KAJIAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN KAPAL ASING DI PERAIRAN TERITORIAL INDONESIA
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Pada Jurusan Hukum Pidana Fakultas Ilmu Hukum Universitas Halu Oleo
OLEH: LUCKY REZKY SAPUTRA H1 A1 12 232
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2017
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing untuk dipertahankan dihadapan panitia Ujian Skripsi pada bagian hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo. Judul Proposal :Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Pembajakan Kapal Asing di Perairan Teritorial Indonesia Nama
: Lucky Rezky Saputra
Stambuk
: H1A112232
Program Studi
: Ilmu Hukum
Bagian
: Hukum Pidana
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo
Kendari, Januari 2017 Menyetujui: Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. H. Muntaha, S.H., M. H. Ramadan Tabiu, S.H., LL.M. NIP. 19590601986031003 NIP. 198508172010121007
ii
HALAMAN PENGESAHAN
iii
ABSTARK Lucky Rezky Saputra (STB. H1A1 12 232) Judul Skripsi:“Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Pembajakan Kapal Asing di Perairan Teritorial Indonesia”dibawah bimbingan Prof. Dr. H. Muntaha, S.H.,MH. sebagai Pembimbing I dan Ramadhan Tabiu, S.H., LL.M sebagai Pembimbing II. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:Bagaimanakah penerapan yurisdiksi teritorial Indonesia yang terjadi terhadap pembajakan kapalkapal asing yang memiliki yurisdiksi sendiri berdasarkan bendera kapalnya diperairan teritorial Indonesia? Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui bagaimanakah bentuk pelaksanaan hukum terhadap kejahatan pembajakan kapal asing yang terjadi di perairan teritorial Indonesia yang apabila terdapat dua kedaulatan dalam satu perbuatan kejahatan. Tipe penelitian yang digunakan terhadap masalah-msalah yang dirumuskan dalam penulisan ini, dilakukan dengan menggunakan penelitian hukum (legal research) atau metode penelitian normatif dimana dalam penelitian hukum tersebut digunakan sebuah pendekatan, yaitu pendekatan Undang Undang (Statute Approach), pendekatan konseptual (Conceptual Approach) dan pendekatan kasus (Case Approach). Hasil penelitian menunjukan bahwa Kejahatan terhadap kapal yang dilakukan diwilayah perairan yurisdiksi suatu negara merupakan kejahatan perompakan yang dilakukan oleh para bajak laut. Sehingga dalam batas-batas yurisdikis ini akan berlaku yuridiksi teritorial terhadap kejahatan yang dilakukan. Dimana penerapannya menggunakan hukum positif Indonesia terhadap kewenangan untuk menahan, memerikasa dan mengadili. Perompakan yang dilakukan terhadap kapal asing, hal ini tidak serta merta menjadikan kejahatan tersebut tidak dapat diproses dengan alasan terdapat kedaulatan negara lain dalam satu peristiwa. Tetapi karena berdasarkan pada prinsip yurisdiksi territorial, maka telah menjadi kewenangan penuh bagi pemerintah Indonesia untuk memproses kejahatan tersebut berdasarkan pada yurisdiksi teritorialnya. Bahwasannya selain melakukan perompakan, umumnya pelaku juga melakukan satu atau lebih tindak pidana lainnya, seperti penculikan/penyenderaan untuk meminta tebusan kepada pemilik kapal, atau melakukan penganiayaan terhadap awak kapal untuk memberi rasa takut kepada awak kapal sehingga pelaku dapat dengan bebas melakukan aksinya. Hal ini dilakukan semata-mata untuk memperoleh hasil yang lebih besar dari perbuatan mereka yang diperoleh dari hasil tebusan bagi sandera atau setoran bulanan yang mereka peroleh dari pemilik kapal yang diancam keselamatan kapal dan awaknya oleh perompak. Kata Kunci: Pembajakan/Perompakan, Tindak Pidana, Peraiaran Teritorial
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah Subuhanna Wataala,karena atas rahmat dan hidayah-Nya ahkirnya penulisan Hasil Penelitian yang berjudul “Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Pembajakan Kapal Asing di Perairan Teritorial Indonesia” dapat di selesaikan.
Hasil penelitian ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk dapat maju dalam ujian skripsi pada Jurusan Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Pidana Fakultas Ilmu Hukum Universitas Halu Oleo. Penuli menyadari bahwa skripsi ini tidak mungkin terwujud tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak.Oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang tiada terhingga kepada ayahanda tercinta (Ali Hamran S.Pd) dan ibunda tersayang (Yena Rahman) atas segala doa, bimbingan, dukungan, cinta dan kasih kepada penulis“sumber inspirasi”.Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dan tak lupa pula penulis ucapkan beribu-ribu terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. H. Muntaha, SH. MH selaku pembimbing I dan Bapak Ramadan Tabiu SH. LLM selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan dengan tulus ikhlas sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada: 1.
Bapak Prof. Dr. Supriadi Rustam, M.Si selaku pelaksana Rektor Universitas Halu Oleo.
2.
Bapak Prof. Dr. H. Muhamad Jufri SH, MS selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo.
3.
Bapak Rizal Muchtazar SH.LL.M selaku Wakil Dekan satu Fakultas Hkukum Universitas Halu Oleo bidang akademik.
v
4.
Bapak Herman SH. LL.M selaku Wakil Dekan Dua Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo bidang umum, perencanaan dan keuangan.
5.
Bapak Jabalnur SH.MH. selaku Wakil Dekan Tiga Fakultas Hukum Universtas Halu Oleo bidang kemahasiswaan dan alumni.
6.
Ibu Heryanti SH. MH selaku ketua jurusan pada Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo
7.
Bapak Lade Sirjon SH. LL.M selaku ketua bagian hukum pidana pada Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo
8.
Bapak Haris Yusuf SH. MH selakuketua program studi pada Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo.
9.
Bapak Ali Riski SH.M.H dan Iksan SH.MH. selaku penguji saya.
10. Bapak dan Ibu Dosen serta staf pegawai Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo. 11. Kepada kakak tersayang Hendro, Chandra, Irma Elpiana, terima kasih atas motifasi dan doanya yang di berikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 12. Kepada senior-senior saya yang telah memberikan masukan dan sarannya serta nasehatnya sehingga penulisan skripsi ini dapat di selesaikan 13. Kepada rekan-rekan mahasiswa, khususnya mahasiswa kosentrasi hukum pidana Muhammad Asrulah Bainto S.H, La ode Hidayanto S.H, La sahrun, Ali Yasmin, Safar, Irsan Dermawan, Nawir, Ahmad Hidayat, La Ode Raufu Daud dan temanteman lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungan dan doa yang di berikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi hingga selesai. 14. Kepada teman-teman kelompok kajian Cak Nur La Ode Abdul Mukfin, pratno Kurniawan, Rudianto Lapaudi, faiz, Muh. Triputra, La Ode Subroto, Arif Erfan, Edi Safran terima kasih atas dukungan, saran dan motivasinya sehingga penulisan skripsi ini dapat terseleaikan.
vi
15. Kepada teman-teman Komunitas Mahasiswa Tindoi Maleko Junaidin S.pd. Ahmad Riady S.pi. La Ode Salama, La budi, Ferdy S, Jumriansyah, Hendrik, Mastar, jawarudin, Siana, Hariana, dan teman-teman lainya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. 16. Buat Marni, S.Ab, terima kasih atas bantuan dan doanya yang diberikan kepada penulis selama penyusanan skripsi sampai selesai Penulis juga menyadari bahwa karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang penulis miliki dalam penulisan skripsi ini, sehingga penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan dan kekeliruan. Oleh karena itu demi perbaikan dan kesempurnaanya penulis senantiasa berlapang dada menerima saran dan kritikan dari berbagai pihak yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Kendari, January 2017 Penulis
Lucky Rezky Saputra
vii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL…………………………………………………………
I
HALAMAN PERSETUJUAN ………………………….…………………... ii HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………….
iii
ABSTRAK…………………...……………………………………………….. iv KATA PENGANTAR………………………………………………………..
v
DAFTAR ISI………………….…………...………………………………….
viii
BAB I PENDAHULUAN…………………...………………………………..
1
A. Latar Belakang……………………………………....……...................
1
B. Rumusan Masalah…………………………………..…………………
7
C. Tujuan Penelitian…………………………………...……..................... 7 D. Manfaat Penelitian…………………………………….…..................... 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………..….................... 9 A. Yurisdiksi Negara………….…………..……..……………………….. 9 B. Yurisdiksi Teritorial……………………………………...……………
13
C. Pembajakan Kapal Di Laut………………………………………...….
18
D. Lingkup Berlakunya Hukum Pidana…………………………………..
28
BAB III METODE PENELITIAN……………...…………………………..
54
A. Tipe Penelitian………………………………………………………… 54 B. Pendekatan Dalam Penelitian Hukum…………………………………
54
C. Sumber Bahan Hukum……………………………………...................
55
viii
D. Pengumpulan Bahan Hukum…………..……………………………… 56 E. Teknik Analisis Bahan Hukum……..…………………………………
57
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………….
59
A. Penerapan Konsep Yurisdiksi Internasional Terhadap Kejahatan Pembajakan Kapal Asing Di Perairan Teritorial Indonesia…..……….
59
B. Penerapan Yurisdiksi Teritorial Terhadap Kejahatan Pembajakan Kapal Asing di Perairan Indonesia……………………………………. 80 BAB V PENUTUP……………………………………………………………
107
A. Kesimpulan………………………………………………………...
107
B. Saran……………………………………………………………….
108
DAFTAR PUSTAKA
ix
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laut merupakan salah satu wilayah perairan yang digunakan sebagai rute transportasi oleh seluruh Negara-negara. Wilayah laut sebagai rute transportasi memiliki pengaturan tersendiri. Dimana wilayah laut dibedakan atas 7 (tujuh) pembagian wilayah laut. Dianataranya Laut Teritorial, Peraiaran Kepulauan, Peraiaran Pedalaman, Continguous Zona (Zona Tambahan), Perairan Di Atas Landas Kontinen, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Laut Lepas. Dari ketujuh pembagian wilayah laut tersebut, terdapat satu wilayah laut yang tidak termasuk sebagai wilayah kedaulatan dari Negara manapun juga yaitu laut lepas. Sedangkan enam diantaranya merupakan perairan teritorial yang tunduk pada kedaulatan Negara termasuk Indonesia yang tunduk pada ketentuan Konvensi Hukum Laut (KHL) 1982.1 Konvensi Hukum Laut 1982 telah di implementasikan oleh pemerintah Indonesia dalam Undang Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Peraiaran Indonesia sehingga segala peraturan yang berkaitan dengan laut akan tunduk pada ketentuan tersebut. Sebagaimana halnya mengenai wilayah perairan teritorial Indonesia yang pengaturannya tertuang pada Pasal 3 ayat 2 Undang Undang Nomor 6 Tahun 1996, bahwa laut teritorial adalah: jalur laut selebar 12 mil diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia dengan menggunakan garis-garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan karang-karang kering terluar dari kepulauan Indonesia. 1 Rosmi Hasibuan, 2002, Penegakkan Hukum Di Bidang Pelayaran Bagi Kapal Asing Di Peraiaran Indonesia, Universitas Sumatera Utara, hlm. 4
2
Dengan demikkian maka status hukum laut teritorial Indonesia adalah tunduk di bawah kedaulatan Negara Indonesia. Meskipun demikian, Istilah laut teritorial dan perairan teritorial kadang-kala digunakan pula secara informal untuk menggambarkan dimana negara memiliki yurisdiksi, termasuk perairan internal, zona tambahan,zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen berpotensi.2 Perairan territorial menjadi hal yang penting bagi kelancaran dan keamanan kapal-kapal dari berbagai kejahatan di laut seperti pembajakan kapal. Sebut saja Selat Malaka yang sempit yang terletak di antara Indonesia, Singapura dan Malaysia merupakan jalur pelayaran dunia penting dan terkenal dengan aksi pembajakan para bajak laut. Selat Malaka merupakan rute favorit kapal-kapal tanker dari teluk Persia menuju kawasan Asia Pasifik. Berdasarkan informasi dari Badan Informasi Energi Amerika Serikat diperkirakan setiap hari selat ini dilewati sekitar 15 (lima belas) juta barel minyak mentah yang dibawa kapal-kapal tanker tersebut.3 Perairan selat Malaka merupakan wilayah teritorial laut Indoneisa. Berdasarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, telah menentukan titik dasar batas wilayah lautnya sejauh 12 mil. Sebagai implementasi dari Undang Undang tersebut, beberapa bagian perairan Indonesia yang jaraknya kurang dari 12 mil laut, menjadi laut wilayah Indonesia. Termasuk wilayah perairan yang ada di selat Malaka.4Maraknya
2
https://id.wikipedia.org/wiki/Laut_teritorialdiakses tanggal 6 Agustus 2016 http://ilusikehidupan.blogspot.com tentang selata malaka, diakses 9 Agustus 2016
3
4
https://rizkiamaliafebriani.wordpress.com/2012/06/09/batas-wilayah-darat-dan-lautindonesia-dengan-negara-lain, diakses, 20 Agustus 2016
3
kasus pembajakan kapal di selat Malaka menjadikan laut sebagai rute transportasi bagi para pedagang menjadi daerah yang tidak aman. Kapal tanker berbendera Thailand yang dilaporkan hilang dalam perjalanan dari Singapura menuju Pontianak telah ditemukan. Kapal MT Orapin 4 tiba di Pelabuhan Sri Rancha, Thailand, Minggu sore. Seluruh 14 awak kapal selamat, namun muatannya dirampok dan alat komunikasinya dirusak. “Perompak membajak dan mencuri seluruh kargo minyak serta menghancurkan peralatan komunikasi. Awak dan kapal selamat,” kata Noel Choong, Kepala Pusat Pelaporan Pembajakan Biro Maritim Internasional (IMB) di Kuala Lumpur, kemarin. Kapal tanker buatan tahun 1983 itu sedang dalam perjalanan dari Singapura menuju Pontianak, Indonesia membawa 3.377 metrik ton solar (Automative Diesel Fuel/ADF). Seluruh 14 awak kapal berkewarganegaraan Thailand. Posisi terakhir pada Selasa, 27 Mei pukul 17.30 di sekitar 3,64 mile laut sebelah utara Pulau Batam, Indonesia. Menurut sumber yang dikutip situs berita The Bangkok Post, sepuluh perompak naik dan membajak kapal saat berlayar di Selat Malaka, perairan Indonesia.5Aksi pembajakan lain terjadi pula pada Negara Singapura pada 8 Agustus 2015, kapal berbendera Singapura, MT Joaquim dirompak di perairan Selat Malaka saat tengah berlayar dari East Outer Port Limit (EOPL) menuju Melaka.6 Ketentuan dalam Pasal 438, 439, 440 dan 441 KUHP tersebut menggunakan istilah “pembajakan”, untuk menyebutkan tindak kekerasan
5
https://politikinternational.wordpress.com/2014/06/02/kronologi-pembajakan-tankerthailand-di-selat-malaka-indonesia, diakses, 20 Agustus 2016 6 http://nasional.sindonews.com/read/1071914/14/dahsyat-perompakan-kapal-singapuradiotaki-perempuan-1450881056diakses, 20 Agustus 2016
4
yang dilakukan di laut lepas, maupun tindak kekerasan yang dilakukan di wilayah perairan Indonesia. Sebagai produk perundang-undangan yang berasal dari jaman kolonial yang sampai saat ini masih berlaku, pengaturan pembajakan dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) Indonesia tersebut dapat dikatakan telah tertinggal jauh dengan perkembangan pengaturan secara internasional dan perkembangan kebutuhan untuk kondisi dan situasi saat ini. Pembajakan kapal di laut merupakan kejahatan lintas Negara yang bisa terjadi pada Negara manapun dan para pembajaknya bisa pula dari Negara manapun. Tetapi sudah seyogyanya hukum akan memandang ini sebagai sebuah kejahatan yang patut untuk segera diantisipasi sekalipun ketika dalam proses penanganannya harus berbenturan dengan adanya yurisdiksi dari Negara asing. Sebab seperti yang telah dikemukakan jika pembajakan kapal dilaut merupakan kejahatan lintas Negara (transnational crime) yang bisa terjadi pada Negara manapun juga7. Konsep transnational crime merupakan tindak pidana atau kejahatan yang melintasi batas negara. Konsep ini diperkenalkan pertama kali secara internasional pada era tahun 1990-an dalam pertemuan Perserikatan BangsaBangsa (PBB) yang membahas pencegahan kejahatan. Pada tahun 1995, PBB mengidentifikasi 18 jenis kejahatan transnasional yaitu:8 money laundering,terrorism, theft of art and cultural objects, theft of intellectual property, illicit armstrafficking, aircraft hijacking, sea piracy, 7
https://en.wikipedia.org/wiki/Transnational_organized_crime, diakses, tanggal 23 Agustus 2016 8 Sekilas Tentang Kejahatan Transnasional. Dalam http://risethukum.blosspot.com. Diakses tanggal 20 Agustus 2016
5
insurance fraud, computer crime,environmental crime, trafficking in persons, trade in human body parts, illicit drugtrafficking, fraudulent bankruptcy, infiltration of legal business, corruption andbribery of public or party officials.(pencucian uang, terorisme, pencurian beda seni dan budaya, pencurian kekayaan intelektual, perdagangan senjata gelap, pembajakan pesawat, pembajakan laut, penipuan asuransi, kejahatan komputer, kejahatan lingkungan, perdagangan manusia, perdagangan bagian tubuh manusia, perdagangan obat terlarang, penipuan kebangkrutan, infiltrasi bisnis yang legal, korupsi penyuapan pejabat publik atau pihak hukum) Pengertian suatu kejahatan menjadi "kejahatan transnasional" berarti kejahatan tersebut:9 1. Dilakukan di lebih dari satu negara; 2. Persiapan, perencanaan, pengarahan dan pengawasan dilakukan di negara lain; 3. Melibatkan organized criminal group dimana kejahatan dilakukan di lebih satu negara;10dan 4. Berdampak serius pada negara lain. Kejahatan dapat di katakan sebagai kejahatan trans nasional adalah apabila dilakukan di lebih dari satu Negara, dipersiapkan, direncanakan, diarahkan dan diawasi di negara lain serta melibatkan kelompok criminal terorganisir di Negara lain yang berdampak serius pada Negara lain. Artinya, suatu kejahatan trans-nasional akan melibatkan lebih dari satu Negara. Pembajakan kapal dilaut, sebagai suatu kejahatan yang melintasi batas negara, tentunya halnya tersebut akan bersinggungan pula dengan yurisdiksi
9
Ibid. Organized criminal group memiliki karakteristik yaitu: 1) memiliki sturktur gup, 2) terdiri dari 3 orang atau lebil, 4) dibentuk untuk jangka waktu tertentu, 5) tujuan dari kejahatan adalahmelakukan kejahatan serius atau kejahatan yang diatur dalam konvensi, 6) bertujuan mendapatkanuang atau keuntungan materil lainnya. 10
6
Negara lain. Dalam hal yang demikian, jika terdapat 2 (dua) kedaulatan maka kedaulatan manakah yang akan diberlakukan dalam hal penerapan sanksi kepada pelaku kejahatan pembajakan atau terhadap para bajak laut. Sebab kapal asing yang di bajak diperairan teritorial juga memiliki bendera kapal sendiri, yang sebagimana pengaturan dalam hukum laut internasional, jika kapal yang padanya dilekatkan bendera suatu Negara maka kapal tersebut membawa yurisdiksi suatu Negara. Atau jika kapal tersebut berbendera Singapura maka status hukum yang melekat pada kapal tersebut juga adalah hukum Negara Singapura. Kenyataannya pembajakan terhadap kapal asing tidak akan mengalami berbenturan hukum jika aksi para bajak laut dilakukan dilaut lepas atau diluar dari perairan territorial suatu Negara.Sebab,sudah jelas jika kejahatan tersebut dilakukan dilaut lepas, maka kewenangan hukum untuk menindakinya ada pada Negara mana pun dan dapat memberlakukan yurisdiksinya pada saat itu juga. Sebagaimana hal tersebut telah disebutkan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut Pasal 100 bahwa: “Setiap Negara harus bekerjasama sepenuhnya dalam penindasan pembajakan di laut lepas atau di tempat lain manapun di luar yurisdiksi suatu Negara.” Perkembangan selanjutnya menunjukan jika kejahatan pembajakan di laut tidak hanya terjadi di laut lepas, tetapi juga dapat terjadi diperairan teritorial seperti di Laut Teritorial, Perairan Pedalaman, Zona Tambahan, Landas Kontinen, maupun di perairan Zona Ekonomi Eksklusif. Dimana pembajakan tersebut dapat pula terjadi pada kapal-kapal asing yang memiliki
7
yurisdiksi tersendiri. Sementara perairan teritorial adalah merupakan wilayah perairan yang di dalamnya telah melekat penuh kedaulatan setiap Negara pemiliknya. Sehingga apa bila terjadinya pelanggaran maupun kejahatan di wilayah teritorial tersebut maka sudah lazim apabila yang berlaku adalah hukum Negara setempat. Tetapi bagaimana jika hal tersebut harus diberlakukan pada kejahatan pembajakan kapal asing, yang olehnya juga diketahui jika kapal asing tersebut membawa yurisdiksi Negaranya. B.
Rumusan Masalah Bagaimanakah penerapan yurisdiksi teritorial Indonesia yang terjadi terhadap pembajakan kapal-kapal asing yang memiliki yurisdiksi sendiri berdasarkan bendera kapalnya diperairan teritorial Indonesia?
