OTONOMI KHUSUS ACEH DAN PAPUA ANTARA TEORI DAN PRAKTIK DALAM KERANGKA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
Malahayati | Otonomi Khusus dalam Sistem Pemerintahan Indonesia | December 19, 2015
KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dan kemudahan bagi Penulis dalam menyelesaikan tulisan yang berjudul Otonomi Khusus Aceh dan Papua: Antara Teori dan Praktik dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tulisan ini merupakan salah satu tugas dalam Mata Kuliah Otonomi Khusus dalam Sistem Pemerintahan Indonesia pada Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala Tahun 2015. Tulisan ini menguraikan tentang pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Aceh dan Papua, dikaitkan dengan teori dan konsep dasar negara kesatuan. Tulisan terdiri dari IV (empat) bab yang tersusun dalam sistematikan: Bab I Pendahuluan; Bab II Konsep Negara Kesatuan, Asas Desentralisasi dan Otonomi Khusus yang menjadi dasar teori dalam pendekatan penelitian; Bab III Otonomi Khusus Aceh dan Papua dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan ditutup dengan Bab IV yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran. Tulisan ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Harapan Penulis, masukan dan kritikan dari pembaca akan memberikan perbaikan terhadap substansi tulisan yang lebih akurat dan reliable. Di sisi lain, semoga tulisan ini dapat memberi kontribusi dalam bidang otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi khusus ini sesuai dengan tujuan negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Paragraf Keempat Pembukaan UUDNRI 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Salam. Penulis, Malahayati
PAGE 1
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 1 DAFTAR ISI....................................................................................................................... 2 BAB I
PENDAHULUAN ............................................................................................ 3
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................................... 3 B. Perumusan Masalah ................................................................................................ 7 C. Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 7 D. Metode Pendekatan ................................................................................................. 8 E. Sistematika Penulisan ............................................................................................. 9 BAB II
KONSEP NEGARA KESATUAN, TEORI DESENTRALISASI DAN OTONOMI KHUSUS ..................................................................................... 11
A. Konsep Negara Kesatuan ...................................................................................... 11 B. Teori Desentralisasi .............................................................................................. 15 C. Otonomi Khusus ................................................................................................... 21 BAB III
OTONOMI KHUSUS ACEH DAN PAPUA DALAM KERANGKA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA ...................................... 24
A. Otonomi Khusus Aceh .......................................................................................... 24 B. Otonomi Khusus Papua......................................................................................... 27 C. Analisis Komprehensif.......................................................................................... 31 BAB IV
PENUTUP....................................................................................................... 38
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 38 B. Saran ..................................................................................................................... 38 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 40
PAGE 2
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia disamping sebagai negara hukum, juga bersusunan atau berbentuk negara kesatuan, sebagaimana disebutkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945), yaitu “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.” Konsep negara kesatuan (unitary state) adalah konsep suatu negara yang tidak mempunyai kesatuan-kesatuan pemerintahan yang mempunyai kedaulatan.1 Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah dependent dan subordinat. Abu Daud Busroh berdasarkan susunan negara, mengatakan bahwa negara kesatuan adalah negara yang tidak tersusun daripada beberapa negara seperti halnya dalam negara federasi, melainkan negara itu sifatnya tunggal, artinya hanya ada satu negara, tidak ada negara di dalam negara. Jadi dengan demikian, di dalam negara kesatuan itu juga hanya ada satu pemerintahan, yaitu pemerintahan pusat yang mempunyai kekuasaan atau wewenang tertinggi dalam segala lapangan pemerintahan. Pemerintahan pusat inilah yang pada tingkat terakhir dan tertinggi dapat memutuskan segala sesuatu dalam negara tersebut.2 Sementara, Mahfud MD menyebutkan negara kesatuan adalah negara yang kekuasaannya dipencar ke daerah-daerah melalui pemberian otonomi atau pemberian wewenang kepada daerah-daerah untuk mengurus dan mengatur rumah tangga mereka sendiri melalui desentralisasi atau melalui dekonsentrasi. Ini berarti bahwa daerah-daerah itu mendapat hak yang datang dari, atau diberikan oleh, pemerintah pusat berdasarkan undang-undang dan konstitusi.3 Hal ini selaras dengan hakikat politik hukum Pasal 18
1 Hanif Nurcholis, 2005, Teori dan Praktiek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, hlm. 6 2 Abu Daud Busroh, 1990, Ilmu Negara, PT. Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 64-65. 3 Mahfud MD, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES Indonesia, Jakarta, hlm. 221.
PAGE 3
UUDNRI 1945, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjamin adanya desentralisasi dan otonomi yang luas bagi daerah-daerah di seluruh Indonesia.4 Sejalan dengan konsep tersebut, Bhenyamin Hoessein mengatakan bahwa dalam konteks negara kesatuan, penerapan asas desentralisasi dan sentralisasi dalam organisasi negara tidak bersifat dikotomis melainkan kontinum.5 Artinya, Pemerintah Pusat tidak mungkin menyelenggarakan semua urusan pemerintahan di tangannya secara sentralisasi, begitu juga sebaliknya, pemerintah daerah tidak mungkin menyelenggarakan semua urusan pemerintahan yang diserahkan. Urusan pemerintahan yang menyangkut kepentingan dan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara lazimnya diselenggarakan secara sentralisasi dan dekonsentrasi, sedangkan urusan yang mengandung dan menyangkut kepentingan masyarakat setempat diselenggarakan secara desentralisasi. Perkembangan dan kebutuhan terhadap bentuk negara kesatuan yang berprinsip sentralistik, juga dapat dilakukan secara desentralisasi sebagaimana yang berlaku pada negara federasi. Negara kesatuan juga dapat dibagi dalam pola sentralistik dan desentralistik. Negara kesatuan dengan pola sentralistik adalah sistem kenegaraan yang menetapkan seluruh wilayah negara, tanpa kecuali, merupakan kesatuan wilayah administrasi dan hukum. Sedangkan, pola desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah. Penyerahan wewenang tersebut tidak mengubah esensi dasar negara kesatuan.6 Dalam Pasal 18 UUDNRI 1945, Perubahan Kedua, disebutkan: (1)
(2)
4
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta,
hlm. 262. 5
Bhenyamin Hoessein dalam Hanif Nurcholis, 2005, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hlm. 13. 6 Hendarmin Ranadireksa, 2007, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokusmedia, hlm. 5962.
PAGE 4
(3)
(4) (5)
(6) (7)
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan, Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UUD RI 1945 tersebut menunjukkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Maksud asas otonomi tersebut adalah asas desentralisasi dan dekonsentrasi. Selanjutnya, berdasarkan ayat (6), disebutkan bahwa pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi (desentralisasi dan dekonsentrasi) dan tugas pembantuan. Sementara, ayat (7) menyatakan susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang. Dalam hal ini setelah Perubahan Kedua UUDNRI 1945, dibentuk Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang selanjutnya pada 30 September 2014 diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,7 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang,8 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang 7
Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 23 Tahun 2014, LN RI Tahun 2004 No. 244, TLN RI
No. 5587 8
Undang-Undang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang, UU No. 2 Tahun 2015, LN RI Tahun 2015 No. 24, TLN RI No. 5657.
PAGE 5
Pemerintahan Daerah (UU Pemda).9 Salah satu alasan undang-undang tentang Pemerintahan Daerah ini banyak mengalami perubahan adalah karena banyak perbedaan definisi-definisi yang sangat fundamental. UUDNRI 1945 menegaskan bahwa pemerintahan daerah diselenggarakan berdasarkan prinsip permusyawaran/demokrasi. Artinya secara administrative pelaksanaan pemerintahan dilakukan dengan cara membuat kebijakan desentralisasi. Dengan adanya asas desentralisasi ini, maka lahir satuan pemerintahan daerah yang bersifat otonom yaitu pemerintahan daerah yang berhak mengatur dan mengurus urusannya berdasarkan aspirasi dan kepentingan masyarakat setempat dengan menggunakan prinsip otonomi seluasluasnya, nyata dan bertanggung jawab, sebagaimana diatur dalam UU No.32 Tahun 2004. Prinsip otonomi seluas-luasnya, maksudnya daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua unsur pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang pemerintah daerah. Prinsip otonomi nyada adalah suatu prinsip untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Sedangkan prinsip otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelesaiannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud otonomi yang ada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Sementara, Pasal 18A UUD RI, perubahan kedua, tahun 2000, yaitu: (1)
(2)
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan Undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
9
Undang-Undang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 9 Tahun 2015, LN RI Tahun 2015 No. 58, TLN RI No. 5679.
