Studi Perancangan Metode Perlakuan Panas untuk Pengolahan Air Balas Kapal dengan Memanfaatkan Sistem Daur Ulang Panas Buang MV. AMAZON Lely Pramesti 1) Sutopo Purwono Fitri 2) Email :
[email protected] 1)
2)
Jurusan Tenik Sistem Perkapalan Laboratorium Mesin Fluida dan Sistem, Jurusan Teknik Sistem Perkapalan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Abstract
Ballast water runs an important role in maintaining stability and maneuvering the ship during has transit. Water filled back into the ship while unloading cargo at the port then it discharged at other port when cargo will be loaded. The process of loading and unloading water raises risk when transferred foreign marine species or Nonindigenous Species (NIS) in one area to another. It was discovered that NIS can be invasive and disturbing the ecological balance in the area. In response to these problems the International Maritime Organization (IMO) has been working for several years with the International Convention for the supervision and management of the ship back water and sediment (convention). According with the convention all ship should comply the ballast water management and apply an approved ballast water treatment system. In this study, the Ballast Water Heat Treatment System (BWHTS) is one of ballast water treatment techniques using heat recovery system onboard MV. AMAZON is designed and analyzed. By 932 ⁰ F of exhaust gas temperature from AE can release heat at 3145368.81 BTU/h, by 554 ⁰ F of exhaust gas temperature from Boiler can release heat at 3145376.63 BTU/h, and by 545 ⁰ F of exhaust gas temperature from ME can release heat of 3145378.44 BTU/h. So that the effective efficiency of the heat exchanger that is planned around 64.22% can be obtained either by heating of the exhaust gas source ME, AE and boiler. The performance and efficiency of the system and also the key plan of Ballast Water Heat Treatment System (BWHTS) are described and pictured. At a temperature of 50⁰ C - 60⁰ C the number of microorganisms surviving only 20% of total microorganisms in initial ballast water temperature of 28 ⁰ C. Keywords: Ballast Water, Invasive, Nonindigenous Species (NIS), Ballast Water Heat Treatment System, Heat Recovery.
1. Pendahuluan Pertukaran air balas merupakan salah satu dari kegiatan operasional kapal. Air balas memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas dan manuver kapal selama transit. Air balas diisi ke dalam kapal pada satu pelabuhan pada saat bongkar muatan dan kemudian dikeluarkan di pelabuhan lain ketika muatan akan dimuat. Proses bongkar muat air balas ini menimbulkan resiko besar pada saat terjadi perpindahan spesies laut asing pada satu wilayah ke wilayah lain. Baru diketahui bahwa spesies laut bisa menjadi invasive dan mengganggu keseimbangan ekologi daerah itu (Boldor Dorin et al, 2008). Data IMO menunjukkan bahwa lebih dari 10 milyard ton air balas selalu dipertukarkan / ditransfer antar negara setiap tahunnya (IMO, 2000). Dalam menanggapi masalah ini International Maritim Organization (IMO) telah bekerja selama beberapa tahun dengan Konvensi Internasional untuk pengawasan dan manajemen air balas kapal dan sedimentasi (konvensi). Konvensi diadopsi pada bulan Februari 2004 dan, setelah diratifikasi akan mengharuskan semua kapal untuk mengolah air balas mereka (IMO, 2005). Standar pengolahan air balas akan bertahap dalam waktu tertentu tergantung pada tahun pembuatan dan ukuran
kapal (IMO, 2005). Banyak teknologi sudah dalam pengembangan setelah negosiasi IMO, tetapi sulit untuk membandingkan efisiensi setiap metode yang dilakukan untuk menghilangkan organisme pada air balas, sampai konvensi diadopsi, tidak ada standar yang ditetapkan. Berbagai penelitian telah dilakukan mulai dari perlakuan khusus terhadap air balas dengan bahan kimia seperti chlorine atau ozone serta pengolahan air balas yang dilakukan secara fisika dengan radiasi ultraviolet, pemanasan, penyaringan, dan sedimentasi. Berbagai metode dari pemanasan air balas di kapal juga telah digunakan sebelumnya (Rigby dan Hallegraeff, 1994;. Rigby et al, 1997; Mountfort et al, 2001). Lamanya waktu air dipanaskan bervariasi dari 20 jam pada suhu lebih dari 35oC (Rigby et al., 1997), 15 jam pada 42oC (Mountfort et al, 2001) dan 80 jam pada o lebih dari 30 C (Mountfortet et al, 2001). Namun hal tersebut dirasa masih perlu untuk dikembangkan dan dicari solusi yang secara efektif dapat membunuh mikroorganisme yang terkandung dalam air balas. Perlakuan termal adalah teknik yang dapat digunakan untuk membunuh spesies asing atau Nonindigenous Species (NIS) dalam air balas dengan pemanasan balas pada suhu 1
