1
Pengaruh Waktu dan pH Inkubasi Terhadap Aktivitas Enzim Keratinase dari Isolat Bacillus SLII-I Adam dan Maya Shovitri Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia E-mail :
[email protected]
Abstrak— Genus Bacillus merupakan bakteri penghasil
enzim keratinase yang mampu memutus ikatan disulfida pada protein keratin menjadi protein terlarut. Keratin adalah protein yang menyusun struktur kulit, rambut, bulu, kuku, tanduk, dan struktur luar vertebrata lainnya yang bersifat tidak larut. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui faktor fisik yang terdiri dari waktu dan pH inkubasi ekstrak enzim kasar dari isolat Bacillus SLII-I untuk mendapatkan aktivitas enzim keratinase yang optimum. Kultur isolat untuk pembuatan ekstrak enzim kasar diambil pada jam ke-25. Ekstrak enzim kasar didapatkan dengan sentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm pada suhu 40C. Aktivitas enzim diinkubasi pada suhu 400C dan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 280 nm dan dihitung menggunakan rumus Ali . Kombinasi faktor fisik yang terbaik adalah waktu inkubasi 30 menit dan pH 9 dengan aktivitas enzim keratinase sebesar 3,151 unit/ml. Kata Kunci—Bacillus inkubasi, pH, dan suhu.
SLII-I,
keratinase,
waktu
I. PENDAHULUAN ASALAH utama dalam peningkatan produksi ternak unggas adalah penyediaan pakan sumber protein hewani yang harganya relatif mahal. Untuk memenuhi kebutuhan pakan Indonesia masih mengimpor dari luar negeri karena produk dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan yang ada, sehingga harganya sangat mahal dibanding bahan pakan lain. Untuk menekan biaya pakan dan mengefisiensikan pakan diusahakan memanfaatkan limbah pertanian ataupun peternakan [34]. Salah satu produk pengolahan hasil peternakan yang belum dimanfaatkan secara optimal sebagai bahan pakan ternak adalah limbah bulu ayam. Bulu ayam merupakan salah satu limbah dari usaha pemotongan ayam. Konsumsi daging ayam di Jawa Timur pada tahun 1999 sebesar 25.924.000 kg [7] meningkat menjadi 65.429.000 kg pada tahun 2011 [8]. Pemotongan ayam menghasilkan rata-rata bulu sebanyak 49% dari total berat ayam [1], [21]. Beban limbah padat yang dihasilkan industri peternakan ayam di Jawa Timur sebesar 121.793 ton pada tahun 1998 [36]. Limbah bulu ayam yang dihasilkan akan terus meningkat seiring peningkatan kebutuhan masyarakat akan konsumsi daging ayam. Limbah bulu ayam biasanya dibuang, dipendam, digunakan sebagai land filling atau dibakar. Hal ini dapat menyebabkan masalah
M
pengontrolan emisi dan pembuangan abu. Jika limbah yang terus bertambah tidak dikelola dengan baik maka akan menimbulkan dampak pencemaran terhadap lingkungan [19]. Bulu ayam merupakan limbah peternakan yang dapat dijadikan sebagai bahan pakan alternatif pengganti sumber protein hewani dalam formulasi ransum ayam (unggas). Hal ini disebabkan karena bulu ayam memiliki kandungan protein cukup tinggi. Menurut [27], protein kasar tepung bulu ayam mencapai 86,5% dan energi metabolis 3.047 kcal/kg. Demikian juga menurut [32], bulu ayam mengandung protein kasar cukup tinggi, yakni 82 – 91 % , kadar protein jauh lebih tinggi dibanding tepung ikan. Salah satu jenis protein yang terdapat pada limbah bulu ayam adalah keratin. Keratin adalah protein yang terdapat pada kulit, wool, rambut, tanduk, lapisan stratum