KAJIAN PENGARUH AKTIVITAS SEMUT TERHADAP KARAKTERISTIK MIKROBIOLOGIS GAMBUT Mepa Amriyah1, Delita Zul2, Ahmad Muhammad2 1
Mahasiswa Program Studi S1 Biologi 2 Dosen Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Kampus Binawidya Pekanbaru, 28293, Indonesia e-mail :
[email protected]
ABSTRACT
Ground-dwelling ants build underground nests in peatland areas that have been converted into acacia plantation (“HTI”). The activity of the ants, such as bringing foods into their nests and excreting can alter the substrate availability for microorganisms in belowground environments. The present study is a preliminary investigation of the effect of ground-dwelling ant activity on the microbiological properties of subsurface peat. Samples of ants nest and peat were collected from Bukit Batu area in Bengkalis District, Riau Province. Peat inhabited by ants showed larger microbial C biomass (1461,83 C/hour/g sample) and hence the control peat (104,88 C/hour/g sample). The former (possibly also) demonstrated higher respiration rate (233,72 µg CO2/m2/hour). However, ant acitivities in their nests decreased total population of cellulolytic bacteria (9,3x103 CFU/g sample), hence also the cellulase activity (0,17 µg/hour/g sample). Key
words:
Acacia plantation, Cellulase Activity, Ground-dwelling Ants, Microbiological Properties, Microbial C Biomass, Peat, Respirastion Rate, Total Population of Cellulolytic Bacteria.
ABSTRAK Semut tanah membangun sarang bawah tanah pada lahan gambut yang telah dikonversi menjadi perkebunan akasia ("HTI"). Aktivitas semut, seperti membawa makanan kedalam sarang dan membuang kotoran dapat mengubah ketersediaan substrat bagi mikroorganisme dalam lingkungan di bawah tanah. Penelitian ini masih merupakan penelitian pendahuluan tentang pengaruh aktivitas semut tanah terhadap karakteristik mikrobiologis gambut bawah permukaan. Sampel sarang semut dan gambut dikumpulkan dari kawasan Bukit Batu di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Gambut yang dihuni oleh semut menunjukkan biomassa C mikroba lebih besar (1461,83 C/jam/g sampel) dan kontrol gambut (104,88 C/jam/g sampel). Sarang semut (mungkin
1
juga) menunjukkan laju respirasi yang lebih tinggi (233,72 mg CO2/m2/jam). Namun, aktivitas semut di dalam sarang semut menurunkan total populasi bakteri selulolitik (9,3x103 CFU/g sampel) dan oleh karenanya juga aktivitas selulase (0,17 mg/jam/g sampel). Kata kunci: Tanaman Akasia, Aktivitas Selulase, Semut Tanah, Sifat Mikrobiologi, Biomassa C Mikroba ,Gambut, Laju Respirasi, Total Populasi Bakteri Selulolitik. PENDAHULUAN Perubahan kondisi lahan gambut dapat mengundang kehadiran makrofauna tanah yang biasa hidup di bawah permukaan tanah (Ayu et al. 2013; Purnasari et al. 2013; Saputra et al. 2013), seperti berbagai spesies semut tanah (Rodhiyah et al. 2013). Fauna ini dikenal sebagai ecosystem engineers karena aktivitasnya dapat mempengaruhi struktur tanah (Decaens et al. 2001). Pembuatan sarang di bawah permukaan tanah, misalnya, membuat tanah berongga dan lebih berpori. Pengangkutan makanan kedalam sarang dan pembuangan kotoran dalam sarang memperkaya lingkungan di bawah permukaan tanah dengan bahan-bahan organik. Hal ini diduga mempengaruhi ketersediaan substrat bagi pertumbuhan mikroba di bawah permukaan gambut. Oleh karenanya, gambut yang digunakan sebagai sarang semut tanah kemungkinan memiliki karakteristik mikrobiologis yang berbeda apabila dibandingkan dengan gambut yang tidak dipengaruhi oleh semut. Kehadiran mikroba, terutama bakteri-bakteri selulolitik berpotensi memiliki dampak penting terhadap gambut, mengingat salah satu komponen utama penyusun gambut adalah selulosa (REF). Bakteri-bakteri semacam ini dapat mempercepat laju dekomposisi gambut. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh aktivitas semut terhadap karakteristik mikrobiologis gambut yang ditinjau dari: (a) biomassa karbon mikroba; (b) laju respirasi tanah; (c) aktivitas enzim selulase; dan (d) total populasi bakteri selulolitik. Manfaat yang didapat dari penelitian ini yaitu menghasilkan informasi tentang peranan semut tanah dalam proses daur hara pada lahan gambut dan mendapatkan informasi tentang aktivitas semut tanah yang terlibat dalam pendauran unsur-unsur hara yang sangat penting bagi pengelolahan lahan gambut secara berkelanjutan.
