JURNAL ILMU SOSIAL, Vol.10, No.3 Desember 2012
SEBELAS TAHUN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN OTONOMI KHUSUS DI TANAH PAPUA : ISU, TARGET DAN UPAYA PERBAIKAN Agustinus Fatem * *Program Studi Administrasi Negara, Jurusan Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih Email:
[email protected]
Abstract : This paper is a reflection on the eleventh year of the special autonomy in Papua. Based on secondary data obtained from the study of the documentation, the author outlines the results achieved until the eleventh year of the implementation of special autonomy. Then identified be some important issues and ideas pattern approach, targets and measures that need to be done so that the Papua Special Autonomy policy objectives can be achieved by 2025. This paper aims to describe the achievements of development in Papua, identify strategic issues and formulating policy and strategy development in Papua and West Papua until 2025. This article is based on secondary data collected from the research, textbooks, government reports and legislation regarding special autonomy in Papua. The authors conclude that the special autonomy in Papua has been run for the past 11 years has actually been changing people's lives for the better Papua but still lags behind other regions. end of the article, the author provides some recommendations that can be useful for the improvement of the implementation of special autonomy in Papua.
Abstrak : Tulisan ini merupakan refleksi atas sebelas tahun implementasi kebijakan otonomi khusus di tanah Papua. Berdasarkan data-data sekunder yang diperoleh dari studi dokumentasi, penulis menguraikan hasil-hasil yang dicapai hingga tahun kesebelas implementasi kebijakan otonomi khusus. Kemudian diidentifikasi beberap isu-isu penting dan gagasan pola pendekatan, target dan upaya-upaya yang perlu dilakukan agar tujuan kebijakan otonomi khusus Papua dapat dicapai pada tahun 2025. tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan capaian pembangunan di tanah Papua, mengidentifikasi isu-isu strategik, dan merumuskan kebijakan dan strategi pembangunan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat hingga tahun 2025. Tulisan ini disusun berdasarkan data-data sekunder yang dihimpun dari hasil penelitian, buku-buku teks, laporan-laporan pemerintah daerah serta peraturan perundang-undangan mengenai otonomi khusus Papua. Penulis menyimpulkan bahwa kebijakan otonomi khusus yang sudah dijalankan di tanah Papua selama 11 tahun ini sesungguhnya sudah merubah kehidupan masyarakat Papua menjadi lebih baik namun masih tertinggal dengan daerah lain. Sehingga diakhir artikel, penulis memberikan beberapa rekomendasi yang dapat bermanfaat untuk perbaikan perlaksanaan otonomi khusus di Papua.
Keywords : Policy Implementation, Special Autonomy, Issues, Target, Repair Effort
Kebijakan otonomi khusus Papua pada dasarnya merupakan pemberian kewenangan yang lebih luas bagi pemerintah daerah provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang berarti peran dan tanggung jawab yang lebih besar dalam mengatur urusan rumah tangganya, menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Papua bagi kemakmuran rakyat Papua, diharapkan dengan kebijakan ini akan dapat mengurangi kesenjangan di Provinsi Papua dan Papua Barat dengan provinsi lainnya dengan memberikan ruang lebih bagi masyarakat lokal Papua dan Papua Barat sebagai subyek utama dalam pembangunan. Otonomi khusus Papua dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 2002, sedangkan otonomi khusus untuk Provinsi Papua Barat dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 jo Inpres Nomor 1 Tahun 2003 dan terakhir Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang. Sebagaimana tertuang dalam penjelasan UU Nomor 21 Tahun 2001, hal-hal mendasar yang menjadi isi undang-undang otonomi khusus ini adalah: Pertama, pengaturan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan; Kedua, pengakuan dan penghormatan hak-hak 135
Agustinus Fatem – Refleksi 11 Tahun Otsus Papua
dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar; dan Ketiga, mewujudkan pemerintahan yang baik berciri: (a) partisipasi sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan, (b) pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesarbesarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat, dan (c) penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggung jawab kepada masyarakat; Keempat, pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab yang tegas dan jelas antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu. Agenda utama yang ingin dicapai melalui kebijakan otonomi khusus meliputi: 1) meningkatnya taraf hidup masyarakat asli Papua melalui pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam di tanah Papua yang sebelumnya dinilai belum digunakan secara optimal dan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat Papua. Paralel dengan agenda tersebut adalah pengurangan kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dengan provinsi lainnya; 2) mewujudkan keadilan, dalam konteks kebijakan khusus ini adalah keadilan ekonomi dalam hal penerimaan hasil-hasil sumber daya alam Papua. Keadilan tersebut diterjemahkan dalam aspek dana perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, sementara dalam konteks pembangunan secara lebih luas akan tampak dari capaian agenda pertama (peningkatan taraf hidup masyarakat Papua); 3) penegakan Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi serta pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar; dan 4) penerapan tata kelola pemerintahan yang baik melalui pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab yang tegas dan jelas, serta dukungan kelembagaan dan kebijakan yang memungkinkan tercapainya ketiga agenda sebelumnya.