korneum. Protein ini sangat sulit untuk dirombak dan resisten terhadap perlakuan fisik, kimia, dan biologis, karena ikatan disulfida dan ikatan hidrogen yang kuat [20]. Protease merupakan enzim yang paling penting, karena 60% dari hasil produksi industri enzim di seluruh dunia adalah protease [31]. Keratinase termasuk kelompok enzim protease yang dapat menghidrolisis keratin, sehingga memainkan peranan penting dalam industri penyamakan kulit [37]. Di seluruh dunia diperkirakan bahwa 315 juta kulit diproduksi setiap tahunnya dengan biaya pengolahan limbahnya sebesar USD 1 juta per hari [26]. Penghilangan bulu secara enzimatik dalam penyamakan kulit telah dipertimbangkan sebagai suatu alternatif untuk menghindari penggunaan sulfit yang bersifat racun dan menimbulkan polusi [30]. Permasalahan utama yang sering timbul pada bidang industri adalah sifat enzim yang mudah rusak pada suhu kamar, sehingga harus disimpan pada suhu rendah. Di sisi lain aplikasi enzim dalam bioteknologi memerlukan suhu tinggi. Bakteri Bacillus mendapat perhatian utama dalam bioteknologi karena mampu tumbuh pada kisaran suhu dan pH yang luas dan relatif mudah untuk isolasi dari berbagai macam lingkungan serta mampu tumbuh dalam media sintetik [18]. Genus Bacillus merupakan salah satu bakteri yang mempunyai berbagai macam kemampuan yang dapat dikemangkan dalam dunia industri. Menurut [6], Bacillus sangat potensial untuk dikembangkan dalam industri bioteknologi karena mempunyai sifat sifat yang unggul seperti kisaran pertumbuhan yang luas, pembentukan spora, memiliki range habitat yang luas, tahan terhadap senyawa antiseptik, bersifat aerob atau fakultatif aerob, memiliki kemampuan enzimatik yang beragam, dan
2 beberapa diantaranya mampu melakukan biodegradasi terhadap banyak senyawa xenobiotik. Isolat Bacillus SLII-I adalah isolat bakteri koleksi Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Jurusan Biologi FMIPA ITS yang diisolasi dari kawah Dieng, Jawa Tengah. Isolat Bacillus SLII-I mampu hidup pada media minimal feather meal sehingga diduga mampu mendapatkan sumber C (karbon) dari keratin bulu ayam yang terdapat pada media minimal tersebut. Dari penelitian terdahulu isolat ini memiliki potensi menghasilkan enzim keratinase pada suhu 400C. [3] melaporkan Bacillus termofilik paling potensial menghasilkan keratinase dan bersifat termostabil. Menurut [35], kemampuan bakteri dalam menghasilkan enzim keratinase dapat ditingkatkan dengan menambahkan pepton 1% ke dalam media pertumbuhannya.
digunakan media kosong dengan pengenceran 10 kali menggunakan akuades steril (0,2 ml media minimal FM modifikasi tanpa isolat ditambah 1,8 ml akuades steril). Pengambilan sampel dilakukan tiap jam mulai dari jam ke-0 sampai jam ke-24 [5]. D. Kultur isolat Bacillus SLII-I Starter isolat Bacillus SLII-I sebanyak 25 ml diinokulasikan ke dalam 225 ml media FM modifikasi baru di Erlenmeyer 500 ml dengan pH 7 dan diinkubasi dengan shaker inkubator dengan kecepatan 120 rpm selama 24 jam dan dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali [22]. Pengkondisian pH 7 pada media dilakukan dengan cara menambahkan larutan HCl atau NaOH 1 N ke media FM modifikasi. Setelah penambahan HCl atau NaOH 1N, media kemudian disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 1210C, tekanan 1 atm selama 15 menit [9].
II. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai Juni 2013 di Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Jurusan Biologi FMIPA ITS dan Institute of Tropical Disease Universitas Airlangga. A. Pembuatan Tepung Bulu Ayam Tepung bulu ayam yang digunakan sebagai sumber keratin dibuat mengikuti metode [2] yang telah dimodikasi. Bulu ayam dicuci hingga bersih dan direbus selama 2-3 jam, kemudian dioven selama 8 jam pada suhu 50oC. Bulu ayam yang telah kering, digiling, digerus dengan mortar dan disaring sehingga menjadi sebagai tepung bulu ayam. B. Pembuatan Starter Pembuatan starter isolat Bacillus SLII-I dilakukan sesuai modifikasi metode [22] yang dilakukan secara bertahap. Isolat Bacillus SLII-I dari media padat Nutrient Agar diambil sebanyak 1 ose dan dimasukkan dalam 10 mL media FM modifikasi. Selanjutnya biakan diinkubasi selama 24 jam dengan rotary shaker pada kecepatan 120 rpm dan pada suhu ruangan. Setelah itu 5 ml biakan dipindahkan ke media FM modifikasi baru sebanyak 45 ml dan diinkubasi kembali pada kondisi yang sama seperti kondisi diatas. Sebanyak 10 ml biakan kemudian dipindahkan lagi ke dalam 90 ml media FM modifikasi baru dan diinkubasi dengan kondisi yang sama. Biakan tersebut diambil sebanyak 20 ml dipindahkan lagi ke dalam media FM modifikasi baru sejumlah 180 ml serta diinkubasi dengan kondisi yang sama. Hasil terakhir biakan digunakan sebagai kultur starter. C. Pembuatan Kurva Pertumbuhan 24 Jam Sebanyak 25 ml kultur starter dimasukkan kedalam 225 ml media FM modifikasi dan diinkubasi selama 24 jam. Setiap jam diukur pertumbuhannya secara spektrofotometri, yaitu dengan mengukur nilai absorbansi optical density mengunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm. Pengukuran dilakukan dengan cara biakan diambil sebanyak 0,2 ml lalu diencerkan dengan menambahkan akuades steril sebanyak 1,8 ml lalu dihomogenkan. Langkah selanjutnya biakan dimasukkan ke kuvet untuk diukur nilai optical density dengan spektrofotometer. Untuk blanko
E. Persiapan Ekstrak Enzim Kasar Pembuatan ekstrak enzim kasar diambil dari hasil biakan yang dihomogenasikan lalu dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi sebanyak 30 ml biakan dari ketiga pengulangan kultur. Biakan tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit pada suhu 4oC. Supernatan yang didapatkan merupakan ekstrak enzim kasar untuk pengukuran aktivitas keratinase dan disimpan dalam ice box [5]. F. Uji Aktivitas Enzim Ekstrak enzim kasar yang didapatkan dari sentrifugasi biakan ditambahkan tepung bulu ayam sebanyak 20 mg yang dilarutkan dalam larutan buffer dengan perbandingan ekstrak enzim dengan larutan buffer sebesar 1:4 (200 ul ekstrak enzim : 800 ul larutan buffer). Untuk mendapatkan pH 5 digunakan 0.2 M sodium acetate buffer, pH 7 digunakan 0.2 M phosphate buffer, pH 8 dan 9 digunakan 0.2 M Tris-HCl buffer [5]. Larutan diinkubasi sesuai kelompok perlakuan waktu inkubasi (30, 60, 90, dan 120 menit). Sedangkan untuk mendapatkan suhu 40oC dilakukan dengan pengaturan suhu pada waterbath. Setelah diinkubasi, larutan didinginkan dalam air es selama 10 menit, lalu disaring dengan kertas Whatman nomor 42. Absorbansi larutan diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 280 nm [11]. Satu unit aktivitas enzim didefinisikan sebagai jumlah enzim yang menyebabkan peningkatan 0,01 unit absorbansi per waktu pengukuran [5]. Aktivitas keratinase ditentukan berdasar rumus [4] : Aktivitas (Unit/ml)
=
(4 x n x A 280) (0.01 x T)
G. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode rancangan acak lengkap faktorial dengan tiga faktor yang saling dikombinasikan. Faktor tersebut adalah waktu inkubasi (30, 60, 90, dan 120 menit) dan pH (5, 7, 8, dan 9) saat pengukuran aktivitas enzim keratinase. Ulangan terdiri dari 3 biakan kultur isolat Bacillus SLII-I, tiap ulangan kultur dibuat 2 kali pengukuran ekstrak enzim. Kombinasi yang menghasilkan aktivitas enzim tertinggi dipilih sebagai kondisi paling optimum. F. Analisa Data
3 Data dianalisa dengan Analysis of Varian (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Duncan dengan selang kepercayaan 95%. III.
