KAJIAN ORGANOLOGIS SARUNE MANDAILING BUATAN BAPAK RIDWAN AMAN NASUTION
SKRIPSI SARJANA O L E H NAMA
: ARDY WIDANTO MANURUNG
NIM
: 110707035
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2015 i
LEMBAR PENGESAHAN
KAJIAN ORGANOLOGIS SARUNE MANDAILING BUATAN BAPAK RIDWAN AMAN NASUTION
Skripsi Sarjana Dikerjakan Oleh NAMA : ARDY WIDANTO MANURUNG NIM : 110707035
Disetujui Oleh Pembimbing I,
Pembimbing II,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP 196512211991031001
Drs. Fadlin, M.A. NIP 1961022019891003
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2015
ii
DAFTAR ISI
Daftar isi…………………………………………………………………………iii BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………........ 1 1.1 latar belakang masalah…………………………………………………...… 2 1.2 pokok permasalahan………………………………………………………….4 1.3 tujuan dan manfaat penelitian…………………………………………… 5 1.3.1 tujuan penelitian…………………………..…………………… 5 1.3.2 manfaat penelitian………………………..……………………… 5 1.4 konsep dan teori………………………………………………………… 6 1.4.1 konsep…………………………………………………………… 6 1.4.2 teori……………………………………………………………… 7 1.5 metode penelitian……………………………………………………… 10 1.5.1 studi kepustakaan……………………………………………… 11 1.5.2 kerja lapangan………………………………………………… 12 1.5.3 wawancara……………………………………………………… 12 1.5.4 observasi……………………………………………………… 13 1.5.5 kerja laboratorium……………………………………………… 13 1.5.6 lokasi penelitian……………………………………………… 13 BAB II MASYARAKAT MANDAILING DI KOTA MEDAN DAN BIOGRAFI RINGKAS RIDWAN AMAN NASUTION…………………………………… 14 2.1 Masyarakat Mandailing………………………………………………… 14 2.1.1 Asal Usul Orang Mandailing………………………………………… 14 2.1.2 Sistem Religi Dan Agama…………………………………………… 17 2.1.3 Bahasa…………………………………………………………… 18 2.1.4 Sistem Kekerabatan Masyarakat Mandailing……………………… 19 2.1.5 Kesenian…………………………………………………………… 21 2.1.6 Organisasi Masyarakat Mandailing Di Kota Medan………………… 25 2.1.7 Sistem Pencaharian Masyarakat Mandailing Di Kota Medan……….. 26 2.2 Pengertian Biografi………………………………………………………… 27 2.3 Alasan Dipilihnya Ridwan Aman Nasution…………………………… 29 2.4 Biografi Ridwan Aman Nasution……………………………………… 29 2.4.1 latar belakang keluarga………………………………………………. 30 2.4.2 latar belakang pendidikan……………………………………………. 30 2.4.3 Berumah Tangga…………………………………………………… 31 2.4.4 Bapak Ridwan Aman Nasution Sebagai Pembuat Alat Musik……… 30 2.4.5 Bapak Ridwan Aman Nasution Sebagai Pemusik Tradisional Mandailing………………………………………………………… 31 BAB III KAJIAN ORGANOLOGI SARUNE MANDAILING……………… 33 3.1 Klasifikasi Sarune………………………………………………………… 32 3.2 Konstruksi Sarune………………………………………………………… 34 3.3 Ukuran Bagian-Bagian Sarune…………………………………………… 35 3.3.1 Anak Sarune……………………………………………………… 36 3.3.2 Takar Ni Harambir…………………………………………………… 36 3.3.3 Induk Sarune……………………………………………………… 37 3.3.4 Lubang Nada…………………………………………………………. 37 3.3.5 Tanduk Ni Horbo…………………………………………………….. 38 3.4 Teknik Pembuatan Sarune………………………………………………… 38 3.4.1 Bahan Baku Yang Digunakan……………………………………… 38 iii
3.4.1.1 Bahan Pembuatan Induk Dan Anak Sarune……………. 38 3.4.1.2 Bahan Pembuatan Takar Ni Harambir……………… 39 3.4.1.3 Bahan Pembuatan Tanduk Ni Horbo…………………… 40 3.4.2 Bahan Tambahan…………………………………………………… 40 3.4.2.1 Batu Kemenyan…………………………………………. 40 3.5 Peralatan Yang Digunakan………………………………………………… 41 3.5.1 Gergaji……………………………………………………………… 41 3.5.2 Parang……………………………………………………………… 41 3.5.3 Pisau………………………………………………………………… 42 3.5.4 Amplas ………………………………………………………………. 42 3.5.5 Bor Tangan………………………………………………………… 43 3.5.6 Pahat……………………………………………………………… 43 3.5.7 Besi………………………………………………………………… 44 3.5.8 Penggaris…………………………………………………………… 44 3.6 Proses Pembuatan………………………………………………………… 44 3.6.1 Tahap Pertama……………………………………………………… 46 3.6.1.1 Pemilihan bambu…………………………………………… 46 3.6.1.2 Pembentukan Dan Pemotongan Pola………………………… 46 3.6.1.3 Tahap Akhir Induk Sarune………………………………… 46 3.6.2 Tahap Kedua…………………………………………………………. 47 3.6.2.1 Pemilihan Batok Kelapa…………………………………… 47 3.6.2.2 Pembentukan Dan Pemotongan Pola………………………… 47 3.6.2.3 Tahap Akhir Batok Kelapa………………………………… 48 3.6.3 Tahap Ketiga…………………………………………………………. 49 3.6.3.1 Pemilihan Tanduk Kerbau…………………………………… 49 3.6.3.2 Pembentukan Dan Pemotongan Pola……………………… 49 3.6.3.3 Pengikisan Tanduk…………………………………………… 50 3.6.3.4 Tahap Akhir Tanduk…………………………………………. 51 3.6.4 Tahap Keempat………………………………………………………. 51 3.6.4.1 Pemilihan Bambu………………………………………… 51 3.6.4.2 Pembentukan Dan Pemotongan Pola………………………… 52 3.6.4.3 Tahap Akhir Anak Sarune…………………………………… 52 BAB IV TEKNIK MEMAINKAN DAN FUNGSI MUSIK SARUNE MANDAILING PADA MASYARAKAT MANDAILING………………… 53 4.1 Posisi Tubuh Dalam Memainkan Sarune………………………………… 53 4.2 Teknik Memainkan Sarune………………………………………………… 53 4.3 Penyajian Sarune Yang Baik…………………………………………… 54 4.4 Perawatan Sarune………………………………………………………… 54 4.5 nada Yang Dihasilkan Sarune……………………………………………… 54 4.6 Wilayah Nada………………………………………………………………. 55 4.7 Fungsi Musik Sarune…………………………………………………… 56 4.7.1 Fungsi Pengungkapan Emosional……………………………………. 57 4.7.2 Fungsi Hiburan…………………………………………………… 58 4.7.3 Fungsi Kesinambungan Budaya…………………………………… 58 4.7.4 Fungsi Reaksi Jasmani……………………………………………… 59 4.8 Nilai Ekonomi Pada Alat Musik Sarune………………………………… 59 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………… 61 5.1 Kesimpulan………………………………………………………………… 61 5.2 Saran……….………………………………………………………………. 61 Daftar Pustaka…………………………………………………………………. 63 iv
Daftar Informan……………………………………………………………… 65 Lampiran……………………………………………………………………… 66
v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dapat dipikirkan, dikerjakan, dan diterapkan oleh manusia, di mana pun berada, termasuk di Indonesia. Indonesia merupakan negeri yang kaya akan kebudayaan. Kekayaaan Indonesia ini didukung oleh banyaknya etnis atau suku yang mendiami seluruh wilayah Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing etnis memiliki ciri khas yang menjadi identitas etnis tersebut. Salah satu etnis yang turut mendukung keberadaan kebudayaan Indonesia adalah etnis Mandailing. Etnis1 Mandailing memiliki budaya yang diwariskan dari leluhurnya secara turun-temurun. Salah satu bentuk kebudayaan itu adalah kesenian. Etnis Mandailing memiliki alat musik kesenian yang menjadi ciri khas kebudayaan Mandailing yang bernama Gordang sambilan. Gordang sambilan adalah warisan budaya bangsa Mandailing. Alat musik ini adalah seperangkat alat musik sakral yang terdiri dari Sembilan buah gendang yang berukuran besar. Dikatakan sakral karena dipercayai mempunyai kekuatan gaib memanggil roh
1
Yang dimaksud dengan etnis dalam tulisan ini adalah mengacu kepada pendapat Naroll (1965:32). Naroll memberikan pengertian kelompok etnik sebagai suatu populasi yang: (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat di bedakan dari kelompok populasi lain (Naroll, 1965:32). Dalam konteks Sumatera Utara, etnis (etnik atau kelompok etnik, istilah yang lazim dipakai dalam antropologi), sering disebut dengan suku. Yang dimaksud suku adalah sekelompok manusia yang dipandang memiliki hubungan genelaogis secara umum sama pada awalnya. Kemudian mereka memiliki bahasa dan kebudayan yang sama, yang dipandang sebagai sebuah kelompok etnik sendiri yang mandiri, baik oleh etnik di luar mereka atau mereka sendiri. Untuk dapat memahami siapakah orang Pesisir, maka sebelumnya dijelaskan pengertian kelompok etnik (ethnic group).
1
nenek moyang untuk memberi pertolongan melalui medium atau shaman yang di namakan Sibaso. Gordang sambilan dimainkan secara ensambel. Terdapat beberapa alat musik yang termasuk ensambel tersebut yaitu, sarune, gordang yang jumlahnya sembilan (2 jangat, 2 hudong kudong, 2 padua, 2patolu, 1 enekenek), ogung (dada boru dan jantan), mongmongan, gong, dan tali sasayak. Dalam tulisan ini si penulis berfokus pada alat musik sarune. Alat musik sarune Mandailing ini biasa dimainkan untuk upacara siriaon (suka cita) yaitu upacara perkawinan, penyambutan tamu, dan memasuki rumah baru dan juga upacara siluluton (duka cita) yaitu upacara kematian. Alat musik ini secara fungsional musik adalah sebagai pembawa melodi. Sarune adalah alat musik yang tergolong dalam klasifikasi aerophone (salah satu klasifikasi alat musik yang penggetar utama bunyinya adalah udara). Secara lebih spesifik, alat musik ini termasuk pula kedalam kelompok single reed aerophone (aerophone berlidah tunggal) karena alat musik ini memiliki reed tunggal yang dimainkan dengan cara dihembus oleh pemainnya. Alat musik ini terbuat dari bambu kemudian ujung bambu terbuat dari ujung tanduk kerbau, sementara batok kelapa (artocarpus integra sp) yang berukuran relatif kecil diletakan dekat dari pangkal serune. Batok kelapa yang diletakan di serune berfungsi sebagai batas bibir dengan sarune dan memiliki 4 lobang nada. Pada saat awal melihat dan mendengarkan alat musik ini dimainkan, penulis merasa tertarik baik dari sisi ilmu maupun konteks budaya. Dari segi ilmu etnomusikologi adalah bagaimana
konteksnya dalam peradaban
masyarakat Mandailing. Dari sisi konteks budaya, digunakan untuk apa saja 2
alat musik ini, seterusnya bagaimana fungsinya. Tetapi penulis lebih tertarik untuk mengkaji aspek organologis alat musik sarune ini. Masyarakat Mandailing mengatakan bahwa sarune ini adalah alat musik tradisional yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Sekarang, sejauh pengamatan penulis sarune di kota Medan mulai menghilang dengan sendirinya. Hal ini disebabkan karena sudah berkurangnya pengrajin alat musik tersebut, dan juga oleh semakin berkurangnya pemain sarune di daerah ini. Pada 1 Februari 2015, di Saentis Pasar 1, kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, penulis bertemu dan berbincang dengan seorang pembuat sarune Mandailing yang bernama Bapak Ridwan Aman Nasution tepatnya di rumah kediaman beliau. Di daerah ini beliau merupakan satusatunya pemain sekaligus pembuat alat musik Mandailing. Ketika penulis mengemukakan maksud akan mengkaji organologis sarune buatan beliau, ia sangat menyambut niat baik penulis. Beliau mengatakan bahwa pembuat sarune di kota Medan sangat sedikit, harus ada generasi penerus agar sarune Mandailing ini tidak hilang. Beliau berusia kurang lebih 55 tahun dan berpengalaman dalam membuat alat-alat musik Mandailing seperti: sarune, gordang sambilan, ogung, mongmongan, gong, tali sasayak, dan lain sebagainya. Pengalaman ini diperoleh dari orang tuanya sendiri pada saat ia berumur 10 tahun. Pada usia 8 tahun, beliau pertama kali mencoba membuat sarune dari batang padi. Menurut beliau, sudah banyak orang yang menempah / membuat alat musik Mandailing dari beliau, baik dari daerah Medan, Pematangsiantar, hingga Binjai, terakhir ia pernah membuat lima belas set alat musik Mandailing untuk seorang dosen seni musik. Bapak Ridwan Aman Nasution adalah salah satu pembuat sarune di Medan, selain 3
mengetahui tentang cara pembuatan sarune beliau juga mengerti tentang cara memainkannya. Dalam proses pembuatannya, beliau masih tetap menggunakan alat-alat yang masih tergolong sederhana, yakni berupa pisau/belati, parang, gergaji, dan bahan-bahan yang juga sederhana yaitu, tali, kertas pasir, dan pensil. Proses pembuatannya tergolong sederhana, karena hanya menggunakan tenaga manusia, tanpa bantuan mesin. Bahan utama untuk membuat alat musik sarune ini adalah bambu. Bambu merupakan tanaman yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Tanaman ini dapat tumbuh di daerah iklim basah sampai iklim kering menurut Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999:78). Bambu dalam bahasa Mandailing adalah bulu. Ada dua jenis bulu yang digunakan beliau untuk membuat sarune, yaitu: bulu sorik nasi dan bulu sorik batu. Perbedaan keduanya yaitu bulu sorik nasi lebih tipis dan digunakan sebagai lidah (reed) untuk sarune sedangkan bulu sorik batu lebih tebal dan digunakan untuk badan sarune dan sebagai tempat lobang nada. Bambu yang baik untuk pembuatan reed ini tumbuh di gunung, bambu tersebut seratnya berbintik, tua, dan kering. Beliau mengatakan pada zaman dahulu sarune adalah alat musik yang digunakan masyarakat Mandailing untuk menghibur diri sendiri pada saat sedang menjaga sawah. Beliau mengatakan sarune bisa dimainakan tanpa diiringi gordang sambilan. Orang yang memainkan sarune disebut parsarune, kata par menjadi awalan dari kata sarune yang berarti orang yang memainkan. Menurut beliau ada beberapa pemain sarune yang bisa membuat sarune di Medan.
