Linguistika Akademia Vol.1, No.2, 2012, pp. 219~232 ISSN: 2089-3884
KAJIAN KRITIS TERHADAP POLA DM DALAM BAHASA INDONESIA Mustofa Kamal e-mail:
[email protected] ABSTRACT Every language must have a pattern to be used as the standard of the language pattern in the nation. Nonetheless, in Indonesia, there are so many of the mistakes because of inappropraiteness in the usage of the stndard pattern with the fact formally and informally. This paper aims to criticize the exceptions of “DM” pattern in its application and the influencing factors. The method used in this research is the Immediate Constituent Analysis by F. De Saussure taking into consideration the fact that this analysis has a concern with a phrase in which the “DM” pattern is applied. The result of the analysis shows that many foreign languages from which Indonesian language derived is, directly or indirectly, able to influence the inappropraiteness of the usage of “DM” pattern with the fact, whether it is formally and informally. For instance, lebih sulit, sangat sulit, and agak sulit in adverbial phrase and its kinds ―for there are several kinds of adverbia to be criticized, kurang cantik, agak cantik and cukup putih in adjective phrase and its kinds ―for there are several kinds of adjectiva to be criticized, seratus orang, pertama kali, and sekali pukulan in noun phrase, baru datang, telah datang, and akan datang in verb phrase and its kinds ―for there are several kinds of tense to be criticized, and further more, in the constituen to be segmented into smaller unit, for instance; dilukai, dicintai etc in every passive voice verb and so forth are extremely often and commonly used formally and informally. Again, lack of awareness of Indonesian people in understanding the usage of the standard of the language pattern from which the Indonesian linguists have made can influence and make the mistakes to be more and more senseless while used.
ABSTRAK Setiap bahasa pasti mempunyai pola standar bahasa yang digunakan di dalam suatu negara. Meski demikian, di Indonesia terdapat begitu banyak kesalahan karena terdapat adanya ketidak cocokan dalam penggunaan pola standar dengan faktanya baik secara formal maupun informal. Paper ini bertujuan untuk mengkritisi pengecualian-pengecualian pola DM bahasa Indonesia dalam aplikasinya dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis bawahan langsung, oleh F. De Saussure , karena analisis ini berobjek atau fokus pada tataran frasa dalam bahasa Indonesia di mana pola DM itu sendiri
220
diaplikasikan. Hasilnnya menunjukkan bahwa banyaknya bahasa asing yang diserap oleh bahasa Indonesia mampu, baik secara langsung maupun tidak langsung, mempengaruhi ketidak sesuaian dari penggunaan pola DM dengan faktanya, baik secara formal maupun informal. Contoh, lebih sulit, sangat sulit, dan agak sulit dalam frasa adverbia dan macam-macamnya ―mengingat adverbia mempunyai beberapa macam pembagian yang akan bisa dikritisi, kurang cantik, agak cantik dan cukup putih dalam frasa adjektiva dan macam-macamnya ―mengingat adjektiva mempunyai beberapa macam pembagiannya yang akan bisa dikritisi, seratus orang, pertama kali, dan sekali pukulan dalam frasa nomina, baru datang, telah datang, dan akan datang dalam frasa verba dan macam-macamnya ―mengingat keterangan waktu yang melekat pada kata kerja mempunyai beberapa macam pembagiannya yang akan bisa dikritisi, dan lebih jauh lagi, dalam konstituen yang bisa disegmen menjadi bagianbagian yang lebih kecil lagi, contoh; dilukai, dicintai dan sebagainya dalam setiap kata kerja pasif dan sebgainya yang semua itu sangatlah sering dan sangatlah umum digunakan, baik secara formal maupun informal. Sebagai tambahan, kurangnya kesadaran masyarakat Indonesia dalam memahami penggunaan pola standar bahasa yang telah ditetapkan oleh para linguis bahasa Indonesia juga mampu mempengaruhi dan menjadikan kesalahankesalahan tersebut semakin tidak terasa ketika digunakan. Kata kunci: pola DM; frasa; kaidah “umum tidak umum” .
