TINJAUAN PUSTAKA Sifat dan Keberadaan Iodin Pada tahun 1811 iodin ditemukan dalam ganggang laut oleh Berna rd Courtois.
Selanjutnya iodin terdapat di tanah dan laut dalam bentuk iodida.
Iodida berasal dari kata iode yang dalam bahasa Yunani artinya berwarna ungu (Olson et al., 1984 dan Hetzel, 1996). Ciri umum iodin yang dapat dijumpai adalah berbentuk kristal dengan bobot atom 127 dan bobot molekul 254, dapat menyublim dan bersifat racun serta korosif (Elizar, 1989).
Selain itu, iodin juga
dapat larut dalam alkohol, karbon disulfida, kloroform, eter, karbon tetraklorida, gliserol, larutan iodida basa , dan tidak larut dalam air. Konsentrasi iodida dalam air laut berkisar antara 50 dan 60 µg/L dan di udara sekitar 0.7 ìg/m3 (Tezic, 1998). Hetzel dan Clugston (1996) menerangkan bahwa zat iodin yang berasal dari hasil oksidasi ion iodida dapat menguap oleh sinar matahari sehingga setiap tahun sekitar 400 000 ton iodin menghilang dari permukaan laut.
Iodin di udara dikembalikan lagi ke tanah oleh air hujan dengan
proses yang sangat lambat dan konsentrasinya terbatas, yaitu sekitar 1.8 sampai 8.5 µg/L, lebih kecil dibanding dengan jumlah iodin asli yang hilang dari tanah oleh karena banjir dan erosi. Wilayah yang paling memungkinkan untuk melepaskan io din di permukaan bumi adalah wilayah pegunungan.
Semua tanaman hasil panen yang
tumbuh di lahan ini akan mempunyai kandungan iodin yang rendah. Oleh karena itu, defisiensi iodin lebih banyak terjadi pada daerah ketinggian (pegunungan) dan mempunyai curah hujan yang lebih tinggi karena iodin akan terikut bersama aliran air menuju ke muara terakhir yaitu laut (Hetzel et al., 1996). Hetzel et al. (1996) dan Tezic (1998) mengatakan bahwa kandungan iodin tanaman yang tumbuh pada tanah yang kurang iodin adalah sekitar 10 ìg/kg berat kering, sedangkan pada tanaman yang tumbuh pada tanah yang cukup iodin mencapai 1000 µg/kg berat kering.
8
Peranan Iodin dalam Tubuh Iodin termasuk kelompok gizi mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah yang sangat sedikit yaitu sekitar 10-20 mg per 70 kg rata -rata berat badan manusia . Iodin merupakan zat gizi yang diperlukan tubuh manusia dalam proses pertumbuhan, perkembangan, dan kecerdasan otak manusia maupun hewa n (Linder, 1992, Dunn, 2001, dan Astawan, 2003). Apabila jumlah iodin yang tersedia tidak mencukupi, produksi tiroksin dan triiodotironin menurun dan sekresi TSH meningkat.
Akibatnya , sintesis
tiroglobulin oleh sel tiroid meningkat yang menyebabkan kelenjar membesar dan terjadi hiperplasia yang disebut gondok. Selain itu, kekurangan iodin dapat juga mengakibatkan kretinisme (kerdil), penuruna n kecerdasan, dan untuk tingkat yang lebih berat dapat mengakibatkan gangguan pada otak dan pendengaran serta kematian pada bayi. Sehubungan
dengan
fungsi
iodin
dalam
proses
pertumbuhan,
perkembangan, dan kecerdasan otak, susunan saraf yang terdiri atas sel-sel neuron yang mulai dibentuk pada fase embriologis sangat bergantung pada kecukupan kandungan iodin. Jumlah sel neuron dalam otak umumnya mencapai sekitar 10 milya r. Kekurangan iodin pada masa kehamila n dan awal masa kehidupan anak dapat menurunkan jumlah sel neuron yang ada di otak sehingga dapat menyebabkan gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan otak anak (IQ di bawah normal). Kekurangan iodin masih merupakan masalah besar di beberapa negara di dunia, khususnya negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Survei pemetaan GA KI tahun 1998 menunjukkan sekitar 87 juta penduduk Indonesia saat ini hidup dan bermukim di daerah endemik kekurangan iodin. Intelligence quotient (IQ) mereka diperkirakan berkurang, dan 20 juta di antara mereka menderita penyakit gondok dan 290 000 orang menderita kretin. Kekurangan ini tentunya menurunkan kualitas generasi muda dan penuruna n kesejahteraan masyarakat Indonesia.
9
Sintesis Hormon Tiroid dan Peranannya dalam Tubuh Kelenjar tiroid adalah salah satu kelenjar endokrin yang tumbuh pada masa perkembangan suatu individu dan berasal dari evaginasi farinks (endodermal). Dickson (1984) mengatakan bahwa berat kelenjar tiroid sekitar 0.2% dari berat badan atau sekitar 15 sampai 25 g dan sangat banyak menyerap iodin yang beredar dalam darah. Kelenjar ini terdiri atas dua lobus yang melekat rapat dengan trakea dan dihubungkan satu sama lainnya dengan sebuah isthmus dengan panjang sekitar 2 cm. Kelenjar tiroid terdiri atas dua lobuli yang mengandung sekitar 20 sampai 40 folikel setiap lobulus.
Folikel ini merupakan unit kerja kelenjar tiroid yang
bentuknya bervariasi, yaitu bulat, agak lonjong, atau memanjang. Folikel tiroid dibentuk oleh sel folikel di sekelilingnya. Di sebelah luar, sel folikel dibatasi oleh membran basal. Di dalam folikel terdapat koloid hormon tiroid yang bersifat asidofilik (merah), kadang terlihat mengkerut apabila kelenjar dalam keadaan aktif. Pada tikus, sel folikel berbentuk kuboid rendah. Di samping sel folikel, terdapat sel parafolikel atau disebut pula sel C yang bentuknya lebih besar, berwarna pucat dan terletak di antara membran basal dan sel folikel. Sel C ini dikenal sebagai sel penghasil kalsitonin, yaitu hormon yang bekerja dalam metabolisme kalsium (Ham, 1974).
Turner dan
Bagnara (1976) dan Dickson (1984) mengatakan bahwa kelenjar tiroid berfungsi membuat hormon tiroid, yaitu hasil ikatan antara iodin dan asam amino tirosin dalam beberapa be ntuk. Djojosoebagio (1990) mengatakan bahwa pembentukan hormon tiroid dimulai dari perubahan bentuk ikatan iodin menjadi ion iodida.
Ion iodida
diperoleh dari kerja hidrogen peroksida (H2O2 ) yang melakukan oksidasi pada iodin sehingga terjadi ion iodin aktif. Iodin aktif ini akan berubah menjadi hipoiodid yang dapat melakukan iodinasi pada asam amino tirosin sehingga terbentuk monoiodothyronine atau MIT (T1 ) dan diiodothyronine atau DIT (T2). Dickson (1984) dan Saurbelich (1998) mengatakan bahwa gabungan antara dua molekul DIT akan membentuk T4 (tiroksin) yang memiliki 4 buah atom iodin, sedangkan gabungan antara satu molekul MIT dan satu molekul DIT
10
akan membentuk T3 (triiodotironin) yang memiliki 3 buah atom iodin. Penggabungan molekul-molekul ini dibantu oleh coupling enzime yaitu thyroid peroxidase dan berlangsung dalam sel follikel (Gambar 1).