4
Menurut bapak Ridwan Aman Nasution, kesulitan dalam pembuatan sarune hanyalah pada proses pembuatan lidah (reed). Beliau mengatakan, “sepuluh buah lidah (reed) kita buat, belum tentu semuanya bagus, harus dicoba terus sampai dapat lidah (reed) yang bagus. Bila kita tiup, suara yang dihasilkan tidak akan putus-putus, itulah yang bagus.” Menurut pengamatan dan pengalaman penulis, baik sebagai mahahasiswa disiplin etnomusikologi, maupun pemain gordang Mandailing, sarune buatan beliau berbeda dengan sarune pada umumnya. Perbedaannya terletak pada lidah (reed) yang dibuat beliau lebih kecil sehingga menghasilkan suara yang lebih nyaring. Hal ini diakui pula oleh para pemusik tradisional Mandailing seperti Sefar Lubis, Ucok Lubis, dan lain-lainnya. Dengan demikian keberadaan sarune buatan bapak Ridwan Aman Nasution ini sangat relavan dikaji dari aspek disiplin etnomusikologi, yang penulis pelajari selama beberapa tahun belakangan ini. Etnomusikologi adalah sebuah disiplin ilmu pengetahuan humaniora dan sosial yang mempelajari musik dalam konteks kebudayaan. Secara jelas dan tegas apa itu etnomusikologi sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan, didefinisikan oleh Merriam, sebagai berikut.
Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon 5
the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-4).2
Apa yang dikemukakan oleh Merriam seperti kutipan di atas, bahwa para pakar atau ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembagian
ilmu, yaitu musikologi dan antropologi. Selanjutnya dalam
memfusikan kedua disiplin ini, maka dalam etnomusikologi akan menimbulkan kemungkinan-kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu, tentu saja setiap etnomusikolog akan berada dalam fokus keahlian ilmu pada salah satu bidangnya saja, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut. Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari bahan-bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri. Di lain sisi, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan
musik sebagai
suatu
bagian dari fungsi kebudayaan
manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh 2
Dalam konteks pembelajaran disiplin etnomusikologi di Indonesia dan dunia, terdapat sebuah buku yang terus populer sampai sekarang ini, dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib ” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. Buku yang dimaksud diterbitkan pada tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi semacam “karya utama” di antara karya-karya yang berciri khas etnomusikologis. Buku ini adalah karya Alan P. Merriam seorang etnomusikolog ternama. Tajuk bukunya ini adalah The Anthropology of Music.
6
para pakar antropologi Amerika, yang cenderung
untuk mengasumsikan
kembali suatu reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai
dengan
melakukan studi musik
dalam
konteks etnologisnya. Dalam kerja yang seperti ini, penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas. Hal tersebut telah disarankan secara bertahap oleh Bruno Nettl yaitu terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" Jerman dan melakukan
Amerika,
etnomusikologi
yang sebenarnya tidak persis sama.
studi etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik
di
Mereka dalam
geografi, teori, metode, pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif
awalnya
dilakukan
oleh
para sarjana
Jerman.
Mereka
memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja.
Para
sarjana
Amerika telah
mempersembahkan teknik analisis suara musik. Dari
kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi
dibentuk dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi. Walaupun terdapat variasi penekanan bidang yang berbeda dari masingmasing ahlinya.
Namun terdapat persamaan
bahwa mereka
sama-sama
berangkat dari musik dalam konteks kebudayaannya. Lebih khusus lagi, mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada tulisan edisi berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara 7
(USU) Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang tertuang di dalam buku yang berjudul Etnomusikologi, tahun 1995. Buku ini diedit oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42 definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976.3 Dari semua penjelasan tentang apa itu etnomusikologi, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa etnomusikologi adalah sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang merupakan nhasil fusi dari antropologi (etnologi) dan musikologi, yang mengkaji musik baik secara struktural dan juga sebagai fenomenal sosial dan budaya manusia di seluruh dunia. Para ahlinya (lulusan sarjana etnomusikologi atau peringkat magister dan doktoral) disebut sebagai etnomusikolog. Lebih khusus lagi, di dalam disiplin etnomusikologi terdapat berbagai jenis dan ruang lingkup kajian, seperti: guna dan fungsi musik, pemusik dalam
3
Buku ini disunting (diedit) oleh R. Supanggah, diterbitkan tahun 1995, dengan tajuk Etnomusikologi. Diterbitkan di Surakarta oleh Yayasan bentang Budaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: (a) “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis-Teoretis,” (b) “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” (c) “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog (Barat). Ke depan, dalam konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi telah dilakukan penulisan buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lain-lainnya.
8
konteks sosial, studi teks nyanyian, kajian pengkategorian musik, musik dan kreativitas budaya, musik dalam konteks kopntinuitas dan perubahan, juga organologi (alat-alat musik). Dalam hal ini sarune Mandailing dapat didekati dari sisi organologi, yang mencakup aspek struktural dan fungsionalnya termasuk juga fungsi dalam masyarakat Mandailing. Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam lagi tentang sarune Mandailing buatan bapak Ridwan Amanah Nasution. Penelitian ini akan dibuat ke dalam karya tulis ilmiah dengan judul: “Kajian Organologis Sarune Mandailing Buata Bapak Ridwan Aman Nasution”.
1.2 Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan sebelumnya, pokok permasalahan yang menjadi topik bahasan didalam tulisan ini yaitu: 1.
Bagaimana struktur organologis sarune Mandailing buatan Bapak Ridwan Aman Nasution?
2.
Bagaimana proses dan teknik pembuatan sarune Mandailing buatan Bapak Ridwan Aman Nasution?
3.
Bagaimana teknik dasar memainkan dan fungsi musikal produksi suara yang dihasilkan sarune Mandailing?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian alat musik sarune adalah: 9
1. Untuk mengetahui dengan cara meneliti langsung di lapangan dan mendeskripsikan bagaimana struktur organologis sarune Mandailing buatan Bapak Ridwan Aman Nasution 2. Untuk mengetahui proses dan teknik pembuatan sarune Mandailing buatan Bapak Ridwan Aman Nasution 3. Untuk mengetahui teknik dasar permainan dan fungsi musikal produksi suara sarune Mandailing
1.3.2 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1. Sebagai bahan dokumentasi untuk menambah referensi mengenai sarune Mandailing di Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. 2. Sebagai bahan masukan dan perbandingan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan sarune Mandailing. 3. Memberikan informasi tentang alat musik sarune Mandailing kepada masyarakat umum khususnya masyarakat Mandailing di Kota Medan. 4. Untuk memenuhi syarat menyelesasikan program studi S-1 di Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep Konsep merupakan rangkaian ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kongkrit (Kamus besar bahasa indonesia, Balai Pustaka, 1991:431). 10
Studi disebut juga dengan kajian (menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia). Kajian merupakan kata jadian dari kata”kaji” yang berarti mengkaji, mempelajari, memeriksa, mempertimbangkan secara matang, dan mendalami. Organologi
adalah
bidang
kajian
dalam
etnomusikologi
yang
memfokuskan perhatian kepada struktur dan fungsi alat musik. Ketika berbicara tentang kajian organologi, aspek yang dibahas adalah ukuran dan bentuk fisiknya termasuk hiasannya, bahan dan prinsip pembuatannya, metode dan teknik memainkan, bunyi dan wilayah yang dihasilkan, serta aspek sosial budaya yang berkaitan dengan alat musik tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Mantle Hood (1982:124) bahwa organologi yang digunakan adalah berhubungan dengan alat musik itu sendiri. Menurut beliau organologi adalah ilmu pengetahuan alat musik, yang tidak hanya meliputi sejarah dan deskipsi alat musik, akan tetapi sama pentingnya dengan ilmu pengetahuan dari alat musik itu sendiri antara lain: teknik pertunjukan, fungsi musikal, dekoratif, dan variasi sosial budaya. Dari uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa kajian organologis sarune Mandailing buatan Bapak Ridwan Aman Nasution, adalah penelitian secara mendalam mengenai sejarah dan deskripsi instrumen, juga mengenai teknik-teknik pembuatan, cara memainkan, dan fungsi dari alat musik tersebut. Selanjutnya istilah aeropone adalah klasifikasi alat musik yang ditinjau berdasarkan penggetar utamanya sebagai penghasil bunyi yaitu berasal dari udara yang bergetar (klasifikasi alat musik oleh Curt Sachs dan Hornbostel, 1961). Sarune merupakan Instrumen aeropone yang bisa dimainkan secara tunggal maupun ensambel, dan berfungsi untuk mengibur diri sendiri dan juga sebagai pembawa melodi dalam ensambel. 11
1.4.2 Teori Teori merupakan pendapat yang dikemukakan mengenai suatu peristiwa (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005). Teori mempunyai hubungan yang erat dengan penelitian dan dapat meningkatkan arti dari penemuan penelitian. Tanpa teori, penemuan tersebut akan menjadi keterangan-keterangan empiris yang berpencar (Moh. Nazir, 1983 : 22-25) . Dalam tulisan ini, penulis berpedoman pada teori yang di utarakan oleh Susumu Kashima 1978:174) terjemahan Rizaldi Siagian dalam laporan ATPA (Asia Performing Traditional Art), bahwa studi musik dapat dibagi kedalam dua sudut pandang yakni Studi Struktural dan Studi Fungsional. Studi Struktural adalah Studi yang berkaitan dengan pengamatan, pengukuran, perekaman, atau pencatatan bentuk, ukuran besar kecil, konstruksi serta bahan bahan yang dipakai dalam pembuatan alat musik tersebut. Sedangkan Studi Fungsional memperhatikan fungsi dari alat dan komponen yang menghasilkan suara, antara lain membuat pengukuran dan pencatatan terhadap metode memainkan alat musik tersebut, metode pelarasan dan keras lembutnya suara bunyi, nada,warna nada dan kualitas suara yang dihasilkan oleh alat musik tersebut. Penulis juga menggunakan beberapa teori-teori lain seperti untuk mengetahui teknik permainan sarune Mandailing buatan Bapak Ridwan Aman Nasution, penulis menggunakan pendekatan yang dikemukakan oleh Nettl (1963:98) yaitu: ”Kita dapat menganalisis dan mendeskripsikan musik dari apa
12
yang kita dengar, dan kita dapat menuliskan musik tersebut di atas kertas dan mendeskripsikan apa yang kita lihat.”4 Sedangkan mengenai klasifikasi alat musik sarune dalam penulisan ini penulis mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Curt Sachs dan Hornbostel (1961) yaitu sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyinya. Sistem klasifikasi ini terbagi menjadi empat bagian, yaitu: 1.
Idiofon, penggetar utama bunyinya adalah badan dari alat musik itu sendiri,
2.
Aerofon, penggetar utama bunyinya adalah udara,
3.
Membranofon, penggetar utama bunyinya adalah membran atau kulit,
4.
Kordofon, penggetar utama bunyinya adalah senar atau dawai.
Mengacu pada teori tersebut, maka sarune Mandailing adalah instrumen musik aerofon dimana penggetar utama bunyinya adalah udara. Kajian
organologi
atau
kebudayaan
material
musik
dalam
etnomusikologi telah dikemukakan oleh Merriam (1964) sebagai berikut. Wilayah ini meliputi kajian terhadap alat musik yang disusun oleh peneliti dengan klasifikasi yang biasa digunakan, yaitu: idiofon, membranofon, aerofon, dan kordofon. Selain itu pula, setiap alat musik harus diukur, dideskripsikan, dan digambar dengan skala atau difoto; prinsip-prinsip pembuatan, bahan yang digunakan, motif dekorasi, metode dan teknik pertunjukan, menentukan nada-nada yang dihasilkan, dan masalah teoritis perlu pula dicatat. Selain masalah deskripsi alat musik, masih ada sejumlah masalah analitis lain yang dapat menjadi sasaran penelitian lapangan etnomusikologi.
4
Terjemahan Marc Perlman, 1990.
