PROFIL EKOSISTEM LAMUN SEBAGAI SALAH SATU INDIKATOR KESEHATAN PESISIR PERAIRAN SABANG TENDE KABUPATEN TOLITOLI Andi Adli1, Achmad Rizal dan Zakirah Raihani Ya’la2 1
[email protected] (Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu-ilmu Pertanian Pascasarjana Universitas Tadulako) 2 (Dosen Program Studi Magister Ilmu-ilmu Pertanian Pascasarjana Universitas Tadulako)
Abstract Sabang Tende Waters is one of the tourist sites and is often visited by tourists. So seagrass will be undergoing environmental degradation and presentation tutupannya also continues to munurun. There are several factors which led to pressure on the field tour, number of seagrass nearly 200 people every week so in monthly can reach 800 people. Therefore the condition of Sabang Tende as the location of the utilization of nautical tourism will experience pressure on ecosystems seagrass research needs to be done, then the profile of seagrass ecosystems as one indicator of the health of the coast. Exploiting the potential of the coast can improve the welfare of coastal communities, but in the absence of sustainable management, it will reduce the function of the coast. This research aim 1). Identify the types of seagrass, density, density and type of closure of seagrass in waters Sabang Tende., 2). It examines the factors that influence Community characteristics, composition, density, and distribution of seagrass in waters Sabang Tende., 3). Analyzing the public perception about the role/benefits of ecosystem health indicators as seagrass in waters across the coast Tende. Research using the method of observation, interview, koesioner, and biophysical surveys. Research results showed the kind of density on the station I namely 27.5 ind/12m2stasiun II: 12m2 ind/42, station III: 36.9 ind/12m2. Based on the results of the research conducted in the third observation station, the number and type of seagrass found different (not always the same), i.e. the most types found on the station I (natural zones) as much as 4 types, while on station II (residential zone) as 6 types, and III (zone tourist resort) is only found 5 types of seagrass. The physical and chemical conditions on the the station I, II, and III 7 pH, salinity of 30 0 /00, while the II, III have a range of 320/00 and it shows that the percentage 48.8 % said that seagrass beds that is in sabang tende in stir by a tourist who is visiting and 29 % of respondents said that seagrass beds that is in sabang tende having the condition seagrass beds good. Keywords: saagrass meadow, density and the waters of Sabang Tende Lamun merupakan ekosistem yang bermanfaat, tetapi di Indonesia pemanfaatannya untuk kebutuhan manusia kurang dioptimalkan, bahkan cenderung dirusak karena kepentingan yang lain. Beberapa faktor yang mempengaruhi kerusakan lamun antara lain pencemaran limbah industri, limbah pertanian, sedimentasi, pembuangan sampah organik cair, pengerukan pasir dan reklamasi pantai serta pembabatan secara langsung (Dahuri 1993). Kawasan pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan laut. Kawasan pesisir memiliki ekosistem yang beragam, lamun umumnya
Kabupaten Tolitoli merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah. Kabupaten Tolitoli nampak memanjang dari timur ke barat 1,200-122,090 bujur timur, terletak di sebelah utara garis katulistiwa dalam koordinat 0,350-1,200 lintang utara. Kabupaten Tolitoli terdiri dari 10 kecamatan dengan luas lahan 4.079,77 ha. Dari hasil perhitungan luas peta ketinggian, ternyata daerah dengan ketinggian 100-500 meter dari permukaan laut adalah yang paling luas yaitu sebesar 192.748 ha (47,24 %) dan tersebar di seluruh wilayah kecamatan (BPS, 2012).
49
50 Jurnal Sains dan Teknologi Tadulako, Volume 5 Nomor 1, Januari 2016 hlm 49-62
terletak diantara mangrove dan terumbu karang yang bertindak sebagai daerah penyangga yang baik, sehingga dapat mengurangi energi gelombang dan dapat mengalirkan nutrisi ke ekosistem terdekatnya (Dahuri, 2003). Penduduk Kecamatan Galang Desa Sabang Tende ini sangat terkait dengan sumberdaya laut, khususnya perairan pantai. Sebagian besar mata pencaharian penduduknya sebagai nelayan penangkap ikan dan terutama sebagian besar sebagai nelayan budidaya rumput laut. Dengan demikian perekonomian penduduk tersebut dipengaruhi oleh kondisi ekosistem perairan pesisir. Kerusakan pada ekosistem lamun bisa mengakibatkan kerusakan atau berkurangnya tutupan terumbu karang. Hal ini bisa berakibat kepada kesehatan ekosistem terumbu karang. Apabila ekosistem padang lamun rusak, tidak ada penyaring sedimen untuk ekosistem terumbu karang. Selain itu, transfer materi pun bisa terganggu. Oleh karena itu, ekosistem lamun pun menjadi salah satu elemen penting dalam kesehatan perairan. Kawasan perairan Sabang Tende merupakan kawasan wisata bahari yang perkembangan pariwisatanya cukup pesat. Kehidupan dan budaya tradisional masyarakat serta pemandangan bawah air di sekitar telah banyak menarik wisatawan domestik maupun mancanegara. Perairan Sabang Tende merupakan salah satu lokasi wisata dan sering dikunjungi oleh wisatawan. Sehingga lamun akan mengalami degradasi lingkungan dan presentasi tutupannya juga terus munurun. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya tekanan terhadap padang lamun, jumlah wisata hampir mencapai 200 orang setiap minggu sehingga dalam perbulan bisa mencapai 800 orang. Oleh karena itu kondisi Sabang Tende sebagai lokasi pemanfaatan wisata bahari akan mengalami tekanan pada ekosistem lamun maka, perlu dilakukan penelitian profil ekosistem lamun sebagai
ISSN: 2089-8630