METODE PENELITIAN Sampel tanah diperoleh dari tiga lokasi yaitu HTI Observasi (GSa-H1), HTI Blok 2 (GSa-H2), HTI Tanjung Leban (GSa-H3), dan gambut kontrol (GKo) Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu Kabupaten Bengkalis-Siak Provinsi Riau. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2012 sampai Februari 2013 di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau.
2
Pengukuran Biomassa C Mikroba Pengukuran biomassa mikroba dengan metode chloroform fumigation incubation (CFI). Sampel tanah ditimbang sebanyak 10 gr, kemudian dikering anginkan hingga mencapai 40% kapasitas lapang tanah. Subsampel tersebut difumigasi selama 48 jam dengan menambahkan 30 ml CHCl3 bebas alkohol yang didihkan selama 2 menit tiap 24 jam. Kemudian CHCl3 dikeluarkan dan dilakukan defumigasi sebanyak tiga kali selama 2 menit. Selanjutnya subsampel diekstraksi dengan 40 ml 0,5 M K2SO4 (Ecs). Untuk subsampel tanah yang sama, 5 gr tanah sampel diekstraksi dengan 40 ml 0,5 M K2SO4 (Eck) tetapi tanpa perlakuan fumigasi dan defumigasi. Ekstrak tanah disaring dengan kertas Whatman no. 42. Biomasa karbon mikroba dalam ekstrak subsampel tanah dihitung dengan metode titrasi (Anderson dan Ingram 1992). Ekstrak subsampel tanah ditambahkan 3-4 tetes larutan indikator (phenanthroline monohydrate) sambil diaduk, dilanjutkan titrasi dengan penambahan larutan ferrous ammonium sulphate hexahydrate dan dihentikan ketika warna larutan berubah dari hijau/ungu menjadi merah. Pengukuran Laju Respirasi Tanah Pengukuran laju respirasi tanah berdasarkan produksi CO2 oleh organisme tanah. Kecepatan respirasi tanah ex situ diukur dengan cara: botol vial (W1) diisi dengan 20 ml larutan 1 M KOH. Kemudian Wadah W1 diletakan dalam botol selai (W2) yang telah berisi 50 g tanah. Gas CO2 yang dilepaskan oleh organisme tanah akan terperangkap dalam wadah W2 dan berikatan dengan larutan KOH dalam wadah W1. Untuk kontrol, dimana wadah W1 yang diisi dengan 20 ml larutan 1 M KOH ditutup rapat. Setelah inkubasi selama 7 hari pada suhu kamar yang selanjutnya dilakukan titrasi. Botol vial (W1) tersebut terlebih dahulu ditambahkan 2 tetes phenolphthalein sebelum titrasi dilakukan. Titrasi dimulai dengan penambahan larutan 1 M HCl ke dalam botol vial (W1) dan dihentikan ketika larutan KOH berubah warna dari merah muda menjadi bening. Laju respirasi tanah (mg CO2/g tanah/jam) dihitung berdasarkan konsentrasi CO2 yang terukur dengan memperhitungkan jumlah tanah dan waktu inkubasi. Total Populasi Bakteri Selulolitik Total populasi bakteri selulolitik dihitung pada medium Cellulose Congo Red Agar (Hendricks et al. 1995) dengan pH 5 dan dilakukan pengenceran menggunakan pelarut NaCl 0,85% dengan seri pengenceran 10-2-10-3.. Untuk setiap sampel tanah 1 gr tanah ditambahkan 9 ml 0,85% larutan NaCl steril dan divortex dengan kecepatan maksimum selama 5 menit. Sampel (0,1 ml) dengan faktor pengenceran 10-2-103 dituang ke petridish yang telah berisi medium. Dengan menggunakan sampel tanah yang sama, sampel diinokulasi dari pengenceran 10-2-10-3 ke medium dan diratakan dengan dryglasky dan diinkubasi pada suhu kamar selama 2-10 hari. Koloni tampak yang tumbuh pada medium membentuk zona bening dan diamati setiap hari pertumbuhannya serta dihitung jumlah koloninya.