HASIL DAN DISKUSI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor fisik yang terdiri dari waktu, pH, dan suhu inkubasi ekstrak enzim kasar (crude enzyme) dari isolat Bacillus SLII-I untuk mendapatkan aktivitas enzim keratinase yang optimum. Medium yang digunakan dalam penelitian ini adalah Medium Minimal Feather Meal dengan Pepton 1% (FM Modifikasi). Menurut [14], isolat Bacillus merupakan salah satu bakteri penghasil enzim keratinase. Enzim tersebut akan memutuskan ikatan disulfida pada protein keratin. Keratin merupakan protein yang terdapat pada bulu, rambut, kulit, kuku, tanduk, sisik, dan berbagai bagian tubuh makhluk hidup lainnya yang bersifat tidak larut dalam air (insoluble).
bahwa jumlah sel yang mati lebih banyak daripada sel yang hidup. Hal ini mungkin berhubungan dengan sumber C pepton pada media mulai habis sehingga populasi bakteri menurun. Menuju ke jam 20 hingga jam ke-24 kurva pertumbuhan sel bakteri terlihat kembali naik. Hal ini diasumsikan bahwa pada jam ke-24 enzim keratinase mulai diproduksi untuk memecah keratin pada bulu ayam sebagai sumber C bagi pertumbuhan isolat Bacillus SLII-I setelah sumber dari pepton habis. Selain pepton, pengkayaan media dapat dilakukan dengan penambahan glukosa, fosfat, dan glutatioinin [12]. Berdasar kecenderungan grafik nilai OD yang terukur pada jam ke-24 menuju fase stasioner, maka panen sel untuk pembuatan ekstrak enzim kasar dilakukan pada jam ke-25. Menurut [41] produksi enzim keratinase maksimal bergantung pada faktor lingkungan seperti suhu, suplemen media, dan konsentrasi substrat keratin. Namun biosintesis enzim proteolitik dan keratinolitik oleh bakteri umumnya berada pada akhir fase eksponensial atau awal fase stasioner.
A. Kurva Pertumbuhan Isolat Bacillus SLII-I Kurva pertumbuhan diperlukan untuk mengetahui waktu yang tepat untuk panen kultur Bacillus SLII-I yang akan dipakai sebagai sumber ekstrak enzim kasar. Hasil pengukuran kurva pertumbuhan isolat Bacillus SLII-I dapat dilihat pada Gambar 1.
B. Pengaruh wakt dan pH inkubasi terhadap aktivitas enzim keratinase. Keratin merupakan protein yang tidak larut dalam air karena terdapat ikatan disulfida pada asam amino sisteinnya [25]. Keratinase merupakan enzim yang dapat melarutkan keratin dengan memutus ikatan disulfidanya. Proses keratinolitik memberikan efek langsung berupa dihasilkannya protein, lipid, asam amino terlarut serta residu gugus thiol dari sistein [41]. Enzim merupakan protein fungsional yang kinerjanya dipengaruhi oleh faktor lingkungannya seperti pH, dan waktu enzim bereaksi dengan substrat target. Kandungan yang terdapat pada media juga memberikan pengaruh terhadap aktivitas enzim. Penambahan pepton menstimulasi aktivitas proteolitik [10].
