KAJIAN KESADARAN DAN PERILAKU IBU RUMAH TANGGA TERHADAP KEAMANAN PANGAN DI KOTA DAN KABUPATEN BOGOR
MOCHAMAD SOBICH MAIMUN
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Kajian Kesadaran dan Perilaku Ibu Rumah Tangga Terhadap Keamanan Pangan di Kota dan Kabupaten Bogor” adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013 Mochamad Sobich Maimun NIM F24090030
ABSTRAK MOCHAMAD SOBICH MAIMUN. Kajian Kesadaran dan Perilaku Ibu Rumah Tangga Terhadap Keamanan Pangan di Kota dan Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh HARSI D. KUSUMANINGRUM dan A.A. NYOMAN MERTA NEGARA. Ibu rumah tangga memegang peran penting sebagai gate keeper keamanan pangan rumah tangga sehingga kajian mengenai kesadaran terhadap keamanan pangan, perilaku keamanan pangan, serta pandangan terhadap sistem regulasi pangan diperlukan sebagai dasar dalam penyusunan kebijakan dan intervensi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei kuesioner dengan metode pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Sebanyak 139 kuesioner disebarkan ke ibu rumah tangga di Kota dan Kabupaten Bogor. Isu pangan rekayasa genetik, keracunan pangan, dan pangan iradiasi belum menjadi pehatian responden, namun responden cukup menyadari dengan baik risiko keamanan pangan. Prioritas pertama tempat belanja responden adalah tukang sayur dan harga menjadi aspek utama yang diperhatikan ketika berbelanja pangan segar dan olahan. Sumber informasi yang paling berpengaruh adalah televisi. Mayoritas responden merasa yakin (57%) dan puas (52%) terhadap kinerja Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Responden tidak melakukan dengan benar dalam memastikan kematangan daging dan mencegah kontaminasi silang namun hasil penilaian penerapan lima kunci keamanan pangan secara keseluruhan termasuk dalam kategori baik dengan nilai rata-rata 3.99 (skala 0 sampai 5) dan standar deviasi 0.37. Tingkat pendidikan dan pengeluaran berkorelasi positif dengan perilaku responden dalam menerapkan lima kunci keamanan pangan sehingga sosialisasi keamanan pangan terhadap golongan responden yang berpendidikan rendah dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah diperlukan. Kata kunci: ibu rumah tangga, keamanan pangan, kesadaran, perilaku, survei
ABSTRACT MOCHAMAD SOBICH MAIMUN. Study of Housewife Food Safety Awareness and Behavior in Bogor. Supervised by HARSI D. KUSUMANINGRUM and A.A. NYOMAN MERTANEGARA Housewife played an important role as household food safety gate keeper therefore study of food safety risk awareness as well as food safety behaviors and opinion to food regulatory system is needed as a basis for developing policies and interventions. Research method used was survey questionnaire method which used purposive sampling method. A total of 139 questionnaires were distributed to housewifes in Bogor. Genetically modified food, foodborne disease, and food iradiation were not considered yet but respondent gave enough attention to food safety risk. Vegetable vendors became first priority place for shopping and the price became the main aspects to be considered both for fresh and processed food. The most influential information source was television. Majority of respondents felt confident (57%) and satisfied (52%) with the performance of The National Agency af Drug and Food Control (NA-DFC). Respondents made food-handling errors especially on determining doneness of meat and preventing cross-contamination however food handling behavior towards application five keys of food safety was good with an average value of 3.99 out of 5 and a standard deviation of 0.37. Education levels and expenditure positively correlated with the behavior of respondents in implementing the five keys of food safety therefore food safety socialization to the low educated and midle-low income housewife is needed. Keywords: awareness, behavior, food safety, housewife, survey
KAJIAN KESADARAN DAN PERILAKU IBU RUMAH TANGGA TERHADAP KEAMANAN PANGAN DI KOTA DAN KABUPATEN BOGOR
MOCHAMAD SOBICH MAIMUN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Kajian Kesadaran dan Perilaku Ibu Rumah Tangga Terhadap Keamanan Pangan di Kota dan Kabupaten Bogor Nama : Mochamad Sobich Maimun NIM : F24090030
Disetujui oleh
Dr Harsi D Kusumaningrum Pembimbing I
Drh AA Nyoman Merta Negara Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir Feri Kusnandar, Msc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
Judul Skripsi: Kajian Kesadaran dan Perilaku Ibu Rumah Tangga Terhadap Keamanan Pangan di Kota dan Kabupaten Bogor Nama : Mochamad Sobich Maimun : F24090030 NIM
Disetujui oleh
Dr Harsi D Kusumaningrum Pembirnbing I
Tanggal Lulus:
3n
AI If, 2013
Drh AA Nyoman Merta Negara
Pembimbing II
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Kajian Kesadaran dan Perilaku Ibu Rumah Tangga Terhadap Keamanan Pangan di Kota dan Kabupaten Bogor” berhasil diselesaikan. Karya tulis ini penulis persembahkan secara khusus kepada almarhum Bapak dan Umi, Mas Makhrus, serta keluarga besar yang telah memberikan dukungan, kasih sayang, dan doa yang tidak pernah terputus. Dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada : 1. DR. Roy A. Sparringa, MApp.Sc. selaku Deputi III Badan Pengawas Obat dan Makanan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan kegiatan magang penelitian di BPOM 2. Drs. Halim Nababan, MM. selaku Direktur Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Badan Pengawas Obat dan Makanan 3. Dr. Harsi D Kusumaningrum serta Drh. A.A. Nyoman Merta Negara selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam menyelesaian tugas akhir ini 4. Prof. Winiati P Rahayu yang telah bersedia menjadi dosen penguji pada sidang ujian sarjana 5. Seluruh staf Subdirektorat Promosi Keamanan Pangan, Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan 6. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan banyak ilmu selama masa kuliah 7. Keluarga besar Yayasan Karya Selemba Empat, PT. Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. serta PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. yang telah memberikan beasiswa dan pelatihan kepada penulis selama menempuh pendidikan 8. Teman-teman pangan 46, Aca, Hayyu, Kyo, Seno, Richard, Iqbal, Fahmi, Aldith, Farah, Sarida, Ayash, Mila dan Aji yang telah mewarnai hari-hari dengan sangat indah 9. Keluarga besar IAAS LC IPB, Paguyuban KSE IPB serta Himitepa yang telah menjadi rumah bagi penulis 10. Seluruh responden yang telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2013 Mochamad Sobich Maimun
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
METODE
3
Penentuan Sampel
3
Penyusunan dan Pengujian Kuesioner
3
Metode Pengambilan Data
5
Analisis Data
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
6
Validitas dan Reliabilitas Kuesioner
6
Karakteristik Responden
8
Kesadaran, Persepsi Risiko, dan Kepercayaan Terhadap Keamanan Rantai Pangan
10
Perilaku Berbelanja
13
Praktik Penanganan dan Penyiapan Pangan
16
Sumber Informasi Keamanan Pangan
21
Sistem Pengawasan dan Regulasi Pangan
23
Korelasi Antara Variabel
24
SIMPULAN DAN SARAN
27
Simpulan
27
Saran
29
DAFTAR PUSTAKA
29
LAMPIRAN
32
RIWAYAT HIDUP
36
DAFTAR TABEL 1. KLB Keracunan Pangan di beberapa negara Asia 2. Hasil uji validitas dan reliabilitas pertanyaan B22 3. Hasil uji validitas dan reliabilitas pertanyaan B26 4. Hasil uji validitas dan reliabilitas pertanyaan B51 5. Karakteristik demografi responden (n=139) 6. Metode untuk memastikan kematangan daging 7. Suhu minimal pengolahan beberapa bahan pangan 8. Penilaian praktik penanganan dan penyiapan pangan 9. Interpretasi koefisien korelasi Spearman 10. Korelasi tingkat pendidikan, pengeluaran, dan keyakinan kebersihan penyaluran pangan 11. Korelasi tingkat pendidikan dan pengeluaran dengan prioritas pertama tempat belanja serta faktor belanja pangan olahan dan segar 12. Korelasi antara tingkat pendidikan dan pengeluaran dengan keyakinan dan kepuasan kinerja BPOM 13. Korelasi antara tingkat pendidikan dan pengeluaran dengan perilaku dalam penyiapan dan pengolahan pangan
1 7 7 8 10 19 19 21 24 25 26 27 27
DAFTAR GAMBAR 1. Tabulasi silang tingkat pendidikan dengan jenis pekerjaan 2. Keyakinan responden terhadap kebersihan penyaluran pangan 3. Tabulasi silang tingkat pendidikan dengan keyakinan kebersihan penyaluran pangan 4. Prioritas pertama tempat berbelanja 5. Prioritas pertama belanja pangan olahan 6. Prioritas pertama belanja pangan segar 7. Perilaku setelah memecah telur mentah 8. Sumber informasi keamanan pangan 9. Sumber informasi keamanan pangan yang paling berpengaruh 10. Keyakinan terhadap kinerja BPOM 11. Kepuasan terhadap kinerja BPOM
9 11 11 14 15 15 17 22 22 23 24
DAFTAR LAMPIRAN 1. Tabel nilai korelasi r 2. Pengkodean dan prosedur entri jawaban 3. Prosedur skoring blok 4
32 33 34
PENDAHULUAN Latar Belakang Keamanan pangan menurut Undang-undang nomor 18 tahun 2012 tentang pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. Tingkat keamanan pangan suatu negara dapat dilihat dari banyaknya Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan di negara tersebut. Data laporan KLB Keracunan Pangan di beberapa negara Asia-Pasifik seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 menunjukkan dampak yang besar dari kasus keracunan pangan terhadap kesehatan. Menurut Permenkes nomor 2 tahun 2013 tentang Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan, KLB Keracunan Pangan merupakan suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit dengan gejala yang sama atau hampir sama setelah mengonsumsi pangan, dan berdasarkan analisis epidemiologi, pangan tersebut terbukti sebagai sumber keracunan. Laporan tahunan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2011 menyebutkan bahwa penyebab KLB Keracunan Pangan terbesar di Indonesia adalah pangan olahan rumah tangga yaitu sebanyak 58 kejadian (45.31%) disusul dengan pangan jasa boga sebanyak 30 kejadian (23.44%), pangan olahan sebanyak 16 kejadian (12.50%), pangan jajanan sebanyak 16 kejadian (12.50%) dan lain-lain sebanyak delapan kejadian (6.25%) (BPOM 2012). Data ini menunjukkan risiko keamanan pangan yang tinggi pada pangan hasil olahan rumah tangga sehingga kesadaran dan perilaku ibu rumah tangga sebagai gate keeper dalam menjaga keamanan pangan keluarga perlu untuk dikaji. Tabel 1. KLB Keracunan Pangan di beberapa negara Asia Negara Bangladesh Cina
Tahun 1998 2002 2008
India
-
Republik Korea Thailand Jepang
2003 1996 2000
Keterangan 1 657 381 kasus. 2 064 orang meninggal 200 anak sekolah sakit dan 38 meninggal karena kontaminasi racun tikus pada roti 300 000 bayi sakit karena susu formula tercemar 8 000-100 000 kasus setiap tahun, 1 000 kematian 7 909 kasus 120 000 kasus setiap tahun 9 578 orang sakit karena infeksi Escherichia coli pada lobak putih 14 780 orang keracunan akibat konsumsi produk susu
Sumber: Prabhakar et al. 2010; DeWall 2005
2 Kajian mengenai kesadaran dan perilaku ibu rumah tangga terhadap keamanan pangan di Indonesia secara menyeluruh belum banyak dilakukan padahal kebijakan nasional di bidang pengawasan obat dan makanan membutuhkan kajian ilmiah sebagai dasar dalam penyusunan kebijakan dan intervensi. Ibu rumah tangga menjadi sosok yang sentral dalam pengambilan kebijakan penyedian pangan di rumah tangga. Kesadaran dan perilaku ibu rumah tangga sebagai gate keeper keamanan pangan rumah tangga dapat memberikan gambaran besarnya risiko keamanan pangan rumah tangga serta bentuk intervensi yang dapat dilakukan. Selain itu kajian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan kajian keamanan pangan selanjutnya sehingga dapat dilakukan pengawasan secara berkala terhadap tingkat keamanan pangan di rumah tangga. Perumusan Masalah Risiko keracunan pangan yang tinggi di rumah tangga menunjukkan perlunya kajian ilmiah mengenai kesadaran dan perilaku ibu rumah tangga terhadap keamanan pangan sehingga dapat memberikan dasar ilmiah dalam pengambilan kebijakan keamanan pangan. Berdasarkan pemikiran di atas, maka lingkup kajian yang dibahas dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana tingkat kesadaran, persepsi terhadap risiko serta kepercayaan ibu rumah tangga terhadap keamanan pangan? 2. Bagaimana perilaku ibu rumah tangga dalam berbelanja serta penanganan dan pengolahan pangan? 3. Apakah sumber informasi keamanan pangan yang paling berpengaruh? 4. Bagaimanakah pandangan, keyakinan dan kepuasan ibu rumah tangga terhadap kinerja sistem regulasi pangan?
Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui kesadaran dan perilaku masyarakat Indonesia khususnya ibu rumah tangga terhadap keamanan pangan. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah 1) mendapatkan data mengenai persepsi dan pengetahuan responden terhadap keamanan pangan; perilaku responden dalam berbelanja; perilaku responden dalam menangani dan menyiapkan pangan; sumber informasi keamanan pangan; dan penilaian terhadap peran dan fungsi BPOM dalam keamanan pangan 2) mengetahui korelasi antara karakteristik responden terhadap variabel yang dikaji (persepsi dan pengetahuan, perilaku berbelanja, praktik penanganan dan penyiapan pangan, serta sumber informasi) Manfaat Penelitian Kajian ini akan memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai tingkat kesadaran dan persepsi terhadap risiko keamanan pangan serta perilaku dalam berbelanja serta penanganan dan pengolahan pangan. Selain itu, dapat juga diketahui sumber informasi yang paling berpengaruh serta pandangan terhadap
3 sistem regulasi pangan. Hasil kajian ini dapat digunakan sebagai dasar dalam menyusun kebijakan dan intervensi.
METODE Penentuan Sampel Penentuan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Sampel ibu rumah tangga dipilih secara acak yaitu dengan mengacak kecamatan dan desa yang berada pada wilayah kajian yang disesuaikan dengan karakteristik sampel yang diinginkan. Data jumlah ibu rumah tangga diambil dari jumlah rumah tangga di Kota dan Kabupaten Bogor karena rumah tangga di Bogor pada umumnya merupakan keluarga nukleus (inti) yang hanya terdiri atas satu ayah, satu ibu dan beberapa anak. Jumlah sampel dihitung dengan menggunakan metode slovin yaitu:
Keterangan: n = ukuran sampel N = ukuran populasi (rumah tangga) e = Persen ketidaktelitian (10%) Sehingga jumlah sampel minimal yang harus digunakan berdasarkan perhitungan metode slovin adalah 100 responden. Lokasi penelitian yang dipilih adalah Kecamatan Bogor Barat dengan kepadatan penduduk 1 781 jiwa/km2 dan Kecamatan Ciomas (9 145 jiwa/km2) (BPS 2013). Kedua kecamatan ini memiliki kepadatan penduduk tertinggi sehingga diasumsikan dapat mewakili populasi. Selanjutnya dari kedua kecamatan ini dipilih secara acak dua desa/kelurahan sehingga untuk Kecamatan Bogor Barat terpilih kelurahan Sindangbarang dan Loji dan tiga desa/kelurahan untuk Kecamatan Ciomas yaitu Parakan, Padasuka, dan Ciomas. Penyusunan dan Pengujian Kuesioner Kuesioner disusun berdasarkan tujuan dari kajian dan dibagi menjadi lima blok yaitu blok data umum; kesadaran, persepsi risiko dan kepercayaan terhadap keamanan rantai pangan; perilaku berbelanja; praktik penanganan dan penyiapan pangan; serta sumber informasi dan regulasi pangan. Jenis pertanyaan yang digunakan adalah pertanyaan tertutup. Pertanyaan tertutup adalah pertanyaan yang tidak memungkinkan responden untuk memberikan jawaban selain dari pilihan jawaban yang disediakan.
4 Blok I merupakan blok pertanyaan mengenai data umum responden seperti umur, pekerjaan, tingkat pendidikan, pengeluaran serta tanggung jawab dalam menyiapkan makanan di rumah tangga. Blok ini akan digunakan sebagai variabel untuk mengetahui hubungan karateristik responden dengan parameter yang dikaji. Blok II bertujuan untuk mendapatkan gambaran bagaimana tingkat kesadaran, persepsi risiko serta tingkat kepercayaan responden terhadap keamanan rantai pangan. Blok ini terdiri atas tujuh nomor pertanyaan tertutup dengan jenis pertanyaan antara lain pertanyaan dengan mengurutkan jawaban berdasarkan prioritas/perhatian serta pernyataan dengan pilihan jawaban ya, tidak dan tidak tahu. Informasi lain yang ingin digali pada blok ini adalah pengetahuan dan persepsi responden terhadap beberapa isu pangan seperti pangan hasil rekayasa genetik, pangan organik serta pangan hasil iradiasi. Informasi mengenai perilaku berbelanja responden seperti tempat berbelanja serta aspek yang paling diperhatikan responden pada saat berbelanja didapatkan melalui pertanyaan tertutup dengan mengurutkan pada blok III. Praktik penanganan dan penyiapan pangan didasarkan pada lima kunci keamanan pangan World Health Organization (WHO) yaitu menjaga kebersihan; memisahkan pangan mentah dan matang; memasak dengan benar; menyimpan pangan dengan benar; serta menggunakan air dan bahan baku yang aman. Blok IV ini terdiri atas beberapa jenis pertanyaan yang harus dijawab sesuai dengan perilaku sehari-hari responden. Blok terakhir dalam kuesioner adalah blok VI mengenai sumber informasi; sumber informasi yang paling dipercaya dan mempengaruhi keputusan responden terkait kebiasaan dan praktik keamanan pangan; serta pengetahuan responden mengenai sistem dan peraturan keamanan pangan di Indonesia. Sumber informasi serta pengetahuan responden terhadap sistem keamanan pangan sangat penting untuk menyusun kebijakan dalam mempromosikan keamanan pangan di masyarakat. Sebelum kuesioner disebarkan kepada responden, kuisioner tersebut diuji coba terlebih dahulu. Pengujian yang dilakukan adalah uji validitas dan uji reliabilitas. Pengujian ini dilakukan terhadap responden yang dipilih berdasarkan kedekatannya dengan karakteristik responden sebenarnya yang akan dipilih dari beberapa wilayah yang berada di Kota dan Kabupaten Bogor
Uji Validitas Uji validitas digunakan untuk mengukur seberapa valid suatu item pertanyaan dalam mengukur variabel yang diteliti. Suatu instrumen dianggap valid bila mampu mengukur apa yang ingin diukur atau dengan kata lain mampu memperoleh data yang tepat dari variabel yang diteliti (Singarimbun dan Effendi 1995). Pengujian validitas kuisioner dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 16.0 for windows. Secara statistik angka korelasi yang dihasilkan untuk tiap–tiap pertanyaan harus dibandingkan dengan angka kritik tabel nilai korelasi r (Lampiran 1). Cara melihat angka kritik adalah dengan melihat baris N-2. Dalam penelitian ini, jumlah N yang digunakan bernilai 31, maka angka kritik yang dilihat adalah
5 melihat baris 31-2=29. Apabila r hitung lebih besar daripada r tabel, maka pertanyaan tersebut dianggap valid. Demikian sebaliknya, apabila r hitung lebih kecil daripada r tabel, maka pertanyaan tersebut kemungkinan mempunyai susunan kalimat yang kurang baik sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda bagi responden (Singarimbun dan Effendi 1995).
Uji Reliabilitas Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau diandalkan. Teknik pengukuran reliabilitas dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi alpha cronbach pada perangkat lunak SPSS 16.0 for windows. Suatu item dikatakan reliabel jika nilai alpha cronbach-nya lebih dari nilai r tabelnya.
Metode Pengambilan Data Metode pengambilan data dilakukan dengan cara bertatap muka secara langsung dengan responden. Enumerator yang telah mendapatkan pelatihan cara pengisian kuesioner mendatangi secara langsung atau mengumpulkan responden pada satu tempat kemudian memberikan kuesioner kepada responden dengan memberikan penjelasan terlebih dahulu mengenai tujuan penelitian; cara memberikan jawaban; serta maksud suatu pertanyaan yang belum begitu dimengerti responden. Kuesioner yang telah disiapkan didesain untuk diisi tanpa harus melalui proses wawancara karena mempertimbangkan jumlah responden dan pertanyaan yang banyak serta proses wawancara yang akan membutuhkan waktu lama. Kuesioner yang telah dijawab oleh responden dikumpulkan kembali kepada enemurator untuk kembali diperiksa kelengkapan dan kesesuaian jawaban dengan perintah yang diberikan.
Analisis Data Kuesioner yang didapat dari responden divalidasi terlebih dahulu. Kuesioner dinyatakan valid apabila responden menjawab semua pertanyaan sesuai dengan perintah. Kuesioner yang telah dinyatakan valid kemudian dilakukaan pengkodean dan dimasukkan dalam program SPSS. Prosedur pengkodean dan pemasukan data dapat dilihat pada Lampiran 2. Kesadaran terhadap keamanan pangan diukur dengan cara memberikan sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan aspek keamanan pangan. Pertanyaanpertanyaan tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif dan statistik. Pertamatama data ditampilkan dalam bentuk tabel kontingensi yang berupa persentase dari kelompok jawaban yang sama dari semua responden pada suatu pertanyaan. Data juga dapat ditampilkan dalam bentuk tabulasi silang sehingga dapat diketahui lebih jelas sebaran data yang telah dikumpulkan. Data kuesioner pada blok IV diolah lebih lanjut dengan melakukan penyekoran (scoring) untuk mengetahui tingkat kesesuaian perilaku dengan
6 pedoman lima kunci keamanan pangan. Penilaian dilakukan dengan memberikan skor nol sampai lima dengan dasar expert justice. Expert justice didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman ahli sehingga dapat memberikan penilaian seobjektif mungkin terhadap suatu permasalahan. Masing-masing pertanyaan yang telah dinilai dikelompokkan berdasarkan lima kunci keamanan pangan kemudian dirata-rata. Hasil perhitungan kemudian dikategorikan mulai dengan sangat baik hingga sangat tidak baik dengan kisaran nilai antara nol sampai lima. Jika skor rata-rata 0-0.99 maka sangat tidak baik; 1.00-1.99 tidak baik; 2.00-2.99 netral; 3-3.99 baik; dan 4.00-5.00 sangat baik. Skor untuk masing-masing jawaban pada pertanyaan blok IV dapat dilihat pada lampiran 3 . Korelasi antara variabel dianalisis dengan menggunakan analisis statistik nonparametrik yaitu korelasi Spearman. Korelasi Spearman hanya dapat dilakukan pada data yang bersifat ordinal. Hasil analisis Spearman dapat memberikan nilai korelasi, signifikasi, serta arah korelasi antara variabel yang dikaji.
HASIL DAN PEMBAHASAN Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Pengujian kuesioner (uji validitas dan reliabilitas) dilakukan untuk memastikan bahwa kuesioner yang digunakan valid dan andal sebagai alat pengumpul data. Pengujian dilakukan kepada responden yang memiliki kedekatan karakteristik dengan responden sesungguhnya yaitu ibu rumah tangga. Kuesioner yang akan digunakan dalam kajian ini didesain dengan jenis pertanyaan tertutup yang dapat dijawab oleh responden tanpa proses wawancara, namun dalam tahap pengujian ini tetap dilakukan wawancara secara langsung kepada responden untuk mendapatkan umpan balik yang lebih baik Uji validitas dan reliabilitas dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 16.0 for windows dengan menggunakan menu analyze-scalereliability analysis. Hasil uji dikatakan valid dan reliabel jika nilai corrected itemtotal correlation dan cronbach’s alpha if item deleted lebih besar dari nilai r tabel pada DF=N-2 dengan tingkat probabilitas 0.05 dengan N adalah jumlah responden. Uji tidak dilakukan pada semua pertanyaan karena uji hanya dilakukan pada jenis pertanyaan tertentu. Pertanyaan yang sudah dianggap jelas seperti pada blok I tidak perlu diuji. Uji hanya dilakukan pada pertanyaan yang dianggap masih dapat menimbulkan bias pada jawaban yang diberikan responden seperti beberapa pertanyaan pada blok 2 dan 5. Draft kuesioner awal diuji kepada 17 responden di Kota dan Kabupaten Bogor yang terdiri atas lima blok dengan jumlah 42 nomor pernyataan. Hasil uji coba I menunjukkan nilai validitas dan reliabilitas yang rendah sehingga dilakukan perbaikan pada kuesioner seperti penghapusan pertanyaan atau pengubahan kata dan struktur kalimat. Perubahan ini juga didasarkan pada pengamatan selama wawancara seperti pemahaman responden terhadap pertanyaan; lama waktu pengisian kuesioner; serta pilihan jawaban yang lebih mudah dipahami dan sesuai dengan pengalaman responden.
