SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN : “Pengembangan IPTEK Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan dalam Mendukung Pembangunan Nasional” Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, 28 Agustus 2007
KONDISI PERAIRAN SEGARA ANAKAN CILACAP BERDASARKAN VARIABEL SALINITAS DAN KEKERUHAN Suradi Wijaya Saputra PS. Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto, SH Tembalang, Semarang Email :
[email protected] ABSTRAK Sebagai daerah estuaria, kualitas air di Segara Anakan sangat dipengaruhi oleh massa air tawar yang berasal dari sekitar 8 sungai yang bermuara didalamnya. Karakteristik yang menonjol perairan ini adalah terjadinya fluktuasi salinitas (baik horisontal maupun vertikal) serta tingginya kekeruhan, yang mengakibatkan tingginya laju sedimentasi. Salinitas air di laguna merupakan parameter utama penciri perairan Segara Anakan, disamping kekeruhan. Kedua parameter tersebut sangat dipengaruhi oleh pergerakan air laut dan masukan air tawar dari sungaisungai yang bermuara ke laguna. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi perairan Segara Anakan berdasarkan variabel salinitas dan kekeruhan. Penelitian menggunakan metode survei, dan stasiun pengamatan ditentukan 9 stasiun dengan mempertimbangkan sumber massa air. Pada setiap stasiun dilakukan pengukuran pada 3 sub stasiun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan variabel salinitas dan kekeruhan perairan Segara Anakan fluktuasi yang lebar, baik secara spasial maupun temporan. Berdasarkan analisis gerombol (cluster analysis) ternyata perairan Segara Anakan terpisah menjadi dua kawasan, yaitu kawasan barat dan timur. Kawasan barat terdiri atas perairan laguna ke arah timur sampai dengan perairan sebelah timur Moten. Kawasan Timur mulai dari Plawangan Timur ke arah barat sampai dengan perairan sebelah timur Moten. Kawasan barat yang keruh dan salinitas rendah dipengaruhi oleh masa air dari Sungai Citandui. Kata Kunci : Perairan Segara Anakan, Salinitas, Kekeruhan.
PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan laguna yang dipengaruhi oleh dua massa air yang berbeda, yaitu massa air laut yang berasal dari Samudra Hindia melalui kedua celah (timur dan barat) dan massa air tawar yang berasal dari sungai-sungai yang bermuara ke laguna. Massa air laut yang masuk ke Segara Anakan pada waktu pasang bercampur dengan massa air tawar dari sungai, didistribusikan ke Sungai Citanduy, ke laguna utama, ke sungai-sungai lainnya dan ke kawasan hutan mangrove. Pada saat surut, air tawar dari sungai Citanduy langsung masuk ke Samudra Hindia melalui Plawangan Barat. Massa air beserta partikel lumpur yang dikandungnya tertahan di sekitar Plawangan Barat selama air surut. Pada saat air pasang tinggi berikutnya, setelah terjadi percampuran dengan massa air laut, massa air tersebut akan mengalami resirkulasi kembali ke laguna (PKSPL IPB, 1999). Karakteristik yang menonjol perairan ini
adalah terjadinya fluktuasi salinitas (baik horisontal maupun vertikal) serta tingginya
kekeruhan, yang mengakibatkan tingginya laju sedimentasi. Kedua parameter tersebut sangat dipengaruhi oleh pergerakan air laut dan masukan air tawar dari sungai-sungai yang bermuara ke laguna. Oleh karenanya pada laguna Segara Anakan terjadi pelapisan air, baik secara vertikal maupun horizontal. Berdasarkan parameter salinitas dan kekeruhan, Laguna Segara Anakan dapat dipisahkan menjadi beberapa sub area (PKSPL IPB, 1999); 1) Sub area pusat, meliputi areal yang luas dengan salinitas tinggi akibat dari masukan air laut yang besar. Air tawar dari sungai teraduk sempurna oleh arus pasang yang cepat. Massa air laut yang utama mempengaruhi sub area ini berasal dari celah barat. Pada musim kemarau salinitas berkisar antara 20-28 ppt dan pada musim penghujan berkisar anatara 12-17 ppt.
2) Sub area sebelah barat, kondisi perairannya relatif payau dengan salinitas antara 8-12 ppt. Hal ini karena pengaruh masukan massa
Manajemen Sumberdaya Perairan dan Ilmu Kelautan / MSP & IK - 1
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN : “Pengembangan IPTEK Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan dalam Mendukung Pembangunan Nasional” Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, 28 Agustus 2007 air tawar dari Sungai Cibeureum, Cikujang masing stasiun dilakukan pengukuran pada tiga dan Kayumati. Di muara sungai Citanduy, sampai dengan lima titik pengamatan. massa air tawar yang masuk mengandung partikel lumpur yang tinggi, membentuk Metode Pengukuran halocline, sehingga salinitas di lokasi ini Variabel yang diamati meliputi: rendah, 1-8 ppt. a) Salinitas (ppt) 3) Sub area sebelah utara laguna, memiliki b) Suhu air (oC) salinitas bervariasi. Perairan umumnya c) pH keruh dengan salinitas rendah. Selama d) Kedalaman (meter) musim kemarau, salinitas air permukaan e) Kekeruhan (NTU) menjadi lebih tinggi akibat kurangnya masukan air tawar, serta stagnasinya air laut. Adapaun cara pengukuran adalah sebagai Selama musim penghujan salinitas turun berikut. menjadi 7-12 ppt. Kondisi ini terutama 1) Salinitas, diukur insitu menggunakan Water pengaruh masukan air tawar dari Sungai Checkker HARIBA tipe U-10, dengan Kawunganten. ketelitian 0.005 ‰. Sungai Citanduy merupakan sungai terbesar, 2) Suhu air, diukur insitu menggunakan Water dengan massa air pembawa bahan sedimen yang Checkker HARIBA tipe U-10, dengan terbanyak. Bahan sedimen tersebut berasal dari ketelitian 0.05oC. debu Gunung Galunggung, tanah pertanian 3) Kekeruhan diukur menggunakan Water andosol dan latosol yang mengandung liat, pasir Checkker HARIBA tipe U-10, dengan kuarsa, senyawa kimia pestisida dan pupuk serta ketelitian 1 NTU. limbah industri dan rumah tangga (Atmawidjaja, 4) pH diukur insitu dengan Water Checkker 1995). Kesemuanya itu disamping merupakan HARIBA tipe U-10, dengan ketelitian 0.05. penyebab tingginya laju sedimentasi, juga 5) Kedalaman diukur dengan tali yang diberi merupakan sumber pencemar bagi perairan skala, dengan ketelitian 5 cm. laguna. Laju sedimentasi tersebut disamping dipengaruhi oleh tingginya partikel lumpur yang Analisis Data terbawa massa air sungai, juga dipengaruhi oleh Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis morfometrik laguna dan adanya hutan mangrove. secara deskriptif dan analisis gerombol (cluster Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi analysis) berdasarkan tingkat kesamaan variabel perairan Segara Anakan berdasarkan variabel sehingga dapat dilakukan kawasansi berdasarkan salinitas dan kekeruhan. salinitas dan kekeruhan. MATERI DAN METODE HASIL DAN PEMBAHASAN Tempat dan Waktu Penelitian Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air Penelitian dilakukan di perairan Laguna selama penelitian, dengan mengukur lima Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa parameter fisik kimia disajikan pada Tabel 1 dan Tengah. Daerah penelitian berada di antara o o o Tabel 2. Pada Tabel 1 kualitas air disajikan 07 39‟47” LS - 108 48‟14” BT dan 07 45‟36” o berdasarkan waktu sampling, sedangkan Tabel 2 LS - 109 01‟47” BT, dimulai sejak 4 Februari berdasarkan lokasi sampling. Berdasarkan kedua sampai dengan 27 Desember 2004. tabel tersebut terlihat bahwa kualitas air di perairan Segara Anakan sangat berfluktuasi Metode Penelitian berdasarkan waktu dan lokasi. Variable yang Metode penelitian yang digunakan adalah paling luas rentang fluktuasinya adalah salinitas penelitian survei deskriptif. Penentuan lokasi dan kekeruhan, baik berdasarkan waktu maupun pengamatan dengan mempertimbangkan aspek lokasi sampling. Oleh karenanya maka kedua lingkungan yaitu dengan memperhatikan sumber variabel tersebut akan dikaji secara khusus. massa air yang mempengaruhi lokasi tersebut,
sehingga memberikan karakteristik perairan berdasarkan fluktuasi salinitas dan kekeruhan. Berdasarkan hal tersebut ditentukan stasiun pengamatan sebanyak 9 stasiun, dan masing-
Manajemen Sumberdaya Perairan dan Ilmu Kelautan / MSP & IK - 2
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN : “Pengembangan IPTEK Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan dalam Mendukung Pembangunan Nasional” Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, 28 Agustus 2007
Keterangan Gambar :
7o35
Citra Data Path/Row 7o40
Muara Cibeureum
Tritih Kulon
Timur Kr. anyar Klac es
Karangtal un
Barat Motean Timur Motean
7o45
Sumber data Gendetie Datum Map Projection Digital Software
: Landsat RTM7 : 121/65 & 120/65 : LAPAN : WG884 : SUTM49 : Er Mapper 6.