C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui bagaimanakah bentuk penerapan yurisdiksi suatu negara terhadap kejahatan pembajakan kapal asing yang terjadi di perairan teritorial Indonesia yang apabila terdapat dua kedaulatan dalam satu perbuatan kejahatan. D. Manfaat Penelitian Manfaat secara khusus yaitu merupakan suatu studi dibidang hukum pidana terutama dalam masalah tindak pidana pembajakan kapal di laut di mana penulis berharap penelitian ini dapat memberikan gambaran secara jelas dan mendetail mengenai prosedur dan sanksinya. Diharapkan pula dapat berguna bagi peneliti berikutnya, bagi civitas akademika Universitas
8
Haluoleo Kendari, serta bagi masyarakat yang khususnya berkecimpung di dunia hukum pidana. Manfaat secara umum yaitu sebagai syarat-syarat yang telah ditentukan dalam kurikulum Fakultas Hukum Universitas Haluoleo Kendari dalam mencapai gelar Sarjana Hukum.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Yurisdiksi Negara Yurisdiksi merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kedaulatan negara tidak akan diakui apabila negara tersebut tidak memiliki jurisdiksi,11persamaan derajat negara dimana kedua negara yang sama-sama merdeka dan berdaulat tidak bisa memiliki jurisdiksi (wewenang) terhadap pihak lainnya (equal states don’t have jurisdiction over each other)12, dan prinsip tidak turut campur negara terhadap urusan domestik negara lain. Prinsip-prinsip tersebut tersirat dari prinsip hukum “par in parem non habet imperium”13 Hans Kelsen mengatakan prinsip hukum “par in parem non habet imperium” ini memiliki beberapa pengertian.Pertama, suatu negara tidak dapat melaksanakan jurisdiksi melalui pengadilannya terhadap tindakantindakan negaralain, kecuali negara tersebut menyetujuinya. Kedua, suatu pengadilan yang dibentuk berdasarkan perjanjian internasional tidak dapat mengadili tindakan suatu negara yang bukan merupakan anggota atau peserta dari perjanjian internasional tersebut. Ketiga, pengadilan suatu negara tidak berhak mempersoalkan keabsahan tindakan suatu negara lain yang dilaksanakan di dalam wilayah negaranya.14
11
Mirza Satria Buana, 2007, Hukum Internasional Teori dan Praktek, Penerbit: Nusamedia, Bandung, hlm.56 12 Ibid., hlm. 57 13 Huala Adolf, 2008, Perjanjian Internasional, Rineka Cipta Bandung, hlm. 183 14 Ibid., hlm. 184
10
Yurisdiksi berkaitan erat dengan masalah hukum, khususnya kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki suatu badan peradilan atau badan-badan lainnya yang berdasarkan atas hukum yang berlaku. Di dalamnya terdapat pula batas-batas ruang lingkup kekuasaan itu untuk membuat, melaksanakan, dan menerapkan hukum kepada pihak-pihak yang tidak menaatinya. Meskipun yurisdiksi berkaitan erat dengan wilayah, namun keterkaitan ini tidaklah mutlak sifatnya. Negara-negara lain pun dapat mempunyai yurisdiksi untuk mengadili suatu perbuatan yang dilakukan di luar negeri. Disamping itu, ada beberapa orang (subyek hukum) tertentu memiliki kekebalan terhadap yurisdiksi wilayah suatu negara meskipun mereka berada di dalam negara tersebut. Rebecca
M.Wallace
mengatakan
yurisdiksi
merupakan
atribut
kedaulatan suatu negara. Yurisdiksi suatu negara menunjuk pada kompetensi negara tersebut untuk mengatur orang-orang dan kekayaan dengan hukum nasionalnya. Kompetensi ini mencakup yurisdiksi untuk menentukan (dan melarang), untuk mengadili dan melaksanakan Undang-Undang.15 Yurisdiksi dapat dibedakan atas : 1. Yurisdiksi Perdata.16 Meski yurisdiksi dalam persoalan sipil dijalankan sebagai upaya terakhir dengan penerapan sanksi hukum pidana, dalam konteks ini terdapat sejumlah perbedaan antara persoalan sipil (perdata) dan pidana. Secara umum kita dapat mengatakan bahwa pelaksanaan yurisdiksi 15
H. Bachtiar Hamzah, Hukum Internasional II,(Medan : USU Press, 1997), hlm.69 F. A. Mann, Doktrin Yurisdiksi Dalam Hukum Internasional Ditinjau Kembali Sesudah Duapuluh Tahun, 186 HR, 1984, hlm. 9 16
11
perdata diklaim oleh negara atas dasar yang jauh lebih luas daripada yang terjadi dalam masalah pidana, dan reaksi yang dihasilkan oleh negara-negara lain jauh lebih sedikit.17 Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa opini publik jauh lebih mudah timbul ketika seseorang disidang diluar negeri atas tindak pidana daripada jika seseorang terlibat dalam kasus perdata. 2. Yurisdiksi Pidana.18 Dalam hukum internasional dibolehkan suatu negara untuk menjalankan yurisdiksinya atas beberapa dasar, melalui undang-undang, kegiatan pengadilan, atau penegakkan hukum. Tidak ada kewajiban untuk melaksanakan yurisdiksi pada semua, atau salah satu yang khusus, dari dasar-dasar tersebut. Persoalan ini diserahkan pada hukum domestik untuk diputuskan. Arti penting prinsip-prinsip yurisdiksi ini adalah bahwa ia diterima oleh semua negara dan masyarakat internasional konsisten dengan hukum internasional. Sebaliknya, upaya untuk melaksanakan yurisdiksi dengan dasar lain akan beresiko tidak diterima oleh negara lain. Berdasarkan hak, kekuasaan dan kewenangan mengaturnya, yurisdiksi suatu negara di dalam wilayah negaranya dapat terbagi atau tergambarkan oleh kekuasaan atau kewenangan sebagai berikut: 1. Yurisdiksi Legislatif.19
17
M. Akehurst, Yurisdiksi Dalam Hukum Internasional, 46 BYIL, 1972-3, hlm. 145 Ibid., hlm. 152 19 Ibid., hlm 179 18
12
Yurisdiksi legislatif mengacu pada supremasi lembaga negara yang diakui secara konstitusional untuk membuat undang-undang yang mengikat dalam wilayahnya. Dalam kondisi tertentu kekuasaan legislasi ini dapat meluas hingga ke luar negeri. Negara mempunyai hak eksklusif membuat undang-undang dan peraturan dalam banyak bidang. Sebagai contoh, negara menetapkan teknik prosedural yang akan diadopsi oleh berbagai lembaga, seperti pengadilan, tetapi bagaimanapun juga tidak dapat mengubah cara bagaimana pengadilan asing berjalan. 2.
Yurisdiksi Eksekutif.20 Yurisdiksi eksekutif berkaitan dengan kewenangan negara untuk bertindak dalam batas-batas negara lain. Karena masing-masing negara independen dan memiliki kedaulatan teritorial, maka lazimnya pejabata negara tidak dapat melaksanakan fungsi mereka di luar negeri kecuali ada izin nyata dari negara tuan rumah dan tidak dapat menegakkan hukum negara mereka atas wilayah asing. Yurisdiksi Yudisial.21
3.
Menyangkut kekuasaan pengadilan dari negara tertentu untuk mengadili kasus-kasus dimana terdapat faktor asing. Ada beberapa alasan dimana pengadilan negara dapat mengklaim untuk menjalankan yurisdiksi tersebut. Dalam masalah pidana, yurisdiksi ini menjangkau mulai dari prinsip teritorial hingga prinsip universalitas sedangkan dalam persoalan sipil mulai dari kehadiran fisik terdakwa di negara yang 20
Malcolm N. Shaw QC, Hukum Internasional, Nusamedia Ujungberung, Bandung, 2013,
hlm. 641 21
M. Akehurst… Op. Cit., hlm. 152
13
bersangkutan hingga prinsip kewarganegaraan dan domisili. Adalah yurisdiksi peradilan yang merupakan aspek yurisdiksi yang paling sering dibahas dan masalah kriminal adalah contoh paling penting dari hal tersebut. B.
Yurisdiksi Teritorial Dasar teritorial untuk melaksanakan yurisdiksi mencerminkan satu aspek dari kedaulatan yang bisa dijalankan oleh negara di teritorialnya sendiri, dan merupakan pondasi yang diperlukan untuk melaksanakan berbagai hukum yang dimiliki negara. Bahwa negara harus mampu membuat undang-undang berkenaan dengan kegiatan di dalam wilayahnya dan menuntut pelanggaran yang dilakukan di rumahnya merupakan manifestasi logis dari tatanan dunia negara-negara independen dan sepenuhnya bisa dimengerti karena otoritas negara bertanggungjawab atas pelaksanaan hukum dan pemeliharaan ketertiban yang baik dinegara itu. Juga sangat melegakan karena pada prakteknya para saksi kejahatan akan dibawa di negara ini dan seringkali tersangka pelaku juga akan berada di sana.22 Kejahatan yang telah dilakukan di dalam yurisdiksi wilayah suatu negara bisa diajukan ke pengadilan negara dan jika terbukti bersalah terdakwa dapat dihukum. Hal ini berlaku sekalipun pelakunya adalah orang asing. Kebalikan dari konsep yurisdiksi teritorial adalah pengadilan dari suatu negara, sebagai prinsip umum, tidak memiliki yurisdiksi berkenaan dengan peristiwa yang telah terjadi atau yang sedang terjadi di wilayah negara lain. Selanjutnya, 22
Donaldson L J, Menunjuk Asumsi Umum Yang Mendukung Teritorialitas Yurisdiksi, R v. Yorkshire Coroner, ex parte Smith, 1983, hlm. 550
14
terdapat anggapan bahwa undang-undang berlaku dalam wilayah negara yang bersangkutan dan tidak diluar. Satu negara tidak bisa menetapkan hukum pidana untuk negara lain tanpa adanya persetujuan, juga tidak bisa menjalankan hukum pidana dalam wilayah negara lain tanpa adanya persetujuan.23 Pelaksanaan dari yurisdiksi pidana adalah merupakan aspek teritorial (kewilayahan), meski bukan satu-satunya. Terdapat dasar lain seperti kewarganegaraan, namun sebagain besar tuntutan pidana berlangsung di wilayah di mana kejahatan telah dilakukan. Namun, konsep teritorial telah berkembang lebih luas daripada ketika pertama kali muncul karena meliputi tidak hanya kejahatan yang sepenuhnya dilakuakn diwilayah suatu negara, tetapi juga kejahatan di mana bagian dari pelanggaran itu telah terjadi di suatu negara. Contohnya adalah ketika seseorang menembakkan senjata di seberang perbatasan dan membunuh orang lain di negara tetangga. Negara di mana pistol itu ditembakkan dan negara di mana cedera tersebut terjadi memiliki yurisdiksi untuk menghukum pelaku, yang pertama di bawah prinsip teritorial subyektif (pelaku) dan yang kedua di bawah prinsip teritorial obyektif (sasaran). Negara mana yang akan melaksanakan yurisdiksi bergantung pada di mana pelaku berada, tetapi intinya tetap bahwa kedua negara di mana
23
Hakim Guillaume, Dalam Situasi Pendudukan Perang, Penjajah Bisa Menjalankan Kekuasaan Mengatasi Kejahatan yang Berhubungan Dengan Penduduk Sipil: lihat Konvensi Jenewa Keempat tentang perlindungan warga sipil, Pasal 64-78, Congo v. Belgium, ICJ Reports, 2002, hlm. 3-36
15
pelanggaran itu dilakukan dan negara di mana pelanggaran itu berakhir secara sah dapat menghukum pelaku.24 Hasil penelitian Universitas Harvard mengatakan jika pertimbangan lain dalam menerapkan yurisdiki teritorial ini adalah bahwa negara di mana si pelaku tindak pidana itu berada memiliki kepentingan, fasilitas, dan pejabat yang paling berkompeten untuk menangani tindak pidana baik yang dilakukan oleh warga negaranya maupun oleh warga negara asing.25 1. Sifat Yuridis Laut Teritorial Luat teritorial termasuk dalam unsur kedaulatan teritorial negara pantai dan dengan demikian secara otomatis menjadi miliknya. Sebagai contoh, semua negara yang baru merdeka (yang berpantai) mendapatkan kemerdekaannya dengan disertai hak atas laut teritorial. Ada sejumlah teori mengenai karakter hukum tepatnya dari laut teritorial negara pantai, mulai dari perlakuan laut territorial sebagai bagian dari res communis, namun tunduk pada hak tertentu yang bisa dilaksanakan oleh negara pesisir, hingga mengenai laut teritorial sebagai bagian dari ranah teritorial negara pantai namun tunduk pada lintas damai kapal asing.26 Namun demikian tidak dapat dibantah bahwa negara pantai memiliki hak berdaulata atas sabuk maritimnya dan kontrol yurisdiksi yang luas, dengan memperhatikan ketentuan terkait dalam hukum internasional. Pembatasan mendasar terhadap kedaulatan negara pantai adalah hak negara lain atas lintas damai 24
Hakim Moore, Draf Konvensi Penelitian Harvard tentang Yurisdiksi yang Menyangkut Kejahatan, AJIL, 1935, hlm. 73 25 JG. Starke, Introduction to International Law, London: Butterworth 9th ed, 1984, hlm. 201 26 Malcolm N. Shaw QC, Op. Cit.., hlm. 557
16
melalui laut teritorial, dan membedakan wilayah laut territorial dari perairan internal negara, yang sepenuhnya berada dalam yurisdiksi tanpa batas negara pantai. Pasal 1 dan 2 Konvensi Tentang Hukum Laut Teritorial, 1985 bahwa kedaulatan negara pesisir meliputi laut teritorialnya dan wilayah udara dan dasar laut dan lapisan tanah dibawahnya, dengan tunduk pada ketentuan konvensi dan hukum internasional. Laut teritorial menjadi bagian tak terbantahkan dari wilayah daratan tempat ia melekat sehingga penyerahan daratan secara otomatis juga akan mencakup hak perairan teritorial. Negara pantai jika menghendaki, bisa melarang warga dan kapal asing dari kegiatan menangkap ikan di laut teritorialnya dan (tergantung perjanjian yang berbeda) dari perdagangan pantai (dikenal dengan aktivitas cabotage), dan mengkhususkan kegiatan ini untuk warga negaranya sendiri. Demikian pula negara pantai memiliki kekuasaan luas atas control yang berkaitan dengan, antara lain, keamanan dan urusan kepabeanan. Namun demikian, perlu dicatat bahwa sejauh mana negara memilih untuk melaksanakan yurisdiksi dan kedaulatan yang bisa diklaimnya menurut prinsip hukum internasional akan bergantung pada ketentuan perundangan dalam negerinya sendiri, dan sebagian negara tidak ingin memanfaatkan secara penuh kekuatan yang diperbolehkan bagi mereka dalam sistem hukum internasional.27
27
Ibid., 558
17
2. Yurisdiksi Atas Kapal Asing Kapal asing dalam perjalanannya melintasi laut teritorial suatu negara pantai, maka kewenangan dari negara pantai hanya bisa melaksanakan yurisdiksi pidananya untuk menangkap orang atau menyelidiki masalah yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan di atas kapal dalam situasi tertentu. Ini disebutkan dalam Pasal 27 ayat 1 Konvensi 1982, yang menegaskan kembali Pasal 19 ayat 1 konvensi tentang Laut Teritorial 1958, sebagai berikut: a.
Jika konsekuensi tindak pidananya berdampak kepada negara pantai, atau
b.
Jika tindak pidananya adalah dari jenis yang cenderung menggangu ketentraman atau ketertiban wilayah laut; atau
c.
Jika bantuan otoritas setempat telah diminta oleh kapten kapal atau oleh badan diplomatik atau pejabat konsuler negara-bendera, atau;
d.
Jika langkah demikian diperlukan untuk menekan peredaran gelap obat-obatan narkotika atau zat psikotropika. Kapal-kapal yang melintasi laut teritorial setelah meninggalkan laut
pedalaman negara pantai, maka negara pantai bisa bertindak dengan cara apa pun sebagaimana yang digariskan oleh hukum-hukumnya mengenai penahanan atau penyelidikan diatas kapal dan tidak dibatasi oleh ketentuan Pasal 27 ayat 1. Namun otoritas negara pantai tidak bisa bertindak apabila tindak pidana atau kejahatannya dilakukan sebelum
18
kapal memasuki laut teritorial, sepanjang kapal tidak sedang memasuki atau telah memasuki perairan pedalaman. Pasal 28 konvensi tahun 1982, negara pantai tidak boleh menghentikan atau mengalihkan kapal asing yang melintasi laut teritorialnya dengan tujuan melaksanakan yurisdiksi perdata atas seseorang yang berada diatas kapal, kecuali memang terkandung kewajiban yang dipikul oleh kapal itu sendiri selama, atau untuk tujuan, perjalanannya melalui perairan negara pantai, atau kecuali kapal itu melewati laut teritorial dalam perjalanannya meninggalkan perairan internal. Namun demikian, aturan diatas tidak mempengaruhi hak sebuah negara untuk memungut retribusi atas atau menahan, untuk tujuan proses hukum perdata, sebuah kapal asing yang berada di laut territorial atau melintasi laut teritorial setelah meninggalkan perairan pedalaman. Kapal perang dan kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial kebal dari yurisdiksi negara pantai, meskipun mereka bisa diminta untuk segera meninggalkan laut teritorial atas pelanggaran atauran mengenai kegiatan lintas dan negara bendera akan memikul tanggung jawab internasional apabila timbul kehilangan atau kerusakan yang diakibatkannya. C. Pembajakan Kapal Di Laut 1. Latar Belakang Sejarah Masalah pembajakan di laut sudah terjadi sejak manusia mulai mempergunakan kapal bagi kepentingan kehidupannya melalui laut.
19
Apalagi dengan bermunculannya kerajaan-kerajaan di sepanjang pantai, penggunaan kapal menjadi semakain meningkat, tidak saja keperluan penangkapan ikan di laut, tetapi juga sudah dijadikan sebagai sarana transportasi bagi perdagangan yang terus meningkat pula. Dalam sejarah kita sudah mengetahui bahwa di wilayah Asia Tenggara sejak awal abad Masehi sampai abad ke-13 Masehi sudah terdapat kerajaan-kerajaan maritime besar seperti Funan, Champa, Sriwijaya dan Majapahit. Perkembangan keenam meningkatnya mempergunakan
kerajaan itu
perdagangan kapal-kapal
China layar.
telah
ke
menyebabkan semakin
Selatan
Bersamaan
(Nanyang) dengan
itu
dengan telah
berkembang pula pembajakan di laut seperti yang dicatat oleh Ban Gu (3292 M) bahwa pembajakan telah terjadi sepanjang rute kapal-kapal dagang Cina ke Srilanka (Yichenghu) melalui Singapura (Duyuan Go).28 Pada tahun 412 Masehi, seorang penganut agama Buddha dari Cina yang sedang melakukan ibadah ke India, bernama Shi Fan Xian juga mencatat bahwa pelayarannya telah dirampas kekayaannya oleh bajak laut. Apalagi dengan semakin ramainya perdagangan melalui laut antara Cina dan India selama periode 1049-1175, dimana kapal-kapal mereka membawa aneka komoditi seperti gading gajah, cula badak, sutera, permata, porselen, kemenyan dan minyak wangi.29
28
Syamsumar Dam, 2010 Politik Laut, Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 98 ibid
29
20
2. Pengertian Yuridis Tentang Pembajakan Definisi atau batasan pengertian pembajakan di laut telah ditentukan berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB 1982, Pasal 101 yang menyebutkan, pembajakan di laut terdiri dari salah satu diantara tindakan berikut: 1. Setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta dan ditujukan: a. di laut lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap orang atau barang yang ada diatas kapal atau pesawat udara demikian. b.
terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu tempat di luar yurisdiksi Negara manapun
2. Setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian suatu kapal atau peswat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya suatu kapal atau pesawat udara pembajak. 3. Setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan yang disebutkan dalam sub-ayat (1) dan (2). Unsur-unsur tindak pidana pembajakan di laut lepas adalah:30
30
Tri Styawantar, Pengaturan Hukum Penanggulangan Pembajakan dan Perompakan Laut di Wilayah Perairan Indonesia, Media Hukum/Vol.V/No1/Januari - Maret/ 2005 No ISSN 1411-3759; hlm. 3
21
1. Adanya
tindakan
kekerasan,
penahanan
tidak
sah,
tindakan
memusnahkan dan setiap tindakan menyuruh lakukan, turut serta atau membantu tindakan-tindakan tersebut. 2. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan oleh awak kapal atau penumpang daru suatu kapal atau pesawat udara swasta. 3. Tindakan-tindakan tersebut ditujukan terhadap kapal atau peswat udara lain atau terhadap orang atau barangnya. 4. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan dilaut lepas, atau di suatu tempt diluar yurisdiksi Negara manapun. Berdasarkan unsur-unsur tindak pidana pembajakan di laut lepas tersebut, maka dapat dikatakan adanya perkembangan “modus furandi (motif) kejahatan pembajakan di laut lepas.” Perkembangan modus furandi tersebut terlihat bahwa dahului pembajakan di laut lepas motifnya hanyalah perampasan harta benda saja. Sekarang modus furandinya telah berkembang semua tindakan yang tidak sah seperti penculikan, pembunuhan dan tindakan kekerasan lainnya yang bermotifkan politik, asalkan tindakan tersebut dilakukan dilaut lepas dengan menggunakan sebuah sarana atau kapal atau pesawat udara swasta. Jadi pada prinsipnya semua bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suatu kapal terhadap kapal lainnya di laut lepas dapat dikualifikasikan sebagai pembajakan. 31 Pembajakan di laut lepas merupakan tindak pidana internasional dan dianggap sebagai musuh setiap Negara, serta dapat diadili dimana pun
31
Ibid., hlm. 3-4
22
pembajak
tersebut
ditangkap
tanpa
memandang
kebangsaannya.