Transport Iodin
Organifikasi
T1
I-
I+ + Tirosin
Pembentukan
T1&T2
T 4& T3 Sekresi
T4 & T3 Gambar 1 Proses Sintesis dan Pelepasan Hormon Tiroid (Saurbelich, 1998). Molekul asam amino tirosin dalam kelenjar tiroid merupakan residu penyusun molekul protein tiroglobulin. Hormon T4 dan T3 berada di permukaan koloid yang berada di dalam folikel tiroid. Hormon T4dan T3 disekresikan melalui proses endositosis di dalam sel folikel tiroid. Hormon T4 dan T3 disekresikan dalam darah, sedangkan MIT dan DIT akan mengalami deiodinasi oleh enzim deiodinase di dalam tiroid. Siklus ini dimaksudkan untuk memanfaatkan iodin dari tiroksin menjadi iodin yang lebih aktif. Konsentrasi T4 dalam darah lebih banyak dibandingkan T3. Konsentrasi T3 biasanya hanya 10% atau kurang dari hormon-hormon tiroid (Djojosoebagio, 1990).
Querido (1979) mengatakan
bahwa hormon tiroid bekerja di bawah pengawasan hormon tirotropik yang dihasilkan oleh hipofisa anterior , yaitu TSH. Di dalam saluran pencernaan, hormon tiroid ikut mengatur kerja peristaltik usus dan penyerapan ion Fe.
Selain itu, hormon tiroid juga dapat mengatur
deposisi bahan-bahan di bawah kulit dan, pada alat reproduksi, hormon tiroid
11
mengatur pertumbuhan alat kelamin dan kelenjar susu (Turner dan Bagnara, 1976 dan Dickson, 1984).
Stimulasi Hormon Tiroid pada Sintesis Protein Bagian penting yang menjadi sentral aktivitas hormon tiroid adalah sel, mitokondria, ribosom, dan nukleus (Gambar 2). Hormon tiroid dapat berperan langsung dalam proses transpor asam amino dan transpor cairan elektrolit dari lingkungan ekstraseluler ke interiol sel, aktivitas khusus enzim protein dalam se l dan proses peningkatan ukuran, nomor , dan fungsi sel.
Gambar
2 Kerja hormon Tiroid pada Sel Target (Sterling, 1979).
Harper et al. (1979) dan Ster ling (1979) menyatakan bahwa hormon tiroid bekerja pada sel sasaran untuk sintesis protein dengan jalan berikatan langsung dengan reseptor protein yang berhubungan dengan kromatin yang terdapat di
12
dalam inti sel (Gambar 2). Oleh karena itu, hormon tiroid berfungsi sebagai pengatur laju metabolisme di dalam sel dan berfungsi sebagai katalisator reaksi metabolisme oksidatif di mitokondria.
Jika kondisi kekurangan dan kelebihan
hormon tiroid terjadi dapat menyebabkan dampak kekurangan yang permanent dalam nomor dan fungsi sel. Dalam sintesis protein, hormon tiroid membantu memproduksi ATP yang sangat dibutuhkan dalam semua proses pertumbuhan.
Pada kelompok orang
dewasa dampak produksi hormon tiroid banyak berbeda pada setiap jaringan, seperti peningkatan aktivitas lipolitik dalam jaringan adiposa, modulasi sekresi gonadotropin oleh pituitary, dan perbaikan sel proliveratif seperti sel pertumbuhan dan perawatan rambut. Hormon tiroid juga dapat me mbantu dalam proses glikolisis lewat jalur pathway untuk proses kalorigenesis bersamaan dengan proses oksidatif fosforilasi di hati, ginjal, dan otot. Sedangkan pada otak, hormon tiroid tidak memberikan dampak kalorigenik tapi dapat merubah konsentrasi neurotransmitter dan semua reseptor. Walaupun pada umumnya enzim protein yang dibutuhkan dalam sintesis protein pada sel orang dewasa, konsentrasi fisiologis hormon tiroid juga dibutuhkan untuk pertumbuhan normal termasuk kulit dan rambut dan pelaksanaan dua fungsi struktur protein.
Pada pasien hipotiroid, pertumbuhan
anak rambut (rambut baru) berkurang disertai dengan peningkatan jumlah rambut yang rontok atau gugur. Keadaan yang tidak normal ini diikuti dengan proses pemulihan pada kondisi eutiroid.
Diasumsikan bahwa konsentrasi fisiologi
hormon tiroid mungkin tidak hanya merangsang pertumbuhan rambut baru tapi selalu dibutuhkan untuk perawatan normal. Hormon tiroid
juga berperan pada berbagai sistem tubuh adalah
meningkatkan konsumsi oksigen pada proses kalorigenesis.
Hormon tiroid
meningkatkan konversi kr ea tin menjadi kreatinin pada proses kontraksi otot, membantu pembentukan lapisan mielin pada serabut saraf, mengatur derajat metabolisme basal pada sistem hematopoiesis, mengatur suhu badan dan kerja jantung, dan mengatur metabolisme mineral.
13
Proses Metabolisme Iodin dalam Tubuh Iodin yang masuk ke dalam tubuh akan melewati tahap pencernaan sampai tahap ekskresi.
Dalam saluran pencernaan, iodin dalam bahan makanan
dikonversi menjadi iodid (I-) yang mudah diserap.
Selanjutnya , iodin itu di
angkut ke dalam plasma darah dan bergabung dengan pool iodida intraseluler dan ekstraseluler.
Iodin yang ada dalam pembuluh darah masuk ke kelenjar tiroid
melalui pengangkutan yang difasilitasi oleh Na-I. Pengangkutan ini memfasilitasi pasangan natrium dan ioda masuk ke dalam sel (Linder. 1992) . Sekitar 90% iodin yang masuk ke dalam sel akan disimpan dalam kelenjar tiroid, dan setelah mengalami peroksidasi akan melekat pada residu tirosin dan tiroglobulin membentuk protein yang besar dengan berat 670 000 dalton dan mengandung 120 residu tirosin (Gaitan, 1986). Dalam keadaan seimbang, iodin yang masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan iodin yang diekskresikan melalui urin. Oleh karena itu, urin dapat menjadi indikator status iodin dalam tubuh seseorang ( Brody, 1999). Ganong (1989) mengilustrasikan bahwa jika mengkonsumsi iodin sebesar 500 µg/hari, hanya sekitar 120 ìg yang masuk ke dalam kelenjar tiroid, dan dari kelenjar tiroid dis ekresikan sekitar 80 µg iodin dalam bentuk T3 dan T4. Sisa iodin yang tidak diserap oleh kelenjar tiroid akan masuk ke dalam jaringan baik dalam ikatan organik maupun anorganik dan dikenal sebagai pool iodin. Selanjutnya T4 dan T3 mengalami metabolisme dalam hati dan kelenjar lainnya, dan sekitar 60 µg dikeluarkan ke dalam cairan empedu, kemudian dikeluarkan ke dalam lumen usus.
Sebagian lagi mengalami sirkulasi
enterohepatik, yang lepas dari reabsorbsi akan diekskresikan bersama feses yang jumlahnya hampir mencapai 20% ìg per hari, sedangkan sekitar 80% ìg/L/hari melalui urin (Ganong, 1989 dan Winarno, 1997). Proses metabolisme iodin dapat dilihat pada Gambar 3.