Barat Jojok Muara Donan Kilometer
o
108
o
Gambar 1.108 Lokasi penelitian 55’ 50’ Tabel 1.
o
o
108 60’
108 65’
Kualitas perairan selama penelitian (Februari – Desember 2004) berdasarkan waktu pengamatan di perairan Segara Anakan
Waktu sampling 4 Februari 20 Februari 22 Maret 24 April 23 Mei 18 Juni 16 Juli 19 Agustus 18 September 13 Oktober 28 Nopember 27 Desember
Salinitas (ppt)
Suhu ( C)
3.0 – 23.5 0.0 – 26.0 0.0 – 27.0 1.0 – 25.0 5.8 – 24.8 5.8 – 23.9 3.3 – 17.2 18.5 – 23.2 15.0 – 24.0 14.0 – 22.0 0.0 – 7.2 0.0 – 10.0
28.5 - 30.6 28.6 - 31.0 29.5 - 32.0 29.3 - 30.0 29.3 - 30.2 29.0 - 30.2 28.0 - 29.7 26.6 - 29.9 27.0 - 29.9 27.0 – 32.0 27.7 - 29.9 27.8 - 30.4
o
Parameter Kekeruhan (NTU) Ttd 13 - 990 10 - 578 10 - 246 22 - 258 15 - 410 18 - 380 17 - 254 15 - 90 Ttd 162 - 341 10 - 878
DO (ppm)
pH
4.80 – 8.94 3.90 – 8.45 4.30 – 7.90 5.20 – 7.70 4.90 – 7.21 4.60 – 7.00 5.88 – 7.90 4.30 – 7.90 4.40 – 7.80 3.90 – 8.45 5.20 – 7.88 3.60 - 7.30
6.79 – 8.00 6.99 - 7.93 6.30 – 7.96 7.62 - 7.97 7.25 - 7.90 7.42 – 8.00 4.00 - 8.10 7.58 - 8.55 4.00 - 7.97 7.50 – 8.00 7.13 - 7.93 6.75 - 7.32
Tabel 2. Kualitas perairan selama penelitian berdasarkan lokasi pengamatan di perairan Segara Anakan
STASIUN Tritih Kulon Karang Talun Muara Donan Jojok barat Timur Motean Barat Motean Klaces Timur Kr.Anyar M S. Jaliwon M S. Cibereum Muara Citanduy
Salinitas (‰ ) 6 – 22 4.1- 23 6.9 – 25 3.6 - 25.7 0.8 – 22 0.1 - 20.5 0 – 23 0 – 19 0 – 23 0 – 24 0 - 24
Suhu (oC) 28 - 32 28 - 31.5 28 - 32 27.7 - 31 27 - 31 27 - 31 27 - 31 27 - 32 27 - 32 26.6 - 32 26.8 - 32
VARIABEL Kekeruhan DO (ppm) (NTU) 10 – 60 10 – 210 10 – 321 10 – 130 10 – 180 10 - 483 20 - 878 87 - 410 109 - 368 20 - 456 147 - 990
5.2 - 8.74 5.0 - 8.94 5.2 - 8.34 5.2 - 7.1 3.6 - 7.35 5.17 - 7.61 5.5 - 7.9 5.1 - 7.6 4.4 - 7.83 4.4 - 7.46 5.11 -8.45
pH
Kedalaman (m)
4 - 7.9 4.5 - 8.12 5.1 - 8.41 7.09 - 8 6.79 - 7.98 6.79 - 8.14 7.2 - 8.47 7.05 - 8.39 6.99 - 8.44 6.5 - 8.55 7.22 - 8.55
0.5 - 5.4 2.7 - 9 2.9 - 15 2.4 - 9.5 2.4 - 7.1 0.95 - 3.9 0.6 - 4.8 0.9 - 2.9 1.1 - 1.35 1.8 - 7.6 1.7 - 6
Manajemen Sumberdaya Perairan dan Ilmu Kelautan / MSP & IK - 3
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN : “Pengembangan IPTEK Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan dalam Mendukung Pembangunan Nasional” Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, 28 Agustus 2007 Salinitas Salinitas di perairan Segara Anakan berkisar antara 0 – 27 ‰. Berdasarkan lokasinya, saninitas terendah dengan kadar 0 ‰ dijumpai di perairan muara Citanduy (Plawangan Barat) pada bulan November, Desember, Januari, Februari, Maret dan Mei (Gambar 2).
30
30
25
25
25
20
20
20
15
15
15
10
10
10
5
5
5
A
B
C D E F G 23 Mei
H
A B C D E F G H I
30 25
20
20
15
15
10
10
5
5
B
C D E
F G
A
J
H
J
A B C D E F G H I J 13 Okt
30
30
30
25
25
25
20
20
20
15
15
15
10
10
10 5
5
-
A B C D E F G H
I
J
A B C D E F G H I 18 Sep
5
I
15 10 5
19 Ags
-
F G H
30 25 20
J
I
B C D E
16-Jul
18 Juni
25
A
Kekeruhan
-
J
I
30
Salinitas (ppt)
22 Apr
24 Mar
20 Feb 30
A B C D E F G H
J
I
A
J
B C D E
F G H
I
30
30 25 20 15 10 5
25 20 15 10 5
-
A
B C D E F G H
I
J
A B C D E F G H I
Kekeruhan merupakan variabel yang sangat penting di perairan Segara Anakan. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kekeruhan di perairan Segara Anakan sangat berfluktuasi, baik berdasarkan lokasi maupun waktu. Kekeruhan mempunyai pola distribusi yang berbanding terbalik dengan salinitas, dimana pada kawasan barat tingkat kekeruhan tinggi dan semakin berkurang ke arah timur. Gambaran fluktuasi kekeruhan dapat dilihat pada Gambar 3.
J
27 Des
28 Nop
sebagaimana terlihat pada bulan Maret, Juli, November dan Desember. Secara umum terlihat adanya gradien salinitas secara horisontal di perairan Segara Anakan. Pada perairan kawasan barat, salinitas umumnya rendah dan cenderung meningkat ke arah timur, kecuali pada bulan Agustus, September dan Oktober. Pada bulan-bulan tersebut merupakan musim kemarau, sehingga salinitas cenderung stabil dan perbedaan antar lokasi relatif kecil. Pada saat itu massa air tawar dari sungai relatif kecil.
J
Lokasi Sampling
Keterangan : A: Tritih Kulon
D :BaratKutawaru
G: Klaces
B :Karangtalun
E: TimurMotean
H :TimurKrAnyar
C :MuaraS. Donan
F :BaratMotean
I :MuaraS. Cibeureum
J :MuaraCitanduy
Gambar 2. Salinitas bulanan di perairan Segara Anakan tahun 2004. Pada bulan April di stasiun pengamatan tersebut juga masih dicirikan perairan tawar (kisaran salinitas antara 1-2 ‰). Pengaruh massa air tawar tersebut masih dominan pada lokasi pengamatan perairan laguna dekat Klaces, laguna sebelah Timur Karanganyar, laguna dekat muara Sungai Cibeureum, dan kadang-kadang sampai daerah Motean (Ujungalang). Oleh karenanya pada dua stasiun pengamatan di daerah Motean (sebelah barat dan timur Motean) memiliki salinitas rendah,
Kekeruhan di lokasi pengamatan kawasan barat, terutama di muara Sungai Citanduy sangat tinggi. Pada bulan April di lokasi pengamatan sebelah barat dan timur Motean juga tinggi. Tingginya kekeruhan pada kawasan barat tersebut disebabkan karena sumber utama kekeruhan berasal dari Sungai Citanduy. Partikel lumpur dan sampah yang terbawa massa air sungai Citanduy, akan terdistribusi ke perairan laguna dan pada saat air laut pasang terdorong ke arah timur sampai dengan perairan sebelah Timur Motean. Pada perairan ini massa air keruh dari kawasan barat tersebut akan tertahan dan bercampur dengan massa air dari timur yang lebih jernih dan lebih tinggi salinitasnya. Suhu Permukaan Air Suhu permukaan air berkisar antara 26.6 32oC, sedangkan suhu terendah terjadi pada bulan Agustus 2004 (26.6oC) dan suhu tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2004 (32oC). Dilihat dari rentang fluktuasi suhu menunjukkan bahwa periaran Segara Anakan dalam kondisi normal untuk daerah tropis. Suhu tertinggi didapatkan pada perairan Tritih Kulon dan terendah didapatkan pada muara Sungai Cibeureum.
