OTONOMI KHUSUS DAN DINAMIKA PEREKONOMIAN DI PAPUA Sinta Wulandari1 Eko Budi Sulistio2 1 2
Sarjana Alumni Jurusan Administrasi Negara FISIP Unila Staff Pengajar Jurusan Administrasi Negara FISIP Unila
ABSTRACT
Papua is the largest province in Indonesia with a variety of natural resources such as forestry, mining, and fishery. But, with various of potency that its region has, majority of society in Papua Province still life under the poverty line. This research aims is to observe how the dynamic of Papua economic in post special autonomy policy implementation. Literature research with qualitatif approach is chosen in order to find the answer of that problems. This research results show that policy of special autonomy for Papua gives positive impact for region finances. It shows from level of Papua income in 2002. Papua local budget in 2002 rise until 197,84% of previous year, it caused by transferring special autonomous fund in significant number (>50%). Basically, special autonomous fund is aimed to increase the economic and welfare of Papua society. But, in fact, until 10 years implementation of special autonomy, problem of poverty in Papua still insurmountable. In 2011, level of poverty in Papua is still the highest in Indonesia. The unsuccessfulness of special autonomy policy to increase welfare of society in Papua is caused by several factors, that are (1) inequality of comprehension and perception about special autonomy among center goverment, region goverment, and society; (2) late of composing implementor of regulations; (3) region unfoldment that cause new problems in special autonomy implementation (4) corruption and redundancy of special autonomy calculation. Keyword: Papua Province, special autonomy, economic region.
PENDAHULUAN Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan jalan keluar bagi struktur dan format politik pemerintahan yang sebelumnya sentralistik menjadi desentralistik. Undang-undang tersebut menjadi bukti terjadinya penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Salah satu masalah yang sering dihadapi daerah adalah masalah perekonomian. Dari segi ekonomi,
penyerahan wewenang kepada daerah memberikan peluang yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi ekonomi di daerahnya. Dengan demikian, perekonomian daerah diharapkan dapat semakin berkembang karena ditangani langsung oleh pihak yang lebih mengerti tentang kondisi daerahnya. Berkembangnya perekonomian daerah dapat menimbulkan efek multiplier yang besar sehingga diharapkan dapat berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah
78
Sinta W & Eko BS; Otonomi Khusus dan Dinamika Perekonomian di Papua 79
tersebut. Secara substansial, implementasi kebijakan desentralisasi dengan fokus otonomi dan partisipasi ekonomi yang lebih luas, diharapkan tidak hanya memberikan dampak positif secara kelembagaan bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah saja, melainkan juga bagi sebagian besar masyarakat atau publik daerah itu sendiri, terutama yang secara sosial, ekonomi, dan politik tidak berdaya. Provinsi Papua merupakan provinsi terluas di Indonesia. Tanahnya yang luas juga dilengkapi dengan berbagai kekayaan sumber daya alam seperti pertambangan, kehutanan, dan juga perikanan. Dalam sektor pertambangan, Provinsi Papua memiliki cadangan tembaga dan emas terbesar di dunia yang saat ini dikelola oleh PT Freeport McMoran dari Amerika. Dalam sektor kehutanan, lebih dari 80% luas wilayah Provinsi Papua merupakan hutan yang ditumbuhi oleh berbagai jenis kayu yang berkualitas. Sementara itu, dalam sektor perikanan Provinsi Papua dikenal sebagai salah satu daerah penghasil ikan laut yang cukup besar. Meskipun kaya akan potensi sumber daya alam, masyarakat di Provinsi Papua masih saja tidak sejahtera. Jika dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pada tahun 1999 nilai IPM di Provinsi Papua adalah 52,3. Capaian IPM tersebut menurut Konsep Pembangunan Manusia yang dikembangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk dalam kategori kinerja pembangunan manusia menengah bawah, yaitu capaian IPM antara 50,00–65,99. Secara nasional, hanya ada dua provinsi di Indonesia yang capaian IPM-nya masuk dalam kategori menengah bawah, yaitu Provinsi NTB dan Provinsi Papua. Selain itu, Provinsi Papua juga merupakan provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia, yaitu mencapai diatas 50% pada tahun 1997. Oleh karena itu, pemerintah pusat kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Kebijakan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Tujuannya adalah selain untuk memperbaiki kondisi kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua, juga untuk
ADMINISTRATIO
meredam aksi separatisme yang dilakukan oleh OPM. Otonomi khusus memberikan dampak bagi perkembangan perekonomian Provinsi Papua karena beberapa komponen keuangan yang menyertainya seperti dana otonomi khusus, dana tambahan infrastruktur, serta dana bagi hasil minyak bumi dan gas alam. Hingga tahun 2013, jumlah dana otonomi khusus yang diterima oleh Provinsi Papua adalah sebesar Rp.32.765.854.752.550. Dana tersebut ditujukan untuk membiayai beberapa program yang menjadi prioitas dalam penerapan kebijakan otonomi khusus seperti pendidikan, kesehatan dan perbaikan gizi, pemberdayaan ekonomi kerakyatan, serta pembangunan infrastruktur. Dengan demikian, kebijakan otonomi khusus diharapkan mampu memperbaiki kondisi kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua melalui perbaikan dalam keempat sektor tersebut. Pada kenyataannya, kebijakan otonomi khusus hanya mampu meningkatkan perekonomian daerah saja dan tidak berdampak signifikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hingga tahun 2011, IPM Provinsi Papua masih termasuk dalam kategori kinerja pembangunan manusia menengah bawah dengan nilai 65,36. Selain itu, tingkat kemiskinan di Provinsi Papua juga masih merupakan yang tertinggi di Indonesia dengan persentase sebesar 31,96 %. Penelitian ini bermaksud untuk mencari jawaban atas pertanyaan “Bagaimana dinamika perekonomian yang terjadi di Provinsi Papua pasca diterapkannya kebijakan otonomi khusus?”
