Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
DETEKSI PLASMID DAN TOKSIN DARI ISOLAT LOKAL Bacillus anthracis (Plasmid andd Toxin Detection from Field Isolate of Bacillus antrachis) R.S. ADJI dan L. NATALIA Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114
ABSTRACT Bacillus anthracis, which causes anthrax contains two large plasmids, pX01 and pX02 which are required for toxin production and the synthesis of the poly-D-glutamic acid capsule, respectively. The virulence of anthrax bacilli is due to the production of a poly-D-glutamic acid capsule and the three component exotoxin (protective antigen/PA, lethal factor/LF and edema factor/EF). The aim of this study was to identify plasmids, toxins and protein produced by local isolates. In this study, the plasmid pX01 and pX02 were isolated from Bacillus anthracis local isolates and detected by electrophoresis using 0,7% agarose gel. The toxin from the culture supernatant were also demonstrated by using SDS PAGE electrophoresis. The protein concentration of culture supernatant produced by different local isolates were also measured and compared. All of local isolates analysed have the two plasmids, and produce toxins. The protein concentrations in the culture supernatant did not correlate with toxin concentrations produced by the isolates. Key Words: Bacillus Anthracis, Plasmid, Toxin ABSTRAK Bacillus anthracis, yang merupakan penyebab penyakit antraks mempunyai dua plasmid besar yaitu pX01 yang dibutuhkan untuk dapat menghasilkan toksin dan pX02 untuk sintesis dari kapsul poli-D-asam glutamate. Virulensi kuman antraks tergantung dari produksi kapsul poly-D-asam glutamat dan ketiga komponen eksotoksin (protective antigen/PA, lethal factor/LF and edema factor/EF). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi plasmid, toksin dan protein yang dihasilkan oleh isolat lokal Bacillus anthracis. Dalam penelitian ini, plasmid pX01 dan pX02 diisolasi dari isolat lokal dan dideteksi dengan elektroforesis menggunakan 0,7% agarose gel. Toksin yang ada dalam supernatan media kultur juga diperlihatkan dengan menggunakan SDS PAGE electrophoresis.Konsentrasi protein dari supernatan kultur yang dihasilkan berbagai isolat juga diukur dan dibandingkan. Ternyata semua isolat lokal yang dianalisa mempunyai 2 plasmid dan menghasilkan toksin. Konsentrasi protein yang ada dalam supernatan kultur tidak berkorelasi dengan konsentrasi toksin yang dihasilkan suatu isolat. Kata Kunci: Bacillus Anthracis, Plasmid, Toksin
PENDAHULUAN Antraks merupakan penyakit bakterial pada mamalia, terutama herbivora dan dapat menyerang manusia dan beberapa spesies unggas (OIE, 2000). Penyakit ini disebabkan oleh Bacillus anthracis, bakteri berbentuk batang, gram positif, ukuran 1–1,5 µ X 3–5µ, non motil, non hemolitik, membentuk spora, dapat membentuk kapsul dan menghasilkan toksin. Antraks merupakan penyakit zoonosis penting dan strategis sehingga perlu ditangani dengan baik (TURNBULL et al., 1998). Tingkat
kematian karena antraks sangat tinggi terutama pada hewan herbivora, mengakibatkan kerugian ekonomi dan mengancam keselamatan manusia. Sampai saat ini, masih banyak daerah endemik antraks di Indonesia seperti di Propinsi Sumatera Barat, Jambi, DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, NTT, NTB dan Papua (SIREGAR, 2002). Hal ini menyebabkan masih sering timbulnya kasus-kasus penyakit antraks di daerah tersebut (SIREGAR, 2002).
