MENUJU ERA MULTIDISIPLINER DALAM KAJIAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA Oleh: Djoko Saryono
Abstrak: Makalah ini secara ringkas-konseptual membeberkan pergeseran gerak divergensi ke gerak konvergensi dalam ilmuilmu modern. Terkait dengan itu, dibeberkan juga pergeseran ideologi monodisipliner ke ideologi multidipliner baik dalam ilmu-ilmu modern pada umumnya maupun dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra. Pergeseran gerak dan ideologi tersebut terbukti telah menghindarkan ilmu-ilmu analitis, ilmu-ilmu emansipatoris, dan ilmu-ilmu hermeneutis khususnya ilmu bahasa dan ilmu sastra dari “senjakala kematian”, sebaliknya malah berkembang baik sekarang. Sekarang makin banyak kajian bahasa dan kajian sastra berparadigma, berpendekatan, dan atau berteori multidisipliner. Era multidisipliner pun makin kuat dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra.
Kata Kunci: ilmu-ilmu, ideologi, divergensi, konvergensi, monodisipliner, multidisipliner
Dunia modern selama ini telah didominasi kerangka berpikir positivistik. Berdasarkan konsep-konsep metodologi ilmiah dan pemilahan yang ketat antara pengetahuan empiris dan putusan nilai, nilai positivistik menempatkan diri mereka sendiri dalam posisi perang terhadap segala bentuk pseudo-ilmiah dan segala sesuatu yang non-ilmiah. Positivisme berupaya hendak membuka topeng dasar-dasar normatif – yang non-kognitif, subjektif, irasional – dari pandangan global tentang manusia dan masyarakat yang selama ini digunakan sebagai peneguh sistemsistem etis dan politis tertentu. ... Ideologi positivistik kemudian berlaku sebagai dasar legitimasi seluruh aspek kehidupan ...[Sindung Tjahyadi, Dasar-dasar Validitas Ilmu dan Agama dalam Perspektif Teori Kritis Jurgen Habermas, dalam Zainal Abidin Bagir dkk, 2005, Integrasi Ilmu dan Agama. Bandung, Penerbit MIZAN, hlm. 71)
Dalam makalah ini dicoba dibeberkan ihwal pertumbuhan dan perkembangan paradigma dan kecenderungan kajian bahasa dan sastra secara ringkaskonseptual. Pempaparan itu dilakukan dengan mengacu pada pertumbuhan dan perkembangan ilmu-ilmu modern pada umumnya terutama paradigma dan kecenderungan ilmu-ilmu modern karena – setuju atau tidak – paradigma dan kecenderungan umum telah mendominansi, malah menghegemoni ilmu-ilmu yang tumbuh-berkembang semasa modern. Dengan kata lain, paralelisme tersebut menginformasikan bahwa apa yang berkembang dalam ilmu-ilmu modern pada umumnya berkembang pula dalam ilmu-ilmu khusus tertentu, misalnya apa yang berkembang dalam ilmu-ilmu analitis atau ilmu-ilmu kealaman berkembang pula dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra sebagaian bagian ilmu-ilmu hermeneutis atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Sebagaimana telah diketahui, ilmu-ilmu modern pada umumnya tumbuh dan berkembang sangat pesat berkat pumpunan atau dorongan gerak divergensi yang membuahkan monodisiplineritas ilmu. Akan tetapi, akibat pelbagai kekurangan, keterbatasan, dan kelemahan yang secara inheren dimiliki dan dikandung oleh gerak divergensi, kemudian “ditanggapi, disempurnakan, diperbaiki, dan dicanggihkan serta digeser” oleh gerak konvergensi yang membuahkan multidisiplineritas ilmu. Karena itu, dapat dikatakan, gerak konvergensi sekarang tengah menggeser, menggantikan, atau hanyalah melengkapi gerak divergensi dalam ilmu-ilmu modern. Di sinilah dapat disaksikan pergeseran atau pergantian pendulum divergensi ke arah pendulum konvergensi. Hal ini terjadi juga dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra: gerakan pendulum divergensi tengah ditanggapi, digeser, dilengkapi, atau malah digantikan oleh gerakan konvergensi dalam bingkai era multidisiplineritas. Setelah secara umum membeberkan seluk-beluk gerak pendulum divergensi dan monodisipliner ke arah pendulum konvergensi dan multidisipliner, makalah ini membeberkan gerak pendulum divergensi dan monodisipliner ke arah pendulum konvergensi dan multidisipliner dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra; dalam kajian bahasa dan sastra sebagai bagian terpadu ilmu-ilmu hermeneutis. Dengan demikian, diharapkan dapat diketahui nalar kajian bahasa dan sastra yang multidisipliner.
