KAJIAN EKOLOGI EKOSISTEM LAMUN SEBAGAI DASAR PENYUSUNAN STRATEGI PENGELOLAAN PESISIR DI DESA BAHOI SULAWESI UTARA
MUHAMMAD FAHRUDDIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Ekologi Ekosistem Lamun sebagai Dasar Penyusunan Strategi Pengelolaan Pesisir Di Desa Bahoi Sulawesi Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2017 Muhammad Fahruddin NRP C251124051
RINGKASAN MUHAMMAD FAHRUDDIN. Kajian Ekologi Ekosistem Lamun sebagai Dasar Penyusunan Strategi Pengelolaan Pesisir Di Desa Bahoi Sulawesi Utara. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA dan ISDRADJAD SETYOBUDIANDI. Ekosistem lamun merupakan produsen primer dalam rantai makanan di perairan laut dengan produktivitas primer berkisar antara 900-4650 gC/m2/tahun. Pertumbuhan, morfologi, kelimpahan dan produktivitas primer lamun pada suatu perairan umumnya ditentukan oleh ketersediaan zat hara fosfat, nitrat dan ammonium. Fungsi ekosistem lamun sebenarnya melengkapi ekosistem mangrove dan terumbu karang. Laju produksi ekosistem lamun diartikan sebagai pertambahan biomassa lamun selang waktu tertentu dengan laju produksi (produktivitas) yang sering dinyatakan dengan satuan berat kering per m² per hari (gbk/m²/hari). Bila dikonversi ke produksi karbon maka produksi biomassa lamun berkisar antara 5001000 gC/m²/tahun bahkan dapat lebih dua kali lipat. Produksi yang didapatkan bisa lebih kecil dari produksi yang sebenarnya karena tidak memperhitungkan kehilangan serasah dan pengaruh grazing oleh hewan-hewan herbivora yang memanfaatkan lamun sebagai makanan. Lamun juga merupakan pondasi bagi sebuah ekosistem dan sebagai produsen primer, dimana habitatnya seringkali sebagai wadah yang mendukung kehidupan ikan-ikan dan krustasea muda. Kegiatan pembangunan di wilayah pesisir Desa Bahoi diperkirakan mempengaruhi ekosistem lamun, seperti kegiatan pembangunan daerah pantai, lalu lintas kapal/perahu, pembuatan kapal, pencemaran minyak, pembuangan sampah, aliran drainase, MCK (mandi, cuci, kakus) dan aktivitas penangkapan langsung di daerah lamun seperti menjaring dan menombak akan berdampaka pada lamun. Kegiatan seperti ini secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan lamun, sehingga pertumbuhan, produksi ataupun biomassanya akan mengalami penyusutan. Tujuan penelitian ini untuk menganalisa struktur komunitas dan produktifitas lamun serta menganalisis proses gangguan produktifitas lamun dan strategi pengelolaannya. Metode yang digunakan adalah dengan pengambilan contoh purpose sampling berdasarkan pendekatan habitat mangrove, lamun, dan habitat terumbu karang. Stasiun 1 (dekat mangrove), stasiun 2 (lamun), dan stasiun 3 (dekat terumbu karang) yang masing-masing diulang sebanyak 3 kali, sehingga diperoleh sembilan kuadran yang berukuran 150x50 cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan enam jenis lamun yaitu E. acoroides, T. hemprichii, C. rotundata, S. isoetifolium, H. ovalis dan H. uninervis. Struktur komunitas lamun pada stasiun dekat mangrove memiliki nilai tertinggi dan produktifitas dalam hal ini biomassa tertinggi terdapat pada stasiun 2 habitat lamun dengan jenis yang berukuran besar seperti E. acoroides dan T. hemprichii memiliki nilai tertinggi pada seluruh parameter pengamatan. Hal ini karena jenis lamun ini memiliki penyebaran yang luas dan secara morfologi memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan jenis lainnya. Strategi pengelolaan dari hasil analisis SWOT adalah menyelenggarakan pelatihan-pelatihan pengelolaan lamun (ekowisata dan kebun bibit) dan mengontrol
pemanfaatan lamun berbasis masyarakat akan memberikan manfaat dalam meningkatkan pemahaman dan pendapatan masyarakat serta mengurangi resiko kerusakan ekosistem lamun dan ekosistem pesisir lainnya. Kata kunci : ekosistem lamun, strategi pengelolaan lamun, Bahoi, Sulawesi Utara.
SUMMARY MUHAMMAD FAHRUDDIN. A Study on Seagrass Ecosystem Ecology as a Basis of Preparation of Strategy for Coastal Management in Bahoi Village, North Sulawesi. Supervised: FREDINAN YULIANDA and ISDRADJAD SETYOBUDIANDI. Seagrass ecosystem is the primary producer in the marine food chain and its primary productivity ranges between 900-4650 gC/m2/year. Growth, morphology, abundance and primary productivity of Seagrass in the waters are generally determined by the availability of nutrients such as phosphate, nitrate and ammonium. The function of Seagrass ecosystem indeed complements mangrove and coral reef ecosystems. Production rate of Seagrass ecosystem is defined as the increased in Seagrass biomass at specified interval with production rate (productivity), which is often expressed in units of dry weight per m² per day (gbk/m²/day). If it is converted to carbon production, then the Seagrass biomass production shall be ranged between 500-1000 gC/m²/year and even it could be doubled. The production obtained can be smaller than the actual production because the loss of litter and the effect of grazing by herbivorous animals consuming seagrass as food are not taken into account. Seagrass is also the foundation for an ecosystem and as a primary producer, where the habitat is often used as a place supporting the lives of fish and young crustaceans. The development activities in the coastal areas at Bahoi Village are assumed to affect Seagrass ecosystem, such as the development activities of coastal area, marine traffic, shipbuilding, oil pollution, waste disposal, drainage, sanitary facilities (a facility for bathing, washing, as well as serving as a lavatory) and direct fishing activities in the Seagrass area such as catching and piking will affect Seagrass. This kind of activity shall affect the lives of Seagrass either directly or indirectly, so that the growth, production or biomass will experience shrinkage. The aims of this study are to analyze the community structure and productivity of Seagrass and analyze the process of Seagrass productivity disturbances as well as its management strategy. The method used in collecting the sample was purposive sampling based on approach to mangrove, Seagrass and coral reef habitats. Station 1 (near to the mangrove), station 2 (Seagrass), and station 3 (near to coral reefs) are respectively repeated 3 times, in order to obtain the nine quadrants measuring 150x50 cm. The results showed that there were six species of Seagrass, such as E. acoroides, T. hemprichii, C. rotundata, S. isoetifolium, H. ovalis and H. uninervis. Structure of Seagrass community in the station, which was near to mangrove had the highest score while in this case of productivity, the highest biomass was in station 2 of Seagrass habitat with large species such as E. acoroides and T. hemprichii. They have the highest value in the whole observation parameter. It is because that these seagrass species has wide distribution and morphologically they have larger size than other species. Management strategies from the result of SWOT analysis is to conduct Seagrass management training (ecotourism and nurseries) and control the use of community-based Seagrass because that will be beneficial in improving public
understanding and incomes as well as reduce the risk of damage to Seagrass ecosystem and other coastal ecosystems. Keywords: seagrass ecosystem, seagrass management strategy, Bahoi, North Sulawesi
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KAJIAN EKOLOGI EKOSISTEM LAMUN SEBAGAI DASAR PENYUSUNAN STRATEGI PENGELOLAAN PESISIR DI DESA BAHOI SULAWESI UTARA
MUHAMMAD FAHRUDDIN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Etty Riani, MS
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhannahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini yaitu Kajian Ekologi Ekosistem Lamun sebagai Dasar Penyusunan Strategi Pengelolaan Pesisir Di Desa Bahoi Sulawesi Utara. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc dan Bapak Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc selaku pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah Iskandar Bckn., S. Sos., MM, Ibu Sry Suhada Abdullah Qisman Amry, S.Pd, Kakak Fahri Rahman, Adik Muhammad Aditya Warman dan Anita Prihatini Ilyas S.Pi., M.Si, atas segala doa, motivasi dan kasih sayangnya. Selain itu ucapan terima kasih juga disampaikan untuk seluruh rekan-rekan SDP 12 yang telah memberi bantuan berupa saran dan pemikiran. Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu di Laboratorium Produktivitas Lingkungan MSP FPIK IPB, Laboratorium Pakan Ikan BDP FPIK IPB, Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB, PT. Water Laboratory Nusantara (WLN) Manado Sulawesi Utara, Pemberdayaan & Pendidikan Konservasi Alam (YAPEKA), Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) IPB, dan Bapak Maxi Lahading dan Opi yang telah membantu di lapangan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2017 Muhammad Fahruddin
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
xiv xv xv
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 3 4 4
2 METODE Waktu dan Lokasi Alat dan Bahan Prosedur Penelitian Analisis Data Analisis SWOT
5 6 6 7 10 11
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
12
6 KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
35 35 35
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
35 43 53
DAFTAR TABEL 1 Alat dan bahan yang digunakan dalam mengukur parameter fisika, kimia dan biologi perairam 2 Estimasi/penilaian tutupan lamun 3 Kriteria status penutupan lamun 4 Faktor strategi internal 5 Faktor strategi eksternal 6 Diagram matriks SWOT 7 Nilai rata-rata parameter kualitas air 8 Inkdeks Nilai Penting 9 Rata-rata kandungan nutrien dan tekstur substrat 10 Matriks pengelolaan ekosistem lamun 11 Rangking alternatif strategi
6 9 9 11 12 12 13 23 26 30 32
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6
Skema pendekatan masalah Peta lokasi penelitian Kerapatan jenis (A) dan kerapatan relatif (B) Frekuensi jenis(A) dan frekuensi relatif (B) Penutupan jenis (A) dan penutupan relatif (B) Biomassa
5 6 17 20 22 24
DAFTAR LAMPIRAN 1. Rata-rata kerapatan jenis lamun antar stasiun 2. Analisis sidik ragam (ANOVA) kerapatan jenis lamun antar stasiun 3. Uji lanjut Duncan kerapatan jenis lamun antar stasiun 4. Rata-rata kerapatan relatif lamun antar stasiun 5. Analisis sidik ragam (ANOVA) kerapatan relatif antar stasiun 6. Uji lanjut Duncan kerapatan relatif lamun antar stasiun 7. Rata-rata frekuensi jenis lamun antar stasiun 8. Analisis sidik ragam (ANOVA) frekuensi jenis lamun antar stasiun 9. Uji lanjut Duncan frekuensi jenis lamun antar stasiun 10. Rata-rata Frekuensi Relatif lamun antar stasiun 11. Analisis sidik ragam (ANOVA) frekuensi relatif lamun antar stasiun 12. Uji lanjut Duncan frekuensi relatif lamun antar stasiun 13. Rata-rata tutupan jenis lamun antar stasiun 14. Analisis sidik ragam (ANOVA) tutupan jenis lamun antar stasiun 15. Uji lanjut Duncan tutupan jenis lamun antar stasiun 16. Rata-rata tutupan relatif lamun antar stasiun 17. Analisis sidik ragam (ANOVA) tutupan relatif lamun antar stasiun 18. Uji lanjut Duncan tutupan relatif lamun antar stasiun 19. Rata-rata Biomassa jenis lamun antar stasiun 20. Analisis sidik ragam (ANOVA) Biomassa lamun antar stasiun 21. Uji lanjut Duncan biomassa lamun antar stasiun 22. Analisis sidik ragam (ANOVA) substrat antar stasiun 23. Uji lanjut Duncan substrat antar stasiun 24. Tingkat kepentingan faktor strategi internal dalam pengelolaan kawasan ekosistem lamun 25. Tingkat kepentingan faktor eksternal dalam pengelolaan kawasan ekosistem lamun 26. Penilaian bobot faktor strategi internal dalam pengelolaan ekosistem lamun 27. Penilaian bobot faktor strategi eksternal dalam pengelolaan ekosistem lamun 28. Matrik IFE 29. Matrik EFE
42 42 42 43 43 43 44 44 45 45 45 46 46 46 47 47 48 48 49 49 49 50 50 50 51 51 51 51 52
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Lamun merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki kemampuan beradaptasi secara penuh di perairan yang memiliki fluktuasi salinitas tinggi, hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizome, daun dan akar sejati. Hamparan vegetasi lamun yang menutupi suatu area pesisir disebut sebagai padang lamun (seagrass bed). Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem perairan yang produktif dan penting, hal ini berkaitan dengan fungsinya sebagai stabilitas dan penahan sedimen, mengembangkan sedimentasi, mengurangi dan memperlambat pergerakan gelombang, sebagai daerah feeding, nursery dan spawning ground, sebagai tempat berlangsungnya siklus nutrien (Philips & Menez 2008), dan fungsinya sebagai penyerap karbon di lautan (carbon sink) atau dikenal dengan istilah blue carbon dan digunakan untuk proses fotosintesis (Kawaroe 2009). Habitat lamun merupakan komponen penting pada lingkungan perairan laut, seperti siklus nutrisi, penyediaan makanan, dan penanggulangan perubahan iklim (Orth et al. 2006; Waycott et al. 2009). Menurut Kusnadi et al. (2008), lamun merupakan salah satu ekosistem yang sangat penting, baik secara fisik maupun biologis. Selain sebagai stabilisator sedimen dan penahan endapan, ekosistem lamun berperan sebagai produsen utama dalam jaring-jaring makanan. Ekosistem lamun merupakan produsen primer dalam rantai makanan di perairan laut dengan produktivitas primer berkisar antara 900-4650 gC/m2/tahun. Pertumbuhan, morfologi, kelimpahan dan produktivitas primer lamun pada suatu perairan umumnya ditentukan oleh ketersediaan zat hara fosfat, nitrat dan ammonium (Green & Short 2003). Sejak tahun 1980 sampai sekarang, diperkirakan lamun di dunia telah mengalami degradasi 54 % (Bjork et al. 2008). Fungsi ekosistem lamun sebenarnya melengkapi ekosistem mangrove dan terumbu karang. Lamun juga merupakan pondasi bagi sebuah ekosistem dan sebagai produsen primer, dimana habitatnya seringkali sebagai wadah yang mendukung kehidupan ikan-ikan dan krustasea muda (Hori et al. 2009; Watson et al. 1993; Benstead et al. 2006). Lamun melindungi organisme-organisme tersebut dari para predator (Barbier et al. 2011). Selain sebagai produsen primer dan habitat biota, lamun juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai penangkap sedimen dan pendaur zat hara (Azkab 1999). Memiliki peran kunci membuat lamun dapat berfungsi sebagai indikator yang baik bagi sebuah lingkungan perairan (Paynter et al. 2001; Vichkovitten 1998 ). Selanjutnya ditambahkan Bjork et al. (2008) selain memiliki peranan ekologis, lamun juga berperan dalam pemenuhan kebutuhan hidup manusia yaitu digunakan sejak lama sebagai pengisi kasur, penutup atap rumah dan pupuk tanaman, beberapa spesies lamun benihnya dapat dimakan oleh manusia. Sehingga tumbuhan lamun yang beranekaragam serta berlimpahnya organisme yang beraososiasi dengan ekosistem lamun dapat dimanfaatkan sebagai tempat pemancingan, wisata bahari, bahan baku pakan buatan untuk ikan dan hewan ternak, sumber pupuk hijau, areal marikultur (ikan, teripang, karang, tiram dan rumput laut), bahan baku kerajinan anyaman, dan sebagainya (Dahuri et al. 2001). Laju produksi ekosistem lamun diartikan sebagai pertambahan biomassa
2 lamun selang waktu tertentu dengan laju produksi (produktivitas) yang sering dinyatakan dengan satuan berat kering per m² per hari (gbk/m²/hari). Bila dikonversi ke produksi karbon maka produksi biomassa lamun berkisar antara 5001000 gC/m²/tahun bahkan dapat lebih dua kali lipat. Produksi yang didapatkan bisa lebih kecil dari produksi yang sebenarnya karena tidak memperhitungkan kehilangan serasah dan pengaruh grazing oleh hewan-hewan herbivora yang memanfaatkan lamun sebagai makanan (Azkab 2000). Produktivitas lamun dibatasi terutama oleh ketersediaan hara dan cahaya (Peterson dan Heck 1999; Ruiz dan Romero 2003), ditambahkan dalam (McKenzie, 2008) bahwa lamun membutuhkan 4,4-20% cahaya permukaan serta suhu < 40oC. Newmaster et al. (2011) menyatakan bahwa lamun menyukai substrat berlumpur, berpasir, tanah liat, ataupun substrat dengan patahan karang serta pada celah-celah batu. Tumbuh subur di bawah kondisi cahaya yang baik dan substrat yang stabil (Gartside et al. 2013; Bjork et al. 2008; McKenzie 2008; Holmer dan Kendrick 2012), namun tidak dapat hidup pada daerah dengan paparan gelombang yang tinggi dan arus yang kuat karena akan terjadi transportasi sedimen yang berlebihan sehingga dapat mengubur lamun (Koch et al. 2006). Penyebarannya sendiri dipengaruhi oleh faktor abiotik dan biotik seperti yang diungkapkan dalam Borum et al. (2004), dan pola distribusinya dapat berubah dengan cepat, hal ini terkait dengan respon lamun terhadap perubahan lingkungan (Bjork et al. 2008) terutama oleh variasi rendaman dan cahaya yang melalui kolom air (Mateo et al. 2006). Suatu yang sangat ironis jika diperhatikan fungsi lamun yang begitu penting tetapi di sisi lain perhatian terhadap ekosistem ini sangat kurang . Jika melihat dua hal mendasar, 1) sebaran dan luasan ekosistem lamun di Indonesia; serta 2) tingkat kerusakan ekosistem lamun di Indonesia. Jawaban yang didapatkan adalah sebaran secara kualitatif, tetapi luasan tidak pernah didapatkan. Adapun jawaban yang kedua jangan harap akan ada penjelasan untuk skop nasional. Pertumbuhan dan kepadatan lamun sangat dipengaruhi oleh pola pasang surut, turbiditas, salinitas dan temperatur perairan. Kegiatan manusia di wilayah pesisir seperti perikanan, pembangunan perumahan, pelabuhan dan rekreasi, baik langsung maupun tidak langsung juga dapat mempengaruhi eksistensi lamun. Oleh karena itu segala bentuk perubahan di wilayah pesisir akibat aktivitas manusia yang tidak terkontrol dapat menimbulkan gangguan fungsi sistem ekologi ekosistem lamun. Fenomena ini akan berpengaruh terhadap hilangnya unsur lingkungan seperti daerah pemijahan, nursery ground bagi ikan maupun udang. Banyak kegiatan pembangunan di wilayah pesisir telah mengorbankan ekosistem lamun, seperti kegiatan di pesisir Desa Bahoi yang mana kegiatannya adalah pembangunan daerah pantai, lalu lintas kapal/perahu, pembuatan kapal, pembuangan sampah, aliran drainase dan MCK (mandi, cuci, kakus). Kegiatan seperti ini secaa tidak langsung maupun langsung akan berdampak pada kehidupan dan pertumbuhan lamun. Menurut data yang diperoleh telah terjadi pengurangan terhadap luasan kawasan ekosistem lamun, sehingga pertumbuhan, produksi ataupun biomassanya akan mengalami penyusutan. Di sisi lain masih kurangnya upaya yang diberikan untuk menyelamatkan ekosistem ini. Meskipun data mengenai kerusakan ekosistem lamun tidak tersedia tetapi faktanya sudah banyak mengalami degradasi akibat aktivitas di darat. Dampak nyata dari degradasi ekosistem lamun mengarah pada menurnnya keragaman biota laut sebagai akibat hilang atau menurunnya fungsi ekologi dari ekosistem ini. Upaya rehabilitasi
3 menjadi isu yang penting untuk dipikirkan bersama, seperti kegiatan transplantasi lamun pada suatu habitat yang telah rusak dan penanaman lamun buatan untuk menjaga kestabilan dan mempertahankan produktivitas perairan. Perumusan Masalah Ekosisitem lamun merupakan ekosistem perairan pantai yang banyak dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang dilakukan di darat maupun di laut seperti yang terjadi di perairan Desa Bahoi Minahasa Utara. Daerah ekosistem lamun di Desa Bahoi Minahasa Utara merupakan salah satu daerah penangkapan ikan bagi nelayan tradisional. Tangkapan utama para nelayan ini berupa ikan lencam (Lethrinidae), baronang (Siganidae), dan kakatua (Lebridae). Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan tradisional, saat ini terjadi penurunan kelimpahan dan ukuran ikan. Penurunan kelimpahan dan ukuran ini diduga terjadi akibat adanya degradasi lingkungan, khususnya lamun. Degradasi lamun diakibatkan oleh ancaman yang berasal dari pengaruh alami dan aktivitas manusia. Ancaman yang terlihat jelas dan mendominasi degradasi lamun di perairan Desa Bahoi berasal dari pengaruh antropogenik. Ancaman tersebut meliputi pembangunan daerah pantai, lalu lintas kapal/perahu, perbaikan kapal/perahu, pembuangan sampah rumah tangga, aliran (drainase) limbah domestik, dan MCK (mandi,cuci, kakus). Ancaman-ancaman yang telah disebutkan diatas akan berdampak terhadap lamun. Dampak tersebut memberikan kerusakan fisik lamun oleh jangkar, balingbaling dan pencemaran oleh minyak, cat, dempul dan bahan kimia lainnya yang digunakan dapat mencemari lingkungan. Tertutupnya lamun oleh sampah mengurangi intensitas cahaya yang diterima oleh lamun. Meningkatnya kadar nutrien akan mengakibatkan berkurangnya cahaya yang diterima oleh lamun untuk fotosintesis. MCK juga dapat meningkatkan bahan organik serta bahan polutan yang dapat mengganggu pertumbuhan lamun. Selain itu perairan pantai Desa Bahoi banyak dimanfaatkan sebagai wilayah pemukiman, industri dan perikanan yang semua buangan dari berbagai aktivitas tersebut masuk ke dalam ekosistem lamun. Aktivitas manusia yang berlangsung secara terus menerus dan kesadaran pengguna dalam pemanfaatan sumberdaya dapat menyebabkan kerusakan ekosistem lamun dan juga akan berpengaruh terhadap struktur komunitas dan pertumbuhan. Struktur komunitas dan produktivitas lamun banyak dipengaruhi oleh seluruh aktivitas yang berlangsung disekitarnya. Aktivitas tersebut ada yang berdampak positif dan negatif bagi komunitas lamun. Dampak positifnya adalah lamun memperoleh kebutuhan hara dalam bentuk fosfat dan nitrat yang dibutuhkan dalam proses pertumbuhannya maupun perkembangbiakannya akan tetapi di lain pihak material yang diterimanya akan berdampak merugikan dan menjadi penghalang dalam pertumbuhan maupun perkembangbiakannya. Peningkatan kekeruhan perairan, penempelan partikel pada daun lamun dan meningkatnya populasi epifit yang menempel pada daun lamun akibat eutrofikasi sangat mengganggu proses fotosintesis, bahkan dapat mengancam keberadaan ekosistem lamun. Mengingat besarnya pengaruh aktivitas manusia terhadap struktur komunitas dan produktivitas lamun. Lamun sangat membutuhkan kondisi
4 yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya. Selain itu kecepatan arus sangat berpengaruh terhadap substrat dasar perairan akan semakin kasar biasanya terdiri dari pasir dan pecahan karang sedangkan apabila arusnya lambat substrat dasar perairan kebanyakan terdiri dari lumpur dan pasir halus yang diduga banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan lamun. Tingginya aktivitas yang terjadi di kawasan ini dikhawatirkan dapat mengancam keberadaan sumberdaya ikan yang berasosiasi dengan ekosistem lamun seperti yang telah terjadi di Banten dan mengganggu fungsi fisik dan ekologis lamun. Oleh karena itu, pengelolaan ekosistem lamun di kawasan pesisir yang merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan agar dapat meminimalkan dampak negatif terhadap kerusakan sumberdaya ekosistem lamun sehingga lingkungan ekosistem lamun dikawasan pesisir tetap lestari. Selain itu juga diperlukan usaha peningkatan kesadaran dan peran serta masyarakat pengguna dan pemanfaat ekosistem lamun. Skema pendekatan masalah dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
Tujuan Penelitian 1. 2.
