KAJIAN MIKROENKAPSULASI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis
INDRA BAYU NAFARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ii
PERNYATAAN MENGENAI THESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa thesis Kajian Mikroenkapsulasi dari Bacillus thuringiensis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruang tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir thesis ini. Bogor, 29 Januari 2012
Indra Bayu Nafari NIM F351090091
iii
ABSTRACT INDRA BAYU NAFARI. Study of microencapsulated bioinsecticide from Bacillus thuringiensis. Supervised by MULYORINI RAHAYUNINGSIH and TITI CANDRA SUNARTI. Bacillus thuringiensis is one of well known bioinsecticide resources. Bioinsecticide is utilized in organic farming for the replacement of chemical insecticide. Weaknesses of B. thuringiensis toxin are easily disrupted by ultra violet from sunlight and easily washed by rain. The purposes of this research were to produce microencapsulated B. thuringiensis and to produce microencapsulated formula for the protection of toxin active ingredient from the environmental factor. The experimental result showed maltodextrin can be used as an encapsulation material for bioinsecticide using spray drying process. Lactose could not be used as an microencapsulation agent in spray dryin process, especially for areas with high humidity levels due to its low Tg ( Temperature of glass transition) characteristic. Increase ratio in concentration of encapsulation material increased the number of spores contained but gave lower product toxicity. Result showed that 5% maltodextrin concentration produce highest level product of toxicity, but because of poor quality of encapsulation material formed, the product showed high level of degradation after drying process. Rainfall simulation test showed that product encapsulated by maltodextrin gave increase persistence against rain wash on leaf but it could not protect active ingredient deterioration caused by sunlight. Keywords : Bacillus thuringiensis, maltodextrin, lactose, rain wash
bioinsecticide,
microencapsulation,
iv
RINGKASAN Bacillus thuringiensis adalah salah satu sumber penghasil bioinsektida. Bioinsektisida digunakan dalam pertanian organik sebagai pengganti insektisida sintetis. Penggunaan insektisida sintetis telah terbukti memiliki banyak efek negatif bagi lingkungan dan mahluk hidup, menyebabkan perlunya bioinsektisida sebagai alternatif pengganti. Kekurangan yang dimiliki oleh bahan aktif yang dihasilkan oleh B. thuringiensishuringiensis adalah kerusakan yang diakibatkan paparan cahaya matahari dan pencucian hujan dari permukaan daun. Mempermudah penggunaan produk dan menghasilkan tipe produk yang tepat menjadi permasalahan yang harus dipecahkan dalam menghasilkan formulasi produk bioinsektisida. Tipe produk mikroenkapsulasi merupakan salah satu formulasi produk yang dapat menjawab permasalahan-permasalahan tersebut. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji pengaruh kondisi pengoperasian alat spray dry , yakni : suhu inlet, suhu outlet dan laju pompa alir, terhadap mutu serbuk yang dihasilkan. Memperoleh pengaruh perbedaan bahan enkapsulan maltodekstrin dan laktosa terhadap mutu serbuk bioinsektisida yang dihasilkan. Tujuan lainnya adalah untuk mengkaji pengaruh konsentrasi bahan enkapsulan yang digunakan terhadap karakteristik produk yang dihasilkan, yakni : jumlah spora, nilai LC50 dan potensi toksisitas yang dimiliki.Memperoleh pengaruh sinar matahari dan curah hujan terhadap kemampuan toksisitas produk yang diaplikasikan pada tanaman. Penelitian menghasilkan bahwa suhu yang digunakan pada pengoperasian mesin spray dryer dan kecepatan pompa berpengaruh terhadap proses dan mutu serbuk yang dihasilkan. Suhu optimum yang diperoleh adalah 120 oC untuk inlet, 70 oC untuk outlet dan kecepatan pompa 50 ml/min. Maltodekstrin lebih cocok digunakan sebagai bahan enkapsulan pada proses yang menggunakan pemanasan seperti pada alat spray dryer dibandingkan bahan laktosa. Kadar air produk yang dihasilkan juga berpengaruh terhadap rendemen yang didapatkan, konsentrasi bahan enkapsulan 5% memiliki kandungan kadar air tertinggi dan rendemen terendah dibandingkan konsentrasi 10%. Konsentrasi 5% bahan enkapsulan menghasilkan nilai LC50 tertinggi yakni 0.003 g/ml dan nilai potensi tertinggi yakni 160 IU/ml dibandingkan konsentrasi 10%. Peningkatan konsentrasi akan menaikkan jumlah kandungan spora pada produk tetapi menurunkan tingkat toksisitas yang dimiliki. Akan tetapi disebabkan tinggi nya kadar air yang terkandung pada produk dengan konsentrasi 5%, menyebabkan kerusakan produk menjadi lebih cepat dibandingkan konsentrasi 10%. Hal tersebut menandakan produk dengan konsentrasi 10% memberikan mutu serbuk yang lebih baik dibandingkan konsentrasi 5%. Produk dengan menggunakan bahan enkapsulan maltodekstrin dapat meningkatkan persistensi bahan aktif pada permukaan daun setelah pencucian hujan tetapi tidak dapat meningkatkan persistensinya terhadap kerusakan cahaya matahari.
v
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
vi
KAJIAN MIKROENKAPSULASI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis
INDRA BAYU NAFARI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji luar Komisi pada Ujian Thesis: Dr. Ono Suparno, STP, MT
ii
Lembar Pengesahan Judul Tesis Nama NIM
: Kajian Mikroenkapsulasi Bioinsektisida dariBacillus thuringiensis : Indra Bayu Nafari : F351090091
Disetujui Oleh Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si Ketua
Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si Anggota Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Machfud, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian: 15 Juni 2012
Tanggal Lulus:
iii
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Kajian Mikroenkapsulasi Bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr.Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si dan Ibu Dr.Ir. Titi Candra Sunarti,M.Si selaku pembimbing, serta teman-teman semuanya yang telah memberikan saran dan dukungan sehingga penulisan hasil penelitian ini selesai dibuat. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat.
Bogor, 29 Juni 2012
Indra Bayu Nafari
iv
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Samarinda pada tanggal 9 Januari 1984 dari ayah Ir.Muhtadin Nafari dan ibu Ernawati Said. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Tahun 2001 penulis lulus dari SMA PSKD Jakarta Selatan dan pada tahun yang sama penulis masuk IPB melalui jalur PMDK. Penulis mengambil Jurusan Biokimia pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Pada tahun 2006 penulis mendapatkan gelar sarjana pada jurusan yang sama.
v
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...............................................................................................vi DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................vi DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................vii PENDAHULUAN ..............................................................................................1 Latar Belakang ...........................................................................................2 Tujuan Penelitian .......................................................................................3 Manfaat Penelitian .....................................................................................3 Ruang Lingkup Penelitian .........................................................................3 TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................................4 Bacillus thuringiensis (B. thuringiensis) ...................................................4 Toksin B. thuringiensis ..............................................................................5 Enkapsulasi Spora dan Kristal Bt ..............................................................7 Bahan–bahan Enkapsulasi .........................................................................8 BAHAN DAN METODE PENELITIAN ...........................................................12 Kerangka Pemikiran ..................................................................................12 Alat dan Bahan ..........................................................................................13 Tempat penelitian ......................................................................................14 Metode penelitian ......................................................................................14 HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................................22 Proses produksi bahan aktif boinsektisida .................................................22 Proses mikroenkapsulasi bioinsektisida ....................................................29 Pengaruh lingkungan terhadap toksisitas produk bioinsektisida ...............54 KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................................................62 DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................64 LAMPIRAN ........................................................................................................72
vi
DAFTAR TABEL Halaman 1. Klasifikasi Bt sebagai sumber insektisida .................................................... 5 2. Komposisi kebutuhan mineral pada medium fermentasi B. thuringiensis ... 14 3. Komponen kimiawi limbah cair tahu dan air kelapa .................................... 22 4. Kandungan nutrisi air kelapa ........................................................................ 22 5. Perbandingan karakter bahan fermentasi yang didapatkan dengan penelitian sebelumnya .................................................................................. 24 6. Kandungan nutrisi daun brokoli dan sawi hijau ........................................... 27 7. Pengaruh kondisi operasi mesin spray dryer terhadap kinerja mesin dan produk yang dihasilkan dengan konsentrasi maltodekstrin 10%.................. 29 8. Pengaruh jenis bahan enkapsulan terhadap produk yang dihasilkan ............ 34 9. Pengaruh kosentrasi bahan enkapsulan maltodekstrin terhadap karakter produk ........................................................................................................... 44 10. Perbandingan komposisi δ-endotoksin subsp. aizawai dan berliner ........... 46 11. Perbandingan komposisi asam amino antara sampel fermentasi dan produk komersial Bactospeine...................................................................... 48 12. Perbandingan kenaikan nilai potensi dan penurunan nilai log VSC antara dua jenis proses mikroenkapsulasi dengan konsentrasi bahan enkapsulan spray drying 5% maltodekstrin dan freeze drying 6% laktosa ..................... 49 13. Pengaruh curah hujan terhadap tingkat toksisitas produk ............................ 55 14. Pengaruh sinar matahari terhadap tingkat toksisitas produk ........................ 57
vii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Spora dan bentuk kristal B. thuringiensis subsp. aizawai .............................4 2. Struktur protein δ-endotoksin........................................................................6 3. Rumus polimer laktosa dan maltodekstrin ....................................................11 4. Kerangka pemikiran pada penelitian .............................................................14 5. Mesin spray dryer .........................................................................................18 6. Pengaruh jenis bahan enkapsulan terhadap penampakan produk yang dihasilkan ......................................................................................................37 7. Pengaruh konsentrasi bahan enkapsulan terhadap permukaan partikel yang terbentuk dari proses mikroenkapsulasi ...............................................42 8. Penampakan sampel serbuk bioinsektisida setelah penyimpanan selama 6 bulan ..............................................................................................................42 9. Perbandingan permukaan daun yang diberi perlakuan berbeda ....................51 10. Efek fitotoksik bioinsektisida pada tanaman.................................................52 11. Perbandingan bahan aktif sebelum dan sesudah proses mikroenkapsulasi ...53 12. Penampakan bahan aktif pada permukaan daun ...........................................54
viii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Metode Analisis ............................................................................................ 72 2. Hasil Pengolahan Data Menggunakan Perangkat lunak ............................... 74
Pendahuluan 1. Latar Belakang Penggunaan insektisida kimia telah membuktikan tingkat efektivitas yang tinggi bagi pengendalian serangga, akan tetapi mengingat potensi pencemaran lingkungan
yang dapat diakibatkan dan tingkat bahaya langsung yang dapat
ditimbulkan bagi mahluk hidup lain, maka penggunaan insektisida kimiawi mulai dibatasi.
Hasil penelitian yang telah dilakukan mengungkapkan bahwa
penggunaan insektisida kimia di Indonesia pada umumnya telah disalahgunakan (Nugrahani 2005).
Penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa residu
produk-produk insektisida yang tersisa pada komoditas sayuran beberapa daerah di Indonesia telah melampaui Batas Maksimum Residu (BMR) yang telah ditetapkan dalam Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian No.
881/Menkes/SKB/VIII/1996
dan
711/Kpts/TP.270/8/1996,
sehingga
diperlukan alternatif lain yang dapat menggantikan insektisida kimiawi. Salah satu pilihan untuk menggantikan insektisida kimawi adalah bioinsektisida. Salah satu cara untuk mendapatkan bioinsektisida adalah melalui fermentasi oleh bakteri, diantaranya adalah Bacillus thuringiensis. Bioinsektisida yang dihasilkan yang memiliki kelebihan yakni sumber bahan bakunya bersifat alami, sehingga mudah terdegradasi oleh alam dan umumnya bersifat toksin spesifik terhadap serangga sehingga tidak bersifat toksik bagi manusia (Hunsberger 2000). Bioinsektisida yang dihasilkan oleh B. thuringiensis mendominasi pasaran bioinsektisida dunia hingga 98% (Burges 1998). Beberapa produk impor juga diketahui telah memasuki pasaran Indonesia, akan tetapi produk lokal jarang ditemukan. Keadaan ini memberikan gambaran permintaan akan bioinsektisida di Indonesia yang cukup besar. Indonesia memiliki banyak faktor pendukung untuk didirikannya industri penghasil bioinsektisida, diantaranya adalah sumber daya alam yang melimpah di Indonesia merupakan modal utama yang dapat mendukung tumbuhnya industri dan produk-produk lokal untuk menyaingi produk impor. Keuntungan lainnya adalah bahan-bahan yang diperlukan oleh industri bioinsektisida tidak memerlukan spesifikasi tinggi, karena bioinsektisida dapat dihasilkan dari substrat hasil pertanian atau limbah agroindustri.
2
Kekurangan yang dimiliki oleh bahan aktif yang dihasilkan oleh B. thuringiensishuringiensis adalah kerusakan yang diakibatkan paparan cahaya matahari dan pencucian hujan dari permukaan daun. Mekanisme aktivasi oral bagi bahan aktif juga memberikan tantangan tersendiri bagi formula produk bioinsektisida B. thuringiensis. Mempermudah penggunaan produk dan menghasilkan tipe produk yang tepat menjadi permasalahan yang harus dipecahkan dalam menghasilkan formulasi produk bioinsektisida. Tipe produk mikroenkapsulasi merupakan salah satu formulasi produk yang dapat menjawab permasalahan-permasalahan tersebut. Penelitian produk bioinsektisida mencakup beberapa aspek diantaranya adalah proses fermentasi, proses formulasi, rekayasa alur proses dan usaha teknologi rekombinasi genetik pada bakteri serta pada tanaman transgenik. Usaha penelitian tentang produksi bioinsektisida dari Bt telah banyak dilakukan di Indonesia.
Namun penelitian-penelitan yang sering dilakukan adalah proses
fermentasi dan usaha rekombinasi genetik akan tetapi penelitian dalam bidang formulasi masih jarang ditemukan. Penelitian ini bertujuan untuk melengkapi ketersediaan informasi tentang hasil-hasil penelitian sebelumnya, karena proses formulasi adalah proses yang menentukan bentuk produk yang akan dipasarkan dan digunakan oleh konsumen. Formulasi Bt di pasar terdiri atas: tipe cairan dan tipe padatan (Burges 1998). Meninjau dari lahan aplikasi yang akan dituju adalah lahan perkebunan Bacillus thuringiensis subsp. aizawai lebih cocok untuk diformulasikan dalam bentuk padatan yang dilarutkan ke dalam air.
Sejak tahun 1980-1990 telah
ditemukan metode formulasi granular dengan beberapa resep formula oleh para ilmuwan. Bentuk padatan ini masih memiliki beberapa kekurangan antara lain tingkat kelarutan di dalam air masih rendah dan tingkat toksisitas yang rendah karena rasio bahan penyalut dan bahan aktif tidak tepat. Pengembangan lebih lanjut dari produk padatan ini dibutuhkan agar dapat mengatasi permasalahanpermasalahan tersebut.
3
2. Tujuan Penelitian Penelitian
ini
bertujuan
untuk
menghasilkan
produk
serbuk
mikroenkapsulasi bioinsektisida dari B. thuringiensis. Secara khusus dari penelitian ini akan dihasilkan: 1) Kondisi pengoperasian alat spray dryer, yakni: suhu inlet, suhu outlet dan laju pompa alir, terhadap mutu serbuk yang dihasilkan. 2) Informasi pengaruh perbedaan bahan enkapsulan maltodekstrin dan laktosa terhadap mutu serbuk bioinsektisida yang dihasilkan. 3) Informasi pengaruh konsentrasi bahan enkapsulan yang digunakan terhadap karakteristik produk yang dihasilkan, yakni : jumlah spora, nilai LC50 dan potensi toksisitas yang dimiliki. 4) Informasi pengaruh bahan mikroenkapsulasi yang digunakan terhadap ketahanan bahan aktif pada sinar matahari dan curah hujan. 3. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat sebagai pedoman dalam mengembangkan dan menghasilkan produk bioinsektisida dari Bt.
Penelitian
diharapkan menghasilkan kondisi operasional alat yang optimum, formula yang dapat membantu kemudahan penggunaan oleh konsumen dan efisiensi fungsi patogenitasnya. 4. Ruang Lingkup Penelitian 1.
Produksi bahan aktif bioinsektisida Bacillus thuringiensis subsp. aizawai dengan media cair limbah cair tahu dan air kelapa menggunakan sistem fermentasi skala laboratorium.
2.
Proses mikroenkapsulasi menggunakan bahan enkapsulan maltodekstrin dan laktosa.
3.
Karakterisasi produk yang dihasilkan terhadap serangga uji Crocidolomia pavonana dengan menggunakan analisis beda nilai tengah Tukey-Kramer dan model Probit.
4.
Menguji pengaruh lingkungan terhadap toksisitas produk terhadap serangga uji C. pavonana dengan menggunakan analisis beda nilai tengah Tukey-Kramer dan model Probit.
Tinjauan Pustaka 1. Bacillus thuringiensis (B. thuringiensis) B. thuringiensis merupakan bakteri yang tergolong ke dalam Gram positif dan mampu membentuk spora (Gambar 1).
Ciri khas bakteri ini memiliki
kemampuan untuk membentuk kristal inklusi selama proses sporulasi.
B.
thuringiensis memiliki kedekatan dengan beberapa spesies Bacillus lainnya yang sudah dikenal, antara lain B.cereus dan B.antrachis (penghasil antraks) (Glare & O’callaghan 2000). Jenis Bacillus ini diketahui memiliki sifat aerob dan hanya memiliki perbedaan mencolok pada susunan plasmidnya. B. thuringiensis pertama kali ditemukan oleh ilmuwan Jepang Shigetane Ishiwata pada tahun 1901 kemudian pada tahun 1911 ditemukan oleh Berliner dalam isolat Mediteranian flour moth. B. thuringiensis biasa terdapat di dalam lambung beberapa spesies ulat dan kupu-kupu, walaupun hasil penelitian lain menunjukkan beberapa spesies B. thuringiensis ditemukan pada media tanah dan debu (Oregon State University 2000; Öztürk et al.. 2009). B. thuringiensis akan terus tumbuh pada fase vegetatif dalam media yang kaya akan nutrisi, namun apabila pasokan pakan menurun maka B. thuringiensis akan mulai membentuk spora dan menghasilkan kristal protein δ. Penggunaan komersial B. thuringiensis sebagai produk bioinsektisida dimulai di Hungaria pada akhir tahun 1920 dan terhenti ketika Perang Dunia II. Revolusi Hijau setelah PD II B. thuringiensis menandai pengembangan B. thuringiensis sebagai sumber bioinsektisida potensial (Rosas-Garcia 2009).
Gambar 1 Spora dan bentuk kristal B. thuringiensis subsp. aizawai (Sumber: Nelly (2012))
5
Beberapa jenis B. thuringiensis yang sudah dikenal adalah kurstaki, aizawai, sotto, entomocidus, berliner, san diego, tenebroid, morrisoni dan israeliensis (Bahagiawati 2002). Penggolongan subspesies dari B. thuringiensis ditemukan beberapa cara disebabkan adanya perbedaan pendapat diantara para ilmuwan taksonomi dalam mendefinisikan dan mengelompokkan B. thuringiensis. Salah satu perbedaan pendapat dalam pengelompokan ini adalah pengelompokkan B. thuringiensis dan Bacillus cereus.
Beberapa metode yang digunakan dalam
mengelompokkan B. thuringiensis adalah metode klasik (metode fenotipe dan serotipe) dan metode berbasis DNA (Glare & O’callaghan 2000). Para ilmuwan yang memberi perhatian khusus dalam pemanfaatan B. thuringiensis sebagai insektisida mengelompokkannya menjadi delapan kelas (Tabel 1). Tabel 1 Klasifikasi B. thuringiensis Kelas
Jenis Kristal Protein
Kelompok Hama Target
I
Cry1Aa, Cry1Ab, Cry1Ac, Cry1Cb, Cry1F
Lepidoptera
II
CryIIA, CryIIB, CryIIC
Lepidoptera
III
CryIIIA, CryIIIB, CryIIIC
Koleoptera
IV
CryIVB, CryIVC
Diptera
V
CryV
Lepidoptera dan Koleoptera
VI
CryVI
Nematoda
VII
CryIXF
Lepidoptera
VIII
CryX
Lepidoptera
Sumber : Bahagiawati (2002) 2. Toksin B. thuringiensis Toksin yang mampu diproduksi oleh B. thuringiensis dari masing-masing spesies adalah (Hunsberger 2000): 1. Endotoksin: sebagai agen insektisida 2. Eksotoksin: bersifat racun bagi mamalia pada dosis tinggi 3. Haemolysin 4. Enterotoksin 5. Protein insektisida vegetatif B. thuringiensis memproduksi δ-endotoksin pada saat spesifik dari sporulasi dan tidak tergantung pada sesi awal dari sporulasi (Bhattacharya 1993). Tanada dan Kaya (1993) menyebutkan bahwa kristal δ-endotoksin yang diproduksi dari proses fermentasi B. thuringiensis dapat mencapai 20 sampai 30% berat kering
6
dari jumlah total B. thuringiensis (Glare & O’callaghan 2000). δ-endotoksin secara molekular berwujud sebagai protein dengan ukuran 130 sampai140 kDa (Gambar 2). Fungsi utama toksisitas endotoksin adalah merusak organ pencernaan serangga, sehingga toksin ini disebut racun perut. Protein δ-endotoksin disandikan oleh gen Cry dan gen Cyt. Aktivitas yang dikodingkan dua jenis gen ini berbeda, endotoksin sitolitik tidak memiliki sifat toksin spesifik untuk spesies serangga tertentu. Protein memiliki sifat pathogen setelah dicerna oleh enzim protease di dalam saluran pencernaan serangga. Bentuk kristal protein berbeda-beda dan memiliki spesifitas aktivitas terhadap serangga yang berbeda.
Struktur bipiramid diidentifikasi memiliki aktifitas
patogen terhadap Lepidoptera, sedangkan bentuk oval dan kubus diidentifikasi memiliki aktifitas patogen terhadap Lepidoptera dan Diptera(Glare et al. 2000). Proses aktivasi protein merupakan proses pemotongan rantai panjang protein menjadi bentuk sederhana (27 sampai 149 kDa) oleh enzim protease yang dimiliki oleh serangga serta berlangsung dalam suasana alkali (pH >9.5) (RosasGarcia
2009).
