i
KAJIAN DAUR ULANG PANAS PADA PRODUKSI BIODIESEL SECARA NON-KATALITIK BERDASARKAN ANALISIS EKSERGI
FURQON
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 i
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Daur Ulang Panas pada Produksi Biodiesel Secara Non-Katalitik Berdasarkan Analisis Eksergi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2011 Furqon NRP F151090151
iii
iv
v
ABSTRACT
FURQON. Study of Heat Recirculation in Non-Catalytic Reaction of Biodiesel Production Based on Exergetic Analysis. Supervised by ARMANSYAH H. TAMBUNAN and JOELIANINGSIH. Energy consumption in non-catalytic biodiesel production is still high, and needs to be reduced to the optimum level. It can be accomplished by recirculating the heat being used in the process by using heat exchanger. The objective of this experiment is to perform an energy and exergy analysis as implicated by the heat recirculation through the designed heat exchanger. This study was started from the determination and calculation of physical and thermal properties of materials to be used (palm olein, methanol, and methyl ester), continued with the designing of the heat exchanger, and the research itself. Production systems used in the study were semi-batch mode with 3 levels of methanol flow rate, namely 1.5, 3.0, and 4.5 mL min-1 at the reaction temperature of 290oC. Exergy analysis was done by assuming the system in steady flow conditions, while kinetic and potential energy were neglected. The results show that the energy ratio increased after recirculating the heat. This imply that heat recirculation by using the heat exchanger can improve the energy efficiency of the process. For each of the methanol flow rate of 1.5, 3.0, and 4.5 mL min-1, the effectiveness of heat exchanger was obtained 92%, 25%, and 19% and the energy ratio (RE1) was 7.85, 2.98, and 2.87, respectively. It shows that heat recirculation by heat exchanger can improve the energy efficiency in biodiesel production system. The exergy analysis for methanol flow rate of 1.5, 3.0, and 4.5 mL min-1 respectively, resulted in exergetic efficiency for subsystem evaporator 1.34%, 2.43%, and 2.98%, for superheater 0.42%, 0.78%, and 1.15%, for reactor 19.59%, 19.23%, and 18.52%, and for heat exchanger 19.93%, 16.27%, and 10.48%. However, exergy analysis showed that irreversibility of the heat exchanger and reactor were still higher than the evaporator and superheater, and was higher with faster methanol flow rated. Keywords:
biodiesel, exergy, heat exchanger, non-catalytic, superheated methanol vapor
v
vi
vii
RINGKASAN Katalitik dan non-katalitik merupakan dua metode yang digunakan untuk memproduksi biodiesel sampai saat ini. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Metode non-katalitik tidak membutuhkan katalis sehingga alur produksi lebih pendek, lebih ramah lingkungan, lebih sederhana, dan tidak perlu menghilangkan free fatty acid (FFA) dari minyak (Joelianingsih 2008b). Namun, kelemahannya membutuhkan rasio molar antara metanol dan minyak lebih tinggi (24-42) dan suhu yang digunakan untuk mereaksikan pada reaktor sangat tinggi (240-350oC) sehingga energi yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu pun tinggi (Saka dan Kusdiana 2001). Menurut Sigalingging (2008) rasio energi yang didapat sebesar 0.84, masih lebih rendah dibandingkan dengan produksi secara katalitik, yaitu sebesar 0.98. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyempurnaan guna meningkatkan performansi alat, sehingga rasio energi yang didapat lebih tinggi. Rasio energi dapat ditingkatkan dengan meminimalisasi energi yang tidak termanfaatkan selama proses produksi, salah satunya dengan pemanfaatan (daur ulang) panas dalam sistem dengan merancang alat penukar panas (APP) yang diharapkan mampu memaksimalkan energi yang dapat dimanfaatkan. Tujuan dari penelitian ini adalah 1). Merancang penukar panas yang berfungsi untuk mendaur ulang panas dari reaktor ke evaporator. 2). Menghitung rasio energi produksi biodiesel secara non-katalitik. 3). Melakukan analisis eksergi pada sistem produksi biodiesel non-katalitik. Penelitian ini diawali dengan penentuan dan perhitungan sifat fisik dan termal bahan yang akan digunakan (palm olein, metanol dan metil ester) guna merancang penukar panas yang akan digunakan dalam sistem baru alat produksi biodiesel non-katalitik. Melakukan analisis rancangan, pembuatan, dan pengujian alat. Sistem produksi yang digunakan dalam penelitian adalah semi batch dengan 3 tingkat laju alir metanol yaitu 1.5, 3.0, dan 4.5 mL menit-1 pada suhu reaksi 290oC serta dengan metode superheated methanol vapor (SMV). Analisis eksergi dilakukan dengan mengasumsikan sistem berjalan dalam kondisi aliran tunak (steady flow). Energi kinetik dan energi potensial diabaikan serta tekanan pada setiap sistem juga diabaikan terutama pada alat penukar panas karena hasil dari perhitungan tekanan yang didapat hanya 0.04 milibar. Subsistem evaporator dan superheater masing-masing diukur menggunakan satu kWh meter sehingga pemanas diperhitungkan menjadi satu dalam setiap subsistem. Energi reaksi pembentukan diperhitungkan dalam analisis eksergi pada subsistem reaktor sebagai tempat terjadinya reaksi. Eksergi kimia dan eksergi fisik diperhitungkan agar hasil yang didapat lebih rinci. Hasil penelitian menunjukkan alat penukar panas hasil rancangan sudah mampu mendaur ulang panas dalam sistem yang dibuktikan dengan meningkatnya nilai rasio energi yang didapat, namun belum sempurna menggantikan peran kondensor. Untuk masing-masing laju alir metanol sebesar 1.5, 3.0, dan 4.5 mL menit-1, didapatkan efektifitas alat penukar panas sebesar 92%, 25%, dan 19% serta rasio energi sebesar 7.85, 2.98, dan 2.87 dengan menggunakan persamaan RE1 (perbandingan antara kandungan energi produk dikurangi bahan baku dan energi proses). Sedangkan perhitungan rasio energi dengan persamaan RE2 (perbandingan kandungan energi produk dan energi bahan baku ditambah energi proses) dan metode percobaan yang juga digunakan Sigalingging (2008) vii
viii
menghasilkan nilai sebesar 1.03, lebih tinggi dari yang dihasilkan Sigalingging (2008) yaitu sebesar 0.84. Secara keseluruhan didapatkan nilai 1.05, 1.03, dan 1.02 untuk setiap laju alir 1.5, 3.0, dan 4.5 mL menit-1. Hal ini mengindikasikan bahwa modifikasi sistem yang diterapkan pada alat produksi biodiesel nonkatalitik dengan penambahan alat penukar panas dapat mengurangi konsumsi energi sehingga lebih efisien. Hasil analisis eksergi yang dilakukan pada laju alir metanol 1.5, 3.0, 4.5 mL menit-1 mendapatkan nilai efisiensi eksergi untuk subsistem evaporator sebesar 1.34%, 2.43%, dan 2.98%, subsistem superheater 0.42%, 0.78%, dan 1.15%, subsistem reaktor sebesar 19.59%, 19.23%, dan 18.52%, serta subsistem APP sebesar 19.93%, 16.27%, dan 10.48%. Irreversibilitas subsistem alat penukar panas dan reaktor masih lebih tinggi dari evaporator dan superheater. Semakin tinggi laju alir metanol maka semakin tinggi pula irreversibilitas subsistem alat penukar panas dan reaktor sehingga efisiensi semakin menurun, begitupun sebaliknya pada evaporator dan superheater. Hal ini berarti penurunan kualitas energi dalam sistem masih cukup tinggi, sehingga optimasi rancangan penukar panas masih perlu dilakukan untuk meningkatkan efisiensi energi dan eksergi keseluruhan, dan untuk keperluan pembesaran skala. Kata kunci: Alat penukar panas, Biodiesel, Eksergi, Non-Katalitik, Superheated methanol vapor
ix
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1.
2.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya; a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.
ix
x
xi
KAJIAN DAUR ULANG PANAS PADA PRODUKSI BIODIESEL SECARA NON-KATALITIK BERDASARKAN ANALISIS EKSERGI
FURQON
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknik Mesin Pertanian dan Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 xi
xii
Dosen penguji luar komisi: Dr. Ir. Dyah Wulandani, M.Si
xiii
Judul Tesis Nama NRP
: Kajian Daur Ulang Panas Pada Produksi Biodiesel Secara Non-katalitik Berdasarkan Analisis Eksergi : Furqon : F151090151
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tambunan Ketua
Dr. Ir. Joelianingsih, M.T Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Teknik Mesin Pertanian dan Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Setyo Pertiwi, M.Agr.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 8 Agustus 2011
Tanggal Lulus:
xiii
xiv
xv
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis yang berjudul ”Kajian Daur Ulang Panas pada Produksi Biodiesel Secara Non-katalitik Berdasarkan Analisis Eksergi”. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tambunan dan Dr. Ir. Joelianingsih, M.T selaku pembimbing, yang telah banyak memberi bimbingan, nasehat, dan motivasi. Penghargaan penulis sampaikan kepada NFRI (National Food Research Institute), Jepang atas hibah prototype of bubble column reactor, dan Dirjen Dikti-Kemendiknas RI atas biaya penelitian melalui hibah kompetitif penelitian kerjasama luar negeri dan publikasi internasional nomor 447/SP2H/DP2M/VI/2010, Tanggal 11 Juni 2010. Ucapan terimakasih dan simpati disampaikan juga kepada rekan-rekan satu Laboratorium Teknik Energi Terbarukan; Dr. Lamhot P. Manalu, Dr. James J. Silip, Mr. Yaoi Hidetoshi, Dr. Rizal Alamsyah, Ibu Tuti Aris, Mas Bayu, Bang Kiman Siregar, Rizky Rambey, Tetty Nababan, Daniel, dan Sulastri Panggabean. Begitu juga kepada seluruh kawan-kawan satu angkatan program magister TMP serta rekan-rekan angkatan lainnya. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Mas Firman, Mas Darma, Pak Harto, Mas Mul dan Ibu Rusmawati yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian dan perkuliahan. Batu crew serta kepada semua pihak yang namanya tidak disebutkan disini penulis mohon maaf dan mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya. Akhirnya izinkanlah penulis mempersembahkan tesis ini seraya berterimakasih kepada orangtua kami, ayahanda H. Sa’ari (alm) dan ibunda Hj. Saonah, kakanda Risdianto dan Lisaidah, serta adinda Zukhruf dan Haqoiroh atas setiap do’a, kasih sayang, motivasi, dan nilai-nilai kehidupan yang menginspirasi penulis hingga terselesaikannya tingkat pendidikan ini. Penulis menyadari bahwa isi dari tesis ini sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan agar lebih menambah khazanah pengetahuan penulis. Akhirnya penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Amin. Bogor, Agustus 2011 Furqon
xv
xvi
xvii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 08 Oktober 1985 dari ayah H. Sa’ari (alm) dan Ibu Hj. Saonah. Penulis merupakan putra ketiga dari lima bersaudara. Penulis telah menyelesaikan pendidikan program sarjana (S1) pada tahun 2008 di Program Studi Teknik Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman. Pada tahun 2009 penulis diterima di Sekolah Pascasarjana Program Studi Teknik Mesin Pertanian dan Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Energi dan Listrik Pertanian serta mata kuliah Teknik Konversi Energi Terbarukan pada tahun ajaran 2010/2011. Penulis juga aktif sebagai pengurus Forum Mahasiswa Pascasarjana Keteknikan Pertanian (Formateta) IPB periode kepengurusan 2010/2011 dan Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana (HIMMPAS) IPB periode kepengurusan 2011/2012.
xvii
xviii
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iv DAFTAR TABEL .................................................................................................. vi DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ viii DAFTAR SIMBOL................................................................................................ xi 1 PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1 1.2 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 4 1.3 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 4 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 5 2.1 Teknologi Produksi Biodiesel........................................................................ 5 2.2 Alat Penukar Panas ........................................................................................ 8 2.3 Sifat Fisik dan Termal ................................................................................... 9 2.4 Energi, Entropi, dan Eksergi ........................................................................ 13 3 METODE PENELITIAN ................................................................................. 17 3.1 Waktu dan Tempat ....................................................................................... 17 3.2 Alat dan Bahan ............................................................................................ 17 3.3 Prosedur Penelitian ...................................................................................... 17 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 27 4.1 Alat Penukar Panas ...................................................................................... 27 4.2 Rasio Energi Produksi Biodiesel ................................................................. 33 4.3 Analisis Eksergi ........................................................................................... 38 5 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 45 5.1 Kesimpulan .................................................................................................. 45 5.2 Saran ............................................................................................................ 45 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 46
iii
iv
DAFTAR GAMBAR 1
Halaman Persamaan reaksi transesterifikasi..................................................................... 6
2
Persamaan reaksi esterifikasi. ........................................................................... 6
3
Diagram pembuatan alat penukar panas. ........................................................ 18
4
Diagram alir perhitungan. ............................................................................... 19
5
Skema dan batasan alat produksi biodiesel secara non-katalitik dengan daur ulang panas ............................................................................................ 22
6
Pipa saluran fluida panas. ................................................................................ 27
7
Pipa saluran fluida dingin. .............................................................................. 28
8
Alat penukar panas hasil rancangan. ............................................................... 28
9
Letak pengukuran suhu produk dari reaktor sampai alat penukar panas. ....... 29
10 Profil suhu pada aliran berlawanan arah. ........................................................ 30 11 Profil suhu alat penukar panas pada laju alir metanol 1.5 mL menit-1. ........... 31 12 Profil suhu alat penukar panas pada laju alir metanol 3.0 mL menit-1. ........... 31 13 Profil suhu alat penukar panas pada laju alir metanol 4.5 mL menit-1. ........... 31 14 Efektifitas alat penukar panas. ........................................................................ 32 15 Produk hasil reaksi yang masih mengandung monogliserida. ........................ 34 16 Rasio energi hasil penelitian. ........................................................................... 35 17 Perbandingan rasio energi hasil penelitian penulis dan Sigalingging (2008). 36 18 Perbandingan rasio energi dengan pengertian yang berbeda pada beberapa produksi biodiesel. .......................................................................................... 38 19 Efisiensi eksergi setiap subsistem pada produksi biodiesel secara non-katalitik. .................................................................................................. 40 20 Konsumsi energi listrik pada laju alir metanol 1.5 mL menit-1....................... 41 21 Konsumsi energi listrik pada laju alir metanol 3.0 mL menit-1....................... 41 22 Konsumsi energi listrik pada laju alir metanol 4.5 mL menit-1....................... 41
v
vi
DAFTAR TABEL Halaman 1 Rencana target penggunaan biodiesel (minimum) Indonesia ............................. 1 2 Beberapa kelebihan dan kekurangan metode produksi biodiesel (katalitik dan non-katalitik) ............................................................................................... 7 3 Perbandingan energi dan eksergi ...................................................................... 15 4 Subsistem dan persamaan analisis eksergi ........................................................ 25 5 Perubahan suhu fluida pada alat penukar panas dan pipa jalur produk ............ 29 6 Hasil reaksi biodiesel non-katalitik dengan berbagai laju alir metanol ............... 33 7 Data penggunaan dan kandungan energi ............................................................ 34 8 Irreversibilitas setiap unit subsistem ................................................................. 42 9 Eksergi masuk setiap subsistem ........................................................................ 43
vii
viii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Data metode Joback .......................................................................................... 51 2 Prosedur pengujian alat produksi biodiesel non-katalitik setelah dirangkaikan dengan penukar panas ................................................................. 55 3 Gambar desain alat penukar panas .................................................................... 57 4 Alat produksi biodiesel non-katalitik metode SMV dengan daur ulang panas ................................................................................................................. 58 5 Produk hasil reaksi ............................................................................................ 59 6 Kesetimbangan massa berbagai laju alir metanol ............................................. 60
ix
x
DAFTAR SIMBOL Simbol A Cp d E ER h ∆h k m ṁ Pc q S T Tc Tc
ρ µ ν
Keterangan Luas Panas jenis Diameter Energi Energi rasio Koefisien pindah panas Entalpi Konduktivitas termal Massa Laju alir massa Tekanan kritis Laju perpindahan panas Entropi Suhu Suhu kritis Suhu fluida dingin (pada pembahasan APP) Suhu fluida panas (pada pembahasan APP) Suhu penurunan Koefisien pindah panas keseluruhan Volume Volume kritis Kerja Eksergi Efektifitas Viskositas dinamik Efisiensi eksergi Densitas Viskositas kinematik Kecepatan
Nu Pr Re ξ
Kelompok tak berdimensi Bilangan Nusselt Bilangan Prandtl Bilangan Reynolds Faktor penghubung antara campuran
Th Tr U V Vc W Ẋ ε η ηII
Satuan m2 kJ kg-1 oC-1 m kW MJ MJ-1 W m-2 oC-1 kJ kg-1 W m-1 oC-1 Kg kg jam-1 Bar W kW K-1 o C K o C o
C
K W m-2 oC-1 m-3 cm3 mol-1 kW kW % kg m-1 s-1 % kg m-3 m2 s-1 m s-1
xi
xii
1
1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Biodiesel merupakan salah satu bahan bakar minyak nabati yang diharapkan
mampu mensubstitusi kebutuhan bahan bakar solar yang semakin meningkat, peningkatan yang cukup tinggi terjadi pada sektor industri dan transportasi. Beberapa instruksi dan peraturan bahkan undang-undang telah ditetapkan demi mendukung terealisasinya program penggunaan bahan bakar nabati. Salah satu mandatory dalam penggunaan bahan bakar nabati adalah melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (Permen ESDM RI) nomor 32 tahun 2008 yang dijabarkan dalam Tabel 1. Target penggunaan tersebut harus ditunjang oleh pemegang kebijakan lainnya sehingga dapat tercapai, termasuk didalamnya penggunaan teknologi produksi yang efektif dan efisien sehingga secara ekonomis pun tidak memberatkan konsumen. Tabel 1 Rencana target penggunaan biodiesel (minimum) Indonesia Sektor Transportasi umum Transportasi pribadi Industri Listrik
2008
2009
2010
2015
2020
2025
1%
1%
2.5%
5%
10%
20%
1%
3%
7%
10%
20%
2.5% 0.25%
5% 1%
10% 10%
15% 15%
20% 20%
2.5% 0.1%
Sumber: Menteri Energi dan Sumber daya Mineral (2008)
Biodiesel dikenal sebagai produk yang ramah lingkungan, tidak mencemari udara, mudah terbiodegradasi, dan berasal dari bahan baku yang dapat diperbaharui. Disebutkan dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2006) bahwa biodiesel diproduksi dari sintesis ester asam lemak dengan rantai karbon antara C6-C22. Berbagai macam sumber minyak ditemukan dari tumbuhan hingga hewan. Minyak sawit merupakan salah satu jenis minyak nabati yang mengandung rantai karbon C14-C20, sehingga mempunyai peluang sangat besar untuk dikembangkan sebagai bahan baku biodiesel, terlebih Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia.