Menganalisis struktur komunitas dan produktivitas lamun. Menganalisis proses gangguan ekologi lamun dan upaya pengelolaannya. Manfaat Penelitian
1. 2. 3.
Menghasilkan data tentang struktur komunitas dan kondisi oseanografi perairan yang dapat membatasi produktivitas lamun maupun peranan lamun. Mengetahui produktivitas lamun dalam hubungannya dengan parameter lingkungan melalui pendugaan biomassa lamun. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengelolaan ekosistem lamun.
5 Karakteristik Lamun
• Pelindung pantai • Penghasil oksigen dan mereduksi CO2 di dasar perairan • Daerah tangkapan ikan • Bahan kerajinan dan obat
• • • •
Sumber utama produktivitas primer Penstabil dasar perairan Tempat berlindung bagi biota Tempat perkembangbiakan, pengasuhan serta sumber makanan bagi biota
Pemanfaatan Perikanan : • Banyak jenis ikan bernilai ekonomis penting hidup di lingkungan lamun Wisata : • Memperlambat air yang disebabkan oleh arus dan ombak • Pembangunan rumah terapung • Pembangunan lahan pemancingan Konservasi : • Melindungi habitat krisis • Mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya ekosistem lamun • Melindungi keanekaragaman hayati ekosistem lamun • Melindungi struktur dan fungsi serta proses-proses ekologi ekosistem lamun
Anthropogenic stress • Lalu lintas kapal/perahu yang berdampak pada kerusakan fisik lamun oleh jangkar, baling-baling, pencemaran perairan oleh tumpahan minyak • Pembuangan sampah rumah tangga akan berdampak pada tertutupnya lamun oleh sampah mengurangi intensitas cahaya yang akan diterima lamun • Aliran (drainase) limbah domestik akan meningkatkan kadar nutrien dan kekeruhan mengakibatkan berkurangnya cahaya yang diterima oleh lamun untuk fotosintesis • MCK (mandi, cuci dan kakus) dapat meningkatkan bahan organik serta bahan polutan yang dapat mengganggu pertumbuhan lamun.
Strategi Pengelolaan \ Gambar 1. Skema pendekatan masalah
2 METODE Metode penelitian yang digunakan adalah berupa percobaan langsung di lapangan, dengan menggunakan teknik pengambilan contoh secara Purposive sampling. Tahapan penelitian dilakukan dengan persiapan penelitian meliputi survey lapangan yang kemudian dilanjutkan dengan penentuan stasiun penelitian, pengambilan sampel lamun dan substrat serta beberapa parameter pendukung berupa data kualitas air. Data yang diperoleh berupa kerapatan, frekuensi, penutupan, biomassa, fraksi substrat dan unsur hara substrat.
6 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2015 di Desa Bahoi, Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara (Gambar 2), Laboratorium Nutrisi dan Pakan Ikan BDP, FPIK, IPB, Laboratorium Ilmu Tanah, FP, IPB dan PT. Water Laboratory Nusantara (WLN), Manado, Sulawesi Utara. Perlakuan dan pengambilan contoh langsung dilakukan di lapangan.
Gambar 2 Peta lokasi penelitian Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan untuk mengukur parameter fisika, kimia dan biologi perairan dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Alat dan bahan yang digunakan dalam mengukur parameter fisika, kimia dan biologi perairan. Parameter Satuan Alat Keterangan Fisika o Suhu C Termometer In Situ kedalaman cm Meteran Roll In Situ Salinitas ppm Hand Refractometer In Situ Kekeruhan NTU Turbidimeter Lab. Kimia Oksigen terlarut mg/l DO Meter In Situ pH pH Meter In Situ Nitrat mg/l Spektrofotometer Lab
7 Fosfat Biologi Kerapatan Frekuensi Penutupan Biomassa
mg/l
Spektrofotometer
Lab
Individu/m² % % gram
Kuadran Kuadran Kuadran Timbangan, oven
In Situ In Situ In Situ Lab.
Prosedur Penelitian Sebelum melakukan pengambilan sampel hal yang perlu dilakukan adalah penentuan stasiun pengamatan. Dalam Penelitian ini jumlah stasiun telah ditetapkan sebanyak tiga stasiun. Jarak dan letak stasiun ditentukan berdasarkan pendekatan habitat mangrove, lamun dan terumbu karang (coral). Stasiun 1 (dekat mangrove), stasiun 2 (habitat lamun), stasiun 3 (dekat terumbu karang). Setiap stasiun memiliki masing-masing tiga ulangan yang merupakan stasiun pengamatan dengan jarak yang berbeda-beda, sehingga dalam penelitian ini terdapat sembilan transek kuadran yang berukuran 150x50 cm. Pengukuran Kualitas Air Pengukuran parameter kualitas air dilakukan dengan cara pengukuran langsung di lapangan (In Situ) dan pengambilan sampel untuk dianalisis di laboratorium. Parameter yang diukur secara langsung di lapangan meliputi suhu, kedalaman, salinitas, pH dan oksigen terlarut. Sedangkan sampel air yang tidak dapat diukur langsung di lapangan meliputi nitrat, fosfat dan kekeruhan, dimasukkan kedalam “coolbox” yang berisi es dengan tujuan agar sampel air tidak rusak dalam perjalanan untuk dianalisis di laboratorium. Kerapatan Jenis Kerapatan jenis (Ki) lamun adalah jumlah total individu dalam satu unit area (English et al. 1994). Kerapatan jenis lamun dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :
Ki =
Ni A
Keterangan : Ki = Kerapatan jenis (ind/m²) Ni = Jumlah total tegakan individu spesies ke-i A = Luas area total pengambilan sampel Kerapatan Relatif Kerapatan relatif (KRi) merupakan perbandingan antara jumlah individu jenis ke-i dengan jumlah total individu seluruh jenis (English et al. 1994).
8 KRi =
Ni x100 Σn
Keterangan : KRi = Kerapatan jenis relatif Ni = Jumlah total tegakan individu spesies ke-i Σn = Jumlah total tegakan seluruh spesies
Frekuensi Jenis Frekuensi jenis adalah peluang ditemukannya suatu jenis lamun dalam area atau petak yang diamati. Frekuensi jenis dapat menggambarkan seberapa sering suatu jenis lamun muncul pada area tertentu (Brower et al. 1988). Frekuensi jenis dirumuskan sebagai berikut : Fi =
𝑃𝑖 ∑𝑃𝑡=1 Pi
Keterangan : Fi = Frekuensi spesies ke-i Pi = Jumlah petak contoh dimana ditemukan spesies ke-i 𝑃 ∑𝑡=1 Pi= Jumlah total petak contoh yang diamati Frekuensi Relatif Frekuensi relatif (FRi) merupakan perbandingan antara frekuensi jenis ke-i (Fi) dengan frekuensi seluruh jenis (Brower et al. 1988). Frekuensi relatif dapat dirumuskan sebagai berikut : FRi =
Fi ∑𝑃𝑡=1 Fi
𝑥100
Keterangan : FRi = Frekuensi relatif Fi = Frekuensi spesies ke-i ∑𝑝𝑡=1 Fi = Jumlah frekuensi seluruh spesies Penutupan Jenis (Persentase Tutupan) Analisa persentase tutupan lamun menggunakan metode Rapid Assesment. Menurut English et al. 1994, untuk menentukan persentase tutupan (Ci) pada setiap 50 x 50 cm kuadran adalah menggunakan rumus sebagai berikut : Ci =
Σ(Mixfi) Σfi
9 Keterangan : Mi = Mid Point (titik tengah) fi = Frekuensi kemunculan spesies ke-i Σf = Jumlah total frekuensi kemunculan seluruh spesies Tabel 2 Etimasi/penilaian tutupan lamun Class Jumlah substratum yang % substratum yang ditutupi ditutupi 5 ½ - seluruh 50 – 100 4 ¼-½ 25 – 50 3 1/8 – ¼ 12,5 – 25 2 1/16 – 1/8 6,25 – 12,5 1 < 1/16 < 6,25 0 Tidak ada lamun 0
Titik tengah (Mi) 75 37,5 18,75 9,38 3,13 0
Kemudian kondisi ekosistem lamun di daerah pengamatan ditentukan statusnya menurut kriteria Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004, dengan kriteria seperti pada Tabel 3. Tabel 3 Kriteria status penutupan lamun Kondisi Penutupan (%) Baik Kaya/Sehat Sedang Kurang Kaya/Kurang Sehat Rusak Miskin
> 60 % 30 % - 59,9 % < 29,9 %
Penutupan Relatif Persentase penutupan relatif (CRi) merupakan perbandingan antara penutupan individu jenis ke-i dengan jumlah penutupan seluruh jenis seperti yang dirumuskan oleh Mc Kenzie et al. 2009 sebagai berikut : Ci
CRi = ∑𝑝
x100
𝑡=1 Ci
Keterangan : CRi = Penutupan relatif Ci = Luas area yang tertutupi spesies ke-i 𝑝 ∑𝑡=1 Ci = Penutupan seluruh spesies Indeks Nilai Penting Indeks nilai penting lamun (INP) digunakan untuk menghitung dan menduga secara keseuruhan dari peranan satu spesies di dalam suatu komunitas. Indeks nilai penting (INP) berkisar antara 0-3. INP memberikan gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan terhadap suatu daerah. Semakin tinggi nilai INP suatu spesies terhadap spesies lainnya, maka semakin
10 tinggi peranan spesies tersebut pada komunitasnya. Rumus yang digunakan dalam menghitung INP adalah (Brower et al. 1988). INP = KRi + FRi + CRi Keterangan: KRi = Kerapatan relatif FRi = Frekuensi relatif CRi = Penutupan relatif
Biomassa Lamun Biomassa lamun adalah berat dari semua material yang hidup pada suatu satuan luas tertentu, baik yang berada di atas maupun di bawah substrat yang sering dinyatakan dalam satuan gram berat kering per m2 (gbk/m2) (Zieman & Wetzel 1980). Biomassa lamun menggunakan rumus sebagai berikut : W B= A Keterangan : B = Biomassa lamun (berat dalam gram/m2) W = Berat kering (gram) A = Luas area dalam m2 Analisis Substrat Dasar Substrat dasar diambil dengan menggunakan pipa paralon dengan diameter tiga inci dari tiga lokasi dalam setiap stasiun, kemudian dimasukkan kedalam kantong plastik untuk dianalisis di laboratorium. Substrat dibagi dalam tujuh fraksi (pasir kasar sekali, pasir kasar, pasir sedang, pasir halus, pasir halus sekali, debu dan liat). Penentuan setiap fraksi tersebut menggunakan metode pipet dan gravitasi. Pada penentuan tipe substrat ke tujuh fraksi tersebut digabung menjadi tiga fraksi (pasir, debu dan liat) dan dikelompokkan dalam segitiga Millar (Brower & Zar 1977). Penentuan konsentrasi nitrat, fosfat dan C-organik sedimen adalah dengan mengambil sedimen sampai kedalaman 30 cm dengan corer pada seluruh stasiun pengamatan, kemudian dimasukkan kedalam plastik sampel untuk dibawa ke laboratorium. Selama pengangkutan dari lapangan ke laboratorium dimasukkan ke dalam cool box yang di dalamnya berisi es, yang kemudian dibawa ke laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, IPB untuk dianalisis. Analisis Data Data faktor lingkungan, struktur komunitas dan biomassa lamun antar stasiun diuji dengan ANOVA (Analisis of Varians). Apabila didapatkan hasil yang berpengaruh nyata, akan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan dengan menggunakan program SPSS (Statistical Program Software System) versi 17.
11 Analisis SWOT Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi pengelolaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). SWOT adalah singkatan dari lingkungan internal Strengths dan Weaknesses serta lingkungan eksternal opportunities dan threats. Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal dan internal (Rangkuti 2005). Hal pertama yang dilakukan dalam menentukan matriks SWOT adalah mengetahui faktor strategi internal (IFAS) dan faktor strategi eksternal (EFAS) (Rangkuti 2005). Penentuan berbagai faktor, bobot setiap faktor dan tingkat kepentingan setiap faktor didapatkan dari hasil wawancara dengan orang-orang yang berkompeten dibidangnya dan disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Hal ini dilakukan agar sifat obyektif dari analisis ini dapat diminimalkan. a. Cara pertama penentuan faktor strategi Internal (Tabel 4): 1. Menentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan serta kelemahan yang menjadi bagian dari pengelolaan. 2. Memberi bobot masing-masing faktor tersebut sesuai dengan tingkat kepentingannya. Jumlah seluruh bobot harus sebesar 1,00. 3. Menghitung rating (kolom 3) untuk masing-masing faktor berdasarkan pengaruh/respon faktor-faktor tersebut terhadap pengelolaan ekosistem lamun di pesisir Bahoi (nilai : 4 = sangat penting, 3 = penting, 2 = cukup penting, 1 = kurang penting). 4. Mengalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3 untuk memperoleh faktor pembobotan dalam kolom 4. Hasil dari perkalian ini akan berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor. Tabel 4 Faktor strategi internal No Faktor-faktor strategi 1 Kekuatan 2 Kelemahan
Bobot
Rating
Skor
b. Cara penentuan faktor strategi eksternal (Tabel 5): 1. Menentukan faktor yang menjadi peluang serta ancaman dari kegiatan pengelolaan 2. Memberi bobot masing-masing faktor tersebut sesuai dengan tingkat kepentingannya. Jumlah seluruh bobot harus sebesar 1,00 3. Menghitung rating (kolom 3) untuk masing-masing faktor berdasarkan pengaruh/respon faktor-faktor tersebut terhadap pengelolaan ekosistem lamun di pesisir Bahoi (nilai : 4 = sangat penting, 3 = penting, 2 = cukup penting, 1 = kurang penting). 4. Mengalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3 untuk memperoleh faktor pembobotan dalam kolom 4. Hasilnya akan berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor.