1085
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Diagnosa terhadap anthrax dapat berdasarkan sejarah, gejala klinik dan harus diteguhkan dengan pemeriksaan laboratorium, antara lain: isolasi dan identifikasi (mikroskopik, kultural, lysis gamma phage), deteksi immunologi (ascoli test, DFA, immunochromatografic assay), uji serologi (ELISA) dan PCR. Berbagai isolat telah dikoleksi dari berbagai kasus antraks yang terjadi di berbagai daerah Indonesia, baik dari kasus yang menyerang hewan maupun manusia. Untuk mengetahui gambaran genetik Bacillus anthracis penyebab kasus di daerah tersebut, maka perlu dilakukan pengamatan epidemiologi molekuler dengan menganalisa plasmid antraks (pX01 dan pX02) serta dilakukan pengukuran protein filtrat yang dihasilkan oleh bakteri tersebut. Gambaran plasmid ini akan memberikan informasi tentang virulensi Bacillus anthracis isolat asal daerah-daerah tertentu. Profil genetik dari Bacillus anthracis tersebut juga dapat dijadikan acuan untuk membandingkan Bacillus anthracis asal Indonesia dengan negara lain di dunia (PRICE et al., 1999). Galur virulen Bacillus anthracis mempunyai 2 endogenous plasmid, pX01 dan pX02, yang menyandikan faktor virulen utama dari organisme ini. Plasmid pX02 (60 megaDalton) mempunyai gen yang bertanggung jawab untuk sintesis kapsul glutamyl polipeptida, yang memberikan karakteristik penampilan mucoid dengan adanya bikarbonat. Plasmid pX01 (110 megaDalton) mempunyai gen yang secara struktural untuk produksi dan regulasi toksin (TURNBULL et al., 1998; UCHIDA et al., 1985). Gambaran plasmid ini akan memberikan informasi tentang virulensi Bacillus anthracis isolat asal daerah-daerah tertentu. Profil genetik dari Bacillus anthracis tersebut juga dapat dijadikan acuan untuk membandingkan Bacillus anthracis asal Indonesia dengan negara lain di dunia. Virulensi galur Bacillus anthracis dipengaruhi oleh ekspresi kapsul yang mengandung D-polyglutamis acid dan produksi toksin protein. Toksin antraks terdiri dari 3 komponen yaitu komponen antigen protektif (PA) suatu protein dengan berat molekul 82 kDa dengan 735 asam amino, faktor letal (LF) dengan berat molekul 90 kDa, 776 asam amino dan faktor oedema (EF) dengan berat molekul 88 kDa, 767 asam
1086
amino. Interaksi ketiga komponen toksin tersebut akan menyebabkan kerusakan sel inang. PA berperan sebagai pembawa EF atau LF masuk ke dalam sel. PA yang mempunyai reseptor di dinding sel inang akan dikat oleh EF dan LF dan masuk ke sitosol sel, bertanggung jawab terhadap virulensi Bacillus anthracis. Kombinasi PA + EF akan menyebabkan oedema dan kombinasi PA + LF akan menyebabkan kematian. Dalam penelitian ini telah diperiksa kemampuan berbagai isolat dalam menghasilkan PA. Yang nantinya akan berguna dalam seleksi kandidat bibit vaksin antraks. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Antraks, Balai Penelitian Veteriner dengan bahan isolat–isolat Bacillus anthracis yang berasal dari Indonesia dan beberapa isolat Bacillus anthracis referensi. Isolasi plasmid elektroforesis
dan
deteksi
dengan
Plasmid dari berbagai isolat Bacillus anthracis Indonesia akan disolasi menurut metoda KADO dan LIU (1981). Sel B. anthracis ditumbuhkan pada BHI broth. Kultur diinkubasikan pada rotary shaker dengan suhu 37oC selama 16 jam. Sel dari 25 ml kultur disentrifus dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit pada suhu 15oC, pelet diambil dan disuspensikan dalam 1 ml E buffer (0,04 M Tris hydroxide, 0,002 M EDTA, 15% sukrose; pH 7,9) dengan vortex. Sel dilisis dengan menambahkan 1 ml suspensi ke dalam 2 ml lisis buffer (dibuat dengan memasukkan 3 g SDS + 5 ml 3 N NaOH ke dalam 100 ml dari 15% sukrose dalam 0,05 M Tris-hydroxide). Bolak–balik tabung dengan cepat sebanyak 20 kali untuk mencampurkan sel dengan buffer dan letakkan pada penangas air 60oC selama 30 menit. Masukkan larutan pronase 0,5 ml (2 mg/ml dalam 2 M tris; pH 7,0) ke dalam tabung tersebut dan bolak – balik dengan cepat sebanyak 20 kali dan inkubasikan dalam penangas air 37oC selama 20 menit. Lysate diekstraksi dengan menambahkan 6 ml phenolchloroform (1 : 1) dan tabung dibolak–balik
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