Masing-masing jenis endotoksin memiliki situs pemotongan
enzim (domain) pada badan proteinnya dan situs reseptor spesifik pada dinding sel serangga (Gambar 2). Setelah teraktivasi, proses pengrusakan dinding sel usus serangga terjadi selama beberapa jam.
Gambar 2 Struktur protein δ-endotoksin. Domain I : membentuk gulungan tujuh α-heliks, Domain II : membentuk tiga lapisan anti-paralel, Domain III: menghentikan aktifitas pemotongan protease. (Sumber: Deacon.J http://www.biology.ed.ac.uk/research/groups/jdeacon/microbes/index. htm#choice)
7
Fase awal dari pengikatan endotoksin dengan dinding sel terjadi ketika toksin membentuk konformasi yang menyebabkan toksin dapat masuk ke dalam membran sel. Peristiwa oligomerasi akan muncul dan menyebabkan terbentuknya pori-pori ionik, yang akan mengganggu kesetimbangan osmotik di dalam sel (Rosas-Garcia 2009). Setelah sel-sel usus rusak dan menyebabkan kebocoran pada dinding usus, maka sel-sel vegetatif B. thuringiensis akan menyebar di dalam tubuh serangga menyebabkan septicaemia dan kemudian kematian. Pusztai et al. (1991) menjelaskan bahwa mekanisme kerusakan kristal protein oleh sinar matahari disebabkan pemutusan rantai peptida protein, terutama residu triptofan. Hasil penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa beberapa rantai cabang amino seperti gugus indole juga hancur karena kerusakan sinar matahari. 3. Enkapsulasi Spora dan Kristal B. thuringiensis Formulasi didefinisikan sebagai suatu usaha untuk mengawetkan bahan aktif, menyampaikan bahan aktif tersebut kepada target kemudian meningkatkan aktivitas bahan aktif (Burges 1998).
Formula sebuah produk menentukan
performa produk tersebut di tangan konsumen dan di lapangan. Beberapa faktor yang mempengaruhi jenis formulasi yang dipilih adalah jenis organisme, lingkungan yang dituju dan tipe aksi dari bahan aktif tersebut. memiliki tipe aksi yang unik, yaitu
B. thuringiensis
harus termakan dan berada di saluran
pencernaan. Metode enkapsulasi spray dryer adalah metode yang berprinsip proses penguapan media air yang menjadi penghantar bahan yang telah teremulsi sehingga terbentuk mikropartikel yang mengenkapsulasi bahan aktif dengan rapat. Metode ini memiliki beberapa keuntungan yang diberikan, antara lain akan melindungi bahan aktif dari pengaruh lingkungan, memiliki waktu shelf life yang lebih lama, tidak kamba, biaya yang diperlukan per luas daerah aplikasi lebih kecil karena konsentrasi dari bahan tambahan yang digunakan per luas area aplikasi lebih konstan, dan mengandung bahan kimia lebih sedikit (Tamez-Guerra et al.. 1996). Bahan tambahan yang digunakan pada umumnya adalah bahan yang meniru komposisi daun yakni terdiri dari karbohidrat, protein dan lemak. Penggunaan karbohidrat sebagai bahan enkapsulan telah mendapatkan banyak perhatian sejak ditemukan sekitar tahun 1960an. Dunkle dan Shasha
8
(1988) telah menyebutkan bahwa penggunaan pati sebagai bahan enkapsulan berpeluang digunakan untuk formulasi sebagai bahan aktif dan meningkatkan efikasi dari produk. Penggunaan lebih lanjut pada formulasi B. thuringiensis menunjukkan bahwa bahan enkapsulan berbahan dasar karbohidrat dapat meningkatkan tingkat toksisitas produk dan meningkatkan persistensi produk terhadap faktor-faktor lingkungan yakni hujan dan sinar matahari (McGuire dan Shasha 1990; McGuire et al.. 1990; McGuire et al.. 1994). Formulasi enkapsulan berbahan dasar karbohidrat ternyata tidak hanya menunjukkan hasil positif pada formulasi produk B. thuringiensis tapi juga untuk Entomopoxvirus (Mcguire et al. 1991 ; McGuire et al. 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Ali et al. (1994) juga menunjukan bahwa penggunaan karbohidrat yakni tongkol jagung, juga dapat meningkatkan potensi toksin yang dimiliki oleh B. thuringiensis. Formulasi yang dihasilkan pada saat itu masih berbentuk granula dan terpisah antara produk bioinsektisida
dan
bahan
enkapsulan.
Pemanfaatan
formulasi
produk
bioinsektisida yang dihasilkan pada tahun-tahun awal dihadapkan oleh beberapa kendala yakni ketidaklarutan produk yang dihasilkan menyebabkan pencampuran dengan air pada saat peyemprotan menjadi kendala yang harus dipecahkan. Kendala yang dihadapi pada awal-awal digunakannya bahan enkapsulan karbohidrat adalah kemampuan larut produk yang dihasilkan sehingga menyebabkan pencampuran dengan air pada saat penyemprotan mengakibatkan penyumbatan pada alat penyemprot. Alasan ketidakpraktisan juga menjadi penyebab dikembangkannya formulasi produk yang lebih baik karena pengguna harus mencampur bahan enkapsulan dan bahan bioinsektisida secara manual. Beberapa penelitian dari tahun 1990 menunjukkan bahwa pati adalah media yang terbaik dalam teknik enkapsulasi. Beberapa campuran formula pati yang dicobakan menunjukkan bahwa paduan antara pati jagung dan sukrosa memberikan respon yang paling baik dibandingkan campuran lainnya (Mcguire & Shasha 1990). Gula juga dapat ditambahkan sebagai pelarut di dalam air dan bersamaan dengan pati berfungsi sebagai perekat dan juga sebagai fagostimulan (perangsang konsumsi terhadap serangga).
Penelitian lanjutan menyebutkan
kombinasi antara pati jagung atau tepung jagung dan lignin memberikan respon terhadap ketahanan terpaan hujan dan paparan terhadap sinar UV yang lebih baik
9
daripada produk komersial tanpa mengurangi efek toksisitasnya (Tamez-Guerra et al.. 1996). Pemberian perlakuan tambahan pada formulasi seperti pengaturan tingkat keasaman juga mempengaruhi toksisitas produk yang dihasilkan. Behle et al. (1997a) menyebutkan bahwa peningkatan derajat keasaman (pH) dalam formulasi dengan menggunakan KOH dapat meningkatkan toksisitas yang dihasilkan hingga mendekati pH 12. Kondisi pH produk lebih dari 12 mengakibatkan penurunan toksisitas produk. Keadaan tersebut dapat diatasi dengan penggunaan gluten sebagai bahan enkapsulan. Gluten dapat mempertahankan tingkat toksisitas pada saat pH produk ditingkatkan hingga pH 13. Penggunaan gluten juga menunjukkan peningkatan persistensi terhadap curah hujan. Hal itu disebabkan lapisan film yang terbentuk dapat membentuk lapisan penahan dari pencucian hujan. 4. Bahan-Bahan Enkapsulan Proses enkapsulasi banyak digunakan dalam industri-industri untuk membentuk produk mereka. Bahan enkapsulasi dapat terdiri dari berbagai macam tergantung keperluan serta tujuan dari produsen. Contoh bahan enkapsulasi yang sering digunakan adalah: lilin atau lemak, protein, karbohidrat dan beberapa polimer food grade seperti polipropilen, polistiren dan polibutadien (Lakis 2007). Prinsip dasar terbentuknya material serbuk yang terenkapsulasi belum banyak diketahui secara pasti oleh para ahli, namun beberapa hipotesis mengenai simulasi proses yang terjadi dan faktor yang mempengaruhi telah banyak diajukan. Wang dan Langrish (2009) membahas hipotesis simulasi proses enkapsulasi pada spray drying dan menyatakan secara umum para ahli sepakat bahwa proses segregasi saat pembentukan material enkapsulan merupakan hipotesis yang paling mendekati dalam menjelaskan proses yang terjadi. Proses segregasi juga menyatakan bahwa ada kemungkinan inti bahan yang seharusnya terenkapsulasi berada di luar permukaan dan tidak terenkapsulasi sempurna. Hal tersebut menyebabkan parameter efisiensi proses enkapsulan digunakan untuk mengukur seberapa besar peluang dinding enkapsulan berhasil terbentuk mengenkapsulasi bahan inti. Keseluruhan
proses segregasi material bahan
enkapsulan dan inti enkapsulan terjadi pada saat pengeringan dan dipengaruhi
10
oleh kemampuan difusi material dalam pelarut yang digunakan serta aktivitas permukaan dari material tersebut (Kim et al. 2003). Kemampuan difusi bahan menjadi hipotesis untuk menjelaskan terjadinya segregasi dalam proses enkapsulasi. Pada saat proses pengeringan dan penguapan pelarut terjadi maka material yang mudah larut dalam pelarut yang digunakan cenderung untuk bergerak dari luar ke dalam partikel serbuk yang terbentuk. Seiring dengan pengerasan material yang terjadi dari luar ke dalam, bahan yang mudah larut akan terbentuk sebagai inti dari partikel. Hipotesa kedua adalah kemampuan aktivitas permukaan dari material yang digunakan. Material yang memiliki aktivitas permukaan lebih besar cenderung akan bergerak ke luar pada saat penguapan dan berfungsi sebagai dinding enkapsulan. Karbohidrat memiliki peran penting dalam proses enkapsulasi. Karbohidrat telah banyak digunakan untuk enkapsulasi flavor, mineral, vitamin dan probiotik. Kemampuan yang dimiliki karbohidrat untuk membentuk polimer fase amorphous dalam mengikat inti terenkapsulasi menjadi fungsi penting dalam proses enkapsulasi (Gharsallaoui et al. 2003; Lakis 2007). Fase ini disebut sebagai fase glass transition.
Proses pengeringan atau spray dryer menguapkan air atau
pelarut yang digunakan dengan cepat sekali dan tidak memberi kesempatan bagi karbohidrat untuk berkristalisasi (Barreto 2008). Beberapa material karbohidrat yang sering digunakan dalam proses enkapsulasi adalah laktosa dan maltodekstrin (Lakis 2007). Laktosa (Gambar 3) merupakan polimer disakarida yang terdiri atas monomer galaktosa dan glukosa. Produk ini banyak terkandung dalam susu atau susu skim. Bahan ini adalah bahan awal yang digunakan untuk membuat produk bionsektisida granular (Dulmage 1990).
Bahan ini mulai tergantikan dengan
beberapa kombinasi lain seiring dengan meningkatnya penelitian formulasi produk padat dari bioinsektisida B. thuringiensis. Maltodekstrin adalah produk turunan dari pati yang terhidrolisis tidak sempurna. Monomer penyusun utama maltodekstrin adalah glukosa dan memiliki panjang rantai (DE) 2-20. Maltodekstrin juga sangat sering dipergunakan untuk proses enkapsulasi untuk berbagai macam partikel (Lakis 2007).
11
(a) Gambar 3
(b)
Rumus polimer (a) laktosa dan (b) maltodekstrin. (Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Beta-D-Lactose.svg dan http://en.wikipedia.org/wiki/File:Maltodextrin.png )
Bahan dan Metode Penelitian 1. Kerangka Pemikiran Bahan aktif bioinsektisida yang umum dihasilkan merupakan campuran dari kristal endotoksin dan spora bakteri. Permasalahan-permasalahan utama yang dihadapi oleh bahan aktif bioinsektisida B. thuringiensis
adalah disebabkan
karakteristik kristal toksin yang berbentuk protein. Protein merupakan bahan yang tidak tahan panas dan dapat terdenaturasi oleh sinar matahari. Permasalahan lain adalah kendala aplikasi dan faktor alam pada saat aplikasi bahan yang dapat mengurangi efektifias kinerja bioinsekisida. Proses enkapsulasi telah banyak diaplikasikan sebagai suatu cara untuk melindungi bahan aktif yang rentan terhadap kerusakan oleh lingkungan atau penyesuaian untuk memodifikasi waktu aktivasi dari bahan aktif terhadap target (Lakis 2007). Proses enkapsulasi didasarkan atas prinsip penyelubungan bahan aktif sebagai inti menggunakan bahan enkapsulan yang akan berfungsi sebagai dinding pelindung. Penelitian-penelitian terdahulu dalam menghasilkan formulasi bioinsektisida B. thuringiensis merupakan usaha untuk mencari alternatif lain dalam menghasilkan formula produk selain bentuk cair yang memiliki banyak kekurangan teknis serta kendala dalam penggunaan. Produk formulasi padatan yang dapat dilarutkan yang dihasilkan dari rangkaian penelitian tersebut terbukti dapat meningkatkan efisiensi produk dalam waktu simpan, aplikasi dan kemampuan menstabilkan serta meningkatkan efektifitas bahan aktif dari produk bioinsektisida (Burges 1998). Keunggulan lain dari penggunaan bahan enkapsulan menggunakan bahanbahan organik adalah fungsinya sebagai atraktan atau umpan bagi serangga. Hal tersebut disebabkan karena pada umumnya formula bahan yang digunakan menyesuaikan dengan komposisi makanan yang biasa dikonsumsi oleh serangga tersebut. Dengan digunakannya bahan organik dalam formula juga mengurangi kekhwatiran akan timbulnya respon toksin bagi manusia. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan produk mikroenkapsulasi bioinsektisida
B.
thuringiensis
yang
dapat
memecahkan
permasalahan-
13
permasalahan di atas menggunakan data pendukung dari rangkaian hasil penelitian sebelumnya sebagai pelengkap.
Tahapan-tahapan percobaan pada
penelitian dilakukan bertujuan untuk memberikan informasi lengkap berkaitan dengan proses produksi dan formulasi produk bioinsektisida. Proses produksi bahan aktif dilakukan sesuai dengan hasil penelitian terdahulu menggunakan fermentasi cair. Proses pembuatan, enkapsulasi dan pengeringan dengan mesin spray dryer menggunakan tahapan prosedur yang telah dikemukakan oleh Dulmage (1990) dengan beberapa penyesuaian.
Dalam
aplikasinya, produk yang dihasilkan diuji lanjut untuk memperoleh tingkat ketahanan yang dihasilkan terhadap sinar matahari dan pencucian hujan, berdasarkan prosedur yang dikemukakan oleh Tamez-Guerra et al. (2000) dengan beberapa penyesuaian. Proses produksi bioinsektisida menghasilkan informasi dalam proses pengoperasian
mesin, pengetahuan bahan dan
karakteristik produk yang
dihasilkan. Uji lanjut yang dilakukan bertujuan untuk memperoleh informasi tambahan tentang performa produk di lapangan pada saat aplikasi. Luaran yang didapatkan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan dengan baik oleh produsen bioinsektisida dalam proses produksi dan bagi para petani dalam penggunaan produk ini nantinya. Kerangka pemikiran pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4. 2. Alat dan Bahan Bahan yang dipergunakan untuk memproduksi bahan aktif spora dan kristal toksin adalah: isolat Bacillus thuringiensis subsp. aizawai dari koleksi kultur IPB, media NA (Nutrient Agar), etanol 95%, media limbah cair tahu, air kelapa, mineral-mineral: MgSO4.7H2O, MnSO4.H2O, ZnSO4.7H2O, FeSO4.7H2O, CaCO3, CuSO4, urea. Bahan yang dipergunakan untuk produksi mikroenkapsulasi bioinsektisida adalah larutan hasil fermentasi, serbuk maltodekstrin, serbuk laktosa, Tween 1%, akuades, larutan analisis kandungan gula yang terdiri atas DNS (asam 3,5-dinitrosalisilat), larutan fenol, NaOH, aquades, KNO dan Natrium meta-bisulfat. Bahan yang dipergunakan untuk menguji pengaruh lingkungan terhadap aktivitas produk adalah tanaman brokoli, Agristick 0.1%, akuades, air
14
kran, larva Crocidolomia pavonana dan produk bioinsektisida komersial merk Bactospeine (Bacillus thuringiensis subsp. berliner).
Gambar 4 Kerangka pemikiran pada penelitian
Alat yang dipergunakan untuk produksi bahan aktif adalah inkubator shaker, labu Erlenmeyer, peralatan gelas, ose, wadah penyimpan, penyaring dan cawan petri. Alat yang dipergunakan untuk produksi mikroenkapsulasi bioinsektisida adalah wadah penyimpan kedap udara dan wadah penampung, spray dryer, kemudian mikroskop cahaya mikro dan Scanning Electron Microscope (SEM) untuk pengataman karakterisasi produk yang dihasilkan. Alat yang dipergunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan terhadap aktivitas produk adalah: cawan petri, penyemprot parfum, alat penyemprot tanaman dan kertas tisu. 3. Tempat penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium LDIT, Teknologi Kimia, Bioindustri dan Lab Leuwikopo, Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian dan Lab Fisiologi dan Toksikologi Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor
15
4. Metode Penelitian Tahapan percobaan yang dilakukan sebagai berikut: 1) Proses produksi bahan aktif bioinsektisida
a. Proses Fermentasi Media fermentasi yang digunakan adalah limbah cair tahu yang berfungsi sebagai sumber nitrogen dan karbon serta air kelapa sebagai sumber karbon yang bersifat gula siap fermentasi. Prosedur penyiapan media fermentasi dilakukan berdasarkan penelitian Aryati (2011) menggunakan sistem kultivasi media cair. Perbandingan optimum antara karbon dan nitrogen pada media telah ditetapkan 7:1 berdasarkan hasil penelitian Dulmage et al. (1990).
Rachmawati (2011)
menyatakan bahwa perbandingan antara jumlah limbah cair tahu dan air kelapa yang digunakan dalam media fermentasi untuk menghasilkan bahan aktif dengan toksisitas tertinggiadalah 4:1, sedangkan kebutuhan jumlah kebutuhan mineral untuk fermentasi B. thuringiensis disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi kebutuhan mineral pada medium fermentasi B.t Komponen medium
Konsentrasi
CaCO3
1.00 g/l
MgSO4. 7 H2O
0.30 g/l
MnSO4. 7 H2O
0.02 g/l
ZnSO4. 7 H2O
0.02 g/l
FeSO4. 7 H2O
0.02 g/l
Sumber :Dulmage & Rhodes (1971)
Medium fermentasi berupa limbah cair tahu dan air kelapa dicampurkan dengan seluruh mineral, lalu disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121 o
C tekanan 1 atm selama 20 menit.
Media yang sudah steril dimasukan ke
dalam labu Erlenmeyer sebanyak 5% volume total. Keasaman (pH) medium kemudian diperiksa dengan menggunakan indikator universal, pH optimum pertumbuhan B. thuringiensis antara 6 sampai 7.
Proses fermentasi dimulai
dengan menginokulasikan media fermentasi dengan biakan B. thuringiensis subsp. aizawai dari agar miring, lalu diinkubasikan pada suhu ruang di atas mesin shaker dengan kecepatan 180 rpm selama 72 jam.
Hasil fermentasi
kemudian dipanen dan dipindahkan ke dalam botol dan terlebih dahulu disaring
16
menggunakan kapas.
Penyaringan bertujuan untuk memisahkan padatan yang
masih terdapat dalam media, keberadaan padatan ini dapat mengganggu proses pengeringan pada mesin spray dryer. Selanjutnya larutan hasil fermentasi yang telah disaring ini disebut larutan yang mengandung bahan aktif
berupa
campuran kristal δ-endotoksin dan spora bakteri B. thuringiensis. b. Karakterisasi bahan aktif hasil fermentasi Parameter yang dianalisis pada tahap ini adalah meliputi jumlah spora dengan metode VSC, perhitungan LC50 dan nilai potensi IU (International Unit) menggunakan metode uji hayati.
Standar yang digunakan untuk analisis
toksisitas adalah produk komersial Bactospeine yang mengandung B. thuringiensis Berliner. Data toksisitas dianalisis dengan menggunakan model Probit pada software Polo-pc. Prosedur penentuan parameter tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. 2) Proses mikroenkapsulasi bioinsektisida Bahan enkapsulan yang digunakan adalah laktosa dan maltodekstrin. Laktosa merupakan standar bahan enkapsulan yang umum digunakan dalam produk bioinsektisida berdasarkan penelitian Dulmage (1990).
Maltodekstrin
dipilih karena memiliki harga yang murah, bahan berasal dari karbohidrat serta kemudahan untuk memperoleh bahan tersebut. a. Penetapan kondisi operasi spray dryer Spray dryer bekerja dengan prinsip pengeringan dan aliran siklon sentrifugasi untuk menghasilkan produk serbuk. Bahan yang akan dikeringkan harus memiliki kekentalan dan kelarutan yang baik agar proses pemompaan sampel pada penyemprot proses atomisasi berjalan dengan lancar sehingga dihasilkan partikel yang baik. Suhu optimum yang digunakan untuk pengeringan sampel pada tabung inlet dan outlet juga harus ditentukan untuk menghasilkan mutu serbuk yang diinginkan, karena setiap alat dan bahan yang akan dikeringkan memiliki karakteristik masing – masing (Dulmage 1990). Maltodekstrin digunakan sebagai bahan enkapsulan karena bahan ini memiliki harga yang lebih rendah dibandingkan bahan laktosa. Penelitianpenelitan sebelumnya dengan menggunakan bermacam-macam bahan enkapsulan untuk produk bioinsektisida B. thuringiensis menunjukkan konsentrasi bahan
17
enkapsulan yang optimum adalah antara 5% sampai 10% (Burges 1998). Konsentrasi maltodekstrin yang digunakan adalah konsentrasi tertinggi (10%) karena menghasilkan kekentalan yang terbesar diantara konsentrasi bahan enkapsulan yang dikeringkan.
Parameter operasi alat pada konsentrasi dan
kekentalan yang tertinggi dapat mewakili parameter operasi untuk bahan dengan konsentrasi dan kekentalan yang lebih rendah. Parameter yang diukur pada tahap ini adalah analisis kekentalan larutan yang dihasilkan, kecepatan pompa penyemprot, suhu inlet dan suhu outlet mesin spray dryer. Larutan hasil fermentasi yang mengandung bahan aktif disaring dengan kapas untuk memisahkan padatan dan dituangkan ke dalam wadah yang terpisahpisah.
