EKSPLORASI PROTEIN TOKSIN Bacillus thuringiensis DARI TANAH DI KABUPATEN TANGERANG
MOHAMMAD HERO SHIDDIQI
PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M/ 1433 H
1
EKSPLORASI PROTEIN TOKSIN Bacillus thuringiensis DARI TANAH DI KABUPATEN TANGERANG
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh :
MOHAMMAD HERO SHIDDIQI 106096003240
PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M/ 1433 H 2
EKSPLORASI PROTEIN TOKSIN Bacillus thuringiensis DARI TANAH DI KABUPATEN TANGERANG
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh :
MOHAMMAD HERO SHIDDIQI 106096003240
Menyetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. Eddy Jusuf, DES NIP. 19500915 197803 1 001
S. Hermanto, M.Si NIP. 19750810 200501 1 005
Mengetahui, Ketua Program Studi Kimia
Drs. Dede Sukandar, M.Si NIP. 19650104 199103 1 004
3
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi berjudul “Eksplorasi Protein Toksin Bacillus thuringiensis dari Tanah di Kabupaten Tangerang” yang ditulis oleh Mohammad Hero Shiddiqi, NIM 106096003240 telah diuji dan dinyatakan “Lulus” dalam sidang Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 1 Desember 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Kimia.
Menyetujui,
Penguji I
Penguji II
La Ode Sumarlin, M.Si NIP. 150 408 693
Hilyatuz Zahroh, MP.Kim
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. Eddy Jusuf, DES NIP. 19500915 197803 1 001
S. Hermanto, M.Si NIP. 19750810 200501 1 005
Mengetahui,
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi
Ketua Program Studi Kimia
DR. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis NIP. 19680117 200112 1 001
Drs. Dede Sukandar, M.Si NIP. 19650104 199103 1 004
4
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, Desember 2011
Mohammad Hero Shiddiqi 106096003240
5
Mohammad Hero Shiddiqi, Eksplorasi Protein Toksin Bacillus thuringiensis dari Tanah di Kabupaten Tangerang. Dibawah bimbingan Eddy Jusuf dan S. Hermanto.
ABSTRAK Bacillus thuringiensis (Bt) merupakan bakteri gram positif berspora penghasil protein toksin yang dapat bersifat sebagai insektisidal dan sitosidal. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mendapatkan isolat lokal B.thuringiensis dari tanah di Kabupaten Tangerang dan memprediksi bobot molekulnya. Sampel tanah yang di uji antara lain : Ciherang, Ciputat, Pasar Kemis, Kosambi, Parung Secab, Puspiptek, Pamulang, dan Cileduk. Isolasi B.thuringiensis dilakukan dengan menggunakan metode Travera et al. (1987). Protein toksin disolasi dari bakteri menggunakan metode Bel et al. (1997) dan dianalisis kandungan proteinnya dengan metode Lowry. Profil protein dianalisis menggunakan SDSPAGE dengan konsentrasi resolving gel 12 % dan stacking gel 4 %. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 6 sampel tanah yang positif terdapat B.thuringiensis, yaitu Ciherang, Pasar Kemis, Kosambi, Parung Secab, Pamulang dan Cileduk. Dari profil protein hasil SDS-PAGE terdapat 5 jenis protein toksin dari 10 sampel protein yang diprediksi bersifat insektisidal atau ICP, yaitu Cry 15, Cry 23, Cry 25, Cry 30, dan Cry 35, serta terdapat 3 jenis protein toksin dari 5 sampel protein yang diprediksi bersifat sitosidal atau parasporin, yaitu PS-2 (Cry 46), PS-3 (Cry41), dan PS-4 (Cry 45). Kata Kunci: Bacillus thuringiensis, protein toksin, ICP, Parasporin, dan SDSPAGE
6
Mohammad Hero Shiddiqi, Exploration of Toxin Protein Bacillus thuringiensis from Soil in Kabupaten Tangerang. Supervised by. Eddy Jusuf and S. Hermanto.
ABSTRACT Bacillus thuringiensis (Bt) is a gram positive sporulated bacterium and toxin protein producer that can act as insecticidal and sitocidal agents. This research was conducted with a purpose to get local isolate of B.thuringiensis from the soil of Tangerang District and determine protein molecular weight. Samples of soil were taken from Ciherang, Ciputat, Pasar Kemis, Kosambi, Parung Secab, Puspiptek, Pamulang, and Cileduk Villages. Isolation of B. thuringiensis was conducted by using Travera et al. method (1987), throught the isolated toxin protein from bacterium by using Bel et al. method (1997) and protein analysed with Lowry method. Protein profile was analysed by mean of SDS-PAGE with concentration resolving gel 12% and stacking gel 4%. The result showed that 6 samples were positive of B. thuringiensis, ie from Ciherang, Pasar Kemis, Kosambi, Parung Secab, Pamulang and Cileduk. Profile of SDS-PAGE result showed 5 type of toxin proteins from 10 samples predicted as an insecticidal agents or ICP, i.e Cry 15, Cry 23, Cry 25, Cry 30, and Cry 35, and 3 type of toxin proteins from 5 samples predicted as an sitocidal agents or parasporine, i.e PS-2 (Cry 46), PS-3 (Cry41), and PS-4 (Cry 45).
Password: Bacillus thuringiensis, Toxin Protein, ICP, Parasporine, and SDSPAGE
7
KATA PENGANTAR
Assalamu ’alaikum wr. wb. Segala puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Ekplorasi Protein Toksin Bakteri Bacillus thuringiensis dari
Tanah di Kabupaten Tangerang”. Skripsi ini merupakan tahapan akhir dan tugas utama dari serangkaian kuliah yang harus diselesaikan dalam menempuh pendidikan strata satu pada Program Studi Kimia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari peranan berbagai pihak yang telah ikut secara langsung maupun tidak langsung. Maka dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. Bapak Drs. Eddy Jusuf, DES, selaku Pembimbing I yang dengan sabar telah banyak memberikan pengarahan, masukan dan motivasi dalam penelitian dan penyusunan tugas akhir ini. 2. Bapak S. Hermanto, M.Si, selaku Pembimbing II sekaligus Pembimbing Akademik yang telah banyak memberikan arahan dan motivasi dalam penyusunan tugas akhir dan menyelesaikan kuliah ini dengan baik. 3. Bapak DR. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis, selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Drs. Dede Sukandar, M.Si, selaku Ketua Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
viii
5. Ayahanda Amat Rusdi, Ibunda Nahidhotul Millah, serta adik-adik tercinta atas dorongan dan do’anya yang senantiasa mengiringi gerak langkah penulis. 6. Mba Pipit dan Mba Prita yang telah banyak memberikan bantuan selama proses penelitian berlangsung di Pusat Laboratorium Terpadu UIN. 7. Dini Novalia Pratiwi yang telah banyak memberikan masukan dan semangatnya baik moril maupun spiritual hingga tahap penyusunan tugas akhir ini. 8. Teman-teman seperjuangan yang juga telah memberikan semangat dan sarannya sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Segala kritik dan saran yang membangun diharapkan dari pembaca. Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih dan berdo’a semoga semua amal baik yang terlah diberikan tersebut mendapat balasan dari Allah SWT, dan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta semoga Allah swt selalu melimpahkan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amiin.
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Jakarta, Desember 2011
Penulis
ix
DAFTAR ISI Halaman Judul
.....................................................................................
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
...............................................................................
.............................................................................................
DAFTAR TABEL
.................................................................................
xiv
.............................................................................
xvi
PENDAHULUAN
....................................................................
1
.....................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah 1.3. Hipotesis
x xiii
DAFTAR LAMPIRAN
1.1. Latar Belakang
viii
.....................................................................................
DAFTAR GAMBAR
BAB I
Halaman
..............................................................................
3
..............................................................................................
3
1.4. Tujuan Penelitian
.................................................................................
4
1.5. Manfaat Penelitian
...............................................................................
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
...........................................................
5
..................................................................
5
..................................................................................
5
2.1. Bacillus thuringiensis ( Bt ) 2.1.1. Klasifikasi
2.1.2. Morfologi dan Fisiologi
..............................................................
5
..........................................................
7
..................................................................................................
8
2.1.3. Identifikasi dan Screening 2.2. Protein
2.2.1. Struktur Protein 2.2.2. Klasifikasi protein
........................................................................... ......................................................................
2.2.3. Metode Identifikasi Protein
........................................................
2.3. Protein Toksin pada Bacillus thuringiensis 2.3.1. ICP (Insecticidal Crystal Protein)
8 12 13
............................................
14
................................................
14
x
2.3.2. Parasporin ....................................................................................... 2.4. SDS PAGE
............................................................................................
2.4.1. Prinsip Dasar
17 21
...............................................................................
21
2.4.2. Aplikasi (Keunggulan dan Kelemahannya) ......................................
22
BAB III
METODE PENELITIAN
........................................................
24
...............................................................
24
.....................................................................................
24
............................................................................................
25
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Cara Kerja
3.3.1. Isolasi bakteri dari tanah 3.3.2. Isolasi protein
.............................................................
25
.............................................................................
26
3.3.3. Kuantitifikasi protein dengan Lowry
..........................................
27
3.3.4. SDS-PAGE (Laemli, 1970) .............................................................
27
3.4. Desain Penelitian
..................................................................................
3.4.1. Isolasi B. thurigiensis 3.4.2. Isolasi protein toksin
BAB IV
30
.................................................................
30
....................................................................
31
HASIL DAN PEMBAHASAN
................................................
32
4.1. Isolasi B.thuringiensis dari tanah di Kabupaten Tangerang ....................
32
4.2. Isolasi protein toksin
34
............................................................................
4.3. Kuantifikasi protein dengan Lowry 4.4. Profil protein hasil SDS-PAGE
BAB V
36
...........................................................
39
KESIMPULAN DAN SARAN
................................................
47
..........................................................................................
47
....................................................................................................
47
5.1. Kesimpulan 5.2. Saran
......................................................
DAFTAR PUSTAKA
................................................................................
48
xi
LAMPIRAN
..............................................................................................
52
xii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1.
Tabel 2.2.
Tabel 4.1.
Tabel 4.2.
Tabel 4.3.
Jenis-jenis protein Cry dari Bacillus thuringiensis berdasarkan ukuran dan serangga sasarannya ……………………………………………………………...
16
Spektrum sitotoksisitas empat macam parasporin terhadap berbagai tipe sel kanker dan normal ...............................................................................................
19
Isolat dari sampel tanah yang menghasilkan protein kristal ……………………………………………………………
34
Nilai absorbansi dan konsentrasi sampel protein kristal ...............................................................................................
38
Bobot molekul protein sampel dan prediksi protein toksinnya...............................................................................
42
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1.
B. thuringiensis
Gambar 2.2.
B. thuringiensis isolate 84-HS-1-11 ................................................................ 6
Gambar 2.3.
Struktur primer protein
Gambar 2.4.
Struktur sekunder protein
Gambar 2.5.
Beberapa jenis ikatan yang terdapat pada polipeptida ................................ 11
Gambar 2.6.
Struktur kuartener protein ................................................................ 11
Gambar 2.7.
Struktur tiga dimensi protein Cry 2Ab10
Gambar 4.1.
Isolasi B. thuringiensis dari tanah : (a) Isolat B. thuringiensis pembanding dan (b) Isolat Pasar Kemis……………………………………………………..
32
Isolasi 24 koloni terpilih : (a) Isolat Ciherang dan (b) Isolat Pamulang…………………………………………...
33
Gambar 4.2.
................................................................................................ 5
................................................................9 ................................................................ 10
................................15
Gambar 4.3.
Hasil uji mikroskop : (a).Isolat Kem 7 salah satu isolat yang menghasilkan protein kristal. (b). Isolat B.thuringiensis pembanding ( Isolat Cibinong, 5 k). Perbesaran 50 x 10 .... ................................................................ 33
Gambar 4.4.
Peremajaan bakteri berkristal di medium Luria Bertani (LB) ……………………………………………………………
35
Gambar 4.5.
Isolasi bakteri berkristal di medium 2xSG ……………..
36
Gambar 4.6.