Manajemen Sumberdaya Perairan dan Ilmu Kelautan / MSP & IK - 4
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN : “Pengembangan IPTEK Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan dalam Mendukung Pembangunan Nasional” Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, 28 Agustus 2007
A : Tritih Kulon B : Karang Talun C : Muara Donan D : Barat Kutawaru E : Timur Motean F : Barat Motean G : Klaces H : Timur Kr Anyar I : Muara S. Cibeureum J : Muara Citanduy
Gambar 3. Kekeruhan bulanan di perairan Segara Anakan tahun 2004
33 32 Tritih atas
31
Karang Talun M uara Do nan
Suhu (oC)
30
B arat Kutawaru Timur M o tean
29
B arat M o tean
28
Klaces Timur Kr A nyar
27
M uara S. Cibeureum
26 25
4Fe b 20 -F eb 24 -M a 22 r -A pr 23 m e 18 i -J un 16 -J u 19 l -A u 15 g -S ep 13 -O c 28 t -N o 27 v -D ec
24
Waktu Sampling
Gambar 4. Suhu permukaan air di perairan Segara Anakan tahun 2004
Manajemen Sumberdaya Perairan dan Ilmu Kelautan / MSP & IK - 5
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN : “Pengembangan IPTEK Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan dalam Mendukung Pembangunan Nasional” Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, 28 Agustus 2007
Kedalaman Perairan
pH pH perairan Segara Anakan relatif stabil, mencerminkan perairan pantai yang cenderung netral ke arah basa dengan fluktuasi relatif kecil. pH terendah didapatkan di perairan Tritih Kulon dan Karangtalun, sedangkan pH tertinggi ditemukan di perairan Klaces. Berdasarkan waktu sampling, pH terendah didapatkan pada sampling bulan Juli dan September (Gambar 8).
un
at
B ar
M ua
ra
D
gt al
K ul
an ar
h K
Tr iti
on a ku n t a Ti m wa ru ur M o B ar tea at n M ot ea Ti n m ur K la K M ce ua ar s ra an S ga . C ny a ib eu r re um
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 -
on
Kedalaman (m)
Kedalaman di perairan Segara Anakan cukup bervariasi, mulai dari kurang satu meter sampai dengan lebih dari 20 meter (Muara S. Donan). Gambaran rata-rata kedalaman di lokasi pengamatan disajikan pada Gambar 7. Perairan yang paling dangkal didapatkan pada perairan laguna sebelah Timur Karanganyar, disusul perairan Tritih Kulon. Perairan laguna sebelah Timur Karanganyar merupakan badan air yang tenang dan menerima sedimen dari Sungai Citanduy. Oleh karenanya pada lokasi
ini terus menerus terbentuk daratan baru yang diikuti tumbuhnya bakau, terutama diawali oleh jenis Rhizophora sp
Lokas i s am pling
.
Gambar 5. Kedalaman perairan berdasarkan lokasi pengamatan di perairan Segara Anakan.
Dendrogram
I G H F D E B C A
0
500
1000
1500
2000
index
Gambar 6. Dendrogram berdasarkan salinitas dan kekeruhan.
Manajemen Sumberdaya Perairan dan Ilmu Kelautan / MSP & IK - 6
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN : “Pengembangan IPTEK Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan dalam Mendukung Pembangunan Nasional” Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, 28 Agustus 2007 massa air tawar yang bersumber dari Sungai Citanduy, Sungai Cikonde dan Sungai Ujungalang. Kedua lokasi pengamatan ini memiliki kisaran salinitas dan kekeruhan yang lebih rendah dari kelompok pertama, dimana salinitas berkisar antara 0 – 20.5 ‰ dan kekeruhan berkisar 10 - 483 NTU. Kelompok ke tiga terdiri dari lokasi sebelah timur Motean (E), sebelah barat Kutawaru (D), Karangtalun (B), muara S. Donan (C) dan Tritih Kulon (A). Lokasi pengamatan sebelah timur Motean (E) merupakan daerah pertemuan massa air pasang dari Plawangan Barat dan Plawangan Timur. Secara geografis lokasi ini lebih dekat ke Plawangan Barat, namun massa air pasang dari Plawangan Timur yang lebih besar mampu mencapai daerah ini, terutama saat musim timur, sehingga karakteristik perairan lebih dekat ke perairan Kawasan Timur. Secara umum lokasi pengamatan kelompok ketiga memiliki kadar salinitas lebih tinggi dibanding kedua kelompok lainnya, mengindikasikan bahwa massa air asin lebih dominan dibanding massa air tawar. Hal ini disebabkan oleh karena Plawangan Timur cukup lebar dan dalam, sehingga massa air laut yang masuk lebih banyak, sedangkan sungai yang bermuara di daerah ini relatif lebih kecil dengan DAS yang lebih sempit. Kisaran salinitas pada kelompok ketiga antara 0.8 – 25.7 ‰, dengan kekeruhan berkisar antara 10 – 321 NTU.
Pengelompokkan Habitat Berdasarkan Salinitas dan Kekeruhan Berdasarkan cluster analysis terhadap variabel salinitas dan kekeruhan menunjukkan bahwa perairan Segara Anakan terkelompok menjadi tiga (Gambar 6 dan 7). Kelompok pertama terdiri dari lokasi pengamatan muara Sungai Cibeureum (I) dan Klaces (G). Kelompok pertama merupakan daerah yang paling dekat dengan sumber air tawar dan air asin. Massa air tawar terutama berasal dari Sungai Citanduy yang keruh pada saat air laut pasang, akan terdorong ke laguna dan ke arah timur (Motean) melalui perairan Klaces. Kedua lokasi pengamatan merupakan perairan dengan nilai kekeruhan dan salinitas yang paling berfluktuasi, dengan kisaran yang lebar. Kekeruhan berkisar antara 20-878 NTU, salinitas berkisar antara 0 – 24 ‰. Keterangan : Kelompok kedua terdiri dari lokasi pengamatan sebelah timur Karanganyar (H) dan sebelah barat Motean (F). Lokasi pengamatan sebelah timur Karanganyar dipengaruhi massa air tawar yang bersumber dari Sungai Citanduy, Sungai Cibeureum, Sungai Jaliwon, dan Sungai Cimeneng, sedangkan massa air asin berasal dari Plawangan Barat. Lokasi pengamatan perairan sebelah barat Motean dipengaruhi oleh
Timur Kr. anyar Tritih Kulon
Muara Cibeureum Karangtalun Klaces
Barat Motean
Timur Motean Barat Jojok
Muara Donan
S Hindia
Gambar 7. Pengelompokkan lokasi pengamatan hasil cluster analysis berdasarkan salinitas dan kekeruhan. A= Tritih Kulon
D =Barat Kutawaru
G= Klaces
B =Karangtalun
E =TimurMotean
H = Timur Karanganyar
C =MuaraDonan
F =BaratMotean
I =MuaraCibeureum
Manajemen Sumberdaya Perairan dan Ilmu Kelautan / MSP & IK - 7
28-Nov
13-Oct
15-Sep
19-Aug
16-Jul
24-Apr
23-May
22-Mar
20 Feb
18-Jun
K la ce K ar s an M g an ua ya ra r S .C ib er em
Ti m ur
Tr iti h
K ul K on ar an g Ta M lu ua n ra D on an B ar at Jo Ti jo m k ur M ot ea B ar n at M ot ea n
pH air
4 Feb
pH air
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN : “Pengembangan IPTEK Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan dalam Mendukung Pembangunan Nasional” Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, 28 Agustus 2007 S. Cibeureum, Klaces, timur Karanganyar dan barat Motean. Kelompok kedua terdiri dari 9 lokasi pengamatan timur Motean, barat 8 Kutawaru, muara S. Donan, Karangtalun dan 7 6 Tritih Kulon. Batas kedua wilayah perairan 5 tersebut berada di perairan Motean, dimana 4 massa air pasang dari Plawangan Barat dan 3 2 Plawangan Timur bertemu. 