PEMBAHASAN Menurut hasil Evaluasi Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat : Refleksi Sebelas Tahun Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 yang dilaksanakan oleh Ditjen. Otonomi Daerah – Kemendagri (2012) bahwa capaian sebelas tahun implementasi otonomi khusus Papua dapat dikelompokkan ke dalam aspek kebijakan dan aspek implementasi kebijakan. Aspek kebijakan. Hasil yang dicapai sebagai berikut: 1) Belum adanya juklak maupun juknis dalam pelaksanaan kewenangan khusus seperti pendidikan, kesehatan, sosial, kependudukan dan tenaga kerja dan lingkungan hidup yang juga diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, mengakibatkan berimplikasi kepada ketidakjelasan urusanurusan yang harus dikelola sebagai penjabaran kewenangan khusus tersebut dan seringkali terjadi tumpang tindih pengelolaan kewenangan tersebut; 2) Implikasi dari ketidakjelasan penjabaran dan penafsiran secara tepat tentang manajemen penyelenggaraan otonomi khusus, mengakibatkan desain kebijakan perdasus dan perdasi yang sudah diterbitkan/ditetapkan kurang bisa menjadi acuan yang tegas; 3) Perdasus dan Perdasi yang diperintahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 adalah sebanyak 13 perdasus dan 18 perdasi, saat ini Provinsi Papua sudah menerbitkan 7 Perdasus dan 8 Perdasi. Untuk Provinsi Papua Barat belum menerbitkan Perdasus, sedangkan terkait Perdasi sudah menerbitkan 1 Perdasi (Perdasi Nomor 2 Tahun 2006 tentang Lambang Daerah), dalam proses 2 Perdasi dan belum diproses 16 Perdasi; 4) Keterlambatan penyusunan, pembahasan dan penetapan Perdasus dan Perdasi selain disebabkan permasalahan keterlambatan legislasi juga terkendala oleh masalah anggaran; 5) Belum ada perumusan indikator-indikator keberhasilan pelaksanaan otonomi khusus pada berbagai bidang pembangunan; 6) Belum ada mekanisme dalam penambahan kuota kursi bagi DPRP yang diamanatkan Undang-Undang Otonomi Khusus; 7) Belum terbangunnya pola dan mekanisme dalam penambahan. Aspek implementasi kebijakan. Dalam bidang keuangan dan pengelolaannya, hasil yang dicapai sebagai berikut: 1) Alokasi dana dalam rangka otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, sejak tahun 2002-2012 untuk Provinsi Papua seluruhnya sebesar Rp 28,413 Trilyun, dan 136
JURNAL ILMU SOSIAL, Vol.10, No.3 Desember 2012
Provinsi Papua Barat mulai ditransfer langsung sejak tahun 2009-2012 sebesar Rp 5,269 Trilyun. Alokasi 2 % dari DAU Nasional tersebut dibagi dengan proporsi untuk Provinsi Papua 70% sedangkan Papua Barat 30%. Sementara itu, dana tambahan infrastruktur untuk Provinsi Papua sebesar Rp 3,502 Trilyun dan Provinsi Papua Barat sebesar Rp 2,298 Trilyun. 2) Pembagian dana otonomi khusus antara provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi Papua dilakukan dengan proporsi alokasi 60% : 40% sedangkan Provinsi Papua Barat lebih tinggi ke kabupaten/kota yaitu 70% : 30%. 3) kriteria pembagian dana otonomi khusus antara provinsi dengan kabupaten/kota belum jelas pengaturannya, pengalokasian belum sepenuhnya memperhatikan faktor luas wilayah, jumlah penduduk, kondisi geografis dan tingkat kesulitan wilayah, pendapatan asli daerah, penerimaan pajak bumi dan bangunan, produk domestic regional bruto, sehingga manfaatnya belum optimal dirasakan oleh masyarakat asli Papua. Hasil implementasi kebijakan terkait kewenangan khusus dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat, infrastruktur, kependudukan dan ketenagakerjaan, sosial, dan lingkungan dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Bidang Pendidikan. Capaian bidang ini sampai tahun 2012 adalah: 1) Selama pelaksanaan otonomi khusus telah diprogramkan dan dilaksanakan kegiatan-kegiatan peningkatan prasarana serta peningkatan kuantitas dan kualitas pendidik, serta sejumlah program peningkatan pendidikan putra-putri asli Papua (antara lain: program 1000 doktor anak asli Papua yang dilaksanakan pemerintah Provinsi Papua); 2) Terdapat peningkatan angka partisipasi sekolah (APS) di berbagai jenjang usia pendidikan. Di Provinsi Papua, APS tingkat Sekolah Dasar (SD) masih berfluktuasi walaupun belum dapat mencapai target program wajib belajar nasional APS > 95%. APS jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sejak tahun 2003-2011 dapat mencapai target standar program wajib belajar nasional APS > 70%. Untuk APS jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) tahun 2004 – 2008, dan 2011 sudah mencapai program wajib belajar nasional APS > 50%, hanya pada tahun 2009 dan 2010 mengalami penurunan dan tidak dapat mencapai program wajib belajar nasional. Sedangkan di Provinsi Papua Barat, capaian APS tingkat SD sudah hampir memenuhi standar program wajib belajar nasionak, dan APS tingkat SLTP dan SLTA sudah memenuhi target
program wajib belajar nasional sejak tahun 2008 - 2011 serta terus menunjukkan peningkatan; 3) Angka melek huruf di Provinsi Papua sejak tahun 2003-2010 masih mengalami fluktuasi meskipun perubahannya tidak terlalu, tahun 2008 bisa mencapai 87,21%, tahun 2009 mengalami penurunan menjadi 75,58% namun tahun 2010 kembali meningkat menjadi 76,83%. Sedangkan di Provinsi Papua Barat terus mengalami peningkatan sejak dari tahun 2008 sebesar 92,15%, 2009 sebesar 92,34%, dan 2010 sebesar 93,19%. Perkembangan angka melek huruf ini menandakan bahwa kondisi angka buta huruf terus mengalami penurunan sehingga makin banyak masyarakat yang bisa baca tulis; Bidang Kesehatan: 1) Selama implementasi otonomi khusus di bidang kesehatan antara tahun 2002 – 2009 belum diatur dengan Perdasus. Tahun 2010 baru ditetapkan Perdasus pelayanan kesehatan namun belum tersosialisasikan dengan baik. Kewajiban memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat belum dilaksanakan secara memadai, masyarakat