KAJIAN ETIS KRISTEN TERHADAP PENGHARGAAN MASYARAKAT RURUKAN PADA HUTAN MAHAWU BAGI DAS TONDANO
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Tomohon
Untuk Memenuhi Sebagian dari Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Teologi
Oleh : DESRY NARLIANY LINGGAMO Nim/Nirmi : 98110113/9891034177 Oktober 2003
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Dosen pembimbing telah menerima hasil penelitian yang berjudul: KAJIAN ETIS KRISTEN TERHADAP PENGHARGAAN MASYARAKAT RURUKAN PADA HUTAN MAHAWU BAGI DAS TONDANO, yang telah disiapkan dan diserahkan oleh DESRY NARLIANY LINGGAMO untuk memenuhi sebagian dari persyaratan guna mencapai gelar SARJANA TEOLOGIA dari Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Tomohon.
Disetujui pada tanggal Oktober 2003
Dosen Pembimbing
Pdt. Marthin Supit, M.Th.
ii
PENGESAHAN FAKULTAS TEOLOGI
Setelah memeriksa dan meneliti secara seksama serta mengetahui seluruh proses penelitian dan cara penyusunan skripsi yang dilakukan oleh DESRY NARLIANY LINGGAMO yang berjudul KAJIAN ETIS KRISTEN TERHADAP PENGHARGAN MARYARAKAT RURUKAN PADA HUTAN MAHAWU BAGI DAS TONDANO maka dengan ini dinyatakan bahwa skripsi ini diterima dan disahkan sebagai bagian dari persyaratan untuk mendapatkan gelar SARJANA TEOLOGI dari Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Tomohon.
Diterima dan disahkan pada tanggal Oktober 2003
Dekan
Ketua Program Studi
Fakultas Teologi
Agama dan Kebudayaan
Pdt. M.M.M. Lengkong, M.Th
Dra. M.H.K-Tangkudung, MSi.
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada-Mu Ya Allah Pencipta segalanya dan pemelihara ciptaan yang telah memberikan berkat cinta dan kasih-Mu kepada penulis sehingga boleh sampai pada akhir pergumulan studi dan menyelesaikan penulisan skripsi ini. Atas kemurahan Allah pula maka dari awal sampai akhir proses studi dan penulisan skripsi ini, penulis mendapat dukungan dari banyak pihak dan di sini penulis tidak sanggup menguntai dan merangkai kata-kata secara lengkap untuk menyatakan isi hati penulis terhadap semua dukungan itu, selain mengucapkan penghargaan dan terima kasih. Dibawah ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada yang terkasih: 1. Rektor UKIT, Pdt. DR. A.O. Supit, beserta civitas akademika UKIT. 2. Dekan Fakultas teologi UKIT, Pdt. Marthinus M. M. Lengkong, M.Th., beserta seluruh civitas akademika Fakultas Teologi UKIT atas segala bantuannya selama penulis kuliah. 3. Semua Dosen Fakultas Teologi UKIT yang melalui kegiatan perkuliahan telah banyak memberikan bekal ilmu pengetahuan dan membentuk pribadi penulis untuk siap menjadi seorang pelayan Tuhan di masyarakat. 4. Pdt. W. Langi, M.Th., sebagai Dosen Perwalian yang selalu membimbing dan mengarahkan penulis bersama teman-teman seperwalian.
5. Pdt. Marthin Supit, M.Th., sebagai Dosen Pembimbing Skripsi atas segala kesediaan waktu dan kesabarannya membimbing, menasehati, menegur dan mengarahkan penulis selama penulisan skripsi. 6. Pimpinan Perpustakaan UKIT beserta stafnya yang telah memberikan kesempatan untuk memanfaatkan segala literatur yang ada. 7. Sinode GKLB yang telah memberikan rekomendasi pada penulis untuk kuliah di Fakultas Teologi UKIT. 8. Seluruh BPMJ dan jemaat ‘Bukit Zaitun’ GKLB Luwuk. 9. Hukum Tua Desa Rurukan dan seluruh masyarakat yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian. 10. Keluarga Linggamo – Lasompoh: papa dan mama yang penulis sayangi dan cintai, yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan studi, membiayai studi penulis dengan kerja keras dan pengorbanan serta topangan doa yang tiada hentinya sebagai dorongan dan motivasinya. 11. Kakak dan adik-adikku: Trisdawaty Linggamo, ST., Harry Abriyanto Linggamo, Febby Linggamo dan Benny Linggamo atas segala kasih sayang persaudaraan dan dorongan semangatnya selama ini. 12. Keluarga Irsanto – Linggamo: Ko’ Vincent – Kak Selvi, Mario Cristop, Viktor, dan Jessica atas segala perhatian, motivasi dan bantuan finansialnya selama penulis kuliah.
v
13. Keluarga Sumarauw – Kotambunan: Mam Intan, Jeane, Christine dan yang terkasih Franky E. Sumarauw atas segala kasih sayang, perhatian, pengertian dan ketulusannya selama ini. 14. Keluarga Rieuwpassa – Sahusilawane: Papi – Mami Reni, Kak Leslie dan Donny atas kebersamaan, perhatian dan nasehatnya selama ini kepada penulis. 15. Keluarga Suendia – Mandagi: Oma Giok, Bapak Ketut – Ibu Henny, Kak Winda – Kak Ito, Kak Ea – Kak Devid, Inyo dan Andrey yang telah menyediakan fasilitas pemondokan dan membimbing penulis selama ini. 16. Teman – teman se-fakultas, se-perwalian, se-angkatan, khususnya K’ Ati, K’ Dodo, K’ Marchel M, STh., K’ Deisy Langi, STh., K’ Sherly M, STh, Meilyn P, Ivana M, Vanda L, Vivi R, Mam Yenny R, Ane S, Indang K, Shanty T, Jepe T, Kerry A, Stenly L, dan teman-teman yang tak disebut kuucapkan banyak terima kasih atas semuanya. 17. Teman – teman se-pemondokan yang selalu bersama Chei ‘MC’ Ginting, Echa T, Novi ‘vilans’ R, Audra S, Nancy L, Vita K, Neni M, Bays T, Aget L, Neva M, Eva U, One A, Ane M, Isye N, Ati A, Sil P, Maria E, Ivon R, Egi L, Echa L, Reni D, Elsye M, Yosephine L, Sastri M, Lia T, atas kebersamaan dan keakraban yang tercipta selama ini. 18. Semua keluarga, saudara, sahabat dan jemaat yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, atas segala bantuannya selama ini kepada penulis.
vi
Atas segala kebaikan dan partisipasinya yang tiada terhingga, penulis doakan kiranya Tuhan Allah di dalam Yesus Kristus selalu menyertai kita dalam tugas dan pelayanan masing- masing.
Tomohon,
Oktober 2003
Penulis
Desry Narliany Linggamo
vii
DAFTAR ISI
Halaman LEMBARAN JUDUL……………………………………………………………..i LEMBARAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………….…ii LEMBARAN PENGESAHAN FAKULTAS TEOLOGI………………….…..iii KATA PENGANTAR…………………………………………………………....iv DAFTAR ISI…………………………………………………………………….viii PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemikiran dan Alasan Pemilihan Judul…………………....1 B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah………………………....5 C. Tujuan dan Manfaat penelitian……………………………………….…….6 D. Metodologi Penelitian……………………………………………………...8 E. Sistematika Penulisan………………………………………………...……10 BAB I : KAJIAN TEORI TENTANG PENGHARGAAN MASYARAKAT RURUKAN PADA HUTAN MAHAWU DAN PERSPEKTIF ALKITABIAH A. Pengertian Penghargaan Masyarakat………………………………..…….13 1.
Pengertian Penghargaan ……………………………………..……....13
2.
Pengertian Masyarakat…………………………………...……..……14
B. Hakekat Manusia dan Alam…………………………………………..…...15 1.
Dr.Robert P.Borrong………………………………………..……......15
2.
Malcolm Brownlee……………………………………......………...16
C. Pengertian Hutan dan Ekosistem Hutan…………………………………..18 1. Pengertian hutan…..……………………………………......................18 2. Ekosistem Hutan……………………………………………………....21 D. Jenis Hutan………………………………………………….......................23 E. Fungsi dan Peranan Hutan………………………………….......................24 1. Pelindung …………………………………………………………..…24 2. Produksi ………………………………………………………………25 3. Fungsi Lain-Lain ……………………………………………………..26 F. Pengelolaan Hutan………………………………………….......................27 G. Kerusakan Hutan……………………………………………………..…....30 H. Usaha Pemeliharaan Hutan……………………………………….…….....32 1. Oleh Pemerintah……………………………………………….…..…..33 2. Oleh Gereja………………………………………………………..…..35 I. Perspektif Alkitabiah……………………………………….......................36 BAB II : GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA A. Gambaran Umum Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano………….….....41 B. Gambaran Umum Hutan Mahawu………………………….......................42 1. Luas dan Letak Hutan………………………………............................43 2. Keadaan Hutan Mahawu Sekarang…………………………….…..….49 C. Manfaat Hutan Mahawu dan Akibat Kerusakannya……………….…..….49 1. Manfaat Hutan Mahawu……………………………………….….…..49
ix
2. Akibat Kerusakan Hutan Mahawu…………………………...………..52 D. Penghargaan Masyarakat Rurukan Terhadap Hutan Mahawu……………………………………………………………..…….54 1. Pemikiran-Pemikiran Masyarakat pada Umumnya…………..……….55 2. Pemikiran Kelompok-Kelompok Masyarakat………….......................57 E. Analisa Data………………………………………………………..……...63 BAB III : KAJIAN ETIS KRISTEN TERHADAP PENGHARGAAN MASYARAKAT PADA HUTAN MAHAWU……………………………………………...…..68 PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………………………..….…...75 B. Saran………………………………………………………………………76 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….77 LAMPIRAN 1. Kejadian 1 : 1-31 2. Daftar Pertanyaan 3. Daftar Nama Responden 4. Peta
x
PENDAHULAN
A. Latar Belakang Pemikiran Dan Alasan Pemilihan Judul Dewasa ini manusia diperhadapkan kepada berbagai masalah. Salah satunya menyangkut masalah lingkungan hidup. Mulai dari masalah sampah, kerusakan hutan dan isinya, meningkatnya panas bumi, robeknya lapisan ozon, polusi, banjir, erosi, dan sebagainya. Masalah lingkungan hidup yang dihadapi oleh manusia merupakan akibat dari pengelolaan lingkungan hidup yang tanpa adanya kesadaran untuk bertanggung jawab. Manusia tidak memahami lingkungan hidup sebagai lingkungan yang
ada disekitarnya,
tempat organisme dan anorganisme berkembang dan
berinteraksi serta mempunyai hubungan timbal-balik yaitu pada satu pihak manusia berpengaruh atas lingkungannya dan dipihak lain lingkungan pun berpengaruh pada manusia. Manusia kadangkala tidak menyadari bahwa sebenarnya dirinya adalah bagian integral dari organisme tersebut. Manusia hanya memahami bahwa dialah yang menjadi pusat disekelilingnya. Pada umumnya lingkungan hidup manusia itu dikategorikan dalam tiga kelompok dasar, yaitu lingkungan fisik atau anorganik, lingkungan biologis atau organik, dan lingkungan sosial. Lingkungan fisik atau anorganik adalah segala sesuatu disekitar manusia yang berbentuk benda mati seperti batuan, tanah, udara, air, gas dan sebagainya. Lingkungan biologis atau organik adalah semua makhluk hidup disekitar manusia, yaitu semua binatang dari yang besar seperti gajah hingga yang terkecil seperti kuman; dan semua tumbuhan. Lingkungan sosial adalah manusia lain
disekitar manusia seperti teman, tetangga dan orang lain yang tidak kita kenal sekalipun.1 Keterhubungan ketiga unsur di atas merupakan hal penting untuk memahami definisi lingkungan hidup. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 1997
tentang
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup,
lingkungan
hidup
didefinisikan
sebagai: “kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup”. 2 Jadi, lingkungan hidup itu mencakup arti yang sangat luas yang dapat mempengaruhi kehidupan, pertumbuhan dan kelangsungan seluruh isi dunia, termasuk juga manusia. Rusaknya keterhubungan ketiga unsur tersebut yang menimbulkan masalah lingkungan hidup seperti disebutkan di atas yang juga merupakan suatu kenyataan yang harus dialami manusia. Masalah-masalah lingkungan tersebut terjadi antara lain karena manusia memperlakukan alam dengan tidak menggunakan hati nurani, tanpa rasa menghargai alam sebagai ciptaan Allah. Terjadilah apa yang disebut dengan krisis ekologis. Salah satu bukti nyata tentang kerusakan tersebut tercantum dalam harian KOMENTAR yang mengatakan bahwa hancurnya hutan di daerah aliran sungai (DAS) Tondano diakibatkan oleh pembabatan hutan di bukit-bukit sekeliling
1 2
R.P.Borrong, Etika Bumi Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia: 2000), hlm. 18. Ibid., hlm.20.
2
danau Tondano.3
Kerusakan tersebut bukan saja terjadi di sekitar DAS Tondano,
Minahasa, tetapi sudah meliputi keseluruhan hutan yang ada diseluruh wilayah Indonesia bahkan dunia, yang dampaknya sangat berpengaruh terhadap fungsi-fungsi hutan itu sendiri. Lingkungan hutan merupakan persekutuan hidup alam hayati atau suatu masyarakat tumbuhan yang kompleks, dimana: ia dituntut untuk mampu menjaga keseimbangan sistem ekologi lingkungan hidup, menyelamatkan semua makhluk didalamnya, gudang penyimpanan plasma nutfah, mempertahankan degradasi tanah dan erosi, sumber kayu industri dan penggergajian lokal, sumber hasil hutan ikutan bagi penduduk setempat serta tempat wisata alam, dan terutama untuk penelitian.4 Hutan mempunyai peranan penting dalam menjaga terpenuhinya kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup hayati yaitu udara, air, dan pangan. Kerusakan hutan akan mengakibatkan rusaknya tata air, terjadinya erosi tanah, banjir dan punahnya flora dan fauna yang ada. Hutan sebagai pengatur tata air memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan karena mampu menyerap dan menyimpan air yang jatuh (hujan) dan mengalirkannya sebagai aliran air tanah yang akhirnya menghasilkan air jernih di mata air dan sungai. Dengan tersedianya air tanah maka produktifitas tanah subur, flora dan faunanya dapat tumbuh dan berkembang. Sebaliknya apabila hutan rusak maka tidak mampu menyerap dan menyimpan air akibatnya erosi tanah dan banjir, produktifitas tanah menurun, kekeringan dan kesulitan air bagi tumbuhan, binatang
3 4
Landy Wowor, “Hancurnya Hutan DAS Tondano”, KOMENTAR, 22 Januari 2002, hlm. 6. Arifin Arief, Hutan dan Kehutanan (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm.14.
3
dan manusia. Dengan demikian kerusakan hutan akan sangat berpengaruh dalam keberlangsungan setiap makhluk hidup. Oleh karena itu, pengolahan hutan yang baik harus ditingkatkan dan harus berwawasan lingkungan agar fungsi tanah, air, udara dan iklim terjaga dan terpelihara demi keberlangsungan setiap makhluk hidup dan ekosistemnya. Untuk pengolahan hutan perlu adanya kerja sama baik dari masyarakat, pemerintah dan gereja. Seperti halnya di Tomohon, kerusakan hutan Mahawu sebagai hutan DAS Tondano pun memberi pengaruh, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap kehidupan masyarakat di sekitarnya. Hutan Mahawu mengalami kerusakan yang diakibatkan karena beberapa faktor, yaitu pertama: faktor ekonomi. Masyarakat di sekitar hutan Mahawu mengambil kekayaan sumber daya alam dengan cara membabat hutan yang sukar dikendalikan untuk mengambil hasilnya, untuk lahan pertanian dan untuk pemukiman penduduk yang terus bertambah. Faktor kedua, peranan pemerintah khususnya Dinas Kehutanan. Dalam harian KOMENTAR, Ir. Pankie Pangemanan,MS., seorang aktifis lingkungan hidup dari pusat study lingkungan Universitas Sam Ratulangi, mengatakan bahwa: “perangkat lunak atau peraturan pendukung pelaksanaan tugas pengamanan hutan masih belum dapat dilaksanakan secara maksimal karena berlawanan dengan beberapa PERDA yang dikeluarkan pemerintah kabupaten dan kota serta belum adanya persamaan persepsi dan koordinasi antar instansi dalam pengamanan hutan. SDM (sumber daya manusia) petugas kehutanan sepert POLHUT (polisi hutan) dan PPNS (penyidik pegawai negeri sipil) belum dimaksimalkan peran sertanya dalam pengamanan hutan”.5
Jimmy Endey, “Perangkat Kehutanan Dianggap Lemah”, MANADO POST, 14 Oktober 2002, hlm. 21. 5
4
Ketiga, faktor kurangnya penghargaan masyarakat terhadap hutan yang diwujudkan dengan sikap tak bertanggung jawab, tidak peduli dan seolah-olah tidak mau
tahu
akan
keberlangsungan
hutan
Mahawu
sebagai
lingkungan
hidup
disekitarnya. Dengan melihat adanya faktor-faktor tersebut, penulis cenderung untuk mencari tahu pemahaman masyarakat disekitar hutan Mahawu akan hakekat hutan dan rasa penghargaan mereka terhadap hutan Mahawu.
Selanjutnya memotivasi
penulis untuk meneliti kenyataan pengrusakan lingkungan hidup khususnya hutan Mahawu yang dirumuskan dalam judul: “Kajian Etis Kristen Terhadap Penghargaan Masyarakat Rurukan pada Hutan Mahawu Bagi DAS Tondano”. B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Dari uraian di atas maka dapatlah diidentifikasikan masalah-masalah yang muncul sehubungan dengan rasa penghargaan masyarakat terhadap hutan Mahawu, yaitu sebagai berikut: -
Ulah masyarakat disekitar hutan Mahawu yang membabat hutan untuk memperluas areal pertanian memberi dampak buruk yaitu semakin luasnya areal hutan yang rusak.
-
Penghargaan masyarakat akan hakekat hutan dan pengelolaannya hanya sebagai objek yang bernilai guna bagi dirinya sendiri.
-
Masyarakat prihatin terhadap pengrusakan hutan Mahawu tetapi tidak mampu untuk mengatasi ulah masyarakat perusak hutan.
