KAJIAN KAPASITAS LINI PENGOLAHAN INDUSTRI TEH HITAM ORTODOKS DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA VIII KEBUN PASIR NANGKA, CIANJUR
Oleh WAHYU GUMILAR F34104022
2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Wahyu Gumilar. F34104022. Kajian Kapasitas Lini Pengolahan Industri Teh Hitam Ortodoks di PT Perkebunan Nusantara VIII Kebun Pasir Nangka, Cianjur. Di bawah bimbingan Sukardi. 2008
RINGKASAN
PT Perkebunan Nusantara VIII merupakan salah satu perusahaan di Indonesia yang membudidayakan tanaman teh dan mengolahnya menjadi produk teh hitam. Pabrik pengolahan teh hitam ortodoks kebun Pasir Nangka sebagai salah satu unit kerja PTPN VIII, terkadang menghadapi kendala dalam hal kapasitas dalam menjalankan operasinya. Salah satu gejala dari kondisi tersebut adalah terdapatnya banyak mesin yang menganggur atau beroperasi di bawah kapasitas teknisnya. Gejala lain adalah terjadinya penumpukan atau kekurangan persediaan, baik bahan baku, produk jadi, atau produk antar proses. Pabrik pengolahan teh hitam ortodoks PTPN VIII Kebun Pasir Nangka pada tahun 2007 menghasilkan produk jadi sebanyak 2.493 ton teh kering. Kinerja optimal dari pabrik tersebut dengan 12 jam kerja per hari dan dengan 303 hari kerja per tahun mampu memproduksi sebanyak 3.454 ton teh kering. Perbedaan di antara nilai-nilai tersebut mengindikasikan terjadinya utilisasi suboptimal terhadap kapasitas pabrik secara keseluruhan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis tingkat penggunaan kapasitas pabrik pengolahan teh hitam ortodoks, mengetahui biaya yang timbul akibat adanya kapasitas menganggur dan kapasitas non produktif serta menganalisis alternatif perbaikan tingkat utilisasi kapasitas lini produksi. Data diperoleh melalui pengamatan, pengukuran, pencatatan langsung di lapangan dan wawancara dengan pihak yang terkait di perusahaan serta dari laporan dan dokumen tertulis dari perusahaan. Selanjutnya data yang telah dikumpulkan diolah serta direpresentasikan dalam bentuk model manajemen kapasitas yang dikembangkan oleh Consortium for Advanced Manufacturing-International (CAMI). Model ini akan memberi gambaran secara visual mengenai kondisi tingkat penggunaan kapasitas dari masing-masing lini produksi serta keseluruhan pabrik. Produksi teh Pasir Nangka pada tahun 2007 mengalami keadaan supply constrained dalam beberapa periode. Dalam keadaan tersebut lini produksi pengeringan yang menjadi bottleneck tidak beroperasi pada kapasitas penuh, sehingga terjadi underutilization. Dengan membandingkan tingkat utilisasi pada masing-masing lini, diketahui bahwa terdapat ketidakseimbangan kapasitas antar lini. Sementara lini pengeringan yang menjadi bottleneck bekerja pada tingkat utilisasi 72,2 persen, lini penggilingan hanya pada tingkat 61,2 persen, sedangkan lini sortasi mencapai 68,6 persen. Analisis model CAM-I terhadap utilisasi kapasitas keseluruhan pabrik dan masing-masing lini produksi pada tahun 2007 dilakukan dengan membandingkan kapasitas aktual dengan kapasitas praktek. Seluruh aktivitas produksi yang dilakukan oleh perkebunan Pasir Nangka bertujuan untuk memberikan nilai tambah pada pucuk teh menjadi teh jadi. Namun tidak seluruh aktivitas tersebut termasuk
dalam kegiatan produktif. Model kapasitas CAM-I untuk keseluruhan pabrik merupakan kombinasi dari lini-lini produksi yang terdapat di dalamnya. Lini yang paling menentukan tingkat utilisasi keseluruhan pabrik adalah lini pengeringan. Tingkat produksi keseluruhan pabrik hanya mencapai 72,2 persen dan yang berstatus produktif hanya sebesar 69 persen. Dari nilai tersebut, 3,2 persen kapasitas merupakan kapasitas idle akibat kelebihan pasokan produksi tanpa permintaan yang cukup. Model menunjukkan bahwa 27,8 persen kapasitas digunakan untuk aktivitas yang tidak produktif. Berdasarkan kondisi tersebut, peluang peningkatan utilisasi kapasitas masih sangat dimungkinkan. Terdapat beberapa alternatif yang dapat direkomendasikan untuk memperbaiki tingkat utilisasi dari kapasitas produksi tersebut. Berdasarkan hasil analisis, alternatif perbaikan pada pemasaran berpotensi meningkatkan kapasitas produktif keseluruhan pabrik dari 69 persen menjadi 72,2 persen. Dengan begitu terjadi penurunan biaya kapasitas per unit teh kering sebesar Rp. 102,01. Sedangkan alternatif peningkatan pada produksi pucuk hingga memenuhi kebutuhan lini bottleneck berpotensi meningkatkan kapasitas produktif keseluruhan pabrik hingga mencapai 90,8 persen serta menurunkan biaya kapasitas sebesar Rp. 546,95 per unit teh kering.
Wahyu Gumilar. F34104022. The Study of Production Lines Capacity of Orthodox Black Tea Industry at PT Perkebunan Nusantara VIII Kebun Pasir Nangka, Cianjur. Supervised by Sukardi. 2008 SUMMARY
PT Perkebunan Nusantara VIII is one of the companies in Indonesia that cultivate tea and produces black tea. As a subdivision of PTPN VIII, Pasir Nangka Factory several times faces some constraints in capacity. One of the symptoms is the machine is idle or operates under its technical capacity. Other symptom is the excess or shortage of inventory in raw material, finished product, or work in process product. Pasir Nangka Factory in 2007 produced 2,494 tons of dry black tea. Optimal performance of factory with 12 operation hours per day and 303 work days per year is able to produce 3,454 tons of dry black tea. The difference between those numbers indicates that suboptimal utilization is occurred to the general factory capacity. The purposes of this research was to analyzed the capacity utilization level of orthodox black tea factory, to find out cost which caused by the idle capacity and non-productive capacity, also to analyze alternatives to improve capacity utilization level of production lines. Data are collected from observation, measurement, field record and interview with several people from the company also from report and written document from the company. Data are then analyzed and represented in capacity management model that developed by Consortium for Advanced Manufacturing-International (CAM-I). This model will give visual explanation about the condition of capacity utilization from each production line and the overall factory. Tea production of Pasir Nangka in 2007 was in supply constrained condition in several periods. In that condition, drying unit which identified as the bottleneck was not operating at full capacity that occurs under utilization. The comparison of the utilization level of each line reveals an imbalance between lines. While the drying unit was working 72.2 percent of utilization level, the rolling unit was only working at 61.2 percent, whereas sorting unit come out at 68.6 percent. Analysis of CAM-I’s capacity model for overall factory and each production lines in 2007 was held by comparing actual capacity with practical capacity. All production activity which be held by Pasir Nangka designated to assign added value to tea sprout become black tea. But not all of the activities are identified as productive activity. CAM-I’s capacity model for the overall factory is a combination from the production lines inside the factory. Overall factory utilization level was most determined by the drying line. Production level of the overall factory only achieved 72.2 percent and only 69 percent in productive status. Not all of finished products become productive because 3.2 percent was idle capacity caused by excess of production supply without enough demand. The model shows that 27.8 percent capacity was used for non-productive capacity.
Based on that condition, the opportunity to improve capacity utilization is still possible. There are several alternatives which can be recommended to improve utilization level of production capacity. The result of analysis show that alternative to reduce idle time is potentially raising the production capacity of overall factory from 69 percent to 72.2 percent. Thus, reduction of capacity cost per unit of black tea was occurred as much as Rp. 102.01. Whereas alternative to raise the sprout production to meets demand of bottleneck line is potentially raising productive capacity of overall factory until 90.8 percent and reduces capacity cost as much as Rp. 546.95 per unit of product.
KAJIAN KAPASITAS LINI PENGOLAHAN INDUSTRI TEH HITAM ORTODOKS DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA VIII KEBUN PASIR NANGKA, CIANJUR
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
WAHYU GUMILAR F34104022
2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
KAJIAN KAPASITAS LINI PENGOLAHAN INDUSTRI TEH HITAM ORTODOKS DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA VIII KEBUN PASIR NANGKA, CIANJUR
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh WAHYU GUMILAR F34104022
Dilahirkan pada tanggal 21 Maret 1986 di Sukabumi, Jawa Barat
Tanggal lulus: 12 Agustus 2008
Menyetujui, Bogor, Agustus 2008
Dr. Ir. Sukardi, MM. Dosen Pembimbing
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul
KAJIAN KAPASITAS LINI PENGOLAHAN INDUSTRI TEH HITAM ORTODOKS DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA VIII KEBUN PASIR NANGKA, CIANJUR
merupakan hasil karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, Agustus 2008 Yang membuat pernyataan,
Wahyu Gumilar F34104022
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sukabumi, Jawa Barat pada tanggal 21 Maret 1986. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Edi Mulyana dan Emma Rustina. Penulis mengawali pendidikan formal pada Sekolah Dasar Negeri Cikole III Sukabumi (1992-1998), kemudian melanjutkan ke tingkat pendidikan lanjutan pada SLTP Negeri 2 Sukabumi. Tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Sukabumi dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB.
Penulis
diterima pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama masa kuliah, penulis aktif di sejumlah organisasi dan kepanitiaan. Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN), Forum Bina Islami (FBI) dan Ikatan Keluarga dan Mahasiswa Sukabumi (IKAMASI) IPB merupakan beberapa organisasi tempat penulis berbakti dan mengembangkan diri. Bulan Juli hingga Agustus tahun 2007 penulis melaksanakan kegiatan praktek lapang dengan topik “Aspek Manajemen Perencanaan Produksi dan Pengendalian Persediaan Teh Hitam Ortodoks di PT Perkebunan Nusantara VIII Kebun Pasir Nangka, Cianjur, Jawa Barat”. Kemudian pada bulan Februari hingga April 2008, penulis melakukan penelitian masalah khusus dengan judul “Kajian Kapasitas Lini Pengolahan Industri Teh Hitam Ortodoks di PT Perkebunan Nusantara VIII Kebun Pasir Nangka, Cianjur”.
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Kajian Kapasitas Lini Pengolahan Industri Teh Hitam Ortodoks di PT Perkebunan Nusantara VIII Kebun Pasir Nangka, Cianjur”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Sukardi, MM. selaku dosen pembimbing, atas segala bantuan dan bimbingannya. 2. Ir. M. Zein Nasution, M.App.Sc. dan Ir. Lien Herlina, MSc. selaku dosen penguji, atas masukan yang telah diberikan dalam penyempurnaan skripsi ini. 3. Ir. Acep Sutiana selaku Administratur Kebun Pasir Nangka yang telah mengizinkan penulis untuk melaksanakan penelitian masalah khusus. 4. Ir. Iman Bimantara M. atas segala masukan kepada penulis dalam melakukan penelitian masalah khusus. 5. Bapak dan Mamah tercinta, serta semua keluarga yang telah memberikan dorongan dan do’anya. 6. Segenap pimpinan dan karyawan perkebunan Pasir Nangka, atas segala bantuan dan rasa kekeluargaan yang diberikan. 7. Dosen dan staf Dept. TIN atas bantuan dan perhatiannya kepada penulis. 8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah memberikan kontribusi terhadap penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari banyak kekurangan dan kekhilafan dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saran dan kritik sangatlah penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan banyak manfaat kepada penulis serta pihak-pihak yang memerlukannya.
Bogor,
Agustus 2008 Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .............................................................................................. iv DAFTAR TABEL ...................................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. vii DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. ix I. PENDAHULUAN ............................................................................................... A. Latar Belakang ............................................................................................... B. Tujuan ............................................................................................................ C. Ruang Lingkup ...............................................................................................
1 1 3 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 5 A. Tanaman Teh dan Budidayanya ..................................................................... 5 B. Pucuk Teh ...................................................................................................... 7 C. Proses Produksi Teh Hitam ............................................................................ 8 D. Definisi Produksi............................................................................................ 10 E. Kapasitas ....................................................................................................... 11 F. Model Manajemen Kapasitas ......................................................................... 14 G. Penelitian Terdahulu ...................................................................................... 16 III. METODOLOGI ................................................................................................... 18 A. Kerangka Pemikiran ....................................................................................... 18 B. Tahapan Penelitian ......................................................................................... 20 C. Metode Analisis Data ..................................................................................... 22 D. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................ 24 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................ 25 A. Kegiatan Operasional .................................................................................... 25 B. Kinerja Umum Pabrik .................................................................................... 36 C. Manajemen Kapasitas .................................................................................... 42 D. Model Manajemen Kapasitas ......................................................................... 51 E. Alternatif Peningkatan Utilisasi Kapasitas..................................................... 63 V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 68 A. Kesimpulan .................................................................................................... 68 B. Saran ............................................................................................................... 69 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 70 LAMPIRAN .............................................................................................................. 72
v
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.
Perkembangan Ekspor Teh Indonesia ...................................................... 2
Tabel 2.
Komposisi Pucuk Teh Segar .................................................................... 7
Tabel 3.
Pendefinisian Kapasitas ........................................................................... 12
Tabel 4.
Kriteria Jenis Mutu Grade Teh Hitam Ortodoks Berdasarkan Ukuran dan Visual ................................................................................... 33
Tabel 5.
Standar Mutu Densitas Teh Hitam Ortodoks ........................................... 35
Tabel 6.
Kinerja Pabrik Teh Pasir Nangka Tahun 2007 ......................................... 36
Tabel 7.
Penggunaan IDO pada Proses Pelayuan Tahun 2007 ............................... 38
Tabel 8.
Penggunaan IDO pada Proses Pengeringan Tahun 2007.......................... 39
Tabel 9.
Penggunaan BBP pada Proses Pengeringan Tahun 2007 ......................... 40
Tabel 10. Penggunaan Listrik Pengolahan Tahun 2007 .......................................... 40 Tabel 11. Perhitungan Kapasitas Teknis Masing-Masing Unit Produksi ................. 44 Tabel 12. Pengukuran Waktu Kapasitas Model Standar .......................................... 45 Tabel 13. Pengukuran Waktu Kapasitas Model Aktual ........................................... 45 Tabel 14. Model rekayasa Lini Penggilingan .......................................................... 46 Tabel 15. Model rekayasa Lini Pengeringan ............................................................ 47 Tabel 16. Model rekayasa Lini Sortasi .................................................................... 47 Tabel 17. Model rekayasa Lini Pengeringan dan Pengurangan Mesin Giling ......... 48 Tabel 18. Perhitungan Utilisasi Kapasitas pada Produksi Tahun 2007 .................... 49 Tabel 19. Utilisasi Kapasitas Praktek Lini Pelayuan ............................................... 56 Tabel 20. Utilisasi Kapasitas Praktek Lini Penggilingan ......................................... 56 Tabel 21. Utilisasi Kapasitas Praktek Lini Pengeringan .......................................... 57 Tabel 22. Utilisasi Kapasitas Praktek Lini Sortasi.................................................... 57 Tabel 23. Utilisasi Kapasitas Praktek Keseluruhan Pabrik ...................................... 58 Tabel 24. Pengaruh Alternatif I terhadap Biaya Kapasitas per kg Teh ................... 65 Tabel 25. Pengaruh Alternatif II terhadap Biaya Kapasitas per kg Teh ................... 67
vi
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Tanaman Teh ...................................................................................... 6
Gambar 2.
Bagan Alur Pengolahan Teh Hitam Ortodoks ..................................... 9
Gambar 3.
Elemen Diagram Alir Proses ............................................................... 11
Gambar 4.
Bagan Kategori Model Kapasitas CAM-I ........................................... 15
Gambar 5.
Penggolongan Penggunaan Kapasitas ................................................. 16
Gambar 6.
Peluang Penghematan Biaya Kapasitas ............................................... 19
Gambar 7.
Diagram Alir Langkah-Langkah Penelitian......................................... 20
Gambar 8.
Usaha Peningkatan Kapasitas Produktif .............................................. 24
Gambar 9.
Kebun Tanaman Menghasilkan Teh .................................................... 26
Gambar 10. Pucuk dalam Ambul Setelah Dipetik ................................................... 27 Gambar 11. Denah Unit Produksi Pabrik Pasir Nangka .......................................... 42 Gambar 12. Diagram Alir Proses Pabrik Pasir Nangka........................................... 43 Gambar 13. Grafik Hubungan Pencapaian Kapasitas Produksi terhadap Output dari Masing-Masing Lini ......................................................... 52 Gambar 14. Biaya Kapasitas dari Masing-Masing Lini Produksi ........................... 53 Gambar 15. Biaya Operasi dari Masing-Masing Lini Produksi ............................. 54 Gambar 16. Grafik Hubungan Pencapaian Kapasitas Produksi terhadap Biaya Kapasitas per Unit dari Masing-Masing Lini ...................................... 55 Gambar 17. Model CAM-I Kapasitas Lini Pelayuan Tahun 2007 .......................... 59 Gambar 18. Model CAM-I Kapasitas Lini Penggilingan Tahun 2007.................... 60 Gambar 19. Model CAM-I Kapasitas Lini Pengeringan Tahun 2007 ..................... 61 Gambar 20. Model CAM-I Kapasitas Lini Sortasi Tahun 2007.............................. 61 Gambar 21. Model CAM-I Kapasitas Keseluruhan Pabrik Tahun 2007 ................. 62 Gambar 22. Perbandingan Produksi dan Pengiriman Teh Kebun Pasir Nangka Tahun 2007 .......................................................................................... 63 Gambar 23. Model CAM-I Alternatif I ................................................................... 65 Gambar 24. Perbandingan Tingkat Produksi terhadap Kapasitas Lini Pengeringan Sebagai Bottleneck .......................................................... 66 Gambar 25. Model CAM-I Aternatif II .................................................................. 66 Gambar 26. Monorail Conveyor ............................................................................. 77 Gambar 27. Withering Trough dengan Main Fan .................................................. 78 Gambar 28. Mesin Penggiling ................................................................................ 78 vii
Halaman Gambar 29. Pengayak Basah DIBN ....................................................................... 79 Gambar 30. Humidifier ........................................................................................... 79 Gambar 31. Troli Oksidasi Enzimatis .................................................................... 80 Gambar 32. Mesin Pengering Two Stage Drier ..................................................... 80 Gambar 33. Heat Exchanger untuk Pengeringan ................................................... 81 Gambar 34. Feeding Bulker .................................................................................... 81 Gambar 35. Midleton .............................................................................................. 82 Gambar 36. Vibro ................................................................................................... 82 Gambar 37. Sortir Machine .................................................................................... 83 Gambar 38. Pengecil Ukuran .................................................................................. 84 Gambar 39. Lift Conveyor ...................................................................................... 85 Gambar 40. Peti Miring .......................................................................................... 85 Gambar 41. Tea Bulker ........................................................................................... 86 Gambar 42. Bag Shaper dan Vibrator .................................................................... 86
viii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Bagan Struktur Organisasi Perkebunan Pasir Nangka .................. 73
Lampiran 2.
Diagram Alir Pengolahan Teh Hitam Ortodoks ............................ 74
Lampiran 3.
Neraca Massa Produksi Teh Hitam Ortodoks ................................ 75
Lampiran 4.
Spesifikasi Teknis Kapasitas Mesin Pabrik Pasir Nangka ............ 76
Lampiran 5.
Peralatan Proses Produksi .............................................................. 77
Lampiran 6.
Pengaruh Pencapaian Kapasitas Produksi terhadap Output, Biaya Operasi, Biaya Kapasitas, dan Biaya per Unit................................ 87
Lampiran 7.
Pendefinisian Kapasitas ................................................................. 88
Lampiran 8.
Pengkategorian Kapasitas Alternatif I ........................................... 93
Lampiran 9.
Pengkategorian Kapasitas Alternatif II .......................................... 96
Lampiran 10. Arus Produksi Kebun per Bulan Tahun 2007 ................................ 99 Lampiran 11. Perhitungan Efisiensi Transfer Panas Pembakaran Alat Pengering TSD ................................................................................................ 100
ix
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Salah satu subsektor pertanian yang mempunyai peranan penting dalam menunjang perekonomian Indonesia hingga saat ini adalah perkebunan. Subsektor tersebut merupakan salah satu penghasil utama komoditas ekspor non migas yang mampu menghasilkan devisa negara dalam jumlah yang cukup besar. Hasil-hasil perkebunan yang selama ini telah menjadi komoditas ekspor antara lain karet, kelapa sawit, teh, kopi, dan tembakau. Tanaman teh dan budidayanya telah menjadi bagian kehidupan rakyat Indonesia selama lebih dari 200 tahun, yaitu sejak jaman penjajahan Belanda. Tahun 1686, seorang berkewarganegaraan Belanda bernama Dr. Andreas Cleyer membawa tanaman teh ke Indonesia. Saat itu, tanaman teh hanya dimanfaatkan sebagai tanaman hias.
Kemudian pada tahun 1728, pemerintah Belanda di
Indonesia mulai mendukung budidaya dan pengolahan tanaman teh dalam usaha perkebunan (Spillane, 1992). Menurut Suprihatini (2004), Indonesia merupakan negara produsen teh curah pada urutan ke lima di dunia setelah India, Cina, Sri Lanka, dan Kenya. Selain sebagai produsen, Indonesia juga menjadi eksportir teh dunia. Sebagian besar produksi teh Indonesia ditujukan untuk pasar ekspor. Volume ekspor teh Indonesia sebagian besar masih dalam bentuk teh curah. Industri teh menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar Rp 1,2 triliun (0,3% dari total PDB nonmigas) per tahun. Secara nasional, pemasukan devisa negara dari komoditas teh pada tahun 2005 mencapai US$ 122 juta (KPB PTPN, 2008). Dalam aspek lingkungan, usaha budidaya dan pengolahan teh termasuk jenis usaha yang mendukung konservasi tanah dan air (ATI, 2000). Perkembangan volume ekspor teh Indonesia pada periode 1996-2004 mengalami fluktuasi seperti dapat dilihat pada Tabel 1.