Gambar 1. Kurva pertumbuhan isolat Bacillus SLII-I 24 jam pada media minimal FM modifikasi.
Tabel 2. Nilai rata rata aktivitas keratinase pada suhu 400C dengan variasi kombinasi pH 5; 7; 8; 9 dan waktu inkubasi 30; 60; 90; 120 menit.
Fase pertama adalah fase lag yang terjadi dari jam ke-0 setelah inokulasi hingga jam ke-4. Fase ini, ditandai dengan penambahan jumlah sel yang sebanding dengan jumlah sel yang mati sehingga kurva berbentuk linier. Fase lag merupakan suatu periode penyesuaian yang sangat penting untuk menyesuaikan sistem enzimatis terhadap lingkungan baru bagi sel isolat agar dapat memanfaatkan nutrisi dengan optimal untuk pertumbuhannya. Pada jam ke-5 hingga jam ke-12 merupakan fase eksponensial, dimana terlihat sel tumbuh secara pesat. Pada fase ini sel isolat Bacillus SLII-I telah beradaptasi terhadap lingkungannya sehingga dapat memanfaatkan nutrisi yang terkandung dalam media secara optimal untuk pertumbuhannya. Fase stasioner terjadi pada jam ke-12 hingga jam ke-16. Fase stasioner adalah fase dimana jumlah sel yang membelah dan mati relatif sama. Pada media minimal FM modifikasi, fase stasioner isolat Bacillus SLII-I terlihat pendek, hal ini mungkin karena media yang digunakan adalah media minimal yang berisi mineral mineral mikromolekul kebutuhan dasar bakteri dengan sumber C hanya dari penambahan pepton 1%. Setelah jam ke-16 hingga jam ke-19 merupakan fase kematian. Pada fase ini kurva terlihat menurun, menunjukkan
Tabel 2 menunjukkan rata rata nilai aktivitas enzim keratinase (unit/ml) di setiap kombinasi perlakuan yang dikelompokkan berdasar perlakuan suhu. Lampiran 2 menunjukkan nilai aktivitas enzim yang diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 280 nm. Panjang gelombang 280 nm merupakan panjang gelombang yang
4 memiliki afinitas kuat dengan asam amino yang memiliki cincin aromatik seperti sistin, tryptophan, dan tirosin [24]. Asam amino tersebut merupakan asam amino yang dihasilkan dari pemecahan protein keratin [39]. C. Pengaruh waktu inkubasi Dari data Tabel 2 diketahui bahwa dengan pH yang sama, misal pada pH 5, nilai aktivitas enzim berbanding terbalik dengan kenaikan waktu inkubasi. Semakin lama waktu inkubasi, maka semakin turun nilai aktivitas enzimnya. Nilai aktivitas enzim tertinggi terdeteksi setelah diinkubasi 30 menit yaitu 2,236 U/ml dan terendah setelah masa inkubasi 90 menit yaitu 0,654 U/ml, ketika diaplikasikan pada pH 5. Hal ini juga terjadi pada semua kelompok perlakuan pH yang lainnya. Berdasar uji Duncan diketahui bahwa waktu inkubasi 30, 60, 90, dan 120 menit memiliki pengaruh yang signifikan satu sama lain terhadap aktivitas enzim. Namun waktu inkubasi 30 menit memiliki pengaruh yang paling signifikan. Dengan demikian disimpulkan bahwa waktu inkubasi terbaik adalah 30 menit. Waktu inkubasi merupakan waktu yang dibutuhkan enzim keratinase untuk memecah protein keratin menjadi protein yang larut (soluble protein). Enzim merupakan protein yang sensitif terhadap kerusakan akibat paparan lingkungannya. Paparan tersebut antara lain suhu, cahaya, dan bahan kimia yang berinteraksi dengan enzim. Faktor tersebut akan memberikan efek