FAJAR ERA MONODISIPLINER Dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan ilmu-ilmu modern, falsafah rasionalisme Cartesian [baca: ala Rene Descartes] atau rasionalitas, yang kemudian diperkaya atau diperkuat oleh falsafah positivisme Comtian [baca: ala August Comte] atau positivitas, menjadi pupuk-subur atau landasan awal-utama kemodernan ilmu-ilmu [Descartes, 1999; Suriasumantri, 1999; Nasution, 2000; Tjahyadi, 2005; Wilardjo, 2005]. Beralaskan rasionalisme dan positivisme itu, fajar kemodernan dalam bidang ilmu-ilmu ditandai oleh semangat untuk menerapkan metode ilmiah yang notabene sangat positivistis-empiris secara ketat-padat (rigorous) di samping memandang objek pengetahuan ilmiah [baca: alam semesta dan alam manusia] secara mekanistis ala Newton [baca: bukan holistis sebagai jejaring kehidupan ala Capra] sekaligus profanistis [baca: bersifat tidak transenden atau sekular!] [Capra, 2007; Hardiman, 2009]. Hal ini bertujuan agar diperoleh sebuah validitas dan kepastian temuan ilmiah berdasarkan bukti-bukti empiris dan pengujian empiris-real, terlepas dari pandangan-pandangan mistis dan religius atau spiritualistis, apalagi pandangan akal sehat semata-mata, common sense belaka [Tjahyadi, 2005; Wilardjo, 2005]. Asas keketatan, kepastian, dan validitas tersebut diterapkan secara konsekuen dan konsisten dalam metode ilmiah dengan maksud agar dapat diperoleh hasil kajian atau temuan yang seilmiah-ilmiahnya (seilmiah mungkin) berupa kebenaran ilmiah bersistem yang relatif permanen; memiliki hipotetikalitas sangat tinggi atau proposisi-proposisi yang bertali-temali secara sistemis, yang sekarang pada umumnya disebut ilmu atau teori. Demikian juga padangan mekanistis sekaligus profanistis tentang objek pengetahuan ilmiah [baca: model dunia yang mekanistis ala Newton] diterapkan secara konsekuen dan konsisten supaya diperoleh keilmiahan dan kesahihan teori secara meyakinkan, dalam arti benar-benar empiris [Capra, 2006; 2007]. Dari sinilah kemudian tumbuh-menguat keyakinan bahwa validitas, keketatan, dan kepastian temuan ilmiah dapat dicapai dengan metode ilmiah bercorak mekanistis, profanistis, dan empiris. Selanjutnya, berkembanglah pandangan bahwa yang disebut ilmu atau minimal teori selalu bersifat empiris, profanistis, bahkan mekanistis [Capra, 2007; Smith, 1999]. Yang dapat
memenuhi persyaratan seperti ini dipandang objektif atau memiliki objektivitas. Objektivitas ini menjadi obsesi semua ilmu modern dan juga semua ilmuwan di samping menjadi standar semua ilmu modern. Di sinilah ilmuwan mengganggap diri memiliki kebebasan ilmiah dan meyakini netralitas ilmu, tanpa harus terikat oleh hal-hal mistik dan religiositas serta sosial-kemanusiaan [bandingkan dengan Suriasumantri, 1999]. Lama-kelamaan hal tersebut dianggap berlaku universal sehingga berkembanglah pandangan tentang universalitas ilmu-ilmu modern kendati seharusnya tidak demikian [Smith, 1999; Fauzi, 2003]. Di bawah naungan semangat kebebasan ilmiah, netralitas, objektivitas, dan universilitas ilmu-ilmu tersebut di atas, lantas lahirlah gerakan memisah-misahkan diri atau membagi-bagi diri (divergensi) dalam tradisi ilmu-ilmu modern terutama ilmu-ilmu (ke)alam(an) atau ilmu analitis, kemudian diikuti ilmu-ilmu humaniora atau ilmu hermeneutis dan ilmu-ilmu sosial modern atau ilmu emansipatoris yang memang berkembang berkat meniru atau meneladani model ilmu-ilmu alam [Habermas, 1990; Hardiman, 2009]. Di sinilah gerak divergensi (menyebar menjadi kecilkecil) ilmu-ilmu dimulai dan menggelinding-meluncur dengan begitu cepat. Gerak divergensi perkembangan ilmu-ilmu ini sepanjang zaman modern [terutama dimulai pada awal sampai dengan akhir Abad XX lalu] telah melahirkan pelbagai disiplin ilmu baru yang khusus, bahkan sangat khusus (sangat teknis), misalnya urologi dalam kedokteran dan entomologi dalam biologi, – yang jumlahnya demikian banyak dan melimpah ruah. Di sini spesialisasi dan partikularisasi ilmu-ilmu terjadi dan kemudian berlangsung secara radikal sangat (baca: mendasar), malah luar biasa. Tidak mengherankan, berpuluh-puluh disiplin ilmu spesialistis-partikular baru (kadangkadang dibaca: cabang-cabang ilmu, mungkin malah ranting-ranting ilmu!) tumbuh dan berkembang dari “pokok pohon” disiplin ilmu tertentu. Misalnya, ilmu kedokteran telah beranak-pinak secara luar biasa menjadi urologi, dentologi, neurologi, dan sebagainya; ilmu bedah menjadi bedah umum, bedah tulang, bedah syaraf, dan sebagainya. Ilmu hukum melahirkan cabang ilmu hukum pidana, hukum perdata, hukum ekonomi, hukum bisnis, hukum perikatan, hukum laut (akan tetapi, mungkin aneh, setakat kini belum ada hukum darat atau hukum udara lho!), dan lain-lain. Ilmu ekonomi melahirkan cabang ekonomi makro, ekonomi mikro, ekonomi pem-
