Kondisi Rawa Mangrove dan Kepadatan … (Any Kurniawati, Dietriech G. B & Hawis M)
KONDISI RAWA MANGROVE DAN KEPADATAN Telescopium telescopium DI KAWASAN LAGUNA SEGARA ANAKAN, KABUPATEN CILACAP MANGROVE SWAMP CONDITION AND Telescopium telescopium DENSITY IN SEGARA ANAKAN LAGOON, CILACAP REGENCY Any Kurniawati, Dietriech Geoffrey Bengen, Hawis Maddupa FTIK, Institut Pertanian Bogor Email:
[email protected] Received 20 May 2014, Accepted 25 July 2014 ABSTRAK Telescopium telescopium merupakan salah satu organisme yang hidup di ekosistem mangrove. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sebaran T. telescopium terkait dengan interaksi pada vegetasi mangrove dan kondisi lingkungan di Segara Anakan pada bulan Januari – Maret 2014. Data vegetasi mangrove yang diperoleh dari pengamatan setiap transek kuadrat, yaitu meliputi nama spesies, jumlah tegakan masing-masing spesies, dan ukuran diameter batang setinggi dada. Parameter fisika kimia lingkungan yang diukur antara lain, suhu, salinitas, pH air, pH sedimen, nitrat, ortofosfat, TOM, dan fraksi sedimen untuk menggambarkan kondisi lingkungan. Penarikan contoh dilakukan dengan sistematik sampling berdasarkan keberadaan pohon mangrove. Hasil penelitian menemukan bahwa di Laguna Segara Anakan terdapat 11 jenis mangrove, jenis yang dominan adalah Avicennia alba. Secara keseluruhan, kualitas fisik kimia lingkungan di kawasan Laguna Segara Anakan masih mendukung kehidupan mangrove dan T. telescopium. Hasil analisis koresponden, menunjukkan bahwa sebaran T. telescopium berkaitan dengan keberadaan vegetasi mangrove Avicennia alba dan Rhizophora stylosa. Hasil analisis kandungan unsur hara serasah menunjukkan bahwa kandungan unsur organik jenis tersebut lebih tinggi apabila dibandingkan jenis lain. Kata kunci: Mangrove, Telescopium telescopium, kepadatan, Segara Anakan, Cilacap. ABSTRACT Telescopium telescopium is one of the organisms that live in the mangrove ecosystem. This study aims to analyze the distribution of T. telescopium in relation to the mangrove vegetation and environmental conditions at Segara Anakan Lagoon in January – March 2014. The data about the mangrove vegetation was obtained from the observations of transect squares, which included the name of the species, the number of stands of each species, and the stem diameter at breast height. The chemical and physical parameters of environment measured were; temperature, salinity, pH water, pH sediment, nitrate, orthophosphate, TOM, and sediment fractions. Sampling was done systematically based on the presence of mangrove trees.This study found 11 mangrove species, the dominant species is Avicennia alba. Overall, the quality of the physical and chemical environment in the Segara Anakan Lagoon still supports life for mangroves and T. telescopium. The result of correspondent analysis (CA), showed that the distribution of T. telescopium is associated with Avicennia alba and Rhizophora stylosa mangrove vegetation. The result of the analysis of the nutrient content of litter indicates that the organic matter content of these types of mangrove is higher than that of other types. Keywords: Mangrove, Telescopium telescopium, density, Segara Anakan, Cilacap.
221
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. Vol. 40, No. 2, Agustus 2014: 221-234
PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan payau yang membentuk laguna terletak di antara Pulau Nusakambangan dan Pulau Jawa. Kawasan ini merupakan muara dari beberapa sungai, yaitu Sungai Citanduy, Kayu Mati, Cikujang, dan Cibeureum di bagian barat, sedangkan di bagian timur terdapat Sungai Panikel, Cikonde, Ujung Alang, Dangkal, dan Kembang Kuning (Siregar et al., 2005; Yuwono et al., 2007; Ardli, 2008; Herbon, 2011). Ekosistem yang terdapat di kawasan laguna Segara Anakan sebagian besar adalah ekosistem mangrove. Ekosistem ini dikenal banyak berperan dalam mendukung lingkungan secara fisik maupun biologi. Noor et al., (2006) mengemukakan bahwa mangrove mempunyai peran penting bagi perikanan pantai, khususnya dalam siklus hidup berbagai fauna seperti moluska, hal ini karena lingkungan mangrove dapat menyediakan berbagai bahan organik yang dapat digunakan sebagai sumber makanan. Kelas Gastropoda merupakan kelompok yang dominan dari Filum Moluska yang banyak ditemukan di ekosistem mangrove. Terdapat 61
jenis gastropoda yang hidup bergantung pada ekosistem mangrove (Pramudji, 2001). T. telescopium merupakan salah satu spesies dari Kelas Gastropoda yang banyak ditemukan pada kawasan hutan mangrove (Hyman, 1967). Budiman (1991) mengelompokkan bahwa T. telescopium merupakan kelompok biota asli dari ekosistem mangrove dengan kriteria habitat yang mempunyai lahan terbuka, berlumpur halus, genangan air yang cukup luas, dan mempunyai ketersediaan bahan organik tinggi. Ekosistem mangrove dimanfaatkan T. telescopium sebagai habitat, mencari makan, dan pemijahan. Spesies ini merupakan jenis gastropoda yang telah dikenal dapat dikonsumsi (Pramudji, 2001). Masyarakat sekitar Laguna Segara Anakan telah memanfaatkannya sebagai sumber tambahan perekonomian, yaitu dengan mendistribusikan di dalam hingga keluar kota sebagai bahan masakan sea food, yang dampaknya akan meningkatnya aktivitas penangkapan yang semakin tidak ramah lingkungan. Hal ini dapat diketahui dari banyaknya limbah cangkang yang ditemukan di pengepul kekerangan setempat, khususnya di pemukiman sekitar Segara Anakan.