sebanyak 40 kali. Emulsi dipisahkan dengan sentrifuse pada kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit pada suhu 15oC dan supernatan yang mengandung plasmid (ekstrak) diambil untuk dielektroforesis. Ekstrak (40 µl) dicampur dengan 10µl tracking dye (0,25% bromophenol blue, 15% ficoll) dan sampel (40 µl) dimasukkan ke horisontal agarose gel 0,7% dan di running dalam Tris-borate buffer (0,089 M Tris-hydroxide, 0,089 M boric acid, 0,0025 M EDTA (pH 8,2 sampai 8,3)). Elektroforesis dilakukan selama 90–120 menit, 70 volt pada suhu ruang. Gel diwarnai dengan ethidium bromide (0,5 µl/ml dalam Tris-borate buffer). Pengukuran protein dari filtrat kultur Bacillus anthracis Berbagai isolat Bacillus anthracis ditumbuhkan pada media Syn N selama 18 jam pada suhu 370C. Kemudian sel disentrifus pada kecepatan 12 000 rpm selama 20 menit. Dari filtrat yang diperoleh, dilakukan pengukuran konsentrasi protein dengan metode BRADFORD (1976). Produksi Toksin dan Deteksi Toksin dari Protein Filtrat Bacillus anthracis Isolat B. anthracis ditumbuhkan secara anaerobik (REUVENY et al., 2001). Kuman antraks ditanam pada blood agar dan diinkubasikan pada suhu 37oC selama 18 jam, setelah itu ditanam pada nutrient broth dan diinkubasikan pada suhu 37oC selama 18 jam. Selanjutnya pindahkan kuman dari nutrient broth ke Syn N medium dan diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24 jam. Sentrifus biakan dalam Syn N medium pada 12.000 rpm selama 20 menit . Saring supernatan tersebut dengan milipore filter 0,2 µm dan eksotoksin yang terbentuk dipresipitasi dengan menggunakan amonium sulfat jenuh. Simpan presipitat semalam pada 4oC. Sentrifuse dengan kecepatan 8.000 rpm selama 25 menit, pelet diambil dan supernatan dibuang. Resuspensi pelet dan dialisis dengan phosphat buffer 20mM. PA dan LF masing-masing dianalisa dengan sodium dodecyl sulphate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS PAGE) (coomassie blue staining), dan masingmasing akan memperlihatkan pita tunggal
dengan berat molekul sekitar 80.000. Kontaminasi silang antara LF dan PA dari masing-masing antigen dengan cara ini diperkirakan lebih rendah dari 0,1% (REUVENY et al., 2001; SHIN et al., 2000) HASIL DAN PEMBAHASAN Deteksi plasmid dari isolat B. anthracis Isolasi plasmid DNA Bacillus anthracis telah dilakukan dari beberapa isolat Bacillus anthracis, antara lain: isolat dari kulit burung unta, NTT, DKI, Ciparigi, Bone, Vollum, NTB, Irian Jaya, Kabupaten Bogor: Karadenan, Pangkep, NDL, Bekasi dan Sterne.. Pada Gambar 1 terlihat bahwa pada umumnya semua isolat yang diperiksa mempunyai plasmid pX01 (110 megaDalton) dan plasmid pX02 (60 megaDalton), kecuali galur Sterne (galur vaksin) yang hanya mempunyai plasmid pX01 (STERNE, 1959). Adanya ke dua plasmid pada isolat asal Indonesia menunjukkan bahwa isolat yang diperiksa mempunyai kemampuan menghasilkan toksin dan juga mampu membentuk kapsul. Jadi isolat-isolat tersebut mempunyai 2 faktor virulensi. Isolat tersebut akan mampu menghasilkan kapsul poly-D – glutamic acid, yang dianggap berperanan untuk melindungi bakteri dari phagositosis. Isolat tersebut juga mampu menghasilkan toksin (PA, EF dan LF) yang berperan menimbulkan gejala penyakit dan kerusakan jaringan tubuh yang dapat terlihat pada penyakit antraks. Penumbuhan Bacillus anthracis pengukuran protein dari filtrat
dan
Penumbuhan beberapa isolat B. anthracis dilakukan dengan menggunakan medium Syn N. Dari filtrat yang sudah didapatkan, diukur proteinnya dan dilakukan SDS PAGE elektrophoresis. Pada Tabel 1. terlihat hasil pengukuran konsentrasi protein dengan metode BRADFORD (1976) terhadap filtrat beberapa kultur B. anthracis yang telah ditumbuhkan Konsentrasi protein yang tertinggi dihasilkan oleh galur Bacilus anthracis asal Salatiga, Jawa Tengah tertera pada Tabel 1 Konsentrasi protein yang cukup tinggi juga dihasilkan oleh galur Sterne, yaitu galur yang
1087
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
biasa digunakan untuk memproduksi vaksin spora untuk ternak. Dari hasil pengukuran protein filtrat kultur tertera pada Tabel 1, kemudian dipilih beberapa isolat yang konsentrasinya cukup tinggi untuk dilakukan elektraforesis dan hasilnya dapat dilihat pada Gambar 2. Tetapi ternyata dari hasilnya terlihat bahwa konsentrasi protein yang tinggi tidak menunjukkan konsentrasi protective antigen (PA) yang juga tinggi. Jadi, dari Gambar 2 dapat terlihat bahwa konsentrasi PA dari isolat Salatiga tidak menunjukkan yang tertinggi seperti pada hasil pengukuran konsentrasi protein pada filtratnya.