3
Pengukuran Aktivitas Selulase Sebanyak 1 gram sampel tanah ditambahkan 10 ml substrat analog (V1) (Sigmacell selulosa 20 m 2%). Larutan tersebut dishaker di inkubator dengan kecepatan 180 rpm pada suhu 28ºC selama 24 jam dalam keadaan gelap. Setelah masa inkubasi ditambahkan 25 ml aquades kemudian suspensinya disaring menggunakan kertas Whatman No 42. Dua paralel sampel sebagai kontrol diinkubasi bersamaan yaitu: (1) 1 gr sampel tanah yang ditambahkan 10 ml buffer asetat 0,05M pH 5 sebagai pengganti substrat analog, dan (2) 6 ml buffer asetat 0,05M pH 5 ditambahkan 5 ml substrat analog. Aktivitas enzim diukur berdasarkan jumlah gula reduksi yang terbentuk dengan metode Nelson-Somogyi (Alexander dan Griffiths 1993), dimana 5 ml subsampel reaksi hasil penyaringan ditambahkan 1 ml reagen Nelson (4 Nelson A : 1 Nelson B) dan dipanaskan di atas penangas air selama 10 menit. Setelah larutan dingin, ditambahkan 1 ml reagen arsenomolibdat, kemudian divorteks dan didiamkan selama 5 menit. Larutan diencerkan dengan aquades sehingga volume larutan mencapai 10 ml lalu divorteks dan dibaca dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm. Nilai absorbansi yang diperoleh diplotkan pada kurva standar untuk mengetahui konsentrasi glukosa (gula reduksi) pada sampel. Analisis Data Data dari hasil pengukuran karakter fisika dan kimia tanah disajikan dalam bentuk tabel. Data hasil perhitungan total populasi mikroba, biomassa C mikroba, pengukuran laju respirasi tanah, dan aktitas enzim selulase disajikan dalam bentuk grafik dan selanjutnya dianalisis menggunakan One-Way ANOVA, serta diuji lanjut menggunakan LSD pada taraf nyata 5% dalam program SPSS 16,0.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sampel Hasil pengukuran beberapa parameter fisika dan kimia terhadap sampel-sampel dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 1. Parameter tersebut meliputi pH, kandungan air (%), berat kering (%), dan berat volume (g/cm³). Sampel sarang semut (GSa) cenderung memiliki pH yang lebih tinggi (>4,5) dan berat kering yang lebih besar dibanding sampel gambut kontrol (GKo). Tetapi sebaliknya, sampel GSa cenderung memiliki berat volume dan kandungan airnya lebih kecil dibanding gambut kontrol (GKo). Tabel 1. Karakteristik fisika dan kimia sampel Sampel*
n
pH
Gsa Gko
20 4
4,7±0,5 4,0±0,5*
Kandungan Air (%) 55,0±0,2 59,8±0,2*
Berat Kering (%) 45,0±0,2 40,2±0,2*
Berat Volume (g/cm³ ) 0,27±0,04 0,38±0,13*
*Keterangan: GSa (gambut sarang semut); GKo (gambut kontrol); *data dari nilai HTI Hadri 2010)
4
Nilai pH lebih tinggi didapatkan dalam sarang semut. Mekanisme bagaimana aktivitas semut mempengaruhi pH tanah masih belum diketahui dengan jelas. Tetapi banyak temuan menunjukkan bahwa aktivitas tersebut cenderung menggeser pH tanah ke arah netral. Pada tanah-tanah yang memiliki pH tinggi, diketahui sarang semut memiliki pH yang lebih rendah dari lingkungan sekitarnya, sebaliknya pada tanahtanah yang memiliki pH rendah sarang semut memiliki pH yang lebih tinggi dari lingkungan sekitarnya (Frouz & Jilkova 2008). Lebih besarnya berat kering GSa dari berat kering GKo mengindikasikan bahwa semut tanah kemungkinan lebih menyukai bagian-bagian lahan gambut yang memiliki kandungan air tertentu. Berdasarkan pengamatan di lapangan (oleh AM), diperoleh kesan bahwa semut tanah lebih banyak ditemukan pada bagian-bagian yang relatif lebih kering dari sekitarnya. Sementara lebih kecilnya berat volume GSa dari berat volume GKo menunjukkan terjadinya pengurangan massa gambut karena diangkut oleh semut tanah ketika membangun sarangnya.
Biomassa C Mikroba tanah µg C/g sampel
Biomassa C mikroba Pemeriksaan sampel-sampel yang diperoleh dari lapangan memberikan hasil nilai biomassa C mikroba (Cmik) yang berkisar antara 1315,85-1461,83 C/jam/g sampel. Dalam hal ini sampel gambut sarang semut (GSa) yang diambil dari ketiga lokasi HTI ternyata memiliki nilai Cmik yang secara signifikan lebih besar (1461,83 C/jam/g sampel) dibanding sampel gambut kontrol (104,88 C/jam/g sampel) (Gambar 1). Perbedaan nilai ini menunjukkan bahwa aktivitas semut memberikan pengaruh terhadap populasi mikroba yang dapat berkembang dalam gambut. 2000
1461,83 1452,83 1315,85
1500 1000 500 104,88
0 Gambut Observasi GKo HTI HTI GSa-H1
HTI Blok 2 GSa-H2
HTI Tg.Leban GSa-H3
Kode Sampel
Gambar 1. Perbandingan biomassa C mikroba sampel gambut sarang semut (GSa-H1, GSa-H2, dan GSa-H3) dan sampel gambut kontrol (GKo).