12 Tabel 5 Faktor strategi eksternal No Faktor-faktor strategi Bobot 1 Peluang 2 Ancaman
Rating
Skor
c. Pembuatan matriks SWOT Matriks IFAS dan EFAS digunakan untuk memperoleh beberapa alternatif strategi. Matriks ini memungkinkan empat kemungkinan strategi. Tabel 6 Diagram matriks SWOT IFAS Strength Weakness EFAS (S) (W) Tentukan faktor Tentukan faktor kekuatan internal kelemahan internal Strategy Strategy Opportunity (O) S–O W–O Tentukan faktor peluang (strategi (startegi eksternal menggunakan meminimalkan kekuatan untuk kelemahan untuk memanfaatkan memanfaatkan peluang) peluang) Threat (T) Strategy Strategy Tentukan faktor ancaman S–T W–T eksternal (strategi (strategi menggunakan meminimalkan kekuatan untuk kelemahan untuk mengatasi ancaman) menghindari ancaman) Keterangan : IFAS : Internal Strategic Factor Analysis EFAS : External Strategic Factor Summary Analysis Summary d. Pembuatan tabel rangking alternatif strategi Penentuan prioritas dari strategi yang dihasilkan dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor yang saling terkait. Jumlah dari skor pembobotan menentukan ranking prioritas strategi dalam pengelolaan ekosistem lamun. jumlah skor diperoleh dari penjumlahan semua skor di setiap faktor-faktor strategis yang terkait. Ranking akan ditentukan berdasarkan urutan jumlah skor terbesar sampai yang terkecil dari semua strategi yang ada.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Air Kondisi perairan merupakan faktor penting dalam kelangsungan kehidupan biota atau organisme di suatu perairan laut. Kondisi perairan sangat menentukan kelimpahan dan penyebaran organisme di dalamnya, akan tetapi setiap organisme
13 memiliki kebutuhan dan preferensi lingkungan yang berbeda untuk hidup yang terkait dengan karakteristik lingkungannya (Tomascick et al. 1997). Kondisi perairan di suatu ekosistem meliputi suhu, kedalaman, salinitas, pH, oksigen terlarut (DO), kekeruhan, nitrat, dan fosfat. Kualitas perairan di pesisir Desa Bahoi secara umum disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Nilai rata-rata parameter kualitas air Parameter
Satuan
Suhu Kedalaman Salinitas pH Oksigen Terlarut (DO) Kekeruhan Nitrat Fosfat Sumber Data Primer 2015
°C cm ppt mg/l NTU mg/l mg/l
1 28,8 30 39,3 8,07 8,4 1,83 0,005 0,005
Stasiun 2 29,8 42 38,7 8,07 8,5 1,13 0,005 0,005
3 29 60 40 8,07 8,6 1,07 0,005 0,005
Hasil pengukuran suhu pada keseluruhan stasiun pengamatan berkisar antara 28-30 °C dengan rata-rata 28,8-29,8 °C. Berdasarkan data Tabel 7 rata-rata suhu pada stasiun 1 adalah 28,8 °C, stasiun 2 29,8 °C, dan stasiun 3 29 °C. Hal ini disebabkan oleh rentang waktu dalam pengambilan sampel yang dekat pada tiap stasiun yaiu pada pukul 11.00-13.00 WITA. Kondisi suhu pada perairan pesisir Desa Bahoi ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Lee et al. (2007) dimana, pada daerah tropis dan sub tropis lamun mampu tumbuh optimal pada kisaran suhu 23 °C dan 32 °C. Menurut Kadi (2006), kisaran temperatur optimal bagi spesies lamun adalah 28-30 °C, dimana suhu dapat mempengaruhi proses-proses fisiologi yaitu proses fotosintesis, pertumbuhan dan reproduksi. Proses-proses fotosintesis ini akan menurun dengan tajam apabila suhu berada di luar kisaran optimal. Pada suhu 38 °C dapat menyebabkan lamun menjadi stres dan pada suhu 48 °C dapat menyebabkan kematian Mckenzie (2008). Collier & Waycott (2014) menambahkan bahwa suhu 43 °C akan menyebabkan kematian masal lamun setelah dua hingga tiga hari, sehingga dengan kenaikan suhu yang ekstrim akan mempengaruhi fungsi ekologis lamun pada daerah tropis. Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal. Lamun tumbuh di zona intertidal bawah dan subtidal atas hingga mencapai kedalaman 30 m. Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi oleh Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia, Sedangkan Thalassodendron ciliatum mendominasi zona intertidal bawah (Hutomo 1997). Selain itu, kedalaman perairan juga berpengaruh terhadap kerapatan dan pertumbuhan lamun. Brouns & Heijs (1986) mendapatkan pertumbuhan tertinggi Enhalus acoroides pada lokasi yang dangkal dengan suhu tinggi. Selain itu di Teluk Tampa Florida ditemukan kerapatan T. testudinun tertinggi pada kedalaman sekitar 100 cm dan menurun sampai pada kedalaman 150 cm (Durako & Moffler 1985). Berdasarkan hasil pengamatan dalam penelitian ini nilai kedalaman berkisar antara 25-90 cm dengan rata-rata 20-70 cm. kedalaman lamun pada perairan pesisir Desa Bahoi menunjukkan perbedaan pada masing-masing stasiun yaitu stasiun 1 dengan
14 kedalaman 30 cm, stasiun 2 42 cm, dan stasiun 3 60 cm. Berdasarkan hasil penelitian Saputra (2007), bahwa pantai yang landai memiliki hubungan yang erat dengan adanya sebaran sedimen. Pantai yang landai dapat menyebabkan proses pengendapan semakin tinggi dengan proses sedimentasi yang cepat, sedangkan tingkat pengendapan yang besar dapat mengakibatkan pantai menjadi landai. Kedalaman di perairan juga sangat mempengaruhi keberadaan lamun, semakin dalam suatu perairan maka kemampuan lamun untuk melakukan proses fotosintesis juga akan terhambat. Dahuri (2001) menambahkan distribusi lamun terbatas pada kedalaman yang tidak lebih dari 10 m dikarenakan lamun membutuhkan intensitas cahaya yang cukup bagi proses fotosintesis di perairan. Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air. Salinitas juga dapat mengacu pada kandungan garam dalam tanah. Kandungan garam pada sebagian besar danau, sungai, dan saluran air alami sangat kecil sehingga air di tempat ini dikategorikan sebagai air tawar. Kandungan garam pada air tawar secara definisi, kurang dari 0,5 ppt. Jika lebih dari itu, air dikategorikan sebagai air payau. Lebih dari 30 ppt, merupakan air laut Romimohtarto & Juwana (2007). Nilai salinitas akan berbeda-beda pada setiap jenis perairan, untuk perairan pesisir nilai salinitas sangat dipengaruhi masukan air tawar. Salinitas perairan berpengaruh terhadap lamun secara langsung seperti yang dilaporkan Hartati et al. (2012) salinitas berpengaruh terhadap kerapatan dan biomassa lamun. Ditambahkan dalam Touchette (2007) kerapatan dan biomassa lamun berhubungan dengan produktivitas primer yang berlangsung, hal ini terkait dengan penyerapan nutrisi yang sangat dipengaruhi salinitas. Lamun memiliki toleransi yang tinggi terhadap fluktuasi salinitas, lamun masih dapat ditemukan pada perairan dengan salinitas 1040 ppm. Kisaran salinitas yang optimal untuk kehidupan lamun antara 24 hingga 35 ppm. Berdasarkan data kualitas air pada tabel 7 nilai salinitas pada seluruh stasiun pengamatan berkisar antara 38-40 ppm dengan kisaran rata-rata 38,7-40 ppm, dimana pada stasiun 1 nilai salinitas 39,3 ppm, stasiun 2 38,7 ppm, dan stasiun 3 40 ppm. Pesisir Desa Bahoi menunjukkan bahwa nilai salinitas pada perairan ini masih sesuai untuk kehidupan lamun, namun perairan pesisir Desa Bahoi nilai salinitas ini tidak termasuk dalam kriteria untuk pertumbuhan lamun yang optimal. Seperti yang dikemukakan oleh Supriharyono (2009) bahwa salinitas yang optimal secara umum untuk pertumbuhan lamun adalah berkisar antara 25-35 ppm. Nilai salinitas yang tinggi pada perairan pesisir Desa Bahoi disebabkan oleh tidak adanya sungai, sehingga masukan air dari darat pada perairan ini hanya tergantung curah hujan. Derajat keasaman (pH) adalah suatu ukuran tentang besarnya konsentrasi ion hidrogen dan menunjukkan apakah suatu perairan itu bersifat asam atau basa. Derajat keasaman merupakan suatu parameter yang dapat menentukan produktivitas suatu perairan. Pada umumnya pH air laut tidak banyak bervariasi karena adanya sistem karbondioksida dalam laut yang berfungsi sebagai penyangga yang cukup kuat Nontji (1993). Nilai pH pada perairan pesisir Desa Bahoi secara keseluruhan cenderung sama yaitu dengan kisaran 8. Berdasarkan data pada penelitian ini (Tabel 7), rata-rata nilai pH pada setiap stasiun menunjukkan bahwa perairan ini dikategorikan sebagai perairan yang memiliki produktifitas yang tinggi. Seperti yang diungkapkan oleh Nyabakken (1992), suatu perairan dengan pH 5,56,5 termasuk perairan yang tidak produktif, perairan dengan pH 6,5-7,5 termasuk perairan yang produktif, perairan dengan pH 7,5-8,5 termasuk perairan yang
15 memiliki produktifitas yang sangat tinggi, dan perairan dengan pH yang lebih besar dari 8,5 dikategorikan perairan yang tidak produktif lagi. Ditambahkan Effendi (2003) kondisi perairan dengan nilai pH tertentu akan mempengaruhi proses-proses yang terjadi pada perairan tersebut, yaitu proses biokimia dan toksisitas suatu senyawa kimia dipengaruhi oleh nilai pH. Oksigen terlarut (DO) merupakan kandungan oksigen dalam bentuk terlarut didalam air. Keberadaan DO sangat penting di perairan karena semua biota air (kecuali mamalia) tidak mampu mengambil oksigen udara. Diffusi oksigen dari udara ke dalam air melalui permukaannya, yang terjadi karena adanya gerakan molekul-molekul udara yang tidak berurutan karena terjadi benturan dengan molekul air sehingga O2 terikat di dalam air. Hasil pengukuran DO pada penelitian ini berkisar antara 7,9-8,8 mg/l dengan rata-rata seluruh stasiun 8,4-8,6 mg/l, yaitu pada stasiun 1 8,4 mg/l, stasiun 2 8,5 mg/l, dan stasiun 3 8,6 mg/l (Tabel 7). Konsentrasi DO yang terukur pada penelitian ini apabila dibandingkan dengan baku mutu berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004, masih memenuhi kriteria konsentrasi DO yang dapat menunjang kehidupan biota laut yaitu lebih dari 5 mg/l. Kebutuhan organisme terhadap oksigen terlarut relatif bervariasi tergantung pada jenis, stadium dan aktifitasnya. Kadar oksigen terlarut di permukaan memang umumnya lebih tinggi karena adanya proses difusi antara air dan udara bebas serta adanya proses fotosintesis (Salmin 2005). Effendi (2003) menjelaskan bahwa kadar DO dalam perairan alami sangat bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air serta tekanan atmosfer. Perubahan kadar DO dalam suatu perairan dapat berdampak negatif bagi beberapa biota yang tidak memiliki kemampuan dalam merespon perubahan dengan cepat. Penurunan kadar DO dapat menghambat proses fotosintesis yang kemudian akan menurunkan produktivitas primer lamun. Kekeruhan secara tidak langsung dapat mempengaruhi kehidupan lamun karena dapat menghalangi penetrasi cahaya yang dibutuhkan oleh lamun untuk berfotosintesis masuk ke dalam air. Kekeruhan dapat disebabkan oleh adanya partikel-partikel tersuspensi, baik oleh partikel-partikel hidup seperti plankton maupun partikel-partikel mati seperti bahan-bahan organik, sedimen dan sebagainya. Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di perairan. Padatan yang tersuspensi yang berupa koloid dan partikel-partikel halus berkorelasi positif dengan kekeruhan. Semakin tinggi padatan yang tersuspensi, maka nilai kekeruhan akan semakin tinggi. Di perairan, kekeruhan disebabkan oleh bahan organik dan bahan anorganik baik tersuspensi maupun terlarut seperti lumpur, pasir halus, plankton, dan mikroorganisme lainnya (Effendi 2003). Kekeruhan di perairan Desa Bahoi berkisar antara 0,9-3,3 NTU dengan rata-rata sebesar 1,071,83 NTU (Tabel 7). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut, nilai kekeruhan untuk wisata dan biota laut adalah < 5 NTU. Wibisono (2005), menyatakan bahwa ukuran partikel yang kecil dan halus akan susah mengendap oleh karena itu semakin tinggi kekeruhan akan menyebabkan rendahnya laju sedimentasi yang terjadi di suatu perairan. Kekeruhan yang terjadi di lokasi penelitian juga diakibatkan letak stasiun lamun alami dan lamun buatan dipengaruhi oleh kegiatan masyarakat setempat yang menjadikan lokasi tersebut sebagai jalur transportasi kapal nelayan. Substrat
16 lamun dari pasir dan bongkahan karang mati juga menyebabkan adanya kekeruhan di perairan. Nitrat merupakan suatu unsur penting dalam sintesa protein tumbuhan, namun pada badan perairan yang memiliki nitrat yang berlebih akan menyebabkan kurangnya oksigen terlarut di perairan dan menyebabkan banyak organisme yang mati (Agawin & Duarte 2002). Kandungan nitrat dalam penelitian ini menunjukkan kisaran 0,005-0,01 mg/l dengan rata-rata pada setiap stasiun yaitu, stasiun 1 0,005 mg/l, stasiun 2 0,007 mg/l, dan stasiun 3 0,005 mg/l. Perairan pesisir Desa Bahoi memiliki kadar nitrat yang sesuai untuk kehidupan lamun. Herkul & Kotta (2009) menjelaskan bahwa kadar nitrat yang melebihi dari 0,05 mg/l dapat bersifat toksik bagi organisme perairan yang sangat sensitif. Sedangkan menurut Baron et al. (2006) kadar nitrat yang melebihi 0,02 mg/l dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi (pengkayaan) perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara cepat (blooming). Barus (2002) menyatakan bahwa senyawa-senyawa nitrogen sangat dipengaruhi oleh kandungan oksigen dalam air, pada saat kandungan oksigen rendah nitrogen berubah menjadi amonia dan saat kandungan oksigen tinggi nitrogen berubah menjadi nitrat. Secara keseluruhan kadar fosfat di perairan Desa Bahoi berkisar antara 0,005 mg/l dengan rata-rata 0,005 mg/l, sesuai dengan kadar fosfat yang dijumpai di perairan laut yang normal umumnya. Kadar fosfat di perairan laut yang normal berkisar antara 0,00031-0,124 mg/l (Edward & Tarigan 2003). Kadar fosfat di perairan ini masih berada di batasan konsentrasi yang dipersyaratkan Disebutkan bahwa baku mutu konsentrasi fosfat yang layak untuk kehidupan biota laut dalam keputusan Menteri Lingkungan Hidup, KLH (2004) adalah 0,015 mg/l. Sumber fosfor di perairan dan sedimen adalah deposit fosfor, industri, limbah domestik, aktivitas pertanian, pertambangan batuan fosfat, dan penggundulan hutan (Ruttenberg 2004). Fosfat di perairan secara alami berasal dari pelapukan batuan mineral dan dekomposisi bahan organik. Sedimen merupakan tempat penyimpanan utama fosfor dalam siklus yang terjadi di lautan. Umumnya dalam bentuk partikulat yang berikatan dengan oksida besi dan senyawa hidroksida. Senyawa fosfor yang terikat di sedimen dapat mengalami dekomposisi dengan bantuan bakteri maupun melalui proses abiotik menghasilkan senyawa fosfat terlarut yang dapat mengalami difusi kembali ke dalam kolom air (Paytan & Mc Laughlin 2007). Struktur Komunitas Lamun 1.
Kerapatan Jenis Lamun
Kerapatan merupakan elemen dan struktur komunitas yang dapat digunakan untuk mengestimasi produksi lamun, bahkan lamun mempunyai tingkat produktifitas primer tertinggi bila dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang terdapat di laut dangkal, seperti ekosistem terumbu karang. Hasil pengamatan pada tiap stasiun menunjukkan kerapatan jenis dan kerapatan relatif yang berbeda-beda, perbedaan kerapatan pada masing-masing stasiun menggambarkan bahwa masingmasing lamun memiliki sebaran yang bervariasi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan dari setiap stasiun yang mewakili habitat yang dekat dengan mangrove, lamun dan dekat terumbu karang. Lingkungan syarat hidup lamun akan membantu lamun untuk menjaga dan mempertahankan keberadaannya hingga
17
600
70 Kerapatan Relatif (%)
Kerapatan Jenis (ind/m²)
melalukan aktivitas reproduksi. Dengan kondisi lingkungan yang baik, maka lamun memiliki kesempatan dalam memperbanyak diri yang pada akhirnya memberikan pengaruh pada kerapatannya. Rata-rata kerapatan jenis dan kerapatan relatif lamun disajikan pada Gambar 3.