Paembajakan di laut lepas memang bersifat “crimes of universal interest”, sehingga setiap negara dapat menahan perbuatan yang dinyatakan sebagai pembajakan yang terjadi di luar wilayahnya atau wilayah negara lain yaitu dilaut lepas, dan berhak melaksanakan penegakan yurisdiksi dan ketentuanketentuan hukumnya.32 Negara boleh menangkap pembajak di laut lepas, dan menyeret kepelabuhannya untuk diadili oleh pengadilan negara tersebut, dengan alasan pembajakan di laut lepas tersebut adalah ‘hostes humani generis’ (musuh semua umat manusia). Tetapi hak ini hanya berlaku pada orangorang yang dianggap melakukan pembajakan di laut berdasarkan criteria yang ditentukan oleh hukum internasional. Hal itu disebabkan mungkin terdapat perbuatan yang dianggpa pembajakan oleh Undang-Undang suatu negara tertentu, tetapi menurut hukum internasional bukan pembajakan. Misalnya , dalam hukum pidana Inggris, bekerja dalam perdagangan budak dianggap sama dengan pembajakan.33 Dewan pertimbangan agung Inggris telah mempelajari sedalamdalamnya definisi yang diberikan oleh ahli-ahli hukum internasional mengenai pembajakan, tanpa memberikan satu definisi sendiri.Dewan telah mengemukakan pendapatnya, bahwa perompakan itu sendiri bukanlah satu unsur pokok dalam kejahatan tersebut, dan satu percobaan yang sia-sia
32
Churchill, R. R and Lowe. A.V, The Law of the sea. Manchester University Press, Manchester UK, 1983, hlm. 148 33 Mochamad Radjab, Hukum Bangsa-Bangsa (terjemahan), penerbit Bhratara, Jakarta, 1963, hlm. 226
23
untuk melakukan satu perompakan/membajak samalah dengan membajak. Dorongan yang biasa untuk sesuatu perbuatan membajak tentulah satu niat hendak merampok, tetapi jika unsur-unsur lain dari pembajakan itu ada pula, maka niat tadi mungkin tidak penting. Disamping itu barangkali ada nafsu hendak membunuh atau hanya untuk merusakkan.34 3. Dimensi dan Pengaturan Pembajakan dan Perompakan di Laut35 Tindak pidana perompakan dan pembajakan di laut baik yang dilakukan oleh kapal-kapal asing maupun oleh kapal-kapal domestik di wilayah perairan Indoneisa akhir-akhir ini telah menimbulkan keresahan bagi pelayaran domestic maupun pelayaran internasional. Penindakan kejahatan perompakan dan pembajakan laut tersebut, didasarkan pada berlakunya delik-delik KUHP yang berkaitan dengan “kejahatan pelayaran”, dengan menggunakan satu istilah yang sama yaitu sebagai delik ‘pembajakan”. Persepsi secara umum mengenai tindak pidana di laut selalu diidentikan dengan istilah pembajakan (piracy). Meskipun dalam kenyataannya terdapat beberapa kasus yang merupakan tindaka kejahatan perompakan di laut (sea robbery). Kedua istilah tersebut dapat dikatakan sama hakekatnya, dan kadang secara bersamaam keduanya digunakan untuk menyebutkan suatu peristiwa tindak kekerasan di laut, tetapi sebenarnya mempunyai perbedaan mengenai wilayah yurisdiksi tempat terjadinya (locus delicti) tindak kekerasan di laut tersebut. 34
Ibid., hlm 226-227 Tri Styawantar,Op. Cit., ……. hlm. 5
35
24
Pembajakan di laut mempunyai dimensi internasional karena biasanya digunakan untuk menyebutkan tindak kekerasan yang di lakukan di laut lepas. Sedangkan perompakan di laut lebih berdimensi nasional karena merupakan tindak kekerasan di laut yang dilakukan di bawah yurisdiksi suatu negara, dengan tujuan yang berbeda pula, meskipun juga dapat mencakup lingkup transnasional. Dengan demikian penanganan kedua jenis tindak kekerasan di laut tersebut dapat dibedakan ruang lingkup pengaturan hukumnya, meskipun dapat dilakukan dalam bentuk satu rangkaian tindakan yang sama, oleh aparat penegak hukum yang sama pula. Perompakan dilaut merupakan tindakan kekerasan yang tidak sah di perairan yurisdiksi suatu negara terhadap orang atau barang di atas kapal atau perahu, sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.36 Dengan demikian kedua istilah tersebut memang berbeda dalam menyebutkan tindak kekerasan di laut wilayah yurisdiksi yang berbeda, dengan tujuan yang berbeda pula. Oleh karena itu kedua istilah tersebut memang perlu dibedakan untuk menghindari kerancuan, baik dalam pengaturan hukumnya maupun penegakan hukum oleh aparat yang berwenang. Negara kepulauan seperti Indonesia, tindak kekerasan di laut baik berupa pembajakan maupun perompakan nsudah merupakan bagian dari dinamika kehidupan di laut yang perlu untuk mendapatkan penanganan 36
Leo Dumais, 2001, Pembajakan dan Perompakan di Laut, Laporan Pelaksanaan Temu Wicara Kerjasam ASEAN Dalam Menanggulangi Kejahatan Lintas Negara, Deparlu, Jakarta, hlm. 49
25
yang serius. Data yang dikeluarkan oleh International Maritime Bureau Kula Lumpur pada tahun 1999 menyebutkan ada 113 kasus yang terjadi di perairan Indonesia dan meningkat menjadi 117 kasus pada tahun 2000. Data tersebut berbeda dengan data yang dikumpulkan oleh TNI AL pada tahun 2000 yang menunjukkan terjadinya 81 kasus, dimana 79 kasus merupakan perompakan dan 2 kasus lainnya dikategorikan sebagai pembajakan.37 Data-data tersebut menunjukan bahwa tindak kekerasan di laut, khususnya tindak perompakan di laut dapat menjadi ancaman yang serius bagi keamanan dan kelancaran pelayaran antar daerah maupun antar negara. Demikian pula akan berpengaruh pada kredibilitas Pemerintah Indonesia dimata internasional, serta mengandung potensi konflik bilateral bahkan internasional. Hal itu dapat disimpulkan dengan adanya keinginan dari negara lain sperti Jepang untuk terjun secara langsung dalam pengamanan di laut karena seringnya terjadi pembajakan dan perompakan di Selat Malaka. Aksi para perompak secara garis besarnya menggunakan sarana speed boat, perahu pancung, atau kapal ikan dengan perlengkapan senjata api, golok, masker, dan tali berkait untuk naik ke kapal. Dalam hal ini kapal sasarannya pada umumnya adalah kapal dagang. Kapal tanker dan kapal ikan. Sedangkan akibat yang timbul dari perompakan tersebut adalah terbunuhnya awak kapal, penculikan atau luka-luka, serta kerugian atas
37
Ibid.,hlm. 50
26
barang-barang seperti uang, peralatan kapal, suku cadang, perlengkapan yang dimiliki awak kapal dan ikan hasil tangkapan.38 Aksi perompakan yang biasanya pada waktu malam hari, dilakukan dengan modus operandi yaitu menempelkan speed boat ke kapal yang menajdi sasarannya, kemudian menaiki kapal dengan menggunakan tali. Sebagaimana pencuri, para perompak akan menjarah barang-barang di kapal yang kemudian diangkut dengan speed boat. Sedangkan dalam peristiwa pembajakan modus operandi yang digunakan adalah dengan mengganti awak kapal baru yang dikontrak, merubah warna kapal dan mengganti nama kapal dengan dokumen palsu. Dari sisi pengaturan hukumnya, dalam upaya penanggulangan pembajakan dan perompakan di laut masih jauh tertinggal dengan perkembangan pengaturan secara internasional maupun perkembangan modus operandi tindak kekerasan itu sendiri. Pengaturan mengenai perompakan di laut diatur dalam Pasal-pasal 439, 440 dan 441 KUHP, sedangkan pembajakan di laut diatur dalam Pasal 438 KUHP mengenai kejahatan pelayaran. Ketentuan dalam KUHP yang mengatur delik perompakan adalah: Pasal 439 KUHP berbunyi sebagai berikut: 1. Diancam karena melakukan pembajakan di pantai dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, barang siapa dengan memakai kapal melakukan perbuatan kekerasan terhadap kapal lain atau terhadap orang atau barang diatasnya, di dalam wilayahlaut Indonesia.
38
Leo Dumais., Op. Cit., hlm. 52
27
2. Wilayah laut Indonesia yaitu wilayah “territorial zee en maritime kringen Ordonantie” 1939. Pasal 440 KUHP berbunyi sebagai berikut: “Diancam karena melakukan pembajakan dipantai dengan pidana penjara paling lama lima belastahun, barangsiapa yang didarat maupun diair sekitar pantai atau muara sungai, melakukan perbuatan kekerasan terhadap orang atau barang disitu, setelah lebih dahulu menyeberangi lautan seluruhnya atau sebagiannya untuk tujuan tersebut.” Pasal 441 KUHP berbunyi sebagai berikut: Diancam karena melakukan pembajakan disungai, dengan pidana penjara Paling lama lima belas tahun, barang siapa dengan memakai kapal melakukan perbuatan kekerasan di sungai terhadap kapal lain atau terhadap orang atau barang diatasnya, setelah datang ketempat dan untuk tujuan tersebut kapal dari tempat lain.
Ketentuan dalam KUHP yang mengatur tentang delik pembajakan adalah: Pasal 438 KUHP yang berbunyi sebagai berikut: Diancam karena melakukan pembajakan dilaut: Ke-1: dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, barang siapa masuk bekerja menjadi nahkoda atau menjalankan pekerjaan itu di sebuah kapal, pada hal diketahui bahwa kapal itu diperuntukan untuk digunakan melakukan perbuatan kekerasan di laut bebas terhadap kapal lain atauterhadap orang lain dan barang di atasnya, tanpa mendapat kuasa untuk itu dari sebuah negara yang berperang atau tanpa masukangkatan laut negara yang diakui. Ke-2: dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, barang siapa mengetahui tentang tujuan atau penggunaan kapal itu, masuk kerja menjadi kelasi kapal tersebut, atau dengan sukarela terus menjalankan pekerjaan
28
tersebutsetelah diketahui hal itu olehnya, ataupun termasuk anak buah kapal tersebut. D. Lingkup Berlakunya Hukum Pidana 1. Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu a. Asas Legalitas Sebagai Ruang Berlakunya Hukum Pidana Asas legalitas adalah merupakan salah satu asas yang sangat penting dan sentral dalam hukum pidana. Asas legalitas ini berasal dari doktrin nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali,tiada tindak pidana dan hukuman pidana tanpa sebelumnya ditetapkan dalam suatu undang-undang. Paralel dengan doktrin nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenaliberlaku pula ajaran
lex certa yakni suatu
peraturan perundang-undangan jangan diartikan lain selain daripada maksud diadakannya substansi peraturan perundang-undangan tersebut. Oleh karena itu, dalam hukum pidana berlaku pula larangan penafsiran secara ekstensif dan analogi Doktrin nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenaliini kemudian menjadi asas dan merupakan aturan umum dalam KUHP, yaitu hukum materil yang mengatur dan mengancam dengan hukuman tindak pidana. Pasal 1 ayat (1) KUHP menentukan bahwa “Suatu perbuatan tidak dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan perundangundangan pidana yang telah ada.” Ketentuan umum ini tetap menjadi asas dalam RUU-KUHP tetapi dengan menerima perkembangan pemikiran bahwa asas itu “tidak mengurangi berlakunya hukum
yang
29
hidup
dalam masyarakat
yang
menentukan
seseorang
patut
dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan” asalkan sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.”perkembangannya hukum formil menganut asas serupa juga seperti misalnya dalam pasal 3 KUHAP ditentukan bahwa “peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini.” Dalam beberapa hal bahkan materi hukum acara pidana ada yang bersifat constitutional right seperti “persamaan di depan hukum. “Dengan demikian, asas legalitas berlaku baik dalam hukum materil maupun dalam hukum formil pada saat yang sama. Asas legalitas sebelum menjadi bagian dari hukum materil dewasa ini mempunyai sejarah yang panjang. Sejarah asas legalitas ini barangkali dimulai dari hukum Romawi yang diketahui mempengaruhi hukum di Eropa Kontinental. Sejarah hukum pidana Indonesia sebagaimana semula adalah merupakan Code Napoleon Perancis dengan kolononisasi kemudian berlaku di Belanda dan terakhir ke Indonesia. Lahirnya doktrin nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali adalah sebagai bagian dari perjuangan masyarakat di Perancis untuk perlindungan HAM dari kemungkinan perlakuan sewenang-wenang oleh
30
penguasa. 39Pada saat yang sama, di Italia Cesare Beccaria menulis bahwa:40 “If a judge is compelled to make, or makes of his own free will, even two syllogism he opens the door to uncertainty.” Kemudian dilanjutkan bahwa:41 “Nothing is more dangerous than the common axiom that we shouldconsult the spirit of the law.”(diberlakukan asas legalitas yang sama pada saat yang sama).” b. Kerangka teoritis Hukum dan Asas Legalitas Asas legalitas mempunyai landasan teoritis. Sebagaimana diuraikan oleh John Austin ketika menjawab pertanyaan apakah legal (hukum) itu secara singkat John Austin menyatakan dengan frasa a command. 42
Pengertian bahwa hukum adalah suatu perintah kemudian diuraikan
Austin43, “the term law embraces the following objects: Laws set by God to his human creatures, and laws set by men to men.”(Istilah hukum mencakup objek berikut: Hukum yang ditetapkan oleh Tuhan untuk makhluk manusia, dan hukum-hukum yang ditetapkan oleh laki-laki dengan laki-laki".)
39
Komariah E. Sapardjaja, dalam putuan MK No. 069/PUU-II/2004 tentang Pengujian UU No.30 tahun 2002 tentang Pemberantasan Korupsi terhadap UUD 1945, yang diterbitkan Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, hlM. 42 40 Cesare Beccaria, Of Crimes and Punishments, Introductionby Marvin Wolfgang, Foreword by Mario Cuomo, translated by Jane Grigson, Marsilio Publisher, New York1996, hlm. 16 41 Ibid., hlm. 17 42 John Austin, The Province of Jurisprudence Determined Lecture I, Edited by Wilfrid E. Rumble, Cambridge University Press, Cambridge, 1955 43 Ibid, hlm.18
31
Hukum yang berasal dari Tuhan (laws set by God),“frequently styled the law of nature, or natural law”Sementara, hukum yang dibuat manusia untuk manusia (laws set by men to men) dibagi dalam dua kelas yaitu (i) hukum yang dibuat oleh “political superior” dan (ii) hukum yang dibuat oleh “are not political superior.” Hukum dengan kelas pertama itu ialah hukum dimana political superior, sovereign, and subject: by persons exercising supreme and subordinate government, in independent nations, or independent political societies. 44(politik yang unggul, berdaulat berada pada pemerintah tertinggi dengan bawahannya negara-negara independen, atau masyarakat politik independen). Ahli hukum Romawi oleh privilegia.
45
Hukum dengan suatu
political superior ini sering disebut dengan positive law or law existing by position. Dan setiap hukum atau peraturan itu adalah a command. Hukum yang dibuat oleh “are not political superior” dalam banyak hal adalah hukum yang berhubungan dengan hak subyektif seperti dalam administrasi pemerintahan dan atau hukum perdata. Austin menguraikan bahwa a command itu harus dibedakan dari suatu keinginan semata.
46
Karena substansi dari a command adalah
keinginan berdasarkan adanya suatu kekuasaan dan yang diikuti suatu perintah berdasarkan kekuasaan itu. Suatu command akan berakibat
44
Ibid. hlm.19 O.F Robinson, The Sorces of Roman Law, Problems and Methods for Ancient Historians, Routledge, London and New York, 1997: hlm. 325 46 John Austin,.... Op cit. hlm.21 45
32
adanya “evil or pain” bila tidak dihormati. kewajiban
adalah
berkorelasi.
Mengenai
47
Istilah perintah dan
korelasi
ini.
Austin
mengatakan:48 “wherever a duty lies, a command has been signified; and whenever a command is signified, a duty is imposed... The evil which will probably be incurred in case a command be disobeyed or...in case a duty be broken, is frequently called a sanction, or an enforcement of obedience. Rewards are not sanctions. The greater the evil to be incurred in case the wish be disregarded, and the greater the chance of incurring it on that same event, the greater, no doubt, is the chance that the wish will not be disregarded. Command, duty and sanction are inseparably connected terms”(Setiap tugas,ataupun perintah yang telah diamanatkan, kejahatan ataupun penyelewenagan terhadap tugas dan perintah tersebut mungkin saja akan terjadi pada sebuah kasus. Sehingga diperlukan sanksi agar tercapai penegakan terhadap aturan. Semakin besar kejahatan yang terjadi dalam sebuah kasus, maka semakin besar sanksi yang bisa ditimbulkannya. Sehingga perintah, tugas dan sanksi adalah istilah yang tidak dapat dipisahkan dan saling berhubungan). Pemikiran Austin ini kemudian dikembangkan oleh Hans Kelsen dengan “Teori Hukum Murni.
49
Pendapat Hans Kelsen ini muncul
ketika gagasan humanisasi kehidupan dan deklarasi umum hak asasi manusia (1948) telah ada. 50Pendapat Kelsen ini disebut dengan “Teori Hukum Murni” karena dalam menganalisis hokum Kelsen hanya mendasarkan pada pengetahuan tentang hokum itu bukan pada pembentukannya. Kelsen mengatakan bahwa teori hukum murni
47
Ibid., hlm. 22 Ibid 49 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Empirik Deskriptif, alih bahasa Drs. Somardi, Cetakan I, Rimdi Press, Jakarta:1995 Dalam teori hukum murni ini, Hans Kelsen mengakui bahwa teori hukum murni dikembangkan dengan cita-cita keadilan tertentu yaitu demokrasi dan liberalisme (h.3). Dan menurut Paul Scholten, op.cit 5, bahwa “kemurnian ini dicarinya terutama di sini, bahwa ajaran tentang hukum harus secara tajam dipisahkan di satu pihak dari ilmu sosiologis, di lain pihak dari tiap postulat etikal yang menyebabkan orang jatuh kembali ke dalam suatu “hukum kodrat” yang justru mau dihindarkan 50 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, 1995, hlm. 109 48
33
berusaha mencapai hasil-hasilnya melulu melalui analisis hukum positif. 51
Dikatakan bahwa Negara tidak lain daripada personifikasi hukum
nasional. Hukum adalah suatu tata perbuatan manusia. Tata adalah suatu sistem aturan-aturan. Kemudian, tentang hokum positif Kelsen mengatakan, “Seandainya ada suatu keadilan yang dapat diketahui secara obyektif, maka tidak akan ada hukum positif dan oleh karena itu tidak akan ada negara; karena tidak akan perlu untuk memaksa orang menjadi bahagia”. Ditekankan bahwa hanya tata hukum positiflah yang dapat menjadi obyek ilmu pengetahuan: hanya tata inilah yang merupakan obyek dari teori hukum murni, yang merupakan ilmu hukum, bukan metafisika hukum. Menurut pengertian teori hukum murni, tata hukum positif adalah suatu teori yang benar-benar realistik dan empirik.52 Teori
hukum
murni,
paksaan
digunakan
untuk
mencegah
pelanggaran hukum dalam masyarakat. Hukum dan paksaan tidak bertentangan satu sama lain. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa hukum adalah organisasi paksaan.
53
Perdamaian hukum adalah suatu kondisi
monopoli paksaan,suatu monopoli paksaan oleh masyarakat. 54Sekalipun sesungguhnya hukum adalah suatu tata yang melarang penggunaan paksaan pada umumnya, akan tetapi sebagai pengecualian, di bawah
51
Ibid., hlm. 5 Lebih jauh, Bernard Arief Sidharta menjelaskan mengenai hal ini dalam buku Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, sebuah penelitian tentang fondasi kefilsafatan dan sifat keilmuan ilmu hukum sebagai landasan pengembangan ilmu hukum nasional, penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, 2000:85 mengatakan “Artinya, hanya pengetahuan empiris, dengan kata lain, hanya kenyataan yang dapat diobservasi panca indera yang dapat menjadi objek ilmu 53 Ibid., hlm. 19 54 Ibid 52
34
kondisi-kondisi
tertentu
dan
untuk
individu-individu
dibolehkan menggunakan paksaan sebagai suatu sanksi.
tertentu, 55
Peraturan
hukum yang sah adalah norma. Lebih tepatnya, peraturan hukum adalah norma yang menerapkan sanksi.56Suatu perintah adalah mengikat bukan karena individu yang memerintah memiliki kekuasaan nyata yang lebih tinggi, melainkan karena dia “diberi wewenang” atau diberikan kekuasaan untuk melahirkan perintah-perintah yang bersifat mengikat.57Normaadalah suatu peraturan yang merujuk pada suatu kondisi bahwaseseorang harus bertindak menurut suatu cara tertentu, tanpa mengandung arti bahwa seseorang benar-benar “menginginkan” atau “menghendaki” orang itu bertindak menurut cara tersebut.58 Norma itu sendiri adalah pernyataan tentang ide bahwa sesuatu harus terjadi, terutama bahwa seseorang individu harus berbuat menurut suatu cara tertentu.59Namun, tidak setiap perintah adalah suatu norma yang sah60sehingga secara konseptual diakui eksistensi dari pengadilan administrasi negara.Pertama-tama secara kategoris harus dibedakan hukum yang dirumuskan dalam proses legislasi oleh kekuasaan legislatif (dan eksekutif) dan hukum yang ditegakkan melalui kekuasaan yudikatif. Hukum sebagai produk dari bersama-sama legislatif dan eksekutif adalah Undang-Undang yang rumusannya merupakan
55
Ibid., hlm. 20 Ibid., hlm. 28 57 Ibid., hlm. 29 58 Ibid.,hlm.34 59 Ibid.,hlm.35 60 Ibid.,hlm.29 56
35
pernyataan umum. Sementara kasus adalah bersifat spesifik sehingga antara Undang Undang dan kasus selalu ada jarak (a simetris) sehingga memerlukan pencarian makna, tentu saja dari perspektif keadilan. Dalam tataran praksis, makna itu ditemukan melalui interpretasi dan konstruksi hukum yakni cara untuk mengetahui dan memastikan hukum dari suatu kasus. Bila dalam pemberian makna itu lebih banyak menggunakan diskresi dari pemahaman aparatur hukum (hakim) mengenai hukum maka dapat disebut hukum yang demikian sebagai the invisible justice system.61 Kecenderungan untuk menyamakan hukum dan keadilan adalah kecenderungan
untuk
membenarkan
suatu
tata
sosial
tertentu.
Menyamakan hukum dan politik adalah kecenderungan politik bukan kecenderungan ilmiah. 62Sementara itu, masih dengan pertanyaan yang sama yaitu apakah hukum itu, Bernard Arief Sidharta dengan cara yang lain menguraikan bahwa hak dan kewajiban orang dalam situasi kemasyarakatan tertentu, kepatuhannya tidak diserahkan pada kemauan bebas yang bersangkutan.” terbentuk
dalam
63
Ada hukum yang mengaturnya. Hukum
masyarakat
yang
teratur
dan
yang
sudah
terorganisasikan secara politik dalam bentuk negara, dapat terjadi dalam berbagai proses.
61
Burton Atkins, Mark Porgrebin, The Invisible Justice System, Discretion and The Law, Criminal Justice Studies, Anderson Publishing Co., 1978, hlm. 77 62
Ibid., hlm. 3 Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Sruktur Ilmu Hukum, sebuah penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan ilmu hukum sebagai landasan pengembangan ilmu hukum nasional Indonesia, penerbit CV Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 240 63
36
Pertama, proses pembentukan hokum melalui proses politik menghasilkan “perundang-undangan”. Kedua, proses pembentukan hukum melalui peradilan menghasilkan “yurisprudensi”. Ketiga, pembentukan hukum melalui putusan birokrasi pemerintah menghasilkan “ketetapan.” Keempat, pembentukan hukum dari perilaku hukum warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari atau “kebiasaan”, dan terakhir, kelima, dari pengembangan ilmu hukum (doktrin).”64 Sumber hukum ini terbentuk dengan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat dan politik hukum. Hukumitu sekaligus mengemban dua fungsi yaitu ekspresif instrumental. Ekspresif ketika mengungkapkan pandangan hidup, nilai-nilai budaya dan keadilan dan instrumental ketika antara lain menjadi sarana untuk menciptakan dan memelihara ketertiban dan stabilitas. Tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan pengejawantahan cita hukum ke dalam perangkat berbagai aturan hukum positif, lembaga hukum, dan prosesnya.