7-12 cm
Gambar 1. Telescopium telescopium Figure 1. Telescopium telescopium
222
Kondisi Rawa Mangrove dan Kepadatan … (Any Kurniawati, Dietriech G. B & Hawis M)
Permasalahan yang dihadapi pada Laguna Segara Anakan adalah tingkat sedimentasi tinggi dan penebangan vegetasi mangrove secara bebas. Sedimentasi di Laguna Segara Anakan berasal dari sungai Citanduy dan sebagian kecil lainnya dari sedimentasi pantai. Sedimen dari Sungai Citanduy sebanyak 5,00 juta m³/th (jumlah angkutan sedimen); 4,26 juta m³/th (langsung ke laut); dan 0,74 juta m³/th diketahui mengendap di Segara Anakan (ECI, 1994 dalam Dinas PSDA Jabar, 2008). Sedimentasi yang meningkat ini akan menurunkan kapasitas dan aliran air menuju Samudera Hindia serta dapat mengganggu kondisi ekosistem. Adanya fenomena tersebut diduga akan memengaruhi kehidupan vegetasi mangrove dan juga perubahan populasi T.telescopium. Ardli (2008) melaporkan bahwa terjadi perubahan luasan hutan mangrove yang terjadi dari tahun 1987–2006 sebesar 44% yang dialokasikan sebagai lahan pertanian padi dan pertambakan serta pemukiman. Perubahan tersebut diakibatkan adanya aktivitas manusia, salah satunya penebangan vegetasi mangrove yang tidak terkontrol. Lebih lanjut (Yuwono et al., 2007; Sastranegara et al., 2007) menunjukkan bahwa angka penebangan vegetasi mangrove di Segara Anakan mencapai 14,23 m³ per hari. Sejauh ini dampak yang ditimbulkan adalah mulai banyak ditemukannya jenis Acanthus ilicifolius, Nypa fruticans, dan Derris trifoliata. Kondisi ini diduga akan memengaruhi produktifitas perairan dan secara tidak langsung dapat memengaruhi populasi biota asli. Penelitian serupa telah dilakukan terkait dengan interaksi gastropoda dengan mangrove. Seperti halnya penelitian yang dilakukan Tis’in (2008) mengenai tipologi mangrove dengan gastropoda jenis Littorina neritoides, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kondisi kerapatan dan kepadatan mangrove sangat terkait
Erat dengan Littorinna neritoides. Ghasemi et al., (2011) mengatakan bahwa gastropoda dari famili Assimineidae dan Potamididae khususnya spesies Asseminea sp. paling mendominasi pada hutan mangrove Iran yang didominasi oleh spesies Rhizophora mucronata. Rusnaningsih (2012) menyatakan bahwa Cerithidea obtusa terkait erat dengan mangrove jenis Avicennia sp. dan Rhizophora sp. Lebih lanjut Kumar & Khan (2013) mengatakan bahwa Cerithidea cingulata merupakan spesies yang dapat mentoleransi perubahan kondisi lingkungan di hutan mangrove dan parameter yang menentukan variasi kepadatan dan distribusi moluska adalah bahan organik sedimen, DO, dan salinitas. Kelimpahan gastropoda di Segara Anakan makin tinggi dengan jauhnya lokasi dengan pantai karena adanya tekanan lingkungan yang berupa sampah organik maupun anorganik disebagian besar pantai (Pribadi et al., 2009). Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian secara ekologis terhadap karakter biologi T. telescopium pada ekosistem mangrove demi keberlanjutan spesies dan perlunya pengetahuan bagaimana interaksi ekologi khususnya di kawasan Segara Anakan. Hal ini menarik untuk dilakukan penelitian karena dapat mengetahui kondisi sebaran populasi T. telescopium beserta kondisi ekosistem mangrove dan lingkungannya. METODOLOGI Lokasi penelitian yaitu di Pulau Kicela (Stasiun I), Bagian (Stasiun II), dan Tiranggesik (Stasiun III) yang dilaksanakan pada bulan Januari – Maret 2014. Analisis kandungan unsur hara serasah mangrove dan analisis parameter lingkungan perairan dilakukan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, IPB.
223
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. Vol. 40, No. 2, Agustus 2014: 221-234
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Pulau Kicela (I), Bagian (II), dan Tiranggesik (III), Cilacap. Figure 2. Research site Kicela (I), Bagian (II), dan Tiranggesik (III) Island, Cilacap.
Mangrove Pengambilan sampel mangrove dilakukan metode plot transek garis dari arah perairan ke arah darat (Bengen, 2004), yang terdiri dari
kuadrat berukuran 10m x 10m. Masing-masing stasiun terdiri dari 3 transek garis (plot) dan tiap transek garis terdiri dari 3 transek kuadrat.