masih mengalami kesulitan mengakses pelayanan kesehatan, terutama karena minimnya sarana pelayanan kesehatan dan tenaga bidang kesehatan; 2) Terdapat berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan berbagai penyakit endemis dan penyakit-penyakit yang membahayakan kelangsungan hidup masyarakat, namun belum ditangani secara optimal. Demikian halnya dengan program-program perbaikan dan peningkatan gizi masyarakat, meski ada indikasi penurunan secara makro, namun angka penderita gizi buruk masih signifikan di kedua provinsi; 3) Berdasarkan distribusinya, baik Provinsi Papua maupun Papua Barat tidak semua kabupaten memiliki rumah sakit sendiri. dari 29 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Papua pada tahun 2010 hanya 16 kabupaten/kota yang memiliki rumah sakit sendiri sedangkan 13 kabupaten lainnya tidak memiliki rumah sakit. Sementara di Provinsi Papua Barat pada tahun 2010 masih ada 4 kabupaten yang belum memiliki, 2 diantaranya adalah kabupaten pemekaran baru yaitu Kabupaten Maybrat dan Kabupaten Tambrauw; 4) terkait ketersediaan tenaga medis, meskipun dari tahun ke tahun di Provinsi Papua dan Papua Barat terjadi peningkatan jumlah dokter dan tenaga medis lainnya tetapi masih tetap mengalami kekurangan tenaga pelayan kesehatan. Di Provinsi Papua, jumlah tenaga kesehatan dokter umum tahun 2008 sebanyak 420 orang, 2009 sebanyak 508 orang, 2010 sebanyak 137
Agustinus Fatem – Refleksi 11 Tahun Otsus Papua
551 orang orang, dan 2011 sebanyak 619 orang. Sarana kesehatan Rumah Sakit tahun 2008 sebanyak 12 unit, 2009 sebanyak 16 unit, 2010 sebanyak 16 unit, dan 2011 sebanyak 29 unit, sedangkan Puskesmas tahun 2008 sebanyak 260 unit, 2009 sebanyak 296 unit, 2010 sebanyak 320 unit, dan 2011 sebanyak 360 unit. 5) Terdapat masalah kesehatan di Provinsi Papua dan Papua Barat, seperti: tingginya angka kematian ibu dan bayi baru lahir, sepuluh penyakit terbanyak yakni malaria, diare, ISPA, penyakit kulit, kecacingan, frambusia, TBC, filarial, gingivitis, dan konjungtivitis. 6) Prevalensi balita dengan status gizi buruk pada tahun 2010 masih cukup tinggi di Provinsi Papua (6,3 %) dan Papua Barat (9,3%) diatas rata-rata nasional 4,9%. Untuk balita dengan status gizi kurang, pada tahun yang sama mencapai 10% di Provinsi Papua dan 17,4% di Papua Barat dibanding rata-rata nasional sebesar 13%. Bidang Perekonomian. 1) Telah diterbitkan Perdasus tentang ekonomi berbasis kerakyatan dan keberpihakan kepada masyarakat adat dalam mendapat manfaat ekonomi dalam pengelolaan hutan dan kekayaan alam Papua, serta di level kabupaten/kota telah diupayakan berbagai program ekonomi kerakyatan namun hasilnya belum optimal. Program pemberdayaan ekonomi rakyat efeknya kurang terasa dalam pembangunan perekonomian; 2) Pada tahun 2010 Indeks Perkembangan Manusia (IPM) di Provinsi Papua Barat sebesar 69,15% lebih baik dibanding IPM Provinsi Papua sebesar 64,94 % menempati urutan 33 dibanding seluruh provinsi di Indonesia; 3) Terkait pendistribusian pendapatan yang dapat dilihat dari rasio gini, pada tahun 2008, rasio gini Provinsi Papua Barat dengan nilai 0,31, menandakan bahwa PDRB di provinsi tersebut pendistribusiannya lebih merata. Berbeda dengan Provinsi Papua yang memiliki pendistribusian pendapatan yang paling tidak merata dengan angka rasio gini 0,40. Pada tahun 2009 Provinsi Papua mengalami pendistribusian pendapatan yang membaik namun masih tetap berada pada angka rasio gini 0,38 dan pada tahun 2010 kembali menurun menjadi 0,41. Demikian pula Provinsi Papua Barat angka rasio gini menurun dari tahun 2009 (0,35) ke tahun 2010 (menjadi 0,38), hal ini berarti pendistribusian menjadi semakin tidak merata; 4) Secara umum pada kurun waktu 2003 – 2011 terdapat kecenderungan penurunan persentase penduduk miskin terutama 3 tahun terakhir (2009-2011), namun demikian tetap masih lebih tinggi daripada
persentase penduduk miskin nasional. Terakhir pada tahun 2011 persentase kemiskinan di Provinsi Papua sebesar 31,98%, Provinsi Papua Barat sebesar 28,53%, keduanya lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional sebesar 12,49%. Bidang Infrastruktur: 1) Dalam rangka otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat telah dilaksanakan berbagai bentuk pembangunan sarana dan prasarana fisik. Pembangunan infrastruktur yang dijalankan meliputi 16 ruang jalan strategis trans papua, pelabuhan laut, pelabuhan udara, sarana transportasi darat, laut dan udara, perumahan, air bersih, kelistrikan, serta pos dan telekomunikasi. Namun demikian ada kecenderungan bahwa sasaran program pembangunan infrastruktur yang dilakukan belum sepenuhnya mengacu pada upaya penerobosan isolasi daerah guna meningkatkan aksesibilitas wilayah. Hal ini menjadikan pelaksanaan otonomi khusus dalam pembangunan infrastruktur tidak sejalan dengan esensinya. Kondisi ini bisa saja terkait dengan ketiadaan juknis yang jelas dalam pemanfaatan dana otonomi khusus; 2) Pembangunan infrastruktur dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat juga diwarnai berbagai masalah mulai masalah teknis pendanaan yang mengalami keterlambatan, kendala pembebasan tanah ulayat, dan kondisi geografis yang sulit. Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan: 1) Upaya untuk, melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus telah dilakukan diantaranya melalui penerbitan Perdasi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Kependudukan, sementara di Provinsi Papua Barat belum ada perdasi yang mengatur tentang kependudukan. Di satu sisi hal ini dapat membantu menyediakan data dan informasi tentang keberadaan penduduk asli Papua. Namun demikian, ada kecenderungan untuk memberikan tindakan diskriminatif terhadap penduduk asli Papua dan bukan asli Papua. Upaya untuk mempercepat terwujudnya pemberdayaan, peningkatan kualitas dan partisipasi penduduk asli Papua dalam semua sektor pembangunan yang diamanatkan dalam kebijakan otonomi khusus tidak dimaksudkan untuk memberikan diskriminasi antara penduduk asli Papua dan bukan asli Papua dalam memberikan kesempatan bekerja. Namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana meningkatkan kemampuan dan keahlian masyarakat asli Papua 138