14
Gambar 3 Proses Metabolisme Iodin dalam Tubuh (Ganong, 1989). Pembuangan iodin sebagian besar terjadi melalui ginjal, sedangkan dalam jumlah yang lebih kecil dikeluarkan juga melalui usus dan keringat (Winarno, 1997 dan Brody, 1999). Iodin yang tidak dapat diserap atau yang berasal dari empedu akan dikeluarkan bersama feses (Gambar 3). Ekskresi iodin melalui urin dapat dijadikan sebagai indikator penentuan status iodin dalam tubuh seseorang.
Hal ini disebabkan karena ginjal tidak
mempunyai kemampuan untuk menyimpan mineral ini sehingga dalam keadaan seimbang (normal) iodin yang masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan iodin yang diekskresikan melalui urine (Brody, 1999). Selain itu, Freake (1998) mengatakan bahwa bentuk kehilangan iodin yang lain bisa terjadi melalui keringat dan air susu ibu yang terbuang atau tidak terpakai pada wanita menyusui.
Sumber Iodin Iodin dapat diperoleh dari berbagai jenis pangan dan kandungannya berbeda -beda bergantung pada asal jenis pangan tersebut dihasilkan. Hal tersebut
15
dapat dibuktikan dengan hasil penelitian dari Gibson (1990) seperti yang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Kandungan Iodin Rerata pada Berbagai Jenis Pangan Jenis Pangan
Rer ata Kandungan Iodin (ìg/100g)
Selang Kandungan Iodin (ìg/l00g)
Ikan Tawar Ikan Laut Kerang Daging Susu Telur Gandum Buah-buahan Kacang-kacangan Sayuran
30 832 798 50 47 93 47 18 30 29
17-40 163-3180 308-1300 27-97 35-56 22-72 10-29 23-36 12-201
Sumber: Gibson (1990)
Djokomoeljanto (1993) mengatakan bahwa seafood merupakan pangan sumber iodin alamiah yang cukup tinggi.
Hal ini disebabkan karena iodin dalam
tanah dapat terbawa pada saat banjir menuju sungai dan pada akhirnya ke laut sehingga bahan pangan seperti rumput laut, berbagai jenis ikan laut, kepiting, udang, dan sampai pada tanaman lain yang kebetulan tumbuh dan hidup pada daerah sekitar pantai, termasuk sumber air minum yang dimiliki, mempunyai kandungan iodin yang tinggi. Sumber iodin lain adalah garam dan air yang difortifikasi.
Garam
termasuk dalam sembilan bahan pangan pokok yang diperlukan masyarakat dan oleh karenanya merupakan bahan makanan yang penting.
Jenis garam yang
diproduksi berbeda tiap daerah dalam kandungan iodin dan bentuknya Hal ini tentunya berhubungan dengan kesukaan masyarakat sekitar.
Oleh karena itu,
pemerintah telah menetapkan garam beriodin untuk dikonsumsi dengan kandungan iodin (KIO3) sebesar 30 – 80 ppm, dengan Keputusan Presiden RI No. 69 tahun 1994. Di negara
maju konsumsi garam beriodin telah menjadi salah satu
alternatif (bahkan program efektif) dalam menanggulangi masalah GAKI. Beberapa negara, di antaranya USA, Jepang, El Savador, China, India, Australia,
16
Switzerland, dan sebagian besar wilayah Afrika , telah menggunakan program konsumsi garam beriodin untuk semua (USI : Universal salt iodization). Pada wilayah Afrika dan Mediterania , bahkan di Guatemala, sejak pelaksanaan program iodisasi garam terjadi penurunan prevalensi gondok. Akan tetapi, pada saat pemasokan garam iodin terganggu (pada masa perang) maka prevalensi GAKI kembali meningkat.
Setelah situasi normal kembali dan
pemasokan garam beriodin lancar, prevalensi GAKI kembali menurun secara drastis.
Kebutuhan dan Kecukupan iodin Konsumsi iodin sangat bervariasi di semua belahan dunia,
namun di
Amerika Serikat diperkirakan rata -rata sekitar 500 ìg/hari (lima kali kebutuhan asupan iodin yang dianjurkan). Menurut Hetzel (1989) dalam keadaan normal asupan harian untuk orang dewasa berkisar mulai dari 100 sampai 150 µg per hari. Jumlah asupan tersebut dianggap cukup untuk mempertahankan fungsi tiroid normal yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan normal.
Bertolak
dari besar kebutuhan iodin yang ada , RDA dari UNICEF/WHO/ICCIDD (1989) dan WKNPG/LIPI (2004) menganjurkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan menyesuaikan pada angka kec ukupan masing - masing orang berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin. Tabel 3 Angka Kecukupan Gizi untuk Indonesia dan RDA No 1 2 3 4
Kelompok Usia 0-9 tahun 10-59 tahun Wanita Hamil Ibu Menyusui
Kecukupan Indonesia 90 - 120 120 - 150 150 (+50) 150 (+50)
RDA (µg) (UNICEF/WHO/ICCIDD) 90 – 120 120 - 150 220 290
Sumber: WKNPG (2004) dan Food and Nutrition Board (FNB) Institute of Medicine (2001).
Untuk memenuhi kecukupan iodin di atas, sebaiknya di dalam menu sehari-hari disertakan bahan-bahan panga n yang berasal dari laut dan aneka jenis olahannya.
Kecukupan iodin yang dianjurkan untuk orang Indonesia disajikan
pada Tabel 3. Khusus bagi kelompok ibu hamil, tambahan tersebut sebagian dapat dipergunakan untuk keperluan aktivitas kelenjar tiroid ibu dan sebagiannya
17
lagi untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, khususnya untuk pembentukan sel-sel dan jaringan baru serta perkembangan otak.
Penilaian Status Iodin Ada tidaknya masalah kekurangan iodin harus dapat ditentukan dengan baik melalui cara pe ngukuran yang digunakan. Pengukuran gangguan kekurangan iodin di dalam suatu populasi akan menunjukkan tingkat keparahan masalah tersebut. Berdasarkan informasi yang dikeluarkan oleh pihak WHO (2001), cara pengukuran ada tidaknya permasalahan gangguan akibat kekurangan iodin dalam suatu populasi masyarakat antara lain adalah ukuran gondok dengan metode palpasi, ultrasonografi (USG) , kandungan iodin dalam urine (UIE), konsentrasi TSH dalam darah, kretin endemik, hormon Tiroid, dan pengambilan Radioiodin. Secara tradisional metode yang biasa dipakai dalam suatu kelompok populasi untuk menilai tingkat endemik GAKI adalah metode palpasi. Kelompok contoh yang dipakai dalam mewakili populasi pada umumnya adalah anak-anak sekolah. Ketelitian teknik ini masih rendah sehingga digantikan oleh metode lain, seperti ultrasonografi, UIE, dan TSH. Metode pengukuran UIE dianggap sangat bermanfaat dan metode ini dapat dipercaya. Keparahan endemik dapat dinilai dari hasil survei, terutama yang menggunakan metode UIE. Walaupun demikian, penggunaan ke -6 cara tersebut di atas masih sangat terbatas.