Reaksi pada metode Lowry……………………………….
37
Gambar 4.7.
Hasil analisa SDS-PAGE pada sampel protein Kos 6, Kem 23, Par 17, Kos 9, Kos 7, Par 8 dan Pm 14 .............................................................................................
39
Hasil analisa SDS PAGE pada sampel protein Kem 6, Par 18, Par 11, Kos 16, Par 9, Pm 19 dan Pm 10 ……………
40
Gambar 4.8.
xiv
Gambar 4.9.
Hasil analisa SDS PAGE pada sampel protein Cdk 3, Kem 22, Ch 7, Cdk 4, Ch 3 Pm 14, Cdk 14, Kem 3, dan Cdk 9……………………………………………………...
40
Hasil analisa SDS PAGE pada sampel protein Pm 6, Kos 15, Kem 24, Kem 7, Par 16, dan Kem 5 …………………
41
Hasil analisa SDS PAGE pada sampel protein Pm 23, Kem 10, Cdk 9 dan Kem 18 ......................................
41
Gambar 4.12.
Mekanisme kerja ICP…………………………………….
44
Gambar 4.13 Ha
Mekanisme kerja PS-2……………………………………
45
Gambar 4.10.
Gambar 4.11.
xv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Pembuatan buffer fosfat pH 6,8…………………………
52
Lampiran 2.
Pembuatan medium T-3 1 L……………………….........
53
Lampiran 3.
Pembuatan medium LB 500 mL ......................................
54
Lampiran 4.
Pembuatan medium 2x SG 1 L…………………….........
55
Lampiran 5.
Kurva standar BSA...........................................................
56
Lampiran 6.
Preparasi reagen SDS-PAGE………………………........
57
Lampiran 7.
Standar protein marker catalog #161-0318 (BIORAD).................................................................................
59
Kurva standar protein marker pada analisa sampel protein Kos 6, Kem 23, Par 17, Kos 9, Kos 7, Par 8, dan Pm 14………………………………………....................
60
Kurva standar protein marker pada analisa sampel protein Kem 6, Par 18, Par 11, Kos 16, Par 9, Pm 19 dan Pm 10…………………………………………………....
61
Kurva standar protein marker pada analisa sampel protein Cdk 3, Kem 22, Ch 7, Cdk 4, Ch 3 Pm 14, Cdk 14, Kem 3, dan Cdk 9.......................................................
62
Kurva standar protein marker pada analisa sampel protein Pm 6, Kos 15, Kem 24, Kem7, Par 16, dan Kem 5………………………………………………………....
63
Kurva standar protein marker pada analisa sampel protein Pm 23, Cdk 9, Kem 10, dan Kem 18………..........................................................................
64
Hasil uji mikroskop perbesaran 50 x 10………………...
65
Lampiran 8.
Lampiran 9.
Lampiran 10.
Lampiran 11.
Lampiran 12.
Lampiran 13.
Lampiran 14 Isolasi 24 koloni terpilih………………………………... 66 Halaman Judul ........................................................................................................
xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Bacillus thuringiensis merupakan suatu jenis bakteri gram positif yang
terdiri dari sejumlah besar subspesies atau varietas dan galur-galur (strains) yang ditemukan hampir di semua habitat. Bakteri ini pertama kali ditemukan tahun 1901 oleh Ishiwata, yaitu peneliti Jepang pada ulat sutra (Bombyx mori) yang diketahui patogen terhadap serangga (Herlambang, 2007). Dilihat dari sifat morfologi maupun fisiologinya bakteri ini memiliki persamaan dengan Bacillus cereus, yang membedakan dengan B.thuringiensis adalah adanya kristal protein yang bersifat toksin terhadap serangga (Benhard et
al., 1993). Protein toksin ini pertama kali dikenal sebagai parasporal crystalline inclusion selanjutnya disebut sebagai δ-endotoksin atau Insecticidal Crystal Protein (ICP) yang dibagi dalam dua kategori protein, yaitu: protein Cry (dari kata Crystal) dan protein Cyt (dari kata Cytolytic) (Jusuf, 2009). Sejak tahun 1930, ICP telah digunakan sebagai pestisida hayati (bioinsektisida) untuk menanggulangi serangga yang menjadi hama tanaman pertanian. B. thuringiensis dikenal sebagai agensia bahan baku pestisida yang baik dalam pertanian dan aman terhadap kesehatan serta ramah lingkungan. Sifat ramah lingkungan tersebut dikarenakan protein kristal yang diisolasi dari B.
thuringiensis mempunyai target yang spesifik sehingga tidak mematikan serangga yang bukan sasaran dan mudah terurai, serta tidak menumpuk dan mencemari lingkungan.
1
Pada awal abad 21, telah diketahui juga bahwa beberapa tipe protein yang disintesis oleh B. thuringiensis memiliki kemampuan menghambat tumbuh sel-sel kanker pada manusia. Yokohama et al. (1988) pertama kali melaporkan bahwa protein 25 kDa yang diisolasi dari B. thuringiensis subs. israelensis ONR-60A dapat menghambat tumbuh kultur sel leukemia tikus. Protein Cry anti kanker manusia dari galur B. thuringiensis disebut sebagai parasporin, diperkenalkan pertama kali oleh Mizuki et al. (2000). Istilah parasporin didefinisikan sebagai protein-protein δ-endotoksin yang non-hemolitik tetapi memiliki kemampuan preferensial membunuh sel kanker. Penemuan tersebut menjadi alternatif dalam menangani penyakit kanker. Pada dasarnya parasporin merupakan protein Cry juga seperti contoh protein PS-1 adalah Cry 31, PS-2 adalah Cry 46, PS-3 adalah Cry 41, dan PS-4 adalah Cry 45 (Ohba et al., 2009). Penyebaran bakteri ini sangat luas, didapatkan di tanah (Martin dan Travers, 1989), pada makanan ternak (Meadow et al., 1992), pada batang dan daun pepohonan (Smith dan Couche, 1991) dan lingkungan perairan (Thanabalu
et al., 1992). Bangkai serangga merupakan sumber nutrisi yang memenuhi dalam kelangsungan hidup bakteri ini, dimana pada saat nutrisi akan habis maka B.
thuringiensis akan membentuk spora dan mensintesis protein kristal toksik terhadap jenis serangga tertentu. Umumnya bangkai serangga terdapat pada tanah sehingga pada penelitian ini isolasi B. thuringiensis dilakukan pada tanah yang berasal dari Kabupaten Tangerang. Isolasi dimaksudkan untuk melengkapi informasi mengenai sebaran B.
thuringiensis pada daerah tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengeksplorasi galur-galur lokal B. thuringiensis penghasil protein toksin yang berpotensi sebagai
2
anti serangga dan anti kanker, kemudian mengidentifikasi tipe protein yang didapatkan berdasarkan bobot molekulnya. Identifikasi dilakukan dengan SDSPAGE (Sodium Dodecyl Sulfate Polyacrilamid Gel Electroforesis), di mana dari keseluruhan isolat yang diperoleh diharapkan mampu menghasilkan protein toksin sesuai dengan karakteristik bobot molekulnya.
1.2.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian, maka rumusan masalah yang
diajukan adalah sebagai berikut : 1) Apakah isolasi bakteri dari tanah di Kabupaten Tangerang mampu menghasilkan B.thuringiensis ? 2) Bagaimana profil protein toksin hasil isolasi dari isolat lokal B.thuringiensis berdasarkan karakteristik bobot molekulnya ?
1.3.
Hipotesis Isolat lokal B.thuringiensis mampu menghasilkan protein toksin (Cry atau
Cyt) dengan karakteristik bobot molekul yang sama atau berbeda dengan isolat yang telah ditemukan sebelumnya.
3
1.4.
Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk :
1) Mendapatkan isolat B.thuringiensis dari tanah di Kabupaten Tangerang. 2) Mengetahui tipe dan karakteristik protein toksin yang didapat, dengan berdasarkan bobot molekulnya dan dibandingkan dengan data base dari hasil penelitian sebelumnya.
1.5.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah sebagai berikut :
1. Melengkapi informasi mengenai sebaran isolat lokal B.thuringiensis yang ada di wilayah JABODETABEK. 2. Memberikan kontribusi bagi pencarian sumber-sumber baru penghasil bioinsektisida alami yang ramah lingkungan. 3. Studi awal pemanfaatan protein toksin sebagai alternatif pengobatan penyakit kanker.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Bacillus thuringiensis ( Bt )
2.1.1. Klasifikasi Divisio
: Schizophyta
Kelas
: Schizomycetes
Ordo
: Eubacteriales
Familia
: Bacillaceae
Genus
: Bacillus
Spesies
: thuringiensis
Perbesaran 100 x 10.
Gambar 2.1. Bacillus thuringiensis. (Herlambang, 2007)
2.1.2. Morfologi dan Fisiologi Bacillus thuringiensis (Bt) merupakan bakteri gram positif dengan bentuk batang, membentuk spora dengan panjang 3 – 5 µm dan lebar 1 – 1,2 µm, bergerak aktif (motil) dengan flagella peritrich (di seluruh dinding sel) , bersifat fakultatif aerob dan bisa didapatkan di seluruh benua dan kepulauan dari ketinggian 0 sampai 2000 meter di atas permukaan laut dan zona tropis hingga artik. Bakteri ini bisa didapatkan di habitat alam seperti pada tanah, pepohonan, debu penyimpanan biji-bijian serealia, pakan ternak, dan serangga yang mati. Termasuk bakteri mesofil dengan kisaran suhu pertumbuhan 15 – 45 oC, dengan suhu optimum antara 26-37 oC , dan kisaran pH pertumbuhan antara 5,5 sampai 8,5 dengan pH optimum antara 6,5 sampai 7,5. Spora berbentuk oval berwarna
5
hijau kebiruan, berukuran 1,0 – 1,3 µm dengan posisi terminal, sedangkan protein kristal berukuran 0,6 sampai 2,0 µm bergantung dari tipe-nya masing-masing (Zeigler, 1999).
Gambar 2.2. B. thuringiensis isolat 84-HS-1-11, Ket : S = Spora, P = Protein Cry ( Parasporal Inclusion) ( Mizuki et. al., 2000 ).
Secara alami B. thuringiensis adalah bakteri entemopatogen dan sampai saat ini telah diidentifikasi sebanyak 70 subspesies atau varietas yang berbeda, yang dibedakan oleh perbedaan serulogi dari antigen flagella-nya, dan menghasilkan lebih dari 300 protein Cry dari 1000 galur dan hanya beberapa galur yang telah dimanfaatkan. Protein Cry merupakan bentuk protoksin yang disintesis oleh B.
thuringiensis bersamaan dengan pembentukan spora yang berada di dalam sel sampai sel mengalami lisis sesudah sporulasi sempurna. Spora pada bakteri tersebut merupakan suatu usaha perlindungan diri dari pengaruh lingkungan luar yang buruk, hal ini terjadi karena dinding bakteri yang bersifat impermeabel. Protein Cry yang dihasilkan merupakan bagian dari 25 % berat kering bakteri yang terdiri dari suatu molekul glikoprotein dengan massa molekular 30 sampai 240 kDa, mengandung 3,9 % glukosa dan 1,8 % manosa. Protein Cry
6
tidak larut dalam air ataupun pelarut organik, tetapi larut dalam larutan alkali dan terdenaturasi oleh panas, asam lambung dan enzim protease lambung sehingga terlarut dalam air dan membentuk toksin aktif yang akan tetap aktif meskipun dipanaskan hingga suhu 80˚C selama 20 menit (Dini, 2005).