7 Hasil perbaikan draft kuesioner pertama menghasilkan draft kuesioner kedua yang terdiri atas lima blok dengan jumlah 35 nomor pertanyaan. Uji coba dilakukan kepada 31 responden. Penambahan jumlah responden merupakan salah satu cara untuk meningkatkan nilai validitas dan reliabilitas kuesioner. Hasil uji validitas dan reliabilitas untuk beberapa item dapat dilihat pada Tabel 2, 3, dan 4. Hasil uji (Tabel 2) menunjukkan hanya pertanyaan tentang perhatian terhadap isu pangan rekayasa genetik dan pangan iradiasi yang valid namun tidak reliabel begitu juga sebaliknya pada pertanyaan isu keracunan pangan dan pangan organik. Namun secara keseluruhan blok pertanyaan diatas reliabel karena nilai alpha crobach-nya lebih besar dari nilai R tabel yaitu 0.355. (0.540>0.355). Blok berikutnya yang diuji adalah blok II pertanyaan nomor 2 (Tabel 3). Nilai alpha cronbach 0.801 menunjukkan nilai reliabiltas secara keseluruhan yang tinggi. Tabel 2. Hasil uji validitas dan reliabilitas pertanyaan B22 Cronbach's Alpha 0.522
Cronbach's Alpha Based on Standardized Items 0.540 Cronbach's Corrected ItemAlpha if Item Total Correlation Deleted
Perhatian isu keracunan pangan Perhatian isu pangan rekayasa genetik Perhatian isu pangan iradiasi Perhatian isu pangan organik
N of Items 4 Keterangan Validitas
Reliabilitas Ya
0.285
0.508
Tidak
0.449
0.300
Ya
0.414
0.344
Ya
Tidak
0.183
0.554
Tidak
Ya
Tidak
Tabel 3. Hasil uji validitas dan reliabilitas pertanyaan B26 Cronbach's Alpha 0.791
Pangan dari pasar aman Pangan dari swalayan aman Pangan dari rumah makan aman Organik lebih aman Pangan rekayasa genetik aman Pangan iradiasi aman
Cronbach's Alpha Based on Standardized Items 0.801 Corrected Cronbach's Item-Total Alpha if Item Correlation Deleted 0.519 0.771 0.584 0.760
N of Items 6 Keterangan Validitas
Reliabilitas
Ya Ya
Ya Ya
0.629
0.738
Ya
Ya
0.343
0.798
Tidak
Ya
0.622
0.746
Ya
Ya
0.701
0.719
Ya
Ya
8 Hasil uji pada blok V pertanyaan nomor 1 (Tabel 4) hanya item pertanyaan sumber informasi dari televisi, media cetak dan internet saja yang menunjukkan hasil valid dan reliabel sedangkan untuk sumber informasi yang lain tidak valid. Nilai reliabilitas secara keseluruhan tinggi (0.639). Hasil uji coba kedua secara keseluruhan telah menunjukkan peningkatan pada nilai validitas dan reliabilitas sehingga kuesioner sudah dapat digunakan sebagai alat pengumpul data. Tabel 4. Hasil uji validitas dan reliabilitas pertanyaan B51 Cronbach's Alpha 0.619
Televisi Media cetak Internet
Cronbach's Alpha Based on Standardized Items 0.639 Corrected Cronbach's Item-Total Alpha if Item Correlation Deleted 0.388 0.591 0.499 0.468 0.383 0.565
N of Items 4 Keterangan Validitas
Reliabilitas
Ya Ya Ya
Ya Ya Ya
Karakteristik Responden Karakteristik responden dalam penelitian ini dapat digambarkan melalui beberapa aspek yaitu lokasi, umur, pekerjaan, tingkat pendidikan, jumlah pengeluaran untuk kebutuhan pangan, tanggung jawab untuk membeli dan memasak kebutuhan pangan, serta jumlah anak usia sekolah dasar dalam keluarga. Berdasarkan studi empiris, karakteristik demografi dari konsumen khususnya gender, usia, tingkat pendidikan, dan pemasukan mempengaruhi tingkah laku konsumen terhadap keamanan pangan (Wilcocky et al. 2004; Tucker et al. 2006; Bektas et al. 2011). Data kuesioner menunjukkan dari 139 kuesioner yang disebar 54% responden bertempat tinggal di wilayah kota sedangkan 46% di wilayah kabupaten sehingga terlihat proporsi lokasi responden yang merata. Sebagian besar responden berada dalam kisaran usia produktif yaitu antara 20-59 tahun dengan kecenderungan data mengelompok pada rentang usia 20-44 tahun (65%). Walaupun sebagian besar responden berada dalam usia produktif, tujuh dari sepuluh responden memilih untuk tidak bekerja dan berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Data ini menunjukkan bahwa pilihan menjadi ibu rumah tangga masih menjadi prioritas pertama bagi wanita setelah berkeluarga disamping bekerja di sektor formal atau informal. Status ibu rumah tangga menjadi penting karena ibu rumah tangga memainkan peran penting sebagai gate keeper yang bertanggung jawab sekaligus pengambil keputusan dalam penyediaan pangan keluarga (Engel et al. 1994). Karakteristik demografi responden dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini. Pendidikan dan pekerjaan merupakan dua karakteristik yang saling berkaitan, dimana pendidikan akan mempengaruhi jenis pekerjaan (Sumarwan 2003). Sebagian besar responden dalam penelitian ini telah menamatkan pendidikan menengah atas (54%) sedangkan hanya 5-6% lulusan diploma atau
9 sarjana. Data tabulasi silang (Gambar 1) menunjukkan bahwa responden dengan tingkat pendidikan menengah atas ke bawah cenderung untuk memilih sebagai ibu rumah tangga dibandingkan bekerja pada sektor formal dan informal yang lebih menjadi pilihan bagi responden dengan tingkat pendidikan diploma atau sarjana. Tingkat pengeluaran untuk pangan mengambarkan seberapa besar dana yang digunakan suatu keluarga dalam satu bulan untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Besar rata-rata pengeluaran untuk kebutuhan pangan dalam satu bulan menurut BPS (2013) adalah 53% dari penghasilan namun dalam penelitian ini besar rata-rata pengeluaran yang digunakan adalah 50% dari penghasilan untuk mempermudah penghitungan. Hasil pengolahan data menunjukkan sebagian besar responden menghabiskan Rp750 000-Rp1 250 000 (47%) dan 30% responden pada kisaran >Rp1 250 000-Rp2 500 000 sehingga dapat disimpulkan bahwa responden merupakan golongan ekonomi menengah ke bawah yang cenderung sebagian besar penghasilannya dialokasikan untuk kebutuhan pangan.
60
Frekuensi
50
PNS
40
Pegawai swasta
30
Wirausaha
20
Tidak bekerja/ibu rumah tangga
10 0 <=SD
SMP
SMA
Diploma
Sarjana
Gambar 1. Tabulasi silang tingkat pendidikan dengan jenis pekerjaan Besarnya tanggung jawab responden terhadap keamanan pangan keluarga dapat juga kita lihat pada aspek tanggung jawab untuk membeli dan memasak. Sebagian besar responden menyatakan bahwa bertanggung jawab untuk membeli (94.00%) dan memasak (90.00%) sedangkan kurang dari 10.00% responden yang menyerahkan tanggung jawab ini kepada anggota keluarga lain atau pembantu. Sebagian besar responden (52.00%) memiliki 1-2 anak usia sekolah dasar sekolah dasar. Keberadaan anak usia sekolah dasar juga memperbesar peran ibu rumah tangga karena anak usia sekolah dasar merupakan salah satu golongan yang rentan terhadap keracunan pangan (Bektas et al. 2011).
10 Tabel 5. Karakteristik demografi responden (n=139) Karakteristik Demografi Lokasi
Usia
Pekerjaan
Pendidikan
Pengeluaran untuk kebutuhan pangan per bulan Tanggung jawab membeli Tanggung jawab memasak
Jumlah anak usia sekolah dasar
Kelompok Kota Kabupaten <20 tahun 20-44 tahun 45-59 tahun >=60 tahun PNS Pegawai swasta Wirausaha Tidak bekerja/ibu rumah tangga <=SD SMP SMA Diploma Sarjana
Rp1 250 000-Rp2 500 000 >Rp2 500 000 saya sendiri Anggota keluarga Pembantu Saya sendiri Anggota keluarga Pembantu 1-2 3-4 >4 Tidak ada
Frekuensi 75 64 5 91 36 7 14 14 16 95 22 26 75 7 9 19 66 41 13 125 14 0 123 15 1 52 3 6 39
Persentase (%) 53.96 46.04 3.6 65.47 25.9 5.04 10.07 10.07 11.51 68.35 15.83 18.71 53.96 5.04 6.47 13.67 47.48 29.5 9.35 89.93 10.07 0 88.49 10.79 0.72 52 3 6 39
Kesadaran, Persepsi Risiko, dan Kepercayaan Terhadap Keamanan Rantai Pangan Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana tingkat kesadaran, persepsi, dan kepercayaan ibu rumah tangga terhadap keamanan rantai pangan. Informasi ini menjadi sangat penting karena merupakan informasi dasar untuk melakukan intervensi. Definisi kesadaran berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keinsafan; keadaan mengerti dan hal yang dialami atau dirasakan, sedangkan persepsi didefinisikan sebagai proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancaindranya (KBBI 2013). Persepsi timbul sebagai hasil dari pemrosesan informasi yaitu melalui interpretasi dan pemaknaan rangsangan.
11 Tahapan munculnya persepsi dimulai dari pemaparan stimulus yang diterima oleh pancaindra. Stimulus yang diterima kemudian akan membentuk perhatian sehingga seseorang akan mengalokasikan kapasitas pemrosesan yang akan menyusun dan menerjemahkan informasi untuk memberikan arti terhadap informasi tersebut sebagai tahap pemahaman yang melibatkan panca indra (Oksowela 2008). 15
42
27
45
4 6
Persentase (%) Sangat yakin Tidak yakin
Yakin Sangat tidak yakin
Netral Tidak tahu
Rataan Standar deviasi
= 2.99 = 1.25
Gambar 2. Keyakinan responden terhadap kebersihan penyaluran pangan
50 Sangat yakin
Frekuensi
40
Yakin
30
Netral
20
Tidak yakin
10
Sangat tidak yakin
0
Tidak tahu <=SD
SMP
SMA Diploma Sarjana
Total
Gambar 3. Tabulasi silang tingkat pendidikan dengan keyakinan kebersihan penyaluran pangan Keyakinan responden terhadap kebersihan penyaluran pangan (Gambar 2) menunjukkan proporsi nilai yang cukup seimbang antara yakin (30%) dan tidak yakin (32%) dengan rata-rata penilaian responden pada kondisi netral (rata-rata= 2.99) dengan standar deviasi 1.25. Data tabulasi silang antara tingkat pendidikan dengan keyakinan responden juga menunjukkan bahwa ada kecenderungan semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tidak yakin (Gambar 3). Fakta ini menunjukkan bahwa konsumen sadar terhadap risiko keamanan penyaluran pangan sehingga responden masih melakukan proses pembersihan sebelum diolah lebih lanjut namun tetap diperlukan perluasan informasi mengenai risiko yang terdapat pada produk pangan sehingga masyarakat dapat lebih waspada. Perhatian terhadap beberapa isu pangan menunjukkan bahwa mayoritas responden memperhatikan isu-isu mengenai pangan seperti keracunan pangan (93.5%), penggunaan bahan kimia berbahaya (95%), daging gelonggongan (93.5%), dan sisa pestisida pada produk pertanian (80.6%). Hal sebaliknya terjadi pada isu produk pangan iradiasi dan rekayasa genetik yang belum menjadi perhatian bagi sebagian besar responden. Produk pangan iradiasi dan rekayasa genetik masih asing di tengah masyarakat karena belum banyak ditemui dan dikonsumsi oleh responden.