A. PENDAHULUAN Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki banyak pengalaman pahit yang telah didapat dari para negara penjajah Eropa dan satu negara Asia. Yang demikian ini bukannya berlangsung singkat, tetapi beratus-ratus tahun lamanya, dan bahkan masih sangat jauh lebih lama jika dibandingkan dengan usia kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia sendiri. Ironisnya, meski telah merdeka, tepatnya pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia sampai sekarang belum mampu, secara tegas, benar dan gamblang, memastikan identitas pola standar kebahasaannya ―khususnya dalam pola struktur frasa. Mengingat paper in difokuskan kepada kritisasi suatu pola bahasa, maka sebenarnya realita yang ada sudah lebih dari cukup sebagai data sebagai bukti dan contohnya. Kendati demikian, beberapa contoh akan tetap dikaji secara rinci dalam paper ini guna memantapkan dalam kajian kritisnya. Berikut ini adalah beberapa sampel dalam menganalisa data menggunakan metode analisis bawahan langsung (Chaer, 2007: 21-24). Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 2, 2012 : 219 – 232
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
Seratus
221
orang
Seratus : sebagai modifikator atau yang menerangkan (M), dan berkelas kata “kata sifat” Orang : sebagai inti frasa atau yang diterangkan (D), dan berkelas kata “kata benda” Contoh analisis data yang menggunakan metode analisis bawahan langsung di atas menunjukkan bahwa kedua kata tersebut membentuk sebuah frasa nomina karena inti frasa terletak atau jatuh pada kata yang berkelas kata “kata benda”. Dengan tanda panah yang menunjuk pada inti frasa (D), menunjukkan bahwa langkah pertama yang harus dilakukan dalam penganalisaan dimulai dari pencarian modifikator (M) terlebih dahulu; jika modifikator berjumlah lebih dari satu, maka modifikator satu dengan kata yang lainnya ―yang akan bakal menjadi inti frasa― akan membentuk frasa yang selanjutnya juga akan menjadi modifikator bagi inti frasa yang lain. Sehingga, pada akhirnya, kumpulan beberapa frasa yang membentuk sebuah frasa modifikator yang utuh dan paling banyak komponen pembentuknya tersebut akan membentuk dan menyatu sebagai satu frasa yang utuh dan lengkap dengan inti frasa yang asli ―bukan lagi sebagai inti frasa dari frasa-frasa lain yang masih berfungsi sebagai modifikator seperti sebelum-sebelumnya. Berikut ini adalah contoh lain analisis data menggunakan metode analisis bawahan langsung yang lebih panjang: Sungguh sangat amat terlalu berjuta-juta bertumpuk-tumpuk kali lipat kesombongan S (frasa nomina) membuat dia lupa diri. V O PO O (transitif) (transitif)
PO (transitif)
: Pelengkap Objek : yang berkarakter transitif karena “membuat” dan “lupa” di dalam kalimat di atas konteksnya membutuhkan objek Kajian Kritis Terhadap Pola DM dalam Bahasa Indonesia (Mustofa Kamal)
222
rinciannya;
Sungguh sangat amat terlalu berjuta-juta bertumpuk-tumpuk kali lipat kesombongan
Contoh kedua analisis data yang menggunakan metode analisis bawahan langsung di atas menunjukkan bahwa “sungguh” yang berkelas kata “kata keterangan” menjadi modifikator “sangat” yang juga berkelas kata “kata keterangan” dan bergabung membentuk sebuah frasa adverbia. Selanjutnya, frasa adverbia tersebut menjadi modifikator “amat” yang juga berkelas kata “kata keterangan” dan bergabung membentuk sebuah farsa adverbia lagi dengan jumlah kata pembentuk yang lebih banyak dari yang sebelumnya. Kemudian, frasa adverbia “sungguh sangat amat” ini menjadi modifikator “terlalu” yang juga berkelas kata “kata keterangan” dan bergabung membentuk sebuah farsa adverbia lagi dengan jumlah kata pembentuk yang lebih banyak dari yang sebelum sebelumnya dan seterusnya sampai terbentuk menjadi satu frasa adjektiva yang utuh yang memodifikasi inti frasa yang berupa kata yang berkelas kata “kata benda” dan menjadi frasa nomina yang utuh. Gambarannya, “Sungguh sangat amat terlalu berjuta-juta bertumpuk-tumpuk kali