2.1.3. Identifikasi dan Screening B. thuringiensis dapat diisolasi dari berbagai sumber, antara lain mudah ditemukan di tanah dengan populasi yang cukup tinggi, bagian tumbuhan, kotoran hewan,dan dari serangga yang terinfeksi di lapangan. Ohba dan Aizawa (1979) telah berhasil memperoleh 105 spora bakteri B. thuringiensis untuk 1 gram tanah dan selanjutnya Ohba dan Aizawa (1985) telah berhasil mengisolasi 189 kultur bakteri B. thuringiensis dari 139 sampel tanah di Jepang. Identifikasi
B.thuringiensis dapat dilakukan dengan berbagai cara, beberapa diantaranya antara lain metode Aizawa et al. (1975), Metode Johson dan Bishop (1996), dan metode Travera et al, (1987). Pada peneitian ini metode yang digunakan adalah metode Travera. Metode Travera et al. (1987) menggunakan medium T-3 sebagai medium untuk pertumbuhan dan sporulasi B. thuringiensis. Dimana sampel tanah yang akan diidentifikasi terlebih dahulu dihomogenkan dengan buffer fosfat dan dipanaskan dengan suhu 70° C selama 30 menit. Pemanasan dilakukan untuk membunuh sel-sel bakteri atau mikroorganisme yang sedang tumbuh termasuk spora bakteri lain yang sedang tumbuh. Kemudian diratakan di medium T-3 dan diinkubasi dua hari hingga tumbuh koloni dengan morfologi dan warna yang sama
7
dengan B. thuringiensis. Protein Cry terbentuk setelah proses sporulasi pada waktu inkubasi hari ke tiga. Screening B. thuringiensis pada medium dengan koloni yang terbentuk dapat diamati dari permukaan yang kasar, licin agak mengkilat, warna koloni putih kekuningan. Pengamatan dengan mikroskop dapat dilihat dari bentuk sel vegetatifnya yang berbentuk batang dan memiliki spora dan kristal di dalamnya. Bakteri berspora namun tidak memiliki kristal bukanlah B. thuringiensis namun diduga merupakan B. cereus yang memiliki banyak kesamaan namun tidak ditemukan protein kristal pada bakteri tersebut (Salaki et al., 2009).
2.2.
Protein Protein berasal dari kata Proteos (utama atau pertama) merupakan senyawa
makromolekul yang memiliki peranan penting pada setiap makhluk hidup (Lehninger, 1982). Protein adalah suatu polipeptida dengan bobot molekul yang sangat bervariasi, dari 5000 hingga satu juta. Disamping berat molekul yang berbeda-beda, protein memiliki sifat yang berbeda-beda pula (Poedjiadi, 1994), dengan fungsi yang spesifik ditentukan gen yang sesuai (Lehninger, 1982).
2.2.1. Struktur Protein Protein tanpa memandang fungsi dan aktifitas biologisnya dibangun oleh susunan dasar yang sama yaitu 20 asam amino yang molekulnya sendiri tidak memiliki aktivitas biologis. Masing-masing asam amino dalam suatu protein terintegrasi melalui ikatan peptida yang tersusun secara kovalen membentuk struktur yang beragam bergantung dari proses pembentukan dan fungsi dari protein tersebut.
8
Struktur protein terdiri dari struktur primer, sekunder, tersier, dan kuartener. Struktur primer menunjukkan jumlah, jenis, dan urutan asam amino dalam molekul protein. Struktur primer protein juga menunjukkan ikatan peptida yang urutannya diketahui (Poedjiadi, 1994). R1
R2
+
COO - +
C
H3N
COO
+
C
H3N
H
H H2O
R1
H
R2
N
C
+
H3N
C
C
H
O
COO -
H
Gambar 2.3. Struktur primer protein (Poedjiadi, 1994).
Struktur sekunder protein adalah struktur protein yang dihasilkan oleh adanya interaksi ikatan hidrogen. Struktur sekunder terdiri dari α- heliks (spiral) dan β- sheets (lembaran berlipat). Terdapat dua bentuk struktur
β- sheets, yaitu
paralel dan anti paralel. Bentuk paralel terjadi apabila rantai polipeptida yang berikatan melalui ikatan hidrogen itu sejajar dan searah, sedangkan bentuk anti paralel terjadi apabila rantai polipeptida berikatan dalam posisi sejajar tapi berlawanan arah (Poedjiadi, 1994).
9
α-heliks
Β-sheets (paralel)
β-sheets (anti paralel)
Gambar 2.4. Struktur sekunder protein (Poedjiadi, 1994)
Struktur tersier menunjukkan kecendrungan polipeptida membentuk lipatan atau gulungan, sehingga membentuk struktur yang lebih kompleks. Struktur ini dimantapkan oleh adanya beberapa ikatan antara gugus R pada molekul asam amino yang membentuk protein. Beberapa jenis ikatan tersebut misalnya (a) ikatan elektrostatik, (b) ikatan hidrogen, (c) interaksi hidrofob antara
10
rantai samping non polar, (d) interaksi dipol-dipol, dan (e) ikatan disulfida yaitu suatu ikatan kovalen antara residu sistein (Poedjiadi, 1994).
Gambar 2.5. Beberapa jenis ikatan yang terdapat pada polipeptida (Poedjiadi, 1994) Struktur kuartener menunjukkan adanya interaksi intermolekuler antar unit-unit protein. Sebagaian besar protein globular terdiri atas beberapa rantai polipeptida yang terpisah. Rantai polipeptida ini saling berinteraksi membentuk persekutuan (Poerdjiadi, 1994). Gambar 2.6 menunjukkan suatu model struktur kuartener.
Gambar 2.6. Struktur kuartener protein (Poedjiadi, 1994)
11
2.2.2. Klasifikasi protein Golongan protein berdasarkan fungsi biologisnya, antara lain : a. Biokatalisator/ enzim dari hampir semua reaksi yang terjadi pada makhluk hidup. b. Protein pengangkut yaitu hemoglobin (Hb) yang mengikat dan membawa oksigen ke dalam jaringan peri-peri dan lipoprotein yang membawa lipid dari hati ke organ lain. c. Antibodi yaitu immunoglobin yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh. d. Protein pengatur yaitu hormon insulin yang berperan mengatur keseimbangan kadar glukosa dalam darah. e. Protein Struktural (keratin dan kolagen). f. Protein kontraktil (myosin). g. Protein nutrient yaitu ovalbumin dan kasein. h. Protein Toksin, pada penelitian ini protein Cry termasuk protein toksin yang dihasilkan oleh B.thuringiensis untuk mempertahankan hidupnya. Golongan protein berdasarkan struktur, antara lain : a. Protein fiber/ serat merupakan protein yang tidak larut dalam air, fleksibel dan lentur. b. Protein globular merupakan protein yang larut dalam air dan tidak stabil (terdenaturasi oleh suhu, pH, dan garam).
12
2.2.3. Metode Identifikasi Protein Identifikasi protein dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif, yaitu melalui reaksi xantoprotein, Hopkins-Cole, reaksi Millon, reaksi natriunnitroprusida, dan reaksi Sakaguchi. Sedangkan secara kuantitatif, yaitu metode Kjeldahl, metode titrasi formol, metode Lowry, metode biuret dan metode spetofotometer UV (Apriyanto, 1989). Pada penelitian ini metode yang digunakan dalam mengidentifikasi protein adalah metode Lowry. Metode lowry dikembangkan pada tahun 1951 dengan menggunakan reagen pendetektor Folin-Ciocalteu. Reagen ini biasa digunakan untuk mendeteksi gugus-gugus fenolik. Dalam analisa protein dengan menggunakan reagen FolinCiocalteu dapat mendeteksi residu tirosin yang mengandung gugus fenolik melalui reaksi reduksi oksidasi dimana gugus fenolik tirosin akan mereduksi gugus fosfotungstat dan fosfomolibdat yang terdapat pada reagen tersebut menjadi tungsten dan molibden yang berwarna biru. Intensitas warna kompleks sebanding dengan kandungan protein dalam sampel yang dianalisa (Apriyanto et al., 1989). Hasil reduksi ini dapat dianalisa lebih lanjut dengan melihat puncak absorbsi yang lebar pada daerah panjang gelombang sinar tampak (600-800 nm). Sensitifitas metode ini mengalami perbaikan yang cukup signifikan apabila digabung dengan metode biuret atau penambahan ion Cu, dimana kompleks Cu-protein yang dihasilkan reagen biuret akan menyebabkan reduksi fosfotungstat dan fosfomolibdat dalam reagen Folin-Ciocalteu, sementara residuresidu tirosin dan triptofan mereduksi sisanya. Dalam analisa kadar protein dengan metode Lowry, diperlukan protein standar pembanding misalnya BSA (Bouvine Serum Albumin) yang memiliki
13
rentang konsentrasi tertentu dimana konsentrasi sampel protein berada didalam rentang tersebut (Hermanto, 2008).
2.3.
Protein Toksin pada Bacillus thuringiensis
2.3.1. ICP (Insecticidal Crystal Protein) ICP (Insecticidal Crystal Protein) merupakan protein Cry (δ-endotoksin) yang dihasilkan Bacillus thuringiensis yang bersifat anti serangga. Tiap-tiap protein Cry memiliki toksisitas yang spesifik dengan sasaran serangga yang spesifik dan dapat juga memiliki beberapa serangga sasaran (Zeigler, 1999). Mekanisme kerja dari ICP adalah dengan termakan langsung oleh larva pada saat memakan daun atau bagian tumbuhan lain yang mengandung protein kristal. Kemudian protoksin tersebut masuk ke dalam usus dan terlarut oleh asam serta enzim protease sehingga menjadi toksin. Toksin ini secara spesifik akan menempel pada membran-membran sel di dalam usus serangga tersebut. Dalam waktu 1-3 jam sel-sel akan mengalami gangguan osmotik dikarenakan toksin tersebut meningkatkan derajat permeabilitas dinding sel, sehingga sel akan menggembung lalu membentuk lubang-lubang pada membran dan pecah (Dini, 2005). Perubahan biokimia yang tidak stabil tersebut akhirnya menyebabkan serangga lemas, aktivitas makannya menurun dan tidak merespon untuk pertumbuhan selanjutnya hingga terjadi perubahan secara fisik pada warna tubuhnya dimulai warna kecoklatan pada bagian anterior sampai pada bagian posterior menjadi hitam mengkerut dan mati (Hofte dan Whiteley, 1989).
14
Struktur protein δ-endotoksin memiliki tiga daerah (domain) aktif rantai polipeptida berdasarkan perbedaan struktur dan fungsi yang mengakibatkan kematian serangga (gambar 7 ), yaitu domain I merupakan 7 gabungan rantai helix (disimpulkan α = alpa) dapat menyebabkan pembentukan lubang-lubang pada usus serangga dengan membentuk “ion channel”, domain II membentuk untaian polipeptida yang panjang (disimpulkan β = beta) dan berikatan dengan ujung α-7 (domain I) berfungsi sebagai pengenal reseptor sel-sel epitel serangga. Domain III banyak mengandung arginin dan diperkirakan berperan dalam menstabilkan “ion
channel”.
Domain III
Domain I Domain II
Gambar 2.7. Struktur tiga dimensi protein Cry 2Ab10 (Lin et al., 2007)
Umumnya protein Cry dengan bentuk kubus toksik terhadap jenis serangga ordo Lepidoptera dan Diptera. Sedangkan protein Cry dengan bentuk bipiramidal toksik terhadap jenis serangga ordo Lepidoptera dan yang berbentuk
15
oval hanya toksik pada jenis serangga ordo Diptera (Dini, 2005). Bobot dari protein Cry juga menentukan sifat toksik pada serangga tertentu seperti terlihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1.Beberapa jenis-jenis protein Cry dari Bacillus thuringiensis berdasarkan ukuran dan serangga sasarannya.
Keterangan: Col = Coleoptera; Dip = Diptera; Lep = Lepidoptera Sumber: Hofte dan Whiteley, 1989 dan Feldman et al., 1995.