KERANGKA KONSEPTUAL Pide mengartikan desentralisasi sebagai penyerahan kekuasaan atau wewenang di bidang tertentu secara vertikal dari institusi atau lembaga atau pejabat yang lebih tinggi kepada institusi atau lembaga atau fungsionaris ISSN : 2087-0825
80 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.1, Januari – Juni 2013
bawahannya sehingga yang diserahi atau dilimpahi kekuasaan wewenang tertentu itu berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan tertentu tersebut (Hendratno, 2009). Sementara itu, Rodinelli dan Cheema membagi desentralisasi ke dalam empat bentuk, yakni dekonsentrasi, delegasi, transfer tanggung jawab, dan devolusi (Nasution, 2000: 26-27). Proses devolusi yang ditempuh oleh suatu negara biasanya diekspresikan dalam bentuk kebijakan pemberian otonomi yang semakin besar kepada daerah (Wahab, 2002: 14). Dengan adanya devolusi, maka lahirlah suatu pemerintahan daerah yang bersifat otonom, yaitu pemerintahan daerah yang berhak mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerahnya berdasarkan aspirasi dan kepentingan masyarakat setempat, atau yang kita kenal sebagai otonomi daerah (Nurcholis, 2005: 116). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi Khusus Provinsi Paupa diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Di dalam Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa otonomi khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Kewenangan khusus yang diatus dalam undang-undang tersebut antara lain adalah kewenangan perekonomian, pendidikan dan kebudayaan, kesehatan, kependudukan dan ketenagakerjaan, lingkungan hidup, dan sosial (Ramses M., 2009: 114-115). Selain mengatus adanya kewenangan khusus, kebijakan otonomi khusus juga memberi peluang bagi diadopsinya karakterisik lokal kedalam sistem pemerintahan lokal dalam ADMINISTRATIO
kerangka NKRI. Beberapa format khusus dalam pemerintahan Provinsi Papua yang diadopsi dari unsur-unsur lokal adalah: 1. Badan Perwakilan Daerah. Berbeda dengan badan perwakilan di provinsi lain, di Papua terdapat badan perwakilan dengan sistem dua kamar (bi-kameral), yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP). DPRP adalah perwakilan politik yang merupakan representasi partai-partai yang memperoleh kursi dalam pemilihan umum yang merupakan badan legislatif Provinsi Papua. Sementara itu, MRP merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan dan pemantapan kerukunan hidup beragama. 2. Kepolisian Daerah. Kepolisian Papua memiliki tugas di bidang ketentraman dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi), termasuk pembiayaannya. Ketentuan ini mengalihkan fungsi Polisi Pamong Praja kepada kepolisian daerah dan dengan demikian Polisi Pamong Praja harus dilikuidasi. 3. Format Keuangan dan Pengelolaannya. Ada empat komponen keuangan yang membedakan antara penerimaan di Provinsi Papua (pada masa otonomi khusus) dengan penerimaan di provinsi lain di Indonesia. Pertama, dana bagi hasil minyak bumi. Pasca otonomi khusus, Provinsi Papua berhak menerima dana bagi hasil minyak bumi sebesar 70% sementara di provinsi lain hanya 15,5%. Kedua, dana bagi hasil gas alam. Sama dengan minyak bumi, Provinsi Papua berhak menerima dana bagi hasil sebesar 70% sementara provinsi lain 30,5%. Ketiga, dana otonomi khusus yang besarnya setara dengan 2% dana alokasi umum nasional. Keempat, dana tambahan dalam rangka otonomi khusus yang besarnya ditetapkan antara
ISSN : 2087-0825
Sinta W & Eko BS; Otonomi Khusus dan Dinamika Perekonomian di Papua 81
pemerintah dengan DPR atas masukan dari pemerintah Provinsi Papua. Otonomi khusus diharapkan membawa perubahan atas perekonomian Provinsi Papua. Menurut para ahli ekonomi, ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu: a. Tanah dan kekayaan alam. Kekayaan alam suatu daerah meliputi luas dan kesuburan tanah, keadaan iklim dan cuaca, jumlah dan jenis hasil hutan dan hasil laut yang dapat diperoleh, dan jumlah dan jenis kekayaan barang tambang yang tersedia. Secara umum, daerah yang memiliki kekayaan alam berlimpah akan lebih mudah meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya dibandingkan daerah yang kurang memiliki kekayaan alam. b. Kuantitas dan kualitas penduduk dan tenaga kerja. Pertumbuhan penduduk akan meningkatkan jumlah angkatan kerja yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan produksi. Dengan pendidikan dan pelatihan yang memadai, akan dihasilkan sumber daya manusia yang terlatih dan terampil sehingga mampu menjadi pionir dalam pembangunan. c. Kepemilikan barang modal dan penguasaan teknologi. Peranan barang modal sangat menentukan dalam meningkatkan produktivitas. Meningkatnya produksi barang atau jasa yang dihasilkan karena penemuan barang-barang baru, dan terciptanya barang dengan kualitas yang lebih baik tanpa meningkatnya biaya produksi. d. Sistem sosial dan sikap masyarakat. Adat istiadat yang kental pada masyarakat tradisional berupa upacara untuk berbagai kegiatan dan acara dianggap memperlambat pertumbuhan ekonomi. e. Luas pasar sebagai sumber pertumbuhan. Luas pasar sangat penting peranannya dalam menentukan laju pertumbuhan ekonomi. Tingkat kegiatan suatu perekonomian ditentukan oleh permintaan efektif, yang berarti bahwa pertumbuhan ekonomi ADMINISTRATIO
tergantung pada permintaan efektif (Zakaria, 2006: 133-135). Dalam roda perekonomian daerah era otonomi seperti sekarang ini, ada beberapa pihak yang akan berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung dalam menentukan mulus tidaknya desentralisasi kewenangan perekonomian. Pihak-pihak tersebut adalah pemerintah pusat, pemerintah daerah, dewan perwakilan daerah, investor asing, dan pengusaha lokal.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Mengingat bahwa penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, maka teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan cara pemanfaatan kepustakaan dan penelusuran data online. Data kemudian dianalisis dengan teknik analisis data kualitatif yang tahapannya terdiri dari reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan kesimpulan (conclusion drawing).