Hal ini tentunya disesuaikan dengan kondisi suatu negara dan
kelengkapan alat yang diperlukan. Bagi Indonesia khususnya, cara yang selama ini digunakan antara lain A. Pemeriksaan Klinis seperti 1). Metode Palpasi, 2). Ultrasonografi (USG), dan 3). Kretin Endemik. B Pemeriksaan Biokimia seperti 1). Kandungan iodin dalam urine (UIE), 2). Hormon Tiroid dan TSH dalam darah. •
Palpasi dan USG Tingkat pembesaran gondok dapat ditentukan dengan menggunakan
metode palpasi. Dalam melaksanakan pemeriksaan gondok, pemeriksa berdiri atau duduk menghadap objek yang diperiksa dengan menempelkan kedua ibu jarinya pada sisi kanan dan kiri dan batang tenggorokannya beberapa sentimeter di
18
bawah jakun dan menekan serta memutar ibu jarinya secara perlahan-lahan pada kelenjar tiroid yang lekat dengan jakun. Target populasi adalah anak sekolah dasar umur 8-10 tahun atau 6-12 tahun. Derajat besarnya gondok yang disepakati oleh WHO ( 2001) antara lain : Grade 0: Tidak Jelas atau tidak kelihatan gondok Grade 1: Jelas tapi tidak kelihatan gondok Grade 2: Jelas dan Kelihatan gondok Palpasi termasuk indikator yang pelaksanaannya relatif lebih cepat dan lebih murah, namun akurasi dan reliabilitas hasil yang diperoleh lebih rendah bila dibandingkan dengan metode ultrasonografi (USG). USG dapat digunakan untuk menilai subjek dalam jumlah besar dan dapat terhindar dari kesalahan pengamat, namun membutuhkan waktu yang banyak, biaya yang tinggi, dan tenaga yang dilatih secara khusus. •
Pengukuran Hormon Tiroid dalam Serum Pengukuran hormon tiroid dapat dilakukan pada berbagai kelompok umur
terutama pada bayi, anak-anak, orang dewasa, dan wanita hamil karena kelompok usia ini sangat penting untuk mengetahui fungsi tiroid selama perkembangan otak dini. Larsen et al. (1987), Vanderpass dan Thily (1994) , dan Wilber (1996) menyatakan bahwa kadar T4 yang normal dalam darah adalah 8 µg/dL, sementara yang rendah adalah kurang dari 8 µg/dL, dan yang tinggi adalah lebih dari 8 µg/dL. Sementara menurut ICCIDD (2003) kadar T4 yang normal dalam darah adalah sekitar 4 sampai 12 µg/dL. Ingbar dan Braverman (1986) mengatakan bahwa kecenderungan perubahan fisiologi yang muncul pada seseorang yang mengalami gangguan fungsi tiroid dan yang disertai dengan kadar hormon tiroid (T3 dan T4) yang rendah adalah perubahan nafsu makan bervariasi (kada ng berkurang, kadang bertambah), gangguan kesehatan (sakit), agresif, dan gangguan ginjal dan hati selama pengamatan. Konsentrasi hormon tiroid dalam serum manusia dengan metode Radioimmunoassay (RIA) menurut Ingbar dan Braverman (1986) dapat dilihat pada Tabel 4.
19
Tabel 4 Konsentrasi Hormon Tiroid dalam Serum Manusia yang Diukur dengan Metode Radioimmunoassay (RIA) Indikator (Metode RIA) Eutiroid Anak-anak Eutiroid Dewasa Hipertiroid Dewasa Hipotiroidisme Dewasa
T4 (ìg/d L) Rerata Interval 11 8-15 8 5-11 21 10-50 2 <1-5
T3 (ng/dL) Rerata Interval 48 11-90 120 80-220 480 200-1600 48 20-160
Sumber : Ingbar dan Braverman, 1986
Kaplan (1982) mengatakan bahwa selang normal untuk T4 adalah 5 sampai 10.7 ìg/dL dan T3 adalah 75 sampai 222 ng/dL. Kadar hormon tiroid yang dijumpai pada orang sakit adalah sebesar 3.9 sampai 8.1 ì g/dL untuk T4 dan sebesar 38 sampai 87 ng/dL untuk T3. •
Pengukuran Konsentrasi Iodin dalam Urin Pengukuran konsentrasi iodin yang keluar melalui urin termasuk indikator
outcome secara biokimia, yang dapat dilakukan terhadap sampel urin yang dikumpulkan selama 24 jam.
Kelebihan asupan iodin juga dapat dimonitor
dengan menent ukan konsentrasi iodin urin.
Pardede et al. (1998) dan Dunn dan
Haar (1990) mengatakan bahwa konsentrasi iodin urin sangat sahih dalam menentukan asupan iodin dalam suatu populasi. Hasil pengukuran konsentrasi iodin urin tidak mempunyai perbedaan yang berarti dengan hasil pengukuran volume tiroid menggunakan ultrasonografi. Sauberlich (2000) mengatakan bahwa untuk mengukur besar ekskresi iodin lewat urin sebaiknya menggunakan urin selama 1 kali 24 jam (sehari). Hal ini disebabkan karena jumlah ekskresi iodin dalam urin selama periode 24 jam dapat mencerminkan ketepatan besaran asupan konsumsi iodin (Brody, 1999). Kriteria epidemiologi untuk menilai status asupan iodin dalam urin terhadap konsentrasi iodin urin rata-rata pada anak sekolah dasar dapat dilihat pada Tabel 5.
20
Tabel 5 Kriteria Epidemiologi untuk Menilai Status Iodin Berdasarkan Konsentrasi Iodin pada Anak Sekolah Dasar Konsentrasi Iodin dalam urin (ìg/L) < 20 20 – 49 50 – 99 100 – 199
Status Asupan Iodin Tidak cukup Tidak cukup Tidak cukup Cukup
200 – 299
Lebih dari cukup
> 300
Berlebihan
Status Gizi Iodin Defisiensi iodin berat Defisiensi iodin sedang Defisiensi iodin ringan Optimal Risiko terjadinya hipertiroid dalam waktu 5-10 tahun setelah pemberian garam beriodin pada kelompok rentan Risiko terjadinya hipertiroid dan autoimmune tiroid
Sumber : WHO (2001).
Dampak Kekurangan Iodin Masalah Gangguan Akibat Kekurangan Iodin (GAKI) merupakan masalah yang serius mengingat dampaknya secara langsung mempengaruhi kelangsungan hidup dan kua litas manusia.
Dampak kekurangan iodin secara umum adalah
defisiensi iodum tingkat berat akan berdampak seperti gondok (Delange, 1994 dan Thilly et al., 1977) dan kretin, penurunan IQ (intelektual), bisu tuli dan gangguan pertumbuhan fisik yang paling parah (Boyages, 1993), peningkatan kematian bayi dan hipotiroidisme neonatal (Delong et al., 1985) serta berkurangnya kemampuan reproduksi (Dillon dan Milliez, 2000). Masalah GAKI sangat erat pengaruhnya pada perkembangan mental yang diwujudkan dengan terjadinya defisit IQ, yaitu setiap penderita kretin akan mengalami defisit IQ sebesar 50 poin di bawah normal. GAKI yang bukan kretin akan berdampak pada penurunan IQ sebesar 10 poin di bawah normal, sedangkan gondok akan berdampak pada penurunan IQ sebesar 5 poin di bawah normal. Dengan demikian, jumlah seluruh defisit mental di Indonesia yang disebabkan karena GAKI adalah antara 122.5 juta sampai 140 juta poin IQ (Jalal, 1998). Defisiensi iodin tingkat ringan sampai sedang
dapat menyebabkan
gangguan neurologis dengan bentuk gangguan pendengaran tingkat akut pada anak - anak (Tiwan et al., 1996) dan peningkatan risiko bayi lahir prematur, dengan perubahan transfer hormon tiroid dan iodin selama kehamilan.
