Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 24 Januari 2015
KAJIAN PENENTUAN FASE PERTUMBUHAN KAPANG DAN BAKTERI SELULOLITIK PADA MEDIA PERTUMBUHAN Raynard Sanito 1), Rizka Novembrianto2), Ellina S. Pandebesie 3) 1) Pasca Sarjana Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Email:
[email protected] 2) Jurusan Teknik Lingkungan Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jawa Timur, Surabaya, Indonesia Email:
[email protected] 3) Jurusan Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Email:
[email protected]
ABSTRAK Penggunaan kapang dan bakteri selulolitik dalam rekayasa lingkungan umumnya dilakukan untuk bioproses pengolahan sampah, limbah pertanian, limbah industri dan bioremediasi. Phanerochaete chrysosporium, Trichoderma viride, Aspergillus niger merupakan jenis kapang dan Cellvibrio sp merupakan bakteri yang umumnya digunakan dalam rekayasa lingkungan. Penentuan fase eksponensial atau ½ Vmaks dari fase pertumbuhan mikroba dianalisis sebagai indikator bahwa kapang maupun bakteri siap digunakan. Jumlah spora dan sel bakteri yang dihasilkan selama fase pertumbuhan dapat dijadikan acuan kesiapan kapang dan bakteri sebelum digunakan dalam eksperimen. Analisis jumlah spora dan sel bakteri dilakukan menggunakan haemocytometer dan pengamatan dengan bantuan mikroskop perbesaran 100 x. P. chrysosporium sangat cepat memasuki fase eksponensial yaitu dua hari, sedangkan T. viride dan A. niger selama lima hari. Cellvibrio sp dengan shaker 180 rpm 4 x lipat lebih cepat mencapai fase eksponensial dibandingkan tanpa shaker. Rata-rata jumlah spora yang dihasilkan selama fase eksponensial oleh T. viride 4,53 x lipat lebih banyak dibandingkan A. niger dan 15,48 x lipat lebih banyak dibandingkan P. chrysosporium. A.niger menghasilkan spora pada fase eksponensial 3,42 x lebih banyak dibandingkan P. chrysosporium. P. chrysosporium siap digunakan 24 jam setelah inokulasi, T.viride dan A. niger 50 jam, Cellvibrio sp dengan shaker 10 jam dan tanpa shaker 72 jam. Kata kunci: A. niger, Cellvibrio sp, chrysosporium, T.viride.
Fase
Eksponensial,
haemocytometer,
P.
PENDAHULUAN Penggunaan kapang dan bakteri dalam rekayasa lingkungan pada umumnya untuk bioproses pengolahan sampah, limbah pertanian, limbah industri dan bioremediasi (Pakshirajan dan Kheira, 2012). Pada dasarnya penggunaan kapang dalam rekayasa lingkungan disebut pengolahan secara biologis. Kapang dan bakteri secara alamiah dapat mendegradasikan berbagai jenis kontaminan organik maupun anorganik (Pakshirajan dan Kheira, 2012). Proses yang dilakukan dalam mendegradasikan berbagai jenis kontaminan secara individu, simultan maupun bersimbiosis dengan tumbuhan lain. Kapang berkembang biak dengan spora. Spora yang dihasilkan umumnya tidak dapat dilihat langsung dan berkembang membentuk hifa yang kemudian membentuk miselum
ISBN : 978-602-70604-1-8 A-55-1
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 24 Januari 2015