Pada Gambar 3. terlihat bahwa dengan makin lamanya inkubasi (hasil pengamatan 0, 2, 4 dan 6 jam) ternyata konsentrasi PA yang makin tinggi dapat diperoleh dengan makin lamanya inkubasi. Dalam media Syn N konsentrasi PA tertinggi pada umumnya dapat dicapai pada masa inkubasi 18 - 24 jam. RISTROPH dan IVINS (1983) telah membuat formula yang disebut sebagai R medium untuk memproduksi antigen B. anthracis. Media ini terdiri atas berbagai macam asam amino yang cukup banyak , akan tetapi dapat menghasilkan toksin cukup banyak dalam waktu yang lebih singkat daripada media yang digunakan dalam penelitian ini.
Diduga PXO1 PXO2
1 2
3
4 5
6
7 8
9 10 11 12
Gambar 1. Elektroforesis hasil isolasi plasmid Bacillus anthracis: PXO1 (114 MDa) dan PXO2 (60 MDa). Isolat yang digunakan pita 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Isolat burung unta Isolat asal Nusa Tenggara Timur Isolat asal DKI Jakarta Isolat asal Ciparigi Isolat asal Bone Galur Vollum Isolat asal Nusa Tenggara Barat Isolat asal Irian Jaya Isolat asal Kabupaten Bogor, Karadenan Isolat asal Pangkep Isolate asal Bekasi Galur Sterne
1088
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Tabel 1. Kandungan protein dari filtrat berbagai isolat Bacillus anthracis yang ditumbuhkan pada pada media Syn N No. isolat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Asal/galur B. anthracis Maros, Sulawesi Selatan Pangkep, Sulawesi Selatan Bone, Sulawesi Selatan Vollum, Australia Sterne, Inggris Netherland Nusa Tenggara Timur Bekasi Tengaran, Salatiga, Jateng Grati, Pasuruan, Jatim Irian Jaya Kebon Pedes, Kodya Bogor (manusia) Kodya Bogor Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor (manusia) DKI Jakarta Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Purwakarta (asal burung unta) Karawang (asal singa)
Konsentrasi protein (µg/ml) 25,74 32,06 14,55 36,92 81,66 34,98 22,33 47,62 91,38 43,73 0,45 27,20 27,20 23,79 45,19 42,76 26,22 34,49 31,09 45,68
Isolat 7 (PA, LF, EF)
6
5
4
3
2
1 97 66 45
30
20 14,4 Gambar 2. Hasil SDS PAGE toksin dari beberapa isolate B anthracis yang ditumbuhkan pada Syn N medium selama 22 jam pada suhu 37°C Asal Isolat Bacillus anthracis yang digunakan: 1. Salatiga; 2. Karawang; 3. Kabupaten Bogor; 4. Grati; 5. DKI Jakarta; 6. Nusa Tenggara Barat; 7. Vollum Protective antigen (PA) akan berada pada 82 kDa, Lethal Factor (LF): 87 kDa, Edema factor (EF) : 90 kDa.