21
Pembengkakan kelenjar tiroid (gondok) dikenal dengan istilah penyakit hipotiroidisme.
Tanda-tanda lain akibat hipotiroidisme kelopak mata tampak
lebih cembung, wajah kelihatan suram, lesu, rambut kasar, lidah bengkak dan suara parau (Lee, 2001). Hipotiroidisme berimplikasi sama dengan rendahnya tingkat energi, kulit kering atau bersisik atau juga kulit kekuning-kuningan, perasaan geli dan mati rasa pada kaki dan tangan, pertambahan berat, suka pelupa, tidak tetap pendirian atau selalu berubah, depresi, dan anemia.
Selain itu
hipotiroidisme juga dapat berperan penting dalam peningkatan kadar kolesterol dan homosistein dalam darah (Lee, 2001). Hipertiroid adalah salah satu dampak yang terjadi pada kelompok orang tua dengan manifestasi pada kelenjar tiroid yang membesar (gondok), gangguan jantung atau serangan jantung, gemetaran, sering berkeringat, sering merasa jantung berdebar, ketakutan dan peningkatan aktivitas dan mata yang tidak sempurna (Lee, 2001). Jalal (1998) melaporkan bahwa kelompok masyarakat yang sangat rawan terhadap dampak defisiensi iodin (GA KI) menurut tingkat pertumbuhan dan perkembangan adalah wanita usia subur (WUS), ibu hamil dan menyusui, bayi, dan anak usia sekolah.
Pentingnya Radionuklida dalam Mempelajari Struktur dan Fungsi Tiroid Radionuklida lebih banyak digunakan dalam mempelajari fisiologi tiroid, menganalisa fungsi tiroid dan digunakan dalam perlakuan pengobatan kepada pasien hipertiroid atau tiroid carcinoma. Kesatuan dari aktivitas bahan radioaktif adalah curie (Ci). Curie menandakan jumlah disintegrasi yang sebenarnya dalam suatu contoh.
Unsur radionulkida ini dapat digunakan dengan mudah untuk
mengikuti jejak dan gerakan-gerakan dari suatu unsur.
Oleh karena itu
radionuklida sering disebut sebagai Traser atau perunut atau penanda. Radionuklida yang umum digunakan untuk mengevaluasi tiroid adalah jenis isotop iodin; 99molybdenum-Technetium (99m Tc) dan
241
Americium
(241 Am). Tabel 6 menunjukkan Jenis -jenis isotop iodin yang dibutuhkan untuk mempelajari struktur dan fungsi kelenjar tiroid. Untuk keperluan tersebut, isotop
22
iodin lebih banyak digunakan dalam bentuk uji in vitro dan isotop iodin serta isotop technetium dalam bentuk uji in vivo dalam penelitian. Tabel 6 Penggunaan Isotop Iodin secara Biomedis No. Atom
Peluruhan : persen kelimpahan, Modus peluruhan, Energi maksimum(MeV) 91% penangkapan elektron, 9 % β + (1.2) 100% penangkapan 100% penangkapan
Waktu Paruh
121
2.12 jam
123 125 127
13.3 jam 60.2 hari Stabil
128
25.0 menit
7.4% penangkapan 93.6% β - (2.1)
elektron,
Foton x- atau Gamma KeV (% kelimpahan) 28.212 (90%), lainnya 28.159 (83%) 28.35 (7%) 28.441 (14%), lainnya
419, (35%), 538 (99%), 669 (100%), 743 (87%), 1150 (12%) 28.80 (30%), 284 (5%), 364 131 8.05 hari β - (0.606) (82%), lainnya 520 (20%), 670 (144%), 773 132 2.26 jam β - (2.12) (89%), lainnya 133 20.3 jam 530 (90%) β (1.27) Sumber : Data Dasar dari Radiological Health Handbook, Washington, DC. US (1970). 130
β - (1.04)
12.3 jam
Isotop 125 I dan
131
I pada umumnya digunakan untuk menguji tiroid secara
in vitro. Cara ini lebih efektif untuk terapi hipertiroid atau untuk menilai asupan iodin. Penelitian jarang menggunakan
125
I secara in vivo karena menggunakan
sinar gama yang berenergi rendah. Jenis isotop
123
I,
131
I, dan
99m
Technetium, walaupun mempunyai waktu
paruh yang berbeda, mempunyai tujuan penelitian yang sama, yaitu untuk mendiagnosa atau terapi gangguan fungsi tiroid. Penelitian yang dijalankan dapat menggunakan cara in vitro dan in vivo dengan menggunakan sinar gamma. Tabel 7 menunjukkan penggunaan dosis berbagai jenis isotop iodin untuk menganalisa persentase pengambilan iodin oleh berbagai organ tubuh. Tabel 7 Dosis Tetap Radiasi (mCi) dan Jumlah (%) yang Dijumpai secara Umum dalam Organ Tubuh Isotop 123 125 131 132
Dosis Konstan (mCi) 0.13 0.11 0.68 2.01
Dinding Tiroid Perut 13.0 0.2 790.0 0.3 1300.0 1.4 13.0 1.1
Sumber : Ingbar dan Braverman (1986).
Sistem Organ Kelenjar Ovarium Saliva 0.7 0.03 0.4 0.04 0.7 0.14 0.6 0.13
Testes 0.012 0.024 0.088 0.074
Sumsum Total Tulang Tubuh 0.03 0.03 0.12 0.49 0.26 0.71 0.09 0.11
23
Goiterogen Bentuk kekurangan iodin tingkat kronis adalah terjadinya pembesaran kelenjar tiroid yang dikenal dengan sebutan gondok. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa faktor lain juga ikut berperan. Salah satu faktor adalah bahan pangan yang dapat menimbulkan gejala gondok atau bersifat goiterogenik. Goiterogen adalah zat yang dapat menghambat pengambilan zat iodin oleh kelenjar tiroid sehingga konsentrasi iodin dalam kelenjar menjadi rendah. Selain itu zat goiterogenik dapat menghambat perubahan iodin dari bentuk anorganik ke bentuk organik sehingga pembentukan hormon tiroksin terhambat (Linder, 1992). Williams (1974) mengatakan bahwa zat goiterogenik dalam bahan makanan yang dimakan setiap hari akan menyebabkan zat iodin dalam tubuh tidak berguna karena zat goiterogenik tersebut menghambat absorbsi dan metabolisme mineral iodin yang telah masuk ke dalam tubuh. Gaitan (1980) mengatakan bahwa goiterogen dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan cara kerjanya pada metabolisme iodin dalam pembentukan hormon tiroid. Kelompok pertama adalah tiosianat atau senyawa yang mirip tiosianat yang secara primer menghambat mekanisme transpor aktif iodin ke dalam kelenjar tiroid. Hambatan senyawa ini efektif hanya bila konsentrasi iodin dalam darah normal atau lebih rendah (Wilson dan Foster, 1992). Oleh sebab itu, hambatan oleh senyawa ini hanya dapat diatasi dengan suplementasi iodin yang cukup dan teratur (Gaitan, 1980). Brody (1999) mengatakan bahwa singkong mengandung sianogenikglikosida yang merupakan sumber sianida. Singkong yang dijadikan makanan hewan terlebih dahulu dihilangkan sianidanya dengan cara memanaskan singkong yang sudah dipotong-potong dan dijemur di bawah sinar matahari.
