KAJIAN EFEKTIVITAS MODEL PENUMBUHAN KLASTER BISNIS UKM BERBASIS AGRIBISNIS Sri Lestari Hs*) Abstrak The aim of this research is for (1) Research the effectiveness of Small and Medium Enterprise business cluster growth in centers community of Small and Medium Enterprise of Small and Medium Enterprise Cooperative Ministry which is focused on agribusiness sector. (2) Determine dominant factor which influences cluster business growth of Small and Medium Enterprise agribusiness basis. (3) Arrange growth model formula of Small and Medium Enterprise agribusiness basis. The research results show that program from center community of Small and Medium Enterprise has not effective yet in developing business cluster of Small and Medium Enterprise agribusiness basis. This result found in reality: (1) Found only 2 center from 22 centers community which we researched (around 9.1%) which capable fully in developing cluster characteristic after get more than 3 years financial and non-financial support. This result show that cluster characteristic growth activity in centers community which was facilitated in this program is very low. (2) Chi-square analysis showed that relation between supports which is given has no associate significantly with fully cluster characteristic they owned. (3) Indicator of effectiveness in other government programs is value of additional and deadweight which happen in centers community which already get support. This research also shows that in 41% centre community, activity of centre program Small and Medium Enterprise classified as Deadweight absolute. Which means program not function properly and just waste away like “drowning” (deadweight). In 27% centre classified as partial, while in 32% classified as zero deadweight. From additional value measurement show that about 55% centre did not show any growing investment caused of the program, while in other 45% showed some growing investment caused of the program. That value can also conclude that 55% centre community program participate became dependent in support given and not encourage for investment willing. Efektivitas, Sentra, Klaster, UKM, Agribisnis I.
Pendahuluan 1.1.
Latar Belakang Usaha Kecil dan Menengah (UKM) telah memberikan kontribusi yang penting dan besar dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan pendapatan bagi masyarakat Indonesia. Karena itu, pemberdayaan dan pengembangan yang berkelanjutan perlu dilakukan terhadap nya agar UKM tidak hanya tumbuh dalam jumlah tetapi juga berkembang dalam kualitas dan daya saing produknya. Salah satu pendekatan untuk mengembangkan UKM yang dianggap berhasil adalah melalui pendekatan kelompok. Dalam pendekatan kelompok, dukungan (baik teknis maupun keuangan) disalurkan kepada kelompok UKM bukan per individu UKM. Pendekatan kelompok diyakini lebih baik karena (1) UKM secara individual biasanya tidak sanggup menangkap peluang pasar dan (2) Jaringan bisnis yang terbentuk terbukti efektif meningkatkan daya saing usaha karena dapat saling
*)
Peneliti pada Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK
1
bersinergi. Bagi pemberi dukungan, pendekatan kelompok juga lebih baik karena proses identifikasi dan pemberdayaan UKM menjadi lebih fokus dan efisien. Dari kasus berhasil (success story) yang ditemui, pengembangan UKM dalam kelompok berhasil meningkatkan kapasitas daya saing usaha UKM, mengoptimalkan potensi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam setempat, memperluas kesempatan kerja, serta meningkatkan produktivitas dan nilai tambah UKM. Kajian literatur awal menunjukkan bahwa di masa lalu telah terdapat program pengembangan UKM berbasis kelompok yang dilakukan dalam kerangka program pemerintah seperti melalui: (1) extension workers, (2) penyediaan motivator kepada kelompok usaha, (3) pemberian dukungan teknis melalui unit pelayanan teknis dan BDS, (4) pelaksanaan trade fairs untuk mengembangkan jejaring pemasaran UKM, (5) pembuatan trading house, dan lain-lain. Beberapa nama juga telah dikaitkan dengan model pendekatan kelompok ini misalnya: Sentra UKM, Klaster, Perkampungan Industri Kecil (PIK), Lingkungan Industri Kecil (LIK), Enclave, Agropolitan dan lain sebagainya. Lembaga/Instansi yang melaksanakan upaya ini pun beragam, mulai dari Pemerintah melalui DepartemenDepartemen dalam pemerintahan hingga kelompok-kelompok masyarakat melalui lembaga swadaya masyarakat. Berbeda dengan Jaringan Bisnis yang merupakan sistem tertutup yang ditujukan untuk mengembangkan proyek bersama, Klaster bisnis merupakan suatu sistem terbuka yang melibatkan lebih banyak pelaku dan merupakan kelompok perusahaan yang saling terhubung dan berdekatan secara geografis dengan institusiinstitusi terkait dalam suatu bidang tertentu. Pembentukan klaster menjadi issue yang penting karena secara individual UKM seringkali tidak sanggup menangkap peluang pasar yang membutuhkan jumlah volume produksi yang besar, standar yang homogen dan penyerahan yang teratur. UKM seringkali mengalami kesulitan mencapai skala ekonomis dalam pembelian input (seperti peralatan dan bahan baku) dan akses jasa-jasa keuangan dan konsultasi. Ukuran kecil juga menjadi suatu hambatan yang signifikan untuk internalisasi beberapa fungsi pendukung penting seperti pelatihan, penelitian pasar, logistik dan inovasi teknologi; demikian pula dapat menghambat pembagian kerja antar perusahaan yang khusus dan efektif secara keseluruhan fungsi-fungsi tersebut merupakan inti dinamika perusahaan. Beberapa contoh keuntungan yang dapat ditarik dari sebuah kerjasama dalam klaster adalah: - Melalui kerjasama horisontal, misalnya bersama UKM lain menempati posisi yang sama dalam mata rantai nilai (value chain) secara kolektif perusahaanperusahaan dapat mencapai skala ekonomis melampaui jangkauan perusahaan kecil secara individual. -
Melalui integrasi vertikal (dengan UKM lainnya maupun dengan perusahaan besar dalam mata rantai pasokan), perusahaan-perusahaan dapat memfokuskan diri ke bisnis intinya dan memberi peluang pembagian tenaga kerja eksternal.
Kerjasama antar perusahaan juga memberikan kesempatan tumbuhnya ruang belajar secara kolektif untuk meningkatkan kualitas produk dan pindah ke segmen pasar yang lebih menguntungkan. Jaringan bisnis tersebut dan perumus kebijakan lokal, dapat mendukung pembentukan suatu visi pengembangan lokal bersama dan memperkuat tindakan kolektif untuk meningkatkan daya saing UKM. 2
Dengan demikian Klaster bisnis yang efektif adalah yang dapat menjadi alat yang baik untuk mengatasi hambatan akibat ukuran UKM dan berhasil mengatasi persaingan dalam suatu lingkungan pasar yang semakin kompetitif. Sampai saat ini belum diketahui apakah program yang digulirkan berhasil memenuhi sasaran tersebut. Untuk itu perlu dilakukan kajian untuk melihat sejauh mana efektifitas program dalam menumbuhkan klaster bisnis UKM dan dapat memberikan rekomendasi tentang dukungan (pada beragam tataran – makro, meta dan meso) yang dibutuhkan untuk meningkatkan efektifitas penumbuhan sentra ke klaster tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka masalah yang ingin dijawab dalam kajian ini adalah bagaimana efektifitas program sentra UKM dalam menumbuhkan klaster bisnis UKM. 1.2. Tujuan dan Manfaat Kajian Tujuan kajian ini adalah: 1) Mengkaji efektifitas penumbuhan klaster bisnis UKM pada sentra-sentra UKM Kementerian Koperasi dan UKM yang bergerak di sektor agribisnis; 2) Menetapkan faktor dominan yang mempengaruhi penumbuhan klaster bisnis UKM berbasis agribisnis; 3) Menyusun rumusan model penumbuhan klaster bisnis UMKM berbasis agribisnis. II.