salah satu indikator kesehatan pesisir. Pemanfaatan potensi dari nilai pesisir dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, tetapi tanpa adanya pengelolaan berkelanjutan maka akan mengurangi fungsi dari pesisir. Tujuan dari Penelitian ini adalah: 1.Mengindentifikasi jenis-jenis lamun, kerapatan, kepadatan jenis dan penutupan lamun serta indeks nilai penting di perairan Sabang Tende. 2.Mengkaji faktor-faktor kualitas air yang mempengaruhi karakteristik komunitas, komposisi, kepadatan, dan penyebaran lamun di perairan Sabang Tende. 3.Menganalisis persepsi masyarakat tentang peran / manfaat ekosistem lamun sebagai indikator kesehatan pesisir di perairan Sabang Tende. METODE Penelitian ini berlangsung selama 2 bulan yakni bulan April-Mei 2015. mencakup waktu persiapan seminggu dan pengambilan data lamun yang bertempat di tiga Titik yakni Pantai Tanjung Kekot, Pantai Lalos, dan Pantai Sabang Tende Kecamatan Galang. Penelitian ini dilakukan dengan
1. Mengienditifikasi Jenis Lamun a. Kerapatan Jenis Kepadatan/kerapatan jenis adalah jumlah individu (tegakan) per satuan luas. Kepadatan masing-masing jenis pada setiap stasiun dihitung dengan menggunakan rumus Odum (1993) sebagai berikut: Di = ni / A di mana : Di = Kerapatan jenis (tegakan/1 m2) Ni = Jumlah total tegakan species (tegakan) A = Luas daerah yang disampling (1 m2) b. Kepadatan Relatif (RDi) Kepadatan relatif adalah perbandingan antara jumlah individu jenis dan jumlah total individu seluruh jenis (Odum, 1993)
Andi Adli, dkk. Profil Ekosistem Lamun Sebagai Salah Satu Indikator Kesehatan Pesisir Perairan Sabang ………51
RDi
ni x100 n
di mana : RDi = Kepadatan relatif Ni = Jumlah total tegakan species i (tegakan) ∑n = Jumlah total individu seluruh jenis c. Frekuensi Jenis Frekuensi jenis adalah peluang suatu jenis ditemukan dalam titik contoh yang diamati Frekuensi jenis dihitung dengan rumus (Odum, 1993) : Pi F P di mana : Fi = Frekuensi Jenis Pi = Jumlah petak contoh dimana ditemukan species i ∑p = Jumlah total petak contoh yang diamati d. Frekuensi Relatif (RFi) Frekuensi Relatif adalah perbandingan antara frekuensi species (Fi) dengan jumlah frekuensi semua jenis (∑Fi) (Odum, 1993) Fi RFi x100 F di mana : RFi = Frekuensi Relatif Fi = Frekuensi species i ∑Fi = Jumlah frekuensi semua jenis e. Penutupan (Ci) Adalah luas area yang tertutupi oleh jenis- i. Penutupan jenis dihitung dengan menggunakan rumus Odum (1993): Ci = ai/ A di mana : Ci = Luas area yang tertutupi ai = Luas total penutupan species i A = Luas total pengambilan sampel f. Penutupan Relatif (RCi) Adalah perbandingan antara penutupan individu jenis ke-i dengan jumlah total penutupan seluruh jenis. Penutupan relatif
jenis dihitung dengan menggunakan rumus (Odum, 1993) Ci RCi x100% Ci dimana : Ci = Luas area penutupan jenis C = Luas total area penutupan untuk seluruh jenis RCi = Penutupan relatif jenis g. Indeks Nilai Penting (INP) Indeks nilai Penting (INP), digunakan untuk menghitung dan menduga keseluruhan dari peranan jenis lamun di dalam satu komunitas. Semakin tinggi nilai INP suatu jenis relatif terhadap jenis lainnya, semakin tinggi peranan jenis pada komunitas tersebut Rumus yang digunakan untuk menghitung INP adalah : INP = FR + RC + RD dimana : INP = Indeks nilai penting RC = Penutupan relatif FR = Frekuensi relatif RD = Kerapatan relatif 2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ekosistem Padang Lamun Pengukuran kualitas air dilakukan pada tiga stasiun berdasarkan jarak berbeda dari garis pantai, Stasiun 1 berada pada di Tanjung Kekot, Stasiun II berada pada pantai Lalos dan Stasiun III berada pada Sabang Tende. a. Suhu Untuk mengatahui kondisi faktor lingkungan terutama yang terkait dengan pengukuran suhu, dilakukan secara langsung dilapangan dengan menggunakan termometer, hasil pembacaan suhu dinyatakan dalam satuan o /c. b. Salinitas Pengukuran salinitas juga dilakukan secara langsung dengan menggunakan refraktometer hasil pembacaan salinitas dinyatakan dalam satuan %o.
52 Jurnal Sains dan Teknologi Tadulako, Volume 5 Nomor 1, Januari 2016 hlm 49-62
c. pH Pengukuran derajat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu perairan, juga dilakukan secara langsung dengan mengguunakan kertas lamus /pH elektrik. d. Substrat Dalam menentukan substrat dilakukan pengamatan langsung di tiga stasiun pada permukaan perairan. 3. Persepsi Masyarakat Tentang Ekosistem Lamun di Perairan Sabang Tende. a. Wawancara Teknik wawancara yang dilakukan dengan model wawancara terstruktur yang disusun sesuai dengan mengetahui pemanfaatan lamun serta bagaimana tanggapan masyarakat tentang kelestarian ekosistem perairan. b. Kuesioner Membuat pertanyaan tertulis yang telah disusun sebelumnya atau daftar pertanyaan tersebut cukup terperinci dan lengkap yang sudah disiapkan. HASIL DAN PEMBAHASAN
ISSN: 2089-8630
kerapatan dan penutupan vegetasi yang lebih besar dibandingkan dengan stasiun II, dan III Perbedaan siginifikan terlihat dari diagram di atas menunjukkan bahwa kerapatan dan penutupan vegetasi lamun lebih banyak stasiun I dikarenakan pada stasiun tersebut vegetasi lamun bersifat campuran (multispesifik) sedangkan stasiun II,III juga vegetasi lamunnya bersifat campuran (multispesifik). Sehingga pada saat melakukan transek kuadrat kerapatan stasiun II lamun Enhalus acoroides diselingi oleh lamun jenis lain. Menurut Hutabarat dan Evans (1986) menyatakan bahwa sediman merupakan partikel batuan-batuan yang diangkut dari daratan ke laut oleh sungai-sungai atau faktor oseanografi lainnya. Ketika sedimen mencapai lautan, penyebaran kemudian ditentukan oleh sifat-sifat fisik dari partikel itu sendiri, khususnya oleh lamanya mereka melayang-layang dilapisan (kolom) air. Partikel yang berukuran besar cenderung akan lebih cepat tenggelam dan menetap daripada yang berukuran kecil. Menurut Kiswara (1994) peranan kedalaman substrat dalam stabilitas sedimen mencakup 2 hal, yaitu: (1) pelindung tanaman dari arus air laut, (2) tempat pengolahan dan pemasok nutrient. Lamun yang berhasil ditemukan pada 3 lokasi penelitian yang berbeda yaitu perairan Tanjung Kekot, perairan Pantai Lalos dan perairan Pantai Sabang Tende. secara keseluruhan diperoleh 6 spesies lamun yang dikelompokkan kedalam 1 devisi, 1 kelas, 2 famili 6 genus dan 6 spesies.