1 Kekeruhan merupakan faktor dan ancaman utama terhadap keberadaan laguna Segara Anakan. Sumber utama pengendapan di laguna Waktu sampling Segara Anakan adalah partikel lumpur dan sampah dari Sungai Citanduy. Laguna Segara 9 8 Anakan pada tahun 2004 tinggal tersisa sekitar 7 500 hektar dengan kedalaman berkisar antara 6 1 – 3 meter. Untuk mempertahankan keberadaan 5 4 perairan Laguna, secara berkala dilakukan 3 penyedotan lumpur. Atmawijaya (1995) 2 1 berdasarkan laju sedimentasi memperkirakan laguna Segara Anakan akan menjadi daratan pada tahun 2015. Salah satu upaya penyelamatan Laguna Segara Anakan yang Lokasi Pengamatan telah banyak dikaji dan menimbulkan prokontra di antara para pihak adalah dengan melakukan penyodetan Sungai Citanduy. Bagi Gambar 8. pH air rata-rata di perairan Segara pihak yang setuju, cara penyodetan adalah cara Anakan (atas : berdasarkan waktu, Bawah yang diyakini dapat menyelesaikan masalah : berdasarkan lokasi). pengendapan di laguna. Umumnya mereka Kelompok ke tiga terdiri dari lokasi sebelah berpendapat, penyelamatan ekosistem Laguna timur Motean (E), sebelah barat Kutawaru (D), Segara Anakan merupakan suatu yang sangat Karangtalun (B), muara S. Donan (C) dan Tritih penting dan “mendesak”, sehingga harus Kulon (A). Lokasi pengamatan sebelah timur dilakukan segera. Bagi pihak yang kurang Motean (E) merupakan daerah pertemuan massa setuju, menganggap bahwa penyelamatan air pasang dari Plawangan Barat dan Plawangan ekosistem laguna adalah penting, namun dalam Timur. Secara geografis lokasi ini lebih dekat mengatasi masalah tersebut jangan dilakukan ke Plawangan Barat, namun massa air pasang dengan cara yang menimbulkan masalah baru, dari Plawangan Timur yang lebih besar mampu atau hanya memindahkan masalah. Penyodetan mencapai daerah ini, terutama saat musim akan menyelamatkan ekosistem laguna, namun timur, sehingga karakteristik perairan lebih pada saat yang sama dikhawatirkan akan dekat ke perairan Kawasan Timur. Secara menimbulkan masalah pada perairan pantai umum lokasi pengamatan kelompok ketiga sebelah Barat Pulau Nusakambangan (pantai memiliki kadar salinitas lebih tinggi dibanding Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat). kedua kelompok lainnya, mengindikasikan Pro kontra tersebut nampaknya sulit untuk bahwa massa air asin lebih dominan dibanding dipertemukan, karena tidak hanya perbedaan massa air tawar. Hal ini disebabkan oleh karena pertimbangan teknis akademis, tetapi juga Plawangan Timur cukup leba dan dalam, menyangkut kepentingan daerah yang berbeda. sehingga massa air laut yang masuk lebih Berdasarkan hal-hal tersebut maka upaya banyak, sedangkan sungai yang bermuara di penyelamatan ekosistem laguna haruslah dicari daerah ini relatif lebih kecil dengan DAS yang alternatif lain di luar penyodetan. Salah satu lebih sempit. Kisaran salinitas pada kelompok alternatifnya adalah penataan dan perbaikan tata ketiga antara 0.8 – 25.7 ‰, dengan kekeruhan guna lahan di kawasan DAS Sungai Citanduy. berkisar antara 10 – 321 NTU. Cara tersebut sangat aman dan ramah Pengelompokkan tersebut dapat lebih lingkungan, meskipun membutuhkan biaya yang disederhanakan dengan memperbesar tingkat besar dan waktu yang lama. Bagi pihak yang perbedaan, sehingga menjadi dua kelompok terkait langsung dengan pemanfaatan dan saja, yaitu kelompok pertama dan kelompok pengelolaan Laguna Segara Anakan, cara kedua. Kelompok pertama terdiri dari muara
Manajemen Sumberdaya Perairan dan Ilmu Kelautan / MSP & IK - 8
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN : “Pengembangan IPTEK Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan dalam Mendukung Pembangunan Nasional” Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, 28 Agustus 2007 tersebut mungkin kurang meyakinkan, karena dinilai terlalu lama dan diluar jangkauannya. Atmawidjaja E. 1995. Perubahan lingkungan Hal ini karena pada saat penataan DAS fisik Segara Anakan p. 101-113 Di Citanduy belum selesai, laguna dikhawatirkan dalam: Proceeding Lokakarya sudah menjadi daratan. Pesimisme tersebut Penanganan Segara Anakan dan didukung oleh berbagai studi yang terkait Lingkungannya Secara Berkelanjutan. dengan laju sedimentasi dan penyempitan Departemen Pekerjaan Umum laguna. Oleh karenanya maka upaya alternatif bekerjasama dengan Kantor Menteri tersebut dapat dilengkapi dengan upaya Lingkungan Hidup RI. pembuatan waduk sebelum Sungai Citanduy Brahmana SS. 1995. Kualitas air Laguna bermuara ke laguna. Waduk berfungsi sebagai Segara Anakan dari aspek perikanan. Di perangkap sedimen (sediment trap) agar tidak dalam: Proceeding Lokakarya mengendap di laguna. Waduk bersifat Penanganan Segara Anakan dan sementara, dan dapat tidak difungsikan jika Lingkungannya Secara Berkelanjutan. proses penataan DAS telah selesai dan berfungsi Departemen Pekerjaan Umum dengan baik. bekerjasama dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup Jakarta. KESIMPULAN DAN SARAN Djamali A. 1991. Pengaruh ekosistem mangrove Berdasarkan uraian di atas dapat terhadap kelimpahan pascalarva dan disimpulkan bahwa : juwana udang Windu (P. monodon Fab.) dan udang Jerbung (P.merguensis de 1. Variabel kualitas air yang sangat Man) di perairan pantai Cilacap. Jawa berfluktusi secara spasial maupun temporal Tengah. [disertasi] Bandung. Program di perairan Segara Anakan adalah salinitas Pascasarjana Universitas Padjadjaran. dan kekeruhan. Dudley RG. 2000a. Segara Anakan fisheries 2. Berdasarkan variabel salinitas dan management plan. Specialist fisheries kekeruhan perairan Segara Anakan dapat consultant report. BCEOM-DITJEN dapat dipisahkan menjadi dua kawasan BANGDA, Jakarta. yaitu perairan kawasan barat yang keruh dan bersalinitas rendah, dan perairan ECI (Engineering Consultant Inc). 1974. The kawasan timur yang jernih dan bersalinitas Citanduy river basin development tinggi. project. Master-plan annex H: Land-use and Management. Ministry of Public 3. Masa air yang mempengaruhi kekeruhan Works and Electric Power. Director dan rendahnya salinitas adalah berasal dari General of Water Resources Sungai Citandui. Development. Directorate of River and Swamps. Berdasarkan kesimpulan tersebut disarankan perlunya dilakukan pengendalian -----------------------------------------------. 1975. sedimentasi. dengan penataan DAS Citanduy The Citanduy river basin development beserta pembuatan sediment trap. Hal tersebut project. Segara Anakan, Special Redilakukan melalui koordinasi lintas daerah evaluation of sedimentation. Denver. administrasi dengan melibatkan pemerintah pusat, karena mencakup dua provinsi, yaitu -----------------------------------------------, 1987. Jawa Barat dan Jawa Tengah. Segara Anakan engineering measures study : Main Report. Ministry of Public Works and Electric Power. Director DAFTAR PUSTAKA General of Water Resources Development. Amin E, T Hariati. 1991. The Capture fisheries of Segara Anakan, Indonesia. Di dalam : -----------------------------------------------. 1994. Chou Loke Ming et al..eds. Toward an Segara Anakan conservation and Integrated Management of Tropical development project. Final report, Asian Coastal Resources. Proceeding of the Development Bank, Jakarta. ASEAN/US Technical Workshop; Singapore, ICLARM Conference 22.455 Emmerson WD. 1983. Maturation and growth p. of ablated an unablated Penaeus
Manajemen Sumberdaya Perairan dan Ilmu Kelautan / MSP & IK - 9
