i
MODEL RESILIENSI MASYARAKAT DI LAGUNA SEGARA ANAKAN
SITI HAJAR SURYAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ii
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: MODEL RESILIENSI MASYARAKAT DI LAGUNA SEGARA ANAKAN adalah benar merupakan karya saya dengan arahan komisi pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua data dan sumber informasi yang digunakan telah secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Februari 2012
Siti Hajar Suryawati NRP. P 061060191
iii
ABSTRACT SITI HAJAR SURYAWATI. Community Resilience Model in Segara Anakan Lagoon. Under direction of ENDRIATMO SOETARTO, LUKY ADRIANTO and AGUS HERI PURNOMO. Resilience is defined as the capacity of interacting social and ecological systems to absorb disturbance caused by abrupt changes, such that the systems can maintain their structures and essential processes as well as provide feedbacks. Based on such a premise, this research is aimed to assess and to construct scientific understanding of the social-ecological resilience of an important ecosystem currently facing pressures and disturbances, namely the Segara Anakan Lagoon. This research was conducted within the periods of 2008 to 2010, aiming at thorough understanding on the interactions among the existing four subsystems, such that it enables identifications of intervention options required to maximize benefits and minimize problems associated with the existence of the lagoon. Methodological approach used in this research was adapted from Anderies et al’s conceptual framework, wherein the directions of influence of one sub-system on the others are identified to permit assessment of the trend of changes that occur in a particular subsystem as the result of the dynamics that happens in another subsystem. Primary data wich include information on social-ecological systems were collected following the survey approach, using respondents drawn purposively from 17 dusuns of 4 villages in the Segara Anakan Lagoon. Meanwhile, secondary data which consist mainly of previous research results were collected from recorded document and publications available at relevant institutions namely Segara Anakan Management Board (BPKSA), The Sub-district Office and and Village Offices. These data were processed and analyzed following the qualitative approach.In general, the research results showed that the SES in the Segara Anakan Lagoon was constructed by four subsystems: (1) natural resources, which include water area, mangrove forest and land area; (2) the resource users, which include fishermen, farmer and service providers; (3) public infrastructures, which include central government, local goverment and NGO’s; and(4) infrastructure providers, which include water infrastructure, electricity infrastructure, educational infrastructure, health infrastructure and transportation infrastructure. The natural resources subsystem was identified as the most predominant system among the existing subsystems, particularly due to external factor, namely sedimentation attributed to both natural and anthropogenic factors occurring in another system, i.e., the upstream terrestrial system. The process has caused the decrease in the lagoon area, which hence influence social-economic and community aspects, particularly the livelihood of the lagoon inhabitants. Contemporary development of the SES in the Segara Anakan Lagoon shows that pressures from he natural resource subsystem led to social economic and cultural adjustments, which then promotes even bigger pressures on natural resource aspects and vice versa. Following these results, it can be concluded that a number of intervention forms have to be focused on the subsystems of natural resourve and natural resource users, while the two other subsystems should relatively positioned as supporting variables. Keywords : Social-Ecological Systems, Lagoon, Segara Anakan, Resilience, Community, Community Resilience
iv
RINGKASAN SITI HAJAR SURYAWATI. Model Resiliensi Masyarakat di Laguna Segara Anakan. Dibimbing oleh ENDRIATMO SOETARTO, LUKY ADRIANTO dan AGUS HERI PURNOMO. Segara Anakan merupakan kawasan laguna atau estuari yang terbentuk dari beberapa ekosistem yang saling berhubungan erat, yang mempunyai potensi ekonomis besar, termasuk potensi perikanan, yang menyumbang produksi ikan dari wilayah pantai dengan nilai lebih dari 62 milyar rupiah/tahun. Fungsi sosial ekonomi seperti itu dimungkinkan oleh keberadaan ekosistem mangrove di wilayah ini, yang mendukung siklus kehidupan ikan, udang, kepiting dan fauna lainnya, seperti burung dan aneka reptil. Bagi satwa-satwa laut tersebut, laguna ini merupakan tempat berkembang biak dan tempat membesar atau berkembangnya anak-anak mereka sebelum pada suatu saat keluar melalui muara laguna ke laut lepas, Samudera Hindia, untuk selanjutnya ditangkap para nelayan. Perkembangan terbaru menunjukkan adanya ancaman yang semakin besar terhadap laguna ini. Sebuah fenomena alam yang mencemaskan sedang terjadi dan ramai dibicarakan, yaitu prediksi akan hilangnya laguna yang kaya manfaat tersebut, karena degradasi lingkungan yang terjadi di Laguna Segara Anakan merupakan sebuah kecenderungan yang tidak dapat dihentikan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kecepatan pengangkutan sedimen dari Sungai Citanduy mencapai 5 juta m3/tahun sedangkan dari sungai Cikonde serta sungai kecil lainnya mencapai 770.000 m3/tahun. Dengan kecepatan angkutan sedimen dari Cikonde sebesar 770.000 m3/tahun, terjadi laju pengendapan sebesar 260.000 m3/tahun. Dari proses sedimentasi dari sungaisungai tersebut, diperkirakan jumlah sedimen yang mengendap di perairan Segara Anakan adalah sebesar 1 juta m3/tahun. Perkembangan baru sebagaimana tersebut di atas membawa akibat pada tumbuhnya luasan lahan timbul, yang kemudian mendorong penduduk setempat untuk mengembangkan pencaharian pertanian yang bertumpu pada keberadaan lanan-lahan timbul tersebut. Tidak hanya penduduk setempat, pengembangan pencaharian berbasis lahan timbul ini juga dilakukan oleh para pendatang dari wilayah daratan Pulau Jawa, yang kemudian bermukim tetap di Segara Anakan. Perkembangan lain yang menyusul kemunculan bentuk pencaharian baru tersebut adalah terjadinya perambahan hutan bakau karena berbagai alasan. Perambahan bakau terkait pengembangan pemukiman bagi penduduk pendatang. Disamping itu, penebangan bakau juga terjadi sebagai konsekuensi dari jumlah penduduk yang terlanjur meningkat dan lahan pertanian yang belum sepenuhnya siap untuk digarap, serta usaha budidaya tambak di lahan-lahan bakau, yang dipandang sebagai peluang alternatif bagi pendatang. Sedimentasi dan penyusutan luasan laguna, meski dapat diperlambat, tidak dapat dihentikan sehingga dampaknya tidak dapat terhindarkan oleh masyarakat di kawasan laguna. Dalam situasi seperti ini, tindakan yang paling logis adalah mempersiapkan masyarakat untuk mampu menghadapi dampak negatif yang ditimbulkan tersebut. Dengan kemampuan tersebut, diharapkan pula bahwa masyarakat mampu berperan dalam mempertahankan keberlanjutan sistem sosial-ekologis di wilayah Segara Anakan. Berbagai upaya telah dilakukan termasuk melalui berbagai bentuk kajian maupun melalui penerapan kebijakan. Menurut hasil-hasil kajian yang telah dilakukan, permasalahan dan berbagai penyebabnya saling terkait, mencakup
v
aspek ekologis dan aspek-aspek sosial ekonomi masyarakat, yang terintegrasi dalam sebuah sistem. Integrasi seperti itu dikenal sebagai Social-Ecological Systems (SES). Laguna Segara Anakan merupakan sebuah SES dimana aspek sosial dan aspek ekologi terkait sangat erat dan saling berintegrasi. Kedua aspek ini memiliki kompleksitas dan terus berubah secara dinamis. Dalam konteks peningkatan ketahanan SES ini, satu kata kunci yang sering terabaikan dalam penerapan berbagai kebijakan adalah ’kerentanan’. Tanpa memperhatikan aspek kerentanan, kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan tidak dapat tepat sasaran. Kebijakan yang telah dilakukan diantaranya adalah pengembangan pencaharian alternatif, pembangunan prasarana pengelolaan, program rehabilitasi lingkungan, dan sebagainya. Namun demikian, langkah-langkah kebijakan tersebut pada umumnya tidak dilandasi oleh informasi yang cukup tentang aspek-aspek kerentanan yang mencirikan masyarakat di Segara Anakan. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Mengidentifikasi sistem sosial-ekologis Segara Anakan saat ini; (2) Menganalisis resiliensi masyarakat Segara Anakan; dan (3) Menyusun model peningkatan resiliensi masyarakat yang rentan terhadap perubahan ekologis. Penelitian dilakukan di kawasan Laguna Segara Anakan, yang tercakup dalam wilayah administratif Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Propinsi Jawa Tengah. Kecamatan Kampung Laut terdiri dari 4 buah desa yang kesemuanya berada di kawasan laguna, yaitu Desa Ujung Alang, Desa Ujung Gagak, Desa panikel dan Desa Klaces. Pengumpulan data primer yang diperoleh langsung di lokasi penelitian dengan menggunakan kuesioner terhadap 268 responden, yang terdiri dari 38 responden pemanfaat kayu bakar, 81 responden nelayan, 71 responden petani, 39 responden petambak, dan 10 responden untuk penderes. Masih terkait dengan tujuan penelitian dilakukan juga wawancara kepada 8 orang pedagang dan 21 informan kunci. Analisis yang digunakan adalah: analisis sistem sosialekologis, analisis kerentanan, analisis resiliensi sosial-ekologis, analisis stakeholder, analisis deskriptif, metode Coastal Livelihood System Analysis (CLSA), dan analisis Multi Criteria Decision Making (MCDM). Hasil analisis SES menunjukkan bahwa berbagai kegiatan sosial maupun ekonomi masyarakat di wilayah Segara Anakan sangat tergantung pada keberadaan laguna, baik badan air maupun bagian daratannya. Sebaliknya, kondisi dan dinamika laguna sangat dipengaruhi oleh berbagai kegiatan masyarakat tersebut. Misalnya, pada sumberdaya lahan basah, luasan mangrove telah mengalami kerusakan di berbaga lokasi akibat kegiatan-kegiatan penebangan pembuat kayu bakar. Sementara itu sumberdaya perairan menurun kualitasnya karena penggunaan jenis alat yang tidak ramah lingkungan, frekuensi dan kapasitas perikanan dimiliki oleh nelayan yang semakin besar, dsb. Dinamika interaksi yang terjadi di antara aspek ekologis dan aspek sosial di Segara Anakan sejauh ini lebih banyak menimbulkan dampak negatif pada masing-masing dan membuat kondisi yang semakin memburuk pada keduanya. Dampak negatif yang terjadi akibat interaksi saling merugikan tersebut di atas sejauh ini terkurangi oleh keberadaan prasarana tertentu yang dibangun atau dipasok oleh berbagai penyedia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sejumlah prasarana yang dibangun oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga swasta tertentu telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi. Ketersediaan prasarana yang lebih mencukupi terbukti mampu memperbesar peluang masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya; sebagai contoh, perbaikan sarana transportasi telah mendorong kreativitas masyarakat untuk melakukan kegiatan produksi dan
vi
pemasaran produk-produk andalan lokal (misalnya gula kelapa) ke target-target di luar wilayah mereka. Namun demikian, keberadaan aktivitas dan sikap tertentu dari sebagian masyarakat lainnya tidak cukup mendukung keberlanjutan keberadaan prasarana-prasarana tersebut. Penyelenggaraan pembangunan prasarana sebagian dilandasi oleh fungsi layanan publik sedangkan sebagian lain terbatasi oleh tujuan organisasi penyedia prasarana. Kemunculan penyedia-penyedia prasarana tersebut pada umumnya merupakan respons terhadap kekurangan kuantitas dan atau kualitas layanan yang disediakan oleh prasarana yang telah wujud sebelumnya. Di samping itu, perkembangan kondisi laguna juga menjadi dasar bagi pengadaan berbagai bentuk prasarana. Sebagai contoh, penyempitan badan air dan peluasan daratan mendorong penyedia laguna untuk membangun prasarana dan sarana sosial dan ekonomi yang memberikan ruang lebih besar kepada masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi laguna yang tidak lagi sama dengan kondisi pada waktu-waktu sebelumnya. Terlepas dari nilai-nilai positif tersebut di atas, kemunculan berbagai bentuk prasarana juga dapat bersifat kontraproduktif. Keberadaan prasarana-prasarana di wilayah Segara Anakan secara umum pada sisi yang lain juga memberikan dorongan yang lebih besar terhadap masyarakat untuk merubah perilaku ekonomi, dari yang lebih bertumpu pada penghidupan berbasis air ke pekerjaanpekerjaan darat. Hal ini menciptakan kebutuhan yang lebih besar di antara masyarakat akan berbagai prasarana yang dianggap dapat memfasilitasi masyarakat Segara Anakan mendekat kearah gaya hidup di luar wilayah. Perkembangan semacam ini, dimana keberadaan prasarana tertentu mendorong munculnya keberadaan prasarana tertentu lain yang menumbuhkan preferensi masyarakat Segara Anakan kepada budaya daratan, berpotensi mengikis kepedulian pada kelestarian laguna. Berbagai faktor kerentanan yang teridentifikasi pada masyarakat Segara Anakan adalah merupakan salah satu yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan alternatif-alternatif tersebut. Selain dua faktor yang telah disebut sebelumnya, yang terkait dimensi ekologis dan dimensi ekonomi, kerentanan di Segara Anakan juga terkait dimensi manusia, sosial dan fisik. Terkait ketiga dimensi tersebut dapat dideskripsikan bahwa: (a) kondisi SDM rendah, terutama karena kurangnya dukungan sarana-prasarana pendidikan, (b) meskipun kualitas kepemimpinan di dalam masyarakat pada umumnya cukup baik, akses dan mobilias yang rendah teridentifikasi telah menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tingginya tingkat kemiskinan, (c) populasi kawasan Segara Anakan tidak terlalu besar; namun penduduk berdiam di lokasi-lokasi yang sangat rawan bencana dengan dukungan fasilitas yang sangat terbatas. Sementara itu, hasil analisis insentif pada bahasan mengenai CLSA, mengungkapkan berbagai bentuk sistem insentif, baik langsung-maupun tak langsung, yang dapat digunakan sebagai instrument untuk mengarahkan masyarakat pada pilihan alternatif penghidupan tertentu, dengan mempertimbangkan aspek ekonomi mereka dan aspek pelestarian sumberdaya. Bentuk-bentuk insentif tersebut adala penyediaan informasi dan teknologi, pemberian subsidi upah langsung, pemberian kredit modal kerja, bantuan pangan, penanaman mangrove, pelayanan sosial (transportasi, kesehatan, dan sebagainya).
vii
@ Hak cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang–Undang a. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB b. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.
viii
MODEL RESILIENSI MASYARAKAT DI LAGUNA SEGARA ANAKAN
SITI HAJAR SURYAWATI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ix
Penguji Ujian Tertutup
: 1. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr 2. Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si
Penguji Ujian Terbuka
: 1. Dr. Andin H. Taryoto 2. Prof. Dr. Ir. Dietrich G. Bengen
xi
xii
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmaanirrahiim…... Alhamdulillahirabbil’allamiin...... Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan ijin dan petunjuk-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi sebagaimana mestinya. Studi yang diakhiri dengan Disertasi ini merupakan perjuangan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh ilmu pada jenjang pendidikan Strata 3 pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasi yang berjudul “Model Resiliensi Masyarakat di Laguna Segara Anakan” diselesaikan dengan maksud untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi pengelolaan salah satu ekosistem yang unik di Indonesia ini. Hal ini pulalah yang mendorong penulis mengambil judul ini mengingat Laguna Segara Anakan dengan segala potensinya yang besar terancam keberadaan dan fungsinya dalam menunjang keberlanjutan sistem sosial-ekologisnya. Pertama-tama ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus saya sampaikan kepada Komisi Pembimbing yang telah menghantarkan penyelesaian disertasi ini, yaitu Bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA selaku Ketua, Bapak Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc dan Bapak Dr.Ir. Agus Heri Purnomo, M.Sc selaku Anggota. Beliau-beliau telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan serta berbagi pengetahuan dari awal hingga selesainya penyusunan Disertasi ini. Pada awalnya saya sendiri meragukan apakah saya sanggup untuk menyelesaikan program Doktor ini, namun dengan dorongan semangat dan kepercayaan dari beliau-beliau telah menjadi pendorong utama dalam penyelesaian studi ini. Ketiga pembimbing merupakan anugerah luar biasa bagi saya dimana saya menemukan optimisme untuk menyelesaikan disertasi. Secara khusus dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Arif Satria, SPi, MS dan Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS selaku penguji luar komisi pada ujian kualifikasi lisan. Juga kepada Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr dan Bapak Dr. Ir. Achmad Fahrudin atas kesediaan dan komitmennya sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup, serta kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dietrich G. Bengen dan Bapak Dr. Andin H. Taryoto yang
xiii
telah berkenan meluangkan waktunya di sela kesibukan yang luar biasa sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka yang telah saya lalui. Saya juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pimpinan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), para Dosen beserta staf atas kesempatan belajar dan proses belajar yang telah diberikan. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kepala Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan dan Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kementerian Kelautan dan Perikanan yang telah memfasilitasi dan mendukung studi ini. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Kepala Kantor Pengelola Sumberdaya Kawasan Segara Anakan, Kepala Biro Pusat Statistik beserta seluruh staf dan jajarannya yang telah membantu memberikan informasi yang sangat berarti selama penulis melakukan penelitian di lapangan. Kepala Kecamatan Kampung Laut, Kepala Desa Ujung Alang, Kepala Desa Ujung Gagak, Kepala Desa Panikel dan Kepala Desa Klaces, Seluruh Kepala Dusun beserta staf, responden dan masyarakatnya, yang dengan tulus ikhlas dan sabar dalam memberikan keterangan dan informasi untuk penulisan Disertasi ini. Selanjutnya ucapan terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam kepada orang tua saya Hj. Siti Jamilah dan H. Husein Achmad atas pengorbanannya yang tidak bosan mengiringi setiap langkah saya dengan do’a dan air mata. Pencapaian ini secara khusus saya dedikasikan untuk Emah dan Bapa yang senantiasa memberikan doa, dorongan semangat, materi dan cinta kasih yang tiada henti yang diberikan pada penulis sehingga mampu menyelesaikan program Doktor ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan setulusnya juga ingin saya sampaikan pada suami, Eko Soleh Istihori, STP yang dengan ikhlas mengizinkan saya mengikuti studi ini. Juga anak-anakku tersayang Aa Adya, Kaka Ayas dan Dede Arshad yang telah menjadi sumber kekuatan bagi saya untuk bisa tegar menjalani kehidupan ini. Adik tercinta Muhammad Haris Budiawan, SSi, MSi sekeluarga, Siti Halimah Kurniawati, SPd, MPd sekeluarga, seluruh keluarga besar H. Ropi’i (Alm) atas pengertian dan semangat yang diberikan, serta Bibi Unah yang
xiv
selama delapan tahun ini telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari keluarga kami. Dalam kesempatan ini, saya juga mengucapkan terima kasih pada kawankawan EPN angkatan 2006, PSL 2006 dan PSL 2007 yang telah melewati masamasa pendakian bersama yang panjang dan melelahkan, sekaligus menjadi teman berbagi yang penuh inspirasi. Terakhir dan terpenting adalah ucapan terima kasih kepada banyak pihak yang tidak mungkin saya sebutkan satu per satu. Segala kritik dan saran saya harapkan demi kesempurnaan usulan penelitian ini, sehingga menjadi tulisan yang bermanfaat. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan anugerahNya atas segala kebaikan yang diberikan. Amien.
Bogor,
Februari 2012
Siti Hajar Suryawati
xv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cianjur, Jawa Barat pada tanggal 12 Agustus 1977 sebagai anak pertama (tiga bersaudara) dari pasangan Hj. Siti Jamilah dan H. Husein Achmad. Tahun 2002 penulis menikah dengan Eko Soleh Istihori, STP dan dikaruniai 3 (tiga) orang putra. Putra pertama lahir tanggal 6 Agustus 2003 (Muhammad Dihya Dailamy), putra kedua lahir tanggal 20 September 2007 (Muhammad Ghiyas Hibrizy) dan putra ketiga lahir tanggal 30 Oktober 2011 (Muhammad Arfahshad Ibrahim). Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas di Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Tahun 1994 penulis lulus dari SMUN 1 Cianjur dan pada tahun yang sama melalui Program Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) pada Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, yang diselesaikan pada tahun 1998. Program Magister Sains (S-2) pada Sub Program Studi Manajemen Industri Pangan Program Studi Ilmu Pangan Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2006 penulis memperoleh beasiswa Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. Pada Tahun 2002 – 2005 penulis bekerja sebagai calon peneliti pada Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. Pada tahun 2005 hingga sekarang bekerja sebagai Peneliti pada Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Di tengah kesibukan sebagai mahasiswa S3, penulis terlibat dalam kegiatan penelitian yang dilakukan lembaga tempat penulis bekerja. Karya ilmiah berjudul Resiliensi dan Dinamika Sosial-Ekologi: Studi Kasus di Laguna Segara Anakan Kabupaten Cilacap Propinsi Jawa Tengah telah disampaikan pada Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009 di Jakarta pada tanggal 3-4 Desember 2009. Tulisan berjudul Community Resilience, Adaptive Cycle and Social-Ecological Systems: A Case from Segara Anakan Lagoon telah disajikan pada International Workshop - SPICE Cluster 6 di Bogor pada tanggal 14 - 15 April 2010.
xvi
Tulisan
lainnya berjudul Identifikasi Permasalahan
Terkait dengan
Resiliensi Masyarakat di Laguna Segara Anakan telah dipresentasikan pada Seminar Nasional Tahunan VII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan di Yogyakarta pada tanggal 24 juli 2010. Karya ilmiah yang berjudul Challenges and Opportunities to Improve Resilience of Communities Living on The Degrading Environment of Segara Anakan Lagoon dan Contemporary Social Context in Marine Governance Issues: Lessons Learned From Segara Anakan Lagoon telah disajikan pada International Seminar on Economic, Culture and Environment di Mataram pada tanggal 11 Nopember 2010. Sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul Identifikasi Sistem Insentif Pengelolaan Sumberdaya di Laguna Segara Anakan pada Jurnal Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan pada tahun 2011. Artikel lain berjudul Kerentanan Sistem Sosial-Ekologi Masyarakat di Laguna Segara Anakan juga terbit pada Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB tahun 2011. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari Program S3 penulis.
xvii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI
xxiii
DAFTAR TABEL
xxvii
DAFTAR GAMBAR
xxxi
GLOSSARY
Xxxv
I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Perumusan Masalah 1.3. Tujuan Penelitian 1.4. Manfaat Penelitian 1.5. Kerangka Pemikiran 1.6. Novelty
1 1 8 11 11 11 13
II.
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekologi Estuaria 2.2. Tinjauan Teori Sistem dan Studi Komunitas 2.2.1. Teori Sistem 2.2.2. Studi Komunitas 2.3. Pendekatan Penelitian 2.3.1. Pendekatan Kuantitatif 2.3.2. Pendekatan Kualitatif 2.4. Sistem Sosial-Ekologis 2.5. Kerentanan (Vulnerability) 2.6. Ketahanan (Resilience) 2.6.1. Resiliensi Sosial-Ekologis 2.6.1.1. Kategori Resiliensi Sosial-Ekologis 2.6.1.2. Indikator Resiliensi Sosial-Ekologis 2.6.2 Resiliensi Masyarakat (Community Resilience) 2.7. Model Adaptif Manajemen 2.7.1. Sistem Kompleks Adaptif 2.7.2. Siklus Pembaruan Adaptif 2.8. Metode Pendekatan Analisis Resiliensi Masyarakat 2.8.1. Pendekatan Resiliensi Sosial-Ekologis 2.8.2. Pendekatan Partisipatif Stakeholder 2.8.3. Pendekatan Keberkelanjutan Mata Pencaharian (Coastal Livelihood System Analysis - CLSA) 2.8.4. Analisis Eksternalitas 2.8.5. Pendekatan Verstehen 2.8.6. Partisipatory Coastal Resources Assessment (PCRA) 2.8.7. Focus Group Discussion (FGD) 2.9. Hasil Penelitian Terdahulu
15 15 16 16 17 18 18 19 21 26 27 29 30 33 36 37 37 38 41 41 42 45 57 57 58 59 61
xviii
Halaman III.
METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Rancangan Penelitian 3.3. Jenis dan Metode Pengumpulan Data 3.3.1. Jenis Data 3.3.2. Metode Pengumpulan Data 3.3.3. Participatory Research Action (PRA) 3.3.4. Focus Group Discussion (FGD) 3.3.4.1. Langkah 1: Identifikasi dan Pemetaan Stakeholders 3.3.4.2. Langkah 2: Mobilisasi Undangan FGD 3.3.4.3. Langkah 3: Pelaksanaan FGD 3.3.4.4. Langkah 4: Tabulasi Hasil FGD 3.4. Metode Analisis Data 3.4.1. Analisis Kerentanan 3.4.2. Analisis Stakeholder 3.4.3. Analisis Latar Sejarah (Historical Analysis) 3.4.4. Analisis Dinamika Sistem Sosial-Ekologis 3.4.5. Analisis Keberlanjutan Mata Pencaharian Masyarakat Pesisir (Coastal Livelihood System Analysis – CLSA) 3.4.6. Multi Criteria Decision Making (MCDM) 3.4.7. Analisis Eksternalitas 3.5. Organisasi Penulisan
103 105 107
IV.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Sistem Ekologi 4.1.1. Sistem Boundary 4.1.2. Kondisi Iklim 4.1.3. Kondisi Morfologi 4.2. Sistem Sosial Ekonomi 4.2.1. Pemerintahan dan Demografi 4.2.2. Kegiatan Ekonomi 4.2.2.1. Perikanan 4.2.2.2. Pariwisata 4.3. Karakteristik Responden 4.3.1. Umur Responden 4.3.2. Jenis Kelamin Responden 4.3.3. Tingkat Pendidikan Responden 4.3.4. Jumlah Tanggungan Keluarga Responden 4.3.5. Asal Responden
109 109 109 111 111 115 115 116 117 118 118 118 119 119 120 120
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Model Sistem Sosial-Ekologi di Laguna Segara Anakan 5.1.1. Karakteristik Pengguna Sumberdaya 5.1.2. Identifikasi Sarana dan Prasarana 5.1.2.1. Prasarana Penyediaan Air Bersih 5.1.2.2. Prasarana Penerangan 5.1.2.3. Prasarana Pendidikan 5.1.2.4. Prasarana Kesehatan 5.1.2.5. Prasarana Komunikasi
121 121 129 144 144 145 145 147 148
xxiv
75 75 76 78 78 79 84 84 84 85 85 85 85 90 97 99 99 100
xix
Halaman
5.2.
5.3. 5.4.
5.5. 5.6.
5.1.2.6. Prasarana Keagamaan 5.1.2.7. Prasarana Transportasi 5.1.3 Identifikasi Penyedia Prasarana 5.1.4. Dinamika Sistem Sosial-Ekologi 5.1.4.1. Periode Tahun 1980 – 1985 5.1.4.2. Periode Tahun 1986 – 1990 5.1.4.3. Periode Tahun 1991 – 1995 5.1.4.4. Periode Tahun 1996 – 2000 5.1.4.5. Periode Tahun 2001 - Sekarang Analisis Keberkelanjutan Mata Pencaharian (Coastal Livelihood System Analysis - CLSA) 5.2.1. Identifikasi Kondisi Mata Pencaharian 5.2.2. Analisis Kerentanan 5.2.3. Identifikasi Tekanan dan Gangguan Penyebab Kerentanan 5.2.4. Identifikasi Aset Mata Pencaharian 5.2.4.1. Aset Alam 5.2.4.2. Aset Manusia 5.2.4.3. Aset Sosial 5.2.4.4. Aset Keuangan 5.2.4.5. Aset Buatan/Fisik 5.2.5. Identifikasi Kebutuhan Insentif Masyarakat Pesisir Laguna Segara Anakan 5.2.6. Pemilihan Insentif Analisis Resiliensi SES Analisis Eksternalitas 5.4.1. Sumber Eksternalitas 5.4.1.1. Kondisi Laguna Segara Anakan 5.4.1.2. Kondisi Ekosistem Mangrove di Laguna Segara Anakan 5.4.1.3. Persepsi Masyarakat Lokal 5.4.2. Tekanan terhadap Sumber Eksternalitas: Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di Kawasan Laguna Segara Anakan 5.4.2.1. Perikanan Tangkap 5.4.2.2. Perikanan Budidaya 5.4.3. Identifikasi Eksternalitas di Laguna Segara Anakan 5.4.3.1. Identifikasi Eksternalitas Positif dan Negatif 5.4.3.2. Pendugaan Nilai Eksternalitas di Laguna Segara Anakan 5.4.3.3. Analisis Biaya-Manfaat Penanganan Eksternalitas Negatif 5.4.4. Arahan Alternatif Pengelolaan Laguna Segara Anakan Strategi untuk Meningkatkan Resiliensi Masyarakat di Laguna Segara Anakan Sintesa Hasil 5.6.1. Kondisi Sosial Ekologis dan Kerentanan Masyarakat
xxv
148 148 149 153 153 155 157 158 160 172 173 174 175 177 178 180 181 183 185 187 188 192 194 194 194 195 196 198
198 198 199 199 199 200 201 202 211 211
xx
Halaman 5.6.2. 5.6.3. 5.6.4. VI.
Kerentanan, Kondisi SES dan Pengembangan Pencaharian Rekonstruksi Model Resiliensi Berbasis SES Strategi Implementasi Kebijakan
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 6.2. Saran
213 215 217 221 221 222
EPILOG
223
DAFTAR PUSTAKA
227
xxvi
xxi
DAFTAR TABEL Nomor
Teks
Halaman
1.
Variabel dalam Kerangka Analisis SES
23
2.
Klaster Indikator Resiliensi Sosial-Ekologis berdasarkan Perspektif Lokal
35
3.
Suatu Kerangka 4 Tahap yang Diusulkan Walker et al. (2002) untuk Analisis Resiliensi dalam SES
41
4.
Kerangka Makro Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif
48
5.
Tahapan Mendisain CLSA (Diadaptasi dari Emerton, 2001)
49
6.
Proses Focus Group Discussion
60
7.
Aspek Lokal dari Resiliensi
60
8.
Ikhtisar Penelitian Terdahulu Terkait dengan Penelitian yang Dilaksanakan
63
9.
Rincian Data Primer
78
10. Rincian Data Sekunder
79
11. Sebaran Jumlah Responden
80
12. Fasilitas yang Diperlukan dalam Pelaksanaan FGD
85
13. Tujuan, Metode, Deskripsi, Keluaran, Jenis Data, Pengumpulan dan Analisis Data
86
14. Faktor Penentu, Komponen Utama dan Indikator Penilaian Indeks Kerentanan
90
15. Tingkat Keterpaparan dalam Penentuan Indeks Kerentanan
91
16. Kriteria Penilaian Keterpaparan berdasarkan Indikator Penyusutan Laguna di Segara Anakan
91
17. Kriteria Penilaian Keterpaparan berdasarkan Indikator Degradasi Sumberdaya di Segara Anakan
91
18. Kriteria Penilaian Keterpaparan berdasarkan Indikator Produktivitas Perikanan di Segara Anakan
91
19. Tingkat Sensitivitas dalam Penentuan Indeks Kerentanan
92
20. Kriteria Penilaian Tingkat Sensitivitas untuk Ketergantungan Pencaharian pada Laguna Segara Anakan
92
21. Kriteria Pengukuran Tingkat Sensitivitas untuk Hak Guna Perairan di Laguna Segara Anakan
92
22. Kriteria Pengukuran Tingkat Kepekaan untuk Ketergantungan Kehidupan Sosial pada Laguna Segara Anakan
92
23. Tingkat Adaptasi dalam Penentuan Indeks Kerentanan
93
24. Kriteria Penilaian Tingkat Adaptasi untuk Komponen Resiliensi Sosial-Ekologis
93
xxii
Nomor
Teks
Halaman
25. Uraian Rasionalisasi Penilaian Kriteria Belajar Hidup dalam Perubahan dan Ketidakpastian
94
26. Uraian Rasionalisasi Penilaian Kriteria Menjaga Keberagaman untuk Reorganisasi dan Pembaharuan
94
27. Uraian Rasionalisasi Penilaian Kriteria Mengkombinasikan Berbagai Ragam Pengetahuan
95
28. Uraian Rasionalisasi Penilaian Kriteria Menciptakan Kesempatan untuk Pengorganisasian secara Mandiri
95
29. Indikator Pengaruh Stakeholder terhadap Pembangunan Wilayah Pesisir
98
30. Kriteria dan Skoring Kondisi Aset Alam
101
31. Kriteria dan Skoring Kondisi Aset Manusia dengan Indikator Pendidikan dan Kesehatan
102
32. Kriteria dan Skoring Kondisi Aset Sosial
102
33. Kriteria dan Skoring Kondisi Aset Keuangan
103
34. Kriteria dan Skoring Kondisi Aset Buatan
103
35. Skor Saaty yang Digunakan dalam FGD Penelitian Resiliensi Masyarakat di Laguna Segara Anakan
105
36. Batas Administrasi Desa-Desa di Kampung Laut
116
37. Sebaran Penduduk Desa Usia 10 Tahun ke atas di Kampung Laut berdasarkan Jenis Mata Pencaharian Utama, 2003 - 2008
116
38. Jenis Biota Laut yang Tertangkap di Laguna Segara Anakan
117
39. Potensi Pariwisata di Kawasan Laguna Segara Anakan
118
40. Klasifikasi Umur Responden Utama di Lokasi Penelitian
119
41. Jenis Kelamin Responden Utama di Lokasi Penelitian
119
42. Klasifikasi Tingkat Pendidikan Responden Utama di Lokasi Penelitian
119
43. Klasifikasi Responden Utama di Lokasi Penelitian menurut Jumlah Tanggungan Keluarga
120
44. Asal Responden Utama di Lokasi Penelitian
120
45. Komponen Utama Model SES di Segara Anakan
122
46. Hubungan antar Komponen dalam SES Segara Anakan
123
47. Jenis-Jenis Alat Tangkap yang Beroperasi di Laguna Segara Anakan
125
48. Perkembangan Praktek Perikanan terkait Dinamika Kondisi Ekologis / Sumberdaya Alam di Segara Anakan
126
49. Destruktivitas Alat terkait Perilaku Nelayan Kampung Laut
128
50. Karateristik Pengguna Sumberdaya di Laguna Segara Anakan
142
xxviii
xxiii
Nomor
Teks
Halaman
51. Identifikasi Permasalahan dan Solusi yang Dilaksanakan di Laguna Segara Anakan
142
52. Tingkat Pendidikan Kecamatan Kampung Laut (2008)
146
53. Rasio Sekolah, Murid dan Guru di Kecamatan Kampung Laut (2008)
147
54. Stakeholder Pengelolaan Kawasan Laguna Segara Anakan
150
55. Praktek Pengelolaan Tradisional Sumberdaya Perikanan di Laguna Segara Anakan berdasarkan Fase Siklus Pengelolaan Adaptif (Holling 1986, Gunderson et al, 1995)
162
56. Siklus Adaptif Sosial-Ekologi di Laguna Segara Anakan
163
57. Dinamika Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Laguna Segara Anakan
169
58. Faktor Kunci yang Dapat Memperlemah Resiliensi SES di Laguna Segara Anakan
169
59. Faktor Kunci yang Dapat Memperkuat Resiliensi SES di Laguna Segara Anakan
170
60. Analisis Kerentanan di Laguna Segara Anakan
175
61. Dampak Resiko dari Kelompok Rentan terhadap Tekanan Alam Pesisir dan Laut pada Masyarakat di Kawasan Laguna Segara Anakan
176
62. Tekanan Masyarakat pada Sumberdaya Alam di Kawasan Laguna Segara Anakan
177
63. Kondisi Aset Kapital di Kawasan Laguna Segara Anakan
178
64. Kondisi Aset Alam di Kawasan Laguna Segara Anakan
179
65. Kondisi Aset Manusia dengan Indikator Pendidikan dan Kesehatan di Kawasan Laguna Segara Anakan
180
66. Kondisi Aset Sosial di Kawasan Laguna Segara Anakan
182
67. Kondisi Aset Keuangan di Kawasan Laguna Segara Anakan
184
68. Kondisi Aset Buatan di Kawasan Laguna Segara Anakan
186
69. Perubahan Aset Alam di Kawasan Laguna Segara Anakan
188
70. Sistem Insentif Berbasis Masyarakat di Laguna Segara Anakan
190
71. Perbandingan Penilaian terhadap Berbagai Kriteria untuk Setiap Pilihan Sistem Insentif Pengelolaan Sumberdaya di Laguna Segara Anakan
191
72. Persepsi Masyarakat Lokal terhadap Kondisi Sumberdaya di laguna Segara Anakan
197
73. Nilai Eksternalitas Positif dan Negatif dari Laguna Segara Anakan
200
74. Analisis Biaya Manfaat untuk Penanganan Eksternalitas di Laguna Segara Anakan
201
xxix
xxiv
Nomor
Teks
Halaman
75. Adaptasi yang Dilakukan Masyarakat di Laguna Segara Anakan sebagai Respon atas Suatu Kejadian
203
76. Nilai Bobot Kriteria untuk Pengelolaan Sumberdaya di Laguna Segara Anakan
206
xxx
xxv
DAFTAR GAMBAR Nomor
Teks
Halaman
1.
Pengurangan Luas Laguna Segara Anakan
3
2.
Produksi Perikanan Tangkap Air Payau dan Perairan Umum (Sungai) di Kabupaten Cilacap, 2001-2009 (Sumber: BPS 2010)
5
3.
Perbandingan Produksi terhadap Nilai Volume Ikan dan Udang di Kabupaten Cilacap, 1998-2009 (Sumber: BPS, 2010)
5
4.
Siklus Kerusakan Lingkungan di Segara Anakan (Al Amin, 2002)
7
5.
Sedimentasi di Kawasan Laguna Segara Anakan
9
6.
Kerangka Permasalahan di Laguna Segara Anakan dengan Pendekatan DPSIR
10
7.
Kerangka Pemikiran Model Resiliensi Masyarakat di Segara Anakan (diadaptasi dari Turner et al., 2003)
12
8.
Model Konseptual dari SES (Anderies et al., 2004)
22
9.
Sistem Sosial-Ekologis (Berkes and Folke, 2002)
24
10. Keterkaitan antara Sistem Ekologi dan Sosial di Wilayah Pesisir dan Laut (Anderies, et.al, 2004 dalam Adrianto, 2006)
25
11. Kerangka Kerentanan (Turner et al., 2003)
27
12. Siklus Adaptif dari Empat Fungsi Ekosistem (R, K, Ω, α) dan Alir Kejadian Diantaranya (Holling et al., 2000)
38
13. Panarchy, Model Heuristic dari Tahapan Siklus Pembaruan Adaptif yang Menekankan Hubungan (Interplay) Lintas Skala (Modifikasi dari Gunderson and Holling, 2002)
39
14. Tahapan Analisis Resiliensi Sosial-Ekologi (Walker et al., 2002)
42
15. Skema Coastal Livelihood System Analysis (Adrianto, 2005)
46
16. Kerangka Pemikiran Kehidupan Masyarakat Pantai (Pomeroy et al, 2005)
47
17. Langkah-Langkah Mendisain CLSA di Segara Anakan (Diadaptasi dari Emmerton, 2001)
50
18. Langkah lengkap dalam mendisain CLSA di Segara Anakan (Diadaptasi dari Emmerton, 2001)
51
19. Check list tahap 1 CLSA
52
20. Check list tahap 2 CLSA
53
21. Check list tahap 3 CLSA
54
22. Check list tahap 4 CLSA
55
23. Check list tahap 5 CLSA
56
24. Kerangka Proses Focus Group (Fern 2001)
59
25. Lokasi Penelitian di Laguna Segara Anakan
75
xxvi
Nomor
Teks
Halaman
26. Diagram Alir Tahapan Penelitian dan Analisis Data
77
27. Kerangka Pengambilan Sampel
81
28. Sebaran Sampel di Kawasan Laguna Segara Anakan
82
29. Siklus Manajemen Adaptif (USDA USDI, 1994)
96
30. Kategori Stakeholder berdasarkan Tingkat Pengaruh dan Kepentingan (Brown et al, 2001)
98
31. Kerangka Konseptual untuk Analisis Sistem Sosial-Ekologis
100
32. Kerangka Konseptual untuk Analisis Keberlanjutan Mata Pencaharian (DFID, 2003)
102
33. Model SES Segara Anakan (dimodifikasi dari model Anderies, 2004)
121
34. Alat Tangkap Jaring Apong
130
35. Hasil Tangkapan Jaring Apong
130
36. Alat Tangkap Jala
131
37. Alat Tangkap Bubu
132
38. Umpan Kepiting
132
39. Pengumpul Kerang
134
40. Proses Perebusan Kerang
134
41. Lahan Tambak di Dusun Bondan
136
42. Perumahan Petambak
136
43. Tempat Budidaya Kepiting
136
44. Lahan Budidaya Kepiting
136
45. Lahan yang Disiapkan untuk Budidaya Kepiting
136
46. Kepiting Hasil Tangkapan Nelayan
136
47. Ibu-Ibu Menanam Padi
137
48. Sawah di Desa Klaces
137
49. Proses Pengambilan Nira
139
50. Proses Perebusan Nira
139
51. Pengawet yang Digunakan dalam Perebusan
139
52. Kayu Bakar yang Digunakan Penderes
139
53. Proses Pencetakan Gula
139
54. Gula yang Sudah Dicetak
139
55. Lobster yang Dikeringkan
140
56. Jaring Sirang yang Digunakan untuk Menangkap Lobster
140
57. Kegiatan Penambangan Pasir di Plawangan Barat
140
xxxii
xxvii
Nomor
Teks
Halaman
58. Kayu Bakau yang Digunakan untuk Kayu Bakar
141
59. Mata Air yang Dibendung dan Dipasang Pompa
144
60. Pipa untuk Menyalurkan Air Tawar ke Bak-Bak Penampungan
144
61. Proses Pengangkutan Air Bersih
145
62. PLTS di Desa Ujung Alang
145
63. Tingkat Pendidikan Responden di Segara Anakan
146
64. SD Filial di Dusun Bondan
147
65. SD Induk di Desa Ujung Alang
147
66. Sarana Ibadah Agama Kristen
148
67. Kegiatan Perayaan Agama Islam
148
68. Sarana Transportasi Anak Sekolah
149
69. Sarana Transportasi Menuju Cilacap
149
70. Grafik Kepentingan dan Pengaruh dari Stakeholder terkait Pengelolaan Kawasan Laguna Segara Anakan
152
71. Interaksi Kejadian Ekologis dengan Sosial pada Periode Tahun 1980- 1985
154
72. Interaksi Kejadian Ekologis dengan Sosial pada Periode Tahun 1986 - 1990
156
73. Interaksi Kejadian Ekologis dengan Sosial pada Periode Tahun 1991 - 1995
158
74. Interaksi Kejadian Ekologis dengan Sosial pada Periode Tahun 1996 - 2000
160
75. Interaksi Kejadian Ekologis dengan Sosial pada Periode Tahun 2001 – sekarang
161
76. Perubahan Persentase Keterlibatan Penduduk dalam Berbagai Mata Pencaharian (Prayitno, 2001; Anonim, 2005)
167
77. Siklus Adaptasi Dinamika Sosial-Ekologi di Laguna Segara Anakan
171
78. Jenis Kelompok Mata Pencaharian yang Tersedia oleh Alam
173
79. Grafik Hasil CLSA di Laguna Segara Anakan
189
80. Persentase Responden yang Memiliki Skor Tinggi untuk Berbagai Faktor yang Mempengaruhinya
193
81. Kondisi Hutan Mangrove di Laguna Segara Anakan (2010)
196
82. Pemanfaatan Mangrove sebagai Bahan Pembuatan Rumah (2010)
196
83. Struktur Hirarki untuk MCDM pada Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya di Laguna Segara Anakan
204
84. Skor Akhir Prioritas Model Pengelolaan Sumberdaya di Laguna Segara Anakan Untuk Kriteria Ekonomi
206
xxxiii
xxviii
Nomor
Teks
Halaman
85. Skor Akhir Prioritas Model Pengelolaan Sumberdaya di Laguna Segara Anakan untuk Kriteria Ekologi
207
86. Skor Akhir Prioritas Model Pengelolaan Sumberdaya di Laguna Segara Anakan untuk Kriteria Sosial
208
87. Pilihan-Pilihan Strategi untuk Meningkatkan Resiliensi Masyarakat di Laguna Segara Anakan dengan Teknik SMART
209
88. Model Resiliensi Masyarakat di Laguna Segara Anakan
216
xxxiv
xxix
GLOSSARY BPKSA
Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan
Eksternalitas
adalah kerugian atau keuntungan-keuntungan yang diderita atau dinikmati pelaku ekonomi karena tindakan pelaku ekonomi lain.
Kecamatan Kampung Laut
Adalah wilayah administratif di kawasan Segara Anakan dihuni sekitar 15.000 jiwa yang terbagi 4 Desa yakni Ujung Gagak, Ujung Alang, Panikel dan Klaces dengan mata pencaharian masyarakat sebagai besar adalah nelayan dan petani.
Kerentanan
atau vulnerability yang dimaksudkan dalam disertasi ini adalah atribut yang potensial dari suatu sistem untuk dirusakkan oleh dampak-dampak yang eksogenous.
KPSKSA
Kantor Pengelola Sumberdaya Kawasan Segara Anakan
Laguna
adalah estuaria yaitu bentuk teluk di pantai yang sebagian tertutup, dimana air tawar dan air laut bertemu untuk bercampur.
Laguna Segara Anakan
merupakan pertemuan muara Sungai Citanduy, Cibeureum, Cimeneng dan Cikonde, serta beberapa anak sungai. Segara Anakan adalah ekosistem estuaria yang unik dan khas di Pantai Selatan Pulau Jawa berfungsi sebagai daerah asuhan (nursery ground), tempat berpijah (spawning ground), mencari makan (feeding habitat) berbagai jenis biota akuatik seperti ikan, udang, dan kepiting. Disamping juga sebagai habitat berbagai burung dan binatang lainnya.
Masyarakat
adalah orang-orang yang hidup dalam batas-batas geografis, terlibat dalam interaksi sosial, memiliki satu atau lebih ikatan psikologis antara satu dengan lainnya, dan ikatan dengan tempat tinggal.
MCDM
Multi Criteria Decision Making
Model
adalah abstraksi atau penyederhanaan dari sistem yang sebenarnya (Hall and Day, 1977). Model merupakan suatu penggambaran abstrak dari dunia nyata (riil), yang akan bertindak seperti dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu.
Pembangunan berkelanjutan
dapat didefinisikan sebagai ”upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan” (UU No 23 Tahun 1997). Pembangunan berkelanjutan juga dapat didefinisikan sebagai pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED 1987).
xxx
Panarchy
adalah suatu kerangka dalam pengelolaan sumberdaya yang menggambarkan suatu siklus adaptif dalam merespon lingkungan melalui empat fase berulang yaitu eksploitasi, konservasi, kerusakan dan reorganisasi.
PCRA
Partisipatory Coastal Resources Assessment
Resiliensi
atau Resilience yang dimaksudkan dalam disertasi ini adalah kemampuan dari sebuah ekosistem untuk mentolerir perubahan tanpa menyebabkan pengurangan kondisi kualitatifnya.
Resiliensi masyarakat
adalah tindakan belajar hidup dalam perubahan dan ketidakpastian, menjaga keberagaman untuk reorganisasi dan pembaharuan, mengkombinasikan berbagai ragam pengetahuan, dan menciptakan kesempatan untuk pengorganisasian secara mandiri yang dilakukan masyarakat dalam menghadapi perubahan ekologis.
SACDP
Segara Anakan Conservation and Development Project
Segara Anakan
adalah perairan estuarin semi tertutup karena ada Pulau Nusakambangan sebagai barier/penghalang, namun efek hidro-osenografi Samudera Hindia masih berpengaruh melalui pintu Plawangan Barat dan Plawangan Timur.
SES
Social-Ecological System atau sistem sosial-ekologi yang dalam disertasi ini mengacu pada definisi yang dikembangkan oleh Anderies et al (2002) yaitu sebuah sistem dari unit biologi/ekosistem yang dihubungkan dan dipengaruhi oleh satu atau lebih sistem sosial.
xxxvi
1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir atau pantai merupakan wilayah yang mempunyai ciri ekologis khas, yang berbeda dengan wilayah ekologis daratan pada umumnya. Wilayah pesisir merupakan tempat peralihan antara daratan dan lautan, yang ditandai oleh perubahan ekologis yang tajam. Wilayah pesisir, terutama daerah muara sungai, juga merupakan wilayah yang sangat subur atau kawasan dengan tingkat produktivitas hayati yang tinggi. Namun demikian, di sisi lain, daerah pesisir dan muara sungai juga merupakan kawasan yang paling rentan terhadap gangguan yang terkait dengan aktivitas manusia. Gangguan tersebut sering menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, termasuk dalam bentuk kerusakan ekosistem atau penurunan kualitas lingkungan pantai. Jika dilihat dari sumber kejadian kerusakan ekosistem pantai/pesisir, menurut Dahuri dkk (1996) jenis-jenis kerusakan lingkungan tersebut sebagian disebabkan oleh faktor luar sistem wilayah pesisir dan sebagian lagi disebabkan oleh faktor-faktor di dalam wilayah pesisir itu sendiri. Proses perubahan ekosistem ini mengakibatkan dampak dalam bentuk perubahan sosial ekonomi suatu kawasan dan pola kehidupan penduduk yang berada pada kawasan tersebut. Hal inilah yang dialami oleh masyarakat di Kawasan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, yang merupakan objek dari penelitian ini. Di antara kawasan-kawasan pesisir lain, Segara Anakan mempunyai ciriciri biogeofisik yang lebih unik. Kawasan tersebut memiliki kemampuan alamiah yang besar untuk menjamin keberlangsungan hubungan timbal balik antara ekosistem daratan, ekosistem estuari dan ekosistem lautan secara serasi, selaras dan seimbang sebagai habitat flora dan fauna langka. Kawasan tersebut merupakan daerah migrasi berbagai jenis satwa yang dilindungi dan daerah asuhan berbagai jenis udang dan ikan bernilai ekonomi tinggi. Selanjutnya, kawasan tersebut juga merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat luas. Karena itu, sangat dapat dipahami bahwa oleh pemerintah, Segara Anakan diposisikan sebagai sumberdaya alam yang merupakan menjadi modal dasar bagi pembangunan daerah, regional dan nasional sehingga perlu dilestarikan kondisi lingkungannya.
2
Selain itu, Segara Anakan ditetapkan sebagai salah satu kawasan konservasi yang mempunyai ciri khas sebagai satu kesatuan Ekosistem sebagaimana diamanatkan dalam pasal 28 ayat 3 huruf d dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil: ”Ekosistem pesisir yang unik misalnya gumuk pasir di pantai selatan Yogyakarta, Laguna Segara Anakan, ekosistem pesisir Kepulauan Derawan sebagai habitat peneluran penyu laut”. Dan PP. Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN bahwa “Kawasan Kawasan
Ekosistem Strategis
Laguna
Segara
Anakan merupakan salah
satu
Nasional yang perlu mendapat perhatian khusus” dari
pemerintah dan pemerintah daerah. Namun demikian, Segara Anakan menghadapi banyak permasalahan pada berbagai aspek. Permasalahan yang menjadi penyebab utama kerusakan Segara Anakan ini yaitu akibat kerusakan lahan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) terutama DAS Citanduy dan DAS Cimeneng (Purnamaji, 2006) yang salah satunya adalah deforestasi dan degradasi lahan (Prasetyo, 2004). Menurut Asdak (2004), DAS merupakan satuan hidrologi memiliki keterkaitan biofisik antara daerah hulu hingga hilirnya dimana pemanfaatan sumberdaya di hulu akan berdampak pada kualitas DAS bagian tengah dan hilir. Berbagai permasalahan dalam aspek-aspek sosial ekonomi penduduk di sekitar Segara Anakan telah terjadi akibat proses ekologis yang terjadi di Segara Anakan. Konflik lahan, kompetisi ekonomi, penebangan liar, dilema alih fungsi lahan adalah beberapa di antara masalah sosial ekonomi tersebut. Perubahan ekosistem laut menjadi ekosistem darat menyebabkan perubahan pada pola mata pencaharian dari aktivitas penangkapan ikan tradisional (nelayan) menjadi aktivitas di bidang pertanian ataupun industri. Karena relevansi dan urgensinya, berbagai permasalahan tersebut harus segera ditangani dan diselesaikan. Relevansi dan urgensi tersebut terutama terkait dengan keberadaan Segara Anakan sebagai muara beberapa sungai besar dan kecil yang mengalami proses sedimentasi, yang berakibat pada terjadinya pendangkalan laguna di Segara Anakan secara sangat cepat, yang berimplikasi pada timbulnya berbagai permasalahan sosial ekonomi seperti tersebut di atas. Sedimen dihasilkan dari erosi yang diduga akibat intensifnya penggunaan tanah di daerah hulu yang tanpa konservasi. White et al. (1989) melaporkan bahwa kecepatan pengangkutan sedimen dari Sungai Citanduy mencapai 5 juta m3/tahun sedangkan dari sungai Cikonde serta sungai kecil lainnya mencapai
3
7 770.000 m3/tahun. / Dengan kecepa atan angkuta an sedimen dari Cikond de sebesar 7 770.000 m3/tahun, terja adi laju pen ngendapan sebesar 26 60.000 m3/ta ahun. Dari p proses sediimentasi dari sungai-su ungai terseb but, diperkirrakan jumlah h sedimen y yang menge endap di pe erairan Sega ara Anakan adalah seb besar 1 juta a m3/tahun ( (ECI, 1997 dalam d Susanti, 2006). O Oleh karena itu, luas pe erairan Sega ara Anakan t terus menga alami penyusutan denga an laju yang g sangat ting ggi dari tahun ke tahun ( (Gambar 1). Dengan tingginya laju u pengendapan tersebu ut, Atmawidjjaja (1995) b bahkan mem mperkirakan n bahwa pad da tahun 20 015 Laguna Segara Anakan akan b berubah ben ntuknya men njadi daratan n yang ditum mbuhi berbag gai tumbuha an bakau. 8.000 7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 0 1890 1903 1 1944 1959 19 971 1984 1986 199 92 1993 1994 1995 5 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002* 2 2007* 2008*
G Gambar 1.
Pengurang gan Luas Lag guna Segara a Anakan
S Sumber
: Proyyek induk penge embangan wilaya ah Sungai Citan nduy, Cibulan, Ditjen D Pengairan n, Departemen Kimp praswil * *Sumber : Bada an Pengelola Ka awasan Konsenttrasi Segara Ana akan berdasarka an data Landsat type TM hasil interrpretasi citra sate elit * **Sumber : Bada an Pengelola Kawasan Konsentrrasi Segara Anakkan berdasarkan n data SPOT 5 ha asil interpretasi citra satelit
Di dala am konteks sudut panda ang sosial, permasalaha p an-permasallahan yang t terjadi telah h berkemba ang sedemikian komple eks dan be ertautan satu dengan l lainnya. Ma asalah konfflik lahan, misalnya, terjadi t karena akibat perbedaan p pandang m mengenai pe emanfaatan tanah timbul yang terbentuk dari proses s sedimentasi . Masyaraka at pertanian memandan ng bahwa tanah timbul merupakan m l lahan pertanian, yang selayaknya a dapat dike embangkan untuk lahan garapan m melalui eksttensifikasi pe ertanian. Se ementara itu u, nelayan, terutama t yang terkena d dampak sed dimentasi me enganggap bahwa mere eka memiliki hak tradisi atas lokasi t tanah timbu ul, karena lo okasi terseb but adalah lokasi dima ana pada masa-masa m s sebelumnya a mereka melakukan m ke egiatan eko onomi. Deng gan dasar ittu, mereka
4
beranggapan meletakkan klaim atas lahan-lahan tersebut, untuk membuka peluang alih profesi menjadi petani maupun untuk pengembangan ekonomi yang terkait dengan perikanan, misalnya pertambakan. Lebih lanjut, berkembang masalah lain, dimana ekstensifikasi lahan pertanian tersebut ternyata juga berpengaruh terhadap ekosistem kehidupan sumberdaya hayati ikan, yang pada gilirannya menyebabkan penurunan hasil tangkapan nelayan secara drastis. Masalah konflik lahan juga diperparah oleh keterbatasan ekonomi alternatif. Akibat meluasnya areal tanah timbul di Kawasan Segara Anakan, sejumlah besar nelayan yang kehilangan sumber penghidupan berupaya beralih mata pencaharian, dari yang semula berbasis kelautan menjadi berbasis darat. Namun, keterbatasan ekonomi alternatif di wilayah tersebut membuat pilihan alih pencaharian menjadi terbatas. Sebagian dari mereka berhasil menguasai petak tanah timbul dan memanfaatkannya sebagai lahan pertanian. Sebagian dari mereka tidak berkesempatan untuk mendapatkan penguasaan atas timbul maupun kesempatan di sektor perekonomian lain; akibatnya, seperti yang dilaporkan oleh Sastranegara et al (2007) hutan mangrove mereka konversi menjadi lahan pertanian. Perubahan kondisi sosial ekonomi tersebut berlangsung sangat cepat, seiring dengan kecepatan kerusakan lingkungan yang terjadi. Sumberdaya perikanan di laguna misalnya, telah mengalami penurunan sebesar 50% dari produksi 10 tahun yang lalu. Lebih menghawatirkan, perubahan drastis ini ternyata tidak hanya berdampak pada penduduk Kampung Laut yang berada pada wilayah utama laguna Segara Anakan, yang masih menggantungkan hidupnya sebagai nelayan, melainkan juga pada sejumlah besar nelayan pantai selatan di wilayah lain di Pulau Jawa. Produksi perikanan tangkap air payau dan perairan umum (sungai) di Kabupaten Cilacap pada tahun 2000-2009 dapat dilihat pada Gambar 2. Produksi perikanan tangkap air payau dari Kampung Laut menyumbang sebesar 28,24% dan produksi perikanan tangkap perairan umum (sungai) dari Kampung Laut menyumbang sebesar 41,10% pada tahun 2009. Produksi perikanan ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2006 yang menyumbang 39,85% dari perikanan air payau dan 77,61% dari perikanan perairan umum sungai. Perbandingan produksi terhadap nilai volume ikan dan udang di Kabupaten Cilacap dari tahun 1998-2009 dapat dilihat pada Gambar 3.
5
g) Produksi (Kg 1.400.000 1.200.000 1.000.000 800.000
Air Payau Sungai
600.000 400.000 200.000 2001
2003
2004
2005
200 06
2007
20 008
2009
Tahun
Produksi Perikanan P Ta angkap Air Payau P dan P Perairan Umu um (Sungai) dii Kabupaten Cilacap, 20 001-2009 (Su umber: BPS S 2010)
60
12
50
10
40
8
30
6
20
4
10
2
-
98 199
1999
2000 0
Produksi Ikan
G Gambar 3.
2001
2002
2003
Produksi Uda ang
2004
2005
2006
Nilai Produksi P Ikan
2 2007
2008
20 009
Nilai Produk ksi Udang
Perbanding gan Produkssi terhadap Nilai N Volume e Ikan dan Udang U di Kabupaten n Cilacap, 19 998-2009 (Sumber: BPS S, 2010)
Volume Produksi (Juta Ton)
Nilai Produksi (Milyar Rupiah)
G Gambar 2.
2002 2
6
Selain karena terbatasnya mata pencaharian alternatif, alih profesi bagi masyarakat nelayan juga tidak mudah karena berbagai alasan, misalnya masalah budaya, keterbatasan keahlian, dan pola perilaku. Sebagaimana hasil pengamatan
Mubyarto
(1984),
nelayan
pada
umumnya
tidak
mudah
membayangkan untuk memiliki pekerjaan lain, yang dimungkinkan oleh kemampuan yang mereka miliki. Keterampilan nelayan bersifat amat sederhana dan hampir sepenuhnya dapat dipelajari dari orangtua mereka sejak kecil, sedangkan bisang pekerjaan lain pada umumnya memerlukan keterampilan yang lebih sulit untuk dipelajari. Nelayan di bagian utara laguna, yang kehilangan sumber penghidupan sebagai nelayan akibat makin meluasnya tanah timbul pada umumnya kemudian memanfatkan tanah tersebut sebagai lahan pertanian. Tidak hanya itu, mereka juga melakukan perambahan hutan mangrove oleh petani untuk mencukupi kebutuhan akan lahan pertanian mereka. Hal ini menyebabkan masalah lain, yaitu kerusakan mangrove yang merupakan tempat perlindungan bagi beberapa hewan darat dan burung serta tempat memijahnya biota laut. Hasil penelitian Dudley (2000) menyatakan bahwa sebanyak 8% ikan dan 34% udang yang tertangkap oleh nelayan di perairan sekitar Pesisir Selatan Jawa menetas dan dibesarkan di laguna Segara Anakan, jumlah tersebut senilai US$ 8,3 juta per tahun. Kondisi internal masyarakat Segara Anakan diperparah dengan adanya faktor luar yang ikut mempengaruhinya. Saat ini, telah banyak petambak dari luar daerah yang memulai usaha budidaya di wilayah Segara Anakan. Sebagian masyarakat lokal mendapatkan kesempatan untuk mempelajari teknologi dari luar tersebut dan kemudian terdorong untuk membuka lahan mangrove dan mengkonversinya menjadi areal-areal pertambakan. Jelas bahwa permasalahan sosial ekonomi yang disebabkan oleh persoalan ekologis ini pada gilirannya telah berdampak kembali pada ancaman ekologis yang lebih besar. Hutan mangrove Segara Anakan yang merupakan detritus penting bagi kelangsungan food web di perairan selatan Pulau Jawa menjadi makin terdegradasi. Dan, dapat dipastikan bahwa siklus kerusakan yang terjadi secara interaktif antara aspek-aspek sosial dan aspek-aspek ekologis akan terus bergulir kecuali dilakukan tindakan yang cepat dan tepat. Berikut adalah gambaran ilustratif yang diberikan oleh Al Amin (2002) terkait siklus kerusakan tersebut (Gambar 4).
7
Sedimentasi dari hulu DAS
Penurunan/degradasi: - Ekosistem mangrove - Ekosistem perairan
Degradasi food web dan ekosistem di SA
Ekosistem Pemukiman (Daratan)
Ekosistem Daratan meningkat
Penduduk pendatang dan luar Kampung Laut
Produksi perikanan laut SA menurun
Gambar 4.
Ekosistem Tambak
Ekosistem Pertanian
Petani bertambah
Petambak bertambah
Alih mata pencaharian nelayan di SA
Siklus Kerusakan Lingkungan di Segara Anakan (Al Amin, 2002)
Permasalahan dan berbagai penyebabnya saling terkait, mencakup aspek ekologis dan aspek-aspek sosial ekonomi masyarakat, yang terintegrasi dalam sebuah sistem. Integrasi seperti itu dikenal sebagai Social-Ecological Systems (SES) (Adrianto dan Aziz, 2006). Mengacu pada gejala yang ditunjukkan oleh berbagai permasalahan di Segara Anakan sebagaimana dipaparkan di atas, paradigma yang membicarakan unit ekosistem yang dihubungkan dengan dan dipengaruhi oleh sistem sosial yang ada dimana ada keterkaitan antara aspek sistem alam (ekosistem) dan sistem manusia, jelas merupakan suatu hal yang sangat relevan. Pemahaman terhadap potensi dinamika sosial-ekologi telah menyadarkan perlunya pengembangan pendekatan untuk beradaptasi terhadap potensi tersebut. Dalam konteks ini, adaptasi dimaksudkan sebagai kemampuan sistem sosial dan ekologi yang terkait sangat erat, kemampuan tersebut diperlukan untuk menghadapi situasi-situasi baru tanpa mengurangi kesempatan untuk mendapatkan pilihan-pilihan di masa depan, yang menurut Folke et al. (2002) kata kuncinya adalah resiliensi. Dengan adanya resiliensi, sistem ekologi dan sosial akan mampu untuk menyerap kejutan dan pada saat yang sama mempertahankan fungsinya. Dalam peristilahan Gunderson and Holling, 2002; Berkes et al., 2002), resiliensi menyediakan komponen-komponen yang
8
dibutuhkan untuk pembaruan dan pengorganisasian kembali pada saat terjadinya perubahan. Mengacu pada konsep tersebut dan mempertimbangkan latar belakang permasalahan sebagaimana dipaparkan diatas, maka upaya identifikasi resiliensi berdasarkan penggambaran sistem sosial-ekologis di Segara Anakan adalah relevan dan urgen. Atas dasar itu pula, penelitian ini dirancang untuk difokuskan pada penyusunan model resiliensi masyarakat di Laguna Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Propinsi Jawa Tengah.
1.2. Perumusan Masalah Perairan Laguna Segara Anakan yang menghubungkan kota Cilacap dan Pangandaran merupakan sebuah sistem ekologis yang memerankan fungsi sosial penting bagi komunitas padat penduduk di wilayah itu. Namun demikian, fungsi tersebut terganggu akibat berbagai tekanan yang terjadi pada sistem ekologis yang ada. Laguna Segara Anakan yang selama ini diandalkan oleh penduduk untuk menopang berbagai aktivitas ekonomi sosial, merupakan tempat bermuaranya berbagai sungai yang saat ini sedang mengalami percepatan pendangkalan dan pertumbuhan daratan baru (dalam bentuk mud flat). Ekonomi lokal yang sejak semula tergantung pada keberadaan laguna, yaitu perikanan, menjadi sangat terganggu; sementara itu, daratan baru yang terbentuk oleh proses sedimentasi berkembang menjadi lahan sengketa. Konflik sumberdaya di sekitar laguna kemudian terjadi di antara penduduk lokal maupun dengan pelaku ekonomi dari luar wilayah itu dalam hal akses terhadap lahan garapan dan sumber air, mangrove dan wilayah penangkapan. Rencana intervensi kebijakan dalam bentuk pengalihan alur Sungai Citanduy, yang diperkirakan dalam meredam konflik-konflik tersebut untuk sementara ini belum dapat dilaksanakan karena diperkirakan akan menyebabkan konflik-konflik dalam bentuk lain. Sungai Citanduy, yang berada di sebelah barat dari laguna merupakan sumber sedimentasi di wilayah ini sehingga apabila alur sungai tersebut dialihkan, diperkirakan pendangkalan akan dapat diperlambat dan sumbersumber konflik dapat ditekan. Potensi konflik baru tersebut adalah misalnya terkait dengan kepentingan masyarakat di wilayah lain, dimana alur sungai akan diarahkan,
yaitu
wilayah
Pangandaran.
Sejumlah
besar
masyarakat
Pangandaran selama ini mengandalkan ekonomi rumah tangganya pada pesisir
9
wilayah tersebut sebagai area wisata; dengan demikian, pengalihan alur sungai ke Pangandaran besar kemungkinan akan mengancam keberlanjutan aktivitas ekonomi masyarakat di sekitarnya. Untuk kondisi sosial dan ekologis yang terjadi pada saat ini, intervensi kebijakan dengan cakupan spasial yang lebih rendah, misalnya pengerukan muara sungai, pun belum mampu untuk menurunkan tingkat permasalahan sosial ekonomi di Segara Anakan secara signifikan. Untuk kondisi sosial saat ini, pengerukan reguler muara sungai oleh sebagian pengamat diperkirakan berpotensi memunculkan ketidakadilan distribusi dan merupakan sumber konflik baru. Hal ini terutama karena sedimentasi yang terus berlanjut, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 5 sebenarnya merupakan hal yang positif bagi petani, meskipun nelayan memandangnya sebagai sesuatu yang negatif, karena menyebabkan penurunan hasil tangkapan.
Gambar 5.
Sedimentasi di Kawasan Laguna Segara Anakan
Permasalahan berlanjut dan semakin pelik dengan semakin merosotnya kondisi sosial ekonomi maupun ekologis di kawasan Segara Anakan. Kemiskinan penduduk yang meningkat, ketidakpastian status hukum mengenai kepemilikan lahan, tingginya perambahan hutan mangrove, serta merebaknya penggunaan jaring apong, meluasnya wilayah banjir (Purnamaji, 2006) adalah beberapa contoh di antaranya.
10
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa permasalahan sosial ekonomi yang terjadi di Segara Anakan mengaitkan banyak aspek, baik internal maupun eksternal. Gambar 6 merangkum dalam bentuk diagram, saling keterkaitan antar permasalahan tersebut di atas, termasuk keterkaitannya dengan permasalahan yang terjadi di bagian hulu dari sungai-sungai yang bermuara di Segara Anakan dengan model DPSIR (Driving-Force-Pressure-State-Impact-Respon). TEKANAN LINGKUNGAN/ ENVIRONMENTAL PRESSURES (P)
FAKTOR PENGGERAK/ DRIVERS (D)
• Pemicu di hulu: alih fungsi lahan, illegal logging, letusan gunung • Pemicu di hilir: populasi penduduk, eskalasi eksploitasi sumberdaya
PERUBAHAN KONDISI LINGKUNGAN/ ENVIRONMENTAL STATES CHANGES (S)
Sedimentasi, pendangkalan laguna, penurunan produktivitas ikan, penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan, penebangan bakau, perambahan hutan
Penurunan pendapatan, kemiskinan nelayan, peningkatan kebutuhan lahan pertanian, penurunan lahan produksi
DAMPAK/ IMPACTS (I)
RESPON/ RESPONSES (R)
Peningkatan masalah sosial ekonomi, konflik lahan, penurunan resiliensi masyarakat
• Kebijakan ekonomi: alih mata pencaharian, • Kelembagaan: BPKSA • Teknologi: pengerukan laguna, sudetan sungai Gambar 6.
