KANDUNGAN C-organik PADA LAMUN BERDASARKAN HABITAT DAN JENIS LAMUN DI PESISIR DESA BAHOI KABUPATEN MINAHASA UTARA SULAWESI UTARA
ALPININA YUNITHA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kandungan C-org pada lamun berdasarkan habitat dan jenis lamun di pesisir Desa Bahoi Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Alpinina Yunitha NIM C251124041
RINGKASAN ALPININA YUNITHA. Kandungan C-organik pada Lamun Berdasarkan Habitat dan Jenis Lamun di Pesisir Desa Bahoi Kabupaten Minahasa Utara Sulawesi Utara. Dibimbing oleh YUSLI WARDIATNO dan FREDINAN YULIANDA. Peningkatan emisi karbon berasal dari aktivitas membakar lahan, asap pabrik dan kendaraan bermotor. Peningkatan ini mengakibatkan terjadinya pemanasan global selanjutnya terjadi perubahan iklim. Diperlukan usaha meminimalkan dampak dari perubahan iklim tersebut. Terkait dengan kondisi ini, diketahui bahwa laut dan pesisir memiliki kemampuan dalam mengurangi emisi karbon dengan menyerap dan menyimpan karbon. Salah satu ekosistem yang memiliki kemampuan menyerap karbon adalah ekosistem lamun. Lamun merupakan tumbuhan yang hidup di wilayah pesisir, memiliki peranan ekologi yang sangat penting dalam siklus kehidupan ekosistem pesisir yaitu sebagai produsen primer, habitat lamun seringkali dijadikan tempat asuhan bagi ikan-ikan kecil, mencari makan serta tempat perlindungan bagi ikan ataupun biota lain. Peranan penting lamun lainnya dalam menjaga kestabilan pantai adalah sebagai peredam arus. Oleh karena itu habitat lamun juga seringkali disebut sebagai pondasi pesisir. Pada umumnya lamun hidup pada tiga habitat yang terdapat di pesisir yaitu mangrove, lamun dan terumbu karang. Masing-masing habitat akan mempengaruhi keberadaan lamun sesuai dengan karakteristik habitat, perbedaan meliputi kepadatan dan biomassa lamun. Perbedaan keberadaan lamun juga akan membedakan kemampuan lamun dalam melakukan penyerapan karbon. Penelitian ini dilakukan di pesisir Desa Bahoi, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara pada bulan April 2014 dengan menggunakan tiga stasiun dengan masing-masing ulangan sebanyak tiga kali. Tiga stasiun meliputi stasiun A (habitat mangrove), B (habitat lamun) dan C (habitat terumbu karang). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengukur kandungan C-organik yang terdapat pada lamun berdasarkan habitat dan jenis lamun. Terdapat enam jenis lamun yang ditemukan selama penelitian di pesisir Desa Bahoi. Berdasarkan hasil Analisis Komponen Utama pencirian parameter pada masing-masing stasiun tidak berdasarkan kuantitas melainkan konsistennya suatu parameter, kepadatan lamun dicirikan oleh kandungan C-org hanya terdapat pada jenis T. hemprichii yang terdapat pada stasiun A. Secara keseluruhan berdasarkan habitat, maka habitat mangrove merupakan habitat dengan kandungan C-org tertinggi.
Kata kunci: C-organik, Desa Bahoi, habitat, lamun
SUMMARY ALPININA YUNITHA. C-Organic Content in Seagrasses based on Habitat and Species in Bahoi Coastal Area, North Minahasa Distric, North Sulawesi. Supervised by YUSLI WARDIATNO and FREDINAN YULIANDA. The increasing of carbon emissions comes from land burn activity, smoke from factories and vehicles. This phenomenon results in climate change and changes the balance of nature. Appropriate efforts were needed to minimize the impact of these changes. Based on the condition, it is well-known that the sea and the coast are able to reduce carbon emissions by absorbing and storing carbon. One of the ecosystem that has the ability to absorb carbon is seagrass ecosystem. Seagrass is a type of plant living in coastal areas which has many important ecologycal roles such as becoming a primary producer in the coastal ecosystem, nursery ground, feeding ground and shelter for fish or the other organisms, and flow reducer to maintain the stability of seagrass beach. Therefore, seagrass habitat is also known as coastal foundation. In general, seagrass grows could live in three types of habitat which could be found in the coastal. Those habitats are mangrove, seagrass and coral reef. Each of these habitat influences the presence, density and biomass of seagrass in accordance with habitat characteristic. Differences of seagrass presence would also distinguish the capability of seagrass to absorb carbon This research was conducted in the coastal village of Bahoi, North Minahasa Distric, North Sulawesi in April 2014, using three stations with three replications in each station. The stations were A (mangrove), B (seagrass) and C (coral reef). This study aims to analyze and measure the content of C-organic contained in seagrass based on the habitats and the different species of seagrass. There are six types of seagrass found during research in the coastal village of Bahoi. Based on Principal Component Analysis of the results, the characterization parameters at each station is not based on the quantity but the inconsistency of a parameter. Seagrass density is characterized by the content of C – org that found only in T. hemprichii contained in station A. Overall, the mangrove habitat has the highest content of C – org.
Key words: Bahoi, C-organik, habitat, seagrass
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KANDUNGAN C-organik PADA LAMUN BERDASARKAN HABITAT DAN JENIS LAMUN DI PESISIR DESA BAHOI KABUPATEN MINAHASA UTARA SULAWESI UTARA
ALPININA YUNITHA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji luar komisi pembimbing pada ujian tesis : Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc.
Judul Tesis
Nama NIM
: Kandungan C-organik pada Lamun Berdasarkan Habitat dan Jenis Lamun di Pesisir Desa Bahoi Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara : Alpinina Yunitha : C251124041
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc Ketua
Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian: 26 Januari 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyajikan tulisan ilmiah berdasarkan kegiatan penelitian yang dilakukan sejak April 2014. Karya ilmiah ini merupakan pengembangan bidang ilmu ekologi perairan yang berjudul Kandungan C-organik pada Lamun Berdasarkan Habitat dan Jenis Lamun di Pesisir Desa Bahoi Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Institut Pertanian Bogor (IPB) yang telah menyediakan berbagai fasilitas sehingga penelitian ini dapat terselesaikan. 2. Dr Ir Enan M Adiwilaga selaku Ketua Program Studi SDP untuk tahun studi 2010-2013 yang telah membantu dalam tahapan penyelesaian studi dan penelitian. 3. Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc selaku Ketua Program Studi SDP untuk tahun studi 2014-2017 sekaligus sebagai dosen penguji luar komisi pembimbing pada ujian tesis yang telah banyak membantu serta memberikan masukan dan saran dalam penyempurnaan tulisan ini. 4. Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc dan Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan kepada penulis dari tahap awal pelaksanaan penelitian sampai pada tahap akhir penulisan karya ilmiah ini. 5. Dosen Penguji Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc. 6. Seluruh keluarga, terutama kepada Papah dan Mamah, saudara (Rina Pratiwi Yosua Pranata) atas doa dan dukungan yang tidak pernah putus sehingga tulisan ini berhasil diselesaikan. 7. Pemerintah Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah atas bantuan dana pendidikan yang telah diberikan selama dua tahun masa studi. 8. Pemberdayaan Masyarakat & Pendidikan Konservasi Alam (Yapeka), GoodPlanet serta PKSPL-IPB selaku penyokong dana dalam penelitian ini. 9. Seluruh staf laboratorium produktivitas dan lingkungan perairan MSP IPB (Bu Anna, Alifa, Erry), rekan-rekan yang turut membantu pelaksanaan penelitian di lapangan (Pak Maxi dan Ibu, serta Udin), teman-teman seperjuangan (Dede, Nta, Chitra, Mba Pien dan Anggota Lab Bimi). 10. Seluruh rekan SDP 2012, SDP 2013, rekan-rekan kosan LPT serta temanteman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas dukungan yang telah diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Februari 2015
Alpinina Yunitha
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Hipotesis Manfaat Penelitian 2 METODE Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Prosedur Penelitian Penentuan Transek Pengamatan Pengukuran Kualitas Air Kepadatan Pengambilan Sedimen Biomassa Kandungan C-org Analisis Fraksi Substrat Analisa Data Kepadatan Lamun Biomassa Lamun Kandungan C-org lamun Kandung N dan P total substart Analisis Varians Satu Arah Analisis Komopenen Utama 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Air Kepadatan Lamun Biomassa Lamun Fraksi Substratat Kandungan N dan P total Substrat Kandungan C-org Lamun Hubungan kandungan C-org dengan Substrat dan Jenis lamun 4 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
i
i ii ii ii 1 3 3 3 4 5 6 6 6 7 7 7 7 7 8 8 8 9 9 9 10 10 10 12 16 19 21 23 26 27 28 28 32
DAFTAR TABEL 1 2 3 4
Bahan dan Alat Klasifikasi Sedimen Nilai rata-rata parameter kualitas air Tipe substrat dan median terkstur
6 8 12 21
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Skema pendekatan masalah hubungan jenis substrat, jenis lamun terhadap kandungan C-org Peta Lokasi Desa Bahoi Kepadatan rata-rata lamun pada tiga stasiun Kepadatan rata-rata lamun masing-masing jenis Biomassa lamun pada tiga stastiun Biomassa rata-rata masing-masing jenis lamun Kandungan N dan P total pada substrat Kandungan C-org (%) rata-rata pada tiga stasiun Kandungan C-org (%) masing-masing jenis lamun Biplot kandungan C-org (%) terhadap substrat dan jenis lamun
4 5 13 15 17 19 23 24 25 27
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Data kualitas air Uji Anova satu arah DO Kepadatan rata-rata total per total per sub stasiun Uji Anova satu arah kepadatan rata-rata E. acoroides Uji Anova satu arah kepadatan rata-rata T. hemprichii Uji Anova satu arah kepadatan rata-rata C. rotundata Uji Anova satu arah kepadatan rata-rata S. isoetifolium Uji Anova satu arah kepadatan rata-rata H. ovalis Uji Anova satu arah kepadatan rata-rata H. uninervis Biomassa rata-rata total Fraksi substrat Uji Anova satu arah diameter substrat Uji Anova satu arah N-total Uji Anova satu arah P-total Kandungan C-organik (%) rata-rata per stasiun Akar ciri dan korelasi parsial AKU menggunakan minitab 16 Dokumentasi kegiatan penelitian di lapangan Dokumentasi kegiatan penelitian di laboratorium Jenis-jenis lamun yang ditemukan
ii
32 32 32 33 33 33 34 34 34 35 35 36 36 37 37 37 38 39 41
1