JURNAL ILMU SOSIAL, Vol.10, No.3 Desember 2012
untuk bisa lebih berdaya saing dalam memperoleh pekerjaan; 2) Angka pengangguran terbuka mengalami penurunan pada beberapa tahun terakhir ini, namun kondisi tingkat pengangguran terbuka masih mengindikasikan perlunya upaya yang baik. Perhatian untuk pelaksanaan otonomi khusus bagi bidang kependudukan dan tenaga kerja masih perlu ditingkatkan; 3) Tingginya tingkat pengangguran berkorelasi dengan tingginya jumlah penduduk miskin dan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK). TPAK Provinsi Papua, tahun 2008 sebesar 76,76%, 2009 sebesar 77,95%, dan 2010 sebesar 80,99%. Sedangkan untuk Provinsi Papua Barat, tahun 2008 sebesar 68,15%, 2009 sebesar 68,32%, dan 2010 sebesar 69,29%; 4) Secara umum pada kurun waktu 2003-2011 terdapat kecenderungan penurunan persentase penduduk miskin di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat terutama 3 tahun terakhir (2009-2011). Bidang Sosial: 1) Dana otonomi khusus yang diberikan untuk membiayai bidang sosial masih sangat terbatas dan bidang ini cenderung tidak mendapat perhatian yang memadai. Minimnya perhatian dari pemerintah dalam hal pendanaan, penanganan masalah sosial menjadi kurang optimal; 2) Anggaran bidang kesejahteraan sosial antara lain melalui program/kegiatan pemberdayaan fakir miskin, pelayanan dan rehabilitasi kesejahteraan sosial, pembinaan anak terlantar, pembinaan eks penyandang penyakit sosial. Pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan sosial di Provinsi Papua masih relatif kecil yaitu tahun 2008 sebesar Rp 17.717.223.975 dan 2010 sebesar Rp 14.040.381.950, sedangkan jumlah Panti Asuhan di Provinsi Papua, tahun 2007 sebanyak 131 unit, 2009 sebanyak 146 unit, dan 2010 sebanyak 146 unit. Sedangkan Provinsi Papua Barat tahun 2009 dan 2010 masing-masing sebanyak 41 unit. Bidang Lingkungan Hidup: 1) Dalam bidang lingkungan hidup, upaya pengelolaan lingkungan diantaranya telah dilakukan dengan menerbitkan Perdasus tentang pengelolaan lingkungan hidup dan pengelolaan hutan berkelanjutan di Provinsi Papua. Sementara untuk Provinsi Papua Barat belum ada perdasus yang mengatur tentang hal tersebut. Meski telah ditetapkan, namun perdasus yang ada belum sepenuhnya menjadi acuan dan belum banyak diterapkan pada upaya-upaya yang konkrit. Upaya pelestarian lingkungan hidup, pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan, perlindungan sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati dan ekosistemnya, cagar
budaya, dan keanekaragaman hayati, pengelolaan hutan lindung serta pengelolaan perubahan iklim perlu ditingkatkan; 2) Permasalahan lainnya dalam bidang lingkungan hidup ini adalah belum adanya lembaga independen dalam penyelesaian sengketa lingkungan, kemudian juga diikuti dengan sarana prasarana pendukung dan ditunjang sumber daya manusia yang berlatar belakang pendidikan dan pengalaman dalam bidang lingkungan hidup. Aspek Implementasi Kelembagaan Khusus: 1) Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat (DPRPB) tidak memiliki peran dan fungsi secara langsung dalam mewujudkan perlindungan hakhak orang asli Papua, keberpihakan kepada masyarakat asli Papua diwujudkan ketika pembahasan dan penetapan Perdasus yang melibatkan hubungan kerja antara Gubernur, DPRP/DPRPB, dan Majelis Rakyat Papua (MRP), sehingga tujuan utama penyelenggaraan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat yaitu proteksi terhadap keberadaan orang asli Papua masih sering terabaikan; 2) Keberadaan MRP Papua Barat dan MRP Papua yang merupakan lembaga kultural yang relative baru, masih memerlukan penguatan terhadap anggota dalam memahami tugas dan wewenang, hak dan kewajibannya baik sebagai anggota MRP maupun sebagai lembaga khusus; 3) Dari sisi kebijakan, terdapat dualism kebijakan (UndangUndang Nomor 21 Tahun 2001 dan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004) dalam pelaksanaan pemerintahan di Papua dan Papua Barat menyebabkan pelaksana kebijakan mengalami kebingunan dalam proses penerjemahannya dan dengan tidak adanya pengaturan yang jelas berimplikasi terjadinya tumpang tindih wewenang dan pelaksanaan pembangunan diantara ketiga level pemerintahan baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. ISU-ISU STRATEGIK Berdasarkan capaian sebelas tahun implementasi kebijakan otonomi khusus Papua tersebut, maka dapat dikemukakan isu-isu strategik sebagai berikut : Pertama, Terjadi disharmoni dan inkonsistensi kebijakan antara Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. UU 32 Tahun 2004 sebagai UU generik atau 139
Agustinus Fatem – Refleksi 11 Tahun Otsus Papua