500 400 300 200 100
60 50 40 30 20 10 0
0 1 E. acoroides
2 Stasiun T. hemprichii
S. isoetifolium H. ovalis
3
1
2 Stasiun
3
C. rotundata
E. acoroides
T. hemprichii
C. rotundata
H. uninervis
S. isoetifolium
H. ovalis
H. uninervis
A B Gambar 3 Kerapatan jenis (A) dan kerapatan relatif (B) Berdasarkan hasil penelitian ini, ditemukan enam jenis lamun yang terdapat di pesisir Desa bahoi meliputi Enhalus acoroides, Thallasia hemprichii, Cymodocea rotundata, Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis dan Halodule uninervis. Keenam jenis lamun ditemukan hampir pada seluruh stasiun pengamatan. Jenis lamun yang berasosiasi dengan pada kuadran pengamatan mencapai empat hingga enam jenis yang merupakan jumlah yang banyak, mengingat terdapat 13 jenis dari jenis lamun yang terdapat diseluruh dunia terdapat di Indonesia. Kondisi ini mencerminkan bahwa perairan pesisir Desa Bahoi memenuhi persyaratan hidup lamun sehingga beberapa jenis lamun dari berukuran besar sampai berukuran kecil dapat hidup dengan baik. Pada setiap stasiun pengamatan menunjukkan kerapatan yang berbeda-beda. Kerapatan yang berbeda pada tiap stasiun pengamatan tidak berarti menggambarkan perbedaan yang nyata. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANOVA) kerapatan jenis lamun antar stasiun tidak memberikan perbedaan yang nyata (p>0,05) (Lampiran 2), namun kerapatan jenis masing-masing stasiun memberikan perbedaan yang nyata (p<0,05) (Lampiran 3). Perbedaan kerapatan jenis lamun pada tiap stasiun pengamatan menggambarkan sebaran yang bervariasi, hal ini disebabkan oleh karakteristik kondisi lingkungan yang mewakili habitat mangrove, habitat lamun dan habitat terumbu karang. Meskipun lamun diketahui memiliki kemampuan beradaptasi dan memiliki toleransi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan, namun lamun tetap memiliki syarat hidup terhadap lingkungan. Karakteristik lingkungan pada stasiun 1 yang berdekatan dengan habitat mangrove, tentu memiliki karakteristik yang berbeda pula dengan kondisi lingkungan pada stasiun 2 dan 3 yang merupakan habitat lamun dan habitat yang berdekatan dengan terumbu karang. Karakteristik lingkungan pada habitat mangrove cenderung lebih terlindung dan relatif lebih tenang, hal ini terkait mangrove yang dalam meredam gelombang dan arus. Sehingga lamun sebagai vegetasi yang hidup pada pesisir dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Pada
18 stasiun 1 ditemukan enam jenis lamun, jenis lamun kerapatan tertinggi pada stasiun ini adalah jenis E. acoroides mencapai 319 ind/m2, diikuti oleh jenis T. hemprichii 239 ind/m2, H. ovalis 173 ind/m2, C. rotundata 117 ind/m2, S. isoetifolium 103 ind/m2, dan H. uninervis yang memiliki kerapatan jenis paling rendah 4 ind/m2. Kerapatan relatif lamun merupakan perbandingan antara jumlah individu jenis lamun dengan jumlah total individu seluruh jenis lamun. Hasil perhitungan kerapatan relatif jenis lamun di seluruh stasiun dapat dilihat pada Gambar 3. Nilai rata-rata kerapatan relatif lamun tertinggi didapatkan oleh jenis E. acoroides dengan nilai 31 %, diikuti oleh jenis T. hemprichii pada stasiun 2 dan 3 dengan nilai masingmasing 38 % dan 36 %, sedangkan untuk kerapatan relatif terendah ditunjukkan oleh jenis H. uninervis. Tingginya kerapatan relatif jenis E. acoroides pada stasiun 1 dan jenis T. Hemprichii pada stasiun 2 dan 3 sejalan dengan nilai rata-rata kerapatan jenis lamun ini yang tinggi. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) ratarata kerapatan relatif tiap stasiun tidak memberikan perbedaan yang nyata (p>0,05) (Lampiran 5), namun memberikan perbedaan pada masing-masing jenis lamun (Lampiran 6). Menurunnya nilai kerapatan pada stasiun 2 dan 3 dikarenakan mulai berkurangnya komposisi jenis lamun, yang mana pada stasiun ini hanya ditemukan lima jenis lamun. Berkurangnya jenis lamun disebabkan oleh karakteristik dari lamun itu sendiri serta karakteristik dari lingkungan pada stasiun ini, seperti jenis lamun C. rotundata yang yang hanya ditemukan pada stasiun 1 yang berdekatan dengan habitat mangrove dan tidak ditemukan di stasiun 2 dan 3. Hal ini dikarenakan jenis lamun ini memiliki daun yang pipih dan panjang dan jika terkena gelombang akan mudah terbawa oleh arus. Seperti yang di jelaskan oleh Bengen (2001), bahwa C. rotundata umumnya di jumpai pada daerah intertidal dekat hutan mangrove. Berbeda halnya pada jenis H. uninervis yang pada stasiun ini memiliki kerapatan jenis yang tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya, karena jenis lamun ini membentuk padang lamun jenis tunggal dan hidup pada rataan terumbu karang yang rusak (Bengen 2001). Selain itu pengaruh langsung dari masyarakat pesisir Desa Bahoi yang melakukan kegiatan di daerah lamun dan dekat terumbu karang yang melakukan kegiatan penangkapan secara tidak langsung lamun terinjak-injak dan pengaruh oleh jangkar kapal yang ditancapkan dan aktivitas lalu lintas perahu yang mana baling-balingnya dapat mencabut lamun. Kelebihan nutrisi atau sedimen adalah penyebab yang paling umum dari penurunan ekosistem lamun. Peningkatan nutrisi dapat menyebabkan pertumbuhan ganggang dan epifit. Epifit adalah tumbuhan yang tumbuh di permukaan tanaman dan jika keberadaannya terlalu banyak, tanaman tersebut menutupi permukaan perairan dan mencegah cahaya mencapai lamun. Pengaruh langsung dari organisme lain (bulu babi) juga telah menyebabkan kerugian dalam skala yang cukup besar serta kerusakan mekanis langsung dari aktivitas manusia yang menginjak-injak lamun dan membuang jangkar. Jika dilihat masing-masing jenis lamun pada setiap stasiun pengamatan, bahwa pada stasiun 1 jenis E. acoroides memiliki nilai kerapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun 2 dan 3. Hal ini disebabkan oleh karakteristik habitat pada stasiun 1 dan 2 berbeda dengan stasiun 3 yang dekat dengan terumbu karang. Susetiono (2004) menjelaskan bahwa spesies ini tumbuh pada substrat pasir berlumpur, pasir, pasir berkoral, koral berpasir, dan koral, namun kebanyakan pada substrat berpasir. Kerapatan jenis T. hemprichii memiliki rata-rata yang cukup stabil pada seluruh stasiun pengamatan, namun kerapatan tertinggi lamun jenis ini
19 berada pada stasiun 2 diikuti oleh stasiun 3 dan terendah stasiun 1. Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini diketahui masing-masing stasiun pengamatan menunjukkan rata-rata jumlah tegakan setiap jenis lamun bervariasi. Anggraini (2008) menjelaskan jenis lamun ini biasanya paling banyak ditemukan dan berasosiasi dengan jenis lainnya, biasanya tumbuh baik sampai kedalaman 25 m dan umumnya tumbuh pada substrat berpasir. Lamun T. hemprichii memiliki jumlah yang cukup berlimpah dan sering dominan pada padang lamun campuran. Lamun ini tumbuh pada substrat pasir berlumpur yang berbeda atau pasir medium kasar atau pecahan koral kasar (Dahuri 2003). Takaendengan & Azkab (2010) menambahkan bahwa dua jenis lamun yang berukuran besar yaitu T. hemprichii dan E. acoroides hampir merata pada seluruh lokasi penelitian di Kepulauan Talise yang berdekatan dengan Desa Bahoi, Sulawesi Utara. Selain lamun yang berukuran besar, jenis lamun yang berukuran kecil pada panelitian ini tersebar merata pada seluruh stasiun pengamatan, hal ini di tambahkan oleh Nontji (1987), hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai substrat yang berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang khas lebih sering ditemukan di substrat lumpur berpasir yang tebal antara hutan mangrove dan terumbu karang. Lamun terdapat pada daerah mid-intertidal sampai kedalaman 50 atau 60 m. Namun mereka tampak sangat melimpah di daerah sublitoral. Jumlah spesiesnya lebih banyak terdapat di daerah tropik. Semua tipe substrat dihuni oleh lamun ini, mulai dari lumpur encer sampai batu-batuan, tetapi daerah yang paling luas dijumpai pada substrat yang lunak. Jika dilihat dari pola zonasi lamun secara horizontal, maka boleh dikatakan ekosistem lamun terletak di antara dua ekosistem bahari penting yaitu ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang. Dengan letak yang berdekatan dengan dua ekosistem pantai tropik tersebut, ekosistem lamun tidak terisolisasi atau berdiri sendiri tetapi berinteraksi dengan kedua ekosistem (Nybaken 1992). Setiap daerah akan memiliki variasi komposisi yang beragam serta jumlah jenis yang beragam, semakin banyak jenis lamun yang dapat ditemukan maka dapat dikatakan bahwa kondisi perairan bahkan lingkungan sekitar dalam kondisi yang baik oleh karena dapat menunjang kehidupan dan keberadaan banyak jenis lamun, mengingat juga bahwa lamun dapat digunakan sebagai bioindikator sebuah perairan. 2.
Frekuensi Jenis Lamun
Ekosistem lamun di perairan pesisir desa Bahoi umumnya terletak pada kondisi yang relatif terlindungi yakni di antara mangrove dan terumbu karang. Habitat ekosistem lamun dicirikan oleh habitat laguna yaitu perairan dangkal pasang surut antara pantai dan tubir karang. Frekuensi dari suatu spesies lamun menunjukkan derajat penyebaran jenis lamun tersebut dalam komunitasnya. Suatu jenis lamun yang memiliki kerapatan yang tinggi belum dapat dipastikan akan memiliki nilai frekuensi yang tinggi juga Ukkas et al. (2000). Berdasarkan hasil yang didapatkan pada penelitian di perairan Desa Bahoi yang disajikan pada Gambar 4, bahwa secara keseluruhan nilai rata-rata frekuensi jenis di dominasi oleh lamun yang berukuran besar yaitu E. acoroides dan T. hemprichii pada seluruh stasiun pengamatan dengan rata-rata stasiun 1 0,12 % untuk jenis E. acoroides dan 0,11 % untuk jenis T. hemprichii. Sedangkan untuk stasiun 2 dan 3 nilai frekuensi tertinggi terdapat pada jenis T. hemprichii dengan nilai frekuensi sebesar 0,12 %. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) (Lampiran 8) menunjukkan bahwa nilai rata-
20 rata frekuensi jenis lamun E. acoroides, T. Hemprichii, S. isoetifolium, H. ovalis, dan H. uninervis antar stasiun tidak memberikan perbedaan yang nyata (p>0,05), namun kerapatan jenis lamun C. rotundata memberikan perbedaan yang nyata (p<0.05) (Lampiran 9). Tingginya frekuensi jenis lamun yang berukuran besar pada seluruh stasiun pengamatan ini sesuai dengan pendapat Nybakken (1992) yang menyatakan bahwa lamun jenis ini mempunyai kecepatan pertumbuhan dan kemampuan tumbuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis lainnya. Pada stasiun 1 E. acoroides memiliki nilai frekuensi tertinggi diikuti oleh jenis T. hemprichii, H. ovalis, C. rotundata dan S. isoetifolium, dan H. uninervis, hal ini berarti E. acoroides dan T. hemprichii hampir ditemukan pada semua stasiun pengamatan.
0.12
Frekuensi Relatif (%)
Frekuensi Jenis (%)
0.14
0.10 0.08 0.06 0.04 0.02 0.00 1
2 Stasiun
3
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 1
2 Stasiun
3
E. acoroides
T. hemprichii
C. rotundata
E. acoroides
T. hemprichii
C. rotundata
S. isoetifolium
H. ovalis
H. uninervis
S. isoetifolium
H. ovalis
H. uninervis
A
B
Gambar 4 Frekuensi jenis (A) dan frekuensi relatif (B) Rata-rata nilai frekuensi jenis pada stasiun 2 dan 3 berbeda jenis lamun yang ditemui dengan stasiun 1, dimana hanya ditemukan lima jenis lamun yaitu dengan rata-rata tertinggi T. hemprichii 0,12 %, disusul oleh jenis E. acoroides dan S. isoetifolium dengan frekuensi yang sama 0,11 %, dan jenis lamun dengan frekuensi jenis terendah H. uninervis 0,01 %, sedangkan jenis lamun H. uninervis tidak ditemukan di daerah ini terkait dengan jenis lamun ini yang bersiafat pionir dan sering dijumpai didekat habitat rataan terumbu karang yang rusak. Hal ini sesuai dengan Mcroy & Mcmillan (1997), Zieman & Netzel (1980) yang mengatakan bahwa kedalaman, jenis sedimen, arus, suhu, dan salinitas merupakan parameter yang berpengaruh dalam pertumbuhan lamun di suatu perairan. Cahaya dan zat hara juga merupakan kebutuhan utama untuk pertumbuhan dan perkembangan lamun. Menurut Wimbaningrum (2003), karena faktor lingkungan yang dibutuhkan oleh jenis E. acoroides dan T. hemprichii memiliki kesamaan maka pola sebaran kedua jenis ini selalu bersamaan dalam suatu daerah. Kedua jenis ini dapat tumbuh pada substrat lumpur, lumpur berpasir, pasir berlumpur, pasir dan karang, hidup di perairan dangkal dan sedang, kecerahan 100 % (kiswara 2004). Frekuensi relatif merupakan perbandingan antara frekuensi jenis ke-i dengan frekuensi seluruh jenis (Gambar 4). Berdasarkan hasil pengamatan mengenai
21 frekuensi relatif dalam penelitian ini menunjukkan perbandingan antara jenis yang satu dengan jenis yang lainnya berbeda-beda, hampir memperlihatkan hasil yang sama dengan frekuensi jenis. Pada stasiun 1 yang merupakan daerah yang dekat dengan mangrove, lamun yang berukuran lebih besar seperti E. acoroides memiliki nilai rata-rata tertinggi yaitu 31 %, diikuti oleh jenis T. hemprichii 25 %, H. ovalis 20 %, C. rotundata dan S. Isoetifolium 11 % dan jenis lamun yang memiliki nilai frekuensi terendah adalah H. uninervis 2 %. Stasiun 2 merupakan daerah habitat lamun memperlihatkan nilai yang berbeda, dimana keberadaan lamun pada stasiun ini mulai berkurang sama halnya dengan stasiun 3 karena hanya ditemukan lima jenis lamun, yaitu jenis T. hemprichii yang memiliki rata-rata tertingi 31 %, diikuti oleh jenis E. acoroides 26 %, S. isoetifolium 25 %, H. ovalis 14 %, dan jenis dengan frekuensi terendah adalah H. uninervis 4 %. Sedangkan stasiun 3 merupakan daerah yang berdekatan dengan terumbu karang dimana karakteristik habitatnya berbeda dengan stasiun 1 dan 2, nilai frekuensi relatif pada stasiun ini memperlihatkan bahwa masih didominasi oleh T. hemprichii dan E. acoroides yang diikuti oleh jenis lamun yang berukuran kecil yaitu H. ovalis, S. isoetifolium, dan H. uninervis. Hanya terdapat lima jenis lamun pada stasiun ini disebabkan oleh perbedaan jenis substrat yang mana terdiri dari pecahan-pecahan karang, sehingga hanya jenis jenis tertentu yang mampu bertahan yang diantaranya adalah lima jenis lamun yang telah disebutkan sebelumnya. Jenis lamun yang tidak terdapat pada stasiun ini adalah jenis lamun C. rotundata yang mana dalam keseluruhan stasiun pengamatan merupakan jenis lamun yang memiliki nilai frekuensi terendah. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) (Lampiran 11) menunjukkan bahwa nilai rata-rata frekuensi relatif jenis lamun E. acoroides, T. Hemprichii, S. isoetifolium, H. ovalis dan H. uninervis antar stasiun tidak memberikan perbedaan yang nyata (p>0,05), namun kerapatan relatif jenis C. rotundata memberikan perbedaan yang nyata (p<0.05) (Lampiran 12). 3.
Penutupan Jenis Lamun
Penutupan jenis lamun seperti yang ditampilkan pada Gambar 5 memperlihatkan bahwa tutupan jenis lamun perairan pesisir Desa Bahoi didominasi oleh lamun yang berukuran besar yaitu E. acoroides stasiun 1 yang memiliki nilai rata-rata tutupan tertinggi dengan nilai 74 %, kemudian disusul oleh jenis T. hemprichii 65 %, dan jenis lamun yang memiliki tutupan terendah adalah jenis H. uninervis 8 %. Stasiun 2 jenis lamun yang memiliki tutupan tertinggi jenis T. hemprichii 74 %, disusul oleh jenis E. acoroides dengan tutupan mencapai 65 %, dan tutupan terendah ditunjukkan oleh jenis H. uninervis 8 %. Sedangkan stasiun 3 rata-rata tertinggi ditunjukan T. hemprichii 74 % dan terendah adalah H. uninervis 16 %. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) (Lampiran 14) menunjukan bahwa penutupan jenis lamun antar stasiun tidak memberikan perbedaan yang nyata (p>0.05), namun rata-rata tutupan jenis lamun antar stasiun memberikan perbedaan yang nyata (p<0.05) (lampiran 15). Tingginya nilai penutupan lamun E. acoroides dan T. hemprichii berkaitan kedua jenis lamun ini yang berukuran besar dan dengan adaptasinya terhadap tipe substrat pasir halus hingga pasir kasar, selain itu dipengaruhi juga oleh tingginya kerapatan dari kedua jenis lamun tersebut. Kondisi ini sejalan dengan laporan Den Hartog (1970) bahwa T. hemprichii hidup dalam semua jenis substrat, bervariasi dari pecahan karang hingga substrat lunak.