Kerangka Pikir Beberapa hal yang dapat dijadikan bahan dalam membangun kerangka pikir kajian ini adalah pemahaman jenis klaster, dimensi umum klaster, pengertian efektifitas, dan model penumbuhan klaster bisnis. 5.2.1. Jenis Klaster Kajian menunjukkan beragam definisi dan jenis-jenis klaster. Porter, misalnya, membagi klaster menurut adopsi teknologi anggotanya ke dalam (1) klaster teknologi (kelompok dengan sadar menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi modern) dan (2) klaster know-how (anggota kelompok menggunakan pengalaman dan pengetahuan turun-temurun). Technical Assistance Asian Development Bank (TAADB) membagi klaster menurut dinamika anggotanya menjadi (1) klaster dinamis (viable) dan (2) klaster tidur (dormant). Sedangkan literatur-literatur lainnya kebanyakan membagi klaster menjadi (1) klaster regional (lebih menitik beratkan pada pengelompokkan usaha dalam satu wilayah dengan batasan yang jelas, atau (2) klaster bisnis (menitikberatkan pada jejaring kerjasama antar perusahaan untuk saling berbagi kompetensi dan sumberdaya). Kementerian Negara Koperasi dan UKM sendiri menggunakan pembagian yang terakhir ini. Dalam kajian ini, klaster yang diamati dapat berupa klaster bisnis (khususnya yang bergerak di bidang agribisnis), karena memberikan cakupan yang lebih lengkap dan luas, atau klaster regional. Keduanya digunakan sebagai sampel pengamatan. 5.2.2. Penumbuhan Klaster Kajian literatur mengenai klaster menunjukkan beberapa faktor penumbuhan klaster. Sayangnya kajian-kajian ini belum menunjukkan faktor dominan bagi pengembangan klaster. Secara umum, beberapa faktor yang memicu pembentukan klaster adalah (1) adanya permintaan lokal yang unik (seperti batik, anyaman bambu untuk peralatan rumah tangga, dll), (2) telah adanya industri di 3
seputar wilayah tersebut yang output/bahan sisanya menjadi bahan baku bagi klaster, adanya industri yang berhubungan, atau telah adanya klaster yang berhubungan yang membuka peluang, (3) Karena perilaku perusahaan/individu yang inovatif, (4) karena hasil kajian perguruan tinggi, (5) adanya kejadian yang membuka peluang, dan lain-lain. Rangsangan ini jika terus dilanjutkan terutama jika ada dukungan dari institusi lokal dan/atau persaingan lokal yang sehat akan membuat klaster terus tumbuh. Pertumbuhan klaster akan menciptakan spesialisasi pemasok, kebutuhan pengumpulan dan berbagi informasi, munculnya institusi lokal untuk mendukung pelatihan, penelitian dan infrastruktur, serta munculnya identitas klaster di kawasan regional/nasional. 5.2.3. Konsep Efektifitas Konsep efektifitas berniat mengukur seberapa jauh tujuan sebuah kegiatan tercapai. Tujuan pembentukan klaster, seperti yang tercantum dalam RPJM bidang Koperasi dan UKM adalah memperluas basis dan kesempatan berusaha serta menumbuhkan wirausaha baru berkeunggulan untuk mendorong pertumbuhan, peningkatan ekspor dan penciptaan lapangan kerja. Tujuan-tujuan ini diukur melalui instrument eveluasi sentra yang ada. 5.2.4. Kerangka Kajian Konsep efektifitas tersebut diatas membantu kita menyusun kerangka kajian khususnya dalam tahap pengukuran efektifitas model pengembangan klaster bisnis yang diamati Pengamatan mengenai mekanisme klaster (sisi internal) secara umum akan diarahkan oleh 4 dimensi internal klaster yaitu (1) interaksi antar perusahaan, (2) pembentukan institusi pendukung untuk interaksi yang lebih luas, (3) adanya kombinasi sumberdaya dan kompetensi dari anggota klaster, dan (4) adanya kedekatan spatial. Mengingat pihak dan hal yang terlibat dalam dinamika internal klaster cukup banyak, maka pengamatan kepada mekanisme internal model akan menggunakan kerangka analisis kesisteman (input-proses-output). Kerangka kesisteman digunakan agar proses identifikasi kualitatif dari mekanisme, permasalahan yang dihadapi model, dan faktor dominant dapat lebih sistematis dan mudah dilakukan. Sesuai dengan uraian di atas, dapat disusun kerangka operasional pengkajian dalam bentuk diagram alir seperti pada gambar 1.
4
Pembe ntuk
Identifikasi sentra/klaster bisnis agribisnis
Pendu kung
Lainnya
Dinamika sentra UKM Kementerian Koperasi dan UKM
• Kajian literature • Analisis data sekunder
Sentra Agribisnis
Deskripsi sentra bisnis agribisnis (Internal)
• Kusioner evaluasi sentra • Analisis data sekunder
Competitiveness
Speciali -zation
Interaksi antar perusahaan (network/ supply chain)
Interaksi institusi pendukung
Kombinasi sumberdaya/ kompetensi Deadyang berbeda weight
Kedekatan Spatial
Identity
KLASTER
Deskripsi ciri-ciri penumbuhan klaster di sentra agribisnis yang diamati (Eksternal)
Displacement
• Pengukuran indikator kinerja & efek pengembangan klaster • Peta rantai pasokan • Analisis struktur biaya usaha tani untuk melihat daya saing • Analisis spatial untuk melihat potensi lahan • Analisis Kelembagaan/ kesisteman • Analisis cakupan produksi untuk melihat spesialisasi • Analisis awareness terhadap identitas bersama klaster • Analisis DEA (jika perlu)
Additionality
Deskripsi sumber efektifitas/ faktor dominan pertumbuhan/transformasi sentra agribisnis ke klaster bisnis
• Analisis Faktor • Analisis Diskriminan • Focus Group Discussion dlm kerangka PCM
Identifikasi alternatif strategi pengembangan sentra ke klaster bisnis agribisnis dan rekomendasi
• Analisis SWOT dalam kerangka PCM • Focus Group Discussion dlm kerangka Regulatory Impact Assessment (RIA)
Rekomendasi kebijakan pengembangan sentra ke klaster bisnis agribisnis
Gambar 1. Kerangka Evaluasi Efektifitas Penumbuhan Klaster Bisnis Agribisnis dan Pilihan Alat Analisis
5
III.
Metode Kajian 3.1.
Metode Kajian Kajian menggunakan methode survey dalam kerangka Karakteristik Klaster, indikator Efektivitas Bantuan Pemerintah, komponen penyusun Sub-Sektor Agribisnis dalam menyusun instrumen kajian, serta variabel-variabel pengukuran indikator pertumbuhan klaster dan UKM lainnya. Klaster yang dijadikan sampel dipilih dengan cara purposive diantara daerah kajian yang telah ditentukan dengan kriteria: (1) merupakan sentra fasilitasi Kementerian Koperasi dan UKM, (2) menghasilkan produk yang berhubungan dengan penghasilan/pengolahan produk agribisnis (kehutanan, perikanan, perkebunan, pertanian), (3) memiliki salah satu karakteristik sentra dinamis, dan (4) terjangkau dan mungkin untuk diliput dalam batas waktu pelaksanaan kajian. Pengolahan dan analisis data sebagian besar menggunakan analisis deskriptif untuk memberikan gambaran yang lebih baik dan berguna mengenai indikator yang diamati. Dan sebagian diteruskan dengan metode inferensial seperti Analisis Efektivitas Program, Analisis Diskriminan dan Faktor, dan Chi-square untuk mencari faktor-faktor dominan yang berperan dalam penumbuhan klaster dan hubungan-hubungan antar faktor yang diamati, serta Analisis Project Cycle Management (PCM), dalam pelaksanaan FGD di daerah kajian. Analisis PCM yaitu untuk mengidentifikasi akar masalah dari pelaksanaan sebuah sentra UKM yang diamati berdasarkan penilaian dari pemangku kepentingan. Melalui kerangka PCM dapat disusun peta hubungan sebab-akibat antar “hal” yang dinilai pemangku kepentingan berpengaruh dalam penumbuhan klaster bisnis UKM berbasis agribisnis yang diikutinya.
3.2.
Lokasi Kajian Daerah kajian secara umum telah ditetapkan berada di 7 propinsi yaitu: (1) Lampung, (2) Jawa Barat, (3) Jawa Tengah, (4) Jawa Timur, (5) NTB, (6) Kalimantan Selatan, dan (7) Sulawesi Selatan.
IV.
HASIL KAJIAN 4.1. Gambaran Sentra Agribisnis UKM Fasilitasi Kementerian Koperasi dan UKM Program pengembangan sentra UKM telah dilaksanakan sejak tahun 2001. Pada saat ini dinyatakan telah difasilitasi sebanyak 1.111 buah sentra di seluruh Indonesia. Jika dihitung dari data yang ada, maka jumlah sentra yang bergerak di sektor agribisnis (dilihat dari produk sentra yang tergolong sebagai produk sektor pertanian, peternakan, perkebunan kehutanan dan perikanan) berjumlah sekitar 396 buah sentra. Jumlah ini sekitar 35% dari keseluruhan sentra yang difasilitasi dari tahun 2001 hingga tahun 2005. Analisis Faktor Hasil analisis faktor awal menunjukkan hanya 13 variabel yang dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut. Mereka adalah (1) keberadaan kelompok, (2) kerjasama produksi, (3) kerjasama pemasaran, (4) tingkat penggunaan teknologi, (5) keahlian tenaga kerja, (6) ekspektasi pasar, (7) konsentrasi spatial, (8) interaksi antar perusahaan, (9) kombinasi sumberdaya dan kompetensi, (10) interaksi dalam institusi bersama, (11) spesialisasi (12) daya saing dan (13) Additionalitas. 6
Hasil Analisis Faktor Tabel 1 Rotated Component Matrixa Keberadaan kelompok Kerjasama produksi Kerjasama pemasaran Tingkat penggunaan teknologi Keahlian tenaga kerja Ekspektasi pasar Konsentrasi spatian Interaksi antar perusahaan Kombinasi sumberdaya Interaksi dalam Institusi bersama Spesialisasi Daya saing Additionalitas
1 .229 9.923E-02 .861 .720 .757 .620 .336 .154 1.564E-02 8.719E-02 .271 .689 .127
Component 2 3 .817 .221 .763 8.971E-03 .160 .107 .164 4.292E-02 -.209 .466 .291 -.104 .215 7.516E-02 .669 .238 .231 .884 .238 .902 .812 .357 .420 -5.57E-02 .100 .371
4 .206 .458 -4.00E-02 .238 6.938E-02 .248 .697 .508 .340 8.927E-02 -.239 .280 .754
Extraction Method: Principal Component Analysis. Rotation Method: Varimax with Kaiser Normalization. a. Rotation converged in 6 iterations.