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Provinsi Papua Provinsi Papua terletak pada posisi o 2 25’-9o Lintang Selatan dan 130o-141o Bujur Timur (BPS Provinsi Papua, 2010: 3), merupakan pintu gerbang wilayah timur Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Provinsi Papua memiliki posisi strategis dalam kaitannya dengan perekonomian karena berbatasan dengan negara-negara yang menjadi kekuatan ekonomi potensial mulai dari Negara Filipina di sebelah utara, Negara Hongkong, Negara Taiwan, Negara Jepang, hingga Kepulauan Pasifik dan Benua Amerika di sebelah timur, serta Negara Timor Leste dan Negara Australia di sebelah selatan (www.kompasiana.com, diakses tanggal 28 September 2011). Sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi ISSN : 2087-0825
82 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.1, Januari – Juni 2013
Papua Barat yang merupakan hasil pemekaran dari Provinsi Papua. Provinsi Papua memiliki wilayah seluas 317.062 km2 atau setara dengan 17,04 % dari luas Indonesia (1.860.359,67 km2) (BPS Provinsi Papua, 2010: 3). Meskipun luas wilayahnya telah berkurang pasca pemekaran, namun Provinsi Papua masih merupakan provinsi dengan wilayah terluas di Indonesia. Selain memiliki posisi strategis serta tanah yang luas, Provinsi Papua juga memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah (www.setneg.go.id, diakses tanggal 20 September 2011). Dalam sektor pertambangan misalnya, Provinsi Papua memiliki proven deposit 2,5 milyar ton bahan tambang emas dan tembaga (konsesi Freeport saja). Selain itu, 250 juta m3 potensi lestari kayu komersial juga dihasilkan dari hutan di Provinsi Papua; serta 9 juta ha hutan konversi untuk pembangunan perkebunan skala besar. Provinsi Papua juga memiliki panjang pantai mencapai 2.000 mil dengan luas perairan 228.000 km2, dan tidak kurang dari 1,3 juta ton potensi lestari perikanan per tahun dihasilkan dari laut Papua (Djojosoekarto, 2008: 1314). Secara administratif Provinsi Papua terbagi menjadi 28 kabupaten dan 1 kota dengan ibukota provinsi terletak di Kota Jayapura. Merauke merupakan kabupaten/kota terluas (56,84 %) dan
Kota Jayapura merupakan kabupaten/kota terkecil (0,10 %) di Provinsi Papua (BPS Provinsi Papua, 2010: 3). Meskipun Provinsi Papua merupakan provinsi terluas di Indonesia, namun jumlah penduduknya merupakan yang paling sedikit. Data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Papua menunjukkan bahwa pada tahun 2009 jumlah penduduk di Provinsi Papua adalah 2.097.482 jiwa (BPS Provinsi Papua, 2010: 87). Jika dikaitkan dengan luas wilayahnya, maka kepadatan penduduk di Provinsi Papua adalah sekitar 6,6 jiwa/km2.
Kondisi Perekonomian Provinsi Papua Sebelum Otonomi Khusus Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi terluas di Indonesia. Luas wilayahnya lebih dari tiga kali luas Pulau Jawa, yakni mencakup areal seluas 420.000 km2 (Garnaut, 1974: 5). Berbagai kekayaan alam juga dimiliki oleh Provinsi Papua dalam jumlah yang luar biasa banyaknya, terutama dalam sektor kehutanan, pertambangan, dan perikanan. a. Potensi Kehutanan Areal hutan di Provinsi Papua mencakup 83,3% dari luas wilayah Provinsi Papua, dengan produksi hasil hutan yang berkualitas.
4,49% 52,61% 18,3%
Hutan Produksi
Hutan Lindung
Hutan PPA
Hutan Lainnya
25,60%
Gambar 1. Areal Hutan Provinsi Papua Provinsi Papua memiliki areal hutan seluas 42.198.100 ha yang terdiri dari 22.179.990 ha (52,61 %) hutan ADMINISTRATIO
produksi, 11.082.480 ha (25,60 %) hutan lindung, 7.539.300 ha (18,3 %) hutan PPA, dan 1.397.330 ha (4,49 %) ISSN : 2087-0825
Sinta W & Eko BS; Otonomi Khusus dan Dinamika Perekonomian di Papua 83
hutan lainnya (Sarjadi, 2001: 1027). Hutan di Provinsi Papua menghasilkan beberapa produk kayu yang berharga, seperti Dipterocarpai dan Conifer kualitas tinggi (Garnaut, 1974: 95). Kabupaten Jayawijaya dan Merauke merupakan daerah penghasil produk hutan terbesar di Provinsi Papua. Dengan hasil hutan berupa berbagai produk kayu tersebut, pemerintah daerah Provinsi Papua (khususnya Pemda Jayawijaya dan Merauke) bisa memperoleh pendapatan daerah yang cukup besar. b. Potensi Pertambangan Pada sektor pertambangan dan bahan galian, Provinsi Papua juga memiliki potensi yang sangat besar. Sekedar contoh, pertambangan emas dan tembaga yang dikerjakan oleh PT Tabel 1.