PAGE 6
Kemudian, Pasal 18B UUD RI, perubahan kedua, tahun 2000, yaitu: (1) (2)
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Dari beberapa pendapat di atas dan melihat dasar konstitusional pemberlakuan desentralisasi di Indonesia, sudah menunjukan pengaturan yang selaras. Oleh karenanya, pasca perubahan UUDNRI 1945 dan konsistensi pelaksanaan desentralisasi, terutama pasca reformasi kekuasaan pemerintahan tidak lagi terpusat pada Pemerintah Pusat. Negara Kesatuan Republik Indonesia kemudian mengenal istilah daerah khusus atau daerah istimewa. Tiga daerah, yaitu Provinsi Aceh, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat kemudian mendapatkan perlakuan khusus dalam bentuk otonomi khusus. Pemberlakuan daerah khusus ini kemudian menimbulkan berbagai permasalahan, baik dalam tataran norma maupun pada tataran implementasinya. Berbagai kajian tentang hubungan antara pusat dan daerah-pun telah banyak dilakukan untuk mengevaluasi penerapan otonomi khusus ini. Perbedaan persepsi dalam memandang konsep hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah menimbulkan berbagai kesalahfahaman dalam menata hubungan Pusat dan Daerah.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan sebuah masalah yang akan dikaji oleh Penulis yaitu tentang bagaimanakah teori dan praktik otonomi khusus Aceh dan Papua dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia?
C. Tujuan Penulisan Penulisan ini bertujuan untuk menganalisis teori dan praktik otonomi khusus Aceh dan Papua dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia secara normatif. Diharapkan
PAGE 7
penulisan ini mampu menjadi bahan pertimbangan dalam mengevaluasi pelaksanaan otonomi khusus di Aceh dan Papua.
D. Metode Pendekatan Tulisan ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang difokuskan untuk mengkaji kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.10 Tipe penelitian hukum yuridis normatif dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang melandasi pelaksanaan otonomi khusus di Aceh dan Papua. Penggunaan jenis penelitian yuridis-normatif dalam penelitian ini mencoba mengkaji hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni: a. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang
selanjutnya pada 30 September 2014 diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,11 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi UndangUndang,12 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda).13 b. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, yang selanjutnya dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
10
Johny Ibrahim, 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya,
11
Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 23 Tahun 2014, LN RI Tahun 2004 No. 244, TLN RI
hlm. 295 No. 5587. 12
Undang-Undang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang, UU No. 2 Tahun 2015, LN RI Tahun 2015 No. 24, TLN RI No. 5657. 13 Undang-Undang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 9 Tahun 2015, LN RI Tahun 2015 No. 58, TLN RI No. 5679.
PAGE 8
c. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang.
Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan konsep (conceptual approach) dan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan konsep dilakukan untuk memahami konsep-konsep otonomi khusus, desentralisasi dan negara kesatuan, khususnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang mengatur tentang otonomi khusus, baik di Aceh maupun Papua, sehingga diharapkan aturan hukum atau norma yang ada tidak bertentangan dengan konsep otonomi khusus dalam kerangka negara kesatuan. Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Baik bahan hukum primer maupun sekunder dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan berdasarkan system cluster dan diklasifikasikan menurut sumber dan hirarkhienya untuk kemudian dianalisis secara komprehensif. Penulis kemudian menguraikan dan menghubungkan seluruh bahan hukum yang ada untuk kemudian disajikan dalam penulisan yang sistematis sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan.
E. Sistematika Penulisan Tulisan ini akan disusun dalam beberapa Bab dan masing-masing Bab terdiri dari beberapa Sub-Bab untuk memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan sistematika pembahasannya adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN berisi uraian latar belakang permasalahan munculnya perbedaan antara teori dan praktik otonomi khusus di Aceh dan Papua dalam kerangka NKRI. Apakah praktik yang dilaksanakan selama ini berbeda dengan teori tentang otonomi khusus? Untuk kemudian ditentukan rumusan masalah yang akan diteliti dan tujuan penulisannya. Dalam metode pendekatan diuraikan tipe penelitian dan pendekatan yang
PAGE 9
digunakan serta sumber bahan hukum yang digunakan, proses pengumpulan bahan hokum dan dasar analisis yang digunakan untuk menjawab permasalahan otonomi khusus di Aceh dan Papua. BAB II KONSEP NEGARA KESATUAN, TEORI DESENTRALISASI DAN OTONOMI KHUSUS, akan menguraikan secara khusus tentang Konsep Negara Kesatuan, Teori Desentralisasi, dan Otonomi Khusus. Konsep dan asas ini akan digunakan sebagai dasar menganalisis permasalahan teori dan praktik otonomi khusus Aceh dan Papua dalam kerangka NKRI. BAB III OTONOMI KHUSUS ACEH DAN PAPUA DALAM KERANGKA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA, terdiri dari sub-bab Otonomi Khusus Aceh; Otonomi Khusus Papua; dan Analisis Komprehensif. Pada sub-bab Analisis komprehensif akan dianalisis secara ringkas tentang kesenjangan antara teori dan praktik penerapan otonomi khusus di Aceh dan Papua dalam kerangka NKRI. Sedang BAB IV PENUTUP yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran yang merupakan rangkuman hasil penelitian dan analisis bab-bab terdahulu sehingga dapat ditarik kesimpulan mengenai teori dan praktik otonomi khusus Aceh dan Papua dalam kerangka NKRI serta memberikan kontribusi terhadap evaluasi pelaksanaan otonomi khusus di Aceh dan Papua selama ini.
PAGE 10
BAB II KONSEP NEGARA KESATUAN, TEORI DESENTRALISASI DAN OTONOMI KHUSUS A. Konsep Negara Kesatuan Konsep negara kesatuan (unitary state) adalah konsep suatu negara yang tidak mempunyai kesatuan-kesatuan pemerintahan yang mempunyai kedaulatan.14 CF Strong menyebutkan bahwa hakikat negara kesatuan adalah negara yang kedaulatannya tidak terbagi, atau dengan kata lain, negara yang kekuasaan pemerintah pusatnya tidak terbatas karena konstitusi negara kesatuan tidak mengakui adanya badan pembuat undang-undang selain badan pembuat undang-undang pusat.15 Pemerintah pusat mempunyai kekuasaan atau wewenang tertinggi dalam lapangan pemerintahan. Konsekuensi logis dari posisinya sebagai penyelenggara kedaulatan rakyat, maka unit-unit pemerintahan yang dibentuk dan berada di bawah pemerintahan pusat harus tunduk kepada Pemerintah Pusat. Tanpa disertai ketundukan dan kepatuhan secara organisasional berdasarkan peraturan yang berlaku, akan tumpang tindih dalam melaksanakan kewenangannya.16 Menurut Ateng Safrudin, negara kesatuan adalah negara yang mempunyai konstitusi
yang
memberikan
hak
dan
kewajiban
menjalankan
kewenangan
penyelenggaraan pemerintahan kepada Pemerintah Pusat.17 UUD itu memberikan kewenangan pemerintah negara kepada satu pemerintah, yaitu pemerintah pusat, karena penyelenggaraan segala kepentingan hak baik dari pusat maupun dari daerah sebenarnya adalah kewajiban dari pemerintah yang satu. Namun terkait dengan luasnya daerah, makin
14
Hanif Nurcholis, ibid. CF Strong, 2004, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, terjemahan dari Modern Political Constitutions: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, hlm. 115. 16 Ahmad Sukardja, 2012, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Dalam Perspektif Fikih Siyasah, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 114. 17 Mukhlis, 2014, Fungsi dan Kedudukan Mukim Sebagai Lembaga Pemerintahan dan Lembaga Adat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh, Disertasi, pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, hlm. 50. 15
PAGE 11
banyak tugas yang harus diurus oleh pemerintah pusat. Sejalan dengan kemajuan masyarakat dan negara, perbedaan antara yang satu dengan yang lain sukar diketahui dan sukar diatur secara memusat, maka jika keadaan daerah-daerah sudah memungkinkan, pusat menyerahkan kepada daerah-daerah untuk mengurus dan menyelenggarakan sendiri kebutuhan-kebutuhan khusus dari daerah-daerah. Menjaga kesatuan dan integritas negara merupakan salah satu alasan Pemerintah Pusat mendominasi pelaksanaan urusan pemerintahan dengan mengenyampingkan peran dan hak Pemerintah Daerah untuk terlibat langsung dan mandiri dalam rangka mengelola serta memperjuangkan kepentingan daerahnya. Dominasi Pemerintah Pusat atas urusanurusan pemerintahan telah mengakibatkan hubungan antara Pemerintah Pusat dan daerah dalam negara kesatuan menjadi tidak harmonis atau bahkan berada pada titik yang mengkhawatirkan sehingga timbul gagasan untuk mengubah negara kesatuan menjadi negara federal.18 Berdasarkan pandangan di atas, menunjukkan bahwa dalam negara kesatuan tidak ada shared soverignity. Kedaulatan hanya ada di tangan negara atau pemerintah pusat, bukan di daerah. Implikasinya, negara kesatuan hanya memiliki satu lembaga legislatif, yang berkedudukan di pusat. Lembaga perwakilan rakyat di daerah atau DPRD hanya memiliki regulatory power untuk membuat peraturan daerah yang tidak bertentangan dengan produk lembaga legislatif pusat (DPR) dan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Penyelenggara negara dan/atau Presiden sebagai kepala pemerintahan dapat melakukan review terhadap peraturan daerah dan membatalkannya jika bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Sehingga, esensi dalam negara kesatuan, kedaulatan mutlak