Fluktuasi tersebut
menunjukkan bahwa pasar teh Indonesia belum stabil. Negara produsen harus meningkatkan kualitas teh yang di produksinya untuk meningkatkan volume
ekspor masing-masing. Indonesia sebagai negara produsen teh harus melakukan upaya untuk meningkatkan produksinya, salah satunya dengan meningkatkan produktivitas. Dengan begitu, diharapkan Indonesia dapat memenuhi kebutuhan untuk ekspor. Tabel 1. Perkembangan Ekspor Teh Indonesia Tahun
Volume (Ton)
Nilai (Juta US $)
Pertumbuhan Volume (%)
1996
101.532
112,343
-
1997
66.843
88,838
-34,17
1998
67.219
113,207
0,56
1999
97.847
97,140
45,56
2000
105.581
112,106
7,9
2001
99.721
99,854
-5,55
2002
100.185
103,426
0,47
2003
88.175
95,818
-11,99
2004
98.572
116,018
11,79
Sumber: ITC (2005)
PT Perkebunan Nusantara VIII merupakan salah satu perusahaan di Indonesia yang membudidayakan tanaman teh dan mengolahnya menjadi produk teh hitam. Peningkatan persaingan antar produsen teh hitam baik dalam negeri maupun luar negeri tersebut, menyebabkan PT Perkebunan Nusantara VIII menghadapi tantangan untuk memperbaiki kinerja perusahaan baik dalam bidang proses produksi maupun biaya. Pabrik pengolahan teh hitam ortodoks kebun Pasir Nangka, sebagai salah satu unit kerja PTPN VIII, terkadang menghadapi kendala dalam hal kapasitas dalam menjalankan operasinya.
Salah satu gejala dari kondisi tersebut adalah
terdapatnya banyak mesin yang menganggur atau beroperasi di bawah kapasitas teknisnya. Gejala lain dari kondisi tersebut adalah terjadinya penumpukan atau kekurangan persediaan, baik bahan baku, produk jadi, atau produk antar proses.
2
Perkebunan Pasir Nangka memiliki satu unit pabrik ortodoks yang dibangun dengan kapasitas terpasang 50.000 kg – 55.000 kg pucuk basah per hari. Pabrik ini pada tahun 2007 menghasilkan produk jadi sebanyak 2.493 ton teh kering. Kinerja optimal dari pabrik tersebut dengan 12 jam kerja per hari dan dengan 303 hari kerja mampu memproduksi sebanyak 3.454 ton teh kering. Perbedaan di antara nilai-nilai tersebut mengindikasikan terjadinya utilisasi suboptimal terhadap kapasitas pabrik Pasir Nangka secara keseluruhan. Utilisasi yang tidak optimal tersebut menyebabkan Perkebunan Pasir Nangka mengalami pemborosan biaya. Hal tersebut terjadi karena perusahaan mengeluarkan biaya untuk kapasitas yang digunakan maupun yang tidak digunakan pada waktu tersebut.
Kontrol biaya terhadap hal tersebut sangat
diperlukan saat ini. Persaingan bisnis dan perdagangan yang semakin meningkat menyebabkan beberapa dari biaya ini tidak dapat lagi diacuhkan. Dengan mengetahui lebih detail biaya, dapat mencegah kehilangan potential profits dari kelebihan kapasitas dengan lebih maksimal menggunakan kapasitas yang ada. Kondisi demikian akan dapat tercapai jika perusahaan mendapatkan informasi yang jelas mengenai berbagai permasalahan yang terjadi, termasuk dalam manajemen kapasitas.
Pengoptimalan penggunaan kapasitas perlu dilakukan
untuk meningkatkan efisiensi produksi. B. TUJUAN 1. Memahami dan menganalisis penggunaan kapasitas pabrik pengolahan teh hitam ortodoks. 2. Mengitung biaya yang timbul akibat adanya kapasitas menganggur dan kapasitas non produktif. 3. Menganalisis alternatif perbaikan tingkat utilisasi kapasitas lini produksi yang mungkin direkomendasikan kepada perusahaan.
3
C. RUANG LINGKUP Penelitian ini membahas penggunaan kapasitas sumberdaya produksi oleh PTPN VIII Kebun Pasir Nangka. Aspek penggunaan kapasitas yang dianalisis dalam penelitian ini terbatas pada lini-lini produksi dalam tahapan produksi teh hitam ortodoks.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA A. TANAMAN TEH DAN BUDIDAYANYA Werkhoven
(1974)
menyatakan
bahwa
tanaman
teh
pertama
kali
diklasifikasikan oleh Linnaeus sebagai Thea sinensis dan kemudian dinamakan Camellia sinensis (L). Muchtar (1989), menyebutkan bahwa tanaman teh dapat digolongkan menjadi: Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae Kelas
: Dicotyledonae
Sub kelas : Chorripetalae Ordo
: Trantroemiaceae
Famili
: Theaceae
Genus
: Camellia
Spesies
: Camellia sinensis (L.)
Varietas
: var. sinensis dan var. assamica
Thea sinensis yang dikenal juga sebagai “teh Jawa” memiliki ciri pertumbuhan yang lambat, percabangan terbentuk agak dekat ke permukaan tanah, daunnya kecil dan pendek. Varietas ini jika dibiarkan tumbuh secara alami akan mencapai tinggi antara tiga sampai lima meter. Sedangkan varietas assamica memiliki ciri tumbuh cepat, cabang agak jauh dengan permukaan tanah, daunnya lebar dan panjang, serta dapat tumbuh mencapai tinggi sepuluh sampai lima belas meter. Tanaman teh seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1. merupakan tanaman yang berbunga tunggal, berbau wangi, bertangkai panjang dan buahnya berbentuk kotak. Akar tanaman teh merupakan akar tunggang dan mempunyai cabang yang banyak. Tanaman teh dapat tumbuh subur di daerah yang beriklim tropis dan subtropis dengan kelembaban yang tinggi dan temperatur udaranya berkisar antara 13-28°C. Sedangkan curah hujan yang diperlukan adalah curah hujan dengan sebaran merata antara 1500-2500 mm/tahun.
Gambar 1. Tanaman Teh (Wikipedia, 2008) Tanaman teh dapat
dibudidayakan secara vegetatif dan
generatif.
Perkembangbiakan secara generatif dilakukan dengan menanam biji (seedling) dan secara vegetatif dengan stek atau klon.
Budidaya tanaman teh perlu
dilakukan dengan baik agar dapat menghasilkan pucuk teh yang memenuhi kualitas dan kuantitas yang diharapkan.
Menurut Ghani (2002), dasar-dasar
budidaya tanaman teh meliputi beberapa aktivitas, yaitu sebagai berikut: 1. Pembibitan dan Persemaian 2. Penanaman 3. Pemeliharaan Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) 4. Pemeliharaan Tanaman Menghasilkan (TM) 5. Pemetikan 6. Pengangkutan pucuk ke pabrik
6
B. PUCUK TEH Pucuk teh dengan permukaan yang kering terdiri dari 74% hingga 77% cairan dan 23% hingga 26% bahan padat (Werkhoven, 1974). Sekitar setengah dari bahan padat tersebut tidak dapat larut dalam air, terdiri dari serat kasar, selulosa, protein, lemak dan sebagainya. Harler dalam Werkhoven (1974) menyebutkan senyawa-senyawa yang terkandung dalam pucuk teh segar jenis Assam seperti yang terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi Senyawa Kimia Pucuk Teh Lokasi Dinding Sel Sitoplasma
Vakuola
Senyawa Selulosa, hemiselulosa, lignin Polisakarida Protein Lipida lemak Pati Polifenol Kafein Asam amino Gula dapat larut Asam organik Abu Pigmen Senyawa mudah menguap Vitamin
Komposisi (%) 24,0 6,5 17,0 8,0 0,5 - 2,0 20,0 - 30,0 2,5 - 4,0 2,0 - 4,0 2,0 - 4,0 3,0 5,0 0,5 < 0,1 Zat runut
Sumber: Ningrat (2006)
Senyawa-senyawa yang terkandung dalam daun teh dapat dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu substansi fenol, non fenol, aromatik, dan enzimatis. 1. Substansi Fenol Substansi fenol terdiri atas senyawa-senyawa yang mengandung gugus kimia fenol sepert tanin, flavanoid, polifenol, dan alkaloid (kafein, theofilin, dan theobromin). Hasil oksidasi polifenol berupa komponen theaflavin dan thearubigin yang berpengaruh terhadap kejernihan seduhan serta memberikan kemantapan warna seduhan teh.
Jumlah theaflavin dan thearubigin
dipengaruhi cara dan waktu pengolahan, terutama proses oksidasi enzimatis.
7
Kafein bereaksi dengan tanin menghasilkan senyawa yang menentukan kesegaran (briskness) seduhan teh. 2. Senyawa Non Fenol Senyawa non fenol terdiri dari karbohidrat, protein, pigmen, asam organik, resin dan mineral.
Karbohidrat terdiri dari gula sederhana dan
polisakarida kompleks (glukosa, fruktosa dan sukrosa). Pektin diuraikan oleh enzim pektin metil esterase menjadi asam pektat dan metil alkohol yang berpengaruh dalam sifat-sifat dari teh hitam. Metil alkohol berperan dalam menyusun aroma, sedangkan asam pektat membantu dan mengendalikan proses fermentasi. Protein berperan dalam pembentukan senyawa aromatis bersama karbohidrat dan tanin.
Pigmen dalam daun terdiri atas klorofil,
xantofil, dan karotenoid. Asam organik berfungsi mengatur proses oksidasi enzimatis serta resin sebagai pembentuk aroma. 3. Substansi Aromatik Substansi aromatik berpengaruh dalam pembentukan aroma dan rasa sebagai parameter kualitas teh. Substansi tersebut terdiri dari fraksi-fraksi karbohidrat, fenolat, karbonil dan fraksi netral bebas karbonil. 4. Substansi Enzim Substansi enzim berfungsi sebagai biokatalisator setiap reaksi biokimia dalam tanaman. Beberapa di antaranya terdapat enzim invertase, amilase, βglukosidase, protease, peroksidase, dan polifenol oksidase yang penting dalam pengolahan teh.
C. PROSES PRODUKSI TEH HITAM Teh sebagai komoditi unggulan, harus selalu mempunyai mutu yang tinggi dan konsisten agar tetap diminati konsumen. Untuk memperoleh hasil tersebut, dilakukan pengolahan teh hitam yang sesuai dengan prinsip-prinsip pengolahan teh hitam yang benar. Proses pengolahan teh hitam orthodoks dimulai sejak penerimaan bahan baku pucuk teh di pabrik. Selanjutnya teh melalui berbagai tahapan, yaitu pelayuan, penggilingan, oksidasi enzimatis, pengeringan, sortasi,
8
penyimpanan dalam peti miring dan pengepakan. Bagan alur pengolahan teh hitam ortodoks dapat dilihat pada Gambar 2.
Bahan Baku = Pucuk teh
Penerimaan di Pabrik
Dilayukan *
Digiling I (OT/BR)
Diayak Basah Bubuk I
Badag Digiling II (PCR)
Diayak Basah Bubuk II Digiling III (RV)
Diayak Basah Bubuk III Digiling IV (RV)
Bubuk IV Fermentasi *
Dikeringkan *
Diayak Basah
Badag
Bahan bakar Jenis Yang Dihasilkan:
Sortasi *
Pengepakan
Bahan Bantuan • Alumunium Foil • Kertas Pembungkus
BS, OP, BOP I Sp, BOP I, BOP, BOPF, PF, DUST, BP, BT, PF II, DUST II, BP II, BT II, FANN II, DUST III
Pemasaran
* Control Point
Gambar 2. Bagan Alur Pengolahan Teh Hitam Ortodoks (PTPN VIII, 2001) 9
D. DEFINISI PRODUKSI Menurut Swastha dan Sukotjo (2000), produksi adalah pengubahan bahanbahan dari sumber-sumber menjadi hasil yang diinginkan oleh konsumen. Hasil tersebut dapat berupa barang atau jasa. Gaspersz (1998), menyatakan bahwa sistem produksi merupakan fungsi pokok dalam setiap organisasi, yang mencakup aktivitas yang bertanggung jawab untuk menciptakan nilai tambah produk yang merupakan output dari setiap organisasi tersebut.
Sedangkan
menurut Buffa (1987), sistem produksi adalah wahana yang dipakai dalam masukan-masukan sumberdaya untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan.
Manajemen produksi yang baik pada suatu perusahaan akan
memperlancar jalannya industri dengan hasil keluaran produk yang memenuhi standar kualitas, kuantitas dan biaya. Swastha dan Sukotjo (2000) menggolongkan proses produksi menurut sifatnya. Penggolongan tersebut akan menentukan jenis atau bentuk pokok yang dipakai dalam pengolahan suatu produk. Proses produksi tersebut yaitu: 1. Proses Ekstraktif Proses produksi yang mengambil bahan-bahan langsung dari alam. Contohnya adalah proses penambangan batu bara, biji besi dan emas. Proses ekstraktif terdapat dalam industri proses produksi dasar, sehingga pertanian dan perikanan juga termasuk industri ekstraktif. 2. Proses Analitik Proses pemisahan dari suatu bahan menjadi beberapa macam barang yang hampir sama bentuk/jenis aslinya. Termasuk dalam kategori ini adalah penyulingan minyak. 3. Proses Fabrikasi Proses ini disebut juga proses pengubahan. Proses yang mengubah suatu bahan menjadi beberapa bentuk. Contohnya adalah proses pembuatan pakaian dan sepatu. 4. Proses Sintetik Proses yang menunjukkan metode kombinasi beberapa bahan ke dalam suatu bentuk produk. Misalnya adalah produksi radio dan televisi.
10
Cachon dan Terwiesch (2006) menyebutkan bahwa penggambaran diagram alir proses merupakan cara yang terbaik dalam memulai suatu analisis sebuah operasi. Diagram alir proses merupakan sebuah metode grafis yang bertujuan untuk menggambarkan proses dan akan membantu dalam menyusun informasi untuk analisis atau proyek pengembangan proses. Sebuah diagram alir proses terdiri dari kotak, segi tiga, dan panah seperti terlihat pada Gambar 3.
Aktivitas Aliran Persediaan
Gambar 3. Elemen Diagram Alir Proses Elemen kotak mengidentifikasi terjadinya aktivitas yang menambahkan nilai pada produk dan dibutuhkan oleh suatu proses. Aktivitas ini dilakukan oleh sumberdaya serta memiliki kapasitas tertentu. Elemen segitiga memiliki makna area menunggu atau penyimpanan persediaan.
Berbeda dengan aktivitas,
persediaan tidak menambah nilai pada produk. Elemen panah yang terletak antara kotak dan segitiga menandakan rute dari aliran yang dilalui suatu unit dalam proses.
E. KAPASITAS Menurut Buffa (1987), kapasitas merupakan kemampuan pembatas dari suatu unit produksi untuk berproduksi dalam jangka waktu tertentu, dan biasanya dinyatakan dalam bentuk keluaran (output) per satuan waktu. Sedangkan menurut Davis dan Heineke (2005), kapasitas adalah kemampuan output sebuah proses dalam periode waktu tertentu. Kapasitas merupakan laju alir maksimum yang dapat dicapai oleh suatu proses produksi dalam suatu satuan waktu. Kapasitas proses mengukur berapa banyak yang dapat diproduksi suatu proses, bukan berapa banyak yang diproduksi secara aktual (Cachon dan Terwiesch, 2006). Sedangkan Fowler dan
11
Robinson (1995) mendefinisikan kapasitas sebagai laju output maksimum dari suatu bagian pabrik dengan kendala pada waktu siklus secara rata-rata. Kapasitas proses terdiri dari empat elemen, yaitu manusia, peralatan dan mesin, fasilitas (bangunan) dan material. Secara teori, kapasitas dari masingmasing elemen adalah 24 jam sehari, 730 jam sebulan, atau 8760 jam setahun (Litzinger, 2001). Kapasitas proses dapat dibedakan menjadi beberapa macam, berdasarkan ruang lingkup dan tujuan peninjauan. McNair menyatakan berbagai pendefinisian mengenai kapasitas, seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Pendefinisian Kapasitas Definisi Kapasitas Teoritis Kapasitas Praktek Kapasitas Normal Kapasitas Anggaran Kapasitas Aktual
Deskripsi Output maksimum pabrik tanpa downtime, waktu menganggur, atau terbuang. Output maksimum pabrik dengan downtime normal. Output yang biasa diproduksi pabrik dalam periode tertentu. Output yang diperkirakan sebagai hasil prakiraan penjualan dan tingkat persediaan. Total kuantitas yang diproduksi jam kerja aktual.
Sumber: McNair (1994)
Yu-Lee (2002) menyatakan bahwa kompetensi kapasitas merefleksikan apa yang dapat diraih perusahaan dari kapasitasnya.
Kompetensi kapasitas
mencakup tiga komponen, yaitu kompetensi kapasitas fisik, kompetensi yang berhubungan dengan proses, serta kompetensi yang dipengaruhi manajemen. Kompetensi kapasitas fisik terdiri dari kombinasi antara beberapa kapasitas fisik (tenaga kerja, mesin, dan material) untuk melakukan operasi. Setiap kombinasi tersebut memiliki batasan fisik, yang menjadi kendala dan harus diatasi oleh manajer. Selain itu, proses produksi juga berpengaruh terhadap kompetensi kapasitas. Misalnya, proses yang dirancang kurang baik akan membatasi kinerja dari kombinasi antara tenaga kerja dan mesin.
Kemudian, komponen
manajemen pula berpengaruh terhadap kompetensi. Keputusan manajerial yang kurang tepat akan mengarahkan pada kinerja yang kurang optimal. Pengukuran kapasitas merupakan hal yang sangat membantu bagi manajemen untuk mengatur kapasitas, karena keputusan yang dibuat dalam pengaturan
12
kapasitas sering berdasarkan hasil pengukuran tersebut. Misalnya, penggunaan ruang yang tidak efektif akan mendorong manajer untuk meningkatkan penggunaannya ke tingkat yang lebih efektif (Yu-Lee, 2002). Menurut Davis dan Heineke (2005) serta Cachon dan Terwiesch (2006), suatu tingkat dimana suatu perusahaan mempergunakan kapasitas untuk kegiatan yang produktif disebut utilisasi kapasitas (capacity utilization).
Kapasitas
terpasang (design capacity/installed capacity) didefinisikan sebagai laju output ideal dalam keadaan normal dan sesuai rancangan sistem. McNair
(1994)
mengidentifikasi
pemborosan (wasting) kapasitas.
faktor-faktor
yang
menyebabkan
Identifikasi tersebut dapat membantu
manajemen untuk mengeliminasi pemborosan kapasitas. Pemborosan kapasitas dapat dibedakan menjadi definitional waste, technical waste, management-based waste dan accounting-based waste.
Definitional waste berarti pemborosan
kapasitas yang terjadi karena perbedaan pendefinisian kapasitas (teoritis, praktek, normal, dan anggaran).
Technical waste terjadi akibat adanya
ketidakseimbangan antar lini produksi.
Management-based waste yaitu akibat
keputusan dari manajemen perusahaan untuk memproduksi pada tingkat tertentu ataupun keputusan manajemen lainnya yang berhubungan dengan kapasitas pabrik.
Sedangkan accounting-based waste terjadi akibat adanya beberapa
metode dalam akuntansi biaya. Pendefinisian kembali kapasitas dan pengidentifikasian idle capacity adalah langkah awal untuk mewujudkan manajemen kapasitas yang efektif. Langkah selanjutnya adalah peningkatan terus-menerus untuk mencapai kapasitas yang optimum, mempertanyakan segala asumsi, melanjutkan pengeliminasian waste dan fokus pada penciptaan nilai kepada pelanggan. Data historis merupakan dasar yang paling baik untuk mengevaluasi peningkatan yang terus-menerus. Goldratt di dalam Childe (1997) menyatakan beberapa aturan yang berhubungan dengan kendala kapasitas. Utilisasi sumberdaya non-bottleneck tidak ditentukan oleh kemampuannya, tetapi oleh kendala lain pada sistem. Mengaktifkan suatu sumberdaya tidak sama dengan melakukan utilisasi
13
terhadapnya. Satu jam kehilangan pada bottleneck sama dengan kehilangan satu jam pada seluruh sistem. F. MODEL MANAJEMEN KAPASITAS Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menganalisis penggunaan kapasitas yaitu dengan mempergunakan sebuah model manajemen kapasitas yang dikembangkan oleh Consortium for Advanced Manufacturing International (CAM-I). Model ini akan membantu manajer untuk mendapatkan informasi yang tepat mengenai masalah manufaktur dengan gambaran visual yang jelas (Muras dan Rodriguez, 2003). Model kapasitas ini, yang dikembangkan dengan teknik berdasarkan aktivitas, mengelompokkan aktivitas, output, dan penggerak biaya menjadi kapasitas produktif, nonproduktif dan menganggur. Model kapasitas CAM-I seperti pada Gambar 4, berfokus pada biaya dari kapasitas yang digunakan dan tidak digunakan. Manajemen dapat menggunakan informasi dari model CAM-I untuk mempelajari dampak dari rendahnya penggunaan kapasitas yang tersedia. Kemudian, dampak dari perubahan utilisasi kapasitas akan dapat dihitung pula (Muras dan Rodriguez, 2003). Menurut Muras dan Rodriguez (2003), tingkat penggunaan kapasitas dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu kapasitas produktif, kapasitas menganggur, dan kapasitas non produktif, seperti pada Gambar 5. Area tengah (non produktif) diberi kode warna merah, menunjukkan bahwa area tersebut memiliki potensial untuk diperbaiki.