yang cukup tinggi untuk membunuh NIS sebelum air dibuang (Prince William Sound Regional Citizens' Advisory Council, 2005). Penelitian ini difokuskan pada penggunaan panas buang yang dihasilkan oleh mesin kapal karena dapat memberikan solusi teknis yang paling efektif dalam pengolahan air balas. MV. AMAZON 14.150 DWT yang mempunyai total volume tangki balas sebesar 5528,8 m3, menggunakan steam boiler dengan merk DONKEY BOILER tipe V4-0-TFO- 008 dengan kapasitas steam 1800 ton/hours dan main engine SULZER type 5 RTA 58 yang menghasilkan gas buang sehingga dapat dimanfaatkan untuk pengolahan air balas. Metode pengolahan air balas dengan memanfaatkan daur ulang dari panas buang mesin ini menjadi perhatian saat ini karena disamping bisa mencegah dan mengurangi penyebaran mikroorganisme secara efektif, metode ini juga ramah lingkungan yang mendukung program pemerintah untuk mewujudkan teknologi ramah lingkungan dalam hal ini kapal yang ramah lingkungan (eco-ship). 2. Tinjauan Pustaka 2.1. Sistem Air Balas Balas digunakan untuk memastikan stabilitas kapal, untuk menjaga kemiringan kapal, untuk menggantikan beban dari muatan kapal dan menjaga agar baling-baling tetap berada di dalam air. Proses pengisian dan pembuangan muatan di kapal untuk terjadinya perubahan muatan yang terjadi akan diikuti dengan pengisian dan pengosongan tangki balas. Hal itu dilakukan untuk menjaga keseimbangan kapal. Jika muatan kapal kosong atau kurang dari ketentuan, maka air balas dipompakan masuk ke dalam tangki balas. Sedangkan jika muatan penuh, maka air balas akan dibuang. Proses pengisian dan pengosongan tangki balas merupakan kegiatan operasional kapal. Pada proses ini akan menyebabkan mikroorganisme masuk ke dalam tangki pada saat proses pengisian tangki balas dan akan terbuang pada saat kapal melakukan proses pengosongan air balas sehingga akan terjadi pertukaran mikroorganisme yang terkandung dalam air balas dari tempat pelabuhan dimana air balas diisi dan dikosongkan.
Gambar 1. Sistem Balas Kapal Menggunakan Air Laut
2.2 Dampak Perpindahan Mikroorganisme Perpindahan mikroorganisme melalui air balas kapal merupakan masalah serius yang harus cepat dipecahkan dan dicari solusinya. Efek kerusakan lingkungan di perairan pelabuhan akibat dari adanya perpindahan mikroorganisme asing telah menunjukkan pada batas yang mengkhawatirkan. Pada akhirnya peraturan tentang pelarangan pembuangan air balas secara langsung akan menjadi konvensi internasional yang mengikat bagi semua negara-negara yang memiliki armada pelayaran internasional. Dampak Ekonomi Suatu contoh nyata yang terjadi di beberapa wilayah pelabuhan Canada terdapat kasus munculnya binatang kecil jenis remis (zebra mussel) yang bukan merupakan binatang asli daerah tersebut. Diduga binatang kecil tersebut terbawa oleh air balas dari perairan Australia. Pada saat itu hewan tersebut telah menyebar ke seluruh perairan pelabuhan dan sungai sekitar. Binatang kecil tersebut hidup berkelompok sehingga menyumbat saluran air di pelabuhan dan menyebabkan kerugian yang tidak sedikit untuk pembersihan. Dampak Lingkungan Perpindahan mikroorganisme juga menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan. Suatu mikroorganisme akan bermutasi pada lingkungan baru, adaptasi dengan lingkungan baru akan mendorong terjadinya perubahan sifat yang dapat mempengaruhi keseimbangan ekosistem. Selain itu banyak mikroorganisme yang membawa bibit penyakit dari lingkungan asal ke lingkungan barunya. Suatu contoh penyebaran penyakit cholera di daerah Eropa. Pada dasarnya vibrio cholerae penyebab 2
penyakit cholera adalah bakteri yang hidup di daerah Afrika Selatan dan dengan perantara air balas kapal bakteri tersebut dapat berpindah habitat dan menyebar ke perairan Eropa. 2.3 Pengendalian Mikroorganisme Adanya perpindahan mikroorganisme dari suatu wilayah ke wilayah lain akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem dan menyebabkan kerusakan. Berikut macammacam mikroorganisme yang terdapat dalam perairan antara lain : 1. Mikroba autotrof : Thiobacillus, Nitrosomonas, Nitrobacter 2. Mikroba heterotrof :Saprolegnia sp., Candida albicans, Trichopnyton rubrum 3. Bakteri : Pseudomonas, Vibrio Cholerae, Flavobacterium, Achromobacter dan Bacterium. 4. Alga Biru dan Hijau 5. Fungi : Saprolegnia sp., Branchiomyces sanguinis, Icthyophonus hoferi. 6. Mikroalgae : Chlorella sp., Pyrodinium bahamense, Trichadesmium erythraeum (salah satu species dari Cyanobacterium), Noctiluca scintillans (salah satu species dari Dinoflagellata). 7. Virus : virus Coli-fag 8. Protozoa : Cryptocaryon irritans, Stylonycia sp., Entamoeba histolitika. Kapal ini beroperasi di wilayah perairan Singapura, dari penelitian Ruyino, Suminarti S. Thayib dan Djoko Hadi Kunarso yang dilakukan di perairan Sekupang dan Batu Ampar, dua pelabuhan laut yang berdekatan dengan perairan Singapura yang padat lalu lintas kapal, diperoleh hasil penelitian mengenai kandungan mikroorganisme pada perairan tersebut yaitu sebagai berikut : Bakteri fecal coli : 6 koloni per 100 ml Bakteri fecal streptococcus : 15 koloni per 100 ml Bakteri heterotropik : 220 koloni per ml 2.4. IMO Rules Ada ribuan spesies laut (termasuk bakteri dan mikrobia yang lainnya, invertebrate kecil, kista, dan larva berbagai spesies) yang terkandung dalam air balas kapal. Ketika kapal melakukan proses ballasting dan deballasting maka akan terjadi pertukaran organisme di satu daerah dengan daerah lainnya. Proses ini berlangsung selama bertahun-tahun selama kapal beroperasi di dunia. Hal ini mengakibatkan keseimbangan ekosistem terganggu. Karena organisme asli bercampur dengan organisme pendatang menyebabkan banyak terjadi mutasi