Bahan enkapsulan maltodekstrin ditambahkan ke setiap larutan yang
berada dalam wadah sebanyak 10% (b/v) sesuai dengan volume larutan fermentasi. Larutan kemudian ditambahkan larutan Tween 1% dan kemudian diaduk menggunakan stirer selama 30 menit. Larutan kemudian dikeringkan dengan alat spray dryer (Gambar 5). Mesin mini spray dryer yang digunakan merupakan desain Prof. Dr. Ir Gumbira Said MADeV. Mesin memiliki spesifikasi sebagai berikut tinggi dan lebar tabung inlet 14.4 dm x 3.9 dm, tinggi dan lebar tabung inlet 6.6 dm x 2.0 dm, menggunakan sumber pemanas kompor gas dan blower mesin jet serta pompa kecil. Parameter laju alir divariasikan antara 30 ml/menit sampai 60 ml/menit, suhu outlet 100 oC sampai 150 oC , dan suhu inlet 50 oC sampai 100 oC. Setiap kombinasi parameter diperhatikan apakah ada penyumbatan (clogging) pada alat penyemprot dan tabung inlet serta outlet. Penentuan sifat bebas alir dari serbuk yang dihasilkan dilakukan dengan pengamatan visual. b.
Pemilihan bahan enkapsulan Kondisi operasi mesin optimum dari percobaan sebelumnya digunakan pada
percobaan ini.
Pada tahap ini bahan aktif dikeringkan menjadi produk
mikroenkapsulasi dengan bahan yang berbeda dan konsentrasi yang berbeda. Bahan yang digunakan adalah laktosa dan maltodekstrin. Konsentrasi yang digunakan untuk bahan laktosa telah ditetapkan oleh Dulmage (1990) yakni sebesar 5%, sedangkan untuk bahan maltodekstrin digunakan konsentrasi 5% dan 10%. Parameter yang diukur adalah rendemen dan mutu serbuk yang dihasilkan.
18
Prosedur
penentuan
mutu
serbuk
adalah
dengan
memperhatikan
dan
membandingkan sifat bebas alir dari serbuk yang dihasilkan, sedangkan prosedur penghitungan rendemen dapat dilihat pada Lampiran 1.
Gambar 5 Mesin spray dryer c.
Karakterisasi produk bioinsektisida mikroenkapsulasi Produk terbaik dari analisis tahap sebelumnya dilihat karakteristik yang
dimiliki. Parameter yang dianalisis adalah nilai VSC untuk jumlah spora yang dihasilkan, uji hayati untuk nilai toksisitas LC50 dari produk dan nilai potensi IU dari toksin yang dimiliki oleh produk, keberadaan lapisan film, morfologi permukaan partikel serbuk dan uji fitotoksisitas produk. Pengamatan lapisan film dilakukan pada permukaan daun yang diberikan produk
kemudian diamati
dengan mikroskop cahaya mikro. Morfologi permukaan serbuk yang terbentuk dilihat dengan menggunakan mikroskop SEM. Prosedur analisis uji hayati, potensi dan VSC disajikan pada Lampiran 1. Toksisitas yang dihasilkan produk mikroenkapsulasi dibandingkan dengan larutan bahan aktif hasil fermentasi untuk melihat perubahan jumlah spora dan tingkat toksisitas yang diakibatkan proses pengeringan. Standar yang digunakan untuk analisis toksisitas adalah produk komersial. Data perbandingan nilai VSC
19
dianalisis menggunakan metode perbandingan nilai tengah Tukey-Kramer menggunakan perangkat lunak CoStat. Data toksisitas dianalisis dengan menggunakan model Probit pada perangkat lunak Polo-pc. Lapisan film yang dihasilkan diamati secara visual.
Sampel produk
bioinsektisida dan larutan fermentasi dilarutkan ke dalam larutan Agristick 0.1%. Kontrol yang digunakan adalah kontrol positif Agristick 0.1%. Daun brokoli dipotong dengan luas 4 cm x 4 cm. Daun lalu dicelupkan ke dalam masing-masing larutan dan dikeringanginkan.
Permukaan daun diamati secara visual dan
kemudian difoto. Uji fitotoksisitas dilakukan pada tanaman brokoli organik. Permukaan daun dewasa pada tanaman ditandai dengan luas tertentu.
Sampel produk
bioinsektisida dan larutan fermentasi dilarutkan ke dalam larutan Agristick 0.1%. Kontrol yang digunakan adalah kontrol positif Agristick 0.1%. Masing-masing larutan disemprotkan pada hanya satu permukaan daun secara merata dan dijemur dibiarkan di bawah sinar matahari selama 72 jam. 3) Pengaruh lingkungan terhadap toksisitas produk bioinsektisida Pengujian
ini
bertujuan
melihat
kemampuan
bahan
enkapsulan
mempertahankan aktivitas bahan aktif bioinsektisida dari pengaruh lingkungan. Rancangan percobaan yang digunakan uji efektifitas bahan enkapsulan dan bahan tambahan pada formulasi produk adalah masing–masing untuk mengukur pengaruh perlakuan jenis bahan yang digunakan pada ketahanan terhadap UV, ketahanan lekat produk terhadap curah hujan dan efektifitas patogen dari produkproduk yang dihasilkan. Masing-masing percobaan dilakukan 3 kali pengulangan menggunakan rancangan percobaan faktorial dalam rancangan acak lengkap (RAL). Model yang digunakan adalah: Yijk = µ + Ai + Σij i = 1,2,3 j = 1,2,3 Keterangan : Yijk
=
Variabel respon dari hasil observasi ke-k yang terjadi karena pengaruh bersama taraf ke-i faktor perlakuan
µ
=
Nilai tengah populasi
20
Ai
=
pengaruh taraf ke-i faktor perlakuan jenis tepung
Σij
=
Galat percobaan dari perlakuan ke-i pada ulangan j
Masing-masing data yang didapatkan akan dianalisis ANOVA untuk melihat pengaruh masing-masing faktor perlakuan. Perlakuan yang menunjukkan perbedaan nyata dalam pengaruhnya terhadap respon yang diamati dianalisis lanjut menggunakan analisis beda nilai tengah Tukey-Kramer. Data dianalisis menggunakan perangkat lunak CoStat. a. Produksi larva dan pemeliharaan serangga uji (Nailufar 2011) Serangga uji yaitu larva C. pavonana yang digunakan dalam penelitian ini adalah koloni yang diperbanyak di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, IPB.
Imago C. pavonana dipelihara
dalam kurungan plastik kasa berbingkai kayu (50 cm x 50 cm x 50 cm) dan diberi pakan berupa larutan madu 10% yang diserapkan segumpal kapas kemudian digantungkan di dalam kurungan secara berkala.
Daun brokoli yang tangkainya
dicelupkan dalam tabung film berisi air diletakkan di dalam kurungan sebagai tempat peletakan telur. hari.
Kelompok telur pada daun brokoli dikumpulkan setiap
Setelah telur menetas, larva dipindahkan ke dalam wadah plastik (35 cm x
26 cm
x 6 cm) berjendela kasa yang dialasi kertas stensil, dan diletakkan daun
brokoli bebas pestisida sebagai pakannya. Larva instar kedua digunakan untuk pengujian. Bila tidak digunakan untuk pengujian, sebagian larva dipelihara lebih lanjut dalam wadah plastik berisi daun brokoli atau dimatikan dengan cara didinginkan pada suhu -2 oC.
Menjelang berpupa, larva dipindahkan ke dalam
wadah plastik lain yang berisi serbuk gergaji steril sebagai medium untuk berpupa.
Pupa beserta kokonnya dipindahkan ke dalam kurungan plastik-kasa
seperti di atas sampai muncul imago untuk pemeliharaan selanjutnya. b. Uji hayati dengan simulasi hujan (Tamez-Guerra P et al.. 2000) Pengujian dilakukan setelah pemberian perlakuan produk bioinsektisida pada daun uji selesai dilakukan. Daun yang telah dikeringanginkan langsung diberi perlakuan simulasi hujan menggunakan alat penyemprot tanaman dengan kecepatan curahan 4 ml/detik pada ketinggian alat ± 1 m.
Daun kemudian
dikeringanginkan kembali selama kurang lebih 15 menit dan setelah kering dapat diletakan di dalam cawan beralas tisu bersama sepuluh ekor larva C. pavonana
21
instar dua. Pengamatan jumlah mortalitas larva dilakukan per 24 jam selama 96 jam disertai dengan penggantian daun dan alas tisu. c. Uji hayati dengan simulasi paparan sinar matahari (Tamez-Guerra P et al.. 2000). Produk bioinsektisida yang dihasilkan dicampurkan ke dalam akuades yang mengandung Agristick 0,1%. Tanaman brokoli diberikan tanda pada daunnya berupa lingkaran dengan diameter 6 cm.
Produk bioinsektisida kemudian
disemprotkan pada permukaan serta di bawah permukaan daun yang telah diberi tanda.
Tanaman dijemur di bawah sinar matahari selama 8 jam.
Daun yang
telah diberi tanda lalu dipetik dan digunting dengan ukuran 4 cm x 4 cm kemudian diletakan di dalam cawan beralas tisu bersama 10 larva C.
pavonana.
Pengamatan jumlah mortalitas larva dilakukan per 24 jam selama 96 jam disertai dengan penggantian daun dan alas tisu.
Hasil dan Pembahasan 1.
Proses produksi bahan aktif bioinsektisida
a.
Proses fermentasi Produksi bahan aktif yang digunakan untuk produk bioinsektisida diperoleh
dengan proses fermentasi bakteri Bacillus thuringiensis. Bahan aktif yang dimaksudkan adalah protein kristal δ-endotoksin dan spora bakteri. Untuk memproduksi endotoksin komposisi media yang digunakan dalam proses fermentasi berpengaruh langsung terhadap tingkat toksisitas dan formulasi produk yang dihasilkan (Burges 1998). Jenis media yang dapat digunakan dalam proses fermentasi telah banyak diteliti dan Burges (1998) telah memberikan ulasan terhadap beberapa jenis komposisi media yang banyak digunakan dalam produksi bioinsektisida B. thuringiensis. Media yang umum digunakan dalam proses produksi adalah media cair dan media semi padat. Proses fermentasi menggunakan media cair lebih mudah dilakukan daripada media semi padat untuk menghasilkan produk yang akan diolah lebih lanjut untuk keperluan formulasi produk. Hal tersebut disebabkan media cair dapat mengurangi proses lanjutan yang diperlukan untuk menyiapkan bahan aktif. Penggunaan media sintetik yang terdiri dari isolat bahan–bahan murni, dapat digantikan dengan menggunakan media alami dari alam. Media alami dapat diperoleh dari limbah atau hasil samping agroindustri yang masih mengandung nutrisi lengkap atau menggunakan bahan sumber nabati atau hewani lainnya. Contoh media yang berasal dari limbah dan dikembangkan untuk fermentasi B. thuringiensis
adalah media limbah pengolahan kacang-kacangan dan limbah
darah sapi (Obeta & Okafor 1984) serta padatan dari limbah pengolahan air (Brar et al. 2007). Limbah cair tahu merupakan hasil buangan industri tahu yang merupakan sisa dari proses penggumpalan tahu dan pada umumnya dibuang ke badan air. Limbah cair tahu masih memiliki nutrien yang cukup untuk pertumbuhan mikroba (Tabel 3). Nutrien yang penting bagi pertumbuhan mikroba adalah kadar karbon dan nitrogen. Kadar karbon dan nitrogen yang dimiliki oleh limbah cair tahu
23
masih tergolong tinggi, sehingga apabila dibuang ke badan air akan memiliki potensi pencemaran dengan menurunkan mutu air yang cukup besar. Air kelapa banyak dimanfaatkan sebagai salah satu sumber media fermentasi karena mengandung gula-sederhana dan vitamin serta mineral (Tabel 4). Prabakaran et al. (2007) menyebutkan fermentasi dengan media air kelapa dapat menghasilkan tingkat toksisitas dan jumlah spora yang sama dengan menggunakan media konvensional. Priatno (1999) dan Sriganti (2000) juga memperoleh hasil yang sama dalam menggunakan air kelapa sebagai media fermentasi B. thuringiensis, bahwa air kelapa dapat digunakan sebagai bahan baku media fermentasi B. thuringiensis. Penggunaan air kelapa dan limbah cair tahu dapat mengurangi biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi bioinsektisida B. thuringiensis. Tabel 3 Komponen kimiawi limbah cair tahu dan air kelapa Limbah cair tahu
Air kelapa
Komponen
Total nitrogen
Berat basah (%) 0.09
Berat kering (%) 10.6
Berat basah (%) 0.01
Berat kering (%) 0.60
Total karbon
0.49
58.7
1.02
66.20
Sumber : Aryati (2011)
b.
Karakteristisasi bahan aktif hasil fermentasi Analisis karakteristik yang dilakukan terhadap larutan hasil fermentasi
adalah jumlah kandungan spora (viable spore count/ VSC) dan analisis LC50 serta potensi dari uji hayati terhadap larva Crocidolomia pavonana. Jumlah spora yang dihasilkan dapat menggambarkan keberadaan kristal endotoksin yang dimiliki oleh bahan aktif yang didapatkan. Proses fermentasi yang digunakan adalah menggunakan erlenmeyer, karena hasil penelitian Nelly (2012) menunjukkan penggunaan fermentasi skala kecil lebih banyak menghasilkan kristal protein dibanding fermentor 3L. Hal tersebut diduga disebabkan karena proses agitasi dan aerasi yang lebih baik pada proses fermentasi skala kecil, sehingga respirasi sel bakteri berlangsung lebih baik dan menyebabkan pertumbuhan yang lebih baik, sehingga dapat menghasilkan kristal protein yang lebih banyak.
24
Jenis spora B. thuringiensis tertentu dapat memiliki toksisitas langsung terhadap larva atau membantu kerusakan yang diakibatkan δ-endotoksin pada pencernaan serangga (Tang et al. 1995; Johnson 1996; Glare & O’Callaghan 2000). Akan tetapi perbandingan jumlah spora yang dihasilkan antara dua bakteri yang berbeda tidak dapat dijadikan parameter untuk menentukan bakteri mana yang memiliki tingkat toksisitas terbaik. Tingkat toksisitas sesungguhnya yang dimiliki oleh bahan aktif dapat diperoleh melalui uji hayati. Tabel 4 Kandungan nutrisi air kelapa Komponen
Jumlah
Asam nikotinat (mg/l)
0.600
Asam pantotenat (mg/l)
0.520
Biotin (mg/l)
0.020
Riboflavin (mg/l)
0.010
Asam folat (mg/l)
0.003
Thiamin (mg/l)
Sedikit
Pirodoksin (mg/l)
Sedikit
Auksin (mg/l) Giberalin (mg/l) 1-3 difenil urea (mg/l) Sorbitol (mg/l)
0.070 Sedikit 5.800 15.000
Myoinositol (mg/l)
0.010
Syclo inositol (mg/l)
0.050
Kalium (mg/100 ml)
312
Natrium (mg/100 ml)
1050
Kalsium (mg/100 ml)
290
Magnesium (mg/100 ml)
300
Besi (mg/100 ml) Tembaga (mg/100 ml)
1 14
Fosfor (mg/100 ml)
370
Belerang (mg/100 ml)
240
Sumber: Tuleckle (1961) dan Ketaren (1978) diacu dalam Priatno (1999)
Jumlah VSC yang didapatkan dari larutan hasil fermentasi adalah 1.33 x 105 CFU/ml (Tabel 5). Hasil tersebut tidak berbeda dari yang didapatkan oleh Aryati (2011) menggunakan media yang sama yakni 1.58 x 105 CFU/ml, akan tetapi keduanya berbeda cukup signifikan dengan hasil VSC produk komersial.
25
Perbedaan nilai tersebut apabila dipandang dari sisi toksisitas produk yang dihasilkan, semata-mata hanyalah menggambarkan adanya toksin kristal yang dihasilkan akan tetapi tidak menggambarkan perbedaan jumlah yang dihasilkan atau tingkat toksisitas yang dihasilkan. Hal tersebut disebabkan karena jumlah spora tidak dapat dipergunakan untuk membandingkan tingkat toksisitas antar sampel karena jumlah spora tidak berbanding lurus dengan tingkat toksisitas yang dihasilkan (Nelly 2012). Akan tetapi nilai spora penting untuk melihat perkembangan bakteri dan pembentukan kristal endotoksin pada proses fermentasi.
Hal tersebut disebabkan karena pembentukan kristal endotoksin
berjalan pada masa sporulasi. Oleh karena itu perbandingan jumlah spora yang dimiliki
dua
sampel
yang
berbeda
tidak
dapat
dipergunakan
untuk
membandingkan tingkat toksisitas yang dimiliki masing-masing sampel. Tabel 5 Perbandingan karakteristik sampel pada hasil penelitian ini, hasil penelitian sebelumnya dan produk komersial.
Karakter
Hasil
Sampel Hasil penelitian
penelitian
sebelumnya*
Produk komersial
ini VSC (CFU/ml)
1.37 x 105
1.58 x 105
1.2 x 109
LC50 sampe l (g/ml)
62. x 10-3
0.02 x 10-6
3 x 10-5
7.7
26267
16000
Potensi sampel (IU/mg)
* Aryati (2011) Keterangan : LC50 standar pada percobaan sebelumnya = 0.05 x 10-6 (g/ml) Daun yang digunakan pada pengujian ini adalah daun brokoli, daun yang digunakan pada penelitian sebelumnya adalah daun sawi hijau.
Nilai LC50 merupakan parameter yang digunakan untuk mengukur dosis yang dibutuhkan dari bahan aktif untuk membunuh 50% populasi serangga. Dulmage (1990) menyatakan bahwa untuk menyatakan tingkat toksisitas yang dimiliki oleh bioinsektisida B. thuringiensis tidak cukup hanya melalui pengukuran LC50, akan tetapi diperlukan juga nilai potensi. Nilai LC50 dari suatu bahan aktif akan selalu berubah dalam setiap pengukuran seiring dengan waktu disebabkan penurunan mutu bahan aktif dan keragaman yang terdapat antara populasi serangga yang digunakan pada waktu yang berbeda. Dengan kata lain LC50 dapat digunakan untuk memperbandingkan tingkat toksisitas yang dimiliki
26
oleh bahan aktif yang berbeda pada satu saat pengukuran yang sama, sedangkan untuk hasil pengukuran yang dilakukan pada waktu yang berbeda digunakan nilai potensi. Hasil perhitungan potensi yang dimiliki sampel uji berasal dari rasio perbandingan nilai LC50 antara sampel dan LC50 standar yang diukur pada waktu yang sama.
Rumus perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 1. Perhitungan
potensi memerlukan produk bahan aktif standar yang memiliki nilai potensi yang telah terukur. Produk standar yang digunakan pada percobaan ini dan percobaan sebelumnya adalah sama dan memiliki nilai potensi 16000 IU/mg. Nilai LC50 yang dihitung adalah berdasarkan bobot total padatan dari larutan fermentasi. Sesungguhnya pengukuran LC50 akan lebih akurat jika hanya berdasarkan bobot kristal endotoksin dan spora. Akan tetapi, pengukuran bobot kristal endotoksin dan spora saja dari larutan fermentasi cukup sulit dilakukan, oleh karena itu, digunakan asumsi bobot total padatan. Kandungan yang terdapat dalam total padatan larutan fermentasi adalah total sel hidup, total spora, padatan media fermentasi dan kristal δ-endotoksin. Jumlah total padatan pada larutan fermentasi adalah 0.01 g/ml. Nilai LC50 yang dimiliki larutan fermentasi pada percobaan ini adalah sebesar 0.062 g/ml. Hal tersebut berarti untuk mematikan 50% serangga dengan jumlah total 10 ekor serangga diperlukan sekitar 5 ml cairan fermentasi. Jumlah tersebut terlalu kecil untuk keperluan aplikasi di lapangan. Hal tersebut mendukung alasan diperlukannya sebuah produk yang lebih terkonsentrat untuk keefektifan penggunaan. Dibandingkan dengan yang didapatkan oleh Aryati (2011) (Tabel 5) nilai LC50 yang didapat pada percobaan ini lebih besar. Hasil LC50 yang lebih besar menandakan tingkat toksisitas yang lebih kecil. Oleh karena itu, semakin kecil nilai LC50 maka semakin baik tingkat toksisitas yang dimiliki. Nilai potensi yang diperoleh adalah 7.7 IU/mg. Nilai potensi akan berbanding terbalik dengan nilai LC50. Semakin besar nilai potensi yang dimiliki, maka tingkat toksisitasnya akan semakin baik. Potensi yang dimiliki oleh sampel pada percobaan ini lebih kecil dibandingkan dengan potensi yang dimiliki oleh percobaan sebelumnya. Hal tersebut disebabkan karena rasio LC50 sampel dan
27
LC50 standar pada percobaan ini lebih kecil (0.03) dibandingkan dengan percobaan sebelumnya (2.5).
