KAJIAN BIOLOGIS MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) YANG MENGALAMI PENGANGKUTAN DENGAN PEMBERIAN PAKAN BERBEDA
DEYV PIJOH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
ABSTRAK DEYV PIJOH. Kajian Biologis Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) yang Mengalami Pengangkutan Dengan Pemberian Pakan Berbeda. Dibimbing oleh Sri Supraptini Mansjoer, Wiranda G Piliang, dan Ikin Mansjoer. Pengangkutan menyebabkan, terjadi perubahan lingkungan yang dapat memicu cekaman pada monyet, sehingga laju metabolisme tubuh meningkat. Peningkatan ini akan mengganggu aktivitas biologis dan fisiologis dalam tubuh monyet, bahkan bisa mengakibatkan kematian. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu dilakukan penanganan yang tepat. Penelitian ini berlangsung di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Kuningan dan dilakukan dalam dua tahapan; tahap pertama untuk lama pengangkutan delapan jam pada bulan September 2003 selama 26 hari, dan tahap kedua lama penga ngkutan 24 jam selama 28 hari. Masing-masing percobaan menggunakan 30 ekor monyet betina dewasa, berumur 4-5 tahun dengan bobot badan 2,5-3,5 kg. Peubah yang diamati meliputi melihat konsumsi total selama pengangkutan, penyerapan pakan, perubahan bobot badan, dan perubahan tingkah laku selama dan sesudah pengangkutan. Selama pengangkutan diberikan lima jenis pakan, sedangkan monyet yang diberikan pakan tertentu dikandangkan dalam kandang pengangkutan tidak berjendela dan berjendela untuk mengamati pengaruh jenis kandang terhadap tingkah laku. Dalam penelitian ini digunakan analisis statistik parametrik dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT), selain itu, dilakukan analisis nonparametrik. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengangkutan mempengaruhi hampir semua perlakuan, keragaman pemberian pakan menyebabkan konsumsi dan penyerapan berbeda tetapi tidak perubahan bobot badan. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa selama monyet ekor panjang dalam proses pengangkutan, pemberian pakan yang terbaik terdiri dari monkey chow ditambah n buah-buahan dan multivitamin melalui suntikan intramuskular. Penggunaan model kandang tidak berpengaruh dalam pengangkutan. Berdasarkan lama pemulihan tingkah laku ke tingkah laku sebelum pengangkutan, lama pengangkutan 24 ja m menyebabkan monyet ekor panjang mengalami cekaman lebih besar dibandingkan dengan lama pengangkutan delapan jam. Dianjurkan agar pakan selama pengangkutan sebaiknya pakan kaya protein (monkey chow) dengan tambahan buah-buahan agar juga kaya serat kasar dan memiliki palatabilitas tinggi.
ABSTRACT
DEYV PIJOH. Biological Study of Longtailed Macaques (Macaca fascicularis) Which Experience Transportation. Supervised by: Sri Supraptini Mansjoer, Wiranda G Pilliang, and Ikin Mansjoer. During transportation of monkeys, environment conditions change, cause stress to the animals and consequently the rate of body metabolism increases. This condition influences the stability of biological and physiological activities of the animals, and could cause death. It is therefore necessary to apply appropriate management during transportation of the monkeys. This study was conducted in Bogor and Kuningan counties in two periods, 26 days in September 2003 for transportation time of eight hours, and another 28 days in October – November 2003 for transportation time of 24 hours. The transportation times were treatments applied in the experiment, in which 30 adult female monkeys of 2.5-3.5 kgs of weight were used for each treatment. In addition, five types of rations were given during transportation, and the monkeys were put in two types of individual cages, with and without windows, to observe the effect of open and closed cages. A complete randomized design, arranged factorially was used. Total feed consumption, coefficient of digestibility, changes in body weight, and behaviour of animals during and after transportation were measured in this study. The results of the study indicated that transportation caused changes in almost all aspects of the treatments but, there were no significant differences found due to the type of transportation cages used. Based on the recovery times needed to get back to normal non-stressed behaviour, it was found that longer transportation periods (24 hours vs eight hours) needed longer recovery times. It is recommended that rations during transportation have high levels of protein (monkey chow), and be supplemented with appropriate fruits to furnish the raw fiber and high palatibility.
KAJIAN BIOLOGIS MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) YANG MENGALAMI PENGANGKUTAN DENGAN PEMBERIAN PAKAN BERBEDA
DEYV PIJOH
Tesis Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Primatologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Tesis
: Kajian Biologis Monyet Ekor Panjang ( Macaca fascicularis) yang Mengalami Pengangkutan Dengan Pemberian Pakan Berbeda
Nama
: Deyv Pijoh
NRP
: P057020021
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr.Ir.Hj. Sri Supraptini Mansjoer Ketua
Prof Dr. Ir. Wiranda G Piliang MSc Anggota
drh. Ikin Mansjoer MSc Anggota Diketahui
Ketua Program Studi Primatologi
Dr.Ir. Hj. Sri Supraptini Mansjoer
Tanggal Ujian : 13 Desember 2005
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr.Ir. Syafrida Manuwoto MSc
Tanggal Lulus :
Kata Pengantar Segala kemuliaan penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Pemurah, “karena Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulut-NYA datang pengetahuan dan kepandaian “ atas berkat dan pertolongan-Nya sehingga penyusunan tesis ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilakukan berjudul Kajian Biologis Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) yang Mengalami Pengangkutan Dengan Pemberian Pakan Berbeda. Tak ada kata yang dapat penulis sampaikan selain ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang besar kepada guruku Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer selaku ketua komisi pembimbing, dan anggota Profesor Dr. Ir. Wiranda G. Piliang MSc dan bapak drh. Ikin Mansjoer MSc yang telah rela meluangkan waktu, mencurahkan tenaga dan pikiran, serta mengarahkan penulis semenjak penyusunan proposal, penelitian sampai dengan penyusunan tesis ini. Terima kasih disampaikan kepada, pimpinan SPs-IPB beserta staf pengajarnya yang telah memberikan kesempatan penulis berbekal ilmu. Rasa terima kasih sedalamdalamnya disampaikan kepada Dr. drh. Joko Pamungkas MSc, Kepala Pusat dan staf PSSP -LPPM IPB yang selama ini telah menerima penulis dalam proses pembelajaran berlangsung. Disampaikan terima kasih kepada bapak drh. I Nengah Budiarta direktur PT Wanara Satwa Loka (WSL) dan karyawan, bapak Willem Manangsang direktur PT Inquatex dan karyawan, serta bapak (alm) H Suparno pimpinan PT Kuningan Primata Lestari (KPL) dan karyawan yang telah bersedia dijadikan tempat penelitian. Terima kasih kepada mereka yang telah membantu secara materiil dan spiritual penulis selama ini, mahasiswa PS Primatologi SPs IPB, mahasiswa Sulut di Bogor khususnya asrama Bogor Baru II. Dengan segenap persaudaraan yang indah, saya sampaikan terima kasih kepada Annas dan Anna, mas Hery dan bu Esti sekeluarga, mas Saroyo, Ian, Irfan dan Firman, sobatku Wawan Sutian yang telah berbagi suka dan duka selama penelitian. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada adik iparku Keluarga Ngangi-Malonda, Keluarga Ngangi-Mawikere, dan Henny WH Ngangi. Dalam meraih sukses ini penulis banyak menerima cinta dan kasih dari kakakku
Keluarga Pijoh-Hansang, Deane Maria Pijoh serta adikku Keluarga MoningkaPijoh. Kepada mertuaku Sus Miladeg Karamoy, dan MAMIE yang selalu menyertai penulis dalam meraih cita-cita, terima kasih atas pengorbanannya. Dengan segenap cinta yang dimiliki penulis persembahkan tesis ini kepada istriku Rinny Lentji Ngangi, dan anakku Immanuella Tumatenden. Tuhan kiranya memberkati kita semua Immanuel. Semoga tulisan ini dapat menjadi sumbangan ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi mereka yang membacanya.
Bogor, November 2005
Deyv Pijoh
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Biologis Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) yang Mengalami Pengangkutan Dengan Pemberian Pakan Berbeda adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka bagian akhir tesis ini.
Bogor, November 2005 Deyv Pijoh NRP P057020021
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Makassar Sulawesi Selatan pada tanggal 8 Desember 1960, anak ketiga dari empat bersaudara dari ayah Lodewijk Pijoh (almarhum) dan Ibu Julianna Anatjee Mawikere. Pendidikan sarjana ditempuh di Universitas Sam Ratulangi Fakultas Peternakan Jurusan Ilmu Produksi Ternak, lulus pada tahun 1988. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado sejak tahun 1988. Penulis menikah dengan Rinny Lentji Ngangi pada tahun 1991, dari Keluarga Ngangi-Karamoy dan dikaruniai dua orang putri bernama Linnon Ratumbanua Febriany (almarhum) dan Immanuella Tumatenden Pada tahun 2002, penulis diterima di Program Studi Primatologi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari DirJen Dikti Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
PENDAHULUAN Latar Belakang
Satwa primata merupakan satwa liar yang mempunyai sifat biologis, anatomis dan fisiologis yang mendekati manusia, dan oleh sebab itu banyak digunakan sebagai hewan model dalam percobaan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya pengembangan bidang biologi dan kesehatan manusia. Percobaan-percobaan yang menggunakan hewan model primata antara lain penelitian untuk pengujian obat-obatan dan pembuatan vaksin, dan kemampuan biologis kekebalan alami terhadap penyakit yang dimiliki. Satwa primata yang dipakai sebagai hewan model antara lain monyet ekor panjang (MEP) (Macaca fascicularis), oleh karena itu kebutuhan akan MEP dari tahun ke tahun semakin bertambah sejalan dengan peningkatan kemajuan ilmu pengetahuan yang ada. Pasar komoditi MEP antara lain Amerika Serikat, Jepang dan beberapa negara Eropa. Dilaporkan, negara Amerika Serikat saja membutuhkan lebih kurang 15.000 ekor/tahun, dan kontribusi yang dapat dipenuhi oleh Indonesia hanya sekitar 3.000 ekor (20%), padahal populasi di ne gara kita sangat melimpah bahkan pada beberapa daerah keberadaannya ini merupakan hama bagi petani. Dewasa ini Indonesia dihadapkan pada masalah penolakan untuk pengangkutan satwa hidup oleh perusahan pengangkutan udara nasional dan internasional karena te kanan LSM. Penolakan ini terjadi dengan alasan pengelolaan atau penanganan yang kurang menjamin kesejahteraan dan kenyamanan satwa selama perjalanan. Hal ini jelas sangat merugikan Indonesia sebagai pengekspor satwa primata. Selama ini dalam proses pengiriman monyet untuk sampai ketempat tujuan, perusahaan eksportir tidak mempunyai prosedur operasi baku yang jelas mengenai penanganan selama pengangkutan berlangsung, baik itu berupa pemberian pakan maupun
penggunaan
kandang,
sehigga
para
perusahaan
melakuka nnya
berdasarkan pengalaman yang dimiliki, padahal kedua hal tersebut sangat berpengaruh pada kenyamanan monyet. Kajian tentang kesejahteraan dan kenyamanan dalam pelaksanaan pengangkutan MEP serta satwa primata lainnya masih kurang, belum banyak informasi yang ada sebagai referensi bagi eksportir,
sehingga perlu dilakukan penelitian. Mengacu pada kenyataan tersebut, maka telah dilakukan penelitian untuk mendapatkan informasi pengaruh pengangkutan dengan berbagai pakan yang diberi dan bentuk kandang berbeda terhadap beberapa aspek biologis dan tingkah laku MEP.
