perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KAJIAN KRIMINOLOGIS AKSI KEKERASAN SUPORTER SEPAKBOLA (STUDI KASUS KERUSUHAN 12 FEBRUARI 2010 DI STADION MANDALA KRIDA YOGYAKARTA)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 Dalam Ilmu Hukum pada Fakutas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh Ghusnie Arini Adriani NIM. E0006136
FAKULTAS HUKUM UNVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2011 i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN KRIMINOLOGIS AKSI KEKERASAN SUPORTER SEPAKBOLA (STUDI KASUS KERUSUHAN 12 FEBRUARI 2010 DI STADION MANDALA KRIDA YOGYAKARTA)
Oleh GHUSNIE ARINI ADRIANI NIM. E0006136
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 17 Januari 2011 Dosen Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum.
Sabar Slamet, S.H., M.H.
NIP. 19570203 198503 2 001
NIP.19560727 198601 1 001 commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi) KAJIAN KRIMINOLOGIS AKSI KEKERASAN SUPORTER SEPAKBOLA (STUDI KASUS KERUSUHAN 12 FEBRUARI 2010 DI STADION MANDALA KRIDA YOGYAKARTA) Oleh : Ghusnie Arini Adriani NIM : E0006136 Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada: Hari : Jum’at Tanggal : 4 Februari 2011
DEWAN PENGUJI
1. Budi Setyanto, S.H., M.H. Ketua
: …………………………………….
2. Sabar Slamet, S.H., M.H. Sekretaris
: …………………………………….
3. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. : ……………………………………. Anggota
Mengetahui, Dekan
Muhammad Jamin, S. H., M. Hum. commit to user1 001 NIP. 19610930 198601 iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama
: Ghusnie Arini Adriani
NIM
: E0006136
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : KAJIAN
KRIMINOLOGIS
AKSI
KEKERASAN
SUPORTER
SEPAKBOLA (STUDI KASUS KERUSUHAN 12 FEBRUARI 2010 DI STADION MANDALA KRIDA YOGYAKARTA) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditujukan dalam daftar pustaka. Apabila kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 17 Januari 2011 yang membuat pernyataan,
Ghusnie Arini Adriani NIM. E0006136
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kebaikannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. (An-Nisa 4 : 135) Maka, sesungguhnya bersama dengan kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. (Al-Insyirah : 5-6) Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. (Al-Baqarah : 216) Apapun yang terjadi kepada anda, akan tetap menjadi sesuatu yang menguatkan anda, bila anda tidak mengijinkannya untuk melemahkan anda. (Mario Teguh) Kerjakanlah sesuatu yang berguna bukan hanya untuk Anda tetapi yang berguna untuk orang lain. (Mario Teguh) Akan ada jalan untuk setiap ketulusan, keikhlasan, dan kesabaran, karena semua akan menjadi indah jika tepat waktuNya. (Penulis) Yakinlah dengan apa yang kamu yakini, karena yang kamu yakini yang akan terjadi. (Penulis)
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Karya kecil ini penulis persembahkan kepada : § Allah SWT, Pemilik Semesta Raya, yang senantiasa memberikan yang terbaik dalam setiap detik episode kehidupan; § Ayah dan Bunda atas segala cinta dan kasih sayang yang tak terkira serta dukungan tiada henti; § Adikku tersayang yang selalu membantu dan menyemangati; § Sahabat-sahabatku dan teman-teman seperjuanganku; § Indonesia tercinta, tempat aku bernaung; dan § Almamaterku, Universitas Sebelas Maret Surakarta. commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Ghusnie Arini Adriani. E0006136. 2011. KAJIAN KRIMINOLOGIS AKSI KEKERASAN SUPORTER SEPAKBOLA (STUDI KASUS KERUSUHAN 12 FEBRUARI 2010 DI STADION MANDALA KRIDA YOGYAKARTA). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara mengkaji secara kriminologis mengenai aksi kekerasan yang dilakukan suporter suporter sepakbola di Yogyakarta dan untuk mengetahui peran Aparat Kepolisian dan PSSI yang sudah dilakukan dalam rangka mengatasi aksi atau tindakan kekerasan suporter sepakbola di Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris atau sosiologis yang bersifat deskripstif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang lebih berorientasi pada hasil wawancara di lapangan. Temuan yang dihasilkan adalah sebagai berikut : Dalam kajian kriminologis aksi kekerasan yang dilakukan suporter sepakbola di Yogyakarta, faktor dari dalam suporter yang berupa masih mudanya usia suporter dan rasa fanatik kedaerahan yang dimiliki oleh suporter sepakbola, faktor sumber daya manusia yang berada di lingkungan sepakbola, faktor sosial budaya yang terjadi dimasyarakat dan fasilitas olahraga yang masih minim merupakan faktor kriminogen untuk terjadinya kejahatan kekerasan yang dilakukan oleh suporter sepakbola. Dalam rangka menanggulangi aksi kekerasan suporter sepakbola di Yogyakarta, Aparat Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta sudah melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan tugas dan kewenangannya sesuai dengan UU Nomor 2 Tahun 2002. Hanya saja out put dari tindakan-tindakan yang sudah dilakukan tersebut tidak berjalan optimal karena banyak kendala dalam mencari alat bukti. Sedangkan dari segi penegakkan hukum terhadap aparat kepolisian sudah dilakukan sesuai dengan Kode Etik Profesi Kepolisan Negara Republik Indonesia. Dari pihak PSSI upaya yang sudah dilakukan dalam hal menanggulangi aksi kekerasan suporter sepakbola di Yogyakarta, sudah sesuai dengan Peraturan Organisasi Nomor: 06/PO-PSSI/III/2008 tentang Kode Disiplin PSSI. Sedangkan kebijakan yang sudah dibuat atau dikeluarkan yaitu dengan memberikan sosialisasi kepada kelompok-kelompok suporter, pendewasaan dan pemahaman aturan pertandingan, pengadaan acara yang bertujuan menjalin komunikasi antar suporter sepakbola tanah air. Dengan demikian diperlukan kerjasama dan kesadaran antara aparat kepolisian, PSSI, panitia pelaksana pertandingan, dan suporter agar sehat dari faktor-faktor kriminogen kejahatan kekerasan suporter sepakbola di Yogyakarta.
Kata kunci : kriminologi, kekerasan, suporter sepakbola.
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Ghusnie Arini Adriani. E0006136. 2011. STUDY ON VIOLENCE ACTION KRIMINOLOGIS FOOTBALL SUPPORTERS (RIOT CASE STUDY 12 FEBRUARY 2010 AT MANDALA KRIDA STADIUM YOGYAKARTA). Faculty of Law Sebelas Maret University. This study aims to determine how to assess kriminologis about violence committed supporters football fans in Yogyakarta and to determine the role of police officers and PSSI has been done in order to cope with violent acts or acts of football fans in Yogyakarta. This research is empirical or sociological law that is deskripstif. The approach used is a qualitative approach that is more oriented to results of field interviews. The resulting findings are as follows: In the study kriminologis violence committed football supporters in Yogyakarta, the factor of in the form of fans who are still young age of fanatical fans and a sense of regionalism which is owned by football fans, the human factor in the football environment, factors social culture that occurred in the community and sports facilities are still minimal kriminogen factors for the occurrence of violent crimes committed by supporters of football. In order to overcome the violence of football fans in Yogyakarta, Yogyakarta Police forces have committed acts in accordance with the duties and authority in accordance with Law Number. 2 of 2002. It's just out put of the actions that have been done, it does not work optimally because of many obstacles in the search for evidence. In terms of law enforcement against police officers was conducted in accordance with the State Police Professional Code of the Republic of Indonesia. From the PSSI efforts that have been done in terms of tackling the violence of football fans in Yogyakarta, is in conformity with Rule Organization Number: 06/PO-PSSI/III/2008 about PSSI Discipline Code. While the policies that have been made or incurred that is by providing socialization to groups of supporters, growing up and understanding the rules of the game, supplying the event which aims to establish communication between the homeland of football supporters. Thus the necessary cooperation and awareness among police officers, PSSI, the match executive committee, and supporters to be healthy from the factors of violent crimes kriminogen football fans in Yogyakarta.
Keywords: criminology, violence, football fans.
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT Yang Maha Pemberi Segala Kemudahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, dengan judul : “KAJIAN KRIMINOLOGIS AKSI KEKERASAN SUPORTER SEPAKBOLA (STUDI KASUS KERUSUHAN 12
FEBRUARI 2010 DI STADION
MANDALA KRIDA YOGYAKARTA)”. Penulis menyadari tidak mungkin menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini tanpa bimbingan dan bantuan dari segala pihak, Maka dari itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada : 1.
Bapak Muhammad Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, beserta seluruh Pembantu Dekan.
2.
Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku dosen pembimbing pertama dengan segala kesabarannya yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penulisan hukum ini.
3.
Bapak Sabar Slamet, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing kedua dengan segala kesabarannya yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penulisan hukum ini.
4.
Bapak Yudho Taruno M, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.
5.
Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan bekal ilmu selama masa perkuliahan dan semoga dapat penulis amalkan di masa mendatang.
6.
Pengelola Penulisan Hukum (PPH) Fakultas Hukum yang telah membantu dalam mengurus prosedur-prosedur skripsi.
7.
Segenap staff dan karyawan Fakultas Hukum UNS yang telah membantu commit to user penulis selama masa perkuliahan hingga selesainya penulisan hukum ini. ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Hagus S dan Ibunda Lilis S, yang telah memberikan segalanya dalam kehidupan penulis, tidak ada kata yang dapat mewakili rasa terima kasih Ananda. Semoga Ananda dapat memenuhi harapan kalian kepada Ananda.. I Love U Mom.....I Love U Dad..... 9.
Bapak Kompol Budi Prayitno, Bapak AKBP Eko Sumardiyanto S.H., Bapak Dwi Irianto dan mas Dessy Arfianto S.T. yang telah memberikan data dan masukkan yang berguna bagi penulis.
10. Segenap Pejabat, Staff, dan Karyawan Polda DIY dan PSSI PengProv DIY yang telah memberikan bantuan dan kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitian. 11. Adikku tercinta Hally, yang telah setia mendengar keluhan-keluhan penulis, mengantar-jemput penulis di terminal Jombor dari Solo ke Jogja, memberikan fasilitas dari hasil jerih payahnya.....akhirnya mbakmu lulus juga, insyaAllah cepet dapet kerjaan dan tidak merepotkanmu lagi..... 12. Sahabat-sahabatku Tia, Natali, Hastin, Widya, Dwi, Okta, Fafa, Herin, Shofie yang setia mendengar keluhan penulis, menasehati, menyemangati, memberi bantuan apapun, terima kasih untuk indahnya persahabatan kita selama ini, terima kasih untuk bantuan, semangat, serta dukungan kalian.... Maafkan aku jika selama ini aku banyak merepotkan kalian, namun aku senang telah menjadi bagian dari episode ini. Semoga kita tetap menjaga persahabatan kita dalam setiap episode kehidupan yang lain....... Thanx for everything..... 13. Tante Hawa dan Tante Erni yang telah bersedia mengantarkan dan menemani selama mencari data untuk menyusun penulisan hukum (skripsi) ini. 14. Nafian ndut yang selalu ada ketika senang dan sedih, setia mendengar keluh kesah penulis, mengantar dan menemani penelitian.... 15. Semua teman-teman KMM Periode IX di Pemkot Surakarta, Dimas, Panjul, Gepeng, Ega atas kebersamaannya selama satu bulan yang cukup berkesan dan semangat serta dukungan untuk segera menyelesaikan skripsi ini. 16. Teman-teman angkatan 2006 FH UNS yang telah menjadi teman terbaik selama masa perkuliahan. Semoga kebersamaan tidak hanya berhenti pada akhir masa pendidikan ini. commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah membantu dalam menyelesaikan penyusunan penulisan hukum (skripsi) ini. Penulis menyadari bahwa dengan keterbatasan yang penulis miliki, maka dalam penulisan hukum (skripsi) ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang menunjuang bagi kesempurnaan penulisan hukum (skripsi) ini. Semoga
penulisan
hukum
ini
dapat
memberikan
manfaat
bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, almamater, masyarakat, serta pihak-pihak yang memerlukan, sehingga tidak menjadi suatu karya yang sia-sia nantinya.
Surakarta, 17 Januari 2011
Penulis
Ghusnie Arini Adriani
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ……………………………………………………….
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………………
ii
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………… iii HALAMAN PERNYATAAN ……………………………………………...
iv
MOTTO …………………………………………………………………….. v PERSEMBAHAN …………………………………………………………..
vii
ABSTRAK ………………………………………………………………….
viii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………… ix DAFTAR ISI ………………………………………………………………..
xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah …………………………………….....
1
B. Perumusan Masalah ……………………………………………
4
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………
4
D. Manfaat Penelitan ……………………………………………...
5
E. Metode Penelitian ……………………………………………...
6
F. Sistematika Penulisan ……………………………………….....
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori ………………………………………………...
14
1. Tinjauan Kriminologi ………………………………………. 14 2. Tinjauan Aksi Kekerasan ….………………………………..
23
3. Tinjauan Suporter …………………………………………..
27
B. Kerangka Pemikiran …………………………………………… 32 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian …….……………………………………..........
34
1. Studi Kasus Kerusuhan Antara Suporter PSIM Yogyakarta dengan Aparat Kepolisian dilihat dari Aspek Kriminologis..
34
a. Gambaran Umum Kasus ……………………………….. 34 commit to user b. Kajian Kriminologis ……………………………………. 34 xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Hasil Wawancara ……………………………………….
37
2. Peran yang Sudah Dilakukan oleh Aparat Kepolisian dan PSSI dalam Mengatasi Aksi Kekerasan Suporter Sepakbola di Yogyakarta ……………………………………………….
38
a. Peran yang sudah dilakukan Aparat Kepolisian ………... 38 1) Peran Aparat Kepolisian menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia …………………………………. 38 2) Peran Aparat Kepolisian yang Senyatanya Sudah dilakukan dalam Mengatasi Aksi Kekerasan Suporter Sepakbola di Yogyakarta …………………………… 42 b. Peran yang sudah dilakukan PSSI ……………………… 48 1) Peran PSSI menurut Peraturan Organisasi Nomor: 06/PO-PSSI/III/2008 tentang Kode Disiplin PSSI….
48
2) Peran PSSI yang Senyatanya Sudah dilakukan dalam Mengatasi Aksi Kekerasan Suporter Sepakbola di Yogyakarta ………………………………………….
54
B. Pembahasan ………………………………………....…………. 59 1. Studi Kasus Kerusuhan Antara Suporter PSIM Yogyakarta dengan Aparat Kepolisian dilihat dari Aspek Kriminologis...
59
2. Peran yang Sudah Dilakukan oleh Aparat Kepolisian dan PSSI dalam Mengatasi Aksi Kekerasan Suporter Sepakbola di Yogyakarta ……………………………………………….
67
a. Peran Aparat Kepolisian ………………………………..
67
b. Peran PSSI ……………………………………………… 71 BAB IV PENUTUP A. Simpulan …………………………………………………....... 73 B. Saran …………………………………………………………. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN commit to user
xiii
74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
1 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sepakbola telah menjadi sebuah magnet saat ini. Kekuatannya dapat menarik jutaan pasang mata di dunia. Mulai dari kompetisi kelas dunia seperti World Cup, sampai dengan kompetisi liga yang diadakan oleh setiap negara. Semua orang menyukai olahraga ini, dari anak-anak hingga orang tua, oleh karena itu tidak salah jika sepakbola merupakan olahraga yang paling popular saat ini. Menurut Bakdi Soemanto, “sepakbola hadir sebagai a solidarity-making cultural event yang mampu mengumpulkan banyak orang untuk menjagoi tim yang difavoritkannya. Sepakbola juga menjadi suatu dimensi pelepas sekat perbadaan sosial, kultur, etnis, agama, ideologi dan negara, sehingga sampai saat ini sepakbola menjadi olahraga paling multikultur diantara cabang-cabang olahraga lain” (Anung Handoko, 2008:11-19). Tidak bisa dipungkiri, olahraga ini merupakan olahraga yang paling digemari di seluruh dunia. Indonesia merupakan salah satu Negara yang sebagian besar masyarakatnya menyukai olahraga tersebut. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya klub-klub atau “team-team” sepak bola. Hampir disetiap daerahnya memiliki team sepak bola sendiri-sendiri. Membahas sepakbola tidak lengkap apabila tidak membahas pendukungnya karena pendukung sepakbola merupakan bagian terpenting dan tidak dapat terpisahkan, yakni sebagai pemain ke-12 dari suatu tim. Besarnya peranan suporter bagi suatu tim berbanding terbalik dengan ekses negatif yang ditimbulkannya. Bagai dua sisi koin mata uang, suporter yang memberikan sisi positif juga mempunyai sisi negatif. Sisi negatif tersebut ada apabila dukungan yang diberikan oleh suporter berbentuk ekstrem bahkan menjurus tindakan anarki. “Berdasarkan sejarah, perilaku anarki suporter ini bermula terjadi di Inggris dan dikenal dengan istilah hooligan. Menurut Giulianotti, hooligan sendiri commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id
2 digilib.uns.ac.id
diidentifikasi dengan orang yang sering membuat keonaran atau kerusuhan” (O.C. Kaligis, 2007:39). Tidak jarang ribuan bahkan ratusan ribu penonton rela berduyun-duyun datang ke stadion untuk menyaksikan tim kesayangannya. Euforia yang dimunculkan oleh olahraga yang sudah berusia 3 (tiga) abad ini sangatlah luar biasa. Dukungan yang diberikan oleh suporter terhadap tim kesayangannya seringkali melahirkan sikap yang berlebihan (fanatik). Hal ini menumbuhkan harapan yang berlebihan pada diri para suporter. Mereka berharap tim yang didukungnya selalu memenangkan pertandingan. Di Indonesia sendiri memliki banyak suporter yang dapat dikatakan fanatik dalam membela tim-tim kesebelasannya, entah pada tingkat nasional atau tingkat daerah. Seperti halnya Bonek kepanjangan dari bondo nekat, yaitu suporter dari Surabaya yang membela tim Persebaya atau Persatuan Sepakbola Surabaya. Mereka memiliki harapan-harapan yang seringkali menimbulkan sikap-sikap yang tidak sewajarnya, berbagai cara dilakukan untuk melihat timnya memenangkan pertandingan. Fanatisme para suporter akan melahirkan gesekan-gesekan antar supoter yang berbeda. Gesekan-gesekan ini membawa konsekuensi lahirnya kekerasan (tawuran) antar supoter. Suporter yang tawuran mempunyai sejarah yang panjang. Bukan hanya terjadi pada saat sekarang saja namun sudah sejak lama tradisi tawuran antar suporter sudah lahir. Tawuran ini tidak jarang menimbulkan korban yang tidak sedikit. Tawuran suporter dalam konteks Indonesia, juga sangat banyak, bahkan tidak sedikit korban yang ditimbulkannya. Aksi kekerasan tidak hanya dilakukan oleh Bonek dari Persebaya, di Yogyakarta kekerasan suporter sepakbola juga sering terjadi yakni kekerasan yang dilakukan oleh sebuah wadah suporter yang menamai diri mereka dengan Brajamusti, suporter dari Persatuan Sepakbola Indonesia Mataram (PSIM) Yogyakarta. Tepatnya tanggal 12 Februari 2010 bertempat di Stadion Mandala Krida Yogyakarta, telah berlangsung pertandingan antara Kesebelasan PSIM Yogyakarta melawan Kesebelasan Persatuan Sepakbola Sleman (PSS) dalam rangka Kompetisi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) Divisi Utama to user Liga Indonesia Tahun 2009/2010.commit Pada babak pertama menit ke-10 dan menit ke-
perpustakaan.uns.ac.id
3 digilib.uns.ac.id
14 suporter PSIM Yogyakarta membakar petasan, serta menit ke-22 dan menit ke26 melakukan pelemparan ke dalam lapangan pemain sehingga pertandingan sempat berhenti. Tidak hanya itu, pada babak kedua menit ke-66, suporter PSIM Yogyakarta yang berada di tribun timur melakukan pelemparan menggunakan bongkahan batu semen dan botol air mineral ke dalam lapangan permainan dan mengenai pemain PSS Sleman yang hendak melakukan tendangan lemparan ke dalam, sehingga cedera pada bagian punggung. Petugas keamanan datang berupaya untuk menghentikan pelemparan akan tetapi lemparan dari penonton semakin banyak dan mengenai petugas keamanan sehingga mengalami cidera pada bagian muka. Tidak cukup di dalam stadion, keributan kembali terjadi di luar stadion Mandala Krida yaitu tepatnya di Museum PSSI Yogyakarta antara aparat keamanan dengan suporter PSIM Yogyakarta yang mengakibatkan banyaknya kendaraan roda dua dan roda empat yang rusak. Dari berita-berita yang dimuat dimedia massa, banyak dari korban kerusuhan antar suporter yang sebenarnya tidak mengetahui inti permasalahan dari kerusuhan tersebut. Mereka hanya sebatas mengikuti arus kelompoknya dan mengedepankan rasa solidaritas tanpa mempertimbangkan baik-buruknya resiko yang akan terjadi. Telah kita ketahui bersama bahwa situasi konformitas dirancang secara sempurna guna meningkatkan rasa takut individu untuk menjadi orang yang menyimpang. Namun dalam kasus kerusuhan suporter sepakbola, situasi tersebut sangat jarang terjadi sehingga kesepakatan antar kelompok yang telah ditanamkan sejak awal seakan-akan hilang begitu saja ketika situasi semakin kacau. Kerusuhan yang telah memakan banyak korban ini sebenarnya dipicu oleh sikap agresif yang muncul akibat rasa marah para suporter yang disebabkan dua hal, yaitu adanya serangan awal dari salah satu pihak baik berupa ejekan, makian, lemparan botol sampai lemparan petasan. Pihak-pihak terkait seperti PSSI, panitia pelaksana pertandingan (panpel), pemerintah dan aparat kepolisian seakan tidak dapat merumuskan kebijakan yang dapat mencegah dan meredam perilaku kekerasan suporter. Aparat kepolisian pun commit to user terkesan hanya membiarkan tanpa adanya suatu strategi terstrukur dan terarah
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk mencegah dan menghadapi ulah para suporter. Penegakan hukum hanya dilakukan bila terjadi kerusuhan. Selain itu, penegakan hukum dari aparat dinilai tidak tegas sehingga persoalan ini terus berlarut-larut. Bila hal ini terus dibiarkan hukum akan menjadi kehilangan kewibawaannya, padahal “hukum bertujuan untuk mengatur ketertiban masyarakat agar masyarakat tertib, tidak sampai jatuh korban
kejahatan
dan
tidak
terjadi
kejahatan
kembali”
(Sudikno
Mertokusumo,1996:12). Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji secara kriminologis terhadap aksi kekerasan yang dilakukan oleh suporter PSIM Yogyakarta dengan judul : “KAJIAN KRIMINOLOGIS AKSI KEKERASAN SUPORTER SEPAKBOLA (STUDI KASUS KERUSUHAN 12 FEBRUARI 2010 DI STADION MANDALA KRIDA YOGYAKARTA).”