2
Katalitik dan non-katalitik merupakan dua metode yang digunakan untuk memproduksi biodiesel sampai saat ini. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Metode katalitik membutuhkan katalis sebagai katalisator untuk mempercepat reaksi. Alur pada metode ini cukup panjang karena setelah dihasilkan produk harus dicuci untuk menghilangkan kotoran, metanol yang tidak bereaksi, dan katalis (Saka dan Kusdiana 2001), sedangkan Indonesia tidak memproduksi katalis sehingga harus mendatangkan dari negara lain. Metode non-katalitik tidak membutuhkan katalis sehingga alur produksi lebih pendek, lebih ramah lingkungan, dan lebih sederhana (Joelianingsih et al. 2008b). Namun, kekurangannya adalah membutuhkan rasio molar antara metanol dan minyak lebih tinggi (24-42) dan suhu yang digunakan untuk mereaksikan pada reaktor sangat tinggi (240-350oC), sehingga energi yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu pun tinggi (Saka dan Kusdiana 2001). Produksi biodiesel secara non-katalitik sangat dipengaruhi oleh performansi alat produksi. Efektifitas yang tinggi menunjukan kinerja alat semakin baik sehingga hasil yang diperoleh semakin tinggi. Joelianingsih et al. (2007) meneliti produksi biodiesel dari minyak sawit dalam reaktor kolom gelembung secara nonkatalitik. Hasil yang didapat menunjukan kondisi optimum pengoperasian alat produksi biodiesel secara non-katalitik dalam reaktor kolom gelembung adalah suhu 290oC dengan menggunakan laju aliran metanol sekitar 2.5-3.0 mL menit-1. Namun, menurut Sigalingging (2008) rasio energi yang didapat sebesar 0.84, masih lebih rendah dibandingkan dengan produksi secara katalitik, yaitu sebesar 0.98. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyempurnaan guna meningkatkan performansi alat sehingga rasio energi yang didapat lebih tinggi. Rasio energi merupakan perbandingan antara kandungan energi (besarnya kalor) pada produk (biodiesel) dengan besarnya energi yang dibutuhkan untuk memproduksi biodiesel termasuk didalamnya memperhitungkan energi listrik dan energi panas yang digunakan dalam proses produksi biodiesel. Rasio energi dapat ditingkatkan dengan meminimalisasi energi yang tidak termanfaatkan selama proses produksi, salah satunya dengan pendaur-ulangan (resirkulasi) panas dalam sistem dengan memanfaatkan alat penukar panas (APP).
3
Alat penukar panas merupakan suatu perangkat yang digunakan untuk memudahkan perpindahan panas dalam satu atau lebih fluida. Perpindahan panas dari satu fluida ke lainnya terjadi melalui media padat yang memisahkan fluida tersebut (Suryanarayana dan Arici 2003). Alat penukar panas digunakan sebagai pengganti peran kondensor yang dalam alat produksi biodiesel non-katalitik mengkonsumsi energi cukup besar sehingga diharapkan mampu meminimalisir konsumsi energi. Pemanfaatan metanol masuk sebagai fluida pendingin diharapkan mampu mengembunkan dan menurunkan suhu produk (fluida panas) yang keluar dari reaktor. Kualitas energi pun harus diperhitungkan guna mengetahui di bagian mana energi yang belum dimanfaatkan secara maksimal, untuk mengetahui kualitas energi digunakan metode eksergi. Eksergi secara umum didefinisikan sebagai energi minimum yang diperlukan agar suatu proses dapat berlangsung, atau energi maksimum yang dapat diperoleh dari suatu sumber energi (Bejan et al. 1996). Eksergi diistilahkan juga sebagai available energy karena menyatakan jumlah energi yang dapat dimanfaatkan. Pernyataan ini didasarkan pada hukum termodinamika kedua yang menjelaskan bahwa setiap proses akan berlangsung secara spontan ke arah kesetimbangan dengan lingkungannya. Oleh sebab itu, kondisi lingkungan dapat dianggap sebagai dead state karena segala sesuatu yang telah mencapai keadaan dead state tidak dapat berubah lagi secara spontan. Dengan kata lain, energi yang terkandung pada suatu sistem yang berada pada keadaan dead state tidak dapat dimanfaatkan lagi. Maka berdasarkan hukum tersebut, beda kandungan energi suatu sistem pada kondisi tertentu dengan kandungan energi pada kondisi dead state adalah jumlah energi yang dapat dimanfaatkan (available energy). Perubahan yang terjadi pada sistem menyebabkan mutu dari energi yang dimanfaatkan pun fluktuatif. Perubahan mutu energi yang terjadi dapat diukur dengan menggunakan konsep eksergi. Analisis eksergi digunakan untuk mencapai penggunaan sumber energi yang lebih efektif karena mampu mengetahui besarnya energi yang dapat dimanfaatkan pada setiap posisi. Analisis ini didasarkan pada hukum
termodinamika
pertama
dan
kedua
karena
memperhitungkan
irreversibilitas (ketidakmampubalikkan) dalam sistem. Informasi tersebut dapat digunakan untuk mendesain sistem baru yang lebih efisien energi ataupun untuk
4
meningkatkan efisiensi pada sistem yang sudah ada, sehingga sangat penting untuk menentukan seberapa tepat energi yang digunakan. 1.2 1
Tujuan Penelitian Merancang penukar panas yang berfungsi untuk mendaur ulang panas dari reaktor ke evaporator.
2
Menghitung rasio energi produksi biodiesel secara non-katalitik.
3
Melakukan analisis eksergi pada sistem produksi biodiesel non-katalitik.
1.3
Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan mampu meningkatkan rasio energi dan
mendapatkan efisiensi eksergi produksi biodiesel secara non-katalitik.
5
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Teknologi Produksi Biodiesel Lee et al. (2007) menyatakan salah satu sumber energi yang menjadi
perhatian adalah bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbaharui sehingga ketersediaannya yang semakin berkurang menjadi stimulus untuk mencari sumber-sumber energi terbarukan yang mempunyai kelebihan antara lain; tanpa emisi polutan, ketersediaan di alam dapat diperbaharui, sedikit limbah, tidak menyebabkan pemanasan global, harga stabil, dan menciptakan lapangan pekerjaan. Disebutkan dalam Demirbas (2005) biodiesel merupakan salah satu alternatif bahan bakar fosil yang dibuat dari sumber biologi terbarukan seperti lemak hewani dan minyak nabati, sehingga ketersediaannya di alam dapat diperbaharui, ramah lingkungan, dan dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru. Komponen utama dari minyak nabati dan lemak hewani adalah triasilgliserol (TAG) atau biasa disebut trigliserida. Secara kimiawi TAG termasuk ester yang tersusun dari fatty acids (FA) dengan gliserol. Biodiesel didapatkan dengan mereaksikan secara kimiawi minyak nabati dan lemak hewani dengan alkohol (biasanya metanol) sehingga terbentuk metil ester dan gliserol dengan reaksi transesterifikasi (Knothe et al. 2005). Biodiesel dapat diproduksi dengan bantuan katalis (katalitik) dan tanpa katalis (non-katalitik). Katalis yang biasa digunakan dalam reaksi dapat digolongkan kedalam tiga macam, yaitu katalis asam (H2SO4, H3PO4), katalis basa (NaOH, KOH), dan katalis enzim (lipase). Penggunaan jenis katalis tergantung pada kandungan FFA (free fatty acid) dalam minyak/lemak. Katalis basa digunakan untuk proses transesterifikasi, sedangkan katalis asam untuk proses esterifikasi (Joelianingsih et al. 2007). Reaksi kimia yang terjadi pada pembuatan biodiesel merupakan transesterifikasi dan esterifikasi. Reaksi transesterifikasi adalah proses yang mereaksikan
trigliserida dalam
minyak
dengan
alkohol
(metanol) dan
menghasilkan fatty acid metil ester (FAME) dan gliserol. Gambar 1 merupakan skema persamaan reaksi transesterifikasi, dimana R1, R2, R3 merupakan hidrokarbon rantai panjang dari asam lemak. Sedangkan esterifikasi adalah proses yang mereaksikan asam lemak bebas dengan alkohol rantai pendek menghasilkan FAME dan air. Gambar 2 menunjukan skema reaksi esterifikasi.
6
O ║ H2C - O-C-R1 | O | ║ HC - O-C-R2 | O | ║ H2C - O-C-R3 TG
+
3 CH3OH →
3 Metanol
O ║ CH3 -O- C-R1 O ║ CH3 - O-C-R2 O ║ CH3 –O-C-R3
CH2 -OH | CH - OH | CH2 -OH
+
3 FAME (ME)
GL
Gambar 1 Persamaan reaksi transesterifikasi. R-COOH FFA
+
CH3OH Metanol
→
R-COOCH3 FAME
+
H2O Air
Gambar 2 Persamaan reaksi esterifikasi. Metanol akan bereaksi dengan asam lemak dari trigliserida untuk membentuk FAME. Pertukaran ester dapat terjadi dengan atau tanpa katalis, tergantung suhu. Pada suhu 250oC atau lebih reaksi dapat terjadi tanpa katalis. Transesterifikasi membutuhkan kondisi yang bebas air karena adanya air dapat menyebabkan reaksi berubah menjadi hidrolisis (Joelianingsih et al. 2008a). Kusdiana dan Saka (2001) menyatakan bahwa pembuatan biodiesel dengan katalis diawali dengan reaksi transesterifikasi, pengembalian metanol yang tidak bereaksi, pemurnian metil ester dari katalis, pemisahan gliserol yang merupakan produk samping, pemurnian menggunakan air (aquades) dengan cara pencucian berulang, sehingga proses ini lebih boros air. Reaksi pembuatan biodiesel dengan katalis mempunyai kelebihan yaitu reaksi dapat berjalan lebih cepat dan pada suhu yang rendah sedangkan kekurangannya adalah diperlukannya proses yang panjang untuk memurnikan produk dan perlu pengadukan yang kuat dalam reaksi karena metanol susah larut dalam minyak. Menurut Joelianingsih et al. (2007) proses pembuatan biodiesel secara non-katalitik mempunyai beberapa kelebihan diantaranya adalah tidak memerlukan penghilangan FFA dengan cara refining atau pra-esterifikasi. Reaksi esterifikasi dan transesterifikasi dapat berlangsung dalam satu reaktor sehingga minyak dengan kadar FFA tinggi dapat langsung digunakan. Selain itu, karena tanpa menggunakan katalis, proses pemisahan dan pemurnian produk menjadi lebih sederhana dan ramah lingkungan. Namun, proses non-katalitik biasanya menggunakan metanol sangat berlebih dengan suhu dan tekanan operasi lebih tinggi bila dibandingkan dengan proses katalitik.
7
Perbandingan kelebihan dan kelemahan proses produksi katalitik dan non-katalitik dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Beberapa kelebihan dan kekurangan metode produksi biodiesel (katalitik dan non-katalitik) No
Metode
Kelebihan
1) Proses dapat terjadi pada suhu dan tekanan rendah (6065oC, 1 atm), Transesterifikasi 2) Rasio molar metanol katalis basa terhadap minyak rendah, 3) Tidak bersifat korosif.
1
1)
2
Katalitik
Transesterifikasi 2) katalis asam 3) 1)
2) 3
Katalis biologi
3)
1) Kondisi superkritik metanol
4
Nonkatalitik 5
2) 3)
1) Tekanan atmosfir
Sumber: Tambunan (2010)
2)
Kekurangan
1) Membutuhkan perlakuan khusus pada bahan baku, 2) Pemurnian yang panjang, 3) Perlu pengadukan kuat, 4) Butuh katalis dan agen penjernihan. Cocok untuk bahan 1) Laju reaksi rendah, yang mengandung 2) Membentuk produk FFA tinggi (bisa samping yang tidak sekaligus esterifikasi), diharapkan pada suhu reaksi tinggi, Cocok untuk 3) Konversi ester memproduksi ester menurun dengan rantai bercabang, adanya air. Digunakan sebagai tahap esterifikasi. Konversi dapat 1) Membutuhkan waktu dilakukan pada reaksi lama, kondisi suhu, tekanan, konsentrasi katalis dan PH rendah, yang tinggi, dan imobilisasi enzim, Fase pemisahan mudah dan 2) Enzim dapat mudah menghasilkan gliserol tidak aktif karena dengan kualitas kandungan campuran tinggi, pada minyak seperti fosfolipid sehingga Dapat digunakan terjadi degumming langsung untuk bahan dengan FFA tinggi. pada minyak. Dapat digunakan 1) Suhu dan tekanan langsung pada FFA tinggi, tinggi, 2) Rasio molar metanol terhadap minyak Laju reaksi tinggi, tinggi. Penjernihan produk mudah dan ramah lingkungan. Dapat digunakan 1) Rasio molar metanol langsung pada FFA terhadap minyak tinggi, tinggi, Penjernihan produk 2) Suhu reaksi tinggi, mudah dan ramah 3) Laju reaksi rendah. lingkungan.