atau koloni yang dapat terlihat (Gandjar et al., 2007). Bakteri berkembang biak denganmelakukan pembelahan diri. Baik bakteri maupun kapang memerlukan beberapa nutrient sederhana yang mengandung unsur karbon seperti gula, garam amonium dan ion anorganik yang didukung dengan kondisi aerobik (Kavanagh, 2011). P. chrysosporium merupakan jenis kapang yang umumnya digunakan untuk mendegradasi kandungan lignin yang berasal dari sampah organik dan limbah pertanian (Zeng et al., 2011). P. chrysosporium dapat menurunkan pencemar organik maupun anorganik pada air limbah industri tekstil, menghasilkan enzim lignin peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP) (Sun dan Cheng, 2002 ; Pakshirajan dan Kheira, 2012). T. viride dan A. niger menghasilkan enzim selulase yang dapat memecah selulosa menjadi glukosa (Sun dan Cheng, 2002). Cellvibrio sp merupakan bakteri gram negatif yang berasal dari hewan ruminansia, menghasilkan enzim xylanase yang memecah hemiselulosa menjadi xylosa (Kitaoka et al., 1992 ; Lamid et al., 2011). Cellvibrio sp juga diketahui dapat menggunakan glukosa sebagai sumber energi (Hulcher dan King, 1958). Pada umumnya Cellvibrio sp terdapat pada air limbah dan menempel (attached) dalam menggunakan sumber energi dari selulosa (Cordero, 2012). Jika diamati dengan mikroskop perbesaran 100 x, spora P. chrysosporium berwarna putih dengan penampakan miselia pada media padat yang juga berwarna putih. T. viride dengan spora dan miselia berwarna hijau dan A. niger berwarna memiliki spora dan miselia berwarna hitam. Penampakan warna dari miselia tiap kapang dapat diamati pertumbuhannya pada media padat, sedangkan warna spora dapat diamati menggunakan mikroskop. Pertumbuhan bakteri pada umumnya dapat diamati pada media cair maupun padat. Kekeruhan pada media cair dapat dijadikan indikator pertumbuhan bakteri. Perhitungan jumlah spora dapat menentukan tahapan fase pertumbuhan pada kapang. Penentuan fase pertumbuhan kapang dan bakteri umumnya dilakukan dengan menghitung jumlah spora dan jumlah sel pada haemocytometer. Perhitungan dengan haemocytometer dapat menentukan banyaknya jumlah sel bakteri dan spora yang dihasilkan selama perkembangbiakkan atau dase pertumbuhan bakteri maupun kapang. Jumlah spora dan sel bakteri yang dihasilkan dapat dijadikan indikator fase pertumbuhan. Fase pertumbuhan kapang maupun bakteri pada umumnya dibedakan menjadi fase lag, fase eksponensial, fase stasioner dan fase kematian (Gandjar et al., 2007). Kapang maupun bakteri yang digunakan dalam penelitian pada umumnya berada pada fase lag menuju fase eksponensial atau ½ dari kecepatan maksimum pertumbuhan (½ Vmaks). Jumlah spora kapang pada fase pertumbuhan ± 2,4 x 106 spora / mL-1 (Mohammadi dan Nasernejad, 2009) dan bakteri 1 x 107(Sukumuran et al., 2009). Jumlah spora dan kekeruhan media pada fase eksponensial dapat dijadikan acuan dalam penggunaan kapang dan bakteri sebagai biostarter eksperimen rekayasa lingkungan. METODA Penelitian ini menitik beratkan penentuan fase eksponensial berdasarkan perhitungan spora P. chrysosporium, T. viride dan A. niger pada media Potato Dextrose Agar (PDA) dengan haemocytometer. Perhitungan pertumbuhan Cellvibrio sp dilakukan pada media Nutrient Broth (NB). Komposisi media PDA terdiri dari dekstrosa dan agar sedangkan media NB terdiri dari pepton dan ekstrak daging sapi. Media PDA dibuat dengan menimbang 19,5 g media lalu dilarutkan kedalam 500 mL akuades steril. Media NB dibuat dengan melarutkan 8 gram media kedalam 1000 mL akuades.