16
2.3.2. Parasporin Parasporin adalah protein Cry yang memiliki kemampuan sitosidal terhadap sel kanker. Berdasarkan hasil penelitian hingga tahun 2008, telah diketahui ada empat jenis parasporin, yaitu PS-1, PS-2, PS-3 dan PS-4. Pada tahun 2005, Hiromi juga menemukan protein kristal 29 kDa yang disebut protein p-29. Aktivitas sitosidal parasporin terhadap sel kanker hanya terjadi bila protein tersebut didegradasi oleh enzim-enzim protease menjadi satu molekul protein kecil (Jusuf, 2010). PS-1 merupakan protein Cry Aa/b/c berbentuk spherical dengan struktur 3 domain, bukan toksin pembentukan pori-pori membran. Agriculture and Agri-
food Canada (AAFC) telah mengisolasi dan karakterisasi satu protein Cry31Aa2 dari galur B. thuringiensis M15 yang menunjukkan aktivitas sitosidal in vitro khususnya terhadap sel HepG2 (human hepatocyte cancer cells) dan sel-sel jurkat (leukemic T cells). Mizuki et. al. (2000) mengisolasi protein dari B.thuringiensis nomor isolat 84-HS-1-11 asal Hiroshima berukuran ± 81.045 kDa yang tersusun dari 723 asam amino, disandi oleh satu gen berukuran 2169 bp. Protein ini dikenal sebagai Cry31Aa2. Sekuen asam amino tediri dari 5 conserved block seperti biasanya yang terdapat protein Cry pada umumnya, tetapi homolginya dengan protein Cry maupun Cyt sangat rendah (< 25%). Aktivitas sitosidal terjadi apabila protein telah didegradasi oleh protease menjadi molekul yang kecil berukuran 40 sampai 60 kDa. Tripsin dan proteinase K dapat mengaktifkan parasporin, tetapi chymotrypsin tidak dapat mengaktifkan, Aktivitas sitosidal sangat kuat terhadap MOLT-4 (human leukemic T cells) dan HeLa (human uterus cervix cancer cells), tetapi tidak terhadap sel T normal. B.
17
thuringiensis var. dakota A1547 yang diisolasi oleh Yamagiwa et al. (2002) juga gen dari protein yang telah dimurnikan diklon pada sel lain dan menghasilkan protein rekombinan yang memiliki aktivitas sitosidal yang kuat terhadap sel-sel kanker hati dan usus tanpa efek terhadap sel normalnya. Mekanisme sitosidal dari protein ini adalah meningkatkan dengan cepat kepekatan ion bebas Ca2+ intraseluler dengan tanpa perubahan permeabilitas membran plasma dan sel-sel kanker dibunuh melalui apoptosis. pada sel HeLa yang ditreatment dengan parasporin-1, dapat diobservasi adanya degradasi pro-
caspase-3 dan poly (ADP-ribose) polymerase. Hal ini ditunjukkan oleh adanya penurunan sintesis protein selular dan DNA pada sel HeLa. Tingkat kepekatan ion bebas Ca2+ naik tajam 1-3 menit setelah pemberian PS-1, dan hasil uji menunjukkan bahwa derajat sensitivitas sel berbanding lurus dengan besarnya peningkatan kepekatan Ca2+ intraseluler. Jadi, PS-1 mengaktifkan apoptotic
signaling pada sel-sel kanker yang ditreatment sebagai akibat meningkatnya level Ca2+ dan influx Ca
2+
ini merupakan langkah awal dalam jalur proses toksisistas
PS-1. Bentuk toksin hasil pemecahan oleh protease adalah 15 dan 56 kDa, sementara bentuk reseptor pada sel sasaran belum diketahui (Kitada et al., 2005). PS-2 adalah protein Cry46Aa atau disebut juga sebagai Mtx-like protein dengan bentuk tidak beraturan yang ditunjukkan oleh protein PS2Aa1. Proses sitosidal terjadi dengan meningkatkan permeabilitas sel kanker. Tahap awalnya, peningkatan pada reseptor putative (GPI-anchored proteins) yang berada pada
lipid rafts (detergents resistans membrane) yang diikuti dengan oligomerisasi dan pembentukan pori pada membran plasma dengan efek sitolisis (Kitada et al., 2005).
18
Protein kristal yang tergolong PS-2 diperoleh dari galur B. thuringiensis TK-E6 yang dikenal sebagai PS2Ab adalah polipeptida dengan 304 asam amino dan berat molekul diprediksi sekitar 33.107 kDa (Hayakawa et al., 2007). Sekuen asam amino PS2Ab menunjukkan homologi signifikan (84% identitas). PS2Aa yang sebelumnya ditemukan terdapat dalam galur B. thuringiensis var. dakota A1547. Protein Kristal PS2Ab diproses dengan proteinase K menghasilkan protein aktif berukuran 29 kDa yang memiliki sitotoksisistas kuat terhadap sel-sel MOLT-4 dan Jurkat dengan nilai EC50 masing-masing 0,545 dan 0,745 ng/mL. Toksisitas PS2Ab ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan PS2Aa setelah beberapa kali pengujian (Jusuf, 2010). Spektrum sitotoksisitas dari parasporin terhadap beberapa tipe kanker dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Spektrum sitotoksisitas empat macam parasporin terhadap berbagai tipe sel kanker dan normal ( Ohba et al., 2009 ).
Keterangan : Tingkat toksisitas bernilai EC50 : sangat tinggi (++++), tinggi, (+++), sedang (++), rendah ( +), sangat rendah (-) dan NT ( tidak di tes/ Not Test )
19
Protein kristal PS-3 atau Cry41Aa/b berbentuk bipiramidal berukuran 88 kDa dengan struktur tiga domain. setelah pemecahan protease menjadi aktif pada toksik dengan ukuran 64 kDa. Mekanisme penghambatan tumbuh sel kanker belum diungkap dan reseptor yang mengenali protein ini pada membran sel-sel kanker belum diketahui (Kitada et al., 2005). PS-4 digolongkan dalam dua macam, yaitu Cry45Aa yang disebut epsilon
toxin like dan Cry42Aa yang merupakan struktur tiga domain, berukuran 31 kDa dan bentuk aktif pada ukuran 27 kDa, dimana bentuk protein reseptor pada sel target belum diketahui (Kitada et al., 2005). Didapatkan pada galur B.
thuringiensis var. shandongiensis strain 89-T-34-22 yang dikenal sebagai Cry45Aa (Okumura et al., 2004). Sekuen asam amino PS-4 yang ditelusurkan berdasarkan sekuen gen penyandinya memiliki homologi sangat rendah dibandingkan dengan umumnya protein Cry maupun dengan ketiga jenis parasporin tersebut di atas. Pelarutan dengan alkali dan proteinase K menghasilkan protein dengan aktivitas sitotoksik kuat terhadap MOLT-4 dan sitotoksik lemah terhadap sel-sel T normal, tetapi efek terhadap sel-sel HeLa tidak terlihat. Uemori et al. (2008) mengidentifikasikan dua gen protein parasporin masing-masing gen ps1Aa3 dengan panjang 2.619 bp menyandi protein 81 kDa (PS1Aa3) dan gen ps1Ab1 dengan panjang 2.178 bp menyandi protein 82 kDa (PS1Ab1) dari B. thuringiensis strain B0195. Sekuen asam amino PS1Aa3 ternyata 100% identik dengan protein referensi PS1Aa1, sedang PS1Ab1 adalah 86,4% identik dengan PS1Aa1. Protein rekombinan PS1Aba yang disintesis dalam sel B.thuringiensis transformant, setelah perlakuan
20
proteolitik mampu menginduksi sitolisis sel HeLa, tetapi tidak berpengaruh terhadap sel non-kanker UtSMC (human uterine smoot muxcle cells)
2.4.
SDS PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate Polyacrilamid Gel Electroforesis)
2.4.1. Prinsip Dasar Elektroforesis merupakan proses bergeraknya molekul bermuatan pada suatu medan listrik. Kecepatan molekul-molekul yang bergerak dalam medan listrik bergantung pada muatan, bentuk dan ukuran. Dengan demikian elektroforesis dapat digunakan untuk separasi makromolekuler (seperti protein dan asam nukleat). Posisi molekul yang tersparasi pada gel dapat dideteksi dengan pewarnaan autoradiografi, ataupun dilakukan dengan densitometer (Ikmalia, 2008). Salah satu metode elektroforesis yang umumnya digunakan untuk analisa campuran protein secara kualitatif adalah SDS‐PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate
Polyacrilamid Gel Electroforesis). Prinsip penggunaan metode ini adalah pembentukan polimer dari komponen akrilamida dengan ikatan silamg N.N` bisakrilamida.
Kisi-kisi
tersebut
berfungsi
sebagai saringan
molekul sehingga konsentrasi atau rasio akrilamida dengan bisakrilamida dapat diatur untuk mengoptimalkan migrasi komponen protein (Wilson dan Walker, 2000). Elektroforesis gel SDS dilakukan pada pH netral dengan adanya SDS dan
β-merkaptoetanol. Dengan adanya SDS, protein rantai ganda akan terdisosiasi menjadi rantai-rantai individual dan terdenaturasi oleh detergen ini, sehingga susunan yang tadinya teratur dan berbentuk tiga dimensi menjadi rusak
21
membentuk konfigurasi random coil. Peristiwa ini dibantu dengan adanya βmerkaptoetanol yang memutus ikatan disulfida antar ataupun dalam rantai (mereduksi ikatan disulfida menjadi gugus sulfihidril). Di samping itu, SDS berikatan dengan protein membentuk kompleks SDS-Protein yang tidak memiliki struktur sekunder dan membawa muatan negatif yang diakibatkan oleh adanya gugus-gugus anion dari SDS (Nur et al., 1992).
2.4.2. Aplikasi SDS-PAGE SDS PAGE dapat diaplikasikan berdasarkan kegunaannya antara lain (Ikmalia, 2008) : 1. Menentukan berat molekul (estimasi). Penetapan BM secara lebih teliti dapat dilakukan dengan ultrasentrifuge, meskipun dengan elektroforesis sudah memenuhi syarat. 2. Dapat mendeteksi terjadinya pemalsuan bahan. 3. Dapat mendeteksi terjadinya kerusakan bahan seperti protein dalam pengolahan dan penyimpanan. 4. Untuk memisahkan spesies molekul yang berbeda secara kualitatif maupun kuantitatif, yang selanjutnya masing-masing spesies dapat dianalisis. 5. Menetapkan titik isoelektrik protein. Keunggulan dari SDS PAGE adalah pita protein yang terbentuk menjadi lebih stabil dikarenakan adanya medium penyangga yaitu gel poliakrilamida, bersifat transparan sehingga dapat diamati dengan mudah, dapat memperoleh resolusi yang lebih baik dan ukuran pori dapat diatur sehingga pemisahan senyawa dapat lebih optimal (Nur et al., 1992). Meskipun SDS PAGE paling
22
sering digunakan dalam elektroforesis gel untuk analisis protein, tapi tidak dapat digunakan untuk menganalisa sejumlah protein kompleks yang diperlukan aktifitas biologi dari protein untuk pengujian protein selanjutnya. Hal ini disebabkan karena protein yang telah di elektroforesis telah mengalami denaturasi (Hames, 1998).
23
BAB III METODE PENELITIAN
3.1.
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung selama 8 bulan dari bulan Agustus 2010 sampai
Maret 2011. Tempat penelitian dilakukan di Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong dan Pusat Laboratorium Terpadu (PLT), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.2.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah beberapa sampel tanah dari Kabupaten
Tangerang (Ciherang, Ciputat, Pasar Kemis, Kosambi, Parung Secab, Puspiptek, Pamulang, dan Cileduk), galur B. thuringiensis pembanding ( Isolat Cibinong, 5 k), triptosa, tripton, yeast extract, Na3PO4, dan MnCl2, NaCl, HCl, EDTA, sukrosa, bromophenol blue, SDS, beta-merkaptoetanol, dithiothreitol, Acryl/bis (sigma), ammonium persulfat (APS), coomassie brilliant blue, glisin, resolving
gel buffer (1,5M Tris-HCl pH 8,8), stacking gel buffer (0,5 M Tris-HCl pH 6,8), metanol, H2SO4, NH4OH, Na2CO3, CuSO4.5H2O, Na.K.tartrate, reagen folin,
N,N,N’,N’,tetramethylethylenediamine (TEMED), BSA, standar protein marker catalog #161-0318 (Bio-Rad), aquabides, dan aquades. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah erlenmeyer, vortex, timbangan digital, cawan petri, labu ukur, mikroskop, tabung reaksi, pH meter, jangka sorong, mikrosentrifuge Sorval , mikropipet, autoklaf, shaker, laminar air
24
flow, inkubator, spektrofotometer UV-VIS Shimadzu, dan Mini-Protean Gel Elektrophoresis 3 cell BIO-RAD.