1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Lamun merupakan tumbuhan laut termasuk dalam kelompok angiosperma (tumbuhan berbunga) yang tumbuh di daerah pasang surut dan daerah subtidal, memiliki sistem akar dan rimpang (Hemingga et al. 2001; Short et al. 2007; Athiperumalsami et al. 2008). Memiliki karakter tumbuhan darat pada umumnya yaitu dapat dibedakan antara daun, batang, akar dan rimpang. Lamun diketahui terdiri dari lima famili: Hydrocharitaceae, Cymodoceaceae, Posidoniaceae, Zosteraceae dan Ruppiaceae dengan 12 genera, 60 spesies yang terdapat di seluruh dunia baik pada daerah tropis maupun sub tropis, meskipun tersebar diseluruh dunia, namun tidak semua jenis terdapat di semua tempat (Orth et al.2006). Penyebarannya dipengaruhi oleh faktor abiotik dan biotik seperti yang diungkapkan Borum et al. (2004), dimana pola distribusinya dapat berubah dengan cepat, hal ini terkait dengan respon lamun terhadap perubahan lingkungan (Björk et al. 2008), terutama oleh variasi rendaman dan cahaya (Mateo et al. 2006). Dilaporkan Newmaster et al. (2011) bahwa lamun menyukai substrat berlumpur, berpasir, tanah liat, ataupun substrat dengan patahan karang serta pada celah-celah batu, sehingga tidak heran jika lamun masih dapat ditemukan pada ekosistem karang. Sebagai tumbuhan yang hidup didaerah pasang surut tentu lamun memiliki fungsi dalam siklus pesisir bersama dengan ekosistem lainnya seperti mangrove dan terumbu karang. Unsworth et al. (2007) melaporkan lamun memiliki struktur akar yang kuat sehingga memungkinkan untuk menahan kuatnya arus dan gelombang serta merupakan pondasi bagi sebuah ekosistem dan sebagai produsen primer, habitatnya seringkali sebagai wadah yang mendukung kehidupan ikanikan dan krustasea muda (Watson et al. 1993; Benstead et al. 2006; Hori et al. 2009; Barbier et al. 2011). Selain sebagai produsen primer bagi biota laut dan habitat, lamun juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai penangkap sedimen dan pendaur unsur hara (Hemingga 1998; Azkab 1999). Peran lamun yang banyak dalam sebuah ekosistem perairan terutama ekosistem pesisir dan laut, membuat lamun dapat dijadikan sebagai indikator kesehatan sebuah perairan, hal ini seperti yang diungkapkan (Vichkovitten 1998; Paynter et al. 2001) bahwa lamun memiliki peran kunci sebagai indikator yang baik bagi sebuah lingkungan perairan. Selanjutnya Anderson & Fourquren (2003) menyatakan lamun merupakan bagian penting pada ekosistem air dangkal pada wilayah pesisir. Fungsi lain dari lamun yang menjadi perbincangan beberapa tahun terakhir ini adalah kemampuan lamun dalam menyerap dan menyimpan karbon. Berdasarkan Barrón et al. (2006) lamun merupakan lokasi aliran karbon organik dan anorganik. Dilaporkan Laffoley & Grimsditch (2009) lamun merupakan salah satu ekosistem yang berpotensi menyimpan karbon dalam jumlah besar selain mangrove dan terumbu karang, kemampuan lamun menyerap karbon sering disebut “Blue Carbon”. Karbon dalam bentuk CO2 berasal dari aktivitas manusia seperti membakar lahan, asap-asap pabrik, dan kendaraan bermotor. Peningkatan kandungan CO2 di atmosfer menyebabkan terjadinya pemanasan global yang
2
kemudian memicu terjadinya perubahan iklim. Bagi kehidupan pesisir perubahan iklim akan menimbulkan dampak meningkatnya permukaan laut yang nantinya akan berpengaruh terhadap siklus kehidupan pesisir. Besarnya dampak dari peningkatan kandungan CO2 di atmosfer maka diperlukan usaha pencegahan serta penanggulangan yang dapat meminimalkan emisi karbon. Terkait kondisi ini maka sesuai dengan yang diungkapkan Setiawan et al. (2012) bahwa ekosistem laut mempunyai potensi besar dalam menyerap karbon (CO 2) sebagai gas utama penyebab pemanasan global yang berimplikasi pada terjadinya perubahan iklim. Penyerapan karbon dilakukan oleh lamun sebagai bahan proses fotosintesis yang menghasilkan oksigen dan glukosa sama seperti pada tumbuhan tingkat tinggi dalam menangkap cahaya (Andrews & Abel 1979; Fyfe 2003; McKenzie 2008). Lamun seringkali membentuk sebuah padang yang luas terdiri dari beberapa jenis lamun. Kondisi yang terjadi saat ini, banyak wilayah pesisir mengalami pengalihfungsian lahan sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Hampir setiap tahunnya padang lamun mengalami penurunan, minimnya informasi mengenai manfaat lamun serta habitat yang terdapat pada pesisir sebagai salah satu penyebab berlangsungnya kegiatan pengalihfungsian lahan. Pengalihfungsian lahan yang dilakukan manusia dalam memenuhi kebutuhan seperti pembuatan dermaga, tempat wisata, tambak dengan mengorbankan vegetasi pesisir salah satunya lamun. Dengan berkurangnya padang lamun sebagai penyerap karbon, maka aktivitas ini juga memperparah peningkatan laju karbon dikarenakan terlepasnya kembali karbon yang telah tersimpan dalam ekosistem lamun ke atmosfer. Seperti yang diungkapkan dalam Nellemann et al. (2009) lautan tidak hanya menyerap, namun menyimpan dan mendistribusikan karbon (CO2), sehingga terdapat 93% CO2 bumi tersimpan dalam siklus di lautan. Banyaknya wilayah pesisir di Indonesia yang mengalami pengalihfungsian tidak dialami pesisir Desa Bahoi yang terletak di Kabupaten Minahsa Utara Provinsi Sulawesi Utara. Kondisi alam yang masih alami dan kehidupan masyarakat yang sangat sederhana menjadikan pesisir Desa Bahoi tidak banyak mengalami perubahan dari kondisi aslinya. Masih banyak dijumpai juvenile yang artinya padang lamun masih menjalankan fungsinya sebagai daerah asuhan, bintang laut dan bulu babi yang terdapat pada padang lamun, karang dengan bentuk yang beragam serta air yang jernih dan bersih. Masyarakat sekitar dalam memenuhi kehidupan sehari-hari bersandar dari hasil tangkapan laut yang dilakukan per keluarga ataupun kelompok. Penangkapan ikan yang dilakukan masyarakat disini masih menggunakan cara tradisional dengan tujuan untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan mereka. Letak Desa Bahoi yang cukup jauh dari pusat kota dengan infrastruktur jalan yang masih kurang mendukung membuat Desa Bahoi tidak banyak mendapatkan masukan moderenisasi perkotaan. Kondisi padang lamun pesisir Desa Bahoi yang terjaga menjadi salah satu kontributor kestabilan tangkapan ikan masyarakat sekitar. Padang lamun yang cukup luas memberikan perlindungan bagi biota-biota yang terdapat pada ekosistem lamun sehingga menjamin keberlangsungan siklus laut secara umum. Banyaknya keragaman jenis lamun di pesisir Desa Bahoi mengindikasikan bahwa perairan di sekitar pesisir masih baik sehingga sangat memenuhi syarat bagi keberadaan lamun. Terkait dengan kemampuan lamun dalam menyerap dan menyimpam karbon, maka kondisi pesisir Desa Bahoi akan sangat membantu untuk menganalisis dan mengukur kandungan %C dari masing-masing jenis
3
lamun. Fourqurean et al. (2012) menyatakan bahwa jumlah C-organik pada lamun bervariasi empat kali lipat dari padang rumput, hal ini mencerminkan komposisi jenis lamun dan simpanan karbon organik per unit pada lamun mirip dengan simpanan karbon organik di hutan. Pada prinsipnya dengan mengukur seberapa besar C-organik yang terkandung pada lamun, diharapkan dapat memberikan kesadaran dalam pengelolaan lingkungan pesisir baik oleh masyarakat pesisir maupun pemerintah setempat.
Perumusan Masalah Peningkatan aktivitas manusia seiring dengan meningkatnya jumlah CO 2 pada atmosfer berdampak pada perubahan iklim yang berasal dari timbulnya pemanasan global. Karbon merupakan senyawa karbon dan oksigen dalam bentuk gas yang tidak dapat terbakar, namun dapat terlarut dalam air. Larutnya CO 2 dalam air menyebabkan terjadinya asidifikasi laut yang kemudian akan berpengaruh terhadap kesehatan laut, kondisi laut asam dapat menyebabkan terganggunya kesehatan laut, seperti terjadinya korosi karang dan ada beberapa jenis ikan yang tidak dapat hidup pada kondisi asam akan mati atau mencari tempat hidup lain. Kondisi ini mengisyaratkan sangat perlu adanya upaya untuk meminimalkan peningkatan CO2. Lamun memiliki kemampuan dalam melakukan penyerapan karbon, karbon digunakan dalam proses fotosintesis yang kemudian disimpan dan dialirkan, salah satunya dalam bentuk biomassa. Kandungan C-organik pada lamun dipengaruhi oleh jenis lamun, biomassa dan kepadatan serta habitat yang meliputi kualitas air, tipe substrat, N & P substrat. Kandungan C-organik dapat diketahui dengan pendekatan biomassa, sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi biomassa dan kepadatan juga akan mempengaruhi dalam kemampuan penyerapan karbon. Desa Bahoi memiliki kondisi pesisir yang masih baik dan sehat dibandingkan dengan daerah pesisir lainnya yang telah mengalami kerusakan dan pengalih fungsian kawasan pesisir. Keberadaan beberapa jenis lamun yang dapat berasosiasi dalam sebuah ekosistem, menunjukkan kondisi perairan yang baik dan memenuhi syarat untuk kehidupan lamun. Kurangnya informasi mengenai manfaat dan fungsi lamun bagi kelangsungan hidup menjadi salah satu alasan mengapa lamun diabaikan dalam pengelolaannya, sehingga diharapkan dengan telah diketahuinya kemampuan lamun dalam menyimpan karbon, maka konversi ekosistem lamun dapat dicegah. Perumusan masalah dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengukur kandungan C-organik pada lamun berdasarkan habitat dan jenis lamun yang berbeda di Pesisir Desa Bahoi, Sulawesi Utara. Menentukan jenis lamun dan habitat yang paling efektif dalam menyerap karbon dan memiliki kandungan C-organik tertinggi.
4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi serta pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam kandungan C-organik pada lamun dengan habitat dan jenis lamun yang berbeda. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam penetapan kebijakan pengelolaan terhadap pemanfaatan sumberdaya perairan khususnya pesisir Desa Bahoi, Sulawesi Utara.
Pemanasan Global
Penyerapan Karbon
Padang Lamun
Jenis Lamun Kepadatan
Habitat
Biomassa
Kualitas air
Tipe Substrat
N&P Substrat
Analisis C-organik
Rekomendasi Pengelolaan Pesisir
Gambar 1 Skema pendekatan masalah hubungan kandungan C-organik pada lamun terhadap habitat dan jenis lamun.
5
2
METODE
Metode penelitian yang digunakan adalah berupa percobaan langsung di lapangan, dengan menggunakan teknik pengambilan contoh secara Purposive sampling. Tahapan penelitian dilakukan dengan persiapan penelitian meliputi survey lapangan yang kemudian dilanjutkan dengan penentuan stasiun penelitian, pengambilan sampel lamun dan substrat serta beberapa parameter pendukung berupa data kualitas air. Data yang diperoleh berupa kepadatan dan jenis, biomassa, fraksi substrat, unsur hara substrat serta C-org pada lamun. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Bahoi, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara dilanjutkan di Laboratorium Fisika dan Kimia Perairan bagian Produktivitas dan Lingkungan MSP, FPIK, IPB serta di Laboratorium Pengendalian Pencemaran Pusat Limnologi LIPI. Waktu penelitian ini berlangsung pada bulan April – September 2014. Perlakuan dan pengambilan contoh langsung dilakukan di lapangan. Terdapat tiga stasiun penelitian, pada setiap stasiun terdapat tiga ulangan .
Gambar 2 Peta lokasi penelitian Desa Bahoi
6
Bahan dan Alat Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian untuk mengukur kualitas air, biologi dan substrat Tabel 1. Tabel 1 Bahan dan Alat Parameter Satuan Fisika o Suhu C Salinitas ppm Tekstur % substrat Kimia Oksigen ppm terlarut (DO) pH C-Organik % Lamun N-Total ppm substart P-Total ppm substrat Biologi Jenis Kepadatan Tegakan/m2 Biomassa gram
Metode
Peralatan
Keterangan
Pemuaian
Termometer Salinometer
In Situ In Situ Lab.
Elektrokimiawi
DO Meter
In Situ
Elektrokimiawi Spektrofotometrik
pH indikator Spektrometer
In Situ Lab.
Spektrofotometrik
Spektrometer
Lab.
Spektrofotometrik
Spektrometer
Lab.
Identifikasi Penghitungan Penimbangan
Kuadran Kuadran Timbangan, oven
In Situ In Situ Lab.
Klasifikasi Wenworth
Prosedur Penelitian Kandungan C-org dapat diukur dengan pendekatan biomassa lamun yang diambil (pemanenan) dari lokasi penelitian. Penelitian ini terbagi dalam dua bagian yaitu penelitian yang dilakukan di lapangan meliputi pengukuran kualitas air, penghitungan kepadatan serta identifikasi jenis lamun yang kemudian dilanjutkan di laboratorium meliputi pengamatan unsur hara dan fraksi, diameter substrat serta kandungan C-org pada lamun. Penentuan Stasiun Pengamatan Tahap awal sebelum pengambilan contoh adalah dengan menentukan jumlah dan letak stasiun terlebih dahulu. Jumlah stasiun ditetapkan sebanyak tiga stasiun. Penentuan stasiun berdasarkan pendekatan habitat yaitu mangrove, lamun dan terumbu karang. Stasiun1 (habitat dekat mangrove), stasiun 2 (habitat lamun), stasiun 3 (habitat dekat terumbu karang). Setiap stasiun memiliki masing-masing tiga ulangan yang merupakan stasiun pengamatan dengan jarak yang berbedabeda. Sehingga dalam penelitian ini terdapat sembilan kuadran pengamatan, setiap kuadran pengamatan berukuran 150x50 cm.
