategis dan jangka panjang, ajang kongres hanya bersifat tentatif. Akan tetapi dampak jangka panjangnya muncul dari rekomendasi politik dari hasil kongres. 3. Sidang Dewan Adat Papua Hampir sama dengan Kongres Rakyat Papua, kongres DAP juga berdimensi luas. Normatifnya acara ini hanya ajang untuk pergantian kepemimpinan dan perumusan kebijakan baru DAP. Tetapi realitasnya ajang ini juga mempertemukan seluruh komponen jaringan masyarakat sipil Papua terutama simpul-simpul adat dan jaringan organisasi yang bergerak di bidang politik dan kebijakan. Pertemuan ini juga menghasilkan rekomendasi kebijakan politik. 4. Kerjasama Dalam Kegiatan Dalam kegiatan pendampingan masyarakat banyak lembaga non pemerintah yang melakukan sinergi untuk mengisi bidang kegiatan pendampingan. Keuskupan misalnya yang melakukan program pendampingan masyarakat pedalaman, bekerjasama dengan Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP) untuk advokasi dan juga bekerjasama dengan Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa (YPMD) untuk pengembangan ekonomi masyarakat pedalaman. Kegiatan seperti ini berjalan dengan baik selama era sebelum Otsus tetapi pada saat Otsus datang dan masyarakat memusatkan perhatiannya pada dana Otsus, kegiatan pemberdayaan seperti ini stagnan. Dengan melihat peran lembaga dan jaringan antara masyarakat sipil, seharusnya ke depan bisa dirancang sebuah sinergi positif setiap elemen masyarakat sipil di Papua khususnya kota dan kabupaten Jayapura untuk mengoptimalisasi peran mereka di tengah masyarakat.
92
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
5.3. Kinerja Kebijakan 5.3.1. Kinerja di Tingkat Masyarakat. Untuk menilai kinerja kemajuan civil society di tingkat masyarakat dilakukan evaluasi berkenaan dengan persepsi publik pada tiga isu pokok, yaitu (1) Tingkat pengenalan Otsus, (2) interaksi dengan lembaga masyarakat sipil, dan (3) penilaian publik tentang Otsus. Untuk itu, disebarkan 600 kuesioner pada 13 distrik dan 39 kampung/kelurahan di kota dan kabupaten Jayapura. Pengenalan Otsus. Otonomi khusus bertujuan untuk seluas-luasnya meningkatkan derajat hidup masyarakat Papua terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan dan infrastruktur. Hal pertama yang harus diketahui sebelum mengetahui dampak otonomi khusus Papua terhadap masyarakat sipil di kota dan kabupaten Jayapura adalah sejauh mana informasi Otsus menjangkau masyarakat. Atau bagaimana akses masyarakat dalam mengetahui otsus. Sehingga kemudian dapat dilihat sejauh mana interaksi antara masyarakat sipil dengan lembaga-lembaga non pemerintah selama otonomi khusus berlangsung. Secara umum sebagian besar masyarakat di kota dan kabupaten Jayapura mengetahui tentang Otonomi khusus Papua. Tetapi di sisi lain, selama berlangsungnya Otonomi khusus ternyata masyarakat yang berinteraksi langsung dengan lembaga non pemerintah sangat sedikit. Besarnya persentase masyarakat yang mengetahui tentang Otonomi khusus terjadi karena beberapa hal. Pertama, area penelitian yang mencakup wilayah kota dan kabupaten Jayapura yang merupakan wilayah yang berada di dalam dan dekat dengan ibukota provinsi Papua yang menjadi gerbang informasi untuk seluruh provinsi. Kedua, Otonomi khusus sendiri telah berlangsung hampir enam tahun sejak digulirkan pada akhir tahun 2001. Itu sebabnya kata-kata Otsus tidak terlalu aneh di telinga masyarakat sipil di kota dan kabupaten Jayapura walaupun itu tidak serta merta menjamin pemahaman mendalam mereka mengenai Otsus.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
93
Gambar 5.2 Pengetahuan Masyarakat tentang Otsus Papua
Televisi muncul sebagai sumber utama informasi Otsus. Ini sekaligus menguatkan data tentang tingginya intensitas masyarakat dalam menikmati sajian televisi, disusul koran dan radio menempati urutan dua dan tiga. Koran dan radio jauh lebih baik dibanding Lembaga Swadaya Masyarakat dan Gereja yang langsung bersentuhan dengan masyarakat yang berada pada urutan paling belakang. Gambar 5.3 Sumber Informasi Otsus
94
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Interaksi dengan Lembaga Masyarakat Sipil. Isu pertama yang diangkat adalah interaksi masyarakat dengan lembaga non pemerintah. Interaksi dengan lembaga non pemerintah artinya sejauh mana keterlibatan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan lembaga non pemerintah selama pelaksanaan Otsus Papua dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan dan infrastruktur. Hanya 12,62% responden yang menyatakan pernah berinteraksi dengan lembaga non pemerintah selama pelaksanaan Otsus Papua. Ini membuktikan perbandingan lurus antara sumber informasi dengan interaksi. Minimnya sumber informasi Otsus yang didapatkan masyarakat dari lembaga non pemerintah berbanding lurus dengan rendahnya interaksi mereka dengan lembaga non pemerintah. Gambar 5.4 Interaksi Masyarakat dengan Lembaga Non Pemerintah
Lembaga gereja, disusul lembaga perempuan, dan kemudian lembaga adat; secara lebih banyak menjadi wahana partisipasi masyarakat selama Otsus. Ini dapat dipahami karena lembaga-lembaga ini yang lebih mengakar di tengah-tengah masyarakat Papua, khususnya di kota dan kabupaten Jayapura. Sedangkan lembaga lain, seperti lembaga internasional, lembaga perlindungan anak, lembaga Muhammadiyah muncul belakangan.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
95
Isu ke dua berkenaan dengan Pelayanan Lembaga Non Pemerintah di Bidang Ekonomi Kerakyatan. Keterlibatan lembaga non pemerintah dalam pengembangan ekonomi kerakyatan selama Otsus dapat dilihat dari programprogram pendampingan dan pemberian modal atau kredit pada masyarakat. Ukuran awal dari ada atau tidaknya program tersebut adalah dengan melihat perubahan kondisi masyarakat sebelum dan sesudah Otsus. Perbedaan antara masyarakat yang merasakan perubahan dengan yang tidak tidak terlalu besar. Ditemukan bahwa 52% responden merasakan ada perubahan kondisi ekonomi rumah tangga ke arah kondisi lebih baik sejak diberlakukannya Otsus, sementara 41% responden merasakan tidak ada perubahan kondisi ekonomi rumah tangga ke arah kondisi lebih baik, dan 7% responden mengatakan tidak tahu. Isu ke tiga adalah Bentuk layanan yang diberikan lembaga non pemerintah. Pertanyaan ini bertujuan untuk menggali lebih jauh, metode mana yang lebih efektif dalam pendampingan yang dilakukan lembaga non pemerintah terhadap rakyat di bidang ekonomi kerakyatan. Lebih dari 40 % responden memberikan jawaban pelatihan. Peningkatan kapasitas diri dalam bentuk pelatihan ternyata lebih dirasakan manfaatnya ketimbang misalnya penyuluhan, pemberian bibit dan supervisi. Gambar 5.5 Bentuk Layanan yang Diberikan Lembaga Non Pemerintah
96
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Isu ke empat adalah Tingkat Kepuasan terhadap pelayanan yang diberikan oleh lembaga non pemerintah. Ukuran tingkat kepuasan tidak mencakup keseluruhan persepsi terhadap penataan bidang ekonomi kerakyatan dalam Otsus tetapi hanya menyangkut pelayanan lembaga non pemerintah di bidang pengembangan ekonomi kerakyatan saja. Hampir setengah responden menjawab cukup puas dengan layanan yang diberikan oleh lembaga non pemerintah. Tetapi yang perlu juga dilihat adalah tingkat ketidakpuasan dan kekurangpuasan yang juga cukup tinggi. Artinya pelayanan bidang perekonomian yang diberikan oleh lembaga non pemerintah selama pelaksanaan Otsus perlu lebih memperhatikan azas manfaat untuk rakyat banyak dan tidak sekedar melaksanakan program yang telah ditetapkan lembaga bersangkutan. Gambar 5.6 Tingkat Kepuasan Masyarakat terhadap Pelayanan Lembaga Non Pemerintah
Isu kelima adalah berkenaan dengan Evaluasi Umum Terhadap Lembaga Non Pemerintah dalam (1) tugasnya sebagai fasilitator, dan (2) penilaian umum terhadap eksistensi lembaga non pemerintah. Pertama, berkenaan dengan tugas fasilitator, dipahami bahwa kehadiran lembaga non pemerintah di tengah masyarakat di samping untuk memberdayakan masyarakat secara swadaya juga menjadi fasilitator kepentingan dan kebutuhan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Di Papua khususnya kota dan kabupaten Jayapura, terutama setelah
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
97
kehadiran Otsus, begitu banyak bermunculan lembaga-lembaga non pemerintah yang bergerak dalam berbagai bidang dan isu. Banyak lembaga yang bertahan dan eksis di tengah masyarakat, tetapi tidak sedikit pula yang bubar atau menghilang begitu saja, sebagian lain bergantung pada durasi proyek. Untuk itu perlu dilihat sejauh mana ekpektasi masyarakat terhadap kehadiran lembaga non pemerintah di kota dan kabupaten Jayapura. Sebagian besar responden yaitu 85% masih percaya bahwa lembaga non pemerintah bisa menjadi fasilitator kearah kehidupan yang lebih baik. Tetapi yang perlu diperhatikan dari hasil ini adalah bahwa angka itu didapatkan hanya dari sekitar 12% dari total 600 responden, yaitu mereka yang pernah berinteraksi dengan lembaga non pemerintah. Kedua, penilaian umum terhadap eksistensi lembaga non pemerintah dengan melihat penilaian atas peran lembaga non pemerintah di Papua yang pasang surut dalam berbagai isu, tentu saja masyarakat umum terutama mereka yang pernah berinteraksi bisa memberikan penilaian yang sifanya menyeluruh. Muaranya adalah mengenai eksistensi dari lembaga non pemerintah itu sendiri di kota dan kabupaten Jayapura. Gambar 5.7 Penilaian Umum Masyrakat terhadap Eksistensi Lembaga Non Pemerintah
98
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Meskipun 96% responden menjawab kehadiran ,lembaga non pemerintah masih dibutuhkan, namun jawaban ini masih mengandung bias, karena hanya ditanyakan kepada responden yang berhubungan dengan lembaga non pemerintah saja. Persepsi publik terhadap Otsus Papua. Persepsi dari responden terhadap Otsus diambil dari pertanyaan yang bersifat umum, yaitu “Secara umum, setelah pelaksanaan Otsus Papua semenjak tahun 2002, apakah Bapak/Ibu merasakan ada perubahan suasana kehidupan ke arah yang lebih baik?” 54% responden menjawab tidak ada perubahan, 29% menilai ada perubahan lebih baik, dan 17% menilai tambah buruk. Gambar 5.8 Perubahan Kehidupan
Berkenaan dengan pelaksanaan Otsus, 81,63% responden menjawab tidak puas dan kurang puas, dan 16,3% cukup puas, sementara 2% menjawab puas.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
99
Gambar 5.9 Penilaian terhadap Otsus.