65
Cita hukum itu di Indonesia
ialah Pancasila dimana ia adalah sebagai landasan kefilsafatan hukum sebagaimana dirumuskan dalam UUD 45.66 c. Asas Legalitas Sebagai Dasar Hukum Pidana Asas legalitas adalah merupakan salah satu pilar utama bagi setiap negara yang menghargai hukum sebagai supremasi, akan tetapi terhadap kejahatan-kejahatan yang dinamakan seperti criminal extra ordinary 64
Ibid., hlm.189
65
Ibid., hlm. 181 Ibid
66
37
sering digunakan oleh penguasa untuk memanfaatkan hukum pidana secara sewenang-wenang yang diantaranya dengan memanfaatkan implementasi asas retroaktif untuk memenuhi kebutuhan politis. Pada hal, makna yang terkandung dalam asas legalitas yang universalitas sifatnya adalah bahwa (1) tiada pidana tanpa peraturan perundangundangan terlebih dahulu, (2) larangan adanya analogi hukum, dan (3) larangan berlaku surut suatu undang-undang atau yang dikenal sebagai larangan berlakunya asas retroaktif.67 Konkritnya, KUHAP sebagai hukum acara pidana tidak mampu menangkalnya. Dengan demikian hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP gagal untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan keadilan yang merupakan tugas utamanya. Secara historis, ”bahwa asas legalitas pernah diterobos sebanyak tiga kali dengan putusan PBB, yaitu pengadilan penjahat perang di Nurenberg, Tokyo serta Ruanda dan Bosnia, yang diberlakukan surut, sesudah itu tidak pernah ada yang lain ICC jelas sekali, tidak boleh berlaku surut...”68Akan tetapi memang diakui bahwa dalam hukum materil khususnya dalam mencapai keadilan ”Prinsip yang dinamakan legalitas tidak pernah berlaku absolut. Karena apapun yang berlaku absolut, justeru akan menimbulkan kesewenang-
67
Indriyanto Seno Adji, “Perspektif Mahkamah Konstitusi Terhadap Perkembangan Hukum Pidana” dalam Mardjono Reksodiputro, Pengabdian Seorang Guru Besar Hukum Pidana, Jakarta, Bidang Studi Hukum Pidana Sentra HAM FHUI Badan Penerbit FHUI 2007, hlm. 235 68 Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana; Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 41
38
wenangan.”
69
Oleh karena itu, dalam pasal 25 ayat (1) Undang Undang
Nomor 4 Tahun tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim tidak dilarang menggunakan hukum yang tidak tertulis sebagai alasan dan dasar putusannya. Sebagai contoh, dasar-dasar pembenar (recht var diging gronden) dalam menentukan pertanggung jawaban pidana yang sudah diterima dalam praktek dewasa ini dikembangkan melalui hukum tidak tertulis oleh hakim di pengadilan.70 Termasuk “tidak melawan hukum secara materiel (materiele weder rech telijk heid) disebut juga sebagai dasar pembenar di luar UndangUndang.” 71Pada saat yang sama bentuk
penyelesaian kasus pidana
di Indonesia dengan transactie menurut Oemar Seno Adji dapat diterima pula. Akan tetapi dengan duapersyaratan yaitu harus memenuhi “asas proporsionalitas” dan asas subsidiaritas. Asas ini menghendaki bahwa polisi tidak boleh mengadakan langkah-langkah lebih berat, bila langkah
yang
permasalahannya.
lebih 72
ringan
adalah
cukup
untuk
mengatasi
Asas ini dapat kita temukan dalam tindak pidana
yang diatur hukum administrasi seperti dalam Undang Undang Nomor
69
Indriyanto Seno Adji, S.H.,M.H., dalam putusan MK No. 069/PUU-II/2004 tentang Pengujian UU No 30 tahun 2002 tentang Pemberantasan Korupsi terhadap UUD 1945, yang diterbitkan Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, hlm. 16 70 Oemar Seno Adji, Kasasi Perkara Pidana, dalam GURU PINANDITA Sumbangsih Untuk Prof. Djokosoetono, S.H., Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, Desember 1984, hlm. 302 71 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, P.T. Yarsif Watampone, Jakarta, 2005, hlm. 177-8 72 Oemar Seno Adji, “Kasasi Perkara Pidana”, dalam Lembaga Penerbit Fakultas EkonomiUniversitas Indonesia, Sumbangsih untuk Prof. Djokosoetono, Jakarta, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1984:292 -293
39
23 tahun 1997 tentang Pengelelolaan Lingkungan Hidup.73 Dengan alasan yang kurang lebih sama, bentuk penyelesaian suatu perkara pidana dengan bentuk transaksi menurut Roeslan Saleh memang dapat diterima dengan alasan sebagai berikut: Seperti diketahui, menurut sistem acara pidana suatu perkara pidana pada dasarnya tidak akan sampai kepada kejaksaan tanpa melewati kepolisian; dan hakim akan diikutsertakan dalam acara bilamana kejaksaan berpendapat bahwa perkara itu perlu diadili. Hulsman dalam hubungan ini menunjukkan kepada suatu asas yang disebut asas subsidiaritas,74 hal ini berarti bahwa badan kepidanaan yang satu akan meneruskan “perkara” kepada badan berikutnya hanya bilamana baik dari segi prevensi umum maupun dari segi prevensi khusus, ataupun karena pertimbangan-pertimbangan bahwa ketidak tenangan yang ditimbulkan oleh delik itu, adalah benar-benar perlu diteruskan supaya dapat diselesaikan dengan hukum pidana maka polisi akan memberikan peringatan kepada yang bersangkutan tanpa meneruskan perkara itu kepada kejaksaan.75 Hukum pidana juga mengatur cara-cara lain dalam mencegah orang yang melanggar Undang-Undang sampai berhubungan dengan hakim pidana. Antara lain adalah yang disebut
dengan transaksi. Di beberapa
Negara hal ini hanya diizinkan dalam hal pelanggaran. Jika Undang-
73
Penjelasan umum Undang Undang Nomor 23 tahun 1997; tentang Pengelelolaan Lingkungan Hidup 74 Lihat LHC. Hulsman, Straftoemeting, dalam Straf, 1961, hlm. 109 75 Roeslan Saleh, Segi Lain Hukum Pidana, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1984, hlm. 21-22.
40
Undang memungkinkan pula memperluas hal ini sampai kepada kejahatan, maka campur tangan hukum pidana akan lebih didesak kebelakang. 76
Prinsip subsidiaritas yang telah disebutkan di atas dapat memberikan arah
suatu pedoman, yaitu jangan jatuhkan pidana penjara atau kurungan jika dipandang cukup hanya dengan pidana denda. Jangan jatuhkan pidana penjara atau kurungan yang tidak bersyarat jika pidana bersyarat dipandang telah cukup. Jangan jatuhkan pidana perampasan kemerdekaan yang lama jika pidana yang waktunya pendek telahdapat menyelesaikan persoalan itu.77Sekarang dengan dukungan ilmu-ilmu kemasyarakatan lainnya telah banyak penelitian dan tulisan dengan bahan-bahan yang bersifat empiris pula yang menarik kesimpulan-kesimpulan bahwa pidana itu tidak berfaedah, terutama pidana penjara, pidana tidak ekonomis dan banyak akibat-akibat yang bersifat stigmatis.78Selain itu, sekalipun BAP telah diterima oleh kejaksaan, namun tidak dengan sendirinya suatu perkara harus dilimpahkan kepengadilan sesuaiasas legalitas (teknis)dan oportunitas (kebijakan) yang dianut dalam penuntutan.79 Konkritnya secara teknis ada ketentuan bahwa penuntut umum berwenang “menghentikan penuntutan ” perkara karena:80 1. tidak terdapat cukup bukti; 2. ternyata bukan tindak pidana;
76
Ibid., hlm. 22 Ibid., hlm. 23 78 Ibid., hlm. 33 79 RM. Surachman, dan Andi Hamzah, Jaksa Di Berbagai Negara, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta 1996, hlm. 37-8 80 Pasal 141 KUHAP 77
41
3. ditutup demi hukum Ketentuan prapenuntutan sebagai jembatan antara penyidikan dan penuntutan sebagaimana konsep KUHAP berpotensi kontradiktif juga sehingga ketentuan itu dalam praktek bersifat nominal atau tidak bisa dilaksanakan Undang-Undang yang mengatur tentang kedudukan hakim maka bagaimana hakim itu memberikan keadilan bagi “rakyat pencari keadilan” diuraikan tugas dan kewajiban hakim sebagai berikut: 1. melakukan peradilan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” 2. menegakkan hukum berdasarkan Pancasila sehingga putusan hakim harus mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia, 3. mengadili dengan tidak membeda-bedakan orang, 4. tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara dengan dalih bahwa tidak ada atau hukumnya kurang jelas melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya, 5. putusan selain harus memuat alasan dan dasar putusan dari perundangundangan juga sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar mengadili, 6. wajib menggali, mengikuti, dan memahamai nilai-nilaiukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, 7. dalam memutuskan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa,
42
8. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional dan berpengalaman dibidang hukum, 9. wajib menjaga kemandirian peradilan, 10. membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segalahambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Klausul “keyakinan hakim” ini dalam menentukan kesalahan seseorang terdakwa ketika memeriksa perkara pidana ditegaskan lagi dalam Undang Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.Tetapi indikator bahwa misalnya adanya keyakinan itu harus beyond reasonably doubt seperti di common law tidak ditemukan dalam perundang-undangan itu. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa keyakinan hakim dalam pembuktian adalah dalam diskresi hakim yang bersifat subyektif. Kemudian, karena ketentuan ktiab undang undang hukum acara pidana (KUHAP) dalam memidana terdakwa harus dengan “berdasarkan peraturan perundang-undangan” artinya hukum yang tertulis. Tetapi tidak diatur dalam hal putusan hakim sebaliknya yakni membebaskan atau melepaskan atau menyatakan dakwaan batal atau tidak dapat diterima.
Dengan
demikian dengan interpretasi a contrario maka bila sebaliknya yakni putusan hakim menyatakan tidak menerima dakwaan, dakwaan batal demi hukum atau membebaskan atau melepaskan terdakwa, peranan hukum yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat (living law) terbuka selama letak keadilannya bisa dijelaskan hakim.Dalam pasal 25
43
ayat (1) Undang Undang Nomor 4 tahun2004 tentang Kekuasaan Kehakiman hakim tidak dilarang menggunakan hukum yang tidak tertulis sebagai alasan dan dasar putusannya.Sebagai contoh, dasar-dasar pembenar (rechtvardiginggronden) dalam menentukan pertanggungjawaban pidana misalnya dikembangkan melalui hokum tidak tertulis oleh hakim di pengadilan.81 Termasuk “tidak melawan hukum secara materiel (materiele wede rrech telijk heid) disebut juga sebagai dasar pembenar di luar undangundang. ”82Kembali pada kekuasaan kehakiman secara teoritis menurut Aharon Barok
83
bahwa “The judiciary is the guardian of the constitution
and must, in interpreting its provisions, bear these considerations in mind.” Kemudian, seorang hakim
yang menginterpretasikan dan
menerapkan substansi konstusi dalam perkara yang di adili adalah “a partner to the authors of the constitution.” Oleh karena itu, dari semua text ketentuan
yang
termuat
dalam
konstitusi
adalah
hakim
yang
mempertimbangkan maknanya. Konstitusi merumuskan suatu cita-cita yang akan diwujudkan, hakim tetap yang menentukan cita-cita ini dalam kerangka besar peranan dari suatu konstitusi dalam kehidupan modern. Hakim harus memastikan kesinambungan dari substansi konstitusi.
84
Sebagai tambahan, bahwa
demokrasi tidak hanya sekedar majority rule tetapi juga the rule of values,
81
Oemar Seno Adji,.... Op. Cit., hlm. 302 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana,.....Op. Cit., hlm. 177-8 83 Ibid., hlm. 129 84 Ibid., hlm. 135 82
44
termasuk didalamnya perlindungan hak asasi manusia. Oleh karena itu, menurut Aharon Barok “the judicialization of politics will continue. The 85
non-justiciability of legal aspecst of politics will decrease.” dalam
kenyataannya
kekuasaan
kehakiman
berwenang
Sekalipun mereview
konstitusionalitas tindakan pemerintah tapi tidaklah berarti bahwa tindakan administratif pemerintah
memerlukan
persetujuan
terlebih
dahulu sebagai suatu syarat untuk dapat berlaku efktif. Judicial review adalah satu hal; intervensi dari instansi lain adalah hal lain.86 Pengadilan tidak dapat membuat tidak berlaku kebijakan pemerintah hanya karena tidak setuju dengan kebijakan itu. Dalam hubungan ini, Subekti menyatakan bahwa “pengadilan yang menyingkirkan (wegoetsen) suatu ketentuan Undang-Undang harus merupakan suatu peristiwa luar biasa, tidak boleh merupakan suatu kejadian sehari-hari.”
87
Sebab tugas
pembuat undang-undang dan pengadilan tidak boleh bertukar. Peranan hakim dalam suatu sistem hukum yang menganut asas demokrasi adalah mempertahankan dan melindungi pemisahan kekuasaan (the separation of powers).88 Aharon Barak menambahkan bahwa sekalipun demikian the independence of the judicial itu adalah bagian dari the checks and balances yang ditentukan oleh the separation of powers. Sebab kekuasaan
85
Ibid., hlm. 311 Ibid.,hlm 38 87 Subekti, “Pembinaan Hukum Perdata Nasional oleh Yurisprudensi Indonesia”, dalam Sumbangsih Untuk Prof. Djokosoetono, S.H., Lembaga Penerbit FakultasEkonomi Universitas Indonesia, Jakarta 1984, hlm. 44 88 Ibid., hlm. 45 86
45
kehakiman tidak absolut. Oleh karena itu, hakim tetap harus “acts within the framework of the limitations of substance and of procedure placed on judicial discretion.”89Bila tidak akan menimbulkan masalah legitimasi pada fungsi pengadilan seperti pertanyaan, ”who guard the guardians.”90Menurut Jan Rammelink bahwa hakim pidana ketika memutus perkara dipengadilan tidak mungkin dapat menerapkan perundang-undangan pidana tanpa menggunakan penafsiran. Dengan penafsiran ini kemudian dapat melahirkan yurisprudensi yang akan menjadi sumber hukum. Istilah Manfred Simon diatas dalam hal demikian pengadilan
menjadi
sesungguhnya
quasi-legislative
dimaksud
dengan
Sebab
istilah
misalnya
kesengajaan,
apa
yang
kesalahan,
mengakibatkan, daya paksa (overmacht) atau hal melawan hukum (Weder rechtelijk heid) perlu penafsiran. Oleh karena itu, hakim dalam hukum pidana juga harus diakui memainkan peran sebagai pencari dan penemu hukum. Dalam peradilan pidanapun luas lingkup substansi norma selalu dikembangkan dan sampai tingkat tertentu diubah melalui interpretasi /penafsiran. Dalam hubungannya dengan penafsiran ini, Oemar Seno Adji memberikan contoh bahwa perbuatan melawan hukum bukanlah sekedar “schending” dari peraturan hukum khususnya Undang Undang (schending van de wet) melainkan dapat diadakan perluasan dan ekstensi melalui hukum tidak tertulis seperti hukum adat pidana, suatu kebiasaan yang
89
Ibid., hlm. 121. Marc A Loth , Court In Quest For Legitimacy, A Comparative Approach, a paper has been presented at the University of Brno ( Czeech Republic ) on Octobre 2005, hlm. 4 90
46
bertumbuh di luar perundang-undangan. Hal demikian sudah pernah digariskan dalam yurisprudensi dan juga ilmu hukum.” 2. Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat dan Orang a. Asas Teritorial Dalam KUHP, asas teritorial ini, diatur dalam Pasal 2 yang diperluas juga dengan asas extra-teritorial dalam Pasal 3 (dalam “kendaraan air” atau “pesawat udara”indonesia diluar wilayah Indonesia). Namun dalam RUU KUHP, kedua pasal itu dijadikan satu, dan asas extra-teritorialnya diperluas juga untuk orang yang melakukan tindak pidana di bidang teknologi informasi yang akibatnya dirasakan atau terjadi di wilayah Indonesia dan dalam kapal atau pesawat udara Indonesia. Perluasan itu dimaksudkan untuk dapat menjaring tindak pidana mayantara (cyber crime).Rumusan lengkap asas teritorial ini diatur dalam Pasal 3 Rancangan Undang Udang Kitab Undang Undang Hukum Pidana 2008 sebagai berikut: Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan: 1. tindak pidana di wilayah Negara Republik Indonesia 2. tindak pidana dalam kapal atau pesawat udara Indonesia; atau 3. tindak pidana di bidang teknologi informasi yang akibatnya dirasakan atau terjadi di wilayah Indonesia dan dalam kapal atau pesawat udara indonesia. Asas territorial ini merupakan asas yang mendapatkan priotitas pertama dalam menggunakan, mengingat adanya kedaulatan masingmasing Negara dalam wilayahnya. Di samping itu, apabila kita hubungankan dengan penegakan hukum dalam kaitannya dengan hukum acara pidana maka untuk kepentingan pengadilan, asas wilayah juga
47
penting artinya, karena dalam wilayah dilakukannya tindak pidana itulah didapatkan alat-alat bukti/barang bukti dengan mudah, sehingga akan menjamin adanya fair trial. Ruang lingkup wilayah yang meliputi darat, laut, dan udara ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan kita yang mengaturnya secara tuntas, baik secara geografis berdasarkan wawasan nusantara maupun berdasarkan ketentuan-ketentuan
hukum
internasional yang kita akui.91 b. Asas Nasional Aktif (Personal) Asas Nasional Aktif ini, juga penting untuk dipertahankan, agar setiap warga negara Indonesia sebagai insan Pancasila selalu mematuhi hukum dimanapun ia berada, dengan batasan-batasan asas kejahatan rangkap(double criminality) untuk tindak pidana pada umumnya. Bagi tindak pidana yang berkaitan dengan atau terhadap keamanan negara Indonesia dikecualikan dari asas double criminality, karena tindak pidana-tindak pidana sejenis ini biasanya tidak merupakan tindak pidana di luar negeri, maka demi pengamanan kepentingan negara, terutama apabila dilakukan oleh warga negara Indonesia, maka perbuatan-perbuatannya wajib dipidana dimanapun dilakukannya. Selain pembatasan bagi tindak pidana pada umumnya dengan asas kejahatan rangkap, juga diadakan pembatasan mengenai asas tidak menjatuhkan pidana mati terhadap orang asing yang setelah melakukan tindak pidana di luar wilayah Republik Indonesia menjadi warganegara Indonesia, bila 91
Budiarti, Makalah tentang Asas-asas Hukum Nasional di bidang Hukum Pidana yang disampaikan pada Seminar Asas-asas Hukum Nasional yang diselenggarakan oleh BPHN, Departemen Kehakiman, Jakarta, 18-20 Januari 1985. hlm. 7-8
48
hukum pidana dalam locus delicti tidak mengancamnya dengan pidana mati. Hal ini mengingat perbedaan pengancaman pidana dimasingmasing negara, terutama pidana mati yang menjadi permasalahan bagi negara yang menghapuskannya dan yang mempertahankannya.92 Asas baru perlu dianut dan diatur dalam RUU KUHP kita, yaitu asas memberlakukannya ketentuan pidana dalam peraturan perundangundangan. Indonesia bagi setiap orang yang penuntutannya dambil alih oleh Indonesia dari negara asing berdasar suatu perjanjian yang memberikan kewenangan kepada Indonesia untuk menuntut pidana. Asas ini sesuai dengan perkembangan dunia modern, yaitu diadakannya perjanjian yang memungkinkan negara-negara anggota/peserta untuk mengadili warga negara masing-masing dalam hal tertentu. Untuk memberikan akomodasi bagi kemungkinan tersebut, maka pengaturan asas tersebut perlu diadakan dalam KUHP kita yang akan datang. Akhirnya dianut pula dalam asas berlakunya hukum pidana Indonesia ini adanya pembatasan-pembatasan oleh hukum internasional yang kita akui. Hal ini akibat keberadaannya dan kedudukan Republik Indonesia sebagai anggota masyarakat dunia (internasional). c. Asas Nasional Pasif (Perlindungan) Dalam KUHP, pengaturan asas nasional pasif ini digabung dengan asas universal dan “kepentingan nasional” yang akan dilindungi dan juga dirumuskan secara limitatif/enumeratif yaitu berupa:
92
Ibid., hlm. 9
49
1.
kejahatan tertentu terhadap keamanan negara dan martabat Presiden (Psl. 4 ke-1);
2.
kejahatan mengenai mata uang, uang kertas, meterai, dan merek (Pasal 4 ke-2 KUHP); dan
3.
pemalsuan surat/sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia atau tanggungan daerah/bagian daerah Indonesia (Psl. 4 ke-3 KUHP) Kepentingan nasional yang juga merupakan “kepentingan
Internasional/universal”, yang diatur dalam Pasal 4 ke-4 KUHP jo. UU No. 4/1976, berupa: 1.
kejahatan yang berkaitan dengan pembajakan laut dalam (Pasal 438, 444-446);
2.
penyerahan perahu dalam kekuasaan bajak laut (Pasal 447);
3.
pembajakan pesawat udara (Psl. 479)
4.
kejahatan yang mengancam penerbangan sipil (psl. 479 1 s/d o) Rancangan Undang Undang KUHP (konsep 2008), Asas Nasional Pasif diatur dalam pasal tersendiri (yaitu diatur dalam pasal 4) terpisah dari asas universal, rumusan Pasal 4 RUU KUHP tersebut adalah:
Pasal 4 Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang di luar wilayah Negara Republik indonesia Yang melakukan tindak pidana terhadap:
50
1) warga negara Indonesia; atau kepentingan negara Indonesia yang berhubungan dengan: keamanan negara atau proses kehidupan ketatanegaraan; 2)
martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden dan Pejabat Indonesiadi luar negeri;
3) pemalsuan dan peniruan segel, cap negara, meterai, uang/mata uang, kartu redit, perekonomian, perdagangan dan perbankan Indonesia; 4) keselamatan/keamanan pelayaran dan penerbangan 5) keselamatan/keamanan bangunan, peralatan, dan asset nasional (negara Indonesia); 6) keselamatan/keamanan peralatan komunikasi elektronik; 7) tindak pidana jabatan/korupsi; dan/atau 8) tindak pidana pencucian uang.
Pasal 4 RUU KUHP di atas adalah hal yang berbeda dengan KUHP, ialah: 1.