3.3.
Cara Kerja
3.3.1. Isolasi bakteri dari tanah Teknik isolasi yang dilakukan menggunakan metode Travera et al. (1987). Sampel tanah ditimbang sebanyak 1 gram. Kemudian dimasukkan ke dalam tabung 20 mL yang telah berisi 10 mL buffer fosfat 0,05 M dengan pH 6,8, dikocok dengan kuat selama 15 menit. Setelah itu, dipanaskan pada suhu 70˚C selama 30 menit dalam waterbath, lalu dikocok lagi dengan kuat untuk meratakan penyebaran spora selama 15 menit. Sebanyak 5 dan 10 µl suspensi disebarkan pada cawan petri yang berisi agar T-3 (per-liter mengandung 3 g tripton, 2 g triptosa, 1,5 g yeast extract, 0,05 M Na3PO4, 0,005 M MnCl2 dalam 12 g agar ). Pengerjaan dilakukan secara duplo. Kemudian diinkubasi pada suhu 28˚C selama kurang lebih 48 jam, hingga muncul koloni yang memiliki kesamaan morfologi, warna, aroma yang sama dengan B. thuringiensis pembanding. Dari setiap sampel dipilih 24 koloni yang betul-betul mirip dengan B.
thuringiensis pembanding, lalu ditransfer ke agar T-3 yang baru di cawan petri dan diinkubasi pada suhu 28˚C sampai terjadi sporulasi selama kurang lebih selama 72 jam. Penapisan isolat dari
24 koloni terpilih setiap sampelnya
dilakukan dengan observasi mikroskop menggunakan mikroskop fase kontras atau cahaya biasa dengan memastikan adanya bentuk protein kristal. Pada observasi mikroskop, koloni dihomogenkan dengan menggunakan aquades steril pada kaca objek kemudian ditutup dengan kaca penutup yang sudah dilapisi dengan vaselin.
25
Koloni yang dipastikan membentuk protein kristal dipanen dan dikoleksi sebagai isolat baru serta disimpan pada agar Luria-Bertani miring (per liter mengandung 10 g tripton, 5 g yeast extract, 10 g NaCl dalam 15 g agar) dan diberi nomor isolat sesuai dengan asal sampel.
3.3.2. Isolasi protein Nomor-nomor isolat bakteri berkristal ditumbuhkan pada agar LuriaBertani dalam cawan petri sebanyak 2 kali reinokulasi, kemudian diinkubasi pada suhu 28˚C selama 24 jam. Setelah itu koloni bakteri yang tumbuh diinokulasikan dalam plat agar 2xSG ( per-liter mengandung 16 g nutrient broth, 2 g KCl, 0,5 g MgSO4.7H2O, 2 mL glukosa 50 %, 1 mL Ca(NO3) 1 M, 1 mL MnCl2 0,1 M, 1 mL FeSO4 1 mM dalam 17 g agar ), lalu diinkubasi hingga bersporulasi selama kurang lebih 48 sampai 72 jam. Koloni yang telah bersporulasi dipanen dan dimasukkan ke dalam microtube 1,5 mL yang berisi 1 mL NaCl 0,5 M dingin direndam dalam es dan dikocok hingga menjadi suspensi homogen. Suspensi disentrifugasi pada 13000x g selama 10 menit, supernatan dibuang dan hanya disisakan pellet pada
microtube. Pellet ditambahkan lagi 1 mL NaCl dan disentrifugasi kembali. Kemudian pellet yang diperoleh diresuspensi dengan 140 µl campuran 1 % SDS0,01 % β-merkaptoetanol dan direbus selama 10 menit. Suspensi kemudian disentriugasi kembali pada 10000x g selama 10 menit dan supernatan yang terjadi diambil sebagai sampel untuk dianalisis secara elektroforesis.
26
3.3.3. Kuantitifikasi protein dengan Lowry a. Lowry Concentrate 2x : -
Reagen Cooper (20 g Na2CO3 dalam 260 mL H2O, 0,4 CuSO4.5H2O dalam 20 mL H2O dan 0,2 g Na.K.tartrate dalam 20 mL H2O.
-
10 g SDS dalam 100 mL H2O
-
4 g NaOH dalam 100 mL H2O
Pada waktu digunakan, 3 bagian reagen cooper ditambahkan 1 bagian SDS dan 1 bagian NaOH. b. 0,2 N Folin reagent : campur 10 mL 2 N folin dengan 90 mL H2O. Terhadap 400 ul sampel ditambahkan 400 µl Lowry Concentrate 2x, inkubasi pada suhu ruang, ± 10 menit. Selanjutnya ditambahkan 200 µl 0,2 N
Folin reagent, lalu dihomogenkan dengan vortex setiap kali penambahan. Campuran diinkubasi 30 menit pada suhu ruang, dan dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 750 nm dengan menggunakan BSA sebagai pembanding.
3.3.4. SDS-PAGE (Laemli, 1970) Karakterisasi protein dilakukan dengan elektroforesis SDS-PAGE, dengan menggunakan 12 % separating gel dan 4% stacking gel. Pewarnaan dengan 0,1 %
coomassie brilliant blue, 50 % metanol dan 10 % asam asetat . a. Preparasi sampel Supernatan dari hasil isolasi protein diambil sebanyak 30 µl dimasukkan ke dalam microtube 100 µl, kemudian ditambahkan 20 µl buffer sampel (0,15 M tris/HCl pH 8,8, 3,75 M EDTA, 0,75 M sukrosa, 0,075 %
27
bromophenol blue,
2,5% SDS, 7,4
mM dithiothreitol).
Campuran
dihomogenkan dan dipanaskan selama 10 menit pada suhu 100 °C. b. Preparasi gel elektroforesis -
Resolving gel (12%) Aquabides
sebanyak
3,4
mL
ditambahkan
30%
degassed
Acrylamide/bis sebanyak 4 mL, lalu dihomogenkan. Campuran tersebut ditambahkan resolving gel buffer (1,5M Tris-HCl pH 8,8) sebanyak 2,5 mL, lalu dihomogenkan dan ditambahkan SDS 10 % (w/v) sebanyak 0,1 mL. Setelah itu, ditambahkan ammonium persulfat (APS) 10 % sebanyak 50 µl, lalu homogenkan. Kemudian ditambahkan dengan TEMED sebanyak 5 µl dan dihomogenkan kembali. -
Stacking gel (4%) Aquabides
sebanyak
6,1
mL
ditambahkan
30%
degassed
Acrylamide/bis sebanyak 1,3 mL, lalu dihomogenkan. Campuran tersebut ditambahkan stacking gel buffer (0,5 M Tris-HCl pH 6,8) sebanyak 2,5 mL, lalu dihomogenkan dan ditambahkan SDS 10 % (w/v) sebanyak 0,1 mL. Setelah itu, ditambahkan ammonium persulfat (APS) 10 % sebanyak 50 µl, lalu homogenkan. Kemudian ditambahkan dengan TEMED sebanyak 10 µl dan dihomogenkan kembali. c. Pembuatan kolom gel
Resolving gel dimasukkan sedikit demi sedikit dengan menggunakan mikropipet ke dalam alat elektroforesis hingga batas untuk stacking gel. Kemudian ditambahkan aquabides, untuk meratakan resolving gel. Setelah
resolving gel membeku, dimasukkan stacking gel sedikit demi sedikit, lalu
28
dipasangkan sisir pembentuk sumur atau kolom, dan dibiarkan hingga membeku lalu sisir dapat diangkat. Hasil gel tersebut kemudian dipasang pada perangkat elektroforesis. d. Loading sampel Larutan buffer dimasukkan ke dalam tangki elektroforesis. Kemudian sampel sebanyak 10 µl dimasukkan ke dalam kolom gel dengan hati-hati lalu di elektroforesis selama ± 100 menit dengan tegangan elektrik 120 volt. e. Pewarnaan dan pencucian gel Gel diangkat lalu diwarnai dengan coomassie brilliant blue stainning
gel selama semalaman. Kemudian gel diangkat dan dimasukkan ke dalam aquades dan dipanaskan hingga pita-pita protein terlihat jelas.
29
3.4. Desain Penelitian 3.4.1. Isolasi B. thurigiensis Tanah
Cuplikan Disuspensi dengan buffer fosfat, Dipanaskan 30’, 70 °C
Suspensi hasil pemanasan
Lokasi : - Ciherang - Ciputat - Pasar kemis - Kosambi - Parung Secab - Puspiptek - Pamulang - Cileduk
Inokulasi media T-3, Inkubasi ± 48 jam, 28 °C
Bt.
Morfologi dibandingkan
Isolat
Kandidat yang memiliki kemiripan dengan Bt, Transfer ke media T-3 Inkubasi ± 72 jam, 28 °C
Spora Bt Uji Mikroskop
(isolat tidak ada protein kristal)
+ (isolat ada protein kristal)
30
3.4.2. Isolasi protein toksin Isolat hasil uji mikroskop (+) Inokulasi media LB (duplo) Inkubasi ± 24 jam, 28 °C
Isolat Hasil medium LB Inokulasi media 2xSG Inkubasi ± 48 – 72 jam, 28 °C
Isolat Hasil medium 2xSG + 1 mL NaCl 0,5 M Resuspensi
Supenatan
Pellet + 1 mL NaCl 0,5 M Resuspensi
Pellet
Supernatan + 140 µl 1 % SDS- 0,01 β-mercaptoetanol Dipanaskan, diresuspensi
Pellet
Supernatan
Protein profiling SDS PAGE
Uji Lowry
31
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Isolat B.thuringiensis dari Tanah di Kabupaten Tangerang Berdasarkan hasil isolasi yang dilakukan terhadap beberapa sampel tanah
di Kabupaten Tangerang diperoleh 6 sampel yang diduga memiliki kemiripan
dengan koloni B. thuringiensis pembanding, yaitu Ciherang, Pasar Kemis, Kosambi, Parung Secab, Pamulang dan Cileduk. Cileduk. Kemiripan tersebut terlihat dari koloni yang tumbuh memiliki permukaan yang kasar, agak mengkilat, dan warna koloni putih kekuningan seperti yang terlihat pada gambar 4.1.
Gambar 4.1. Isolasi B. thuringiensis dari tanah : (a) Isolat B. thuringiensis pembanding dan (b) Isolat Pasar Kemis. Sampel tanah C Ciputat iputat dan Puspiptek tidak ditemukan adanya koloni bakteri. Hal ini kemungkinan disebabkan pada sampel tanah yang diambil tidak dilakukan
secara
berulang
kali.
B.
thuringiensis
merupakan
bakteri
entomopatogen sehingga pada suatu saat tertentu dipengaruhi oleh oleh beberapa faktor antara lain hujan, erosi, epizootik dan endozootik (Salaki et al., 2009).
32
Koloni-koloni dari sampel yang memiliki kesamaan dengan koloni B. thuringiensis pembanding, diseleksi kembali dengan pemilihan 24 koloni seperti yang terlihat pada gambar 4.2.
(b)
(a)
Gambar 4.2. Isolasi 24 koloni terpilih: (a) Isolat Ciherang dan (b) Isolat Pamulang. Pemilihan 24 koloni tersebut dimaksudkan untuk menyeleksi kembali
isolat-isolat yang memiliki kemiripan dengan B. thuringiensis pembanding dan dipastikan dengan pengujian menggunakan mikroskop. Dari pemilihan koloni tersebut belum tentu dari koloni yang dipilih terdapat protein kristal yang merupakan ciri dari B. thuringiensis. Berikut merupakan hasil pengujian mikroskop dengan perbesaran 50 x 10 pada salah salah satu koloni sampel dan
B.thuringiensis pembanding seperti yang terlihat pada gambar 4.3. X
(a)
(b)
Gambar 4.3. Hasil uji mikroskop : (a). Isolat Kem 7 salah satu isolat yang menghasilkan protein kristal. (b). Isolat B.thuringiensis pembanding (Isolat Cibinong, 5 k). Keterangan: S = spora dan K = protein kristal.