Identifikasi Jenis-Jenis Lamun, Kerapatan, Kepadatan Jenis Dan Penutupan Lamun di Perairan Sabang Tende. Nilai kerapatan dan penutupan diukur pada awal penelitian, berdasarkan hasil pengukuran, diperoleh rata-rata nilai kerapatan dan penutupan vegetasi yang berbeda antara kedua stasiun I memiliki nilai Tabel 1. Jenis-jenis Lamun yang Ditemukan di Masing-masing Stasiun No Jenis Sta 1 Sta II Sta III V V V 1 C. rotundata V V V 2 E. acoroides V V 3 H. pinifolia V V V 4 H.ovalis V V V 5 T. hemprichii V 6 S.isoetifolium Ket : V= ada, -- = tidak ada
Andi Adli, dkk. Profil Ekosistem Lamun Sebagai Salah Satu Indikator Kesehatan Pesisir Perairan Sabang ………53
Enhalus acoroides merupakan lumpur. Akarnya pendek daunnya tumbuhan yang mudah dikenal karena dapat berukuran 1-2 cm tinggi batang 5-7 cm, mencapai 1 meter panjang daun, serta akarnya 2-3 cm. memiliki rhizoma (akar) yang tebal dengan Menurut Dahuri (2003), bahwa diameter 1,5 cm dan diliputi akar tebal dan Cymodocea rotundata merupakan tumbuhan sabut daun yang berwarna hitam. Daunnya yang memiliki rhizoma yang halus dengan sepanjang 50-1,5 cm pinggiran daun licin dan akar bercabang secara tidak teratur dengan tebal. Buahnya menyerupai buah rambutan, satu batang pendek yang mempunyai daun 2bagian dalam buah tersebut seperti isi 7 , batangnya tegak dan pendek dengan durian. ukuran 1-3 cm daun 2-4 mm dan 10 cm Enhalus acoroides yang tumbuh di panjang , urat tengah tidak menonjol. perairan pantai Tanjung Kekot, perairan Selanjutnya dinyatakan (Dahuri, 2003), pantai Sabang Tende dengan substrat pasir bahwa Halodule pinifolia merupakan berlumpur, memiliki pertumbuhan yang tumbuhan yang halus, rhizomanya subur jika dilihat dari ketinggian tumbuhan monopodial yang tumbh dikawasan berpasir, ini mencapai 1 meter, sedangkan lumpur dan pataha karang. Rhizoma pertumbuhan di perairan pantai Lalos dengan berdiameter 1,5 cm, batangnya tegak dan substrat pasir berkarang kurang subur ini pendek mempunyai 2-4 daun berserat secara dilihat dari ketinggian tumbuhan tersebut tidak beraturan dan pinggiran daun licin. yang hanya mencapai 30-50 cm (Dahuri, Syringodium isoetifolium, merupakan 2003). tumbuhan yang memilii daun berselinder dan Thalasia hemprichii merupakan keras yang muncul dari rhizoma monopodial tumbuhan lamun yang tumbuh di daerah halus. Terdapat 2-3 daun, daun mencapai 15 pasir bercambur karang sampai substrat cm berdiameter 1 mm. Tumbuhan ini tumbuh berlumpur. Tumbuhan ini serupa dengan pada daerah berpasir sampai dengan pasir Cymodocea rotundata, namun dapat berlumpur (Senoaji, 2009). dibedakan pada rhizoma yang tebal / kasar. Batangnya yang tegak pada setiap batang a. Kerapatan Jenis memiliki 2-6 daun. Daun melengkung dan Kerapatan jenis lamun adalah lurus seperti sabit sepanjang 16 cm dan lebar banyaknya jumlah individu/tegakan suatu 1 cm (Nontji, 1993). spesies lamun pada luasan tertentu. Hasil Halophila ovalis merupakan tumbuhan yang diperoleh dapat dilihat sebagai berikut lamun dari genus halophila dengan ukuran dalam Tabel 2 yang terkecil. Tumbuhan ini tumbuh di kawasan intertidal yang berpasir hingga Tabel 2. Kerapatan Jenis (Di) dan Kerapatan Relatif (RDi) (ind/12m2) No Sta I Sta II Sta III Jenis Di RDi Di RDi Di RDi 1 C.r 8 25,3 7,8 17,4 7,1 19,7 2 E.a 7,5 23,5 7,4 16,4 7,4 20,4 3 H.o 8,1 25,6 7,9 17,5 7,3 20,2 4 H.p 6,6 14,8 7,2 20 5 T.h 8 25,3 7,9 17,5 7 19,5 6 S.i 7,2 16,1 Jumlah 27,5 99,7 42 99,7 36,9 99,8
54 Jurnal Sains dan Teknologi Tadulako, Volume 5 Nomor 1, Januari 2016 hlm 49-62
ISSN: 2089-8630
Pada Tabel 2 menunjukkan kerapatan alami) kondisi lingkungannya masih alami jenis lamun tertinggi di ketiga stasiun yaitu dalam kondisi baik dan belum tercemar oleh Thalassia hemprichii dan Cymodocea aktivitas masyarakat maupun aktivitas wisata rotundata, sedangkan untuk jumlah total sehingga diduga lamun tumbuh baik disana, 2 individu lamun pada stasiun I: 27,5 ind/12m sedangkan pada stasiun II dan III (zona , stasiun II: 42 ind/12m2 , stasiun III: 36,9 pemukiman dan resort) kondisi 2 ind/12m . Berdasarkan hasil penelitian yang lingkungannya sudah dipengaruhi oleh dilakukan, di ketiga stasiun pengamatan berbagai kegiatan manusia (seperti adanya jumlah dan jenis lamun yang ditemukan limbah/sampah, kegiatan nelayan setempat berbeda (tidak selalu sama), yakni jenis maupun untuk pariwisata) yang menjadikan terbanyak ditemui pada stasiun I (zona alami) kondisi perairan dan lingkungan sedikit sebanyak 4 jenis, sedangkan pada stasiun II terganggu sehingga mempengaruhi ekosistem (zona pemukiman) sebanyak 6 jenis, dan lamun yang ada disana. Hal ini menunjukkan stasiun III (zona resort wisatawan) hanya kerapatan jenis lamun akan semakin tinggi dijumpai 5 jenis lamun. Nilai kerapatan jenis bila kondisi lingkungan perairan tempat tertinggi juga terdapat di stasiun II yakni 42 lamun tumbuh dalam keadaan baik. ind/12m2. Hal ini dimungkinkan karena Kiswara (2004), kerapatan jenis lamun karakteristik substrat yang berbeda antar di pengaruhi faktor tempat tumbuh dari stasiun, sebaran pertumbuhan lamun yang lamun tersebut. Beberapa faktor yang tidak tersebar secara merata dan beberapa mempengaruhi kerapatan jenis lamun di faktor lingkungan lainnya seperti kondisi antaranya adalah kedalaman, kecerahan, arus lingkungan yang berbeda. Stasiun I (zona air dan tipe substrat. b. Persentase Frekuensi Jenis Tabel 3. Frekuensi Jenis (Fi) dan Frekuensi Relatif (RFi) No Sta I % Sta II % Sta III% Jenis Fi RFi Fi RFi Fi RFi 1 C.r 0,3 2 0,4 1,9 0,2 1,5 2 E.a 0,2 1,6 0,2 1,1 0,3 1,8 3 H.o 0,3 2 0,3 1,4 0,1 0,6 4 H.p 0,1 0,4 0,2 1,5 5 T.h 0,3 2 0,4 1,9 0,3 1,8 6 S.i 0,1 0,4 Jumlah 7,6 7,1 7,2 Frekuensi merupakan peluang suatu c. Persentase Penutupan dan Frekuensi jenis ditemukan dalam titik yang diamati Hasil persentase penutupan jenis, (Brower et al., 1989). Cymodocea rotundata, penutupan komunitas dan frekuensi jenis Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides tersaji pada Tabel 4. merupakan jenis yang dominan dijumpai pada sejumlah transek pengamatan. Tabel 4. Frekuensi Jenis (Fi) dan Frekuensi Relatif (RFi) No Sta I % Sta II % Sta III% Jenis Ci RCi Ci RCi Ci RCi 1 C.r 0,3 27,2 0,4 26,6 0,4 18,1 2 E.a 0,2 18,1 0,2 13,3 0,3 27,2 3 H.o 0,3 27,2 0,3 20 0,1 9,0 4 H.p 0,1 6,6 0,01 18,1 5 T.h 0,3 27,2 0,4 26,6 0,3 18,1 6 S.i 0,1 6,6 Jumlah 99,7 99,7 90,5
Andi Adli, dkk. Profil Ekosistem Lamun Sebagai Salah Satu Indikator Kesehatan Pesisir Perairan Sabang ………55
Persentase penutupan total komunitas merata sehingga lamun hanya tumbuh pada lamun di stasiun I, II dan III secara berurutan titik tertentu yakni 99,7%; 99,7% dan 90,5%. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan d. Indeks Nilai Penting Hidup No. 20 Tahun 2004 bahwa stasiun I INP ditentukan oleh jumlah frekuensi (utara) masuk kedalam kondisi sehat relatif, kerapatan relatif dan penutupan relatif (penutupan > 60%), sedangkan untuk stasiun tersaji pada Tabel 7. II (timur) dan III (selatan) masuk dalam Padang lamun stasiun I di temukan 4 kategori kondisi kurang sehat (penutupan 30spesies yaitu Cymodocea rotundata, Enhalus 59,9%). Di lihat dari penutupan lamun yang acoroides, Halophila ovalis, dan Thalassia ditemui, daerah yang telah terganggu hemprichii, jenis lamun yang mempunyai aktivitas manusia memiliki persen penutupan kerapatan tertinggi adalah Halophila ovalis paling kecil dan penutupan lamun akan yaitu 25,6 %. Halophila ovalis tergolong semakin tinggi pada daerah yang alami. Hal besar dengan distribusi cukup luas. Sebagai ini disebabkan gangguan ekosistem yang akibat dari kerapatan relatif, penutupan dan diterima lamun akibat pembuangan limbah frekuensi relatif dibandingkan dengan jenis rumah tangga serta aktivitas masyarakat. lain, menyebabkan Halophila ovalis Menurut Dahuri,(2004) komposisi jenis, luas merupakan jenis lamun yang dominan di tutupan dan sebaran lamun dapat dipengaruhi stasiun I yaitu 54,8%. ketersediaan nutrient pada substrat yang tidak Tabel 5. FrekuensiRelatif(FR),Penutupatan Relatif(RC)danKerapatan Relatif(RD) Sta I
1 2 3 4 5 6
Jenis C.r E.a H.o H.p T.h S.i Jumlah
FR % 2 1,6 2 2 7,6
Sedangkan pada stasiun II lamun yang ditemukan terdapat 6 jenis yaitu Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule pinifolia, Syringodium isoetifolium, dan Thalassia hemprichii. Untuk jenis lamun yang mempunyai kerapatan relatif Halophila ovalis dan
RC% 27,2 18,1 27,2 27,2 99,7
RD% 25,3 23,5 26,5 25,3 99,7
INP 54,5 43,2 54,8 54,5 -
Thalassia hemprichii yaitu 17,5% . akan tetapi untuk penutupan relatif itu lebih didominsi oleh jenis lamun Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii yaitu 26,6 %, berdasarkan INP , jenis yang relatif dominan ditemukan adalah Cymodocea rotundata 45,9%