5
-
Pembabatan hutan Mahawu dilakukan untuk mengambil hasil hutan, untuk lahan pertanian dan pemukiman penduduk, semata-mata tuntutan kebutuhan hidup mereka.
-
Pemerintah belum memaksimalkan pelaksanaan pengamanan hutan karena kurangnya dana,
kurangnya kerjasama antar pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota, dan belum maksimalnya peran serta sumber daya manusia petugas kehutanan. 2. Pembatasan Masalah Cakupan permasalahannya.
tulisan
ini
sangat
luas,
jika
tidak
ada
batasan
lingkup
Oleh karena itu penulis membatasi penelitian pada pokok:
penghargaaan masyarakat terhadap hutan Mahawu yang telah mengalami kerusakan. 3. Perumusan Masalah Dengan
adanya
identifikasi
dan
pembatasan
masalah
maka
penulis
merumuskan masalah pada: Bagaimana penghargaan masyarakat terhadap hutan Mahawu sebagai objek yang bernilai guna bagi dirinya. Dengan masalah teologi: Tidak adanya rasa menghargai dari dalam diri masyarakat Rurukan terhadap alam lingkungannya, khususnya hutan Mahawu, sebagai ciptaan Allah. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian masalah ini bertujuan untuk:
6
-
Mencari tahu tentang pengertian penghargaan masyarakat akan hakekat hutan, manfaat hutan bagi masyarakat dan dampak kerusakan hutan bagi lingkungan.
-
Menggambarkan
keadaan
hutan
Mahawu
dan
pemahaman
serta
penghargaan masyarakat Rurukan terhadap hutan Mahawu itu sendiri. -
Mencari tahu pengkajian masalah penghargaan masyarakat terhadap hutan Mahawu dari segi etis Kristen.
2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: -
Mendapat pengetahuan tentang pengertian penghargaan masyarakat akan hakekat hutan, manfaat dan dampak kerusakan hutan bagi kehidupan masyarakat dan lingkungan hidup.
-
Mendapat gambaran yang sebenarnya mengenai keadaan hutan Mahawu dan penghargaan masyarakat Rurukan terhadap hutan Mahawu serta dapat menganalisanya.
-
Mengetahui kajian etis Kristen yang sesuai untuk permasalahan yang penulis angkat sebagai suatu sumbangan pemikiran bagi masyarakat, pemerintah dan gereja untuk meningkatkan rasa menghargai lingkungan hutan.
7
D. Metodologi Penelitian 1. Metodologi Penelitian Dalam rangka menyelesaikan karya ilmiah ini dengan hasil yang maksimal dan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang diharapkan maka penulis menggunakan metode penelitian. Metodologi penelitian yang dipakai oleh penulis dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Metode pendekatan kualitatif adalah “prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif dan empirik berupa kata-kata atau lisan dari orang-orang yang diamati”.6 Dan metode deskriptif digunakan untuk menguraikan dan memaparkan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat dan hubungan antara fenomena yang diteliti.7 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: -
Observasi langsung Maksudnya adalah penulis langsung berada di lokasi penelitian melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti atau diamati secara langsung, gejala dan fakta yang terjadi di lokasi
6
L.J.Moleong,MA., Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 1999),
7
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 63 - 64.
hlm.3.
8
penelitian.8 Observasi ini dilakukan sebanyak 12 kali selama 3 bulan dari bulan
Maret
–
Mei 2003,
dimana penulis
mengamati kehidupan
masyarakat Rurukan dan keadaan hutan Mahawu baik itu dari puncak gunung Mahawu atau pun dari lokasi pertanian masyarakat Rurukan. -
Interview atau Wawancara Wawancara merupakan tanya jawab secara lisan antara dua atau lebih orang secara langsung.
Wawancara yang dilakukan penulis adalah
wawancara tidak berstruktur - terbuka. Wawancara tidak berstruktur maksudnya peneliti hanya menyusun pertanyaan awal dan pertanyaan lanjutan tergantung pada hasil jawaban awal, namun semuanya terpusat pada pokok penelitian. Sedangkan terbuka maksudnya objek penelitian mengetahui
dirinya
sedang
diwawancarai
dengan
tujuan
tertentu.
Pertanyaan-pertanyaan untuk responden tidak terbatas dalam jawabanjawaban dengan beberapa kata atau hanya dapat menjawab “ya” atau “tidak” saja, tetapi dapat dengan keterangan atau cerita yang panjang. 9 Tujuan dari wawancara ini ialah untuk mengumpulkan data-data dan informasi dari orang-orang yang menjadi responden sesuai kebutuhan penelitian.
8
Husein Usman, Purnomo S. Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 1998), hlm. 54. 9 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 139-140.
9
-
Studi kepustakaan Penulis menggunakan sejumlah daftar pustaka yang akan membantu mendapatkan data-data yang dibutuhkan dalam penulisan karya ilmiah ini.
3. Sampel Dan Teknik Sampling Dalam penelitian karya ilmiah ini, penulis mengambil sampel (pengambilan sebagian anggota populasi) dari populasi masyarakat Rurukan sebesar 433 KK yang terdiri dari 1757 orang warga. Penulis mengambil 32 orang sebagai sampel berdasarkan teknik sampling non random, yaitu pengambilan sampel tidak secara acak, khususnya sampling bertujuan. Sampling bertujuan ini dipilih dengan tujuan tertentu dan sampel yang dijadikan responden adalah benar-benar tahu tentang pokok permasalahan yang diteliti.10 Dari 32 sampel tersebut dibagi sesuai kategori sampel sebagai berikut: - Tokoh masyarakat (juga sebagai petani) : 7 orang - Tokoh agama (juga sebagai guru)
: 10 orang
- Tokoh agama (juga sebagai petani)
: 3 orang
- Guru
: 2 orang
- Petani
: 7 orang
- Masyarakat bukan petani
: 3 orang.
E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
10 Husein
Usman, Purnomo S. Akbar, Op.cit., hlm. 81.
10
Pendahuluan: Pada bagian ini penulis menguraikan tentang latar belakang pemikiran dan alasan pemilihan judul; identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah;
tujuan
dan
manfaat
penelitian;
metodologi
penelitian
dan
teknik
pengumpulan data; serta diakhiri dengan sistematika penulisan. Bab.I : Bagian ini merupakan uraian yang berisikan kajian mengenai teori dan perspektif alkitabiah yang berhubungan dengan topik karya ilmiah ini. Uraian kajian teori menyangkut hal-hal sebagai berikut: A. Pengertian Penghargaan Masyarakat B. Hakekat Manusia dan Alam C. Pengertian Hutan dan Ekosistem Hutan D. Jenis Hutan E. Fungsi dan Peranan Hutan F. Pengelolaan Hutan G. Kerusakan Hutan H. Usaha Pemeliharaan Hutan I. Perspektif Alkitabiah. Bab. II. : Uraian tentang gambaran umum DAS Tondano, hutan Mahawu, keadaan hutan sekarang, manfaat hutan dan akibat kerusakannya, dan penghargaan masyarakat Rurukan berupa pemikiran-pemikiran masyarakat mengenai hutan dan kepedulian mereka serta diakhiri dengan analisa data penelitian.
11
Bab. III. : Bagian ini merupakan kajian etis kristen sehubungan dengan masalah lingkungan hidup, khususnya penghargaan masyarakat Rurukan terhadap hutan Mahawu. Penutup : Berisikan uraian akhir dari seluruh penulisan karya ilmiah yang telah diuraikan sebelumnya sebagai suatu kesimpulan dan saran untuk masalah tersebut.
12
BAB I TEORI TENTANG PENGHARGAAN MASYARAKAT, HUTAN DAN PERSPEKTIF ALKITABIAH Pada bagian ini penulis membahas mengenai teori tentang penghargaan masyarakat, hutan dan perspektif alkitabiahnya. Tujuan pembahasan tentang kajian teori dilihat sebagai suatu titik tolak untuk kajian yang lebih dalam mengenai hutan dan hubungannya dengan penghargaan masyarakat. Maka dari itu secara berurutan diuraikan pada bagian awalnya, mulai dari pengertian penghargaan masyarakat, hakekat manusia dan alam, pengertian hutan dan ekosistemnya, jenis hutan, fungsi dan peranan hutan, pengolahan hutan, kerusakan hutan dan usaha pemeliharaan hutan. Pada bagian akhirnya dilengkapi dengan perspektif alkitabiah tentang makna hutan dan pengolahannya oleh masyarakat (Kej. 1:1-31). Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan memahami tentang makna hutan dan kaitannya dengan masyarakat, tentang kepedulian masyarakat pada hutan yang nantinya memudahkan penulis menganalisa data penelitian. A.Pengertian Penghargaan Masyarakat 1. Pengertian Penghargaan Kata penghargaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: perbuatan (hal, dsb.) menghormati, penghormatan. 1 Sehubungan dengan karya ilmiah ini, penulis mengambil pengertian kata penghargaan sebagai perbuatan menghargai.
1
Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (P3B), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 341.
Kata menghargai, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan: 1. memberi
(menentukan,
membubuhi)
harga;
2.
menaksir
harganya,….;
3.
menghormati,…; 4. memandang penting (bermanfaat, berguna, dsb.). 2 Kata perbuatan (menghormati) menekankan apa yang diperbuat (dilakukan); tindakan dari manusia.3 Dari pengertian di atas, penulis melihat pengertian menghargai sebagai suatu perbuatan menghargai dan memandang penting (bermanfaat, berguna, dsb). Jadi, maksud dari kata penghargaan di sini yaitu bagaimana perbuatan atau tindakan masyarakat menghargai, dalam arti menghormati dan memandang penting keberadaan hutan sebagai bagian dari kehidupannya. 2. Pengertian Masyarakat Masyarakat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: “sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Pengertian ini menyangkut arti yang luas dimana masyarakat terdiri dari sejumlah manusia yang berakal budi (mampu menguasai makhluk hidup lain)”.4 Dengan akal budi yang ada, manusia menciptakan masyarakat. Masyarakat ada untuk menjamin serta melindungi kebudayaan individual anggota-anggotanya (manusia). Menurut Drs. H. Abu Ahmadi, dkk. “masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang memiliki tatanan hidup, norma-norma, adat istiadat yang sama-sama ditaati dalam lingkungannya”.5 Ini menunjukkan bahwa dalam kehidupannya manusia
2
Ibid., hlm. 341. Ibid., hlm. 129. 4 Ibid., hlm. 558. 5 Drs.H.Abu Ahmadi,dkk., Ilmu Sosial Dasar (Jakarta: PT. Rineka, 1991), hlm. 97. 3
14
bersosialisasi dengan sesamanya berdasarkan tatanan kehidupan dan peraturan yang ada. Jadi, dalam kehidupannya bermasyarakat manusia yang mempunyai akal budi diatur oleh tatanan kehidupan, peraturan dan norma-norma, yang dibuatnya untuk membatasi keberadaan masing- masing individu. B.Hakekat Manusia dan Alam Dalam kehidupan manusia selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan saling mempengaruhi atau ada hubungan timbal-balik. Untuk melihat hubungan manusia dan alam, penulis memaparkan beberapa pemikiran dari para teolog mengenai hubungan manusia dan alam. 1. Dr. Robert P.Borrong Dalam masyarakat tradisional manusia dan alam sederajat. Hubungan manusia dengan lingkungan adalah hubungan yang bersifat kontinuitas. Manusia adalah mikrokosmos dari makrokosmos, yaitu alam ini. Alam dianggap keramat bahkan kadang-kadang kejam. Karena itu, manusia sering menundukkan diri dibawah alam, bahkan unsur-unsur tertentu dalam alam disembah sebagai dewa pemberi hidup. Dalam bidang ekonomi, alam dipuja sebagai sumber kehidupan. Atas dasar tersebut manusia berperilaku dengan rasa hormat yang tinggi terhadap tata alam atau normanorma lingkungan hidup, yakni selaras, seimbang dan harmonis. Manusia tradisional selalu berupaya menjaga dan memelihara keharmonisan hidupnya dengan alam. Mereka mencari nafkah (bercocok tanam dan beternak) dengan sangat sederhana dan mengambil yang mereka butuhkan dari alam dalam batas cukup untuk kebutuhan saat itu. Hubungan harmonis ini berubah dengan datangnya ilmu pengetahuan dan teknologi.6 Dalam hubungan baru itu manusia dengan alam tidak lagi sederajat. Manusia seolah tidak lagi mengakui kesederajatannya dengan alam. Hubungan baru manusia dan alam ini, yaitu hubungan yang bersifat diskontinuitas. Secara ekonomis, dalam hubungan baru itu manusia berusaha memanfaatkan alam. Hubungan itu ditandai 6
R.P. Borrong, Etika Bumi Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hlm. 26-30.
15
dengan hubungan ‘subyek-obyek’. Manusia sebagai subyek, sedangkan alam menjadi obyek.7 Manusia memandang alam sebagai ‘sarana’ dan bukan lagi sebagai sesama. Dengan demikian, manusia terus berusaha untuk mengubah dan menguasai alam dengan
mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber-sumber daya alam untuk
memenuhi kebutuhan dan keinginannya dengan menggunakan teknologi yang terus dikembangkannya. Seandainya umat manusia terus hidup alamiah maka keharmonisan dengan alam
akan
terus
dinikmati
oleh
ratusan
generasi
manusia.
Namun
itulah
kenyataannya, manusia telah berkuasa. Ini terjadi karena manusia hanya solider secara fisik dengan alam tetapi enggan solider secara spiritual. Artinya manusia hanya memanfaatkan alam dengan mengolah dan mengambil hasil hutan seenaknya tanpa memperhatikan pemeliharaan dan kelestariannya secara bertanggung jawab sehingga kerusakan alamlah yang terjadi. 2. Malcolm Brownlee Menurut Malcolm Brownlee ada tiga sikap terhadap alam. Pertama, orang dapat memandang alam sebagai ruang kuasa-kuasa yang menakutkan sehingga manusia perlu tunduk kepada alam. Kedua, alam dipandang bukan sebagai subyek (dan manusia sebagai obyek) yang menentukan nasib manusia tetapi sebagai obyek (dan manusia sebagai subyek) yang diselidiki dan dipergunakan oleh manusia. Ketiga, baik alam maupun manusia dilihat sebagai dua subyek yang saling mempengaruhi. Manusia dan alam perlu berjalan bersama dalam hubungan yang selaras karena manusia adalah satu dengan alam. 8
7
Ibid., hlm. 29-30. Malcolm Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 152-156. 8
16
Sikap
pertama (pandangan tradisional) menekankan keselarasan manusia
dengan alam tetapi kurang mendorong manusia untuk mengembangkan dirinya sendiri serta kebudayaan dan masyarakatnya. Pada sikap kedua (pandangan modern) manusia berusaha untuk mengerti hukum-hukum alam dan menaklukkan alam. Manusia sebagai subyek berhadapan dengan alam sebagai objek. Alam tidak keramat melainkan
berjalan
sesuai
dengan
hukum-hukum
yang
dapat
diselidiki dan
dimengerti oleh manusia. Pandangan ini mendorong kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan sehingga manusia dapat mengatur alam dan menggunakan sumbersumber alam untuk membangun masyarakat yang lebih sejahtera. Namun pandangan ini membuka pintu bagi perusakan alam oleh manusia. Pandangan ketiga (pandangan Kristen) memandang manusia sebagai bagian dari alam (diciptakan dari debu tanah). Akan tetapi manusia juga berbeda dengan alam karena diberi nafas hidup yang dihembuskan langsung dari Tuhan Allah sendiri (Kej.2:7) yang membedakannya dengan makhluk-makhluk lain. Karena itu manusia boleh menaklukkan alam tetapi alam juga perlu dihormati dan dipelihara. Sikap terhadap alam yang seharusnya dipunyai manusia disimpulkan dalam Kejadian 2:15, walaupun manusia harus menaklukkan alam, manusia harus menghargai alam. Dapat disimpulkan bahwa kerusakan lingkungan hidup, khususnya hutan, berkaitan dengan peran manusia di dalamnya. Oleh karena itu, pembahasan mengenai hakekat manusia dan alam merupakan suatu penggambaran mengenai sikap-sikap manusia terhadap alam yang pada perkembangannya cenderung bersifat eksploitatif yang lebih memandang alam sebagai objek dan bukan sebagai sesama ciptaan Tuhan.
17
Manusia telah mengeksploitasi sumber-sumber alam dan menggunakannya tanpa mengindahkan norma-norma etika, baik terhadap alam maupun terhadap sesama manusia dan generasi penerusnya. Sehingga pandangan tentang hakekat manusia dan alam dari kedua teolog di atas menjadi acuan bagi sikap kita, manusia untuk menghargai alam, khususnya hutan. C.Pengertian Hutan dan Ekosistem Hutan Dalam pokok ini penulis menguraikan beberapa pengertian mengenai hutan dan ekosistem hutan, yang bermanfaat untuk melihat apa dan bagaimana hutan. 1. Pengertian Hutan Hutan dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan berbagai sebutan terhadapnya yaitu: hutan belukar, hutan rimba, hutan lindung, hutan perawan, dan lain-lain. Hutan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni: ”tanah luas yang ditumbuhi pohon-pohonan (biasanya tidak dipelihara orang) dan tentang binatang yang tidak dipelihara orang, liar”.9 Dari sudut pandang ahli silvika yang sejalan dengan Arief Arifin, dalam bukunya Hutan dan Kehutanan, menjelaskan bahwa “hutan merupakan suatu assosiasi dari tumbuh-tumbuhan yang sebagian besar terdiri dari pohon-pohon atau vegetasi berkayu yang menempati areal luas”.10 Dari pengertian hutan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dan ahli silvika (buku Hutan dan Kehutanan, 2001) jika dibandingkan ada perbedaan sedikit.
9
Tim Penyusun P3B, Op.Cit., hlm. 317. Arifin Arif, Hutan dan Kehutanan (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 11.
10
18
Misalnya, dalam kamus disebut ‘pohon-pohonan’, sedangkan dalam pandangan ahli silvika menyebutkan ‘tumbuh-tumbuhan’ yang berarti lebih umum pada segala spesies
tumbuhan.