Dasar Pemikiran Perubahan lingkungan sangat mudah terjadi, hal ini sangat mengganggu kehidupan organisme, sehingga organisme harus melakukan adaptasi untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan yang ada. Organisme mempunyai batas toleransi menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan sekitarnya, dan ketidak-mampuan mentolerir perubahan lingkungan menyebabkan terjadinya cekaman, yang dapat diketahui melalui aktivitas biologis dan fisiologis yang menyimpang dari biasanya. Untuk memenuhi materi penelitian yang menggunakan hewan model MEP yang dilakukan negara maju, maka dilakukan proses eksportasi. Salah satu faktor yang penting dalam eksportasi adalah pengangkutan, terlebih pengangkutan satwa hidup seperti monyet yang sangat rumit, sehingga perlu penanganan yang tepat agar supaya tidak mengakibatkan kerugian. Penanganan pengangkutan selama pengiriman monyet meliputi: persiapan sebelum pengangkutan, pelaksanaan pengangkutan, dan penanganan sesuda h pengangkutan.
Persiapan
sebelum
pengangkutan
dimulai
dari
monyet
dikarantinakan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi kesehatan dan kebugaran. Selain itu dalam periode karantina dilaksanakan proses penyesuaian diri satwa terhadap kondisi pengangkutan berupa penggunaan kandang individu yang berukuran lebih sempit, cara pemberian pakan yang khusus untuk pengangkutan, serta penggunaan peralatan lain seperti tempat minum. Pada pengangkutan monyet terjadi perubahan lingkungan, dan setiap perubahan lingkungan dapat memicu terjadinya cekaman. Gejala -gejala yang dapat dilihat akibat cekaman antara lain kelelahan, kondisi fisik menurun, proses metabolisme terganggu, penurunan agresivitas, ketakutan, kegelisahan, depresi, dan perubahan kebiasaan makan. Tingkah laku yang merupakan ekspresi satwa,
2
menggambarkan suatu interaksi antara reaksi tubuh dengan lingkungannya, sehingga dapat dijadikan indikator reaksi tubuh terhadap kondisi lingkungannya. MEP dalam pengangkutan, akan mengalami cekaman, sehingga diperlukan penanganan yang tepat agar supaya monyet dapat bertahan lebih baik, bahkan kalau bisa dapat meminimalkan cekaman yang terjadi. Cekaman yang terjadi selama pengangkutan menyebabkan adanya gangguan fisiologis dan perubahan aktivitas fisik. Untuk melakukan aktivitas fisik ini, monyet membutuhkan zat-zat nutrisi yang terkandung dalam pakan, sehigga perlu upaya yang tepat untuk pemenuhan zat nutrisi dengan pemberian pakan yang sesuai dengan kebutuhan monyet selama pengangkutan. Kebutuhan zat makanan yang penting untuk aktivitas tubuh antara lain energi. Pada monyet yang mengalami cekaman, kebutuhan energi untuk hidup pokok meningkat sejalan dengan peningkatan laju metabolisme yang terjadi. Peningkatan energi dapat terpenuhi oleh pemberian pakan yang kaya sumber ene rgi, akan tetapi untuk metabolisme energi tersebut dibutuhkan proses yang cukup panjang. Untuk mengatasi kondisi ini, dapat dilakukan dengan penambahan energi siap pakai secara langsung. Cekaman juga dapat mengakibatkan reaksi fisik yang tidak terkendalika n, dapat memberikan efek merusak pada diri sendiri. Pada kondisi tersebut diperlukan pemberian obat penenang ( tranquiliser). Penggunaan kandang dalam pengangkutan yang dilakukan selama ini menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi monyet, karena keterbatasannya bergerak pada kandang pengangkutan yang sempit. Oleh sebab itu perlu diberikan bentuk kandang yang dapat mengurangi dampak negatifnya.
Tujuan Untuk mengetahui kondisi biologis MEP (konsumsi dan kecernaan semu zat-zat makanan, bobot badan serta tingkah laku) yang mengalami pengangkutan dengan pemberian pakan berbeda, dan dengan penggunaan model kandang angkut yang berbeda pula.
3
Manfaat 1. Memperoleh jenis pakan yang sesuai selama pengangkutan MEP 2. Mendapatkan model kandang yang paling cocok untuk pengangkutan MEP. 3. Mendapatkan informasi derajat cekaman akibat pengangkutan MEP.
Hipotesis 1.
Perbedaan pemberian pakan selama pengangkutan mempengaruhi konsumsi dan kecernaan semu zat-zat makanan, bobot badan serta tingkah laku MEP.
2.
Penggunaan
model
kandang
yang
berbeda
untuk
pengangkutan
mempengaruhi konsumsi dan kecernaan semu zat-zat makanan, bobot badan, serta tingkah laku MEP selama pengangkutan. 3.
Lama pengangkutan mempengaruhi derajat cekaman yang dirasakan MEP.
4
TINJAUAN PUSTAKA Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman satwa, termasuk spesies primata. Terdapat enam famili dari sebelas famili yang ada di dunia (MacKinnon 1986). Salah satu jenis satwa primata tersebut adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dari genus Macaca , famili Cercopithecidae (Bramblett 1994). Sajuthi et al. (1993) menyatakan Indonesia memiliki beberapa satwa primata genus Presbytes dan Macaca seperti beruk (Macaca nemestrina), dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Achmat dan Frankie (2000) menyatakan bahwa pada 150 tahun SM, satwa primata telah dijadikan objek penelitian oleh Galen, sedangkan pada abad ke 19 monyet Rhesus (Macaca mulatta) telah digunakan dalam penelitian kedokteran dan kimia. Dalam perkembangan selanjutnya, manusia mulai mengganti monyet Rhesus ini dengan jenis monyet lainnya, seperti monyet ekor panjang. Bennett et al. (1995) menyatakan bahwa nilai ilmiah satwa primata untuk penelitian biomedis adalah persamaan ciri anatomi dan fisiologis karena kedekatan hubungan filogenetik. Selanjutnya Sajuthi et al. (1997) menyatakan bahwa satwa primata banyak digunakan sebagai hewan model dalam penelitian biomedis maupun pengujian obat-obatan Untuk kebutuhan hewan model dalam penelitian-penelitian yang dilakukan oleh negara-negara maju seperti Amerika, Jepang atau negara-negara Eropa, yang sangat minim sumber daya satwa primatanya, maka negara kita yang berlimpah, bahkan merupakan hama bagi petani, dapat melakukan pemenuhan kebutuhan hewan model tersebut. Sejak tahun 1965, negara kita telah menjadikan satwa primata sebagai komoditi dagang (Achmat dan Frankie 2000).
Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)
Napier dan Napier (1985) menyatakan bahwa Macaca fascicularis mempunyai beberapa nama umum antara lain longtailed macaque, crab-eating macaques yang terdiri dari 21 sub spesies, dan 10 sub spesies diantaranya terdapat di Indonesia. Sub spesies Macaca fascicularis yang ada di Indonesia adalah (1) Macaca f. fascicularis (Gambar 1) di seluruh Pulau Sumatera, Riau, Belitung,
Kalimantan dan Karimata, (2) M. f. lasiae di Pulau Lasia, (3) M. f. paeura di Pulau Nias, (4) M. f. fusca di Pulau Simaluan, (5) M. f. mordax di Pulau Jawa dan Bali, (6) M. f. cupidae di Pulau Mastasiri, (7) M. f. baweana di Pulau Bawean, (8) M. f. tua di Pulau Maratua, (9) M. f. limitis di Pulau Timor dan (10) M. f. sublimitis di kepulauan Sumbawa. Menurut Lekagul dan McNeely (1977), taksonomi MEP (Macaca fascicularis) diklasifikasikan sebagai berikut: filum: Chordata, sub-filum Vertebrata, kelas Mamalia, ordo Primata, sub-ordo Anthropoidae, famili Cercopithecidae, sub-famili Cercopithecinae, genus Macaca, dan spesies Macaca fascicularis
Gambar 1. Monyet ekor panjang
Monyet ekor panjang (MEP) dapat ditemukan di seluruh Asia Tenggara dari Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Malaysia, Philipina, sampai ke Indonesia (Napier dan Napier 1985). Menurut Supriatna dan Wahyono (2000), di Indonesia MEP terdapat di Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Kepulauan Nusa Tenggara dan pulau-pulau sekitarnya. MEP termasuk salah satu spesies yang dapat beradaptasi dengan sangat baik pada lingkungan dan iklim yang berbeda, sehingga selain pada habitatnya, ia juga dapat hidup dengan baik di banyak tempat lain (Napier dan Napier 1985).
6
Menurut Bismark (1984), MEP dapat dijumpai pada daerah yang berair, misalnya pada pinggiran aliran sungai, danau dan hutan bakau.
Morfologi MEP merupakan satwa primata yang dalam aktivitas kesehariannya menggunakan kaki depan dan belakang dalam berbagai variasi untuk jalan dan berlari (quadrupedalism), memiliki ekor yang lebih panjang dari panjang badan dan kepala, juga memiliki bantalan untuk duduk ( ischial callosity), serta memiliki kantong makanan pada pipi (cheek pouches) (Napier dan Napier 1985). Lebih lanjut dinyatakan bahwa secara umum warna rambut agak kecoklatan sampai abuabu, pada bagian punggung lebih gelap dibandingkan dengan bagian perut dan dada, rambut kepala pendek tertarik ke belakang dahi, rambut sekeliling wajahnya berbentuk jambang yang lebat serta ekor tertutup rambut halus. Panjang badan dan kepala 480-550 mm, bobot badan 3,6-6,5 kg dengan panjang ekor 80-110% dari panjang badan (Lekagul dan McNeely 1977). Panjang badan dan kepala antara 350-455 mm, sedangkan panjang ekor antara 400-565 mm (Medway 1978). Panjang tubuh termasuk kepala jantan 412-648 mm dan betina 258-503 mm, bobot badan jantan 4,7-8,3 kg, sedangkan betina 2,5-5,7 kg, serta mempunyai panjang ekor pada jantan berkisar antara 435-655 mm dan pada betina berkisar antara 400-550 mm (Rowe 1996). Lebih lanjut Lekagul dan McNeely (1977) menyatakan bahwa ekornya menyerupai silinder yang berotot yang ditutupi oleh rambut pendek dan mempunyai perbedaan karakter yang jelas antara jantan dan betina.