Sumber: data, diolah
Dari variabel yang dianalisis, variabel KEBERADAAN KELOMPOK dan KOMBINASI SUMBERDAYA lolos untuk maju ke tahap analisis berikutnya. Ke dua variabel ini adalah variabel pembeda utama dalam analisis diskriminan yang dilakukan. Yang menarik adalah, hasil analisis faktor memunculkan variabel ADDITIONALITAS sebagai salah satu variabel yang lulus ke tahap pembentukan faktor. Variabel ADDTIONALITAS mencerminkan kemauan anggota untuk menambah (addition) investasi akibat adanya program sentra. Tabel 2 menunjukkan variabel yang dimasukkan dalam analisis dapat dikelompokkan menjadi 4 faktor. Hasil pengelompokkan memberikan pandangan yang menarik tentang faktor yang mungkin berpengaruh terhadap penumbuhan klaster dalam sentra agribisnis yang diamati. Tabel 2. Variabel Pembentuk Faktor Variabe l
Usulan Nama Faktor
Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4 Kerjasama Keberadaan Kombinasi Konsentrasi pemasaran kelompok sumberdaya spatial Tingkat Kerjasama Interaksi Additionalitas penggunaan produksi dalam Institusi teknologi Interaksi antar bersama Keahlian perusahaan tenaga kerja Spesialisasi Ekspektasi pasar Daya saing Kemampuan Interaksi Institusi Kemauan memenuhi kelompok untuk bersama investasi kebutuhan pasar kerjasama produksi
Sumber: Tabel 41
7
Hasil analisis diskriminan dan analisis faktor yang dilakukan secara umum menunjukkan tidak adanya variabel tunggal yang dominan menjelaskan perbedaan antara sentra yang berhasil memunculkan karakteristik klaster dengan sentra yang tidak berhasil. Analisis diskriminan menunjukkan seluruh variabel (jika digunakan bersama) mampu membentuk fungsi pembeda yang cukup baik, sedangkan analisis faktor menunjukkan jumlah faktor bentukan yang cukup banyak (ada 4 faktor) dengan kesulitan di penamaannya. Hasil ini memberikan pandangan bahwa variabel-variabel dan faktor-faktor yang ada dapat digunakan sebanyak mungkin asalkan disusun dalam sebuah hubungan yang mudah dipahami. Analisis faktor dan diskriminan yang dengan variabel terikat PERUBAHAN SENTRA KE KLASTER dan variabel bebasnya yang mempengaruhi adalah PEMBERIAN DUKUNGAN MELALUI PROGRAM SENTRA oleh Pemerintah kepada sentra agribisnis UKM, terlihat bahwa hubungan antara variabel terikat dan variabel bebas dijembatani oleh serangkaian proses. Untuk mengupas rangkaian proses tersebut digunakan model pengungkit yang dapat menjelaskan hubungan antar variabel terikat dan variabel bebas. Penggunaan model pengungkit diharapkan dapat (1) mempermudah proses visualisasi hubungan antara variabel dan permasalahan yang ditemui dalam kegiatan pengamatan dan (2) memungkinkan mengakomodasi variabel atau faktor lain yang muncul dari pengamatan tetapi belum masuk ke dalam sistem. 4.2. Efektifitas Program Sentra UKM Keberadaan Ciri Klaster Dalam Sentra Pengamatan Keberadaan ciri klaster dalam sentra dapat digambarkan dalam diagram laba-laba dari kinerja sentra dalam menumbuhkan karakteristik klaster di sentranya selama dalam proses perkuatan. Semakin banyak area dari posisi tengah yang dapat diisi oleh sentra, maka diasumsikan semakin berhasil sentra tersebut memiliki ciri klaster dalam sentranya. Dari 22 sentra yang diamati terdapat 2 sentra (9.1%) yang mampu secara penuh memiliki ciri klaster setelah mendapat perkuatan lebih dari 2 tahun. Mereka adalah sentra rumput laut di Janeponto dan sentra ikan air tawar di Metro Lampung. Diluar ke dua sentra ini, ada 5 sentra lain yang hampir memenuhi karakteristik medium klaster, yaitu sentra kelinci (Jawa Timur), sentra itik (Jawa Barat), sentra penggemukan sapi (Lampung Utara), sentra budidaya ikan hias (Tulungagung), dan sentra sayuran (Pasuruan). Masing-masing sentra ini hanya kekurangan 1 karakteristik untuk berhasil secara utuh memunculkan ciri klaster. Jika jumlah sentra yang berhasil penuh dan hampir ini digabungkan, maka dari 22 sentra yang diamati ada sekitar 31% sentra yang berhasil memiliki ciri klaster di dalamnya. Kegiatan penumbuhan dinilai berhasil jika karakteristik klaster yang dimiliki sentra berasosiasi dengan keberadaan dukungan yang diberikan. Jika asosiasi ini signifikan, berarti dukungan yang diberikan oleh program sentra benar-benar berhasil menumbuhkan karakteristik klaster di sentra yang diamati. Jika asosiasi ini tidak signifikan maka karakteristik klaster yang dimiliki oleh sentra tumbuh bukan karena keberadaan dukungan dari program sentra UKM.
8
identitas
Interaksi
3
identitas
Ikan
0
spesialisasi
dayasaing
kombinasi kompetensi
spesialisasi
institusi bersama
konsentrasi w ilayah 5
institusi bersama
identitas
identitas
2 1
Apel
Rumput laut J
0
mid
institusi bersama
kombinasi kompetensi
spesialisasi
konsentrasi w ilayah 5 identitas
Interaksi
3
kombinasi kompetensi
spesialisasi
institusi bersama
konsentrasi w ilayah 5
konsentrasi w ilayah 5
4
Interaksi
3
identitas
mid
dayasaing
institusi bersama
4
4
Jagung kuning
0
mid
dayasaing
kombinasi kompetensi
spesialisasi
Rumput laut B
0
mid
dayasaing
Interaksi
3
1
konsentrasi w ilayah 5
4 Interaksi
3
identitas
2
2
2
1
1
1
1
Padi
0
spesialisasi
Itik
0
mid
kombinasi kompetensi
spesialisasi
institusi bersama konsentrasi w ilayah 5
institusi bersama
kombinasi kompetensi
spesialisasi
identitas
institusi bersama
identitas
1
Padi
0 kombinasi kompetensi
spesialisasi
Ikan
0
mid
dayasaing
kombinasi kompetensi
institusi bersama
spesialisasi
institusi bersama
2
1
1
Tembakau
0 dayasaing
kombinasi kompetensi
spesialisasi
mid
kombinasi kompetensi
spesialisasi
institusi bersama
3
institusi bersama
4 identitas
Interaksi
kombinasi kompetensi
dayasaing
spesialisasi
institusi bersama
Interaksi
1
Ikan Laut
0
mid
3 2
1
Gula merah
0
mid
konsentrasi w ilayah 5
4 identitas
Itik
0 dayasaing
2
spesialisasi
institusi bersama
kombinasi kompetensi
institusi bersama
mid
Paprika
0
dayasaing
spesialisasi
kombinasi kompetensi
mid
institusi bersama
konsentrasi w ilayah 5
4 3
spesialisasi
Interaksi
dayasaing
konsentrasi w ilayah 5
Sapi
konsentrasi w ilayah 5
3
2
1
1 mid
Interaksi
3 2
kombinasi kompetensi
4 identitas
Interaksi
3
4 identitas
Interaksi
dayasaing
konsentrasi w ilayah 5
4
institusi bersama
2
0
mid
dayasaing
konsentrasi w ilayah 5
spesialisasi
konsentrasi w ilayah 5
3
2
1
kombinasi kompetensi
4 Interaksi
3
2
mid
dayasaing
konsentrasi w ilayah 5
4 Interaksi
3
Sapi
0
mid
dayasaing
konsentrasi w ilayah 5
4
Ikan
0
mid
dayasaing
kombinasi kompetensi
Interaksi
3
2
dayasaing
4
Interaksi
identitas
3
2
2
1
1
Paprika
0 kombinasi kompetensi
spesialisasi
4 Interaksi
3
1
institusi bersama
dayasaing
identitas
1
spesialisasi
identitas
4 Interaksi
2
kombinasi kompetensi
identitas
institusi bersama konsentrasi w ilayah 5
2
0
identitas
spesialisasi
institusi bersama
2
dayasaing
identitas
kombinasi kompetensi
konsentrasi w ilayah 5
3
mid
dayasaing
kombinasi kompetensi
spesialisasi
Kelinci
0
mid
dayasaing
4
Interaksi
3
1 Sayur
0
mid
konsentrasi w ilayah 5
4
2
1
Gula merah
0
mid kombinasi kompetensi
Interaksi
3
2
1
1
identitas
Interaksi
3
2
dayasaing
identitas
identitas
Interaksi
3
2
4
4
4
4
konsentrasi w ilayah 5
konsentrasi w ilayah 5
konsentrasi w ilayah 5
konsentrasi w ilayah 5
institusi bersama
Interaksi
Ikan Hias
0
mid dayasaing
spesialisasi
kombinasi kompetensi
mid
institusi bersama
Sumber: Data, diolah.