5.3.2 Kinerja di Tingkat Lembaga Masyarakat Sipil. Untuk menilai perkembangan masyarakat sipil dalam konteks otonomi khusus, dilakukan wawancara mendalam terhadap tokoh-tokoh yang bergerak dalam berbagai isu dengan beragam latar belakang dengan menggunakan pedoman wawancara terstruktur. Untuk itu, ada empat isu utama yang diangkat yaitu (1) Mengapa Harus Ada Otonomi Khusus Papua (2) Pelaksanaan Otsus (3) Peran Lembaga dan Hubungan Dengan Lembaga Lain dan Pemerintah, dan (4) Revisi Mengenai UU Otsus Papua. 1. Mengapa Harus Ada Otonomi Khusus Papua. Sebagian besar dari aktor masyarakat sipil yang kami wawancarai berpendapat bahwa Otonomi Khusus Papua muncul sebagai reaksi terhadap aksi politik, dalam hal ini tuntutan merdeka yang dikumandangkan sebagian kalangan masyarakat sipil di Papua. Tuntutan itu sendiri muncul sebagai akumulasi dari berbagai ketidakpuasan yang terdiferensiasi dalam berbagai konteks historis. Tokoh-tokoh organisasi massa masih mempermasalahkan masalah proses Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 yang dinilai tidak partisipatif dan representatif. Ini berdampak kemudian pada kebijakan represif orde baru dalam menghadapi apa yang disebut dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Masalah distribusi ekonomi yang tidak menyentuh penduduk asli Papua hanyalah salah satu pilar yang menumbuhkan aspirasi merdeka. Artinya, mereka masih memandang bahwa penuntasan masalah Papua lebih kental unsur politis yang diikuti dengan pendekatan keamanan oleh TNI-Polri. Beberapa tokoh malah memberikan pendapat lebih keras dengan
100
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
menyatakan, Otsus tidak lebih dari gula-gula dari Jakarta untuk melenakan penduduk Papua dari perut yang lapar. Mereka menangkap kesan tidak serius pemerintah pusat dalam menciptakan rasa aman dan kesejahteraan di Papua dengan kebijakan Otsus ini. Yang kentara terlihat malah keinginan Jakarta untuk memastikan bahwa Papua masih berada dalam lingkup NKRI. Tetapi ada juga tokoh yang coba berpikir positif, bahwa disamping kental unsur politisnya, Otsus Papua sebenarnya memberi peluang besar bagi masyarakat Papua untuk menata dirinya sendiri dengan kewenangan yang lebih luas. Hanya saja mereka melihat, kewenangan yang luas ini tidak diikuti oleh reformasi struktural aparat pemerintahan daerah yang menjadi aktor dalam pelaksanaan Otsus. Akibatnya seringkali pelaksanaan kebijakan masih menunggu hasil “konsultasi” pemerintah daerah ke Jakarta. Aktor-Aktor Yang Memainkan Peranan Penting. Gagasan Otsus pada mulanya berawal dari kalangan akademisi Universitas Cendrawasih dan tokoh-tokoh masyarakat sipil dari berbagai latar belakang. Pada tahun 1999, mereka yang kelak disebut dengan tim 100, bertemu dengan Presiden BJ Habibie di Jakarta. Pada awalnya mereka berencana membawa aspirasi merdeka ke Jakarta tetapi kemudian diambil jalan tengah dengan inisiatif tawaran Otonomi Khusus untuk Papua. Jadi pada awalnya, munculnya inisiatif ini berasal dari kalangan akademisi, intelektual dan tokoh masyarakat Papua. Dalam perkembangannya kemudian, menurut sebagian tokoh yang kami wawancara, ternyata penggodokan Rancangan Undang-Undang oleh DPR tidak seluruhnya menampung aspirasi sebagaimana terdapat dalam dokumen yang diusulkan oleh tokoh-tokoh yang terlibat dalam penyusunan draft awal otonomi khusus. Inilah awal pergeseran aktor kunci Otsus dari kalangan akademisi, intelektual dan tokoh masyarakat Papua kepada para penyusun Undang-Undang dan pengambil keputusan tingkat pusat di Jakarta. Setelah UU No. 21 Tahun 2001 ditetapkan dan kemudian terimplementasikan dalam bentuk Otonomi khusus Papua maka pemerintah provinsi Papua muncul sebagai aktor utama disamping pemerintah pusat. Pergeseran lebih jauh adalah semakin minimnya peran lembaga non pemerintah dalam era Otsus. Munculnya unsur agama, adat dan perempuan sebagai penekanan sasaran objektif Otsus tidak serta merta memberi ruang kepada tokoh-tokoh ini dalam implementasi Otsus.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
101
Narasumber yang kami wawancara melihat, hingga saat ini, pemerintah provinsi Papua memegang peranan penting dalam era Otsus. Hanya saja, kewenangan besar itu ternyata tidak diikuti oleh inisiatif-inistiatif yang mampu mendorong pelaksanaan Otsus agar sebesar-sebesarnya memberikan manfaat kepada masyarakat Papua. Yang terjadi malah; pemekaran provinsi dan kabupaten, pengelolaan dana Otsus yang dinilai tidak transparan, tidak adanya perbaikan mendasar dalam kehidupan masyarakat Papua dimana semua itu bermuara pada lambannya penyusunan Perdasus yang seharusnya mengiringi implementasi UU No. 21 Tahun 2001. Aktor lain seperti Majelis Rakyat Papua (MRP) dinilai sebagai ornamen saja. Lembaga yang dianggap sebagai representasi kultural masyarakat Papua itu dinilai tidak bisa berbuat banyak. Proses Politik dan Ekonomi Yang Mengikuti Otsus. Narasumber bersepakat bahwa Otsus Papua yang diberikan oleh pemerintah pusat lebih sebagai solusi politik ketimbang solusi kesejahteraan. Itu sebabnya yang lebih kentara dari Otsus ini adalah proses politik untuk menekan aspirasi merdeka. Perluasan kewenangan yang diberikan oleh pusat pada awalnya dimaksudkan untuk menciptakan inisiatif lokal demi memajukan kehidupan masyarakat Papua lewat proses politik yang akan berdampak pada sektor lainnya seperti ekonomi kerakyatan, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Tetapi dalam kenyataannya, proses politik yang diharapkan itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Perdasus yang menjadi elemen penting implementasi Otsus sangat lambat penyusunannya. Hingga lima tahun pelaksanaan Otsus, dari 19 Perdasus yang seharusnya ditetapkan hanya Perdasus tentang Majelis Rakyat Papua (MRP) yang baru ditetapkan dan berjalan. Dalam perkembangannya, MRP dilihat tidak berdaya dalam proses politik di Papua. Kewenangannya dinilai terlalu sempit, bukan menjadi representasi tetapi hanya ornamen kultural masyarakat Papua. Menurut sebagian tokoh, hal ini diperparah lagi dengan pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat. Ini menimbulkan dilema politik; apakah provinsi tersebut tercakup dalam UU No. 21 Tahun 2001 atau sama seperti provinsi lain di Indonesia diatur lewat UU No. 32 Tahun 2004?. Proses politik lainnya seperti pemekaran kabupaten ternyata tidak dibarengi dengan kesiapan infrastruktur dan aparat pelaksana. Yang tergambar dari proses politik selama pelaksanaan Otsus hanyalah “bagibagi kursi” antara elit lokal.
102
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Mandegnya proses politik ini berimplikasi pada bidang lain terutama perekonomian. Tidak ada capaian penting selama pelaksanaan Otsus selain dana Otsus yang cukup besar tetapi tidak pernah dirasakan masyarakat. Sebagian tokoh membenarkan adanya pembangunan infrastruktur selama Otsus tetapi itu tidak cukup mengatrol kemampuan ekonomi penduduk asli Papua hingga level bawah. Distribusi dana Otsus lebih banyak terpakai untuk birokrasi ketimbang turun kepada masyarakat. Walaupun pada masa gubernur Barnabas Suebu dana Otsus mulai dikucurkan langsung ke kampung-kampung, tetapi itu belum diikuti dengan penataan manajemen dan manajerial yang cukup akuntabel dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan. Narasumber satu suara dalam hal ini, dengan menyatakan bahwa kemandegan proses politik dan juga ekonomi ini bersumber pada lambannya penyusunan Perdasus. Ini menimbulkan kecurigaan di kalangan beberapa tokoh bahwa Jakarta sebenarnya tidak pernah sungguh-sungguh memberikan Otsus kepada masyarakat Papua. Sebab yang sering muncul justru kembali isu-isu kemerdekaan dan integrasi. Polemik seputar simbol kultural yang sebenarnya telah diatur UU No. 21 Tahun 2001 masih saja menghiasi media massa lewat pengibaran bendera Bintang Kejora ketimbang masalah kesejahteraan dan alokasi dana Otsus. 2. Pelaksanaan Otsus Kesan yang kami dapatkan dari sebagian besar tokoh, adalah bahwa mereka tidak sepenuhnya terlibat aktif selama pelaksanaan Otsus. Memang ada beberapa tokoh yang masih terlibat dalam penyusunan kebijakan selama pelaksanaan Otsus tetapi lebih banyak yang mengambil jarak dan pesimis terhadap pelaksanaan Otsus. Ini bisa dipahami dalam berbagai kerangka berpikir, ada tokoh yang ingin mempertahankan independesinya, ada pula kalangan akademisi yang memang berkutat di kampus dan ada pula yang memang tidak pernah dilibatkan atau diajak bicara oleh pemerintah provinsi yang menjadi aktor utama pelaksanaan Otsus. Tetapi pada dasarnya, mereka memberikan jawaban yang hampir seragam dalam menanggapi pelaksanaan Otsus Papua. Manfaat Otsus Untuk Masyarakat Papua. Pada awalnya Otsus dianggap sebagai berkah besar untuk masyarakat Papua. Masyarakat memiliki ekpektasi yang sangat besar bahwa Otsus akan meningkatkan derajat kehidupan mereka. Apalagi dalam UU Otsus banyak sekali penekanan tentang hak-hak mendasar orang Papua yang harus dipenuhi. Hal ini ditambah lagi dengan keberadaaan dana Otsus yang jumlahnya cukup besar. Tetapi dalam kenyataannya, para narasumber
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
103
nyaris satu suara dalam hal ini, kenyataan yang diterima oleh masyarakat tidak sebesar ekpektasi mereka Permasalahan mendasar Otsus, selain masalah Perdasus, berkaitan dengan rencana strategis provinsi yang tidak terkomunikasikan dengan baik dan terbuka pada seluruh masyarakat, termasuk elemen lembaga masyarakat sipil. Itu sebabnya, Otsus tidak banyak membawa perubahan derajat kehidupan untuk masyarakat Papua. Masyarakat mendengar tentang Otsus, dana Otsus dan janjijanji perbaikan kesejahteraan tetapi mereka tidak pernah merasakan manfaatnya. Poin-poin penting dalam UU Otsus seperti pemenuhan hak-hak mendasar orang Papua tidak dibarengi dengan penafsiran yang jelas dan detail sehingga mandeg dalam impelementasi. Penggelontoran dana langsung, menurut beberapa tokoh, justru kontraproduktif terhadap masyarakat. Dana tersebut (dalam bentuk tunai) habis untuk konsumsi dan bukan untuk mengembangkan perekonomian mereka. Karena mengharapkan dana tunai tersebut masyarakat mematikan potensi inovasi dan kewirausahaan mereka. Sementara dana yang benar-benar terarah untuk pengembangan perekonomian kerakyatan belum tampak hingga saat ini. Pada beberapa hal, narasumber mengakui, memang ada pembangunan di Papua. Tetapi proyek-proyek pembangunan tersebut hanya memperbesar cash outflow bukan cash inflow, karena miskin output yang benar-benar berasal dari Papua. Inefesiensi itu selama ini memang tidak terlihat karena lagi-lagi bisa tertutup dengan dana Otsus yang besar. Yang Diuntungkan Oleh Otsus. Penting untuk mengetahui pendapat para narasumber tentang pihak yang diuntungkan dengan adanya Otsus Papua. Terlepas dari sinyalemen negatif dalam kaitannya dengan Otsus dan perbaikan kehidupan masyarakat Papua, tentu saja tetap ada pihak yang diuntungkan dengan adanya Otsus ini. Sebagian besar narasumber menunjuk elit birokrat Papua sebagai pihak yang diuntungkan dengan adanya Otsus ini. Lebih luas lagi termasuk mereka yang terlibat dalam kebijakan ini seperti DPRP, pemerintah kabupaten hingga aparat tingkat bawah. Besarnya alokasi dana Otsus untuk birokrasi pada tahun-tahun awal pelaksanaan Otsus adalah salah satu alasan kenapa mereka menunjuk elit birokrat lokal. Ditambah lagi dengan banyaknya alokasi dana Otsus yang dinilai kurang jelas dan untuk proyek-proyek yang tidak pernah dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat.
104
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Selain elit birokrat lokal, pemerintah pusat juga diuntungkan dengan Otsus ini. Menurut mereka, setelah memberikan Otsus, pemerintah pusat seolah bisa lepas tangan dan menganggap permasalahan Papua telah selesai. Pemberian Otsus memperkuat posisi politik Jakarta terhadap Papua. Pemerintah pusat sekarang punya alasan logis untuk menindak setiap gerakan yang dianggap berpotensi menumbuhkan disintegrasi di Papua sebab Otsus telah diberikan. Beberapa tokoh juga menunjuk pihak swasta juga meraup untung dari Otsus ini. Selain dari proyek-proyek yang diberikan oleh pemerintah mereka juga mendapatkan peluang dari kewenangan kultural yang didapatkan kembali oleh kepala suku (Ondoafi) terhadap tanah ulayat. Realitas ini terasa kontraproduktif tetapi kenyatan itulah yang terjadi. Beberapa pihak swasta dengan mudah mendapatkan tanah ulayat untuk kepentingan usaha setelah melakukan pendekatan dengan kepala suku yang justru tidak mendapatkan proteksi dari pemerintah. Kesiapan Pemerintah Dalam Era Otsus. Regulasi, struktur dan sistem pengawasan adalah hal-hal yang disoroti oleh narasumber wawancara dalam menyoal kesiapan pemerintah terutama pemerintah provinsi Papua dalam melaksanakan Otsus. Ketidaksiapan regulasi tergambarkan dalam mandegnya penyusunan perdasus yang berimplikasi pada masalah implementasi Otsus. Struktur pelaksana Otsus juga mendapatkan sorotan karena tidak banyak mengalami perubahan setelah Otsus. Kewenangan yang luas tidak dibarengi dengan otonomi struktur pemerintahan Papua yang seharusnya juga lebih luas. Sementara tidak adanya sistem pengawasan yang jelas telah menimbulkan kecurigaan-kecurigaan terhadap akuntabilitas pengelolaan dana Otsus. Ketidaksiapan ini berimplikasi besar pada pelaksanaan Otsus yang; (1) tidak tepat sasaran karena kurangnya panduan regulasi, (2) kurang terarah karena tidak adanya reformasi struktural serta (3) kurang terpercaya karena belum adanya sistem pengawasan yang jelas. Beberapa narasumber juga mengeluhkan tentang kurangnya peranan yang diberikan pemerintah pada mereka yang justru lebih mengakar. Dalam isu perempuan misalnya, kantor pemberdayaan perempuan jarang sekali men-share program-program mereka dengan lembaga non pemerintah yang bergerak dalam isu yang sama.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
105
3. Peran Lembaga dan Hubungan Dengan Lembaga Lain dan Pemerintah Pertanyaan ini bertujuan untuk menggali lebih dalam jaringan antar lembaga non pemerintah di kota dan kabupaten Jayapura serta interaksi dan hubungan mereka dengan pemerintah setempat dalam era Otsus. Bidang dan Peran Lembaga. Berbagai lembaga non pemerintah bergerak dalam beragam isu dan melakukan kegiatan dengan berbagai pendekatan pada masyarakat baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Pertanyaan seputar peran lembaga bertujuan untuk mendapatkan gambaran aktifitas lembaga bersangkutan yang kemudian dikaitkan dengan hubungan dan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh lembaga bersangkutan. Hubungan Lembaga Dengan Lembaga Non Pemerintah Lainnya. Dalam menjalankan program-program swadaya masyarakatnya seringkali lembaga non pemerintah melakukan kerjasama dengan lembaga sejenis. Misalnya, keuskupan bekerjasama dengan YPMD dalam pengembangan ekonomi jemaat yang dilayaninya pada sebuah daerah. Dalam bentuk lainnya, kerjasama itu terjalin lebih strategis seperti lembaga-lembaga non pemerintah yang berkoordinasi dalam Forum Kerjasama LSM (Foker LSM). Dengan melihat jaringan kerja antar lembaga maka kita dapat menilai efektifitas dari kerjasama tersebut dalam memberikan pelayanan alternatif kepada masyarakat. Daya dukung tiap lembaga dalam melaksanakan program dapat memberikan gambaran tentang program-program swadaya bersama yang mungkin bisa dilakukan pada masa yang akan datang. Hubungan Lembaga dengan Pemerintah. Banyak di antara kegiatan dan program yang dilakukan oleh lembaga-lembaga non pemerintah yang bersinggungan langsung dengan program-program pemerintah. Pertanyaan ini bertujuan untuk melihat ada/tidaknya interaksi antara lembaga non pemerintah di kota dan kabupaten Jayapura dengan pemerintah setempat terkait programprogram yang mereka lakukan. Jawaban dari pertanyaan ini akan memberikan analisa tentang perlu atau tidaknya kerjasama antara kedua belah pihak serta hasil-hasil yang mungkin bisa dicapai dari kerjasama tersebut.