Pakan MEP termasuk satwa omnivora (pemakan apa saja) (Lekagul dan Mc Neely 1977). Lindburg (1980) menyatakan bahwa selain memakan buah-buahan, MEP juga memakan serangga, rumput, jamur, moluska, akar umbi, dan telur burung. Jenis makanan yang dikonsumsi antara lain: buah-buahan, akar-akaran, daundaunan, serangga, hasil pertanian dan moluska (Napier dan Napier 1985). Pakan utama MEP terdiri dari buah-buahan (60-90%) (Clutton 1977). Persentase jenis pakan yang dikonsumsi berdasarkan Chivers (1980): buah-
7
buahan 62%, daun-daun muda 2%, dan serangga serta binantang kecil lainnya 2%. Berdasarkan hasil penelitian Soegiharto (1992), dinyatakan bahwa komposisi bagian tumbuhan yang dimakan terdiri dari bagian daun 49,93%, buah 38,54%, bunga 6,60% dan lain-lain sebanyak 4,93%. Sedangkan Julliot (1996) menyatakan 66,7% buah-buahan, dedaunan 17,2%, bunga 8,9%, insekta 4,1%, dan lain-lain 3,2%. Komposisi pakan alami MEP terdiri dari: dedaunan yang banyak mengandung selulosa, buah-buahan, dan biji-bijian yang banyak mengandung lipid. Kebutuhan akan zat makanan tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1. Kebutuhan zat-zat makanan monyet Zat Makanan Protein kasar Karbohidrat Serat Kasar Lemak kasar Kalsium Fosfor Sumber: Inglis (1980)
Kadar (%) 15,00– 20,00 45,00– 55,00 2,50 5,00 3,00 – 5,00 0,86 0,47
Fiennes (1976) menyatakan bahwa pemberian pakan untuk monyet yang dipelihara dalam penangkaran, sebaiknya terdiri dari: buah-buahan, umbi-umbian, daun muda, dan biji-bijian. Lebih lanjut Hume (1995) menyatakan bahwa pakan monyet dalam penangkaran terdiri dari air, protein, energi, lemak, mineral, dan vitamin. Berdasarkan Edwards (1997), untuk semua primata yang tertangkap harus diberikan makanan kering yang seimbang sebagai makanan utama dengan penambahan buah-buahan atau sayuran sampai 50% dengan pertimbangan kandungan nutrisi yang kaya dan kandungan air yang mencapai 88-94%. Untuk memenuhi kebutuhan zat nutrisi monyet dalam kandang, dapat diberikan pakan dasar berbentuk pelet berprotein tinggi, dan penambahan buahbuahan dan vitamin B Kompleks (Smith dan Mangkoewidjojo 1987). Vitamin adalah bahan kompleks yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit tetapi penting dan tidak dapat disintesa oleh jaringan tubuh. Semua vitamin esensial untuk pertumbuhan, hidup pokok, dan kesehatan. Hampir semua vitamin yang larut 8
dalam air berfungsi sebagai koenzim dalam metabolisme energi, dan protein, atau sebagai komponen struktural. Vitamin B12 merupakan salah satu vitamin yang larut dalam air yang tidak didapatkan pada pakan bersumber dari tumbuhtumbuhan, oleh sebab itu penambahan vitamin B12 perlu diberikan pada saat pengangkutan monyet yang diberi pakan buah-buahan. Agar penyerapan vitamin B12 terjadi secara efisien dapat dilakukan melalui suntikan dengan kemungkinan pemberian 1-5 mg untuk memperbaiki keadaan penderitaan kelelahan (Linder 1985). Kecukupan vitamin B12 untuk nonhuman primates sebesar 0,03 mg/kg BB menurut NRC (2003).
Konsumsi. Sutardi (1980) menyatakan bahwa kebutuhan hidup pokok adalah kebutuhan untuk mempertahankan bobot hidup dan kebutuhan produksi, mencakup pertumbuhan dan reproduksi. Konsumsi adalah faktor penting yang merupakan dasar untuk hidup dan menentukan produksi (Parakkasi 1999). Church dan Pond (1982) menyata kan bahwa konsumsi pakan dipengaruhi oleh bobot badan, individu satwa, jenis pakan dan faktor lingkungan. North (1984) menyatakan bahwa, jumlah pakan yang dikonsumsi tergantung pada bobot badan, bangsa, aktivitas, cekaman dan kandungan energi pakan serta lingkungan. Wiseman dan Cole (1990) menyatakan bahwa, konsumsi pakan MEP, dipengaruhi oleh palatabilitas, ukuran, tekstur, konsistensi pakan dan suhu lingkungan. Ensminger et al. (1990) menyatakan bahwa hewan mengkonsumsi untuk pemenuhan kebutuhan energi, jika energi sudah terpenuhi maka hewan menghentikan konsumsinya. Lebih lanjut Anggorodi (1995) menyatakan bahwa tingkat energi dalam pakan akan mempengaruhi banyaknya pakan yang dikonsumsi.
Kecernaan Zat-zat Makanan. Kecernaan suatu zat makanan adalah selisih antara zat-zat makanan yang dikonsumsi dengan zat-zat makanan yang masih tersisa dalam kotoran padat (Lubis 1963). Sutardi (1980) menyatakan bahwa pencernaan adalah proses perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan pakan dalam alat pencernaan. Lebih lanjut Tillman et al. (1986), menyatakan bahwa zatzat makanan tersebut dalam saluran pencernaan mengalami perombakan menjadi
9
zat-zat makanan yang siap untuk diserap saluran pencernaan. Kecernaan zat-zat makanan menurut Parakkasi (1999) ada dua macam yait u zat-zat makan tercerna sesungguhnya (true digestibility) dan zat-zat makanan tercerna semu (apparent digestibility). McDonald et
al.
(1988)
menyatakan
bahwa
faktor -faktor
yang
mempengaruhi kecernaan adalah: komposisi makanan, faktor ternak, dan faktor pemberian makanan. Cheeke (1987) menyatakan bahwa semakin tinggi kadar serat kasar pakan, maka laju pergerakan makanan dalam sekum semakin cepat sehingga dapat diperkirakan koefisien cerna zat-zat makanan akan semakin rendah. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa kecernaan yang rendah akan mengurangi konsumsi. Lebih lanjut Anggorodi (1990), mengemukakan bahwa, semakin banyak serat kasar yang terdapat dalam suatu bahan makanan, semakin tebal dan semakin tahan dinding sel- nya, mengakibatkan semakin rendah kecernaan bahan makanan tersebut. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi daya cerna pakan yaitu suhu, laju perjalanan pakan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan pakan, dan komposisi zat-zat yang terkandung (Anggorodi 1995). Pengaruh Pakan Terhadap Bobot Badan. Bobot badan merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengevaluasi respon hewan terhadap bermacammacam makanan, lingkungan, dan tatalaksana penanganan (Hafez dan Dyer 1969). Cekaman dapat menyebabkan kebutuhan nutrisi untuk hidup pokok meningkat,
yaitu
dengan
meningkatnya
kebutuhan
energi
metabolisme
(Anggorodi 1995). Selanjutnya dinyatakan bahwa pertambahan bobot badan tidak hanya dipengaruhi konsumsi pakan saja, tetapi juga dipengaruhi faktor-faktor lain seperti kemampuan cerna pakan, aktivitas fisik, genetik, dan komposisi pakan. North (1984) menyatakan bahwa selain faktor-faktor diatas, jenis kelamin, jumlah konsumsi, dan suhu mempengaruhi pertambahan bobot badan. Ensminger et al. (1990) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, lingkungan dan kesehatan.
10
Tingkah Laku MEP
mempunyai
aktivitas
pada
siang
hari.
Lindburg
(1980)
mengklasifikasikan aktivitas harian monyet sebagai berikut:1) makan: aktivitas yang meliputi proses pengumpulan pakan sampai mengunyah dan dilakukan pada pohon yang sama; 2) mencari makan: aktivitas yang meliputi pergerakan di antara sumber makanan, biasanya di antara pohon; 3) istirahat: tidak melakukan aktivitas apapun, hanya diam atau tiduran, 4) berkelahi: aktivitas ini ditandai dengan ancaman mimik muka atau gerakan badan, menyerang, memburu dan baku hantam; 5) merawat diri: aktivitas mencari kotoran dari tubuh sendiri maupun dari tubuh individu lain yang sejenis; 6) kawin: hubungan seksual yang dimulai dari pengejaran terhadap betina dan diakhiri dengan turunnya pejantan dari betina setelah kopulasi; dan 7) bermain: aktivitas bermain antar individu, terutama anak monyet. Bila orang yang memberi perlakuan menatap lama pada seekor monyet, maka monyet tersebut akan merasa terancam karena merasa orang tersebut akan menyerangnya, sehingga monyet akan memberi respon dengan cara balas menatap dengan mulut tebuka dan dengkuran, kemudian menyerang sambil berteriak, memukul dan menggigit, atau kemungkinan lainnya mereka menunjukkan reaksi patuh dengan tidak melihat, menghindar, atau meringis ketakutan, Vandenberg (2000). Faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku makan masih belum banyak dipelajari. rasa lapar menunjukkan perilaku selera yang kemudian dilanjutkan dengan mencari objek terte ntu dan bila ditemukan, maka perilaku akan berganti menjadi perilaku konsumtif atau ingin memiliki dengan segera. Hal ini dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Stellar (1954) dalam Wood-Gush (1983), menyatakan bahwa ada pusat rasa lapar yang berada pada sisi hypothalamus dan ada juga sebuah pusat rasa kenyang yang berada pada ventromedial hypothalamus. Pusat-pusat tersebut dipicu oleh perubahan yang terjadi dalam darah (Brobeck, 1957 dalam Wood-Gush 1983). Ada tiga hal yang mungkin memicu hal tersebut yaitu: 1) perubahan/menurunnya tingkat kandungan glukosa darah yang diduga akan memicu pusat rasa lapar, tetapi sebaliknya bila kandungan meningkat akan memicu rasa kenyang, 2) pengaruh yang sama juga terjadi terhadap sirkulasi lemak, dan 3) perubahan suhu cairan yang mencapai 11
hypothalamus memicu hal yang sama (Bray, 1976 dalam Wood-Gush 1983). Mas’ud (1999), menyatakan bahwa ada peningkatan gula darah ternak sapi selama dilakukan pengangkutan. Tingkat agresivitas hewan akibat adanya rangsangan dari luar (eksternal), juga dipengaruhi oleh faktor dari dalam (endogenus) terutama mekanisme hormon, seperti testosteron yang meningkatkan agresivitas pada tikus, progesteron yang berpengaruh terhadap agresivitas hamster betina, dan pada hewan yang sedang menyusui biasanya lebih agresif dibandingkan dengan hewan betina dewasa lainnya karena pengaruh mekanisme hormon prolaktin yang sedang tinggi, LH pada burung afrika quelea dan gonadotropin dalam hubungannya dengan jarak antar individu. Diduga bahwa ACTH pada level tinggi dapat menurunkan agresivitas, sedangkan pada tingkat rendah dapat meningkatkan agresivitas. Tinggi rendahnya derajat ACTH berhubungan dengan naik turunnya tingkat cekaman (Wood-Gush 1983). Kaplan (1986) menyatakan bahwa tingkah laku stereotip MEP dalam kandang dapat mengakibatkan perusakan diri sendiri. Tingkah laku monyet dalam kandang yang mengarah ke ketidak-biasaan mencakup pergerakan hiper -aktif dalam kurungan, kerumunan, ketakutan yang berlebihan, membentuk tingkah laku yang berganti-ganti secara berulang dan secara ekstrim dapat berbentuk perusakan diri sendiri (Bramblett 1994). Lebih lanjut dikatakan bahwa pemulihan kondisi dari keadaan tidak-normal yang ada menunjukkan perbaikan secara substansial terhadap ketertekanan yang dialami seperti rasa tidak takut yang berlebihan dan agresi yang nampak serta hilangnya tingkah laku yang berulang-ulang.