ada pada Pemerintah Pusat. Sementara, kekuasaan pada Pemerintahan Daerah merupakan pendelegasian dari Pemerintah Pusat. Di mana kekuasaan yang didelegasikan tersebut dapat ditarik atau dihapus kembali atas kedaulatan Pemerintah. Meskipun di daerah adanya badan atau lembaga pembuat peraturan-peraturan (pemerintah daerah dan DPRD), namun lembaga daerah tersebut tidak memiliki kekuasaan penuh.19
18
Ibid. Amrizal J Prang, 2015, Pemerintahan Daerah: Konteks Otonomi Simetris dan Asimetris, Biena Edukasi, Lhokseumawe, hlm. 3 19
PAGE 12
Oleh karena itu, terdapat beberapa kekurangan pada negara kesatuan, pertama, beban kerja Pemerintah Pusat cenderung berlebihan. Kedua, akibat keberadaan pusat pemerintahan yang jauh, mengakibatkan ketidakpekaan dengan masalah yang dihadapi oleh rakyat di daerah, sehingga kurang perhatian dan kepentingannya terhadap daerah. Ketiga, tidak boleh adanya daerah yang menyuarakan haknya berbeda dengan daerahdaerah lainnya, atas alasan sentralisasi semua pelayanan harus sama. Konsekuensinya, maka sering terjadi perlawanan dan konflik dengan daerah.20 Sementara, Jimly Asshiddiqie berbeda pandangan dalam hal ini. Jimly mengutip pendapat John Locke yang mendeskripsikan kedaulatan rakyat itu dapat dibedakan antara kedaulatan rakyat yang lebur dalam perjanjian pertama (first treaty), ketika negara dibentuk tetapi bagian kedaulatan rakyat itu tetap berada di tangan rakyat, sewaktu-waktu dapat dipakai dalam menentukan kebijakan negara dan mengangkat pejabat-pejabat melalui pemilihan umum dan/atau referéndum (second treaty).21 Menurut John Locke, kontraktuil (perjanjian masyarakat) dari negara merupakan peringatan, bahwa kekuasaan penguasa tidak pernah mutlak, tetapi selalu terbatas. Karena dalam mengadakan perjanjian individu-individu tidak menyerahkan seluruh hak alamiah mereka. Ada hak-hak alamiah yang merupakan hak asasi yang tidak dapat dilepaskan (inalienable rights), juga tidak oleh individu itu sendiri. Penguasa yang diserahi tugas mengatur hidup individu dalam ikatan kenegaraan harus menghormati hak asasi itu.22 Perjanjian masyarakat ini yang disebut dengan pactum subjectionist. Selain itu, Locke juga mengajukan kontrak yang disebut dengan pactum unionis, yaitu individu-individu lainnya mengadakan suatu perjanjian masyarakat membentuk suatu masyarakat politik atau negara.23 Menurut Jimly Asshiddiqie, negara Indonesia sebagai negara yang berbentuk kesatuan, sehingga kekuasaan asal berada di pemerintah pusat. Namun kewenangan
20 21
K. Ramanathan, 2003, Asas sains politik, Fajar Bakti Sdn. Bhd., Selangor, Malaysia, hlm. 342. Jimly Assiddiqie, 2005, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Yarsif Watampane, Jakarta,
hlm. 32. 22 23
F. Isjwara, 1995, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan Kesepuluh, Bina Cipta, Bandung, hlm. 145. Ibid.
PAGE 13
pemerintah pusat ditentukan batas-batasnya dalam undang-undang dasar dan undangundang, sedangkan kewenangan yang tidak disebutkan dalam undang-undang dasar dan undang-undang ditentukan sebagai kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah.24 Selanjutnya, Jimly juga menambahkan: “Oleh karena itu, konsep kedaulatan rakyat yang bersifat monistik, tidak dapat dipecah-pecah merupakan konsep utopis yang memang jauh dari kenyataan. Dengan demikian konsep kedaulatan rakyat itu dewasa ini cenderung dipahami secara pluralis, tidak lagi monistik. Meskipun daerahdaerah bagian dari negara kesatuan itu bukanah unit-unit negara bagian yang tersendiri, tetapi rakyat di daerah-daerah itu tetap mempunyai kedaulatannya sendiri-sendiri dalam lingkungan daerah provinsi atau daerah kabupaten/kotanya, disamping kedaulatan dalam konteks bernegara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.25 Apalagi, kalau mengacu pendapat J.J. Rousseau, yang beranggapan bahwa negara bersifat suatu wakil rakyat, yang kekuasaan tertinggi adalah rakyat atau berkedaulatan rakyat (leer van de volkssouvereiniteit).26 Dari pendapat-pendapat di atas, meskipun prinsip negara kesatuan bahwa kekuasaan atau kedaulatan penuh ada pada Pemerintahan Pusat yang didapat melalui first treaty, namun kedaulatan mutlak masih tetap pada rakyat. Oleh karena itu, relevan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD RI 1945 perubahan ketiga, tahun 2001, disebutkan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar.” Kajian pemerintahan negara kesatuan terbagi dalam dua sendi utama, yaitu sistem pemerintahan yang sifatnya sentralistik atau yang sifatnya desentralistik. Kedua sifat ini menciptakan karakter hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, yang terkait dengan bentuk, susunan, serta pembagian kewenangan atau kekuasaan yang ada pada negara. Artinya, dari bentuk dan susunan negara dapat dilihat apakah kekuasaan itu dibagi ke daerah-daerah pusat kekuasaan itu dipusatkan di pemerintah pusat. Dari sisi
24 Jimly Asshiddiqie, 2001, Pengantar Pemikiran UUD Negara Kesatuan RI, Jakarta, the Habibie Center, hlm. 26. 25 Jimly Asshiddiqie, 2005, Op., Cit., hlm. 33. 26 E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, 1989, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan Kesebelas, Ichtiar Baru, Jakarta, hlm. 332.
PAGE 14
pembagian kekuasaan dalam suatu negara, maka bisa berbentuk sistem sentralisasi atau system desentralisasi. System ini secara langsung mempengaruhi hubungan pusat dan daerah dalam melaksanakan pemerintahan di daerah.27
B. Teori Desentralisasi Teori desentralisasi dipelopori oleh Van der Pot yang ditulis dalam bukunya Hanboek van Netherlands Staatsrech, Van der Pot membedakan desentralisasi atas desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi teritorial menjelma dalam bentuk badan yang didasarkan pada wilayah, berbentuk otonomi dan tugas pembantuan. Desentralisasi fungsional menjelma dalam bentuk badan-badan yang didasarkan pada tujuan tertentu.28 Pemahaman tentang desentralisasi masih terus terjadi perdebatan. Hal ini terlihat dari pengertian desentralisasi yang sering memiliki penafsiran yang berbeda-beda. Secara etimologis, istilah desentralisasi berasal dari Bahasa Latin, yaitu de (lepas) dan centrum (pusat). Menurut perkataannya, desentralisasi adalah melepaskan diri dari pusat. Negara kesatuan dibagi juga dalam pola sentralistik dan pola desentralistik. Negara kesatuan dengan pola sentralistik adalah sistem kenegaraan yang menetapkan seluruh wilayah negara tanpa kecuali, merupakan kesatuan wilayah administrasi dan hukum. Sedangkan, pola desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah. Namun, penyerahan wewenang tersebut tidak mengubah esensi dasar negara kesatuan.29 Asas desentralisasi adalah asas yang menyatakan penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada daerah, sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah itu. Sehingga, prakarsa, wewenang atau urusan dan tanggung jawab
27 Agussalim A Gadjong, 2007, Pemerintahan Daerah: Kajian Politik dan Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 62. 28 Bagir Manan, 1990, Hubungan antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi Menurut UUD 1945, Disertasi Universitas Padjadjaran, Bandung. Hlm. 29. 29 Hendarmin Ranadireksa, 2007, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokusmedia, hlm. 59-62.
PAGE 15
mengenai urusan-urusan yang diserahkan menjadi tanggung jawab daerah. Sementara, dalam Pasal 1 angka 8 UU Pemda disebutkan: ”Asas desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi”. Dalam sejarah desentralisasi atau otonomi daerah, Hilaire Barnet, menyatakan: “local government represented an early form of localized self-regulation. The country is devided into local authorities – either county or district – each having law making and administrative powers as deligated by Parliament”.30 Dalam negara kesatuan, Pemerintah Pusat memegang kedaulatan, pertama, secara internal yaitu supremasi seseorang atau sekumpulan orang dalam negara terhadap individuindividu atau perkumpulan-perkumpulan di dalam wilayah yurisdiksinya. Kedua, eksternal yaitu kemerdekaan absolut suatu negara sebagai keseluruhan dalam kaitannya dengan negara-negara lain.31 Desentralisasi melalui otonomi daerah menunjuk hanya kepada masalah-masalah tertentu menyangkut kepentingan khusus daerah. Namun, kadangkadang lembaga administrasi (pemerintah daerah) yang terpilih, berkompeten untuk membuat norma-norma umum, misalnya undang-undang otonomi (peraturan daerah), tetapi undang-undang ini mesti ada dalam kerangka (frame) undang-undang pusat, yang dibuat oleh legislatif.32 Berdasarkan pandangan tersebut menunjukan daerah diberi kewenangan membuat peraturan daerah, untuk mengatur tentang pelaksanaan pemerintahan daerahnya, menurut kepentingan dan kebutuhan pemerintahannya. Namun, pengaturannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan pemerintahan pusat, baik konstitusi maupun peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. A.H Manson, membagi desentralisasi menjadi dua yaitu, desentralisasi politik dan desentralisasi administratif/birokrasi. Desentralisasi politik disebut juga dengan devolusi,
30
Hilaire Barnet, 2000, Constitutional and Administrative Law, Ed. Ke-3, London: Cavendish Limited, hlm. 496. 31 CF. Strong, 2004, Konstitusi-konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia, Terjemahan dari Modern Political Constitution: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, hlm. 109-110. 32 Hans Kelsen, 2006, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Terjemahan dari General Theory of Law and State, Nusamedia & Nuansa, Bandung, hlm. 445.