12 Angka kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan di Indonesia berdasarkan laporan BPOM tahun 2011 cukup tinggi yaitu 128 kejadian dengan jumlah orang yang terpapar sebanyak 18 144 orang dengan 6 901 orang sakit dan 11 orang meninggal. Beberapa data juga menyebutkan bahwa angka kejadian KLB Keracunan Pangan banyak terjadi di negara berkembang seperti di kawasan Asia-Pasifik (Tabel 1). KLB Keracunan Pangan di Indonesia paling banyak disebabkan oleh pangan olahan rumah tangga (45.31%). Hal ini sesuai dengan persepsi responden yang sebagian besar menyatakan sering terjadi keracunan pangan (36.7%). Namun masih banyak responden yang menyatakan jarang (27.3%) terjadi keracunan pangan. hal ini dapat disebabkan kurangnya informasi tentang kejadian keracunan pangan. Data lain menunjukkan bahwa dua tempat yang sering terjadi keracunan pangan menurut responden adalah hajatan (47.5%) dan sekolah (37.4%) sedangkan hanya tiga responden yang memilih rumah tangga (2.2%). KLB Keracunan Pangan di rumah tangga sering terjadi pada saat pesta keluarga seperti pernikahan dan khitanan. Penyebab utama dari KLB ini adalah manajemen pengolahan pangan yang kurang baik dengan faktor kritis pada suhu dan waktu pengolahan (BPOM 2012). Data tersebut diatas menunjukkan pengetahuan dan kesadaran yang tinggi dari responden terhadap keamanan pangan di rumah tangga. Persepsi responden terhadap keamanan pangan juga dapat dilihat bagaimana responden mendefinisikan peralatan pengolahan pangan yang bersih. Sebanyak 61.9% responden mendefinisikan peralatan pengolahan pangan yang bersih sebagai peralatan yang tidak mencemari pangan, 35% sebagai peralatan yang tidak berkarat atau gosong, dan hanya satu responden yang menjawab dengan peralatan yang baru. Definisi yang responden berikan menunjukkan pengetahuan dan persepsi yang baik terhadap keamanan pangan. Responden sudah mengetahui bahwa peralatan pengolahan pangan yang bersih tidak selalu baru tetapi peralatan yang tidak akan mencemari pangan baik berupa cemaran mikrobiologi, fisik, ataupun kimia. Keyakinan responden terhadap keamanan produk pangan yang berasal dari pasar tradisional ataupun swalayan tidak berbeda. Responden menganggap bahwa pangan yang berasal dari pasar tradisional maupun swalayan tidak aman walaupun sebagian responden menganggap bahwa pangan yang berasal dari swalayan relatif lebih aman (54.7%). Mayoritas responden (94.2%) juga menyatakan bahwa responden yakin tidak akan keracunan jika pangan diolah sendiri dengan bersih dan merasa yakin (64%) jika pangan yang berasal dari rumah makan aman. Persepsi responden terhadap peran pemerintah dan industri pangan dalam menjamin keamanan pangan yang beredar menunjukkan kecenderungan responden menganggap pemerintah dan industri telah berperan dalam menjamin keamanan pangan yang beredar. Namun proporsi jawaban tidak dan tidak tahu yang cukup tinggi (±45%) menunjukkan peran yang belum begitu maksimal. Hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah dan industri untuk lebih memperlihatkan perannya dalam menjamin keamanan pangan yang beredar kepada masyarakat sehingga masyarakat lebih yakin terhadap keamanan pangan yang beredar. Isu pangan organik, pangan rekayasa genetik (genetically modified food), serta pangan iradiasi merupakan isu terkini dan terus berkembang di dunia. Pangan organik menjadi pilihan konsumen karena memberikan ekspektasi pangan
13 yang lebih sehat dan ramah lingkungan (Sangkumchaliang dan Huan 2012). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan 79.9% responden merasa yakin jika pangan organik lebih aman dibandingkan dengan pangan anorganik. Pangan rekayasa genetik pada umumnya merujuk pada produk hasil pertanian khususnya tanaman pangan yang telah mengalami perubahan genetik untuk mendapatkan karakteristik tertentu seperti tahan terhadap serangan hama atau peningkatan kandungan gizi (Verma et al. 2011). Produk pangan hasil rekayasa genetik memiliki dampak positif dan negatif terhadap kesehatan. Dampak positif dari GMF antara lain peningkatan nilai gizi produk serta pengurangan jumlah residu pestisida/herbisida pada produk pertanian, namun GMF memiliki beberapa risiko terhadap kesehatan seperti timbulnya alergi (Verma et al. 2011). Kekurangan informasi dan belum familiarnya produk pangan rekayasa genetik menyebabkan mayoritas responden tidak tahu (55.40%) dan cenderung tidak yakin (30.90%) terhadap keamanan produk pangan rekayasa genetik. Hal yang sama terlihat pada keyakinan responden terhadap keamanan produk pangan iradiasi. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 701 tahun 2009 tentang pangan iradiasi, pangan iradiasi adalah setiap pangan yang dengan sengaja dikenai radiasi pengion tanpa memandang sumber atau jangka waktu iradiasi ataupun besar energi yang digunakan. Setiap pangan iradiasi yang beredar di Indonesia harus memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan. Mayoritas responden menyatakan tidak tahu (64.7%) dan cenderung tidak yakin (25.9%) bahwa produk pangan iradiasi aman bagi responden. Selain itu korelasi antara perhatian terhadap pangan hasil iradiasi dengan keyakinan terhadap keamanannya menunjukkan korelasi yang kecil dan bernilai negatif (koefisien korelasi Spearman= -0.055). Hal ini menunjukkan perhatian responden yang masih kurang sehingga cenderung menjawab tidak tahu dan tidak yakin. Kurangnya hasil penelitian mengenai dampak pangan iradiasi terhadap kesehatan menimbulkan banyak perdebatan di berbagai negara (Burns 2004). Berdasarkan ulasan bukti ilmiah yang dilakukan oleh panel ahli, World Health Organization (WHO) menyimpulkan bahwa pangan yang diiradiasi pada dosis yang tepat aman untuk dikonsumsi dan memenuhi kebutuhan gizi (Burns 2004). Selain itu. proses iradiasi tidak akan menyebabkan pangan menjadi radioaktif dan beracun serta tidak mendukung pembentukan kromosom yang abnormal (ICGFI 1999). Perilaku Berbelanja Perilaku seseorang akan dipengaruhi oleh pengetahuan dan persepsi individu tersebut. Salah satu perilaku yang erat kaitannya dengan keamanan pangan adalah perilaku berbelanja. Perilaku dalam berbelanja ini terkait dengan lokasi belanja, aspek yang diperhatikan ketika berbelanja, serta kebiasaan dalam berbelanja. Tukang sayur keliling merupakan pilihan pertama bagi mayoritas responden (41%) untuk berbelanja kebutuhan pangan sehari-hari. Tempat kedua yang dipilih responden adalah pasar tradisional (31.7%) disusul warung kelontong (29.5%). Akses lebih mudah menjadi pendorong utama responden untuk memilih tukang sayur keliling dibandingkan pasar tradisional atau warung. Pasar tradisional maupun modern lebih banyak dipilih responden untuk memenuhi
14
Tempat
kebutuhan bulanan, sedangkan warung menjadi pilihan untuk melengkapi kebutuhan jika masih ada kekurangan. Uji korelasi Spearman antara tingkat pendidikan dengan pilihan pertama tempat berbelanja menunjukkan korelasi negatif yang lemah (koefisien korelasi= 0.218) tetapi signifikan. Hal ini menunjukkan tingkat pendidikan berpengaruh terhadap pilihan tempat belanja. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka cenderung tidak memilih tukang sayur sebagai prioritas tempat berbelanja. Sedangkan pengeluaran responden tidak berpengaruh sehingga baik responden yang memiliki pengeluaran tinggi atau rendah tetap memilih tukang sayur sebagai prioritas dalam berbelanja (Gambar 4). Warung Toko retail Tukang sayur Pasar modern Pasar tradisional Swalayan 0
10
20
30 Frekuensi
40
50
60
Gambar 4. Prioritas pertama tempat berbelanja Aspek perilaku berbelanja kedua yang dilihat adalah faktor yang menjadi prioritas responden ketika berbelanja produk pangan olahan (Gambar 5). Harga menjadi faktor utama yang diperhatikan responden ketika berbelanja dari sepuluh faktor yang disebutkan yaitu harga, mutu, nomor registrasi BPOM, merk dagang, nama dan alamat produsen, berat bersih, tanggal kedaluwarsa, kehalalan, komposisi, dan nilai gizi (Gambar 5). Faktor prioritas kedua yang diperhatikan adalah mutu produk disusul oleh kehalalan, tanggal kedaluwarsa, dan nilai gizi. Fakta ini menunjukkan bahwa harga tetap menjadi prioritas pertama dibandingkan dengan aspek keamanan dan kualitas produk. Perilaku dalam berbelanja ini sangat dipengaruhi oleh pengalaman responden, lingkungan, serta keluarga (Swamy et al. 2012; Banumathy dan Hemameena 2006). Hasil uji korelasi Spearman juga menunjukkan bahwa tingkat pendidikan dan pengeluaran berkorelasi positif dengan faktor utama ketika berbelanja. Hasil ini menunjukkan bahwa baik responden yang berpendidikan dan berpenghasilan tinggi cenderung tetap memilih harga sebagai prioritas utama. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Leibtag dan Kaufman (2003) menunjukkan bahwa golongan keluarga dengan penghasilan yang rendah akan berusaha untuk seekonomis mungkin dalam berbelanja sehingga dapat mengurangi pengeluaran untuk pangan dengan cara membeli produk diskon, mengurangi mutu dan membeli produk dengan merk lokal. Beberapa aspek penting yang terdapat pada label produk pangan seperti merk dagang, nomor registrasi BPOM, nama dan alamat produsen, berat bersih, dan komposisi kurang menjadi perhatian responden ketika berbelanja. Hal ini menunjukkan kurangnya perhatian responden terhadap aspek keamanan produk pangan olahan. Nomor registrasi BPOM sangat penting untuk diperhatikan karena
15
Aspek
seiring dengan banyak masuknya produk pangan olahan ilegal ke pasar yang belum terjamin keamanannya. Hasil sampling operasi pasar bersama Tim Terpadu Pengawasan Barang Beredar di tujuh kota yang memiliki pelabuhan laut/udara internasional pada tahun 2011 menemukan 82 886 kemasan dari 1 133 jenis produk makanan impor ilegal senilai Rp 1.7 milliar (BPOM 2012). Jenis produk pangan ilegal yang ditemukan terdiri atas minuman ringan dalam kaleng, makanan kaleng, biskuit, bumbu/rempah, susu, saus, makanan ringan, dan minuman beralkohol. Nilai gizi Kehalalan Kedaluwarsa Berat bersih Merk Noreg BPOM Mutu Harga 0
20
40
60
80
Frekuensi
Gambar 5. Prioritas pertama belanja pangan olahan
Aspek
Harga juga menjadi faktor utama responden ketika berbelanja produk pangan segar seperti daging, ikan, atau sayuran (Gambar 6). Empat dari sepuluh responden memilih harga sebagai faktor pertama, disusul oleh mutu dan keamanan. Risiko keamanan produk pangan segar lebih tinggi dibandingkan dengan produk pangan olahan. Risiko ini akan semakin tinggi jika produk pangan segar tersebut akan dikonsumsi mentah. Hasil penelitian Nurjanah (2006) pada beberapa rumah makan menunjukkan bahwa sampel yang tidak mengalami proses pemanasan seperti mentimun mengandung jumlah total mikroba yang tinggi (2.96.8 log CFU/g) dan total koliform yang tinggi (2.5-3.7 log MPN/g) dibandingkan dengan sampel ayam goreng/bakar yang mengandung total mikroba dan total koliform yang rendah (<1.4 log CFU/g dan <0.3 log MPN/g). Aspek keamanan yang menjadi pilihan terakhir responden menunjukkan perilaku yang kurang memperhatikan aspek keamanan pangan. Keamanan Mutu Harga 0
10
20 30 Persentase (%)
40
50
Gambar 6. Prioritas pertama belanja pangan segar Hal lain yang penting untuk diamati adalah perilaku responden dalam memisahkan antara bahan pangan dan non pangan dalam tempat yang berbeda. Pemisahan dilakukan untuk mencegah terjadinya kontaminasi yang dapat
16 membahayakan kesehatan. Mayoritas responden (96.00%) sudah memisahkan antara produk pangan dan non pangan ketika berbelanja. Hal ini menunjukkan kesadaran responden untuk menjaga bahan pangan agar tidak terkontaminasi dengan bahan yang berbahaya. Praktik Penanganan dan Penyiapan Pangan Konsumen sebagai pengguna produk pangan juga memiliki tanggung jawab dalam menjaga keamanan pangan sesuai dengan Undang-undang nomor 18 tahun 2012 tentang pangan. Risiko keamanan pangan terhadap kesehatan konsumen semakin tinggi ketika konsumen kurang memiliki pengetahuan tentang pengolahan pangan yang baik sehingga konsumen terbiasa dengan cara pengolahan pangan yang salah. World Health Organization (WHO) telah mengembangkan pesan keamanan pangan yaitu ”Lima Kunci untuk Keamanan Pangan” dengan harapan dapat mengurangi praktik higiene, sanitasi, dan pengolahan pangan yang buruk di masyarakat. Lima kunci untuk keamanan pangan tersebut adalah 1) jagalah kebersihan; 2) pisahkan pangan mentah dengan pangan matang (cegah kontaminasi silang); 3) masaklah dengan benar; 4) jagalah pangan pada suhu aman; dan 5) gunakan air dan bahan baku yang aman (WHO 2006). Kunci I: Menjaga kebersihan Salah satu cara untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang adalah dengan mencuci tangan. Beberapa kondisi yang mengharuskan cuci tangan sebelum dan saat menangani pangan antara lain sesudah dari toilet, setelah menangani daging atau unggas mentah, setelah bersin, setelah mengganti popok bayi, setelah bermain dengan hewan piaraan, serta setelah menangani pestisida atau bahan kimia lainnya. Selain mencuci tangan, hal yang termasuk dalam aspek menjaga kebersihan adalah cara membersihkan buah atau sayur serta peralatan pengolah pangan. Aspek kebersihan yang dibahas dalam penelitian ini antara lain mengenai kebiasaan dalam mencuci tangan sebelum mengolah pangan dan setelah menangani telur, daging, dan ikan serta cara dalam membersihkan buah dan sayur. Mayoritas responden menyatakan selalu mencuci tangan sebelum mengolah pangan, namun masih ada 16.5% responden yang kadang-kadang mencuci tangan. Kebiasaan mencuci tangan dapat mengurangi keberadaan Staphylococcus aureus yang secara alami terdapat pada tangan manusia. Staphylococcus aureus dapat menjadi sumber terjadinya intoksifikasi enterotoksin B yang menjadi penyebab ganguan kesehatan seperti gastroenteritis (Jay et al. 2005). Hal lain yang menjadi perhatian adalah kebiasaan responden yang masih cukup banyak melanjutkan memasak (25%) setelah memecahkan telur mentah. Kulit telur dapat menjadi sumber pencemaran bakteri Salmonella Entritidis yang dapat menyebabkan salmonellosis pada manusia. Salmonellosis merupakan salah satu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri patogen Salmonella spp. (Kusomowinahyu 2005).