simetris berlaku di seluruh daerah dan menitikberatkan otonominya di kabupaten/kota sementara UU otonomi khusus di level provinsi. Implikasinya, terjadi kerancuan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya di level pemerintah kabupaten/kota karena di satu sisi menjalankan otonomi khusus dan di sisi lain harus menjalankan otonomi generic. Akibatnya terjadi inkonsistensi kebijakan dimana pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Papua dan Papua Barat mengalami kerancuan dalam pelaksanaan program dan kegiatan serta pengelolaan pembiayaannya. Kedua, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 harus dijabarkan ke dalam 13 perdasus dan 18 perdasi tetapi belum disusun dan ditetapkan seluruhnya, masih diperlukan 5 perdasus dan 11 perdasi lagi. Namun perdasus dan perdasi yang telah diterbitlkan pun belum sesuai dan selaras dengan amanat undang-undang otonomi khusus untuk mensejahterakan rakyat di tanah Papua. Ketiga, Belum adanya perumusan indikator keberhasilan pelaksanaan otonomi khusus sebagai penafsiran atas kewenangan setiap bidang. Kondisi ini menyulitkan pengukuran keberhasilan implementasi otonomi khusus. Keempat, Masih terjadi keterlambatan transfer dana otonomi khusus dari Pusat ke Provinsi dan dari Provinsi ke Kabupaten/Kota. Keterlambatan tersebut ikut berpengaruh terhadap keefektifan penggunaan dana otonomi khusus. Kelima, Pembagian dana otonomi khusus antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi Papua maupun Papua Barat masih dilakukan sama rata (Papua: 40:60, Papua Barat: 30:70), padahal jumlah penduduk, luas wilayah, geografi dan kesulitan wilayah berbeda antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya. Keenam, Majelis Rakyat Papua di Provinsi Papua dan Papua Barat belum menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang sebagai lembaga kultural secara optimal. Hal ini disebabkan kemampuan anggota disamping penataan kelembagaan yang belum berlangsung dengan baik. Ketujuh, Di bidang perekonomian telah diterbitkan Perdasus Nomor 18 Tahun 2008 tentang Perekonomian Berbasis Kerakyatan. Namun perdasus tersebut belum dilaksanakan secara efektif karena belum didukung aturan pelaksanaan sehingga ekonomi rakyat orang asli Papua belum berkembang secara signifikan. kedelapan, adalah Di bidang pendidikan dan kebudayaan, minimnya jumlah dan kualitas tenaga pendidik dan kependidikan dan persoalan
distribusi tenaga pendidik, sarana prasarana pendidikan terutama di daerah terpencil, tertinggal dan isolir. Hal yang sama juga berlaku di bidang kesehatan dimana minimnya sarana pelayanan dan alat-alat kesehatan mulai dari Puskesmas hingga setingkat Rumah Sakit. Sarana pelayanan kesehatan, meski cenderung mengalami peningkatan jumlahnya, namun belum mencukupi, ditambah penyebaran tenaga kesehatan relative tidak merata karena sebagian besar hanya ingin berada di kota besar. Ketiadaan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis juga menjadi catatan tersendiri bagi kedua bidang ini, yang pada akhirnya menghambat kebijakan affirmative action yang menjadi keharusan dalam penyelenggaraan otonomi khusus di Papua dan Papua Barat. Kesembilan, Pembangunan infrastruktur juga belum ditunjang dengan petunjuk teknis yang jelas dalam pemanfaatan dana otonomi khusus. Akibatnya sasaran program pembangunan infrastruktur yang dilakukan belum sepenuhnya mengacu pada upaya penerobosan isolasi daerah dalam upaya meningkatkan aksesibilitas wilayah. MENUJU PAPUA 2025 Pola Pendekatan Bahwa reformasi nasional telah melahirkan beberapa perubahan mendasar hingga ke Tanah Papua. Dimulai dengan pergeseran kewanangan dari Jakarta ke daerah-daerah dalam konteks desentralisasi pemerintahan melalui undangundang Nomor 22 tahun 1999 dan undangundang Nomor 25 tahun 1999. Implikasi lebih jauh dari undang-undang tersebut adalah bahwa Pemerintah Kabupaten/kota di Tanah Papua mulai memiliki kewenangannya sendiri untuk membangun daerahnya masing-masing, kecuali dalam 6 hal yaitu: luar negeri, pertahanan, moneter, kehakiman, agama, dan lain-lain. Era ini ditandai dengan semakin menumpuknya masalah-masalah pembangunan yang ditimbulkan oleh kondisi masa lalu. Satu-persatu masalah mencuat. Di lain pihak, pemerintah tidak cukup stabil dalam menjalankan roda pemerintahan dan mendesain rencana pembangunannya. Krisis di Tanah Papua yang sudah terjadi sejak lama kemudian berlanjut. Sejumlah peristiwa politik yang tidak menguntungkan telah turut mempengaruhi kinerja pembangunan yang memang sudah terseok-seok itu. Praktis, laju pembangunan di era ini berjalan perlahan tanpa tenaga. Para pihak lebih banyak disibukkan 140
JURNAL ILMU SOSIAL, Vol.10, No.3 Desember 2012
dalam pembenahan masalah politik dan penyesuaian kebijakan baru serta penataan kembali organisasi pemerintahan dan rencana pembangunan daerah. Munculnya kesadaran baru bagi masyarakat di Tanah Papua, seolah menggiring pemerintahan dan pembangunan ke arah perubahan yang sangat drastis. Dalam usianya yang hanya kurang dari 4 tahun, era otonomi daerah hanya melahirkan sejumlah icon baru pembangunan, seperti : kian menebalnya sikap emosional yang melahirkan istilah “putra daerah”, “menjadi tuan di negeri sendiri”, yang bersamaan dengan meningkatnya tekanan sebagian kelompok masyarakat yang ingin merdeka. Kebijakan pemerintah daerah untuk menjustifikasi hal tersebut bersifat protektif. Artinya, bahwa pembangunan di Tanah Papua harus memberikan prioritas pada Orang Papua. Hal ini disadari benar bahwa selama Pemerintahan Orde Baru pada era pembangunan sentralistis, Orang Papua kurang dihiraukan sebagai obyek utama pembangunan. Sejumlah kemajuan yang diperoleh pada era ini adalah mengurangi jumlah pengangguran dengan melakukan rekruitmen Pegawai Negeri Sipil baru lebih dari 3.000 orang dalam 3 tahapan yang didominasi oleh orang-orang Papua. Selain itu, dilakukan pula penyesuaian struktur organisasi dan promosi jabatan bagi Orang Papua di semua eselon penting. Juga, diperoleh kemajuan dari aspek pemberdayaan institusi kemasyarakatan. Seiring dengan era reformasi institusi kemasyarakatan menjadi tumbuh dan berkembang kuat untuk menjadi mitra kerja pemerintah dalam pembangunan. Sangat disayangkan, karena dalam kurun waktu itu belum dapat dilakukan perluasan lapangan kerja di luar sektor pemerintahan. Hal ini lebih disebabkan oleh 2 faktor utama, yaitu : minimnya kualitas sumberdaya manusia, dan faktor permodalan usaha lokal yang masih terbatas. Kebijakan rekruitmen dan promosi di dalam birokrasi pemerintahan kurang memperhatikan aapek kualitasnya. Hubunganhubungan kerja ke-dinas-an berkembang menjadi negatif ke arah primordialisme sempit. Munculnya fenomena baru yang cenderung tidak efisien dalam pembangunan, serta pertumbuhan institusi sosial kemasyarakatan menjadi tidak terkendalikan dengan baik. Sisi positif dari kelahiran kesadaran baru itu adalah semakin menguatnya visi bersama menuju ke kemandirian lokal dalam konteks NKRI. Maksudnya adalah bahwa mulai disadari