Gambar 2. Diagram Laba-Laba Karakteristik Klaster Pada Sentra UKM Variabel Keberadaan MAP dan BDS diukur dalam skala 1 hingga 5, dimana semakin besar nilainya berarti semakin tinggi dan nyata dukungan yang diberikan. Hasil perhitungan pada tabel 3 dan 4 menunjukkan bahwa antara dukungan yang diberikan dengan kelengkapan pemilikan karakteristik klaster ternyata tidak berasosiasi secara signifikan. Pandangan terhadap hasil pengamatan menunjukkan bahwa sentra yang memiliki ciri klaster yang lengkap tidak pernah mendapatkan dukungan BDS dan hanya sebagian yang memperoleh dukungan MAP dengan baik. Hal ini berarti pemilikan karakteristik klaster tidak disebabkan oleh dukungan yang diberikan oleh program sentra UKM. 9
Tabel 3. Asosiasi Kategori Karakteristik Klaster Sentra terhadap Dukungan MAP Count
Kategori
1.00
Tidak lengkap Lengkap
2.00 2
Total
2
Keberadaan MAP 3.00 4.00 2 10 1 1 3 10 1
5.00 5 1 6
Total 20 2 22
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 3.850a 4.178
4 4
Asymp. Sig. (2-sided) .427 .382
1
.792
df
.069 22
a. 8 cells (80.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .09.
Tabel. 4 Asosiasi Kategori Karakteristik Klaster Sentra terhadap Dukungan BDS
Count
Kategori
Tidak lengkap Lengkap
1.00
Total
Keberadaan layanan BDS 2.00 3.00 10 2 6 2 12 2 6
5.00 2 2
Total 20 2 22
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 1.833a 2.591 1.283
3 3
Asymp. Sig. (2-sided) .608 .459
1
.257
df
22
a. 6 cells (75.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .18.
Sumber: Data, diolah
Dari hasil pengamatan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa program sentra UKM belum efektif dalam memicu penumbuhan klaster di sentra agribisnis. Efektifitas pelaksanaan program Pemerintah juga dapat diukur dari nilai additionalitas dan deadweight yang terjadi di sentra yang mendapat perkuatan. Additionalitas muncul jika pihak yang menjadi obyek program mau menambah investasinya untuk melengkapi tambahan perkuatan yang diberikan oleh program. Sedangkan deadweight melihat apakah tanpa pelaksanaan program sentra akan mencapai kondisi seperti yang dicapainya sekarang atau tidak. Deadweight dibagi tiga, (1) Absolut, yang artinya tanpa program pun obyek akan mencapai kondisi sekarang, (2) partial, program dibutuhkan untuk mencapai kondisi sekarang, dan (3) zero, jika karena pelaksanaan programlah yang membuat obyek mencapai kondisi sekarang. Hasil pengamatan menunjukkan pada 41% sentra, pelaksanaan program sentra UKM tergolong Absolut Deadweight. Artinya, pelaksanaan program hanya terbuang begitu saja dan tenggelam (deadweight), di 27% sentra tergolong partial, sedangkan pada 32% tergolong zero deadweight 10
Deadweight
Additionalitas
50
60 55
50
40
41 45 40
32
30 27
30
20 20
Percent
Percent
10
0 1.00
3.00
10 0 1.00
5.00
5.00
Additionalitas
Deadweight
Sumber: Data, diolah
Gambar 3. Hasil Addition dan Deadweight Dari ukuran additionalitas tampak cukup berimbang.dan sejalan dengan hasil deadweight. Tampak sekitar 55% sentra tidak menunjukkan kegiatan penambahan investasi akibat pelaksanaan program, sedangkan pada 45% lainnya menunjukkan adanya tanda-tanda penambahan investasi akibat pelaksanaan program. Nilai tersebut diatas mengindikasikan bahwa 55% peserta program sentra menjadi tergantung pada bantuan yang diberikan dan tidak mendorong keinginan berinvestasi. Analisis Faktor dan Analisis Diskriminan Untuk mendapatkan variabel yang menjadi faktor dominan dalam kinerja penumbuhan klaster dalam sentra agribisnis yang diamati, digunakan analisis faktor dan diskriminan untuk menentukan faktor yang menjadi pembeda antara sentra yang dinilai berhasil memunculkan ciri klaster dan sentra yang tidak berhasil (gagal) dalam memunculkan ciri klasternya. Analisis Diskriminan Secara umum, pengelompokkan sentra pengamatan dilakukan dengan memperhatikan nilai sentra dalam memenuhi karakteristik klasternya. Sentra-sentra yang berhasil menyamai atau melampaui batas nilai tengah sama dengan 3 untuk semua ciri klaster yang diukur, dianggap sebagai sentra yang berhasil. Sentra berhasil ini kemudian diberi score 2 sedangkan sentra yang tidak berhasil (score karakteristik klasternya lebih kecil dari 3, diberi nilai 1). Hasil analisis dapat dilihat dalam tabel-tabel berikut ini.
11
Tabel 5. Kinerja Pengelompokkan Metode Enter Together Classification Resultsb,c
Original
Count %
Cross-validated a
Count %
Kategori Tidak Lengkap Lengkap Tidak Lengkap Lengkap Tidak Lengkap Lengkap Tidak Lengkap Lengkap
Predicted Group Membership Tidak Lengkap Lengkap 15 0 0 7 100.0 .0 .0 100.0 13 2 2 5 86.7 13.3 28.6 71.4
Total 15 7 100.0 100.0 15 7 100.0 100.0
a. Cross validation is done only for those cases in the analysis. In cross validation, each case is classified by the functions derived from all cases other than that case. b. 100.0% of original grouped cases correctly classified. c. 81.8% of cross-validated grouped cases correctly classified.
Sumber: Data, diolah
Analisis dimulai dengan menggunakan metode enter together. Metode ini dipilih untuk melihat perilaku diskriminan ketika semua variabel pengamatan dimasukkan. Hasilnya meskipun belum 100% tetapi cukup memuaskan dimana fungsi diskriminan yang dihasilkan mampu memetakan ulang hingga 80% dari kelompok yang divalidasi. Hasil ini menunjukkan bahwa sesungguhnya variabelvariabel yang diamati dapat seluruhnya digunakan untuk melihat perbedaan antara sentra yang berhasil dan yang tidak. Langkah selanjutnya kajian menggunakan metode stepwise untuk memilih variabel wakil yang mampu memisahkan antara sentra berhasil dan yang gagal. Dalam pelaksanaan stepwise dibuat beberapa variasi pengelompokkan sentra untuk melihat perilaku fungsi diskriminan yang muncul. Variasi pertama adalah variasi langsung, dimana pengelompokkan sentra sama dengan ketentuan awalnya (score karakteristik sama dengan atau lebih besar dari 3). Variasi kedua adalah toleransi, dimana sentra-sentra yang hanya kekurangan 1 karakteristik sentra dianggap memenuhi kriteria. Hasil variasi ini memberikan informasi yang berarti terhadap variabel pembeda yang perlu diperhatikan. Secara umum metode stepwise memiliki kinerja pembedaan yang cukup baik dimana fungsi yang diperoleh berhasil membagi sampel secara benar hingga 90%. Sedangkan variabel yang masuk ke dalam fungsi diskriminan, jika dilihat dari beberapa variasi pengelompokkan yang digunakan adalah (1) KEBERADAAN KELOMPOK, (2) KOMBINASI SUMBERDAYA, (3) INTERAKSI DALAM INSTITUSI BERSAMA, (4) TAHAP SENTRA dan (5) SPESIALISASI.
12
Tabel 6. Kinerja pengelompokkan Metode Stepwise Classification Results
Original
Count %
Cross-validated a
Count %
Kategori Tidak Lengkap Lengkap Tidak Lengkap Lengkap Tidak Lengkap Lengkap Tidak Lengkap Lengkap
Predicted Group Membership Tidak Lengkap Lengkap 13 2 0 7 86.7 13.3 .0 100.0 12 3 0 7 80.0 20.0 .0 100.0
Total 15 7 100.0 100.0 15 7 100.0 100.0
a. Cross validation is done only for those cases in the analysis. In cross validation, each case is classified by the functions derived from all cases other than that case. b. 90.9% of original grouped cases correctly classified. c. 86.4% of cross-validated grouped cases correctly classified.