ISBN : 978-602-70604-1-8 A-55-2
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 24 Januari 2015
Media PDA dan NB kemudian disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121ºC selama 1 jam. Media PDA dan NB yang telah steril kemudian dimasukkan kedalam tabung reaksi sebanyak 10 mL dan ditutup menggunakan kapas lemak dengan tujuan mencegah terjadinya kontaminasi. Media PDA dan NB disimpan didalam inkubator hingga siap untuk digunakan. Media PDA didiamkan selama sehari agar mengeras. pH media PDA dan NB adalah 7. P. chrysosporium, T. viride, A. niger dan Cellvibrio sp yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari hasil pembiakan laboratorium. Tiap inokulum kapang diambil sebanyak 1 ose menggunakan jarum ose steril, kemudian diinokulasikan pada 12 tabung reaksi berisi media PDA sebanyak 10 mL. Kultur baru yang diperoleh sebanyak 36 inokulum. Cellvibrio sp diambil sebanyak 1 ose dari media Nutirent Agar (NA) dan diinokulasikan pada media NB. Kultur kapang dan bakteri diinkubasi pada suhu ruang yaitu 28ºC-30ºC dalam inkubator selama 24 jam. Pengamatan pertumbuhan spora tiap kapang dilakukan dengan mengencerkan setiap tabung reaksi dengan aquadest sebantyak 9 mL, kemudian digojog sehingga seluruh spora terangkat dan tercampur dengan akuades pengencer. Spora yang telah tercampur kemudian di pipet menggunakan pipet tetes lditeteskan diatas haemocytometer sebanyak 1 tetes. Analisis jumlah spora dilakukan pengulangan dua kali (duplo) dan dihitung rata-rata jumlah spora selama 6 hari untuk melihat fase pertumbuhan tiap kapang. Pengamatan pertumbuhan Cellvibrio sp dilakukan pada media NB dengan bantuan shaker dengan kecepatan 180 rpm dan tanpa shaker. Perhitungan pertumbuhan dilakukan pengukuran pada jam ke 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 10, 12, 24, 36, 48, 72, 96 dan 120 dengan menggunakan shaker dengan kecepatan 180 rpm. Pengukuran pertumbuhan Cellvibrio sp tanpa shaker dilakukan pada jam ke 1, 2, 3, 4, 5, 6, 24, 48, 72, 96, 120, 144, 168, 192 dan 216 jam. Inokulum Cellvibrio sp diambil menggunakan pipet tetes dan ditetskan satu tetes pada haemocytometer Pembuatan kurva pertumbuhan dilakukan dengan membuat grafik hubungan antara jumlah sel/mL dan waktu pertumbuhan. Jumlah spora dan sel bakteri per mL yang terdapat pada 5 buah kotak ukuran sedang pada haemocytometer kemudian dihitung menggunakan rumus :
Dimana : Jumlah Spora / bakteri = Jumlah Spora pada 5 Kotak Sedang Volume Kotak Sedang = 0,2 mm x 0,2 mm x 0,1 mm = 4 x 10-3 mm3 = 4 x 10-6 cm3 . HASIL DAN PEMBAHASAN Data rata-rata jumlah spora dan bakteri diperoleh berdasarkan analisis spora menggunakan haemocytometer dan nilai absorbansi menggunakan spektrofotometer yang digunakan pada pretreatment dan hidrolisis eceng gondok (Eichhornia crassipes) (Novembrianto dan Pandebesie, 2014 ; Sanito dan Pandebesie, 2014). Jumlah Rata-rata Spora yang dihasilkan oleh P. Chrysosporium Perhitungan rata-rata jumlah spora P. chrysosporium dapat dilihat pada tabel 1 dan gambar 1.
ISBN : 978-602-70604-1-8 A-55-3
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 24 Januari 2015
Tabel 1.Rata-rata Jumlah Spora P. chrysosporium per mL. Hari
P. chrysosporium
Rata-rata Peningkatan / Penurunan
1
590.000
0
2
1.890.000
1.300.000
3
1.248.750
641.250*
4
434.210
814.540*
5
333.125
101.085*
6 256.250 Keterangan : *Penurunan rata-rata jumlah spora
76.875*
2000000 Jumlah 1500000 Spora (per 1000000 mL) 500000 0 1
2
3
4
5
6
Waktu Pengamatan (hari)