Freeport di Timika telah memberikan keuntungan yang sangat besar baik bagi PT Freeport sendiri maupun bagi pemerintah pusat. Dengan nilai ekspor yang berkisar antara $70 juta hingga $100 juta per tahun, hasil dari penerimaan pajak dari proyek pertambangan PT Freeport memberikan pendapatan bagi pemerintah Indonesia sebesar $15 juta hingga $25 juta per tahun (Garnaut, 1974: 89-91). Selain emas dan tembaga, Provinsi Papua masih memiliki kekayaan hasil tambang lainnya seperti minyak bumi, gas alam, dan lain-lain. Ada beberapa perusahaan asing yang melakukan penambangan di Provinsi Papua seperti dijelaskan pada tabel berikut.
Perusahaan Tambang di Provinsi Papua
Nama Tahun Biji Tambang Perusahaan PT 1967 Terutama Tembaga Freeport PT Pacific 1969 Terutama Nikel Nickel PT 1969 Terutama Tembaga Kennecott PT Lake 1972 Minyak, dll Paniai PT Baliem 1972 Timah Hitam, Molybdenum, dll Valley Sumber: Garnaut (1974: 92) c. Potensi Perikanan Provinsi Papua juga memiliki sumber perikanan yang sangat besar. Di pantai utara dan selatan Provinsi Papua, terdapat bermacam-macam ikan yang berharga. Laut Arafura yang dangkal adalah tempat udang sedangkan lautan dalam di pantai utara dari Jayapura ke Sorong kaya akan ikan tongkol (skipjack) dan jenis ikan tuna lainnya. Di laut yang lebih dangkal dekat Sorong terdapat kumpulan jenis ikan kecil yang diperlukan sebagai umpan hidup untuk menangkap ikan tongkol. Hasil produksi perikanan di Provinsi Papua berdasarkan sub-sub sektor pada tahun 1999 terdiri dari perikanan laut ADMINISTRATIO
sebesar 160.867,3 ton, perikanan darat, terdiri dari perikanan umum sebesar 2.732,1 ton dan ikan kolam (budi daya) sebesar 2.092,4 ton. Dengan demikian, hasil totalnya adalah sebanyak 165.691,8 ton (Sarjadi, 2001:1027). Potensi perikanan yang terdapat di Provinsi Papua tersebut menarik banyak perusahaan untuk menanamkan modalnya di bidang perikanan di Provinsi Papua, seperti West Irian Fisheries Industries (WIFI), Irian Marine Production Development (IMPD), PT Tofico, PT Nusantara Fishery, dan PT Mina Kartika (Garnaut, 1974: 100).
ISSN : 2087-0825
84 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.1, Januari – Juni 2013
Potensi kekayaan sumber daya alam yang berlimpah merupakan salah satu modal untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua. Melalui sumber daya alam tersebut, pemerintah dapat memanfaatkannya untuk menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat, memperbaiki sarana dan prasarana daerah, serta meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Selain memiliki kekayaan alam yang berlimpah, Provinsi Papua juga masih mendapatkan subsidi dari pemerintah pusat yang cukup besar. Subsidi pemerintah tersebut lebih besar daripada subsidi yang diberikan kepada provinsiprovinsi di Indonesia lainnya yang jauh lebih padat penduduknya. Misalnya pada tahun anggaran 1971/1972, Provinsi Jawa Barat yang berpenduduk sekitar 21 juta jiwa hanya menerima subsidi sebesar Rp.6,85 milyar dari pemerintah pusat, sedangkan Papua menerima Rp.9,15 milyar (Garnaut, 1974: 59). Meskipun demikian, akan tetapi hal tersebut belum mempunyai pengaruh berarti terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua. Hingga tahun 1993, terdapat sekitar 441.900 penduduk (24,16 %) di Provinsi Papua yang masih hidup dibawah garis kemiskinan. Sementara itu, persentase rata-rata tingkat kemiskinan nasional pada tahun yang sama adalah sebesar 13,67 % (Kuncoro, 2004: 147). Kemudian pada tahun 1997, tingkat kemiskinan di Provinsi Papua dilaporkan telah mencapai diatas 50%, sementara rata-rata tingkat kemiskinan nasional adalah 14%. Pada tahun tersebut, Provinsi Papua menjadi provinsi dengan populasi miskin terbesar di Indonesia (Djojosoekarto, 2008: 33). Data yang ada menunjukkan bahwa kemiskinan yang terjadi di Provinsi Papua disebabkan oleh dua hal, yaitu rendahnya kualitas sumber daya manusia serta masih terbatasnya sarana dan prasarana infrastruktur daerah. Kualitas sumber daya manusia di suatu daerah dapat diukur dengan nilai IPM yang terdiri dari 4 indikator, yaitu angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah serta pengeluaran riil (yang ADMINISTRATIO
disesuaikan) penduduk (www.pasificpost.com, diakses tanggal 22 Mei 2012). Nilai IPM Provinsi Papua pada tahun 1999 adalah 52,3, nilai tersebut justru mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 1996 dengan nilai IPM sebesar 60,20 (www.ekonomi.kompasiana.com, diakses tanggal 20 April 2012). Capaian IPM tersebut menurut Konsep Pembangunan Manusia yang dikembangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) masuk dalam kategori kinerja pembangunan manusia menengah bawah, yaitu capaian IPM antara 50,00–65,99. Selain itu, Provinsi Papua juga memiliki sarana dan prasarana infrastruktur yang buruk. Misalnya jalan raya, kondisi jalan di Provinsi Papua relatif rusak karena telah lama dibiarkan terbengkalai. Jalan di Taminabuan (60 km), Manokwari (40 km), dan Jayapura (65 km) sudah sangat rusak sehingga hanya dapat dilalui oleh Jeep (Garnaut, 1974: 69-88). Padahal, jalan merupakan instrumen penting dalam meningkatkan perekonomian suatu daerah. Kondisi jalan yang rusak akan menghambat mobilitas faktor produksi dan juga menghambat perdagangan antardaerah. Oleh karena itulah, pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sebagai salah satu solusi dalam menangani masalah perekonomian yang terjadi di Provinsi Papua.