Sumber: Data, diolah
Variabel KEBERADAAN KELOMPOK dan KOMBINASI SUMBERDAYA tampak menjadi variabel pembeda utama antara sentra yang berhasil dan sentra yang tidak. Ini tampak dari munculnya dua variabel ini dari setiap variasi yang dilakukan. Pengamatan di lapangan juga membenarkan hal ini. Sentra yang mampu menumbuhkan ciri klaster memang tampak memiliki anggota yang bersedia terlibat dalam komitmen kelompok dan melakukan interaksi secara baik/bekerjasama. Sentra dengan nuansa kebiasaan berkelompok/bekerja sama yang kental tampak lebih mudah dalam berkomunikasi dan menyusun kegiatan bersama dan lebih “santai” dalam menyikapi masalah. Variabel pembeda lain yang menarik adalah INTERAKSI DALAM INSTITUSI BERSAMA. Institusi bersama yang dimaksud di sini dapat institusi keuangan atau institusi pendukung produksi dan pemasaran produk sentra yang muncul atas inisitatif anggota. Institusi bersama akan muncul jika anggota sentra memiliki komunikasi yang sehat, komitmen yang kuat dan mau berbagi sumberdaya yang dimilikinya. Di sentra rumput laut Sulawesi Selatan, koperasi dan anggota dengan bantuan Kementerian Koperasi dan UKM, membuat pabrik pemasakan rumput laut untuk meningkatkan nilai tambah produk sentra. Keputusan ini berarti kerja keras bagi seluruh anggota sentra karena jika pabrik tidak berjalan dengan baik, maka koperasi (anggota) akan menanggung akibatnya bersama-sama. Contoh lain adalah sentra susu sapi di Lembang yang mendirikan pabrik pengolahan susu kemasan dan yogurt berdasarkan keputusan bersama untuk meningkatkan nilai tambah produknya. Variabel lain adalah TAHAPAN SENTRA dan SPESIALISASI. Kajian literatur memang menunjukkan bahwa spesialisasi merupakan salah satu tonggak dalam pembangunan klaster. Spesialisasi memunculkan efisiensi, namun membutuhkan kondisi kerjasama yang baik antar anggota sentra/klaster. Pengamatan menunjukkan sentra yang maju dan dinamis akan membuka kesempatan bagi anggotanya untuk melakukan spesialisasi pada satu atau lebih bidang usaha pembentuk rantai nilai untuk mendukung produk sentra. Sentra rumput laut di Sulawesi Selatan misalnya menumbuhkan anggota-anggota yang spesialisasi pada masalah pembersihan dan pengepakan rumput laut kering. Sentra kelinci di Jawa Timur misalnya, menumbuhkan unit usaha penyedia pakan untuk mendukung anggota dan unit usaha pengolah daging kelinci afkir (sudah tua) untuk 13
membantu anggota merotasi indukannya. Anggota masyarakat di sentra perikanan di Nusa Tenggara Barat mencoba memformalkan usaha pembuatan ikan kering yang tadinya hanya upaya untuk memanfaatkan hasil tangkap jika sedang berlebihan. Upaya-upaya spesialisasi, baik ke hulu maupun ke hilir, sama-sama membutuhkan proses yang tidak sebentar, untuk itu kesamaan cara pandang dari anggota sentra amat penting, disinilah mungkin peran variabel kelompok dan kombinasi sumberdaya memainkan peranannya. Tabel 7. Variabel Diskriminan Classification Function Coefficients
Keberadaan kelompok Kombinasi sumberdaya (Constant)
Kategori Tidak Lengkap Lengkap 2.770 4.822 .841 2.150 -3.979 -13.068
Fisher's linear discriminant functions Classification Function Coefficients
Tahap sentra Spesialisasi (Constant)
Kategori Tidak lengkap Lengkap 3.639 5.946 4.336 9.868 -9.820 -35.769
Fisher's linear discriminant functions Classification Function Coefficients
Keberadaan kelompok Kombinasi sumberdaya Interaksi dalam Institusi bersama (Constant)
Kategori Hampir Tidak lengkap lengkap 4.060 6.292 -.984 -.557
Lengkap 10.505 -4.735
2.088
3.093
7.875
-5.529
-14.624
-32.326
Fisher's linear discriminant functions
Sumber: Data, diolah
Hasil perhitungan menunjukkan nilai koefisien TAHAPAN SENTRA dari sentra yang memiliki ciri klaster yang lengkap adalah lebih tinggi dibanding sentra yang tidak lengkap. Artinya sentra yang ada dalam tahapan berkembang dan dewasa memiliki peluang yang lebih besar untuk menumbuhkan ciri klaster. Hal ini dapat dimengerti karena sentra-sentra tersebut telah teruji oleh waktu dan pasar mampu menghasilkan produk yang dibutuhkan. Hasil ini menunjukkan kemungkinan variabel ketersediaan pasar sebagai salah satu variabel pendukung utama juga. Untuk sementara variabel pasar tidak muncul karena sentra yang diamati termasuk sentra-sentra historikal, yaitu sentra yang telah berdiri cukup lama (lebih dari 15 tahun). Masuknya variabel tahapan sentra sebagai pembeda juga menunjukkan bahwa kegiatan pengembangan sentra dan penumbuhan klaster tidak dapat dilakukan dalam jangka pendek. Instansi pengembang (Kementerian Koperasi dan UKM, Dinas yang menangani pembangunan UKM di daerah, dan BDS) perlu memiliki napas panjang dan tidak melakukan proyek pengembangan yang sifatnya “hit and run” atau setengah-setengah dalam pengembangan sentra ke klaster karena tidak semua sentra berada dalam tahapan pertumbuhan atau kecepatan perkembangan yang sama. 14
Analisis Faktor Analisis faktor berupaya meringkaskan jumlah variabel indikator umum sentra ke dalam kelompok-kelompok faktor yang mempengaruhi penumbuhan ciri klaster di sentra-sentra yang diamati, dapat digunakan sebagai alat untuk mempelajari kemungkinan pengelompokkan masalah dan perilaku variabel pengamatan. Hasil analisis faktor awal menunjukkan hanya 13 variabel yang dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut. Mereka adalah (1) keberadaan kelompok, (2) kerjasama produksi, (3) kerjasama pemasaran, (4) tingkat penggunaan teknologi, (5) keahlian tenaga kerja, (6) ekspektasi pasar, (7) konsentrasi spatial, (8) interaksi antar perusahaan, (9) kombinasi sumberdaya dan kompetensi, (10) interaksi dalam institusi bersama, (11) spesialisasi (12) daya saing dan (13) Additionalitas. Tabel 8. Hasil Analisis Faktor a
Rotated Component Matrix
Component Keberadaan kelompok Kerjasama produksi Kerjasama pemasaran Tingkat penggunaan teknologi Keahlian tenaga kerja Ekspektasi pasar Konsentrasi spatian Interaksi antar perusahaan Kombinasi sumberdaya Interaksi dalam Institusi bersama Spesialisasi Daya saing Additionalitas
1 .229 9.923E-02 .861 .720 .757 .620 .336 .154 1.564E-02 8.719E-02 .271 .689 .127
2
3 .817 .763 .160 .164 -.209 .291 .215 .669 .231 .238 .812 .420 .100
.221 8.971E-03 .107 4.292E-02 .466 -.104 7.516E-02 .238 .884 .902 .357 -5.57E-02 .371
4 .206 .458 -4.00E-02 .238 6.938E-02 .248 .697 .508 .340 8.927E-02 -.239 .280 .754
Extraction Method: Principal Component Analysis. Rotation Method: Varimax with Kaiser Normalization. a. Rotation converged in 6 iterations.
Sumber: Data, diolah
Dari tabel 8 bahwa variabel KEBERADAAN KELOMPOK dan KOMBINASI SUMBERDAYA lolos untuk maju ke tahap analisis berikutnya. Ke dua variabel ini adalah variabel pembeda utama dalam analisis diskriminan yang dilakukan. Yang menarik adalah, hasil analisis faktor memunculkan variabel ADDITIONALITAS sebagai salah satu variabel yang lulus ke tahap pembentukan faktor. Variabel ADDTIONALITAS mencerminkan kemauan anggota untuk menambah (addition) investasi akibat adanya program sentra. Prinsip Pengungkit Dalam Penumbuhan Klaster UKM Agribisnis Upaya pengembangan sentra UKM dipandang seperti upaya untuk mengungkit sebuah beban atau massa. Tujuan utama dari pengungkit adalah menciptakan sebuah mekanisme transmisi yang efektif, sehingga daya dorong yang terbatas dapat diubah menjadi daya gerak pada massa yang lebih besar bobotnya. Pendekatan leverage ini juga dilakukan dalam manajemen keuangan seperti dalam konsep financial leverage dan operational leverage. 15
D
D (Daya Penggerak mengecil)(Daya Penggerak mengecil)
P
M
M
Massa tidak Massa tidak terangkat terangkat
P T
T
B2 (Tataran klaster) B2 (Tataran klaster) B1 (Tataran sentra) B1 (Tataran sentra)