13
Apakah ada konsep untuk memperlakukan secara khusus alat-alat musik tertentu di dalam suatu masyarakat? Adakah alat musik yang dikeramatkan? Adakah alat-alat musik yang melambangkan jenis-jenis aktivitas budaya atau sosial lain selain musik? Apakah alat-alat musik tertentu merupakan pertanda bagi pesan-pesan tertentu pada masyarakat luas? Apakah suara-suara atau bentuk-bentuk alat musik tertentu berhubungan dengan emosi-emosi khusus, keberadaan manusia, upacara-upacara, atau tanda-tanda tertentu? Nilai ekonomi alat musik juga penting. Mungkin ada beberapa spesialis yang mencari nafkahnya dari membuat alat musik. Apakah ada atau tidak spesialis pada suatu masyarakat? Apakah proses pembuatan alat musik melibatkan waktu pembuatannya? Alat musik dapat dijual dan dibeli, dapat dipesan; dalam keadaan apa pun, produksi alat musik merupakan bagian dari kegiatan ekonomi di dalam masyarakat secara luas. Alat musik mungkin dianggap sebagai lambang kekayaan; mungkin dimiliki perorangan; jika memilikinya mungkin diakui secara individual akan tetapi untuk kepentingan praktis diabaikan; atau mungkin alat-alat musik ini menjadi lambang kekayaan suku bangsa atau desa tertentu. Penyebaran alat musik mempunyai makna yang sangat penting di dalam kajian-kajian difusi dan di dalam rekonstruksi sejarah kebudayaan, dan kadang-kadang dapat memberi petunjuk atau menentukan perpindahan penduduk melalui studi alat musik. Sesuai pendapat Merriam tersebut, sarune Mandailing, termasuk kajian budaya material musik. Alat musik ini termasuk ke dalam klasifikasi aerofon. Selanjutnya adalah sarune ini memiliki lidah tunggal dari bambu yang dicungkil sebagian badannya untuk dijadikan alat penggetar bunyi. Teknik bermain sarune ini adalah dengan menggunakan istilah manguntong hosa 14
(circular breathing), yang artinya, seorang pemain sarune dapat melakukan tiupan tanpa putus-putus dengan mengatur pernapasan, sambil menghirup udara kembali lewat hidung sembari meniup sarune. Teknik ini dikenal hampir pada semua etnis Batak. Alat musik ini akan penulis ukur, difoto, baik bagian eksternal maupun internalnya. Seterusnya penulis akan memperhatikan dekorasi, pengecatan, warna, dan seterusnya. Selain itu, penulis akan bertanya bagaimana persepsi pemain musik, seniman musik Mandailing, dan masyarakat Mandailing mengenai sarune ini. Apakah ia memiliki lambang? Semua yang dipertanyakan Merriam mengenai alat musik akan penulis teliti dalam penelitian ini. Aspek kedua adalah mengenai sisi ekonomi dalam alat musik, dalam hal ini sarune Mandailing. Penelitian tentang hal ini berkaitan dengan distibusi dan penjualannya, terutama di Medan dan sekitarnya. Apakah bapak Ridwan Amanah Nasution mengutamakan sisi ekonomi atau mengutamakan sisi budaya, atau gabungan keduanya dalam konteks pembuatan sarune Mandailing ini.
1.5 Metode Penelitian Metode adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan, (Koentjaraningrat, 1997:16). Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif (Kirk dan Miller dalam Moleong dalam Metodologi Penelitian Kualitatif, 1990 : 3) yang mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang dalam bahasanya dan dalam peristilahannya. Untuk memahami permasalahan yang terdapat 15
dalam pembuatan sarune Mandailing buatan Bapak Ridwan Aman Nasution diperlukan tahap-tahap, yaitu tahap sebelum ke lapangan (pra lapangan), tahap kerja lapangan, Analisis data dan Penulisan laporan. (Maleong, 2002:109). Nettl (1964) mengatakan ada dua hal yang ensensial untuk melakukan aktivitas penelitian dalam disiplin etnomusikologi, yaitu pekerjaan lapangan (field word) dan pekerjaan laboratorium (dest work). Merriam (1964) juga mengatakan pendapat bahwa Etnomusikologi adalah disiplin lapangan dan disiplin laboratorium, yakni data yang di kumpulkan dari lapangan oleh penyidik pada akhirnya di analisis di laboratorium, dan dari hasil kedua metode menjadi pusat studi akhir. Untuk memperoleh data dan keterangan yang dibutuhkan dalam penulisan ini, penulis menggunakan Metode Pengumpulan Data, umumnya ada dua macam,
yakni:
Menggunakan
daftar
pertanyaan
(questionnaires),
Menggunakan wawancara (interview). Untuk melengkapi pengumpulan data dengan daftar pertanyaan maupun wawancara tersebut dapat pula digunakan pengamatan (Observation) dan penggunaan catatan harian, (Djarwanto, 1984:25).
1.5.1 Studi Kepustakaan Pada tahap sebelum ke lapangan (pra-lapangan), dan sebelum mengerjakan penelitian, penulis terlebih dahulu mencari dan membaca serta mempelajari bukubuku, tulisan-tulisan ilmiah, literatur, majalah, situs internet, dan catatancatatan yang berkaitan dengan objek penelitian. Kemudian mencari teori-teori yang dapat digunakan sebagai acuan dalam membahas tulisan ini dan memperoleh pengaturan awal mengenai apa yang diteliti. Studi pustaka ini 16
bertujuan untuk mencari informasi dan menambah data-data yang di butuhkan dalam penulisan, penyesuaian dan pengamatan yang sudah ada mengenai objek penelitian di lapangan.
1.5.2 Kerja Lapangan Dalam kerja lapangan (field work), penulis melakukan kerja lapangan dangan observasi langsung ke daerah penelitian yaitu rumah Rumah Bapak Aman Nasution dan mencari narasumber dari tokoh masyarakat Mandailing yang ada di Kota Medan sebagai narasumber lainya.
1.5.3 Wawancara Adapun Teknik wawancara yang di lakukan penulis ialah melakukan dengan tiga cara yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat untuk melakukan wawancara (1985:139) yaitu: wawancara berfokus (focused interview), wawancara bebas (free interview,) dan wawancara sambil lalu (casual interview). Yang di maksud dengan wawancara berfokus adalah pertanyaan yang selalu berpusat kepada pokok permasalahan, sementara wawancara bebas adalah pertanyaan yang selalu beralih dari satu pokok permasalahan ke pokok permasalahn yang lain. Sedangkan wawancara sambil lalu hanya untuk menambah atau melengkapi data yang lain. Dalam hal ini penulis terlebih dahulu menyiapkan daftar pertanyaan yang akan ditanyakan pada saat wawancara secara bebas ataupun tertuju dari satu topik ke topik lain dan materinya tetap berkaitan dengan topik penelitian. Penulis melakukan wawancara langsung terhadap informan dalam hal ini
17
Bapak Ridwan Aman Nasution selaku informan kunci, dan beberapa informaninforman lainnya. Menurut Harja W. Bachtiar (1985:155), wawancara adalah untuk mencatat keterangan-keterangan yang dibutuhkan dengan maksud agar data atau keterangan tidak ada yang hilang. Untuk pemotretan dan perekaman wawancara penulis menggunakan kamera dan handphone sebagai alat rekam sedangkan untuk pengambilan gambar (foto) digunakan kamera digital, di samping tulisan atas setiap keterangan yang diberikan informan.
1.5.4 Observasi Observasi adalah suatu penyelidikan yang dijalankan secara sistematis dan sengaja diadakan dengan menggunakan alat indra terutama mata terhadap kejadian-kejadian yang langsung (Bimo Walgito, 1987:54). Observasi atau pengamatan dapat berarti setiap kegiatan untuk melakukan pengukuran dengan menggunakan indra penglihatan yang juga berarti tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
1.5.5 Kerja Laboratorium Keseluruhan data yang telah terkumpul dari lapangan, selanjutnya diproses dalam kerja laboratorium. Data-data yang bersifat analisis disusun dengan sistematika penulisan ilmiah. Data-data berupa gambar dan rekaman diteliti kembali sesuai ukuran yang telah ditentukan kemudian dianalisis seperlunya. Semua hasil pengolahan data tersebut disusun dalam satu laporan hasil penelitian berbentuk skripsi (Meriam, 1995:85).
18
1.5.6 Lokasi Penelitian Adapun lokasi penelitian yang penulis pilih adalah di lokasi yang merupakan tempat tinggal narasumber yaitu Bapak Ridwan Aman Nasution di Saentis Pasar 1, kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang yang juga merupakan lokasi bengkel instrumen beliau. Selain melihat lokasi penelitian tempat pembuatan sarune Mandailing ini, penulis perlu juga melihat lokasi penelitian, di mana-mana saja sarune buatan bapak Ridwan Aman Nasution ini. Dalam kenyataannya sarune buatan beliau digunakan oleh para pemusik tradisi Mandailing yang ada di kawasan Deli Serdang, Serdang Bedagai, Medan, dan sekitarnya. Jadi penulis melihat pula lokasi penelitian dalam konteks sebaran wilayah tempat dimainkan sarune buatan bapak Ridwan Aman Nasution.
19
BAB II MASYARAKAT MANDAILING DI KOTA MEDAN DAN BIOGRAFI RINGKAS RIDWAN AMAN NASUTION
2.1
Masyarakat Mandailing
2.1.1 Asal Usul Orang Mandailing Masyarakat Mandailing yang mendiami Kota Medan tidak terlepas dengan asal muasal oleh leluhurnya yang bertempat tinggal di Wilayah Mandailing. Masyarakat Mandailing diduga sudah ada pada ribuan tahun yang lalu. Menelusuri latar belakang masuknya penduduk didaerah Mandailing beberapa pendapat orang berbeda-beda, dan pendapat berbeda itulah bila tidak didukung dengan fakta-fakta tertulis, seperti prasasti-prasasti tentu tidak mudah untuk mempertanggung jawabkannya. Penulis mengambil beberapa pendapat mengenai asal usul Masyarakat Mandailing sebagai bahan informasi mengenai asal usul nama daerah Madailing dan masyarakatnya. Memungkinkan bahwa Wilayah Mandailing pada zaman Kerajaan Majapahit mempunyai masyarakat secara homogen, yaitu masyarakat yang tumbuh dan terhimpun dalam suatu Ketatanegaraan Kerajaan dalam Kebudayaannya. Terbukti dari ekspansi pasukan Kerajaan Majapahit pada sekitar tahun 1287 Caka (365 M). dimana salah satu syairnya disebut nama Mandailing. Adapun syair tersebut yaitu, “Lwir ning nusa pranusa pramuka sakahawat ksoniri malayu/ning jambi, mwang Palembang karitang I teba len dharmamacraya tumut/kandis kahwas manangkabwa ri siyak rekan Kampar mwang I pane/ kampe harw athawe mandailing I tumihang parilak mwang I babrat/” (Pane, 2014)
20
Sebagai mana terlihat pada teks tersebut ekspansi Kerajaan Majapahit ke Malayu di Sumatera merata sejak Jambi, Palembang, Muara Tebu, Darmasraya. Minangkabau, Siak. Rokan, Kampar, Panai, Pulau Kampar, Haru, Mandailing. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nama Mandailing sudah terlukis pada syair ke 13 Negarakertagamanya Propanca yang agung seperti tersebut diatas. (Mhd. Arbain Lubis Ha 11-24) Menurut ulasan dari seorang tokoh sejahrawan Z.Pangaduan Lubis. Dosen Fakultas Sastra USU atau sekarang Ilmu Budaya USU Medan dalam bukunya “Kisah Asal Usul Mandailing”, (Tahun 1986 hal 4-6), mengatakan selanjutnya bahwa didalam tonggo-tonggo (doa) terdapat kata-kata : disitulah (ditanah Mandailing) bertamasya si boru deakparujar. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa kemungkinan sekali justru di tanah Mandailing itu pula Si Boru Deakparujar turun dari kayangan. Dapat diketahui bahwa Deakparujar adalah tokoh mitologi dalam Kebudayaan Toba-Tua. Dan menurut mitologi Si Boru Deakparujar adalah Puteri Debata Mulajadi Nabolon yang dititahkannya turun dari Benua ke Benua Tengah membawa sekepal tanah untuk menempa bumi diatas lautan. Tonggo-Tonggo Si Boru Deakparujar merupakan Kesusasteraan Toba Tua yang klasik yang terdiri dari 10 pasal sebagai dasar atau sumber dari falsafah masnyarakat dan kerohanian dari dalihan na tolu. Dada Meuraxa mengatakan didalam bukunya “Sejarah Kebudayaan Sumatera” (974 hal 349) menyatakan bahwa Mandailing ada yang menduga berasal dari perkataan Mande Hilang dalam bahsa Minangkabau perkataan tersebut berarti Ibu yang Hilang. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ada yang menyangka nama Mandailing berasal dari perkataan “Mundahilang” yang berarti “Munda yang Mengungsi”. Dalam hubungan ini disebut bahwa bangsa Munda yang berada di 21
India pada masa yang silam melakukan pengungsian kepada mereka terdesak oleh Bangsa Aria, menurut Prof.Dr.Slamet Mulyana menjelaskan dalam bukunya “Asal Bangsa dan Bahasa Indonesia” (1964 hal:140) mengatakan sebagai berikut : sebelum kedatangan Bangsa Aria, Bangsa Munda menduduki India Utara. Karena desakan bangsa Aria, maka bangsa Munda menyingkir ke selatan yang terjadi sekitar 1500 SM. Pada waktu perpindahan bangsa Munda dari India Utara ke Asia Tenggara oleh karena terdesak bangsa Aria. Diduga ada sebagian yang masuk ke Sumatera. Dengan melalui Pelabuhan Barus pantai barat Sumatera mereka meneruskan perjalanan sampai ke suatu daerah yang kemudian disebut dengan Mandailing, yang berasal dari perkataan Mundahiling yang berarti Munda yang Mengungsi. Didalam buku yang dikemukakan oleh pengarangnya Mangaraja Lelo Lubis bahwa menurut orang tua, nama Mandailing berasal dari perkataan “Mandala Holing”. Pada zaman dahulu kala Mandala Holing adalah sebuah kerjaan yang menguasai daerah mulai dari Portibi di Gunung Tua Padang Lawas sampai ke daerah Pidoli di Mandailing. Semua pusat kerajaan ini terletak di Portibi Gunung Tua, tenpat dimana banyak ditemukan Candi-candi Purba.