Nilai LC50 standar pada percobaan ini juga
mengalami peningkatan dibandingkan pengukuran pada percobaan sebelumnya. Perbedaan hasil toksisitas (LC50 dan potensi) yang didapatkan dibandingkan dengan percobaan sebelumnya diduga disebabkan karena metode yang digunakan pada penelitian ini berbeda dengan yang digunakan oleh Aryati (2011). Metode uji hayati pada percobaan ini mencoba menghindari pengaruh selain toksin bahan aktif kepada mortalitas larva C. pavonana. Penggantian daun dan alas tisu perhari dapat menghindari kekeringan, stress berlebihan dan tumbuhnya jamur yang dapat menyebabkan kematian pada larva. Jenis daun yang digunakan sebagai media penempelan bahan aktif pada penelitian ini juga berbeda dengan yang digunakan oleh Aryati (2011). Pada penelitian ini digunakan brokoli sedangkan penelitan sebelumnya menggunakan daun sawi hijau (ceisin). Selera dan respon larva terhadap daun yang menjadi bahan makanan berbeda-beda. Oleh karena itu, dapat mempengaruhi respon mortalitas larva terhadap bahan aktif yang dicobakan (Meade & Hare 1993). Hal tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Sari (2002) yang mengemukakan bahwa pertumbuhan larva C. pavonana pada daun brokoli jauh lebih baik dibandingkan pada daun sawi hijau. Larva yang tumbuh pada daun sawi hijau lebih banyak mengalami kegagalan untuk berkembang menjadi pupa. Hal tersebut diduga karena kandungan nutrisi yang dimiliki oleh brokoli lebih baik dibandingkan dengan daun sawi hijau (Tabel 6). Kondisi larva yang kurang sehat karena pakan yang kurang baik dapat ikut menimbulkan pengaruh kepada respon mortalitas yang diamati, sehingga respon mortalitas yang diukur bukan karena pengaruh bahan aktif semata. Hal tersebutlah yang diduga mempengaruhi nilai LC50 pada penelitian sebelumnya menjadi lebih rendah. Penyebab lain adalah keragaman antar populasi larva yang digunakan. Dulmage (1990) menyatakan bahwa nilai pengukuran LC50 memiliki kendala apabila diperbandingkan dengan hasil yang dilakukan pada waktu dan tempat yang berbeda. Hal tersebut disebabkan adanya keragaman yang tidak dapat dikontrol dari serangga uji yang dipelihara. Hal-hal yang dapat memberikan
28
pengaruh terhadap keragaman tersebut adalah faktor biologis pada saat pemeliharaan, faktor genetis atau adanya respon kekebalan dari serangga. Tabel 6 Kandungan nutrisi daun untuk pengujian (per 100 g bagian yang dapat dimakan) Kandungan
Brokoli
Sawi hijau
Protein(g)
3.6
1.7
Lemak(g)
0.5
0.4
Karbohidrat(g)
3.6
3.4
Vitamin B1(mg)
0
0.04
Vitamin C(mg)
3.0
3.0
Sumber : Sari (2002)
Uji hayati dilakukan pada larva C. pavonana. Larva tersebut dipergunakan karena pemeliharaan dan proses mendapatkan dibandingkan serangga uji yang lain.
larva yang lebih mudah
Serangga tersebut disebut juga ulat krop
kubis. Serangga C. pavonana tergolong serangga polifagus yang artinya serangga tersebut dapat menyerang lebih dari satu jenis tanaman; dalam hal ini semua tanaman yang tergolong kubis-kubisan. Tanaman yang terserang dapat termakan habis dan minimal menurunkan mutu dan nilai jual yang dimiliki oleh tanaman. Chapman (1998) menjelaskan bahwa saluran pencernaan serangga umumnya
terbagi tiga bagian : bagian depan (stromodeum), bagian tengah
(mesentron) dan bagian belakang (proktodeum). Kondisi keasaman saluran pencernaan dapat berbeda-beda tergantung dari preferensi makan serangga. Umumnya saluran pencernaan bagian depan cenderung memiliki pH asam dan bagian tengah cenderung netral dan mengandung sistem buffer. Saluran pencernaan bagian belakang untuk serangga pemakan tumbuhan memiliki pH basa. Bagian saluran pencernaan ini diduga merupakan lokasi aktivitas toksin dari δ endotoksin, karena kondisi pH yang diperlukan untuk proses aktivasi endotoksin sesuai. Larva yang digunakan adalah larva instar dua.
Hal tersebut bertujuan
untuk mengetahui tingkat toksisitas bahan aktif pada tahap awal perkembangan larva. Instar pertama tidak dapat dipergunakan karena kondisi larva masih sangat lemah apabila dipindahkan ke dalam cawan. Larva instar dua yang baru berganti
29
kulit berada dalam kondisi lapar disebabkan harus melalui tahap puasa pada saat penggantian kulit.
Hal ini juga dapat mempermudah pengukuran toksisitas
disebabkan larva berpeluang besar untuk segera mengkonsumsi toksin yang berada pada permukaan daun. Hasil uji hayati yang didapatkan hanya berlaku terhadap serangga yang diuji dan tidak untuk serangga lain.
Hal tersebut
disebabkan karena sensitifitas setiap serangga terhadap bahan aktif toksin yang sama berbeda. 2.
Proses mikroenkapsulasi bioinsektisida
a.
Penetapan kondisi operasi mesin spray dryer Proses mikroenkapsulasi bioinsektisida dilakukan menggunakan alat spray
dryer. Penggunaan metode ini menghasilkan keuntungan ekonomis yang lebih tinggi, proses yang lebih cepat, serbuk yang dihasilkan lebih halus dan mudah untuk peningkatan skala dibandingkan peralatan mikroenkapsulasi lainnya (Gharsallaoui et al. 2007). Eslamian dan Ashgriz (2011) menyatakan bahwa karakteristik serbuk yang dihasilkan dari proses pengeringan semprot bergantung dari kondisi operasi mesin (suhu, kelembaban dan tekanan) dan karakteristik larutan (kekentalan dan konsentrasi). Pada tahap ini parameter-parameter tersebut digunakan untuk mencari kondisi optimum pengoperasian mesin spray dryer. Konsentrasi bahan enkapsulan yang digunakan untuk optimasi proses mikroenkapsulasi adalah 10% maltodekstrin.
Konsentrasi tersebut digunakan
karena merupakan konsentrasi dengan kekentalan tertinggi yang dibuat untuk produk mikroenkapsulasi pada percobaan ini.
Penggunaan konsentrasi tertinggi
bertujuan sekaligus untuk menetapkan kondisi operasi untuk konsentrasi yang lebih rendah. Karakteristik
kekentalan
dan
konsentrasi
bahan
yang dikeringkan
mempengaruhi langsung mutu partikel yang dihasilkan proses atomisasi, semakin besar konsentrasi larutan yang digunakan, maka parameter pengoperasian akan semakin rumit. Kekentalan yang terlalu tinggi mengakibatkan proses pemompaan cairan ke mesin jet penyemprot menjadi terhambat. Kekentalan yang terlalu tinggi juga dapat mengakibatkan proses atomisasi menjadi tidak sempurna, sehingga mutu serbuk yang dihasilkan tidak baik. Dengan kata lain parameter operasi yang digunakan untuk mengeringkan larutan dengan kekentalan tinggi
30
diasumsikan dapat mewakili parameter yang digunakan untuk kekentalan rendah, karena kekentalan rendah memiliki karakter yang lebih mudah dioperasikan oleh alat pengering dan alat atomisasi. Kekentalan yang dihasilkan oleh konsentrasi 5% adalah 14.7 cp sedangkan konsentrasi 10% adalah 26.7 cP. Tabel 7 menunjukan hasil produk yang didapatkan pada kondisi operasi mesin spray dryer yang divariasikan. Kecepatan suplai larutan yang terbaik didapatkan pada kecepatan 50 ml/menit.
Kondisi yang diinginkan adalah
kecepatan suplai yang tinggi agar dapat mengurangi waktu pengeringan tanpa menurunkan mutu serbuk yang didapat. Proses pengeringan didasarkan pada penguapan partikel cair larutan yang telah melalui proses atomisasi. Panas akan menguapkan air dengan cepat dan menyebabkan lapisan bahan enkapsulasi menyelubungi bahan aktif. Tabel 7 Pengaruh kondisi operasi mesin spray dryer terhadap mutu produk yang dihasilkan dengan konsentrasi maltodekstrin 10%. Laju alir
Suhu inlet o
Mutu serbuk
Suhu outlet o
(ml/min)
( C)
( C)
Bebas alir
Clogging pada alat
30
100
50
-
+++
40
100
50
-
++
40
110
60
-
++
50
120
70
+++
-
50
130
80
++
-
60
150
100
+
-
Keterangan : (-) tidak ada, (+++) tampak sekali, (++) tampak, (+) kurang tampak.
Alat jet penyemprot yang berada pada tabung outlet bekerja berdasarkan tekanan udara tinggi yang diberikan pada aliran cairan, sehingga mengakibatkan partikel cairan terpecah
menjadi ukuran yang sangat kecil.
Proses tersebut
disebut sebagi proses atomisasi. Kecepatan alir cairan pada alat jet penyemprot penting untuk diperhatikan. Kecepatan alir yang terlalu rendah menyebabkan proses atomisasi yang berlebihan sehingga partikel yang terbentuk terlalu kecil sehingga mengakibatkan panas yang berlebihan pada permukaan serbuk saat proses pengeringan. Kecepatan alir yang terlalu tinggi akan memberikan efek kebalikan, proses panas tidak dapat mengeringkan partikel cairan karena partikel yang dihasilkan terlalu besar akibat proses atomisasi yang tidak sempurna.
31
Hasil percobaan optimasi suhu inlet menunjukan bahwa sampel larutan bioinsektisida memiliki titik suhu penguapan partikel cairan untuk pembentukan serbuk terbaik adalah pada suhu inlet 120 oC (Tabel 7). Suhu yang lebih rendah pada kondisi operasi ini akan menghasilkan partikel serbuk yang mengalami pengeringan
tidak sempurna sehingga mengakibatkan pelengketan (clogging)
pada dinding tabung inlet dan outlet. Suhu yang lebih tinggi akan mengakibatkan proses pengeringan terlalu tinggi, sehingga kerusakan bahan aktif dan serbuk terjadi. Tabel 7 menunjukan bahwa suhu inlet yang lebih tinggi dari 120 oC mengurangi mutu bebas alir serbuk. Proses pengeringan pada tabung inlet akan berlangsung cepat, sehingga dapat meminimalisasi kerusakan yang diakibatkan pada bahan aktif. Hasil tersebut sesuai dengan yang diperoleh oleh Alamilla-Beltran et al. (2005), yakni suhu yang digunakan pada saat pengeringan juga berpengaruh terhadap morfologi partikel yang dihasilkan. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa partikel yang dikeringkan pada suhu rendah antara 100 oC sampai 110 oC memiliki kecenderungan untuk membentuk partikel serbuk yang utuh dan tidak hancur.
Penggunaan suhu yang tinggi (170 oC-200 oC) akan menyebabkan
pembentukan partikel matriks enkapsulasi yang tidak sempurna.
Suhu yang
terlampau tinggi akan mengakibatkan proses penguapan air dari partikel berlangsung sangat cepat dan pada akhirnya partikel matriks yang terbentuk akan pecah. Suhu optimum tabung outlet yang didapatkan adalah 70 oC (Tabel 7). Suhu outlet merupakan hal yang harus diperhatikan. Hal tersebut disebabkan sampel lebih lama tinggal pada tabung outlet. Kecepatan aliran udara sentrifugasi di dalam tabung outlet lebih kecil dibandingkan dengan tabung inlet, sehingga menyebabkan serbuk lebih lama jatuh ke tempat penampungan. Suhu yang terlalu tinggi pada tabung outlet dapat merusak aktifitas bahan aktif. Peningkatan suhu outlet yang melebihi suhu optimum menimbulkan resiko kerusakan bahan aktif yang semakin tinggi dan juga mutu serbuk yang dihasilkan semakin menurun. Pendekatan untuk meramalkan dan mencari kondisi operasi pengeringan yang baik adalah dengan memahami karakteristik bahan yang dikeringkan. Salah satu karakteristik tersebut adalah kelengketan bahan yang dihasilkan pada proses
32
pemanasan. DE (Dekstrosa Ekuivalen) yang dimiliki oleh suatu bahan karbohidrat diduga memiliki hubungan erat dengan kelengketan yang dimiliki produk pada saat pengeringan. Karakter kelengketan bahan tersebut juga berkaitan erat dengan perubahan fase transisi seperti plastik. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Forssell (2004), yakni sifat dan karakteristik yang dimiliki maltodekstrin berhubungan erat dengan nilai DE yang dimiliki. Nilai DE menggambarkan seberapa besar tingkat pemutusan rantai karbon yang dilakukan oleh enzim untuk membentuk molekul yang lebih kecil. Maltodekstrin yang memiliki nilai DE semakin kecil akan memiliki sifat dan karakteristik yang mirip dengan pati, sebaliknya semakin besar nilai DE maka sifat dan karakteristik yang dimiliki akan semakin mirip dengan larutan glukosa (Sun et al. 2010). Hasil analisis bilangan DE pada bahan maltodekstrin menunjukkan maltodekstrin pada penelitian ini memiliki DE 19. Sehingga bahan maltodekstrin yang digunakan memiliki karakteristik seperti larutan glukosa. Truong et al. (2004) menjelaskan mengenai pengaruh fase transisi gelas pada kelengketan produk karbohidrat di dalam penelitiannya. Hasilnya adalah penjelasan bahwa karbohidrat memiliki karakteristik suhu perubahan fase transisi gelas menjadi seperti plastik (Tg) dan suhu terbentuknya bahan yang lengket (Ts). Ketika suhu pengeringan bahan lebih tinggi dari suhu Ts maka bahan mengalami perubahan material amorf dari fase seperti kaca menjadi lebih fleksibel seperti plastik. Apabila suhu pengeringan lebih tinggi dari Tg yang dimiliki bahan, maka bahan akan bersifat lengket dan menempel pada dinding tabung sehingga menurunkan rendemen yang didapat serta mutu produk yang dihasilkan. Penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa suhu Ts memiliki kisaran 10 oC sampai 23 oC lebih tinggi dari Tg. hasil penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa rendemen produk yang didapatkan dari bahan karbohidrat yang mudah lengket dapat ditingkatkan dengan cara mencari kondisi operasi optimum dari spray dry berdasarkan konsep fase transisi gelas yang dimiliki oleh bahan. Salah satu model yang menunjukkan hubungan antara DE dan Tg adalah yang dihasilkan pada penelitian Langrish et al.. (2007). Pada penelitian tersebut menggunakan maltodekstrin dengan DE 18 yang tidak berbeda jauh dengan DE bahan maltodekstrin yang digunakan pada penelitian ini. Hubungan yang
33
didapatkan antara kedua parameter adalah Tg= 176.35-1.4 DE. Melihat bahwa DE yang digunakan pada penelitian tersebut tidak berbeda jauh dengan yang digunakan pada penelitian ini, maka diasumsikan rumus tersebut dapat digunakan juga untuk bahan maltodekstrin yang digunakan pada penelitian ini. Hasilnya adalah maltodekstrin yang digunakan pada penelitian ini memiliki Tg= 148.35 oC. Suhu optimum pada Tabel 7 menunjukkan bahwa pengoperasian berlangsung di bawah suhu tersebut sehingga menjelaskan mengapa hasil serbuk yang diperoleh pada suhu tersebut lebih baik dan tidak mengalami pelengketan dibandingkan percobaan pada suhu yang lebih tinggi. Rumus tersebut menggambarkan mengapa bahan-bahan yang memiliki kadar glukosa tinggi atau memiliki DE sangat tinggi, molekul sakarida dengan bobot molekul rendah yang tinggi serta kandungan asam organik yang tinggi sulit untuk dikeringkan dan dibuat produk serbuk menggunakan spray dryer. Truong et al.. (2004) menjelaskan bahwa bahan-bahan tersebut memiliki sifat termoplastik yang tinggi pula. Bahan-bahan tersebut akan memiliki titik Tg yang sangat rendah sekali, sehingga pada saat pengeringan menggunakan spray dryer akan mengalami penumpukan dan pelengketan pada dinding alat. Hal tersebut dikuatkan dengan hasil penelitian Adhikari et al.. (2006) yang mendapatkan bahwa bahan-bahan karbohidrat dengan berat molekul sangat rendah memiliki tingkat kelengketan yang tinggi ketika dikeringkan, sehingga tidak dapat diproduksi menjadi serbuk menggunakan spray dryer. Pendekatan lain yang dapat digunakan untuk meramalkan kondisi operasi optimum dari bahan karbohidrat berkaitan dengan karakteristik Tg yang dimiliki adalah rasio bobot molekul yang terkandung dalam bahan. Hal tersebut dijelaskan oleh Takeiti et al.. bahwa DE tidak dapat digunakan secara mutlak untuk meramalkan karakteristik yang dimiliki oleh maltodekstrin atau bahan karbohidrat untuk digunakan dalam aplikasi. Salah satu cara yang lebih tepat adalah dengan rasio distribusi massa yang terkandung dalam maltodekstrin. Maltodekstrin dapat mengandung sakarida dengan rasio massa besar dan kecil berbeda tergantung jenis pati yang digunakan dan hidrolisis enzim yang berlangsung. Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Avaltroni et al. (2004) yang mengemukakan bahwa maltodekstrin dengan DE yang kecil juga masih mengandung struktur sakarida
34
dengan Derajat Polimerisasi (DP) yang tinggi, akan tetapi dengan konsentrasi yang lebih kecil dibandingkan dengan maltodekstrin yang mengandung DE lebih tinggi. Bahan maltodekstrin yang memiliki nilai DE sama, tetapi memiliki rasio berat molekul sakarida yang terkandung berbeda akan menghasilkan bahan dengan karakteristik berbeda pula. Griffin dan brooks (1989) mengemukakan bahwa sakarida dengan massa besar berpengaruh terhadap stabilitas dan solubilitas yang dihasilkan, sedangkan sakarida dengan massa kecil berpengaruh terhadap viskositas, kristalinitas dan kemanisan produk yang dihasilkan. Secara ringkas Marchal et al.. (1999) menjelaskan hubungan antara karakteristik tersebut sebagai berikut : 1. Higroskopisitas antara bahan dengan panjang Derajat Polimerisasi (DP) berbeda adalah DP3>DP4=DP7>DP5>DP6>DP11>DP2. 2. Viskositas akan meningkat seiring dengan peningkatan DP. 3. Derajat kemanisan akan menurun seiring dengan peningkatan DP 4. Kestabilan waktu simpan akan meningkat seiring dengan peningkatan DP. Umumnya DP di atas 7 sampai 12 akan menunjukkan waktu simpan yang lebih baik. Penelitian pendugaan karakteristik dari rasio bobot molekul dilakukan dengan menggunakan pendekatan permodelan. Roos dan Karel (1991) mengemukakan tentang hubungan antara rasio bobot molekul dan kemampuan bahan untuk dibekukan. Avaltroni et al. (2004) dalam penelitiannya menjelaskan mengenai hubungan antara rasio bobot molekul dan Tg serta viskositas yang dihasilkan dengan model matematika tertentu. b.
Pemilihan bahan enkapsulan Bahan karbohidrat dapat digunakan sebagai bahan enkapsulan bioinsektisida
karena selain mudah terdegradasi juga dapat berfungsi sebagai daya tarik konsumsi bagi serangga. Kemampuan daya tarik konsumsi itu disebabkan karena karbohidrat merupakan bahan alami yang terkandung di dalam daun yang merupakan pakan alami dari serangga. Beberapa bahan karbohidrat yang dapat digunakan dalam proses enkapsulasi dinding matriks adalah laktosa dan maltodekstrin. menyatakan
Dulmage (1990)
bahwa bahan yang umum digunakan untuk produk enkapsulasi
35
adalah laktosa. Laktosa memiliki kemampuan untuk membentuk lapisan amorf melindungi inti bahan aktif. Kekurangan yang dimiliki adalah harga yang dimiliki cukup mahal, sehingga dapat menaikan harga produk yang dihasilkan. Maltodekstrin adalah produk turunan pati yang lebih murah dan sudah banyak digunakan sebagai bahan enkapsulan pada industri makanan, farmasi dan obatobatan dan probiotik. Konsentrasi bahan enkapsulan yang digunakan adalah laktosa 5% (b/v), maltodekstrin 5% (b/v) dan 10% (b/v). Sampel dikeringkan dengan mesin spray dryer menggunakan kondisi operasi optimum yang dihasilkan pada percobaan sebelumnya. Rendemen maksimum yang dihasilkan oleh proses mikroenkapsulasi adalah 25% sedangkan minimum 5% berdasarkan berat total padatan larutan fermentasi dan bahan enkapsulan yang ditambahkan (Tabel 8). Penyebab dari perbedaan rendemen yang dihasilkan diduga berhubungan dengan kadar air produk yang dihasilkan. Hal tersebut juga terlihat pada produk yang menggunakan bahan laktosa. Serbuk yang menggunakan bahan enkapsulan laktosa tidak mengalami pengeringan dengan baik sehingga serbuk yang dihasilkan buruk (Gambar 6c) dan rendemen yang dihasilkan juga rendah karena banyak tertinggal dan menempel pada dinding tabung. Tabel 8 Pengaruh jenis bahan enkapsulan terhadap rendemen dan mutu produk yang dihasilkan Rendemen
Kadar air
(%)
(%)
Maltodekstrin 5%
5
4.5
Baik
Maltodekstrin 10%
25
3.4
Baik
Laktosa
5
6.1
Buruk
Bahan enkapsulan
Mutu serbuk
Konsentrasi maltodekstrin 5% dan laktosa 5% memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan maltodekstrin dengan konsentrasi 10%. Farimin dan Nordin (2009) menyimpulkan bahwa
hal tersebut diduga disebabkan karena
rendahnya konsentrasi padatan di dalam larutan yang melalui proses pengeringan sehingga masih banyak air bebas yang terkandung dalam serbuk yang tidak mampu diuapkan oleh panas.
36
Sonthipermpoon et al.. (2006) juga memperoleh hasil yang sama dan mereka menyimpulkan bahwa konsentrasi maltodekstrin yang digunakan sebagai bahan enkapsulan berpengaruh terhadap mutu dan persentase rendemen serbuk yang dihasilkan. Proses tersebut berkaitan erat dengan kemampuan pembentukan struktur transisi seperti plastik yang dimiliki oleh maltodekstrin pada saat penguapan air berlangsung. Maltodekstrin yang memiliki kemampuan membentuk struktur transisi seperti plastik yang baik akan membentuk lapisan dinding matriks yang baik dan menghasilkan serbuk dengan tekstur yang baik pula. Lapisan dinding matriks yang akan terbentuk berhubungan dengan kadar air bebas yang terkandung.
Hal tersebut disebabkan karena dengan adanya air maka
ketidakstabilan molekul maltodekstrin masih tinggi sehingga mempengaruhi kemampuannya saling berikatan untuk membentuk lapisan dinding matriks. Semakin banyak kadar air bebas yang tidak mampu dilepaskan oleh proses penguapan maka kemampuan maltodekstrin dalam membentuk lapisan dinding akan semakin menurun. Akibat yang ditimbulkan adalah serbuk akan menempel pada lapisan dinding alat dan tidak ikut mengalir bersama aliran udara siklon menuju tempat penampungan. Hasil yang sama pada saat pengeringan menggunakan bahan pewarna alami juga diperoleh Quek et al.. (2007). Mereka menemukan bahwa peningkatan konsentrasi bahan enkapsulan maltodekstrin dapat meningkatkan persentase rendemen produk yang diperoleh. Hasil analisis mereka mengenai hal tersebut sama dengan penjelasan sebelumnya. Hubungan antara konsentrasi maltodekstrin yang digunakan dan kemampuan waktu simpan dan retensi produk yang dihasilkan juga diteliti oleh Yoshii et al. (2001). Penelitiannya mengungkapkan bahwa semakin tinggi konsentrasi maltodekstrin, maka waktu simpan atau kemampuan retensi yang dimiliki produk akan semakin tinggi. Hal tersebut disebabkan semakin tinggi konsentrasi maka semakin cepat lapisan dinding amorf bahan enkapsulan terbentuk sehingga dapat memerangkap lebih banyak bahan aktif dan menghindari kerusakan yang dialami pada saat pengeringan serta mengurangi jumlah bahan aktif yang tidak terenkapsulasi.