Perkandangan Perkandangan merupakan bagian yang penting dalam pemeliharaan satwa primata. Hal ini disebabkan primata mudah menularkan penyakit kepada manusia dan sebaliknya (Sajuthi et al. 1997). Menurut Bennett et al. (1995) dasar disain kandang monyet harus mempertimbangkan berbagai faktor: 1) dapat memberikan kenyamanan fisik monyet yang berada di kandang, 2) harus selaras dengan perkembangan dan pertumbuhan normal dan pencegahan penyakit, 3) mampu
12
menjaga kesehatan dan pemeliharaan yang sesuai, 4) kandang harus sesuai dengan maksud pemeliharaan dan perawatan yang mudah, 5) memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kriteria disain suatu kandang harus mempertimbangkan spesifikasi; 1) spesies, 2) sistim pendukung kandang, 3) koleksi kotoran, 4) pemberian minum, 5) pemberian makanan dan 6) perlengkapan kandang. Soehartono dan Mardiastuti (2003) menyelaskan bahwa pada hari dilakukan pengiriman ke luar negeri, monyet dimasukkan ke dalam peti kayu yang panjang dan disekat menjadi lima kotak, masing-masing petak diisi oleh seekor monyet. Ukuran kotak tergantung ukuran tubuh monyet yang akan diangkut, (60x30x60 cm). Lebih lanjut dijelaskan, pada bagian dasar, peti kayu dilengkapi dengan dengan baki yang dapat digeser keluar. Baki dialasi koran dengan serbuk gergaji untuk menampung kotoran. Setiap kotak dilengkapi dengan wadah tempat air minum. Di bagian depan atas peti terdapa t lubang ventilasi dengan dilapisi kawat kasa, disediakan juga lubang di bagian atas peti yang bisa dibuka dan ditutup untuk pemberian pakan. Dilaporkan oleh Crockett et al. (2000) bahwa variasi ukuran kandang dapat menurunkan aktivitas Macaca fascicularis dan Macaca nemestrina , tetapi tidak berpengaruh pada aktivitas fisiologis.
Pengangkutan Semua
pengangkutan
hewan,
termasuk
pengangkutan
secara
intra
institusional, sebaiknya direncanakan dengan meminimalkan waktu perjalanan dan resiko zoonosis, melindungi terhadap lingkungan ekstrim, menghindari kepadatan yang berlebihan, menyediakan makanan dan air yang cukup, dan melindungi luka fisik (ILAR 1996). MEP yang ditangkap dari habitatnya atau yang dipanen dari penangkaran, tiba di penampungan melalui pengangkutan darat dan terkadang menyeberangi lautan. Jarak yang ditempuh cukup jauh dan panjang, memakan waktu enam sampai 12 jam.
Pengangkutan monyet dari
tempat eksportir sampai ke lokasi konsumen, dapat menghabiskan waktu perjalanan sekitar 16 sampai 36 jam, tergantung negara yang dituju (Achmat dan Frankie 2000).
13
Untuk penanganan perdagangan satwa hidup, persyaratan pelaksanaannya telah ditetapkan oleh IATA, yang dibuat untuk keselamatan manusia dan satwa itu sendiri (Achmat dan Frankie 2000). Lebih lanjut dinyatakan bahwa perjalanan eksportasi yang panjang, dapat menimbulkan ketidak-nyamanan satwa, sehingga satwa mengalami cekaman. Alat angkut, kandang, makanan dan air minum, berperan penting dalam proses pengangkutan (Achmat dan Frankie 2000). Berdasarkan laporan Fortman et al. (1985), sebagian besar instansi di Amerika Serikat, mengangkut satwa primata dengan alat angkut yang dilengkapi dengan pengatur suhu dan kelembaban udara. Selama pengangkutan, monyet membutuhkan perlakuan khusus, misalnya dalam aspek kenyamanan kandang, ketersediaan makanan dan air minum (Mangapul 1988). Selama pengangkutan, hewan melakukan urinasi dan defekasi lebih sering, terutama pada awal perjalanan sehingga mengalami penurunan bobot badan (Shorthose dan Wythes 1988). Lamanya waktu perjalanan menyebabkan penurunan bobot hidup (Fernandez et al. 1996). Angka kematian akibat pengangkutan mencapai sekitar 10 sampai 15%, karena kelelahan, tidak mau makan, penurunan kondisi kesehatan, dan cekaman (Soehartono dan Mardiastuti 2003).
Cekaman Kondisi lingkungan yang tidak biasa dialami satwa, dapat menyebabkan terjadinya cekaman. Selye memformulasikan cekaman sebagai respon nonspesifik tubuh pada berbagai kebutuhan. Fowler (1994) mendefinisikan cekaman sebagai bentuk respon fisiologis dari tubuh sebagai proses penyesuaian diri terhadap perubahan yang disebabkan oleh lingkungan atau dari dalam tubuh. Kaplan (1986) menyatakan bahwa cekaman sering diartikan sebagai tekanan terhadap sistem respon tubuh yang berusaha menjaga sistem internal tubuh agar tetap stabil. Rangsangan-rangsangan ini disebut penghasil cekaman (stressor), MC Farland (1999). Fowler (1994) mengklasikasikan penghasil cekaman yang meliputi somatik, psikologik, perilaku, dan lain-lain. Penghasil cekaman somatik meliputi: suara keras, cahaya dan warna mencolok, panas, dingin tekanan, efek
14
kimia dan obat, penghasil cekaman psikologik meliputi: perkelahian, teror, dan penghasil cekaman perilaku meliputi: populasi dalam kandang yang padat, teritori, dan hirarki. Cekaman merupakan keadaan biologis, emosional, dan tingkah laku yang tidak spesifik (Smith dan French 1997). Lebih lanjut dinyatakan bahwa beberapa sumber utama penyebab cekaman adalah perubahan kehidupan, perkelahian, tekanan lingkungan, dan ketegangan dalam kandang. Anggorodi (1990), dan Ensminger et al. (1990) menyatakan bahwa cekaman mengakibatkan kebutuhan nutrisi meningkat. Cekaman diawali dengan adanya pengaruh luar terhadap suatu organisme. Rangsangan diserap oleh reseptor melalui sistem sensorik individu yang diinterpretasikan oleh sistem syaraf pusat sebagai awal respon terhadap rangsangan. Sinyal tersebut pada berbagai bagian datang dari hipotalamus dan hipofisa yang berpengaruh pada hampir semua perubahan dalam sifat, kesehatan dan metabolisme berada. Oleh sebab itu perilaku hewan yang mengalami cekaman ditandai dengan reaksi endokrin yang berada dalam kelenjar suprarenal. Laju sintesis hormonal dari medula-suprarenal, katekolamin (adrenalin arterenol) dan hormon-hormon dari korteks-suprarenal (gluko dan mineralkortikoid) meningkat oleh adanya cekaman (Gambar 2) (Gunther 1992). Rangsangan
Sistim syaraf pusat
Hipotalamus Adrenalin Anterior hipofisa ACTH
Medula suprarenal
Korteks suprarenal
15
Gambar 2. Mekanisme proses cekaman dalam tubuh (Selye 1957 dalam Gunther 1992) Ketakutan dan kegelisahan merupakan respon penting yang bisa dirasakan oleh satwa melalui penglihatan, pendengaran, penciuman dan rasa (Fowler 1994). Adam et al. (1995) menyatakan bahwa reaksi tingkah laku yang paling umum dan nyata dari ketidak-nyamanan pada satwa adalah kegelisahan (anxiety). Respon terhadap cekaman merupakan kombinasi dari reaksi psikologis dan emosi yang diakibatkan oleh penyebab cekaman. Berdasarkan responnya, cekaman dibagi dalam dua kategori yaitu cekaman psikologis dan cekaman fisik. Cekaman psikologis berpengaruh melalui sistim sensoris, seperti keadaan terkejut, kehilangan rangsangan, penolakan dan pertentangan. Cekaman fisik merupakan akibat langsung dari berbagai peristiwa trauma, seperti luka, infeksi atau kurungan (Hawari 2001). Lebih lanjut dinyatakan bahwa tanda -tanda cekaman dapat dilihat dan dirasakan secara fisik, antara lain 1) rambut berubah warna, kusam dan rontok, 2) pandangan mata mengabur, 3) telinga berdenging, 4) kemampuan berpikir menurun, 5)ekspresi wajah menegang, 6) mulut terasa kering, 7) kelembaban kulit berubah, 8) jantung berdebar-debar dan dilatasi, 9) kesemutan, 10) gangguan lambung, 11) sering buang air kecil, 12) otot terasa sakit, 13) kadar gula darah meningkat, dan 14) libido menurun. Menurut Ewing et al. (1999), metode pengukuran cekaman antara lain: a) perubahan biokimia: glukosa darah, fungsi enzim, perubahan kadar dan jenis hormon, b) asam amino bebas, c) morfologi, d) fisiologi: reproduksi, pertumbuhan, regulasi osmotik, dan ekskresi nitrogen, dan e) tingkah laku: (orientasi, makan, dan respon menghindar). Perubahan dalam metabolisme mineral, yang dirangsang oleh proses penyesuaian akibat adanya cekaman yang merangsang peningkatan jumlah katekolamin (adrenalin dan arterenol), yang dibentuk dalam medulla kelenjar suprarenal bersama dengan beberapa mineralokortikoid melibatkan beberapa mineral, khususnya Ca, Mg, K, Cl, dan Na. Saat peningkatan konsentrasi Ca, Na, dan Cl dalam cairan intestinal dan intraseluler, diikuti dengan penurunan konsentrasi Mg dan K yang berakibat meningkatnya reaksi hipersensivitas syaraf hewan (Gunther 1992).
16
Dalam keadaan cekaman, kadar Mg dalam jaringan tubuh menurun. Penurunan Mg intraselular akibat peningkatan kadar Na, menyebabkan perubahan struktural dalam membran sel-sel mitokondria yang berakibat pada pembatasan kemampuan meresap ke dalam produk-produk metabolik dari metabolisme sel (Gunther 1992). Hal ini menyebabkan gangguan berbagai proses respirasi dan produksi ATP. Mineral berfungsi untuk proses pertumbuhan, reproduksi dan untuk memelihara kesehatan, sedangkan mineral Mg berperan dalam kinerja sistem enzim-enzim, terutama dalam metabolisme karbohidrat dan transmisi syaraf otot (Piliang 2001). Hewan yang mengalami cekaman akibat adanya tekanan lingkungan akan berusaha mempertahankan dan menjaga sistim internal tubuh agar stabil, dengan cara mengatur pola pemakaian energi untuk meredam pengaruh cekaman. Cekaman yang menyebabkan laju metabolisme meningkat, membutuhkan energi yang lebih dibandingkan dengan kondisi normalnya. Sibly dan Calow (1986) menyatakan bahwa cekaman meningkatkan kebutuhan hidup pokok. Pemenuhan kebutuhan energi diperoleh dari pakan yang dikonsumsi, tetapi apabila energi yang tersedia rendah, maka energi cadangan yang tersimpan dalam bentuk lemak tubuh digunakan. Hal inilah yang menyebabkan berkurangnya bobot badan MEP yang mengalami pengangkutan, terutama pada pengangkutan yang memakan waktu beberapa hari. Pengangkutan menyebabkan
cekaman, dan cekaman
membutuhkan energi yang lebih untuk proses fisiologis. Hewan yang mengalami cekaman, ditandai dengan respon kortisol yang meningkat seperti yang dinyatakan oleh Sutian (2005), bahwa kadar kortisol MEP meningkat selama pengangkutan berlangsung. Peningkatan kortisol karena adanya peningkatan kebutuhan energi yang terjadi dalam tubuh. Kebutuhan energi meningkat untuk proses metabolisme maupun untuk mempertahankan keseimbangan fungsi tubuh yang diluar dari biasanya.