106
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Pandangan Terhadap Masyarakat Sipil dan Lembaganya. Tokoh-tokoh masyarakat memiliki pandangan tersendiri terhadap masyarakat yang selama ini mereka dampingi. Perspektif yang muncul tentu saja berangkat dari pengalaman mereka di tengah-tengah masyarakat. Ini akan membantu dalam menilai kapasitas masyarakat sipil dalam menindaklanjuti kebijakan Otsus Papua. Sebagian besar narasumber menilai kehidupan masyarakat sipil Papua tidak terlalu mengalami perubahan ke arah yang lebih baik dengan adanya Otsus Papua. Sebagian tokoh malah berpendapat ekstrem dengan mengatakan bahwa Otsus Papua bisa memicu disintegrasi sosial di Papua. Ada pula yang mengatakan bahwa Otsus dan dananya telah membangkitkan kembali sentimen kesukuan dan daerah di Papua. Ini tentu saja perspektif baru yang harus jadi perhatian serius dalam menindaklanjuti kebijakan Otsus Papua. Tentang peran lembaga masyarakat sipil, ada tokoh yang menilai bahwa sulit sekali menjalin kerjasama strategis antar lembaga dalam menindaklanjuti sebuah program kerja. Kerjasama seringkali muncul bersifat insidentil ketika ada “musuh bersama”, itu pun hanya bersifat kebijakan dan advokasi. Tetapi ada juga kerjasama yang terjalin baik antar lembaga dalam kegiatan-kegiatan pendampingan masyarakat. Narasumber menilai bahwa peran lembaga masyarakat sipil bisa ditingkatkan selama mereka masih diberikan ruang dan keleluasaan untuk kegiatan-kegiatan swadaya masyarakat di Papua. 4. Revisi Mengenai UU Otsus Papua Terkait dengan pertanyaan terakhir, pendapat dari narasumber terhadap pertanyaan mendalam ini terbelah. Pertama, ada yang memandang perlu diadakan revisi karena ada beberapa pasal yang tidak kontekstual serta tidak menjawab kebutuhan masyarakat Papua. Di samping itu UU Otsus perlu direvisi terkait dengan dinamika kewilayahan dengan pemekaran provinsi Irian Jaya Barat. Kedua, revisi perlu dilakukan tetapi dengan syarat dilakukannya terlebih dahulu dialog terbuka antara Jakarta dengan Papua sebagaimana dialog yang dilakukan antara Jakarta dan Aceh. Ketiga, tidak perlu dilakukan revisi sebab Otsus telah gagal. Dalam nada yang lebih ekstrem mereka menyatakan bahwa pada prinsipnya masyarakat Papua sebenarnya telah mengembalikan Otsus Papua ke Jakarta. Yang perlu dilakukan hanyalah dialog terbuka antara Jakarta dan Papua sebagaima dialog Jakarta dan Aceh.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
107
Perbedaaan pandangan para tokoh ini bisa dimengerti dengan melihat latar belakang organisasi, kegiatan dan interaksi yang mereka lakukan. Apapun pandangan yang muncul dari tokoh masyarakat sipil Papua terkait revisi UU Otsus ini, semuanya patut diperhatikan sebab semuanya berangkat dari realitas yang mereka lihat dalam sudut pandang yang berbeda. 5.4. Simpulan Penelitian yang dilakukan mempergunakan definisi masyarakat sipil sebagai sebuah entitas yang sadar politik dan memiliki peran tertentu dalam mendorong proses perubahan di Papua. Karena itu definisi masyarakat sipil yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kelompok masyarakat, baik lembaga maupun individu yang mewakili (1) Komunitas Adat, (2) Komunitas Agama, dan (3) Komunitas Perempuan. Dalam konteks UU Otsus Papua, ketiga komunitas ini merupakan komunitas kultural yang terwakili dalam Majelis Rakyat Papua (MRP). Penelitian menunjukkan tingginya tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap pelaksanaan Otsus Papua. Pada beberapa kasus, Otsus meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah. Kami melihat ada beberapa alasan kenapa hal itu terjadi, yakni: a.
b.
108
UU Otsus menimbulkan polemik yang tidak terselesaikan antara masyarakat Papua dengan pemerintah. Lambang dan bendera daerah misalnya. Suatu hal yang diakui dalam pasal 2 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2001 tetapi tidak mendapatkan rumusan lebih lanjut tentang lambang dan bendera seperti apa. Itu sebabnya, selama pelaksanaan Otsus yang lebih muncul adalah percikan api dari gesekan politik. Kasus pengibaran Bendera Bintang Kejora adalah contoh yang sering terjadi. Pemerintah menolak pengibaran bendera tersebut, tetapi pada sisi lain juga tidak ada definisi dan lambang bendera daerah sebagaimana dimaksud di atas; Dalam implementasinya, dimensi politik dalam penyelesaian masalah Papua jauh lebih kuat dibanding pembangunan kesejahteraaan. Sebagaimana telah kami paparkan pada bagian sebelumnya, kronologis pelaksanaan Otsus lebih banyak diisi oleh peristiwa politik seperti pemekaran, demonstrasi, pengembalian Otsus hingga Pilkada. Sangat sedikit ruang yang tersedia untuk program-program konkret meningkatkan taraf hidup masyarakat asli Papua. Akibatnya, lima tahun pelaksanaan Otsus tidak banyak perubahan yang dirasakan masyarakat;
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
c.
d.
e.
Perumusan aturan tatalaksana Otsus tidak berjalan secepat pengucuran dana Otsus. PP tentang MRP baru selesai setelah 3 tahun Otsus. Perdasus pertama baru muncul enam tahun setelah Otsus. Padahal sejak tahun 2002, dana Otsus dalam jumlah yang sangat besar terus mengucur. Akibatnya tidak ada satu kerangka aturan yang bisa menjamin dana Otsus mengalir untuk pembangunan yang berorientasi meningkatkan taraf hidup masyarakat; Evaluasi terhadap Otsus yang seharusnya dilakukan setiap tahun setelah evaluasi pertama pada tahun ketiga sebagaimana diamanatkan UU Otsus tidak dilakukan secara mendalam dan komperehensif. Akibatnya masyarakat tidak pernah mendapatkan potret pelaksanaan Otsus dalam hal pemenuhan hak-hak mendasar mereka secara utuh. Yang berkembang di tengah masyarakat adalah bahwa dana Otsus banyak diselewengkan oleh birokrasi pemerintahan; Otsus memang ter-informasikan kepada masyarakat luas (dalam hal ini di kota dan kabupaten Jayapura) tetapi tidak well-informed. Masyarakat mengetahui tentang Otsus tetapi tidak memahaminya secara menyeluruh. Dengan realitas seperti itu, Otsus berjalan menjadi kebijakan yang tidak partisipatif. Kebijakan yang dijalankan dengan satu perspektif tunggal dari pemerintah.
Secara konsep, Otsus tidak bisa dikatakan gagal tetapi dalam implementasinya Otsus juga tidak bisa dikatakan berhasil. Ini mungkin rancu, tetapi itulah kenyataan di lapangan yang kami dapatkan. Konsep Otsus tidak bisa dinilai gagal memberikan solusi, sementara implementasi dan kesiapaan tata aturan pelaksananya di lapangan tidak pernah terealisasikan. Salah satu penyebabnya adalah kurang memadainya pemahaman masyarakat tentang otonomi khusus, sehingga masyarakat cenderung mengambil jarak karena memang mereka tidak merasakan perubahan dari pelaksanaan Otsus ini. Kebijakan yang tidak dijalankan secara partisipatif telah menjadikan masyarakat hanya sekedar menjadi objek pasif. Sementara itu, peran lembaga masyarakat sipil sendiri tidak menunjukkan perannya yang penting, mengingat tingkat interaksi masyarakat lembaga masyarakat sipil masih rendah. Meskipun kelahiran Otsus berawal dari inisiatif kalangan lembaga masyarakat sipil yang tergabung dalam Foker LSM. Hal yang menarik, banyak lembaga masyarakat sipil yang memberikan peran-peran pembangunan masyarakat, khususnya di bidang kesehatan, mengalami penurunan, sementara
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
109
peran lembaga masyarakat sipil yang memasuki peran politik sebagai kelompok kepentingan dan kelompok penekan semakin meningkat. Dapat dikatakan, terdapat “pergeseran” isu dari masyarakat sipil Papua dari isuisu “pembangunan” ke isu-isu “politik”. Dari segi kemajuan dalam arti politik terjadi kemajuan, karena terbangun demokrasi yang pluralistik di Papua. Di sisi lain, terjadi penurunan peran “pembangunan” dari masyarakat sipilnya. Kondisi ini berpengaruh terhadap persepsi masyarakat terhadap komunitas sipil yang rendah.
110
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Bagian Keenam
INFRASTRUKTUR1
6.1. Muatan Kebijakan Tantangan terbesar pembangunan Papua adalah lemahnya dukungan infrasruktur fisik, khususnya dalam bentuk jalan raya, jembatan, bandar udara, pelabuhan, sarana transportasi pendukung, energi, dan telekomunikasi. Karena itu, sebagaimana dikemukakan pada Penjelasan UU Otsus, pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain. Pada dasarnya, kebijakan dan strategi pembangunan dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini diarahkan pada sasaran strategis di bidang infrastruktur, yang meliputi Transportasi Darat, Transportasi Laut, Transportasi Udara, Listrik, Pos, Telematika, Perumahan Rakyat, Air Bersih, Persampahan, gedung sekolah (SD, SMP, SMU/SMK, PT), Puskesmas, Rumah Sakit, Pasar, dan fasilitas umum.
1
Bagian ini mengambil materi dari Laporan Evaluasi Otonomi Khusus Papua Bidang Infrastruktur, 2008, Jakarta: Kemitraan untuk Tata Kelola yang Baik.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
111
6.2. Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakan percepatan pembangunan infrastruktur di bawah kebijakan Otsus dilaksanakan dalam bentuk kebijakan Alokasi dana yang digunakan pada sub Dinas di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua dari Alokasi dana Otsus. Perkembagan alokasi penggunan dana Otsus untuk Departemen Pekerjaan Umum sejak Tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 menunjukkan trend meningkat sejak tahun 2002 – 2004, sedangkan pada tahun 2004-2005 mengalami penurunan, kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2006. Gambar 6.1 Alokasi Dana Otsus untuk Dinas Pekerjaan Umum
Alokasi Otsus Rp350,000.00 Rp300,000.00 Rp250,000.00 Rp200,000.00
Alokasi Otsus
Rp150,000.00 Rp100,000.00 Rp50,000.00 Rp2002
2003
2004
2005
2006
Secara rinci, pada tahun 2001 dana untuk Sub Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Rp 41,45 milyar. Jumlah ini melonjak sejak implementasi kebijakan Otsus, di mana dana Otsus untuk DPU pada tahun 2002 menjadi Rp 279,62 milyar. Tahun 2003, dana untuk DPU meningkat menjadi Rp 320.29 milyar. Pada tahun 2004 turun menjadi Rp 311,22 milyar. Pada tahun 2005 turun kembali menjadi Rp 200,83 milyar. Pada tahun 2006 meningkat kembali menjadi Rp 311.53 milyar. Total dana Otsus untuk pembangunan infrastruktur 2002-2006 mencapai Rp 1,26 trilyun.