PAGE 16
sedangkan desentralisasi administratif disebut juga dengan dekonsentrasi.33 Baik desentralisasi maupun dekonsentrasi merupakan instrument dalam bidang division of power. Maksudnya, dua konsep tersebut merupakan konsep administrasi, yaitu bagaimana proses-proses kegiatan untuk mencapai tujuan dilaksanakan dalam organisasi dan manajemen. Sejalan dengan Manson, Conyers, juga membagi desentralisasi menjadi dua macam, yaitu devolution (devolusi) adalah pelimpahan kewenangan politik dari pusat kepada daerah yang ditetapkan secara legal dan deconcentration (dekonsentrasi), merupakan kewenangan administratif yang diberikan oleh pusat kepada perwakilan badanbadan pemerintah pusat yang ada di daerah.34 Desentralisasi sebagai salah satu asas penyelenggaraan pemerintahan daerah pada perkembangan berikutnya melahirkan pengertian otonomi, yaitu merupakan suatu hak atau wewenang dan kewajiban suatu daerah otonom untuk mengurus dan mengatur sendiri urusan rumah tangganya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menyelenggarakan otonomi ini, Pemerintah Pusat menyerahkan sejumlah urusan pemerintahan yang kelak menjadi urusan rumah tangga daerah terseebut harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat dan harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lannya. Dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan secara merata di seluruh wilayah negara Indonesia.35 Penyerahan urusan-urusan pemerintahan oleh Pemerintah Pusat menjadi urusan rumah tangga sendiri bagi daerah-daerah yang menerimanya dapat dilakukan dengan
33
Hanif Nurcholis, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo, Jakarta,
hlm. 4. 34 Darmansjah Djumala, 2013, Soft Power Untuk Aceh, Resolusi Konflik dan Politik Desentralisasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 8-9. 35 Faisal Akbar Nasution, 2007, Sumber-sumber Pembiayaan Daerah Otonom Dalam rangka Menunjang Keberhasilan Otonomi Daerah, Disertasi, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan, hlm. 23.
PAGE 17
mengikuti beberapa teori/ajaran tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah, yaitu sebagai berikut:36 1. Sistem otonomi materiil, yaitu pembagian urusan-urusan yang dilakukan antara pemerintah pusat dengan daerah-daerahnya, dimana yang menjadi urusan daerah ditetapkan satu persatu secara limitatif atau terperinci secara tegas dan pasti, sedangkan di luar dari urusan-urusan yang telah diserahkan kepada daerah adalah merupakan urusan pemerintah pusat. 2. Sistem otonomi formal, yaitu pembagian urusan antara pemerintah pusat dengan daerah-daerahnya, di mana daerah-daerah pada umumnya mempunyai kebebasan untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang dianggap penting bagi kemajuan dan perkembangan daerah sepanjang daerah tidak mengatur urusan yang telah diatur dan diurus oleh pemerintah pusat berdasarkan peraturan perundangundangan. 3. Sistem otonomi nyata (riil), yaitu penyerahan urusan-urusan kepada daerah berdasarkan kepada faktor-faktor perhitungan dan tindakan atau kebijakan yang benar-benar nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan atau kemampuan yang nyata dari masing-masing daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Selain itu, sebagaimana juga dikatakan oleh Axel Hadenius yaitu: “Decentralisation may entail the transfer of autonomy in the following areas: (1) Policy autonomy: local bodies are entitled to make their own decisions in certain (more or less restricted) fields of policy; (2) Organisation autonomy: local bodies are free to decide about their organisational structure; (3) Staff autonomy: local political leaders and administrative personnel are selected without interference from central authorities; (4) Fiscal autonomy: local bodies are able to raise revenues independently and/or receive grants from the centre without any strings attached (so-called block grants).37 Selanjutnya, jika kekuasaan pusat berpendapat ada baiknya mendelegasikan kekuasaan itu pada badan-badan tambahan – apakah badan-badan tersebut berupa otoritas
36
Ibid, hlm. 24-25. Axel Hadenius, 2003, Decentralization and Democratic Governance Experiences from India, Bolivia and South Africa, Sweden: Almqvist & Wiksell International, hlm. 1. 37
PAGE 18
daerah atau otoritas kolonial – maka hal itu boleh saja dilakukan mengingat otoritas pusat memiliki kekuasaan penuh, bukan karena konstitusi menetapkan demikian. Pendelegasian kekuasaan ini bukan berarti tidak ada badan pembuat undang-undang tambahan, tetapi artinya badan-badan itu dapat dihapuskan menurut kebijaksanaan otoritas pusat. Denga demikian, ada dua sifat penting negara kesatuan, yaitu: (1) supremasi parlemen pusat, dan (2) tidak adanya badan berdaulat tambahan.38 Desentralisasi pada negara kesatuan, berwujud dalam bentuk satuan-satuan pemerintahan lebih rendah (teritorial atau fungsional) yang berhak mengatur dan mengurus sendiri sebagian urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya. Meskipun kedua lingkungan pemerintahan (pusat dan daerah) merupakan satu kesatuan susunan yang mencerminkan keutuhan bentuk negara kesatuan, tetapi karena masing-masing mempunyai lingkungan wewenang, tugas, dan tanggung jawab berbeda, maka tidak menutup kemungkinan terjadi semacam tarik-menarik bahkan spanning hubungan antara keduanya.39 Mencermati negara kesatuan, baik mengenai negara kesatuan dengan sentralisasi maupun desentralisasi menunjukan gambaran umum tentang identitas negara kesatuan sebagai: (1) negara satu negara, (2) negara satu kedaulatan, (3) negara satu wilayah/daerah, (4) negara satu bangsa, (5) negara satu sistem hukum, dan (6) negara satu sistem pemerintahan.40 Uraian diatas menunjukkan bahwa dalam sistem pemerintahan negara kesatuan dibagi dua yaitu negara kesatuan dengan sistem sentralistik dan desentralistik atau otonomi dengan cara membagi-bagikan kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan daerah. Namun, dalam menjalankan kewenangan otonomi ini kekuasaan mutlak masih ada pada Pemerintah Pusat sehingga kekuasaan inipun dapat dihapus oleh Pemerintah Pusat. Meskipun demikian, menurut Bagir Manan, desentralisasi dalam rangka hubungan antara pusat dan daerah terjelma dalam empat asas pokok sebagai patokan, sebagaimana UUD RI 1945, yaitu: Pertama, bentuk hubungan antara pusat dan daerah, tidak boleh
38
CF. Strong, Op., Cit., hlm. 115. Bagir Manan, Op., Cit., hlm. 16-17. 40 Astim Riyanto, 2010, Teori Negara Kesatuan, Yapemdo, Bandung, hlm. 23. 39
PAGE 19
mengurangi hak-hak rakyat daerah untuk turut serta (secara bebas) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sesuai dengan dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dal;am permusyawaratan/perwakilan atau dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara yang harus terselenggara sampai ketingkat pemerintahan daerah. Kedua, bentuk hubungan antara pusat dan daerah, tidak boleh mengurangi hak-hak (rakyat) daerah untuk berinisiatif atau berprakarsa mengatur dan mengerus urusan-urusan yang dinggap penting bagi daerah. Ketiga, bentuk hubungan antara pusat dan daerah dapat berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang lain sesuai dengan keadaan khusus masing-masing daerah. Dan, keempat, bentuk hubungan antara pusat dan daerah adalah dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial daerah.41 Oleh karena itu, apabila dalam pelaksanaan sistem desentralistik atau otonomi, Pemerintah Pusat masih mempunyai kekuasaan penuh dan mutlak terhadap daerah, maka kekuasaan ini tidak dapat dijalankan oleh daerah secara maksimal. Sehingga, tujuan negara sebagaimana falsafah Pancasila yaitu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat akan sulit terwujud. Apalagi, dengan perkembangan saat ini sistem kekuasaan mutlak Pemerintah Pusat dalam negara kesatuan tidak dapat dijalankan lagi. Pengalaman negara-negara lain terdapat dua pola besar dalam merumuskan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembagian tugas pengurusan urusan pemerintahan (intergovernmental task sharing), yaitu: 1) pola general competence (otonomi luas) dan 2) pola ultra vires (otonomi terbatas). Dalam pola otonomi luas dirumuskan bahwa urusan-urusan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersifat limitatif dan sisanya (urusan residu) menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Sedangkan, dalam prinsip ultra vires adalah urusan-urusan Daerah yang ditentukan secara limitatif dan sisanya menjadi kewenangan pusat.42 Pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah di Indonesia termasuk dalam kategori pola general competence, hal ini dapat dilihat pasca
41
Bagir Manan, Op., Cit., hlm. 170. Made Suwandi, 2002, http://raconquista.files.wordpress.com/2009/04/minggu-ii-suwandikonsepsi-otda.pdf, hlm. 3, diakses pada 25 November 2015. 42
PAGE 20
perubahan kedua Pasal 18 UUD RI, tahun 2000 yang sebelumnya hanya diatur dalam Pasal 18, kemudian ditambah 2 (dua) pasal yaitu Pasal 18A dan Pasal 18B.