Gambar 1. Grafik Fase Pertumbuhan P. chrysosporium Berdasarkan hasil perhitungan jumlah spora tiap kapang menggunakan haemocytometer pada media padat, diketahui bahwa pada hari pertama P. chrysosporium mulai menghasilkan rata-rata jumlahspora ± 590.000 per mL. Pada hari kedua rata-rata jumlah spora mengalami peningkatan ± 1.300.000 per mL dan ± 1.890.000 per mL. Peningkatan jumlah spora pada hari kedua menandakan bahwa kapang mengalami fase lag dengan cepat dan memasuki fase eksponensial. Pertumbuhan miselia mulai tampak menyebar pada media. Kapang mulai mengalami penurunan jumlah spora ± 641.250 per mL pada hari ketiga ± 1.248.750 per mL. Hal ini dapat dibuktikan dengan pertumbuhan miselum kapang yang mulai memenuhi media padat. Jumlah spora terus mengalami penurunan pada hari keempat hingga hari keenam. Jumlah spora pada hari keenam mengalami penurunan hingga mencapai ± 256.250 per mL. Miselia yang memenuhi media padat menandakan bahwa P. chrysosporium telah memasuki fase stasioner. Jumlah Rata-rata Spora yang dihasilkan oleh T.viride Jumlah rata-rata spora yang dihasilkan oleh T. viride dapat dilihat pada tabel 2 dan gambar 2 T.viride berada pada fase lag lebih lama, namun jumlah rata-rata spora yang dihasilkan lebih banyak. Grafik pertumbuhan dan tahapan fase pertumbuhan T.viride dapat dilihat pada gambar 3. Pada hari pertama dan kedua, jumlah spora yang dihasilkan adalah sebesar ± 1.720.000 per mL dan ± 2.400.000 per mL. Pertumbuhan miselia T. viride dapat dilihat pada gambar 2. Kapang mulai memasuki fase eksponensial pada hari ketiga hingga kelima dengan rata-rata pertumbuhan jumlah spora sebesar ± 9.900.000 per mL hingga
ISBN : 978-602-70604-1-8 A-55-4
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 24 Januari 2015
pertumbuhan spora maksimum sebesar ± 29.262.500 per mL atau terjadi peningkatan dengan jumlah rata-rata sebesar ± 26.862.000 per mL. Tabel 2. Rata-rata Jumlah Spora P. chrysosporium per mL Hari
T. viride
Rata-rata Peningkatan / Penurunan
1
1.720.000
0
2
2.400.000
680.000
3
9.900.000
7.500.000
4
17.400.000
7.500.000
5
29.262.500
11.862.500
6 8.212.500 21.050.000* Keterangan : *Penurunan Rata-rata Jumlah Spora
Jumlah Spora (per mL)
35000000 30000000 25000000 20000000 15000000 10000000 5000000 0 1
2
3
4
5
6
Waktu Pengamatan (hari)
Gambar 2. Grafik Fase Pertumbuhan T.viride Rata-rata jumlah spora kemudian cenderung menurun pada hari keenam dimana kapang mulai memasuki fase stasioner dengan menghasilkan rata-rata jumlah spora ± 8.212.500 per mL. Pada fase stasioner spora telah berkembang menjadi miselia kapang yang menjalar memenuhi media. Jumlah Rata-rata Spora yang dihasilkan oleh A. niger Jumlah rata-rata spora yang dihasilkan oleh A.niger dapat dilihat pada tabel 3 dan gambar 3. Tabel 3. Perhitungan spora T. viride dapat dilihat pada Tabel 2. Hari
A. niger
Rata-rata Peningkatan / Penurunan
1
530.000
0
2 3
1.105.000 1.200000
575.000 95.000
4 5
3.200.000 6.462.500
2.000.000 3.262.500
6 1.124.999 Keterangan : *Penurunan Rata-rata Jumlah Spora
5.337.501*
ISBN : 978-602-70604-1-8 A-55-5
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 24 Januari 2015
8000000 6000000 Jumlah Sprora 4000000 (per mL) 2000000 0 1
2
3
4
5
6
Hari Pengamatan
Gambar 3. Grafik Pertumbuhan A. niger Rata-rata jumlah spora pada hari pertama atau fase lag rata-rata jumlah spora yang dihasilkan A. niger ± 530.000 dan hari kedua ± 1.105.000 per mL. Pengingkatan jumlah spora dari hari pertama pasca inokulasi hingga hari kedua ± 575.000 per mL. A. niger mulai memasuki fase eksponensial pada hari ketiga dan mengalami pertumbuhan maksimum terjadi pada hari kelima. Jumlah spora yang dihasilkan pada hari ketiga ± 1.200.000 per mL, pada hari keempat ± 3.200.000 per mL dan hari kelima sebesar ± 6.462.500 per mL. Peningkatan rata-rata jumlah spora pada fase eksponensial ± 5.721.500 per mL. Pada hari keenam A.niger mengalami fase stasioner dimana jumlah rata-rata spora yang tumbuh sebesar 1.124.999 ± per mL. Jumlah spora mengalami penurunan sebesar ± 5.337.501 per mL dari rata-rata jumlah spora sebesar ± 6.462.500 per mL. Perbandingan Rata-rata Pertumbuhan Spora Pada Tiap Kapang Rata-rata perbandingan pertumbuhan rata-rata jumlah spora pada kapang dapat dilihat pada tabel 4, tabel 5, dan tabel 6. Tabel 4. Rata-rata Perbandingan Pertumbuhan Jumlah Spora Pada Tiap Kapang (per mL). Hari
T. viride : P. chrysosporium