kelemahan sumberdaya manusia ditengah-tengah kekuatan sumberdaya alam yang berlimpah. Pembangunan di semua bidang dan sektor tidak optimal dan hanya melahirkan ketidak percayaan rakyat pada pemerintah. Tingkat pendidikan rendah, derajat kesehatan masyarakat rendah, tingkat kemiskinan rakyat amat parah, infrastuktur serba tak berkecukupan. Apa yang salah ? Demikian pertanyaan yang seringkali timbul dalam berbagai wacana pembangunan di daerah ini. Gagasan kemudian bergulir untuk memotong ketergantungan dari Pemerintah Pusat dan mulai pro-aktif melakukan pem-berdayaan masyarakat di semua aspek kehidupan. Paradigma pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan tidak lagi menjadi primadona. Tetapi yang dikedepankan adalah paradigma pemerataan pembangunan yang manusiawi dan berwawasan lingkungan. Periodisasi era yang singkat ini hanya dapat menghasilkan suatu kerangka pembangunan berbasis “kemandirian” yang meletakkan dasar-dasar pokok bagi kelanjutannya di era berikutnya. Paradigma yang dikem-bangkan masih berkutat pada teori modernisasi, tetapi lebih mengedepankan teori weber tentang etika protestan, teori McLelland tentang N-Ach, dan teori Inkeles tentang pembangunan berwajah manusiawi. Mulailah dikedepankan ekonomi kerakyat-an, dimana seluruh aspek perekonomian daerah mulai dirancang dari masyarakat hingga ke tingkat makro. Penerapan strategi ekonomi kerakyatan di masa lalu hanyalah bersifat semu dan setengah hati saja, karena sama sekali tidak membantu rakyat miskin. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dimulai dari jenjang pendidikan dasar dengan pola asrama dan melakukan mengkaderan melalui pengembangan kerjasama pendidikan dengan institusi pendidikan yang sudah maju di dalam dan di luar negeri. Selain itu institusi birokrasi mulai memperjelas visi dan misi pembangunan yang diembannya masing-masing, serta membangun jaringan kemitraan dengan berbagai stakeholders. Oleh karena sebagian besar penduduk Papua bermukim di kawasan perdesan itu, relatif masih membutuhkan bimbingan, maka pola pendampingan dijadikan pola pemberdayaan sangat relevan, dengan melibatkan peran para tokoh pembaharu di Kampung, seperti tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, dan LSM. Dalam penerapannya, pola pemberdayaan masyarakat di kawasan perdesaan dan masyarakat di kawasan perkotaan tidak 141
Agustinus Fatem – Refleksi 11 Tahun Otsus Papua
dipersamakan, karena selain karakteristik sosialekonominya berbeda, kehadiran varian-varian kekuatan institusi masyarakat di kedua kawasan itu menunjukkan identitasnya masing-masing. Pola pembangunan masyarakat di kawasan perdesaan dan pedalaman memerlukan pendekatan situasional yang sesuai dengan tatanan budaya dan adat istiadat masyarakat lokal. Konsep trickle down effect, spread effect, serta security approach tidak digunakan lagi secara efektif, melainkan mengedepankan konsep ekonomi kerakyatan yang sungguh-sungguh memihak kepada masyarakat melalui pemberian akses yang tinggi bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam seluruh rangkaian proses pemba-ngunan. Titik tolaknya pada prinsip pembangunan dari dan oleh masyarakat. Oleh karena itu, mekanisme bottom-up terus didorong dengan prasyarat adanya upaya peningkatan kemampuan masyarakat dan perangkat pemerintahan Kampung/kota dan Distrik secara bertahap dan berkesinambungan serta realokasi anggaran pembangunan kawasan perdesaan dan perkotaan yang memadai sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Bertitik tolak pada capaian dan permasalahan, maka kebijakan pembangunan ditempuh dengan 4 (empat) pendekatan, yaitu : (a) Mikro spasial vs Makro sektoral. Keserasian pendekatan kawasan yang bertumpu pada aspek manusia (mikro) dan pen-dekatan pertumbuhan yang bertumpu pada sektor potensial (makro); (b) Kesejahteraan dan ketenteraman. Keserasian proses pembangunan dilaksanakan secara terpadu untuk meningkatkan kesejahteraan dan ketenteraman lahir dan bathin yang dinamis dalam massyarakat; (c) Tiga Tungku. Keserasian pendekatan pembangunan di mana dalam proses pembangunan melibatkan peran aktif tokoh adat, tokoh agama dan pemerintah secara serasi, sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing melalui kemitraan dengan pola pendampingan, pembimbingan dan perlindungan kepada masyarakat sebagai wujud nyata pemerintahan yang baik (good governance) ; (d) Wawasan Lingkungan. Keserasian pembangunan dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup, di mana semua kegiatan pembangunan harus dikaji dampaknya. Target dan Upaya-Upaya Pembangunan Berdasarkan tingkat capaian saat ini dan memperhitungkan potensi, permasalahan, peluang dan kendala yang dihadapi maka pencapaian hasil-hasil pembangunan pada akhir