8
Teknologi produksi biodiesel non-katalitik yang berkembang saat ini masih mengalami kendala terkait rasio energi dalam proses produksi karena nilainya masih lebih rendah dari produksi biodiesel secara katalitik. Oleh karena itu, diperlukan suatu terobosan teknologi yang dapat meningkatkan performansi dari sistem alat produksi biodiesel secara non-katalitik. Panas yang tidak termanfaatkan dalam sistem perlu didaur ulang, sehingga energi yang dipakai dapat lebih hemat. Perancangan alat penukar panas (APP) yang mampu meminimalisasi penggunaan energi pada sistem merupakan salah satu metode yang diharapkan mampu memecahkan persoalan itu. 2.2
Alat Penukar Panas Alat penukar panas merupakan suatu perangkat yang digunakan untuk
memudahkan perpindahan panas dalam satu atau lebih fluida. Perpindahan panas dari satu fluida ke lainnya terjadi melalui media padat yang memisahkan fluida tersebut (Suryanarayana dan Arici 2003). Menurut Holman (1995) serta Suryanarayana dan Arici (2003) alat penukar panas dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis aliran dan konstruksinya, yaitu: 1
Penukar panas pipa ganda. Terdiri dari dua pipa, satu fluida mengalir pada pipa dalam dan fluida lainnya mengalir melalui diantara pipa dalam dan pipa luar (annulus). Jika kedua fluida mengalir pada arah yang sama maka disebut alat penukar panas aliran paralel. Namun, jika berbeda arah maka disebut alat penukar panas aliran berlawanan.
2
Penukar panas cangkang-tabung. Terdiri dari cangkang (shell) dan tabung (tube). Suatu fluida mengalir dalam tabung, sedang fluida yang satu lagi dialirkan melalui selongsong melintasi luar tabung. Untuk menjamin bahwa fluida di selongsong mengalir melintasi tabung dan dengan demikian menyebabkan perpindahan kalor lebih tinggi, maka didalam selongsong itu dipasangkan sekat-sekat (baffles). Pada alat penukar panas ini dikenal aliran satu, dua, atau empat lintasan, tergantung kebutuhan.
3
Penukar panas aliran silang. Banyak dipakai dalam pemanasan dan pendinginan udara atau gas. Dalam penukar panas ini, fluida yang mengalir melintasi tabung disebut arus campur (mixed stream), sedang fluida dalam
9
tabung disebut arus tak campur (unmixed). Dikatakan bercampur karena dapat bergerak dengan bebas di dalam alat itu sambil menukar panas, fluida yang satu lagi terkurung di dalam tabung saluran penukar panas dan tidak dapat bercampur selama proses perpindahan panas. 4
Penukar panas lempeng. Terdiri dari satu set lempeng yang dipisahkan oleh sirip-sirip diantara lempeng.
5
Penukar panas kompak. Terutama digunakan dalam sistem aliran gas dimana koefisien perpindahan kalor menyeluruh adalah rendah dan memerlukan luas yang besar dalam volume kecil. Tiap jenis penukar panas mempunyai fungsi dan efektifitas masing-masing.
Namun, penggunaannya dapat disesuaikan dengan kondisi alat atau mesin yang akan dirangkai menjadi satu kesatuan kerja. Perancangan penukar panas pada alat produksi biodiesel non-katalitik bertujuan untuk mengefisienkan pemakaian energi dalam sistem produksi biodiesel sehingga lebih hemat energi dan biaya. Kelebihan dari sistem ini adalah mampu memanaskan metanol yang akan digunakan sehingga memperkecil adanya kehilangan panas dan penambahan daya listrik akibat pemanasan yang dimulai dari awal lagi. Prinsipnya suatu proses perancangan terdiri dari beberapa tahap atau proses sehingga menghasilkan suatu desain atau prototipe produk yang sesuai dengan kebutuhan. 2.3
Sifat Fisik dan Termal Penentuan sifat fisik pada bahan yang akan digunakan dalam perancangan
alat penukar panas mutlak dibutuhkan sehingga kebutuhan akan ukuran dan bentuk rancangan yang akan direalisasikan lebih tepat sehingga lebih efektif dan efisien. Beberapa sifat fisik dan termal yang penting untuk diketahui dari bahan yang akan dipakai (palm olein, metanol, maupun campuran keduanya) yaitu densitas, viskositas (dinamik dan kinematik), panas jenis, konduktivitas termal, bilangan Reynolds, bilangan Prandtl, bilangan Nusselt, dan koefisien pindah panas. 2.3.1 Densitas Densitas atau rapat jenis (ρ) suatu zat adalah ukuran untuk konsentrasi zat tersebut dan dinyatakan dalam massa persatuan volume. Sifat ini ditentukan dengan cara menghitung rasio massa (m) zat yang terkandung dalam suatu bagian
10
tertentu terhadap volume (v) bagian tersebut, satuan yang digunakan adalah kg m-3. Sebagian besar minyak mempunyai densitas yang lebih kecil dari air. Pada umumnya densitas suatu minyak berbanding lurus dengan berat molekulnya dan berbanding terbalik dengan ketidakjenuhan dari minyak tersebut. Hal ini berarti semakin kecil nilai berat molekul suatu minyak maka semakin kecil nilai densitasnya, begitupun semakin tinggi tingkat ketidakjenuhan dari suatu minyak maka semakin rendah nilai densitas dari minyak tersebut. Nilai densitas juga dipengaruhi oleh suhu, semakin tinggi suhu maka densitas suatu fluida semakin kecil karena disebabkan gaya kohesi dari molekul-molekul fluida semakin berkurang (Coupland dan McClements 1997). 2.3.2 Viskositas Coupland dan McClements (1997) menyatakan bahwa viskositas merupakan ukuran gesekan dalam suatu fluida, yang cenderung menghambat pergerakan dinamis dari suatu fluida. Sutiah (2008) membahasakan bahwa viskositas merupakan ukuran yang menyatakan kekentalan suatu cairan atau fluida. Kekentalan merupakan sifat cairan yang berhubungan erat dengan hambatan untuk mengalir. Beberapa cairan ada yang dapat mengalir cepat, sedangkan lainnya mengalir secara lambat. Viskositas terbagi menjadi dua yaitu, viskositas kinematik dan dinamik. Viskositas dinamik untuk minyak dapat dicari menggunakan persamaan yang dibangun Ceirani dan Meirelles (2004) dalam Ceirani et al. (2007) sebagai berikut; ln ηi = ∑k Nk �A1k + D2k �� + Q
B1k T
− C1k ln T − D1k � + �Mi ∑k Nk �A2k +
B2k T
− C2k ln T − (1)
Dimana Nk adalah jumlah grup dalam molekul i, M adalah berat molekul A, B, C, dan D merupakan parameter yang telah ditentukan dari regresi data pengukuran, Q adalah angka koreksi yang didapat dari; Q = ξ1 q + ξ2
(2)
Dimana ξ1 dan ξ2 merupakan penghubung antara campuran, dan q merupakan suatu fungsi suhu absolut; β
q = α + T − γlnT − δT
(3)
11
α, β, γ, dan δ merupakan parameter yang telah ditentukan dari regresi data keseluruhan. Efek fungsional group pada viskositas dinamik dikoreksi dengan Q menurut jumlah total atom karbon Nc pada molekul, seperti pada persamaan (4) ξ1 merupakan fungsi Nc yang diterapkan pada setiap campuran; ξ1 = f0 + Nc f1
(4)
ξ2 menerangkan perbedaan antara tekanan uap isomer ester pada suhu yang sama dan dihubungkan dengan nilai karbon fraksi pengganti (Ncs); ξ2 = s0 + Ncs s1
(5)
Dimana f0, f1, s0, dan s1 merupakan konstanta. 2.3.3 Panas Jenis Panas
jenis
didefinisikan
sebagai
energi
yang
diperlukan
untuk
meningkatkan suhu satuan massa zat tertentu sebesar satu derajat. Pada umumnya energi akan tergantung pada bagaimana proses tersebut terjadi. Dalam termodinamika, terdapat dua macam panas jenis; panas jenis pada volume konstan Cv dan panas jenis pada tekanan konstan Cp. Panas jenis pada tekanan konstan Cp selalu lebih besar dari pada Cv, karena pada tekanan konstan, sistem mengalami ekspansi dan hal tersebut memerlukan energi (Coupland dan McClements 1997). Nilai panas jenis untuk metanol (cair maupun gas) dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut; Cp = A+BT+CT2+DT3+ET4
(6)
Dimana Cp merupakan fungsi dari suhu dan A, B, C, D, serta E merupakan ketetapan yang didapat dari Reklaitis (1983). Nilai panas jenis untuk trigliserida, metil ester, dan gliserol dihitung menggunakan
persamaan
Rowlinson-Bondi
dalam
Morad
(2000),
yang
mengestimasi menggunakan komponen murni asam lemak; �Cp −Co p� R
= 1.45 + 0.45(1 − Tr )−1 + 0.25ω�17.11 + 25.2(1 − Tr )1⁄3 Tr−1 + 1.742 (1 − Tr )−1 �
(7)
Dimana Cpo merupakan panas jenis pada gas ideal (kJ kg-1 oC-1), R adalah
konstanta gas, Tr adalah suhu penurunan (K), dan ω merupakan faktor asentrik.
12
Cpo dapat dihitung menggunakan metode Joback (Lampiran 1) dengan
menghitung jumlah kontribusi atom atau molekul grup.
Cpo = �∑j nj ∆a − 37,93� + �∑j nj ∆b + 0,210�T + �∑j nj ∆c − 3,91x10−4 �T 2 + �∑j nj ∆c − 2,06x10−7 �T 3
(8)
Sedangkan Tr dihitung menggunakan persamaan; Tr = T/Tc
(9)
Tc (K) dihitung menggunakan metode Fedors dalam Reid et al. (1988); Tc = 535 log(∑ ∆T)
(10)
Dimana ∆𝑇 merupakan suhu kritis kontribusi grup (K).
Faktor asentrik 𝜔 dapat dihitung menggunakaan persamaan; Pc Vc RTc
= 0.291 − 0.080ω
(11)
Pc (bar) dan Vc (cm3 mol-1) dapat dihitung menggunakan metode Joback dari persamaan dalam Reid et al. (1988) sebagai berikut; Pc = (0.113 + 0.0032nA − ∑ ∆P)−2
Vc = 17.5 + ∑ ∆V
(12) (13)
nA merupakan nomor atom pada molekul, dan ∆P serta ∆V merupakan nilai ketetapan yang sudah diberikan. 2.3.4 Konduktivitas Termal Cengel (2003) menyatakan bahwa konduktivitas termal merupakan laju perpindahan panas melalui suatu lapisan bahan per unit area per unit perbedaan suhu, satuan W m-1
o -1
C . Nilai konduktivitas termal menunjukan ukuran
kemampuan suatu bahan untuk mengantarkan panas. Nilai konduktivitas termal pada metanol maupun minyak didapatkan dari regresi data pengukuran dalam Cengel (2003) dan Chempro (2010). 2.3.5 Bilangan Nusselt Bilangan Nusselt termasuk kedalam salah satu bilangan parameter yang tak berdimensi. Didefinisikan sebagai perbandingan koefisien pindah panas konveksi dikali panjang karakteristik aliran dengan konduktivitas termal (Cengel 2003). Nu =
hd k
(14)
13
2.3.6 Bilangan Prandtl Bilangan Prandtl menunjukan perbandingan difusivitas molekul dari momentum dan difusivitas molekul panas (Cengel 2003). Pr =
2.3.7 Bilangan Reynolds
v
= α
µCp k
(15)
Bilangan Reynolds merupakan perbandingan antara gaya inersia dan viskositas dalam suatu fluida. Re =
(ρνd) µ
(16)
Dimana 𝜈 merupakan kecepatan aliran. Bilangan Reynolds menunjukan
suatu aliran bersifat turbulen atau laminar. Aliran bersifat turbulen terjadi jika gaya inersia yang merupakan kerapatan dan kecepatan fluida relatif lebih besar terhadap gaya viskos sehingga fluida cenderung acak dan berfluktuasi. Sedangkan aliran laminar terjadi jika gaya viskos cukup besar untuk mampu menahan gaya inersia yang terjadi dalam aliran fluida dan menjaga fluida untuk tetap berada pada garis aliran (Cengel 2003). 2.4
Energi, Entropi, dan Eksergi Energi merupakan salah satu sumber kebutuhan mendasar bagi masyarakat,
indeks kesejahteraan masyarakat suatu negara dapat diukur dari besarnya laju konsumsi energi. Hampir seluruh negara maju merupakan negara-negara yang mempunyai tingkat konsumsi energi paling tinggi. Oleh sebab itu, diperlukan sebuah terobosan untuk mampu menggunakan energi seefektif mungkin sehingga keberlanjutannya dapat dipertanggungjawabkan (Lee et al. 2007). Energi merupakan konsep termodinamika yang fundamental dan merupakan salah satu aspek yang paling penting dalam suatu analisis keteknikan. Energi dapat terkandung dalam suatu sistem dengan berbagai bentuk makroskopik seperti energi kinetik, energi potensial, energi gravitasi, dan energi internal, yang dapat dikelompokkan sebagai inventory energy. Energi juga dapat diubah dari bentuk satu ke bentuk lainnya dan dapat dipindahkan diantara sistem atau biasa disebut sebagai transitory energy. Pada sistem tertutup dapat dipindahkan melalui bentuk kerja dan pindah panas (Bejan et al. 1996).
14
Dincer dan Cengel (2001) menjelaskan bahwa energi tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan, hanya dapat berubah bentuk, pengertian ini disebut sebagai hukum termodinamika pertama. Hukum termodinamika pertama menerangkan mengenai energi internal dan pengembangan konservasi energi. Energi pada suatu sistem terbuka dapat berpindah dengan tiga bentuk: panas q, kerja W, dan aliran massa m. Interaksi energi dapat diketahui pada batasan suatu sistem apakah bertambah atau hilang dalam batasan sistem tersebut selama berlangsungnya proses. Persamaan umum untuk kesetimbangan energi atau hukum termodinamika pertama pada suatu proses dalam sistem adalah Emasuk − E�� �� ����� �� = keluar
perpindahan energi dengan Q,W,dan m
∆E ����� sistem
(17)
perubahan energi internal, kinetik,dan potensial
Hubungan ini dapat juga ditulis dalam bentuk per unit massa, diferensial,
dan laju seperti; emasuk − ekeluar = ∆esistem
(18)
δEmasuk − δEkeluar = dEsistem ̇ masuk ̇ keluar E − E�� �� ����� ��
laju perpindahan energi dengan Q,W,dan m
=
(19) ̇ sistem ∆E �����
(20)
laju perubahan energi internal, kinetik,dan potensial
Menurut Bejan et al. (1996) entropi merupakan bagian dari energi yang
mengalami perubahan wujud dan tidak mampu melakukan kerja. Dincer dan Cengel (2001) menyatakan bahwa penjelasan mengenai perbedaan nyata antara proses reversible (mampu balik) dan irreversible (ketidakmampuan balik) dikenalkan
pertama
kali
melalui
konsep
entropi.
Dan
hukum
kedua
termodinamika menyatakan bahwa setiap proses nyata berlangsung secara irreversible. Ketika sebuah sistem terisolasi, peningkatan energi akan nol, sehingga entropi akan naik dikarenakan proses irreversible dan kemungkinan akan mencapai nilai maksimumnya dan terjadi kesetimbangan termodinamika. Perubahan yang terjadi pada sistem menyebabkan mutu dari energi yang dimanfaatkan pun naik-turun, perubahan mutu energi yang terjadi dapat diukur menggunakan konsep eksergi. Analisis eksergi digunakan untuk mencapai penggunaan sumber energi yang lebih efektif karena mampu menentukan kehilangan energi pada setiap posisi. Sehingga informasi tersebut dapat digunakan
15
untuk mendesain sistem baru yang lebih efisien energi ataupun untuk meningkatkan efisiensi pada sistem yang sudah ada (Bejan et al. 1996). Dincer dan Cengel (2001) menjelaskan bahwa analisis eksergi berdasarkan hukum termodinamika pertama dan kedua. Tujuan utama analisis eksergi adalah untuk mengidentifikasi penyebab dan menghitung secara tepat kehilangan atau kemusnahan eksergi. Namun, terkadang masih ada yang salah menafsirkan antara keduanya, oleh karena itu diperlukan perbandingan untuk menjelaskan perbedaan diantara keduanya. Perbandingan antara energi dan eksergi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Perbandingan energi dan eksergi Energi Hanya tergantung pada parameter bahan atau aliran energi, dan tidak tergantung pada parameter lingkungan. Mengikuti hukum termodinamika pertama untuk seluruh proses.