Namun
ahli silvika juga
mau menyatakan bahwa dalam
pengertiannya tentang hutan, tumbuhan yang mendominasi yaitu pohon-pohon atau vegetasi berkayu. Pengertian hutan juga menurut ahli silvika ini disebut sebagai assosiasi dari tumbuh-tumbuhan. Assosiasi adalah suatu komunitas tumbuhan yang mempunyai komposisi tumbuhan yang saling membutuhkan satu dengan yang lain dan juga akan terjadi persaingan.11 Dalam kamus juga menyebutkan binatang sebagai bagian dalam hutan, sedangkan dalam pandangan ahli silvika tidak disebutkan. Dan pengertian hutan menurut Arifin Arief sendiri yaitu sebagai berikut: “Hutan adalah suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang hidup dalam lapisan dan permukaan tanah, yang terletak pada suatu kawasan dan membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan dinamis”. 12 Memperhatikan ketiga pengertian tentang hutan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa hutan dapat dijelaskan mulai dari tanah atau kawasan yang luas. Tanah hutan merupakan media penting untuk tempatnya tumbuh-tumbuhan hutan berkembangbiak. Kedua, tumbuhan-tumbuhan yang sebagian besar terdiri dari pohon-pohon atau vegetasi berkayu. Akan tetapi, bukan berarti spesies tumbuhan lain tidak ada. Tumbuhan hutan yang lainnya yaitu semak belukar, tumbuhan penutup tanah (lumut), pohon-pohon yang tidak berkayu, dan lain-lain. Ketiga yaitu hewan atau binatang 11
Ibid., hlm. 12-13. Arifin Arief, Hutan, Hakekat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994), hlm. 4. 12
19
yang tidak dipelihara orang, liar. Di dalam hutan banyak terdapat keanekaragaman spesies hewan mulai dari mamalia, reptil, burung, dan sebagainya. Keempat, hutan merupakan suatu assosiasi kehidupan, baik itu tumbuhan (flora) maupun binatang (fauna) dari yang sederhana sampai yang tingkat tinggi. Dan yang terakhir, hutan membentuk suatu kesatuan ekosistem yang dinamis mulai dari tanah, humus, semak belukar, tanaman penutup tanah dan pohon-pohonan serta habitat berbagai jasad renik dan fauna di dalamnya. Hutan sebagai assosiasi kehidupan merupakan suatu persekutuan hidup antar tumbuh-tumbuhan dan binatang dengan tempat tumbuh atau habitatnya, dimana terdapat hubungan timbal-balik atau ketergantungan dan hubungan persaingan antar spesies tumbuh-tumbuhan maupun binatang. Masyarakat tumbuh-tumbuhan (flora) dan binatang (fauna) yang berada dalam hutan memiliki spesies yang kompleks mulai dari yang sederhana hingga yang tingkat tinggi. 13 Maksudnya yaitu flora dan fauna hutan dibagi menurut jenis atau spesiesnya, mulai dari yang komposisi struktur tubuh yang belum lengkap hingga komposisinya telah lengkap. Misalnya, urutan tumbuhtumbuhan mulai dari yang sederhana yaitu lumut, jamur, semak dan seterusnya, hingga yang tingkat tinggi seperti jati, pinus, dan lain-lain. Begitupun dengan binatang (fauna), mulai dari yang sederhana yaitu cacing, serangga, dan seterusnya, hingga yang tingkat tinggi seperti kera, harimau, dan lain-lain.
13
Ibid., hlm. 11.
20
2. Ekosistem Hutan Berbicara mengenai pengertian hutan, pasti erat kaitannya dengan ekosistem. Pengertian ekosistem dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni: “Keanekaragaman suatu komunitas dan lingkungannya yang berfungsi sebagai suatu satuan ekologi dalam alam; dan keadaan khusus tempat komunitas suatu organisme hidup dan komponen organisme tidak hidup dari suatu lingkungan yang saling berinteraksi”.14 Ekosistem menurut Undang-Undang Lingkungan Hidup No.4 Tahun 1982 adalah: “tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi”. Ekosistem dalam hal ini merupakan tingkat organisme yang lebih tinggi dari komunitas, atau merupakan kesatuan dari suatu komunitas dengan lingkungannya dimana terjadi antar hubungan. 15 Kedua pengertian di atas menjelaskan bahwa ekosistem adalah suatu tatanan kesatuan kehidupan alamiah antara komunitas dan lingkungannya. Dalam suatu lingkungan terdiri dari komunitas organisme hidup dan komponen organisme tidak hidup yang saling berinteraksi atau berhubungan timbal-balik. Setiap ekosistem terdiri dari berbagai jenis yang berinteraksi satu sama lainnya dalam gerak irama yang harmonis menjaga keseimbangan dan kestabilan menghadapi perubahan tata lingkung. Ekositem terbentuk karena adanya hubungan timbal-balik yang harmonis dan seimbang antara organisme dan lingkungannya. 16
14
Tim Penyusun P3B, Op.Cit., hlm. 220. Prof. Dr. Ir. Zoer’aini Djamal Irwan, MSi., Ekosistem, Komunitas, dan Lingkungan (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hlm. 27-28. 16 Otto Soemarwotto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan (Jakarta: Djambatan, 1994), hlm. 16. 15
21
Keseimbangan itu bersifat dinamis, selalu berubah. Perubahan itu kadang besar, kadang juga kecil yang terjadi secara alamiah maupun non alamiah atau karena perbuatan manusia. Dalam suatu ekosistem dapat dibagi dalam beberapa sub ekosistem. Misalnya ekosistem bumi dapat dibagi dalam sub ekosistem laut, daratan, sungai, dan lain-lain, yang masing-masing ekosistem terjadi saling interaksi satu dengan yang lain.17 Jadi, ekosistem hutan merupakan salah satu dari sub ekosistem daratan tersebut dimana berbagai makhluk hidup baik itu flora atau fauna berinteraksi dengan lingkungan hutan sebagai habitatnya. Dapat disimpulkan secara umum bahwa ekosistem merupakan konsep sentral dalam ekologi, dimana suatu sistem yang terdiri atas komponen hayati dan non hayati yang bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan. Ekosistem terbentuk oleh komponen tersebut dan hidup disuatu tempat yang berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur dan seimbang dalam arti keseimbangan itu bersifat dinamis, selalu berubah. Ekosistem hutan merupakan suatu sistem kehidupan alamiah diantara flora dan fauna dengan alam lingkunganya yang saling berinteraksi dikawasan tertentu dan membentuk suatu iklim tertentu pula. Ekosistem ini merupakan suatu ekosistem natural yang telah mencapai keseimbangan klimaks dan merupakan komunitas tetumbuhan paling besar yang mampu pulih kembali dari perubahan-perubahan yang dideritanya, sejauh tidak melampui batas-batas yang dapat ditoleransi.18 Keteraturan
17 18
Ibid., hlm. 24,.25. Arifin Arief, 2001, Op. Cit., hlm. 13.
22
ekosistem hutan menunjuk bahwa ekosistem tersebut ada dalam suatu keseimbangan tertentu. D.Jenis Hutan Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, dibedakan tiga jenis hutan, yaitu: 1. Hutan menurut pemilikannya (pasal 2) Ada dua jenis hutan menurut pemilikannya, yaitu: a. Hutan Negara, yang merupakan kawasan hutan dan hutan alam yang tumbuh di atas tanah yang bukan hak milik. Hutan Negara juga adalah hutan alam atau hutan tanam di atas tanah yang diberikan kepada Daerah Tingkat II, dan diberikan dengan hak pakai atau hak pengelolaan. b. Hutan milik, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah hak milik. Hutan jenis ini disebut hutan rakyat. 2. Hutan menurut fungsinya (pasal 3) Dari segi fungsinya, hutan dibedakan menjadi empat golongan, yaitu: a. Hutan lindung, yaitu kawasan hutan, dan karena sifat alamnya digunakan untuk: (1) mengatur tata air, (2) mencegah terjadinya banjir dan erosi, dan (3) memelihara kesuburan tanah. b. Hutan produksi, yaitu kawasan untuk memproduksi hasil hutan, yang dapat memenuhi: (1) keperluan masyarakat pada umumnya, (2) pembangunan industri, (3) keperluan ekspor. c. Hutan suaka alam, yaitu kawasan hutan yang keadaan alamnya sedemikian rupa, sangat penting bagi ilmu pengetahuan dan teknologi. Ada dua jenis hutan suaka alam, yaitu: (1) kawasan hutan yang dengan keadaan alam yang khas, dan (2) hutan suaka margasatwa, yaitu kawasan hutan untuk tempat hidup margasatwa atau binatang liar. d. Hutan wisata, yang merupakan kawasan wisata yang diperuntukkan secara khusus, dan dibina serta dipelihara bagi kepentingan pariwisata, dan atau wisata buru. 3. Hutan menurut peruntukkannya (pasal 4) Menurut peruntukkannya, hutan digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu: a. Hutan tetap, yaitu hutan, baik yang sudah ada, yang akan ditanam, maupun yang tumbuh secara alami di dalam kawasan hutan. b. Hutan cadangan, yaitu hutan yang berada di luar kawasan hutan yang peruntukkannya belum ditetapkan, dan bukan hak milik.
23
c. Hutan lainnya, yaitu hutan yang berada di luar kawasan hutan dan hutan cadangan, misalnya hutan yang terdapat pada tanah milik, atau tanah yang dibebani hak lainnya.19 E.Fungsi dan Peranan Hutan Hutan di Indonesia berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) secara nasional seluas 144 juta hektar tersebar diberbagai pulau utama dan peruntukannya ditinjau dari kepentingan sosial ekonomi dapat dikatakan bahwa hutan berfungsi dan berperan sebagai sumber daya untuk kehidupan makhluk hidup, khususnya manusia. Agar sumber daya hutan tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal perlu adanya pengaturan fungsi dan peranan hutan. Di sini penulis memaparkan fungsi dan peranan hutan sesuai dengan UU NO. 5 tahun 1967 (diuraikan pada bagian sebelumnya). Untuk lebih jelasnya fungsi dan peran hutan dalam kehidupan manusia diuraikan sebagai berikut: 1. Pelindung Hutan yang berfungsi sebagai pelindung merupakan kawasan yang keadaan alamnya diperuntukan sebagai pengaturan tata air, pencegah banjir, pencegah erosi, dan pemeliharaan kesuburan tanah dan iklim, artinya yaitu: a. Pengaturan tata air Artinya hutan merupakan kawasan resapan air yang memiliki curah hujan tinggi dengan struktur tanah yang mudah meresapkan air. Di sini sistem hidrolis berlaku, artinya hutan merupakan gudang penyimpanan air dan tempat menyerapnya air hujan dan embun. Pada akhirnya aliran air yang dibawah permukaan tanah bertambah dan menghasilkan air jernih yang akan dialirkan ke sungai-sungai yang memiliki mata air didalam hutan atau daerah aliran sungai.
19
Salim H.S, S.H., M.S., Dasar - Dasar Hukum Kehutanan. (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), hlm.
35-37.
24
b. Pencegahan banjir Hutan dapat mengurangi banjir karena hutan mampu menyimpan dan menahan air dalam tanah, mempertahankan serta memperbaiki permeabilitas tanah dan ruang dalam pori-pori tanah. Jadi, boleh dikatakan bahwa pohon-pohon besar didalam hutan akan menahan jatuhnya air hujan dan meresapkannya ke dalam tanah sehingga tidak terjadi erosi tanah. Pengundulan hutan oleh para penebang pohon liar akan menyebabkan terjadinya banjir. c. Pencegah erosi Seperti halnya pencegah banjir, hutan yang lestari tanpa gangguan penebangan secara liar dapat melindungi dan mencegah terjadinya erosi. Karena hutan mampu menyerap dan menyimpan air didalam tanah. d. Pemeliharaan kesuburan tanah Artinya hutan merupakan pembentuk humus utama dan menyimpan unsurunsur mineral bagi tumbuhan. Kesuburan tanah hutan sangat ditentukan oleh faktorfaktor seperti struktur tanah, suhu, air tanah, vegetasi dan jasad-jasad renik. Didalam hutan yang bertajuk tinggi kesuburan tanah terbentuk dengan bantuan tumbuhan lantai hutan (forest flour), serasah dan humus yang terbentuk oleh proses alami. e. Iklim Artinya hutan melindungi dunia dari penyebab timbulnya perubahan iklim dunia, seperti naiknya kadar CO 2 (karbondioksida) dan CFC (chlorofluorocarbon) yang berasal dari bahan industri, knalpot kendaraan, alat pendingin, pembakaran kayu dan lain sebagainya. Dan pembabatan hutan dengan liar hanya akan merubah iklim dunia semakin panas saat kemarau dan semakin dingin dan kering disaat penghujan. 20 2. Produksi Fungsi produksi hutan memiliki peran yang penting dibidang perekonomian karena produksi hasil hutan dapat meningkatkan pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat. Arti hutan yang berfungsi sebagai produksi adalah kawasan hutan yang ditumbuhi oleh pepohonan keras yang perkembangannya selalu diusahakan atau dikhususkan untuk diambil hasilnya, baik berupa kayu-kayuan maupun hasil samping lainnya, seperti getah, damar, akar, dan lain-lainnya.21 Indonesia dengan keanekaragaman sumber daya alam baik itu berupa flora maupun fauna (keanekaragaman genetik) mampu memberikan sumbangan hasil alam
20 21
Arifin Arief, 2001, Op.Cit., hlm. 58-62. Ibid., hlm. 63.
25
yang cukup tinggi bagi devisa negara, terutama di bidang industri. Selain itu, hutan juga bermanfaat bagi masyarakat sekitar hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka. 3. Fungsi lain-lain Fungsi lain dari hutan selain dua point diatas yaitu hutan dapat difungsikan berdasarkan Undang-Undang No.5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, yakni: Suaka alam, Taman wisata, dan penyeimbang CO 2 .22 a. Kawasan suaka alam Kawasan ini adalah kawasan yang memiliki ciri khas tertentu baik di darat maupun
perairan
keanekaragaman
yang hayati
berfungsi dan
pokok
ekosistemnya,
sebagai serta
kawasan
mengawetkan
sebagai wilayah
penyangga
kehidupan. Kawasan ini terdiri dari atas cagar alam dan suaka marga satwa. - Cagar alam adalah kawasan suaka alam yang keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistem tertentu yang layak untuk dilindungi, yang dalam perkembangannya diusahakan secara alami.23 - Suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas yang berupa keanekaragaman dan keunikan jenis satwanya, sehingga sangat penting bagi ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta keindahan.24
22
Ibid., hlm. 68. Ibid., hlm. 68. 24 Ibid., hlm. 69. 23
26
b. Kawasan pelestarian alam. Kawasan ini merupakan kawasan yang sangat luas dan relatif tidak terganggu yang
berfungsi
sebagai
pelindung
sistem penyangga
kehidupan
satwa
serta
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dari ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam dilakukan bagi kepentingan penelitian dan kegiatan lain yang menunjang budidaya serta kegiatan wisata alam.25 Dengan demikian, fungsi dan peranan hutan yang diuraikan diatas, menyatakan bahwa hutan memiliki pengaruh yang besar bagi kelangsungan lingkungan hidup dan manusia. Hutan sebagai pelindung terkait dengan pengaturan air, dalam hal ini sebagai kawasan penyerapan air, pencegah erosi dan bajir, pemeliharaan kesuburan tanah dan juga mempengaruhi iklim. Begitupun hutan dengan fungsi produksinya serta fungsi suaka alam dan pelestarian alam (flora dan faunanya). Hutan sangat penting bagi kehidupan dimuka bumi karena merupakan pensuplai sumber daya hutan yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan setiap makhluk hidup. F. Pengolahan Hutan Hutan mempunyai unsur-unsur yang saling berkaitan, yaitu air, udara, tanah, alam dan sinar matahari. Tanpa adanya salah satu unsur tersebut, hutan tidak pernah ada. Oleh karena itu, hutan perlu dikelolah dengan baik terutama demi kelestarian yang berkelanjutan. Pengolahan hutan secara lestari adalah suatu proses pengolahan yang dilakukan secara kontinu sedemikian rupa, sehingga mampu memberikan produksi dan jasa 25
Ibid., hlm. 70.
27
sesuai dengan tujuan pengolahan ini. Pengolahan diusahakan tanpa mengurangi nilai dan produktifitas serta tidak menimbulkan efek lingkungan atau sosial yang tidak diinginkan. Dalam GBHN Tahun 1998 bidang kehutanan juga menekankan peningkatan pengolahan hutan secara terpadu dan berwawasan lingkungan serta bermanfaat bagi masyarakat setempat. Naskah GBHN mengenai hal kehutanan antara lain berbunyi: “Pengolahan hutan harus ditingkatkan secara terpadu dan berwawasan lingkungan untuk menjaga dan memelihara fungsi tanah, air, udara, dan iklim serta memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat…. Konservasi hutan lahan kering, hutan rawa dan hutan perairan serta kekhasan alamsssnya termasuk flora dan faunanya terus ditingkatkan untuk melindungi plasma nutfah, keanekaragaman dan keselamatan hayati dan ekosistem beserta unsur-unsurnya”.26 Oleh
karena
itu,
masyarakat
mempunyai kewajiban untuk
mengelolah
lingkungan dengan baik dan peran serta masyarakat dalam Pengolahan Lingkungan Hidup tercantum dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Penggelolaan Lingkungan Hidup, atau yang disingkat UUPLH yaitu dalam pasal 5 ayat 3, pasal 6 ayat 1 dan pasal 7 ayat 1.27 Bunyi pasal-pasal tersebut sebagai berikut: Pasal 5 ayat 3 “Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka penggelolaan lingkungan hidup sesuai dengan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku”.
26
Lih. GBHN 1998, Bidang Ekonomi Kehutanan, b., hlm. 94. Maftuchah Yusuf, Pendidikan Kependudukan dan Etika Lingkungan (Yogyakarta: Lembaga Studi dan Inovasi Pendidikan, 2000), hlm. vi. 27
28
Pasal 6 ayat 1 “Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup”. Pasal 7 ayat 1 “Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup”.28 Ketiga hal di atas menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak dan kewajiban untuk berperan dalam memelihara kelestarian lingkungan hidup sebagai sumber daya alam. Hak dan kewajiban dalam memelihara lingkungan hidup dari setiap orang atau masyarakat ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam UUPLH tersurat upaya untuk menyadarkan dan mengembangkan masyarakat menjadi pengelolah lingkungan. Masyarakat adalah pemasok sumber daya manusia (SDM) untuk guru serta pengelolah lingkungan profesional di kalangan pemerintah, industri dan biro-biro konsultan.29 Jadi, apabila sikap ramah terhadap lingkungan hidup dapat membudaya berkebudayaan
dalam ramah
masyarakat, terhadap
maka
kita
lingkungan
dan
berhasil
membuat
mempunyai
masyarakat
komitmen
tinggi
sehingga pengrusakan lingkungan hidup, terutama hutan tidak akan terjadi lagi. Pengelolaan merupakan suatu usaha yang didalamnya meliputi berbagai aspek, seperti perencanaan, organisasi, pelaksanaan, implementasi, monitoring, evaluasi, yang setiap fungsi saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Aspek pengolahan hutan dapat dikatakan sebagai usaha yang 28
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
29
Otto Soemarwotto, Op.Cit., hlm. 87.