lipat” menjadi satu frasa adjektiva yang utuh yang berkelas kata “kata sifat”, dan selanjutnya, bergabung dengan inti frasa yang berupa kata “kesombongan” yang berklas kata “kata benda” sehingga membentuk sebuah frasa nomina yang berfungsi sebagai subjek. Frasa modifikator ini mempunyai kelas kata “kata sifat” karena inti frasa dari frasa nomina hanya bisa dimodifikasi oleh kata atau frasa yang berkelas kata “kata sifat” (Kridalaksana, 1999: 156). Fenomena seperti ini, ketidak sesuaian penggunaan pola DM sebagai pola standar bahasa Indonesia, mungkin akan menjadi Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 2, 2012 : 219 – 232
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
223
maklum adanya bagi bangsa Indonesia karena, jika kita melihat beberapa ratus silam, Indonesia telah mengalami beberapa kali penjajahan dari beberapa negara Eropa; Belanda selama tiga setengah abad, sisanya dijajah oleh Portugis, Spanyol, Prancis, Inggris, dan satu dari negara Asia, Jepang (Amir, catatansejarahku.blogspot.com/negara-negara-penjajah-indonesia.html, akses 24 Juni 2012) Secara lebih mendalam, melalui studi Linguistik Historis Komparatif, kekeliruan penggunaan pola DM akibat pengaruh dari hubungan bahasa Indonesia dengan beberapa bahasa asing yang dibawa para penjajah akan tampak lebih jelas lagi (Keraf, 1996, Jakarta: 22). Dua contoh analisis data di atas hanya sebagai wakil bukti dari sekian banyak realita yang ada di Indonesia. Tentunya masih banyak lagi data-data kesalahan dari ketidak sesuaian penggunaan pola DM sebagai pola standar bahasa Indonesia yang tidak dikupas secara rinci lagi karena ini mengkaji sebuah aturan atau pola, bukan lagi data-data kecil yang salah karena tidak sesuainya dengan aturannya, melainkan mengapa aturan, yang bahkan telah disepakati sebagai pola standar tersebut, dalam penerapannya sampai sekarang tidak bersesuaian dengan kenyataan. Lebih lanjutnya, penelitian tentang kajian kritis terhadap pola DM bahasa Indonesia akan dibahas lebih mendalam dalam sub-sub topik selanjutnya, yakni (1) kritisasi pengecualian pola DM bahasa Indonesia dalam aplikasinya dan (2) faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya ketidak sesuaian penggunaan pola DM bahasa Indonesia dengan kenyataannya. Karena penelitian ini berkaitan dengan beberapa bahasa asing yang dibawa para penjajah yang, baik secara langusung maupun tak langsung, mampu mempengaruhi ketidak sesuaiannya penggunaan pola DM bahasa Indonesia dengan kenyataannya, maka metode yang sesuai untuk digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis bawahan langsung. Untuk landasan teori yang digunakan adalah Teori Generatif Transformatif (TGT) oleh Noam Chomsky ―bahwa kaidah adalah unsur utama dalam menganalisa dan mengaplikasikan pola suatu bahasa, dan bukan pada patokan kaidah “umum atau tidak umumnya” suatu hal dalam
Kajian Kritis Terhadap Pola DM dalam Bahasa Indonesia (Mustofa Kamal)
224
penerapannya (Hsalma, hsalma.wordpress.com/teori-kognitif-dantransformatif/, akses 24 Juni 2012). Berkaitan dengan hal ini, telah disepakati bahwa pola DM sebagai pola standar bahasa Indonesia, maka, sebagai konsekwensinya, seharusnya semenjak dahulu tidak perlu berpatokan pada “umum atau tidak umumnya” suatu bentukan bahasa dalam penerapannya, dan terlebih, hal itu, pola DM, bahkan memang pola sebenarnya yang memang seharusnya diterapkan. Selain itu, untuk memantapkannya, karena teori generatif transformatif menekankan pada daya kreativitas dengan keberadaan kaidah sebagai dalil dan batasan dalam pengaplikasiannya, maka sudah selayaknyalah, sekali lagi, bukan lagi “umum dan tidak umum”-nya suatu bentukan bahasa yang dijadikan patokan, yang mana hal ini ditentang oleh kaum strukturalis. Bahasa Indonesia akan lebih konsisten dengan cirinya, pola DM, sendiri, dan bukannya terombang-ambing dengan menganggap pola DM sebagai pola standar, tetapi kenyataannya malah semakin runyam. Pengecualian hendaknya diterapkan