112
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
6.3. Kinerja Kebijakan 6.3.1. Prasarana dan Sarana Transportasi Darat Jalan. Rata-rata pertumbuhan panjang jalan sebelum otsus sebesar 8% (15.000 km) sedangkan setelah otsus pertumbuhan sebesar 12% (27.000 km),terjadi akselerasi pertumbuhan panjang jalan sebesar 5% peningkatan pertumbuhan panjang jalan. Gambar 6.2 Perkembangan Panjang Jalan Menurut Jenis Jalan Sebelum Otonomi Khusus 16000 14000 12000 10000
Jalan Negara
8000
Jalan Provinsi
6000
Jalan Kabupaten
4000 2000 0
1997
1998
1999
2000
2001
Sumber : Papua Dalam Angka 1999, 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006 dan Olah Data Gambar 6.3 Perkembangan Panjang Jalan Menurut Jenis Jalan Setelah Otonomi Khusus 25000 20000 15000
Jalan Negara Jalan Provinsi
10000
Jalan Kabupaten
5000 0
2002
2004
2005
Sumber : Papua Dalam Angka 1999, 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006 dan Olah Data
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
113
Gambar 6.4 Perkembangan Jalan menurut Jenis konstruksi jalan Sebelum Otonomi Khusus
12000 10000 8000 Aspal
6000
Diperkeras Tanah
4000 2000 0
1997
1998
1999
2000
2001
Sumber : Papua Dalam Angka 1999, 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006 dan Olah Data Gambar 6.5 Perkembangan Jalan menurut Jenis Konstruksi Jalan Setelah Otonomi Khusus
50000 40000 Aspal
30000
Diperkeras tanah
20000 10000 0
2002-2003
2004-2005
Sumber : Papua Dalam Angka 1999, 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006 dan Olah Data
Peningkatan pertumbuhan jenis konstruksi jalan mengalami perkembangan dan peningkatan yang cepat. Hal tersebut menunjukkan infrastruktur jalan merupakan prioritas perkerjaan pembangunan di tanah Papua pada masa pelaksanaan Otsus untuk membuka keterisolasian suatu desa atau kota.
114
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Trend perkembangan infrastruktur sebelum otonomi khusus untuk pertumbuhan jumlah panjang jalan mengalami peningkatan tiap tahun untuk ketiga jenis jalan tersebut (jalan negara, jalan pripinsi dan jalan kabupaten) dengan pertumbuhan panjang jalan selama 5 tahun sebesar 8,57% atau 15808.24 Km. Peningkatan panjang jalan rata- pada perlima tahun masa sesudah Otsus pertumbuhan panjang jalan 12,9% atau 27007.60 Km, sedangkan sebelum pertumbuhan panjang jalan 8,54% atau 15808.24 Km. Pertumbuhan tersebut menunjukkan adanya peningkatan pertumbuhan panjang jalan 4,36% (11199.36 Km), yang berarti terjadi akselerasi pertumbuhan panjang jalan. Jembatan. Rata-rata pertumbuhan panjang jembatan sebelum Otsus sebesar 10,27% (34.144,35 km) dan mengalami penurunan 8,7% pada tahun 2002 dan 2005. Secara jumlah panjang jembatan terjadi peningkatan pertumbuhan panjang jembatan 40.022,45 km sesudah Otsus. pertumbuhan panjang jembatan tingkat Provinsi Papua 7,9% . Gambar 6.6 Perkembangan Jumlah Panjang Jembatan Sebelum Otsus
25000
20000
15000 Beton Baja Kayu
10000
5000
0
1997
1998
2000
2001
Sumber : Papua Dalam Angka 1999, 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006 dan Olah Data
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
115
Gambar 6.7 Perkembangan Jumlah Panjang Jembatan Setelah Otsus
Sumber : Papua Dalam Angka 1999, 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006 dan Olah Data
Penurunan jumlah panjang jembatan tingkat Provinsi Papua pada tahun 2005 disebabkan pengaruh Kabupaten Sorong sudah tidak memasukkan data perkembangan kabupaten/kota untuk Provinsi Papua. Hal ini yang menyebabkan penurunan jumlah panjang jembatan tingkat Provinsi Papua. Kalau dilihat secara keseluruhan, seluruh kabupaten dan kota mengalami peningkatan pertumbuhan panjang jalan untuk Provinsi Papua dan Papua Barat. Trend Pertumbuhan panjang jambatan menurut jenis dan tingkat kabupaten’kota sebelum pelaksanaan Otsus pada tahun 1997 dan tahun 2001 mengalami trend peningkatan pertumbuhan panjang jembatan sebesar 10,27% atau 34.144,35 m. Dapat disimpulkan, sebelum pelaksanaan Otsus pertumbuhan panjang jembatan sebesar 10,27% (34.144,35 km) dan mengalami peningkatan pertumbuhan panjang jembatan 40.022,45 km dalam pelaksanaan Otsus pada tahun kelima. Dari hasil tersebut maka pertumbuhan panjang jembatan tingkat Provinsi Papua meningkat rata-rata sekitar 5878 km perlima tahun atau sama dengan 7,9% . Kendaraan. Pertumbuhan rata-rata jumlah kendaraan mengalami penurunan 0,5% (58.008 kendaraan ) sebelum Otsus dan sesudah Otsus pertumbuhan jumlah kendaraan rata–rata 3,8% (110.452 kendaraan) .Hal tersebut menunjukkan adanya pertumbuhan jumlah kendaran 31,6% (34.934 kendaraan)
116
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Gambar 6.8 Pertumbuhan Jumlah Kendaraan Sebelum Otsus
80000 70000 60000 50000
Mobil Penumpang
40000
Mobil Barang Mobil Bis
30000
Sepeda Motor
20000 10000 0
1997
1998
1999
2000
2001
Sumber : Papua Dalam Angka 1999, 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006 dan Olah Data Gambar 6.9 Pertumbuhan Jumlah Kendaraan Sebelum dan Setelah Otsus
100000 90000 80000 70000 60000
Mobil Penumpang Mobil Barang
50000 40000 30000 20000 10000 0
Mobil Bis Sepeda Motor
2002
2003
2004
2005
Sumber : Papua Dalam Angka 1999, 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006 dan Olah Data
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
117
Sedangkan pertumbuhan jumlah kendaraan menurut jenis kendaraan bermotor dan tingkat kabupaten/kota sesudah pelaksanaan Otsus di provinsi Papua, dilihat pada empat tahun terakhir sesudah pelaksanaan Otsus Papua mengalami peningkatan untuk periode tahun 2002, 2003, dan 2004. Sedangkan pada tahun 2005 mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan terjadinya pemekaran Provinsi Papua. Pada Trend pertumbuhan jumlah kendaraan tiap tahun dapat dilihat pada grafik garis pertumbuhan jumlah kendaraan Provinsi Papua sebelum pelaksanaan Otsus, grafik juga menunjukkan trend menurun mulai tahun 1998 sampai dengan tahun 2001. Trend pertumbuhan jumlah kendaraan mengalami penurunan 0,5% selama 5 tahun, sedangkan Jumlah pertumbuhan rata-rata tiap tahun 75.518 kendaraan. Dapat disimpulkan sebelum Otsus pertumbuhan rata-rata Jumlah kendaraan tiap tahun berjumlah 75.518 kendaraan dan setelah pelaksanaan Otsus pertumbuhan jumlah kendaraan selama lima tahun 3,8% (110.452 kendaraan), Hal tersebut menunjukkan adanya pertumbuhan jumlah kendaran sebanyak 34.934 kendaraan setelah Otsus, naik sekitar 31,6%. Dapat dikatakan pertumbuhan jumlah kendaraan trendnya meningkat setelah Otsus. 6.1.2. Listrik. Pertumbuhan jumlah unit tenaga listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN), kapasitas terpasang, kemampuan mesin dan beban puncak periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2004, menurut tingkat kabupaten/kota sesudah pelaksanaan Otsus di provinsi Papua dilihat pada 5 tahun terakhir, mengalami peningkatan tiap tahun. Sedangkan Trend pertumbuhan jumlah unit pembangkit listrik tiap tahun dapat dilihat pada grafik garis pertumbuhan sebelum pelaksanaan Otsus, grafik menunjukkan trend meningkat untuk periode tahun 1997 sampai dengan tahun 2001. Trend pertumbuhannya tidak terlalu melonjak tajam selama lima tahun sebelum Otsus yaitu menglami pertumbuhan rata-rata 2,8% (334.2 unit). Trend pertumbuhan jumlah pembangkit PLN tiap tahun sesudah pelaksanaan Otsus grafik menunjukkan trend meningkat pada periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2004. Trend pertumbuhannya tidak terlalu melonjak tajam selama lima tahun sebelum Otsus yaitu mengalami pertumbuhan jumlah unit PLN 8,7% atau 348.8 unit. Dapat diambil simpulan sebelum Otsus pertumbuhan rata-rata 334.2 unit tahun dan sesudah Otsus selama lima tahun 348.8 unit, menunjukkan adanya peningkatan yang tidak begitu besar pada unit pembangkit PLN sebesar 4,1% (14.8 unit).
118
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Gambar 6.10 Pertumbuhan Jumlah Unit PLN, Kemampuan Terpasang, Kemampuan Mesin dan Beban Puncak Sebelum Otsus
140000 120000 100000
Banyak Unit
80000
Kapasitas Terpasangan
60000
Kemampuan Mesin Beban Puncak
40000 20000 0
1997
1998
1999
2000
2001
Sumber : Papua Dalam Angka 1999, 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006 dan Olah Data Gambar 6.11 Pertumbuhan Jumlah Unit PLN, Kemampuan Terpasang, Kemampuan Mesin dan Beban Puncak Setelah Otsus
180000 160000 140000 120000
Banyak Unit
100000
Kapasitas Terpasangan
80000
Kemampuan Mesin
60000
Beban Puncak
40000 20000 0
2000
2001
2002
2003
2004
Sumber : Papua Dalam Angka 1999, 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006 dan Olah Data
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
119
6.1.3. Pos dan Telekomunikasi Pos. Pertumbuhan kantor pos dan giro sesudah pelasanaan Otsus ke lima tahun dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2005 menurut tingkat kabupaten/ kota mengalami perkembangan kenaikan sampai tahun 2004. Pada tahun 2005 mengalami penurunan jumlah pos dan giro. Dapat diambil simpulan pertumbuhan infrastruktur pos dan giro mengalami penurunan setelah pelaksanaan Otsus, dilihat dari sebelum Otsus 203,80 unit dan sesudah Otsus 155,25 unit, menunjukkan adanya penurunan 31%. Gambar 6.12 Banyaknya Kantor Pos dan Giro Sebelum Otosus
140 Ktr Pos & Giro
120 100
Ktr Pos & Giro Pmbt
80
Ktr Pos & Giro Tmbh
60 40
Rumah Pos 42 42 43 116 53
20
Kantor Pos
0
1997
1998
1999
2000
2001
Sumber : Papua Dalam Angka 1999, 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006 dan Olah Data
120
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Gambar 6.13 Banyaknya Kantor Pos dan Giro Setelah Otsus
1200 1000 800
Telepon Coin
600
Telepon Kartu
400
Kamar Bicara
Warung Telp
200 0
1995
1996
1997
1998
1999
2001
Sumber : Papua Dalam Angka 1999, 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006 dan Olah Data
Telekomunikasi. Infrastruktur telekomunikasi dilihat dari data sebelum Otsus dan Sesudah pelaksanaan Otsus tahun kelima menunjukkan adanya penurunan, dari 1571 unit menjadi 1492 unit. Penurunan sekitar 5,2% ini salah saru faktor penyebabnya adalah adanya pertumbuhan penggunaan handphone (HP) yang begitu pesat di tanah Papua dan pemekaran Provinsi Papua. Gambar 6.14 Banyaknya Telepon Umum Sebelum Otsus
1200 1000 800
Telepon Coin
600
Telepon Kartu
400
Kamar Bicara
Warung Telp
200 0
1995
1996
1997
1998
1999
2001
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
121
Sumber : Papua Dalam Angka 1999, 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006 dan Olah Data Gambar 6.15 Banyaknya Telepon Umum Sesudah Otsus
1400 1200 1000
Telp Coin
800
Telp Kartu Warung Telp
600
Kamar Wicara
400 200 0
2003
2004
2005
Sumber : Papua Dalam Angka 1999, 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006 dan Olah Data
6.1.4. Tempat Peribadatan Pertumbuhan banyaknya tempat peribadahan dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2001, menurut tingkat kabupaten/kota sebelum pelaksanaan Otsus di Provinsi Papua dilihat pada lima tahun terakhir, mengalami pertumbuhan dengan adanya peningkatan tiap tahunnya. sebelum Otsus 6722 tempat ibadah dan sesudah Otsus tahun kelima menunjukkan peningkatan 8199 tempat ibadah. Terjadi penumbuhan sebesar 18%.