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN : “Pengembangan IPTEK Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan dalam Mendukung Pembangunan Nasional” Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, 28 Agustus 2007 monodon Fabricius. Aquaculture. 32:235-241. Segara Anakan. Buku I. Kerjasama Direktorat Jenderal Pembangnan Daerah ET (Ecology Team) Bogor Agricultural Departemen dalam Negeri dan Pusat University. 1984. Ecological aspects of Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Segara Anakan in relation to its future Institut Pertanian Bogor. management. Institute of Hydraulic Engineering and Faculty of Fisheries, ----------------------. 1999b. Penyempurnaan Bogor Agriculture University Indonesia. penyusunan management plan kawasan Segara Anakan. Buku II. Kerjasama ET, Sujastani T. 1989. Natural resources. Di Direktorat Jenderal Pembangnan Daerah dalam : White AlT, P Martosubroto, Departemen dalam Negeri dan Pusat MSM Sadorra. 1989. The Coastal Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Environmental profile of Segara Anakan Institut Pertanian Bogor. Cilacap South Java Indonesia. ICLARM. Philippines. PPLH Universitas Diponegoro. 2001. Environmental monitoring program May RM. 1976. Theoritical Ecology. Principles (EMP) (Interim report). Segara Anakan and Applications. 2nd ed. Blackwell Conservation and Development Project Scientifical Publications. Sinauer (SACDP). Directorate General of Associates inc. Publishers. Sunderland Regional Development (DGRD). Massachusetts. White AT, P Martosubroto, MSM Sadorra. PKSPL – Institut Pertanian Bogor. 1998. Buku 1989. The Coastal environmental profile I. Kondisi dan potensi biofisik kawasan. of Segara Anakan Cilacap South Java Kerjasama PKSPL dengan Bagian Indonesia. International Centre for Proyek Konservasi dan Pembangunan Living Aquatic Resources. Association Segara Anakan. Direktorat Jendral of South East Asian Nations/US. Coastal Pembangunan Daerah Departemen Resources Management Project. Manila . Dalam Negeri. Philippine ----------------------. 1999a. Penyempurnaan penyusunan ,management plan kawasan
Manajemen Sumberdaya Perairan dan Ilmu Kelautan / MSP & IK - 10
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN : “Pengembangan IPTEK Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan dalam Mendukung Pembangunan Nasional” Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, 28 Agustus 2007
ANALISIS STOK UDANG JERBUNG (Penaeus merguiensis de Man ) MENGGUNAKAM MODEL HASIL RELATIF PER REKRUIT (Y’/R) DI LAGUNA SEGARA ANAKAN CILACAP Suradi Wijaya Saputra dan Subiyanto PS. Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto, SH Tembalang, Semarang Email :
[email protected]
ABSTRAK Penaeus merguiensis merupakan komponen utama produksi udang perikanan pantai Cilacap. Pada perairan Segara Anakan P. merguiensis merupakan produksi terbesar kedua setelah udang jari (Metapenaeus elegans), yaitu mencapai 13% dari total produksi udang di Segara Anakan, sehingga secara ekonomis dan ekologis menduduki peranan yang penting. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji stok udang P. merguiensis berdasarkan model hasil Y‟/R, sehingga dapat diperoleh ukuran optimum yang seharusnya ditangkap, sehingga dapat dijadikan dasar dalam pengelolaan udang jerbung di Laguna Segara Anakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi udang P. merguiensis akan maksimum berkelanjutan jika ukuran yang pertama tertangkap (Lc) pada panjang karapas > 22,5 mm, dengan laju eksploitasi 0,82/tahun. Pengelolaan udang P. merguiensis dilakukan dengan dua alternatif model pendekatan yaitu dengan peningkatan ukuran udang yang boleh ditangkap dan pengurangan laju eksploitasi. Ukuran udang yang boleh ditangkap pada panjang karapas di atas 22,5 mm, sedangkan julah apong yang boleh beroperasi maksimum 1.228 unit atau setara dengan 37.272 trip apong. Kata kunci : Segara Anakan, P. merguiensis, Y‟/R, konsep pengelolaan.
PENDAHULUAN Latar Belakang Segara Anakan dengan kawasan hutan mangrovenya merupakan habitat berbagai jenis organisme perairan dan daratan, diantaranya sumberdaya udang. Jenis udang menempati perairan Laguna Segara Anakan berkait dengan siklus hidupnya, terutama dari famili Penaidae, antara lain udang jari (Metapenaeus elegans), M. ensis, M. affinis, M. dobsoni, dang jerbung (Penaeus merguensis), P. indicus), udang windu (P. monodon), udang pacet (P. semisulcatus), udang krosok (Parapenaopsis sp), dan udang cikaso (Penaeus sp.) (Dudley, 2000). Spesies P. merguiensis merupakan komoditas ekspor dan merupakan komponen utama produksi udang perikanan pantai Cilacap secara keseluruhan. Di perairan Laguna Segara Anakan P. merguiensis merupakan produksi terbesar kedua setelah udang jari (M. elegans), yaitu mencapai 13% dari total produksi udang Segara Anakan (Saputra, 2004). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan udang ini sangat penting, baik kontribusinya terhadap produksi dan pendapatan nelayan Segara Anakan, maupun produksi
perikanan Kabupaten Cilacap. Keberadaan udang jerbung di Segara Anakan bersifat sementara, sebagai daerah asuhan. Apabila udang jerbung dari Segara Anakan dapat lolos ke perairan pantai dan tertangkap setelah tumbuh menjadi udang dewasa, maka akan meningkatkan produksi udang Kabupaten Cilacap dan meningkatkan devisa negara. Di perairan laguna Segara Anakan dan sekitarnya udang jerbung tertangkap dengan alat tangkap jaring apong. Bentuk apong sama dengan trawl, hanya pengoperasiannya statis, dengan menghadang arus. Alat tangkap ini sangat berkembang, oleh karena merupakan alat yang paling efektif menangkap udang. Apong berkembang sekitar awal tahun 80-an, sesaat setelah trawl dilarang beroperasi di kawasan perairan barat. Zarochman (2003) dan Saputra (2005) menyebutkan jumlah apong di Segara Anakan saat ini mencapai 1660 unit. Hal tersebut merupakan ancaman yang serius bagi sumberdaya perikanan pada umumnya dan sumberdaya udang jerbung khsusunya, yang keberadaannya sangat bergantung pada Laguna Segara Anakan. Penelitian ini bertujuan untuk
Manajemen Sumberdaya Peraoran dan Ilmu Kelautan / MSP& IK - 11
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN : “Pengembangan IPTEK Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan dalam Mendukung Pembangunan Nasional” Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, 28 Agustus 2007 mengkaji stok udang P. merguiensis menggunakan model Y‟/R sehingga diketahui hasil maksimum berkelanjutan (MSY) relatif serta dapat disusun konsep pengelolaan udang jerbung di perairan Laguna Segara Anakan.
Y
Un. ( 1 – c)n
3
(=ﻻ
)=E ∑ RW∞
n=0
nK
MATERI DAN METODE [1 + ( M )(1-E)]
Metode Sampling Penelitian dilakukan di perairan Laguna Segara Anakan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian survei. Penentuan lokasi pengambilan sampel dilakukan dengan mempertimbankan aspek keterwakilan daerah penangkapan, dan ditetapkan sembilan stasiun pengamatan (gambar 1). Pada setiap lokasi dilakukan pengambilan sampel udang hasil penangkapan 3 unit apong. Udang hasil tangkapan apong tersebut seluruhnya dijadikan sampel. Penelitian dilakukan selama 8 bulan, dan pengambilan sampel dilakukan sekali setiap bulan selama penelitian.
dimana : ﻻ
= hasil per rekruit tanpa satuan.
E
= laju eksploitasi
M = laju mortalitas alami c
=rasio panjang rata-rata pertama tertangkap dan panjang infiniti (Lc/L∞). K, L∞ dan to adalah parameter pertumbuhan von Bertalanffy
Y
= hasil tangkapan
R
= kelimpahan pada kelompok umur Lc Un = adalah koefisien sumasi, diambil nilai 1, -3, 3, -1 untuk n = 0, 1, 2, 3.