Respirasi Biomassa mikroba dalam tanah merupakan faktor terpenting yang menentukan laju respirasi tanah. Semakin besar biomassa mikroba maka semakin tinggi pula laju respirasi atau konsumsi oksigen tanah (Yuste et al. 2007). Respirasi tanah pada
5
Laju Respirasi mg CO2/m2/jam
dasarnya juga menggambarkan proses dekomposisi atau mineralisasi bahan-bahan organik oleh mikroba tanah ketika mengkonsumsi substratnya untuk memperoleh energi (USDA 2009). Oleh karenanya, hasil akhir respirasi, yaitu CO2, seringkali digunakan sebagai indikator laju dekomposisi dalam tanah (Handayanto et al. 2009). Kami menguji apakah gambut sarang semut (GSa) yang memiliki biomassa mikroba yang lebih besar dibanding gambut kontrol (GKo) juga memiliki laju respirasi yang lebih tinggi. Hasil pengukuran yang kami peroleh menunjukkan bahwa laju respirasi gambut sarang semut berkisar antara 182,18-300,56 µg CO2/m2/jam atau ratarata 233,72 µg CO2/m2/jam. Dalam hal ini, sangat disesalkan kami tidak dapat memperoleh data respirasi gambut sebagai pembanding (kontrol). Hal ini dikarenakan ketiadaan sampel gambut kontrol dan ketiadaan data-data sekunder sebagai pembanding yang sesuai. Data-data sekunder yang tersedia merupakan hasil pengukuran secara in situ (Ernawati 2011). Menurut data-data ini laju respirasi gambut di bawah tegakan akasia dalam HTI yang sama berkisar 123,17-255,78 µg CO2/m2/jam atau rata-rata 205,78 µg CO2/m2/jam. Meskipun data ini tidak bisa dibandingkan secara langsung dengan temuan yang diperoleh dari penelitian kami, karena adanya perbedaan metode pengukuran, kami menduga bahwa gambut sarang semut memang memiliki laju respirasi yang lebih tinggi. Apalagi mengingat biomassa mikroba dalam gambut sarang semut memang lebih besar dibanding yang ada dalam gambut kontrol. 400 350
300.56
300
218.42 182.18
250 200 150 100 50 0 GSa-H1 Gambut HTI HTI Observasi
GSa-H2 HTI Blok 2 Kode Sampel
HTIGSa-H3 T g.Leban
Gambar 2. Perbandingan laju respirasi sampel gambut sarang semut (GSa-H1, GSa-H2, dan GSa-H3) dan sampel gambut kontrol (GKo).
Total Populasi Bakteri Selulolitik Terjadinya degradasi lahan gambut dapat dilihat antara lain dari proses dekomposisi gambut (Bashan 1998). Karena salah satu bahan utama pembentuk gambut adalah selulosa (Feng at al. 2002), maka penguraian selulosa dapat digunakan untuk mengindikasikan hal ini. Penguraian ini sendiri sangat tergantung oleh keberadaan bakteri selulolitik dan oleh karenanya peningkatan populasi bakteri selulolitik dalam gambut berpotensi memacu proses tersebut.