37
Hubungan antara kadar air dan rendemen yang didapat ini dapat juga menjelaskan hasil yang didapat pada Tabel 7. Suhu pengeringan di bawah suhu inlet 120 oC menunjukkan bahwa adanya penyumbatan atau clogging pada alat. Penyumbatan tersebut adalah disebabkan karena proses pengeringan tidak mampu menguapkan secara sempurna air yang berada pada partikel atau dengan kata lain bahwa produk yang dihasilkan akan menempel pada dinding tabung disebabkan kadar air yang terkandung masih tinggi. Hal ini memperkuat pernyataan dalam hasil penelitian Wang dan Langrish (2008). Mereka
menyatakan dalam
tulisannya bahwa deposisi bahan yang menempel pada permukaan mesin spray dryer akan mempengaruhi langsung rendemen yang diperoleh. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwasanya pada proses pengeringan
kadar air produk yang
dihasilkan merupakan parameter penting untuk menghasilkan serbuk yang baik dan bermutu. Dari Tabel 8 dan Gambar 6 terlihat bahwa bahan laktosa tidak dapat digunakan sebagai bahan enkapsulan produk bioinsektisida.
Produk dengan
bahan enkapsulan maltodekstrin menunjukkan tekstur serbuk dan hasil yang lebih baik. Hal tersebut berbanding terbalik dengan produk dengan bahan enkapsulan laktosa.
Produk tersebut mengalami proses browning dan memiliki sifat
higroskopis yang tinggi sehingga produk yang dihasilkan tidak memenuhi syarat sebagai produk yang baik. Serbuk yang dihasilkan terlihat menggumpal dan berwarna kecoklatan.
Produk berwarna kecoklatan karena adanya proses
browning dan karamelisasi, sedangkan pengumpalan terjadi akibat proses pengeringan yang tidak sempurna di dalam tabung spray dryer sehingga serbuk saling melekat satu sama lain. Produk yang mengalami proses karamelisasi dan menggumpal tidak dapat dilarutkan di dalam air dan akan menyebabkan penyumbatan pada alat penyemprot bioinsektisida pada saat aplikasi. Maillard yang menimbulkan proses browning
Reaksi
juga menyebabkan munculnya
senyawa flavor yang dapat mempengaruhi serangga untuk memakan umpan bahan aktif yang diaplikasikan.
38
a)
b)
c)
Gambar 6 Pengaruh jenis bahan enkapsulan terhadap penampakan produk yang dihasilkan. a)produk maltodekstrin 5% b) produk maltodekstrin 10% c) produk laktosa 5% Proses browning yang terjadi pada produk laktosa dapat menggambarkan rusaknya bahan aktif kristal protein. Hal tersebut disebabkan karena proses browning melibatkan reaksi antara molekul karbohidrat dan molekul protein. Bereaksinya protein pada reaksi browning menunjukkan kemungkinan telah berubahnya struktur protein yang akan berimplikasi juga terhadap aktivitas toksin protein. Hasil samping yang menghasilkan molekul flavor pada reaksi maillard juga memungkinkan memberikan pengaruh bagi selera makan larva serangga. Dalam produk laktosa padatan umumnya mengandung dua jenis partikel serbuk yakni bentuk amorf dan kristal. Proses kristalisasi terhadap bahan laktosa yang dapat berimplikasi terhadap karakterisitik produk yang dihasilkan. Perbandingan karakteristik antara bentuk kristal laktosa dan bentuk amorf diantaranya adalah: bentuk kristal lebih sukar larut dibandingkan bentuk amorf (Porkharkar et al. 2006), bentuk kristal memiliki sifat bebas alir lebih baik dibandingkan dengan bentuk amorf (Chan & Chew 2003), bentuk kristal akan memiliki waktu simpan lebih lama dibandingkan bentuk amorf karena bentuk amorf memiliki higroskopisitas lebih tinggi sehingga rentan mengalami penggumpalan (Chidavaenzi et al. 2001). Perbandingan kristal yang dihasilkan dalam proses pengeringan spray dryer ternyata dipengaruhi oleh skala mesin yang digunakan. Islam dan Langrish (2010) mengemukakan bahwa kristal akan semakin banyak terbentuk jika suhu pengeringan dinaikkan pada mesin spray dryer skala pilot, sedangkan Das et al. (2010) menemukan bahwa konsentrasi kristal akan semakin tinggi jika suhu diturunkan menggunakan mesin skala laboratorium. Das et al. menerangkan bahwa perbedaan ini disebabkan karena
39
kemampuan menghasilkan partikel serta kondisi pengeringan yang berbeda pada setiap mesin yang digunakan. Islam dan Langrish (2009) menerangkan bahwa dalam proses spray drying menggunakan bahan laktosa terdapat beberapa perubahan yang terjadi. Perubahan pertama adalah terbentuknya partikel amorf yang merupakan partikel yang terbentuk pada proses menggunakan bahan laktosa terdapat beberapa perubahan yang terjadi. Perubahan pertama adalah terbentuknya partikel amorf yang merupakan partikel yang terbentuk pada proses spray drying pada umumnya. Fase kedua adalah pembentukan partikel kristal. Penyebab rusaknya produk laktosa tersebut juga berhubungan erat dengan kelembaban tempat produksi dan tempat penyimpanan yang tinggi yang menyebabkan proses browning dan pembentukan partikel yang lengket berjalan lebih cepat. Peristiwa ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Pan dan Melton (2007) yang mengemukakan bahwa laktosa akan melalui proses browning lebih cepat pada proses pemanasan dengan lingkungan mengandung tingkat kelembaban menengah sampai tinggi. Adhikari et al. (2006) juga mengemukakan bahwa kelembapan juga mempengaruhi kelengketan yang dihasilkan oleh laktosa. Peningkatan kelembaban pada saat pengeringan akan menurunkan Tg dari bahan laktosa sehingga menyebabkan munculnya bahan yang lengket pada dinding tabung.
Faktor lain yang menyebabkan proses penggumpalan adalah sifat
higroskopik dari produk enkapsulasi laktosa yang dihasilkan. Burrington (2011) menyatakan bahwa laktosa memiliki sifat higroskopis yang tinggi, sehingga mengakibatkan laktosa yang telah melalui proses pengeringan melalui mesin spray dryer sangat cepat menyerap air dari udara. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahan laktosa pada proses yang menggunakan panas serta pengeringan sangat tergantung kepada kelembaban pada saat proses pengeringan berlangsung dan pada saat penyimpanan. Lebih lanjut, penelitian Islam dan Langrish (2009) mencoba menjelaskan hubungan antara fase transisi seperti plastik, proses kristalisasi dan rendemen yang dihasilkan pada pengeringan menggunakan spray dryer pada bahan laktosa. Penelitian tersebut mendapatkan bahwa seiring dengan peningkatan suhu pengeringan akan menurunkan rendemen yang diperoleh. Hal tersebut disebabkan
40
karena banyaknya partikel amorf yang terbentuk telah memasuki fase transisi seperti plastik dan karena waktu kontak panas pada mesin yang singkat sehingga tidak memungkinkan partikel tersebut berubah lebih lanjut menjadi partikel kristal. Dibandingkan dengan kondisi operasi optimum yang digunakan untuk pengeringan, laktosa memiliki Tg lebih rendah yakni 110 oC (Roos & Karel 1991). Titik Tg tersebut dapat berubah seiring dengan kelembaban pada proses pengeringan. Semakin tinggi kelembaban maka Tg akan semakin rendah. Hal tersebutlah yang menjelaskan mengapa tingkat produk yang menggunakan bahan enkapsulan laktosa, karena suhu pengeringan lebih tinggi dari Tg laktosa sehingga bahan laktosa telah berubah menjadi partikel lengket dan menempel pada dinding tabung. Hasil mikroenkapsulasi menggunakan bahan laktosa dengan spray dryer pada percobaan ini berbeda dengan yang didapatkan oleh Susanto (2011) menggunakan metode freeze dryer. Produk yang diolah melalui proses freeze drying tidak mengalami penggumpalan, browning dan karamelisasi. Hal tersebut disebabkan karena metode freeze drying tidak melibatkan proses pemanasan sehingga tidak memicu timbulnya reaksi Maillard. Metode tersebut juga mampu menghasilkan serbuk dengan kadar air rendah sehingga tidak menimbulkan penggumpalan. Perbandingan antara dua percobaan tersebut memberikan kesimpulan bahwa proses mikroenkapsulasi dengan menggunakan bahan laktosa akan
lebih baik apabila digunakan dengan metode yang tidak melibatkan
pemanasan, terutama pada daerah yang memiliki kelembaban tinggi. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari penurunan mutu produk yang dihasilkan. Cara lain untuk mengatasi kerusakan oleh panas yang dimiliki oleh laktosa mungkin dapat diatasi dengan penggantian bahan lain yang juga berasal dari susu. Casein merupakan salah satu bahan yang juga terkandung di dalam susu. Hasil penelitian oleh Behle et al.. (1996) melaporkan bahwa casein dari susu dapat digunakan pada formulasi produk bioinsektisida B. thuringiensis. Casein merupakan protein sehingga tidak mengalami reaksi Maillard. Hal tersebut menandakan proses pencoklatan dan karamelisasi yang merusak produk serbuk dapat dihindari
41
Bahan enkapsulan maltodekstrin menghasilkan produk bioinsektisida serbuk lebih baik dibandingkan laktosa. Nilai DE bahan maltodekstrin yang digunakan ideal untuk mengemulsi bahan aktif pada saat pencampuran karena maltodekstrin dapat larut dengan baik.
Peristiwa ini penting agar proses
enkapsulasi pada saat pengeringan berlangsung dengan baik. Proses emulsi yang berlangsung dengan baik itulah yang membuat produk bioinsektisida dengan bahan enkapsulan maltodekstrin memiliki sifat bebas alir yang baik. Produk bioinsektisida yang dihasilkan juga memiliki kemampuan untuk larut dengan baik pada air bersuhu rendah.
Hal ini akan memudahkan aplikasi dan mencegah
timbulnya penyumbatan pada alat penyemprot. Hasil pengamatan menggunakan SEM menunjukan penampakan partikel enkapsulasi yang berbeda untuk masing-masing konsentrasi maltodekstrin yang ditambahkan (Gambar 7). Permukaan partikel dengan konsentrasi enkapsulan 10% terlihat paling jelas. Partikel yang terbentuk memiliki ukuran panjang dan lebar 43 µm x 35 µm. Partikel yang dihasilkan oleh konsentrasi enkapsulan 5% menunjukkan tingkat aglomerasi yang tinggi dan ditunjukkan oleh ukuran partikel yang lebih besar yakni 593 µm x 538 µm. Partikel terlihat mengembang hingga hampir 10 kali lebih besar dibandingkan partikel dengan konsentrasi 5%, disebabkan karena proses pengikatan air yang tinggi. Hal tersebut diduga karena proses
terbentuknya
dinding
matriks
yang
kurang sempurna
sehingga
menyebabkan konsistensi matriks yang terbentuk rendah dan dapat mengikat air dari udara dengan cepat disebabkan DE maltodekstrin yang tinggi. Kondisi yang dimiliki oleh partikel serbuk dengan konsentrasi 5% ini dapat menyebabkan turunnya mutu produk selama proses penyimpanan. Lisansky et al. (1993) di dalam Burges (1998) juga menemukan peristiwa yang sama menggunakan bahan enkapsulan gum arab. Hasil penelitiannya mengemukakan bahwa kadar air serbuk yang diperoleh harus lebih rendah dari 7% untuk menghindari terjadinya proses aglomerasi dan kontaminasi dari bakteri lain. Selain kemungkinan terjadinya kontaminasi dari bakteri lain yang dapat menggunakan bahan enkapsulan sebagai media nutrisi untuk pertumbuhan, aktivasi kembali dari spora B. thuringiensis
yang terenkapsulasi juga
memungkinkan untuk menimbulkan kerusakan pada produk bioinsektisida. Hasil
42
yang didapatkan menyimpulkan
bahwa produk dengan konsentrasi bahan
enkapsulan maltodekstrin 5% tidak dapat digunakan sebagai produk bioinsektisida yang baik.
b
a
Gambar 7 Pengaruh konsentrasi terhadap permukaan partikel serbuk yang terbentuk dari proses mikroenkapsulasi. a) produk mikroenkapsulasi maltodekstrin konsentrasi 10% (perbesaran 2000x) b) produk mikroenkapsulasi konsentrasi 5% (perbesaran 150x)
a
b
Gambar 8 Penampakan sampel serbuk bioinsektisida dengan (a) konsentrasi 5% dan (b) konsentrasi 10%, setelah penyimpanan pada suhu 4 oC selama 6 bulan Penyimpanan setelah 6 bulan menunjukkan bahwa produk dengan konsentrasi enkapsulan 10% lebih baik dibandingkan konsentrasi 5% (Gambar 8). Produk dengan konsentrasi 10% dapat mempertahankan karakteristik serbuk yang baik, sedangkan produk dengan 5% tidak dapat mempertahankannya. Sifat higroskopis yang tinggi, aktif kembalinya spora bakteri dan menggunakan bahan enkapsulan sebagai media pertumbuhan, merusak karakteristik serbuk yang dimiliki oleh produk dengan konsentrasi bahan enkapsulan 5% (Gambar 8a).
43
Ukuran partikel dapat berhubungan dengan sifat bebas alir serbuk yang dihasilkan.
Hasil penelitian Wang dan Zhou (2012) mengemukakan bahwa
peningkatan DE maltodekstrin dapat meningkatkan sifat bebas alir produk yang diperoleh. Hal tersebut disebabkan karena peningkatan DE akan berdampak pada peningkatan ukuran partikel serbuk yang dihasilkan. Partikel serbuk yang semakin besar akan memiliki luas permukaan lebih besar yang mengakibatkan luas kontak antar partikel serbuk juga semakin kecil. Hal tersebut juga ditemui pada hasil penelitian Loksuwan (2006), dimana ukuran serbuk yang dihasilkan oleh maltodekstrin lebih besar dibandingkan yang dihasilkan menggunakan bahan enkapsulan pati. Hal ini menguatkan hasil yang didapatkan pada tahap percobaan optimasi kondisi operasi spray dryer dan pemilihan bahan enkapsulan, bahwa sifat bebas alir produk menggunakan bahan enkapsulan maltodekstrin cukup baik. Perubahan
ukuran
partikel
ternyata
berlangsung
selama
proses
pengeringan. Alamila-Bertran (2004) mengungkapkan bahwa adanya proses pengembangan ukuran partikel yang terjadi pada setiap partikel menggunakan tingkat panas pada suhu yang berbeda beda. Partikel produk akhir yang didapatkan memiliki diameter lebih besar dibandingkan dengan awal keluar dari lubang penyemprotan.. Tingginya DE yang dimiliki oleh maltodekstrin dianggap memiliki kekurangan bagi serbuk yang dihasilkan. Hal tersebut disebabkan karena semakin tinggi DE yang dimiliki maka semakin besar tingkat aglomerasi dan higroskopisitas bahan yang dimiliki (Forrsell 2004). Produk yang memiliki sifat higroskopis tinggi akan mudah menggumpal pada saat penyimpanan dan menurunkan waktu simpan yang dimiliki. Akan tetapi hasil penelitian Wang dan Zhou (2012) menunjukkan hasil yang berlawanan. Mereka menyatakan bahwa peningkatan DE maltodekstrin tidak menunjukkan perbedaan nyata dalam peningkatan higroskopisitas. Wang dan Zhou (2012) menjelaskan hal tersebut diduga disebabkan jumlah titik pengikat air pada maltodekstrin dengan DE yang berbeda
kemungkinan
sama,
sehingga
higroskopisitas antara keduanya. Hipotesa
menyebabkan
kesamaan
tingkat
tersebut memperkuat hasil yang
didapatkan Anandaraman dan Reineccius (1986). Mereka mengemukakan bahwa maltodekstrin merupakan bahan yang dapat meningkatkan waktu simpan minyak
44
kulit jeruk dan semakin besar DE yang dimiliki maka semakin baik kemampuan dari maltodekstrin untuk mengawetkan produk. Kemampuan maltodekstrin sebagai bahan enkapsulan dalam meningkatan kemampuan retensi dan waktu simpan juga didukung oleh penelitan-penelitian lain menggunakan bahan inti yang berbeda. Finotelli dan Rocha-Leao (2005) menunjukkan bahwa maltodekstrin dapat digunakan untuk mengenkapsulasi asam askorbat dan hanya menunjukkan 7% penurunan bahan aktif selama 60 hari penyimpanan. Selim et al. (2008) menyebutkan bahwa dibandingkan dengan gum arab, maltodekstrin berhasil mengenkapsulasi bahan pigmen dan memiliki waktu simpan yang paling lama. Produk laktosa tidak dapat digunakan sebagai produk mikroenkapsulasi bioinsektisida karena mutu serbuk yang rendah, begitu juga dengan produk yang menggunakan maltodekstrin dengan konsentrasi 5%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa produk mikroenkapsulasi menggunakan konsentrasi maltodekstrin 10% adalah yang terbaik diantara ketiganya. c.
Karakterisasi produk mikroenkapsulasi Produk maltodekstrin terpilih dari tahap sebelumnya adalah produk dengan
dengan konsentrasi 5% dan 10% untuk dikarakterisasi lebih lanjut.
Hasil
karakterisasi produk bioinsektisida dengan menggunakan bahan enkapsulan maltodekstrin dapat dilihat pada Tabel 9. Nilai VSC yang dimiliki oleh produk maltodekstrin dengan konsentrasi 5% lebih rendah dibandingkan dengan produk dengan konsentrasi 10% (Tabel 9). Hal tersebut
disebabkan
karena
konsentrasi
yang
lebih
mengenkapsulasi jumlah spora yang lebih banyak pula.
banyak
mampu
Analisis beda nyata
memperlihatkan bahwa nilai VSC kedua konsentrasi tidak berbeda nyata. Tabel 9 menunjukkan penurunan yang sangat signifikan dari jumlah spora yang terkandung dalam larutan fermentasi awal dibandingkan dengan produk mikroenkapsulasi terdapat penurunan yang signifikan. Nilai log VSC digunakan semata-mata untuk mempermudah penyajian data. Penggunaan nilai sebenanya dari jumlah spora sulit digunakan untuk menjelaskan kondisi sebenarnya dari jumlah spora di dalam sampel.
45
Tabel 9 Pengaruh konsentrasi bahan enkapsulan maltodekstrin terhadap karakter produk Karakter produk Produk
Log
VSC*
VSC*
(CFU/g) Larutan fermentasi
(CFU/g)
LC50**
Potensi
(g/ml)
(IU/mg)
Lapisan film
Fitotoksistas
7a
7.1a
0.062a
7.7
-
-
3b
b
b
160.0
+
-
0.027c
17.8
+
-
1.3 x 10
Maltodekstrin 5%
3.9 x 10
Maltodekstrin 10%
2.8 x 104
b
3.5
3.9b
0.003
Keterangan: Perhitungan didasarkan atas bobot masa bahan aktif 0.01 g/ml cairan fermentasi (-) tidak ada (+) ada * Huruf yang sama pada kolom yang sama menandakan tidak berbeda nyata α = 0.01 (TukeyKramer) ** Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menandakan berbeda nyata α = 0.05 (model Probit)
Penurunan jumlah spora akibat proses mikroenkapsulasi adalah sekitar 103sampai 104 CFU/g sedangkan menurut nilai log VSC mencapai 50% (Tabel 9). Penurunan tersebut dapat disebabkan karena jumlah bahan enkapsulan yang ditambahkan masih belum mampu untuk mengenkapsulasi seluruh jumlah spora yang ada. Hal tersebut dapat dilihat dari hubungan positif antara peningkatan konsentrasi bahan enkapsulan dan peningkatan jumlah log VSC yang dimiliki. Penyebab lainnya adalah diduga dengan adanya panas pada proses pengeringan spray dryer yang mempengaruhi mutu spora yang terenkapsulasi. Montville et al. (2005) menjelaskan bahwa ketahanan panas maksimum bagi spora bakteri spesies Bacillus hanyalah mencapai sekitar 90-100 oC. Suhu pemanasan spray dryer yang melebihi 100oC menurunkan jumlah spora produk. Hasil yang berbeda diperoleh Susanto (2011), dimana penurunan jumlah spora dalam produk yang terjadi hanya sebesar 14% (Tabel 12). Proses freeze drying dapat meminimalisasi penurunan jumlah spora yang terkandung dalam produk karena minimnya kontak bahan aktif dengan panas. Spora bakteri B. thuringiensis subsp aizawai tidak memiliki peran besar bagi toksisitas terhadap serangga (Glare & O’Callaghan, 2000), oleh karena itu menurunnya jumlah spora yang terkandung tidak akan berperan besar bagi berkurangnya toksisitas produk yang dihasilkan. Produk dengan konsentrasi maltodekstrin 5% memiliki nilai LC50 lebih rendah dibandingkan produk dengan konsentrasi 10%. Hal tersebut menandakan
46
toksisitas produk dengan konsentrasi maltodekstrin 5% lebih tinggi dari produk dengan konsentrasi 10%. Produk dengan konsentrasi 5% mengalami peningkatan toksisitas dua puluh kali lipat dibandingkan larutan fermentasi asli berdasarkan nilai LC50. Produk dengan konsentrasi 10% hanya mengalami peningkatan lebih dari dua kali lipat. Perbedaan ini diduga disebabkan karena kandungan rasio bahan enkapsulan dan bahan aktif antara kedua produk yang berbeda.
Bahan aktif dengan
konsentrasi 5% memiliki rasio antara bahan aktif dan bahan enkapsulan lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi 10%. Hal tersebut berarti kandungan bahan aktif yang dimiliki oleh produk konsentrasi 5% lebih tinggi per satuan massa tertentu dibandingkan dengan produk konsentrasi 10%. Kristal protein yang merupakan parameter utama dalam respon mortalitas serangga hanya dihasilkan 20% sampai 30% dari total protein yang diproduksi oleh bakteri (Glare & O’Callaghan 2000). Jumlah bahan enkapsulan yang lebih banyak memungkinkan bahan-bahan lain seperti spora, protein serta asam-asam amino hasil metabolisme, sel hidup, dan bahan-bahan media fermentasi ikut terenkapsulasi dalam produk.