Kerangka Permasalahan di Laguna Segara Anakan dengan Pendekatan DPSIR
Berdasarkan uraian permasalahan pokok tersebut di atas maka pertanyaan penelitian (research question) adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana struktur sistem sosial-ekologi yang ada di Segara Anakan? 2. Sejauh mana tingkat resiliensi masyarakat di Segara Anakan sehubungan dengan berbagai permasalahan di atas?
3. Bagaimana
model
peningkatan
resiliensi
masyarakat
yang
dapat
diaplikasikan untuk kesejahteraan masyarakat dan kesehatan ekosistem Segara Anakan yang lestari?
11
1.3. Tujuan Penelitian Sejalan dengan pertanyaan penelitian yang diajukan diatas, maka tujuan utama penelitian ini adalah mengkaji model resiliensi masyarakat di laguna Segara Anakan terhadap perubahan lingkungan terkait dengan sistem sosialekologis yang melingkunginya. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi struktur sistem sosial-ekologis Segara Anakan saat ini. 2. Mengidentifikasi tingkat resiliensi masyarakat Segara Anakan. 3. Menyusun model peningkatan resiliensi masyarakat yang rentan terhadap perubahan ekologis.
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah diharapkan dapat : 1. Menghasilkan informasi ilmiah mengenai struktur sistem sosial-ekologis di laguna Segara Anakan saat ini. 2. Menghasilkan informasi ilmiah mengenai resiliensi masyarakat pesisir dalam beradaptasi dengan perubahan berupa ancaman/gangguan, baik yang bersifat cepat ataupun lambat, di Segara Anakan, untuk diaplikasikan di wilayah lain. 3. Menyediakan masukan bagi pemerintah dalam merancang intervensi kebijakan terkait resiliensi masyarakat Segara Anakan maupun di tempat lain.
1.5. Kerangka Pemikiran Konsep pembangunan berkelanjutan telah diadopsi di berbagai negara untuk diimplementasikan dalam kegiatan pembangunan, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi. Dalam hal pengelolaan sumberdaya alam, telah disepakati secara global mengenai bagaimana seharusnya sumberdaya alam dikelola agar berkelanjutan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan dan kegiatan ekonomi. Dalam kesepakatan ini jelas bahwa pengelolaan sumberdaya alam harus menyeimbangkan interaksi antara ketiga aspek sekaligus yakni pertumbuhan ekonomi (economic viability), kesesuaian ekologis (ecologically compatibility) dan penerimaan secara sosial (social acceptability).
12
Dalam kaitan dengan pembangunan wilayah pesisir, terdapat karakteristik dan dinamika masyarakat pantai serta faktor-faktor ekonomi, ekologi dan sosial yang berlaku pada masyarakat yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan. Wilayah pesisir memiliki karakteristik khusus yang lebih kompleks dibanding daratan atau lautan. Hal ini karena terdapat interaksi antar ekosistem di wilayah pesisir dan juga interaksi masyarakat wilayah pesisir yang sangat dinamis, baik antar masyarakat sendiri maupun interaksi antara masyarakat dengan ekosistem pesisir. Interaksi ini disebut sistem sosial-ekologis atau SES. Dinamika sistem sosial-ekologis di Segara Anakan ditunjukkan dengan adanya interaksi antara sistem alam (laguna) dan sistem sosial (manusia) dalam memanfaatkan ekosistem laguna. Interaksi ini mengakibatkan ekosistem laguna saat ini mengalami degradasi yang diakibatkan baik oleh fenomena alam maupun akibat aktivitas manusia. Sehingga dengan menggunakan pendekatan SES diharapkan mampu meningkatkan ketahanan (resilience) terkait dengan kerentanan pemanfaatan sumberdaya ekosistem laguna. Adapun kerangka pemikiran model resiliensi masyarakat di laguna Segara Anakan tertera pada Gambar 7.
Gambar 7.
Kerangka Pemikiran Model Resiliensi Masyarakat di Segara Anakan (diadaptasi dari Turner et al., 2003)
Gambar 7 menunjukkan bahwa tekanan/gangguan baik pada sisi lingkungan maupun sosial-ekonomi akan berdampak pada dinamika sistem sosial-ekologis di Segara Anakan. Pemahaman terhadap potensi dinamika
13
sosial-ekologi telah menyadarkan perlunya pengembangan pendekatan untuk beradaptasi terhadap potensi tersebut. Dalam konteks ini, adaptasi dimaksudkan sebagai kemampuan sistem sosial dan sistem ekologi yang terkait sangat erat, kemampuan tersebut diperlukan untuk menghadapi situasi-situasi baru tanpa mengurangi kesempatan untuk mendapatkan pilihan-pilihan di masa depan, hal ini disebut resiliensi. Sebagaimana sistem sosial-ekologis mengalami perubahan secara
konstan,
resiliensi
adalah
unsur
pusat
untuk
mempertahankan
berlanjutnya kehidupan yang dapat menggeser tujuan utama kebijakan dari mengontrol sistem yang stabil menjadi kemampuan sistem untuk bertahan dan beradaptasi terhadap resiko dan perubahan. Atas pemikiran tersebut maka perlu dilakukan penilaian bagaimana peningkatan resiliensi masyarakat menghadapi perubahan baik yang bersifat mendadak ataupun gradual pada laguna Segara Anakan.
1.6.
Novelty Kebaruan dari penelitian ini adalah:
1. Lokasi penelitian dilakukan di laguna Segara Anakan
yang merupakan
suatu ekosistem yang unik dengan karakteristik spesifik.
2. Pendekatan praktis dan teoritis selama ini baik di Segara Anakan maupun dalam penanganan permasalahan sosial dan lingkungan pada umumnya menggunakan pendekatan yang cenderung memisahkan aspek sosial dan aspek ekologis. Kalaupun ada pendekatan yang mengakomodasikan kedua aspek, hampir tidak pernah akomodasi tersebut dilakukan dalam format terintegrasi sebagaimana dalam pendekatan SES.
3. Interaksi antara sistem ekologi dan sistem sosial di laguna Segara Anakan sangat kuat, karena terdapat ketergantungan sistem sosial terhadap sistem ekologi. Sistem sosial sangat sensitif terhadap perubahan sistem ekologi. Perubahan
sistem
ekologi
yang
terjadi
merupakan
akumulasi
dari
perubahan-perubahan sistem ekologi dan sosial dari wilayah hulu dan hilir DAS, serta dinamika perairan laut.
4. Pendekatan yang digunakan dalam riset ini lebih memandang penting aspek hilir atau adaptasi, karena upaya-upaya mitigasi termasukan pengerukan laguna salah satunya telah terbukti tidak efektif.
14
15
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekologi Estuaria Estuaria berasal dari kata aestus yang berarti pasang surut (tide) yang mempunyai definisi sebagai suatu perairan pesisir yang semi tertutup dan mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka (Pritchard, 1967 dalam Koesbiono, 1979). Estuaria mempunyai definisi yang beragam, keragaman ini karena adanya beberapa bentuk geomorfologis garis pantai, misalnya gobah, rawa, fjord dan bentuk teluk dangkal lainnya seringkali dianggap sebagai estuaria (Nyabbaken, 1988).
Definisi estuaria adalah bentuk teluk di pantai yang
sebagian tertutup, dimana air tawar dan air laut bertemu untuk bercampur. Definisi ini memberi arti bahwa adanya hubungan bebas antara air laut dengan sumber air tawar paling sedikit selama setengah waktu dari setahun. Ekosistem estuaria sering sekali berasosiasi dengan hutan mangrove sehingga sering disebut dengan ekosistem mangrove. Ekosistem ini sangat produktif, rapuh dan sekaligus penuh dengan sumberdaya. Ekosistem ini diartikan sebagai ekosistem yang mendapatkan subsisdi energi, karena arus pasang surut banyak membantu dalam menyebarkan zat-zat hara. Spesies ikan laut banyak menggunakan estuaria untuk berlindung dan mencari makan karena estuaria
kaya
akan
nutrien.
Ikan-ikan
dari
daerah
laut
banyak
yang
menggunakan estuaria sebagai daerah asuhan (nursery ground). Ekosistem estuaria merupakan jalan masuk dan jalan keluar bagi ikan-ikan diadromus (anadromus dan
katadromus). Ikan anadromus menggunakan
estuaria sebagai jalan masuk dari laut menuju sungai atau estuaria, sebaliknya ikan katadromus menggunakan estuaria sebagai jalan keluar sungai atau danau untuk bermigrasi ke laut. Menurut Nursid (2002) di perairan estuaria Segara Anakan ditemukan lebih dari 45 jenis ikan. Diantara 45 jenis ikan ini,17 jenis merupakan jenis peruaya (migratory), 12 jenis menetap (resident spesies) dan 16 jenis merupakan pendatang (occasional visitor). Menurut Dirjen Perikanan (1992) jenis ikan peruaya di Segara Anakan diantaranya teri (Sardinella fimbriata), belanak (Mugil spp.), sidat (anguilla anguila), tuna dan pepetek (Leigognathus spp.) Segara Anakan disebut sebagai laguna karena secara geografis terpisah oleh keberadaan Pulau Nusakambangan, hubungan dengan laut terjadi melalui dua buah kanal yang disebut Plawangan Timur (Eastern Outlet) di bagian timur
16
pulau Nusakambangan dan Plawangan Barat (Western Outlet. Selain itu Segara Anakan disebut juga sebagai estuaria, karena secara principal dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan juga air tawar dari beberapa sungai yang bermuara di laguna Segara Anakan. Sebagai kawasan estuaria, Segara Anakan merupakan perairan estuaria semi tertutup dengan keberadaan Pulau Nusakambangan.
2.2. Tinjauan Teori Sistem dan Studi Komunitas 2.2.1. Teori Sistem Teori sistem adalah suatu bidang interdisipliner dari ilmu pengetahuan dan studi yang menyangkut sifat alami dari sistem kompleks di alam, masyarakat dan ilmu pengetahuan. Lebih rinci, merupakan suatu kerangka dimana seseorang dapat meneliti dan/atau menguraikan kelompok objek manapun bahwa bekerja dengan maksud untuk menghasilkan beberapa hasil (Wikipedia, 2009). Teori sistem menganalisis struktur dan pemfungsian sistem yang mengatur dirinya sendiri dalam suatu lingkungan yang kompleks (McCarthy, 2006). Prinsip
sistem
sebagai
struktur
pengetahuan
dimaksudkan
untuk
mengintegrasikan pengamatan dengan pengetahuan sehingga lebih bermakna (Forrester, 1968). Hal-hal yang dapat diperoleh dengan menggunakan teori sistem dalam sistem sosial adalah: (1) teori sistem diturunkan dari ilmu pasti; (2) teori sistem mengandung banyak tingkatan dan dapat juga diaplikasikan pada aspek dunia sosial berskala terbesar dan terkecil, ke aspek yang paling subyetif dan objektif; (3) teori sistem tertarik dengan keragaman hubungan dari berbagai aspek dunia sosial; (4) pendekatan sistem cenderung menganggap melihat semua aspek sistem sosiokultural dari segi proses; dan (5) teori sistem secara inheren bersifat integratif (Buckley, 1967 dalam Ritzer dan Goodman, 2004). Penerapan teori sistem dalam ilmu sosial adalah pendefinisian masyarakat sebagai semua yang mencakup sistem sosial termasuk semua sistem kemasyarakatan (Luhmann, 1978; 1997). Teori Luhmann tersebut dapat diacu dengan mempertimbangkan berbagai kritik, diantaranya: (1) perkembangan evolusioner masyarakat sesungguhnya bersifat regresif dan tidak mesti; (2) diferensiasi adalah kunci untuk mendeskripsikan perkembangan masyarakat dan meningkatnya kompleksitas sistem sosial dalam menghadapi lingkungannya; (3) kemampuannya terbatas untuk mendeskripsikan relasi antar sistem; dan (4) asumsi
pandangan
terhadap
masyarakat
yang
semuanya
valid
kemungkinan memberi prioritas pada satu pandangan (Bluhdorn, 2000).
tanpa
17
Sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan (Manetcsh and Park, 1979 dalam Eriyatno, 1999). Sistem juga dapat bemakna sejumlah ide dan prinsip yang saling berhubungan yang terorganisasi, sebagai suatu bentuk organisasi sosial ekonomi-politik, atau sebagai sejumlah objek dan fenomena yang terkelompok bersama. Dalam makna sistem sebagai suatu organisasi dari sejumlah element dan bagian yang bekerja sebagai sebuah unit, maka beberapa kata yang dekat dengan pengertian ini adalah entity, integral, sum, totality,dan whole. Prinsip dasar teori sistem cukup sederhana, bahwa masyarakat merupakan suatu keseluruhan yang saling tergantung (Roderick, 1986), seperti sebuah mobil kata ahli fisika, atau seperti sebuah organisme dalam bidang biologi. Kelangsungan sistem ditentukan oleh pertukaran masukan dan keluaran dengan lingkungannya. Setiap sistem terbagi dalam sejumlah variabel subsistem, dimana tiap subsistem juga terdiri dari tatanan sub-subsistem yang lebih kecil.
2.2.2. Studi Komunitas Community yang diterjemahkan menjadi komunitas oleh Koentjaraningrat (1990) memiliki pengertian sebagai “suatu kesatuan hidup manusia yang menempati suatu wilayah yang nyata dan berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat serta oleh suatu rasa identitas komunitas yang memiliki ciri-ciri yaitu adanya kesatuan wilayah, kesatuan adat istiadat rasa identitas, sbg suatu komunitas dan rasa loyalitas terhadap komunitas itu sendiri”. Soekanto (2002) mengartikan community sebagai masyarakat setempat. Masyarakat setempat merujuk pada warga sebuah desa, kota, suku atau bangsa yang mana para anggotanya hidup bersama sehingga merasakan bahwa kelompok dapat memenuhi kepentingan-kepentingan hidup yang utama. Keterikatan secara geografis merupakan suatu ciri dasar yang sifatnya pokok sebagai suatu komunitas, tetapi hal ini tidaklah cukup karena suatu community harus memiliki apa yang disebut dengan community sentiment atau perasaan komunitas. Perasaan sebagai suatu komunitas memiliki beberapa unsur yaitu seperasaan, sepenanggungan dan saling memerlukan. Masyarakat dikonsepsikan sebagai sistem yang mempunyai fungsi adaptasi (economy), integrasi (society), mempertahankan diri (culture) dan memberi orientasi hidup (policy). Adanya proses adaptasi dan integrasi untuk
18
menghadapi pengaruh faktor eksogen dan endogen, maka tetap ada dinamika sosial (Kartodirdjo, 1993). Masyarakat lokal merupakan kelompok masyarakat yang mempunyai kepentingan terhadap kawasan konservasi dikarenakan kedekatan masyarakat dengan kawasan tersebut dan adanya faktor kepentingan baik secara historis, sosial religi, ekologi maupun ekonomi masyarakat lokal. Namun masyarakat hampir tidak pernah terlibat di dalam berbagai proses pengambilan keputusan, dan sebaliknya diposisikan sebagai penerima setiap kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah. Oleh karenanya dimasa yang akan datang, peran serta yang dikembangkan didalam berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi haruslah ditekankan kepada peran serta yang bersifat kemitraan, dimana masyarakat turut berperan didalam proses pengambilan keputusan akhir (Sembiring dan Husbani 1999).
2.3. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian menurut rancangan tersebut di atas adalah kombinasi metode kualitatif dan kuantitatif (Patton, 1980; McCracken, 1988; Shaffir and Stebbins, 1991; Bernard, 1994; Kvale, 1996).Sasaran dari pendekatan kuantitatif adalah gejala sedangkan sasaran dari pendekatan kualitatif adalah prinsip-prinsip umum dari perwujudan gejala-gejala (Rudito dan Famiola, 2008).
2.3.1. Pendekatan Kuantitatif Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan metode survai, dengan tujuan untuk memahami masalah sosial melalui penjaringan pendapat dan aspirasi masyarakat atau entitas penduduk, melalui pendekatan sampel populasi. Pengambilan contoh populasi (sampling) yang heterogen menjadi bagian-bagian yang relatif homogen (homogenous subsets) atau disebut juga strata, dilakukan untuk dapat menjaring seluruh lapisan dalam masyarakat, baik secara acak dilakukan pada setiap strata tersebut (Cochran, 1984; Walsh, 1990). Pendekatan
kuantitatif
dalam
metode
penelitian
pertama
kali
dikembangkan oleh Descartes dengan istilah pendekatan deduktif. Pendekatan tersebut kemudian dikembangkan oleh Comte pada tahun 1896 yang kemudian dikenal dengan pendekatan positivisme. Pendekatan kuantitatif bermula dari studi tentang ilmu-ilmu alam (natural science) yang mengharuskan semua kajian
19
penelitian diukur dengan angka-angka kuantitatif secara ontologis dan diletakkan pada tatanan realisme (Basrowi dan Sukidin, 2002). Sparringa (2000) menyatakan bahwa semangat utama positivisme adalah memetakan pola-pola dan kecenderungan umum tentang bagaimana struktur sosial yang ada menghasilkan disposisi dan perilaku individu yang berbeda. Produk akhir dari upaya intelektual tersebut adalah ditemukannya dalil-dalil umum sebagai upaya geberalisasi atas fakta-fakta empirik dari berbagai pengamatan yang terukur (Basrowi dan Sukidin, 2002). Analisis statistik merupakan salah satu alat yang digunakan dalam penelitian kuantitatif. Salah satu faktor terpenting dalam analisis statistik adalah pemilihan metode statistik yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan tujuan penelitian. Analisis statistika hanya suatu alat saja, diharapkan dapat mengungkapkan
kebenaran
dari
serangkaian
data,
tetapi
pemahaman,
pengalaman, intuisi dan penalaran tetap menjadi kekuatan peneliti (Greenfield, 2002). Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja di Kecamatan Kampung Laut. Kemudian pada masing-masing desa dilakukan pemilihan sampel secara stratified random sampling, yaitu teknik pengambilan sampel secara proporsional berdasarkan strata yang ditentukan, yaitu kelompok pemanfaat sumberdaya pada lokasi penelitian.
2.3.2. Pendekatan Kualitatif Pendekatan kualitatif dilakukan untuk memberikan pemahaman lebih mendalam tentang berbagai aspek kultural masyarakat yang tidak dapat dijaring melalui pendekatan kuantitatif, sedangkan pendekatan kuantitatif dilakukan untuk memberikan pemahaman tentang aspek-aspek sosial budaya secara lebih positivistik, terukur dan kuantitatif. Pada pendekatan kualitatif, digunakan pendekatan teori kritis (Denzin and Lincoln, 2008) untuk mencapai suatu proses interaksi
yang
mampu
membuka
selubung
kepentingan
masing-masing
partisipan secara lebih jujur dalam suatu seri dialog kritis. Secara kritis dapat digunakan pendekatan studi etnografi (Creswell, 1998). Dengan pendekatan tersebut akan diketahui kondisi riil suatu komunitas, baik sosial, maupun kultural. Etnografi tersebut semata-mata berciri deskriptif kualitatif, tanpa interpretasi-interpretasi kultural dan analisis budaya peneliti. Dengan kata lain, etnografi sekedar memberikan potret dari suatu komunitas
20
kecil yang dikaji, dengan menelaah dimensi-dimensi kultural masyarakat secara rinci, untuk mendukung kajian dalam penelitian kuantitatif (Faisal, 2004; Basrowi dan Sukidin, 2002). Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang berguna melihat secara detil dan mendalam bagaimana proses suatu dampak muncul dari perubahan sosial yang terjadi akibat perubahan ekologis. Penelitian juga dikombinasikan dengan rancangan penelitian studi kasus. Menurut Yin (2002) studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak nampak dengan tegas; dan dimana berbagai sumber dapat dimanfaatkan. Strategi penelitian studi kasus diterapkan pada suatu komunitas, karena sesuai dengan keterwakilannya dengan karakteristik permasalahan dan tujuan penelitian. Pemilihan strategi penelitian studi kasus didasarkan pada: 1) kesesuaian dengan pertanyaan penelitian yang bersifat eksploratif, 2) peluang peneliti sangat kecil untuk mengontrol peristiwa/gejala sosial yang hendak diteliti, dan 3) pumpunan penelitian adalah peristiwa/gejala sosial kontemporer (masa kini) dalam kehidupan nyata (Yin, 1996 dalam Sitorus, 1998). Pumpunan penelitian kualitatif adalah aspek subjektif perilaku manusia, dimana subjektif berarti melihat dari sudut pandang subjek penelitian sebagai subjek penelitian, sehingga hubungan antara peneliti dan subjek penelitian dirumuskan
sebagai
hubungan
inter-subjektivitas.
Secara
logis,
dapat
dikemukakan bahwa jika ingin melihat gejala sosial secara kritis, maka terlebih dahulu harus dipahami masyarakat dimana gejala sosial tersebut terjadi. Untuk memahami sifat kritis dan tujuan emansipasi, maka sudut pandang yang dibawakan tidak cukup sudut pandang peneliti saja, karena akan memunculkan kemungkinan bias/rancu. Oleh karena itu dibutuhkan intersubjektivitas antara peneliti dengan subjek penelitian, sehingga peneliti benar-benar memahami secara benar masyarakat yang diteliti sekaligus memahami gejala sosial timbul. Teknik triangulasi berupa pengamatan, wawancara mendalam dan kajian data sekunder diperlukan untuk menangkap realitas sosial secara lebih valid. Dalam penelitian ini data-data induk yang ingin dikumpulkan merupakan informasi yang memiliki sifat realitas historis karena tentu saja keseluruhan terbentuk melalui perjalanan sejarah yang tidak terlepas dari perkembangan masyarakat. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan menelusuri secara prosesual fakta-fakta antar waktu yang menggambarkan perubahan-perubahan
21
masyarakat. Khusus untuk memahami tindakan agresif masyarakat maka perlu mempelajari konflik-konflik yang terjadi antara masyarakat pendatang dan masyarakat lokal. Data kualitatif dianalisis dengan 3 (tiga) jalan, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (Miles and Huberman, 1992). Reduksi data berupa
proses
pemilihan,
pemusatan
perhatian
pada
penyederhanaan,
pengabtrakkan dan transformasi data kasar yang muncul secara tertulis di lapangan. Penyajian dimaksudkan adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Sedangkan penarikan kesimpulan dalam hal ini mencakup juga verifikasi atas kesimpulan itu.
2.4. Sistem Sosial-Ekologis Sistem sosial-ekologis (social-ecological system - SES) didefinisikan sebagai sistem yang terpadu dari alam dan manusia dengan hubungan yang timbal balik (Berkes and Folke, 1998; Carpenter and Folke, 2006). Sementara itu menurut Anderies et al. (2004), sistem sosial-ekologis adalah sebuah sistem dari unit biologi/ekosistem dihubungkan dengan dan dipengaruhi oleh satu atau lebih sistem sosial. Suatu sistem ekologis dapat digambarkan sebagai suatu sistem unit biologi atau organisme yang saling tergantung. Sosial sederhananya berarti membentuk ko-operasi dan hubungan saling tergantung dengan orang yang lain (Merriam-Webster Online Dictionary, 2004). Dalam pendekatan SES ini unit analisisnya adalah unit sosial-ekologi (social-ecological unit). Unit sosial ekologi sangat relevan di laguna Segara Anakan, mengingat pada dasarnya dinamika wilayah ini adalah interaksi bersama – sama (co exist) antara dinamika sosial ekonomi dan ekosistem. Pengelolaan yang berbasis pada pendekatan ini adalah pengelolaan berbasis sosial ekosistem, yang pada dasarnya adalah integrasi antara pemahaman ekologi dan nilai – nilai sosial ekonomi. Tujuan dari pengelolaan berbasis sosial ekologi adalah memelihara dan menjaga kelestarian serta integritas ekosistem, sehingga pada saat yang sama mampu menjamin keberlanjutan suplai sumberdaya untuk kepentingan sosial ekonomi manusia.
22
Dengan demikian sistem sosial-ekologis ini membicarakan unit ekosistem seperti wilayah pesisir, ekosistem mangrove, danau, terumbu karang, pantai yang berasosiasi dengan struktur dan proses sosial sebagaimana konsep Anderies et al. (2004) seperti yang tertuang pada Gambar 8. 8 B. Pengguna Sumberdaya
1
7
6
A. Sumberdaya
2
C. Penyedia Infrastruktur Publik
5
D. Infrastruktur
4
8
3
7
Gambar 8.
Model Konseptual dari SES (Anderies et al., 2004)
Dalam tataran operasionalnya, konsep tersebut biasanya dijabarkan dengan berbagai variabel yang mengkarakterisasikan dinamika manusia, masyarakat dan alam. Sebagaimana disajikan oleh Ostrom (2007) pada Tabel 1, misalnya, menyebut variabel sektor, batasan sistem, ukuran sistem, manusia, produktivitas,
keseimbangan,
mengkarakterisasi
sistem
prediksi,
sumberdaya.
ketersediaan Variabel
dan
organisasi
lokasi
untuk
pemerintah,
organisasi bukan pemerintah, struktur jaringan, sistem kepemilikan, aturan operasional, aturan pilihan kolektif, aturan konstitusional dan proses monitoring dan sanksi untuk mengkarakterisasi sistem pemerintahan. Variabel mobilitas unit sumberdaya, tingkat pertumbuhan atau pergantian, interaksi antar unit sumberdaya, nilai ekonomi, ukuran, tanda pergerakan dan distribusi wilayah dan waktu untuk mengkarakterisasi unit sumberdaya.
23
Tabel 1. Variabel dalam Kerangka Analisis SES Pengaturan Sosial, Ekonomi, dan Politik (S) S1- pembangunan ekonomi. S2- trend demografi. S3- stabilitas politik. S4- kebijakan pemerintah. S5- ketersediaan pasar. Sistem Sumberdaya (RS) Sistem Pemerintahan (GS) RS1- Sektor (misal. air, hutan, ternak, ikan) GS1- Organisasi pemerintah RS2- Batasan sistem yang jelas GS2- Organisasi bukan pemerintah RS3- Ukuran sistem sumberdaya GS3- Struktur jaringan RS4- Manusia-konstruksi fasilitas GS4- Sistem kepemilikan RS5- Produktivitas sistem GS5- Aturan operasional RS6- Perangkat keseimbangan GS6- Aturan pilihan kolektif RS7- Prediksi dari sistem dinamis GS7- Aturan konstitusional RS8- Ketersediaaan karakteristik GS8- Proses monitoring dan sanksi RS9- Lokasi Unit Sumberdaya (RU) Pengguna (U) RU1- Mobilitas unit sumberdaya U1- Jumlah pengguna RU2- Tingkat pertumbuhan atau pergantian U2- Atribut sosial ekonomi dari pengguna RU3- Interakasi antar unit sumberdaya U3- Sejarah penggunaan RU4- Nilai ekonomi U4- Lokasi RU5- Ukuran U5- Kepemimpinan/kewirausahaan RU6- Tanda pergerakan U6- Norma/modal sosial RU7- Distribusi wilayah dan waktu U7- Pengetahuan tentang model SES U8- Ketergantungan terhadap sumberdaya U9- Penggunaan teknologi Interaksi (I) → Dampak (O) I1- Tingkat panen dari berbagai pengguna O1- Hasil pengukuran sosial I2- Pembagian informasi antar pengguna (cth: efisiensi, keadilan, perhitungan) I3- Proses pertimbangan O2- Hasil pengukuran ekologi I4- Konflik antar pengguna (cth: kelebihan panen, ketahanan, I5- Aktivitas investasi keberagaman) I6- Aktivitas lobby O3- Eksternalitas dari SES lain Related Ecosystems (ECO) ECO1- Pola iklim. ECO2- Pola polusi. ECO3- Arus kedalam dan keluar dari SES. Sumber: Ostrom (2007)
Selanjutnya variabel jumlah pengguna, atribut sosial ekonomi dari pengguna,
sejarah
penggunaan,
lokasi,
kepemimpinan/kewirausahaan,
norma/modal sosial, pengetahuan tentang model SES, ketergantungan terhadap sumberdaya dan penggunaan teknologi untuk mengkarakterisasi pengguna. Variabel tingkat panen dari berbagai pengguna, pembagian informasi antar pengguna, proses pertimbangan, konflik antar pengguna, aktivitas investasi, dan aktivitas lobby untuk mengkarakterisasi interaksi. Variabel hasil pengukuran sosial, hasil pengukuran ekologi dan eksternalitas dari SES lain untuk mengkarakterisasi dampak. Sementara itu, variabel pola iklim, pola polusi dan arus kedalam dan keluar dari SES untuk mengkarakterisasi ekosistem terkait.
24
Pemahaman SES menurut Gunderson and Holling (1998; 2002), Berkes dan Folke (1998), dan Berkes et al. (2003), ditegaskan dengan Berkes dan Folke (2002) disebutkan bahwa dinamika manusia, masyarakat dan alam sebagai bagian dari sistem terintegrasi dimana interkoneksi sosial-ekologis adalah terkemuka dan penggambaran antara sistem alam dan sosial adalah sewenangwenang dan tiruan. Kajian teori sistem sosial-ekologis adalah‘... untuk memahami sumber dan peran perubahan dari dalam sistem, terutama perubahan yang muncul, di dalam sistem yang adaptif. Perubahan ekonomi, ekologi dan sosial terjadi pada kecepatan dan skala ruang yang berbeda adalah target dari analisa tentang perubahan yang adaptif’ (Holling et al. 2002; 2005). Dengan demikian dimensi sosial merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari sistem sosial-ekologis.
Bioregion
Batas perairan
Ekosistem lokal
Kelembagaan peraturan Pengetahuan dan pemahaman
Praktek
Sistem alam Gambar 9.
Pengelolaan oleh institusi Pengelolaan lokal
Sistem sosial
Sistem Sosial-Ekologis (Berkes and Folke, 2002)
Gambar 9 adalah suatu penyajian visual tentang konsep sistem sosialekologis, yang menegaskan peran sentral dari pembelajaran sosial. Komponen merupakan struktur hirarkis terkait sistem ekologis dan sosial-institusional yang dihubungkan melalui pemahaman dan pengetahuan ekologis, yang kemudian diterjemahkan ke dalam praktek pengelolaan. Variasi dari perubahan sosialekologis yang memungkinkan terjadi. Dalam konteks pengelolaan wilayah pesisir, konsep ini sangat penting mengingat karakteristik dan dinamika ekosistem perairan, sumberdaya perikanan dan pelaku perikanan merupakan satu keterkaitan. Hal ini didasarkan pada karakteristik dan dinamika pesisir yang merupakan suatu sistem dinamis saling
25
terkait antara sistem komunitas manusia dengan sistem alam sehingga kedua sistem inilah yang bergerak dinamik dalam kesamaan besaran (magnitude). Untuk itu diperlukan integrasi pengetahuan dalam implementasi pengelolaan wilayah pesisir. Integrasi inilah yang dikenal dengan paradigma Social-Ecological System dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan (Adrianto and Aziz, 2006). Dengan menggunakan pendekatan SES diharapkan mampu meningkatkan ketahanan (resilience) melalui beberapa aksi baik dalam kerangka sistem lokal maupun nasional.
Interaksi Masyarakat ‐ Alam Sistem alam
ALAM
Sistem budaya
Metabolisme
Struktur biofisik masyarakat
Dunia materi
Komunikasi langsung
BUDAYA
Manusia
Gambar 10. Keterkaitan antara Sistem Ekologi dan Sosial di Wilayah Pesisir dan Laut (Anderies, et.al, 2004 dalam Adrianto, 2006)
Dari tinjauan-tinjauan yang dikemukakan oleh Anderies et al. (2004), Ostrom (2007), Gunderson and Holling (1998; 2002), Berkes and Folke (1998), dan Berkes et al. (2003) tersebut di atas, dapat disarikan pemahamanpemahaman umum, baik yang terkait dengan konsep maupun aplikasi dari analisis SES. Dari aspek konsep, SES mengandung pengertian jejaring dinamik interaktif yang terbentuk dari sejumlah unit system yang mencakup sumberdaya, pengguna sumberdaya, prasarana dan penyedia prasarana, serta pemangku kepentingan publik. Dalam aplikasinya, unit-unit sistem menurut konsep SES dicirikan berdasarkan sejumlah variabel.
26
2.5. Kerentanan (Vulnerability) Kerentanan yaitu kecenderungan sistem kompleks adaptif mengalami pengaruh buruk dari keterbukaannya terhadap tekanan eksternal dan kejutan (Kasperson, 1998; Turner et al., 2003). Kerentanan adalah manifestasi dari struktur sosial, ekonomi dan politik, dan pengaturan lingkungan. Kerentanan dapat dilihat dari dua unsur, yaitu paparan terhadap resiko dan coping capacity. Manusia yang lebih memiliki kapasitas untuk mengatasi kejadian ekstrem sedikit lebih rentan terhadap resiko (United Nation Environment Program [UNEP], 2003). Semakin rentan sebuah sistem, maka semakin rendah kapasitas kelembagaan dan masyarakat untuk beradaptasi dan membentuk perubahan. Dengan demikian pengelolaan resiliensi bukan hanya berhubungan dengan mempertahankan kapasitas dan pilihan bagi pembangunan di masa kini dan yang akan datang, tetapi juga menyangkut permasalahan lingkungan, sosial dan ketahanan ekonomi (Germany Advisory Council on Global Change, 2000; Adger et al., 2001). Konsep dari kerentanan didefinisikan sebagai tingkat yang menerangkan sebuah sistem (dalam ini konteks sistem pesisir dan pulau-pulau kecil) yang mengalami bencana disebabkan karena posisinya yang terbuka sehingga mudah terkena tekanan dan gangguan (Rass, 2002 dalam Adrianto, 2007) Kerentanan adalah faktor resiko internal dari subjek atau sistem yang ditunjukkan pada sebuah bencana dan keterkaitannya yang mengakibatkan terjadinya kerentanan dari bencana itu sendiri sehingga menjadi rentan atau rusak (ditunjukkan dengan fisik, ekonomi, politik atau kerentanan sosial) (Cardona, 2004; ISDR, 2004). Kerangka kerentanan digambarkan oleh Turner et al. (2003) terdiri dari komponen exposure, sensitivitas dan resiliensi yang dapat dilihat pada Gambar 11.
27
Sistem respon
Sistem sosial‐ekologis
Kondisi ekonomi Karakteristik dan komponen exposure
Pengaturan dan adaptasi
Resiko dan dampak
Kondisi biofisik
Exposure
Sensitivitas
Resiliensi
Gambar 11. Kerangka Kerentanan (Turner et al., 2003)
Dari konsep kerentanan dilanjutkan dengan pemahaman terhadap konsep resiliensi atau ketahanan merupakan suatu kerangka kerja untuk analisis dan tindakan untuk mengurangi kerentanan dan memperkuat ketahanan individu, rumah tangga dan masyarakat. Dengan menetapkan faktor-faktor utama yang berkontribusi terhadap kerentanan masyarakat, dapat dijelaskan hubungan antara faktor-faktor ini, termasuk tindakan untuk memperkuat ketahanan. Kerentanan merupakan kebalikan dari resiliensi, dimana suatu sistem sosial atau ekologi kehilangan resiliensinya maka sistem tersebut mejadi rentan terhadap perubahan yang sebelumnya bisa diserap (Kasperson and Kasperson 2001). Tinjauan mengenai konsep resiliensi akan dibahas lebih lanjut pada sub bab berikutnya.
2.6. Ketahanan (Resilience) Ketahanan atau resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan dari sebuah ekosistem untuk mentolerir perubahan tanpa menyebabkan pengurangan kondisi kualitatifnya.
Kemampuan ini dikendalikan oleh seperangkat proses, dimana
sebuah ekosistem yang resilien dapat bertahan terhadap perubahan mendadak dan memperbaiki keadaannya sendiri jika diperlukan.
Resiliensi menentukan
keberadaan hubungan dalam suatu sistem dan merupakan suatu ukuran kemampuan dari sistem ini untuk menyerap perubahan peubah keadaan, mengemudi peubah, dan parameter, dan masih tetap berlaku. Definisi ini
28
difokuskan kepada efisiensi, kontrol, keadaan konstan, dan kepastian yang semuanya merupakan atribut kondisi optimal.
Definisi ini berdasar pada
pemahaman lama yaitu kondisi alam yang stabil dan mendekati keadaan keseimbangan tetap, dimana resistensi terhadap gangguan dan kecepatan untuk kembali ke keadaan seimbang digunakan sebagai ukuran (Holling, 1973; Pimm, 1984; O’Neill et al., 1986; Tilman and Downing, 1994; Tilman, 1996). ISDR menekankan definisi resiliensi sebagai hak milik dari suatu sistem, yang mampu menyesuaikan dan me-reorganisasi dalam menahan lebih baik dengan resiko masa depan. ‘Resiliensi ditentukan oleh derajat tingkat yang mana sistem sosial mampu untuk mengorganisir dirinya sendiri untuk meningkatkan kapasitasnya untuk belajar dari bencana yang lalu untuk perlindungan masa depan yang lebih baik dan untuk meningkatkan ukuran pengurangan resiko’. Selanjutnya bila sebuah sistem dapat mereorganisasi dirinya yaitu merubah keadaan dari satu domain stabil ke domain stabil lainnya, maka ukuran dinamika ekosistem yang lebih relevan digunakan adalah resiliensi ekologi, yaitu ukuran jumlah perubahan atau gangguan yang diperlukan untuk merubah sistem. Perubahan ini dipengaruhi oleh seperangkat proses dan struktur yang saling menguatkan dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Definisi ini berfokus pada persintensi,
kemampuan
adaptif,
variabilitas
dan
ketidakpastian
yang
kesemuanya merupakan atribut dari perspektif evolusi dan pembangunan, yang juga sejalan dengan sifat keberlanjutan. Resiliensi menyediakan kemampuan untuk menyerap kejutan dan pada saat yang sama mempertahankan fungsinya. Saat terjadi perubahan, resiliensi menyediakan komponen-komponen yang dibutuhkan untuk pembaruan dan pengorganisasian kembali (Gunderson and Holling, 2002, Berkes et al., 2002, Barrow, 2006). Dalam sebuah sistem yang resilien perubahan memiliki potensi untuk menciptakan kesempatan bagi pengembangan kebaruan dan inovasi. Sebaliknya dalam sistem yang rentan perubahan kecil dapat menyebabkan kerusakan besar. Pemahaman mengenai resiliensi menjadi penting karena: 1) resiliensi dapat meningkatkan keanekaragaman; 2) resiliensi adalah sifat yang berkaitan dengan SES; 3) meningkatkan ketahanan dari sistem untuk memperkecil gangguan sebagai cara untuk menanggulangi; 4) ketika resiliensi hilang atau berkurang, sebuah sistem pada tingkat resiko yang tingggi dapat berubah menjadi kondisi yang berbeda yang mungkin tidak diharapkan; 5) yang berbeda
29
yang mungkin tidak diharapkan perbaikan sistem pada kondisi sebelumnya dapat menjadi kompleks, dengan biaya tinggi dan kadang-kadang tidak mungkin terjadi (Holling, 1973). Untuk mengantisipasi tantangan yang dihadapi saat ini diperlukan perspektif, konsep dan alat mengenai dinamika sistem kompleks dan implikasinya terhadap keberlanjutan. Hal ini menuntut perubahan kebijakan yang sebelumnya ditujukan untuk mengontrol perubahan dalam sistem yang diasumsikan stabil, menjadi pengelolaan kapasitas sistem sosial-ekologis untuk menghadapi, beradaptasi dan membentuk perubahan. Ketika suatu sistem kehilangan resiliensinya maka menjadi rentan untuk berubah. Folke et al. (2002) mengkaji resiliensi sosial-ekologi yang fokus utamanya adalah pada sistem ekologisnya. Mereka mengenali interaksi dengan sistem sosial
bagaimanapun,
dimana
pengaruh
resiliensi
dari
ekosistem
dan
kapasitasnya untuk menyediakan jasa ekosistem. Perhatian dalam 'hasil' berkonsentrasi pada ekosistem dibandingkan sistem sosial. Pendekatan yang dilakukan dalam kajian ini adalah cara lainnya. Studi ini difokuskan pada konteks sosial, sambil mengenali bahwa itu adalah bergantung pada sistem ekologisnya. Resiliensi dalam sistem sosial akan menambah kapasitas manusia untuk mengantisipasi dan merencanakan masa depan, dimana dalam sistem manusia – alam, resiliensi ini disebut sebagai kapasitas adaptif. Pemahaman mengenai sistem kompleks digunakan sebagai penghubung antara ilmu sosial dan ilmu biofisik (McIntosh et al., 2000; Kasperson et al., 1995; Berkes and Folke, 1998; Scoones, 1999; Gunderson and Holling, 2001; Berkes et al., 2002), dan menjadi penopang beberapa pendekatan terpadu seperti ilmu ekologi-ekonomi (Costanza et al., 1993; 2001; Arrow et al., 1995) dan ilmu keberlanjutan (Kates et al., 2001). Tinjauan lebih lanjut adalah mengenai resiliensi sosial-ekologis.
2.6.1. Resiliensi Sosial-Ekologis Dalam konteks hubungan manusia dengan alam, resiliensi adalah kapasitas dari keterkaitan sistem ekologi dan sosial untuk menyerap gangguan yang berasal dari perubahan yang bersifat mendadak, sehingga mampu mempertahankan struktur dan proses yang esensial serta menyediakan umpan balik.
Resiliensi merefleksikan derajat kemampuan sebuah sistem kompleks
yang adaptif untuk untuk mengorganisasikan diri secara mandiri, serta derajat kemampuan sistem tersebut membangun kapasitas belajar dan beradaptasi.
30
Sebagian dari kapasitas tersebut terdapat pada kemampuan regenerasi dari ekosistem dan kemampuan untuk tetap menghasilkan sumber daya dan jasa yang esensial bagi kehidupan manusia dan pengembangan masyarakat di dalam perubahan-perubahan yang terjadi (Holling, 2001; Gunderson and Holling, 2002; Berkes et al., 2002; Adger et al., 2005). Pengertian resiliensi dalam sistem terpadu antara manusia dan alam atau resiliensi sosial-ekologi menurut Carpenter et al (2001) adalah: jumlah gangguan yang dapat diserap oleh sistem dan berada dalam keadaan yang sama, tingkatan dimana sistem memiliki kemampuan mengorganisis kembali dirinya, dan tingkatan dimana sistem mampu membuat dan meningkatkan kapasitas untuk belajar dan beradaptasi. Sistem sosial-ekologis yang kehilangan resiliensi disebut sebagai sistem yang rentan. Kehilangan resiliensi mengimplikasikan hilangnya kemampuan adaptasi, dimana dalam konteks resiliensi kemampuan adaptasi tidak hanya berarti kapasitas untuk merespon dalam domain sosial tetapi juga merespon sekaligus mewarnai dinamika ekosistem dan perubahan secara terinformasi (Berkes et al., 2003). Variabel dan proses yang menyusun dinamika ekosistem dan sumber dari resiliensi sosial ekologis harus diketahui dan dikelola secara aktif agar mampu mengatasi perubahan dari perubahan cepat dan perubahan gradual. Hal tersebut memerlukan perluasan analisis ke skala spasial dan temporal yang lebih luas. Tantangannya adalah bagaimana membangun pengetahuan, insentif, dan kemampuan
belajar
dalam
institusi
dan
organisasi
pengelolaan
agar
memungkinkan pengelolaan adaptif pada ekosistem lokal, regional dan global. Dalam resiliensi, kemampuan adaptasi adalah kapasitas dari masyarakat dalam sebuah sistem sosial-ekologis untuk membangun resiliensi melalui aksiaksi kolektif, sedangkan transformabilitas adalah kapasitas masyarakat untuk mengkreasi suatu sistem sosial-ekologis baru secara fundamental ketika kondisi ekologis, sosial, dan ekonomi yang ada tidak mampu lagi menopang sistem (Walker et al., 2004).
2.6.1.1. Kategori Resiliensi Sosial-Ekologis Sangat sulit ditemukan elemen yang bisa mempertahankan kapasitas adaptif dalam sistem sosial-ekologis di alam yang terus berubah ini. Sehubungan dengan itu, permasalahan bagaimana manusia merespon periode perubahan
31
serta bagaimana masyarakat mereorganisasi diri setelah perubahan adalah aspek yang paling tidak diperdulikan dan paling tidak dipahami dalam ilmu dan pengelolaan sumberdaya konvensional (Gunderson and Holling, 2002). Folke et al. (2002) mengidentifikasi empat faktor penting yang berinteraksi secara lintas temporal dan spasial yang dibutuhkan untuk mengatasi dinamika sumberdaya alam selama periode perubahan dan reorganisasi, yang terdiri dari empat kategori, yaitu: 1) Belajar hidup dalam perubahan dan ketidakpastian; 2) Mengembangkan
diversitas
Mengkombinasikan
berbagai
bagi
reorganisasi
macam
dan
pengetahuan;
pembaruan;
dan
4)
3)
Mengkreasi
kemungkinan bagi pengorganisasian diri. Berikut adalah penjelasan mengenai masing-masing kategori beserta contoh-contohnya. a. Belajar Hidup dalam Perubahan dan Ketidakpastian Sistem sosial-ekologis yang mantap dan memiliki strategi adaptif menerima
adanya
menggunakan
ketidakpastian
perubahan
dan
dan
perubahan.
menjadikannya
Sistem
kesempatan
tersebut untuk
perkembangannya. Sebagai contoh, tindakan pengelolaan dapat dibentuk sedemikian rupa untuk menghasilkan gangguan yang akan disertai dengan perkembangan ekosistem. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan kegiatan monitoring dan pengujian pemahaman kondisi ekosistem yang terpaut dalam institusi sosial. Banyak kelompok masyarakat tradisional dan masyarakat lokal telah lama mengetahui perlunya ko-eksistensi antara perubahan cepat dan lambat. Kelompok-kelompok tersebut telah mengembangkan institusi yang mengakumulasi
dasar-dasar
pengetahuan
mengenai
bagaimana
menghubungkan dan merespon umpan balik dari lingkungan, serta lebih membiarkan
masuknya
gangguan
dalam
skala
sempit
daripada
mengakumulasikan gangguan-gangguan hingga membesar yang dapat menyebabkan kehancuran pada skala yang luas (Holling et al., 1998). Praktek pengelolaan seperti ini terbentuk sebagai hasil seleksi dari pengalaman mengalami perubahan dan krisis, dan pemahaman bahwa tidak semua outcomes yang mungkin timbul dapat diantisipasi, dapat direncanakan atau dapat diprediksi (Berkes and Folke, 1998). Pada masyarakat modern beberapa mekanisme telah mengalami adaptasi budaya secara lambat. Sebagai contoh, penambahan siklus 3-5 tahun siklus pemilihan pada
32
masyarakat demokratis akan meningkatkan peluang bagi evaluasi dan perubahan (Holling, 2001).
b. Mengembangkan Diversitas bagi Reorganisasi dan Pembaruan Diversitas merupakan modal dalam menghadapi ketidakpastian dan kejutan serta menyediakan seperangkat komponen yang memiliki sejarah dan akumulasi pengalaman yang perlu dalam mengantisipasi perubahan serta memiliki kemampuan memfasilitasi perkembangan kembali dan inovasi setelah gangguan dan krisis (Folke et al., 2002). Pembelajaran sosial dan institusi (Lee, 1993) berdasarkan pengalaman terhadap krisis dan kejutan dapat membantu pergeseran ekosistem menuju kondisi yang lebih buruk (Scheffer et al., 2001). Dalam konteks tersebut, institusi muncul sebagai respon terhadap krisis dan dibentuk ulang oleh krisis (Olsson dan Folke, 2001). Diversitas dan kemungkinan redundansi institusi (tumpang tindih fungsi) tampaknya memiliki peran utama untuk menyerap perubahan, menyebar resiko, mengkreasi kebaruan dan reorganisasi setelah perubahan (Low et al., 2002). Hal ini analog dengan diversitas fungsional dan redundansi (atau diversitas respon) spesies dan fungsinya.
c. Mengkombinasikan Berbagai Macam Pengetahuan Pengetahuan dan pengalaman masyarakat dalam mengelola ekosistem akan memberi pelajaran tentang bagaimana merespon perubahan dan menjaga diversitas (Gadil et al., 1993, Berkes and Folke, 2002). Kategori ketiga
ini
berhubungan
dengan
pentingnya
pengetahuan
di
atas,
dimasukkannya pengetahuan tersebut dalam institusi pengelola sehingga melengkapi ilmu dan praktek pengelolaan sumberdaya alam konvensional (Gadgil et al., 2002). Pemahaman saintifik dari sistem kompleks adaptif dapat diperkaya dengan pandangan-pandangan masyarakat tradisional dan lokal yang memiliki kontinuitas pengalaman dan pemahaman sejarah pengelolaan ekosistem
(Colding
and
Folke,
2001).
Selain
itu
dibutuhkan
pula
pengembangan pengetahuan dari struktur alam ke fungsi alam dan perannya dalam resiliensi. Mengkombinasikan berbagai cara untuk mengetahui dan mempelajari akan memungkinkan aktor-aktor sosial lainnya untuk ikut
33
berperan walaupun terdapat ketidakpastian dan keterbatasan informasi (Kates et al., 2001).
d. Mengkreasi Kemungkinan bagi Pengorganisasian Diri Mempertahankan kapasitas yang memungkinkan dinamika hubungan interplay antara diversitas dan gangguan merupakan bagian penting dari pengorganisasian diri (Folke et al., 2002). Proses pembelajaran merupakan hal
yang
sangat
penting
bagi
kapasitas
sosial
ekologis
untuk
mengembangkan resiliensi. Pembelajaran termasuk penggunaan monitoring untuk menghasilkan dan memperbaiki pengetahuan dan pemahaman ekologis ke dalam institusi pengelolaan dan tindakan-tindakan di masa depan. Pendekatan pembelajaran seperti itu terdapat dalam co-management adaptif, yaitu sebuah proses dimana tatanan dan pengetahuan ekologis institusi diuji dan direvisi secara trial and error dalam sebuah proses yang dinamik, berlangsung terus, dan mengorganisisr diri (Pinkerton, 1989; Pomeroy, 1995; Hanna, 1998).
2.6.1.2. Indikator Resiliensi Sosial-Ekologis Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi resiliensi sosial dalam hubungannya dengan masyarakat pesisir (Adger, 2000), kerentanan kota (Pelling, 2003) dan pola migrasi (Locke et al., 2000) yang diinspirasi oleh siklus adaptif dan panarchy untuk memahami institusi pengelolaan dan teori perubahan sosial (Holling and Sanderson, 1996; Westley, 2002), kemiskinan dan pengkajian kerentanan dari sistem pangan (Fraser, 2003; Fraser et al., 2005) dan periode dari perubahan dan hubungan stabil antara kelompok manusia, degradasi lahan dan lingkungannya dalam konteks arkeologis (Van der Leeuw, 2000; Redman and Kinzig, 2003; Delcourt and Delcourt, 2004; Redman, 2005). Pengelolaan resiliensi mengimplikasikan perlunya memelihara pilihanpilihan yang tersedia dalam dunia yang berubah secara cepat dengan kejutan dan masa depan yang tidak dapat diprediksi, sehingga resiliensi memiliki wawasan ke masa depan atau forward-looking (Folke et al., 2002). Untuk operasionalisasi resiliensi dan untuk membuat transisi dari teori ke praktek dibutuhkan penduga atau ukuran (estimator) resiliensi. Menurut Carpenter et al. (2005) indikator yang terukur (surrogate) merupakan hal-hal yang digunakan untuk mengkaji resiliensi dalam sistem sosial-ekologis.
34
Surrogates berbeda dengan indikator karena berwawasan ke depan serta tidak hanya mengukur kondisi saat ini atau masa lalu. Untuk itu dilakukan pengamatan pada lima laguna dan satu wilayah pesisir dari berbagai wilayah di dunia. Penggunaan laguna dan pesisir sebagai contoh karena merupakan sistem yang dapat menyediakan setting yang sesuai berdasarkan tiga alasan, yaitu: 1.
Sistem laguna cenderung didominasi oleh manusia dan dimanfaatkan secara intensif, secara geografis terpisah dan dengan mudah dapat diidentifikasi sebagai sistem dengan keterpaduan manusia dan alam atau merupakan sistem sosial-ekologis atau SES (Berkes and Folke, 1998; Walker et al., 2002) dimana aktivitas manusia seringkali merupakan bagian integral dari ekologi laguna;
2.
Kebanyakan proses SES laguna seperti hidrologi dan pemanfaatan sumberdaya mengikuti siklus tahunan;
3.
Laguna seringkali mengalami kejutan dan perubahan arah, seperti siklus deplesi dan pemulihan yang sesuai dengan kerangka resiliensi sehingga merupakan laboratorium alam yang baik untuk studi resiliensi, ekosistem terpisah yang didominasi manusia dengan siklus dan perubahan-perubahan arah (Seixas and Berkes 2003).
Dari pengamatan terhadap ekosistem laguna tersebut, maka untuk masingmasing kategori yang telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya, ditentukan berbagai aspek atau indikator resiliensi sosial-ekologis (Tabel 2). Identifikasi faktor yang membangun resiliensi di tingkat lokal merupakan tahapan penting, dimana menjadikan faktor-faktor resiliensi yang diidentifikasi di atas sebagai indikator yang terukur merupakan tahapan berikutnya yang masih sulit dilakukan.
Beberapa faktor sulit untuk diukur (seperti menjaga memori
sosial dan ekologi), hanya dapat diukur secara kualitatif (seperti adanya mekanisme resolusi konflik, belajar dari krisis, membangun kepercayaan), dapat diukur secara semi-kuantitatif (seperti penataan multi level, mekanisme untuk berbagi pengetahuan), atau dapat diukur secara kuantatif seperti berbagai jenis kegiatan penangkapan dan diversitas mata pencaharian (Lobe dan Berkes, 2004) atau jumlah kelompok organisasi. Pilihan indikator terukur atau surrogates seringkali akan tergantung pada ketersediaan data (Meadows, 1998; Campbell et al., 2001). Skala diperlukan
35
pada analisis banyak level (Cash and Moser, 2000), sementara faktor yang ada pada Tabel 2 hanya bagi analisis untuk memahami resiliensi skala lokal. Tabel 2. Klaster Indikator Resiliensi Sosial-Ekologis berdasarkan Perspektif Lokal No 1.
2.
3.
4.
Indikator Resiliensi Sosial-Ekologis Belajar hidup dalam perubahan dan ketidakpastian a. Belajar dari krisisa,b,c,d,e b. Membangun kapasitas tanggap cepat dalam merespon perubahan lingkungana,b,c,d,e c. Mengelola gangguana,c,d,e d. Membangun pilihan (portofolio) kegiatan mata pencahariana,c,d,e e. Mengembangkan strategi penanggulangana,c Menjaga keberagaman untuk reorganisasi dan pembaharuan a. Menjaga memori ekologisa,b,c,d,e b. Menjaga keberagaman institusi untuk merespon perubahana,b,c,d c. Menciptakan ruang bagi eksperimentasi politisa,c,d d. Membangun rasa saling percayaa,b,c e. Menggunakan memori sosial sebagai sumber inovasi dan kebaruana,b Mengkombinasikan berbagai ragam pengetahuan a. Membangun kapasitas monitoring lingkungana,b,c,d,e b. Membangun kapasitas pengelolaan partisipatifa,c,d c. Membangun institusi untuk menjaga hasil pembelajaran, memori dan kreativitasa,b,d d. Menciptakan mekanisme lintas batas untuk berbagi pengetahuana,c e. Mengkombinasikan pengetahuan lokal dengan ilmu pengetahuana Menciptakan kesempatan untuk pengorganisasian secara mandiri a. Membangun kapasitas pengorganisasian secara mandiria,b,c,d,e b. Membangun mekanisme pengelolaan konflika,b,c,d,e c. Pengorganisasian secara mandiri untuk keadilan dalam akses dan alokasi sumberdayaa,b,d,e d. Pengorganisasian secara mandiri dalam merespon faktor kendali dari luara,b,c e. Menyerasikan skala ekosistem dan penataan,c,d f. Menciptakan penataan multi-tingkata,c
Kategori dibuat berdasarkan Folke et.al (2003). Huruf merujuk pada studi kasus yang menunjukkan item tersebut (kasus dan sumber): aIbiraquera lagoon, Brazil selatan (Seixas and Berkes 2003) bCochin estuary and lagoon, Kerala India (Lobe and Berkes 2004) cPatos lagoon, selatan Brazil (Kalikoski et.al 2002, Reis and Dincao 2000) dNegombo lagoon, Srilanka (Amarasighe et.al 1997, Amarasighe et.al 2002) eHaylazli lagoon, pantai Turki mediterania timur (Berkes 1986 1992)
Tentu saja terdapat berbagai cara untuk menyusun klaster, tetapi yang penting disini adalah bagaimana mengorganisir klaster tersebut sehingga dapat saling memperkuat satu sama lain. Tidak ada variabel tunggal yang mantap di semua sistem, tetapi terdapat sebuah klaster variabel yang relevan dengan semua sistem, misalnya klaster pengorganisasian diri. Ukuran resiliensi berbeda dengan indikator keberlanjutan yang ada saat ini. Fokus resiliensi adalah pada variabel
yang
menyebabkan
kapasitas
sistem
sosial-ekologis
mampu
menyediakan jasa lingkungan, sedangkan indikator keberlanjutan cenderung dikonsentrasikan pada kondisi saat ini dari sistem atau jasa.
36
2.6.2. Resiliensi Masyarakat (Community Resilience) Masyarakat merupakan orang-orang yang hidup dalam batas-batas geografis, terlibat dalam interaksi sosial, memiliki satu atau lebih ikatan psikologis antara satu dengan lainnya, dan ikatan dengan tempat tinggal (Christenson et al 1989). Masyarakat merupakan kelompok manusia dengan tradisi, kebiasaan dan perasaan persatuan yang sama yang merujuk pada orang-orang yang mengidentifikasikan diri dengan wilayah spesifik, mengetahui dirinya, nilai-nilai yang dianut, minat yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan dan kondisi kehidupan yang memuaskan (Syani 1995). Masyarakat dalam lingkup tempat memiliki 3 (tiga) ciri, yaitu: (1) terdapat pola pemukiman yang menyangkut habitat, budaya, lokasi, bentuk dan ukuran, komunikasi dan transportasi; (2) adanya kompetisi penggunaan ruang antar individu mencakup pemanfaatan lahan dan tempat tinggal; dan (3) adanya batasbatas yang dibentuk oleh masyarakat sehingga dikenal istilah masyarakat terisolasi, masyarakat kota, urban dan metropolitan (Sanders 1958). Masyarakat memiliki ciri hidup bersama, berinteraksi dan bekerjasama untuk waktu yang lama, dan sadar sebagai suatu kesatuan dan sadar sebagai suatu sistem hidup bersama (Soekanto 1998). Masyarakat sebagai sistem sosial terdiri dari unsurunsur yang tersusun secara sistematis, setiap unsur mempunyai pola hubungan tertentu seperti pola hubungan keluarga, ekonomi, pemerintahan, agama, pendidikan dan lapisan masyarakat (Mangkuprawira 1986). Suatu masyarakat yang resilien mengambil tindakan secara sengaja untuk meningkatkan kapasitas (Norris et al 2003) baik pribadi dan kolektif dari warganegara dan institusinya untuk bereaksi terhadap, dan mempengaruhi kursus dari perubahan sosial dan ekonomi’ (The Centre for Community Enterprise 2000). Gunderson dan Holling (2002) menunjukkan bahwa resiliensi adalah ketekunan yang membuktikan perubahan dan pembaruan siklus adaptif. Berkes dan Seixas (2005) sependapat dengan Gunderson dan Holling (2002), bahwa penetapan lebih lanjut faktor yang berhubungan dengan resiliensi adalah belajar hidup dalam perubahan dan ketidakpastian, menjaga keberagaman untuk reorganisasi
dan
pembaharuan,
mengkombinasikan
berbagai
ragam
pengetahuan, dan menciptakan kesempatan untuk pengorganisasian secara mandiri.
37
2.7. Model Adaptif Manajemen 2.7.1. Sistem Kompleks Adaptif Teori sistem kompleks menggambarkan sistem sebagai sesuatu yang tidak deterministik, tidak dapat diprediksi dan tidak mekanistik, tetapi sebagai proses ketergantungan organik dengan umpan balik dari berbagai skala yang memungkinkan sistem tersebut untuk mengorganisir diri sendiri (Holland, 1995; Levin, 1999). Studi komplek adaptif sistem berupaya menjelaskan bagaimana struktur dan pola interaksi yang kompleks dapat muncul dari ketidakteraturan menuju kaidah sederhana yang mengarahkan perubahan. Menurut Levin (1998) elemen esensialnya ialah: menjaga diversitas dan individualitas komponen, lokalisasi interaksi komponen, proses otonom yang menyeleksi komponen berdasarkan hasil dari interaksi lokal, adanya bagian untuk replikasi atau pengayaan. Dengan demikian sistem kompleks adaptif terdiri dari koleksi agen-agen individual yang heterogen yang berinteraksi secara lokal, dan berevolusi secara genetis, tingkah laku atau sebaran spasial berdasarkan hasil/keluaran dari interaksi-interaksi tersebut (Janssen and de Vries, 1998; Janssen, 2002). Holland (1995) mengidentifikasi empat hal dasar dari kompleks sistem kompleks adaptif yaitu: agregasi, non-linieritas, diversitas, dan aliran. Nonlinieritas menghasilkan path dependency, yang mengacu pada kaidah interaksi lokal yang berubah saat sistem berevolusi dan terbangun. Konsekuensi dari path dependency adalah adanya berbagai wadah bagi atraktor dalam pengembangan ekosistem dan potensi batas tingkah laku serta pergeseran kualitatif dinamika sistem dalam pengaruh perubahan lingkungan (Levin, 1998). Schneider and Kay (1994) membuat hubungan antara sistem kompleks, termodinamika dan ekologi. Sejak dipublikasikan 30 tahun lalu oleh Holling (1973), saat ini terbukti bahwa terdapat berbagai wadah atraktor ekologi pada ekosistem darat, air tawar dan laut. Beberapa sifat resiliensi pada sistem kompleks adaptif adalah: •
Resiliensi ekologis dapat diduga melalui jumlah variabilitas yang dapat diterima tanpa perubahan pola dan pergeseran kontrol ke seperangkat proses penting (keystone process) lainnya.
•
Dalam sebuah ekosistem keystone processes berinteraksi secara tumpang tindih dan berulang-ulang, dimana hal tersebut tidak perlu dievaluasi berdasarkan efisiensi fungsi dari setiap proses.
38
•
Resiliensi dalam sistem dihasilkan dari perubahan besar dan pembaruan sistem pada skala yang lebih kecil dan cepat.
•
Sumber esensial resiliensi terdapat pada keberagaman kelompok fungsional dan akumulasi pengalaman dan memori yang perlu bagi reorganisasi setelah adanya gangguan.
2.7.2. Siklus Pembaruan Adaptif Resiliensi merupakan konsep advance dalam kaitan dengan dinamika perkembangan sistem kompleks adaptif yang berinteraksi pada skala temporal dan spasial, yang mengantar kepada konsep pembaruan siklus adaptif perkembangan yang diusulkan oleh Holling (1986) dan konsep panarchy (Gunderson and Holling, 2002) yang secara eksplisit memasukkan pertimbangan dinamika cepat dan dinamika lambat serta interaksi antar skala dan interdependensi. Siklus pembaruan adaptif adalah sebuah model heuristic, yang dihasilkan dari observasi terhadap dinamika ekosistem pada empat fase perkembangan yang diarahkan oleh kejadian dan proses diskontinu, yaitu periode perubahan eksponensial (eksploitasi atau fase r), periode pertumbuhan statis dan kaku (konservasi atau fase K), periode pengaturan ulang dan kehancuran (pelepasan atau fase Ω), serta periode reorganisasi dan pembaruan (fase α). Urutan dari perubahan gradual diikuti oleh urutan perubahan cepat yang dipicu oleh gangguan. Sehingga, instabilitas mengorganisir tingkah laku dalam jumlah yang sama dengan yang dapat diorganisir oleh stabilitas (Gambar 12).
Gambar 12. Siklus Adaptif dari Empat Fungsi Ekosistem (R, K, Ω, α) dan Alir Kejadian Diantaranya (Holling et al., 2000)
39
Fase eksploitasi dan konservasi merupakan bagian dari siklus pembaruan adaptif yang merupakan perhatian utama dalam pengelolaan sumberdaya konvensional, sementara fase pelepasan dan fase reorganisasi lebih banyak diabaikan. Kedua fase ini, yang dalam resiliensi disebut sebagai `back-loop` memiliki nilai penting yang sama dengan kedua fase lainnya dalam dinamika sistem secara keseluruhan (Gunderson and Holling, 2002; Berkes et al., 2003). Pandangan
ini
menekankan
bahwa
gangguan
merupakan
bagian
dari
perkembangan, dan periode perubahan gradual dan periode transisi cepat berada bersama-sama dan saling melengkapi satu sama lain.
Gambar 13. Panarchy, Model Heuristic dari Tahapan Siklus Pembaruan Adaptif yang Menekankan Hubungan (Interplay) Lintas Skala (Modifikasi dari Gunderson and Holling, 2002)
Konektor pada Gambar 13 dengan label revolt dan remember merupakan contoh dari hubungan interplay lintas skala yang signifikan dalam konteks membangun resiliensi. Contoh ekologis dari revolt (perubahan cepat) adalah kebakaran kecil pada permukaan tanah yang menyebar hingga ke pucuk dari sebuah pohon, kemudian ke sekumpulan pohon dalam hutan, dan akhirnya membakar seluruh pohon yang ada dalam hutan. Setiap tahap dalam urutan kebakaran tersebut menggerakkan gangguan ke bagian yang lebih luas dan level yang lebih rendah. Remember (mengingat) adalah koneksi lintas skala yang
40
penting dalam waktu perubahan, pembaruan dan reorganisasi. Sebagai contoh mengikuti kebakaran yang terjadi di sebuah ekosistem hutan, fase reorganisasi akan dipengaruhi oleh cadangan benih, struktur fisik dan spesies yang bertahan hidup, yang terakumulasi selama siklus pertumbuhan sebelumnya dari hutan tersebut, serta ditambah dari lansekap yang lebih luas di sekitarnya. Jadi kemampuan pembaruan dan reorganisasi ke keadaan ekosistem yang diinginkan (menurut perspektif manusia) setelah terjadinya gangguan akan sangat tergantung pada pengaruh kondisi dan dinamika pada skala sebelum, sesudah, dan lintas waktu. Setiap level berjalan berdasarkan lajunya sendiri. Memori adalah akumulasi pengalaman dan sejarah dari sistem, yang menyediakan konteks dan sumber dari pembaruan, rekombinasi, inovasi, kebaruan, atau pengorganisasian diri setelah terjadinya gangguan. Dengan demikian panarchy selain kreatif juga konservatif melalui keseimbangan dinamika antara perubahan cepat dan memori, serta antara gangguan, diversitas dan dinamika hubungan lintas skala. Keberlanjutan berlangsung pada saat yang bersamaan dengan waktu perkembangan (Holling, 2001). Untuk mengantisipasi tantangan yang dihadapi saat ini diperlukan perspektif, konsep dan alat mengenai dinamika sistem kompleks dan implikasinya terhadap keberlanjutan. Hal ini menuntut perubahan kebijakan yang sebelumnya ditujukan untuk mengontrol perubahan dalam sistem yang diasumsikan stabil, menjadi pengelolaan kapasitas sistem sosial-ekologis untuk menghadapi, beradaptasi dan membentuk perubahan. Pengelolaan ekosistem yang berhasil membutuhkan monitoring dan pemahaman ekologis serta kapasitas institusi untuk merespon umpan balik dari lingkungan (Hanna et al., 1996, Berkes and Folke, 1998, Danter et al., 2000) dan kemauan serta persepsi politis yang memungkinkan pola pengelolaan tersebut terjadi. Dengan merespon dan mengelola umpan balik dari ekosistem kompleks adaptif, maka pengelolaan adaptif berpotensi untuk mencegah kesalahan pengelolaan sumberdata alam yang akan mengancam keberadaan berbagai aktivitas sosial dan ekonomi (Holling and Meffe, 1996).
