TINJAUAN PUSTAKA Sifat Insektisida Bacillus thuringiensis Bacillus thuringiensis pertama kali ditemukan menyerang ulat sutera di Jepang pada tahun 1901. Sepuluh tahun kemudian, di Jerman ditemukan strain baru pada larva Anangasta kuhniella yang menyerang biji-bijian (serealia) di gudang penyimpanan.
Strain berikutnya ditemukan di Provinsi Thuringen,
Jerman sehingga bakteri ini disebut Bacillus thuringiensis, yaitu nama yang diberikan pada spesies bakteri yang memproduksi kristal paraspora yang bersifat insektisida (Tanada & Kaya 1993). B. thuringiensis termasuk famili Bacillaceae, ordo Eubacteriales, kelas Schizomycetes. B. thuringiensis merupakan bakteri Gram-positif, membentuk endospora, memproduksi kristal protein (Cry) yang beracun terhadap banyak spesies serangga (Baum et al. 1999).
Semula bakteri ini hanya diketahui
menyerang larva serangga ordo Lepidoptera tetapi kemudian ditemukan bahwa bakteri ini juga menyerang Diptera dan Coleoptera (Garczynski et al. 1991; Dubois & Dean 1995). Beberapa strain B. thuringiensis mampu menyintesis lebih dari satu jenis δendotoksin. Toksin tersebut disintesis sebagai protoksin yang belum aktif dan tidak larut dalam air, akan tetapi dapat larut dalam mesentron larva setelah diuraikan oleh enzim protease. δ-endotoksin juga menghambat pembentukan ATP, merusak transportasi ion dan glukosa serta menghambat kontraksi otot-otot mesenteron (Ellar 1997). Menurut Wood (1983), serangga yang telah terinfeksi Bt saluran pencernaannya akan mengalami kelumpuhan 1-3 jam setelah infeksi, walaupun kematian terjadi 2 atau 3 hari setelah infeksi. Namun demikian kerusakan pada sistem pencernaan akan menghentikan aktivitas makan serangga. Kristal protein yang termakan oleh serangga akan larut dalam lingkungan basa pada mesenteron serangga. Protein tersebut akan teraktifkan oleh enzim pencerna protein serangga. Protein yang teraktifkan akan menempel pada protein reseptor yang berada pada permukaan sel epitelium mesenteron. Penempelan tersebut mengakibatkan terbentuknya pori atau lubang pada sel sehingga sel mengalami lisis yang pada akhirnya serangga akan mengalami gangguan
6
pencernaan yang mengakibatkan kematian (Glare & O’ Callaghan 2000). Larva yang mati tubuhnya mengerut dan menjadi kering apabila disentuh tubuh larva pecah dan menimbulkan bau tidak sedap. Insektisida Bt merupakan salah satu insektisida berbahan aktif bakteri yang dapat digunakan dalam PHT pada tanaman kubis. Koswanudin dan Harnoto (2004) melaporkan bahwa Bacillus thuringiensis var. aizawai serotype H-7 pada konsentrasi 1-4 g/l dapat menekan perkembangan larva Plutella xylostela sebesar 75-80% dan menekan kerusakan krop kubis akibat larva Crocidolomia pavonana sebesar 50-75%. Saat ini terdapat lebih dari 15 formulasi insektisida Bt yang terdaftar di Indonesia, 9 di antaranya terdaftar untuk mengendalikan hama C. pavonana (Anonim 2010). Pada umumnya Bt yang diformulasikan hanya mengandung δendotoksin. Toksin tersebut tidak dapat berkembang di lapangan. Bt akan dapat berkembang di lapangan apabila diaplikasikan dalam bentuk bakteri berspora, akan tetapi salah satu kelemahannya adalah daya racunnya sangat spesifik dan tidak tahan terhadap sinar ultraviolet (Glare & O’ Callaghan 2000).