B. Rumusan Masalah Perumusan masalah dalam suatu penelitian diperlukan untuk memberi kemudahan bagi penulis dalam membatasi permasalahan yang akan ditelitinya, sehingga dapat mencapai tujuan dan sasaran yang jelas serta memperoleh jawaban sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kajian kriminologis aksi kekerasan suporter sepakbola pada kasus kerusuhan 12 Februari 2010 di Stadion Mandala KridaYogyakarta? 2. Peran apakah yang sudah dilakukan oleh Aparat Kepolisian dan PSSI dalam rangka mengatasi aksi atau tindakan kekerasan suporter sepakbola pada kasus kerusuhan 12 Februari 2010 di Stadion Mandala Krida Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian Suatu penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas sehingga dapat memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian tersebut. Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah : commit to user 1. Tujuan Obyektif
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Untuk mengetahui cara mengkaji secara kriminologis mengenai aksi kekerasan yang dilakukan suporter suporter sepakbola pada kasus kerusuhan 12 Februari 2010 di Stadion Mandala Krida Yogyakarta. b. Untuk mengetahui peran Aparat Kepolisian dan PSSI yang sudah dilakukan dalam rangka mengatasi aksi atau tindakan kekerasan suporter sepakbola pada kasus kerusuhan 12 Februari 2010 di Stadion Mandala Krida Yogyakarta. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk memperdalam dan menambah pengetahuan peneliti tentang aksi kekerasan yang ditinjau dari segi kriminologis, peran Aparat Kepolisian dan PSSI yang sudah dilakukan dalam rangka mengatasi aksi atau tindakan kekerasan suporter sepakbola pada kasus kerusuhan 12 Februari 2010 di Stadion Mandala Krida Yogyakarta. b. Untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan bermanfaat bagi penulis maupun orang lain. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan hukum ini antara lain : 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Pidana pada khususnya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan tentang kajian kriminologis aksi kekerasan suporter sepakbola (studi kasus kerusuhan 12 Februari 2010 di stadion Mandala Krida Yogyakarta). commit to user
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penulisan maupun penelitian sejenis untuk tahap berikutnya. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi semua pihak yang berkepentingan dan memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti serta memberikan jawaban atas masalah yang diteliti. b. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
E. Metode Penelitian “Suatu penelitian ilmiah harus disusun dengan berpedoman pada metode yang tepat. Peneliti harus cermat dalam menggunakan metode, supaya hasil penelitian sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Metode penelitian merupakan unsur mutlak yang harus ada di dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan” (Soerjono Soekanto, 2008:7). Metodologi dalam penelitian hukum digunakan untuk menguraikan mengenai bagaimana cara suatu penelitian hukum itu harus dilaksanakan untuk mendapatkan data yang valid. Berikut ini penulis akan menguraikan cakupan dari Metode Penelitian Hukum yang akan digunakan untuk mencari data berkenaan dengan penelitian yang penulis lakukan, yaitu : 1. Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan penelitian hukum (skripsi) dengan judul “KAJIAN KRIMINOLOGIS KEKERASAN
SUPORTER
SEPAKBOLA
(STUDI
AKSI KASUS
KERUSUHAN 12 FEBRUARI 2010 DI STADION MANDALA KRIDA YOGYAKARTA)” adalah penelitian hukum empiris atau sosiologis. “Penelitian hukum empiris adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti langsung ke commit lapangan. Dengan meneliti langsung kita akan to user
perpustakaan.uns.ac.id
7 digilib.uns.ac.id
mendapatkan data yang nyata dan faktual. Penelitian hukum empiris atau sosiologis dibagi menjadi dua macam,” yaitu (Soerjono Soekanto,2008:51) : a. Penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis) b. Penelitian terhadap efektifitas hukum. Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah penelitian terhadap identifikasi hukum mengenai kajian kriminologis aksi kekerasan yang dilakukan suporter sepakbola di Yogyakarta. 2. Sifat Penelitian Dalam melakukan penelitian hukum ini, penulis menggunakan penelitian hukum yang bersifat deskriptif, yaitu “suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya” (Soerjono Soekanto, 2008:10). 3. Pendekatan Penelitian Penulis dalam penelitian hukum ini menggunakan jenis pendekatan kualitatif, yaitu “pendekatan yang dilakukan dengan mendasarkan pada data-data yang dinyatakan responden secara lisan atau tulisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh” (Soerjono Soekanto, 2008:250). Dalam hal ini penulis lebih berorientasi pada hasil wawancara di lapangan. 4. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah tempat dimana penelitian dilaksanakan guna memperoleh keterangan-keterangan, informasi, dan data yang diperlukan dalam penelitian yang sedang dilakukan oleh penulis. Berdasarkan jenis penelitian penulis yaitu penelitian hukum empiris, maka penulis mengambil lokasi penelitian di kantor PSSI Yogyakarta, kantor PSIM Jogja dan Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta (POLDA DIY). 5. Jenis dan Sumber Data a. Jenis Data Data adalah hasil dari penelitian, baik berupa fakta-fakta atau angka-angka yang dapat dijadikan bahan untuk dijadikan suatu sumber to user informasi. Sedangkan commit informasi adalah hasil pengolahan data yang
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dipakai untuk suatu keperluan. Jenis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut: 1) Data Primer “Data primer adalah data yang diperoleh dan dikumpulkan secara langsung dari lapangan yang menjadi obyek penelitian atau yang diperoleh secara langsung dari responden berupa keterangan atau fakta-fakta” (Soerjono Soekanto, 2008:12). 2) Data Sekunder “Data sekunder adalah data yang didapat dari keteranganketerangan atau pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh secara tidak langsung melalui studi-studi kepustakaan, dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berujud laporan, buku harian dan sumber-sumber tertulis lainnya” (Soerjono Soekanto,2008:12). Data sekunder merupakan data yang mendukung data primer yang diperoleh dari data studi kepustakaan dan studi dokumen yang berhubungan dengan masalah yang telah diteliti. b. Sumber Data Sumber data dalam penelitian merupakan subyek dimana data yang diperlukan dalam penelitian diperoleh. Sumber data adalah tempat diketemukannya data. Adatapun sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian hukum ini, yaitu: 1) Sumber Data Primer Sumber data primer diperoleh dari lapangan yang memeberikan informasi secara langsung mengenai segala hal yang dapat berkaitan dengan obyek penelitian dan sumber-sumber yang berada di lapangan ini adalah keterangan dari pihak yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. 2) Sumber Data Sekunder Sumber
data
sekunder
yang
diperoleh
dari
sejumlah
keterangan atau fakta-fakta yang secara tidak langsung diperoleh commit peraturan to user perundang-undangan, laporan, melalui bahan dokumen,
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
arsip, literatur dan hasil penelitian lainnya. Sumber data sekunder dibagi menjadi tiga, yaitu: a) Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yang akan digunakan dalam penelitian hukum ini adalah norma atau kaidah dasar hukum, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini kaitannya dengan permasalahan yang akan diteliti, penulis menggunakan sumber hukum primer berupa Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). b) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang akan digunakan penulis dalam penelitian hukum ini terdiri dari buku-buku hasil dari kalangan hukum, hasil-hasil penelitian, artikel Koran dan bahan lainnya yang berkaitan dengan pokok bahasan. c) Bahan Hukum Tersier “Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang member penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yakni, kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan lain sebagainya” (Soerjono Soekanto, 2008:52). 6. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah dengan mengumpulkan: a. Data Primer Data yang diperoleh secara langsung melalui studi lapangan, dalam hal ini penulis melakukan penelitian di kantor PSSI Yogyakarta, kantor PSIM Jogja dan POLDA DIY. Dan data yang diperoleh adalah data yang berasal dari wawancara (interview). Metode ini merupakan suatu kegiatan pengumpulan data dengan cara mengadakan komunikasi commit to user secara langsung guna memperoleh data, baik lisan maupun tulisan atas
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sejumlah keterangan dan data yang diperlukan. Wawancara ini akan penulis lakukan dengan Sekretaris Pengurus Provinsi PSSI DIY, Sekjen PSIM Jogja, Kasubag Produk Bagian Analisis Direktorat Reskrim POLDA DIY dan Kabid Propam POLDA DIY. b. Data Sekunder Data sekunder diperoleh dengan cara studi kepustakaan yaitu pengumpulan data sekunder guna memperoleh landasan hukum atau bahan penulisan lainnya yang dapat dijadikan sebagai landasan teori. Studi
kepustakaan
ini
dilakukan
dengan
mempelajari
dan
mengidentifikasi literatur-literatur yang berupa peraturan perundangundangan yang berlaku, buku-buku, dokumen resmi, jurnal-jurnal hukum, artikel-artikel, serta hasil penelitian yang dilakukan para ahli. 7. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah analisa data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data yang diperoleh, mengidentifikasikan, menghubungkan dengan teori yang literatur yang mendukung masalah, kemudian menarik kesimpulan dengan analisis kualitatif. Dari penelitian kualitatif ini penulis menggunakan model analisis interaksi, “yaitu data yang dikumpulkan akan dianalisis melalui tiga tahap yaitu mereduksi data, menyajikan data, dan menarik kesimpulan. Dalam model ini dilakukan proses siklus antar tahap-tahap, sehingga data yang terkumpul akan berhubungan dengan satu sama lain dan benar-benar data yang mendukung penyusunan laporan penelitian” (HB. Sutopo, 2002:35). Tiga tahap tersebut adalah: a. Reduksi Data Merupakan proses seleksi, pemfokusan, dan penyederhanaan data pada penelitian. Data yang telah teridentifikasikan tersebut lebih memudahkan dalam penyusunan. b. Penyajian Data Sekumpulan informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilaksanakan. c. Menarik Kesimpulancommit to user
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Setelah memahami arti dari berbagai hal yang meliputi pencatatan-pencatatan peraturan, pernyataan-pernyataan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, akhirnya penulis atau peneliti menarik kesimpulan (HB. Sutopo, 2002:37). Untuk lebih memudahkan mempelajari konsep analisis interaksi penelitian ini dibuat bagan sebagai berikut:
PENGUMPULAN DATA
REDUKSI DATA
SAJIAN DATA
KESIMPULAN
Dengan model analisis ini, maka penulis harus bergerak di antara empat sumbu kumparan itu selama pengumpulan data, selanjutnya bolak-balik di antara kegiatan reduksi, penyajian dan penarikan kesimpulan selama sisa waktu penelitian. Aktifitas yang dilakukan dengan proses ini komponenkomponen tersebut akan didapat dan benar-benar mewakili dan sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Setelah analisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara diskriptif, yaitu dengan jalan apa adanya sesuai dengan masalah yang diteliti dan data yang diperoleh. “Setelah semua data dikumpulkan, kemudian diambil kesimpulan dan langkah tersebut harus urut tetapi berhubungan terus-menerus sehingga membuat siklus” (HB. Sutopo, 2002:13).
F. Sistematika Penulisan Hukum Penulisan hukum (skripsi) dengan judul KAJIAN KRIMINOLOGIS AKSI KEKERASAN SUPORTER SEPAKBOLA (STUDY KASUS KERUSUHAN 12 FEBRUARI 2010 DI STADION MANDALA commit to user KRIDA YOGYAKARTA) ini
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terdiri atas 4 (empat) bab yang masing-masing terdiri atas beberapa sub bab sesuai dengan pembahasan dan materi yang diteliti, dengan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Pada bab ini penulis mengemukakan Latar Belakang Masalah, Rumusan
Masalah,
Tujuan
Penelitian,
Manfaat
Penelitian,
Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan Hukum. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini penulis mengetengahkan landasan teori dari para pakar meupun doktrin hukum berdasarkan literatur yang berkaitan dengan permasalahan penelitian dan juga berdasarkan hasil-hasil penelitian, kamus, artikel koran dan bahan lainnya yang berkaitan dengan pokok bahasan. Landasan teoritik tersebut meliputi menguraikan mengenai tinjauan tentang kriminologis, tinjauan tentang kekerasan, dan tinjauan mengenai suporter sepakbola. Guna memberikan gambaran secara utuh mengenai penelitian ini penulis juga memberikan Kerangka Pemikiran, berisi tentang alur pemikiran penulis dalam menjelaskan permasalahan hukum yang menjadi obyek dalam penelitian ini, yang disajikan dalam bentuk bagan.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini penulis menguraikan mengenai hasil yang diperoleh dari
proses
meneliti
kemudian
membahasnya
secara
rinci.
Berdasarkan rumusan masalah yang diteliti, terdapat dua pokok permasalahan yang dibahas dalam bab ini, yaitu : 1. Kajian kriminologis aksi kekerasan yang dilakukan suporter sepakbola pada kasus kerusuhan 12 Februari 2010 di Stadion Mandala Krida Yogyakarta. 2. Peran yang sudah dilakukan oleh Aparat Kepolisian dan PSSI pada rangka mengatasi aksi kekerasan suporter sepakbola di Yogyakarta dalam kasus kerusuhan 12 Februari 2010 di Stadion commit to user Mandala Krida Yogyakarta.
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV
PENUTUP Pada bab ini penulis menguraikan mengenai simpulan yang dapat diperoleh dari keseluruhan hasil proses meneliti dan pembahasan.
commit to user
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1.