41
2.8. Metode Pendekatan Analisis Resiliensi Masyarakat 2.8.1. Pendekatan Resiliensi Sosial-Ekologis Tujuan dari mengelola resiliensi adalah untuk mencegah suatu SES berpindah ke bentuk yang tidak diinginkan. Hal itu tergantung pada sistem mampu mengatasi goncangan eksternal menghadapi ketidak-pastian yang tidak dapat diperkecil lagi. Tentunya ini memerlukan pemahaman di mana resiliensi berada dalam sistem, dan kapan serta bagaimana caranya dapat hilang atau kembali. Hal ini diperoleh dengan melakukan analisis resiliensi sosial-ekologi (Walker et al. 2002), yang mengusulkan kerangka 4 tahap untuk analisis resiliensi dan pengelolaan, dengan penekanan pada stakeholder yang terlibat dalam pendekatan partisipatori (Tabel 3) yang secara visual dapat dilihat pada Gambar 14. Tabel 3. Suatu Kerangka 4 Tahap yang Diusulkan Walker et al. (2002) untuk Analisis Resiliensi dalam SES Tahap
Keterangan
1
Resiliensi apa? Pengembangan suatu model konseptual dari SES, berdasarkan input stakeholder. Ini batas masalah dan informasi dalam SES dan pemicu utama. Termasuk profil sejarah dari sistem pada 3 skala: lokal, regional dan multi-regional.
2
Resiliensi dari apa? Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengembangkan suatu batasan dari skenario di masa depan yang memungkinkan termasuk dampak yang tidak terkontrol dan pemicu lain. Skenario yang digunakan dimaksudkan dari stkeholder.
3
Analisis resiliensi. Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengidentifikasi variabel penggerak - variabel lambat rumit dan prosesnya dalam sistem yang memerintah dinamika semua variabel yang dianggap penting oleh stakeholder - barang dan jasa ekosistem - terutama yang mempengaruhi dan dinamika non-linier lainnya. Tahap 1 dan 2 menghasilkan dua kelompok informasi: isu utama tentang wilayah masa depan dari sistem yang menjadi perhatian stakeholder; dan ketidak-pastian utama tentang bagaimana sistem akan bereaksi terhadap pengarah perubahan
4
Manajemen resiliensi – evaluasi dan implikasi. Tahap akhir melibatkan evaluasi stakeholder terhadap keseluruhan proses dan implikasi pemahaman yang memunculkan tindakan kebijakan dan manajemen. Suatu analisis resiliensi yang sukses mengidentifikasi proses yang menentukan tingkatan kritis dari variabel kendali sistem yang penting. Ini satuan proses memimpin ke arah suatu bersesuaian satuan tindakan yang dapat meningkatkan atau mengurangi resiliensi dan bahwa, kemudian, membentuk basis untuk kebijakan dan manajemen resiliensi.
Sumber: Walker et al. (2002)
42
Step 1
Step 2
Deskripsi Sistem Proses kunci, ekosistem, Struktur dan pelaku
Mengkaji shock eskternal
Step 3
Kebijakan rasional
Mengkaji visi
3-5 skenario
Analisis Resiliensi Integrasi Teori Step 4
Evaluasi stakeholder Aksi pengelolaan
Gambar 14. Tahapan Analisis Resiliensi Sosial-Ekologi (Walker et al., 2002)
2.8.2. Pendekatan Partisipatif Stakeholder Stakeholder merupakan kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu (Freeman, 1984). Stakeholder sering diidentifikasi dengan suatu dasar tertentu, yaitu dari segi kekuatan dan kepentingan relatif stakeholder terhadap isu atau dari segi posisi penting dan pengaruh yang dimiliki mereka (Ramirez, 1999). Stakeholder
merupakan
masyarakat
yang
memiliki
daya
untuk
mengendalikan penggunaan sumberdaya seolah-olah mereka tidak terkena pengaruh, tetapi kehidupannya dipengaruhi oleh perubahan penggunaan sumberdaya tersebut. Stakeholder berbeda dengan pelaku (actor). Stakeholder adalah bagian yang secara langsung terkait dengan hasil kajian. Mereka menjadi pengguna di masa depan dari suatu hasil kajian. Sedangkan pelaku adalah semua masyarakat dalam suatu wilayah yang memainkan suatu peran dalam suatu sektor tertentu. Mereka bukan kelompok sasaran (target group) bagi hasil suatu kajian.
43
Pandangan-pandangan
diatas
menunjukkan
bahwa
pengenalan
stakeholder tidak sekedar menjawab siapa stakeholder suatu issu tapi juga sifat hubungan stakeholder dengan issu, sikap, pandangan dan pengaruh stakeholder itu. Aspek-aspek ini sangat penting dianalisis untuk mengenal stakeholder. Identifikasi stakeholder sangat rumit dengan melihat kenyataan bahwa para stakeholder cenderung berada pada lebih dari satu kategori. Menemukan posisi yang tepat bagi stakeholder dan interest-nya merupakan hal yang penting sehingga perlu dilakukan pendekatan partisipatif untuk menentukan stakeholder tersebut. Analisis stakeholder (atau multi-stakeholder) didefinisikan sebagai suatu pendekatan atau prosedur untuk memperoleh pemahaman dari suatu sistem melalui identifikasi stakeholder kunci dari sistem tersebut dan melakukan assesment terhadap interest mereka terhadap sistem (Grimble and Chan, 1995). Dalam hal konflik sumberdaya alam, analisis stakeholder menyediakan framework untuk mengetahui siapa yang terkait, dimana kepentingannya, dan bagaimana kaitan mereka dengan stakeholder lainnya dalam penentuan keputusan keputusan. Analisis ini memberikan memberikan cara pemahaman yang baik tentang siapa yang mempengaruhi dan siapa yang berhak terlibat dalam pengelolaan sumberdaya alam (Buckles, 1999). Analisis stakeholder digunakan untuk menentukan posisi stakeholder berdasarkan kepentingan (importance) dan pengaruh (influence) dalam kerangka sistem secara keseluruhan. Dalam beberapa sisi, analisis stakeholder mulai menjadi populer sebagai dasar analisis kebijakan terutama yang bersifat partisipatif. Analisis ini dapat menjelaskan interest dari setiap pelaku, baik yang nyata maupun tidak nyata vis-a-vis kebijakan, sesuai dengan derajat dan pengaruh mereka atau kemampuan organisasinya untuk mencapai tujuan bersama. Stakeholder sangat bervariasi derajat pengaruh dan kepentingannya, dan dapat dikategorikan sesuai dengan banyak atau sedikitnya pengaruh dan kepentingan relatifnya terhadap keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam. Brown et al (2001) mengkategorikan stakeholder sebagai berikut: 1. Stakeholder primer, yakni mereka yang mempunyai pengaruh rendah terhadap hasil kebijakan tetapi kesejahteraannya penting bagi pengambil kebijakan.
44
2. Stakeholder sekunder, yakni mereka yang dapat mempengaruhi keputusan yang dibuat karena mereka adalah sebagian besar dari pengambil kebijakan dan terlibat dalam implementasi kebijakan. Secara relatif mereka tidak penting, demikian pula dengan tingkat kesejahterannnya bukan suatu prioritas. 3. Stakeholder
eksternal,
yakni
individu
atau
kelompok
yang
dapat
mempengaruhi hasil dari suatu proses melalui lobby kepada pengambil keputusan tetapi interest mereka tidak begitu penting. Berdasarkan kekuatan, posisi penting dan pengaruh stakeholder terhadap suatu issu, stakeholder dapat dikategorikan ke dalam beberapa kelompok. ODA (1995) mengelompokkan stakeholder ke dalam 3 kelompok yaitu stakeholder primer, stakeholder sekunder dan stakeholder kunci. 1. Stakeholder primer merupakan stakeholder yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program dan proyek. Mereka harus ditempatkan sebagai penentu utama dalam proses pengambilan keputusan. Misalnya masyarakat, tokoh masyarakat dan manajer publik. 2. Stakeholder pendukung (sekunder) adalah stakeholder yang tidak memiliki kaitan kepentingan secara langsung terhadap suatu kebijakan, program dan proyek, tetapi memiliki kepedulian (concern) dan keprihatinan sehingga mereka turut bersuara dan berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan keputusan legal pemerintah. Misalnya pembaga pemerintah dalam suatu wilayah tetapi tidak memiliki tangggung jawab langsung; lembaga pemerintah yang terkait dengan issu tetapi tidak memiliki kewenangan secara langsung dalam pengambilan keputusan; lembaga swadaya masyarakat (LSM) setempat; perguruan tinggi; dan pengusaha (badan usaha) yang terkait. 3. Stakeholder kunci merupakan stakeholder yang memiliki kewenangan secara legal dalam hal pengambilan keputusan. Stakeholder kunci yang dimaksud adalah unsur eksekutif sesuai level, legislatif dan instansi. Kelompok-kelompok stakeholder sering digolongkan menurut aspek sosial ekonomi
seperti
tingkat
pendapatan,
kelompok
pekerja
dan
status
ketenagakerjaan, atau menurut tingkat keterlibatan formal di dalam proses pengambilan keputusan, tingkat kohesi kelompok, struktur formal atau informal.
45
2.8.3. Pendekatan Keberkelanjutan Mata Pencaharian (Coastal Livelihood System Analysis - CLSA) Suatu mata pencaharian dapat digambarkan sebagai satuan kemampuan, aset (alami, fisik, manusia, keuangan dan modal sosial) dan aktivitas (ditengahi oleh hubungan sosial dan institusi) yang diperlukan untuk hidup (Chambers and Conway, 1992; DFID, 1999; Ellis, 2000). Mata pencaharian tersebut menjadi berkelanjutan manakala seseorang dapat tinggal dengan tekanan dan gangguan, memelihara atau meningkatkan aset dan kemampuan mereka selagi tidak berdasarkan sumberdaya alam (Chambers and Conway, 1992; Scoones, 1998). Mata pencaharian di banyak area pedesaan bersifat kompleks dan dinamis: barangkali yang tetap adalah ketidak-pastian sehari-hari dari survival. Konsep mata pencaharian adalah tentang individu, rumah tangga atau kelompok yang mencari uang, mencoba untuk memenuhi berbagai tuntutan konsumsi dan ekonomi, mengatasi ketidak-pastian dan merespon peluang yang baru (De Haan and Zoomers, 2003). Dengan menggunakan konsep resiliensi sebagai suatu pendekatan analitis dalam memahami mata pencaharian, secara rinci mempertimbangkan dinamika bagaimana orang mencari uang, dan berbagai karakteristik sistem adaptif yang kompleks, khususnya skala dan ketidak-pastian. Pendekatan ini juga berguna dalam menghadapi tantangan dan bagaimana berhadapan dengannya, termasuk strategi di rumah tangga, masyarakat atau tingkatan yang lebih luas yang mungkin meningkatkan mata pencaharian (Marschke and Berkes, 2006). Konsep Coastal Livelihood System Analysis (CLSA) dikembangkan dalam kerangka pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, dimana aspek sistem alam (ekosistem) dan sistem manusia tidak dapat dipisahkan (Adrianto 2005). CLSA adalah sebuah pendekatan untuk strategi identifikasi mata pencaharian alternatif bagi masyarakat pesisir terkait dengan tujuan umum pengelolaan wilayah pesisir dan laut yaitu keberlanjutan sistem sumberdaya itu sendiri. Secara diagramatik, konsep ini dapat dilihat pada Gambar 15 berikut ini.
46
Gambar 15. Skema Coastal Livelihood System Analysis (Adrianto, 2005)
Kerentanan digambarkan oleh Henninger (1998) sebagai kepekaan dari individu atau rumah tangga terhadap goncangan dan fluktuasi eksternal. Beberapa resiko atau faktor mungkin berperan untuk kerentanan dari individu: resiko lingkungan (musim kering, hama dan banjir), pasar (misalnya fluktuasi harga dan pengangguran), resiko politik, resiko sosial (pengurangan dukungan dan penghargaan masyarakat) dan resiko kesehatan (misalnya ekspos ke penyakit) (ADB, 2006). Resiko seperti itu diperlakukan sebagai faktor pendorong dalam penganeka-ragaman dan adaptasi mata pencaharian. Rumah tangga atau individu yang tidak mampu untuk menghadapi atau menganeka-ragamkan tekanan dari gangguan eksternal memiliki mata pencaharian yang rentan (Ellis, 1999; Scoones, 1998). Pada Gambar 15 di atas dapat dilihat bahwa identifikasi kerentanan merupakan aspek penting dalam kerangka CLSA dimana masyarakat pesisir biasanya rentan terhadap kerusakan sumberdaya. Dengan kata lain, hubungan antara sumberdaya alam dan masyarakat pesisir merupakan hubungan timbal balik yang tidak dapat terpisahkan. Demikian pula dengan kapital lain seperti manusia, keuangan dan kapital sosial. Hal ini sesuai dengan kerangka yang dikembangkan oleh Pomeroy et al. (2005) dalam memahami mata pencaharian masyarakat pesisir (Gambar 16).
47
Gambar 16. Kerangka Pemikiran Kehidupan Masyarakat Pantai (Pomeroy et al, 2005)
Dalam konteks ini, menurut Ellison and Allis (2001) kerangka makro dari pengembangan masyarakat pesisir terkait dengan identifikasi mata pencaharian alternatif disajikan pada Tabel 4 berikut ini.
48
Tabel 4. Kerangka Makro Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif Platform Mata Pencaharian Aset Modal alam Modal fisik Modal manusia Modal keuangan Modal sosial
Modifikasi Akses Hubungan sosial Gender Kelas Umur Etnis Institusi Peraturan Kebijakan Kebiasaan Kedudukan Kegunaan tradisional Organisasi Asosiasi LSM Nasional Perwakilan Pemerintah lokal
Konteks Trend Populasi Migrasi Perubahan ekologis Perubahan teknologi Kebijakan makro Shock Bencana alam Kegagalan rekrut Penyakit Perang sipil/konflik
Hasil
Dampak Kegiatan berbasis SDA Perikanan Penanaman Peternakan Non-SDA
Kegiatan berbasis SD Perdagangan Jasa Strategi mata Industri pen-caharian
Akibat Ketahanan mata pencaharian Tingkat pendapatan Stabilitas pendapatan Musiman Tingkat resiko Keberlanjutan lingkungan Kualitas air Stok ikan Kualitas tanah Kualitas lahan Hutan Keanekaragama n hayati
Sumber: Diadaptasi dari Ellison and Allis (2001)
Langkah-langkah penentuan mata pencaharian masyarakat berbasis pada sistem insentif dengan mendisain CLSA di Segara Anakan yang diadopsi dari Emerton (2001) terdiri dari 5 (lima tahap) yang secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini, dan alur pelaksanaannya dapat dilihat pada Gambar 17 dan 18.
49
Tabel 5. Tahapan Mendisain CLSA (Diadaptasi dari Emerton, 2001) Tahapan
Keterangan
Step 1
Mengumpulkan informasi tentang mata pencaharian masyarakat dan kondisi sumberdaya alam. Dalam tahap ini, informasi tentang kondisi kunci sosial ekonomi masyarakat pesisir dan kondisi sumberdaya alam pesisir dan laut merupakan salah satu faktor penting yang harus dikumpulkan dan pada saat yang bersamaan interaksi antara masyarakat pesisir dan sumberdaya alam (ekosistem) diidentifikasi
Step 2
Menganalisis pengaruh masyarakat pesisir terhadap kondisi sumberdaya pesisir dan laut. Pada tahap kedua, identifikasi aktivitas masyarakat pesisir yang secara langsung berkontribusi terhadap kerusakan sumberdaya pesisir dan laut perlu dilakukan. Pada saat yang bersamaan dilakukan pula identifikasi faktor yang mempengaruhi (driven factors) aktivitas tersebut, baik dalam perspektif sosial maupun ekonomi
Step 3
Mengidentifikasi kebutuhan masyarakat pesisir. Ada dua aspek utama yang harus dilakukan pada tahap ini. Pertama adalah identifikasi kebutuhan sistem insentif yang diperlukan oleh masyarakat khususnya dalam kerangka konservasi sumberdaya pesisir dan lautan. Kedua adalah peluang penerapan sistem insentif dalam konservasi sumberdaya pesisir dan lautan
Step 4
Memilih sistem insentif yang tepat untuk pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat. Dalam konteks tahap ini, identifikasi dan pemilihan sistem insentif menjadi faktor penting. Sistem insentif harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat pesisir seperti yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya
Step 5
Implementasi sistem insentif mata pencaharian terpilih
50
Step 1. Mengumpulkan informasi tentang karakteristik mata pencaharian masyarakat SA dan kondisi sumberdaya alam
Step 5. Implementasi pengembangan mata pencaharian masyarakat Segara Anakan berbasis insentif
Step 2. Menganalisis pengaruh masyarakat SA terhadap kondisi sumberdaya alam
Step 4. Memilih sistem insentif ekonomi yang tepat untuk konservasi berbasis masyarakat Segara Anakan
Step 3. Identifikasi sistem insentif terkait dengan pengembangan mata pencaharian masyarakat Segara Anakan
Gambar 17. Langkah-Langkah Mendisain CLSA di Segara Anakan (Diadaptasi dari Emmerton, 2001)
51
STEP 1
1a. menggambarkan kondisi sosial ekonomi dan SDA
5a. mengatur tempat mengukur insentif untuk konservasi SD
STEP 5
STEP 4 1b. identifikasi interaksi antara mata pencaharian dengan SDA
2a. identifikasi aktivitas yang berkontribusi langsung dengan penurunan SD
STEP 2
2b. identifikasi pemicu kegiatan ekonomi dan penurunan SD
5b. meninjau ulang, re-desain dan merancang kembali sebagaimana diperlukan mengukur insentif untuk konservasi SD
4a. identifikasi relung untuk mengukur insentif untuk konservasi SD
3b. identifikasi relung untuk mengukur insentif untuk konservasi SD
3a. identifikasi kebutuhan untuk mengukur insentif konservasi SD
STEP 3
Gambar 18. Langkah lengkap dalam mendisain CLSA di Segara Anakan (Diadaptasi dari Emmerton, 2001)
52
Step 1. Mengumpulkan informasi tentang mata pencaharian masyarakat dan kondisi sumberdaya alam Dalam tahap ini, informasi tentang kondisi kunci sosial ekonomi masyarakat pesisir dan kondisi sumberdaya alam pesisir dan laut merupakan salah satu faktor penting yang harus dikumpulkan dan pada saat yang bersamaaan interaksi antara masyarakat pesisir dan sumberdaya alam (ekosistem) diidentifikasi. Check List tahap 1 dalam CLSA disajikan pada Gambar 19. KONTEKS: Jenis dan distribusi sumber alam: - Apa itu ekosistem? - Apakah jenis komponennya? - Di mana sumber daya tersedia? - Kapan sumber daya tersedia? Status dan ketersediaan sumber alam: - Apa yang merupakan status sumber alam? - SD mana yang berlimpah? - SD mana yang langka? - SD mana yang mengalami penurunkan? - SD mana yang jarang atau berbahaya? - SD mana yang mempunyai nilai dagang? Manajemen dan alokasi sumber alam: - Manajer eksternal? - Keputusan di tingkat masyarakat? - Keputusan di tingkat rumah tangga? - Strategi manajemen lokal? - Divisi sosial dari keputusan dan tenaga kerja? Keputusan mata pencaharian: - Organisasi di tingkat masyarakat? - Organisasi di tingkat rumah tangga? - Divisi sosial dari keputusan dan tenaga kerja? Sistem mata pencaharian lokal: - Strategi mata pencaharian utama? - Sumber pendapatan utama? - Sumber penghidupan utama? - Sumber ketenaga-kerjaan utama? - Kepercayaan pada pasar eksternal? Pembedaan dan variabilitas mata pencaharian: - Pembedaan antar rumah tangga? - Pembedaan dalam rumah tangga? - Variasi musiman? - Perubahan yang tidak beraturan? - Sumber tekanan? - Pengaruh eksternal utama?
Gambar 19. Check list tahap 1 CLSA
INTERAKSI: Mata pencaharian tergantung pada sumberdaya alam: - Sumber mata pencarian utama? - Aktivitas sekunder Atau pengganti? Pentingnya ekonomi sumber alam: - Sumber penghidupan? - Sumber pendapatan? - Sumber ketenaga-kerjaan? - Kegiatan ekonomi yang mana ? Variasi Sosial-ekonomi: - Bagaimana kelompok yang berbeda menggunakan sumber daya? - Bagaimana kelompok yang berbeda mengatur sumber daya? - Bagaimana kelompok berbeda bermanfaat dari sumber daya? - Siapa yang mempunyai ketergantungan tinggi, dan bagaimana? - Siapa yang mempunyai ketergantungan rendah, dan bagaimana? Waktu dan perubahan: - Bagaimana penggunaan dan variasi ketergantungan dari musim? - Sumber perubahan reguler lain? - Sumber perubahan tidak beraturan? - Sumber perubahan eksternal?
ANALISIS EKONOMI SUMBERDAYA ALAM (STEP 2)
53
Step 2. Menganalisis pengaruh masyarakat pesisir terhadap kondisi sumberdaya pesisir dan laut Pada tahap kedua, identifikasi aktivitas masyarakat Segara Anakan yang secara langsung berkontribusi terhadap kerusakan sumberdaya pesisir dan laut perlu dilakukan. Pada saat yang bersamaan dilakukan pula identifikasi faktor yang mempengaruhi (driven factors) aktivitas tersebit, baik dalam perspektif sosial maupun ekonomi. Check List tahap 2 dalam CLSA disajikan pada Gambar 20. PENYEBAB LANGSUNG: Aktivitas mana yang mengovereksploitasi sumberdaya alam: - Apakah mereka? - Bagaimana cara mereka mendegradasi sumberdaya alam? - Siapa yang menyelesaikan ke luar? - Kapan mereka melaksanakannya? Aktivitas mana yang mengkonversi habitat tertentu ke dalam penggunaan lain: - Apakah mereka? - Bagaimana cara mereka mendegradasi sumberdaya alam? - Siapa yang menyelesaikan ke luar? - Kapan mereka melaksanakannya? Pemanenan yang merusak dan praktek penggunaan lahan: - Apakah mereka? - Bagaimana cara mereka mendegradasi sumberdaya alam? - Siapa yang menyelesaikan ke luar? - Kapan mereka melaksanakannya? Aktivitas mana yang mengotori sumberdaya alam: - Apakah mereka? - Bagaimana cara mereka mendegradasi sumberdaya alam? - Siapa yang menyelesaikan ke luar? - Kapan mereka melaksanakannya?
Gambar 20. Check list tahap 2 CLSA
DASAR PENYEBAB: Kegagalan politik: - Bagaimana cara mereka mendorong aktivitas? Kegagalan pasar: - Bagaimana cara mereka mendorong aktivitas? Kegagalan kelembagaan: - Bagaimana cara mereka mendorong aktivitas? Keadaan mata pencaharian: - Bagaimana cara mereka mendorong aktivitas?
KEBUTUHAN DAN RELUNG UNTUK MENGUKUR INSENTIF (Step 3)
54
Step 3. Mengidentifikasi kebutuhan masyarakat pesisir Ada dua aspek utama yang dilakukan pada tahap ini. Pertama identifikasi kebutuhan terhadap sistem insentif yang diperlukan oleh masyarakat khususnya dalam kerangka konservasi sumberdaya pesisir dan lautan. Kedua adalah peluang penerapan sistem insentif dan konservasi sumberdaya pesisir dan lautan. Check List tahap 3 dalam CLSA disajikan pada Gambar 21.
RELUNG DAN KEBUTUHAN UNTUK PERANGSANG: Penurunan kekitan yang secara ekonomi diinginkan: - Aktivitas yang mana ? - Kelompok yang mana ? - Waktu apa? - Sebab utama? Tentangan insentif yang mendorong degradasi: - Aktivitas yang mana ? - Kelompok yang mana ? - Waktu apa? - Sebab utama? Kebijakan, pasar, kelembagaan dan lokal yang menyebabkan kegagalan: - Aktivitas yang mana ? - Kelompok yang mana ? - Waktu apa? - Sebab utama?
Gambar 21. Check list tahap 3 CLSA
PILIHAN SPESIFIK DARI UKURAN INSENTIF (Step 4)
55
Step 4. Memilih sistem insentif bagi konservasi sumberdaya pesisir dan laut berbasis masyarakat Dalam konteks tahap ini, identifikasi dan pemilihan sistem insentif menjadi faktor penting. Sistem insentif harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat seperti yang telah dilakukan pada tahap 3. Check List tahap 4 dalam CLSA disajikan pada Gambar 22.
Insentif Langsung
Insentif Tidak Langsung
Hak kepemilikan Insentif mata pencaharian Pilihan insentif Ukuran pasar Ukuran fiskal Ukuran keuangan
PERTIMBANGAN PRAKTIS (Step 5)
Gambar 22. Check list tahap 4 CLSA
Tanpa Insentif
56
Step 5. Impelementasi sistem insentif Tahap terakhir adalah implementasi sistem insentif yang disertai dengan monitoring dan evaluasi terhadap implementasi tersebut. Check List tahap 5 dalam CLSA disajikan pada Gambar 23. PRACTICAL DAN KEPANTASAN: Tujuan masyarakat lebih luas dan keberadaan organisasi lokal: - Apakah insentif sesuai tujuan masyarakat? - Adalah insentif didasarkan pada pengetahuan masyarakat? - Apakah perangsang menggunakan organisasi masyarakat? Dampak ukuran insentif: - Apakah insentif menaikkan harga dasar? - Apakah insentif mengurangi peluang lokal? - Apakah insentif memarginalkan kelompok tertentu? Kemampuan menerima politis: - Apakah insentif konsisten dengan tujuan lebih luas? - Apakah insentif mendukung tujuan konservasi dan pengembangan? Kesederhanaan: - Apakah insentif mudah untuk diterapkan dan dijaga? - Apakah insentif murah untuk diterapkan dan dijaga?
-
-
-
PEMBEDAAN DAN PERUBAHAN Apakah insentif memperhatikan heterogenitas sosial-ekonomi? Apakah dampak insentif terhadap kelompok yang berbeda? Adalah insentif responsif untuk berubah? UKURAN TAMBAHAN PENDUKUNG
-
-
Faktor bukan ekonomi di tingkat masyarakat? Kelompok lain dan aktivitas yang menyebabkan degradasi sumberdaya alam? Kekuatan dan kebijakan global dan nasional?
Gambar 23. Check list tahap 5 CLSA
TINJAUAN ULANG DAN RE-DESAIN INSENTIF
57
2.8.4. Analisis Eksternalitas Masyarakat sekarang mulai menyadari bahwa disamping adanya dampak positif terhadap lingkungan, pengelolaan sumberdaya juga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Sebagai konsekuensinya, masyarakat menyadari bahwa lingkungan perlu dilestarikan agar kehidupan sekarang maupun dimana yang akan datang menjadi terjamin baik (Sudjana dan Riyanto, 1999). Masalah yang sering muncul dalam pengelolaan sumberdaya adalah berbagai dampak negatif yang mengakibatkan manfaat yang diperoleh dari sumberdaya sering tidak seimbang dengan biaya sosial yang harus ditanggung (Fauzi, 2004). Dalam
suatu
perekonomian
modern,
setiap
aktivitas
mempunyai
keterkaitan dengan aktivitas lainnya. Apabila semua keterkaitan anatara suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya dilaksanakan melallui mekanisme pasar atau melalui suatu sistem, maka keterkaitan antar berbagai aktivitas tersebut tidak menimbulkan masalah, tetapi banyak pula keterkaitan antar kegiatan yang tidak melalui mekanisme pasar sehingga timbul berbagai macam masalah. Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui mekanisme pasar adalah apa yang disebut dengan eksternalitas (Daraba, 2001). Dengan kata lain suatu proses produksi dapat menimbulkan adanya manfaat atau biaya yang masih belum termasuk dalam dapat mengakibatkan alokasi sumberdaya perhitungan biaya proses produksi. Hasil kajian Oktawati (2008) menunjukkan bahwa keberadaan eksternalitas yang dilakukan oleh pasar menjadi tidak efisien. Dalam prakteknya, bukan hanya pemerintah yang perlu dan dapat mengatasi eksternalitas, melainkan juga pihakpihak non pemerintah, baik itu pribadi, kelompok ataupun perusahaan atau organisasi kemasyarakatan. Eksternalitas juga tidak selalu harus atau bisa diatasi dengan penegakan atau ancaman penerapan sangsi sosial, sehingga diperlukan
upaua
sumberdaya
sedini
untuk
penanaman
mungkin
kesadaran
merupakan
salah
terhadap satu
cara
pemeliharaan internalisasi
eksternalitas.
2.8.5. Pendekatan Verstehen Pendekatan verstehen diperkenalkan oleh Max Weber (Hardiman, 2003; Ritzer, 2007; Johnson, 1986) yang berupaya menelusuri nilai, kepercayaan, tujuan, dan sikap yang menjadi penuntun perilaku manusia. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Verstehen, dimana peneliti
58
melakukan
wawancara secara mendalam dan observasi (berempati) untuk
mendapatkan data yang otentik. Dasar pertimbangan, metode ini dapat memperlancar proses temuan empirik yang baru sebagai gambaran tentang strategi adaptasi nelayan akibat adanya perubahan ekologis laguna. Wawancara ini menggunakan pedoman wawancara untuk mendapatkan informasi mendalam dan akurat. Di samping itu dalam partisipasi aktif dan observasi peneliti melibatkan diri dalam sebagian aktivitas sehari-hari informan. Dalam konteks ini, hubungan antara peneliti dan informan menjadi lebih dekat dan tidak formal. Ini sangat membantu peneliti dalam memperoleh data kehidupan responden secara lengkap. Dengan demikian, daya serap peneliti terhadap pola kehidupan yang didasarkan pada nilai-nilai luhur dan nilai-nilai kerja akan meningkat sehingga dapat memperkaya analisis.
2.8.6. Partisipatory Coastal Resources Assessment (PCRA) Analisis sosial dan budaya dengan melibatkan masyarakat dilakukan dengan metode pengkajian sumberdaya pesisir dan laut secara partisipasi (Partisipatory Coastal Resources Assessment/PCRA) (Walters et al. 1998) dengan menggali informasi dari responden terhadap persepsi keberadaan aktivitas pemanfaatan sumberdaya dan kondisi ada tidaknya konflik dalam pemanfaatan ruang di lokasi penelitian. Secara substansif, sasaran identifikasi budaya dan adat istiadat masyarakat di lokasi penelitian, adalah : - Menemukenali karakter dan berbagai aspek sosial-budaya dari masyarakat meliputi : pola pikir, tata nilai, adat, budaya, dan lainnya. - Mengetahui serta menampung aspirasi pembangunan dan kebutuhan dasar penghidupan penduduk secara murni, yaitu aspirasi yang benar-benar muncul dan dirasakan oleh berbagai golongan penduduk tanpa dipengaruhi oleh pendapat ataupun pikiran pihak lain. Metode penelitian ini dilakukan secara langsung kepada masyarakat melalui pengamatan langsung dan wawancara/interview beberapa key person (pemuka masyarakat) dan juga masyarakat umumnya, sehingga pendekatan alternatif ini didasarkan pada pembangunan konsensus dan penerapan metode yang dilakukan ke dalam bentuk-bentuk yang disederhanakan dari pemetaan kesepahaman (concordance mapping).
59
2.8.7. Focus Group Discussion (FGD) Focus Group adalah suatu jenis kelompok khusus yang berkaitan dengan tujuan, ukuran, prosedur dan komposisi. Diskusi dirancang dengan serangkaian perencanaan secara hati-hati untuk untuk menambah dan memperdalam informasi, membangun kesepakatan/komitmen, mengklarifikasi informasi yang kurang pada basis data dan juga bisa dipakai untuk memperoleh opini-opini yang berbeda mengenai satu permasalahan tertentu. Kelompok dilaksanakan dengan anggota sebanyak 6 - 8 orang oleh seorang pewawancara terampil. Diskusi berlangsung dengan relaks, dan setiap peserta menikmati untuk berbagi persepsi dan gagasannya. Anggota kelompok saling mempengaruhi dengan merespon ide dan komentar yang lainnya (Kueker and Casey, 2000). Dalam kerangka konseptual Focus Group terdapat tujuh komponen, yaitu faktor kohesi grup, proses diskusi, hasil, komposisi grup, penentuan riset, moderator dan proses grup. Rancangan riset menggunakan FGD dapat dilihat pada Gambar 24 dan proses FGD dapat dilihat pada Tabel 6.
Gambar 24. Kerangka Proses Focus Group (Fern 2001)
60
Tabel 6. Proses Focus Group Discussion 1 2 3 4 5 6
Langkah Keseluruhan (Globality) ↓ Perbedaan (Differentiation) ↓ Integrasi sosial (Social integration) ↓ Cerminan reaksi (Mirror reaction) ↓ Pemadatan (Condensing) ↓ Pertukaran informasi (Information exchange)
Deskripsi Peserta mengenali bahwa mereka berbeda Selama sesi pemanasan, mereka mempelajari tingkatan perbedaan mereka Selama pemanasan dan diskusi umum, mereka mempelajari bagaimana cara saling berhubungan sebagai kelompok Ketika diskusi melanjut, peserta mempelajari apa yang dimiliki bersama-sama Pada beberapa titik dalam diskusi, mereka mengembangkan suatu kesadaran kolektif Akhirnya, kelompok mulai bertukar informasi dan penjelasan pada topik utama
Sumber: Fern (2001)
Untuk implementasi kebijakan pembangunan dilakukan FGD dengan melibatkan stakeholder yang terkait dengan resiliensi masyarakat terutama yang terkait dengan aspek lokal yaitu ekonomi, sumberdaya serta pengetahuan dan hubungannya (Tabel 7). Pada FGD ini akan dirumuskan langkah-langkah strategis, faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan kebijakan, dan stakeholder yang terlibat dalam setiap proses pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi. Tabel 7. Aspek Lokal dari Resiliensi No 1
2 3
Apakah yang menyokong ke arah kesejahteraan? Berhubungan dengan ekonomi: • Akses untuk penangkapan ikan • Ketrampilan untuk berbagai jenis perikanan • Keterampilan mata pencaharian lain • Memiliki modal dan/atau seorang pendukung • Mengetahuilah bagaimana caranya menyimpan uang Berhubungan dengan sumberdaya: • Sumberdaya mangrove dan ikan yang berlimpah • Masyarakat dapat menjaga sumberdaya alamnya Berhubungan dengan pengetahuan dan hubungan: • Pengetahuan dan kebijaksanaan • Dapat berhubungan atau berkomunikasi baik • Keberuntungan • Mampu menyesuaikan dan memecahkan masalah • Berkeinginan untuk berjuang dan berikhtiar
Sumber: Marsche and Walker, 2003
61
2.9. Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian tentang Kawasan Segara Anakan banyak dilakukan oleh berbagai instansi dan perguruan tinggi. Kajian menunjukkan bahwa dinamika sistem alam di Segara Anakan berlangsung relatif cepat. Hal ini seiring dan merupakan penyebab utamanya adalah terjadinya proses sedimentasi. Besarnya aliran sedimen yang bermuara di Segara Anakan mencapai 5-10 juta m3/tahun diantaranya mengendap di laguna (ECI, 1994). Hal ini telah menyebabkan timbulnya daratan baru sejalan dengan penyusutan perairan, sehingga diperkirakan pada tahun 2000 luas laguna yang tersisa hanya 600 ha (PWS Citanduy-Ciwulan, Ditjen Pengairan, 1995). Selanjutnya berdasarkan penelitian Taurusman (1999) laju sedimen di Laguna Segara Anakan pada musim hujan sebesar 131,08 kg/m2/hari sedimen dan 3,690 kg/m2/hari limbah organik. Hasil ini yang diperoleh dari penelitian lapangan hampir sama dengan menggunakan nilai prediksi berdasarkan model sedimentasi. Meskipun laju sedimentasi relatif tinggi, Segara Anakan tetap potensial sebagai kegiatan pertambakan. Salah satu penelitian menyimpulkan bahwa luas optimal tambak udang yang sesuai dengan daya dukung lingkungan Segara Anakan adalah 480 ha, yang terdiri dari 371,38 ha dengan teknologi tradisional plus 108,62 ha teknologi semi intensif dengan lokasi yang ideal adalah sepanjang sungai cibeureum (68,18 ha teknologi semi intensif) sepanjang sungai pelindukan (80,70 ha teknologi tradisional plus dan 40,44 ha teknologi semi intensif), serta sungai kembang kuning (290,68 ha teknologi tradisional plus) (Taurusman, 1999). Koordinasi pengelolaan kawasan Segara Anakan dilaksanakan oleh BPKSA dengan alternatif pembiayaan dari potensi yang ada seperti aktivitas usaha budidaya udang di tambak (Miftah, 2003). Hal ini didukung dengan hasil penelitian Kurniawanti (2005) yang menyebutkan bahwa secara umum kualitas lahan dan air di kawasan ini memenuhi syarat bagi kegiatan budidaya dengan melakukan kegiatan penjadwalan penebaran benih sampai pemanenan hasil. Kawasan
Segara
Anakan
Sendiri
berdasarkan
karakteristik
pemanfaatannya dapat digunakan untuk pertambakan, persawahan dan lahan mangrove (A’in, 2009). Aktivitas-aktivitas tersebut dipengaruhi oleh pola hunian masyarakatnya sendiri yaitu pola mengelompok, pola menyebar dan pola memanjang (Vidyabrata, 2002).
62
Tipe-tipe nilai pemanfaatan ekosistem mangrove di kawasan ini mencakup: nilai manfaat langsung yang terdiri dari produk hutan, perikanan, hewan, tambak dan pariwisata; nilai manfaat tidak langsung yang terdiri dari perlindungan terhadap intrusi air laut dan penyediaan zat hara; nilai pilihan, yaitu keanekaragaman hayati; dan nilai keberadaan eksistensi, yaitu nilai yang diberikan oleh masyarakat lokal (Paryono, 1999).
Secara ringkas ikhtisar penelitian yang sudah dilakukan di Segara Anakan dapat dilihat pada Tabel 8.
63
Tabel 8. Ikhtisar Penelitian Terdahulu Terkait dengan Penelitian yang Dilaksanakan Judul No 1 The Segara Anakan Reclamation Project : The Impact on Commercial Fisheries
Tahun 1975
Penulis
2
Workshop on Coastal Resources Management in The Cilacap Region
1982
Bird ECF, A Soegiarto and KA Soegiarto
3
Hubungan Fisika dan Kimia Air dengan Produktivitas Biota Planktonik di Perairan Segara Anakan
1985
Sumarsini W
Sumber Department of Marine Sciences Lousiana State Univercity, USA
Hasil Utama Penelitian ini memfokuskan pada perubahan tingkat pendapatan nelayan di Kawasan Segara Anakan akibat adanya pendangkalan
The Indonesian Institute of Science and The United Nations University, Jakarta
Laporan ini berisi topik tentang: • Geomorfologi Segara Anakan • Masalah deposisi dari ekosistem mangrove di Cilacap • Corak hidrografi dari perairan pesisir Segara Anakan dan Cilacap • Floristik dan ekologi dari ekosistem mangrove di Cilacap • Sumberdaya perikanan di perairan pesisir Segara Anakan dan Cilacap • Pola sosial-ekonomi dari kampung nelayan di wilayah Segara Anakan dan Cilacap • Pola penggunaan lahan di wilayah Segara Anakan dan Cilacap Penelitian ini memfokuskan pada mempelajari hubungan kualitas fisika dan kimia air dengan produktivitas biota planktonik, berkenaan dengan pola penyebaran Muatan Padatan Tersuspensi yang berbeda-beda d i perairan Segara Anakan. Untuk itu lokasi stasiun-stasiun penelitian di perairan Segara Anakan ditetapkan empat zona dan tiga kelas muatan padatan tersuspensi.
63
64
64
No Judul 4 The Environmental Profile of Segara Anakan Cilacap Coastal Region Indonesia, ASEAN-US and Coastal Resources Management
Tahun Penulis 1986 Sujastani T
5
Studi Pengembangan Wilayah Nusakambangan dan Segara Anakan
1987
6
The Coastal Environmental Profile of Segara Anakan-Cilacap, South Java, Indonesia
1989
7
The Integrated Management Plan for Segara Anakan Cilacap Java
1992
ICLARM
8
Ecological Assessment for Management Planning of Segara Anakan Lagoon, Cilacap, Central Java
1994
Takashima F and K Soewardi
Pusat Studi Lingkungan Universitas Gadjah Mada dan Bappeda Kabupaten Cilacap White AT, P Martosubrito and MSM Sadorra
Sumber
ICLARM
Hasil Utama Penelitian ini memfokuskan pada deskripsi kondisi ekologi Kawasan Segara Anakan
Penelitian ini memfokuskan pada rencana pengembangan Kawasan Segara Anakan dan Nusakambangan berdasarkan kondisi dan potensi yang ada. Laporan ini berisi profil lingkungan pesisir di Segara Anakan yang mengalami masalah dan konflik penggunaan sumberdaya akibat: tingginya tingkat sedimentasi, kehilangan mangrove, overfishing dan parkatek penangkapan yang destruktif, polusi minyak di laguna, pencemaran pestisida akibat kegiatan pertanian, perambahan hutanmangrove, dan penurunan kesejahteraan masyarakatnya. Penelitian ini memfokuskan pada rencana pengelolaan kawasan secara terpadu yang meliputi permasalahan yang ada, strategi pemecahan dan kebijaksanaan pengelolaannya.
Center for International Program. Tokyo University of Agriculture
Penelitian ini memfokuskan pada pengukuran kondisi ekologi untuk rencana pengelolaan laguna Segara Anakan. 5 komponen yang membentuk sistem di laguna, yaitu: proses hidrologi, produktivitas sumberdaya alam (mangrove, lepas pantai dan laguna), proses fisiografi, vegetasi terestrial dan komponen sosial ekonomi.
65
Tahun Penulis 1994 Asian Development Bank
Sumber ECI and Delft Hydraulics P.T. Exsa International Co., Ltd.
Hasil Utama Proyek Konservasi dan Pembangunan Segara Anakan ini terdiri dari 4 komponen teknis, yaitu: 1) Sudetan dua sungai; 2) Pengerukan laguna; 3) Drainase; dan 4) Jembatan dan jalan
10
Socio-Economic Trends and MicroInstitutional Strategies for The Sustainable Development of Segara Anakan Lagoons and Environs
1995
Duewel J
National Workshop “Sustainable Development of Segara Anakan Lagoons and Environs” Cilacap, Central Java
Penelitian ini memfokuskan pada kecenderungan sosial-ekonomi dan strategi Lembaga-Mikro untuk pembangunan berkelanjutan di laguna dan lingkungan Segara Anakan. Kajian dilakukan pada 178 rumah tangga untuk melihat kondisi sosial-ekonomi dan kebutuhan pengelolaan laguna. Strategi dan intervensi operasional yang disarankan adalah: 1) zonasi pada laguna dan lingannya; 2) peraturan dan pengelolaan hutan mangrve; 3); alokasi lahan, formasi sawah dan bangunan jembatan; 4) pengelolaan perikanan dan zonasi spasial; 5) pengembanganperikanan budidaya; 6) pengendalian jumlah populasi: transmigrasi dan membatasi pendatang; 7) pembangunan infrastruktur ekonomi dan sosial; 8) pengembangan ekowisata; 9) ekstensifikasi pertanian; 10) proyek keuangan-mikro.
11
Land Use Change and Sustainable Development in Segara Anakan, Java, Indonesia: Interactions Among Society, Environment and Development
1997
Olive CA
Thesis, University of Aaterloo, Ontario, Canada
Penelitian ini memfokuskan pada: 1) perubahan lahan selama tahun 1968-1995; 2) identifikasi interaksi kunci diantara masyarakat; dan 3) mengkaji implikasi dan peluang untuk perencanaan dan pembangunan berkelanjutan dari perubahan yang terjadi. Pengukuran keberlanjutan dari perubahan penggunaan lahan dilakukan berdasarkan 3 indikator, yaitu: kelangsungan hidup secara ekonomi, keadilan sosial, dan integritas ekologi.
65
Judul No 9 Segara Anakan Conservation and Development Project: Final Report
66
66
No Judul 12 Basis Data Sosial Ekonomi dan Lingkungan Segara Anakan
Tahun Penulis 1997 Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Jendral Soedirman
13
Laporan Akhir Aspek Hukum Kepemilikan Lahan Segara Anakan
1998
Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan
Kerjasama Proyek Konservasi dan Pembangunan Segara Anakan Pemerintah Daerah Tingkat II Cilacap dengan Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan. Jakarta
Laporan ini merupakan kajian aspek hukum untuk menunjukkan kejelasan status hukum kepemilikan lahan Segara Anakan, terutama lahan timbul yang terdapat di Pulau Nusakambangan, di wilayah yang berbatasan dengan Kawasan perhutani, serta di tengah laguna Segara Anakan. Kejelasan ini ditunjukkan dengan sertifikasi kepemilikan lahan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Cilacap. Metode yang digunakan adalah Rapid Assesment Method. Hasil kajian menunjukkan bahwa lahan timbul Nusakambangan sepenuhnya berada di bawah kewenangan Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan. Pemda memiliki kewenangan penuh atas tanah timbul di luar kawasan Perhutani.
14
Laporan Akhir Pengembangan Perikanan Masyarakat Segara Anakan
1998
PUSPICS UGM – BAKOSURTANAL
Kerjasama antara Bagian Proyek Konservasi dan Pembangunan Segara Anakan Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah dengan PUSPICS UGM – BAKOSURTANAL. Yogyakarta
Penelitian ini memfokuskan pada kaian tentang pengembangan perikanan masyarakat Segara Anakan. Kajian meliputi ; kajian fisik yaitu potensi lahan untuk pengembangan tambak; kajian sosial ekonomi yaitu aktivitas tambak aktual dan rekomendasi bagi pengembangan perikanan dan pertambakan di Segara Anakan. Metode yang dilakukan menggunakan metode survei dengan pendekatan ekologik, sosio ekonomik secara empiris kuantitatif.
Sumber
Hasil Utama Penelitian ini memfokuskan pada pengumpulan datadata dasar sosial ekonomi yang diperlukan dalam penyusunan rencana pembangunan di Kawasan Segara Anakan
67
Judul No 15 Kajian Penyiapan Kebutuhan Desa Pantai di Kawasan Segara Anakan
Tahun Penulis 1998 Lubis R, L Adrianto, G Yulianto dan R Kinseng
Sumber Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB
Hasil Utama Penelitian ini memfokuskan pada rencana pengembangan desa pantai yang ada di Kawasan Segara Anakan dan identifikasi kebutuhan infrastruktur yang diperlukan untuk pengembangan desa pantai.
16
Pengaruh Migrasi Masuk terhadap Penataan Kawasan Segara Anakan Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Cilacap Segara Anakan Lagoon: Environmental Profile and Monitoring System
1998
Prasetyo B
Skripsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Penelitian ini memfokuskan pada tinjauan aspek hukum dalam penataan kepemilikan lahan dan penataan kawasan.
1998
Jeanes KW
Segara Anakan Conservation and Development Project
Penelitian ini memfokuskan pada pendekatan ekosistem, yaitu suatu pendekatan untuk analisis lokasi, pengelolaan sumberdaya alam, pengukuran dampak lingkungan dan monitoring ekologi berdasarkan pada hirarki fungsional dan interaksi dari komponen ekosistem.
18
Zonasi Pengembangan Ekoturisme Kawasan Mangrove yang Berkelanjutan di Laguna Segara Anakan Kabupaten Cilacap Propinsi Jawa Tengah
1999
Yahya RP
Tesis Master pada Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor
Penelitian ini memfokuskan pada perencanaan pembangunan pariwisata dengan tetap memberikan manfaat konservasi sumberdaya alam. Jenis kegiatan ekoturisme dapat dikelompokkan ke dalam beberapa zona lindung, yaitu zona lindung hutan mangrove dan zona lindung perairan yang mengakomodir kegiatan ilmiah.
19
Kajian Ekonomi Pengelolaan Tambak Di Kawasan Mangrove Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah
1999
Paryono TJ
Tesis Master pada Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor
Penelitian ini memfokuskan pada pengamatan dan identifikasi nilai-nilai pemanfaatan dan nonpemanfaatan ekosistem hutan mangrove, serta analisa aspek ekonomi pengelolaan sistem pertanian terpadu antara hutan mangrove dan tambak.
17
67
68
68
No Judul 20 Segara Anakan Fisheries Management Plan
Tahun Penulis 2000 Dudley RD
Sumber Segara Anakan Conservation and Development Project Components B & C. Consultant’s Report.
Hasil Utama Penelitian ini memfokuskan pada pengelolaan perikanan di Segara Anakan dimaksudkan untuk: a) menyediakan udang dan ikan secara berkelanjutan, dan b) menyediakan keberlanjutan penangkapan udang pantai dan ikan yang bergantung pada laguna Segara Anakan. Terdapat 3 (tiga) isu serius yang dihadapi perikanan Segara Anakan: a) perusakan habitat bakau, b) penyusutan laguna Segara Anakan, dan c) pertumbuhan yang terus berlanjut di dalam area kampung seperti rumah, jalan, tambak, dan juga manusia tentunya berakibat pada penurunan sumber daya.
21
Perencanaan Pengelolaan Kawasan Konservasi Estuaria dengan Pendekatan Tata Ruang dan Zonasi (Kasus Segara Anakan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah)
2000
Murni HNC
Disertasi pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Penelitian ini memfokuskanpengelolaan kawasan Segara Anakan dengan menggunakan pendekatan tata ruang dan zonasi.
22
Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Pantai Akibat Perubahan Ekosistem Pantai Studi Kasus di Kawasan Segara Anakan Cilacap
2001
Prayitno
Tesis Magister Perencanaan Kota dan Daerah. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Penelitian ini memfokuskan pada pola perubahan sosial ekonomi masyarakat desa di Kawasan Segara Anakan selama tahun 1980-2000 dan mengkaji keterkaitan antara perubahan ekosistem dengan perubahan sosial ekonomi dan spasial.
69
Judul No 23 Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Program Konservasi dan Pengelolaan Kawasan Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah
Tahun Penulis 2002 Al Amin MA
Sumber Tesis Master pada Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor
Hasil Utama Penelitian ini memfokuskan pada mengkaji sejauhmana keberhasilan proyek SACDP sehingga mendapat dukungan masyarakat dan mau berpartisipasi terhadap pelaksanaan program. Dari hasil kajian diperoleh informasi bahwa disain dan performa kelembagaan proyek SACDP belum berhasil menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam usaha konservasi dan pengelolaan karena dalam hal efisiensi, redistribusi keadilan, adaptabilitas serta hasil dan dampak kebijakan belum mencapai target.
24
Pengaruh Perikanan Apong terhadap Keberadaan Sumberdaya Udang (Penaeid) di Perairan Karang Anyar, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah (Studi Kasus di Perairan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap)
2002
Suparman S
Tesis Master pada Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor
Penelitian ini memfokuskan pada mengkaji kelimpahan atau biomassa hasil tangkapan apong dan pengaruh kegiatan perikanan apong terhadap kelestarian sumberdaya udang penaeid di Segara Anakan, mengidentifikasi pengaruh konstruksi alat apong serta teknik pemasangan alat dalam operasi penangkapan nelayan, memberikan alternatif pola penggunaan alat yang berguna bagi pengelolaan sumberdaya udang agar tetap lestari.
25
Distribusi dan Kelimpahan Larva Ikan di Estuaria Segara Anakan, Cilacap Jawa Tengah
2002
Nursid M
Tesis Master pada Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor
Penelitian ini memfokuskan pada distribusi dan kelimpahan larva ikan serta hubungannya dengan faktor-faktor bio fisiko kimia lingkungan.
69
70
70
No Judul 26 Studi Pola Tata Ruang Permukiman Nelayan (Studi Kasus Desa Ujung Gagak, Desa Ujung Alang dan Desa Panikel di Kampung Laut, Segara Anakan - Cilacap)
Tahun Penulis 2002 Vidyabrata PA
Sumber Tesis Magister pada Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang
Hasil Utama Penelitian ini memfokuskan pada kajian yang membandingkan poal tata ruang, pemukiman nelayan yang terjadi di Segara Anakan. Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan rasionalistik, yang berlandaskan pada cara berpikir rasionalisime yang berasal dari pemahaman kemampuan intelektual yang dibangun atas kemampuan argumentasi secara logika.
27
Laju Tangkap Udang dan Masalah Jaring Apong di Pelawangan Timur Laguna Segara Anakan
2003
Zarochman
Tesis Magister pada Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang
Penelitian ini memfokuskan pada analisis laju tangkap udang dari perikanan jaring apong di Pelawangan Timur dalam hubungannya dengan stok udang di laut selatan Cilacap. Kelompok jenis udang yang dianalisis dipilih kelompok jenis hasil tangkapan udang jerbung kecil fase juvenil (peci) dan pre juvenil (drago peci) dari species Penaeus merguensis de man.
28
Studi Biaya Pengelolaan (Management Cost) Kawasan Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah
2003
Miftah H
Tesis Magister Sains yang Tidak Dipublikasikan. Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor
Penelitian ini memfokuskan pada analisis komponen biaya dan alternatif sumber pembiayaan dalam mengelola kawasan Segara Anakan dengan menggunakan metode analisis data perekonomian wilayah, analisis fungsi penerimaan dan biaya pengelolaan, dan analisis sensitivitas.
29
Pengelolaan Laguna Berbasis Masyarakat: Suatu Telaah Perubahan Perilaku Komunitas Kampung Laut Pasca Proyek Pengelolaan Laguna Segara Anakan Cilacap
2004
Ridwan I
Tesis Magister Sains yang Tidak Dipublikasikan. Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor
Penelitian ini memfokuskan pada upaya untuk mengetahui perubahan perilaku nelayan Laguna Segara Anakan, sebagai tanggapan mereka atas kerusakan lingkungan dan terhadp proyek-proyek pemerintah yang dilaksanakan di lingkungan dimana mereka tinggal dan mencari makan. Metode yang digunakan adalah analisis model interaktif.
71
Tahun Penulis 2004 Wigoto K
Sumber Skripsi Sarjana pada Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjajaran. Bandung
Hasil Utama Penelitian ini memfokuskan pada strategi adaptasi yang dilakukan masyarakat nelayan terhadap perubahan lingkungan biofisik dan sosial-budaya yang terjadi di kawasan Segara Anakan. Perubahan lingkungan biofisik dan sosbud yang terjadi saling terkait sebagai suatu sistem yang adaptif. Faktor utama yang mempengaruhi strategi adaptasi yang dilakukan masyarakat nelayan adalah perubahan lingkungan dan sosial-budaya akibat pelaksanaan program dan intervensi pemerintah dalam bentuk SACDP.
31
Evaluasi Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy Hulu dan Akibatnya di Hilir (Studi Valuasi Ekonomi Kerusakan DAS di Sub DAS Citanduy Hulu Jawa Barat dan Sub DAS Segara Anakan Jawa Tengah)
2005
Yunus L
Tesis Magister Sains yang Tidak Dipublikasikan. Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor
Penelitian ini memfokuskan pada evaluasi kerusakan DAS sebagai suatu ekosistem yang terintegrasi dari hulu ke hilir, kemudian dilakukan valuasi secara finansial kesediaan masyarakat untuk membayar dan mendanai upaya rehabilitasi kerusakan yang dialami. Metode yang dilakukan adalah CVM dan WTP. Hasil kajian menunjukkan bahwa masyarakat bersedia untuk membayar sebagai bentuk partisipasi dalam upaya rehabilitasi DAS Citanduy.
32
Strategi Pengembangan Budidaya Tambak di Kawasan Segara Anakan
2005
Kurniawanti D
Tesis Magister pada Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang
Penelitian ini memfokuskan pada kajian kesesuaian lahan dan kualitas air tambak, identifikasi isu dan permasalahan dalam pengembangan budidaya tambak di Kawasan Segara Anakan serta menentukan strategi bagi pengembangan budidaya tambak yang sesuai dengan potensi dan daya dukung lingkungannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum kualitas lahan dan air memenuhi syarat bagi kegiatan budidaya tambak.
71
Judul No 30 Strategi Adaptasi Masyarakat Nelayan terhadap Perubahan Lingkungan (Studi Kasus Masyarakat Kampung Laut di Kawasan Segara Anakan, Grumbul Motean, Desa Ujungalang, Kecamatan Pembantu Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah)
72
72
No Judul 33 Perubahan Komunitas Nelayan menjadi Komunitas Pertanian di Panikel Kampung Laut Cilacap Tahun 1986-2000 (Tinjauan Sejarah Sosial Ekonomi)
Tahun Penulis 2006 Maelani N
Sumber Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang
Hasil Utama Penelitian ini memfokuskan pada proses bagaimana terbentuknya komunitas nelayan, bagaimana proses perubahan komunitas nelayan menjadi komunitas pertanian dan bagaimana keadaan sosial ekonomi masyarakat di Panikel Kampung Laut Cilacap. Metode yang digunakan adalah metode sejarah dengan tahapan: heuristi, kritik sumber, interpretasi dan histiriografi.
34
Respon Masyarakat dalam Pelestarian Sumberdaya Hutan Mangrove di Segara Anakan Kecamatan Kampung Laut Kabupaten Cilacap
2006
Sriyanto IS
Skripsi Sarjana, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Penelitian ini memfokuskan pada respon masyarakat dalam pelestarian sumberdaya hutan mangrove dan faktor-faktor yang mempengaruhi respon masyarakat dalam pelestarian sumberdaya mangrove di Kampung Laut. Indikator respon masyarakat yang dikaji adalah pemahaman teknis, pemahaman non teknis dan penerapan teknis. Metode yang digunakan adalah deskriptif analisis.
35
Analisis kesesuaian kawasan ekowisata di Segara Anakan, Kabupaten Cilacap (Jawa Tengah)
2006
Yulianto S
Tesis Magister Sains yang Tidak Dipublikasikan. Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor
Penelitian ini memfokuskan pada pengembangan kawasan mangrove di Segara Anakan sebagai wilayah kegiatan ekowisata. Analisis dilakukan dengan menentukan matrik kesesuaian bagi masing-masing jenis kegiatan ekowvisata.
36
Analisis Kesesuaian Perairan Segara Anakan Kabupaten Cilacap Sebagai Lahan Budidaya Kerang Totok (Polymesoda Erosa) Ditinjau Dari Aspek Produktifitas Primer Menggunakan Penginderaan Jauh
2008
Herawati VE
Tesis Magister pada Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang
Penelitian ini memfokuskan pada analisis tingkat kesesuaian wilayah perairan di Laguna Segara Anakan bagi pengembangan lahan budidaya sebagai usaha dalam melestarikan sumberdaya perairan berdasarkan faktor fisika, kimia dan biologi. Selanjutnya dilakukan analisis kesesuaian perairan Segara Anakan
73
No
Judul
Tahun
Penulis
Sumber
Hasil Utama berdasarkan data lapangan dan data citra satelit SPOT melalui variabel – variabel kualitas air seperti produktifitas primer, klorofil α, suhu permukaan perairan dan muatan padatan tersuspensi MPT, pH, Oksigen terlarut, Salinitas dan Tekstur Tanah.
37
Alternatif Pemanfaatan Ex Disposal Area untuk Kegiatan Perikanan dan Pertanian di Kawasan Segara Anakan berdasarkan Sistem Informasi Geografis
2009
A’in C
Tesis Magister pada Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang
Penelitian ini memfokuskan pada analisis untuk mengetahui lokasi dan luas wilayah yang potensial serta menyusun alternatif pemanfaatan EDA berdasarkan kesesuaian lahan, baik sebagai lahan pertambakan, pertanian maupun ekosistem mangrove, sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam rangka upaya pemanfaatan wilayah pesisir yang berkelanjutan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat Segara Anakan.
38
Pola Konektivitas dan Adaptasi Sistem Sosial-Ekologi Laguna Segara Anakan dalam Kerangka Pengelolaan Pesisir Terpadu (Studi Kasus di Segara Anakan, Cilacap, Provinsi Jawa Tengah)
2009
Tauruzman A
Riset Hibah Bersaing LPPM IPB
Penelitian ini memfokuskan pada hubungan (konektivitas) antara sistem ekologi (tipologi sungai) dan sistem sosial di lokasi DAS Citanduy dan Segara Anakan.
39
Dampak Krisis Habitat terhadap Perikanan Tangkap: Kasus Perairan Segara Anakan, Cilacap
2010
Atmaja SB
Laporan Program Insentif Kementerian Riset dan Teknologi
Penelitian ini menghasilkan data dan informasi yang diperoleh berupa kondisi habitat dan jenis alat tangkap, hasil tangkapan dan komposisi hasil tangkapan alat tangkap jaring apong.
73
74
75
III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah kawasan Laguna Segara Anakan, yang tercakup dalam wilayah administratif Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Propinsi Jawa Tengah (Gambar 25). Kecamatan Kampung Laut terdiri dari 4 buah desa yang kesemuanya berada di kawasan laguna, yaitu Desa Ujung Alang, Desa Ujung Gagak, Desa Panikel dan Desa Klaces. Waktu penelitian dilaksanakan pada periode tahun 2008 – 2010, meliputi tahap persiapan, pengambilan data lapangan, pengolahan dan analisis data serta penulisan disertasi. Pemilihan
lokasi
penelitian
dilakukan
berdasarkan
pertimbangan-
pertimbangan berikut: 1. Laguna Segara Anakan merupakan Kawasan Strategis Nasional (PP 26/2008-RTRWN). 2. Wilayah ini merupakan ekosistem estuari yang memiliki hutan mangrove yang terluas dan terlengkap di Jawa (8.495 Ha). 3. Segara Anakan sebagai muara sungai besar dan kecil, seperti Sungai Citanduy, Cibeureum dan Cikonde, secara geografik berperan penting menjaga keseimbangan ekologis dan iklim mikro serta hidrologis bagi wilayah setempat dan sekitarnya yang didukung oleh dua kanal dari arah timur dan barat disisi Pulau Nusakambangan yaitu Plawangan Timur dan Barat. Indonesia Sungai Cibeureum
Pulau Jawa Sungai Cikonde
Sungai Citanduy Laguna Segara Anakan Klaces Plawangan Barat Pulau Nusakambangan
Gambar 25. Lokasi Penelitian di Laguna Segara Anakan
Cilacap
76
3.2. Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang untuk menghasilkan rumusan tentang model resiliensi masyarakat di laguna Segara Anakan, yang dikaitkan dengan pengembangan kebijakan dan strategi pembangunan berdasar kondisi sosialekologi di kawasan laguna tersebut pada saat ini dan kecenderungan perkembangan wilayah di sekitarnya. Penelitian dilaksanakan dalam beberapa tahapan penelitian, yaitu : 1. Persiapan meliputi penyusunan tahapan dan rancangan kajian penelitian disertasi, pengumpulan literatur dan data sekunder 2. Pengumpulan data di lapangan dengan survei lapangan 3. Pengamatan dan pengambilan data primer 4. Kajian identifikasi sistem sosial-ekologi laguna Segara Anakan. 5. Kajian identifikasi resiliensi sosial-ekologi laguna Segara Anakan. 6. Kajian model resiliensi masyarakat di laguna Segara Anakan. Tahapan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 26.
77
Mulai Persiapan: Studi literatur, pengumpulan data sekunder, perumusan masalah dan persiapan kuesioner Pengumpulan data di lapangan
Tahap 1
Survey, identifikasi lokasi dan pengamatan kondisi aktual
Data ekologi: luas perairan, debit, biota, vegetasi, habitat, data sumberdaya alam (lahan, bakau, sawah, dll),
Data sosial-ekonomi: penduduk, pendapatan, jenis mata pencaharian, modal, sikap dan perilaku masyarakat, adaptasi Tahap 2
Identifikasi Struktur Sistem Sosial-Ekologi (Analisis deskriptif, analisis eksternalitas, PCRA)
Identifikasi Resiliensi Sosial-Ekologi (Historical analysis, Stakeholder analysis, CLSA)
Tahap 3
Tahap 4 Model Resiliensi Masyarakat di Segara Anakan (Multi Criteria Decision Making)
Arahan Kebijakan/Strategi Adaptasi dan Mitigasi
Masyarakat Berkelanjutan Gambar 26. Diagram Alir Tahapan Penelitian dan Analisis data
78
3.3. Jenis dan Metode Pengumpulan Data 3.3.1. Jenis Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersumber dari data primer dan sekunder. Data primer bersumber dari responden terpilih yang diwawancara dengan menggunakan kuesioner (Tabel 9). Data primer sosial ekonomi dilakukan dengan menggunakan metode survei melalui teknik wawancara. Wawancara dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai kondisi wilayah penelitian dan persepsi atau sudut pandang responden dan stakeholders yang terlibat langsung dan dianggap mempunyai kemampuan dan mengerti permasalahan yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir di kawasan tersebut. Tabel 9. Rincian Data Primer No 1
2
Jenis Data Karakteristik responden Kemampuan beradaptasi Indikator resiliensi masyarakat Keanekaragaman sumberdaya Pengetahuan lokal Organisasi Kondisi prasarana sosial ekonomi penduduk Kondisi hutan Lahan timbul Sedimentasi Penggunaan sumberdaya laguna lainnya
Sumber Wawancara dengan responden Wawancara dengan responden Wawancara dengan responden Wawancara dengan stakeholder Wawancara dengan responden Wawancara dengan stakeholder Pengamatan langsung Pengamatan langsung Pengamatan langsung Pengamatan langsung Wawancara dengan responden
Alat utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dilengkapi dengan alat perekam untuk keperluan wawancara dengan responden dan stakeholders. Diskusi kelompok dilaksanakan untuk menjelaskan cara pengisian kuesioner dan menggali informasi dari stakeholders terkait dengan persepsi dan keinginan mereka untuk melaksanakan pengelolaan Segara Anakan secara berkelanjutan. Data sekunder sebagai pendukung diperoleh dari kajian terhadap laporanlaporan hasil penelitian dan hasil kegiatan di lokasi yang sama, publikasi ilmiah, peraturan daerah, data dari instansi pemerintah, swasta maupun lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi (Tabel 10).
79
Tabel 10. Rincian Data Sekunder No 1 2 3
4
5
6 7 8 9
Jenis Data Kebijakan dan upaya penyelamatan kawasan Segara Anakan Pengendalian lingkungan kawasan Segara Anakan Data: a. jumlah penangkapan ikan, b. daerah penangkapan (fishing ground), c. biaya operasional d. harga ikan, e. data yang berkaitan dengan kegiatan perikanan Data: a. keadaan umum desa b. demografi atau kependudukan: c. jumlah d. kepadatan e. struktur umur f. pendidikan g. agama h. rasio kelamin i. mata pencaharian (utama dan alternatif) penduduk Data: a. luas hutan mangrove b. lahan timbul c. tingkat sedimentasi Penataan kawasan hutan di Segara Anakan Praktek industri yang ramah lingkungan CSR Laporan hasil-hasil studi dan penelitian yang sudah ada Penelusuran hasil riset jurnal nasional dan internasional
Sumber Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi/Kabupaten Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi/Kabupaten Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi/Kabupaten
Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi/Kabupaten
Kantor Pengelola Sumberdaya Kawasan Segara Anakan (KPSKSA) Dinas Kehutanan Swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Perguruan Tinggi Internet
3.3.2. Metode Pengumpulan Data Penentuan lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan bahwa kawasan ini merupakan kawasan khusus yang sampai saat ini terus menerus mengalami degradasi berupa penyusutan laguna dengan sangat cepat. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penduduk yang berada di kawasan laguna Segara Anakan, baik yang terkait maupun tidak dengan pemanfaatan laguna. Adapun metode pengambilan sampel/responden adalah purposive sampling, yaitu pengambilan sampel tidak secara acak melainkan berdasarkan pertimbangan jenis pemanfaatan. Metode ini digunakan
80
untuk menilai manfaat langsung dan manfaat tidak langsung dari laguna Segara Anakan. Responden yang mengambil manfaat langsung adalah nelayan dengan berbagai jenis alat tangkap. Responden yang mengambil manfaat tidak langsung adalah petani, petambak, pencari udang, pencari kerang dan usaha jasa seperti penderes, pencari kayu bakar dan penambang pasir. Kecamatan Kampung Laut terbagi menjadi 4 Desa dan 17 Dusun, dimana lokasi pengambilan contoh sosial ekonomi dilakukan di wilayah-wilayah tersebut, dengan pertimbangan keterwakilan wilayah yang diambil secara langsung untuk setiap kelompok responden sesuai dengan tujuan penelitian dan berdasarkan criteria tertentu (Adrianto 2007), yakni lokasi penelitian adalah wilayah atau dusun-dusun yang signifikan untuk mata pencaharian tertentu. Unit populasi sebagai dasar penentuan dari responden dari unsur masyarakat adalah Kepala Keluarga (KK) atau Rumah Tangga yang tinggal di laguna Segara Anakan. Jumlah KK di wilayah tersebut adalah 4.174 KK (BPS Cilacap, 2009), maka berdasarkan perhitungan rumus jumlah sampel dari persamaan Slovin (1960) yang diacu dalam Sevilla et al (1993) diperlukan jumlah sampel sebanyak minimal 225 KK. Pengumpulan data primer yang diperoleh langsung di lokasi penelitian dengan menggunakan kuesioner terhadap 268 responden, yang terdiri dari 38 responden pemanfaat kayu bakar, 81 responden nelayan, 71 responden petani, 39 responden petambak, dan 10 responden untuk penderes. Masih terkait dengan tujuan penelitian dilakukan juga wawancara kepada 8 orang pedagang dan 21 informan kunci. Adapun rincian jumlah responden dan stakeholders ditampilkan pada Tabel 11. Kerangka pengambilan sampel dan sebaran sampel dapat dilihat secara berturut-turut pada Gambar 27 dan Gambar 28. Tabel 11. Sebaran Jumlah Responden No. Jenis Responden Responden utama 1. Nelayan 2. Petani 3. Pencari kayu bakar 4. Petambak 5. Usaha lain (penderes) Jumlah Responden pendukung 1. Pedagang 2. Informan kunci*) Jumlah *) Informan kunci: tokoh adat, sesepuh, pejabat desa atau gabungan diantaranya.