Jumlah bahan-bahan lain selain kristal protein
apabila semakin banyak ikut terenkapsulasi akan menurunkan kemampuan toksisitas dari produk mikroenkapsulasi. Nilai potensi yang didapatkan untuk larutan hasil fermentasi adalah sebesar 7.7 IU/mg (Tabel 9).
Produk dengan konsentrasi maltodekstrin 5% mengalami
peningkatan potensi toksisitas lebih tinggi dibandingkan produk 10%. Penjelasan mengenai hal tersebut sama dengan penjelasan mengenai perbedaan antara nilai LC50 masing-masing produk. Penyebab perbedaan nilai potensi antara komersial dan produk yang dihasilkan pada percobaan ini diduga karena perbedaan galur B. thuringiensis yang digunakan dan sensitifitas serangga terhadap jenis toksin yang dihasilkan. Penyebab lainnya adalah produk komersial sudah merupakan
produk yang
dihasilkan dari proses pemekatan dan pemurnian bahan aktif sehingga toksisitas yang dihasilkan pun lebih tinggi. Perbedaan penggunaan media fermentasi juga diduga dapat menjadi penyebab perbedaan tingkat toksisitas. Produk komersial pada umumnya menggunakan media konvensional untuk meproduksi bahan aktif.
47
Setiap subspesies B. thuringiensis akan menghasilkan jenis kristal protein yang berbeda. Kristal protein yang dihasilkan juga akan memiliki kandungan δendotoksin dengan komposisi tertentu. Subspesies aizawai memiliki kompisis jenis δ-endotoksin yang lebih banyak dibandingkan dengan subspesies berliner (Tabel 10). Tabel 10 komposisi δ-endotoksin subsp. aizawai dan berliner Subspesies Komposisi δ-endotoksin aizawai
CryIAa, CryIAb, CryIAd, CryIC, CryICb, CryIEb, CryIf
berliner
CryIab, CryYAc**, Cry1Ab5
Sumber : Glare & O’Callaghan(2000),** Zhu & Adamezyk (2004) Dulmage (1981) yang pertama kali mengemukakan bahwa setiap subspesies dari B. thuringiensis akan memiliki nilai potensi yang berbeda. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh susunan unik endotoksin yang dimiliki masingmasing subspesies. Hal tersebut diperkuat oleh hasil yang diperoleh Tabashnik (1992) serta Asano dan Hori (1995) yang menyatakan bahwa sinergi antara masing-masing komposisi endotoksin yang berbeda akan menghasilkan hasil yang berbeda pula. Glare dan O’Callaghan (2000) menyimpulkan bahwa kombinasi δendotoksin yang berbeda dapat menimbulkan peningkatan tingkat toksisitas (interaksi positif) pada serangga uji dan dapat juga menimbulkan penurunan (interaksi
negatif).
Kelebihan
banyak
kombinasi
δ-endotoksin
adalah
kemungkinan target grup serangga menjadi lebih luas. Hal tersebut akan tetapi juga memiliki sisi negatif yakni kemungkinan timbulnya interaksi negatif antar komposisi δ-endotoksin terhadap serangga uji tertentu.
Subspesies berliner
mungkin tidak memiliki target grup serangga yang luas, akan tetapi dengan sedikitnya kemungkinan kombinasi interaksi δ-endotoksin dapat memperkecil kemungkinan hasil interaksi negatif pada toksisitas serangga uji. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil yang didapat pada penelitian ini memperkuat hipotesis bahwa perbedaan galur yang digunakan akan menghasilkan karakteristik bahan aktif yang berbeda pula. Penyebab lainnya adalah dugaan bahwa jumlah kristal dan jenis protein yang dihasilkan masing-masing bakteri berbeda. Jumlah kristal protein yang dihasilkan berhubungan dengan nutrisi yang terkandung dalam media fermentasi
48
yang dipergunakan oleh bakteri. Produk komersial diduga merupakan produk yang menggunakan fermentasi media konvensional. Media konvensional memiliki kandungan nutrien yang lebih lengkap untuk pembentukan kristal protein yang maksimal. Hal tersebut sejalan dengan hasil yang didapatkan oleh penelitian sebelumnya.
Nelly
(2012)
menyebutkan
bahwa
proses
produksi
yang
menggunakan media konvensional memiliki tingkat toksisitas yang lebih tinggi dibandingkan menggunakan media substitusi (limbah cair tahu), dengan kata lain proses produksi menggunakan media konvensional diduga menghasilkan kristal protein yang lebih banyak. Hal tersebut berdasarkan hasil analisis perbandingan kandungan asam amino pada masing-masing sampel (Tabel 11). Konsentrasi kristal protein yang dimiliki oleh produk komersial lebih tinggi dibandingkan dengan proses fermentasi yang digunakan dalam penelitian.
Produk komersial memiliki
kandungan total asam amino rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan hasil fermentasi menggunakan media cair tahu dan ampas tahu. Tabel 11 juga menunjukkan bahwa produk komersial memiliki kandungan asam amino hidrofobik yang lebih banyak.
Nelly (2012) membahas bahwa
kandungan asam amino hidrofobik yang tinggi menyebabkan produk komersial memiliki tingkat toksisitas yang tinggi.
Hal tersebut sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan Butko et al.. (1994) yang mengemukakan bahwa fragmen δ-endotoksin sebagian besar bersifat hidrofobik. Chandra et al. (1999) juga mengungkapkan bahwa semua jenis kristal endotoksin memiliki kesamaan motif susunan delapan asam amino yang bersifat hidrofobik. Sifat hidrobik dari fragmen δ-endotoksin menyebabkan lapisan lipida pada membran dinding sel pencernaan serangga dapat ditembus dan membentuk saluran ion. Perbedaan kemampuan masing-masing kristal endotoksin dalam merusak dan menimbulkan respon toksin pada serangga bergantung pada susunan asam amino yang terkandung dalam kristal terutama gugus hidrofobik dan reseptor yang dimiliki oleh serangga. Penelitian Chandra et al.. (1999) membuktikan bahwa modifikasi pada gugus hidrofobik suatu kristal endotoksin dapat merubah tingkat toksisitasnya. Penelitian yang dilakukan menghasilkan suatu kristal yang menghasilkan respon mortalitas yang lebih tinggi. Hal tersebut disebabkan karena
49
kristal mampu menghasilkan saluran pori yang lebih besar sehingga menyebabkan kerusakan sel lebih cepat. Bravo et al. (2007) juga mengkonfirmasi hal tersebut dan menjelaskan bahwa proses infeksi dan kerusakan pada dinding sel pencernaan serangga merupakan hasil penetrasi kristal endotoksin yang telah berubah konformasi menghasilkan saluran ion pada dinding sel. Tabel 11 Perbandingan komposisi asam amino antara sampel fermentasi dan produk komersial Bactospeine No
A. B. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
C. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Parameter
Protein Asam amino Aspartat Glutamat Serina Histidina Tyrosin Threonina Arginina Lysina Valina Total asam amino hidrofilik Nilai presentasi dari protein Asam amino hidrofobik Methionina Glisina Phenilalanin Iso-leusin Leusin Alanin Total asam amino hidrofobik Nilai presentasi dari protein
Fermentasi limbah cair tahu (% b/b) 1,36 Hidrofilik 0,16 0,19 0,07 0,02 0,05 0,05 0,05 0,14 0,06 0,63 46,32
Bactospeine WP (% b/b) 14,29
0,02 0,09 0,07 0,04 0,06 0,09 0,37 27,21
0,19 0,54 0,81 0,67 1,05 0,68 3,94 27,57
1,47 1,80 0,60 0,29 0,53 0,58 0,70 0,75 0,68 7,4 51,78
Sumber : Nelly (2012) Pemberian bioinsektisida B. thuringiensis kepada serangga ternyata juga menunjukkan kemampuan untuk menghambat pertumbuhan dari serangga itu sendiri. Hal tersebut disebabkan karena rusaknya sistem pencernaan serangga mengakibatkan berkurangnya nutrisi yang dapat diserap oleh serangga untuk pertumbuhan. Hal ini sejalan dengan hasil yang didapatkan oleh Tamez-Guerra et al. (1999) dengan serangga yang berbeda. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya kemampuan bahan aktif untuk menghambat laju kerusakan yang diakibatkan pada tanaman. Serangga yang telah memakan bahan aktif diduga mengalami rangsangan untuk memperlambat kecepatan konsumsinya, hal tersebut diduga disebabkan karena adanya respon syaraf serangga akan adanya racun
50
perut yang mulai disebabkan oleh toksin. Ketahanan serangga yang telah memiliki tingkat kedewasaan larva lebih tinggi juga lebih baik terhadap infeksi toksin B. thuringiensis dibandingkan serangga dengan tingkat kedewasaan lebih rendah. Proses formulasi produk mikroenkapsulasi menggunakaan spray dryer memiliki peningkatan tingkat toksisitas yang lebih tinggi dibandingkan produk yang melalui proses enkapusulasi freeze dry (Tabel 12). Hal tersebut menandakan bahwa proses spray drying memiliki kemampuan lebih baik dalam membentuk partikel enkapsulan yang melindungi inti bahan aktif. Keunggulan yang dimiliki proses tersebut terletak pada proses pencampuran atau emulsifikasi antara bahan aktif dan bahan enkapsulan serta proses atomisasi yang menghasilkan partikel yang lebih baik dibandingkan freeze drying. Pembentukan partikel yang lebih baik mengakibatkan konsentrat bahan aktif yang terdapat dalam produk lebih seimbang sehingga meningkatkan toksisitas produk yang dihasilkan. Tabel 12 Perbandingan kenaikan nilai potensi dan penurunan nilai log VSC antara dua jenis proses mikroenkapsulasi dengan konsentrasi bahan enkapsulan pada spray drying 5% maltodekstrin dan freeze drying 6% laktosa Jenis proses
Peningkatan nilai
Penurunan
potensi
nilai log VSC
(kali lipat)
(%)
Spray drying
19.8
51
Freeze drying*
0.13
14
* Susanto (2011) Gambar 9 memperlihatkan penampakan visual daun brokoli yang digunakan dalam percobaan. Pada Gambar 9c dapat dilihat bahwa brokoli memiliki lapisan lemak atau lemak cukup tebal pada permukaan daun.. Lapisan lemak ini dapat menyulitkan bahan aktif untuk melekat pada permukaan daun dengan baik. Penggunaan bahan tambahan perekat umum digunakan untuk penyemprotan produk bionsektisida pada permukaan daun yang memiliki lapisan lemak. Salah satu produk perekat yang ada di pasaran adalah Agristick yang mengandung bahan aktif poliglikol eter sebagai surfaktan. kemampuan toksin kepada serangga uji.
Agristick tidak memiliki
Hal tersebut dibuktikan dengan
penggunaan Agristick sebagai kontrol positif pada setiap pengujian uji hayati
51
(Gambar 9b). Gambar daun yang diambil adalah bagian bawah penampang daun. Hal tersebut disebabkan karena larva C. pavonana memiliki kecenderungan untuk mengkonsumsi lapisan epidermis daun dari permukaan bawah.
Lapisan film
a)
Lapisan lemak
b)
c)
Gambar 9 Perbandingan permukaan daun yang diberi perlakuan berbeda. a) lapisan film pada daun dengan perlakuan maltodekstrin 10% + Agristick 1% b) daun tanpa lapisan film dengan perlakuan Agristick 1% c) daun brokoli tanpa perlakuan Aplikasi bahan-bahan kimia seperti insektisida dapat mengakibatkan pengaruh fitotoksik pada tanaman yang dibudidayakan (Dadang & Prijono 2008). Hal tersebut disebabkan komponen tertentu di dalam bahan insektisida dapat merusak permukaan daun atau bagian tertentu dari tanaman. Efek tersebut dipicu oleh aktifnya bahan kimia setelah terpapar oleh matahari. Efek fitotoksik pada tanaman awalnya berupa bintik-bintik kuning pada permukaan daun dan kemudian menjadi seperti bekas terbakar (Gambar 10b). Bahan yang menunjukan efek fitotoksik pada tanaman tidak dapat dipergunakan sebagai komponen pengendalian serangga pada tanaman budi daya. Penelitian yang dilakukan oleh Coyle et al. (2000) menunjukkan bahwa bioinsektisida komersial B. thuringiensis bisa saja memiliki sifat fitotoksik kepada tanaman. Penelitian tersebut
52
menunjukkan salah satu produk bioinsektisida B. thuringiensis
komersial
menunjukkan efek fitotoksik pada tanaman kapas dengan penggunaan konsentrasi di atas 50%.
a
b
Gambar 10 Efek fitotoksik bioinsektisida pada tanaman. a) efek negatif fitotoksik produk mikroenkapsulasi pada tanaman brokoli b) contoh efek fitotoksik positif pada tanaman lain yang disebabkan bahan kimia tertentu Penggunaan produk mikroenkapsulasi maltodekstrin, pada saat 8 jam pertama di bawah sinar matahari setelah awal aplikasi memunculkan bercakbercak kuning pada permukaan daun. Hal tersebut yang menyebabkan perlunya pengujian fitotoksik untuk melihat apakah produk memiliki efek tersebut pada tanaman. Pengamatan setelah 3 hari pasca penyemprotan pada daun brokoli dan tanaman dibiarkan di bawah sinar matahari menunjukan bahwa produk bioinsektisida tidak memiliki efek fitotoksik terhadap tanaman (Tabel 9 dan Gambar 10). Bercak-bercak kuning ternyata hanyalah noda pada permukaan daun akibat penyemprotan bahan aktif yang lama-kelamaan akan menghilang. Kontrol postif yang menggunakan Agristick 0.1% juga menunjukkan hasil negatif untuk pengujian fitotoksik. Hal tersebut berarti bahwa bahan aktif non-bioinsektisida (Agristick 0.1%) tidak memiliki efek fitotoksik pada tanaman. Hasil pengamatan menggunakan SEM menunjukan hasil enkapsulasi yang baik (Gambar 11a).
Dinding matriks enkapsulan terlihat jelas, tidak terlihat
adanya komponen bahan aktif yang berada di luar partikel serbuk. Permukaan
1 µm
53
partikel terlihat tidak rata dan memiliki pori. Melihat ukuran partikel serbuk yang mencapai ukuran 40 µm, diduga kuat spora dan bakteri yang berukuran sekitar 1 µm (Carrera et al. 2007) terenkapsulasi dalam jumlah banyak atau terbentuknya inti terenkapsulasi lebih dari satu (multiple core) (Lakis 2007).
b) a) Gambar 11 Perbandingan bahan aktif sebelum dienkapsulasi (kiri) dan sesudah dienkapsulasi (kanan) Permukaan partikel yang tidak rata disebabkan karena hilangnya kandungan air pada partikel pada saat proses pengeringan. Proses penyusutan terjadi karena penguapan air di dalam partikel yang terbentuk pada saat proses atomisasi sehingga mengakibatkan lapisan dinding matrix menjadi menyusut (Oakley 1997, di dalam Alamilla-Beltran et al.. 2004). Permukaan partikel yang tidak rata dapat menyebabkan penurunan sifat bebas alir dari partikel serbuk karena adanya gesekan antar partikel. Permukaan partikel yang baik adalah tidak memiliki benjolan dan rata. Pembentukan dinding matriks amorf bahan enkapsulan dipengaruhi oleh suhu yang digunakan. Hal tersebut dilaporkan oleh Alamila-Bertran (2004) pada percobaan pengamatan perubahan morfologi serbuk maltodekstrin selama proses pengeringan dengan tingkat suhu yang berbeda-beda. Pengeringan dengan suhu rendah
(110 oC) menunjukkan bahwa serbuk cenderung untuk menunjukkan
permukaan yang mengkerut dan pecah. Hal ini disebabkan karena proses difusi air pada saat pengeringan berjalan lebih lambat dan menyebabkan serpihan dinding yang terbentuk tidak segera mengeras dan rapuh. Pengeringan pada suhu tinggi (200 oC) menghasilkan partikel dengan dinding lebih tebal dan berpori. Permukaan partikel yang dihasilkan oleh bahan enkapsulan maltodekstrin terlihat tidak terlalu rata tetapi tidak terlalu berlekuk. Hal tersebut diduga
54
disebabkan karena bahan maltodekstrin memiliki kandungan karbohidrat dengan berat molekul rendah yang dapat berfungsi sebagai pelindung dari proses penyusutan.
Maltodekstrin yang mengandung molekul dengan berat molekul
rendah memiliki elastisitas pembentukan polimer dinding matriks amorf yang lebih baik dibandingkan dengan maltodekstrin dengan berat molekul besar (Forssell 2004). Loksuwan (2006) juga mengkonfirmasi tentang hasil yang sama, dimana semakin besar nilai DE bahan enkapsulan yang digunakan maka benjolan atau lekukan pada permukaan partikel yang dihasilkan oleh spray drying dapat dikurangi. Penampakan
kristal
protein
pada
daun
pasca
aplikasi
produk
mikroenkapsulasi (Gambar 12a) dapat terlihat menggunakan mikroskop cahaya. Dengan kata lain melihat dari hasil penampakan partikel serbuk enkapsulasi, dimana tidak terlihat kristal protein atau spora berada di luar partikel maka dapat disimpulkan proses mikroenkapsualasi berhasil membungkus bahan aktif dengan baik. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya kristal protein yang ditemukan pada saat serbuk telah dilarutkan dan diapliaksikan pada permukaan daun tanaman. Produk juga terlihat dapat membantu menyingkirkan lapisan lemak dari permukaan daun dan menyebabkan bahan aktif dapat menempel dan terfiksasi dengan baik pada permukaan daun.
Kristal endotoksin
Stomata daun
a
Lapisan lemak
b
Gambar 12 Penampakan bahan aktif pada permukaan daun. Setelah daun diberi produk mikroenkapsulasi (a) dan sebelum diberi perlakuan (b). Gambar diambil dengan mikroskop cahaya pada perbesaran 400x. 3. Pengaruh lingkungan terhadap toksisitas produk bioinsektisida Penggunaan karbohidrat sebagai bahan enkapsulan telah mendapatkan banyak perhatian sejak ditemukan sekitar tahun 1960. Dunkle dan Shasha (1988) telah menyebutkan bahwa penggunaan pati sebagai bahan enkapsulan berpeluang
55
digunakan untuk formulasi sebagai bahan aktif dan meningkatkan efikasi dari produk. Formulasi yang dihasilkan pada saat itu masih berbentuk granula dan terpisah antara produk bioinsektisida dan bahan enkapsulan. Penggunan pada tahun-tahun awal formulasi tersebut memiliki beberapa kendala yakni ketidaklarutan produk yang dihasilkan menyebabkan pencampuran dengan air pada saat peyemprotan menjadi kendala yang harus dipecahkan. Kendala yang dihadapi pada awal-awal digunakannya bahan enkapsulan karbohidrat adalah kemampuan larut produk yang dihasilkan, sehingga menyebabkan pencampuran dengan air pada saat penyemprotan mengakibatkan penyumbatan pada alat penyemprot. Alasan ketidakpraktisan juga menjadi penyebab dikembangkannya formulasi produk yang lebih baik karena pengguna harus mencampur bahan enkapsulan dan bahan bioinsektisida secara manual. Hal tersebutlah yang mendorong berkembangnya formulasi mikroenkapsulasi yang dapat mengatasi permasalah-permasalahan tersebut. a. Uji hayati dengan pengaruh simulasi hujan Hasil simulasi uji hayati persistensi produk bioinsektisida terhadap pencucian hujan dapat dilihat pada Tabel 13.
Pengujian dilakukan dengan
konsentrasi maksimal untuk membunuh 50 sampai 100% serangga uji. Pengujian ini bertujuan untuk melihat perbandingan antara ketahanan terhadap pengaruh lingkungan yang dimiliki oleh produk mikroenkapsulasi yang mengandung bahan maltodekstrin dengan produk hasil fermentasi langsung. Produk maltodekstrin yang digunakan adalah produk dengan konsentrasi 10%. Hal tersebut karena lapisan film yang diduga menjadi pertahanan terhadap pengaruh lingkungan sama-sama dihasilkan kedua konsentrasi. Cairan fermentasi menggunakan jumlah sampel dengan tingkat toksisitas yang lebih rendah dibandingkan sampel-sampel lainnya disebabkan keterbatasan jumlah broth fermentasi yang dihasilkan untuk pengujian dan juga rendahnya tingkat toksisitas yang dimiliki oleh jenis bakteri ini terhadap serangga uji. Produk maltodekstrin dan produk komersial menunjukan performa paling baik, dimana tingkat toksisitas maksimum terjadi mencapai 95% sampai 100%. Tingkat persistensi kedua produk juga tidak berbeda nyata, kedua produk memiliki kemampuan persistensi terhadap pencucian hujan sama baiknya.
56
Maltodekstrin memiliki lapisan film yang dapat melindungi bahan aktif selama pencucian hujan.