hanya pada hal kasuistik saja, bukan malah menjadikannya menjadi kenyataan umum yang malah mendominasi. Adapun untuk mengetahui penyebab-penyebab terjadinya ketidak sesuaian penggunaaan pola DM bahasa Indonesia dengan kenyataannya, peneliti menggunakan pendekatan studi Linguistik HIstoris komparatif, karena terjadinya ketidak sesuaian penggunaaan atau kurang konsistennya pola DM bahasa Indonesia dengan kenyataannya tentunya tidak terlepas dari hubungannya dengan bahasa-bahasa asing para penjajah yang diserap begitu banyak oleh bahasa Indonesia dan turun andil dalam memperbanyak perbendaharaan leksikonnya sampai sekarang ini. B. SEKILAS TENTANG TEORI GENERATIF TRANSFORMATIF Yang dimaksud dengan teori generatif transformatif adalah teori tentang kelinguistikan yang pertama kali dicetuskan oleh Noam Chomsky yang mana bertepatan dengan terbitnya bukunya yang berjudul “Syantic Strucuture” pada tahun 1957 (Chaer, 2007: 365). Dalam argumen yang ada di dalam teorinya, beliau memaparkan ketidaksesuaiannya dengan hasil-hasil kesepakatan atau pemikiran para linguis aliran struktural yang hanya menekankan pada “umum dan tidak umum”-nya suatu analisa kebahasaan. Dalam Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 2, 2012 : 219 – 232
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
225
pemikirannya, Chomsky lebih menekankan pada pemikiran filsafat rasionalisnya dan, sekali lagi, bukan pada “umum dan tidak umum”nya pandanngan suatu hal ―karena kajian dalam paper ini juga sangat bersesuaian dengan teorinya mengingat para penutur bahasa Indonesia kebanyakan berpatokan pada “umum dan tidak umum”-nya dalam analisis kebahasaannya, sehingga aplikasinya juga menjadi salah kaprah seperti sekarang ini―, tetapi harus ada kaidahnya. Maka otomatis, jika tidak ada kaidahnya, analisis bahasa pun juga tidak boleh secara sembrono dilakukan menurut pemahaman teori ini. C. POLA DM BAHASA INDONESIA Bahasa Indonesia sudah sangatlah familiar dengan istilah pola DM sebagai aturan standarnya. Almarhum Sutan Takdir Alisjahbana (STA) adalah oarang yang pertama kali memunculkan istilah tersebut. Pola ini merupakan sifat utama bahasa Indonesia. Dengan perincian (D); diterangkan, yang menempati posisi pertama sebagai yang dijelasakan, dan (M); menerangkan, yang menempati posisi setalahnya sebagai penjelas. Meskipun demikian, di sini ―sesuai dari sumber yang dikutip― terdapat beberapa pengecualian dengan penggunaan pola MD; menerangkan-diterangkan. Karena yang disajikan di sini adalah sebuah kajian kritis, maka sumber-sumber yang ada tersebut akan diteliti seara lebih mendalam; bagaimana kesenjangan antara das sollen (apa yang seharusnya) dan das sein (fakta yang ada). Das Sollen menunjukkan bahwa pola DM disepakati dan ditetapkan menjadi pola standar bahasa Indonesia, akan tetapi, setelah dikrititsi lagi, di sini teradpat banyak ketidak sesuaian antara das sollen dan das sein. Das sein menunjukkan banyak sekali ketidak sesuaian ―bahwa terdapat lebih banyak jenis frasa yang berpola balik dari pola standarnya (MD), dan bahkan pola frasa-frasa yang tidak sesuai dengan pola standar bahasa Indonesia tersebut (MD) serasa lebih benar dan cocok digunakan daripada menggunakan pola sebenarnya (DM). Didasarkan pada das sein, setelah lebih dan lebih dikritisi lagi, ternyata di situ terdapat banyak sekali jenis frasa yang sebenarnya salah jika disesuakan dengan pola standar bahasa Indonesia. Tidak hanya pada satu frasa saja ―pasalnya, orang beranggapan bahwa pengecualian adalah khusus bagi suatu hal yang jumlahya sangat Kajian Kritis Terhadap Pola DM dalam Bahasa Indonesia (Mustofa Kamal)
226