Tabel 6. FrekuensiRelatif(FR),Penutupatan Relatif(RC)danKerapatan Relatif(RD) Sta II Jenis FR % RC% RD% INP 1 C.r 1,9 26,6 17,4 49,5 2 E.a 1,1 13,3 16,4 30,8 3 H.o 1,4 20 17,5 38,9 4 H.p 0,4 6,6 14,8 21,8 5 T.h 1,9 26,6 17,5 46 6 S.i 0,4 6,6 16,1 23,1 Jumlah 7,1 93,7 99,7
56 Jurnal Sains dan Teknologi Tadulako, Volume 5 Nomor 1, Januari 2016 hlm 49-62
ISSN: 2089-8630
Padang lamun yang terdapat di stasiun dengan sebaran luas, mulai dari bagian dalam III ditemukan 5 jenis yaitu Cymodocea sampai pada bagian luar stasiun. Hal ini rotundata, Enhalus acoroides, Halophila terlihat pada tabel yang mencapai kerapatan ovalis, Halodule pinifolia, dan Thalassia 20,4%. dan memiliki peranan yang lebih hemprichii. Enhalus acoroides yang tinggi diantara keempat jenis lainnya dalam mempunyai kerapatan yang dominan komunitasnya dilihat dari nilai INP per dibandingkan dengan jenis lain yang ada spesies 49,4%. pada stasiun III Enhalus acoroides ditemukan Tabel 7. Frekuensi Relatif (FR), Penutupan Relatif (RC)dan Kerapatan Relatif (RD) Sta III
1 2 3 4 5 6
Jenis C.r E.a H.o H.p T.h S.i Jumlah
FR % 1,5 1,8 0,6 1,5 1,8 7,21
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kondisi Lamun Parameter fisik suatu perairan memegang peranan penting bagi kehidupan lamun dan mikroalga epifit, keadaan parameter fisik yang optimum sangat dibutuhkan oleh lamun untuk menunjang kehidupan. Hasil parameter fisik perairan selama penelitian menunjukkan kriteriakriteria yang ideal untuk pertumbuhan lamun di perairan dangkal. Nilai pH pada suatu perairan mempunyai pengaruh yang besar terhadap organisme perairan sehingga seringkali dijadikan petunjuk untuk menyatakan baik buruknya suatu perairan. biasanya angka pH dalam suatu perairan dapat dijadikan indikator dari adanya keseimbangan unsurunsur kimia dan dapat mempengaruhi ketersediaan unsur-unsur kimia dan unsurunsur hara yang sangat bermanfaat bagi kehidupan vegetasi akuatik (Odum, 1993). Air laut mempunyai kemampuan untuk menyangga (buffer) yang sangat besar untuk mencegah perubahan pH. perubahan pH dari pH alami akan menyebabkan terganggunya sistem penyangga, hal ini dapat menimbulkan perubahan dan ketidak seimbangan kadar
RC% 18,1 27,2 9,0 18,1 18,1 90,5
RD% 19,7 20,4 20,2 20 19,5 99,8
INP 39,3 49,4 29,8 39,6 39,4 -
CO2 yang dapat membahayakan kehidupan biota laut. pH air laut permukaan di Indonesia umumnya bervariasi antara 6-8,5 sedangkan penurunan pH sebesar 1,5 dari nilai alami dapat memperbesar toksitas 1000 kali (Dahuri, 2004). Pada stasiun I,II,dan III pengukuran pH didapatkan sebesar 7. Hal ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan derajat keasaman antara stasiun I, II dan stasiun III pada kisaran pH tersebut juga dapat disimpulkan bahwa stasiun I,II dan stasiun III di kategorikan dalam sangat produktif tingkat kesuburan perairannya. Lamun mentolerir suatu kisaran salinitas yang luas yaitu 6-600/00, bahkan dapat mentolerir air tawar dalam periode pendek (Phillips dan Menez,1988). Nilai salinitas oprimum untuk lamun adalah 350/00 (Zieman dalam Berwick, 1983). penurunan salinitas menyebabkan penurunan laju fotosintesis dan pertumbuhan (Hammer dalam Berwick, 1983). Selama penelitian stasiun I memiliki kisaran salinitas 300/00, sedangkan pada stasiun II, III memiliki kisaran 320/00. Sama halnya dengan pengukuran derajat keasaman, pengukuran salinitas pun tidak memiliki perbedaan yang
Andi Adli, dkk. Profil Ekosistem Lamun Sebagai Salah Satu Indikator Kesehatan Pesisir Perairan Sabang ………57
signifikan. Kisaran salinitas tersebut merupakan kisaran yang menunjang pertumbuhan laju pertumbuhan lamun. Kondisi suhu perairan yang diperoleh selama penelitian yaitu berkisar 30-320C. Suhu perairan antara stasiun I dan stasiun II,III tidak jauh berbeda. Hal ini dikarenakan untuk stasiun II dan stasiun III memiliki jarak tidak jauh. Namun untuk suhu di stasiun I memiliki suhu paling optimum untuk fotosintesis lamun yaitu berkisar 30320C. Menurut Philips dan Menes tahun, (1988) Lamun dapat mentolerir suhu perairan antara 20-360C, tetapi suhu optimum untuk fotosintesis lamun berkisar 28-300C. Perubahan suhu perairan mempengaruhi proses biokimia, fotosintesis, dan pertumbuhan lamun, menentukan ketersediaan unsur hara, penyerapan unsur hara, respirasi, panjang daun lamun dan faktor-faktor fisiologi serta ekologis lainnya. Pada semua jenis substrat yakni berpasir campur lumpur, pasir bercampur karang, dan berpasir dapat ditumbuhi lamun.