Dibatasi oleh hukum temodinamika kedua untuk seluruh proses (termasuk yang mampu balik – reversible). Kemampuan untuk menghasilkan gerak. Selalu dikonservasi pada sebuah proses, jadi tidak dapat diproduksi ataupun musnah. Hanya menghitung kuantitas. Sumber: Dincer dan Cengel (2001)
Eksergi Tergantung pada parameter bahan atau aliran energi dan juga parameter lingkungan. Pada proses mampu balik mengikuti hukum termodinamika pertama (pada proses tak mampu balik dapat musnah sebagian atau seluruhnya). Tidak dibatasi untuk proses mampu balik dikarenakan hukum termodinamika kedua. Kemampuan untuk menghasilkan kerja. Selalu dikonservasi pada proses mampu balik, tapi dikonsumsi pada proses tak mampu balik. Menghitung kuantitas dan kualitas dikarenakan entropi.
16
17
3 METODE PENELITIAN 3.1
Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Desember 2010 sampai dengan
Juni 2011, bertempat di Laboratorium Surya, Bagian Teknik Energi Terbarukan, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fateta-IPB. 3.2
Alat dan Bahan
3.2.1 Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah prototype reaktor kolom gelembung (bubble column reactor) hibah dari NFRI (National Food Research Institute); Jepang, alat penukar panas hasil rancangan, timbangan digital, gelas ukur, thermocouple tipe CC, rotary evaporator, botol sampel, dan GC-MS. 3.2.2 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah palm olein sebagai bahan utama pembuatan biodiesel, metanol sebagai reaktan dan gas pembuat gelembung, dan nitrogen sebagai gas pencegah masuknya minyak ke dalam pipa saluran metanol maupun ke kolom pemanas metanol. 3.3
Prosedur Penelitian Penelitian diawali dengan pembuatan alat penukar panas. Diagram alir pada
Gambar 3 menunjukan garis besar pembuatan alat penukar panas, dimulai dengan penentuan sifat fisik dan termal bahan yang akan dialirkan (palm olein dan metanol) guna merancang penukar panas yang akan digunakan dalam sistem baru alat produksi biodiesel non-katalitik. Penentuan setiap parameter dijelaskan dalam subbab fisik dan termal (Bab 2 Subbab 2.3).
18
Mulai
Penentuan sifat fisik dan termal
Perancangan penukar panas
Pembuatan dan perakitan penukar panas
Modifikasi
Pengujian
Kriteria rancangan?
Tidak
Ya Pengukuran dan perhitungan hasil
Selesai
Gambar 3 Diagram pembuatan alat penukar panas. Setelah dilakukannya pembuatan alat penukar panas maka hasil yang didapat akan dianalisis perhitungan berdasarkan prinsip hukum termodinamika I dan II. Tahapan perhitungan ditampilkan pada Gambar 4.
19
Mulai
Mengukur hasil reaksi ME, Gl, MeOH
Mengukur suhu dan daya listrik tiap titik dalam subsistem
Melakukan analisis hasil (kadar metil ester)
Menghitung nilai Cp dan ∆H reaksi kimia
Menghitung kesetimbangan massa m
Menghitung kesetimbangan energi m, Cp, T
Menghitung rasio energi RE
Menghitung kesetimbangan entropi S
Menentukan suhu dead state
Menghitung kesetimbangan eksergi X Menghitung efisiensi eksergi ηΙΙ
Selesai
Gambar 4 Diagram alir perhitungan. 3.3.1 Perancangan dan Pembuatan Alat Alat penukar panas yang dirancang merupakan tipe pipa ganda dengan arah aliran fluida berlawanan. Alat penukar panas difungsikan sebagai pengganti peran kondensor. Fluida panas merupakan produk yang keluar dari reaktor dengan bentuk uap dan suhu sekitar 290oC yang diharapkan akan berubah fase menjadi cairan ketika keluar dari penukar panas, sehingga dapat langsung ditampung pada gelas penampung. Sedangkan fluida dingin merupakan metanol yang berbentuk cair dan bersuhu sekitar 27oC, dengan debit aliran masuk 3 mL menit-1. Fluida dingin diharapkan mampu berubah suhu menjadi 200oC sehingga dapat mengurangi beban panas vaporizer dan superheater. Dengan perancangan
20
penukar panas yang mampu memanfaatkan suhu keluaran dari reaktor sebagai pemanas metanol, diharapkan rasio energi dan efisiensi eksergi dapat ditingkatkan serta kehilangan eksergi dapat ditekan seminimal mungkin. Suhu keluar dari masing-masing pipa merupakan variabel yang akan dihitung dengan estimasi penentuan awal ukuran penukar panas. Perancangan pada penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahap yaitu tahap perancangan, tahap pengumpulan alat dan bahan, tahap pembuatan dan perakitan, tahap pengujian hasil rancangan, tahap pengamatan, dan analisis data. 1
Tahap Perancangan, meliputi pembuatan gambar detail rancangan struktural alat, gambar tiga dimensi alat, gambar bagian-bagian alat, penentuan ukuran, penentuan bahan konstruksi.
2
Tahap Pengumpulan Alat dan Bahan, yaitu: penentuan jumlah bahan-bahan konstruksi yang diperlukan, pembelian bahan, penyediaan alat-alat yang dibutuhkan dalam proses perakitan.
3
Tahap Pembuatan dan Perakitan, meliputi pembuatan pipa saluran produk dan pipa saluran metanol. Kemudian selanjutnya akan dilakukan perakitan dengan sistem produksi biodiesel kemudian dilakukan pengujian alat.
4
Tahap Pengujian, merupakan tahapan untuk mencoba apakah alat yang telah dirancang dapat bekerja (uji performansi) dan berfungsi sesuai dengan yang diharapkan (uji fungsional).
3.3.1.1 Rancangan Fungsional Alat penukar panas yang dirancang merupakan salah satu bagian dalam sistem alat produksi biodiesel non-katalitik. Secara fungsional penukar panas ini bekerja untuk menurunkan suhu keluaran dari reaktor dan menaikkan suhu metanol masuk. Penukar panas ini terdiri dari dua komponen pipa yang berfungsi sebagai saluran masuk metanol dan saluran produk. 1
Saluran produk. Berfungsi sebagai saluran keluar produk dari reaktor yang bersuhu sekitar 290oC, dalam saluran pipa ini produk akan mengalami perubahan suhu yang cukup besar karena diharapkan produk yang keluar nanti sudah dapat langsung ditampung dalam gelas penampung sehingga tidak
memerlukan
kondensor
mengembunkan produk.
kembali
untuk
mendinginkan
dan
21
2 Saluran metanol. Pipa ini berfungsi sebagai saluran masuk metanol yang bersuhu 27oC yang bekerja untuk menurunkan dan mengembunkan suhu produk, pipa ini berada di luar menyelimuti pipa produk sehingga kontak langsung dengan lingkungan. Dalam pipa ini metanol akan mengalami perubahan suhu dan perubahan fase dari cairan menjadi uap sehingga dalam perhitungan perlu dihitung panas laten yang terjadi pada metanol dalam pipa ini. 3.3.1.2 Rancangan Struktural Bahan, bentuk, dan dimensi merupakan faktor penting perancangan suatu alat atau mesin, karena ketepatan akan faktor tersebut berdampak pada kinerja. Dimensi alat penukar panas yang dirancang merupakan hasil perhitungan dari sifat fisik dan termodinamik cairan dan gas yang akan dialirkan, begitupun bahan dan bentuknya. 1
Saluran produk. Berbentuk pipa yang terbuat dari bahan stainless steel yang berdiameter 0.01905 m (0.75 inch) dengan panjang 0.35 m dan tebal 0.002 m. Pemilihan ukuran diameter didasarkan pada laju alir produk yang masuk tidak terlalu besar yaitu sekitar 167.9 gram jam-1 dan berbentuk gas sehingga bidang kontak dengan fluida pendingin lebih efisien. Selain itu, sudah tersedia di pasaran. Begitupun pemilihan ukuran panjang berdasarkan aliran fluida pendingin yang masuk sebesar 142.2 gram jam-1 juga berdasarkan simulasi perhitungan yang diharapkan suhu produk keluar sudah dalam batas toleransi untuk langsung ditampung dalam gelas penampung.
2
Saluran metanol. Berbahan stainless steel dengan diameter 0.0381 m (1.50 inch) dengan panjang 0.35 m dan tebal 0.003 m. Ukuran panjang didasarkan pada simulasi perhitungan yang telah dilakukan, karena suhu yang diharapkan keluar dari pipa ini adalah sekitar 200oC, dan mampu menggantikan kinerja vaporizer dan mengurangi kinerja superheater sehingga lebih hemat energi yang digunakan.
3
Bahan konstruksi. Seluruh bagian pada alat penukar panas dibuat dengan menggunakan stainless steel dikarenakan suhu pengoperasian alat yang tinggi mencapai 290oC dan fluida yang akan digunakan dalam pengoperasian alat yaitu palm olein dan metanol sehingga diharapkan mampu meminimalisir
22
terjadinya korosi dan penyumbatan yang berlebih, jenis stainless steel yang digunakan adalah tipe SS 316 yang mempunyai nilai konduktivitas termal sebesar 8.09 BTU hr-1 ft-1 F-1 atau 13.99 W m-1 oC-1. 3.3.1.3 Pengujian Alat Penukar panas yang dirancang diharapkan mampu berfungsi mendaur ulang panas dari reaktor ke evaporator sehingga mengurangi beban kerja kondensor bahkan mampu menggantikannya, skema sistem yang dirancang dapat dilihat pada Gambar 5.
MeOH
N2
1
2
E_in
3
E_out
6
E_out
7
E_in
10 E_out
Daya listrik
Alat penukar panas
9
Daya listrik
Daya listrik
4 E_out Evaporator
E_in
MeOH
E_in 8 E_out
5
Reaktor
E_in
Gelas penampung
Superheater
Gambar 5 Skema dan batasan alat produksi biodiesel secara non-katalitik dengan daur ulang panas. Prosedur
pengujian
alat
produksi
biodiesel
non-katalitik
setelah
dirangkaikan dengan penukar panas dapat dilihat pada Lampiran 2. Proses dimulai dengan mengalirkan nitrogen, kemudian mengisi reaktor dengan palm olein sebanyak 200 mL. Pemanas pada vaporizer, superheater, dan reaktor dinyalakan dan dengan mengatur tegangan yang digunakan dan suhu yang diinginkan. Setelah suhu yang diinginkan tercapai pompa metanol dinyalakan dengan bukaan stroke sesuai dengan laju alir metanol yang diinginkan dan ketika produk sudah mulai dihasilkan, aliran nitrogen dihentikan. Produk yang dihasilkan ditampung dalam gelas penampung yang kemudian akan dilakukan pemisahan metanol yang tidak ikut bereaksi dalam produk dengan rotary evaporator.