Tinjauan Kriminologi a. Pengertian Menurut bahasa, Kriminologi (Criminology) berasal dari dua kata, yaitu “crimen” yang artinya penjahat dan “logos” yang berarti pengetahuan. Dengan demikian kriminologi diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang kejahatan atau penjahat. Paul Moedigdo Moeliono mendiskripsikan kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang ditunjang oleh berbagai ilmu yang membahas kejahatan sebagai masalah manusia. Namun kriminologi memiliki metode-metode sendiri dalam mendekati dan menyelesaikan masalah kejahatan sebagai gejala dalam kehidupan manusia sehingga dapat berkembang terus menjadi suatu ilmu tentang manusia yang berdiri sendiri (Ismail Rumadan, 2007:16). Topo dan Eva mengutip pendapat Bonger yang memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. Melalui definisi ini kemudian Bonger membagi kriminologi menjadi kriminologi murni yang mencakup: 1) Antropologi Kriminil Merupkan ilmu pengetahuan mengenai manusia yang jahat (somatis). Ilmu pengetahuan ini memberikan jawaban atas pertanyaan tentang “orang jahat dalam tubuhnya mempunyai tanda-tanda seperti apa? Apakah ada hubungannya antar suku bangsa dengan kejahatan dan seterusnya.” 2) Sosiologi Kriminil Merupakan ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. Pokok persoalan yang dijawab oleh bidang ilmu ini adalah samapai mana letak sebab-sebab kejahatan dalam masyarakat. 3) Psikologi Kriminil Merupakan ilmu pengetahuan yang melihat kejahatan dari segi commit yang to userdilihat dari sudut jiwanya. pelakunya (penjahat)
14
perpustakaan.uns.ac.id
15 digilib.uns.ac.id
4) Psikopatologi dan Neuropatologi Kriminil Merupakan ilmu tentang penjahat yang sakit jiwa atau urat syaraf. 5) Penology Merupakan ilmu tentang tumbuh dan berkembangnya hukuman (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2002: 9-10). Dari pembagian kriminologi murni menurut Bonger di atas, penulis menggunakan Sosiologi Kriminil untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu dengan melihat kejahatan (dalam hal ini aksi kekerasan suporter sepakbola di Yogyakarta) sebagai suatu gejala masyarakat. Di samping itu Bonger juga membagi kriminologi menjadi kriminologi terapan yang berupa : 1) Higiene Kriminil Usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Misalnya usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah undang-undang, system jaminan hidup dan kesejahteraan yang dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kejahatan. 2) Politik Kriminil Usaha penanggulangan kejahatan dimana suatu kejahatan telah terjadi. Di sini silihat sebab-sebab seorang melakukan kejahatan. Bila disebabkan factor ekonomi maka usaha yang dilakukan adalah meningkatkan keterampilan atau membuka lapangan kerja. Jadi tidak semata-mata dengan penjatuhan sanksi. 3) Kriminalistik (policie scientific) Merupakan ilmu tentang pelaksanaan penyidikan teknik kejahatan dan pengusutan kejahatan (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2002 :10) Shuterland merumuskan kriminologi sebagai keseluruhan ilmu pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan jahat sebagai gejala sosial (The body of knowledge regarding crime as a sosial phenomenon). Menurut Shuterland kriminologi mencakup prosesproses pembuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas pelanggaran hukum. Kriminologi olehnya dibagi menjadi tiga cabang ilmu utama yaitu: 1) Sosiologi Hukum Kejahatan itu adalah perbuatan yang oleh hukum dilarang dan diancam dengan suatu sanksi. Jadi yang menentukan bahwa suatu perbuatan itu adalah kejahatan adalah ilmu hukum. Di commit to user sini menyelidiki sebab-sebab kejahatan harus pula menyelidiki
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
faktor-faktor apa yang menyebabkan perkembangan hukum (khususnya hukum pidana). 2) Etiologi Kejahatan Merupakan cabang ilmu kriminologi yang mencari sebab musabab dari kejahatan. Dalam kriminologi, etilogi kejahatan merupakan kajian yang paling utama. 3) Penology Pada dasarnya merupakan ilmu tentang hukuman, akan tetapi Sutherland memasukkan hak-hak yang berhubungan dengan usaha pengendalian kejahatan baik represif maupun preventif (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2002: 11). Menurut Moelyatno, kriminologi merupakan ilmu pengetahuan tentang kejahatan dan kelakuan jelek serta orang yang tersangkut pada kejahatan dan kelakuan jelek tersebut. Kejahatan di sini dimaksud pula pelanggaran. Artinya, sesuatu yang menurut undang-undang diancam dengan pidana dan kriminalitas meliputi kejahatan dan kelakuan jelek dengan pidana dan juga meliputi kejahatan dan kelakuan jelek belaka (Ismail Rumadan, 2007:1516). Topo dan Eva mengutip pendapat Wolfgang, Savitz dan Johnston dalam The Sociology of Crime and Delinquency memberikan definisi kriminologi sebagai kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan, keseragamankeseragaman, pola-pola dan faktor-faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan seperti reaksi masyarakat terhadap keduanya (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2002: 12). Jadi obyek studi kriminologi meliputi : 1) Perbuatan yang disebut sebagai kejahatan; 2) Pelaku kejahatan; dan 3) Reaksi masyarakat yang ditujukan baik terhadap perbuatan maupun terhadap pelakunya. Menurut Thorsten Sellin, “kriminologi di Amerika menggambarkan ilmu tentang penjahat dan cara penanggulangannya, sedangkan menurut Ahli Kontinental, kriminologi hanya mencari sebab musabab kejahatan saja” (Ismail Rumadan, 2007:15). commit to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Wilhelm
Sauer
mendiskripsikan
kriminologi
sebagai
ilmu
pengetahuan tentang kejahatan yang dilakukan individu dan bangsabangsa yang berbudaya, sehingga obyek penelitian kriminologi ada 2 yaitu perbuatan individu dan perbuatan kejahatan” (Ismail Rumadan, 2007:15). Noach membagi kriminologi dalam arti luas (criminology in ruime zin) dalam 2 bagian: 1) Criminologie in enge zin (kriminologi dalam arti sempit) yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah manusia yang berusaha mendekati kejahatan dengan pendekatan ilmu Antropologi, Biologi, Psikologi, Sosiologi dan ilmu-ilmu tentang manusia lainnya dalam rangka mempelajari sebab-sebab kejahatan, perbaikan penjahat dan pencegahan sebelum terjadi kejahatan; 2) Criminalistic yaitu ilmu pengetahuan mempelajari kejahatan sebagai masalah teknik, sebagai alat untuk mengadakan pengejaran atau penyelidikan perkara kejahatan secara teknik dengan mempergunakan ilmu alam, kimia dan sebagainya (Ismail Rumadan, 2007:16-17). Dari banyak definisi para ahli atau sarjana, penulis menyimpulkan definisikan kriminologi sebagai suatu cabang ilmu yang berdiri sendiri yang mempelajari mengenai kejahatan, sebab-sebab kejahatan dan juga cara menanggulangi kejahatan yang ada dalam masyarakat. b. Tujuan, Kegunaan, dan Manfaat Kriminologi Tujuan mempelajari kriminologi menurut Ismail Rumadan adalah “untuk menentukan sebab-sebab kriminalitas, sehingga berdasarkan datadata
tersebut
kita
dapat
berusaha
menemukan
cara-cara
penanggulangannya dengan pusat perhatian pada orang-orangnya yang berbuat dan juga terhadap pengaruh lingkungan hidupnya” (Ismail Rumadan, 2007: 21). Hal di atas memeperlihatkan tujuan tertentu dari kriminologi, yakni: 1) memperoleh pengertian yang lebih mendalam mengenai perilaku manusia dan lembaga-lembaga sosial masyarakat yang mempengaruhi kecenderungan dan penyimpangan norma-norma hukum; 2) mencari cara-cara yang lebih baik untuk mempergunakan pengertian ini dalam melaksanakan dan menanggulangi kejahatan (Ismail Rumadan, 2007:22). Ismail Rumadan mengutip pendapat Paul Moedigdo Moeliono yang commit to user manyatakan tujuan kriminologi terutama untuk memperoleh pemahaman
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lebih baik terhadap: “1) penyimpangan norma dan nilai, baik yang diatur dalam hukum pidana maupun yang tidak, khususnya perilaku karena sifatnya sangat merugikan manusia dan masyarakat; 2) reaksi sosial terhadap penyimpangan-penyimpangan itu” (Ismail Rumadan, 2007: 22). Sedangkan fungsi kriminologi terhadap hukum pidana, Ismail Rumadan mengutip pendapat Sudarto, yaitu “yang pertama meninjau secara kritis hukum pidana yang berlaku, kedua memberi rekomendasi guna perbaikan-perbaikan” (Ismail Rumadan, 2007: 22). Selanjutnya beliau juga mengemukakan peranan kriminologi untuk politik hukum pidana, yaitu “bahwa kriminologi bukan merupakan ilmu yang melaksanakan kebijaksanaan, akan tetapi hasilnya dapat digunakan untuk melaksanakan kebijaksanaan untuk mencapai hasil perundang-undangan yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan kemanfaatan” (Ismail Rumadan, 2007:23). Manfaat mempelajari kriminologi bagi pribadi adalah untuk dapat menghindari atau mengelakkan diri dari kejahatan dan untuk tidak melakukan kejahatan. Manfaat bagi masyarakat, memberikan kesadaran bahwa
pada
dasarnya
kejahatan
merugikan
dan
membahayakan
masyarakat sehingga masyarakat bertanggungjawab atas timbulnya kejahatan dan bukan monopoli aparat penegak hukum saja yang harus memikirkan dan berusaha menanggulangi kejahatan itu. Manfaat bagi ilmiah adalah bahwa perkembangan kriminologi akan berpengaruh bagi perkembangan dan kemajuan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya (Ismail Rumadan, 2007:24-25). c. Sejarah Perkembangan Akal Pemikiran Manusia yang Menjadi Dasar Dibangunnya Teori-teori Kriminologi Topo dan Eva mengutip pendapat George B Vold yang menyebutkan “teori adalah bagian dari suatu penjelasan yang muncul manakala seseorang dihadapkan pada suatu gejala yang tidak dimengerti” (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2002:19).”Upaya mencari penjelasan commit to user mengenai sebab kejahatan, sejarah peradaban manusia mencatat adanya
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dua bentuk pendekatan yang menjadi landasan bagi lahirnya teori-teori dalam kriminologi”, yaitu (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2002:19): 1) Spiritualisme “Penjelasan
spiritualisme
memfokuskan
perhatiannya
pada
perbedaan antara kebaikan yang datang dari Tuhan atau Dewa dan keburukan yang datang dari setan. Seseorang yang telah melakukan suatu kejahatan dipandang sebagai orang yang telah terkena bujukan setan” (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2002:19). Menurut para tokoh aliran ini bahwa “tidak beragamanya seseorang mengakibatkan kejahatan, artinya menjadi jahat karena tidak atau kurang beragama” (Ismail Rumadan, 2007:116). Terdapat hubungan kausalitas antara keduanya. 2) Naturalisme Dibagi menjadi tiga mahzab atau aliran yaitu: a) Aliran Klasik Dasar aliran klasik ini adalah adanya pemikiran bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas (free will). Dengan kata lain manusia dalam berperilaku dipandu oleh dua hal yaitu penderitaan dan kesenangan yang menjadi resiko dari tindakan yang dilakukannya. Dalam hal ini hukuman dijatuhkan berdasarkan tindakannya, bukan kesalahannya (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2002:21). b) Aliran Neo Klasik Aliran neo-klasik pada dasarnya bertolak pada pemikiran mahzab klasik. Pemberlakuan secara kaku Code Penal Perancis terhadap pelaku kejahatan dibawah umur, di mana tidak adanya suatu pembedaan pemberian hukuman terhadapnya, dinilai sebagai suatu ketidakadilan. Aspek mental dan kesalahan seseorang tidak diperhitungkan oleh Code Penal Perancis tersebut (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2002:22). c) Aliran Positifis Secara garis besar aliran positifis membagi dirinya menjadi dua pandangan, yaitu: (1). Determinisme Biologis commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Bahwa perilaku manusia sepenuhnya tergantung pada pengaruh biologis yang ada dalam dirinya” (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2002: 23). Tokohnya Cessare Lombrosso, Pengaruh Lomborso terhadap peradilan pidana ada dua, yaitu: pengaruh positifnya karena memberi sumbangan pendapat menganai psikiatri criminal di Perancis dan memberi bantuan untuk mempertahankan pengertian mengenai sebab-sebab patologi kejahatan dan karena karyanya maka pribadi si penjahat oleh hakim makin lama makin dijadikan pusat perhatian. Sedangkan pengaruh negatifnya, menghalanghalangi majunya kriminologi karena ada sugesti bahwa penyakit dipandang dari sudut biologi adalah makhluk abnormal (Ismail Rumadan, 2007: 111). (2). Determinisme Cultural “Aliran ini mendasari pemikiran mereka pada pengaruh sosial, budaya dari lingkungan di mana seseorang itu hidup” (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2002: 23). Berikut tokohtokoh dan Pendapatnya: (a) A. Lacassagne (1843-1924) “Yang terpenting dalam masalah sebagai kejahatan adalah keadaan
sosial
sekeliling
kita”
(Ismail
Rumadan,
2007:113). (b) G. Tarde (1843-1904) “Kejahatan bukanlah suatu gejala antropologis, namun merupakan sosiologis. Orang berbuat jahat karena ada sifat peniruan. Banyak orang dalam kebiasaan hidupnya dan
pendapatnya
sangat
mengikuti
keadaan
lingkungannya, dimana mereka hidup” (Ismail Rumadan, 2007:114). 3) Mahzab Lingkungan Ekonomi commit to user a) F. Turati (1857-1932)
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Tidak hanya kekurangan dan kesengsaraan saja yang membuat seseorang berbuat jahat, tetapi juga nafsu ingin memiliki, merupakan satu dorongan untuk melakukan kejahatan ekonomi. Sedangkan keadaan tempat tinggal yang buruk, merosotkan moralitas seksual dan menyebabkan kejahatan kesusilaan” (Ismail Rumadan, 2007:114). b) N. Colayani (1748-1921) “Ada hubungan antara sistem ekonomi dengan faktor-faktor umum dalam kejahatan” (Ismail Rumadan, 2007:114-115). Berikut unsur-unsur yang turut menyebabkan terjadinya kejahatan: a) Keterlantaran dan pengangguran anak-anak dan pemuda karena keadaan lingkungan. b) Kesengsaraan akibat dari keadaan ekonomi. c) Nafsu dari mereka yang tidak berupaya, terhadap kekayaan yang dipertontonkan di sekelilingnya. d) Demoralisasi seksual akibat dari pengaruh lingkungan pendidikan sewaktu masih muda, misalnya kurang baiknya lingkungan pemukiman. e) Alkoholisme. f) Kurang peradaban dan pengetahuan serta kurangnya daya menahan diri. g) Perang(Ismail Rumadan, 2007:115). 4) Mahzab Bio-sosiologis Enrico Ferry berpendapat bahwa “tiap-tiap kejahatan adalah hasil dari unsur-unsur yang terdapat dalam individu dan lingkungan (masyarakat dan fisik)” (Ismail Rumadan, 2007: 116). d. Teori Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan Menurut Barda Nawawi, kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminil) dilakukan dengan menggunakan “sarana penal (hukum pidana), maka kebijakan
hukum pidana (penal policy) khususnya pada tahap
kebijakan yudikatif/aplikatif (penegakkan hukum pidana in concreto) harus mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa social walfare dan social-defence” (Barda Nawawi, 2001:75). Sarana penal merupakan penal policy atau penal-law commit to user enforcement policy yang fungsionalisasi/operasionalisasinya
perpustakaan.uns.ac.id
22 digilib.uns.ac.id
melalui beberapa tahap yaitu : 1) formulasi (kebijakan legislatif); 2) aplikasi (kebijakan yudikatif); 3) eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif). Dengan adanya tahap formulasi, maka upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak hukum, namun juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif). Bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi (penerapan hukum) dan eksekusi (pelaksanaan putusan hakim) dapat terhambat jika terjadi kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif. Hal ini dikarenakan kesalahan/kelemahan kebijakan tersebut merupakan kesalahan strategis Barda Nawawi, 2001:76). “Strategi dasar/pokok penanggulangan kejahatan ialah dengan meniadakan faktor-faktor penyebab/kondisi yang menimbulkan terjadinya kejahatan. Sedangkan pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus ditempuh dengan kebijakan integral/sistemik” (Barda Nawawi, 2001:77). Pengertian kebijakan integral/sistemik mengandung berbagai aspek, antara lain: 1) Ada keterpaduan antara kebijakan penanggulangan kejahatan dengan keseluruhan kebijakan pembangunan system POLEKSOSBUD; 2) Ada keterpaduan antara “treatment of offenders” (dengan pidana/tindakan) dan “treatment of society”, seluruh masyarakat harus dibangun sedemikian rupa agar sehat dari faktor-faktor kriminogen; 3) Ada keterpaduan antara penyembuhan/pengobatan simptomatik dan penyembuhan/pengobatan kausatif; 4) Ada keterpaduan antara “treatment of offenders”, “treatment of the victim”,dan ”treatment of society”; 5) Ada keterpaduan antara “individual/personal responsibility” dengan “structural/functional responsibility”; 6) Ada keterpaduan antara sarana penal dan non-penal; 7) Ada keterpaduan antara sarana formal dan sarana informal/tradisional (keterpaduan antara legal system dan extra-legal system); 8) Ada keterpaduan antara pendekatan kebijakan (policy oriented approach) dan pendekatan nilai (value approach) (Barda Nawawi, 2001: 78). Selain itu “sebagai upaya pencegahan dan penangulangan kejahatan commit to user diperlukan pembenahan dan peningkatan kualitas aparat penegak hukum
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan kualitas institusi dan sistem manajemen organisasi/manajemen data” (Barda Nawawi, 2001: 80-81). 2.
Tinjauan Aksi Kekerasan a. Pengertian Pengertian kata “aksi” dalam Kamus Bahasa Indonesia merupakan tindakan pembalasan. Sedangkan arti kata “kekerasan” adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain (www.KamusBahasaIndonesia.org>[27
April
2010
pukul
15.00]).
Sehingga aksi kekerasan adalah tindakan pembalasan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. b. Pola-Pola Kekerasan Mengenai pola-pola kekerasan, Martin R. Haskell dan Lewis Yablonsky mengemukakan adanya empat kategori yang mencakup hampir semua pola-pola kekerasan (Ismail Rumadan, 2007:28), yaitu: 1) Kekerasan Legal “Dapat berupa kekerasan yang didukung oleh hukum” (Ismail Rumadan, 2007:28). Misalnya Polisi yang sedang melaksanakan tugas untuk menertibkan mahasiswa yang sedang demo. 2) Kekerasan yang secara sosial memperoleh sanksi “Faktor penting dalam menganalisa kejahatan kekerasan adalah tingkat dukungan atau sanksi sosial terhadapnya” (Ismail Rumadan, 2007:29). Misalnya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seorang ayah kepada anaknya yang sedang kecanduan narkoba akan memperoleh dukungan sosial. 3) Kekerasan Rasional “Beberapa tindakan kekerasan yang tidak legal akan tetapi tidak ada sanksi sosialnya adalah kejahatan yang dipandang rasional dalam konteks kejahatan” (Ismail Rumadan, 2007:29). commit to user 4) Kekerasan yang tidak berperasaan (irrational violence)
perpustakaan.uns.ac.id
24 digilib.uns.ac.id
“Kekerasan jenis ini terjadi tanpa adanya provokasi terlebih dahulu, tanpa memperlihatkan motivasi tertentu dan pada umumnya korban tidak dikenal oleh pelakunya” (Ismail Rumadan, 2007:29). c. Bangunan Analisa Untuk Memahami Kejahatan Kekerasan dalam Masyarakat Menurut pendapat Tylor dkk yang berpendapat, pendekatan baru dalam usaha penelitian dan pemahaman ilmiah terhadap kejahatan memerlukan pengungkapan atas: 1) Akar yang lebih luas dari kejahatan. Kejahatan dijelaskan dengan melihat kondisi-kondisi structural yang ada dalam masyarakat dan menempatkannya dalam konteks ketidakmerataan dan ketidakadilan serta kaitannya dengan perubahan-perubahan ekonomi dan politik dalam masyarakat. 2) Faktor-faktor pencetus langsung dari kejahatan, sebagai akibat tanggapan, reaksi dan perwujudan tuntutan-tuntutan structural dan secara sadar kejahatan dipilih sebagai cara pemecahan masalah-masalah eksistensi dalam masyarakat yang penuh kontradiksi. 3) Dinamika sosial yang melatarbelakangi tindakan-tindakan yakni, hubungan antara keyakinan dengan tindakan. 4) Reaksi sosial yang dilakukan oleh orang-orang lain, kelompok-kelompok atau alat-alat pengendalian sosial terhadap kejahatan dengan melihat bentuk, sifat dan luasnya reaksi sosial. 5) Akar yang lebih luas daripada reaksi sosial, oleh karena pada dasarnya reaksi sosial bersumber pada prakarsa politis yang terikat pada struktur ekonomi dan politik. 6) Reaksi pelaku atas penolakan atau stigmatisasi terhadapnya, apakah reaksi itu dihayati atau ditolak, menyerahkan atau tidak dalam hubungannya dengan akibat reaksi sosial atas tindakan-tindakan pelaku kejahatan selanjutnya (Ismail Rumadan, 2007:30-31). d. Akar Kejahatan Kekerasan Dalam bukunya yang berjudul “Kriminologi Studi tentang SebabSebab Kejahatan”, Ismail Rumadan menuliskan beberapa penelitian menunjukkan bahwa anggota-anggota lapisan sosial bawah, dengan “depriviasi relative” serta meningkatkan harapanharapan telah menumbuhkan ketidaksabaran atas mobilitas sosial mereka dan pada gilirannya keragu-raguan untuk commit tomelenyapkan user menggunakan sarana-sarana kekerasan seperti perampokan.