Sampel 81 71 38 39 12 241 8 21 29
81
Kawasan Laguna Segara Anakan
Kecamatan Kampung Laut
Desa Ujung Gagak
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Dusun Karangjaya Dusun Karangsari Dusun Karangmulya Dusun Karanganyar Dusun Cibeureum Dusun Ujunggagak Baru
Desa Ujung Alang
1. 2. 3. 4.
Desa Panikel
Dusun Peniten Dusun Motean Dusun Lp Pucung Dusun Bondan
1. 2. 3. 4. 5.
Desa Klaces
Dusun Bugel Dusun Panikel Dusun Kalenbener Dusun Muara Dua Dusun Mekarsari
1. Dusun Klaces 2. Dusun Klapakerep
Populasi Pemanfaat Laguna Segara Anakan
Nelayan
Pembudidaya
Pemanfaat kayu bakar
Gambar 27. Kerangka Pengambilan Sampel
Usaha Jasa
81
Total sampel
Petani
82
82
Gambar 28. Sebaran Sampel di Kawasan Laguna Segara Anakan
83
Data primer yang diambil berkaitan dengan kondisi sekarang wilayah laguna Segara Anakan dan dikumpulkan dalam penelitian ini digunakan sebagai dasar dalam perumusan model resiliensi masyarakat akibat perubahan kondisi ekologi. Teknik pengambilan sampel data tersebut secara rinci adalah sebagai berikut: 1.
Akses masyarakat terhadap sumberdaya laguna. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah area cluster purposive sampling. Responden dipilih pada setiap area berdasarkan desa yang proporsional terhadap jumlah dusun/kampung. Pada tiap desa tersebut responden dibagi ke dalam cluster: nelayan, pembudidaya, petani dan usaha jasa. Penentuan responden terpilih dilakukan secara sengaja melalui konsultasi dengan tokoh masyarakat terutama yang mengalami perubahan pemanfaatan laguna.
2.
Selain itu, pengambilan sampel untuk para stakeholder yang memiliki kepentingan di Laguna Segara Anakan diambil dengan menggunakan teknik snowball
atau
sampel
bola
salju.
Responden
yang
pertama
kali
diwawancarai ditetapkan melalui bantuan konsultasi dengan Pemda setempat. Untuk responden berikutnya, penetapan dilakukan berdasarkan hasil informasi yang didapatkan dari responden sebelumnya (teknik snowball). Kelebihan dari metode penentuan responden melalui teknik snowball antara lain peneliti tidak menemui banyak kesulitan untuk menentukan informan yang akan diwawancarai, karena data mengenai siapa saja orang yang dianggap dapat memberikan informasi tentang permasalahan yang diteliti sudah disediakan oleh informan sebelumnya (Wahyono, 2001). Jika informasi yang didapatkan dari responden sebelumnya kurang tepat maka penetapan responden tersebut dapat diganti dengan yang lebih sesuai dengan kriteria yang diinginkan peneliti. Di lain pihak terdapat kelemahan, misalnya dapat bias antar kelompok yaitu ada kecenderungan bahwa informan pertama merekomendasikan informan selanjutnya didasarkan kepada kedekatan emosional terhadapnya. Namun demikian, kelemahan ini dapat dikurangi dengan cara mengecek silang kepada beberapa informan terpilih berikutnya.
84
3.3.3. Participatory Research Action (PRA) PRA dilakukan untuk mengidentifikasi sistem sosial-ekologi di laguna Segara Anakan. Untuk mencapai tujuan ini, kegiatan survey dilakukan bersama dengan masyarakat di lokasi penelitian. Prinsip-prinsip PRA yang harus dipahami terlebih dahulu diantaranya adalah: 1. PRA harus diletakkan sebagai suatu pendekatan untuk memperbaiki praktekpraktek sosial dengan cara merubahnya dan belajar dari akibat-akibat dari perubahan tersebut. 2. PRA secara keseluruhan merupakan partisipasi yang murni (autentik) dimana akan membentuk sebuah spiral yang berkesinambungan sejak dari perencanaan (planing), tindakan (pelaksanaan atas rencana), observasi (evaluasi atas pelaksanaan rencana), dan refleksi (teoritisi pengalaman). 3. PRA
merupakan
kerjasama
(kolaborasi),
semua
yang
memiliki
tanggungjawab atas tindakan perubahan dilibatkan dalam upaya-upaya meningkatkan kemampuan mereka. 4. PRA merupakan suatu proses membangun pemahaman yang sistematis (systematic learning process), merupakan proses penggunaan kecerdasan kritis saling mendiskusikan tindakan mereka dan mengembangkannya, sehingga tindakan sosial mereka akan dapat benar-benar berpengaruh terhadap perubahan sosial. 5. PRA suatu proses yang melibatkan semua orang dalam teoritisasi atas pengalaman-pengalaman mereka sendiri.
3.3.4. Focus Group Discussion (FGD) 3.3.4.1. Langkah 1: Identifikasi dan Pemetaan Stakeholders Langkah
pertama
pembentukan
kelompok
adalah
mengidentifikasi
pemangku kepentingan. Hal ini penting untuk mengetahui siapa yang sesungguhnya pihak yang memang terkait dengan pengelolaan laguna Segara Anakan. Salah satu caranya adalah dengan memetakan tingkat pengaruh dan tingkat kepentingan dari masing-masing pemangku kepentingan terhadap resiliensi masyarakat Segara Anakan (Adrianto 2010).
85
3.3.4.2. Langkah 2: Mobilisasi Undangan FGD Tahapan selanjutnya adalah melakukan mobilisasi undangan FGD yang ditujukan kepada stakeholder strategis seperti yang telah dilakukan pada langkah 1. Peneliti dibantu oleh fasilitator bertanggung jawab dalam menyediakan tempat dan fasilitas yang diperlukan untuk pelaksanaan FGD (Adrianto 2010). Beberapa fasilitas yang diperlukan dalam FGD dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Fasilitas yang diperlukan dalam pelaksanaan FGD No 1 2 3 4 5
Jenis Fasilitas Papan metaplan Kertas metaplan Spidol berwarna Selotip Alat perekam (kamera, voice recorder, dll)
Jumlah (Unit) 4 unit Paling sedikit 4 warna Paling sedikit 4 warna Sesuai dengan kebutuhan Sesuai dengan kebutuhan
3.3.4.3. Langkah 3: Pelaksanaan FGD Pelaksanaan FGD dilaksanakan dan dipimpin oleh peneliti dengan tujuan untuk mengetahui resiliensi masyarakat Segara Anakan. Dalam setiap proses materi yang dijadikan topik diskusi, teknik skoring dilakukan untuk memudahkan analisis hasil nantinya. Pemberian skor dilakukan melalui proses FGD, dimana peserta menyepakati pada awas sesi FGD bersama peneliti menyepakati kriteriakriteria untuk masing-masing skala dan secara partisipatif pula di akhir sesi memberikan penilaian untuk masing-masing objek penskoran berdasarkan kriteria-kriteria yang disepakati.
3.3.4.4. Langkah 4: Tabulasi Hasil FGD Hasil selama pelaksanaan FGD kemudian dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan teknik tabulasi. Analisis ini dilakukan pada tahap analisis data oleh peneliti, sebagai input bagi analisis kerentanan dan resiliensi masyarakat Segara Anakan.
3.4. Metode Analisis Data Analisis data mencakup analisis deskriptif sesuai dengan konteks permasalahan dan informasi yang akan dihasilkan untuk menjawab tujuan penelitian dapat dilihat pada Tabel 13.
86
86
Tabel 13. Tujuan, Metode, Deskripsi, Keluaran, Jenis Data, Pengumpulan dan Analisis Data Deskripsi Keluaran yang Diharapkan 1. Identifikasi Sistem Sosial-Ekologis (SES) di Laguna Segara Anakan Pendekatan : studi literatur dan survey Data dan informasi tentang SES di Karakteristik responden: laguna Segara Anakan, yang terdiri • Umur dari: • ∑ anggota keluarga a. SES Laguna Segara Anakan • Tingkat pendidikan b. SES menurut desa (4): • Jenis kelamin • Desa Ujunggagak • Jenis pekerjaan • Desa Ujungalang • Tingkat pendapatan • Desa Panikel • Sumber pendapatan: • Desa Klaces Usaha perikanan Usaha bukan perikanan Lain-lain Karakteristik sumberdaya di laguna
Jenis Data
Cara Pengumpulan Data
Analisis Data
• Primer • Sekunder
• Wawancara
Statistik - deskriptif
• Primer • Sekunder
• • • • • • • • • • • •
Analisis deskriptif
Karakteristik pengguna sumberdaya di laguna
• Primer • Sekunder
Karakteristik penyedia infrastruktur di laguna
• Primer • Sekunder
Karakteristik infrastruktur di laguna
• Primer • Sekunder
Wawancara Studi literatur Pengamatan lapang Wawancara Studi literatur Pengamatan lapang Wawancara Studi literatur Pengamatan lapang Wawancara Studi literatur Pengamatan lapang
- Analisis eksternalitas - Analisis konflik Analisis stakeholder
Analisis deskriptif
87
Deskripsi
Keluaran yang Diharapkan Karakteristik hubungan antara SD dengan pengguna SD
Jenis Data • Primer • Sekunder
Karakteristik hubungan antara pengguna SD dengan penyedia infrastruktur
• Primer • Sekunder
Karakteristik hubungan antara SD dengan infrastruktur
• Primer • Sekunder
Karakteristik hubungan antara infrastruktur dengan interaksi antara SD dan pengguna SD Karakteristik hubungan antara pengguna SD dengan infrastruktur
• Primer • Sekunder
Karakteristik pengaruh eksternal terhadap infrastruktur
• Primer • Sekunder
Karakteristik pengaruh eksternal terhadap penyedia infrastruktur
• Primer • Sekunder
• Primer • Sekunder
Cara Pengumpulan Data • Wawancara • Studi literatur • Pengamatan lapang • Wawancara • Studi literatur • Pengamatan lapang • Wawancara • Studi literatur • Pengamatan lapang • Wawancara • Studi literatur • Pengamatan lapang • Wawancara • Studi literatur • Pengamatan lapang • Wawancara • Studi literatur • Pengamatan lapang • Wawancara • Studi literatur • Pengamatan lapang
Analisis Data PCRA
Analisis deskriptif
Analisis deskriptif
Analisis deskriptif
Analisis deskriptif
Analisis deskriptif
Analisis deskriptif
87
88
88
Deskripsi Keluaran yang Diharapkan 2. Identifikasi Resiliensi Sosial-Ekologis di Laguna Segara Anakan Pendekatan : studi literatur dan survey Data dan informasi tentang Tahap 1 (resiliensi apa): resiliensi sosial-ekologis di laguna • Identifikasi SES Segara Anakan • Identifikasi profil SES pada skala: - Lokal - Regional - Multi-regional ↓ Berupa model konseptual untuk tahap 2 Tahap 2 (resiliensi dari apa): • Skenario dibangun dengan mempertimbangkan hal berikut: • Mengkaji shock eksternal • Mengidentifikasi kebijakan yang rasional • Mengkaji visi ke depan Tahap 3 (analisis resiliensi): Mengeksplor interaksi hasil tahap 1 dan 2 (isu ke depan dan kemungkinan untuk merespon perubahan) Tahap 4 (manajemen resiliensi): Evaluasi stakeholder
Jenis Data
Cara Pengumpulan Data
Analisis Data
• •
Primer Sekunder
• • •
Wawancara Studi literatur Pengamatan lapang
• • •
Analisis sejarah Analisis stakeholder Analisis SES
• •
Primer Sekunder
• • •
Wawancara Studi literatur Pengamatan lapang
• •
CLSA Analisis deskriptif
• •
Primer Sekunder
Pendekatan sistem Æ model
Primer Sekunder
Wawancara Studi literatur Pengamatan lapang FGD Wawancara Studi literatur Pengamatan lapang
•
• •
• • • • • • •
•
Analisis stakeholder
89
Deskripsi Keluaran yang Diharapkan 3. Identifikasi Model Resiliensi Masyarakat di Laguna Segara Anakan Pendekatan : studi literatur dan survey Terbangun model resiliensi Model resiliensi masyarakat di laguna masyarakat di laguna Segara Segara Anakan Anakan yang dapat diaplikasikan di wilayah lain dalam upaya mitigasi dan adaptasi masyarakat dalam menghadapi perubahan ekologis
Jenis Data • Primer • Sekunder
Cara Pengumpulan Data • Wawancara • Studi literatur • Pengamatan lapang
Analisis Data Multi criteria decision making (MCDM)
Keterangan: Pada setiap wawancara dilakukan seluruhnya dengan menggunakan metode Verstehen (pemahaman) dimana peneliti memposisikan diri sebagai subyek penelitian/tineliti (berempati) untuk mendapatkan data dan informasi yang lebih otentik dan akurat.
89
90
3.4.1. Analisis Kerentanan Teknik pengukuran indeks kerentanan yang mendekati kepentingan pengukuran resiliensi dalam disertasi ini adalah yang dipublikasikan oleh IPCC (2001), yang diaplikasikan dalam penentuan indeks kerentanan terhadap gangguan atau guncangan terkait dengan perubahan iklim. Dalam disertasi ini, teknik IPCC tersebut dimodifikasi untuk mengukur kerentanan SES Segara Anakan, yang jenis gangguan dan guncangan utamanya adalah penyusutan laguna
dan
perubahan-perubahan
alam
terkaitnya.
Nilai
kerentanan
diformulasikan sebagai fungsi dari tingkat keterpaparan, tingkat sensitivitas dan kapasitas adaptif. Dengan rumus: Vulnerability = f (Exposure, Sensitivity, Adaptive Capacity) Berdasarkan itu faktor penentu kerentanan, komponen utama dan indikator yang digunakan dalam disertasi ini dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Faktor Penentu, Komponen Utama dan Indikator Penilaian Indeks Kerentanan
1
Faktor Penentu Kerentanan Exposure
2
Sensitivity
No
Komponen Utama Penyusutan laguna Degradasi sumberdaya Penurunan produksi perikanan Ketergantungan pencaharian pada laguna Hak guna perairan
3
Resiliensi (Kapasitas adaptif)
Ketergantungan kehidupan sosial pada laguna Faktor interaksi
Indikator Laju penyusutan laguna Laju kerusakan hutan mangrove Laju penurunan produksi perikanan Prosentase penduduk dengan mata pencaharian yang tergantung pada luasan laguna Prosentase penduduk yang diklaim sebagai sebagai perorangan seperti jaring apong Rasio penduduk yang mengandalkan transportasi air : darat Belajar untuk hidup dengan perubahan dan ketidakpastian Memelihara keragaman untuk ketahanan Menggabungkan berbagai jenis pengetahuan untuk belajar Menciptakan kesempatan bagi diriorganisasi sosial-ekologi terhadap keberlanjutan
91
Nilai keterpaparan diukur dengan tingkat keterpaparan antara nilai 0 – 3 sebagai berikut: Tabel 15. Tingkat Keterpaparan dalam Penentuan Indeks Kerentanan Nilai 0 1 2 3
Tingkat Keterpaparan Tidak terpapar Sedikit terpapar Cukup terpapar Sangat terpapar
Tingkat keterpaparan yang dianalisis dalam disertasi ini adalah sebagai berikut: 1) penyusutan laguna yang dilihat dari laju penyusutan laguna akibat sedimentasi, 2) degradasi sumberdaya yang dilihat dari laju kerusakan hutan mangrove, dan 3) penurunan produksi perikanan yang dilihat dari laju penurunan produksi perikanan. Secara rinci kriteria penilaian untuk masing-masing indikator dapat dilihat pada Tabel 16 sampai Tabel 18. Tabel 16. Kriteria Penilaian Keterpaparan berdasarkan Indikator Penyusutan Laguna di Segara Anakan No 1 2 3 4
Laju Penyusutan Laguna per Tahun (%)* 0 <2 2–5 >5
Tingkat Keterpaparan Tidak terpapar Sedikit terpapar Cukup terpapar Sangat terpapar
Skor 0 1 2 3
Keterangan: * Ini didasarkan pada sejarah, yang mengkaitkan laju penyusutan dengan penyesuaian-penyesuaian yang terjadi
Tabel 17. Kriteria Penilaian Keterpaparan berdasarkan Indikator Degradasi Sumberdaya di Segara Anakan No 1 2 3 4
Laju Kerusakan Mangrove per Tahun (%) 0–5 6 – 10 10 – 15 > 16
Tingkat Keterpaparan Tidak terpapar Sedikit terpapar Cukup terpapar Sangat terpapar
Skor 0 1 2 3
Tabel 18. Kriteria Penilaian Keterpaparan berdasarkan Indikator Produktivitas Perikanan di Segara Anakan No Laju Penurunan Produksi Perikanan per tahun (%) 1 0 – 10 2 11 – 20 3 21 – 30 4 > 31
Tingkat Keterpaparan Tidak terpapar Sedikit terpapar Cukup terpapar Sangat terpapar
Skor 0 1 2 3
92
Nilai sensitivitas diukur dengan tingkat sensitivitas antara nilai 0 – 3 sebagai berikut: Tabel 19. Tingkat Sensitivitas dalam Penentuan Indeks Kerentanan Nilai 0 1 2 3
Tingkat Sensitivitas Tidak sensitif Sedikit sensitif Cukup sensitif Sangat sensitif
Tingkat sensitivitas yang dianalisis dalam disertasi ini adalah untuk komponen ketergantungan pencaharian pada laguna, hak guna perairan, dan ketergantungan kehidupan sosial pada laguna. Penilaian tingkat sensitivitas pada setiap komponen tersebut secara rinci dapat dilihat pada Tabel 20 sampai Tabel 22 berikut: Tabel 20. Kriteria Penilaian Tingkat Sensitivitas Pencaharian pada Laguna Segara Anakan No 1 2 3 4
Penduduk dengan mata pencaharian yang tergantung pada luasan laguna (%) 0 – 20 21 – 40 41 – 60 > 61
untuk
Ketergantungan
Tingkat Sensitivitas Tidak sensitif Sedikit sensitif Cukup sensitif Sangat sensitif
Skor 0 1 2 3
Tabel 21. Kriteria Pengukuran Tingkat Sensitivitas untuk Hak Guna Perairan di Laguna Segara Anakan No 1 2 3 4
Penduduk yang mengklaim lokasi perairan (%) 0 – 10 11 – 20 21 – 30 > 31
Tingkat Sensitivitas Tidak sensitif Sedikit sensitif Cukup sensitif Sangat sensitif
Tabel 22. Kriteria Pengukuran Tingkat Kepekaan untuk Kehidupan Sosial pada Laguna Segara Anakan No 1 2 3 4
Rasio penduduk yang mengandalkan transportasi air : darat 0 – 20 21 – 40 41 – 60 > 61
Ketergantungan
Tingkat Sensitivitas Tidak sensitif Sedikit sensitif Cukup sensitif Sangat sensitif
Skor 0 1 2 3
Skor 0 1 2 3
93
Kapasitas adaptasi merupakan kemampuan untuk beradaptasi terhadap gangguan dan guncangan yang terjadi, dalam hal ini adalah penyusutan luasan laguna. Dalam penelitian ini, kapasitas adaptasi mengacu pada empat faktor penting interaksi yang dikembangkan oleh Folke et al. (2002) yang berkaitan dengan resiliensi sosial-ekologis. Nilai kapasitas adaptif diukur dengan tingkat adaptasi antara nilai 0 – 3 (Tabel 23) dan kriteria (Tabel 24) sebagai berikut: Tabel 23. Tingkat Adaptasi dalam Penentuan Indeks Kerentanan Nilai 0 1 2 3
Tingkat Adaptasi Tidak adaptif Sedikit adaptif Cukup adaptif Sangat adaptif
Tabel 24. Kriteria Penilaian Tingkat Adaptasi untuk Komponen Resiliensi SosialEkologis No 1 2 3 4
Kemampuan adaptasi penduduk (%) 0 – 25 26 – 50 51 – 75 > 76
Tingkat Adaptasi Tidak adaptif Sedikit adaptif Cukup adaptif Sangat adaptif
Skor 0 1 2 3
Analisis resiliensi sosial-ekologis dilakukan dengan mengadaptasi klaster indikator resiliensi sosial-ekologis berdasarkan perspektif
lokal yang disusun
oleh Folke et.al (2002), yang terdiri dari empat kategori, yaitu: (1) belajar hidup dalam perubahan dan ketidakpastian; (2) mengembangkan diversitas bagi reorganisasi
dan
pembaruan;
(3)
mengkombinasikan
berbagai
macam
pengetahuan; dan (4) mengkreasi kemungkinan bagi pengorganisasian diri. 1. Indikator belajar hidup dalam perubahan dan ketidakpastian Indikator belajar hidup dalam perubahan dan ketidakpastian melihat sistem sosial-ekologis yang mantap dan memiliki strategi adaptif menerima adanya ketidakpastian dan perubahan. Sistem ini menggunakan perubahan dan menjadikannya kesempatan (opportunity) untuk perkembangannya. Secara rinci uraian kriteria dari indikator belajar hidup dalam perubahan dan ketidakpastian dapat dilihat pada Tabel 25.
94
Tabel 25. Uraian Rasionalisasi Penilaian Kriteria Belajar Hidup dalam Perubahan dan Ketidakpastian 1
Indikator Belajar dari krisis
2
Membangun kapasitas cepat tanggap merespon perubahan lingkungan
3 4
Mengelola gangguan Membangun pilihan (portofolio) kegiatan mata pencaharian Mengembangkan strategi penanggulangan
5
Uraian Degradasi ekosistem mangrove Krisis sumberdaya ikan Gerakan perubahan permukaan air Monitoring cuaca Monitoring lingkungan umum Sistem keamanan lingkungan Penggunaan jaringan sosial Diversifikasi aktivitas selain perikanan Mobilitas Pemberian pinjaman uang Pengolahan hasil perikanan
2. Indikator mengembangkan diversitas bagi reorganisasi dan pembaruan Indikator menjaga keberagaman untuk reorganisasi dan pembaharuan melihat bahwa diversitas merupakan modal dalam menghadapi ketidakpastian dan kejutan serta menyediakan seperangkat komponen yang memiliki sejarah dan akumulasi pengalaman yang perlu dalam mengantisipasi perubahan serta memiliki kemampuan memfasilitasi perkembangan kembali dan inovasi setelah gangguan dan krisis. Secara rinci uraian kriteria dari indikator menjaga keberagaman untuk reorganisasi dan pembaharuan dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Uraian Rasionalisasi Penilaian Kriteria Menjaga Keberagaman untuk Reorganisasi dan Pembaharuan 1
Indikator Menjaga memori ekologis
2
Menjaga keberagaman institusi untuk merespon perubahan
3
Menciptakan ruang bagi eksperimentasi politis Membangun rasa saling percaya Menggunakan memori sosial sebagai sumber inovasi dan kebaruan
4 5
Uraian Melindungi hutan mangrove dekat masyarakat Menumbuhkan perikanan budidaya Menciptakan cagar alam ikan Kelompok pengelolaan sumberdaya lokal Melibatkan masyarakat dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya alam Amanat desentralisasi Input ke dalam kebijakan perikanan Tingkat komunikasi masyarakat Bagaimana orang menyesuaikan diri dengan sedimentasi yang terus berlangsung Mengingat dampak lebih sedikit
95
3. Indikator mengkombinasikan berbagai macam pengetahuan Indikator mengkombinasikan berbagai ragam pengetahuan melihat bahwa faktor pengetahuan dan pengalaman masyarakat dalam mengelola ekosistem akan memberi pelajaran tentang bagaimana merespon perubahan dan menjaga diversitas. Secara rinci uraian kriteria dari indikator mengkombinasikan berbagai ragam pengetahuan dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Uraian Rasionalisasi Penilaian Kriteria Mengkombinasikan Berbagai Ragam Pengetahuan 1 2 3 4 5
Indikator Membangun kapasitas monitoring lingkungan Membangun kapasitas pengelolaan partisipatif Membangun institusi untuk menjaga hasil pembelajaran, memori dan kreativitas Menciptakan mekanisme lintas batas untuk berbagi pengetahuan Mengkombinasikan pengetahuan lokal dengan ilmu pengetahuan
Uraian Ada sistem monitoring lingkungan Partisipasi pengelolaan sumberdaya Kelompok nelayan dan petani terlibat dalam pengelolaan sumberdaya Memberikan pembinaan terhadap masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya Mengatur waktu penangkapan ikan Selektivitas alat tangkap
4. Indikator mengkreasi kemungkinan bagi pengorganisasian diri Kemampuan pengorganisasian diri merupakan unsur penting dalam membangun ko-manajemen adaptif dan kapasitas adaptif. Suatu kesempatan untuk pengorganisasian diri dapat dilihat setelah krisis atau gangguan dalam tahap reorganisasi dan mungkin
merupakan peluang untuk sistem sosial-
ekologis. Indikator ini menciptakan kesempatan untuk pengorganisasian secara mandiri, secara rinci dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28. Uraian Rasionalisasi Penilaian Kriteria Menciptakan Kesempatan untuk Pengorganisasian secara Mandiri 1 2 3 4 5 6
Indikator Membangun kapasitas pengorganisasian secara mandiri Membangun mekanisme pengelolaan konflik Pengorganisasian secara mandiri untuk keadilan dalam akses dan alokasi sumberdaya Pengorganisasian secara mandiri dalam merespon kendali dari luar Menyerasikan skala ekosistem dan penataan Menciptakan penataan multitingkat
Uraian Pelatihan dan pembinaan masyarakat Adanya kelompok masyarakat Pengelolaan secara terpadu dan terkoordinir Mengambil keuntungan dari peluang pasar Penguatan kelembagaan dan ekonomi lokal Strategi pengelolaan berbasis masyarakat secara bertahap
96
Dari perspektif analisis resiliensi sosial-ekologis ini diharapkan diperoleh model manajemen adaptif yang berpotensi untuk membuat sistem sosial-ekologis tahan terhadap perubahan yang terjadi. Pengertian adaptif ko-manajemen adalah suatu struktur manajemen jangka panjang yang mengijinkan stakeholder untuk membagi bersama tanggung jawab manajemen di dalam suatu sistem spesifik dari sumberdaya alam, dan untuk belajar dari tindakan mereka” (Ruitenbeek and Cartier, 2001). Menurut Folke et al. (2002) adaptif ko-manajemen adalah suatu proses dimana pengaturan kelembagaan dan pengetahuan ekologi diuji dan ditinjau kembali dalam suatu dinamika, yang berkesinambungan, proses pengorganisasian dari learning-by-doing. Dan menurut Olsson et al. (2004) adaptif ko-manajemen adalah fleksibel, sistem berbasis masyarakat dari pengelolaan sumberdaya yang dikhususkan pada situasi dan tempat yang spesifik, dan didukung oleh dan bekerjasama dengan, berbagai organisasi pada skala yang berbeda. Siklus manajemen adaptifnya sendiri digambarkan oleh USDA USDI (1994) sebagaimana terlihat pada Gambar 29, merupakan siklus dengan empat fase. Dalam tahap pertama, rencana disusun, berdasarkan pada pengetahuan yang ada, tujuan organisasi, teknologi sekarang, dan inventaris yang ada. Dalam tahap dua, tindakan diaktifkan. Tahap tiga melibatkan monitoring hasil tindakan, dan di dalam tahap empat hasil dievaluasi. Siklus bisa kemudian dimulai kembali, didorong dengan
munculnya pengetahuan dan pengalaman. Hasilnya dapat
divalidasi dengan praktek dan kebijakan yang ada atau mengungkapkan
Gambar 29. Siklus Manajemen Adaptif (USDA USDI, 1994)
Tindakan
Evaluasi
kebutuhan akan perubahan dalam alokasi.
97
3.4.2 Analisis Stakeholder Analisis stakeholder adalah suatu sistem pengumpulan informasi mengenai kelompok
atau
menjelaskan
individu
kemungkinan
yang
terkait,
konflik
mengkategorikan
antar
kelompok,
informasi,
dan
kondisi
yang
dan
memungkinkan terjadinya trade-off (Brown et al., 2001). Proses penentuan stakeholder dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1) mengidentifikasi sendiri berdasarkan pengalaman dalam pembangunan wilayah (berkaitan dengan perencanaan kebijakan pemerintah), dan 2) mengidentifikasi berdasarkan hasil identifikasi dan verifikasi stakeholder lain (teknik snowball). Berdiskusi dengan stakeholder yang teridentifikasi pertama kali dapat mengungkapkan pandangan mereka tentang keberadaan stakeholder penting lain yang berkaitan dengannya. Metode ini juga dapat membantu pengertian yang lebih mendalam terhadap kepentingan dan keterkaitan stakeholder. Untuk
memudahkan
identifikasi
stakeholder,
setiap
stakeholder
dikategorikan ke dalam lima kategori yakni: 1) pemerintah (pengambil kebijakan dan lembaga legislatif), 2) swasta (pengusaha dan lembaga donor), 3) tokoh masyarakat, 4) lembaga swadaya masyarakat dan organisasi sosial lainnya, serta 5) pakar dan profesional. Selanjutnya kategori ini dibagi ke dalam empat tingkatan stakeholder (level of continuum), yakni nasional, regional, local off-site, dan local in-site. Berdasarkan tabel stakeholder tersebut dilakukan analisis kepentingan (importance) dan pengaruh (influence) masing-masing stakeholder dalam kaitan dengan pemanfaatan sumberdaya laguna. Kepentingan dalam hal ini merujuk pada peran seorang stakeholder di dalam pencapaian output dan tujuan serta menjadi fokus pertimbangan terhadap keputusan yang akan dibuat sedangkan pengaruh merujuk pada kekuatan yang dimiliki seorang stakeholder untuk mengontrol proses dan hasil dari suatu kebijakan (IIED, 2001; Mardle, 2003). Kegiatan ini dilakukan dengan teknik wawancara dan kuesioner terhadap wakil dari semua stakeholder yang teridentifikasi dari hasil identifikasi stakeholder. Indikator yang digunakan dalam menilai tingkat kepentingan adalah: 1) sumberdaya alam, 2) sumberdaya manusia, 3) ekonomi/finansial, 4) informasi dan teknologi, dan 5) kelembagaan; sedangkan indikator dalam menilai pengaruh stakeholder disajikan pada Tabel 29.
98
Tabel 29. Indikator Pengaruh Stakeholder terhadap Pembangunan Wilayah Pesisir Organisasi formal Hirarki resmi (perintah dan pengawasan, pemegang anggaran) Otoritas kepemimpinan (formal dan informal, kharisma, politis, kekeluargaan) Kendali terhadap sumberdaya strategis dalam pembangunan wilayah Penguasaan terhadap pengetahuan/keterampilan khusus Posisi negosiasi (kekuatan mempengaruhi stakeholder lainnya)
Kelompok informal Status sosial, ekonomi dan politik Tingkat organisasi, konsensus dan kepemimpinan dalam kelompok Tingkat pengendalian terhadap sumberdaya strategis Pengaruh informal melalui hubungan dengan stakeholder lain Tingkat ketergantungan terhadap stakeholder lain
Skor yang diperoleh dari setiap responden dianalisis dengan statistik deskriptif yakni modus (untuk setiap item pertanyaan) dan rata-rata untuk total skor.
Hasil
dari
penentuan
kepentingan
dan
pengaruh
masing-masing
stakeholder terhadap kegiatan akan disajikan dalam bentuk grafik hubungan antara tingkat kepentingan dengan pengaruh yang disebut stakeholder grid. Grafik stakeholder grid menunjukkan posisi stakeholder dalam pemanfaatan
Kepentingan
sumberdaya laguna Segara Anakan seperti disajikan pada Gambar 30.
Stakeholder primer
Stakeholder sekunder
Stakeholder eksternal
Pengaruh Gambar 30. Kategori Stakeholder berdasarkan Tingkat Pengaruh dan Kepentingan (Brown et al, 2001)
99
Kategori stakeholder dari hasil pemetaan tersebut digunakan untuk penentuan stakeholder yang terlibat dalam penentuan kriteria, skenario dan perumusan strategi pembangunan wilayah pesisir. Preferensi stakeholder primer dan sekunder sangat penting karena merupakan stakeholder yang memiliki derajat kepentingan yang relatif tinggi.
3.4.3. Analisis Latar Sejarah (Historical Analysis) Metode latar sejarah adalah proses yang menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau (Gottschlak, 1975). Dengan mengadaptasi metode yang dilakukan oleh Kartodirdjo (1983), metode ini digunakan untuk menganalisis perubahan lingkungan yang terjadi di Segara Anakan akibat sedimentasi, tekanan penduduk, dan dinamika politik yang terjadi di Segara Anakan dalam rentang waktu tertentu. Rentang waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebelum dan sesudah dialaminya penyusutan laguna Segara Anakan.
3.4.4. Analisis Dinamika Sistem Sosial-Ekologis Dalam penelitian ini akan dikaji dinamika sosial-ekologis dengan tujuan untuk mulai membangun kapasitas untuk resiliensi sistem sosial-ekologis. Penelitian ini difokuskan pada interaksi lokal antara manusia dan lingkungannya dalam rangka mengidentifikasi mekanisme sosial dalam hubungan dengan ketidak-pastian dan perubahan di dalam pengelolaan ekosistem. Gambar 31 menguraikan suatu titik awal untuk analisa ini, alat penghubung antara sistem sosial dan ekologi. Fokusnya adalah pengetahuan dinamika ekosistem dan bagaimana penggunaanya dalam praktek pengelolaan untuk mempererat umpan balik. Selain itu akan ditunjukkan juga bagaimana praktek ini ditempelkan dalam kelembagaan dan struktur dan proses organisasi dalam hubungannya dengan resiliensi dalam sistem sosial-ekologi.
100
Gambar 31. Kerangka Konseptual untuk Analisis Sistem Sosial-Ekologis
3.4.5. Analisis Keberlanjutan Mata Pencaharian (Coastal Livelihood System Analysis – CLSA)
Masyarakat
Pesisir
CLSA merupakan salah satu penilaian yang objektif dalam menentukan keberlanjutan mata pencaharian masyarakat pesisir (Adrianto, 2005). Hal ini sejalan dengan konsep keberlanjutan mata pencaharian yang dikembangkan oleh DFID (2003). Adapun kerangka kerja yang digunakan sebagaimana yang dapat dilihat pada Gambar 32 berikut ini:
Gambar 32. Kerangka Konseptual untuk Analisis Keberlanjutan Mata Pencaharian (DFID, 2003)
101
Tahapan yang dilakukan adalah: 1. Identifikasi tekanan dan gangguan yang dapat menyebabkan kerentanan mata pencaharian pada masyarakat Segara Anakan. 2. Identifikasi aset mata pencaharian yang dimiliki masyarakat, meliputi: modal manusia, modal sumberdaya alam, modal keuangan, modal fisik dan modal sosial. 3. Menyusun strategi pilihan mata pencaharian. Pada tahapan identifikasi aset mata pencaharian yang dimiliki masyarakat yaitu: modal manusia, modal sumberdaya alam, modal keuangan, modal fisik dan modal sosial yang secara berturut-turut diskor sebagaimana disajikan pada Tabel 30 – 34 dengan cara berikut: Tabel 30. Kriteria dan Skoring Kondisi Aset Alam No 1 2 3
Kriteria aset alam Tidak ada laguna Tidak ada mangrove Tidak ada ekosistem pesisir
0 0 0
1 1 1
Skor 2 2 2
3 3 3
4 5 6 7 8 9 10
Tidak ada oceanografi Tidak ada pantai Tidak ada air bersih Tidak ada lahan pekarangan Tidak ada pertanian Tidak ada perikanan Tidak ada peternakan
0 0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2 2
3 3 3 3 3 3 3
Kriteria aset alam Laguna luas Mangrove luas Ekosistem pesisir dalam kondisi baik Oceanografi kondusif Pantai dalam kondisi baik Air bersih melimpah Lahan pekarangan luas Pertanian produktif optimal Perikanan produktif optimal Peternakan produktif optimal
102
Tabel 31. Kriteria dan Skoring Kondisi Pendidikan dan Kesehatan No 1 a a1 a2 a3 b b1 b2 b3 b4 2 a b c d e
Kriteria aset manusia Pendidikan Fisik Tidak ada sarana prasarana pendidikan Biaya sekolah tidak terjangkau Jumlah guru kurang/terbatas Sosial Tidak ada kesadaran Tidak ada partisipasi Tidak ada pendidikan masyarakat Tidak ada keterampilan berusaha Kesehatan Tidak ada sarana prasarana Tidak ada tenaga ahli Tidak ada pelayanan Tidak ada kesadaran masyarakat Tidak ada partisipasi masyarakat
Aset
Skor
Manusia
dengan
Indikator
Kriteria aset manusia
0
1
2
3
0
1
2
3
Sarana prasarana pendidikan baik Tidak ada biaya sekolah
0
1
2
3
Jumlah guru cukup
0 0 0
1 1 1
2 2 2
3 3 3
Kesadaran masyarakat baik Partisipasi masyarakat baik Pendidikan masyarakat baik
0
1
2
3
Keterampilan berusaha baik
0
1
2
3
0 0 0
1 1 1
2 2 2
3 3 3
0
1
2
3
Sarana prasarana kesehatan baik Tenaga ahli handal Pelayanan kesehatan baik Kesadaran masyarakat tentang kesehatan baik Partisipasi masyarakat tentang kesehatan baik
Tabel 32. Kriteria dan Skoring Kondisi Aset Sosial No 1 2 3 4 5 6
Kriteria aset sosial Tidak ada sistem pengelolaan sumber daya pesisir Tidak ada lembaga sosial Tidak ada jaringan sosial Tidak ada adat budaya Tidak ada tingkat konflik Tidak ada adopsi pengaruh luar
0
Skor 1 2
3
0 0 0 0 0
1 1 1 1 1
3 3 3 3 3
2 2 2 2 2
Kriteria aset sosial Sistem pengelolaan sumber daya pesisir baik Lembaga sosial berfungsi baik Jaringan sosial kuat Adat budaya produktif kuat Tingkat konflik meluas Mudah mengadopsi pengaruh luar
103
Tabel 33. Kriteria dan Skoring Kondisi Aset Keuangan No 1
3
Kriteria aset keuangan Tidak ada lembaga keuangan formal Tidak ada lembaga keuangan non formal Tidak ada pendapatan
4
Tidak ada tabungan
0
1
2
3
5
Tidak ada proyek bantuan
0
1
2
3
2
0
Skor 1 2
3
0
1
2
3
0
1
2
3
Kriteria aset keuangan Lembaga keuangan formal ada dan berfungsi Lembaga keuangan non formal ada dan berfungsi Pendapatan cukup dan meningkat Memiliki tabungan masa depan Proyek bantuan diberikan
Tabel 34. Kriteria dan Skoring Kondisi Aset Buatan No 1 2
Kriteria aset buatan Tidak ada dermaga Tidak ada jalan/ transportasi
0 0
1 1
Skor 2 2
3 3
3 4 5 6 7 8
Tidak ada air bersih Tidak ada MCK Tidak ada pasar Tidak ada jembatan Tidak ada PPI Tidak ada jaringan listrik
0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2
3 3 3 3 3 3
9
Tidak ada jaringan telepon
0
1
2
3
10
Tidak ada rumah permanen
0
1
2
3
11
Tidak ada tempat ibadah
0
1
2
3
Kriteria aset buatan Dermaga ada dan berfungsi Jalan/transportasi ada dan berfungsi Air bersih melimpah MCK ada dan berfungsi Pasar ada dan berfungsi Jembatan ada dan berfungsi PPI ada dan berfungsi Jaringan listrik ada dan berfungsi Jaringan telepon ada dan berfungsi Rumah permanen ada dan berfungsi Tempat ibadah ada dan berfungsi
3.4.6. Multi Criteria Decision Making (MCDM) Secara umum analisis Multi Criteria Decision Making (MCDM) sama dengan Analisis Hirarki Proses (AHP), dimana struktur AHP adalah bagian dari MCDM, bobot suatu alternatif yang harus diambil didasarkan pada kriteria yang dipertimbangkan, kemudian disusun berdasarkan matrik (Gibbon et al. 1996). Metode MCDM sudah banyak digunakan, dikembangkan dan diakomodasikan untuk menghadapi berbagai kriteria yang ada dalam pengambilan keputusan tanpa melakukan konversi pada unit pengukuran dalam pengambilan keputusan dengan banyak kriteria.
104
Analisis multi kriteria memerlukan sejumlah pendekatan dengan terlebih dahulu menghitung banyak kriteria untuk membentuk struktur dan proses pengambilan keputusan. Untuk mendukung analisis ini ada beberapa teknik yang dapat digunakan yaitu Simple Multi Attribute Rating Technique (SMART), Visual Interactive Sensitivity Analysis (VISA) dan Preference Ratios In Multiattribute Evaluation (PRIME). Bidang analisis multi kriteria memerlukan sejumlah pendekatan untuk menghitung kriteria yang banyak guna membentuk struktur pendukung proses pengambilan keputusan. Penggunaan teknik MCDM pada beberapa bidang ditentukan oleh beberapa faktor, yakni: (a) teknik MCDM mempunyai kemampuan dalam menangani jenis data yang bervariasi (kuantitatif, kualitatif dan campuran) dan pengukuran yang intangibel, (b) teknik MCDM dapat mengakomodasi perbedaan yang diinginkan dalam penentuan kriteria, (c) skema bobot yang bervariasi untuk suatu prioritas atau pandangan dari stakeholders yang berbeda, dapat diterapkan dalam MCDM, (d) tidak membutuhkan penentuan nilai ambang seperti pada operasi overlay, sehingga kehilangan informasi yang dihasilkan tidak terjadi akibat penurunan skala dari variabel yang countinue pada skala nominal, dan (e) prosedur analisis atau agregasi dalam teknik MCDM relatif sederhana (Jankowski, 1994; Carter, 1991; Jasen dan Rieveld, 1990 dalam Subandar, 2002). Teknik ini bertujuan mengakomodasi proses seleksi yang melibatkan kriteria (multi objective) dalam mengkalkulasi pemrasaran diantara kriteria konflik yang terjadi. Bidang analisis ini memerlukan sejumlah pendekatan dengan menghitung banyak kriteria untuk membentuk struktur yang mendukung proses pengambilan keputusan. Menurut Jankowski (1995) diacu dalam Subandar (2002), secara umum pelaksanaan teknik MCDM dibagi menjadi tiga, yaitu: (a) penentuan (penetapan) alternatif, (b) penentuan nilai (skor) masing-masing kriteria, dan (c) prioritas pembuatan keputusan (decision making preferences). Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan penentuan prioritas untuk meningkatkan resiliensi masyarakat di laguna Segara Anakan dilakukan dengan metode scoring atau pembobotan yang merupakan penyatuan dari berbagai parameter terkait. Sementara itu skor yang digunakan untuk penilaian terhadap elemen-elemen yang diteliti, dinyatakan secara numerik (skala 1 hingga 9)
105
dengan mengunakan skala Saaty (1991). Teknik skoring Saaty yang digunakan dalam penelitian ini seperti yang dapat dilihat pada Tabel 35. Tabel 35. Skor Saaty yang Digunakan dalam FGD Penelitian Resiliensi Masyarakat di Laguna Segara Anakan Skor 1 3 5 7 9 2, 4, 6, 8
Arti Tidak penting Kurang penting Agak penting Penting Sangat penting Nilai antara kualitatif
Sumber: Saaty (1991)
Alternatif yang ditetapkan merupakan pilihan-pilihan
yang relevan,
seterusnya dari alternatif yang telah ditetapkan, disusun kriteria-kriteria yang mempengaruhi alternatif pilihan. Masing-masing kriteria yang telah disusun diberi nilai. Nilai dapat berupa kuantitatif, kualitatif maupun campuran. Proses normalisasi nilai dari masing-masing kriteria dapat dilakukan dengan menggunakan prosedur standar linier dan non-linier. Sedangkan prioritas pembuatan keputusan dapat diformulasikan dari kriteria yang diambil, dengan membentuk nilai sendiri (maksimum atau minimum) atau sesuai dengan tingkat keinginan. Proses pemberian nilai menggunakan fungsi agregasi tunggal atau ganda yang menghasilkan satu atau beberapa buah solusi (alternatif). Pengelolaan sumberdaya alam, merupakan masalah yang multi kriteria dan multi objektif sehingga diperlukan suatu teknik evaluasi yang saling berhubungan untuk mendukung proses pembuatan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Teknik MCDM merupakan suatu teknik yang cukup baik diterapkan karena bertujuan untuk memberikan alternatif terbaik dengan mengakomodasi proses seleksi yang melibatkan beragam kriteria (multi criteria) dalam pemilihan alternatif (Gumbriech, 1996).
3.4.7. Analisis Eksternalitas Pendekatan yang dapat digunakan dalam pengelolaan sumberdaya laguna dalam hal ini potensi perikanan dapat dilakukan dengan pendugaan nilai eksternalitas melalui identifikasi manfaat dan biaya (Benefit – Cost). Identifikasi eksternalitas baik positif maupun negatif terhadap pemanfaatan ekosistem mangrove di laguna Segara Anakan dibatasi pada manfaat dari ekosistem
106
mangrove yang bersifat langsung dan tidak langsung. Pendekatan kuantifikasi manfaat ekonomi dilakukan dengan beberapa metode valuasi ekonomi berdasarkan data primer dan data sekunder yang diperoleh di lapangan.
3.4.7.1.
Eksternalitas Positif
Untuk mengetahui nilai eksternalitas positif dari pengembangan tambak pada ekosistem mangrove di kawasan Laguna Segara Anakan, dilakukan perhitungan besar manfaat dan besarnya biaya. Kegiatan budidaya tambak merupakan bentuk opportunity cost dari lahan mangrove, karena konversi lahan mangrove menjadi tambak akan memberikan keuntungan dalam jangka pendek bagi petambak, tetapi kegiatan ini juga akan berdampak pada pemanfatan mangrove lainnya, seperti penangkapan benur, kepiting dan lainnya. Opportunity cost merupakan metode yang dapat dipakai untuk menghitung nilai ekonomi suatu proyek pemanfatan lahan pesisir. Teknik ini dapat melihat hasil atau keuntungan yang diperoleh dari alternatif investasi yang diabaikan. Menurut Fachrudin (2005), integritas analisis ekonomi-ekologi teknik ini sama dengan pendekatan perubahan produktivitas (productivity change). Hanya dalam pendekatan ini investasi di bidang lain digunakan sebagai acuan (tolok ukur) dari turunnya produktivitas akibat kerusakan lingkungan.
3.4.7.2.
Eksternalitas Negatif
Adanya pengembangan tambak pada lahan mangrove, telah memberikan eksternalitas negatif berupa hilangnya nilai ekonomi ekosistem mangrove secara mangsung dan tidak langsung. a. Manfaat yang hilang secara langsung Manfaat langsung yang diidentifikasi sebagai manfaat yang hilang akibat pengembangan tambak ini merupakan output (barang dan jasa) yang terkandung
dalam
suatu
sumberdaya
yang
secara
langsung
dapat
dimanfatakan atau : ML = MLH + MLP Dimana : MLH MLP
= manfaat langsung, total hasil hutan seperti kayu bakar, bibit alam, kepiting, dsb = manfaat langsung, total hasil perikanan seperti kepiting, udang, ikan, dsb.
107
b. Manfaat yang hilang secara tidak langsung Dalam konteks ekosistem mangrove, nilai pakai tidak langsung didefinisikan sebagai nilai fungsi ekosistem mangrove dalam mendukung atau melindungi aktivitas ekonomi atau sering disebut sebagai “jasa lingkungan”. Sebagai contoh, fungsi ekosistem mangrove sebagai penahan gelombang secara teoritis akan melindungi kawasan pertanian, pemukiman dan kawasan properti lainnya yang erada di belakang ekosistem ini (Adrianto 2004). Nilai
ini
dapat
diestimasi
dengan
menggunakan
pendekatan
replacement cost / damage avoided cost yang diaplikasikan untuk fungsi ekosistem mangrove sebagai penahan gelombang (buffer zone) dan pengurangan pencemaran. Biaya rehabilitasi per hektar mangrove dapat digunakan sebagai proksi bagi replacement cost (Adrianto 2005b). IUV = (Cr/m2) X M Dimana :
IUV = Manfaat tidak langsung Cr = biaya rehabilitasi mangrove per hektar atau m2 M = luas hutan mangrove (ha atau m2)
Estimasi manfaat ekosistem mangrove sebagai nursery ground, spawning ground dan feeding ground bagi biota perairan didekati dari hasil tangkapan nelayan untuk ikan di wilayah laut sekitarnya. Menurut Adrianto (2004) teknik pengukuran untuk menilai manfaat tersebut adalah pendekatan produktivitas (productivity approach).
3.5. Organisasi Penulisan Sistematika penulisan disertasi ini terdiri atas enam bab sebagai berikut, Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Gambaran Umum Lokasi Penelitian, Metode Penelitian, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan dan Saran yang secara garis besar penjelasan isi dari setiap bab tersebut diuraikan lebih lanjut. Bab I, Pendahuluan membahas latar balakang permasalahan sistem sosial-ekologis di Laguna Segara Anakan, khususnya masyarakat Kampung Laut. Pada latar belakang tercermin kompleksitas permasalahan di Segara Anakan dan tingkat urgensi untuk menemukan alternatif mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan yang melingkunginya. Dari sini kemudian dirumuskan permasalahan spesifik yang perlu dikaji, disertai dengan tujuan, kegunaan dan ruang lingkup kajian. Untuk merumuskan kajian secara rinci, disusun kerangka konseptual penelitian berdasarkan hasil studi kepustakaan. Sumber kepustakaan
108
yang penting dalam penyusunan bab tersebut berasal dari data-data BPKSA. Selain itu, beberapa hasil penelitian dan pustaka berupa buku, artkel dan karya ilmiah digunakan dalam mendukung perumusan maslah dan kerangka konseptual pendekatan. Bab II, Tinjauan Pustaka meliputi pemaparan hasil penelusuran melalui pustaka yang mendukung berbagai aspek dalam kajian secara lebih lengkap. Bab tersebut terdiri atas topik kajian, yaitu yang berkaitan dengan kenyataan empiris di lapangan, baik data di Segara Anakan, nasional maupun internasional. Kerangka teoritik terutama dimunculkan teori yang relevan dengan aspek perencanaan sosial dan partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan ekosistem laguna. Bab III, Metode Penelitian membahas secara rinci berbagai hal yang berkaitan dengan metode dan pelaksanaan penelitian, waktu penelitian, metode pengumpulan dan analisis data, sampai dengan metode perumusan strategi mitigasi dan adaptasi dalam menghadapi perubahan sistem sosial-ekologis. Penelitian ini menghasilkan model resiliensi masyarakat di laguna Segara Anakan saat ini untuk kemudian menjadi titik tolak dalam penyusunan perencanaan pengelolaan laguna Segara Anakan berbasis masyarakat. Oleh karena itu metode penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Bab IV, Gambaran Umum Lokasi Penelitian membahas beberapa aspek yang berkaitan dengan penelitian, yang menjadi karakteristik dari wilayah penelitian. Aspek ekologi dan aspek sosial-ekonomi serta sistem pemanfaatan saat ini, merupakan bagian dari bab tersebut termasuk karekteristik responden dalam penelitian. Melalui kajian wilayah penelitian yang mencukupi, diharapkan dapat menjadi dasar dalam pembahasan yang lebih rinci dalam bab berikutnya terutama hasil dan pembahasan. Bab V, Hasil dan Pembahasan menggambarkan secara komprehensif penelitian ini dalam menjawab tujuan. Dimulai dengan model sistem SES yang ada di kawasan laguna Segara Anakan, kemudian analisis keberlanjutan mata pencaharian masyarakatnya, analisis kerentanan, analisis resiliensi sosialekologis, analisis eksternalitas dan penyusunan model resiliensi masyarakat. Bab VI, Kesimpulan dan Saran.
109
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kawasan Segara Anakan merupakan wilayah laut (segara) yang terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Nusakambangan, dan secara administratif termasuk dalam Kabupaten Cilacap, Propinsi Jawa Tengah. Kawasan ini terdiri atas daratan 11.940 ha, perairan rawa bakau 29.400 ha dan perairan rawa payau 4.000 ha.
4.1.
Sistem Ekologi
4.1.1. Sistem Boundary Secara geografis, kawasan Segara Anakan terletak pada koordinat 7035’ 7050’ Lintang Selatan dan 108045’ - 10903’ Bujur Timur, yang dipengaruhi oleh dua musim, yaitu musim hujan yang terjadi pada bulan November - April dan musim kemarau pada bulan Juli - September. Suhu rata-rata bulanan adalah sekitar 26,70C dengan rata-rata sinar matahari 100% pada kisaran 8 jam yaitu pukul 08.00 – 16.00 (LPPM, 1998; PKSPL-IPB, 1998). Kawasan Segara Anakan terdiri dari perairan (laguna), vegetasi hutan bakau (mangrove) dan pemukiman masyarakat Kampung Laut. Segara Anakan merupakan laguna tempat bermuaranya beberapa sungai, yakni sungai Citanduy, Cikonde, Cibeureum, Ujung Alang, Kembang Kuning, dan Donan. Sungai-sungai tersebut berasal dari dua DAS besar, yaitu DAS Citanduy dan DAS Segara Anakan. DAS Citanduy memiliki luas sekitar 350.000 ha, DAS Segara Anakan memiliki luas 96.000 ha dengan sungai-sungai utamanya Cikonde, Cibeureum, dan Ujung Alang yang relatif pendek dan berhulu di perbukitan rendah di sebelah utara Sidareja (Napitupulu dan Ramu, 1982). Sungai Citanduy sebagai sungai terbesar dan menyumbang sekitar 80% debit yang masuk ke laguna selain sungai lainnya. Segara Anakan merupakan suatu laguna yang dipengaruhi oleh dua massa air yang berbeda, yaitu massa air laut yang berasal dari Samudra Hindia melalui kedua celah (timur dan barat) dan massa air tawar yang berasal dari sungaisungai yang bermuara ke laguna. Air laut yang masuk ke Segara Anakan pada waktu pasang bercampur dengan massa air tawar dari Sungai Citanduy, kemudian didistribusikan ke laguna utama dan ke sungai-sungai dan ke kawasan hutan mangrove. Pada saat surut, air tawar dari Sungai Citanduy langsung masuk ke Samudra Hindia melalui celah sebelah barat. Massa air beserta
110
partikel lumpur yang dikandungnya tertahan di sekitar celah sebelah barat selama air surut. Pada saat air pasang tinggi berikutnya, setelah terjadi percampuran dengan massa air laut, massa air tersebut akan mengalami resirkulasi kembali ke Laguna (PKSPL-IPB, 1999). Kondisi alamiah semacam ini telah menyebabkan Segara Anakan menjadi suatu kawasan estuaria yang khas dimana proses-proses biofisik yang terjadi di kawasan ini sekaligus juga dipengaruhi oleh tiga ekosistem utama yang berbeda namun saling berinteraksi, yaitu: ekosistem laut (marine ecosystem), ekosistem estuaria (estuarine ecosystem) dan ekosistem darat (upland ecosystem). Perairan estuaria merupakan wilayah yang mendapat tekanan kerusakan lingkungan yang besar terutama pencemaran, sebagai akibat dari berbagai jenis kegiatan manusia di daratan maupun di wilayah pesisir itu sendiri. Kondisi perairan yang tercemar memperparah kualitas dan kuantitas dari sumberdaya perikanan di wilayah ini. Kawasan Segara Anakan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) ditetapkan sebagai salah satu kawasan pesisir dengan perhatian khusus yang harus dipertahankan keasliannya karena laguna semi tertutup ini memiliki potensi ekologis yang unik, khas dan lengkap. Keunikan dan kekhasannya terletak pada sebagian besar ekosistemnya yang didominasi oleh ekosistem mangrove yang merupakan terluas yang tersisa di Pulau Jawa. Berbagai fungsi penting sekaligus melekat pada kawasan ini yaitu fungsi ekologis (konservasi), ekonomis dan sosial. Secara ekologis kawasan ini merupakan spawning ground dan nursery ground biota laut yang menentukan hasil tangkapan nelayan di selatan Jawa, sebagai penahan dan perangkap lumpur dan penahan intrusi air laut dan penyangga keanekaragaman hayati berbagai satwa langka seperti burung dan ikan pesut (Orchaella sp.). Segara Anakan yang terletak di Pantai Selatan Pulau Jawa adalah suatu laguna yang unik dengan ekosistem yang langka. Kawasan ini terletak di perbatasan wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Cilacap, Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Daerah Tingkat II Ciamis, Propinsi Jawa Barat. Posisinya terlindung dari hempasan ombak Samudra Hindia oleh Pulau Nusakambangan namun tetap terhubung dengan samudera ini melalui dua kanal penghubung yaitu kanal Timur (Kembang Kuning) dan kanal Barat (Plawangan). Adanya kedua kanal penghubung ini menyebabkan Segara Anakan tetap terpengaruh
111
oleh gerakan pasang surut air laut di samping memperoleh pasokan air tawar dari sungai-sungai yang bermuara di perairan Segara Anakan.
4.1.2. Kondisi Iklim Kawasan Laguna Segara Anakan dan sekitarnya dipengaruhi oleh dua musim yaitu musim hujan pada bulan Nopember sampai April yang membawa pengaruh terhadap kelimpahan ikan, nelayan Kampung Laut menyebutnya sebagai musim timur atau musim panen ikan. Sedangkan musim kemarau berlangsung dari bulan Juli sampai September adalah musim barat yang merupakan musim paceklik. Menurut klasifikasi iklim dari Smith-ferguson wilayah laguna dan sekitarnya termasuk ke dalam tipe iklim A, dengan curah hujan ratarata 3.444 mm/tahun atau rata-rata 7 – 137 mm/bulan pada musim kemarau dan 226,4 – 852 mm/bulan pada musim hujan. Suhu rata-rata 26,70C dengan siraman sinar matahari sepanjang tahun yang kisaran per harinya rata-rata selama 8 jam (pukul 08.00 – 16.00 WIB). Pergerakan air di laguna dipengaruhi aliran sungai yang banyak bermuara di sana dan pengaruh pasang surut perairan Lautan Samudera Hindia dengan tipe pasang surut campuran dengan dominasi semi diurnal yaitu dalam sehari terjadi 2 kali kejadian pasang dan 2 kali kejadian surut dengan kisaran fluktuasi pasang surut 0,4 sampai 1,9 meter. Salinitas air berubah-ubah sesuai irama pasang surut dimana salinitas tertinggi mencapai 33,3 ppm yang terjadi pada saat pasang tertinggi (PKSPL-IPB, 1999).
4.1.3. Kondisi Morfologi Morfologi laguna Segara Anakan dapat dilihat dari tiga ekosistem utama yang berbeda namun saling berinteraksi satu sama lain pada saat yang bersamaan yaitu: 1. Ekosistem dan Sumberdaya Laut Ekosistem laut yang mempengaruhi kawasan Segara Anakan adalah Perairan Samudera Hindia yang berada di sekitar pantai selatan Pulau Jawa dan Pulau Nusakambangan. Ekosistem laut ini mempengaruhi estuaria Segara Anakan melalui dua kanal penghubung yaitu kanal timur (Kembang Kuning) dan kanal barat (Plawangan). Di bagian timur, wilayah perairan laut yang terhubung dengan estuaria Segara Anakan berada di wilayah pantai Kota Cilacap yang seringkali sangat keruh airnya karena tercemar oleh
112
buangan hasil industri yang ada di sekitar kota tersebut. Perairan ini, sampai sejauh 10 km dari pantai, mempunyai edalaman rata-rata 20 m. Di bagian selatan Pulau Nusakambangan wilayah perairan laut ini menjadi lebih dalam. Sampai sejauh 6 km dari pantai selatan Pulau Nusakambangan kedalaman rata-ratanya mencapai 60 m. Perairan laut di sekitar kawasan Segara Anakan ini dipengaruhi oleh aliran arus pantai yang berubah-ubah mengikuti pergantian musim. Arus pantai ini mengalir ke arah timur pada bulan Nopember – Juni dan mengalir ke arah barat pada bulan Juli – Oktober. Proses upwelling kadang-kadang juga terjadi di perairan laut ini pada musim angin pasat tenggara. Aliran arus pantai ini amat penting fungsinya dalam penyebaran berbagai plankton untuk makanan ikan dan udang yang berada di perairan laut sekitar Segara Anakan. Satwa ikan yang hidup di perairan laut ini terdiri dari jenis ikan laut (spesies pelagis) dan jenis lainnya yang beruaya dari perairan estuaria Segara Anakan ke perairan laut di sekitarnya seperti tembang (Sardinella fimbriata), belanak (Mugil spp.) dan layur (Trichiurus spp.), cumi-cumi (Loligo spp.) dan udang laut juga banyak dijumpai di perairan laut ini. 2. Ekosistem dan Sumberdaya Darat Wilayah daratan di sekitar kawasan Segara Anakan sebagian besar telah dikonversikan penggunaannya dari semula daerah hutan pantai/mangrove menjadi daerah pertanian, pemukiman penduduk dan pertambakan udang. Studi ICLARM (1992) melaporkan bahwa luas wilayah daratan sekitar kawasan Segara Anakan – Cilacap yang telah berubah fungsinya menjadi daerah pertanian adalah seluas ± 30.836 ha. Hal ini dapat dimengerti mengingat lahan bekas hutan mangrove pada umumnya banyak mengandung unsur-unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman sehingga sangat subur untuk usaha budidaya pertanian. Wilayah daratan sekitar Segara Anakan sangat sesuai untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian padi. Kondisi lingkungan wilayah daratan di sekitar Segara Anakan juga dilaporkan sangat cocok untuk budidaya ternak. Namun demikian laporan studi ICLARM (1992) juga menyatakan bahwa kondisi lingkungan wilayah ini telah mulai terganggu oleh banyaknya ternak yang kini dibudidayakan oleh masyarakat setempat. Di samping sedimen yang dibawa oleh aliran sungai dari daerah hulu (perbukitan), di perairan Segara Anakan juga banyak terdapat sampah hasil
113
buangan dari pemukiman penduduk penduduk di sekitar perairan ini. Sampahsampah ini ternyata telah mempercepat proses sedimentasi dan pada saat membusuk menimbulkan bau dan rasa air yang tidak baik bagi kehidupan satwa
air
yang
ada
di
perairan
Segara
Anakan.
Daratan
Pulau
Nusakambangan (luas ± 10.300 ha) yang berada di sebelah Selatanwilayah perairan Segara Anakan kini juga telah mulai mengalami perubahan tata guna lahan (land use change). Sebagian dari wilayah hutan sekunder penutup daratan pulau ini (rainforest) kini telah dibuka untuk berbagai keperluan seperti antara lain penambangan batu gamping untuk memenuhi kebutuhan pabrik semen di Cilacap, perkebunan pisang dan juga pertambakan udang. Sejauh ini belum ada laporan tentang dampak negatif dari kegiatankegiatan tersebut di atas terhadap kondisi lingkungan Segara Anakan. Pulau Nusakambangan sampai saat ini masih merupakan satu-satunya sumber penyedia air tawar yang sehari-hari dibutuhkan oleh masyarakat di sekitar perairan Segara Anakan. 3. Ekosistem dan Sumberdaya Estuaria a. Hutan mangrove Seperti telah dikemukakan dalam uraian sebelumnya bahwa kawasan Segara Anakan merupakan satu-satunya wilayah di Pulau Jawa yang memiliki hutan mangrove yang terluas. Luasan ini pada mulanya mencapai ± 35.985 ha (± 21.185 ha terletak di sepanjang tepi laguna dan ± 14.100 ha lainnya terletak di wilayah rawa pasang surut di sekitar laguna). Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil survey terakhir, luasan
tersebut
di
atas
telah
menyusut
menjadi
12,227
ha
(Soemodihardjo, 1989). Ekosistem mangrove di kawasan Segara Anakan ini ternyata telah berubah seiring dengan perubahan yang terjadi pada kondisi topografi di sekitar laguna, fluktuasi pasang surut air laut dan polapola angkutan serta sebaran sedimen di perairan Segara Anakan tersebut. Perubahan ekosistem ini telah diteliti oleh Tim Ekologi IPB (1984) dan Soemodihardjo (1989). Hutan mangrove di kawasan Segara Anakan di samping berfungsi sebagai penyedia kayu bakar dan kayu untuk bahan bangunan untuk penduduk setempat serta tempat berlindung, memijah dan asuhan berbagai jenis satwa air komersial (ikan dan udang) juga merupakan habitat yang penting bagi berbagai burung dan satwa mamalia seperti
114
burung wador (termasuk burung wader migrasi) dan kera. Ada 85 jenis burung yang hidupnya bergantung pada hutan mangrove di kawasan ini. Hal yang terakhir ini mungkin tepat dijadikan dasar untuk mengembangkan fungsi selanjutnya dari hutan mangrove yang ada sebagai daerah wisata (Wana Wisata).
b. Laguna Laguna Segara Anakan adalah laguna yang unik. Perairan laguna Segara Anakan ini telah diteliti secara intensif pada tahun 1989 (White et al, 1989). Karakteristik hidrologi perairan Segara Anakan sangat dipengaruhi oleh debit sungai yang bermuara di perairan ini dan oleh gerakan pasang surut air laut. Salinitas air laguna ditentukan oleh ratio besarnya volume air laut dan air tawar yang masuk ke laguna yang selalu berubah setiap hari dan setiap musim. Tinggi interval pasang-surut air di laguna berkisar antara 0,4 – 0,9 m. Sebagian besar air laut yang masuk ke laguna berasal dari kanal penghubung di bagian barat (Plawangan); 26 juta m3 pada saat pasang air laut tinggi dan 10 juta m3 pada saat pasang air laut rendah. Karena kondisi topografinya yang relatif amat datar, maka pengaruh pasang surut dapat terjadi sampai ± 10 km ke dalam wilayah daratan di sekitar laguna (sampai dengan Dusun Panikel), tergantung dari tinggi interval pasang surut yang terjadi dan besar debit sungai pada saat itu. Pada saat musim hujan (volume air yang masuk ke laguna cukup besar) salinitas air laguna menjadi menurun (13 – 19 ppt), sedangkan pada musim kering salinitasnya dapat mencapai 25 – 33 ppt. Pola salinitas di laguna juga bervariasi berdasarkan tempatnya. Tingkat salinitas di bagian tengah laguna relatif lebih tinggi dari bagian lainnya yang terletak di tepi laguna. Sirkulasi air yang terjadi di perairan Segara Anakan utamanya hanya dipengaruhi oleh gerakan pasang surut air laut, karena perairan ini di samping terlindungi dari pengaruh ombak/gelombang laut oleh Pulau Nusakambangan juga karena lairan air sungai yang masuk ke perairan relatif sangat rendah kecepatannya.
115
Produksi primer dari laguna Segara Anakan bervariasi antara 210 – 267 C/m3 per hari (Tim Ekologi IPB, 1984). Laguna ini mempunyai kemamopuan menyediakan phytoplankton dan zooplankton yang beragam jenisnya dan dalam jumlah yang cukup lebih tinggi yang bervariasi sesuai dengan kondisi musim. Pada saat terjadi kenaikan jumlah air tawar di laguna, populasi plankton pada umumnya untuk sementara berkurang (ECI, 1987; Tim Ekologi IPB, 1984). Komunitas plankton di laguna diperkirakan mempunyai kepadatan rata-rata sebesar 3.900 plankton/l. Kepadatan ini meningkat menjadi sebesar 5.270 individu/l pada bulan Juli dan Agustus. Lumpur di dasar laguna merupakan tempat hidup bagi berbagai invertebrata makrobentik dan yang paling dominan adalah gastropoda thiara yang di dekat Cibeureum kepadatannya mencapai 630 – 1500 individu/m3. Plankton dan organisme benthic yang banyak terdapat di perairan Segara Anakan ini merupakan suatu sumber makanan yang baik bagi jenis-jenis ikan dan krustacea yang bernilai impor tinggi. Dari hasil penelitian oleh Tim Ekologi IPB (1984) telah diidentifikasi adanya 45 jenis ikan yang hidup di Segara Anakan dimana 12 jenis diantaranya merupakan “warga” tetap di perairan ini. Larva udang dan ikan juga ditemukan cukup banyak di kanal timur dan barat. Ini menunjukkan adanya ketergantungan antara wilayah perairan laut lepas dengan laguna. Laguna Segara Anakan serta kanal-kanal di sekitarnya telah lama dimanfaatkan sebagai media perhubungan antar desa di kawasan ini yang sampai sekarang belum saling terhubungkan dengan jalan darat serta sebagai jalan lalu lintas angkutan penyeberangan dari Kalipucang ke Cilacap dan sebaliknya. Jalan lalu lintas penyeberangan ini sangat disukai oleh wisatawan dari mancanegara.