23
3.3.2 Variabel Pengamatan dan Pengukuran Variabel penelitian adalah laju alir metanol dengan 3 tingkat laju yang berbeda yaitu 1.5, 3.0, dan 4.5 mL menit-1 pada suhu reaksi 290oC (Joelianingsih 2008b) sehingga didapatkan laju alir metanol terbaik yang menghasilkan metil ester terbaik secara kuantitas maupun kualitas. Parameter yang diamati adalah energi yang digunakan, diukur menggunakan kWh meter, suhu masuk dan keluar fluida pada penukar panas yang diukur menggunakan thermocouple tipe CC, dan kualitas produk hasil reaksi yaitu kadar metil ester. Data pengamatan untuk produk hasil reaksi dilakukan dengan mengukur massa dan volume metanol yang digunakan serta massa dan volume produk keluar reaktor. Pengukuran massa dilakukan dengan menggunakan timbangan digital (merk ADAM AE dengan skala terkecil 0.01), pengukuran volume dengan gelas ukur (merk pyrex volume 100 mL dan 250 mL). Pengambilan sampel dilakukan setiap 30 menit selama 10 jam. Produk hasil reaksi yang masih bercampur antara metil ester, gliserol, dan metanol yang tidak bereaksi dievaporasi menggunakan rotary evaporator (merk Bucks dengan suhu pengoperasian 45oC, tekanan 0.06-0.08 MPa, dan di putar pada skala 5 yang terdapat di alat) di Laboratorium Kimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA-IPB. Kadar dan komposisi hasil reaksi (metil ester) dianalisis dengan alat GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectrometry) di PusLabFor, Mabes Polri. 3.3.3 Perhitungan Energi dan Eksergi 3.3.3.1 Perhitungan Rasio Energi Data yang didapatkan selama pengoperasian dan pengamatan alat produksi biodiesel non-katalitik dianalisis untuk mendapatkan efektifitas alat penukar panas, yield, rasio energi, dan menghitung keseimbangan massa. Analisis alat penukar panas menggunakan metode yang berdasarkan atas efektifitas penukar panas (Number of transfer unit-effectiveness/NTU-ε) dalam memindahkan sejumlah panas tertentu. NTU =
UA
Cmin
(21)
24
Efektifitas penukar panas didefinisikan sebagai; efektifitas = ε =
perpindahan panas nyata
perpindahan panas maksimum yang mungkin
=
q
qmax
(22)
Perpindahan panas nyata dapat dihitung dari energi yang dilepaskan oleh
fluida panas atau energi yang diterima oleh fluida dingin, untuk penukar panas aliran berlawanan; q = ṁ h Ch (Th1 − Th2 ) = ṁ c Cc (Tc1 − Tc2 )
(23)
Menentukan perpindahan panas maksimum, Cr =
Cmin
(24)
Cmax
Yield didapatkan dari persamaan: 𝑦𝑖𝑒𝑙𝑑(%) = mminyak
mME
mminyak
x 100%
(25)
= massa minyak terkonsumsi (gram)
Kesetimbangan massa dihitung berdasarkan hasil yang didapatkan dengan berbagai parameter, seperti kadar metil ester dan kadar gliserol. Perhitungan rasio energi berdasarkan beberapa persamaan yang telah digunakan oleh sebagian peneliti. RE1 =
Eproduk − Ebahan baku Qproses
(26)
RE1 digunakan berdasarkan pertimbangan bahwa bahan baku yang digunakan sudah memiliki kandungan energi dan dapat digunakan langsung, sehingga untuk mendapatkan nilai energi seharusnya energi yang dikandung produk dikurangkan terlebih dahulu dengan energi yang dikandung bahan baku kemudian membagi dengan energi proses yang digunakan. Rasio energi didapatkan juga dengan menghitung nilai kalor yang terkandung dalam minyak awal (bahan baku) sebagai pembaginya, yaitu: RE2 =
Eproduk
Qproses + Ebahan baku
(27)
Penggunaan RE2 pada persamaan (27) sebagai pembanding dengan hasil penelitian Sigalingging (2008). RE3 =
Eproduk
Ebahan baku − Eproduk samping
(28)
25
RE3 memperhitungkan kandungan energi yang dimiliki produk samping dari bahan baku yang digunakan. Persamaan rasio energi ini digunakan oleh Pimentel dan Patzek (2005). RE4 =
Eproduk
(29)
Qproses
RE4 membandingkan antara energi yang dikandung produk dengan energi proses yang digunakan untuk memproduksinya. Beberapa peneliti yang menggunakan definisi rasio energi ini adalah Yadav et al. (2010), Plenjai dan Gheewala (2009), serta Pradhan et al. (2008). Pada subsistem reaktor diperhitungkan pula panas pembentukan akibat reaksi yang antara minyak dan metanol. Perhitungan berdasarkan jumlah kontribusi atom atau molekul grup dari masing-masing komponen. 3.3.3.2 Perhitungan Analisis Eksergi Proses analisis dilakukan sesuai dengan batasan sistem seperti pada Gambar 6. Alat produksi biodiesel secara non-katalitik dengan bubble column reactor hasil modifikasi dibagi dalam 4 subsistem, yaitu subsistem evaporator, superheater, reaktor, dan alat penukar panas. Tabel 4 menunjukan subsistem dan persamaan yang dibangun. Tabel 4 Subsistem dan persamaan analisis eksergi Evaporator 1
Q_keluar
E_masuk
2
Massa Energi
E_keluar
Entropi W_elektrik
Eksergi
Evaporator
∑ ṁ 1 = ∑ ṁ 2
We = �ṁ 1 Cpf (Tsat − T1 ) + ṁ 1 hfg + ṁ 2 Cpg (T2 − Tsat )�
∆Sgen = ṁ 1 Cpf ln T
ṁ 2 Cpg ln T 2
sat
Tsat T1
+
ṁ1 hfg Tsat
+
We − T0 ∆Sgen = �ṁ 1 Cpf (Tsat − T1 ) +
ṁ 1 hfg + ṁ 2 Cpg (T2 − Tsat )� − �T0 �ṁ 1 Cpf ln T
Tsat T1
ṁ 2 Cpg ln T 2 �� sat
+
ṁ1 hfg Tsat
+
26
Superheater ∑ ṁ 3 = ∑ ṁ 4 We = ṁ 4 Cpg (T4 − T3 ) T4 Entropi ∆Sgen = ṁ 4 Cpg ln T3 Eksergi We − T0 ∆Sgen = ṁ 4 Cpg (T4 − T3 ) − Massa Energi
3 E_masuk
T
W_elektrik
�T0 �ṁ 4 Cpg ln T4 �� 3
4 E_keluar
Superheater
Reaktor 6 E_keluar
Massa Energi Entropi
∑ ṁ 5 = ∑ ṁ 6 We + ∆Hreaksi = ṁ 6 Cpg (T6 − T5 ) T
∆Sgen = ṁ 6 Cpg ln T6 − 5
T0
∆Hreaksi T6
Eksergi W + ∆H e reaksi �1 − T � − T0 ∆Sgen = 6
W_elektrik
T
ṁ 6 Cpg (T6 − T5 ) − �T0 �ṁ 6 Cpg ln T6 � � 5
Reaktor
5 E_masuk
Alat penukar panas Massa
Produk 7
E_masuk
Energi
10 E_keluar
Entropi 9 E_masuk 8
E_keluar
ṁ 9 = ṁ 10 = ṁ a ṁ 7 = ṁ 8 = ṁ b ṁ a Cpa (T10 − T9 ) = ṁ b Cpb (T7 − T8 ) ṁ a Cpa ln
Eksergi Q �1 − a
T10
T9 T0
T10
T
+ ∆Sgen = ṁ b Cpb ln T8
� − T0 ∆Sgen = Qb �1 −
7
T0 T8
�
Alat penukar panas
Efisiensi eksergi (hukum kedua termodinamika) pada setiap subsistem dapat dituliskan sebagai: ηII = 1 −
T0 ∆Sgen Ẋi
(30)
Dimana Ẋ i merupakan komponen yang diperhitungkan sebagai eksergi
masuk (kW)
27
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Alat Penukar Panas Alat penukar panas yang dirancang merupakan tipe pipa ganda dengan arah
aliran fluida berlawanan. Alat penukar panas difungsikan sebagai pengganti peran kondensor, dengan memperlakukan metanol masuk sebagai fluida pendingin bagi produk yang keluar dari reaktor yang merupakan fluida panas. Pipa yang dibuat terdiri dari dua macam yaitu pipa yang difungsikan sebagai tempat aliran fluida panas (produk) yang berada di bagian dalam dan pipa yang difungsikan sebagai tempat aliran fluida dingin (metanol) yang berada di bagian luar menyelimuti pipa bagian dalam. Seluruh bahan menggunakan stainless steel SS 316 yang mempunyai nilai konduktivitas termal sebesar 13.99 W m-1 oC-1 bertujuan untuk menghambat terjadinya korosi karena bahan fluida yang digunakan untuk pembuatan biodiesel adalah minyak dan metanol. Pipa dalam (fluida panas) dibuat dengan ukuran panjang 0.50 cm, diameter 0.01905 m (0.75 inch), dan tebal 0.0015 m. Bentuk pipa fluida panas ditampilkan pada Gambar 6.
Gambar 6 Pipa saluran fluida panas. Pipa luar (fluida dingin) berukuran panjang 0.35 m, diameter 0.0381 m (1.50 inch), dan tebal 0.0030 m. Gambar 7 menunjukan bentuk pipa saluran fluida dingin. Penggabungan antara kedua pipa menggunakan las argon sehingga lebih rapih dan tidak terjadi kebocoran karena lebih rapat dan padat. Gambar 8 merupakan gambar alat penukar panas secara keseluruhan (digabung). Nepel, elbow, dan T-socket digunakan sebagai penghubung alat penukar panas dan sistem
28
pada alat yang sudah ada dengan tambahan pipa stainless steel yang berdiameter sama dengan antar sistem yang akan dihubungkan. Desain dan Gambar alat secara keseluruhan terdapat pada Lampiran 3 dan 4.
Gambar 7 Pipa saluran fluida dingin.
Gambar 8 Alat penukar panas hasil rancangan. Penentuan dimensi berdasarkan ketersediaan tempat dan perhitungan saat perancangan menggunakan laju alir fluida pendingin (metanol) 142.2 gram jam-1 (3 mL menit-1) dan fluida panas (produk) 167.9 gram jam-1 (hasil penelitian Joelianingsih 2008b) serta berbentuk uap sehingga bidang kontak dengan fluida pendingin diharapkan lebih efektif. Namun, pada pelaksanaan uji fungsional dengan aplikasi dilapangan justru hal tersebut menjadi kendala karena variabel pengukuran menggunakan tiga laju alir metanol yaitu 1.5, 3.0, dan 4.5 mL menit-1 sehingga mempengaruhi kinerja alat penukar panas. Alat penukar panas yang
29
diharapkan berperan sebagai pengganti kondensor tidak mampu menurunkan suhu produk hingga suhu yang diharapkan (30oC). Skema letak pengukuran suhu dengan termokopel pada jalur produk keluar dari reaktor ditampilkan Gambar 9 dan rata-rata perubahan suhunya dalam Tabel 5. 3
4
2
5
1 6 9 10 13 11
8
12 7
Gambar 9 Letak pengukuran suhu produk dari reaktor sampai alat penukar panas. Tabel 5 Perubahan suhu fluida pada alat penukar panas dan pipa jalur produk Titik pengukuran suhu 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Laju alir metanol (mL/menit) 1.5 3.0 4.5
118.82 93.28 64.90 64.45 63.60 62.13 42.82 41.12 55.71 54.90 56.10 47.10 28.79
123.69 99.39 65.02 64.92 64.51 61.70 56.43 40.22 56.04 53.49 55.88 51.54 28.68
134.65 116.25 84.45 65.29 64.95 63.87 59.17 39.16 57.84 53.02 55.38 51.04 28.91
Satuan
Keterangan
o
C
o
C
o
C
o
C
o
C
o
Produk masuk
o
Produk keluar
o
Metanol masuk
o
Metanol keluar
C C C C
o
C
o
C
o
C
o
C
Lingkungan
30
Gambar 11, 12, dan 13 menunjukan profil perubahan suhu disepanjang alat penukar panas pada setiap laju alir metanol. Menurut Holman (1995) bahwa alat penukar panas dengan sistem aliran berlawanan arah (counter flow) akan mendapatkan suhu keluar fluida dingin yang lebih tinggi dari suhu keluar fluida panas dari alat penukar panas sehingga dianggap lebih baik dari alat penukar panas dengan aliran searah (parallel flow), seperti yang ditampilkan dalam Gambar 10. Hasil pengukuran suhu saat penelitian mendapatkan pada laju alir metanol 1.5 mL menit-1 suhu keluar fluida dingin dapat lebih tinggi dari suhu keluar fluida panas pada alat penukar panas, bahkan suhu keluar fluida panas cenderung mendekati suhu masuk fluida dingin. Hal ini dimungkinkan karena pada kolom pipa fluida dingin metanol masih memenuhi kolom tersebut saat produk (fluida panas) masuk, sedangkan produk masuk dengan laju alir yang rendah sehingga suhunya dapat lebih cepat diturunkan oleh metanol cair yang memenuhi kolom pipa metanol (fluida dingin). Oleh karena itu, saat produk keluar dari alat penukar panas suhunya mendekati suhu metanol masuk. Namun, hal itu tidak terjadi pada laju alir metanol 3.0 dan 4.5 mL menit-1.
Gambar 10 Profil suhu pada aliran berlawanan arah.
31
70.0
Thb
Tha
Suhu (oC)
60.0
Tcb
50.0 40.0 30.0 20.0
Tca
10.0 0.0 0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
Panjang APP (cm) Aliran produk
Aliran MeOH
Gambar 11 Profil suhu alat penukar panas pada laju alir metanol 1.5 mL menit-1.
Suhu (oC)
Thb
Tca
70.0
Tha
60.0
Tcb
50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
Panjang APP (cm) Aliran produk
Aliran MeOH
Gambar 12 Profil suhu alat penukar panas pada laju alir metanol 3.0 mL menit-1. Tha
70.0
Thb
Suhu (oC)
60.0
Tcb
50.0 40.0 30.0 20.0
Tca
10.0 0.0 0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
Panjang APP (cm) Aliran produk
Aliran MeOH
Gambar 13 Profil suhu alat penukar panas pada laju alir metanol 4.5 mL menit-1.
32
Profil suhu pada laju alir metanol 3.0 dan 4.5 mL menit-1 menunjukan suhu fluida dingin yang keluar dari alat penukar panas masih lebih rendah dibandingkan dengan suhu fluida panas yang keluar dari alat penukar panas. Hal ini menunjukan alat penukar panas belum mampu melakukan pertukaran panas antar fluida melalui dinding pemisah yang diharapkan sesuai teori. Namun, sudah cukup baik dalam menukarkan panas dalam sistem. Berdasarkan data suhu yang dihasilkan alat penukar panas, maka dapat dihitung efektifitas alat penukar panas dari setiap laju alir metanol. Gambar 14 menunjukan efektifitas alat penukar panas. 100
Efektifitas (%)
90
92
80 70 60 50 40 25
30
19
20 10 0 1.5
3.0
Laju alir MeOH (mL
4.5
menit-1)
Gambar 14 Efektifitas alat penukar panas. Berdasarkan Gambar 14 semakin bertambahnya laju alir metanol maka efektifitas alat penukar panas semakin menurun. Pada laju alir metanol 1.5 mL menit-1, alat penukar panas mampu mendinginkan seluruh uap hasil reaksi karena perlakuan masih dibawah nilai rancangan sehingga nilai efektifitas masih tinggi. Sedangkan pada laju alir 3.0 dan 4.5 mL menit-1 alat penukar panas tidak mampu mendinginkan seluruh uap hasil reaksi. Perhitungan efektifitas alat penukar panas berdasarkan penentuan fluida panas yang mempunyai beda suhu maksimum, karena menurut Holman (1995) fluida yang mungkin mengalami beda suhu maksimum ialah fluida yang mempunyai nilai 𝑚̇𝐶 minimum, karena neraca energi
mensyaratkan bahwa energi yang diterima oleh fluida yang satu mesti sama dengan energi yang dilepas oleh fluida yang lain. Apabila fluida yang memiliki 𝑚̇𝐶 yang lebih besar ditetapkan sebagai fluida yang mengalami beda suhu
33
maksimum, maka tentu fluida yang lain akan mengalami perubahan suhu yang lebih besar dari maksimum, dan ini tidak mungkin terjadi. Berkurangnya produk yang dihasilkan berdampak pada kesetimbangan massa dan kesetimbangan energi dalam sistem produksi. Hal ini akan dibuktikan dengan perhitungan menggunakan rasio energi dalam sistem. 4.2
Rasio Energi Produksi Biodiesel Metode non-katalitik yang digunakan pada penelitian ini adalah superheated
methanol vapor (SMV) yaitu dengan mengalirkan uap metanol sampai kondisi super panas (290oC) didalam reaktor yang telah diisikan palm olein dan dikondisikan pada suhu 290oC dengan sistem semi batch. Percobaan dilakukan dengan 3 perlakuan laju alir metanol yaitu 1.5, 3.0, dan 4.5 mL menit-1, rata-rata hasil metil ester (biodiesel) yang didapatkan pada 3 perlakuan tersebut secara berturut-turut 3.65 g jam-1, 1.64 g jam-1, dan 2.14 g jam-1. Secara keseluruhan hasil reaksi ditampilkan pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil reaksi biodiesel non-katalitik dengan berbagai laju alir metanol Keterangan Metanol masuk Produk Metil ester Gliserol Metanol yang tidak bereaksi
Laju alir metanol (mL menit-1) 1.5 3.0 4.5 71.19 142.38 213.57 74.95 144.09 215.80 3.65 1.64 2.14 0.41 0.21 0.28 70.89 142.24 213.38
Satuan g jam-1 g jam-1 g jam-1 g jam-1 g jam-1
Hasil analisis kadar metil ester menggunakan GC-MS pada laju alir metanol 1.5, 3.0, dan 4.5 mL menit-1 secara berturut-turut adalah 72.8%, 74.4%, dan 78.0%. Kadar metil ester dan gliserol yang dihasilkan dalam produk masih rendah karena sebagian produk tidak bereaksi secara sempurna, hal itu tampak pada hasil percobaan yaitu masih ditemukannya monogliserida (ditampilkan pada Gambar 15) karena sifatnya yang tidak mudah bereaksi dan lebih stabil. Warabi et al. (2004) menyatakan bahwa monogliserida merupakan komponen antara dalam reaksi yang paling stabil sehingga dipercaya sebagai tahap penentu laju reaksi dan keberhasilan dari suatu reaksi transesterifikasi.