Hidup.
29
meliputi beberapa
bidang
ilmu yang saling mendukung,
seperti: ilmu tanah,
agronomi, perlindungan tanamam, sosial ekonomi, dan lingkungan, bahkan saat ini mencakup bidang komputerisasi.30 G. Kerusakan Hutan Dewasa ini kerusakan hutan telah menjadi masalah dunia yang serius. Kerusakan hutan ini terjadi terutama di Amerika Latin dan Asia Tenggara. Akibatnya, setengah dari hutan yang ada hilang antara tahun 1950-1990.31 Hutan tropis setengahnya telah menghilang dan setengahnya yang masih tersisa terus di tebang dan dirusak dengan membakarnya. Menurut berita terbaru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, di dunia ketiga, hutan baru yang baru dibuka berjumlah 15,4 juta ha/tahun. FAO (Food and Agriculture Organization) juga melaporkan bahwa lebih dari 8 juta hektar hutan dilenyapkan di Asia setiap tahun.32 Menurut laporan terakhir (1990-an), kerusakan hutan tropis di Indonesia mencapai 1,3 juta ha/tahun.33 Pengeksploitasian dengan
masalah
sumber-sumber
kemiskinan,
hutan,
tetapi terutama
khususnya kayu, karena
berkaitan juga
konsumsi tinggi.
Kayu
dibutuhkan untuk Industri pertukangan kayu, industri plywood, pulp, dan kertas. Penebangan hutan besar-besaran tanpa memperhitungkan untung- ruginya akan berakibat pada penggundulan hutan. Hutan yang gundul berdampak sangat buruk, 30
Arifin Arief, 2001, Op.Cit., hlm. 93. Antony Milne, Dunia Diambang Kepunahan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 47. 32 Ibid., hlm. 48. 33 Effendi Saman, dkk., Politik Hukum Pengusahaan Hutan Di Indonesia (Jakarta: Walhi, 1993), 31
hlm..1.
30
karena pada musim kemarau akan mengalami kekeringan dan pada musim hujan, air hujan tidak akan meresap ke dalam tanah tapi mengalir diatas permukaan tanah, yaitu yang disebut erosi. Erosi
tanah
berpengaruh
negatif
terhadap
produktifitas
lahan
melalui
mengurangi ketersediaan air, nutrisari, bahan organik, dan menghambat kedalaman perakaran (Owoputi and Stolte, 1995). Selama proses erosi tanah, sebagian air menghilang dalam bentuk aliran permukaan yang sangat cepat. 34 Selain mengurangi produktifitas lahan (dimana erosi terjadi), erosi tanah juga menyebabkan problem lingkungan yang serius di daerah hilir- nya, seperti sedimen dan tanah longsor. Sedimen hasil erosi yang mengendap dan mendangkalkan sungai-sungai, danau dan waduk sehingga mengurangi kapasitas tampungannya dan kemampuannya untuk irigasi, pembangkit listrik, perikanan dan rekreasi. Sebagai gambaran, dikemukakan bahwa setiap tahunnya sungai Citarum mengangkut 3 juta ton lumpur dari hulu sungai.35 Pendangkalan tersebut menyebabkan juga banjir dimana-mana. Sungai, waduk, dan saluran pengairan mengalami pendangkalan hingga saat curah hujan turun dengan deras, daya tampungnya tidak memungkinkan lagi dan bahaya air banjir meluap meningkat. Fungsi hutan juga berfungsi untuk menyimpan sumber daya gen, karena itu efek kerusakan hutan lain yang penting dan perlu diperhatikan ialah erosi sumber daya gen. Artinya, jumlah jenis hewan berkurang bahkan punah karena rusaknya hutan membuat mereka mengungsi ke tempat lain bahkan banyak yang mati kelaparan, tidak ada makanan di hutan. Dan tumbuhan berkurang, seperti tumbuhan 34
Dr. Ir. Suripin, M.Eng., Pelestarian Sumber Daya Tanah Dan Air (Yogyakarta: ANDI, 2002),
35
Maskoeri Jasin, Ilmu Alamiah Dasar (Jakarta: PT. Raja Grafindi Persada, 2000), hlm. 167.
hlm. 3.
31
pangan dan obat yang berguna bagi kehidupan manusia. Karena tidak ada yang tahu pasti berapa jumlah spesies yang telah punah. Akan tetapi angka dari jumlah spesies yang punah terus bertambah.36 Hal yang diuraikan diatas dipertegas oleh Robert Borrong bahwa perusakan hutan terkait dengan tiga dampak besar terhadap lingkungan, yaitu: masalah pemanasan global, degradasi tanah, dan percepatan kepunahan keanekaragaman hayati.37 Melihat perkembangan kerusakan hutan yang berakibat sangat buruk bagi makhluk hidup dan lingkungannya, maka perlu untuk bersikap kritis menanggapi pola hidup dan pembangunan negara yang berlangsung saat ini. Oleh karena itu, kita harus menjaga dan memelihara supaya hutan dan lingkungannya tetap lestari dan generasi berikut dapat merasakan hasil hutan dan manfaat hutan, terutama kaitan hutan dengan air. Hutan sangat penting dalam menyimpan dan menyediakan air bagi kehidupan makhluk hidup, khususnya manusia. Air penting untuk kesuburan tanah, pertanian dan untuk hidup manusia sendiri. H. Usaha Pemeliharaan Hutan Usaha-usaha
untuk
pemeliharaan
meluasnya areal hutan yang rusak.
hutan
mulai
bermunculan
dikarenakan
Kerusakan hutan yang diakibatkan oleh
penggelolaan hutan yang salah, misalnya dengan menebang pohon-pohon secara membabi buta tanpa adanya usaha untuk menanaminya kembali.
36 37
Borrong, Op. Cit., hlm. 66. Ibid., hlm. 65.
32
Rusaknya hutan di Indonesia memang bukan lagi persoalan nasional, namun kerusakan-kerusakan ini telah menjadi bagian dan sorotan dunia internasional. Sehingga, dalam meminimalisasi kerusakan perlu adanya usaha-usaha penanganan secara menyeluruh dan terpadu, baik itu oleh pemerintah maupun oleh pihak gereja. 1. Oleh Pemerintah Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa membentuk suatu komisi khusus yaitu UNEP (United Nations Environment Program), yang menangani lingkungan dan komisi ini di ketuai oleh Dr. Gri Harlem Brundland (mantan menteri urusan lingkungan hidup Norwegia). Brundland melaporkan dalam buku yang
berjudul Our
Common Future (masa depan kita bersama), tentang urgensi bagi pergaulan hidup bersama yang berkelanjutan. Urgensi ini menjadi suatu tuntutan global, karena permasalahan sosial dan lingkungan seperti masalah pangan, pengundulan hutan (deforestation), pertumbuhan penduduk, industrialisasi dan pengembangan kota, dan seterusnya, itu adalah “tantangan bersama”. 38 Tindakan dunia selanjutnya yaitu berkumpulnya 178 negara bersama di Rio Jenerio, Brasil, pada tahun 1982 untuk membahas prospek masa depan manusia dan keberlangsungan planet ini. Pertemuan ini disebut “Konferensi Bangsa-Bangsa atas lingkungan hidup dan pembangunan” (United Nations Conference on environment and
Development/UNCED).
38
Pertemuan
ini
bertujuan
merumuskan
kebijakan
Karel Phil. Erari, Tanah Kita, Hidup Kita (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1999), hlm. 179.
33
kerjasama
Internasional
untuk
melindungi
bumi
dan
menemukan
kebutuhan-
kebutuhan manusia yang jumlahnya kian bertambah itu. 39 Konferensi puncak di Rio de Jenerio mencatat khusus beberapa butir tentang kesepakatan di bidang kehutanan, yang disebut “Non Legally Binding Authoritative Statement of Principles for the Global Concencus Development of All Type of Forest”. Prinsip ini merupakan consensus international yang terdiri dari 16 pasal, yang mencakup 3 aspek pemanfaatan dan pembangunan. 16 pasal itu bersifat tidak mengikat dan berlaku untuk semua jenis hutan.40 Pemerintah
Indonesia
juga
mengambil
langka
untuk
mengurangi
pengeksplotasian hutan-hutan tropisnya. Di Indonesia, masalah pengelolaan hutan oleh Departemen Kehutanan dan diatur oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan pasal 1 ayat 3 yang berbunyi kehutanan merupakan suatu kegiatan yang menyangkut keterkaitan dengan hutan dan pengurusnya. Dan kemudian diubah dengan Undang-Undang RI No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.41 Departemen Kehutanan dalam pengelolaan hutan yang lestari bekerja sama dengan badan-badan tingkat nasional, antara lain persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia
(PERSAKI),
Kelompok
Pelestarian
Sumber
Daya
Alam (KPSA),
Wesley Granberg – Michaelson, Menebus Ciptaan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), hlm. 2. Borrong, Op. Cit., hlm. 65. 41 Arifin Arief, 2001, Op. Cit., hlm. 14. 39 40
34
Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI), Badan Mahasiswa Kehutanan sendiri seperti Sylva Indonesia dan lain-lain.42 Di tingkat daerah Dinas Kehutanan Kabupaten yang mengatur dan mengelolah masalah kehutanan. Pengelolahannya tetap mengikuti program rencana umum dari Departemen
Kehutanan.
Usaha Pemerintah dalam mengatasi kerusakan hutan
adalah:43 -
Melaksanakan reboisasi dan penghijauan. Melaksanakan pengayaan tanaman pada areal reboisasi dan penghijauan dalam rangka peningkatan kualitas dan kuantitas tanaman. Meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat baik yang dilakukan oleh PKL (Penyuluh Kehutanan Lapangan) ataupun instansi terkait lainnya. Pelibatan masyarakat setempat dalam program partisipasi dan hutan sosial.
2. Oleh Gereja Gereja-gereja yang adalah anggota Dewan gereja-Gereja se-Dunia (DGD) telah lama menggumuli masalah tugas gereja terhadap lingkungan. Khususnya menyangkut perhatian dan tanggung jawab terhadap lingkungan hidup. Dimulai sejak tahun 1968 dalam Sidang Raya IV DGD di Upsala, Swedia. 44 Soetarno mengemukakan bahwa permasalahan krisis ekologis dalam pergumulan gereja tidak dapat dipisahkan dari masalah perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dalam penerapannya ternyata telah menimbulkan degradasi terhadap lingkungan. 45
42
Ibid., hlm. 30. Sumber: Dinas Kehutanan Kab. Minahasa, Informasi Sub Bid ang Konservasi Sumber Daya Alam, Tahun 2000. 44 Borrong, Op.Cit., hlm. 259. 45 Soetarno, dalam Supardan (ed.), Ilmu, Teknologi, dan Etika (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 140. 43
35
Dan pada Sidang Raya V DGD, 1975 di Nairobi, dikeluarkan suatu seruan pembebasan yang antara lain pembebasan bagi margasatwa, tumbuh-tumbuhan, udara dan lautan, atas hutan dan gunung serta lembah. 46 Begitupun dengan Sidang Raya DGD selanjutnya tetap membicarakan tentang masalah ekologis. Sama halnya dengan sikap gereja-gereja di Indonesia pun ikut serta dalam memikirkan
dan
bahkan
berprakarsa
terhadap
tugas
panggilan
memelihara
lingkungan alam. Upaya persekutuan gereja-gereja di Indonesia untuk secara serius menangani
masalah
lingkungan
yakni Yayasan
Tanggul Bencana
Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia (YTB PGI) pada Sidang Raya XII di Jayapura dihasilkan Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG) Bab I tentang pokok pemahaman tugas panggilan gereja butir ke-10 point c, bahwa “tugas panggilan gereja juga wajib mengusahakan dan memelihara secara bertanggung jawab sumber-sumber alam dan lingkungan hidup”.47 Tugas gereja menjaga dan memelihara lingkungan (termasuk hutan) menjadi bagian dari ibadah dan misi gereja, bagian dari ibadah dan misi setiap orang Kristen yang sejati. I. Perspektif alkitabiah Pendekatan alkitabiah terhadap hutan dan pengelolaannya yang dapat menjadi acuan teologis diawali dengan proses penciptaan dunia ini. Kesaksian alkitabiah
46
Erari, Op.Cit., hlm.187. (kut. Dari Creation, Technology and Human Survival, Ecumenical Review, Vol.XXVIII, 1976), hlm.76. 47 PGI, Lima Dokumen Keesaan Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 10.
36
dimulai dengan menceritakan tentang penciptaan langit dan bumi serta segala isinya, termasuk manusia (Kej.1). Dalam Kejadian 1:1, kata ‘menciptakan’ yang oleh penulis Kejadian 1 mempergunakan kata Ibrani bara’ menggambarkan pekerjaan yang tidak ada kesamaannya dengan pekerjaan manusia dan tidak dapat diterjemahkan dengan istilah ‘membuat’ atau ‘membangun’. Hanya Allah yang menciptakan, sebagaimana hanya Allah yang menyelamatkan.48 Dia menjadikan dunia dengan perantaraan firman-Nya. Menciptakan langit dan bumi berarti tidak ada suatu apapun yang tidak bisa di dalam tangan dan kuasa Tuhan Allah. Istilah langit dan bumi berasal dari filsafat Yunani “kosmos” yang berarti segala makhluk merupakan suatu kesatuan, suatu rangkaian dan rencana yang beraturan dan berkedaulatan. 49 Kemudian pada ayat-ayat selanjutnya, Allah menciptakan isi dunia ini berupa: terang dan gelap, darat dan laut, cakrawala, binatang-binatang baik yang ada di darat, laut, dan udara, tumbuhan serta benda-benda yang menjadi penerang (Kej.1:3-2). Allah memberkati semua yang diciptakan-Nya itu. Ini menandakan bahwa Allah menilai dan menghargai alam semesta atau lingkungan sebagai ciptaan yang baik. 50 Dalam kejadian 1 ini, manusia diciptakan terakhir (ay.26) sebagai klimaks dari dari penciptaan Allah. Manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah. Ini berarti manusia adalah gambaran Allah yang seluruhnya ditiru menurut aslinya.
48 W.S. Lasor, D.A. Hubbard, dan F.W. Bush, Pengantar Perjanjian Lama I (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm.122. 49 Walter Lempp, Tafsiran Kejadian I:1 – 4:26 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1964), hlm.11. 50 Ibid., hlm.44.
37
Manusia
adalah
tiruan
Allah,
seperti
anak
adalah
tiruan
dari
bapanya
(band.Kej.5:3).51 Allah membuat manusia serupa dengan diri-Nya sendiri dan menaruhnya ke dalam dunia sebagai gambaran-Nya. Akibat yang kelihatan dan nyata dari kesegambaran itu ialah bahwa manusia ditetapkan dan didukung sebagai wakil Allah dalam dunia. Seperti dalam pemerintahan Allah, demikian pula persekutuan Allah dengan manusia dipantulkan oleh persekutuan antara laki-laki dan perempuan (ay. 27).52 Pada ayat 28-29, manusia diberi kuasa untuk memerintah, kedudukannya sebagai raja yang menyerupai Allah. Kekuasaan yang diserahkan kepada manusia adalah bersifat pemberian, menuntut tanggung jawab dan dilaksanakan dalam kerjasama dengan Allah. Kekuasaan itu harus membiaskan keperihatinan yang sama terhadap kelestarian lingkungan seperti keperihatinan penciptanya, dan bahwa, jauh dari pada mengeksploitasi bumi dan makhluk-makhluk yang ada didalamnya. Manusia
berkewajiban
mendayagunakan
sedemikian
rupa
sehingga
dapat
dipertanggung jawabkannya kepada Allah dan melayani manusia lain. 53 Dan hubungan antara manusia dan ciptaan berasal dari perintah dalam kej.1: 28 dan Kej. 2:15 untuk menaklukkan bumi dan ‘berkuasa’ atas semua makhluk hidup. Perintah untuk ‘menaklukkan’ seolah-olah mengisyaratkan kekuasaan yang sangat kuat atas bumi untuk tujuan manusia. Akan tetapi, kata itu hanya menunjukkan
51
Ibid., hlm. 35. Ibid., hlm. 37. 53 John Stott, Isu-Isu Global (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2000), hlm. 161. 52
38
pengusahaan bumi, bukan dorongan memperlakukan alam dengan kasar. 54 Perintah Allah tersebut menyerahkan kepada manusia hak pemerintahan dan pemeliharaan atas bumi dan segala isinya di bawah aturan sang Pencipta, yaitu mengelola bumi secara bertanggung menempatkan
jawab.55 manusia
Seperti
dikemukakan
dalam taman
Eden
dalam Kej. adalah
2:15
bahwa
Allah
dalam rangka penugasan:
mengusahakan dan memelihara taman itu.56 Allah mempercayakan, mewakilkan pengusahaan dan pemeliharaan atas bumi tidak untuk dimiliki, dikuasai dan dirusak, tetapi untuk diusahakan. Hubungan seluruh ciptaan, baik itu alam dan manusia, pada awalnya adalah hubungan yang utuh, yang menunjuk adanya suatu keserasian kehidupan yang terus dipelihara dan diarahkan pada penyempurnaan dalam langit dan bumi yang baru. Akan tetapi hubungan itu menjadi terputus pada saat manusia yang telah diberi kuasa untuk
memelihara, menguasai dan mempergunakan segala sesuatu disekitarnya,
malah merusaknya (Kej.3:6). Ada tiga penegasan terhadap pemberian kuasa pada manusia atas seluruh ciptaan Allah yakni: 1. Allah memberi kekuasaan atas bumi. Manusia yang diciptakan segambar dan serupa dengan Allah (Kej.1:26; band.ay.27), membuat manusia serupa dengan diri-Nya sendiri dan menaruhnya ke dalam dunia sebagai gambaran-Nya. Kita sebagai gambaran Allah diserahi kekuasaan atas bumi dan semua makhluknya (Kej.1:26-28).