Untuk
konsumsi manusia, kandungan sianida singkong dapat dihilangkan dengan cara merebus di dalam air. Jika tidak dihilangkan dengan baik, sianida akan terlepas dari goiterogen tapi dalam tubuh akan berubah menjadi tiosianat, dan zat inilah yang akan menghambat penyerapan iodin dan akan mengakibatka n gondok. Tabel
8 menunjukkan kandungan Goiterogen alami yang ditemukan
dalam jenis pangan adalah kelompok sianida (dalam daun + umbi singkong,
24
gaplek, gadung, rebung, daun ketela, kecipir, dan terung), kelompok mimosin (dalam peta i cina dan lamtoro), kelompok isothiosianat (dalam daun pepaya), dan kelompok asam (dalam jeruk nipis, belimbing wuluh dan cuka) (Chapman, 1982). Tabel 8 Daftar Bahan Pangan Goiterogenik Nama Bahan Pangan 1. Singkong 2. Gaplek 3. Gadung 4. Daun Singkong
Kelompok Famili
Nama Latin
Eupharbiaceae Eupharbiaceae Dioscoreaceae Eupharbiaceae
6. Petecina/Lamtoro 7. Daun Pepaya 8. Rebung 9. Daun Ketela 10. Kecipir 11. Terung 12. Pete
Leguminoceae Carica Gramineae Cenvolvulaceae Leguminoceae Solanaceae Leguminoceae
Manihot sp Manihot sp Dioscorea sp Manihot sp Cabbage & Brascia Leucaena Carica Papaya Bambosa Bamboo Ipomea Batatas Psophocarpus sp Solanum sp Parkia
13. Jengkol
Leguminoceae
Pithecolobium
14. Bawang
Allium
Allium sp
15. Asam
Leguminoceae
16. Jeruk Nipis 17. Blimbing Wuluh 18. Cuka
Rutaceae Averrhoaceae -
Tamarindus Indica Citrus Aurintfolia Averhoa Bilimbi -
5. Kool & Sawi
Crucifera
Zat Goiterogen Sianida Sianida Sianida Sianida Sianida Mimosin Isothiosianat Sianida Sianida Sianida Sianida Belum diketahui Belum diketahui Disulfida Alifatik Zat asam Zat asam Asam Zat asam
Sumber : Chapman (1982)
Kelompok goiterogen yang kedua adalah kelompok tiourea, tionamide, tioglikosida, bioflavonoid, dan disulfida alifatik. Kelompok ini berkerja menghambat
proses
orga nifikasi
iodin
dan
kopling
iodotirosin
dalam
pembentukan hormon tiroid aktif. Hambatan kelompok ini tidak dapat diatasi dengan pemberian iodin.
Kelompok ini banyak ditemukan dalam konsentrasi
tinggi dalam berbagai bahan makanan pokok di daerah tropis seperti sorgum, kacang-kacangan, kacang tanah, bawang merah, dan bawang putih. Kelompok goiterogen yang ketiga adalah kelompok yang bekerja pada proses proteolisis dan pembebasan hormon tiroid.
Senyawa terpenting dalam
25
kelompok ini adalah iodid.
Asupan rumput laut secara terus menerus dapat
menyebabkan terjadinya pembesaran gondok dan hipertiroidisme sebagaimana yang dilaporkan pada pantai Hokaido Jepang yang
dikenal sebagai daerah
“endemic coastal goiter” (Gaitan, 1980). Sulfur adalah bentuk zat organik yang terkandung dalam zat goiterogen yang dijumpai dari lingkungan dan bersifat antitiroid.
Bentuk dari kelompok
tiosianat ini adalah disulfides dan polysulfides dengan jenis 3 sampai 8 atom. Sulfur lebih banyak dijumpai pada daerah sumber air panas dan di wilayah volcanic di beberapa bagian dunia khususnya di wilayah kumpulan panas Pasifik. Sumber sulfur ini kemudian lebih banyak dieksploitasikan ke Indonesia, Chili dan Jepang.
Di lingkungan tidak terdapat dalam bahan makanan tetapi lebih banyak
terdapat di sumber air minum (air tanah atau daerah aliran sungai) dan daerah yang banyak bebatuan sediman yang banyak mengandung zat organik termasuk surfur (Gaitan et al., 1974).
Sianida Agency for Toxic Substances and Disease Registry (1989) menjelaskan bahwa sianida biasa ditemukan dalam bentuk sederhana seperti hidrogen sianida (HCN), natrium sianida (NaCN) , dan kalium sianida (KCN). Tabel 9
Sianogenik Glikosida yang Terdapat Dimakan dalam Tumbuhan
1
Jenis Sianogenik Glikosida Amygdalin
Nama Umum Almonds
2
Dhurrin
Sorghum
3
Linamarin
4
Lotaustralin
5
Prunasin
Stone fruits
6
Taxiphyllin
Bamboo shoots
No
Sumber : Conn (1979a,b)
Cassava Lima beans Cassava Lima beans
pada
Bagian
yang dapat
Jenis Tumbuhan Nama Latin Prunus amygdalus Sorghum album Sorghum bicolor Manihot esculenta Manihot carthaginensis Phaseolus lunatus Manihot carthaginensis Phaseolus lunatus Prunus species : P. avium; P. padus; P. persica dan P. macrophylla. Bambusa vulgaris
26
Tabel 9 dan 10 menjunjukkan kandungan alami sianida yang terdapat dalam makanan lebih dari 2.000 spesies termasuk buah dan umbi-umbian dalam bentuk sianogenik glikosida dan dapat melepaskan sianida pada saat hidrolisis (Nartey, 1980, Venesland et al., 1982, dan Rosling, 1987).Dijelaskan pula bahwa sumber sianogenik pada tumbuhan sangat bergantung pada jumlah konsentrasi hidrogen sianida (HCN) dan potasium sianida (KCN) yang dapat meracuni manusia dan hewan. Tabel 10 Konsentrasi Sianida dalam Bahan Pangan Bentuk Produk Padi-padian dan produk lainnya Protein kedele dan produknya Kulit kedele Aprikot Jus Cherry 100% Jus Buah Komersial Cherry Aprikot Prem Bahan Makanan Tropika Ubi Pahit / kulit umbi Ubi Pahit / Daun Ubi Pahit / Seluruh bagian umbi Ubi Manis / Daun Ubi Manis / Seluruh bagian ubi Gandum Rebung Buncis (Jawa) Buncis (Puerto Rico) Buncis (Burma)
Konsentrasi Sianida (mg/kg atau mg/L) 0.001-0.45 0.07-0.3 1.24 89-2170 23 4.6 2.2 1.9 2450 310 395 468 462 2500 8000 3120 3000 2100
Sumber : Nartey (1980), Venesland et al., 1982, dan Rosling, 1987
Agency for Toxic Substances and Disease Registry (1997),
American
Conference of Govermental Industrial Hygienists (2001) dan Ducth Expert Committee on Occupational Standart (2002) dari sianida pada Tabel 11.
menjelaskan bentuk fisik/kimia
27
Tabel 11 Bentuk Fisik dan Kimia Sianida No Kelompok Sianida 1 Hidrogen Sianida (HCN)
2
Sodium Sianida (NaCN)
3
Potasium Sianida (KCN)
Sifat Fisik dan kimia 1. Tidak berwarna atau cairan biru muda 2. Pada umumnya sama dengan asam hidrosianik dan asam prussat. 3. Berbentuk asam lemah dengan nilai pKa 9.22 pada 25 oC. 4. Dapat larut dalam air dan alkohol. 5. Berbentuk gas. 6. BM 27.04, Titik cair -13 oC, Titik didih 26 oC dan Berat Jenis 0.94. 1. Berbentuk bubuk kristal putih higroskopik dengan wangi kacang almond. 2. Pada umumnya sama dengan asam hidrosianik. 3. Dapat larut dalam larutan alkalin yang kuat dan cepat berubah atau membusuk. 4. Dapat berbentuk larutan. 5. BM 49.01, Titik cair 564o C dan Titik didih 1496 oC. 1. Berbentuk bubuk putih dengan wangi menyerupai HCN. 2. Pada umumnya sama dengan asam hidrosianik dan garam kalium. 3. Dapat larut dalam air. 4. Berat molekul 65.12 ; dan Titik cair 635 oC.