34
Metil Ester Gliserol Monogliserida Gambar 15 Produk hasil reaksi yang masih mengandung monogliserida. Kadar metil ester dalam produk akan berdampak pada beberapa perhitungan salah satunya rasio molar, yang merupakan perbandingan antara minyak dan metanol dalam satuan mol. Rasio molar minyak terhadap metanol sebesar 506, 2229, dan 2563 (mol mol-1) pada laju alir metanol 1.5, 3.0, dan 4.5 mL menit-1. Tingginya rasio molar disebabkan karena penggunaan sistem semi batch yang terus mengalirkan metanol dalam minyak yang sudah dalam jumlah tetap di dalam reaktor. Penggunaan metanol dalam jumlah banyak merupakan konsekuensi dari metode non-katalitik yang digunakan. Oleh karena itu, dibutuhkan metanol dalam jumlah yang melebihi keseimbangan rasio stokiometrinya karena selain sebagai reaktan dan fluida pembuat gelembung reaksi, disebutkan Hong et al. (2009) bahwa metanol juga berfungsi agar reaksi tetap dapat berjalan ke ruas kanan sehingga reaksi dapat terbentuk. Hal ini mengakibatkan penggunaan energi pada produksi biodiesel juga perlu diperhatikan, yang telah umum digunakan adalah dengan menghitung rasio energi. Tabel 7 menunjukan data penggunaan dan kandungan energi dalam produksi biodiesel non-katalitik. Tabel 7 Data penggunaan dan kandungan energi Kandungan Energi Palm olein (MJ) Metanol (MJ) Listrik (MJ) Kimia (MJ) Panas (MJ) Biodiesel (MJ) Rasio energi (MJ MJ-1) Rasio energi (MJ MJ-1)
Laju alir metanol (mL menit-1) 1.5 3.0 4.5 0.137 0.062 0.081 0.006 0.003 0.004 9.58E-04 1.01E-03 1.10E-03 5.81E-07 2.60E-07 2.25E-07 5.52E-05 1.09E-04 1.63E-04 0.151 0.068 0.088 7.85 2.98 2.87 1.05 1.03 1.02
Keterangan Input Input Proses Proses Proses Output ≅ Sigalingging (2008)
35
Kadar metil dalam perhitungan rasio energi diasumsikan 97% sehingga sudah masuk standar SNI. Rasio energi yang didapatkan berdasarkan definisi RE1 pada persamaan (26) adalah sebesar 7.85, 2.98, dan 2.87 untuk laju alir metanol 1.5, 3.0, dan 4.5 mL menit-1. Penggunaan definisi RE1 pada persamaan (26) dalam perhitungan rasio energi dimaksudkan untuk mengetahui besarnya nilai energi yang terkandung dalam produk (biodiesel) setelah dikurangkan dengan kandungan energi yang terdapat pada bahan baku, dan dengan memperhitungkan nilai energi proses diharapkan mendapat nilai rasio energi bersih serta mempermudah pemahaman tentang energi yang dikandung suatu produk dibandingkan energi proses yang digunakan untuk menghasilkan produk tersebut. Menurut Morris (2005) rasio energi berhubungan erat dengan penyediaan bahan baku dan proses produksi. Nilai rasio energi yang tinggi pada hasil penelitian disebabkan tidak diperhitungkannya energi dalam penyediaan bahan bakunya, sebagai contoh energi pengolahan lahan, penanaman, dan pemanenan serta proses sampai terbentuknya bahan baku. Nilai embedded energy pada peralatan produksi juga tidak diperhitungkan. Hasil penelitian hanya memperhitungkan nilai kandungan energi pada bahan (palm olein) yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. Energi proses yang diperhitungkan pun hanya energi yang
digunakan
untuk
mendukung
terjadinya
proses
produksi,
tanpa
memperhitungkan berapa besar energi yang digunakan untuk menghasilkan energi tersebut. Gambar 16 menampilkan rasio energi hasil penelitian berdasarkan definisi RE1 pada persamaan (26). 8.0
7.85
Rasio Energi
7.0 6.0 5.0 4.0 3.0
2.98
2.87
3.0
4.5
2.0 1.0 0.0 1.5
Laju alir MeOH (mL menit-1)
Gambar 16 Rasio energi hasil penelitian berdasarkan definisi RE1 pada persamaan (26).
36
Perhitungan rasio energi dengan definisi RE2 pada persamaan (27) dimaksudkan untuk membandingkan dengan penelitian Sigalingging (2008). Hasilnya didapatkan nilai sebesar 1.05, 1.03, dan 1.02 untuk laju alir metanol 1.5, 3.0, dan 4.5 mL menit-1. Rasio energi yang didapatkan pada setiap laju alir metanol mencapai nilai 1 artinya energi yang dikandung produk (biodiesel) sama dengan energi yang digunakan untuk menghasilkan biodiesel. Hasil perhitungan rasio energi dengan metode dan persamaan yang sama (RE2) yang digunakan oleh Sigalingging (2008) yaitu pada laju alir metanol 3.0 mL menit-1 didapatkan nilai 1.02, berarti menunjukan nilai yang lebih besar dibandingkan rasio energi yang didapat oleh Sigalingging (2008) yaitu 0.84. Hal ini berarti daur ulang panas yang diterapkan dalam sistem mampu meningkatkan efisiensi energi proses. Secara keseluruhan perbandingan rasio energi antara hasil penelitian penulis dengan Sigalingging (2008) ditampilkan pada Gambar 17. Diagram batang dalam garis kotak putus-putus merupakan hasil penelitian ini. 1.5
1.05
Rasio Energi
1.0
1.03
1.02
0.98 0.84
0.5
0.0 1.5
3.0
4.5
a
b
1.5, 3.0, 4.5 merupakan hasil penelitian, (a) Minyak sawit metode nonkatalitik, (b) Minyak sawit metode katalitik (Sigalingging 2008)
Gambar 17 Perbandingan rasio energi hasil penelitian penulis dan Sigalingging (2008) berdasarkan definisi RE2 pada persamaan (27). Beberapa peneliti mendefinisikan rasio energi berbeda, Yadav et al. (2010) menyatakan rasio energi merupakan perbandingan antara energi yang dikandung oleh produk (output) dengan energi yang digunakan dalam proses produksi (dituliskan dalam RE4 pada persamaan (29)). Oleh sebab itu, rasio energi yang didapatkan oleh Pleanjai dan Gheewala (2009), Pradhan et al. (2008), dan Yadav et
37
al. (2010) lebih besar karena tidak memperhitungkan energi awal yang dikandung oleh bahan baku. Beberapa rasio energi hasil penelitian dengan menggunakan definisi RE4 ditampilkan pada Gambar 18. Sedangkan menurut Sigalingging (2008) rasio energi adalah perbandingan energi yang dikandung produk biodiesel (output) dengan energi awal yang dikandung bahan baku ditambah energi proses produksi (RE2 pada persamaan (27)). Pimentel dan Patzek (2005) mendefinisikan rasio energi dengan cara menghitung jumlah kandungan energi biodiesel dibagi dengan jumlah total energi proses dikurangi dengan kandungan energi produk samping, (ditampilkan dalam RE3 pada persamaan (28)). Perbandingan rasio energi beberapa produksi biodiesel ditampilkan dalam Gambar 18. Diagram batang dengan batas garis putus-putus merupakan hasil perhitungan dengan definisi RE2 pada persamaan (27), diagram batang dengan batas garis putus titik adalah hasil perhitungan dengan definisi RE4 pada persamaan (29), dan diagram batang (f) dengan batas garis titik-titik adalah hasil perhitungan dengan definisi RE3 pada persamaan (28) dan merupakan penelitian Pimentel dan Patzek (2005), mereka melaporkan bahwa energi yang dikandung biodiesel lebih rendah dari energi fosil yang dibutuhkan untuk memproduksinya. Perhitungan rasio energi pada penelitian ini menggunakan persamaan RE2, seperti yang digunakan oleh Sigalingging (2008) sehingga dapat langsung membandingkan efektifitas daur ulang panas dalam sistem setelah dilakukan modifikasi pada alat. Penggunaan persamaan RE1 berdasarkan pertimbangan bahwa bahan baku yang dijadikan biodiesel sudah berupa fase liquid (minyak) yang sudah memiliki kandungan energi dan dapat digunakan secara langsung. Oleh karena itu, memperhitungkan kandungan energi bahan baku merupakan salah satu metode untuk dapat menentukan rasio energi bersih dalam produksi biodiesel.
38
3.0 2.42
2.5
2.55
Rasio Energi
2.0 1.64
1.5 1.0
0.84
0.98
0.79
0.5 0.0 a
b
c
d
e
f
(a) Minyak sawit metode non katalitik (Sigalingging 2008), (b) Minyak sawit metode katalitik (Sigalingging 2008), (c) Minyak sawit (Pleanjai 2009), (d) Kedelai (Pradhan 2008), (e) Karajan (Yadav 2010), (f) Kedelai (Pimentel&Patzek 2005)
Gambar 18
Perbandingan rasio energi dengan pengertian yang berbeda pada beberapa produksi biodiesel.
Hill et al. (2006) menyimpulkan bahwa biodiesel akan memiliki keuntungan lebih besar ketika proses produksi bahan baku mengkonsumsi energi yang rendah dan energi yang dibutuhkan untuk mengubahnya menjadi biodiesel pun rendah sehingga didapatkan nilai rasio energi yang besar, karena secara umum nilai rasio energi yang semakin besar mengindikasikan suatu proses produksi semakin baik. Dalam arti lain energi yang dihasilkan lebih besar daripada energi yang dibutuhkan untuk memproduksinya. Nilai rasio energi 1.05, 1.03, dan 1.02 hasil penelitian menunjukan nilai rasio energi positif dan mampu ditingkatkan ketika sistem produksi dapat lebih dioptimalkan dengan mengetahui ketersediaan energi yang dapat diubah menjadi kerja atau kualitas energi yang berada dalam sistem tersebut, hal itu dapat dilakukan dengan melakukan analisis eksergi. 4.3
Analisis Eksergi Eksergi merupakan ukuran kualitas energi atau ukuran ketersediaan energi
untuk melakukan kerja, karena dalam perhitungannya menggunakan parameter lingkungan sebagai acuan. Sehingga dapat mengindikasikan jumlah atau besaran kerja yang mampu dilakukan oleh suatu sumber daya dalam lingkungan tertentu. Analisis eksergi dilakukan pada setiap laju alir metanol.
39
Analisis eksergi pada produksi biodiesel
dapat digunakan untuk
mengevaluasi penggunaan bahan baku dan komponen proses produksinya seperti besarnya arus listrik dan material alat yang digunakan. Dikatakan dalam Talens et al. (2007) bahwasanya eksergi berisi substansi yang dapat dijadikan indikator untuk menentukan kemungkinan pengaruh yang berbahaya terhadap manusia dan lingkungan, karena semakin jauh eksergi dari kesetimbangan maka semakin mengindikasikan potensi reaksi yang tidak terkontrol sehingga memberikan pengaruh terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Dalam kaitannya dengan hal ini Knothe et al. (2005) menyatakan biodiesel masih lebih aman terhadap lingkungan daripada petrodiesel karena biodiesel lebih mudah terurai dalam tanah dan air, dalam arti lain petrodiesel mempunyai laju degradasi penguraian dalam tanah dan air lebih rendah dibandingkan biodiesel. Mittelbach (2004) pun mengatakan walaupun secara kualitas petrodiesel lebih unggul dibuktikan dengan nilai kalornya yang lebih tinggi sehingga untuk menempuh jarak yang sama dibutuhkan lebih banyak biodiesel akan tetapi dari sudut pandang emisi akibat pembakaran, biodiesel memiliki nilai lebih rendah sehingga pengaruhnya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia masih lebih aman daripada petrodiesel. Besarnya kualitas eksergi dilihat dari nilai efisiensi eksergi. Penentuan efisiensi eksergi untuk sistem keseluruhan dan/atau komponen individual yang membentuk sistem merupakan bagian utama analisis eksergi. Analisis yang komprehensif suatu sistem termodinamika melibatkan baik analisis energi maupun analisis eksergi agar diperoleh gambaran kerja sistem secara lengkap (Basri 2010). Talens et al. (2007) mengatakan bahwa efisiensi eksergi dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara eksergi yang dapat dimanfaatkan dalam suatu proses dan total eksergi yang digunakan untuk terbentuknya proses tersebut. Efisiensi eksergi hasil penelitian ditunjukkan pada Gambar 19.
40
25 19.59 19.93
Efisiensi Eksergi (%)
20
19.23
18.52 16.27
15 10.48
10 5 1.34 0
2.43
0.42 1.5 Evaporator
2.98 0.78
1.15
3.0
4.5
Laju Alir (mL menit-1) Superheater
Reaktor
APP
Gambar 19 Efisiensi eksergi setiap subsistem pada produksi biodiesel secara non-katalitik. Berdasarkan Gambar 19 efisiensi eksergi pada sistem evaporator dan superheater semakin meningkat seiring dengan bertambahnya laju alir metanol, sedangkan pada sistem reaktor dan alat penukar panas semakin menurun pada setiap kenaikan laju alir metanol. Hal ini disebabkan pada sistem evaporator, dan superheater penggunaan energi elemen pemanas semakin termanfaatkan untuk menguapkan dengan bertambahnya laju alir metanol sehingga lebih efisien dalam hal penggunaan energi. Namun, masih banyak energi yang belum dapat termanfaatkan dalam subsistem tersebut. Pada reaktor terdapat palm olein yang berbentuk cair dan uap panas metanol yang suhunya dijaga pada suhu 290 oC, sehingga penggunaan energi elemen pemanas dapat lebih maksimal dimanfaatkan. Akan tetapi, dalam reaktor juga terdapat penambahan energi dari reaksi kimia pembentukan biodiesel. Secara akumulatif semakin bertambahnya laju alir metanol pemanfaatan energi dalam reaktor semakin rendah. Begitupun pada alat penukar panas yang disebabkan karena kemampuan alat dalam menurunkan suhu produk dari reaktor, sehingga semakin bertambahnya laju alir metanol maka efisiensi eksergi alat penukar panas semakin menurun. Konsumsi energi listrik pada setiap laju alir metanol ditampilkan dalam Gambar 20, 21, dan 22.
41
9000 8000
Energi (kJ)
7000
y = 10.881x + 1434.5
6000
y = 10.092x + 880.83
5000 4000
y = 7.7796x + 657.55
3000 2000 1000 0 0
50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650
Waktu (menit) SH
Reactor
Evap
Linear (SH)
Linear (Reactor)
Linear (Evap)
Energi (kJ)
Gambar 20 Konsumsi energi listrik pada laju alir metanol 1.5 mL menit-1. 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
y = 10.599x + 737.45
y = 11.157x + 1367.2
y = 8.4571x + 495.63
0
50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650
Waktu (menit) SH
Reactor
Evap
Linear (SH)
Linear (Reactor)
Linear (Evap) -1
Energi (kJ)
Gambar 21 Konsumsi energi listrik pada laju alir metanol 3.0 mL menit . 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
y = 11.64x + 1441.7 y = 11.102x + 769.87 y = 10.148x + 477.3
0
50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650
Waktu (menit) SH
Reactor
Evap
Linear (SH)
Linear (Reactor)
Linear (Evap) -1
Gambar 22 Konsumsi energi listrik pada laju alir metanol 4.5 mL menit .