6
Total Populasi Bakteri CFU/g sampel
Sampel-sampel yang diperiksa dalam penelitian ini memiliki total populasi bakteri selulolitik yang berkisar 2x103–8x103 CFU/g sampel. Dalam hal ini, sampel gambut kontrol (GKo) ternyata total populasi bakteri selulolitik yang ditemukan lebih besar dibanding yang ada dalam sampel sarang semut (GSa), dengan rerata masingmasing (45x103 CFU/g sampel dan 9,3x103 CFU/g sampel. Dengan kata lain, populasi bakteri selulolitik dalam sampel sarang semut hanya sekitar seperlima dari yang terdapat dalam sampel gambut kontrol. 60000
45000
40000
20000
11500
10333.33
6000
0 Gambut Observasi GKo HTI HTIGSa-H1
HTIGSa-H2 Blok 2
HTIGSa-H3 Tg.Leban
Kode Sampel
Gambar 3. Perbandingan total populasi bakteri selulolitik sampel gambut sarang semut (GSa-H1, GSa-H2, dan GSa-H3) dan sampel gambut kontrol (GKo). Temuan ini tidak sesuai dengan dugaan bahwa dalam sarang semut terdapat lebih banyak bakteri, termasuk bakteri-bakteri selulolitik. Tetapi belum jelas apa yang menyebabkan hal ini. Salah satu hal yang dapat mempengaruhi keberadaan dan kelimpahan bakteri-bakteri tertentu dalam sarang semut adalah preferensi spesies semut pemilik sarang terhadap jenis-jenis makanan tertentu. Sebagian besar spesies semut lebih menyukai makanan-makanan yang berasal dari hewan, sehingga makananmakanan yang mereka bawa kedalam sarang adalah serpihan atau potongan dari hewan (Suhara 2009). Hal ini dapat menyebabkan tidak/kurang tersedianya substrat bagi pertumbuhan populasi bakteri-bakteri selulolitik. Aktivitas Selulase Salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi aktivitas selulase dalam tanah adalah populasi bakteri selulolitik. Semakin besar populasi bakteri ini maka semakin tinggi tingkat aktivitas selulase, sejauh faktor-faktor lain juga mendukung. Berdasarkan temuan di atas maka diduga bahwa aktivitas selulase dalam sampel gambut kontrol (GKo) lebih tinggi dibanding dalam sampel sarang semut (GSa-H1, GSa-H2, dan GSaH3), karena populasi bakteri selulolitik dalam GKo lebih besar. Tetapi hasil penelitian ini ternyata menunjukkan tidak adanya perbedaan aktivitas selulase yang signifikan antara keduanya, demikian pula halnya antara GSa-H1, GSa-H2, dan GSa-H3 (Gambar 4). Aktivitas selulase sampel-sampel yang diperiksa berkisar antara 0,11-0,27 µg/jam/g sampel atau rata-rata 0,17 µg/jam/g sampel.