Gambar 3. Skema Transek Pengambilan Sampel Vegetasi Mangrove. Figure 3. Scheme of Mangrove Vegetation Transect Sampling. Data yang diperoleh dari lapangan selanjutnya dihitung kerapatan, frekuensi, dominansi, Indeks Nilai Penting (The Important Value), dan unsur hara serasah. Analisis kerapatan pohon dilakukan dengan menghitung tingkat kerapatan per jenis dan kerapatan relatif. Menurut Bengen (2004a), kerapatan jenis ( Ki) merupakan jumlah tegakan jenis i (ni) dalam satuan unit area yang diukur (A).
224
Kerapatan relatif jenis i (KRi) diperoleh dari perbandingan antara jumlah tegakan jenis i (ni) dan jumlah total tegakan seluruh jenis (∑n).
Frekuensi jenis (Fi) merupakan jumlah petak contoh/plot dimana ditemukan suatu jenis (pi) dalam semua petak contoh yang diamati (p).
Kondisi Rawa Mangrove dan Kepadatan … (Any Kurniawati, Dietriech G. B & Hawis M)
Frekuensi relatif jenis (FRі) merupakan perbandingan antara frekuensi jenis i (F і) dengan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis (∑F).
Dominansi jenis (Dі) merupakan luas bidang dasar jenis i (Lі) dalam suatu unit area.
Keterangan: Li atau BA (Basal area) = πDBH2/4 (dalam cm2) DBH merupakan diameter pohon dari jenis ke i, dimana DBH = CBH/π (dalam cm); CBH merupakan lingkaran pohon setinggi dada, π (3.1416) adalah konstanta. Dominansi relatif jenis (DRі) perbandingan antara dominansi jenis i dan dominansi seluruh jenis.
nilai kerapatan relatif (KRі), frekuensi relatif jenis (FRі), dan dominansi relatif jenis (DRі). Analisis produksi serasah dilakukan dengan menangkap guguran serasah yaitu dengan littertrap (jaring penangkap serasah) (Brown, 1984). Litter-trap berupa jaring penampung berukuran 1 x 1 meter persegi, yang terbuat dari nylon dengan ukuran mata jaring 1 mm dan bagian bawahnya diberi pemberat. Serasah yang diperoleh ditimbang berat keringnya setelah dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C hingga beratnya konstan (Ashton et al., 1999). Serasah yang sudah dikeringkan selanjutnya dianalisis kandungan unsur haranya (Total C, N, dan P). Penangkapan serasah dilakukan selama 2 bulan dengan interval waktu 2 minggu. Populasi Telescopium telescopium Pengukuran populasi T. telescopium dilakukan dengan menggunakan transek kuadrat berukuran 1x1m yang ditempatkan di setiap transek kuadrat pada ekosistem mangrove. Setiap transek kuadrat diambil 5 transek kuadrat secara acak untuk pengamatan populasi T. telescopium. Perhitungan kepadatan T. telescopium mengacu persamaan (Krebs, 1989):
INP= KRі + FRі + DRі Nilai penting suatu jenis berkisar antara 0 hingga 300. Nilai penting ini memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam komunitas. Indeks Nilai Penting merupakan penjumlahan dari
Keterangan: X = kepadatan individu/m2 A = luas transek pengambilan sampel (…m2) S = jumlah transek pengambilan sampel (…kali) nі= jumlah individu suatu spesies ke-i
Gambar 4. SkemaTransek Pengambilan Sampel T. telescopium. Figure 4. Sampling Transects Scheme of T. telescopium.
225
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. Vol. 40, No. 2, Agustus 2014: 221-234 Pengukuran parameter fisika kimia lingkungan dilakukan secara insitu dan ex-situ. Pengukuran secara insitu dilakukan di setiap transek kuadrat pengamatan. Metode analisis parameter fisik kimia lingkungan mengacu pada APHA (2012). Parameter kualitas air dan sedimen yang diukur secara insitu meliputi suhu, oksigen terlarut (DO), pH (air dan sedimen) dan salinitas. Parameter kualitas air dan sedimen yang diukur ex-situ adalah fraksi sedimen, TOM, nitrat, dan ortofosfat. Analisis koresponden (Corespondence analysis) digunakan untuk mengetahui hubungan antara ekosistem mangrove dengan populasi T. telescopium. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mencari hubungan yang erat antara seluruh modalitas dua variabel dan mencari hubungan antara seluruh modalitas karakter dan kemiripan antara individu berdasarkan konfigurasi. Pada analisis ini akan diketahui bagaimana penyebaran T. telescopium berdasarkan habitatnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN a)
Struktur Komunitas Mangrove Pemanfaatan vegetasi mangrove di Laguna Segara Anakan oleh masyarakat di lokasi penelitian diantaranya adalah sebagai kayu bakar, pembuatan arang, kayu bangunan, dan perlengkapan perahu nelayan. Ekosistem mangrove Segara Anakan tidak membentuk zonasi, hal ini merupakan dampak dari kegiatan penebangan vegetasi yang tidak ramah lingkungan. Bengen (2004) mengemukakan bahwa kegiatan penebangan mangrove akan berdampak potensial terhadap berubahnya komposisi tumbuhan mangrove dan tidak berfungsinya daerah mencari makanan dan asuhan bagi biota asosiasi, khususnya T. telescopium. Jumlah jenis terbanyak ditemukan pada Stasiun I yaitu 8 jenis, kemudian Stasiun II terdapat 6 jenis, dan yang paling sedikit pada Stasiun III yaitu hanya 3 jenis mangrove. Kondisi ini diduga disebabkan oleh adanya pengaruh posisi geografis masing-masing stasiun. Penyebaran jenis mangrove yang ditemukan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Sebaran jenis mangrove. Table 1. Distribution of mangrove type . Species Sonneratia caseolaris Aegiceras corniculatum Bruguiera gymnorhiza Xylocarpus granatum Rhizophora apiculata Avicennia alba Rhizophora stylosa Rhizophora mucronata Soneratia alba Avicennia marina
Kicela (I) + + + + + + + + -
Station Bagian (II) + + + + + +
Tiranggesik (III) + + + -
Note: + (found) - not found)
Stasiun I merupakan stasiun yang paling jauh dengan pantai dan lebih terlindung, sehingga mempunyai potensi daya dukung habitat yang lebih baik untuk pertumbuhan mangrove. Hal yang berbeda ditemukan pada Stasiun II, stasiun ini berhadapan dengan lebih dekat dengan pemukiman warga, sehingga tekanan baik dari kegiatan penebangan vegetasi ataupun aktivitas
226
manusia lainnya mengganggu kehidupan mangrove dan menurunkan daya dukung habitat mangrove. Berbeda dengan Stasiun I dan II, Stasiun III merupakan stasiun yang paling dekat dengan muara sungai dan pantai, sehingga dampak sedimentasi sungai lebih dapat terlihat pada stasiun ini.