genetika. Untuk itu dikeluarkan peraturan tentang manajemen air balas. Hal ini dimaksudkan untuk megurangi penyebaran organisme laut yang tidak terkendali lagi. Berikut adalah standar manajemen air balas disesuaikan dengan ukuran kapal dan tahun pembuatan : Annex - Section D, Standar manajemen air balas - Standar manajemen air balas berdasar regulasi D-1 : Ketika proses pengisian atau pengosongan balas, sistem kapal harus mampu mengisi atau mengosongkan sedikitnya 95% dari total kapasitas tangki balas. Untuk kapal dengan menggunakan metode pumping-through, kemampuan pompa harus dapat memompa terus menerus selama pengisian 3x volume tangki balas. - Standar manajemen air balas berdasarkan regulasi D-2 : Kapal dengan sistem manajemen air balas tidak boleh mengeluarkan lebih dari 10 organisme hidup tiap meter kubik atau setara dengan ukuran lebih dari 50 mikrometer dan tidak boleh mengeluarkan lebih dari 10 organisme hidup tiap mililiter untuk ukuran kurang dari 50 mikrometer. Indicator discharge mikroorganisme tidak boleh melebihi konsentrasi yang ditentukan berikut : - Toxicogenic vibrio cholera kurang dari 1 cfu (colony forming unit) tiap 100 mililiter atau kurang dari 1 cfu per gram zooplankton - Eschericia coli kurang dari 250 cfu per 100 mililiter - Intestinal entericocci kurang dari 100 cfu per 100 mililiter Sistem manajemen air balas harus disetujui oleh pihak sesuai dengan regulasi IMO. Metode lain pengelolaan air balas juga dapat diterima sebagai alternatif untuk standar pertukaran air balas dan baku kinerja air balas, asalkan metode tersebut memastikan setidaknya tingkat perlindungan yang sama terhadap lingkungan, kesehatan manusia, properti atau sumber daya, dan disetujui pada prinsipnya oleh Marine Environment Protection Committee (MEPC). Ada beberapa perlakuan untuk menangani masalah ini, beberapa diantaranya adalah dengan proses kimia dan proses fisika. 3
Proses kimia : dilakukan perlakuan khusus terhadap air balas dengan bahan kimia seperti chlorine atau ozone untuk membunuh organisme yang terkandung di dalamnya. Proses fisika : dapat dilakukan dengan radiasi ultraviolet, pemanasan, penyaringan, dan sedimentasi.
Mengingat hebatnya pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh air balas, maka Konvensi Internasional untuk Kontrol dan Manajemen Air Balas yang diadakan pada tahun 2004, mewajibkan semua kapal yang menggunakan air balas untuk menerapkan standar D-2 atau melengkapi dengan pengolahan air balas (ballast water treatment) pada tahun 2016. Teknologi pada pengolahan air balas yang disyaratkan oleh IMO harus bebas bahan aditif, bahan kimia dan racun (IMO, 2004). 2.5. Metode Perlakuan Panas Limbah panas adalah panas yang dihasilkan oleh proses pembakaran bahan bakar atau reaksi kimia, yang kemudian “dibuang” ke lingkungan dan tidak didaur ulang untuk tujuan ekonomis dan bermanfaat. Fakta yang penting adalah bukan masalah jumlah panasnya, namun lebih kepada “nilai” nya. Mekanisme untuk memanfaatkan kembali panas yang tidak digunakan tergantung pada suhu gas panas yang terbuang dan ekonominya. Sejumlah besar gas buang panas yang dihasilkan dari exhaust gas mesin induk, mesin bantu dan boiler, jika panas yang terbuang dapat dimanfaatkan kembali maka sejumlah bahan bakar primer dapat dihemat. Energi yang hilang dalam limbah gas tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan kembali. Tetapi banyak panas yang dapat dimanfaatkan (United Nations Environment Programme, 2006). Suhu tinggi biasanya digunakan untuk mensterilkan air. Perlakuan termal adalah teknik yang dapat digunakan untuk membunuh spesies asing atau Nonindigenous Species (NIS) dalam air balas dengan pemanasan balas pada suhu yang cukup tinggi untuk membunuh NIS sebelum air dibuang (Prince William Sound Regional Citizens' Advisory Council, 2005). Perlakuan termal dari tangki air balas kapal saat ini sedang dieksplorasi sebagai pilihan yang layak untuk pengolahan air balas selama kapal transit. Pilihan untuk memanaskan air balas pada kapal meliputi : (1) penggunaan panas buang yang dihasilkan oleh mesin induk dan mesin bantu kapal
(2)
penggunaan panas yang diciptakan oleh sistem boiler tambahan yang dipasang pada kapal.