Lapisan film yang dapat melindungi
bahan aktif dan
meningkatkan persistensi terhadap pencucian hujan menguatkan hasil yang diperoleh oleh McGuire et al. 1994 dan Behle et al.. 1996. Keduanya menghasilkan formulasi menggunakan turunan pati dan protein yang dapat menghasilkan lapisan film pada permukaan daun pada saat aplikasi, sehingga dapat meningkatkan persistensi bahan aktif terhadap pencucian hujan. Tabel 13 Kinerja toksisitas produk mikorenkapsulasi terhadap curah hujan. Kinerja
Tanpa perlakuan Simulasi hujan penurunan aktivitas (%)
Cairan fermentasi 50 5b 90
Tingkat mortalitas sampel (%) Produk Produk komersial mikroenkapsulasi 100 100 95a 100a 5 0
*Huruf yang sama menandakan tidak berbeda nyata, huruf yang berbeda menandakan berbeda nyata α = 0.01 (Tukey-Kramer)
Larutan asli fermentasi mengalami penurunan mortalitas sebesar 90% setelah proses pencucian hujan. Larutan fermentasi yang hanya ditambahkan bahan perekat Agristick ternyata tidak dapat mempertahankan persistensi bahan aktif pada permukaan daun. Bahan aktif yang berada pada permukaan daun akan luntur tercuci oleh hujan. Keberadaan lapisan
film yang dihasilkan produk
mikroenkapsulasi maltodekstrin (Gambar 9 dan Tabel 9) diduga mendukung hasil yang didapatkan untuk peningkatan persistensi bahan aktif terhadap pencucian hujan. Bahan aktif dapat terlindungi dari pencucian hujan karena adanya lapisan film pada permukaan daun yang mengikat dan melindungi bahan aktif. Pada Gambar 12b dapat dilihat bahwa lapisan lemak masih terdapat diatas permukaan daun setelah penambahan larutan fermentasi menggunakan Agristick. Produk Agristick tidak mampu menyingkirkan secara sempurna lapisan lemak yang ada pada permukaan daun. Produk Agristick juga tidak dapat mempertahankan ikatan antara lapisan lemak dan bahan aktif sehingga bahan aktif akan tercuci oleh curahan air hujan. Hasil yang didapatkan menandakan penambahan produk Agristick tidak dapat meningkatkan persistensi bahan aktif
57
pada permukaan daun, akan tetapi dengan penambahan produk mikroenkapsulasi maltodekstrin persistensi bahan aktif dapat dipertahankan. Hasil persistensi terhadap pencucian hujan yang didapatkan pada percobaan ini konsisten dengan hasil yang didapatkan pada percobaan sebelumnya. Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahan enkapsulan berbahan dasar karbohidrat dapat meningkatkan tingkat toksisitas produk dan meningkatkan persistensi produk terhadap faktor-faktor lingkungan yakni hujan dan sinar matahari (McGuire dan Shasha 1990; McGuire et al.. 1990; McGuire et al.. 1994). Formulasi enkapsulan berbahan dasar karbohidrat ternyata tidak hanya menunjukkan hasil positif pada formulasi produk B. thuringiensis tapi juga untuk entomopoxvirus (Mcguire et al. 1991 ; McGuire et al. 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Ali et al. (1994) juga menunjukan bahwa penggunaan karbohidrat yakni tongkol jagung, juga dapat meningkatkan potensi toksin yang dimiliki oleh B. thuringiensis. b. Uji hayati dengan pengaruh paparan sinar matahari Hasil simulasi uji hayati ketahanan produk bioinsektisida terhadap sinar matahari dapat dilihat pada Tabel 14.
Produk komersial tidak menunjukan
perubahan toksisitas yang signifikan dibandingkan dengan sampel yang lain setelah melalui perlakuan paparan sinar matahari.
Produk komersial tetap
menunjukkan tingkat toksisitas tinggi dan juga waktu yang dibutuhkan untuk mencapai daya toksin maksimal yang konstan yakni 48 jam. Produk enkapsulasi maltodekstrin dan cairan fermentasi asli mengalami penurunan toksistas signifikan setelah terpapar cahaya matahari. Produk maltodekstrin mengalami penurunan aktivitas sebesar 63% sedangkan cairan fermentasi mengalami penurunan sebesar 90%. Percobaan memberikan hasil bahwa bahan enkapsulan maltodekstrin tidak dapat melindungi bahan aktif dari kerusakan yang disebabkan oleh sinar matahari. Cahaya matahari merupakan penyebab utama hilangnya aktivitas endotoksin dan spora B. thuringiensis. Spektrum cahaya dengan panjang gelombang 240 sampai 400 nm dapat mengakibatkan kerusakan urutan DNA pada spora bakteri dan mengaktifkan radikal bebas yang dapat merusak spora bakteri dan kristal endotoksin (Khetan, 2000). Penyebab perbedaan ketahanan toksisitas produk
58
terhadap paparan sinar matahari pada percobaan ini diduga disebabkan oleh beberapa faktor: perbedaan dalam pembentukan konsentrat awal toksin dan komposisi bahan enkapsulan. Tabel 14 Kinerja toksisitas produk mikorenkapsulasi terhadap sinar matahari. Kinerja
Tanpa perlakuan Simulasi sinar matahari penurunan aktivitas (%)
Cairan fermentasi 50 3a 94
Tingkat mortalitas sampel (%) Produk Produk komersial mikroenkapsulasi 100 100 37b 100c 63 0
*Huruf yang sama menandakan tidak berbeda nyata, huruf yang berbeda menandakan berbeda nyata α = 0.01 (Tukey-Kramer)
Pembentukan konsentrat bahan aktif merupakan standar operasi untuk proses produksi mikroenkapsulasi bioinsektisida (Dulmage 1990).
Pada
percobaan ini digunakan larutan hasil fermentasi langsung tanpa proses pembentukan konsentrat. Penggunaan suspensi langsung dari proses fermentasi langsung diduga berpengaruh terhadap ketahanan bahan aktif toksin terhadap paparan matahari. Sampel yang melalui percobaan ini tidak melalui proses pemisahan sehingga memungkinkan bahan-bahan dari media fermentasi yang dapat merusak aktivitas kristal endotoksin ikut terenkapsulasi bersama produk, salah satu diantaranya adalah kromofor. Kromofor adalah bagian dari molekul yang menimbulkan warna. Senyawa flavonoid kedelai diduga sebagai sumber kromofor. Hal tersebut diperkuat oleh Sytnik et al. (1994) yang menyatakan flavonoid dapat berfungsi sebagai senyawa kromofor. Pusztai et al. (1991) yang menyebutkan bahwa kerusakan kristal endotoksin menjadi lebih cepat dengan keberadaan bahan-bahan kromofor di dalam cairan fermentasi. Hasil yang didapatkan pada percobaan tahap ini menguatkan hasil yang didapat pada penelitian tersebut. Produk komersial diduga menggunakan komposisi bahan enkapsulan yang lebih baik dalam melindungi inti bahan aktif. Komposisi bahan tersebut cukup sulit untuk diungkapkan karena termasuk rahasia yang dimiliki produsen. Salah satu contoh usaha peningkatan aktivitas produk melalui formulasi produk mikroenkapsulasi adalah penelitian yang dilakukan oleh Tamez-Guerra et al. (2000). Penelitian tersebut membuktikan bahwa pemberian lapisan enkapsulan pati yang mendapat perlakuan pregelatinisasi pada produk yang telah
59
terenkapsulasi terbukti dapat meningkatkan aktivitas produk setelah terpapar cahaya matahari. Perlakuan pregelatinisasi pati memberikan sifat mudah larut kepada bahan, tetapi sekaligus tetap mempertahankan karakter retrogradasi yang dimiliki pati yang dapat bermanfaat untuk melindungi bahan aktif pada saat aplikasi. Hasil penelitian lain oleh Behle et al. (1996) melaporkan bahwa penggunaan casein dari susu dapat meningkatkan ketahanan produk terhadap curah hujan dan sinar matahari. Penggunaan susu telah dikemukakan oleh Vail et al. (1991) dan Kolodny-Hirsch et al. (1993) agar dapat meningkatkan ketahanan bahan aktif bioinsektisida B. thuringiensis terhadap sinar matahari. Akan tetapi penelitian Behle et al. (1996) lebih mendefinisikan bahwa bagian casein dari susu adalah bagian yang menyumbangkan kemampuan untuk kemampuan pertahanan terhadap kerusakan sinar matahari. Hal tersebut disebabkan karena casein memberikan lapisan film pada saat produk diaplikasikan pada daun. Dalam penelitiannya Behle et al. (1996) juga menekankan bahwa pertahanan yang dihasilkan
oleh
casein
menunjukkan
ketidakkonsistenan.
Faktor
yang
mempengaruhi adalah jumlah persentasi casein yang ditambahkan. Jumlah yang ideal adalah diatas 1%. Hal ini tentu akan mengakibatkan bertambahnya biaya produk yang harus dibebankan kepada konsumen. Penelitian lanjutan oleh Behle et al.. (1997b) dengan memperbandingkan antara casein dan gluten ternyata menunjukkan perbedaan signifikan dalam peningkatan kemampuan persistensi bahan aktif terhadap sinar matahari. Gluten memberikan kemampuan lebih baik dalam membentuk pertahanan terhadap kerusakan sinar matahari dibandingkan casein, tetapi keduanya menunjukkan performa cukup bagus dalam meningkatkan persistensi terhadap pencucian hujan. penggunaan sukrosa sebagai bahan enkapsulan atau bahan tambahan enkapsulan ternyata memiliki efek negatif terhadap persistensi pencucian hujan. Bahan tersebut sangat mudah larut oleh air sehingga tidak memiliki kemampuan persistensi yang baik. Penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa tidak ada interaksi nyata antara perlakuan lingkungan curah hujan dan sinar matahari terhadap toksisitas produk bioinsektisida B. thuringiensis.
60
Penelitian lain menunjukkan bahwa modifikasi pada pati menunjukkan kemampuan yang lebih baik dibandingkan pati biasa untuk bahan enkapsulan produk bioinsektisida B. thuringiensis. Tamez-Guerra et al. (1999) menyatakan bahwa bahan niksmalatasi pati jagung dapat meningkatkan toksisitas produk dan persistensi terhadap faktor lingkungan dan waktu simpan yang meningkat hingga 2 tahun. Tamez-Guerra et al. (2000) dan Mcguire et al. (2001) mengembangkan lebih lanjut bahan enkapsulan berbahan dasar karbohidrat untuk mengatasi kerusakan bahan aktif yang diakibatkan sinar matahari. Mereka menemukan bahwa lignin dan juga bentuk garam lignin dapat memberikan peningkatan ketahanan terhadap sinar matahari yang cukup signifikan. Schisler et al. (2004) juga menemukan penggunaan trisakarida melezitos dapat meningkatkan aktivitas toksin dengan proses formulasi yang menggunakan proses pembekuan Kekurangan produk bioinsektisida yang dihasilkan pada penelitian ini mungkin dapat diatasi dengan beberapa cara, diantaranya adalah dengan mengurangi kandungan kromofor dalam media fermentasi atau mencari sumber media yang memiliki kandungan kromofor rendah, menggunakan bahan-bahan tambahan ke dalam formulasi yang dapat menyerap spektrum yang merusak dari cahaya matahari seperti yang dikemukakan oleh Burges (1998). Penggunaan bahan filter UV juga telah diteliti oleh Dunkle dan Shasha (1989) dan menunjukkan bahwa bahan Congo Red memiliki kemampuan melindungi terhadap sinar matahari lebih baik dibandingkan asam folat dan asam amino benzoat. Tidak semua penambahan bahan asing selain karbohdirat ke dalam formulasi akan meningkatkan persistensi dan toksisitas dari produk. Penambahan bahan lain ke dalam formulasi berbahan dasar pati untuk meningkatkan persistensi produk terhadap kerusakan sinar matahari telah diteliti oleh Gillespie et al. (1994). Hasilnya adalah penambahan bahan Coax dapat meningkatkan palatabilitas produk yang dihasilkan, sedangkan penambahan bahan CaCl2 ternyata menurunkan palatabilitas produk terhadap serangga. Berdasarkan hasil yang didapat dari percobaan ini dan karakteristik produk bioinsektisida yang dihasilkan, maka dapat diberikan saran bagi penggunaan produk untuk pengguna. Penggunaan yang terbaik adalah menjelang dini hari, 5
61
sampai 6 jam menjelang matahari terbit atau pada saat terbenam matahari. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari paparan sinar matahari yang berlebihan dan mengurangi efektifitas produk bioinsektisida terhadap pengendalian hama. Tujuan lainnya adalah untuk menyesuaikan waktu makan dari serangga hama, yaitu pada saat tidak ada cahaya matahari, sehingga hasil yang didapatkan dari penggunaan bionsektisida lebih maksimal.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dihasilkan dari yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1.
Suhu pemanasan yang terlalu rendah pada mesin spray dryer dapat mengakibatkan
pengeringan
sumbatan pada dinding alat.
tidak
sempurna
sehingga
menimbulkan
Suhu pemanasan yang terlalu tinggi dapat
merusak mutu bahan aktif produk dan menurunkan mutu serbuk, sedangkan kecepatan pompa penyemprot menyesuikan dengan suhu pemanasan inlet untuk mendapatkan
mutu serbuk yang baik. Kondisi kerja spray dryer
terbaik dilakukan pada kondisi konsentrasi maksimum 10% dengan kekentalan 26.7 cP , suhu 120 oC dan untuk inlet, 70 oC dengan kecepatan laju alir 50 ml/min. 2.
Bahan laktosa tidak dapat digunakan untuk bahan enkapsulasi yang dibuat dengan metode spray drying, terutama untuk daerah dengan tingkat kelembaban tinggi. Bahan maltodekstrin dapat digunakan dalam proses mikroenkapsulasi menggunakan spray dryer. Konsentrasi bahan enkapsulan maltodekstrin yang menghasilkan mutu produk yang terbaik adalah 10%
3.
Proses spray drying dapat menurunkan jumlah spora yang terkandung dalam produk sebanyak 103 sampai 104 kali karena proses pemanasan.
4.
Kadar air produk yang dihasilkan berpengaruh terhadap jumlah rendemen produk yang didapatkan.
Maksimum rendemen yang didapatkan pada
percobaan adalah 25% dan minimum adalah 5%. Produk mikroenkapsulasi dengan konsentrasi bahan enkapsulan 5% menghasilkan nilai LC50 tertinggi yakni 0.003 g/ml dan potensi toksisitas tertinggi yakni 160 IU/mg. Penambahan
rasio
konsentrasi
bahan
enkapsulan
dalam
produk
mikroenkapsulasi bioinsektisida dapat meningkatkan jumlah spora yang terkandung, akan tetapi juga menurunkan mutu toksisitas yang dimiliki. Produk dapat memberikan lapisan film pada permukaan daun dan tidak menunjukkan efek fitotoksisitas terhadap tanaman. 5.
Proses spray drying dapat meningkatkan tingkat toksisitas yang dimiliki oleh suatu larutan fermentasi, karena rasio bahan enkapsulan dan bahan aktif yang dihasilkan lebih merata dan lebih kecil.
Produk mikroenkapsulasi
63
bioinsektisida dengan bahan enkapsulan maltodekstrin dapat meningkatkan persistensi bahan aktif pada permukaan daun dari pencucian hujan dibandingkan hanya larutan fermentasi, akan tetapi keduanya sama-sama tidak mampu melindungi bahan aktif dari kerusakan yang diakibatkan oleh sinar matahari.
SARAN Saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah: 1.
Perlunya dilakukan kajian pengaruh waktu simpan untuk produk yang dihasilkan terhadap karakteristik produk bioinsektisida. Hal tersebut disebabkan karena produk bioinsektisida yang diproduksi akan mengalami proses penyimpanan di gudang dan di toko. Kemampuan pengawetan produk selama proses penyimpanan penting untuk mengkaji seberapa lama waktu simpan produk yang baik untuk dapat sampai ke tangan konsumen.
2.
Perlunya dilakukan percobaan lapang untuk aplikasi langsung produk bioinsektisida terhadap pengaruh faktor-faktor lingkungan. Pengujian terhadap serangga lapang akan mencerminkan kemampuan toksik produk terhadap serangga target di lapangan. Hal tersebut akan jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan saat ini, karena serangga lab memiliki ketahanan tubuh lebih rendah dibandingkan serangga lapangan.
3.
Perlunya
dilakukan
pengujian
potensi
toksisitas
standarisasi
yang
menggunakan bakteri B. thuringiensis subsp. aizawai. Hal tersebut untuk dapat mengukur dengan lebih akurat jumlah bahan aktif yang terkandung di dalam produk. 4.
Perlunya dilakukan proses pemisahan bahan aktif dari media fermentasi. Hal tersebut untuk mengurangi bahan-bahan kontaminan yang dapat merusak bahan aktif produk selama penyimpanan atau pada saat aplikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adhikari B, Howes T, Bhandari BR. 2011. Use of solute fixed coordinate system and method of lines for prediction of drying kinetics and surface stickiness of single droplet during convective drying. Chem Eng Process. 46: 205-419 Alamila-Bertran L, Chanona-Perez JJ, Jimenex-Aparicio AR, Gutierrez-Lopez GF. 2005. Description of morphological changes of particles along spray drying. J Food Eng (67) 179-184 Ali A, Xue RD, Lobinske R, Carandang N. 1994. Evaluation of granular corncob formulations of Bacillus thuringiensis serovar israeliensis against musquito larvae using a semi-field bioassay method. J Am Musq Control Assoc. 10: 492-495 Anandaraman S dan Reineccius GA. 1986. Stability of encapsulated orange peel oil. Food Technol. 40:88-93 Aryati D. 2011. Kajian peningkatan skala fermentor produksi bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis aizawai menggunakan substrat limbah cair tahu dan air kelapa [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Asano S, Hori H. 1995. Enhancing effects of supernatants from various cultures of Bacillus thuringiensis on larvacidal activity of δ-endotoxin against the common cutworm, Spodoptera litura. Appl Entomol Zool. 30:369-374 Avaltroni F, Bouquerrand PE, Normand V. 2004. Maltodextrin molecular weight distribution influence on the glass transition temperature and viscosity in aqueous solutions. Carbohydrate Polymere 58 : 323-334 Bahagiawati. 2002. Penggunaan Bacillus thuringiensis sebagai Bioinsektisida. Bul Agrobio. 5: 21-28. Barreto HR. 2008. Physical Stability of a Lactose-Trehalose Matrix for NanoEncapsulation of β-Carotene by Spray-Drying [thesis]. Lisboa: Universidade Tecnica de Lisboa. Behle RW, McGuire MR, Shasha BS. 1996. Extending the Residual Toxicity of Bacillus thuringiensis With Casein-Based Formulations. J Econ Entomo. 89: 1399-1405 Behle RW, McGuire MR, Gillespie RL, Shasha BS. 1997a. Effects of alkaline gluten on the insecticidal activity of Bacillus thuringiensis. J Econ Entomol. 90: 354-360 Behle RW, McGuire MR, Shasha BS. 1997b. Effects of sunlight and simulated rain on residual activity of Bacillus thuringiensis formulations. J Econ Entomol. 90: 1560-1566
65
Bhattacharya PR. 1993. Bacillus thuringiensis crystal protein (δ-endotoxin) gene expression is independent of early sporulation specific functions. Indi J Biosci 18 : 221-228 Branen AL, Davidson PM, Salminen S, Thorngate III JH, editor. 2002. Food Additives. Ed ke-2. Marcel Dekker Inc. Brar SK, Verma M, Tyagi RD, Valero JR, Surampalli RY. 2007. Bacillus thuringiensis fermentation of hydrolyzed sludge – rheology and formulation studies. Chemosphere 67:674-683 Bravo A, Gill SS, Soberon M. 2007. Mode of action of Bacillus thuringiensis Cry and Cyt toxins and their potential for insect control. Toxicon. 15: 423-435 Burges H. editor. 1998. Formulation of Microbial Biopesticides : Beneficial Microorganisms, Nematodes and Seed Treatments. Kluwer Academic Publisher. Burrington KJ. editor. 2011. Reference manual for US whey and lactose products.US Dairy Export Council [http://www.usdec.org]. Butko P, Cournoyer M, Pusztai-Carey M, Surewisz WK. 1994. Membrane interactions and surface hidrophobicity of Bacillus thuringiensis δendotoksin CryIC. FEBS letters 340 : 89-92 Chan HK dan Chew NYK. 2003. Novel alternative methods for the delivery of drugs for the treatment of asthma. Adv Drug Delv Rev. 55: 703-805 Chandra A, Ghosh P, Mandaokar AD, Bera AK, Sharma RP, Das S, Kumar AP. 1999. Amino acid substitution in K-helix 7 of Cry1Ac N-endotoxin of Bacillus thuringiensis leads to enhanced toxicity to Helicoverpa armigera Hubner.FEBS Letter 458: 175-179 Chapman. 1998. The Insects: Structure and Function 4th edition. Cambridge: Cambridge University. Chidavaenzi OC, Buckton G, Koosha F. 2001. The effect of Co-spray drying with polyethylene glycol 4000 on the crystallinity and physical form of lactose. Int J Pharmaceutics. 216: 43-49 Coyle DR, McMillin JD, Steven CK, Hart ER. 2000. Laboratory and field evaluations of two Bacillus thuringiensis formulations, novodor and raven, for control of cottonwood leaf beetle (Coleoptera: Chrysomelidae). J Econ Entomol. 93: 713-720 Carrera J, Zandomeni RO, Fitzqibbon J, Saqripanti JL. 2007. Difference between the spore sizes of Bacillus anthracis and other Bacillus species. J Appl Microbiol 102: 303-312
66
Das D, Husni HA, Langrish TAG. 2010. The effects of operating conditions on lactose crystallization in a pilot-scale spray dryer. J Food Eng. 100: 551-556 Dunkle RL dan Shasha BS. 1988. Starch-encapsulated Bacillus thuringiensis: a potential new method for increasing enviromental stability of enthomophatogens. Enviro Entomol. 17: 120-126 Dunkle RL dan Shasha BS. 1989. Response of starch-encapsulated Bacillus thuringiensis containing ultraviolet screens ro sunlight. Enviro Entomol. 18: 1035-1041 Dulmage HT, Rhodes RA. 1971. Production of pathogens in artificial media. Di dalam : Burges HD, editor. Microbial control of pest and plant deseases 1970-1980. New York: Acad Press Dulmage. 1981. Insecticidal activity of isolates of Bacillus thuringiensis strains and their potential for pest control. Di dalam : Burges HD, editor. Microbial control of pest and plant deseases 1970-1980. New York: Academic Press Dulmage T, Yousten AA., Singer S, Lacey LA, editor. 1990. Guidelines for Production of Bacillus thuringiensis H-14 and Bacillus sphaericus.USA: UNDP/WHO. Eslamian M, Ashgriz N. 2011. Spray drying, spray pyrolysis and spray freeze drying. Di dalam : Ashgriz N, editor. Handbook of Atomization and Sprays. Toronto: Springer. hlm 849-860 Farimin AOA, Nordin E. 2009. Physical properties of powdered roselle-pineapple juice-effects of maltodextrin. National Conference on Postgraduate Research (NCON PGR). Pahang 1 Oktober 2009. Malaysia: Universiti Malaysia Pahang. Forssell P. 2004. Starch-based microencapsulation. Di dalam: Eliasson AC, editor. Starch in Food. CRC Press. Finotelli PB dan Rocha-Leao. 2005. Microencapsulation of ascorbic acid in maltodextrin and capsul using spray-drying. 2nd Mercosur Congress on Chemical Engineering. Rio de Janaero 14-18 Agustus 2005. Brazil: Enpromer. Gharsallaoui A, Roudaut G, Chambin O, Voilley A, Saurel R. 2007. Applications of spray-drying in microencapsulation of food ingredients: An overview. Food Res Int. 40 : 1107-1121 Gillespie RL, McGuire MR, Shasha BS. 1994. Palatability of flour granular formulations to european corn borer larvae (Lepidoptera : Pyralidae). J Econ Entomol. 87: 452-457 Glare TE, O'callaghan M. 2000. Bacillus thuringiensis: Biology, Ecology and Safety.John Wiley & Sons, LTD.