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Penutupan Relatif (%)
Penutupan Jenis (%)
22
1
2 Stasiun
3
40 35 30 25 20 15 10 5 0 1
2 Stasiun
3
E. acoroides
T. hemprichii
C. rotundata
E. acoroides
T. hemprichii
C. rotundata
S. isoetifolium
H. ovalis
H. uninervis
S. isoetifolium
H. ovalis
H. uninervis
B A Gambar 5 Penutupan jenis (A) dan penutupan relatif (B) Rata-rata penutupan relatif jenis lamun di setiap stasiun memiliki persentase yang berbeda-beda berkisar antara 0-74 %. Nilai penutupan relatif tertinggi pada seluruh stasiun pengamatan didominasi oleh jenis lamun yang berukuran besar yaitu E. acoroides dan T. hemprichii. Sedangkan nilai penutupan relatif terendah adalah jenis H. uninervis. Tingginya nilai tutupan relatif sejalan dengan tingginya nilai tutupan jenis lamun tersebut, jenis E. acoroides dan T. hemprichii memiliki nilai tutupan yang tinggi, karena memiliki ukuran daun yang lebih besar, jika dibandingkan dengan empat jenis lamun lainnya. Sedangkan jenis lamun yang berukuran lebih kecil, relatif akan memiliki nilai persentase penutupan yang lebih kecil pula. Secara keseluruhan rata-rata nilai penutupan relatif pada setiap stasiun adalah sebagai berikut. Stasiun 1 E. acoroides memiliki nilai tutupan sebesar 26 %, disusul oleh jenis T. hemprichii 24 %, H. ovalis 21 %, S. isoetifolium 14 %, C. rotundata 13 %, dan yang terendah H. uninervis 3 %. Stasiun 2 yang merupakan daerah lamun dan hanya terdapat lima jenis lamun yaitu T. hemprichii 29 %, disusul oleh jenis E. acoroides 26 %, S. isoetifolium 25 % kemudian jenis H. ovalis 17 % dan H. uninervis 3 % yang merupakan jenis terendah pada stasiun ini. Stasiun 3 yang merupakan daerah dekat dengan terumbu karang nilai penutupan relatif mulai berubah sama seperti stasiun 2, dimana pada stasiun ini hanya lima jenis lamun yang ditemukan, akan tetapi masih didominasi oleh jenis lamun yang berukuran besar yaitu jenis T. hemprichii dengan nilai rata-rata tutupan yang tertinggi dibandingkan dengan dua stasiun lainnya yang mencapai 31 %, diikuti oleh jenis lamun E. acoroides 28 %, H. ovalis 18 %, S. isoetifolium 14 %, dan H. uninervis dengan persentase terendah 8 %. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) (Lampiran 17) menunjukkan bahwa rata-rata penutupan relatif jenis lamun antar stasiun tidak memberikan perbedaan yang nyata (p>0,05), akan tetapi rata-rata penutupan relatif antar jenis lamun memberikan perbedaan yang nyata (p<0,05) (Lampiran 18). Lamun jenis lainnya seperti H. uninervis, merupakan spesies lamun yang bersifat pionir yang tumbuh di perairan yang sangat dangkal dengan substrat pecahan karang, karena jenis ini bersifat pionir maka dalam proses perkembangan substrat dasar tentunya akan ikut tergeser oleh jenis lainnya. Menurut Waycott et al. (2004),
23 bahwa jenis lamun pionir umumnya memiliki kemampuan untuk tumbuh dengan cepat sehingga dapat menstabilkan substrat. Penutupan lamun berhubungan erat dengan habitat atau bentuk morfologi dan ukuran suatu spesies lamun. Kerapatan yang tinggi dan kondisi pasang surut saat pengamatan juga dapat mempengaruhi nilai estimasi penutupan lamun. Satu individu E. acoroides dan T. hemprichii akan memiliki nilai penutupan yang lebih tinggi dibandingkan dengan satu individu H. uninervis karena ukuran daun E. acoroides yang jauh lebih besar. Sedangkan individu lamun yang berukuran lebih kecil seperti Halophila minor akan memiliki nilai persentase penutupan yang lebih kecil pula (Short & Coles 2003). Berdasarkan Gambar 5, total penutupan jenis lamun di seluruh stasiun pengamatan di perairan pesisir Desa Bahoi dikategorikan dalam kondisi baik dengan persen penutupan sehat/kaya (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 200 Tahun 2004). Indeks Nilai Penting Indeks nilai penting lamun (INP) digunakan untuk menghitung dan menduga secara keseluruhan dari peranan satu spesies di dalam suatu komunitas. Indeks nilai penting memberikan gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan terhadap suatu daerah. Semakin tinggi nilai INP suatu spesies terhadap spesies lainnya, maka semakin tinggi peranan spesies tersebut pada komunitasnya. Indeks nilai penting lamun antar stasiun pengamatan di perairan Desa Bahoi disajikan pada tabel 8. Tabel 8 Indeks Nilai Penting Jenis Lamun E. acoroides* T. hemprichii* C. rotundata S. isoetifolium H. ovalis H. uninervis Total Keterangan: * jenis lamun dominan
Indeks Nilai Penting (%) Stasiun 1 2 3 87 81 77 78 98 103 35 0 0 33 73 43 61 38 47 6 10 25 300 300 295
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa lamun jenis E. acoroides memiliki INP tertinggi pada stasiun 1 dekat habitat mangrove 87 % dan T. hemprichii memiliki INP tertinggi pada stasiun 2 habitat lamun dan stasiun 3 dekat terumbu karang 97 dan 102 %. Hal ini berarti secara ekologis, jenis lamun E. acoroides dan T. hemprichii memiliki peranan yang sangat penting terhadap struktur komunitas lamun di perairan Desa Bahoi. Menurut Kawaroe (2004) jika dilihat dari komunitas lamun spesies E. acoroides, C. rotundata, S. isoetifolium, dan H. ovalis memiliki penyebaran yang bersifat mengelompok. Di sisi lain, T. hemprichii memiliki penyebaran yang bersifat seragam, artinya bahwa spesies ini mampu untuk hidup di habitat manapun yang memiliki kondisi lingkungan yang sesuai.
24 Lamun yang diamati di perairan Desa Bahoi tumbuh secara bergerombol baik jenis yang sama maupun dengan jenis yang berbeda. Pada pengamatan didapatkan air yang ditumbuhi lamun hangat, ini bisa dikarenakan pencahayaan oleh matahari yang menyebabkan air tersebut hangat. Lamun tumbuh pada daerah yang memiliki pencahayaan matahari yang baik pada siang hari (Syari 2005). Tempat tumbuh lamun yang diamati pada setiap stasiun berbeda-beda, tempat tumbuh meliputi substrat berlumpur, pasir berlumpur, dan substrat kasar. Setiap tempat tumbuh memiliki jenis lamun ataupun biota asosiasi yang berbeda-beda. Pada jenis lamun Thallasia sp. didapatkan lamun jenis ini tumbuh pada setiap tempat tumbuh. Biomassa Lamun Biomassa lamun adalah berat dari semua material yang hidup pada suatu satuan luas tertentu, baik yang berada di atas maupun di bawah substrat yang sering dinyatakan dalam satuan gram berat kering per m2 (gbk/m2). Biomassa yang dihitung dalam penelitian ini merupakan biomassa kering baik yang berada di permukaan yaitu daun dan tangkai maupun yang di bawah yaitu rhizom dan akar. Hasil perhitungan pada Gambar 6, bahwa rata-rata biomassa tertinggi pada seluruh stasiun pengamatan didominasi oleh jenis lamun E. acoroides dengan nilai rata-rata biomassa tertinggi berada pada stasiun 1 75,7, diikuti oleh stasiun 2 68,9 dan 58,6 gbk/m2 pada stasiun 3. 90 80
Biomassa (g/m²)
70 60
E. acoroides
50
T. hemprichii
40
C. rotundata
30
S. isoetifolium
20
H. ovalis
10
H. uninervis
00 1
2
3
Stasiun
Gambar 6 Biomassa Selain E. acoroides jenis lain yang memiliki nilai biomassa yang tinggi adalah T. hemprichii yang mana memiliki nilai tertinggi pada stasiun 2 sebesar 45,7 gbk/m2. sedangkan jenis lamun yang memiliki nilai terendah adalah jenis H. uninervis 1,4 gbk/m² pada stasiun 3. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) (Lampiran 20) rata-rata biomassa antar stasiun tidak membrikan perbedaan yang nyata (p>0,05), namun pada Lampiran 21 rata-rata biomassa lamun E. acoroides dan S. isoetifolium antar stasiun memberikan perbedaan yang nyata (p<0,05),
25 namun rata-rata biomassa lamun jenis T. hemprichii, C. rotundata, H. ovalis dan H. uninervis tidak memberikan perbedaan yang nyata (p>0,05). Tingginya biomassa jenis E. acoroides dan T. hemprichii dikarenakan jenis ini merupakan jenis lamun yang berukuran besar dan selain itu jenis lamun ini memiliki penyebaran yang luas. Walau kekayaan jenis lamun di daerah tropis tinggi, namun biasanya terdapat satu jenis yang dominan dalam hubungannya dengan biomassa (Hemminga & Duarte 2000), karena hal ini berkaitan dengan morfologi dan laju pertumbuhan yang berbeda di antara jenis lamun (Vermaat et al. 1995). Beberapa hal yang menjadikan E. acoroides berperan nyata antara lain secara morfologi jenis lamun E. acoroides berukuran lebih besar dibandingkan jenis lamun yang lain sehingga dapat mengakumulasi karbon lebih banyak pada jaringan tubuhnya. Simpanan karbon di bawah substrat E. acoroides yang tinggi disebabkan oleh ukuran rhizoma dan akar yang besar, disamping penetrasi akar yang bisa mencapai 40 cm. Enhalus acoroides merupakan salah satu jenis lamun yang paling melimpah di perairan Indonesia dan mempunyai ukuran morfologi yang besar. Lamun jenis Enhalus acoroides merupakan spesies yang umum tumbuh di substrat lumpur. Jenis Enhalus acoroides dapat tumbuh menjadi padang yang monospesifik ataupun seringkali tumbuh bersama dengan jenis lamun Thalassia hemprichii. Sebaran vertikal jenis Enhalus acoroides dapat tumbuh mencapai kedalaman 25 m. Enhalus acoroides merupakan naungan yang penting bagi ikan ikan muda (Departemen Kelautan dan Perikanan 2008). Kelebihan yang dimiliki oleh Enhalus acoroides yaitu dalam pertumbuhannya terbilang lebih cepat dibandingkan jenis lamun yang lainnya. Selain itu keistimewaan secara ekonomis adalah buah Enhalus acoroides dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan (BTNKpS 2007). Salah satu fungsi tingginya penyimpanan biomassa di bawah substrat adalah memperkuat penancapan lamun (Supriadi & Arifin 2005). Menurut Laffoley & Grimsditch (2009), jenis lamun yang secara morfologi berukuran besar cenderung mengembangkan biomassa yang tinggi di bawah substrat, dan karena itu mempunyai kapasitas untuk mengakumulasi karbon yang lebih tinggi. Selain itu karbon di bawah substrat merupakan tempat menyimpan hasil fotosintesis yang akan mendukung pertumbuhan lamun jika proses fotosintesis tidak berjalan secara optimal (Alcoverro et al. 2001). Sedangkan lamun yang berukuran kecil dalam penelitian ini memiliki rata-rata biomassa yang rendah diakibatkan oleh arus pasang surut yang kuat yang menyebabkan lamun sulit menancapkan akarnya pada dasar perairan sehingga kurang berkembang biak dengan baik. Ombak yang kuat juga membuat vegetasi lamun tersebut dapat tercabut dari substratnya. Subtsrat Substrat merupakan salah satu faktor utama yang menetukan penyebaran lamun karena substrat berperan menentukan stabilitas kehidupan lamun, sebagai media tumbuh bagi lamun sehingga tidak terbawa arus dan gelombang, serta sebagai sumber unsur hara. Meskipun lamun dapat dijumpai pada berbagai karakteristik substrat/sedimen, beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa lamun memiliki preferensi substrat untuk pertumbuhan dan penyebarannya (Erftemeijer 1994; De Falco et al. 2000; Cavazza et al. 2000; Nur 2004). Semakin tipis substrat perairan, akan menyebabkan kehidupan lamun yang tidak stabil, sebaliknya semakin tebal substrat, lamun akan tumbuh subur yaitu berdaun panjang dan rimbun serta pengikatan dan penangkapan sedimen semakin tinggi. Peranan
26 kedalaman substrat dan stabilitas sedimen mencakup pelindung tanaman dari arus dan tempat pengolahan serta pemasok nutrien (Berwick 1983). Substrat antara lain berperan menentukan stabilitas kehidupan lamun, sebagai media tumbuh bagi lamun sehingga tidak terbawa arus dan gelombang serta sebagai media untuk daun dan sumber unsur hara. Hampir semua tipe substrat atau dasar perairan dapat ditumbuhi oleh tumbuhan lamun, dari substrat berlumpur sampai berbatu, namun ekosistem lamun yang luas umumnya dijumpai pada substrat lumpur berpasir tebal. Substrat seperti ini umumnya berada diantara ekosistem mangrove dan terumbu karang (Tuwo 2011). Bahan organik merupakan bahan penting dalam menciptakan kesuburan tanah, baik secara fisika, kimia maupun biologi tanah. Bahan organik merupakan sumber unsur hara tanaman, disamping itu bahan organik merupakan sumber energi dari sebagian besar organisme tanah. Karbon disimpan dalam tanah ketika tanaman dan hewan membusuk (teruarai). Bahan organik ini didekomposisi oleh bakteri melepaskan CO2 dan methana dalam tanah lembab. Air mengandung C-organik terlarut, diperoleh dari atmosfer atau pelapukan batuan karbonat. Jumlah C-organik dalam air tergantung pada waktu dan jumlah bahan organik busuk yang tersedia. C-organik ditransfor dalam bentuk terlarut dan patrikulat (Arnell 2002). Hasil analisis substrat pada seluruh stasiun ditampilkan pada Tabel 9. Kandungan bahan organik dalam substrat berkaitan erat dengan jenis substrat. Jenis substrat dasar perairan yang berbeda akan mempunyai kandungan bahan organik yang berbeda pula. Dari hasil analisis pada seluruh stasiun pengamatan, bahwa persentase nilai bahan organik tertinggi berada pada stasiun 1 (dekat mangrove) sebesar 1,5 %, diikuti oleh stasiun 2 (lamun) 1,05 dan persentase bahan organik terendah terdapat pada stasiun 3 (dekat coral) 0,54 %. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) (Lampiran 22) menunjukkan bahwa rata-rata kandungan bahan organik dalam hal ini karbon organik memberikan perbedaan yang nyata (p<0.05) antar stasiun pengamatan (Lampiran 23). Tabel 9 Rata-rata kandungan nutrien dan tekstur substrat Parameter C-organik Nitrat (ppm) Fosfor (ppm) Pasir Debu Liat Total
1 1,5±0,26 2,74±1,36 6,12±0,32 93,2 5,2 1,6 100
Stasiun 2 1,05±0,26 1,96±0,68 5,01±1,19 93,7 1,8 0,9 100
3 0,54±0,12 1,18±0 2,29±1,02 95,3 2,6 2 100
Tingginya bahan organik pada stasiun 1 disebabkan oleh daerah ini yang berdekatan dengan vegetasi hutan mangrove, seperti yang diungkapkan oleh Gonneea et al. (2004) bahwa tingkat terbenamnya karbon organik lebih tinggi terdapat di pinggiran laguna. Secara keseluruhan stasiun pengamatan dalam penelitian ini menunjukkan bahan organik dengan kategori rendah. Seperti yang diungkapkan oleh Hardjowigeno (2003), kandungan bahan organik tanah dihitung dari kandungan C-organiknya. Sifat kimia tanah berdasarkan C-organiknya terbagi menjadi lima yaitu sangat rendah (<1,00% C), rendah (1,00-2,00% C), sedang (2,01-3,00% C), tinggi (3,01-5,00% C), dan sangat tinggi (>5,00% C). Rendahnya
27 bahan organik ini berhubungan dengan tekstur substrat, dimana pada tekstur yang lebih halus persentase kandungan bahan organik lebih tinggi bila dibandingan dengan tekstur yang lebih kasar. Hal ini dikarenakan keseluruhan stasiun pengamatan didominasi oleh tekstur berpasir. Substrat pasir memungkinkan oksidasi yang baik sehingga bahan organik akan cepat habis, dengan demikian kandungan bahan organik menjadi lebih rendah. Hakim (1986) menjelaskan Corganik memiliki hubungan dengan ukuran tekstur substrat, semakin tinggi jumlah liat semakin tinggi pula jumlah C-organik bila kondisi lainnya sama. Selain bahan organik yang telah disebutkan diatas, bahan organik lain yang paling penting untuk kehidupan lamun adalah nitrat dan fosfat (N dan P) yang merupakan unsur utama bahan organik dalam pertumbuhan tumbuhan, termasuk lamun dan tumbuhan air lainnya. Ulqodry et al. (2010) menjelaskan bahwa kedua bahan organik ini berperan sangat penting terhadap pertumbuhan sel jaringan organisme dan proses fotosintesis. Patang (2009) menambahkan bahan organik yang digunakan lamun berasal dari air substrat pori dan yang berada pada kolom air, oleh karena itu lamun dapat menggunakan daun dan akar dalam menangkap bahan organik. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa bahan organik yang masuk pada suatu perairan berasal dari darat, sedangkan bahan organik pada substrat berasal dari pelapukan vegetasi mati. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa sumber N dan P pada substrat diduga berasal dari akumulasi hasil mineralisasi vegetasi lamun yang mati dan sekresi yang berasosiasi pada ekosistem lamun. Kandungan bahan organik N dan P substrat pada penelitian ini berbeda antar stasiun, dimana kandungan P lebih besar dibandingkan dengan kandung N. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) (Lampiran 22) rata-rata N dan P memberikan perbedaan yang nyata (p>0.05) (Lampiran 23). Secara keseluruhan pengamatan pada penelitian ini memperlihatkan bahwa rata-rata N dan P pada stasiun yang dekat dengan habitat mangrove lebih tinggi dan semakin kearah laut semakin rendah, karena hutan mangrove dapat bertindak sebagai penyumbang nutrien terbesar bagi ekosistem lamun dan terumbu karang karena pada kawasan ini tidak terdapat sungai. Sedimen yang berada di sekitar vegetasi mangrove akan bercampur dengan serasah yang berguguran yang mengalami dekomposisi. Unsur hara yang mengandung bahan organik akan terdeposit dalam sedimen, kemudian akan terdistribusi ke laut melalui arus dan ombak, lalu terjadi sedimentasi. Hal ini dibantu dengan bercampurnya substrat/sedimen yang berasal dari laut yang banyak mengandung serasah dan mineral daun mangrove yang berguguran, yang akan teruraikan menjadi bahan yang lebih kecil dan akan tersuspensi dan dikonsumsi oleh zooplankton. Sebagian besar detritus akan tertahan oleh akar mangrove dan terdekomposisi sehingga mendorong akumulasi bahan organik pada sedimen hutan mangrove dan akan mempengaruhi kondisi tanah. Hasil dekomposisi inilah yang kemudian berubah menjadi bahan organik dan dapat menyebabkan warna tanah menjadi lebih gelap dan lebih stabil (Hardjowigeno 1992). Rendahnya N dan P yang semakin kearah laut diakibatkan oleh serasah daun lamun yang mati terbawa oleh arus, sehingga berdampak pada kerapatan, dimana jika kita melihat ketidakhadiran jenis lamun H. uninervis serta nilai rata-rata biomassa yang kecil secara keseluruhan. Bahan organik sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan kehidupan lamun serta organisme yang berasosiasi didekatnya, jika semakin sedikit bahan organik berarti akan semakin sedikit proses pelapukan, mengingat bahwa perairan Desa Bahoi tidak memiliki masukan air dari sungai. Cahyani et al. (2014)
28 menyebutkan energi yang diperlukan agar ekosistem bahari dapat berfungsi hampir seluruhnya bergantung pada aktifitas fotosintesis tumbuhan bahari yang memanfaatkan nutrien sebagai sumber energi. Pengangkatan nutrien dari sedimen pada daerah lamun menyebabkan terjadinya proses degradasi dan remineralisasi. Dinamika nutrien aquatik oleh komunitas lamun tergantung pada perubahan nutrien secara terus menerus dari organisme di dalam komunitas itu. Perubahan terus menerus ini bergantung pada konsentrasi yang terdapat dalam kolom air dan faktor hidrodinamika yang mempengaruhi kedua adveksi nutrien melalui komunitas dan tingkat difusi pada organisme permukaan (Hasanuddin 2013). Penentuan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman ekosistem lamun di pesisir Desa Bahoi 1. kekuatan Potensi sumberdaya lamun Perairan Desa Bahoi memiliki potensi sumberdaya lamun yang cukup melimpah, hal ini dikarenakan terdapatnya sumberdaya lamun di sekeliling perairan Desa Bahoi. Dilihat dari potensi sumberdaya lamun di perairan Desa Bahoi tergolong beranekaragam jenisnya, berdasarkan hasil pengamatan dilapangan di ketiga stasiun yang diambil terdapat 6 jenis sumberdaya lamun dari 12 jenis yang ada di perairan Indonesia (Agardi 2003). Sumberdaya lamun yang ditemukan di perairan Desa Bahoi diantaranya E. acoroides, T. hemprichii, C. rotundata, S. isoetifolium, H. ovalis dan H. uninervis. Kondisi ekosistem tersebut merupakan modal dasar dalam penerapan konservasi yang berkelanjutan. Lamun sebagai daerah spawning, feeding dan nursery ground Ekosistem lamun merupakan ekosistem yang memiliki produktivitas organik yang tinggi. Fungsi ekologi yang penting dari ekosistem ini adalah sebagai daerah feeding, spawning dan nursery ground beberapa jenis hewan yaitu udang dan ikan serta mampu meredam arus sehingga perairan disekitar menjadi tenang. 2. Kelemahan Kurangnya pemahaman tentang ekosistem lamun Pengetahuan masyarakat pesisir Desa Bahoi dirasakan masih kurang, hal ini dapat dimengerti karena sebagian besar masyarakat Desa Bahoi tidak mengenyam pendidikan yang tinggi. Hal ini berdampak pada rendahnya pemahaman masyarakat tentang pengelolaan. Selain itu, kurangnya pengetahuan tentang arti pentingnya lamun bagi kehidupan makhluk hidup menyebabkan masyarakat pesisir seolah tidak perduli terhadap kerusakan lamun di sekitar mereka.