sedikit dan bersifat kasuistik saja―, tetapi kenyataannya malah hampir seluruh macam frasa, baik frasa nomina, frasa adjektifa, frasa adverbia, dan frasa verba. Justru hanya yang tersisa dari itu, yang benar-benar menggunakan pola standar DM bahasa indonesia. Namun, dalam mengamati arus gelombang keilmuan yang ada, yang banyak dibicarakan adalah hanya wujud kebanggaan bahwa bahasa Indonesia mempunyai pola DM, pola yang berbeda dari pola kebanyakan bahasa MD. Dan hanya sedikit sekali dari para pemikir bahasa, khususnya bahasa Indnesia yang mau mengkritisi dan juga menguak bagaimana keadaan das sein terhadap das sollen, apakah memang putusan pola DM sebagai pola standar bahasa Indonesia itu sudah sesuai dengan kenyataannya atau malah sebaliknya. Awalnya, cetusan pemikiran ini sempat diragukan, tetapi setelah digali bukti-buktinya, ternyata juga ada beberapa dari para pemikir bahasa Indonesia yang juga masih mempertanyakan keabshahan dari pola DM sebagai pola standar bahasa Indonesia. Dari bukti-bukti tersebut, kritisasi terhadap pola DM bahasa Indonesia menjadi lebih yakin untuk dilakukan dan disajikan. D. PEMBAHASAN 1. Kritisasi Pengecualian Terhadap Pola DM Bahasa Indonesia Dalam Aplikasinya Dkutip dari artikel hasil karya J. S. Badudu, sebagai pengecualian dari pola DM ―berarti pola MD―, di situ dijelaskan bahwa konstituen yang menerangkan (M) yang terdiri atas (1) adverbia atau kelas kata “kata keterangan”, (2) preposisi atau kelas kata “kata depan”, dan (3) adjektif atau kelas kata “kata sifat” khususnya yang berupa numeralia. Semuanya itu terletak mendahului sebelum konstituen utamanya atau inti frasa (D). Misalnya: belum dewasa, sudah pergi, di pasar, dari sekolah, lima anak (J.S. Badudu, Intisari, Edisi September 2003: 134-135). Dari sumber di atas, sebelum melangkah lebih jauh, peneliti berusaha memahami terlebih dahulu apa sebenarnya pengertian dan pemahaman dari kata “pengecualian”. Sebenarnya, dari pernyataan pengecualian pola DM menjadi MD dengan penjelasan setelahnya di atas, secara kasap mata saja, sudah terasa ironi; bahwa di sana terdapat pengecualian yang jumlahnya kurang tepat jika dikategorikan dalam istilah “pengecualian”. Hal ini sudah pasti Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 2, 2012 : 219 – 232
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
227
menyalahi arti kata “pengecualian” itu sendiri. Secara lebih mendalam lagi, dari pernyataan di atas, dijelaskan bahwa adverbia adalah termasuk salah satu yang menjadi pengecualian yang posisinya terletak di depan atau sebelum inti frasa, sehingga polanya menjadi MD, tetapi bagaimana jika kita kritisi lagi, bahwa adverbia banyak macamnya sedangkan yang dimaksud dalam pernyataan di atas adalah; adverbia tingkatan; baik adverbia komparatif yang biasa maupun adverbia komparatif yang disisipi adverbia superlatif ataupun adverbia kelipatan, dan ataupun yang disisipi keduanya, kemudian adverbia superlatif itu sendiri (Randolph dan Sidney, 1973: 135-136), adverbia yang menyatakan tingkatan kurang jelas, dan adverbia yang menyatakan waktu yang melekat pada kata kerja (Marcella, 1972: 141-162). Adverbia seperti ini bisa memodifikasi adverbia itu sendiri dan adjektiva. Analisisnya; adverbia tingkatan; untuk yang komparatif biasa, contohnya; frasa “lebih keras” dalam kalimat “Dia berlatih lebih keras dari sebelumnya”. Di sini ditunjukkan bahwa kata “lebih” menjadi modifkator dari kata “keras” yang menunjukkan komparatif dan juga berkelas kata “kata keterangan” yang kemudian menjadi sebuah frasa adverbia yang utuh. Kemudian, contoh adverbia komparatif yang disisipi adverbia superlatif adalah dalam frasa “sangat jauh lebih sulit” dalam kalimat “Soal-soal ujian akhir semester genap saat ini sangat jauh lebih sulit dikerjakan dibandingkan dengan soal-soal ujian akhir semester tahun sebelumnya”. Di sini ditunjukkan bahwa frasa adverbia “sangat jauh” menjadi modifikator dari frasa adverbia “lebih sulit” yang menunjukkan superlatif dan juga berkelas kata “kata keterangan” yang kemudian bergabung menjadi sebuah frasa adverbia yang utuh. Kemudian, contoh dari adverbia yang disisipi adverbia kelipatan adalah dalam frasa “seribu kali lipat lebih sulit” dalam kalimat “Kata-katamu seribu kali lipat lebih sulit dipahami daripada kata-kata pengajar kita”. Di sini ditunjukkan bahwa frasa adverbia “seribu kali lipat” menjadi modifikator dari frasa adverbia “lebih sulit” yang menunjukkan kelipatan dan juga berkelas kata “kata keterangan” yang kemudian bergabung menjadi sebuah frasa adverbia yang utuh. Kemudian, contoh dari adverbia yang disisipi adverbia superlatif dan adverbia kelipatan adalah dalam frasa “sangat jauh seribu kali lipat lebih sulit” dalam kalimat “Latihan mengendalikan nafsu untuk mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Kajian Kritis Terhadap Pola DM dalam Bahasa Indonesia (Mustofa Kamal)