Yang dipandang sebagai “kepentingan nasional” tidak hanya “kepentingan negara”. Tetapi juga “kepentingan warga negara Indonesia di luar negeri” (yang menjadi sasaran/korban tindak pidana). Dalam KUHP yang sekarang berlaku, kepentingan hukum dari WNI di luar negeri, tidak dilihat sebagai “kepentingan Nasional” yang harus dilindungi oleh hukum nasional, tetapi seolah-olah hanya disarankan sepenuhnya kepada hukum yang
51
berlaku di negara asing itu. Dengan adanya pasal 4 itu, berarti pula hukum pidana (sistem pemidanaan) nasional dapat juga berlaku bagi WNA yang melakukan tindak pidana terhadap WNI di luar teritorial Indonesia. 2.
Kepentingan nasional yang akan dilindungi itu tidak dirumuskan secara “limitatif yang pasti (definite/rigid)”, yaitu tidak dengan menyebut pasal-pasal tertentu, tetapi dirumuskan secara “limitatif yang terbuka (open).”
3.
Kepentingan yang terancam oleh kejahatan-kejahatan yang bersifat internasional/transnasional (seperti cyber crime, korupsi, dan money laundering) juga dipandang sebagai kepentingan nasional yang dilindungi. Pentingnya asas ini adalah untuk memberlakukan hukum pidana
Indonesia terhadap siapapun (terutama orang asing) yang diluar wilayah Republik Indonesia melakukan tindak pidana yang merugikan kepentingan hukum nasional Indonesia (baik kepentingan hukum nasional Republik Indonesia yang menyangkut keamanan negara maupun
terhadap
martabat
Presiden/Wakil
Presiden,
Kepala
Perwakilan Republik Indonesia). Ditambahkannya perlindungan terhadap Kepala Perwakilan Republik Indonesia adalah untuk melindungi kewibawaan dan martabat negara kita, karena pejabatpejabat ini adalah mewakili Republik Indonesia.Selain kepentingan hukum yang menyangkut keamanan, kewibawaan dan martabat
52
negara, jugaasas perlindungan ditujukan kepada kepentingan dalam hal surat hutang/sertifikat hutang yang ditanggung pemerintah Republik Indonesia, tahun surat-surat hutang sero, atau surat-surat bunga hutang, yang kesemuanya itu penting bagi kepentingan negara dalam bidang perekonomian d.Asas Universal Asas universal dalam KUHP yang saat ini berlaku, diatur bersama-sama dengan asas nasional pasif (dalam Pasal 4) dan hanya ditujukan kepada kejahatan-kejahatan tertentu. Sementara itu dalam RUU KUHP 2008, “kepentingan internasional/universal/global” yang akan dilindungi, tidak dengan cara menyebut kejahatan-kejahatan internasional tertentu secara limitatif, tetapi dirumuskan secara umum/terbuka
agar
dapat
menampung
perkembangan
dari
kesepakatan internasional.Ketentuan ini telah dirumuskan dalam Pasal 5 RUU KUHP Asas ini dipertahankan, untuk melindungi kepentingan yang
dianggap sebagai kepentingan
hukum
universal Republik
Indonesia sebagai negara anggota masyarakat universal, bekerjasama dengan negara-negara lain ingin pula menegakkan hukum dan ketertiban dunia, dengan menanggulangi serta memberantas tindakantindakan yang melanggar dan merusak ketertiban dunia, dengan memberlakukan
hubungan
terhadap perbuatan-perbuatan tersebut,
dimanapun dilakukan.93Ini terbukti ikut sertanya Negara kita dalam
93
Budiarti,…. Op. Cit., hlm. 8
53
beberapa konvensi-konvensi internasional sebagai perangkat hukum internasional. Dalam pengikut sertaan Republik Indonesia pada konvensi-konvensi tersebut selalu berdasar pada asas-asas bahwa kepentingan nasional yang harus didahulukan.
54
BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yang bersifat normatif, yang merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip hukum, maupun dokrin-dokrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi yang menghasilkan argumentasi, teori dan konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. B.
Pendekatan Dalam Penelitian Hukum 1.
Pendekatan Undang-Undang (statute approach), dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang diteliti.
2.
Pendekatan konseptual (conceptual approach) pendekatan yang beranjak
dari
pandangan-pandangan
dan doktrin-doktrin
yang
berkembang dalam ilmu hukum. 3.
Pendekatan kasus (case approach) adalah pendekatan Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya. Menurut Goodheart, ratio decidendi dapat ditemukan dengan memperhatikan fakta materiil. Fakta-fakta tersebut berupa tempat, orang, waktu dan segala yang menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya. Perlunya fakta materil tersebut diperhatikan karena baik hakim maupun para pihak akan
55
mencari atauran hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada fakta tersebut. C. Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bahan Hukum a. Bahan Hukum Primer, adalah bahan hukum yang bersifat autoratif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan,catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer (primary law material), yang digunakan adalah: 1.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
3.
Undang Undang Nomor. 4/Prp/1960 Tentang Perairan Indonesia.
4.
Undang Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
5.
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1962 tentang Hak Lintas Damai Bagi Kendaraan Air Asing.
6.
Undang Undang Nomor 20 Tahun 1987 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1988 (telah diubah dengan Undang Undang Nomor 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara).
7.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut 1982
56
b. Bahan Hukum Sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Sebagai bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis, disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. 2. Bahan Non Hukum Bahan Non hukum adalah wawancara, dialog, kesaksian ahli hukum di pengadilan, seminar, ceramah, dan kuliah. D. Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini menggunakan: 1. Pengumpulan bahan hukum yang menggunakan pendekatan perundangundangan (statute approach) dilakukan dengan mencari peraturan perundang-undangan mengenai atau yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.94 2. Pengumpulan bahan hukum menggunakan pendekatan historis, yaitu dilakukan dengan mengumpulkan peraturan perundang-undangan, bukubuku hukum dari waktu kewaktu. Bahan-bahan yang dikumpulkan yaitu bahan-bahan yang mempunyai relevansi dengan isu yang dibahas dalam penelitian.
94
Ibid, hlm. 237
57
3. Mengumpulkan
bahan
hukum
dengan
menggunakan
pendekatan
konseptual yaitu penelusuran buku-buku hukum, yang dimana buku-buku yang mengandung konsep-konsep hukum. 4. Melakukan penelusuran bahan pustaka dengan mengumpulkan buku-buku laporan penelitian baik itu skripsi, tesis maupun disertasi serta bahan acuan lainnya yang digunakan untuk menyusun laporan penelitian yang dibahas. E.
Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis bahan hukum adalah pengolahan bahan hukum yang diperoleh baik dari penelitian pustaka maupun penelitian lapangan. Terhadap bahan hokum primer yang didapat dari lapangan terlenih dahulu diteliti kelengkapannya dan kejelasannya untuk diklasifikasikan serta dilakukan penyusunan secara sistematis serta konsisten untuk memudahkan melakukan analisis. Bahan hukum primer inipun terlebih dahulu di koreksi untuk menyelesaikan bahan yang paling relevan dengan rumusan masalah yang ada. Bahan hukum sekunder yang didapat dari kepustakaan dipilih serta dihimpun secara sistematis, sehingga dapat dijadikan acuan dalam melakukan analisis. Dari hasil bahan hukum penelitian pustaka maupun lapangan ini dilakukan pembahasan secara deskriptif analitis. Deskriptif adalah pemaparan hasil penelitian dengan tujuan agar diperoleh suatu gambaran yang menyeluruh namun tetap sistematik terutama mengenai fakta yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diajukan dalam usulan penelitian ini. Analitis artinya gambaran yang diperoleh tersebut dilakukan analisis dengan cermat sehingga dapat diketahui tentang tujuan dari penelitian ini sendiri yaitu membuktikan
58
permasalahn sebagaimana telah dirumuskan dalam perumusahan masalah yang ada pada latar belakang usulan penelitian ini. Analisis bahan-bahan hukum dalam penelitian ini akan dilakukan secara analisis kualititatif dan komprehensif. 1. Analisis kualitatif artinya menguraikan bahan-bahan hokum secara bermutu dengan bentuk kalimat yag teratur, runtut, logis dan tidak tumpang tindih serta efektif, sehingga memudahkan interpretasi bahanbahan hukum dan pemahamn hasil analisa. 2. Analisis komprehensif artinya analisa dilakukan secara mendalam dan dari berbagai aspek sesuai dengan lingkup penelitian. Analisis bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik deskriptif, mendeskripsikan bahan-bahan dengan cara mengkonstruksikan hukum dan argumentasi, yang selanjutnya dilakukan penilaian berdasarkan pada
alasan-alasan
yang
bersifat
penalaran
hukum,
yakni
dengan
mengemukakan doktrin dan asas-asas yang ada terkait dengan permasalahan.
59
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penerapan Konsep Yurisdiksi Internasional Terhadap Kejahatan Pembajakan Kapal Asing Di Perairan Teritorial Indonesia a. Kondisi Penegakan Kedaulatan Dan Hukum Saat Ini Tatakelola dan mekanisme penegakan kedaulatan serta penegakan hokum dilaut di tangani oleh beberapa kementerian/lembaga negara. Masing-masing instansi tersebut mempunyai kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu di laut dalam rangka penegakan hukum di laut. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, masalah penegakan hukum di laut tidak dapat ditangani oleh satu instansi saja, karena Undang Undang memberikan mandat kepada beberapa instansi pemerintah. Instansi yang berwenangmelaksanakan penegakan hukum (penyidikan) di laut dan pantai serta pelabuhan nasional yaitu:95 a. TNI Angkatan Laut, yang bertugas menjaga keamanan teritorial, kedaulatan wilayah NKRI di laut dari ancaman negara asing. b. POLRI (Polisi Perairan),yang melakukan penyidikan terhadap kejahatan di wilayah perairan Hukum Indonesia.
95
http://bakorkamla.go.id tanggal 1 November 2016
60
c. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (P2), yang bertugas mengawasi pelanggaran lalu lintas barang impor/ekspor (penyelundupan). d. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Armada PLP/KPLP) bertugas sebagai penjaga pantai dan penegakan hukum di laut; e. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), bertugas sebagai pengaman kekayaan laut dan perikanan. f. Kementerian ESDM, yang bertugas mengawasi pekerjaan usaha pertambangan dan pengawasan hasil pertambangan. g. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, bertugas mengawasi benda cagar budaya serta pengamanann terhadap keselamatan wisatawan kelestarian dan mutu lingkungan. h. Kementerian Hukum dan HAM, bertugas pengawas, penyelenggara keimigrasian dan penyidikan tindak pidana keimigrasian. i. KejaksaanAgung RI bertugas untuk penyidikan mengenai tindak pidana yang terjadi di wilayah seluruh Indonesia. j. KementerianPertanian, bertugas untuk pengamanan karantina hewan, ikan, dan tumbuhan. k. Kementerian Negara Lingkungan hidup bertugas dibidang lingkungan hidup. l. Kementerian Kehutanan, bertugas pengamanan terhadap illegal logging.
61
Kesehatan di kapal meliputi awak kapal, penumpang, barang, dan muatan. Kepala Pelaksana Harian (Kalahar) Bakorkamla, Laksamana Madya TNI Didik Heru Purnomo.
96
mengatakan bahwa pengamanan
wilayah perairan merupakan kewenangan dan tanggung jawab semua komponen negara. Beliau lebih lanjut mengatakan bahwa selama banyak institusi yang bertanggung jawab mengamankanlaut, masyarakat pengguna wilayah lautan di Indonesia akan sering merasa dirugikan. Rata-rata masyarakat mengeluh karena waktu, kemudian juga karena pemeriksaan yang berulang-ulang. Masyarakat maritim di Indonesia sangat ingin agar segera dapat terbentuk satu institusi, single agency yang multitask. 1. Penegakan Kedaulatan di Laut Penegakan hukum negara pantai merupakan aktifitas negara yang didasarkan kepada Peraturan Internasional yang berlaku sesuai dengan ketentuan, baik Peraturan Negara
Indonesia ataupun Peraturan
Internasional, negara itu sendiri maupun aturan Hukum internasional, dapat ditaati oleh setiap individu dan/atau Negara yang mengikat dalam perjanjian internasional.Penegakan peraturan perundang-undangn negara pantai dapat dilihat pada ketentuan Pasal 73 UNCLOS 1982 sebagai berikut: Ayat 1: Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksploitasi, eksplorasi konservasi dan pengelolaan sumber kakayaan hayati di zona ekonomi eksklusif mengambil tindakan demikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan, 96
http://tomyishak.wordpress.com/2011/03/17/menanti-penjaga-Lautantanggal1 November
2016
62
sebagaimana diperlukan untuk menjamin dipatuhinya peraturan perundang-undangan yang diterapkannya sesuai dengan ketentuan konvensi ini. Ayat 2: Kapal-kapal yang ditangkap dan awak kapal yang harus segera dibebaskan setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya. Ayat 3: Hukuman negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara negara-negara yang bersangkutan. Atau setiap bentuk hukuman badan lainnya. Ayat 4: Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing negara pantai harus segera memberitahukan kepada negara bendera, melalui saluran yang tepat, mengenai tindakan yang diambil dan mengenai setiap hukuman yang kemudian dijatuhkan. Ketentuan penegakan hukum di ZEEI dalam konvensi hukum laut yang baru dapat diperincikan sebagai berikut: a. Negara pantai dapat melakukan pengolahan dan pelestarian sumber daya alam di ZEEI, serta melakukan pemeriksaan sesuai prosedur hukum yang berlaku di Negara tersebut sesuai ketentuan-ketentuan dari pada konvensi, pasal 73 (ayat 1) UNCLOS 1982. b. Penahanan kapal dan anak buah kapal yang ditahan harus dilepaskan setelah tanggungan dibayarkan atau jaminan keamanan lainnya, pasal 73 (ayat 2) UNCLOS 1982. c. Pelanggaran Hukum yang berlaku pada suatu Negara pantai didaerah perairan elsklusifnya tidak termasuk kurungan bila tidak terdapat persetujuan dari Negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Terdapat pada “Pasal 73 (ayat 3) UNCLOS 1982”.
63
d. Apabila terjadi penahanan di Negara tersebut, segera melaporkan kepada duta perwakilan yang melakukan tindak pidana pelanggaran diperairan. Yang terdapat pada “Pasal 73 (ayat 4) UNCLOS 1982” Seperti inilah maksud hukuman yang berlaku diperairan ekslusif Negara pantai yang terbaru, untuk langkah berikutnya akan kita tinjau tentang penegakan hukum yang diatur dalam peraturan perundangundangan di Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 13 Undang Undang Nomor 5 tahun 1983 yaitu: “Dalam rangka melaksanakan hak berdaulat, hak-hak lain yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) aparatur penegak hukum Republik Indonesia yang berwenang, dapat mengambil tindakan-tindakan penegakan hukum sesuai dengan Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana dengan pengecualin:” a.
Dengan tertangkapnya kapal asing yang melakukan tindak pidana di perairan ZEEI sampai penanganan di pangkalan terdekat, dan dapat diproses lanjut.
b.
Prosespelanggaran tindak pidana oleh kapal asing mempunyai batas waktu tidak melebihi 7 hari apabila ada ketentuan lain.
c. Dalam hal status ditahan, pelanggaran yang terdapat pada “Pasal 16,17 yang terdapat pada kategori pelanggaran yang diatur pada “Pasal 21 ayat (4) huruf b Undang Undang Nomor. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang hukum acara pidana.
64
Bahwa setiap pelanggaran yang dilakukan oleh kapal atau setiap orang dilaksanakan sesuai bukti permulaan yang terjadi dilaut bagi kapal dan/atau setiap orang. Bagi pelanggar warga negara Indonesia segera menuju ke pangkalan terdekat atas perintah penyidik untuk segera diproses. Penghentian kapal yang di atur dalam peraturan perundangundangan tidak bisa dilaksanakan dalam satu hari di laut dikarenakan beberapa faktor alam. Ketetapan mengenai penghentian kapal belum diatur dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981. Adapun ketentuan pelanggaran yang dilakukan kapal atau setiap orang akan diproses oleh aparat penegak hukum di ZEEI yaitu Komandan kapal atau perwira penyidik yang ditujuk oleh Panglima Angkatan bersenjata Republik Indnesia. Dalam hal ini yang mengadili pelanggaran secara umum adalah jaksa pengadilan Negeri.
Adapun yang mempunyai kewenangan
Pengadilan Negeri yang putusannya termasuk penghentian kapal dan pelanggaran setiap orang. Selanjutnya diputuskan permintaan untuk kebebasan pelanggaran kapal dansetiap orang yang di tahan karena didakwa melaksanakan tindak pidana sesuai dengan Undang Undang, bisa dilaksanakan sewaktu-waktu sampai adanya penetapan hukuman dari Pengadilan Negeri. Dari penjelasan tersebut dapat diputuskan ganti rugi uang jaminannya ditetapkan sesuai nilai kapal, alat yang digunakan dan hasil tangkapannya serta sejumlah besarnya denda maksimum. Penanganan
penegakan
hukum
oleh
pelaku
tindak
pidana
pembajakan kapal asing diperairan teritoria Indonesia, tidaklah sama
65
dengan penanganan tindak pidana sebagaimana yang dimaksudkan dalam penjabaran Pasal 73 UNCLOS 1982 juncto Undang Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif. Penegakan peraturan perundangn-undangan dalam Pasal 73 ayat 3 menyebutkan secara jelas mengenai tindak pidana pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif.Pelanggaran perundang-undangan perikanan yang dimaksudkan tersebut seperti tindak pidana illegal fishing (pencurian ikan). Tindak pidana illegal fishing di ZEEI bagi kapal asing dikenakan sangsi denda yang lebih besar dan pantas sehingga tidak menimbulkan kerugian besar bagi Negara pantai, serta akan memberikan efek jera bagi pelaku pelanggaran illegal fishingterhadap kapal asing. Tindak pidana pembajakan dalam UNCLOS 1982 memiliki pengaturan tersendiri hal ini dapat dilihat dalam Pasal 100-107 UNCLOS 1982 sebagai berikut: Pasal 100 (mengenai
kewajiban untuk bekerjasama dalam
penindasan pembajakan di laut) bahwa: “Semua negara harus bekerjasama sepenuhnya dalam penindasan pembajakan di laut lepas atau di tempat lain manapun di luar yurisdiksi suatu negara.” Pasal 101 (mengenai batasan Pembajakan di Laut) Pembajakan di laut terdiri dari salah satu di antara tindakan berikut: a.
setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak syah, atau setiap tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta, dan ditujukan:
66
b.
c.
(i) di laut lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap orang atau barang yang ada di atas kapal atau pesawat udara demikian; (ii) terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu tempat di luar yurisdiksi Negara manapun; setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian suatu kapal atau pesawat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya suatu kapal atau pesawat udara pembajak. setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan yang disebutkan dalam sub-ayat (a) atau (b). Pasal 102 (mengenai perompakan oleh suatu kapal perang, kapal
atau pesawat udara pemerintah yang awak kapalnya telah berontak) “Tindakan-tindakan perompakan sebagaimana ditentukan dalam pasal 101, yang dilakukan oleh suatu kapal perang, kapal atau pesawat udara pemerintah yang awak kapalnya telah berontak dan telah mengambil alih pengendalian atas kapal atau pesawat udara itu disamakan dengan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh suatu kapal atau pesawat udara perompak.”
Pasal 103 (mengenai Batasan kapal atau pesawat udara perompak) “Suatu kapal atau pesawat udara dianggap suatu kapal atau pesawat udara perompak apabila ia dimaksudkan oleh orang yang mengendalikannya digunakan untuk tujuan melakukan salah satu tindakan yang dimaksud dalam pasal 101. Hal yang sama berlaku apabila kapal atau pesawat udara itu telah digunakan untuk melakukan setiap tindakan demikian, selama kapal atau pesawat udara itu berada di bawah pengendalian orang-orang yang bersalah melakukan tindakan itu.”
Pasal 104 (mengenai Tetap dimilikinya atau kehilangan kebangsaan kapal atau pesawat udara perompak). “Suatu kapal atau pesawat udara dapat tetap memiliki kebangsaannya walaupun telah menjadi suatu kapal atau pesawat udara perompak. Tetap dimilikinya atau kehilangan kebangsaan ditentukan oleh undangundang Negara yang telah memberikan kebangsaan itu.”
67
Pasal 104 (mengenai Tetap dimilikinya atau kehilangan kebangsaan kapal atau pesawat udara perompak). “Suatu kapal atau pesawat udara dapat tetap memiliki kebangsaannya walaupun telah menjadi suatu kapal atau pesawat udara perompak. Tetap dimilikinya atau kehilangan kebangsaan ditentukan oleh undangundang Negara yang telah memberikan kebangsaan itu.”
Pasal 105 (mengenai Penyitaan suatu kapal atau pesawat udara perompak). “Di laut lepas, atau disetiap tempat lain di luar yurisdiksi Negara manapun setiap Negara dapat menyita suatu kapal atau pesawat udara perompak atau suatu kapal atau pesawat udara yang telah diambil oleh perompak dan berada di bawah pengendalian perompak dan menangkap orang-orang yang menyita barang yang ada di kapal. Pengadilan Negara yang telah melakukan tindakan penyitaan itu dapat menetapkan hukuman yang akan dikenakan, dan juga dapat menetapkan tindakan yang akan diambil berkenaan dengan kapal-kapal, pesawat udara atau barang-barang, dengan tunduk pada hak-hak pihak ketiga yang telah bertindak dengan itikad baik.” Pasal 106 (mengenai Tanggung jawab atas penyitaan tanpa alasan yang cukup). “Apabila penyitaan suatu kapal pesawat udara yang dicurigai melakukan perompakan dilakukan tanpa alasan yang cukup, maka Negara yang telah melakukan penyitaan tersebut harus bertanggung jawab terhadap Negara yang kebangsaannya dimiliki oleh kapal atau pesawat udara tersebut untuk setiap kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh penyitaan tersebut.”
Pasal 107 (mengenai Kapal atau pesawat udara yang berhak menyita karena perompakan) “Suatu penyitaan karena perompakan hanya dapat dilakukan oleh kapal perang atau pesawat udara militer, atau kapal atau pesawat udara lain yang secara jelas diberi tanda dan dapat dikenal sebagai dalam dinas pemerintah dan yang diberi wewenang untuk melakukan hal demikian.”