T. viride : A.niger
P. chrysosporium : A.niger
1 1.130.000 1.190.000 60.000 2 510.000 1.295.000 785.000 3 8.651.250 8.700.000 48.750 4 16.965.790 14.200.000 2.765.790* 5 28.929.375 22.800.000 6.129.375* 6 7.956.250 7.087.501 868.749* Keterangan : * Jumlah rata-rata Spora P. chrysosporium Lebih Banyak Dibandingkan A.niger
Rata-rata jumlah spora yang dihasilkan oleh tiap jenis kapang selama fase pertumbuhan berbeda-beda. Pada umumnya rata-rata jumlah spora yang dihasilkan oleh T.viride lebih banyak 2,92 x lipat dibandingkan P.chrysosporium dan A.niger sebesar 3,25 x lipat selama fase pertumbuhan. P. chrysosporium berada pada fase lag lebih cepat jika dibandingkan dengan T.viride dan A.niger yaitu 24 jam setelah inokulasi pada media PDA, tetapi rata-rata jumlah spora yang dihasilkan lebih sedikit. Pada umumnya jumlah spora yang dihasilkan oleh P.chrysosporium lebih banyak sebesar 1,11 x lipat dibandingkan A.niger. Jumlah rata-rata spora yang dihasilkan oleh P. chrysosporium berada pada fase eksponensial pada hari kedua sehingga berada pada ½ Vmaks dalam waktu setengah hari. Hal yang berbeda terjadi dengan T.viride dan A.niger yang mencapai fase eksponensial
ISBN : 978-602-70604-1-8 A-55-6
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 24 Januari 2015
selama lima hari, sehingga ½ dari Vmaks berada pada 2,5 hari. T.viride menghasilkan jumlah spora 8,25 x lipat lebih banyak dari pada A.niger dan cenderung mengalami penurunan pada hari berikutnya. T.viride mengalami peningkat 7,93 x lipat jika dibandingkan dengan P.chrysosporium. Tabel 5. Perbandingan Pertumbuhan Rata-rata Jumlah Spora Pada Tiap Kapang (dalam x lipat) Hari
T. viride : P. chrysosporium
T. viride : A.niger
P. chrysosporium : A.niger
1 2 3 4
2,92 1,27 7,93 40,07
3,25 2,17 8,25 5,44
1,11 1,71 1,04 0,14*
5 6
87,84 32,05
4,53 7,30
0,05* 0,23*
Keterangan : * Jumlah Spora P. chrysosporium lebih sedikit Dibandingkan A.niger.
Tabel 6. Perbandingan Jumlah Rata-rata tiap Jenis Spora Pada fase Eksponensial (per mL dan dalam x lipat) Fase Pertumbuhan Fase Eksponensial Fase Pertumbuhan Fase Eksponensial
P. chrysosporium
T. viride
A. niger
1.890.000 T. viride : P. chrysosporium 15,48 x lipat
29.262.500 T. viride : A.niger 4,53 x lipat
6.462.500 A.niger : P. chrysosporium 3,42 x lipat
Rata-rata jumlah spora yang dihasilkan pada fase eksponensial oleh T.viride lebih banyak 15,48 x lipat dibandingkan P. chrysosporium. T.viride menghasilkan spora 4,53 x lipat lebih tinggi dibandingkan A. niger. A.niger menghasilkan spora 3,42 x lipat lebih banyak dibandingkan P. chryosporium. Kecenderungan jumlah spora yang dihasilkan oleh T.viride cenderung lebih banyak dibandingkan P.chryosporium dan A.niger, sedangkan pola pertumbuhan miselia tercepat dihasilkan oleh P.chrysosporium. Rata-rata jumlah spora P. chrysosporium siap digunakan 24 jam atau ½ Vmaks dari 2 hari setelah inokulum diinokulasikan, sedangkan T.viride dan A. niger siap digunakan 50 jam atau ½ Vmaks dari 5 hari setelah inokulasi. Komposisi media PDA yang terdiri dari dekstrosa sebagai sumber karbon, merupakan komposisi ideal bagi kapang untuk bertumbuh (Kavanagh, 2011). Heksosa sebagai sumber karbon yang terdapat pada media, dikatalisasi oleh menggunakan enzim selulase yang terdapat pada T.viride dan A.niger. Heksosa kemudian diubah menjadi asam piruvat kemudian menghasilkan ATP sebagai sumber energi untuk pertumbuhan (Kavanagh, 2011). Faktor genetik dan kemampuan adaptasi dari tiap kapang, berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan miselia pada media (Kavanagh, 2011). Pada saat nutrisi pada kapang telah berkurang dan habis digunakan untuk bertumbuh, kapang akan memasuki fase stasioner dimana pH media cenderung menurun dan konsentrasi CO 2 yang tinggi (Kavanagh, 2011). Kapang akan terus bertahan hingga akhirnya setelah miselia tumbuh memenuhi media padat dan menyerap semua nutrisi hingga kapang memasuki fase kematian.