54 Celia Deane – Drummond (Robert Borrong – penerjemah), Teologi dan Ekologis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hlm.19. 55 Borrong, Op.Cit., hlm. 236. 56 Walter Lempp, Op.Cit., hlm. 67.
39
2. Kekuasaan kita atas bumi adalah suatu kekuasaan kooperatif.artinya, dalam menjalankan kekuasaan pemberian Allah itu, kita bukannya menciptakan, melainkan bekerjasama dengan proses-proses alami itu. Manusia memang mengendalikan dan bahkan memacu hal-hal buatan. Namun yang dikendalikan dan ditingkatkan efisiensinya secara buatan itu adalah proses-proses yang pada hakekatnya alami. Dalam hal ini manusia bekerjasama dengan Allah. 3. Pendominasian kita adalah pemberian, karena itu suatu pendominasian yang bertanggung jawab. Artinya, kita menguasai bumi bukan berdasarkan hak kita melainkan berdasarkan perkenaan Allah. Allah mengangkat kita dalam arti paling harfiah, sebagai ‘caretaker’, penanggung jawab atas milik-Nya. Tanggung jawab manusia ialah memelihara, mengolah bumi dan bekerjasama dengan Allah demi suatu planet yang berkelanjutan.57 Jadi, kekuasaan atas bumi ini adalah yang didelegasikan kepada kita oleh Allah dalam rangka suatu kerja-sama dengan Dia dan untuk melayani manusia lain. Kita bertanggung jawab atas cara kita mengolah bumi ini. “Menguasai” bukanlah sinonim dari “merusak”. Walaupun kita manusia haruslah menaklukkan alam, kita juga harus menghargai alam. Manusia harus menghargai alam sebagai karya Allah dan karena itu memperlakukannya sebagai milik Allah yang patut dihargai dan dihormati. 58 Hal tersebut demi kebaikan generasi kita dan generasi yang berikutnya.
57 58
John Stott, Op.Cit., hlm. 151-155. Borrong, Op.Cit., hlm. 182.
40
BAB II GAMBARAN LOKASI PENELITIAN PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA
A. Gambaran Umum Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano Daerah aliran sungai (DAS) Tondano secara geografis terletak antara 1˚07’ 1˚31’ LU dan 124˚45’ - 125˚02’ BT.1 Lebih khususnya, DAS Tondano terletak di bagian selatan Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara. Luas DAS yaitu 54.330 hektar terdiri dari hutan alam/permudaan alam, hutan rakyat, hutan produksi, perkebunan, ladang, padang rumput, sawah, rawa, aliran air, pemukiman, dan sebagainya.2 Untuk areal hutan di DAS Tondano terdiri dari 9 hutan yaitu hutan G.Klabat, Mahawu, Kaweng, Tampusu, Masarang, Lengkoan, Lembean, Kawatak, dan Soputan. Jumlah luas hutan keseluruhan di DAS Tondano yaitu 24.562,65 hektar dan sekarang hanya tinggal 9% saja dari luas tersebut. Hutan-hutan ini memiliki fungsi sebagai daerah tangkapan air hujan yang menyerap, menyimpan dan mengalirkannya sebagai aliran sungai yang mensuplai air ke sungai Tondano dan danau Tondano. Model pengairan dari DAS ini menyerupai percabangan sebuah pohon.3 Panjang keseluruhan dari aliran sungai yang ada yaitu 744,3 Km. yang terdiri dari 16 sungai besar dan 11 anak sungai. DAS Tondano ini tersusun juga dari beberapa sub DAS atau waterdam yang menampung air dari aliran-aliran sungai yang ada. Kemudian dari sub-sub DAS tersebut mensuplai air ke sungai dan danau Tondano. Untuk sungai Tondano ada 2 anak sungai besar yang mensuplai air baginya melalui sub DAS Tikala yaitu sungai Rurukan dan sungai Suluan. 4 Sungai Rurukan ini berasal dari hutan Mahawu yang diteliti oleh penulis.
1 Laporan Penelitian Japan International Cooperation Agency (JICA): The Study On Critical Land And Protection Forest Rehabilitation At Tondano Watershed In The Republic Of Indonesia, Manado, 2000, chap. 4, hlm.1. 2 Ibid., chap. 2, hlm.1,13. 3 Ibid., chap. 2, hlm. 7,49. 4 Ibid., chap. 4, hlm. 2.
B. Gambaran Umum Hutan Mahawu Hutan Mahawu merupakan salah satu dari sembilan hutan gunung yang berada di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano. Hutan Mahawu yang berada di atas gunung Mahawu, menurut laporan penelitian Japan International Cooperation Agency (JICA) pada tahun 2000, merupakan bagian selatan dari daerah aliran sungai Tondano dengan ketinggian sekitar 680 meter dari permukaan danau dan 1500 meter dari permukaan laut.5 Dengan ketinggian dan dipengaruhi oleh faktor curah hujan yang cukup tinggi akan menghasilkan volume aliran air permukaan yang besar yang mengalir masuk ke sungai Rurukan yang berpengaruh bagi debit air sub DAS Tikala, sungai Tondano dan berakhir di bagian hilir DAS yaitu di pelabuhan Manado.6 Hutan Mahawu termasuk dalam klasifikasi hutan lindung milik negara dan hutan milik. Hutan lindung yaitu kawasan hutan yang karena sifat alamnya digunakan untuk: (1) mengatur tata air, (2) mencegah terjadinya banjir dan erosi, dan (3) memelihara
kesuburan
tanah.
Kepemilikan
hutan
lindung
ini
ada
ditangan
pemerintah. Sedangkan hutan milik yaitu hutan yang tumbuh diatas tanah hak milik. Hutan jenis ini disebut hutan rakyat (lihat dalam bab.1 hlm.24-25).7 Fungsi hutan milik/rakyat pada dasarnya sama dengan fungsi hutan lindung akan tetapi karena hak kepemilikan tanah ada pada perorangan maka pengusahaan tanah hutan tersebut
5
Ibid., chap. 2, hlm. 1, 19. Ibid., chap. 2, hlm. 4. 7 Salim, H.S., S.H., M.S., Dasar – Dasar Hukum Kehutanan (Jakarta: Sinar Grafuka, 1997), 6
hlm. 36.
42
tergantung pada pemiliknya. Sebagian besar hutan milik kini telah berubah menjadi kebun atau lahan pertanian. 1. Luas Dan Letak Hutan Luas hutan Mahawu ialah 550 hektar. Dan secara geografis terletak kurang lebih 1°20’ LU - 1°23’ LU dan 125°42’ BT - 125°44’ BT. Secara administratif terletak di kecamatan Tomohon, Pineleng dan Tombuluan, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:8 -
Sebelah Utara berbatasan dengan desa Kembes dan Kali
-
Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Rurukan
-
Sebelah Barat berbatasan dengan desa Kinilow dan Tinoor
-
Sebelah Timur berbatasan dengan desa Suluan.
Hutan lindung Mahawu memiliki topografi dari datar sampai agak miring dengan kemiringan 5 – 60%. Dan jenis tanah yang ada yakni andasol (tanah yang umumnya berwarna hitam dan lebih dari 60% terdiri dari abu vulkanik) dan latasol (tanah dengan kadar liat lebih dari 60%, gembur, dan rentan terhadap erosi). Dengan curah hujan 1500 – 1800 mm/tahun yang tinggi dan dapat mempengaruhi aliran air permukaan tanah.9 Semakin tinggi curah hujan maka aliran air permukaan yang mengalir semakin besar. Jika keadaan hutan Mahawu yang non-hutan dengan curah hujan yang tinggi dan jenis tanah yang rentan terhadap erosi akan mengakibatkan erosi tanah. Akan tetapi jika keadaan sebaliknya maka hutan Mahawu dapat menjadi areal tangkapan air hujan yang mampu mensuplai air ke mata air, sungai Rurukan dan sungai Tondano. 8
Sumber: Dinas Kehutanan Kab. Minahasa, Informasi Sub Bidang Inventarisasi dan Perpetaan Hutan, Tahun 2000. 9 Sumber: Dinas Kehutanan Kab. Minahasa, Informasi Sub Bidang Konservasi Sumber Daya Alam, Tahun 2000.
43
2. Keadaan Hutan Mahawu Sekarang Berdasarkan pengukuran terakhir oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Minahasa tahun 2000 luas hutan Mahawu sekitar 550 hektar terdiri atas hutan lindung dan hutan milik (rakyat). Hutan lindung memiliki luas 230 hektar berupa lahan tidur yang sebagian besar ditumbuhi oleh alang-alang, semak belukar dan sejumlah kecil pepohonan (pinus, dsb). Hutan lindung ini lokasinya berada dibagian atas gunung Mahawu. Kemudian 320 hektarnya lagi adalah hutan milik/rakyat yang sebagian besar telah dikelola menjadi kebun dan lahan pertanian. Akan tetapi berdasarkan himbauan dari pemerintah (Dinas Kehutanan) dan aparat desa, hutan rakyat yang sisa tidak boleh lagi dibabat untuk dijadikan kebun atau lahan pertanian agar dapat berfungsi sebagai areal tangkapan air. Luas hutan lindung yang berada di wilayah desa Rurukan ±15 hektar dan luas hutan rakyat ±22 hektar.10 Hutan Mahawu menjadi areal non-hutan disebabkan oleh faktor buatan dan faktor alamiah. Faktor buatan yaitu kerusakan hutan yang disebabkan oleh manusia yang menebang pohon-pohon untuk kayu bakar, membuka lahan pertanian dan pemukiman, dan kebakaran hutan disebabkan oleh para pendaki gunung Mahawu. Faktor alamiah yaitu kerusakan hutan yang dikarenakan oleh bencana alam seperti gunung meletus. Kedua faktor inilah yang menyebabkan musnahnya sebagian besar pohon-pohon dan tumbuhan lain di hutan Mahawu. Oleh pemerintah pernah diusahakan penanaman pohon-pohon jenis pinus, cempaka dan nantu pada tahun 1981, 1985 dan 1997. Pemerintah desa Rurukan bekerjasama dengan organisasi 10
Sumber: Data Dasar Profil Desa Rurukan Tahun 2000.
44
Karang Taruna juga setiap tahun mengadakan penghijauan hingga pada tahun 1992. Pada tahun 1998 oleh pihak gereja GMIM Jemaat Bukit Sion Rurukan (komisi Pria/ Kaum Bapa dan Pemuda) mengadakan penanaman pohon di hutan Mahawu. Pada Tahun 2001, sanggar Edelweis juga mengadakan penghijauan. Akan tetapi karena kurang pemeliharaan, pohon-pohon hasil reboisasi tersebut banyak yang mati. Setelah mengadakan penghijauan mereka tidak mengadakan pemeliharaan pohon-pohon dalam arti menyiram dan membersihkan rumput disekitar pohon sehingga jumlah pohon yang hidup tidaklah seberapa banyak dibanding yang ditanam. Dan apabila pohon hasil reboisasi itu tumbuh di kebun
rakyat maka akan ditebang oleh pemilik
kebun jika ia akan mengolah tanahnya. 11 Sekarang tumbuhan yang mendominasi di areal hutan lindung yaitu alangalang, semak belukar, pinus dan cempaka (hasil reboisasi). 12 Sedangkan tumbuhan yang ada di hutan rakyat yaitu pohon aren, zanoan, langsat, cempaka, pisang, semak belukar dan lain sebagainya.13 Kondisi hutan Mahawu yang rusak tersebut disebabkan oleh dua faktor tersebut di atas. Perubahan areal hutan tersebut mulanya terjadi sekitar tahun 1848 dimana masyarakat yang berasal dari desa Paslaten dan Talete, Kecamatan Tomohon datang membuka hutan untuk dijadikan perkebunan. Lama-kelamaan jumlah mereka yang membuka lahan semakin bertambah hingga terbentuklah desa Rurukan pada 19 April
11
LK, YP, dkk., Wawancara, 16 April 2003. Sumber: Dinas Kehutanan Kab. Minahasa, Informasi Sub Bidang Konservasi Sumber Daya Alam, Tahun 2000. 13 LK., YP, dkk., Wawancara, 16 Juni 2003. 12
45
1948. Mereka mulai membuka lahan di sekitar hutan dan sungai Ruruk untuk dijadikan kebun/ladang mereka.14 Sekitar tahun 1960-an, hampir semua masyarakat Rurukan mulai mencari dan mengolah pohon aren (disadap airnya) untuk dijadikan saguer dan gula merah.15 Ini menyebabkan banyak pohon-pohon ditebang untuk kayu bakar dalam memasak gula merah. Kemudian tahun 1971 – 1977 masyarakat mulai membabat pohon-pohon sekitarnya termasuk pohon aren untuk menanam jagung. Selanjutnya, karena harga jual jagung yang merosot turun maka pada tahun 1978, mereka mulai beralih menanam sayuran kol dan wortel hingga sekarang. 16 Dengan dibukanya lahan pertanian sayuran ini, keadaan sekitar hutan Mahawu semakin memprihatinkan karena luas areal hutan semakin kecil dan areal pertanian yang terbuka semakin luas. Ditambah lagi dengan adanya kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997 telah membakar hutan sekunder seluas 75 ha. dan hutan primernya 96 ha.17 Beralihnya masyarakat Rurukan dari matapencaharian membuat gula ke petani jagung hingga petani sayuran ini didukung juga dengan keadaan tanah dan suhu udara dingin (±22˚C - 32°C) yang cocok untuk menanam sayuran dan lebih menguntungkan dari segi ekonomi. Lahan pertanian yang ada di Rurukan saat ini sekitar 281 hektar.18 Mulai dari daerah yang tanahnya datar hingga pinggiran hutan lindung dan hutan rakyat yang berada pada daerah yang miring. 14
Sumber: Sejarah Desa Rurukan, hlm. 1. LK, dkk., Wawancara, 28 Mei 2003. 16 LK, dkk., Wawancara, 28 Mei 2003. 17 Laporan Penelitian JICA, Op.Cit., chap. 2, hlm. 3. 18 LK, dkk., Wawancara, 28 Mei 2003. 15
46
Bertambah luasnya areal pertanian di Rurukan dari tahun ke tahun dikarenakan oleh peningkatan kebutuhan hidup (faktor ekonomi) yang semakin tinggi dan jumlah penduduk yang juga kian bertambah. Perbandingan pertambahan luas areal pertanian dan jumlah penduduk dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 1 Luas Areal Pertanian Dan Jumlah Penduduk No.
Tahun
Luas Areal Pertanian (ha)
Jumlah Penduduk (jiwa)
1
1997
269
1459
2
2000
278
1682
3
2003
281
1757
Sumber: Kantor Desa Rurukan Dan bertambahnya jumlah penduduk diikuti dengan peningkatan jumlah warga yang membuka lahan untuk pemukiman mereka.
Dengan jumlah penduduk 1757
jiwa, luas wilayah desa Rurukan ±350 hektar, dengan luas pemukiman penduduk sekitar 12,5 hektar.19 Perbandingan pertambahan luas areal pemukiman dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2 Luas Areal Pemukiman Penduduk
19
Sumber: Data Kantor Desa Rurukan Tahun 2003.
47
No.
Tahun
Luas Areal (ha)
Jumlah Jaga
1
1997
10
5
2
2000
12
7
3
2003
12,5
7
Sumber: Kantor desa Rurukan Selain itu juga, kondisi kerusakan hutan Mahawu juga dipengaruhi oleh penebangan pohon-pohon oleh masyarakat (khususnya pembuat gula merah) untuk kayu bakar. Mereka menebang pohon di areal hutan rakyat untuk dipakai sebagai kayu bakar dalam memasak saguer yang ditifar (air sadapan pohon aren) untuk dijadikan gula merah. Penebangan pohon untuk kayu bakar oleh pembuat gula merah ini telah berlangsung dari tahun 1960-an hingga sekarang. Akan tetapi jumlah pembuat gula mulai berkurang dari tahun ke tahun (dapat dilihat pada tabel 3) sebab banyak yang beralih menjadi petani sayur. Tabel 3 Jumlah Pembuat Gula Jumlah Pembuat Gula Merah
No.
Tahun
1
2000
103
2
2003
3
Sumber: Kantor Desa Rurukan Menurut hasil wawancara, mereka memasak gula merah setiap hari, kecuali hari Minggu. Dalam satu kali memasak, mereka membutuhkan 4 batang besar kayu bakar atau sekitar 2 pohon untuk memasak air saguer ±2,5 gelon menjadi ±12 batu gula merah yang lamanya ±6 jam.20 Jadi, jika diperhitungkan dalam sebulan (6 hari x
20
YP, YK,WK, dkk.,Wawancara, 16 Juni 2003.
48
4 minggu x 2 pohon) mereka dapat menghabiskan ±48 pohon yang ada di hutan. Memang menurut mereka, pohon yang mereka tebang adalah pohon yang jenisnya tidak digunakan untuk membangun rumah atau membuat perkakas rumah, seperti dari jenis zanoan21 , akan tetapi pohon-pohon tersebut merupakan bagian dari hutan yang keberadaannya sangat mempengaruhi keberadaan fungsi hutan Mahawu itu sendiri. C. Manfaat Hutan Mahawu Dan Akibat Kerusakannya 1. Manfaat Hutan Mahawu Hutan Mahawu merupakan kawasan hutan pelindung (hutan lindung) karena termasuk hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano yang diperuntukkan sebagai pengatur tata air dan pencegah erosi tanah. Hutan lindung Mahawu adalah kawasan resapan air yang memiliki curah hujan yang cukup tinggi (1500 – 1800 mm/tahun) dengan struktur tanah yang mudah meresapkan air. Hutan menyimpan air tanah yang kemudian menghasilkan air yang akan dialirkan ke sungai dan mata air di hutan dan sekitarnya. Air sungai dan mata air sebagai sumber air bersih yang kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat untuk penggunaan/konsumsi air sehari-hari (masak, minum, mandi dan cuci), untuk pertanian dan untuk aliran sungai Tondano. Menurut sejarah desa Rurukan, salah satu faktor terbentuknya desa ini adalah karena adanya sumber air yaitu sungai Rurukan yang mengalir melintasi desa Rurukan. Air sungai ini berasal dari mata air yang ada di atas gunung Mahawu yang awalnya dipakai oleh masyarakat untuk
21
memasak, mandi dan mencuci. Akan tetapi
YK, dkk., Wawancara, 16 Juni 2003.