Panas buang dari mesin induk, mesin bantu dan boiler di kapal dihitung berapa besar kapasitasnya. Kapasitas panas buang yang sudah dihitung dan memenuhi panas yang dibutuhkan kemudian dilewatkan dalam suatu heat exchanger untuk memanaskan air balas yang merupakan. Dari perlakuan tersebut bisa dianalisa berapa persen kematian mikroorganisme yang terkandung dalam air balas setelah dipanaskan melalui proses perpindahan panas pada heat exchanger. Tabel 1. Sumber Limbah Panas pada MV. AMAZON Source Main Engine - Cylinder Outlet - T/C Inlet - T/C Outlet Exhaust Gas Temperature Auxiliary Exhaust Gas Temperature Outlet - Boiler
Spec Sulzer Diesel Engines RTA58 - 84
Donkey Boiler tipe V4-0TFO-008
Temperature o Max ( C)
515 515 285 500 290
Skema di bawah ini menggambarkan bagaimana sebuah penukar panas digunakan di kapal untuk mendaur ulang panas buang dari mesin kapal untuk memanaskan air balas dengan suhu yang mampu membunuh NIS. Air balas yang sudah dipanaskan melalui sistem penukar panas tersebut akan dialirkan menuju tangki balas.
Gambar 2. Skema Diagram Perencanaan Sistem Pengolahan Air Balas pada Saat Ballasting
4
rata-rata (koefisien panas) W/m2K
Gambar 3. Skema Diagram Perencanaan Sistem Pengolahan Air Balas pada Saat De-Ballasting
2.5. Proses Perpindahan Panas Konduksi Konduksi adalah proses dimana panas mengalir dari daerah yang bersuhu lebih tinggi ke daerah yang bersuhu lebih rendah di dalam suatu medium (padat, cair atau gas) atau antara medium-medium yang berlainan yang bersinggungan secara langsung. Perpindahan panas dengan cara konduksi ini menyatakan qk, laju aliran panas menghasilkan tiga kali besaran sebagai berikut :
𝒒
𝒄𝒐𝒏𝒅 = −𝒌 𝑨
∆𝑻 𝒙
Dimana : K : konduktivitas termal bahan, Watt A : luas penampang yang dilalui oleh panas secara konduksi, diukur tegak lurus terhadap aliran panas, m2 ∆T : beda temperatur antara suhu tinggi dan suhu rendah, ⁰K x : tebal penampang, m Konveksi Konveksi adalah proses transfer energi dengan kerja gabungan dari konduksi panas, penyimpanan energi dan gerakan mencampur. Konveksi sebagai mekanisme perpindahan energi antara permukaan. Energi sebenarnya disimpan di dalam partikel-pertikel fluida yang diangkut sebagai gerakan massa pertikelpertikel tersebut. Mekanisme ini untuk operasinya tidak tergantung hanya pada beda suhu dan oleh karena tidak secara tepat memenuhi definisi perpindahan panas. Laju perpindahan panas dengan cara konveksi dapat dihitung dengan rumus :
𝒒𝒄𝒐𝒏𝒗= 𝒉𝒄 𝑨 ∆𝑻
Dimana : Qconv : laju perpindahan panas dengan cara konveksi (Watt atau J/s) A : luas perpindahan panas, m2 ∆T : beda antara suhu permukaan T s dan suhu fluida T1 di lokasi tersebut dalam ⁰K hc : konduktansi termal satuan konveksi
permukaan perpindahan
Radiasi Radiasi adalah proses dengan massa panas mengalir dari benda yang bersuhu tinggi ke benda yang bersuhu rendah bila benda-benda itu terpisah di dalam ruang, bahkan bila terdapat ruang hampa di antara benda-benda tersebut. Jumlah energi yang meninggalkan suatu permukaan sebagai panas radiasi tergantung pada suhu mutlak dan sifat permukaan tersebut, dapat lebih jelasnya dilihat dalam rumus :
𝒒𝒓 = 𝝈 𝑨 (𝑻 𝟒 − 𝑻 𝟒 ) 𝟏
𝟐
Dimana : qr : energi radiasi dari permukaan, Watt σ : konstanta Boltzman, W/m2.K4 A : luas permukaan, m2 T1 : suhu pada permukaan benda, ⁰K T2 : suhu yang mengelilingi benda, ⁰K