bangunan, dan sebagainya. Ilmu bahasa melahirkan cabang atau ranting fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, wacana, dan sebagainya. Ilmu sastra melahirkan sejarah sastra, teori sastra, kritik sastra, dan apresiasi sastra beserta berbagai madzab turunannya; sekadar contoh, kritik sastra terbagi menjadi kritik sastra akademis, kritik sastra popular, dan kritik sastra Koran. Jika diperhatikan secara cermat dan lengkap, niscaya dapat diketahui bahwa yang berkembang sudah bukan cabang ilmu semata-mata, melainkan sudah sampai pada ranting atau dahan ilmu-ilmu! Masing-masing disiplin ilmu yang telah berkembang demikian yakin akan adanya suatu ontologi ilmu [baca: keberadaan ontologi] yang bisa dikaji secara tuntas [heuristis], seolah-olah ada-nyata-hadir objek yang dapat dikaji secara tuntas dan jelas [baca: heuristis dan eksplanatif]. Diyakini di sini bahwa ontologi itu ada dan tak perlu diragukan keberadaannya. Diyakini juga bahwa epistemologi ilmu niscaya mampu mengobservasi, mendeskripsi, dan mengeksplanasi realitas secara tepat-cermat. Dalam hubungan ini epistemologi dipandang mampu menghadirkan ontologi secara persis dengan presisi tinggi. Seiring dengan itu, masing-masing disiplin ilmu pun membentuk-membangun bangunan epistemologis dan metodologis yang sangat tangguh, kokoh, ketat, dan ‘bertembok tinggi’ seraya mencampakkan atau mengeliminasi jauh-jauh keberadaan aksiologi ilmu (katanya ini bukan tugas ilmuwan). Di sinilah aksiologi ilmu dianggap bukan urusan ilmuwan lagi atau urusan ilmu karena ontologi dan epistemologi ilmu diyakini netral dan objektif dari kepentingan-kepentingan dan kekuasaan-kekuasaan tertentu berkat sterilisasisofistikasi objek dan metode. Tak ayal lagi, antara disiplin ilmu (spesialistispartikular) yang satu dan disiplin ilmu yang lain tidak (boleh dilihat) berhubungan dan tak dapat saling melengkapi; praktis tak ada saling sapa, apalagi saling-silang, antara satu disiplin ilmu dan disiplin ilmu lain – saling-sapa seakan-akan sebuah dosa, paling tidak kesalahan, lebih-lebih saling-temu dan saling-kerjasama dianggap “terlarang hukumnya”. Saling hubungan di antara disiplin dianggap sebagai “cinta terlarang” [pinjam judul lagu Andi Meriem Mattalata atau The Virgin], bahkan juga “rindu terlarang” [pinjam judul lagu popular Broery dan Dewi Yull]. Dalam konteks ini berkembang pendirian bahwa satu teori (yang mengacu pada satu ontologi ter-
tentu) selalu membawa konsekuensi satu metodologis tertentu; satu teori cocok dengan satu metodologi tertentu atau sebaliknya; satu teori dan metodologi untuk satu penelitian. Hampir-hampir tak ada pandangan: satu metodologi untuk banyak teori atau banyak teori menggunakan banyak metodologi. Sehubungan dengan itu, pada sepanjang Abad XX (kecuali mulai 15 tahun terakhir Abad XX) dapat disaksikan dua watak-dasar yang sangat penting-menonjol dalam perkembangan ilmu-ilmu modern, yaitu, pertama, betapa tertutupnya bangunan ontologis, epistemologis, teoretis, dan metodologis ilmu-ilmu (spesialistis-partikular) kealaman, ilmu-ilmu sosial, dan humaniora; dan kedua, betapa sibuknya masing-masing disiplin ilmu membangun “tembok-kokoh” dan “tembokpemisah” disipliner dengan mengabaikan keberadaan disiplin ilmu-ilmu lain atau kerja-sama ilmu-ilmu; kerja-sama ilmu-ilmu dan gabung-ilmu-ilmu benar-benar dianggap “cinta terlarang”. Meminjam lirik manis maestro pernyanyi Broery dan Dewi Yull dalam lagu Rindu Terlarang: sekarang “/di antara ilmu-ilmu memang tak pantas [baca: satu disiplin ilmu – penulis] mengkhayal tentang dirimu [baca: disiplin ilmu lain – penulis]/sebab kau tak lagi [baca: disiplin ilmu lain] seperti yang dulu/kendati berat rasa rinduku [baca: satu disiplin ilmu] kepadamu [baca: disiplin ilmu lain]/biarkan kuhadang rinduku [baca: satu disiplin ilmu] terlarang [bertemu disiplin ilmu lain]/”. Di sinilah dapat disaksikan merebaknya dan kemudian menguatnya era (masa) monodisipliner! [Horgan, 2005; Piliang, 2005; Smith, 1999]. Fajar era monodisipliner disertai dengan berkembangnya dan atau menguatmenonjolnya [sebutlah] ‘ideologi’ kemonodisiplineran dalam ilmu-ilmu (bolehlah disebut: monodisiplinerisme) pada umumnya – baik ilmu-ilmu alam atau ilmu analitis, ilmu-ilmu sosial atau ilmu emansipatoris maupun ilmu-ilmu humaniora atau ilmu hermeneutis. Monodisiplinerisme mewawasi, melandasi, dan menggerakkan segenap ilmu-ilmu dalam bekerja. Kerja ilmu dan temuan teori dikendalikan oleh monodisiplinerisme semata. Dalam bekerja ini, ‘ideologi’ monodisiplinerisme ini meyakini empat hal berikut. Pertama, ilmu-ilmu apapun harus mengejar tujuan dan kepentingan tertentu yang melekat [inheren] dalam dirinya sendiri [internal], bukan mengejar suatu tujuan dan kepentingan di luar dirinya [eksternal], misalnya kepentingan kemanusiaan; kepentingan kemanusiaan merupakan soal aksiologi ilmu yang