7
Pengukuran Kualitas Air Pengambilan data kualitas air dilakukan dengan cara pengukuran langsung di lapangan (in situ) meliputi suhu, salinitas, pH, dan DO. Sampel air yang diambil dan diukur adalah air yang berada pada lokasi yang dianggap dapat mewakili karakteristik masing-masing stasiun pengamatan. Kepadatan Kepadatan lamun dapat diketahui dengan cara menghitung berapa jumlah tegakan setiap jenis lamun pada setiap kuadran berukuran 150x50 cm yang telah ditentukan. Setiap tunas lamun dihitung sebagai satu tegakan untuk setiap masingmasing jenis. Penghitungan tegakan sebaiknya dilakukan pada saat air baru surut dan ketika air akan pasang hal ini dilakukan untuk mempermudah melihat tegakan lamun, yaitu berkisar pada pukul 10.00 – 14.00 WIB, atau dapat menyesuaikan dengan kondisi dan waktu pasang surut pada daerah penelitian. Pengambilan Substrat Sampel substrat diambil dengan menggunakan pipa berdiameter 5 cm dan panjang 35 cm, lakukan penetrasi hingga kedalaman akar (30 cm), dengan kemiringan 30o yang kemudian di bagian bawah pipa ditutup menggunakan tangan pada masing-masing kuadran di setiap ulangan yang telah ditentukan. Sampel substrat dimasukkan kedalam kantong sampel yang telah diberi label dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. Bahan organik yang terdapat dalam substrat perlu diketahui sehingga nantinya dapat dihubungkan dengan kandungan C-org pada lamun. Analisis substrat meliputi penentuan tekstur, ukuran serta analisis kandungan nutrisi P dan N-total. Biomassa Pengambilan sampel biomassa dilakukan dengan cara memanen (mencabut) lamun pada kuadran 150x50 cm sampai pada kedalaman penetrasi akar sedalam 30cm. Pencabutan dilakukan dengan menggunakan sekop atau linggis yang bertujuan agar lamun dapat tercabut hingga akar. Sesaat setelah lamun diangkat dari substrat sebaiknya lamun dibersihkan dari kotoran maupun dari substart yang menempel dengan menggunakan air tawar. Pembersihan efifit dapat dibantu dengan menggunakan pisau. Setelah bersih lamun kemudian dibiarkan hingga kering angin, setelah kering lamun dimasukkan ke dalam plastik sampel yang telah diberi label untuk dibawa ke laboratorium. Sampel kemudian dipisahkan menurut jenis dan bagian lamun (daun, rhizoma dan akar), dibersihkan, dihitung jumlah tegakan, dikeringkan dengan menggunakan oven dengan suhu 105 oC selama 2x24 jam kemudian ditimbang. Kandungan C-organik Kandungan C-org dapat diketahui melalui proses analisis menggunakan metode spektrofotometrik dengan alat spektrometer yang dilakukan di laboratorium. Sebelumnya sampel lamun yang telah diambil dan dikeringkan, dihaluskan hingga berupa serbuk. Serbuk masing-masing bagian jenis lamun ditimbang hingga 0.1000 g yang kemudian ditambahkan 5 ml K2Cr2O7 (kalium dikromat) dan 7.5 ml H2SO4 (asam pekat) di ruang asam. Sampel yang telah
8
berupa larutan akan diukur nilai absorbansi menggunakan alat spektrometer dengan panjang gelombang 561 nm. Pada saat sampel dalam keadaan larutan C-org tinggi ditandai dengan warna hijau yang pekat, sedangkan sampel yang C-org nya rendah akan menunjukkan warna kuning cenderung orange. Nilai absorbansi yang telah diketahui dimasukkan ke dalam rumus sehingga menghasilkan C-org dalam bentuk ppm dapat dikonversi kedalam bentuk %. Analisis Fraksi Substrat Analisis fraksi sedimen secara keseluruhan dilakukan di Laboratorium Pengendalian Pencemaran Pusat Limnologi LIPI. Menggunakan klasifikasi substrat Wenworth 1922 (Tabel.2). Tabel 2 Klasifikasi substrat (Wenworth 1922) 0-0.002mm Fine-Medium Clay 0.0021-0.004mm Coarse Clay 0.0041-0.008mm Very Fine Silt 0.0081-0.016mm Fine Silt 0.0161-0.031mm Medium Silt 0.0311-0.063mm Coarse Silt 0.0631-0.125mm Very Fine Sand 0.1251-0.250mm Fine Sand 0.2501-0.500mm Medium Sand 0.5001-1.000mm Coarse Sand 1.0001-2.000mm Very Coarse Sand 2.0001-4.000mm Granules >4.0001mm Pebbles and larger
Mud
Sand
Gravel
Analisis Data Kepadatan Kepadatan adalah jumlah individu persatuan luas (Brower & Zar 1977) dengan formulasi : 𝐷=
𝑁𝑖 𝐴
Keterangan : D = Kepadatan lamun jenis i Ni = Jumlah lamun jenis ke- i (per kuadran) A = Luas cakupan kuadran (m2) Kepadatan lamun merupakan respon yang dilakukan oleh lamun terhadap kondisi lingkungan (Marbà et al. 2004).
9
Biomassa Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintesis, baik berupa produk maupun buangan. Biomassa (gr/m2) dapat dihitung dengan rumus (Azkab 1999) :
𝐵𝑖𝑜𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 (𝑔𝑟/𝑚2) =
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐾𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑟𝑒𝑎
Kandungan C-organik Analisis kandungan yang telah dilakukan di Laboratorium kemudian dimasukkan ke dalam rumus berikut : abs int X 100 X Faktor Pengencera n slope Kadar C Organik ( ppm) bobot
C (%)
ppm 10000
Keterangan : abs = Absrobansi int = Intersep (0.0923) slope = 0.0015 Kandungan N dan P -total pada substrat Kandungan N dan P total pada substrat dilakukan dengan metode spektrofotometrik, yang kemudian nilai absorbansi dimasukkan ke dalam rumus berikut : 𝑎𝑏𝑠 − 𝑖𝑛𝑡 𝑋 𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛 𝑠𝑙𝑜𝑝𝑒
𝑁 (𝑝𝑝𝑚) = Keterangan : Abs = Absorbansi int = Intersep (-0.0009) slope = 0.7179
𝑃 𝑝𝑝𝑚 = Keterangan : Abs = Absorbansi int = Intersep (0.0006)
𝑎𝑏𝑠 − 𝑖𝑛𝑡 𝑋 𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛 𝑠𝑙𝑜𝑝𝑒
10
slope = 0.9969 Analisis Varians Satu Arah ANOVA satu arah digunakan untuk menguji perbedaan antara variabel bebas dengan satu variabel terikat dengan syarat data dipilih secara acak, data berdistribusi normal dan data bersifat homogen. Parameter yang digunakan dalam analisis ini adalah diameter substrat, kepadatan, biomassa, bahan organik sebagai variabel bebas (Y) dan keberadaan jenis lamun, stasiun sebagai variabel terikat (X). Analisis Komponen Utama Penggunaan AKU bertujuan mendapatkan gambaran pola hubungan antara diameter lamun dengan kepadatan lamun dengan pendekatan statistika deskriptif atau dengan kata lain tujuan AKU adalah untuk mengekstrak informasi yang paling penting pada suatu data, mereduksi data yang ditetapkan sebagai informasi penting dan menyederhanakan deskripsi kumpulan data serta menganalisis struktur pengamatan dan variabel (Abdi & Williams 2010). Ditambahakan dalam Llin & Raiko (2010) bahwa AKU (Analisis Komponen Utama) adalah sebuah teknik untuk membangun variabel-variabel baru yang merupakan kombinasi linier dari variabel-variabel asli, teknik umum yang digunakan untuk menemukan pola dalam data berdimensi tinggi.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Air Kualitas suatu perairan sangat menetukan kelangsungan hidup biota maupun vegetasi yang terdapat di suatu perairan. Peningkatan aktivitas manusia berpotensi menurukan kualitas suatu perairan yang berdampak pada penurunan kualitas dan penurunan jumlah padang lamun secara khusus. Kemampuan lamun untuk dapat tumbuh secara optimal sesuai dengan kemampuannya untuk beradaptasi dengan batasan toleransi yang berbeda-beda. Beberapa diantara parameter yang memiliki dampak langsung bagi lamun seperti suhu dan salinitas maupun secara tidak langsung (DO dan pH). Parameter-parameter yang mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung sama-sama memiliki peranan penting dalam mempertahankan keberadaan lamun ataupun sebaliknya. Kualitas perairan di pesisir Desa Bahoi secara umum disajikan pada Tabel 3. Hasil pengukuran suhu pada keseluruhan stasiun berkisar antara 27–32oC dengan kisaran rata-rata 28.3-29oC. Berdasarkan data Tabel 3 rata-rata suhu pada stasiun A adalah 29oC, stasiun B rata-rata suhu 28.3oC dan stasiun C rata-rata suhu 29oC pada siang hari. Hasil uji anova menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan p sebesar 0.38 (Lampiran 2). Nilai suhu yang tidak berbeda nyata ini disebabkan rentang waktu pengambilan sampel yang dekat pada setiap stasiun yaitu berkisar pada pukul 11.00 – 13.00 WIB. Kondisi suhu perairan pada pesisir Desa Bahoi ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Lee et al. (2007) pada daerah tropis dan sub tropis pertumbuhan optimal lamun berkisar pada suhu 23 oC dan 32oC. Pengaruh suhu terhadap lamun terdapat dalam Mckenzie (2008) yang melaporkan bahwa suhu diatas 38oC dapat menyebabkan lamun stress dan menyebabkan kematian pada suhu diatas 45 oC. Ditambahkan Collier & Waycott (2014) mengungkapkan
11
bahwa pada suhu 43 oC akan terjadi kematian massal lamun setelah dua hingga tiga hari, sehingga dengan kenaikan suhu yang ekstrim akan mempengaruhi fungsi ekologis lamun pada daerah tropis. Salinitas didefinisikan sebagai jumlah berat semua garam (dalam gram) yang terlarut dalam satu liter (Nontji 1984). Nilai salinitas akan berbeda-beda pada setiap jenis perairan, untuk perairan pesisir nilai salinitas sangat dipengaruhi masukan air tawar. Salinitas perairan berpengaruh terhadap lamun secara langsung seperti yang dilaporkan Hartati et al. (2012) salinitas berpengaruh terhadap kerapatan, dan biomassa lamun. Ditambahkan dalam Touchette (2007) kerapatan dan biomassa lamun berhubungan dengan produktivitas primer yang berlangsung, hal ini terkait dengan penyerapan nutrisi yang sangat dipengaruhi salinitas. Lamun memiliki toleransi yang tinggi terhadap fluktuasi salinitas, lamun masih dapat ditemukan pada perairan dengan salinitas 10-40 ppm. Lamun hidup optimal pada perairan dengan kisaran nilai salinitas antara 24 hingga 35 ppm. Berdasarkan data kualitas air pada Tabel 3 nilai salinitas pada seluruh stasiun sama yaitu 36 ppm, nilai salinitas pada Pesisir Desa Bahoi ini menunjukkan bahwa salinitas di perairan ini masih sangat wajar mengingat lamun masih dapat ditemukan pada perairan dengan salinitas hingga 40 ppm meskipun nilai salinitas pesisir Desa Bahoi tidak termasuk ke dalam kriteria nilai salinitas untuk pertumbuhan optimal lamun. Tingginya salinitas pada pesisir Desa Bahoi diakibatkan tidak adanya sungai, sehingga tidak mendapatkan masukan dari darat, masukan air tawar di daerah pesisir ini hanya tergantung dari curah hujan. Nilai pH perairan secara umum memiliki peranan sebagai indikator untuk dapat menentukan kondisi suatu perairan. Nilai pH tinggi pada perairan laut terkait dengan pemanasan global yang mengakibatkan terjadinya asidifikasi air laut atau pengasaman air laut yaitu kondisi yang tidak menguntungkan bagi biota laut. Seperti yang diungkapkan sebelumnya, lamun memiliki kemampuan dalam melakukan penyerapan dan penyimpanan karbon, sehingga perairan pesisir yang terdapat tumbuhan lamun akan sangat jarang mengalami pengasaman. Berdasarkan kemampuan lamun itu sendiri, dapat dinyatakan bahwa pH yang sesuai dengan kebutuhan lamun adalah pH standar. Kondisi perairan dengan nilai pH tertentu akan sangat mempengaruhi proses-proses yang terjadi dalam perairan tersebut, yaitu proses biokimiawi perairan dan toksisitas suatu senyawa kimia dipengaruhi nilai pH (Effendi 2003). Nilai pH pada Pesisir Desa Bahoi secara keseluruhan menunjukkan nilai pH air laut pada umumnya yaitu 8, dimana diketahui pH air laut pada umumnya yang berkisar 7.5–8.4. Penelitian mengenai pengaruh pH dalam pertumbuhan lamun masih belum banyak ditemui, namun pada Halophila johnsonii menunjukkan bahwa peningkatan fotosintesis diikuti dengan penurunan tingkat pH (Torquemada et al. 2005). Oksigen terlarut (DO) pada suatu perairan sangat menunjang siklus kehidupan suatu perairan, diketahui bahwa oksigen merupakan komponen utama makhluk hidup dalam melakukan proses respirasi dan komponen utama bagi tumbuhan dalam melakukan kegiatan fotosintesis. Effendi (2003) menjelaskan bahwa kadar DO dalam perairan alami sangat bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air serta tekanan atmosfer. Perubahan kadar DO dalam suatu perairan dapat berdampak negatif bagi beberapa biota yang tidak memiliki kemampuan dalam merespon perubahan dengan cepat. Penurunan kadar DO dapat menghambat proses fotosintesis yang kemudian akan menurunkan produktivitas
12
primer lamun. Hasil pengukuran DO pada seluruh stasiun pengamatan (Tabel 3) berkisar 7.5–11.4 ppm dengan rata-rata 8–10.4 ppm pada siang hari. Nilai DO pada Pesisir Desa Bahoi tergolong tinggi bahkan jenuh, dikarenakan sirkulasi air yang cepat dan suhu yang tinggi. Diketahui bahwa nilai baku mutu DO air laut adalah lebih besar dari 5 ppm berdasarkan KepMenLH no 51 tahun 2004. Kecepatan arus pada penelitian ini hanya berdasarkan studi literatur seperti yang diungkapkan dalam Koch et al. (2006) lamun tidak dapat hidup pada daerah dengan paparan gelombang yang tinggi dan arus yang kuat. Arus yang mendukung proses fotosintesis lamun berkisar 0.25-0.64 cm/det (Ghufran & Kordi 2011). Tabel 3 Nilai rata-rata parameter kualitas air Stasiun A B C
DO (ppm) 8.6 10.1 10.0
Parameter Kualitas Air pH Salinitas (ppm) 8.0 36.0 8.0 36.0 8.0 36.0
Suhu (oC) 29.0 28.3 29.0
Kepadatan Lamun Kepadatan lamun merupakan respon lamun terhadap lingkungan yang dapat menggambarkan kondisi tertentu suatu lingkungan. Kemampuan lamun yang dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang cukup ekstrim, menunjukkan kemampuan lamun sebagai bioindikator sebuah perairan. Berdasarkan hasil pengamatan, ditemukan enam jenis lamun yang terdapat di pesisir Desa Bahoi meliputi jenis Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis. Keenam jenis lamun ditemukan hampir pada seluruh stasiun pengamatan. Jenis lamun yang berasosiasi pada kuadran pengamatan mencapai empat hingga enam jenis merupakan jumlah lamun yang banyak, mengingat 13 dari jenis lamun yang terdapat diseluruh dunia terdapat di Indonesia. Pada masing-masing kuadran pengamatan terdapat empat hingga enam jenis lamun yang berasosiasi, kondisi ini mencerminkan bahwa perairan dan lingkungan pesisir Desa Bahoi memenuhi persyaratan hidup sehingga beberapa jenis lamun dari yang berukuran besar hingga berukuran kecil dapat hidup dengan baik. Pada setiap stasiun pengamatan terdapat kepadatan jenis lamun berbeda-beda. Kepadatan yang berbeda pada tiap stasiun tidak berarti bahwa perbedaan tersebut berbeda nyata. Berdasakan perhitungan anova satu arah menunjukkan bahwa kepadatan tidak berbeda nyata setiap jenis lamun pada stasiun yang berbeda. Kepadatan jenis E. acoroides tidak berbeda nyata pada seluruh stasiun dengan p>0.05 (p=0.13), demikian dengan kepadatan jenis lamun lainnya (Lampiran 4-9). Perbedaan kepadatan pada masing-masing stasiun dapat menggambarkan bahwa persebaran dari setiap masing-masing jenis lamun sangat bervariasi, hal ini dapat diakibatkan adanya perbedaan kondisi lingkungan dari setiap stasiun yang mewakili habitat dekat mangrove, lamun dan dekat terumbu karang. Meskipun lamun diketahui memiliki kemampuan dalam beradaptasi dan memiliki toleransi
13
yang tinggi terhadap perubahan lingkungan, namun lamun tetap memiliki persyaratan tertentu untuk lingkungan hidupnya. Lingkungan yang memenuhi syarat hidup lamun akan membantu lamun dalam mempertahan keberadaannya hingga melakukan aktivitas reproduksi. Dengan kondisi hidup yang baik serta memiliki kesempatan melakukan aktivitas reproduksi, maka lamun memiliki kesempatan dalam memperbanyak diri yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kepadatan. Kepadatan lamun dalam suatu populasi didominasi jenis lamun yang berukuran lebih kecil, nanum meski mendominasi suatu popupasi jenis lamun ini tidak terlihat dikarenakan tertutup oleh jenis lamun yang berukuran lebih besar.