Obat penenang Penggunaan obat penenang dalam bidang veteriner dan prosedur penelitian bertujuan untuk melindungi orang yang berhubungan langsung dengan satwa yang
17
dianggap dapat membahayakan, seperti satwa liar, kucing, anjing dan kuda Vandenberg (2000). Diketahui bahwa banyak obat penenang yang ada, seperti fenotiasin (acepromasin dan klorpromasin) menyebabkan tekanan darah rendah dan turunnya suhu badan, butirofenon (fluanison) lebih kuat dari fenotiasin tetapi tidak terlalu menurunkan tekanan darah, benzodiazepin (diazepam dan midasolam), zat dissosiatif (ketamin) (Plumb 1996). Vandenberg (2000) menyatakan bahwa penggunaan obat analgesik didasarkan pada beberapa faktor seperti jenis hewan, umur, tipe dan derajat rasa sakit, lama prosedur invasif, pengaruh yang dia kibatkan terhadap organ tubuh, dan keamanan terhadap hewan dan personil. Plumb (1996) menyatakan bahwa beberapa jenis dari obat-obatan tersebut tidak termasuk zat yang bersifat analgesik maupun anastetik, dapat memblokir aktivitas neuromuskular, bersifat sedatif (membuat mengantuk) dan bersifat anxiolytic (menghilangkan perasaan cemas). Penggunaan obat analgesik ketamin menyebabkan penurunan aktivitas pernafasan dan paralisis (lambannya gerakan otot akibat kerusakan syaraf), Cronnelly et al. (1973) dalam Jones et al. (1977). Lebih lanjut dinyatakan bahwa pemberian ketamin saja tidak menghasilkan efek yang nyata terhadap kontraksi otot. Ketamin tidak mengandung efek simpatomimetik langsung dan tidak berpengaruh pada syaraf simpatetik dan medulla adrenal untuk memicu pelepasan transmisi syaraf yang menghasilkan adrenalin, (Traber et al. 1970) dalam Jones et al. (1977). Ketamin hanya memberikan pengaruh yang kecil terhadap kondisi biologis hewan coba (Bennett 2003).
18
MATERI DAN METODE PENELITIA N Waktu dan Tempat Percobaan I dengan perlahan lama pengangkutan delapan jam, mulai dari persiapan masa adaptasi dan pengangkutan dilaksanakan selama 26 hari pada bulan September 2003 di penangkaran Pusat Studi Satwa Primata (PSSP)-LPPM IPB Bogor dan Kabupaten Kuningan, sedangkan Percobaan II (mulai dari persiapan, masa adaptasi sampai pengangkutan) dengan lama pengangkutan 24 jam dilaksanakan selama 28 hari pada bulan Oktober sampai November 2003 di penangkaran CV New Inquatex, Desa Mekarsari, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, ke daerah Puncak, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Analisis sampel pakan dilakukan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan IPB Bogor. Materi dan Alat Hewan Coba Materi yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 60 ekor MEP dewasa berjenis kelamin betina dengan bobot badan antara 2,5 sampai 3,1 kg, berumur antara 4 sampai 5 tahun dalam kondisi fisik sehat, bebas dari penyakit patogen, khususnya tuberkulosis (TBC) dan simian retrovirus (SRV). Semua monyet berasal dari hasil penangkaran, ditandai dengan nomor yang di tatoo, pada bagian dada, dan dipelihara dalam kandang individu, dan sudah teradaptasi terhadap kandang dimana individu dan pakan yang diberikan sebelum pe ngangkutan. Pakan Selama penelitian MEP diberi pakan buatan berbentuk biskuit padat, kering dan agak keras yang mengandung protein dan energi yang tinggi (monkey chow), serta buah-buahan segar berupa pisang, tebu, apel, jeruk dan jambu biji. Selama monyet berada dalam masa adaptasi (karantina), pemberian pakan dilakukan dua kali sehari (pagi dan siang hari). Perbedaan pakan yang diberi sebagai perlakuan didasarkan pada pemberian pakan para eksportir satwa primata dengan alasan: 1) eksportir A, memberikan paka n buah-buahan saja selama pengangkutan dengan pertimbangan tidak bau dan memiliki kandungan air yang tinggi,
2) eksportir B, memberikan pakan monkey chow saja selama pengangkutan karena merasa praktis, dan 3) eksportir C, memberikan pakan buah-buahan dan monkey chow, dengan penambahan multivitamin dan obat penenang selama pengangkutan dengan pertimbangan kesehatan dan ketenangan.
Gambar 3 Monkey chow, pakan monyet dalam bentuk biskuit. Berdasarkan kondisi di lapangan, maka selama pengangkutan monyet diberikan pakan berbeda sebagai perlakuan (Tabel 2a dan 2b): R0: buah-buahan (pisang, jambu biji) + Monkey chow (standar), R1: Monkey chow, R2: buah-buahan (pisang, jambu biji) + Monkey chow + multivitamin, R3: buah-buahan (tebu, pisang, jambu biji, apel, jeruk), dan R4: buah-buahan (tebu, pisang, jambu biji, apel, jeruk) + multivitamin + obat penenang. Multivitamin dengan merek dagang Hematopan (vitamin B12) dan Biosolamine, serta obat penenang (tranquilizer) ketamin (asam hidroklorit) dengan perbandingan dosis yang sama, diberikan dengan injeksi intramuskular. Selama pengangkutan monyet ditempatkan dalam kandang angkut tertutup (closed cage) sehingga monyet tidak dapat saling melihat, tetapi khusus untuk perlakuan R4 digunakan juga perlakuan kandang angkut berjendela (windowed cage), sehingga monyet dapat saling melihat karena pada kedua sisi samping terbuka diberi jendela bersekat kawat kasa.
20
Tabel 2a Komposisi pakan percobaan lama pengangkutan delapan jam Bahan Pakan
Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4A R4B Tebu 0 0 0 250 250 250 Pisang (g) 300 0 300 250 250 250 Jambu biji (g) 300 0 300 250 250 250 Apel (g) 0 0 0 250 250 250 Jeruk (g) 0 0 0 250 250 250 Monkey chow (g) 100 100 100 0 0 0 Multivitamin (ml/kg BB) 0 0 1a) 0 1 a) 1 a) Obat Penenang (ml/kg BB) 0 0 0 0 0,04b) 0,04b) ® Keterangan: a) Biosolamin , b) Ketamil 100mg/ml ketamin (asam hidroklorit), R4A=Kandang Tertutup, R4B=Kandang Berjendela. Tabel 2b Komposisi pakan percobaan lama pengangkutan 24 jam Bahan Pakan
Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4A R4B Tebu 0 0 0 300 300 300 Pisang (g) 400 0 400 300 300 300 Jambu biji (g) 400 0 400 300 300 300 Apel (g) 0 0 0 300 300 300 Jeruk (g) 0 0 0 300 300 300 Monkey chow (g) 100 150 100 0 0 0 Multivitamin (ml/kg BB) 0 0 1a) 0 1 a) 1 a) Obat Penenang (ml/kg BB) 0 0 0 0 0,04b) 0,04b) ® Keterangan: a) Biosolamin , b) Ketamil 100mg/ml ketamin (asam hidroklorit), R4A=Kandang Tertutup, R4B=Kandang Berjendela. Tabel 3 Kandungan zat-zat makanan dalam pakan percobaan Jambu Apel II) Jeruk II) II) biji BK (%) 88,74 9,00 36,00 14,00 16,00 13,00 Serat Kasar (%) 5,74 7,00 12,00 14,00 9,00 18,00 Protein (%) 27,74 4,60 4,50 0,90 0,30 0,60 Lemak (%) 3,99 0,40 0,20 0,30 0,40 0,20 Karbohidrat (%) 48,22 3,00 33,60 12,20 14,90 12,40 Energi (kal/g) 4.649,00 350,00 750,00 550,00 640,00 510,00 Ca (%) 0,99 40,00 7,00 14,00 6,00 33,00 P (%) 1,16 80,00 25,00 28,00 10,00 23,00 I) Sumber: Monkey chow, hasil analisis Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan IPB 2004, II) Oey, (1992), BK=Bobot kering. Jenis buah
MC I )
Tebu II)
PisangII)
21
Tabel 4 Komposisi dan kandungan vitamin (Biosolamine R ) tiap 100 ml. buatan Romindo Primavetcom Merial Indonesia Komposisi
Kandungan
ATP (g)
0,100
Mg aspartat (g)
1,500
K aspartat (g)
1,000
Na selenit (g)
0,100
Vitamin B 12 (g)
0,050
Eksipien qs (ml)
100,000
Peralatan Alat Pengangkutan Pengangkutan yang dilakukan dengan kendaraan angkut darat berupa mobil truk yang dipergunakan selama ini sebagai kendaraan angkut monyet, berbentuk boks tertutup berventilasi pada bagian sampingnya, dan depan.
Kandang Kandang-kandang yang digunakan selama penelitian ini adalah kandang individu untuk karantina yang terbuat dari terali baja berukuran panjangxlebar x tinggi (77x45x77 cm), di bagian bawah diberi tempat penampung kotoran monyet. Kandang angkut terbuat dari papan kayu lapis berbentuk peti empat persegi panjang dan disekat menjadi lima kotak berukuran panjangxlebarxtinggi (60x30x60 cm). Setiap kotak diberi ventilasi bagian depan seluas 12x20 cm dan dibatasi dengan kawat kasa, bagian dasar kandang juga dipakai kawat kasa dan diberi alas seng untuk penampungan kotoran padat. Kandang angkut yang dipakai ada yang pada kedua sisinya diberi ventilasi dengan dibatasi dengan kawat kasa (windowed cage) sehingga monyet bisa saling melihat, dan yang tidak berventilasi bagian sampingnya (closed cage ) sehingga monyet tidak dapat saling melihat.
22
Gambar 4 Kandang tertutup (atas) dan berjendela (bawah)
Gambar 5 Kandang untuk transportasi monyet.
23
Metode Pelaksanaan penelitian ini terdiri atas dua percobaan yang didasarkan pada lama
pengangkutan,
terbagi
tiga
tahap
yaitu:
sebelum
pengangkutan,
pengangkutan, dan sesudah pengangkutan (Gambar 6) Pemindahan monyet dari kandang kelompok kekandang individu
Proses adaptasi: Kandang, peralatan, dan peneliti (14 hari), pakan percobaan (7 hari)
Percobaan I Pengangkutan 8 jam
Pengamatan tingkah laku setelah pengangkutan (4hari)
Percobaan II Pengangkutan 24 jam
Pengamatan tingkah laku setelah pengangkutan (5 hari)
Gambar 6 Bagan Prosedur kerja selama penelitian
Jalur yang dilalui Percobaan I adalah Darmaga-Bogor-Jakarta lewat pantai utara Pulau Jawa sampai ke Kabupaten Kuningan yang berjarak tempuh lebih kurang 300 km, sedangkan untuk Percobaan II dari Desa Mekarsari, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor-Serpong-Kota Bogor-Cisarua, Kabupaten Bogor, mengalami pengangkutan statis (monyet tetap di dalam mobil angkut dengan mesin mobil tetap hidup tetapi tidak melakukan perjalanan) selama 16 jam di Cisarua, dan empat jam kembali lagi dengan jalur yang sama. Untuk memperoleh waktu yang tepat dan menghindari fluktuasi suhu, perjalanan berlangsung malam hari mulai pukul 22.00 WIB. 24
Peubah yang Diukur I.