bukan urusan langsung ilmu. Kedua, ilmu-ilmu apapun harus bekerja dengan asasasas disipliner(itas) yang ketat dan pasti yang dimilikinya dan dalam batas-batas cakupan yang telah ditetapkan, bukan asas ketuntasan masalah tertentu yang harus dikajinya dan kememadaian jawaban atas masalah-masalah keilmuan. Ketiga, ilmu-ilmu apapun perlu bekerja dengan satu teori dan metode(logi) yang sesuai dengan tujuan dan kepentingan monodisipliner, tidak perlu atau tidak boleh bekerja dengan piranti-piranti teoretis dan metodologis dari luar bidang; pencampuran atau penggunaan dua atau lebih teori dan metodolgi dalam suatu kajian ilmiah disebut dengan nama eklektisisme [catat baik-baik: namanya saja sudah “merendahkan”!], bukan disebut multidisiplineritas atau interdisipliner. Terakhir, keempat, ilmu-ilmu apapun wajib mengusung objektivitas-empiris yang notabene posivistis (yang sering hanya menjadi objektivisme) sebagai pilar sekaligus tolok ukur (tunggal?) aktivitas penelitian ilmiah termasuk ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu budaya; tak ayal objek ilmu-ilmu alam, sosial, dan humaniora sama-sama (di)-mati-(kan). Entitas, watak, dan sifat objek ilmu-ilmu sosial atau ilmu emansipatoris dan apalagi ilmu-ilmu humaniora atau ilmu hermeneutis yang sesungguhnya amat hidup, cair-lunak, dan mudah-bergerak pun harus dimatikan supaya memperoleh status keilmiahan yang kokoh. Empat keyakinan tersebut mengakibatkan kuatnya pandangan bahwa penggunaan satu teori dan metodologi dalam kegiatan penelitian sangat baik dan paling sah, sedangkan penggunaan berbagai teori dan metodologi secara serempak dalam suatu kegiatan penelitian tidak sah dan jelek, bahkan terlarang. Penggunaan dua atau lebih teori dan metodologi dalam kegiatan penelitian disikapi sebagai oportunisme epistemologis dan metodologis alias mau enaknya sendiri, tidak mau bersusah-susah, bukan dipandang sebagai perluasan empiris teori! [simak Kleden, 1987; Fauzi, 2003; Hardiman, 2008; 2009]. Pendek kata, kerja-sama ilmu-ilmu yang maujud [manifest] dalam penggunaan dua atau lebih teori dan metode dalam suatu kerja ilmiah dipandang negatif – yang secara peyoratif sering disebut sebagai eklektisisme. Di Indonesia, hal tersebut berkembang sangat kuat semenjak dasawarsa 1970-an dan 1980-an. Istilah eklektisisme (atau pendekatan eklektis) dipersepsi ku-
rang memiliki nilai akademis dan keterandalan atau validitas ilmiah di samping dipandang lemah bangun-teori dan bangun-metodologinya. Alhasil, penelitian yang tercermin dalam penggunaan dua atau lebih teori dan metode praktis tak mendapat tempat dalam aktivitas penelitian karena dilihat sebagai eklektis, tidak dilihat sebagai multidisipliner atau interdisipliner [simak Kleden, 1987]. Roman Jakobson – salah seorang tokoh terkemuka bidang fungsionalisme ilmu bahasa di samping juga tokoh kajian sastra – mengatakan bahwa semua teori dan metodologi yang berwatak monodisipliner-posivistis-partikular niscaya bakal bocor atau “kedodoran” mengeksplanasi objek ilmu. Maksudnya, bahwa tidak ada kesempurnaan dan kelengkapan teori dan metodologi apapun – kesempurnaan hanyalah ilusi, utopia atau halusinasi [Jakobson, 2000] – sehingga klaim kesempurnaan dan kelengkapan suatu teori dan metodologi justru akan menimbulkan banyak masalah epistemologis. Sebagaimana diketahui bersama, ‘ideologi’ monodisipliner-positivis-spesialistis tersebut belakangan hari memang juga menimbulkan berbagai persoalan kritis, genting, dan krusial dalam kegiatan penelitian dan kemudian juga persoalan teori dan metodologi. Persoalan kritis, genting, dan krusial yang dimaksud adalah (1) masalah-masalah sensitif dalam kehidupan manusia ternyata banyak yang tidak dapat dikuak, dijawab, diselesaikan, dan diatasi oleh ilmu-ilmu disipliner yang spesialistis-partikular, (2) ilmu-ilmu disipliner yang spesialistis-partikular kehilangan relevansi dan nilai guna dalam masyarakat, dan (3) bangunan teoretis dan epistemologis atau metodologis ternyata mengalami ‘kebocoran serius’ sehingga klaim-klaim teoretis dan metodologis dari ilmu-ilmu disipliner (yang spesialistis-partikular) banyak yang tidak andal dan tak dapat diandalkan; dan (4) watak ideologis (dan subjektivistis) ilmu-ilmu disipliner tidak dapat diketahui dan dimanfaatkan secara pasti dalam konteks kepentingan masyarakat, bisa jadi hanya kepentingan kekuasaan non-demokratis; serta (5) watak ilmu-ilmu monodisipliner terbukti sangat orientalistis dan kolonialistis sebagaimana dikemukakan oleh Fauzi, Said, dan Linda Smith [Fauzi, 2003; Horgan, 2005; Piliang, 2005; Said, 2001; Smith, 1999]. Paparan tersebut di atas menunjukkan bahwa ilmu-ilmu modern monodisipliner-positivis yang mengklaim universal sungguh sarat dengan berbagai
kepentingan dan kekuasaan sehingga senantiasa berada di bawah hegemoni kepentingan dan kekuasaan tertentu [Fauzi, 2003; Hardiman, 2008; 2009; Habermas, 1990; Said, 2001]. Dengan kata lain, ilmu-ilmu modern monodisipliner-positivis berwatak sangat ideologis. Tidak mengherankan, banyak pihak memaklumkan bahwa ilmu-ilmu modern monodisipliner yang posivistis-spesialistis-partikular telah berada pada senjakala kematian [the end of science] [Horgan, 2005; Smith, 1999]. Di sini senjakala kematian dalam arti sebagai sesuatu yang melampaui batas untuk menuju titik ekstrem, peleburan dan pencampuradukan, dan kondisi tidak ada lagi objek [ilmu pengetahuan] itu sendiri [Horgan, 20005; Piliang, 2005]. Dalam keadaan seperti ini, meminjam istilah Piliang [2005], manusia hanya menemukan “puingpuing ilmu pengetahuan”, tidak ada lagi keutuhan ilmu. Sayang sekali, itu semua kurang disadari semenjak dini oleh para ahli (ilmu spesialistis-partikular) atau ilmuwan spesialis-partikular sehingga tak dapat ditanggulangi dengan segera.