68
Pasal 100-101 UNCLOS 1982 memberikan batasan mengenai pembajakan yaitu sebagi sebuah tindak pidan aatau kejahatan terhadap kapal laut yang dilakukan di laut lepas atau diluar dari yurisdiksi negara manapun. Tetapi dalam Pasal selanjutnya yaitu Pasal 102-107 UNCLOS 1982 tidak lagi mengatakan pembajakan tetapi perompakan hal ini dikarenakan jika tindak pidana terhadap kapal laut tersebut telah terjadi diwilayah yurisdiksi suatu negara atau diwilayah perairan teritorial suatu negara yang berdaulat. Sehingga oleh UNCLOS disebut sebagai perompakan. Pada hakekatnya perompakan ataupun pembajakan merupakan kejahatan yang sama yaitu sebuah tindakan kejahatan berupa penyanderaan yang dilakukan terhadap kapal-kapal asing dengan tujuan meminta tebusan sejumlah uang dengan nominal yang sangat besar. Perbedaannya adalah jika pembajakan terjadi di laut lepas atau diluar dari yurisdiksi negara manapun. Sedangkan perompakan terjadi diperairan suatu negara yang berdaulat atau di wilayah perairan teritorial. Penerapan penegakan hukum bagi tindak pidana pembajakan merupakan tindakan penegakan hukum yang dapat dilakukan secara universal oleh setiap negara manapun dan dapat secara langsung memberlakuan hukum nasionalnya terhadap tindak pidana pembajakan dilaut lepas atau diluar yurisdiksi negara manapun. Sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 105 UNCLOS 1982.Penegakan hukum terhadap kasus pembajakan yang terjadi diperairan teritorial Indonesia atau perompakan, bukan merupakan sebuah tanggungjawab universal oleh
69
setiap negara yang berdaulat. Sebab kejahatan perompakan telah terjadi di wilayah perairan teritorial Indonesia dan bukan di laut lepas. Sehingga Indonesia memiliki kewenangan mutlak untuk menerapkan hukum nasionalnyasesuai dengan Kitab Undang Undang Hukum Pidana Indonesia. 2. Penerapan Hukum di Laut Penerapan hukum adalah suatu proses pelaksanaan aturan-aturan, sampai pengadilan menjatuhkan hukuman yang mempunyai kekuatan hukum. Proses tersebut adalah kegiatan yang berkaitan satu sama lain. Kebanyakan delik yang terjadi adalah di perairan pedalaman terutama di bandar suatu negara. Bila mana suatu kapal niaga memasuki perairan pedalaman suatu negara pantai yang berdaulat penuh, baik negara pantai maupun negarabendera dapat bersaingan yurisdiksi di atas kapal tersebut yang berada di pelabuhan negara pantai. Konflik hukum tersebut dilandasi oleh dua macam prinsip hukum internasional yang masing-masing sudah mantap kedudukannya, yaitu prinsip mengenai yurisdiksi teritorial negara pantai dan yurisdiksi kuasi teritorial negara bendera atas kapal dan awaknya. Di satu pihak, negara bendera mempunyai yurisdiksi terhadap kapal dan awaknya meskipun berada di luar wilayahnya, dan di lain pihak negara pantai dapat
70
menerapkan yurisdiksinya terhadap kapal asing yang berada di wilayah perairannya.97 Pada prinsipnya, penegakan kedaulatan dan hukum tidaklah di bedakan karena tujuannya adalah untuk menjaga keamanan laut. Tetapi pembedaan tugas tersebut tetap dapat diketahui dengan melihat padapenjelasan Pasal 24 ayat (3) UndangUndang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang menyatakan bahwa Ketentuan dalam ayat (1) dan ayat (2) mengatur mengenai penegakan kedaulatan dan hokum di perairan Indonesia, namun karena mengenai penegakan kedaulatan telah diatur secara tegas dan UndangUndang Nomor 20 Tahun 1987 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1988 (telah diubah dengan Undang Undang Nomor 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara) maka yang perlu dikoordinasikan hanya mengenai pelaksanaan penegakan hukum. Penegakan hukum dilaksanakan oleh instansi terkait antara lain Tentara Nasional Indonesia. Angkatan Laut, Kepolisian Negara Republik Indonesia,Departemen Perhubungan, Departemen Pertanian, Departemen Keuangan dan Departemen Kehakiman, sesuai dengan wewenang masing-masing instansi tersebut dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan nasional maupun hukum internasional.
97
Djuang Harahap, Mustafa. 1983, Yurisdiksi Kriminal di Perairan Indonesia yang berkaitan dengan Hukum Internasional, Alumni, Bandung, hlm. 68
71
Kewenangan TNI Angkatan Laut untuk melaksanakan penegakan hukum di laut ini erat kaitannya dengan legalitas kewenangan Perwira TNI Angkatan Laut untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu di laut yang dari waktu ke waktu mengalami perkembangan. Kewenangan penyidikan tersebut dicantumkan secara jelas dalam berbagai pasal peraturan perundang-undangan yang hingga saat ini masih berlaku sebagai hukum positif dan pelaksanaannya diterima dalam praktek proses peradilan di Indonesia, yaitu sebagai berikut: a. Territoriale Zee En Maritime Kringen Ordonantie (TZMKO) Staatsblaad 1939 Nomor 442. b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. c. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. d. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982. e. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. f. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran g. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. h. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup. i. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
72
j. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. b. Pembajakan Kapal Laut (Piracy) ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana Internasional 1. Sejarah Kejahatan Bajak Laut Sejarah mengenai pembajakan di laut lepas sudah dimulai semenjak manusia melakukan perjalanan melalui laut. Dimana pembajakan yang terjadi memiliki umur yang sama dengan kapal dan kodrat manusia. Pembajakan di laut lepas disemua zaman didorong oleh suatu motif utama, yaitu untuk memperoleh kekayaan. Dimana jenis jenis bajak laut berbedabeda, ada yang hanya bajak laut dan tidak lebih, ada bajak laut yang merupakan penjelajah atau pedagang yang melakukan penjarahan terhadap yang lemah atau kurang hati-hati, ataupun juga merupakan prajurit-prajurit dalam perjalanan ke medan perang atau dalam perjalanan pulang dari medan peperangan. 98
Pembajakan merupakan salah satu bentuk kejahatan pelayaran yang
telah
lama
ada.
Pembajakan
berkembang
seiring
dengan
perkembangan perdagangan. Sejak abad ke-18 masyarakat bangsabangsa telah mengenal dan mengakui kejahatan pembajakan terhadap kapal-kapal dagang di laut sebagai kejahatan internasional (piracy de jure gentium). Pada masa itu hubungan perdagangan sangat penting sehingga tindakan pembajakan dipandang sebagai musuh bangsa98
Bradford, Alfred S. Flying the Black Flag-A brief History of (Westport,Connecticut:Praeger,2007), 4(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/51744/3/Chapter%20II.pdf)
Piracy
73
bangsa karena sangat merugikan kepentingan kesejahteraan bangsabangsa.99 Pembajakan di laut memiliki karakteristik sebagai berikut: a.
Diakui oleh masyarakat internasional sebagai kejahatan jure gentium karena dianggap sebagai hostis humani generic (musuh bersama umat manusia);
b.
Tindakan yang memiliki dampak atas lebih dari satu negara;
c.
Melibatkan lebih dari satu kewarganegaraan;
d.
Penggunaaan sarana dan prasarana yang cukup canggih;
e.
Merupakan golongan tindak pidana internasional yang berasal dari kebiasaan hukum internasional. Kejahatan pembajakan sempat dianggap telah lenyap pada awal
abad ke-19 yang disebabkan oleh alasan-alasan berikut:100 a. Teknologi, peningkatan ukuran dan kecepatan kapal pada abad ke18 dan abad ke-19 tidak menguntungkan bagi para pembajak karena tidak mudah untuk dikejar oleh para pembajak; b. Peningkatan kekuatan Angkatan Laut, pada abad ke-18 dan abad ke19 memperlihatkan adanya peningkatan patroli angkatan laut internasional di sepanjang jalur lalu lintas laut; c. Peningkatan kualitas administrasi pemerintahan, abad ke-18 dan ke19 ditandai dengan administrasi tetap terhadap sebagian besar pulau dan wilayah daratan oleh pemerintah kolonial atau negara-negara 99
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37668/4/Chapter%20I.pdf Ibid
100
74
yang mempunyai kepentingan langsung untuk melindungi kapalkapal mereka; Perkembangannya, ketiga alasan diatas justru berbalik arah menjadi faktor pendukung lahirnya pembajakan laut modern. Faktorfaktor tersebut antara lain:101 a. Teknologi, kapal-kapal modern memiliki kecepatan tinggi dan peralatan canggih untuk melindungi kapal tersebut. Selain memberikan dampak positif, teknologi mengurangi jumlah awak kapal yang dipekerjakan sehingga meningkatkan jumlah awak kapal yang tidak bekerja yang akhirnya banyak diantara mereka menjadi bajak laut karena mereka tidak memiliki keterampilan lain. Para bajak laut juga memanfaatkan kecanggihan teknologi yang meningkatkan kecepatan kapal pembajak, kecanggihan senjata dan memudahkan untuk melarikan diri. b. Menurunnya frekuensi patroli Angkatan Laut, perubahan politik dunia internasional mempengaruhi bentuk Angkatan Laut di dunia. Setelah perang dunia kedua berakhir, negara-negara tidak lagi membangun Angkatan Laut yang besar dan kuat. negara-negara lebih memilih mempunyai Angkatan Laut yang lebih kecil dan efisien. Hal ini menyebabkan penurunan patroli di laut internasional sehingga kapal-kapal tidak lagi terlindungi.
101
Mengapa Perompakan terus Terjadi,http://hi.fisip.unand.ac.id/himashi/index.php/73mengapa-perompak-terus-terjadi.Diakses pada 11 Januari 2017
75
c. Perubahan
administrasi
pemerintahan
di
wilayah
kolonial.
Pengaturan yang telah dibuat oleh pemerintahan kolonial tidak diterima oleh negara-negara jajahan yang menerapkan aturan-aturan baru. Namun pengaturan yang dilakukan oleh negara-negara merdeka tidak dapat berjalan efektif karena kekurangan dana. Pemerintahan baru khususnya Angkatan Laut negara-negara jajahan yang kekurangan dana, sarana dan prasarana tidak mampu mengamankan wilayah laut mereka. Hal ini menyebabkan pembajakan berkembang pesat. d. Kurangnya peraturan yang berkaitan dengan pembajakan dan perampokan bersenjata hal ini dipengaruhi karena pembajakan dan perampokan bersenjata tidak lagi dianggap sebagai kejahatan internasional serius yang perlu mendapat perhatian dari masyarakat internasional. Perompakan atau dikenal juga dengan istilah perampokan bersenjata terhadap kapal didefinisikan dalam the Code of Practice for the Investigation of the Crimes of Piracy and Armed Robbery Against Ships (resolution A.922(22), Annex, paragraph 2.2), as follows: “Armed robbery against ships means any unlawful act of violence or detention or any act of depredation, or threat thereof, other than an act of ìpiracy, directed against a ship or against persons or property on board such
76
ship, within a Stateís jurisdiction over such offences.”102 (Setiap tindakan tidak sah yang berupa kekerasan atau penahanan atau setiap tindakan pembinasaan atau ancaman, selain tindakan pembajakan, yang memiliki tujuan pribadi dan diarahkan terhadap sebuah kapal atau terhadap orang atau harta benda pada sebuah kapal di perairan internal suatu negara, perairan kepulauan dan laut teritorial.Setiap tindakan menghasut atau sengaja memfasilitasi tindakan sebagaimana yang dijelaskan di atas) 2. Hierarki Kejahatan Internasional Perkembangan
tindak
pidana
internasional
atau
kejahatan
internasional setelah perang salib diawali dengan munculnya tindakan pembajakan di laut (piracy), yang dipandang sebagai musuh semua bangsa karena telah merusak hubungan perdagangan antar bangsa yang dianggap sangat penting pada masa itu. Sehingga hal tersebut dipersoalkan terutama di kalangan para ahli hukum dari berbagai bangsa yang sudah maju pada masa itu. 103Bajak laut dianggap sebagai kejahatan internasional karena kejahatan tersebut merusak hubungan dagang antar bangsa. Menurut Schwarzenberger, perkembangan hukum pidana internasional antara lain ditandai dengan perjanjian mengenai bajak laut antara Inggris dan Amerika yang dikenal dengan Jay Treaty pada tanggal 19 November 1947 dan Perjanjian Nyon atau Nyon Agreement
102
Perompakan di Laut, http:// repository.unila.ac.id:8180/dspace. Diakses Pada 11 Januari
2017 103
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama, Jakarta, 2003, hlm. 2
77
1937.104Kendatipun dalam perjanjian tersebut tidak terdapat ketentuan yang menegaskan pelaku bajak laut sebagai subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana secara internasional, perjanjianperjanjian tersebut memperlihatkan upaya masyarakat internasional yang menyadari dan mengakui adanya tindakan perorangan atau negara yang dipandang sebagai kejahatan internasional.105 Berdasarkan eksistensi kejahatan internasional, kejahatan yang berkaitan dengan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia tergolong baru, namun dari hirarki kejahatan internasional, kejahatan yang berkaitan dengan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia menempati hirarki yang paling utama. M.Cherif Bassioouni membagi tingkatan kejahatan internasional menjadi tiga, yaitu:106 a. Kejahatan internasional yang disebut juga sebagai ‘international crimes’ adalah bagian dari jus cogens. Tipikal dan karakter ‘international crime’ berkaitan dengan perdamaian dan keamanan manusia serta nilai- nilai kemausiaan yang fundamental. Termasuk dalam ‘international crime’ antara lain adalah genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. b. Kejahatan internasional yang disebut sebagai ‘international delicts’. Tipikal dan karakter ‘international delicts’ berkaitan dengan kepentingan internasional yang dilindungi meliputi lebih dari satu negara atau korban 104
Ibid.,hlm. 9 Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Erlangga, Jakarta, 2009,
105
hlm. 12 106 Eddy O.S. Hiariej, Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius Terhadap HAM, Erlangga, Jakarta, 2010, hlm 3-4.
78
dan kerugian yang timbul berasal lebih dari satu negara. Termasuk dalam ‘international delicts’ adalah pembajakan pesawat udara, pembiayaan terorisme, perdagangan obat- obatan terlarang secara melawan hukum, dan kejahatan terhadap petugas PBB. c. Kejahatan internasional yang disebut dengan istilah ‘international Infractions.’ Dalam hukum pidana internasional secara normatif, ‘international infractions’ tidak termasuk dalam kategori ‘international crime’ dan ‘international delicts’. Dan kejahatan yang tercakup dalam ‘international infraction’ antara lain adalah pemalsuan dan peredaran uang palsu serta penyuapan terhadap pejabat publik asing Eksistensi
hukum
pidana
internasional
tidaklah
mungkin
dipisahkan dengan keberadaan kejahatan internasional sebagai substansi dari hukum pidana internasional itu sendiri. Pada awalnya, keberadaan kejahatan internasional berasal dari kebiasaan yang terjadi dalam praktek hukum internasional. Kejahatan perang dan bajak laut adalah kejahatan internasional tertua di dunia yang lahir dari hukum kebiasaan internasional.107 c. Penerapan Yurisdiksi Negara Terhadap Pembajakan Di Laut Ditinjau Dari Perspektif Hukum Internasional Pembajakan di laut dalam hukum internasional diatur di dalam Pasal 100-107 United Nations Convention on the Law of the Sea (selanjutnya disebut Konvensi Hukum Laut PBB). Adapun pelaksanaan yurisdiksi
107
Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hlm. 11
79
terhadap para pelaku pembajakan mengacu pada Pasal 105 konvensi tersebut yang menyatakan bahwa, “setiap negara dapat mengadili dan menghukum para pelaku perompakan tersebut, serta menetapkan tindakan yang akan diambil berkenaan dengan kapal-kapal, pesawat udara atau barang-barang tersebut dengan memperhatikan kepentingan pihak ketiga.” Selain Konvensi Hukum Laut PBB, kejahatan berupa perompakan bersenjata di laut juga diatur dalam Convention for The Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Maritime Navigation 1988 (selanjutnya disebut Konvensi Roma). Adapun pelaksanaan yurisdiksi terhadap pelaku pembajakan di perairan teritorial dimana para pelaku pembajakan itu berasal mengacu pada Pasal6 ayat (1) poin (b) Konvensi Roma yang menyatakan bahwa setiap negara pihak harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menetapkan yurisdiksi atas tindak pidana yang ditetapkan dalam Pasal 3 konvensi ketika kejahatan dilakukan di dalam wilayah negara yang bersangkutan, termasuk laut teritorial. Selanjutnya, Pasal 6 (2) konvensi tersebut juga menyatakan bahwa, “Setiap negara pihak jugadapat membentuk yurisdiksinya atas suatu pelanggaran yang terjadi di atas kapal yang berbendera negaranya”. Secara teoritik, Negara dipandang memiliki
wewenang
untuk mengatur benda-benda atau peristiwa-peristiwa (hukum) yang
80
terjadi di dalam wilayahnya.108 Konsep yurisdiksi pun kemudian lahir dari adanya kedaulatan suatu negara.109 Berdasarkan
hukum
internasional
terdapat
beberapa prinsip
yurisdiksi yang menjadi dasar penerapan yurisdiksi suatu negara terhadap pembajakan di laut, yakni, yurisdiksi teritorial, yurisdiksi nasionaltitas yang terdiri dari nasionalitas aktif dan (personalitas) pasif, yurisdiksi
perlindungan,
yurisdiksi
universal
dan
yurisdiksi
ekstrateritorial.110Adapun pembajakan yang terjadi di laut merupakan suatu tindak pidana yang menjadi tanggung jawab seluruh negara. Sehingga yurisdiksi universal dipandang sebagai dasar bagi setiap negara untuk menerapkan yurisdiksi negaranya terkait dalam kasus pembajakan yang terjadi di wilayah perairan laut. Jadi dibutuhkan kerjasama yang baik antar negara agar tujuan PBB menjaga keamanan dan perdamaian dunia dapat tercapai dengan baik. B. Penerapan Yurisdiksi Teritorial Terhadap Kejahatan Pembajakan Kapal Asing Di Perairan Indonesia 1. Pembajakan Kapal Asing di Perairan Indonesia. Setelah puluhan tahun meningkatkan kooperasi untuk menekan pertumbuhan perompakan maritim di perairan Indonesia, masalah ini juga masih menjadi isu keamanan penting di Asia Tenggara dengan catatan
108
Huala Adolf, 2000, Aspek-aspek negara dalam hukum internasional.Jakarta:RajaGrafindo Persada. Cetakan III . hlm. 111 109 Mirza Satria Buana, 2007, Hukum Internasional Teori dan Praktek, (Bandung: PenerbitNusamedia, hlm.56. 110 I Wayan Parthiana, 2014, Hukum Laut Internasional dan Hukum laut Indonesia, yramaWidya, Bandung, hlm. 185
81
hampir tiga puluh persen dari data perompakan di dunia terjadi di Asia Tenggara.Aksi pembajakan di perairan Asia Tenggara
juga
semakin
berbahaya dan terorganisir, laporan IMB (International Maritime Bereau) yang berpusat di London. Direktur IMB kapten Pottengal Mukun dalam laporan tengah tahunan biro maritim, mengenai laporan 182 serangan pada semester pertama 2004 turun 22%, dari tahun sebelumnya sebanyak 234 serangan. Berbanding jauh dengan Negara Bangladesh dan India mengalami penurunan besar dengan total 17 kasus sedangkan sebelumnya 41 kasus. Namun 30 orang terbunuh pada tahun 2004, di bandingankan dengan 2003 jumlah korban tewas 16 orang. “Pelabuhan Tanjung Priok dan Balikpapan di Indonesia, Lagos di Nigeria, dan Chennai di India kategori
pelabuhan
yang
termasuk dalam
dengan jumlah penyerangan yang tinggi”, sedangkan
Selat Malaka menghadapi 20 serangan, naik dari tahun lalu dengan 15 serangan. Angka pembajakan juga terus berkembang, hanya dalam waktu dua minggu terjadi Sembilan aksi perompakan pada 16 agustus sampai 2 september 2010, di bandingkan dengan tahun 2009 yang mencatat hanya tujuh aksi perompakan yang terjadi selama setahun.111 a.
Kapal MV Merlin kapal MV Merlin yang dirampok di perairan Selat Malaka pada 22 Oktober 2015 lalu.Tim rekasi cepat Armabar berhasil menangkap lima pelaku perompakan yang beroperasi di Selat Malaka, yang sebelumnya merupakan Daftar Pencarian Orang (DPO), kata Panglima Armabar 111
Pottengal Mukun, ‘Selat Malaka www.gatra.com/2004-07-26/artikel.php?id=42236
Dihantui
Perompak’,
kuala
lumpur,
82
(Pangarmabar) Laksamana Muda TNI A Taufiq R. Kelima pelaku perompakan yang sempat DPO itu, yakni WN alias GB (44), KM alias KR (21), CK alias GL (35), WY (23), dan RM (32). Kelimanya ditangkap di tempat persembunyiannya di Villa Dahlia di Lereng Gunung Salak, Desa Gunung Sari Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor pada Rabu, 11 November 2015. Sementara dua orang pelaku lagi masih DPO.Kelima pelaku perompakan yang berhasil ditangkap di Lereng Gunung Salak merupakan hasil pengembangan dari lima orang pelaku yang sudah tertangkap sebelumnya, dimana empat pelaku ditangkap di Kampung Parit Tanjung Balai Karimun, yakni MZ (49), BA (18), WM (20) dan GY (25). Sementara satu orang pelaku berinisial JM (37) ditangkap di Jakarta sebagai penandah spare part kapal hasil perompakan.Modus operandi yang dilakukan oleh pelaku perompakan, yakni ketika kapal lego jangkar, para pelaku langsung naik ke kapal dan mengambil barang yang bisa diambil dengan aman tanpa diketahui pemiliki kapal.112 b. Kapal Tanker MT Joaguim Kapal berbendera Singapura, MT Joaquim, yang dirompak di perairan Selat Malaka pada (8/8/2015). Kapal berisi light crude oil (minyak mentah) tersebut ditemukan di perairan Bojonegara, Banten. saat ditemukan kapal perompak itu sudah berganti nama menjadi Union Star, lambung kapal dicat ulang menjadi warna abu-abu dengan warna dasar 112
https://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/12/063718392/lima-perompak-kapal-mvmerlin-berhasil-ditangkap
83
hitam, mesin kapal mati dan tidak ada anak buah kapal (ABK). Perompak kapal merompak MT Joaquim dengan muatan LCO sebanyak 3.500 MT. Perompak berhasil mengambil LCO sebanyak 2.900 MT.113 c. Kapal Tanker Vier Harmony Kapal bernama Vier Harmony yang mengangkut 900 ribu liter solar hilang di perairan Johor saat melakukan perjalanan laut dari pelabuhan Tanjung Pelepas, Malaysia.Badan Penegakan Maritim Malaysia (MMEA), mengatakan kapal tanker itu sekarang berada di perairan Batam, Indonesia. MMEA mengklaim telah mengetahui identitas pembajaknya.Koordinator MMEA wilayah selatan, Laksamana Pertama Adon Shalan mengatakan kapal pembajak dikenal sebagai "kapal hantu", yang sering digunakan untuk mencari mangsa di sepanjang rute perdagangan. Dia juga mengatakan bahwa kapal tersebut telah terlihat di bagian timur perairan Johor, dekat Penggerang."kapal-kapal hantu" yang diyakini sebagian besar berasal dari Indonesia, dilengkapi dengan tiga atau empat mesin untuk memudahkan mereka melarikan diri dari kejaran petugas ataupun untuk memudahkan mengejar mangsanya. Dengan kecepatan maksimal mencapai 60 knot hingga 70 knot dan biasanya mereka memasuki perairan Malaysia antara pukul 12 malam hingga pukul tiga dini hari.114 d. Kapal Togboat Mitra Anugerah
113
http://news.detik.com/berita/3103580/perompak-kapal-tanker-mt-joaquim-ditangkapdi-bandung 114 https://dunia.tempo.co/read/news/2016/08/17/118796699/kapal-hantu-dituding-bajaktanker-malaysia-di-batam
84
Kapal Patroli Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) Batam berhasil menangkap enam perompak yang sedang beraksi di kapal tugboat Mitra Anugerah yang sedang lego jangkar di Perairan Tanjung Riau, Selasa (19/11/2013) sekitar pukul 1.30 WIB.Keenam perompak yang dibekuk, yakni, Feri bin Herman (32), Saparudin bin Saleh (40), Ibrahim bin Senen (55), Rudi bin Jafar (23), Abdi bin Bekti Subekti (22) dan Sintus bin Petrus (28). Selain itu, petugas mengamankan senjata tajam yang digunakan pelaku perompakan seperti parang, clurit dan gunting besi.Beraksi dengan menyewa perahu pancung, enam orang perompak bersenjata tajam naik ke kapal tugboat Mitra Anugerah melalui buritan kapal dan langsung menyandera Darmawi (26), ABK kapal yang sedang bertugas menjaga kapal, sedangkan Nakhoda dan tiga ABK lain masih tertidur.Komplotan perompak ini sangat profesional, biasa mereka beraksi kurang dari 20 menit untuk merampas barang beharga dari kapal untuk kemudian diturunkan ke perahu pancung.115 2.