4.2. Sistem Sosial Ekonomi 4.2.1. Pemerintahan dan Demografi Kampung Laut adalah nama perkampungan di kawasan Segara Anakan yang terdiri dari 4 wilayah desa, yaitu: Desa Ujung Alang, Desa Ujung Gagak, Desa Panikel dan Desa Klaces. Kampung Laut sudah menjadi Kecamatan Pembantu sejak tahun 2001, di bawah wilayah administrasi Kecamatan Kawunganten Kabupaten Cilacap Jawa Tengah dengan pusat pemerintahan di
116
Klaces. Batas-batas administrasi Desa di kawasan Segara Anakan dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36. Batas Administrasi Desa-Desa di Kampung Laut Desa Ujung Alang Ujung Gagak
Panikel Klaces
Sebelah Utara Pojok Tiga, Ujung Gagak, Panikel Gintungreja, Bantarsari Bantarsari, Rawajaya Ujung Alang
Batas Desa Sebelah Selatan Sebelah Timur Nusakambangan Bondan Kalirawa Kota Cilacap Nusakambangan
Panikel, Ujung Alang
Ujung Alang, Ujung Gagak Nusakambangan
Ujung Gagak
Sebelah Barat Karang Braja Ujung Gagak Cimrutu dan Kalipucang Kab. Ciamis Jawa Barat Binangun, Bringkeng Laguna Segara Anakan
Ujung Gagak
Sumber: Monografi Desa Ujung Alang, Ujung Gagak, Panikel dan Klaces, 2009
4.2.2. Kegiatan Ekonomi Sebagian besar penduduk Kampung Laut bermata pencaharian sebagai nelayan (47,05%). Nelayan yang ada sebagian besar adalah nelayan laguna, dan sebagian kecil (8,5% atau 240 orang) adalah nelayan samudera. Para nelayan terutama tinggal di Dusun atau Grumbul Motean, Muaradua dan Karanganyar. Profesi petani menempati urutan kedua (23,9%), petani terutama tinggal di Grumbul Lempongpucung, Kelapakerep, Pesuruan, Bugel, Kalenbener, Panikel, Pelindukan dan Cibeureum. Sebaran penduduk desa di Kampung Laut berdasarkan jenis mata pencaharian utama secara rinci dapat dilihat pada Tabel 37 berikut ini. Tabel 37. Sebaran Penduduk Desa Usia 10 Tahun ke atas di Kampung Laut berdasarkan Jenis Mata Pencaharian Utama, 2003 - 2008 No 1 2 3 4 5 6 7 Total
Jenis Mata Pencaharian Buruh tani Nelayan Buruh industri Buruh bangunan PNS TNI/ Polri Pensiunan
Tahun 2003 1.740 2.341 40 360 43 0 2 4.526
2004 1.756 2.332 35 380 38 0 2 4.543
Sumber: Kecamatan Kampung Laut dalam Angka, 2003 - 2008
2005 1.776 2.127 35 380 40 4 5 4.367
2006 1.785 2.127 35 380 45 4 5 4.381
2007 1.535 2.093 35 198 39 7 5 3.912
2008 1.535 2.093 35 98 39 7 5 3.912
117
4.2.2.1. Perikanan Kegiatan utama perekonomian Kampung Laut adalah perikanan baik perikanan baik perikanan tangkap ataupun budidaya. Kegiatan penangkapan terutama dilakukan di laguna Segara Anakan. Perikanan budidaya yang dilakukan adalah tambak. Hasil tangkapan di kawasan ini adalah ikan, udang (golongan rebon, krosok, dogol dan jerbung), kepiting (termasuk rajungan) dan kerang. Namun skala pengusahaannya masih kecil dan masih sangat tergantung kepada musim serta pemasarannya sangat tergantung kepada bakul, karena belum adanya tempat pendaratan seperti tempat pelelangan ikan (TPI/PPI) atau koperasi. Tabel 38 berikut menyajikan jenis-jenis ikan yang biasa ditangkap nelayan Kampung Laut di lagunan Segara Anakan. Tabel 38. Jenis Biota Laut yang Tertangkap di Laguna Segara Anakan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Nama Lokal Lendra Belanak Blibiran Liah Tombol Kacangan Kada Silar Sangga Langit Pe Petek Balong Remang Bandeng Pekas Layur Teri Kepiting bakau/rajungan Totok/kerang sungai Kerang bulu Kerang darah
Nama Ilmiah Cynoglosus cynoglosus Mugil spp. Thryssa malabarian Septipiana papuensis Johnius spp. Bombonia Eleutheronema spp. Caranx spp. Glossogobius spp. Dasyatis spp. Leiognatus spp. Epirephelus spp. Muraenesox spp. Chanos chanos Anginilla spp. Trichiurus spp. Stolephorus spp. Scylla spp. Soxidomus spp. Arca spp. Andara spp.
Sumber: hasil wawancara dengan masyarakat dan VO, 2002
118
4.2.2.2. Pariwisata Salah satu sektor yang diharapkan sebagai pemicu aktivitas ekonomi desa di masa mendatang adalah pariwisata. Hal ini dimungkinkan karena Laguna Segara Anakan memiliki tempat-tempat wisata seperti Gua Masigitsela, Pantai Permisan, Makam Tua Pasuruan dan Pondok Wisata (bungalow) yang dibangun PMO SACDP serta perairannya berdekatan dengan rute perahu yang mengantarkan wisatawan dari Pangandaran ke Cilacap bolak-balik. Saat ini pihak BPKSA tengah bergiat mempromosikan Laguna Segara Anakan sebagai salah satu tempat tujuan wisata dengan salah satu atraksi yang ditawarkan adalah kunjungan ke perkampungan nelayan, Kampong Laut Fisherman Village, di sini wisatawan dapat menikmati keunikan hidup keseharian masyarakatnya serta dapat berbelanja oleh-oleh ikan segar hasil tangkapan nelayan, seperti yang tertulis di brosur wisata yang telah dipublikasikan. Potensi pariwisata di kawasan Laguna Segara Anakan dapat dilihat pada Tabel 39 berikut. Tabel 39. Potensi Pariwisata di Kawasan Laguna Segara Anakan No 1
Jenis Wisata Wisata Ilmiah
Potensi Studi wisata mangrove Penelitian
2
Rekreasi
3
Wisata Budaya
Wisata alam Memancing Olahraga air (dayung, kano) Safari mangrove Wisata ke Kampung Laut Ziarah
Daya Dukung Keanekaragaman flora dan fauna mangrove serta hutan tropika basah di Nusakambangan Atraksi keindahan, keunikan, keaslian dan keragaman alam mangrove dan hutan tropika basah di Pulau Nusakambangan Keaslian dan keunikan budaya masyarakat lokal Kampung Laut serta tempat-tempat keramat.
Sumber: Yahya (1999) dan PKSPL-IPB (2000)
4.3.
Karakteristik Responden
4.3.1. Umur Responden Umur sangat berpengaruh terhadap kemampuan fisik bekerja dan cara berfikir. Umur responden bervariasi antara 21 – 84 tahun. Berdasarkan hasil survey, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden termasuk pada kelompok usia produktif (69,71 %) pada kelompok umur 21 – 50 tahun.
119
Tabel 40. Klasifikasi Umur Responden Utama di Lokasi Penelitian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Umur (tahun) 21 – 25 26 – 30 31 – 35 36 – 40 41 – 45 46 – 50 51 – 55 56 – 60 60 – 65 66 – 70 71 - 80 > 80 Jumlah
Jumlah (orang) 2 14 39 37 41 35 21 22 14 8 6 2 241
Persentase (%) 0,83 5,81 16,18 15,35 17,01 14,52 8,71 9,13 5,81 3,32 2,49 0,83 100
Sumber: data primer (2010)
4.3.2. Jenis Kelamin Responden Berdasarkan survey menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 228 orang dengan persentase sebesar 94,61% (Tabel 41). Tabel 41. Jenis Kelamin Responden Utama di Lokasi Penelitian No 1 2
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah
Jumlah (orang) 228 13 241
Persentase (%) 94,61 5,39 100
Sumber: data primer (2010)
4.3.3. Tingkat Pendidikan Responden Tingkat pendidikan responden di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 42 berikut ini. Tingkat pendidikan termasuk pada kategori rendah karena sebagian besar responden (93,36 %) tidak menamatkan sekolah dasar dan hanya menamatkan tingkat pendidikan dasar. Tingkat pendidikan formal ini berpotensi untuk meningkatkan pengetahuan yang bersifat teknis dan keahlian dalam melakukan kegiatan usaha yang produktif. Dalam penelitian ini tidak ada responden yang pernah mengenyam pendidikan pada tingkat perguruan tinggi. Tabel 42. Klasifikasi Tingkat Pendidikan Responden Utama di Lokasi Penelitian No 1 2 3 4
Tingkat Pendidikan Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Jumlah
Sumber: data primer (2010)
Jumlah (orang) 104 121 9 7 241
Persentase (%) 43,15 50,21 3,73 2,90 100
120
4.3.4. Jumlah Tanggungan Keluarga Responden Jumlah tanggungan keluarga responden merupakan jumlah anggota keluarga yang ditanggung oleh responden di lokasi penelitian yang dapat dilihat pada Tabel 43 berikut ini. Yang tidak memiliki tanggungan adalah responden yang belum menikah. Selanjutnya responden dengan jumlah tanggungan keluarga terbanyak adalah 3 orang yaitu sebanyak 70 responden (29,05 %), dan yang paling sedikit adalah kelompok responden dengan jumlah tanggungan keluarga sebanyak 6 orang (2,90 %). Tabel 43. Klasifikasi Responden Utama di Lokasi Penelitian menurut Jumlah Tanggungan Keluarga No 1 2 3 4 5 6 7 8
Tanggungan Keluarga Tidak ada tanggungan 1 orang 2 orang 3 orang 4 orang 5 orang 6 orang 7 orang Jumlah
Jumlah (orang) 8 15 26 70 63 43 7 9 241
Persentase (%) 3,32 6,22 10,79 29,05 26,14 17,84 2,90 3,73 100
Sumber: data primer (2010)
4.3.5. Asal Responden Asal responden di lokasi penelitian adalah sebagian besar pendatang (54,77 %), terutama beraasal dari daerah sekitar Kabupaten Cilacap baik dari Jawa Barat (Ciamis, Pangandaran dan sekitarnya) maupun dari Jawa Tengah (Probolinggo dan lain-lain). Secara lengkap daerah asal responden disajikan pada Tabel 44. Tabel 44. Asal Responden Utama di Lokasi Penelitian No 1 2
Jenis Kelamin Asli Pendatang Jumlah
Sumber: data primer (2010)
Jumlah (orang) 109 132 268
Persentase (%) 45,23 54,77 100
121
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Model Sistem Sosial-Ekologi di Laguna Segara Anakan Berdasar hasil penggalian dan interpretasi data yang dilakukan melalui berbagai pendekatan, SES di Laguna Segara Anakan dapat dideskripsikan secara diagramatis dalam sebuah model seperti pada Gambar 33. Dalam model diagramatis tersebut, terdapat empat komponen pembentuk sistem, yang adalah: sumberdaya dalam bentuk laguna, pengguna yang adalah masyarakat Kampung Laut, berbagai bentuk prasarana dan penyedia prasarana.
B. Masyarakat • Nelayan • Petani • Penyedia jasa
11 A.Laguna • Badan air • Mangrove • Lahan pertanian
5
6
D. Prasarana • PLN • Puskesmas • Jalan umum • Sekolah umum • Air bersih, dll
4
7
2 C.Penyedia prasarana • Pemda • Pusat • LSM
8 8
3
7
Gambar 33. Model SES Segara Anakan (dimodifikasi dari model Anderies, 2004)
Keempat komponen pembentuk sistem tersebut masing-masing terbentuk atas sejumlah sub komponen. Sub-sub komponen tersebut adalah varian-varian dari masing-masing komponen, yang berbeda fungsi serta karakteristiknya antara satu varian dengan lainnya
(Tabel 45). Masing-masing komponen,
dengan segenap sub komponennya, saling berinteraksidan secara bersamasama menentukan kondisi dari sistem tersebut (Tabel 46).
122
Komponen Laguna Segara Anakan Pengguna sumberdaya
Penyedia prasarana umum
Sub-Komponen Badan air - Hutan mangrove - Lahan ekonomi darat Nelayan: - nelayan jaring apong, - nelayan penjala (ikan dan udang), - nelayan pencari kepiting (dengan menggunakan jaring dan wadong), dan - nelayan pengumpul kerang; Petani: - petani sawah tadah hujan, - petani tambak dan - pembudidaya kepiting; Pekerja / penyedia jasa: - buruh tani, - usaha gula kelapa, dan - pencari kayu bakar. Pemerintah pusat -
Pemerintah daerah
Bentuk prasarana
Berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Prasarana air bersih, Prasarana penerangan, Prasarana pendidikan, Prasarana kesehatan, Prasarana komunikasi dan Prasarana transportasi.
Keterangan Laguna Segara Anakan dimanfaatkan oleh berbagai kelompok pelaku ekonomi, baik yang bertumpu pada badan air, hutan mangrove, lahan darat, maupun kombinasi di antaranya. Pengguna sumberdaya secara umum terdapat 3 kelompok pemanfaat, yaitu di bidang perikanan, pertanian dan jasa.
Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Kehakiman, dan Departemen Kehutanan Pemerintah Kabupaten, Kantor Pengelola Sumberdaya Kawasan Segara Anakan (KPSKSA), LP Nusakambangan, dan Perhutani Yayasan Sosial Bina Sejahtera (YSBS), Lembaga Silva Lestari, Lembaga Bantuan Hukum Berbagai sarana dan prasarana yang mendukung keberlangsungan kehidupan masyarakat di wilayah ini disediakan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemandirian mereka.
122
Tabel 45. Komponen utama model SES di Segara Anakan
123
Komponen Aturan kelembagaan
Sub-Komponen Tetua/sesepuh adat Kepala dusun
Keterangan Penerapan aturan dalam pengelolaan laguna sudah dilaksanakan sebelum adanya lembaga formal seperti pemerintah desa. Hal ini ditunjukkan dengan sistem kepercayaan yang dipedomani dalam berperilaku secara turun temurun. Misalnya saja untuk menyelesaikan konflik lahan apong.
Lingkungan eksternal
Iklim, politik, ekonomi, dll
Pengaruh lingkungan eksternal baik secara makro maupun mikro cukup signifikan terhadap kehidupan masyarakat di Kampung Laut. Contoh nyata, mereka menginginkan kehidupan seperti di daratan, sehingga secara bertahap mereka melakukan pengurugan rumah.
Sumber: data primer (2010)
Tabel 46. Hubungan antar komponen dalam SES Segara Anakan No 1
Interaksi Hubungan Hubungan antara laguna dan masyarakat
Penjelasan Berbagai kegiatan sosial maupun ekonomi masyarakat dengan berbagai bentuk profesi sangat tergantung pada keberadaan laguna, baik badan air maupun bagian daratannya. Sebaliknya, kondisi dan dinamika laguna sangat dipengaruhi oleh berbagai kegiatan masyarakat tersebut; misalnya, luasan mangrove sangat ditentukan oleh intensitas kegiatan pembuat kayu bakar, sementara itu sumberdaya perairan dipengaruhi oleh jenis alat, frekuensi dan kapasitas perikanan dimiliki oleh nelayan, dsb.
Hubungan antara masyarakat dan penyedia prasarana
Keberadaan prasarana yang dipasok secara langsung maupun tidak langsung untuk kepentingan masyarakat terbukti membantu meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, baik penduduk asli maupun pendatang. Namun demikian, keberadaan aktivitas dan sikap tertentu dari sebagian masyarakat tidak cukup mendukung keberlanjutan keberadaan prasarana-prasarana tersebut. Sebagai contoh, saat layanan prasarana pengadaan air bersih terhenti pada suatu periode karena kendala teknis, kerusakan lebih parah justru terjadi akibat tindakan masyarakat yang terdorong oleh motivasi keuntungan jangka pendek.
3
Hubungan antara penyedia prasarana dengan prasarana
Keberadaan sebagian prasarana terjadi karena penyedia prasarana memerankan fungsi layanan publik sedangkan sebagian terjadi karena adanya misi tertentu yang menjadi tujuan organisasi penyedia prasarana, misalnya misi keagamaan. Namun demikian, kemunculan penyedia-penyedia prasarana tersebut pada umumnya merupakan respons terhadap ketidaktersediaan (kebutuhan) maupun ketersediaan prasarana yang telah wujud sebelumnya.
123
2
124
Interaksi Hubungan Hubungan antara laguna dengan prasarana
Penjelasan Perkembangan kondisi laguna telah menjadi dasar bagi pengadaan berbagai bentuk prasarana; sebagai contoh, penyempitan badan air dan peluasan daratan mendorong penyedia laguna untuk membangun prasarana dan sarana sosial dan ekonomi yang memberikan ruang lebih besar kepada masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi laguna yang tidak lagi sama dengan kondisi pada waktu-waktu sebelumnya. Keberadaan prasarana-prasarana baru tersebut, selanjutnya berdampak pada dorongan yang lebih besar terhadap masyarakat untuk merubah perilaku ekonomi, dari yang lebih bertumpu kepada pekerjaan-pekerjaan darat, sehingga berpotensi mengikis kepedulian pada kelestarian laguna.
5
Hubungan antara prasarana dengan interaksi antara masyarakat dan pengguna SD
Peningkatan prasarana menentukan pilihan masyarakat dalam pemanfaatan laguna, sebaliknya dinamika hubungan antara laguna dengan penggunanya, sebagaimana dideskripsikan pada pola hubungan (3), menentukan bentuk-bentuk prasarana yang diadakan oleh penyedia.
6
Hubungan antara masyarakat dengan prasarana
Ketersediaan prasarana yang lebih mencukupi terbukti mampu memperbesar peluang masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya; sebagai contoh, perbaikan sarana transportasi telah mendorong kreativitas masyarakat untuk melakukan kegiatan produksi dan pemasaran produk-produk andalan lokal (misalnya gula kelapa) ke target-target di luar wilayah mereka.
7
Pengaruh eksternal terhadap prasarana
Penetrasi informasi dari luar wilayah telah menciptakan kebutuhan yang lebih besar di antara masyarakat akan berbagai prasarana yang dianggap dapat memfasilitasi masyarakat Segara Anakan mendekat ke arah gaya hidup di luar wilayah. Sebagaimana dicontohkan dalam wawancara, terungkap bahwa saat pengaruh dari luar telah membuat masyarakat merasa jenuh dengan gaya hidup tertutup dan gaya hidup ‘manusia perairan’ yang selama ini mereka jalani. Prasarana yang kemudian segera dirasakan sebagai kebutuhan besar dan mendesak adalah misalnya prasarana informasi, transportasi dan keenergian. Dalam beberapa kasus, masyarakat berupaya memperbaiki dan mencari sarana-prasarana untuk lebih meningkatkan kualitas hidupnya. Contoh kasus, dorongan urgensi tak terbendung tersebut bahkan direspon dengan kegiatan pengadaan prasarana secara swadaya; misal, di Dusun Bondan, masyarakat membangun instalasi keenergian secara swadaya meskipun terdapat berbagai kebutuhan primer lain yang belum terpenuhi.
8
Pengaruh eksternal terhadap penyedia prasarana
Sejauh ini, pengaruh eksternal terhadap kemunculan penyedia prasarana tidak terlalu signifikan. Penyedia prasarana yang ada sejauh ini pada umumnya merupakan penyedia prasarana yang berkewajiban melaksanakan fungsi pelayanan (pemerintah pusat maupun daerah), dengan hanya sedikit penyedia prasarana yang muncul akibat dorongan eksternal.
Sumber: data primer (diolah)
124
No 4
125
Dengan hubungan interaktif antar komponen dan sub komponen seperti tersebut di atas, tercipta dinamika ekologis yang tercermin dan berimbas pada proses penyesuaian terus menerus pada aktivitas dan ekonomi masyarakat. Sebagian besar masyarakat di kawasan ini adalah nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan. Kegiatan penangkapan ikan di laguna Segara Anakan pada umumnya masih bersifat tradisional (Atmaja, 2010). Alat tangkap yang digunakan masih sederhana, pada umumnya berupa perahu/kapal kecil dengan tenaga mesin tempel atau dengan menggunakan dayung dan layar. Secara keseluruhan jenis-jenis alat tangkap yang beroperasi di Segara Anakan sebanyak 11 jenis alat tangkap seperti yang dapat dilihat pada Tabel 47. Tabel 47. Jenis-Jenis Alat Tangkap yang Beroperasi di Laguna Segara Anakan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Nama Lokal Jaring Apong Wadong Jaring Gejrah Pintur Pancing Ulur Arad Jaring Tadah Sero Waring Surungan Jaring Ciker Jaring Kepiting
Nama Indonesia Perangkap jaring Bubu Jaring insang lingkar Perangkap Pancing Pukat pantai Jala Sero Perangkap Jaring udang Jaring
Nama Inggris Trap Trap Gill net Trap Long line Beach seine
Trammel net
Tabel 48 berikut ini dimaksudkan untuk memberikan ilustrasi tentang dinamika ekonomi mayoritas masyarakat, yang adalah nelayan. Pada Tabel tersebut, dirangkum perkembangan praktek perikanan dari waktu ke waktu, yang terjadi pada masyarakat di laguna Segara Anakan, yang mereka lakukan sesuai perkembangan ekologis yang terjadi. Paparan tersebut mengindikasikan adanya perubahan perilaku ekonomi masyarakat yang diakibatkan oleh penurunan kondisi ekologis. Perubahan perilaku ekonomi tersebut secara umum terjadi dalam dua bentuk, yaitu: (1) berkembang dan diterapkannya praktek perikanan yang semakin menekan sumberdaya dan (2) berkembangnya jenis pencaharian diluar pecaharian tradisi, yaitu dari pencaharian kenelayanan ke pencaharian budidaya, baik baik perikanan maupun pertanian. Pada saat ini, seperti tergambar pada Tabel 48 dan 49, perilaku nelayan yang tercermin pada alat tangkap yang banyak digunakan, pada umumnya cenderung menekan sumberdaya secara lebih signifikan.
126 126
Tabel 48. Perkembangan Praktek Perikanan terkait Dinamika Kondisi Ekologis / Sumberdaya Alam di Segara Anakan Periode < 1970
Kondisi ekologis Musim masih dapat diprediksi dan luasan laguna masih memadai
Alat tangkap Wide banjang
Wide tadahan Wide surungan Wide dudukan Wide sero Wide pasangan Wide gubyag Wide opat-apit
Pintur Gilap Waring kambang 1970-1980 Iklim dan sejumlah faktor Wide tadahan antropogenik menyebabkan Wide surungan degradasi laguna Wide dudukan (penyempitan, Wide sero pendangkalan, dan Wide pasangan penurunan produktivitas) Wide gubyag Pintur Gilap Waring kambang
Perikanan Mobilitas Diam
Jenis ikan Ikan mbalog (kerapu) Terusan (kakap sepah) Bambangan (kakap merah) Bekuku Udang dan ikan kecil Udang Rebon Udang Udang dan ikan belanak Udang dan ikan belanak Ikan mbalog (kerapu) Terusan (kakap sepah) Bambangan (kakap merah) Bekuku Kepiting Ikan belanak Rebon Udang dan ikan kecil Udang Rebon Udang Udang dan ikan belanak Udang dan ikan belanak Kepiting Ikan belanak Rebon
Waktu Durasi di air Sepanjang tahun 24 jam
Diam Bergerak Bergerak Diam Bergerak Bergerak Diam
Sepanjang tahun Sepanjang tahun Musiman Sepanjang tahun Sepanjang tahun Sepanjang tahun Sepanjang tahun
24 jam 3 jam 3 jam 24 jam 4 jam 4 jam 24 jam
Bergerak Bergerak Bergerak Diam Bergerak Bergerak Diam Bergerak Bergerak Bergerak Bergerak Bergerak
Sepanjang tahun Sepanjang tahun Musiman Sepanjang tahun Sepanjang tahun Musiman Sepanjang tahun Sepanjang tahun Sepanjang tahun Sepanjang tahun Sepanjang tahun Musiman
4 jam 4 jam 4 jam 24 jam 24 jam 4 jam 4 jam 4 jam 4 jam 4 jam 4 jam 4 jam
Lainnya • Penggunaan alat tangkap masih sederhana, terbuat dari bambu dan daun gebang • Rebon diolah menjadi terasi dengan cara yang sederhana
• Penggunaan alat tangkap super-efektif yaitu jaring apong (sejenis trawl) yang saat itu dilarang • Penebangan hutan mangrove
127
Perikanan Mobilitas Udang Bergerak Rebon Bergerak Udang dan ikan belanak Bergerak Udang dan ikan belanak Bergerak Kepiting Bergerak Udang dan ikan Diam Udang (peci, tepus, windu) Bergerak dan ikan belanak 1990-2000 Degradasi laguna semakin Wide dudukan Rebon Bergerak cepat Wide pasangan Udang dan ikan belanak Bergerak Wide gubyag Udang dan ikan belanak Bergerak Pintur Kepiting Diam Jaring apong Udang dan ikan Diam Jaring sirang Lobster dan ikan Bergerak Jaring kantong Udang (peci, tepus, windu) Bergerak dan ikan belanak 2000-2010 Sumberdaya perikanan Jaring apong Udang dan ikan Diam semakin tidak menjanjikan, Jala Ikan belanak Bergerak pertanian belum Jaring Udang Bergerak memberikan hasil maksimal Wadong Kepiting Diam Jaring sirang Lobster dan ikan Bergerak Pintur Kepiting Diam Periode
Kondisi ekologis
Alat tangkap 1980-1990 Musim sulit diprediksi, Wide surungan laguna semakin Wide dudukan terdegradasi, produktivitas Wide pasangan perairan semakin menurun Wide gubyag Pintur Jaring apong Jaring kantong
Jenis ikan
Lainnya
Waktu Sepanjang tahun Musiman Sepanjang tahun Sepanjang tahun Sepanjang tahun Sepanjang tahun Sepanjang tahun
Durasi di air 4 jam 4 jam 4 jam 4 jam 4 jam 24 jam 4 jam
Musiman Sepanjang tahun Sepanjang tahun Sepanjang tahun Sepanjang tahun Musiman Sepanjang tahun
4 jam 4 jam 4 jam 24 jam 24 jam 4 jam 4 jam
Pengerukan laguna Peningkatan aktivitas ekonomi destruktif
Sepanjang tahun Sepanjang tahun Sepanjang tahun Sepanjang tahun Musiman Sepanjang tahun
24 jam 4 jam 4 jam 24 jam 4 jam 24 jam
Perambahan pulau sekitar (nusakambangan) dengan dilakukannya penanaman albiso secara massal
• Sebagian masyarakat beralih menjadi petani (pemanfaatan tanah timbul dan bekas tebangan mangrove) • Sebagian masyarakat merantau sebagai nelayan atau buruh
Sumber: data primer (diolah)
127
128 128
Tabel 49. Destruktivitas alat terkait perilaku nelayan Kampung Laut No 1
2 3
4
Kelompok Jaring tiga lapis
Jala yang ditebar Perangkap
Pancing
Sumber: data primer (diolah)
Destruktivitas terhadap sumberdaya
Jenis Alat
Sasaran
Mobilitas
Selektif
Waktu
Overall
Jaring ciker
Ikan
Diam
Tidak selektif
Sepanjang tahun
Sangat destruktif
Jaring kantong
Ikan dan udang
Diam
Tidak selektif
Sepanjang tahun
Destruktif
Jaring bangkok
Ikan dan udang
Diam
Tidak selektif
Sepanjang tahun
Destruktif
Jaring gilap
Ikan
Diam
Tidak selektif
Sepanjang tahun
Destruktif
Jaring tetek
Ikan
Diam
Tidak selektif
Sepanjang tahun
Destruktif
Jala
Ikan
Bergerak
Selektif
Sepanjang tahun
Tidak destruktif
Jala otek
Ikan
Bergerak
Selektif
Sepanjang tahun
Tidak destruktif
Waring sodong
Ikan
Bergerak
Selektif
Sepanjang tahun
Destruktif
Wadong
Ikan
Diam
Selektif
Sepanjang tahun
Tidak destruktif
Jaring tadah
Ikan dan udang
Diam
Tidak selektif
Sepanjang tahun
Destruktif
Waring cadok
Ikan dan udang
Diam
Tidak selektif
Sepanjang tahun
Destruktif
Waring telembuk
Ikan
Diam
Tidak selektif
Sepanjang tahun
Destruktif
Waring kambang
Ikan dan udang
Diam
Tidak selektif
Sepanjang tahun
Destruktif
Pintur
Kepiting bakau
Diam
Selektif
Sepanjang tahun
Tidak destruktif
Pancing
Ikan
Diam
Selektif
Sepanjang tahun
Tidak destruktif
Pancing prawe
Ikan
Diam
Selektif
Sepanjang tahun
Tidak destruktif
129
5.1.1. Karakteristik Pengguna Sumberdaya Secara lebih rinci, berikut adalah gambaran umum mengenai karakteristik pengguna sumberdaya dan alat yang dipergunakan, dengan perkembangan aktivitas
eknomi
dan
penggunaan
alat
pengekstrak
dipergunakannya sebagaimana dipaparkan di atas.
sumberdaya
yang
Dalam hal ini, deskripsi
karakteristik tersebut tidak hanya menyangkut pengguna utama yaitu nelayan, melainkan pengguna-pengguna lain termasuk pembudidaya ikan, petani dan berbagai penyedia usaha jasa. 1. Nelayan Jaring Apong Sebagian besar nelayan di Segara Anakan adalah pemilik jaring apong, yaitu sebuah varian dari jaring insang (gill net), yang dipasang statis melintang di tubuh alur air di dalam laguna. Jaring tersebut bertumpu pada tiang-tiang yang ditancapkan ke dasar perairan pada kedua ujungnya, cukup kuat menahan arus air. Pada bagian atas jaring diikatkan pelampung untuk mempertahankan ketinggian jarring di dalam kolom air sedangkan pada bagian bawah dipasang pemberat berupa rantai yang terbuat dari besi, dengan tujuan untuk mempertahankan posisi jaring, tegak di dalam kolom air. Prinsip kerja alat ini adalah meneapkan jebakan tehhadap ikan yang bergerak searah arus pasang surut perairan. Ikan-ikan yang berenang mengikuti arus pasang dan arus surut terjerat jaring pada bagian insangnya. Pada waktu-waktu normal, ikan-ikan yang tertangkap pada jaring apong dipanen dua kali sehari, yaitu sekali di siang hari dan dan sekali di malam hari sedangkan pada musim puncak, ikan dipanen rata-rata setiap 5 jam sekali. Aktivitas nelayan menggunakan alat ini bersifat sangat destruktif, terutama apabila dikaitkan dengan penggunaan ukuran mata jaring yang sangat kecil, sebagaimana dipraktekkan oleh para nelayan apong. Alat ini sering diistilahkan sebagai pukat trawl statis karena sifatnya yang sangat tidak selektif. Namun demikian, sebagian pihak, terutama para pemilik apong, berpendapat bahwa karena sifatnya yang statis, praktek apong oleh masyarakat Segara Anakan cukup ramah lingkungan karena menyisakan ruang terbuka, yaitu ruang antar apong di badan perairan, yang memunginkan sebagian ikan lolos dari perangkap alat tersebut.
130
Pada
awalnya,
nelayan
apong
yang
pada
umumnya
adalah
masyarakat dusun Motean dan Paniten, melakukan pemasangan apong terbatas pada lokasi-lokasi tertentu tidak jauh rumah tinggal. Dalam perkembangan selanjutnya, seiring meningkatnya jumlah alat apong yang ada, pemasangan juga dilakukan di lokasi-lokasi yang jauh, termasuk di sebagian alur lalu lintas perahu di dalam laguna. Menyadari berbagai permasalahan yang kemudian timbul, para nelayan menyepakati berbagai pengaturan di atara mereka. Kesepakatan yang sifatnya tidak tertulis tersebut mengatur tata letak apong di badan perairan, sehingga diharapkan tidak mengganggu kepentingan pemilik apong lain maupun kepentingan masyarakat pada umumnya, misalnya yang terkait dengan alur lalu lintas perahu. Kesepakatan tersebut juga mencakup mekanisme penyelesaian konflik, misalnya antara pemilik apong dan perahu pada saat sebuah apong tertabrak perahu, antar pemilik apong pada saat terjadi masalah sewa menyewa atau jual beli kavling apong, dan sebagainya. Pada Gambar 34 dapat dilihat sebaran alat tangkap apong di laguna, yang hampir memenuhi badan air. Gambar 35 merupakan gambaran tentang hasil tangkapan nelayan apong yang hampir semua jenis ikan bisa ditangkap termasuk sampah.
Gambar 34.
Alat Tangkap Jaring Apong
Gambar 35.
Hasil Tangkapan Jaring Apong
2. Nelayan Penjala Nelayan penjala (atau nelayan jala) secara umum adalah nelayan yang melakukan penangkapan ikan dengan cara menebar jala. Namun demikian, pada kenyataannya terdapat beberapa varian dalam praktek menjala ikan yang dilakukan nelayan di Segara Anakan, terutama masyarakat Ujung Alang, misalnya praktek menjala menggunakan jaring kecrak, jaring kantong, surungan, kambangan dan sebagainya.
131
Nelayan penjala bergerak bergerak secara aktif (mobile), dengan menggunakan perahu jukung yang digerakkan dengan tempel yang disebut gantar, ataupun didayung dengan memanfaatkan arah pasang dan surut perairan laguna. Dalam kegiatan mencari ikan, pada umumnya nelayan penjala melakukannya sendiri atau berdua. Aktivitas nelayan penjala berlangsung sepanjang musim, termasuk pada musim-musim yang dianggap sebagai musim paceklik bagi nelayan pemanfaat laguna lainnya. Selain berasal dari pemukiman di dalam laguna, sebagian nelayan penjala juga berasal dari wilayah lain. Saat melakukan aktivitasnya, nelayan pendatang dari dari luar kawasan laguna biasanya bermalam di tempattempat darurat yang tersedia di lokasi laguna, misalnya gubug-gubuk di areal bekas tambak yang ditinggalkan pemiliknya atau rumah-rumah warga yang dekat perairan yang memberikan tumpangan. Melalui cara-cara yang amat mengandalkan pengalaman dan intuisi, penjala dari luar laguna bergerak menyusuri kanal-kanal sempit di antara semak-semak jeruju dan mangrove. Lokasi-lokasi utama bagi aktivitas nelayan penjala berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perkembang ekologi peairan di kawasan laguna. Hasil tangkapan para penjala terdiri atas berbagai jenis dan ukuran ikan dan udang. Penjualan ikan dilakukan tanpa melalui tahapan pensortiran sedangkan untuk jenis udang, penjualan didasarkan atas jenis dan ukurannya. Dalam hal ini,ukuran dinyatakan dalam jumlah jumlah per kilogramnya. Dalam transaksi jual beli ini, pembayaran oleh pembeli (bakul) pada umumnya dilakukan secara tunai.
Gambar 36.
Alat Tangkap Jala
132
3. Nelayan Pencari Kepiting Wilayah laguna, termasuk Segara Anakan merupakan sentra-sentra penghasil kepiting bakau (Scylla serrata) utama di Indonesia. Di Segara Anakan, penangkapan kepiting secara masif dilakukan nelayan hampir di seluruh bagian dari laguna. Ukuran kepiting yang tertangkap dibedakan berdasarkan criteria lokal, yaitu kepiting remaja (kroyo), kepiting dewasa berukuran sedang (jumbo), kepiting besar (super), dan kepiting yang sedang bertelur. Penangkapan kepiting dilakukan setiap saat sepanjang musim dengan menggunakan alat tradisional. Alat tradisional tersebut terbuat dari bilahbilah bambu yang dianyam membentuk perangkap yang disebut wadong atau bubu. Umpan berupa ikan rucah dimasukkan ke dalam bubu yang akan ditempatkan di semak-semak tanaman bakau selama sehari semalam. Pengoperasian wadong dilakukan dengan memperhatikan pasang surut. Wadong dipasang ketika surut terendah dan dibutuhkan waktu selama 2,5 jam. Waktu pemasangan alat tangkap wadong umumnya pada pukul dua siang dan diangkat pada pukul delapan pagi keesokan harinya. Selama periode itu, nelayan menunggu dan bermalam di atas jukungnya, atau tempat perlindungan sementara yang tersedia di sekitar lokasi penangkapan, misalnya di gubuk bekas pekerja tambak yang ditinggalkan atau di rumah penduduk terdekat. Bubu yang ditebar oleh masing-masing nelayan bervariasi jumlahnya, tergantung kemampuan modal masing-masing nelayan. Dengan rata-rata pemasangan 20-30 bubu, 2-5 buah bubu akan terisi oleh kepiting, tergantung pada tingkat pengetahuan, orientasi dan pengalaman nelayan mengenai tanda-tanda alam terkait dengan keberadaan kepiting di kawasan laguna.
Gambar 37.
Alat Tangkap Bubu
Gambar 38.
Umpan Kepiting
133
Dalam hal penjualan, terdapat satu atau dua orang pedagang pengumpul kepiting (bakul) utama di setiap desa atau dusun. Kepiting dikumpulkan 1-3 hari sebelum pengiriman dalam keadaan hidup, yang frekwensinya adalah 2-3 kali setiap minggu. Sistem jual beli yang diterapkan oleh bakul terhadap penjual dan pembeli adalah transaksi langsung dengan pembayaran tunai. Daerah-daerah tujuan utama pemasaran kepiting bakau dari kawasan Segara Anakan adalah beberapa kecamatan dalam satu kabupaten yaitu Cilacap dan Sidareja, Pangandaran (Ciamis), Tasikmalaya dan Bandung.
4. Nelayan Pengumpul Kerang Berbagai jenis kerang menjadi sasaran utama dari nelayan pengumpul kerang di Segara Anakan. Di antara jenis-jenis tersebut, yang paling banyak adalah kerang sungai (Soxidomus spp), kerang bulu (Arca spp) dan kerang darah (Andara spp). Biota air yang menjadi sasaran nelayan kelompok ini hidup di dasar perairan, dengan mekanisme makan yang mengandalkan gerak arus air yang merupakan media transport makanan bagi kerang, yaitu fitoplankton. Dengan mekanisme makan kerang seperti ini, dinamika lingkungan
di
Segara
Anakan
dirasakan
oleh
masyarakat
sangat
mempengaruhi kondisi sumberdaya kekerangan dan berpengaruh pada hasil tangkapan. Nelayan menggunakan
kerang alat
melakukan
spesifik.
aktivitas
Kerang
pada
penangkapannya umumnya
dipungut
tanpa dan
dikumpulkan hanya dengan dengan tangan, tanpa alat bantu. Apabila tersedia, alat bantu terbatas pada waring atau serok sederhana yang digunakan untuk menempatkan hasil tangkapan di atas perahu jukung, yang selama kegiatan pengumpulan ditambatkan di belukar mangrove. Aktivitas mencari kerang bagi nelayan, dari sudut pandang keterlibatan maupun nilai ekonominya, berada pada level paling bawah dari hirarki jenisjenis usaha nelayan yang ada. Selain itu, pencaharian nelayan kelompok ini juga ditandai dengan penggunaan teknologi dan keahlian yang rendah atau bahkan dapat dikatakan tidak memerlukan teknologi atau kehlian sama sekali. Hanya sedikit penguasaan orientasi dan pengalaman tentang kelimpahan di berbagai lokasi yang dibutuhkan oleh seorang nelayan kerang untuk mendapatkan hasil lebih baik dibanding nelayan kerang lainnya.
134
Proses pasca panen pun tidak dijalankan; hampir semua kerang hasil produksi nelayan kerang dijual langsung dalam bentuk berkulit, sehingga harga jualnya rendah. Kegiatan pengumpulan kerang pada umumnya merupakan kegiatan sampingan bagi nelayan, yang dilakukan di luar waktu-waktu utama. Waktu yang lebih banyak untuk kegiatan ini biasanya terjadi pada anak-anak dan kaum perempuan dan nelayan tua. Anak-anak melakukan pengumpulan kerang di antara waktu-waktu luang di luar jam sekolah. Kegiatan anak-anak atau ibu-ibu ini terdukung oleh keberadaan waktu istirahat orang tua (atau suaminya), yang memungkinkan anak-anak dan ibu-ibu mempergunakan perahu jukung yang pada umumnya hanya digunakan oleh nelayan laki-laki pada malam atau pagi hari. Kegiatan pengumpulan kerang biasanya dilakukan selama kurang lebih 4 jam. Dalam periode itu, rata-rata terkumpul sebanyak 5 (lima) ember kerang, yang kemudian langsung dijual kepada bakul di tempat-tempat perahu merapat. Oleh sebagian bakul, kerang dijual dalam kondisi bercangkang dan dikemas dalam karung. Sebagian bakul lainnya melakukan proses pascapanen sederhana berupa pengupasan sebelum penjualan. Pasar utama kerang dari Segara Anakan adalah Cilacap, Pangandaran dan beberapa lokasi di wilayah Kabupaten Ciamis.
Gambar 39.
Pengumpul Kerang
Gambar 40.
Proses Perebusan Kerang
5. Pembudidaya (Udang, Bandeng dan Kepiting) Di
antara
masyarakat
penduduk
kawasan
Segara
Anakan,
pembudidaya merupakan kelompok minoritas, yang keberadaannya relatif baru dibanding masyarakat nelayan. Sejauh ini, kegiatan kelompok pembudidaya masih terbatas pada pengusahaan tiga komoditas saja, yaitu udang, bandeng dan kepiting.
135
Hampir semua pembudidaya udang dan bandeng terkonsentrasi di sebuah dusun yang terbentuk dari proses pemukiman yang terdorong kegiatan alih fungsi hutan bakau, yaitu Dusun Bondan. Hampir seluruh warga Dusun Bondan mengusahakan tambak udang dan bandeng secara tradisional dengan sistem sylvofishery empang parit dengan tanaman mangrove hasil pengkayaan Perhutani KPH Banyumas Barat. Para pembudidaya (petambak) pada umumnya adalah pendatang asal Karawang Jawa Barat yang telah berpengalaman dalam usaha budidaya di daerah asalnya. Pada komunitas petambak ini, terdapat suatu elemen penting yang menopang kehidupan sosial mereka, yaitu kemampuan mengorganisir diri dan adanya spesialisasi pekerjaan. Dengan keterbatasan jumlah penduduk relatif dibanding banyaknya peran sosial ekonomi yang harus terselenggara secara mandiri di lokasi tersebut, masyarakat berhasil berbagi peran dalam segenap aspek yang ada. Bahkan, di dalam masyarakat yang telah berhasil mengorganisasikan diri itu, kepala dusun saat ini, disamping perannya sebagai seorang pemimpin formal masyarakat Bondan, juga terlibat dalam peran yang spesifik dalam perekonomian dusun, termasuk sebagai bakul yang menampung hasil petambak di wilayahnya. Peran spesifik lain yang saat ini diperankan oleh kepala dusun adalah sebagai keamanan di saat musim panen. Sebagian petambak juga berperan sebagai tukang kayu yang membuat dan menyiapkan sarana tambak, serta berbagai peran spesifik lain. Mata pencaharian yang relatif baru namun dikenal luas oleh masyarakat pada periode terakhir ini adalah usaha pembudidayaan kepiting. Perkembangan yang pesat terjadi pada era sebelum reformasi, tetapi terhenti pada saat terjadinya kemelut politik di Indonesia. Penjarahan hasil alam dan budidaya, termasuk kepiting budidaya merebak tidak terkendalikan pada
saat
itu,
menyebabkan
pembudidaya
terdemotivasi
untuk
mempertahankan usahanya. Usaha tersebut kembali tumbuh seiring dengan membaiknya kondisi sosial ekonomi dan politik dan mengalirnya dukungan pihak luar untuk kembali mengembangkan budidaya kepiting di kawasan tersebut.
136
Gambar 41.
Lahan Tambak di Bondan
Gambar 42.
Perumahan Petambak
Gambar 43.
Tempat Budidaya Kepiting
Gambar 44.
Lahan Budidaya Kepiting
Gambar 45.
Lahan yang Disiapkan untuk Budidaya Kepiting
Gambar 46.
Kepiting Hasil Tangkapan Nelayan
6. Petani Sawah Tadah Hujan Masyarakat petani secara tradisi terkonsentrasi di Dusun Lempong Pucung
yang
berada
di
Pulau
Nusakambangan.
Pertanian
yang
dikembangkan oleh kelompok masyarakat ini adalah sistem sawah tadah hujan dengan pola tanam sekali dalam setahun. Dengan tingkat produksi rata-rata sebesar 400 kg/ha sawah. Tingkat produksi ini tergolong sangat rendah dibanding produktivitas lahan pertanian di tempat-tempat lain yang rata-rata adalah 5 – 6 ton gabah / ha sawah. Kepemilikan lahan sawah yang hanya berkisar antara 100 s/d 500 m2/orang. Sebagian besar lahan belum bisa dimanfaatkan secara lebih baik untuk pertanian terutama padi, karena
137
masih terkendala masuknya air payau ke lahan pertanian terutama di saat pasang. Produksi padi di Dusun Lempong Pucung misalnya, pada umumnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja.
Gambar 47.
Ibu-Ibu Menanam Padi
Gambar 48.
Sawah di Desa Klaces
Produksi padi yang dihasilkan hanya cukup untuk memenuhi konsumsi rumah tangga mendorong sebagian besar petani untuk mengembangkan usaha komplemen, yang juga bersifat pertanian. Usaha komplemen pada umumnya dilakukan di saat musim sela berupa pengusahaan kebun palawija dan buah-buahan seperti jeruk dan pisang. Di antara para petani, sebagian juga melakukan usaha penyadapan (penderesan) nira kelapa, yang dipasok ke para perajin gula merah yang melakukan usaha di beberapa bagian desa di Lempong Pucung. Sebagian kecil dari para petani, dalam upayanya untuk menopang kebutuhan ekonominya juga melakukan kegiatan non-pertanian, yaitu melakukan perikanan jala secara sambilan. Selain kelompok masyarakat yang secara tradisi menggeluti mata pencaharian pertanian di Dusun Lempong Pucung, akhir-akhir ini muncul kelompok masyarakat petani di Desa Bugel. Kelompok masyarakat ini semula adalah nelayan, yang kemudian mendapatkan peluang baru untuk pengembangan ekonomi alternatif, yaitu pertanian. Kesempatan baru tersebut muncul dengan semakin meluasnya tanah timbul yang diakibatkan oleh sedimentasi dan pengurugan. Menyempitnya luas perairan untuk perikanan dan meluasnya lahan daratan membuat sebagian masyarakat dusun tersebut beralih profesi dari berpencaharian perairan ke pencaharian darat. Petani baru di Dusun Bugel ini sejauh ini masih dalam tahap “pengembangan keahlian’. Lahan-lahan pertanian yang mereka miliki pada umumnya dikerjasamakan dengan masyarakat pendatang dari daratan
138
Pulau Jawa, yang telah mengenal danmenguasai keahlian pertanian. Transfer teknologi dan keahlian terjadi dalam kerjasama ini, yang mereka kenal dengan istilah ‘bawon’. Hasil diskusi kelompok di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat di dusun ini mengapresiasi perkembangan alam yang terjadi di wilayah mereka. Terkait hal ini, dalam diskusi kelompok yang sama teridentifikasi pula berbagai kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat, yang kesemuanya dihubungkan dengan keinginan mereka untuk mengembangkan perekonomian berbasis alam daratan atau lahan terrestrial.
7. Penderes dan Perajin Gula Kelapa Menderes adalah menyadap nira kelapa dengan tujuan untuk diolah lebih lanjut menjadi gula merah. Dalam kegiatan menyadap ini dimulai dengan penderes memanjat pohon kelapa, lalu memotong tangkai bunga kelapa (manggar) untuk dipasang bumbung (potongan ruas bambu) agar niranya mengalir ke dalamnya. Bumbung tergantung pada tangkai selama periode tertentu (12 jam), sebelum diambil kembali dan diganti dengan bumbung yang lain oleh penderes. Teknologi pembuatan gula merah relatif sederhana, hanya melibatkan proses perebusan, yang dimaksudkan untuk mengkonsentrasikan nira hingga terbentuk masa kental yang berupa gula merah. Prosesnya adalah nira ditaruh dalam wajan besar untuk selanjutnya dimasak selama 5 – 6 jam dengan ditambahkan pengawet (sodium metabisulphite) seperti yang terlihat pada Gambar 53. Bila sudah
matang maka cairan kental disendok dan
ditaruh di atas cetakan yang telah disipakan. Cairan tersebut cepat mengering dan menjadi gula kelapa. Usaha menderes ini lebih banyak dilakukan oleh kepala rumah tangga petani sawah tadah hujan. Meskipun ada juga yang merupakan ‘amen’ dari daerah Purbalingga. Pengolahan nira kelapa hasil penderesan menjadi gula merah pada umumnya dilakukan oleh para istri (ibu rumah tangga). Kayu bakar untuk proses perebusan adalah kayu bakau, yang diperoleh dari para pencari kayu bakar dengan harga Rp 70.000 per perahu. Bahan lain yang dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar adalah sisa-sia penebangan pohon albiso di hutan. Data di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan kayu bakar tersebut cukup untuk 2 kali memasak nira.
139
Pembuatan gula kelapa yang sifatnya masih tradisional ini pada umumnya statis, pendere tidak terpikir untuk meningkatkan mutu produksi, misalnya ukuran. Karena mereka mengganggap tidak ada perbedaan harga, yang ada pekerjaan menjadi semakin lama.
Gambar 49.
Proses Pengambilan Nira
Gambar 50.
Proses Perebusan Nira
Gambar 51.
Pengawet yang Digunakan dalam Perebusan
Gambar 52.
Kayu Bakar yang Digunakan Penderes
Gambar 53.
Proses Pencetakan Gula
Gambar 54.
Gula yang Sudah Dicetak
8. Pencari Lobster Kegiatan mencari lobster banyak dilakukan oleh nelayan di Desa Ujung Gagak. Mereka mencari lobster di laut lepas sekitar pangandaran. Biasanya mereka melakukan kegiatan penangkapan secara berkelompok.
140
Alat tangkap yang digunakan adalah jaring sirang (gillnet monofilament). Ukuran mata jaring yang digunakan berkisar antara 2,5 – 4,5 inci dengan panjang jaring sekitar 30 – 50 depa atau 45 -75 m dan lebar 1 – 3 m. jaring sirang sendiri dapat digunakan untuk menangkap ikan. Penangkapan lobster ini tergantung pada musim, untuk menghemat tenaga, waktu dan biaya operasional. Pemasarannya sendiri dilakukan di Ciamis yaitu ke Ibu Susi yang memang sudah lama menggeluti ekspor lobster ini.
Gambar 55.
Lobster yang Dikeringkan
Gambar 56.
Jaring Sirang yang Digunakan untuk Menangkap Lobster
9. Penambang Pasir Kegiatan lain yang banyak dilakukan oleh sebagian masyarakat di Kampung Laut ini adalah menambang pasir. Pasir ini banyak dimanfaatkan untuk membangun rumah di sekitar mereka. Bukan untukk diperjualbelikan ke daerah luar Kampung Laut. Lokasi penambangan pasir biasanya di dekat Plawangan perbatasan dengan Jawa Barat. Di daerah tersebut memang sudah mengalami pendangkalan, sehingga mudah bagi masyarakat untuk melakukan penambangannya.
Gambar 57.
Kegiatan Penambangan Pasir di Plawangan Barat
141
10. Pencari kayu bakar Mencari kayu bakar, meskipun dianggap sebagai kegiatan yang dilarang atau ilegal, merupakan pencaharian utama bagi sejumlah besar penduduk Segara Anakan. Hal ini terutama karena banyak pencari kayu bakar yang menebang hutan bakau, untuk dijual langsung maupun untuk dijadikan arang kayu. Penebangan hutan bakau tersebut diyakini oleh penduduk sebagai salah satu penyebab utama penurunan stok ikan di area Segara Anakan, karena berkurangnya akar bakau yang menjadi tempat pemijahan ikan.
Gambar 58.
Kayu bakau yang Digunakan untuk Kayu Bakar
Secara ringkas karakteristik pengguna sumberdaya di laguna Segara Anakan dalam sebuah sistem sosial-ekologi dan identifikasi kebutuhan pengguna sumberdaya secara berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 50 dan 51 berikut ini.
142
Tabel 50. Karateristik Pengguna Sumberdaya di Laguna Segara Anakan No 1
2
3 4
Pengguna Nelayan - Nelayan jaring apong - Nelayan penjala - Pencari kepiting - Pengumpul kerang - Nelayan lobster Pembudidaya - Ikan bandeng - Udang - Kepiting Petani tadah hujan Usaha jasa - Bakul ikan - Bakul gula - Penderes - Pencari kayu bakar
1
2
Karakteristik 3
2 2 2 2 2
4 4 3 3 3
4 3 2 2 3
4 4 3 3 3
2 2 2 2 2
2 2 2 2
3 3 1 1
3 3 2 1
3 2 2 3
2 2 2 2
2 2 2 2
1 3 4 3
2 3 3 2
3 3 4 3
2 2 2 2
4
5
Keterangan: Kualitas SDM
= 1: tidak sekolah dan tidak tamat SD 2: tamat SD 3: tamat SMP 4: tamat SMA 5: PT Ketergantungan pada luasan laguna = 1. tidak ada, 2. rendah, 3. sedang, 4. tinggi Pengaruhnya pada ekologi = 1. tidak ada, 2. rendah, 3. sedang, 4. tinggi Kinerja ekonomi = 1. tidak ada, 2. rendah, 3. sedang, 4. tinggi Kemampuan untuk beradaptasi = 1. tidak ada, 2. rendah, 3. sedang, 4. tinggi
Tabel 51. Identifikasi Permasalahan dan Solusi yang Dilaksanakan di Laguna Segara Anakan No 1
Permasalahan Erosi dan sedimentasi
2
Pendangkalan laguna
3
Tanah timbul
4
Sengketa lahan
5
Kerusakan mangrove
Sumber: data primer (2010)
Kelompok rentan Nelayan Pembudidaya Petani Nelayan Nelayan Pembudidaya Petani Nelayan Pembudidaya Petani Masyarakat Nelayan Pembudidaya
Solusi yang telah terlaksana Penanganan Vegetatif Penanganan Sipil Teknis Penanganan Sosial Pengerukan laguna Sudetan Pengelolaan catchment area secara vegetatif dan sipil teknis Tata batas Penetapan Menteri Rehabilitasi Konservasi
143
Berdasarkan data dan informasi dalam tahapan identifikasi sistem sosialekologi di Kawasan Laguna Segara Anakan dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini: 1. Kualitas SDM pengguna sumberdaya di kawasan laguna Segara Anakan pada umumnya tergolong rendah, dilihat dari tingkat pendidikan yang sebagian besar penduduknya adalah lulusan Sedolah Dasar, bahkan banyak yang tidak lulus. 2. Ketergantungan pengguna sumberdaya pada luasan laguna terutama adalah nelayan. Selain luasan, mereka juga tergantung pada kedalaman laguna. Kondisi saat ini (laguna yang semakin dangkal dan menyusut) seringkali membuat nelayan jarang melakukan aktivitas penangkapan ikan. 3. Pengaruhnya pada ekologi dari pengguna sumberdaya diantaranya adalah terjadinya perubahan lingkungan biofisik di kawasan Segara Anakan, antara lain kerusakan akibat proses sedimentasi yang berdampak pada menurunnya hasil tangkapan nelayan, serta kerusakan vegetasi hutan mangrove akibat penambahan jumlah pendudukyang melakukan penebangan bakau dimana arealnya dimanfaatkan sebagai pemukiman, lahan pertanian dan tambak. 4. Kinerja ekonomi yang terjadi di kawasan Laguna Segara Anakan umumnya berlangsung berdasarkan kriteria sosial ekonomi. Nelayan, pembudidaya, pencari ikan kerang, kepiting), dan penderes sangat tergantung pada Bakul. Bakul merupakan pedagang perantara yang dinilai memiliki strata sosial lebih tinggi. Selain itu, keterbatasan sarana dan prasarana termasuk transportasi membuat pengguna sumberdaya memilih untuk mengandalkan peran bakul dalam memasarkan hasil produksinya. 5. Kemampuan untuk beradaptasi pengguna sumberdaya di kawasan laguna Segara Anakan pada umumnya merupakan bentuk respon terhadap perubahan lingkungan, baik secara fisik maupun sosial budaya. Bentuk adaptasi yang dilakukan secara umum adalah dengan cara produksi, yaitu upaya masyarakat untuk menambah atau mengurangi jumlah barang terutama pangan dan sumber energi. Kegiatan lainnya adalah melakukan diversifikasi pekerjaan, melibatkan anggota keluarga dan menerima program bantuan baik dari pemerintah ataupun bukan.
144
5.1.2. Identifikasi Sarana dan Prasarana 5.1.2.1.
Prasarana Penyediaan Air Bersih
Prasarana penyediaan air bersih di kawasan Laguna Segara Anakan ini masih mengandalkan air tawar dari mata air di Pulau Nusakambangan yang ada di gua-gua. Air-air tersebut dibendung, kemudian dipasang pompa untuk mempermudah proses penarikan air, untuk selanjutnya dialirkan ke bak-bak penampungan di sekitar pemukiman penduduk. Kondisi ini tidak berjalan secara kontinyu untuk semua wilayah di kawasan ini, beberapa masih melakukan secara manual, dengan cara menampung air dalam perahu untuk selanjutnya dibawa ke rumah. Hal ini tentunya masih memerlukan biaya, yang bisa dideskripsikan sebagai berikut: biaya untuk menarik air ke dalam perahu Rp 2.000,-; biaya air 1 perahu/compreng Rp 20.000,-; biaya pemindahan air dari perahu ke dalam bak di rumah Rp 8.000,-. Air sebanyak ini digunakan untuk keperluan sehari-hari, yaitu mandi, minum, dan mencuci, dimana tingkat kecukupannya sangat tergantung pada besarnya jumlah keluarga dalam setiap rumah tangga. Fasilitas air bersih yang ada di wilayah ini dapat dilihat pada Gambar 59 sampai dengan Gambar 61.
Gambar 59.
Mata Air yang Dibendung dan Dipasang Pompa
Gambar 60.
Pipa untuk Menyalurkan Air Tawar ke Bak-Bak Penampungan
145
Gambar 61.
Proses Pengangkutan Air Bersih
5.1.2.2. Prasarana Penerangan Prasarana penerangan yang ada di kawasan ini adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Namun fasilitas PLTS ini belum merata untuk semua warga. Karena keterbatasan jumlah panel-panel yang ada, hanya sebagian kecil warga yang bisa menikmati penerangan dengan PLTS ini. Itupun tidak bisa sepanjang hari, hanya beberapa jam saja. Sebagian besar warga lainnya memenuhi kebutuhan penerangan dengan menggunakan genset. Ada yang milik sendiri ataupun ikut iuran membeli bensin kepada tetangga yang memilikinya, dengan biaya berkisar antara Rp 1.000,- samapi dengan Rp 5.000,- setiap malamnya, tergantung penggunaannya yaitu banyaknya lampu yang digunakan atau kegiatan lain seperti penggunaan alat listrik lain (setrika, televisi, dll).
Gambar 62.
PLTS di Desa Ujung Alang
5.1.2.3. Prasarana Pendidikan Rendahnya tingkat pendidikan di Kecamatan Kampung Laut disebabkan karena rendahnya sarana prasarana pendidikan yang terdapat di Kecamatan Kampung Laut. Menurut BPS Kabupaten Cilacap 2008, jumlah SD sederajat sebanyak 13 buah, SLTP sederajat sebanyak dua buah dan SLTA Sederajat
146
sebanyak satu buah dan ditambah jumlah tenaga pengajar/guru yang belum memadai memenuhi kuota yang sesuai (Tabel 52). Tabel 52. Tingkat Pendidikan Kecamatan Kampung Laut (2008) No 1 2 3 4 5 6 7
Uraian Tidak/Belum Sekolah Belum Tamat SD Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Akademi/PT Total
Jumlah (Orang) 3.835 1.938 1.624 4.623 660 374 51 13.105
Sumber : Anonimous2 (2009)
Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan disajikan pada Gambar 63. Sebagian besar responden tidak memenuhi pendidikan dasar 6 tahun. Berdasarkan hasil wawancara, hal tersebut dikarenakan dahulu masih jarang sekali sekolah di wilayah kampung laut. Selain itu, orientasi orang tua jaman dahulu di wilayah kampung laut tidak ke arah pendidikan, tetapi bagaimana agar anak-anaknya dapat membantu kedua orang tua bekerja. 60
50
40
30
20
10
0 Tidak tamat SD
Tamat SD
Tidak tamat SLTP
Gambar 63. Tingkat Pendidikan Responden di Segara Anakan
Tamat SLTP
147
Tabel 53. Rasio Sekolah, Murid dan Guru di Kecamatan Kampung Laut (2008) Sekolah Sekolah Murid (orang) Guru (orang) Rasio Murid dan Guru
SD Sederajat 5 1.938 50 39 : 1
SLTP Sederajat 2 540 26 21 : 1
SLTA 1 139 16 6: 1
Sumber : Anonimous2. 2009
Pada Tabel 53 dapat terlihat bahwa pendidikan di Kecamatan Kampung Laut rasio antara guru dan murid masih belum cukup. Hal tersebut diperparah dengan keadaan guru-guru yang berada di Kecamatan Kampung Laut biasanya tidak menetap di lokasi kawasan. Setiap hari dengan menggunakan perahu milik pemerintah, guru-guru harus melewati kawasan perairan Segara Anakan untuk sampai di lokasi sekolah. Setidaknya selama satu hingga dua jam perjalanan berangkat dan perjalanan pulang. Belajar mengajar di Kecamatan Kampung Laut tidak berjalan apabila musim angin (hujan tiba), karena rawannya menyeberang ke lokasi sekolah. Kondisi sarana pendidikan di Kampung Laut dapat dilihat pada Gambar 64 dan 65.
Gambar 64.
5.1.2.4.
SD Filial di Dusun Bondan
Gambar 65.
SD Induk di Desa Ujung Alang
Prasarana Kesehatan
Menurut BPS Kabupaten Cilacap (2007), di Kecamatan Kampung Laut minimnya sarana kesehatan berupa Puskesmas sebanyak 1 buah, puskesmas pembantu sebanyak 1 buah dan posyandu sebanyak 21 buah. Padahal di tingkat kecamatan yang memiliki empat desa dengan akses transportasi yang terbatas, menjadikan sarana dan prasarana di Kecamatan Kampung laut tidak memadai. Hal ini juga terlihat dari jumlah petugas kesehatan yang minim. Dokter umum 1
148
orang, perawat 4 orang, bidan 4 orang. Selain itu, tenaga paramedis yang ada karena berdomisili di Cilacap, pada saat akhir pekan tidak ada di tempat.
5.1.2.5.
Prasarana Komunikasi
Prasarana komunikasi di wilayah ini, pada umumnya masyarakat sudah memiliki sarana komunikasi seperti handphone. Hal ini dilakukan terutama untuk menjalin komunikasi dengan anggota keluarga yang berada di luar kota.
5.1.2.6.
Prasarana Keagamaan
Prasarana keagamaan yang ada di setiap desa diantaranya adalah gereja dan mesjid. Demikian juga halnya dengan tokoh agamanya.
Gambar 66.
5.1.2.7.
Sarana Ibadah Agama Kristen
Gambar 67.
Kegiatan Perayaan Agama Islam
Prasarana Transportasi
Kondisi sistem transportasi dapat diukur dengan aksesibilitas dan mobilitas wilayah tersebut. Aksesibilitas dapat dilihat berdasarkan jangkauan wilayah oleh prasarana transportasi dan kemudahan manusia mendapatkan sarananya. Sarana transportasi yang ada di kawasan ini masih terbatas. Untuk wilayah seperti desa Panikel karena sudah tersambung dengan kabupaten Cilacap yaitu kecamatan
Kawunganten,
sebagian
wilayahnya
bisa
dijangkau
dengan
menggunakan angkutan umum. Namun untuk wilayah lain yang masih menggunakan perahu.
149
Gambar 68.
Sarana Transportasi Anak Sekolah
Gambar 69.
Sarana Transportasi Menuju Cilacap
5.1.3. Identifikasi Penyedia Prasarana Identifikasi penyedia prasarana yang ada di kawasan laguna Segara anakan dilakukan dengan analisis stakeholder. Analisis ini dimaksudkan untuk membuat peta pelaku berdasarkan pengaruh dan kepentingannya sebagai salah satu komponen utama dalam sistem sosial-ekologi sampai pada akhirnya dapat mempengaruhi faktor kerentanan dan resiliensi. Dalam analisis stakeholder ini, representasi stakeholder yang ditentukan melalui teknik snowball, diwawancara untuk mengidentifikasi
pengaruh dan
kepentingannya terhadap kawasan laguna Segara Anakan. Stakeholder yang teridentifikasi dikategorikan pada beberapa tingkatan, yaitu lokal, regional dan nasional. Stakeholder tingkat lokal mencakup pemerintahan dan lembaga di tingkat kecamatan dan desa, serta pelaku usaha atau kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan laguna Segara Anakan yang terdiri dari: Camat, Kepala desa, Kepala dusun, Nelayan, Petani, Petambak, Penderes, Buruh, Pedagang, Pengumpul, Masyarakat lokal, LSM lokal, Organisasi sosial, Wisatawan dan LP Nusakambangan. Stakeholder tingkat regional dan nasional adalah lembaga pemerintahan baik pada tingkat regional dalam hal ini kabupaten dan propinsi serta tingkat nasional untuk pemerintahan pusat yang berwenang dalam pengaturan dan kebijakan terhadap pengelolaan kawasan laguna Segara Anakan. Hasil identifikasi stakeholder di kawasan laguna Segara Anakan berdasarkan kepentingannya dapat dilihat pada Tabel 54 berikut.
150
Tabel 54. Stakeholder Pengelolaan Kawasan Laguna Segara Anakan No 1
Tingkat Lokal
Stakeholder Camat Kepala desa Kepala dusun Nelayan Petani Petambak Penderes Buruh Pedagang Pengumpul Masyarakat lokal LSM local Organisasi sosial
2
Regional
Wisatawan LP Nusakambangan Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Cilacap KPSKSA Perhutani Kab. Cilacap
3
Nasional
Dinas Kehutanan Kab. Cilacap Bappeda Kab. Cilacap BPLHD Kab. Cilacap DPRD Kab. Cilacap Kehakiman Pertamina Bappeda Propinsi Jawa Tengah Kementerian Kelautan dan Perikanan Kementerian Lingkungan Hidup BPPT IPB, UNDIP, UGM
Sumber : Data Primer (2010)
Kepentingan PAD, kesejahteraan masyarakat dan ketentraman PAD, kesejahteraan masyarakat dan ketentraman PAD, kesejahteraan masyarakat dan ketentraman Pendapatan dan kelestarian sumberdaya (ikan) Pendapatan dan kelestarian sumberdaya (air tawar) Pendapatan dan kelestarian sumberdaya (air payau) Pendapatan Pendapatan Pendapatan Pendapatan Kesejahteraan, kelestarian sumberdaya, pembangunan Pemberdayaan masyarakat Partisipasi masyarakat, keamanan, keberlanjutan Keindahan alam, keamanan Stabilitas, penegakan hukum Pengelolaan sumberdaya perikanan dan wilayah pesisir Konservasi sumberdaya alam, kelestarian ekosistem Konservasi sumberdaya alam, kelestarian ekosistem Konservasi sumberdaya alam, kelestarian ekosistem Kesejahteraan, integrasi pembangunan Kelestarian ekosistem Stabilitas, penegakan hukum Stabilitas, penegakan hukum Keberlanjutan Koordinasi pembangunan antar wilayah Pengelolaan sumberdaya perikanan dan wilayah pesisir, konservasi SDA Koordinasi nasional konservasi lingkungan Penelitian dan pendidikan publik Penelitian dan pendidikan publik
151
Tabel 54 menunjukkan kondisi dari keragaman kepentingan stakeholder terhadap kawasan laguna Segara Anakan sesuai dengan cakupan wilayah, tupoksi dan tujuan pengelolaannya. Terkait dengan kepentingan pengelolaan sumberdaya, tujuan keberadaan dan aktivitas dari stakeholder secara umum tercermin pada tugas dan fungsi utama dari masing-masing stakeholder tersebut. Misalnya, instansi pemerintah memunyai tugas dan fungsi manajemen pelaksanaan pembangunan secara umum, badan perencana mempunyai tugas dan fungsi perencanaan sedangkan
dinas teknis daerah lebih fokus pada
operasional pengembangan pengelolaan. Disamping stakeholder-stakeholder dengan tujuan-tujuan yang sifatnya umum, terdapat sejumlah stakeholder dengan tujuan-tujuan yang lebih khusus. Misalnya adalah stakeholder dengan tujuan-tujuan yang terkait dengan kepentingan pemeliharaan kondisi ekologi (LSM, peneliti, dinas teknis daerah, wisatawan), kepentingan ekonomi (pelaku usaha, pemerintah daerah, dan masyarakat) dan kepentingan sosial (organisasi sosial, peneliti, pemerintah dan LSM). Hasil identifikasi tujuan dan kepentingan tersebut di atas secara grafis dapat diilustrasikan dalam peta stakeholder. Pemetaan stakeholder ini dilakukan dengan menghitung skor kepentingan dan pengaruh stakeholder. Dalam pemetaan ini, stakeholder dikelompokkan menurut kategori primer, sekunder dan eksternal yang dianalisis berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruhnya. Sebaran posisi setiap stakeholder sehubungan dengan tingkat kepentingan dan pengaruhnya dalam pengelolaan kawasan laguna Segara Anakan dapat dilihat pada Gambar 70 berikut.