Oleh
karena
serangan
Kerajaan
Majapahit,
kemudian
pusat
pemerintahan kerajaan dipindahkan ke Piu Delhi dimana kemudian hari kota ini dikenal dengan nama Pidoli di daerah Mandailing (didekat Kota Panyabungan yang sekarang). Terbukti terdapat candicandi purba pada waktu silam didaerah Pidoli tetapi hancur oleh pasukan islam dibawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol ratusan tahun yang lalu. Masyarakat Mandailing digolongkan kedalam kelompok Proto Melayu (Melayu Tua), yang mempunyai persamaan dengan Suku Toba, Simalungun, Karo, dan Pakpak/Dairi. Yang 22
persamaan itu bisa dilihat pada Bahasa dan Adat Istiadatnya. Kelompok Proto ini berasal dari Tiongkok Selatan, dan berpindah di Wilayah Indonesia yang kemungkinan terjadi pada abad 7 atau ke 8 SM. Dan dari cici-ciri khas bentuk fisik dan temperamen, bahwa Nenek Moyang Suku – Suku bangsa termasuk rumpun Proto Melayu. (Emilkam Tambunan, 1982 :33). Apa yang telah diuraikan baik pendapat Dada Meuraxa, Emilkam Tambunan, Prof.Dr. Slamet Mulyana sudah tersusun didalam buku Z. Pangaduan Lubis berjudul “Kisah Asal Usul Mandailing” (1986 hal 6-10) Dengan pejabarannya yang luas dan yang berhubungan antara satu dengan yang lain dan berdasarkan metodemetode yang abash kiranya dapat dicatat bahwa asal usul nama Mandailing yang murni sudah terbuka lebar, untuk mengungkapkan dan membuktikan kembali nama Mandailing yang harum semenjak dari seribu yang silam.
2.1.2 Sistem Religi dan Agama Pada masa sekarang ini Masyarakat Mandailing umumnya masih menganut Agama Islam dan hanya sedikit Agama Kristen, tetapi Nenek Moyang mereka sebelum masuknya Agama Islam maupun Kristen masih mempercayai dengan Animisme atau dikenal dengan pele begu (suatu pemujian terhadap Roh Nenek Moyang). Ajaran relegi tersebut mengakui adanya bermacam makhlus halus dan kekuatan-kekuatan gahib yang dapat menimbulkan pengaruh buruk, misalnya penyakit dan mala petaka atas diri manusia (Parlaungan Rotonga 1997:10) Didalam pelaksanaan Upacara Ritual (animisme), dipimpin oleh seorang yang sudah ahli dan bukan orang sembarangan. Dan orang itu adalah orang yang mengetahui tentang doa - doa yang harus disampaikan kepada leluhurnya atau disebut dengan Si Baso. Nenek Moyang mempercayai 23
peantaraan si baso dengan Roh Nenek Moyang dapat turun ke bumi dengan menurunkan pemberian berkah atau sebaliknya. Sistem animisme ini mulai terhapus sekitar tahun 1820 sejak Agama Islam masuk ke Mandailing yang dibawa oleh Kaum Padri dari Minangkabau. Ajaran yang dibawa langsung oleh Kaum Padri ini adalah ajaran Agama Islam yang keras. Mereka tidak kompromi dengan masyarakat dan pemuka Adat Mandailing. Siapa saja yang tidak mau masuk ke Agama Islam akan dibunuh atau akan menjadi budak kepada Kaum Padri. Lama kelamaan Masyarakat Mandailing menerima agama islam, dan akhirnya agama islam menjadi berkembang di seluruh daerah Mandailing. Setalah Masyarakat Mandailing memeluk Agama Islam, membawa pengaruh terhadap upacara-upacara animisme. Karena Agama Islam melarang setiap kaumnya berhubungan dengan roh-roh yang dipuja pada upacara ritual tersebut, karena dianggap bertentangan dengan ajaran Agama Islam. Sekitar tahun 1839 Agama Kristen mulai masuk ke daerah Mandailing yang dibawa oleh para Pendeta-Pendeta. Masyarakat Mandailing tidak banyak yang menganut Agama Kristen dikarenakan telah terlebih dahulu menganut agama islam sehingga yang menganut Agama Kristen sangat sedikit, dan kebanyakan yang menganut Agama Kristen adalah orang – orang pendatang dari luar daerah Mandailing yang menetap di Mandailing.
2.1.3 Bahasa Bahasa Mandailing merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang dipergunakan oleh suku Batak Mandailing yang sebagaimana bahasa tersebut dapat dipakai didaerah Mandailing maupun daerah perantauan yang digunakan 24
sebagai media komunikasi diantara sesama Etnis Mandailing. Menurut H. Pandapotan Nasution,SH (2005 hal 14-15). Dalam bukunya mengungkapkan dengan sesuai pemakainya Bahasa mandailing terdiri dari 5 tingkatan, yaitu : - Bahasa adat (bahasa pada waktu upacara adat) - Bahasa andung (bahasa waktu bersedih) - Bahasa parkapur (bahasa ketika dihutan) - Bahasa na biaso (bahasa sehari - hari) - Bahasa bura (bahasa waktu marah atau kasar) Pertuturan Bahasa Mandailing masih dipergunakan pada saat tertentu, misalnya dalam Upacara Peradatan, Arisan, Perkumpulan Keluarga, atau Perkumpulan Keluarga lainnya.
2.1.4 Sistem Kekerabatan Masyarakat Mandailing Sistem kekerabatan adat istiadat Mandailing masih memegang pada adat istiadat yang disebut dengan “Markoum Marsisolkot”, adat istiadat ini sudah disempurnakan atas pihak – pihak yang untuk dapat disatukan menjadi hidup berdampingan rukun dan damai. Karena dari arti dan makna “markaoum” adalah berkaum atau famili dekat, meskipun ia dari orang yang juah atau orang yang tidak perna dikenal. Sedangkan “marsisolkot” artinya mendekatkan yang sudah dekat, artinya masih satu marga atau suku dari satu Nenek Moyang. Adat Istiadat Markoum Masrsisolkot di Mandailing sudah disepakati untuk dipakai kepada masyarkatnya baik dalam Upacara Siriaon (upacara suka cita) ataupun Upacara Siluluton (upacara duka cita). Dimana dikatakan bahwa adat istiadat yang berdasarkan markoum marsisolkot yang tertuang dalam beberapa lembaga Adat yaitu (1) patik, (2) ugari, (3) uhum, dan hapantunon. 25
Patik adalah peraturan adat yang tidak boleh dilanggar , jika dilanggar akan dihukum, sebagaiman patik sebagai peraturan yang dipakai untuk pedoman agar semua kegiatan dalam kehidupan dapat menciptakan kasih sayang , atau tidak menimbulkan pertentangan atau pergesekan kepada masyarakat.
Ugari adalah kebiasaan yang diangkat seperti peraturan. Jadi adat kebiasaan yang diadatkan dari suatu daerah tidak merusak adat.
Uhum adalah sanksi hokum terhadap perlanggaran atas peraturan seperti patik, ugari, dan hapantunon. Uhum atau sanksi pelanggaran itu bertingkattingkat mulai dari teguran, denda, pasung, diusir dari kampong, dan kepada hukuman mati.
Hapantunon adalah salah satu adat istiadat yang bertujuan memperhalus hubungan manusia atau dengan manusia yang lain. Hapantunon memberikan kepada Masyarakat maupun Keluarga yang mempelajari etika pergaulan ataupun etika dalam bergaul sehari-hari atau dalam ikatan keluarga didalam pertuturon. Adat istiadat Markaoum Marsisolkot ini belakang hari dikatakan orang juga
sebagai Dalihan Na Tolu . Dalihan artinya batu tungku, dan na tolu artinya yang tiga, maksudnya ketiga batu ini menjujung satu wadah atau satu adat. Yakni tiga unsur kelompok yang berbeda menjujung satu wadah Adat Mandailing, yang terdiri dari Kahanggi, Anak Boru, dan Mora. -
Kahanggi adalah kelompok yang terdiri dari pihak kita sendiri yang bersaudara kandung dan ditambah dengan kelompok yang sesame satu marga. Unsur kahanggi juga termasuk saama – saibu (seayah - seibu), saompu (satu nenek), saparaman (satu bapak), sabana (seketurunan),
26
sapangupaan (kakek bersaudara kandung), dan sakahanggi (orang – rang satu marga dalam satu kampung). -
Anak Boru adalah tempat pemberian anak – anak gadis dari kelompok kita tadi. Atau kelompok kerabat yang menerima anak gadis dari pihak Mora. Dan biasanya pihak keluarga anak boru hormat kepada pihak moranya.
-
Mora adalah kelompok saudara – saudara dari istri – istri dari pihak kita atau tempat pengambilan anak – anak gadis dalam perkawinan. Dari hasil keputusan musyawarah dari ketiga kelompok inilah atau dari
pihak kahanggi, Anak Boru, dan Mora terciptanya adat Mandailing yang dikatakan adat Markoum Marsisolkot. Apa bila salah satu kelompok diantaranya tidak diikut sertakan, maka upacara Adat Mandailing yang berdasarkan adat istiadat Markoum Marsisolkot tidak tercipta, atau dengan perkataan lain dibatalkan sama sekali. Di Mandailing menganut Marga yang diturunkan melalui dari Marga Ayah atau disebut dengan patrilineal. Orang – orang yang atau garis keturunan Patrilineal ini di daerah Mandailing dikelompokan menjadi marga yang dimaksud sama dengan clan. Adapun marga yang terdapat di Mandailing yaitu (a) Nasution, (b) Lubis, (c) Pulungan, (d) Rangkuti, (e) Batu Bara, (f) Dulae, (g) Matondang, (h) Parinduri, (i) Hasibuan. Marga Lubis dan Nasution merupakan marga yang paling banyak jumlah warganya di Daerah Mandailing. Setiap anggota Masyarakat yang mempunyai marga, akan meletakkan nama marganya dibelakang marga sendiri. Karena hal ini merupakan suatu tradisi yang telah menyatu dengan kehidupan Masyarakat Mandailing sejak dahulu. Marga adalah suatu yang memiliki nilai-nilai solidaritas didalam
27
keluarga maupun di masyarakat. Orang-orang yang semarga dianggap bersaudara atau satu keturunan yang disebut Markahanggi. Sistim kekerabatan lain yang luas dari marga juga terdapat pada Masyarakat Mandailing. Sistim kekerabatan ini didasari oleh adanya suatu ikatan darah dan ikatan perkawinan antara anggota kelompok marga yang ada pada masyarakat. Ikatan darah dan perkawinan inilah yang melahirkan sistim sosial yang dilandasi dengan hubungan kekerabatan yang dinamakan dalihan na tolu.