C. Otonomi Khusus Asas desentralisasi dikenal terbagi dalam 2 (dua) kategori, yaitu selain desentralisasi simetris (symmetric decentralization), juga dikenal desentralisasi asimetris (asymmetric decentralization) atau otonomi khusus. Sebagaimana dikemukakan oleh Joachim Wehner, bahwa pemberian otonomi yang berbeda atas satu daerah atau wilayah dari beberapa daerah merupakan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang cukup umum ditemui dalam pengalaman pengaturan politik di banyak negara. Pengalaman ini berlangsung baik di dalam bentuk negara kesatuan yang didesentralisasikan, maupun dalam format pengaturan federatif. Dalam khasanah ilmu politik dan pemerintahan, pola pengaturan yang tidak sebanding ini disebut sebagai asymmetrical decentralization, asymmetrical devolution atau asymmetrical federalis, atau secara umum asymmetrical intergovernmental arrangements.43 Secara prinsipil, berbagai bentuk penyebaran kekuasaan yang bercorak asimetris di atas merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dimaksudkan untuk mengatasi dua hal fundamental yang dihadapi suatu negara, yakni persoalan bercorak politik, termasuk yang bersumber pada keunikan dan perbedaan budaya; dan persoalan yang bercorak teknokratis-menejerial, yakni keterbatasan kapasitas suatu daerah atau suatu wilayah dalam menjalankan fungsi dasar pemerintahan.44 Sementara, menurut Peter Harris dan Ben Reilly, melalui desentralisasi asimetris ini, wilayah-wilayah tertentu di dalam suatu negara diberikan kewenangan khusus yang tidak diberikan kepada wilayah-wilayah lain.45
43
Agung Djojosoekarto, dkk., 2008, Kebijakan Otonomi Khusus di Indonesia, Pembelajaran dari Kasus Aceh, Papua, Jakarta, dan Yogyakarta, Kemitraan, Jakarta, hlm. 10. 44 Ibid. 45 Jacobus Perviddya Solossa, 2006, Otonomi Khusus Papua, Mengangkat Martabat Rakyat Papua di Dalam NKRI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 53. Lihat juga, Riris Katharina, 2011, Implementasi Otonomi Khusus di Provinsi Papua (Tinjauan Terhadap Peran DPRP dan MRP), dalam http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_tim/buku-tim-19.pdf, diakses pada 5 Desember 2015.
PAGE 21
Otonomi khusus adalah kewenangan khusus yang diberikan kepada daerah ‘tertentu’ untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri tetapi sesuai dengan hak dan aspirasi masyarakat di daerah tersebut. Kewenangan ini diberikan agar daerah ‘tertentu’ dapat menata daerah dan bagian dari daerah tersebut agar lebih baik lagi di bidang tertentu sesuai dengan aspirasi daerahnya. Otonomi khusus ditawarkan melebihi otonomi daerah biasa, karena otonomi ini diberikan kepada daerah ‘tertentu’ yang berarti daerah tersebut mempunyai kelompok gerakan kemerdekaan yang ingin memisahkan dirinya (daerahnya) dari wilayah NKRI. Jadi secara tidak langsung, pemerintah memberikan otonomi khusus ini sebagai bentuk pendekatan damai agar kelompok gerakan tersebut tidak terus bergejolak. Pendekatan dan pemberlakuan desentralisasi asimentris atau otonomi khusus, menurut Hurst Hannum, yang mengistilahkan dengan territorial autonomy, paling tidak terdapat dua manfaat, yaitu: 1. Sebagai solusi terhadap kemungkinan terjadinya konflik etnis, atau konflikkonflik fisik lainnya. Contohnya, Hong Kong jelas bagian daerah kedaulatan negara Cina, tetapi memberikan sejumlah kewenangan penting kepada Hong Kong dalam bidang politik, hukum dan ekonomi. 2. Sebagai respon demokratis dan damai terhadap keluhan/masalah-masalah kaum minoritas yang hak-haknya selama ini dilanggar/kurang diperhatikan.46 Otonomi khusus baru dikenal dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia di era reformasi. Sebelumnya, hanya dikenal istilah daerah khusus dan daerah istimewa.47 Pada masa lalu, daerah khusus adalah daerah yang memiliki struktur pemerintahan yang berbeda dengan daerah lain karena kedudukannya, sedangkan daerah istimewa adalah daerah yang memiliki struktur pemerintahan berbeda karena perbedaan atau keistimewaan berupa susunan asli masyarakat.
46
Ibid, hlm. 55. Pasal 18 UUDNRI 1945 sebelum Perubahan menyatakan “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan negara, dan hak-hak asalusul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.” 47
PAGE 22
Otonomi khusus secara resmi menjadi bagian dari system penyelenggaraan negara melalui Perubahan Kedua UUD 1945. Keberadaan otonomi khusus merupakan salah satu bagian dari pembalikan politik penyelenggaraan negara yang semula bersifat sentralistis dan seragam menuju kepada desentralisasi dan penghargaan kepada keberagaman. Hal ini selaras dengan demokratisasi yang menjadi arus utama reformasi. Demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan menghendaki adanya desentralisasi dan penghormatan terhadap keberagaman daerah.48 Dari sisi sosial ekonomi, sentralisasi yang telah dipraktikkan selama masa orde baru telah melahirkan kesenjangan pusat dan daerah, serta kesenjangan antar daerah, yang berujung kepada ancaman terhadap integrasi nasional. Desentralisasi dalam bingkai otonomi daerah diharapkan dapat mewujudkan hubungan pusat daerah dan antar daerah yang lebih adil dan demokratis. Khusus untuk Aceh dan Papua, pemberian otonomi khusus juga diharapkan dapat menyelesaikan konflik integrasi yang telah berkepanjangan. Otonomi khusus berdasarkan UUDNRI 1945 Pasca Perubahan memiliki perbedaan mendasar jika dibandingkan dengan daerah khusus berdasarkan UUDNRI 1945 sebelum perubahan. Otonomi berarti daerah memiliki hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengurus rumah tangga sendiri atau urusan daerah sendiri diluar urusan tertentu yang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Otonomi khusus berarti hak, wewenang, dan kewajiban yang dimiliki suatu daerah ditentukan berbeda dengan daerah pada umumnya. Otonomi diberikan kepada daerah sebagai kesatuan hukum, bukan kepada pemerintah daerah. Otonomi khusus berbeda dengan daerah khusus karena di dalam otonomi khusus perbedaan dengan daerah lain bukan hanya dari sisi struktur pemerintah daerah, melainkan juga meliputi perbedaan ruang lingkup hak, wewenang, dan kewajiban yang dimiliki daerah, serta pola dan proporsi hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah khusus.
Pasal 18B ayat (1) UUDNRI 1945 menyatakan bahwa “Negara menagkui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undangundang.” 48
PAGE 23
BAB III OTONOMI KHUSUS ACEH DAN PAPUA DALAM KERANGKA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA A. Otonomi Khusus Aceh Aceh memiliki dua atribut otonomi khusus. Pertama melalui UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi NAD, dan yang Kedua melalui UU No, 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pada kebijakan pertama, pertimbangan pemberian otonomi khusus adalah: (1) bahwa sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang; (2) bahwa salah satu karakter khas dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh adalah adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi yang bersumber pada pandangan hidup, karakter sosial, dan kemasyarakatan dengan budaya Islam yang kuat sehingga Daerah Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3) bahwa untuk memberi kewenangan yang luas dalam menjalankan pemerintahan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dipandang perlu memberikan otonomi khusus; (4) bahwa UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dipandang belum menampung sepenuhnya hak asal-usul dan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh; dan (5) bahwa pelaksanaan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh perlu diselaraskan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.49
49
Agung Djojosoekarto & Rudiarto Sumarwono, Kebijakan Otonomi Khusus di Indonesia, dapat diakses di www.kemitraan.or.id.
PAGE 24
Dasar pertimbangan pemberian kekhususan melalui UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh adalah: (1) bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa; (2) bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi; (3) bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syariat Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (4) bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik; (5) bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.50 Sebagai upaya menentukan arah politik hukum sebagaimana digariskan oleh GBHN tahun 1999-2004, maka dengan keluarnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006) untuk wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dideklarasikan adanya Peradilan Syari’at Islam sebagai bagian dari sistem Peradilan Nasional yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun (Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan Pasal 128 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006). Dengan demikian lingkungan Peradilan di Indonesia yang menjalankan kekuasaan kehakiman yang bebas dari pihak manapun terdiri dari: Peradilan
50
Ibid.