152
Gambar 70. Grafik Kepentingan dan Pengaruh dari Stakeholder terkait Pengelolaan Kawasan Laguna Segara Anakan
Stakeholder primer memiliki tingkat kepentingan yang relatif tinggi terhadap kawasan laguna Segara Anakan tetapi memiliki pengaruh yang relatif rendah dalam pengambilan keputusan dan hubungan dengan stakeholder lain. Berdasarkan analisis stakeholder, yang termasuk dalam kelompok stakeholder primer adalah nelayan, masyarakat lokal, petani, penderes, petambak dan buruh. Dari keenam stakeholder ini, nelayan yang memiliki tingkat kepentingan yang paling tinggi dan masyarakat lokal yang memiliki tingkat pengaruh paling tinggi. Bagi nelayan dan masyarakat, kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial sangat besar terhadap keberadaan dan keberlanjutan laguna Segara Anakan. Nelayan memanfaatkan sumberdaya laguna untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Stakeholder sekunder pada umumnya adalah instansi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan pelaku usaha atau industri. Berdasarkan hasil analisis stakeholder yang termasuk dalam kelompok stakeholder sekunder adalah: instansi pemerintah (camat, kepala desa, kepala dusun, Perhutani, KPSKSA, DKP, BPLHD, Bappeda, Kehakiman), lembaga swadaya masyarakat (LSM lokal, organisasi sosial), dan pelaku usaha atau industri (pedagang, pengumpul), termasuk wisatawan.
153
Stakeholder eksternal adalah stakeholder yang memiliki pengaruh yang relatif tinggi tetapi tingkat kepentingannya rendah. Stakeholder eksternal dalam pengelolaan kawasan Laguna Segara Anakan adalah instansi pemerintah diluar wilayah Cilacap dan kalangan akademisi.
5.1.4. Dinamika Sistem Sosial-Ekologi Dinamika sistem sosial-ekologi dapat dilihat dengan menggunakan pendekatan analisis sejarah. Analisis ini merupakan merupakan pendalaman kondisi sistem sosial-ekologi di kawasan laguna Segara Anakan dari perspektif sejarah, yang menjelaskan perubahan lingkungan, dan dikaitkan dengan mata pencaharian, yang kemudian dikaitkan dengan kondisi kerentanan maupun resiliensi. Untuk itu dilakukan identifikasi yang terbagi dalam beberapa periode, yaitu: 1) tahun 1980 – 1985; 2) tahun 1986 – 1990; 3) tahun 1991 – 1995; 4) 1996 – 2000; 5) 2001 - sekarang.
5.1.4.1. Periode Tahun 1980 – 1985 Meletusnya Gunung Galunggung pada tahun 1982 dipercaya sebagian masyarakat sebagai pemicu terjadinya sedimentasi di Laguna Segara Anakan. Sedimentasi yang terjadi mengakibatkan menyusutnya laguna sebesar 247 ha. Pembentukan daratan ini diikuti dengan pembentukan sawah seluas 2.557 Ha. Adanya pembentukan sawah ini menunjukkan kecenderungan telah terjadi perubahan mata pencaharian dari kegiatan perikanan ke pertanian. Meskipun demikian kegiatan perikanan belum sepenuhnya berkurang, karena nelayan belum memiliki keahlian sebagai petani. Sebagai sebuah pencaharian yang baru bagi masyarakat, pertanian sawah pada saat itu relatif tidak dapat dikelola sepenuhnya oleh penduduk Segara Anakan. Situasi tersebut kemudian mendorong kemunculan ide di kalangan masyarakat petani untuk mendatangkan petani-petani berpengalaman dari daratan Pulau Jawa untuk bekerjasama dan dalam rangka alih teknologi dari mereka. Petani-petani berpengalaman dari daratan Pulau Jawa ini didatangkan dengan mekanisme ‘sistem bawon’. Sistem bawon diaplikasikan secara bervariasi oleh para petani Segara Anakan, tapi pada prinsipnya harus melalui kesepakatan yang mengikat di antara pemilik lahan dan pembawon. Masyarakat petani Segara Anakan dan petani pendatang dari daratan Pulau Jawa melalui sistem ini harus menyepakati rincian mengenai hak dan kewajiban yang dikaitkan
154
dengan pemberian hak pemanfaatan lahan yang dimiliki oleh petani Segara Anakan kepada pendatang, termasuk di antaranya kompensasi yang diberikan kepada para petani pendatang tersebut atas tenaga dan transfer teknologi kepada masyarakat Segara Anakan. Dalam konteks ini, terdapat dua skema yang dipergunakan, merdiyo1 atau paro2. Secara diagramatik dapat dilihat pada Gambar 71 berikut ini. Peningkatan jumlah penduduk Banyak petani pendatang (bawon)
Kegiatan perikanan menjadi pertanian Lahan sawah: 2.557 ha
Badan air menyusut
G. Galunggung meletus
Sedimentasi: - 247 Ha
Gambar 71. Interaksi kejadian ekologis dengan sosial pada periode tahun 19801985
Upaya pembukaan lahan dimulai dengan mematoki alas bakau yang diyakini warga Kampung Laut sebagai warisan nenek moyang. Pematokan ini menimbulkan persengketaan antara pihak Perhutani, Departemen Kehakiman dan warga masyarakat sendiri. Pada akhirnya setelah dibentuk tim penyelidik wilayah diputuskan bahwa masyarakat Kampung Laut dapat memanfaatkan tanah timbul untuk meningkatkan taraf hidupnya. Sebagai akibat dari menurunnya kinerja penghidupan berbasis air yang berkembang di awal-awal kehidupan sosial mereka, terutama perikanan dan bentuk pencaharian berbasis lahan terestrial yang muncul setelahnya, yaitu
1
2
Merdiyo adalah skema pengelolaan tanah atau sawah di mana dalam 2 (dua) tahun pertama pengelola tidak memberikan hasil apapun kepada pemilik. Biasanya, hal itu diikuti oleh sistem paro tahun-tahun berikutnya. Paro adalah sistem bagi hasil dimana hasil panen secara merata dibagi menjadi 2 (dua) antara pengelola dan pemilik dengan biaya operasional juga dibagi secara merata, tetapi biaya pengelolaan lahan adalah pengelola.
155
pertanian, penduduk Segara Anakan memulai petualangan baru pada lahanlahan terestrial yang ‘tumbuh’. Pada tahun 1981, Yayasan Sosial Bina Sejahtera (YSBS)
memberi
bantuan
kepada
masyarakat
Kampung
Laut
melalui
pembangunan tanggul permanen yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap pertanian sawah, mulai dari Klaces di bagian barat hingga Pasuruhan di bagian timur sepanjang 6 km. Perpindahan penduduk secara besar-besaran dari daratan Pulau Jawa pada gilirannya menyebabkan kenaikan polupasi secara signifikan di Segara Anakan. Pendatang dari daratan didorong untuk datang dan membudidayakan tanaman pertanian di lahan-lahan tanah timbul, yaitu padi. Dengan motivasi atau dorongan ini,sejumlah besar luasan mangrove dikonversi menjadi sawah dan komplek
permukiman.
Tentu
saja
ini
merupakan
perkembangan
yang
mengkhawatirkan karena peningkatan polulasi tersebut terjadi dengan kecepatan yang sangat tinggi.
5.1.4.2.
Periode Tahun 1986 – 1990
Pada periode tahun 1986 – 1990 ini sedimentasi terus berlanjut, dimana terjadi penambahan daratan seluas 74 ha dan penyempitan laguna seluas 346 ha. Perubahan ini diiringi pembentukan sawah seluas 2.081 ha, dan penambahan pemukiman sebanyak 2 ha. Hal ini merupakan implikasi dari penambahan jumlah penduduk terutama pendatang yang memang berprofesi sebagai petani. Pada periode ini mulai dilakukan upaya pengaturan pengelolaan lahan oleh pemerintah desa yaitu dengan membagi 0,5 ha tanah di tanah timbul pada setiap keluarga untuk dijadikan lahan pertanian, yang selanjutnya kepala keuarga dapat menggarap sampai 2 ha. Sejalan dengan bertambahnya ketersediaan lahan pertanian, yang kemudian memicu datangnya lebih banyak lagi pendatang, komplek-komplek permukiman baru dibangun. Pada periode ini, dengan terjadinya penambahan lahan pertanian, mengakibatkan bertambahnya lahan untuk permukiman penduduk. Dengan kata lain, pertanian tidak hanya mengkonversi mangrove menjadi sawah melainkan juga meningkatkan luasan lahan permukiman dan menambah tekanan terhadap sumberdaya. Pada periode ini pula, tambahan dua hektar komplek permukiman kembali terjadi. Hal ini semakin mempercepat proses degradasi lingkungan di Segara Anakan (Purnomo and Suryawati 2009). Berdasarkan pada hasil wawancara dengan narasumber kunci, pengelolaan
156
pertanian sawah cukup berhasil dengan adanya bantuan teknis yang diberikan oleh sebuah organisasi berbasis keagamaan. Perkembangan lebih lanjut di Segara Anakan pada periode tersebut menunjukkan bahwa ekonomi berbasis lahan terrestrial yang baru saja berkembang saat itu menarik minat lebih banyak penduduk luar kawasan untuk datang dan bermukim di Segara Anakan. Pada periode ini, masyarakat sempat mengalami panen raya dari lahan sawah mereka. Ini terjadi terutama karena dukungan dari pengelolaan air yang diperkenalkan oleh yayasan YSBS. Menurut penuturan narasumber kunci, pada saat terjadi panen raya, bangunan penyimpanan (pendopo) bahkan tidak dapat mengakomodasikan penyimpanan seluruh hasil panen. Pada saat ini, seiring dengan penurunan produktivitas lahan, nbangunan
penyimpanan
tersebut
dalam
kondisi
yang
hamper
tidak
termanfaatkan. Masyarakat kini memanfaatkan bangunan tersebut untuk kegiatan belajar mengajar sebuah sekolah dasar, yaitu SDN 01 Ujungalang. Penurunan tersebut terutama terkait dengan tidak berfungsinya tanggul penahan air yang diakibatkan oleh perkembangan tambak, yang pada saat itu dibangun di lokasi tidak jauh dari tanggul pertanian. Secara diagramatik kejadian sosial dan ekologis yang terjadi pada periode ini dapat dilihat pada Gambar 72 berikut ini. Pendatang terus berdatangan Kegiatan pertanian meningkat
Pemukiman baru: 2 ha Lahan sawah: 2.081 ha
Badan air menyusut: 346 ha
Sedimentasi berlanjut
Penambahan lahan: +74 ha
Gambar 72. Interaksi kejadian ekologis dengan sosial pada periode tahun 1986 1990
157
5.1.4.3.
Periode Tahun 1991 – 1995
Pada periode tahun 1991 – 1995 ini sedimentasi terus berlanjut, dimana terjadi penambahan daratan seluas 1.399 ha dan penyempitan laguna seluas 719 ha. Perubahan ini diiringi dengan penambahan lahan pemukiman sebanyak 3 ha. Hal ini menyebabkan penurunan yang drastis dalam hal produksi perikanan dan pendapatan nelayan. Ekonomi berbasis perairan, terutama perikanan sangat terganggu karenanya. Perkembangan ekologis yang ada tersebut mendorong berkembangnyajeis kegiatan ekonomi baru: pertambakan ikan. Pembentukan tanah-tanah timbul yang terdorong oleh percepatan proses sedimentasi kemudian mendorong masyarakat untuk mengembangkan tambaktambak ikan. Namun demikian, karena tambak-tambak tersebut sebagian besar berlokasi sangat dekat dengan lahan kehutanan, hak kepemilikan tanah tersebut sering dikategorikan sebagai hak kepemilikan lahan kehutanan. Namun demikian, masyarakat terus melanjutkan pertanian terlepas dari kenyataan tentang hak kepemilikan tersebut. Pada gilirannya, hal ini memunculkan konflik kepemilikan. Pada periode ini juga masyarakat mulai melakukan kegiatan perikanan budidaya, yaitu udang windu. Perubahan ekosistem juga berpengaruh pada penurunan produktivitas perikanan. Pada periode berikutnya, penurunan produksi perikanan berlanjut. Perikanan tidak lagi menjadi pencaharian yang menarik bagi masyarakat. Sementara itu, pertanian menjadi semakin poluler di kalangan masyarakat. Namun emikian, sebagaimana terjadi pula pada periode sebelumnya, pendusuk asli tidak memiliki cukup pengetahuan dan ketrampilan untuk bekerja di perjtanian, dan karenanya harius mendatangkan petani berpengalaman untuk bekerjasama. Sebagaimana dapat diduga, terjadi semakin banuyak in-migrasi, yang menyebabkan populasi semakin meningkat tajam. Secara diagramatik kejadian sosial dan ekologis yang terjadi pada periode ini dapat dilihat pada Gambar 73 berikut ini.
158
Pendatang terus berdatangan Produksi perikanan menurun drastis
Pemukiman baru: 3 ha Pembukaan tambak
Badan air menyusut: 719 ha
Sedimentasi semakin cepat
Penambahan lahan: + 1.399 ha
Gambar 73. Interaksi kejadian ekologis dengan sosial pada periode tahun 1991 1995 5.1.4.4. Periode Tahun 1996 – 2000 Pada periode tahun 1996 – 2000 ini sedimentasi terus berlanjut, dimana terjadi penambahan daratan seluas 631 ha dan penyempitan laguna seluas 594 ha. Perubahan ini diiringi dengan penambahan lahan pemukiman sebanyak 5 ha. Kegiatan pertanian yang dilakukan membawa peranan yang berbeda, yaitu: petani adalah pemilik lahan; buruh tani adalah petani yang tidak memiliki lahan tapi memperoleh pendapatan dari menggarap lahan; dan petani penggarap adalah petani yang menggarap lahan orang lain. Perbedaan ini membawa implikasi pada perbedaan tingkat pendapatan. Aktivitas-aktivitas sosial ekonomi yang terjadi sebagai sebuah respon terhadap dinamika ekologi pada masa silam telah mempercepat degradasi lingkungan. Cakupan areal mangrove yang cukup besar mengundang pada investor untuk mengusahakan pertambakan secara ekstesif. Pada tahun 1997 berlangsung kejadian penting di Kampung Laut, dimana areal mangrove dikuasai oleh orang-orang dari luar Kampung Laut. Ini terjadi juga karena pembudidayapembudaya dari bagian lain di Pulau Jawa mengalami kesulitan untuk melakukan ekspansi areal pertambakan mereka. Mereka menemukan kesempatan yang lebih baik di tempat lain termasuk di Segara Anakan. Petambak-petambak dari luar ini berasal dari Pangandaran, Jakarta, Lampung, Karawang, dan
159
Pekalongan. Tanah timbul yang menempel ke pantai Pulau Nusakambangan menjadi titik-titik perrebutan utama karena kesuburannya dan karena posisinya yang tinggi sehingga terlindung dari pasang dan banjir. Degradasi lingkungan terjadi begitu cepat pada periode tersebut, menimbulkan berbagai komplikasi tambahan pada masalah-masalak sosialekonomi. Pengurangan luasan mangrove secara signifikan berdampak pada ekologi dan kehidupan sosial masyarakat Kampung Laut. Dampak lingkungan yang terjadi adalah penurunan stok ikan,penurunan kemampuan kawasan untuk menghadapi tekanan alam. Secara sosial ekonomi, pendapatan nelayan juga menurun. Meskipun lahan pertanian tersedia lebih banyak, kesempatan ini tidak dapat dimaksimalkan karena ketiadaan ketrampilan yang mamadai untuk memanfaatkannya.di sisi lain, pendatang menikmati kesempatan dengan memanfaatkan keberadaan tanah-tanah timbul yang makin meluas.Potensi konflik menjadi semakin nyata karena perkembangan tersebut. Pertambakan yang dipraktekkan oleh para pendatang berhasil. Hal ini mendorong masyarakat Kampung Laut untuk mengadopsi teknologi budidaya. Namun demikian, mereka tidak berhasil karena mereka melakukannya pada lahan-lahan yang baru terbentuk. Tidak hanya penduduk desa, para tahanan Nusakambangan juga ikut mengikuti perkembangan tersebut. Menurut data desa Ujung Alang, total areal pertambakan pada saat itu mencapai 187 hektar. Kemudian, diperoleh hasil bahwa pada saatnya pertambakan-pertambakan tersebut juga gagal, terutama karena sistem irigasi yang buruk dan system hidrologi yang kurang baik di Segara Anakan, serta adanya penjarahan yang puncaknya terjadi pada tahun 1998. Secara diagramatik kejadian sosial dan ekologis yang terjadi pada periode ini dapat dilihat pada Gambar 74 berikut ini.
160
Masalah sosek semakin kompleks Produksi perikanan terus menurun
Pemukiman baru: 5 ha Usaha tambak udang bangkrut
Badan air menyusut:: 594 ha
Sedimentasi semakin cepat
Penambahan lahan: + 631 ha
Gambar 74. Interaksi kejadian ekologis dengan sosial pada periode tahun 1996 2000 5.1.4.5.
Periode Tahun 2001 - Sekarang
Pada periode tahun 2001 sampai dengan saat ini sedimentasi terus berlanjut, dimana terjadi penambahan daratan seluas 631 ha dan penyempitan laguna seluas 366 ha. Pada periode ini, pengerukan laguna dilaksanakan untuk mengurangi sedimentasi. Antara tahun 2000 dan 2005, tiga kali Segara Anakan dikeruk, yaitu di titik Plawangan, selatan Desa Karanganyar, dan dekat muara. Meskipun hasil pengerukan seperti tidak menunjukkan hasil yang nyata. Plawangan yang merupakan gerbang pertemuan sungai dengan laut selatan bahkan kini nyaris tertutup sedimentasi. Pembuangan hasil pengerukan kemudian dikirim ke lokasi-lokasi lain termasuk Klaces. Petani yang tanahnya dipergunakan untuk membuang hasil pengerukan memperoleh kompensasi untuk tanaman-tanaman ekonomis, misalnya pohon kelapa. Seiring dilakukannya pengerukan, air laguna menjadi keruh, sehingga menghalangi nelayan untuk melakukan kegiatan melaut. Untuk alasan ini, kompensasi juga diberikan kepada nelayan. Secara diagramatik kejadian sosial dan ekologis yang terjadi pada periode ini dapat dilihat pada Gambar 75 berikut ini.
161
Konflik tanah timbul
Pengerukan laguna
Produksi perikanan terus menurun Pemukiman baru bertambah
Badan air menyusut: 366 ha
Sedimentasi terus berlanjut
Usaha tambak udang tradisional berkembang
Penambahan lahan: + 631 ha
Gambar 75. Interaksi kejadian ekologis dengan sosial pada periode tahun 2001 – sekarang
Secara umum, berdasarkan hasil analisis sejarah dalam penelitian ini menunjukkan bahwa penyesuaian-penyesuaian sosial terjadi untuk merespon perkembangan dinamika ekologi. Jenis-jenis dan struktur pencaharian juga berkembang. Sementara itu, visi masyarakat juga mengalami perubahan; sebagian di antara mereka bertransformasi dari ‘manusia maritim’ ke ‘manusia terestrial’. Penelitian ini menunjukkan indikasi yang kuat bahwa perubahanperubahan dalam konteks sosial mulai berdampak pada aspek-aspek ekologi; produktivitas perikanan menurun, sementara itu output terrestrial juga belum cukup signifikan. Dalam analisis ini juga dapat dilihat bagaimana siklus adaptif yang terjadi di Segara Anakan. Siklus adaptif yang dimaksud adalah siklus pembaruan adaptif adalah sebuah model heuristic, yang dihasilkan dari observasi terhadap dinamika ekosistem pada empat fase perkembangan yang diarahkan oleh kejadian dan proses diskontinu dalam pengelolaan sumberdaya di kawasan laguna Segara Anakan. Siklus ini merupakan gambaran dari beberapa periode, yaitu periode perubahan eksponensial (eksploitasi atau fase r), periode pertumbuhan statis dan kaku (konservasi atau fase K), periode pengaturan ulang dan kehancuran (pelepasan atau fase Ω), serta periode reorganisasi dan pembaruan (fase α). Praktek pengelolaan tradisional sumberdaya perikanan di laguna Segara Anakan
162
berdasarkan fase siklus pengelolaan adaptif yang dikembangkan oleh Holling (1986) dan Gunderson et al. (1995) dapat dilihat pada Tabel 55. Tabel 55. Praktek Pengelolaan Tradisional Sumberdaya Perikanan di Laguna Segara Anakan berdasarkan Fase Siklus Pengelolaan Adaptif (Holling 1986, Gunderson et al, 1995) Fase siklus Release
-
-
Renewal
-
Exploitation
-
Conservation
-
Praktek Pengelolaan Tradisional Perkembangan pertanian diteruskan dengan implikasi kerusakan yang signifikan Pertambakan dan sawah berkembang hampir tak terkendalikan Penggunaan jaring apong untuk kegiatan penangkapan ikan Sedimentasi terus berlanjut Konservasi tetap, tapi prasarana produksi pertanian dibenahi Pengendalian kepemilikan lahan Pengaturan jalur pemasangan jaring apong Penebangan bakau dan pemanfaatan tanah timbul untuk pertanian ‘bawon’ Extensifikasi pertanian di wilayah yang telah tersambung dengan daratan Budidaya tumpangsari untuk meredam laju pertanian sawah Melokalisir perkembangan areal pertambakan
Sumber: data primer (2010)
Secara
visual
siklus
adaptif
di
laguna
Segara
Anakan
yang
menggambarkan resiliensi sosial-ekologinya sebagaimana siklus adaptif yang dikonsep oleh Holling (1973) dapat dilihat pada Tabel 56. Kurun waktu di antara Tahun 1980 hingga dekade terakhir ini merupakan periode yang sempurna untuk menggambarkan
hubungan
antara
kejadian-kejadian
sosial-ekonomi
dan
ekologis di Segara Anakan. Alasan utamanya adalah bahwa pada periode tersebut, terdapat rangkaian kejadian ekologis dan sosial yang terjadi melalui proses yang sangat cepat. Rangkaian kejadian tersebut dapat secara jelas mengambarkan hubungan satu kejadian dan kejadian berikutnya yang berlangsung dalam siklus-siklus adaptasi berulang.
163
Tabel 56. Siklus Adaptif Sosial-Ekologi di Laguna Segara Anakan Periode 1980 – 1985
1986 – 1990
Fase-r Meletusnya Gunung Galunggung dipercaya sebagian masyarakat sebagai pemicu sedimentasi Penebangan bakau dan pemanfaatan tanah timbul untuk pertanian ‘bawon’
Fase siklus adaptif Fase-K Fase-Ω Nelayan mencoba Masyarakat beralih mata membuka alas di pencaharian tanah timbul untuk menjadi petani kegiatan pertanian, diikuti dengan kegiatan pematokan lahan Budidaya tumpangsari untuk meredam laju pertanian sawah
1991 – 1995
Penebangan bakau untuk pertambakan dan pertanian baru
Melokalisir perkembangan areal pertambakan
1996 – 2000
Extensifikasi pertanian di wilayah yang telah tersambung dengan daratan
2001 – sekarang
Peningkatan eskalasi inmigrasi dan ekonomi di lokasi2 tertentu
Menunda pembangunan prasarana untuk mengendalikan peluasan pertanian Pengendalian sertifikasi lahan di tanah timbul: sertifikasi hanya diberikan untuk perumahan, bukan areal pertanian
Perkembangan pertanian diteruskan dengan implikasi kerusakan yang signifikan Pertambakan dan sawah berkembang hampir tidak terkendalikan Pengerukan intensif untuk mendukung pertanian Æ terjadi konflik disposal kerukan Terjadi jual beli lahan pertanian dari penduduk asli ke pendatang Æ kepemilikan lahan produksi menjadi pincang
Fase-α Adanya pihak ketiga yang berperan dalam transformasi kegiatan perikanan menjadi pertanian Konservasi tetap, tapi prasarana produksi pertanian dibenahi Pengendalian kepemilikan lahan Pengaturan pembuangan disposal plus penataan lokasi pertanian Fase reorganisasi belum terjadi
Sumber: data primer (2010)
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana disebutkan dalam analisis sejarah, terlihat bahwa berbagai kejadian tersebut berawal dari adanya sebuah letusan gunung berapi (Gunung Galunggung) pada Tahun 1982. Letusan tersebut berdampak besar pada laju sedimentasi pada sungai-sungai yang bermuara di Segara Anakan. Pendangkalan cepat yang memperluas areal daratan terjadi dan membuat masyarakat Segara Anakan untuk mempersiapkan sebuah respon utuk mempertahankan keberlanjutan mereka secara sosial dan ekonomis. Dalam terminologi Holling (2000), periode tersebut dapat digolongkan kedalam fase reorganisasi.
164
Dengan kondisi resiliensi seperti diuraikan di atas, respon sosial yang diberikan oleh masyarakat adalah mencari alternatif yang paling memungkinkan untuk menutup kerugian akibat menyusutnya areal perikanan. Pada saat itu, respon yang pada akhirnya muncul dari masyarakat Segara Anakan adalah pengembangan pencetakan lahan-lahan pertanian di atas tanah timbul yang terbentuk oleh proses sedimentasi cepat tersebut. Namun, dengan keterbatasan sumberdaya manusia yang dimiliki oleh masyarakat, pencetakan lahan-lahan pertanian tersebut dilakukan dengan mengundang petani-petani dari daratan Pulau Jawa dengan beberapa kesepakatan3 yang mereka tentukan bersama. Pada periode berikutnya, terjadi fase pertumbuhan (growth), dimana petani-petani bawon4 melakukan kegiatan budidaya padi di lahan-lahan tanah timbul. Hutan-hutan bakau yang berasal dari tanah-tanah yang baru terbentuk maupun yang timbul pada waktu-waktu sebelumnya dikonversi menjadi lahanlahan pertanian, terutama padi.
Pada saat itu, terjadi perubahan perilaku
masyarakat yang pada umumnya menggantungkan hidupnya pada lahan-lahan perairan, terutama sebagai nelayan. Dengan kondisi yang ada, sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa mereka telah menemukan momentum untuk mensejahterakan diri dengan menjadi masyarakat daratan, dengan kemudahan dan aksesibilitas terhadap berbagai sumber kehidupan darat. Dalam situasi seperti itu, jumlah petani pembawon yang masuk dan kemudian berdomisili di wilayah Segara Anakan meningkat tajam, menyebabkan kenaikan populasi secara signifikan. Kenaikan jumlah penduduk ini makin memperberat beban masyarakat setempat karena kompetisi yang meningkat. Sebagian masyarakat menemukan jalan keluar dengan melakukan aktivitas ekonomi yang destruktif termasuk penebangan hutan bakau. Dengan tingkat pendidikan yang pada umumnya rendah, pilihan pekerjaan pun menjadi terbatas; lebih jauh, pendidikan rendah juga membuat masyarakat sulit untuk menerima penyadaran dari luar tentang praktek destruktif. Sebagai contoh, mereka berpendapat bahwa tanaman yang tumbuh di bekas-bekas hutan bakau tidak termasuk kategori bakau, dan karenanya tidak dikenakan larangan penebangan.
3
4
Kesepakatan di antara masy. Segara Anakan dengan petani luar melalui sistem bawon: hak atas bidang sawah yang dimiliki oleh penduduk asli diberikan sebagian kepada petani pendatang sebagai imbalan atas pengerjaan sawah tersebut dan atas ‘pelajaran bertani’ yang diberikan oleh petani pendatang kepada pemilik hak bidang sawah Petani bawon adalah petani pendatang (atau dari manapun asalnya) yang mendapatkan upah penggarapan dalam bentuk bagian hasil tertentu
165
Secara bersamaan, sedimentasi terus berlangsung dan mengakibatkan penyusutan luasan laguna terus berlanjut, sehingga kegiatan perikanan semakin tidak ekonomis. Sebagian masyarakat dengan pengetahuan relatif lebih baik mengupayakan kelangsungan kehidupan sosial dan ekonominya melalui pengembangan usaha-usaha budidaya, sebagian lainnya mengembangkan perikanan lepas pantai. Namun, pengembangan usaha-usaha tersebut masih menemui banyak kendala; misalnya, perikanan lepas pantai belum terdukung oleh armada yang mampu dioperasikan pada saat musim ombak karena kapalkapal penangkap berukuran kecil. Sementara itu, informasi mengenai peluang ekonomi di Segara Anakan meluas ke kalangan lebih luas di wilayah lain sehngga tanah timbul dan hutan bakau secara berlanjut menjadi sasaran masyarakat, tidak hanya penduduk asli melainkan juga para pendatang. Perkembangan ini semakin mempercepat kerusakan ekologis di Segara Anakan. Dalam perkembangannya, pertanian yang mengandalkan keberadaan tanah timbul terbukti tidak memberikan solusi yang baik kepada masyarakat. Selain karena benefit yang ditimbulkan lebih dinikmati oleh para pendatang, produktivitas pertanian ternyata menurun setelah beberapa tahun kemudian karena beberapa sebab, salah satunya adalah karena irigasi yang terganggu oleh sedimentasi. Pada periode itu, masyarakat berpikir untuk mengurangi kecepatan kerusakan dengan berbagai upaya yang didukung oleh lembagalembaga pemerintah maupun non pemerintah. Budidaya tumpangsari yang menggabungkan tujuan-tujuan ekonomis dan ekologis diperkenalkan di beberapa lokasi. Salah satu contohnya adalah penanaman bakau yang digabungkan dengan
budidaya
kepiting
(Anonim,
2009),
yang
diharapkan
dapat
mengembalikan kondisi alam sekaligus memberikan manfaat ekonomis kepada masyarakat. Ini adalah fase konservasi sebagaimana dimaksudkan oleh Holling (2000). Upaya-upaya
konservasi
tidak
segera
menunjukkan
hasil
yang
memuaskan; kondisi tersebut mendorong masyarakat untuk memasuki fase reorganisasi (fase-α). Pada periode itu, upaya-upaya konservasi masih dijalankan, tetapi pengembangan pertanian kembali digalakkan melalui perbaikan prasarana-prasarananya. Prasarana utama yang endapatkan perhatian adalah prasarana
irigasi.
Langkah
konkret
yang
kemudian
dijalankan
adalah
mengajukan usulanusulan kepada pemerintah untuk melakukan pengerukan alur sungai atau anak sungai. Pengerukan tersebut juga dimaksudkan untuk
166
membuat tanah-tanah timbul ‘buatan’ dalam rangka memperuas areal lahan pertanian, yaitu dengan memanfaatkan tanah hasil pengerukan untuk melakukan penimbunan di lahan-lahan basah. Fase pertumbuhan (fase-r) kembali berulang. Dengan adanya prasarana irigasi yang lebih baik dan ketersediaan lahan pertanian yang lebih luas, kegiatan pertanian kebali meningkat. Sejalan dengan itu, di bagian lain dari kawasan Segara Anakan berkembang kegiatan-kegiatan produk lain, yang juga dilakukan dengan cara destruktif, yaitu pengembangan tambak udang, yang diawali dengan penebangan hutan bakau, yang dilakukan oleh para pendatang dari lokasi yang lebih jauh, yaitu Propinsi Jawa Barat. Seperti terjadi pada siklus sebelumnya, berbagai permasalahan baru kemudian timbul, termasuk penurunan produktivitas lahan tambak dan marginalisasi5 penduduk lokal, yang pada gilirannya mendorong upaya-upaya konservasi. Pada periode itu, upaya-upaya konservasi yang terjadi adalah di antaranya melokalisir kawasan pertambakan. Wilayahwilayah pertambakan tersebut dibatasi oleh batas administratif6, dengan harapan bahwa lahan tambak dikembangkan tidak melebihi batas terluas wilayah administratif tersebut. Pada periode-periode selanjutnya, pola siklus adaptif tidak berubah, yaitu berkembang dengan keterbatasan-keterbatasan yang tidak jauh berbeda. Interaksi sosial ekologis tidak berubah dan elemen-elemen resiliensi yang ada, berdasarkan hasil wawancara tercatat relatif sama untuk kondisi sekarang dan beberapa dekade sebelumya. Dengan situasi dan kondisi seperti itu, terpantau terjadi perubahan struktur pencaharian, dimana komposisi penduduk yang melakukan pekerjaan berbasis air mengalami penurunan sedang komposisi penduduk yang menggeluti jenis pekerjaan darat mengalami kenaikan sepanjang waktu (Gambar 76).
5 6
Lebih dari 95% penduduk Dusun Bondan adalah pendatang, yang mengusahakan budidaya tambak, udang dan atau bandeng Wilayah administratif baru adalah Dusun Bondan, yang mayoritas arealnya berupa tambak udang atau bandeng
167
Persen 60,00
Petani (farmer) Buruh tani (farm worker)
50,00 Nelayan (fisher) 40,00
30,00
20,00
10,00
1986* 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Tahun
Gambar 76. Perubahan Persentase Keterlibatan Penduduk dalam Berbagai Mata Pencaharian (Prayitno, 2001; Anonim, 2005)
Dalam pendekatan konvensional pengelolaan sumberdaya, fase eksploitasi dan konservasi merupakan fokus perhatian sedangkan fase pelepasan dan fase reorganisasi lebih banyak diabaikan. Padahal kedua fase ini, yang dalam resiliensi disebut sebagai `back-loop`, memiliki nilai sangat penting dalam dinamika sistem secara keseluruhan (Gunderson and Holling, 2002; Berkes et al., 2003). Untuk itu, dalam penelitian ini implikasi kebijakan yang akan disarankan dibangun dengan bobot yang cukup pada fase pelepasan dan reorganisasi. Telah dipaparkan sebelumnya bahwa di dalam sistem sosial ekologis dan elemen-elemen resliensi di Segara Anakan, terdapat beberapa faktor kunci, sehingga dengan demikian penanganan kedua fase tersebut perlu dikaitkan dengan penanganan faktor-faktor kunci tersebut. Sesuai dengan permasalahan yang ada sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, pengendalian penduduk merupakan salah satu yang perlu dipertimbangkan, termasuk menekan laju pertambahan penduduk pendatang maupun peningkatan populasi penduduk asli. Untuk itu, beberapa langkah relevan yang perlu dipertimbangkan adalah di antaranya transmigrasi, keluarga berencana dan pengendalian in-migrasi. Transmigrasi merupakan kebijakan yang pernah diterapkan sebelumnya sehingga kebijakan tersebut perlu dipertimbangkan kembali dengan belajar pada keberhasilan dan kegagalan pada
168
penerapan program transmigrasi sebelumnya. Program transmigrasi di waktu lalu berhasil dalam hal meyakinkan penduduk untuk mengikuti program transmigrasi, tetapi gagal karena sejumlah besar peserta transmigrasi tersebut tidak mampu bertahan di lokasi tujuan. Salah satu penyebab kegagalan tersebut adalah bahwa bersamaan dengan perkembangan di lokasi tujuan yang belum signifikan, di Segara Anakan terjadi perkembangan ekonomi baru terkait dengan munculnya tanah-tanah timbul. Terkait dengan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, terdapat bebagai peluang untuk melaksanakannya. Meskipun terdapat kelemahan yang ada pada sebagian elemen resiliensi masyarakat, terdapat sebuah elemen positif, yaitu dalam hal budaya kerja dan budaya kerjasama. Kedua elemen ini dapat dijadikan titik awal untuk peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, terutama dalam hal peningkatan ketrampilan dan pengetahuan informal yang memungkinkan masyarakat beralih atau memiliki pencaharian tambahan yang membawa
manfaat
langsung
pada
pendapatan
namun
tidak
merusak
lingkungan. Usaha-usaha tumpangsari yang telah diawali di beberapa lokasi dapat dijadikan laboratorium pembelajaran langsung bagi masyarakat. Pilihan kebijakan lain yang dapat dipertimbangkan adalah menambah kapasitas prasarana pendidikan formal. Animo belajar penduduk Segara Anakan pada umumnya tinggi, namun sarana prasarana pendidikan sangat terbatas. Sebagian penduduk harus berjalan dan menggunakan sarana transportasi air hingga 5 km untuk mencapai lokasi-lokasi sekolah. Lebih lanjut, sejumlah besar tenaga pengajar di lokasi-lokasi tersebut adalah tenaga sukarela yang berafiliasi ke lembaga swadaya masyarakat. Situasi ini menyiratkan adanya peluang yang besar dari pemerintah sebagai salah satu penyedia prasarana di dalam sistem sosial ekologis Segara Anakan untuk meningkatkan perannya. Dinamika pengelolaan sumberdaya perikanan di laguna Segara Anakan secara ringkas disajikan pada Tabel 57.
169
Tabel 57. Dinamika Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Laguna Segara Anakan Periode Pengambilan keputusan dalam aturan penangkapan ikan Tingkatan dalam penegakan hukum Organisasi informal nelayan Organisasi formal nelayan Resiliensi SES Regim hak kepemilikan
1980-1985 Lokal
1986-1990 Lokal
1991-1995 Lokal dan nasional
1996-2000 Lokal dan nasional
2001-2010 Lokal dan nasional
Kuat
Kuat
Lemah
Lemah
Lemah
Kuat
Kuat
Lemah
Lemah
Lemah
Lemah
Berkembang
Kuat
Sedang
Lemah
Kuat Pengelolaan oleh masyarakat
Kuat Pengelolaan oleh masyarakat
Lemah Open akses
Sedang Campuran antara Negara dan masyarakat
Lemah Campuran antara Negara, masyarakat dan open akses
Sumber: data primer (2010)
Dalam penelitian ini berhasil diidentifikasi faktor-faktor kunci yang dapat memperlemah dan memperkuat resiliesi sistem sosial-ekologi di lokasi penelitian yang disajikan pada Tabel 58 dan Tabel 59 berikut ini. Tabel 58. Faktor Kunci yang Dapat Memperlemah Resiliensi SES di Laguna Segara Anakan No 1
Faktor kunci Perubahan sistem sosial – ekologi
2
Perubahan teknologi penangkapan ikan Kelembagaan yang kurang stabil
3
Sumber: data primer (2010)
Keterangan Perubahan kondisi ekologis yang cepat akibat sedimentasi berdampak pada perubahan sistem sosial dalam masyarakat terkait dengan pemanfaatan sumberdaya Adanya inovasi alat tangkap (trawl) pada awal tahun 1980an berimplikasi pengurasan sumberdaya yang berlebihan Perubahan pengaturan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya antara lembaga perikanan, kehutanan dan pemerintahan membuat pengelolaan sumberdaya tidak terkontrol
170
Tabel 59. Faktor Kunci yang Dapat Memperkuat Resiliensi SES di Laguna Segara Anakan No 1
Faktor kunci Kelembagaan
2
Komunikasi
3
Politik
4
Kesetaraan dalam akses sumberdaya
5
Penggunaan memori (ingatan) sebagai sumber inovasi
Keterangan Tokoh adat masih merupakan pihak yang menjadi salah satu pengambilan keputusan saat terjadi konflik pengelolaan sumberdaya Harus ada komunikasi yang baik antara masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya Pengaturan harusnya berpihak pada masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan Akses terhadap pemanfaatan sumberdaya tidak dibatasi oleh keterbatasan kemampuan masyarakat dalam teknologi, keahlian dan lain sebagainya Masyarakat secara berkelompok menanam mangrove di kawasan sekitar rumahnya karena masyarakat menyadari tanaman mangrove dapat menjaga keberlanjutan sumberdaya
Sumber: data primer (2010)
Dengan mengkombinasikan teori siklus adaptif (Holling, 1986) dengan panarchy (Gunderson and Holling, 2002) dan analisis latar sejarah (Kartodirdjo, 1993), dinamika sosial ekologi di laguna Segara Anakan dapat digambarkan sebagaimana disajikan pada Gambar 77. Masyarakat dapat beradaptasi terhadap dinamika alam dengan dipengaruhi faktor luar dan kondisi internal.
171
Periodde
Perbaikkan prasarana
B Budidaya tumppangsari
Gn Galunggung meletus
E Ekstensifikasi pertanian p
1980 - 1985 1
Pengendalian kepemilikkan lahan
L Lokalisasi pertaambakan
1986 - 1990 1
Akselerasi penebangan bakau b
Pertambakan tidak terkendali t
Pengatturan disposal
Penundaan prrasarana
Ekstensifikkasi pertanian
Pengerukan untuk peertanian
1991 - 1995
Belum terrjadi re-organissasi
Penundaan sertifikasi s
2 1996 - 2000 Eskalassi in-imigrasi
Eskalasi jual beli b lahan
Belum terjjadi re-organisaasi
Pengerukann laguna
Sedimentasi berlanjut
Konflik tanaah timbul
2000 - sekkarang
Keterangann:
α
K
r
Ω
r = fase f eksploitassi K = fase konservaasi Ω = fase release α = fase re-organisasi
Gambar 77. Siklus adap ptasi dinamiika sosial-ekkologi di lagu una Segara Anakan A
172
5.2.
Analisis Keberkelanjutan Mata Pencaharian (Coastal Livelihood System Analysis - CLSA) Dalam disertasi ini, analisis keberlanjutan mata pencaharian bagi
masyarakat pesisir (mata pencaharian alternatif, MPA) menggunakan CLSA dimaksudkan untuk mengkaji jenis-jenis usaha di luar usaha yang selama ini ditekuni oleh masyarakat di Laguna Segara Anakan, yang berpotensi
untuk
dikembangkan dalam rangka meningkatkan pendapatannya. Analisis tentang keberadaan MPA yang dapat dikembangkan secara berkelanjutan merupakan terkait dengan tingkat kesejahteraan, dan merupakan determinan bagi tingkat kerentanan atau resiliensi masyarakat. Dalam CLSA di Laguna Segara Anakan ini, dikaji
5 (lima) sumber
kehidupan yang dimiliki oleh setiap individu atau unit sosial masyarakat laguna tersebut, dikaitkan dengan upaya-upaya mereka untuk mengembangkan kehidupan, yang disebut sebagai aset kapital. Kelima aset kapital tersebut adalah: 1) modal alam, 2) manusia, 3) keuangan, 4) fisik, dan 5) sosial. Keberhasilan penghidupan masyarakat bertumpu pada nilai pelayanan yang mengalir dari stok dari modal-modal tersebut, yang memiliki fungsi khas terkait dengan karakteristik masing-masing. Modal alami yang terdiri dari elemenelemen biofisik seperti air, udara, tanah, sinar matahari, hutan, mineral, dan lainlain berkarakteristik alami dalam hal terjadinya dan keterbaruannya. Selanjutnya, karakteristik dari modal manusia adalah bahwa ia merupakan sekaligus objek dan subjek pembangunan. Modal keuangan mempunyai kapasitas sebagai media pertukaran dan dengan demikian penting dalam memerankan fungsi sentral ekonomi pasar. Modal penting berikutnya, yaitu modal fisik, yang adalah modal keras pembentuk lingkungan dan aset buatan manusia seperti perumahan, jalan, dan sebagainya, secara umum lebih berkarakteristik sebagai objek, atau modal baku, yang fungsinya akan berjalan dengan perantaraan modal-modal lainnya. Sementara itu, modal sosial adalah aset produktif yang bersifat komplementer yang memungkinkan berfungsinya modal baku. Coleman (1990) mendeskripsikan bahwa dalam kerangka Sustainable Livelihood, modal sosial adalah yang terbentuk dan didukung oleh jaringan-jaringan sosial dan hubungan-hubungan
dengan
manusia.
Selanjutnya
dilakukan
kerentanan terhadap faktor exposure, sensitivitas dan resiliensi.
analisis
173
5.2.1 Identifikasi Kondisi Mata Pencaharian Mengacu pada tahapan analisis yang sudah disebutkan sebelumnya, dalam analisis CLSA ini diawali dengan paparan dan analisis mengenai kondisi pencaharian di wilayah pesisir Segara Anakan. Paparan dan analisis tersebut diawali dengan identifikasi mengenai keterkaitan antara mata pencaharian dengan kondisi sumberdaya dan deskripsi mengenai pengaruh masyarakat terhadap kondisi sumberdaya. Keduanya dimaksudkan untuk mendasari identifikasi matapencaharian alternatil, yang juga dikaitkan dengan kelima aset capital tersebut di atas. Sebagaimana dideskripsikan pada Sub Bab 5.1, potensi sumberdaya alam pesisir dan laut yang terkandung di kawasan Laguna Segara Anakan cukup beragam sehingga memungkinkan penciptaan dan berkembangnya beragam jenis usaha bagi masyarakat. Ragam usaha tersebut, secara garis besar dapat digolongkan kedalam tiga kelompok, yaitu : (a) usaha-usaha di sektor perikanan, baik yang berbasis perikanan tangkap maupun budidaya, dari kegiatan produksi hingga ke pemasaran, (b) usaha-usaha di sektor pertanian, termasuk pertanian sawah maupun kebun, dan (c) usaha-usaha jasa berbasis lingkungan alam, termasuk transportasi dan wisata. Berdasarkan hasil analisis, dari kelompok responden yang diteliti dapat diketahui proporsi responden menurut kelompok mata pencaharian (Gambar 78). 60 50 40 30 20 10 0 Kelompok usaha perikanan Kelompok usaha pertanian
Kelompok usaha jasa
Gambar 78. Jenis kelompok mata pencaharian yang tersedia oleh alam
174
Jenis-jenis
usaha
tersebut
di
atas
memberi
kesempatan
kepada
masyarakat di Kampung Laut untuk menggeluti pencaharian-pencaharian yang sangat tergantung pada keberadaan kondisi Laguna Segara Anakan. Dengan demikian, merujuk pada pengertian CLSA, maka analisis peluang dan potensi usaha yang dilakukan dikaitkan dengan identifikasi jenis-jenis bukan sumberdaya laguna dan atau usaha-usaha berbasis laguna diluar ketiga kelompok usaha tersebut di atas.
5.2.2
Analisis Kerentanan Analisis kerentanan dilakukan untuk mengidentifikasi kelemahan terhadap
shok eksternal. Kerentanan merupakan derajat kehilangan atau kerusakan yang mungkin terjadi ketika kejadian extrim terjadi. Hal tersebut mengakibatkan tidak berfungsinya fungsi-fungsi normal berkaitan dengan bencana atau perubahan kondisi ekologis. Analisis ini dilakukan dengan mengidentifikasi karakteristik seorang/sekelompompok
orang
dalam
hal
kapasitas
mereka
dalam
mengantisipasi/menghadapi/melawan terhadap dampak bencana alam. Atau juga mengidentifikasi ketidakmampuan suatu unit keluarga atau masyarakat untuk menanggulangi kerugian, kerusakan dan gangguan yang timbul akibat terjadinya suatu ancaman – yang secara periodik, siklikal, mendadak, perlahan, jangka pendek/panjang. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa tingkat kerentanan pada nelayan adalah sangat rentan, dan tingkat kerentanan pada petani, pembudidaya dan usaha jasa adalah cukup rentan. Hal ini dikarenakan nelayan memiliki tingkat keterpaparan yang maksimal pada semua komponen yaitut ketergantungan terhadap laguna yang sangat tinggi dibandingkan pemanfaat lainnya, kemudian degradasi sumberdaya dan penurunan produktivitas perikanan. Secara lengkap analisis kerentanan yang dilakukan di kawasan Segara Anakan dapat dilihat pada Tabel 60 berikut.
175
Tabel 60. Analisis Kerentanan di Laguna Segara Anakan Deskripsi No
Faktor
1 Penyusutan laguna Degradasi sumberdaya Penurunan produksi perikanan Jumlah
Exposure 0,33 0,33 0,33 1,00 Sensitivitas 0,33
Petani
Petambak
Usaha jasa
0,33 0,33 0,11 0,78
0,33 0,33 0,33 1,00
0,33 0,33 0,11 0,78
0,00
0,22
0,00
0,33 0,33
0,00 0,33
0,11 0,33
0,00 0,33
1,00 Resiliensi Kemampuan untuk belajar hidup dalam 0,17 perubahan dan ketidakpastian Kemampuan untuk mengembangkan 0,25 ragam cara untuk reorganisasi dan pembaharuan Kemampuan untuk mengkombinasikan 0,25 berbagai macam pengetahuan Kemampuan untuk menciptakan 0,25 peluang bagi pengorganisasian diri Jumlah 0,92 Total Kerentanan (E + S – Ac) 1,08
0,33
0,66
0,33
0,25
0,25
0,25
0,25
0,25
0,25
0,25
0,25
0,25
0,25
0,17
0,17
1,00 0,11
0,92 0,75
0,92 0,19
2 Ketergantungan pencaharian pada laguna Hak guna perairan Ketergantungan kehidupan sosial pada laguna Jumlah 3
Nelayan
Sumber : Data primer diolah (2010)
5.2.3
Identifikasi Tekanan dan Gangguan Penyebab Kerentanan Proses interaksi sistem alam dan sosial terakumulasi pada dinamika
perubahan aset alam. Sistem alam pesisir kawasan Laguna Segara Anakan menyediakan berbagai barang dan jasa, yang mendukung perkembangan sistem sosial, juga membatasi ataupun menghancurkan perkembangan sistem sosial dalam bentuk berbagai tekanan. Tekanan alam yang teridentifikasi di Laguna Segara Anakan adalah: (1) sedimentasi, (2) musim, (3) erosi, (4) banjir, (5) tsunami, dan (6) gempa. Tekanan alam tersebut mempengaruhi kehidupan masyarakat. Akibat yang diimbulkannya adalah dampak atau resiko berupa kehilangan aset, pekerjaan, pendapatan, meningkatkan biaya operasional penangkapan dan ketidakpastian berusaha. Tekanan alam ini merupakan kerentanan dalam masyarakat, yang merupakan suatu hal yang dapat mengganggu atau bahkan merugikan kehidupan mereka, berkaitan dengan “sense of problem” yang penting untuk
176
diketahui, khususnya pada konteks masyarakat yang telah memiliki kesadaran tinggi untuk mengantisipasi perubahan, atau pada konteks masyarakat sangat rentan dan membutuhkan dukungan. Dampak resiko dari kelompok rentan terhadap tekanan alam pesisir dan laut pada masyarakat di kawasan laguna Segara Anakan disajikan pada Tabel 61. Tabel 61. Dampak Resiko dari Kelompok Rentan terhadap Tekanan Alam Pesisir dan Laut pada Masyarakat di Kawasan Laguna Segara Anakan No 1 2 3 4
Kelompok Rentan Nelayan Pembudidaya Petani Masyarakat umum
Sedimentasi 1,2,3 2 2 7
Keterangan: Dampak resiko:
1. Kehilangan pekerjaan 2. Kehilangan pendapatan 3. Kehilangan aset 4. Kehilangan nyawa Sumber : Data Primer (2010)
Pengetahuan
masyarakat
Tekanan Alam Erosi Banjir 2,3 2,3 2 2,3 7 2,3,7
Musim 2,5,6,7 2,6,7 2,6,7 7
Tsunami 1,2,3,4 1,2,3,4 1,2,3,4 1,2,3,4
Gempa 1,2,3,4 1,2,3,4 1,2,3,4 1,2,3,4
5. Meningkatkan resiko pekerjaan 6. Meningkatkan biaya operasional 7. Meningkatkan ketidakpastian
tentang
konteks
kerentanan
membantu
memahami prioritas dan upaya dalam mensikapi setiap perubahan, dan pada konteks
dukungan yang lebih tepat diberikan. Pemahaman ini penting untuk
mengetahui potensi dan pengalaman masyarakat dalam mengantisipasi dan mengelola perubahan, atau bahkan mungkin terdapat mekanisme yang telah dibangun oleh masyarakat untuk melindungi penghidupan masyarakat. Dengan kata lain dapat menguatkan resiliensi masyarakat dalam menghadapi setiap perubahan yang terjadi. Meskipun demikian, pada situasi-situasi tertentu, masyarakat sangat bergantung pada bantuan dan dukungan dari pemerintah. Seperti saat terjadi gempa dan tsunami di Cilacap, sebagian masyarakat di wilayah Kampung Laut juga merasakan dampaknya. Sebagian masyarakat kehilangan rumah tempat tinggal mereka, karena hancur dan ambruk. Hal ini memberikan implikasi bahwa pemahaman terhadap ambang batas kemampuan masyarakat menghadapi perubahan
sangat
diperlukan,
terutama
bagi
pihak-pihak
terkait
untuk
meningkatkan sensitivitas mereka terhadap ancaman atau gangguan yang dialami masyarakat, yaitu kapan dukungan atau bantuan langsung perlu diberikan sehingga pemilihan insentif menjadi tepat guna.
177
Tekanan yang terjadi bukan hanya tekanan dari alam, juga tekanan manusia baik secara individu maupun kelompok dalam berbagai bentuk pada sumberdaya di kawasan Laguna Segara Anakan. Hal tersebut mengakibatkan degradasi lingkungan. Yang selanjutnya menurunkan kualitas kehidupan manusianya. Berbagai tekanan aktivitas manusia terhadap alam dapat dilihat pada Tabel 62. Tabel 62. Tekanan Masyarakat pada Sumberdaya Alam di Kawasan Laguna Segara Anakan No 1
Fungsi Ekologi
2
Ekonomi
3
Sosial
Dampak pada SDA Kepentingan Menurunnya daya dukung wilayah Menurunnya daya dukung bagi kehidupan berbagai biota laut Menurunnya stok ikan Menurunnya kualitas perairan Pendangkalan laguna Menurunnya estetika perairan pesisir Hilangnya daerah pemijahan, pengasuhan dan sumber makanan ikan Gangguan terhadap proses regenerasi ikan Berkurangnya keanekaragaman hayati Produksi perikanan Sumber pendapatan Kesejahteraan masyarakat Penopang sistem kehidupan Penegakan hukum
Tekanan Masyarakat 1 2 3 4 √ √ √ √ √
√ √ √
√ √
√ √ √ √ √ √
√ √
√ √
√
√ √ √ √
√ √ √
Keterangan: Dampak resiko:
1. Pertambahan jumlah penduduk 2. Membuang sampah dan limbah ke laguna 3. Menebang mangrove 4. Menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan Sumber : Data Primer (2010)
5.2.4 Identifikasi Aset Mata Pencaharian Berbagai bentuk mata pencaharian masyarakat dan informasi tentang kondisi sumberdaya alam di Kampung Laut diidentifikasi dalam penelitian disertasi ini, dengan maksud untuk untuk mengkaji interaksi antara masyarakat pesisir
dan
sumberdaya
alam
(ekosistem).
Diasumsikan
bahwa
mata
pencaharian merupakan faktor kunci dalam aspek sosial ekonomi masyarakat pesisir dan berperan penting dalam mempengaruhi kondisi sumberdaya alam pesisir dan laut. Informasi-informasi tersebut merupakan bagian penting dalam tahapan CLSA, yaitu analisis pengaruh masyarakat pesisir, yang intinya dalah identifikasi aktivitas masyarakat pesisir yang secara langsung berkontribusi
178
terhadap kerusakan sumberdaya pesisir dan laut dalam perspektif sosial maupun ekonomi. Secara ringkas, kondisi aset kapital di Laguna Segara Anakan ditampilkan pada Tabel 63. Besarnya kondisi tersebut menunjukkan pengaruh manusia di kawasan tersebut yang direpresentasian oleh skor, yang secara rinci penjelasan mengenai kondisi masing-masing aset kapital dibahas selanjutnya. Tabel 63. Kondisi Aset Kapital di Kawasan Laguna Segara Anakan Aset kapital (AK) Alam Manusia Sosial Keuangan Buatan Jumlah
Desa Ujunggagak Ujungalang 12 15 20 21 12 12 7 7 15 12 66 67
Panikel 12 21 12 6 16 67
Klaces 13 24 12 6 13 68
Sumber : Data Primer (2010)
5.2.4.1 Aset Alam Analisis tentang sumberdaya alam dalam disertasi ini dikaitkan dengan fungsinya sebagai penyedia daya dukung alamiah yang menghasilkan
nilai
manfaat bagi penghidupan masyarakat di Segara Anakan. Dalam hal ini, fungsifungsi tersebut juga mencakup situasi dan kondisi geografis kawasan pesisir, termasuk posisinya sebagai sentra penghasil ikan dan obyek wisata yang membawa pengaruh bagi penghidupan masyarakat di sekitarnya. Pada bagian ini, dikaji seberapa besar sumberdaya alam di kawasan Segara Anakan memberikan
manfaat
dan
ari
penting
penting
bagi
masyarakat
yang
penghidupannya bergantung padanya: petani, nelayan, dan pengumpul hasil hutan. Hasil penggalian data di lapangan menunjukkan bahwa sumberdaya alam di Segara Anakan pada awalnya memberikan layanan yang memadai terhadap aspek-aspek kehidupan masyarakat. Namun demikian, dampak dari berbagai kejadian alam yang diperburuk oleh faktor-faktor manusia, membuat kualitas maupun
kualitas
layanan
tersebut
berkurang7.
Hal
ini
mengakibatkan
meningkatnya tingkat kerentanan masyarakat di kawasan tersebut. Berbagai bentuk bencana alam8 yang menurunkan kualitas dan kuantitas layanan alam telah berdampak negatif pada tingkat penghidupan masyarakat.
7
8
Bahasan tentang hal ini terdapat pada Sub Bab 5.4.1. tentang dinamika sistem sosial-ekologi dengan menggunakan analisis sejarah. Banjir, gempa bumi, tsunami, dan perubahan iklim
179
Hasil observasi dan FGD yang melibatkan masyarakat lokal secara partisipatif di Laguna Segara Anakan memberikan gambaran tentang seluruh komponen asat alam di lokasi penelitian, meliputi : (1) laguna, (2) mangrove, (3) ekosistem pesisir, (4) oceanografi, (5) pantai, (6) air bersih, (7) lahan (pekarangan dan perkebunan), (8) pertanian, (9) perikanan, dan (10) peternakan. Tabel 64 berikut menunjukkan skor yang merepresentasikan kondisi aset alam di desa-desa
di Kecamatan
Kampung
Laut.
Rendahnya
skor
aset
alam
mencerminkan buruknya kondisi sumberdaya alam, dan rendahnya dukungannya bagi perkembangan sistem sosial ekonomi komunitas masyarakat Segara Anakan, yang mayoritas mengantungkan kehidupan di sektor pertanian dan perikanan, dua sektor ekonomi yang sangat tinggi tinggi ketergantungannya terhadap SDA. Tabel 64. Kondisi Aset Alam di Kawasan Laguna Segara Anakan No
Aset Alam
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Laguna Mangrove Ekosistem pesisir Oceanografi Pantai Air bersih Lahan pekarangan Pertanian Perikanan Peternakan Jumlah
Panikel 1 1 2 1 0 1 2 2 1 1 12
Desa Ujunggagak Ujungalang 1 2 1 2 2 2 1 1 0 0 1 3 2 1 2 1 1 2 1 1 12 15
Klaces 1 1 2 1 0 3 1 2 1 1 13
Keterangan :
0 = tidak ada aset alam 1 = kondisi aset alam yang bisa dimanfaatkan hanya sebagian kecil saja 2 = kondisi aset alam yang bisa dimanfaatkan sebagian saja 3 = Kondisi aset masih bisa dimanfaatkan dengan baik Sumber : Data Primer (2010)
Kondisi aset alam ini sangat menentukan keberlanjutan penghidupan masyarakat di Laguna Segara Anakan, terutama nelayan yang sangat bergantung pada luasan dan kondisi laguna. Skor aset alam yang kurang dari 16 dari total skor yang ada menunjukkan bahwa kondisi aset alam ini perlu mendapat perhatian khusus karena berhubungan dengan daya dukung dan nilai manfaat bagi keberlanjutan kehidupan masyarakat. Degradasi lingkungan yang terjadi berupa penyusutan laguna akibat sedimentasi yang terjadi secara terus menerus dengan cepat. Demikian pula halnya dengan ekosistem mangrove,
180
yang secara jumlah sepertinya makin meluas namun kondisinya kurang mendukung untuk penangkapan sumberdaya ikan.
5.2.4.2. Aset Manusia Kondisi aset manusia yang diidentifikasi dalam analisis ini mencakup komponen-komponen kemampuan, keterampilan dan kapasitas sumberdaya manusia dengan mengacu pada Dharmawan (2006). Komponen-komponen tersebut mempunyai arti yang sangat penting untuk mengolah empat aset penghidupan lainnya. Kondisi yang baik pada komponen-komponen tersebut memungkinkan
manusia
sebagai
pembentuk
masyarakat
mampu
mengembangkan strategi pemanfaatan berbagai jenis sumberdaya secara optimal. Selanjutkan, pemanfaatan optimal akan mempengaruhi keberlanjutan sumberdaya lainnya. Dalam hal ini, faktor-faktor penting yang pada umumnya menentukan kondisi aset manusia adalah pendidikan dan kesehatan. Dalam penelitian disertasi di laguna Segara Anakan ini, teridentifikasi sejumlah faktor penting sumberdaya manusia, yang meliputi aspek pendidikan (fisik dan sosial seperti keterampilan, pengetahuan, kemampuan untuk berusaha) dan kesehatan yang memungkinkan seseorang melaksanakan strategi penghidupan serta mencapai tujuan penghidupan mereka. Tabel 65 memperlihatkan hasil pengukuran skor yang merepresentasikan kondisi dari aspek-aspek tersebut. Tabel 65. Kondisi Aset Manusia dengan Indikator Pendidikan dan Kesehatan di Kawasan Laguna Segara Anakan No. 1
a a1 a2 a3 b b1 b2 b3 b4 2 a b c d e
Aset manusia Pendidikan Fisik Sarana prasarana Biaya sekolah Jumlah guru Sosial Kesadaran Partisipasi Pendidian masyarakat Keterampilan berusaha Kesehatan Sarana prasarana Tenaga ahli Pelayanan Kesadaran masyarakat Partisipasi masyarakat Jumlah
Panikel
Desa Ujunggagak Ujungalang
Klaces
2 2 1
2 2 1
2 2 1
3 2 2
2 2 1 2
2 2 1 1
2 3 1 1
2 2 1 1
2 1 2 2 2 21
2 1 2 2 2 20
2 1 2 2 2 21
3 2 2 2 2 24
Keterangan : 0 = tidak ada, 1 = buruk, 2 = sedang, 3 = baik Data Primer (2010)
181
Indikator pendidikan baik fisik maupun sosial menunjukkan kecendeungan kurang. Secara fisik ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan untuk tingkat SMA hanya ada di desa Klaces sebagai ibukota kecamatan. Pendidikan dasar meliputi PAUD, SD dan SMP cukup minim. Sebagai contoh, kondisi sekolah dasar, hanya SD induk saja yang memiliki fasilitas lengkap. Selebihnya untuk SD filial, kondisinya cukup memprihatinkan. Tenaga guru yang masih honorer, dengan latar pendidikan SMP atau SMA tentunya mempengaruhi kualitas pendidikan SDM ke depannya. Kondisi aset manusia dilihat dari indikator kesehatan yang teridentifikasi meliputi : (1) Sarana dan prasarana, (2) Tenaga ahli, (3) Pelayanan, (4) Kesadaran masyarakat, dan (5) Partisipasi masyarakat. Di Kecamatan Kampung Laut hanya terdapat 1 unit Puskesmas di Desa Klaces, termasuk tenaga Dokternya (1 orang). Bidan serta dukun bayi telah ada di semua desa. Potensi manusia baik yang diperoleh sebagai hasil pengembangan diri, melalui pendidikan maupun potensi yang terkait dengan kualitas kesehatan, daya tahan, kecerdasan dan faktor-faktor genetis lainnya merupakan bagian dari sumberdaya yang tak ternilai. Di tingkat rumah tangga, ukuran sumberdaya manusia meliputi jumlah dan mutu tenaga kerja yang ada. Tingkat sumberdaya manusia di tiap keluarga bervariasi sesuai tingkat keterampilan, kepemimpinan dan kondisi kesehatan.
pendidikan,
Dalam hal partisipasi masyarakat
terhadap kesehatan di semua desa temasuk dalam kategori sedang/cukup sedangkan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan masih buruk/kurang. Hal ini ditunjukkan dengan kesadaran masyarakat menangani sampah domestik dengan kebiasaan membuang sampah ke laguna. Tingkat konsumsi ikan masyarakat memang tinggi, mengingat hampir tiap hari bisa dikatakan makan ikan ataupun kerang. Namun hal ini juga memicu terjadinya kelahiran bayi dengan kelainan.
5.2.4.3. Aset Sosial Aset
sosial
yang
dimaksudkan
dalam
pendekatan
CLSA
adalah
sumberdaya sosial yang bermanfaat dan digunakan masyarakat untuk mencapai tujuan penghidupan mereka, yang umumnya bersifat intangible, tidak mudah untuk diukur karena berkaitan dengan perubahan struktur dan proses, namun nilai memiliki nilai manfaat bagi masyarakat.
182
Kondisi aset sosial yang dapat diidentifikasi, meliputi: (1) sistem pengelolaan sumberdaya pesisir, (2) lembaga sosial, (3) jaringan sosial, (4) adat dan budaya (5) tingkat konflik, dan (6) adopsi pengaruh luar.
Secara
keseluruhan aset sosial di kawasan Laguna Segara Anakan dapat dilihat pada Tabel 66 yang menunjukkan bahwa kondisi aset sosial yang ada hampir sama di seluruh lokasi. Implikasi dari kondisi aset sosial di Laguna Segara Anakan ini adalah bahwa kita dapat menerapkan pendekatan yang kurang lebih sama dalam penanganan berbagai hal yang terkait dengan perubahan struktur dan proses karena aset sosial sangat erat hubungannya dengan kedua hal tersebut. Tabel 66. Kondisi Aset Sosial di Kawasan Laguna Segara Anakan No
Aset Sosial
1 Sistem pengelolaan sumber daya pesisir 2 Lembaga sosial 3 Jaringan sosial 4 Adat budaya 5 Tingkat konflik 6 Adopsi pengaruh luar Jumlah
Panikel 2 2 2 2 2 2 12
Desa Ujunggagak Ujungalang 2 2 2 2 2 2 2 12
2 2 2 2 2 12
Klaces 2 2 2 2 2 2 12
Keterangan : 0 = tidak ada, 1 = buruk, 2 = sedang, 3 = baik Sumber : Data Primer (2010)
Hasil pengamatan di lapangan juga menunjukkan bahwa kondisi aset sosial memiliki nilai manfaat bagi penghidupan masyarakat. Meskipun demikian perlu diwaspadai berbagai kemungkinan yang berkembangnya dari sisi negatifnya, misalnya dampak yang mungkin dirasakan oleh kelompok tertentu. Misalnya, ikatan dan relasi sosial pada sekelompok masyarakat di kawasan ini, yang didasarkan pada hubungan hirarkis yang sangat ketat, dapat menyebabkan pembatasan atau halangan bagi kelompok lain untuk berupaya keluar dari kemiskinan. Dalam situasi seperti itu, intervensi dari luar untuk mempengaruhi sisi tertentu dari aset sosial dapat dipertimbangkan untuk dilakukan, yaitu dengan menerapkan kebijakan yang menafikan sebagian dari bangunan relasi dan ikatan sosial yang telah berkembang. Intervensi dari luar dapat berupa tekanan kekuatan atau kekuasaan untuk memaksakan kepentingan, atau motif ekonomi tertentu. Tentu saja, harus dihindari intervensi-intervensi yang terlalu radikal,
183
yang justru mengakibatkan dampak negatif, terutama konflik dalam masyarakat dan berbagai bentuk kekerasan. Meski
pada
situasi
tertentu
intervensi
diperlukan
atau
dapat
dipertimbangkan, dalam situasi umumnya intervensi tersebut tidak diperlukan karena, menurut hasil wawancara dengan para tokoh kunci, masyarakat Segara Anakan memiliki kemampuan untuk menumbuhkan atau memperbaiki sisi lemah pada aset sosialnya. Hubungan yang baik yang telah terjalin diantara masyarakat merupakan faktor yang memungkinkan hal tersebut dapat terjadi. Anggota masyarakat pada umumnya masih memahami dan menjalankan peran dan fungsinya serta mentaati aturan yang ada. Hal tersebut terjaga oleh adanya hubungan timbal balik saling menguntungkan yang terjadi secara terus menerus dan melalui berbagai upaya penguatan lembaga-lembaga lokal, baik yang berupa pengembangan kapasitas maupun penciptaan lingkungan yang kondusif. Dalam praktek kesehariannya, aset sosial yang dimiliki oleh masyarakat Segara Anakan terbukti sangat membantu kepentingan masyarakat miskin, terutama dalam hal topangan penghidupan mereka, yaitu pada saat terjadi permasalahan ekonomi dan atau sosial. Gotong royong membangun rumah adalah salah satu contohnya, dimana kekurangan tenaga, keahlian atau dana dapat diatasi. Saat ini, generasi muda di kawasan ini lebih memilih untuk mencari kerja di luar, misalnya di Batam atau di Luar Negeri.