implementasi kebijakan otonomi khusus di Provinsi Papua tahun 2025 ditargetkan sebagai berikut: Pertama, Angka kemiskinan mencapai kurang dari 5 persen dan IPM mencapai 75,76. Untuk mencapai target tersebut maka upaya-upaya yang dilakukan adalah Pengembangan perekonomian masyarakat berbasis produk unggulan untuk keperluan ekspor: “K-5 organik” (kopi, kakao, karet, kelapa, kacang-kacangan, biji-bijian dan ubi-ubian, plus hasil laut dan peternakan); pariwisata, produksi kayu gergajian, hasil hutan lainnya oleh masyarakat adat, dan pengembangan pengusaha asli Papua. Melibatkan Badan Usaha Milik Daerah di dalam membeli hasil produksi masyarakat dengan harga yang layak. Melanjutkan dan meningkatkan Respek-PNPM Mandiri, dengan penguatan pada sektor produksi. Perluasan lapangan kerja melalui pengembangan industri dan pelatihan kerja. Pada tahun 2025, rata-rata pendapatan Rp 4 juta/KK/bulan, memiliki aset berharga atau tabungan di bank, serta sebagian terbesar penduduk bermukim di perumahan yang sehat dan layak huni yang memiliki akses terhadap air bersih, listrik dan telekomunikasi. Mengintensifkan program pemberantasan buta aksara melalui kerjasama dengan pihak gereja, dan penyelenggaraan pendidikan non-formal paket A, B dan C secara meluas. Orang asli Papua dewasa minimum berpendidikan SMA atau yang sederajat. Dan mengintensifkan pelayanan kesehatan melalui pembebasan biaya pelayanan kepada masyarakat Papua yang tidak mampu, penyediaan obat pelayanan kesehatan dasar, obat program, obat HIV/AIDS (anti retro virus), pemberantasan penyakit menular dengan prioritas malaria, TB dan HIV/AIDS, program imunisasi, pelayanan kesehatan ibu dan anak, promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, pelacakan gizi buruk dan penanganannya, perbaikan gizi masyarakat dan penyediaan PMT balita dan ibu hamil, dan peningkatan kuantitas dan kualitas tenaga kesehatan. Kedua, Seluruh kota-kota Provinsi, Kabupaten/Kota, Distrik atau pusat-pusat penduduk lainnya terhubungkan dengan transportasi darat, laut atau udara yang berkualitas. Target tersebut dicapai melalui upaya-upaya antara lain ruas jalan trans Papua telah selesai dibangun dengan kualitas baik dan digunakan oleh masyarakat. Sarana transportasi laut dan sungai menghubungkan seluruh wilayah pantai dan sungai di tanah Papua. Seluruh wilayah Papua 142
JURNAL ILMU SOSIAL, Vol.10, No.3 Desember 2012
terhubungkan dengan transportasi udara. Sistem transportasi di seluruh wilayah Papua telah terhubungkan secara terpadu dengan sistem transportasi nasional. 100 % wilayah Papua telah teraliri listrik. Seluruh rumah tangga dapat mengakses air bersih. Jaringan pos dan telekomunikasi terhubung hingga kampung-kampung di tanah Papua. Ketiga, Semua penduduk usia sekolah memiliki pendidikan sekurang-kurangnya SMA, dan 1000 putra-putri asli Papua menyelesaikan pendidikan S3 (Ph.D) dan kembali bekerja di Papua. Untuk mencapai target tersebut dilakukan upaya-upaya seperti pada tahun 2025 rata-rata lama bersekolah mencapai 12 tahun, dengan mutu pendidikan yang tinggi, khas Papua, dan berorientasi kewirausahaan. Pendidikan dan/atau rekrutmen guru SMP, SMA dan SMK ditingkatkan melalui kebijakan-kebijakan khusus. Peningkatan dan pemerataan pelayanan pendidikan secara adil dan merata di semua jenis dan jenjang pendidikan, di seluruh wilayah Papua. Peningkatan kuantitas dan kualitas tenaga pendidik dan tenaga kependidikan pada semua jenis dan jenjang pendidikan. Melanjutkan rekrutmen putra-putri asli Papua terbaik lulusan SMA/SMK, dan menyiapkan pembiayaan khusus bagi mereka untuk melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang S3 di lembaga pendidikan tinggi dalam dan luar negeri. Keempat, Tutupan hutan tetap 70% dari total wilayah Provinsi Papua. Adapun upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk mencapai target tersebut adalah Pembangunan ekonomi Papua yang berciri rendah karbon guna melestarikan hutan Papua. Meningkatkan partisipasi masyarakat adat dalam memanfaatkan hutan secara lestari. Melakukan audit pengelolaan hutan secara periodic untuk memastikan agar tutupan hutan Papua tetap minimal 70%. Kelima, Semua tingkatan pemerintahan menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, dan pengembangan wilayah pemerintahan sesuai kebutuhan dan didasarkan pada grand strategy pemekaran wilayah. Target ini dicapai melalui upaya-upaya semua tingkatan pemerintahan melakukan perencanaan pembangunan secara partisipatif, mulai dari tingkat kampung. Penyelenggaraan pemerintahan dilakukan secara transparan dan akuntabel, yang memungkinkan masyarakat untuk mengakses informasi pemerintah secara mudah dan cepat. Pada tahun 2014 dan seterusnya menerapkan secara penuh sistem pengadaan barang dan jasa
pemerintah secara elektronik (e-procurement). Provinsi dan semua kabupaten/kota memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK RI. Pengembangan wilayah pemerintahan sesuai kebutuhan dan didasarkan pada grand strategy pemekaran wilayah. Lebih daripada itu, pemekaran di tanah Papua mutlak memberikan jaminan hak hidup, eksistensi dan perkembangan orang-orang asli Papua dalam jangka panjang kedepan. Keenam, Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) provinsi berjumlah minimum Rp 10 Trilyun. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mencapai target tersebut adalah dengan melakukan Perdagangan karbon Papua di pasar internasional. Kontribusi perusahaan-perusahaan daerah. Kepemilikan saham pemerintah daerah di perusahaan-perusahaan swasta. Dan proporsi tertentu pajak badan perusahaan-perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam Papua. Ketujuh, Terciptanya generasi Papua Baru yang memiliki nasionalisme Indonesia yang kukuh, sejajar dengan saudara-saudaranya di bagian Indonesia lainnya, sejahtera, dan mandiri di segala bidang. Untuk mencapai target tersebut maka upaya-upaya yang perlu dilakukan adalah Pemerintah terus menerus memfasilitasi dan mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya orang asli Papua. Pemerintah terus menerus menciptakan suasana aman damai dan memberikan ketenangan dan kenyamanan kepada masyarakat Papua. Pemerintah menyelesaikan seluruh konflik dan pelanggaran HAM secara adil dan bermartabat.