Konsumsi pakan (g/ekor): pakan yang dikonsumsi selama 8 jam dan 24 jam perjalanan dihitung dari selisih jumlah pakan yang diberi sebelum perjalanan dikurangi jumlah pakan yang sisa setelah perjalanan.
II.
Kecernaan semu zat makanan (g/ekor): dihitung dari jumlah zat pakan yang dikonsumsi dikurangi jumlah zat pakan dalam feses.
III.
Perubahan bobot badan (g/ekor): perbedaan bobot badan yang terjadi selang pengangkutan yang didapatkan dari timbangan bobot badan sebelum pengangkutan dikurangi dengan setelah perjalanan.
IV.
Tingkah laku harian: melihat perubahan tingkah laku harian monyet setelah mengalami pengangkutan dengan membandingkan dengan tingkah laku harian sebelum pengangkutan. Tingkah laku harian yang diamati adalah tingkah laku makan dan tingkah laku agresif. 1) Tingkah laku makan: a) respon terhadap pakan (jam/ekor): reaksi langsung mengambil dan makan; dan b) penggunaan waktu makan (jam/ekor): waktu yang digunakan memakan habis pakan (kurang dari dua menit) Pengambilan data pukul 07.00 dan pukul 13.00, (selama 48 jam) 2) Tingkah laku agresivitas (jam/ekor): reaksi agresif marah dan menantang setelah diberikan penggangguan. Pengambilan data pukul 09.00 dan pukul 15.00 (sp selama 48 jam)
Analisis Data Data penelitian dianalisis secara deskriptif untuk pengamatan tingkah laku dengan membandingkan hasil Percobaan I dan II, serta dijelaskan. Untuk pengaruh terhadap perubahan bobot badan, konsumsi, dan kecernaan zat makanan, data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) berfaktor dan dilanjutkan dengan pengujian Beda Nyata Terkecil (BNT) (Mattjik dan Sumertajaya 2000).
25
Model matematika untuk rancangan tersebut adalah sebagai berikut : Yijk = ì+ Ai + Bj + AB ij + Eijk Keterangan: Y ijk
= respon pengaruh kandang taraf ke-i, pengaruh pakan pada taraf ke-j pada ulangan ke -k
ì
= nilai rerata sesungguhnya
A
= pengaruh pakan ke-i
B
= pengaruh kandang ke-j
i
= perlakuan1,2,3,4 dan5 (1= pakan standar, 2=obat penenang, 3= multivitamin, pakan 4= buah, 5= Monkey chow)
j
= kandang 1,2 (tertutup, berjendela)
ABij
= interaksi pemberian pakan dengan bentuk kandang
Eijk
= galat
26
Hasil dan Pembahasan Keadaan Umum Lingkungan Pengangkutan
Periode Adaptasi Percobaan diawali dengan pemindahan MEP dari kandang kelompok ke unit karantina yang ditempatkan dalam kandang individu yang berdampingan. Kondisi lingkungan pada periode karantina menunjukkan kelembaban udara maksimum 79,5%, suhu udara maksimum 31,20C, dan diberikan cahaya 13 jam sehari secara otomatis. Perubahan ini membatasi aktivitas dan interaksi sosial dengan individu lain, sehingga mengakibatkan monyet mengalami cekaman, hal ini ditandai dengan perubahan tingkah laku seperti rasa takut, nafsu makan berkurang, dan ada monyet yang diare. Pemindahan monyet ini tujuannya untuk adaptasi kondisi penelitian berupa kandang, alat, dan peneliti serta dilakukan pengamatan tingkah laku untuk dijadikan dasar pembanding sesudah pengangkutan. Pemberian pakan dan minuman selama periode ini disesuaikan dengan pola pemberian pakan yang ada di lokasi penangkaran yaitu dua kali sehari pada pagi hari pukul 07.00 WIB dan siang hari pukul 13.00 WIB, berupa pakan campuran MC dan buah-buahan (pisang dan jambu biji). Pemberian pakan dan minuman ini diikuti dengan pemberian obat dan antibiotik bagi MEP yang mengalami diare. Adaptasi pakan percobaan sebagai perlakuan diberikan selama seminggu menjelang pe ngangkutan dilaksanakan.
Periode Pengangkutan Setelah MEP
mampu
beradaptasi yang
ditunjukkan dengan kondisi
tubuh dan fisik yang baik, pengangkutan dilaksanakan dengan tindakan meminimalkan setiap risiko yang merugikan, melindungi terhadap lingkungan yang ekstrim, memberikan pakan dan air minum yang dibutuhkan, serta melindungi satwa dari kemungkinan luka fisik akibat benturan yang terjadi. Keadaan berjalan dengan baik sesuai dengan yang direncanakan, tidak ada gangguan kemacetan sepanjang perjalanan. Suhu selama pengangkutan delapan
jam berkisar pada 24-280 C dan untuk lama pengangkutan 24 jam suhu berkisar pada 19-260C. Kondisi Fisik Pengamatan MEP selama pengangkutan dibatasi untuk menghindari kemungkinan akan bertambahnya tekanan cekaman, juga kandang angkut yang kecil membatasi penglihatan yang ada. Keberadaan dapat diketahui dengan pasti setelah pengangkutan berakhir dan kembali dipindahkan ke dalam kandang individu yang ditempatkan di unit karantina. Kondisi setelah pengangkutan MEP dapat dilihat jelas dalam keadaan kelelahan, lemah, dengan ekspresi ketakutan, bingung, pasif, dan aktivitas gerak sangat minim, sehingga dalam penanganannya relatif lebih mudah, bila dibandingkan sebelum dilaksanakan pengangkutan.
Konsumsi Konsumsi Pakan Dalam percobaan ini, pemberian pakan dilakukan pada awal pengangkutan, dan MEP langsung mengkonsumsi pakan yang ada. Konsumsi selama pengangkutan dapat dilihat pada Tabel 5a dan 5b, demikian juga dengan konsumsi zat-zat makanan pada Tabel 6a dan 6b.
Tabel 5a Rerata jumlah pemberian, jumlah dan persentase konsumsi pakan pada pengangkutan 8 jam. Konsumsi Pemberian pakan (g/ekor) Jumlah konsumsi/ (g/ekor/8 jam) Persentase konsumsi (%/ekor)
R0 700
R1 100
Perlakuan R2 R3
R4A
R4B
700
1.250
1.250
1.250
383,80
49,20
399,20
629,20
659,40
692,00
54,83
49,20
57,03
50,34
52,75
55,36
MC (%/ekor) *) 5,94 100,00 6,21 Tebu (%/ekor) **) 0,00 0,00 0,00 **) Pisang (%/ekor) 50,60 0,00 51,95 Jambu biji (%/ekor) 43,46 0,00 41,83 Apel (%/ekor) 0,00 0,00 0,00 Jeruk (%/ekor) **) 0,00 0,00 0,00 Keterangan: *) = Monkey chow. **) = tanpa kulit,
0,00 25,52 24,25 17,58 17,42 15,26
0,00 26,21 24,05 16,23 17,11 16,41
0,00 27,83 22,31 16,50 18,29 15,06
28
Tabel 5b Rerata jumlah pemberian, jumlah dan persentase konsumsi pakan pada pengangkutan 24 Jam Konsumsi R0 Pemberian pakan (g/ekor) Jumlah konsumsi (g/ekor/24 jam) Persentase konsumsi (%/ekor)
R1
Perlakuan R2 R3
R4A
R4B
900
150
900
1.500
1.500
1.500
565,80
88,20
590,20
862,80
903,80
917,40
62,87
58,80
65,58
57,52
60,25
61,16
100 0,00 0,00
6,74 0,00 54,49
0,00 23,81 24,15
0,00 23,99 25,20
0,00 24,85 25,33
0,00 38,77 0,00 0,00 0,00 0,00 = tanpa kulit
17,20 19,73 15,11
17,26 19,32 14,23
15,52 19,97 14,32
*)
MC (%/ekor) 5,97 Tebu (%/ekor) **) 0,00 Pisang(%/ekor) **) 56,77 Jambu biji (%/ekor) 37,26 Apel(%/ekor) 0,00 Jeruk(%/ekor)**) 0,00 Keterangan: *) = Monkey chow.
**)
Tabel 6a Rerata konsumsi zat-zat makanan selama pengangkutan 8 jam. Konsumsi Protein(g) Lemak(g) Karbohidrat(g) Kalsium (Ca)(g) Fosfor (P)(g) Energi (kal/g)
R0 R1 14,86 13,38 1,98 1,96 63,96 23,72 0,38 0,49 0,98 0,57 3050,27 2287,31
Perlakuan R2 R3 R4A 15,91 13,34 13,57 2,11 1,29 1,33 67,61 43,65 44,85 0,39 1,32 1,38 1,01 2,32 2,44 3228,30 2828,05 2962,15
R4B 14,24 1,40 45,05 1,54 2,63 2938,09
Tabel 6b Rerata konsumsi zat-zat makanan selama pengangkutan 24 jam Perlakuan
Konsumsi R0 Protein(g) Lemak(g) Karbohidrat (g) Kalsium (Ca)(g) Fospor (P)(g) Energi (kal/g)
R1
R2
R3
R4A
R4B
23,04 21,29 24,82 17,87 19,62 20,20 2,96 3,52 3,24 1,71 1,83 1,84 63,96 23,72 67,61 43,65 44,85 45,05 0,54 0,87 0,58 1,83 1,86 1,90 1,45 1,02 1,55 3,17 3,20 3,45 4569,72 4100,42 4932,39 3885,74 4080,78 4016,17
29
Hasil yang diperoleh pada percobaan lama pengangkutan delapan jam adalah konsumsi terendah terjadi pada perlakuan yang diberi MC sejumlah 49,20 g/ekor dan tertinggi diberi perlakuan pakan 100% buah-buahan sejumlah 659,00 g/ekor, sedangkan untuk lama pengangkutan 24 jam, menunjukkan hal sama bahwa perlakuan yang diberi MC, konsumsinya terendah 88,20 g/ekor dan tertinggi perlakuan diberi pakan 100% buah-buahan dengan penambahan multivitamin dan obat penenang sejumlah 903,80 g/ekor. Perbedaan konsumsi ini disebabkan oleh bentuk fisik pakan yang diberikan berbeda, MC berbentuk biskuit padat keras denga n kandungan air yang rendah dibandingkan dengan buah-buahan segar yang memiliki kadar air tinggi yang diberi sebagai pakan pada perlakuan lainnya. Untuk persentase konsumsi pada pengangkutan delapan jam, pemberian 100% MC terendah 49,20%, dan tertinggi pemberian pakan campuran MC dengan buah-buahan yang ditambahkan multivitamin sebesar 52,75% dari jumlah pakan yang diberikan, sedangkan untuk lama pengangkutan 24 jam yang terendah adalah perlakuan pakan 100% buah-buahan dan tertinggi adalah perlakuan pakan campuran MC dan buah-buahan dengan pemberian multivitamin sebanyak 65,58%. Rendahnya persentase konsumsi dari ketersediaan pakan yang diberi, diduga karena waktu untuk makan terbatas. Pemberian beberapa bahan makanan yang diberi sebagai pakan selama pengangkutan menunjukkan adanya perbedaan. Sedikitnya konsumsi MC (5,94%6,21% untuk lama pengangkutan delapan jam dan 5,97% -6,74% untuk lama pengangkutan 24 jam) dibandingkan dengan konsumsi pakan buah-buahan, menunjukkan adanya sifat memilih oleh MEP yang lebih menyukai buah-buahan, karena memang makanan utama MEP adalah buah-buahan. Hal ini juga terlihat pada perlakuan 100% buah-buahan yang terdiri dari beberapa jenis, yang hasilnya menunjukkan tingkat kesukaan yang hampir sama antara 25,52% -15,26% dan 26,21%-16,41% untuk lama pengangkutan delapan jam dan 24,15% -15,11% dan 25,20%-14,23% untuk lama pengangkutan 24 jam. Hasil ini menunjukkan bahwa MEP sebagai primata merupakan pemakan buah-buahan (frugiforous). Selain sifat pemakan buah, kandungan air dalam bua h diperlukan untuk laju metabolisme tubuh yang meningkat karena cekaman. Johnson (2000) menyatakan bahwa
30
tingkah laku memakan pada monyet Rhesus tidak berubah sekalipun berada dalam kondisi tertekan. Penambahan multivitamin melalui suntikan intramuskuler dalam perlakuan pakan campuran buah-buahan dan MC tidak memberikan perbedaan nyata terhadap jumlah konsumsi MEP selama pengangkutan. Multivitamin berfungsi bukan sebagai sumber makanan, tetapi hanya sebagai kofaktor yang membantu proses enzimatik dalam tubuh dan dibutuhkan dalam jumlah sedikit (Linder 1992). Demikian juga dengan pemberian obat penenang ketamin yang tidak memberikan pengaruh terhadap konsumsi, karena sesuai fungsinya sebagai zat sedatif yang memberi efek menenangkan (Plumb 1996).