1089
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
0
Inkubasi 2
4
6
220 170 116 Dugaan letak (PA, LF, EF ) 76
53
Gambar 3. Gambaran SDS PAGE toksin B. anthracis strain Vollum dengan masa inkubasi: 0, 2, 4 dan 6 jam Protective antigen (PA) akan berada pada 82 kDa, Lethal Factor (LF): 87 kDa, Edema Factor (EF): 90 kDa
KESIMPULAN Dari hasil pengamatan di atas maka dapat disimpulkan bahwa: (1) isolat lokal Bacillus anthracis yang diuji, mempunyai plasmid pX01 (110 megaDalton) dan plasmid pX02 (60 megaDalton), (2) konsentrasi protein dari filtrat yang dihasilkan kultur Bacillus anthracis tidak menggambarkan kandungan toksin yang dihasilkan kultur tersebut. UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. Simson Tarigan, M.Sc., atas semua saran, batuan dan hasil elektroforesisnya, sehingga penelitian ini dapat terlaksana dan berhasil dengan baik. DAFTAR PUSTAKA BRADFORD, M.M. 1976. A rapid and sensitive method for quantitation of microgram quantities of protein utilizing the principle of protein-dye binding. Abal. Biochem 72: 248– 254.
1090
KADO, C.I. and S.T. LIU. 1981. Rapid procedure for detection and isolation of large and small plasmids. J. Bacteriol. 145: 1365–1373. LIANG XUDONG, MA FENGGING, YU DONGZHENG and LIN TAO. 1996. Plasmid and protein profiles of Bacillus anthracis strains isolated in China. Salisbury Medical Bulletin. Special supplement no. 87. Proc. of the International Workshop on Anthrax, Winchester, England, September 19–21, 1995. OIE. 2000. Anthrax. In: Manual of Standards Diagnostic and Vaccines. pp. 235–239. PRICE, L.B., M. HUGH JONES, P.J. JACKSON and P. KEIM. 1999. Genetic diversity in the protective antigen gene of Bacillus anthracis. J. Bacteriol. 181(8): 2358–2362. QUINN, C.P., C.C. SHONE, P.C. TURNBULL and J. MELLING. 1988. Purification of anthrax-toxin components by high-performance anionexchange, gel-fitration and hydrophobicinteraction chromatography. Biochem J. 252: 753–758. REUVENY, S., M.D. WHITE, Y.Y. ADAR, Y. KAFRI, Z. ALTBOUM, Y. GOZES, D. KOBILER, A. SHAFFERMAN and B. VELAN. 2001. Search for correlates of protective immunity conferred by anthrax vaccine. Infect. Immun. 69(5): 2888– 2893.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
RISTROPH, J.D. and B.E. IVINS. 1983. Elaboration of Bacillus anthracis antigen in a new, defined culture medium. Infect. Immun. 39: 483–486. SHIN, S., G.H. HUR, K.B. YEON, Y.B. KIM, K.J. PARK, Y.M. PARK, W.S. LEE, B.H. CHO, W.Y. KIM, S.I. CHUNG and C.S. CHOI. 2000. Modulation of interleukin production in anthrax lethal toxin-treated macrophages by melatonin and dehydroepiandrosterone. J. Biochem Mol. Biol. 33(6): 463–468. SIREGAR, E.A. 2002. Antraks: sejarah masa lalu, situasi pada saat ini, sejarah diagnosa dan kecenderungan perkembangan ilmu di masa depan. Simposium sehari Penyakit Antraks: Antraks di Indonesia, masa lalu, masa kini dan masa depan. Balitvet, Bogor, 17 Juli 2002. STERNE, M. 1959. In: STABLEFORTH, A.W. and I.A. GALLOWAY (Eds.). Infectious Diseases of Animals. Vol. 1. Diseases due to Bacteria. Butterworths, London, UK.
TURNBULL, P.C.B., R. BOHM, O. COSIVI, M. DOGANAY, M.E. HUGH JONES, D.D. JOSHI, M.K. LALITHA, V. DE VOS. 1998. Guidelines for the Surveillance and Control of Anthrax in Humans and Animals, 3rd Ed. Departement of Communicable Disease Surveillance and Response, World Health Organization. pp. 51– 61. UCHIDA, I. T. SEKIZAKI, K. HASHIMOTO and N. TERAKADO. 1985. Association of the encapsulation of Bacillus anthracis with a 60 Megadalton plasmid. J. Gen. Microbiol. 131: 363–367. WRIGHT, G.G., M. PUZISS and W.B. NEELY. 1962. Studies on immunity in anthrax. Effect of variations in cultural conditions on elaboration of protective antigen by strains of bacillus anthracis. J. Bacteriol. 83: 515–522.
1091