Tahanan Termal Beda suhu antara yang rendah dan suhu yang tinggi adalah penggerak potensial yang menyebabkan terjadi aliran panas, sehingga dinding yang dipanaskan akan memberikan tahanan termal. Jadi tahanan termal adalah tahanan panas yang ditimbulkan oleh dinding yang dipanaskan yang diberikan oleh aliran fluida panas, biasanya aliran fluida panas ini diberikan dengan cara konduksi, dan dapat dilihat pada persamaan di bawah ini : Rk = L /A k Dimana : Rk : tahanan termal, K/W L : panjang pemanasan, m A : luas penampang pemanasan, m2 k : konduktansi termal, W/m.K 2.6. Menentukan Jumlah Limbah Panas Dalam berbagai situasi pemanfaatan kembali panas, penting untuk mengetahui jumlah panas yang dapat dimanfaatkan kembali dan juga penggunaannya. Panas total yang berpotensi dapat dimanfaatkan kembali dapat dihitung dengan menggunakan rumus : Q = M x cp x ∆T Dimana, Q : kandungan panas dalam kkal M : massa aliran fluida (mass flow rate) kg/jam Cp : panas jenis bahan dalam kKal /kg oC ∆T :perbedaan suhu dalam oC (Pedoman Efisiensi Energi untuk Industri di Asia ; UNEP, 2006). 5
3. Metodologi Penelitian
dari 50 mikron. Fungsi dari penyaringan adalah selain mengontrol mikroorganisme maka juga berfungsi untuk melemahkan mikroorganisme yang selanjutnya akan ditreatment dengan panas buang yang dialirkan dalam heat exchanger. 4.2. Perencanaan Heat Exchanger Di dalam perencanaan heat excharger direncanakan memanfaatkan panas gas buang mesin induk, mesin bantu dan boiler (high temperature).
Direncakan Heat Exchanger type Shell & Tube dengan data sebagai berikut : Tabel 2. Perencanaan Heat Exchanger
Shell (inchi) Gambar 4. Diagram Alir Pengerjaan Penelitian
4. Analisa dan Pembahasan 4.1. Rancangan Ballast Treatment System
Water
Heat
ID 94,5 B 4 Passes 1
Tube (inchi) Number & Lenght (Nt) 1 & 16 OD, BWG, Picth 1,5 ; 13 ; 1,875 Passes 8
Perhitungan neraca panas dengan rumus : Q=q M . Cp . ∆T = m . cp . ∆t Setelah di dapat Q, maka dicari laju aliran fluida dan dihitung back pressure pada heat exchanger. Sehingga diperoleh spesifikasi Heat Exchanger : Tabel 3. Spesifikasi Heat Exchanger
ID OD
Gambar 5. Rancangan BWHTS
Alur perancangan Ballast Water Heat Treatment System Pada strainer mikroorganisme yang berukuran lebih besar dari 50 mikron akan disaring dan dipisahkan, setelah itu disaring lagi dalam sistem treatment satu paket berupa filter, UV chamber dan alat kontrolnya dengan kapasitas 50-6000 m3/h dan mampu menyaring kurang
Ukuran Tube = 1,331 in = 1,5 in
Ukuran pitch Panjang pipa BWG Jumlah tube Passes
= 1 ¼ in
Ukuran Shell ID = 94,5 in Jarak Baffle = 5 in Jumlah passes 1
= 16 ft 13 100 1
4.3. Perhitungan Panas Gas Buang Dalam 1 kg/jam bahan bakar terdapat kandungan : 6
Unsur C H S N O Ash
= 87 % = 12,35 % = 0,3 % = 0,08% = 0,12 = 0,15 %
Berat Atom 12 1 32 14 16
Dalam menganalisa pembakaran diasumsikan bahwa proses pembakaran setiap unsur terjadi secara sempurna. 1. Pembakaran : C + O2 CO2 12 + 32 44 2. Pembakaran : 4H + O2 2 H2O 4 + 32 36 3. Pembakaran : S + O2 SO2 32 + 32 64 Nitrogen yang terkandung dalam flue gas (N 2 di udara yang ikut dalam proses pembakaran) = 14,409 – (2,32 + 0,988 + 0,006) = 14,409 - 3,314 = 11,095 kg N2/kg.bb 11,095 28 = 0,396 kilo moles Total mol dari gas buang = 0,0725 + 0,030875 + 0,00009375 + 0,396 = 0,4995 kilo moles mol N2 dalam gas buang =
4.4. Proses Heat Transfer Tabel 4. Kalkulasi Panas yang dilepaskan oleh AE, Boiler dan ME ⁰ ⁰ ⁰ ⁰ ⁰ cpflue gas T1 T1 T2 T2 q kg/h kkal/kg C C C kkal/h kkal/kg C C F C F AE 307500 0,9996 28 80 15983604 0,59 500 932 100 212 Boiler 307500 0,9996 28 80 15983604 0,59 290 554 100 212 ME 307500 0,9996 28 80 15983604 0,59 285 545 100 212 Mflue gas Total massa flue gas mass flow rate Volume flow rate SG bb kg/h kg/kg.bb kg/h m3/h 67727,136 55,034 1230,639 0,9419 1306,55 142583,443 55,034 2590,825 0,9419 2750,64 146437,050 55,034 2660,847 0,9419 2824,98 Qflue gas Mflue gas qflue gas ρ Eqp.