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Namun, teori-teori demikian mengabaikan konteks struktural kejahatan-kejahatan kekerasan, juga terlampau menyederhanakan persoalan, apalagi yang dilakukan lapisan bawah yang dalam halhal tertentu mungkin lebih berdasarkan keberangan moral dan berdasarkan rasa keadilan (Ismail Rumadan, 2007:31). Henk Schulte-Nordholt menjelaskan mengenai asal-usul kekerasan dalam makalahnya yang berjudul “Asal-Usul Kekerasan” mengemukakan bahwa “ekspansi kolonial menciptakan sebuah Negara kekerasan yang hanya dipandang secara marjinal oleh buku-buku sejarah Belanda. Merupakan kesalahan-kesalahan konsepsi menyatakan bahwa kekerasan semacam itu hanya merupakan situasi kontemporer, suatu fase tersendiri dalam perkembangan Negara damai dan tertib yang dikehendaki” (Jurnal Ilmu Sosial Transformatif Edisi 9 Tahun III 2002:41-42). e. Faktor-faktor Pencetus Langsung dan Dinamika Sosial Kejahatan Kekerasan “Ketakutan
masyarakat
atas
kejahatan
kekerasan
seringkali
dicerminkan dalam suatu sikap mengampuni korban dalam terjadinya kejahatan” (Ismail Rumadan, 2007:35). “Hubungan-hubungan sosial korban
dalam
kejahatan-kejahatan
kekerasan,
terutama
dalam
pembunuhan yang memperlihatkan tingginya angka victim precipitated criminal homicide, menunjukkan bahwa korban dipandang sebagai bagian dari integral dalam situasi-situasi terjadinya kejahatan kekerasan tertentu” (Ismail Rumadan, 2007:37). “Tentang
faktor-faktor
pencetus
serta
dinamika
sosial
yang
melatarbelakangi kejahatan kekerasan, maka selain faktor-faktor yang menyangkut victim precipitated crimes yang mencakup pula sikap-sikap serta motif dan pola-pola kepribadian penjahat serta faktor-faktor situasional yang berpengaruh terhadap kriminalitas” (Ismail Rumadan, 2007: 38). f. Hubungan antara Hukum dengan Kekerasan “Hukum sering dilihat sebagai suatu medium untuk membendung kekerasan. Jika dua pihak berselisih dan potensi penggunaan kekerasan commit to user
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengancam, hukum sebagai yang ketiga menengahi perselisihan itu dengan sanksi. Namun hukum juga bisa menjadi penyebab kekerasan, jika dipraktekkan tidak adil” (Jentera Jurnal Hukum Edisi I Tahun II 2004:10). 1) Hukum sebagai Pembatas Kekerasan Hukum memang tidak mengakhiri semua jenis kekerasan, namun ia akan membatasi penggunaan kekerasan, sehingga menangguhkan setiap rencana penggunaan kekerasan berkat sanksi legal di dalamnya. Dengan adanya sanksi ini rasionalitas strategis pihak-pihak yang potensial melakukan kekerasan akan ditumbuhkan dan kekerasan bisa ditangguhkan atau dibatasi sampai minimal. Rasionalitas strategis ini menjadi titik tolak perkembangan rasionalitas yuridis yang beroperasi di dalam hukum, yakni suatu rasionalitas yang mencari titik netral sebagai solusi atas konflik-konflik kepentingan (Jentera Jurnal Hukum Edisi I Tahun II 2004:10). 2) Hukum sebagai Ungkapan Kekerasan “Voluntarisme melihat hukum sebagai pihak ketiga di antara dua pihak yang bertikai, bukan merupakan ruang kosong dari kekerasan. Suspense kekerasan yang dimungkinkan oleh hukum itu sama sekali tidak mengubah watak kekerasannya, melainkan justru sebaliknya merupakan ekspansi kekerasan ke dalam bentuk-bentuk lain” (Jentera Jurnal Hukum Edisi I Tahun II 2004:10). Hukum yang adil juga merupakan ungkapan kekerasan, karena keadilan itu sendiri merupakan nilai yang menipu. Hal ini dikarenakan keadilan itu tidak ada dengan sendirinya melainkan dibentuk secara perlahan-lahan lewat praktekpraktek kekerasan dan kekejian dari pihak yang berkuasa, sedemikian rupa sehingga membentuk persepsi individuindividu yang lebih lemah tentang apa yang dianggap adil dan apa yang dianggap tidak adil (Jentera Jurnal Hukum Edisi I Tahun II 2004:11). 3. Tinjauan Suporter Pengertian mengenai suporter, dalam Kamus Bahasa Indonesia, adalah orang yang memberikan dukungan (www.KamusBahasaIndonesia.org>[27 April 2010 pukul 15.00]). Pendukung sepakbola atau yang lebih dikenal commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
27 digilib.uns.ac.id
dengan suporter bahkan menjadi faktor penentu kemenangan, karena dengan dukungannya yang atraktif dapat menjatuhkan mental pemain lawan. Menurut Aji Wibowo, pada hakekatnya penonton atau penikmat sepakbola dibagi menjadi 2, yaitu “penonton (audience) yang hanya menonton sepakbola saja dan suporter yakni suatu kelompok yang mengambil peran tidak hanya sebagai penonton (audience), tetapi juga sebagai penampil (performer). Maksudnya suporter memebedakan identitas dengan penonton biasa, mereka lebih berkreasi dan atraktif” (Anung Handoko, 2008:35). Sehingga suporter mempunyai sifat yang lebih fanatik dan millitan dalam mendukung setiap pertandingan yang dilakukan oleh tim sepakbola kesayangannya. “Sejarah suporter modern sendiri diawali dengan perkembangan sepakbola modern abad ke-19, tepatnya dengan didirikan Football Association (FA) pada tahun 1983” (Anung Handoko, 2008:35). Setelah itu berkembanglah kelompok suporter sepakbola seperti di Italia dengan sebutan Ultras, di Norwegia disebut dengan Viking, Milanisty (klub AC Milan), dan lain sebagainya. Komunitas suporter tersebut didirikan dengan terorganisir dan independen. Besarnya peranan suporter bagi satu tim berbanding terbalik dengan ekses negative yang ditimbulkannya. Bagai dua sisi mata uang koin, suporter yang memberikan sisi positif juga mempunyai sisi negative. Sisi negative tersebut ada apabila dukungan yang diberikan oleh suporter berbentuk ekstrem bahkan menjurus tindakan anarki. “Berdasarkan sejarah, perilaku anarki suporter ini bermula terjadi di Inggris dan dikenal dengan istilah hooligan. Menurut Giulianotti, hooligan sendiri diidentifikasi dengan orang yang sering membuat keonaran atau kerusuhan” (O.C. Kaligis, 2007: 39). “Indonesia sebagai Negara pecinta sepakbola juga mempunyai suporter fanatik yang setia dalam mendukung tim nasional maupun klub-klub yang ada di Indonesia. Sejarah suporter di Indonesia sejalan dengan Liga Indonesia III tahun 1997/1998 yang dipelopori oleh Arema” (O.C. Kaligis, 2007:72). Pada dasarnya suporter di Indonesia terbagi menjadi empat kategori, yaitu: a. Penonton perorangan commit to user b. Penonton yang tergabung dalam kelompok-kelompok kecil
perpustakaan.uns.ac.id
28 digilib.uns.ac.id
c. Penonton yang sudah terorganisir (fans club) d. Penonton yang mengerahkan banyak masa. (Anonim. www.Pssifootball.com/>[12 Oktober 2010 Pukul 09.34]). Pada kategori suporter ke empat inilah yang kemudian sering menimbulkan ekses negatif dengan terjadinya gesekan antar suporter sehingga menimbulkan bentrok dan kerusuhan. Selama perjalanan sejarah suporter di Indonesia selalu diwarnai dengan sejarah yang kelam akibat perilaku anarki, kekerasan, kerusuhan yang menyebabkan korban harta dan jiwa. Tidak heran apabila terrdapat sindiran bahwa sepakbola di Indonesia menyuguhkan “dua tontonan”, yaitu pertandingan sepakbola dan tinju. Suporter sepakbola telah ada semenjak adanya olahraga tersebut, yang awalnya dibentuk oleh sekelompok orang yang mempunyai kesamaan dalam mendukung tim/kesebelasan yang difavoritkan. Dahulu bentuk kelompok suporter hanya merupakan penonton biasa saja yang bertujuan untuk melihat pertandingan sepakbola. Penonton sepakbola ini tidak mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya. Hingga akhirnya terus berkembang menjadi sebuah kelompok yang terorganisir, seiring dengan minat masyarakat yang semakin luas. Penonton sepakbola dapat dibagi menjadi beberapa kategori yakni sebagai berikut: a. Perorangan yaitu penonton yang tidak memiliki ikatan apapun dengan yang ada disekitarnya. Hubungan terjadi hanya sebatas penonton tersebut dengan tim/kesebelasan yang didukungnya. Penonton seperti ini tidak memiliki batasan. b. Kelompok, penonton kategori kelompok ini kemudian terbagi menjadi dua bagian yaitu: 1) Tidak terorganisasi Sifat dari kelompok penonton ini adalah situasional dan sporadis. Maksudnya, kelompok ini berkumpul hanya untuk sesaat dan tidak memiliki tanggungjawab moral atas sikar dan perbuatannya. commit to user Kelompok ini biasanya dating dalam kelompok kecil-kecil dan atas
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kemauannya
sendiri
serta
membawa
selera
masing-masing.
Kelompok jenis ini sangat rentan dan cenderung untuk membuat kerusuhan dan keonaran. 2) Terorganisasi Kelompok ini sejak awal mempunyai ikatan untuk sebuah kepentingan karena adanya pengaturan dengan unsur “paksaan”. Kelompok kehadirannya
ini
tidak ditempat
mempunyai
wujud
pertandingan
yang
permanen,
karena
mendapat
bantuan/dukungan fasilitas dan biaya. Pada dasarnya kelompok ini membias dalam mendukung tim/kesebelasan yang bertanding. c. Fans Club yaitu kelompok yang mempunyai organisasi permanen dan teratur, ada pengurus dan anggotanya, memiliki aturan, serta hak serta kewajiban yang jelas. Berdasarkan aturan tersebut dijadikan dasar sebagai pijakan bagi organisasinya, sehingga dapat dikatakan seseorang tergabung dalam kelompok ini mempunyai “kode etik” internal yang harus dipatuhi oleh siapapun, termasuk anggotanya tanpa terkecuali. Bentuk-bentuk penonton tersebut merupakan metamorfosis dari kelompok suporter sepakbola yang ada sekarang ini. Mulai dari bentuk penonton perorangan sampai dengan kelompok terorganisir yang mempunyai hak serta kewajiban. Pada kelompok suporter/penonton yang telah terorganisasi dengan baik seperti “fans club” sebenarnya identik dengan kekreatifitasan dalam mendukung tim yang difavoritkannya. Mereka melakukan dukungan dengan menyanyikan, yel-yel, atribut dan gerakan tubuh yang atraktif sehingga semua yang berada di stadion turut menikmati penampilan tersebut. Perkembangan suporter yang cepat selain memberikan sisi positif juga mempunyai dampak/ekses yang negative. Akibat fanatisme yang berlebihan terkadang suporter melakukan tindakan kekerasan sehingga sering dicap sebagai biang kerusuhan. Penonton dalam kategori “kelompok” adalah penonton yang sering tidak terkontrol dan melakukan perilaku kekerasan, baik kelompok terorganisir maupun yang tidak terorganisir. Apalagi bila kelompok user Hal ini dapat dipahami karena ini mengerahkan massa dalamcommit jumlahtobanyak.
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mereka menyaksikan
pertandingan sepakbola dengan tidak
memiliki
tanggungjawab moral sehingga seringkali tidak mengindahkan prinsip-prinsip sportivitas. “Tindakan kekerasan suporter sepakbola telah menjadi masalah di seluruh Negara yang mayoritas masyarakatnya menyukai sepakbola. Spanyol dengan la liga premiera mempunyai kelompok-kelompok anarki supporter sepakbola yang disebut dengan durruti, bahkan kelompok ini mempunyai slogan terkadang cinta hanya dapat berbicara melalui selongsong senapan” (Oke Suko, Anarkisme
dan
Prespektif
Suporter
Sepakbola
Indonesia,
www.worldpress.com/> [19 Agustus 2010 Pukul 10.44 WIB]). Inggris sebagai “induk” sepakbola modern juga mempunyai permasalahan yang sama dengan hooliganisme yang selalu membuat keonaran. Dalam Football ''Hooliganism'', Policing and the War on the ''English Disease'' oleh Pennant Books, Dr Clifford Stott dan Dr Geoff Pearson mengeksplorasi tesis bahwa “that the footballers are not the source of all of the violence. Many times, foreign police and foreign fans of other teams provoke the violence. They are also view the allegiance of football fans as an issue of Social Identity, particularly in a society which views them as an underclass” (Brian Risman. “Football Hooliganism, Policing and the War on the English Disease”. The Law Journal UK. [http://www.thelawjournal.co.uk/< 12 Januari 2011 jam 14:20]). Menurut keterangan di atas pemain bukan sumber dari semua kekerasan. Banyak sekali polisi asing dan penggemar asing tim lain memprovokasi kekerasan. Mereka juga melihat kesetiaan penggemar sepak bola sebagai isu identitas sosial, khususnya dalam masyarakat yang melihat mereka sebagai kelas bawah. Perkembangan suporter di Indonesia hampir sama dengan perkembangan suporter di Negara lain. Berawal dari penonton yang tidak mempunyai ikatan satu dengan yang lainnya hingga menjadi kelompok yang terorganisir. Walaupun kelompok suporter Indonesia telah ada semenjak era galatama dan commit to usersuporeter terorganisir dan kreatif perserikatan, tetapi munculnya kelompok
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
baru muncul ketika liga Indonesia III tahun 1997/1998. Kemunculan yang dimonitori Aremania sebagai suporter kreatif memberikan nuansa berbeda dalam dunia suporter di Indonesia, yang sebelumnya suporter hanyalah bersifat insidentil (apabila ada pertandingan saja) menjadi sebuah performer pendukung yang menarik. Namun demikian, fenomena suporter kreatif yang berkembang pada saat itu tidak berlangsung lama. “Perilaku kekerasan suporter Indonesia pada tahun 2000 mulai terjadi di setiap pertandingan liga Indonesia. Catatan dari tahun 2005 semenjak bulan april samapi dengan September telah terjadi setidaknya delapan kerusuhan akibat perilaku anarki suporter sepakbola” (Anung Handoko,2008:64-66). Pergeseran perkembangan suporter ke arah yang negative haruslah mendapat perhatian yang lebih serius oleh pihak-pihak yang terkait karena perilaku anarki tetap saja terjadi di liga-liga Indonesia berikutnya. Perilaku yang anarki ini menyebabkan sepakbola tidak dapat menjadi sebuah hiburan yang aman dan nyaman.
commit to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran Aksi Kekerasan suporter sepakbola
Suporter PSIM Jogja
VS
Aparat Kepolisian
Kajian Kriminologis
Peraturan Organisasi Nomor: 06/POPSSI/III/2008
PSSI
Faktor Kriminogen
UU No. 2 Tahun 2002
Peran yang sudah dilakukan
Aparat Kepolisian
Gambar 1 Bagan Kerangka Berfikir Keterangan : Kerangka berfikir yang digunakan penulis dalam menyusun skripsi ini adalah dengan menggambarkan terlebih dahulu mengenai aksi atau tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suporter sepakbola di Yogyakarta yang mengambil data dari kasus kerusuhan antara suporter PSIM Jogja dengan Aparat Kepolisian 12 Februari 2010 di Mandala Krida. Setelah itu penulis mengkaji aksi kekerasan suporter sepakbola di Yogyakarta secara kriminologis. Untuk memeperoleh data dalam hal ini penulis menggunakan commit to user metode wawancara yang dilakukan dengan Sekretaris Pengurus Provinsi PSSI
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
DIY, Sekjen PSIM Jogja, Kasubag Produk Bagian Analisis Direktorat Reskrim POLDA DIY dan Kabid Propam POLDA DIY. Kemudian penulis mengkaitkan keterangan dari narasumber tersebut dengan teori-teori Kriminologi. Setelah itu dapat dilihat faktor-faktor kriminogen terjadinya kejahatan kekerasan suporter sepakbola. Kemudian penulis mencoba untuk meneliti peran aparat penegak hukum (dalam hal ini penulis melakukan wawancara dengan Kasubag Produk Bagian Analisis Direktorat Reskrim POLDA DIY dan Kabid Propam POLDA DIY) dan PSSI Yogyakarta dalam rangka mengatasi aksi kekerasan suporter sepakbola di Yogyakarta sebagai upaya yang sudah dilakukan oleh keduanya. Dari keterangan-keterangan tersebut akan diketahui kebijakan-kebijakan apa saja yang sudah dibuat atau dikeluarkan guna mengatasi aksi kekerasan suporter sepakbola di Yogyakarta.