42
Perhitungan sistem alat penukar panas didasarkan pada aliran metanol, semakin meningkatnya laju alir metanol yang digunakan maka produk yang direaksikan dan keluar dari reaktor semakin banyak akan tetapi kemampuan alat penukar panas terbatas sehingga tidak mampu mendinginkan keseluruhan produk yang keluar dari reaktor. Selain dikarenakan penggunaan voltase pada pemanas yang tidak sesuai atau masih terlalu tinggi sehingga masih cukup besar panas yang tidak termanfaatkan, sistem isolasi yang tidak sempurna juga ikut berkontribusi sehingga sebagian energi panas masih dapat mengalir ke lingkungan. Kotas (1985) dalam Basri (2010) menyatakan bahwa eksergi suatu aliran tunak (steady flow) dari suatu zat adalah sama dengan jumlah kerja maksimum yang dapat diperoleh bila aliran tersebut dibawa dari keadaan awalnya ke keadaan mati (dead state) melalui suatu proses yang mana arus tersebut hanya berinteraksi dengan lingkungannya. Sekali suatu sistem berada dalam kesetimbangan dengan lingkungannya, maka sistem tersebut tidak mungkin lagi untuk menggunakan energi dalam sistem tersebut untuk menghasilkan kerja. Kondisi seperti ini mengindikasikan eksergi dari suatu sistem telah dimusnahkan sepenuhnya. Pemusnahan eksergi ini disebut juga sebagai irreversibilitas. Irreversibilitas merupakan ukuran untuk mengetahui besarnya potensial kerja
yang
hilang
dalam
suatu
proses,
karena
menggambarkan
ketidakmampubalikkan energi dalam suatu sistem sehingga tidak dapat dimanfaatkan lagi. Semakin besar nilai irreversibilitas dari masukannya maka mengindikasikan semakin rendah kualitas energi dalam sistem tersebut. Hasil perhitungan irreversibilitas ditampilkan dalam Tabel 8. Tabel 8 Irreversibilitas setiap unit subsistem Laju Alir Metanol (mL/menit) 1.5 3.0 4.5
Irreversibilitas subsistem (kW) Evaporator Superheater Reaktor APP 2.59E-01 3.36E-01 4.36E-01 6.32E-05 2.75E-01 3.50E-01 3.60E-01 1.16E-04 3.28E-01 3.66E-01 3.76E-01 2.31E-04
43
Tabel 9 Eksergi masuk setiap subsistem Laju Alir Metanol (mL/menit) 1.5 3.0 4.5
Eksergi masuk subsistem (kW) Evaporator Superheater Reaktor APP 2.56E-01 3.35E-01 3.51E-01 7.89E-05 2.82E-01 3.53E-01 4.45E-01 1.39E-04 3.38E-01 3.70E-01 4.62E-01 2.58E-04
Berdasarkan data yang ditampilkan pada Tabel 8 potensi kerja yang hilang dalam setiap subsistem masih cukup besar dari laju eksergi yang masuk dalam sistem (Tabel 9). Menurut Basri (2010) irreversibilitas dapat diklasifikasikan menjadi irreversibilitas internal dengan sumber utama gesekan, ekspansi tak tertahankan, pencampuran, reaksi kimia serta irreversibilitas eksternal yang timbul akibat pindah panas melalui beda suhu hingga. Hal inilah yang menjadikan irreversibilitas dalam sistem produksi biodiesel non-katalitik masih cukup tinggi, terutama pada konsumsi listrik melalui komponen pemanas, pada komponen ini membutuhkan energi yang cukup besar dalam pengoperasiannya. Oleh sebab itu, dibutuhkan optimasi untuk menentukan besaran energi yang digunakan dalam sistem produksi biodiesel non-katalitik ini terutama pada penggunaan voltase energi listrik dalam mencapai suhu yang diharapkan. Faktor gesekan pada alat penukar panas tidak dapat diabaikan karena menurut Bejan et al. (2006) dan Basri (2010) irreversibilitas yang diakibatkan gesekan selama perpindahan panas dalam
alat penukar panas
sangat
mempengaruhi besarnya energi yang dapat dimanfaatkan sehingga menyebabkan besarnya pemusnahan eksergi (exergy destruction) yang berakibat pada semakin rendahnya efisiensi eksergi alat penukar panas. Hal itu pula yang memungkinkan efisiensi eksergi alat penukar panas pada sistem produksi biodiesel non-katalitik ini menjadi semakin rendah dengan meningkatnya laju alir metanol karena gesekan yang terjadi di dalam semakin besar. Bagaimanapun efisiensi eksergi pada produksi biodiesel non-katalitik metode superheated methanol vapor (SMV) masih rendah sehingga masih perlu untuk ditingkatkan lagi dengan berbagai optimasi pada setiap subsistem sehingga diharapkan dapat mencapai efisiensi eksergi optimum dan lebih meningkatkan rasio energi.
44
45
5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian yang sudah dilakukan antara lain: 1
Alat penukar panas hasil rancangan sudah mampu mendaur ulang panas dalam sistem dibuktikan dengan meningkatnya nilai rasio energi yang didapat, namun belum sempurna menggantikan peran kondensor. Efektifitas alat penukar panas didapatkan sebesar 92%, 25%, dan 19% untuk laju alir metanol 1.5, 3.0, dan 4.5 mL menit-1.
2
Rasio energi yang didapat adalah 7.85, 2.98, dan 2.87 untuk laju alir metanol 1.5, 3.0, dan 4.5 mL menit-1. Rasio energi dengan persamaan yang memperhitungkan kandungan energi bahan baku sebagai pembagi didapatkan sebesar 1.05, 1.03, dan 1.02 untuk masing-masing laju alir metanol, mengindikasikan perbaikan sistem dengan alat penukar panas berhasil.
3
Hasil analisis eksergi yang dilakukan pada laju alir metanol 1.5, 3.0, 4.5 mL menit-1 mendapatkan nilai efisiensi eksergi pada subsistem evaporator sebesar 1.34%, 2.43%, dan 2.98%. Subsistem superheater 0.42%, 0.78%, dan 1.15%. Subsistem reaktor sebesar 19.59%, 19.23%, dan 18.52%. Subsistem APP sebesar 19.93%, 16.27%, dan 10.48%. Irreversibilitas subsistem alat penukar panas dan reaktor masih lebih tinggi dari evaporator dan superheater. Semakin tinggi laju alir metanol maka semakin tinggi pula irreversibilitas subsistem alat penukar panas dan reaktor sehingga efisiensi semakin menurun, begitupun sebaliknya pada evaporator dan superheater. Hal ini berarti penurunan kualitas energi dalam sistem masih cukup tinggi.
5.2
Saran Optimasi rancangan penukar panas masih perlu dilakukan untuk
meningkatkan efisiensi energi dan eksergi keseluruhan, dan untuk keperluan pembesaran skala.
46
47
DAFTAR PUSTAKA Basri, H., D. Santoso. 2010. Analisis eksergi pada siklus turbin gas sederhana 14 MW instalasi pembangkit tenaga keramasan Palembang. Di dalam: Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin (SNTTM) ke-9. Palembang. 13-15 Oktober 2010. 512-521. Bejan, A., G. Tsatsaronis, M. Moran. 1996. Thermal Design and Optimization. John Wiley & Sons, Inc. New York, USA. Hal. 113-159. Cengel, Y. A., M. A. Boles. 2002. Thermodynamics, An Engineering Approach. Second Edition. New York: Mc Graw Hill. Cengel, Y. A. 2003. Heat Transfer, A Practical Approach. Second Edition. New York: Mc Graw Hill. Chempro. 2010. Palm Oil Properties. [terhubung http://www.chempro.in/palmoilproperties.htm [22 Juli 2010].
berkala].
Ceriani, R. et al. 2007. Group Contribution Model for Predicting Viscosity of Fatty Compounds. J. Chem. Eng 52: 965-972. Coupland, J.N., D.J. McClements. 1997. Physical Properties of Liquid Edible Oils. J Am Oil Chemists’ Soc 77(12): 1559-1564. Demirbas, A. 2002. Biodiesel from vegetable oils via transesterification in supercritical methanol. Energy Convers and Manage 43:2349-2356. Demirbas, A. 2005. Biodiesel production from vegetable oils via catalytic and non-catalytic supercritical methanol transesterification methods. Progress in Energy and Combustion Science. 31: 466-487. Diasakou M., A. Louloudi and N. Papayannakos. 1997. Kinetics of the noncatalytic transesterification of soybean oil. Elsevier Science 77 (12): 12971302. Dincer, I., Y.A. Cengel. 2001. Energy, Entropy, and Exergy Concepts and Their Roles in Thermal Engineering. Entropy 3:116-149. Hill, J., E. Nelson, D. Tilman, S. Polasky, dan D. Tifanny. 2006. Environmental, economic, and energetic costs and benefits of biodiesel and ethanol biofuels. PNAS 103(30): 11206-11210. Holman, J.P. 1995. Perpindahan Kalor. Edisi keenam. Jasjfi E, penerjemah; Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Heat Transfer. Hal. 480-522. Hong, S.T., J.W. Kim, W.H. Jang, J.S. Lim, H.S. Park, K.P. Yoo, C. Afel, W. Arlt. 2009. Transesterification of palm oil using supercritical methanol with co-solvent HCFC-141b. Res Chem Intermed. 35: 197-207.
48
Joelianingsih, H. Nabetani, S. Hagiwara, Y. Sagara, T.H. Soerawidjaya, A.H. Tambunan, K. Abdullah. 2007. Performance of a bubble column reactor for the non-catalytic metil esterification of free fatty acids at atmospheric pressure. J Chem Eng Japan 40(9):780-785. Joelianingsih, H. Maeda, H. Nabetani, Y. Sagara, T.H. Soerawidjaya, A.H. Tambunan, K. Abdullah. 2008a. Biodiesel fuels from palm oil via the noncatalytic transesterification in a bubble column reactor at atmospheric pressure: a kinetic study. Renewable Energy 33(7): 1629-1636. Joelianingsih. 2008b. Biodiesel Production from Palm Oil in a Bubble Column Reactor by Non-Catalytic Process [Dissertation]. Bogor: Graduate School. Bogor Agricultural University. Kusdiana, D., S. Saka. 2000. A novel process of the biodiesel fuel production. In: Proc. of 1st World Conf. on Biomass for Energy and Industry; Sevilla, Spain, 5-9 Jun 2000. James & James (Science Publisher) Ltd. 563-566. Kusdiana, D., S. Saka. 2001. Metil esterification of free fatty acids of rapeseed oil as treated in supercritical methanol. J Chem Eng Japan 34:383-387. Knothe, G., J.Van Gerpen, J. Krahl. 2005. The Biodiesel Handbook. Champaign, Illionis: AOCS Press. Lee, S., J.G. Speight, S.K. Loyalka. 2007. Handbook of Alternative Fuel Technologies. New York: CRC Press. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. 2008. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 32 Tahun 2008 Tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Jakarta: Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. Mittelbach M., C. Remschmidt. 2004. Biodiesel: The Comprehensive Book. 1st ed. Austria: Martin Mittelbach. Morad, N.A., A.A.M. Kamal, F. Panau, T.W. Yew. 2000. Liquid Specific Heat Capacity Estimation for Fatty Acid, Triacylglycerol, and Vegetable Oils Based on Their Fatty Acid Composition. J Am Oil Chemists’ Soc 77(9): 1001-1005. Narvaez, P.C., S.M. Rincon, L.Z. Castaneda, F.J. Sanchez. 2008. Determination of Some Physical and Transport Properties of Palm Oil and of its Metil Esters. Latin American Applied Research 38: 1-6. Pimentel, D., T.W. Patzek. 2005. Ethanol production using corn, switchgrass, and wood; biodiesel production using soybean and sunflower. Natural Resources Res. 14(1): 65-76. Pleanjai, S., S.H. Gheewala. 2009. Full chain energy analysis of biodiesel production from palm oil in Thailand. Applied energi. 86: S209-S214.
49
Pradhan, A., D.S. Shrestha, J.V. Garpen, J. Duffield. 2008. The energy balanced of soybean oil biodiesel production: a review of past studies. Transactions of the ASABE. 51(1): 185-194. Reklaitis, G.V. 1983. Introduction to Material and Energy Balances. New York: John Wiley & Sons. Reid R.C, Prausnitz J.M, Poling B.E. 1987. The Properties of Gases and Liquids. 4th ed. USA: McGraw-Hill Book Co. Saka, S., Kusdiana D. 2001. Biodiesel fuel from rapeseed oil as prepared in supercritical methanol. Fuel 80:225-231. Sigalingging, R. 2008. Analisis Energi dan Eksergi pada Produksi Biodiesel Berbahan Baku CPO (Crude Palm Oil) [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Suryanarayana, N.V., O. Arici. 2003. Design and Simulation of Thermal Systems. New York: McGraw-Hill Companies, Inc. Hal. 151-158. Sutiah, K. S. Firdausi, W.S. Budi. 2008. Studi Kualitas Minyak Goreng dengan Parameter Viskositas dan Indeks Bias. Berkala Fisika 11(02): 53-58. Tambunan, A.H. 2010. Disain Pilot Plant Biodisel dengan Reaktor Bubble Methanol; Lokakarya Pengembangan dan Perekayasaan Teknologi Biodiesel. Jakarta: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. [21 Oktober 2010]. Van Gerpen, J., D. Shrestha. 2005. Biodiesel energy balance. Moscow, Idaho: University of Idaho, Department of Biological and Agricultural Engineering. Warabi, Y., D. Kusdiana, S. Saka. 2004. Reactivity of triglycerides and fatty acids of rapeseed oil in supercritical alcohols. Bioresource Technology 91: 283287. Yadav, A., O. Singh, N. Kumar. 2010. Evaluation of energy ratios for karanja and neem biodiesel life cycle. S-JPSET. 1(1): 55-59. Yamazaki, R., Iwamoto, S., Nabetani, H., Osakada K, Miyawaki O, Sagara Y. 2007. Non catalytic alcoholysis of oils for biodiesel fuel production by semi-batch process. Jpn J Food Eng 8:11-19.