lb/h BTU/h ft3/h lb/ft3 1922,697 0,069975 7404,352 3145368,81 4047,796 0,069975 15588,158 3145376,63 4157,193 0,069975 16009,449 3145378,44
Dari tabel perhitungan dapat dianalisa bahwa dengan q (panas yang dilepaskan oleh flue gas) dari masing-masing sumber dapat digunakan untuk memenaskan air balas dari suhu seawater inlet 28⁰C mencapai outlet sekitar 80⁰C dengan suatu alat penukar kalor yang direncanakan, namun dengan effisiensi yang berbeda hasilnya seperti yang dijabarkan dalam perhitungan. Alat penukar panas akan memiliki effisiensi efektif 71,22 % dengan inputan exhaust gas dari AE.
Asumsi pengukuran kandungan O2 dalam gas buang 15,4 %
Massa udara sebenarnya (kg/kg.bb) = (1 + 2,75) x 14,409 = 54,034 kg/kg.bb
yang
disupply
Total massa gas buang (kg/kg.bb) = 1 + 54,034 = 55,034 kg/kg.bb Volume flow rate dari bahan bakar = 1306,55 m3/h Specific gravity dari bahan bakar = 0,9419 Mass flow rate dari bahan bakar = 1306,55 x 0,9419 = 1230,639 kg/h Total mass flow rate dari gas buang = 1230,64 x 55,034 = 67727,136 kg/h
Grafik perbandingan temperatur exhaust gas vs q (panas yang dilepaskan oleh flue gas)
3145380 3145376 q (BTU/h)
Estimasi excess air = pengukuran O2 yang terkandung dalam gas buang / (21 - pengukuran O2 yang terkandung dalam gas buang) 15,4 excess air = = 275 % 21 − 15,4
⁰ ⁰ ⁰ Mseawater cpseawater t1 t2
3145372 T exh.gas vs q
3145368 3145364 3145360 932
554 T (⁰F)
545
Gambar 6. Grafik Perbandingan T exhaust gas vs q
Pada grafik di atas, dengan temperatur 932⁰F dari exhaust gas temperatur AE mampu melepaskan panas sebesar 3145368,81 BTU/h, untuk Boiler dengan temperatur exhaust gas 554⁰F mampu melepaskan panas sebesar 3145376,63 BTU/h, serta dengan temperatur 545⁰F dari exhaust gas temperatur ME mampu melepaskan panas sebesar 3145378,44 BTU/h. 7
ME mampu melepaskan panas lebih besar berkesesuaian dengan Power ME yang dihasilkan untuk mentransmisikan gaya untuk sistem propulsi. Semakin tinggi Power / daya yang dihasilkan maka panas yang dihasilkan juga akan tinggi. Grafik Perbandingan M vs q flue gas Gambar 9. Heat Exchanger Tipe Shell and Tube
M flue gas (lb/h)
20000 Boiler
15000
Laju aliran massa flue gas (lb/h)
10000 AE
5000
ME
0 3145360
3145370
Tube yang dianalisa
3145380
q flue gas (BTU/h)
Gambar 10. Penampang Heat Exchanger
Gambar 7. Grafik Perbandingan M flue gas vs q
Q flue gas (ft^3)/h
Grafik Perbandingan Q vs q flue gas 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 3145360
Boiler
AE
ME
Kapasitas flue gas (ft^3)/h
Gambar 11. Irisan Shell pada Heat Exchanger
2.
Selanjutnya dalam CFD.
tahap
meshing
model
3145370 3145380 q flue gas (BTU/h)
Gambar 8. Grafik Perbandingan Q flue gas vs q
Pada gambar 7 dan 8 meningkatnya q (panas yang dilepaskan oleh flue gas) dengan M (laju aliran massa flue gas) berbanding lurus demikian juga dengan Q (kapasitas flue gas). 4.5. Analisa Distribusi Temperatur pada Heat Exchanger dengan Pemodelan CFD 1.
Penggambaran koordinat model heat exchanger dengan bentuk standart dalam software CFD.
Gambar 12. Pemeshingan Model Heat Exchanger
3.