228
Allah sangat jauh seribu kali lipat lebih sulit dilakukan daripada melakukan latihan apapun yang lainnya yang ada di dunia ini”. Di sini ditunjukkan bahwa frasa adverbia “sangat jauh” menjadi modifikator dari frasa adverbia “seribu kali lipat” yang juga berkelas kata “kata keterangan” dan kemudian bergabung menjadi satu frasa adverbia “sangat jauh seribu kali lipat”. Dan, frasa adverbia ini ,“sangat jauh seribu kali lipat”, menjadi modifikator frasa adverbia selanjutnya “lebih sulit” yang juga berkelas kata “kata keterangan” yang kemudian bergabung menjadi sebuah frasa adverbia yang utuh. Selanjutnya, contoh dari adverbia superlatif sendiri adalah dalam frasa “sangat jauh” dalam kalimat “Aku sudah melangkah sangat jauh dalam perjalanan pengalamanku untuk merasakan kemelut hidup ini”. Di sini ditunjukkan bahwa kata “sangat” menjadi modifkator dari kata “jauh” yang menunjukkan superlatif dan juga berkelas kata “kata keterangan” yang kemudian menjadi sebuah frasa adverbia yang utuh. Kemudian, contoh dari adverbia yang menyatakan tingkatan kurang jelas adalah dalam frasa “agak keras” dalam kalimat “Aku akan belajar agak keras untuk mendapatkan IP yang baik”. Di sini ditunjukkan bahwa kata “agak” menjadi modifkator dari kata “keras” yang menunjukkan tingkatan kurang jelas dan juga berkelas kata “kata keterangan” yang kemudian menjadi sebuah frasa adverbia yang utuh. Kata-kata lain yang mungkin bisa dikategorikan dalam istilah tingkatan kurang jelas, seperti; sedikit, jarang, kadang-kadang dan lain sebagainya. Selanjutnya, contoh dari adverbia yang menyatakan waktu yang melekat pada kata kerja adalah dalam frasa “telah membunuh” dalam kalimat “Aku sangat menyesal mengetahui berita bahwa akulah yang sebenarnya telah membunuh saudaraku sendiri”. Di sini ditunjukkan bahwa kata “telah” menjadi modifkator dari kata “membuhnuh” yang menunjukkan waktu yang melekat pada kata kerja dan juga berkelas kata “kata keterangan” yang kemudian menjadi sebuah frasa verba yang utuh. Lagi, dalam frasa “akan mencium” dalam kalimat “Aku berjanji akan mencium bibir wanita untuk pertama kalinya setelah aku menikah”. Di sini ditunjukkan bahwa kata “akan” menjadi modifkator dari kata “mecium” yang menunjukkan waktu yang melekat pada kata kerja dan juga berkelas Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 2, 2012 : 219 – 232
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
229
kata “kata keterangan” yang kemudian menjadi sebuah frasa verba yang utuh. Lagi, dalam frasa “sedang belajar” dalam kalimat “Dia memanggilku ketika aku sedang belajar”. Di sini ditunjukkan bahwa kata “sedang” menjadi modifkator dari kata “belajar” yang menunjukkan waktu yang melekat pada kata kerja dan juga berkelas kata “kata keterangan” yang kemudian menjadi sebuah frasa verba yang utuh. Selain dari penjabaran dan perincian dari jumlah macammacam adverbia yang menjadi modifikator adverbia itu sendiri, juga terdapat macam-macam adverbia yang bisa menjadi modifikator adjektiva dengan jumlah macam yang hampir sama dengan macammacam adverbia di atas, berupa; adjektiva tingkatan; adjektiva komparatif yang biasa maupun adjektiva komparatif yang disisipi adverbia superlatif ataupun adverbia kelipatan, dan ataupun yang disisipi keduanya, adjektiva superlatif sendiri (Randolph dan Sidney, 1973: 135-136), dan adjektiva yang menyatakan kelipatan (Marcella, 1972: 109-124). Analisisnya; adjektiva tingkatan; untuk yang komparatif biasa, contohnya; frasa “lebih tampan” dalam kalimat “Dia terlihat lebih tampan dari sebelumnya”. Di sini ditunjukkan bahwa kata “lebih” menjadi modifikator dari kata “tampan” yang menunjukkan komparatif dan juga berkelas kata “kata keterangan” yang kemudian menjadi sebuah frasa adjektiva yang utuh. Kemudian, contoh adjektiva komparatif yang disisipi adverbia superlatif dalam frasa “sangat jauh lebih cantik” dalam kalimat “Istriku sangat jauh lebih cantik dari wanita lain selain Ibuku di dunia ini”. Di sini ditunjukkan bahwa frasa adverbia “sangat jauh” menjadi modifikator dari frasa adjektiva “lebih cantik” yang menunjukkan superlatif dan juga berkelas kata “kata keterangan” yang kemudian bergabung menjadi sebuah frasa adjektiva yang utuh. Kemudian, contoh dari adjektiva yang disisipi adverbia kelipatan dalam frasa “seribu kali lipat lebih indah” dalam kalimat “Surga terlihat seribu kali lipat lebih indah dari dunia dalam mimpi indahku”. Di sini ditunjukkan bahwa frasa adverbia “seribu kali lipat” menjadi modifikator dari frasa adjektiva “lebih indah” yang menunjukkan kelipatan dan juga berkelas kata “kata keterangan” yang kemudian bergabung menjadi sebuah frasa adjektiva yang utuh. Kemudian, contoh dari adjektiva yang disisipi adverbia kelipatan dan adverbia superlatif dalam frasa “sangat jauh Kajian Kritis Terhadap Pola DM dalam Bahasa Indonesia (Mustofa Kamal)
230
seribu kali lipat lebih seksi” dalam kalimat “Bidadari Surga mungkin sangat jauh seribu kali lipat lebih seksi dari segala macam wanita yang ada di dunia”. Di sini ditunjukkan bahwa frasa adverbia “sangat jauh” menjadi modifikator dari frasa adverbia “seribu kali lipat” yang juga berkelas kata “kata keterangan” dan kemudian bergabung menjadi satu frasa adverbia “sangat jauh seribu kali lipat”. Dan, frasa adverbia ini ,“ sangat jauh seribu kali lipat”, menjadi modifikator frasa adjektiva yang berada setelahnya “lebih seksi” yang juga berkelas kata “kata keterangan” yang kemudian bergabung menjadi sebuah frasa adverbia yang utuh. Selanjutnya, contoh dari adjektiva superlatif sendiri dalam frasa “sangat marah” dalam kalimat “Andi terlihat sangat marah ketika mendengar berita kematian kakaknya”. Di sini ditunjukkan bahwa kata “sangat” menjadi modifkator dari kata “marah” yang menunjukkan superlatif dan juga berkelas kata “kata keterangan” yang kemudian menjadi sebuah frasa adjektiva yang utuh. Kemudian, contoh dari adjektiva yang menyatakan tingkatan kurang jelas dalam frasa “agak lembut” dalam kalimat “Ketika aku merabanya, aku rasakan kulitnya agak lembut”. Di sini ditunjukkan bahwa kata “agak” menjadi modifikator dari kata “lembut” yang menunjukkan tingkatan kurang jelas dan juga berkelas kata “kata keterangan” yang kemudian menjadi sebuah frasa adjektiva yang utuh. Kata-kata lain yang mungkin bisa dikategorikan dalam tingkatan kurang jelas, seperti; sedikit, jarang, kadang-kadang dan lain sebagainya. Bahkan, ternyata masih juga ditemukan masalah bahwa bagaimana dengan masalah dalam frasa adjektiva ketika dimodifikasi oleh kata adverbia superlatif yang berupa “sekali”. Dalam contoh analisisnya, frasa “cantik sekali” menunjukkan bahwa ternyata pola yang dipakai adalah DM, kembali ke pola asal. Padahal sebelumnya sudah dikatakan bahwa adverbia atau kata yang berkelas kata “kata keterangan” juga termasuk salah satu yang dikecualikan untuk memakai pola MD. Hal yang cukup ironi ini menunjukkan bahwa di dalam perkecualian masih ada perkecualian lagi. Dalam mengetahui macam-macam adverbia dan adjektiva, peneliti menggunakan referensi yang bahasannya tentang tata bahasa dari bahasa Inggris karena, dalam tata bahasanya, bahasa Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 2, 2012 : 219 – 232
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
231
Indonesia sangat banyak sekali menyerap darinya, dan ternyata, hasilnya juga berseuaian. 2.