Kepadatan rata-rata (ind/m2)
3000 2500
E. acoroides T. hemprichii
2000
C. rotundata 1500
S. isoetifolium H. ovalis
1000
H. uninervis
500 0 A
B
C
Stasiun
Gambar 3 Kepadatan rata-rata lamun pada tiga stasiun Karakteristik lingkungan pada stasiun A yang paling dekat dengan habitat mangrove, tentu memiliki karakteristik yang berbeda pula dengan kondisi lingkungan pada kedua stasiun lainnya. Karakteristik lingkungan pada habitat mangrove memiliki arus relatif lebih tenang, hal ini terkait dengan kemampuan akar-akar mangrove dalam meredam arus gelombang yang datang. Selain dapat meredam arus gelombang hutan mangrove juga memiliki kemampuan dalam melindungi baik biota serta vegetasi yang terdapat disekitarnya, membuat lamun sebagai salah satu vegetasi yang hidup pada pesisir dapat tumbuh dengan baik dan aman. Pada stasiun A ditemukan seluruh jenis lamun yang terdapat pada pesisir Desa Bahoi. Jenis lamun yang memiliki kepadatan rata-rata tertinggi pada stasiun A adalah jenis T. hemprichii mencapai 488 ind/m2 , disusul oleh jenis H. uninervis 484 ind/m2, S. isoetifolium dengan 226 ind/m2 , jenis H. ovalis 182 ind/m2 , E. acoroides kepadatan rata-rata mencapai 130.66 ind/m2 dan yang merupakan kepadatan rata-rata terendah adalah C. rotundata 86 ind/m2. Ukuran jenis lamun yang besar memiliki nilai kepadatan rata-rata yang lebih rendah dibandingkan dengan jenis lamun lain yang ukurannya lebih kecil. Ukuran lamun yang lebih
14
kecil seringkali memiliki tegakan yang lebih banyak, sehingga pada saat penghitungan kepadatan rata-rata maka nilai jenis lamun yang berukuran lebih kecil akan bernilai tinggi. Perbedaan kondisi pada stasiun B dengan stasiun A adalah bahwa stasiun B merupakan stasiun yang merupakan habitat lamun, sehingga tidak mengherankan apabila seluruh jenis lamun terdapat pada stasiun ini. Stasiun B yang merupakan habitat lamun juga membentuk sebuah padang lamun yang cukup luas. Pada stasiun B kepadatan rata-rata tertinggi dicapai oleh jenis H. ovalis dengan kepadatan rata-rata mencapai 1064 ind/m2, kemudian disusul oleh jenis S. isoetifolium dengan 1010.67 ind/m2 dan kepadatan rata-rata terendah oleh jenis E. acoroides dengan 92 ind/m2. Berdasarkan data kepadatan rata-rata pada stasiun B, maka dapat terlihat bahwa pada stasiun B disominasi oleh jenis H. ovalis dengan morfologi yang kecil dan memiliki kemampuan untuk hidup diantara lamun yang berukuran besar. Kepadatan total rata-rata lamun tertinggi pada stasiun B mencapai 3440 ind.m/2 (Lampiran 3). Terlihat bahwa kearah laut, kepadatan rata-rata dan jenis lamun menurun dibandingkan pada habitat mangrove dan habitat lamun. Stasiun C yang merupakan stasiun paling dekat dengan habitat terumbu karang memiliki komposisi lamun yang lebih sedikit dibandingkan dengan komposisi lamun pada stasiun A dan B, yaitu hanya ditemui empat jenis lamun. Pada stasiun ini tidak ditemui lamun jenis C. rotundata dan H. uninervis. Hal ini diduga karena pada habitat dekat karang merupakan daerah yang langsung terkena dengan gelombang, sehingga tidak seluruh jenis lamun dapat bertahan. Dilihat dari karaketristik daun kedua jenis lamun tersebut, sama-sama memiliki daun yg pipih dan memanjang, sehingga ketika terkena gelombang akan mudah terbawa arus. Dibandingkan dengan jenis H. ovalis dan S. isoetifolium, meski berukuran yang sama kecil, namun kedua jenis lamun ini memiliki strategi pertahanan masing-masing. Hasil pengamatan terlihat bahwa H. ovalis hidup dengan cara menempel pada substrat di bagian atas dari lamun-lamun yang lebih besar, sehingga dapat terlindungan dari arus. Sedangkan jenis S. isoetifolium dengan memiliki bentuk daun yang silindris dapat lebih lentur dan fleksibel pada saat arus melewatinya, sehingga masih dapat bertahan pada kondisi berarus meskipun kepadatan dari S. isoetifolium tidak sebanyak pada stasiun A dan B. Jenis E. acoroides memiliki kepadatan rata-rata yang tinggi pada stasiun A dibandingkan pada stasiun B dan C, semakin kearah laut kepadatan semakin menurun, hal ini diduga jenis ini kurang menyukai substrat dan nutrsi yang terdapat pada substrat berjumlah sedikit. Sedangkan jenis lamun yang berukuran kecil rata-rata kepadatan pada stasiun B tinggi bila dibandingkan dengan 2 stasiun lainnya, ini diduga stasiun B merupakan daerah yang disukai jenis lamun ini untuk hidup. Stasiun B bersubstrat pasir stabil, sehingga memungkinkan lamun yang berukuran kecil mampu hidup. Kemampuan ini terkait dengan rhizom dan akar kecil yang apabila berada pada substart yang kurang stabil akan dengan mudah terbawa arus dan lamun tidak memiliki kesempatan untuk hidup. Selain itu jenis lamun berukuran kecil mampu hidup pada bagian atas atau diantara lamun yang berukuran besar, ini sebagai salah satu cara pertahanan diri dari arus.
15
Enhalus acoroides
Syringodium isoetifolium 2500
Kepadatan rata-rata (ind/m2)
Kepadatan rata-rata (ind/m2)
2500
100
0
2000 600 500 400 300 200 100 0
A
B
C
A
Stasiun
Thalassia hemprichii
2500
Kepadatan rata-rata (ind/m 2)
Kepadatan rata-rata (ind/m2)
2500 800 700 600 500 400 300 200 100 0 A
B
2000 1500 1000 300 200 100 0
C
A
B
C
Stasiun
Halodule uninervis
Cymodocea rorundata
2400 700
2500
Kepadatan rata-rata (ind/m2)
Kepadatan rata-rata (ind/m 2)
C
Halophila ovalis
Stasiun
2500
B
Stasiun
600 500 400 300 200 100
600 500 400 300 200 100 0
0 A
B
Stasiun
C
A
B
C
Stasiun
Gambar 4. Kepadatan rata-rata lamun masing-masing jenis Kepadatan jenis T. hemprichii memiliki kepadatan rata-rata yang cukup konsisten pada ketiga stasiun (Gambar 4). Keberadaan T. hemprichii yang terdapat pada stasiun A, B maupun C sesuai dengan diungkapkan dalam (Takaendengan & Azkab 2010) yang menyatakan bahwa tipe substrat stabil
16
merupakan indikator kuat tempat tumbuh lamun jenis C. rotundata dan T. hemprichii. Kepadatan rata-rata semakin menurun pada stasiun C meskipun tidak signifikan serta tetap memiliki kepadatan rata-rata tertinggi pada stasiun C 418.66 ind/m2 hal ini dikarenakan jenis T. hemprichii diduga memiliki kemampuan memanfaatkan ruang. Substrat yang ditumbuhi kumpulan T.hemprichii akan berbentuk gundukan. Selanjutnya ditambahkan dalam (Takaendengan & Azkab 2010) bahwa jenis T. hemprichii dan E. acoroides ditemukan hampir merata pada pada seluruh lokasi penelitian di Kepulauan Talise, Sulawesi Utara yang merupakan pulau berdekatan dengan Desa Bahoi. Ditemukannya beberapa jenis lamun yang terdapat hampir pada seluruh lokasi penelitian di Pulau Talise, tidak berarti bahwa di daerah lain memiliki komposisi yang sama. Hal ini dikarenakan adanya beberapa faktor yang turut berpengaruh terhadap persebaran lamun itu sendiri, artinya persebaran lamun pada setiap daerah akan berbeda-beda sesuai dengan kondisi lingkungan tempat lamun itu tumbuh. Setiap daerah akan memiliki variasi komposisi yang beragam serta jumlah jenis yang beragam, semakin banyak jenis lamun yang dapat ditemukan maka dapat dikatakan bahwa kondisi perairan bahkan lingkungan sekitar dalam kondisi yang baik oleh karena dapat menunjang kehidupan dan keberadaan banyak jenis lamun, mengingat juga bahwa lamun dapat digunakan sebagai bioindikator sebuah perairan. Biomassa Lamun Biomassa merupakan berat dari semua material hidup pada satuan luas tertentu, dalam hal ini berat kering per m2. Penghitungan biomassa dalam penelitian ini digunakan berat kering karena hal ini terkait dengan kestabilan bobot pada saat pengukuran. Biomassa lamun sendiri dihitung baik biomassa yang berada di permukaan (daun dan tangkai) maupun yang dibawah (rhizom dan akar), sehingga dapat diketahui biomassa total lamun. Biomassa sendiri merupakan bahan organik hasil dari proses fotosintesis yang dilakukan lamun, hasil fotosintesis ini disimpan pada bagian-bagian tubuh lamun. Dalam penelitian ini pengukuran biomassa dilakukan sebagai pendekatan untuk mengetahui kandungan C-org yang tersimpan pada lamun. Hasil perhitungan, biomassa lamun terbesar terletak pada bagian rhizom (bawah substrat) pada seluruh jenis lamun dibandingkan pada bagian lainnya yaitu daun dan akar. Tingginya biomassa dibagian rhizom tentunya memiliki tujuan dalam menjaga kelangsungan kehidupan lamun itu sendiri, diduga salah satu fungsi besarnya penyimpanan biomassa di bawah substrat adalah untuk memperkuat penancapan pada substrat. Selanjutnya dengan diketahui bahwa hampir seluruh jenis lamun dapat hidup pada berbagai tipe substrat juga dapat menunjukkan bahwa akan mempengaruhi biomassa dari lamun, dengan kata lain bahwa jenis substart akan menentukan besarnya biomassa bagian bawah. Jenis lamun E. acoroides memiliki biomassa rata-rata tertinggi diantara jenis lamun lainnya pada seluruh stasiun yaitu 350.34 gr/m2 diikuti T. hemprichii 129.88 gr/m2, H. ovalis 38.61 gr/m2, S. isoetifolium 37.58 gr/m2 dan H.uninervis 14.40 gr/m2 sedangkan memiliki nilai biomassa rata-rata terkecil C. rotundata 10.80 gr/m2. Biomassa E. acoroides tertinggi disebabkan ukurannya yang lebih besar, dimana panjang helaian daun dapat mencapai 75 cm dan lebar 1.0-1.5 cm dengan lebar rhizom 1 cm (Susetiono 2004).