Bobot Kering Pakan Pemberian berbagai jenis pakan berpengaruh terhadap konsumsi bobot kering pakan MEP yang mengalami pengangkutan seperti yang terlihat pada Tabel 7. Konsumsi bobot kering pada percobaan lama pengangkutan delapan jam lebih rendah bila dibandingkan dengan percobaan lama pengangkutan 24 jam.
Tabel 7 Rerata konsumsi bobot kering pakan selama pengangkutan (g/ekor). Lama Pengangkutan 8 jam
Perlakuan Pakan R0
R1
R2
R3
R4
113,50A 175,14a
120,05A 114,45A 119,69 A 43,66B 24 jam 183,13a 166,63ac 78,27B 157,28c Keterangan: Superskrip huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01), sedangkan untuk huruf kecil menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05).
Melalui analisis statistik dan pengujian dengan Beda Nyata Terkecil (BNT), hasilnya berbeda sangat nyata (P<0,01), antara perlakuan pemberian pakan 100% MC sebanyak 43,66 g/ekor dengan perlakuan lainnya pada pengangkutan delapan jam, sedangkan antar perlakuan lainnya, konsumsi BK pakan tidak sama tetapi analisis statistik menunjukkan perbedaan tidak nyata. Untuk percobaan lama pengangkutan 24 jam, hasil juga menunjukkan bahwa pemberian pakan 100% MC yang rendah menyebabkan perbedaan sangat nyata (P<0,01) dibandingkan de ngan 31
perlakuan lainnya, sedangkan untuk pemberian pakan campuran MC dan buahbuahan dengan penambahan multivitamin sebanyak 183,13 g/ekor menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) dengan perlakuan pakan 100% buah-buahan. Rendahnya konsumsi BK dari MEP selama pengangkutan 24 jam dibandingkan dengan konsumsi harian (200-300g Valereo et al. (1969) untuk buah-buahan, dan 82-122g untuk pakan buatan Ismanto (1999)) diduga karena MEP mengalami cekaman selama pengangkutan. Sedangkan untuk perlakuan pakan 100% MC yang rendah, diduga ada beberapa hal yang mempengaruhi yaitu a) MC merupakan pakan buatan dalam bentuk padat, keras, kering kurang palatabel sehingga untuk dikonsumsi membutuhkan waktu lebih lama, sedangkan dalam proses pengangkutan waktu yang tersedia terbatas. Seperti yang dinyatakan oleh Church (1979); Wiseman dan Cole (1990); Pond et al. (1995) bahwa bentuk fisik sangat mempengaruhi konsumsi pakan oleh hewan, dan b) kandungan energi MC tinggi (4649 kal/g), dibandingkan dengan kandungan energi buah-buahan yang diberi sebagai pakan, antara 350-750 kal/g (Tabel 3). Energi merupakan zat nutrisi yang dapat mempengaruhi tingkat konsumsi (Anggorodi 1995), lebih lanjut Wahyu (1997) menyatakan bahwa konsumsi akan meningkat kalau diberi pakan dengan kandungan energi ya ng rendah dan akan menurun kalau diberi pakan dengan kandungan energi yang tinggi. Lebih lanjut Church (1979) menyatakan bahwa konsumsi pakan dipengaruhi oleh individu dan lingkungan.
Kecernaan Semu Zat-zat Makanan Nilai kecernaan menggambarkan kesanggupan hewan dalam mencerna zat nutrisi dari pakan yang dikonsumsi. Kemampuan MEP mencerna semu pakan pada pengangkutan 24 jam dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Rerata kecernaan semu zat-zat makanan pada pengangkutan 24 jam. Pakan Energi (kal/g) Protein (g/ekor)
Perlakuan Pakan R0
R1
R2
R3
R4
2.702,00
2.782,00
2.813,00
2.351,00
2.549,00
7,48
7,96
8,26
5,90
7,44
32
Energi Kecernaan semu energi oleh MEP pada pengangkutan 24 jam, menunjukkan
bahwa
pakan
campuran
MC dan
buah-buahan
ditambah
multivitamin, paling banyak dicerna (2.813 kal/g/ekor). Hal ini diduga karena konsumsi BK pakan yang tinggi sehingga memungkinkan penyerapan lebih banyak, sedangkan tingginya kecernaan semu energi pakan 100% MC (2.782 kal/g/ekor), karena kandungan energi MC yang tinggi dan serat kasar rendah, sehingga sekalipun dikonsumsi sedikit, penyerapan dapat terjadi maksimal karena zat-zat makanan yang terkandung dalam MC mudah diserap. Seperti yang dinyatakan oleh Tillman et al. (1991) bahwa semakin tinggi serat kasar dalam pakan, semakin banyak energi yang keluar melalui feses. Lebih lanjut Anggorodi (1995), menyatakan bahwa semakin tingginya serat kasar pakan, semakin rendah kecernaan pakan tersebut. Protein. Kecernaan semu protein pakan menunjukkan hasil yang berbeda pula. Banyaknya protein yang tercerna pada perlakuan pakan 100% MC (7,96 g/ekor), meskipun oleh konsumsi MC yang sedikit, namun kandungan protein tinggi, dan mudah diserap sehingga memungkinkan penyerapan yang lebih tinggi. Selain itu juga, MC mengandung protein yang tinggi 27,74% (Tabel 3), dibandingkan dengan kadar protein pakan lainnya. Blaxter (1969) menyatakan bahwa waktu yang ditempuh dalam saluran pencernaan akan mempengaruhi daya cerna, semakin singkat waktunya, maka semakin berkurang kemampuan cernanya. Lebih lanjut Maynard et al. (1979) menyatakan bahwa jumlah makanan yang dikonsumsi sangat mempengaruhi kecernaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan adalah komposisi pakan, pemberian pakan, jumlah pakan yang dikonsumsi, dan laju perjalanan pakan di dalam saluran pencernaan (MC Donald et al. 1988). Rendahnya kecernaan protein MEP yang mengalami pengangkutan 24 jam menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan protein per hari yang berkisar antara 15-20%, hal ini diduga karena monyet mengalami cekaman yang menyebabkan rendahnya tingkat kecernaan pakan akibat adanya gangguan proses fisiologis dalam tubuh, seperti yang dinyatakan oleh Ewing et al. (1999) bahwa cekaman menurunkan kebutuhan dan penggunaan zat-zat makanan, serta sistim kekebalan.
33
Perubahan Bobot Badan Percobaan pada pengangkutan delapan jam dan 24 jam menunjukkan bahwa lama pengangkutan mengakibatkan perbedaan terhadap perubahan bobot badan. Adanya pertambahan bobot badan yang mencapai 11 g/ekor, dan terendah -14 g/ekor, sangat berbeda dibandingkan dengan pengangkutan 24 jam yang mengalami penurunan bobot badan antara -69 g/ekor sampai -92 g/ekor (Tabel 9).
Tabel 9 Rerata perubahan bobot badan selama pengangkutan (g/ekor). Lama Pengangkutan 8 jam
Perlakuan R0 6a
R1
R2
R3
R4
-14b
8a
10a
11a
24 jam -79 -75 -69 -92 -89 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Perbedaan
penurunan
bobot
badan
MEP
yang
mengalami
lama
pengangkutan delapan jam dengan pengangkutan 24 jam, diduga karena pada pengangkutan 24 jam tekanan cekamannya yang lebih lama seiring dengan lamanya pengangkutan, sehingga aktivitas untuk mempertahankan keseimbangan fisiologis sebagai akibat adanya cekaman lebih lama pula. Cekaman yang memicu gangguan fisiologis dengan meningkatnya laju metabolisme membutuhkan energi yang lebih besar dibandingkan dengan kondisi normal. Sibly dan Calow (1986) menyatakan bahwa cekaman lingkungan meningkatkan kebutuhan hidup pokok. Tidak terpenuhinya kebutuhan hidup pokok menyebabkan terjadinya pengurasan cadangan yang ada, demikian halnya dengan energi, apabila tidak terpenuhi dalam pakan, maka energi yang terdeposit dalam bentuk lemak tubuh akan dimanfaatkan. Percobaan pengangkutan delapan jam menunjukkan perbedaan nyata (P<05). Penurunan bobot badan MEP yang diberi pakan 100% MC sebesar badan -14 g/ekor diduga karena monyet telah mengalami cekaman, sekalipun untuk perlakuan lain mengalami penambahan. Penambahan bobot badan ini dikarenakan konsumsi pakan buah-buahan segar yang banyak selama pengangkutan, sehingga 34
proses pencernaan masih berlangsung, sedangkan pengangkutan sudah harus berakhir. Lama pengangkutan 24 jam memberikan pengaruh penurunan bobot badan untuk semua perlakuan. Penurunan te rbanyak terjadi pada perlakuan pakan 100% buah-buahan tanpa penambahan multivitamin dan obat penenang sebanyak -92 g/ekor dan terendah pada perlakuan yang diberi pakan campuran MC dan buahbuahan
ditambah
multivitamin
sebanyak -69
g/ekor.
Analisis
statistik
menunjukkan tidak ada perbedaan nyata. Hal ini berarti bahwa pemberian pakan yang diberi selama
pengangkutan tidak mampu menekan cekaman yang
mengakibatkan penurunan bobot badan MEP. Pemberian multivitamin hematopan yang mengandung B12 dan biosolamine yang mengandung ATP murni serta beberapa mineral, tidak memberikan pengaruh terhadap penurunan bobot badan. Hal ini dimungkinkan karena penambahan multivitamin tidak dapat menghilangkan cekaman yang terjadi akibat pengangkutan, tetapi kemungkinan dapat mengurangi cekaman yang ada. Demikian juga dengan pemberian ketamin yang tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan bobot badan, karena pemberian obat penenang sampai 0,04 mg/kg BB, tetapi kemungkinan dapat menekan intensitas cekaman, seperti yang dila porkan oleh Joslin dan Collins (1999) bahwa penggunaan sedatif dan obat penenang dapat menekan cekaman selama hewan di pengangkutan.