PAGE 25
Umum; Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah; Peradilan Militer; dan Peradilan Tata Usaha Negara. Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa Aceh merupakan daerah Istimewa dengan otonomi khusus sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001. Namun Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 kemudian dicabut dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 menempatkan titik berat otonomi khusus pada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang pelaksanaannya diletakkan pada daerah Kabupaten dan Kota atau nama lain secara proporsional. Kekhususan ini merupakan peluang yang berharga untuk melakukan penyesuaian struktur, susunan, pembentukan dan penamaan pemerintahan di tingkat lebih bawah yang sesuai dengan jiwa dan semangat berbangsa dan bernegara yang hidup dalam nilai-nilai luhur masyarakat Aceh, diatur dalam Peraturan Daerah yang disebut dengan Qanun.51 Berbeda halnya dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang tidak menyebutkan secara tegas dimanakah letak titik berat otonomi tersebut, lebih lanjut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dengan tegas menyebutkan Aceh adalah daerah otonomi khusus. Hal ini dapat dilihat dari judul Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, meskipun apa yang menjadi kewenangan yang bersifat khusus tersebut tidak dirumuskan secara jelas dan tegas. Hanya ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) UndangUndang Nomor 18 Tahun 2001 bahwa kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diatur dalam undang-undang ini adalah kewenangan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus. Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dijelaskan Undangundang ini pada prinsipnya mengatur kewenangan pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang merupakan kekhususan dari kewenangan pemerintahan daerah, selain sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
51
Penjelasan UU No. 18 Tahun 2001
PAGE 26
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Konsep kekhususan dan keistimewaan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam konsideran menimbang a disebutkan: “…pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Ketentuan lebih lanjut dalam Penjelasan Umum disebutkan aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini Papua secara tegas disebutkan dalam judul Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Untuk Papua status Otonomi Khusus jelas dari judul Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana halnya juga dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi aceh. Otonomi khusus tidak menonjol dalam beberapa ketentuan atau penjelasannya. Hal tersebut dikarenakan dalam MoU Helsinki tidak dipakai istilah otonomi khusus, karena oleh pihak GAM tidak dianggap sebagai sesuatu yang mencerminkan sifat pemerintahan yang diinginkan.
B. Otonomi Khusus Papua Pada saat kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan terhadap belahan barat pulau Nugini (Papua), dan mengizinkan langkah-langkah menuju pemerintahan-sendiri dan pendeklarasian kemerdekaan pada 1 Desember 1961. Negosiasi dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia gagal, dan pasukan penerjun payung Indonesia mendarat di Irian pada 18 Desember sebelum kemudian terjadi pertempuran antara pasukan Indonesia dan Belanda pada 1961 dan 1962. Pada 1962 Amerika Serikat menekan Belanda agar setuju melakukan perbincangan rahasia
PAGE 27
dengan Indonesia yang menghasilkan Perjanjian New York pada Agustus 1962, dan Indonesia mengambil alih kekuasaan terhadap Irian Jaya pada 1 Mei 1963. Namun setelah menjadi bagian dari NKRI, ternyata kehidupan masyarakat di Irian Jaya tidak semakin membaik. Selain banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia, Irian Jaya juga menjadi provinsi yang paling lambat dalam segala bidang pembangunan seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Akibat dari hal-hal tersebut maka muncul sekelompok masyarakat yang tidak puas dengan pemerintah pusat dan akhirnya membentuk kelompok separatis yang dikenal dengan OPM yang menginginkan agar Irian Jaya lepas dari NKRI. Penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Irian Jaya selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Irian Jaya, khususnya masyarakat Irian Jaya. Presiden Megawati, yang menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2001, merespon tuntutan merdeka untuk Papua dengan menandatangani UU No. 21 Tahun 2001 tanggal 21 November 2001 tentang Otonomi Khusus. UU ini dapat dilihat terlahir sebagai penyelesaian konflik yang win-win solution antara rakyat Papua yang berkeinginan terlepas dari NKRI serta Pemerintah RI yang kokoh-teguh mempertahankan kedaulatan NKRI. UU Otsus bagi Provinsi Papua ini merupakan pengakuan Pemerintah RI untuk melindungi hak ulayat orang Papua akan tanah, air, dan kekayaan Papua. Inilah prasyarat untuk mengangkat orang Papua dari ketertinggalan disbanding saudaranya di kawasan tengah dan timur. Sebagaimana dikemukakan dalam UU No. 21 Tahun 2001 yang telah dicabut melalui UU No. 35 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 21 Tahun 2001, Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam
PAGE 28
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat Papua. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosialbudaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum adat. Hal-hal mendasar yang menjadi isi Undang-Undang ini adalah: Pertama, pengaturan kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan; Kedua, pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar; Ketiga, mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yang berciri: a) partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan,
serta
pelaksanaan
pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan; b) pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat; c) penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggungjawab kepada masyarakat PAGE 29
Keempat, pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu. Latar belakang pemberian otonomi khusus kepada Papua juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 menggambarkan bahwa pemberian otonomi khusus kepada Papua dilatarbelakangi oleh pengakuan negara terhadap dua hal penting. Pertama, pemerintah mengakui bahwa hingga saat terbentuknya undang-undang tersebut terdapat permasalahan di Papua yang belum diselesaikan. Permasalahan itu meliputi berbagai bidang, baik dalam bidang politik, pemerintahan, ekonomi, maupun sosial dan budaya. Kedua, pemerintah mengakui bahwa telah terjadi kesalahan kebijakan yang diambil dan dijalankan untuk menyelesaikan berbagai persoalan di Papua. Diakui secara tegas bahwa apa yang dijalankan di Papua belum memenuhi rasa keadilan, belum memungkinkan tercapainya kesejahteraan, penegakan hukum, dan penghormatan terhadap HAM, khususnya bagi masyarakat Papua. Berdasarkan latar belakang pembentukan UU Otonomi Khusus Papua dapat diketahui bahwa tujuan pemberian Otonomi khusus adalah untuk menyelesaikan akar masalah Papua sesuai dengan aspirasi masyarakat Papua. Namun demikian, substansi UU Otonomi Khusus Papua itu sendiri tidak mencakup upaya penyelesaian seluruh akar persoalan di Papua. UU Otonomi Khusus Papua hanya dapat digunakan sebagai instrumen normatif untuk menyelesaikan akar persoalan berupa “kesenjangan, persamaan kesempatan, serta perlindungan hak dasar dan Hak Asasi Manusia.” Secara spesifik UU Otonomi Khusus Papua menyatakan bahwa tujuan Otonomi Khusus Papua adalah untuk mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua. Nilai-nilai dasar yang digunakan sebagai pijakan pemberlakuan Otonomi Khusus adalah perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara.
PAGE 30
C. Analisis Komprehensif Undang-undang mengenai pemerintahan daerah mengalami proses bongkar pasang yang sangat dinamis. Proses perubahan yang cukup cepat setelah diatur dengan UndangUndang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang,52 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.53 Terdapat beberapa perbedaan substansi penyelenggaraan pemerintahan daerah antara UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 dengan undang-undang ini. Walaupun demikian, belum sempat dilaksanakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014, pada 2 Oktober 2014, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, membatalkan undang-undang tersebut dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Perpu Pilkada).54 Sebagaimana, Pasal 205 Perpu Pilkada tersebut menyebutkan: “Pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 243, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun Nomor 5586) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.” Namun demikian, sebelum substansi pemilihan wakil kepala daerah ini dilaksanakan, setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 diganti dengan Perpu Pilkada yang selanjutnya ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015, substansi ini diubah (dihapus). Khususnya, penghapusan terhadap Pasal 167-Pasal 172 52
Undang-undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang, UU No.2 Tahun 2015, LN No.24 Tahun 2015, TLN No. 5657. 53 Undang-undang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU No.9 Tahun 2015, LN No.58 Tahun 2015, TLN No. 5679. 54 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota, Perpu No.1 Tahun 2014, LN No.245 Tahun 2014, TLN No. 5588.