50
Lampiran 1 Data metode Joback Non ring increments –CH3 >CH2 >CH>C< .=CH2 =CH=C< =C= CH C-
TRIGLISERIDA Tripalmitate Gugus >CH2 –CH3 .-COO-(Ester) >CHTotal
Tc 1.41E-02 1.89E-02 1.64E-02 6.70E-03 1.13E-02 1.29E-02 1.17E-02 2.60E-03 2.70E-03 2.00E-03
nj 44 3 3 1
Pc -1.20E-03 0.00E+00 2.00E-03 4.30E-03 -2.80E-03 -6.00E-04 1.10E-03 2.80E-03 -8.00E-04 1.60E-03
nj*H -908.16 -229.35 -1013.76 29.89 -2121.38
nj*G 370.48 -131.88 -905.85 58.36 -608.89
Vc 65.00 56.00 41.00 27.00 56.00 46.00 38.00 36.00 46.00 37.00
nj*a -40.00 58.50 73.50 -23.00 69.00
Tb 23.58 22.88 21.74 18.25 18.18 24.96 24.14 26.15 9.20 27.38
Tf -5.10 11.27 12.64 46.43 -4.32 8.73 11.14 17.78 -11.18 64.32
∆H -76.45 -20.64 29.89 82.23 -9.63 37.97 83.99 142.14 79.30 115.51
∆G -43.96 8.42 58.36 116.02 3.77 48.53 92.36 136.70 77.71 109.82
∆a 19.50 -0.91 -23.00 -66.20 23.60 -8.00 -28.10 27.40 24.50 7.87
∆b -8.08E-03 9.50E-02 2.04E-01 4.27E-01 -3.81E-02 1.05E-01 2.08E-01 -5.57E-02 -2.71E-02 2.01E-02
∆c 1.53E-04 -5.44E-05 -2.65E-04 -6.41E-04 1.72E-04 -9.63E-05 -3.06E-04 1.01E-04 1.11E-04 -8.33E-06
∆d -9.67E-08 1.19E-08 1.20E-07 3.01E-07 -1.03E-07 3.56E-08 1.46E-07 -5.02E-08 -6.78E-08 1.39E-09
nj*b nj*c nj*d 4.18 -2.39E-03 5.24E-07 -0.02 4.59E-04 -2.90E-07 0.12 1.21E-04 -1.36E-07 0.20 -2.65E-04 1.20E-07 4.48 -2.08E-03 2.18E-07
51
52
Tristearate Gugus >CH2 –CH3 .-COO-(Ester) >CHTotal
nj 50 3 3 1
nj*H -1032.00 -229.35 -1013.76 29.89 -2245.22
nj*G 421.00 -131.88 -905.85 58.36 -558.37
nj*a -45.45 58.50 73.50 -23.00 63.55
nj*b 4.75 -0.02 0.12 0.20 5.05
nj*c -2.72E-03 4.59E-04 1.21E-04 -2.65E-04 -2.41E-03
nj*d 5.95E-07 -2.90E-07 -1.36E-07 1.20E-07 2.89E-07
Trioleat Gugus >CH2 =CH–CH3 .-COO-(Ester) >CHTotal
nj 44 6 3 3 1
nj*H -908.16 227.82 -229.35 -1013.76 29.89 -1893.56
nj*G 370.48 291.18 -131.88 -905.85 58.36 -317.71
nj*a -40.00 -48.00 58.50 73.50 -23.00 21.00
nj*b 4.18 0.63 -0.02 0.12 0.20 5.11
nj*c -2.39E-03 -5.78E-04 4.59E-04 1.21E-04 -2.65E-04 -2.66E-03
nj*d 5.24E-07 2.14E-07 -2.90E-07 -1.36E-07 1.20E-07 4.32E-07
Trilinoleat Gugus >CH2 –CH3 =CH.-COO-(Ester) >CHTotal
nj 38 3 12 3 1
nj*H -784.32 -229.35 25.08 -1013.76 29.89 -1972.46
nj*G 319.96 -131.88 135.60 -905.85 58.36 -523.81
nj*a -34.54 58.50 -25.68 73.50 -23.00 48.78
nj*b 3.61 -0.02 0.69 0.12 0.20 4.60
nj*c -2.07E-03 4.59E-04 -1.97E-05 1.21E-04 -2.65E-04 -1.77E-03
nj*d 4.52E-07 -2.90E-07 -1.91E-07 -1.36E-07 1.20E-07 -4.43E-08
METHYL ESTER Methyl palmitate Gugus nj >CH2 14 –CH3 2 .-COO-(Ester) 1 Total
nj*H nj*G -288.96 117.88 -152.90 -87.92 -337.92 -301.95 -779.78 -271.99
nj*a -12.73 39.00 24.50 50.77
nj*b nj*c 1.33 -7.62E-04 -0.02 3.06E-04 0.04 4.02E-05 1.35 -4.15E-04
nj*d 1.67E-07 -1.93E-07 -4.52E-08 -7.20E-08
Methyl stearate Gugus nj >CH2 16 –CH3 2 .-COO-(Ester) 1 Total
nj*H nj*G -330.24 134.72 -152.90 -87.92 -337.92 -301.95 -821.06 -255.15
nj*a -14.54 39.00 24.50 48.96
nj*b nj*c 1.52 -8.70E-04 -0.02 3.06E-04 0.04 4.02E-05 1.54 -5.24E-04
nj*d 1.90E-07 -1.93E-07 -4.52E-08 -4.82E-08
Methyl oleate Gugus >CH2 –CH3 =CH.-COO-(Ester) Total
nj*H nj*G -288.96 117.88 -152.90 -87.92 4.18 22.60 -337.92 -301.95 -775.60 -249.39
nj*a -12.73 39.00 -4.28 24.50 46.49
nj*b nj*c 1.33 -7.62E-04 -0.02 3.06E-04 0.11 -3.28E-06 0.04 4.02E-05 1.47 -4.19E-04
nj*d 1.67E-07 -1.93E-07 -3.18E-08 -4.52E-08 -1.04E-07
nj 14 2 2 1
53
54
Methyl linoleate Gugus >CH2 –CH3 =CH.-COO-(Ester) Total GLISEROL Gugus >CH2 >CH.-OH (Alkohol) Total
nj 12 2 4 1
nj 2 1 3
nj*H -247.68 -152.90 8.36 -337.92 -730.14
nj*G 101.04 -87.92 45.20 -301.95 -243.63
nj*H -41.28 29.89 -624.12 -635.51
nj*a -10.91 39.00 -8.56 24.50 44.03
nj*G 16.84 58.36 -567.60 -492.40
nj*b 1.14 -0.02 0.23 0.04 1.39
nj*a -1.82 -23.00 77.10 52.28
nj*c -6.53E-04 3.06E-04 -6.56E-06 4.02E-05 -3.13E-04 nj*b 0.19 0.20 -0.21 0.19
nj*d 1.43E-07 -1.93E-07 -6.36E-08 -4.52E-08 -1.59E-07
nj*c -1.09E-04 -2.65E-04 5.31E-04 1.57E-04
nj*d 2.38E-08 1.20E-07 -2.96E-07 -1.53E-07
T 300 ∆Hf (kJ/mol)-∆Gf (kJ/mol) Cp J/mol K) 27.01 70.72 41.47 98.18 112.24 13.03 -555.83 -513.72 50.14 -567.22 -438.52 113.76 1.24 kJ/kgK
TRIGLISERIDA TOTAL nj*H Tripalmitate -2121.38 Tristearate -2245.22 Trioleat -1893.56 Trilinoleat -1972.46
nj*G -608.89 -558.37 -317.71 -523.81
nj*a 69.00 63.55 21.00 48.78
nj*b 4.48 5.05 5.11 4.60
nj*c nj*d ∆Hf (kJ/mol) ∆Gf (kJ/mol) Cp J/mol K) -2.08E-03 2.18E-07 -2053.09 -555.01 1227.33 -2.41E-03 2.89E-07 -2176.93 -504.49 1365.43 -2.66E-03 4.32E-07 -1825.27 -263.83 1322.09 -1.77E-03 -4.43E-08 -1904.17 -469.93 1263.27 1.47 kJ/kgK
Methyl Ester Total nj*H Methyl palmitate -779.78 Methyl stearate -821.06 Methyl oleate -775.60 Methyl linoleate -730.14
nj*G -271.99 -255.15 -249.39 -243.63
nj*a 50.77 48.96 46.49 44.03
nj*b 1.35 1.54 1.47 1.39
nj*c -4.15E-04 -5.24E-04 -4.19E-04 -3.13E-04
nj*d ∆Hf (kJ/mol)-∆Gf (kJ/mol) Cp J/mol K) -7.20E-08 -711.49 -218.11 413.10 -4.82E-08 -752.77 -201.27 459.13 -1.04E-07 -707.31 -195.51 442.10 -1.59E-07 -661.85 -189.75 425.08 1.48 kJ/kgK
55
Lampiran 2 Prosedur pengujian alat produksi biodiesel non-katalitik setelah dirangkaikan dengan penukar panas No. Proses 1. Persiapan: - Nitrogen dialirkan ke dalam reaktor - Seluruh katup V1-8 ditutup - Ujung selang pengeluaran nitrogen dimasukkan kedalam gelas yang berisi air - Katup V1 dibuka dan dialirkan gas nitrogen - Minyak sawit diisikan kedalam reaktor melalui oil leveler - Katup V5 dibuka, setelah tidak ada lagi minyak yang keluar maka pengisian minyak dihentikan 2. Pemanasan Minyak: - Pemanas dihidupkan - Regulator pemanas Tr5 dihidupkan dan diatur tegangan pada 50 Volt 3. Pemanasan Metanol: - Suhu Tr1, Tr2, Tr3, Tr4 diatur sesuai suhu yang digunakan - Tegangan Tr1, Tr2, Tr3, Tr4 diatur sesuai dengan tegangan yang digunakan 4. Pengisian Metanol - Bukaan stroke diatur sesuai dengan laju aliran yang digunakan - Pompa metanol dinyalakan - Selang nitrogen dikeluarkan dari gelas yang berisi air - Setelah produk liquid dihasilkan dan tertampung dalam gelas penampung produk, tutup katup V1 untuk menghentikan laju aliran nitrogen 5 Percobaan - Apabila suhu reaktor sudah mencapai 100 oC. pompa dinyalakan untuk mengalirkan metanol - Pencatatan waktu ke-0 dimulai ketika suhu reaktor mencapai suhu target (290 oC)
6
Menghentikan Percobaan - Turunkan tegangan Tr1, Tr2, Tr3, Tr4 hingga mencapai 0 Volt - Selang nitrogen dimasukkan kedalam air - Setelah nitrogen mengalir keseluruh bagian
Keterangan Tekanan nitrogen yang dialirkan sebesar 0.3 – 0.5 Mpa
Minyak sawit yang digunakan sebanyak 200 ml
Maksimun suhu yang digunakan pada Tr5 adalah 290oC Besarnya tegangan yang digunakan bergantung pada suhu yang ingin dicapai Besarnya bukaan stroke untuk setiap laju aliran dapat diatur pada bukaan stroke pada pompa
- Kran pada tabung lalu harus segera ditutup setelah selesai mengambil produk - Produk hasil reaksi diambil setiap 30 menit sekali Minyak yang berlebihan ditampung dalam O2
56
7
pompa lalu dimatikan - Ditunggu hingga suhu mencapai suhu ruangan - Katup V5 dan V6 dibuka untuk mengeluarkan semua produk dari reaktor - Setelah semua produk keluar, katup V5 dan V6 ditutup - Semua sumber tegangan dimatikan - Aliran nitrogen dihentikan dengan menutup V1 Proses Pemisahan FAME dengan Metanol: - Alat yang digunakan adalah rotary evaporator, dengan suhu pengoperasian 45 oC dan tekanan 0.06-0.08 MPa.
Hasil dari destilasi didapatkan FAME+Gliserol serta Metanol yang telah terpisah.
57
Lampiran 3 Gambar desain alat penukar panas
Rancangan pipa keluar produk
Rancangan pipa aliran metanol
Pipa aliran produk (fluida panas)
Pipa aliran metanol (fluida dingin)
Alat penukar panas hasil rancangan
Alat penukar panas setelah diisolasi
58
Lampiran 4 Alat produksi biodiesel non-katalitik metode SMV dengan daur ulang panas
59
Lampiran 5 Produk hasil reaksi Laju alir MeOH (mL menit-1)
1.5
3.0
4.5
Produk sebelum dievaporasi
Produk setelah dievaporasi (metil ester)
60
Lampiran 6 Kesetimbangan massa berbagai laju alir metanol Kesetimbangan massa laju alir metanol 1.5 mL menit-1 Suhu reaksi
= 290 oC
Volume awal minyak
= 200 mL
Berat molekul (BM) MeOH = 32.042 g gmol-1 Densitas MeOH
= 0.79 g cm-3
Laju alir MeOH
= 1.5 mL menit-1 = 71.2 g jam-1 : 32.042 g gmol-1 = 2.22 gmol jam-1
Laju produksi biodiesel kotor = 3.65 g jam-1 Produktivitas of biodiesel
= (3.65/1000) kg/0.2 L jam-1 = 0.0182 kg L-1 h
Kadar ME dalam produk
= 72.8% w w-1
ME dalam produk
= 0.728 x 3.65 = 2.66 g jam-1
(BM ME adalah 287)
= 2.66/287 = 0.00925 gmol jam-1
Reaksi secara keseluruhan (per jam) adalah TG
+
3MeOH
→
GL
+
3ME 0.00925 gmol
Produksi gliserol (BM GL: 92) = 1/3 x 0.00925 gmol x 92 g gmol-1 = 0.284 g. Hasil percobaan, laju gliserol adalah 0.410 g jam-1, jadi kemurnian gliserol sekitar (0.284/0.410) x 100% = 69.21% w w-1. Minyak (sebagai uME) dalam fase Gl = 0.410 – 0.284 = 0.126 g Minyak (sebagai uME) dalam fase ME = 3.65 – 2.66 = 0.992 g Minyak (TG) yang bereaksi = 1/3 x 0.00925 gmol = 0.00308 gmol = 2.65 g (BM TG adalah 858) Laju alir minyak = 0.126 + 0.992 + 2.65 = 3.76 g jam-1 = 0.00439 gmol jam-1 Konversi TG
= (0.00308/0.00439) x 100% = 70.29% mol mol-1
Yield FAME
= (massa FAME/massa minyak) x 100% = (2.66/3.76) x 100% = 70.54% w w-1
MeOH yang bereaksi
= 0.00925 gmol = 0.296 g
MeOH yang tidak bereaksi
= 71.2 – 0.296 = 70.9 g
Rasio molar MeOH terhadap minyak = 2.22/0.00439 = 506 (mol mol-1)
61
Kesimpulan kesetimbangan massa dalam reaktor: Laju massa input (g jam-1) 3.76 71.19
Komponen Oil (TG) MeOH Produk Biodiesel : Pure ME uME Produk Gliserol: Pure GL uME Oil (TG) yang tidak bereaksi Total
Laju massa output (g jam-1) 70.89 3.65 2.66 0.99 0.41 0.28 0.13
74.95
0.003 74.95
Kesetimbangan massa laju alir metanol 3.0 mL menit-1 Suhu reaksi
= 290 oC
Volume awal minyak
= 200 mL
Berat molekul (BM) MeOH = 32.042 g gmol-1 Densitas MeOH
= 0.79 g cm-3
Laju alir MeOH
= 3.0 mL menit-1 = 142 g jam-1 : 32.042 g gmol-1 = 4.44 gmol jam-1
Laju produksi biodiesel kotor = 1.64 g jam-1 Produktivitas of biodiesel
= (1.64/1000) kg/0.2 L jam-1 = 0.008 kg L-1 h
Kadar ME dalam produk
= 74.38% w w-1
ME dalam produk
= 0.744 x 1.64 = 1.22 g jam-1
(BM ME adalah 287)
= 1.22/287 = 0.00424 gmol jam-1
Reaksi secara keseluruhan (per jam) adalah TG
+
3MeOH
→
GL
+
3ME 0.00424 gmol
Produksi gliserol (BM GL: 92) = 1/3 x 0.00424 gmol x 92 g gmol-1 = 0.130 g. Hasil percobaan, laju gliserol adalah 0.210 g jam-1, jadi kemurnian gliserol sekitar (0.130/0.210) x 100% = 61.88% w w-1.
62
Minyak (sebagai uME) dalam fase Gl = 0.210 – 0.130 = 0.080 g Minyak (sebagai uME) dalam fase ME = 1.64 – 1.22 = 0.42 g Minyak (TG) yang bereaksi = 1/3 x 0.00424 gmol = 0.00141 gmol = 1.21 g (BM TG adalah 858) Laju alir minyak = 0.080 + 0.420 + 1.21 = 1.71 g jam-1 = 0.00199 gmol jam-1 Konversi TG
= (0.00141/0.00199) x 100% = 70.84% mol mol-1
Yield FAME
= (massa FAME/massa minyak) x 100% = (1.22/1.71) x 100% = 71.08% w w-1
MeOH yang bereaksi
= 0.00424 gmol = 0.136 g
MeOH yang tidak bereaksi
= 142 – 0.136 = 142 g
Rasio molar MeOH terhadap minyak = 4.44/0.00199 = 2229 (mol mol-1) Kesimpulan kesetimbangan massa dalam reaktor: Komponen Oil (TG) MeOH Produk Biodiesel : Pure ME uME Produk Gliserol: Pure GL uME Oil (TG) yang tidak bereaksi Total
Laju massa input (g jam-1) 1.71 142.38
Laju massa output (g jam-1) 142.24 1.64 1.22 0.42 0.21 0.13 0.08
144.09
0.002 144.09
Kesetimbangan massa laju alir metanol 4.5 mL menit-1 Suhu reaksi
= 290 oC
Volume awal minyak
= 200 mL
Berat molekul (BM) MeOH = 32.042 g gmol-1 Densitas MeOH
= 0.79 g cm-3
Laju alir MeOH
= 4.5 mL menit-1 = 214 g jam-1 : 32.042 g gmol-1 = 6.67 gmol jam-1
Laju produksi biodiesel kotor = 2.14 g jam-1
63
Produktivitas of biodiesel
= (2.14/1000) kg/0.2 L jam-1 = 0.0107 kg L-1 h
Kadar ME dalam produk
= 78.00% w w-1
ME dalam produk
= 0.78 x 2.14 = 1.67 g jam-1
(BM ME adalah 287)
= 1.67/287 = 0.0058 gmol jam-1
Reaksi secara keseluruhan (per jam) adalah TG
+
3MeOH
→
GL
+
3ME 0.0058 gmol
Produksi gliserol (BM GL: 92) = 1/3 x 0.0058 gmol x 92 g gmol-1 = 0.178 g. Hasil percobaan, laju gliserol adalah 0.280 g jam-1, jadi kemurnian gliserol sekitar (0.178/0.280) x 100% = 63.55% w w-1. Minyak (sebagai uME) dalam fase Gl = 0.280 – 0.178 = 0.102 g Minyak (sebagai uME) dalam fase ME = 2.14 – 1.67 = 0.47 g Minyak (TG) yang bereaksi = 1/3 x 0.0058 gmol = 0.00193 gmol = 1.66 g (BM TG adalah 858) Laju alir umpan minyak = 0.102 + 0.470 + 1.66 = 2.23 g/jam = 0.0026 gmol jam-1 Konversi TG
= (0.00193/0.0026) x 100% = 74.38% mol mol-1
Yield FAME
= (massa FAME/massa minyak) x 100% = (1.67/2.23) x 100% = 74.64% w w-1
MeOH yang bereaksi
= 0.0058 gmol = 0.186 g
MeOH yang tidak bereaksi
= 214 – 0.186 = 214 g
Rasio molar MeOH terhadap minyak = 6.67/0.0026 = 2563 (mol mol-1) Kesimpulan kesetimbangan massa dalam reaktor: Komponen Oil (TG) MeOH Produk Biodiesel : Pure ME uME Produk Gliserol: Pure GL uME Oil (TG) yang tidak bereaksi Total
Laju massa input (g jam-1) 2.23 213.57
Laju massa output (g jam-1) 213.38 2.14 1.67 0.47 0.28 0.18 0.10
215.80
0.002 215.80