2.1.5 Kesenian Kesenian sudah dikenal oleh masyarakat Mandailing sejak zaman dahulu, seni musik yang hidup pada saat itu sangat berkaitannya dengan sistim kepercayaan lama atau dengan pele begu (menyembah roh nenek moyang). Setiap melakukan upacara ritual atau keagamaan pada masa itu musik digunakan sebagai perantaraan dalam upacara. Didalam kehidupan masyarakat Mandailing pada masa pra islam, musik merupakan sebahagian yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan keagamaan (religi) dan upacara – upacara adat, baik itu upacara yang bersifat suka cita yang dinamakan siriaon, ataupun upacara adat siluluton, yaitu upacara adat duka cita. Sistim kepercayaan animisme yang dikenal dengan pele begu tersebut menempatkan musik (yang dipergunakan untuk upacara religi) pada kedudukan yang tinggi. Seperti penjelasan yang dibuat oleh koentjaraningrat bahwa : hal itu disebabkan karena suara, nyanyian dan musik, merupakan suatu unsur yang sangat penting dalam upcara keagamaan sebagai hal yang biasa menambah suasana keramat atau sakral. (Koentjaraningrat 1980:245). Dalam tradisi di Mandailing pada masa 28
Pra Islam pemujaan itu selalu menggunakan seorang perantara yang dinamakan si baso. Sedangkan bunyi – bunyian suci diperkirakan adalah ensambel gondang maupun gordang. Dan pemain musik yang ahli pada masa itu dinamakan datu peruning-uningan atau datu pargondang. Dikarenakan mereka belajar bermain musik bukan dari manusia, melainkan dari begu. Yang secara khusus pula begu memberikan irama-irama gondang kepada datu paruning – uningan. Dan setelah masuk dan berkembangnya Agama Islam di daerah Mandailing, penggunaan musik yang ditujukan kepada roh nenek moyang tidak dibenarkan untuk ditampilkan, karena hal itu sangat bertentangan dengan ajaran Agama Islam. misalnya tradisi mengandung (meratap dihadapan jenazah) yang dilakukan pada upacara adat siluluton (duka cita). Mengandung pada adat siluluton adalah suatu perbuatan yang tidak diperkenankan yang tidak sesaui dengan kaidah ajaran islam. Dalam bentuk nyanyian biasanya masyarakat dibawakan secara solo. Misalnya jenis nyanyian ungut-ungut. Nyanyian ini sering dibawakan oleh anak muda (meskipun siapa saja boleh membawakannya) sebagai nyanyian pelipur lara yang melukiskan tentang rasa duka dalam hal percintaan, dan dinyanyikan tidak didepan umum atau secara tertutup hanya secara pribadi. Masyarakat Mandailing, terutama ibu-ibu rumah tangga ataupun anak-anak gadis bila hendak menidurkan anak bayi biasanya akan dibawakan nyanyian khusus yang dinamakan bue-bue. Sambil
membuei
si
bayi,
ibunya
ataupun
anak-anak
gadis
akan
mendendangkan nyanyian nyanyian agar buah hatinya tertidur. Tradisi bernyanyi seperti ini jarang hamper tidak dipergunakan oleh masyarakat terutama ibu rumah tangga. Hal ini disebabkan perkembangan zaman yang berubah ubah. 29
Secara khusus masyarakat Mandailing menggunakan istilah ende untuk menyebutkan segala jenis nyanyian atau seni vocal yang terdapat pada masyarakat tersebut. Walaupun pada tiap nyanyian yang dibawakan oleh masyarakat yang mempunyai fungsi berbeda-beda seperti contoh diatas. Adapun jenis alat musik di masyarakat Mandailing yang sumber bunyinya dari udara yang disebut dengan aerofon yaitu, sebagai berikut: (a) tulila, merupakan alat musik tiup yang digunakan oleh para anak-anak muda untuk memikat anak gadis yang dilakukan pada malam hari. Sang pemuda mendatangi rumah si gadis untuk berdialog secara berbisik dari dibali dinding tentang rasa cinta antara keduanya. (b) uyup-uyup, merupakan alat musik tiup yang terbuat dari batang padi. Digunakan oleh para pemuda sebagai hiburan di sawah-sawah, dan tidak jarang pula untuk menarik perhatian oleh para gadis-gadis. (c) ole-ole atau olang-olang yang merupakan alat musik tiup ini terdapat lilitan daun kelapa yang berbentuk corong dan berfungsi untuk memperbesar suara. (d) suling, yang terbuat dari bambu dan digunakan untuk hiburan (e) sordam. Merupakan alat musik bambu. Alat musik ini kegunaannya sama dengan suling yang dilakukan ditempat bernaungan seperti di bawah – bawah pohon. (f) Sarune, merupakan alat musik yang terbuat dari bambu. Jenis alat musik membranofon yang sumber bunyi berasal dari kulit atau membran yaitu sebagai berikut: (a) Gondang dua. Ensambel ini juga dinamakan gondang boru. Alat musik ini terdiri dari dua buah gondang. Keduanya memliki ukuran dan bentuk yang 30
sama dan kegunaan gondang dua atau gondang boru ini digunakan pada upacara adat siriaon (suka cita) misalnya perkawinan yang berfungsi untuk mejemput pengantin perempuan, dan upacara silluluton (duka cita) misalnya upacara kematian. (b) gordang tano, gordang tanoh ini terbuat dari tanah yang dikorek kemudian ditutup dengan papan dan dibuat tiang penyangga yang fungsinya untuk mengikat rotan. Rotan inilah yang dipukul untuk menghasilkan bunyi. Gordang tano digunakan uttuk menurunnkan hujan, tetapi pada saat sekarang sudah sulit untuk ditemui. (c) gordang sambilan, ensambel ini terdiri dari sembilan buah gordang yang bentuknya panjang dan besar dengan ukuran yang berbeda – beda. Dan nama - nama gordang ini tidak sama di wilayah madailing seperti di daerah pakantan, huta pungkut, dan tamiang. untuk sepasang gordang yang paling besar di daerah Pakantan disebut : jangat (1,2), hudong-kudong (3,4), panduai (5,6), patolu (7,8) dan enek-enek (9), sedangkan di daerah Hutapungkut dan Tamiang disebut jangat yang dibagi dalam tiga bagian yaitu (1) jangat siangkaan, (2) jangat silitonga , dan (3) jangat sianggian, (4,5) pangaloi,
(6,7)
paniga,
(8) hudong-kudong,
(9)
teke-teke
(Hutapungkut), eneng-eneng (Tamiang). Gordang sambilan terbuat dari pohon ingul tetapi pada saat sekarang tidak jarang memakai batang pohon kelapa di karenakan pohon ingul sulit ditemukan. Untuk membrannya yaitu kulit lembu yang diikat dengan rotan yang besarnya jari kelingking orang dewasa dan cara memainkannya dipukul dengan sepasang batang kayu. Gordang sambilan digunakan didalam upacara siriaon (suka cita) misalnya upacara pernikahan, menyambut tamu, memasuki rumah baru, 31
dan peresmian – peresmian. (d) gordang lima, dipergunakan lima buah gordang yang memiliki ukuran dan nama yang berbeda – beda. Ukuran yang terbesar bernama jangat. Kemudian ukuran selanjutnya hudong kudong, ukuran yang ketiga dinamaka padua, yang keempat adalah patolu, dan yang terkecil adalah enek-enek. Gordang lima digunakan pada zaman dahulu untuk memohon kepada roh nenek moyang mereka. Alat musik mandailing lainnya yang bersifat kordofon yaitu gondang bulu, dalam sub klasifikasi ziter tabung dan mempunyai dawai yang bersifat Idiokordik. Gondang Bulu digunakan untuk menghibur dan mengiringi anak–anak gadis berlatih tarian tor – tor. Jenis kesenian alat musik Mandailing yang sumber bunyinya berasal dari dirinya sendiri (idiofhon) terdiri dari yaitu (a) tali sasayak, (b) ogung jantan(lebih kecil dari ogung boru ), (c) ogung betina atau ogung boru, (d) doal, (e) momongan yang terdiri dari (1) pamulusi, (2) panduai, dan (3) panolongi. Yang sebenanya tor – tor menurut aslinya bukanlah tarian tetapi sebagai pelengkap gondang berdasarkan kepada falsafah adat. Tor – tor yang dilakukan dengan gerakan tertentu mempunyai ciri khas, makna, dan tujuan tertentu.
2.1.6 Organisasi Masyarakat Mandailing di Kota Medan Masyarakat Mandailing yang berdomisili di kota Medan memiliki organisasi atau perkumpulan. Dalam penelitian ini organisasi masyarakat yang menjadi gambaran mengenai masyarakat Mandailing di Kota Medan terdapat pada beberapa organisasi masyarakat yang didasarkan oleh pekumpulan marga maupun asal daerah. Organisasi masyarakat penting untuk dijelaskan dalam 32
penelitian ini, karena organisasi masyarakat merupakan perkumpulan bagi masyarakat Mandailing yang berdomisili di Kota Medan, HIKMA (Himpunan Keluarga Besar Mandailing) di Kota Medan memiliki beberapa perwakilan, yaitu: Dewan Pengurus Daerah (DPD) Tingkat I Sumatera Utara dan Dewan Pengurus Cabang (DPC) terdapat di Jln. Letda Sutjono – Medan. IKANAS (Ikatan Marga Nasution) organisasi masyarakat yang didasarkan pada marga Nasution, organisasi ini tidak saja beranggotakan marga Nasution melainkan juga menerima marga lainnya sesuai dengan kontribusi yang diberikan pada organisasi. Organisasi lainnya pada umumnya organisasi masyarakat ini berbasiskan kepada garis keturuan yang didasarkan pada marga ataupun tempat asal (daerah Mandailing).
2.1.7 Sistem Pencaharian Masyarakat Mandailing di Kota Medan Umumnya mata pencaharian masyarakat mandailing di mandailing adalah bertani (mandailing godang) dan berkebun (mandailing julu). Sementara masyarakat mandailing yang sudah berdomisili di Kota Medan, sisitem mata pencaharian yang mereka kerjakan adalah kebanyakan pegawai negeri maupun swasta ataupun sebagai pejabat-pejabat lainnya. Selain itu, ada juga pekerjaan yang dikerjakan masyakat mandailing sebagai pedagang, pemain musik, atau pekerjaan lainnya seperti supir angkot, becak dan pengusaha itu semua yang mereka kerjakan untuk mencukupi kebutuhan kehidupan sehari-hari keluarga mereka.
33
2.2 Pengertian Biografi Biografi berasal dari kata bios (bahasa Yunani) yang artinya hidup, dan graphien yang berarti tulis. Biografi secara bahasa bisa diartikan sebagai sebuah tulisan tentang kehidupan seseorang, secara sederhana dapat dikatakan sebagai sebuah kisah riwayat hidup seseorang. Biografi seringkali bercerita mengenai seorang tokoh sejarah, namun tak jarang juga tentang orang yang masih hidup. Biografi biasanya ditulis secara kronologis. Beberapa periode waktu tersebut dapat dikelompokkan berdasar tema-tema utama tertentu (misalnya “masa-masa awal yang susah” atau “ambisi dan pencapaian”). Walau begitu, beberapa yang lain berfokus pada topik-topik atau pencapaian tertentu. Biografi juga menulis dan menganalisa serta menerangkan kejadiankejadian dalam hidup seseorang. Biografi dapat berbentuk beberapa baris kalimat saja, namun juga dapat berupa lebih dari satu buku. Perbedaanya adalah, biografi singkat hanya memaparkan tentang fakta-fakta dari kehidupan seseorang dan peran pentingnya sementara biografi yang panjang meliputi, informasi-informasi penting namun dikisahkan dengan lebih mendetail dan tentunya dituliskan dengan gaya bercerita yang baik. Dengan membaca biografi, pembaca akan menemukan hubungan keterangan dari tindakan yang dilakukan dalam kehidupan seseorang tersebut, juga mengenai cerita-cerita atau pengalaman-pengalaman selama hidupnya. Biografi biasanya bercerita tentang kehidupan seorang tokoh terkenal maupun tidak terkenal, namun biasanya biografi orang tidak terkenal akan menjadikan orang tersebut dikenal secara luas, jika didalam biografinya terdapat sesuatu 34
yang menarik untuk disimak oleh pembacanya, namun biasanya biografi hanya berfokus pada orang-orang yang terkenal saja. Banyak biografi yang ditulis secara kronologis atau memiliki suatu alur tertentu, misalnya memulai dengan menceritakan masa anak-anak sampai masa dewasa seseorang, namun ada juga beberapa biografi yang lebih berfokus pada suatu topic-topik pencapaian terntentu. Biografi memerlukan bahan-bahan utama dan bahan pendukung. Bahan utama dapat berupa benda-benda seperti surat-surat, buku harian, atau kliping Koran. Sedangkan bahan-bahan pendukung biasanya berupa biografi lain, buku-buku referensi atau sejarah yang memaparkan peranan subyek biografi itu. Beberapa aspek yang perlu dilakukan dalam menulis sebuah biografi antara lain: (a) Pilih seseorang yang menarik perhatian anda; (b) Temukan fakta-fakta utama mengenai kehidupan orang tersebut; (c) Mulailah dengan ensiklopedia dan catatan waktu. Sebelum menuliskan sebuah biografi seseorang, ada beberapa pertanyaan yang dapat dijadikan pertimbangan, misalnya: (a) Apa yang membuat orang tersebut istimewa atau menarik untuk dibahas; (b) Dampak apa yang telah beliau lakukan bagi dunia atau dalam suatu bidang tertentu juga bagi orang lain; (c) Sifat apa yang akan sering penulis gunakan untuk menggambarkan orang tersebut; (d) Contoh apa yang dapat dilihat dari hidupnya yang menggambarkan sifat tersebut; (e) Kejadian apa yang membentuk atau mengubah kehidupan orang tersebut; (f) Apakah beliau memiliki banyak jalan keluar untuk mengatasi masalah dalam hidupnya; (g) Apakah beliau mengatasi masalahnya dengan mengambil resiko,atau karena keberuntungan; (h) Apakah dunia atau suatu hal yang terkait dengan beliau akan menjadi lebih buruk atau 35
lebih baik jika orang tersebut hidup ataupun tidak hidup, bagaimana, dan mengapa demikian. Lakukan juga penelitian lebih lanjut dengan bahan-bahan dari studi perpustakaan atau internet untuk membantu penulis dalam menjawab serta menulis biografi orang tersebut dan supaya tulisan si peneliti dapat dipertanggungjawabkan, lengkap dan menarik. Terjemahan Ary (2007) dari situs: (www.infoplease.com/ homework/wsbiography.html).
2.3 Alasan Dipilihnya Ridwan Aman Nasution Dalam tulisan ini, penulis memilih Ridwan Aman Nasution sebagai objek penelitian, dikarenakan beliau mampu memainkan dan membuat alat musik tradisional Mandailing, selain itu alas an penulis memilih beliau diantaranya adalah: a) Seusia beliau saat ini, masih dia yang dapat memainkan sarune dengan sangat baik (hasil wawancara Irwansyah Harahap); b) Pengalaman beliau dalam bermain musik Mandailing dimulai pada saat dia masih kecil yang didapatnya dari orang tuanya sendiri yang merupakan pemusik Mandailing pada zaman itu. Hal-hal tersebut penulis ketahui dari hasil percakapan/wawancara dengan Bapak Ridwan dan juga dari rekan-rekan. Peranan dan pengalaman beliau yang banyak ini menjadi alasan ketertarikan penulis menemukan fakta-fakta mengenai kehidupan beliau, dalam hal ini penulis lebih fokus kepada kehidupan beliau sebagai pembuat alat musik dan lebih dikhususkan kepada instrumen musik sarune buatan beliau.
36
2.4 Biografi Ridwan Aman Nasution Biografi Ridwan Aman Nasution yang akan dideskripsikan dalam tulisan ini, mencakup aspek-aspek: latar belakang keluarga, pendidikan beliau, kehidupan sebagai pemusik, dan kehidupan sebagai pembuat alat musik khususnya mengenai sarune buatan beliau tersebut. Semua uraian dibawah ini penulis dapatkan dari hasil wawancara langsung dengan Bapak Ridwan Aman Nasution, juga dari beberapa keluarga dan kerabat beliau.