Kondisi Rawa Mangrove dan Kepadatan … (Any Kurniawati, Dietriech G. B & Hawis M)
Avicennia alba merupakan spesies yang ditemukan di ketiga stasiun penelitian. Bengen (2004) memaparkan bahwa Avicennia spp. merupakan spesies yang dapat tumbuh pada daerah paling dekat dengan laut dan dengan substrat agak berpasir. Selain Avicennia alba, ditemukan jenis mangrove lain dalam jumlah lebih sedikit seperti Sonneratia caseolaris, Sonneratia alba, Avicennia marina, Aegiceras corniculatum, Bruguiera gymnorhiza, Xylocarpus granatum, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, dan Rhizophora mucronata. Berdasarkan Kepmen LH No 201 (2004), tingkat kerapatan mangrove di Segara Anakan tergolong rusak, hal ini karena keseluruhan nilai
Sc = Sonneratia caseolaris Ac = Aegiceras corniculatum Bg = Bruguiera gymnorhiza Xg = Xylocarpus granatum Am = Avicennia marina
kerapatan mangrove <1000 ind/ha (Gambar 4). Jenis yang mempunyai nilai kerapatan lebih tinggi dibandingkan jenis lain adalah Avicennia alba, yaitu dengan nilai kerapatan rata-rata 500 ind/ha (Stasiun I), 300 ind/ha (Stasiun II), dan 533 ind/ha (Stasiun III). Berdasarkan pengukuran keliling batang pohon mangrove di Stasiun I berkisar antara 16 – 80 cm dengan diameter pohon berkisar antara 5,09 – 25,46 cm, Stasiun II mempunyai kisaran keliling pohon antara 16 73,60 cm dengan diameter antara 5,10 – 23,44 cm, sedangkan Stasiun III ukuran keliling pohon berkisar antara 15,50 – 42,80 cm dengan diameter antara 4,94 – 13,63 cm.
Ra = Rhizophora apiculata Aa = Avicennia alba Rs = Rhizophora stylosa Rm = Rhizophora mucronat Sa = Soneratia alba
Gambar 5. Kerapatan rata-rata mangrove di Laguna Segara Anakan Figure 5. Average of mangrove abundace in Segara Anakan Lagoon
227
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. Vol. 40, No. 2, Agustus 2014: 221-234
Secara keseluruhan vegetasi yang ditemukan pada saat penelitian adalah strata pohon dan anakan. Berdasarkan pengukuran keliling batang pohon mangrove di Stasiun I berkisar antara 16 – 80 cm dengan diameter pohon berkisar antara 5,09 – 25,46 cm, Stasiun II mempunyai kisaran keliling pohon antara 16 - 73,60 cm dengan diameter antara 5,10 – 23,44 cm, sedangkan Stasiun III ukuran keliling pohon berkisar antara 15,50 – 42,80 cm dengan diameter antara 4,94 – 13,63 cm. Avicennia alba merupakan jenis yang dominan pada Stasiun III dan dapat mencapai nilai indeks penting hingga 300, yang artinya bahwa jenis ini mempunyai peran yang besar dalam ekosistem ini terutama pada Stasiun III. Apabila jenis ini mengalami kerusakan, maka diduga kerusakan populasi hewan asosiasi juga mengalami kerusakan. Disamping berperan penting pada Stasiun III, jenis ini berperan pada Stasiun II. Jenis mangrove yang mempunyai nilai indeks penting tinggi pada Stasiun II adalah Avicennia alba dan Sonneratia caseolaris. Hal ini menandakan bahwa pada Stasiun II terjadi asosiasi antara Avicennia alba dan Sonneratia caseolaris
yang penting dalam mendukung ekosistem. Hal ini sesuai dengan Bengen (2004) yang memaparkan bahwa daerah dekat dengan laut pada lumpur yang kaya bahan organik sering dijumpai jenis Avicennia spp. yang biasanya berasosiasi dengan Sonneratia spp..Jenis mangrove Avicennia sp. dan Sonneratia sp. dikenal banyak berasosiasi dengan beberapa jenis gastropoda. Salah satu contoh hasil penelitian Rusnaningsih (2012) yaitu bahwa mangrove jenis Avicennia sp. terkait erat dengan gastropoda jenis Cerithidea obtusa. Sumbangan nutrien di lokasi penelitian terbesar berasal dari guguran serasah mangrove karena sebagian besar komposisi ekosistem tersebut adalah mangrove. Hasil analisis kandungan unsur hara (C, N, P) pada serasah mangrove menunjukkan bahwa kandungan unsur karbon (C) pada serasah mangrove lebih besar dibandingkan dengan nitrogen (N) maupun fosfor (P). Avicennia alba mempunyai kandungan unsur hara tertinggi pada Stasiun I dan II, sedangkan pada Stasiun III sumbangan unsur hara terbesar adalah dari jenis Rhizophora stylosa (Tabel 2).