GERAK KONVERGENSI ILMU-ILMU Guna mengatasi berbagai permasalahan kritis, genting, dan krusial tersebut, banyak pihak terutama “ilmuwan alternatif” [bukan ilmuwan mainstream] mulai berpikir tentang bagaimana titik-temu, saling-silang, dan kerja-sama ilmu-ilmu beserta dengan metode-metode penelitian tertentu dimungkinkan sembari berpikir tentang filsafat ilmu alternatif khususya ontologi, epistemologi, dan aksiologi alternatif [Horgan, 2005; Piliang, 2005; Smith, 1999]. Saling-silang dan kerja-sama itu disertai usaha-usaha mempertanyakan pendirian-pendirian filsafat ilmu yang ada; misalnya, dipertanyakan apakah memang benar-benar ada kenyataan ontologis ilmu-ilmu; apakah epistemologi ilmu-ilmu mampu membeberkan kenyataan; dan apakah aksiologi ilmu menjadi bagian penting pengkajian keilmuan [simak Horgan, 2005; Hardiman, 2009; Piliang, 2005; Smith, 1999]. Menurut Piliang [2005], inilah titik-balik sejarah ilmu-ilmu modern. Titik balik sejarah itu dimaksudkan untuk menghindari senjakala kematian ilmu sehingga ilmu-ilmu modern diusahakan menempuh jalan berbeda dibandingkan jalan monodisipliner.
Rintisan saling-silang dan kerja sama ilmu-ilmu dan metode-metode yang disertai perubahan filosofis tersebut mulai banyak atau marak dilakukan pada dasawarsa 1980-an. Gerakan saling-silang dan kerja sama ilmu-ilmu dan metode penelitian pun dimulai, kemudian berkembang cukup baik pada masa selanjutnya. Di sinilah dapat disaksikan munculnya gerak konvergensi dalam tradisi ilmu-ilmu modern, yaitu gerak perapatan, penggabungan, penyatuan, pemaduan, dan pengombinasian teori dan metodologi ilmu-ilmu yang beraneka ragam dan majemuk. Sebagai contoh, saling-silang dan kerja sama ilmu biologi dengan teknologi melahirkan bioteknologi; saling-silang dan kerja sama antara psikologi dan antropologi menghasilkan antropologi psikologi. Hal ini menegaskan bahwa gerak konvergensi menjadikan disiplin-disiplin ilmu (yang spesialitis) dan metode-metode yang dulu terpisah-pisah (yang partikular) mulai bertemu dan menyatu lagi; dalam hal ini berbagai disiplin dan metode digunakan secara serempak dalam kegiatan keilmuan terutama kegiatan penelitian tanpa harus disebut eklektisisme, melainkan kombinasi, pencampuran [mixing], dan penyematan [blending]. Misalnya, gerakan mengombinasikan atau memadukan fisika dengan pikiran mistisisme Timur sebagaimana terlihat dalam buku The Tao of Physics karya Fritjof Capra melahirkan Fisika Baru yang dipelopori oleh Gari Sukav. Pada awal tahun 1990-an juga mulai muncul dan berkembang pula gerakan memadukan atau meleburkan metodologi kualitatif dan kuantitatif [yang dahulu dilarang atau dianggap tidak mungkin] – sebagaimana tampak pada buku Mixing Method: Qualitative and Quantitative Research karya Julia Brannen (1993), Research Design: Qualitative and Quantitative Approach karya John W. Creswell (1997), dan Blending of Qualitative and Quantitative Research karya Amstrong (2003). Semua itu menandakan terbitnya fajar era multidisipliner, yang berikutnya mendorong berkembangnya ‘ideologi’ multidisipliner dalam teori dan metodologi ilmu-ilmu. Berbeda dengan ideologi sebelumnya, ‘ideologi’ multidisipliner memiliki orientasi pada penuntasan masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia dengan menggunakan berbagai teori dan metodologi secara serempak; menggunakan corak ontologi, epistemologi, dan aksiologi berbeda [simak Kleden, 1987; Zed, 2005]. Bangun teoretis [ontologis] dan metodologis [epistemologis] yang tersekat-sekat
atau terfragmentasi dibongkar dan aksiologi dirangkul kembali dalam ‘ideologi’ multidisipliner serta kemudian diduetkan atau dipertemukan dalam konteks ideologi multidisipliner. Dari sinilah kemudian lahir studi-studi tertentu [dan bukan ilmu-ilmu tertentu!], misalnya Studi Wanita atau Gender, Studi Asia, Studi Amerika, Studi Pembangunan, dan Studi Lingkungan dan dengan demikian ilmu-ilmu modern benar-benar memasuki fase senjakala kematian teori spesialistis-partikular atau bahkan kematian teori (the end of theory) atau metodologi monodisipliner. Kematian teori atau metodologi di sini dalam arti terjadinya penggantian secara mendasar filsafat ilmu, paradigma kajian, dan watak teori atau metodologi [simak Horgan, 2005; Piliang, 2005; Smith, 1999].