Rendahnya tingkat ekonomi masyarakat Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, semua informan mengatakan bahwa pemanfaatan kawasan lamun sebagai lahan untuk mencari ikan dilakukan
29 karena masyarakat tidak memiliki jenis pekerjaan lain yang dapat memenuhi kebutuhan hidup. Pemanfaatan kawasan lamun juga digunakan sebagai kebutuhan rumah tangga oleh masyarkat dengan anggapan bahwa hal tersebut jauh lebih mudah. Selain itu, dorongan kebutuhan yang makin banyak membuat masyarakat pesisir memanfaatkan segala sesuatu yang ada di sekitar mereka untuk dijadikan uang. Adanya kerusakan ekosistem Berdasarkan hasil penelitian, bahwa kondisi ekosistem lamun di pesisir Desa Bahoi mulai mengalami kerusakan jika dilihat dari hasil penutupan antara stasiun 1,2 dan 3 secara keseluruhan dalam kategori sedang. 3. Peluang Penelitian tentang lamun sudah banyak Ketertarikan dilakukannya penelitian di perairan Desa Bahoi baik itu dari kalangan peneliti, maupun dari kalangan mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir, telah memberikan pengaruh yang cukup bagi kegiatan monitoring perairan tersebut. Pada bulan April tahun 2014 mahasiswa IPB, UNSRAT bersama PKSPL IPB dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pemberdayaan Pendidikan & Konservasi Alam melakukan observasi lapang di perairan Desa Bahoi. Hal tersebut merupakan peran serta peneliti dalam hal monitoring di Desa Bahoi Minahasa Utara. Dukungan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pelatihan-pelatihan transplantasi lamun, memperkenalkan jenis-jenis lamun serta penyuluhan-penyuluhan akan fungsi dari ekosistem lamun tersebut merupakan salah satu bentuk dukungan LSM Yayasan Konservasi Alam (YAPEKA) dalam kegiatan pengelolaan. Bahan Kerajianan dan Peningkatan produksi hasil perikanan Belum dimanfaatakannya lamun oleh masyarakat Desa Bahoi menjadi kekurangan dalam pengelolaan potensi ini, padahal secara ekonomis lamun dapat dimanfaatkan menjadi bahan pangan, pakan ternak, bahan baku kertas, bahan kerajinan, pupuk dan obat-obatan. 4. Ancaman Potensi buangan limbah Perairan Desa Bahoi memiliki potensi buangan limbah yang berasal dari masyarakat. Kurangnya kepedulian masyarakat yang masih membuang limbah rumah tangga ke laut. Hal ini mengurangi estetika dari suatu daerah ketika akan dijadikan pengembangan kawasan ekowisata khususnya sumberdaya lamun yang terdapat pada perairan dangkal dan dekat dengan daratan. Kegiatan/aktifitas wisatawan yang merusak lamun Pengetahuan pengunjung akan fungsi ekosistem lamun masih sangat kurang, sehingga masih banyak kegiatan wisatawan yang merusak ekosistem lamun,
30 seperti berjalan menginjak-injak lamun pada saat air laut surut, membuang sampah dan wahana air seperti speed boat. Eksploitas dari Nelayan Luar Masuknya nelayan luar ke dalam kawasan perairan Desa Bahoi dapat menimbulkan dampak negatif terutama apabila alat tangkap yang digunakan oleh nelayan luar tersebut adalah alat tangkap yang berbahaya atau berbeda dengan alat tangkap nelayan Desa Bahoi. Adanya nelayan luar yang menangkap ikan dengan alat tangkap berbahaya seperti bahan peledak ternyata lebih menguntungkan, sehingga banyak nelayan Desa Bahoi mengikutinya yang mengakibatkan terjadinya konflik antar nelayan karena dapat merusak ekosistem. Tabel 10 Matriks SWOT pengelolaan ekosistem lamun Faktor Internal Strength (S) 1. Potensi sumberdaya 1. Lamun 2. Lamun sebagai daerah spawning, feeding dan nursery 2. ground 3. Faktor Eksternal Opportunities (O) Strategi S-O 1. Penelitian tentang 1. Menjaga potensi 1. lamun telah banyak sumberdaya yang di pesisir Desa bahoi ada seperti keanekaragaman jenis lamun yang tinggi dapat dijadikan sebagai daerah pesisir yang unik untuk dijadikan atau dilakukan penelitian (S 1,2;O 1) 2. Dukungan lembaga 2. Sosialisasi swadaya masyarkat penyuluhan(LSM) penyuluhan terkait pengelolaan seperti transplantasi, identifikasi jenisjenis serta fungsi ekosistem lamun oleh YAPEKA akan memberikan dampak positif untuk masyarakat serta
Weaknesses (W) Kurangnya pemahaman masyarakat tentang ekosistem lamun Rendahnya tingkat ekonomi masyarakat Adanya kerusakan ekosistem Strategi W-O Menyelenggarakan pelatihan-pelatihan pengelolaan lamun (ekowisata dan kebun bibit) dan mengontrol pemanfaatan lamun berbasisi masyarakat akan memberikan manfaat dalam meningkatkan pemahaman dan pendapatan masyarakat serta mengurangi resiko kerusakan ekosistem (W 1,2,3;O 1,2,3)
31
3. Bahan kerajinan dan peningkatan produksi hasil perikanan
Threats (T) 1. Potensi buangan limbah
3.
1.
2. Kegiatan/aktivitas wisatawan yang merusak ekosistem lamun
2.
3. Eksploitasi nelayan luar yang menggunakan alat tangkap berbahaya
3.
ekosistem disekitarnya (S 1,2;O 2) Memberikan pelatihan kepada masyarakat terkait pemanfaatan lamun sebagai bahan kerajinan dan peningkatan produksi hasil perikanan dapat memberikan pengaruh terhadap pendapatan masyarakat (S 1,2;O 3) Strategi S-T Mengajak masyarakat untuk membuat rencana zonasi wisata tempat pengolahan limbah rumah tangga maupun wisata (S 1,2;T 1) Mengajak setiap wisatawan untuk tidak melakukan kegiatan yang merusak ekosistem lamun dan ekosistem sekitarnya (S 1,2;T 2) Menyeleksi alat tangkap terutama alat tangkap yang berbaha bagi ekosistem pesisir
Strategi W-T 1. Meningkatkan pengetahun keterampilan dan kesadaran masyarakat dan wisatawan akan pentingnya sumberdaya lamun dalam ekosistem pesisir (W 1,2;T 1) 2. Meningkatkan pengawasan terhadap berbagai kegiatan dalam kawasan ekosistem lamun dan membuat aksi cinta lingkungan (W 3;T 1,2,3)
Matriks SWOT Matriks SWOT disusun setelah dilakukan identifikasi dan analisis faktor strategis internal dan eksternal. Matriks SWOT bertujuan mendeskripsikan secara jelas peluang dan ancaman, yang disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan dari kawasan perairan Desa Bahoi. Selain itu matriks SWOT juga bertujuan menghasilkan alternatif strategis dalam pengelolaan perairan Desa Bahoi dalam pengembangan sebagai kawasan konservasi. Tahap awal yang dilakukan adalah
32 penentuan matriks IFE dan EFE berdasarkan perkalian bobot dengan rating yang telah ditentukan. Setelah penentuan matriks IFE dan EFE, hal selanjutnya yang dilakukan adalah pembuatan matriks SWOT (Tabel 11). Alternatif Strategi Penentuan prioritas alternatif strategi yang akan dijadikan sebagai kebijakan dalam pengelolaan kawasan konservasi di perairan Desa Bahoi, dilakukan dengan penjumlahan nilai dari faktor SWOT yang saling berkaitan, kemudian ditentukan rangking (Tabel 12). Alternatif strategi dengan jumlah skor tertinggi merupakan prioritas pertama, jumlah skor kedua tertinggi menjadi prioritas kedua, dan seterusnya. Strategi yang dihasilkan menjadi awal pengelolaan suatu kawasan yang akan direalisasikan dengan program-program penunjang.
Tabel 11 Rangking alternatif strategi No Unsur SWOT Keterkaitan Strategi SO 1 Menjaga potensi S 1, 2 ; O 1 sumberdaya lamun seperti keanekaragaman, serta organisme secara baik akan menjadikan pesisir menjadi daerah yang unik untuk dilakukan penelitian 2 Sosialisasi serta S2;O2 penyuluhan oleh LSM Yayasan Pendidikan dan Konservasi Alamm terkait pengelolaan seperti transplantasi lamun dan memperkenalkan jenisjenis lamun serta fungsi ekosistem lamun akan memberikan manfaat bagi masyarakat dan ekosistem disekitarnya 3 Adanyan pelatihan yang S 1, 2 ; O 3 diberikan oleh Yayasan Pendidikan dan Konservasi Alam (YAPEKA) kepada masyarakat terkait pemanfaatan lamun sebagai bahan kerajinan untuk meningkatkan produksi perikanan akan memberikan pengaruh
Jumlah Skor Ranking 1,99
4
1,56
7
1,76
6
33
1
1
2
3
1
2
pada pendapatan masyarakat Strategi WO Menyelenggarakan pelatihan-pelatihan pengelolaan lamun (ekowisata dan kebun bibit) dan mengontrol pemanfaatan lamun berbasis masyarakat akan memberikan manfaat dalam meningkatkan pemahaman dan pendapatan masyarakat serta mengurangi resiko kerusakan ekosistem Strategi ST Mengajak masyarakat untuk membuat rencana zonasi wisata dan tempat pengolahan limbah rumah Mengajak setiap wisatawan untuk tidak melakukan kegiatan yang merusak ekosistem lamun dan ekosistem pesisir lainnya Menyeleksi alat tangkap yang digunakan terutama alat tangkap yang berbahaya bagi ekosistem di sekitarnya Strategi WT Meningkatkan pengetahun keterampilan dan kesadaran masyarakat dan wisatawan akan pentingnya sumberdaya lamun dalam ekosistem pesisir Meningkatkan pengawasan terhadap berbagai kegiatan dalam kawasan ekosistem lamun dan membuat aksi cinta lingkungan
W 1, 2, 3 ; O 3,09 1, 2,3
1
S 1, 2 ; T 1
0,83
9
S 1, 2 ; T 1, 2 2,83
2
S1;T3
0,88
8
W 1, 2 ; T 1
2,16
3
W 3 ; T 1, 2, 1,93 3
5
34 Berdasarkan jumlah skor dari setiap alternatif strategi, maka urutan yang dapat dijadikan rencana strategi dalam pengelolaan ekosistem lamun di perairan Desa Bahoi adalah : 1. Menyelenggarakan pelatihan-pelatihan pengelolaan lamun (ekowisata dan kebun bibit) dan mengontrol pemanfaatan lamun berbasis masyarakat akan memberikan manfaat dalam meningkatkan pemahaman dan pendapatan masyarakat serta mengurangi dampak kerusakan ekosistem lamun. 2. Mengajak setiap wisatawan untuk tidak melakukan kegiatan yang merusak ekosistem lamun dan ekosistem pesisir lainnya. 3. Meningkatkan pengetahun keterampilan dan kesadaran masyarakat dan wisatawan akan pentingnya sumberdaya lamun dalam ekosistem pesisir. 4. Menjaga potensi sumberdaya lamun seperti keanekaragaman jenis akan menjadikan pesisir menjadi daerah yang unik untuk dilakukan penelitian. 5. Meningkatkan pengawasan terhadap berbagai kegiatan dalam kawasan ekosistem lamun dan membuat aksi cinta lingkungan 6. Adanya pelatihan yang diberikan oleh Yayasan Pendidikan dan Konservasi Alam (YAPEKA) kepada masyarakat terkait pemanfaatan lamun sebagai bahan kerajinan untuk meningkatkan produksi perikanan akan memberikan pengaruh pada pendapatan masyarakat 7. Sosialisasi serta penyuluhan terkait pengelolaan seperti transplantasi lamun dan memperkenalkan jenis-jenis lamun serta fungsi ekosistem lamun oleh Yayasan Pendidikan dan Konservasi Alam (YAPEKA) akan memberikan manfaat bagi masyarakat dan ekosistem disekitarnya. 8. Menyeleksi alat tangkap yang digunakan terutama alat tangkap yang berbahaya bagi ekosistem di sekitarnya. 9. Mengajak setiap wisatawan untuk tidak melakukan kegiatan yang merusak ekosistem lamun dan ekosistem pesisir lainnya.
35
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan data parameter kualitas air, perairan pesisir Desa Bahoi dikategorikan dalam kondisi perairan yang sesuai untuk kehidupan lamun. Jenis lamun yang ditemukan adalah E. acoroides, T. hemprichii, C. rotundata, S. isoetifolium, H. ovalis dan H. uninervis, dengan komposisi jenis termasuk dalam jenis campuran. Komposisi jenis lamun didominasi oleh jenis lamun yang berukuran besar seperti E. acoroides dan T. hemprichii. Hasil perhitungan INP didominasi oleh jenis T. hemprichii, sedangkan produktivitas dalam hal ini biomassa secara keseluruhan didominasi oleh jenis E. acoroides. Karena jenis lamun ini memiliki penyebaran yang luas dan secara morfologi memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan jenis lainnya sehingga mampu mengakumulasi karbon lebih banyak serta beradaptasi dengan baik dengan berbagai jenis tipe substrat. Strategi pengelolaan ekosistem lamun di pesisir Desa Bahoi adalah dengan meningkatkan kordinasi antar stakeholder dan masyarakat untuk menyelenggarakan pelatihan-pelatihan keterampilan pengelolaan lamun (ekoswisata dan kebun bibit) untuk meningkatkan pendapatan masyarakat serta membuat regulasi untuk mengontrol pemanfaatan lamun berbasis masyarakat dan juga pelanggaran-pelanggaran pengelolaan lamun. Saran Dalam rangka mempraktekkan pengelolaan ekosistem lamun yang lestari di lokasi penelitian, masyarakat terkait harus dilibatkan dan diberdayakan secara aktif mulai dari tahap perencanaan sampai tahap monitoring/evaluasi sehingga ekosistem lamun di pesisir Desa Bahoi harus direhabilitasi secara cepat dan tepat untuk mendukung pengelolaan lamun yang berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA Agawin NSR, Duarte CM. 2002. Nutrient limitation of Philippine seagrass (Cape Bolinao, NW Philippines): in situ experimental evidence. Mar. Ecol. Prog. Ser. 138: 233-243. Anggraini K. 2008. Mengenal Ekosistem Perairan. Jakarta. Grasindo. Alcovero T, Mariani S. 2002. Effects of sea urchin grazing on seagrass (Thalassodendron ciliatum) beds of a Kenyan lagoon. Mar.Ecol.Prog.Ser 226: 255–263. Argandi G. 2003. Struktur Komunitas Lamun di Perairan Pagerungan Jawa Timur. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor Arnell. 2002. Hydrology and Global Environtmental Change. Pearson Education Limited. U.K. Arthana IW. 2005. Jenis dan Kerapatan Padang Lamun di Pantai Sanur Bali. Jurnal Lingkungan Hidup.Volum 5, Nomor 2.Dikutip dari
36 http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/jeniskerapatan.pdf. Diakses pada tanggal 25 Mei 2014,pukul 17.00 WITA Azkab MH. 1999. Pedoman Inventarisasi Lamun. Oseana, 24 (1) 1-16. Azkab MH. 2000. Structures and Functions In Seagrass Communities. Oseana 25 (3): 9-17. Bahri AF. 2006. Analisis Kandungan Nitrat dan Fosfat pada sedimen mangrove yang termanfaatkan di Kecamatan Mallusetasi Kabupaten Barru. Studi Kasus Pemanfaatan Ekosistem Mangrove&Wilayah Pesisir Oleh Masyarakat Di Desa Bulucindea Kecamatan Bungoro Kabupaten Pangkep. Asosiasi Konservator Lingkungan : Makassar. Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu. 2007. Laporan Rehabilitasi dan Perlindungan Habitat Lamun. BTNKpS. Jakarta. 21 hlm. Barbier EB, Hacker SD, Kennedy C, Koch EW, Stier AC, Silliman BR. 2011. The Value ofSetuarine and Coastal Ecosystem Services. Ecological Monographs 81(2): 169-19. Baron S, Petterson S, Harris K. 2006. Beyond Technology acceptance: understanding consumer practice. International Journal of Service Industry Management. 17(2), 111-135. Barus. 2002. Pengantar Limnologi. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sumatra Utara. Medan Bastyan GR, Cambridge ML. 2008. Transplantation as a method for restoring the seagrass Posidonia australis. Estuarine, Coastal and Shelf Science., 79: 289299. Bengen DG. 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Benstead JP, March JG, Fry B, Ewel KC, Pringle CM. 2006. Testing Isosource : Stable Isotop Analysis of a Tropical Fishery with Diverse Organic Matter Sources. Ecilogical Society of America. Ecology 87(2): 326-333. Berwick NL. 1983. Guidelines For The Analysis Of Bophysical Impacts To Tropical Costal Marine Resources. The Bombay Natural History Society. Centenary Seminar Coservation in Developing Contries-Problems and Prospects. Bombay, India : 6-10 December 1983. Bjork M, Short FT, Mcleod E, Beer S. 2008. Managing Seagrass for Resilience to Climate Change. IUCN, Switzerland. 56 pp. Borum J, Duarte CM, Krause D, Jensen, Greve TM. 2004. Europan Seagrass: an intoduction to monitoring and managemen. Monitoring and Managing of European Seagrass (M&MS). Brouns J, Heijs F. 1986. Structural and functional aspects of seagrass communities and associated algae from the tropical west-pacific. Ph. D thesis Nijmegen (Netherlands). 431 pp. Brower JE, Zar NJ. 1977. Field and Laboratory Method for General Ecology. Dubuque, Iowa (US): Wm.C Brown Publ. Brower JE, Zar JH, Ende CNV. 1998. Field and laboratory method for general ecology fourth edition. McGraw-Hill Publication. Boston, USA. xi + 273p. Cahyani, Nabila FD, Agus H, Suryanti. 2014. Sebaran dan Jenis Lamun Pantai Pancuran Belakang Pulau Karimunjawa Taman Nasional Karimunjawa, Jepara. Program Studi Manajemen SumberdayaPerairan, Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Universitas Diponegoro.