Bahan dan Metode Pengukuran Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah : udang jerbung hasil tangkapan apong dan bahan pengawet (formalin, es dan alkohol). Variable yang diukur meliputi: panjang karapas, panjang tubuh dan bobot tubuh udang. Data panjang diukur dari semua udang yang tertangkap selama sampling. Metode pengukuran masing-masing jenis data adalah sebagai berikut. 1) Data panjang badan udang diukur menggunakan jangka sorong, dari ujung karapas sampai dengan ujung telson. 2) Data panjang karapas diukur menggunakan jangka sorong dari ujung karapas sampai dengan pangkal karapas 3) Bobot udang diukur menggunakan timbangan elektrik 4) Jenis kelamin diidentifikasi dengan mengamati bagian ventral udang (kaki jalan 1 dan ke 5), dengan bantuan loup
Untuk mengkaji pengaruh perubahan Lc terhadap hasil per rekruit reparameterisasi dibuat oleh Beverton dan Holt (1966) sebagai berikut : Y „ Y‟ =
Y = (1-c) M/K ﻻ
= R
N(to) W∞
dimana : N(to) = jumlah kohort yang ada pada umur to Untuk mempermudah perhitungan, persamaan tersebut dapat ditulis dengan cara lain menjadi : 3U2
3U Analisis Data
(Y‟/R) = E*UM/K * 1 -
Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis stok menggunakan model Y‟/R dari Beverton dan Holt (1966). Persamaan Yield per Rekrut relatif (Y‟/R) adalah :
+ 1+m
U3 +
1+2m 1+3m
dimana : m = K/Z U = 1 – Lc/L∞ E = F/Z
Manajemen Sumberdaya Peraoran dan Ilmu Kelautan / MSP & IK - 12
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN : “Pengembangan IPTEK Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan dalam Mendukung Pembangunan Nasional” Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, 28 Agustus 2007 Hasil relatif (Y‟) merupakan fungsi dari laju eksploitasi (E), U (1- Lc/L∞) dan M/K. Dua parameter pertama, yaitu E dan c dapat dikendalikan, sedangkan M/K hanya parameter biologi yang dibutuhkan dalam analisis. Model ini dapat digunakan untuk menentukan
kombinasi optimum dari jumlah upaya penangkapan (diukur dengan laju mortalitas penangkapan (F), dan ukuran saat pertama kali tertangkap (Lc), yang akan diperoleh hasil tangkapan maksimum berkelanjutan (maximum sustainable yield).
Gambar `. Lokasi pengambilan sampel
Keterangan :
Timur Kr. anyar Muara Cibeureum Barat Motean
Tritih Kulon
Citra Data : Landsat RTM7 Path/Row : 121/65 & 120/65 Sumber data : LAPAN Gendetie Datum : WG884 Map Projection : SUTM49 Digital Software : Er Mapper 6.
Karangtalun
Klaces Barat Jojok Timur Motean
Muara Donan
Gambar 1. Lokasi Sampling Penelitian
A Lc = 11,25 mm
C Lc = 22,5 mm
B Lc = 18 mm
D Lc = 26,25 mm
Gambar 2. Kurva yang menggambarkan nilai hasil per rekruit relatif (Y‟/R) dan biomass per rekruit relatif (B/R‟) sebagai fungsi dari laju eksploitasi
Manajemen Sumberdaya Peraoran dan Ilmu Kelautan / MSP& IK - 13
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN : “Pengembangan IPTEK Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan dalam Mendukung Pembangunan Nasional” Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, 28 Agustus 2007 HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Analisis Stok Berdasarkan Hasil Relatif per Rekruit (Y’/R)
Hasil pengukuran selama penelitian diperoleh data frekuensi panjang karapas udang P. merguiensis sebagai berikut. Untuk melakukan analisis stok menggunakan model Hasil Relatif per Rekruit (Y‟/R) memerlukan masukan parameter : ukuran pertama kali tertangkap, parameter pertumbuhan von Bertalanffy (L∞, K dan to) mortalitas (Z, M dan F) dan laju eksploitasi (E). Hasil perhitungan menggunakan shoft ware
FISAT II diperoleh hasil sebagaimana disajikan dalam tabel 2. Parameter tersebut di atas yang dapat dikendalikan oleh manusia dalam pengelolaan adalah F (laju kematian penangkapan) dan Lc (ukuran udang pertama tertangkap). Upaya pengelolaan dilakukan dengan mengatur besar kecilnya jumlah alat yang beroperasi dan ukuran mata jaring. Pengaturan jumlah upaya tangkap akan berimplikasi pada besar kecilnya mortalitas alami (F), sedangkan pengaturan mata jaring dan/atau pengaturan musim penangkapan akan berimplikasi pada besar kecilnya Lc. Berdasarkan analisis hasil per rekruit relatif.
Tabel 1. Frekuensi Panjang Karapas Udang P. merguiensis Selama Penelitian BULAN SAMPLING Panjang Karapas (mm) Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sept 6 1 7 0 8 0 9 2 10 2 2 2 11 0 1 4 1 12 0 2 1 2 9 1 1 13 0 2 0 4 6 4 0 6 14 1 2 2 6 3 5 0 15 15 3 8 3 13 5 7 8 23 16 9 15 1 14 13 11 11 31 17 17 28 6 18 8 16 23 11 18 24 29 4 16 15 23 34 31 19 20 28 4 20 15 18 12 12 20 15 34 2 22 23 23 38 12 21 10 15 1 16 19 29 32 1 22 17 23 0 6 13 23 17 7 23 5 9 0 10 15 20 10 2 24 3 5 0 2 10 16 5 0 25 3 4 2 6 7 21 2 0 26 3 2 0 2 4 29 1 1 27 2 3 0 1 4 8 1 28 0 0 0 0 1 2 29 3 2 1 1 0 2 30 2 2 1 2 5 31 1 1 2 32 0 0 33 1 1 Jumlah sampel 141 218 28 159 181 264 195 154
Manajemen Sumberdaya Peraoran dan Ilmu Kelautan / MSP & IK - 14
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN : “Pengembangan IPTEK Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan dalam Mendukung Pembangunan Nasional” Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, 28 Agustus 2007 (Y‟/R) untuk kondisi perikanan udang jerbung di perairan Segara Anakan yang knife edge recruitment fisheries (tr = tc) diperoleh hasil sebagaimana disajikan pada Gambar 2 Pada kondisi saat sekarang, Lc sebesar 18 mm (Gambar 2B), laju eksploitasi maksimum (Emax) yaitu laju eksploitasi yang menghasilkan Y/R‟ maksimum, yaitu sebesar 0,681 per tahun dengan Y/R‟ sebesar 0,057. Laju eksploitasi pada E0,1 sebesar 0,552 per tahun menghasilkan Y/R‟ sebesar 0,055 dan laju eksploitasi pada E0,5 sebesar0,357 per tahun menghasilkan Y/R‟ sebesar 0,04. Pada saat Emax, biomass B/R‟ berada pada tingkat 15%. Tabel 2. Hasil perhitungan Parameter yang Diperlukan dalam Analisis Y‟/R Parameter L∞ (mm) K (per tahun) Z (per tahun) M (per tahun) F (per tahun) E (per tahun) Lc (mm) Ltp (mm) to (tahun)
Kisaran
5,7 – 8,34
Rata-rata 37,5 1.4 7,02 1,96 5,06 0,72 18 22,5 -0,00875
Jika Lc diturun-kan menjadi sebesar 11,25 mm, maka Y‟/R maksimum turun menjadi 0,048, pada Emsy sebesar 0,516/tahun dan B/R‟ meningkat menjadi 25% dari Bv. Hal ini menunjukkan pemanfaatan udang jerbung cepat menghabiskan sumberdaya tetapi tidak memberikan hasil yang
optimum. Apabila Lc diperbesar menjadi 22,5 mm, yaitu pada sekitar terjadinya perubahan kecepatan tumbuh, maka Y‟/R maksimum sebesar 0,063, dengan Emsy sebesar 0,85 / tahun, dan B‟/R berada pada tingkat 10% dari Bv. Hal itu berarti Y‟/R meningkat sebesar 10,5%, dan biomass di alam terselamatkan 5%. Apabila Lc ditingkatkan menjadi 26,25 mm, maka Y‟/R maksimum akan bertambah menjadi sebesar 0,065 dengan Emsy sebesar 1 / tahun, dan B/R‟ mendekati tingkat 0%. Hal itu berarti biomass di alam yang belum termanfaatkan meningkat atau bahkan seperti tidak berkurang. Hal ini dikarenakan dengan semakin besarnya ukuran udang yang ditangkap, maka proses recovery akan berjalan dengan baik, sehingga seolah-olah sumberdaya tidak berkurang. Jika Lc diturunkan menjadi sebesar 11,25 mm, maka Y‟/R maksimum turun menjadi 0,048 pada Emsy sebesar 0,516/tahun dan B/R‟ meningkat menjadi 25% dari Bv. Hasil analisis interaksi antara c (Lc/L∞) dengan laju eksploitasi (E) yang memberikan gambaran hasil relatif per rekruit relatif (Y‟/R) disajikan pada Gambar 3. Berdasarkan Gambar 3 terlihat bahwa garis isopleth Y‟/R sebagai interaksi antara c (ratio Lc/L∞) dan E. Y‟/R akan tinggi jika c semakin besar dan E juga semakin besar. Y‟/R optimum untuk setiap tingkat laju eksploitasi dan ukuran udang yang ditangkap berada pada wilayah diantara garis putus-putus.