PENDULUM KAJIAN BAHASA DAN SASTRA Semua paparan di atas menunjukkan adanya dua pendulum pertumbuhan dan perkembangan ilmu-ilmu modern, yaitu pendulum divergensi yang membuat ilmu-ilmu berkembang luar biasa pesat; dan pendulum konvergensi yang mengatasi kekurangan dan kelemahan pendulum divergensi sehingga ketuntasan penyelesaian masalah tercapai. Dapat dikatakan, semua ilmu harus “mendayung” di antara pendulum divergensi dan konvergensi. Pertumbuhan dan perkembangan ilmu bahasa dan ilmu sastra pun harus “mendayung” di antara pendulum divergensi dan konvergensi. Mengikuti gerbong humaniora atau ilmu-ilmu hermeneutis [menurut Jurgen Habermas], ilmu bahasa dan ilmu sastra – sebagai salah satu “pokok pohon” tertua ilmu-ilmu dalam hermeneutis, juga mengalami gerak divergensi [gerak merapat, memadu, atau menyatu] ketika pendulum divergensi sedemikian dominan dan hegemonis menguasai ilmu-ilmu modern. Sebagaimana ilmu-ilmu pada umumnya, semenjak fajar Abad XX, seiring dengan hadirnya strukturalisme (tentu juga semiologi) dari Bapak Ilmu bahasa Modern Ferdinand de Saussure [dan juga dari Bloomfield], strukturalisme ilmu sastra Renne Wellek dan Austin Werren dan formalism ilmu sastra, dalam ilmu bahasa [modern] dan kemudian juga dalam ilmu sastra berlangsung penyebaran atau pem-
isahan diri yang sedemikian cepat. Buku terpenting Saussure bertajuk General Linguistics dan buku Wellek dan Warren bertajuk Theory of Literature merupakan gambaran paling gamblang ideology monodisipliner. Maka, ilmu bahasa dan ilmu sastra membentuk dan memperkuat diri dengan spesialisasi dan partikularisasi serta membatasi diri. Spesialisasi-partikularisasi ilmu bahasa dan ilmu sastra yang terjadi dengan tempo sedemikian cepat, bahkan demikian berkelebat, menggusur disiplindisiplin lama yang sejak awal multidisipliner seperti antropologi ilmu bahasa, filsafat seni, dan retorika serta kajian moral dalam sastra. Lahirlah kemudian berbagai disiplin ilmu ilmu bahasa yang khusus (spesifik-partikular), misalnya fonologi, morfologi, leksikologi, sintaksis, semantik, dan disiplin ilmu bahasa teoretis lain; demikian juga berkembanglah kajian-kajian unsur intrinsik dalam sastra. Hal ini diiringi oleh hadirnya berbagai linguis atau ahli sastra yang ahli di bidang tertentu, misalnya ahli fonologi, ahli morfologi, ahli sintaksis, dan ahli leksikologi yang “ … di antara hatimu hatiku terbentang dinding yang tinggi …” [pinjam lirik lagu Hatiku Hatimu yang didendangkan Muchsin Alatas dan Titik Sandhora]. Demikian juga lahirlah berbagai disiplin ilmu sastra yang spesialistis-partikular, antara lain strukturalisme, formalisme, stilistika, analisis teks, strata norma, dan teori-teori objektif lain yang berkutat pada bentuk-bentuk sastra atau aspek fisikal sastra. Masing-masing disiplin ilmu bahasa dan ilmu sastra tersebut secara ketat dan terpisah berkembang dengan perspektif, teori, dan metodenya sendiri. Hal ini diikuti oleh keyakinan linguis dan ahli sastra yang demikian tinggi pada spesialisasi masing-masing pada satu pihak dan pada pihak lain kegamangan linguis dan ahli sastra untuk ‘menengok’ atau terjun dan menggumuli bidang yang [dianggap] bukan spesialisasinya (spesialisasi orang lain). Alhasil, ilmu bahasa dan ilmu sastra menjadi berkeping-keping ke dalam pelbagai disiplin mikro yang didukung oleh para spesialis pada satu pihak dan pada pihak lain ilmu bahasa dan ilmu sastra menjadi terisolasi dalam lingkungannya sendiri. Hal ini pertanda bahwa ‘ideologi’ monodisipliner juga mencengkeram kuat dalam dunia ilmu bahasa dan ilmu sastra. Maka, monodisiplinerisme merasuk ke dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra. Hampir sama dengan ‘ideologi monodisipliner’ dalam ilmu-ilmu modern pada umumnya, ternyata ‘ideologi’ monodisipliner dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra
mengakibatkan empat hal. Pertama, ilmu bahasa dan ilmu sastra terlalu banyak memusatkan perhatian pada aspek-aspek formatif bahasa atau struktural bahasa dan aspek-aspek formal sastra, meninggalkan atau menyingkirkan aspek-aspek fungsional bahasa, aspek-aspek ekstrinsik sastra, dan aspek-aspek puitik sastra. Ia memang tidak mau berurusan dengan aspek-aspek non-formatif karena dipandang sebagai hal di luar bahasa dan sastra (eksternal), tak berkaitan dengan bahasa dan sastra. Ini mengakibatkan analisis ilmu bahasa dan ilmu sastra atau kajian sastra terfokus pada bentuk-bentuk bahasa dan sastra yang steril atau dilepaskan dari konteks sosial-masyarakat, budaya, dan masyarakat yang dinamis. Kedua, ilmu bahasa dan ilmu sastra terutama penelitian ilmu bahasa dan kajian sastra tampak terisolasi dari persoalan manusia, masyarakat, dan budaya. Di sini segala sesuatu yang berbau ‘di luar bahasa dan sastra’ selalu disingkirkan sebab bukan urusan ilmu bahasa dan ilmu sastra. Ilmu bahasa dan ilmu sastra pun – termasuk penelitian ilmu bahasa dan kajian sastra – lebih asyik dengan dirinya sendiri. Selain ada positivisme yang kuat, ada semacam narsisisme ilmu bahasa dan narsisisme literer/puitika di dalam dunia ilmu bahasa dan ilmu sastra di samping dunia para ahli ilmu bahasa dan ilmu sastra. Ketiga, peran, fungsi, dan sumbangan [kontribusi] ilmu bahasa dan ilmu sastra bagi kemanusiaan, kemasyarakatan, kebudayaan, dan peradaban dipertanyakan atau dipersepsi rendah. Kehadiran ilmu bahasa dan ilmu sastra dalam konteks ilmu-ilmu kemanusiaan dan kemasyarakatan juga dipertanyakan banyak pihak. Di sinilah ilmu bahasa dan ilmu sastra kehilangan relevansi dengan kebutuhan manusia dan masyarakat. Keempat, banyak masalah yang terkait, bersentuhan, dan melekat dengan ilmu bahasa dan ilmu sastra tidak dapat diselesaikan dan diatasi oleh ilmu bahasa dan ilmu sastra yang monodisipliner; padahal masalah-masalah itu membutuhkan sandaran teoretis ilmu bahasa dan ilmu sastra di samping penelitian ilmu bahasa dan kajian sastra. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: di manakah dan seberapa besarkah sumbangan ilmu bahasa dan ilmu sastra bagi penyelesaian masalah-masalah manusia dan masyarakat? Banyak kalangan kemudian beranggapan dan berkesimpulan bahwa ilmu bahasa dan ilmu sastra tidak banyak memberikan manfaat bagi kehidupan manusia; tidak banyak menyelesaikan persoalan-persoalan