Area ini mencakup setups dan changeover, delays atau
downtime selama proses, serta pengerjaan ulang. Berdasarkan Gambar 5, bagian atas yang berwarna kuning mengindikasikan idle capacity, yang dapat dimanfaatkan jika produksi atau penjualan meningkat. Sedangkan bagian bawah yang berwarna hijau mengindikasikan waktu operasi yang dihabiskan untuk memproduksi barang atau jasa yang dapat dijual. Menurut Litzinger (2001), kapasitas produktif didefinisikan sebagai kapasitas yang digunakan untuk menghasilkan produk atau jasa yang dapat dijual, mengembangkan jasa atau produk baru, dan mengembangkan proses. Penggunaan kapasitas ini dengan jelas memiliki efek yang paling langsung terhadap pendapatan sehingga harus dapat dimaksimalkan.
14
Not Marketable
Excess Not Usabel Management Policy
Idle
Off Limits
Contractual Legal
Marketable
Idle but Usable Process Balance
Standby
Variability Scrap
Rated Capacity
Waste
Remark Yield Loss
Non Productive Maintenance
Scheduled Unscheduled Time
Setups
Volume Changeover Process Development
Productive
Product Development Good Product
Gambar 4. Bagan Kategori Model Kapasitas CAM-I (Cokins, 1999) Kapasitas non produktif adalah kapasitas yang tidak digunakan untuk tujuan produktif serta tidak dapat dikonversi menjadi kapasitas produktif. Contohnya adalah pengerjaan ulang dan aktivitas pendukung seperti perbaikan mesin tak terencana.
Hal-hal tersebut merupakan kegiatan yang esensial namun harus
dapat diminimalkan.
15
Gambar 5. Penggolongan Penggunaan Kapasitas (Muras dan Rodriguez, 2003) Kapasitas menganggur didefinisikan sebagai kapasitas yang tidak digunakan untuk mendapatkan salah satu dari tiga tujuan waktu produktif, tetapi memiliki potensi untuk dikonversi sehingga menghasilkan aktivitas produksi. Kapasitas menganggur
tersebut
merepresentasikan
peluang
untuk
meningkatkan
penerimaan pada sebuah tingkat kenaikan biaya yang lebih rendah. Jika konversi tidak dapat dilakukan, maka kapasitas menganggur tersebut juga bisa merepresentasikan peluang untuk mengurangi sumberdaya dan biaya yang berhubungan. Hal-hal tersebut dapat terjadi akibat rendahnya volume penjualan. Pengidentifikasian terhadap waktu menganggur cukup kritis terhadap proses, karena hal tersebut merepresentasikan waktu yang paling dapat dikonversi untuk meningkatkan penerimaan dan menurunkan biaya. G. PENELITIAN TERDAHULU Kartika (1999) menganalisis efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi teh di PTPN VIII Parakansalak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Dari hasil
penelitiannya diperoleh bahwa faktor produksi pestisida, urea, ZA dan ZnSO4 berpengaruh nyata terhadap variasi produksi teh basah. Sedangkan tenaga kerja kebun, pupuk TSP dan kiserit tidak berpengaruh nyata terhadap variasi produksi pucuk basah. Sedangkan untuk produksi teh olahan menunjukkan bahwa pucuk basah, tenaga kerja pabrik dan bahan bakar tidak berpengaruh nyata terhadap variasi teh olahan.
16
Prastiwi (1999) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Produksi Teh dan Penentuan Saat optimum Pemangkasan Tanaman Teh (Studi Kasus Kebun Percobaan Pasir Sarongge – PPTK Gambung)”. Berdasarkan analisis produksi yang dilakukan oleh peneliti, diperoleh beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan produksi teh: 1. Produksi pucuk teh basah berpengaruh nyata terhadap produksi teh kering. Hal ini disebabkan karena pucuk teh merupakan bahan baku pada produksi teh kering. 2. Kandungan air pada pucuk basah dan jenis petikan juga berpengaruh nyata terhadap produksi teh kering. 3. Harga teh berpengaruh nyata terhadap produksi teh kering. Setiap kenaikan harga teh di pasaran sebesar 1% dapat meningkatkan produksi teh sebesar 2,97%. 4. Kenaikan biaya pengolahan hanya menghasilkan peningkatan produksi teh kering rata-rata yang lebih kecil. Keadaan tersebut disebabkan perusahaan akan tetap berproduksi meski terjadi kenaikan pada komponen biaya pengolahan seperti biaya listrik dan bahan bakar. Hal tersebut karena bahan baku pucuk tidak dapat disimpan dan bila ada pucuk teh yang dihasilkan, pengolahan harus dilakukan. 5. Upah tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi teh kering dengan hubungan negatif. Hal tersebut terjadi karena dengan meningkatnya biaya upah tenaga kerja, perusahaan tidak dapat menambah jumlah tenaga kerja sehingga produksi berkurang. Pujihartini (2005) melakukan penelitian mengenai dampak perubahan sistem dan harga penjualan teh terhadap penggunaan sumberdaya produksi dan penjualan dengan studi kasus perkebunan teh PT Sumber Sari Bumi Pakuan Bogor. Perubahan terhadap sistem dan harga jual teh basah dan teh hijau yaitu perubahan sistem penjualan kontrak menjadi sistem non kontrak dapat memberikan keuntungan lebih besar.
17
III. METODOLOGI A. KERANGKA PEMIKIRAN Pabrik pengolahan teh Kebun Pasir Nangka merupakan suatu sistem yang relatif kompleks dan terdiri dari komponen-komponen sumberdaya yang saling terkait. Perubahan dari salah satu komponen akan mempengaruhi kinerja pabrik secara keseluruhan. Salah satu faktor yang menunjang dalam kesuksesan suatu perusahaan adalah kemampuannya untuk mengukur kinerja. Kinerja perusahaan dapat dilihat dengan mengukur produktivitas dan penggunaan komponenkomponen kapasitas perusahaan tersebut. Pengukuran terhadap produktivitas berdasarkan utilisasi kapasitas biasanya dinyatakan berupa satuan output per satuan waktu. Kapasitas dapat diukur secara fisik, yaitu dalam bentuk jumlah produk yang selesai diproduksi. Selain itu, kapasitas memiliki biaya, baik digunakan maupun tidak, digunakan secara penuh maupun sebagian, sehingga kapasitas tersebut memerlukan perhatian manajemen.
Ketidakmampuan untuk mengukur dan
mengatur kapasitas dapat menjadi permasalahan yang cukup serius di dalam suatu perusahaan dan menyebabkan pembengkakan biaya produksi. Manajer yang berusaha untuk memaksimalkan jam kerja dalam suatu pabrik terkadang kehilangan arah pada tujuan yang sebenarnya, yaitu memproduksi barang dengan lebih baik, lebih cepat, dan lebih murah. Pemaknaan kembali mengenai kapasitas dan kapasitas idle adalah langkah awal dalam manajemen kapasitas yang efektif. Langkah selanjutnya yaitu perbaikan berkelanjutan untuk mencapai kondisi optimum secara teori, mempertanyakan semua asumsi, mengurangi waste dan berfokus pada penciptaan nilai pada pelanggan. Jika memiliki terlalu banyak unused capacity, maka terdapat biaya berlebih yang berpotensi untuk dihemat. Namun bila memiliki kapasitas yang terlalu kecil, beresiko berkinerja rendah dan mungkin kehilangan keuntungan yang potensial. Gambar 6 menunjukan struktur biaya dari dua perusahaan dengan pengaturan penggunaan kapasitas yang berbeda. Gambar bagian atas dengan pengaturan kapasitas tradisional dan yang di bawah mengatur secara fleksibel
kapasitasnya berdasarkan puncak dan lembah pada kurva permintaan. Potensial penghematan biaya pada organisasi tradisional pada Gambar 6 adalah wilayah yang diarsir yang terletak antara garis total cost (kapasitas produksi) dan garis kurva permintaan. Pesanan Pelanggan
Organisasi tradisional
Biaya total Rp Biaya tetap
waktu
Unused capacity costs Pesanan Pelanggan
Organisasi fleksibel
Biaya total (tanpa kontraktor)
Rp
Biaya tetap
waktu
Unused capacity costs
Gambar 6. Peluang Penghematan Biaya Kapasitas (Cokins, 1999) Penggunaan kapasitas dengan lebih baik berarti penggunaan sumberdaya yang lebih baik pula. Hal tersebut merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan untuk penentuan dan penurunan biaya. Untuk itu, penentuan kapasitas dari pabrik merupakan hal yang esensial. Model manajemen kapasitas akan membantu manajer untuk mengevaluasi penggunaan kapasitas dengan menyediakan sebuah gambaran visual mengenai permasalahan yang berkaitan dengan status kapasitas.
Penggunaan model
kapasitas ini akan menjembatani celah komunikasi antara bagian operasi dengan manajemen.
Hal ini akan memungkinkan semua bagian perusahaan untuk
mengevaluasi dan mengatur kinerja dengan lebih efektif.
19
B. TAHAPAN PENELITIAN Penelitian dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahapan pertama yaitu studi pustaka, selanjutnya adalah tahapan observasi lapang, pendefinisian dan pengidentifikasian masalah, pengumpulan dan analisis data. Tahapan selanjutnya adalah
perumusan
alternatif
solusi
yang
kemudian
dievaluasi
dan
direkomendasikan. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 7. Mulai
Studi pustaka
Observasi Lapang
Definisi dan Identifikasi Masalah
Pengumpulan Data
Sesuai ?
Pengolahan Data
Perumusan Alternatif Solusi
Layak ?
Rekomendasi solusi
Selesai
Gambar 7. Diagram Alir Langkah-Langkah Penelitian
20
1. Studi Pustaka Studi pustaka dilakukan dengan mempelajari referensi dan literatur yang berkaitan dengan kapasitas dan pembuatan model manajemen kapasitas. 2. Observasi Lapang Pada tahap ini dilakukan pengamatan langsung terhadap kegiatan operasi pabrik, serta wawancara dengan para operator dan supervisor produksi. Observasi ini dimaksudkan untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan penggunaan kapasitas pabrik. 3. Definisi dan Identifikasi Masalah Tahapan ini adalah identifikasi terhadap masalah serta faktor-faktor dan peubah-peubah yang mempengaruhi pemasalahan tersebut. Dalam hal ini yaitu mengenai penggunaan komponen-komponen kapasitas pabrik. 4. Pengumpulan dan Pengolahan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan, pengukuran, pencatatan langsung di lapangan dan wawancara dengan pihak yang terkait di perusahaan. Sedangkan data sekunder dari laporan dan dokumen tertulis dari perusahaan.
Data primer dan data sekunder yang dikumpulkan tersebut
berupa data kualitatif dan data kuantitatif. Data yang terkumpul disesuaikan dengan literatur dan pertimbangan perusahaan. Selanjutnya data yang telah dikumpulkan diolah serta direpresentasikan dalam bentuk model manajemen kapasitas CAM-I. Model ini akan memberi gambaran secara visual mengenai kondisi pengunaan kapasitas dari pabrik. 5. Perumusan Alternatif Solusi Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap model yang telah dibuat dan dilakukan perumusan alternatif-alternatif pengembangan kapasitas produktif. Alternatif-alternatif ini adalah solusi yang mungkin diterapkan oleh pabrik untuk memperbaiki tingkat penggunaan kapasitas proses serta mengurangi pemborosan waktu dan biaya.
21
6. Evaluasi dan Rekomendasi Solusi Pada tahap ini dilakukan evaluasi terhadap berbagai alternatif yang dihasilkan. Kemudian dilakukan pemilihan alternatif yang layak untuk direkomendasikan dan diterapkan oleh perusahaan. C. METODE ANALISIS DATA 1. Penghitungan Kapasitas Kapasitas dapat diukur pada tingkat keseluruhan proses dan tingkat lini produksi. Data spesifikasi teknis kapasitas mesin dari masing-masing lini produksi dikumpulkan untuk menghitung kapasitas lini tersebut. Kapasitas dapat dihitung berdasarkan rumus berikut: Capacity = R x T − R adalah laju output per satuan waktu − T adalah jumlah maksimum waktu yang tersedia Kapasitas keseluruhan proses atau suatu lini produksi ditentukan oleh sumberdaya dengan kapasitas paling rendah. Sumberdaya seperti itu disebut bottleneck. Secara matematis dapat ditulis Kapasitas proses = Minimum { kapasitas sumberdaya 1, …., kapasitas sumberdaya n} dimana terdapat sejumlah n sumberdaya (mesin atau lini produksi). 2. Laju Alir dan Output Jumlah yang diproduksi secara aktual tidak hanya tergantung pada kemampuan memproduksi barang (kapasitas proses). Permintaan pasar pada produk dan ketersediaan bahan baku juga dapat menjadi faktor penentu produksi aktual.
Suatu proses dapat bersifat supply contrained, demand
constrained dan capacity costrained, tergantung dari faktor yang menjadi pembatas proses tersebut.
Oleh karena itu, laju alir atau output proses
tersebut dinyatakan sebagai Laju alir = Minimum { bahan baku tersedia, permintaan pasar, kapasitas proses }
22
3. Utilisasi Proses dan Utilisasi Kapasitas Permintaan pasar atau pasokan bahan baku dari waktu ke waktu tidak selalu sesuai dengan kapasitas proses. Pengukuran kinerja untuk menghitung ketidaksesuaian tersebut adalah utilisasi proses. Tingkat utilisasi dari sebuah proses dapat didefinisikan sebagai Utilisasi proses =
Laju alir Kapasitas proses
dan Utilisasi sumberdaya =
Laju alir Kapasitas sumberdaya
Untuk mengukur utilisasi proses, dilihat berapa banyak produksi dari proses tersebut secara aktual. Secara umum, terdapat beberapa alasan yang menyebabkan suatu proses tidak berproduksi pada tingkat utilisasi 100%. Jika demand kurang dari supply, biasanya proses tidak akan beroperasi pada kapasitas penuh, hanya pada tingkat permintaan. Jika terdapat kekurangan pasokan bahan baku (pucuk teh), proses tidak akan dapat berproduksi pada kapasitasnya.
Kemudian, jika salah satu atau beberapa tahapan proses
terganggu (perawatan dan perbaikan), proses tersebut mungkin tidak akan berproduksi sama sekali. 4. Model Manajemen Kapasitas Pembuatan model manajemen kapasitas CAM-I ini dilakukan dengan didasarkan pada kapasitas praktek, yaitu hari kerja normal.
Untuk
menganalisis pabrik secara lengkap, setiap lini produksi dianalisis secara individual.
Data yang terkumpul dari hasil wawancara dan dari laporan
produksi perusahaan diolah dan diklasifikasikan berdasarkan aktivitas yang dilakukan oleh masing-masing lini produksi. Kategori aktivitas dari masing-masing lini kemudian ditranslasikan ke dalam bentuk grafis berupa model kapasitas CAM-I.
Model tersebut
menggambarkan tingkat utilisasi kapasitas berdasarkan elemen biaya dan waktu kapasitas. Dari model yang terbentuk, manajemen dapat menganalisis dan mengambil keputusan untuk memperbaiki utilisasi kapasitas dan penghematan biaya kapasitas, seperti dapat dilihat pada Gambar 8. 23
Gambar 8. Usaha Peningkatan Kapasitas Produktif Gambar 8 menunjukkan efek dari keputusan yang dapat dilakukan oleh manajemen perusahaan berdasarkan pertimbangan kapasitas.
Dari sisi
produksi, keputusan difokuskan pada kegiatan untuk mengurangi kapasitas non produktif. Sedangkan pengurangan kapasitas idle menjadi fokus dari bagian pemasaran. D. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di PT Perkebunan Nusantara VIII Pabrik Pasir Nangka, Cianjur, Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Februari hingga April 2008 yang meliputi data produksi 2007 dan pengamatan secara aktual.
24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KEGIATAN OPERASIONAL 1. Budidaya Tanaman Penghasil Bahan Baku a. Pembibitan dan Persemaian Pada pembibitan, jenis kloonal (stek/vegetatif) telah dikenal luas, karena merupakan cara yang paling tepat untuk memenuhi kebutuhan bahan tanaman (bibit) dalam jumlah banyak dan jenis klon yang ditentukan dapat dipastikan sifat keunggulannya sama dengan pohon induknya. Pembibitan tanaman seedling (biji/generatif) akan memiliki akar yang lebih kuat karena tanaman memiliki akar tunggang. b. Penanaman Bibit teh yang telah dipersiapkan di persemaian diseleksi menurut klasifikasi kelas dan jenis klon dalam kondisi siap tanam. Selanjutnya bibit diangkut ke lokasi tanaman tahun ini (TTI) yang telah dipersiapkan. Faktor yang harus diperhatikan yaitu jarak tanam, plotting klon tanaman teh, pengajiran, pembuatan lobang tanam, dan cara penanaman. c. Pemeliharaan Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) Pemeliharaan TBM merupakan dasar untuk mendapatkan tanaman yang sehat, berpotensi tinggi dengan masa nonproduktif pendek, sehingga merupakan investasi awal yang akan memberikan hasil jangka panjang. Pemeliharaan yang dilakukan pada TBM yaitu penyiangan (manual dan kimia), pembuatan rorak (logak tanah), penyulaman (penggantian tanaman mati), pemupukan, pembentukan frame (bidang petik). d. Pemeliharaan Tanaman Menghasilkan (TM) Pemeliharaan TM seperti yang dapat dilihat pada Gambar 9, dilakukan dengan beberapa perlakuan, diantaranya adalah pemupukan, pengendalian gulma, hama dan penyakit, serta pemangkasan. Pemberian pupuk disesuaikan dengan dosis yang direkomendasikan oleh Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) setelah dilakukan analisis. Pengendalian
hama, gulma dan penyakit dilakukan secara kimiawi dengan dosis yang sesuai dengan kemampuan tanaman dan tingkat serangan.
Gambar 9. Kebun Tanaman Menghasilkan Teh Pemangkasan tanaman dilakukan untuk mendapatkan ketinggian bidang petik yang sesuai. Selain itu, juga dilakukan untuk menjaga tanaman teh agar tetap dalam fase vegetatif, merangsang pertumbuhan tunas baru, dan membuang cabang-cabang yang tidak produktif. e. Pemetikan Kegiatan pemetikan teh dilaksanakan untuk memenuhi sebagian besar persediaan bahan baku yang diperlukan untuk melaksanakan proses produksi. Untuk mendapatkan bahan baku basah yang berkualitas tinggi (layak olah), maka perkebunan menetapkan standar pelaksanaan pemetikan, yaitu pucuk yang boleh dipetik hanya pucuk medium. Pucuk teh yang telah dipetik harus mendapat perlakuan yang baik agar kualitasnya dapat terjaga. Pucuk teh tidak boleh terlalu lama dalam kepalan tangan atau dijejal.
Pucuk yang telah dipetik harus segera
dimasukan ke dalam ambul, seperti dapat dilihat pada Gambar 10. f. Pengangkutan pucuk ke pabrik Setelah pucuk teh dalam ambul para pemetik penuh, maka para pemetik menghentikan kegiatan pemetikan dan segera memindahkan dan menyimpan pucuk ke wadah penyimpanan berupa waring. Waring peyimpanan tersebut disimpan di los (tenda) agar terlindung dari panas
26
dan hujan. Penyimpanan pucuk di los dilakukan hingga kedatangan truk yang akan mengangkut pucuk ke pabrik pengolahan.
Gambar 10. Pucuk dalam Ambul Setelah Dipetik Pucuk yang diangkut ke pabrik harus memenuhi standar kualitas dan kuantitas, oleh karena itu dilakukan penimbangan dan koreksi pucuk. Untuk menjaga kualitas pucuk selama pengangkutan, pengisian pucuk pada waring maksimal 25 kg, dan isi truk maksimal 100 waring sak yaitu 2500 kg. Dengan standar tersebut, diusahakan semaksimal mungkin agar pucuk tidak rusak, mengalami penguapan atau perubahan warna. 2. Proses Produksi Teh sebagai komoditi, harus mempunyai mutu yang tinggi dan konsisten agar tetap diminati konsumen. Untuk memperoleh hasil yang memenuhi harapan tersebut, dilakukan pengolahan teh hitam yang sesuai dengan prinsipprinsip pengolahan teh hitam yang benar. Pelaksanaannya berdasar pada kaidah-kaidah manajemen mutu yang baik dalam setiap langkah proses pengolahan. Proses pengolahan teh hitam ortodoks dimulai sejak penerimaan bahan baku pucuk teh di pabrik. Selanjutnya teh melalui berbagai tahapan, yaitu pelayuan, penggilingan, oksidasi enzimatis, pengeringan, sortasi, penyimpanan peti miring, dan pengepakan.