Namun khususnya untuk substrat berlumpur dan berpasir halus ditemukan suatu hamparan lamun yang cukup luas dan memiliki akar yang pendek dibandingkan dengan lamun yang terdapat di substrat berbatu, dimana lamun yang tumbuh pada substrat berbatu memiliki pertumbuhan lamun yang agak kecil dan memiliki akar yang lebih panjang. Pengukuran kedalaman pada saat penelitian memiliki kedalaman rata-rata di bawah 1 m yang merupakan kedalaman ideal untuk pertumbuhan vegetasi lamun dan juga mikroalga epifit. Untuk stasiun 1 memiliki nilai kedalaman rata-rata 0.6794 m dan pada stasiun 2 memiliki nilai kedalaman rata-rata 0.4817 m Proses fotosintesis lamun sangat erat kaitannya dengan kecerahan perairan. Untuk stasiun 1 dan stasiun 2 diperoleh kecerahan sebesar 100%. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa sebaran komunitas lamun di dunia masih ditemukan hingga kedalam 90 m, asalkan pada kedalaman ini masih dapat ditembus cahaya matahari (Dahuri, 2003)
Tabel 8. Kondisi Fisik dan Kimia Perairan stasiun I , stasiun II, dan stasiun III Parameter Pengukuran Stasiun I II III pH 7 7 7 Salinitas 300/00 350/00 350/00 Suhu 300C 320C 320C Substrat Pasir lumpur Pasir berkarang berpasir Persepsi Masyarakat Tentang Ekosistem Lamun Di Perairan Sabang Tende Berdasarkan koesioner yang dibagikan oleh masyarakat serta pengunjung tentang persepsi ekosistem lamun di Perairan Sabang Tende didapat dilihat pada tabel dibawah ini menunjukkan bahwa persentase 48,8 % yang menyatakan lokasi Sabang Tende merupakan obyek pariwisata yang layak untuk dikembangkan serta dapat dipromosikan sebagai tempat wisata bahari sehingga dapat dikomersilkan, dan juga mempunyai ekosistem lamun yang beragam dan juga menujukkan perairan yang ada di Sabang
Tende merupakan daerah pesisir pantai yang baik. Lamun, merupakan bagian dari beberapa ekosistem dari wilayah pesisir dan lautan perlu dilestarikan, memberikan kontribusi pada peningkatan hasil perikanan dan pada sektor lainya seperti pariwisata. Oleh karena itu perlu mendapatkan perhatian khusus seperti halnya ekosistem lainnya dalam wilayah pesisir untuk mempertahankan kelestariannya melalui pengelolaan secara terpadu. Secara langsung dan tidak langsung memberikan manfaat
58 Jurnal Sains dan Teknologi Tadulako, Volume 5 Nomor 1, Januari 2016 hlm 49-62
untuk meningkatkan perekonomian terutama bagi penduduk di wilayah pesisir. Habitat lamun dapat dipandang sebagai suatu komunitas, dalam hal ini padang lamun merupakan suatu kerangka struktural yang berhubungan dalam proses fisik atau kimiawi yang membentuk sebuah ekosistem. Mengingat pentingnya peranan lamun bagi ekosistem di laut dan semakin besarnya tekanan gangguan baik oleh aktifitas manusia maupun akibat alami, maka perlu diupayakan usaha pelestarian lamun melalui pengelolaan yang baik pada ekosistem padang lamun. Lamun juga dapat mengurangi dampak gelombang pada pantai sehingga dapat membantu menstabilkan garis pantai, sebagai menyediakan berbagai sumberdaya yang dapat digunakan untuk menyokong kehidupan masyarakat, seperti untuk makanan, perikanan, bahan baku obat, dan pariwisata. Secara prinsip ekosistem pesisir mempunyai 4 fungsi pokok bagi kehidupan manusia, yaitu: sebagai penyedia sumberdaya alam, penerima limbah, penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan, dan penyedia jasa-jasa kenyamanan. Sebagai suatu ekosistem, perairan pesisir menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik yang dapat dikonsumsi langsung maupun tidak langsung, seperti sumberdaya alam hayati yang dapat pulih (di antaranya sumberdaya perikanan, terumbu karang, rumput laut dan padang lamun), dan sumberdaya alam nor-hayati yang tidak dapat pulih (di antaranya sumberdaya mineral, minyak bumi dan gas alam). Sebagai penyedia sumberdaya alam yang produktif, pemanfaatan sumberdaya perairan pesisir yang dapat pulih harus dilakukan dengan tepat agar tidak melebihi kemampuannya untuk memulihkan diri pada periode waktu tertentu. Demikian pula diperlukan kecermatan pemanfaatan sumberdaya perairan pesisir yang tidak dapat pulih, sehingga efeknya tidak merusak lingkungan sekitarnya.
ISSN: 2089-8630
Disamping sumberdaya alam yang produktif, ekosistem pesisir merupakan penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan, seperti air bersih dan ruang yang diperlukan bagi berkiprahnya segenap kegiatan manusia. Sebagai penyedia jasa-jasa kenyamanan, ekosistem pesisir merupakan lokasi yang indah dan menyejukkan untuk dijadikan tempat rekreasi atau pariwisata. Ekosistem pesisir juga merupakan tempat penampung limbah yang dihasilkan dari kegiatan manusia. Sebagai tempat penampung limbah, ekosistem ini memiliki kemampuan terbatas yang sangat tergantung pada volume dan jenis limbah yang masuk. Apabila limbah tersebut melampaui kemampuan asimilasi perairan pesisir, maka kerusakan ekosistem dalam bentuk pencemaran akan terjadi. Dari keempat fungsi tersebut di atas, kemampuan ekosistem pesisir sebagai penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan dan penyedia kenyamanan, sangat tergantung dari dua kemampuan lainnya, yaitu sebagai penyedia sumberdaya alam dan penampung limbah. Dari sini terlihat bahwa jika dua kemampuan yang disebut terakhir tidak dirusak oleh kegiatan manusia, maka fungsi ekosistem pesisir sebagai pendukung kehidupan manusia dan penyedia kenyamanan diharapkan dapat dipertahankan dan tetap lestari.