commit to user
34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Studi Kasus Kerusuhan Antara Suporter PSIM Jogja dengan Aparat Kepolisian Dilihat dari Aspek Kriminologis a. Gambaran Umum Kasus Tepatnya tanggal 12 Februari 2010 bertempat di Stadion Mandala Krida Yogyakarta, telah berlangsung pertandingan antara Kesebelasan PSIM Jogja melawan Kesebelasan Persatuan Sepakbola Sleman (PSS) dalam rangka Kompetisi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) Divisi Utama Liga Indonesia Tahun 2009/2010. Pada babak pertama menit ke-10 dan menit ke-14 suporter PSIM Jogja membakar petasan, serta menit ke-22 dan menit ke-26 melakukan pelemparan ke dalam lapangan pemain sehingga pertandingan sempat berhenti. Tidak hanya itu, pada babak kedua menit ke-66, suporter PSIM Jogja yang berada di tribun timur melakukan pelemparan menggunakan bongkahan batu semen dan botol air mineral ke dalam lapangan permainan dan mengenai pemain PSS Sleman yang hendak melakukan tendangan lemparan ke dalam, sehingga cedera pada bagian punggung. Petugas keamanan datang berupaya untuk menghentikan pelemparan akan tetapi lemparan dari penonton semakin banyak dan mengenai petugas keamanan sehingga mengalami cidera pada bagian muka. Tidak cukup di dalam stadion, keributan kembali terjadi di luar stadion Mandala Krida yaitu tepatnya di Museum PSSI Yogyakarta antara aparat keamanan dengan suporter PSIM Jogja yang mengakibatkan banyaknya kendaraan roda dua dan roda empat yang rusak. b. Kajian Kriminologis Seperti yang sudah dikemukakan dalam Bab II di atas mengenai teori-teori kriminologi beserta pengertian dan sejarah perkembangan commit to user kiminologi. Mempelajari Kriminologi berarti mempelajari mengenai
34
perpustakaan.uns.ac.id
35
digilib.uns.ac.id
kejahatan, sebab-sebab kejahatan, dan cara menanggulangi kejahatan dalam masyarakat. Dari penggolongan kriminologi murni menurut Bonger, Sosiologi Kriminil merupakan penggolongan yang tepat untuk penelitian ini. Hal ini dikarenakan aksi kekerasan suporter sepakbola tergolong kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. Disamping itu Bonger juga membagi kriminologi menjadi kriminologi terapan yang terdiri dari Higiene Kriminil, Politik Kriminil, dan Kriminalistik. Dalam penulisan hukum ini penulis menggunakan Politik Kriminil yaitu usaha penanggulangan kejahatan dimana suatu kejahatan telah terjadi. Di sini milihat sebab-sebab seorang melakukan kejahatan. Jadi tidak semata-mata dengan penjatuhan sanksi. Strategi dasar/pokok penanggulangan kejahatan ialah dengan meniadakan faktor-faktor penyebab atau kondisi yang menimbulkan terjadinya kejahatan. Usaha penanggulangan tersebut adalah usaha yang dilakukan oleh Aparat Kepolisian dan PSSI baik secara represif, preventif, maupun preemtif. Sama halnya dengan Higiene Kriminil pandangan Bonger, tindakan preventif ini ditujukan kepada upaya-upaya yang harus dilakukan oleh PSSI dan Aparat Kepolisian untuk mencegah aksi kekerasan suporter sepakbola di Yogyakarta ke depannya. “Awal dari kerusuhan yang terjadi di stadion Mandala Krida pada tanggal 12 Februari 2010 adalah karena adanya aksi saling ejek dari masing-masing kubu suporter melalui yel-yel yang dinyanyikan atau disuarakan baik dari Slemania (suporter PSS) dan Brajamusti (suporter PSIM)” (wawancara dengan Dessy Arfianto, S.T., selaku Sekjen PSIM, 9 Desember 2010). Kemudian dari situlah memancing aksi pelemparan menggunakan bongkahan batu semen dan botol air mineral ke dalam lapangan permainan oleh suporter PSIM Jogja dan mengenai pemain PSS Sleman yang hendak melakukan tendangan lemparan ke dalam, sehingga cedera pada bagian punggung. Petugas keamanan datang berupaya untuk menghentikan pelemparan akan tetapi lemparan dari penonton semakin commit to user sehingga mengalami cidera pada banyak dan mengenai petugas keamanan
perpustakaan.uns.ac.id
36
digilib.uns.ac.id
bagian muka (wawancara dengan AKBP Eko Sumardyanto selaku Kabid Propam Polda DIY, tanggal 10 Desember 2010). Menurut AKBP Eko Sumardiyanto, “karena lokasi pertandingannya di kandang PSIM jadi kekuatan suporter PSIM yang paling kuat. Kemudian untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak lagi, maka aparat kepolisian menembakkan gas air mata ke arah suporter PSIM” (wawancara dengan AKBP Eko Sumardiyanto, S.H. hari Jumat tanggal 10 Desember 2010). Efek dari tembakan gas air mata dari aparat kepolisian inilah yang kemudian memancing kerusuhan yang terjadi di luar stadion Mandala Krida, yaitu tepatnya di halaman Museum PSSI Yogyakarta antara aparat keamanan dengan suporter PSIM Jogja yang mengakibatkan banyaknya kendaraan roda dua dan roda empat yang rusak. Adanya sifat permusuhan antar suporter sepakbola yang satu dengan yang lain, baik bersifat dendam ataupun fanatik kedaerahan turut memperburuk tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suporter sepakbola. Dalam hal aksi kekerasan suporter sepakbola di Yogyakarta biasa terjadi jika pertandingan dua tim/club dalam satu kota (derby). Menurut keterangan yang diperoleh penulis dari hasil wawancara dengan AKBP Eko Sumardiyanto selaku Kabid Propam Polda DIY, tindakan penembakan gas air mata dilakukan guna mencegah terjadinya lebih banyak korban. Hal tersebut dilakukan karena setelah aparat kepolisian membentuk blockade barisan pertahanan tekanan dari suporter PSIM semakin kuat, lemparan batu semakin banyak sehingga banyak personil kepolisian yang terluka. Karena banyak personil yang terluka akhirnya blockade barisan pertahanan tersebut pecah dan tindakan yang selanjutnya dilakukan adalah dengan menembakkan gas air mata ke arah suporter PSIM (wawancara dengan AKBP Eko Sumardiyanto, S.H. hari Jumat tanggal 10 Desember 2010). . “Sifat alamiah manusia yang muncul untuk melakukan tindakan kekerasan suporter disampaikan oleh Erick Fromm dalam The Anatomy of to user sesucinya manusia pasti tetap Human Destrictiveness. commit Menurutnya,
37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mempunyai jiwa agresi. Sigmund Freud menambahkan manusia adalah makhluk rendah yang mempunyai rasa kebencian, kekerasan dan agresi” (Andika
Hadinata,
Neo-Tribalisme
Sepakbola
Indonesia,
www.pandangekspres.co.id [19 Agustus 2010 pukul 20.22 WIB]). Apabila agresi itu dilakukan secara kolektif maka akan terjadi tindakan kekerasan yang luar biasa. Fenomena inilah yang sedang terjadi dalam sepakbola dimana agresi diutamakan dalam menyelesaikan setiap ketidakpuasan atas sesuatu. c. Hasil Wawancara Penyebab yang melatarbelakangi terjadinya aksi kekerasan suporter disebabkan faktor yang berasal dari dalam suporter itu sendiri. Menurut Kompol Budi Prayitno, rasa solidaritas yang sangat tinggi dari suporter merupakan faktor utama terjadinya aksi kekerasan dalam dunia sepakbola. Rasa solidaritas tinggi inilah yang kemudian menjadikan perilaku fanatik (wawancara Kompol Budi Prayitno, tanggal 12 November 2010). Yang dimaksud dari rasa solidaritas yang tinggi adalah rasa solidaritas dari suporter kepada tim kesebelasan yang didukungnya. Dalam hal ini yaitu antara Brajamusti kepada PSIM Jogja. Rasa solidaritas tersebut telah telah menjiwai pada setiap diri/individu kelompok suporter, sehingga menimbulkan perilaku fanatisme. Wujud dari rasa solidaritas yang tinggi tersebut dapat mengakibatkan dua dampak, yaitu dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif dari rasa solidaritas tinggi yang dimiliki suporter sepakbola adalah dapat memberikan dukungan yang penuh kepada timnya, seperti memberikan semangat saat bertanding di stadion. Dan dampak negatifnya adalah jika dukungan yang diberikan tersebut dilakukan dengan cara-cara yang tidak sesuai dan patut hingga menimbulkan tindakan-tindakan kekerasan yang berujung pada kerusuhan. Apabila hal ini sudah terjadi maka yang akan mendapat imbas atau akibat buruknya adalah tim yang didukung tersebut (wawancara Dessy Arfianto, S.T., selaku Sekjen PSIM, 9 Desember 2010). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
38
digilib.uns.ac.id
Selain itu “faktor usia para suporter yang masih sangat muda yang kebanyakan adalah para remaja mudah terkena hasutan dan provokasi. Hal ini dikarenakan usia mereka yang masih sangat muda memiliki jiwa yang meledak-ledak serta emosional dalam menghadapi sesuatu” (wawancara dengan Dwi Irianto, Sekretaris Pengurus Provinsi
DIY PSSI, 11
Desember 2010). Bentuk provokasi tersebut dapat berupa tindakan protes keras secara berlebihan kepada perangkat pertandingan yang dilakukan oleh pemain dan ofisial. Sehingga tindakan pemain dan ofisial ini juga akan memancing para suporter yang juga sedang dalam kondisi emosional untuk melakukan tindakan-tindakan negatif seperti perbuatan kekerasan yang berakibat kerusuhan masal. “Tindakan kekerasan tersebut mereka lakukan sebagai pelampiasan dari kehidupan sehari-hari yang sulit. Karena hampir 50% dari suporter di Indonesia berasal dari golongan menengah ke bawah yang kemudian mereka melampiaskan kesulitan hidupnya melalui pertandingan sepakbola” (wawancara dengan Dwi Irianto, Sekretaris Pengurus Provinsi PSSI DIY, 11 Desember 2010). Tidak hanya itu, “fasilitas olahraga yang masih minim juga mempengaruhi tindak kekerasan yang dilakukan suporter sepakbola. Minimnya fasilitas stadion terutama untuk menjamin keamanan dan kenyamanan bagi para penonton/suporter memudahkannya terjadi gesekan antar suporter yang saling bersebrangan kubu” tambah Dwi Irianto (wawancara dengan Dwi Irianto, Sekretaris Pengurus Provinsi PSSI DIY, 11 Desember 2010). 2. Peran yang Sudah Dilakukan oleh Aparat Kepolisian dan PSSI dalam Mengatasi Aksi Kekerasan Suporter Sepakbola di Yogyakarta a. Peran yang Sudah dilakukan oleh Aparat Kepolisian 1) Peran Aparat Kepolisian menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Seperti yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, “fungsi kepolisian commit to user negara di bidang pemeliharaan adalah salah satu fungsi pemerintahan
perpustakaan.uns.ac.id
39
digilib.uns.ac.id
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat” (Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002). Selain itu aparat kepolisian bertujuan untuk “mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia” (Pasal 4 UU Nomor 2 Tahun 2002). Dalam rangka untuk mewujudkan tujuan tersebut, ada 3 (tiga) tugas pokok dari kepolisian, yaitu (Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002) : a) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b) Menegakkan hukum; dan c) Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas : a) melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; b) menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; c) membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; d) turut serta dalam pembinaan hukum nasional; e) memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; f) melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; g) melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; h) menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; i) melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, to user masyarakat, dancommit lingkungan hidup dari gangguan ketertiban
40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; j) melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; k) memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta l) melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia). Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia harus memiliki kemampuan profesi yang dibina melalui pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengalamannya di bidang teknis kepolisian melalui pendidikan, pelatihan, dan penugasan secara berjenjang dan berlanjut. Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menjadi pedoman bagi pengemban fungsi kepolisian lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di lingkungannya. Pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselesaikan oleh Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Keberhasilan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan melindungi, mengayomi serta melayani masyarakat,
selain
ditentukan
oleh
kualitas
pengetahuan
dan
keterampilan teknis kepolisian yang tinggi sangat ditentukan oleh perilaku terpuji setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di tengah masyarakat. Oleh sebab itu guna mewujudkan sifat kepribadian tersebut, setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya senantiasa terpanggil untuk menghayati dan menjiwai etika profesi kepolisian yang tercermin pada sikap dan perilakunya, sehingga terhindar dari perbuatan tercela dan commit to user penyalahgunaan wewenang.
perpustakaan.uns.ac.id
41
digilib.uns.ac.id
Etika profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai Tribrata yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral yang meliputi pada pengabdian, kelembagaan dan keNegaraan, selanjutnya disusun kedalam Kode Etik Profesi Kepolsiian Negara Republik Indonesia. Etika pengabdian merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta pelindung,pengayom dan pelayan masyarakat. Etika kelembagaan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap institusinya yang menjadi wadah pengabdian yang patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua insan Bhayangkara dan segala martabat dan kehormatannya. Etika keNegaraan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk senantiasa bersikap netral, mandiri dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik, golongan dalam rangka menjaga tegaknya hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia mengikat secara moral, sikap dan perilaku setiap anggota Polri. Pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia harus dipertanggung-jawabkan di hadapan Sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolsian Negara Republik Indonesia guna pemuliaan profesi kepolisian. Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat berlaku juga pada semua organisasi yang menjalankan fungsi Kepolisian di Indonesia. Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 3 Kode Etik Profesi Kepolisian RI, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas memlihara keamanan dan ketertiban umum selalu menunjukkan sikap perilaku dengan : commit to user
42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Meletakkan kepentingan Negara, bangsa, masyarakat dan kemanusiaan diatas kepentingan pribadinya; b. Tidak menuntut perlakuan yang lebih tinggi dibandingkan degan perlakuan terhadap semua warga Negara dan masyarakat; c. Menjaga keselamatan fasilitas umum dan hak milik perorangan serta menjauhkan sekuat tenaga dari kerusakan dan penurunan nilai guna atas tindakan yang diambil dalam pelaksanaan tugas. “Setiap pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dikenakan sanksi moral” (Pasal 17 Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia), berupa : a. Perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela; b. Kewajiban pelanggar untuk menyatakan penyesalan atau meminta maaf secara terbatas ataupun secara terbuka; c. Kewajiban pelanggar untuk mengikuti pembinaan ulang profesi; d. Pelanggar dinyatakan tidak layak lagi untuk menjalankan profesi Kepolisian. 2) Peran Aparat Kepolisian yang Senyatanya Sudah dilakukan dalam Mengatasi Aksi Kekerasan Suporter Sepakbola di Yogyakarta a) Upaya Represif Sebagaimana telah diamanatkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, tugas pokok kepolisian dalam hal penegakkan hukum di Indonesia, aparat kepolisian berpedoman pada KUHP dan KUHAP. Bila dilihat dari segi penegakkan hukum pidana di Indonesia, aksi atau tindakan kekerasan yang dilakukan suporter sepakbola dapat ditindak atau dikenai sanksi pidana. Dalam hal ini Aparat Kepolisian yang berwenang untuk mengusut, memproses, dan menegakkan hukum pidana. Aturan pidana yang dapat dikenakan kepada para tersangka aksi kekerasan yang dilakukan suporter sepakbola, antara lain: commit to userterhadap ketertiban umum (1) Pasal 170 KUHP : kejahatan
43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(2) Pasal 187 KUHP : kejahatan membahayakan ketertiban umum bagi orang atau barang (3) Pasal 351 KUHP : penganiayaan (4) Pasal 352 KUHP : penganiayaan ringan (5) Pasal 354 KUHP : penganiyaan berat (6) Pasal 406 jo 407 KUHP : menghancurkan dan merusak barang milik orang lain (7) Pasal 408 jo 409 KUHP : menghancurkan bangunan sarana dan keperluan umum. Berkaitan dengan peristiwa pertandingan antara PSIM Jogja melawan PSS Sleman tanggal 12 Februari 2010, upaya represif yang dilakukan Aparat Kepolisian terhadap perbuatan pidana atas dampak dari aksi kekerasan suporter sepakbola seperti: (1) Pengerusakan fasilitas stadion (2) Perkelahian (3) Penganiayaan dilakukan langkah-langkah penyelidikan dan penyidikan dalam rangka proses penegakkan hukum. Yaitu dengan cara melakukan proses penyidikan terhadap tersangka yang terlibat dalam aksi kekerasan tersebut sampai dikirim ke Jaksa Penuntut Umum guna proses hukum selanjutnya (wawancara dengan Kasubag Produk Bagian Analisis Direktorat Reskrim Polda DIY, Kompol Budi Prayitno,S.H. tanggal 12 November 2010). “Namun dalam kenyataan di lapangan mereka banyak mengalami kesulitan dalam mencari alat bukti” tambah Kompol Budi Prayitno. “Hal ini dikarenakan banyaknya jumlah suporter dan tindakan saling menutupi yang dilakukan oleh suporter. Sehingga aparat kepolisian mengalami kesulitan dalam mencari keterangan-keterangan dan alat bukti di lapangan dan kasus ini tidak dapat dilanjutkan pemeriksaannya karena tidak ditemukannya commitdengan to userKasubag Produk Bagian Analisis alat bukti” (wawancara
44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Direktorat Reskrim Polda DIY, Kompol Budi Prayitno,S.H. tanggal 12 November 2010). Upaya penegakkan hukum tidak hanya dilakukan kepada masyarakat, namun juga para personil anggota kepolisian itu sendiri. Hal ini dapat dilakukan apabila terjadi kesalahan prosedur dalam proses pengamanan dalam pertandingan sepakbola. Para anggota personil kepolisian yang didapati melakukan kesalahan prosedur dalam proses pengamanan tersebut dikenai sanksi menurut ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Menurut keterangan yang penulis peroleh dari AKBP Eko Sumardiyanto, kerusuhan yang terjadi di Mandala Krida tanggal 12 Februari 2010 bukan diakibatkan karena kesalahan prosedur pengamanan dari Aparat Kepolisian, namun penembakan gas air mata dilakukan guna mencegah jatuhnya korban yang lebih banyak lagi. Sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, dalam melaksanakan tugas pokok memelihara kemanan dan ketertiban masyarakat, telah menerjunkan personil di stadion Mandala Krida. Tetapi saat di lokasi pengamanan aparat kepolisian gagal dalam melakukan pengamanan. Hal ini dikarenakan saat aparat membentuk blockade barisan pengamanan, aksi lempar batu dan kerusuhan suporter PSIM Jogja (Brajamusti) tidak dapat dikendalikan sehingga banyak aparat kepolisian yang terluka. Karena banyak yang terluka maka blockade aparat kepolisian tersebut pecah dan tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan menembakkan gas air mata agar tidak jatuh korban lebih banyak lagi. Tugas aparat kepolisian adalah mengamankan namun karena out put-nya “tidak aman” maka ada sanksi yang dikenakan untuk commit hal to user aparat kepolisian. Dalam ini DIVISI Profesi dan Pengamanan
45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap anggota kepolisian
yang
telah
dianggap
gagal
dalam
melakukan
pengamanan di Mandala Krida. Dari proses tersebut telah ditetapkan satu anggota kepolisian yang terbukti bersalah dari jumlah terperiksa 93 personil dari Polda DIY dan 46 personil dari Poltabes Yogyakarta, yaitu Kepala Kesatuan Pengendalian Polda DIY. Setelah melalui sidang disiplin sebanyak 7 (tujuh) kali dengan dihadiri 5 saksi dari anggota kepolisian dan 5 saksi dari luar (masing-masing dari PSSI, Panpel, Pemain PSIM, manajemen PSIM dan masyarakat) akhirnya kepada Kasat Dalmas tersebut dikenai sanksi berupa teguran tertulis. Sanksi tersebut dijatuhkan karena sebagai komandan dianggap tidak dapat mengendalikan masa sehingga banyak yang terluka/cidera (wawancara dengan AKBP Eko Sumardiyanto, S.H. hari Jumat tanggal 10 Desember 2010). AKBP Eko Sumardiyanto menambahkan “sanksi berupa teguran tertulis merupakan sanksi yang berat untuk seorang anggota polisi berpangkat perwira, karena itu manyangkut karir selanjutnya. Jika mendapat teguran tertulis lebih dari tiga kali maka anggota tersebut dapat diberhentikan atau dipecat dari kepolisian” (wawancara dengan AKBP Eko Sumardiyanto, S.H. hari Jumat tanggal 10 Desember 2010).. b) Upaya Preventif Aparat
kepolisian
sebagai
aparat
Negara
yang
bertanggungjawab atas keamanan dalam negeri yang berfungsi di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian). Oleh sebab itu peran pemerintah dan aparat kepolisian dalam menjamin keolahragaan sekaligus menjaga commit to user keamanan/ketertiban menjadi penting, karena perilaku kekerasan
46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
selain bukan hanya sekedar melanggar aturan hukum tetapi juga telah meresahkan masyarakat. Beberapa upaya yang telah dilakukan oleh kepolisian dalam mengantisipasi perilaku kekerasan suporter sepakbola adalah: (1) Menyusun Rencana Pengamanan Dalam penyusunan rencana pengamanan (renpam) kegiatan sepakbola
juga
melibatkan
panitia
pelaksana
kegiatan
sepakbola termasuk instansi terkait (seperti Polisi Militer, Satpol PP) dari PSSI/KONI sehingga terjadi sinergi dalam penanganan pengamanan kegiatan sepakbola (wawancara Kompol Budi Prayitno, tanggal 12 November 2010). (2) Pengamanan Stadion dalam Pertandingan Bentuk tindakan preventif
yang lain berupa pengamanan
terhadap jalannya pertandingan di sekitar stadion. Langkah Polri sebelum pertandingan dilakukan adalah dengan membuat rencana pengamanan (renpam) yang melibatkan fungsi operasional kepolisian, yaitu: (a) Fungsi Samapta (b) Fungsi Intelejen (c) Fungsi Reskrim (d) Fungsi Lalu Lintas (e) Fungsi Bina Mitra Dalam rencana pengamanan tersebut telah ditentukan juga penempatan personil yang ditempatkan di lokasi kegiatan dalam hal ini pengamanan pertandingan sepakbola, yang melibatkan dari fungsi-fungsi tersebut dengan dikendalikan oleh Perwira sebagai pengandali kegiatan pengamanan (wawancara Kompol Budi Prayitno,tanggal 12 November 2010). Pada saat pengamanan kegiatan, fungsi-fungsi operasional to user kegiatan sebagaimana clothing tersebut diatascommit melaksanakan
47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penempatan
personel/petugas
sesuai
dengan
renpam.