27
a. Penerimaan pucuk Kondisi pucuk sangat menentukan kualitas dari teh hitam yang dihasilkan, oleh karena itu diperlukan penanganan penerimaan pucuk yang baik di pabrik. Kedatangan truk di pabrik diupayakan tidak bersamaan supaya tidak terjadi antrian saat penimbangan dan penurunan pucuk. Truk yang berisi pucuk ditimbang pada jembatan timbang. Kemudian setelah pucuk diturunkan, truk dan waring sack kosong ditimbang kembali. Pucuk yang telah ditimbang kemudian dinaikan ke atas monorail. Pengisian satu kursi monorail hanya dibatasi satu waring sack dan harus dalam posisi berdiri. Dalam prosesnya harus diupayakan meminimalkan ceceran pucuk. Penerimaan pucuk di pabrik disertai dengan dilakukannya analisis pucuk. Tujuannya adalah mengevaluasi mutu pucuk yang merupakan dasar pendugaan mutu hasil olahan dan untuk perhitungan harga pucuk. Cara pelaksanaan analisis pucuk tersebut yaitu dengan mengambil contoh pucuk secara acak perkemandoran di atas Withering Trough, segera setelah pucuk dikeluarkan dari waring. Bobot sampel yang digunakan ± 1 kg pucuk. Dari 1 kg contoh pucuk tersebut diambil ± 100 gram untuk dianalisis. Sampel dipisah-pisahkan sesuai jenis pucuk, adapun pucuk yang lewat standar pucuk medium dipotong terlebih dahulu. Standar analisis pucuk medium (p+2, p+3 dan burung muda) adalah 60-65 persen, pucuk kasar (p+4, p+5, burung tua, dan daun tua) sebesar 30-35 persen, dan pucuk rusak (kena hama, memar, nyeupan, lembaran daun dengan dua patahan, dan keutuhan daun ≤ 75 persen) maksimal 5 persen. b. Pelayuan Proses pelayuan merupakan tahap awal proses pengolahan teh. Tujuan pelayuan adalah menurunkan kandungan air dalam pucuk. Dengan proses ini pucuk teh menjadi lemas (layu fisik) dan terjadi perubahan senyawa-senyawa kimia yang terkandung di dalam pucuk sehingga menghasilkan teh dengan rasa dan aroma yang baik (layu kimia). Secara fisik, daun teh tersebut akan akan menjadi lemas/layu dan warnanya berubah dari hijau muda menjadi hijau tua. Kadar air pucuk teh 28
yang diharapkan setelah pelayuan sekitar 49-58 persen dengan kerataan layuan minimal 87 persen. Faktor yang perlu diperhatikan dalam pelayuan adalah temperatur, kelembaban relatif, lama pelayuan, kondisi cuaca, dan bobot pucuk per satuan luas pada Withering Trough (WT). Setiap seksi berisi pucuk dalam satu WT ditandai dengan papan nama atau girik yang mencantumkan nama mandor dari kebun sumber pucuk tersebut. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan penilaian terhadap mutu pucuk dari setiap perkemandoran dalam setiap afdeling. Penyebaran pucuk dalam WT disebut dengan istilah pembeberan. Pembeberan dimulai dari ujung WT, berlawanan dengan arah hembusan udara dari main fan. Sebelum pembeberan, main fan harus sudah dijalankan dan mengalirkan udara segar ke dalam WT. Hal tersebut dimaksudkan untuk mulai mengurangi air yang ada di atas permukaan daun sehingga daun pucuk teh segar tidak saling melekat. Selain itu, untuk tujuan yang sama dilakukan pula pengkiraban dan pengaturan ketebalan pucuk di dalam WT. Pada saat dilakukan pengkiraban, petugas kirab juga memeriksa dan membuang bahan kontaminan yang tercampur dalam pucuk segar. Kontaminan yang biasa tercampur dalam pucuk segar adalah ranting pohon, daun kering, ulat, serangga, dan benda asing lainnya. Proses pelayuan dapat dilakukan hanya dengan hembusan udara segar atau dengan bantuan udara hangat. Udara hangat yang bersuhu sekitar 27°C tersebut merupakan campuran antara udara segar dan udara panas yang berasal dari heat exchanger (HE). Pencampuran antara udara segar dari lingkungan dan udara panas dari HE dilakukan di dalam mixing chamber, sebelum akhirnya dihembuskan oleh main fan. Penggunaan campuran udara tergantung pada keadaan lingkungan. Jika selisih suhu antara termometer bola kering dan termometer bola basah di ruang pelayuan kurang dari 2°C, digunakan udara hangat dari pencampuran. Selama pelayuan, dilakukan pembalikan pucuk yang dilakukan sebanyak satu sampai tiga kali, tergantung keadaan pucuk. Pucuk yang ada di lapisan bawah dinaikan ke atas dan begitu sebaliknya. Hal tersebut
29
bertujuan agar pucuk dapat layu secara merata. Adanya keranjang kontrol diperlukan untuk menghitung perkiraan waktu turun layu dan derajat layu, sehingga dapat dipantau dari hari kehari, karena keadaan cuaca yang sering mengalami perubahan, serta keadaan pucuk yang basah atau tuus. Pada akhir proses pelayuan, dilakukan turun layu, yaitu proses pengeluaran pucuk layu dari WT dan masuk ke ruang giling. Layuan yang baik secara fisik ditandai dengan pucuk yang digenggam lemas dan tidak patah-patah serta apabila dibuat kepalan tidak buyar saat dilemparkan. Pembongkaran pucuk layu dimulai dari salah satu ujung WT dan harus selesai satu per satu. Pada saat pembalikan dan pembongkaran pucuk layu, fan harus tetap dijalankan. c. Penggilingan Proses penggilingan bertujuan untuk membuat daun menggulung dan merusak dinding selnya. Hal ini menyebabkan cairan dalam sel keluar semaksimal mungkin ke permukaan dengan merata dan terjadi proses oksidasi enzimatis. Tujuan lain proses ini yaitu mengecilkan dan memotong gulungan menjadi partikel sesuai dengan yang dikehendaki, mengoptimalkan terbentuknya mutu dalam (inner quality), serta untuk memudahkan dalam pengaturan pengeringan dan sortasi kering. Sebelum penggilingan, mesin-mesin dan ruangan harus dalam keadaan bersih, kering, dan siap pakai. Setiap mesin dan peralatan diperiksa dan dipastikan dapat berfungsi dengan baik. Dilakukan pengondisian ruang giling dengan suhu 16-18°C dan kelembaban 80-95 persen. Kondisi tersebut diatur dengan penggunaan humidifier dan exhaust fan. Proses penggilingan dilakukan dalam empat tahap penggilingan. Antara satu tahap dan tahap berikutnya diadakan pemisahan bubuk dengan mesin pengayak basah. Tahap pertama yaitu penggilingan dengan Open Top Roller (OTR) atau Britania Roller (BR). Waktu penggilingan selama 50 menit, dan pada BR dilakukan perlakuan gencet-kirab dengan
30
kombinasi 15/5 menit. Bubuk hasil bongkaran OTR dan BR kemudian diayak dengan DIBN 1 yang akan menghasilkan bubuk I. Bubuk ukuran besar (badag) dari DIBN I masuk ke penggilingan tahap kedua dengan Press Cup Roller (PCR) yang mempunyai kapasitas 275-300 kg. Waktu giling PCR yaitu 30 menit dan gencet-kirab 10/5 menit. Bubuk hasil bongkaran diayak di DIBN 2 dan dihasilkan bubuk II. Tahap selanjutnya, bubuk badag dari DIBN II digiling pada Rotorvane I (RV I) yang mempunyai kapasitas 1200 kg per jam. Penggilingan RV tersebut memerlukan waktu 10 menit. Kemudian masuk DIBN III dan menghasilkan bubuk III. Tahap keempat, bubuk badag masuk ke RV II dengan kapasitas 800 kg per jam. Penggilingan selama 10 menit kemudian diayak pada DIBN IV menghasilkan bubuk IV. Bubuk badag dari DIBN IV tersebut tidak digiling lagi. Perlu dikemukakan bahwa jenis teh yang diinginkan dibuat di proses penggilingan, proses sortasi kering seharusnya hanya memisahkan apa yang telah dibuat di proses penggilingan. d. Oksidasi Enzimatis Proses oksidasi enzimatis (OE) sebenarnya sudah mulai terjadi pada saat pucuk mulai digiling pada OT atau BR. Setelah bubuk selesai diayak, segera dihamparkan di atas baki/meja oksidasi enzimatis. Oksidasi enzimatis atau fermentasi merupakan reaksi kimia dari cairan sel daun teh dengan oksigen hingga mencapai kondisi optimum. Selama proses oksidasi enzimatis, dihasilkan senyawa theaflavin dan thearubigin yang akan menentukan sifat air seduhan (strength, colour, quality, dan briskness). Penentuan waktu lamanya fermentasi disesuaikan dengan jenis bubuk dan keadaan cuaca, sehingga dalam setiap keadaan tidak akan sama. Tebal sebaran adalah 2,5 cm sampai 7,5 cm. Bila terlalu tipis, bubuk akan kering, terlalu tebal akan panas. Suhu teh fermentasi tidak boleh melebihi 26,7 ºC karena enzim polifenol bekerja optimal pada suhu tersebut.
31
Masing-masing jenis bubuk dan seri ditempatkan pada wadah terpisah untuk menjaga agar tidak terjadi pencampuran. e. Pengeringan Proses pengeringan bertujuan untuk menghentikan reaksi OE saat komposisi senyawa-senyawa pendukung kualitas mencapai keadaan optimum. Selain itu, pengeringan akan membuat teh memiliki umur simpan yang lebih lama. Hal tersebut dapat terjadi karena kadar air teh kering sangat rendah, yaitu berkisar antara 2,0-3,5 persen. Setelah proses OE menghasilkan karakteristik bubuk yang diinginkan, bubuk teh dikeringkan dalam mesin two stage drier (TSD) yang memiliki kapasitas sekitar 250 kg bubuk teh kering/jam. Suhu inlet berkisar antara 80-112°C dan suhu outlet 45-55°C. Bubuk teh mulai dimasukan ke dalam mesin setelah suhu inlet tercapai. Bubuk teh dikeringkan di dalam mesin TSD selama ±23 menit. Panas yang ada dalam TSD dihasilkan oleh HE yang dinyalakan sekitar 40-50 menit sebelum bubuk teh masuk ke dalam mesin. Selain dengan tujuan agar mesin mencapai panas yang optimal untuk pengeringan, penyalaan mesin dilakukan untuk membersihkan mesin dari sisa pengolahan sebelumnya dan memeriksa kemungkinan terjadinya kebocoran udara panas pada mesin. Bubuk teh dikeringkan oleh udara panas yang berhembus dari bawah melalui lubang-lubang tiap trays dalam TSD. Masing-masing jenis bubuk dikeringkan pada TSD yang berbeda. Selanjutnya, bubuk teh yang keluar dari TSD diangkut ke ruang sortasi dengan menggunakan conveyor. f. Sortasi Proses sortasi kering bertujuan untuk memisahkan partikel teh berdasarkan warna, kerataan, bentuk, ukuran, dan berat jenis, sehingga diperoleh partikel teh yang sesuai dengan standar yang diinginkan oleh pasar. Standar kriteria jenis mutu grade teh hitam ortodoks berdasarkan ukuran dan visual dapat dilihat pada Tabel 4.
32
Tabel 4.
Kriteria Jenis Mutu Grade Teh Hitam Ortodoks Berdasarkan Ukuran dan Visual
Jenis (Grade) BOP
Lolos Mesh 12
Tertahan Mesh 14
Berwarna hitam, beuneur
BOPF
14
20
Berwarna hitam, beuneur
PF
18
24
Berwarna hitam, beuneur
Dust
24
30
Berwarna hitam, beuneur
BP
8
12
Berwarna hitam, beuneur
BT
12
14
Berwarna hitam, agak hapa
PF II
18
24
Merah, hapa, bertulang
Dust II
24
30
Merah, hapa, bertulang
BP II
12
14
Merah, hapa, bertulang
BT II
12
14
Merah, hapa, bertulang, berserat
Dust III
30
60
Merah, hapa, berserat
Kriteria
Sumber: Kantor Pengolahan Perkebunan Pasir Nangka
Bubuk teh melalui proses sortasi dalam beberapa mesin, yaitu Midleton, Java sortir, Indian sortir, Vibro, Chota sifter, Shuudzeef, Senvec, dan Theewan. Pengisian tiap mesin disesuaikan dengan kapasitas mesin dengan mengatur ketebalan feeding. Kondisi ruang sortasi harus kering dan kelembaban relatif maksimum 70 persen sehingga kenaikan MC bubuk teh selama proses sortasi tidak lebih dari 1 persen. Ceceran bubuk di lantai harus dihindari dan ditangani sesegera mungkin. g. Pengepakan Pengepakan adalah suatu proses yang bertujuan untuk melindungi produk jadi dari kerusakan. Selain itu, pengepakan memudahkan transportasi dan penyimpanan di gudang. Dengan adanya kemasan dalam bobot dan jenis tertentu dapat memudahkan dalam pemasaran. Kemasan yang digunakan ada dua macam, yaitu papersack dan karung bagor. Papersack yang digunakan adalah standar T2, terdiri dari 4 ply standard, 80 gsm wet strength outer ply, 2 x 72 gsm high performance kraft, dan 1 x 112 gsm alumunium foil / kraft laminate. Kemasan karung
33
bagor yang digunakan dilapisi dengan inner plastic. Pemakaian kemasan tersebut digunakan sesuai dengan keinginan pembeli.
Kemasan yang
akan digunakan untuk mengepak diberi identitas yaitu nama negara pemasok (Indonesia), nama perusahaan (PTPN VIII Kebun Pasir Nangka), nomor chop, nama jenis teh, berat gross dan netto, serta nomor papersack dan tanda SNI. Pengepakan dilaksanakan setelah persediaan teh dalam peti miring mencapai 110 persen kebutuhan satu chop (40 papersack) yang beratnya berbeda untuk setiap jenis grade teh. Teh jadi dalam peti miring dikeluarkan dan dinaikkan ke tea bulker melalui conveyor. Dari bulker, teh dimasukan ke dalam papersack/karung. Setelah ditimbang, dilakukan penggetaran dan pengepresan dengan bag shaper. Papersack kemudian disusun menggunakan bottom pallet kayu, dengan ketinggian tumpukan tidak boleh lebih dari 215 cm. h. Pengujian Mutu Pengujian mutu dilakukan untuk memastikan spesifikasi teknis terkontrol dengan baik dan menjaga kesesuaian dengan standar yang ditetapkan. Pengujian mutu ini dilakukan mulai dari awal proses pengolahan hingga produk teh jadi. 1) Kecukupan layuan Kadar air pucuk layu diukur setiap seri turun layu, diambil ± 1 kg pucuk layu secara acak dari WT oleh mandor turun layu dan diberikan kepada petugas uji mutu untuk diuji. Kemudian diambil 10 gram untuk diukur kadar airnya. Dilakukan pemisahan antara pucuk layu dengan pucuk kurang layu. Pucuk hasil pemisahan ditimbang, kemudian dihitung persentase masing-masing kelompok. Sasaran persentase layu minimal 87 persen. 2) Pengujian Kadar Air Pengujian kadar air dilakukan dengan menggunakan alat sartorius. Suhu yang digunakan adalah 105°C. Pengujian pucuk basah dan pucuk layu dilakukan dengan berat sampel 10 gram, pucuk 34
terlebih dahulu diiris menjadi potongan kecil. Pengujian bubuk teh kering dilakukan dengan berat sampel 5 gram. Pengukuran dimulai sejak alat ditutup hingga secara otomatis berhenti dan pencetak akan menampilkan hasil pengukuran. 3) Pengujian Berat Jenis Pengukuran berat jenis dengan gelas ukur dilakukan dengan memasukan 100 gram teh ke dalam gelas ukur, permukaan bubuk teh diratakan (tanpa ketukan) kemudian dilihat volumenya. Permukaan bubuk teh diratakan dan dilihat volumenya, kemudian dibandingkan dengan standar mutu densitas teh hitam ortodoks yang tercantum pada Tabel 5. Tabel 5.
Standar Mutu Densitas Teh Hitam Ortodoks
Jenis (Grade) OP BS FF BOP I SP BOP I BOP BOPF PF Dust BT BP PF II Dust II BT II BP II Dust III
Fann II BM
Setiap 100 Gr, Tanpa Ketukan (freefall) 475-480 cc 400-440 cc 380-430 cc 370-390 cc 250-380 cc 340-350 cc 330-335 cc 290-295 cc 250-255 cc 410-420 cc 245-250 cc 280-305 cc 240-260 cc 330-370 cc 250-260 cc 225-230 cc 290-310 cc 330-380 cc
Setiap 25 Gr, 20X Ketukan 110-120 cc 85-98 cc 80-90 cc 66-72 cc 66-70 cc 65-70 cc 62-65 cc 95-100 cc 70-75 cc 62-72 cc 55-62 cc 80-85 cc 60-65 cc -
Sumber: Prosedur Sistem Mutu Perkebunan Pasir Nangka
4) Pengujian Inner dan Outer Quality Pengujian inner dan outer quality mencakup kenampakan teh jadi (meliputi warna, kerataan, kebersihan dari tulang dan serat, bentuk, tip), air seduhan (meliputi warna air, kekuatan/strength, kesegaran/
35
brisk, aroma, pungency), serta kenampakan ampas (warna dan kerataan). Penilaian aroma dilakukan dengan menghirup udara seduhan teh dengan membuka sedikit tutup cangkir. Penilaian rasa dilakukan dengan mencicipi air seduhan yang ada dalam mangkok. Penilaian warna air dilakukan dengan mengamati air seduhan dalam mangkok. Penilaian ampas seduhan dilakukan dengan mengamati ampas yang telah dipindahkan pada tutup cangkir. Penilaian outer quality pada kenampakan teh dilaksanakan dengan cara menyebar bubuk teh di atas baki melamin atau kertas untuk melihat bentuk, warna, kerataan ukuran dan kebersihan dari serat dan tulang. B. KINERJA UMUM PABRIK 1. Kinerja Proses Produksi Kinerja pabrik dapat digunakan oleh pihak manajemen untuk mendapatkan gambaran umum mengenai efisiensi teknis pabrik. Efisiensi teknis ini mencakup pengukuran tingkat penggunaan sumberdaya untuk menghasilkan output. Efisiensi pabrik teh ini dapat dilihat dari beberapa parameter, seperti pada Tabel 6. Tabel 6.
Kinerja Pabrik Teh Pasir Nangka Tahun 2007 Data Produksi
Parameter
Triwulan I
Produksi Basah (kg) Produksi Kering (kg)
II
III
IV
Total
2.965.431 3.502.093 1.872.181 2.882.957 11.222.662 653.186
776.755
422.529
641.485
2.493.955
Rasio Basah/Kering
4,54
4,51
4,43
4,54
4,50
Rendemen (%)
22,03
22,18
22,57
22,02
22,22
Sumber: Laporan Produksi Pengolahan Tahun 2007
36
Berdasarkan Tabel 6, diketahui bahwa produksi pucuk basah mengalami fluktuasi setiap triwulannya. Produksi tertinggi terjadi pada Triwulan II, hal ini terjadi karena aplikasi pemupukan berdampak positif serta pola curah hujan dan penyinaran yang memadai.
Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kinerja budidaya teh, seperti faktor cuaca, hama dan penyakit, pemeliharaan tanaman dan sistem pemetikan.
Faktor yang paling
berpengaruh pada fluktuasi produksi basah antar triwulan tahun 2007 tersebut adalah faktor cuaca. Triwulan III yaitu pada bulan Juli hingga pertengahan Oktober terjadi kemarau sehingga produksi pucuk jauh lebih kecil dari triwulan lainnya. Fluktuasi pada produksi basah mempengaruhi jumlah produksi bubuk teh kering. Tingkat konversi ditunjukan oleh nilai perbandingan pucuk basah terhadap bubuk kering (rasio B/K). Rasio ini juga dapat dinyatakan dengan persentase jumlah bubuk kering yang dihasilkan terhadap pucuk basah yang masuk (nilai rendemen). Nilai rendemen produksi teh dapat diketahui dari Tabel 6, nilai rendemen tersebut juga mengalami fluktuasi.
Rendemen
terendah yaitu pada triwulan IV dengan nilai 22,02 persen dan nilai tertinggi yaitu 22,57 persen pada triwulan II. Fluktuasi rendemen tersebut disebabkan adanya titik-titik kehilangan bubuk atau pucuk teh selama proses produksi. Kehilangan akibat ceceran pucuk teh berpeluang terjadi pada saat penurunan pucuk teh dari truk, pengangkutan pada monorail, pemeberan, turun layu, dan pengisian OT dan BR. Sedangkan kehilangan bubuk teh dapat terjadi akibat ceceran di lantai, terbuang bersama debu dan tersangkut di dalam mesin produksi. Selain itu, fluktuasi nilai rendemen juga dapat terjadi akibat fluktuasi moisture content (mc) pucuk basah serta bubuk kering. Fluktuasi nilai rendemen ini harus dapat dikendalikan sepanjang waktu selama proses produksi. Para karyawan dan pengawas memiliki peran yang penting dalam usaha pencegahan terjadinya kehilangan bubuk akibat ceceran. Selain itu, kadar air bubuk dari hasil pengeringan harus dijaga agar tetap
37
memenuhi standarnya.
Hal ini dapat dilakukan dengan indera peraba,
penciuman, ataupun dengan alat pengukur kadar air. 2. Konsumsi Energi Penggunaan kapasitas mesin produksi berkaitan erat dengan efisiensi penggunaan energi. Mesin yang digunakan sesuai dengan kapasitasnya tentu akan mendukung penghematan energi yang digunakan untuk setiap unit produk teh. Perhitungan konsumsi energi untuk produksi dapat dipergunakan untuk mengukur tingkat efisiensi proses dan mencari solusi untuk penghematannya. Proses produksi teh hitam ortodoks ini melibatkan banyak mesin mekanis. Semua mesin produksi yang ada umumnya menggunakan energi listrik sebagai penggerak motornya. Beberapa mesin, seperti pada pelayuan dan pengeringan, memerlukan energi dari pembakaran bahan bakar minyak (BBM) atau bahan bakar padat (BBP). a. Bahan Bakar Proses pelayuan memerlukan udara panas yang dihasilkan oleh mesin Benson sebagai heat exchanger (HE). Mesin ini menggunakan BBM berupa Industrial Diesel Oil (IDO).
Tabel 7 menunjukkan
penggunaan IDO untuk proses pelayuan pada tahun 2007. Tabel 7.