PENUTUP Kesimpulan Kebijakan otonomi khusus Papua bertujuan untuk mempercepat peningkatan taraf hidup masyarakat asli Papua melalui pemanfaatan pengelolaan hasil kekayaan alam secara optimal dan berkelanjutan sehingga masyarakat Papua dapat mengejar ketertinggalan dengan masyarakat di bagian wilayah Indonesia lainnya. Sebelas tahun implementasi kebijakan otonomi khusus telah membawa masyarakat di tanah Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) kepada taraf kehidupan yang lebih baik namun masih tertinggal dibanding masyarakat Indonesia di provinsi lainnya. IPM dan angka kemiskinan masyarakat Papua merupakan indikator agregat yang menempatkan Papua pada posisi terbawah 143
Agustinus Fatem – Refleksi 11 Tahun Otsus Papua
dari provinsi lainnya di Indonesia memperlihatkan secara gamblang bahwa permasalahan pembangunan di Papua dalam era otonomi khusus masih memerlukan keseriusan dan kerja keras semua pihak demi mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih baik kedepan. Target yang harus dicapai pada akhir kebijakan otonomi khusus Papua di tahun 2025 adalah : a) angka kemiskinan mencapai kurang dari 5 persen dan IPM mencapai 75,76; b) seluruh kota-kota Provinsi, Kabupaten/Kota, Distrik atau pusat-pusat penduduk lainnya terhubungkan dengan transportasi darat, laut atau udara yang berkualitas; c) semua penduduk usia sekolah memiliki pendidikan sekurangkurangnya SMA, dan 1000 putra-putri asli Papua menyelesaikan pendidikan S3 (Ph.D) dan kembali bekerja di Papua; d) rata-rata lama bersekolah mencapai 12 tahun, dengan mutu pendidikan yang tinggi, khas Papua, dan berorientasi kewirausahaan; e) tutupan hutan tetap 70% dari total wilayah Provinsi Papua; f) semua tingkatan pemerintahan menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, dan pengembangan wilayah pemerintahan sesuai kebutuhan dan didasarkan pada grand strategy pemekaran wilayah; g) APBD provinsi berjumlah minimum Rp 10 Trilyun; dan h) Terciptanya
generasi Papua Baru yang memiliki nasionalisme Indonesia yang kukuh, sejajar dengan saudarasaudaranya di bagian Indonesia lainnya, sejahtera, dan mandiri di segala bidang. Rekomendasi Beberapa rekomendasi yang menurut penulis sangat perlu untuk diseriusi adalah pertama, Pemerintah Pusat agar mendorong dan memfasilitasi Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat untuk menyelesaikan penyusunan Perdasus dan Perdasi beserta aturan atau pedoman pelaksanaannya sehingga otonomi khusus dapat berjalan lebih efektif. Kedua, Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat bersama DPRP/DPRPB dan MRP/MRPB menyusun peraturan tentang pembagian dana otonomi khusus kepada kabupaten/kota dengan secara adil dan proporsional dengan memperhitungkan luas wilayah, jumlah penduduk asli Papua, geografis dan tingkat kesulitan, dan kriteria lainnya yang dipandang perlu. Dan ketiga Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di tanah Papua agar menyusun program kegiatan dalam rangka implementasi otonomi khusus yang lebih berpihak, melindungi dan memberdayakan orang asli Papua.
DAFTAR PUSTAKA Effendi, Sofian, dkk. 1992. Membangun Martabat Manusia Peranan Ilmu-ilmu Sosial Dalam Pembangunan. Gadjah Mada Univesity Press. Yogyakarta. Fakih, Mansour, Dr. 2002. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Insist Press. Yogyakarta. Kamarsyah, R. Materi Pokok Perencanaan Regional. Modul UT. Jakarta. Karunia. Kasryno, Faisal dan Joseph F. Stepanek. 1985. Dinamika Pembangunan Pedesaan. Gramedia. Jakarta. Kementerian Dalam Negeri RI. 2012. Evaluasi Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat. Refleksi Sebelas Tahun Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Nugroho D, Riant. 2003. Reinventing Pembangunan Menata Ulang Paradigma Pemba-ngunan untuk Membangun Indonesia Baru dengan Keunggulan Global. Elex media Komputindo-Gramedia. Jakarta. Owens, Edgar dan Robert Show. 1972. Development Reconsidered. Lexington Books. London. Susanto, Hery, dkk. 2003. Otonomi Daerah dan Kompetensi Lokal. Millenium Publisher. Jakarta. Suwondo, Kutut. 2002. Pluralitas Civil Society dan Upaya Demokratisasi Lokal dalam Demokratisasi dan Kemiskinan. Jurnal Analisis Sosial Vol.7, No.2 Juni 2002. Undang-Undang Nomor : 32 Tahun 2004 Undang-Undang Nomor : 33 Tahun 2004 Undang-Undang Nomor : 21 Tahun 2001
144