Tahap Pre processor a. Tahap import mesh di CFD b. Tahap pembuatan domain fluid zone dan solid zone c. Tahap pembuatan sub domain d. Tahap pembuatan boundary condition inlet, outlet, wall e. Tahap pembagian domain interface
8
Gambar 13. Input Parameter
Inside Diameter Shell = 94,5 in Jarak antar tube 0,25 in Dari data di atas pembatasan area yang akan dianalisa yaitu mengambil tube terluar pada jarak 10,5 in dari inside diameter. Pada pemodelan heat exchanger ini dibatasi dengan boundary condition temperatur flue gas terdistribusi secara merata pada setiap tube. Input parameter yang dimasukkan sebelum running yaitu : Laju aliran massa flue gas AE dengan temperatur 500⁰C = 0,933 kg/s Laju aliran massa seawater dengan temperatur inlet 28⁰C = 0,036 kg/s 4. 5.
Dari pembuatan model CFD tersebut didapatkan temperatur distribusi pada dinding tube heat exchanger yang mana terlihat pada sisi kiri gambar. Pada temperatur inlet fluida yang dipanaskan 301⁰K atau 28⁰C, dengan temperatur fluida pemanas 773⁰K atau 500⁰C dapat terlihat adanya gradasi warna kontur dimana mengindikasikan terjadinya perpindahan panas. Dari seawater inlet 28⁰C ketika dipanaskan akan mengalami perubahan temperatur yang ditunjukkan dengan perubahan warna kontur sampai ke titik outlet dengan temperatur 80⁰C.
Gambar 16. Post processor model pada titik 2 jarak 1,22 m
Solver manager (running) Tahap Post processor
Gambar 14. Pembagian titik-titik pada pipa untuk mengetahui temperatur distribusi secara lokal
Dari spesifikasi heat exchanger yang direncanakan, L (panjang tube) = 16 ft = 4,87 m, untuk mengetahui temperatur distribusi yang mengindikasikan perambatan perpindahan panas dari seawater inlet sampai ke seawater outlet maka dibagi 5 titik yaitu pada jarak 0; 1,22; 2,44; 3,66; 4,87.
Gambar 17. Temperatur distribusi pada titik 2 jarak 1,22 m
Pada titik 2 jarak 1,22 m, telah terjadi perpindahan panas pada seawater yang ditunjukan oleh perubahan warna kontur. Dari gambar 4.18, temperatur distribusi pada titik ini sekitar 341,143⁰K. Tabel 5. Data Temperatur Distribusi
x/L (m) 0 1,22 2,44 3,66 4,87
T (⁰K)
T (⁰C)
301,13 341,143 352,963 354,158 354,274
28,13 68,143 79,963 81,158 81,274
Gambar 15. Post Processor Model untuk Mengetahui Temperatur Distribusi secara global
9
5. Kesimpulan
T (⁰C)
Grafik Perbandingan Jarak vs Temperatur Distribusi
90 80 70 60 50 40 30 20 10
Temperatur Distribusi
0,00
1,22
2,44 3,66 x/L (m)
4,88
6,10
Gambar 18. Grafik Perbandingan Jarak pada Tube terhadap Peningkatan Temperatur
4.6 Pengaruh Temperatur terhadap Laju Kematian Mikroorganisme Dari perpindahan panas yang terjadi antara flue gas dan seawater pada heat exchanger didapatkan beberapa distribusi temperatur yang terjadi pada air balas. Selain itu dari data kematian mikroorganisme akibat temperatur tinggi seperti dibawah ini : Tabel 6. Data Mikroorganisme No. 1 2 3 4 5
⁰ ⁰ ⁰ ⁰ ⁰ ⁰ ⁰ ⁰ ⁰ ⁰ ⁰ Pada Temperatur Size mikron 20 C 25 C 30 C 35 C 40 C 45 C 50 C 55 C 60 C 65 C 70 C E. coli 6 mikron 50 40 30 20 25 15 10 Streptococcus 1,5 mikron 25 15 10 20 Saprolegnia sp 40 mikron 40 30 25 20 15 10 Candida albicans 56 mikron 30 25 20 15 10 Trichophyton rubrum 6 mikron 30 25 20 15 10 Spesies
Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Dari perhitungan didapatkan spesifikasi heat exchanger yang memenuhi kebutuhan yaitu dengan Tube yang memiliki diameter dalam (ID) 1,331 in, diameter luar (OD) 1,5 in, panjang pipa 16 ft, jumlah tube sebanyak 100 dan Shell dengan diameter dalam (ID) 94,5 in yang digunakan untuk memanfaatkan kembali panas buang dari mesin induk, mesin bantu, dan boiler dalam pemanasan air balas. 2. Dengan temperatur 932⁰F dari exhaust gas temperatur AE mampu melepaskan panas sebesar 3145368,81 BTU/h, untuk Boiler dengan temperatur exhaust gas 554⁰F mampu melepaskan panas sebesar 3145376,63 BTU/h, serta dengan temperatur 545⁰F dari exhaust gas temperatur ME mampu melepaskan panas sebesar 3145378,44 BTU/h. 3. Efisiensi efektif dari heat exchanger dapat diperoleh sekitar 64,22% baik dengan sumber pemanas dari exhaust gas ME, AE maupun boiler. 4. Dari analisa grafik dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi temperatur pada air balas, maka bakteri yang terkandung semakin sedikit jumlahnya. Pada temperatur 50⁰C-60⁰C jumlah bakteri yang masih bertahan hidup hanya 20% dari jumlah bakteri pada temperatur air balas awal 28⁰C. 6. Saran 1.