Penggunaan IDO pada Proses Pelayuan Tahun 2007
Periode
Produksi Kering (kg)
Jan – Mar
653.186
61.090
0,094
Apr – Jun
776.755
74.850
0,096
Jul – Sep
422.529
6.205
0,015
Okt - Des
641.485
37.740
0,059
2.493.955
179.885
0,072
Total
Konsumsi IDO (liter)
Rasio Konsumsi IDO (liter/kg)
Sumber: Laporan Produksi Pengolahan Tahun 2007
Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa pada tahun 2007 pemakaian IDO yang memiliki rasio tertinggi terjadi pada periode April hingga Juni. Pada periode ini, rasio pemakaian IDO mencapai 0,096 yang melebihi standar batas maksimal sebesar 0,08 liter IDO per kg bubuk kering. Hal 38
ini terjadi karena cuaca yang kurang mendukung, hujan deras menyebabkan pucuk memiliki kadar air yang tinggi.
Semakin tinggi
kadar air pada pucuk segar menyebabkan semakin besarnya energi yang dibutuhkan untuk mencapai derajat layu yang diharapkan. Hal yang serupa terjadi pada proses pengeringan teh, seperti terlihat pada Tabel 8 dan Tabel 9. Rasio penggunaan bahan bakar, baik IDO maupun BBP, mencapai nilai tertinggi pada periode kedua.
hal ini
berkaitan pula dengan tingginya kadar air awal bubuk teh yang dikeringkan.
Standar maksimal nilai rasio penggunaan IDO proses
pengeringan adalah 0,23 liter IDO per kg bubuk kering. Sedangkan untuk BBP, standarnya adalah 0,70 kg BBP per kg bubuk teh kering. Saat ini, dua dari lima heat exchanger (HE) sebagai sumber panas pada proses pengeringan telah menggunakan bahan bakar padat sebagai alternatif. Sebagai perbandingan, 153.923 kg bubuk teh jika dikeringkan sepenuhnya dengan BBM akan membutuhkan biaya sebesar Rp. 308.070.000. Sedangkan dengan kombinasi HE yang ada sekarang, biaya yang dibutuhkan sebesar Rp. 146.287.000.
Dengan penggunaan
kombinasi HE tersebut, terjadi penghematan biaya hingga sekitar 50 persen. Tabel 8.
Penggunaan IDO pada Proses Pengeringan Tahun 2007
Periode
Produksi Kering IDO (kg)
Jan – Mar
310.693
71.200
0,229
Apr – Jun
323.982
78.150
0,241
Jul – Sep
91.562
20.685
0,226
Okt - Des
304.088
69.450
0,228
1.030.325
239.485
0,232
Total
Konsumsi IDO (liter)
Rasio Konsumsi IDO (liter/kg)
Sumber: Laporan Produksi Pengolahan Tahun 2007
Faktor lain yang menjadi pertimbangan adalah efisiensi dari alat pengering yang digunakan.
Berdasarkan perhitungan seperti pada
Lampiran 11, didapat efisiensi dari TSD berada pada kisaran 24 persen
39
sampai 36 persen. Usaha-usaha peningkatan nilai efisiensi perpindahan panas pada mesin pengering perlu dilakukan untuk penghematan biaya. Tabel 9.
Penggunaan BBP pada Proses Pengeringan Tahun 2007
Periode
Produksi Kering BBP (kg)
Konsumsi BBP (kg)
Rasio Konsumsi BBP Pengeringan (kg/kg)
Jan – Mar
342.493
258.869
0,756
Apr – Jun
452.773
472.704
1,044
Jul – Sep
330.967
303.525
0,917
Okt - Des
337.397
278.190
0,825
1.463.630
1.313.288
0,897
Total
Sumber: Laporan Produksi Pengolahan Tahun 2007
b. Listrik Kebutuhan energi listrik pabrik Pasir Nangka ini hampir sepenuhnya tergantung pada pasokan listrik dari PLN. Hal ini dilakukan karena biaya listrik dari generator terlalu mahal akibat semakin meningkatnya harga bahan bakar solar. Generator berbahan bakar diesel digunakan jika terjadi gangguan pada pasokan energi listrik dari PLN. Energi listrik digunakan terutama untuk mendukung dalam proses produksi teh, yaitu untuk menggerakan motor-motor listrik pada mesin produksi. Selain itu, listrik digunakan untuk penerangan, bengkel, dan komputer.
Penggunaan energi listrik pabrik pengolahan untuk setiap
periode pada tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Penggunaan Listrik Pengolahan Tahun 2007 Periode
Produksi Kering (kg)
Konsumsi Listrik (kwh)
Rasio Konsumsi Listrik (kwh/kg)
Jan – Mar
653.186
361.238
0,55
Apr – Jun
776.755
434.288
0,56
Jul – Sep
422.529
246.351
0,58
Okt - Des
641.485
349.991
0,55
2.493.955
1.391.868
0,56
Total
Sumber: Laporan Produksi Pengolahan Tahun 2007
40
Standar penggunaan energi listrik di pabrik ini adalah 0,55 kwh per kg bubuk teh kering. Data pada Tabel 10 menunjukan bahwa rata-rata penggunaan energi listrik bernilai 0,56 yang berada di atas standar maksimal yang diharapkan. Rasio pemakaian energi listrik ini berkaitan dengan kinerja pabrik.
Tingginya rasio pemakaian energi listrik
menunjukan kurang efisiennya kinerja produksi. Hal ini dapat terjadi karena rendahnya penggunaan kapasitas mesin-mesin. Selain itu, kondisi mesin yang sudah mulai tua seiring dengan frekuensi dan waktu penggunaan menyebabkan semakin boros dalam pemakaian energi. Penghematan biaya penggunaan listrik dapat dilakukan dengan peningkatan efisiensi penggunaan motor listrik yang ada. Salah satu cara peningkatan efisiensi energi listrik adalah dengan optimalisasi utilisasi mesin dan peralatan yang membutuhkan listrik. Mesin produksi harus tetap terisi pada kapasitas optimalnya serta kedatangan bahan diusahakan selalu berkelanjutan. Usaha lain yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan melakukan perawatan, rekondisi, atau penggantian mesin. Perawatan mesin harus dilakukan secara teratur supaya efisiensi mesin tetap terjaga serta mencegah terjadinya kerusakan mesin yang mengganggu jalannya produksi. Apabila kinerja mesin sudah di bawah standarnya, perlu dilakukan rekondisi mesin, seperti penggantian komponen yang sudah rusak atau penggulungan ulang kumparan motor listrik.
Penggantian mesin merupakan peluang penghematan yang
bersifat jangka panjang dan merupakan alternatif terakhir. Penggantian ini hanya dilakukan apabila mesin sudah tidak dapat diperbaiki atau ada alat lain yang memiliki kinerja yang jauh lebih tinggi.
41
C. MANAJEMEN KAPASITAS 1. Diagram Alir Proses Analisis utilisasi kapasitas produksi teh pabrik ini dimulai dengan menggambarkan diagram alir prosesnya.
Pabrik pengolahan teh hitam
ortodoks jika ditinjau pada tingkat agregat terdiri dari pucuk teh (input), pabrik itu sendiri (bangunan dan mesin), serta persediaan dalam bentuk produk bubuk teh jadi (output).
Tinjauan proses produksi akan detail
dilakukan dengan menggambarkan bagian-bagian pabrik berdasarkan fungsi produksinya.
Gambar 11 mendeskripsikan denah unit ruangan berbagai
tahapan yang terlibat pada keseluruhan proses dan bagaimana fungsi dari tahapan-tahapan tersebut.
Gambar 11. Denah Unit Produksi Pabrik Pasir Nangka Gambar 11 menunjukan semua unit ruangan yang terdapat di lingkungan pabrik. Selanjutnya, tinjauan dilakukan dari sudut pandang pucuk dan bubuk teh serta alirannya antar tahap proses. Selama berada di dalam pabrik, teh melalui berbagai tahapan, baik berupa proses, menunggu untuk diproses, maupun disimpan dalam bentuk persediaan.
Satuan dari bahan tersebut
dinyatakan dalam satuan kg bubuk teh kering sebagai unit aliran yang
42
melewati tiap tahapan proses. Tinjauan ini digambarkan sebagai diagram aliran proses seperti pada Gambar 12. Dari gambar tersebut dapat diketahui alur dari suatu unit material selama proses pengolahan, mulai dari proses pelayuan hingga penyimpanan produk dalam bentuk kemasan di gudang.
Gambar 12. Diagram Alir Proses Pabrik Pasir Nangka
2. Kapasitas Proses dan Laju Aliran Proses Pengukuran kapasitas dengan benar adalah sebuah hal yang sangat dasar untuk mengatur dan mengelola kapasitas. Hal ini karena keputusan yang dibuat dalam manajemen kapasitas didasarkan pada pengukuran yang dilakukan.
Suatu unit material yang berupa pucuk atau bubuk teh akan
melalui semua stasiun kerja yang terdapat di pabrik. Kapasitas proses secara keseluruhan ditentukan oleh sumberdaya yang memiliki kapasitas terkecil. Sumberdaya tersebut merupakan bottleneck. Kapasitas teknis dari mesinmesin produksi dapat dilihat pada Lampiran 4. Unit kerja pelayuan dapat memproses sekitar 50.000-55.000 kg pucuk segar atau ekuivalen dengan 11.500 kg bubuk teh kering. Pucuk tersebut memerlukan waktu 10 - 20 jam di unit ini. Unit pelayuan tidak beroperasi dengan hitungan kg/jam, melainkan per hari serta menampung produksi pucuk basah dari kebun sehingga tidak termasuk tahapan proses yang menjadi bottleneck. Begitu pula dengan operasi dari unit kerja pengepakan. Unit tersebut terpisah oleh persediaan dalam peti miring dari unit operasi yang lain.
43
Unit kerja penggilingan secara teknis dapat menangani 2.495 kg pucuk layu/jam yang ekuivalen dengan 1.121 kg bubuk kering/jam.
Unit kerja
pengeringan dapat menghasilkan 950 kg bubuk teh kering/jam. Sedangkan unit kerja sortasi dapat menerima bubuk kering sebanyak 1000 kg/jam. Perhitungan kapasitas teknis dari masing-masing unit kerja tersebut dikumpulkan pada Tabel 11. Tabel 11.
Perhitungan Kapasitas Teknis Masing-Masing Unit Produksi
Unit Proses
Penghitungan
Kapasitas
• Penggilingan dan Oksidasi Enzimatis
Laju alir = 3.363 kg/ 3 jam
• Pengeringan
4 Mesin, total 950 kg/jam
• Sortasi
2 Lini = 2 x 500 kg/jam
1000 kg/jam
Proses Total
Berdasarkan bottleneck, yaitu unit proses pengeringan
950 kg/jam
1.121 kg/jam 950 kg/jam
Waktu yang dibutuhkan oleh setiap tahap untuk menyelesaikan suatu pekerjaan berbeda-beda tergantung dari kedatangan barang, kecepatan kerja dan jumlah sumberdaya.
Akibat yang ditimbulkan bila waktu pelayanan
setiap tahapan produksi berbeda adalah aliran bahan menjadi tidak seimbang dan berpotensi menimbulkan antrian.
Salah satu upaya untuk menekan
terjadinya antrian adalah dengan menetapkan waktu penyelesaian standar oleh perusahaan yang menjadi patokan bagi setiap sumberdaya. Pengamatan waktu kerja dilakukan dengan cara menghitung waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan bahan yang ada pada setiap lini pengolahan. Kerugian yang dapat timbul bila standar waktu penyelesaian tidak tercapai adalah biaya produksi tidak dapat diperkirakan, anggaran produksi tidak sesuai dan mutu produk jadi tidak akan sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, perbaikan kapasitas harus didasarkan pada biaya serta kualitas dari produk yang dihasilkan.
44
a. Model Standar Khusus untuk model standar waktu kerja yang digunakan tidak diambil secara langsung di lapangan pada saat penelitian, tetapi merupakan waktu kerja yang telah ditetapkan oleh perusahaan sebagai acuan dalam pencapaian target produksi. Waktu dan kapasitas standar dapat dilihat pada Tabel 12. Model standar ini dijadikan acuan bagi model-model selanjutnya. Tabel 12. Pengukuran Waktu Kapasitas Model Standar
Equivalen
Waktu Proses (jam)
Waktu Pelayanan (jam/ton)
Kapasitas rata-rata (ton/jam)
Bahan (ton) Lini Real Pelayuan
50,00
11,50
9,36
0,19
5,34
Penggilingan
23,40
11,34
9,36
0,40
2,50
Pengeringan
11,24
11,24
11,83
1,05
0,95
Sortasi
11,16
11,16
11,16
1,00
1,00
b. Model Aktual Model aktual ini adalah kondisi yang sebenarnya terjadi di lapangan, yaitu berdasarkan data rata-rata harian pada tahun 2007.
Hasil yang
diperoleh dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Pengukuran Waktu Kapasitas Model Aktual
Equivalen
Waktu Proses (jam)
Waktu Pelayanan (jam/ton)
Kapasitas rata-rata (ton/jam)
Bahan (ton) Lini Real Pelayuan
37,04
8,52
12,00
0,32
3,09
Penggilingan
17,33
8,39
12,00
0,69
1,44
Pengeringan
8,32
8,32
12,05
1,45
0,69
Sortasi
8,26
8,26
12,02
1,46
0,69
Berdasarkan Tabel 13, dapat dilihat bahwa waktu kerja antar tahapan pengolahan berada pada kisaran waktu yang tidak jauh berbeda. Hal ini menunjukkan rendahnya jumlah tumpukan bahan antar lini. Dari sisi
45
kualitas bahan, keadaan ini menguntungkan, karena tidak terjadi penurunan kualitas akibat kelebihan fermentasi. Namun, dari tinjauan kapasitas, dapat dilihat bahwa pencapaian kapasitas aktual ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan model standar. Rendahnya tingkat penggunaan kapasitas ini menyebabkan biaya yang lebih besar daripada yang seharusnya. c. Model Rekayasa Lini Penggilingan Model ini merupakan hasil perhitungan dengan menggunakan kapasitas lini penggilingan sebagai patokan bagi kerja dari lini-lini yang lainnya. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Pengukuran Waktu Penggilingan
Kapasitas
Rekayasa
Lini
Equivalen
Waktu Proses (jam)
Waktu Pelayanan (jam/ton)
Kapasitas rata-rata (ton/jam)
Bahan (ton) Lini Real
Model
Pelayuan
64,10
14,04
12,00
0,19
5,34
Penggilingan
30,00
14,54
12,00
0,40
2,50
Pengeringan
14,41
14,41
15,13
1,05
0,95
Sortasi
14,31
14,31
14,31
1,00
1,00
Dengan menggunakan lini penggilingan sebagai patokan, dapat dilihat dari Tabel 14 bahwa jam kerja dari lini penggilingan relatif rendah dibandingkan lini selanjutnya, yaitu lini pengeringan. Hal ini mengindikasikan terjadinya penumpukan bahan setelah penggilingan sehingga terjadi kelebihan fermentasi. Kondisi ini dapat menyebabkan penurunan mutu dari produk teh yang dihasilkan. Sedangkan dari sisi penggunaan kapasitas disesuaikan dengan standar waktu yang ditetapkan oleh perusahaan sehingga tidak terjadi pembengkakan biaya pengolahan. d. Model Rekayasa Lini Pengeringan Model ini merupakan hasil perhitungan dengan menggunakan kapasitas lini pengeringan sebagai patokan bagi kerja dari lini-lini yang lainnya. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 15.
46
Tabel 15. Pengukuran Waktu Pengeringan
Kapasitas
Rekayasa
Lini
Equivalen
Waktu Proses (jam)
Waktu Pelayanan (jam/ton)
Kapasitas rata-rata (ton/jam)
Bahan (ton) Lini Real
Model
Pelayuan
53,25
11,66
9,49
0,19
5,34
Penggilingan
23,73
11,49
9,49
0,40
2,50
Pengeringan
11,40
11,40
12,00
1,05
0,95
Sortasi
11,32
11,32
11,32
1,00
1,00
Lini pengeringan ini memiliki kapasitas paling rendah jika dibandingkan dengan lini lainnya. Oleh karena itu, tingkat penggunaan lini ini harus dapat dimaksimalkan. Dari Tabel 15 dapat dilihat bahwa baik dari tinjauan waktu proses maupun tingkat penggunaan kapasitas tidak jauh berbeda dengan model sebelumnya. Pada model ini pun masih terjadi penumpukan bahan dengan waktu yang cukup signifikan, yaitu selama lebih dari dua jam. e. Model Rekayasa Lini Sortasi Model ini merupakan hasil perhitungan dengan menggunakan kapasitas lini sortasi sebagai patokan bagi kerja dari lini-lini yang lainnya. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Pengukuran Waktu Kapasitas Model Rekayasa Lini Sortasi
Equivalen
Waktu Proses (jam)
Waktu Pelayanan (jam/ton)
Kapasitas rata-rata (ton/jam)
Bahan (ton) Lini Real Pelayuan
53,76
11,78
12,90
0,19
5,34
Penggilingan
25,16
12,19
10,06
0,40
2,50
Pengeringan
12,09
12,09
12,69
1,05
0,95
Sortasi
12,00
12,00
12,00
1,00
1,00
Dari Tabel 16 dapat dilihat bahwa dengan melakukan rekayasa dengan berdasar pada lini sortasi masih terjadi penumpukan bahan antara lini pengeringan dan pengeringan sehingga terjadi fermentasi berlebih. Hal positif dari model ini adalah terjadinya peningkatan jumlah produk yang dihasilkan menjadi senilai 12 ton teh jadi dalam satu hari. 47
f. Model Rekayasa Lini Pengeringan dan Pengurangan Mesin Giling Berdasarkan hasil simulasi pada model-model sebelumnya dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat kelebihan kapasitas pada lini penggilingan yang berpotensi menurunkan mutu akibat kelebihan fermentasi. Oleh karena itu dikembangkan model dengan menggunakan lini pengeringan sebagai patokan, namun dengan mengurangi penggunaan mesin pada lini penggilingan tahap pertama menjadi tiga OT dan tiga BR sehingga kapasitasnya menjadi 1,95 ton per jam. Tabel 17. Pengukuran Waktu Kapasitas Model Rekayasa Pengeringan dan Pengurangan Mesin Giling
Equivalen
Waktu Proses (jam)
Waktu Pelayanan (jam/ton)
Kapasitas rata-rata (ton/jam)
Bahan (ton) Lini Real
Lini
Pelayuan
53,25
11,66
12,17
0,23
4,38
Penggilingan
23,73
11,49
12,17
0,51
1,95
Pengeringan
11,40
11,40
12,00
1,05
0,95
Sortasi
11,32
11,32
11,32
1,00
1,00
Dari tabel 17 dapat dilihat bahwa jam kerja lini penggilingan lebih rendah daripada lini pengeringan. Hal ini mengindikasikan tidak terjadi penumpukan bahan di antara kedua lini tersebut. Dengan demikian dapat dihindari terjadinya penurunan mutu akibat kelebihan fermentasi. Selanjutnya dari tinjauan kapasitas tidak terjadi pemborosan biaya karena mesin yang dijalankan disesuaikan dengan bahan yang diolah.
Oleh
karena itu, dapat diambil kesimpulan bahwa model simulasi ini merupakan yang terbaik jika dibandingkan dengan model yang lain. Kuantitas dari produk teh yang diproduksi tidak hanya tergantung pada kapasitas teknis dari suatu proses, tetapi juga pada ketersediaan input bahan baku.
Oleh sebab itu, pengoperasian mesin-mesin produksi disesuaikan
dengan jumlah bahan baku pucuk, terutama saat jumlah bahan baku sedikit. Kapasitas suatu lini produksi merupakan kemampuan maksimal lini tersebut dalam suatu satuan waktu untuk menghasilkan sejumlah produk. Sedangkan laju alir menunjukan jumlah produk aktual yang dihasilkan selama 48
waktu tersebut. Perbedaan antara nilai kapasitas lini produksi dengan laju aliran bahan menunjukan terjadinya underutilization. Perhitungan utilisasi dari pabrik Pasir Nangka dan masing-masing lini produksinya pada tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18.
Perhitungan Kapasitas pada Produksi Tahun 2007 Penggilingan
Pengeringan
Sortasi
Produksi
2.493.955 kg teh kering
Waktu aktivitas
0,892 x 10-3 jam/kg
1,053 x 10-3 jam/kg
1,000 x 10-3 jam/kg
Kapasitas
1.121 kg/jam
950 kg/jam
1.000 kg/jam
Kapasitas proses
Minimum{1.121 kg/jam, 950 kg/jam, 1.000 kg/jam} = 950 kg/jam
Laju aliran
686 kg/jam -3
686 kg/jam 1,458 x 10 jam/kg
686 kg/jam
-3
1,458 x 10-3 jam/kg
Waktu siklus
1,458 x 10 jam/kg
Waktu menganggur
0,566 x 10-3 jam/kg
0,405 x 10-3 jam/kg
0.458 x 10-3 jam/kg
Utilisasi
61,2 %
72,2 %
68,6 %
Produksi teh Pasir Nangka pada tahun 2007 pada beberapa periode mengalami keadaan supply constrained.
Dalam
keadaan ini lini yang
menjadi bottleneck tidak beroperasi pada kapasitas penuh, sehingga terjadi underutilization. Dengan membandingkan tingkat utilisasi, terlihat bahwa terdapat ketidakseimbangan antar lini.
Lini pengeringan yang menjadi
bottleneck bekerja pada tingkat utilisasi 72,2 persen, lini penggilingan hanya pada tingkat 61,2 persen, sedangkan lini sortasi mencapai 68,6 persen. Lini pengeringan memiliki tingkat utilisasi paling tinggi dan waktu menganggur paling rendah karena lini inilah yang menjadi bottleneck. Tingkat utilisasi lini penggilingan lebih kecil karena laju output disesuaikan dengan input lini pengeringan, walaupun memiliki kapasitas teknis yang lebih besar.