Kondisi Perekonomian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 memiliki beberapa perbedaan dengan undang-undang pemerintahan daerah di provinsi lain. Pertama, dalam hal format pemerintahan. Provinsi Papua memiliki badan perwakilan dua kamar (bikameral), yaitu Dwan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP). DPRP adalah perwakilan politik yang merupakan representasi partaipartai yang memperoleh kursi dalam pemilihan umum yang merupakan badan ISSN : 2087-0825
Sinta W & Eko BS; Otonomi Khusus dan Dinamika Perekonomian di Papua 85
legislatif Provinsi Papua. Sedangkan MRP adalah representasi kultural orang asli Papua yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Kedua, adalah dalam hal format keuangannya. Ada empat komponen keuangan yang membedakan antara keuangan daerah Provinsi Papua pasca otonomi khusus dengan keuangan di daerah lainnya. Keempat komponen tersebut adalah (1) Dana Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2% Dana Alokasi Umum Nasional setiap tahunnya; (2) Dana Tambahan Infrastruktur dalam Rangka Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara pemerintah dengan DPR berdasarkan aspirasi Provinsi Papua setiap tahun anggarannya; (3) Dana Bagi Hasil Sumber Daya Minyak Bumi yang besarnya 70% (daerah lain hanya 15,5%); dan (4) Dana Bagi Hasil Sumber Daya Gas Alam yang besarnya 70% (daerah lain hanya 30,5%). Alokasi penerimaan diutamakan untuk pendidikan (30%); kesehatan dan gizi (15%); pemberdayaan ekonomi masyarakat (15%); pembangunan infrastruktur kampung (12%); belanja aparatur, meliputi pemerintah provinsi, DPRP, dan MRP (8%); dan dana abadi (5%). Sisa dari penerimaan dana tersebut kemudian digunakan untuk pemberdayaan perempuan dan anak sebesar 2,28%; pembinaan kebudayaan, bahasa, dan sastra daerah 3,42%; pembinaan adat dan pemberdayaan kelembagaan adat 0,76%; pembinaan kepemudaan 0,53%; pembinaan agama dan pemberdayaan
ADMINISTRATIO
lembaga keagamaan sebesar 3,01% (Gunawan, 2008: 95). Dengan adanya kebijakan otonomi khusus yang disertai dengan pembiayaannya, perekonomian daerah Provinsi Papua meningkat drastis. Hal tersebut setidaknya dapat dilihat dari besarnya APBD maupun PDRB Provinsi Papua. Total APBD Provinsi Papua pada tahun 2011 adalah sebesar Rp.6.227.545.144.534. Secara nasional, penerimaan Provinsi Papua pada tahun 2011 berada pada urutan keenam tertinggi di Indonesia setelah DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Aceh, dan Kalimantan Timur. Data tersebut menunjukkan bahwa jika dilihat dari perspektif daerah, maka Provinsi Papua dapat dikategorikan sebagai salah satu provinsi terkaya di Indonesia. Provinsi Papua juga sudah sejak lama diklasifikasikan sebagai daerah yang tergolong cepat maju dan cepat tumbuh. Hanya ada lima provinsi di Indonesia yang termasuk dalam klasifikasi cepat maju dan cepat tumbuh, yaitu DKI Jakarta, Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, dan Provinsi Papua (Kuncoro, 2004: 123). Tingginya pendapatan Provinsi Papua pasca otonomi khusus juga berpengaruh terhadap nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita Provinsi Papua. PDRB per kapita merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat kemakmuran suatu daerah. Perhitungannya diperoleh dari jumlah nilai tambah bruto dari seluruh sektor perekonomian daerah bersangkutan yang kemudian dibagi dengan jumlah penduduk yang ada di daerah tersebut.