PAGE 31
mengenai pemilihan wakil kepala daerah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Sehingga, sebagaimana Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, pemilihan wakil kepala daerah dilakukan serentak dengan pemilihan kepala daerah. Sebagaimana diketahui, secara legalitas, otonomi daerah kita hanya mengenal dua sistem, yaitu otonomi khusus (otsus) dan otonomi daerah (otda) berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004. Dalam sistem otsus, mekanisme berjalan menurut bingkai perundangan yang dirancang dengan memperhatikan kekhususan tertentu secara definitif. Pertimbangan lain ialah karakteristik dimiliki daerah tertentu, terutama aspek rendahnya kualitas hidup, ketertinggalan, dan aspek politis. Aspek politis Aceh dan Papua lebih dominan dibandingkan dengan provinsi lain karena secara teoretis saat itu otsus diharapkan menjadi lem perekat kesatuan provinsi ini sebagai bagian integral NKRI. Dalam terminologi teoretis, Mark Turner dan BC Smith menyebutnya a glue of national integration. Semakin hari, kita menyaksikan semakin banyak kompleksitas pemerintahan di tingkat provinsi menyusul sedikitnya ruang gerak provinsi dalam konteks peraturan sekarang. Dalam rangka mengakui dan mengembangkan hak-hak adat, kekayaan intelektual masyarakat, serta keadilan dalam perspektif hubungan pusat-daerah, diperlukan solusi interpretatif yang cerdas tanpa mengurangi kehati-hatian dalam memberikan kewenangan lebih besar kepada provinsi. Selama ini, terjadi ketegangan dan tarik-ulur kewenangan antara pusat serta daerah yang bermuara pada kebuntuan. Situasi ini akan berjalan tanpa akhir selama belum ditemukan konteks legal untuk basis penyelesaian persoalan di atas. Tanpa upaya mencari solusinya, kondisi ini akan menjadi ancaman bagi keutuhan NKRI.55
55
News: Desentralisasi Asimetris - Prof. Said M. Mas'ud, Ph.D. dapat diakses melalui http://www.profmmasudsaid.com/news-desentralisasi-asimetris.html
PAGE 32
Untuk kasus Indonesia, fokus otda yang diletakkan pada kabupaten dan kota sudah tepat. Otsus di level provinsi untuk Aceh dan Papua juga sudah masuk akal. Namun, kita masih melihat adanya kelemahan saat dihadapkan pada situasi pemerintahan provinsi lain yang beraneka ragam. Ada alasan mengapa otsus diberlakukan di level provinsi, yakni, dalam posisi barunya di perundang-undangan, ia adalah ujung tombak, wakil pemerintah di daerah, sekaligus sebagai daerah otonom. Fondasi dan nilai utama otonomi khusus adalah demokrasi sekaligus memperkuat NKRI. Dengan posisi asimetris untuk sektor tertentu ini, kehendak mengubah posisi politik provinsi dari semula sebagai ancaman disintegrasi menuju kebebasan terbatas untuk mengembangkan diri sebagaimana dijamin pasal 18 UUD 1945 bisa ditingkatkan. Selama ini daerah yang membuat gerakan untuk lepas dari NKRI bukanlah pada level kabupaten atau kota, tetapi provinsi. Dengan menambah keleluasaan yang sewajarnya di tingkat provinsi, diharapkan ia bisa menjadi jantung pertahanan agar daerah tak menerabas melebihi haknya untuk berubah. Pelaksanaan otonomi khusus bagi Aceh dan Papua bukan hanya akan mengakomodasi keberagaman yang ada, tetapi juga memberi keleluasaan bagi mereka untuk memperkuat jati diri dalam kerangka NKRI. Dari dua daerah yang memiliki otonomi khusus, Aceh dapat dikatakan telah cukup berhasil, namun tidak demikian halnya dengan Papua. Aceh telah mampu meminimalisir konflik dan kekerasan bersenjata dan menjalankan roda pemerintahan daerah dengan relatif baik dibandingkan dengan Papua, walaupun masih terdapat riak-riak kecil kekerasan. Hal ini berbeda dengan Papua yang masih dirundung konflik bersenjata dan kerap terjadi kekerasan. Tentu saja ada banyak faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan di dua daerah tersebut. Namun dua faktor yang paling menonjol adalah penyelesaian konflik dan pelaksanaan otonomi khusus. Perbedaan mendasar antara Aceh dengan Papua adalah dalam hal penyelesaian konflik. Di Aceh, konflik politik pemisahan diri diselesaikan terlebih dahulu sebelum penerapan Otonomi Khusus. Otonomi khusus yang diberlakukan di Aceh adalah produk kesepakatan bersama dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik
PAGE 33
sehingga pelaksanaannya pun dipahami bersama sebagai bentuk tindak lanjut penyelesaian konflik. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Papua. Otonomi Khusus Papua tidak dapat dikatakan sebagai bentuk kesepakatan bersama, melainkan produk dari pemerintah pusat untuk meredam konflik yang terjadi di Papua. Jika Otonomi Khusus Aceh adalah bentuk tindak lanjut dari penyelesaian konflik, Otonomi Khusus Papua dibuat sebagai upaya untuk menyelesaikan konflik. Akibatnya, belum ada pemahaman bersama dari pihak-pihak yang terlibat konflik terhadap eksistensi Otonomi Khusus. Bagi pemerintah pusat, Otonomi Khusus adalah wujud nyata ikhtiar untuk menyelesaikan konflik, sedangkan bagi sebagian masyarakat Papua Otonomi Khusus adalah ciptaan pemerintah pusat untuk menghentikan perlawanan mereka. Terhadap Otonomi Khusus, memang terdapat masyarakat Papua yang terlibat dalam pembentukan dan menerimanya sebagai jalan terbaik bagi terwujudnya kedamaian di Papua. Demikian pula dari sisi substansi, UU Otonomi Khusus Papua memang telah memberikan porsi yang lebih besar kepada masyarakat Papua. Namun hal itu berubah menjadi bagian dari sumber konflik ketika UU Otonomi Khusus Papua tidak dilaksanakan dengan konsisten. Hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada Papua seringkali dibatasi, dikurangi, bahkan ditarik kembali ke pusat melalui berbagai peraturan perundangan yang bersifat operasional dan sektoral. Hasil riset Patnership mengenai Kinerja Otonomi Khusus Papua (2008) menunjukkan tingginya tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap pelaksanaan Otonomi Khusus Papua. Bahkan disebutkan bahwa otonomi khusus justru meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah. Penelitian tersebut mengidentifikasi beberapa alasan ketidakberhasilan Otonomi Khusus Papua, yaitu:56 a. Beberapa substansi dalam UU Otonomi Khusus justru menimbulkan konflik yang tidak terselesaikan antara masyarakat Papua dengan pemerintah, seperti masalah lambang
56
Agung Djojosoekarto, dkk., 2008, Kinerja Otonomi Khusus Papua, Jakarta, Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia.
PAGE 34
dan bendera daerah. Walaupun keberadaan lambang dan bendera diakui dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2001 tetapi tidak mendapatkan rumusan lebih lanjut dan justru dihalang-halangi oleh pemerintah. Kasus pengibaran Bendera Bintang Kejora adalah contoh yang sering terjadi. Aparat TNI dan Polri menolak pengibaran bendera bintang kejora. b. Dalam implementasinya, dimensi politik dalam penyelesaian masalah Papua jauh lebih kuat dibanding pembangunan dan peningkatan kesejahteraaan. Otonomi Khusus lebih banyak diisi oleh peristiwa politik seperti pemekaran, demonstrasi, pengembalian Otonomi Khusus hingga Pilkada. Sangat sedikit ruang yang tersedia untuk programprogram konkrit guna meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua demi menghilangkat kesenjangan antara pusat dan Papua, antara daerah lain dengan Papua, bahkan antara penduduk asil Papua dengan pendatang. c. Perumusan aturan tatalaksana Otonomi Khusus tidak berjalan secepat pengucuran dana Otonomi Khusus. Peraturan Pemerintah tentang MRP baru selesai setelah 3 tahun Otonomi Khusus. Perdasus pertama baru muncul enam tahun setelah Otonomi Khusus. Padahal sejak tahun 2002, dana Otonomi Khusus dalam jumlah yang sangat besar terus mengucur. Akibatnya tidak ada satu kerangka aturan yang bisa menjamin dana Otonomi Khusus mengalir untuk pembangunan yang berorientasi meningkatkan taraf hidup masyarakat. Sebaliknya, dana Otonomi Khusus banyak ditengarai dikorupsi atau digunakan untuk kepentingan para elit di Papua. d. Evaluasi terhadap Otonomi Khusus yang seharusnya dilakukan setiap tahun setelah evaluasi pertama pada tahun ketiga sebagaimana diamanatkan UU Otonomi Khusus tidak dilakukan secara mendalam dan komperehensif. Akibatnya masyarakat tidak pernah mendapatkan potret pelaksanaan Otonomi Khusus dalam hal pemenuhan hakhak mendasar mereka secara utuh. Yang berkembang di tengah masyarakat adalah bahwa dana Otonomi Khusus banyak diselewengkan oleh birokrasi pemerintahan; e. Otonomi Khusus memang terinformasikan kepada masyarakat luas (dalam hal ini di kota dan kabupaten Jayapura) tetapi tidak well-informed. Masyarakat mengetahui tentang Otonomi Khusus tetapi tidak memahaminya secara menyeluruh. Dengan
PAGE 35
realitas seperti itu, Otonomi Khusus berjalan menjadi kebijakan yang tidak partisipatif. Kebijakan yang dijalankan dengan satu perspektif tunggal dari pemerintah. Ketidakberhasilan Otonomi Khusus setidaknya bersumber pada lima hal. Pertama, pelaksanaan otonomi khusus tidak diimbangi dengan upaya penyelesaian konflik politik secara damai. Hal ini mengakibatkan politisasi pelaksanaan otonomi khusus baik oleh pemerintah pusat maupun oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat sendiri. Otonomi khusus bergeser menjadi isu-isu politik, bukan program nyata untuk meningkatkan taraf hidup dan penghargaan hak dasar masyarakat sesuai dengan latar belakang kebijakan otonomi khusus itu sendiri. Pemerintah pusat masih menggunakan pendekatan keamanan yang bertolak belakang dengan tujuan otonomi khusus untuk meningkatkan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Kedua, pendekatan kemanan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan otonomi khusus sudah tercerabut dari nilai-nilai dasar yang telah ditetapkan, yaitu perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara. Masih maraknya kekerasan dan pelanggaran HAM, tidak adanya proses hukum, belum terbentuknya pengadilan HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, menunjukkan bahwa Otonomi Khusus hanya dilaksanakan secara parsial. Untuk hal-hal tertentu masih terdapat ketidakpercayaan pemerintah terhadap masyarakat untuk melaksanakan otonomi khusus. Ketiga, terdapat kecenderungan menggerogoti otonomi khusus yang diberikan dengan memperkuat kembali pola pemerintahan yang sentralistik. Penggerogotan kekhususan otonomi khusus juga terjadi dalam bentuk berbagai kebijakan desentralisasi yang tidak meletakkan titik berat otonomi di provinsi, tetapi menitikberatkan otonomi di tingkat kabupaten dan kota sehingga menimbulkan konflik antar satuan pemerintahan daerah. Keempat, masih kurangnya kapasitas kelembagaan yang diperlukan untuk menjalankan otonomi khusus baik karena status legal formal maupun karena kondisi politik yang bersifat khusus. Sebagai contoh, MRP di Papua yang merupakan representasi kultural PAGE 36
belum mampu mewarnai kebijakan dan mengontrol pelaksanaan pemerintahan. Sedangkan di aceh, GAM yang sebagian besar telah bertransformasi dalam Partai Aceh belum mampu memberikan kontribusi yang berarti untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Aceh. Bahkan semakin hari, permasalahan internal partai dan mantan kombatan GAM menjadi permasalahan tersendiri dalam menjalankan pemerintahan di Aceh. Produk hokum yang dihasilkan juga belum mampu benjawab permasalahan dalam masyarakat Aceh sendiri, bahkan terkesan hanya memenuhi keinginan para elit politik yang sedang berkuasa.