49
sekarang untuk masak dan minum, mereka memakai air yang berasal dari mata air di jaga22 1 dan jaga 6. Seiring dengan pertumbuhan penduduk desa dan peningkatan kebutuhan air oleh masyarakat baik itu untuk konsumsi sehari-hari dan pertanian, sedangkan air sungai Rurukan mulai berkurang debitnya karena berbagai faktor, seperti letusan gunung Mahawu tahun 1958 dan kebakaran hutan mengakibatkan lenyapnya pohonpohon yang mampu menyerap dan menyimpan air, maka mereka mulai mencari atau memakai sumber mata air yang ada disekitarnya. Jika dulu hanya memakai 1 mata air, kini di wilayah Rurukan ada ±6 mata air yang dipergunakan. 1.1. Untuk konsumsi sehari-hari Masyarakat Rurukan mempergunakan air yang bersumber dari 3 mata air untuk memasak, air minum, mandi dan cuci. Dari satu mata air dipakai oleh ±200 kepala keluarga per harinya.23 Ketiga mata air tersebut, 2 yang besar (di jaga 1 dan 6) dan 1 yang kecil (di jaga 1) yang tidak berfungsi jika musim panas panjang. Ketiga mata air tersebut pada tahun 1992/ 1993 oleh pemerintah telah diusahakan pembuatan hidran air/kran-kran pengambilan air di 11 tempat strategis yang memudahkan masyarakat yang jauh dari mata air untuk mengambil air.24 Akan tetapi pada saat ini tidak berfungsi lagi karena kurangnya pemeliharaan.
22 “Jaga” adalah lingkungan pemerintahan terkecil di suatu desa yang terdiri dari sekitar ± 65 kepala keluarga. 23 Sumber: Data Kantor Desa Rurukan Tahun 2002. 24 LK, dkk., Wawancara, 30 Juni 2003.
50
Kemudian pada tahun 1996/ 1997 dari Dinas Pekerjaan Umum (PU) mengusahakan pembuatan 6 bak penampungan air bersih dari ketiga mata air yang ada. Tertinggal 2 bak penampungan yang berfungsi baik. Selain ketiga mata air tersebut, masyarakat Rurukan juga mengambil air dari sumur. Akan tetapi, karena topografi yang berbukit-bukit maka hanya warga yang tinggal di daerah rendah yang memiliki sumur (itu pun tidak semuanya). Sumur yang ada ±30 buah yang dipakai sendiri oleh keluarga ataupun dengan tetangga sekitarnya.25 1.2 Untuk Pertanian Sebagian besar masyarakat Rurukan bermata pencaharian sebagai petani, baik itu petani pemilik lahan atau petani penggarap. Mereka memerlukan dan memakai air dari tiga sumber mata air yang ada di lokasi pertanian. Mereka membuat kolam penampungan air dengan mengalirkan air lewat pipa atau slang dari mata air yang terdekat supaya mempermudah atau mempercepat kerja mereka menyiram tanaman. Setiap jenis tanaman sayuran yang ditanam tidak sama kebutuhan penyiraman airnya. Seperti untuk tanaman kol, pada saat di tempat pembibitan memang disiram setiap hari
tapi
setelah
dipindahkan
hanya
memerlukan
sesekali penyiraman
saja.
Sedangkan untuk wortel sangat memerlukan air, setiap harinya wortel disirami dengan air.
25
LK,dkk., Wawancara, 30 Juni 2003.
51
1.3 Untuk Aliran Sungai Tondano Hutan Mahawu termasuk dalam wilayah daerah aliran sungai (DAS) Tondano, yaitu suatu daerah yang dibatasi oleh pemisah topografi yang menerima hujan, menampung, menyimpan dan mengalirkan ke sungai dan seterusnya ke danau atau ke laut.26 Jadi, hutan Mahawu berfungsi sebagai daerah tangkapan air yang selanjutnya mengalirkannya lewat sungai Rurukan dan akan berakhir di aliran sungai Tondano. Dengan kata lain, debit air sungai Tondano tergantung dari pemasukannya dari sumber air di daerah aliran sungai yang salah satunya hutan Mahawu. 2. Akibat Kerusakan Hutan Mahawu Dengan kondisi hutan Mahawu yang rusak saat ini maka berakibat negatif bagi keberlangsungan atau kelestarian sumber daya hutannya dan bagi masyarakat sekitarnya. Akibat negatif dari kerusakan areal hutan Mahawu yaitu kurangnya ketersediaan sumber air pada musim panas, erosi dan sedimentasi pada aliran sungai Tondano. 2.1 Kurangnya Ketersediaan Sumber Air Rusaknya hutan Mahawu hingga menjadi areal non-hutan karena kurangnya jumlah pepohonan, yang semestinya dapat berfungsi untuk menahan, menyerap dan menyimpan air hujan yang turun menjadi air permukaan dan air tanah, menyebabkan persediaan air tanah menipis dan membuat sumber-sumber air: mata air dan sungai menjadi berkurang debit airnya bahkan sampai mengering. Jika pada musim hujan,
26
Dr. Ir. Suripin, M.Eng., Pelestarian Sumber Daya Tanah Dan Air (Yogyakarta: ANDI, 2002), hlm. 183.
52
air dari mata air mengalir deras melewati pipa dan volume airnya mengisi penuh bulatan pipa tersebut, maka pada saat musim panas panjang/ kemarau air yang mengalir lewat pipa air hanya setengah lingkaran pipa bahkan lebih kecil lagi. Debit air sungai Rurukan pun berkurang. Jika dulu air sungai mengalir dengan lancar, lebar sungai ±1 meter dan jernih airnya, maka pada musim kemarau air yang mengalir kecil, lebarnya ±30 cm. dan airnya berwarna kecoklatan. Hal ini disadari oleh hampir semua masyarakat Rurukan karena mereka pernah merasakan susahnya memperoleh air pada musim panas yang berkepanjangan tahun 2002.27 2.2 Erosi Dan Sedimentasi Di Aliran Sungai Tondano Berkurangnya jumlah pohon-pohon di areal hutan Mahawu membawa akibat yang buruk pada saat musim hujan. Apalagi curah hujan di daerah hutan Mahawu cukup tinggi. Hujan merupakan salah satu faktor utama penyebab terjadinya erosi tanah dan sedimentasi di daerah hilir. Erosi tanah adalah suatu proses atau peristiwa hilangnya lapisan permukaan tanah atas, baik disebabkan oleh pergerakan air atau angin.28 Erosi tanah berpengaruh terhadap produktifitas lahan melalui pengurangan ketersediaan air, nutrisi, bahan organik dan menghambat kedalaman perakaran. Erosi tanah yang terjadi di areal hutan Mahawu karena tingginya curah hujan; kemiringan tanah; ketiadaan tumbuhan penutup
tanah;
dan
kemampuan
tanah
untuk
menahan,
mengisap
kemudian
merembeskan air ke lapisan dalam tanah. Ditambah lagi lahan-lahan pertanian dari
27 28
JK, LP, VK, dkk., Wawancara, 6 dan 19 Mei 2003. Dr. Ir. Suripin, M.Eng., Op.Cit., hlm. 11.
53
masyarakat Rurukan yang berada pada titik kemiringan 5 – 60% dengan pembuatan terras yang seadanya memungkinkan terjadinya erosi tanah. Selama proses erosi tanah, sebagian besar air menghilang dalam bentuk aliran permukaan yang sangat cepat. Penyerapan air tanah akan berkurang dan sumbersumber mata air akan berkurang bahkan mengering airnya pada musim panas. Selain itu aliran permukaan dapat mengikis dan mengangkut butir-butir tanah yang berhenti di hilir sungai atau danau sebagai pengendapan atau sedimentasi. Karena hutan Mahawu merupakan daerah aliran sungai (DAS) Tondano maka menyebabkan pendangkalan pada aliran sungai Tondano. Pendangkalan ini mengurangi kemampuan aliran sungai Tondano untuk pembangkit listrik (PLTA Tonsea lama dan Tanggari), perusahaan air minum (PDAM) Manado, pelabuhan Manado dan Taman Nasional Bunaken. Akibat lain dari erosi dan sedimentasi pada aliran sungai Tondano yaitu masuknya sampah atau bahan pencemar lain yang mengurangi kualitas air bersih yang layak dikonsumsi.29 D. Penghargaan Masyarakat Rurukan Terhadap Hutan Mahawu Penghargaan masyarakat Rurukan terhadap hutan yang penulis gambarkan di sini yakni sikap menghargai dari masyarakat Rurukan terhadap hutan Mahawu. Sikap menghargai dari masyarakat terhadap hutan tergambar dari pemikiran-pemikiran mereka tentang hutan tersebut. Dari pemikiran-pemikiran mereka inilah penulis dapat
29
Ir. John Tasiring, PhD., “Air Kian Mahal Dan Langka”, Manado Post, 30 April 2003.
54
mengetahui apa yang mereka ketahui dan bagaimana pemahaman mereka tentang hutan Mahawu serta bagaimana mereka menghargainya. 1. Pemikiran-Pemikiran Masyarakat Pada Umumnya. Dari
wawancara
yang
penulis
lakukan
diperoleh
informasi
mengenai
pemikiran-pemikiran masyarakat tentang hutan berdasarkan atas apa yang mereka ketahui dan pahami. Pemikiran mereka hampir semuanya sama. Dari 32 orang warga Rurukan sebagai responden memahami hutan itu sebagai suatu ekosistem yang menjaga keseimbangan alam.30 Dimana hutan merupakan tempat tumbuhnya berbagai jenis pepohonan dan berbagai jenis makhluk hidup lainnya,
seperti alang-alang,
semak dan binatang. Hutan Mahawu merupakan
kawasan yang terdiri dari hutan lindung yang dibatasi dengan patok dan dilindungi oleh pemerintah. Dan bagian bawah hutan lindung yaitu hutan rakyat/ milik yang sebagian tanahnya telah dikelola oleh pemiliknya menjadi kebun atau lahan pertanian dan sebagiannya lagi tidak dikelola. 31 Dengan keberadaannya itu, hutan memiliki fungsi penting bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya.32 Fungsi hutan tersebut yakni menjadi daerah penampung air yang selanjutnya mensuplai air bagi sumber-sumber mata air dan sungai. Dan sumber-sumber mata air tersebut oleh masyarakat Rurukan dipakai untuk kebutuhan hidup sehari-hari, seperti memasak, minum, dan MCK (mandi, cuci, kakus); dan untuk pertanian mereka. 33
30
NM,GK,YLM., Wawancara, 12, 18 Juli 2003. WW, dkk., Wawancara, 5 Juni 2003. 32 AR,CM,WP,KK,RW., Wawancara, 12 Juli 2003. 33 LK, SA, dkk., Wawancara, 5 Juni 2003. 31
55
Hutan Mahawu juga berfungsi sebagai pencegah terjadinya erosi dan banjir.34 Karena wilayah desa Rurukan sebagian besar lahannya telah dibuka untuk pertanian sayur-sayuran dan berada didaerah kemiringan hutan Mahawu maupun Masarang menjadikan areal pegunugan tersebut gundul. Ini memudahkan terjadinya erosi tanah dan untuk mencegahnya masyarakat membuat terras dilahan-lahan pertanian yang miring.35 Masyarakat Rurukan menyadari bahwa keadaan hutan Mahawu saat ini mengalami kerusakan yaitu dengan semakin berkurangnya luas hutan dan jumlah pohon-pohon yang tumbuh. Penyebab kerusakan hutan ini pada awalnya disebabkan oleh adanya penebangan pohon-pohon untuk dijadikan kayu bakar, yang diikuti dengan
pembukaan lahan untuk
pertanian,
kebun ataupun untuk
pemukiman
penduduk.36 Akibatnya hutan Mahawu menjadi areal hutan yang lebih banyak ditumbuhi oleh alang-alang dan semak-belukar yang pada musim penghujan tidak mampu menyerap dan menampung air sehingga terjadilah erosi tanah dan sumbersumber air serta sungai menjadi berkurang debit airnya pada musim kemarau. Masyarakat Rurukan pernah mengalami kesulitan memperoleh air ±3 bulan pada musim kemarau tahun 1997 dan tahun 2002 yang lalu.37 Menurut masyarakat, hutan Mahawu sebagai hutan lindung perlu dijaga kelestariannya karena keberadaannya dirasakan sangat penting oleh mereka berkaitan
34
AK, MPM, dkk., Wawancara, 12 Juli 2003. MTN, FP, BK, Wawancara, 18 Juli 2003. 36 AM, MLP, SBP, MMM, Wawancara, 25 Juli 2003. 37 ETK, JLT, LPM., Wawancara, 25 Juli 2003. 35
56
dengan sumber air. Hutan Mahawu selain sebagai penampung air dan pencegah erosi juga sebagai tempat rekreasi untuk menikmati keindahan alam pegunungan yang banyak dikunjungi oleh anak muda dan kadangkala oleh turis asing. 38 Sehingga kerusakan hutan Mahawu, oleh masyarakat Rurukan, baik dari pemerintah desa, warga desa ataupun gereja, dilihat sebagai hal penting yang perlu disikapi dengan tindakan nyata, seperti mengadakan penghijauan atau reboisasi di lokasi hutan Mahawu.39 Dan memang kegiatan penghijauan telah dilaksanakan oleh masyarakat dalam hal ini pemerintah desa bekerjasama dengan Dinas Kehutanan yang memberikan bibit pohon untuk di tanam. Begitupun dengan pihak gereja, khususnya dari jemaat “Bukit Sion“ GMIM Rurukan, juga pernah
melakukan penghijauan di
hutan Mahawu yakni dari komisi Pria/Kaum Bapa dan Pemuda pada tahun 1998. Bibit yang di tanam yaitu kopi, pinus dan cempaka. Akan tetapi karena kurangnya pemeliharan maka pohon-pohon yang ditanam banyak yang mati atau dipotong oleh petani jika pohon itu ditanam di atas lahan mereka.40 2. Pemikiran Kelompok-Kelompok Masyarakat Pada bagian ini penulis memaparkan pemikiran dari kelompok-kelompok masyarakat yang ada di desa Rurukan yang melakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan hutan Mahawu. Kelompok-kelompok tersebut yaitu karang taruna Rurukan, sanggar Edelweis dan kelompok tani Semakaria.
38
NM, MTN, dkk., Wawancara, 12 JUli 2003. LK, NM, JR, RW., Wawancara, 25 Juli 2003. 40 SA, AR, dkk., Wawancara, 25 Juli 2003. 39
57
2.1. Karang Taruna Karang taruna di desa Rurukan berdiri pada tahun 1985 dengan tujuan untuk membina generasi muda agar berpartisipasi dalam membangun desa. Karang taruna ini terpilih sebagai karang taruna teladan utusan Sulawesi Utara pada tahun 1992 karena keaktifan pengurus dan anggotanya dalam berbagai kegiatan. 41 Kegiatankegiatan mereka yakni kerja bakti, mengadakan warung desa, mengadakan lomba olahraga, penghijauan dan lain sebagainya. Kegiatan penghijauan dari karang taruna ini merupakan bagian dari kalender kerja mereka sebagai kepedulian terhadap lingkungan hidup. Kegiatan ini diadakan setiap 3 kali setahun yang diselingi dengan kegiatan pemeliharaan atau pemantauan hasil reboisasi. Penghijauan ini ada yang dilakukan sendiri oleh seluruh anggota karang taruna dan ada kegiatan lomba penghijauan antar jaga yang melibatkan seluruh warga desa setiap tanggal 17 Agustus. Kegiatan ini diadakan mereka karena termotivasi oleh himbauan yang disampaikan dari kecamatan untuk mengadakan penanaman pohon-pohon karena desa Rurukan berada di daerah pegunungan yang menjadi areal tangkapan air atau sumber air. Begitu pun dari Dinas Kehutanan propinsi dan kabupaten juga memberikan masukan tentang pentingnya penghijauan didaerah pegunungan, seperti hutan Mahawu.42 Untuk mengadakan penghijauan mereka mengajukan permintaan bibit pohon di Dinas Kehutanan kabupaten Minahasa yang memberikannya secara cuma-cuma,
41 42
Sejarah Desa Rurukan, Kec. Tomohon, 1998, hlm. 9. JR, NM, dkk., Wawancara, 26 Juli 2003.
58
seperti bibit pohon cempaka, dan nantu. Ada juga bibit pohon yang diambil dari kebun-kebun warga seperti bibit pohon kopi dan pinus. Lokasi pengadaan penghijauan yakni di jalur aliran sungai; di perkebunan-perkebunan yang tanahnya tidak produktif atau tanah kritis dan tanah miring; di sumber-sumber mata air; dan lokasi hutan Mahawu dan Masarang. Bibit pohon yang ditanam di lokasi aliran sungai yaitu cempaka dan nantu. Di perkebunan yang tidak produktif atau tanahnya miring ditanami bibit kopi. Dan untuk lokasi hutan Mahawu dan Masarang biasanya ditanami bibit pohon pinus dan kopi. Jumlah bibit pohon untuk sekali penghijauan ±200 – 500 pohon yang ditanam oleh karang taruna, sedangkan untuk lomba penghijauan jumlahnya ±1000 pohon.43 Dari kegiatan pemantauan dan pemeliharaan hasil penghijauan diketahui ternyata hanya sekitar 30 – 40% bibit pohon yang behasil tumbuh, selebihnya mati. Menurut mereka mungkin karena setelah penanaman, bibit tidak ada pemeliharaan seperti disiram atau disiangi rumput disekitarnya, makanya banyak yang mati. Kegiatan
pemeliharaan
hanya
melihat
hasil
penanaman
yang
tumbuh
dan
membersihkan rumput disekitarnya nanti 4 bulan berikutnya setelah penghijauan. Memang hasil penghijauan yang mereka adakan tidak langsung dirasakan mereka. Akan tetapi mereka berhasil mengajak, memotivasi dan menanamkan rasa peduli kepada semua warga desa untuk memelihara lingkungan hidup, khususnya hutan, dan keinginan untuk menebang pohon-pohon di hutan oleh masyarakat
43
JR, RW, dkk., Wawancara, 4 Agustus 2003.