Pengamanan ini dilakukan dengan berkoordinasi dengan panpel (panitia pelaksana). Menurut Kompol Budi Prayitno, penanganan yang dilakukan oleh kepolisian adalah mempertimbangkan tim yang akan bertanding. Penanganan akan lebih ekstra ketat bila pertanding melawan Persebaya dengan suporter boneknya, dibandingkan bila
melawan
Persiba
Bantul
ataupun
PSS
Sleman.
Pengamanan dilakukan oleh petugas berpakaian dinas dan preman. Petugas polisi preman akan ditempatkan diantara para suporter untuk mengawasi tingkah laku para suporter secara langsung dan dekat, sehingga tingkah laku yang cenderung negatif akan cepat diantisipasi dan dilakukan penindakan. (3) Sosialisasi Menurut Kompol Budi Prayitno, sosialisasi terhadap kelompok suporter di wilayah hukum daerah Yogyakarta dilakukan dengan memberikan pembinaan dan penyuluhan kepada kelompok suporter. Hal ini dilakukan bertujuan untuk memberikan penyadaran pada kelompok suporter yang ada untuk mematuhi aturan hukum guna tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suporter justru akan menimbulkan kerugian di semua pihak, baik masyarakat umum maupun tim itu sendiri yang akan mendapat sanksi dari PSSI. Pembinaan dan penyuluhan ini dilakukan oleh Biro Bina Mitra dan Kasat Bimas Polda DIY. Sedangkan untuk penegakan hukum apabila terjadi suatu tindak pidana dilakukan oleh Rreserse Kriminal (Reskrim). c) Upaya Preemtif Sebagai upaya preemtif, Kepala Biro Personel Polda DIY Drs. Abdul Hasyim Gani memberikan saran psikologi terkait tindakan to userPSIM dengan PSS di Stadion kekerasan suportercommit sepakbola
48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Mandala Krida Yogyakarta 12 Februari 2010, yang ditujukan untuk personel kepolisian dan suporter sepakbola. Saran psikologi tersebut
dituangkan
dalam
Nota
Dinas
Nomor:
B/ND-
147/II/2010/Ropers, yang isinya : (1) Bahwa dalam setiap operasi Kepolisian pada tahap lat pra ops kepada anggota yang terlibat, selama ini telah diberikan ceramah psikologi massa sebagai bekal anggota sehingga dalam pelaksanaan tugas di lapangan dapat bersikap dan bertindak professional; (2) Bahwa apabila terjadi tindakan atau perilaku penyimpangan dari masyarakat, bukanlah semata akibat dari kesalahan petugas atau aparat di lapangan, melainkan adanya saling memperngaruhi satu dengan yang lainnya; (3) Bahwa
kepada
masyarakat,
penonton/suporter
dapat
memberikan tindakan preventif untuk dapat meminimalkan arogansinya
masing-masing
misalnya
dengan
tidak
menggunakan atribut tertentu, tempat duduk antar suporter tidak
dipisahkan,
dan
sebelum
atau
sesudah
kegiatan/pertandingan dapat diperdengarkan semacam musik yang dapat membuat suasana tenang diantara kedua belah pihak. b. Peran yang Sudah dilakukan oleh PSSI 1) Peran PSSI menurut Peraturan Organisasi Nomor: 06/POPSSI/III/2008 tentang Kode Disiplin PSSI PSSI sebagai pemegang otoritas persepakbolaan tertinggi di Indonesia telah membuat kebijakan-kebijakan untuk menanggulangi tindakan kekerasan suporter, yaitu dengan adanya Peraturan Organisasi Nomor: 06/PO-PSSI/III/2008 tentang Kode Disiplin PSSI. Peraturan Organisasi tentang Kode Disiplin PSSI ini dibuat sebagai upaya peningkatan kualitas sepakbola nasional dengan manajemen modern commit to user berbisnis dan profesionalisme menjadi acuan didalam penetapan
49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
standar kualitas yang harus dilaksanakan oleh seluruh pemangku kepentingan persepakbolaan nasional. Kemajuan persepakbolaan di Indonesia terus bertumbuh, baik dari sisi volume pertandingan maupun kualitas kompetisi yang semakin meningkat, serta animo masyarakat pemerhati sepakbola nasional di seluruh pelosok tanah air. Untuk itu dalam rangka mewujudkan visi sepakbola Indonesia 2020, yang diiringi dengan pertandingan dan kompetisi yang padat memerlukan panduan penegakan disiplin sebagai basis meningkatkan kualitas persepakbolaan nasional. Kode Disiplin tersebut ditetapkan dan diberlakukan dengan tujuan mengatur dan menjelaskan jenis-jenis pelanggaran disiplin terhadap peraturan-peraturan yang dikeluarkan PSSI, menetapkan tindakan hukuman berupa sanksi agar peraturan disiplin ditegakkan sehingga pertandingan dan kompetisi berjalan sesuai dengan The Laws of the Game, berlangsung fair, menghibur dan bermartabat bagi kehidupan. Selain itu Kode Disiplin juga mengatur mengenai organisasi, tugas, kewenangan,
fungsi
dan
kewajiban
badan-badan
yang
bertanggungjawab dalam membuat dan mengambil keputusan atas pelanggaran disiplin, serta prosedur dan tata cara yang harus diikuti oleh badan-badan tersebut serta para pihak yang terkait dengan pelanggaran disiplin. Kode Disiplin PSSI ini berlaku untuk setiap pertandingan dan kompetisi yang diselenggarakan oleh PSSI. Kode Disiplin PSSI ini juga diberlakukan lebih luas, yakni apabila terganggunya perangkat pertandingan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya dan/atau tujuan utama Pedoman Dasar PSSI dilanggar, khususnya pelanggaran disiplin tentang pemalsuan, suap, dan doping. Kode Disiplin PSSI ini berlaku bagi semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan sepakbola di Indonesia, khususnya, tetapi tidak terbatas pada : to user a. Seluruh Penguruscommit PSSI baik di Pusat maupun di Daerah;
50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. c. d. e. f. g. h.
Pengurus Klub; Klub; Ofisial; Pemain; Perangkat pertandingan; Agen pertandingan dan agen pemain berlisensi; Setiap orang yang memiliki otoritas dari PSSI, khususnya yang terkait dengan pertandingan, kompetisi atau kegiatan lainnya yang diselenggarakan oleh PSSI; i. Penonton; j. Suporter (Pasal 3 Peraturan Organisasi Nomor: 06/POPSSI/III/2008). Kode Disiplin PSSI mulai diberlakukan hanya pada pelanggaran disiplin yang terjadi berdasarkan fakta-fakta setelah Kode Disiplin PSSI ditetapkan. Kode Disiplin PSSI ini juga ditetapkan berlaku berdasarkan fakta-fakta yang telah terjadi sebelumnya untuk membantu atau lebih membantu proses pertimbangan dalam pengambilan keputusan, dan terutama apabila Komisi Disiplin PSSI dan/atau Komisi Banding PSSI memutuskan berdasarkan fakta-fakta yang ada dan telah terjadi setelah Kode Disiplin PSSI diberlakukan. Hukuman pelanggaran disiplin dijatuhkan apabila adanya kesengajaan dan kelalaian melakukan pelanggaran disiplin, tindakan percobaan
melakukan
pelanggaran
disiplin,
keterlibatan
dalam
pelanggaran disiplin. Jenis-jenis hukuman pelanggaran disiplin dikelompokan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu : a. “Hukuman pelanggaran disiplin untuk orang, klub, ofisial dan perangkat
pertandingan
yang
terlibat
langsung
dalam
pertandingan” (Pasal 10 Peraturan Organisasi Nomor: 06/POPSSI/III/2008), berupa: 1) Sanksi peringatan dengan pemberitahuan; 2) Sanksi teguran; 3) Sanksi denda; dan atau 4) Sanksi pengembalian penghargaan. commit to user
51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. “Hukuman pelanggaran disiplin bagi pemain dan atau ofisial yang terlibat langsung dalam pertandingan” (Pasal 11 Peraturan Organisasi Nomor: 06/PO-PSSI/III/2008), berupa : 1) Sanksi peringatan dengan Kartu Kuning; 2) Sanksi dikeluarkan dari lapangan dengan Kartu Merah; 3) Sanksi larangan bermain; 4) Sanksi larangan memasuki ruang ganti dan atau bangku cadangan; 5) Sanksi larangan memasuki arena stadion; 6) Sanksi larangan ikut serta dan terlibat dalam aktivitas sepakbola. c. “Hukuman pelanggaran disiplin bagi klub” (Pasal 12 Peraturan Organisasi Nomor: 06/PO-PSSI/III/2008), berupa : 1) Sanksi larangan melakukan transfer; 2) Sanksi bermain tanpa penonton; 3) Sanksi bermain di tempat netral; 4) Sanksi larangan bermain di stadion tertentu; 5) Sanksi penghapusan hasil pertandingan; 6) Sanksi dikeluarkan dari kompetisi; 7) Sanksi diwajibkan membayar denda; 8) Sanksi pengurangan nilai; dan atau 9) Sanksi diturunkan ke divisi yang lebih rendah. Organisasi sepakbola yang menyelenggarakan pertandingan bertanggungjawab dan wajib untuk melakukan tindakan dan upaya : a. Memperhitungkan dan mengantisipasi tingkat bahaya yang akan terjadi dalam pertandingan tersebut dan memberitahukannya kepada PSSI setiap hal yang memiliki resiko tinggi terhadap ancaman gangguan keamanan dan ketertiban pertandingan yang mengakibatkan terganggunya kenyamanan tim, kenyamanan perangkat pertandingan, penonton dan kelancaran pertandingan di dalam stadion atau di luar dan sekitar stadion, baik sebelum pertandingan, pada saat pertandingan berlangsung, dan sesaat segera commit to user setelah pertandingan selesai;
52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Memastikan bahwa pertandingan dilangsungkan sesuai dan berdasarkan pada Peraturan Keamanan (regulasi PSSI, regulasi AFC, regulasi FIFA, dan hukum nasional) dan segera mengambil tindakan-tindakan pencegahan sesuai dengan kondisi lingkungan di lapangan sebelum, pada saat dan setelah pertandingan selesai, serta apabila terjadi kerusuhan; c. Memastikan keamanan dan kenyamanan perangkat pertandingan, pemain, dan ofisial tim tuan rumah dan ofisial tim tamu selama mereka berada di tempat pelaksanaan pertandingan; d. Menjamin komunikasi dan koordinasi dengan pemerintah setempat secara aktif dan efektif; e. Memastikan bahwa hukum dan peraturan tetap ditegakkan secara baik dan benar, baik di stadion maupun di sekitar stadion dan pertandingan-pertandingan tersebut pun berjalan dan terorganisir dengan baik (Pasal 73 Peraturan Organisasi Nomor: 06/PO-PSSI/III/2008). Setiap
organisasi
sepakbola
yang
menyelenggarakan
pertandingan gagal memenuhi tanggungjawab dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan Pasal 73 Kode Disiplin PSSI dihukum berupa : a. Sanksi denda sekurang-kurangnya Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah); b. Sanksi larangan memasuki stadion bagi suporter dan atau pendukung klub tersebut sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan; c. Sanksi bertanding tanpa dihadiri penonton sekurang-kurangnya 1 (satu) kali pertandingan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 74 Peraturan Organisasi Nomor: 06/PO-PSSI/III/2008. Panitia pelaksana pertandingan tuan rumah atau klub tuan rumah memiliki tanggungjawab atas terjadinya kerusuhan yang dilakukan akibat tingkah laku buruk dan tindakan yang tidak semestinya oleh penonton, khususnya dalam hal terjadinya kegagalan dan kelalaian menegakkan aturan disiplin, apapun alasan tingkahlaku buruk yang dilakukan itu, dihukum dengan sanksi denda dan hukuman lainnya commit to user
53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi di lapangan. Hukuman lainnya dapat pula dijatuhkan pada kasus kerusuhan yang serius. Tim tamu atau klub tamu bertanggungjawab atas terjadinya tingkahlaku buruk yang dilakukan suporter pendukung timnya, khususnya dalam hal terjadinya kerusuhan dan atau kegagalan dan kelalaian menegakkan aturan disiplin, apapun alasan dan cara tingkahlaku buruk itu dilakukan dihukum dengan hukuman sanksi denda dan hukuman lainnya sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi di lapangan. Suporter pendukung yang duduk di stadion pada sektor yang berseberangan dengan suporter tuan rumah adlaah pendukung tim lawan tuan rumah, kecuali apabila terbuktii sebaliknya. Tingkahlaku buruk berupa kerusuhan dan atau tingkahlaku yang tidak semestinya hal tersebut di atas, juga termasuk kekerasan yang dilakukan terhadap orang-orang atau benda, meledakkan alat ledak, melempar peluru, menunjukkan slogan menghina atau berbau politik dalam bentuk dan cara apapun, menggunakan kata-kata atau suarasuara menghina atau memaksa masuk ke dalam lapangan dengan cara apapun.
Terhadap
klub
tuan
rumah
sebagai
penyelenggara
pertandingan yang gagal memenuhi tanggungjawab dan kewajibannya tersebut mendapatkan hukuman berupa : a. Sanksi denda sekurang-kurangnya Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); dan b. Sanksi bertanding tanpa dihadiri penonton dengan jarak radius sekurang-kurangnya 100 km (seratus kilometer) dari kota klub tuan rumah itu sekurang-kurangnya selama 3 (tiga) bulan. Sedangkan terhadap suporter pendukung tim tuan rumah yang melakukan kerusuhan tersebut dihukum dengan sanksi larangan memasuki stadion sekurang-kurangnya selama 3 (tiga) bulan, begitu juga terhadap suporter pendukung tim tamu. “Terhadap klub yang suporternya melakukan kerusuhan tersebut dihukum dengan sanksi commit to user
54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
denda sekurang-kurangnya Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)” (Pasal 75 ayat (8) Peraturan Organisasi Nomor: 06/PO-PSSI/III/2008). 2) Peran PSSI yang Senyatanya Sudah dilakukan dalam Mengatasi Aksi Kekerasan Suporter Sepakbola di Yogyakarta a) Upaya Represif Dalam dunia sepakbola PSSI merupakan suatu wadah yang mempunyai otoritas tertinggi dalam memberikan baik pengaturan maupun sanksi (tindakan represif). Tindakan represif
berupa
Peraturan Organisasi Nomor: 06/PO-PSSI/III/2008 tentang Kode Disiplin PSSI. Peraturan Organisasi inilah yang menjadi landasan bagi PSSI untuk memberikan sanksi dalam persepakbolaan Indonesia. Tindakan atau aksi kekerasan yang dilakukan oleh suporter PSIM Jogja telah mengakibatkan banyak kerugian. Mulai dari kerusakan fasilitas di dalam Stadion Mandala Krida Yogyakarta, hingga kerusakan yang terjadi di luar stadion. Hal ini dinilai oleh Komisi Disiplin PSSI sebagai kekurangsiapan dari Panitia Pelaksana Pertandingan. Oleh karena itu Komisi Disiplin PSSI mengeluarkan
Keputusan
Komisi
Disiplin
PSSI
Nomor:
40/KEP/KD/DU-XV/II-10 tentang Hukuman Terhadap Panitia Pelaksana Pertandingan PSIM Jogja, yang memutuskan: (1) Menghukum Panitia Pelaksana Pertandingan PSIM Jogja berupa pertandingan dimainkan dengan tanpa disaksikan penonton sebagai tuan rumah di kota Yogyakarta sebanyak 1 (satu) kali, pada pertandingan antara PSIM Jogja dengan Persigo Gorontalo tanggal 19 Februari 2010. Pertandingan hanya
dihadiri
Kesehatan,Tim
oleh
Perangkat
Keamanan
dan
Pertandingan, Wartawan.