Gambar 3. Hasil relatif per rekruit hubungannya dengan ratio Lc/L∞ dengan ratio eksploitasi (E) udang jari di perairan Segara Anakan berdasarkan metode Beverton dan Holt (1966) (Lc = 18 mm, L∞= 37,5 mm, K = 1,4/tahun, to = -0,00875 tahun dan M = 1,96/tahun.
Manajemen Sumberdaya Peraoran dan Ilmu Kelautan / MSP& IK - 15
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN : “Pengembangan IPTEK Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan dalam Mendukung Pembangunan Nasional” Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, 28 Agustus 2007 Namun jika mengacu pada konsep keberlanjutan sumberdaya, dengan mempertimbangkan laju eksploitasi dan ukuran udang yang boleh ditangkap, agar udang mempunyai kesempatan untuk berkembang biak, maka daerah eksploitasi sebaiknya berada pada wilayah yang diabsir. Pada wilayah tersebut, laju eksploitasi berkisar antara E0.1 sampai dengan Emax, sedangkan ukuran udang yang tertangkap berada di atas ukuran saat terjadinya perubahan kecepatan tumbuh (Ltp = 22,5 mm). 2.
Model Pengelolaan
Sebagaimana dijelaskan pada bab terdahulu, berdasarkan model hasil per rekruit, variabel yang dapat dikendalikan manusia hanyalah F (mortalitas penangkapan) melalui pengaturan laju eksploitasi dan Lc melalui penentuan ukuran mata jaraning. Oleh karenanya, upaya peningkatan produksi udang jerbung dan sekaligus upaya perlindungan terhadap keberlanjutan pembentukan stok alami, dapat dilakukan dengan dua model pendekatan, yaitu dengan melakukan penentuan ukuran udang yang boleh ditangkap dan dengan mengatur intensitas eksploitasi. 1.
Penentuan Ukuran Udang yang Boleh Ditangkap
Eksploitasi udang di perairan Segara Anakan menggunakan apong dengan mata jaring yang sangat kecil (0,5 inch), sehingga perikanan udang berada pada kondisi pisau bermata dua (knife-edge recruitment fishery). Hal ini berarti setiap udang yang masuk ke wilayah perikanan, akan langsung tertangkap (Lc = Lr). Ukuran udang jerbung yang pertama tertangkap masih di bawah ukuran saat terjadinya perubahan kecepatan tumbuh, dimana Lc adalah 18 mm sedangkan Ltp sebesar 22,5 mm. Untuk mencegah terjadinya growth overfishing maka penangkapan udang jerbung seharusnya dilakukan pada panjang karapas lebih besar dari Ltp yaitu pada panjang karapas > 22,5 mm. Sedangkan untuk menghindari terjadinya recruitment overfishing maka Lc seharusnya lebih besar dari Lmb( ukuran pertama matang gonad). Hal ini untuk menambah jumlah induk yang memijah sebelum tertangkap. Akan tetapi data tentang ukuran pertama kali matang gonad tidak diperoleh, karena udang jerbung yang ada di Segara Anakan merupakan udang muda.
a.
Pengaturan Ukuran Mata jaring Upaya peningkatan ukuran panjang karapas yang boleh ditangkap dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada udang jerbung untuk lolos dari alat tangkap atau memberi peluang untuk tumbuh dengan memperbesar ukuran mata jaring. Berdasarkan kurva seleksi diperoleh nilai SF (faktor seleksi) apong dengan ukuran mata jaring 0,5 inch adalah sebesar 0.69. Berdasarkan rumus Lc (50%) = SF x MS (mesh sise), maka ukuran mata jaring yang boleh beroperasi agar Lc = 22,5 adalah sebesar 3,25 cm. Pengaturan ukuran mata jaring pada kantong apong akan berdampak positif tidak saja pada sumberdaya udang jerbung, tetapi juga pada sumberdaya ikan dan udang lainnya. Udang genus Penaeus yang menempati perairan Segara Anakan sebagai daerah asuhan akan terlindungi sampai ukuran yang cukup, untuk dapat lolos ke perairan pantai. Naamin (1984) menyitir pendapat Gulland (1972) menyebutkan bahwa pengaturan mata jaring untuk penangkapan udang kurang efektif, karena proses seleksi kurang efisien. Adanya rostrum dan pencuatan-pencuatan dari anggota tubuh (appendages) menghambat lolosnya udang dari mata jaring. Dengan menyitir pendapat Boerema (1974) selanjutnya dinyatakan bahwa pengaturan ukuran mata jaring akan kurang efektif dalam penentuan ukuran udang karena sangat lebarnya rentang selektifitas mata jaring trawl pada udang. Menyitir Garcia dan Lhome (1972), Hynd (1973),Garcia et al. (1979), Lhome (1979) peraturan tentang pengaturan ukuran mata jaring yang boleh digunakan masih bermanfaat dan argumentasi yang dikemukakan antara lain : 1) Karena umur udang pendek dan pertumbuhannya cepat, maka udang harus ditangkap sebelum menyelesaikan daur hidupnya, yaitu pada tahun pertama. 2) Peningkatan ukuran mata jaring akan menuju pada peningkatan umur, rata-rata berat per individu dan harga per kilogram yang semakin tinggi. Apabila pengaturan mata jaring telah diundangkan, efektifitas model ini akhirnya sangat bergantung pada penegakan hukum, yang di Indonesia hal ini masih menjadi kendala besar.
Manajemen Sumberdaya Peraoran dan Ilmu Kelautan / MSP & IK - 16
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN : “Pengembangan IPTEK Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan dalam Mendukung Pembangunan Nasional” Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, 28 Agustus 2007 b.
Pengaturan Melalui Penutupan Musim dan Daerah Penangkapan
Upaya lain dalam pengaturan ukuran udang yang boleh ditangkap adalah dengan menutup musim dan daerah penangkapan, terutama pada daerah pemusatan udang jerbung yang masih berukuran kecil dan alur ruaya pascalarva dari perairan pantai ke Laguna Segara Anakan. Penutupan musim penangkapan akan memperoleh dua manfaat yang bersamaan, yaitu meningkatkan ukuran udang yang tertangkap dan mengurangi laju eksploitasi. Udang jerbung berukuran kecil terutama terkonsentrasi pada bagian hulu, seperti perairan Tritih Kulon. Disamping itu juga diketahui bahwa alur ruaya udang jerbung dari laut ke perairan Segara Anakan terutama melalui Plawangan Timur. Oleh karenanya penutupan daerah penangkapan lebih efektif jika dilakukan pada daerah Plawangan Timur, dimana udang jerbung masih benar-benar kecil (pascalarva juvenil). 2.