Grafik 1. Persentase hasil koesioner pengunjung wisata/masyarakat Sabang Tende
Andi Adli, dkk. Profil Ekosistem Lamun Sebagai Salah Satu Indikator Kesehatan Pesisir Perairan Sabang ………59
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan 1. Lamun yang berhasil ditemukan pada 3 lokasi penelitian yang berbeda yaitu perairan Tanjung Kekot, perairan Pantai Lalos dan perairan Pantai Sabang Tende. secara keseluruhan diperoleh 6 spesies lamun yang dikelompokkan kedalam 1 devisi, 1 kelas, 2 famili 6 genus dan 6 spesies. Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Halodule pinifolia, Halophila ovalis, Thalassia hemprichii , dan Syringodium isoetifolium. Indeks Nilai Penting pada stasiun I frekuensi relatif 7,6%, penutupan relatif 99,7 % dan kerapatan relatif 99,7%. Stasiun II Indeks Nilai Penting frekuensi relatif 7,1%, penutupan relatif 93,7 % dan kerapatan relatif 99,7%. Sedangkan pada stasiun III Indeks Nilai Penting frekuensi relatif 7,2%, penutupan relatif 90,5 % dan kerapatan relatif 99,8%. 2. Pada stasiun I,II,dan III pengukuran pH didapatkan sebesar 7, dan salinitas 300/00, sedangkan pada stasiun II, III memiliki kisaran 320/00. Kondisi suhu perairan yang diperoleh selama penelitian yaitu berkisar 30-320C. Suhu perairan antara stasiun I dan stasiun II,III tidak jauh berbeda. Hal ini dikarenakan untuk stasiun II dan stasiun III memiliki jarak tidak jauh, Sedangkan pada semua jenis substrat yakni berpasir campur lumpur, pasir bercampur karang, dan berpasir dapat ditumbuhi lamun. khususnya untuk substrat berlumpur dan berpasir halus ditemukan suatu hamparan lamun yang cukup luas dan memiliki akar yang pendek dibandingkan dengan lamun yang terdapat di substrat berbatu. 3. Berdasarkan koeisioner yang dibagikan oleh masyarakat serta pengunjung tentang persepsi ekosistem lamun di Perairan Sabang Tende, menunjukkan bahwa 48,8% persentase lokasi Sabang Tende merupakan obyek pariwisata yang layak
untuk dikembangkan serta dapat dpromosikan sebagai tempat wisata bahari sehingga dapat dkomersilkan, dan juga mempunyai ekosistem lamun yang beragam dan juga menujukkan perairan yang ada di Sabang Tende merupakan daerah pesisir pantai yang baik. Rekomendasi 1. Pemerintah Kabupaten Tolitoli, khususnya Kecamatan Galang yang merupakan daerah penelitian perlu menetapakan arah dan kebijakan pengelolahan sumberdaya hayati laut sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yang dilakukan dengan mencegah terjadinya degradasi habitat di kawasan tersebut. 2. Perlu diupayakan rehabilitasi dan perlindungan habitat dengan melakukan transpalasi berbagai jenis lamun dari lokasi yang banyak jenisnya ke daerah lokasi yang kurang jenisnya sehingga terjadi keseimbangan keanekaragaman hayati laut. 3. Penulis mengaharap pada pemangku kebijakan yang ada di wilayah Kecamatan Galang khususnya Desa Sabang Tende dapat menjaga dan melestarikan padang lamun yang ada di daerah tersebut.
DAFTAR RUJUKAN Adrim, M. 2006. Asosiasi Ikan di Padang Lamun. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Bulletin Ilmiah Oseana 31 Argandi, Ganesya. 2003. Struktur Komunitas Lamun di Perairan Pagerungan Jawa Timur. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Azkab, M. H. 1999. Pedoman Inventarisasi Lamun. Oseana 24(1). Azkab, M. H. 2000. Struktur dan Fungsi Pada Komunitas Lamun. Oseana 25 (3): 9-17 Azkab, M.H. 2006. Ada Apa Dengan Lamun. Pusat Penelitian OseanografiLIPI.Oseana 31 (3): 45-55.
60 Jurnal Sains dan Teknologi Tadulako, Volume 5 Nomor 1, Januari 2016 hlm 49-62
Bell, J.D dan D.A Pollard. 1989. Ecology of Fish Assemblages and Fisheries Associated With Seagrass. Hlm: 565609. Bengen, D. G. 1998. Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir Alam Pesisisr. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bengen, D. G. 2001. Sinopsis : Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Berwick,N.L. 1983. Guidelines for Analysis of Biophysical Impact to Tropical Coastal Marine Resources.The Bombay Natural History ociety Centenaty Seminar Conservation in Developing Countries-Problem and Prospects,Bombay:6-10 ecember 1983 BPS. 2012. Kabupaten Tolitoli Dalam Angka. Tolitoli. Brower, J.E. dan J.H Zar. 1989. Field and Laboratory Methods for General Ecology. W. M. Brown Company Publ. Dubuque Lowa. Dahuri, Rokhmin. 1993. Trend Kerusakan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan’’ Makalah Diskusi Pembangunan Lingkungan pada Pelita VI kerjasama Bappenas RI, Kantor Menneg LH RI dan Lembaga Penelitian IPB Bogor. Dahuri, Rokhmin. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Dahuri, Rokhmin. 2004. Persepektif ekonomi, sosial dan lingkungan:. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Dedi. 2007. Ekologi Laut Tropis: Asosiasi dan Interaksi. Institut Pertanian Bogor. Den Hartog, C. 1970. The Seagrasses of The World. North Holland Pub. Co. Amsterdam.
ISSN: 2089-8630
Djunaedi, Otong S. 2011. Sumberdaya Perairan (Potensi, Masalah dan Pengelolaan). Widya Padjadjaran. Bandung. DKP. 2005. Laporan Akhir Survei Kondisi Pesisir Tolitoli. Dinas Perikanan dan Kelautan Tolitoli.(40-42) Eci, 1994. Segera Anakan Conservasi and Development Project Asian Development Bank. Effendi, H. 2000. Telaahan Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya Dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. Endarwati. 2000. Struktur Komunitas Lamun Yang Berasosiasi dengan Gastropoda. www. Struktur Komunitas lamun.com. Diakses pada tanggal 25 Desember 2014. Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta. Fahlevi. S. 2012. Manfaat Lamun bagi ekosistem Terumbu Karang. Yayasan Terumbu Karang Indonesia Terangi. www. Terangi di akses Pada tanggal 21 Desember 2014. Fahmi dan M. Adrim. 2009. Diversitas Ikan pada Komunitas Padang Lamun di Perairan Pesisir Kepulauan Riau. Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI. Buletin Ilmiah Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 35 (1):75-90. 55 Fortes, M.D. 1989. Field Guide to the Identification of East Asian. Manila. Philipines. Gillanders, B. M. 2006. Seagrasses, Fish, and Fisheries. Seagrasses: Biology, Ecology and Conservation. Larkum Anthonyw. D. Netherlands: Springer. Heriman, M. 2006. Struktur Komunitas Ikan Yang Berasosiasi Dengan Ekosistem Padang Lamun Di Perairan Tanjung Merah Sulawesi Selatan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Andi Adli, dkk. Profil Ekosistem Lamun Sebagai Salah Satu Indikator Kesehatan Pesisir Perairan Sabang ………61