33
Berdasarkan Gambar 4.3, pada hasil uji mikroskop terlihat bahwa isolat Kem 7 memiliki kemiripan dengan isolat B.thuringiensis pembanding (Isolat Cibinong, 5 k). Hal ini dapat diamati dari adanya spora yang berbentuk bulat dan protein kristal berbentuk lancip dan berwarna kehitaman seperti pada isolat B.thuringiensis pembanding. Hasil penapisan 24 koloni terpilih dengan menggunakan mikroskop didapatkan 30 nomor isolat yang menghasilkan protein kristal. Isolat-isolat dari tanah yang dipastikan membentuk protein kristal antara lain, terlihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1. Isolat dari sampel tanah yang menghasilkan protein kristal Sampel Tanah Ciherang (Ch) Parung (Par) Pamulang (Pm) Cileduk (Cdk) Kosambi (Kos) Pasar Kemis (Kem)
Isolat Penghasil Protein Kristal Ch-3 dan Ch 7 Par 8, Par 9, Par 11, Par 16, Par 17, dan Par 18 Pm 6, Pm 10, Pm14, Pm 19, dan Pm 23 Cdk 3, Cdk 4, Cdk 9, dan Cdk 14 Kos 6, Kos 7, Kos 9, Kos 15 dan Kos 16 Kem 3, Kem 5, Kem 6, Kem 7, Kem10, Kem 22, Kem 23, dan Kem 24
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa, sampel tanah dari Pasar Kemis memiliki isolat terbanyak dan Ciherang memiliki isolat terkecil sebagai penghasil protein berkristal. Hal ini menandakan pada sampel tanah yang diambil dari Pasar Kemis memiliki sumber air, mineral, karbon, dan nitrogen yang cukup banyak bagi B. thuringiensis serta kondisi lingkungan seperti pH, kelarutan oksigen dan temperatur yang sesuai untuk pertumbuhan bakteri tersebut.
34
4.2.
Isolasi protein toksin Isolat dari sampel tanah yang menghasilkan protein kristal diremajakan
pada medium Luria Bertani (LB). Hal ini dikarenakan medium LB merupakan medium dengan kandungan jumlah karbon, nirogen dan mineral yang cukup banyak bagi kelangsungan hidup B. thutingiensis. Sedangkan medium T-3 dan 2xSG memiliki kandungan karbon, nitrogen dan mineral yang sedikit sehingga memungkinkan B. thutingiensis untuk bersporulasi. Peremajaan pada medium LB seperti yang terlihat pada gambar 4.4.
Gambar 4.4. Peremajaan bakteri berkristal di medium Luria Bertani (LB) Gambar 4.4 menunjukkan adanya koloni yang tumbuh dari hasil peremajaan di medium LB. Koloni tersebut berwarna putih kekuningan dengan jumlah yang cukup banyak pada setiap isolat setelah diinkubasi 24 jam, hal ini menandakan bahwa bakteri dapat hidup dengan baik pada medium LB. Peremajaan tersebut dimaksudkan agar bakteri dapat lebih produktif dalam menghasilkan protein kristal saat di medium sporulasi. Koloni hasil dari peremajaan dipindahkan pada medium 2xSG agar bakteri bersporulasi sehingga dihasilkan protein kristal. Isolasi bakteri pada medium 2xSG seperti terlihat pada gambar 4.5.
35
Gambar 4.5. Isolasi bakteri berkristal di medium 2xSG Gambar 4.5 menunjukkan bahwa adanya koloni yang tumbuh pada medium 2xSG, dimana koloni yang tumbuh merupakan koloni yang telah bersporulasi. Proses sporulasi tersebut merupakan usaha dari bakteri berkristal dalam
mempertahankan
diri
dengan
lingkungan
yang
membahayakan
kehidupannya (Dini, 2005). Terjadinya proses sporulasi diamati dengan menggunakan mikroskop, yaitu pada saat sudah terbentuknya spora dan protein kristal pada isolat yang diamati. Hasil dari inokulasi pada medium 2xSG yang sudah mengalami sporulasi, dipanen dan dibersihkan dengan NaCl untuk menghilangkan medium yang terbawa pada spora dan kristal saat proses pemanenan. Pemisahan spora dan protein kristal dilakukan dengan menambahkan campuran 1% SDS - 0,01% βmerkaptoetanol, dimana protein kristal yang bercampur dengan spora akan terpisahkan karena adanya β-merkaptoetanol kemudian protein kristal yang telah terpisah akan terlarut karena diikat oleh SDS.
4.3.
Kuantifikasi protein dengan Lowry Kuantifikasi dengan Lowry dilakukan untuk mengetahui kadar protein
kristal yang telah diisolasi. Sampel yang diujikan sebanyak 30 sampel protein
36
kristal, yaitu Ch-3, Ch 7, Par 8, Par 9, Par 11, Par 16, Par 17, Par 18, Pm 6, Pm 10, Pm 14, Pm 19, Pm 23, Cdk 3, Cdk 4, Cdk 9, Cdk 14, Kos 6, Kos 7, Kos 9, Kos 15, Kos 16, Kem 3, Kem 5, Kem 6, Kem 7, Kem10, Kem 22, Kem 23, dan Kem 24. Sedangkan standar pembanding yang digunakan adalah BSA (Bovine Serum Albumin) dengan konsentrasi 1 ppm, 5 ppm, 10 ppm, 50 ppm, dan 100 ppm. Pada pengujian kadar protein dengan menggunakan metode Lowry, semua sampel dan standar pembanding membentuk kompleks biru keunguan. Hal ini disebabkan adanya ion Cu+2 yang terdapat dalam kompleks Cu, akan memutus ikatan peptida serta bersama-sama dengan adanya residu tirosin dan triptofan menyebabkan reduksi fosfotungstat dan fosfomolibdat yang terdapat dalam reagen menjadi tungsten dan molibden yang berwarna biru keunguan. Reaksi yang terjadi pada metode Lowry seperti yang terlihat pada gambar 4.6.
Gambar 4.6. Reaksi pada metode Lowry (Dini, 2005) Intensitas warna kompleks sebanding dengan kandungan protein dalam sampel yang dianalisa (Apriyanto et al., 1989). Dari hasil pengujian intensitas
37
warna kompleks yang dihasilkan sampel protein kristal diperoleh konsentrasi protein sampel sebagai berikut : Tabel 4.2. Nilai absorbansi dan konsentrasi sampel protein kristal Sampel Ch 3 Ch 7 Par 8 Par 9 Par 11 Par 16 Par 17 Par 18 Pm 6 Pm 10 Pm 14 Pm 19 Pm 23 Cdk 3 Cdk 4 Cdk 9 Cdk 14 Kos 6 Kos 7 Kos 9 Kos 15 Kos 16 Kem 3 Kem 5 Kem 6 Kem 7 Kem 10 Kem 22 Kem 23 Kem 24
Absorbansi 0,402 0,449 0,522 0,158 0,158 0,38 0,453 0,7 0,376 0,483 0,662 0,517 0,112 0,698 0,383 0,528 0,393 0,57 0,495 0,532 0,553 0,518 0,453 0,233 0,374 0,481 0,56 0,443 0,436 0,134
Konsentrasi Protein (ppm) 56,714 63,428 73,857 43,71 43,71 53,571 64 99,28 53 68,289 93,857 73,143 30,571 99 54 74,714 55,428 80,714 70 75,286 78,286 73,286 64 32,571 52,714 68 79,286 62,517 61,571 36,857
Dari hasil pengujian kadar protein, diperoleh konsentrasi terbesar pada sampel Cdk 3 yaitu 99 ppm, dengan absorbansi sebesar 0,698. Sedangkan konsentrasi terkecil terdapat pada sampel Pm 23 yaitu 30,571 ppm, dengan
38
absorbansi sebesar 0,112. Perbedaaan kadar protein pada masing-masing sampel dapat disebabkan dari berbedanya jumlah biomassa isolat yang didapat dan dipengaruhi oleh proses sporulasi dari isolat pada masing-masing sampel dalam menghasilkan protein toksin.
4.4.
Profil Protein Hasil SDS-PAGE Analisa SDS-PAGE dilakukan untuk mengestimasi bobot molekul protein
sampel yang didapat dari hasil isolasi B. thuringiensis pada tanah di kabupaten Tangerang. Kemudian mencocokkan hasil bobot molekul yang didapat dengan sumber referensi untuk memprediksi jenis protein toksin yang didapat. Adapun hasil-hasil analisa SDS-PAGE yang dilakukan pada setiap sampel disajikan pada gambar berikut : Kda 21 125 Cry 25
10 56,2
Cry 35
35,8
Cry 15 Cry 23
2
M
1
2
3
4
5
6
7
Cyt A
Gambar 4.7. Hasil analisa SDS-PAGE pada sampel protein 1 (Kos 6), 2 (Kem 23), 3 (Par 17), 4 (Kos 9), 5 (Kos 7), 6 (Par 8), dan 7 (Pm 14).
39
Kda 210 125 101 56, Cry 35
35,8
Cry 46 (PS-2) Cry 45 (PS-4)
2 9
Cyt A
M
1
2
3
4
5
6
7
Gambar 4.8. Hasil analisa SDS PAGE pada sampel protein 1 (Kem 6), 2 (Par 18), 3 (Par 11), 4 (Kos 16), 5 (Par 9), 6 (Pm 19), dan 7 (Pm 10).
Kda 210 125 10 Cry 41 (PS-3)
56, Cry 23
Cyt A
35,8 2
M
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Gambar 4.9. Hasil analisa SDS PAGE pada sampel protein 1 (Cdk 3), 2 (Kem 22), 3 (Ch 7), 4 (Cdk 4), 5 (Ch 3), 6 (Pm 14), 7 (Cdk 14), 8 (Kem 3), dan 9 (Cdk 9)
40
Kda 210 125 101
56, Cry 30
35,8
Cry 45 (PS-4)
2
M
1
2
3
4
5
6
Gambar 4.10. Hasil analisa SDS PAGE pada sampel protein 1 (Pm 6), 2 (Kos 15), 3 (Kem 24), 4 (Kem7), 5 (Par 16), dan 6 (Kem 5).