59
berkurang. Ini terbukti selama karang taruna aktif mengadakan kegiatan tersebut banyak yang berperan aktif dan senang melakukan penghijauan. Namun disayangkan, semenjak tahun 1994 karang taruna Rurukan mulai memudar dan tidak berjalan lagi hingga sekarang.44 2.2. Sanggar Edelweis Sanggar Edelweis mulai terbentuk pada tahun 1997 sebagai wujud kepedulian terhadap terbentuknya desa Rurukan sebagai desa binaan pariwisata pertama di Indonesia oleh Gubernur E.E.Mangindaan. Kemudian pada tahun 1999 diadakan pelantikan kepengurusan periode pertama. Sanggar ini dibentuk dengan tujuan untuk menggembangkan dan melestarikan seni budaya tradisional; menggali potensi dari generasi muda
yang
berwawasan
seni dan
peduli budaya
tradisional;
dan
menanamkan rasa mencintai seni budaya daerah dan lingkungan hidup. 45 Kegiatankegiatan dari sanggar yaitu latihan tarian maengket, katrili dan kolintang; pagelaran seni; dan pengawasan, pemeliharaan terhadap sasaran wisata Rurukan berupa penjagaan di gunung dan hutan Mahawu serta penghijauan. Kegiatan pengawasan terhadap gunung - hutan Mahawu dan penghijauan muncul berdasarkan pembicaraan rutin bersama setiap awal tahun dari seluruh anggota sanggar yang kemudian disetujui oleh semuanya untuk dimasukkan ke dalam program kerja tahunan sanggar. Kepedulian mereka terhadap penghijauan lingkungan hutan dan sekitarnya terbentuk karena sebagian pengurus dan anggota sanggar
44 45
JR, Wawancara, 4 Agustus 2003. NM, Wawancara, 26 Juli 2003.
60
merupakan bagian dari karang taruna yang lebih dulu peduli terhadap kegiatan positif ini yang pada akhirnya disesuaikan dengan kegiatan sanggar. 46 Kegiatan pengawasan terhadap gunung dan hutan Mahawu diadakan dengan tujuan untuk menjaga kondisi fisik hutan dari tangan-tangan jahil para pendaki tidak bertanggung jawab yang seringkali memotong pohon-pohon untuk dijadikan pasak bagi tenda-tenda mereka ataupun untuk kayu bakar yang dipakai mereka membuat api, dan memberi petunjuk-petunjuk bagi pendaki untuk menjaga kebersihan dan melarang
memotong pohon-pohon di hutan Mahawu.
Tugas pengawasan ini
diberikan kepada anggota sanggar laki-laki untuk bergiliran menjaga setiap harinya. Akan tetapi, karena kesibukan masing-masing akhirnya penjagaan gunung dan hutan Mahawu diserahi kepada satu orang yang diberi upah untuk melakukannya. Untuk kegiatan ini mereka pernah mengusulkan kepada beberapa pihak: Dinas Kehutanan dan Dinas Pertanahan untuk mengizinkan mengelola gunung – hutan Mahawu
sebagai
aset
wisata
yang
banyak
dikunjungi
orang
tapi kurang
pemeliharaannya dengan tujuan agar mereka dapat mengawasi para pengunjung dan sekaligus memeliharanya. Akan tetapi, dari kedua pihak tersebut tidak memberikan izin pengelolaan dengan alasan birokrasi yang berkaitan dengan pemasukan anggaran daerah. Akhirnya pengurus dan anggota sanggar tidak pernah lagi mengusahakan untuk pengelolaannya, mereka hanya memusatkan pada penjagaan saja. Sedangkan untuk kegiatan penghijauan pernah dilakukan oleh sanggar pada tahun 2001 di lokasi hutan Mahawu dan Masarang. Penghijauan ini dilakukan oleh 46
OM, TK, dkk., Wawancara, 4 Agustus 2003.
61
semua anggota sanggar dengan tujuan untuk menghutankan kembali hutan Mahawu dan Masarang yang pohon-pohonnya sudah kurang agar sumber-sumber air di Rurukan tidak mengalami kekeringan lagi. Bibit pohon yang mereka tanam yaitu kopi, pinus, pohon langsat, dan sebagainya yang diperoleh di kebun-kebun warga. Mereka yang ikut dalam penghijauan ini merasa senang dan bagi beberapa anggota
ini
merupakan
pengalaman
pertama
melakukan
penghijauan
yang
mengesankan karena dapat melihat dengan jelas lingkungan disekitarnya. Dan mereka ingin mengikuti kegiatan ini lagi tetapi sampai saat ini belum ada pelaksanaan penghijauan dari sanggar karena kesibukan sanggar pada pagelaran seni. 47 Hasil dari penghijauan yang mereka adakan tidak dapat mereka pastikan apakah tumbuh semua atau sebagian besarnya mati. 2.3. Kelompok Tani Semakaria Kelompok tani ini pada awalnya merupakan kelompok kerja mapalus dari beberapa pemilik lahan pertanian yang berdekatan. Kemudian pada tahun 1997 oleh yayasan Suara Nurani diberikan pembinaan-pembinaan kepada kelompok ini untuk memajukan kegiatan pertanian mereka, maka terbentuklah suatu kelompok tani semakaria. Tujuan didirikan kelompok tani ini yaitu untuk menopang dan memajukan setiap anggotanya dalam mengelola lahan pertanian hortikulturanya. 48 Kegiatan-kegiatan
yang
dilakukan
oleh
kelompok
ini yaitu
pertemuan-
pertemuan rutin anggota, mapalus, kumpulan anggota keluarga, kegiatan pertanian,
47 48
NM, OM, dkk., Wawancara, 4 Agustus 2003. TK, LK, dkk., Wawancara, 26 Juli 2003.
62
koperasi unit desa, dan penghijauan. Untuk kegiatan penghijauan ini memang pada awalnya mereka adakan untuk mengikuti kegiatan penghijauan yang diadakan oleh pemerintah desa ataupun oleh gereja, dan sebagai wujud partisipasi mereka untuk peduli terhadap lingkungan hidup. Kemudian kegiatan penghijauan ini menjadi kegiatan tahunan mereka. Yang mendasari diadakan kegiatan ini dalam program mereka
yaitu
menyebabkan
adanya rasa peduli terhadap mereka
pernah
kerusakan hutan Mahawu yang
kesulitan air pada musim kemarau panjang.49
Pelaksanaan kegiatan penghijauan setiap 6 bulan sekali dengan menanam pohonpohon: cempaka, pinus dan nantu yang diperoleh dari Dinas Kehutanan ataupun dengan membeli sendiri. Mereka menanam di lokasi aliran sungai, sumber-sumber mata air dan hutan Mahawu. Tetapi untuk pemeliharaan setelah penghijauan tidak ada sehingga hasil penghijauan tidak dapat diketahui dengan pasti. E. Analisa Data Berdasarkan pengamatan secara langsung, wawancara dengan responden dan kajian teori yang diuraikan di atas maka penulis membuat analisa dari data-data yang ada, yaitu sebagai berikut: 1. Gambaran Fisik Hutan Mahawu - Hutan Mahawu merupakan salah satu hutan di daerah aliran sungai (DAS) Tondano. Hutan di DAS Tondano seluas 24.562,65 ha. Akan tetapi sekarang tinggal 9% dari luas hutan tersebut saja, termasuk luas hutan Mahawu. Keadaan ini memprihatinkan karena kerusakan hutan di DAS Tondano berdampak bagi 49
YK, JT, dkk., Wawancara, 4 Agustus 2003.
63
pengaturan tata air di DAS dan pemasukan air bagi sungai Tondano (PLTA dan PDAM) dan danau Tondano sendiri. - Keadaan hutan Mahawu dengan luas 550 hektar merupakan kawasan non-hutan. Luas tersebut terbagi menjadi: 230 hektar hutan lindung berupa lahan tidur (ditumbuhi oleh alang-alang, semak belukar, dan sejumlah kecil pepohonan) dan 320 hektar hutan/kebun rakyat yang sebagian besarnya telah diolah menjadi lahan pertanian. - Hutan Mahawu dengan topografi dari datar sampai agak miring (5 – 60%), jenis tanah andasol dan latasol (mudah menyerap air dan juga rentan terhadap erosi), curah hujan yang tinggi (1500-1800mm/thn) sebenarnya mampu menjadi areal catch water/ tangkapan air yang mensuplai air ke mata air, sungai Rurukan dan aliran sungai Tondano. Akan tetapi karena keadaan hutan yang rusak maka pada daerah ini mudah terjadi erosi pada musim hujan dan kesulitan air pada musim kemarau. - Kerusakan hutan Mahawu disebabkan oleh 2 faktor yaitu faktor alamiah dan buatan. Faktor alamiah yaitu meletusnya gunung Mahawu dan faktor buatan yaitu masuknya masyarakat Paslaten dan Talete membuka daerah sekitar hutan dan sungai Rurukan untuk pemukiman, perkebunan dan akhirnya menjadi lahan pertanian yang terbuka hingga sekarang. Kedua faktor tersebut memusnahkan pohon-pohon yang ada di hutan Mahawu. - Hutan Mahawu memiliki peranan penting sebagai daerah resapan air hujan yang menyimpan dan mensuplai air bagi mata air, sungai Rurukan dan aliran sungai
64
Tondano
untuk dipakai sebagai kebutuhan sehari-hari, pertanian masyarakat
Rurukan dan untuk aliran sungai Tondano. - Kerusakan
hutan
Mahawu
membawa
akibat
negatif
bagi
keberlangsungan/kelestarian sumber daya hutan dan masyarakat sekitarnya terutama berkaitan dengan ketersediaan sumber air pada musim kemarau, erosi dan sedimentasi pada aliran sungai Tondano. 2. Masalah Sosial Ekonomi - Kerusakan hutan Mahawu mulanya terjadi sekitar tahun 1940-an, saat beberapa warga Paslaten dan Talete membuka daerah hutan di sekitar sungai Rurukan untuk kebun dan pemukiman mereka hingga akhirnya berkembang menjadi desa Rurukan. - Bertambah luasnya areal pertanian ternyata dikarenakan oleh peningkatan kebutuhan hidup (faktor ekonomi) yang semakin tinggi dan jumlah penduduk yang kian bertambah, diikuti juga dengan peningkatan jumlah warga yang membuka lahan untuk pemukiman mereka. - Peralihan mata pencaharian masyarakat Rurukan dari pembuat gula ke pertanian ternyata sama-sama membawa resiko terhadap keadaan hutan Mahawu. Pada saat masyarakat menjadi pembuat gula mereka banyak menebang pohon di sekitar hutan untuk dijadikan kayu bakar, sedangkan menjadi petani jagung dan sayur maka seluruh pohon yang ada di atas tanah olahan mereka ditebang, akibatnya pada saat musim hujan terjadi erosi.
65
3. Penghargaan Masyarakat Rurukan Terhadap Hutan Mahawu - Masyarakat pada umumnya memahami hutan sebagai suatu ekosistem yang menjaga keseimbangan alam, tempat tumbuhnya berbagai jenis tumbuhan dan makhluk hidup lainnya. Mereka mengetahui bahwa hutan Mahawu terdiri dari hutan lindung dan hutan/kebun rakyat. Hutan memiliki fungsi sebagai daerah penampung air yang mensuplai air bagi kebutuhan sehari-hari dan pertanian mereka. - Masyarakat
Rurukan
kurang
menghargai hutan Mahawu karena mereka
mengelola tanah di daerah hutan tersebut dengan menebang pohon-pohon yang tumbuh
untuk
dijadikan
lahan
kebun
dan
pertanian
mereka.
Hal ini
menyebabkan keadaan hutan Mahawu menjadi rusak: berkurangnya luas hutan dan jumlah pepohonan yang ada, dan menjadikan daerah di sekitar hutan tersebut rentan terhadap erosi tanah. - Keadaan hutan yang rusak memang menyadarkan masyarakat Rurukan untuk melakukan penghijauan di lokasi hutan Mahawu, di sepanjang pinggiran aliran sungai dan perkebunan yang lahannya miring atau kritis.
Akan tetapi,
pelaksanaannya hanya sekedar tanam saja tanpa melakukan pemeliharaan yang berkelanjutan sehingga pohon yang hidup hanya 30-40% saja. Ini juga disebabkan karena faktor kebutuhan hidup (faktor ekonomi) dari masyarakat Rurukan. Jika mereka melakukan penghijauan di sekitar lahan pertanian mereka maka itu berarti mengurangi hasil panen sayuran nantinya dan mengurangi uang yang diperoleh. Sehingga pelaksanaan penanaman pohon penghijauan yang
66
dilakukan oleh mereka belumlah menggambarkan rasa menghargai masyarakat terhadap hutan Mahawu.
67
BAB III KAJIAN ETIS KRISTEN TERHADAP PENGHARGAAN MASYARAKAT PADA HUTAN MAHAWU
Pada bagian ini, penulis mengkaji pokok masalah: penghargaan masyarakat Rurukan pada hutan Mahawu dengan menggunakan sudut pandang etis Kristen yang didasarkan pada alkitab. Etika adalah sebuah bidang studi yang meneliti dan menilai tabiat dan tingkah laku manusia dari sudut pandang normatif.1 Etika menilai tabiat dan tingkah laku manusia dengan memakai suatu atau beberapa norma tertentu. Dalam hal ini menggunakan norma-norma Kristen yaitu firman Allah, Alkitab. Dalam penilaian etis pada pokok masalah penghargaan masyarakat terhadap hutan Mahawu yang dikaji, penulis
menggunakan
tiga
macam pendekatan
yaitu: etika
kewajiban,
etika
keutamaan dan etika situasi. Etika kewajiban mempelajari prinsip-prinsip dan normanorma moral yang berlaku bagi perbuatan kita. Artinya etika ini menilai benar salahnya kelakuan kita dengan berpegang pada norma dan prinsip moral saja. Etika keutamaan yaitu mempelajari keutamaan (virtue), artinya sifat watak yang dimiliki manusia. Etika ini tidak menyelidiki apakah perbuatan kita baik atau buruk, melainkan apakah kita sendiri orang baik atau buruk. Sedangkan etika situasi menegaskan bahwa setiap orang dan setiap situasi adalah berlainan, maka tanggung 1
Verne H.Fletcher, Lihatlah Sang Manusia !, (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1990), hlm.18.
jawab kita terhadapnya tidak dapat disalurkan melalui norma-norma dan peraturan yang umum. Setiap situasi mempunyai tuntutannya sendiri. 2 Artinya setiap tindakan individu menetapkan apa yang merupakan tanggung jawab dan kewajibannya untuk mengambil tindakan etis yang benar, baik dan tepat. Untuk kedua pendekatan: etika kewajiban dan keutamaan memang saling melengkapi satu sama lain. Etika kewajiban membutuhkan etika keutamaan dan sebaliknya etika keutamaan membutuhkan etika kewajiban. Di bidang moral, usaha untuk mengikuti prinsip dan aturan tertentu kurang efisien kalau tidak disertai suatu sikap tetap manusia untuk hidup menurut prinsip dan aturan moral itu. Berpegang pada norma moral memang merupakan syarat bagi perilaku yang baik. Akan tetapi membatasi diri pada norma saja belum cukup untuk dapat disebut seorang yang baik dalam arti sepenuhnya, harus dilengkapi dengan sifat watak/tabiat yang baik. 3 Namun, jika kita menggunakan kedua pendekatan etika tersebut tanpa melihat situasi yang ada maka tindakan kita belum dapat dikatakan etis. Untuk itu, hendaknya kita mempertimbangkan etika situasi yang ada dalam mengambil suatu keputusan etis. Dalam masalah penghargaan masyarakat Rurukan terhadap hutan Mahawu sebagai DAS Tondano, kita diperhadapkan kepada situasi dimana kerusakan hutan Mahawu disebabkan oleh dua faktor yaitu: alamiah dan buatan manusia. Faktor alamiah yaitu karena bencana alam, seperti gunung meletus. Dan faktor buatan
2 3
Franz Magnis – Suseno, Etika Dasar (Yogyakarta: Kanisuis, 1987), hlm. 104-105. K. Bertens, Etika (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 214-215.
69
manusia yaitu manusia mengeksploitasi hutan untuk mengambil sumber-sumber daya alam yang telah melampaui batas-batas kewajaran demi untuk memenuhi kebutuhan hidup
dan
keinginannya,
tanpa
peduli pada keberlangsungan hutan sehingga
kerusakanlah yang terjadi. Manusia merusak hutan untuk diambil hasil hutannya (pohon), untuk lahan pertanian dan pemukiman. Pada situasi ini, hubungan manusia dengan alam menjadi rusak. Manusia tidak lagi memandang alam sebagai ciptaan Tuhan yang perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya. Sikap manusia terhadap alam yang seharusnya disimpulkan dalam Kejadian 2:15: “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu”. Manusia memang harus mengusahakan alam tetapi ia juga harus memeliharanya. Tugas manusia untuk menggunakan alam dan berkuasa atas alam tidak boleh dipisahkan dari tugasnya untuk menjaga, merawat, dan menggagumi alam. 4 Dengan berbuat demikian maka manusia menjamin keberlangsungan alam dan generasinya sendiri. Setiap manusia memiliki hak, kewajiban dan kesempatan yang sama untuk berperan dalam mengelola lingkungan hidup (alam) sesuai dengan perundangundangan (lihat UUPLH No. 5 Tahun 1997 pasal 5, 6, dan 7) untuk memelihara, mencegah dan menanggulangi perusakan alam. Dengan menyadari keberadaannya sebagai sumber daya manusia dalam hidup bermasyarakat maka perlu untuk
4
Malcolm Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 156-157.
70
mengembangkan sikap ramah terhadap lingkungan (alam) karena dengan sikap ini manusia dapat memulihkan kerusakan alam yang telah terlanjur terjadi. Dalam masyarakat Rurukan, mereka menyadari tentang perlunya memulihkan lingkungan hutan Mahawu yang rusak. Mereka memahami bahwa keberadaan hutan sebagai suatu ekosistem yang menjaga keseimbangan alam sangat penting bagi mereka dikaitkan dengan kebutuhan mereka akan air. Mereka juga menyadari bahwa kerusakan hutan akibat dari perbuatan manusia yang menebang pohon untuk mengambil
hasilnya,
untuk
lahan
pertanian
dan
pemukiman.