Tabel 2. Kandungan unsur hara (C, N, dan P) serasah mangrove di Segara Anakan. Table 2. Nutrient content (C, N, and P) of mangrove litter in Segara Anakan. Stasion I
II
III
Mangrove Type Avicenia alba Soneratia caseolaris Rhizopora mucronata Rhizophora apiculata Avicenia alba Soneratia caseolaris Avicenia marina Avicenia alba Rhizophora stylosa Rhizopora mucronata
C (%) 54,267 50,267 42,267 42,267 46,267 15,600 32,933 34,267 48,933 38,267
Kondisi fisika kimia lingkungan diketahui untuk menunjukkan kondisi habitat vegetasi mangrove dan sebagai informasi microhabitat T. telescopium. Stasiun I (Pulau Kicela) merupakan lokasi yang paling jauh dari garis pantai dan dekat dengan sumber air tawar dan berbagai aliran sungai. Vegetasi mangrove lebih beragam dan tampak lebih rapat apabila dibandingkan stasiun
228
N (%) 1,360 0,799 0,612 0,864 1,099 0,781 1,172 1,095 0,856 0,539
P (%) 0,025 0,009 0,006 0,015 0,028 0,007 0,011 0,017 0,018 0,007
lainnya, namun sinar matahari masih dapat menembus permukaan sedimen. Banyaknya vegetasi mangrove, akan membuat pertumbuhan dari mangrove asosiasi tidak mendominasi pada pulau ini. Tipe substrat lokasi ini adalah liat dengan bahan organik yang tinggi. Stasiun ini jauh dari aktivitas manusia karena jaraknya yang jauh dari pemukiman warga.
Kondisi Rawa Mangrove dan Kepadatan … (Any Kurniawati, Dietriech G. B & Hawis M)
Stasiun II (Pulau Bagian) dicirikan oleh vegetasi mangrove yang jarang dan banyak ditemukan mangrove minor jenis Acanthus ilicifolius dan Nypa fruticans. Secara umum, kondisi stasiun ini sangat dipengaruhi oleh aktivitas masyarakat sekitar, salah satunya adalah aktivitas penebangan vegetasi mangrove yang semakin tidak ramah lingkungan. Hal ini diduga akan merubah struktur komunitas mangrove baik dari jumlah jenis maupun kerapatan vegetasi. Karena letaknya paling dekat dengan pemukiman warga, akibatnya pengaruh kegiatan darat cukup besar. Hal ini dibuktikan ketika pengambilan sampel penelitian banyak ditemukan sampah rumah tangga seperti plastik dan botol bekas.
Stasiun III (Pulau Tiranggesik) merupakan stasiun yang paling dekat dengan muara sungai Citanduy dan pertemuan antara air tawar dan asin. Pada stasiun ini vegetasi mangrove lebih jarang ditemukan. Pulau ini merupakan jalur transportasi perahu nelayan yang menghubungkan antara Pulau Jawa dengan Segara Anakan melalui penyeberangan Majingklak. Dampak sedimentasi tertinggi dapat dilihat dari stasiun ini, yaitu timbulnya daratan baru disekeliling pulau. Hasil pengukuran kondisi fisik kimia lingkungan Laguna Segara Anakan memperlihatkan bahwa kondisi lingkungan masih dalam kondisi normal untuk mendukung kehidupan T. telescopium dan vegetasi mangrove, apabila mengacu Kepmen LH no 51 (2004) (Tabel 3).