Sumber : ATSDR (1997), ACGIH (2001), dan DECOS (2002)
Metabolisme Sianida dan Tiosianat Sianida cepa t diserap masuk ke usus lewat sistem pencernaan dan sistem pernapasan. Ketika garam sianida sederhana seperti kalium sianida dan natrium sianida diserap, ion sianida bebas dapat mengikat ion hidrogen sianida di dalam lambung dengan jumlah yang besar.
Penyerapan sianida akan efektif
dalam
bentuk hidrogen sianida dan cepat diserap oleh usus (ECETOC, 2004). Sianida didistribusikan dengan cepat melalui darah ke semua bagian tubuh seperti hati, paru-paru, darah dan otak (CICAD, 2004). Feldstein dan Klendshoj (1954) mengatakan bahwa konsentrasi sianida lebih tinggi dalam eritrosit dibanding dalam plasma. Konsentrasi sianida yang berbahaya akibat keracunan HCN dalam jaringan manusia atau binatang adalah 0.03 (lambung), 0.5 (darah), 0.03 (hati), 0.11 (ginjal), 0.07 (otak) , dan 0.2 (urin) mg/100g (EPA, 1990).
28
Jumlah sianida dalam plasma darah manusia normal adalah < 140 µg/L dan dalam jaringan lain adalah < 0.5 mg Sianida/kg (Feldstein dan Klendshoj, 1954). Pada umumnya proses metabolisme sianida terjadi dalam jaringan. Pada mamalia, sistem metabolisme sianida terjadi melalui jalur utama dan beberapa jalur kecil. Pada jalur utama, hidrogen sianida diubah menjadi tiosianat dengan bantuan enzim Rhodanese,
yaitu thiosulfate sulphurtransferase atau 3-
mercaptopyruvate sulphurtransferase (Oaks dan Johnson, 1972). Kedua enzim ini didistribusi ke mana -mana dalam tubuh. Lang (1933) telah membuktikan bahwa agar tubuh dapat mempertahankan diri dari tingkat keracunan, sianida harus diubah menjadi tiosianat dengan bantuan enzim rhodanase. Namun hal ini tidak dapat terjadi tanpa kehadiran tiosulfat yang berperan dalam mengurangi racun sianida. Tingkat keracunan yang akut dapat terjadi jika penyerapan sianida melebihi jumlah yang dibutuhkan tubuh dalam proses metabolisme. Keadaan ini sangat bergantung pada status gizi atau tingkat kecukupan gizi tubuh. Selain itu, tiosianat organik dapat juga dibentuk dari sianida oleh enzim glutathione S-transferase yang pada umumnya digunakan sebagai insektisida atau obat pembunuh serangga (Okhawa dan Casida, 1971). Perubahan sianida menjadi tiosianat yang tidak beracun dengan bantuan enzim rhodanase dapat dilakukan dengan pemberian sulfur (sodium tiosulfat) dalam intravenous (ATSDR, 1989 dan Westley, 1980).
Keracunan tiosianat sangat nyata lebih rendah dari sianida,
tetapi telah lama diketahui bahwa tingkat tiosianat dalam darah dapat menghambat tingkat penyerapan iodin oleh kelenjar tiroid, yang dengan demikian akan mengubah bentuk tiroksin (Hartung, 1982). Agency for Toxic Substances and Disease Registry (1989) menjelaskan lebih lanjut bahwa beberapa jalur minor yang terjadi dalam metabolisme sianida adalah
pengubahan sianida
penggabungan
menjadi
menjadi
1-carbon
2-aminothiazoline-4-carboxylic acid, metabolic
pool,
digabung
dengan
hydroxycobalamin sehingga membentuk cyanocobalamin (B12), dan kombinasi dengan cystine membentuk 2-aminothiazoline-4-carboxylic acid ( Gambar 4).
29
Gambar 4 Metabolisme Sianida (Okhawa dan Casida, 1971) .
Jalur umum yang digunakan untuk mengeluarkan sianida pada manusia dan hewan adalah melalui urin dalam bentuk tiosianat. Pengeluaran tiosianat melalui paru-paru dan feses jumlah sangat kecil (EPA, 1985). Beberapa HCN bebas dikeluarkan tanpa mengalami perubahan, yaitu dalam pernapasan, air liur (ludah), dan keringat (Hartung, 1982).
Tiosianat dan Stabilitas Iodin dalam Tubuh Dampak sianida secara tidak langsung pada fungsi tiroid adalah melalui produksi tiosianat.
Tiosianat menyebar pada setiap organ tubuh sama sepe rti
iodin. Secara relatif, tiosianat bersifat non-toksin jika berada pada tingkat normal dalam darah. Peningkatan tiosianat menghasilkan keracunan sianida tingkat subakut walaupun demikian dapat menurunkan fungsi kerja tiroid dalam transpor iodin tubuh, khususnya jika digabungkan dengan kondisi kekurangan iodin. Iodin berperan penting dalam kasus gondok endemik dan kretinisme.
30
Taurog et al. (1947) dan Salter et al. (1945) mengatakan bahwa tiosianat dapat berperan
antagonis dengan iodin, di antaranya da lam hambatan proses
transpor aktif iodin menuju kelenjar tiroid dan mempengaruhi konsentrasi iodin eksratiroidal dalam jaringan serta proses sintesis hormon tiroid (Gambar 5).
Gambar 5 Jenis Inhibitor yang Berperan Aktif pada Tahap Pembebasan dan Biosintesis Hormon Tiroid (Ingbar dan Braverman, 1986) . Pada Gambar 5 terlihat bahwa tiosianat (SCN- ) dan per khlorate (ClO4-) berperan penting sebagai inhibitor dalam proses transpor iodin. ECETOC (2004) mengatakan bahwa pada tikus yang diberi makan bubur bubuk singkong akan mengalami
pembesaran
kelenjar
tiroid
dan
penurunan
kadar
MIT
(monoiodotirosin) dan DIT (diiodotirosin) dalam darah. Oke (1980) menemukan bahwa tikus yang mengkonsumsi ubi kayu 100% selama 7 (tujuh) hari secara signifikan menurunkan keseimbangan atau kestabilan kerja kelenjar gondok, meningkatkan berat kelenjar tiroid, dan menurunkan pengambilan 131I oleh kelenjar tiroid.