Kerusakan
itu
berpengaruh bagi mereka terutama bagi ketersediaan air untuk kebutuhan sehari-hari, lahan pertanian dan bagi pengairan DAS Tondano. Mereka pun menyadari bahwa perlu mengadakan usaha pemulihan keadaan hutan yakni dengan penghijauan/reboisasi. Akan tetapi, mereka hanya cenderung untuk mengadakan penghijauan dengan menanam pohon-pohon di lokasi hutan, di sekitar aliran sungai dan mata air, dan lahan-lahan perkebunan kritis/lahan miring tanpa melakukan pemeliharaan berkelanjutan terhadap pohon-pohon yang ditanam sehingga banyak yang mati. Perbuatan masyarakat Rurukan ini secara etis kewajiban adalah benar karena mereka melakukan perbuatan penghijauan berdasarkan norma atau peraturan yang mengharuskan atau mewajibkan menjaga kelestarian alam, khususnya hutan. Akan tetapi melakukan penghijauan saja tidaklah cukup tanpa melakukan pemeliharaan terhadap pohon-pohon yang telah ditanam. Dengan kata lain, diperlukan etika keutamaan yakni bertanggung jawab memelihara keberlangsungan kehidupan pohon
71
yang ditanam tersebut. Namun perlu diingat bahwa situasi masyarakat Rurukan yang membuka lahan pertanian dan pemukiman menjadi pertimbangan dalam melakukan tindakan
penghijauan
dan
pemeliharaan
karena
tidaklah
mungkin
menanam
pepohonan di lokasi pertanian mereka. Sehingga tindakan etis yang sebaiknya yaitu masyarakat Rurukan mengadakan penghijauan dan pemeliharaan yang berkelanjutan dan tidak lagi memperluas lahan pertanian mereka lagi. Dengan ini maka tindakan mereka dalam mengelola hutan sebagai ciptaan Tuhan menjadi etis. Menghargai alam berarti mengasihi Allah, Sang Pencipta dan Sang Penebus Yesus Kristus yang telah menyatakan kasih-Nya kepada seluruh ciptaan. Menghargai alam berarti melaksanakan kasih Allah dan mengakui rasa saling ketergantungan dengan ciptaan Allah. Kasih yang diterapkan dalam hubungan dengan alam atau terhadap lingkungan adalah kasih yang bersumber dari Allah, yang diberikan tanpa menuntut respon dan tanpa memandang kedudukan yang sederajat sebagai syaratnya, tetapi kasih yang menghargai dan menghormati seluruh kehidupan. Semua perilaku etis manusia pada akhirnya didorong oleh kasih kepada Allah yang telah datang dalam Yesus Kristus dan yang sedang mengarahkan ciptaan ini untuk damai sejahtera atau syalom kerajaan Allah. Untuk menghadirkan damai sejahtera di bumi ini telah menjadi tugas panggilan gereja selaku pelaku etika Kristen.5 Dengan kata lain, sikap menghargai dan menghormati alam merupakan acuan manusia untuk berperilaku dan berbuat sebagaimana yang dikehendaki dan diajarkan Yesus Kristus. 5
Ibid., hlm. 169.
72
Gereja sebagai persekutuan orang percaya dipanggil Allah untuk melanjutkan misi pendamaian Allah yaitu syalom di bumi. Gereja pun selaku persekutuan orang percaya tidak hanya bertanggung jawab untuk mewujudkan syalom Allah di antara sesama manusia, tetapi juga dengan lingkungan atau sesama ciptaan Allah. Setiap orang
percaya
terpanggil
untuk
memahami
panggilannya
untuk
mewujudkan
keadilan, pendamaian dan keutuhan ciptaan, antara lain dengan mengusahakan pemeliharaan lingkungan hidup sebagai bagian dari misi dan kehidupan gereja. Untuk itu, gereja perlu mengambil sikap terhadap pemeliharaan alam atau lingkungan sebagai perwujudan imannya kepada Allah yang telah membaharui hidupnya dan yang telah memanggilnya untuk bersaksi bagi dunia tentang kasih Allah. Sikap gereja terpenting yang mendasari pemeliharaan lingkungan hidup sebagai ciptaan Allah yaitu mau bertobat dan menyadari tindakan kita yang eksploitatif-destruktif terhadap alam.
Gereja harus
menampakkan sikap berdamai dan berbuat adil dengan
lingkungan alam sekitarnya.
Tetapi pelaksanaan tugas panggilan gereja dalam
memelihara dan melestarikan lingkungan akan lebih relevan dilakukan di tingkat jemaat. Secara praktis peran yang dimainkan gereja dalam pemeliharaan lingkungan hidup bergantung pada permasalahan lingkungan yang dihadapi gereja dan jemaat. Jadi, perbuatan dari masyarakat Rurukan secara etika kewajiban dan etika keutamaan yaitu melakukan penghijauan berdasarkan norma dan peraturan yang mengharuskan
atau
mewajibkan
untuk
menjaga
kelestarian
alam lingkungan,
khususnya hutan Mahawu adalah baik. Akan tetapi situasi di hutan Mahawu tidak etis karena keadaannya telah mengalami kerusakan akibat 2 faktor yaitu faktor alamiah:
73
bencana alam (gunung meletus) dan faktor buatan manusia yang menebang pohon dengan sembarangan. Hal ini berdampak negatif bagi pengaturan tata air di hutan Mahawu, baik itu untuk DAS Tondano dan masyarakat Rurukan sendiri serta terjadinya erosi tanah. Sehingga perlu diambil suatu tindakan etis, baik itu untuk masyarakat, pemerintah atau pun gereja, untuk memperbaiki keadaan hutan Mahawu yang rusak. Seperti dengan melarang perluasan dan pembukaan lahan pertanian bagi mereka yang bertani di areal hutan Mahawu serta jika memungkinkan diadakan pemindahan sebagian masyarakat ke daerah potensial lainnya atau mengikuti program transmigrasi.
74
PENUTUP
Pada akhir tulisan ini penulis akan mengemukakan kesimpulan dan saran yaitu sebagai berikut: A. Kesimpulan -
Dalam kehidupannya, manusia selalu berinteraksi dengan alam lingkungannya. Hubungan tersebut pada awalnya berjalan secara alamiah dan harmonis. Akan tetapi dengan datangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, hubungan manusia dan alam berubah menjadi hubungan subjek (manusia) dan objek (alam). Manusia mulai menguasai dan mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan yang merusak sehingga alam tidak seimbang dan harmonis lagi.
-
Manusia menjadikan alam sebagai objek yang bernilai sebagai alat untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Manusia tidak lagi menghargai alam sebagai ciptaan Allah. Pada mulanya Allah menciptakan alam ini sebagai suatu tatanan yang yang teratur, bukan untuk dirusak oleh manusia melainkan harus dipelihara. Pemeliharaan alam oleh manusia sebenarnya merupakan wujud tanggung-jawabnya atas mandat Allah untuk menguasai dan mengelola alam ini.
Akan
tetapi manusia
menyalahgunakan
mandat
menguasai tersebut
sehingga kerusakan alamlah yang terjadi. -
Keberadaan hutan dan segala isinya sebagai bagian dari alam sangat penting manfaatnya dalam kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Ketiadaan hutan
disebabkan
oleh
penebangan
pohon-pohon
oleh
manusia
yang
mengakibatkan kerusakan dan merugikan manusia sendiri berserta alam sekitarnya. Manusia dalam mengelola sumber daya hutan seringkali tidak memperhatikan kelestarian hutan tersebut sehingga cenderung ke arah merusak. Untuk itu diperlukan
pengelolaan hutan yang peduli pada pelestarian alam
sebagai perwujudan sikap dan pandangan manusia yang menghargai hutan sebagai ciptaan Allah. B. Saran -
Haruslah menghilangkan kebiasaan menebang pohon-pohon untuk memperluas areal pertanian hortikultura di sekitar kawasan hutan Mahawu.
-
Perlu
adanya
konservasi kawasan hutan Mahawu yang rusak
dengan
melakukan reboisasi atau penghijauan dan mengusahakan pemeliharaan yang berkelanjutan agar hasil dari penghijauan yang dilakukan, baik itu oleh masyarakat, pemerintah atau pun gereja, dapat berhasil. -
Perlu mengembangkan pendidikan etika ekologis secara formal maupun nonformal mulai dari keluarga, sekolah dan gereja sehingga kesadaran untuk menghargai alam lingkungan, khususnya hutan, dimulai sejak dini.
76
DAFTAR PUSTAKA Buku – Buku 1. Ahmadi, H. Abu, dkk, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: PT. Rineka, 1991. 2. Arief Arifin, Hutan Dan Kehutanan, Yogyakarta: Kanisius, 2001. 3. --------------, Hutan, Hakekat Dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994. 4. Bertens, K., Etika, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994. 5. Borrong, R.P., Etika Bumi Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000. 6. Brownlee Malcolm, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997. 7. Deane Celia Drummond, Teologi Dan Ekologis, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001. 8. Erari, P. Karel, Tanah Kita, Hidup Kita, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999. 9. Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar, Yogyakarta: Kanisius, 1987. 10. Fletcher, H. Verne, Lihatlah Sang Manusia!, Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1990. 11. Granberg W dan Michaelson, Menebus Ciptaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994. 12. Irwan, D. Zoer’aini, Ekosistem, Komunitas Dan Lingkungan, Jakarta: Bumi Aksara, 1997. 13. Jasin Maskoeri, Ilmu Alamiah Dasar, Jakarta: PT. Raja Grafindi Persada, 2000. 14. Koentjaraningrat, Metode – Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994. 15. Lasor, W.S., Hubbard, D.A., dan Bush, F.W., Pengantar Perjanjian Lama I, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993. 16. Lempp Walter, Tafsiran Kejadian 1:1 – 4:26, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1964. 17. Milne Antony, Dunia Diambang Kepunahan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
18. Moleong, L.J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999. 19. Nazir Mohamad, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998. 20. PGI, Lima Dokumen Keesaan Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996. 21. Salim, H.S., Dasar – Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta: Sinar Grafika, 1997. 22. Saman Effendi, dkk, Politik Hukum Pengusahaan Hutan Di Indonesia, Jakarta: Walhi, 1993. 23. Soemarwotto, Otto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta: Djambatan, 1994. 24. Stott John, Isu – Isu Global, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2000. 25. Supardan, Ilmu, Teknologi Dan Etika, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996. 26. Suripin, Pelestarian Sumber Daya Tanah Dan Air, Yogyakarta: ANDI, 2002. 27. Usman, H., Akbar, S. Purnomo, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Aksara, 1998. 28. Yusuf Maftuchah, Pendidikan Kependudukan Dan Etika lingkungan, Yogyakarta: Lembaga Studi Dan Inovasi Pendidikan, 2000.
Kamus -
Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa (P3B), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
Artikel Dan Laporan 1. Endey, Jimmy, “Perangkat Kehutanan Dianggap Lemah”, dalam MANADO POST, 14 Oktober 2002. 2. Wowor, Landy, “Hancurnya Hutan DAS Tondano”, dalam KOMENTAR, 22 Januari 2002. 3. Tasiring, John, “Air Kian Mahal Dan Langkah”, dalam MANADO POST, 30 April 2003.
78
4. Data Dasar Profil Desa Rurukan Tahun 2000. 5. Japan International Cooperation Agency (JICA), The Study On Critical Land And Protection Forest Rehabilitation Of Tondano Watershed In The Republic Of Indonesia, Manado, 2000. 6. Sejarah Desa Rurukan, Tomohon, 1998.
Peraturan Pemerintah -
Undang – Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
79
Lampiran I Kejadian 1 : 1-31 1
Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.
2
Bumi belum berbentuk dan
kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.
3
Berfirmanlah Allah: “Jadilah terang”. Lalu terang itu jadi. 5
bahwa semua itu baik, lalu dipisahkan-Nyalah terang itu dari gelap.
4
Allah melihat
Dan Allah menamai
terang itu siang, dan gelap itu malam. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari pertama. 6
Berfirmanlah Allah: “ Jadilah cakrawala di tengah segala air untuk memisahkan air dari
air”.
7
Maka Allah menjadikan cakrawala dan Ia memisahkan air yang ada di bawah
cakrawala itu dari air yang ada di atasnya. Dan jadilah demikian.
8
cakrawala itu langit. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari kedua.
Lalu Allah menamai 9
Berfirmanlah Allah:
“Hendaklah segala air yang di bawah langit bekumpul pada satu tempat, sehingga kelihatan yang kering”. Dan jadilah demikian.
10
Lalu Allah menamai yang kering itu darat, dan
kumpulan air itu dinamai-Nya laut. Allah melihat bahwa semuanya itu baik.
11
Berfirmanlah
Allah: “Hendaklah tanah menumbuhkan tunas-tunas muda, tumbuh-tumbuhan yang berbiji dan segala jenis pohon buah-buahan yang menghasilkan buah yang berbiji, supaya ada tumbuh-tumbuhan di bumi”. Dan jadilah demikian.
12
Tanah itu menumbuhkan tunas-tunas
muda, segala jenis tumbuh-tumbuhan yang berbiji dan segala jenis pohon-pohonan yang menghasilkan buah yang berbiji. Allah melihat bahwa semuanya itu baik. dan jadilah pagi, itulah hari ketiga.
14
13
Jadilah petang
Berfirmanlah Allah: “Jadilah benda-benda penerang
pada cakrawala untuk memisahkan siang dari malam. Biarlah benda-benda penerang itu menjadi tanda yang menunjukkan masa-masa yang tetap dan hari-hari dan tahun-tahun, 15 dan sebagai penerang pada cakrawala biarlah benda-benda itu menerangi bumi”. Dan jadilah demikian.
16
Maka Allah menjadikan kedua benda penerang yang besar itu, yakni yang lebih
besar untuk menguasai siang dan yang lebih kecil untuk menguasai malam, dan menjadikan juga bintang-bintang. 18
17
Allah menaruh semuanya itu di cakrawala untuk menerangi bumi,
dan untuk menguasai siang dan malam, dan untuk memisahkan terang dari gelap. Allah
melihat bahwa semuanya itu baik.
19
Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keempat.
20
Berfirmanlah Allah: “Hendaklah dalam air berkeriapan makhluk yang hidup, dan di atas bumi melintasi cakrawala”.
hendaklah burung beterbangan
21
Maka Allah
menciptakan binatang-binatang laut yang besar dan segala jenis makhluk hidup yang bergerak, yang berkeriapan dalam air, dan segala jenis burung yang bersayap. Allah melihat bahwa semuanya itu baik.
22
Lalu Allah memberkati semuanya itu, firman-Nya:
“Berkembangbiaklah dan bertambah banyaklah serta penuhilah air dalam laut, dan hendaklah burung-burung di bumi bertambah banyak”. kelima.
24
23
Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari
Berfirmanlah Allah: “Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa
Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi”. 27
Maka Allah menciptakan manusia itu menurut bambar-Nya, menurut gambar Allah
diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.
28
Allah memberkati
mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”.
29
Berfirmanlah Allah: “Lihatlah,
Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu.
30
Tetapi
kepada segala binatang di bumi dan segala yang merayap di bumi, yang bernyawa, Kuberikan segala tumbuh-tumbuhan hijau menjadi makanannya”. Dan jadilah demikian.
31
Maka Allah
melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keenam.
Lampiran II Daftar Pertanyaan 1. Apa yang saudara pahami tentang hutan ? 2. Apa manfaat hutan bagi saudara ? 3. Bagaimana pendapat saudara tentang kondisi hutan Mahawu sekarang ? 4. Menurut saudara, kerusakan hutan Mahawu sekarang ini disebabkan oleh apa? 5. Adakah usaha dari pemerintah/ gereja untuk mengadakan penghijauan atau menghutankan kembali hutan Mahawu ? 6. Siapa yang pernah melakukan penghijauan atau reboisasi ? kapan dan dalam rangka apa ? 7. Apa yang mendorong saudara untuk melakukan penghijauan? 8. Apa yang saudara harapkan dari kegiatan penghijauan ini? 9. Apakah dengan melakukan penghijauan di hutan Mahawu, saudara telah menghargai ciptaan Tuhan? 10. Menurut saudara, bagaimana sikap yang seharusnya dalam menghargai ciptaan Tuhan (dalam hal ini hutan Mahawu)? 11. Apakah
dengan
melakukan
penghijauan
saja
telah
menggambarkan
rasa
menghargai saudara terhadap ciptaan Tuhan (khususnya H. Mahawu)? 12. Apakah saudara pernah mendengar dari pemerintah atau gereja (lewat khotbah atau
penyuluhan)
mengenai pelestarian
lingkungan hidup,
khususnya hutan
Mahawu? 13. Apakah keadaan hutan Mahawu memberi pengaruh bagi kehidupan masyarakat Rurukan ? 14. Apakah kondisi hutan Mahawu membawa pengaruh bagi ketersediaan sumber air di Rurukan ? 15. Bagaimana perbedaan debit air di musim penghujan dan kemarau ? 16. Apa manfaat air bagi saudara ?
Lampiran III
Daftar Nama Responden No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32.
Nama Welem Palit (WP) Adolof Mamuaya (AM) Charles Mamuaya (CM) Bertje Kaunang (BK) Noldy Mangulu (NM) Adri Rumimper (AR) Robi Worang (RW) Albert Kumowal (AK) Fery Pangalila (FP) Vemmy Kalale (VK) Lambert Kaparang (LK) Gertje Kaparang (GK) Jacob Turangan (JT) Ny.M.Tindas-Ngantung (MTN) Ny.M.Palit-Mamuaya (MPM) Ny.S.Bogia-Palit (SBP) Ny.M.Mogan-Mamuaya (MMM) Johanes Kalale (JK) Ny.M.Lengkong-Pelealu (MLP) Ny.E.Turangan-Kaparang (ETK) Ny.Y.Lengkong-Mangundap (YLM) Ny.J.Laluan-Turangan (JLT) Ny.L.E.Palit-Mamuaya (LPM) Ny.Kaunang-Kumowal (KK) Johni Roring (JR) Yantje Posumah (YP) Wempie Kumowal (WK) Welem Wowiling (WW) Supit Ambouw (SA) Olga Moningka (OM) Tironeh Kaparang (TK) Yantje Kalale (YK)
Pendidikan SD SD SMP SD SMEA SMA SPG SD SMP SD SMP SMA SMP SPG SPG SMA SPG SMA SMA SPG SPG SPG SPG SPG D3 SPG SD SMP SMA SMEA SMA SD
Pekerjaan Tani Tani Tani Tani Tani Tani Guru SMP Tani Tani Ibu RT Tani Ibu RT Tani Guru SD Guru SD Ibu RT Guru SD Tani Guru TK Guru SMP Guru SMP Guru SD Guru SD Guru SD Guru SMP Tani/Pembuat gula Tani/Pembuat gula Swasta Tani Pegawai swasta Swasta Tani