Kondisi yang sama terjadi pada lini sortasi.
Rendahnya tingkat
utilisasi lini sortasi terjadi akibat pengisian mesin kadang terhambat akibat kedatangan bahan dari lini pengeringan yang tidak kontinyu serta seringnya dilakukan proses berulang-ulang untuk mendapatkan hasil sortasi yang sesuai. 49
3. Hambatan Kapasitas Produksi Proses keseluruhan produksi teh hitam ini memiliki kapasitas 950 kg/jam. Pada kondisi ideal, setiap satu jam selama proses, material yang ekuivalen dengan 950 kg bubuk teh kering akan memasuki proses tersebut dan 950 kg teh akan keluar dari proses tersebut. Besarnya nilai aktual dari kapasitas produksi pabrik dan masing-masing lini produksi yang dicapai setiap waktunya selalu mengalami fluktuasi. Aliran bahan yang mulus dan konstan pada prakteknya sangat jarang terjadi. Terdapat beberapa alasan mengapa aliran proses terganggu. Alasan yang paling berpengaruh adalah adanya variasi dalam waktu proses atau pada pencapaian kualitas bahan pucuk maupun bubuk teh. Terdapat beberapa titik tempat terjadinya kehilangan bahan atau pengerjaan ulang akibat tidak terpenuhinya standar kualitas. Titik kehilangan bubuk pada proses penggilingan yaitu terjadinya ceceran bubuk di lantai serta bubuk tertinggal pada mesin. Nilai kehilangan bubuk pada titik tersebut cukup kecil. Kehilangan ini juga dapat ditekan dengan melakukan pencegahan terjadinya ceceren serta dengan pembersihan bubuk yang tersangkut pada mesin penggiling atau pengayak basah. Peluang kehilangan bubuk juga terjadi pada proses pengeringan. Pada proses ini bubuk teh dikeringkan dengan hembusan udara panas. Hal tersebut dapat menyebabkan bubuk teh yang ringan dan berukuran kecil tertiup ke luar dari mesin pengering serta ada yang terbawa keluar ruangan melalui lubang udara maupun pintu. Titik kehilangan juga terjadi akibat jatuhnya bubuk teh ke dalam ruangan di bawah trays pengeringan. Hal ini cukup berpengaruh karena bubuk yang jatuh memiliki bobot jenis yang lebih besar daripada bubuk yang terbang keluar. Selain itu, rendahnya rendemen yang dihasilkan juga bisa terjadi akibat proses pengeringan itu sendiri.
Jika terjadi
pengeringan berlebih, jumlah air yang diuapkan terlalu banyak dan mengurangi bobot teh hasil pengeringan. Oleh karena itu, proses pengeringan harus selalu dikontrol, baik secara inderawi (peraba dan penciuman) serta pengukuran kadar air (moisture content) bubuk kering.
50
Kehilangan bubuk teh pada proses sortasi terjadi akibat adanya bubuk teh di luar spesifikasi. Bubuk off-spec tersebut tidak dapat dijadikan produk jadi dan terbuang melalui exhaust fan. Bubuk tersebut dapat terjadi sejak proses penggilingan dan pengeringan. Proses sortasi itu sendiri dapat menghasilkan off-spec tersebut.
Proses sortasi bubuk teh dengan menggunakan mesin
ayakan berputar menyebabkan terjadinya gesekan antara bubuk teh dengan ayakan yang terbuat dari kawat. Hal tersebut dapat mengakibatkan bubuk teh terkikis dan menghasilkan partikel-partikel berukuran sangat kecil (powder) yang merupakan off-spec.
Begitu pula dengan proses pengecilan ukuran
bubuk oleh mesin druck roll, selain menghasilkan bubuk yang diinginkan juga menghasilkan powder. D. MODEL MANAJEMEN KAPASITAS Aktivitas produksi yang dilakukan Pabrik Pasir Nangka akan memberikan nilai tambah kepada produk jadi berupa teh kering. Aktivitas yang dilakukan tersebut tidak seluruhnya merupakan aktivitas produktif, yaitu menghasilkan produk yang dapat dijual.
Analisis utilisasi kapasitas dengan menggunakan
model manajemen kapasitas CAM-I ini bertujuan untuk mengetahui tingkat utilisasi kapasitas dari masing-masing lini produksi. Sehingga bisa diketahui hal apa yang dapat atau harus diperbaiki untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi masing-masing lini. Untuk mendapatkan analisis pabrik yang lengkap, masing-masing lini produksi dianalisis secara individual dan kemudian dikombinasikan dengan proses lainnya. Analisis dilakukan terhadap data operasi pabrik Pasir Nangka selama tahun 2007. Kapasitas teoritis (theoretical capacity) adalah kemampuan suatu lini produksi untuk menghasilkan teh kering dalam waktu maksimum selama satu tahun. Hal tersebut yaitu 365 hari dalam satu tahun dan 24 jam sehari tanpa ada yang terbuang. Kapasitas praktek (practical capacity) adalah output maksimum pabrik dengan downtime normal yaitu hari libur dan dengan jam kerja normal. Pada tahun 2007, terdapat sebanyak 62 hari libur sehingga jumlah hari pabrik beroperasi adalah 303 hari dengan jam kerja normal 12 jam sehari. Kapasitas 51
normal (normal capacity) adalah output yang biasa diproduksi oleh pabrik dalam periode tertentu dan merupakan nilai rata-rata dari rencana produksi lima tahun. Kapasitas anggaran (budget capacity) adalah jumlah output teh kering yang direncanakan untuk diproduksi pada tahun 2007. Sedangkan kapasitas aktual (actual capacity) adalah jumlah teh kering yang benar-benar diproduksi pada tahun tersebut. Pendefinisian kapasitas berdasarkan output teh kering, biaya operasi dan biaya per unit dari masing-masing lini pengolahan dapat dilihat pada Lampiran 7. Pencapaian utilisasi kapasitas dapat mempengaruhi jumlah output yang dihasilkan dari suatu lini produksi.
Gambar 13 menunjukan pengaruh dari
pencapaian utilisasi kapasitas terhadap output dalam satuan kilogram teh kering dari masing-masing lini produksi. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa jumlah produksi teh kering aktual dari masing-masing lini jauh lebih rendah daripada kapasitas teoritisnya.
Gambar 13. Grafik Hubungan Pencapaian Kapasitas Produksi terhadap Output dari Masing-Masing Lini Jam kerja pada kapasitas aktual sama dengan jam kerja kapasitas praktek. Oleh karena itu, jumlah output teh kering yang aktual dihasilkan seharusnya mampu mencapai output pada kapasitas praktek.
Tidak tercapainya jumlah
output dari kapasitas praktek mengindikasikan adanya aktivitas produksi yang
52
tidak produktif, seperti pengerjaan ulang, gangguan akibat kerusakan mesin tak terduga dan mesin tidak terisi akibat kurangnya bahan baku atau dari proses upstream. Tingkat pencapaian utilisasi kapasitas tidak berpengaruh terhadap biaya kapasitas, tetapi berpengaruh terhadap biaya operasi. Oleh karena itu, biaya kapasitas untuk setiap tingkat pencapaian kapasitas bernilai sama.
Biaya
kapasitas dari masing-masing lini produksi dapat dilihat pada Gambar 14. Pengaruh dari tingkat utilisasi kapasitas lini produksi terhadap biaya dapat dilihat pada Gambar 15. Berdasarkan Gambar 15 terlihat bahwa biaya operasi pada kapasitas teoritis jauh lebih tinggi daripada kapasitas praktek dan kapasitas aktual. Hal tersebut adalah karena jumlah teh yang diolahnya pun lebih banyak.
Biaya Kapasitas (juta Rp)
2,500 2,250 2,000 1,750 1,500 1,250 1,000 750 500 250
i So rta s
ge rin ga n Pe n
ga n gg ili n Pe n
Pe l
ay ua n
-
Gambar 14. Biaya Kapasitas dari Masing-Masing Lini Produksi Biaya operasi secara praktek relatif tidak jauh berbeda dengan kondisi aktual.
Perbedaan biaya tersebut terjadi karena walaupun jam kerja yang
digunakan sama banyak, biaya tenaga kerja tergantung pada jumlah teh yang diolah.
53
Kapasitas Teoritis Kapasitas Praktek Kapasitas Normal Kapasitas Anggaran
So rta si
rin ga n Pe ng e
ilin
ga n
Kapasitas Aktual
Pe ng g
Pe la yu an
Biaya Operasi (juta Rp)
7,000 6,500 6,000 5,500 5,000 4,500 4,000 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 -
Gambar 15. Biaya Operasi dari Masing-Masing Lini Poduksi Sedangkan pengaruh pencapaian utilisasi kapasitas terhadap biaya per kg teh kering dapat dilihat pada Gambar 16. Berdasarkan Gambar 16, dapat dilihat bahwa biaya per kg teh kering yang paling rendah adalah pada kapasitas teoritis, kemudian kapasitas praktek. Biaya per unit aktual merupakan yang paling tinggi jika dibandingkan dengan kapasitas lainnya.
Hal tersebut terjadi akibat
rendahnya kuantitas dari produksi aktual sebagai pembagi dari biaya kapasitas. Semakin banyak teh hitam yang diproduksi, maka biaya produksi per kg teh akan menurun. Analisis terhadap utilisasi kapasitas keseluruhan pabrik dan masing-masing lini dilakukan dengan membandingkan kapasitas aktual pada kapasitas praktek. Produksi aktual selama tahun tersebut adalah 2.493.955 kg bubuk teh kering. Hingga akhir tahun 2007, volume teh yang dikirim dari pabrik untuk dijual adalah 2.382.272 kg.
Utilisasi kapasitas dikategorikan menjadi kapasitas
produktif, non produktif dan idle. Pengkategorian ini dilakukan berdasarkan pada waktu, jumlah output teh kering, serta biaya kapasitasnya.
54
Gambar 16. Grafik Hubungan Pencapaian Kapasitas Produksi terhadap Biaya Kapasitas per Unit dari Masing-Masing Lini Penjabaran mengenai kategori utilisasi kapasitas dari lini dari pelayuan dapat dilihat pada Tabel 19. Berdasarkan Tabel 19, dapat dilihat bahwa dengan waktu kerja sebanyak 303 hari, seharusnya lini pelayuan dapat menghasilkan output 3.484.500 kg teh kering. Namun aktualnya hanya diproduksi 2.493.955 kg teh kering atau sebesar 71,6 persen. Hal tersebut menunjukkan terjadinya pemborosan kapasitas lini pelayuan, yaitu akibat terjadinya maintenance dan standby. Produksi aktual dari lini penggilingan (Tabel 20), pengeringan (Tabel 21) dan sortasi (Tabel 22) memiliki nilai yang sama dengan lini pelayuan, yaitu 2.493.955 kg teh kering. Produksi pada lini penggilingan dengan jam kerja tersebut seharusnya dapat mengolah 4.075.956 kg teh atau sebesar 61,2 persen. Lini pengeringan seharusnya dapat mengeringkan teh sebanyak 3.454.200 kg (72,2 persen) dan lini sortasi sebanyak 3.636.000 kg teh kering (68,6 persen).
55
Berdasarkan Tabel 19 dapat dilihat bahwa dari total biaya kapasitas lini pelayuan sebesar Rp. 2,3 milyar, hanya Rp. 1,6 milyar yang diidentifikasi sebagai kapasitas produktif. Sisanya merupakan kapasitas dengan status tidak produktif dan menganggur. Hal yang sama terjadi pada lini-lini lainnya, biaya kapasitas produktif masing-masing lini tidak ada yang mencapai tiga per empat dari total biaya kapasitas. Tabel 19. Utilisasi Kapasitas Praktek Lini Pelayuan Kategori Kapasitas
Waktu (hari) Sub
Status
Output (Kg) Sub
207,15
Productive
Biaya Kapasitas (juta Rp)
Status
Sub
2.382.272
Status 1.618,64
Non Productive - Maintenance
28,19
324.140
220,24
- Standby
57,95
666.405
452,79
86,13
Sub total
990.545
673,03
Idle - Excess Supply
111.683
9,71
Sub total Total
75,88
9,71
111.683
75,88
303
3.484.500
2.367,55
Tabel 20. Utilisasi Kapasitas Praktek Lini Penggilingan Kategori Kapasitas
Waktu (hari) Sub
Status
Output (kg) Sub
177,1
Productive
Status
Biaya Kapasitas (juta Rp) Sub
2.382.272
Status 386,18
Non Productive - Maintenance
33,40
449.297
72,83
- Standby
84,20
1.132.704
183,62
117,6
Sub total
1.582.001
256,45
Idle - Excess Supply Sub total Total
8,30
111.683
18,10
8,30
111.683
18,10
303
4.075.956
660,73
56
Tabel 21. Utilisasi Kapasitas Praktek Lini Pengeringan Kategori Kapasitas
Waktu (hari) Sub
Status
Output (kg) Sub
208,97
Productive
Status
Biaya Kapasitas (juta Rp) Sub
2.382.272
Status 1.399,14
Non Productive - Maintenance
25,25
287.850
169,06
- Standby
56,79
647.455
380,26
- Rework
2,19
24.940
14,65
84,23
Sub total
960.245
563,96
Idle - Excess Supply
111.683
9,80
Sub total Total
65,59
9,80
111.683
65,59
303,00
3.454.200
2.028,70
Tabel 22. Utilisasi Kapasitas Praktek Lini Sortasi Kategori Kapasitas
Waktu (hari) Sub
Status
Output (kg) Sub
198,52
Productive
Status
Biaya Kapasitas (juta Rp) Sub
2.382.272
Status 242,28
Non Productive - Maintenance
25,25
303.000
30,82
- Standby
59,53
714.347
72,65
- Hersortir
10,39
124.698
12,68
95,17
Sub total
1.142.045
116,15
Idle - Excess Supply Sub total Total
9,31
111.683
11,36
9,31
111.683
11,36
303,00
3.636.000
369,78
Selanjutnya kategori dari masing-masing lini tersebut dikombinasikan untuk menganalisis utilisasi kapasitas dari keseluruhan pabrik seperti dapat dilihat pada Tabel 23. Tingkat utilisasi keseluruhan pabrik ini dibatasi oleh utilisasi pada lini
57
bottleneck, yaitu lini pengeringan. Oleh karena itu, tingkat utilisasi keseluruhan pabrik identik dengan tingkat utilisasi lini pengeringan. Kategori aktivitas dari masing-masing lini kemudian ditranslasikan ke dalam bentuk grafis berupa model kapasitas CAM-I.
Model tersebut
menggambarkan persentase tingkat utilisasi kapasitas berdasarkan basis waktu, output dan biaya kapasitas.
Dengan terbentuknya model tersebut, terlihat
dengan jelas tingkat utilisasi dari masing-masing lini produksi yang ada di pabrik Pasir Nangka. Tabel 23. Utilisasi Kapasitas Praktek Keseluruhan Pabrik Kategori Kapasitas
Waktu (hari) Sub
Status
Output (kg) Sub
208,97
Productive
Status
Biaya Kapasitas (juta Rp) Sub
Status
2.382.272
3.742,69
Non Productive - Maintenance
25,25
287.850
452,23
- Standby
57,64
657.134
1.010,30
- Rework
1,34
15.261
46,07
84,23
Sub total
960.245
1.508,60
Idle - Excess Supply Sub total Total
111.683
9,80
175,46
9,80
111.683
175,46
303,00
3.454.200
5.426,75
Model kapasitas CAM-I untuk lini pelayuan dapat dilihat pada Gambar 17. Dari model tersebut dapat diketahui bahwa dengan tingkat produksi 61,2 persen, utilisasi poduktif hanya berada pada tingkat 68,4 persen dari kapasitas praktek. Terlihat dengan jelas bahwa terdapat porsi sebesar 28,4 persen digunakan untuk kegiatan non produktif dan 3,2 persen merupakan idle.
Aktivitas yang
menghabiskan porsi yang cukup besar pada area non produktif (berwarna merah) adalah perawatan dan perbaikan mesin, yaitu akibat kerusakan tak terduga yang mengganggu jalannya produksi sebesar 9,3 persen.
Kegiatan perbaikan ini
58
menghabiskan kapasitas yang setara dengan 28,19 hari yang seharusnya bisa mengolah sebanyak 324.140 kg teh kering.
Gambar 17. Model CAM-I Kapasitas Aktual Lini Pelayuan Tahun 2007 Aktivitas nonproduktif lainnya adalah kondisi standby dari lini pelayuan sebesar 19,1 persen, yang menghabiskan waktu operasi selama 57,19 hari. Kondisi ini terjadi akibat tidak terpenuhinya kebutuhan bahan baku dari lini pelayuan. Apabila kerusakan mesin pada saat produksi berjalan tidak dapat dihindarkan, untuk memenuhi kapasitas lini tersebut terjadi kekurangan bahan baku sebanyak 2.998.822 kg pucuk segar (666.405 kg kering x 4,5). pelayuan juga memiliki produksi idle sebesar 3,2 persen.
Lini
Nilai tersebut
menunjukkan jumlah teh yang diproduksi, namun tidak terjual pada tahun 2007. Hal tersebut terjadi akibat kelebihan pasokan atau kurangnya permintaan terhadap teh yang dihasilkan Kebun Pasir Nangka. Model CAM-I lini penggilingan dapat dilihat pada Gambar 18.
Lini
penggilingan tersebut memiliki tingkat utilisasi produktif sebesar 58,4 persen. Kondisi standby memiliki porsi yang sangat besar, yaitu 27,8 persen.
Hal
tersebut berarti pada tahun 2007, lini penggilingan mengalami kekurangan bahan sebanyak 1.132.704 kg teh kering.
Besarnya nilai tersebut tidak hanya
disebabkan oleh kurangnya pasokan bahan baku pucuk dari kebun, tetapi juga
59
akibat penyesuaian dengan kapasitas lini pengeringan yang merupakan bottleneck. Proporsi sebesar 11 persen atau 33,4 hari pada lini penggilingan dipakai oleh aktivitas perbaikan mesin, yang seharusnya dapat mengolah sebanyak 449.297 kg teh. Kapasitas idle memiliki proporsi sebesar 2,8 persen akibat kelebihan pasokan dari produksi.
Gambar 18. Model CAM-I Kapasitas Aktual Lini Penggilingan Tahun 2007 Tingkat utilisasi kapasitas lini pengeringan dapat dilihat pada Gambar 19. Lini tersebut merupakan lini produksi yang paling kritis karena memiliki kapasitas paling kecil dan merupakan bottleneck. Utilisasi lini pengeringan ini harus diusahakan seoptimal mungkin karena berpengaruh terhadap tingkat utilisasi lini lain dan keseluruhan proses. Pada tahun 2007 terlihat bahwa penggunaan kapasitas produktif dari lini pengeringan ini hanya berada pada tingkat 69 persen. Nilai tersebut terlalu kecil mengingat lini pengeringan merupakan bottleneck yang seharusnya memiliki aktivitas produktif mendekati 100 persen. Kapasitas lainnya dihabiskan oleh aktivitas nonproduktif seperti maintenance (8,3%), standby (18,8%) dan pengerjaan ulang (0,7%). Proses pengeringan ulang ini terjadi akibat bubuk hasil pengeringan yang belum mencapai kandungan air standar bubuk teh kering. Kondisi idle pada lini pengeringan sebesar 3,2 persen akibat kurangnya volume penjualan dari jumlah produksi.
60
Gambar 19. Model CAM-I Kapasitas Aktual Lini Pengeringan Tahun 2007 Model CAM-I lini sortasi seperti dapat dilihat pada Gambar 20 menunjukkan bahwa utilisasi produktif lini tersebut adalah 65,5 persen, nonproduktif sebesar 31,4 persen dan idle 3,1 persen. Aktivitas pengerjaan ulang (hersortir) cukup signifikan pada lini tersebut. Proses hersortir tersebut dilakukan apabila bubuk teh telah disortasi belum sesuai dengan standar jenis bubuk teh yang ada.
Gambar 20. Model CAM-I Kapasitas Aktual Lini Sortasi Tahun 2007
61
Model kapasitas CAM-I untuk keseluruhan pabrik seperti pada Gambar 21 merupakan kombinasi dari lini-lini produksi yang terdapat di dalamnya. Lini yang paling menentukan tingkat utilisasi keseluruhan pabrik tentu saja lini pengeringan. Tingkat produksi keseluruhan pabrik hanya mencapai 72,2 persen dan yang berstatus produktif hanya sebesar 69 persen. Tidak semua produk yang dihasilkan menjadi produktif karena 3,2 persen kapasitas merupakan kelebihan pasokan dari pabrik. Model keseluruhan pabrik menunjukkan bahwa 27,8 persen kapasitas digunakan untuk aktivitas yang tidak produktif. Aktivitas nonproduktif sebesar 8,3 persen terjadi akibat kerusakan mesin yang mengganggu aktivitas produksi, 19,1 persen berupa kondisi standby, serta 0,4 persen akibat terjadinya pengerjaan ulang. Kondisi standby tersebut terjadi akibat kekurangan produksi bahan baku dari kebun sebesar 657.134 kg kering atau sekitar 2.957 ton pada tahun 2007. Aktivitas nonproduktif tersebut tidak hanya menghabiskan waktu produksi, tetapi juga dalam biaya dan menyebabkan rendahnya kapasitas produksi.