5.2.4.4. Aset Keuangan Dalam analisis CLSA di Segara Anakan ini, teridentifikasi sejumlah komponen aset keuangan relevan, yang berupa berbagai bentuk sumber keuangan yang tersedia bagi masyarakat di kawasan tersebut, yang dapat mereka
gunakan
dan
manfaatkan
untuk
mencapai
tujuan-tujuan
penghidupannya. Sumber-sumber keuangan tersebut adalah: (1) Lembaga keuangan formal, (2) Lembaga keuangan non formal, (3) Pendapatan, (4) Tabungan, dan (5) Proyek bantuan, yang dapat dilihat pada Tabel 67.
184
Tabel 67. Kondisi Aset Keuangan di Kawasan Laguna Segara Anakan No 1 2 3 4 5
Aset Keuangan Lembaga keuangan formal Lembaga keuangan non formal Pendapatan Tabungan Proyek bantuan Jumlah
Desa Ujunggagak Ujungalang 1 1
Panikel 1
Klaces 1
0
0
0
0
2 1 2 6
2 1 2 7
2 1 2 7
2 1 2 6
Keterangan : 0 = tidak ada, 1 = buruk, 2 = sedang, 3 = baik Sumber : Data Primer (2010)
Lembaga keuangan formal seperti bank tidak ada di daerah ini. Lembaga keuangan non formalnya, umumnya dapat ditemukan di tiap desa, yakni masyarakat perorangan yang memiliki kemampuan modal lebih, terutama adalah para bakul atau pedagang penampung sehingga masyarakat lain yang memerlukan modal usaha dapat meminjam dan memberikan hasil tangkapannya sebagai pengembalian hutangnya.
Bakul yang dimaksud, bisa bakul ikan
ataupun bakul gula. Kalau bakul ikan, biasanya modal untuk melaut yaitu pembelian alat tangkat dan biaya operasional. Sedangkan bakul gula, adalah modal untuk melakukan kegiatan menderes. Aset keuangan merupakan sumberdaya yang paling fleksibel, dapat ditukar dengan berbagai kemudahan sesuai sistem yang berlaku, juga dapat digunakan secara langsung untuk memenuhi kebutuhan penghidupan. Aset keuangan dapat berupa: (1) cadangan atau persediaan; meliputi sumber keuangan berupa tabungan, deposito, atau barang bergerak yang mudah diuangkan, yang bersumber dari milik pribadi, juga termasuk sumber keuangan yang disediakan oleh bank atau lembaga perkreditan; dan (2) aliran dana teratur; sumber dana ini meliputi uang pensiun, gaji, bantuan dari negara, kiriman dari kerabat yang merantau. Aset keuangan bersifat serbaguna, namun tidak dapat memecahkan persoalan kemiskinan secara otomatis. Ada kemungkinan masyarakat tidak dapat memanfaatkannya karena beberapa hal; masyarakat yang tidak memiliki cukup pengetahuan dan keahlian, sementara untuk meningkatkan keterampilan dan keahlian mereka juga dibutuhkan uang yang tidak sedikit, atau mungkin masyarakat terhambat oleh struktur dan kebijakan yang kurang menguntungkan, pasar tidak berkembang, sehingga usaha kecil mati atau merugi. Hal semacam itu perlu menjadi pertimbangan dalam merencanakan bentuk dukungan
185
keuangan bagi masyarakat. Pilihan bentuk tabungan juga perlu dipertimbangkan, mungkin masyarakat kurang cocok dengan tabungan konvensional, atau mereka lebih cocok menabung dalam bentuk barang atau ternak misalnya. Aset tabungan yang dimiliki oleh masyarakat di kampung laut ini, berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara di lapangan, menunjukkan bahwa aset sumber daya alam merupakan tabungan mereka. Tabungan uang, hanya sedikit saja yang memiliki, bahkan tidak sampai 1% responden yang memiliki tabungan di Bank. Responden mengatakan bahwa tanaman albiso adalah tabungan mereka. Jika suatu saat mereka membutuhkan uang, mereka bisa menjual lebih awal pohon albisonya.
5.2.4.5. Aset Buatan/Fisik Berbagai aset buatan di Kawasan Segara Anakan, yaitu berbagai sarana dan prasarana fisik yang dibangun untuk tujuan-tujuan pembangunan dan penghidupan masyarakat di Kawasan Segara Anakan. Prasarana tersebut mencakup sejumlah sarana prasarana dasar dan sarana-sarana penunjangnya, diantaranya adalah sarana prasarana transportasi darat dan laut, sarana prasarana kelistrikan, sarana prasarana air bersih, dan sarana prasarana telekomunikasi yang ditujukan untuk memfasilitasi kegiatan-kegiatan produktif. Di Kawasan Segara Anakan, kondisi prasarana-prasarana tersebut pada umumnya kurang baik dan dengan demikian menjadi salah satu faktor yang dapat meningkatkan kerentanan dan menurunkan resiliensi. Kelangkaan akses terhadap fasilitas air bersih dan energi (terutama listrik) merupakan contoh yang paling nyata. Kekurangan pada berbagai prasarana tersebut telah menyebabkan dorongan terhadap masyarakat untuk melakukan berbagai aktivitas destruktif, misalnya mencari kayu bakar illegal. Disamping itu, keterbatasan tersebut juga menghambat masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya, terutama terkait dengan minimnya prasarana-sarana pendidikan dan pelayanan kesehatan serta prasarana-sarana prekonomian sebagaimana disebutkan dalam aset manusia dan keuangan sebelumnya. Secara lengkap kondisi aset buatan di kawasan Laguna Segara Anakan dapat dilihat pada Tabel 68.
186
Tabel 68. Kondisi Aset Buatan di Kawasan Laguna Segara Anakan No.
Aset Buatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Dermaga Jalan/transportasi Air bersih MCK Pasar Jembatan PPI Jaringan listrik Jaringan telepon Rumah permanen Tempat ibadah Jumlah
Panikel 2 2 1 1 2 2 0 2 0 2 2 16
Ujunggagak 2 2 1 1 2 1 0 2 0 2 2 15
Desa Ujungalang 2 1 2 1 1 1 0 1 0 1 2 12
Klaces 2 1 3 1 1 0 0 1 0 2 2 13
Keterangan : 0 = tidak ada, 1 = buruk, 2 = sedang, 3 = baik Sumber : Data Primer (2010)
Ketersediaan dermaga di kawasan Kampung Laut termasuk kategori sedang/cukup, namun untuk jalan dan jembatan masih kurang terutama untuk wilayah Desa Ujung Alang dan Desa Klaces.
Demikian juga halnya dengan
kebutuhan air bersih yang masih kurang, sebagian besar masyarakat memenuhi kebutuhan air bersih terutama air tawar untuk mandi dari Pulau Nusakambangan. Jaringan listrik dari PLN belum merata di semua wilayah, hanya di Desa Panikel dan Desa Ujung Gagak yang sudah mendapatkan fasilitas PLN. Itupun karena wilayahnya sudah menyatu dengan daratan Pulau Jawa. Lain halnya dengan Desa Ujung Alang dan Desa Klaces yang masih mengandalkan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya). Itupun belum merata untuk semua penduduk, melainkan hanya 100 KK saja di masing-masing desanya yang dipilih dengan sistem
dikocok untuk
menghindari terjadinya
saling
iri.
Padahal yang
membutuhkan lebih dari itu. Listrik pun tidak menyala sepanjang hari, melainkan mulai jam 6 sore sampai jam 10 malam.
Sehingga masyarakat lain untuk
memenuhi kebutuhan listrik ini, dengan swadaya untuk beberapa keluarga dengan menggunakan genset, dengan iuran membeli bensinnya. Sarana prasarana untuk kegiatan beragama seperti ketersediaan tempat beribadah seperti Masjid dan Gereja telah tersedia di desa-desa yang ada pemeluk agama tersebut. Sarana dan prasarana untuk rumah permanen belum merata di semua wilayah. Untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat di Kawasan Segara Anakan ini memerlukan pendekatan yang berkelanjutan yang memprioritaskan kepentingan penyediaan dan akses terhadap sarana/prasarana
187
yang
memungkinkan
bagi
semua
kelompok
masyarakat
untuk
memanfaatkannya. Penyediaan barang atau alat produksi secara langsung dapat menimbulkan
masalah,
antara
lain
disebabkan
oleh
beberapa
alasan;
menimbulkan ketergantungan dan menggangu mekanisme pasar, mengganggu perhatian terhadap pentingnya perubahan struktur dan proses, serta berpeluang terjadi salah sasaran atau hanya menguntungkan kelompok tertentu.
5.2.5
Identifikasi Kebutuhan Insentif Masyarakat Pesisir Laguna Segara Anakan Berbagai respon dilakukan oleh masyarakat Kampung laut ini menghadapi
kondisi sumberdaya alam dalam berbagai bentuk penyesuaian. Salah satunya adalah melalui aktivitas produksi. Sebagai contoh, masyarakat berkelompok untuk melakukan pengembangan kegiatan budidaya ikan, sebagian nelayan secara berkelompok melakukan kegiatan penangkapan ikan, sebagian petani memperbaiki kegiatan pertanian di sawahnya. Sebagian masyarakat lainnya juga terdorong
untuk
melakukan
upaya-upaya
yang
tertuju
pada
perbaikan
lingkungan, misalnya secara berkelompok melakukan kegiatan konservasi mangrove. Meskipun tindakan nyata terkait hal ini belum menjadi tindakan serentak di kalangan masyarakat, pemahaman akan pentingnya upaya-upaya seperti itu telah menjadi bahan pertimbangan penting bagi pemerintah lokal dalam pembangan dan implementasi kebijakan-kebijakannya. Hasil survey menunjukkan bahwa hampir seluruh responden menyatakan perlunya menjaga kelestarian lingkungan pesisir dan laut untuk kelanjutan pencaharian mereka, karena mereka sadar bahwa pencemaran lingkungan perairan sudah tidak dapat ditolelir lagi. Kegiatan
usaha
budidaya
perikanan
berkembang
seiring
dengan
penurunan produktivitas perikanan tangkap sejak periode tahun 1990. Namun, usaha budidaya tersebut masih terkendala oleh banyak hal, termasuk penjarahan dan penurunan kualitas perairan. Dengan kendala-kendala yang cukup signifikan tersebut, pada saat ini, hanya sebagian masyarakat yang masih melanjutkan usaha budidaya di Segara Anakan. Di antara masyarakat yang masih melanjutkan usaha budidaya, yaitu terutama masyarakat Dusun Bondan, upaya penyesuaian lebih lanjut yang dilakukan adalah menghindari penggunaan input secara intensif; dalam hal ini, pembudidaya hanya mengandalkan teknik-teknik tradisional dan berharap untuk memperoleh pendapatan tambahan dari pemasangan bubu untuk mengumpulkan udang alam. Di samping itu,
188
masyarakat Dusun Bondan yang pada waktu-waktu sebelumnya hanya menekuni usaha budidaya, pada saat ini sebagian di antaranya telah mengembangkan berbagai usaha alternatif, misalnya menanam padi dan sayuran di tanggul tambak. Selain itu, lahan tambak ditanami mangrove sebagai bentuk kerjasama dengan Perhutani. Dinamika aset alam sebagai Coastal Livelihood System Analyisis dalam kurun waktu 20 tahun terakhir dapat dilihat tertera pada Tabel 69. Aset alam yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah: laguna, hutan bakau, hutan alam, jumlah rumah, air bersih, areal pertanian, tangkapan ikan di laut, abrasi, hasil pertanian, tambak, kelapa dan albiso. Tabel 69. Perubahan Aset Alam di Kawasan Laguna Segara Anakan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Faktor kunci Laguna Hutan bakau Hutan alam Jumlah rumah Air bersih Areal pertanian Tangkapan ikan laut Abrasi Hasil pertanian Tambak Kelapa Albiso
1990-1995 3 3 2 2 3 3 2 2 3 3 3 1
Tahun 1996-2000 2001-2005 2 2 2 2 1 1 2 3 2 2 2 2 2 1 2 2 2 1 3 2 2 2 1 2
2006-2010 1 2 1 3 2 2 1 2 1 2 3 3
Keterangan : 0 = tidak ada/habis, 1 = sedikit, 2 = sedang, 3 = banyak Sumber : Data Primer (2010)
5.2.6
Pemilihan Insentif Tahapan selanjutnya dalam analisis ini adalah pemilihan insentif dengan
didasarkan pada paparan mengenai kondisi dari aset-aset kapital di kawasan Laguna Segara Anakan. Sintesa tersebut adalah rangkaian benang merah yang mengkaitkan modal-modal kapital, mulai dari dinamika aset alam hingga aset fisik.Hasil analisis CLSA pada berbagai kondisi aset di masyarakat kawasan Laguna Segara Anakan (aset kapital) secara keseluruhan tertera pada Gambar 79. Pada Gambar tersebut terlihat bahwa kondisi aset kapital untuk berbagai aspek menunjukkan kecenderungan yang sama di semua wilayah Desa.
189
Aset alam 25 20 15 10
Aset buatan
Aset manusia
5 0
Panikel Ujung Gagak Ujung Alang Klaces
Aset keuangan
Aset sosial
Gambar 79. Grafik Hasil CLSA di Laguna Segara Anakan
Kegiatan selanjutnya dalam analisis ini adalah melakukan pemilihan insentif. Insentif adalah semua bentuk dorongan spesifik atau rangsang/stimulus yang umumnya berasal dari institusi eksternal (pemerintah, LSM atau lainnya), yang dirancang dan diimplementasikan untuk mempengaruhi atau memotivasi masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, untuk bertindak atau mengadopsi teknik dan metode baru yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi (Wijayanto, 2007). Sistem insentif dihubungkan dengan kinerja terukur yang digunakan untuk mengontrol
output.
Insentif
merupakan
sesuatu
yang
digunakan
untuk
memberikan hadiah yang sesuai dengan perilaku masyarakat. Dalam hal ini, insentif adalah salah satu atau kombinasi dari beberapa hal berikut: 1) pembayaran atau pemberian konsesi untuk merangsang output (keluaran) Insentif yang dilakukan bisa secara langsung, tidak langsung atau bahkan tanpa insentif. Mengacu pada Ostrom et al. (1993), insentif dan disinsentif bukan hanya sekedar penghargaan atau hukuman, melainkan menyangkut perubahan positif atau negatif pada hasil (outcomes) yang dalam pandangan individu akan dapat dihasilkan dari suatu tindakan yang dilakukan berdasarkan kaidah atau aturan tertentu baik dalam konteks fisik maupun sosial. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya di kawasan laguna Segara Anakan di dalam penelitian ini, analisis terhadap sistem insentif dikaitkan dengan sejumlah sasaran insentif. Sasaran-sasaran tersebut adalah asset produksi
190
utama, alternatif mata pencaharian, ukuran pasar, penguatan usaha dan kondisi sosialnya. Analisis tersebut juga dikaitkan dengan tata cara pemberiannya, yaitu apakah langsung atau tidak langsung, dengan mempertimbangkan respon masyarakat dan prediksi terhadap keberlanjutan sistem sosial-ekologis di laguna Segara Anakan. Secara ringkas sistem insentif yang berhasil didentifikasi dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 70. Tabel 70. Sistem Insentif Berbasis Masyarakat di Laguna Segara Anakan. No 1.
2.
3.
4.
5.
Sasaran Bentuk insentif Aset produksi utama Langsung Pemberian SPPT Tidak Pengaturan lahan produksi9 langsung Alternatif pencaharian Langsung Alih profesi Tidak Peningkatan sarana prasarana langsung usaha alternatif 10 Pendidikan dan pelatihan Pendampingan Pasar Langsung Penyediaan informasi dan teknologi Tidak Stabilitasi harga langsung Perbaikan jalur pemasaran Pembukaan akses pasar Penguatan usaha Langsung Pemberian subsidi upah langsung Pemberian kredit modal kerja Pengaturan harga faktor produksi Tidak Penghargaan berbasis kinerja11 langsung Kondisi sosial Langsung Bantuan pangan Penanaman mangrove Pelayanan sosial (transportasi, kesehatan, dsb) Tidak Penguatan kelembagaan lokal12 langsung Perbaikan infrastruktur sosial
Respon masyarakat
Prediksi terhadap keberlanjutan SES
+++ +
+/+++
+ ++
++ ++
++ +++
+ +
+++
+
++
+
+++
++
++
++
Sumber: data primer (2010)
Bentuk pemberian insentif secara langsung yang berhasil diidentifikasi dalam penelitian ini dengan mempertimbangkan sasaran insentif yang sudah disebutkan sebelumnya diantaranya adalah: pemberian SPPT, upaya alih profesi, penyediaan informasi dan teknologi, pemberian subsidi upah langsung,
9 10 11 12
Pembukaan dan kontrol terhadap lahan perikanan/pertanian Kapal, bibit kepiting, pengerukan laguna, dan sebagainya Misal: kalpataru, sejenis penghargaan Misal: kelompok konservasi
191
pemberian kredit modal kerja, bantuan pangan, penanaman mangrove dan pelayanan sosial baik transportasi, kesehatan, dan sebagainya. Adapun bentuk pemberian insentif secara tidak langsung yang berhasil diidentifikasi dalam penelitian ini diantaranya adalah pengaturan lahan produksi, peningkatan sarana prasarana usaha alternatif, pendidikan dan pelatihan, serta pendampingan, stabilitasi
harga, perbaikan
jalur
pemasaran,
pembukaan akses pasar,
pengaturan harga faktor produksi, penghargaan berbasis kinerja, penguatan kelembagaan lokal, dan perbaikan infrastruktur sosial. Pada situasi tertentu, orang akan melakukan tindakan pengelolaan laguna Segara Anakan akan dilakukan oleh masyarakat jika mereka memiliki sumberdaya yang cukup, kapasitas yang memadai dan kemauan untuk bertindak. Sumberdaya dapat berupa material, tenaga kerja, dan input-input lainnya yang dibutuhkan untuk aktivitas pengelolaan. Termasuk dalam kapasitas adalah pengetahuan, teknologi, maupun pengaturan sosial yang dibutuhkan untuk mengontrol dan mengelola sumberdaya. Inilah manfaat adanya insentif/ disinsentif dalam pengelolaan sumberdaya di laguna Segara Anakan. Penentuan mata pencaharian alternatif yang ditawarkan dalam penelitian ini menggunakan 3 (tiga) pertimbangan yaitu: hasil wawancara responden, survey primer/kondisi eksisting dan analisis penyusun. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini yaitu untuk mayoritas penduduk kecamatan Kampung Laut direkomendasikan mengembangkan usaha di bidang pertanian dan diikuti oleh perikanan (budidaya) serta pariwisata, perdagangan dan jasa. Mengacu pada Tabel 65 yang sudah disampaikan pada bahasan sebelumnya maka dapat dikembangkan beberapa perbandingan penilaian terhadap setiap pilihan sistem insentif menurut berbagai kriteria (teknis, keuangan, politis, dan kelembagaan) dalam pengelolaan sumberdaya di laguna Segara Anakan yang dapat dilihat pada Tabel 71 berikut ini. Tabel 71. Perbandingan Penilaian terhadap Berbagai Kriteria untuk Setiap Pilihan Sistem Insentif Pengelolaan Sumberdaya di Laguna Segara Anakan Sistem Insentif 1. Aset produksi utama 2. Alternatif pencaharian 3. Pasar 4. Penguatan usaha 5. Kondisi sosial
Teknis √ √ √ √ √
Keterangan: √ = kontrol tinggi; x = kontrol rendah
Keuangan √ x √ √ √
Kelayakan Kelembagaan √ √ x √ √
Keberlanjutan √ √ √ √ √
Politik x x x x √
192
Mengacu pada perbandingan tersebut, terlihat bahwa bentuk sistem insentif yang dipertimbangkan dalam pengelolaan laguna Segara Anakan, menunjukkan kelayakan yang berbeda untuk aspek-aspek tertentu. Untuk penerapannya misalnya, pilihan insentif ’asset produksi utama’ layak untuk semua aspek kecuali aspek politik; di sisi lain, insentif ’alternatif mata pencaharian’ menunjukkan kelemahan pada aspek politik dan aspek finansial. Dari kelima sistem insentif yang dipertimbangkan, hanya satu sistem insentif yang dapat dinilai layak untuk kesemua aspek, yaitu insentif untuk penguatan kondisi sosial.
5.3.
Analisis Resiliensi SES Bagian bahasan ini merupakan sintesa dari hasil-hasil analisis sebelumnya
pada Sub Bab 5.1 dan 5.2 yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi bentukbentuk intervensi yang berpotensi untuk dipilih sebagai intervensi-intervensi strategis untuk meningkatkan resiliensi masyarakat di Segara Anakan. Mengacu pada penjelasan dalam Bagian Metodologi, identifikasi tersebut dilakukan dalam 4 (empat tahapan) yang hasilnya dapat dirangkum sebagai berikut: Di antara hasil utama dari analisis pada bab-bab tersebut di atas dan yang relevan dengan identifikasi intervensi potensial untuk peningkatan resiliensi adalah
bahwa
terdapat
saing
ketergantungan
antara
masyarakat
dan
sumberdaya. Hasil analisis dinamika sosial-eklogi dengan pendekatan analisa sejarah pada perode tahun 1980 sampai saat ini menunjukkan bahwa telah terjadi penyusutan laguna yang luar biasa, degradasi sumberdaya baik mangrove ataupun ikan. Hal ini menimbulkan dampak lanjutan berupa penurunan hasil pendapatan nelayan, namun menjadi sumber mata pencaharian baru bagi yang bisa memanfaatkannya. Hal ini dapat dilihat dari pemanfaatan tanah timbul menjadi areal pesawahan, perkebunan dan juga pemukiman. Hasil analisis SES tersebut juga menunjukkan bahwa trajektori sejarah dari SES tersebut banyak terpengaruhi oleh sejumlah faktor penentu (drivers), baik dalam bentuk kejadian maupun tindakan. Faktor-faktor penentu tersebut adalah: 1) belajar hidup dalam perubahan dan ketidakpastian; 2) mengembangkan diversitas bagi reorganisasi dan pembaruan; 3) mengkombinasikan berbagai macam pengetahuan; dan 4) mengkreasi kemungkinan bagi pengorganisasian diri. Tingkat resiliensi masyarakat berdasarkan faktor penentu resiliensi di laguna Segara Anakan dapat dilihat pada Gambar 80.
193
% responden
30
kkemampuan b belajar hidup
25 kkemampuan m mereorganisasi d diri
20 15
Kemampuan K m mengoptimalkan p pengetahuan
10
kkemampuan m menciptakan p peluang m mengorganisasi d diri
5 0 Nelayan
Petani
Petambak
Penyeedia Jasa
G Gambar 80. Persentase e Responden yang Mem miliki Skor Tinggi untuk Berbagai B Faktor yang Mempeng garuhinya
an dan ana alisis data sesuai s deng gan kriteria Berdassarkan hasiil pengolaha p penentuan tersebut, menunjukkan m n bahwa tin ngkat resilie ensi nelaya an nelayan p paling tingg gi untuk fak ktor mengembangkan diversitas b bagi reorganisasi dan p pembaruan dan faktor mengkreassi kemungkkinan bagi pengorganis p sasian diri. U Untuk kema ampuan belajar hidup dalam peru ubahan dan n ketidakpasstian yang d diperoleh nelayan men nunjukkan persentase p yang cukup p tinggi dib bandingkan p petani dan penyedia p jas sa, meskipu un cukup ren ndah jika dib bandingkan petambak. untuk mem H Hasil yang berbeda dittunjukkan oleh faktor kemampuan k manfaatkan b berbagai m macam peng getahuan se ecara terpad du. Persenttase respon nden yang m memiliki sko or tingginya paling p renda ah dibanding gkan kelomp pok pemanfa aat lainnya. H ini disebabkan kare Hal ena masyarrakat nelaya an di kawasan ini sebag gian besar b berpendidika an rendah. Faktor-fakttor lainnya yang men nyebabkan rendahnya r resiliensi te ersebut adalah keterba atasan mata a pencaharian, aksesib bilitas, dan a ancaman ala amiah. Resilie ensi sebaga ai kapasitass untuk secara efektif menghadap pi berbagai g gangguan y yang sifatny ya internal maupun eksternal terrhadap siste em sosiale ekologis. R Resiliensi m merupakan ssuatu prose es yang alamiah terja adi dalam m masyarakat. . Hanya saja a, seberapa a waktu yang g diperlukan n oleh seseo orang atau s sekelompok k orang unttuk melewa ati proses tersebut t be ersifat indiviidual. Ada b berbagai fakktor yang me empengaruh hi cepat lamb batnya seseorang pulih kembali ke
194
keadaannya yang semula, baik yang berasal dari diri sendiri maupun dari lingkungan. Dengan demikian, dapat dipertimbangkan faktor-faktor yang dapat dikendalikan dan diperkirakan dapat diintervensi dalam rangka peningkatan resiliensi masyarakat. Berdasarkan sejumlah kegiatan FGD yang dilaksanakan dalam rangka penulisan disertasi ini, upaya yang dapat dilakukan diantaranya adalah pengembangan sumberdaya manusia, pemberian insentif, pembangunan infrastruktur, pengerukan laguna, pengembangan usaha perikanan budidaya dan pembuatan sudetan. Bentuk-bentuk intervensi ini diharapkan dapat menunda, meminimalkan, bahkan menetralisir hasil akhir yang negatif, dan pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan resiliensi masyarakat Segara Anakan. Dalam FGD juga terungkap bahwa melalui upaya-upaya tersebut dapat dipertahankan kawasan hutan lindung, peningkatan kesadaran masyarakat, penanggulangan lahan kritis, penanggulangan banjir, dan yang terutama adalah peningkatan kelestarian sumberdaya. Apabila terjadi eksternalitas negatif sehingga tidak dapat ditahan oleh resiliensi, maka akan terjadi keganjilan yang menyebabkan ketidakseimbangan dalam sistem sosial-ekologi. Konsekuensi dari keberadaan eksternalitas ini seharusnya dapat diantisipasi dan direspon. Eksternalitas sangat penting diketahui
karena
sumberdaya keberlanjutan
yang
dapat tidak
menyebabkan efisien
pemanfaatannya.
dan
terjadinya selanjutnya
Bahasan
alokasi
pemanfaatan
mempengaruhi
selanjutnya
adalah
kinerja tentang
eksternalitas yang terjadi di laguna Segara Anakan.
5.4. Analisis Eksternalitas 5.4.1. Sumber Eksternalitas 5.4.1.1. Kondisi Laguna Segara Anakan Eksternalitas dapat diartikan sebagai dampak dari suatu kegiatan tertentu terhadap kegiatan lainnya. Sumber eksternalitas dalam analisis ini adalah Laguna Segara Anakan dan segenap dinamika yang terjadi pada sistem sosialekologisnya. Secara sekilas, telah dinyatakan pada bagian terdahulu bahwa dinamika tersebut telah membawa pengaruh pada berbagai aspek kehidupan masyarakat di kawasan laguna, baik pengaruh yang bersifat positif maupun negatif. Pada analisis ini, pengaruh positif dan negatif tersebut akan dibahas
195
secara lebih mendalam, dengan pula mengkaji hal-hal atau variabel-variabel yang terkait. Laguna Segara Anakan yang terletak di Kabupaten Cilacap Propinsi Jawa Tengah merupakan suatu ekosistem unik yang terdiri dari badan air (laguna) bersifat payau, hutan mangrove dan lahan rendah yang dipengaruhi pasang surut. Ekosistem tersebut berfungsi sebagai tempat pemijahan udang dan ikan, sebagai habitat burung-burung air migran dan non migran, berbagai jenis reptil dan mamalia serta berbagai jenis flora. Laguna Segara Anakan juga termasuk dalam DAS Segara Anakan yang merupakan bagian hilir dari wilayah sungai Citanduy. Laguna Segara Anakan mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu sebagai muara dari beberapa sungai yaitu sungai Citanduy, sungai Cibeureum, sungai Palindukan, sungai Cikonde dan sungai-sungai lainnya yang berpengaruh besar terhadap kelancaran fungsi sistem drainasi daerah irigasi Sidareja-Cihaur seluas 22.500 ha (Kab. Cilacap), daerah irigasi Lakbok Selatan seluas 4.050 ha dan daerah irigasi Lakbok Utara seluas 6.700 ha (Kab. Ciamis) serta sistem pengendalian banjir Wilayah Sungai Citanduy. Tingginya laju pendangkalan akibat sedimentasi sungai Citanduy serta drainase yang buruk dan dipengaruhi pasang surut Samudra Indonesia berdampak
pada
berkurangnya
luas
perairan
segara
anakan
yang
mempengaruhi luas daerah pemijahan ikan. Secara perekonomian masyarakat, kerusakan ekosistem menyebabkan penduduk kesulitan menangkap ikan sehingga produksi perikanan menurun. Permasalahan besar di Segara Anakan adalah berkurangnya tampungan air sekaligus penumpukkan air di atas muara sehingga banjir pada hilirnya.
5.4.1.2. Kondisi Ekosistem Mangrove di Laguna Segara Anakan Ekosistem mangrove mempunyai peran penting dan bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung, namun tidak semua masyarakat menyadarinya. Hal ini terutama disebabkan dampak eksploitasi hutan mangrove yang tidak terkendali dan baru dirasakan setelah kerusakan semakin parah. Kondisi hutan mangrove di laguna Segara Anakan saat ini dapat dilihat pada Gambar 80 berikut.
196
Gambar 81. Kondisi Hutan Mangrove di Laguna Segara Anakan (2010)
Berbagai kebutuhan ekonomi seringkali mendorong masyarakat untuk memanfaatkan tanaman mangrove ini secara berlebihan, tanpa memikirkan akibat yang akan timbul di kemudian hari. Kayu mangrove jenis cancang banyak digunakan sebagai bahan untuk atap rumah (Gambar 81).
Gambar 82. Pemanfaatan mangrove sebagai bahan pembuatan rumah (2010)
5.4.1.3. Persepsi Masyarakat Lokal Laguna Segara Anakan merupakan sumber penghidupan masyarakat Kampung laut. Laguna dan hutan mangrove merupakan sumberdaya utama yang bermanfaat baik secara langsung maupun tidak langsung. Sampai saat ini, kondisi laguna dan ekosistem mangrove di lokasi penelitian telah mengalami tekanan akibat pemanfaatan dan pengelolaannya yang kurang memperhatikan aspek kelestarian. Tuntutan dan pembangunan yang lebih mengutamakan tujuan ekonomi seperti konversi ekosistem mangrove untuk perluasan lahan tambak yang akhirnya terbengkalai dan penebangan yang tidak terkendali, menunjukkan bahwa penggunaan lahan tersebut tidak sesuai dengan peruntukkannya dan melampaui daya dukung, sehingga terjadi kerusakan ekosistem mangrove dan degradasi lingkungan pantai. Selain itu pemanfaatan tanah timbul akibat
197
sedimentasi untuk lahan pertanian menambah lingkungan semakin terdegradasi. Akibat sedimentasi dan eksploitasi hutan mangrove yang tidak terkendali sudah mulai dirasakan oleh masyarakat. Persentase tingkat pengetahuan responden terhadap berbagai kondisi sumberdaya di kawasan ini disajikan pada Tabel 72. Tabel 72. Persepsi Masyarakat Lokal terhadap Kondisi Sumberdaya di laguna Segara Anakan No 1
Persepsi Persepsi terhadap sedimentasi dan penyempitan badan air dan perluasan daratan
2
Persepsi terhadap keberadaan/ kesehatan hutan mangrove
3
Persepsi terhadap jenis-jenis mangrove yang perlu dilindungi
4
Persepsi terhadap penyebab kerusakan laguna dan mangrove
5
Persepsi terhadap kondisi laguna dan hutan mangrove
6
Persepsi terhadap cara-cara pelestarian dan MCS terhadap sumberdaya yang ada (ikan, mangrove, dan lain-lain)
Pemahaman Tahu adanya penyempitan Tidak tahu Penting Tidak penting Tidak paham Tahu Tidak tahu Biasa saja Tahu Tidak tahu Biasa saja Lebih buruk Lebih baik Tidak berubah Tahu Tidak tahu
Persentase 83,7 16,3 73,9 18,5 7,6 63,1 5,7 31,2 86,3 13,7 78,7 16,3 5,0 95,6 4,4
Sumber: data primer (2010)
Konversi ekosistem mangrove menjadi lahan pertanian pangan umumnya kurang berhasil, meskipun berbagai upaya sudah dilakukan. Misalnya dengan mengubah arah aliran air sungai, sehingga sedimentasi mengumpul pada area tertentu yang akhirnya menjadi daratan, selanjutnya untuk mengurangi tingkat salinitas, dilakukan penggelontoran secara teratur tanah tersebut dengan air tawar untuk mendesak keluarnya kandungan garam dari dalam sedimen. Upaya ini dilakukan sebagai antisipasi terhadap kecenderungan berubahnya ekosistem mangrove di Segara Anakan menjadi ekosistem daratan, namun upaya ini pada akhirnya berhenti dengan sendirinya akibat sulitnya menemukan varietas padi dengan produktivitas tinggi untuk lahan tersebut.
198
5.4.2. Tekanan terhadap Sumber Eksternalitas: Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di Kawasan Laguna Segara Anakan 5.4.2.1. Perikanan Tangkap Berdasarkan hasil penelitian terdahulu menunjukkan selama kurun waktu 14 tahun (Djowito, 1985 dan Mumi, 1999) telah terjadi hilangnya beberapa famili. Pada tahun 1985 di segara Anakan ditemukan 45 jenis ikan dari 36 famili (Djuwito, 1985). Mumi (2000) mengemukakan jenis ikan dari 12 Famili. Sementara kajian Dudley (2000) menyimpulkan bahwa hasil tangkapan jaring apong yang beroperasi mencakup kawasan bagian barat Laguna Sagara Anakan, tertangkap sekitar 27 famili.
5.4.2.2. Perikanan Budidaya Luas lahan budidaya di Kecamatan Kampung Laut sebesar 167,9 Ha. Perikanan budidaya dilakukan sejak munculnya tanah timbul di perairan Segara Anakan yang merupakan dampak sedimentasi dari sungai-sungai yang bermuara di Segara Anakan. Tipe budidaya yang ada di Kecamatan Kampung Laut adalah budidaya tambak skala tradisional dengan komoditas bandeng, udang dan kepiting. Namun selain budidaya tambak ada juga tipe budidaya kolam komoditas air tawar seperti nila gift dan lele. Jumlah RTP budidaya tambak sebanyak 385 RTP, dengan jumlah unit tambak sebanyak 566 unit (Anonimous2, 2009). Budidaya tambak di Kecamatan Kampung Laut bersifat polikultur, lebih dari satu komoditas dibudidayakan dalam satu areal tambak dan tidak saling mengganggu pertumbuhan dan perkembangan masing-masing komoditas. Perikanan budidaya dominan di dua desa Kecamatan Kampung Laut, yaitu Desa Klaces dan Desa Ujungalang. Hasil komoditas dari perikanan budidaya yaitu berupa ikan bandeng, udang windu dan kepiting. Perikanan budidaya banyak terpusat pada Dusun Bondan yang termasuk ke dalam Desa Ujung Gagak. Perikanan budidaya di Dusun Bondan masih menggunakan sistem tradisional. Pembudidaya biasanya memiliki lahan untuk budidaya yang berkisar antara 0,5 – 5 ha yang tergantung dari modal masing-masing pembudidaya. Kepemilikan lahan budidaya pada dasarnya merupakan milik Perum Perhutani yang dimanfaatkan oleh pembudidaya untuk kegiatan ekonomi. Konsekuensi dari kepemilikan tersebut, bahwa pembudidaya diwajibkan untuk menanam mangrove di sekitar tambak serta menjaga mangrove tersebut hingga dapat tumbuh dengan baik.
199
Sejak tahun 2008, Kecamatan Kampung Laut khususnya di Dusun Ujungangalang, mulai dilakukan budidaya kepiting. Budidaya ini bersifat tradisional karena tidak menggunakan teknologi tinggi dan pemberian pakan buatan serta padat tebar yang tinggi. Tahapan produksi budidaya kepiting di Dusun Ujungalang adalah pembesaran belum melakukan pembenihan, karena benih kepiting diperoleh dari alam.
Kepiting-kepiting yang dibudidaya masih
berukuran kecil yang disebut kroyo dengan harga beli Rp 12.000 s.d Rp 15.000. Para pembudidaya di Dusun Ujungalang biasanya melakukan panen setelah tiga bulan dan rata-rata berat 1 ekor kepiting mencapai delapan s.d 10 ons dengan harga Rp 40.000 s.d Rp 55.000.
5.4.3. Identifikasi Eksternalitas di Laguna Segara Anakan 5.4.3.1.
Identifikasi Eksternalitas Positif dan Negatif
Potensi sumberdaya alam di kawasan laguna Segara Anakan telah dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal disekitarnya. Kondisi laguna Segara Anakan telah mengalami degradasi diantaranya adalah penyusutan luasan laguna
akibat
sedimentasi
maupun
akibat
kegiatan
pemanfaatan
dan
pengelolaan yang kurang memperhatikan aspek kelestarian. Di satu sisi manfaat yang diperoleh diantaranya adalah perluasan lahan pertanian akibat adanya tanah timbul (dan peningkatan pendapatan dari pertanian di sebagian wilayah di sebagian lokasi. Di sisi lain dampak negatif yang timbul diantaranya adalah penurunan luasan
perairan
(dislokasi
sebagian
nelayan,
penurunan
produksi
dan
pendapatan sebagian nelayan lainnya), kerusakan ekosistem, biaya pengerukan, konflik nelayan. Dari hasil survey diketahui bahwa dalam beberapa tahun terakhir masyarakat umumnya merasakan adanya penurunan hasil tangkapan yang diperoleh dari laguna dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya.
5.4.3.2.
Pendugaan Nilai Eksternalitas di Laguna Segara Anakan
Pendugaan nilai eksternalitas dapat bernilai positif dan negatif. Nilai eksternalitas positif merupakan suatu upaya menilai manfaat yang diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya dalam bentuk moneter. Berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pemanfaat sumberdaya dalam hal ini adalah laguna Segara Anakan dapat dilihat dari kegiatan yang terkait dengan pertanian maupun perikanan. Hal ini dapat dilihat dari penurunan produksi, kenaikan biaya
200
operasional, perubahan harga dan jumlah orang yang menerima kerugian atau mendapat keuntungan. Nilai eksternalitas negatif ini dibatasi pada kerugian pada bidang perikanan dan kerugian transportasi air di laguna Segara Anakan. Ringkasan nilai eksternalitas positif dan negatif yang diperoleh dari berbagai sumber penelitian dapat dilihat pada Tabel 73. Tabel 73. Nilai Eksternalitas Positif dan Negatif dari Laguna Segara Anakan Jenis eksternalitas Positif - Pendapatan pertanian di tanah timbul Negatif - Kerugian perikanan - Kerugian transportasi air Sumber: a. Koeshendrayana et al (2009)
Nilai eksternalitas (Rp/tahun) 6.280.864.030 a 19.124.860.500 b 5.040.000.000 b
b. Data diolah (2011)
5.4.3.3.
Analisis Biaya-Manfaat Penanganan Eksternalitas Negatif
Dari sudut pandang ekonomi, masalah lingkungan timbul karena adanya eksternalitas, yaitu tidak dimasukkannya biaya lingkungan ke dalam biaya produksi, sehingga mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau pihak lain sehingga menyebabkan kegagalan pasar maka timbul inefisiensi dalam alokasi sumber daya alam dan lingkungan hidup. Analisis biaya manfaat digunakan untuk melihat arah kebijakan yang tepat agar implementasi yang dipilih dapat menghasilkan manfaat optimal. Nilai manfaat langsung dari laguna Segara Anakan diantaranya adalah potensi kayu bakar dari hutan bakau, dan bibit untuk perikanan (benur dan kepiting). Manfaat tidak langsung atau Indirect Use Value (IUV) adalah manfaat yang diperoleh dari laguna secara tidak langsung. Laguna Segara Anakan di kawasan kampong Laut memiliki 2 jenis manfaat yang tidak langsung yang juga berhasil diidentifikasi sebagai nilai manfaat yang hilang akibat adanya penyusutan laguna yaitu manfaat fisik dan manfaat biologi. Manfaat secara fisik adalah penahan abrasi dan pengurangan pencemaran. Manfaat secara biologi di laguna Segara Anakan menyusutnya laguna segara anakan dan rusaknya ekosistem mangrove sebagai penyedia pakan alami bagi ikan.
201
Tabel 74. Analisis Biaya Manfaat untuk Penanganan Eksternalitas di Laguna Segara Anakan Jenis Penanganan Pembangunan SDM (dari pengambilan kayu bakar) a Pengembangan budidaya - Tambak Usaha penangkapan - Ikan a - Udang laguna a - Udang laut a a - Kepiting a - Kerang Jasa - Wisata a Program lingkungan - Pelestarian potensi kayu a - Pengadaan bibit benur Program mitigasi - Penahanan abrasi - Pengurangan pencemaran Sumber: a. Paryono et al (1999)
Manfaat (Rp/ha/tahun) 691.449.503
Biaya (Rp/ha/tahun) 221.376.697
Manfaat Bersih (Rp/ha/tahun) 470.072.806
15.369.489.988
61.342.954.010
8.072.439.901
5.446.042.221 4.325.137.753 21.549.455.770 5.320.128.633 1.067.813.998
2.413.054.166 1.666.690.581 1.206.769.524 1.653.615.799 1.063.100.170
3.032.988.055 100.894.305 948.176.054 3.666.512.834 47.138.028
198.100.145
0
198.100.145
16.687.550.200 5.515.934.320
(1.550.000) 1.979.114.000
16.687.550.200 3.536.820.320
7.762.224.898 43.374.569.940
719.392.000 4.019.886.000
7.042.832.898 39.354.683.940
5.4.4. Arahan Alternatif Pengelolaan Laguna Segara Anakan Setiap kali eksternalitas muncul, dapat mengakibatkan alokasi sumberdaya yang dilakukan pasar tidak efisien. Secara umum terdapat beberapa tindakan untuk mencegah atau mengurangi terjadinya eksternalitas, yakni perubahan hak kepemilikan atau penguasaan (changes property rights), menerapkan regulasi atau pendekatan komando dan kontrol (command-and-control policies), serta pemberlakuan pajak (Pigovian tax). Setelah mengetahui eksternalitas yang terjadi, maka melalui pengaturan hak kepemilikan dapat dijelaskan adanya sistem pergeseran hak kepemilikan menjadi community property. Selanjutnya akan terjadi mekanisme pasar dalam penentuan jumlah permintaan terhadap luas konversi lahan misalnya, sehingga kerusakan yang terjadi pun dapat dikurangi. Kebijakan lainnya adalah komando dan kontrol merupakan kebijakan publik dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, pembuat kebijakan membuat undang-undang atau hukum dan digunakan perangkat penegakan hukum agar masyarakat mematuhi hukum tersebut.
202
Pemerintah dapat mengatasi suatu eksternalitas dengan melarang atau mewajibkan perilaku tertentu dari pihak-pihak tertentu. Dalam hal ini, apabila masyarakat melakukan penebangan mangrove secara berlebih dan tidak memperhatikan unsur kelestarian lingkungan, pemerintah dapat menyatakannya kegiatan ini sebagai tindakan kriminal dan dapat menghukum pelakunya. Kebijakan yang juga dimungkinkan dilaksanakan adalah dengan adanya penetapan pajak. Diharapkan dapat menyebabkan tingkat konversi berkurang. Tanpa adanya biaya eksternal (pajak), maka masyarakat akan mengoptimalkan output untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal.
5.5.
Strategi untuk Meningkatkan Resiliensi Masyarakat di Laguna Segara Anakan Hubungan
masyarakat
dengan
lingkungannya
merupakan
bentuk
hubungan timbal balik. Melalui kegiatan-kegiatannya, masyarakat mengubah dan diubah oleh lingkungan alamnya. Perubahan yang terjadi dalam lingkungan alamnya memerlukan salah satu bentuk strategi adaptasi agar manusia dapat tetap bertahan (survive). Perkembangan kondisi laguna Segara Anakan berimplikasi pada adaptasi yang dilakukan masyarakat di kawasan tersebut sebagai respon atas setiap kejadian (Tabel 75). Ketika musim masih bisa diprediksi dengan luasan laguna yang masih memadai, masyarakat menggunakan alat-alat tangkap yang sederhana dan terbuat dari sumberdaya alam yang ada seperti bambu dan daun gebang. Respon yang berbeda dilakukan ketika iklim semakin sulit diprediksi dan sejumlah faktor antropogenik menyebabkan penurunan luasan laguna, sebagian nelayan menggunakan alat tangkap yang dinilai lebih efektif dan mudah dioperasikan seperti jaring apong. Masyarakat juga melakukan berbagai aktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti alih mata pencaharian dan penebangan kayu bakau. Upaya perbaikan kondisi juga dilakukan oleh pemerintah dengan melakukan kegiatan pengerukan sedimen, meskipun tidak bisa menahan laju degradasi laguna.
203
Tabel 75. Adaptasi yang Dilakukan Masyarakat di Laguna Segara Anakan sebagai Respon atas Suatu Kejadian No 1
Periode < 1970
Kejadian Musim dapat diprediksi & luasan laguna masih memadai
2
1970-1980
3
1980-1990
Iklim dan sejumlah faktor antropogenik menyebabkan degradasi laguna (penyempitan, pendangkalan, penurunan produktivitas) Musim sulit diprediksi, laguna semakin terdegradasi, produktivitas perairan semakin menurun
4
1990-2000
Degradasi laguna semakin cepat
5
2000-2010
Sumberdaya perikanan semakin tidak menjanjikan; pertanian belum dapat maksimal
Adaptasi Penggunaan alat-alat tangkap sederhana, terbuat dari bambu dan daun gebang • Penggunaan alat-alat tangkap super efektif (misalnya jaring apong) • Penebangan hutan mangrove • Sebagian masyarakat beralih menjadi petani (pemanfaatan tanah timbul dan bekas tebangan mangrove) • Merantau (nelayan atau buruh) • Pengerukan laguna • Peningkatan aktivitas ekonomi destruktif Perambahan pulau sekitar dengan melakukan penanaman ‘albiso’ di hutan Nusakambangan
Sumber: data primer diolah (2010)
Perubahan yang terjadi pada laguna Segara Anakan telah membuat masyarakat harus melakukan proses belajar untuk mempertahankan hidupnya. Proses belajar ini pada akhirnya menghasilkan bentuk-bentuk baru dan menimbunnya sebagai bentuk akumulasi dari pengetahuan dan kepandaian yang merupakan bentuk adaptasi yang dilakukan terhadap perubahan yang terjadi. Strategi adaptasi merupakan pilihan tindakan yang bersifat rasional dan efektif sesuai dengan konteks lingkungan sosial, politik, ekonomi, dan ekologi dimana penduduk itu hidup (Kusnadi, 1998). Uraian di atas menunjukkan bahwa perlu mengembangkan strategi adaptasi yang lebih spesifik agar masyarakat memiliki kapasitas yang sesuai. Untuk menentukan alternatif terbaik bentuk pengelolaan sumberdaya di Laguna Segara Anakan, dalam penelitian ini secara agregat digunakan analisis Multi Criteria Decision Making (MCDM). Dalam analisis ini dilakukan pembobotan yang menjadi nilai dari kriteria yang paling berpengaruh dalam penilaian setiap kriteria yang dipertimbangkan. Data yang diperoleh dari hasil pembobotan dianalisis dengan menggunakan program Criterium Decision Plus (Criplus Version 3.4.S) dan menggunakan metode Simple Multi Attribute Rating Technicue (SMART). Nilai bobot dari masing-masing kriteria dan sub kriteria
204
merupakan input nilai berdasarkan hasil penyebaran kuesioner kepada pihak yang berkompeten dalam penentuan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya di Laguna Segara Anakan. Responden meliputi tokoh masyarakat setempat, pemerintah daerah, instansi pemerintah, perguruan tinggi, LSM dan pengguna sumberdaya yang ahli di bidangnya. Dalam analisis MCDM, dapat dilakukan penilaian yang bersifat kualitatif yang
diidentifikasi
melalui
sistem
yang
diamati,
dengan
tujuan
untuk
mendapatkan gambaran umum terhadap sistem yang dikaji. Selanjutnya dari hasil identifikasi tersebut akan diperoleh beberapa variabel yang cukup mendominasi, yang dikategorikan kedalam tiga kriteria yang menggambarkan motif pengelolaan sumberdaya yang dilakukan di wilayah Laguna Segara Anakan yang kemudian disusun dalam bentuk hirarki (Gambar 83). Nilai bobot dari masing-masing kriteria dan sub kriteria merupakan input nilai berdasarkan hasil penyebaran kuesioner kepada pihak yang berkompeten dalam penentuan kebijakan dalam pengelolaan laguna Segara Anakan.
Ekonomi
Resiliensi Masyarakat di laguna SA
Pendapatan
Pengerukan
Sumbangan
Pemberian insentif
Lingkungan
Pemb.
Partisipasi
Pengemb. SDM
Lembaga lokal
Pembuatan
Aturan
Budidaya
Ekologi
Sosial
Gambar 83. Struktur Hirarki untuk MCDM pada Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya di Laguna Segara Anakan
Hirarki disusun berdasarkan hasil analisis SES, resiliensi dan eksternalitas, dimana
sejumlah
tujuan
perlu
dipertimbangkan
sebagai
bagian
yang
mempengaruhi dinamika sosial ekonomi dan ekologi yang berimbas pada tingkat resiliensi masyarakat di laguna Segara Anakan. Tujuan-tujuan tersebut adalah: pendapatan masyarakat, sumbangan pada Pendapatan Asli Daerah (PAD),
205
pelestarian lingkungan, peningkatan partisipasi masyarakat, peningkatan peran kelembagaan lokal dan penyempurnaan aturan-aturan. Untuk tujuan-tujuan tersebut intervensi yang dapat dipertimbangkan adalah: 1) pengerukan laguna secara reguler; 2) pemberian insentif; 3) pembangunan infrastruktur; 4) pengembangan
sumberdaya
manusia;
5)
pembuatan
sudetan;
dan
6)
pengembangan budidaya perikanan. Hirarki yang disusun menggambarkan bentuk pengelolaan yang sebaiknya dilakukan di Laguna Segara Anakan. Pada level pertama, menggambarkan tujuan pengelolaan yang ingin dicapai yaitu pengelolaan sumberdaya khususnya sumberdaya laut yang berkelanjutan. Pada level kedua, menggambarkan kriteria yang menjadi dasar penentuan bentuk pemanfaatan yang sebaiknya dilakukan, meliputi kriteria ekonomi, ekologi dan sosial. Pada level ketiga, menggambarkan sub kriteria yang berpengaruh pada keputusan untuk menentukan bentuk kegiatan pemanfaatan sumberdaya. Pada setiap kriteria, terdapat dua sub kriteria yang dominan dalam pengambilan keputusan. Sedangkan pada level keempat, menggambarkan alternatif bentuk pemanfaatan sumberdaya yang sebaiknya dilakukan di Laguna Segara Anakan. Pada level ini terdapat enam bentuk kegiatan pemanfaatan sumberdaya laguna. Berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan, kemudian diberikan bobot pada setiap pilihan kriteria, sub kriteria sampai alternatif-alternatifnya. Dari hasil pembobotan, yang bertujuan untuk mengetahui bentuk pengelolaan sumberdaya di Laguna Segara Anakan, memberikan hasil bahwa kriteria ekonomi merupakan kriteria yang bobotnya paling tinggi, dibanding nilai bobot dari kriteria ekologi dan sosial. Nilai bobot masing-masing kriteria, berturut-turut adalah ekonomi bobotnya 0,381, ekologi bobotnya 0,333 dan sosial bobotnya 0,286. Hasil pembobotan terhadap masing-masing kriteria selengkapnya disajikan pada Tabel 76 berikut ini.
206
Tabel 76. Nilai Bobot Kriteria untuk Pengelolaan Sumberdaya di Laguna Segara Anakan No 1 2 3
Kriteria dan Sub Kriteria
Bobot 0,381 0,254 0,127 0,333 0,179 0,154 0,286 0,143 0,143 1,000
Ekonomi - Pendapatan - Sumbangan PAD Ekologi - Keletarian lingkungan - Partisipasi Sosial - Kelembagaan lokal - Aturan Total
Sumber: data primer diolah (2010)
Berdasarkan nilai bobot tersebut, mengindikasikan bahwa kriteria ekonomi merupakan kriteria yang paling penting bila dibanding dengan kriteria yang lain, khususnya yang terjadi di Laguna Segara Anakan. Sub kriteria pendapatan dalam kriteria ekonomi merupakan hal yang paling berpengaruh dalam pengelolaan sumberdaya laut di Laguna Segara Anakan bila dibandingkan sumbangan PAD. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat lebih menjadi
orientasi
dalam
pemanfaatan
sumberdaya,
karena
perolehan
pendapatan langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat ketimbang sumbangan PAD yang terlebih dahulu dikelola oleh pemerintah kemudian baru dikembalikan ke masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa faktor pendapatan merupakan hal yang dominan (Gambar 84).
Gambar 84. Skor akhir prioritas model pengelolaan sumberdaya di laguna Segara Anakan untuk kriteria ekonomi
207
Dari
hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
alternatif
terbaik
untuk
meningkatkan resiliensi masyarakat di laguna Segara Anakan berdasarkan pada kriteria ekonomi pada sub kriteria pendapatan adalah pembangunan infrastruktur. Alternatif kedua adalah intervensi melalui pemberian insentif. Kriteria ekologi memperoleh bobot tertinggi kedua setelah kriteria ekonomi. Pada kriteria ini terdapat sub kriteria kelestarian lingkungan dan partisipasi. Pada kriteria ini terdapat sub kriteria lingkungan tetap terjaga dan partisipasi masyarakat yang lebih mempengaruhi pengelolaan sumberdaya di Laguna Segara Anakan. Hal ini terjadi disebabkan oleh adanya kemauan kuat dari masyarakat yang ingin turut berpartisipasi dalam pemanfaatan sumberdaya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, perolehan manfaat sampai pada evaluasi dan pengawasan. Karena dengan berpartisipasi, maka akan banyak tenaga kerja yang dapat terserap dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya laut. Fenomena ini dapat dijadikan sebagai modal sosial untuk mengelola sumberdaya laut, sehingga Laguna Segara Anakan dimasa yang akan datang akan dapat lebih berkembang. Gambaran mengenai bobot yang diperoleh pada kriteria ekologi dan besaran bobot dari sub kriteria kelestarian lingkungan dan partisipasi untuk memperoleh pilihan alternatif terbaik dapat dilihat pada Gambar 85.
Gambar 85. Skor akhir prioritas model pengelolaan sumberdaya di laguna Segara Anakan untuk kriteria ekologi
Dari
hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
alternatif
terbaik
untuk
meningkatkan resiliensi masyarakat di laguna Segara Anakan berdasarkan pada kriteria ekologi pada sub kriteria kelestarian lingkungan adalah intervensi melalui pemberian insentif. Alternatif kedua adalah intervensi pengerukan laguna. Yang
208
bobotnya tidak jauh berbeda untuk alternatif ketiga adalah intervensi pembuatan sudetan. Kriteria sosial memiliki bobot yang paling rendah pengaruhnya dalam pengelolaan sumberdaya laut di Laguna Segara Anakan. Kurangnya peran lembaga lokal dalam mengatur pemanfaatan sumberdaya laut yang ada di kawasan lagunan Segara Anakan disebabkan oleh jumlah lembaga lokal yang terbatas. Kalaupun ada, keberadaannya kurang memberikan pengaruh kepada masyarakat dalam mengatur bentuk pemanfaatan sumberdaya laut. Lembaga lokal lebih berperan dalam kegiatan ekonomi, yaitu sebagai lembaga simpan pinjam namun dengan modal terbatas. Kurangnya pengaruh kelembagaan, juga dilihat dari pengaruh sub kriteria aturan pengelolaan. Ketiadaan aturan yang jelas dan komprehensif yang disosialisasikan pada seluruh masyarakat mengenai bentuk pemanfaatan sumberdaya laut dan sanksi bagi pelaku yang berperilaku merusak sumberdaya, menyebabkan aturan merupakan hal yang kurang berpengaruh pada pengelolaan sumberdaya laut di Laguna Segara Anakan. Gambaran mengenai bobot yang diperoleh pada kriteria sosial dan sub kriteria aturan dan kelembagaan lokal untuk memperoleh pilihan alternatif terbaik, dapat dilihat pada Gambar 86.
Gambar 86. Skor akhir prioritas model pengelolaan sumberdaya di laguna Segara Anakan untuk kriteria sosial
Dari
hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
alternatif
terbaik
untuk
meningkatkan resiliensi masyarakat di laguna Segara Anakan berdasarkan pada kriteria sosial adalah intervensi pengembangan sumberdaya manusia. Alternatif kedua adalah intervensi melalui pengerukan laguna.
209
Hasil pembobotan kriteria-kriteria di atas pada dasarnya ditujukan untuk mencari bobot yang paling tinggi dan menentukan kriteria yang paling berpengaruh dalam meningkatkan resiliensi masyarakat di laguna Segara Anakan. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa kriteria ekonomi yang paling besar pengaruhnya dalam meningkatkan resiliensi masyarakat di laguna Segara Anakan. Pilihan alternatif kebijakan yang muncul berdasarkan analisis MCDM ini diantaranya adalah: 1) pengerukan laguna secara reguler; 2) pemberian berbagai insentif; 3) pembangunan infrastruktur ekonomi; 4) pengembangan SDM; 5) pembuatan sudetan; dan 6) pengembangan usaha budidaya perikanan di lahan mangrove yang terbengkalai. Pilihan-pilihan strategi ini diharapkan dapat meningkatkan resiliensi masyarakat dan berbagai kriteria tersebut yang disajikan pada Gambar 87.
Gambar 87. Pilihan -Pilihan Strategi untuk Meningkatkan Resiliensi Masyarakat di Laguna Segara Anakan dengan teknik SMART
Hasil analisis MCDM tersebut di atas memberikan hasil bahwa 3 pilihanpilihan terbaik adalah: (1) pengembangan SDM, (2) pemberian insentif, dan (3) pembuatan sudetan. Berikut adalah bahasan lebih mengenai 3 pilihan terbaik tersebut. Pilihan pengembangan sumberdaya manusia memiliki bobot tertinggi sebesar 0,817, sehingga dengan demikian berdasarkan ketiga kriteria dalam analisis di atas strategi pengembangan SDM di laguna Segara Anakan merupakan pilihan strategi terbaik. Strategi pengembangan sumberdaya manusia juga merupakan strategi yang menyentuh aspek-aspek dasar pada sisi sosial. Pengembangan SDM dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat pada
210
berbagai kegiatan konservasi laguna ataupun hutan mangrove ataupun kegiatan ekonomi seperti pengembangan berbagai bentuk pencaharian alternatif di wilayah Segara Anakan. Misalnya saja pengembangan perikanan budidaya, yang pada dasarnya merupakan sebuah bentuk teknologi baru, penerapan strategi tersebut akan banyak menghadapi sejumlah tantangan berat. Di antara tantangan tersebut adalah yang terkait dengan kondisi sumberdaya manusia. Sebagaimana dicontohkan dalam Sub Bab analisis CLSA, pengembangan pencaharian baru dalam bidang pertanian, diperlukan waktu yang cukup lama bagi masyarakat untuk menerima teknologi, pengetahuan atau ketrampilan dari luar, yang dalam konteks tersebut adalah petani bawon dari daratan Pulau Jawa. Pilihan terbaik kedua adalah pemberian insentif dengan bobot sebesar 0,804. Sebagaimana yang sudah dibahas pada Tabel 70 tentang sistem insentif yang berhasil diidentifikasi di Segara Anakan, maka bentuk pemberian insentif dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Bentuk pemberian insentif secara langsung dengan mempertimbangkan sasarannya adalah: pemberian SPPT, upaya alih profesi, penyediaan informasi dan teknologi, pemberian subsidi upah langsung, pemberian kredit modal kerja, bantuan pangan, penanaman mangrove dan pelayanan sosial baik transportasi, kesehatan, dan sebagainya. Adapun bentuk pemberian insentif secara tidak langsung yang berhasil diidentifikasi dalam penelitian ini diantaranya adalah pengaturan lahan produksi, peningkatan sarana prasarana usaha alternatif, pendidikan dan pelatihan, serta pendampingan, stabilitasi harga, perbaikan jalur pemasaran, pembukaan akses pasar, pengaturan harga faktor produksi, penghargaan berbasis kinerja, penguatan kelembagaan lokal, dan perbaikan infrastruktur sosial. Pilihan terbaik ketiga adalah pembuatan sudetan dengan bobot sebesar 0,768. Salah satu keunggulan dari pilihan strategi pembuatan sudetan adalah bahwa dari sudut pandang waktu pelaksanaan, pembuatan sudetan dapat diselesaikan dalam waktu yang lebih cepat dan terukur. Disamping itu, dampak dari pembuatan sudetan pun dapat terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Dengan demikian, terlepas dari tentangan kuat yang datang dari masyarakat lain di luar Segara Anakan, dapat dikatakan bahwa pilihan strategi ini merupakan sebuah pilihan strategi yang sangat baik. Strategi pembuatan sudetan menyentuh aspek mendasar pada sisi fisik dan ekologis.
211
5.6. Sintesa Hasil 5.6.1. Kondisi Sosial Ekologis dan Kerentanan Masyarakat Hasil analisis SES pada Sub Bab 5.1. menunjukkan bahwa berbagai kegiatan sosial maupun ekonomi masyarakat di wilayah Segara Anakan sangat tergantung pada keberadaan laguna, baik badan air maupun bagian daratannya. Sebaliknya, kondisi dan dinamika laguna sangat dipengaruhi oleh berbagai kegiatan masyarakat tersebut. Misalnya, pada sumberdaya lahan basah, luasan mangrove telah mengalami kerusakan di berbaga lokasi akibat kegiatan-kegiatan penebangan pembuat kayu bakar. Sementara itu sumberdaya perairan menurun kualitasnya karena penggunaan jenis alat yang tidak ramah lingkungan, frekuensi dan kapasitas perikanan dimiliki oleh nelayan yang semakin besar, dsb. Dinamika interaksi yang terjadi di antara aspek ekologis dan aspek sosial di Segara Anakan sejauh ini lebih banyak menimbulkan dampak negatif pada masing-masing dan membuat kondisi yang semakin memburuk pada keduanya. Dampak negatif yang terjadi akibat interaksi saling merugikan tersebut di atas sejauh ini terkurangi oleh keberadaan prasarana tertentu yang dibangun atau dipasok oleh berbagai penyedia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sejumlah prasarana yang dibangun oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga swasta tertentu telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi. Ketersediaan prasarana yang lebih mencukupi terbukti mampu memperbesar peluang masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya; sebagai contoh, perbaikan sarana transportasi telah mendorong kreativitas masyarakat untuk melakukan kegiatan produksi dan pemasaran produk-produk andalan lokal (misalnya gula kelapa) ke target-target di luar wilayah mereka. Namun demikian, keberadaan aktivitas dan sikap tertentu dari sebagian masyarakat
lainnya
prasarana-prasarana
tidak
cukup
tersebut.
mendukung
keberlanjutan
Sebagai contoh, saat
layanan
keberadaan prasarana
pengadaan air bersih terhenti pada suatu periode karena kendala teknis, kerusakan lebih parah justru terjadi akibat tindakan masyarakat yang terdorong oleh motivasi keuntungan jangka pendek; pencurian suku cadang penting terjadi pada saat prasarana air tersebut dalam keadaan terhenti layanannya. Di samping itu, proses penyelenggaraan penyediaan prasarana di Segara Anakan juga tidak terjadi secara optimal. Penyelenggaraan pembangunan prasarana sebagian dilandasi oleh fungsi layanan publik sedangkan sebagian lain terbatasi oleh tujuan organisasi penyedia prasarana.
212
Kemunculan penyedia-penyedia prasarana tersebut pada umumnya merupakan respons terhadap kekurangan kuantitas dan atau kualitas layanan yang disediakan oleh prasarana yang telah wujud sebelumnya. Di samping itu, perkembangan kondisi laguna juga menjadi dasar bagi pengadaan berbagai bentuk prasarana. Sebagai contoh, penyempitan badan air dan peluasan daratan mendorong penyedia laguna untuk membangun prasarana dan sarana sosial dan ekonomi yang memberikan ruang lebih besar kepada masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi laguna yang tidak lagi sama dengan kondisi pada waktu-waktu sebelumnya. Terlepas dari nilai-nilai positif tersebut di atas, kemunculan berbagai bentuk prasarana juga dapat bersifat kontraproduktif. Keberadaan prasarana-prasarana di wilayah Segara Anakan secara umum pada sisi yang lain juga memberikan dorongan yang lebih besar terhadap masyarakat untuk merubah perilaku ekonomi, dari yang lebih bertumpu pada penghidupan berbasis air ke pekerjaanpekerjaan darat. Hal ini menciptakan kebutuhan yang lebih besar di antara masyarakat akan berbagai prasarana yang dianggap dapat memfasilitasi masyarakat Segara Anakan mendekat kearah gaya hidup di luar wilayah. Sebagaimana disebutkan paparan hasil pada bagian sebelumnya, pengaruh dari luar telah membuat masyarakat merasa jenuh dengan gaya hidup tertutup dan gaya hidup ‘manusia perairan’ yang selama ini mereka jalani. Perkembangan semacam ini, dimana keberadaan prasarana tertentu mendorong munculnya keberadaan prasarana tertentu lain yang menumbuhkan preferensi masyarakat Segara Anakan kepada budaya daratan, berpotensi mengikis kepedulian pada kelestarian laguna. Hasil umum dari analisis sistem sosial ekologis tersebut di atas merupakan petunjuk penting yang dapat menjelaskan kondisi kerentanan dan resiliensi masyarakat di Segara Anakan. Pada Sub Bab 5.2. dipaparkan hasil penelitian tentang kondisi kerentanan di Segara Anakan adalah tinggi. Faktor-faktor yang teridentifikasi sebagai penyebab kerentanan tersebut secara umum bersumber pada 5 dimensi, yaitu dimensi manusia, sosial, fisik, ekonomi, dan lingkungan (alam). Dari kelima dimensi tersebut, dimensi ekonomi dan lingkungan merupakan adimensi-dimensi yang menunjukkan tingkat kerentanan yang lebih tinggi dibanding aspek-aspek lainnya. Terkait dimensi ekonomi, diidentifikasi bahwa penduduk sangat tergantung pada dua jenis pencaharian utama, yaitu perikanan dan pertanian, yang produktivitasnya sangat rendah, terutama karena
213
kondisi lingkungan yang tidak mendukung dan sarpras yang terbatas. Sementara itu, terkait dimensi lingkungan, hal yang sangat mendasar adalah kenyataan bahwa kondisi lingkungan makin terdegradasi terutama sejak terjadinya penyusutan laguna yang diikuti dengan kesulitan ekonomi yang mendorong deforestasi dan keterbatasan air bersih. Buruknya kondisi kedua dimensi itu telah dijelaskan melalui hasil analisis SES di atas, yaitu bahwa di antara dua sub sistem SES, yaitu sumberdaya dan penggunanya, telah terjadi interaksi dinamik yang memperburuk kondisi masing-masing. Di samping itu, analisis SES juga menunjukkan bahwa dua subsistem lain yaitu prasarana dan penyedia prasarana belum berperan maksimal, bahkan di sisi lain berpotensi memperburuk keadaan karena juga dapat menyebabkan menurunnya apresiasi masyarakat terhadap sumberdaya air, yaitu laguna. Resiliensi, yang menurut literatur merupakan sisi lain dari mata uang yang sama dari kerentanan, untuk Segara Anakan menjadi rendah oleh karena rangkaian sebab seperti telah dibahas di atas. Pada Sub Bab 5.3. ditunjukkan bahwa semua indikator resiliensi di Segara Anakan mempunyai skor rendah, baik untuk kelompok pengguna nalayan, petani, petambak maupun penyedia jasa. Berbagai keterbatasan yang menyebabkan buruknya kondisi beberapa dimensi kerentaan menyebabkan masyarakat pemukim Segara Anakan kurang mampu mengembangkan elemen-elemen resiliensi. Sebagaimana contoh, buruknya faktor-faktor pada dimensi kerentanan ekonomi menyebabkan masyarakat lemah pada aspek reliliensi yang terkait kemampuan untuk mengembangkan diversitas.