2.4.1 Latar Belakang Keluarga Bapak Ridwan Aman Nasution lahir di Pekantan, 13 Januari 1960. Beliau adalah putera dari alm. Burhanuddin Nasution dan alm. Fatimah Lubis. Beliau merupakan anak ke empat(4) dari sepuluh(10) orang bersaudara. Beliau lahir dari keturunan seniman Mandailing. Ayah dari bapak Ridwan ini merupakan seniman Mandailing. Beliau mendapat pengalaman bermain musik dan membuat alat musik dari ayahnya sendiri. Sampai saat ini masih ada alat musik peninggalan ayah beliau di kampung mereka , Pekantan, yaitu berupa gordang sambilan dan lain-lain. Ibu dari ibu beliau ini merupakan seorang vokal di tradisi Mandailing. Ayah dari ibu beliau merupakan kepala kelompok Lubis, sedangkan ayah dari ayah beliau juga merupakan kepala kelompok Nasution. Beliau pertama kali merantau ke medan berusia 20 tahun, sewantu lajang, beliau pernah membuat grup gambus, beliau juga dulu pernah membuat beberapa alat musik seperti biola dari bambu, uyup-uyup batang padi (wawancara penulis dengan Bapak Ridwan Aman Nasution 15 Juni 2015).
37
2.4.2 Latar Belakang Pendidikan Pendidikan terakhir bapak Ridwan Aman Nasution adalah hanya tamatan SD. Bapak Ridwan SD di tempat kelahirannya yaitu Pekantan. Beliau tidak dapat melanjutkan pendidikan dikarenakan kekurangan biaya. Sehingga setelah tamat SD, beliau mengikuti ayahnya dalam bertani dan bermain musik. (wawancara penulis dengan Bapak Ridwan Aman Nasution 15 Juni 2015).
2.4.3 Berumah Tangga Bapak Ridwan menikah tahun 1987 dengan istrinya Rosmati Lubis, dari pernikahan mereka lahirlah satu orang putra dan dua orang putrid, yaitu: 1. Hardiansyah Nasution (20 tahun tamat SMA) 2. Umi Arpa Nasution ( 18 tahun tamat SMA) 3. Dina Rahmadani (14 tahun SMP kelas 3) (wawancara penulis dengan Bapak Ridwan Aman Nasution 15 Juni 2015).
2.4.4 Bapak Ridwan Aman Nasution Sebagai Pembuat Alat Musik Seperti yang telah dibahas di sub bab sebelumnya, bahwa latar belakang keluarga banyak mempengaruhi dan membuat beliau seorang yang piawai dalam bermain musik tradisional Mandailing. Demikian juga halnya sebagai pembuat instrumen musik Mandailing. Kemampuan dalam membuat instrumen musik tradisional masyarakat Mandailing diperoleh beliau semenjak dia masih anak-anak, beliau sering membantu ayahnya yang mahir dalam membuat instumen musik tradisional Mandailing. Hingga sekarang ilmu yang di dapat dari ayahnya itu ia kembangkan terus menerus.
38
Berawal dari pengalaman hidup pada masa anak-anak tersebutlah yang terus dikembangkan dan menjadi bekal bagi beliau untuk memulai karir beliau sebagai pembuat instrumen musik tradisional Mandailing. . Hingga kini, beliau masih tetap membuat alat musik Mandailing khususnya Sarune Mandailing di Medan.
2.4.5
Bapak Ridwan Aman Nasution Sebagai Pemusik Tradisional Mandailing Seperti yang telah diterangkan di sub bab sebelumnya, tidak hanya
pembuat alat musik tradisional Mandailing saja, beliau juga mahir dalam memainkan alat musik tradisional Mandailing tersebut. Telah banyak tempat yang dijalani beliau dalam hal bermain musik Mandailing. Beliau pernah nampil di Amerika Serikat dalam acara Pameran Kebudayaan Indonesia (KIAS) pada tahun 1990-1991, beliau juga pernah mengikuti acara budaya Penang Fair di Malaysia pada tahun 1988-1989 yang pada saat itu beliau mengikuti grup batang gadis, pada tahun 1988, beliau juga mengikuti acara MTQ Nasional di Jogjakarta yang pada saat itu beliau mengikuti grup Sarta Barita. Bukan hanya itu, beliau juga pernah mengikuti acara-acara kebudayaan lainnya seperti di Jakarta, HUT TVRI Medan tahun 2014, acara budaya di Batam.
39
BAB III KAJIAN ORGANOLOGI SARUNE MANDAILING
3.1 Klasifikasi Sarune Pada klasifikasi sarune ini, penulis mengacu kepada teori Curt Sachs dan Erich Von Hornbostel. Sistem penggolongan alat musik Sahcs dan Hornbostel berdasarkan pada sumber penggetar utama dari bunyi yang dihasilkan oleh sebuah alat musik. Selanjutnya Sahcs-Hornbostel menggolongkan berbagai alat musik atas empat golongan besar, yaitu: a. Kordofon, di mana penggetar utama penghasil bunyi adalah dawai yang direngangkan. Contoh adalah gitar dan biola. b. Aerofon, di mana penggetar utama penghasil bunyi adalah udara. Sebagai contoh adalah suling, terompet, atau saksofon. c. Membranofon, di mana pengetar utama penghasil bunyi adalah membrane atau kulit. Contoh adalah gendang dan drum. d. Idiofon, di mana penggetar utama bunyi adalah badan atau tubuh dari alat musik itu sendiri. Contoh adalah gong, symbal, atau alat perkusi. Dari sistem pengelompokan yang mereka lakukan, selanjutnya Sachs dan Hornbostel menggolongkan lagi alat musik aerofon menjadi lebih terperinci berdasarkan karakteristik bentuknya yakni: Blown Flute, End Blown Flute, Side Blown Flute, Rim Blown Flute, Wistle Flute, Nose Flute. Berdasarkan jenis karakteristik yang terdapat pada sarune dapat digolongkan kedalam jenis aerofon, maka penulis akan melihat dari fisik alat musik tersebut, sehingga sarune tersebut diklasifikasikan menjadi:
40
a. Single reed aerophone, yaitu aerofon yang memiliki reed (lidah) tunggal. Reed berfungsi untuk menghasilkan suara dengan cara ditiup. Reed pada sarune ini terbuat dari bambu. b. Oboe/shawn Dengan memperhatikan bagan di atas maka penulis memberikan gambaran klasifikasi sarune yang dilihat berdasarkan karakter alat musik tersebut dengan tinjauan aspek organologisnya. Dari bagan tersebut sehingga tampak jelas klasifikasi secara kompleks dengan dilihat dari sisi organologi sesuai bahan kajian utama penulis baik itu dilihat dari bahan baku, cara memainkan, dan teknik memainkannya.
3.2 Konstruksi Sarune Untuk membahas bagian konstruksi ini, penulis mengacu pada sarune buatan Ridwan Aman Nasution. Instrument ini memiliki bagian-bagian yang mempunyai fungsi masing-masing, antara lain sebagai berikut
1 2 3
4
5
Gambar 3.1 Konstruksi Sarune (Dokumentasi Penulis, 2015) 41
Keterangan: 1. Anak Sarune adalah bagian yang digunakan untuk menghasilkan suara sarune 2. Takar ni harambir adalah bagian yang berfungsi sebagai penyanggah bibir dengan sarune dan juga agar induk sarune tidak pecah 3. Induk sarune adalah bagian yang berfungsi sebagai tempat lubang nada 4. Lubang nada, sarune Mandailing memiliki 4 lubang nada 5. Tanduk ni horba adalah bagian yang berfungsi sebagai resonator
3.3 Ukuran Bagian-bagian Sarune Beliau mengatakan sarune Mandailing umumnya tidak memiliki standar ukuran yang tetap. Ukuran sarune tergantung pada pembuatnya. Selain itu faktor utama penentu ukuran sarune adalah diameter dan panjang bambu yang tersedia. Menurut penjelasan beliau, ukuran sarune sesuai panjang jengkal si pembuat sarune tersebut. Ukuran dan bagian-bagian sarune yang penulis paparkan berikut ini adalah sesuai dengan ukuran sarune buatan Bapak Ridwan Aman Nasution.
31,6 cm Gambar 3.2 Ukuran Sarune (Dokumentasi Penulis, 2015)
42
3.3.1 Anak Sarune
2,5 cm
5,5 cm Gambar 3.3 Ukuran Anak Sarune (Dokumentasi Penulis, 2015) Pada bagian anak sarune ini tidak memiliki ukuran tetap,tetapi setiap ukuran anak sarune tidak berbeda jauh dengan anak sarune lainnya. Ukuran anak sarune secara keseluruhan memiliki panjang 5,5 cm sedangkan panjang reed (lidah) adalah 2,5 cm.
3.3.2 Takar ni harambir
5 cm
1,2 cm
Gambar 3.4 Ukuran takar ni harambir (Dokumentasi Penulis, 2015) Diameter lingkar yang besar 5 cm sedangkan yang kecil memiliki diameter 1,2 cm, dan ini disesuaikan diameter bambu yang menjadi induk sarune.
43
3.3.3 Induk sarune
17,5 cm Gambar 3.5 Ukuran Induk Sarune (Dokumentasi Penulis, 2015) Panjang induk sarune 17, 5 cm. Panjang sarune biasanya disesuaikan jengkal si pembuat sarune yang pada saat ini diukur dengan jengkal tangan Bapak Ridwan.
3.3.4 Lubang nada
1
2 2,2 cm
3 2,2 cm
4 2,2 cm
Gambar 3.6 Ukuran lubang nada (Dokumentasi Penulis, 2015) Ukuran besar keempat lubang nada ini berbeda-beda. Lubang 3 dan 4 yang memiliki ukuran sama, sedangkan lubanng pertama lebih kecil dari lubang 3 dan 4. Lubang 2 memiliki ukuran yang lebih kecil dari seluruh lubang. Jarak antara lubang yang satu dengan yang lain adalah 2,2 cm.
44
3.3.5 Tanduk ni horbo
9 cm
Gambar 3.7 Ukuran tanduk ni horbo (Dokumentasi Penulis, 2015) Ukuran panjang sarune ini memiliki panjang 9 cm
3.4 Teknik Pembuatan Sarune Untuk pembuatan sarune ini, beliau seluruhnya melakukan dengan cara buatan tangan (hand made), meskipun saat ini perkembangan teknologi yang semakin maju seperti
menggunakan beberapa peralatan mesin untuk membantu meringankan
dalam proses pembuatannya agar lebih cepat dan efesien dalam waktu pengerjaannya. Berikut ini akan dijelaskan mengenai bahan bahan, peralatan, dan teknik pembuatan gambus tersebut.
3.4.1 Bahan Baku yang Digunakan 3.4.1.1 Bahan Pembuatan Induk dan Anak Sarune Bambu adalah tanaman jenis rumput-rumputan dengan rongga dan ruas di batangnya. Nama lain dari adalah buluh,aur,daneru (http.wikipedia.com). Bambu
45
digunakan sebagai bahan dasar membuat anak dan induk sarune, jenis bambu yang digunakan adalah bambu sorik nasi 5dan bambu sorik batu6.
Gambar 3.8 Bambu (www.google.com)
3.4.1.2 Bahan Pembuatan Takar ni Harambir
Gambar 3.9 Batok Kelapa (Dokumentasi Penulis, 2015) Batok kelapa yang digunakan sebaiknya batok kelapa yang terendam selama 2 bulan atau lebih agar batok kelapa tersebut tidak mudah pecah bila dibentuk sesuai ukuran dan juga warna batok kelapa tersebut menjadi hitam sehingga memperindah tampilan sarune nantinya.
5
Bambu sorik nasi adalah jenis bambu yang kecil dan tipisyang dijadikan sebagai anak
sarune 6
Bambu sorik batu adalah jenis bambu yang kecil dan tipis yang dijadikan sebagai induk
sarune
46
3.4.1.3 Bahan Pembuatan Tanduk ni Horbo
Ujung tanduk Pangkal tanduk
Gambar 3.10 Tanduk kerbau (Dokumentasi Penulis, 2015) Dalam pemilihan tanduk kerbau, tanduk kerbau yang bagus sebaiknya berasal dari kerbau jantan, karena kerbau jantan memiliki tanduk yang lurus dibandingkan tannduk kerbau betina.
3.4.2 Bahan Tambahan 3.4.2.1 Batu Kemenyan
Gambar 3.11 Batu Kemenyan (Dokumentasi Penulis, 2015) Batu kemenyan disini berfungsi untuk menutupi lubang yang berada di atas anak sarune, agar udara yang dihembus sepenuhnya melalui lidah yang dibuat. Beliau
47
menggunakan batu kemenyan karena batu kemenyan jika dibakar akan meleleh dan setelah dingin akan kembali keras seperti semula.
3.5 Peralatan yang Digunakan 3.5.1 Gergaji
Gambar 3.11 Gergaji (Dokumentasi Penulis, 2015) Gergaji ini digunakan untuk memotong bagian-bagian sarune yang sudah dibentuk.
3.5.2 Parang
Gambar 3.12 Parang (Dokumentasi Penulis, 2015) Parang digunakan untuk memotong batok kelapa yang sudak dibentuk dan juga mengikis tanduk kerbau yang ketebalan.
48
3.5.3 Pisau
Gambar 3.13 Pisau (Dokumentasi Penulis, 2015) Pisau digunakan untuk mengikis bambu agar sesuai pola yang dibentuk.
3.5.4 Amplas
Gambar 3.14 Amplas (Dokumentasi Penulis, 2015) Amplas (disebut juga kertas pasir) adalah sejenis kertas yang digunakan untuk membuatpermukaan benda-benda menjadi lebih halus dengan cara menggosokkan salah satupermukaan amplas yang telah ditambahkan bahan yang kasar kepada
49
permukaan bendatersebut. Amplas atau kertas pasir dipakai pada tahap kerja halus pada pembuatan sarune.
3.5.5 Bor Tangan
Gambar 3.15 Bor Tangan (Dokumentasi Penulis, 2015) Bor tangan berfungsi untuk memperbesar lubang yang kecil pada tanduk kerbau.
3.5.6 Pahat
Gambar 3.16 Pahat (Dokumentasi Penulis, 2015) Pahat adalah alat berupa bilah besi yang tajam pada ujungnya yang digunakan untuk memperlebar lubang pada tanduk kerbau.
50
3.5.7 Besi
Gambar 3.17 Besi (Dokumentasi Penulis, 2015) Besi digunakan untuk melubangi bambu untuk membentuk lubang nada
3.5.8 Penggaris
Gambar 3.17 Penggaris (Dokumentasi Penulis, 2015) Untuk mengukur bagian bagian sarune sehingga sesuai dengan kerangkanya, maka digunakan penggaris. Penggaris yang digunakan adalah berukuran 30 cm.
3.6 Proses Pembuatan Dalam pembuatan sarune tersebut setelah bahan-bahan sudah tersedia semua maka selanjutnya adalah proes pembentuka bahan. Proses pembuatan sarune 51
memiliki tahapan yang harus diikuti untuk mencapai hasil pembuatan yang maksimal.
Tabel 1: Tahap Pengerjaan Dalam Pembuatan Sarune
No.
TAHAPAN PENGERJAAN
BAGIAN PENGERJAAN
1
Tahap I
Pemilihan bambu
Induk sarune dan lubang nada
Pembentukan dan pemotongan pola
2
Tahap akhir induk sarune
Tahap II
Pemilihan batok kelapa
Takar ni harambir
Pembentukan dan pemotongan pola
3
Tahap akhir batok kelapa
Tahap III
Pemilihan Tanduk kerbau
Tanduk ni horbo
Pembentukan dan pemotongan pola
52
Pengikisan tanduk
Tahap akhir tanduk
4
Tahap IV
Pemilihan bambu
Anak sarune
Pembentukan dan pemotongan pola Tahap akhir anak sarune
3.6.1 Tahap Pertama 3.6.1.1 Pemilihan bambu Bambu yang dipilih beliau yang akan dijadikan induk sarune adalah bambu yang matang. Diameter lubang bambu yang dipilih beliau tidak terlalu besar.
Gambar 3.27 Pemilihan induk sarune (Dokumentasi Penulis, 2015) 3.6.1.2 Pembentukan dan Pemotongan Pola Pada bagian ini pembentukan dan pemotongan pola yang dimaksud adalah menentukan titik yang akan dijadikan lubang nada. Untuk membuat lubang nada yang pertama dilakukan adalah dengan mengkur panjang diameter bambu bagian luar. Untuk menentukan lubang pertama yaitu panjang lingkaran bambu kemudian dikali dua Selanjutnya lubang yang dibuat adalah lubang nada paling bawah dari sarune. Untuk menentukanya yaitu panjang lingkaran bambu kemudian dikali satu. Setelah dapat lubang pertama dan lubang paling bawah selanjutnya membagi dua lubang antara yang pertama dan yang paling bawah. 53
3.6.1.3 Tahap Akhir Induk Sarune Setelah membentuk pola pada lubang nada. Selanjutnya adalah proses melubangi lubang dengan cara memanaskan besi. Setelah besi panas selanjutnya melubangi lubang nada yang telah ditandai tadi dengan besi tersebut.
Gambar Membuat lubang nada dengan besi panas (dokumentasi penulis, 2015)
3.6.2 Tahap Kedua 3.6.2.1 Pemilihan Batok Kelapa Tahap selanjutnya adalah membuat takar ni harambir, batok kelapa yang dipilih adalah batok kelapa yang sudah lama terendam air. Beliau mengatakan batok kelapa yang terendam air memiliki kandungan air yang banyak sehingga dalam pengerjaannnya nantinya batok kelapa tersebut tidak mudah pecah.
3.6.2.2 Pembentukan dan Pemotongan Pola Batok kelapa yang telah tersedia selanjutnya dipecahkan sehingga kita mendapat bagian yang hampir bulat dan mempermudah untuk membentuk pola yang diinginkan. Selanjutnya tinggal mengikis batok tersebut agar berbentuk bulat sempurna.
54
Selanjutnya bagian tengah batok kelapa tersebut di lubangi dengan menggunakan pisau. Ukuran diameter lubang tengah batok tersebut disesuaikan dengan diameter induk sarune yang telah ada.
Gambar 3.24 Pemecahan batok kelapa (Dokumentasi Penulis, 2015)
Gambar 3.25 Melubangi batok kelapa (Dokumentasi Penulis, 2015)
3.6.2.3 Tahap Akhir Batok Kelapa Tahap akhir pada bagian ini adalah dengan membersihkan batok kelapa dengan cara mengamplasnya.
55
Gambar 3.26 Pengamplasan batok kelapa (Dokumentasi Penulis, 2015)
3.6.3 Tahap Ketiga 3.6.3.1 Pemilihan Tanduk Kerbau Pada subbab sebelumnya telah dijelaskan bahwa tanduk kerbau yang bagus adalah tanduk kerbau jantan. Beliau mengatakan tanduk kerbau jantan berbentuk agak lurus dibandingkan tanduk kerbau betina. Mengenai tanduk kerbau, biasanya beliau memesan kepada seseorang atau bisa saja dia akan datang langsung ke rumah pemotongan. Menurut beliau tanduk kerbau bisa ditemukan di rumah-rumah potong hewan tapi tak jarang juga tanduk tersebut tidak ada disebabkan biasanya tanduk tersebut sudah ada yang memesan duluan.
3.6.3.2 Pembentukan Dan Pemotongan Pola Setelah tanduk tersebut dipilih, langkah selanjutnya adalah pembentukan pola pada tanduk kerbau dan pemotongannya. Tanduk yang pertama dipotong adalah bagian pangkal tanduk yang memiliki lubang yang besar.
56
Gambar 3.18 Pemotongan pangkal tanduk (Dokumentasi Penulis, 2015) Setelah tanduk bagian pangkal telah terpotong, langkah selanjutnya adalah memotong bagian ujung tanduk tersebut. Sebelum memotong, sebaiknya memperhatikan bagian ujung tanduk yang memiliki lubang agar lebih mudah untuk memperbesar lubang tanduk nanti sehingga induk sarune dapat masuk ke ujung tanduk tersebut.
Gambar 3.19 Pemotongan ujung tanduk (Dokumentasi Penulis, 2015)
Gambar 3.20 Tanduk yang telah dipotong (Dokumentasi Penulis, 2015)
57
Setelah itu, lubang yang kecil pada tanduk di bor agar memperbesar lubang sehingga induk sarune dapat masuk ke dalam lubang tersebut.
Gambar 3.21 Pengeboran tanduk (Dokumentasi Penulis, 2015)
3.6.3.3 Pengikisan Tanduk Langkah selanjutnya adalah pengikisan tanduk, pengikisan dilakukan agar berat tanduk tersebut berkurang sehingga seimbang dengan induk sarune, sehingga induk sarune tidak mudah pecah.
Gambar 3.22 Pengikisan tanduk (Dokumentasi Penulis, 2015) 3.6.3.4 Tahap Akhir Tanduk Tahap akhir pada bagian ini adalah setelah tanduk tersebut selesai dikikis, tanduk tersebut di rendam dengan air selama satu hari, ini bertujuan agar tanduk menjadi licin.
58
Gambar 3.23 Perendaman tanduk (Dokumentasi Penulis, 2015)
3.6.4 Tahap Keempat 3.6.4.1 Pemilihan bambu Bambu yang dipilih beliau yang akan dijadikan anak sarune adalah bambu yang tidak terlalu kering dan tidak terlalu basah. Ini supaya bambu yang akan menjadi anak sarune tersebut mudah untuk dikikis dan tidak mudah patah saat dikikis. Diameter lubang bambu yang dipilih beliau lebih kecil dari induk sarune.
3.6.4.2 Pembentukan dan Pemotongan Pola Tahap selanjutnya yaitu membuat lidah pada anak sarune. Tahap pertama dalam membuat lidah tersebut yaitu mengikis bambu tersebut. Pengikisan dilakukan dengan cara berlawanan arah dengan bagian atas anak sarune.
Pengikisan anak sarune
59
3.6.4.3 Tahap Akhir Anak Sarune Setelah lidah pada anak sarune, tahap terakhir adalah dengan memotong bambu yang dijadikan anak sarune sesuai dengan kengininan. Tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek. Untuk meninggikan bunyi anak sarune agar lebih nyaring lakukan penipisan pada lidah anak sarune.
Penipisan anak sarune
60
BAB IV TEKNIK MEMAINKAN DAN FUNGSI MUSIK SARUNE MANDAILING PADA MASYARAKAT MANDAILING
Pada bab ini, penulis mendiskusikan kajian dari sarune. Penulis akan membahas posisi memainkan, teknik memainkan, penyajian sarune, perawatan sarune, nada yang dihasilkan, fungsi musik sarune, nilai ekonomi pada alat musik sarune.
4.1.Posisi Tubuh dalam Memainkan Sarune Tidak ada aturan khusus yang mengatur posisi pemain ketika memainkan sarune Mandailing tersebut namun lebih tepatnya tergantung kenyamanan si pemain.. Tapi sarune ini bisa dimainkan dengan cara duduk ataupun berdiri.
4.2. Teknik Memainkan Sarune Dalam memainkan Sarune ada beberapa teknik yang harus di pelajari, yaitu untuk menghasilkan suara tonal pada Sarune bernafaslah sebagaimana bernafas biasa dan hembuskan secara perlahan melalui mulut, jangan menghembuskan udara terlalu keras. Dalam setiap potongan hembusan, pemain sarune akan mengambil nafas melalui mulut. Dalam teknik memainkan sarune ada juga dinamakan manguntong hosa (circular breathing). Sedangkan mengenai penjarian penjarian terhadap lubang nada harus cepat, lubang nada di buka dan di tutup dengan cepat oleh jari secara berkala, jangan mengangkat jari terlalu tinggi dari lubang nada.
61
4.3. Penyajian Sarune Yang Baik Menurut Bapak Ridwan Aman Nasution, permainan sarune yang baik tidak hanya kemampuan si pemain sarune dan penghafalan lagu, tetapi penghayatan ataupun naluri musical si pemain sarune juga sangat penting. Apabila perasaan si pemain membawakan lagu dengan penghayatan, maka semakin sempurnalah rasa yang dituangkan dalam lagu tersebut. Faktor instrument sarune yang digunakan cukup berpengaruh dalam penyajian permainan, semakin baik kualitas instrument sarune yang digunakan, maka faktor tersebut sangat mendukung dalam permainan sarune yang baik.
4.4. Perawatan Sarune Agar sarune dapat bertahan lama dan awet, di perlukan proses perawatan yang baik terhadap instrument ini. Untuk menyimpan sarune yang baik terlebih dahulu membuka seluruh bagian-bagian sarune, mulai dari tanduk ni horbo, induk sarune, takar ni harambir, dan anak sarune agar mudah menyimpannya. Perawatan sarune yang baik adalah dengan menyimpan pada tempat yang kering dan dibungkus dengan kain, begitu juga pada anak sarune tersebut harus disimpan di tempat yang kering karena berpengaruh pada kualitas suara yang dihasilkan apabila anak sarune lembab.
4.5. Nada Yang Dihasilkan Sarune Pada tulisan ini penulis akan menggambarkan tentang teknik permainan dengan menggunakan Tablature. Tulisan ini akan menjelaskan tentang tablature pada alat musik sarune. Tablature pada alat musik sarune: 4 lubang pada sarune menggambarkan fingerboard, 4 lubang nada ditutup akan menghasilkan nada tonika.
62
Tablature dapat menggambarkan suatu prilaku tentang nada pada alat musik, sehingga dapat diketahui bagaimana nada-nada yang dihasikan alat musik tersebut, bagian lubang nada yang terbuka dan tertutup seperti nada-nada yang terdapat pada alat musik sarune.
G
Bb
C
C#
D#
Keterangan : Lubang terbuka Lubang tertutup Panjang bambu
17,5 cm
Diameter bambu
1 cm
4.6.Wilayah Nada Wilayah nada adalah jangkauan nada dari nada terendah sampai nada tertinggi.untuk mengetahui nada-nada yang dihasilkan sarune buatan beliau ini, penulis akan menyertakan materi lagu yang hasilnya dapat dilihat dalam bentuk
63
(visual) berikut. Lagu yang dimaksud adalah repetoar lagu Sabe-sabe. Alasan penulis memilih lagu ini adalah karena lagu ini adalah lagu yang sering dimainkan untuk tujuan pengiring tarian. Lagu ini biasa dimainkan dengan tempo cepat dan diiringi ensambel gordang sambilan. Berikut adalah hasil transkripsi lagu Sabe-sabe yang ditranskrip oleh Penulis dan Mario. Lagu ini dimainkan pada sarune oleh Ridwan Aman Nasution, di rumahnya 10 Juli 2015 yang lalu, menggunakan sarune buatannya sendiri.