hidup manusia. Pendek kata, keempat dampak negatif ‘ideologi’ monodisipliner dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra tersebut mendorong timbulnya (semacam) “krisis ontologis dan epistemologis [metodologis]” di dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra. Kenyataan tersebut jelas merupakan kondisi dunia ilmu bahasa dan dunia ilmu sastra yang tak ideal, bahkan “terbelakang” dan terancam mengalami senjakala kematian. ‘Ideologi’ multidisipliner dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra kemudian muncul untuk merespons dan mengubah kondisi dunia ilmu bahasa dan ilmu sastra tersebut. Bangunan teoretis [ontologis] dan epistemologis atau metodologis yang monodisipliner lalu mulai dibongkar, digeser, malah diganti. Sebagai gantinya, mulailah dikembangkan bangun teoretis dan metodologis yang bersifat multidisipliner dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra. Semenjak paruh terakhir dasawarsa 1980-an mulai berkembang pesat teori dan metodologi ilmu bahasa dan ilmu sastra yang multi(inter)disipliner. Demikian juga bidang-bidang multidisipliner dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra bermunculan, misalnya fonetik, psikologi bahasa, sosioilmu bahasa, geografi bahasa, etnografi komunikasi, dan neurologi bahasa serta wacana kritis; psikologi sastra, sosiologi sastra, estetika, kritisisme baru, etnopuitika, dan pascakolonialisme. Metode-metode multidisipliner juga mendapat tempat dalam penelitian ilmu bahasa dan ilmu sastra, bahkan sangat lazim dipakai dalam kegiatan penelitian ilmu bahasa dan kajian sastra, misalnya semiotika bersama hermeneutika. Pada dasawarsa 1980-an multidiplineritas dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra sudah tumbuh dan berkembang baik. Sekarang perspektif, teori, dan metode multidisipliner sudah berkembang jauh dalam kajian bahasa dan kajian sastra. Penggunaan perspektif, teori, dan metode yang multidisipliner juga tak lagi dipandang sebagai wujud oportunisme teori dan metodologi yang bertujuan mencari gampangnya saja dalam kegiatan penelitian. Pendek kata, dunia ilmu bahasa dan ilmu sastra sekaligus kajian bahasa dan kajian sastra sekarang memasuki era multidisipliner. Kajian-kajian bahasa dan sastra berdasarkan perspektif, teori, dan metode multidisipliner sudah dilakukan oleh berbagai pihak semenjak paruh kedua tahun 1980-an di Indonesia. Dalam kajian bahasa, sebagai contoh, kajian wacana kritis, sosiologi bahasa, psikologi bahasa, linguistik komputasi, pragmatik, politik bahasa, dan pemerolehan bahasa dalam kaitannya dengan berbagai faktor kekuasaan sudah
cukup banyak dilakukan di Indonesia termasuk di Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Di sini muncul disertasi Jumadi (2007) berjudul Kuasa dalam Kelas, disertasi Dyah Werdiningsih (2006) berjudul Pemerolehan Pragmatik Anak Usia Prasekolah, disertasi Lilik Wahyuni (2008) berjudul Pertarungan Simbolis di Media Massa, Hari Suwignyo (2009) berjudul Tindak Tutur Pembelajaran Among, dan disertasi Roekhan (2009) bertajuk Kekerasan Simbolis di Media Massa serta Anang Santosa (2003) berjudul Wacana Politik Orde Baru adalah beberapa contoh kajian bahasa yang fungsional dan multidisipliner. Demikian juga tesis Taufik Dermawan (1989) berjudul Analisis Sosiologi Sastra dan Strukturalisme-Genetik Ronggeng Dukuh Paruk, disertasi Dharmojo (2004) bertajuk Munaba: Struktur, Fungsi, dan Nilai, disertasi Aleda Mawene (2005) berjudul Mitos Suku Amungme, dan disertasi Muhammad Ali (2009) berjudul Kelong dalam Perspektif Hermeneutika adalah beberapa contoh kajian sastra yang fungsional dan multidisipliner nan fenomenologis-hermeneutis. Berbagai kajian bahasa dan sastra tersebut semuanya menggunakan dua atau lebih pendekatan dan teori untuk memecahkan masalah kajian; misalnya, pendekatan hermeneutika dan semiotika digunakan secara serempak dalam kajian; teori wacana kritis dipadukan dengan teori etnografi komunikasi; teori pragmatik dipadukan dengan etnografi komunikasi; dan teori pragmatik dan etnografi komunikasi dipadukan dengan teori pembelajaran among Tamansiswa. Ini semua menunjukkan bahwa multidisiplinerisme yang fenomenologis-humanistis telah berkembang baik dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra; dalam kajian bahasa dan kajian sastra. Beralaskan multidisiplinerisme ini diharapkan kajian bahasa dan kajian sastra dapat terus berkembang baik sehingga bisa menyelamatkan ilmu-ilmu modern khususnya ilmu-ilmu humaniora atau hermeneutis dari “senjakala kematian ilmu-ilmu’ (Piliang, 2005); paling tidak bisa membebaskan ilmu bahasa dan ilmu sastra dari bayangbayang hegemonis atau dominan ilmu-ilmu analitis dan ilmu-ilmu emansipatoris. Jadi, multidisiplinerisme yang fenomenologis-humanistis dalam ilmu-ilmu hermeneutis bisa mendorong pertumbuhan dan perkembangan ilmu bahasa dan ilmu sastra serta kajian bahasa dan kajian sastra.