67
GriffinVK, Brooks JR. 1989. Production and size distribution of rice maltodextrins hydrolyzed from milled rice flour using heat stable alphaamylase. J Food Sci. 54: 190-193 Hunsberger A. 2000. B. thuringiensis (Bacillus thuringiensis): a microbial insecticide. Di dalam: Weinzierl R, Henn T, Koehler PG. 1997. Microbial Insecticides. Florida : University of Florida. Islam MIU dan Langrish TAG. 2010. An investigation into lactose crystallization under high temperature conditions during spray drying. Food Res Int. 43: 46-56 Johnson DE, McGaughey WH. 1996. Contribution of Bacillus thuringiensis spores to toxicity of purified cry proteins towards indianmeal moth larvae. Curr Mic (33) 54-60 Ketaren S. 1978. Daya guna hasil kelapa. Bogor: Fatemeta IPB Khetan SK. 2000. Microbial pest control. New York: Marcell Dekker inc. Kim E, Chen XD, Pearce D. 2003. On the mechanisms of surface formation and the surface composition of industrial milk powder. Drying Tech. 21: 265– 278. Kolodnv-Hirsch. DM, Warkentin DL, Alvarado-Rodriguez B, Irkland R. 1993. Spodoptera exigua nuclear polyhedrosis virus as a candidate viral insecticide for the beet armyworm (Lepidoptera: Noctuidae). J Econ Entomol. 86 :314-321. Lakis J, editor. 2007. Encapsulation and Controlled Release Technologies in food System. Blackwell Publishing Lt. Langrish TAG, Chan WC, Kota K. 2007. Comparison of maltodextrin and skim milk wall deposition rates in a pilot-scale spray dryer. Powder Tech. 179: 84-89 Lisansky SG, Quinlan RJ, Tassoni G. 1993. The Bacillus thuringiensis production Handbook. Newbury: CPL Scientific Loksuwan J. 2006. Characteristics of microencapsulated β-carotene formed by spray drying with modified tapioca starch, native tapioca starch and maltodextrin. Food Hyd. (21) 928-935 Marchal LM, Beeftink HH, Tramper J. 1999. Towards a rational design of commercial maltodextrins. Trends Food Sci Tech. 10: 345–355 Meade T, Hare JD. 1993. Effects of diferential host plant consumption by Spodoptera exigua (Lepidoptera : Noctuidae) on Bacillus thuringiensis efficacy. J Environ Entomol 22: 432-437
68
McGuire MR, Shasha BS. 1990. Sprayable self-encapsulation starch encapsulation of Bacillus thuringiensis. J Econ Entomol 83: 1813-1817 McGuire MR, Shasha BS, Lewis LC, Bartelt RJ, Kinney K. 1990. Field evaluation of granular starch formulations of Bacillus thuringiensis against Ostrinia nubilalis (Lepidoptera: Pyralidae). J Econ Entomol 83: 22072210 McGuire MR, Streett DA, Shasha BS. 1991. Evaluation of starch encapsulation for formulation of grasshopper (Orthoptera : Acrididae) entompoxviruses. J Econ Entomol. 82: 1652-1656 McGuire MR, Shasha BS, Lewis LC, Nelsen TC. 1994. Residual activity of granular starch-encapsulated Bacillus thuringiensis. J Econ Entomol 87:631-637 McGuire MR, Tamez-Guerra P, Behle RW, Streett DA. 2001. Comparative field stability of selected entomopathogenic virus formulations. J Econ. Entomol. 94: 1037-1044 Montville, Rebecca D, De Siano T, Bonnet M, Schaffner DW. 2005. Thermal resistance of spores from viluent strains of Bacillus antrachis and potential surrogates. J Food Prot 68 Nailufar N. 2011. Aktivitas insektisida ekstrak daun Tephrosia vogelii (Leguminosae) dan buah Piper aduncum (Piperaceae) terhadap larva Crocidolomia pavonana [skripsi].Bogor: IPB Nelly A. 2012. Penentuan rasio C/N dan pengembangan produksi bioinsektisida oleh Bacillus thuringiensis menggunakan media kultivasi limbah industri tahu.[tesis]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB Nugrahani W. 2005. Pemanfaatan wheat pollard dan wheat bran sebagai substrat pada produksi bioinsektisida Bacillus thuringiensis subsp. kurstaki.. [skripsi]. Bogor: IPB. Oakley DE. (1997). Produce uniform particles by spray drying. Chem Eng Prog 10: 48–54. Obeta J dan Okafor N. Medium for the production of primary powder of Bacillus thuringiensis subsp. israeliensis. Appl Env Microbiol. 47:863-867 Oregon State University. 2000. Bacillus thuringiensis :General Fact Sheet.NPTN . [terhubung berkala] http://ntpn.orst.edu Öztürk F, Açık L, Ayvaz A, Bozdoğan B, Suludere Z. 2009. Isolation and characterization of native Bacillus isolation and characterization of native Bacillus bioactivity of isolates against Ephestia kuehniella zeller (Lepidoptera: Pyralidae) larvae. Turk J Biochem. 33 : 202-208
69
Pan GG, Melton LD. 2007. Nonenzymatic browning of lactose and caseinate during dry heating at different relative humidities. J Agric Food Chem 24: 10036-10042 Pokharkar VB, Mandpe LP, Padamwar MN, Ambike AA, Mahadik KR, Paradkar A. 2006. Development, characterization and stabilization of amorphous form of a low Tg drug. Powder Tech. 167 : 20–25. Prabakaran G, Hoti SL, Manonmani AM, Balaraman K.2007. Coconut water as a cheap source for the production of δ endotoxin of Bacillus thuringiensis var. israelensis, a mosquito control agent. Act Trop 105:35-38 Priatno T. 1999. Mempelajari penggunaan air kelapa sebagai media utama dalam produksi bahan aktif bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp. israelensis.[skripsi].Bogor: Faperta IPB Pusztai M, Fast P, Gringorten L, Kaplan H, Lessard T, Carey PR. 1991. The mechanism of sunlight-mediated inactivation of Bacillus thuringiensis crystals. J Biochem 43-47 Quek SY, Chok NK, Swedlund P. 2007. The physicochemical properties of spray-dried watermelon powders. Chem Eng Procs. : Procs. Intensification 46: 386-392 Rachmawati R .2011. Kajian rasio C/N terhadap produksi bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai menggunakan limbah cair tahu dan air kelapa. [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian Ritter S. 2008. Excipients : Inactive ingridients in medicines serve multiple functions in drug delivery. Chemical and Engineering News. [terhubung berkala]. http://pubs.acs.org/cen/whatstuff/86/8601sci3.html. [4agustus 2011]. Rosas-Garcia N.M. 2009. Biopesticide production from Bacillus thuringiensis: an environmentally friendly alternative. Recent Patents on Biotech. 3: 2836 Roos Y dan Karel M. 1991. Plasticizing effect of water on thermal behavior and crystallization of amorphous food models. J. Food Scie. 56: 38–43. Schisler DA, Slininger PJ, Behle RW, Jackson MA. 2004. Formulations of Bacillus spp. for biological control of plant diseases. Am Phytopath Soc. 94:1267-1271. Susanto ES. 2011. Formulasi Produk dan penurunan mutu selama penyimpanan bioinsektisida Bacillusthuringiensis subsp. aizawai dari limbah industri tahu [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
70
Sari NJ. 2002. Biologi Crocidolomia pavonana [Lepidoptera: pyralidae] pada pakan alami dan pakan semibuatan [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian IPB. Sonthipermpoon W, Suwonsichon T, Wittaya-areekul S, Wuttijumnong P. 2006. Effect of maltodextrin on glass transition temperature andwater activity of production banana flake. Kasetsart J 40:708-715 Sriganti E. 2000. Toksisitas Bacillus thuringiensis subsp. berliner dan subsp. aizawai terhadap larva Crocidolomia binotalis Zell. (Lepidoptera : Pyralidae) dan Spodoptera litura Fab. (Lepidoptera : Noctuidae) [skripsi]. Bogor : IPB Sun J, Zhao R, Zeng J, Li G, Li X. 2010. Characterization of destrins with different dextrose equivalents. Molecules 15:5162-5173 Sytnik A, Gormin D, Kasha M. 1994. Interplay between excited-state intramolecular proton transfer and charge transfer in flavonols and their use as protein-binding site fluorescence probes. Proc Natl Acad Sci. 91: 1196811972. Tabashnik BE. 1992. Evaluation of synergism among Bacillus thuringiensis toxins. Appl Environ Microbiol. 58: 3343-3346 Takeiti CY, Kieckbusch TG, Collares-Queiroz FP. 2010. Morphological and physicochemical characterization of commercial maltodextrins with different degrees of dextrose equivalent. Int J Food Prop. 13:411-425 Tang JD, Shelton AM, Van Rie J, De Roeck S, Moar WJ, Roush RT, Peferoen M. 1995. Toxicity of Bacillus thuringiensis spore and crystal protein to resistant diamond back moth (Plutella xylostella). App Env Mic. 564-569 Tamez-Guerra P, McGuiere MR, Medrano-Holdan H, Galan-wong LJ, Shasha B, Vega FE. 1996. Sprayable granule formulations for Bacillus thuringiensis. J Econ Enthomol. 89. Tamez-Guerra P,Garcia-Gutierrez C, Medrano-Roldan H, Galan-Wong LJ, Sandoval-Coronado CF. 1999. Spray-dried microencapsulated Bacillus thuringiensis formulations for the control of Epllachna varivestis mulsant. Southwestern Entomol. 24: 37-48 Tamez-Guerra P, McGuiere MR, Behle RW, Shasha BS, Galan-Wong LJ. 2000. Assessment of microencapsulated formulations for improved residual. J Econ Enthomol. 93: 219-225. Truong V, Bhandari BR, Howes T. 2005. Optimization of cocurrent spray drying process for sugar-rich foods. Part II—Optimization of spray drying process based on glass transition concept. J Food Eng. 71: 66-72. Tuleckle. 1961. Coconut. London: Longmans Green and Co.
71
Vail PV. Barnet W. Cowan DC, Sibbett S, Beede R, Tebbets JS. 1991. Codling moth (Lepidoptera: Tortricidae) control on commercial walnuts with a granulosis virus. J Econ Entomol. 84: 1448-1453. Wang S dan Langrish T. 2008. A review of process simulations and the use of additives in spray drying. Food Res Int. 42: 13-25 Wang W dan Zhou W. 2012. Characterization of spray-dried soy sauce powders using maltodextrins as carrier. J Food Eng. 109: 399-405 Yusriani E. 2007. Kajian proses produksi maltodekstrin dextrose equivalent (DE) rendah dari pati pisang (Musa sp.) dengan proses hidrolisis enzimatis. [tesis]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Yoshi H, Soottitantawat A, Liu XD, Atarashi, T, Furuta T, Aishima S, Ohgawara M, Linko P. 2001. Flavor release from spray-dried maltodextrin/gum arabic or soy matrices as a function of storage relative humidity. Innov Food Sci and Emerg Tech. 2 :55-61 Zhu YC, Adamezyk J Jr. 2004. PCR confirmation of the CryIAc gene in transgenic Bt (Bollgard) Cotton. Proceedings of Beltwide Cotton Confrences. Texas 5-9 Januari. San Antonio: US Departement of Agriculture.
Lampiran 1. Metode Analisis pada Penelitian 1. Metode Karakteristik Bahan Aktif Hasil Fermentasi a. Penetapan jumlah spora hidup (Viable Spore Count/VSC). Cairan fermentasi diambil sebanyak 1 ml dan dilakukan pengenceran dengan 9 ml larutan garam fisiologis.Cairan selanjutnya diberikan renjatan panas pada suhu 80 0C selama 15 menit.Bahan yang telah direnjat selanjutnya diambil 1 ml dan dilakukan sederetan pengenceran dengan 9 ml larutan garam fisiologis. Setiap pengenceran diambil 1 ml dan ditumbuhkan pada medium agar dalam cawan petri dan diinkubasi pada suhu 30 oC selama 24 jam. Jumlah koloni yang tumbuh kemudian dihitung.
b. Pengukuran bobot biomassa kering menggunakan metode penentuan kadar air. Cawan alumunium kosong dipanaskan dalam oven pada suhu 105°C selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Prosedur pengeringan cawan ini diulang sampai didapatkan bobot tetap. Cairan fermentasi sebanyak 5 ml ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 105°C selama 3-5 jam. Setelah itu cawan dikeluarkan dari oven dan didinginkan, diulangi sampai didapatkan bobot tetap bahan. Persentase bobot biomassa kering dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Keterangan : A : Bobot cawan berisi sampel kering (g) B :Bobot cawan (g) C : Bobot sampel basah (g)
c. Analisis Uji Hayati Pengujian pendahuluan dilakukan untuk mencari konsentrasi sampel yang menghasilkan mortalitas pada serangga uji 80% sampai 90%. Sampel ditimbang atau dipipet dalam jumlah tertentu lalu dilarutkan ke dalam Agristick 0.1%. Daun brokoli yang telah dipotong-potong dengan ukuran 4 x 4 cm2 kemudian dicelupkan masing-masing pengenceran. Daun brokoli yang telah di rendam
73
dikering anginkan lalu dimasukan ke dalam cawan petri yang telah dialasi tissu. Ke dalam masing-masing cawan dimasukkan 10 larva ulat kubis yang baru berganti kulit menjadi instar dua dan diamati perkembangannya setiap hari selama 4 hari. Daun brokoli yang sudah layu diganti dan alas tisu yang sudah basah juga diganti. Perhitungan kematian larva dilakukan setiap pengamatan. Penentuan nilai LC50 dilakukan dengan prosedur yang sama, hanya ditambahkan serangkaian pengenceran untuk menghasilkan minimal lima nilai konsentrasi untuk satu sampel.
2. Proses Mikroenkapsulasi Bioinsektisida a. Penentuan rendemen produk Rendemen produk dihitung dengan rumus:
b. Penentuan nilai potensi toksisitas produk (Dulmage 1990) Potensi produk dihitung dengan rumus:
Standar yang digunakan adalah produk komersial dengan LC50 = 0.0241 g/ml 3. Penentuan Nilai DE Maltodekstrin (Yusriani 2007) Sampel maltodekstrin 0.1 g dilarutkan dalam air akuades 5ml. Sampel lalu diukur kandungan gula pereduksi dengan metode DNS dan kandungan gula total dengan metode fenol. Bilangan DE dapat dihitung dengan rumus : DE =
.
74
Lampiran 2 Hasil Pengolahan Data Menggunakan Perangkat lunak a.
Hasil pengolahan data mortalitas larutan fermentasi Bacillus thuringiensis aizawai
Uji 5 taraf ekstrak Bt terhadap larva C. pavonana Parameter
Standard error T ratio
Biti
1.754
0.417
4.207
Slope
1.451
0.302
4.811
Tes kepatutan Chi-squared Sampel
Biti
Dosis
Jumlah
Sampel
Nilai
sampel
mati
harapan
0.010
20
4
3.39
0.615
0.169
0.367
0.020
20
5
5.53
-0.533
0.277
-0.266
0.030
20
8
7.16
0.837
0.358
0.390
0.040
20
7
8.45
-1.448
0.422
-0.655
0.050
20
10
9.49
0.509
0.475
0.228
0.090
20
12
12.28
-0.279
0.614
-0.128
0.400
20
18
17.73
0.273
0.886
0.192
Chi-square: 0.892
Derajat bebas: 5
Residual Peluang
Standar residual
Keragaman : 0.178
Dosis efektif Peluang nyata Jumlah (mg/ml) LC50 biti LC95 biti
0.062
0.841
limit
0.90
0.95
0.99
(mg/ml)
(mg/ml)
(mg/ml)
bawah
0.045
0.042
0.036
Atas
0.092
0.101
0.129
bawah
0.384
0.345
0.285
atas
6.416
24.803
3.925
75
Kurva mortalitas sampel untuk dosis LC50 sampel
b. Hasil pengolahan data mortalitas produk enkapsulan 5% maltodekstrin Bacillus thuringiensis subsp. aizawai
Koefisien persamaan model probit untuk LC50 Parameter
Standar eror T ratio
Biti
3.496
0.767
4.561
Slope
1.422
0.468
3.037
Tes kepatutan Chi-squared Sampel
Biti
Dosis
Jumlah
Sampel
Nilai
Residual Peluang
Standar
sampel
mati
harapan
0.010
20
15
14.86
0.144
0.743
0.073
0.050
20
19
19.00
-0.002
0.950
-0.002
0.090
20
19
19.55
-0.555
0.978
-0.840
0.130
20
20
19.75
0.253
0.987
0.507
0.170
20
20
19.84
0.163
0.992
0.406
residual
Chi-square: 1.133 Derajat bebas: 3 Keragaman : 0.378
76
Dosis efektif Peluang nyata Jumlah
limit
(mg/ml) LC50 biti
0.003
LC95 biti
0.05
0.90
0.95
(mg/ml)
(mg/ml)
Bawah
0.000
0.000
Atas
0.008
0.009
Bawah
0.028
0.025
Atas
0.149
0.241
Kurva mortalitas sampel untuk dosis LC50 sampel
c. Hasil pengolahan data mortalitas produk enkapsulan 10% maltodekstrin Bacillus thuringiensis subsp. aizawai
Koefisien persamaan model probit untuk LC50 Parameter
Standar eror T ratio
Biti
3.591
0.544
6.601
Slope
2.299
0.391
5.881
77
Tes kepatutan Chi-squared Sampel
Biti
Dosis
Jumlah
Sampel
Nilai
Residual Peluang
sampel
mati
harapan
0.010
20
4
3.14
0.858
0.157
0.528
0.050
20
13
14.52
-1.516
0.726
-0.760
0.090
20
16
17.65
-1.647
0.882
-1.143
0.130
20
20
18.80
1.202
0.940
1.131
0.170
20
20
19.32
0.685
0.966
0.842
residual
Chi-square: 4.1506 Derajat bebas: 3 Keragaman : 1.3835
Dosis efektif Peluang nyata Jumlah (mg/ml) LC50 biti LC95 biti
0.027
0.0142
limit
0.90
0.95
(mg/ml)
(mg/ml)
Bawah
0.013
0.007
Atas
0.044
0.051
Bawah
0.084
0.072
Atas
0.454
1.260
Kurva mortalitas sampel untuk dosis LC50 sampel
Standar
78
d. Hasil pengolahan data mortalitas produk komersial B. thuringiensis subsp. berliner
Koefisien persamaan model probit untuk LC50 Parameter
Standar eror T ratio
Biti
1.896
0.390
4.864
Slope
0.724
0.142
5.080
Tes kepatutan Chi-squared Sampel
Jumlah populasi Sampel Nilai sampel mati harapan biti 20. 4. 4.410 20. 10. 9.043 20. 17. 18.01 20. 20. 19.54 Chi-square: 1.2660 Derajat bebas: 2 Keragaman : 0.63
Deviasi
peluang
-0.410 0.957 -1.008 0.455
0.220 0.452 0.900 0.977
Dosis efektif Peluang nyata Jumlah (mg/ml) LC50 biti LC95 biti
0.002
0.449
limit
0.90
0.95
0.99
(mg/ml)
(mg/ml)
(mg/ml)
Bawah
0.001
0.001
0.000
Atas
0.006
0.008
0.013
Bawah
0.106
0.085
0.058
Atas
5.757
12.32
90.91
e. Hasil pengolahan data log VSC untuk larutan fermentasi dan produk mikroenkapsulasi
Faktor: 1) Jenis Produk Tes: Tukey-Kramer Peluang beda nyata: 0.01
79
Ragam : 0.06388888889 Derajat bebas: 6 Jumlah nilai tengah = 3 Urutan Namasampel Nilai rataan n Keterangan 1
asli
4.9
3
a
2
10%
1.8
3
b
3
5%
1.5
3
b
Keterangan: sampel dengan huruf signifikan yang sama tidak berbeda nyata
f. Hasil pengolahan data mortalitas untuk perlakuan simulasi hujan terhadap produk mikroenkapsulasi bioinsektisida ANOVA Sumber keragaman Jenis produk Eror
Derajat bebas 3
Jumlah Kuadrat Nilai F Peluang Keteranga Kuadrat Tengah n 15864.30 5288.101 254.7021 .0000 *** 303 1 7 145.3333 20.76190 333 5 Total 10 16009.63 636 Keterangan: (*) = berpengaruh nyata. Jumlah bintang menandakan tingkat berpengaruh nyata
Faktor: 1) Jenis produk Tes: Tukey-Kramer Peluang beda nyata: 0.01 Ragam: 20.7619047619 Derajat bebas: 7 Urutan Nama sampel Nilai rataan n Keterangan (%) 1
bactospeine
100
3
a
2
maltodekstrin
95
2
a
3
Fermentasi
54
3
b
4
Kontrol
6.7
3
c
Keterangan: sampel dengan huruf signifikan yang sama tidak berbeda nyata
80
g. Hasil pengolahan data mortalitas untuk perlakuan pemaparan sinar matahari terhadap produk mikroenkapsulasi bioinsektisida ANOVA Sumber keragaman Jenis produk Eror
Derajat bebas 3
Jumlah Kuadrat Nilai F Peluang Keteranga Kuadrat Tengah n 18871.21 6290.404 240.1790 .0000 *** 212 6 7 183.3333 26.19047 333 6 Total 10 9054.545 45 Keterangan: (*) = berpengaruh nyata. Jumlah bintang menandakan tingkat berpengaruh nyata
faktor: 1) Jenis produk Tes: Tukey-Kramer Peluang beda nyata: 0.01 Ragam : 26.1904761905 Derajat bebas : 7
Urutan Nama sampel Nilai rataan N keterangan (%) 1
bactospeine
100
3
a
2
maltodekstrin
25
2
b
3
kontrol
3.3
3
c
4
asli
3.3
3
c