Kda 210 125 101 56,
35,8 Cry 45 (PS-4)
2
M
1
2
3
4
Gambar 4.11. Hasil analisa SDS PAGE pada sampel protein 1 (Pm 23), 2 (Kem 10), 3 (Cdk 9), dan 4 (Par 18). Hasil SDS PAGE untuk ke 30 isolat, diinterpretasikan melalui persamaan regresi dengan menggunakan microsoft excel, seperti terlihat pada lampiran 8
41
hingga 12. Hasil prediksi protein toksin dari masing-masing protein sampel berdasarkan referensi seperti terlihat pada tabel 4.3. Tabel 4.3. Bobot molekul protein sampel dan prediksi protein toksinnya. Sampel
Prediksi protein toksin
Sumber
Cdk 3 Cdk 4 Cdk 9 Cdk 14 Ch 3 Ch 7 Kem 3 Kem 5 Kem 6 Kem 7 Kem 10 Kem 22 Kem 23 Kem 24 Kos 6 Kos 7
Bobot Molekul (kDa) 29 29 29 28 27 27 49 35 32 31 38 88 100 45 44 29
Cry 23 Cry 23 Cry 23 Cyt A Cyt A Cyt A Cry 30 Cry 45 (PS-4) Cry 41 (PS-3) Cry 25 Cry 35 Cry 23
Arrieta et al., 2004 Arrieta et al., 2004 Arrieta et al., 2004
Kos 9 Kos 15 Kos 16 Par 8 Par 9
34 30 28 56 31
Cry 15 Cyt A Cry 45 (PS-4)
Par 11 Par 16 Par 17 Par 18 Pm 6 Pm 10 Pm 14 Pm 19 Pm 23
33 35 28 44 169 199 39 196 31
Cry 46 (PS-2) Cry 30 Cyt A Cry 35 Cry 45 (PS-4)
Hofte dan Whiteley, 1989
Balaraman, 2005 Balaraman, 2005 Zeigler, 1999 Kitada et al., 2005 Kitada et al., 2005 Zeigler, 1999 Ernest et al., 2005
Arrieta et al., 2004 Brown dan Whiteley, 1992
Hofte dan Whiteley, 1989
Kitada et al., 2005 Hayakawa et. al., 2007 Zeigler, 1999 Hofte dan Whiteley, 1989
Ernest et al., 2005
Kitada et al., 2005
Pada tabel 4.3 dapat dilihat bahwa terdapat 20 sampel protein toksin yang dapat diprediksi, yaitu terdiri dari 14 protein Cry dan 6 protein Cyt, sedangkan 10 42
sampel protein lainnya belum dapat diprediksi jenis protein toksinnya. Protein Cyt yang diprediksi didapat hanya 1 tipe yang terdiri dari 5 sampel protein yaitu Cyt A. Terdapat 5 tipe protein toksin yang diprediksi bersifat insektisidal atau lebih dikenal dengan ICP (Insecticidal Crystal Protein) yang terdiri dari 10 sampel protein, antara lain
Cry 15, Cry 23, Cry 25, Cry 30, dan Cry 35. Hal ini
didasarkan pada penelitian sebelumnya dimana, protein Cry 15 memiliki sifat toksin terhadap serangga ordo lepidoptera (Brown dan Whiteley, 1992), protein Cry 23 memiliki sifat toksin terhadap serangga ordo diptera (Arrieta et al., 2004), protein Cry 25 memiliki sifat toksin terhadap serangga ordo coleoptera, protein Cry 30 memiliki sifat toksin terhadap serangga ordo dipteral (Zeigler,1999), dan protein Cry 35 memiliki sifat toksin terhadap serangga ordo diptera (Ernest et al., 2005). Mekanisme dari protein Cry yang bersifat insektisidal, yaitu dengan termakan langsung oleh serangga. Protein Cry tersebut menjadi toksin setelah mengalami proteolisis, kemudian menyebabkan gangguan osmotik sehingga sel membengkak dan pecah lalu menyebabkan kematian pada serangga (Hofte dan Whiteley, 1989). Mekanisme tersebut seperti yang terlihat pada gambar 4.12.
43
Gambar 4.12. Mekanisme kerja ICP (Jusuf, 2009) Parasporin adalah protein Cry yang memiliki kemampuan sitosidal terhadap sel kanker. Berdasarkan hasil penelitian hingga tahun 2008, telah diketahui ada empat jenis parasporin, yaitu PS-1 (Cry 31), PS-2 (Cry 46), PS-3 (Cry41) dan PS-4 (Cry 45) (Jusuf, 2010). Berdasarkan tabel 4.3, juga terdapat 3 tipe protein toksin yang diprediksi bersifat sitosidal atau disebut parasporin (PS) dari 5 sampel protein, antara lain PS-2 (Cry 46), PS-3 (Cry41), dan PS-4 (Cry 45). Mekanisme dari PS-1 yaitu dengan meningkatkan dengan cepat kepekatan ion bebas Ca2+ intraseluler dengan tanpa perubahan permeabilitas membran plasma dan sel-sel kanker dibunuh melalui apoptosis (Kitada et al., 2005). Pada PS-2 proses sitosidal terjadi dengan meningkatkan permeabilitas sel kanker (Kitada et al., 2005). Sedangkan untuk PS-3 dan PS-4 hingga saat ini belum diketahui mekanisme kerjanya terhadap sel kanker. Berikut merupakan mekanisme dari PS-2 terhadap sel kanker, seperti yang terlihat pada gambar 4.13.
44
Gambar 4.13. Mekanisme kerja PS-2 (Jusuf, 2010)
Protein Cyt A yang dihasilkan oleh
B.thuringiensis memiliki bobot
molekul 27 kDa (Balaraman et al., 2005) dan 28 kDa (Hofte dan Whiteley, 1989). Sampel protein Ch 3 dan Ch 7 memiliki bobot molekul sebesar 27 kDa, serta sampel protein toksin Par 17, Kos 16, dan Cdk 14 memiliki bobot molekul sebesar 28 kDa. Sehingga diprediksi sampel protein Ch 3, Ch 7, Par 17, Kos 16 dan Cdk 14 merupakan protein Cyt A. Pada penelitian yang dilakukan Arrieta et al. (2004), protein toksin yang dihasilkan oleh B.thuringiensis dengan bobot molekul 29 kDa digolongkan sebagai protein Cry 23. Sampel protein Kos 7, Cdk 3, Cdk, 4, dan Cdk 9 memiliki bobot molekul sebesar 29 kDa, sehingga diprediksi merupakan protein Cry 23. Sampel protein Kos 9 dengan bobot molekul sebesar 34 kDa diprediksi sebagai protein Cry 15, hal ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan Brown dan Whiteley (1992) pada B.thuringiensis subs thompsoni bahwa protein Cry dengan bobot molekul 34 kDa digolongkan sebagai protein Cry 15. Zeigler (1999) menyatakan dalam Bacillus Genetic Stock Center of Strains, Part 2; Bacillus thuringiensis dan Bacillus cereus, protein Cry dengan
45
bobot molekul 35 kDa digolongkan sebagai protein Cry 30 dan protein Cry dengan bobot molekul 100 kDa digolongkan sebagai Cry 25. Protein sampel Par 16 dan Kem 5 memiliki bobot molekul sebesar 35 kDa sehingga diprediksi merupakan protein Cry 30, sedangkan sampel protein Kem 23 memiliki bobot molekul 100 kDa diprediksi merupakan protein Cry 25. Ernest et al. (2005), melakukan karakterisasi terhadap protein Cry 35 dan didapat bobot molekul sebesar 44 kDa. Sampel protein Par 18 dan Kos 6 memiliki bobot molekul sebesar 44 kDa sehingga diprediksi merupakan protein Cry 35. Hayakawa et al. (2007) menggolongkan protein kristal dengan bobot molekul ± 33,107 kDa merupakan PS 2 (Cry 46) yang diperoleh dari galur B.thuringiensis TK-E6. Sampel protein Par 11 memiliki bobot molekul 33 kDa, sehingga diprediksi sebagai PS 2 (Cry 46). Sampel protein Kem 22 dengan bobot molekul 88 kDa diprediksi sebagai PS 3 (Cry 41), sedangkan Pm 23, Par 9 dan Kem 7 dengan bobot molekul 31 kDa diprediksi sebagai PS 4 (Cry 45). Hal ini didasarkan pada penelitian Kitada et al. (2005) yang mengidentifikasi parasporin dan sel kanker sasarannya, parasporin dengan bobot molekul 88 kDa digolongkan sebagai PS 3 (Cry 41) dan parasporin dengan bobot molekul 31 kDa digolongkan sebagai PS 4 (Cry45). Berdasarkan hasil-hasil SDS PAGE, terlihat bahwa dari beberapa isolat yang menghasilkan protein toksin, memiliki karakteristik bobot molekul yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena B.thuringiensis dapat memproduksi satu atau lebih protein toksin selama proses sporulasi (Hofte dan Whiteley, 1989). Namun untuk mengkonfirmasi hal tersebut perlu dilakukan pengujian in vitro (bio assay) untuk mengidentifikasi aktivitas dari masing-masing protein tersebut.
46
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain:
1. Terdapat 30 isolat B.thuringiensis yang ditemukan dari 8 sampel tanah di Kabupaten Tangerang. 2. Ke 30 isolat B.thuringiensis tersebut menghasilkan 8 tipe protein Cry dan 1 protein Cyt dengan bobot molekul 27 dan 28 kDa (Cyt A), 29 kDa (Cry 23), 31 kDa (Cry 45/ PS-4), 33 kDa (Cry 46/ PS-2), 34 kDa (Cry 15), 35 kDa (Cry 30), 44 kDa (Cry 35), 88 kDa (Cry 41/ PS-3), dan 100 kDa (Cry 25).
5.2.
Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disarankan agar dilakukan
perlakuan lebih lanjut, antara lain: 1. Perlu dilakukan isolasi protein toksin dengan jumlah biomassa yang lebih banyak dan dilakukan pemurnian protein toksin. 2. Perlu adanya pengujian secara in vitro (bio assay) untuk mengidentifikasi aktivitas sebagai anti kanker dan anti serangga dari protein toksin yang didapat.
47
DAFTAR PUSTAKA
Aizawa, K.N., Fujiyoshi., Ohba, M and Yoshikawa, N. 1975. Selection and Utilization of B. thuringiensis Strain of Microbial Control. Poc. 1 st International Congres of IAMS, Vol.2 (Developmental Microbiology, Ecology), h. 597-606. Apriyanto et al. 1989. Analisis Pangan. Bogor : IPB-Press Arrieta, G et al. 2004. Diversity of Bacillus thuringiensis Strains Isolated from Coffee Plantations Infested with the Coffee Berry Borer Hypothenemus hampei. Jurnal Biol. Trop., Edisi 52 (3), h. 757-764 Balaraman, K. 2005. Occurrence and Diversity of Mosquitocidal Strains of Bacillus thuringiensis. Jurnal Vect Borne, Edisi No. 42, h. 81-86. Bel, Y et al. 1997. Distribution, Frequency, and Diversity of Bacillus thuringiensis in Olive Environments in Spain. J. Biolchem. Edisi N0. 20, h. 652-658. Bernhard, K. and Urtz, R. 1993 Production of Bacillus thuringiensis for Experiment and Commercial Use in Bacillus thuringiensis, an Environmental Biopesticide: Theory and Practice. (Enwistle P.F., Cory J.S., Bailey M.J. & Higgs S. eds.). Bristol: John Walley & Sons. Brown, K. L., dan H. R. Whiteley. 1992. Molecular Characterization of Two Novel Crystal Protein Genes from Bacillus thuringiensis Subsp. Thompsoni. Jurnal Bacteriol, Edisi No. 174, h. 549–557. Crickmore, N et al. 1998. Revision of the nomenclatur for Bacillus thuringiensis pesticidal crystal protein. Microbiol and Molecular Biology Review 62 : 807 – 813. Dini, Y. W. 2005. Profil Protein Kristal dan DNA Genom Total Galur-Galur Bakteri Bacillus thuringiensis. Skripsi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pakuan, Bogor. Ernest, S. H et al. 2005. Characterization of Cry 34/35 Binary Insecticidal Protein from Diverse Bacillus thuringiensis Strain Collections. Jurnal Enviromental Microbiology, Vol. 71, No.4. Feldmann F., Dullemans., Wallwijk, C. 1995. Binding of The Cry IVD Toxin of Bacillus thuringiensis and Implications of Membrane Pore Formation. J. Biol, Vol 10(27), h.1-2768.
48
Goldberg, L.J. and J. Margalit 1977 a Bacterial Spore Demonstrating Rapid Larvacidal Activity Againts Anophels sergenti, Uranotaenia unguiculata, Culex univitatius, Aedes aegypti and Culex pipiens. Mosq. News 37 : 355 – 358. Hames, B. D. 1998. Gel Electrophoresis of Proteins. UK: Oxford University Press Hayakawa, T., Kanagawa, R et al. 2007. Parasporin 2Ab, a Newly Isolated Cytotoxic Crystal Protein from Bacillus thuringiensis. Jurnal Microbiol, Edisi No. 55, h. 78-83. Herlambang, W. 2007. Profil Plasmid Bacillus thuringiensis Isolat Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Skripsi Jurusan Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Hermanto, Sandra. 2008. Praktikum Biokimia II. Jakarta: Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah. Hofte
H dan Whiteley. 1989. Insecticidal Crystal Protein Bacillus thuringiensis. Jurnal Microbial, Edisi No. 53(2), h. 245-255.
of
Ikmalia. 2008. Analisa Profil Protein Isolat Eschericia coli S1 Hasil Iradiasi Sinar Gamma. Skripsi Jurusan Kimia Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayaullah, Jakarta. Johson, C dan Bishop, A. H. 1996. A Technique for The Effective Enrichment and Isolation of Bacillus thuringiensis. J. Microbiology, Vol. 142, h. 173177. Jusuf, E. 2009. Exploration of Bacillus thuringiensis δ-endotoksin Protein Distributed Around Jabodetabek Region. J. Microbiology Indonesia. Vol. 3(2), h. 51-55. Jusuf, E. 2010. Menyiasati Manfaat Protein Kristal Bakteri Bacillus thuringiensis Untuk Pengobatan Penyakit Kanker. Biotrens, Vol. 5, No. 1. Kitada, S et al. 2005. Molecular Identification and Cytocidal Action of Parasporin a Protein Group of Novel Crystal Toxins Targetting Human Cancer Cells. Conferense on the Biotechnology of Bacillus thuringiensis and its Enviromental Impact, h. 23-27. Laemmli, U.K.1970. Nature. 227: 680-685. Lehninger, L. Albert. 1982. Principles of Biochemistry. USA: Worth Publisher, Inc.