Sifat Insektisida Piper retrofractum Cabai jawa (Piper retrofractum) merupakan tumbuhan tropis asli Asia Tenggara. Cabai jawa atau cabai jamu merupakan salah satu komoditas ekspor yang cukup diminati di pasaran internasional. Hampir semua bagian tanaman cabai jawa mengandung zat kimia yang berkhasiat obat. Bagian yang paling penting sebagai bahan baku obat adalah buah dan akarnya (Rukmana 2006). Buah cabai jawa yang belum masak mengandung minyak atsiri yang merupakan sumber bahan baku obat afrodisiak (Heyne 1987). Ekstrak P. retrofractum dilaporkan aktif terhadap larva C. pavonana. Zarkani (2008) melaporkan bahwa fraksi 2 KVC (kromatografi vakum cair) P. retrofractum merupakan fraksi yang paling aktif terhadap larva C. pavonana dengan LC95 sekitar 0,046%. Ferdi (2008) melaporkan bahwa fraksi heksana cair, fraksi III VLC-EtoAc dan ekstrak metanol langsung cabai jawa aktif pada pengujian dengan metode celup daun dengan LC50 masing-masing 0,12%, 0,14%, dan 0,25%. Ekstrak aktif P. retrofractum juga dilaporkan dapat mengakibatkan
7
terhambatnya perkembangan larva C. pavonana. Ferdi (2008) melaporkan bahwa perlakuan dengan ekstrak metanol cabai jawa 0,10%-0,20% dapat menekan perkembangan larva C. pavonana menjadi instar III sebesar 4,6%-100%, dan perlakuan dengan fraksi heksana cair cabai jawa 0,05%-0,16% menghambat aktivitas makan larva instar II sebesar 31,2%-72,4%. Sejumlah peneliti (Ahn et al. 1992; Kikuzaki et al. 1993; Parmar et al. 1997; Banerji et al. 2002) melaporkan bahwa terdapat 20 lebih senyawa amida tak jenuh yang telah diisolasi dari cabai jawa, yaitu (2E,4E)-N-eikosadienoilpiperidin, (2E,14E)-N-eikosadienoilpiperidin, triamida,
filfilin,
N-isobutil-2E,4E,12Z-oktadeka1-(oktadeka-2E,4E,12Z-
N-isobutil-2E,4E,14Z-eikosatrienamida,
trienoil)piperidin,
1-(eikosa-2E,4E,14Z-trienoil)piperidin,
dienoil)piperidin,
1-(eikosa-2E,4E-dienoil)piperidin,
dienoil)piperidin,
piperidin,
piperoktadekalidin,
1-(oktadeka-2E,4E1-(eikosa-2E,14Z-
piperin,
pipernonalin,
pipereikosalidin, piperisida, piplartin, retrofraktamida A, retrofraktamida C, retrofraktamida D, silvatin, piperlonguminin, dan guininsin. Senyawa lain yang terdapat dalam cabai jawa adalah sesamin, sitosterol, dan metil piperat (Kikuzaki et al. 1993).
Beberapa senyawa di antaranya, seperti guininsin, piperisida,
piperin, dan retrofraktamida A telah dilaporkan bersifat insektisida (Miyakado et al. 1989; Parmar et al. 1997; Scott et al. 2008). Senyawa-senyawa tersebut selain bersifat insektisida juga berpotensi bersifat sinergis bila dicampurkan dengan bahan insektisida lain.
Potensi Campuran Insektisida Salah satu cara yang dilakukan atau dianjurkan untuk menanggulangi resistensi hama terhadap insektisida adalah penggunaan campuran dua jenis atau lebih insektisida dengan cara kerja berbeda (Georghiou 1983). Campuran yang memiliki cara kerja berbeda umumnya memiliki kerja bersama bebas (independent joint action) dan campuran yang memiliki cara kerja yang sama umumnya memiliki kerja bersama serupa (similar joint action) (Robertson et al. 2007). Pengggunaan campuran pestisida dengan cara kerja yang berbeda dapat menanggulangi permasalahan dan menunda terjadinya resistensi.
Selain itu,
berhubung pestisida dalam campuran yang bersifat sinergistik digunakan pada
8
dosis yang lebih rendah, penggunaan campuran pestisida juga dapat mengurangi pengaruh samping terhadap organisme bukan sasaran dan lingkungan. Secara umum aktivitas insektisida campuran dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu aditif, antagonistik, dan sinergistik. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa B. thuringiensis memiliki efek sinergistik apabila dicampur dengan insektisida kimia tertentu. Sebagai contoh, pencampuran insektisida Bt dengan profenofos dan Bt dengan iufenuron mempunyai efek sinergistik terhadap larva Spodoptera exigua (Moekasan 1998). Aktivitas campuran formulasi B. thuringiensis 1 x 107 spora ml-1 dan fenvelerat 0,005 % juga dilaporkan mampu menyebabkan kematian larva Spodoptera litura hingga 100% dan mengurangi kerusakan pada daun sebesar 20,15% (Jayanthi & Padmavathamma 2001). Uhan dan Sulastrini (2008) melaporkan perlakuan campuran antara Bt 0,2 g/100 ml dan nematoda Steinernema carpocapsae 1.600 individu/tanaman dapat menyebabkan mortalitas larva C. pavonana sebesar 100%, sedangkan pada konsentrasi tersebut secara tunggal tingkat mortalitas akibat perlakuan Bt dan S. carpocapsae masingmasing hanya mencapai 15% dan 15,56%. Penggunaan dosis rendah insektisida golongan piretroid dan organofosfat yang dicampurkan dengan dosis rendah B. thuringiensis menghasilkan efek sinergistik terhadap larva Spodoptera littoralis, sedangkan campuran Bt dengan insektisida karbamat dan diflubenzuron menghasilkan efek aditif (Salama et al. 1984).
Crocidolomia pavonana Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae) merupakan hama penting pada tanaman Brasicaceae seperti, kubis, sawi hijau, sawi putih, kol, kailan, kolrabi, lobak, petsai, selada air, dan brokoli.