Gambar 4. Model pengungkit untuk penumbuhan klaster UKM Dalam kasus pengembangan sentra UKM, massa (M) adalah sentra UKM yang akan ”dipindahkan” dari tataran lama (B1 – sentra sederhana) ke tataran baru (B2 – sentra dinamis dan klaster). Untuk mengangkat massa ini Pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM memberikan daya penggerak (D) berbentuk fasilitasi dan dukungan perkuatan kepada sentra. Daya penggerak ini ditransmisikan oleh tuas pengungkit (P) ke massa UKM di sentra dengan bertumpu pada titik tumpu (T). Yang diharapkan terjadi adalah Pemerintah dapat menyalurkan Daya yang cukup dan disalurkan secara efektif melalui tuas pengungkit sehingga mengangkat Massa UKM dari tataran B1 ke B2. Berdasarkan prinsip pengungkit tersebut diatas, maka analogi masalahmasalah yang dihadapi program sentra UKM dalam tumbuh dan berkembang menjadi klaster agribisnis, dapat digolongkan ke dalam 5 kelompok masalah berikut ini: 1).Daya Penggerak terlalu kecil, 2). Massa terlalu rapuh.3). Tuas pengungkit terlalu lemah/lentur, 4). Titik tumpu terlalu rendah, 5). Pengungkit tidak diletakkan pada titik yang benar. 1). Daya pengerak terlalu kecil Daya penggerak terlalu kecil (seperti digambarkan pada gambar 8) dapat dipandang sebagai (1) Sejak awal memang daya perkuatan yang disediakan terlalu kecil dibandingkan dengan massa UKM yang harus diangkatnya, atau (2) pada awalnya daya perkuatan yang disediakan cukup, namun karena suatu keadaan daya tekan ini menjadi melemah sehingga menjadi terlalu kecil untuk mampu mengangkat sentra ke tataran baru nya. Kondisi pertama biasanya terjadi pada sentra yang rata-rata omzet per anggota per bulan nya, jauh lebih besar dari total jumlah dana MAP yang dialokasikan pada sentra tersebut. Sedangkan kondisi kedua terjadi jika salah satu komponen daya pengerak menghilang atau melemah. Dari dua keadaan ini, kondisi kedua adalah hal yang lebih banyak terjadi. Kondisi kedua ini (daya perkuatan mengecil/melemah) tercermin pada kenyataan bahwa sebagian besar sentra yang diamati, saat ini telah berjalan tanpa komponen perkuatan yang lengkap. Seperti diketahui, model perkuatan program sentra UKM mensyaratkan keberadaan (1) dukungan keuangan melalui MAP dan (2) dukungan non-keuangan melalui BDS. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa selepas tahun pertama periode perkuatan, ada 33% sentra agribisnis yang kehilangan salah satu komponen pendukungnya 16
(dapat BDS atau KSP-nya menjadi tidak aktif), nilai ini kemudian meningkat menjadi sekitar 78% selepas tahun ke dua periode perkuatan, dan pada tahun ke tiga nilai ini meningkat menjadi 87.5%. Artinya kebanyakan sentra kehilangan/kehabisan daya penggerak terlalu cepat sebelum mampu menggerakkan massa UKM ke tataran yang lebih tinggi. Akibatnya, daya dorong program sentra UKM yang disediakan tidak mampu mengangkat sentra UKM ke tingkat kapasitas dan produktivitas yang lebih tinggi, apalagi menumbuhkannya ke tahapan klaster. 2) Massa Terlalu Rapuh Hasil analisis diskriminan menunjukkan keberadaan kelompok dan kombinasi sumberdaya antara UKM merupakan faktor diskriminan yang ada dalam sentra yang berhasil menumbuhkan ciri klaster. Hasil ini menunjukkan Massa UKM/Sentra perlu memiliki unsur perekat (atau modal sosial, menurut JICA) jika ingin berhasil tumbuh dari sentra ke klaster. Modal sosial ini dibentuk oleh faktor perilaku seperti: kemauan dan kebiasaan untuk bekerjasama, berkelompok, dan kemauan berkomitmen pada tujuan bersama jangka panjang (unsur kelompok dan interaksi ini muncul baik dalam analisis diskriminan dan faktor yang dilakukan). Ketika unsur perekat ini hilang, upaya yang dilakukan (daya penggerak/perkuatan yang diberikan) kendatipun menghasilkan pergerakan, tetapi tidak menyebabkan massa UKM terangkat ke tataran yang lebih tinggi. Massa cenderung pecah dalam pergerakan/perkuatan. Hasil ini tercermin dari hasil pengamatan kepada sentra yang menunjukkan bahwa pembentukan kelompok atau kebiasaan berkelompok hanya ada di 39% dari sentra yang diamati. Sedangkan 61% sisanya tidak menunjukkan tanda-tanda adanya pembentukan kelompok di dalam sentra. Demikian pula untuk kerjasama, kajian belum banyak menemukan kerjasama antar pengusaha di dalam sentra agribisnis yang diamati. Tampak baru sekitar 24% sentra yang memiliki bentuk kerjasama pemasaran dan 19% sentra yang memiliki bentuk kerjasama yang berhubungan dengan bahan baku di sentra nya. 3). Tuas pengungkit terlalu lemah Batang pengungkit akan menghantarkan daya penggerak ke beban secara tepat, kuat dan efektif. Dalam kasus pengembangan UKM melalui sentra agribisnis dan penumbuhan sentra ke klaster agribisnis, mekanisme transmisi ini menghubungkan antara Perkuatan dan Rangsangan lain yang diberikan kepada Sentra UKM sehingga menggerakkan sentra ke tataran yang lebih tinggi. Pengamatan kepada sentra menunjukkan bahwa kompetensi daerah dan masyarakat , kualitas SDM pelaksana dukungan, kejelasan dan kelengkapan peraturan pelaksanaan, kejelasan visi dan kesiapan aparat pemerintah daerah, serta koordinasi dan komunikasi yang efektif antar pelaku adalah faktor-faktor yang mendekati peran tuas pengungkit ini. Masalahnya adalah faktor-faktor ini kerap hilang sehingga melemahkan atau melenturkan kekuatan batang pengungkit sehingga tidak berhasil “mengangkat” sentra ke tataran klaster. 4) Faktor titik tumpu terlalu rendah ini adalah kemauan/etos kerja yang kuat, pola pikir wirausaha, kemampuan berinovasi, keunikan produk, ketersediaan pasar, dukungan keberadaan sarana dan prasarana industri dan keuangan di daerah, konsistensi dan keberlanjutan kebijakan, serta penegakan aturan. Titik tumpu yang lemah/terlalu rendah tidak 17
akan menghasilkan mekanisme pengungkitan yang efektif dalam “mengangkat” sentra ke tataran klaster. 5) Pengungkit tidak diletakkan pada titik yang benar Masalah lain dari kemampuan program sentra UKM menumbuhkan klaster UKM berbasis agribisnis adalah upaya perkuatan yang diberikan Tidak Disalurkan/ditransmisikan Pada Tempat Yang Tepat sehingga kehilangan efektifitas daya perkuatannya. Masalah ini umumnya muncul ketika upaya perkuatan yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan sesungguhnya dari sentra UKM/pengusaha tersebut. 4.3. Upaya Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Secara umum, model pengembangan klaster ada 4 jenis, yaitu (1) model joint production, (2) model sub-kontrak, (3) model integrasi vertikal, dan (4) integrasi horizontal. Hasil pengamatan menunjukkan sentra yang berhasil menumbuhkan ciri klaster bisnisnya memiliki model integrasi vertikal, atau sering disebut dengan istilah inti-plasma, dalam pelaksanaan kegiatan produksi produk sentranya. Inti dibangun oleh koperasi yang dikelola dan dijalankan secara baik dan profesional, sedangkan Plasma adalah UKM dalam sentra yang bekerja secara baik, berkelompok, bekerjasama, menghidupkan institusi bersama untuk mendukung rantai pasok produknya dan menyusun/memahami rencana bisnis yang dibuat secara partisipatif bersama dengan koperasi sebagai inti. Dimasa depan, upaya penumbuhan klaster bisnis di sentra UKM yang difasilitasi perlu diarahkan untuk mewujudkan, melengkapi, memperbaiki, dan memperkuat bagian-bagian dari unsur-unsur pengungkit tersebut diatas agar dapat berjalan secara baik mencapai tujuan pembentukan klaster UKM yang sehat dan dinamis. V.
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 5.1.1. Efektifitas Program Sentra Dalam Menumbuhkan Klaster Agribisnis 1). Hasil pengamatan menunjukkan program sentra UKM yang dilaksanakan sejak tahun 2001 tidak efektif dalam menumbuhkan klaster bisnis UKM di bidang agribisnis. Hasil ini diperoleh setelah memperhatikan hanya 9% sentra yang berhasil memiliki ciri klaster secara lengkap. 2). Analisis diskriminan yang dilakukan menunjukkan sentra-sentra yang berhasil menumbuhkan ciri-ciri klaster, menonjol dalam KEBERADAAN KELOMPOK melakukan KOMBINASI SUMBERDAYA DAN KOMPETENSI untuk kepentingan produk sentra, membuat dan berinteraksi dalam INSTITUSI BERSAMA yang dibuat untuk menunjang produksi atau pemasaran produk sentra, biasanya mencapai TAHAPAN PERKEMBANGAN SENTRA yang berkembang dan dewasa, serta mulai melakukan SPESIALISASI dalam menghasilkan produk sentra. 3). Faktor yang digunakan untuk menjelaskan situasi pengembangan klaster: 1) KEMAMPUAN MEMENUHI KEBUTUHAN PASAR, 2) INTERAKSI DALAM KELOMPOK UNTUK KERJASAMA PRODUKSI, 3) INSTITUSI BERSAMA, dan 4) KEMAUAN INVESTASI. 18