49
Martin, P. A. W dan Travers, R. S. 1989. Worldwide Abundance and Distribution of Bacillus thuringiensis Isolates. Apllied and Enviromental Microbiology, Vol. 55, No. 10. Mizuki, E et al. 2000. Parasporin, a Human Leukemic Cell-Recognizing Parasporal Protein of Bacillus thuringiensis. Clinical and Diagnostic Laboratory Immunology. Vol. 7, No.4. Mulyono , H. A. M. 2000. Membuat reagen Kimia di Laboratorium. Jakarta: Bumi Aksara. Nur et al. 1992. Elektroforesis. Bogor: IPB. Ohba, M dan Aizawa, K. 1979. Distribution of Bacillus thuringiensis Serotype in Echime Prefecture. Japan, App. Ent. Zoll, Edisi No. 14(3), h. 340-345’ Ohba, N dan Aizawa, K. 1985. Distribution of Bacillus thuringiensis in Soil of Japan. Journ. of Invert. Pathol.I Edisi No. 47, h. 277-283. Ohba, M., Mizuki, E., Uemori, A. 2009. Parasporin, a New Anticancer Protein Group from Bacillus thuringiensis. Anti Cancer Research Vol. 29, h. 427434. Okumura, S., Akao T., et al. 2004. Bacillus thuringiensis Serovar shandongiensis Strain 89-T-34-22 Produces Multiple Cytotoxic Proteins with Similar Molecular Masses Against Human Cancer Cells. Jurnal Microbiol, Edisi No. 39, h. 89–92. Poedjiadi, A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: UI-Press. Salaki, C. L., Situmorang, J., Sembiring, L. 2009. Isolation and Characterization of Indonesian Indigenous Bacteria (Bacillus thuringiensis) which are Potential for Biological Control Agent Against Cabbage Heart Caterpillar (Crocidolomia binotalis Zell). Jurnal Eugenia, h. 1-6. Travera, M. S et al. 1987. Selective Process for Efficient Isolation of Soil Bacillus sp. J. Environ.Microbiol. Edisi No.53, h.1263-1266. Uemori, A et al. 2008. Parasporin-1Ab, a Novel Bacillus thuringiensis Cytotoxin Preferentially Active on Human Cancer Cells in Vitro. Anticancer Res, Vol.28, h. 91-96. Wilson, K dan Walker, J. M. 1994. Protein and Enzyme Techniques in Practical Biochemistry. Cambridge University Press. Yamagiwa, M et al. 2002. Cytotoxicity of bacillus thuringiensis crystal protein againts mammalian cells. J. Biochem. Vol. 36, h. 61-66.
50
Yokohama, Y et al. 1988 Potentiation of The Cytotoxic Activity of Anti-Cancer Drugs Againts Cultured L1210 Cells by Bacillus thuringiensis Subsp. isrelensis Toxin. J. Chem. Pharm. Bull. 36 (11) : 4499 – 4504. Zeigler, D. R. 1999. Bacillus Genetic Stock Center of Strains, Part 2; Bacillus thuringiensis dan Bacillus cereus. USA: The Ohio State University.
51
Lampiran 1. Pembuatan buffer fosfat pH 6,8 (Mulyono, 2000) Larutan A Dibuat larutan KH2PO4
0,1 M dengan menimbang 0, 805 g KH2PO4, lalu
dilarutkan dengan 500 mL aquades. Larutan B Sebanyak 22,4 mL NaOH 0,1 M ditambah 22,6 mL Aquades. Diambil 50 mL larutan A, kemudian ditambahkan larutan B. setelah itu dihomogenkan dan disterilisasi dengan autoklaf.
52
Lampiran 2. Pembuatan medium T-3 1 L 3g trypton +
2g tryptose +
1,5 g yeast extract +
19 g Na3PO4
0,989 g MnCl2
+
+
Dimasukka Gelas ukur 1000 mL yang berisi 500 mL aquadest
Ditepatkan dengan aquades hingga 990 mL
495 mL Campuran (Gelas ukur 1000 ml)
495 mL Campuran (Gelas ukur 500
Dimasukka Erlenmeyer yang berisi 6 g agar bacto
Dimasukka Erlenmeyer yang berisi 6 g agar bacto
Dihomogenkan
Dihomogenka
Disterilisasi dengan autoklaf
Dituang pada cawan petri
53
Lampiran 3. Pembuatan medium LB 500 mL 5 g trypton + aquades
2,5 g yeast extract + aquades
5 g NaCl +
aquades
Dimasukka Gelas ukur 500 mL yang berisi 250 mL aquadest
Ditepatkan dengan aquades hingga 490 mL Dimasukka
Erlenmeyer yang berisi 7,5 g agar bacto Dihomogenka
Disterilisasi dengan autoklaf
Dituang pada cawan petri
54
Lampiran 4. Pembuatan medium 2xSG 1 L 16 g nutrient broth + aquades
2 g KCl + aquades
0,5 g MgSO4.7H2O + aquades
Dimasukkan
Gelas ukur 1000 mL yang berisi 500 mL aquadest
Ditepatkan dengan aquades hingga 990 mL
495 mL Campuran (Gelas ukur 1000
495 mL Campuran (Gelas ukur 500 ml)
Dimasukkan
Erlenmeyer yang berisi 8,5 g agar bacto
Dimasukkan
Dihomogenkan
Erlenmeyer yang berisi 8,5 g agar bacto
Disterilisasi dengan autoklaf + 2 mL Glukosa 50 % + 1 mL Ca(NO3) 1 M + 1 mL FeSO4 + 1 mL MnCl2 0,1 M’ Dihomogenkan
Dituang pada cawan petri
55
Lampiran 5. Kurva standar BSA Kurva larutan standar BSA (Bouvine Serum Albumin) setelah diuji dengan spetrofotometer UV-VIS pada panjang gelombang 750 nm. Konsentrasi (ppm) 0 1 5 10 50 100
Absorbansi 0 0.012 0.042 0.079 0.367 0.715
0.8 0.715
Absorbansi
0.7 0.6 0.5 0.4
0.367
0.3 0.2 0.1
y = 0.007x + 0.005 R² = 0.999
0.079 0.042 00.012
0 0
20
40
60
80
100
120
Konsentrasi (ppm)
56
Lampiran 6. Preparasi Reagen SDS-PAGE 1. Akrilamida/Bis (30% T, 2,67% C) 87,6 g
Akrilamida
(29,2 g/ 100
N’N’-bis-metilen-akrilamida
(0,8 g/ 100
mL) 2,4 g mL) Ditepatkan hingga 300 mL dengan menggunakan aquabides. Setelah itu disaring dan disimpan pada suhu 4 °C dalam botol gelap. 2. SDS 10 % (w/v) Dilarutkan 10 g SDS dalam 90 mL aquabides, kemudian ditepatkan hingga 100 mL. 3. 1,5 M Tris HCl, pH 8,8 27,23 g
Tris base
(18,15
g/
100mL) 80 mL
Aquabides
Ditambahkan HCl 6 N hingga pH 8,8, lalu ditambahkan aquabides hingga volume 150 mL dan disimpan pada suhu 4 C°. 4. 0,5 M Tris HCl, pH 6,8 6 g
Tris base
60 mL
Aquabides
Ditambahkan HCl 6 N hingga pH 6,8, lalu ditambahkan aquabides hingga volume 100 mL dan disimpan pada suhu 4 C°.
57
5. Sampel buffer 3,55 mL
aquabides
1,25 mL
0,5 M Tris HCl, pH 6,8
2,5 mL
Gliserol
2,0 mL
SDS 10 % (w/v)
0,2 mL
bromophenol blue 0,5 % (w/v)
9,5 mL
Total Volume
+
Disimpan dalam suhu ruang. Bila akan digunakan maka ditambahkan 50 µl
β-mercaptoetanol pada 950 µl sampel buffer. Sampel ditambahkan dengan perbandingan 1:2 dengan sampel buffer dan dipanaskan pada suhu 100 °C selama 10 menit. 6. Running Buffer 10x, pH 8,3 30,3 g
Tris base
144 g
Glisin
10 g
SDS
Dilarutkan dan ditepatkan hingga volume 1000 mL dengan aquabides dan disimpan pada suhu 4 °C. 7. APS 10 % 100 mg ammonium persulfat (APS) dilarutkan dalam 1 mL aquabides.
58
Lampiran 7. Standar protein marker catalog #161-0318 (BIO-RAD)
59
Lampiran 8. Kurva standar protein marker pada analisa sampel protein Kos 6, Kem 23, Par 17, Kos 9, Kos 7, Par 8, dan Pm 14. Tabel nilai Rf dan Log Mr pada marker protein rf 0.064 0.219 0.332 0.696 0.965
log BM 2.322 2.096 2.004 1.554 1.462
2.5
Log BM
2 1.5 1
y = ‐0.979x + 2.333 R² = 0.966
0.5 0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
Rf
60
Lampiran 9. Kurva standar protein marker pada analisa sampel protein Kem 6, Par 18, Par 11, Kos 16, Par 9, Pm 19 dan Pm 10. Tabel nilai Rf dan Log Mr pada marker protein rf
0.081 0.207 0.324 0.505 0.736 0.967
log Mr 2.322 2.096 2.004 1.749 1.554 1.462
2.5
Log BM
2
1.5
1 y = ‐0.973x + 2.322 R² = 0.959
0.5
0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
Rf
61
Lampiran 10. Kurva standar protein marker pada analisa sampel protein Cdk 3, Kem 22, Ch 7, Cdk 4, Ch 3 Pm 14, Cdk 14, Kem 3, dan Cdk 9. Tabel nilai Rf dan Log Mr pada marker protein rf 0.068 0.229 0.419 0.585 0.736 0.827
log Mr 2.322 2.096 2.004 1.749 1.554 1.462
2.5
Log BM
2
1.5
1 y = ‐1.122x + 2.400 R² = 0.985 0.5
0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
Rf
62
Lampiran 11. Kurva standar protein marker pada analisa sampel protein Pm 6, Kos 15, Kem 24, Kem7, Par 16, dan Kem 5. Tabel nilai Rf dan Log Mr pada marker protein rf 0.051 0.202 0.381 0.599 0.766 0.88
log Mr 2.322 2.096 2.004 1.749 1.554 1.462
2.5
Log BM
2
1.5
1 y = ‐1.020x + 2.354 R² = 0.991 0.5
0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
Rf
63
Lampiran 12. Kurva standar protein marker pada analisa sampel protein Pm 23, Pet 9, Kem 10, dan Kem 18. Tabel nilai Rf dan Log Mr pada marker protein rf 0.059 0.302 0.392 0.545 0.742 0.949
log Mr 2.322 2.096 2.004 1.749 1.554 1.462
2.5
Log BM
2
1.5
1 y = ‐1.031x + 2.378 R² = 0.975
0.5
0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
Rf
64
Lampiran 13. Hasil uji mikroskop perbesaran 50 x 10.
Isolat Kem 7
Isolat Cdk 4
Isolat Kos 9
Isolat Par 9
65
Lampiran 14. Isolasi 24 koloni terpilih
Pamulang (1-8)
Pamulang (9-16)
Pasar Kemis (1-8)
Kosambi (9-16)
Parung Secab (9-16)
Ciherang (1-8)
66