Daerah persebaran C.
pavonana meliputi Asia Selatan, Australia, Asia tenggara, Afrika Selatan, dan beberapa kepulauan di Samudera Pasifik. Di Pulau Jawa serangga ini ditemukan baik di dataran rendah maupun dataran tinggi (Kalshoven 1981). C. pavonana memakan daun tanaman kubis-kubisan yang terlindung sampai habis hingga mencapai titik tumbuh. Gejala kerusakan daun akibat serangan larva instar awal C. pavonana berupa jendela epidermis atas sampai berlubang, dan
9
sejak instar III menyerang krop dan titik tumbuh sehingga menurunkan nilai ekonomi (Sastrosiswojo & Setiawati 1993). C. pavonana mengalami metamorfosis sempurna, yang melewati fase telur, larva, pupa dan imago. Telur diletakkan pada permukaan bawah dan atas daun secara berkelompok yang tersusun seperti atap genting (Prijono & Hassan 1992). Telur diletakkan saling tumpang tindih dalam kelompok yang mengandung 10140 telur. Kelompok telur yang baru diletakkan berwarna hijau pucat, warnanya berubah menjadi kuning cerah dan menjadi cokelat tua sebelum menetas. Telur C. pavonana menetas dalam waktu 4-5 hari (Prijono & Hassan 1992), sedangkan Othman (1982) melaporkan bahwa periode inkubasi telur rata-rata 4 hari (3-6 hari) pada suhu 26,0-32,2 0C dengan persentase penetasan 92,4% (69,2-100%). Perkembangan larva melewati empat atau lima instar bergantung pada jenis makanannya (Sastrosiswojo & Setiawati 1993). Instar I berwarna krem dengan kepala hitam kecokelatan, sedangkan instar II berwarna hijau terang, dengan stadium larva 2 hari. Instar III berwarna hijau dengan stadium larva rata-rata 1,5 hari. Pada saat instar IV warna tubuh tetap hijau dengan tiga garis putih pada bagian dorsal dan satu garis lateral, lama stadium instar IV rata-rata 3,2 hari (Sastrosiswojo & Setiawati 1993), sedang menurut Prijono dan Hassan (1992) rata-rata lama stadium instar I-IV berturut-turut 2 hari (2-3 hari), 2 hari (1-3 hari), 1,5 hari (1-3 hari), dan 3,2 hari (3-6 hari). Lama perkembangan keseluruhan 8,7 hari (8-14 hari) pada suhu 25,0-28,0 oC dengan kelembapan nisbi 70%. Pupa C. pavonana pada awalnya berwarna hijau lalu berubah menjadi warna cokelat dengan panjang sekitar 0,96 cm. Pupa berwarna kecokelatan dengan lama stadium rata-rata 10 hari (9-13 hari) pada suhu 26-33,2 oC dan kelembapan nisbi 54,1-87,8% (Othman 1982). Imago C. pavonana berbentuk ngengat nokturnal yang tidak tertarik cahaya (Sastrosiswojo dan Setiawati 1993). Ngengat jantan dewasa berwarna cokelat dengan tanda gelap dan dua bintik putih pada setiap sayap depan. Rentang sayap sekitar 3 cm. Betina mirip dengan jantan, tetapi memiliki pola kurang menonjol di sayap (Othman 1982). Siklus hidup serangga betina berkisar 23-38 hari (rata-rata 24,8 hari), sedangkan yang jantan berkisar 2429 hari (rata-rata 25,1 hari) (Prijono & Hassan 1992).
10
Pengendalian C. pavonana menggunakan konsep pengendalian hama terpadu (PHT) telah dianjurkan sejak 1989 (Sastrosiswojo et al. 2000). Cakupan PHT secara sempit adalah mengurangi atau membatasi populasi hama sasaran dengan mendahulukan cara-cara nonkimia, terutama cara-cara bercocok tanam dan pemberdayaan musuh alami (Untung 1992). Beberapa musuh alami C. pavonana ialah parasitoid larva Eriborus
argenteopilosus (Cameron) (Hymenoptera:
Ichneumonidae) dan Sturmia sp. (Diptera: Tachinidae).
Pengendalian secara
mekanis dapat dilakukan dengan mengumpulkan paket telur, sedangkan, pengendalian kultur teknis adalah dengan menanam tanaman perangkap. Insektisida yang dapat digunakan untuk menekan C. pavonana di antaranya insektisida berbahan aktif permetrin, sipermetrin, deltametrin, profenofos, dan asefat, walaupun telah dilaporkan bahwa asefat dan permetrin menyebabkan resistensi pada larva C. pavonana (Sastrosiswojo 1987). Insektisida lain yang dilaporkan efektif terhadap larva C. pavonana ialah insektisida berbahan aktif bakteri Bacillus thuringiensis seperti Dipel WP, Bactospeine WP, dan Thuricide HP (Sastrosiswojo & Setiawati 1993).