Gambar 21. Model CAM-I Kapasitas Aktual Keseluruhan Pabrik Tahun 2007
62
E. ALTERNATIF PENINGKATAN UTILISASI KAPASITAS Proses produksi aktual dari pabrik teh Pasir Nangka pada tahun 2007 jika dibandingkan dengan kapasitas prakteknya masih memiliki persentase yang rendah. Lini pengeringan yang menjadi bottleneck yang seharusnya memiliki tingkat utilisasi kapasitas tertinggi dan mendekati 100% hanya beroperasi pada tingkat 69 persen. Berdasarkan kondisi tersebut, peluang peningkatan utilisasi kapasitas masih sangat dimungkinkan. Terdapat beberapa alternatif solusi untuk meningkatkan utilisasi dari kapasitas produksi tersebut. 1. Alternatif I Salah satu cara untuk meningkatkan kapasitas produktif adalah dengan cara mengurangi kapasitas idle. Kapasitas idle pabrik Pasir Nangka pada tahun 2007 terjadi akibat tidak seimbangnya laju volume penjualan dengan kuantitas teh hitam yang diproduksi.
Ketidakseimbangan tersebut dapat
dilihat pada Gambar 22. Dapat dilihat bahwa jumlah produksi pada bulan Januari hingga Mei berada di atas kurva pengiriman/penjualan, bulan Juni hingga Oktober di bawah kurva pengiriman dan dua bulan terakhir berada jauh di atas volume penjualan. Apabila diakumulasikan dengan sisa produksi tahun sebelumnya, terlihat bahwa jumlah persediaan jauh lebih banyak daripada volume penjualan.
Gambar 22. Perbandingan Produksi dan Pengiriman Teh Hitam Kebun Pasir Nangka Tahun 2007 Terdapat beberapa hal yang menyebabkan volume penjualan tidak sesuai dengan jumlah produksi. Menurut Suprihatini (2004), pertumbuhan ekspor 63
teh Indonesia jauh di bawah pertumbuhan ekspor teh dunia bahkan mengalami pertumbuhan negatif. Kondisi tersebut terjadi terutama adalah akibat (1) komposisi produk teh yang diekspor Indonesia kurang mengikuti kebutuhan pasar; (2) negara-negara tujuan ekspor teh Indonesia kurang ditujukan ke negara-negara pengimpor teh yang memiliki pertumbuhan impor teh tinggi; dan (3) daya saing teh Indonesia di pasar teh dunia yang cukup lemah. Perbaikan volume penjualan ini dapat dilakukan dengan peningkatan daya saing dari teh yang diproduksi. Selain peningkatan jumlah produksi, faktor yang sangat berpengaruh adalah keinginan pasar. Oleh karena itu, jenis dan mutu teh yang dihasilkan harus disesuaikan dengan keinginan pasar, terutama pasar ekspor.
Selain itu, faktor promosi dan distribusi juga
merupakan hal yang harus ditingkatkan. Pabrik Pasir Nangka dengan melakukan usaha-usaha tersebut di atas diharapkan mampu meningkatkan volume penjualannya.
Apabila seluruh
hasil produksi dapat terjual, akan berpengaruh terhadap peningkatan kapasitas produktif. Pengkategorian kapasitas dengan alternatif ini dapat dilihat pada Lampiran 8, kemudian ditampilkan dalam bentuk model CAM-I seperti pada Gambar 23. Pada alternatif ini dapat dilihat bahwa terjadi pengeliminasian kapasitas idle dengan mengkonversinya menjadi kapasitas produktif.
Hal tersebut
menyebabkan terjadinya peningkatan pada kapasitas produktif keseluruhan pabrik dan masing-masing lini.
Kapasitas produktif keseluruhan pabrik
meningkat dari 69 persen menjadi 72,2 persen.
Dengan begitu terjadi
perubahan biaya per unit teh kering seperti pada Tabel 24. Dengan melakukan alternatif pengurangan kapasitas idle ini, berpotensi menurunkan biaya kapasitas sebesar Rp 100 per kg teh kering. Nilai tersebut memang relatif kecil, namun penjualan dari produk tersebut akan bernilai sekitar Rp. 12.000 untuk setiap kg-nya (berdasarkan harga rata-rata pada tahun 2007).
64
Gambar 23. Model CAM-I Alternatif I Tabel 24. Pengaruh Alternatif I terhadap Biaya Kapasitas per kg Teh Kategori Kapasitas
Biaya Kapasitas (juta Rp)
Volume (kg)
Biaya per Unit (Rp/kg)
Praktek
5.426,75
3.454.200
1.571,06
Produktif Aktual
5.426,75
2.382.272
2.277,97
Alternatif I
5.426,75
2.493.955
2.175,96
2. Alternatif II Alternatif kedua yaitu dengan fokus pada perbaikan kapasitas non produktif. Usaha tersebut adalah dengan peningkatan produksi pucuk teh sedemikian hingga lini bottleneck tidak mengalami kondisi standby. Pada Gambar 24 dapat dilihat fluktuasi produksi dan membandingkannya dengan kapasitas lini pengeringan. Kondisi yang teridentifikasi adalah produksi per bulan pada tahun 2007 selalu berada di bawah kapasitas lini pengeringan, kecuali pada bulan Mei. Alternatif ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan produksi basah dari kebun sendiri, maupun dari para petani teh rakyat. Seandainya pasokan bahan baku dapat memenuhi kebutuhan kapasitas dari lini pengeringan ini, maka akan terjadi peningkatan kapasitas produktif secara signifikan. Namun perubahan tersebut hanya akan mengkonversi kapasitas nonproduktif menjadi 65
kapasitas idle.
Oleh karena itu, harus dilakukan juga usaha-usaha
peningkatan volume penjualan seperti pada alternatif pertama. Penguraian kategori kapasitas dari alternatif tersebut dapat dilihat pada Lampiran 9. Kemudian, pengaruh dari peningkatan tersebut dapat dilihat dalam model CAM-I seperti pada Gambar 25.
Gambar 24. Perbandingan Tingkat Produksi terhadap Kapasitas dari Lini Pengeringan Sebagai Bottleneck
Gambar 25. Model CAM-I Alternatif II Model tersebut menunjukkan bahwa kapasitas produktif lini pengeringan meningkat secara signifikan hingga mencapai tingkat 90,8 persen, begitu juga keseluruhan pabrik dengan nilai yang sama. Tingkat utilisasi produktif paling rendah yaitu pada lini penggilingan meningkat dari 58,4 persen menjadi 76,9 persen. Kapasitas produktif lini pelayuan meningkat menjadi 90,0 persen dan 66
lini sortasi menjadi 86,2 persen. Pengaruh alternatif II terhadap biaya per kg teh kering dapat dilihat pada Tabel 25. Dari Tabel 25 dapat dilihat bahwa alternatif tersebut berpotensi menurunkan biaya kapasitas sekitar Rp. 500 per kg teh. Sama dengan yang terjadi pada alternatif pertama, penjualan produk akan bernilai sekitar Rp. 12.000 per kg teh. Tabel 25. Pengaruh Alternatif II terhadap Biaya Kapasitas per kg Teh Kategori Kapasitas
Biaya per Unit (Rp/kg)
Biaya Kapasitas (juta Rp)
Volume (kg)
Praktek
5.426,75
3.454.200
1.571,06
Produktif Aktual
5.426,75
2.382.272
2.277,97
Alternatif II
5.426,75
3.135.000
1.731,02
67
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Salah satu faktor yang menunjang dalam kesuksesan suatu perusahaan adalah kemampuannya untuk mengukur kinerja. Kinerja perusahaan dapat dilihat dengan mengukur produktivitas dan penggunaan komponen-komponen kapasitas perusahaan.
Pengukuran terhadap produktivitas yang didasarkan utilisasi
kapasitas dinyatakan berupa satuan output per satuan waktu. Produksi teh Pasir Nangka pada tahun 2007 mengalami keadaan supply constrained dalam beberapa periode. Dalam keadaan tersebut lini produksi pengeringan yang menjadi bottleneck tidak beroperasi pada kapasitas penuh, sehingga terjadi underutilization. Dengan membandingkan tingkat utilisasi pada masing-masing lini, diketahui bahwa terdapat ketidakseimbangan kapasitas antar lini. Sementara lini pengeringan yang menjadi bottleneck bekerja pada tingkat utilisasi 72,2 persen, lini penggilingan hanya pada tingkat 61,2 persen, sedangkan lini sortasi mencapai 68,6 persen. Analisis model CAM-I terhadap utilisasi kapasitas keseluruhan pabrik dan masing-masing lini produksi pada tahun 2007 dilakukan dengan membandingkan kapasitas aktual dengan kapasitas praktek.
Seluruh aktivitas produksi yang
dilakukan oleh perkebunan Pasir Nangka bertujuan untuk memberikan nilai tambah pada pucuk teh menjadi teh jadi untuk dijual. Namun tidak seluruh aktivitas tersebut termasuk ke dalam kegiatan produktif. Model kapasitas CAM-I untuk keseluruhan pabrik merupakan kombinasi dari lini-lini produksi yang terdapat di dalamnya. Lini yang paling menentukan tingkat utilisasi keseluruhan pabrik tentu saja lini pengeringan. Tingkat produksi keseluruhan pabrik hanya mencapai 72,2 persen dan yang berstatus produktif hanya sebesar 69 persen. Tidak semua produk yang dihasilkan menjadi produktif karena 3,2 persen kapasitas merupakan kapasitas idle akibat kelebihan pasokan produksi tanpa permintaan yang cukup. Model menunjukkan bahwa 27,8 persen kapasitas digunakan untuk aktivitas yang tidak produktif. Aktivitas nonproduktif sebesar 8,3 persen terjadi akibat
kerusakan mesin yang mengganggu aktivitas produksi, 19,1 persen berupa kondisi standby, serta 0,4 persen akibat terjadinya pengerjaan ulang. Kondisi standby tersebut terjadi akibat kekurangan produksi bahan baku dari kebun sebesar 657.134 kg kering atau sekitar 2.957 ton pucuk teh pada tahun 2007. Aktivitas nonproduktif tersebut tidak hanya menghabiskan waktu produksi, tetapi juga dalam biaya dan menyebabkan rendahnya kapasitas produksi. Berdasarkan kondisi tersebut, peluang peningkatan utilisasi kapasitas masih sangat
dimungkinkan.
Terdapat
beberapa
alternatif
yang
dapat
direkomendasikan untuk memperbaiki tingkat utilisasi dari kapasitas produksi tersebut.
Berdasarkan hasil analisis, alternatif perbaikan pada pemasaran
berpotensi meningkatkan kapasitas produktif keseluruhan pabrik dari 69 persen menjadi 72,2 persen. Dengan begitu terjadi penurunan biaya kapasitas per unit teh kering sebesar Rp. 102,01 dengan asumsi seluruh produksi terjual. Sedangkan peningkatan pada produksi pucuk hingga memenuhi kebutuhan lini bottleneck berpotensi meningkatkan kapasitas produktif keseluruhan pabrik hingga mencapai 90,8 persen serta menurunkan biaya kapasitas sebesar Rp. 546,95 per unit teh kering.
B. SARAN Berdasarkan simulasi penggunaan kapasitas dan waktu kerja dapat disarankan kepada perusahaan untuk menggunakan kapasitas lini pengeringan sebagai patokan dan mengurangi jumlah mesin giling yang digunakan. Selanjutnya perlu dilakukan pengukuran secara lebih khusus pada utilisasi dari setiap sumberdaya berupa mesin.
Aktivitas dari masing-masing mesin pada
setiap lini produksi harus dapat didokumentasikan dari waktu ke waktu, sehingga dapat dilakukan analisis secara lebih lengkap.
69
DAFTAR PUSTAKA ATI. 2000. Reformasi Sistem Pemasaran Teh untuk Kelestarian Industri Teh Indonesia. Asosiasi Teh Indonesia. Bandung. Buffa, E.S. 1987. Modern Production Management, Managing The Operation Function. John Willey and Sons Inc. New York. Cachon, G. dan C. Terwiesch. 2006. Matching Supply with Demand : An Introduction to Operations Management. The McGraw-Hill Companies Inc. New York. Childe, S.J. 1997. An Introduction to Computer Aided Production Management. Chapman & Hall. United Kingdom. Cokins, G. 1999. ABC's Linkage to Unused Capacity. ABC’s White Paper. ABC Technologies Inc. Oregon. Davis,
M. dan J. Heineke. 2005. Operations Management: Integrating Manufacturing and Services. Fifth edition. The McGraw-Hill Companies Inc. New York.
Fowler, J. dan J. Robinson. 1995. Measurement and Improvement of Manufacturing Capacity (MIMAC) Final Report. SEMATECH Technology Transfer. http://www.fabtime.com/files/MIMFINL.PDF [8 Januari 2008]. Gaspersz, V. 1998. Production Planning and Inventory Control. PT. Gramedia Pustaka Utama. Bogor. Ghani, M. 2002. Buku Pintar Mandor: Dasar-Dasar Budi Daya Teh. Penebar Swadaya. Depok. ITC. 2005. Annual Bulletin of Statistics 2005. International Tea Committee. London. Kartika. 1999. Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Teh di PTPN VIII Parakan Salak Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Skripsi. Manajemen Agribisnis Institut Pertanian Bogor. Bogor. KPB PTPN. 2008. Ekspor Teh Berpeluang Digenjot. Kantor Pemasaran Bersama PT Perkebunan Nusantara. Jakarta. Litzinger, J.E. 2001. Utilization of Capacity: An Overlooked Factor in ActivityBased Management. Artikel. http://jobfunctions.bnet.com/whitepaper. aspx?&docid=90030&promo=100511 [30 Januari 2008].
McNair, C. J. 1994. The Hidden Costs of Capacity. Journal of Cost Management (Spring): 12-24. http://www.maaw.info/ArticleSummaries/ArtSumMcNair94 .htm. [2 Januari 2008]. Muchtar, D. 1989. Bahan Kuliah Kursus Mandor Tanaman Teh: Pengenalan Botani dan Lingkungan yang Berpengaruh terhadap Pertumbuhan Tanaman Teh. Lembaga Pendidikan Perkebunan Kampus Yogyakarta. Yogyakarta. Muras, A. dan M. Rodriguez. 2003. A New Look at Manufacturing Using CAM-I’s Capacity Management Model. The Journal of Corporate of Accounting and finance. Wiley Periodicals, Inc. New York. Ningrat, R.G.S.S.D. 2006. Teknologi Pengolahan Teh Hitam. Penerbit ITB. Bandung. Prastiwi. 1999. Produksi Teh dan Penentuan Saat Optimum Pemangkasan Tanaman Teh. Skripsi. Manajemen Agribisnis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. PTPN VIII. 2001. Standar Operational Procedure Pengolahan Teh Hitam. PT Perkebunan Nusantara VIII. Bandung. -------------. 2002. Prosedur Sistem Mutu Komoditi Teh Hitam Ortodoks. PT Perkebunan Nusantara VIII Kebun Pasir Nangka. Cianjur. -------------. 2007. Laporan Produksi Pengolahan Tahun 2007. PT Perkebunan Nusantara VIII Kebun Pasir Nangka. Cianjur. Pujihartini. 2005. Dampak Perubahan Sistem dan Harga Penjualan Teh terhadap Penggunaan Sumberdaya Produksi dan Penjualan di Perkebunan Teh Ciliwung PT Sumber Sari Bumi Pakuan Cisarua, Bogor. Skripsi. Manajemen Agribisnis Institut Pertanian Bogor. Bogor. Spillane, J.J. 1992. Komoditi Teh : Peranannya dalam Perekonomian Indonesia. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Suprihatini, R. 2004. Rancang Bangun Sistem Produksi Dalam Agroindustri Teh Indonesia. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Swastha, B. dan I. Sukotjo. 2000. Pengantar Bisnis Modern : Pengantar Ekonomi Perusahaan Modern. Liberty. Yogyakarta. Werkhoven, J. 1974. Tea Processing. FAO of The United nations. Rome. Wikipedia. 2008. Tea. http://en.wikipedia.org/wiki/Tea [26 Juni 2008]. Yu-Lee, R.T. 2002. Essentials of Capacity Management. John Willey and Sons, Inc. New York.
71
LAMPIRAN
73
TU Pembantu
Mandor
Karyawan
Mandor
Mandor Besar
TU Pembantu
JTU Kepala
Sinder Afdeling II
Sumber: Perkebunan Pasir Nangka
Karyawan
JTU Kepala
Mandor Besar
Sinder Afdeling I
Karyawan
Mandor
TU Pembantu
Karyawan
Mandor
TU Pembantu
JTU Kepala
Sinder Pabrik
TU Pembantu Mandor Besar
TU Tanaman
Administratur
JTU Kepala
Sinder Afdeling III
Mandor Besar
Sinder Kepala
Lampiran 1. Bagan Struktur Organisasi Perkebunan Pasir Nangka
Karyawan
Kepala Urusan
TU Pembantu
JTU Kepala
Sinder Teknik
Karyawan
Wakil
Kepala Urusan
Sinder TUK
Lampiran 2. Diagram Alir Pengolahan Teh Hitam Ortodoks
Pucuk Segar
Pelayuan
Penggilingan
Proses Oksidasi Enzimatis
Pengeringan
Proses Sortasi
Pengemasan
Teh Kering Dalam Kemasan
74
Lampiran 3. Neraca Massa Produksi Teh Hitam Ortodoks F1 = 50.000 kg MC = 78 % Xair = 39.000 kg X padat = 11.000 kg
Pucuk Segar
Pelayuan
Uap air = 26.596 kg
F2 = 23.404 kg MC = 53% Xair = 12.404 Kg Xpadat = 11.000 kg Penggilingan F3 = 23.404 kg MC = 53% Xair = 12.404 kg Xpadat = 11.000 kg Proses Oksidasi Enzimatis F4 = 23.404 kg MC = 53% Xair = 12.404 kg Xpadat = 11.000 kg Pengeringan
Uap air = 12.064 kg Teh terbang = 100kg
F5 = 11.240 kg MC = 3 % Xair = 337 kg Xpadat = 10.903 Kg Proses Sortasi
Ceceran teh = 80 kg
Pengemasan dan Penyimpanan
Ceceran teh = 50 kg
F6 = 11.160 kg MC = 3 % X air = 335 kg X padat = 10.825 Kg
F7 = 11.110 kg MC = 3 % Xair = 333 kg Xpadat = 10.777 Kg
Teh Kering Dalam Kemasan
75
Lampiran 4. Spesifikasi Teknis Kapasitas Mesin Pabrik Pasir Nangka
Unit Kerja
Mesin
Jumlah
Kapasitas (Kg/jam) Mesin
Total 50.000
43
Kering
Pelayuan
Withering Trough
Penggilingan
OT
3
375
1.125
11.500 504
BR
5
275
1.375
617
BR + OT
Pengeringan
1.121
PCR
8
275
2.200
987
RV I
1
1.200
1.200
538
RV II
1
800
800
359
TSD
2
250
500
500
TSD
2
225
450
450
Total TSD Sortasi
950
Midleton
3
500
1.500
1.500
Vibro
2
500
1.000
1.000
Vibro
2
500
1.000
1.000
Vibro
1
500
500
500
Indian Sortir
1
500
500
500
Java Sortir
1
500
500
500
Chota Sifter
1
500
500
500
Shuudzeef
1
400
400
400
Theewan
2
600
1.200
1.200
Senvec
2
500
1.000
1.000
Vibro Finishing
2
500
1.000
1.000
Sumber: Kantor Teknik Perkebunan Pasir Nangka
76
Lampiran 5. Peralatan Proses Produksi 1. Monorail Conveyor Monorail conveyor seperti dapat dilihat pada Gambar 26 adalah alat yang digunakan untuk mengangkut pucuk teh segar penurunan dari truk ke withering trough serta setelah pucuk dilayukan. Monorail terdiri dari rel berupa rantai baja yang mempunyai jalur mengitari ruang pelayuan, dilengkapi dengan kursi tempat menempatkan waring sack dan atau gentong. Monorail bekerja dengan prinsip perputaran motor elektrik yang menggerakan rantai pada rel sehingga kursi monorail bergerak.
Gambar 26. Monorail Conveyor 2. Withering Trough Withering Trough (WT) adalah alat yang berfungsi sebagai tempat menghamparkan pucuk teh dalam proses pelayuan. Mesin WT tersebut dapat dilihat pada Gambar 27. Di pabrik Pasir Nangka terdapat 43 unit WT yang terletak di tiga lantai. WT terbagi menjadi bagian-bagian yang disebut seksi, 38 unit WT terdiri dari 11 seksi dan 5 unit WT terdiri dari 12 seksi. Kapasitas WT bervariasi antara 800-1500 Kg pucuk teh segar, tergantung luasan WT dan kekuatan dari Main Fan yang menghembuskan udara dalam satuan cubic per minute (CFM). Selain itu, WT dilengkapi dengan Heat Exchanger dan mixing chamber.
77
Lampiran 5. Peralatan Proses Produksi (lanjutan)
Gambar 27. Withering Trough dengan Main Fan 3. Mesin Giling Mesin giling yang digunakan di pabrik Pasir Nangka terdiri dari Open Top Roller, Britania Roller, Press Cup Roller dan Rotorvane. Prinsip dari alat-alat tersebut adalah perputaran yang bertujuan untuk menggiling, memotong, dan menggulung pucuk teh. Mesin penggiling dapat dilihat pada Gambar 28.
Gambar 28. Mesin Penggiling 4. Mesin Pengayak Basah Double Indian Barbora Netsortir Pabrik Pasir Nangka memiliki empat unit mesin Double Indian Barbora Netsortir (DIBN), seperti yang terlihat pada Gambar 29. DIBN tersebut berfungsi memisahkan antar bubuk berdasarkan bentuk dan ukuran. Prinsip kerjanya yaitu putaran horizontal dan dilengkapi ayakan mesh Alat tersebut dilengkapi juga dengan baki untuk menampung bubuk yang lolos ayakan.