Faktor-faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Ketidak Sesuaian Penggunaan Pola DM Bahasa Indonesia Dengan Kenyataannya. Dari pembahasan kritisasi pengecualian terhadap pola DM bahasa indonesia dalam aplikasinya di atas, tepatnya yang ada pada tataran frasa, ternyata ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut. Adapun faktor-faktor tersebut adalah: a. Faktor pengaruh bahasa-bahasa para negara penjajah yang dibawa, baik secara langsung maupun tak langsung, mampu mempengaruhi pola kebahasaan bahasa Indonesia, baik sesudah maupun sebelum ditetapkannya pola standar DM bahasa Indonesia. Sebagai dampaknya, penulisan maupun pengucapan yang berpatokan pada “umum dan tidak umumnya” yang sudah mentradrisi tentunya juga mampu menjadi faktor pendukung dari penyebabkan terjadinya ketidak sesuaian penggunaan pola DM bahasa indonesia dengan kenyataannya karena hal ini bukan hal yang mudah untuk dirubah. b. Kurangnya kesadaran dan pemahaman para penutur bahasa Indonesia terhadap kaidah kebahasaan. Hal ini disebabkan oleh banyak hal, bukan hanya faktor dari dalam pada tiap-tiap pribadi, seperti; kurangnya rasa perhatian terhadap bahasa ndonesia itu sendiri, mengingat masih sangat banyak penduduk yang belum mampu berbahasa Indonesia secara baik dan benar, tetapi juga faktor-faktor dari luar, seperti; kualitas pendidikan di Indonesia, kemakmuran para penduduknya, khususnya, untuk mendapatkan pengajaran dan pendidikan yang baik, yang akhirnya, hal ini mampu menjalar pada masalah faktor kondisi birokrasi pemerintahan itu sendiri dan lain sebagainya. Kesemuanya itu menjadikan terhambatnya khazanah gelombang keilmuan yang ada di Indonesia.
Kajian Kritis Terhadap Pola DM dalam Bahasa Indonesia (Mustofa Kamal)
232
E. KESIMPULAN Dari pembahasan di atas, peneliti dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa terjadinya ketidak sesuaian antara pola standar DM bahasa Indonesia dengan kenyataannya adalah karena faktor teritorial; bahwa Indonesia pernah dijajah oleh beberapa negara Eropa dan satu negara Asia yang semua itu berlangsung dalam kurun waktu yang relatif lama, bahkan berabad-abad sehingga, baik secara langsung maupun tak langsung, juga mampu mempengaruhi kwalitas kesadaran berpikir dan pemahaman penduduknya terhadap kaidah kebahasaan. Setiap penemuan kekurangan dari segala aspek hendaknya direspon secara serius sehingga tidak akan terjebak dalam kesalahan yang berlarut-larut, bahkan, sampai tidak terasa melakukannya, dan lebih dari itu, membenarkannya. F. DAFTAR PUSTAKA Al-Maruzy, Amir. 01 Feb 2011. Negara-negara penjajah Indonesia. http://catatan-sejarahku.blogspot.com. 24 Jun. 2012. Badudu, J.S.. Edisi September 2003. Hukum DM dalam Bahasa Indonesia. Intisari. Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. Frank, Marcella. 1972. Modern English. New Jersey: Prentice-Hall, Inc; Hsalma. 09 Mei 2011. Teori Kogniif dan Transformatif. http://hsalma.wordpress.com. 24 Jun. 2012. Keraf, Gorys. 1996. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia. Kridalaksana, Harimurti. 1999. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Indonesia. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Quirk, Randolph and Sidney Greenbaum. 1973. A Univesity of English Grammar. Longman House; Burnt Mill.
Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 2, 2012 : 219 – 232