Hutabarat, S dan Evans, S. 1986. Pengantar Oseanografi. Penerbit, Universitas Indonesia. Press. Jakarta Hutomo, M dan S. Martosewojo. 1977. The Fishes of Seagrass Community on The West Side of Burung Island (Pari Island, Seribu Islands) and their Variation in Abundance. Marine Research Indonesia 17: 147-172. Hutomo, M. 1985. Telaah Ekologi Komunitas Ikan pada Padang Lamun (Seagrass, Anthophyta) di Perairan Teluk Banten. Disertasi. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kawaroe, Mujizat. 2009. Perspektif Lamun Sebagai Blue Carbon Sink di Laut. Lokakarya Lamun. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Kikuchi dan J.M. Peres. 1977. Consumer ecology of seagrass beds. In : Seagrass ecosystem; a scientific perspective. Marcel Dekker, Inc. New York. Hlm: 147-194. Kiswara, W dan M. Hutomo. 1985. Habitat dan Sebaran Geografik Lamun. Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI. Oseana 10 (1): 21-30. Kiswara, W dan Winardi. 1994. Keanekaragaman dan Sebaran Lamun di Teluk Kuta dan Teluk Gerupuk Lombok Selatan. Puslitbang Oseanologi-LIPI. Hlm: 15- 33. Kiswara, W. 1992. Vegetasi Lamun (seagrass) di Rataan Terumbu Pulau Pari, Pulau-Pulau Seribu, Jakarta. Oseanologi di Indonesia. Hlm: 31 – 49. Kiswara, W. 2004. Kondisi Padang Lamun (seagrass) di Teluk Banten 1998 – 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Kopalit, Herry. 2010. Kajian Komunitas Padang Lamun Sebagai Fungsi Habitat Ikan di Perairan Pantai Manokwari Papua Barat. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Krebs, C. J. 1989. Ecological Methodology. London: Harper and Row Publishers. Kurniawan, Mohammad Lail. 2010. Analisis Kecenderungan Persebaran Meiofauna Pada Lamun yang Dipengaruhi Oleh Variabel Lingkungan. Institut Teknologi Sepuluh November. Surabaya. Latuconsina, H. 2012. Komposisi Spesies dan Struktur Komunitas Ikan Padang Lamun Di Perairan Tanjung Tiram Teluk Ambon Dalam. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis 4 (1): 35-46. 56 Ludwig, J. A and Reynolds, J. F. 1988. Statistical Ecology: A Primer on Methods and Computing. John Wiley and Sons-Interscience Publication. New York. Mas’ulah. 2011. Asosiasi Gastropoda dengan Kerapatan Lamun di desa Bolok . www. perikananindonesia.com. Diakses pada tanggal 21 Desember 2014 Merryanto, Y. 2000. Struktur Komunitas Ikan dan Asosiasinya Dengan Padang Lamun Perairan Teluk Awur Jepara. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Muliawaty, Anggi Dwi. 2010. Struktur Komunitas Perifiton dan Hubungan dengan Kerapatan Lamun di Pulau Semak Daun Kepulauan Seribu. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.Universitas Padjadjaran. Jatinangor. Nontji, Anugerah. 1993. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan. Nurlukman, Candra P. 2012. Hubungan Kelimpahan Teripang (Holothuroidea) dengan Tingkat Kerapatan Lamun di Pulau Pari DKI Jakarta. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Padjajaran. Jatinangor. Nybakken, James W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia. Jakarta. Hlm: 168-204.
62 Jurnal Sains dan Teknologi Tadulako, Volume 5 Nomor 1, Januari 2016 hlm 49-62
Odum, E. P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Diterjemahkan dari Fundamental of Ecology oleh T. Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Paillin, Jacobus Bunga. 2009. Asosiasi Interspesies Lamun di Perairan Ketapang Kabupaten Serang Bagian Barat. Jurnal Triton 5 (2). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Pattimura. Ambon. Pellu. 2008. Asosiasi struktur lamun di pesisir pantai Desa Tablolong. www. perikananindonesia.com. Diakses pada tanggal 21 Desember 2014 Perikanan Indonesia.2013. Membangun Indonesia Menuju Minapolitan. JenisJenis Makanan Ikan. www.perikananindonesia.com. Diakses pada tanggal 21 Oktober 2013. Phillips, R.C. dan E.G. Menez. 1988. Seagrass. H.1-27. In Smithsonian Contribution to the marine science no.34. Smithsonian Institution Press. Washington, D.C Rappe, R. A. 2010. Struktur Komunitas Ikan pada Padang Lamun yang Berbeda di Pulau Barrang Lompo. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis 2 (2): 62-73. Reswara, T. A. 2010. Struktur Komunitas Lamun di Sekitar Perairan Kepulauan Seribu. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Padjadjaran. Jatinangor. Rusydi, dkk 2011. Struktur Komunitas Lamun di Dermaga PT Tom Bolok, Tesabela/Batubao dan Tablolong. www. perikananindonesia.com. Diakses pada tanggal 21 Desember 2014. Senoaji, 2009. Kondisi Ekosistem Padang Lamun di Wilayah Pesisir. Yayasan Terumbu Karang Indonesia Terangi. www. Terangi di akses Pada tanggal 21 Desember 2014. Supratomo, R. Tomi. 2000. Fungsi Padang Lamun (Seagrass) Sebagai Area Mencari Makan Dengan Indikator
ISSN: 2089-8630
Migrasi Ikan Terumbu Karang. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Susetiono. 2007. Lamun dan Fauna Teluk Kuta, Pulau Lombok. Pusat Penelitian 57 Oseanografi – LIPI. Syari, Indra. 2005. Asosiasi Gastropoda Di Ekosistem Padang Lamun Perairan Pulau Lepar Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Terangi. 2004. Panduan Dasar Untuk Pengenalan Ikan Karang Secara Visual Indonesia.Terangi. Jakarta. Tomascik, T., A. Nontji and M. K. Moosa. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas. Periplus Edition (Hk) Ltd. Singapore. UNEP. 1982. Chemical Pollution. Unitions Nationas Environment Program. Genewa. Usman, H. dan R. P. S. Akbar. 2000. Pengantar Statistika. Bumi Aksara. Jakarta. Vatria, B. 2010. Berbagai Kegiatan Manusia Yang Dapat Menyebabkan Terjadinya Degradasi Ekosistem Pantai Serta Dampak Yang Ditimbulkannya. Jurnal Belian 9 (1): 47-54. Yudista, Andri. 2010. Lamun. Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Diaksesdari: http://www.tnlkepulauanseribu.net/. Diunduh pada tanggal 25 Januari 2013. Yulianda, F. 2002. Pengenalan Lamun :Penuntun Praktikum Biologi Laut. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Zulkifli.2000. Sebaran Spasial Komunitas Perifiton dan Asosiasinya Dengan Lamun di Perairan Teluk Pan dan Lampung Selatan. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.