31
Kreutler et al. (1978) menunjukkan bahwa tiosianat dapat berdampak pada pertumbuhan dan fungsi kelenjar tiroid pada anak tikus. Sianida dan tiosianat dapat mengakibatkan pembentukan gondok dan peningkatan sekresi TSH pada hewan yang kekurangan iodin, tetapi tidak pada hewan yang kecukupan iodin. Dengan demikian, diyakini bahwa tiosianat dapat menjadi faktor etiologi dalam wilayah gondok endemik dan kretinisme. Di wilayah tersebut asupan iodin sangat rendah dan tiosianat dominan dalam diet. Konsentrasi tiosianat dapat menghambat pengambilan iodin sebesar 50% (Greer et al., 1966). Dijelaskan pula bahwa tiosianat juga mampu mengeluarkan atau melepaskan iodin dari kelenjar tiroid dengan cara menghambat pengambilan iodin oleh kelenjar tiroid (Vanderland dan vanderland (1974). Hal ini terjadi karena adanya peran antagonis dari tiosianat tersebut. World Health Organization (1965) menyatakan bahwa asupan sampai batas 10 mg/kg HCN dalam tepung ubi kayu tidak menyebabkan keracunan akut atau kronis. Selanjutnya pada Tabel 12 akan terlihat beberapa hasil penelitian yang menunjukkan tingkat penggunaan dosis dalam diet dan jumlah konsumsi zat goiterogen yang bersifat toksik. .
Tabel 12 Tingkat Penggunaan Dosis dalam Diet dan Jumlah Konsumsi Zat Goiterogen yang bersifat Toksik pada beberapa Hasil Riset No
Nama Peneliti / Tahun
1
Hartung, 1982
2 3
US. Air Force, 1989 ATSDR, 1989
4
Gettler 1938
dan
5
Palmer 1979
dan
6
Tewe and Maner, 1981
7
Tewe 1981b
8
Ballantyne, 1983
9
Lessel, 1971
10
Conn, 1979
11
Osuntokun, 1981
12
Barrett et al., 1977
13
Oke, 1980
dan
Baine, Olson,
Maner,
KCN 50100 39 20 50
NaCN 50100 6,4 -
100
Kand. Goiterogenik (Sianida) ….mg/kg diet HCN [KAg(CN)2] SilCN SCN- (Ca(CN)2)
CN -
Objek Manusia (O)
-
-
-
-
-
-
8,5 -
21 -
123 -
-
39 -
-
-
-
-
-
-
-
-
200
-
-
-
-
-
-
-
Tikus (O)
-
-
-
-
-
-
-
227521
Anak Sapi (D)
500
-
21
-
-
-
-
-
Tikus (D)
7,87
5,05
1,09
-
-
-
-
-
Kelinci (I)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3,7 4,0
-
-
-
-
0,61 1,31 1,72 -
-
Tikus (O) Tikus (O) Anjing (O)
Hasil Subjek pingsan (fisik lemah & gangguan pernafasan) Tidak dijelaskan Tidak dijelaskan 155 menit → mati 21 menit → mati 8 menit → mati Peningkatan berat hati (oral) Peningkatan berat tiroid, hati dan spleen dibanding dengan anak sapi yang induknya diberi diet 31 mg CN/kg diet dengan waktu periode yang sama. Serum Tiosianat secara nyata meningkat pada tikus yang menyusui dan pada anak yang sementara di sapih serta pada tahap pertumbuhan sesudah di sapih. Tanda-tanda keracunan dan kematian setelah 3 – 12 menit sesudah diberi diet tersebut.
Tikus (I)
Hasil yang diperoleh adalah tingkat kematian meningkat pada semua dosis suntikan.
Tikus (O) Anjing (O)
Tidak dijelaskan
Intake HCN setiap hari dari Cassava di atas 50 mg merupakan jumlah yang sangat berbahaya di daerah endemic GAKI Nigeria Hasilnya sesudah 4 hari 7 ekor tikus yang mendapat Pemberian Linamarin sebanyak 50 mg dan 30 mg dalam 0,5 ml Tikus (D) pemberian linamarin sebanyak 50 mg “mati” Dampak pada tikus yang 100 % hanya mengkonsumsi cassava selam a 7 hari penelitian terhadap tiroid adalah nyata terjadi peningkatan berat tiroid, menurunkan daya tahan kelenjar tiroid terhadap keseimbangan iodin (D) -
50
-
-
-
-
-
Manusia (D)
8
Sambungan : No
Nama Peneliti / Tahun
KCN
NaCN
Kand. Goiterogenik (Sianida) ….mg/kg diet (Ca(CN)2) HCN [KAg(CN)2] SilCN SCN-
CN -
Objek
Hasil Peningkatan nilai ETU sebanyak 20,2 mg/l sedangkan parameter lain mengalami perubahan tidak bermakna. Pada kandungan tiosianat sebanyak 19 mg/l, ditandai dengan adanya peningkatan nilai ETU menjadi 3,5 mg/l. Sedangkan parameter lain berubah tetapi masih tetap berada dalam batasan normal. Meningkatkan berat tiroid pada kelompok tikus I-SE+ dan I-S E- . Indikator wilayah endemic GAKI. (nilai ETU 5,9 – 6,4 mg/l). Terjadi penurunan sekresi dua hormon tiroid (T4 dan T3) akibat penurunan fungsi tiroid. Total intake sianida 0, HCN 24 dan Tiosianat 48 mg/kg. • Sesudah 1 hari pemberian dosis ditemukan kasus Dyspnoea, Ataxia, Tremors dan Hypothermia. • Sesudah 2 hari pemberian dosis dua ekor hamster mati dengan dosis 12 mg dan satu ekor mati degan dosis 14 mg. Sesudah 3 minggu pemberian dosis terjadi perkembangan pembengkakan kelenjar thyrois dan kanker usus besar. • 37, 2 mg HCN dari almonds berbahaya untuk orang dewasa. • 6,2 mg HCN dari almonds berbahaya untuk anakanak. • Nilai EYU rendah dengan kategori endemic sedang.
14
Dahlberg et al., 1984
-
-
-
-
-
8
-
-
Manusia (D)
15
Dahlberg et al, 1985
-
-
-
-
-
3,9-19
-
-
Manusia (D)
16
Contempre et al., 2003
-
20
-
-
-
-
-
-
Tikus (D)
17
Ance dkk. 2001
-
-
-
-
-
23,7 29,3
-
-
Manusia (D)
18
Philbrick et al., 1979
1500
-
-
-
-
-
-
-
Tikus (D)
19
Umoh et al., 1986
-
-
30
-
-
-
-
-
Tikus (D)
20
Frakes et al., 1985
-
-
10;12; 14
-
-
-
-
-
Hamster (O)
21
Olusi et al., 1979
5 dan 10
-
-
-
-
-
-
-
Tikus (D)
22
Askar and Moral, 1983 Shargg et al., 1982
-
-
37,2 dan 6,2
-
-
-
-
-
Manusia (D)
23
Picauly, 1999
-
-
56
-
-
-
-
-
Manusia (D)
Keterangan :
KCN : Potasium Sianida NaCN : Sodium Sianida HCN : Hidrogen Cianide SilCN : Silver Sianida SCN: Tiosianat (Ca(CN)2) : Calcium Sianida Bentuk Pemberian Dosis : (O) untuk Oral ; (D) untuk Diet dan (I) untuk Injection atau suntikan
[ KAg(CN)2]] : Potasium Silver Sianida CN: Sianida
9