Penerapan Yurisdiksi Teritorial a. Konvensi Hukum Laut PBB 1982/UNCLOS 1982 Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982 (The United Na-tions Convention on The Law of The Sea- UNCLOS-1982) memberikan definisi piracy pada pasal 101, bahwa piracy itu dapat berupa: a)
Setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak syah, atau setiap tindakan memusnahkan, yang dilaku- kan untuk tujuan pribadi oleh
115
http://batamtoday.com/berita36000-Lanal-Batam-Tangkap-6-Perompak-Kapal-TugboatMitra-Anugerah.html
85
awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta, dan di- tujukan: (i) Di laut lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap orang atau barang yang ada di atas kapal atau pesawat udara demikian (ii) Terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu tempat di luar yurisdiksi Negara manapun. b) Setiap tindakan turut serta secara suka rela dalam pengoperasian suatu kapal atau pesawat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya suatu kapal atau c)
pesawat
udara pembajak.
Setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan yang disebutkan dalam sub-ayat (a) atau (b). Dari definisi tersebut diatas jelas memberikan batasan bahwa dikategori kan piracyapabila kejadian tersebut terjadi di laut bebas atau di luar yurisdiksi suatu negara, artinya tentu di luar pelabuhan dan laut territorial satu negara. Namun bagaimana jika terjadi di wilayah perairan teritorial suatu negara, apakah dapat dianggap piracy sebagaimana
didefinisikan
oleh
UNCLOS
1982
atau
masih
merupakan sea/armed robbery sebagai istilah lain yang digunakan apabila tindakan itu terjadi di perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial satu negara.Adapun pengertian yang lain adalah pengertian secara hukum sebagaimana yang dianut oleh UNCLOS 1982. Sebenarnya hal yang membedakannya adalah terkait dengan
86
kewenangan
untuk
menindak
peristiwa
tersebut,
siapa
yang
bertanggung jawab, siapa yang berhak untuk menghukum bajak laut tersebut, siapa yang mempunyai jurisdiksi terhadap piracy dan hukum mana yang berlaku padanya. Piracy sebagaimana definisi UNCLOS merupakan universal jurisdiction, artinya kapal perang/kapal dinas pemerintah negara manapun berhak untuk “menangkap dan menahan” kapal, awak dan muatan kapal bajak laut atau kapal yang dikuasai oleh bajak laut itu. Pengadilan negara tersebut juga berhak untuk memeriksa dan memutus perkara tersebut, dengan menetapkan hukuman yang akan dijatuhkan termasuk tindakan yang akan diambil terhadap kapal yang dibajak, akan tetapi dengan tetap mengindahkan hak pihak ketiga yang beritikad baik (Pasal 105-107 UNCLOS 1982). Oleh karena itu, peristiwa bajak laut yang terjadi di Selat Malaka harus dibedakan, apakah terjadi di perairan pedalaman/perairan kepulauan dan laut teritorial negara tepi selat (Indonesia/ Malaysia/Singapura) ataukah di luar wilayah tersebut. Namun dimanapun pem- bajakan laut itu terjadi, seharusnya hal itu ditindak tegas dan dihukum dengan sepadan. Legalitas penanganan masalah bajak laut di Selat Malaka sangatlah pen- ting yang harus dipahami oleh setiap personel Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) dengan didasar- kan pada aturan hukum nasional maupun internasional dalam rangka mengurangi kesalahan penanganan dan keragu-raguan dalam bertindak. Bertitik
87
tolak dari uraian tersebut, penting untuk diteliti dan dikaji apa landasan legalitas penindakan terhadap perompakan di Selat Malaka oleh TNI AL. Dengan ini diharapkan diperoleh apakah legalitas yang dilakukan selama ini sudah kuat atau belum dan dengan cara membenarkannya. Tindak
pidana
perompakan
dan pembajakan di laut, baik
yang dilakukan oleh kapal-kapal asing maupun oleh kapal-kapal domestik di wilayah perairan Indonesia akhir-akhir ini telah menimbul- kan keresahan bagi pelayaran domestik maupun pelayaran internasional. Penindakan kejahatan perompakan dan pembajakan laut
tersebut, didasarkan pada berlakunya delik-delik KUHP yang
berkaitan dengan “kejahatan Pelayaran”, dengan menggunakan satu istilah yang sama yaitu sebagai delik “pembajakan”. Adapun kegiatan diatas merupakan salah satu faktor ancaman terhadap penegakan hukum dan kedaulatan di Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga secara mendasar bahwa TNI AL sesuai yang diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 3
tahun2002 tentang Pertahanan
Negara disebut- kan sebagai alat Negara di bidang Pertahanan Negara Matra Laut, sedangkan pada pasal 9 dalam Undang Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI)
ditegaskan
juga salah satu tugas TNI AL adalah menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah
88
diratifikasi, di samping ke- wenangan yang diberikan oleh Undang Undang
lainnya.
Dengan
demikian
kondisi
ini
menguatkan
keberadaan TNI AL dalam melaksanakan peran constabulary (fungsi polisionil) sudah sesuai dengan amanat Undang Undang dan sesuai dengan habitat penugasannya atau medan juangnya adalah di laut. Di sisi lain ke- beradaan kapal-kapal perang TNI AL juga memiliki kekuatan hukum secara internasional dalam rangka melaksanakan pengamanan dan penegakan hukum di laut, hal ini dikuatkan dengan adanya Undang Undang Nomor 17 Tahun 1985 yang merupakan ratifikasi Unclos 1982. b. Undang Undang Nomor 17 Tahun 1985 Status Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) telah mendapatkan pengakuan dari dunia Internasional. Hal ini sebagai refleksi dari Undang Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS 1982) Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Hukum Laut. Pengakuan dunia dalam hukum internasional tersebut mengesahkan “a defined territory” negara Indonesia, sehingga Indonesia memiliki legalitas hukum terhadap wilayah nasionalnya yang meliputi wilayah darat, laut dan udara di atasnya. Demikian pula Indonesia mempunyai kedaulatan dan kewenangan untuk menjaga dan mempertahankan integritas wilayah lautnya, termasuk mengelola dan mengatur orang dan barang yang ada di dalam wilayah kelautan
89
tersebut, namun hal ini tidak berarti meniadakan hak negara lain sesuai dengan ketentuan dalam konvensi tersebut.Secara legal formal Indonesia
terikat
dengan
ketentuan-ketentuan
dalam
hukum
internasional tersebut, termasuk kewajiban Indonesia untuk menjamin keamanan
wilayah
kelautan,
khususnya
di
Sea
Lines
Of
Communication.116 Pengaturan hukum laut nasional di Indonesia merupakan produk hukum internasional yang telah diratifikasi ke dalam undang-undang nasional melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 (LN RI Tahun 1985 Nomor 3319) tentang Pengesahan United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 19182).Pembajakan di laut (piracy) merupakan kejahatan internasional (international crime) yang memberikan yurisdiksi kepada Negara manapun untuk mengambil langkah tegas terhadapnya. Konvensi Hukum Laut Internasional Tahun 1982 (UNCLOS 1982) terdapat difinisi yang berbeda antara pembajakan dan perompakan sebagaimana diatur pada Pasal 101 dan Pasal 102. Kapal asing yang menyerang kapal perompak di kawasan hak berdaulat suatu negara misalnya di perairan ZEE tergolong sebagai “armed robbery against ship” atau penyerangan senjata melawan kapal. Menjadi sulit bagi kapal asing terkait identitas tersebut untuk melakukan penindakan terhadap
116
Asril Tanjung, 2011, (cited: 2013 Juli. 22), available from : URL : URL : http://www.asriltanjung.com/2011/10/perspektif-keamanan-laut_9858.html diakses tanggal 13 Januari 2017
90
pemabajak dan perompak Somalia.117 Berdasarkan Pasal 107 UNCLOS 1982 Kapal perang negara yang diijinkan dan dapat melakukan penyerangan maupun penangkapan harus memiliki otoritas yuridiksi eksklusif yang diberikan oleh negara kapal perompak. Melalui ketetapan tersebut peneliti menganalisa bahwa penangkapan terhadap kapal perompak sangat sulit dan tidak mungkin karena kapal asing tidak memiliki hak untuk memasuki wilayah kedaulatan suatu negara unutk melakukan penangkapan dan penyerangan terhadap kapal pembajak dan perompak. Penindakan tidak mungkin terjadi terhadap perompak, sehingga penangkapan pun menjadi tindakan yang tidak mungkin terjadi pula. Sedangkan sanksi menurut Pasal 105 UNCLOS 1982 hanya dapat dijatuhkan melalui pengadilan domestik negara asal perompak. Berdasarkan konvensi hukum konvensi laut internasional, definisi perompakan yang diatur secara penuh oleh hukum nasional masing-masing negara diartikan sebagai „perampokan laut‟. Hukum nasional hampir tidak pernah mengijinkan kapal perang dari negara lain untuk melakukan intervensi, sehingga tindakan penanggulangan terhadap pembajakan dan perompakan tidak dimuat dalam hukum internasional dan bersifat politis. Perompak dan pembajak merupakan subyek dari yuridiksi negara saat perompakan dan pembajakan terjadi di dalam wilayah perairan teritorial suatu 117
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=346665&val=6466&titlPEMBERL AKUAN-KETENTUAN-BAGI-KAPAL-BERBENDERA-ASING-UNTUK-MELINTASDIJALUR-LAUT-KEPULAUAN-INDONESIA-DITINJAU-DARI-PERSPEKTIF-HUKUMNEGARA-INDONESIA-DAN-UNITED-NATIONS-CONVENTION-ON-THE-LAW-OF-THESEA-UNCLOS-1982, diakses tanggal 13 Januari 2017
91
negara. Negara memiliki kedaulatan penuh untuk menghukum tindakan kriminal tersebut. c. Kitab Undang Undang Hukum Pidana Membahas mengenai pembajakan/perompakan, tentu kita tidak dapat mengenyampingkan tempat kejadian tindak pidana tersebut, yaitu wilayah perairan. Dan mengingatbahwa wilayah perairan di dunia ini adalah satu kesatuan, maka kita juga tidak boleh lupa untuk membicarakan daerah teritorial negara sebagai batas kedaulatan untuk melaksanakan hukum negara.Sebagaimana kita ketahui bahwa negara kita terdiri dari wilayah darat dan wilayah perairan yang juga biasa kita sebut dengan wilayah teritorial. Sedangkan yang dimaksud dengan wilayah perairan itu sendiri adalah kedaulatan negara tertentu atas sebagian wilayah tertentu dari laut. Pendapat yang menyatakan bahwa wilayah laut adalah kepunyaan bersama dan negara pantai hanya memiliki kekuasaan tertentu saja, yang berarti negara pantai tidak memiliki kedaulatan penuh atas wilayah perairannya sendiri. Pendapat ini kurng mendapat dukungan dari banyak pihak karena dinilai merugikan negara pantai di dunia. Pendapat selanjutnya mengatakan bahwa laut teritorial merupakan kedaulatan penuh dari negara pantai tertentu dan negara pantai tersebut memiliki hak untuk menegakkan hukum negaranya di wilayah laut teritorialnya. Pendapat inilah yang umumya kita gunakan sekarang. Dan sebagai wilayah yang memilikikedaulatan penuh, maka
92
negara pantai yang memiliki wilayah teritorialnya mempunyai wewenang untuk mengatur segla sesuatu di wilayah laut teritorialnya tersebut yang wajib dihormati dan dipatuhi semua pihak yang berada di atasnya.118Batasan dari wilayah teritorial ini ditentukan oleh Hukum Internasional yang kemudian dimuat dalam Pasal 2-5 dan 7-9 Kitab Undang Undang Hukum Pidana, yang bunyinya antara lain Pasal 2: “Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi tiap orang yang dalam Indonesia melakukan sesuatu perbuatan yang boleh dihukum (peristiwa pidana).” Pasal 3: “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.” Pasal 4: “Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi tiap orang yang melakukan di luar Indonesia:
1e. salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal 104, 106, 107, 108, 110, 111 bis pada 1e. 127 dan 131; 2e. suatu kejahatan tentang mata uang, uang kertas negeri atau uang kertas bank atau tentang materai atau merek yang dikeluarkan atau disuruhkan oleh pemerintah Indonesia; 3e. pemalsuan tentang surat-surat hutang atau sertifikat-sertifikat hutang yang ditanggung Indonesia, daerah (gewest) atau
118
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/12066/1/09E02016.pdf
93
sebahagian daerah, talon-talon, surat-surat hutang sero atau suratsurat bunga hutang yang masuk surat-suarat itu, serta surat-surat keterangan ganti surat itu, atau dengan sengaja mempergunakan surat palsu atau yang dipalsukan demikian itu seakan-akan surat itu benar dan tidak dipalsukan; 4e. salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan pasal 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf l, m, n dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil. Pasal 5: 1) Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi Warga Negara Indonesia yang melakukan di luar Indonesi: 1e. salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua, dan dalam pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451; 2e. suatu perbuatan yang dipandang sebagai suatu kejahatan menurut ketentuan hukum pidana dalam undang-undang Indonesia dan boleh dihukum menurut undang-undang negeri, tempt perbuatan itu dilakukan.
94
2) Penuntutan terhadap suatu perbuatan yang dimaksudkan pada ke2e boleh juga dilakukan, jika tersangka baru menjadi Warga Negara Indonesia setelah melakukan perbuatan itu.” Pasal 7: “Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi Pegawai Negara Indonesia yang melakukan di luar Indonesia salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Bab XXVIII Buku II.”
Pasal 8: “Ketentuan pidana dalam undang-undang Inonesia berlaku bagi nahkoda dan penumpang-penumpang alat-alat pelayar (kapal, perahu) Indonesia, yang ada di luar Indonesia, juga waktu mereka tidak ada di atas alat-alat pelayar, melakukan salah satu peristiw pidana, yang diterangkan dalam Bab XXIX Buku II dan Bab IX Buku III, demikian juga dalam undang-undang umum tentang surat-surat laut dan pas kapal di Indonesia dan dalam Ordonansi Kapal 1927.” Pasal 9: “Berlakunya pasal 2 -5, 7 dan 8 dibatasi oleh hal yang dikecualikan, yang diakui dalam hukum antar negara”. Sehingga jelaslah jika pembatasan laut territorial Indonesia diatur dalam hukum internasional. Pengaturan tindak pidana perompakan ini, di luar KUHP, tidak dituangkan ke dalam suatu peraturan khusus, atau dengan kata lain tindak pidana perompakan ini termasuk ke dalam tindak pidana umum.Patokan yang dipakai oleh Scholten yang memakai patokan “berlaku umum” dan “berlaku khusus” yang mengatakan semua hukum pidana yang berlaku umum disebut sebagai hukum pidana umum. Hukum
95
pidana khusus ialah perundang-undangan bukan pidana umum yang bersanksi pidana khusus yang disebut hukum pidana pemerintahan.119 Demikian pula menurut P. Mostert yang menunjukkan bahwa: dengan menggunakan perundang-undangan pidana yang khusus ini maka yang utama bukanlah perbuatan secara individual,melainkan melaksanakan suatu kebijaksanaan yang bersifat umum. Kadang-kadang disebut juga “ordening straf recht” yang menurut Roeslan Saleh tidak lebih hanya suatu penutup atas suatu pengaturan yang bersifat memaksakan.120 Kejahatan sebagaimana yang dilakukan oleh para bajak laut diwilayah kedaulatan suatu negara, dimana wilayah tersebut tidak tunduk atau berada dalam satu kekuasaan yurisdiksi manapun juga (laut lepas), maka kejahatan yang dilakukan oleh para bajak laut tersebut tidak lagi dikatakan sebagai kejahatan pembajakan tetapi perompakan karena telah terjadi diwilayah kekuasaan yurisdiksi. Sehingga terhadap kejahatan perompakan ini diperlukan penerapan yurisdiki territorial. Wilayah perairan Indonesia yang menjadi sasaran aksi para perompak dalam melakukan kejahatannya adalah wilayah selat malaka. Mengingat rute tersebut merupakan jalur perdagangan internasional yang sering dilalui oleh kapal-kapal asing. Sehingga kejahatan yang terjadi di wilayah perairan selat malaka, masih berada di wilayah yurisdiksi territorial Indonesia. Menurut prinsip yurisdiksi teritorial, negara mempunyai yurisdiksi terhadap semua persoalan dan kejadian di dalam wilayahnya. Prinsip ini 119
www.bphn.go.id/data/.../naskah_akademik_tentang_kuhp_dengan_lampiran.pdf ibid
120
96
adalah prinsip yang paling mapan dan penting dalam hukum internasional. Menurut Hakim Lord Macmillan
suatu
negara
memiliki
yurisdiksi
terhadap semua orang, benda, perkara-perkara pidana atau perdata dalam
batas-batas
wilayahnya sebagai pertanda bahwa negara tersebut
berdaulat. Pernyataan beliau berbunyi demikian:121 It is essebtial attribute ofthe sovereignity, of this realm, as of all sovereign independent states, that it should posses jurisdiction over all persons and things within its territorial limits and in all causes and criminal arisingwithin these limits.
Ini adalah merupakan kewenangan dari kedaulatan itu, dari wilayah ini, karena dari semua negara merdeka yang berdaulat, harus memiliki yurisdiksi atas semua orang dan hal-hal dalam batas teritorial atas semua peristiwa dan perbuatan pidana yang terjadi dalam batas-batas territorial tersebut. Ciri pokok dari kedaulatan dalam batas-batas ini, seperti semua negara merdeka yang berdaulat, bahwa negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang dan benda di dalam batas-batas teritorialnya dan dalam semua perkara perdata dan pidana yang timbul di dalam batas-batas teritorial ini.122 Berdasarkan konsep tersebut, maka hal ini berarti pula bahwa tindak pidana perompakan yang terjadi diwilayah perairan Indonesia adalah merupakan kewenangan penuh dari pemerintah Indonesia untuk
melaksanakan
yurisdikis
teritorial
atas
kejahatan
pidana
perompakan. Dalam hal ini kejahatan tersebut dapat ditangkap, diperiksa 121
Huala Adolf, Op. Cit., hlm. 186 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional ahli Bahasa Bambang Iriana Dajajaatmaja, Jakarta, Sinar Grafika, 2003, hlm. 270 122
97
dan diadili dipengadilan Indonesia, berdasarkan hukum positif negara Indonesia. Ketentuan yang mengatur mengenai terjadinya tindak pidana lain yang menyertai terjadinya tindak pidana perompakan, terdapat dalam Pasal utama yang disertai tindak pidana lain tersebut, yaitu Pasal 439 KUHP. Pasal 439 KUHP itu berbunyi sebagai berikut: 1.
2.
Karena membajak di pantai dihukum penjara selama-lamanya lima belas tahun, barang siapa dengan memakai sebuah kapal (perahu) melakukan perbuatan kekerasan terhadap kapal (perahu) itu yang ada dalam daerah laut Negara Indonesia. Yang dikatakan “Daerah Laut Negara Indonesia” ialah daerah laut sebagai Pasal 1 dari “Territoriale zee en maritieme kringen ordonnantie” (LN. 1939 No. 442). Dari ayat (1) pasal ini dapat kita ambil unsur-unsurnya, yaitu antara
lain: 1.
Membajak di pantai. Yang dimaksud dengan “pantai” disini adalah pembajakan (perompakan) yang dilakukan di dalam laut teritorial yang luasnya yaitu sejauh 12 mil dari garis pantai pada saat air laut surut, sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya dalam sub-bab sebelumnya. Pembajakan yang terjadi di luar laut teritorial (laut bebas) akan dikenai Pasal 438 KUHP, sedangkan pembajakan di sungai dikenai Pasal 441 KUHP.
2.
Dengan memakai sebuah kapal (perahu). Kapal atau perahu disini dipergunakan pihak perompak sebagai sarana untuk melakukan perompakan.Tidak
jarang perompak,
98
menyandera sebuah kapal untuk melakukan perompakan di kapal lain dan kemudian meninggalkan kapal tersebut dengan membawa pergi kapal yang dirompaknya.Jadi, tidak menjadi suatu keharusan perompak
menggunakan
kapal
pribadinya
untuk
melakukan
perompakan. 3.