PAGE 37
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan pada bab-bab terdahulu, dengan ini Penulis dapat merumuskan kesimpulan dalam beberapa aspek terkait penerapan otonomi khusus Aceh dan Papua dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia: 1. Bahwa sebenarnya penerapan otonomi khusus selaras dengan amanat konstitusi dalam UUDNRI 1945 dan Penjelasannya, bahkan sebelum adanya Amandemen. Negara mengakui dan menghormati daerah yang bersifat istimewa dan mengakui adanya hak asal usul. Daerah yang diberikan keistimewaan dan kekhususan melalui UU khusus atau istimewa adalah Provinsi Aceh, Papua, Papua Barat, DKI Jakarta dan DI Yogyakarta. UUDNRI 1945 setelah amandemen memberikan landasan yuridis yang kuat melalui Pasal 18B ayat (1) yang melahirkan UU khusus dan istimewa bagi Provinsi Aceh dan Papua. 2. Penerapan otonomi khusus dalam kerangka NKRI harus memperhatikan bentuk dari negara, artinya selama daerah yang diberikan kekhususan dan keistimewaan tetap berada dalam kerangka NKRI, maka otonomi khusus tidak menjadi sebuah masalah.
B. Saran Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan pada tulisan ini, Penulis menyampaikan saran-saran terhadap Pemerintah Pusat, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah, khususnya Pemerintah Aceh dan Papua, sebagai berikut: 1. Untuk Pemerintah Pusat, DPR RI dan DPD RI sebagai pembuat undang-undang, sebaikanya peraturan mengenai otonomi khusus diperjelas dan dipertegas, dengan membuat rancangan dan panduan yang terarah, dipikirkan secara matang dan terukur mengingat keberagaman dan luasnya wilayah NKRI. Selanjutnya Pasal 18B ayat (1)
PAGE 38
UUDNRI 1945 dibuat secara khusus undang-undang turunannya mengenai kriteria dan standar pemberian daerah khusus maupun istimewa, mengingat selama ini pemberian kekhususan dan keistimewaan lebih berdasarkan pada pertimbangan politis dan sejarah saja. 2. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus sama-sama ikhlas dan memiliki itikad baik dalam melaksanakan kewenangannya masing-masing, untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Persamaan persepsi terhadap konteks otonomi khusus yang telah diberikan dapat meminimalisir permasalahan dalam menjaga hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. 3. Untuk Pemerintah Daerah yang telah mendapatkan kekhususan seperti Aceh dan Papua, sebaiknya mampu memanfaatkan sebaik-baiknya potensi daerahnya dan mewujudkan cita-cita bangsa Indoensia yang adil, makmur dan sejahtera. Perlu dibentuk produk hokum yang khusus dan sesuai dengan kebutuhan daerahnya masingmasing.
PAGE 39
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Abu Daud Busroh, 1990, Ilmu Negara, PT. Bumi Aksara, Jakarta. Agung Djojosoekarto, dkk., 2008, Kebijakan Otonomi Khusus di Indonesia, Pembelajaran dari Kasus Aceh, Papua, Jakarta, dan Yogyakarta, Kemitraan, Jakarta. Agung Djojosoekarto, dkk., 2008, Kinerja Otonomi Khusus Papua, Jakarta, Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia. Agussalim A Gadjong, 2007, Pemerintahan Daerah: Kajian Politik dan Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor. Ahmad Sukardja, 2012, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Dalam Perspektif Fikih Siyasah, Sinar Grafika, Jakarta. Amrizal J Prang, 2015, Pemerintahan Daerah: Konteks Otonomi Simetris dan Asimetris, Biena Edukasi, Lhokseumawe. Astim Riyanto, 2010, Teori Negara Kesatuan, Yapemdo, Bandung. Axel Hadenius, 2003, Decentralization and Democratic Governance Experiences from India, Bolivia and South Africa, Sweden: Almqvist & Wiksell International. Bagir Manan, 1990, Hubungan antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi Menurut UUD 1945, Disertasi Universitas Padjadjaran, Bandung. Bhenyamin Hoessein dalam Hanif Nurcholis, 2005, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. CF Strong, 2004, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, terjemahan dari Modern Political Constitutions: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form, Nuansa dan Nusamedia, Bandung. Darmansjah Djumala, 2013, Soft Power Untuk Aceh, Resolusi Konflik dan Politik Desentralisasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, 1989, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan Kesebelas, Ichtiar Baru, Jakarta. F. Isjwara, 1995, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan Kesepuluh, Bina Cipta, Bandung. Faisal Akbar Nasution, 2007, Sumber-sumber Pembiayaan Daerah Otonom Dalam rangka Menunjang Keberhasilan Otonomi Daerah, Disertasi, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan.
PAGE 40
Hanif Nurcholis, 2005, Teori dan Praktiek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Hans Kelsen, 2006, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Terjemahan dari General Theory of Law and State, Nusamedia & Nuansa, Bandung. Hendarmin Ranadireksa, 2007, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokusmedia. Hilaire Barnet, 2000, Constitutional and Administrative Law, Ed. Ke-3, London: Cavendish Limited. Jacobus Perviddya Solossa, 2006, Otonomi Khusus Papua, Mengangkat Martabat Rakyat Papua di Dalam NKRI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Jimly Asshiddiqie, 2001, Pengantar Pemikiran UUD Negara Kesatuan RI, Jakarta, the Habibie Center. Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta. Jimly Assiddiqie, 2005, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Yarsif Watampane, Jakarta. Johny Ibrahim, 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya. K. Ramanathan, 2003, Asas sains politik, Fajar Bakti Sdn. Bhd., Selangor, Malaysia. Made Suwandi, 2002, http://raconquista.files.wordpress.com/2009/04/minggu-ii-suwandikonsepsi-otda.pdf. Mahfud MD, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES Indonesia, Jakarta. Mukhlis, 2014, Fungsi dan Kedudukan Mukim Sebagai Lembaga Pemerintahan dan Lembaga Adat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh, Disertasi, pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran, Bandung. News: Desentralisasi Asimetris - Prof. Said M. Mas'ud, Ph.D. dapat diakses melalui http://www.profmmasudsaid.com/news-desentralisasi-asimetris.html Riris Katharina, 2011, Implementasi Otonomi Khusus di Provinsi Papua (Tinjauan Terhadap Peran DPRP dan MRP), dalam http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_tim/buku-tim-19.pdf. B. Peraturan Perundang-Undangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota, Perpu No.1 Tahun 2014, LN No.245 Tahun 2014, TLN No. 5588.
PAGE 41
Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 23 Tahun 2014, LN RI Tahun 2004 No. 244, TLN RI No. 5587. Undang-Undang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang, UU No. 2 Tahun 2015, LN RI Tahun 2015 No. 24, TLN RI No. 5657. Undang-Undang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 9 Tahun 2015, LN RI Tahun 2015 No. 58, TLN RI No. 5679.
PAGE 42