7
Aktifitas selulase tanah µg/jam/g sampel
0.5
0,27
0.4 0,11
0.3 0.2
0,15
0,15
0.1 0 Gambut HTI
GKo
HTI Observasi
GSa-H1
HTI Blok 2
HTI Tg. Leban
GSa-H2
Kode Sampel
GSa-H3
Gambar 4. Perbandingan aktivitas selulase sampel gambut sarang semut (GSa-H1, GSa-H2, dan GSa-H3) dan sampel gambut kontrol (GKo). Sebagaimana telah disebutkan di atas, populasi bakteri selulolitik bukan satusatunya faktor yang menentukan aktivitas selulase dalam tanah. Hal ini dikarenakan selain bakteri ini juga terdapat sumber selulase lain dalam tanah, yaitu misalnya sel-sel tumbuhan dan hewan (Perez et al. 2002). Selain itu, komunitas bakteri selulolitik dalam suatu substrat juga dapat bervariasi apabila dibandingkan dengan yang ada dalam substrat-substrat lain (Enari 1983). Kedua faktor ini kemungkinan melatarbelakangi kasus yang dijumpai dalam penelitian ini, yaitu bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat aktivitas selulase yang signifikan antara gambut sarang semut dan gambut kontrol serta antara gambut sarang semut yang di ambil dari lokasi-lokasi HTI yang berbeda. KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini masih merupakan sebuah pendahuluan, yang dalam pelaksanaannya masih banyak terdapat ketidaklengkapan data dan kelemahankelemahan lain. Oleh karenanya diperlukan perbaikan-perbaikan dalam penelitian lanjutannya. Meskipun demikian ada beberapa butir kesimpulan yang dapat dipetik, yaitu bahwa aktivitas semut (membuat dan menghuni sarang) mempengaruhi karakteristik mikrobiologis gambut, dalam arti meningkatkan biomassa mikroba yang terkandung di dalamnya, (kemungkinan) meningkatkan respirasinya, meningkatkan total populasi bakteri selulolitik dan menunjukkan aktivitas enzim selulase yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat dirumuskan beberapa saran sebagai berikut. Pertama, dalam penelitian lanjutan perlu diketahui nama spesies semut yang membuat dan menghuni sarang-sarang yang diperiksa, karena kemungkinan perbedaan bentuk dan dimensi sarang, jumlah anggota koloni dan preferensi makanan antara spesies-spesies semut tanah menciptakan kondisi dalam rongga sarang yang berbeda satu sama lain. Kedua, dalam disain pengumpulan sebaiknya menyertakan spesies semut sebagai salah satu variabel dan sampel harus dibuat selalu diambil
8
berpasangan, yaitu gambut sarang semut dan gambut kontrol. Ketiga, dalam pengumpulan respirasi perlu dilakukan dengan cara in situ dan ex situ dan hasilnya diperbandingkan. Keempat, jarak antara waktu pengumpulan sampel dan analisis di laboratorium sebaiknya diperpendek hingga tidak lebih dari 24 jam setelah sampel dibawa dari lapangan. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Melisa Ratna Sari dan Zuli Rodhiyah yang telah mengumpulkan sampel-sampel dari lapangan. Terima kasih juga kami sampaikan kepada kepala dan Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) atas pemberian izin penggunaan fasilitas laboratorium selama penelitian berlangsung. DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. dan Subiksa, I.G. M. 2008. Lahan gambut: potensi untuk pertanian dan aspek lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia. http://www.worldagroforestry.org. [Diakses pada tanggal: 18 Agutus 2012]. Pekanbaru. Ayu, F. 2013. Keanekaragaman dan biomassa rayap tanah di hutan alam dan Hutan Tanaman Industri (HTI) pada lahan gambut di kawasan Bukit-Batu, Riau. [skripsi]. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau. Pekanbaru. Bashan Y. 1998. Inoculants of plant growth-promoting bacteria for use in agriculture. Biotechenol Advence 16:729-770. Decaens, T., Galvis, J. H., Amézquita, E. 2001. Properties of the structures created by ecosystem engineers on the soil surface of a Colombian savanna. Nature's Plow: Soil Macroinvertebrate Communities in The Neotropical Savannas of Colombia. 324 : 151-175. Enari T. M. 1983. Microbial Cellulases. Di dalam W.M. fogarty ed. Microbial enzymes and biotechnology. London. Elsevier. Feng L, Roughley J, Copeland L. 2002. Morphological changes of rhizobia in peat cultures. Applied environ microbiol 68:1064-1070. Frouz dan Jilkova .2008. The effect of ant on soil Properties and rocesses (Hymenoptera : Formicidae). London. Hadri, A.D. 2010. Biomassa karbon mikroba dan aktivitas selobiohidrolase sebagai refleksi siklus karbon di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit-Batu. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan lmu Pengetahuan Alam Universitas Riau. Pekanbaru. Handayanto E, Hairiah K. 2009. Biologi Tanah : Landasan Pengelolaan Tanah Sehat. Pustaka Adipura. Yogyakarta. Najiyati ,S.,Lili, M., I Nyoman N, Suryadiputra. 2005. Panduan pengelolahan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan proyek climate change, forest and
9
peatlands in Indonesia. Wetlands International Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia Perez J, Munoz-Dorado J, Rubia T de la, Martinez J. 2002. Biodegradation and biological treatments of cellulose, hemicellulose and lignin: an overview. In Microbial 5:53-63. Purnasari, T. 2013. Keanekaragaman dan biomassa rayap tanah di kebun kelapa sawit dan kebun pekarangan pada lahan gambut di kawasan Bukit-Batu, Riau. [skripsi]. Universitas Riau. Program Sarjana. Saputra, A. 2013. Keanekaragaman dan biomassa rayap tanah di dua system budidaya karet pada lahan gambut kawasa Bukit-Batu. [skripsi]. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau. Pekanbaru. Suhara. 2009. Semut. Universitas Pendidikan Indonesia, Fakultas Pendidikan Matematika dan IPA. Jakarta. USDA. 2009. Soil Quality Indicators: Soil respiration. http://soils.usda.gov/soil/ assessment/files/respiration_sq_biological_indicator_sheet.pdf. [Diakses pada tanggal: 24 Maret 2010]. Wibowo, A. 2009. Peranan lahan gambut dalam perubahan iklim global. Tekno Hutan Tanaman. 2(1): 19-28. Yuste JC, Baldocchi DD, Gershenson A, Goldstein A, Misson L, Wong S. 2007. Microbial soil respiration and its dependency on carbon inputs, soil temperature and moisture. Global Change Biology 133:1-18.
10