78
Lampiran 5. Peralatan Proses Produksi (lanjutan)
Gambar 29. Pengayak Basah DIBN 5. Humidifier Humidifier
berfungsi
untuk
mengatur
kondisi
kelembaban
ruangan
penggilingan dan oksidasi enzimatis. Alat tersebut berupa berupa pipa air yang menyemprotkan air dan piringan yang berputar sehingga dihasilkan kabut untuk meningkatkan kelembaban. Humidifier dapat dilihat pada Gambar 30.
Gambar 30. Humidifier 6. Baki dan Troli Oksidasi Enzimatis Baki dan troli oksidasi enzimatis berfungsi sebagai tempat terjadinya proses oksidasi enzimatis dari bubuk teh basah hasil penggilingan. Troli tersebut dapat dilihat pada Gambar 31. Troli dilengkapi roda sehingga bisa membawa bubuk teh dari ruang penggilingan ke ruang oksidasi enzimatis.
79
Lampiran 5. Peralatan Proses Produksi (lanjutan)
Gambar 31. Troli Oksidasi Enzimatis 7. Mesin Pengering Two Stage Dryer Two Stage Dryer (TSD) adalah mesin yang berfungsi untuk mengeringkan teh sampai kadar air tertentu. Kinerja mesin TSD bersifat kontinyu dan pengisiannya dilakukan melalui conveyor. Bubuk teh berada di atas trays dan dihembuskan udara panas dari bawah yang berasal dari HE. Alat tersebut dilengkapi dengan Spreaders yang berfungsi meratakan ketebalan bubuk sehingga pengeringan merata. Mesin TSD dapat dilihat pada Gambar 32.
Gambar 32. Mesin Pengering Two Stage Drier
80
Lampiran 5. Peralatan Proses Produksi (lanjutan) 8. Heat Exchanger Heat Exchanger (HE) adalah alat yang berfungsi sebagai penghasil udara panas yang disalurkan untuk pengeringan dan pelayuan. HE seperti yang dapat dilihat pada Gambar 33 bekerja dengan prinsip pemanasan udara yang terjadi akibat pembakaran bahan bakar.
Gambar 33. Heat Exchanger untuk Pengeringan Untuk mesin pengeringan, terdapat dua macam HE, yaitu HE berbahan bakar IDO dan bahan bakar padat (kayu, tempurung kelapa, dan cangkang sawit). Sumber panas yang digunakan untuk mesin pelayuan adalah jenis Benson, yang menggunakan bahan bakar IDO. 9. Feeding Bulker Feeding Bulker merupakan wadah yang berfungsi sebagai penampung bubuk teh dari conveyor hasil proses pengeringan. Bubuk teh keluar sedikit demi sedikit ke conveyor dibawahnya untuk selanjutnya diproses pada midleton. Feeding bulker dapat dilihat pada Gambar 34.
Gambar 34. Feeding Bulker 81
Lampiran 5. Peralatan Proses Produksi (lanjutan) 10. Midleton Midleton merupakan mesin pemisah pertama dalam proses sortasi teh. Alat tersebut memisahkan bubuk teh menjadi tiga, yaitu halus, sedang, dan badag. Bubuk teh halus dan sedang akan dilanjutkan ke proses sortasi selanjutnya. Ayakan pada midleton tidak menggunakan mesh, tetapi dengan bubble trays yang berlubang. Prinsip kerja midleton tersebut adalah getaran horizontal sehingga bubuk teh bergerak di atas bubble trays. Mesin Midleton tersebut dapat dilihat pada Gambar 35.
Gambar 35. Midleton 11. Vibro Mesin Vibro bekerja berdasarkan prinsip getaran sehingga bubuk teh bergetar dan mengalir pada trays yang landai. Mesin vibro dapat dilihat pada Gambar 36. Terdapat dua jenis vibro, yaitu vibro mesh dan vibro blank Alat tersebut dilengkapi dengan roll magnetik yang berfungsi mengangkat serat-serat halus berwarna merah.
Gambar 36. Vibro 82
Lampiran 5. Peralatan Proses Produksi (lanjutan) 12. Sortir Machine Sortir machine dapat dibedakan menjadi beberapa mesin, yaitu Indian sortir, Java Sortir, Chota sifter, Shuudzeef, Senvec, dan Theewan. Mesin-mesin tersebut dapat dilihat pada Gambar 37.
(a)
(c)
(e)
(b)
(d)
(f)
Gambar 37. Sortir Machine: (a) Indian Sortir, (b) Java Sortir, (c) Chota Sifter, (d) Shuudzeef, (e) Senvec, dan (f) Theewan.
83
Lampiran 5. Peralatan Proses Produksi (lanjutan) Indian dan Java sortir berfungsi untuk memisahkan partikel-partikel teh berdasarkan ukuran partikelnya. Kedua alat tersebut bekerja dengan prinsip putaran dan dilengkapi mesh berbagai ukuran. Selanjutnya bubuk teh masuk ke dalam Theewan yang berfungsi memisahkan partikel teh berdasarkan berat jenisnya. Prinsip kerja Theewan adalah dengan hembusan angin sehingga membawa bubuk teh dan terpisahkan pada gentong yang berbeda, bubuk yang halus akan jatuh lebih dekat dengan kipas penghisap. Prinsip kerja chota sifter adalah dengan gerakan memutar, sedangkan shudzeef bergerak maju-mundur. Senvec berfungsi untuk memisahkan bubuk teh dari tulang-tulang daun. 13. Pengecil Ukuran Alat pengecil ukuran yang terletak di ruang sortasi tersebut berfungsi untuk menghancurkan dan memperkecil bubuk teh. Alat-alat tersebut bekerja dengan prinsip press, pukulan, maupun atrisi. Berbagai mesin pengecil ukuran dapat dilihat pada Gambar 38.
(a)
(b)
(c)
Gambar 38. Pengecil Ukuran: (a) Druck Roll, (b) Rotorvane, dan (c) Crusher
84
Lampiran 5. Peralatan Proses Produksi (lanjutan) 14. Lift Conveyor Alat tersebut berfungsi untuk menaikan bubuk teh hasil sortasi untuk selanjutnya dimasukan ke dalam peti miring. Lift tersebut dilengkapi dengan kursi tempat meletakan barang dan rantai yang digerakan oleh motor listrik, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 39.
Gambar 39. Lift Conveyor 15. Peti Miring Peti miring adalah alat yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan bubuk teh hasil sortasi sebelum dipak. Peti miring tersebut terbagi-bagi oleh sekat untuk memisahkan antar jenis grade teh. Peti miring dapat dilihat pada Gambar 40.
Gambar 40. Peti Miring
85
Lampiran 5. Peralatan Proses Produksi (lanjutan) 16. Tea Bulker Tea Bulker adalah alat yang digunakan untuk menampung bubuk teh yang dikeluarkan dari peti miring untuk dipak. Alat tersebut tersusun dari beberapa segmen bulker atau sekat-sekat pembagi, yang berfungsi mencampur bubuk yang masuk, sehingga bubuk teh yang dipak mempunyai sifat homogen. Tea Bulker dapat dilihat pada Gambar 41.
Gambar 41. Tea Bulker 17. Bag Shaper dan Vibrator Bag shaper dan vibrator berfungsi untuk memberi bentuk papersack sehingga merata dan tidak menggembung. Mesin tersebut dapat dilihat pada Gambar 42. Mesin tersebut dilengkapi dengan belt conveyor yang menarik papersack yang telah digetarkan oleh vibrator dan selanjutnya dibentuk dengan roll press.
Gambar 42. Bag Shaper dan Vibrator 86
Lampiran 6. Pengaruh dari Pencapaian Tingkat Kapasitas Produksi terhadap Output, Biaya Operasi, Biaya Kapasitas, dan Biaya per Unit a. Output dari Masing-Masing Lini (dalam satuan ton) Output Kapasitas Teoritis Kapasitas Praktek Kapasitas Normal Kapasitas Anggaran Kapasitas Aktual
Pelayuan 4.197,5 3.484,5 2.713,0 2.720,0 2.493,9
Penggilingan 9.819,9 4.075,9 2.713,0 2.720,0 2.493,9
Pengeringan 8.322,0 3.454,2 2.713,0 2.720,0 2.493,9
Sortasi 8.760,0 3.636,0 2.713,0 2.720,0 2.493,9
b. Biaya Operasi dan Biaya Kapasitas (dalam jutaan rupiah) Biaya Operasi Teoritis Operasi Praktek Operasi Normal Operasi Anggaran Operasi Aktual Biaya Kapasitas
Pelayuan Penggilingan 4.184,37 2.480,26 3.507,96 1.232,89 2.776,05 936,91 2.782,69 938,43 2.568,24 889,34 2.367,55 660,73
Pengeringan 6.667,41 2.853,73 2.273,03 2.278,52 2.101,42 2.028,70
Sortasi 1.478,64 742,51 609,91 610,92 578,44 369,78
c. Biaya per Unit (Rp/kg teh) Biaya per unit Kapasitas Teoritis Kapasitas Praktek Kapasitas Normal Kapasitas Anggaran Kapasitas Aktual
Pelayuan 564,04 679,45 872,67 870,42 949,32
Penggilingan Pengeringan 67,28 243,78 162,10 587,31 243,54 747,77 242,91 745,84 264,93 813,45
Sortasi 42,21 101,70 136,30 135,95 148,27
87
Lampiran 7. Pendefinisian Kapasitas a. Lini Pelayuan Lini Pelayuan
Output (kg)
Biaya Kapasitas (juta Rp)
Biaya per Unit (Rp/kg)
2.367,55
564,04
3.484.500
2.367,55
679,45
2.713.000
2.367,55
872,67
2.720.000
2.367,55
870,42
2.493.955
2.367,55
949,32
Kapasitas Teoritis Unit kering per hari
11.500
Hari per tahun
365
Kapasitas Teoritis
4.197.500
Kapasitas Praktek Unit per hari
11.500
Hari beroperasi per tahun
303
Kapasitas Praktek
Kapasitas Normal Output rata-rata rencana 5 tahun
Kapasitas Anggaran Rencana output tahun 2007
Kapasitas Aktual Output aktual tahun 2007
88
Lampiran 7. Pendefinisian Kapasitas (lanjutan) b. Lini Penggilingan Lini Penggilingan
Output (kg)
Biaya Kapasitas (juta Rp)
Biaya per Unit (Rp/kg)
660,73
67,28
4.075.956
660,73
162,10
2.713.000
660,73
243,54
2.720.000
660,73
242,91
2.493.955
660,73
264,93
Kapasitas Teoritis Jam per hari
24
Unit kering per jam
1.121
Hari per tahun
365
Kapasitas Teoritis
9.819.960
Kapasitas Praktek Jam per hari
12
Unit per jam
1.121
Hari beroperasi per tahun
303
Kapasitas Praktis
Kapasitas Normal Output rata-rata rencana 5 tahun Kapasitas Anggaran Rencana output tahun 2007
Kapasitas Aktual Output aktual tahun 2007
89
Lampiran 7. Pendefinisian Kapasitas (lanjutan) c. Lini Pengeringan Lini Pengeringan
Output (kg)
Biaya Kapasitas (juta Rp)
Biaya per Unit (Rp/kg)
2.028,70
243,78
3.454.200
2.028,70
587,31
2.713.000
2.028,70
747,77
2.720.000
2.028,70
745,84
2.493.955
2.028,70
813,45
Kapasitas Teoritis Jam per hari
24
Unit kering per jam
950
Hari per tahun
365
Kapasitas Teoritis
8.322.000
Kapasitas Praktek Jam per hari
12
Unit per jam
950
Hari beroperasi per tahun
303
Kapasitas Praktis
Kapasitas Normal Output rata-rata rencana 5 tahun Kapasitas Anggaran Rencana output tahun 2007
Kapasitas Aktual Output aktual tahun 2007
90
Lampiran 7. Pendefinisian Kapasitas (lanjutan) d. Lini Sortasi Output (kg)
Lini Sortasi
Biaya Kapasitas (juta Rp)
Biaya per Unit (Rp/kg)
369,78
42,21
3.636.000
369,78
101,70
2.713.000
369,78
136,30
2.720.000
369,78
135,95
2.493.955
369,78
148,27
Kapasitas Teoritis Jam per hari
24
Unit kering per jam
1.000
Hari per tahun
365
Kapasitas Teoritis
8.760.000
Kapasitas Praktek Jam per hari
12
Unit per jam
1.000
Hari beroperasi per tahun
303
Kapasitas Praktis
Kapasitas Normal Output rata-rata rencana 5 tahun
Kapasitas Anggaran Rencana output tahun 2007
Kapasitas Aktual Output aktual tahun 2007
91
Lampiran 7. Pendefinisian Kapasitas (lanjutan) e. Keseluruhan Pabrik Keseluruhan Pabrik
Output (kg)
Biaya Kapasitas (juta Rp)
Biaya per Unit (Rp/kg)
Kapasitas Teoritis Jam per hari
24
Unit kering per hari
950
Hari per tahun
365
Kapasitas Teoritis
8.322.000
5.426,75
652,10
3.454.200
5.426,75
1.571,06
2.713.000
5.426,75
2.000,28
2.720.000
5.426,75
1.995,13
2.493.955
5.426,75
2.175,96
Kapasitas Praktek Jam per hari
12
Unit per jam
950
Hari beroperasi per tahun
303
Kapasitas Praktis
Kapasitas Normal Output rata-rata rencana 5 tahun Kapasitas Anggaran Rencana output tahun 2007
Kapasitas Aktual Output aktual tahun 2007
92
Lampiran 8. Pengkategorian Kapasitas Alternatif I a. Lini Pelayuan Kategori Kapasitas
Waktu (hari) Sub
Status
Output (Kg) Sub
Status
216,87
Productive
Biaya Kapasitas (juta Rp) Sub
Status
2.493.955
1.694,52
Non Productive - Maintenance
28,19
324.185
220,27
- Standby
57,94
666.360
452,76
86,13
Sub total
990.545
673,03
Idle - Excess Supply
0,00
Sub total Total
0
0
0,00
0
0
303,00
3.484.500
2.367,55
b. Lini Penggilingan Kategori Kapasitas
Waktu (hari) Sub
Status
Output (Kg) Sub
Status
185,40
Productive
Biaya Kapasitas (juta Rp) Sub
Status
2.493.955
404,28
Non Productive - Maintenance
33,40
449.297
72,83
- Standby
84,20
1.132.704
183,62
117,60
Sub total
1.582.001
256,45
Idle - Excess Supply Sub total Total
0,00
0
0
0,00
0
0
303,00
4.075.956
660,73
93
Lampiran 8. Pengkategorian Kapasitas Alternatif I (lanjutan) c. Lini Pengeringan Kategori Kapasitas
Waktu (hari) Sub
Status
Output (Kg) Sub
Status
218,77
Productive
Biaya Kapasitas (juta Rp) Sub
Status
2.493.955
1.464,73
Non Productive - Maintenance
25,25
287.850
169,06
- Standby
56,79
647.455
380,26
- Rework
2,19
24.940
14,65
84,23
Sub total
960.245
563,96
Idle - Excess Supply
0,00
Sub total Total
0
0
0,00
0
0
303,00
3.454.200
2.028,70
d. Lini Sortasi Kategori Kapasitas
Waktu (hari) Sub
Status
Output (Kg) Sub
Status
207,83
Productive
Biaya Kapasitas (juta Rp) Sub
Status
2.493.955
253,64
Non Productive - Maintenance
25,25
303.000
30,82
- Standby
59,53
714.347
72,65
- Hersortir
10,39
124.698
12,68
95,17
Sub total
1.142.045
116,15
Idle - Excess Supply Sub total Total
0,00
0
0
0,00
0
0
303,00
3.636.000
369,78
94
Lampiran 8. Pengkategorian Kapasitas Alternatif I (lanjutan) e. Keseluruhan Pabrik Kategori Kapasitas
Waktu (hari) Sub
Status
Output (Kg) Sub
Status
218,77
Productive
Biaya Kapasitas (juta Rp) Sub
Status
2.493.955
3.918,15
Non Productive - Maintenance
25,25
287.850
452,23
- Standby
57,64
657.134
1.010,30
- Rework
1,34
15.261
46,07
84,23
Sub total
960.245
1.508,60
Idle - Excess Supply Sub total Total
0,00
0
0
0,00
0
0
303,00
3.454.200
5.426,75
95
Lampiran 9. Pengkategorian Kapasitas Alternatif II a. Lini Pelayuan Kategori Kapasitas
Waktu (hari) Sub
Status
Output (Kg) Sub
Status
272,61
Productive
Biaya Kapasitas (juta Rp) Sub
Status
3.135.000
2.130,08
Non Productive - Maintenance - Standby
28,19
324.140
220,24
2,21
25.360
17,23
30,39
Sub total
349.500
237,47
Idle - Excess Supply
0,00
Sub total Total
0
0
0,00
0
0
303,00
3.484.500
2.367,55
b. Lini Penggilingan Kategori Kapasitas
Waktu (hari) Sub
Status
Output (Kg) Sub
Status
233,05
Productive
Biaya Kapasitas (juta Rp) Sub
Status
3.135.000
508,20
Non Productive - Maintenance
33,40
449.297
72,83
- Standby
36,55
491.659
79,70
69,95
Sub total
940.956
152,53
Idle - Excess Supply Sub total Total
0,00
0
0
0,00
0
0
303,00
4.075.956
660,73
96
Lampiran 9. Pengkategorian Kapasitas Alternatif II (lanjutan) c. Lini Pengeringan Kategori Kapasitas
Waktu (hari) Sub
Status
Output (Kg) Sub
Status
275,00
Productive
Biaya Kapasitas (juta Rp) Sub
Status
3.135.000
1.841,23
Non Productive - Maintenance
25,25
287.850
169,06
- Standby
0
0
0
- Rework
2,75
31.350
18,41
28,00
Sub total
319.200
187,47
Idle - Excess Supply
0,00
Sub total Total
0
0
0,00
0
0
303,00
3.454.200
2.028,70
d. Lini Sortasi Kategori Kapasitas
Waktu (hari) Sub
Status
Sub
Status
261,25
Productive
Biaya Kapasitas (juta Rp)
Output (Kg)
Sub
Status
3.135.000
318,83
Non Productive - Maintenance
25,25
303.000
30,82
- Standby
3,44
41.250
4,20
- Hersortir
13,06
156.750
15,94
41,75
Sub total
501.000
50,95
Idle - Excess Supply Sub total Total
0,00
0
0
0,00
0
0
303,00
3.636.000
369,78
97
Lampiran 9. Pengkategorian Kapasitas Alternatif II (lanjutan) e. Keseluruhan Pabrik Kategori Kapasitas
Waktu (hari) Sub
Status
Output (Kg) Sub
Status
275,00
Productive
Biaya Kapasitas (juta Rp) Sub
Status
3.135.000
4.925,27
Non Productive - Maintenance
25,25
287.850
452,23
- Standby
1,41
16.089
3,18
- Rework
1,34
15.261
46,07
28,00
Sub total
319.200
501,48
Idle - Excess Supply Sub total Total
0,00
0
0
0,00
0
0
303,00
3.454.200
5.426,75
98
Lampiran 10. Arus Produksi Kebun per Bulan Tahun 2007 (dalam satuan kg)
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agust
Sep
Okt
Nop
Des
Saldo Awal
329.534
325.988
354.734
366.639
416.477
474.850
441.102
368.315
323.903
271.248
234.539
332.428
Produksi
184.441
239.052
229.693
240.884
308.495
227.376
153.847
152.068
116.615
90.090
273.121
271.489
Stok
513.975
565.040
584.427
607.523
724.972
702.226
594.949
520.383
440.518
361.338
507.660
603.917
Kirim Ekspor
80.260
172.260
154.800
144.520
197.200
186.760
175.920
136.040
122.400
94.760
141.000
149.240
Kirim Lokal
107.555
37.800
62.760
46.280
52.600
74.120
50.560
60.290
46.740
31.935
33.950
13.160
Kirim Contoh
172
246
228
246
322
244
154
150
130
104
282
300
Jumlah Kirim
187.987
210.306
217.788
191.046
250.122
261.124
226.634
196.480
169.270
126.799
175.232
162.700
Saldo Akhir
325.988
354.734
366.639
416.477
474.850
441.102
368.315
323.903
271.248
234.539
332.428
441.217
Sumber: Laporan Produksi Pengolahan Tahun 2007
99
Lampiran 11. Perhitungan Efisiensi Transfer Panas Pembakaran Alat Pengering TSD Diketahui
: MC awal (MC1) = 64 % MC akhir (MC2) = 3 % Panas laten penguapan (hfg) = 2.534 KJ/Kg Data
TSD 1
TSD 2
TSD 4
TSD 5
1.260 30 1.789
2.660 70 2.953
850 2.777
250 865
Konsumsi BBM IDO (Ltr) Konsumsi BB Kayu (Kg) Konsumsi BB CS (Kg) Massa bubuk kering (mk)
Satuan Liter Kg Kg Kg
Massa air yang diuapkan (mu) = mk x (MC1-MC2) / (100-MC1) Energi yang diperlukan untuk menguapkan air bahan (qo) = mu x hfg Energi panas dari pembakaran IDO = VIDO x c IDO c IDO = 40.798 KJ/L = 9.737 Kcal/L Energi panas dari pembakaran kayu = mkayu x c Kayu c Kayu = 18.918 KJ/Kg = 4.515 Kcal/Kg Energi panas dari pembakaran cangkang sawit = mCS x c Sawit c Sawit = 20.720 KJ/Kg = 4.945 Kcal/Kg Efisiensi (ε) = q0/q1 x 100% TSD 1 mu q0 q1 ε
TSD 2
TSD 4
TSD 5
3.031 5.004 7.682.288 12.680.713 24.458.078 51.771.850 31,41 24,49
4.705 11.924.937 34.678.326 34,39
1.466 3.714.465 10.199.508 36,42
Satuan Kg KJ KJ %
100