ISSN : 2087-0825
86 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.1, Januari – Juni 2013
Tabel 2. PDRB Perkapita Tertinggi di Indonesia Tahun 2008 Provinsi Kalimantan Timur DKI Jakarta Riau Kepulauan Riau Papua Bangka Belitung Sumatera Selatan Aceh Papua Barat Jawa Timur Sumber: www.bps.go.id, diakses tanggal 26 Januari 2013 Pada tahun 2008, PDRB per kapita Provinsi Papua berada pada urutan kelima tertinggi secara nasional, dengan nilai Rp. 26.615.000. Itu berarti bahwa rasio antara jumlah penduduk dengan pendapatan Provinsi Papua pada tahun 2008 adalah 1: Rp. 26.615.000. Maksudnya, jika pendapatan daerah tersebut dibagikan kepada seluruh masyarakat di Provinsi Papua pada tahun tersebut, maka masing-masing orang akan mendapatkan bagian sebesar Rp. 26.615.000. Kebijakan otonomi khusus memang dapat dikatakan berhasil meningkatkan perekonomian daerah Provinsi Papua secara signifikan, namun tidak berhasil meningkatkan perekonomian masyarakat Provinsi Papua. Hingga tahun 2011, sebagian masyarakat di Provinsi Papua masih hidup didalam kondisi ketidaksejahteraan. Hal tersebut terlihat dari tingkat IPM Provinsi Papua yang pada empat tahun terakhir tidak beranjak dari posisinya sebagai provinsi dengan nilai IPM terendah di Indonesia. Selain itu, kondisi ketidaksejahteraan masyarakat di Provinsi Papua juga dapat dilihat dari tingginya angka kemiskinan. Jumlah penduduk miskin di Provinsi Papua pada bulan Maret 2011 adalah sebesar 944,79 ribu jiwa (31,98%). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2010 yang berjumlah 761,62 ribu (36,80%), berarti secara jumlah bertambah sebesar 183 ribu penduduk miskin, namun secara persentase turun sebanyak 4,82%. Pada ADMINISTRATIO
PDRB (Rp.) 101.858.000 74.065.000 53.264.000 40.746.000 26.615.000 19.350.000 18.725.000 17.124.000 17.084.000 16.757.000
tahun 2011, jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah 30,02 juta jiwa dimana 3,15% dari jumlah tersebut merupakan penduduk Provinsi Papua. Jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan nasional, tingkat kemiskinan Provinsi Papua masih tergolong tinggi. Secara nasional, persentase penduduk miskin Provinsi Papua berada di peringkat tertinggi dari 33 provinsi. Kondisi kemiskinan yang dialami masyarakat di Provinsi Papua berbanding terbalik dengan kondisi perekonomian daerah yang relatif kaya. Besarnya dana otonomi khusus yang selama ini dialokasikan kepada pemerintah Provinsi Papua tidak berdampak signifikan terhadap perbaikan perekonomian masyarakat di Provinsi Papua. Kebijakan otonomi khusus dapat dikatakan hanya merubah pendapatan APBD yang semakin meningkat. Sementara banyak masyarakat masih tetap hidup dibawah garis kemiskinan. Dari perbandingan APBD Provinsi Papua dengan tingkat kemiskinan selama sepuluh tahun pelaksanaan otonomi khusus (2002-2011), setiap pertumbuhan APBD sebesar 13,34% hanya mampu mengurangi persentase kemiskinan sebesar 0,25% saja. Padahal semestinya pertumbuhan APBD berbanding lurus dengan penurunan tingkat kemiskinan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kebijakan otonomi khusus telah gagal mewujudkan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat Provinsi Papua.
ISSN : 2087-0825
Sinta W & Eko BS; Otonomi Khusus dan Dinamika Perekonomian di Papua 87
Terdapat beberapa hal diluar masalah teknis mengapa kebijakan otonomi khusus belum berhasil sebagai mendorong pembangunan di Provinsi Papua (Widjojo, 2009: 130-135). Pertama, adanya ketidaksamaan dalam pemahaman dan persepsi tentang otonomi khusus antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan juga masyarakat. Hal tersebut mengakibatkan adanya benturan kepentingan diantara ketiga pihak tersebut dimana pemerintah pusat menggunakan otonomi khusus sebaggai jalan untuk meredam aksi separatisme, pemerintah daerah hanya mengharapkan dana otonomi khusus sehingga lalai dengan kewajibannya, sementara masyarakat yang mengharapkan adanya perbaikan kesejahteraan dengan adanya otonomi khusus justru tidak diperhatikan. Kedua, gagalnya/terlambatnya proses penyusunan peraturan pelaksana baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) maupun Peraturan Daerah Khusus (Perdasus). Hal tersebut tentu saja menghambat pelaksanaan program yang telah menjadi tujuan awal diimplementasikannya kebijakan otonomi khusus, terutama bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua. Ketiga, adanya pemekaran justru menyebabkan berbagai masalah dalam pengimplementasian kebijakan otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Pada prakteknya, kebijakan pemekaran tidak didukung oleh infrastruktur pemerintah yang memadai. Hampir seluruh wilayah pemekaran tidak siap dan belum memiliki pusat pelayanan yang memadai. Pendelegasian wewenang hingga ke distrik dan kampung juga belum tuntas. Dukungan sumber daya manusia dan pembiayaan yang tidak memadai berakibat pada banyaknya sumber daya manusia yang tidak kompeten yang ditunjuk untuk menempati pos-pos jabatan di kabupaten yang baru. Keempat, kebijakan otonomi khusus justru membuka peluang bagi beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan korupsi dan pemborosan dana otonomi khusus. Dana otonomi ADMINISTRATIO
khusus yang seharusnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat justru hanya dinikmati oleh beberapa pihak saja. Sementara itu, program yang menjadi prioritas pengimplementasian kebijakan otonomi khusus menjadi terabaikan atau hanya dilaksanakan seadanya saja. Oleh karena itu, harus ada komutmen dari para aparat untuk menggunakan dana otonomi khusus sesuai dengan yang telah diamanatkan oleh UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Kebijakan otonomi khusus bagi Provinsi Papua telah diberlakukan sejak 01 Januari 2002. Secara umum, status otonomi khusus bagi Provinsi Papua berlaku selama 25 tahun, yakni hingga tahun 2026. Itu berarti bahwa sudah hampir setengah waktu yang dihabiskan oleh Provinsi Papua tanpa menghasilkan perbaikan yang berarti sesuai dengan tujuan implementasi kebijakan otonomi khusus tersebut. Oleh karena itu, waktu yang tersisa harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya (baik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat) dengan cara memperbaiki keempat permasalahan diatas yang menjadi penghambat bagi suksesnya pelaksanaan kebijakan otonomi khusus bagi Provinsi Papua selama ini.