122
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Gambar 6.16 Banyaknya Tempat Peribadatan Sebelum Otonomi Khusus
7000 6000 5000
Gereja
4000
Gereja Katolik Mesjid
3000
Pura
2000
Wihara
1000 0
1997
1998
1999
2000
2001
Sumber : Papua Dalam Angka 1999, 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006 dan Olah Data Gambar 6.17 Banyaknya Tempat Peribadatan Sesudah Otonomi Khusus
7000 6000 5000
Gereja
4000
Gereja Katolik
3000
Mesjid Pura
2000
Wihara
1000 0
2001
2002
2003
Sumber : Papua Dalam Angka 1999, 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006 dan Olah Data
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
123
6.1.5. Air Bersih Pertumbuhan banyaknya perusahaan air minum, kapasitas produksi, sumber air baku dan tenaga kerja dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2001, menurut tingkat kabupaten/kota sebelum pelaksanaan Otsus di provinsi Papua dilihat pada lima tahun terakhir, mengalami peningkatan. Pertumbuhan fasilitas air bersih sebelum Otsus, grafik tidak mengalami peningkatan atau 0% (tetap). Pertumbuhan perusahaan air minum setelah Otsus sebesar 1,8% atau 11 unit perusahaan baru/ pengelola air bersih. Menunjukkan adanya akselerasi peningkatan. Pertumbuhan banyaknya perusahaan air minum, kapasitas produksi, sumber air baku dan tenaga kerja dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2005, menurut tingkat kabupaten/ kota sesudah pelaksanaan Otsus di Provinsi Papua dilihat pada lima tahun terakhir, mengalami peningkatan pada tahun 2001 sampai dengan 2003. Sedangkan pada tahun 2004 dan 2005 mengalami penurunan. Penurunan tersebut dipengaruhi salah satunya oleh faktor pemekaran provinsi Papua. Kabupaten dan kota yang berada pada wilayah administrasi Papua Barat sudah tidak memberikan data terbaru ke Provinsi Papua. Gambar 6.18 Banyaknya Perusahaan Air Minum, Kapasitas Produksi dan Sumber Air Baku Sebelum Otonomi Khusus
1800 1600 1400 1200
Jml Perusahaan
1000
Kapasitas Potensial
800
Kapasitas Efektif
600
Tenaga Kerja
400 200 0
1997
1998
1999
2000
2001
Sumber : Papua Dalam Angka 1999, 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006 dan Olah Data
124
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Gambar 6.19 Banyaknya Perusahaan Air Minum, Kapasitas Produksi dan Sumber Air Baku Sesudah Otonomi Khusus
1600 1400 1200 Jml Perusahaan
1000
Kapasitas Potensial
800
Kapasitas Efektif
600
Tenaga Kerja
400 200 0
2001
2002
2003
2004
2005
Sumber : Papua Dalam Angka 1999, 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006 dan Olah Data
6.1.6. Prasarana Pendidikan Pertumbuhan banyaknya sekolah dirinci menurut jenisnya per kabupaten/kota di Provinsi Papua dari tahun ajaran 2000/2001 sampai dengan tahun ajaran tahun 2004, menurut tingkat kabupaten/kota sesudah pelaksanaan Otsus di Provinsi Papua pada lima tahun terakhir, mengalami pertumbuhan atau adanya peningkatan jumlah sekolah menurut jenisnya. Sedangkan pada tahun 2005 mengalami penurunan yang dipengaruhi faktor pemekaran Provinsi Papua, yang memunculkan Provinsi Papua Barat. Pada tahun ajaran 1997/1998 ke tahun ajaran 1998/1999 mengalami trend penurunan, sedangkan pada tahun ajaran 1998/1999 sampai dengan tahun ajaran 2000/2001 menunjukkan adanya pertumbuhan 0,9% atau 2747 tempat pendidikan. Pada tahun ajaran 2000/1001 sampai dengan tahun ajaran 2004 mengalami trend peningkatan, sedangkan pada tahun ajaran 2005 menunjukkan adanya penurunan fasilitas pendidikan. Penurunan fasilitas pendidikan sebesar 2,6%. Penurunan dipengaruhi pemekaran Provinsi Papua menjadi dua provinsi yakni Papua dan Papua Barat.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
125
Gambar 6.20 Pertumbuhan Banyaknya Sekolah Sebelum Otonomi Khusus 2500 2000 1500
Sekolah Dasar SLTP
1000
SLTA
500 0
1997/1998
1998/1999
1999/2000
2000/2001
Sumber : Papua Dalam Angka 1999, 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006 dan Olah Data Gambar 6.21 Pertumbuhan Banyaknya Sesudah Otonomi Khusus 2500 2000 Sekolah Dasar
1500
SLTP SLTA Umum
1000
SLTA Kejuruan
500 0
2000/ 2001
2001/ 2002
2002/ 2003
2003/ 2004
2004
2005
Sumber : Papua Dalam Angka 1999, 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006 dan Olah Data
6.1.7. Prasarana Kesehatan Trend pertumbuhan jumlah puskesmas, puskesmas pembantu, balai pengobatan swasta, dan balai pengobatan gigi Pertumbuhannya selama lima tahun sebesar 0,6% (1144 unit sarana kesehatan ) dan Setelah Otsus Pertumbuhan fasilitas kesehatan 3,8% (1198 unit sarana kesehatan) sesudah Otsus mengalami
126
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
peningkatan sekitar 4,5%. Menunjukkan adanya akselerasi peningkatan. Sedangkan Pertumbuhan banyaknya rumah sakit umum pemerintah, swasta dan TNI menurut per kabupaten kota di Provinsi Papua dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2001, sebelum pelaksanaan Otsus di Provinsi Papua pada lima tahun terakhir, mengalami penurunan untuk jumlah rumah sakit umum pemerintah. Sedangkan rumah sakit swasta meningkat dan TNI tetap. Pertumbuhan jumlah rumah sakit pemerintah, swasta dan TNI sebesar 23,4%, setelah Otsus pertumbuhannya 0,7%. Gambar 6.22 Pertumbuhan Banyaknya Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Balai Pengobatan Swasta dan Gigi Sebelum Otonomi Khusus 900 800 700
Puskesmas
600 Puskesmas Pembantu
500 400 300
Balai Pengobatan Swasta
200
Balai Pengobatan Gigi
100 0
1997
1998
1999
2000
2001
Sumber : Papua Dalam Angka 1999, 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006 dan Olah Data
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
127
Gambar 6.23 Pertumbuhan Banyaknya Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Balai Pengobatan Swasta dan Gigi Sesudah Otonomi Khusus
1000 900 800
Puskesmas
700 600
Puskesmas Pembantu
500 Balai Pengobatan Swasta
400 300
Balai Pengobatan Gigi
200 100 0
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Sumber : Papua Dalam Angka 1999, 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006 dan Olah Data Gambar 6.24 Pertumbuhan Banyaknya Rumah Sakit Sebelum Otonomi Khusus
14 12 10 8
RS. Pemerintah RS. Swasta
6
RS. TNI
4 2 0
1997
1998
1999
2000
2001
Sumber : Papua Dalam Angka 1999, 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006 dan Olah Data
128
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Gambar 6.25 Pertumbuhan Banyaknya Rumah Sakit Sesudah Otonomi Khusus 12 10 8 RS. Pemerintah
6
RS. Swasta RS. TNI
4 2 0
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Sumber : Papua Dalam Angka 1999, 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006 dan Olah Data
6.4. Simpulan Secara umum terdapat kemajuan yang penting dalam bidang Infrastruktur di Papua pasca Otsus, yaitu pada Prasarana dan Sarana Transportasi Darat, Listrik, Pos dan Telekomunikasi, Tempat Peribadatan, Air Bersih, Prasarana Pendidikan, dan Prasarana Kesehatan. Kemajuan ini masih dapat ditingkatkan lagi, karena pada tahun 2001-2006, total dana Otsus untuk pembangunan infrastruktur mencapai Rp 1,26 trilyun, atau sekitar 13,62% dari total dana Otsus tahun 20022006 yang mencapai Rp 9,25 trilyun.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
129
130
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Bagian Ketujuh
EKONOMI KERAKYATAN1
1. Muatan Kebijakan Salah satu pemahaman yang masih ambigu adalah pemahaman berkenaan dengan istilah “ekonomi kerakyatan”. Namun demikian, pemahaman umum, yang juga dianut oleh Pemerintah, adalah perekonomian yang berbasis setempat, pelaku lokal, mempunyai skala usaha menengah, kecil, hingga mikro, dan mempunyai bentuk usaha formal maupun informal. Salah satu bentuk usaha yang dimasukkan pada pemahaman “ekonomi kerakyatan” adalah koperasi. Jenis usaha ekonomi kerakyatan biasanya terikat dengan kondisi lokal, misalnya usaha pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kelautan, industri kecil atau juga disebut sebagai industri kerajinan, dan makanan, dan perdagangan berskala menengah hingga mikro. Pemahaman ini yang juga diambil dalam evaluasi pengembangan ekonomi kerakyatan di Papua di era Otsus. Kebijakan pengembangan ekonomi kerakyatan tidak dicantumkan secara khusus pada UU Otsus. Meskipun demikian, terdapat sejumlah pasal yang dapat dikaitkan dengan usaha untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan. Pada pasal 42 ayat (1) UU Otsus disebutkan bahwa “Pembangunan perekonomian berbasis 1 Bagian ini mengambil materi dari Laporan Evaluasi Otonomi Khusus Papua Bidang Ekonomi Kerakyatan, 2008, Jakarta: Kemitraan untuk Tata Kelola yang Baik.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
131
kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat”. Selanjutnya disebutkan juga bahwa “Penanam modal yang melakukan investasi di wilayah Provinsi Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat” dan bahwa “Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi, Kabupaten/ Kota, dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat”. Pada bagian terakhir pada pasal 42 disebutkan bahwa “Pemberian kesempatan berusaha sebagaimana dimaksud (pasal 42 ayat (1)) dilakukan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat adat agar dapat berperan dalam perekonomian seluas-luasnya”. Di tingkat daerah, belum didapatkan kebijakan yang merupakan penerjemahaman secara operasional dari kebijakan UU Otsus ini, baik dalam bentuk Perda Khusus (Perdasus) maupun Perda Provinsi (Perdasi). 7.2. Implementasi dan Kinerja Kebijakan 7.2.1. Kota Sorong Pertanian. Pada masa Otsus dilaporkan terdapat kemajuan dalam produksi pertanian di Kota Sorong. Perkembangan produksi pertanian meningkat untuk semua komoditi, dengan pertumbuhan paling tinggi pada produksi buah-buahan, ubi kayu, ubi jalar, dan jagung. Tiga komoditi terakhir merupakan kelompok makanan pokok lokal. Pada tahun 2001 (sebelum Otsus) produksi buah-buahan hanya 56 ton/tahun, meningkat menjadi 304 ton/tahun pada tahun 2005. Produksi ubi kayu pada tahun 2001 adalah 339 ton, meningkat menjadi 550 ton pada tahun 2005. Produksi ubi jalar pada tahun 2001 adalah 92 ton, meningkat menjadi 262 ton pada tahun 2005. Produksi jagung pada tahun 2001 adalah 3,75 ton, meningkat menjadi 66 ton pada tahun 2005. Tidak terdapat laporan luas lahan pertahun dan perkembangannya sebelum dan setelah Otsus. Perkebunan. Pada masa Otsus dilaporkan terdapat kemajuan yang terbatas dalam produksi perkebunan di Kota Sorong. Perkembangan produksi perkebunan mengalami peningkatan penting hanya untuk komoditi kelapa, di mana produksi pada tahun 2001 adalah 4 ton, meningkat menjadi 156 ton pada tahun 2005. Komoditi jambu mete, hingga tahun 2004 tidak ada produksi, namun pada tahun 2005 dilaporkan memproduksi 125 ton. Komoditi penting, yaitu coklat merosot dari 34 ton pada tahun 2001 menjadi 3 ton pada tahun 2005.