Pengendalian Laju Mortalitas Penangkapan (F)
Pengaturan besarnya laju eksploitasi (E) pada dasarnya adalah pengaturan jumlah upaya penangkapan (f), yang juga berarti pengendalian laju mortalitas penangkapan (F), karena E = F/Z dan F = qf. Pengendalian laju eksploitasi dapat dilakukan dengan cara mengurangi upaya penangkapan (f) yang berimplikasi pada penurunan nilai F (mortalitas penangkapan). Upaya ini hanya perlu dilakukan jika pengaturan ukuran mata jaring serta penutupan musim dan daerah penangkapan tidak dapat dilakukan. Laju eksploitasi (E) saat sekarang adalah 0,72 per tahun, sedangkan E msy sebesar 0,64/tahun dan E0,1 adalah 0,57/tahun. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tingkat eksploitasi telah melampaui batas optimum atau telah overexploited, yaitu telah mencapai 112% dari eksploitasi maksimum berkelanjutan atau 126% terhadap E0.1. Oleh karenanya tingkat eksploitasi saat sekarang harus diturunkan sebesar 26 % agar lebih menjamin keberlanjutan stok. Saat sekarang jumlah apong sebanyak 1660, dengan jumlah trip sebanyak 50.368. Hal tersebut berarti jumlah trip harus diturunkan sampai tingkat 37.272 trip saja atau jumlah apong yang beroperasi dibatasi hanya sebanyak 1.228 unit. Upaya pengurangan trip atau jumlah apong secara langsung akan sulit dilakukan karena akan terkait dengan pendapatan rutin harian
banyak nelayan apong, kecuali jika disediakan alternatif mata pencaharian di luar perikanan. Pengurangan dapat dilakukan secara langsung atau melalui skenario penutupan musim dan daerah penangkapan. Penutupan musim dan daerah penangkapan dapat mengacu pada dua dasar pertimbangan, yaitu berdasarkan pada puncak pemijahan dan / atau puncak rekruit. Pada skenario penutupan musim dan daerah penangkapan berdasarkan puncak rekruit telah diuraikan di atas. Pengendalian dan monitoring atas pemanfaatan sumberdaya udang di perairan Segara Anakan relatif lebih mudah, jika dibandingkan dengan perikanan pantai. Hal ini karena jenis alat tangkap utama yang digunakan hanya satu, dan cakupan perairannya terbatas. Masalah timbul apabila dikaitkan dengan penghasilan harian nelayan apong. Sebagaimana diketahui, penangkapan udang jerbung di Segara Anakan dilakukan oleh nelayan apong, yang hasil tangkapan udang per satuan upaya (trip) relatif rendah. Meskipun hasil tangkapan rendah, namun nelayan tidak memliki alternatif penghasilan lain. Oleh karenanya maka tindakan pengelolaan harus menyertakan aspek tersebut. Apabila tindakan penutupan musim dan daerah penangkapan menjadi pilihan, maka harus ada kompensasi bagi nelayan yang pada waktu dan daerah tertentu tidak melakukan penangkapan. Sumberdana konpensasi tersebut dapat digali dari retribusi hasil penangkapan nelayan apong sendiri, yang dikelola oleh nelayan (melalui kelompok). Jika tidak demikian, tindakan penutupan penangkapan sulit untuk dilaksanakan. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pemaparan hasil dan pembahasan di depan maka dapat disimpulkan bahwa :
Produksi udang P. merguiensis akan maksimum berkelanjutan jika ukuran udang P. merguiensis yang pertama tertangkap (Lc) pada panjang karapas > 22,5 mm, dengan laju eksploitasi 0,82/tahun. Pengelolaan udang P. merguiensis dilakukan dengan dua model pendekatan yaitu dengan peningkatan ukuran udang yang boleh ditangkap melalui pengaturan ukuran mata jaring apong, dimana mata jaring pada kantong minimal 3,25 cm. Model kedua adalah dengan mengatur jumlah trip penangkapan maksimum 37.272
Manajemen Sumberdaya Peraoran dan Ilmu Kelautan / MSP& IK - 17
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN : “Pengembangan IPTEK Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan dalam Mendukung Pembangunan Nasional” Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, 28 Agustus 2007 trip apong atau setara 1.228 unit apong yang boleh beroperasi. Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran dan rekomendasi yang dapat disampaikan adalah bahwa pengelolaan udang P. merguiensis dilakukan dengan: 1.
2.
Mengatur ukuran mata jaring apong yang boleh digunakan, dimana mata jaring pada kantong minimal 3,25 cm. Mengatur jumlah trip penangkapan apong maksimum 37.272 trip setahun atau setara 1.228 unit apong yang boleh beroperasi.
DAFTAR PUSTAKA Amin E dan T Hariati, 1991. The Capture fisheries of Segara Anakan, Indonesia. Pp 51-56 in Chou Loke Ming et al., Toward an Integrated Management of Tropical Coastal Resources. Proceeding of the ASEAN/US Technical Workshop, Singapore, ICLARM Conference 22.455 p. Beverton RJH and SJ Holt. 1966. Manual of methods for fish stock assesment. Part II. Tables of Yield Fuction. FAO Fish.tech.Pap,.(38)(Rev-1) 67p. Chan TY. 1998. Shrimps and Prawns. In. KE Carpenter and VH Niem. 1998. The living marine resources of the Western Central Pacific. Vol. 2. Cephalopods, Crustaceans, Holothurians and Sharks. Food and Agriculture Organization of the United Nations Rome. Dudley RG.1999. Fisheries issue. Community development and project management and capacity building components. Specialist fisheries consultant report. BCEOM-DITJEN BANGDA, Jakarta. -----------------. 2000a. Segara Anakan fisheries management plan. Specialist fisheries consultant report. BCEOM-DITJEN BANGDA, Jakarta. ------------------ 2000b. Summary of data related to catches in Segara Anakan. Specialist fisheries consultant Report. BCEOMDITJEN BANGDA, Jakarta. ------------------ 2000c. Summary of data related to catches shrimp landing in Cilacap. Specialist fisheries consultant report. BCEOM-DITJEN BANGDA, Jakarta.
Enin UI, U Lowenberg, T Kunzel., 1996. Population dynamic of estuarine prawn (Nematopalaemon hastatus Aurivillius 1898) off the southeast coast of Nigeria. Journal Fisheries Research 26 (1996) 17-35. King, M., 1995. Fisheries biology, assessment and management. Fishing News Books. A Division of Blackwell Science Ltd. London. Lovett, DL. 1981. A guide to the shrimps, prawns, lobsters, and crabs of Malaysia and Singapore. Occasionally Publication No.2. Faculty of Fisheries and Marine Science. Universitas Pertanian Malaysia.. Naamin N. 1984. Dinamika populasi udang jerbung (Penaeus Merguensis de Man) di perairan Arafura dan alternatif pengelolaannya. Disertasi Doktor pada Fakultas Pascasarjana IPB Bogor. Pauly D. 1987. A review of the ELEFAN system for analysis of length frequency data in fish and aquatic invertebrata. P.7-34. In D Pauly and GR Morgan (eds). Length based methods in fisheries research. ICLARM Conference proceeding 13,468p. International Centre for Living Aquatic Resources Management, Manila, Philippines, and Kuwait Insitute for Scientific Research, Safat, Kuwait. Pauly D, J Ingles and R Neal. 1980. Application to shrimp stocks of objective methods for the estimation of growth, mortality and recruitment-related parameter from frequency data (ELEFAN I and II). ICLARM Contribution No.122. Saputra, SW, P. Soedarsono, P. Wibowo dan A. Solichin, 2004. Aspek reproduksi udang jari (M. elegans) di Perairan Segara Anakan, Cilacap Jawa Tengah. Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNDIP. Semarang. Saputra, SW.2005. Dinamika populasi udang jari (Metapenaeus elegans di Perairan Segara Anakan, Cilacap Jawa Tengah. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.
Manajemen Sumberdaya Peraoran dan Ilmu Kelautan / MSP & IK - 18
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN : “Pengembangan IPTEK Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan dalam Mendukung Pembangunan Nasional” Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, 28 Agustus 2007 Sparre PE. Ursin and Venema, 1989. Introduction to tropical fish stock assessment Part I – Manual. Food and Agriculture Organization. Fisheries Technical Paper. FAO of the United Nations, Rome : 337 p. Sumiono B. 1991. Penelitian stok udang di perairan selatan Jawa dan barat Sumatera. Laporan teknis. Balai Penelitian Perikanan Laut. 1995. Widodo J. 1988a. Dynamic pool analysis of “ikan laying” (Decapterus spp.) fishery in the Java Sea. Jurnal Perikanan Laut No.147 Th.1988 Hal.39-58. -----------. 1988b. Population parameters of “ikan layang”, Scad mackerel, Decapterus spp. (Pisces : Carangidae) in the Java
Sea. Jurnal Pen. Perikanan Laut No. 46 Th.1988 Hal.11-44 -----------. 1991. Maturity and spawning of short-fin Scad (Decapterus macrosoma) (Carangidae) of the Java Sea. Asian Fisheries Science, 4, 245-252. Zarochman. 2001. Penataan apong untuk keselamatan udang dalam kawasan Segara Anakan. Jurnal Gema Segara Anakan. Vol. III, Nomor 9. ISSN 14111160. PMO/SADP. ---------------. 2003. Laju tangkap udang dan masalah jaring apong di Pelawangan Timur Laguna Segara Anakan. Thesis. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.
Manajemen Sumberdaya Peraoran dan Ilmu Kelautan / MSP& IK - 19
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN : “Pengembangan IPTEK Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan dalam Mendukung Pembangunan Nasional” Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, 28 Agustus 2007
Manajemen Sumberdaya Peraoran dan Ilmu Kelautan / MSP & IK - 20
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN : “Pengembangan IPTEK Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan dalam Mendukung Pembangunan Nasional” Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, 28 Agustus 2007
Manajemen Sumberdaya Peraoran dan Ilmu Kelautan / MSP& IK - 21