Tim
Apabila
pertandingan tersebut dengan disaksikan oleh penonton, maka pertandingan dinyakatakan sebagai pertandingan persahabatan. commit to user
55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(2) Menghukum Panitia Pelaksana Pertandingan PSIM Jogja berupa pertandingan tanpa disaksikan penonton di daerah netral sebanyak 2 (dua) kali, pada pertandingan antara PSIM Jogja dengan PS. Mojokerto Putra tanggal 9 Maret 2010 dan pertandingan antara PSIM Jogja dengan Persibo Bojonegoro tanggal 13 Maret 2010. Pemindahan tempat pertandingan di luar kota Yogyakarta di stadion yang memenuhi persyaratan pertandingan Divisi Utama. Pertandingan hanya dihadiri oleh Perangkat Pertandingan, Tim Kesehatan, Tim Keamanan dan Wartawan. Apabila pertandingan tersebut dengan disaksikan penonton, maka pertandingan dinyatakan sebagai pertandingan persahabatan. (3) Menghukum Panitia Pelaksana Pertandingan PSIM Jogja berupa mengganti kerugian atas kerusakan fasilitas Stadion Mandala Krida dan membiayai pengobatan cedera yang dialami penonton dan petugas keamanan, serta kerusakan kendaraan roda dua dan roda empat yang merupakan akibat dari kerusuhan pertandingan tanggal 12 Februari 2010 di Stadion Mandala Krida Yogyakarta. b) Upaya Preventif PSSI sebagai pemegang otoritas persepakbolaan tertinggi di Indonesia
telah
membuat
kebijakan-kebijakan
untuk
menanggulangi tindakan kekerasan suporter yang berupa tindakan preventif (pencegahan). Beberapa kebijakan tersebut antara lain: (1) Adanya peraturan organisasi mengenai rule of the game dalam pertandingan sepakbola di Indonesia. Peraturan tersebut yaitu Peraturan Organisasi Nomor: 06/PO-PSSI/III/2008 tentang Kode Disiplin PSSI. Tujuan adanya kode disiplin ini adalah: (a) Mengatur dan menjelaskan jenis-jenis pelanggaran disiplin terhadap peraturan-peraturan yang dikeluarkan PSSI; commit to user
56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(b) Menetapkan tindakan hukum berupa sanski agar peraturan disiplin ditegakkan sehingga pertandingan dan kompetisi berjalan disiplinsesuai dengan The Law of The Game, berlangsung
fair,
menghibur
dan
bermatabat
bagi
kehidupan; (c) Pengaturan tentang organisasi, tugas, kewenangan, fungsi dan kewajiban badan-badan yang bertanggungjawab dalam membuat dan mengambil keputusan atas pelanggaran disiplin; (d) Prosedur tata cara yang harus diikuti oleh badan-badan tersebut serta para pihak yang terkait dengan pelanggaran disiplin (pasal 1 Tujuan Kode Disiplin PSSI Peraturan Organisasi Nomor: 06/PO-PSSI/III/2008). Dalam hubungannya antar subjek yang diatur pada kode disiplin ini, memuat sanksi atas benturan-benturan yang dapat terjadi di pertandingan sepakbola, yakni antara lain: (a) Suporter dengan suporter (b) Suporter dengan klub (c) Suporter dengan perangkat pertandingan. Kode disiplin ada agar persepakbolaan di tanah air tetap pada jalurnya (on thee track) dan niliai-nilai sportifitas yang ada pada olahraga tetap terjaga sebagai nilai yang utama, serta menjadi pedoman bagi insan sepakbola. Aturan yang terdapat dalam kode disiplin tidak hanya mengatur pelanggaranpelanggran yang terjadi dalam pertandingan sepakbola saja, tetapi juga mengatur suporter sebagi bagian yang ada dari sepakbola itu sendiri. Jenis sanksi administrative sebagi akibatpelanggaran terhadap kode disiplin terbagi menjadi beberapa jenis sanksi/hukuman, yaitu: (a) Sanksi peringatan dengan pemberitahuan commit to user (b) Sanksi teguran
57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(c) Sanksi denda, dan/atau (d) Sanksi pengembalian penghargaan (Pasal 10 PDPO) Sanksi administrative di atas dapat dikenakan kepada pihakpihak yang menjadi subjek dalam kode disiplin ini, yakni seluruh anggota PSSI (pusat maupun daerah), pengurus klub, klub,
ofisial,
pemsin,
perangkat
pertandingan,
agen
pertandingan dan agen pemain berlisensi, setiap orang yang memiliki otoritas dari PSSI (khususnya yang terkait dengan pertandingan), penonton maupun suporter. Semua pihak tersebut wajib menjalankan kode disiplin tanpa terkecuali. Adanya Peraturan Organisasi Nomor: 06/PO-PSSI/III/2008 merupakan bentuk kebijakan preventif yang sekaligus dapat berfungsi represif sebagai sebuah penegakan aturan dalam sepakbola. (2) “Kebijakan
terbaru
mengantisipasi
aksi
yang
dilakukan
kekerasan
oleh
PSSI untuk
suporter adalah
dengan
menempatkan match steward” (wawancara dengan Dwi Irianto tanggal 11 Desember 2010). Match steward adalah petugas keamanan yang ditempatkan di stadion untuk tugas dan kelancaran pertandingan dan personil tersebut (semuanya) adalah petugas sipil terlatih (Manual Liga Indonesia, Regulasi C tentang Penyelenggaraan Pertandingan). Match steward berfungsi sebagai tugas perbantuan dari keamanan di dalam stadion, sedangkan untuk pengamanan yang utama tetap dilakukan oleh aparat kepolisisan. Match Steward merupakan hal yang baru dalam liga Indonesia, namun bukan hal yang baru bagi suatu pertandingan sepakbola. Negara-negara seperti Italia dan Inggris telah menggunakan system ini dalam ligaliga mereka. Adapun tugas dan wewenang dari match steward ini adalah : commit to user
58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(a) Terdiri dari 5 personil yang bertugas mengawasi penonton yang sedang menyaksikan pertandingan di stadion. (b) Posisi match steward
berada di dalam lapangan dan
mengahadap tribun penonton selama pertandingan berlangsung. (c) Tidak diperkenankan menghadap
ke lapangan dan
meninggalkan pos jaga yang telah ditetapkan panitian pelaksana (panpel) selama pertandingan berlangsung. (d) Segera berkoordinasi dengan personil bila terindikasi potensi masalah dan keributan dari suporter di tribun (Pasal 47 Manual Liga Indonesia, Regulasi C tentang Penyelenggaraan Pertandingan). Adanya match steward diharapkan dapat menambah dan membantu
penanggulangan
tindak
kekerasan
suporter
sepakbola. (3) Upaya preventif lainnya yakni “melalui pendewasaan dan pemahaman
aturan
pertandingan.
Pemahaman
aturan
pertandingan menjadi salah satu bagian terpenting dalam penanggulangan aksi kekerasan suporter sepakbola karena mempunyai fungsi efektif dan strategis” (wawancara dengan Dwi Irianto 11 Desember 2010). Hal ini dilakukan melalui workshop-workshop serta seminar mengenai aksi kekerasan suporter sepakbola. Salah satu penyebab terjadinya tindakan kekerasan adalah pemahaman terhadap peraturan, tugas dan fungsi wasit yang masih kurang. Adanya pelatihan, workshop, dan seminar diharapkan dapat meningkatkan pemahaman terhadap peraturan pertandingan serta penanaman nilai-nilai sportivitas, tambah Dwi Irianto. (4) Pengadaan acara yang bertujuan menjalin komunikasi antar commit to user suporter sepakbola tanah air. Acara tersebut adalah Jambore
59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nasional Suporter yang diadakan oleh Badan Liga Indonesia (BLI). Tujuan adanya Jambore Nasional Suporter adalah memberikan wadah komunikasi antara suporter yang ada di Indonesia untuk menghilangkan permasalahan-permasalahan yang ada, sehingga diharapkan dapat timbul rasa persaudaraan dan persatuan. Jambore ini diadakan setahun sekali dan sangat diharapkan dapat mereduksi konflik yang terjadi di dalam pertandingan sepakbola (wawancara dengan Dwi Irianto 11 Desember 2010).
B. Pembahasan 1. Studi Kasus Kerusuhan Antara Suporter PSIM Jogja dengan Aparat Kepolisian Dilihat dari Aspek Kriminologis Dalam sejarah perkembangan akal pemikiran manusia yang menjadi dasar dibangunnya teori-teori kriminologi, terdapat suatu aliran yang bernama aliran naturalisme. Aliran tersebut dibagi menjadi aliran klasik, aliran neo-klasik dan aliran positifis. Aliran positifis dibagi lagi nenjadi dua yaitu determinisme biologis dan determinisme cultural. Menurut analisa penulis, aksi kekerasan yang dilakukan oleh suporeter sepakbola dapat dimasukkan ke dalam determinisme cultural. Hal ini dikarenakan aksi kekerasan yang dilakukan oleh suporter disebabkan oleh pengaruh sosial di lingkungan sekitarnya. Seperti yang telah kita ketahui lingkungan yang ada dalam persepakbolaan di Indonesia seperti rasa fanatik kedaerahan yang dimiliki suporter, akan memicu terjadinya tindakan-tindakan yang mengarah pada kekerasan. Seperti halnya apa yang diungkapkan oleh Lacassagne, bahwa yang terpenting dalam masalah sebagai kejahatan adalah keadaan sekeliling kita. Tokoh lainnya yaitu Tarde, juga mengemukakan bahwa Banyak orang dalam kebiasaan hidupnya dan pendapatnya sangat mengikuti keadaan lingkungannya, dimana mereka hidup. Sedangkan menurut mahzab lingkungan ekonomi, penulis setuju dengan pendapat N. Colayani yang mengatakan bahwa ada hubungan antara sistem commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
60
digilib.uns.ac.id
ekonomi dengan faktor-faktor umum dalam kejahatan. Keterlantaran dan pengangguran anak-anak dan remaja karena keadaan lingkungan, kesengsaraan akibat dari keadaan ekonomi merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya aksi kekerasan suporter sepakbola. Aksi kekerasan yang dilakukan suporter dapat dikatakan sebagai pelampiasan dari kehidupan sehari-hari yang sulit. Hampir 50% dari suporter di Indonesia berasal dari golongan menengah ke bawah yang kemudian mereka melampiaskan kesulitan hidupnya melalui pertandingan sepakbola. Seseorang melakukan kekerasan seperti pemukulan akibat dari kesulitan hidup sehari-hari pastilah ia akan dikenakan hukuman dan sanksi pidana. Akan tetapi hal ini tidak terjadi dalam dunia sepakbola, ketika seseorang yang tegabung dalam kelompok suporter melakukan tindakan kekerasan orang tersebut belum tentu akan dikenakan sanksi pidana dan hukuman. Sehingga pertandingan sepakbola dianggap sebagai tempat yang cocok untuk melampiaskan semua kesulitan tanpa harus dikenai hukuman. Berkaitan dengan aksi kekerasan yang dilakukan oleh suporter sepakbola, lebih awal penulis akan mengemukakan mengenai aksi kekerasan yang dilakukan oleh suporter sepakbola. Perilaku kekerasan suporter sepakbola terlihat dari adanya tindakan-tindakan negatif yang dilakukan, baik di dalam maupun di luar stadion. Tindakan tersebut dapat berupa penghinaan, perusakan fasilitas umum dan stadion serta keributan antar suporter. Berdasarkan jenisnya tindakan negatif suporter sepakbola dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian, yaitu: a. Intimidasi, penghinaan, dan atau fitnah Tingkah laku buruk dengan melakukan intimidasi, penghinaan, penistaan, tuduhan tanpa dasar, dan atau fitnah yang dilakukan dengan cara apapun tanpa menggunakan kekuatan fisik dengan tujuan menyerang nama baik atau kehormatan dan martabat seseorang, pemain, ofisial tim, klub, perangkat pertandingan, penonton, institusi PSSI dan atau pihak-pihak lain yang melakukan aktivitas yang berhubungan dengan sepakbola yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang. commit to user
61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh suporter sepakbola di Yogyakarta (Brajamusti dan Slemania) seperti aksi saling ejek termasuk ke dalam tindakan negatif berupa penghinaan. Aksi saling ejek ini bertujuan untuk menyerang nama baik atau kehormatan dan martabat tim lawan. b. Rasisme Tindakan rasis berupa tingkah laku buruk, diskriminatif atau meremehkan seseorang, atau melecehkan seseorang dengan cara apapun dengan tujuan menyerang atau menjatuhkan nama baik orang tersebut yang terkait dengan pertandingan, warna kulit, bahasa, agama atau suku bangsa atau melakukan tindakan rasisme lainnya dengan cara apapun. Tindakan negatif berupa rasisme ini biasanya ditunjukkan oleh suporter sepakbola ketika menyanyikan yel-yel. Di dalam yel-yel tersebut tidak sedikit yang menggunakan kata-kata yang kurang sopan sehingga terlihat bahwa kata-kata tersebut meremehkan dan melecehkan tim lawan. c. Tindakan buruk dengan menyerang dan tidak fair play Perbuatan yang menghasut, melecehkan, atau mendeskreditkan seseorang bagaimanapun caranya, khususnya dengan menggunakan gerakan anggota tubuhnya atau dengan kata-kata melakukan sesuatu tindakan dengan maksud menyerang nama baik orang lain, atau melakukan tindakan buruk yang melanggar asas-asas fair play. d. Tingkah laku buruk memprovokasi masyarakat Tingkah laku buruk dengan memancing atau memprovokasi masyarakat untuk melakukan suatu pelanggaran disiplin ketika pertandingan sedang berlangsung. e. Kerusuhan Peristiwa
yang
tidak
perusakan/penghancuran,
terkendali pembakaran,
berupa
perkelahian
peledakan
terhadap
massal, fasilitas
olahraga dan fasilitas umum yang dilakukan oleh sekelompok orang di dalam dan atau di luar lingkungan stadion. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
62
digilib.uns.ac.id
Tindakan negatif inilah yang menjadi puncak dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh suporter PSIM Jogja dan Aparat Kepolisian pada tanggal 12 Februari 2010. f. Tingkah laku buruk dengan melakukan penganiayaan Tindakan yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang yang dilakukan terhadap seseorang, pemain, ofisial tim, perangkat pertandingan, penonton, pengururs PSSI, baik di pusat maupun di daerah atau pihakpihak lain yang melakukan aktivitas yang berhubungan dengan sepakbola dengan menggunakan kekuatan fisik apapun caranya dengan tujuan merugikan kesehatan atau mengakibatkan cidera, baik cidera ringan maupun cidera berat. Dalam kasus kerusuhan yang terjadi di stadion Mandala Krida 12 Februari 2010, tindakan yang dilakukan oleh suporter PSIM Jogja telah mengakibatkan aparat kepolisian yang sedang mengamankan kerusuhan tersebut luka-luka atau cidera. Namun tak sedikit juga pihak dari suporter PSIM itu sendiri yang cidera sebagai akibat dari ditembakkannya gas air mata oleh aparat kepolisian. Hal-hal di atas dapat disebabkan oleh berbagai hal, baik dari faktor sosial maupun sifat alamiah yang dimiliki manusia. “Kelompok suporter banyak menerima suatu rangsangan dari pertandingan, seperti hasil pertandingan, dukungan kepada tim yang berbeda dari suporter lawan, dan lain sebagainya” (Suryanto, Pertandingan Sepakbola Sebagai Situasi Sosial, www.unair.ac.id/> [23 Mei 2010 Pukul 13.15]). Berbagai aksi tersebut tentu akan menimbulkan reaksi-reaksi negatif apabila tidak dikelola dengan baik. Sehingga aksi kekerasan suporter sepakbola tergolong kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. Menurut Menteri Kehakiman Skotlandia, Cathy Jamieson, dalam Football hooligans to be shown the red card, mengatakan “Violence, chants, taunts and songs of hatred are inexcusable and must be tackled. We need to respect our rivals and unite against the common enemies that would stain our game commit user has come to reclaim our sports bigotry, racism and sectarianism. Theto time
63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
grounds and show these hooligans a straight red - a straight red that could last a decade” (http://www.journalonline.co.uk/ >[12 Januari 2011 pukul 22.40]). Yang artinya bahwa kekerasan, melagukan, ejekan dan lagu-lagu kebencian yang tidak bisa dibenarkan dan harus ditangani. Kita harus menghormati rival kami dan bersatu melawan musuh bersama yang akan noda permainan kami -.. Kefanatikan, rasisme dan sektarianisme. Waktunya telah datang untuk merebut kembali olahraga kita alasan dan menunjukkan hooligan ini merah lurus merah lurus yang bisa bertahan satu dekade. Perusakan, penghancuran, kerusuhan, rasisme merupakan bentuk perilaku kekerasan yang tidak lagi memperhatikan prinsip-prinsip sportivitas dalam olahraga
sepakbola.
Kurangnya
pemahaman
terhadap
prinsip-prinsip
sportivitas turut menjadi pemicu dalam perilaku kekerasan. Padahal FIFA sebagai badan otoritas tinggi dalam sepakbola dunia telah menyusun kode etik fair play yang harus menjadi pedoman bagi pelaku olahraga sepakbola. Kode etik fair play atau 10 Golden Rules FIFA terdiri dari: a. Main untuk menang; maksudnya tim dilarang untuk merencanakan kekalahan sebelum bertanding. b. Bermain dengan jujur dan adil; maksudnya baik dan buruknya nilai sebuah pertandingan ditentukan oleh nilai sportivitas yang ada di dalamnya. c. Mentaati peraturan pertandingan. d. Menghormati tim lawan, rekan satu tim, wasit, ofisial, pengawas pertandingan dan penonton. e. Menghormati kekalahan dengan jiwa besar. f. Aktif ikut mempromosikan sepakbola. g. Tolak suap dan korupsi, narkoba dan doping, rasisme, tindak kekerasan dan hal-hal yang berusaha merusak sepakbola. h. Bantu orang lain untuk kuat menghadapi godaan untuk melakukan korupsi dan suap. i. Umumkan siapapun yang merusak sepakbola. j. Memberikan penghargaan pada insan sepakbola yang berhasil mempertahankan reputasi sepakbola (Yuamar Imarrzan Basrah. 10 Golden Rules FIFA. www.yuamar.wordpress.com/> [8 Juli 2010 Pukul 09:05]). Kode etik fair play FIFA ini memeberikan pentingnya nilai-nilai sportivitas yang dilakukan baik oleh pemain, ofisial, wasit, perangkat pertandingan maupun suporter sebagai bagian dari sepakbola. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
64
digilib.uns.ac.id
Tujuan dari tindakan kekerasan tersebut bermacam-macam, ada yang karena cinta pada tim secara berlebihan sampai dengan hanya gagah-gagahan saja. Hooligan di Inggris contohnya mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan status formasi mereka dalam konfrontasi dengan pesaing. “Tiap sisi selalu berusaha mengerjai serta menyerang lawan dan apabila terdapat kelompok hooligan yang mundur dan melarikan diri dari konfrontasi dianggap akan memberikan prestisse bagi kelompok hooligan tersebut” (Anung Handoko,2008:40). Dari hasil penelitian dapat dilihat faktor-faktor yang menyebabkan aksi kekerasan yang dilakukan suporter antara lain dapat dikarenakan oleh: a. Faktor yang berasal dari suporter Tidak dapat dipungkiri bahwa faktor penyebab tindakan kekerasan berasal dari internal suporter itu sendiri. Suporter sebagai salah satu bagian dalam dunia sepakbola menjadi pihak yang langsung terkait dan bertanggungjawab bila terjadi kerusuhan masal. Hal ini dapat dipahami karena suporter merupakan pelaku utama dalam setiap tindakan kekerasan tersebut. Aksi kekerasan yang berasal dari internal suporter disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya usia dari suporter di Indonesia yang mayoritas adalah usia muda atau remaja. Orang-orang yang berusia muda/remaja biasanya mempunyai jiwa dan sifat yang “meledak-ledak” serta emosional dalam menghadapi sesuatu. Apabila suporter yang sebagian besar terdiri dari remaja berusia masih sangat muda berkumpul dalam suatu kelompok pastilah akan menimbulkan energy dan semangat yang besar. Remaja yang masih berusia masih sangat muda inipun mudah terkena hasutan dan provokasi bila terjadi kesalahan yang dilakukan oleh pernagkat pertandingan. Emosi yang tidak stabil dengan mudah terprovokasi untuk melakukan hal-hal negatif yang berujung pada aksi kekerasan. Selain itu usia para suporter yang masih muda atau remaja, fanatisme yang berlebihan turut memperburuk terjadinya aksi kekerasan suporter. commit to user Aksi kekerasan terjadi apabila terdapat suatu putusan wasit atau perangkat
65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pertandingan yang controversial dan merugikan tim yang didukungnya. Fanatisme yang berlebihan dan sempit kemudian “membutakan” rasionalitas sehingga suporter tidak dapat berpikir secara jernih dan benar. Fanatisme yang berlabihan disebabkan oleh kedewasaan suporter yang tidak dapat menerima kekalahan tim yang didukungnya, terutama bila timnnya tersebut dikalahakan oleh tim yang merupakan “musuh bebuyutan”. b. Sumber daya manusia yang berada di lingkungan sepakbola Faktor sumber daya manusia seperti pemain dan ofisial yang tidak memahami peraturan dengan baik juga merupakan faktor penyebab terjadinya aksi kekerasan yang dilakukan oleh suporter sepakbola, yaitu turut memancing adanya aksi kekerasan dari suporter yang “mengagumi” pemain dari tim tersebut. Bentuk provokasi yang dilakukan pemain dan ofisial seperti dengan melakukan protes keras secara berlebihan kepada perangkat pertandingan. Tindakan pemain dan ofisial ini juga akan memancing para suporter yang juga sedang dalam kondisi emosional untuk melakukan tindakan-tindakan negatif seperti perbuatan kekerasan yang berakibat kerusuhan masal. Maka dari itu, pemain dan ofisial sebagai idola dan panuutan suporter sebaiknya
melakukan perbuatan yang dapat
dijadikan contoh untuk menghindari terjadinya perilaku kekerasan suporter. c. Faktor sosial budaya yang terjadi di masyarakat Perilaku kekerasan suporter sepakbola dapat dikatakan merupakan cerminan masyarakat Indonesia pada saat ini. Tindakan kekerasan yang sering terjadi di Indonesia mewabah ke dalam seluruh aspek kehidupan sampai dengan olahraga. Aksi kekerasan yang dilakukan suporter dapat dikatakan sebagai pelampiasan dari kehidupan sehari-hari yang sulit. Hampir 50% dari suporter di Indonesia berasal dari golongan menengah ke bawah yang kemudian mereka melampiaskan kesulitan hidupnya melalui pertandingan sepakbola.