4). Penyebab ketidakefektifan penumbuhan klaster adalah: (1) Daya Penggerak terlalu kecil, (2) Massa UKM terlalu rapuh, (3) Pengungkit/pentransmisi terlalu lemah/lentur, (4) Titik tumpu terlalu rendah dan/atau (5) Pengungkit tidak diletakkan pada titik yang benar. 5.2.1. Faktor Penumbuhan Sentra ke Klaster Agribisnis adalah sebagai berikut: 1). Secara sederhana, faktor penumbuh sentra ke klaster agribisnis dapat dikelompokkan menjadi 4 yaitu (1) faktor penyedia daya penggerak, (2) faktor transmisi, (3) faktor pendukung/penumpu, dan (4) faktor perekat antar anggota klaster. 2). Daya penggerak adalah kecukupan jumlah, waktu dan durasi dukungan keuangan dan non keuangan yang diberikan kepada sentra. 3). Faktor transmisi dibentuk oleh kompetensi daerah dan masyarakat, kualitas SDM pelaksana dukungan, kejelasan dan kelengkapan peraturan pelaksanaan, kejelasan visi dan kesiapan aparat pemerintah daerah, serta koordinasi dan komunikasi yang efektif antar pelaku. 4). Faktor titik tumpu ini adalah kemauan/etos kerja yang kuat, pola pikir wirausaha, kemauan berinvestasi, kemampuan berinovasi, keunikan produk, ketersediaan pasar, dukungan keberadaan sarana dan prasarana industri dan keuangan di daerah, konsistensi dan keberlanjutan kebijakan, serta penegakan aturan. 5). Sedangkan faktor perekat/Modal sosial dibentuk oleh faktor perilaku: kemauan dan kebiasaan untuk bekerjasama, berkelompok, dan kemauan berkomitmen pada tujuan bersama jangka panjang. 5.2. Saran Membangun Klaster Agribisnis dapat dilakukan dengan: 1. Memperbaiki komitmen terhadap visi pengembangan ekonomi nasional jangka panjang melalui pendekatan sentra/klaster dan meletakkan Koperasi dalam posisi yang jelas. 2. Menyusun road map pengembangan usaha nasional yang jelas dan terukur, dengan tetap memperhatikan prinsip pasar dan keadilan sosial. 3. Menyelesaikan masalah-masalah seputar otonomi daerah khususnya yang berkaitan dengan bidang KUKM dan melakukan pembagian tugas yang jelas antar berbagai lapisan berbeda dalam pemerintahan untuk menjalankan road map pengembangan usaha nasional yang dibuat. 4. Mengintegrasikan program-program perkuatan usaha, yang tersebar di berbagai Departemen dan di berbagai Deputi dalam Kementerian Koperasi dan UKM, menjadi program perkuatan nasional dengan struktur yang sederhana, sesuai dengan skala dan jenis usaha, serta mendukung road map pengembangan usaha nasional yang dibuat. 5. Menyusun kembali/Memperbaiki petunjuk teknis pelaksanaan masing-masing program perkuatan usaha agar lengkap, memasukkan unsur pendidikan karakter pengusaha, memperhatikan reward pada perilaku terpuji dan punishment pada perilaku tercela, adil, dan memiliki keterkaitan/konsistensi yang jelas dengan road map pengembangan usaha nasional dan pembagian tugas dalam otonomi daerah. 19
6. Menciptakan basis data unit usaha yang valid dan mutakhir secara nasional untuk mempermudah proses monitoring, evaluasi, dan perencanaan. 7. Menciptakan basis data sentra/klaster, baik yang telah difasilitasi maupun yang tidak difasilitasi, yang valid dan mutakhir secara nasional dan terjamin ketertelusuran terhadap basis data unit usaha nasional, untuk mempermudah proses monitoring, evaluasi, dan perencanaan. 8. Melakukan proses monitoring dan evaluasi dengan benar dan berkesinambungan, serta memanfaatkan informasi/lesson learn yang dihasilkan untuk membuat keputusan yang tepat waktu dan untuk perbaikan program yang terus menerus. 9. Mendorong dan bekerjasama dengan Departemen dan Instansi terkait untuk menciptakan basis data lahan nasional, menyusun tata guna lahan yang berimbang untuk kepentingan agribisnis, hunian, infrastruktur, industri dan pelestarian alam, serta menyusun peraturan-peraturan pendukungnya 10. Menciptakan skema kerjasama penggunaan lahan milik Departemen lain untuk kepentingan pengembangan produk agribisnis daerah. 11. Mendorong dan bekerjasama dengan Departemen dan Instansi terkait untuk menyusun road map nasional pengembangan pendidikan dan karakter kewirausahaan yang baik secara jelas dan terukur. 12. Mendorong dan bekerjasama dengan Departemen dan Instansi terkait melakukan pendidikan dan perubahan karakter masyarakat agar berpindah dari karakter “pemulung” menjadi “pencipta”. 13. Mendorong masyarakat pada tingkat desa, khususnya yang berada di wilayah tata guna lahan agribisnis, untuk memiliki produk bersama sehingga kepedulian dan komitmen terhadap perawatan infrastruktur daerah dan penjagaan lahan dapat tercapai. 14. Membentuk Lembaga Sertifikasi Profesi untuk mensertifikasi konsultan usaha sebagai langkah awal pembentukan fasilitator sentra/klaster yang professional. 15. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan ketrampilan pendampingan KUKM bagi aparatur Pemerintah Daerah dan perguruan tinggi di seluruh Indonesia untuk meningkatkan pengetahuan terhadap roadmap dan skema program pengembangan usaha nasional, serta peningkatan kompetensi aparatur dan masyarakat akademis di daerah. 16. Melakukan promosi nasional penggunaan produk dalam negeri dan bekerjasama dengan Departemen terkait melakukan pendaftaran dan promosi merek-merek nasional yang dihasilkan oleh sentra/klaster terbaik di dalam dan di luar negeri. 17. Menegakkan peraturan yang telah dibuat. 18. Melakukan koordinasi yang kerap dan efektif 19. Khusus yang berkenaan dengan uoaya membangun klaster bisnis, maka beberapa catatan berikut ini diharapkan dapat digunakan sebagai patokan. 5.2.1. Kembali ke prinsip dasar a. Suatu fokus ke pembentukan klaster berarti menekankan manfaat keterkaitan antara perusahaan, antara industri, dan antara perusahaan 20
dan lembaga-lembaga pendukung. Karena sulit bagi pemerintah untuk membangun sistem yang sedemikian kompleks lewat kebijakan, seyogianya mengambil peran tidak langsung, konsentrasi pada upaya mengatasi kendala-kendala khusus yang mencegah eksploitasi keterkaitan antar-perusahaan dan perusahaan-lembaga. b. Implikasi kebijakan wawasan tersebut diatas adalah penting. Langkah menuju strategi persaingan berdasarkan klaster memerlukan pengkajian ulang pendekatan, instrumen, dan peran berbagai pelaku yang terlibat. Tanpa melakukan pengkajian-ulang ini dan belajar dari kegagalan lampau, Indonesia mempertaruhkan daya-saing internasional. 5.2.2. Merubah perspektif terhadap kebijakan ekonomi a. Suatu strategi persaingan berdasarkan klaster mengandung implikasi suatu perspektif baru terhadap perumusan kebijakan: a) Berpikir dalam sistem terbuka daripada sistem tertutup; b) Fokus pada keterkaitan dan rantai supply daripada komoditi atau sektor; c) Menentukan prioritas bawahkeatas daripada atas-kebawah;d) Penjabaran kebijakan pada tingkat lokal daripada kebijakan standard;e) Memulai proses daripada mengarahkan dan menyerahkan barang dan jasa-jasa. b. Perspektif baru ini akan menantang banyak stakeholders dan pemerintah seyogianya mengambil cukup waktu untuk mempelajari secara mendalam, memahami dan menjelaskan akibatnya. 5.2.4 Memisahkan peran koordinasi dan peran implementasi Sektor swasta mempunyai peran utama untuk mengembangkan klaster. Namun demikian pemerintah mempunyai dua peran penting, sebagai berikut: a. Pemerintah adalah anggota klaster sebagai penyedia barang publik dan memperoleh manfaat dari pengembangan klaster dengan peningkatan penerimaan pajak. Seperti juga anggota klaster lainnya, pemerintah harus berusaha untuk memaksimalkan manfaat kerja-sama dengan menyediakan infrastruktur yang bermutu tinggi, pendidikan, riset dan barang publik lainnya, sejauh hal tersebut layak dan dapat dibiayai dari penerimaan pajak yang diperoleh dari pengembangan klaster. b. Pemerintah dapat membantu mengatasi kegagalan koordinasi antara para peserta klaster. Kegagalan koordinasi terjadi apabila informasi tersedia dan difahami tetapi tidak dipergunakan semestinya karena para pelaku yang berbeda, yaitu para UKM, tidak dapat mengorganisir tindakan-bersama (joint action) karena tidak ada kepercayaan atau tidak ada kapasitas untuk koordinasi. Instrumen klasik yang dipakai pemerintah untuk melakukan koordinasi ialah dengan menentukan standar publik (legal) dan memaksakannya dengan otoritas kepolisian dan otoritas lainnya serta sistem peradilan. Praktis tidak mungkin untuk sekaligus berperan sebagai anggota dan sebagai koordinator suatu proses. Implikasi bagi pemerintah ialah: a). Untuk mengatasi kegagalan koordinasi dalam proses pembentukan klaster, sangat diperlukan fasilitator klaster, yaitu professional independen yang terlatih khusus untuk fasilitasi proses pembentukan klaster dan penguatan perilaku kerja-sama dan berorientasi-hasil nyata. Peran ini tidak dapat diambil alih oleh
21