132
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Perikanan. Komoditas perikanan di Kota Sorong adalah udang beku, ikan kaleng, tuna, cakalang, tepung ikan, dan ikan kayu. Pada tahun 2000 total produksi untuk seluruh komoditi mencapai 1.187,62 ton, meningkat menjadi 1.193,83 ton di tahun 2001, menurun drastis pada tahun 2002 menjadi 331,48 ton. Pada tahun 2002 meningkat menjadi 341,91 ton, dan tahun 2004 meningkat kembali menjadi 439 ton. Peternakan. Populasi ternak potong –sapi, babi, kambing—mengalami fluktuasi sepanjang implementasi Otsus. Pada tahun 2001 populasi ternak potong mencapai 2.960 ekor, meningkat menjadi 3.447 pada tahun 2002, meningkat kembali menjadi 4.212 pada tahun 2003, pada tahun 2004 menurun menjadi 1.612 ekor. Pada tahun 2005 dilaporkan meningkat kembali menjadi 4.634. Untuk populasi ternak unggas mengalami kemajuan penting, dari populasi 36.175 pada tahun 2001 menjadi 360.766 pada tahun 2005. Industri. Industri kecil mengalami peningkatan setelah Otsus, dari 463 unit usaha pada tahun 2001 menjadi 447 pada tahun 2005. Nilai investasi meningkat dari Rp 16,39 milyar menjadi Rp 21,62 milyar pada tahun 2005. Nilai produksi meningkat dari Rp 9,87 juta menjadi Rp 16,51 juta. Secara keekonomian, dapat dikatakan terdapat pertumbuhan, tetapi masih di bawah potensi yang dapat dicapai maupun terhadap rerata laju pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi selama 5 tahun berjalan. 7.2.2.Kabupaten Manokwari. Industri. Industri kecil di Manokwari didominasi oleh industri kimia dan bahan bangunan. Pada kelompok ke dua terdapat usaha makanan-minuman dan tembakau. Pada kelompok ke tiga terdapat industri sandang dan kulit, disusul usaha kerajinan dan umum. Pada tahun 2004 berjumlah 284 unit dengan tenaga kerja 2.854 pekerja. Pada tahun 2005 jumlah tersebut meningkat menjadi 362 unit usaha, tetapi pekerja yang diserap menurun menjadi 1.010 pekerja. 7.2.3. Kabupaten Jayapura. Pertanian. Produksi pertanian di Kabupaten Jayapura mengalami penurunan semenjak Otsus. Alasan yang dikemukakan adalah adanya pemekaran wilayah Kabupaten, yang mengurangi areal lahan pertanian di Kabupaten Jayapura. Pada tahun 2001 produksi padi mencapai 9.251 ton, pada tahun 2005 merosot menjadi 2.917 ton. Produksi jagung menurun dari 3.228 ton pada tahun 2001 menjadi
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
133
487 ton pada tahun 2005. Produksi kedelai menurun dari 3.512 ton pada tahun 2001 menjadi 795 ton pada tahun 2005. Ubi jalar menurun dari 7.638 ton pada tahun 2001 menjadi 2.885 pada tahun 2005. Produksi yang mengalami sedikit penurunan adalah ubi kayu, dari 4.830 ton pada tahun 2001 menjadi 3.070 ton pada tahun 2005. Perkebunan. Produksi tiga komoditi utama perkebunan di Kabupaten Jayapura, yaitu kakao, kelapa (kopra), dan buah pinang, mengalami penurunan setelah Otsus. Pada tahun 2001 produksi kakao mencapai 3.443 ton, menurun menjadi 1.882 ton pada tahun 2005. Produksi kelapa menurun dari 3.325 ton pada tahun 2001 menjadi 1.035 ton pada tahun 2005. Kenaikan hanya terjadi pada komoditi kopi, dari 29 ton pada tahun 2001 meningkat menjadi 76 ton pada tahun 2005. Penyebab utama adalah terjadi penurunan jumlah lahan untuk perkebunan tersebut. Luas lahan untuk perkebunan kakao menurun dari 6.969 hektar pada tahun 2001 menjadi 4.238 hektar pada tahun 2005. Luas lahan untuk perkebunan kelapa menurun dari 5.447 hektar pada tahun 2001 menjadi 1.882 hektar pada tahun 2005. Luas lahan untuk perkebunan kopi menurun dari 195 hektar pada tahun 2001 menjadi 133 hektar pada tahun 2005. Luas lahan untuk perkebunan pinang menurun dari 297 hektar pada tahun 2001 menjadi 121 hektar pada tahun 2005. Peternakan. Produksi sapi potong pada tahun 2001 adalah 750 ekor, meningkat menjadi 1.803 ekor pada tahun 2005. Produksi kambing potong pada tahun 2001 adalah 370 ekor, meningkat menjadi 846 ekor pada tahun 2005. Produksi babi potong pada tahun 2001 adalah 674 ekor, meningkat menjadi 1.261 ekor pada tahun 2005. Kredit Usaha Kecil (KUK). Setelah Otsus ditemukan penurunan kredit yang disalurkan kepada KUK. Pada tahun 2001 tahun jumlah kredit yang disalurkan kepada KUK senilai Rp 216,24 milyar, pada tahun 2005 jumlah tersebut menurun menjadi Rp 139,03 milyar. Namun demikian, terjadi perubahan komposisi kredit. Pada tahun 2001, sebesar 67,2% kredit disalurkan untuk kredit konsumsi, 24,5% untuk modal kerja, dan 8,3% untuk investasi. Pada tahun 2005 komposisinya adalah 58,3% untuk modal kerja, 15,8% untuk investasi, dan 29,9% untuk kredit konsumsi. 7.3. Simpulan Perkembangan ekonomi rakyat pasca Otsus seharusnya meningkat pesat, terutama karena adanya injeksi finansial dan berkembangnya ruang untuk
134
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
pengembangan ekonomi secara otonom dan “dari dalam” (indigenous). Namun, di dalam perkembangannya, sebagian besar sektor ekonomi kerakyatan menurun, terutama di sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan, serta mengalami perkembangan di bawah harapan untuk usaha kecil menengah dan peternakan.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
135
136
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Bagian Kedelapan
SIMPULAN
8.1. Wajah Otsus Penelitian evaluatif tentang kinerja Otsus selama lima tahun pelaksanaan (20022007) yang dilaksanakan, memberikan gambaran penting untuk pertanyaan dasarnya adalah, bagaimana kinerja kebijakan Otsus selama ini, khususnya berkenaan dengan transfer dana Otsus dalam jumlah yang cukup memadai untuk percepatan pembangunan di Papua. Arti penting evaluasi ini karena hingga hari ini “wajah Otsus” lebih berupa besaran Rupiah yang ditransfer Pusat ke otoritas lokal di Papua. Data berikut ini menggambarkan besaran “wajah otsus” tersebut. Tabel 8.1 Dana Otsus Dari Tahun ke Tahun Tahun
Dana Otsus
2002
1.382.300.000.000
2003
1.539.560.000.000
2004
1.642.617.943.000
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
137
2005
1.775.312.000.000
2006
2.913.218.000.000
2007
3.274.230.000.000
Tabel 8.2 Alokasi Dana Otsus Kabupaten/Kota Tahun 2002-20061 No
Kabupaten/ Kota
2002*
2003*
2004**
2005**
2006**
1
Jayapura
44,211,223,000
46,896,453,200
35,948,360,000
28,300,000,000
54,471,669,000
2
Yapen Waropen
42,178,711,000
39,690,430,400
32,972,330,000
27,500,000,000
54,082,610,000
3
Biak Numfor
40,061,008,000
32,569,163,400
35,191,760,000
28,500,000,000
55,768,530,000
4
Merauke
33,829,019,000
38,300,244,200
33,931,570,000
28,500,000,000
55,314,628,000
5
Jayawijaya
40,991,242,000
33,998,110,000
36,280,460,000
29,000,000,000
61,604,407,000
6
Paniai
37,995,981,000
33,648,926,200
36,465,300,000
30,300,000,000
59,788,801,000
7
Puncak Jaya
47,100,779,000
56,301,018,600
39,715,730,000
30,300,000,000
61,150,505,000
8
Mimika
25,562,455,000
37,051,774,200
37,191,760,000
28,600,000,000
55,768,530,000
9
Nabire
41,915,130,000
35,676,506,200
35,667,790,000
29,000,000,000
53,109,964,000
10
Kota Jayapura
37,060,652,000
33,852,196,400
33,407,600,000
27,100,000,000
52,656,062,000
11
Waropen
-
5,000,000,000
30,927,980,000
30,100,000,000
56,092,745,000
12
Asmat
-
5,000,000,000
38,845,190,000
31,500,000,000
61,798,936,000
13
Boven Digoel
-
5,000,000,000
32,972,330,000
30,100,000,000
59,983,330,000
14
Mappi
-
5,000,000,000
32,972,330,000
30,100,000,000
59,723,958,000
15
Sarmi
-
5,000,000,000
33,232,589,000
30,250,000,000
57,584,136,000
16
Keerom
-
5,000,000,000
31,411,190,000
30,000,000,000
57,000,549,000
17
Tolikara
-
5,000,000,000
34,050,260,000
31,000,000,000
61,798,937,000
1 Laporan Pengelolaan Dana Penerimaan Khusus dalam Rangka Pelaksanaan Otsus Papua 2002-2006, Pemprov Papua, 2007
138
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
18
Pegunungan Bintang
-
5,000,000,000
34,050,260,000
31,000,000,000
61,798,937,000
19
Yahukimo
-
5,000,000,000
38,622,170,000
31,500,000,000
61,798,937,000
20
Supiori
-
-
29,292,500,000
29,500,000,000
50,710,777,000
21
Kaimana
-
5,000,000,000
32,191,760,000
30,000,000,000
55,768,530,000
22
Teluk Wondama
-
5,000,000,000
33,232,520,000
30,000,000,000
54,731,040,000
23
Teluk Bintuni
-
5,000,000,000
32,191,760,000
30,000,000,000
55,768,530,000
24
Sorong Selatan
-
5,000,000,000
20,229,438,000
29,500,000,000
55,481,804,000
25
Raja Ampat
-
5,000,000,000
19,315,056,000
30,750,000,000
57,000,549,000
26
Fak-Fak
30,692,465,000
32,030,539,400
32,712,140,000
28,200,000,000
56,481,804,000
27
Manokwari
46,705,447,000
34,294,802,200
32,448,360,000
28,300,000,000
54,471,668,000
28
Sorong
48,754,557,000
37,956,002,000
30,927,980,000
29,000,000,000
53,563,865,000
29
Kota Sorong
35,711,331,000
43,246,219,600
33,407,600,000
27,100,000,000
52,656,062,000
552,770,000,000
605,512,386,000
959,806,073,000
855,000,000,000
1,647,930,800,000
Total
Ket: (*) perimbangan alokasi dana Otsus kab/kota 40%, provinsi 60%, (**) Kab/kota 60%, Provinsi 40%.
8.2. Model Penilaian Evaluasi Pada laporan di atas ditunjukkan bahwa kebijakan otonomi khusus memberikan kontribusi yang penting dalam enam sektor kebijakan, yaitu: 1. kebijakan umum 2. kebijakan bidang kesehatan 3. bidang pendidikan 4. kebijakan bidang infrastruktur 5. kebijakan pengembangan masyarakat sipil 6. Kebijakan pengembangan ekonomi kerakyatan Evaluasi dilakukan pada dimensi muatan atau rumusan kebijakan, implementasi kebijakan, dan kinerja kebijakan2. Dimensi evaluasi kebijakan adalah rumusan, implementasi, kinerja, dan lingkungan. 2 Untuk pendekatan ini, lihat Riant Nugroho, Public Policy, Jakarta: Elex/Gramedia, 2008. Dimensi evaluasi kebijakan adalah rumusan, implementasi, kinerja, dan lingkungan. Pada evaluasi ini, materi yang tidak tersedia adalah lingkungan, sehingga tidak dilakukan evaluasi.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
139
Gambar 8.1 Rangkaian kebijakan
Pada evaluasi ini, materi yang tidak tersedia adalah lingkungan kebijakan, sehingga tidak dilakukan evaluasi. Penilaian dalam bentuk skala nilai pilah tiga: (1) Tidak ada. Dengan penjelasan: Untuk “muatan kebijakan” bermakna “tidak ada kebijakan yang mendukung”. Untuk implementasi bermakna “tidak ada implementasi kebijakan”. Untuk kinerja bermakna “tidak ada kinerja kebijakan”. (2) Ada tidak memadai. Dengan penjelasan: Untuk “muatan kebijakan” bermakna “ada kebijakan yang mendukung tetapi tidak memadai”. Untuk implementasi bermakna “ada implementasi kebijakan tetapi tidak memadai untuk mencapai kinerja yang diharapkan”. Untuk kinerja bermakna “ada kinerja kebijakan tetapi tidak memadai”. (3) Ada dan memadai. Dengan penjelasan: Untuk “muatan kebijakan” bermakna “ada kebijakan yang mendukung dan sudah memadai”. Untuk implementasi bermakna “ada implementasi kebijakan dan memadai untuk mencapai kinerja yang diharapkan”. Untuk kinerja bermakna “ada kinerja kebijakan dan memadai atau mendekati yang diharapkan”.
140
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
8.3. Penilaian Evaluasi Dengan mempergunakan pendekatan di atas, kinerja Otsus dapat dipetakan melalui tabel hasil evaluasi berikut ini: Tabel 8.3 Penilaian atas Hasil Evaluasi Otsus3 Kebijakan
Muatan
implementasi
Kinerja
kebijakan umum
2 ke 3
2
2
Kesehatan
2 ke 3
2
2
Pendidikan
2 ke 3
1 ke 2
1 ke 2
infrastruktur
2
1 ke 2
2
masyarakat sipil
1
1 ke 2
1 ke 2
1 ke 2
1 ke 2
1 ke 2
ekonomi kerakyatan
Dari gambaran tersebut dapat dikatakan bahwa rata-rata kinerja Otsus untuk keenam sektor kurang dari 2 atau “ada kinerja, tetapi tidak memadai”. Kondisi ini disebabkan karena kebijakan yang ada belum mengandung muatan atau rumusan yang mendukung implementasi, baik kebijakan di tingkat pusat (UU Otsus) maupun di tingkat daerah (Provinsi). Secara politis, kondisi muatan kebijakan berada pada rerata penilaian 2 ke 3, kecuali untuk kebijakan masyarakat sipil dan ekonomi kerakyatan. Namun, kebijakan ini masih memerlukan kejelasan pemahaman untuk dapat dilaksanakan. Dapat dikatakan, masih diperlukan rumusan kebijakan yang bersifat operasional dan dapat dilaksanakan sesuai dengan kondisi daerah. Rumusan kebijakan yang baik adalah rumusan yang membuat pelaksananya dapat melaksanakan dengan mudah sesuai dengan kemampuannya dan akhirnya mudah pula dalam mencapai kinerja yang sudah dirancang. Salah satu pendekatannya adalah dengan memahami tipologi atau karakter dan keragaman masyarakat yang hendak dibangun, agar rancangan pembangunan sesuai dengan mereka yang akan dibangun –tailored-made model of development srategy.4 3 Skoring pada penilaian ini didasarkan kepada model penelitian grounded. Metode penilaian dengan model grounded ini digunakan antara lain dalam Nina Shatifan, Rahmi Yunita, Riant Nugroho, Dwidjowijoto and Muhamad Abas, 2004, Thematic Assessments on Strengthening Local Governance Central Sulawesi and North Maluku, UNDP-Bappenas.