17
Jenis E. acoroides memiliki jumlah biomassa tertinggi diantara jenis lamun lainnya pada stasiun A, bahkan pada seluruh stasiun pengamatan (Gambar 5). pada stasiun A biomassa rata-rata E. acoroides mencapai 127.42 gr/m2 yang juga merupakan nilai tertinggi biomassa pada seluruh stasiun serta seluruh jenis lamun yang diamati dalam penelitian ini. Tingginya biomassa E. acoroides pada stasiun A, mencerminkan bahwa jenis E. acoroides menyukai kondisi lingkungan pada stasiun A. Diameter substrat yang lebih besar pada stasiun A memungkinkan lamun untuk tumbuh subur. Ukuran diameter substrat yang besar menyebabkan kemampuan mengabsorbsi fosfor rendah sehingga jumlah fosfor terlarut tinggi (Ghufron & Kordi 2011). Sedangkan jenis C. rotundata, S. isoetifolium, H. ovalis dan H. uninervis memiliki nilai biomassa justru lebih kecil pada stasiun A, biomassa terkecil adalah H. ovalis dengan 0.56 gr/m2 (Lampiran 10). Rendahnya biomassa keempat jenis lamun tersebut disebabkan adanya persaingan nutrisi sehingga tidak dapat menunjang kehidupan, selanjutnya tidak dapat menghasilkan biomassa. Secara keseluruhan jumlah rata-rata biomassa pada stasiun A dari keseluruhan jenis lamun sebesar 185.46 gr/m2. 200 180
Biomassa rata-rata (g/m2)
160 E. acoroides
140
T. hemprichii
120
C. rotundata
100
S. isoetifolium 80 H. ovalis 60 H. uninervis 40 20 0 A
B
C
Stasiun
Gambar 5 Biomassa lamun pada tiga stasiun Ditemukan biomassa tertinggi pada stasiun B secara keseluruhan, meskipun demikian lamun berukuran kecil memiliki biomassa yang lebih kecil dibandingkan dengan lamun yang berukuran lebih besar meskipun dengan jumlah yang lebih sedikit, dalam hal ini jenis E. acoroides. Pengamatan di lapangan menunjukan bahwa biomassa tidak hanya berdasarkan banyaknya atau padatnya suatu padang lamun, ada beberapa kondisi yang mempengaruhi biomassa seperti contoh, bahwa rhizom berkuran besar belum tentu memiliki dan menghasilkan akar dan daun yang banyak, ini diduga terdapat perbedaan metabolisme dari
18
lamun itu sendiri serta kandungan nutrisi pada substrat. Berkaitan dengan biomassa dan kepadatan, seperti yang diungkapkan dalam Al-Bader et al. (2014) bahwa dengan semakin banyak rimpang dan akar yang dapat menembus sedimen maka akan dapat menciptakan ruang pori pada substrat yang kemudian akan membantu dalam penyerapan nutrisi ataupun memperbesar kemungkinan untuk nutrisi dapat masuk lebih dalam pada substrat. Jenis C. rotundata, S. isoetifolium, H. ovalis dan H. uninervis memiliki nilai biomassa yang tinggi pada stasiun B dibandingkan dengan yang terjadi pada stasiun A. Hal ini dapat menggambarkan bahwa keempat jenis lamun yang berukuran kecil menyukai kondisi lingkungan pada stasiun B. Stasiun B merupakan stasiun yang berada pada habitat lamun, sehingga tidak mengherankan pada stasiun ini setiap jenis lamun dapat tumbuh dengan baik. Biomassa T. hemprichii justru kembali mengalami peningkatan pada stasiun C, yaitu stasiun yang lebih dekat dengan terumbu karang (Gambar 5). Berbanding terbalik dengan jenis lamun lainnya yang mengalami penurunan pada stasiun C. Hal ini dimungkinkan mengingat T. hemprichii memanfaatkan ruang hidup yang kemudian sebagai salah satu strateginya dalam mempertahankan hidup maka akarakar dari T. hemprichii akan menyesuaikan diri dengan tipe substrat pada stasiun C dengan memperbanyak akarnya agar dapat melekat kuat sehingga tidak mudah terbawa arus. Berbeda halnya yang terjadi pada jenis C. rorundata, S. isoetifolium, H. ovalis dan H. uninervis yang mengalami peningkatan biomassa pada stasiun B, merupakan stasiun pada daerah lamun itu sendiri. Keadaan ini menunjukkan bahwa keempat jenis lamun ini menyukai habitat tersebut, sehingga dapat hidup dan tumbuh dengan baik dan stabil. Keberadaan lamun berbeda-beda pada tiap stasiun, namun berdasarkan perhitungan anova satu arah menyatakan tidak adanya perbedaan yang nyata (p>0.05). Dalam penelitian ini jenis C. rotundata dan H. uninervis tidak ditemukan pada stasiun C. Ketiadaan kedua jenis ini memberikan dampak pada jumlah biomassa rata-rata pada stasiun C yang kemudian mengakibatkan stasiun C memiliki nilai biomassa terendah dibandingkan dengan kedua stasiun lainnya. Penyumbang biomassa terbesar pada stasiun C adalah jenis E. acoroides dan T. hemprichii. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa stasiun C merupakan stasiun yang lebih dekat dengan terumbu karang dan yang paling terdahulu terkena arus sehingga tidak semua jenis lamun dapat bertahan kondisi lingkungan ini. Sama seperti pada stasiun sebelumnya, pada stasiun C biomassa jenis E. acoroides merupakan biomassa tertinggi 102.45 gr/m2. Namun terlihat pola khusus pada E. acoroides, semakin kearah laut maka biomassa semakin menurun seiring dengan penurunan kepadatan (Gambar 6). Terlihat jenis E. acoroides pada pesisir Desa Bahoi tidak menyukai daerah terumbu karang, meskipun memiliki ukuran yang lebih besar. Diduga ukuran daun yang panjang membuat daun lebih mudah terbawa arus sehingga memberikan beban pada rhizom untuk mempertahankan diri. Kaitan kepadatan dan biomassa tidak selalu berbanding lurus, kondisi ini menunjukkan bahwa kepadatan yang tinggi tidak dapat menggambarkan secara pasti kondisi dari biomassa lamun secara umum pada Pesisir Desa Bahoi. Meskipun jika diperhatikan secara keseluruhan pada masing-masing stasiun, maka akan terlihat bahwa kepadatan dan biomassa rata-rata akan berbanding lurus, yaitu B merupakan stasiun yang memiliki nilai kepadatan tertinggi dan biomassa
19
tertinggi. Oleh karena itu untuk mengkaitkan antara kepadatan dan biomassa, perlu diperhatikan secara terpisah per jenis lamun (Lampiran 10), hal ini berhubungan dengan karakteristik masing-masing jenis lamun serta masingmasing respon lamun terhadap kondisi lingkungan.
Syringodium isoetifolium
Enhalus acoroides
200 100
Biomassa rata-rata (gr/m2)
Biomassa rata-rata (gr/m2)
200
150
100 10
0
5
0
A
B
C
A
Stasiun
B
C
Stasiun
Thalassia hemprichii
Halophila ovalis 200
200
Biomassa rata-rata (gr/m2)
Biomassa rata-rata (gr/m2)
100 100
5
0
0 A
B
A
C
Cymodocea rotundata
200
Biomassa rata-rata (gr/m2)
200
Biomassa rata-rata (gr/m2)
B
C
Stasiun
Stasiun
100 20
10
0
Halodule uninervis
10
0 A
B
Stasiun
C
A
B
Stasiun
Gambar 6 Biomassa rata-rata masing-masing jenis lamun
C
20
Fraksi Substrat Keberadaan substrat sangat penting bagi lamun, sebagai tempat hidup dan pemasok nutrisi. Lamun akan menancapkan diri pada substrat menggunakan rhizom dan akarnya, yang kemudian rhizom dan akar akan semakin berkembang dan bertumbuh seiring waktu dan nutrisi yang didapatkan lamun dari substrat dan air di lingkungan hidupnya. Ada berbagai tipe substrat dengan komposisi yang beragam dapat ditumbuhi lamun, perbedaan tipe substrat dapat menyebabkan perbedaan komposisi jenis lamun serta dapat mempengaruhi kesuburan dan pertumbuhan lamun. Berdasarkan Kiswara (1997) padang lamun di Indonesia dikelompokkan dalam enam kategori berdasarkan tipe substratnya, yaitu lamun yang hidup pada substrat lumpur, lumpur pasiran, pasir, pasir lumpuran, puing karang dan batu karang. Lamun dapat tumbuh dalam berbagai substrat dari lumpur halus hingga pasir kasar tergantung pada jenis fisik dan kepadatan lamun (Zieman 1982). Pada dasarnya lamun sangat sensitif terhadap pengendapan langsung diatasnya, pengendapan yang terjadi secara langsung diatas akan menyebabkan kematian lamun, dimana kekuatan lamun tidak dapat menopang beban yang berada diatasnya (McKenzie 2007). Jenis substrat pada seluruh stasiun pengamatan dalam penelitian ini berupa pasir dengan ukuran diameter yang berbeda (Tabel 4). Diketahui bahwa pada penelitian ini justru diameter susbstrat dekat daerah mangrove lebih besar dibandingkan dengan daerah stasiun lain, berdasarkan hasil analisis ragam maka diketahui bahwa diameter substrat antara masing-masing stasiun A, B dan C berbeda nyata (p < 0,05) Lampiran 12. Hal ini diduga karena karakteristik pesisir yang merupakan daerah pesisir terbuka. Ukuran diameter pasir terbesar terdapat pada stasiun A dengan rata-rata diameter 0.47 mm, dimana stasiun pengamatan ini dekat dengan daerah mangrove. Daerah mangrove pada umumnya memiliki karaketristik bersubstrat lumpur, hal ini dikarenakan akar-akar mangrove yang memiliki kemampuan dalam memerangkap substrat serta apapun yang melaluinya. Hal ini sejalan dengan pernyataan bahwa substrat yang lebih dekat dengan daerah mangrove kebanyakan bersubstrat lempung berpasir, disebabkan kemampuan mangrove dalam menangkap sedimen (Datta et al. 2012). Namun pada penelitian ini tidak ditemukan lumpur pada bagian pinggiran daerah mangrove tempat stasiun A berada. Seperti yang telah dikatakan diatas bahwa pesisir Desa Bahoi memiliki karakteristik pesisir yang terbuka, selain itu pesisir Desa Bahoi juga tidak memiliki sungai, sehingga tidak mendapatkan masukan dari darat yang merupakan penyumbang terbesar dalam pengendapan lumpur pada hutan mangrove. Stasiun B dengan diameter rata-rata 0.35 mm dan pada stasiun C besar diameter rata-rata 0.37 mm. Ukuran diameter yang lebih kecil pada stasiun B diduga merupakan hasil dari sisa bawaan arus yang berasal dari stasiun A pada saat kembali ke laut yang terperangkap pada padang lamun, mengingat kepadatan tertinggi pada stasiun B. Arus yang kuat meninggalkan pasir yang berukuran besar pada stasiun A yang kemudian perlahan-lahan kembali ke laut dengan membawa pasir dengan ukuran yang lebih kecil. Jika diperhatikan berdasarkan kepadatan lamun, maka ukuran diameter ini paling disukai oleh jenis lamun yang berukuran kecil seperti S. isoetifolium, H. ovalis, C. rotundata dan H. uninervis. Selanjutnya stasiun B memiliki ukuran diameter yang lebih kecil dibandingkan dengan kedua
21
stasiun lainnya, dimungkinkan letak stasiun ini yang berada diantara mangrove dan terumbu karang, dimana kondisi substratnya lebih padat. Letaknya yang berada diantara mangrove dan terumbu karang memungkinkan arus yang membawa sedimen yang lebih halus dibandingkan sedimen yang tersangkut pada daerah mangrove. Banyaknya patahan karang yang telah mati, menyebabkan stasiun C memiliki diameter lebih besar dibanding ukuran diameter pasir yang terdapat pada stasiun B. Melihat dari kepadatan lamun, maka stasiun C merupakan stasiun dengan nilai kepadatan rendah dan lebih sedikit jenis lamun yang ditemukan dalam stasiun ini. Hal ini dikarenakan gelombang yang melewati stasiun C secara langsung, sehingga tidak semua jenis lamun dapat bertahan hidup dengan kondisi yang seperti ini. Diketahui bahwa lamun tumbuh pada pesisir pantai yang miliki arus kecil dibandingkan dengan pesisir pantai dengan arus kuat. Tabel 4 Tipe substrat dan median tekstur
Stasiun
Tipe Substrat
Median Tekstur (mm)
A
Pasir
0.47a ± 0.01
B
Pasir
0.35c ± 0.02
C
Pasir