Melakukan perbuatan kekerasan terhadap kapal (perahu). Perbuatan kekerasan disini dimaksudkan pada kapal atau perahu yang
dibajak (dirompak) untuk menimbulkan kerugian pada pihak lawan, bukan kepada orang-orang yang ada di dalam kapal yang dibajak/dirompak tersebut. Ketentuan lain ayat (2) dari pasal ini memuat batas berlakunya pasal ini terhadap kapal yang melakukan perompakan, yaitu selebar 12 mil dihitung dari garis pantai ketika air laut surut dari pulau terluar Negara Indonesia, termasuk disini Selat Malaka khususnya bagian perairan Belawan yang kejadian perompakannya penulis bahas di dalam karya tulis ini. Pada kenyataannya, perompakan yang sekarang ini terjadi tidak hanya melanggar Pasal 439 KUHP saja, melainkan juga melanggar beberapa ketentuan lain dalam KUHP. Adapun tindak pidana yang menyertai perompakan ini antara lain: 1. Penculikan dan Penahanan Dalam melakukan kejahatannya, perompak juga tidak jarang melakukan penculikan terhadap kapal dan/atau nahkoda kapal dan/atau
99
Kepala Kamar Mesin (KKM). Penculikan sendiri diatur dalam Pasal 328 KUHP yang isinya sebagai berikut: “Barang siapa melarikan orang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya sementara, denganmaksud melawan hak akan membawa orang itu di bawah kekuasaan sendiri atau dibawah kekuasaan orang lain atau akanmenjadikan ia jatuh terlantar, dihukum karena melarikan (menculik) orang, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Untuk dapat dihukum dengan pasal ini, harus dibuktikan bahwa pelaku memiliki maksud akan membawa orang itu pada saat itu dengan melawan hak di bawah kekuasaan sendiri atau orang lain. Perbuatan ini melawan
hukum
karena
menyerang
hak
kemerdekaan
orang
sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 UUDS Republik Indonesia. Perompak terkadang melakukan penculikan terhadap anggota kapal dengan tujuan untuk mempermudah aksinya dengan menahan sandera agar aparat tidak melakukan pengejaran. Tidak jarang korban kemudian ditinggalkan begitu saja di kapal berikutnya yang dirompak oleh pelaku. Sedangkan tindak penahanan yang dilakukan perompak tercantum secara jelas dalam Pasal 333 KUHP yang isinya adalah sebagai berikut: 1. Barangsiapa dengan sengaja menahan (merampas kemerdekaan) orang atau meneruskan tahanan itu dengan melawan hak, dihukum penjara selama-lamanya delapan tahun. 2. Jika perbuatan itu menyebabkan luka berat sitersalah dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun. 3. Jika perbuatan itu menyebabkan kematian orangnya, ia dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun. 4. Hukuman yang dikenakan pada pasal ini dikenakan juga kepada orang yang sengaja memberi tempat untuk menahan (merampas kemerdekaan) orang dengan melawan hak.
100
Istilah penahanan disini adalah perbuatan mengurung atau menutup korban di dalam kamar, rumah, dengan mengikat, ataupun disuruh tinggal dalam suatu ruangan yang luas tetapi dijaga dan dibatasi kebebasannya.Penahanan ini ditujukan untuk memperoleh uang tebusan dari pengusaha kapal tersebut, yang mana hal ini disebut juga sebagai tindak pidana pemerasan yang akan penulis bahas di paragraf berikutnya. 2.
Pengancaman Pengancaman sebagaimana dimaksud diatur dalam Pasal 336 ayat (1) KUHP yang isinya sebagai berikut: 1. Dihukum selama-lamanya dua tahun delapan bulan, barangsiapa yang mengancam: Dengan kekerasan di muka umum dengan memakai kekuatan bersama-sama, kepada orang atau barang; Dengan sesuatu kejahatan yang mendatangkan bahaya bagi keamanan umum dari orangatau barang; Dengan memaksa atau dengan perbuatan yang melanggar kesopanan; Dengan sesuatu kejahatan terhadap jiwa orang; Dengan penganiayaan berat atau dengan pembakaran. Yang dihukum menurut pasal ini adalah mengancam dengan: a.
Kekerasan dimuka umum dengan memakai kekuatan bersamabersama kepada orang atau barang; Disini perompak melakukan pengancaman
secara
beramai-ramai
umumnya
dengan
menggunakan senjata tajam atau senjata api agar awak kapal mau menuruti permintaannya. b. Suatu kejahatan yang mendatangkan bahaya bagi keamanan umum dari orang atau barang;Ancaman ini dapat membahayakan awak kapal yang ketakutan sehinga mereka mungkin saja melakukan hal-hal di luar kesadaran yang membahayakan jiwa
101
mereka, sebagaimana yang terurai dalam kasus yang penulis analisa dalam bab berikutnya. c.
memaksa atau perbuatan melanggar kesopanan;Dalam kasus perompakan ancaman jenis ini jarang ditemui
d. suatu kejahatan terhadap jiwa orang;Ancaman yang digunakan pelaku biasanya berupa ancaman pembunuhan apabila awak kapal tidak mematuhi perintah para perompak, yang man hal ini merupakan suatu kejahatan terhadap jiwa orang. e. penganiayaan
berat
dan
pembakaran;Ancaman
pembakaran
terhadap kapal yang dirompak adalah salah satu cara yang dilakukan perompak agar pemilik kapal mau memberikan sejumlah uang sebagai tebusan. 3.
Pembunuhan Tindak pembunuhan sebagaimana dimaksud tercantum secara jelas di dalam Pasal 339 KUHP, yang isinya sebagai berikut: “Makar mati diikuti, disertai atau didahului dengan perbuatan yang dapat dihukum dan yang dilakukan dengan maksud untuk menyiapkan atau mempermudah perbuatan itu atau jika tertangkap tangan akan melindungi dirinya atau kawan-kawannya dar pada hukuman atau akan mempertahankan barang yang didapatnya dengan melawan hak, dihukum penjara seumur hidup atau penjara sementara selamalamanya dua puluh tahun.”
Pembunuhan yang dilakukan oleh para perompak ini umumnya dikarenakan pihak lawan tidak mau memberikan sejumlah uang yang diminta oleh perompak, sehingga pembunuhan ini dilakukan untuk mempermudah pemerasan yang dilakukannya karena hal ini
102
memberikan rasa takut bagi pemilik kapal untuk tidak menolak permintaan perompak lain waktu. 4.
Penganiyaan Selain melakukan perompakan, tidak jarang dalam melakukan aksinya pelaku juga menganiaya korban yang umumnya adalah Anak Buah Kapal (ABK). Di dalam bab berikutnya, penulis akan menganalisis kasus perompakan yang dilakukan dengan kekerasan terhadap kapal/perahu sehingga pelaku dikenai Pasal 439 tentang pembajakan di pantai. Yang dimaksud dengan pantai disini adalah wilayah laut teritorial Indonesia. Penganiayaan ini pada akhirnya menjadi
hal
yang
memberatkan
pelaku
dalam
tuntutannya.
Penganiayaan Di dalam KUHP, penganiayaan sendiri diatur dalam Pasal 351 KUHP, yang isinya antara lain: 1.
2. 3. 4. 5.
Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp. 4.500, jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah dihukum penjara selama-lamuanya lima tahun. Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun. engan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja. Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum. Penganiayaan di dalam KUHP diartikan sebagai sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pijn), atau luka. Penganiayaan ini harus dilakukan dengan sengaja dan tidak melewati hal yang patut atas batas yang diizinkan (misalnya rasa sakit yang disebabkan karena dicabut giginya oleh dokter
103
gigi).Menurut Jonkers, sudah memadai jika pembuat dengan sengaja melakukan perbuatan atau pengabaian (nalaten) mengenai apa
yang oleh undang-undang dapat
ditentukan sebagai
pidana.123Penganiayaan yang dilakukan oleh perompak dalam hal ini bertujuan untuk memberikan rasa takut kepada para ABK untuk tidak menghalangi perbuatan perompak, dengan kata lain hal ini mereka lakukan untuk mempermudah niat mereka merompak kapal dimaksud. 6. Pencurian Pasal pencurian ini sebagaimana kita ketahui telah diatur dalam Pasal 362 KUHP yang isinya sebagai berikut: “Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum karena pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun penjara atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,Elemen-elemen dari pasal ini agaknya perlu kita bahas, antara lain: a. Perbuatan Mengambil Yang dimaksud perbuatan mengambil disini menurut undangundang
adalah
mengambil
untuk
dikuasainya.
Perompak
mengambil barang-barang berharga di atas kapal tersebut tanpa izin pemiliknya dengan tujuan untuk menguasainya dan membawa
123
Andi Hamzah, “Azas-azas Hukum Pidana”, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994), hlm. 106
104
barang-barang tersebut bersama perompak, maka dapat dilihat deisini bahwa tindakan perompak memenuhi unsur ini. b. Yang diambil itu harus barang Barang berharga yang diambil oleh perompak umumnya berupa radar kapal, telepon satelit, uang yang ada di kapal/milik ABK, bahkan dokumen-dokumen kapal. Diambilnya dokumen kapal ini bertujuan agar pemilik kapal tersebut mau memberikan uang tebusan, karena tanpa dokumen tersebut kapal tidak akan bisa berlayar c. barang itu harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain; Agaknya elemen yang satu ini tidak perlu banyak dibahas karena barang yang diambil oleh perompak nyata-nyata bukan milik/hak perompak. d. pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum. Barang yang diambil untuk dikuasai oleh perompak ini biasanya dijua, dipakai sendiri, ataupun sebagai barang tebusan seperti halnya dokumen kapal tersebut. 7. Pemerasan Pemerasan yang dilakukan oleh pihak perompak dalam hal ini adalah merupakan kelanjutan dari tindak penahanan secara melawan hak yang mereka lakukan.PemerasanDi dalam KUHP, perbuatan ini diatur dalam Pasal 368 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
105
1. Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, memaksa orang dengan kekerasanatau
ancaman
kekerasan,
supaya
orang
itu
memberikan barang, yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orangitu sendiri atau kepunyaan orang lain atau supaya orang itu membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena memeras, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun. 2. ketentuan dalam ayat kedua, ketiga dan keempatdari Pasal 365 berlaku bagi kejahatan itu Unsur-unsur dari Pasal 368 KUHP ini adalah: a. memaksa orang lain; Dalam hal ini perompak memaksa pengusaha atau pemilik kapal agar mau menuruti permintaan mereka dengan menggunakan anggota kapal yang mereka culik sebagai sandera b. untuk memberikan barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang itu sendiri atau kepunyaan orang lain, atau membuat utang atau menghapuskan piutang; Kebanyakan perompak meminta pemilik untuk memberikan sejumlah uang untuk ditukarkan dengan anggota anggota kapal yang mereka tahan. Tidak jarang diantara perompak dan pemilik kapal melakukan tawar menawar dalam hal penentuan jumlah uang tebusan sampai ada kesepakatan mengenai angka yang disetujui
106
keduanya. Perompak biasanya menghubungi pemilik melalui nomor telepon berkali-kali demi kesepakatan harga ini berikut ancaman yang selalu mereka katakan di akhir pembicaraan jika si pemilik kapal tidak menuruti permintaan perompak. c. dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak; Tujuan dari perompak melakukan penahanan ini adalah tentu saja untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar selain keuntungan yang mereka peroleh dari hasil merompak. d. memaksanya dengan memakai kekerasan atau ancaman kekerasan; Objek yang dikenai kekerasan atau ancaman kekerasan disini bukanlah pemilik kapal yang diperas, melainkan anggota kapal yang ditahan oleh perompak. Selain pemerasan yang dilakukan dengan tindak penahanan yang dilakukan oleh perompak, ancaman pemerasan itu juga dapat berupa setoran berupa uang ataupun pulsa telepon seluler yang telah ditentukan jumlahnya oleh pelaku yang harus dibayar kepada si perompak tiap bulannya demi keselamatan kapal yang berlayar di perairannya.
107
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Kejahatan terhadap kapal yang dilakukan diwilayah perairan yurisdiksi suatu negara merupakan kejahatan perompakan yang dilakukan oleh para bajak laut. Sehingga dalam batas-batas yurisdikis ini akan berlaku yuridiksi teritorial terhadap kejahatan yang dilakukan. Dimana penerapannya menggunakan hukum positif Indonesia terhadap kewenangan untuk menahan, memerikasa dan mengadili. Perompakan yang dilakukan terhadap kapal asing, hal ini tidak serta merta menjadikan kejahatan tersebut tidak dapat diproses dengan alasan terdapat kedaulatan negara lain dalam satu peristiwa. Tetapi karena berdasarkan pada prinsip yurisdiksi teritorial, maka telah menjadi kewenangan penuh bagi pemerintah Indonesia untuk memproses kejahatan tersebut berdasarkan pada yurisdiksi teritorialnya. Bahwasannya selain melakukan perompakan, umumnya pelaku juga melakukan satu atau lebih tindak pidana lainnya, seperti penculikan/penyenderaan untuk meminta tebusan kepada pemilik kapal, atau melakukan penganiayaan terhadap awak kapal untuk memberi rasa takut kepada awak kapal sehingga pelaku dapat dengan bebas melakukan aksinya. Hal ini dilakukan semata-mata untuk memperoleh hasil yang lebih besar dari perbuatan mereka yang diperoleh dari hasil tebusan bagi sandera atau setoran bulanan yang mereka peroleh dari pemilik kapal yang diancam keselamatan kapal dan awaknya oleh perompak.
108
B.
Saran 1.
Pemerintah dapat memberikan suatu perhatian ekstra terhadap adanya tindak pidana perompakan yang bahkan sudah dipandang sebagai sesuatu yang serius dari dunia internasional mengingat Selat Malaka adalah jalur pelayaran tersibuk di dunia.
2.
Hendaknya pihak aparat lebih meningkatkan pengamanan di sekitar perairan Selat Malaka dan terus mempertahankan patroli gabungan dengan pihak Malaysia dan Singapura secara bersama-sama karena usaha ini terbukti mampu menekan angka perompakan.
3.
Agar pemerintah lebih memperhatikan sarana tempur pihak aparat karena kapal TNI AL saat ini sudah sangat ketinggalan dan bahkan kurang mampu bersaing ketika terjadi pengejaran dengan kapal perompak sehingga perompak seringkali dapat meloloskan diri dari kejaran apparat.
4.
Hendaknya sosialisasi kepada masyarakat mengenai tindak pidana perompakan ini lebih di tingkatkan, mengingat masyarakat memiliki peran penting sebagai pemberi informasi.
DAFTAR PUSTAKA Buku Anwar Khairul, 1995, ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Di Dalam Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta. Adolf, Huala, 2008, Perjanjian Internasional, Rineka Cipta Bandung. ____________;
2000, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum internasional.Jakarta:Raja Grafindo Persada. Cetakan III
Akehurst, M, 1972, Yurisdiksi Dalam Hukum Internasional, 46 BYIL Austin, John, 1955, The Province of Jurisprudence Determined Lecture I, Edited by Wilfrid E. Rumble, Cambridge University Press, Cambridge Adji, Indriyanto Seno, 2007, “Perspektif Mahkamah Konstitusi Terhadap Perkembangan Hukum Pidana” dalam Mardjono Reksodiputro, Pengabdian Seorang Guru Besar Hukum Pidana, Jakarta, Bidang Studi Hukum Pidana Sentra HAM FHUI Badan Penerbit FHUI Buana, Mirza Satria, 2007, Hukum Internasional Teori dan Praktek,Penerbit Nusamedia, Bandung. Beccaria, Cesare, 1996, Of Crimes and Punishments, Introductionby Marvin Wolfgang, Foreword by Mario Cuomo, translated by Jane Grigson, Marsilio Publisher, New York Churchill, R. R and Lowe. A.V, 1983, The Law of the sea. Manchester University Press, Manchester UK Dam, Syamsumar, 2010 Politik Laut, Bumi Aksara, Jakarta. Dumais, Leo, 2001, Pembajakan dan Perompakan di Laut, Laporan Pelaksanaan Temu Wicara Kerjasam ASEAN Dalam Menanggulangi Kejahatan Lintas Negara, Deparlu, Jakarta. Donaldson L J, 1983, Menunjuk Asumsi Umum Yang Mendukung Teritorialitas Yurisdiksi, R v. Yorkshire Coroner, ex parte Smith Guillaume, Hakim, 2002, Dalam Situasi Pendudukan Perang, Penjajah Bisa Menjalankan Kekuasaan Mengatasi Kejahatan yang Berhubungan Dengan Penduduk Sipil: lihat Konvensi Jenewa Keempat tentang perlindungan warga sipil, Pasal 64-78, Congo v. Belgium, ICJ Reports
Hamzah, H. Bachtiar, 1997, Hukum Internasional II; USU Press Medan. Hasibuan Rosmi, 2002, Penegakkan Hukum Di Bidang Pelayaran Bagi Kapal Asing Di Peraiaran Indonesia, Universitas Sumatera Utara. Hamzah, Andi, 1994, “Azas-azas Hukum Pidana”, Rineka Cipta, Jakarta Hujjbers, Theo, 1995, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius Hiariej, Eddy O.S; 2009, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Erlangga, Jakarta. _____________; 2010, Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius Terhadap HAM, Erlangga, Jakarta. Kelsen, Hans, 1995, Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Empirik Deskriptif, alih bahasa Drs. Somardi, Cetakan I, Rimdi Press, Jakarta Mustafa, Djuang Harahap; 1983, Yurisdiksi Kriminal di Perairan Indonesia yang berkaitan dengan Hukum Internasional, Alumni, Bandung, Mardianus Aruf, Laksamana I TNI - AL, Penegakan Kedaulatan Dan Hukum Di Laut, Penerbit Dispadaerah-I Belawan. Marzuki, Peter Mahmud, 2011, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta. Mochtar Kusumaatmadja, 1978, Hukum Laut Internasional, Binacipta, Bandung. ----------------------, 1979, Bunga Rampai Hukum Laut, Penerbit Binacipta, Bandung. Mann, F. A; 1984, Doktrin Yurisdiksi Dalam Hukum Internasional Ditinjau Kembali Sesudah Duapuluh Tahun, 186 HR Moore, Hakim, 1935, Draf Konvensi Penelitian Harvard tentang Yurisdiksi yang Menyangkut Kejahatan, AJIL Parthiana, I Wayan; 2014, Hukum Laut Internasional dan Hukum laut Indonesia, yrama Widya, Bandung, Radjab Mochamad, 1963, Hukum Bangsa-Bangsa (terjemahan), penerbit Bhratara, Jakarta.
Robinson, O.F, 1997, The Sorces of Roman Law, Problems and Methods for Ancient Historians, Routledge, London and New York. Romli Atmasasmita, 2003, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama, Jakarta. Soekanto,
Soerjono, 2003, Persada,Jakarta.
penelitian
hukum
Normatif,RajaGrapindo
Starke, JG, 1984, Introduction to International Law: Butterworth, 9th ed, London. _____________; 2003 Pengantar Hukum Internasional ahli Bahasa Bambang Iriana Dajajaatmaja, Jakarta, Sinar Grafika. Shaw, Malcolm N. QC, 2013, Hukum Internasional, Nusamedia, Bandung. Sapardjaja, Komariah E. Sapardjaja, dalam putuan Mahkamah Konstitusi Nomor 069/PUU-II/2004 tentang Pengujian Undang Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Pemberantasan Korupsi terhadap Undang Undang Dasar 1945, yang diterbitkan Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, Sidharta, Bernard Arief, 2000, Refleksi tentang Sruktur Ilmu Hukum, sebuah penelitian tentangfundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan ilmu hukum sebagai landasan pengembangan ilmu hukum nasional Indonesia, penerbit CV Mandar Maju, Bandung Saleh, Roeslan, 1984, Segi Lain Hukum Pidana,Ghalia Indonesia Jakarta Victor Situmorang, 1987, Sketsa Azas Hukum Laut, Penerbit PT. Bina Aksara, Jakarta. Wahyono, J, Kusumoprodjo, 1980, Bebebrapa Pikiran Tentang Kekuatan Dan Pertahanan Di Laut, Jakarta, DEPHANKAM. W. Koers, Albert, 1994, Konvensi Perseritakan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut, Gajah Mada University, Press, Yogyakarta. Perundang-undangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana, tentang Yurisdiksi Kriminil)
Undang Undang Nomor. 4/Prp/1960 Tentang Perairan Indonesia. Undang Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Undang Undang Nomor 20 Tahun 1987 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1988 (telah diubah dengan Undang Undang Nomor 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara). Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1962 tentang Hak Lintas Damai Bagi Kendaraan Air Asing. Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982)United Nations On the Law of the See (UNCLOS 1982). Internet https://id.wikipedia.org/wiki/Laut_teritorial diakses, tanggal 6 Agustus 2016 http://ilusikehidupan.blogspot.com tentang selata malaka, diakses 9 Agustus 2016 https://rizkiamaliafebriani.wordpress.com/2012/06/09/batas-wilayah-darat-danlaut-indonesia-dengan-negara-lain, diakses, 20 Agustus 2016 https://politikinternational.wordpress.com/2014/06/02/kronologi-pembajakantanker-thailand-di-selat-malaka-indonesia, diakses, 20 Agustus 2016 http://nasional.sindonews.com/read/1071914/14/dahsyat-perompakan-kapalsingapura-diotaki-perempuan-1450881056 diakses, 20 Agustus 2016 http://bakorkamla.go.id tanggal 1 November 2016 http://tomyishak.wordpress.com/2011/03/17/menanti-penjaga-Lautan tanggal 1 November 2016 Pottengal
Mukun, ‘Selat Malaka Dihantui Perompak’, kuala www.gatra.com/2004-07-26/artikel.php?id=42236 tanggal 2November 2016
lumpur, diakses
https://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/12/063718392/lima-perompakkapal-mv-merlin-berhasil-ditangkap diakses tanggal 2 November 2016
http://news.detik.com/berita/3103580/perompak-kapal-tanker-mt-joaquimditangkap-di-bandung diakses tanggal 4 November 2016 https://dunia.tempo.co/read/news/2016/08/17/118796699/kapal-hantu-ditudingbajak-tanker-malaysia-di-batam diakses tanggal 4 November 2016 http://batamtoday.com/berita36000-Lanal-Batam-Tangkap-6-Perompak-KapalTugboat-Mitra-Anugerah.html diakses, tanggal 4 November 2016 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/12066/1/09E02016.pdf diakses tanggal 4 November 2016 https://en.wikipedia.org/wiki/Transnational_organized_crime diakses tanggal 23 Agustus, 2016 www.bphn.go.id/data/.../naskah_akademik_tentang_kuhp_dengan_lampiran.pdf diakses tanggal 3 November 2016 Sekilas Tentang Kejahatan Transnasional. Dalam http://risethukum.blosspot.com. Diakses tanggal 20 Agustus 2016