KESIMPULAN Kebijakan otonomi khusus memang dapat dikatakan berhasil meningkatkan keuangan daerah Provinsi Papua secara signifikan, namun kebijakan tersebut belum berhasil meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Provinsi Papua. Data yang ada menunjukkan bahwa kegagalan kebijakan otonomi khusus dalam meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (1) Adanya ketidaksamaan dalam pemahaman dan persepsi tentang otonomi khusus antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan juga masyarakat; (2) Terlambatnya proses penyusunan peraturan pelaksana baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah ISSN : 2087-0825
88 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.1, Januari – Juni 2013
(PP), Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) maupun Peraturan Daerah Khusus (Perdasus); (3) Pada kenyataannya, kebijakan pemekaran tidak didukung oleh infrastruktur pemerintah yang memadai; (4) Kebijakan otonomi khusus justru membuka peluang bagi beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan korupsi dan pemborosan dana otonomi khusus. Melihat dari berbagai permasalahan diatas, maka pelaksanaan kebijakan otonomi khusus seharusnya menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah Provinsi Papua, serta masyarakat di Provinsi Papua. Pemerintah pusat harus memiliki konsistensi dalam melaksanakan tujuan dari pengimplementasian kebijakan otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Selain itu, pemerintah pusat juga harus ikut serta dalam mengawasi penggunaan dana otonomi khusus yang jumlahnya sangat besar. Bagi pemerintah Provinsi Papua, kebijakan otonomi khusus seharusnya dimanfaatkan semaksimal mungkin guna meningkatkan perekonomian daerah dan juga masyarakatnya. Apa yang telah diprogramkan dalam kebijakan otonomi khusus harus dilaksanakan dengan sebaikbaiknya sesuai dengan ketentuan yang ada sehingga manfaat otonomi khusus dapat sampai kepada masyarakat yang memang berhak menerimanya. Mengingat bahwa perekonomian dan kesejahteraan masyarakat tidak dapat diperbaiki hanya dengan mengandalkan bantuan dari pemerintah daerah, maka masyarakat di Provinsi Papua juga harus turut berperan serta dalam memperbaiki kondisi perekonomian dan kesejahteraan mereka sendiri. Kebijakan otonomi khusus memberikan banyak peluang bagi masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan. Misalnya saja melalui program RESPEK, jika dikelola dengan baik masyarakat dapat memanfaatkannya untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan mereka.
DAFTAR PUSTAKA Anggota IKAPI. 2011. Undang-Undang Otonomi Daerah Edisi 2011. Bandung: Fokus Media. Basri, Faisal. 2002. Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan bagi Kebangkitan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Erlangga. BPS Provinsi Papua. 2010. Papua dalam Angka 2010. BPS: Provinsi Papua. BPS Provinsi Papua. 2012. Papua dalam Angka 2012. BPS: Provinsi Papua. BPS
Provinsi Papua. 2012. Statistik Daerah Provinsi Papua 2012. BPS: Provinsi Papua.
Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group. Dewantoro, Boedi. 2001. Strategi Pemberdayaan Daerah dalam Konteks Otonomi: Visi Sosial, Ekonomi dan Budaya Legislatif-Eksekutif DIY. Yogyakarta: Philosophy Press. Djayasinga, marselina. 2006. Ekonomi Publik: Suatu Pengantar. Bandar Lampung: UNILA. Djojosoekarto, Agung dkk. 2008. Kinerja Otonomi Khusus Papua. Jakarta: Kemitraan. Furchan, Arief. 1992. Pengantar Metoda Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional. Garnaut, Ross & Chris Manning. 1974. Perubahan Sosial-Ekonomi di Irian Jaya. Jakarta: Djaya Pirusa. Gunawan, FX Rudi. 2008. Luka Papua: HIV, Otonomi Khusus, dan Perang Suku. Jakarta: Spasi & VHR Book. Haris, Syamsuddin. 2007. Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas
ADMINISTRATIO
ISSN : 2087-0825
Sinta W & Eko BS; Otonomi Khusus dan Dinamika Perekonomian di Papua 89
Pemerintahan Daerah. Jakarta: LIPI Press. Hartomo & Arnicun Aziz. 2004. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Bumi Aksara. Hendratno, Edie T. 2009. Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme. Yogyakarta: Graha Ilmu. Kaho, Josef Riwu. 1997. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia: Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Karim, M. Rusli & Fauzie Ridjal. 1992. Dinamika Ekonomi dan Iptek dalam Pembangunan. Yogyakarta: PT Tiara Wacana. Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi dan pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang. Jakarta: Erlangga. Liauw, Gasper. 2010. The Papua Paradox. Yogyakarta: CV Andi Offset. Moleong, Lexy Penelitian ROSDA.
J. 2005. Metodologi Kualitatif. Bandung:
Nasution, Arif. 2000. Demokratisasi dan Problema Otonomi Daerah. Bandung: Mandar Maju. Noor, Henry Faizal. 2007. Ekonomi Manajerial. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Nordholt, Henk Schulte dan Gerry van Klinken. 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Nurcholis, Hanif. 2005. Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah (ed. Revisi). Jakarta: Grasindo.
ADMINISTRATIO
Nurcholis, Hanif dkk. 2005. Perencanaan Partisipatif Pemerintah Daerah. Jakarta: GRASINDO. Prasetya, Irawan. 1999. Logika dan Prosedur Penelitian. Jakarta: STIA LAN. Ramses M., dan La Bakry. 2009. Pemerintahan Daerah di Indonesia. Jakarta: MIPI. Romli, Lili. 2006. Jurnal Penelitian Politik: Papua Menggugat. Jakarta: LIPI Press. Rosyidi, Suherman. 2006. Pengantar Teori Ekonomi:Pendekatan kepada Teori Ekonomi Mikro dan Makro. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Sarjadi, Soegeng. 2001. Otonomi; Potensi Masa Depan RI. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sarundajang, S.H. 2011. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Kata Hasta Pustaka. Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Padang: Badouse Media. Soesastro, Hadi dkk. 2005. Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi dalam Setengah Abad Terakhir: Krisis dan Pemulihan Ekonomi. Yogyakarta: Kanisius. Srijanti, dkk. 2008. Etika Berwarga Negara: Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi (ed. Kedua). Jakarta: Salemba Empat. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.