0.37b ± 0.06
Huruf berbeda menyatakan tingkat beda nyata
Kandungan N dan P total pada substrat Sebagai nutrisi utama dalam tanah bersama K (Potassium), N (Nitrogen) dan P (Fosfat) merupakan nutrisi yang paling sering dibahas dalam dunia perairan. Bahan organik yang terdapat pada substrat merupakan sumber nutrisi bagi vegetasi, namun dapat berdampak buruk bagi habitat perairan jika mendapat masukan bahan organik yang berlebihan. Bahan organik yang berlebihan pada suatu perairan kemudian akan menimbulkan dampak buruk bagi perairan itu sendiri dan bagi vegetasi ataupun biota yang terdapat dalam perairan tersebut seringkali dikenal dengan eutrofikasi. Terjadinya eutrofikasi disebabkan kegiatan manusia di darat yang kemudian terbawa masuk melalui proses run off atau hasil dari limpasan sungai yang kemudian terbawa hingga ke muara sungai. Pada perairan laut, eutrofikasi terjadi seringkali pada daerah pesisir, dikarenakan daerah inilah yang dekat dengan muara sungai. Bahan organik yang terbawa hingga ke pesisir akan terlarut dalam air dan ada yang mengendap bahkan terserap ke dalam substrat perairan. Bahan organik yang terdapat dalam substrat inilah yang dimanfaatkan oleh tumbuhan untuk memperoleh nutrisi. Demikian pula dengan lamun, lamun akan memanfaatkan bahan organik yang terdapat dalam substrat untuk dapat tumbuh dan mempertahankan kehidupannya. Substrat dengan konsentrasi bahan organik yang lebih tinggi cenderung mendukung aktivitas bakteri yang tinggi, dan konsentrasi bahan organik pada substrat mendukung pertumbuhan lamun umumnya < 6% dari berat kering (Hemingga & Duarte 2000). Diketahui bahwa N dan P merupakan unsur utama bahan organik dalam pertumbuhan tumbuhan, termasuk lamun dan tumbuhan air lainnya. Kedua bahan organik ini berperan penting terhadap
22
pertumbuhan sel jaringan organisme serta dalam proses fotosintesis (Ulqodry et al. 2010). Selain bahan organik sebagai pendukung kehidupan lamun, maka sebaliknya komunitas lamun seringkali digunakan dalam penelitian untuk menentukan nutrisi pembatas pada suatu perairan, dikarenakan lamun cenderung hidup pada perairan dangkal oligotrofik, padang lamun lepas pantai dibatasi oleh nitrogen, sedangkan padang lamun dekat pantai dipengaruhi nitrogen dan fosfor (Ferdi & Fourqurean 2004). Bahan organik yang digunakan lamun berasal dari air substrat pori dan yang berada pada kolom air, oleh karena itu lamun dapat menggunakan daun dan akar dalam menangkap bahan organik. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa bahan organik yang masuk pada suatu perairan berasal dari darat, sedangkan bahan organik pada subtrat berasal dari pelapukan vegetasi mati. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa sumber N dan P pada substrat diduga berasal dari akumulasi hasil mineralisasi vegetasi lamun yang mati dan sekresi yang berasosiasi pada ekosistem lamun (Patang 2009). Kondisi pesisir Desa Bahoi masih baik secara umum, tidak terdapat industri ataupun aktivitas manusia yang dapat menyumbang bahan organik secara berlebihan ke dalam perairan dalam jumlah yang besar. Oleh karena itu, diduga bahan organik yang masuk ke dalam perairan merupakan hasil dari perairan itu sendiri dan serasah yang dihasilkan hutan mangrove yang ada di pesisir, hal ini seperti yang diungkapkan Ulqodry et al. (2010) bahwa kandungan zat hara yang terdapat dalam suatu perairan tidak hanya berasal dari perairan itu sendiri, namun juga tergantung pada keadaan sekelilingnya berupa sumbangan dari sungai ataupun serasah mangrove dan lamun. Bahan organik yang terdapat pada substrat dapat terbawa ke tempat lain yang memungkinkan terjangkau dengan adanya gelombang dan arus. Hanya saja tentu konsentrasi bahan organik pada suatu daerah akan berbeda dengan daerah yang merupakan sumber bahan organik itu berasal, hal ini dapat dilihat pada Gambar 7. Kandungan N pada substrat dalam penelitian ini menunjukkan nilai yang tinggi jika dibandingkan dengan kandungan P pada seluruh stasiun pengamatan serta terlihat pola bahwa semakin kearah laut maka kandungan bahan organik pada substrat semakin menurun. Namun tidak terdapat perbedaan nyata antara N dan P total pada stasiun A, B dan C dengan (p>0,05) Lampiran 13-14. Menurunnya kandungan bahan organik pada stasiun C sebenarnya dapat dilihat dari ketidakhadiran dua jenis lamun lainnya serta menurunnya kepadatan lamun diiukuti nilai rata-rata biomassa yang kecil secara keseluruhan. Kandungan bahan organik yang menurun mengakibatkan lamun yang tumbuh tidak memperoleh cukup nutrisi sehingga berakibat pada biomassa dan kepadatan. Selanjutnya kepadatan lamun juga akan berpengaruh kembali bagi kandungan bahan organik, yaitu semakin sedikit jumlah lamun yang mati maka akan semakin sedikit terjadinya proses pelapukan mengingat bahwa pesisir Desa Bahoi ini tidak memiliki masukan dari. Pada stasiun A kandungan rata-rata N mencapai 4.08 ppm diikuti stasiun B dan C dengan kandungan masing-masing 3.73 ppm dan 2.77 ppm. Kandungan N pada substrat semakin ke arah laut semakin kecil begitu halnya pada P. Kandungan P pada stasiun A lebih besar dibandingkan stasiun B dan C dengan nilai masing-masing 3.86 ppm, 2.13 ppm dan 2.08 ppm. Kondisi ini diduga adanya pengaruh dari arus yang membawa nutrisi ke daerah pesisir yang
23
kemudian tertahan di kawasan mangrove, dan terbawa kembali ke laut dengan konsentrasi yang lebih sedikit. Diketahui bahwa mangrove dan lamun merupakan tumbuhan yang dapat menghasilkan serasah, dimana serasah dapat terdekomposisi yang pada akhirnya menghasilkan bahan organik untuk digunakan sebagai nutrisi bagi pertumbuhan. Menurut Ekka et al. (2006) bahwa masukan fosfor dari sumber titik tertentu (point source) tertentu akan mempengaruhi konsentrasi P di perairan. Pada seluruh stasiun kandungan N lebih tinggi dibandingkan P, kondisi ini terkait dengan sumber masing-masing bahan organik. Bahan organik N lebih banyak berasal dari proses mineralisasi yang terjadi, sedangkan sumber P sendiri di laut adalah berasal dari endapan teresterial yang mengalami erosi ataupun pupuk pertanian yang terbawa oleh aliran sungai, selanjutnya jumlah P di alam jumlahnya tidak banyak dan P tidak memiliki kemampuan berdifusi ke dalam air. Jumlah P yang sedikit pada Pesisir Desa Bahoi dibandingkan dengan jumlah N sangat wajar mengingat pesisir Desa Bahoi tidak memiliki sungai yang merupakan sumber utama P. 14
Total N & P (ppm)
12 10 8 Total N
6
Total P
4 2 0 A
B
C
Stasiun
Gambar 7 Kandungan N dan P total pada substrat Kandungan C-organik pada lamun Tingginya jumlah CO2 yang terdapat pada atmosfer memicu terjadinya pemanasan global yaitu kondisi meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akibat gas rumah kaca yang terakumulasi. Bukti lain bahwa terjadinya peningkatan jumlah CO2 adalah terjadinya asidifikasi di laut yaitu pengasaman air laut, CO2 akan bereaksi dengan air yang kemudian akan mengakibatkan meningkatnya jumlah H+. Sebagai salah satu vegetasi pesisir yang memiliki kemampuan dalam menyerap C, maka dengan mengetahui kandungan C-org yang yang terdapat pada lamun menjadi salah satu informasi penting. Kandungan total C-org (%) pada masing-masing stasiun dan jenis akan berbeda-beda. Perbedaan kandungan C-org pada lamun dipengaruhi faktor internal lamun. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa untuk mengetahui kandungan C-org pada lamun dapat dilakukan dengan pendekatan biomassa yang kemudian dilakukan analisa laboratorium menggunakan metode spektrofotometrik.
24
Pada stasiun A kandungan C-org rata-rata mencapai 25.74% lebih tinggi dibandingkan stasiun B 22.41% dan C 14.46% (Lampiran 15). Tingginya kandungan C-org pada lamun yang terdapat pada stasiun A dipengaruhi hutan mangrove yang terletak dekat dengan stasiun A. Sebagaimana yang diungkapkan dalam Gonneea et al. (2004) bahwa tingkat terbenamnya karbon organik lebih tinggi terdapat di pinggiran laguna, dimana vegetasi mangrove yang mendominasi. Selanjutnya jika diperhatikan, penyumbang C-org tertinggi pada stasiun A adalah jenis C. rotundata 36.05% selanjutnya E. acoroides 31.09%, H. uninervis 28.23%, T. hemprichii 25.05%, S. isoetifolium 22.79%, H. ovalis 11.24% (Lampiran 15), total dari kandungan rata-rata C-org pada stasiun A adalah 25.74% dan secara umum kandungan C-org rata-rata tertinggi terdapat pada stasiun A (Gambar 8). Jenis C. rotundata kembali menjadi penyumbang terbesar kandungan C-org pada stasiun B, yaitu mencapai 32.57%. Kandungan C-org rata-rata secara keseluruhan pada stasiun B tidak berbanding lurus dengan biomassa maupun kepadatan rata-rata. Kepadatan dan biomassa rata-rata stasiun B merupakan stasiun dengan nilai tertinggi. Diduga adanya faktor lain yang mempengaruhi kandungan C-org. Masing-masing jenis lamun memiliki kandungan C-org yang berbeda-beda. seperti pada jenis T. hemprichii kandungan C-org rata-rata semakin menurun ke arah laut, berbeda halnya pada jenis E. acoroides secara berurutan pada stasiun A, C dan B. Sedangkan pada jenis lamun S. isoetifolium kandungan C-org rata-rata tertinggi pada stasiun A. Jenis H. ovalis memiliki kandungan C-org tertinggi pada stasiun C, A yang pada stasiun B menjadi stasiun kandungan C-org dengan rata-rata terendah (Gambar 9). Jenis lamun yang konsisten mengalami penurunan kandungan C-org adalah jenis T. hemprichii dimana kandungan C-org semakin menurun ke arah laut. 45 40 Kandungan C-org (%)
35 30
E. acoroides
25
T. hemprichii
20
C. rotundata
15
S. isoetifolium
10
H. ovalis H. uninervis
5 0 A
B
C
Stasiun
Gambar 8 Kandungan C-org (%) rata-rata pada tiga stasiun Kandungan C-org pada stasiun C merupakan kandungan C-org rata-rata dengan nilai terendah. Pada stasiun ini penyumbang terbesar adalah dari jenis
25
E. acoroides dengan 29.13% dan yang terkecil adalah H. ovalis dengan 11.56%. Berdasarkan kondisi ini, terlihat bahwa antara kepadatan, biomassa dan kandungan C-org tidak berbanding lurus yang kemudian harus dilakukan penelaahan satu per satu per jenis lamun. Oleh karena kepadatan tidak dapat mencerminkan biomassa, biomassa tidak dapat mencerminkan kandungan C-org dan sebaliknya. Perbedaan kandungan C-org masing-masing jenis lamun terhadap stasiun menunjukkan perbedaan tidak nyata berdasarkan perhitungan anova satu arah dengan p> 0.05. Syringodium isoetifolium 50
40
40
C-org rata-rata (%)
C-org rata-rata (%)
Enhalus acoroides 50
30
20
30
20
10
10
0
0 A
B
A
C
Stasiun
40
40
30
20
30
20
10
10
0
0 A
B
A
C
B
C
Stasiun
Stasiun
Halodule uninervis
Cymodocea rotundata 50
40
C-org rata-rata (%)
C-org rata-rata (%)
C
Halophila ovalis 50
C-org rata-rata (%)
C-org rata-rata (%)
Thalassia hemprichii 50
50
B
Stasiun
30
20
10
40
30
20
10
0
0
A
B
Stasiun
C
A
B
C
Stasiun
Gambar 9 Kandungan C-org rata-rata (%) masing-masing jenis lamun
26