ISBN : 978-602-70604-1-8 A-55-7
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 24 Januari 2015
Pertumbuhan Kultur Cellvibrio sp Dengan Shaker dan Tanpa Shaker Perbanyakan Cellvibrio sp dilakukan pada media NB dengan menggunakan shaker kecepatan 180 rpm dan tanpa shaker. Perhitungan sel diukur menggunakan haemocytometer. Cellvibrio sp mencapai fase eksponensial tanpa shaker 144 jam (½ Vmaks sebesar 72 hingga 96 jam), sedangkan dengan shaker memerlukan waktu yang lebih cepat yaitu 36 jam (½ Vmaks adalah 10 jam). Jumlah sel bakteri yang dihasilkan tanpa shaker ± 10.427.200 sel/mL sedangkan dengan shaker ± 13.100.900 sel/mL. Hasil pengukuran dan fase pertumbuhan dapat dilihat pada grafik pada gambar 7 dan gambar 8. Perbandingan pertumbuhan jumlah sel Cellvibrio sp dengan bantuan shaker kecepatan 180 rpm dan tanpa shaker dapat dilihat pada tabel 7.
Gambar 7. Grafik Pertumbuhan Cellvibrio sp tanpa shaker
Gambar 8. Grafik pertumbuhan Cellvibrio sp dengan Shaker.
Tabel 7. Jumlah Cellvibrio sp Selama Fase Pertumbuhan Waktu (Jam)
Tanpa Shaker (sel/mL)
Dengan Shaker (sel/mL)
1
408.180
18.080
2
598.480
170.310
3
845.860
274.980
4
1.274.020
389.150
5
2.035.200
569.930
6
2.472.880
2.786.870
8
-
5.517.602
10
-
7.506.180
12
-
9.675.550
24
2.244.530
10.446.200
36
-
13.100.900*
48
3.386.290
12.120.800
72
4.128.450
12.139.900
96
7.382.490
12.035.200
120
8.457.660
12.184.400
144
10.427.200*
-
168
10.208.400
-
192
9.751.670
-
216
10.046.600
-
*Keterangan : Fase eksponensial pada pertumbuhan Cellvibrio sp
ISBN : 978-602-70604-1-8 A-55-8
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 24 Januari 2015
Penggunaan shaker dapat mempercepat fase pertumbuhan Cellvibrio sp. Hal ini dapat terlihat dimana fase eksponensial pertumbuhan Cellvibrio sp dengan shaker lebih cepat 4 x lipat dibandingkan tanpa shaker. Penggunaan shaker dalam seeding Cellvibrio sp mempercepat pertumbuhan karena membantu proses aerasi dan penyebaran nutrisi pada media secara merata (Achmad dan Sari, 2009 ; Choiron et al., 2013). Cellvibrio sp merupakan bakteri aerob yang yang membutuhkan oksigen dalam fase pertumbuhannya, sehingga dengan menggunakan shaker dapat mempercepat pembelahan sel pada bakteri. Pertumbuhan bakteri ditandai dengan terjadinya kekeruhan pada media NB. Bakteri menggunakan sumber karbon yang terdapat pada media NB yaitu pepton sebagai sumber organik dan asam amino, ekstrak daging sapi sebagai sumber nitrogen (Brown, 2001). Sumber energi diubah menjadi asam piruvat kemudian menjadi ATP untuk menghasilkan energi untuk pertumbuhan sel melalui serangkaian proses glikolisis, siklus krebs dan transpor elektron. KESIMPULAN Rata-rata spora yang dihasilkan selama fase eksponensial oleh T. viride 4,53 x lipat lebih banyak dibandingkan A. niger dan 15,48 x lipat lebih banyak dibandingkan P. chrysosporium. A.niger menghasilkan spora pada fase eksponensial 3,42 x lebih banyak dibandingkan P. chrysosporium. Berdasarkan hasil analisis rata-rata jumlah spora, P. chrysosporium siap digunakan 24 jam setelah inokulasi, sedangkan T.viride dan A. niger siap