4 Untuk Tipologi Sistem Politik Masyarakat Adat di Papua, lihat tabel 1.1. pada Bab I.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
141
Faktor lemahnya implementasi –dengan rerata 1 ke 2-- menentukan rendahnya kinerja kebijakan. Lemahnya implementasi disumbangkan oleh lemahnya muatan kebijakan dan lemahnya kelembagaan di tingkat pelaksana (Provinsi dan Kabupaten/Kota). Secara keseluruhan, penilaian evaluasi dari muatan, implementasi, dan kinerja kebijakan terhadap enam sektor, divisualisasikan secara sederhana sebagai berikut:
Gambar 8.2 Rangkaian Evaluasi Jadi dapat disimpulkan dari sisi muatan, rumusan kebijakan yang ada telah memadai, namun masih perlu ditingkatkan dimensi manajerialnya (atau managerial quality of the policy), agar dapat diimplementasikan secara efektif, khususnya rumusan kebijakan di tingkat daerah/lokal.
142
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Dari sisi implementasi, belum tingginya kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia untuk menyelenggarakan Otsus di satu sisi, dan rumusan kebijakan yang masih kurang tinggi kualitas implementabiltasnya (atau disebut sebagai managerial quality sebagaimana disebut di atas), mengakibatkan kualitas implementasi tidak memadai. Impak dari kegagalan implementasi, baik disebabkan oleh faktor implementasi maupun faktor rumusan/muatan kebijakannya sendiri, menjadikan kinerja otonomi khusus belum dapat mencapai sebagaimana yang dikehendaki, baik dari sisi capaian yang tangible, yaitu kinerja-kinerja yang dapat diukur dengan indikator kuantitatif, maupun capaian yang bersifat intangible berupa tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelaksanaan kebijakan otonomi khusus. 8.4. Simpulan Umum Secara umum, disimpulkan bahwa kinerja Otsus selama lima tahun implementasi masih belum mencapai kinerja yang diharapkan. Special-Autonomy dari Papua masih banyak difahami sebagai Special-Automoney. Kelemahan kinerja tersebut ditunjukkan dari pernyatan resmi yang disampaikan oleh pejabat Pemerintah Daerah pada berbagai kesempatan. Salah satu pernyataan resmi yang dinilai signifikan sebagai indikator rendahnya kinerja Otsus adalah pernyataan Gubernur Barnabas Suebu pada Sidang Paripurna perdana pembahasan RAPBD Papua Tahun Anggaran 2007, Februari 2007. Pada pertemuan tersebut Gubernur menyampaikan --berdasarkan laporan data statistik-- Rumah Tangga (RT) miskin di Papua tercatat sebanyak 480.578 atau sama dengan 81,52% dari total rumah tangga yang ada. Angka ini kurang lebih setara dengan 72,72% penduduk asli Papua yang tingkat kehidupannya dikategorikan miskin, bahkan miskin absolut. 70% penduduk asli Papua berdomisili di 2.593 Kampung5 yang tersebar di 254 distrik (kecamatan). Dapat dikatakan, keseluruhan kampung tersebut dalam kondisi di bawah sejahtera, khususnya dalam ukuran ke-modern-an. Otsus dirancang untuk fokus kepada pengembangan masyarakat yang hidup di kampung ini.
5 Secara penggunaan kata, kampung adalah sebuah kawasan setara dengan desa namun letaknya di perkotaan. Kata kampung di Papua lebih berkonotasi kawasan bukan perkotaan, atau suatu kawasan perdesaan. Namun demikian, kondisi desa dimaksud di Papua berbeda dengan kondisi di Jawa, khususnya dalam konteks tingkat keterbelakangan.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
143
Laporan Pemerintah Provinsi Papua menyebutkan pada tahun 2007 terdapat 480.578 rumah tangga miskin di Provinsi Papua, atau sama dengan 81,52% dari total rumah tangga yang ada. Angka ini kurang lebih setara dengan 72,72% penduduk Papua yang dikategorikan miskin, atau bahkan miskin absolut. Dengan perkataan lain, penduduk di semua kampung, di seluruh pelosok Papua, tanpa kecuali, adalah orang-orang miskin-papa, yang harus memperoleh perhatian utama dalam seluruh kebijakan dan program pembangunan di tanah Papua6. Laporan BPS Maret 2007 menyebutkan, jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Papua pada bulan Maret 2007 sebesar 793,4 ribu (40,78%), sedangkan di Papua Barat pada periode yang sama sebesar 266.8 ribu (39,31%). Total penduduk miskin di kedua provinsi tersebut pada bulan Maret 2007 berjumlah 1.060,2 ribu. Dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Juli 2005 yang berjumlah 1.028,2 ribu (40,83%), berarti jumlah penduduk miskin naik sebesar 32 ribu atau 3,1% pada periode 2005-20077. Tabel 8.4 Penduduk Miskin Papua 1999-2006 Tahun
Jumlah (dalam ribuan jiwa)
1999
1.148,7
2000
970,9
2001
900,8
2002
984,7
2003
917,0
2004
956,8
2005
1.028,2
2006
1.060,2
2007
793.4
Sumber : BPS 2007
6 Gubernur Barnabas Suebu pada Pembukaan Rapat Paripurna DPRP dalam rangka Pengesahan Raperdasus Pembagian Dana Otsus, Raperdasi Tata Cara Persetujuan MRP, dan Raperdasi Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRP, Kamis 1 Februari 2008 7 Laporan BPS, Maret 2007
144
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Selama periode Juli 2005-Maret 2007, terjadi penambahan penduduk miskin di daerah perdesaan sebesar 38 ribu orang, sementara di daerah perkotaan penduduk miskinnya berkurang sebanyak 6 ribu orang8. Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada bulan Maret 2007, mayoritas (95,54%) penduduk miskin berada di daerah perdesaan. Dibanding periode Juli 2005, persentase penduduk miskin di perkotaan turun sebesar 0,7% menjadi 5,15% pada Juli 2005 dan 4,46% pada Maret 2007. Sementara penduduk miskin di pedesaan mengalami kenaikan9. Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada bulan Maret 2007, sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan sebesar 77,76%. Dilihat antar daerah, peranan komoditi makanan di perkotaan sebesar 63,82% sementara di pedesaan sebanyak 84,03% merupakan sumbangan dari komoditi makanan10. Pada periode Juli 2005-Maret 2007, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan kecenderungan menaik meskipun besarannya kecil. Ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin menjauh dari garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin melebar. Pada gambar berikut kita dapat melihat kondisi kedalaman dan keparahan kemiskinan pada Provinsi Papua11.
8 Laporan BPS, Maret 2007 9 Laporan BPS, Maret 2007 10 Laporan BPS, Maret 2007 11 ����������������������������������������������������������������������������� Publikasi awal Millenium Development Goals di Provinsi Papua dan Papua Barat.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
145
Gambar 8.3. Kondisi Kedalaman (P1) dan Keparahan (P2) Kemiskinan di Papua
Simpulan sementara adalah kemiskinan di Papua tetap memprihatinkan, baik dilihat dari segi rerata kemiskinan di dalam Papua, juga dibandingkan dengan tingkat kemiskinan nasional yang pada tahun 2008 sudah menurun menjadi 16,58%. Kondisi ini diperkuat dengan perkembangan PDRB Papua yang mengalami penurunan persentase pertumbuhan antara tahun 2005-2007. Pada tahun 2005 pertumbuhan PDRB mencapai 36,4%, jauh di atas rata-rata pertumbuhan PDRB yaitu 5,38%. Namun demikian, angka sementara pada tahun 2006 menunjukkan bahwa pertumbuhan PDRB menurun menjadi -17,20%, atau mengalami penurunan 53,60%. Data sementara pada tahun 2007 menunjukkan pertumbuhan PDRB -17,96%12. Otsus telah memperkuat kelembagaan pemerintahan dan masyarakat di tingkat 12 ���������������������������������������������������������������������� Bappenas, Laporan Pekembangan Mutakhir Beberapa Indikator Terpilih 33 Provinsi di Seluruh Indonesia
146
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
lokal. Otsus juga mendapatkan dukungan dana khusus yang jumlahnya semakin meningkat sejak 2002-2007. Namun demikian, dalam perkembangannya, injeksi dana Otsus, di luar ketiga dana perimbangan, belum menunjukkan keterkaitan dengan upaya penanggulangan kemiskinan di Papua. Tabel berikut memberikan perbandingan antara perkembangan jumlah dana otonomi khusus dengan tingkat kemiskinan. Tabel 8.5 Perbandingan Dana Otsus Dengan Tingkat Kemiskinan Dana Otsus (trilyun rupiah)
Jumlah penduduk miskin (%)
2002
1.382.300.000.000
41,80
2003
1,539,560,000,000
39,03
2004
1,642,617,943,000
38,69
2005
1,775,312,000,000
40,83
2006
2,913,218,000,000
40,40
2007
3,274,230,000,000
40,78
Tahun
Sumber : BPS 2007
Gambaran tersebut memberikan simpulan bahwa kebijakan Otsus yang telah mendapatkan dukungan besar di tingkat nasional, penguatan kelembagaan di tingkat lokal, sehingga menyerap anggaran yang besar, secara umum belum menghasilkan kinerja kebijakan sebagaimana yang diharapkan.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
147
Bagian Kesembilan
PEMBELAJARAN
9.1. Pendekatan Pembelajaran Kebijakan Penyebab rendahnya kinerja suatu kebijakan tidak pernah tunggal. Sebagaimana dikemukakan di atas, maka setiap kebijakan senantiasa merupakan suatu rangkaian rumusan, implementasi, lingkungan, dan kinerja kebijakan itu sendiri. Gambar 9.1 Rangkaian Kebijakan
148
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
9.2. Rumusan Kebijakan Dari segi rumusan atau muatan kebijakan, Kebijakan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang diturunkan dari Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 Bab IV huruf (g) angka 2 dan Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, sudah memadai. Terlebih, pada tanggal 16 April 2008, berhubungan dengan pemekaran Provinsi Papua menjadi Provinsi Papua dan Papua Barat (sebelumnya Irian Jaya Barat), telah diterbitkan Perpu No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 21 Tahun 2001 yang menyebutkan bahwa Otsus diberikan untuk Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Agenda untuk merubah, menyempurnakan, atau melengkapi dapat diajukan, namun berpotensi untuk membelokkan upaya untuk menemukan faktor kunci yang selama ini menjadi kendala untuk mencapai kinerja Otsus itu sendiri. Dari pemetaan di atas, kebutuhan pertama adalah membangun kebijakan pelaksana di tingkat daerah, dalam bentuk kebijakan publik di tingkat Daerah (Perdasi, Perdakab, Perdakot, Perdasus) yang bermuatan strategi manajemen untuk melaksanakan kebijakan Otsus. Fokus dari kebijakan yang hendak dikembangkan dapat mengacu kepada ke enam sektor yang dievaluasi di depan, yaitu 1. 2. 3. 4. 5. 6.
kebijakan umum kebijakan bidang kesehatan bidang pendidikan kebijakan bidang infrastruktur kebijakan pengembangan masyarakat sipil Kebijakan pengembangan ekonomi kerakyatan
Dengan demikian, rekomendasi pertama adalah merumuskan regional strategic management yang sesuai dengan kebijakan Otsus dan kemampuan dari lembaga pemerintahan dan masyarakat di tingkat daerah untuk melaksanakannya. Untuk itu, disarankan agar rumusannya bersifat dapat dilaksanakan (manage-able) dalam kondisi lokal, utamanya dalam bentuk prioritas yang sesuai dengan kapasitas lokal, dan penahapan yang tepat.
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
149
9.3. Implementasi Kebijakan Rekomendasi kedua adalah melakukan upaya membangun kapasitas kelembagaan dan manusia di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, sebagai pelaku utama implementasi Otsus. Tantangan terbesar bagi implementasi Otsus adalah bagaimana melaksanakannya tanpa tergantung kepada lembaga dan sumberdaya manusia yang tidak terdapat di Papua dan Papua Barat. Hanya warga Papua dan Papua Barat yang dapat melakukan implementasi kebijakan secara lebih efektif. Tantangan terbesar adalah membangun birokrasi pemerintahan lokal. Secara akademis dapat dikatakan bahwa birokrasi yang diterapkan di Papua lebih mendekati pengertian Weber tentang “dominasi patrimonial”, jabatan dan perilaku dalam keseluruhan hirarki lebih didasarkan pada hubungan pribadi dan hubungan patron-klien.1 Ciri-ciri dominasi birokrasi patrimonial menurut Weber ini adalah: pertama, pejabat-pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi dan politik. Kedua, Jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan atau keuntungan. Ketiga, pejabat-pejabat mengontrol, baik fungsi politik maupun administratif, karena tidak ada pemisahan antara sarana-sarana produksi dan administrasi. Dan keempat, setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.2 Dalam masyarakat yang mengenal sistem monopoli atas penguasaan sumber daya seperti sistem politik pewarisan, maka cenderung terbentuk bibit pola patron-klien di masyarakat. Akibatnya kecenderungan korupsi menguat manakala unit-unit keluarga suku masuk dan menguasai struktur pemerintahan. Kecenderungan pemekaran daerah turut andil dalam memperkuat dominasi dari formasi suku dominan untuk menguasai struktur pemerintah. Gejala membelah diri yang cepat di beberapa daerah banyak menguntungkan suku-suku yang secara teritori memiliki cakupan luas dengan jumlah klan yang besar. Mobilisasi suku jauh lebih efektif manakala sistem patron-klien yang berkembang di internal suku kuat, dalam arti elit-elit suku mampu membeli loyalitas itu dengan cumacuma lewat legitimasi kekerabatan dan hukum adat sehingga peluang elit suku untuk berkuasa melalui struktur pemerintah jauh lebih menjanjikan. Akulturasi budaya birokrasi menjadi suatu yang mendesak dibutuhkan, terlebih budaya birokrasi-responsif. Persoalannya, instalasi budaya butuh waktu lama sedangkan 1 Syukur Abdullah, “Budaya Birokrasi di Indonesia” dalam Alfian dan Nazaruddin Sjamsuddin (eds), Profil Budaya Politik Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1991, hal. 22. 2 S.N. Eisenstadt, Traditional Patrimonialism and Modern Neo-patrimonialism, Sage Publication, Beverly Hills, California, 1973, hal. 5, dalam Priyo Budi Santoso, op. cit., hal. 23.