Temperatur (⁰C)
Gambar 19. Grafik Perbandingan Jumlah Bakteri terhadap Peningkatan Temperatur Air Balas
Pada grafik tersebut menjelaskan bahwa semakin tinggi temperatur pada air balas, maka bakteri yang terkandung semakin sedikit jumlahnya. Pada temperatur 50⁰C terbukti jumlah bakteri yang masih bertahan hidup hanya 20% dari jumlah bakteri pada temperatur air balas awal 28⁰C (temperatur air laut).
2.
3.
Diperlukan adanya analisa thermal untuk mengetahui temperatur distribusi untuk semua tube pada heat exchanger dengan suatu pemodelan sebagai acuan untuk melihat dan menganalisa proses yang dilakukan dalam mematikan mikroorganisme. Diperlukan studi lebih lanjut dan kunjungan lapangan untuk perancangan sistem yang sesuai dengan lay out kamar mesin agar bisa diaplikasikan secara riil dengan memperhatikan aspek ekonomis dan keselamtan. Penentuan efektifitas metode heat transfer masih memerlukan pengujian yang lebih lanjut di laboratorium, sehingga untuk jarak tempuh pendek maka direkomendasikan untuk memperkecil volume tangki balas agar proses heat transfer dapat berlangsung maksimal. 10
4.
Diperlukan studi yang menganalisa sifat dan karakteristik masing-masing spesies yang terkandung dalam tangki balas sehingga dari data tersebut dapat ditentukan besarnya temperatur dalam perencanaan heat exchanger agar lebih efektif.
Daftar Pustaka [1]. Anonim1, 2005, Ballast Water Treatment Methods, Fact Sheet 8 : Thermal Treatment,
. diunduh : Agustus 03, 2011. [2]. Anonim2, - , Current International Ballast Water Regulations and Guidelines,
. diunduh : Agustus 09, 2011. [3]. Anonim3, - , GloBallast Partnerships,
. diunduh : Agustus 03, 2011. [4]. Anonim4, - , Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010 Tentang Perlindungan Lingkungan Maritim, . diunduh : Agustus 03, 2011. [5]. Boldor, Dorin., Balasubramanian, Sundar., Purohit, Shreya., dan Rusch, Kelly A. 2008. “Design and Implementation of a Continuous Microwave Heating System for Ballast Water Treatment”. Environ. Sci. Technol 2008, 42, 4121-4127. [6]. Copyright © United Nations Environment Programme. 2006. Pemanfaatan Kembali Limbah Panas. Pedoman Efisiensi Energi untuk Industri di Asia . diunduh : Agustus 03, 2011. [7]. Hougen, A, Olaf., Watson, Kenneth., 1976. Chemical Process Principles Part 1, 1st Edition United States. [8]. IMO, 1997. ”Guidelines for The Control and Management of Ships‟ Ballast Water to Minimize The Transfer of Harmful Aquatic Organisms and Pathogens”. Resolution A.868(20) adopted on 27 November 1997. [9]. IMO, 2005. Ballast Water Management Convention. International Maritime Organization (IMO), London, 44pp.
[10]. J.P Holman. 1994. Perpindahan Kalor edisi keenam. Jakarta: Erlangga. [11]. Mountfort, D.O., Dodgshun, T., Taylor, M., 2001. “Ballast Water Treatment by Heat – New Zealand Laboratory and Shipboard trials”. In: 1st International Ballast Water Treatment R&D Symposium, 26–27 March 2001, No. 5. IMO, London, pp. 45–50. [12]. Quilez-Badia, Gemma., McCollin, Tracy., D. Josefsen, Kjell., Vourdachas, Anthony., E. Gill, Margaret., Mesbahi, Ehsan., L.J. Frid, Chris., 2008. “On board short-time high temperature heat treatment of ballast water : A field trial under operational conditions”. Marine Pollution Bulletin 56, (2008), 127–135. [13]. Rigby, G., Hallegraeff, G.M., 1994. “The transfer and control of harmful marine organisms in shipping ballast water : behaviour of marine plankton and ballast water exchange trials on the MV. Iron Whyalla”. Journal of Marine Environmental Engineering 1 (2), 91–110. [14]. Rigby, G., Hallegraeff, G.M., Sutton, C., October 1997. “Ballast water heating and sampling trials on the BHP ship „M.V. Iron Whyalla‟ in Port Kembla and en-route to Port Hedland”. Ballast Water Research Series. Report No. 11. Australian Quarantine and Inspection Service (AQIS), Canberra, 57pp. [15]. Data Kapal MV. AMAZON di PT. SPIL, Perak Barat, Surabaya, 2010.
11