5.6.2. Kerentanan, Kondisi SES dan Pengembangan Pencaharian Paparan hasil pada Sub Bab 5.2. tentang Coastal Livelihood System Analysis (CLSA) menyimpulkan dua hal penting: (1) kondisi sistem sosial ekologis di Segara Anakan dapat diperkuat melalui pengembangan penghidupan masyarakat (community livelihood); dan (2) pengungkapan elemen-elemen kerentanan dan sistem social-ekologis dapat dijadikan dasar pijakan untuk pengembangan penghidupan masyarakat (community livelihood). Elemen penting tersebut di antaranya adalah yang terkait dengan karakteristik sumberdaya,
pengaruh
masyarakat
terhadap
sumberdaya,
karakteristik
pencaharian masyarakat yang ada selama ini. Telah diungkapkan di atas bahwa hasil analisis sistem sosial-ekologis menunjukkan adanya degradasi lingkungan yang relatif tak terhindarkan, dan
214
hanya dapat diminimalisir dampaknya. Dalam situasi seperti itu, Sub Bab 5.3. menyimpulkan adanya dua hal yang dapat dilakukan, yaitu mempersiapkan masyarakat untuk melakukan adaptasi secara maksimal dan membekalinya dengan berbagai pengetahuan dan ketrampilan tentang pilihan-pilihan pekerjaan yang tidak hanya member topangan ekonomi melainkan juga memperkecil tekanan terhadap sumberdaya. Berdasar hasil analisis SES, pelajaran yang dapat dipetik dari berbagai jenis pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat Segara Anakan, bentuk-bentuk penghidupan alternatif yang dapat dikembangkan adalah berbagai kegiatan ekonomi berbasis lahan timbul dan usaha-usaha berbasis perairan yang tidak memerluasan areal yang luas, baik di bidang perikanan maupun pertanian pertanian, serta berbagai jenis usaha pengolahan hasil sumberdaya alam. Seperti telah diungkapkan sebelumnya, tidak semua pilihan tersebut dapat direalisasikan karena berbagai keterbatasan yang ada. Berbagai faktor kerentanan yang teridentifikasi pada masyarakat Segara Anakan adalah merupakan salah satu yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan alternatifalternatif tersebut. Selain dua faktor yang telah disebut sebelumnya, yang terkait dimensi ekologis dan dimensi ekonomi, kerentanan di Segara Anakan juga terkait dimensi manusia, sosial dan fisik. Terkait ketiga dimensi tersebut, dideskripsikan di Sub Bab 5.2. bahwa: (a) kondisi SDM rendah, terutama karena kurangnya dukungan sarana-prasarana pendidikan, (b) meskipun kualitas kepemimpinan di dalam masyarakat pada umumnya cukup baik, akses dan mobilias yang rendah teridentifikasi telah menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tingginya tingkat kemiskinan, (c) populasi kawasan Segara Anakan tidak terlalu besar; namun penduduk berdiam di lokasi-lokasi yang sangat rawan bencana dengan dukungan fasilitas yang sangat terbatas. Sementara itu, hasil analisis insentif pada bahasan mengenai CLSA, mengungkapkan berbagai bentuk sistem insentif, baik langsung-maupun tak langsung, yang dapat digunakan sebagai instrumen untuk mengarahkan masyarakat pada pilihan alternatif penghidupan tertentu, dengan mempertimbangkan aspek eknomi mereka dan aspek pelestarian sumberdaya. Bentuk-bentuk insentif tersebut adalah penyediaan informasi dan teknologi, pemberian subsidi upah langsung, pemberian kredit modal kerja, bantuan pangan, penanaman mangrove, pelayanan sosial (transportasi, kesehatan, dan sebagainya).
215
5.6.3. Rekonstruksi Model Resiliensi Berbasis SES Paparan rangkuman dan sintesis hasil tersebut di atas merujuk pada beberapa pilihan strategi untuk mengupayakan kondisi resiliensi masyarakat di Segara Anakan. Secara umum, pilihan-pilihan tersebut diarahkan untuk mendukung pengembangan pencaharian alternatif. Sebagian besar dari pilihanpilihan tersebut telah dibahas pada Sub Bab 5.2. tentang sistem insentif, yaitu: penyediaan informasi dan teknologi, pemberian subsidi upah langsung, pemberian kredit modal kerja, bantuan pangan, penanaman mangrove, pelayanan sosial termasuk penyediaan kemudahan-kemudahan transportasi dan kesehatan. Pilihan-pilihan lain terungkap pada paparan pada Sub Bab 5.5, yaitu: (1) pengembangan sumberdaya manusia, (2) pemberian berbagai insentif, dan (3) pembuatan sudetan, merupakan 3 pilihan pertama yang prioritas untuk dilaksanakan. 3 pilihan berikutnya adalah pembangunan infrastruktur ekonomi dasar, pengerukan laguna secara regular, dan pengembangan usaha perikanan budidaya. Masing-masing pilihan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan dibanding
pilihan-pilihan
lainnya.
Dalam
analisis
MCDM
sebagaimana
dipaparkan pada Sub Bab 5.5 tersebut, beberapa kriteria dan sub kriteria dapat dipergunakan untuk memperbandingkan pilihan-pilihan tersebut. Kriteria lainnya yang tidak tercantum dalam pembahasan seperti potensi benefit yang dapat dihasilkan, biaya yang terkait, cakupan sasaran (jumlah partisipan yang terkena dampak positif), keterbatasan-keterbatasan teknis dan sosial ekonomi, faktorfaktor kerentanan, dan hasil-hasil analisis insentif dapat dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan mengenai strategi prioritas dilaksanakan dalam upaya keberlanjutan sumberdaya perikanan di laguna Segara Anakan. Selanjutnya dirumuskan suatu model untuk meningkatkan resiliensi masyarakat di laguna Segara Anakan sebagai berikut:
216
Pengemb bangan SDM
Peng gerukan la aguna
Fa aktor ekstternal
Fakto or ekstern nal
Resiliensi
Pembangunan struktur infras
Re esiliensi
Resiliensi
Pemberrian insenttif
Fakttor eksternal Pemberian insentif
Pengerukan P laguna
Kete erangan: ‐ Karakteristik inte ernal: faktor-ffaktor penentu u resiliensi ‐ Din namika ekologi: perubahan-perubahan komponen secara s cepat dan lam mbat ‐ Din namika sosial: struktur stakkeholder ‐ Din namika ekono omi: sistem mata m pencaharrian masyarakkat ‐ Fakktor eksternal: alam, politikk, kebijakan, d dsb
bar 88. Mode el Resiliensi Masyarakat di Laguna Segara Ana akan Gamb
D Dalam mode el ini dapat dideskripsika d an bahwa dii dalam siste em sosial-ek kologi atau SES ada dinamika ekonomi, e sosial dan ekologi, ya ang membe entuk ng dimaksud adalah fa aktorkaraktteristik internal tertentu. Karakter iiniternal yan faktor penentu resiliensi berupa b kem mampuan untuk belaja ar hidup dalam peruba ahan dan ke etidakpastian, kemampu uan untuk mengembang m gkan ragam cara untuk reorganisa asi dan pem mbaruan, kkemampuan untuk me engkombinassikan gai macam pengetahua an, dan ke emampuan untuk mencciptakan peluang berbag bagi pengorganis p sasian diri. Dinamika sosial berissi struktur sstakeholder dan kelembagaan dida alamnya. Dinamika eko ologi berisi perubahan komponen yang
217
terjadi secara cepat dan lambat. Dan ada dinamika ekonomi berisi struktur mata pencaharian, struktur pendapatan, kondisi aset kapital. Karakteristik internal ini akan keluar sebagai resiliensi untuk menghadapi tekanan politik, kebijakan dan alam. Karakteristik internal itu dapat diperkuat dengan intervensi-intervensi prioritas, melalui perubahan pada dinamika ketiga aspek, yaitu sosial, ekologi dan ekonomi. Implikasinya masyarakat di Kawasan Segara Anakan terutama nelayan dapat memperbaiki taraf hidupnya, karena mereka memang sangat tergantung dan berkepentingan dengan sumberdaya laguna. Namun demikian masyarakat nelayan relatif marginal secara ekonomi sehingga posisi sosialnya diantara masyarakat yang lain juga kurang diperhitungkan sebagaimana tercermin dalam analisis stakeholder bahwa nelayan merupakan stakeholder primer. 5.6.4. Strategi Implementasi Kebijakan Berdasarkan hasil-hasil kajian, studi literatur dan FGD yang dimaksudkan untuk melengkapi penelitian disertasi ini, terdapat beberapa strategi yang perlu dipertimbangkan dan diperkirakan dapat meningkatkan efektivitas model peningkatan resiliensi sebagaimana dideskripsikan di atas. Strategi-strategi tersebut adalah: pengerukan laguna secara reguler, pemberian berbagai insentif, pembangunan infrastruktur ekonomi, pengembangan SDM, pembuatan sudetan dan pengembangan usaha budidaya perikanan di lahan mangrove yang terbengkalai. 1.
Penggabungan dua atau beberapa bentuk intervensi Empat bentuk intervensi utama yang disarankan melalui model yang dirumuskan dalam disertasi ini menurut hasil penelitian lain akan lebih efektif apabila dilaksanakan secara simultan. Ini terutama terkait dengan potensi eksternalitas negatif dan atau sisi lemah dari masing-masing strategi tersebut. Sebagai contoh, upaya pengerukan selama ini sudah dilakukan dan membawa dampak posisitf terhadap aspek social maupun ekologis. Namun, pengerukan laguna, sebagimana dibahas dalam disertasi ini, juga memunculkan sejumlah masalah, misalnya konflik terkait ‘disposal’. Oleh karena itu, penggabungan strategi ini dengan strategi lain secara simultan, misalnya dengan pengembangan budidaya menjadi relevan. Perebutan tanah disposal hasil pengerukan dapat dikurangi apabila sebagian masyarakat
telah
mendapatkan
peluang
ekonomi
lain
yang
tidak
membutuhkan disposal, misalnya kegiatan budidaya. Dengan analogi yang
218
sama, penggabungan-penggabungan strategi harus dilihat sebagai bagian penting dari upaya penerapan strategi-strategi sebagaimana diusulkan melalui disertasi ini. 2.
Minimalisasi eksternalitas negatif dari penerapan intervensi Seperti diungkapkan di atas, penerapan strategi apapun, selain berpotensi memperbaiki karakter internal dalam sistem SES di Segara Anakan juga dapat menimbulkan dampak atau eksternalitas negatif. Selain dengan menggabungkan dua strategi atau lebih, penanganan eksternalitas negative juga dapat dilakukan dengan menerapkan perencanaan komplementer lain, yang tidak disebutkan dalam daftar strategi yang direkomendasikan. Sebagai contoh, pembuatan sudetan dampak negatif yang dapat ditimbulkannya adalah berubahnya fungsi ruang di sekitar Kecamatan Kalipucang, Pangendaran dan sekitarnya; pengerukan laguna Pengerukan sedimen (disposal area) di Kawasan Segara Anakan kurang lebih 600 ha, yang bertujuan
untuk
memperluas
penampang
air
Segara
Anakan
dan
mengembalikan fungsi sebagian kawasan Segara Anakan sebagai sumber nutrisi untuk biota perairan. Untuk pembuatan sudetan, dampak negatif tersebut dapat disiasati dengan atau melalui perbaikan DAS bisa berupa penghijauan, pencegahan erosi, mengembangkan hutan rakyat, perbaikan terasering, peningkatan daya tangkap air di areal permukiman dan pertanian, penerapan drainase ramah lingkungan, dan pembuatan embung-embung kecil. 3.
Memfasilitasi ko-evolusi sistem sosial ekologis yang positif Sebagaimana dipaparkan dalam analisis sejarah, output dari interaksi antara dinamika ekologis yang terjadi di Segara Anakan, termasuk yang terkait dengan proses sedimentasi dengan kondisi sosial masyarakat adalah penyesuaian-penyesuaian gradual (ko-evolusi), baik di sisi alam maupun sisi manusianya, baik kearah positif maupun negatif. Detil dari strategi-strategi yang diusulkan melalui disertasi ini dapat diarahkan untuk memfasilitasi perubahan-perobahan positif tersebut. Artinya, strategi-strategi umum tersebut dapal implementasinya peru dirinci lagi dan dipilih interpretasi operasionalnya sehingga output positif dapat terjadi secara maksimal. Misalnya, terkait strategi pengembangan SDM, salah satu interpretasi yang relevan adalah pengembangan ketrampilan dan pengetahuan masyarakat untuk lebih mampu beradaptasi melalui pengembangan usaha di bidang
219
pertanian, yang telah terbukti mampu menyelamatkan masyarakat dari dampak yang lebih besar dari adanya penyusutan laguna. 4.
Penataan ruang Prasyarat utama yang diperlukan untuk penerapan strategi-strategi di atas adalah
penataan
dimaksimalkan
ruang.
sedang
Dampak
dampak
positif
negatif
yang
dapat
diharapkan
diminimalkan
dapat apabila
implementasi strategi tersebut telah memperhitungkan sisi keruangan yang disusun atas dasar berbagai pertimbangan, termasuk sistem sosial ekologis, politis maupun aspek-aspek relevan lainnya. Aspek politis penting yang perlu
dipertimbangkan
adalah
tindak
lanjut
penetapan
kawasan
Pangandaran, Kali Pucang, Segara Anakan dan Nusa Kambangan (Pacangsanak) sebagai Kawasan Strategis Nasional dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Tata ruang dan implikasi penerapan strategi akan memungkinkan terlaksananya pola penanganan yang komprehensif dan berkelanjutan
sebagaimana
dimaksudkan
penerapan strategi tersebut di atas.
dalam
tujuan
penerapan-
220
221
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Dari uraian dan pembahasan pada bab terdahulu, maka dapat dibuat suatu kesimpulan bahwa: 1. Sistem sosial-ekologis di laguna Segara Anakan saat ini terbentuk dari dinamika historis penurunan badan air yang terdiri dari empat komponen pembentuk sistem, yaitu: sumberdaya dalam bentuk laguna, pengguna yang sangat tergantung pada laguna yaitu masyarakat Kampung Laut, berbagai bentuk prasarana dan penyedia prasarana. 2. Tingkat resiliensi masyarakat pada umumnya rendah tetapi nelayan memiliki resiliensi yang relatif lebih tinggi dibanding masyarakat lainnya, meskipun secara umum seluruh masyarakat memiliki tingkat kerentanan yang tinggi. Resiliensi masyarakat dilihat pada setiap komponennya, yaitu: kemampuan untuk belajar hidup dalam perubahan dan ketidakpastian, kemampuan untuk mengembangkan
ragam
cara
untuk
reorganisasi
dan
pembaruan,
kemampuan untuk mengkombinasikan berbagai macam pengetahuan, dan kemampuan untuk menciptakan peluang bagi pengorganisasian diri. 3. Model resiliensi masyarakat di laguna Segara menggambarkan bahwa di dalam dinamika SES ada dinamika sosial, ekonomi dan ekologi membentuk karakteristik internal yang akan keluar sebagai resiliensi untuk menghadapi tekanan faktor eksternal, yang dapat ditingkatkan kinerjanya melalui sejumlah intervensi. 4. Faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya resiliensi tersebut adalah keterbatasan mata pencaharian, aksesibilitas, dan ancaman alamiah. Ancaman alamiah yang dihadapi masyarakat di laguna Segara Anakan adalah peyusutan laguna yang terjadi secara terus menerus. 5. Strategi alternatif pengelolaan sumberdaya untuk meningkatkan resiliensi masyarakat adalah: (1) pengembangan sumberdaya manusia, (2) pemberian berbagai insentif, dan (3) pembuatan sudetan, merupakan 3 pilihan pertama yang prioritas untuk dilaksanakan.
222
6.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta kesimpulan diatas, maka hal-hal yang dapat disarankan adalah: 1.
Membuat perencanaan komprehensif dengan memanfaatkan semua hasil penelitian lain dan dengan kerangka dan strategi sebagaimana disimpulkan melalui disertasi ini. Permasalahan degradasi sumberdaya dan lingkungan pada
akhirnya
tidak
hanya
berpotensi
merusak
atau
mengurangi
kemampuan sumberdaya memberikan manfaat bagi masyarakat setempat, namun berpotensi juga menimbulkan konflik bagi pihak-pihak yang samasama bergantung pada sumberdaya yang sama. 2.
Melakukan kegiatan sosialisasi hasil perencanaan dan mengimplementasikannya dalam program-program yang terkait agar terjadi pembenahan struktur sosial yang ada di masyarakat terutama pemerataan akses terhadap sumberdaya dan sumber modal serta teknologi menjadi krusial.
3.
Meng-update data nilai ekonomi sumberdaya sebagai bagian dari kegiatan perencanaan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya.
4.
Mekanisme pemanfatan lahan pertambakan dilakukan dengan untuk mendayagunakan lahan sekaligus menghindari tumpang tindih kepentingan antara pemanfaatan lahan tambak dan lahan untuk mangrove.
223
EPILOG Dengan adanya perubahan tak terhindarkan dan tak terhentikan pada lingkungan tempat bergantungya hampir semua lini kehidupan, resiliensi menjadi sangat penting artinya bagi masyarakat di laguna Segara Anakan. Resiliensi tersebut akan mempersenjatai mereka dan memungkinkan mereka bertahan menghadapi dinamika sosial dan ekologi yang tidak menguntungkan. Tidak berarti bahwa masyarakat pemukim laguna tersebut tidak pernah melakukan upaya apapun atau tidak memiliki kemampuan sedikitpun untuk mensiasati dampak merugikan dari dinamika tersebut di atas. Analisis latar sejarah yang saya lakukan di awal penelitian ini menunjukkan adanya siklus adaptif masyarakat dalam merespon lingkungan melalui empat fase berulang: eksploitasi, konservasi, kerusakan, dan reorganisasi. Fase-fase ini dapat saya analogkan dengan tahapan-tahapan penyesuaian yang terjadi dalam kehidupan kita. Ada saatnya dimana kita mengeluarkan energi yang kuat untuk mengejar cita-cita kita, kemudian menikmati keberhasilan, lalu merasakan telah terjadinya pemborosan energi, dan pada akhirnya memikirkan langkah yang lebih strategis untuk pengejaran cita-cita dengan lebih baik. Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa dalam menerapkan suatu kebijakan menjadi penting untuk memperhatikan siklus adaptif ini. Akan tetapi, berbagai temuan yang telah dihasilkan oleh peneliti terdahulu menunjukkan bahwa kemampuan bertahan mereka tidak sepadan dengan derasnya arus perubahan itu. Dengan kata lain, intervensi merupakan hal yang relevan untuk memfasilitasi masyarakat menggali kemampuan mereka sendiri, meningkatkan kapasitas internal mereka sendiri. Merupakan keberuntungan bagi saya bahwa telah tersedia banyak sekali penelitian-penelitian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti lain tentang Segara Anakan. Penelitian tentang aspek sejarah, aspek biologi, aspek lingkungan, aspek sosial dan lain-lain telah ikut mendorong keberanian saya untuk melakukan penelitian saya tentang pengembangan model resiliensi, yang apabila saya lakukan tanpa telah adanya penelitian-penelitian tersebut akan berlangsung sangat lama. Tidak hanya itu, penelitian saya ini tentu tidak akan saya mampu lakukan sendiri tanpa adanya penelitian-penelitian terdahulu, dari berbagai disiplin ilmu tersebut. Ini terutama benar karena keterbatasan wawasan keilmuan
224
yang saya miliki dan luasnya rentang aspek dari objek penelitian yang saya lakukan. Dengan latar belakang tantangan dan peluang tersebut di atas, pokok dari penelitian saya adalah menggabungkan semua informasi ilmiah dari literatur dan dokumentasi yang tersedia dan berbagai pendalaman yang saya lakukan bersama masyarakat dan pemangku kepentingan, untuk kemudian bersamasama mereka pula mengidentifikasi benang merah dan menentukan apa-apa yang dapat dikembangkan atau dilakukan untuk meningkatkan kapasitas internal mereka, menumbuhkan resiliensi mereka. Sebuah kerangka ilmiah yang disebut sebagai kerangka analisis sistem sosial ekologis atau biasa disebut analisis SES saya pergunakan untuk melakukan penelitian ini. Pada intinya, dengan kerangka tersebut saya ingin memaksimalkan pemahaman keterkaitan antara aspek-aspek sosial dan aspek-aspek ekologis yang ada di lokasi penelitian tersbut secara utuh, sesuatu yang mungkin tidak sempat terpikirkan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Barangkali, ini pula yang dapat saya katakan sebagai kebaruan ilmiah dari penelitan saya sebagaimana dipertanyakan oleh para penguji saya di ujian terbuka maupun ujian tertutup. Mengacu pada teks disertasi yang saya tulis, hasil penelitian saya merekomendasikan kepada pemerintah untuk mengembangkan kebijakankebijakan utuh dan terarah dan masyarakat dan menjadi mediator untuk mendorong penggalian kemampuan lokal dengan intervensi sesedikit mungkin, tetapi dapat berdampak maksimal. Sebagaimana saya ungkapkan dalam disertasi
saya,
intervensi
tersebut
sebaiknya
difokuskan
pada: (1)
pengembangan sumberdaya manusia, (2) pemberian berbagai insentif, dan (3) pembuatan sudetan. Pilihan intervensi tersebut sebetulnya secara terpisahterpisah telah diungkapkan oleh penelitian-penelitian lain. Penelitian ini, selain memberikan justifikasi ilmiah secara lebih utuh karena merangkaikan aspek sosial dan ekologis secara terintegrasi juga menekankan pentingnya prioritasi pada ketiga pendekatan intervensi tersebut, dan pentingnya menerapkan ketiganya secara bersama-sama. Sekaligus untuk menjawab pertanyaan penguji ujian disertasi saya, saya ingin menegaskan bahwa inilah practical merit dari disertasi saya. Mengakhiri epilog ini, saya ingin secara tulus dan ikhlas mengakui kelemahan-kelemahan dalam disertasi yang saya susun ini, baik karena keterbatasan analitis, keterbatasan pemahaman dan pengetahuan yang saya
225
miliki. Saya sangat beruntung bisa berkesempatan melakukan penelitian ini, karena pengerjaan disertasi ini bukanlah suatu proses yang sederhana melainkan akumulasi semua proses panjang yang saya jalani, mulai dari belajar menulis, membaca, hingga mencoba menguasai berbagai skill yang harus saya miliki, termasuk analisis data, manajemen waktu, bahkan manajemen stress yang tidak pernah saya pelajari di sekolah melainkan saya dapatkan langsung dari proses panjang tersebut.
226
227
DAFTAR PUSTAKA Abel T and JR Stepp. 2003. A New Ecosystems Ecology for Anthropology. Conservation Ecology 7 (3), 12 [online]. URL http://www.consecol.org/vol7/iss3/art12/ . Adger WN. 2000. Social and Ecological Resilience: Are They Related?. Progress in Human Geography 24, 3 (2000) pp. 347-364. Adger WN, MP Kelly and NH Ninh. 2001. Living with Environmental Change: Social Vulnerability, Adaptation, and Resilience in Vietnam. Routledge, London. Adger WN. 2003. Building Resilience to Promote Sustainability: An agenda for Coping With Globalisation and Promoting Justice. IHDP UPDATE 02/2003. Adger WN. 2003. Social Capital, Collective Action and Adaptation to Climate Change. Economic Geography 79, 387–404. Adger WN, TP Hughes, C Folke, SR Carpenter and J Rockstrom. 2005. Social– Ecological Resilience to Coastal Disasters. Science 309,1036–1039.. Adrianto L and Y Matsuda. 2002. Developing Economic Vulnerability Indices of Environmental Disaster in Small Island Regions. Environmental Impact Assesment Review 22 (2002) 393-414. Adrianto, L. and Y. Matsuda. 2003. Study on Assesing Economic Vulnerability of Small Island Regions. Adrianto L, Y Matsuda and Y Sakuma. 2004. Assesing Local Fisheries Sustainability in Small Island Region: An Application of Participatory Flag Modelling in Yoron Island, Kagoshima Prefecture, Japan. Working Paper. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB, Bogor. Adrianto L. 2004. Reformasi Pemikiran Ekonomi : Perlunya Reintegrasi Ilmu Alam dengan Ilmu Ekonomi. http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=4 Adrianto L and Y Matsuda 2004. Fishery Resources Appropriation in Yoron Island, Kagoshima Prefecture, Japan : A Static and Dynamic Analysis. Kagoshima University. Japan. Adrianto L. 2005. Bahan Pengantar Survey Valuasi Ekonomi Sumberdaya Mangrove. Kerjasama antara DKP dan PT. Planrenco, PKSPL-IPB. Adrianto L. 2005. Pembangunan dan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan (Sustainable Small Islands Development And Management). Working Paper. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Adrianto L. 2005. Analisis Sosial Ekonomi dalam Strategi Konservasi Sumberdaya Pesisir dan Laut: Sebuah Pendekatan (Coastal Livelihood Analysis). Working paper. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Adrianto L, Y Matsuda and Y Sakuma. 2005. Assesing Local Sustainability of Fisheries System: A Multi-Criteria Participatory Approach With The Case of Yoron Island, Kagoshima Prefecture, Japan. Marine Policy 29 (2005) 9-23.
228
Adrianto L and N Aziz. 2006. Valuing The Social-Ecological Interactions in Coastal Zone Management : A Lesson Learned from The Case Of Economic Valuation of Mangrove Ecosystem in Barru Sub-District, South Sulawesi Province. Seminar in Social-Ecological System Analysis. ZMT, Bremen University. Bremen, 12 June 2006. Adrianto L. 2006. Sinopsis Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam. Working Paper. Pusat Kajian Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor. Adrianto L. 2007. Teknik Pengambilan Data untuk Contingent Valuation Method. Modul yang Disampaikan pada Kegiatan Pelatihan Teknik dan Metode Pengumpulan Data Valuasi Ekonomi. Kerjasama PKSPL-IPB dengan BAKOSURTANAL. Adrianto L. 2007. Dimensi Sosial dalam Ko-manajemen Perikanan. Peningkatan Kapasitas untuk Pengarus-utamaan Ko-manajemen Perikanan di Indonesia. FAO-Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Agger B. 2008. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Kreasi Wacana, Yogyakarta. Allison EH, NL Andrew and J Oliver. 2007. Enhancing The Resilience of Inland Fisheries and Aquaculture Systems to Climate Change. SAT eJournal ⏐ejournal.icrisat.org. December 2007⏐Volume 4⏐Issue 1. Al Amin MA. 2002. Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Program Konservasi dan Pengelolaan Kawasan Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah. Tesis Magister yang Tidak Dipublikasikan. Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor. Amirin TA. 1992. Pokok-Pokok Teori Sistem. Rajawali Press, Jakarta. Anderies JM, MA Janssen and E Ostrom. 2003. Design Principles for Robustness of Institutions in Social-Ecological Systems. Anderies JM, MA Janssen and E Ostrom. 2004. A Framework to Analyze The Robustness of Social-Ecological Systems from An Institutional Perspective. Ecology and Society 9 (1), 18 [online] URL http:// www.ecologyandsociety.org/vol9/iss1/art18/ . Anna S. 2003. Model Embedded Dinamik Ekonomi Interaksi PerikananPencemaran. Disertasi Doktor yang Tidak Dipublikasikan. Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor. Anonymous. 2009. Teori http://id.wikipedia.org/wiki/Kategori:Teori_sistem.
Sistem.
Armitage D. 2005. Adaptive Capacity and Community-Based Natural Resource Management. Environmental Management 35, 703–715. Armitage D and D Johnson. 2006. Can Resilience be Reconciled with Globalization and The Increasingly Complex Conditions of Resource Degradarion in Asian Coastal Regions?. Ecology and Society 11(1):2. [online] URL:http://www.ecologyandsociety.org/vol11/iss1/art2/ Asdak, 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Atmawidjaja. R. 1995. Perubahan Lingkungan Fisi Segara Anakan. Makalah Lokakarya Penanganan segara Anakan dan Lingkungan Secara
229
Berkelanjutan. Cilacap 21-23 Maret 1995. Departemen Pekerjaan Umum Bekerjasama Dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan (BPKSA). 1998. Laporan Akhir Kajian Penyiapan Kebutuhan Desa Paniat di Kawasan Segara Anakan. Kerjasama Bagian Proyek Konservasi dan Pembangunan Segara Anakan Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Cilacap. Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan (BPKSA). 2004. Laporan Kegiatan Pengendalian Penduduk di Kawasan Segara Anakan TA 2002. BPKSA, Cilacap. Kerjasama Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro. Cilacap. Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan (BPKSA). 2005. Laporan Mini Survey Sosial Ekonomi Kawasan Segara Anakan. BPKSA. Cilacap. Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan (BPKSA). 2005. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Sosialisasi Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap No 16 dan 17 Tahun 2001 di Kawasan Segara Anakan Wilayah Timur. BPKSA. Cilacap. Badan Pusat Statistik. 2002. Penduduk dan Penduduk Pendatang Kawasan Segara Anakan Tahun 2002. Kerjasama Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan dengan BPS Kabupaten Cilacap. Cilacap. Badan Pusat Statistik. 2004. Kecamatan Kampung Laut dalam Angka Tahun 2003. BPS Kabupaten Cilacap. Cilacap. Badan Pusat Statistik. 2005. Kecamatan Kampung Laut dalam Angka Tahun 2004. BPS Kabupaten Cilacap. Cilacap. Badan Pusat Statistik. 2006. Kecamatan Kampung Laut dalam Angka Tahun 2005. BPS Kabupaten Cilacap. Cilacap. Badan Pusat Statistik. 2007. Kecamatan Kampung Laut dalam Angka Tahun 2006. BPS Kabupaten Cilacap. Cilacap. Badan Pusat Statistik. 2008. Kecamatan Kampung Laut dalam Angka Tahun 2007. BPS Kabupaten Cilacap. Cilacap. Badan Pusat Statistik. 2009. Kecamatan Kampung Laut dalam Angka Tahun 2008. BPS Kabupaten Cilacap. Cilacap. Badan Pusat Statistik. 2008. Cilacap dalam Angka Tahun 2007. BPS Kabupaten Cilacap. Cilacap. Badan Pusat Statistik. 2009. Cilacap dalam Angka Tahun 2008. BPS Kabupaten Cilacap. Cilacap. Badan Pusat Statistik. 2010. Cilacap dalam Angka Tahun 2009. BPS Kabupaten Cilacap. Cilacap. Barrow CJ. 2006. Environmental Management for Sustainable Development. Routledge Taylor & Francis Group. New York. Basrowi dan Sukidin, Metode Penelitian Perspektif Mikro: Grounded theory, Fenomenologi, Etnometodologi, Etnografi, Dramaturgi, Interaksi Simbolik, Hermeneutik, Konstruksi Sosial, Analisis Wacana, dan Metodologi Refleksi, Surabaya: Insan Cendekia, 2002.
230
Bell AM, R Dearden and JA Levri. 2000. Measuring The Resilience of Advanced Life Support Systems. Bellwood DR, TP Hughes, C Folke and M Nystro¨m. 2004. Confronting The Coral Reef Crisis. Nature 429, 827–833. Bernard HR. 1994. Research Methods in Anthropology: Qualitative and Quantitative Approaches. Newbury Park (CA): Sage Publications. Berkes F and C Folke. 1998. Linking Social and Ecological Systems: Management Practices and Social Mechanisms for Building Resilience. Cambridge University Press, Cambridge, UK. Berkes F, J Colding and C Folke. 2003. Navigating Social–Ecological Systems: Building Resilience for Complexity and Change. Cambridge University Press, Cambridge, UK. Berkes F and Seixas CS. 2005. Building Resilience in Lagoon Social-Ecological Systems: A Local-Level Perspective. Ecosys. 8:967-974. Berkes F. 2007. Understanding Uncertainty and Reducing Vulnerability:Lessons from Resilience Thinking. Nat Hazards. 41:283–295. Springer Science. Blühdorn I. 2000. An Offer One Might Prefer to Refuse. The Systems Theoretical Legacy of Niklas Luhmann. European Journal of Social Theory 3(3), 339354. Brand FS and K Jax. 2007. Focusing The Meaning(s) of Resilience: Resilience as A Descriptive Concept and A Boundary Object. Ecology and Society 12(1):23. [online] URL:http://www.ecologyandsociety.org/vol12/iss1/art23/ Briguglio L. 1995. Small Island State And Their Economic Vulnerabilities. World Development. Volume 23 pp : 1615-1623. Brock WA, K-G Ma¨ ler and C Perrings. 2002. Resilience And Sustainability: The Economic Analysis of Nonlinear Systems. In: Gunderson LH and CS Holling. Panarchy: Understanding Transformations in Systems of Humans and Nature. Island Press, Washington,DC. Brown K. 2003. Integrating Conservation and Development: A Case of Institutional Misfit. Frontiers in Ecology and the Environment 1, 479–487. Brown K, E Tompkins, WN Adger. 2001a. Trade-off Analysis for Partcicipatory Coastal Zone Decision-Making. Overseas Development Group. University of East Anglia, Norwich UK. Brown K, WN Adger, E Tompkins, P Bacon, D Shim and K Young. 2002b. Tradeoff Analysis for Marine Protected Area Management. Ecological Economics. 37 (2001):417-434. Buckles D [Editor]. 1999. Cultivating Peace: Conflict and Collaboration in Natural Resouce Management. IDRW. Ottawa. Budiharsono S, Suaedi dan Asbar. 2006. Sistem Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri Sekretariat Jenderal Departemen kelautan dan Perikanan. Jakarta. Canter LW. 1977. Environmental Impact Assessment. New York: Mc. Graw Hill. Cardona OD. 2004. Disasters, Risk and Sustainability, presentation regarding The Sasakawa Prize Ceremony in Geneva, Geneva (unpublished).
231
Carpenter SR. 2002. Ecological Futures: Building An Ecology of The Long Now. Ecology 83, 2069–2083. Carpenter SR and WA Brock. 2004. Spatial Complexity, Resilience and Policy Diversity: Fishing on Lake-Rich Landscapes. Ecology and Society 9 (1), 8 [online] URL http://www.ecologyandsociety.org/vol9/iss1/art8 . Carpenter SR and WA Brock. 2006. Rising Variance: A Leading Indicator of Ecological Transition. Ecology Letters 9, 311–318. Christenson JA, K Fendley and JW Robinson Jr. 1989. Community Development in Perspective. USA:IOWA State University Press. Clark WC, DD Jones and CS Holling. 1979. Lessons for Ecological Policy Design: A Case Study of Ecosystem Management. Ecological Modelling 7, 2–53. Colding J and Folke C. 2001. Social taboos: ‘invisible’ systems of local resource management and biological conservation. Ecological Applications 11: 584600. Colding J, C Folke and T Elmqvist. 2003. Social Institutions in Ecosystem Management and Biodiversity Conservation. Tropical Ecology 44, 25–41. Common M and C Perrings. 1992. Towards and Ecological Economics of Sustainability. Ecological Economics 6, 7–34. Constanza R. 1992. Toward An Operational Definition of Ecosystem Health. In: Constanza R, Haskell BD, Norton BG, Editors. Ecosystem Health: New Goals for Environmental Management. Washington, DC: Island Press. Constanza R, HE Daly, C Folke, P Hawken, CS Holling, T McMichael, D Pimentel ans DJ Rapport. 2000. Managing Our Environmental Portfolio. BioScience 50, 149–155. Creswell JW. 1998. Quality Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions. Sage Publications, California. Dahuri R, J Rais, SP Ginting dan MJ Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Dahuri R. 2003. “Keanekaragaman Hayati Laut” Aset Pembangunan Indonesia Berkelanjutan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Daily G, T So¨ derqvist, S Aniyar, K Arrow, P Dasgupta, PR Ehrlich, C Folke, et al. 2000. The Value of Nature and The Nature of Value. Science 289, 395– 396. Dalziell EP and ST McManus. 2000. Resilience, Vulnerability, and Adaptive Capacity: Implications for System Performance. Daniel, M. 2003. Metode Penelitian Sosial Ekonomi. Dilengkapi Beberapa Alat Analisa Dan Penuntun Penggunaan. PT Bumi Aksara, Jakarta. Damanik, R., B. Prasetyamartati dan A. Satria 2006. Menuju Konservasi Laut yang Pro Rakyat dan Pro Lingkungan. WALHI, Jakarta Davidson-Hunt I and F Berkes. 2003. Learning as You Journey: Anishinaabe Perception for Social-Ecological Environments and Adaptive Learning. Conservation Ecology 8(1):5. URL:http://www.consecol.org/vol8/iss1/art5
232
Denzin, NK and YS Lincoln (ed). 2000. Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks: Sage Publications. London. Denzin NK and YS Lincoln (ed). 2008. Collecting and Interpreting Qualitative Materials. Sage Publications, California. Direktorat Jenderal Perikanan. 1992. The Integrated Management Plan for Segara Anakan Cilacap, Central Java, Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian, Jakarta. Dharmawan AH. 2004. Mewujudkan Good Ecological Governance dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam. Pusat Studi Pembangunan IPB. Bogor. Dharmawan AH. 2004. Dinamika Ekologi Pedesaan: Perspektif Antropologi Budaya, Sosiologi Lingkungan dan Ekologi Politik (Political Ecology). Bahan Ajar Mata Kuliah Gerakan Sosial dan Dinamika Masyarakat Pedesaan. Sekolah Pascasarjana, IPB. Dietz T, E Ostrom and P Stern. 2003. The Struggle to Govern The Commons. Science 302, 1907–1912. Dudley RG. 2000. Segara Anakan Fisheries Management Plan. Assisted by: Nurhidayati T, H Pamungkas and TN Cahyo. Segara Anakan Conservation and Development Project Components B & C. Consultant’s Report. Elmqvist T, C Folke, M Nystro¨ m, GD Peterson, J Bengtsson, BH Walker and J Norberg. 2003. Response Diversity and Ecosystem Resilience. Frontiers in Ecology and the Environment 1, 488–494. Emmerton L. 2001. Community-Based Incentives for Nature Conservation. IUCN. Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem : Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. IPB Press. Fahrudin A. 2005. Sinopsis Kuliah pengantar Valuasi Ekonomi Sumberdaya Wilayah Pesisir. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Faisal S. 2004. Desain Penelitian Sosial (Format Kualitatif dan Kuantitatif), Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fern, EF. 2001. Advanced Focus Group Research. Sage Publication, Inc. Thousands Oaks, California. Fiering M. 1982. Alternative Indices of Resilience. Water Resources Res 8, 3339. Fiksel J. 2006. Sustainability and Resilience: Toward A Systems Approach. Sustainability: Science, Practice, & Policy. Fall 2006⏐Volume 2⏐Issue 2. Folke C, S Carpenter, T Elmqvist, L Gunderson, CS Holling, B Walker, J Bengtsson, F Berkes, J Colding, K Danell, M Falkenmark, L Gordon, R Kasperson, N Kautsky, A Kinzig, S Levin, KG Maler, F Moberg, L Ohlsson, P Olsson, E Ostrom, W Reid, J Rockstrom, H Savenije and U Svedin. 2002. Resilience and Sustainable Development: Building Adaptive Capacity in A World of Transformations. Report for the Swedish Environmental Advisory Council 2002:1. Stockholm: Ministry of The Environment. www.mvb.gov.se and also ICSU Series on Science for Sustainable Development No. 3, 2002. Paris: International Council for Science.
233
Folke C. 2003. Freshwater for Resilience: A Shift in Thinking. The Royal Society. Folke C, SR Carpenter, BH Walker, M Scheffer, T Elmqvist, LH Gunderson, CS Holling. 2002. Regime Shifts, Resilience and Biodiversity in Ecosystem Management. Annual Review in Ecology, Evolution and Systematics 35, 557–581. Folke C, CS Holling and C Perrings. 1996. Biological Diversity, Ecosystems and The Human Scale. Ecological Applications 6, 1018–1024. Folke C, T Hahn, P Olsson and J Norberg. 2005. Adaptive Governance of Social–Ecological Systems. Annual Review of Environment and Resources 30, 441–473.
Forrester JW. 1968. Principles of Systems. Pegasus Communication, Inc. New York. Fraser EDG, W Mabee and F Figge. 2005. A Framework for Assessing The Vulnerability of Food Systems to Future Shocks. Futures 37, 465–479. Freeman RE. 1984. Stategic Management: A Stakeholder Approach. Pitman Publishing Inc. Boston. Furusawa K. 2006. Ecological SPACE (Sustainable Production and Consumption) Program. JACSES, Tokyo. Japan Center for a Sustainable Environment and Society (JACSES).htm. Gadgil M, Berkes F, and Folke C. 1993. Indigenous knowledge for biodiversity conservation. Ambio 22:151-6. Gadgil M, P Olsson, F Berkes, and C Folke. 2003. Exploring the role of local ecological knowledge for ecosystem management: three case studies. Pages 189-209 in F. Berkes, J. Colding and C. Folke (eds.) Navigating social-ecological systems: building resilience for complexity and change. Cambridge University Press, Cambridge, U.K. Gallopin, G.C. 2006. Linkages between Vulnerability, Resilience, and Adaptive Capacity. Global Environmental Change 16 (2006) 293-303. Gibbon J et al. 1996. Criterium Decision Plus, The Complete Formulation, Analysis, and Presentation for Windows Version 2.0 Trialware User’s Guide and Tutorial. Bellevue WA: Copyright 1995-1996 Info Harvest Inc. Glavovic BC. 2006. Waves of adversity. Layers of resilience: Lessons for building sustainable, hazard-resilient coastal communities. Paper prented at 3rd Coastal Zone Asia Pacific (CZAP) Conference. August 27-september 1, 2006. Batam, Indonesia. Gottschlak L. 1975. Mengerti Sejarah. PT Gramedia, Jakarta. Grant WE, EK Pedersen, and SL Marin. 1997. Ecology and Natural Resource Management System Analysis and Simulation. John Willey & Sons Inc, New York, Singapore, Toronto Grimble R and M-K Chan. 1995. Stakeholder Analysis for Natural Resource Management in Developing Countries. Natural Resources Forum 19:113124. Gumbriech T. 1996. Application of GIS in Training for Environment Management. (46) p 17-30.
234
Gunderson LH, Holling CS, and Light SS. 1995. Barriers and Bridges to The Renewal of Ecosystems and Institutions. Columbia University Press, New York. Gunderson LH. 2000. Resilience in Theory and Practice. Annual Review of Ecology and Systematics 31, 425–439. Gunderson LH and L Pritchard. 2002. Resilience and The Behavior of Large Scale Ecosystems. SCOPE Vol. 60. Island Press, Washington, DC. Gunderson LH and CS Holling. 2002. Panarchy Undestanding Transformations in Human and Natural Systems. Island Press, Washington, DC. Gunn, C.A., 1993. Tourism planning. Basics, Concepts, Cases. Third Edition. Taylor & Francis Publisher. Haberl, Heinz EK, Krausmann F. 2001. How to calculate and interpret ecological footprints for long periods of time : the case of Austria 1926-1995. Ecological Economics 38 : 25-45. Hardiman FB. 2003. Yogyakarta.
Melampaui
Positivisme
dan
Modernitas.
Kaisius,
Hehanusa, P.E. 1993. Morphogenetic Classification of Small Islands as A Basic for Water Resources Planning in Indonesia, Prog. Reg. Work, on Small Island Hydrology. UNESCO-ROSTSEA, RIWRD-LIPI and Batam Industrial Development Authority, Jakarta Hoffman J, Kayes D, and Titus JG. 1983. Projecting Future Sea Level Rise: Methodology, Estimates to The Year 2100, and Research Needs. US GPO No.055-000-00236-3. Government Printing Office. Washington DC. Holland J. 1995. Hidden Order: How Adaptation Builds Complexity. AddisonWesley, Reading, MA. Hughes, T.P., Bellwood, D.R., Folke, C., Steneck, R.S., Wilson, J., 2005. New paradigms for supporting the resilience of marine ecosystems. Trends in Ecology and Evolution 20, 380–386. Holling CS. 1973. Resilience and Stability of Ecological Systems. Annual Review of Ecology and Systematics. 4050. 1-23. Holling CS. 1986. The Resilience of Terrestrial Ecosystems: Local Surprise and Global Change. In: ClarkWC, Munn RE (eds) Sustainable development of the biosphere. Cambridge University Press, Cambridge. Holling CS and S Sanderson. 1996. Dynamics of (Dis)Harmony in Ecological and Social Systems. In: Hanna SS, C Folke and K.-G Ma¨ ler. Rights to Nature: Ecological, Economic, Cultural, and Political Principles of Institutions for The Environment. Island Press,Washington DC, pp. 57–85. Holling CS and GK Meffe. 1996. Command and Control and The Pathology of Natural Resource Management. Conservation Biology 10:328-337. Holling CS, F Berkes and C Folke. 1998. Science, Sustainability, And Resource Management. In: Berkes F and C Folke. Linking Social and Ecological Systems: Management Practices and Social Mechanisms for Building Resilience. Cambridge University Press, Cambridge,UK, pp. 342–362. Holling CS. 2001. Understanding The Complexity of Economic, Ecological, and Social Systems. Ecosystems 4, 390–405.
235
Holling CS, C Folke, L Gunderson and KG MÄLER. Final Report of The Project: Resilience of Ecosystems, Economic Systems and Institutions. The John D. and Catherine T. MacArthur Foundation. ICLARM. 1992. IFRC. 2004, World Disasters Report 2004: Focus on community resilience (Geneva: IFRC) 27-31. [IIED] International Institute for Environment and Development. 2001. Power Tools: Tools for Working on Policies and Institutions. UK. IPCC (2001) IPCC Third Assessment Report. Climate Change 2001. Working Group II: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Chapter 1. Kaly UL, CR Pratt and J Mitchell. 2004. The Environmental Vulnerability Index (EVI) 2004. SOPAC Technical Report 384. Kartodirdjo S. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Kasim H. 2007. Analisis Pengaruh Mutu Layanan Kepariwisataan Terhadap Loyalitas Wisatawan di Kawasan Kepulauan Togean. Tesis. Program pascasarjana Universitas Tadulako. Palu. Kasperson RE and JX Kasperson. 2001. Climate Change, Vulnerability and Social Justice. Risk and Vulnerability Programme. Stockholm Environment University. Kates RW and WC Clark. 1996. Expecting The Unexpected. Environment 6–11, 28–34. Kay JJ, HA Regier, M Boyle and G Francis. 1999. An Ecosystem Approach for Sustainability: Addressing The Challenge of Complexity. Futures 31, 721– 742. Kay R and J Alder. 2005. Coastal Planning And Management. E & FN Spon, London and New York. Kholil. 2005. Rekayasa Model Sistem Dinamik Pengelolaan Sampah Terpadu Berbasis Nirlimbah (Zero Waste) Studi Kasus Di Jakarta Selatan. Disertasi PSL. IPB, Bogor. King A. 1995. Avoiding Ecological Surprise: Lessons from Long-Standing Communities. Academy of Management Review 20, 961–985. Kinzig, A.P., Ryan, P., Etienne, M., Elmqvist, T., Allison, H.E., Walker, B.H., 2006. Resilience and regime shifts: assessing cascading effects. Ecology and Society 11 (1): 20. [online] URL: http://www.ecologyandsociety. org/vol11/iss1/art20.
Koentjaraningrat. 1990. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. PT. Dian Rakyat, Jakarta. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Anthropologi. Akasara Baru, Jakarta. Koesbiono. 1979. Dasar Dasar Ekologi Umum. Bagian IV (Ekologi Perairan). Bogor: Pasca Sarjana Program Studi Lingkungan IPB. Koeshendrajana S dkk. 2009. Riset Identifikasi, Karakterisasi, Valuasi SosialEkonomi Sumberdaya Pesisir. Laporan Teknis. Balai Besar Riset Sosial
236
Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, DKP. Jakarta. Krueger RA and MA Casey. 2000. Focus Group: A Practical Guide for Applied Research (3rd Edition). Sage Publication, Inc. Thousands Oaks, California. Kusumastanto T. 2004. Konsep Pengelolaan Pesisir dan Laut Pasca Tsunami Aceh. Paper disampaikan pada Working Group for Aceh recovery, IPB. Kvale S. 1996. Interviews: An Introduction to Qualitative Research Interviewing. Thousand Oaks (CA): Sage Publications. Lambin EF. 2005. Conditions for Sustainability of Human-Environment Systems: Information, Motivation, and Capacity. Global Env. Change 15, 177–180. Lamson C. 1986. Planning for Resilient Coastal Communities: Lesson from Ecological Systems Theory. Coastal Zone Management Journal 13, 265– 279. Lee KN. 1993a. Compass and Gyroscope: Integrating science and politics for the environment. Island Press, Washington DC. Lee KN. 1993b. Greed, scale mismatch, and learning. Ecological Applications 3:560-564. Levin SA. 1998. Ecosystems and The Biosphere as Complex Adaptive Systems. Ecosystems 1, 431–436. Levin SA, S Barrett, S Aniyar, W Baumol, C Bliss, B Bolin, P Dasgupta, PR Ehrlich, C Folke, I-M Gren, CS Holling, AM Jansson, B-O Jansson, D Martin, K-G Ma¨ ler, C Perrings and E Sheshinsky. 1998. Resilience in Natural and Socioeconomic Systems. Environment and Development Economics 3, 222–235. Ludwig D, BH Walker and CS Holling. 1997. Sustainability, Stability, and Resilience. Conservation Ecology 1 (1), 7 http://www.consecol.org/vol1/iss1/art7 . Ludwig D, M Mangel and B Haddad. 2001. Ecology, Conservation, and Public Policy. Annual Review of Ecology and Systematics 32, 481–517. Lebel L, Anderies JM, B Campbell, C Folke, S Hatfield-Dodds, TP Hughes and J Wilson. 2006. Governance and The Capacity to Manage Resilience in Regional Social-Ecological Systems. Ecology and Society 11(1):19. [online] URL:http://www.ecologyandsociety.org/vol11/iss1/art19/ Luhmann N. 1979. Trust and Power. Chichester: John Wiley. Maelani N. 2006. Perubahan Komunitas Nelayan menjadi Komunitas Pertanian di Panikel Kampung Laut Cilacap Tahun 1986-2000 (Tinjauan Sejarah Sosial Ekonomi). Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang. Semarang. Mangkuprawira. 1986. Metoda Pemecahan Masalah Masyarakat. Penerbit Universitas Lampung, Lampung. Mardle S, E Bennett and S Pascoe. 2003. Multiple Criteria Analysis of Stakeholder Opinion: A Fisheries Case Study. Center for the Economics and Management of Aquatic resources, University of Portsmouth. UK.
237
Marschke MJ and F Berkes. 2006. Exploring Strategies that Build Livelihood Resilience: a Case from Cambodia. Ecology and Society 11(1):42. [online] URL:http://www.ecologyandsociety.org/vol11/iss1/art42/ May RM. 1977. Thresholds and Breakpoints in Ecosystems with A Multiplicity of Stable States. Nature 269, 471–477. McCarthy T. 2006. Teori Kritis Jurgen Habermas. Kreasi Wacana, Yogyakarta. McIntosh RJ. 2000. Social memory in Mande. In: McIntosh RJ, Tainter JA, McIntosh SK, editors. The way the wind blows: climate, history, and humanaction. New York: Columbia University Press. p. 141–80. McCracken G. 1988. The Long Interview. Newbury Park (CA): Sage Publications. Miftah H. 2003. Studi Biaya Pengelolaan (Management Cost) Kawasan Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah. Tesis Magister Sains yang tidak dipublikasikan. Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor. Miles MB and AM Huberman. 1984. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook pf New Methods. Beverly Hills, CA: Sage. Mubyarto. 1984. Nelayan dan Kemiskinan. CV Rajawali, Jakarta. Moench M. 200. Water, Climatic Vriability and Livelihood Resilience: Concepts, Field Insights and Policy Implications. The Resilience and Freswater Initiative, Swedish Water House. Nazir M. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta Nursid M. 2002. Distribusi dan Kelimpahan Larva Ikan di Estuaria Segara Anakan, Cilacap Jawa Tengah. Tesis Magister Sains yang tidak dipublikasikan. Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor. Nybakken JW. 1988. Biologi Laut. PT Gramedia. Jakarta. Nystro¨ m M and C Folke. 2001. Spatial Resilience of Coral Reefs. Ecosystems 4, 406–417. Olick JK and J Robbins. 1998. Social Memory Studies: from ‘Collective Memory’ to Historical Sociology of Mnemonic Practices. An Review of Sociology 24, 105–140. Olive CA. 1997. Land Use Change and Sustainable Development in Segara Anakan, Java, Indonesia: Interactions Among Society, Environment and Development. Thesis. University of Aaterloo, Ontario, Canada. Olsson P, C Folke and F Berkes. 2003. Adaptive Co-Management for Building Resilience in Social-Ecological Systems. Ostrom E, W Reid, J Rockström, H Savenije and U Svedin. 2002. Resilience and Sustainable Development : Building Adaptive Capacity in A World of Transformations. Scientific Background Paper on Resilience for the process of the World Summit on Sustainable Development. The Environmental Advisory Council to the Swedish Government. Ostrom E and TK Ahn. 2003. Foundations of Social Capital. Edward Elgar, Cheltenham, UK. Ostrom E. 2007. Sustainable Social-Ecological Systems: An Impossibility?. Proceeding of The National Academy of Science.
238
Ostrom E. 2007. A Diagnostic Approach for Going Beyond Panaceas. PNAS Vol. 104, No. 39, page 15181–15187. www.pnas.org_cgi_doi_10.1073_pnas.0702288104 Paine RT, MJ Tegner and EA Johnson. 1998. Compounded Perturbations Yield Ecological Surprises. Ecosystems 1, 535–545. Parkins JR, Richard CS, and J Varghese. Moving Towards Local-Level Indicators of Sustainability of Forest-Based Communities: A Mixed Method Approach. Social Indicators Research, 2001:43–72. Patton MQ. 1980. Qualitative Evaluation Methods. Beverly Hills (CA): Sage Publications. Perrings C. 1998. Resilience in The Dynamics of Economy-Environment Systems. Environmental and Resouce Economics 11(3-4): 503-520. Kluwer Academic Publishers. Peterson G, et al. 1997. Uncertainty, Climate Change, and Adaptive Management. Conservation Ecology. [online] 1(2): 4. Available from the Internet. URL: http://www.consecol.org/vol1/iss2/art4/ Peterson GD, CR Allen and CS Holling. 1998. Ecological Resilience, Biodiversity and Scale. Ecosystems 1, 6–18. Peterson GD, SR Carpenter and WA Brock. 2003. Uncertainty and Management of Multi-State Ecosystems: An Apparently Rational Route to Collapse. Ecology 84, 1403–1411. Pimm SL. 1984. The Complexity and Stability of Ecosystems. Nature. Vol. 307, pp.321-326. Pinkerton E. 1998. Integrated management of a temperate montane forest ecosystem through wholistic forestry: a British Columbia example. Pages 363-389 in F. Berkes and C. Folke (eds.) Linking social and ecological systems: management practices and social mechanisms for building resilience. Cambridge University Press, Cambridge, U.K. Pitcher T, CH Ainsworth and M Bailey. 2007. Ecological and Economic Analysis of Marine Ecosystems in The Bird’s Head Seascape, Papua, Indonesia. Fisheries Centre Research Reports 2007. Volume 15 Number 5. Pomeroy RS, BD Ratner, SJ Hall, J Pimoljinda and V Vivekanandan. 2006. Coping with Disaster: Rehabilitating Coastal Livelihoods and Communities. Marine Policy 30 (2006) 786-793. Prasetyo LB. 2004. Deforestasi dan Degradasi Lahan DAS Citanduy. Kerjasama Pusat Studi Pembangunan lnstitut Pertanian Bogor dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia – UNDP. Bogor. Prayitno. 2001. Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Pantai Akibat Perubahan Ekosistem Pantai Studi Kasus di Kawasan Segara Anakan Cilacap. Tesis Magister Perencanaan Kota dan Daerah. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. [PKSPL-IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. 1999. Penyempurnaan Penyusunan Management Plan Kawasan Segara Anakan (Laporan Akhir). Kerjasama PKSPL-IPB – Ditjen Bangda Depdagri : Bogor.
239
Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan. 1998. Laporan Akhir Aspek Hukum Kepemilikan Lahan Segara Anakan. Kerjasama Proyek Konservasi dan Pembangunan Segara Anakan Pemerintah Daerah Tingkat II Cilacap dengan Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan. Jakarta. PUSPICS UGM – BAKOSURTANAL. 1998. Laporan Akhir Pengembangan Perikanan Masyarakat Segara Anakan. Kerjasama antara Bagian Proyek Konservasi dan Pembangunan Segara Anakan Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah dengan PUSPICS UGM – BAKOSURTANAL. Yogyakarta. Purnamaji S. 2006. Penyelamatan Kawasan Segara Anakan Pasca SACDP. Alami: Jurnal Air, Lahan, Lingkungan dan Mitigasi Bencana. Volume 11 Nomor 3 Tahun 2006: 46-49. Pusat Pengkajian dan Penerapan Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan, Deputi Bidang Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Alam, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta. Rais J, B Sulistiyo, S Diamar, T Gunawan, M Sumampouw, TA Soeprapto, I Suhardi, A Karsidi dan MS Widodo. 2004. Menata Ruang Laut Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta Ramírez R. 1999. Stakeholder Analysis and Conflict Management. In: Buckles D 9ed). Conflict and Collaboration in Natural Resource Management. IDRC/World bank Institute, Ottawa and Washington DC. Redman CL and AP Kinzig. 2003. Resilience of Past Landscapes: Resilience Theory, Society, and The Longue Dure´ e. Conservation Ecology 7 (1), 19, 14 [online]. Regier HA and JJ Kay. 2002. Phase Shifts or Flip-Flops in Complex Systems. In: Timmerman P. Encyclopedia of Global Environmental Change. Volume 5. Social and Economic Dimensions of Global Environmental Change. Wiley, Chichester, pp. 422–429. Ritzer G dan DJ Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern. Terjemahan Alimandan. Kencana, Jakarta. Roderick R. 1986. Habermas and the Foundations of Critical Theory. Macmillan, London Ruddle K. 2000. Systems of Knowledge: Dialogue, Relationshs and Process. Environment, Development and Sustainability 2: 277 – 304. Klewer Academic Publishers, Netherlands. Rudito B dan M Famiola. 2008. Sicial Mapping Metode Pemetaan Sosial Teknik Memahami Suatu Masyarakat atau Komuniti. Rekayasa Sains, Bandung. Saaty TL. 1991. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Jakarta: PT. Dharma Aksara Perkasa. Sanders IT. 1958. The Community: An Introduction to A Social system. New York: The Ronald Press Company. Sarmili LD, SR Arifin, L Arifin, A Wahib, A Setiabudhi, A Sianipar, TA Soeparpto, A Faturachman and N Sukmana. 2000. Sedimentary Process in Segara Anakan Lagoon, Cilacap, Central Java, Indonesia. Proceedings of The
240
CCOP Thirty Seventh Annual Session Part II Technical Reports. 24-27 Oktober 2000, Bangkok, Thailand. Sastranegara MH, E Yuwono and P Sukardi. 2007. Illegal Logging of Mangroves in Segara Anakan Cilacap: A Conservation Constraint. Synopsis of Ecological and Socio-Economic Aspects of Tropical Coastal Ecosystem with Special Reference to Segara Anakan. Research Institute Universitu of Jenderal Soedirman, Purwokerto. Satria A, A Umbari, A Fauzi, A Purbayanto, E Sutarto, I Muchsin, I Muflikhati, M Karim, W Oktariza dan Z Imran. 2002. Acuan Singkat Menuju Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Kerjasama Pusat Kajian Agraria Institut Pertanian Bogor, Partnership for Governance Reform in Indonesia dengan PT Pustaka Cidesindo. Jakarta. Scheffer M, SR Carpenter, JA Foley, C Folke and BH Walker. 2001. Catastrophic Shifts in Ecosystems. Nature 413, 591–596. Scheffer M, F Westley, WA Brock, and M Holmgren. 2002. Dynamic interactions of societies and ecosystems: linking theories from ecology, economy, and sociology. Pages 195-239 in L.H. Gunderson and C.S. Holling CS (eds.) Panarchy: understanding transformations in human and natural systems. Island Press, Washington, D.C. Segara Anakan Conservation and Development Project (SACDP). 2003. Laporan Penugasan Spesialis Pemberdayaan Perempuan (Juni-September 2003). SACDP, Cilacap.
Sembiring SN dan F Husbani. 1999. Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia – Menuju Pengembangan Desentralisasi dan Peningkatan Peran Serta Masyarakat. Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia, Jakarta. Shaffir W and Stebbins RA. 1991. Experiencing Fieldwork: An Inside View of Qualitative Research. Sage Publications, Newbury Park. Shell EW and TF Lowell. 1993. The Development of Aquaculture: an Ecosystem Perspective. Alabama Agricultural Experiment Station, Auburn University, Alabama. Simatupang. 1995a. Teori Sistem Suatu Perspektif Teknik Industri. Andi Offset, Yogyakarta. Simatupang. 1995b. Pemodelan Sistem. Nindita, Klaten. Sitorus MTF. 1998. Penelitian Kualitatif Suatu Perkenalan. IPB. Bogor. Soekanto S. 1998. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press. Soeratno dan L Arsyad. 1993. Metodelogi Penelitian untuk Ekonomi dan Bisnis. Unit Penerbit dan Percetakan Akademi Manajemen Perusahaan YKPN. Yogyakarta. Sriyanto IS. 2006. Respon Masyarakat dalam Pelestarian Sumberdaya Hutan Mangrove di Segara Anakan Kecamatan Kampung Laut Kabupaten Cilacap. Skripsi Sarjana, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
241
Stankey GH, RN Clark and BT Bormann. 2005. Adaptive Management of Natural Resources: Theory, Concepts and Management Institutions. General Technical Report, PNW-GTR-654. Portland, OR: US Department of Agriculture, Forest Service, Pacific Northwest Research Station. Subandar A. 2002. Multi Criteria Decision Making Techniques. Materi Kuliah PSSPL. Bogor: Tidak diterbitkan (22 hal) Institut Pertanian Bogor. Subani W dan HR Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Ed Khusus Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Jakarta : BPPL. Susanti WD. 2006. Analisis Transpor Sedimen Sungai Citanduy. Alami: Jurnal Air, Lahan, Lingkungan dan Mitigasi Bencana. Volume 11 Nomor 3 Tahun 2006: 46-49. Pusat Pengkajian dan Penerapan Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan, Deputi Bidang Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Alam, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta.
Syani A. 1995. Sosiologi dan Perubahan Masyarakat. Bandar Lampung: Pustaka Jaya. Tai YZ, MN Kusairi, HA Ishak, RA Mustapha and Y Matsuda 2001. Valuing Fisheries Resources Change in The Straits of Malacca : Resources Accounting Approach. Working Paper. University of Putra Malaysia, Kuala Lumpur. Takashima F and K Soewardi. 1994. Ecological Assessment for Management Planning of Segara Anakan Lagoon, Cilacap, Central Java. NODAI Center for International Program. Tokyo University of Agriculture. JSPS-DGHE Program. Thia-Eng C. 2006. The Dynamics of Integrated Coastal Management: Practical Applications in The Sustainable Coastal Development in East Asia. Global Environment Facility/United Nations Development Titus JG and C Richman. 2000. Maps of Lands Vulnerable to Sea Level Rise:Modeled Elevations along the U.S. Atlantic and Gulf Coasts. Climate Research. USA Torre-Castro MDL. 2006. Human and Seagrasses in East Africa: A socialEcological Systems Approach. Doctoral Thesis in Natural Resource Management. Department of Systems Ecology, Stockholm University, Stockholm, Sweden. Tucker JrJW. 1998. Marine Fish Culture. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht The Netherlands. Turner RK and WN Adger. 1995. Coastal Zone Resources Assessment Guidelines. LOICZ Reports & Studies No. 4. Manila. Turner RK, JCJM van den Bergh, A Barendregt and E Maltby. 1998. EcologicalEconomic Analysis of Wetlands:Science and Social Science Integration. Global Wetlands Economic Network. Turner BL II, Kasperson RE, Matson PA et al. 2003. A Framework for Vulnerability Analysis in Sustainability Science. Proc Nat Acad Sci USA 100:8074–8079. UN/ISDR (International Strategy for Disaster Reduction). 2004. Living with Risk: A Global Review of Disaster Reduction Initiatives. 2004 version. UN Publication, Geneva.
242
United Nation Environment Program (UNEP). 2003. Assessing Human Vulnerability to Environmental Change: Concepts, Issues, Methods and Case Studies. Vallega A. 2001. Sustainable Ocean Governance – A Geographical Perspective. (Ocean Management and Policy Series). Routledge. London. Vergano L and PALD Nunes. 2006. Analysis and Evaluation of Ecosystem Resilience: An Economic Perspective. Wackernagel M and W Rees 1996. Our Ecological Footprint. Reducing Human Impact on The Earth. Gabriola Island, BC: New Society Publishers. WALHI. 2006. CO-Management: Memanipulasi Legitimasi Rakyat atas Sumberdaya Pesisir dan Laut. http://www.walhi.or.id/kampanye/pela/0603_comanajemen_ps/ Walker B, S Carpenter, J Anderies, N Abel, G Cumming, M Janssen, L Lebel, J Norberg, GD Peterson and R Pritchard. Resilience Management in SocialEcological Systems: a Working Hypothesis for A Participatory Approach. Conservation Ecology 6(1):14. URL:http://www.consecol.org/vol6/iss1/art14 Walker, B., C. S. Holling, S. R. Carpenter, and A. Kinzig. 2004. Resilience, adaptability and transformability in social–ecological systems. Ecology and Society 9(2): 5. [online] URL: http://www.ecologyandsociety.org/vol9/iss2/art5. Wallace CC. 1999. The Togian Islands: Coral Reefs With A Unique Coral Fauna and An Hypothesised Tethys Sea Signature. Coral Reefs 18: 162. Walters JS, J Maragos, S Siar and AT White. 1998. Participatory Coastal Resources Assessment. A Handbook For Community Workers And Coastal Resources Managers. Walters C. 1998. Ecosim And Ecospace: Basic Considerations. In : Use of Ecopath with Ecosim to evaluate strategies for sustainable exploitation of multi-species resources Fisheries Centre Research Reports 1998 Volume 6 Number 2 . WCED. 1987. Our Common Future. Oxford Univ. Press. New York. Wigoto K. 2004. Strategi Adaptasi Masyarakat Nelayan terhadap Perubahan Lingkungan (Studi Kasus Masyarakat Kampung Laut di Kawasan Segara Anakan, Grumbul Motean, Desa Ujungalang, Kecamatan Pembantu Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah). Skripsi Sarjana pada Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjajaran. Bandung. Wilson JG and W Halcrow. 1985. Estuarine Management and Quality Asessment. Plenum Press. New York and London. Wijaya NI. 2007. Analisis Kesesuaian Lahan dan Pengembangan Kawasan Perikanan Budidaya di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur. Tesis. IPB, Bogor. Wong PP. 1998. Coastal Tourism Development in Southeast Asia : Relevance and Lessons for Coastal Zone Management. Ocean & Coatal management 38 : 89 – 109.
243
White AT, P Martosubroto and MSM Sadorra. Editors. 1989. The Coastal Environmental Profile of Segara Anakan-Cilacap, South Java, Indonesia. ICLARM Tech.Rep. White AT. 2006. Coastal Resilience Through Integrated Coastal Management. Paper Presented at 3rd Coastal Zone Asia Pacific (CZAP) Conference. August 27-September 1, 2006. Batam, Indonesia. Yahya RP. 1999. Zonasi Pengembangan Ekoturisme Kawasan Mangrove yang Berkelanjutan di Laguna Segara Anakan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah. Tesis Magister Sains yang Tidak Dipublikasikan. Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor. Yin RK. 2002. Studi Kasus Desain dan Metode. PT RajaGrafindo Perkasa. Jakarta. Yulianda F. 2007. Ekowisata Bahari sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. Makalah. Seminar Sains 21 Pebruari 2007. Departemen MSP FPIK IPB, Bogor. Yunus L. 2005. Evaluasi Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy Hulu dan Akibatnya di Hilir (Studi Valuasi Ekonomi Kerusakan DAS di Sub DAS Citanduy Hulu Jawa Barat dan Sub DAS Segara Anakan Jawa Tengah). Tesis Magister Sains yang Tidak Dipublikasikan. Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor.