KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP POPULASI Polymesoda erosa DI SEGARA ANAKAN, CILACAP
DYAH DWI LISTYANINGSIH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Degradasi Ekosistem Mangrove Terhadap Populasi Polymesoda erosa di Segara Anakan, Cilacap adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2013
Dyah Dwi Listyaningsih NIM P052110031
RINGKASAN DYAH DWI LISTYANINGSIH. Kajian Degradasi Ekosistem Mangrove terhadap Populasi Polymesoda erosa di Segara Anakan, Cilacap. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA dan ERWIN RIYANTO ARDLI. Segara Anakan merupakan ekosistem unik yang terdiri dari laguna berair payau, hutan mangrove dan lahan dataran rendah. Segara Anakan terletak di Pantai Selatan Pulau Jawa dengan koordinat 07º34’29.42” - 07º47’32.39” LS dan 108º46’30.12” - 109º03’21.02” BT. Mangrove dihuni oleh beragam biota khas penghuni ekosistem mangrove, salah satunya adalah jenis kerang-kerangan. Kerang merupakan salah satu komponen utama di komunitas sedimen lunak kawasan mangrove. Salah satu biota yang hidup dalam ekosistem mangrove Segara Anakan adalah Polymesoda erosa atau biasa disebut kerang totok/kepah. Kerang ini mempunyai nilai ekonomi dan ekologi bagi kehidupan. Kondisi mangrove Segara Anakan mengalami degradasi yang tentunya akan mempengaruhi populasi P. erosa. Secara ekonomi pertumbuhan penduduk di Segara Anakan terus meningkat. Menghasilkan berbagai aktivitas manusia yang sangat memperburuk kondisi lingkungan baik flora dan fauna. Kegiatan ini meliputi penebangan mangrove, reklamasi lahan pertanian dan urbanisasi.Kondisi ini merusak hampir setengah area mangrove di Segara Anakan. Penelitian ini memiliki tujuan (1) mengkaji degradasi mangrove yang terjadi di Segara Anakan; (2) mengkaji kondisi populasi P. erosa di Segara Anakan; (3) menganalisis keterkaitan antara populasi P. erosa dengan degradasi ekosistem mangrove yang terjadi di Segara Anakan; (4) Mengkaji pemanfaatan P. erosa di Segara Anakan. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan teknik pengambilan sampel kerang secara Purposive Sampling dan pengambilan sampel vegetasi dengan plot sampling. Hasil penelitian diperoleh kepadatan populasi P. erosa mencapai 9.83 + 4.68 ind/m2. Sebaran kelompok umur dianalisis secara deskriptif menggunakan histogram sebaran umur dengan asumsi berbanding lurus dengan panjang cangkang. Ukuran paling dominan antara 4.6 – 5.8 cm. Pola distribusi berdasarkan indeks variansi menunjukkan pola distribusi mengelompok (Aggregate). Keterkaitan kondisi mangrove dengan populasi P. erosa sangat lemah. Kondisi vegetasi mangrove kategori pohon didominasi Nypa fructicans. Kategori anakan didominasi Rhizophora apiculata. Kategori semai, semak dan herba didominasi Acanthus ebracteatus dan Acanthus ilicifolius. Luas mangrove diukur dengan metode deliniasi peta landsat 2012 dengan software arcgis 9, mencapai 8036.9 ha. Hasil analisis komponen lingkungan menggunakan PCA menunjukan bahwa komponen lingkungan yang erat kaitannya dengan populasi P. erosa adalah kandungan air dalam substrat, temperatur dan intensitas cahaya. Pemanfaatan P. erosa oleh masyarakat digunakan untuk sumber makanan, pendapatan dan penimbun lahan. Kata kunci: degradasi, mangrove, P. erosa, Segara Anakan
SUMMARY DYAH DWI LISTYANINGSIH. Assessment of Mangrove Ecosystem Degradation to the Population of Polymesoda erosa in Segara Anakan, Cilacap. Supervised by FREDINAN YULIANDA and ERWIN RIYANTO ARDLI. Segara Anakan is an unique ecosystem with lagoons, mangrove and lowland. Segara Anakan located in the southerncoast of Java Island at 07°34'29 .42 "S - 07º47'32.39" S and 108º46'30.12"E-109°03'21.02"E. Mangroves is inhabited by typical mangrove ecosystem biotas, ones of which is clams. Clam is one of major components in the mangrove’s soft sediment community. One of biota living in mangrove ecosystem is Polymesoda erosa called “totok” or “kepah” in local name. The species is valuable both economically and ecologically. In the other side, degradation occurred in mangrove Segara Anakan. The economic demands of growing population at Segara Anakan are continuously increasing. Resulting in various human activities which strongly alter and deteriorate environmental conditions for the flora and fauna. These activities include mangrove cutting, reclamation of agricultural land and urbanisation. They are responsible for the destruction of almost half of the mangrove area. This study has four main objectives that include the following: (1) to determine degradation of mangrove in Segara Anakan; (2) to determine population condition of P. erosa in Segara Anakan; (3) to analyze its relationship with mangrove degradation in Segara Anakan; (4) to determine utilization of P. erosa in Segara Anakan. Purposive Sampling was used to collect the clams data and plots sampling techniques were applied to obtain vegetation data. Average of P. erosa abundance ranged from 9.83 + 4.68 ind/m2. Age distribution was presented as histograms and assumed be equal to length of shell. Dominant sizes were from 4.6 – 5.8 cm. The distribution pattern determined by variance index shows aggregate distribution. Very weak correlation was found between P. erosa and mangrove that indicates not connected directly. Tree category was dominated by Nypa fructicans. Sapling category was dominated by Rhizophora apiculata and Acanthus ebracteatus, Acanthus ilicifolius for seedlings, shrubs and herbs. Based on GIS analysis, mangrove area in Segara Anakan was 8036.9 ha. P. erosa strongly correlates to environmental components based PCA namely water content of soil, temperature and light intensity. People utilized P. erosa as source of food, income and land hoard. . Key words: degradation, mangrove, P. erosa, Segara Anakan.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini alam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP POPULASI Polymesoda erosa DI SEGARA ANAKAN, CILACAP
DYAH DWI LISTYANINGSIH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi Pada ujian tesis: Selasa, 4 Juni 2013 Pukul 13.00 WIB Dr Ir Isdrajad Setyobudiandi, MSc Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
Judul Tesis : Kajian Degradasi Ekosistem Mangrove Terhadap Populasi Polymesoda erosa di Segara Anakan, Cilacap Nama : Dyah Dwi Listyaningsih NIM : P052110031
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc Ketua
Dr rer nat Erwin Riyanto Ardli, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 4 Juni 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012 ini ialah keanekaragaman lingkungan, dengan judul Kajian Degradasi Ekosistem Mangrove Terhadap Populasi Polymesoda erosa di Segara Anakan, Cilacap. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc dan Dr rer nat Erwin Riyanto Ardli, MSc selaku Komisi Pembimbing, Bapak M Sofwan Anwari, SSi MSi dan kawan-kawan S1, S2 Biologi UNSOED yang telah menjadi team dalam penelitian ini. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada DIKTI untuk Beasiswa Unggulan (BU) yang telah diberikan. Terimakasih juga saya ucapkan pada Keluarga, Saudara Hendro SW serta teman setia yang selalu mendoakan dan mendampingi penulis. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Juni 2013
Dyah Dwi Listyaningsih
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian Kerangka Pikir 2. TINJAUAN PUSTAKA Polymesoda erosa Sistematika, Morfologi dan Anatomi Umur, Kelimpahan dan Pertumbuhan Habitat Ekosistem Mangrove Ekosistem Mangrove Segara Anakan 3. METODE Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Penelitian Teknik Pengumpulan Data Analisis Data 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kepadatan P. erosa Sebaran Kelompok Umur P. erosa Pola Distribusi P. erosa Vegetasi Mangrove Kualitas Lingkungan Keterkaitan Mangrove dan P. erosa Pemanfaatan P. erosa Pembahasan Kepadatan P. erosa Sebaran Kelompok Umur P. erosa Pola Distribusi P. erosa Vegetasi Mangrove Kualitas Lingkungan Keterkaitan Mangrove dan P. erosa Pemanfaatan P. erosa 5. SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
ix x xi 1 1 3 3 4 6 6 6 7 7 8 9 11 11 11 12 15 18 18 18 19 21 21 23 24 25 26 26 27 28 29 31 33 34 35 36 43
DAFTAR TABEL 3.1 Daftar materi penelitian 3.2 Penentuan pola distribusi menurut Spellerberg (1998) 4.1 Jumlah, kelimpahan dan simpangan baku kepadatan P. erosa 4.2 Sebaran kelompok umur P. erosa berdasarkan panjang cangkang 4.3 Pola distribusi P. erosa
11 16 17 19 20
DAFTAR GAMBAR 1.1 Kerangka pemikiran kajian degradasi ekosistem mangrove terhadap populasi P. erosa di Segara Anakan, Cilacap 3.1 Klasifikasi kerusakan mangrove (Anwari et al., 2013), lokasi, skema dan layout pengambilan sampel P. erosa dan mangrove pada tiap stasiun 4.1 Kepadatan P. erosa berdasarkan stasiun pengamatan 4.2 Peta persebaran P. erosa berdasarkan kelimpahan setiap stasiun pengamatan 4.3 Piramida sebaran umur P. erosa 4.4 Nilai penting spesies mangrove kategori anakan dari seluruh stasiun 4.5 Nilai penting spesies mangrove kategori semai, semak dan herba dari seluruh stasiun 4.6 Peta luas mangrove kawasan Segara Anakan, Cilacap 4.7 Analisis PCA kualitas lingkungan 4.8 Grafik regresi hubungan mangrove kategori pohon, anakan dan kategori semai, semak dan herba dengan populasi P. erosa pada setiap plot pengambilan sampel
5 12 18 18 19 21 22 22 23
24
DAFTAR LAMPIRAN 1 Analisis jenis dan tekstur tanah menurut Sulaiman et al.(2005) dengan metode pipet 2 Titik koordinat stasiun pengambilan sampel 3 Sebaran P. erosa berdasarkan kelas ukuran panjang 4 Kadar air dalam tanah pada tiap plot pengambilan sampel 5 Kadar bahan organik dalam tanah 6 Analisis vegetasi mangrove tiap stasiun 7 Analisis lingkungan pada wilayah pengamatan 8 Analisis PCA 9 Analisis regresi kerapatan mangrove dan populasi P. erosa 10 Kuisioner sosial masyarakat 11 Foto dokumentasi pengambilan data selama penelitian
42 44 44 45 46 47 53 54 55 57 58
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove juga merupakan ekosistem utama di perairan estuarin yang memiliki sumber daya hayati dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menunjang kehidupan serta kesejahteraannya (Tis’in, 2008). Ekosistem ini memiliki beberapa fungsi diantaranya fungsi ekologis, fisik dan ekonomi. Ditinjau dari fungsi ekologis berperan sebagai daerah nursery, spawning dan feeding ground beberapa biota laut sekaligus sebagai tempat persinggahan burung. Secara fisik, ekosistem mangrove sebagai penjaga garis pantai (abrasi), penahan angin dan penangkap zat tercemar. Ekosistem mangrove digunakan sebagai sumber bahan baku beberapa produk (kayu arang, bahan bangunan, kertas, makanan dan obat-obatan) merupakan beberapa contoh fungsi mangrove dari segi ekonomi (Gunarto, 2004). Salah satu ekosistem mangrove yang potensial di Pulau Jawa adalah kawasan ekosistem mangrove Segara Anakan. Segara Anakan terletak di Pantai Selatan Pulau Jawa. Secara administratif masuk dalam wilayah kecamatan Kampung Laut Kabupaten Cilacap dengan koordinat 07º34’29.42” - 07º47’32.39” LS dan 108º46’30.12” - 109º03’21.02” BT (Ardli et al., 2010). Wilayah ini termasuk ke dalam DAS Segara Anakan yang merupakan bagian hilir dari sungai Citanduy. Berdasarkan PERDA no. 6 tahun 2001 tentang Tata Ruang Kawasan Segara Anakan, kawasan tersebut dibagi menjadi kawasan lindung, kawasan penyangga dan kawasan budidaya (Hartati et al., 2005). Bila dipandang dari prespektif lingkungan hidup, Segara Anakan sangat unik karena terdiri dari laguna berair payau, hutan mangrove dan lahan dataran rendah yang dipengaruhi pasang surut (BPKSA, 2007). Kondisi ini menjadi potensial bagi berbagai spesies ikan, udang, kepiting dan biota lain untuk memijah dan mencari makan. Salah satu biota yang hidup dalam ekosistem mangrove adalah Polymesoda erosa. P. erosa merupakan anggota filum Molluska kelas Bivalvia yang hidup di ekosistem mangrove. Kerang ini banyak dijumpai di hutan mangrove Indo-Pasifik Barat mulai dari India, Malaysia, Indonesia, Thailand, Vietnam, Burma, Philipina (Morton, 1984), Costa Rica, Amerika Selatan (Campos et al.,1998) dan Australia Utara. P. erosa pada wilayah Indonesia dilaporkan terdapat di hutan mangrove Papua, Makasar (Dwiono, 2003), Pulau Lombok dan mangrove Segara Anakan Cilacap, Jawa Tengah (Widowati et al., 2005). Kerang ini hidup di habitat yang berlumpur. Selain itu P. erosa dikenal oleh masyarakat sekitar Segara Anakan sebagai kerang totok yang hidup di hutan mangrove. P. erosa mempunyai nilai ekonomi dan ekologi bagi kehidupan. Masyarakat sekitar Segara Anakan memanfaatkan daging kerang ini sebagai sumber pangan yang memiliki nilai gizi. Kebanyakan masyarakat mengolah kerang sebagai lauk masakan khas setempat. Khasanah et al., (2010) menyebutkan bahwa kerang totok ukuran 6.0 – 6.9 cm mengandung rata-rata nilai protein hewani 55.96% dan lemak 6.53%. Secara ekonomi, kerang ini juga tergolong potensial. Nelayan di kawasan mangrove Segara Anakan dalam satu hari (06:00 – 15:00) dapat menangkap + 200 kg kerang totok dan menjualnya Rp 5.000 sampai Rp 6.000 per kg di wilayah
2
Cilacap. Pemasaran kerang ini juga merambah hingga ke daerah Jawa Barat seperti Ciamis (Kresnasari, 2010). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa konsumsi masyarakat akan kerang ini cukup tinggi. Kemungkinan frekuensi penangkapan ataupun eksploitasi kerang totok menjadi tinggi. Penangkapan yang dilakukan oleh masyarakat tentunya tidak pernah memperhatikan ukuran maupun komposisi dari kerang. Akibatnya kerang yang masih dalam tahap tumbuh ataupun memijah menjadi ikut tertangkap. Kondisi tersebut memungkinkan mempengaruhi populasi kerang pada saat ini atau masa mendatang. Kekhawatiran ini menjadi mungkin karena minimnya data kondisi biologi dan lingkungan dari P. erosa sehingga sulit untuk melakukan pengelolaan kerang ini. Menurunnya kondisi kawasan mangrove Segara Anakan sebagai habitat dari P. erosa juga merupakan aspek yang dapat mempengaruhi keberadaan kerang. Degradasi habitat disebabkan oleh adanya beberapa faktor diantaranya sedimentasi, eksploitasi sumberdaya, konversi dan penebangan mangrove, migrasi penduduk serta faktor lain seperti belum terintegrasinya semua stakeholder dalam pengelolaan kawasan Segara Anakan (Ardli dan Widyastuti, 2001; BPKSA, 2003; Yuwono et al., 2007; Ardli dan Wolff, 2008). Menurut BPKSA (2007) jumlah lumpur yang masuk ke wilayah Segara Anakan melalui DAS yang bermuara di laguna Segara Anakan diperkirakan mencapai 7 juta m3 per tahun yang dibawa ketiga sungai besar yaitu sungai Citanduy mencapai 5 juta m3, sungai Cimeneng 0.4 juta m3, dan Cikonde 1.2 juta m3. Laju sedimentasi tersebut tergolong cepat karena penurunan luas laguna Segara Anakan dari tahun 1984 – 2010. Menurut Kresnasari (2010), luas laguna Segara Anakan tahun 1984 mencapai 2.906 ha, sedangkan pada tahun 2010 hanya mencapai + 700 Ha. Selain itu untuk luas mangrove Segara Anakan menurut Ardli dan Wolff (2008) pada tahun 1987 mencapai 15827.6 ha, tahun 1995 mencapai 10974.6 ha, tahun 2004 mencapai 9271.6 ha dan tahun 2006 mencapai 9237.8 ha. Secara keseluruhan dari tahun ke tahun luas mangrove Segara Anakan mengalami penurunan. Indikasi degradasi ekosistem mangrove dapat diukur dari penurunan luas hutan. Penurunan luas terjadi karena secara fisik dan perkembangan tumbuhan mangrove menjadi tidak memungkinkan. Berkurangnya luas dapat diakibatkan oleh laju sedimentasi tinggi, abrasi ataupun perubahan fisik lahan akibat intervensi manusia (Buana Katulistiwa, 2002). Menurut Ardli et al. (2008), penurunan luas mangrove di Segara Anakan dari tahun 1996 – 2007 terjadi sangat signifikan dan tergantikan dengan adanya lahan persawahan. Ekosistem mangrove yang terus menerus mengalami tekanan akan berakibat bagi biota yang terdapat di dalamnya. Salah satunya adalah P. erosa yang hidup di ekosistem mangrove Segara Anakan. Degradasi mangrove yang ditimbulkan dapat menyebabkan menurunnya populasi P. erosa dan memungkinkan merubah ataupun terputusnya rantai makanan pada ekosistem tersebut. Menurut penelitian Pribadi tahun 2003, kerang totok di kawasan mangrove Segara anakan mencapai 10.48 ind/m2. Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan Widowati et al. pada tahun 2005, kerang totok hanya mencapai 9.7 ind/m2. Penelitian Listyaningsih et al. pada tahun 2011 menyatakan kepadatan P. erosa mencapai 6.53 ind/m2. Hal ini menunjukan penurunan populasi yang terjadi pada kerang ini. Kondisi ekosistem mangrove yang rusak total dapat menyebabkan P. erosa menurun tentunya dengan perubahan kondisi lingkungan yang drastis. Hal ini tentunya berpengaruh pada kelangsungan hidup mahluk lain yang ikut berinteraksi di dalamnya. Bila kondisi lingkungan menjadi
3
tidak normal, maka manusia juga akan mengalami dampaknya berupa tidak tersedianya sumber protein hewani yang biasa mereka konsumsi. Pengetahuan mengenai kajian keterkaitan degradasi ekosistem mangrove dengan kondisi P. erosa di Segara Anakan, Cilacap diperlukan. Perumusan Masalah Berbagai peristiwa alam dan prilaku manusia yang tentunya akan mengubah tatanan kehidupan di ekosistem mangrove Segara Anakan. Hal ini dikenal dengan degradasi. Degradasi dapat terjadi secara cepat maupun lambat. Proses degradasi yang terjadi secara cepat merupakan kondisi dimana seluruh komponen penyusun ekosistem (hewan dan vegetasi) mati, hilang ataupun rusak total (Wibisono dan Suryadiputra, 2006). Degradasi yang terjadi terus-menerus di ekosistem mangrove Segara Anakan dapat menyebabkan perubahan kondisi dari ekosistem tersebut. Tentunya hal ini berpengaruh juga terhadap P. erosa karena kerang ini bergantung pada kondisi mangrove sebagai habitat dan tempat mencari makanan. Penurunan populasi hingga ancaman kepunahan dapat terjadi bila degradasi berlangsung dalam kurun waktu tertentu. Hal ini diperparah dengan adanya penangkapan dari masyarakat sekitar. Masyarakat menangkap kerang P. erosa tanpa memperhatikan ukuran ataupun bobot dari kerang tersebut karena kerang ini memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Selain itu kandungan gizi yang dimilikinya ataupun menjadi komoditi penting. Cangkangnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan (Kresnasari, 2010). Oleh karena itu penelitian mengenai kondisi populasi P. erosa dan keterkaitan dengan degradasi ekosistem mangrove perlu dilakukan. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah mengkaji kondisi populasi P. erosa dan mengalisa keterkaitannya dengan degradasi ekosistem mangrove yang terjadi di Segara Anakan, Cilacap. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengkaji degradasi mangrove yang terjadi di Segara Anakan, Cilacap. 2. Mengkaji kondisi populasi P. erosa di ekosistem mangrove Segara Anakan, Cilacap. 3. Menganalisis keterkaitan antara populasi P. erosa dengan degradasi ekosistem mangrove yang terjadi di Segara Anakan, Cilacap. 4. Mengkaji pemanfaatan P. erosa di ekosistem mangrove Segara Anakan, Cilacap. Manfaat dari penelitian ini adalah untuk pengelolaan dalam upaya memperbaiki lingkungan dan populasi P. erosa di ekosistem mangrove Segara Anakan, Cilacap.
4
Kerangka Pikir Salah satu fungsi ekosistem mangrove adalah sebagai habitat (spawning, nursery, dan feeding ground) bagi biota yang hidup di dalamnya. Salah satunya yaitu P. erosa yang memiliki peran cukup penting di ekosistem mangrove. Selain bermanfaat bila dipandang dari segi ekologis, kerang ini juga memiliki nilai ekonomis dengan memanfaatkannya sebagai bahan makanan dan berbagai kerajinan tangan. P. erosa digunakan sebagai bahan makanan karena kerang ini mengandung protein yang cukup tinggi. Manfaat sebagai pemenuh kebutuhan gizi bagi masyarakat seiring dengan harga yang terjangkau sehingga kerang ini banyak dicari oleh masyarakat daerah lain. Atas dasar inilah masyarakat sekitar ekosistem mangrove Segara Anakan mulai memiliki kebiasaan mengambil P. erosa tanpa memperhatikan prinsip kelestariannya. Pemenuhan permintaan kerang P. erosa yang mengandalkan dari stok alami saja dapat menimbulkan penurunan populasi karena terlalu banyak pengambilan oleh masyarakat sekitar. Hal ini terjadi ketika kondisi habitat dari P. erosa mengalami degradasi yang tentunya mempengaruhi kondisi kehidupan kerang itu sendiri. Proses pertumbuhan dan perkembangan yang baik dari P. erosa membutuhkan kondisi habitat yang normal dan mendukung. Berbagai elemen dari ekosistem mangrove yang dapat mendukung terdiri dari vegetasi mangrove (kerapatan, komposisi dan sebaran), kualitas perairan dan substrat yang mendukung. Kondisi yang terjadi di Segara Anakan adalah sebaliknya. Degradasi yang terjadi memungkinkan memperparah kondisi dari populasi P. erosa. Degradasi yang terjadi di Segara Anakan berupa adanya sedimentasi serta penurunan luas hutan mangrove. Kondisi lingkungan suatu organisme sangat mempengaruhi aspek biologi (pertumbuhan, kelimpahan dan sebaran) dari organisme itu sendiri. Adanya upaya melakukan kajian mengenai keterkaitan kondisi mangrove yang terdegradasi dengan status populasi P. erosa di Segara Anakan diharapkan dapat dijadikan bahan referensi bagi pengelolaan sember daya P. erosa secara berkelanjutan. Keseluruhan pemikiran ini tertuang dalam kerangka pemikiran dan secara skematis dapat dilihat pada Gambar 1.1.
5
Ekosistem Mangrove Segara Anakan, Cilacap
Populasi P. erosa
Aktivitas Penangkapan
Degradasi Mangrove Kondisi Populasi P. erosa
Parameter Lingkungan
Mangrove (komposisi, kerapatan, sebaran)
Kualitas Perairan (fisikakimia)
Kualitas substrat (fisikakimia)
Parameter Biologi
Pertumbuhan: Kelimpahan dan ukuran
Sebaran Spasial
Sebaran Umur
Analisis Keterkaitan Populasi P. erosa dengan Kondisi ekosistem mangrove
Hasil Penelitian
Rekomendasi Pengelolaan Gambar 1.1. Kerangka pemikiran kajian degradasi ekosistem mangrove terhadap populasi P. erosa di Segara Anakan, Cilacap
2. TINJAUAN PUSTAKA P. erosa (Kerang Totok) Sistematika, Morfologi dan Anatomi P. erosa merupakan salah satu spesies kerang yang hidup di dalam lumpur pada daerah estuari, di hutan mangrove air payau dan di sungai – sungai besar. Kerang ini tersebar di wilayah Indopasifik barat yaitu dari India sampai Vanuatu, Utara sampai Selatan Kepulauan Jepang dan Selatan. Wilayah Indonesia selain di Kalimantan Barat, kerang ini juga terdapat di Segara Anakan dan Irian Jaya (Poutiers, 1988). Kerang ini tergolong dalam kelas bivalvia (Pelecypoda) dan termasuk ke dalam filum molluska. Alasan bivalvia juga dapat disebut Pelecypoda karena jaringan kakinya berbentuk seperti kapak. Berikut merupakan klasifikasi P. erosa: Phylum : Mollusca Classis : Bivalvia Sub Classis : Euheterodonta Ordo : Veneroida Familia : Corbiculidae Genus : Polymesoda Species : Polymesoda erosa (Solander, 1786) Ciri khas dari hewan ini yaitu memiliki dua cangkang dikedua sisinya dengan engsel di bagian dorsalnya. Cangkang ini memiliki fungsi utama sebagai pelindung tubuh dari serangan predator, lingkungan dan mengatur aliran air yang masuk ke dalam insang. Jaringan tubuh yang terlindungi oleh cangkang memiliki organ yang disebut mantel. Mantel ini melekat pada bagian dalam cangkang dengan bantuan otot yang ditandai dengan bekas lengkungan yang disebut pallial line. Bentuk tubuh dari kerang ini tergolong simetris bilateral (Romimohtarto dan Juwana, 2009). P. erosa memiliki insang sebagai organ respirasi. Insang terdapat pada jaringan mantel yang terletak di bagian sisi kaki (Kastawi, 2005). Sistem sirkulasi dari kerang ini terdiri dari jantung yang terbagi menjadi dua bagian aurikel dan sebuah ventrikel. Ventrikel terdiri dari aorta anterior yang berfungsi menyalurkan darah ke jaringan kaki, lambung dan mantel. Aorta posterior menyalurkan darah ke rektum dan mantel. Pertukaran oksigen yang terjadi di insang dibantu oleh darah untuk diproses menuju jantung. Organ pencernaan kerang ini terdiri dari mulut, esofagus, lambung dan usus. Makanan yang didapatkan dari insang akan diseleksi. Habitat P. erosa yang terdapat di daerah pasang surut menyebabkan kegiatan mencari makan dipengaruhi oleh gerakan pasang surut air. Sewaktu pasang, kerang ini aktif menyaring makanan yang melayang dalam air sedangkan pada masa surut, kegiatan ini menurun (Maulana, et al., 2010). Suspension feeder merupakan cara yang digunakan P. erosa untuk memperoleh makanan. Bila dilihat dari cara hidupnya membenamkan diri di dalam substrat, maka dipastikan bahan organik yang terdapat di sekitar perairan akan ikut terserap (Dwiono, 2003). Menurut Hari (1999), makanan utama P. erosa 40% terdiri dari plakton dan detritus. Sistem saraf dari P. erosa terdiri dari tiga ganglion yang tersebar di bagian kaki, otot dan esofagus. Selain itu pada bagian mantel terdapat urat yang dapat
7
merespon rangsang kimia. Sel berpigmen merupakan sistem indra dari kerang ini. Sel ini berbentuk cangkir dengan lensa tembus pandang dan terdapat pada sisi kanan kiri benang insang. Sel ini hanya merespon perubahan cahaya (Romimohtarto dan Juwana, 2009). Sistem reproduksi dari kerang ini bersifat diocius yang berarti setiap kelamin memiliki gonad. Perkembangan gonad tergantung pada fase dari daur kelamin saat itu. Kematangan kelamin tercapai hingga umur tiga tahun. Gonad jantan berwarna susu sedangkan betina berwarna oranye. Proses pembuahan terjadi pada perairan terbuka. Umur, Kelimpahan dan Pertumbuhan Umur P. erosa dapat diketahui dengan melihat lingkar tahun yang terdapat pada cangkang. Pengukuran umur dapat dilakukan dengan menghitung banyaknya lingkar tahun yang ada. Pengukuran lain yang lebih akurat dapat dilakukan dengan menggunakan sinar X, radioisotop dan penanda tetracycline (Ramesh et al., 2009). Metode pengukuran dengan menghitung banyaknya lingkar tahun terkandang terkendala oleh hilangnya sebagian besar garis pertumbuhan akibat terkikis oleh kondisi lingkungan. Faktor lain yang mempengaruihi garis pertumbuhan sebagai penentu umur adalah musim, temperatur, makanan dan salinitas. Kelimpahan dipengaruhi oleh pertumbuhan populasi, interaksi antar spesies dan pengaturan populasi secara alami. Interaksi dapat berupa kompetisi dan predasi. Kedua interaksi ini memungkinkan terjadinya hilangnya suatu bentuk populasi (Nyabakken, 1992). Hal ini dapat terjadi dalam hal perebutan makanan, tempat tinggal dan reproduksi. Pertumbuhan identik dengan peningkatan jumlah dan ukuran sel yang terjadi pada seluruh jaringan dan organ. Pertumbuhan yang terjadi pada setiap organ tidak sama satu dengan yang lainnya. Hal ini terjadi pada P. erosa yaitu pertumbuhan cangkang tidak selalu sebanding dengan pertumbuhan beratnya. Ini yang menyebabkan kerang memiliki variasi pertumbuhan yang cukup unik baik isometrik maupun allometrik (Natan, 2008). Sesuai dengan data penelitian Listyaningsih et al. (2011) menyebutkan bahwa P. erosa di Segara Anakan memiliki pola pertumbuhan allometrik, mengelompok dan didominasi individu betina. Pertumbuhan dapat terjadi bila ada kelebihan input energi dan asam amino yang berasal dari makanan (Yuwono, 2001). Pertumbuhan cangkang pada P. erosa dipengaruhi oleh ketersediaan kalsium karbonat. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan P. erosa dapat berupa faktor internal dan eksternal. Faktor internal dapat berupa keturunan, jenis kelamin dan umur sedangkan faktor eksternal dapat berupa makanan dan kondisi lingkungan (Panggabean, 2007). Habitat P. erosa hidup di ekosistem mangrove yang memiliki substrat liat berpasir, dapat bertahan pada kondisi pH yang rendah dan fluktuasi salinitas yang tinggi. Akibat dari kondisi lingkungan yang berfluktuasi menyebabkan cangkang kerang ini mengalami pengikisan. Vegetasi mangrove yang mendukung pola hidup kerang ini antara lain Derris trifoliata, Achantus illicifolius dan Rhizophora sp.
8
Kondisi temperatur toleran untuk kerang ini yaitu 0 – 40 oC. Selain itu kondisi lain yang mempengaruhi hidup kerang ini adalah kandungan bahan organik dan oksigen. Bila berbagai faktor di atas sebagai habitat berada di luar range hidup dari P. erosa akan dapat mempengaruhi pola pertumbuhan dari kerang itu sendiri (Bahtiar, 2005). Ekosistem Mangrove Kata mangrove berasal dari bahasa Portugis yaitu mangue dan bahasa Inggris grove. Dalam bahasa Inggris, kata mangrove digunakan untuk komunitas hutan atau semak yang tumbuh dipantai/pulau walaupun beberapa spesies lain berasosiasi didalamnya. Sedangkan dalam bahasa Portugis mangrove untuk 18 spesies secara individu dan untuk komunitas hutan yang terdiri dari spesies mangrove (Tomlinson, 1994). Ekosistem mangrove sering dijumpai di sepanjang estuaria daerah tropis dan subtropis. Interaksi antara ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang dengan lingkungannya mampu menciptakan suatu kondisi perairan yang cocok untuk berlangsungnya proses biologi dan menguntungkan berbagai macam organisme akuatik. Daerah mangrove juga memegang kunci dalam perputaran nutrien sehingga eksistensinya dapat berperan menopang dan memberikan tempat hidup bagi biota laut (Pramudji, 2007). Ekosistem mangrove disebut juga dengan hutan pasang surut karena hutan ini secara teratur atau selalu digenangi air laut, atau dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan terdapat didaerah litoral yaitu daerah yang berbatasan dengan darat. Ekosistem hutan ini juga disebut ekosistem hutan payau karena terdapat didaerah payau dengan salinitas antara 0,5 % dan 30 % (Indriyanto, 2006). Surat keputusan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/1978, yang dimaksud dengan hutan mangrove adalah tipe hutan yang terdapat disepanjang pantai atau muaranya sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Sebagian masyarakat hutan mangrove disebut juga hutan bakau, namun menurut Khazali (1999) penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok spesies tumbuhan yang ada di mangrove. Ekosistem ini bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda (saline young soil) yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada bagian arah daratan (Kusmana, 1994). Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti sediakala (Anwar dan Hendra, 2007). Banyak spesies mangrove yang berbeda di dunia. Tercatat telah dikenali sebanyak sampai dengan 24 familia dan antara 54 sampai dengan 75 spesies, tentunya tergantung kepada pakar mangrove yang mana pertanyaan kita tujukan (Tomlinson, 1994). Asia merupakan daerah yang paling tinggi keanekaragaman dan spesies mangrovenya. Thailand memiliki 27 spesies mangrove, di Ceylon ada
9
32 spesies, dan sebanyak 41 spesies di Filipina. Benua Amerika hanya memiliki sekitar 12 spesies mangrove. Indonesia memiliki spesies tidak kurang dari 89 spesies mangrove. Menurut FAO terdapat sebanyak 37 spesies. Berbagai spesies mangrove tersebut hidup di daerah pasang surut, tahan air garam dan berbuah vivipar terdapat sekitar 12 familia (Irwanto, 2006). Irwanto (2006) menyatakan bahwa sekian banyak spesies mangrove di Indonesia, mangrove yang banyak ditemukan antara lain adalah spesies api-api (Avicennia sp.), bakau (Rhizophora sp.), tancang (Bruguiera sp.), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp.). Spesies ini merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak dijumpai. Spesies mangrove tersebut tergolong kelompok mangrove yang menangkap, menahan endapan dan menstabilkan tanah habitatnya. Mangrove sendiri merupakan sumberdaya yang dapat dipulihkan (renewable resources) dan menyediakan berbagai jenis produk (produk langsung dan produk tidak langsung). Pelayanan lindungan lingkungan seperti proteksi terhadap abrasi, proteksi lahan daratan pesisir dari tiupan angin kencang dan arus gelombang laut, menstabilisasi substrat/sedimen, proteksi terumbu karang dari suspensi koloid tanah dalam air, pengendali intrusi air laut, mengurangi tinggi dan kecepatan arus gelombang tsunami, pembersih air dari pencemaran polutan, dan tempat rekreasi. Semua sumberdaya dan jasa lingkungan tersebut disediakan secara gratis oleh ekosistem mangrove. Mangrove menyediakan berbagai jenis produk dan jasa yang berguna untuk menunjang keperluan hidup penduduk pesisir dan berbagai kegiatan ekonomi, baik skala lokal, regional, maupun nasional serta sebagai penyangga sistem kehidupan masyarakat sekitar hutan. Semua fungsi mangrove tersebut akan tetap berlanjut bila keberadaan ekosistem mangrove dapat dipertahankan dan pemanfaatan sumberdayanya berdasarkan pada prinsip-prinsip kelestarian. Hal ini dapat diartikan mangrove berperan sebagai sumberdaya renewable dan penyangga sistem kehidupan jika semua proses ekologi yang terjadi di dalam ekosistem mangrove dapat berlangsung tanpa gangguan (Kusmana, 1994). Ekosistem Mangrove Segara Anakan Ekosistem mangrove di Jawa Tengah memiliki bentuk yang beragam. Sedimen yang terbawa sungai dan laut mengendap di muara sungai membentuk tanggul dan gumuk pasir (sand dunes) yang menghambat masuknya air sungai ke laut, sehingga terbentuk laguna. Mangrove hanya tumbuh pada laguna di muara sungai, termasuk laguna Segara Anakan, Cilacap, kawasan mangrove terluas di Jawa (Setyawan et al., 2008). Segara Anakan tergolong suatu ekosistem rawa bakau dengan laguna yang unik yang terletak di antara Pantai Selatan Jawa dan Pulau Nusakambangan. Ekosistem ini juga menjadi tempat bermuara sungai besar ataupun kecil seperti Citanduy, Cimeneng, Cibereum dan Cikonde. Hal ini menjadikan ekosistem unik ini menjadi kaya akan nutrien sehingga kawasan tersebut memiliki sumberdaya perikanan yang melimpah seperti ikan, udang dan berbagai spesies kerang. Nutrien yang terdapat pada kawasan Segara Anakan menjadi mata rantai pangan bagi sumberdaya perikanan di Samudra Hindia. Pelestarian suatu ekosistem sangat menunjang terhadap tingginya keanekaragaman spesies dan genetik. Semakin tinggi tingkat keberagaman ekosistem suatu wilayah, maka tingkat diversitasnya juga semakin tinggi (Medrizam et al., 2004). Komunitas vegetasi mangrove yang ditemukan sebanyak 26 spesies (Murtiono et al., 2012). Spesies yang mendominasi adalah Acanthus ebracteatus, Derris
10
trifoliata, Cyperus sp., Sonneratia caseolaris, Avicennia marina dan Sonneratia alba. Pengelompokkan berdasar kesamaan komposisi vegetasi penyusun. Sonneratia caseolaris dominan pada garis pantai sebelah utara. Nypa fruticans dominan pada bagian tengah dan garis pantai di sebelah barat. Sonneratia alba dominan pada garis pantai sebelah barat daya. Faktor lingkungan yang paling mempengaruhi pengelompokan vegetasi penyusun adalah salinitas, pasang surut dan intensitas cahaya (Sukmarani et al., 2009). Kondisi kawasan Segara Anakan saat ini tengah mengalami proses kerusakan yang sangat masif. Menurut Ardli dan Wolff (2008) pada tahun 1987 mangrove mencapai 15827.6 ha, tahun 1995 mencapai 10974.6 ha, tahun 2004 mencapai 9271.6 ha dan tahun 2006 mencapai 9237.8 ha. Pendangkalan laguna akibat laju sedimentasi yang tinggi, penebangan hutan bakau secara liar, praktek penangkapan ikan yang eksploitatif oleh nelayan lokal telah menyebabkan kawasan Segara Anakan tidak lagi menjadi kawasan yang kondusif bagi keberlangsungan berbagai spesies ikan dan satwa lainnya. Potensi ekonomi yang hilang akibat degradasi kawasan Segara Anakan dalam bentuk kepiting, udang, kerang, dan berbagai spesies ikan dapat mencapai Rp 11.25 miliar per tahun (Duddley, 2000). Menurut penelitian Pribadi tahun 2003, kerang totok di kawasan mangrove Segara anakan mencapai 10.48 ind/m2. Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan Widowati et al. pada tahun 2005, kerang totok hanya mencapai 9.7 ind/m2. Penelitian Listyaningsih et al. pada tahun 2011 menyatakan kepadatan P. erosa mencapai 6.53 ind/m2. Ini menunjukan adanya penurunan. Sementara, total nilai ekonomi ekosistem mangrove yang mungkin hilang akibat penebangan liar dapat mencapai Rp.140.880.427.700 per tahun atau Rp 8.188.980 per ha per tahun (Paryono et al., 1999). Konsekuensi konversi mangrove adalah penyusutan dan hilangnya ekosistem mangrove yang pada gilirannya akan berdampak kepada lingkungan dan masyarakat sekitar. Selain penyusutan dan kemerosotan populasi tumbuhan dan hewan, konversi mangrove akan menyebabkan abrasi pantai.
3. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kawasan ekosistem mangrove Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan metode purposive sampling berupa penempatan lokasi penelitian berdasarkan berbagai pertimbangan (Usman dan Pramono, 2008). Pertimbangan yang digunakan pada penelitian ini antara lain merupakan kawasan mangrove yang berkriteria baik, sedang ataupun rusak sebagai akibat dari degradasi yang terjadi. Kriteria kondisi mangrove mengacu pada data sekunder yang didapatkan dalam proses penelitian. Selain itu, penentuan stasiun diambil berdasarkan kondisi yang representatif dari wilayah Segara Anakan dan berdasar karakter habitat P. erosa yang lebih banyak ditemukan di subtrat lumpur yang relatif lunak. Metode lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang bertujuan membuat penjelasan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta yang didapatkan di lapangan (Yulius, 2006). Penelitian dilaksanakan dalam satu tahap rentang waktu pengambilan sampel. Pengambilan sampel dilakukan pada dua belas stasiun yang ditentukan. Seluruh stasiun dikelompokan menjadi empat kelompok stasiun berdasar tingkat kerusakan mangrove (data sekunder). Tingkat kerusakan terbagi menjadi rusak berat (A), rusak (B), kurang bagus (C) dan bagus (D) (Gambar 3.1). Setiap stasiun dilakukan pengulangan pengambilan sampel sebanyak tiga kali dalam bentok plot sampling. Kegiatan identifikasi dan analisis sampel akan dilaksanakan di Laboratorium Biologi Akuatik Fakultas Biologi UNSOED. Alat dan Bahan Penelitian Parameter yang diukur, alat dan bahan yang digunakan dalam pengambilan sampel dapat dilihat pada Tabel 3.1: Tabel 3.1. Daftar materi penelitian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Nama Alat dan Bahan Coolbox dan kantong plastik Termometer Handrefractometer Lux meter pH meter Sekop kecil Tali dan rol meter Spektrofotometer Oven Perahu GPS Label, alat tulis dan laptop Kamera Quisioner Jangka Sorong
Parameter dan Kegunaan Menyimpan sampel Temperatur Salinitas Intensitas cahaya pH air dan tanah Mengambil sampel tanah Membuat line transek Fosfat sedimen Mengeringkan sampel sedimen Transportasi pengambilan sampel Penentuan koordinat stasiun Mencatat dan mengolah data Memotret lokasi penelitian dan sampel Mengetahui pemanfaatan P. erosa Mengukur panjang cangkang
12
Teknik Pengumpulan Data Pengambilan Sampel Kerang Pengambilan sampel kerang dilakukan dengan area sampling di beberapa lokasi yang masih terdapat dalam kawasan dengan melihat kondisi mangrove yang terdapat disekitarnya. Penentuan area sampling menggunakan sistem stasiun. Penelitian kali ini menggunakan dua belas stasiun. Seluruh stasiun dikelompokan berdasarkan peta tingkat kerusakan mangrove (Gambar 3.1). Setiap stasiun pengambilan sampel diambil tiga titik berbeda secara acak disesuaikan dengan titik pengamatan mangrove dengan menggunakan plot sampling untuk membatasi pengambilan sampel P. erosa. Setiap plot digunakan sebagai ulangan. Ukuran plot yang digunakan adalah 1 x 1 m. Metode plot digunakan karena menurut Fachrul (2007), metode ini baik digunakan untuk pengambilan sampel pada populasi vegetasi, satwa dengan pergerakan yang lambat. Satwa yang hidup di dalam lubang, sarang dan biota bentik. P. erosa merupakan salah satu moluska yang memiliki pergerakan lambat.
Gambar 3.1. Klasifikasi kerusakan mangrove (Anwari et al., 2013), lokasi, skema dan layout pengambilan sampel P. erosa dan mangrove pada tiap stasiun Penggunaan plot selaku ulangan setiap setasiun sebanyak tiga kali. Ulangan bertujuan agar mendapatkan P. erosa sebanyak mungkin di tengah kondisi degradasi yang terjadi di ekosistem Segara Anakan, Cilacap. P. erosa yang telah diambil dimasukan ke dalam kantung plastik yang telah diberi label dan dimasukan ke dalam coolbox.
13
Pengamatan Mangrove Metode pengambilan data untuk vegetasi mangrove mengikuti kesesuaian dengan sampel kerang dengan jarak antar plot sampling adalah 50 m. Pengamatan mangrove terbagi menjadi pengamatan pohon, anakan dan kategori semai, semak dan herba. Menurut Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974), kategori pohon memiliki diameter at breast height (dbh) ≥ 4 cm, anakan 1 ≤ dbh < 4 cm dan semai, semak dan herba dengan ketinggian < 1 m. Plot yang digunakan yaitu 10 x 10 m untuk kategori pohon, 5 x 5 m untuk anakan dan 1 x 1 m untuk semai, semak dan herba. Selain itu data yang diambil terdiri dari jumlah dan jenis tegakan mangrove, diameter pohon serta keterangan lain yang mendukung kelengkapan data. Identifikasi mangrove dilakukan dengan berpedoman pada Tomlinson (1994) dan Giesen et al. (2007). Pohon Data vegetasi kategori pohon dengan dbh ≥ 4 cm yang telah diambil dari plot transek berukuran 10 x 10 m meliputi nama spesies, jumlah tegakan, dbh dan keterangan lain yang mendukung (Onrizal, 2008). Salah satu spesies mangrove yaitu Nypa fructicans termasuk kedalam kategori pohon bila ketinggian mencapai ≥ 3 m. Data yang didapat digunakan untuk mendapatkan nilai analisis dari kerapatan (K), kerapatan relatif (KR), frekuensi (F), frekuensi relatif (FR), dominansi (D), dominansi relatif (DR) dan nilai penting (NP). Anakan Data kategori anakan berupa vegetasi dengan 1 ≤ dbh < 4 cm dan tinggi < 1 m yang telah diambil dari plot transek berukuran 5 x 5 m (Onrizal, 2008). Data anakan yang didapat digunakan untuk mendapatkan nilai kerapatan (K), kerapatan relatif (KR), frekuensi (F), frekuensi relatif (FR), dominansi (D), dominansi relatif (DR) dan nilai penting (NP). Semai, semak dan herba Data semai, semak dan herba merupakan data dari vegetasi dengan ketinggian < 1 m pada plot 1 x 1 m. Data yang diambil berupa nama spesies, jumlah tegakan dan keterangan yang mendukung (Onrizal, 2008). Data yang diambil dianalisa untuk mengetahui kerapatan (K), kerapatan relatif (KR), frekuensi (F), frekuensi relatif (FR) dan nilai penting (NP). Pengukuran Parameter Lingkungan Pengukuran parameter lingkungan dilakukan pada setiap titik pengambilan P. erosa dan pengamatan mangrove. Hal ini dilakukan agar mengetahui kondisi ekologis secara fisika dan kimia dari P. erosa. Selain itu pengukuran parameter lingkungan juga digunakan sebagai data pendukung sejauh mana terjadinya degradasi di kawasan ekosistem mangrove Segara Anakan, Cilacap. Pengukuran parameter lingkungan terbagi menjadi dua tahap yaitu secara eksitu (pengukuran dilakukan di laboratorium) dan insitu (pengukuran langsung di lapangan). Pengukuran yang dilakukan secara eksitu seperti kandungan bahan organik,
14
komposisi dan tekstur substrat sedangkan pengukuran yang dilakukan secara insitu yaitu temperatur, salinitas, intensitas cahaya dan pH. Sampel yang akan dilakukan pengukuran secara eksitu dimasukan ke dalam kantong plastik berlabel dan di masukan ke dalam coolbox dengan tujuan pengawetan. Pemanfaatan P. erosa Pemanfaatan P. erosa dapat diketahui dengan cara menyebarkan daftar pertanyaan (quisioner) kepada masyarakat sekitar (Narbuko dan Achmadi, 2005) dan melakukan wawancara dengan nelayan di kawasan ekosistem mangrove Segara Anakan. Setelah quisioner dan wawancara dilakukan, data yang didapat ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Metode yang digunakan untuk menentukan jumlah responden yaitu metode Solvin (Siregar, 2011) yaitu : 𝑛=
𝑁 1 + 𝑁𝑒 2
Keterangan : n : Ukuran sampel atau jumlah responden N : Ukuran populasi dalam waktu tertentu e : Nilai kritis (batas ketelitian 5%) Analisis Data Kepadatan Populasi P. erosa Fachrul (2007) mengatakan bahwa pengkajian populasi biota yang sifatnya tidak bergerak dengan cepat dapat dilakukan dengan metode sensus atau plot. Hal ini sesuai dengan sifat hidup dari P. erosa yang cenderung memiliki tingkat migrasi relatif rendah sehingga akan tepat bila metode plot digunakan untuk pengkajian kepadatan populasi P. erosa. Nilai kepadatan P. erosa dapat diartikan banyaknya P. erosa per satuan unit luas plot yang diamati. Hasil yang didapat dianalisis dengan rumus sebagai berikut (Heryanto et al.,2006): 𝐷=
𝑋𝑖 𝑛
Keterangan : 𝑋𝑖 = jumlah total individu jenis kerang I (ind) n = luas plot (m2) D = kepadatan (ind/m2) Nilai kepadatan yang didapatkan dipergunakan untuk pembuatan peta persebaran P. erosa di ekosistem mangrove Segara Anakan. Pembuatan peta persabaran ini menggunakan software arcGIS 9 dengan metode interpolasi. Metode interpolasi menggunakan hasil kelimpahan tiap stasiun pengambilan sampel sehingga didapaatkan estimasi dugaan persebaran P. erosa.
15
Sebaran Kelompok Ukuran (Sebaran Umur) Penentuan kelompok umur pada penelitian ini menggunakan teknik pergeseran kelas modus dengan analisis frekuensi panjang (Morton, 1984). Penentuan ini dimaksudkan untuk mengetahui kelompok umur dalam populasi P. erosa dengan asumsi bahwa pertumbuhan panjang cangkang berbanding lurus dengan umur. Setelah didapatkan data panjang cangkang P. erosa, data dikelompokan dengan interval tertentu dan digambarkan pada suatu histogram frekuensi panjang yang berbentuk piramida. Pola distribusi Pola distribusi dianalisis dengan menggunakan indeks variansi, dengan masih-masing rumus perhitungan sebagai berikut :
x n
S2
n 1
i
x
2
n 1
Keterangan : S = sampel n = jumlah sampel x i = perbedaan nilai pada saat observasi x = rata-rata sampel
Tabel 3.2. Penentuan pola distribusi menurut Spellerberg (1998) Perbandingan rata-rata dan ragam (S2) S2= 0
Uniform (tersebar rata)
X = S2 X<S
Pola distribusi
2
Random (acak) Aggregate (mengelompok)
Analisis Data Vegetasi Metode yang digunakan untuk analisis data vegetasi menggunakan metode menurut Dombois dan Ellenberg (1974), yaitu :
16
Selain menggunakan rumus di atas, dilakukan juga analisis degradasi mangrove berdasarkan peta landsat 2012. Hal ini digunakan untuk mengetahui kondisi luas mangrove pada tahun 2012 (saat penelitian). Peta landsat yang didapat diolah dengan menggunakan metode delineasi pada software arcGIS 9. Setelah didapatkan luas mangrove tahun 2012, kondisinya dibandingkan dengan luas mangrove pada tahun-tahun sebelumnya (data sekunder). Analisis Data Parameter Lingkungan Data parameter lingkungan dalam penelitian ini digunakan untuk melihat variabel lingkungan yang berpengaruh terhadap populasi P. erosa. Keterkaitan ini dianalisis dengan Principal Component Analysis (PCA) (Begen, 2000). Analisis ini digunakan untuk mengetahui keterkaitan variabel secara grafik dan dibentuk dalam ruang multidimensi sehingga kategori mirip akan berdekatan (Yamin dan Kurniawan, 2009). Analisis Keterkaitan Ekosistem Mangrove dengan Populasi P. erosa Parameter degradasi mangrove dalam penelitian ini adalah menurunnya luas mangrove. Keterkaitan antara kondisi mangrove di ekosistem mangrove Segara Anakan, Cilacap dengan kondisi populasi P. erosa dianalisis menggunakan regresi menggunakan SPSS v 19. Analisis regresi dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai fungsi hubungan masing-masing faktor. Yamin dan Kurniawan (2009) menyatakan bahwa analisis regresi digunakan untuk menyatakan ada tidaknya hubungan yang signifikan antara variabel satu dengan yang lain. Regresi yang digunakan adalah regresi kubik. Regresi kubik memiliki persamaan Y = a + bX + cX2 + dX3 dengan nilai Y adalah kepadatan P. erosa dan X adalah kerapatan mangrove. Selain itu digunakan korelasi Pearson. Berikut merupakan klasifikasi hasil regresi antara mangrove dengan kepadatan P. erosa yaitu 0 tidak ada korelasi, 0 – 0.199 korelasi sangat lemah, 0.20 – 0.399 korelasi rendah, 0.40 – 0.599 korelasi cukup kuat, 0.60 – 0.70 korelasi kuat, 0.80 – 1 korelasi sangat kuat (Ridwan dan Sunarto, 2009).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kepadatan Populasi P. erosa Jumlah individu P. erosa yang didapat pada penelitian kali ini tergolong bervariasi pada setiap stasiun pengambilan sampel. Jumlah kerang paling banyak didapatkan pada stasiun C3 yaitu 46 ind/stasiun, sedangkan pada stasiun A1, D1, D2 dan D3 sama sekali tidak ditemukan P. erosa. Bila diliat dari jumlah individu per kelompok, didapatkan jumlah individu secara berturut-turut yaitu 46, 48, 100 dan 0 individu. Berdasarkan kelompok stasiun dapat terlihat jumlah P. erosa tertinggi pada kelompok B (mangrove kategori rusak) dan terendah pada kelompok D (mangrove kategori bagus). Jumlah keseluruhan P. erosa pada penelitian kali ini mencapai 194 individu. Rata-rata kepadatan P. erosa pada mencapai 9.83 + 4.86 ind/m2. Tabel 4.1. Jumlah, kelimpahan dan simpangan baku kepadatan P. erosa Kelompok Stasiun A (Mangrove Rusak Berat) B (Mangrove Rusak) C (Mangrove Kurang Bagus) D (Mangrove Bagus)
Stasiun
Jumlah Individu
A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 D1 D2 D2
0 23 23 42 21 37 2 0 46 0 0 0
Kelimpahan dan Simpangan Baku/Stasiun (ind/m2) 0+0 7.67 + 2.52 7.67 + 4.73 14 + 6.08 7 + 2.65 12.33 + 8.08 2 + 1.15 0+0 15.33 + 11.5 0+0 0+0 0+0
Jumlah Individu/ kelompok
46
100
48
0
Berdasarkan Tabel 4.1 terlihat bahwa nilai kepadatan P. erosa di tiap-tiap stasiun bervariasi. Kelompok stasiun A, didapatkan pada stasiun A1 sebanyak 0 ind/m2, stasiun A2 sebanyak 8 ind/m2 dan stasiun A3 sebanyak 8 ind/m2. Kelompok stasiun B terdiri dari stasiun B1 sebanyak 14 ind/m2, stasiun B2 sebanyak 7 ind/m2 dan stasiun B3 sebanyak 12 ind/m2. Kelompok stasiun C didapatkan pada stasiun C1 sebanyak 2 ind/m2, stasiun C2 sebanyak 0 ind/m2 dan stasiun C3 sebanyak 15 ind/m2. Selain itu pada kelompok stasiun tidak didapatkan P. erosa. Gambar 4.1 menunjukan nilai kepadatan pada masing-masing stasiun yang bervariasi. Nilai kepadatan berdasarkan stasiun dari yang tertinggi hingga terendah yaitu C3, B1, B3, A2, A3, B2, C1, A1, D1, D2 dan D3.
18
Gambar 4.1. Kepadatan P. erosa berdasarkan stasiun pengamatan Data kelimpahan tiap stasiun digunakan sebagai dasar peta sebaran P. erosa. Metode yang digunakan dalam pembuatan peta sebaran adalah interpolasi. Interpolasi disini juga lebih bersifat menduga/mengestimasi wilayah yang berada diluar stasiun. Sehingga dapat tergambarkan dugaan sebaran P. erosa berdasarkan data kelimpahan yang didapat dalam penelitian.
Gambar 4.2. Peta persebaran P. erosa berdasarkan kelimpahan setiap stasiun pengamatan
19
Sebaran Kelompok Umur P. erosa Penentuan sebaran kelompok umur dilakukan berdasarkan panjang cangkang dari P. erosa yang didapatkan pada proses pengamatan. Umur diasumsikan berbanding lurus dengan panjang cangkang. Berdasarkan hasil pengukuran panjang cangkang, maka P. erosa dikelompokan menjadi lima kelas interval (Tabel 4.2). Tabel 4.2. Sebaran kelompok umur P. erosa berdasarkan panjang cangkang No Panjang Kelompok Stasiun (cm) (Jumlah Individu) A B C D 1 2 – 3.2 0 7 11 0 2 3.3 – 4.5 2 36 14 0 3 4.6 – 5.8 20 43 17 0 4 5.9 – 7.1 21 13 5 0 5 7.2 – 8.4 3 1 1 0 Secara keseluruhan bila dilihat dari pengkelasan panjang cangkang pada Tabel 4.2 diketahui bahwa dari semua kelompok stasiun, P. erosa mengalami pertambahan ukuran. Jumlah P. erosa yang memiliki ukuran kelas terendah dianggap sebagai stok alami. Kelompok stasiun C memiliki stok alami yang paling banyak diantara kelompok stasiun lainnya. Ukuran panjang yang paling dominan dari keempat kelompok stasiun yaitu kelas ukuran 4.6 – 5.8 cm. Terlihat dari frekuensi pertambahan individu P. erosa pada masing-masing kelas stasiun dapat menunjukan adanya pola rekrutmen. cm
cm
Piramida Panjang Cangkang P. erosa Kelompok Stasiun A
7.2-8.4
7.2-8.4
5.9-7.1
5.9-7.1
4.6-5.8
4.6-5.8
3.3-4.5
3.3-4.5
2-3.2
2-3.2 100
cm
50 female
0 male
50
Piramida Panjang Cangkang P. erosa Kelompok Stasiun B
100
40
20
male
0
20 female
40
60
cm 7.2… Piramida Panjang Cangkang P. erosa Kelompok Stasiun D 5.9…
Piramida Panjang Cangkang P. erosa Kelompok Stasiun C
7.2-8.4 5.9-7.1
4.6…
4.6-5.8
3.3…
3.3-4.5 2-3.2
2-3.2 60
40
20 male
0 20 female
40
60
0
0.2
0.4 0.6 male female
0.8
1
Gambar 4.3. Piramida sebaran umur P. erosa pada setiap kelompok stasiun pengamatan
20
Persebaran kelas ukuran berdasarkan panjang cangkang diawali pada kelas ukuran 2 – 3.2 cm hingga ukuran 7.2 – 8.4 cm. Secara keseluruhan pada tiap kelompok stasiun mengalami penambahan jumlah frekuensi P. erosa hingga mencapai kelompok kelas ukuran 4.6 – 5.8 cm yang dominan. Setelah itu mengalami penurunan hingga kelas panjang maksimum yang ditemukan yaitu 7.2 – 8.4 cm. Karakteristik populasi dapat digambarkan secara grafik dengan menampilkan piramida populasinya. Piramida populasi yang terbentuk dari data sebaran umur P. erosa berbentuk sarang tawon kuno/old fashioned beehive (Gambar 4.3). Jenis piramida ini menggambarkan kondisi pemijahan (anakan kerang) relatif rendah dan kematian kerang yang relatif tinggi. Piramida ini juga menunjukan bahwa P. erosa dengan jenis kelamin betina mendominasi populasi dibandingkan jantan. Hal ini juga dipengaruhi oleh metode yang digunakan dalam pengambilan sampel kerang. Pola Distribusi P. erosa Data pada Tabel 4.3 menjelaskan pola penyebaran P. erosa baik secara keseluruhan individu maupun tiap kelompok stasiun yang cenderung mengelompok. Pola penyebaran mengelompok dapat ditunjukan dengan nilai ratarata ( x ) lebih kecil dibandingkan nilai keragaman (S2). Tabel 4.3. Pola distribusi P. erosa Kelompok Stasiun
Nilai x
Nilai S2
Perbandingan
Pola Distribusi
A
5.11
19.6
x < S2
B
11.11
13.37
x < S2
C
17.33
269.78
x < S2
D
0
0
-
Aggregate (mengelompok) Aggregate (mengelompok) Aggregate (mengelompok) -
Keseluruhan
5.5
35.53
x < S2
Aggregate (mengelompok)
Vegetasi Mangrove Kondisi vegetasi mangrove pada wilayah pengamatan dapat diketahui dengan melihat Nilai Penting (NP) dari masing-masing kategori. Menurut Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974), pengamatan mangrove dikategorikan menjadi tiga yaitu pohon, anakan dan semai, semak dan herba . Pohon Berdasarkan pengamatan di lapangan dan analisis data yang dilakukan, mangrove dengan kategori pohon hanya ditemukan spesies Nypa fructicans. Nypa fructicans digolongkan kategori pohon karena pada lokasi pengamatan tingginya
21
mencapai > 3 m. Spesies ini memiliki nilai penting mencapai 200% dan menjadi satu-satunya spesies dalam kategori pohon. Anakan Nilai penting menggambarkan secara keseluruhan kondisi mangrove. Nilai penting (NP) mencakup kondisi dari nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi relatif. Nilai penting kategori anakan dapat dilihat pada Gambar 4.4. Spesies mangrove kategori anakan yang mendominasi di wilayah Segara Anakan yaitu Rhizophora apiculata. 700% 600% 500% 400% 300% 200% 100% 0%
614%
594%
419% 337%
275% 175%
124%
260%
188% 33%
309% 192% 54%
Gambar 4.4. Nilai penting spesies mangrove kategori anakan dari seluruh stasiun Semai, semak dan herba Kondisi mangrove kategori semai, semak dan herba saat pengamatan dapat dilihat pada Gambar 4.5. Kategori semai, semak dan herba umumnya terdiri dari Acanthus ilicifolius dan Acanthus ebracteatus. Kedua spesies ini banyak ditemukan di wilayah pengamatan. Selain itu bila dilihat dari nilai penting yang didapatkan, kedua spesies tersebut mendominasi.
22
1400%
1223.97%
1200% 1000% 800% 600% 400% 200%
347.46%
293.27%
203.88% 43.00%
36.00%
106.37%
45.00% 40.00% 34.31% 26.25%
0%
Gambar 4.5. Nilai penting spesies mangrove kategori semai, semak dan herba dari seluruh stasiun Kondisi mangrove di kawasan Segara Anakan saat pengamatan tergambarkan dalam hasil pengolahan landsat citra wilayah Cilacap bagian selatan pada tahun 2012. Berikut merupakan hasil analisis luas mangrove 2012 di kawasan Segara Anakan, Cilacap.
Gambar 4.6 Peta luas mangrove kawasan Segara Anakan, Cilacap Luas mangrove Segara Anakan menurut Ardli dan Wolff (2008) pada tahun 1987 mencapai 15827.6 ha, tahun 1995 mencapai 10974.6 ha, tahun 2004 mencapai 9271.6 ha dan tahun 2006 mencapai 9237.8 ha. Luas mangrove yang didapatkan berdasarkan pengolahan citra landsat 2012 terlihat mengalami penurunan. Secara keseluruhan luas mangrove mencapai 8036.9 ha. Penurunan terjadi di wilayah mangrove yang cenderung dekat dengan wilayah penduduk.
23
Penurunan ini dimungkinkan karena konversi lahan mangrove menjadi persawahan maupun permukiman atau adanya ilegal logging seperti yang terlihat pada saat pengamatan. Kualitas Lingkungan Kualitas lingkungan di suatu wilayah akan mempengaruhi kondisi mahluk hidup yang ada di dalamnya. Kualitas lingkungan tentunya akan mempengaruhi kondisi mangrove ataupun P. erosa itu sendiri. Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 7) menunjukan bahwa kualitas lingkungan yang terdapat pada setiap stasiun tidak memiliki variasi yang signifikan. Hal ini berlaku pada keseluruhan faktor lingkungan yang diamati. Analisis PCA dilakukan untuk mengetahui faktor lingkungan yang lebih berpengaruh (Gambar 4.7). Berdasarkan dua belas variabel yang diamati, direduksi menjadi empat faktor. Masing-masing faktor memberi kontribusi secara berurutan yaitu 37.7%, 26.2%, 11.5%. Ketiga faktor ini dapat menjelaskan 75.4% dari keseluruhan hubungan. Faktor lingkungan yang memiliki hubungan paling dekat dengan nilai kepadatan P. erosa adalah kandungan air dalam substrat, temperatur dan intensitas cahaya. 0
0.50
organik
suhu
pasir
0.25
F2
lux kelimpahan
0.00
air
0
liat
salinitas
-0.25
debu
pH
-0.50 -0.50
-0.25
0.00 F1
0.25
0.50
Gambar 4.7. Analisis PCA (Principal Component Analysis) Kualitas Lingkungan Keterkaitan Ekosistem Mangrove dengan Populasi P. erosa Keterkaitan ekosistem mangrove dengan populasi P. erosa diketahui dengan melakukan analisis regresi. Hasil analisis regresi akan memberikan gambaran mengenai kuat lemahnya hubungan antara ekosistem mangrove dengan populasi P. erosa. Gambar 4.8 merupakan hasil analisis regresi antara ekosistem mangrove dengan populasi P. erosa pada lokasi pengamatan.
24
Gambar 4.8. Grafik regresi kubik hubungan mangrove kategori pohon, anakan dan kategori semai, semak dan herba dengan populasi P. erosa pada setiap plot pengambilan sampel Berdasarkan analisis regresi kubik dengan menggunakan spss v 19 didapatkan nilai R kategori pohon sebesar 0,055 dengan persamaan Y = 4.603 + 6.864X + 306.377X2 – 1403.5X3. R untuk kategori anakan sebesar 0.146 dengan persamaan Y = -3.435 + 28.628X – 21.13X2 + 4.121X3. R untuk kategori semai, semak dan herba adalah 0.094 dengan persamaan Y = 7.986 – 1.386X + 0.12X2 – 0.03X3. Secara keseluruhan kategori mangrove tergolong memiliki hubungan yang sangat lemah terhadap kepadatan P. erosa. Selain itu perhitungan korelasi Pearson memiliki nilai R secara berurutan yaitu 0.040, 0.044, 0.174 dan tergolong memiliki kategori korelasi yang sangat lemah. Pemanfaatan P. erosa Penentuan responden untuk kuisioner pada pengamatan kali ini menggunakan metode Solvin. Jumlah keseluruhan dari nelayan pencari P. erosa mencapai 50 orang. Penggunaan metode Solvin menghasilkan jumlah minimum responden untuk kuisioner sebanyak 33 orang. Hasil dari data yang didapatkan menggambarkan bahwa masyarakat sekitar umumnya memanfaatkan kerang ini untuk konsumsi, perdagangan dan kerajinan. Selain itu, masyarakat juga menggunakan cangkang P. erosa untuk menimbun tanah di wilayah desa mereka. Kondisi ini dipengaruhi mudahnya proses penangkapan kerang yaitu dengan hanya menggali substrat di kawasan mangrove tanpa menggunakan alat bantu. Menurut masyarakat dan nelayan yang menjadi responden, kerang ini sangat dominan terdapat di wilayah mangrove Segara Anakan bagian barat dan minimum atau bahkan hampir tidak ada pada mangrove Segara Anakan bagian timur. Nelayan mencari kerang ini pada saat musim surut agar dapat mempermudah proses pengambilannya. Frekuensi pengambilan minimal dua kali selama satu minggu. Nelayan dapat menghasilkan maksimal 10 ember (+ 12 kg/ember) pada setiap trip pencarian kerang. Kerang ini dijual ke pengepul dengan harga rata-rata Rp. 4.000 dengan cangkang dan Rp. 15.000 tanpa cangkang. Kebanyakan para nelayan kerang ini terdapat di desa Montean, Klaces dan Karanganyar.
25
Pembahasan Kepadatan Populasi P. erosa Nilai kepadatan P. erosa pada penelitian kali ini terlihat bervariasi di setiap stasiun pengambilan sampel. Kepadatan P. erosa tertinggi terdapat pada stasiun C3 (15 ind/m2) dan terendah pada beberapa stasiun seperti stasiun A1, C2, D1, D2 dan D3 (0 ind/m2). Kepadatan yang berbeda diduga terkait dengan kondisi habitat dan lingkungan dari P. erosa itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kresnasari (2010) bahwa berbagai faktor lingkungan dapat mempengaruhi turunnya produktivitas biota perairan. Amin (2009) menyebutkan kepadatan P. erosa dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik dari masing-masing stasiun pengambilan sampel. Selain itu P. erosa tidak terdistribusi normal. Gambar 4.1 memperlihatkan kelimpahan P. erosa dominan pada kelompok stasiun B dan tidak ada pada kelompok stasiun D. Ini menunjukan bahwa kondisi mangrove tidak berpengaruh secara langsung terhadap nilai kepadatan populasi P. erosa. Tidak adanya individu P. erosa pada kelompok stasiun D dengan kategori mangrove bagus kemungkinan disebabkan kondisi substrat yang cenderung kering dan keras. Faktor lingkungan lain yang kurang mendukung sehingga tidak memungkinkan bagi P. erosa untuk hidup pada kondisi tersebut. Kepadatan P. erosa terpengaruh secara tidak langsung oleh kondisi kerapatan mangrove. Kerapatan mangrove menjadi terkait karena menurut Zamroni dan Rohyani (2008), kerapatan mangrove akan mempengaruhi produksi serasah. Semakin tinggi kepadatan mangrove, maka semakin tinggi pula produksi serasahnya. Serasah yang jatuh akan mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme menjadi detritus, semakin banyak serasah yang dihasilkan dalam suatu kawasan mangrove maka semakin banyak pula detritus yang dihasilkan. Hal ini berhubungan dengan ketersediaan pakan alami dari P. erosa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mangrove sebagai salah satu faktor stimulan pembentuk kondisi lingkungan pada suatu habitat. Nilai rata-rata kepadatan pada penelitian ini mencapai 9.83 + 4.68 ind/m2. Berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan pada wilayah yang sama. Penelitian Pribadi tahun 2003 menyebutkan bahwa kepadatan P. erosa dapat mencapai 10.48 ind/m2. Widowati et al. (2005) menyatakan kepadatan P. erosa hanya mencapai 9.7 ind/m2. Penelitian Listyaningsih et al. pada tahun 2011 menyatakan kepadatan P. erosa mencapai 6.53 ind/m2 . Secara keseluruhan bila dibandingkan dengan temuan yang ada, kemungkinan perbedaan dapat terjadi karena teknik pengambilan sampel yang berbeda. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya, dapat dikatakan kondisi populasi P. erosa bila dilihat dari kepadatan cenderung stabil. Peta (Gambar 4.2) menunjukan persebaran P. erosa yang memiliki nilai kelimpahan dominan tinggi berada di bagian tengah dan barat mangrove Segara Anakan, sedangkan di bagian timur lebih cenderung tidak ada. Bagian tengah dan barat memiliki mangrove yang tergolong rusak hingga rusak berat sedangkan bagian timur tergolong mangrove kategori bagus. Bagian timur Segara Anakan substrat cenderung keras karena jarang terendam oleh pasang surut. Hal ini yang menyebabkan tidak ditemukannya P. erosa. Selain itu, salinitas di bagian timur Segara Anakan relatif lebih tinggi dibandingkan bagian barat.
26
Stasiun C3 yang memiliki nilai kepadatan tertinggi didominasi Acanthus ebracteatus. Kondisi tersebut sesuai pada saat pengambilan sampel karena P. erosa banyak terdapat di substrat sekitar spesies mangrove Nypa fructican dan Acanthus ebracteatus. Perbedaan kondisi mangrove sangat nyata terlihat pada kelompok stasiun D (Lampiran 6). Kelompok stasiun D di dominasi oleh familia Rhizophoraceae yang ditunjukan dengan nilai penting tertinggi. Hal ini sangat berbeda pada temuan penelitian Dwiono pada tahun 2003 pada wilayah yang sama yaitu kebanyakan P. erosa banyak ditemukan di bawah Rhizophora apiculata. Perbedaan ini memperkuat adanya dugaan bahwa mangrove kurang berpengaruh secara langsung dengan kelimpahan P. erosa. Menurut Nyabakken (1992) faktor yang berpengaruh langsung pada kelimpahan, komposisi dan distribusi dari makrobentos seperti P. erosa adalah kondisi substrat dasar. Komposisi substrat yang berbeda pada tiap stasiun. Data subtrat dasar yang diperoleh secara keseluruhan sama yaitu liat. Hal ini berbeda dengan kondisi substrat yang ideal untuk P. erosa. Morton (1984) menyatakan bahwa P. erosa akan berkembang baik pada substrat lumpur berpasir. Adanya kandungan pasir pada substrat dapat mempermudah P. erosa menyaring makanan dan laju pertukaran air cepat sehingga kadar oksigen terlarut menjadi banyak tersedia. Selain berbagai faktor yang telah disebutkan, faktor pemangsaan, penyebaran larva, pasang surut dan pengambilan P. erosa juga dapat mempengaruhi nilai kepadatan individu tersebut. Larva mencari habitat yang cocok, berkembang menjadi bivalvia muda lalu menetap hingga dewasa dan matang gonad (Manzi dan Castagna, 1989). Menurut Gosling (2003) penyebaran larva bivalvia pasif tetapi pada stadia tertentu akan aktif berenang dan menyebar secara vertikal. Penyebaran ini dibantu oleh adanya arus air/pasang surut. Ini mengindikasikan bahwa bivalvia dalam stadia larva mampu mengendalikan distribusinya secara vertikal. Sebaran Kelompok Umur P. erosa Penentuan kelompok umur P. erosa didapatkan dari ukuran panjang cangkang masing-masing individu. Nilai kelompok umur didapatkan dengan asumsi bahwa panjang cangkang berbanding lurus dengan umur (Gosling, 2003). Berdasarkan histogram sebaran kelompok umur P. erosa yang diambil dari stasiun pengamatan didapatkan satu kelompok umur (satu periode pemijahan) pada masing-masing kelompok stasiun. Kondisi ini mungkin terjadi karena rentang pengambilan sampel yang tidak terlalu jauh. Meskipun demikian, tetap ada individu baru yang berukuran kecil yang bertambah. Ini menunjukan adanya pola rekuitmen individu baru karena P. erosa melakukan pemijahan sepanjang tahun (Kresnasari, 2010). Piramida sebaran umur yang terbentuk menggambarkan individu betina lebih mendominasi dibandingkan jantan. Piramida (Gambar 4.3) juga menggambarkan rendahnya individu anakan dan individu tua. Hal ini terkait metode pengambilan sampel P. erosa. Jenis piramida ini biasa disebut dengan piramida sarang tawon kuno/old fashioned beehive. Frekuensi kehadiran P. erosa yang mendominasi terlihat pada ukuran 4.6 – 5.8 cm sebanyak 43 individu. Ukuran ini juga memiliki daya tahan hidup yang lebih tinggi dibanding dengan ukuran kurang dari 2 cm. Ukuran tersebut termasuk dalam kerang yang siap konsumsi dan dengan melimpahnya ukuran ini menyebabkan masyarakat yang
27
memanfaatkan P. erosa tidak perlu mengambil kerang yang berukuran kecil. Hal ini memberi kesempatan bagi pelopor rekrutmen untuk lebih berkembang. Kondisi ini menjadi penting karena P. erosa melakukan pemijahan secara eksternal sehingga sangat bergantung pada kondisi lingkungan. Utomo et al. (2012) menyatakan kerang dengan panjang cangkang yang dominan adalah kerang dewasa yang sudah mampu melakukan aktivitas reproduksi atau telah melewati beberapa kali masa spawning. Thorarinsdottir dan Johannesson (1996) dalam Amin et al. (2009) menyebutkan kepadatan populasi dan faktor fisik, kimia maupun biologis habitat mempengaruhi pertumbuhan kerang khususnya pada cangkang dan jaringan. Piramida menunjukan pada kelas ukuran 2 – 3.2 cm tergolong rendah. Kondisi ini dapat berubungan dengan kurangnya daya tahan hidup dari P. erosa yang berukuran kecil dari kondisi ekosistem mangrove yang cukup ekstrim. Penelitian ini dilakukan pengambilan kerang secara visual dan menggunakan tangan. Seperti yang telah dilakukan Pribadi (2003) didapatkan P. erosa mencapai 10.48 ind/m2. Ukuran kelas 7.2 – 8.4 cm juga memiliki jumlah yang cukup rendah. Dugaan terjadinya kondisi demikian, dimungkinkan adanya pengambilan berlebih oleh masyarakat sekitar. Ini menjadi mungkin karena menurut informasi dari masyarakat sekitar, mereka lebih cenderung berminat pada kerang dengan ukuran besar. Kerang dengan ukuran besar biasanya memiliki daging yang lebih tebal. Daging yang lebih tebal lebih cepat diminati masyarakat sekitar karena cocok dimanfaatkan untuk konsumsi. Pola Distribusi P. erosa Tabel 4.3 menunjukan pola distribusi P. erosa dari masing-masing kelompok stasiun. Secara keseluruhan pola distribusinya bersifat mengelompok. Pola distribusi mengelompok ditunjukan dari nilai rata-rata ( x ) lebih kecil dibandingkan nilai keragaman (S2) yang diperoleh dari analisis dengan menggunakan indeks variansi. Kondisi distribusi mengelompok digambarkan bila ditemukan beberapa P. erosa di titik tertentu, maka akan diperoleh juga sekelompok kerang dengan ukuran yang bervariasi. Dapat dipastikan terdapat individu jantan dan betina pada kelompok tersebut. Sesuai dengan pernyataan Susilo dan Chrisna (2005) P. erosa di Segara Anakan mempunyai pola distribusi mengelompok (Aggregate). Pola persebaran mengelompok merupakan bentuk penyebaran paling umum yang terjadi di alam. Hal ini disebabkan karena individu-individu dalam suatu populasi cenderung membentuk kelompok dalam berbagai ukuran. Pola mengelompok terjadi sebagai akibat dari adanya perbedaan respon terhadap perbedaan habitat secara lokal. Mangrove Segara Anakan sebagai habitat biota memiliki salinitas yang cenderung tinggi di bagian timur. Kandungan air pada substrat di bagian barat cenderung lebih tinggi. Secara umum tekstur substrat berupa liat. Wilayah bagian timur memiliki kandungan pasir relatif lebih tinggi. P. erosa jarang ditemukan pada bagian timur mangrove Segara Anakan. Pola distribusi dari P. erosa terkait dengan tingkah laku strategi reproduksi, kesediaan pakan dan kondisi lingkungan (Kresnasari, 2010). Pola sebaran juga dipengaruhi oleh faktor kompetisi. Kompetisi ini dapat berupa perebutan makanan dan ruang
28
untuk hidup. Sesuai dengan kondisi yang terdapat dilapangan, pada ekosistem mangrove Segara Anakan banyak terdapat komunitas bentik. Salah satunya adalah gastropoda. Baik gastropoda maupun P. erosa memanfaatkan plakton sebagai pakan dan substrat sebagai tempat hidup. Gastropoda merupakan salah satu kompetitor dari P. erosa baik dari segi ruang hidup maupun makanan. Menurut Utomo et al. (2006) selain gastropoda, biota kompetitor lain dari P. erosa dapat berupa Polychaetha dan Crustacea. Menurut Leimena et al. (2005) dan Natan (2008), pola penyebaran mengelompok berkaitan dengan kemampuan larva hewan bentik memilih daerah yang akan ditempatinya. Jika substrat dan faktor fisika, kimia dan biologi perairan tidak mendukung maka larva tidak akan menetap atau tidak bermetamorfosis. Barnes dan Rupert (1991) berpendapat bahwa distribusi pada sebagian besar bivalvia dipengaruhi oleh fase kehidupannya. Ketika menjadi larva, larva ini akan mencari tempat yang tepat untuk berkembang menjadi kerang muda. Vegetasi Mangrove Segara Anakan merupakan lahan basah yang sebagian besar lahanya terdiri dari hutan mangrove. Secara keseluruhan pada hutan mangrove terdapat 26 spesies (Murtiono et al., 2012). Beberapa spesies mangrove yang terdapat di Segara Anakan adalah api-api (Avicennia marina dan Avicennia oficinalis), bogem (Sonneratia alba), bakau (Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata), tancang (Bruguirea sp.), nyuruh (Xylocarpus granatum dan Xylocarpus mulloccensis) dan nipah (Nypa fructicans). Selain spesies mangrove sejati yang telah disebutkan, terdapat beberapa tumbuhan yang berasosiasi dengan mangrove, diantaranya Acrostichum aereum, jerujon (Acanthus sp.) dan gandelan (Derris heterophylla) (Atmaja, 2010). Berdasarkan analisis data, mangrove kategori pohon hanya didominasi oleh Nypa fructicans. Gambar 4.4 menunjukan kodisi vegetasi mangrove kategori anakan di kawasan Segara Anakan. Terlihat bahwa nilai penting tertinggi yaitu spesies Rhizophora apiculata. Sedangkan pada kategori semai, semak dan herba (Gambar 4.5), nilai penting tertinggi yaitu Acanthus ebracteatus. Tingkat kedua didominasi oleh Acanthus ilicifolius. Nilai Penting setiap spesies vegetasi yang ditemukan dipengaruhi oleh nilai kerapatan. Tingginya nilai ini menunjukkan banyaknya vegetasi mangrove tersebut pada hutan mangrove Segara Anakan. Beragamnya nilai kerapatan ini disebabkan karena kondisi hutan mangrove yang memiliki variasi lingkungan yang tinggi. Menurut Loveless (1989), sebagian tumbuhan dapat berhasil tumbuh dalam kondisi lingkungan yang beraneka ragam sehingga tumbuhan tersebut cenderung tersebar luas. Menurut Odum (1971), vegetasi yang dominan mempunyai produktivitas yang besar. Keberadaan spesies dominan pada lokasi penelitian menjadi suatu indikator bahwa komunitas tersebut berada pada habitat yang sesuai dan mendukung pertumbuhannya. Data di atas menyebutkan bahwa mangrove kategori semai, semak dan herba didominasi oleh familia Acanthaceae. Kondisi ini mempengaruhi semai, semak dan herba spesies lain. Semai, semak dan herba spesies lain akan sulit berkembang karena kurang mendapat sinar matahari akibat tertutup oleh Acanthus. Hal ini sesuai dengan pernyataan Noor et al. (2006) bahwa Acanthus merupakan spesies yang tumbuh bergerombol, kuat dan memiliki kemampuan untuk menyebar secara vegetatif dan terdapat akar udara yang
29
tumbuh di permukaan bawah batang horizontal, sehingga akan menutupi semai, semak dan herba lain yang ukurannya di bawah Acanthus. Spesies yang mendominasi pada kategori anakan adalah Rhizophora apiculata. Menurut Tomlinson (1994), spesies ini termasuk dalam mangrove sejati yaitu mangrove yang hanya tumbuh di habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar napas / udara dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam (mengeluarkan garam untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan). Nypa fructicans sebagai spesies dominan pada kategori pohon memiliki struktur rumpun (bongkol/pangkal) yang sangat kuat untuk pertumbuhan dan perkembangan vegetasi selanjutnya. Ali et al. (2009) menyebutkan bahwa Nypa fruticans sebagai palma hidup menjalar di tanah, batang terendam lumpur dan hanya roset daunnya yang muncul di atas tanah sehingga menampakkan seolaholah tidak berbatang. Palma ini dapat tumbuh di dalam wilayah perairan yang berlumpur, agak tawar sepanjang masih dipengaruhi pasang-surut air laut. Kondisi tempat yang sesuai, tegakan Nypa fruticans membentuk jalur yang lebar yang tidak terputus di belakang lapisan hutan bakau, yang sejajar dengan garis pantai. Saat pengamatan banyak ditemukan pohon yang ditebang dan hanya terdapat Nypa fruticans sebagai spesies mangrove kategori pohon. Sesuai dengan pernyataan Tumisem dan Suwarno (2008) dalam forum geografi bahwa banyak mangrove kategori pohon terutama spesies Rhizophora sp. yang ditebang secara ilegal. Penebangan ini berlatar belakang penggunaan Rhizophora sp. sebagai kayu bakar banyak industri gula kelapa di wilayah cilacap. Spesies ini menjadi favorit karena mempunyai kepadatan yang cukup tinggi. Kayu dengan kepadatan yang tinggi akan menjadi lebih berat (rata-rata 0.9 m/s2), keras, mempunyai daya keawetan yang lama dan merupakan bahan bakar yang baik dengan panas yang ditimbulkan cukup tinggi serta nyala apinya cukup lama. Penyusutan mangrove akibat pengambilan kayu bakar oleh industri kecil gula kelapa di zona depan (zona Rhizophora apiculata dan Rhizophora mucronata), menyebabkan terjadinya perubahan zonasi vegetasi mangrove. Perubahan yang terjadi yaitu bahwa pada lokasi tidak terganggu zona terdepan didominasi oleh Rhizophora apiculata, sedang pada lokasi terganggu zona terdepan berubah menjadi didominasi oleh Nypa fruticans yang berasosiasi dengan Bruguiera gymnorrhiza. Lokasi mangrove yang mengalami kerusakan paling berat akibat pengambilan kayu bakar mangrove sebagai bahan bakar oleh industri kecil gula kelapa mengakibatkan sebagaian besar area mangrove menjadi kosong. Lokasi ini banyak terdapat pada mangrove Segara Anakan bagian tengah dan barat sesuai dengan data sekunder yang telah didapat. Berdasarkan dari data yang diperoleh (Ardli dan Wolff, 2008), menyatakan bahwa luas kawasan mangrove Segara Anakan pada tahun 1987 sebesar 15827.6 ha. Tahun 1995 luas mangrove menjadi 10974.6 ha. Tahun 2004 luas mangrove menurun kembali menjadi 9271.6 ha dan terus menerus mengalami penurunan hingga tahun 2006 mencapai 9237.8 ha. Bila dibandingkan dengan luas mangrove yang didapat dari analisis landsat 2012, luas mangrove Segara Anakan hanya mencapai 8036.9 ha. Dengan demikian kondisi mangrove Segara Anakan memang masih mengalami degradasi. Degradasi disini dapat diartikan penurunan luas
30
mangrove terus-menerus dan terjadi secara berkala. Ardli dan Wolff (2008) menyatakan bahwa mangrove di Segara Anakan telah banyak dikonversi menjadi persawahan, lahan pertanian, pertambakan, permukiman dan industri. Potensi sumberdaya alam ekosistem hutan mangrove rawan terhadap degradasi, terutama pertumbuhan dan perkembangan mangrove tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) degradasi berarti penurunan. Demikian pula keberadaan hutan mangrove yang berada di daerah Segara Anakan, Cilacap. Sesuai kondisi fisik di lapangan dan analisis pemetaan mangrove di kawasan ini mengalami degradasi. Fenomena ini, jelas mengindikasikan akan terjadinya kerusakan kualitas dan kuantitas potensi sumberdaya ekosistem pesisir yang berimplikasi pada hilangnya fungsi lindung lingkungan dari hutan mangrove tersebut. Kualitas Lingkungan Nilai pH pada tiap stasiun menunjukan kisaran antara 5.8 hingga 6.9. Dengan demikian nilai pH tiap stasiun tidak menunjukan perbedaan yang cukup signifikan. Senada dengan pernyataan Kresnasari (2010) bahwa site preferensi pH untuk P. erosa yaitu kisaran 6.1 hingga 6.9 dan cenderung fluktuatif. Barus (1996) menyatakan bahwa nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme laut antara 6.7 – 8.2. Perbedaan nilai pH masing-masing stasiun dimungkinkan adanya perbedaan aktivitas fungsi area tersebut. Fungsi aktivitas disini dapat berupa lahan bekas tambak ataupun area mangrove yang masih asli. Selain itu batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi oleh faktor seperti temperatur, oksigen terlarut, alkalinitas dan adanya anion dan kation serta spesies dan stadia organisme (Effendi, 2003). Temperatur permukaan air yang didapat pada masing-masing stasiun berkisar antara 27 hingga 33 oC. Sedangkan temperatur udara berkisar antara 25 hingga 34 oC. Data di atas sesuai dengan pernyataan Kastoro (1988) bahwa kisaran temperatur toleransi hidup bivalvia mencapai 20 hingga 35oC dengan fluktuasi kurang dari 5oC. Sesuai dengan pernyataan Saputra (2003), temperatur permukaan air di daerah Segara Anakan berkisar 26.6 – 32 °C. Temperatur menjadi faktor penting dari proses kehidupan dan penyebaran organisme. Temperatur memiliki pengaruh langsung pada aktivitas organisme seperti pertumbuhan, reproduksi dan metabolisme. Sedangkan pengaruh tidak langsung meliputi meningkatnya daya akumulasi berbagai zat kimia dan menurunkan kadar oksigen dalam air. Pengaruh lain dari temperatur, menyebabkan perubahan komposisi, kelimpahan dan keanekaragaman makrobenthos baik secara langsung maupun tidak langsung (Nyabakken, 1992). Kisaran nilai salinitas dari tiap stasiun antara 25 – 35‰. Nilai salinitas tertinggi terdapat pada stasiun B3 dan C1. Terendah pada stasiun A1. Kondisi ini diduga berhubungan dengan tingginya kadar garam terlarut di sekitar stasiun pengamatan. Senada dengan pernyataan Saputra (2003), salinitas di wilayah Segara Anakan berkisar antara 0 – 27‰. Spesies kerang P. erosa tergolong mampu hidup pada kisaran salinitas yang luas (Putri, 2005). Nyabakken (1992) juga menyebutkan bahwa sebagian besar bivalvia estuarin dapat hidup baik dengan kisaran salinitas 5 – 35‰. Perbedaan salinitas pada setiap stasiun penelitian berkaitan dengan temperatur pada setiap stasiun.
31
Hasil pengukuran intensitas cahaya pada masing-masing stasiun pengambilan sampel cukup fluktuatif. Stasiun C3 menunjukan nilai kelimpahan tergolong tinggi memiliki nilai intensitas cahaya yang relatif tinggi. Stasiun yang memiliki intensitas cahaya yang lebih tinggi menyebabkan salah satu organisme yaitu fitoplankton dapat berkembang pesat karena kondisi tersebut dapat memenuhi kebutuhan dalam aktivitas fotosintesisnya. Bila jumlah fitoplakton melimpah maka kondisi ini menguntungkan bagi P. erosa maupun organisme yang lainnya. Akan tetapi intensitas cahaya tidak berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan maupun kelimpahan P. erosa karena kerang ini termasuk organisme heterotrof. Cahaya mempengaruhi kondisi lingkungan tempat hidup (Kresnasari, 2010). Kandungan air dalam tanah yang telah dianalisis menggunakan metode gravimetri berkisar antara 36.96 hingga 67%. Kondisi ini menunjukan bahwa kandungan air pada substrat relatif besar. Seperti yang telah disampaikan oleh Kresnasari (2010) bahwa tanah mangrove mempunyai ciri-ciri selalu basah, mengandung garam, oksigen sedikit, kaya bahan organik dan selalu jenuh air sehingga hampir tidak memiliki rongga udara untuk menyerap oksigen. Air dalam substrat membantu P. erosa memperoleh makanan dengan menyaring zat yang tersuspensi pada badan air (Heddy dan Kurniati, 1994). Bila kandungan air dalam substrat tergolong kecil, maka P. erosa akan terkena udara terbuka terus menerus sehingga dapat memperkecil kesempatan memperoleh makanan dan mengalami kekeringan yang dapat menimbulkan kematian (Sitorus, 2008). Analisis bahan organik yang dilakukan dengan metode gravimetri (Suin, 2002). Nilai kandungan bahan organik terendah ada pada stasiun D3 sebesar 13.26%. Sedangkan nilai kandungan organik tertinggi pada stasiun D1 sebesar 21.41%. Siahaan (2006) mengklasifikasikan kriteria tinggi rendahnya kandungan organik substrat yaitu < 1% sangat rendah, 1 – 2% rendah, 2.01% – 3% sedang, 3.01 – 5% tinggi, > 5% sangat tinggi. Berdasarkan klasifikasi tersebut, seluruh stasiun tergolong memiliki kandungan organik yang sangat tinggi. Akan tetapi pada stasiun tertentu tidak ditemukan P. erosa walaupun kandungan organik tergolong tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor lain, antara lain kondisi substrat yang selama pengamatan terlihat keras dan kering. Nilai rata-rata prosentase secara keseluruhan dari pengukuran jenis dan tekstur tanah dengan menggunakan metode pipet (Sulaiman et al., 2005) yaitu 6.4% pasir, 34.26% debu dan 59.34% liat. Kelas jenis tanah pada keseluruhan stasiun didominasi oleh kelas liat. Kelompok stasiun D dengan kondisi mangrove kategori baik memiliki komposisi substrat yang tidak sesuai dengan site preferensi P. erosa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pribadi (2003) jenis substrat di kawasan mangrove Segara Anakan termasuk dalam kategori lumpur berpasir. Kisaran komposisi ideal lumpur berpasir yaitu liat 60%, debu 20% dan pasir 10% (Irfania, 2009). Selain itu menurut Dwiono (2003) P. erosa hidup pada substrat yang relatif halus (0.075 mm). Substrat dasar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pola penyebaran hewan makrobenthos. Hal ini disebabkan karena selain berperan sebagai tempat tinggal juga berfungsi sebagai penimbun unsur hara, tempat berkumpulnya bahan organik serta pengumpulan organisme dasar dari ancaman predator (Nyabakken, 1992). Sebaran karakteristik komponen lingkungan dari keseluruhan stasiun tergambar pada hasil analisis PCA (Gambar 4.7 ). Berdasarkan dua belas variabel
32
yang diamati, direduksi menjadi tiga faktor. Masing-masing faktor memberi kontribusi secara berurutan yaitu 37.7%, 26.2%, 11.5%. Ketiga faktor ini dapat menjelaskan 75.4% dari keseluruhan hubungan. Faktor lingkungan yang memiliki hubungan paling dekat dengan nilai kepadatan P. erosa adalah kandungan air dalam substrat, temperatur dan intensitas cahaya. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Nyabakken (1992), semakin tinggi tingkat penguapan (temperatur tinggi) di suatu wilayah maka salinitas semakin tinggi dan begitupun sebaliknya. Selain itu ekosistem mangrove pada umumnya memiliki temperatur yang cendenrung fluktuatif. Kandungan air pada substrat juga mempengaruhi kehidupan dari P. erosa karena kondisi substrat menjadi habitat langsung dari kerang ini. Dengan kandungan air yang cukup, kerang ini dapat menjalankan metabolismenya sebagai filter feeder dengan baik. Selain itu intensitas cahaya berpengaruh terhadap kehidupan dan kelangsungan mikroorganisme seperti plakton untuk berfotosintesis dan ini menguntungkan bagi P. erosa yang memanfaatkannya sebagai pakan. Kondisi ini juga dapat mempengaruhi persebaran dari P. erosa. Saat stadia larva, P. erosa mencari habitat yang cocok seperti kondisi substrat yang memiliki kandungan air yang cukup. Berkembang menjadi bivalvia muda lalu menetap hingga dewasa dan matang gonad (Manzi dan Castagna, 1989). Keterkaitan Ekosistem Mangrove dengan Populasi P. erosa Gambar 4.8 menunjukan hubungan antara kerapatan mangrove seluruh kategori terhadap kelimpahan P. erosa. Berdasarkan analisis regresi kubik, didapatkan nilai R kategori pohon sebesar 0.055. R untuk kategori anakan sebesar 0.146. R untuk kategori semai, semak dan herba adalah 0.094. Secara keseluruhan tergolong memiliki hubungan yang sangat lemah terhadap kepadatan P. erosa. Kerapatan mangrove tidak berpengaruh secara langsung terhadap tingkat kepadatan individu gastropoda dan bivalvia tetapi kerapatan mangrove diduga berpengaruh langsung terhadap kandungan bahan organik di daerah mangrove yang akan berpengaruh langsung terhadap kepadatan bivalvia (Tis’in, 2008). Tidak ditemukan P. erosa pada kelompok stasiun D dengan kategori mangrove baik. Sedangkan pada kelompok stasiun A, B dan C yang memiliki kondisi mangrove lebih buruk ditemukan adanya P. erosa. Sesuai dengan pernyataan Rumalutur (2004) bahwa kerapatan mangrove tidak berpengaruh signifikan terhadap kelimpahan bivalvia. Mangrove hanya sebagai stimulan kondisi lingkungan bukan sebagai pembentuk habitat. Menurut Tis’in (2008) bahwa kerapatan mangrove terkait erat dengan ketersediaan bahan organik yang terjadi pada lingkungan yang mendukung pertumbuhan dekomposer untuk melakukan dekomposisi bahan organik. Kondisi ini terjadi karena adanya berbagai faktor lain yang mempengaruhi kepadatan maupun distribusi dari P. erosa. Kondisi substrat, salinitas, pasang surut/arus dan persebaran larva juga mempengaruhi kondisi dari populasi P. erosa (Gosling, 2004) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Hasil analisis PCA menunjukan bahwa faktor lingkungan yang paling berpengaruh dengan kepadatan P. erosa adalah kandungan air dalam substrat, temperatur dan intensitas cahaya. Putri (2005) menyatakan spesies kerang familia Corbiculidae termasuk golongan yang mampu hidup pada kisaran salinitas yang luas. Akan tetapi kondisi salinitas di Segara Anakan cukup fluktuatif. Menurut
33
Nyabakken (1992) semakin tinggi tingkat penguapan air akibat dari variasi temperatur yang signifikan di suatu wilayah maka salinitasnya akan semakin tinggi begitu pula sebaliknya. Salinitas di wilayah Segara Anakan berkisar antara 0 – 27‰ (Saputra, 2003). Salinitas Segara Anakan bagian Timur cenderung lebih tinggi dibanding barat. Site preferensi P. erosa terdapat pada substrat yang cenderung memiliki kandungan air yang cukup. Ini mempermudah P. erosa dalam proses penyaringan makanan. Selain itu, intensitas cahaya berpengaruh pada kelimpahan mikroorganisme yang dimanfaatkan P. erosa sebagai sumber pakan. Hal inilah yang menyebabkan P. erosa tidak ditemukan pada mangrove Segara Anakan bagian timur. Adanya perbedaan salinitas pada setiap stasiun penelitian berkaitan dengan temperatur pada setiap stasiun. Pemanfaatan P. erosa Bagian tubuh P. erosa terdiri dari bagian cangkang dan daging. Fungsi cangkang yaitu untuk melindungi bagian tubuh dari kondisi lingkungan yang cukup ekstrim (Pechenik, 2005). Selain itu fungsi dari jaringan lunak/daging adalah untuk menjalankan fungsi fisiologis maupun anatomis. Kedua bagian tubuh ini dimanfaatkan untuk kebutuhan yang berbeda oleh masyarakat sekitar. Secara umum pemanfaatan bagian daging P. erosa oleh masyarakat digunakan sebagai bahan makanan. Kerang ini diolah dengan cara ditumis, digoreng maupun disate. P. erosa menjadi salah satu sumber protein andalan setelah ikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Supriyantini et al. (2007) bahwa kerang ini kaya akan asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh yang kaya akan ikatan rangkap yakni mempunyai ikatan rangkap 4 dalam struktur molekulnya, yang mempunyai peranan positif pada kesehatan manusia yaitu dapat menurunkan kadar kolesterol, membantu perkembangan syaraf pada bayi, menyembuhkan dan mencegah penyakit kardiovaskuler. Tingginya pemanfaatan P. erosa oleh masyarakat sekitar menyebabkan kerang ini menjadi salah satu biota yang dicari oleh para nelayan. Nelayan mencari kerang ini untuk menambah pendapatan mereka. Kondisi ini disebabkan karena semakin sempitnya laguna di Segara Anakan sehingga membuat pendapatan tangkapan ikan menjadi minim. Kebanyakan para nelayan mencari P. erosa di wilayah bagian barat mangrove Segara Anakan. Nelayan masih menggunakan cara tradisional dalam pencarian kerang yaitu dengan menggunakan tangan. Pencarian ini umumnya dilakukan dua kali dalam satu minggu saat masa surut. Pendapatan nelayan dari hasil pencarian P. erosa dapat dikatakan cukup tinggi. Harga jual daging P. erosa mencapai Rp. 15.000,- per kg dan penjualan dengan cangkang mencapai Rp. 4.000,- per ember (+ 12 kg/ember). Masyarakat juga memanfaatkan cangkang kerang. Cangkang kerang digunakan untuk mempertinggi lahan desa agar tidak terkena air pasang. Menurut masyarakat cangkang kerang digunakan untuk menimbun karena lebih ekonomis dibandingkan pasir. Pemanfaataan ini muncul ketika banyaknya cangkang yang terbengkalai bertumpuk didaerah tertentu. Ada beberapa masyarakat yang memanfaatkan sebagai hiasan dinding. Menurut Ali et al (2009), pemanfaatan P. erosa di daerah lain adalah untuk gantungan, hiasan dinding dan vas bunga. Selain itu cangkang dapat dibakar hingga menjadi kapur dan digunakan untuk cat rumah maupun meracik sirih.
5. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat ditarik simpulan dan saran sebagai berikut : 1. Ekosistem mangrove Segara Anakan mengalami degradasi yang diindikasikan dengan penurunan luas dan saat ini mencapai 8036.9 ha. 2. Populasi P.erosa memiliki nilai kepadatan sebesar 9.83 + 4.68 ind/m2, ukuran panjang dominan 4.6 – 5.8 cm, mengelompok dan melimpah pada bagian barat maupun tengah Segara Anakan dengan kondisi mangrove relatif rusak. 3. Populasi P.erosa tidak memiliki keterkaitan secara langsung dengan kondisi mangrove dan faktor lingkungan yang berpengaruh adalah kandungan air dalam substrat, temperatur dan intensitas cahaya. 4. Masyarakat memanfaatkan P.erosa sebagai sumber makanan, pendapatan dan menimbun lahan.
Saran Kondisi populasi P. erosa akan tetap baik di kawasan mangrove Segara Anakan, maka disarankan beberapa hal berikut: 1. Perlu adanya pengelolaan ekosistem mangrove yang melibatkan masyarakat. 2. Perlunya pengelolaan P. erosa agar masyarakat dapat melakukan pengembangan dengan cara budidaya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali S, Huda I, Wardianto Y, Haji AG. 2009. Kondisi Vegetasi dan Kerang Geloina erosa Pasca Tsunami dalam Kawasan Ekosistem Mangrove Pesisir Barat Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Kelautan dan Perikanan. 19(2): 82-89. Amin R. 2009. Potensi Kerang Kepah (Polymesoda erosa) Perairan Pemangkat Sambas Kalimantan Barat [Tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. hlm 183-246. Anwar C , Hendra G. 2007. Peran Ekologis dan Sosial Hutan Mangrove Dalam Mendukung Pembangunan Wilayah. Prosiding Seminar Ekspose Hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. http://www.dephut.go.id/files/chairil_hendra.pdf , diakses 30 April 2012. Anwari MS, Sunarto, Dulbahri, Suwarno, Hadi S. 2013. Struktur dan Komposisi Mangrove Berdasarkan Tingkat Kerusakan di Segara Anakan, Cilacap. Jurnal Waratropika (sedang dicetak). Ardli ER, Widyastuti A. 2001. Application of NDVI analysis from Landsat TM and SPOT images for monitoring and detection of mangrove damages at Segara Anakan Cilacap, Central Java. (in Bahasa Indonesia). DUE-like project Unsoed, Purwokerto Indonesia. Ardli ER, Wolff M. 2008. Land use and land cover change affecting habitat distribution in the Segara Anakan lagoon, Java, Indonesia. Regional Environmental Change. DOI:10.1007/ s10113-008-0072-6. Ardli ER, Yani E, Widyastuti A. 2010. Distribusi Spasial dan Dinamika Populasi Polymesoda erosa di Ekosistem Mangrove Segara Anakan Cilacap, Sebagai Acuan Restocking dan Konservasi. Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Atmaja SB. 2010. Dampak Krisis Habitat Terhadap Perikanan Tangkap Kasus Perairan Segara Anakan Cilacap. Laporan Akhir. Balai Riset Perikanan Laut. Bahtiar. 2005. Kajian Populasi Pokea di Sungai Pohara Kendari Sulawesi Tenggara [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pasca Sarjana IPB. hlm 5-14. Barnes RD, Rupert. 1991. Invertebrata Zoology. Sixt Edition, Sounder College, Publishing New York, hlm 601-607.
36
Barus TA. 1996. Metode Ekologi untuk Menilai Suatu Perairan Lotik.Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatra Utara. hlm 4-9. Begen DG. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.Institut Pertanian Bogor. hlm 86 . [BPKSA] Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan. 2003. Laporan pelaksanaan proyek konservasi dan pembangunan Segara Anakan. Lokakarya Status, Problem dan Potensi Sumberdaya Perairan dengan Acuan Segara Anakan dan DAS Serayu. Purwokerto. . 2007. Monitoring Kawasan Segara Anakan Cilacap. Pemerintah Kabupaten Cilacap. Cilacap. 58 hlm. Buana Katulistiwa. 2002. Beberapa Indikasi Terjadinya Degradasi Lingkungan Hidup dan Kegiatan Masyarakat sebagai Faktor Pendorongnya di Indonesia. Depok: Buana Katulistiwa - NGO for Spatial Information, Jawa Barat, Indonesia Campos, Cabrera PJ, Cruz-Soto RA, Palacios VJA. 1998. Reproductive cycle of Polymesoda radiata (Bivalvia: Corbiculidae) in Costa Rica. Biología Tripical: 643-648 . Dwiono SAP. 2003. Pengenalan Kerang Mangrove Geloina erosa dan Geloina expansa. Oceana 28: 31-38. Dombois M, Ellenberg H. 1974. Aims and Methodes of Vegetation Ecology. John Wiley. New York. hlm 547 . Dudley R. 2000. Segara Anakan Fisheries Management Plan. Interim Report, SACDP. Cilacap. Effendi H. 2003. Telaahan Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya Perairan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. hlm 234-259 . Fachrul MF. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta (ID): Bumi Aksara. hlm 198. Giesen W, Stephan W, Max Z, Liesbeth S. 2007. Mangrove Guidebook for Southeast Asia. FAO and Wetlands International. Dharmasarn Co., Ltd. Gosling E. 2003. Bivalve Mollusc: Biology, Ecology an Culture. Fishing News Books a division of Blackwell Publishing.hlm 443-455. Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan Pantai. Jurnal Litbang Pertanian 23 (1): 1-17.
37
Hari H. 1999. Beberapa Aspek Bioekologi Komunitas Bivalvia di Kawasan Hutan Mangrove Teluk Kalisusu, Kab. Muna, Sulawesi Tenggara [Tesis]. Bogor (ID) : Program Pascasarjana IPB. hlm 105. Hartati R, Widowati I, Ristiadi Y. 2005. Histologi Gonad Kerang Totok dari Laguna Segara Anakan, Cilacap. Jurnal Ilmu Kelautan 10 (3) : 119-125. Heddy S , Kurniati M. 1994. Prinsip-Prinsip Dasar Ekologi : Suatu Bahasan Tentang Kaidah Ekologi dan Penerapannya. Jakarta (ID) : PT. Rajagrafindo Persada. hlm 270-284. Heryanto, Marsetiowati R, Yulianda F. 2006. Metode Survei dan Pemantauan Populasi Satwa. Seri Kelima tentang Siput dan Kerang. Cibinong (ID) : Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi-LIPI. hlm 56. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta (ID) : Bumi Aksada. Irwanto. 2006. Peranan Hutan Mangrove. Yogyakarta. Kastawi Y. 2005. Zoologi Avertebrata. Malang (ID) : UNM. Kastoro W. 1988. Beberapa Aspek Biologi Kerang Hijau (Perena viridis L) dari Perairan Binaria. Ancol Teluk Jakarta. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. hlm 21-32. Khasanah F, Supriyantini E, Wulandari SY. 2010. Kandungan Nutrisi Kerang Totok pada Variasi Ukuran Cangkang di Pulau Gombol, Cilacap. Majalah Ilmu Kelautan. Khazali M. 1999. Panduan Teknis Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat. Bogor (ID) : Wetland International-Indonesia Programme. Kresnasari D. 2010. Analisis Bioekologi: Sebaran Ukuran Kerang Totok (Polymesoda erosa) Di Segara Anakan Cilacap [Tesis]. Semarang (ID) : Universitas Diponegoro. Kusmana C. 1994. Ekologi Mangrove. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Leimena HEP, Tati, Subadar SS, Adianto. 2005. Estimasi Daya Dukung Dan Pola Pertumbuhan Populasi Kerang Lola (Trocus niloticus) di Pulau Saparua Maluku Tenggah. Jurnal Matematika dan Sains. hlm 75-80. Listyaningsih DD, Ardli ER, Prabowo RE. 2011. Studi Bioekologi Polymesoda erosa di Ekosistem Mangrove Segara Anakan, Cilacap [Skripsi]. Purwokerto (ID): Fakultas Biologi UNSOED.
38
Loveless AR. 1989. Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropik 2. Jakarta (ID): PT Gramedia. Manzi JJ, Castagna M. 1989. Hatchery Production of Nursery Stock Clams.In Clam Mariculture in North America.Elsevier. New York. hlm 285-296. Maulana MB, Widowati I , Suprijanto J. 2010. Studi Digestif Diverticula Kerang Totok Berdasarkan Perbedaan Kondisi Perendaman di Lokasi Mangrove Replant Teluk Awur. Jepara (ID): Majalah Ilmu Kelautan. Medrizam, Pratiwi S, Wardiyono. 2004. Wilayah Kritis Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Jakarta (ID): Direktorat Pengendalian Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Morton B. 1984. A Review of Polymesoda erosa (Geloina) Gray 1842 (Bivalvia: Corbiculidae) from Indo-Pasific Mangrove. Journal Asian Marine Biology 1: 77-86. Mueller-Dombois D, Ellenberg H. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. John Wiley, London. Murtiono UH, Gunardjo T, Uchu WHP. 2012. Kajian Peran Dominansi Jenis Mangrove Dalam Penjeratan Sedimen Terlarut di Segara Anakan Cilacap. Penelitian dan Pengembangan Kehutanan BPTKPDAS. Surakarta. Nabuko C, Achmadi A. 2005. Metodologi Penelitian. Jakarta (ID) : Bumi Aksara Natan Y. 2008. Studi Ekologi dan Reproduksi Kerang Lumpur pada Ekosistem Mangrove Teluk Ambon Bagian Dalam [Disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pasca Sarjana. hlm 163. Noor YR, Khazali M, Suryadiputra NN. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor (ID): Wetlands International Indonesia Programe. Nordhaus I, Hadipudjana FA, Janssen R, Pamungkas J. 2009. Spatio-temporal variation of macrobenthic communities in the mangrove-fringed Segara Anakan lagoon, Indonesia, affected by anthropogenic activities. Environmental Change. (9): 291 – 313 DOI 10.1007/s10113-009-0097-5. Nyabakken JW. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. Jakarta (ID) : PT. Gramedia Jakarta. hlm 421-459. Odum EP. 1976. Dasar-dasar Ekologi.Edisi ke-III. Diterjemahkan oleh Tjahjono S. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. hlm 241-250.
39
Onrizal. 2008. Teknik Survey dan Analisa Data Sumberdaya Mangrove. Pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan untuk Petugas atau Penyuluh Kehutanan di Tanjung Pinang. Seminar 14-18 Maret 2008. hlm10. Panggabean LMG. 2007. Karakteristik Pertumbuhan Kima Pasir yang dibesarkan di Pulau Pari. Oseanografi dan Limnologi. 33: 469-480. Paryono TJ, Kusumastanto T, Dahuri R, Bengen DG. 1999. Kajian Ekonomi Pengelolaan Tambak di Kawasan Mangrove Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Pesisir & Lautan 2 (3): 8-16. Pechenik JA. 2005. Biology of the Invertebrates. Boston: Mc Hill Higner Education. Poutiers JM. 1988. Bivalves, In : Carpenter, K.E. and Niem, V.H. 1988. The Living Marine Resources of The Western Central Pacific. Seaweed, Corals, Bivalves and Gastropods . FAO The UN Roma (1) : 123 – 358. Pramudji. 2007. Mangrove in the Coastal Zone Lampung Bay Province of Lampung : A Preliminary Study. Marine Resources Indonesia Journal. 32 (2) :179-184. Pribadi R. 2003. The ecology of mangrove vegetation and common asiatic clam (Polymesoda erosa) in Segara Anakan. Pusat Kajian Pesisir dan Laut Tropis. Lembaga Penelitian Semarang p. 38. Putri RE. 2005. Analisis Populasi dan Habitat : Sebaran Ukuran dan Kematangan Gonad Kerang Lokan Batissa violacea L. (1818) di Muara Sungai Batang Anai Padang Sumatra Barat [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. hlm 124-154. Ramesh R, Ravichandran R , Rameshkumar G. 2009. Analysis of Age and Growth Rate of Turbo Brunneus. World Journal of Dairy and Food Sciences. 4(1): 54-56. Ridwan, Sunarto. 2009. Pengantar Statistika untuk Penelitian, Pendidikan, Sosial, Ekonomi, Komunikasi dan Bisnis. Bandung (ID): Alfabeta. Romimohtarto K, Juwana S. 2009. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut. Jakarta (ID): Djambatan. Rumaluntur FL. 2004. Komposisi Jenis Gastropoda pada Komunitas Hutan Mangrove di Pulau Tameni dan Pulau Raja, Desa Gita, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
40
Saputra SW. 2003. Kondisi Perairan Segara Anakan Ditinjau dari Indikator Biotik. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. hlm 9-15. Setyawan AD, Kusumo W, Indrowuryatno, Wiryanto AS. 2008. Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah: Diagram Profil Vegetasi. Biodiversitas Jurnal (4): 315-321. Siahaan A. 2006. Keanekaragaman dan Distribusi Ikan di Kawasan Muara Percut Kecamatan Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang [Skripsi]. Medan (ID): USU. Siregar S. 2011. Statistika Deskriptif untuk Penelitian. Jakarta (ID): Rajawali Pers. Sitorus, Dermawan BR. 2008. Keanekaragaman Dan Distribusi Bivalvia Serta Kaitannya Dengan Faktor Fisik-Kimia Di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang [Tesis]. Medan (ID): Universitas Sumatra Utara. hlm 26-47. Slamet Y . 2006 . Metode Penelitian Sosial . Surakarta (ID): LPP UNS dan UNS Press. Spellerberg FI. 1998. Global Ecology and Biogeography Letters. Blackwell publishing. hlm 317-333. Sukmarani D, Ardli ER, Yani E. 2009. Kajian Zonasi Vegetasi Mangrove di Area Tanah Timbul Segara Anakan Cilacap. Seminar Nasional Peran Biosistematika dalam Pengelolaan Sumberdaya Hayati Indonesia. Sulaiman, Dedi N, Suprihatin. 2005. Sifat-sifat Kimia dan Mineralogi Tanah. Bogor (ID) : Balai Penelitian Tanah. hlm 40-46. Supriyantini J, Widowati I, Ambariyanto. 2006. Studi Kandungan Asam Lemak Omega 3 pada Kerang Totok yang Mendapat Perlakuan Pakan Alami Tetraselmis chuii dan Skelotonema costatum. Jurnal Ilmu Kelautan. 12 (2): 97-103. Susilo ES , Chrisna AS. 2005. Struktur Populasi dan Distribusi Kerang Totok Geloina sp. (Bivalvia: Corbiculae) di Segara Anakan Cilacap Ditinjau dari Aspek Degradasi Salinitas. Laporan Kegiatan. FPIK Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro. Semarang. hlm 19-22. Tis’in M. 2008. Tipologi Mangrove dan Keterkaitannya Dengan Populasi Gastropoda Littorina neritoides (LINNE,1758) di Kepulauan Tankeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
41
Tomlinson PB. 1994. The Botany of Mangrove. Cambridge University Press. Cambridge. hlm 412. Tumisem, Suwarno. 2008. Degradasi Hutan Bakau Akibat Pengambilan Kayu Bakar oleh Industri Kecil Gula Kelapa di Cilacap. Forum Geografi. 22 (2) : 159-168. Usman H, Purnomo SA. 2008. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta (ID): Penerbit Bumi Aksara. hlm 363. Utomo NPW, Irwani, Suryono CA. 2012. Kelimpahan Kelas Ukuran Panjang Kerang Batik di Daerah Pesisir Genuk, Kota Semarang. Journal of Marine Research. 1(1): 95-102. Wibisono ITC, Suryadiputra. 2006. Hasil Studi Pembelajaran dari restorasi mangrove pesisir Aceh dan Nias Pasca Tsunami. Bogor (ID): Wetlands International. Widowati I, Suprijanto J, Hartati R, Dwiono SAP. 2005. Hubungan Dimensi Cangkang dengan Berat Kerang Totok Polymesoda erosa (Bivalvia: Corbiculidae) dari Segara Anakan Cilacap, Prosiding Seminar Nasional Biologi dan Akuakultur Berkelanjutan, Fakultas Biologi Program Sarjana Perikanan dan Kelautan Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto. 4850 hlm. Yamin S, Kurniawan. 2009. SPSS Complete. Teknik Analisis Statistik Terlengkap Jilid I. Jakarta (ID) : PT. Salemba Infotek. hlm 328. Yuwono E. 2001. Fisiologi Hewan I. Purwokerto (ID): Universitas Jenderal Soedirman. hlm 189. Yuwono E, Jennerjahn TC, Nordhaus I, Ardli ER, Sastranegara MH, Pribadi R. 2007. Ecological status of Segara Anakan, Java, Indonesia, a mangrovefringed lagoon affected by human activities. Asian Journal of Water, Environment and Pollution 4 (1): 61-70. Zamroni Y , Rohyani IS. 2008. Produksi Serasah Hutan Mangrove di Perairan Pantai Teluk Sepi, Lombok Barat. Biodiversitas. hlm 284-287.
Lampiran 1. Analisis jenis dan tekstur tanah menurut Sulaiman et al.(2005) dengan metode pipet di laboraturium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian. a) Alat dan bahan: Alat yang dipakai yaitu gelas piala 800 ml, penyaring berkefeld, ayakan 50 mikron, gelas ukur 500 ml, pipet 20 ml, pinggan aluminium, dispenser 50 ml, gelas ukur 200 ml, stop watch, oven berkipas, pemanas listrik, dan neraca analitik ketelitian empat desimal. Bahan yang dipakai yaitu H2O2 30%, H2O2 10% (H2O2 30% diencerkan tiga kali dengan air bebas ion), HCl 2N (mengencerkan 170 ml HCl 37% teknis dengan air bebas ion dan diimpitkan hingga 1 l), larutan Na4P2O7 4% (melarutkan 40 g Na4P2O7.10 H2O dengan air bebas ion dan diimpitkan hingga 1 l). b) Cara kerja Contoh tanah <2mm ditimbang 10,00 g, dimasukkan ke dalam gelas piala 800 ml, ditambah 50 ml H2O2 10% kemudian dibiarkan semalam. Keesokan harinya ditambahkan 25 ml H2O2 30% dipanaskan sampai tidak berbusa, selanjutnya ditambahkan 180 ml air bebas ion dan 20 ml HCl 2N. Dididihkan diatas pemanas listrik selama lebih kurang 10 menit. Diangkat dan setelah agak dingin diencerkan dengan air bebas ion menjadi 700 ml. Dicuci dengan air bebas ion menggunakan penyaring Berkefeld atau dienap-tuangkan samapai bebas asam, kemudian ditambah 10 ml larutan peptisator Na4P2O7 4%. Pemisahan pasir Suspensi tanah yang telah diberi peptisator diayak dengan ayakan 50 mikron sambil dicuci dengan air bebas ion. Filtrat ditampung dalam silinder 500 ml untuk pemisahan debu dan liat. Butiran yang tertahan ayakan dipindahkan ke dalam pinggan aluminium yang telah diketahui bobotnya dengan air bebas ion menggunakan botol semprot. Dikeringkan (hingga bebas air) dalam oven pada temperatur 105 oC, didinginkan dalam eksikator dan ditimbang (berat pasir = A g). Pemisahan debu dan liat Filtrat dalam silider diencerkan menjadi 500 ml, diaduk selama 1 menit dan segera dipipet sebanyak 20ml ke dalam pinggan aluminium. Filtrat dikeringkan pada temperatur 105 oC (biasanya 1 malam), didinginkan dalam eksikator dan ditimbang (berat debu + liat + peptisator = B g). Untuk pemisahan liat diaduk lagi selama 1 menit lalu dibiarkan selama 3 jam 30 menit pada temperatur kamar. Suspensi liat dipipet sebanyak 20 ml pada kedalaman 5.2 cm dari permukaan cairan dan dimasukkan ke dalam pinggan aluminium. Suspensi liat dikeringkan dalam oven pada temperatur 105 oC, didinginkan dalam eksikator dan ditimbang (berat liat + peptisator = C g). Bobot peptisator pada pemipetan 20 ml berdasarkan penghitungan adalah 0.0095 g. Bobot ini dapat pula ditentukan dengan menggunakan blanko. Perhitungan Fraksi pasir =Ag Fraksi debu = 25 (B – C) g Fraksi liat = 25 (C – 0.0095) g Jumlah fraksi = A + 25 (B – 0.0095) g
43
Pasir (%) Debu
=
Liat = Keterangan A B C 25 100
=
x 100 % x 100 % x 100 %
= berat pasir = berat debu + liat + peptisator = berta liat + peptisator = faktor konfersi dari 20 ml ke 500 ml = faktor konversi ke %
44
Lampiran 2. Titik koordinat stasiun pengambilan sampel Stasiun A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 D1 D2 D3
UTM X Y 261933 9151698 264554 9150703 264931.3 9148924 265080.7 9149575 266215.6 9148914 267796.1 9147484 268476.7 9147477 269936.2 9147262 271187.9 9147658 275930.8 9146825 275011.8 9148758 274279.7 9151222
Lampiran 3. Sebaran P. erosa berdasarkan kelas ukuran panjang pada tiap stasiun pengambilan sampel No 1 2 3 4 5
Panjang A1 A2 (cm) 2-3.2 0 0 3.3-4.5 0 0 4.6-5.8 0 13 5.9-7.1 0 10 7.2-8.4 0 0
A3
B1
0 2 7 11 3
5 17 17 3 0
B2 B3 C1 C2 C3 D1 D2 D3 Jumlah 0 2 0 0 11 0 0 0 1 18 0 0 14 0 0 0 10 16 1 0 16 0 0 0 9 1 1 0 4 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0
45
Lampiran 4. Kadar air dalam tanah pada tiap plot pengambilan sampel
Stasiun AI.1 AI.2 AI.3 A2.1 A2.2 A2.3 A3.1 A3.2 A3.3 BI.1 BI.2 BI.3 B2.1 B2.2 B2.3 B3.1 B3.2 B3.3 CI.1 CI.2 CI.3 C2.1 C2.2 C2.3 C3.1 C3.2 C3.3 DI.1 DI.2 DI.3 D2.1 D2.2 D2.3 D3.1 D3.2 D3.3
Berat awal Bo (gr) 35.57 35.13 37.35 34.8 50.57 48.31 28.48 41.74 44.18 53.77 38.82 39.65 53.88 58.1 50.26 48.75 60.93 46.7 33.99 53.5 30.21 25.68 42.87 37.12 42.78 53.14 60.88 34.75 39.88 38.46 31.1 58.75 20.99 39.12 51.97 21.59
Kadar air (%) Berat akhir Ba (gr) 19.44 20.95 22.1 21.7 32.74 29.96 13.47 15.64 21.65 23.61 20.14 21.21 25.74 20.35 20.54 23.34 23.32 20.32 16.31 23.89 12.05 17.25 24.59 21.7 23.26 23.94 25.61 14.87 11.41 10.61 17.94 33.34 12.31 20.16 24.87 12.05
WC = (Bo - Ba)/Bo*100% 45.35 40.36 40.83 37.64 35.26 37.98 52.70 62.53 51.00 56.09 48.12 46.51 52.23 64.97 59.13 52.12 61.73 56.49 52.02 55.35 60.11 32.83 42.64 41.54 45.63 54.95 57.93 57.21 71.39 72.41 42.32 43.25 41.35 48.47 52.15 44.19
46
Lampiran 5. Kadar bahan organik dalam tanah pada tiap plot pengambilan sampel
Stasiun AI.1 AI.2 AI.3 A2.1 A2.2 A2.3 A3.1 A3.2 A3.3 BI.1 BI.2 BI.3 B2.1 B2.2 B2.3 B3.1 B3.2 B3.3 CI.1 CI.2 CI.3 C2.1 C2.2 C2.3 C3.1 C3.2 C3.3 DI.1 DI.2 DI.3 D2.1 D2.2 D2.3 D3.1 D3.2 D3.3
Berat awal Bo (gr) 16.85 18.39 19.48 19.05 30.09 27.38 10.81 12.95 19.04 20.91 17.49 18.58 22.66 17.23 17.45 20.27 20.19 17.29 13.25 20.89 8.97 14.22 21.48 18.2 20.17 20.98 22.5 11.78 8.34 7.54 14.84 30.14 9.22 17.11 21.8 8.99
Berat akhir Ba (gr) 14.08 16.77 15.61 15.47 25.57 23.48 8.86 10.44 15.88 17.34 14.77 16.19 19.23 14.57 15.12 17.38 16.81 14.92 11.18 17.51 7.4 12.24 18.38 16.04 17.57 18.08 18.8 10.34 6.37 5.4 12.11 26.05 8.19 14.78 18.47 8.01
Kadar air (%) OC = (Bo - Ba)/Bo*100% 16.44 8.81 19.87 18.79 15.02 14.24 18.04 19.38 16.60 17.07 15.55 12.86 15.14 15.44 13.35 14.26 16.74 13.71 15.62 16.18 17.50 13.92 14.43 11.87 12.89 13.82 16.44 12.22 23.62 28.38 18.40 13.57 11.17 13.62 15.28 10.90
47
Lampiran 6. Analisis vegetasi mangrove tiap stasiun a. Kategori Pohon Spesies
K(ind/ha)
Kr (%)
Fr (%)
Np (%)
0.07 0.03 0.11 0.12 0.12 0.19 0.16 0.02 0.81
8 3 13 15 15 23 20 2 100
1 1 2 2 2 4 3 0 16
19 9 29 31 31 39 36 7 200
Nypa fruticans
Jumlah b. Kategori Anakan K SPESIES (ind/ha) A1 Avicennia marina Aegiceras corniculatum Avicennia alba Rhizophora apiculata Sonneratia alba Rhizophora mucronata Sonneratia caseolaris JUMLAH A2 Sonneratia caseolaris Sonneratia alba Avicennia alba JUMLAH A3 Xylocarpus granatum
KR (%)
F
FR (%)
BA
D
DR (%)
NP (%)
0.08
14
0.67
18
223.65
2.98
30
63
0.09
17
1.00
27
135.75
1.81
18
62
0.04
7
0.33
9
78.03
1.04
11
27
0.01
2
0.33
9
5.10
0.07
1
12
0.17
31
0.67
18
126.43
1.69
17
66
0.03
5
0.33
9
11.46
0.15
2
15
0.13 0.56
24 100
0.33 4.33
9 100
153.98 734.39
2.05 9.79
21 100
54 300
0.15
48
0.33
25
77.95
1.04
62
134
0.12
39
0.67
50
34.16
0.46
27
116
0.04 0.31
13 100
0.33 1.33
25 100
14.41 126.51
0.19 1.69
11 100
49 300
0.27
87
1.00
75
44.51
0.59
71
233
48
Avicennia marina JUMLAH B1 Rhizophora apiculata Aegiceras corniculatum Rhizophora mucronata Xylocarpus granatum JUMLAH B2 Aegiceras corniculatum Avicannia marina Sonneratia alba Avicennia alba Rhizophora apiculata Rhizphora mucronata JUMLAH B3 Rhizophora apiculata Avicannia alba Sonneratia alba Aegiceras corniculatum JUMLAH C1 Aegiceras floridum Brugiera gymnorrhiza Xylocarpus granatum JUMLAH
0.04 0.41
13 100
0.33 1.67
25 100
18.31 62.82
0.24 0.84
29 100
67 300
0.51
75
0.27
38
0.80
0.36
36
149
0.12
14
0.67
25
31.13
0.42
19
57
0.05
6
0.67
25
15.21
0.20
9
40
0.04 1.29
5 100
0.33 3.67
13 100
60.51 107.65
0.81 2.23
36 100
53 300
0.20
27
0.67
17
39.73
0.53
13
57
0.08
11
1.00
25
20.78
0.28
7
42
0.23
31
1.00
25
175.72
2.34
56
111
0.20
27
0.67
17
68.07
0.91
22
65
0.01
2
0.33
8
3.90
0.05
1
11
0.01 1.23
2 100
0.33 5.00
8 100
7.96 0.00
0.11 4.22
3 100
13 300
0.65
62
1.00
43
116.72
1.56
52
157
0.03
3
0.33
14
5.89
0.08
3
19
0.01
1
0.33
14
35.11
0.47
16
31
0.36 1.05
34 100
0.67 2.33
29 100
66.24 223.96
0.88 2.99
30 100
92 300
0.03
13
0.33
25
8.44
0.11
15
53
0.01
7
0.33
25
5.10
0.07
9
40
0.16 0.68
80 100
0.67 2.33
50 100
44.51 58.04
0.59 0.77
77 100
207 300
49
C2 Xylocarpus granatum Xylocarpus molluccensis Avicennia marina Ceriops tagal JUMLAH C3 Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Aegiceras corniculatum Bruguiera gymnorrhiza Ceriops decandra JUMLAH D1 Rhizophora mucronata Rhizophora apiculata Aegiceras corniculatum Sonneratia alba Avicennia alba Avicennia marina JUMLAH D2 Bruguiera gymnorrhiza Ceriops decandra Xylocarpus granatum Rhizophora apiculata Ceriops tagal Aegiceras
0.04
13
0.67
29
34.24
0.46
21
62
0.23
71
1.00
43
91.48
1.22
56
169
0.04 0.01 1.08
13 4 100
0.33 0.33 3.33
14 14 100
21.18 17.91 164.81
0.28 0.24 2.20
13 11 100
40 29 300
0.03
3
0.33
10
59.32
0.79
13
26
0.15
16
0.33
10
112.02
1.49
24
50
0.08
9
0.67
20
37.82
0.50
8
37
0.52
57
1.00
30
195.38
2.61
42
130
0.13 1.56
15 100
1.00 4.33
30 100
0.78 405.32
0.13 6.18
13 100
57 300
0.13
10
0.33
9
7.96
0.11
4
23
0.95
72
1.00
27
96.89
1.29
44
144
0.15
11
1.00
27
8.76
0.12
4
42
0.01
1
0.33
9
6.45
0.09
3
13
0.03
2
0.33
9
9.00
0.12
4
15
0.05 1.32
4 100
0.67 3.67
18 100
88.69 217.75
1.18 2.90
41 100
63 300
0.15
8
1.00
27
32.01
0.43
20
55
1.43
78
1.00
27
47.37
0.63
29
135
0.01
1
0.33
9
5.10
0.07
3
13
0.07 0.03 0.07
4 1 4
0.33 0.33 0.33
9 9 9
25.08 5.10 22.05
0.33 0.07 0.29
16 3 14
28 14 26
50
corniculatum Xylocarpus molluccensis JUMLAH D3 Rhizophora apiculata Aegiceras corniculatum Bruguiera gymnorrhiza Xylocarpus mollucensis Ceriops tagal Rhizophora mucronata JUMLAH
0.08 1.89
4 100
0.33 4.00
9 100
24.52 161.23
0.33 2.15
15 100
29 300
0.97
70
1.00
25
28.26
0.38
20.00
114
0.21
15
0.67
17
0.27
14.00
46
0.09
7
1.00
25
4.86
0.06
3.00
35
0.03 0.01
2 1
0.33 0.33
8 8
72.77 2.87
0.97 0.04
50.00 2.00
61 11
0.08 1.40
6 100
0.67 4.00
17 100
14.73 144.11
0.20 1.92
10.00 100
33 300
20.62
c. Kategori Semai, semak dan herba Stasiun A1 Spesies Acanthus ilicifolius Avicennia marina Acanthus ebracteatus Nypa fruticans
Kr (%)
Fr (%)
Np (%)
∑
K
17 6
5.67 2.00
52 18
0.33 0.33
25 25
77 43
8 2
2.67 0.67
24 6
0.33 0.33
25 25
49 31
∑
K
40
13.33
63
1.00
60
123
24
8.00
38
0.67
40
78
∑
K
22
7.33
33
0.33
25
58
44
14.67
67
1.00
75
142
F
Stasiun A2 Spesies Acanthus ebracteatus Acanthus ilicifolius
Kr (%)
F
Fr (%)
Np (%)
Stasiun A3 Spesies Acanthus ilicifolius Acanthus ebracteatus
K (%)
F
Fr (%)
Np (%)
51
Stasiun B1 Kr (%)
Fr (%)
Np (%)
∑
K
19 13
6.33 4.33
∑
K
Kr (%)
F
14 2 2
4.67 0.67 0.67
78% 11% 11%
0.67 0.33 0.33
∑
K
Kr (%)
F
18 13
6.00 4.33
50 36
1.00 0.67
43 29
93 65
2
0.67
6
0.33
14
20
3
1.00
8
0.33
14
23
∑
K
Kr (%)
F
Fr (%)
Np (%)
36
12.00
100%
0.67
100
200
Spesies
∑
K
Acanthus ilicifolius Acanthus ebracteatus
2
Np (%) 36
16
164
Spesies Acantus ebracteatus Nypa fruticans
F
59 41
0.67 0.33
67 33
126 74
Fr (%)
Np (%)
Stasiun B2 Spesies Acanthus ebracteatus Sonneratia alba Nypa fruticans
50 25 25
128 36 36
Fr (%)
Np (%)
Stasiun B3 Spesies Acanthus ebracteatus Acanthus ilicifolius Rhizophora apiculata Aegiceras corniculatum Stasiun C1 Spesies Acanthus ebracteatus Stasiun C2
0.67
Kr (%) 11
0.33
Fr (%) 25
5.33
89
1.00
75
F
Stasiun C3 Spesies Acanthus ebracteatus
∑
K
Kr (%)
F
Fr (%)
Np (%)
31
10.33
100
0.67
100
200
52
Stasiun D1 Spesies Aegiceras corniculatum Rhizophora apiculata Avicennia alba
Kr (%)
Fr (%)
Np (%)
∑
K
9
3.00
38
0.33
20
58
9 6
3.00 2.00
38 25
1.00 0.33
60 20
98 45
F
Stasiun D2 Spesies Ceriops decandra Rhizophora apiculata Nypa fruticans Acanthus ilicifolius Rhizophora mucronata
Kr (%)
Fr (%)
Np (%)
∑
K
4
1.33
24
0.33
17
40
2
0.67
12
0.33
17
28
5
1.67
29
0.67
33
63
3
1.00
18
0.33
17
34
3
1.00
18
0.33
17
34
∑
K
Kr (%)
F
Fr (%)
1
0.33
6
0.33
20
26
14
4.67
88
1.00
60
148
1
0.33
6
0.33
20
26
F
Stasiun D3 Spesies Aegiceras corniculatum Rhizophora apiculata Bruguiera gymnorrhiza
Keterangan : K = Kerapatan Kr = Kerapatan relatif (%) F = Frekuensi Fr = Frekuensi relatif (%) D = Dominansi Dr = Dominansi relatif (%) Np = Nilai Penting (%)
Np (%)
53
Lampiran 7. Kualitas lingkungan pada wilayah pengamatan
Stasiun A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 D1 D2 D3
pH (ppt) 6.9 6.2 5.8 6.8 6.9 5.9 5.5 6.5 5.8 5.8 6.9 6.2
T air (oC) 27 32 31 31 30 33 30 31 31 31 29 29
T udara (oC)
Salinitas* (ppm)
25 34 34 32 27 32 28 32 30 30 30 28
25.0 12.4 12.4 12.4 15.7 15.7 15.7 15.7 15.7 25.5 25.5 25.5
Cahaya dibawah kanopi (lux) 17 610 520 69 679 614 72 26 51 51 164 29
Substrat Stasiun
Air** (%)
Organik (%)
Pasir (%)
Debu (%)
Liat (%)
A1
63.81
15.04
1.72
42.96
55.32
A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 D1 D2 D3
63.81 63.81 63.07 63.07 63.07 63.07 63.07 63.07 38.04 38.04 38.04
1.3 5.34 6.57 0.75 1.35 6.96 0.6 14.67 24.99 7.94 4.63
38.63 31.37 33.16 31.37 33.41 30.71 32.48 32.08 34.44 38.58 31.94
60.07 63.29 60.28 67.88 65.24 62.33 66.92 53.25 40.57 53.47 63.43
* **
16.02 18.01 15.16 14.64 14.90 16.44 13.41 14.39 21.41 14.38 13.26
: Data sekunder Yuwono et al. (2007) : Data sekunder Nordhaus et al. (2009)
Kelas Liat berdebu Liat Liat Liat Liat Liat Liat Liat Liat Liat Liat Liat
Cahaya diatas kanopi (lux) 117 625 600 603 850 764 603 561 759 759 874 158
54
Lampiran 8. Analisis PCA Principal Component Analysis Eigenanalysis of the Correlation Matrix Eigenvalue Proportion Cumulative
3.3182 0.332 0.332
2.7595 0.276 0.608
Eigenvalue Proportion Cumulative
0.0318 0.003 1.000
0.0000 0.000 1.000
Variable kelimpahan pH suhu salinitas lux air organik pasir debu liat
PC1 -0.014 -0.348 0.139 0.168 -0.139 0.381 0.458 0.517 -0.125 -0.418
PC2 0.231 -0.264 0.399 -0.375 0.389 0.314 0.022 -0.134 -0.439 0.341
1.1106 0.111 0.719
1.0630 0.106 0.825
0.9541 0.095 0.921
0.3958 0.040 0.960
0.2165 0.022 0.982
0.1506 0.015 0.997
55
Lampiran 9. Analisis regresi kerapatan mangrove dan kepadatan P. erosa CUBIC Model Summary R
R Square
.235
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
.055
-.034
7.199
The independent variable is kerapatan_pohon. Coefficients Unstandardized Coefficients
Standardized
t
Sig.
Coefficients B kerapatan_pohon
Std. Error
Beta
6.864
84.463
.084
.081
.936
kerapatan_pohon ** 2
306.377
835.668
.881
.367
.716
kerapatan_pohon ** 3
-1403.501
2148.848
-1.008
-.653
.518
4.603
1.845
2.494
.018
(Constant)
Model Summary R
R Square
.382
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
.146
.066
6.844
The independent variable is kerapatan_anakan. Coefficients Unstandardized Coefficients
Standardized
t
Sig.
Coefficients B kerapatan_anakan
Std. Error
Beta
28.628
16.779
2.320
1.706
.098
kerapatan_anakan ** 2
-21.130
16.089
-4.048
-1.313
.198
kerapatan_anakan ** 3
4.121
4.282
1.821
.962
.343
-3.435
4.706
-.730
.471
(Constant)
56
Model Summary R
R Square
.306
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
.094
.009
7.050
The independent variable is kerapatan_semai_semak_herba. Coefficients Unstandardized Coefficients
Standardized
t
Sig.
Coefficients B kerapatan_semai_semak_h erba kerapatan_semai_semak_h erba ** 2 kerapatan_semai_semak_h erba ** 3 (Constant)
Std. Error -1.386
1.032
-1.759
-1.343
.189
.120
.087
4.678
1.381
.177
-.003
.002
-2.809
-1.248
.221
7.986
3.441
2.321
.027
Correlations kelimpahan kelimpahan
Beta
Pearson Correlation 1 Sig. (2-tailed) N 36 pohon Pearson Correlation .040 Sig. (2-tailed) .817 N 36 anakan Pearson Correlation .044 Sig. (2-tailed) .799 N 36 seedling Pearson Correlation .174 Sig. (2-tailed) .309 N 36 *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
pohon .040 .817 36 1 36 * -.346 .039 36 .013 .940 36
anakan .044 .799 36 * -.346 .039 36 1 36 * -.348 .038 36
seedling .174 .309 36 .013 .940 36 * -.348 .038 36 1 36
57
Lampiran 10. Kuisioner sosial masyarakat Pewawancara : Tanggal wawancara : KUISIONER RISET SOSIAL SEGARA ANAKAN 1. Informasi Umum 1.1.Profil Rumah Tangga a. Kecamatan
:
b. Desa
:
c. Status Kependudukan
:
d. Jumlah Anggota Keluarga
:
Asli/Pendatang
1.2.Struktur Keluarga a. Nama
:
b. Sex
:
c. Umur
:
d. Pendidikan
:
e. Pekerjaan Utama
:
f. Pekerjaan sampingan
:
g. Pendapatan (kalkulasi per bulan)
:
Laki-laki/Perempuan
2. Potensi Kerang Totok a. Jumlah nelayan pencari kerang
: a.< 5
b. Banyaknya kerang yang didapat (per trip)
:
c. Harga daging kerang (tanpa cangkang)
:
d. Harga kerang (dengan cangkang)
:
e. Frekuensi pengambilan (trip per minggu)
:
f. Keberadaan kerang
: Musiman/Tidak
g. Bila musiman, waktu
:
h. Tingkat Kesulitan mendapatkan kerang
: Mudah/Sedang/Sulit
i. Lokasi pengambilan
:
j. Pemanfaatan Kerang
:
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
b. 5-10
c. > 10
58
Lampiran 11. Foto dokumentasi pengambilan data selama penelitian
Gambar 1. Lokasi Stasiun Pengambilan Sampel
Gambar 2. Pengambilan Sampel P. erosa
Gambar 3. P. erosa yang ditemukan pada Stasiun Pengambilan Sampel
Gambar 4. Pemrosesan P. erosa dalam Penelitian
59
Gambar 5. Degradasi yang Terjadi di Segara Anakan
Gambar 6. P. erosa
Gambar 7. Proses Wawancara Dengan Nelayan dan Masyarakat Sekitar
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Purwokerto pada tanggal 21 November 1989 dari ayah Sukandar dan ibu Sunaryati. Penulis adalah putri kedua dari dua bersaudara. Tahun 2007 penulis lulus dari SMA N 5 Purwokerto dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Universitas Jenderal Soedirman melalui jalur undangan dan diterima di Fakultas Biologi. Tahun 2011 penulis lulus dari Universitas Jenderal Soedirman dan melanjutkan studi strata dua di Sekolah Pascasarjana IPB melalui jalur Beasiswa Unggulan Calon Dosen yang diberikan oleh Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI). Selama studi strata satu, penulis mengikuti seminar nasional seperti seminar nasional biodiversitas dan bioteknologi tahun 2010. Penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah seperti aplikasi komputer, apikultur, ekologi magrove, biologi gulma dan pengendalian hayati. Selain itu penulis juga aktif dalam berbagai aktivitas kemahasiswaan. Penulis pernah menjadi bendahara umum Himpunan Mahasiswa Bio-Symphoni (HMBS) pada tahun 2009. Selama jenjang strata dua, penulis mengikuti seminar yang dilaksanakan di IPB seperti seminar perubahan iklim yang diadakan oleh Kementrian Lingkungan Hidup.