Sebagi contoh, apabila seseorang melakukan
kekerasan seperti pemukulan akibat dari kesulitan hidup sehari-hari pastilah commit to userpidana. Akan tetapi hal ini tidak ia akan dikenakan hukuman dan sanksi
66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terjadi dalam dunia sepakbola, ketika seseorang yang tegabung dalam kelompok suporter melakukan tindakan kekerasan orang tersebut belum tentu akan dikenakan sanksi pidana dan hukuman. Sehingga pertandingan sepakbola dianggap sebagai tempat yang cocok untuk melampiaskan semua kesulitan tanpa harus dikenai hukuman. Hal ini berbeda dengan sepakbola di Eropa yang mayoritas penduduknya sudah memiliki kehidupan yang mapan dalam ekonominya. Kondisi suporter Indonesia dengan keadaan sosial budaya yang seperti ini akan mudah sekali terpancing dan terprovokasi untuk melakukan tindakan-tindakan yang negatif. d. Fasilitas olahraga yang masih minim Sarana prasarana sedikit banyak mempunyai pengaruh terhadap terjadinya tindakan kekerasan yang dilakukan suporter. Stadion sebagai termpat pertandingan sepakbola dianggap tidak layak dan tidak memenuhi standar kualitas untuk menyelenggarakan pertandingan sepakbola yang dihadiri ribuan orang. Minimnya fasilitas stadion terutama untuk menjamin keamanan dan kenyamanan bagi para penonton/suporter memudahkannya terjadi gesekan antar suporter yang saling bersebrangan kubu. Pembatas antar bagian tribun stadion berfungsi memisahkan antar suporter tidak layak, alat pemantau keamanan close circuit television (CCTV) yang berguna untuk memantau tingkah laku suporter juga tidak ada, serta tempat duduk stadion yang tidak diberi nomor mengakibatkan mudahnya terjadi kejahatan dan tindakan kekerasan di stadion. Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa faktor dari dalam suporter yang berupa masih mudanya usia suporter dan rasa fanatik kedaerahan yang dimiliki oleh suporter sepakbola, faktor sumber daya manusia yang berada di lingkungan sepakbola, faktor sosial budaya yang terjadi dimasyarakat dan fasilitas olahraga yang masih minim merupakan faktor kriminogen untuk terjadinya kejahatan kekerasan yang dilakukan oleh suporter sepakbola.
commit to user
67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Peran yang Sudah Dilakukan oleh Aparat Kepolisian dan PSSI dalam Mengatasi Aksi Kekerasan Suporter Sepakbola di Yogyakarta a. Peran Aparat Kepolisian Seperti yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, dalam Pasal 13 mengatur mengenai tugas pokok kepolisian yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam melaksanakan tugas pokoknya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan. Kaitannya dengan hal tersebut, upaya yang sudah dilakukan oleh aparat Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat adalah dengan cara menyusun rencana pengamanan (renpam) yang melibatkan fungsi Samapta, fungsi Intelejen, fungsi Reskrim, fungsi Lalu Lintas, dan fungsi Bina Mitra. Dalam rencana pengamanan tersebut telah ditentukan juga penempatan personil yang ditempatkan di lokasi kegiatan dalam hal ini pengamanan pertandingan sepakbola, yang melibatkan dari fungsi-fungsi tersebut dengan
dikendalikan
oleh
Perwira
sebagai
pengandali
kegiatan
pengamanan. Pada saat pengamanan kegiatan, fungsi-fungsi operasional tersebut diatas melaksanakan kegiatan sebagaimana clothing penempatan personel/petugas sesuai dengan renpam. Pengamanan ini dilakukan dengan berkoordinasi dengan panpel (panitia pelaksana). Menurut Barda Nawawi, kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminil) dilakukan dengan menggunakan sarana “penal” (hukum pidana), maka kebijakan
hukum pidana (penal policy) khususnya pada tahap
kebijakan yudikatif/aplikatif (penegakkan hukum pidana in concreto) harus mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa commit to user social walfare dan social-defence.
68
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Peran aparat kepolisian dalam menggunakan sarana “penal” (hukum pidana) yaitu dengan menjerat pelaku yang terlibat aksi kekerasan suporter dengan pasal-pasal yang ada di dalam KUHP. Pasal-pasal tersebut diantaranya yaitu Pasal 170 KUHP tentang kejahatan terhadap ketertiban umum; Pasal 187 KUHP tentang kejahatan membahayakan ketertiban umum bagi orang atau barang; Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan; Pasal 352 KUHP tentang penganiayaan ringan; Pasal 354 KUHP tentang penganiyaan berat; Pasal 406 jo 407 KUHP : menghancurkan dan merusak barang milik orang lain; Pasal 408 jo 409 KUHP : menghancurkan bangunan sarana dan keperluan umum. Sedangkan
peran
aparat
kepolisian
pada
tahap
kebijakan
yudikatif/aplikatif (penegakkan hukum pidana in concreto) upaya yang sudah dilakukan guna mengatasi aksi kerusuhan 12 Februari 2010 di Mandala Krida yaitu dengan melakukan proses penyidikan terhadap tersangka (pihak suporter) yang terlibat aksi kekerasan oleh Badan Reserse Kriminal Polda DIY, namun mereka tidak menemukan alat bukti yang cukup sehingga tidak dapat dilanjutkan pemeriksaannya. Hal ini juga dikarenakan banyaknya jumlah suporter yang terlibat kerusuhan. Sehingga menurut penulis kebijakan penanggulangan kejahatan pada tahap kebijakan yudikatif/aplikatif (penegakkan hukum pidana in concreto) yang dilakukan oleh Aparat Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta tidak berjalan optimal karena banyak kendala dalam mencari alat bukti. Upaya penegakkan hukum tidak hanya dilakukan untuk menindak para suporter yang terlibat aksi kerusuhan, tapi juga dilakukan untuk menindak personil aparat kepolisian itu sendiri. Para personil tersebut ditindak karena dianggap gagal dalam melakukan pengamanan, dan dalam hal ini yang berwenang menindaknya adalah Divisi Profesi dan Pengamanan Polda DIY. Dari hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa aparat kepolisian sudah melakukan perannya sesuai commit to oleh user Undang-Undang Nomor 2 Tahun dengan apa yang telah diamanatkan
perpustakaan.uns.ac.id
69
digilib.uns.ac.id
2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Hanya saja dalam upaya penegakkan hukum bagi suporter yang melakukan kerusuhan masih begitu sulit untuk menemukan alat bukti karena banyaknya masa sehingga terjadi aksi saling menutupi jika dimintai keterangan. Sedangkan dari segi penegakkan hukum terhadap aparat kepolisian itu sendiri sudah dilakukan sesuai dengan Kode Etik Profesi Kepolisan Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Divisi Profesi dan Pengamanan Polda DIY. Yaitu dengan memberikan sanksi berupa teguran tertulis kepada Kasat Dalmas selaku personil yang betanggungjawab dalam tugas pengendalian masa. Sanksi tersebut dijatuhkan setelah melalui sidang disiplin sebanyak 7 (tujuh) kali dengan dihadiri 5 saksi dari anggota kepolisian dan 5 saksi dari luar (masing-masing dari PSSI, Panpel, Pemain PSIM, PSIM dan masyarakat). Selain itu, sebagai upaya pencegahan dan penangulangan kejahatan menurut Barda Nawawi diperlukan pembenahan dan peningkatan kualitas aparat penegak hukum dan kualitas institusi dan sistem manajemen organisasi/manajemen data. Upaya tersebut sudah dilakukan yaitu dengan memberikan ceramah psikologi massa sebagai bekal anggota dalam setiap operasi Kepolisian pada tahap lat pra ops kepada anggota yang terlibat, sehingga dalam pelaksanaan tugas di lapangan dapat bersikap dan bertindak professional. Sebagai upaya preemtif yang sudah dilakukan oleh Aparat Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu dengan memberikan saran psikologis yang diberikan oleh Kepala Biro Personel Polda DIY Drs. Abdul Hasyim Gani, yang dituangkan dalam Nota Dinas Nomor: B/ND147/II/2010/Ropers, yang isinya diantaranya adalah dihimbau kepada masyarakat, penonton/suporter dapat memberikan tindakan preventif untuk dapat meminimalkan arogansinya masing-masing misalnya dengan tidak menggunakan atribut tertentu, tempat duduk antar suporter tidak dipisahkan, dan sebelum atau sesudah kegiatan/pertandingan dapat commit to user
70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diperdengarkan semacam musik yang dapat membuat suasana tenang diantara kedua belah pihak. Strategi dasar penanggulangan kejahatan ialah dengan meniadakan faktor-faktor penyebab/kondisi yang menimbulkan terjadinya kejahatan. Sedangkan pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus ditempuh dengan kebijakan integral/sistemik. Salah satu aspek yang terkandung dalam pengertian kebijakan integral/sistemik yaitu ada keterpaduan antara “treatment of offenders” (dengan pidana/tindakan) dan “treatment of society”.
Maksudnya
adalah
seluruh
masyarakat
harus
dibangun
sedemikian rupa agar sehat dari faktor-faktor kriminogen. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa faktor-faktor kriminogen untuk terjadinya kejahatan kekerasan yang dilakukan oleh suporter sepakbola di Yogyakarta yaitu disebabkan oleh beberapa faktor. Antara lain yaitu faktor dari dalam suporter yang berupa masih mudanya usia suporter dan rasa fanatik kedaerahan yang dimiliki oleh suporter sepakbola, faktor sumber daya manusia yang berada di lingkungan sepakbola, faktor sosial budaya yang terjadi dimasyarakat dan fasilitas olahraga yang masih minim. Sehingga dalam upaya penanggulangan kejahatan dengan meniadakan faktor-faktor penyebab/kondisi yang menimbulkan terjadinya kejahatan tersebut. Sedangkan pencegahannya harus ditempuh dengan kebijakan integral/sistemik yaitu dengan adanya kerjasama dan kesadaran antara aparat kepolisian, PSSI, panitia pelaksana pertandingan, dan suporter agar sehat dari faktor-faktor kriminogen kejahatan kekerasan suporter sepakbola di Yogyakarta. Adapun kegiatan yang dapat dilakukan untuk menciptakan kerjasama dan kesadaran tersebut, yaitu dengan: 1) Memberikan sosialisasi kepada kelompok-kelompok suporter. Hal ini dilakukan bertujuan untuk memberikan penyadaran pada kelompok suporter yang ada untuk mematuhi aturan hukum guna tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tindakan anarki yang commit user menimbulkan kerugian di semua dilakukan oleh suporter justrutoakan
71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pihak, baik masyarakat umum meupun tim itu sendiri yang akan mendapat sanksi dari PSSI. Pembinaan dan penyuluhan ini dilakukan oleh Polmas, sedangkan untuk penegakan hukum apabila terjadi suatu tindak pidana dilakukan oleh reserse criminal (reskrim). 2) Pendewasaan dan pemahaman aturan pertandingan. Hal ini dilakukan melalui workshop-workshop serta seminar mengenai perilaku anarki suporter sepakbola. Salah satu penyebab terjadinya tindakan anarki adalah pemahaman terhadap peraturan, tugas dan fungsi wasit yang masih kurang. Adanya pelatihan, workshop, dan seminar diharapkan dapat meningkatkan pemahaman terhadap
peraturan
pertandingan
serta
penanaman
nilai-nilai
sportivitas. 3) Pengadaan acara yang bertujuan menjalin komunikasi antar suporter sepakbola tanah air. Tujuan adanya Jambore Nasional Suporter adalah memberikan wadah komunikasi
antara
suporter
yang
ada
di
Indonesia
untuk
menghilangkan permasalahan-permasalahan yang ada, sehingga diharapkan dapat timbul rasa persaudaraan dan persatuan. Jambore ini diadakan setahun sekali dan sangat diharapkan dapat mereduksi konflik yang terjadi di dalam pertandingan sepakbola. b. Peran PSSI PSSI sebagai pemegang otoritas persepakbolaan tertinggi di Indonesia memiliki peraturan tersendiri dalam rangka peneggakkan hukum di lingkungan sepakbola Indonesia, yaitu sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Organisasi Nomor: 06/PO-PSSI/III/2008 tentang Kode Disiplin PSSI. Seperti yang telah di paparkan dalam hasil penelitian di atas, peran yang sudah dilakukan PSSI sebagai pemegang otoritas persepakbolaan tertinggi
di
Indonesia
hukuman/sanksi
kepada
memiliki
kewenangan
pihak-pihak
yang
untuk
memberikan
bertanggungjawab
atas
terjadinya suatu peristiwa atau kejadian yang merupakan pelanggaran dari commit to user Kode Disiplin PSSI, seperti halnya peristiwa kerusuhan yang dilakukan
72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
oleh suporter sepakbola. Dalam perannya tersebut PSSI tidak hanya memberikan hukuman/sanksi, namun PSSI juga mempunyai kewenangan untuk membuat kebijakan-kebijakan dalam menanggulangi tindakan kekerasan suporter yang berupa tindakan preventif (pencegahan). Dalam kasus kerusuhan suporter sepakbola di Yogyakarta, sanksi yang telah dijatuhkan oleh Komisi Disiplin PSSI yaitu berupa pertandingan dimainkan dengan tanpa disaksikan penonton sebagai tuan rumah di kota Yogyakarta sebanyak 1 (satu) kali; pertandingan tanpa disaksikan penonton di daerah netral sebanyak 2 (dua) kali; dan mengganti kerugian atas kerusakan fasilitas Stadion Mandala Krida dan membiayai pengobatan cedera yang dialami penonton dan petugas keamanan, serta kerusakan kendaraan roda dua dan roda empat yang merupakan akibat dari kerusuhan pertandingan tanggal 12 Februari 2010 di Stadion Mandala Krida Yogyakarta, sudah sesuai dengan Pasal 75 ayat (4), (5) dan (6) Peraturan Organisasi Nomor: 06/PO-PSSI/III/2008 tentang Kode Disiplin PSSI. Sedangkan peran PSSI sebagai pemegang kewenangan pembuat kebijakan-kebijakan
yang
dalam
rangka
menanggulangi
tindakan
kekerasan suporter yang berupa tindakan preventif yaitu dengan dibuatnya Peraturan Organisasi Nomor: 06/PO-PSSI/III/2008 tentang Kode Disiplin PSSI. Selain itu kebijakan terbaru yang dilakukan oleh PSSI untuk mengantisipasi aksi kekerasan suporter adalah dengan menempatkan match steward. berfungsi sebagai tugas perbantuan dari keamanan di dalam stadion, sedangkan untuk pengamanan yang utama tetap dilakukan oleh aparat kepolisisan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan 1. Dalam kajian kriminologis aksi kekerasan yang dilakukan suporter sepakbola di Yogyakarta, faktor dari dalam suporter yang berupa masih mudanya usia suporter dan rasa fanatik kedaerahan yang dimiliki oleh suporter sepakbola, faktor sumber daya manusia yang berada di lingkungan sepakbola, faktor sosial budaya yang terjadi dimasyarakat dan fasilitas olahraga yang masih minim merupakan faktor kriminogen untuk terjadinya kejahatan kekerasan yang dilakukan oleh suporter sepakbola. 2. Peran aparat kepolisian dan PSSI yang sudah dilakukan guna menanggulangi aksi kekerasan suporter sepakbola di Yogyakarta (dalam kasus kerusuhan suporter PSIM dengan aparat kepolisian 12 Februari 2010 di Mandala Krida). Dalam rangka menanggulangi aksi kekerasan suporter sepakbola di Yogyakarta (dalam kasus kerusuhan suporter PSIM dengan aparat kepolisian 12 Februari 2010 di Mandala Krida), Aparat Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta sudah
melakukan
tindakan-tindakan
yang
sesuai
dengan
tugas
dan
kewenangannya sesuai dengan UU Nomor 2 Tahun 2002. Hanya saja out put dari tindakan-tindakan yang sudah dilakukan tersebut tidak berjalan optimal karena banyak kendala dalam mencari alat bukti. Sedangkan dari segi penegakkan hukum terhadap aparat kepolisian sudah dilakukan sesuai dengan Kode Etik Profesi Kepolisan Negara Republik Indonesia. Dari pihak PSSI upaya yang sudah dilakukan dalam hal menanggulangi aksi kekerasan suporter sepakbola di Yogyakarta (dalam kasus kerusuhan suporter PSIM dengan aparat kepolisian 12 Februari 2010 di Mandala Krida), sudah sesuai dengan Peraturan Organisasi Nomor: 06/PO-PSSI/III/2008 tentang Kode Disiplin PSSI. Sedangkan kebijakan yang sudah dibuat atau dikeluarkan yaitu dengan memberikan sosialisasi kepada kelompok-kelompok suporter, pendewasaan commit to user
73
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 74
dan pemahaman aturan pertandingan, pengadaan acara yang bertujuan menjalin komunikasi antar suporter sepakbola tanah air.
B. Saran 1.
Sebaiknya masyarakat/suporter sepakbola dapat mentaati peraturan dan menjaga sportivitas serta diharapkan kepada pemerintah daerah dapat membenahi fasilitas stadion sesuai dengan standar internasional agar terciptanya keamanan dan kenyamanan.
2.
Sebaiknya PSSI memberikan pelatihan, workshop serta seminar kepada wasit, panitia pelaksana, pemain yang bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai peraturan-peraturan dalam persepakbolaan dan tindakan-tindakan yang harus diketahui dan dilakukan agar tidak memicu aksi kekerasan suporter. Serta untuk Aparat Kepolisian sebaiknya memberikan pelatihan, workshop kepada para personel anggota POLRI yang bertujuan agar dalam menjalankan tugasnya di lapangan sesuai dengan prosedur dan tidak terjadi kesalahan.
commit to user
74