150
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
pemerintahan butuh pemahaman yang cepat agar roda pelayanan publik segera berjalan. Barangkali ini yang menjadi dilema manajemen sumber daya manusia (SDM) di Papua manakala dihadapkan pada tantangan menyiapkan SDM yang terampil, responsif dan bermoral. Tantangan membangun kelembagaan berhadapan dengan isu pelik: pemekaran wilayah. Pasca otsus digulirkan tahun 2002, hingga tahun 2007 sudah terbentuk 15 kabupaten pemekaran baru yang hampir seluruhnya belum diketahui evaluasi menyeluruh atas kinerja pemerintahan pasca pemekaran. Namun, hasil studi dari beberapa daerah pemekaran di luar ke 15 kabupaten baru di Papua, masalah muncul manakala pemisahan diri dari daerah induk tidak diikuti oleh persiapan manajemen transisi di daerah pemekaran. Terlebih jika sumber daya aparatur di daerah induk juga tidak memadai, yang terjadi adalah disposisi ini membuat birokrasi pemerintah di daerah induk juga tertatih-tatih. Di daerah hasil pemekaran, permasalahan ini terutama mencakup beberapa hal:3 1. Bidang Pemerintahan a. Keterbatasan sumberdaya aparatur, baik dari sisi jumlah, kualifikasi administratif (seperti golongan kepegawaian sebagai prasyarat untuk menduduki jabatan tertentu), serta kualifikasi teknis dan substantif, b. Keterbatasan sumberdaya fiskal, c. Infrastruktur fisik pendukung proses pemerintahan, seperti gedung dan peralatan perkantoran, d. Pengalaman lembaga dalam menjalankan fungsi pemerintahan yang sangat terbatas, bahkan belum adanya kebijakan yang akan diteruskan atau dikembangkan, sehingga harus dibuat kebijakan baru. 2. Bidang Ekonomi a. Institusi ekonomi seperti pelaku produksi, distribusi dan keuangan (lembaga keuangan bank maupun non-bank) yang sangat terbatas, b. Insfrastruktur pendukung pembangunan ekonomi yang sangat terbatas, mulai dari transportasi, komunikasi dan relasi dengan pelaku ekonomi dari luar. 3. Bidang Pelayanan Publik a. Infrastruktur fisik pelayanan yang terbatas, seperti rumah sakit, sekolah, dan pasar, b. Kuantitas dan kualitas aparat yang juga sangat terbatas, karena mengandalkan transfer dari daerah induk. 3 Cornelis Lay dan Purwo Santoso (editor), “Perjuangan Menuju Puncak”, Kajian Akademik Pemekaran Kabupaten Puncak dari Kabupaten Puncak Jaya, S2PLOD UGM, 2006
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
151
4. Bidang Sosial dan Politik a. Perebutan sumberdaya antara daerah baru hasil pemekaran dengan daerah induk maupun daerah tetangga, b. Perebutan posisi-posisi politik dan birokratik dalam pemerintahan antar kelompok yang ada dalam masyarakat, namun belum ada pelembagaan dan preseden sebelumnya. Kehadiran desentralisasi kekuasaan dalam bentuk otonomi daerah, apalagi otonomi khusus, makin menegaskan pengertian otonomi adalah soal pengelolaan daerah yang menjadi hak masyarakat asli daerah. Sederhananya, kekuasaan berada di tangan putra asli daerah. Persaingan untuk menduduki posisi strategis di pemerintahan tidak lagi didasarkan pada kompetensi personal, tapi lebih pada semangat menempatkan putra asli daerah pada jabatan strategis pemerintahan. Pegawai yang cakap dan mempunyai cukup kemampuan justru tersisih atas nama identitas kultural. Pemekaran juga berdampak pada konsentrasi penggunaan dana terutama dalam mempersiapkan infrastruktur pemerintah. Di Sarmi misalnya, yang dimekarkan tahun 2003, anggaran infrastruktur menghabiskan 55% dana otsus di tahun 2004 dan 45% di tahun 2005.4 Tersedotnya dana Otsus untuk pembangunan fisik pemerintahan menyebabkan penurunan prioritas alokasi dana Otsus untuk pelaksanaan program berbasis masyarakat di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan dan kebijakan publik lain. 5 Tantangan implementasi selanjutnya adalah ketergantungan yang tinggi kepada implementor dalam bentuk lembaga dan SDM berketrampilan tinggi yang diperlukan untuk melaksanakan rancangan implementasi, tetapi bukan lembaga dan SDM lokal –sementara lembaga dan SDM lokal belum mampu. Tantangannya adalah bagaimana memastikan setiap program yang didisain dalam konteks Otsus, termasuk yang ditawarkan oleh donor, harus didisain sesuai dengan kapasitas lokal dalam melaksanakannya. Pada konteks ini, dimungkinkan untuk mengarahkan prioritas pembangunan kepada upaya membangun kapasitas lokal, dalam bentuk upaya membangun kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia di dalam organisasi publik di tingkat lokal (provinsi dan kabupaten/kota), dan prioritas pembangunan pada sektor pendidikan dan kesehatan. 4 Evaluasi Otsus Provivinsi Papua, Studi Wilayah Pantura, 1 November 2007, hal 4 5 Kasus alokasi dana Otsus di Kabupaten Sarmi pasca pemekaran tahun 2003, berturut-turut dalam dua tahun anggaran 2004 dan 2005 pendidikan mendapat 15,65% dan 8,75%; bidang kesehatan 11,86% dan 7,2%; dan bidang ekonomi 17,43% dan 11,89%, ibid
152
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
9.4. Kinerja Kebijakan Rekomendasi ketiga, yaitu dalam konteks kinerja kebijakan, perlu disusun model penilaian kinerja yang melekat kepada setiap program pembangunan, dan model tersebut menyatu satu sama lain antar program pembangunan. Model ini dapat dinamakan penilaian-mandiri-kinerja-pembangunan-Otsus (Otsus-selfassesment-performance). Dengan demikian, model pemantauan dan penilaian pembangunan dapat ditingkatkan efisiensinya. 9.5. Lingkungan Kebijakan Rekomendasi ke empat, berkenaan dengan lingkungan kebijakan, perlu dirancang program untuk menciptakan kesebangunan (kongruensi) pola pikir, sikap, dan tindak dari elit politik dan masyarakat Papua dan Papua Barat berkenaan dengan Pembangunan di bawah Otsus. Analisis terhadap lembaga masyarakat sipil memperlihatkan dua hal kritikal. Pertama, Otsus dinilai memberikan kemanfaatan kepada elit politik lokal daripada masyarakat secara luas. Dalam pemahaman politik, ini merupakan revitalisasi dari oligarki kesukuan dalam bentuk kelembagaan modern. Kedua, bahwa pluralitas yang ekstrem, terutama yang terjadi pada lembagalembaga yang secara tradisional mempunyai pengaruh kuat kepada masyarakat lokal, berpotensi untuk menurunkan peluang mencapai kinerja Otsus secara maksimal. Kinerja pembangunan di bawah Otsus atau di bawah metode apa pun tidak akan tercapai dengan efektif jika konteks pembangunannya sendiri berada pada kondisi konflik. 9.6. Beyond Policy Pada tingkat tertentu, kebijakan Otsus perlu difahami sebagai sebagai sebuah fenomena “beyond policy”, dengan tiga pertimbangan. Pertama, Otsus sebenarnya adalah sebuah “kompromi politik” daripada sebuah pilihan kebijakan. Sebagai sebuah asymetric decentralization Otsus merupakan keunikan, sekaligus keanehan. Kebijakan desntralistik yang telah diambil Indonesia sejak reformasi dalam bentuk UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian digantikan oleh UU No. 32 Tahun 2004 telah membangun tata kelola Indonesia yang baru dalam pola “desentralistik” daripada “sentralistik”. Konsep “khusus” lebih berkenan dengan besaran hak finansial bagi daerah daripada sebuah desakan untuk membuat sebuah bentuk khusus dari suatu otonomi. Kedua, tidak pernah terdapat kepastian yang jernih
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
153
apa kehendak dari elit politik Papua, apakah hendak membangun kesejahteraan rakyat Papua ataukah memperkuat posisi atau kekuatan politik di tingkat lokal dan terhadap Pusat. Hal ini dicerminkan dari inkongruensi dari pemikiran Otsus dengan bentuk kebijakan lokal serta arah implementasi. Kebijakan Otsus berpotensi “dibajak” oleh oligarkhi lokal. Karena itu, membangun tata kelola yang baik (good governance) di tingkat lokal menjadi kebutuhan yang penting untuk berjajar dengan prioritas lain6. Ketiga, kondisi pembangunan di Papua memerlukan sebuah strategi pembangunan yang tidak mungkin mengadopsi dari Jawa atau daerah lain di Indonesia, karena begitu khasnya dari sisi manusia hingga alam yang penuh dengan tantangan. Dengan sebagian masyarakatnya yang berada pada peradaban awal, berhadapan secara diametral dengan kemajuan daerah lain di Indonesia –dan dunia-- yang begitu jauh di depan, dan teramat minimnya infrastruktur modern, menjadikan upaya membangun Papua memerlukan “lebih dari sekedar kebijakan”.
6 David Bodanis dalam The Undercover Economics (London: Little Bron, 2006) mengemukakan bahwa dalam banyak negara berkembang, kegagalan pembangunan bukan disebabkan kesalahan dalam konsep atau kebijakan, namun pada kondisi birokrasi yang korup. Bodanis mengambil contoh negara-negara Afrika dan Amerika Latin. Premis yang sama diungkap oleh oleh Erik S. Reinert dalam How Rich Countries Got Rich..and Why Poor Countries Stays Poor (New York” Carol Graff, 2007). Lemahnya birokrasi identik dengan birokrasi yang tidak efisien, dan identik dengan itu adalah birokrasi yang korup.
154
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
DAFTAR PUSTAKA
Drucker, Peter F., 1988 (1974), Management: Task, Responsibilities, Practices, London: Butterworth and Heinemman Hurgronje, Snouck, 1985 (1906), Aceh di mata Kolonialis, Jakarta: Yayasan Soko Guru Hurgronje, Snouck, 1995 (1923), Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, Jakarta: INIS; “Aceh” Jay, Anthony,1987 (1967) Management and Machiavelli, London: Hutchinson Book Jun, Jong S., & Deil S. Wright, 1996, “Globalization and Decentralization: An Overview”, Jung & Wright (eds.), 1996, Globalization and Decentralization, Washington: Georgetown Univesity Press Kemitraan-POLOKDA, Laporan Partnership-Ilmu Pemerintahan UGM, 2008, Naskah Akademik dan RUU Keistimewaan Yogyakarta Koentjaraningrat (ed) 1993, Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk, Jakarta: Djambatan KPK, Data dan Informasi Komite Penanggulangan Kemiskinan 2003, Jakarta: KPK-BPS RI
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA
155
Muhammad, Fadel, 2008, Reinventing Local Governance, Jakarta: Elex/Gramedia. Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto, 1993 Pollit, Christopher, Johnson Birchall, and Keith Putman, 1998, Decentralising Public Serive Management, London: MacMillan Rahmawati, Arifah, Papua Ethno-Political Conflict: Causes, Context, and Policy Implication, Thesis, 2004, Naval Post Graduate School Menterey, California. Ricklefs, MC, 2001, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi Rozaki, Abdur, dan Titok Hariyanto, 2003, Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta, Yogyakarta: IRE Press Rondinelli, Dennis A., & Shabbir Cheema, 1983, “Implementing Decentralization Policies: An Introduction”, dalam Cheema & Rondinelli (eds.), 1983, Decentralization and Development: Policy Implementations in Developing Countries, London: Sage Simon, Herbert, 1971, Administrative Behavior, New York: Free Press. Subardi, 2008, Mengisi Rumah Kosong: Polemik Seputar RUU DIY, Yogyakarta: Pilar Sumardjan, Selo, 1981, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Yogyakarta: UGM Press Vlekke, BHM, 2008, Nusantara: Sejarah Indonesia, Jakarta: KPG/Gramedia Wehner, Joachim, 2000, “Asymetrical Devolution”, Development Souhthern Africa, vol 17, no. 2 June 2000.
156
KINERJA OTONOMI KHUSUS PAPUA