pemerintah. Secara tradisional, Indonesia selalu merujuk ke konsultan asing untuk fasilitasi, sudah saatnya sekarang mengembangkan dan memakai konsultan pribumi. Investasi publik baik dalam training maupun menggunakan fasilitator cukup beralasan. b). Pembagian tugas antara berbagai lapisan berbeda dalam pemerintahan perlu dipertajam. Sudah tentu, peran koordinasi ialah pada Pemerintah Pusat dengan menyusun kerangka proses pengembangan klaster dan peran Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Selanjutnya hal ini akan memberikan kesempatan bertindak bagi pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai anggota klaster dalam proses pengembangan klaster. 5.2.5 Melangkah ke Strategi Pengembangan Nasional berdasarkan konsep Klaster a. Indonesia saat ini sedang menyusunan suatu strategi pengembangan nasional berdasarkan konsep klaster sebagai tiang penyangga perumusan kebijakan berikut implementasi pengembangan industri dan teknologi nasional dan regional. Pekerjaan yang sedang berjalan ialah, antara lain di Bappenas (dengan bantuan World Bank), Depperindag (dengan bantuan Jepang) dan, dengan fokus pada sistem inovasi nasional, di Menneg Ristek (dengan bantuan Jerman). Sementara itu tampaknya masih terdapat kebingungan tentang apa dan bagaimana bentuk suatu ‘strategi persaingan nasional berdasarkan klaster’. b. Untuk Indonesia, sebagai negara besar dengan diversifikasi luas, mengembangkan suatu ‘konsep pengembangan klaster nasional’ akan merupakan suatu proses belajar panjang. Sementara waktu tampaknya lebih baik mengikuti contoh pendekatan strategi yang telah dilakukan di sejumlah negara dan disajikan disini dengan versi Afrika Selatan. Di Afrika Selatan dengan strategi pengembangan klaster tourism, terdapat tiga elemen penting: a). Proses klaster nasional dengan fokus penciptaan suatu forum dengan para pelaku dari pemerintah, tenaga kerja dan dunia bisnis, yang mengidentifikasi hambatan-hambatan lingkungan yang kondusif untuk pengembangan bisnis serta memberi saran bagaimana mengatasinya; b). Proses klaster judul dengan fokus pada ‘pilot project’ untuk penjabaran hal-hal (issues) yang harus dikerjakan dalam rangka pengembangan strategi dan pasar bagi segmen pasar khusus; c). Proses klaster lokal, yaitu pengembangan klaster lokal yang memadai (tailor-made). 5.2.6 Pemerintah pusat sebagai koordinator: Proses klaster nasional Fungsi-fungsi koordinasi proses pengembangan klaster dibawah ini merupakan tanggung-jawab pemerintah pusat: a. ‘Tentukan aturan main’: Tentukan dan kontrol standard minimum nasional untuk produk dan prosedur, memberi jaminan ke para mitra bisnis bahwa kewajiban kontrak dapat dipaksakan; b. Jamin perlakuan yang adil dan merata bagi semua pelaku bisnis: 22
Menjamin persaingan sehat, monitor dan batasi akumulasi kekuatan pasar, dan menjamin bahwa persaingan antara klaster yang berbeda di Indonesia tidak terganggu. Implikasi hal ini secara khusus ialah penentuan definisi tingkat maximum subsidi yang dapat diberikan oleh pembuat kebijakan lokal kepada ‘klaster mereka’ atau ‘perusahaan didalamnya’, maupun menghalangi setiap upaya pemerintah lokal untuk membatasi perdagangan antar-kabupaten. c. Sediakan dan sebar-luaskan informasi untuk orientasi: Pedoman informasi secara makro termasuk analisis kecenderungan pasar dan teknologi domestik dan internasional, maupun penjabaran dan diseminasi standard produk. 5.2.7. Agar mampu bertahan sebagai koordinator yang terpercaya, aturan utama (the golden rule) bagi pemerintah pusat ialah jangan memilih diantara klaster individual, tetapi fokus pada kegiatan yang akan memberi manfaat bagi semua klaster (yang serupa). Namun demikian, perlu dipertimbangkan pengecualian bagi klaster di daerah terpencil yang kurang menguntungkan dan tidak memiliki dana cukup untuk pengembangan mandiri berupa bantuan khusus dan pembiayaan-bersama (co-financing). Dalam hal ini seyogianya ditempuh suatu pendekatan non-diskriminatif, yaitu seleksi-diri. 5.2.8 Dukungan proses klaster lokal Banyak negara berkembang memakai skim co-financing sebagai instrumen utama untuk dukungan pemerintah pusat untuk proses pengembangan klaster lokal. Skim co financing mempunyai beberapa keuntungan, yaitu: a. Menggiatkan mekanisme identifikasi-diri dan seleksi-diri sehingga membebaskan pemerintah pusat dari tugas yang mahal untuk identifikasi klaster secara atas-kebawah (top-down) dengan waktu yang lama. b. Mengkaitkan pendanaan pemerintah pusat dengan pengeluaran anggaran belanja para stakeholders lokal sehingga kepemilikan lokal terhadap strategi pengembangan dan proses pengambilan keputusan dapat dipertahankan. 5.2.9. Peran spesifik pemerintah lokal dalam pengembangan klaster: a. Buat suatu rencana kecil untuk mendukung penciptaan dan pekerjaan kelompok pemimpin klaster lokal selama suatu periode tertentu. Rencana / skema semacam itu jauh lebih efektif daripada dan juga lebih nondiskriminatif ketimbang skema dukungan tradisional dengan target UKM individual atau kelompok kecil UKM. b. Berperan aktif di kelompok pemimpin klaster lokal. Sebaiknya sector swasta menjadi pemimpin. Namun demikian, dalam banyak hal, pemerintah local perlu mengambil peran sebagai inisiator dan bukan saja sebagai katalisator karena kelemahan UKM untuk mengorganisir aksibersama. c. Ciptakan motivasi dan giatkan pusat Litbang setempat, universitas negeri dan swasta, serta pusat pelatihan kejuruan untuk mengembangkan jasa-jasa khusus yang relevan dengan kegiatan klaster dan peningkatan kemampuan. d. Dirikan suatu focal point di satu universitas atau pusat Litbang yang aktif dalam riset klaster, pengembangan metodologi yang disesuaikan dengan kebutuhan lokal dan (bahasa local), tool-boxes untuk pengembangan 23
klaster maupun dalam proyek bersama (joint projects) dengan pusat riset asing. Hal ini tidak berarti harus menambah sumberdaya tetapi reorientasi penggunaan yang sudah ada secara lebih efektif. e. Memulai pertukaran pengalaman dengan klaster di daerah lain dan selalu berada mengikuti inisiatif pengembangan klaster pada tingkat nasional. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Piter, dkk., (2002). Daya Saing Daerah: Konsep dan Pengukurannya di Indonesia. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia. BPFE. Yogyakarta. BAPPENAS, (2002). 13 Langkah KPEL Untuk Pengembangan Ekonomi Lokal. Canela, Eduardo, (2001). Business Development Services for Small and Medium Enterprises and Cooperatives in Indonesia: Some Key Guidelines and Needs. Laporan Kajian. USAID dan BPSKPKM. Humprey, John and Schmitz, Robert, (1995). Principles for Promoting Clusters and Networks of SMEs. UNIDO. Austria. Japan International Cooperation Agency, (2003). Studi Mengenai Peningkatan Kapasitas Kluster Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia. Laporan Perkembangan. KRI International Corp. Tokyo. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah RI, (2001). Petunjuk Teknis Perkuatan Permodalan UKMK dan Lembaga Keuangannya dengan Penyediaan Modal Awal dan Padanan (MAP) Melalui Koperasi Simpan Pinjam/Unit Simpan Pinjam Koperasi. _______________, (2003). Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Sentra Usaha Kecil dan Menengah. _______________, (2003). Petunjuk Teknis Business Development Services (BDS). _______________ dan Badan Pusat Statistik, (2003). Pengukuran dan Analisis Ekonomi Kinerja Penyerapan Tenaga Kerja, Nilai Tambah dan Ekspor Usaha Kecil dan Menengah Serta Peranannya Terhadap Tenaga Kerja Nasional dan Produk Domestik Bruto Menurut Harga Konstan dan Harga Berlaku. Badan Pusat Statistik. Jakarta. _______________, (2003). Pengkajian Grand Strategy Pengembangan Sentra UKM dalam Rangka Perkuatan BDS, KSP/USP dan Asosiasi UKM. _______________, (2003). Evaluasi Perkuatan dan Pengembangan Sentra Bisnis dalam Meningkatkan Daya Saing Produk Unggulan. _______________, (2005). Direktori Sentra UKM Bidang Usaha Pertanian dan Perkebunan. Jakarta _______________, (2005). Direktori Sentra UKM Bidang Usaha Perikanan. Jakarta _______________, (2005). Pengkajian Strategis Pengembangan Tahap Lanjut Sentra Bisnis UKM Pasca Dukungan Program Perkuatan. Koizumi, Hajime, (2003). Strengthening Capacity of SME Clusters : Master Concept and Strategy for SME Cluster Development from Lessons Learnt. JICA Study Team. Mosselman, Marco dan Prince, Yvonne, (2004). Review of Methods to Measure The Effectiveness of State Aid to SME. EIM. European Community. Nadvi, Khalid, (1995). Industrial Clusters and Networks: Case Studies of SME Growth and Innovation. UNIDO. Austria 24
Porter, Michael E. (1998). Clusters and New Economics of Competition. Harvard Business Review. Boston Republik Indonesia, (2005). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 Tentang Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Jakarta. _______________, (2005). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 Tentang Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur. Shaw, Alastair, (2005). A Guide to Performance Measurement and Non-Financial Indicators. The Foundation for Performance Management. Soetrisno, Noer, (2003). Providing Financial Support for Micro Enterprise Development in Indonesia. Kementerian Koperasi dan UKM Indonesia Soetrisno, Noer, (2002). Strategi Penguatan UKM. Melalui Pendekatan Klaster Bisnis; Konsep, Pengalaman Empiris, dan Harapan Kerjasama. Bina Masyarakat Madani dengan Asosiasi BDS Indonesia TA ADB, (2001). Praktek Terbaik Dalam Menciptakan Suatu Lingkungan Yang Kondusif Bagi UKM. Policy Paper No. 1. TA ADB, (2001). Praktek Terbaik Mengembangkan Klaster Industri dan Jaringan Bisnis. Policy Paper No. 8. Urata, Shujiro, (2000). Policy Recommendations for SME Promotion in The Republic of Indonesia.
25