Hasil analisis bahan organik pada substrat ditemukan bahwa pada stasiun A memiliki kandungan N dan P tinggi dibandingkan dengan stasiun yang lain, hal ini diduga sebagai salah faktor tingginya kandungan C-org pada lamun yang terdapat pada stasiun A. Pada habitat mangrove, ditemukan kandungan C-org ratarata yang tinggi pada lamun. Sebaliknya pada stasiun B yang merupakan stasiun habitat lamun sendiri memiliki kandungan C-org terbesar kedua setelah stasiun A. Berdasarkan jenis lamun, kandungan C-org terbanyak disumbangkan oleh jenis E. acoroides diikuti oleh jenis T. hemprichii, C. rotundata, S. isoetifolium, H. uninervis serta H. ovalis. Kandungan C-org akan berbeda-beda berdasarkan jenis dan komposisi jenis pada masing-masing stasiun. Sedangkan perbedaan kandungan C-org pada masing-masing jenis lamun diduga disebabkan faktor internal yaitu meliputi fisiologi dan metabolisme. Hal ini terlihat jelas pada jenis S. isoetifolium dan H. ovalis yang kandungan C-org kembali meningkat pada stasiun C, yang mana telah diketahui bahwa stasiun C jika dikaitkan dengan kandungan bahan organik memiliki kandungan bahan organik yang paling kecil dibandingkan dengan kedua stasiun lainnya. Hubungan kandungan C-organik dengan Jenis Lamun dan Habitat Perbedaan karakteristik masing-masing habitat akan menimbulkan perbedaan siklus yang terjadi dalam habitat serta faktor-faktor yang mempengaruhi dan dipengaruhi. Masing-masing jenis lamun menunjukkan kondisi yang berbeda-beda pada habitat mangrove, lamun dan terumbu karang, melalui kepadatan, biomassa dan kandungan C-org pada lamun. Kandungan C-org pada lamun dipengaruhi oleh beberapa faktor diluar keberadaan lamun itu sendiri. Selain keragaman jenis lamun, habitat juga mempengaruhi kemampuan penyimpanan karbon (Lavery et al. 2013). Habitat mangrove dengan tipe susbtrat pasir dengan ukuran diameter yang lebih besar ditumbuhi dengan enam jenis lamun yang saling berasosiai serta kepadatan yang didominasi jenis T. hemprichii yang memiliki kandungan C-org tertinggi oleh jenis C. rotundata tentu memiliki perbedaan dengan habitat lamun dan terumbu karang dalam hal komposisi jenis, kepadatan, biomassa dan kandungan C-org pada lamun serta ukuran substrat, kondisi perairan dan unsur hara. Hal ini sebagai respon terhadap perbedaan habitat dimana lamun hidup dan tumbuh. Seperti diketahui bahwa habitat lamun memiliki kepadatan dan biomassa keseluruhan tertinggi, hal ini dimungkinkan kondisi lingkungan yang nyaman dan cocok bagi lamun dalam melakukan siklus kehidupannya, selanjutnya posisi habitat lamun yang terletak diantara habitat mangrove dan terumbu karang membuat habitat ini sangat terlindungi serta memiliki kesempatan mendapatkan nutrisi yang berasal dari mangrove maupun dari laut lepas. Bahan organik sebagai faktor pendukung dalam suatu habitat yang terdapat pada substrat dipengaruhi oleh besaran butiran substrat, dikarenakan butiran substrat yang lebih besar menurunkan kemampuan substart dalam melakukan penyerapan bahan organik. Bahan organik pada substrat berasal dari pelapukan vegetasi atau dengan kata lain bahan organik berasal dari perairan itu sendiri. Adanya gelombang dan arus membantu penyebaran bahan organik dengan baik. Pada pesisir Desa Bahoi yang bersubstrat pasir, morfologi lamun sendiri akan mengikuti dan berusaha beradaptasi dengan lingkugannya yaitu dengan membentuk akar yang lebih panjang dan kuat, tujuannya adalah untuk dapat
27
menancapkan diri dengan kokoh dan dapat menyerap bahan organik dengan baik. Analisis komponen utama menerangkan bahwa komponen utama pertama mewakili seluruh variasi yang ada sebesar 57% dan komponen utama kedua mewakili seluruh variasi yang ada sebesar 43% (Lampiran 16). Stasiun A dicirikan dengan biomassa dan kandungan C-org jenis T. hemprichii, kepadatan jenis E. acoroides, diameter substrat serta kandungan P pada substrat. Pada stasiun B dicirikan dengan kepadatan dan biomassa H. ovalis, kepadatan dan biomassa S. isoetifolium, kepadatan dan biomassa jenis C. rotundata. Sehingga pada stasiun B terlihat bahwa kepadatan dan biomassa memiliki hubungan yang dekat berdasarkan jarak garis euclidiean (Gambar 10) yang kemudian dapat dikatakan bahwa kepadatan dapat mencirikan biomassa ketiga jenis lamun tersebut. Terlihat juga bahwa kepadatan dan biomassa jenis lamun H. ovalis, S. isoetifolium, C. rotundata tidak mencerminkan kandungan C-org masing-masing jenis. Pencirian parameter terhadap maisng-masing stasiun tidak dipengaruhi dari tinggi tidaknya atau banyak tidaknya nilai suatu parameter, namun dipengaruhi oleh konsisten nilai-nilai dari parameter yang diuji. Stasiun C tidak dicirkan oleh kepadatan dan biomassa bahkan kandungan C-org jenis lamun tertentu (Gambar 10). 2
B-Ho
C
B
D-Si D-Ho B-Si B-Cr
Komponen kedua
1
D-Cr
0 B-Hu Corg-Si Corg-Ho
-1 -2
D-Hu D-Th Corg-Cr Corg-Hu B-Ea
Corg-Ea
-3
B-Th
P
Diameter
A
Corg-Th D-Ea
N
-4 -4
-3
-2
-1 0 1 Komponen pertama
2
3
4
Gambar 10 Biplot kandungan C-org, kepadatan (D), Biomassa (B), N dan P pada substrat, diameter substrat pada masing-masing stasiun. A : stasiun habitat Mangrove, B : stasiun habitat lamun, C : stasiun habitat terumbu karang. Jenis lamun Ea : E. acoroides, Th : T. hemprichii, Cr : C. rotundata, Si : S. isoetifolium, Ho : H. ovalis, Hu : H. uninervis. Beberapa jenis lamun yang berukuran lebih kecil tidak dipengaruhi dengan ukuran diameter susbtrat, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa jenis lamun yang berukuran lebih kecil dapat hidup dengan baik pada substart yang
28
stabil. Terkait dengan kekuatan akar mereka untuk menancap pada substrat. Sehingga pada penelitian ini jenis lamun berukuran kecil dapat hidup dengan baik pada substrat pasir, hanya saja yang menjadi penghalang keberadaannya di pesisir Desa Bahoi adalah nutrisi substrat dan persaingan ruang. Persaingan ruang dan nutrisi merupakan persaingan yang alami terjadi pada seluruh makhluk hidup untuk dapat mempertahankan kehidupannya. Oleh karena itu seringkali makhluk hidup melakukan strategi-strategi dalam menghadapi setiap kondisi lingkungan yang berubah-rubah. Selain strategi ada banyak faktor yang mempengaruhi dari keberadaan masing-masing jenis lamun, seperti faktor internal yang meiputi fisiologi dan metabolisme dan faktor eksternal termasuk di dalamnya zat hara, serta tingkat kesuburan substrat.
4 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kandungan C-org pada habitat lamun yang dekat dengan mangrove (stasiun A) dan pada habitat lamun (stasiun B) tertinggi oleh jenis C. rotundata dan pada habitat dekat terumbu karang (stasiun C) kandungan C-org tertinggi oleh jenis E. acoroides. Secara keseluruhan berdasarkan habitat, maka habitat dekat mangrove merupakan habitat dengan kandungan C-org tertinggi. Berdasarkan hasil analisis komponen utama pencirian parameter pada masing-masing stasiun tidak berdasarkan kuantitas melainkan konsistennya suatu parameter, kepadatan lamun dicirikan oleh kandungan C-org hanya terdapat pada jenis T. hemprichii pada habitat lamun dekat mangrove. Saran Kondisi pesisir Desa Bahoi dapat ditentukan dengan menggunakan banyaknya jenis lamun yang tumbuh. Untuk dapat memanfaatkan kawasan pesisir, maka perlu dilakukan pengkajian lebih dalam untuk menentukan jenis pemanfaatan yang baik dan tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem yang telah ada sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA Abdi
H, Williams LJ. 2010. Principal Component Analysis. Wiley Interdisciplinary Reviews : Computational Statistics 2: 47. Al-Bader DA, Shuail DA, Al-Hasan R, Suleman P. 2014. Intertidal seagrass Halodule uninervis : Factor controlling its density, biomass and shoot length. Kuwait Journal Science (41): 171-192. Anderson W.T. and Fourquren J.W. 2003. Intra-and Interannual Varoability in Seagrass Carbon and Nitrogen Stable Isotopes from South Florida, a Preliminary Study. Organic Geochemistry 34: 185-194. Andrews TJ, Abel KM. 1979. Photosynthetic Carbon Metabolism in Seagrass. Plant Physiol 63: 650-656.
29
Athiperumalsami T, Kumar V, Jesudass LL. 2008. Survey and Phytochemical Analysis of Seagrass in the Gulf of Mannar, Southeast Coast of India. Botanica Marina 51: 269-277. Azkab MH. 1999. Pedoman Inventarisasi Lamun. Oseana 24 (1) :1-16. Barbier EB, Hacker SD, Kennedy C, Koch EW, Stier AC, Silliman BR. 2011. The Value ofSetuarine and Coastal Ecosystem Services. Ecological Monographs 81(2): 169-19. Barrón Cristina, Duaerte Carlos M., Frankignoulie Michel, Borges Alberto Vieira. 2006. Organis Carbon Metabolism and Carbonate Dynamics in a Mediterannean Seagrass (Posidonia oceanica) Meadow. Estuaries and Coast 29 (3): 417-426. Benstead JP, March JG, Fry B, Ewel KC, Pringle CM. 2006. Testing Isosource : Stable Isotop Analysis of a Tropical Fishery with Diverse Organic Matter Sources. Ecilogical Society of America. Ecology 87(2): 326-333. Björk M, Short F, Mcleod E, Beer S. 2008. Managing Seagrass for Resilience to Climate Change. IUCN. Switzerland. Borum J, Duarte CM, Krause D, Jensen, Greve TM. 2004. Europan Seagrass: an intoduction to monitoring and managemen. Monitoring and Managing of European Seagrasses (M&MS).1-95. Brower JE, Zar NJ. 1977. Field and Laboratory Method for General Ecology. Dubuque, Iowa (US): Wm.C Brown Publ. Collier CJ, Waycott M. 2014. Temperature extremes reduce segrass growth and induce mortality. Marine Pollution Bulletin 83: 483-490. Datta D, Chattopadhyay RN, Guha P. 2012. Community based mangrove management : A review on status and sustainability. Journal of Environmental Management (107): 84-95 Ekka SA, Haggard BE, Matlock MD, Chaubey I. 2006. Dissolved Phosphorus Concentrations and Sediment Interactions in Effluent-Dominated Ozark Streams. Ecological Engineering (26) : 375-391. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya Perairan. Yogyakarta (ID). Kanisius. Ferdi M, Fourqurean JW. 2004. Responses of Seagrass Communities to Fertilization Along a Gradient of Relative Availability of Nitrogen and Phosphorus in a Carbonate Environment. Limnology Oceanography 49(6): 2082-2094. Fourqurean JW, Duarte CM, Kennedy H, Marbá N, Holmer M, Matoe MA, Apostolaki E, Kendrick GA, Jensen-Dorte K, McGlathery KJ, Serrano O. 2012. Seagrass Ecosystems as a Globally Significant Carbon Stock. Nature Geoscience. 1-5. Fyfe SK. 2003. Spatial and Temporal Variation in Spectral Reflectance: Are Seagrass Species Spectrally Distinct. Limnologi Oceanogy 48(I part 2): 464479. Ghufron MH, Kordi K. 2011. Ekosistem lamun (Seagrass). Rineka Cipta. Indonesia (ID). Gonneea ME, Paytan Adina, Herrera-Silveira JA. 2004. Tracing organic matter sources and carbon burial in mangrove sediments over the past 160 years. Estuarine, Coastal and Shelf Science (61): 211-227.