kerusakan yang berbanding lurus dengan lamanya interaksi dengan enzim. Semakin lama terkena paparan tersebut maka struktur enzim yang terdapat pada lingkungan tersebut akan semakin banyak yang rusak sehingga nilai aktivitasnya menurun [41]. D. Pengaruh pH Data yang ditunjukkan oleh Tabel 2 dengan waktu inkubasi, misal pada perlakuan waktu inkubasi 30 menit nilai aktivitas enzim keratinase pH 5 adalah sebesar 2,236 unit/ml; pH 7 sebesar 2,423 unit/ml; pH 8 sebesar 2,754 unit/ml; dan pH 9 sebesar 3,151 unit/ml. Data tersebut menunjukkan bahwa kenaikan nilai aktivitas enzim keratinase berbanding lurus dengan kenaikan pH: semakin tinggi pH (semakin basa), maka nilai aktivitas enzim akan semakin tinggi pula. Nilai aktivitas enzim terendah pada pH 5 dan tertinggi pada pH 9. Hal ini terjadi pada semua kombinasi perlakuan waktu dan suhu lainnya. Dengan demikian disimpulkan bahwa faktor pH yang memberikan pengaruh nilai aktivitas enzim keratinase tertinggi adalah pH 9. Rujukan [17] melaporkan 70% aktivitas enzim keratinase optimum pada pH 9. Enzim keratinase merupakan enzim yang dapat bekerja dengan kisaran pH yang luas yaitu 4 – 13 [33]. Enzim yang dapat bertahan pada kisaran pH yang luas memiliki banyak kandungan asam amino hidrofobik seperti alanine, valin, leusin, isoleusin, metionin, fenilalanin, tryptophan, dan prolin [23]. Seperti protein lainnya enzim merupakan polimer dari asam amino yang memiliki muatan positif, netral, maupun negatif. Hal ini menyebabkan kinerja enzim dipengaruhi oleh keberadaan ion H+ (asam) atau OH- (basa) [28]. Keratin merupakan protein yang memiliki banyak monomer asam amino dengan muatan positip seperti lisin, arginin, dan
histidin sehingga lebih mudah membentuk ikatan dengan ion OH- yang terdapat pada suasana basa [39]. Semua reaksi enzim dipengaruhi oleh pH media tempat reaksi terjadi sehingga diperlukan buffer untuk mengontrol pH reaksi. Perubahan pH pada skala deviasi kecil menyebabkan turunnya aktivitas enzim karena terjadi perubahan ionisasi gugus gugus fungsionilnya. Hal ini karena enzim adalah protein yang tersusun atas asam amino yang dapat mengadakan ionisasi (mengikat) dan melepaskan proton atau ion hidrogen pada gugus amino, karboksil dan gugus fungsionil lainnya. Sebaliknya, pada skala deviasi pH yang besar, perubahan pH akan mengakibatkan enzim mengalami denaturasi karena adanya gangguan terhadap berbagai interaksi non kovalen yang menjaga kestabilan struktur 3 dimensi enzim. Gugus ionik berperan penting dalam menjaga konformasi sisi aktif enzim untuk mengikat dan mengubah substrat menjadi produk [13]. IV.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah faktor waktu dan pH inkubasi memiliki pengaruh terhadap aktivitas enzim keratinase. Kombinasi optimum faktor fisik tersebut adalah waktu inkubasi 30 menit dan pH 9 dengan nilai aktivitas enzim 3,151 unit/ml. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis Adam mengucapkan terima kasih kepada Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Biologi FMIPA ITS yang telah mengizinkan penggunaan fasilitas selama penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA [1]