17
Mencuci tangan dengan sabun Membasuh tangan Lanjut memasak 0
20
40
60
80
100
Frekuensi
Gambar 7. Perilaku setelah memecah telur mentah Hal yang berbeda terlihat pada kebiasaan responden yang selalu mencuci tangan dengan sabun setelah menangani ikan atau daging segar (84.20%). Bau amis serta lendir diduga menjadi penyebab responden selalu mencuci tangan setelah menangani kedua bahan tersebut. Kebiasaan mencuci tangan dengan benar merupakan cara yang paling mudah untuk menghindari kontaminasi mikroba maupun kimia sehingga penyebaran informasi mengenai cara mencuci tangan dengan benar perlu terus dilakukan. Hasil penelitian Anderson et al. (2004) yang dilakukan dengan merekam aktivitas penyiapan pangan beberapa rumah tangga di Amerika Serikat menyebutkan bahwa responden belum melakukan cuci tangan sesuai dengan pedoman. Rata-rata waktu responden dalam mencuci tangan dengan sabun kurang dari 20 detik dan 30% responden tidak menggunakan sabun dalam mencuci tangan. Pencucian sayur dan buah dengan cara menggosok dengan tangan atau busa pada air yang mengalir bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan mengurangi jumlah mikroba (Anderson et al. 2004). Data kuesioner menunjukkan 44.6% responden telah melakukan dengan benar, namun masih banyak responden yang hanya menahan dalam air (33.8%) atau merendam dalam air tanpa digosok (13.7%). Pencuncian juga dapat mengurangi sisa pestisida yang terdapat pada produk karena pestisida dapat larut dalam air. Oleh sebab itu pencucian harus dilakukan pada air yang mengalir untuk mencegah terjadinya rekontaminasi pada produk. Proses penggosokan diperlukan untuk membantu menghilangkan kotoran atau mikroba yang terdapat pada permukaan buah. Selain itu hal yang juga harus dilakukan dalam membersihkan buah dan sayur yang akan dikonsumsi secara langsung adalah penghilangan bagian buah/sayur yang rusak. Bagian buah/sayur yang telah rusak menjadi sumber mikroba yang berbahaya bagi kesehatan.
Kunci II: Mencegah kontaminasi silang Kunci keamanan pangan yang kedua adalah memisahkan antara pangan mentah dengan pangan matang untuk menghindari terjadinya kontaminasi silang. Pangan mentah terutama produk hewani dan pangan asal laut serta cairannya mengandung mikroba patogen yang mungkin bermigrasi ke pangan lain selama persiapan, pengolahan dan penyimpanan pangan (kontaminasi silang) (BPOM 2010). Kontaminasi silang ini dapat dicegah dengan memisahkan dalam wadah yang berbeda serta membersihkan peralatan sebelum digunakan jika mengunakan peralatan yang sama. Selain itu Fight BAC! Yang merupakan program kerja Food Drug Administration (FDA) dalam promosi keamanan pangan di Amerika Serikat, memberikan rekomendasi untuk menyimpan daging, unggas, atau produk
18 perikanan mentah pada rak paling bawah refrigerator sehingga cairan tidak menetes pada produk pangan lain (Anderson et al. 2004). Data kuesioner menunjukkan bahwa mayoritas responden membersihkan kembali talenan (53.2%) atau pisau (38.8%) setelah digunakan untuk menangani daging atau ikan segar sebelum digunakan untuk memotong buah atau sayur yang akan dikonsumsi secara langsung. Mayoritas responden telah membersihkan dengan benar yaitu mencuci dengan sabun kemudian mengeringkannya namun masih banyak responden yang hanya membilas atau menyeka tanpa mencuci dengan sabun terlebih dahulu. Cara lain yang dapat dilakukan responden untuk mencegah kontaminasi silang adalah dengan menggunakan pisau atau talenan yang berbeda. Agen yang paling banyak menyebabkan kontaminasi silang adalah tangan (51%), meja/talenan (18%) dan peralatan masak (16%) (Anderson et al. 2004). Selain dengan membersihkan, pencegahan kontaminasi silang juga dapat dilakukan dengan cara memisahkan wadah antara pangan mentah dan pangan matang. Hampir seluruh responden menyatakan telah melakukan rekomendasi ini dengan benar (97.1%). Responden tidak menggunakan piring yang sama untuk menyimpan makanan yang mentah dan matang. Kontaminasi silang dapat juga terjadi selama proses penyimpanan. Pangan yang matang harus disimpan dalam wadah tertutup dan terpisah dengan pangan mentah. Pangan mentah seperti daging, ikan, atau produk perikanan lainnya harus disimpan dalam rak refrigerator/kulkas yang paling bawah untuk menghindari tetesan cairan pada produk lain terutama produk siap saji. Kesadaran responden dalam aspek ini sangat rendah karena hanya satu responden yang menyimpan pada rak bagian bawah sedangkan mayoritas menyimpan pada freezer (69.70%) atau laci di bawah freezer (33.10%). Penyimpanan daging mentah atau ikan segar di laci bawah freezer sangat berisiko menyebabkan kontaminasi silang pada produk yang disimpan di bawahnya karena suhu pada tempat ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan bagian yang lain karena tempat ini didesain sebagai tempat pencairan produk beku sehingga memungkinkan tetesan produk mengontaminasi produk lainnya.
Kunci III: Memasak dengan benar Suhu dan waktu pemasakan merupakan hal yang kritis dalam pengolahan pangan. Kejadian luar biasa keracunan pangan yang banyak terjadi akibat pangan olahan rumah tangga disebabkan oleh suhu dan waktu pemasakan yang tidak tepat. Kondisi undercooked menyebabkan bakteri patogen masih terdapat pada produk tersebut sehingga dapat membahayakan kesehatan. Tingkat kematangan suatu produk dapat diukur dengan menggunakan termometer pangan atau dengan melihat perubahan karakteristik produk seperti perubahan warna atau tekstur. Tingkat kematangan daging secara tepat dapat diukur dengan menggunakan termometer. Hasil pengukuran termometer kemudian dibandingkan dengan suhu minimal pengolahannya. Hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan termometer masih belum familiar di masyarakat Indonesia. Hal yang sama juga terlihat dalam penelitian yang dilakukan oleh Anderson et al. (2004) yang menunjukkan hanya 5.32% responden rumah tangga Amerika Serikat yang menggunakan termometer untuk memastikan bahwa pangan yang mereka olah
19 telah matang (Tabel 6). Responden dalam penelitian ini cenderung menusuk dengan sodet dan mencicipi untuk memastikan daging sudah matang. Cara ini sangat berisiko karena responden tidak dapat meyakinkan bahwa daging yang diolah telah mencapai suhu minimal pengolahan. Suhu minimal pengolahan beberapa bahan pangan disajikan pada Tabel 7 di bawah ini. Tabel 6. Metode untuk memastikan kematangan daging Metode Dipotong dengan pisau Ditusuk dengan alat masak Dicicipi Penampilan Termometer Waktu masak
Persentase (%) 6.5 59.7 23 7.2 0 3.6
Persentase (%)* 42.55 38.3 5.32 13.83 5.32 1
*(Anderson et al. 2004) Tabel 7. Suhu minimal pengolahan beberapa bahan pangan Bahan pangan Daging giling dan daging Sapi, babi, kambing campur Kalkun,ayam Daging sapi segar Medium rare Medium Well done Ham Medium Well done Telur Perikanan
Udang, kepiting Remis, tiram
Suhu pengolahan minimal (°C) 71.11 73.89 62.78 71.11 76.67 71.11 76.67 Masak sampai kuning dan putih telur menjadi padat lobster, Daging putih dan buram Cangkang pengolahan
terbuka
selama
Sumber: diolah dari http://fightbac.org
Kunci IV: Menyimpan pada suhu yang aman Pedoman ke empat dalam upaya menjaga keamanan pangan di rumah tangga adalah menyimpan pangan dalam suhu yang aman. Mikroba dapat berkembang biak dengan sangat cepat jika pangan yang sudah matang disimapang pada suhu ruang. Pertumbuhan mikroba akan turun dan berhenti ketika pangan disimpan pada suhu di bawah 5°C atau di atas 60°C, walupun beberap mikroba berbahaya masih dapat tumbuh di bawah suhu 5°C (WHO 2006). WHO memberikan pedoman untuk menyimpan pangan pada suhu aman dengan 1) tidak menyimpan pangan yang sudah matang pada suhu ruang lebih dari dua jam khusunya untuk pangan yang mengandung daging, unggas, telur, dan ikan; 2) membekukan dengan segera pangan yang telah matang dan pangan yang mudah rusak (di bawah 5°C); 3) menjaga pangan yang telah matang tetap panas (lebih dari 60°C) sebelum disajikan; 4) tidak menyimpan pangan terlalu lama walaupun
20 dalam refrigerator; dan 5) tidak melakukan thawing pangan beku pada suhu ruang (WHO 2006). Data penelitian menunjukkan 95.00% responden menyimpan pangan segar seperti daging, ikan dan sayur di refrigerator, 2.20% menyimpan di meja/lemari dapur dan 2.90% menyimpan di tempat lain. Data di atas menunjukkan kesadaran responden yang tinggi untuk menjaga pangan pada suhu yang aman. Fakta lain yang mendukung adalah kesadaran yang tinggi dari mayoritas responden untuk menyimpan makanan sisa di refrigerator walaupun masih ada sebagian kecil responden (8.6%) yang membiarkan pada suhu ruang. Kunci V:Penggunaan air bersih dan bahan yang aman Bahan baku seperti air dan es dapat mengandung mikroba patogen yang dapat menyebabkan diare, tifus atau disentri. Proses perebusan, penyaringan, dan klorinasi dapat menginaktivasi mikroba patogen namun tidak dapat menghilangkan kandungan bahan kimia berbahaya (WHO 2006). Data kuesioner menunjukkan semua responden menyatakan menggunakan air bersih dalam mengolah pangan yang bersumber dari air tanah atau PDAM. Kualitas air yang belum diketahui secara pasti oleh responden sebenarnya berisiko untuk menimbulkan bahaya jika dikonsumsi mentah. Kesadaran responden terhadap penggunaan bahan baku yang aman ditunjukkan dengan tingginya perhatian responden terhadap isu daging gelonggongan dan ayam tiren (mati kemarin) (93.5%) serta penggunaan bahan kimia berbahaya (95%). Cara yang dapat dilakukan untuk memilih atau menggunakan bahan baku dengan baik menurut WHO (2006) antara lain: 1) membeli bahan baku yang segar; 2) menghindari pangan yang sudah rusak atau busuk; 3) mencuci buah dan sayur dengan air yang aman khususnya sebelum dikonsumsi secara langsung; 4) tidak menggunakan pangan yang telah kedaluwarsa; serta 5) memilih pangan siap saji, pangan matang atau pangan yang mudah rusak yang disimpan dengan benar.