37 Carter JA. 1996. Introductory Course on Integrated Coastal Zone Management (Training Manual). Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatera Utara, Medan dan Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan Universitas Indonesia, Jakarta ; Dalhousi University, Environmental Studies Centres Development in Indonesia Project. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitopu MJ. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta. Pradnya Paramita. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. De Falco G, Ferrari S, Cancemi G, Baroli M. 2000. Relationship Between Sediment Distribution and Posidonia oceanica Seagrass. Geo-Marine Letters 20: 50 – 57. Den Hartog C. 1970. The sea-grasses of the world. North-Holland Publishing Company. Amsterdam. 275 pp. Den Hartog C, Kuo J. 2006. Taxonomy and biogeography of seagrasses. In: Larkum WD, Orth RJ & Duarte CM. Seagrasses: Biology, Ecology and Conservation. Springer. Dordrecht: 1-23. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Kajian Asosiasi Ekosistem Padang Lamun dan Terumbu Karang. Tri tunggal pratyaksa konsultan. Bandung. Duarte CM, Kennedy H, Marba N, Hendriks I. 2011. Assessing the capacity of Seagrass meadows for carbon burial: current limitations and future strategis. Ocean Coast Manag. Siap Terbit. Durako MJ, Moffler MD. 1985. Observation on the reproductive of the Thallasia testudinum (Hydrocharitaceae). II. Leaft width as a secondary sex character. Aquatic. Bot. 21: 265-276. Edward, Tarigan MS. 2003, Pengaruh Musim Terhadap Fluktuasi Kandungan Fosfat dan Nitrat di Laut Banda. Makara Sains, Vol. 7(2): 82-89. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengolahan Sumberdaya Hayati Lingkungan Perairan. Kanysius. Yogyakarta. English S, Wilkinson C, Barker V. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Townsville. Australia. Austalian Institute of Marine Science. Erftemeijer P. 1994. Diffrerence in Nutrient Concentration and Resources Between Seagrass Communities on Carbonate and Terrigeneous Sediments in Sout Sulawesi, Indonesia. Bulletin Marine Scince 54: 403 – 419. Fachrul MF. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta. Gartside D, Saenger P, Smith, Funge S. 2013. A Review of Mangrove and Seagrass Ecosystem and Their Linkage to Fisheries and Fisheries Management. Food and Agriculture Organization of the United Nations- Regional Office for Asia and the Pacific. Bangkok. Gonneea ME, Paytan A, Herrera-Silveira JA. 2004. Tracing Organic Matter Sources and carbon burrial in mangrove sediments over the past 160 years. Estuar Coast Shelf Sci 61:211-227. Green PE, Short FT. 2003. World Atlas of Seagrasses. Prepared by the UIMEP World Conservation Monitoring Centre. University of California Press, Berkeley, USA. 310p. Hardjowigeno S. 1992. Ilmu Tanah. Akademika Presindo. Jakarta. 233hlm. Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Akademi Presindo. Jakarta. 286hlm.
38 Hartati RA. Djunaedi, Haryadi, Mujianto. 2012. Struktur komunitas padang lamun di Perairan Pulau Kumbang, Kepulauan Karimunjawa. Ilmu Kelautan. 17(4): 217 225. Hasanuddin R. 2013. Hubungan Antara Kerapatan dan Morfometrik Lamun Enhalus Acoroides dengan Substrat dan Nutrien di Pulau Sarappo Lompo. Kab. Pangkep. Skripsi Ilmu Kelautan Hasanuddin. Makassar Hemminga MA, Duarte CM. 2000. Seagrass Ecology. Cambridge University Press. Cambridge (United Kingdom). 289hlm. Herkül K, Kotta I. 2009. Crustacean invasions in the Estonian coastal sea. Proc. Estonian Acad. Sci. Biol. Ecol. , 58 , 313–323. Himnasurai Untama. 2012. Pengelolaan Padang Lamun. Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (Himnasurai), Universitas Antakusuma Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Holmer M, Kendrick GA. 2013. High Sulfide Intrusion in Five Temperate Seagrass Growing Under Contrasting Sediment Conditions. Coastal and Estuarine Research Federation. Estuaries and Coast 36:116-126. Hori M, Suzuki T, Monthum Y, Srisombat T, Tanakan Y, Nakaoka M, Mukai H. 2009. High Seagrass Diversity and Canopy-height Increase Associated Fish Diversity and Abundance. Mar Biol 156: 1447-1458. Kadi A. 2006. Beberapa Catatan Kehadiran Marga Sargassum di Perairan Indonesia. Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI. Jakarta.Kaldy, J.E. 2009. Water Column and Sediment Nutrients as Limits to Growth of Zostera marina and Thalassia testudinum. In: Nelson, W..G. (Ed.) Seagrasses and Protective Criteria: A Review and Assessment of Research Status. National Health and Environment, Newport. 11(4):234-240. Kawaroe M. 2009. Perspektif Lamun Sebagai Blue Carbon Sink di Laut. Lokakarya Nasional 1 Pengelolaan Ekosistem Lamun. 18 November 2009. Jakarta, Indonesia. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 200. 2004. Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun. Hal 6-7. Kiswara W. 1999. Perkembangan Penelitian Ekosistem Padang Lamun di Indonesia. Disampaikan pada Seminar Tentang Oseanografi Dalam Rangka Penghargaan kepada Prof. Dr. Apriliani Soegiarto, M.Sc, Puslitbang Oseanografi LIPI Jakarta 1999. Kiswara W. 2009. Perspektif lamun dalam produktifitas hayati pesisir. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional 1 Pengelolaan Ekosistem Lamun “Peran Ekosistem Lamun dalam Produktifitas Hayati dan Meregulasi Perubahan Iklim”. 18 November 2009. PKSPL-IPB, DKP, LH, dan LIPI. Jakarta. Koch EW, Sanford LP, Chen SN, Shafer DJ, Smith JM. 2006. Waves in Seagrass Systems: Review and Technical Recommendations. Washington DC: SystemsWide Water Resources. Program Submerged Aquatic Vegetation Restoration Research Program. U.S. Army Corps of Engineers. 92p. Kordi KMGH. 2010. Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta: Rineka Cipta Kusnadi A, Hernawan UE, Triandiza T. 2008. Moluska Padang Lamun Kepulauan Kei Kecil. LIPI. 187 hlm. Laffoley DDA, Grimsditch G. 2009. The management of natural coastal carbon sinks. A short summary. IUCN, Gland, Switzerland. 8 pp.
39 Lee KS, Park SR, Kim YK. 2007. Effect of irradiance, temperature, and nutrients on growth dynamics of seagrasses : A Review. Journal od Experimental marine Biology and Ecology (350): 144-175 Mann KH. 2011. Ecology of Coastal Water : With Implication for Management. Blackwell Science, Inc. Massachuster. Mateo MA, Cebrián J, Dunton K, Mutchler T. 2006. Carbon Flux in Seagrass Ecosystems. Lamun: Biology, Ecology and Conservation. Springer 159-192. McKenzie LJ, Finkbeiner MA, Kirkman H. 2001. Methods for Mapping Seagrass Distribution. Di dalam: Short FT, Coles RG, editor. Global Seagrass Research Methods. Amsterdam: Elsevier Science B. V. hlm 101-112. McKenzie LJ, Yoshida RL. 2009. Seagrass-Watch: Proceeding of a workshop for monitoring seagrass habitat in Indonesia. The Nature Conservacy, Coral Triangel Center, Sanur Bali, 9th May 2009. Seagrass-Watch HQ Crains. 56p McRoy CP, Helferich C. 1977. "Sea Grass Ecosystem" Marcel Dekker Inc. New York and Basel pp. 314. Menteri Negara KLH. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut. Jakarta. Muchtar M. 1999. Karakteristik dan Sifat Sifat Kimia Padang Lamun, Lombok Selatan. P. 1-17. P3O LIPI. Jakarta. Nellemann C, Corcoran E, Duarte CM, Valdes L, De Young C, Fonseca L, Grimsditch G. 2009. Blue Carbon: The Role of Healthy Oceans in Binding Carbon. A Rapid Response Assessment. United Nations Environment Programme. Norway. Newmaster AF, Berg KJ, Ragupathy S, Palanisamy M, Sambandan K, Newmaster SG. 2011. Local Knowladge and Conservation of Seagrass in the Tamil Nadu State of India. Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine 7:37. Ngangi ELA. 2003. Pemanfaatan, Ancaman dan Pengelolaan Ekosistem Padang Lamun. Thesis. Program Pascasarjana. IPB. Bogor. Nontji A. 2007. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Nur C. 2011. Inventarisasi Jenis Lamun dan Gastropoda Yang Berasosiasi di Perairan Pulau Karamkuang Mamuju. Universitas Hasanudin. Makasar. Nybakken JW. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis : PT Gramedia. Jakarta. Orth R, Carruthers T, Dennison W. 2006. A Global Crisis For Seagrass Ecosystem. Bioscience 56:987-996. Patang. 2009. Kajian Kualitas Air dan Sedimen di Sekitar Padang Lamun Kabupaten Pangkep. Diakses pada 7 Januari 2015 pukul 09.17 WITA. Paynter CK, Cortés J, Engels M. 2001. Biomass, Productivity and Density of Seagrass Thalassiatestudinum at three sites in Cahuita National Park, Costa Rica. Rev. Biol. Trop 49. Supl 2:265-272. Paytan A, McLaughlin K. 2007. The Oceanic Phosphoru s Cycle. Chem. Rev., 107(2): 563-576. Pemerintah Republik Indonesia (2001) Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air, Jakarta. Peterson BJ, Heck Jr KL. 1999. The Potential for Suspension Feeding Bivalves to Increase Seagrass Productivity. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 240: 37-52.
40 Phillips RC, Menez EG. 1988. Seagrass. Smithsonian Contributions to the Marine Science No. 43. Smithsonian Intitution Press. Washington, D. C. Phillips RC, Menez EG. 2008. Seagrass. Smithsonian Contributions to the Marine Sciences No. 43. Smithsonian Institution Press. Washington, D. C. Pomeroy RS, Williams MJ. 1994. Fisheries Co-Management and Small Scale Fisheries : a Policy Brief. ICLRAM, Manila. 15.P. Raharjo Y. 1996. Community Based Management di Wilayah Pesisir. Pelatihan PerencanaanWilayah Pesisir secara Terpadu. Pusat Kajian Pesisir dan Lautan. Institut PertanianBogor. Rangkuti F. 2005. Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis-Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. cet ke-10. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama. Romimohtarto K, Juwana S. 2007. Biologi Laut. Jakarta: Djambatan. Hlm.: 245250. Ruiz JM, Romero J. 2003. Effects of Distrubances Caused by Coastal Construction on Spatial Structure, Growth Dynamics and Photosynthesis of the Seagrass Posidoniaoceanica. Marine Pollution Bulletine. Elsevier 46:1523-1533. Ruttenberg KC. 2004. The Global Phosphorus Cycle. In: Treatise on Geochemistry, (H.D. Holland and K.K. Turekian, eds.) Vol. 8 (Biogeochemistry: W. H. Schlesinger, volume editor), Chapter 14, Elsevier Science, pp. 585-643. Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) Sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan. Oseana Volume XXX No. 3, 2005, hlm. 1-6. Saputra M. 2007. Sebaran Sedimen Permukaan Dasar di Perairan Pantai Kota Bau-Bau. Skripsi, Jurusan Ilmu Kelautan, Universitas Hasanuddin. Makassar. Setiawan F, Harahap SA, Andriani Y, Hutahaean AA. 2012. Deteksi perubahan padang lamun menggunakan teknologi penginderaan jauh dan kaitannya dengan kemampuan menyimpan karbon di perairan teluk Banten. Jurnal Perikanan dan Kelautan .3(3):275-286. Steel RGD, Torrie JH. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika (terjemahan). PT Gramedia. Jakarta. Sudjana. 1996. Teknik Analisis Regresi Dan Korelasi. Tarsito: Bandung. Supranto J. 1986. Statistika Teori dan Aplikasi. Erlangga. Jakarta. Supriadi. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Bumi Aksara. Jakarta. Supriadi, Arifin. 2005. Pertumbuhan, Biomassa dan Produksi Lamun Enhalus acoroides Di Pulau Bone Batang Makasar. Protein 12 (2): 293-302. Supriadi, Burhanuddin I, La Nafie YA. 2004. Inventarisasi jenis, kelimpahan dan biomassa ikan di padang lamun Pulau Barranglompo Makasar. Torani 14 (5): 288-295. Supriharyono. 2009. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Suryantara IWA. 2005. Studi komunitas padang lamun di perairan pantai Sanur dan Nusa Dua Bali. (Tesis) Program Pascasarjana, Universitas Udayana. Denpasar: 98 hal. Susetiono. 2004. Fauna padang lamun Tanjung Merah Selat Lembeh. Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI. Jakarta. 106 hlm. Susetiono. 2007. Lamun dan fauna Teluk Kuta, Pulau Lombok. Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI: 99 hal.
41 Syari IA. 2005. Asosiasi gastropoda di ekosistem padang lamun. Departemen Ilmu Dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, IPB.Bogor. Tomascik TAJ, Nontji MA, Moosa MK. 1997. The Ecology of The Indonesian Seas. Part Two. Publised by Periplus Editions (HK) Ltd. Singapore. Touchette BW. 2007-this volume. Carbon and nitrogen metabolism in the seagrass, Zostera marina L: environmental control of enzymes involved in carbon allocation and nitrogen assimilation. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. doi:10.1016/j. jembe.2007.05.034. Ukkas M, Jalil AR, Tuwo A, Mursalim. 2000. Pengaruh Kepadatan Lamun Artifisial terhadap Sedimentasi di Perairan Pulau Barrang Lompo. Torani 10 (1): 24-29. Ulqodry TZ, Yulisman M, Syahdan, Santoso. 2010. Karakteristik dan Sebaran Nitrat, Fosfat, dan Oksigen Terlarut di Perairan Karimunjawa Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Sains, 13(1) : 35-41. Unsworth RKF, Bell JJ, Smith DJ. 2007. Tidal Fish Connectivity of Reef and Seagrass Habitats in the Indo-Pacific. Journal of Marine Biological Association of the United Kingdom 87:1287-1296. Unsworth RKF, Garrard SL, De Leon PS, Cullen LC, Smith DJ, Sloman KA, Bell JJ. 2009. Structuring of Indo-Pacific fish assemblages along the mangroveSeagrass continuum. Aquat Biol 5: 85-95. Vatria B. 2010. Berbagai Kegiatan Manusia Yang Dapat Menyebabkan Terjadinya Degradasi Ekosistem Pantai Serta Dampak Yang Ditimbulkannya. Jurnal Belian 9 (1): 47-54. Vermaat JE, Agawin NSR, Duarte CM, Fortes MD, Marba N, Uri JS. 1995. Meadow Maintenance, Growth and Productivity of a Mixed Philippine Seagrass Bed. Marine Ecology Progress Series 124: 215-225. Vichkovitten T. 1998. Biomass, Growth and Productivity of Seagrass; Enhalusacoroides (Linn.f) in Khung Kraben Bay, Chanthaburi, Thailand. Kasetsart J (Nat.Sci) 32: 109-115. Watson RA, Coles RG, Long WJL. 1993. Simulation Estimates of Annual Yield and Landed Value for Commercial Penaeid Prawns from a Tropical Seagrass Habit, Northern Queensland, Australia. Freshwater 44: 211-219. Waycott M, Duarte CM, Carruthers TJB, Orth RJ, Dennison WJ, Olyarnik S, Calladine A, Fourqurean JW, Heck Jr KL, Hughes AR, Kendrick GA, Kenworthy WJ, Short FT and Williams SL. 2009. Accelerating Loss Of Seagrasses Acros The Globe Threatens Coastal Ecosystems. Proceedings Of The National Academy Of Science Of The United State Of America 106: 12,377-12,381. Wibisono MS. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Wimbaningrum R. 2000. Pola Zonasi Lamun (Seagrass) dan Inverebrata Makrobentik yang Berkoeksistensi di Rataan Terumbu Pantai Bama Taman Nasional Baluran Jatim. Diakses dari http;//www.irwantoshut.com. Diakses pada tanggal 29 Juni 2008. Wolf M. 1982. An Improved Universal extracting for Diagnosing Soil Fertility. Com. Soil Sci. plant, 12 : 1005-1033.
42 Zieman JC. 1975. "Tropical seagrass ecosystems and pollution" In Tropical Marine pollution. E.J. Ferguson wood & R.E. Johannes (ed.). Elsevier Sci. Publsh. Co. Amsterdam pp. 63-73. Zieman JC, Wetzel NG. 1980. Productivity in seagrasses: methods and rates. In: Handbook of seagrass biology: an ecosystem perspective. (Phillips RC and Mc Roy CP eds.) Garland Publ.Inc. New York. 87-115.