Adiati, U., W. Puastuti, dan Mathius. 2002. Eksplorasi Potensi Produk Samping Rumah Potong Bulu dan Darah sebagai Bahan Pakan Pangan Imbuhan Pascarumen. Laporan penelitian Balai Peternakan Ternak Ciawi, Bogor. [2] Agrahari, A. K., Panda, S. K., Meher, A., Padhan, A. R., and Khaliquzzam, M. 2010. Phytochemical Screening of Curculigo Orchioides Gaertn Root Tubers. J. Chem. Pharm. Res. 2. 107-111. [3] Agustien, A., Nurhayati, Y., Udin, L. Z., dan P. Aditiawati. 2006. Produksi Enzim Keratinase dari Bacillus spp. Asal Sumber Air Panas Ambayan Sumatera Barat. Makalah pada Pertemuan Ilmiah Tahunan, PERMI, Solo. [4] Ali [5] Anitha, A. dan R. Eswari. 2012. Impact of Newly Isolated Bacillus megaterium (A1) on Degradation of Feather Waste. International Journal of Pharma and Bio Sciences. 3 (1) : 212-221. [6] Atlas, R.M. dan Bartha, R. 1987. Microbial Ecology, Fundamental and Application, 2nd edition. The Benjamin Cumming Publishing Company, Inc. Menlo Par: California : 560 pp. [7] Badan Pusat Statistik. 2005. Jawa Timur dalam Angka. Badan Pusat Statistik: Jawa Timur. [8] Badan Pusat Statistik. 2012. Jawa Timur dalam Angka. Badan Pusat Statistik: Jawa Timur. [9] Deivasigamani, B. dan Alagappan, K.M. 2007. Industrial Application Of Keratinase and Soluble Proteins From Feather Keratins. J. Environ. Biol.29(6), 933-936. [10] El-Refai H.A., Abdel Naby M.A., Gaballa A.,El-Araby M.H., Abdel Fattah A.F. 2005. Improvement of The Newly Isolated Bacillus pumilus FH9 Keratinolytic Activty, Process Biochem. 40, 2325. [11] Govarthanan, M., T.Selvankumar. and S.Arunprakash. 2011. Production of Keratinolytic Enzyme by A Newly Isolated Feather Degrading Bacillus sp. from Chick Feather Waste. International Journal of Pharma and Bio Sciences. 2 (3) : 259-265.
5 [12] Gupta, R. and P. Ramnani. 2006. Microbial Keratinase and Their Prospective Applications: An Overview. Appl. Microbiol. Biotechnol. 70:21-33. [13] Hames [14] Harde, I. B. Bajaj, R. S. Singha. 2011. Optimization of Fermentative Production of Keratinase from Bacillus subtilis NCIM 2724. Agriculture and Food Bcteriology. [15] Holt [16] Harper, H., V.M. Rodwell, & P.A. Mayes. 1979. Biokimia. Terjemahan dari: Harper’s Biochemistry. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. [17] Jeong-Dong, Kim,. 2007. Purification and Characterization of a Keratinase from a Feather-Degrading Fungus, Aspergillus flavus Strain K-03. Mycobiology 35(4): 219-225. [18] Johnvesly, B. dan Naik, G.R. 2001. Studies on Production of Thermostable Alkaline Protease from Thermophilic and Alkaliphilic Bacillus sp. JB-99 in a Chemically Defined medium. Process Biochemistry, Vol. 37, no. 2, p. 139-144. [19] Johsi A.K. Ortiz G. Crossa J. Singh G. Sharma R.C. Chand R. Parsad R. 2007. Combining Superior Agronomic Performance and Terminal Heat Tolerance With Resistance to Spotblotch (Bipolarissorokiniana) of Wheat in the Warm Humid Gangetic Plains of South Asia. Field Crops Research 103.. 53-61. [20] Kaluzewska, M., K. Wawrzkiewicz and J. Lobarzewski. 1991. Microscopic Examination of Keratin Substrates Subjected to the Action of the Enzymes of Streptomyces fradiae. Int. Biodeterioration, 27, 11-26. [21] Ketaren, S. 2008. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press,Jakarta. [22] Kosim, Mukhammad. 2010. Pengaruh Suhu pada Protease dari Bacillus subtilis. ITS. Surabaya. [23] Kumar, Vijay E., Srijana, M., Chaitanya K. 2011. Biodegradation of Poultry Feather by A Novel Bacterial Isolate Bacillus altitudunis GVC11. Indian Journal of Biotechnology. 10, 502-507. [24] Layne, E. 1957. Spectrophotometric and Turbidimetric Methods for Measuring Proteins. Methods in Enzymology 3: 447-455. [25] Lehninger, A.L. 1995. Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1. Terjemahan : Maggy Thenawijaya. Erlangga, Jakarta. [26] Macedo, A.J., W.O.B. da Silva, R. Gava, D. Driemeier, J.A.P. Henriques and C. Termignoni. 2005. Novel Keratinase from Bacillus subtilis S14 Exhibiting Remarkable Dehairing Capabilities. Applied and Environmental Microbiology, 71,1, 594-596. [27] Murtidjo, B.A. 1995. Beternak Ayam. Kanisius, Yogyakarta. [28] Ngili, Yohanis. 2010. Biokimia Dasar. Rekayasa Sains. Bandung. [29] Page, David S. Prinsip-Prinsip Biokimia. 1997. Erlangga, Jakarta. [30] Raju, A.A.; N.K. Chandrababu; N. Samivelu; C. Rose dan N.M. Rao. 1996. Eco-Friendly Enzymatic Dehairing Using Extracellular Proteases from a Bacillus species isolate. Journal of the American Leather Chemical Association, 91, 115-119. [31] Rao, M.B.; Tanksale, A.M.; Ghatge, M.S. dan Deshpande, V.V. 1998. Molecular and Biotechnological Aspects of Microbial Proteases. Microbiology and Molecular Biology Reviews.62 (3), p. 597635. [32] Rasyaf, M. 1996. Beternak Ayam Petelur. Penebar Swadaya. Anggota IKAPI. Jakarta. [33] Sherly. [34] Sitompul S. 2004. Analisis Asam Amino dalam Tepung Ikan dan Bungkil Kedelai. Buletin Teknik Pertanian 9 (1):33-37. [35] Sivakumar T., Shankar T., Vijayabaskar P. dan Ramasubramanian V. 2012. Optimization for Keratinase Enzyme Production Using Bacillus thuringiensis TS2. Academic Journal of Plant Sciences 5 (3): 102-109. [36] Statistik Lingkungan Hidup dan Wilayah. 2000. Statistik Lingkungan Hidup dan Wilayah 1999. Badan Pusat Statistik: Jakarta. [37] Sun, H.J., H.K. Lee. 2001. Characterization of a Keratinolytic Serine Protease from Bacillus subtilis KS-1. Journal Protein Chemistry, 20,165169. [38] Suntornsuk W, Tongjun J, Onnim P, Oyama H, Ratanakanokchai K,. 2005. Purification and Characterization of Keratinase from A Thermotolerant Feather Degrading Bacterium. World J Microbiol Biotechnol 21:1111-1117. [39] Tiwary, E., Gupta, R. 2012. Rapid Conversion of Chicken Feather to Feather Meal Using Dimeric Keratinase from Bacillus licheniformis ER-15. Journal of Bioprocessing and Biotechniques. 2 (4) : 1-5. [40] Winarno, F.G. 1983. Enzim Pangan. PT. Gramedia, Jakarta. [41] Wojciech Łaba, Anna Rodziewicz. 2010. Keratinolytic Potential of Feather-Degrading Bacillus polymyxa and Bacillus cereus. Polish J. of Environ. Stud. 19 (2): 371-378.
[42] Mazotto, A.M., R.R.R. Coelho, S.M.L. Cedrola, M.F. de Lima, S. Couri, E.P. de Souza dan A. B. Vermelho. 2011. Keratinase Production by Three Bacillus spp. Using Feather Meal and Whole Feather as Substrate in a Submerged Fermentation. Enzyme Research. 1-7.