ISSN : 2087-0825
90 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.1, Januari – Juni 2013
Sumawinata, Sarbini. 2004. Politik Ekonomi Kerakyatan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.
N3fbfxa_xrBEj1b&sig=AHIEtbQFG_Mb Xq4aUeUutJcQKGNh7wJNrw, diakses tanggal 22 Januari 2013.
Taneko, Soleman. 1993. Struktur dan Proses Sosial: Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
BPS RI. Indikator Sosial Ekonomi Agustus 2012. www.bps.go.id/booklet/Booklet_Agu stus_2012.pdf, diakses tanggal 26 Januari 2013.
Tjiptoherijanto, Prijono. 1997. Prospek Perekonomian Indonesia dalam Rangka Globalisasi. Jakarta: PT Rineka Cipta. Wahab, Solichin Abdul dkk. 2002. Masa Depan Otonomi Daerah: Kajian Sosial, Ekonomi, dan Pilitik untuk Menciptakan Sinergi dalam Pembangunan Daerah. Penerbit SIC. Widjojo, Muridan S. Dkk. 2009. Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Secure the Future. Jakarta: LIPI, Yayasan TIFA, Yayasan Obor Indonesia. Yani, Ahmad. 2008. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Yani, Ahmad. 2009. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Zakaria, Wan Abbas. 2006. Buku Ajar Ekonomi Makro. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Bappenas. Pengembangan Wilayah Papua Tahun 2012. https://docs.google.com/viewer?a=v &q=cache:maNkLVJsEwAJ:www.bapp enas.go.id/get-fileserver/node/10864/+&hl=en&pid=bl& srcid=ADGEEShndWbIVvz_2tHtXgpX3L Spi6knHvcUZkO3ltMlf1_aDtOfY5DG9cEzpt5D4EqvxHu_3Fp7DXk24yV_pA4zi 8I_8bLbJsxLnZdwB8BZKPrxnRltq_Q9F0r ADMINISTRATIO
Dzulfian Syafrian. Analisis Penerapan Kebijakan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat. http://ekonomi.kompasiana.com/ma najemen /2011/06/04/analisispenerapan-kebijakan-otonomikhusus-di-provinsi papua-dan-papuabarat-370200.html, diakses tanggal 28 September 2011. Ida Ayu Purba Riani. Analisis Dampak Pemekaran Wilayah terhadap Pendapatan Perkapita, Kemiskinan dan Ketimpangan Antarwilayah di Provinsi Papua. https://docs.google.com/viewer?a=v &q=cache:w4kudv9qHLcJ:ojs.unud.ac .id/index.php/blje/article/download /1544/895+&hl=en&pid=bl&srcid=AD GEESjtFyq0ue7QnK3Muk0BfvMBxr8lbz rPBSMWdmERoYl9RvgvQknZjfYlLlBtrSk DCCnZNDxTasodjri03X92kF3sFtY2Ht4i 5g4bNoyGjM_R2HoOd3MzcFnuVmi9Wd 1nquXslMCx&sig=AHIEtbSV8p15K_OpK xaSijCdgYKbO5IU5A, diakses tanggal 27 Januari 2013. Kemenkes RI. Data/Informasi Kesehatan Provinsi Papua. https://docs.google.com/viewer?a=v &q=cache:lp5rbxCjIeIJ:www.depkes. go.id/downloads/kunker/33_papua.p df+&hl=en&pid=bl&srcid=ADGEESiUvM TH1EzVMX--6MowcQQ6YVaje2QqVGLTy3LTMdTvq2hOrJj2jisU mhw023BeElUH68nwkM5vFl3uQSusdZ 7cG0wIslCfViiMpkGQ_rBkMQh09PdgYT 4uTxKCOlxMrLRMnHx&sig=AHIEtbSOw -fBI-O1Lp2li-UBGZgtJNrrUQ, diakses tanggal 20 Januari 2013.
ISSN : 2087-0825
Sinta W & Eko BS; Otonomi Khusus dan Dinamika Perekonomian di Papua 91
MPR
RI. Anggaran Pendidikan Papua Melanggar UUD dan UU Sisdiknas. http://mpr.go.id/suratpembaca/read/1219, diakses tanggal 18 Januari 2013.
Provinsi Papua. Provinsi Papua. http://www.indonesia.go.id/in/pem erintah-daerah /provinsipapua/profil-daerah, diakses tanggal 18 Agustus 2011. Siswanto. Foto Mobil "Tertanam" di Tengah Jalan 4 Hari di Tolikara. http://riaukita.com/read-4-24032012-08-05-foto-mobil-tertanam-di-
ADMINISTRATIO
tengah-jalan-4-hari-di-tolikara-.html, diakses tanggal 23 Januari 2013. Siti
Komariah. Otonomi Khusus dan Percepatan Pembangunan di Tanah Papua. http://www.setneg.go.id/index.php? option=com_content&task=view&id=3 202&Itemid=241, diakses tanggal 20 September 2011.
Sudadi Isdad. SMAN 1 Demta Sekolah Berada Diantara Hutan. http://www. up4b.go.id/index.php/prioritasp4b/7-pendidikan/item/40-sman1demta-sekolah-diantara-hutan, diakses tanggal 18 Januari 2013.
ISSN : 2087-0825