Tabel 3. Kondisi fisika kimia di Laguna Segara Anakan. Table 3. Physicohemistry parameters in Segara Anakan Lagoon. Parameters Temperature Salinity pH of water pH of sediment DO Nitrate Ortophosphate TOM
Unit °C ‰ ppm mg/L mg/L %
Station I 33.50 20.23 6.57 6.13 5.67 0.13 0.00 71.05
Suhu merupakan faktor penting bagi kehidupan organisme, karena dapat memengaruhi metabolisme dan perkembangbiakan. Kisaran nilai suhu di Laguna Segara Anakan adalah 28,8734,87°C. Menurut Kepmen LH No 51 (2004), suhu yang baik untuk mendukung kehidupan biota laut adalah 29,00-33,50°C. Tingginya nilai suhu pada stasiun I diduga berkaitan dengan radiasi matahari terhadap pemanasan perairan. Stasiun I mempunyai karakter kondisi lingkungan lebih terbuka, sehingga akan mengakibatkan penetrasi cahaya menjadi lebih besar. Sementara di stasiun II dan III cenderung lebih terlindung dan padat naungan vegetasi mangrove non sejati sehingga mengakibatkan penetrasi cahaya lebih rendah. Salinitas merupakan faktor penting dalam pertumbuhan dan daya tahan tubuh organisme. Menurut Kepmen LH No 51 (2004), kadar salinitas yang baik untuk mendukung kehidupan biota khususnya pada ekosistem mangrove adalah ≤ 34ppt. Nilai salinitas stasiun III cenderung lebih
Station II 32.00 18.93 6.40 6.03 5.43 0.10 0.00 65.00
Station III 29.50 22.23 6.07 5.70 5.63 0.10 0.03 69.60
tinggi dari stasiun lainnya, karena lokasinya lebih dekat kearah laut. Sementara lokasi Stasiun I dan II terletak lebih kearah daratan, sehingga dekat dengan perairan tawar yang mengakibatkan rendahnya nilai salinitas. Nilai pH air dan sedimen di lokasi penelitian cenderung normal. Nilai pH air dan sedimen menunjukkan bahwa lingkungan laguna Segara Anakan masih dapat mendukung kehidupan biota laut. Nilai pH sedimen di lokasi penelitian cenderung lebih asam dari pH air namun perbedaannya tidak terlalu signifikan. Kisaran nilai pH air berkisar antara 5,07 – 6,8 dan pH sedimen berkisar antara 5,70 – 6,13. Berdasarkan standar baku mutu kualitas air, nilai toleransi organisme laut terhadap pH air berkisar antara 6,5 – 8,5 (Kepmen LH No 51, 2004), sehingga dapat disimpulkan bahwa kisaran rata-rata pH air dan sedimen di lokasi penelitian masih menunjang kehidupan T. telescopium.
229
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. Vol. 40, No. 2, Agustus 2014: 221-234 Konsentrasi oksigen terlarut (DO) di lokasi penelitian cukup tinggi, yaitu berkisar antara 5,43 – 5,67 ppm. Penyebaran konsentrasi oksigen terlarut hampir merata setiap stasiun. Konsentrasi oksigen terlarut di perairan dipengaruhi berbagai faktor antara lain suhu, salinitas, serta proses dekomposisi, dan respirasi organisme. Menurut Kepmen LH No 51 (2004), konsentrasi yang baik untuk pertumbuhan organisme adalah > 5 ppm. Nitrat dan fosfat ini merupakan parameter kimia yang dapat menggambarkan tingkat kesuburan habitat. Perubahan kandungan zat hara perairan dapat memengaruhi kelangsungan hidup biota termasuk T. telescopium. Penyebaran nilai rata-rata nitrat dan fosfat stasiun I, II, dan III hampir sama, dengan nilai rata-rata yang cukup rendah yaitu 0,00-0,13 mg/L (Tabel 3). Konsentrasi TOM pada lokasi penelitian berkisar antara 65,00 – 71,05 % dengan nilai ratarata tertinggi terdapat di stasiun I dan terendah pada stasiun III. Kandungan bahan organik tersebut terutama bersumber dari serasah mangrove. Kandungan bahan organik ini juga dipengaruhi oleh kondisi fisik kimia lingkungan, dimana daerah terbuka biasanya mempunyai kandungan bahan organik lebih rendah daripada daerah terlindung, karena terkait dengan pencucian
partikel sedimen yang berukuran kecil yang banyak mengandung bahan organik. Fraksi sedimen dipengaruhi oleh kandungan bahan organik suatu perairan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis fraksi sedimen di stasiun I dan II adalah liat, sedangkan sedimen Stasiun III tergolong jenis liat berpasir. Tingginya kandungan pasir pada sedimen Stasiun III disebabkan oleh lokasi yang paling dekat dengan pantai. Jenis sedimen yang disenangi oleh T. telescopium adalah liat halus, karena sifat pada sedimen ini biasanya tinggi akan bahan organik (Budiman, 1991). Namun secara keseluruhan sedimen Laguna Segara Anakan sangat cocok untuk kehidupan mangrove dan T. telescopium. b)
Kepadatan Telescopium telescopium Kawasan Laguna Segara Anakan masih baik untuk mendukung kehidupan T. telescopium. Hal ini diketahui dengan ditemukannya T. telescopium yang tersebar di seluruh stasiun pengamatan, walaupun terdapat perbedaan kepadatan antar stasiun. Kepadatan rata-rata T. telescopium tertinggi terdapat pada Stasiun I (12 ind/100m²) dan disusul Stasiun II (8 ind/100m²) dengan kepadatan terendah pada Stasiun III (7 ind/100m²).
Gambar 6. Kepadatan rata-rata Telescopium telescopium (ind/100m²) Figure 6. Average of Density Telescopium telescopium (ind/100m²)
230
Kondisi Rawa Mangrove dan Kepadatan … (Any Kurniawati, Dietriech G. B & Hawis M)
Hal yang paling berpengaruh terhadap nilai kepadatan T. telescopium di Laguna Segara Anakan adalah tingginya nilai kerapatan vegetasi mangrove, hal ini dapat dilihat dari nilai kerapatan mangrove yang sebanding dengan nilai kepadatan T. telescopium. Stasiun I yang mempunyai nilai
kedapatan T. telescopium tertinggi diimbangi dengan nilai kerapatan mangrove yang besar pula, begitu pula degan Stasiun II dan III (Gambar 6). Sesuai dengan pendapat Tis’in (2008) yang mengatakan bahwa populasi gastropoda terkait erat dengan kerapatan mangrove.