Penilaian praktik penanganan dan penyiapan pangan Penerapan lima kunci keamanan pangan secara keseluruhan termasuk dalam kategori baik dengan nilai rata-rata 3.99 dan standar deviasi 0.37. Data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa aspek menjaga kebersihan, memisahkan pangan mentah dan matang, menyimpan pada suhu yang benar, serta penggunaan air bersih secara keseluruhan mendapat penilaian sangat baik, namun aspek memasak dengan benar masih mendapat penilaian netral dengan kecenderungan tidak baik. Hal ini dapat disebabkan penggunaan termometer yang masih belum populer di Indonesia sehingga dalam memastikan kematangan daging responden melakukan dengan menusuk atau mencicipi. Kebiasaan untuk memastikan kematangan daging dengan menusuk atau mencicipi yang telah dilakukan secara turun temurun cukup untuk menyakin reponden jika pangan yang diolah telah matang. Inilah yang menjadi banyak penyebab KLB Keracunan Pangan yang banyak terjadi saat hajatan atau pesta keluarga yang mengolah pangan dengan kuantitas besar tanpa manajemen keamanan pangan yang baik. Perilaku lain yang
21 patut menjadi perhatian adalah perilaku sebagian responden yang masih kadangkadang mencuci tangan sebelum mengolah pangan (16.55%) serta menyimpan pangan sisa pada suhu ruang (8.63%). Tabel 8. Penilaian praktik penanganan dan penyiapan pangan Aspek
N
Penggunaan air bersih Menjaga kebersihan Memasak dengan benar Memisahkan/mencegah kontaminasi silang Menyimpan pada suhu yang benar Nilai keseluruhan
Mean
Std. Deviation
139 139 139
5 4.1 2.2
0 0.88 0.60
139
4
0.67
139
4.1
0.78
139
3.9
0.37
Kategori penilaian Sangat baik Sangat baik Netral Sangat Baik Sangat baik Baik
Hasil penelitian ini juga dapat memberikan gambaran bahwa praktik keamanan pangan di rumah tangga sesungguhnya tidak terlalu buruk namun masih kurang baik pada aspek-aspek tertentu. Hal ini juga dapat meluruskan bahwa pangan hasil olahan rumah tangga sebagai penyebab terbesar KLB Keracunan Pangan di Indonesia merupakan istilah yang kurang tepat digunakan jika merujuk pada temuan dalam penelitian ini. Pangan hasil olahan rumah tangga secara sederhana akan diterjemahkan sebagai pangan hasil olahan rumah tangga pada umumnya, padahal KLB Keracunan Pangan sesungguhnya tidak terjadi pada rumah tangga namun pada saat acara hajatan atau pesta yang melibatkan banyak orang dalam proses pengolahan dan penyelenggaraannya. Titik kritis keamanan pangan dalam hal ini terdapat dalam aspek pemasakan dan penyimpanan. Pemasakan yang sering tidak mencapai tingkat kematangan serta penyimpan pangan siap saji pada suhu ruang yang cukup lama berisiko tinggi untuk kembali terkontaminasi dan membahayakan konsumen. Komunikasi risiko dan edukasi konsumen untuk memromosikan pengolahan pangan dengan benar dapat menjadi cara yang tepat untuk manajeman risiko keracunan pangan pada konsumen sebagai ujung dari rantai pangan (Patil et al. 2005). Oleh sebab itu dibutuhkan penyebaran informasi yang lebih komprehensif sehingga masyarakat dapat menjalankan cara pengolahan pangan dengan baik dan benar. Sumber Informasi Keamanan Pangan Persepsi seseorang berhubungan dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki sebelumnya, semakin tinggi tingkat pengetahuan maka semakin baik persepsinya terhadap sesuatu (Kotler 2001). Sumber pengetahuan dan pengalaman dapat berasal dari aktivitas yang telah dilakukan maupun sumber informasi tertentu seperti keluarga, media elektronik, ataupun media cetak. Menurut Kotler
22 (2001) sumber informasi adalah karakter penyampai pesan sehingga semakin sedikit informasi yang disampaikan maka semakin sedikit pula pesan yang akan ditangkap, begitu pula sebaliknya. Informasi mengenai keamanan pangan dibutuhkan untuk memberikan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap risiko dari keamanan pangan. Hasil pengolahan data kuesioner menunjukkan bahwa sumber informasi dapat berasal dari lingkungan seperti teman atau keluarga, media elektronik, maupun media cetak. Sebanyak 97.1% responden menyatakan pernah mendapatkan informasi keamanan melalui televisi; 60% melalui radio; 75% melalui media cetak (koran, majalah, pamflet); 81% melalui teman atau tetangga; 83% melalui keluarga, 45% melalui internet; dan 57% melalui penyuluhan sehingga rata-rata tujuh dari sepuluh responden menyatakan pernah mendapatkan informasi melalui berbagai sumber informasi yang telah disebutkan di atas (Gambar 8). Hasil penelitian lain mengenai persepsi keamanan pangan jajanan sekolah menunjukkan bahwa 52.58% orang tua murid mendapatkan sumber informasi dari televisi atau radio sedangkan 40% guru mendapatkan informasi dari koran dan majalah (Fitri 2007).
Sumber informasi
Radio Televisi Penyuluhan Internet
Ya
Keluarga
Tidak
Teman Media cetak 0
20
40 60 Persentase (%)
80
100
Sumber informasi
Gambar 8. Sumber informasi keamanan pangan Penyuluhan Internet Keluarga Teman Media cetak TV 0
20
40 60 Persentase (%)
80
100
Gambar 9. Sumber informasi keamanan pangan yang paling berpengaruh Televisi merupakan sumber informasi yang paling berpengaruh terhadap perilaku mayoritas responden (82%) sedangkan penyuluhan dipilih oleh 10.1% responden (Gambar 9). Televisi merupakan media komunikasi massa yang memiliki kemampuan yang besar untuk menyebarkan informasi secara serentak dan meluas melalui penggabungan antara audio, visual, dan gerak yang mampu memikat perhatian massa. Penggabungan antara audio, visual, dan gerak mempunyai daya tarik
23 yang kuat dan mampu memberikan kesan yang mendalam sehingga sangat memungkinkan memberikan efek yang besar seperti bertambahnya pengetahuan, sikap, persepsi, dan perubahan perilaku (Fitri 2007; Merril dan Lowenstein 1971).
Sistem Pengawasan dan Regulasi Pangan Kemajuan teknologi di bidang pangan, perubahan gaya hidup konsumen, serta semakin maju dan terbukanya perdagangan internasional mendorong pertumbuhan industri pangan sehingga jenis pangan semakin beragam sementara itu pengetahuan konsumen mengenai keamanan pangan masih belum memadai sehingga dapat meningkatkan risiko pada kesehatan dan keselamatan konsumen. Oleh sebab itu dibutuhkan sistem pengawasan obat dan makanan yang mampu mendeteksi, mencegah, dan mengawasi produk yang beredar untuk melindungi keamanan, keselamatan, dan kesehatan konsumen. Hal inilah yang melatarbelakangi pembentukan BPOM yang memiliki jaringan kerja nasional dan internasional serta kewenangan penegakan hukum dan kredibilitas profesional yang tinggi (BPOM 2013). Undang-undang nomor 18 tahun 2012 tentang pangan menyebutkan bahwa keamanan pangan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri pangan, dan konsumen. Pemerintah bertanggung jawab untuk melaksanakan sistem pengawasan keamanan pangan melalui pengaturan, standardisasi, penilaian, inspeksi, serta edukasi. Industri berperan untuk menjaga mutu dan keamanan produk dan konsumen berperan untuk melindungi dirinya sendiri dari pangan yang tidak bermutu dan tidak aman. Pandangan masyarakat mengenai peran BPOM dalam melakukan pengawasan dan pengaturan dapat memberikan gambaran sejauh mana fungsi tersebut telah dijalankan. Sebagian besar responden telah menjawab dengan benar bahwa fungsi pengawasan dan pengaturan pangan berada di Badan Pengawas Obat dan Makanan (56.8%), Kementerian Kesehatan (22.3%), Kementerian Pertanian (2.2%), Pemerintah Daerah (4%), konsumen (7.9%), serta tidak tahu (7.9%). Fakta ini menunjukkan kesadaran yang cukup tinggi terhadap peran organisasi pengawasan dan pengaturan pangan namun masih lebih rendah jika dibandingkan dengan kesadaran konsumen di Australia (60.4%) dan Inggris (82%) (FSNZA 2008).
14
57
33
19
1
15
Persentase (%) Sangat yakin Tidak yakin
Yakin Sangat tidak yakin
Netral Rataan = 2.86 Tidak tahu Standar deviasi = 1.395
Gambar 10. Keyakinan terhadap kinerja BPOM
24
6
52
34
27
2
18
Persentase (%) Sangat puas Tidak puas
Puas Sangat tidak puas
Netral Tidak tahu
Rataan = 2.86 Standar deviasi = 1.395
Gambar 11. Kepuasan terhadap kinerja BPOM Kesadaran responden terhadap keberadaan BPOM juga ditunjukkan dengan data yang menyebutkan bahwa sembilan dari sepuluh responden pernah mendengar dan mengetahui BPOM dan tujuh dari sepuluh responden mengetahui peran dari BPOM. Rata-rata penilaian responden terhadap keyakinan dan kepuasan kinerja yang telah dilakukan BPOM dalam upaya pelayanan dan pembinaan keamanan pangan menunjukkan penilaian yang berada di kisaran netral dengan standar deviasi yang tinggi yang menunjukkan sebaran penilaian yang luas. Meskipun demikian, mayoritas responden merasa yakin (41%) dan puas (37.4%) terhadap kinerja BPOM. Korelasi Antara Variabel Analisis korelasi antara variabel digunakan untuk mengetahui korelasi antara variabel sehingga dapat dianalisis lebih lanjut. Analisis korelasi yang digunakan dalam penelitian adalah korelasi Spearman. Analisis korelasi Spearman merupakan analisis korelasi statistika nonparametrik untuk jenis data ordinal yang diperkenalkan oleh Charles Spearman untuk mengukur kekuatan hubungan antara dua variabel (Hauke dan Kossowski 2011). Analisis korelasi Spearman dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPPS 16.0 for windows. Luaran dari proses analisis ini berupa tabel koefisien korelasi serta taraf signifikasi sehingga dapat digunakan untuk mengetahui tingkat signifikansi, kekuatan, serta arah dari korelasi dua variabel yang diuji. Tabel intepretasi koefisien korelasi Spearman menurut De Vaus (2002) disajikan di bawah ini (Tabel 9). Tabel 9. Interpretasi koefisien korelasi Spearman Koefisien korelasi spearman 0.00 0.01-0.09 0.10-0.29 0.30-0.49 0.50-0.69 0.70-0.89 >0.90
Kekuatan hubungan Tidak ada hubungan Hubungan kurang berarti Hubungan lemah Hubungan moderat Hubungan kuat Hubungan sangat kuat Hubungan mendekati sempurna
25 Korelasi antara pendidikan, pengeluaran, serta keyakinan responden terhadap kebersihan penyaluran pangan Tingkat pendidikan responden berkorelasi positif dengan besar pengeluaran dengan kekuatan hubungan moderat dan signifikan pada taraf 0.01 (Tabel 10). Pendidikan dan pekerjaan merupakan dua karakteristik yang saling berkaitan, dimana pendidikan akan mempengaruhi jenis pekerjaan (Sumarwan 2003) yang kemudian akan berkaitan pula dengan besar pemasukan individu tersebut. Dari kajian ini nampak bahwa responden yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi cenderung semakin besar pengeluaran untuk kebutuhan pangan. Namun, dalam penelitian ini tidak nampak hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dan besar pengeluaran terhadap keyakinan kebersihan penyaluran pangan (Tabel 10). Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik responden tidak berpengaruh terhadap keyakinan kebersihan penyaluran pangan yang menunjukkan pula tingkat kesadaran yang sama pada semua responden. Tabel 10. Korelasi tingkat pendidikan, pengeluaran, dan keyakinan kebersihan penyaluran pangan
Spearman's rho
Pendidikan
Keyakinan kebersihan penyaluran pangan Pengeluaran
Koefisien korelasi Sig. (2-arah) N Koefisien korelasi Sig. (2-arah) N
Pendidikan 1.000 . 139 0.116 0.173
Keyakinan kebersihan penyaluran pangan 0.116 0.173 139 1.000 .