43 Lampiran 1 Rata-rata kerapatan jenis lamun antar stasiun Kerapatan Jenis (Ind/m2) Stasiun Jumlah Ea Th Cr Si Ho Hu 1 319 239 117 103 173 4 955 2 251 293 0 220 137 29 931 3 140 264 0 75 139 81 699 Rerata 236 265 39 132 150 38 861 Keterangan: Ea:E. acoroides, Th:T. hemprichii, Cr:C. rotundata, Si:S. isoetifolium, Ho:H. ovalis, Hu:H. uninervis. Lampiran 2 Analisis sidik ragam (ANOVA) kerapatan jenis lamun antar stasiun Sum of Jenis Lamun Squares df Mean Square F Sig. E. acoroides Between Groups 48792.889 2 24396.444 1.300 .340 Within Groups 112597.333 6 18766.222 Total 161390.222 8 T. hemprichii Between Groups 4490.667 2 2245.333 .414 .679 Within Groups 32565.333 6 5427.556 Total 37056.000 8 C. rotundata Between Groups 27534.222 2 13767.111 28.576 .001 Within Groups 2890.667 6 481.778 Total 30424.889 8 S. isoetifolium Between Groups 35672.889 2 17836.444 2.069 .207 Within Groups 51733.333 6 8622.222 Total 87406.222 8 H. ovalis Between Groups 2499.556 2 1249.778 .117 .891 Within Groups 64000.000 6 10666.667 Total 66499.556 8 H. uninervis Between Groups 9326.222 2 4663.111 1.023 .415 Within Groups 27349.333 6 4558.222 Total 36675.556 8 Lampiran 3 Uji lanjut Duncan kerapatan jenis lamun antar stasiun. Jenis Lamun Stasiun Rata-rata Signifikansi E. acoroides 1 319 a 2 251 a 3 140 a T. hemprichii 1 239 a 2 293 a 3 264 a C. rotundata 1 117 a 2 0 b 3 0 b S. isoetifolium 1 103 a
44 2 220 a 3 75 a H. ovalis 1 173 a 2 137 a 3 139 a H. uninervis 1 4 a 2 29 a 3 81 a Keterangan : Huruf yang berbeda menyatakan tingkat beda nyata Lampiran 4 Rata-rata kerapatan relatif lamun antar stasiun Kerapatan Jenis (%) Stasiun Jumlah Ea Th Cr Si Ho Hu 1 31 28 12 9 19 0,4 100 2 28 38 0 24 7 3 100 3 19 36 0 17 16 8 95 Rerata 26 34 4 16 14 4 98 Lampiran 5 Analisis sidik ragam (ANOVA) kerapatan relatif lamun antar stasiun Jenis Lamun Sum of Squares df Mean Square F E. acoroides Between Groups 238.222 2 119.111 .698 Within Groups 1023.333 6 170.556 Total 1261.556 8 T. hemprichii Between Groups 144.889 2 72.444 .389 Within Groups 1118.000 6 186.333 Total 1262.889 8 C. rotundata Between Groups 48.00 288.000 2 144.000 0 Within Groups 18.000 6 3.000 Total 306.000 8 S. isoetifolium Between Groups 337.556 2 168.778 1.768 Within Groups 572.667 6 95.444 Total 910.222 8 H. ovalis Between Groups 226.889 2 113.444 .920 Within Groups 740.000 6 123.333 Total 966.889 8 H. uninervis Between Groups 90.889 2 45.444 1.225 Within Groups 222.667 6 37.111 Total 313.556 8 Lampiran 6 Uji lanjut Duncan kerapatan relatif lamun antar stasiun Jenis Lamun Stasiun Rata-rata Signifikansi E. acoroides 1 31 a 2 28 a
Sig. .534
.694
.000
.249
.448
.358
45
T. hemprichii
C. rotundata
S. isoetifolium
H. ovalis
H. uninervis
3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
19 28 38 36 12 0 0 9 24 17 19 7 16 0,4 3 8
a a a a a b b a a a a a a a a a
Lampiran 7 Rata-rata frekuensi jenis lamun antar stasiun Frekuensi Jenis (%) Stasiun Jumlah Ea Th Cr Si Ho Hu 1 0,12 0,11 0,05 0,05 0,09 0,01 0,44 2 0,11 0,12 0 0,11 0,07 0,03 0,43 3 0,11 0,12 0 0,05 0,05 0,04 0,37 Rerata 0,11 0,12 0,02 0,07 0,07 0,03 0.41 Lampiran 8 Analisis sidik ragam (ANOVA) frekuensi jenis lamun antar stasiun Sum of Mean Jenis Lamun Squares df Square F Sig. E. acoroides Between Groups .000 2 .000 .500 .630 Within Groups .002 6 .000 Total .002 8 T. hemprichii Between Groups .000 2 .000 1.000 .422 Within Groups .001 6 .000 Total .001 8 C. rotundata Between Groups .006 2 .003 16.000 .004 Within Groups .001 6 .000 Total .007 8 S. isoetifolium Between Groups .006 2 .003 2.667 .148 Within Groups .006 6 .001 Total .012 8 H. ovalis Between Groups .002 2 .001 .778 .501 Within Groups .010 6 .002 Total .012 8 H. uninervis Between Groups .001 2 .001 .375 .702
46 Within Groups Total
.009 .010
6 8
.001
Lampiran 9 Uji lanjut Duncan frekuensi jenis lamun antar stasiun Jenis Lamun Stasiun Rata-rata Signifikansi E. acoroides 1 0,12 a 2 0,11 a 3 0,11 a T. hemprichii 1 0,11 a 2 0,12 a 3 0,12 a C. rotundata 1 0,05 a 2 0 b 3 0 b S. isoetifolium 1 0,05 a 2 0,11 a 3 0,05 a H. ovalis 1 0,09 a 2 0,07 a 3 0,05 a H. uninervis 1 0,01 a 2 0,03 a 3 0,04 a Lampiran 10 Rata-rata frekuensi relatif lamun antar stasiun Stasiun Frekuensi Relatif (%) Jumlah Ea Th Cr Si Ho Hu 1 31 25 11 11 20 2 100 2 26 31 0 25 14 4 100 3 30 36 0 12 13 9 100 Rerata 29 31 4 16 15 5 100 Lampiran 11 Analisis sidik ragam (ANOVA) frekuensi relatif lamun antar stasiun Sum of Jenis Lamun Squares df Mean Square F Sig. E. acoroides Between Groups 29.556 2 14.778 .183 .837 Within Groups 485.333 6 80.889 Total 514.889 8 T. hemprichii Between Groups 160.222 2 80.111 1.750 .252 Within Groups 274.667 6 45.778 Total 434.889 8 C. rotundata Between Groups 227.556 2 113.778 11.253 .009 Within Groups 60.667 6 10.111 Total 288.222 8
47 S. isoetifolium Between Groups Within Groups Total H. ovalis Between Groups Within Groups Total H. uninervis Between Groups Within Groups Total
333.556 326.000 659.556 110.222 548.000 658.222 62.889 308.000 370.889
2 6 8 2 6 8 2 6 8
166.778 54.333
3.070
.121
55.111 91.333
.603
.577
31.444 51.333
.613
.573
Lampiran 12 Uji lanjut Duncan frekuensi relatif lamun antar stasiun Jenis Lamun Stasiun Rata-rata Signifikansi E. acoroides 1 74 a 2 65 a 3 65 a T. hemprichii 1 65 a 2 74 a 3 74 a C. rotundata 1 33 a 2 0 b 3 0 c S. isoetifolium 1 33 a 2 65 a 3 33 a H. ovalis 1 57 a 2 49 a 3 41 a H. uninervis 1 8 a 2 8 a 3 16 a Lampiran 13 Rata-rata penutupan jenis lamun antar stasiun Tutupan Jenis (%) Stasiun Jumlah Ea Th Cr Si Ho Hu 1 74 65 33 33 57 8 270 2 65 74 0 65 49 8 261 3 65 74 0 33 41 16 229 Rerata 68 71 11 44 49 11 253 Lampiran 14 Analisis sidik ragam (ANOVA) penutupan jenis lamun antar stasiun Sum of Jenis Lamun Squares df Mean Square F Sig. E. acoroides Between Groups 138.889 2 69.444 .500 .630 Within Groups 833.333 6 138.889 Total 972.222 8
48 T. hemprichii
Between Groups Within Groups Total C. rotundata Between Groups Within Groups Total S. isoetifolium Between Groups Within Groups Total H. ovalis Between Groups Within Groups Total H. uninervis Between Groups Within Groups Total
138.889 416.667 555.556 2178.000 384.000 2562.000 2156.222 2401.333 4557.556 400.222 4451.333 4851.556 138.889 1250.000 1388.889
2 6 8 2 6 8 2 6 8 2 6 8 2 6 8
69.444 69.444
1.000
.422
1089.000 17.016 64.000
.003
1078.111 400.222
2.694
.146
200.111 741.889
.270
.772
69.444 208.333
.333
.729
Lampiran 15 Uji lanjut Duncan penutupan jenis lamun antar stasiun Jenis Lamun Stasiun Rata-rata Signifikansi E. acoroides 1 30 a 2 28 a 3 25 a T. hemprichii 1 23 a 2 32 a 3 35 a C. rotundata 1 10 a 2 0 b 3 0 c S. isoetifolium 1 13 a 2 15 a 3 13 a H. ovalis 1 57 a 2 49 a 3 41 a H. uninervis 1 8 a 2 8 a 3 16 a Lampiran 16 Rata-rata penutupan relatif lamun antar stasiun Tutupan Jenis (%) Stasiun Jumlah Ea Th Cr Si Ho Hu 1 26 24 13 14 21 3 100 2 26 29 0 25 17 3 100 3 28 31 0 14 18 8 100 Rerata 27 28 4 17 19 5 100
49 Lampiran 17 Analisis sidik ragam (ANOVA) penutupan relatif lamun antar stasiun Sum of Jenis Lamun Squares df Mean Square F E. acoroides Between Groups 11.556 2 5.778 .124 Within Groups 280.000 6 46.667 Total 291.556 8 T. hemprichii Between Groups 84.222 2 42.111 1.354 Within Groups 186.667 6 31.111 Total 270.889 8 C. rotundata Between Groups 338.000 2 169.000 26.684 Within Groups 38.000 6 6.333 Total 376.000 8 S. isoetifolium Between Groups 272.222 2 136.111 2.256 Within Groups 362.000 6 60.333 Total 634.222 8 H. ovalis Between Groups 33.556 2 16.778 .208 Within Groups 484.000 6 80.667 Total 517.556 8 H. uninervis Between Groups 53.556 2 26.778 .701 Within Groups 229.333 6 38.222 Total 282.889 8 Lampiran 18 Uji lanjut Duncan penutupan relatif lamun antar stasiun Jenis Lamun Stasiun Rata-rata Signifikansi E. acoroides 1 26 a 2 26 a 3 28 a T. hemprichii 1 24 a 2 29 a 3 31 a C. rotundata 1 13 a 2 0 b 3 0 b S. isoetifolium 1 14 a 2 25 a 3 14 a H. ovalis 1 21 a 2 17 a 3 18 a H. uninervis 1 3 a 2 3 a 3 8 a
Sig. .886
.327
.001
.186
.818
.533
50
Lampiran 19 Rata-rata biomassa lamun antar stasiun Biomassa (gbk/m2) Stasiun Ea Th Cr Si Ho Hu 1 75,7 27,6 2,5 4,1 11,5 0 2 68,9 45,7 0 6,6 10,1 1,4 3 58,6 34 0 1,6 10,6 2,2 Rerata 67,7 35,8 0,8 4,1 10,7 1,2
Jumlah 121,4 132,6 106,9 120,3
Lampiran 20 Analisis sidik ragam (ANOVA) biomassa lamun antar stasiun Sum of Jenis Lamun Squares df Mean Square F E. acoroides Between Groups 444.403 2 222.202 6.436 Within Groups 207.149 6 34.525 Total 651.553 8 T. hemprichii Between Groups 502.404 2 251.202 1.431 Within Groups 1053.589 6 175.598 Total 1555.994 8 C. rotundata Between Groups 12.323 2 6.161 1.003 Within Groups 36.869 6 6.145 Total 49.192 8 S. isoetifolium Between Groups 36.984 2 18.492 7.161 Within Groups 15.493 6 2.582 Total 52.477 8 H. ovalis Between Groups 3.237 2 1.619 .006 Within Groups 1763.199 6 293.867 Total 1766.436 8 H. uninervis Between Groups 7.027 2 3.513 1.042 Within Groups 20.231 6 3.372 Total 27.258 8 Lampiran 21 Uji lanjut Duncan biomassa lamun antar stasiun Jenis Lamun Stasiun Rata-rata Signifikansi E. acoroides 1 75,7 a 2 68,9 ab 3 58,6 b T. hemprichii 1 27,6 a 2 45,7 a 3 34 a C. rotundata 1 2,5 a 2 0 a 3 0 a S. isoetifolium 1 4,1 ab 2 6,6 a
Sig. .032
.310
.421
.026
.995
.409
51
H. ovalis
H. uninervis
3 1 2 3 1 2 3
1,6 11,5 10,1 10,6 0 1,4 2,2
b a a a a a a
Lampiran 22 Analisis sidik ragam (ANOVA) substrat antar stasiun Sum of Mean Kandungan Substrat Squares df Square F C-organik Between Groups 1.384 2 .692 14.001 Within Groups .297 6 .049 Total 1.681 8 Nitrat Between Groups 3.685 2 1.843 2.400 Within Groups 4.606 6 .768 Total 8.291 8 Phosphate Between Groups 23.297 2 11.648 13.710 Within Groups 5.098 6 .850 Total 28.394 8
Sig. .005
.171
.006
Lampiran 23 Uji lanjut Duncan substrat antar stasiun Jenis Lamun Stasiun Rata-rata Signifikansi C-organik 1 1,50 a 2 1,05 b 3 0,54 c Nitrat 1 2,74 a 2 1,96 ab 3 1,18 b Phosphate 1 6,12 a 2 5,01 ab 3 2,29 b Lampiran 24 Tingkat kepentingan faktor strategi kawasan ekosistem lamun Simbol Faktor Kekuatan (strengths) S1 1. Potensi sumberdaya alam dan lingkungan S2 2. Sebagai daerah spawning, feeding dan nursery ground Simbol Faktor Kelemahan (weaknesses) W1 1. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang ekosistem lamun dan pengelolaan W2
internal dalam pengelolaan Tingkat Kepentingan Penting (Adigdo 2014) Sangat penting Tingkat Kepentingan Sangat Penting
Penting
52
W3
2. Rendahnya tingkat ekonomi masyarakat Cukup penting 3. Belum adanya pemanfaatan lamun dari masyarakat
Lampiran 25 Tingkat kepentingan faktor eksternal dalam pengelolaan kawasan ekosistem lamun Simbol Faktor Peluang (Opportunities) Tingkat Kepentingan O1 1. Penelitian tentang lamun telah banyak Penting 2. Adanya dukungan Lembaga Swadaya O2 Masyarakat (LSM) Penting 3. Lamun sebagai bahan kerajinan dan O3 peningkatan produksi perikanan Cukup penting Simbol T1 T2 T3
Faktor Ancaman (Threats) 1. Potensi buangan limbah 2. Kegiatan wisatawan yang merusak ekosistem lamun 3. Eksploitasi dari nelayan luar yang menggunakan alat tangkap yang berbahaya bagi ekosistem
Tingkat Kepentingan Sangat penting Penting Cukup penting
Lampiran 26 Penilaian bobot faktor strategi internal dalam pengelolaan ekosistem lamun Faktor Internal S1 S2 W1 W2 W3 Jumlah Bobot S1 0 4 3 3 2 12 0,20 S2 4 0 4 3 2 13 0,22 W1 3 4 0 4 2 13 0,22 W2 3 3 4 0 3 13 0,22 W3 2 2 2 3 0 9 0,15 Total 60 1,00 Lampiran 27 Penilaian bobot faktor eksternal dalam pengelolaan ekosistem lamun Faktor Eksternal O1 O2 O3 T1 T2 T3 Jumlah Bobot O1 0 3 2 4 3 2 14 0,17 O2 3 0 2 4 3 2 14 0,17 O3 2 2 0 3 2 2 11 0,14 T1 4 4 3 0 3 3 17 0,21 T2 3 3 2 3 0 3 14 0,17 T3 2 2 2 3 2 0 11 0,14 Total 81 1,00 Lampiran 28 Matrik IFE Faktor-faktor strategi internal Kekuatan (S) S1 Potensi sumberdaya lamun
Bobot
Rating
0,20
3
skor 0,6
53 S2
Lamun sebagai daerah spawning, feeding, dan nursery ground Kelemahan (W) W1 Kurangnya pemahaman masyarakat tentang ekosistem lamun dan pengelolaan W2 Rendahnya tingkat ekonomi masyarakat W3 Adanya kerusakan ekosistem lamun Lampiran 29 Matriks EFE Faktor-faktor strategi eksternal Peluang (O) O1 Penelitian lamun telah banyak dilakukan O2 Adanya dukungan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) O3 Lamun sebagai bahan kerajinan dan peningkatan produksi perikanan Anvcaman (T) T1 Potensi buangan limbah T2 Kegiatan/aktivitas wisatawan yang merusak ekosistem lamun T3 Eksploitasi dari nelayan luar yang menggunakan alat tangkap yang berbahaya bagi ekosistem
0,22
4
0,88
0,22
3
0,66
0,22
3
0,66
0,15
2
0,3
Bobot
Rating
skor
0,17
3
0,51
0,17
4
0,68
0,14
2
0,28
0,21 0,17
4 3
0,84 0,51
0,14
2
0,28
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bima pada tanggal 16 April 1987 dari ayah Iskandar Bc. Kn, S. Sos, MM dan ibu Sry Suhada Abdullah Qisman Amry S.Pd. Penulis adalah putra kedua dari tiga bersaudara. Penulis melanjutkan pendidikan jenjang S1 pada tahun 2006 pada Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Mataram, lulus pada tahun 2012. Kegiatan di luar akademik, penulis aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Perikanan (HIMAPIKA) tahun 2006-sekarang sebagai Dewan Pertimbangan Organisasi (DPO), Kelompok Mahasiswa Pencinta Alam Sativa Science Club (KAPA-SSC) Divisi Gunung Hutan tahun 2009-2012, Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) tahun 2008-2010, penulis juga mengikuti kegiatan Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM) tahun 2008-2011. Pada tahun 2013 penulis melanjutkan pendidikan program Magister Sains di Sekolah Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Istitut Pertanian Bogor. Kegiatan di luar akademik selama di Bogor, penulis mengikuti kegiatan Training Course in Seagrass Transplantation Methods yang diselenggarakan oleh LIPI tahun 2014, dan pada tahun yang sama turut memberikan kontribusi pada yayasan Pemberdayaan dan Pendidikan Konservasi Alam (YAPEKA) yang bekerja sama dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL IPB) dalam riset ekologi ekosistem pesisir di perairan Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Tugas akhir yang penulis selesaikan dengan menyusun tesis dengan judul “Kajian Ekologi Ekosistem Lamun Sebagai Dasar Penyusunan Strategi Pengelolaan Pesisir Di Desa Bahoi Sulawesi Utara” yang dimuat pada jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis (ITKT) IPB yang berjudul “Kerapatan dan Penutupan Lamun di Pesisir Bahoi, Sulawesi Utara”.