30
Hartati R, Djunaedi A, Hariyadi, Mujiono. 2012. Struktur komunitas padang lamun di Perairan Pulau Kumbang, Kepulauan Karimunjawa. Ilmu Kelautan 17 (4) :217 – 225 Hemingga MA. 1998. The Root/ Rhizome System of Seagrass: an Asset and a Burden. Journal of Sea Research. Elsevier (39): 183-196. Hemingga MA, Duarte CM. 2001. Seagrass Ecology. Cambridge University Press. United Kingdom (UK). Hori M, Suzuki T, Monthum Y, Srisombat T, Tanakan Y, Nakaoka M, Mukai H. 2009. High SeagrassDiversity and Canopy-height Increase Associated Fish Diversity and Abundance. Marine Biol (156): 1447-1458. Koch EW, Sanford LP, Chen Shih-Nan, Shafer DJ., Smith JM. Waves in Seagrass Systems : Review and Technical Recommendations. System-Wide Water Resources Program, Submerged Aquatic Vegetation Restoration Research Program. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51. 2004. Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut . Lamp.3 Kiswara W. 1997. Struktur Komunitas Padang Lamun Perairan Indonesia. Inventarisasi dan Evaluasi Potensi Laut-Pesisir II,Jakarta: P3O LIPI. 54-61 Laffoley D d’A, Grimsditch G. 2009. The Management of Natural Coastal Carbon Sinks. IUCN. Gland, Switzerland. Lavery Paul S., Mateo Miguel_Angel, Serrano Oscar, Rozaimi M. 2013. Variability in the Carbon Storage of Seagrass Habitats and its Implications for Global Estimates of Blue Carbon Ecosystem Service. PloS ONE 8(9): e73748. Lee KS, Park SR, Kim YK. 2007. Effect of irradiance, temperature, and nutrients on growth dynamics of seagrasses : A Review. Journal od Experimental marine Biology and Ecology (350): 144-175 Llin A, Raiko T. 2010. Pratical Approaches to Principal Component Analysis in the Presence of Missing Values. Journal of Machine Learning Research (11): 1957-2000. Mateo MA., Cebrián J, Dunton K, Mutchler T. 2006. Carbon Flux in Seagrass Ecosystems. Seagrass: Biology, Ecology and Conservation. Springer 159192. Marbà N, Duarte CM., Alexandre A, Cabaço. 2004. European Seagrass: an introduction to monitoring and management, The four European seagrass species. EU project monitoring and manging of European Seagrass (M&MS). McKenzie LJ. 2008. Seagrass Educators Handbook. Northern Fisheries Centre. Australia (AU). Newmaster AF, Berg KJ, Ragupathy S., Palanisamy M., Sambandan K., Newmaster SG. 2011. Local Knowladge and Conservation of Seagrass in the Tamil Nadu State of India. Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine (7): 37. Nellemann C, Corcoran E, Duarte CM., Valdés L, De YC, Fonseca L, Grimsditch G. 2009. Blue Carbon. A Rapid Response Assessment. United Nations Environment Programme. GRID-Arendal. Nontji A. 1984. Laut Nusantara. Jakarta (ID). Jembatan
31
Orth R.J, Carruthers JB, Denniso WC, Duarte CM, Fourqurean JW, Heck Jr KL, Hughes R, Kendrick GA, Kenworthy WJ, Olyarnik S, Short FT, Waycott M, Williams SL. 2006. A Global Crisis for Seagrass Ecosystems. Bioscience 56(12): 987-996. Patang. 2009. Kajian Kualitas Air dan edimen di Sekitar Padang Lamun Kabupaten Pangkep. Jurnal Agrisistem 5 (2): 73-82. Paynter CK, Cortés J, Engels M. 2001. Biomass, Productivity and Density of Seagrass Thalassia testudinum at three sites in Cahuita National Park, Costa Rica. Rev. Biol. 49(2): 265-272. Setiawan F, Harahap SA, Andriani Y, Hutahaean AA. 2012. Deteksi Perubahan Padang Lamun Menggunakan Teknologi Pengindraan Jauh dan Kaitannya dengan Kemampuan Menyimpan Karbon di Perairan Teluk Banten. Jurnal Perikanan dan Kelautan 3(3): 275-286. Short F, Carruthers T, Dennison W, Waycott M. 2007. Global Seagrass Distribution and Diversity: A Bioregional Model. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology (350): 3-20. Susetiono. 2004. Fauna Padang Lamun, Tanjung Merah Selat Lembeh. Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI. Jakarta Indonesia (IND). Takaendengan K, Azkab MH. 2010. Struktur komunitas lamun di Pulau Talise, Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi 36 (1): 85-95 Torquemada YF, Durako MJ, Lizaso JLS. 2005. Effects of salinity and possible interactions with temperature and pH on growth and photosynthesis of Halophila johnsonii Eismen. Marine Biology (148): 251-260 Touchette BW. 2007. Seagrass-Salinity Interactions: Physiological mechanisms used by submersed marine angiosperms for a life at sea. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology (350): 194-215. Unsworth Richard KF, Bell JJ, Smith DJ. 2007. Tidal Fish Connectivity of Reef and Seagrass Habitats in the Indo-Pacific. Journal of Marine Biological Association of the United Kingdom (87): 1287-1296. Ulqodry ZT, Yulisman, Muh. Syahdan, Santoso. 2010. Karaketristik dan Sebaran nitrat, Fosfat, dan Oksigen di Perairan Karimunjawa Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Sains (13): 35-41. Vichkovitten T. 1998. Biomass, Growth and Productivity of Seagrass; Enhalus acoroides (Linn.f) in Khung Kraben Bay, Chanthaburi, Thailand. Kasetsart J Nat.Sci (32): 109-115. Watson A, Coles RG, Long WJ. Lee. 1993. Simulation Estimates of Annual Yield and Landed Value for Commercial Penaeid Prawns from a Tropical Seagrass Habit, Northern Queensland, Australia. Freshwater (44): 211-219. Wenworth CK. 1922. A Scale of Grade and Class Terms for Clastic Sediments. The Journal of Geology 30(5): 377-392 Zieman JC. 1982. The Ecology of The Seagrasses of South Florida: A Community Profile. Biological Services Program. Washington, DC (US)
32
Lampiran 1. Data kualitas air Sub DO (ppm) PH Stasiun 1A 10.0 8.0 2A 8.4 8.0 3A 7.5 8.0 1B 10.9 8.0 2B 11.4 8.0 3B 8.0 8.0 1C 10.4 8.0 2C 11.0 8.0 3C 8.7 8.0
Salinitas (ppm) 36.0 36.0 36.0 36.0 36.0 36.0 36.0 36.0 36.0
Suhu (°C) 32.0 28.0 27.0 30.0 28.0 27.0 30.0 28.0 29.0
Lampiran 2. Uji Anova satu arah DO SUMMARY Groups Count Sum Average Variance 32 2 55 27.5 0.5 30 2 55 27.5 0.5 30 2 57 28.5 0.5 ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups 1.333333 2 0.666667 1.333333 0.385204 9.552094 Within Groups 1.5 3 0.5 Total 2.833333 5
Lampiran 3. Kepadatan rata-rata total per sub stasiun Kepadatan rata-rata total (ind/m2)
Stasiun A B C
Kepadatan rata-rata (ind/m2) Jumlah EA TH CR SI HO HU 130.6667 488 86 226 182 484 1596.667 92 484 277.3333 1010.667 1064 512 3440 72 418.6667 0 204 164 0 858.6667
33
Lampiran 4. Uji Anova satu arah kepadatan rata-rata lamun E. acoroides SUMMARY Groups Count Sum Average Variance Column 1 3 392 130.6667 549.3333 Column 2 3 184 61.33333 3397.333 Column 3 3 144 48 2128 ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups 11818.67 2 5909.333 2.918349 0.130245 5.143253 Within Groups 12149.33 6 2024.889 Total 23968 8 Lampiran 5. Uji Anova satu arah kepadatan rata-rata lamun T. hemprichii SUMMARY Groups Count Sum Average Variance Column 1 3 1464 488 79936 Column 2 3 968 322.6667 101189.3 Column 3 3 1256 418.6667 43557.33 ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups 41358.22 2 20679.11 0.276111 0.76787 5.143253 Within Groups 449365.3 6 74894.22 Total 490723.6 8 Lampiran 6. Uji Anova satu arah kepadatan lamun rata-rata C. rotundata SUMMARY Groups Count Sum Average Variance Column 1 3 172 57.33333 2949.333 Column 2 3 832 277.3333 164117.3 Column 3 3 0 0 0 ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups 128600.9 2 64300.44 1.154637 0.3765 5.143253 Within Groups 334133.3 6 55688.89 Total 462734.2 8
34
Lampiran 7. Uji Anova satu arah kepadatan rata-rata lamun S. isoetifolium SUMMARY Groups Count Sum Average Variance Column 1 3 452 150.6667 6454933 Column 2 3 3032 1010.667 1981605 Column 3 3 204 68 13872 ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups 1635054 2 817527.1 1.190558 0.3669 5.143253 Within Groups 4120053 6 686675.6 Total 5755108 8 Lampiran 8. Uji Anova satu arah kepadatan rata-rata lamun H. ovalis SUMMARY Groups Count Sum Average Variance Column 1 3 364 121.3333 20645.33 Column 2 3 2128 709.3333 901541.3 Column 3 3 328 109.3333 13589.33 ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups 705888 2 352944 1.131502 0.38286 5.143253 Within Groups 1871552 6 311925.3 Total 2577440 8 Lampiran 9. Uji Anova satu arah kepadatan rata-rata lamun H. uninervis SUMMARY Groups Count Sum Average Variance Column 1 3 484 161.3333 78085.33 Column 2 3 512 170.6667 87381.33 Column 3 3 0 0 0 ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups 55242.67 2 27621.33 0.50079 0.629312 5.143253 Within Groups 330933.3 6 55155.56 Total 386176 8
35
Lampiran 10. Biomassa rata-rata total (gr/m2) Biomassa rata-rata (gr/m2) Stasiun Jumlah EA TH CR SI HO HU A 127.42222 47.0222222 1.468 2.72133333 0.5636 6.26666667 185.464044 B 120.46667 41 9.33333333 33.8 36.333333 8.13333333 249.066667 C 102.45333 41.8666667 0 1.06666667 1.714 0 147.100667
Lampiran 11. Fraksi substrat Sub Stasiun
Dm (mm)
1A 2A 3A 1B 2B 3B 1C 2C 3C
0.48 0.47 0.48 0.36 0.37 0.33 0.37 0.31 0.44
Kerikil & Batuan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
% Fraksi Pasir 99.20 99.48 100.00 99.91 99.52 99.90 99.72 98.64 100.00
Liat 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Debu 0.80 0.52 0.00 0.09 0.48 0.10 0.28 1.36 0.00
Jumlah % 100 100 100 100 100 100 100 100 100
36
Lampiran 12. Uji Anova satu arah diameter substrat SUMMARY Groups Count Sum Average Column 1 3 1.43 0.476666667 Column 2 3 1.06 0.353333333 Column 3 3 1.12 0.373333333 ANOVA Source of Variation SS df MS Between Groups 0.026289 2 0.013144444 Within Groups 0.0094 6 0.001566667 Total 0.035689 8
Variance 3.33333E-05 0.000433333 0.004233333 F P-value 8.390070922 0.018271932
Lampiran 13. Uji Anova satu arah N total SUMMARY Groups Count Sum Average Variance Column 1 3 1224752751 4.08250917 1.140339 Column 2 3 11.20281376 3.734271254 1.752751 Column 3 3 8.312439058 2.770813019 0.036785 ANOVA Source of Variation SS df MS F Between Groups 2.770068208 2 1.385034104 1.418184 Within Groups 5.859749306 6 0.976624884 Total 8.629817515 8
F crit 5.14325285
P-value 0.31306
F crit 5.14325
37
Lampiran 14. Uji Anova satu arah P total SUMMARY Groups Count Sum Column 1 3 3.866987 Column 2 3 2.136623 Column 3 3 2.086468 ANOVA Source of Variation SS df Between Groups 0.6852139 2 Within Groups 0.9261498 6 Total 1.6113638 8
Average Variance 1.288995 0.45469 0.712207 0.00566 0.695489 0.00272 MS F P-value F crit 0.342606 2.219556 0.189873 5.143253 0.154358
Lampiran 15. Kandungan C-organik (%) rata-rata per stasiun C-org rata-rata (%) Stasiun Jumlah EA TH CR SI HO HU A 31099475 25.055427 36.05882 22.79085 11.2467 28.23102 25.74704 B 25.797246 23.774937 32.57791 21.35303 9.42848 21.56325 22.41581 C 29.137934 22.855505 0 23.22855 11.5663 0 14.46472
Lampiran 16 Akar ciri dan korelasi pasrial AKU menggunakan minitab 16 Analisis nilai akar ciri matriks korelasi Akar ciri Proporsi Kumulatif
11,965 0,570 0,570
9,035 0,430 1,000
0,000 0,000 1,000
0,000 0,000 1,000
0,000 0,000 1,000
0,000 0,000 1,000
0,000 0,000 1,000
0,000 0,000 1,000
38
Lampiran 17. Dokumentasi kegiatan penelitian di lapangan
Stasiun A (Mangrove)
Stasiun B (Lamun)
Stasiun C (Terumbu Karang)
Penghitungan tegakan dan identifikasi jenis
Pemanenan lamun
Pengambilan sampel substrat
39
Lampiran 18. Dokumentasi kegiatan penelitian di Laboratorium
Lamun yang telah dipisahkan perbagian
Pengovenan lamun & substrat
Penimbangan berat kering
Alat penghalus lamun dan substrat
Analisis N & P-total Substrat
Analisis C-org lamun
40
Lampiran 19. Jenis-Jenis lamun yang ditemukan
Enhalus acoroides
Cymodocea rotundata
Thalassia hemprichii
Halophila ovalis
Syringodium isoetifolium
Halodule uninervis
41
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palangkaraya pada tanggal 13 Februari 1985 sebagai putri dari pasangan suami istri Bapak Selut Rampay dan Ibu Mecie. Penulis yang merupakan anak pertama dari 3 bersaudara menamatkan program sarjana jurusan Budidaya Perairan, Universitas Palangkaraya pada tahun 2006 kemudian melanjutkan studi pascasarjana S2 di IPB jurusan Pengelolaan Sumberdaya Perairan pada tahun 2013. Sebuah karya ilmiah yang merupakan bagian dari tesis penulis telah diterbitkan pada jurnal JIPI tahun 2014 dengan judul Diameter Substrat dan Jenis Lamun di Pesisir Bahoi Minahasa Utara: Sebuah Analisis Korelasi.