Pengeluaran 0.326** 0.000 139 0.069 0.417
139
139
139
0.069 0.417 139
1.000 . 139
Koefisien korelasi 0.326 Sig. (2-arah) 0.000 N 139 **. Korelasi signifikan pada taraf 0.01 (2-arah).
**
Data pada Tabel 11 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan berkorelasi terbalik dengan prioritas tempat belanja pertama. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka cenderung semakin tidak memilih tukang sayur sebagai prioritas belanja pertama. Tingkat pendidikan yang semakin tinggi akan meningkatkan kewaspadaan dan kesadaran seseorang, sehingga responden cenderung lebih waspada terhadap keamanan produk yang dijual. Data tabulasi silang juga menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang berpendidikan sarjana lebih memilih swalayan yang dianggap lebih menjamin keamanan produk daripada tukang sayur.
26 Tabel 11. Korelasi tingkat pendidikan dan pengeluaran dengan prioritas pertama tempat belanja serta faktor belanja pangan olahan dan segar
Tempat belanja I Spear Pendidikan man's rho
Koefisien korelasi
Sig. (2-arah) N Pengeluaran Koefisien korelasi Sig. (2-arah) N Tempat Koefisien korelasi belanja I Sig. (2-arah) N Faktor Koefisien korelasi belanja Sig. (2-arah) olahan I N Faktor Koefisien korelasi belanja segar Sig. (2-arah) I N **. Korelasi signifikan pada taraf 0.01 (2-arah). *. Korelasi signifikan pada taraf 0.05 (2-arah).
Faktor belanja olahan I
Faktor belanja segar I
-0.218**
0.247**
0.213*
0.010 139 -0.072 0.400 139 1.000 . 139 0.159 0.061 139 0.060 0.484 139
0.003 139 0.167* 0.049 139 0.159 0.061 139 1.000 . 139 0.738** 0.000 139
0.012 139 0.177* 0.037 139 0.060 0.484 139 0.738** 0.000 139 1.000 . 139
Tingkat pendidikan berkorelasi positif dengan faktor prioritas pertama belanja pangan olahan dan segar dengan hubungan yang lemah dan signifikan pada taraf 0.01 dan 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa harga tetap menjadi prioritas bagi semua responden meskipun memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Besar pengeluaran tidak berkorelasi dengan prioritas tempat belanja namun berkorelasi positif dengan faktor prioritas pertama belanja pangan olahan dan segar namun dengan kekuatan hubungan yang lemah. Hal ini menunjukkan ada kecenderungan bahwa responden dengan pendidikan yang tinggi pun tetap berusaha untuk seekonomis mungkin dalam memenuhi kebutuhan pangan sehingga kurang memprioritaskan aspek keamanan. Faktor prioritas pertama belanja pangan olahan dan segar saling berkorelasi positif sehingga responden yang memilih harga sebagai prioritas pertama dalam berbelanja pangan olahan akan memilih faktor yang sama ketika berbelanja pangan segar. Data pada Tabel 12 menunjukkan pendidikan tidak berkorelasi secara signifikan terhadap keyakinan dan kepuasan kinerja BPOM. Pengeluaran berkorelasi negatif dengan hubungan yang lemah dan signifikan terhadap keyakinan namun tidak berkorelasi signifikan terhadap kepuasan. Keyakinan dan kepuasan berkorelasi positif dengan hubungan kuat dan signifikan pada taraf 0.01. Semakin tinggi keyakinan responden maka semakin tinggi tingkat kepuasan responden terhadap kinerja BPOM.
27 Tabel 12. Korelasi antara tingkat pendidikan dan pengeluaran dengan keyakinan dan kepuasan kinerja BPOM Keyakinan kinerja BPOM Spearman’ Pendidikan s rho
Kepuasan kinerja BPOM
Koefisien korelasi
-0.070
-0.066
Sig. (2-arah) N Pengeluaran Koefisien korelasi Sig. (2-arah) N Keyakinan kinerja Koefisien korelasi BPOM Sig. (2-arah) N **. Korelasi signifikan pada taraf 0.01 (2-arah). *. Korelasi signifikan pada taraf 0.05 (2-arah).
0.410 139 -0.206* 0.015 139 1.000 . 139
0.440 139 -0.137 0.108 139 0.682** 0.000 139
Tingkat pendidikan dan pengeluaran berkorelasi positif dengan perilaku responden dalam menerapkan lima kunci keamanan pangan seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 13. Tingkat pendidikan berkorelasi lemah dan signifikan pada taraf 5% namun tingkat pengeluaran berkorelasi moderat dan signifikan pada taraf 1%. Hal ini sesuai dengan pendapat Bektas et al. (2011) bahwa pendapatan dan tingkat pendapatan yang tinggi serta keberadaan orang lanjut usia di rumah tangga meningkatkan kemungkinan pengetahuan keamanan pangan yang baik. Tabel 13. Korelasi antara tingkat pendidikan dan pengeluaran dengan perilaku dalam penyiapan dan pengolahan pangan Penggunaan air bersih Pendidikan
Pengeluaran
Koefisien korelasi Sig. (2-arah) N Koefisien korelasi Sig. (2-arah) N
Menjaga kebersihan
.
Mema- Memisah- Menyim- Keselusak kan pan ruhan
0.282** -0.039
0.184*
. 139
0.001 139
0.647 139
0.030 139
.
0.264**
0.038
0.268**
. 139
0.002 139
0.660 139
0.001 139
0.124 0.208* 0.147 139
0.014 139
0.211* 0.349** 0.013 139
0.000 139
**. Korelasi signifikan pada taraf 0.01 (2-arah). *. Korelasi signifikan pada taraf 0.05 (2-arah).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kesadaran dan persepsi konsumen terhadap risiko keamanan pangan ditunjukkan dengan kesadaran dan perhatian responden terhadap isu-isu keamanan pangan yang berkembang di masyarakat sudah cukup baik. Namun, perhatian terhadap isu pangan hasil rekayasa genetik dan iradiasi masih kurang sehingga responden masih belum tahu dan cenderung tidak yakin terhadap
28 keamanan produk tersebut. Keyakinan responden terhadap kebersihan penyaluran pangan menunjukkan proporsi yang seimbang antara yakin dan tidak yakin dengan kecenderungan semakin tinggi tingkat pendidikan semakin cenderung tidak yakin. Prioritas pertama tempat berbelanja responden adalah tukang sayur (41%) disusul dengan pasar tradisional (31.7%) dan warung kelontong (29.5%). Harga menjadi pilihan pertama aspek yang diperhatikan responden ketika berbelanja pangan olahan maupun segar dibandingkan dengan faktor mutu dan keamanan. Mayoritas responden (96%) sudah memisahkan antara produk pangan dan non pangan dalam tempat yang berbeda ketika berbelanja. Aspek menjaga kebersihan sebagai kunci pertama keamanan pangan sudah dilaksanakan dengan baik oleh mayoritas responden, namun masih cukup banyak responden yang melanjutkan memasak setelah memecah telur mentah dan hanya menahan pada air mengalir atau merendam untuk membersihkan buah dan sayur. Praktik pencegahan kontaminasi silang secara umum telah dilakukan dengan benar oleh responden namun masih kurang dalam perilaku menyimpan pangan segar di refrigerator dimana hanya satu responden yang menyimpan dengan benar pada rak paling bawah. Aspek memasak dengan benar masih belum dilakukan dengan benar. Responden cenderung menusuk dan mencicipi untuk memastikan kematangan dibandingkan dengan melihat suhu minimal pengolahannya. Mayoritas responden juga telah melakukan penyimpanan produk pangan pada tempat yang benar namun masih ada 8.63% responden yang menyimpan pangan sisa pada suhu ruang. Aspek terakhir adalah penggunaan air bersih dan bahan yang aman telah dilakukan dengan baik oleh responden. Hasil skoring pada penerapan lima kunci keamanan pangan menunjukkan rata-rata nilai masuk dalam kategori baik (rata-rata= 4) dengan standar deviasi yang cukup lebar (0.3789). Nilai standar deviasi yang tinggi menunjukkan sebaran nilai yang luas sehingga masih ada aspek yang belum dilaksanakan dengan baik khususnya pada aspek memasak dengan suhu yang benar. Mayoritas responden telah menerima informasi keamanan pangan melalui berbagai media dengan televisi sebagai media yang paling berpengaruh terhadap perilaku responden (82%). Mayoritas responden menganggap fungsi pengawasan dan pengaturan keamanan pangan berada di BPOM (56.8%) dan Kementerian Kesehatan (22.3%). Responden sudah menyadari dengan baik keberadaan BPOM dengan penilaian keyakinan dan kepuasan kinerja yang netral. Tingkat pendidikan responden berkorelasi positif dengan besar pengeluaran dengan kekuatan hubungan moderat dan signifikan pada taraf 0.01. Hubungan antara tingkat pendidikan dan besar pengeluaran terhadap keyakinan kebersihan penyaluran pangan tidak signifikan. Tingkat pendidikan berkorelasi terbalik dengan prioritas tempat belanja pertama. Tingkat pendidikan berkorelasi positif dengan faktor prioritas pertama belanja pangan olahan dan segar dengan hubungan yang lemah dan signifikan pada taraf 0.01 (pangan olahan) dan 0.05 (pangan segar). Besar pengeluaran tidak berkorelasi dengan prioritas tempat belanja namun berkorelasi positif dengan faktor prioritas pertama belanja pangan olahan dan segar namun dengan kekuatan hubungan yang lemah. Pendidikan tidak berkorelasi secara signifikan terhadap keyakinan dan kepuasan kinerja BPOM. Pengeluaran berkorelasi negatif dengan hubungan yang lemah dan signifikan terhadap keyakinan namun tidak berkorelasi signifikan terhadap kepuasan.
29 Keyakinan dan kepuasan berkorelasi positif dengan hubungan kuat dan signifikan pada taraf 0.01. Tingkat pendidikan dan pengeluaran berkorelasi positif dengan perilaku responden dalam menerapkan lima kunci keamanan pangan. Penyebaran informasi keamanan pangan harus terus dilakukan untuk memberikan kesadaran dan perhatian masyarakat terhadap risiko keamanan pangan. Penyebaran informasi dan edukasi konsumen mengenai keamanan pangan melalui televisi dapat menjadi pilihan yang paling baik untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat khususnya masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah dan tingkat pendidikan rendah. Pengawasan dan sosialisasi terhadap pedagang sayur keliling dibutuhkan untuk menjaga keamanan produk karena sebagian besar responden mendapatkan produk dari pedagang sayur keliling. Promosi dan edukasi lima kunci keamanan pangan harus terus dilakukan sehingga seluruh prinsip-prinsip keamanan pangan rumah tangga dapat diketahui dan diterapkan dengan baik. Saran Penelitian yang telah dilakukan ini dapat menjadi dasar untuk memonitor dan melakukan kajian lebih dalam mengenai kesadaran dan perilaku keamanan pangan rumah tangga. Kajian yang lebih mendalam dan spesifik dibutuhkan untuk mengetahui lebih jauh bagaimana perilaku ibu rumah tangga dalam menerapkan prinsip-prinsip keamanan pangan. Studi observasional baik melalui pengamatan lapangan atau perekaman perilaku dapat memberikan kondisi yang lebih riil terhadap perilaku ibu rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA Anderson JB, Shuster TA, Hansen KE, Levy AS, Volk A. 2004. A cameras’s view of consumer food-handling behaviors. J of the American Diet. Assc. 104(2):186-191. Banumathy S, Hemameena M. 2006. Analysis of brand preference of soft drinks in the global environment. Ind. J. Marketing. 36(6):12-16. Bektas ZK, Miran B, Uysal OK, Gunden C. 2011. Consumer awareness for food safety in Turkey. Bulgarian J of Agr Sci. 17(4):470-483. Burns WJ. 2004. Risk Perception: A review. Los Angeles (US): Center for Risk and Economic Analysis of Terrorisme Events. University of Southern California. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan . 2013. Latar belakang BPOM. [internet]. [diacu 2013 Juni 18]. Tersedia dari: http://pom.go.id/pom/profile/latar_belakang.php [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2010. Peran serta konsumen dalam menjaga keamanan pangan. InfoPOM Volume XI. No. 3 Mei-Juni 2010 ISSN 1829-9334. Jakarta (ID): Badan Pengawas Obat dan Makanan. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2012. Laporan tahunan 2011. Jakarta (ID): Badan Pengawas Obat dan Makanan.