Pertumbuhan dan perkembangan kajian bahasa dan kajian sastra sekaligus ilmu bahasa dan ilmu sastra multidisipliner tersebut memberikan dua arti penting. Pertama, kajian bahasa dan kajian sastra sekaligus ilmu bahasa dan ilmu sastra akan semakin terbuka-inklusif memanfaatkan dan mendayagunakan paradigma, pendekatan, dan teori serta metode kajian dari manapun – baik dari dalam dunia kajian bahasa dan kajian sastra maupun dari dunia ilmu-ilmu hermeneutis pada umumnya, malah ilmu-ilmu emansipatoris. Misalnya, kajian sastra bisa saja menggunakan sosiologi pengetetahuan ala Manheim dan Berger-Luckman [baca: asal sosiologi] dan arkeologi pengetahuan ala Foucault [baca: asal filsafat] serta wacana kritis ala van Dijk atau Sara Mills [baca: asal linguistik kritis]. Hasil-hasil kajian sastra niscaya akan berbeda dengan kajian-kajian sastra pada umumnya. Kedua, kajian bahasa dan kajian sastra akan dapat semakin berkembang secara otonom dan mandiri tanpa harus selalu bergantung pada ilmu-ilmu lain, terbebas dari bayang-bayang dominan atau hegemonis ilmu-ilmu emansipatoris atau ilmu-ilmu analitis, kendati tetap terbuka menerima pikiran-pikiran eksternal. Misalnya, kendati tidak dilarang atau bolehboleh saja, kajian sastra tidak harus selalu mengambil dan menerapkan asumsiasumsi dan teorema-teorema dari ilmu-ilmu emansipatoris secara paksa, padahal tidak cocok dengan kajian sastra. Kajian sastra bisa bebas mengambil dan menerapkan paradigma, pendekatan, teori, dan atau metode dari manapun asalkan cocok dengan kebutuhan kajian sastra, dan kalau bisa memperkaya kajian sastra. Dua arti penting tersebut niscaya akan menjadikan kajian bahasa dan kajian sastra memiliki kebebasan berkembang pada satu sisi dan pada sisi lain akan me miliki konstribusi penting pada ilmu-ilmu hermeneutis pada umumnya, malahan mungkin pada ilmuilmu emansipatoris. Tersirat di sini bahwa kajian bahasa dan kajian sastra multidisipliner yang sehat-berkembang akan selalu memiliki otonomi sekaligus kontribusi hasil kajian bahasa dan kajian sastra. Otonomi dalam arti kajian bahasa dan kajian sastra berkembang secara mandiri, tidak di bawah bayang-bayang apapun; dan kontribusi dalam arti hasil-hasil kajian bahasa dan kajian sastra memberikan kegunaan dan kemanfaatan tertentu, misalnya kegunaan kontemplasi bagi orang tertentu.
SIMPULAN Beberan-paparan di atas memperlihatkan terjadinya peralihan atau pergeseran paradigma, pendekatan, dan model-model kajian ilmu-ilmu analitis, ilmuilmu emansipatoris, dan ilmu-ilmu hermeneutis. Pada satu sisi telah terjadi pergeseran dari gerak divergensi ke gerak konvergensi dan pada sisi lain juga telah terjadi pergeseran dari ideologi monodisiplineritas ke ideologi multidisiplineritas dalam ilmu-ilmu modern. Tentu saja, peralihan atau pergeseran ini juga terjadi pada ilmu bahasa dan ilmu sastra sebagai bagian terpadu ilmu-ilmu hermeneutis. Gerak divergensi kajian bahasa dan kajian sastra sudah beralih atau bergeser ke gerak konvergensi dalam kajian bahasa dan kajian sastra di samping ilmu bahasa dan ilmu sastra. Demikian juga monodisiplineritas kajian bahasa dan kajian sastra sudah beralih atau bergeser ke multidisiplineritas kajian bahasa dan kajian sastra. Dengan peralihan atau pergeseran tersebut, baik ilmu bahasa dan ilmu sastra maupun kajian bahasa dan kajian sastra bisa tetap eksis, terhindar dari “senjakala kematian”. Ini mengimplikasikan, kajian bahasa dan kajian sastra dapat berkembang baik. Perkembangan yang baik itu paling tidak ditandai oleh pemilikan otonomi sekaligus kemampuan berkontribusi hasil kajian bagi pihak lain. Tanda-tanda otonomi dan kontribusi tersebut tampak pada kajian bahasa dan kajian sastra konvergenmultidisipliner.
DAFTAR RUJUKAN Capra, Fritjof. 2006. The Tao of Physics. Bandung: Penerbit Jalasutra. Capra, Fritjof. 2007. The Turning Point, Titik Balik Peradaban. Yogyakarta: Penerbit Jejak. Capra, Fritjof. 2010. Sains Leonardo. Bandung: Penerbit Jalasutra. Fauzi, Noer. 2003. Dekolonisasi Metodologi: Memerdekakan Pendidikan. Dalam Jurnal Wacana, Edisi 15, Tahun IV, 2003, hlm. 3—10. Habermas, Jurgen. 1987. Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi. Jakarta: Penerbit LP3ES.
Hardiman, Francisco Budi. 2008. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hardiman, Franscisco Budi. 2009. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Horgan, John. 2005. The End of Science: Senjakala Ilmu Pengetahuan. Bandung: Penerbit Teraju. Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: Penerbit LP3ES. Piliang, Amir Yasraf. 2005. Di Antara Puing-puing Ilmu Pengetahuan. Pengantar Buku The End of Science. Bandung: Penerbit Teraju. Said, Edward. 2001. Orientalisme. Bandung: Penerbit MIZAN. Smith, Linda Tuhiwai. 1999. Decolonizing Methodologies. London: Zed Book. Suriasumantri, Jujun. 2001. Filsafat Ilmu. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. Tjahyadi, Sindung. 2005. Dasar-dasar Validitas Ilmu dan Agama dalam Perspektif Teori Kritis Jurgen Habermas. Dalam Bagir, Zainal Abidin dkk. (Ed.). 2005. Integrasi Ilmu dan Agama. Bandung: Penerbit MIZAN. Wilardjo, Like. 2005. Hipotetikalitas: Ketidakpastian dan Pilihan Etis? Dalam Bagir, Zainal Abidin dkk. (Ed.). 2005. Integrasi Ilmu dan Agama. Bandung: Penerbit MIZAN.