4.7. Fungsi Musik Sarune Dalam menuliskan fungsi sarune, maka penulis mengacu pada teori Alan P.Merriam, yaitu: “...use then refers to the situation in which is employed in human action:function concern the reason for its employment and particulary the brodaderpurpose which is serves...” (1964:210). Dari kalimat di atas, dapat diartikan bahwa use (penggunaan) menitik beratkan pada masalah situasi atau cara yang bagaimana musik itu digunakan, sedangkan function (fungsi) yang menitik beratkan pada alasan penggunaan atau menyangkut tujuan pemakain musik itu mampu memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri. Penulis juga menuliskan beberapa fungsi sarune sebagai tujuan dan akibat yang timbul dari penggunaan yang telah disebutkan di atas, maka dapat ditelusuri melalui fungsifungsi antara lain sebagai berikut. Menurut Allan P. Merriam (1964:219-226) fungsi music dapat dibagikan dalam 10 kategori yaitu : 1. Fungsi Pengungkapan Emosional 2. Fungsi penghayatan Estetis 3. Fungsi Hiburan
64
4. Fungsi Komunikasi 5. Fungsi Perlambangan 6. Fungsi Reaksi Jasmani 7. Fungsi yang berkaitan dengan reaksi social 8. Fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan 9. Fungsi kesinambungan budaya 10. Fungsi Pengintegrasian masyarakat
4.7.1 Fungsi Pengungkapan Emosional Musik mempunyai daya yang besar sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa atau emosi (misalnya rasa sedih, rindu, bangga, tenang, rasa kagum pada dunia hasil ciptaan Tuhan) bagi para pendengarnya (Merriam, 1964:223). Reaksi tersebut dapat berupa ekspresi langsung seperti menyanyi mengikuti lagu yang dimainkan atau mendengarkan secara tenang dan seksama tanpa banyak pengungkapan suasana hati yang terlihat secara langsung. Dalam penyajian sarune dapat dimainkan secara ensambel maupun secara tunggal. Dalam pengungkapan emosional surdam puntung dimainkan secara tunggal. Pemainan sarune dapat merasakan sesuatu perasaan di dalam dirinya, sebab pemain sarune seolah-olah ikut masuk ke dalam melodi yang dimainkannya tersebut. Sehingga dalam hal ini musik dapat ditunjukkan untuk mewujudkan kehidupan emosional.
A Musical work is therefore a presentational symbol. But if it a symbol it must poses a structure analogous to the structure of the phenomenon it symbolises it must share a common logical form –with its object. And the way in which a musical work can resemble some segment of emotional life is by it possesing the same temporal structure as that segment. The dinamic structure the mode of development, of a must if calw work and the for min which emotion isexper•zen ced can resemble each other in their patterns of motion and rest, of tention and release, of agreement and 65
disagreement, preparation, ullfilrnent, excitation, sudden change etc. Music is a presentation of symbol of emotional life (Budd, 1985:109). Dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Budd yang melihat sisi kemasyarakatan yang dibangun dari emosional manusianya dengan suatu bentuk aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Untuk itu energi musical yang dihasilkan dari hasil permainan sarune ini memberikan pengaruh terhadap sisi penghayatan oleh si penyaji dan si penikmat seni.
4.7.2 Fungsi Hiburan Pada setiap masyarakat di dunia, musik berfungsi sebagai alat hiburan karena musik dapat memberikan ketenangan, kebahagiaan, dan kepuasan tertentu kepada yang mendengar (Merriam 1964:224). Ketika sarune dimainkan dipadang rumput maupun dipersawahan maka orang yang mendengarkan alunan tersebut dapat menimbulkan suatu efek menghibur dan dapat menghilangkan rasa lelah bagi yang mendengarkan alunan sarune tersebut. sarune juga memiliki fungsi hiburan ketika alat tersebut dimainkan dapat menghibur orang-orang yang berada di sekitarnya. Dengan melihat musik yang dimainkan dalam bentuk upacara akan menghasilkan sebuah pertunjukan seni yang bersifat keduniawian tanpa ada unsur spiritual yang terdapat di dalamnya.
4.7.3 Fungsi Kesinambungan Budaya Musik mampu menyampaikan suatu (pesan) kepada siapa yang akan dituju yang dilatarbelakangi oleh kebudayaan yang membentuk musik tersebut (Merriam, 1964:224). Merriam berpendapat bahwa kemungkinan yang paling jelas ialah komunikasi dihadirkan dengan cara menanamkan makna-makna simbolis ke dalam musik yang secara tidak disadari diakui oleh para warga komunitas tersebut. 66
Penanaman makna-makna simbolis dapat terjadi dalam salah satu dari kedua macam cara berikut: secara sadar atau secara bawah sadar. Sama seperti pada musik yang digunakan pada alat musik sarune ini yang memberikan suatu media komunikasi dalam bentuk keyakinannya kepada para leluhur mereka. Alunan lagu yang dimainkan sarune tersebut memberikan sebuah percakapan dalam arti komunikasi dalam roh untuk menyatakan maksud dan tujuan dilakukannya upacara tersebut, sehingga dengan terjadinya percakapan tersebut dapat membantu proses jalannya upacara.
4.7.4 Fungsi Reaksi Jasmani Fungsi musikal sarune sebagai reaksi jasmani sejalan dengan fungsinya sebagai pengungkapan emosional dan fungsinya sebagai penghayatan estetis. Sebab reaksi jasmani muncul ketika adanya penghayatan yang menghasilkan emosional, dan emosional itupun kemudian diungkapkan melalui reaksi jasmani. Sebagai wujud dari fungsi reaksi jasmani dapat kita lihat di dalam pertunjukan tari sabe-sabe yang mana pada saat sarune dimainkan semua orang yang terlibat dalam upacara tersebut akan menari-nari mengikuti lagu tersebut.
4.8.Nilai Ekonomi Pada Alat Musik Sarune Seperti yang dikemukakan oleh Merriam (1964) kebudayaan material musik dalam etnomusikologi, nilai ekonomi alat musik juga penting yang berkaitan dengan distribusi
penjualannya.
Selain
sarune
tersebut
dapat
digunakan
dalam
kebudayaannya, ternyata sarune tersebut dibutuhkan dimasyarakat pendukungnya. Sarune juga memiliki nilai jual yang dapat membantu memperoleh penghasilan kepada perajinnya. Dengan adanya bahan baku, alat-alat maupun hasil dari kreativitas yang di hasilkan oleh beliau, sarune buatan beliau mempunyai nilai jual 67
yang cukup untuk dipasarkan kebeberapa daerah sekitarnya seperti daerah Medan, Pematangsiantar dan beberapa daerah lainnya. Untuk menjual sebuah sarune yang sudah jadi dan siap pakai, biasanya Ridwan Aman Nasution menjual dengan harga minimal Rp 500.000,- kepada pembeli. Sistem penjualan yang dilakukan beliau adalah dengan cara bertemu langsung dengan pembeli, Beliau akan membuat sebuah sarune apabila ada seseorang yang memesan kepadanya, pada saat itu beliau akan langsung membuatnya. Dengan harga yang di tawarkan oleh beliau, tentunya sudah diperhitungkan hasil kerja yang ia dapat, sehingga beliau memperoleh keuntungan yang sesuai dari harga sarune yang dijual, dengan proses pembuatan yang cukup rumit dan memerlukan kesabaran dalam proses pengerjaannya.
68
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil deskripsi tentang sarune ini maka penulis melihat bagaimana peran dan fungsi surdam permakan dalam masyarakat Karo. Pada dasarnya untuk kegiatan aktivitas budaya, instrumen sarune ini memiliki fungsi yang minim untuk mendukungnya. Tapi alat musik sarune ini memiliki peran tersendiri dalam penggunaannya melihat cara memainkannya yang cukup sulit dan bahkan hanya untuk membunyikannya saja. Dari hal ini maka kita dapat memperhatikan sesungguhnya peran suatu kesenian berasal dari manusia dan karyanya. Demikian juga dengan sarune ini yang digunakan akan setiap upacara Mandailing. Demikian bagaimana eksisistensi alat musik sarune ini yang terdapat dalam kebudayaan masyarakat Mandailing selalu terkait dengan penggunaannya secara fungional dan kebutuhan masyarakat tersebut dengan memperhatikan manusia kesenian yang turut mendukung terciptanya alat musik surdam punting tersebut.
5.2 Saran Mengenal dan memahami bagaimana perkembangan saat ini dengan mengambil ataupun membuat sesuatu dengan cara instan ibarat “pop mie” yang dijual di pasaran yang di dalamnya sudah terdapat bumbu-bumbu lainnya sehingga tidak perlu repot untuk memasaknya kemudian. Begitu juga yang terdapat dalam masyarakat Mandailing ini yang harus menjaga kebudayaannya dengan menjauhi “keinstanan” kesenian yang digunakan dalam segala kegiatan-kegiatan budayanya. sarune adalah salah satu kesenian tradisonal asli masyarakat Mandailing. Apabila 69
melihat bagaimana cara memainkannya dengan teknik yang berbeda dengan alat musik tiup lainnya seharusnya digunakan untuk sesuatu yang umum dilakukan dalam masyarakat Mandailing. Eksistensi alat musik ini tergantung kepada bagaimana manusianya terkhusus masyarakat Mandailing memahami kebudayaan ini akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan budayanya itu sendiri. Memperhatikan bagaimana teknik pembuatan sarune sebelumnya, untuk itu dapat mendorong seluruh masyarakat terkhusus masyarakat Mandailing untuk melestarikan salah satu keseniannya dengan melihat bagaimana teknik pembuatan sarune yang dilakukan oleh informan penulis yaitu bapak Ridwan Aman Nasution. Dengan tulisan ini diharapkan dapat mendorong masyarakat Mandailing untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan terkhusus kesenian ini agar tetap terlestari di dalam masyarakatnya. Diharapkan juga manusianya memberikan aspirasi khusus terhadap perkembangan kesenian secara keseluruhan untuk membantu mempertahankan kekayaan budaya ini. Tulisan ini akan sangat dibantu apabila responden pembaca akan kelestarian budaya terkhusus budaya dan kesenian masyarakat Mandailing terus dilakukan dalam suatu bentuk kebutuhan. Generasi merupakan salah satu kunci utama dalam proses ini dan begitu juga informan penulis dan penulis mencoba membantu mempertahankan kesenian ini. Dimohonkan untuk generasi selanjutnya terkhusus pemilik kebudayaan dan kesenian ini agar memiliki kesadaran akan pengembangan dan pelestarian kebudayaan tradisi yang akan menunjukkan identitas masyarakat itu sendiri dengan peran dan fungsinya untuk masyarakat itu sendiri.
70
DAFTAR PUSTAKA Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (eds.). 1995. Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, London, dan New Delhi: Sage Publications. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Fadlin, 1988. Studi Deskriptif Konstruksi dan Dasar-dasar Pola Ritem Gendang Melayu Sumatera Timur. Skripsi Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan. Harahap, H.M.D., 1986. Adat-Istiadat Tapanuli Selatan. Jakarta: GrafindoUtama Hood, Mantle, 1982. The Etnhomusicologist, New Edition Kent. The Kent State University Press Hornbostel, Erich M. Von and Curt Sach, 1961. Clasification of Musical Instrument. Translate From Original Jerman by Antoni Brims and Klons P. Wachsman 1961 Hood. Kartomi, Margareth J., (1990), On Concepts and Classifications of Musical Instruments. Chicago dan London: The University of Chicago Press. Khasima, Susumu, 1978. Ilustrasi dan Pengukuran Instrumen Musik. Terjemahan Rizaldi Siagian Koentjaraningrat, 1985. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Koentjaraningrat (ed), 1997. Metode-metode penelitian masyarakat. Jakarta: Gramedia. Malm,William P., 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs; serta terJemahannya dalam bahasa Indonesia, William P. Malm, 1993, Kebudayaan Musik Pasiflk, Timur Tengah, dan Asia, dialihbahasakan oleh Muhammad Takari, Medan: Universitas Sumatera Utara Press. Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Illinois: North-Western University Press. Moleong, L.J, 1990. Penelitian Metodologi Kualitatif, Jakarta, Rosda Karya. Nettle, Bruno. 1964. Theory and Method Of Ethnomusicology. New York: The Free Press-A Division Old Mc Milan publishing, Co, Inc. Pane, Mahyar S. 2013. Analisis Fungsi Dan Struktur Musikal Gordang Sambilan Dalam Upacara Adat Perkawinan Mandailing Di Kota Medan. Skripsi Sarjana Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Pelly, Usman, 1985. ""Menciptakan Pra Kondisi Keserasian Hidup dalam Masyarakat Majemuk: Kasus Kotamadya Medan,"" Medan: Makalah Seminar Keserasian Sosial dalam Masyarakat Majemuk di Perkotaan." 71
Pelly, Usman, 1986. Lokasi Lembaga Pendidikan, Sosial, dan Agama dalam Tata Ruang Permukiman Masyarakat Majemuk yang Menopang Integrasi Sosial: Kasus Kotamadya Medan. Tokyo: The Toyota Foundation. Pusat Pembinaan Bahasa, 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Penerbit Balai Pustaka Putri, Ayu T. 2014. Kajian Organologis Kendang Sunda Buatan Kang Asep Permata Bunda Di Medan Polonia. Skripsi Sarjana Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Sachs, Curt dan Eric M. Von Hornbostel, 1914. “Systematik der Musikinstrumente.” Zeitschrift für Ethnologie. Berlin: Jahr. Juga terjemahannya dalam bahasa Inggeris, Curt Sachs dan Eric M. von Hornbostel, 1992. “Classification of Musical Instruments.” Terjemahan Anthony Baines dan Klaus P. Wachsmann. Ethnomusicology: An Inroduction. Helen Myers (ed.). New York: The Macmillan Press.
72
DAFTAR INFORMAN 1.
Nama
: Ridwan Aman Nasution
Umur
: 55 tahun
Alamat
: Saentis Pasar 1, kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang
Pekerjaan : Wiraswasta
2.
Nama
: Rosmati Lubis
Umur
: 46 Tahun
Alamat
: Saentis Pasar 1, kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
3.
Nama
: Ishak Jamal Lubis (Ucok)
Umur
: 48 Tahun
Alamat
: Jalan Letda Sujono gang Akur nomor 2B
Pekerjaan : 1. Dosen luar biasa di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, 2.Wiraswasta, 3. Anggota Tim Kesenian Tradisional Gunung Kulabu.
73
Lampiran.
Gambar 2.1 Bapak Ridwan Aman Nasution bersama Istri (Dokumentasi Penulis, 2015)
Gambar 2.2 Bapak Ridwan Aman Nasution bersama Penulis (Dokumentasi Penulis, 2015)
74