30 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Sensus penduduk 2010 [internet]. [diacu 2013 Juni 18]. Tersedia dari: http://sp2010.bps.go.id/ De Vaus DA. 2002. Surveys in Social Research. 5th Edition. Crows Nest (AU): Allen & Unwin. DeWall CS, Nadine R. 2005. Food safety around the world. Washington (US): Center for Science in the Public Interest. Engel. J.F,Blackwell RD, Miniard PW. 1994. Perilaku Konsumen. Edisi Ke- 6. Jilid 1. Budiyanto FX. penerjemah. Jakarta (ID): Binarupa Aksara. Fitri RN. 2007. Persepsi orang tua dan guru terhadap keamanan pangan jajanan anak sekolah dasar di Kota Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [FightBAC!]. 2013. Cook fact sheet. . [internet]. [diacu 2013 Juni 18]. Tersedia dari: http://fightbac.org/safe-food-handling/cook [FSNZA] Food Standards Australia New Zealand. 2008. Consumer attitudes survey 2007: A benchmark survey of consumers’ attitude to food issue. Canberra (AU): Food Standards Australia New Zealand. Hauke J, Kossowski T. 2011. Comparison of values of pearson’s and spearman’s correlation coefficients on the same sets of data. Quaestiones Geographicae 30(2). [ICGFI] International Consultative Group on Food Irradiation. 1999. Facts about food irradiation. Viena (AT): International Consultative Group on Food Irradiation. Jay JM, Loessner MJ, Golden DA. 2005. Modern food microbiology seventh edition. New York (US): Springer. [KBBI] Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2013. Kamus Besar Bahasa Indonesia. [internet]. [diacu 2013 Juni 18]. Tersedia dari: http://kamusbahasaindonesia.org/kesadaran Kotler. P. 2001. Manajemen Pemasaran di Indonesia. Jakarta (ID): Salemba 4. Kusomowinahyu RRSB. 2005. Kajian serologis terhadap Salmonella SP sebagai landasan pengembangan metoda diagnostic [Tesis]. Bogor (ID) :Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Leibtag ES, Kaufman PR. 2003. Exploring food purchase bahavior of low-income households. how do they economize?. Agr Info Bulletin. 747-07. Merril CJ, Lowenstein LR. 1971. Media, Massage and Man: New Perspective in Communication. New York (US): David Mckey Co. Nurjanah S. 2006. Kajian sumber cemaran mikrobiologis pangan pada beberapa rumah makan di lingkar kampus IPB Darmaga Bogor. J Ilmu Pertanian Indonesia. 11( 3):18-24. doi: 0853-4217. Oksowela T. 2008. Persepsi konsumen terhadap tanggal kadaluwarsa berdasarkan faktor mutu dan keamanan pangan pada label kemsan produk pangan di daerah bogor dan sekitarnya [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Patil. Sumeet R, Sheryl C, Roberta M. 2005. Consumer food safety knowledge. practices and demographic differences: finding from a meta-analysis. J of Food Protection. 68(9):1884-1894. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan. 2013. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 127
31 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 701 Tahun 2009 tentang Pangan Iradiasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan. Mutu dan Gizi Pangan. 2004. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 107. Prabhakar SVRK, Sano D, Srivastava N. 2010. Food safety in the Asia-Pacific Region: current status. policy perspectives. and a way foward. In Sustainable consumption and production in the Asia-Pacific Region: Effective responses in a resource constrained world. Institute for Global Envoromental Strategies. white paper III. pp 215-328. Hayama (JP): Institute for Global Envoromental Strategies. Sangkumchaliang P, Huang W. 2012. Consumers’ perceptions and attitudes of organic food products in northern Thailand. International Food and Agribusiness Management Review. 15( 1). Singarimbun M, Effendi S. 1995. Metode Penelitian Survei. Jakarta (ID): LP3ES. Sumarwan U. 2003. Perilaku Konsumen : Teori dan penerapannya dalam pemasaran. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia. Swamy MB, Kumar TA, Rao KS. 2012. Buying behaviour of consumers towards instant food products. International J of Research and Computational Technology. 2(2). doi:0975-5465. Tucker M, Whaley SR, Sharp JS. 2006. Consumer perceptions of food-related risk. International Journal of Food Science and Technology. 41(2):135-146. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Lembar Negara Nomor 227. Verma C, Nanda S, Singh RK, Singh RB, Mishra S. 2011. A review on impacts of genetically modified food on human health. The Open Nutraceuticals J. 4 (3). [WHO] World Health Organization. 2006. Five keys to safer food manual. Geneva (SW): Department of food safety, zoonoses and foodborne disease World Health Organization . Wilcocky A, Pun M, Khanonax J, Aung M. 2004. Consumer attitudes. knowledge and behaviour: a review of food safety issues. Trends in Food Sci & Technol. 15:56–66.
32
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel nilai korelasi r Derajat Bebas
Taraf Kepercayaan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
5% 0.999 0.950 0.878 0.811 0.754 0.707 0.666 0.632 0.602 0.576 0.553 0.532 0.497 0.497 0.482
1% 1.000 0.990 0.959 0.917 0.874 0.834 0.798 0.765 0.735 0.708 0.684 0.661 0.623 0.606 0.590
Derajat Bebas
Taraf Kepercayaan
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
5% 0.468 0.456 0.444 0.443 0.432 0.413 0.404 0.396 0.338 0.381 0.374 0.367 0.361 0.355 0.349
1% 0.575 0.561 0.549 0.537 0.526 0.526 0.515 0.505 0.495 0.485 0.478 0.463 0.463 0.456 0.449
33 Lampiran 2. Pengkodean dan prosedur entri jawaban Nomor Blok pertanyaan 1
1, 2, 3,4, 5, 6
Pengkodean (coding)
A=1; B=2; C=3; D=4; E=5
1, 3, 4, 5 2 2 6 1
3
4
2
3 4 1, 9 2 3, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 11, , 12 1, 4, 5
5 2, 3, 6, 7
A=1; B=2; C=3; D=4; E=5; F=6 Ya=1; Tidak=0 Ya=1; Tidak=0; Tidak tahu=2
Keterangan Menyesuaikan dengan banyaknya pilihan jawaban Menyesuaikan dengan banyaknya pilihan jawaban
Swalayan=1; Pasar tradisional=2; Pasar modern=3; Tukang sayur=4; Toko retail=5; Warung=6 Harga=1; Mutu=2; Noreg BPOM=3; Merk=4; Nama perusahaan=5; Berat bersih=6; Kedaluwarsa=7; Kehalalan=8; Komposisi=9; Nilai gizi=10 Harga=1; Mutu=2; Keamanan=3 Ya=1; Tidak=0; Tidak tahu=2 Ya=1; Tidak=0 Ya=1; Tidak=0; Kadang-kadang=2
A=1; B=2; C=3; D=4; E=5; F=6 Ya=1; Tidak=0 A=1; B=2; C=3; D=4; E=5; F=6; G=7; H=8
Menyesuaikan dengan banyaknya pilihan jawaban Menyesuaikan dengan banyaknya pilihan jawaban
Semua jawaban yang telah dipilih oleh responden harus dilakukan pengkodean terlebih dahulu. Entri data dilakukan pada kolom variabel yang sesuai dengan nomor pertanyaan (file SPSS terlampir). Cara entri data lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut: 1. Buka file entridata.sav,buka tab data view 2. Pada tab data view akan muncul kolom dengan nama variabelnya misalnya B31, maka kolom tersebut adalah kolom jawaban untuk pertanyaan blok 3 pertanyaan nomor 1. Contoh lain misalnya B51a (Blok 5 pertanyaan/pernyataan nomor 1 poin a); B31_I (Blok 3 pertanyaan nomor 1 pilihan/urutan jawaban pertama) 3. Entri data pada kolom variabel yang sesuai 4. Simpan file yang telah berisi data kuesioner dengan mengklik menu filesave (ctrl+s) atau gambar disket pada tool bar
34 Lampiran 3. Prosedur skoring blok 4 No 1
Aspek
No pertanyaan
Pengguna an air bersih Menjaga kebersihan
1
jumlah pilihan jawaban 2
2
3
3
5
2
3
4
4
5
7
5
Memasak dengan benar
8
6
Mencegah kontaminasi silang
5
4
6
5
9
2
10
3
11
7
Menyimpan pada suhu yang benar
Kode jawaban A
Score
Keterangan
5
B A B C C B A,E
0 5 3 0 5 3 0
D C B A,E
5 3 0
D A,D B C E E A C B,D,F C B A,D C, D B A,E B A B A,C D A B,E
5 3 2 0 5 4 3 2 5 3 0 5 3 0 5 0 5 0 5 4 3
C F B C A,D
1 0 5 3 0
Tidak dihitung
Tidak dihitung
5
12
4
Prosedur pengolahan data 1. Jawaban pada kuesioner yang telah dimasukkan dalam program SPPS dicopy ke program Microsoft excel 2. Angka kode disesuaikan dengan score yang telah ditentukan diatas 3. Hitung rata-rata pada setiap aspek dengan menjumlah skor tiap jawaban dengan jumlah soal, khusus untuk aspek menjaga kebersihan jika jawaban
35 pada pertanyaan nomor 3 dan 4 adalah D maka hasil penjumlahan hanya dibagi dengan 2 bukan 4 4. Hitung rata-rata nilai keseluruhan dengan menjumlah nilai rata-rata tiap aspek dibagi dengan banyak aspek
36
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Mochamad Sobich Maimun, dilahirkan di Lumajang, 22 Agustus 1990. Penulis merupakan anak ke dua dari dua bersaudara dari pasangan bapak Siksono (alm) dan ibu Dewi Mariyah. Pada tahun 1997 hingga tahun 2003 penulis menyelesaikan jenjang Madrasah Ibtidaiyah Nurul Islam Klanting. Kemudian pada tahun 2003 hingga tahun 2006, penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Sukodono. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMA 2 Lumajang melalui jalur undangan hingga lulus pada tahun 2009. Penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor dan diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian melalui jalur USMI pada tahun yang sama. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan keorganisasian antara lain sebagai Local committee Director of International Association of Student in Agricultural and Related Sciences (IAAS) LC IPB tahun 2011-2012, Project Officer Indonesian Food Expo Himitepa IPB 2012 serta Wakil ketua Paguyuban Penerima Beasiswa Karya Salemba empat IPB tahun 2011. Penulis juga berkesempatan untuk menjadi presenter karya tulis ilmiah pada berbagai symposium internasional seperti SUIJI Symposium, Bogor Agricultural University, Bogor-Indonesia (2012); TRI-U Joint Seminar and Symposium, Bogor Agricultural University, Bogor-Indonesia (2012) dan Good Practices Program, Niigata University, Niigata-Jepang (2013). Selama kuliah, penulis juga berkesempatan mendapatkan Beasiswa PPA, Karya Salemba Empat Unggul serta Beasiswa pertukaran pelajar ke spanyol melalui program Erasmus Mundus Action II. Pada tahun 2013 penulis juga mendapatkan penghargaan sebagai peringkat ketiga mahasiswa berprestasi Institut Pertanian Bogor . Sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan magang penelitian pada Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan dengan judul skripsi “Kajian Kesadaran dan Perilaku Ibu Rumah Tangga Terhadap Keamanan Pangan di Kota dan Kabupaten Bogor “.