Gambar 7. Hubungan vegetasi mangrove dengan T. telescopium Figure 7. Correlation of mangrove vegetation with T. telescopium
Selain pengaruh kerapatan mangrove, kepadatan T. telescopium diduga didukung adanya faktor fisik kimia lingkungan yang dapat memengaruhi aktivitas kehidupannya. Stasiun I dan II mempunyai nutrien (nitrat dan ortofosfat) yang lebih tinggi (Tabel 2) karena mempunyai potensi guguran serasah mangrove yang banyak, sehingga dapat dikatakan bahwa tingginya nutrien pada ekosistem mangrove diiringi oleh tingginya kepadatan T. telescopium. Lestarina (2011) melaporkan bahwa kawasan mangrove mendapat pasokan nutrien terbanyak dari produktifitas serasah terutama organ daun. Hal ini sesuai dengan pendapat Budiman (1991) yang mengatakan bahwa kriteria habitat yang disukai T. telescopium adalah ekosistem mangrove dengan bahan organik yang tinggi.
Sebaran Telescopium telescopium BerdaSarkan Perbedaan Vegetasi Mangrove Sebaran T. telescopium berdasarkan vegetasi mangrove di Laguna Segara Anakan diketahui mempunyai keterkaitan yang berbeda dengan keberadaan individu T. telescopium antar stasiun pengamatan (Gambar 6). T. telescopium hanya ditemukan pada jenis mangrove Avicennia alba, Rhizophora mucronata, Rizhopora stylosa, dan Sonneratia caseolaris. Sementara pada jenis Aegiceras corniculatum, Bruguiera gymnorhiza, Xylocarpus granatum, Avicennia marina, Rhizophora apiculata, dan Sonneratia alba T. telescopium tidak ditemukan.
231
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. Vol. 40, No. 2, Agustus 2014: 221-234 Beberapa dugaan terkait interaksi ini adalah pemanfaatan tumbuhan mangrove oleh T. telescopium sebagai sumber makanan dan mikrohabitat. Bengen (2004) menyatakan bahwa tumbuhan mangrove berperan sebagai sumber makanan bagi biota yang hidup di ekosistem mangrove.. Hal ini dapat memengaruhi keberadaan dan tingkat kesukaan T. telescopium dalam memilih habitat. Hal ini sesuai dengan (Houbrick, 1991; FAO, 1998) yang memaparkan bahwa habitat T. telescopium adalah kawasan hutan mangrove, karena adanya interaksi dengan beberapa jenis mangrove. Hasil analisis koresponden terhadap data kepadatan T. telescopium dengan vegetasi mangrove mendapatkan bahwa terdapat tiga kelompok kedekatan. Kelompok pertama yaitu T. telescopium mempunyai interaksi yang erat dengan jenis Avicennia alba dan Rhizophora stylosa khususnya pada stasiun I plot 2, II plot 1, dan secara keseluruhan pada stasiun III. Kelompok
kedua menunjukkan bahwa T. telescopium pada stasiun I plot 1, II plot 2 dan 3 berinteraksi dengan jenis mangrove Sonneratia caseolaris. Kelompok ketiga yaitu pada stasiun I plot 3 yang menunjukkan bahwa T. telescopium ditemukan pada jenis mangrove Rhizophora mucronata. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa karakter kondisi lingkungan Stasiun I lebih variatif, artinya bahwa T. telescopium di Stasiun I dapat ditemukan pada keempat jenis mangrove, yaitu Avicennia alba, Rhizophora stylosa, Sonneratia caseolaris, dan Rhizophora mucronata. Stasiun II mempunyai karakter moderat, yang artinya bahwa T. telescopium dapat ditemukan pada kedua kelompok saja, yaitu pada jenis mangrove Avicennia alba, Rhizophora stylosa, dan Sonneratia caseolaris. Lebih lanjut pada Stasiun III sifatnya fanatik, yaitu individu T. telescopium dapat ditemukan hanya pada dua jenis mangrove, yaitu Avicennia alba dan Rhizophora stylosa.
Gambar 8. Grafik Biplot dari Analisis Koresponden Figure 8. Biplot Graphic of Corespondence Analysis
232
Kondisi Rawa Mangrove dan Kepadatan … (Any Kurniawati, Dietriech G. B & Hawis M)
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa tingkat kerapatan mangrove tergolong rusak dengan kondisi paling rusak terdapat pada Stasiun III. Kepadatan T. telescopium dipengaruhi oleh adanya kerapatan vegetasi mangrove. Potensi nutrien (C, N, dan P) serasah mangrove paling banyak adalah dari mangrove jenis Avicennia alba. Mangrove jenis Avicennia alba dan Rhizophora stylosa merupakan habitat yang paling disukai T. telescopium di Laguna Segara Anakan. Kondisi fisik kimia lingkungan Laguna Segara Anakan masih baik dalam mendukung kehidupan T. telescopium. PERSANTUNAN Penulis ucapkan terima kasih kepada Kepala Pos AL dan pemerintah Kecamatan Kampung Laut yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian di lingkungan Segara Anakan, Cilacap. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada keluarga Bapak Salikun dan Bapak Kaliman yang membantu proses survei lapangan hingga pengambilan data selesai dilakukan. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada teman-teman (Afny, Wayan, Bertoka dan Bujana) atas masukan dan bantuannya dalam pengambilan data di lapangan. DAFTAR PUSTAKA American Public Health Association. 2012. Standard methods for the examination of sea water and freshwater. 22nd edition. Printed and Bound in the United States of America. Ardli, E.R. 2008. A Trophic Flow Model of The Segara Anakan Lagoon, Cilacap, Indonesia. Disertasi. Fakultas Biologi dan Kimia. Universitas Bremen:1-123. Ashton, E.C, Hogart, PJ and Ormond, R. 1999. Breakdown of mangrove leaf litter in a managed mangrove forest in Pennisular Malaysia. Hydrobiologia, 413: 77-88. Balai Data dan Informasi Sumber Daya Alam. 2008. Konservasi dan pengendalian daya rusak Laguna Segara Anakan. Dinas PSDA Jawa Barat. Bandung.15 hlm. Bengen, D.G. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Sinopsis. Pusat Kajian Sumberdaya
Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 85 hlm. Bengen, D.G. 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Sinopsis. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. 85 hlm. Brown, S.M. 1984. Mangrove litter production and dynamics. In: C.S. Snedaker and G.J. Snedaker. (Eds.) The Mangrove Ecosystem: Research Methods. Unesco. Paris:161-193. Budiman. 1991. Penelaahan Beberapa Gatra Moluska Bakau Indonesia. Disertasi. Fakultas Pascasarjana. Universitas Indonesia. Jakarta. 2 hlm. FAO. 1998. The living marine resources of the western central pasific. Seaweeds, Corals Bivalves and Gastropods. FAO of The United Nation. 686 pp. Ghasemi, S, M. Zakaria and N.H. Mola. 2011. Abundace of mollusc (gastropods) at mangrove forests of Iran. Journal of American Science, 7(1): 660-669. Herbon, C.M. 2011. Spatial and temporal variability in benthic food webs of the mangrove fringed Segara Anakan Lagoon in Java, Indonesia. Universitat Bremen. Bremen. 157pp. Houbrick, R. S. 1991. Systematic review and functional morphology of the mangrove snails Terebralia and Telescopium (Potamididae: Prosobranchia). Malacogia, 33(1-2): -328. Hyman, L.H. 1967. The Invertebrate. Mollusca I. New York: McGraw-Hill Boo: 323-347. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut: Lamp 3. Krebs, C.J. 1989. Ecological methodology. New York: University of British Columbia, Harper Collins Publisher. Kumar, P.S. and A.B. Khan 2013. The Distribution and Diversity of Benthic Macroinvertebrate Fauna in Pondicherry Mangroves, India. Aquatic Biosystems, 9(15):1-18. Lestarina, P.M. 2011. Produktifitas Serasah Mangrove dan Potensi Kontribusi Unsur Hara di Perairan Mangrove Pulau Panjang Banten. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 67 hlm. Noor, Y.R, M. Khazali, and Suryadiputra. 2006. Panduan pengenalan mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP. Bogor.
233
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. Vol. 40, No. 2, Agustus 2014: 221-234 Pramudji. 2001. Ekosistem hutan mangrove dan peranannya sebagai habitat berbagai fauna aquatik. Oseana. 26(4):13-23. Pribadi, R, R. Hartati dan A.S. Chrisna. 2009. Komposisi jenis dan distribusi gastropoda di kawasan hutan mangrove Segara Anakan Cilacap. Ilmu Kelautan, 14(2):102-111. Rusnaningsih. 2012. Struktur Komunitas Gastropoda dan studi Populasi Cerithidea obtusa (Lamarck 1822) di Hutan Mangrove Pangkal Babu, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Tesis. FMIPA. Universitas Indonesia. Sastranegara, M.H, E. Yuwono and P. Sukardi. 2007. Illegal Logging on Mangrove at the Segara Anakan Cilacap, Java, Indonesia: A Conservation Contraint. In: E. Yuwono, T. Jennerjahn, M.H. Sastranegara, and P. Sukardi (Eds). Synopsis of Ecology and Socio-Economic Aspects of Tropical Coastal Ecosystem with Special Reference to Segara
234
Anakan. Reseacrh Institute of the University of Jenderal Soedirman, Purwokerto: 21-27. Siregar, A.S, E. Hilmy dan P. Sukardi. 2005. Pola Sebaran Kualitas Air di Laguna Segara Anakan Cilacap. Laporan Penelitian. Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 41 hlm. Tis’in, M. 2008. Tipologi Mangrove dan Keterkaitannya dengan Populasi Gastropoda Littorina neritoides (Linne, 1758) di Kepulauan Tenakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Yuwono, E. T.C. Jennerjahn, I. Nordhaus, E.A. Riyanto, M.H. Sastranegara and R. Pribadi. 2007. Ecological status of Segara Anakan, Indonesia: A mangrove-fringed lagoon affected by human activities. Abstract. Asian Journal of Water, Environment and Pollution, 4 (1): 61-70. .