digunakan 50 jam setelah inokulasi. Fase pertumbuhan Cellvibrio sp memasuki fase eksponensial 4 x lebih cepat dengan menggunakan shaker dengan kecepatan 180 rpm dibandingkan tanpa shaker. Cellvibrio sp dengan shaker siap digunakan dalam waktu 10 jam sedangkan tanpa shaker 72 jam. DAFTAR PUSTAKA Achmad, dan Sari, E.P. (2009). Pengaruh media terhadap pertumbuhan cendawan Fusarium oxysporum, Buletin RISTRI, Vol. 1(4). Brown, A.E. (2001). Microbiological Application, Laboratory Manual in General Microbiology, The McGraw-Hiil. Choiron, M., Jayus., dan Suwasono, S. (2013). Pengaruh ketersediaan oksigen pada produksi epiglukoan oleh Epicoccum nigrum menggunakan media molasses, Agrointek, Vol.7. No.1.p. 11-20. Cordero,O.X. (2012). Enriching spatially structured communities of cellulose degraders, Massachusetts Institute of Technology. Gandjar, I., Sjamsuridzal, W., dan Oetari, A. (2007). Mikologi Dasar dan Terapan, Yayasan Buku Obor, Jakarta. Hulcher, F dan King, K.W. (1958). Metabolic classic for dissacharide preference in a Cellvibrio, Departement of Biochemistry and Nutrition, Virginia Polytechnic Institute, Blacksburg, Virginia. Kavanagh, K. (2011). Fungi : Biology and Applications 2nd edition, John Wiley & Sons, United Kingdom.
ISBN : 978-602-70604-1-8 A-55-9
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 24 Januari 2015
Kitaoka, M., Sasaki, T., dan Taniguchi, H. 1992. Phosphorolytic reaction of Cellvibrio gilvus cellobiose phosphorylase, Journal of Bioscience, Biotech, Biochemistry. p.652-655. Lamid, M., Nugroho, T.P., Chusniati, S., dan Rochmiman, K. (2011). “Eksplorasi bakteri selulolitik asal cairan rumen sapi potong sebagai bahan inokulum limbah pertanian” Jurnal Ilmiah Kedokteran Hewan, Vol. 4, No. 1. P 37-42. Mohammadi, A. dan Nasernejad B. 2009. Enzymatic degradation of antharacene by the a white rot fungus Phanerochaete chrysosporium immobilized on sugarcane bagasse, Journal of Hazardous Materials, p.534-537. Novembrianto, R. dan Pandebesie, E.S. 2014. Laju biokonversi eceng gondok (Eichhornia crassipes) pada proses hidrolisis oleh jamur Selulolitik, Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana XIV-ITS, p.898-906. Sanito, R.C. dan Pandebesie, E.S. 2014. Penentuan kinetika reaksi dan gula reduksi eceng gondok (Eichhornia crassipes) menggunakan mikroba rumen selulolitik, Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana XIV-ITS, p.853-859. Saropah, D.A., Jannah A., dan Maunatin A., 2012. Kinetika reaksi enzimatis ekstrak kasar enzim selulase bakteri selulolitik hasil isolasi dari bekatul, Alchemy, Vol.2 No.1 : 34-35. Pakshirajan, K. dan Kheria, S. (2012). “Continious treatment of coloured industry wastewater using immobilized Phanerochaete chrysosporium in a rotating biological contactor reactor” Journal of Environmental Management. Vol. 101, p.118-123. Zeng, I. Singh, S, D. dan Chen, S. (2011). Biological pretreatment of wheat straw by Phanerochaete chrysosporium supplemented with Inorganic Salts , Journal of Bioresource Technology, Vol. 102, p.3206-3214.
ISBN : 978-602-70604-1-8 A-55-10