Tingkah Laku Keadaan umum setelah pengangkutan MEP menampakkan gejala diam tidak bereaksi, berada pada salah satu pojok belakang kandang dengan pandangan kelihatan kosong bercampur takut, menampakan tingkah laku yang berbeda bila dibandingkan dengan tingkah laku sebelum pengangkutan. Untuk mengetahui sampai seberapa besar tekanan cekaman dan kemampuan MEP membebaskan diri dari cekaman pengangkutan, dilakukan dengan melihat perubahan tingkah laku, antara lain tingkah laku makan dan tingkah laku agresivitas.
35
Tingkah Laku Makan Respon Terhadap Pakan. Tingkah laku makan merespon pakan yang segera mengambil dan memakan tidak terlihat setelah MEP mengalami pengangkutan. Perubahan tingkah laku merespon terhadap pemberian pakan menjadi langsung mengambil dan memakan berangsur-angsur kelihatan, diawali dengan perubahan dari diam menjadi tidak langsung mengambil pakan yang diberikan, dan kemudian menjadi langsung mengambil dan memakannya. Pada pengangkutan delapan jam, saat pemberian pakan pertama kali pasca pengangkutan, semua MEP diam tidak mempedulikan pakan tersebut, sedangkan pada pemberian pakan kedua kali sudah ada 30,00% yang merespon terhadap pakan yang diberi, tetapi masih belum ada yang merespon langsung mengambil dan memakan pakan yang diberi. Pada pemberian pakan ketiga kali, sebanyak 13,33% yang mengambil dan langsung memakan pakan yang diberi, tetapi masih 23,33% tidak merespon terhadap pakan yang diberi. Pada pemberian pakan ke empat kali, ada 60,00% yang merespon langsung mengambil dan memakan pakan yang diberi, dan pada pemberian pakan kelima kali bertambah sebanyak 26,67%,
frekuensi (%)
serta 13,33% pada pemberian pakan keenam kali (Gambar 7). 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 6
12
18
24
30
36
42
waktu (jam)
8 jam pengangkutan
24 jam pengangkutan
Gambar 7 Perubahan respon makan setelah pengangkutan Pada pemberian pakan pertama kali pasca pengangkutan 24 jam, tidak ada MEP merespon langsung terhadap pakan yang diberikan, semuanya tidak peduli 36
dengan pandangan bingung dan menampakkan rasa ketakutan. MEP yang merespon langsung untuk mengambil dan memakan pakan yang diberi mulai terjadi setelah pemberian pakan keempat kali, ada sebanyak 10,00% dan tidak merespon terhadap pakan yang diberi sebanyak 20,00%. Pada pemberian pakan kelima kali, yang merespon bertambah 30,00% dengan langsung mengambil dan memakan pakan yang diberi. Pada pemberian pakan keenam kali, jumlah MEP bertambah 36,66%, pada pemberian pakan ketujuh kalinya 16,67% yang merespon, serta 6,67% yang merespon pada pemberian pakan ke delapan kali. Lama waktu yang dibutuhkan untuk perubahan respon makan setelah mengalami pengangkutan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Rerata waktu yang dibutuhkan untuk perubahan respon makan setelah pengangkutan. Perubahan respon makan (jam/ekor) Pengangkutan 8 Jam Pengangkutan 24 Jam R0 27,60 36,60 R1 26,40 36,20 R2 25,20 33,60 R3 28,80 36,00 R4A 24,00 33,00 R4B 24,00 32,80 Rata-rata 26,00 34,60 Keterangan: R4A= kandang angkut tertutup, R4B= ka ndang angkut berjendela Perlakuan
Berdasarkan respon langsung untuk mengambil dan memakan pakan yang diberikan setelah mengalami lama pengangkutan delapan jam, diperoleh hasil bahwa MEP membutuhkan waktu 26,00 jam untuk kembali ke kondisi sama seperti sebelum penga ngkutan, sedangkan untuk pengangkutan 24 jam, waktu yang dibutuhkan adalah 34,60 jam. Lama Waktu Makan. MEP yang memerlukan lama waktu makan kurang dari dua menit untuk
menghabiskan pakan yang diberikan setelah mengalami
pengangkutan delapan jam, pada pemberian pakan pertama kali tidak ada, semuanya memerlukan waktu lebih dari sepuluh menit. Pada pemberian pakan ketiga kali, sekitar 23,33% yang makan kurang dari dua menit, masih 13,33% yang memakan lebih dari sepuluh menit, dan sisanya 63,33% memakan antara dua 37
sampai dengan sepuluh menit. Pada pemberian pakan keempat kali bertambah 26,67% yang sudah dapat menghabiskan pakan kurang dari dua menit, dan pada pemberian pakan kelima kali, yang memakan dalam waktu kurang dari dua menit bertambah 30,00%, serta pada pemberian pakan keenam kali sekitar 96,67% dapat menghabiskan pakan dalam kurang dari dua menit. Ada 3,33% yang mulai pada pemberian pakan keempat kali, menghabiskan pakan dalam waktu antara dua sampai dengan lima menit, dan kondisi ini berlanjut terus sepanjang pengamatan (Gambar 8).
35 frekuensi (%)
30 25 20 15 10 5 0 6
12
18
24
30
36
42
waktu (jam)
8 jam pengangkutan
24 jam pengangkutan
Gambar 8 Perubahan lama waktu makan setelah pengangkutan Pada pengangkutan 24 jam, pemberian pakan pertama kali, yang makan kurang dari dua menit tidak ada, semuanya menghabiskan waktu makan lebih dari 10 menit. Peruba han mulai terlihat pada pemberian pakan ke empat kali, ada 13,33% yang sudah mampu makan kurang dari dua menit, tetapi masih ada 20,00% yang menghabiskan pakannya lebih dari sepuluh menit. Pemberian pakan kelima kali bertambah 30,00% yang lama waktu makannya kurang dari dua menit, tetapi masih ada 6,67% yang makan lebih dari sepuluh menit. Pada pemberian pakan keenam kali bertambah 23,33% yang dapat menghabiskan pakan dalam waktu kurang dari dua menit, dan pada pemberian pakan ketujuh kali, yang dapat makan kurang dari dua menit menjadi 90,00% ekor, serta pada pemberian pakan
38
kedelapan kali, 100,00% MEP sudah mampu menghabiskan pakan kurang dari dua menit. Lama waktu yang dibutuhkan untuk perubahan lama waktu makan setelah mengalami pengangkutan dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Rerata waktu yang dibutuhkan untuk perubahan lama waktu makan setelah pengangkutan. Perubahan lama waktu makan (jam/ekor) Pengangkutan 8 Jam Pengangkutan 24 Jam R0 27,60 39,60 R1 26,60 38,40 R2 26,20 32,60 R3 28,80 36,00 R4A 24,60 31,60 R4B 24,60 31,40 Rata-rata 26,40 35,00 Ketertangan: R4A= kandang angkut tertutup, R4B= kandang angkut berjendela Perlakuan
Berdasarkan lama waktu makan yang kurang dari dua menit sudah langsung mengambil dan mema kan, diperoleh hasil bahwa MEP setelah mengalami lama pengangkutan delapan membutuhkan waktu 26,40 jam, sedangkan pada pengangkutan 24 jam, waktu yang dibutuhkan 35,00 jam untuk berada dalam kondisi seperti sebelum dilakukan pengangkutan.
Tingkah Laku Agresivitas. Setelah pengangkutan delapan jam, tidak ada MEP yang berlaku agresif dan merespon terhadap gangguan pertama kali. Ada 40,00% terganggu tetapi tidak menampakkan sifat agresif merasa seperti hanya terusik saja, dan 60,00% tetap diam berada dipojok kandang. Perubahan tingkah laku agresif diawali dengan membalas menatap setiap kehadiran orang yang ada dengan membuka mulutnya yang lebar memperlihatkan gigi, kemudian menyerang dan ada yang sambil berteriak, mulai nampak pada pemberian gangguan ketiga kali, ada 26,67% merespon tindakan gangguan dengan agresif menunjukkan sikap yang melawan, 13,33% masih tidak beraksi, dan sisanya sudah bereaksi tapi tidak agresif dan berusaha menghindar, dan ada yang merasa ketakutan. Penggangguan keempat
39
kali yang sudah mampuh memberi respon agresif dan berusaha melawan bertambah sebanyak 30,00% dan tidak ada lagi yang diam bila diusik. Tindakan penggangguan kelima kali bertambah menjadi 96,67% dan pada penggangguan keenam kali 100,00% MEP agresif merespon dengan menunju kkan ekspresi melawan seperti sebelum dilakukan pengangkutan (Gambar 9). 50 frekuensi (%)
40 30 20 10 0 6
12
18
24
30
36
42
waktu (jam)
8 jam pengangkutan
24 jam pengangkutan
Gambar 9 Perubahan tingkah laku agresivitas setelah pengangkutan Untuk pengangkutan 24 jam, penggangguan pertama kali ada 26,67% MEP yang berespon terganggu tapi tidak menunjukkan tingkah laku menantang, dan 73,33% tetap diam dipojok tak bereaksi. Perubahan terjadi pada penggangguan keempat kali sebanyak 13,33% memberi reaksi agresif terhadap rangsangan gangguan yang diberi, dan ada 26,67% belum memberi reaksi terhadap gangguan yang ada, penggangguan yang kelima kali bertambah 30,00%, dan masih ada 3,33% yang belum memberikan reaksi. Penggangguan keenam kali sebanyak 66,67% merespon, gangguan ketujuh kali bertambah 26,67%, dan penggangguan kedelapan kali terlihat 100,00% MEP sudah memberikan respon terhadap gangguan yang diberi dengan membalas tatapan dengan menunjukkan ekspresi marah dan mencoba melawan. Lama waktu yang dibutuhkan untuk perubahan agresif setelah mengalami pengangkutan dapat dilihat pada Tabel 12.
40
Tabel 12 Rerata waktu yang dibutuhkan untuk perubahan agresivitas setelah pengangkutan. Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4A R4B Rata-rata
Perubahan Tingkah laku Agresivitas (jam/ekor) Pengangkutan 8 Jam Pengangkutan 24 Jam 26,40 36,00 25,20 34,80 25,00 33,60 27,60 37,20 23,80 33,60 23,40 32,40 25,20 34,60
Ketertangan: R4A= kandang angkut tertutup, R4B= kandang angkut berjendela Berdasarkan sifat agresif yang ditunjukkan terhadap gangguan yang diberikan setelah mengalami lama pengangkutan delapan jam, diperoleh hasil bahwa MEP membutuhkan waktu 25,20 jam untuk kembali berada dalam kondisi sama seperti sebelum pengangkutan, sedangkan untuk pengangkutan 24 jam, MEP membutuhkan waktu lebih lama (34,60 jam) untuk kembali berada dalam kondisi sama seperti sebelum pengangkutan Dari keseluruhan perubahan tingkah laku yang terjadi, respon langsung mengambil dan memakan pakan, lama waktu menghabiskan pakan, dan respon agresif marah dan menantang, diperoleh hasil adanya perbedaan waktu perubahan tingkah laku yang dibutuhkan MEP untuk kembali sama seperti sebelum pengangkutan. Diperoleh hasil bahwa untuk lama pengangkutan delapan jam pulihnya tingkah laku ke keadaan sebelum pengangkutan, terjadi pada pagi hari ketiga, dan untuk lama pengangkutan 24 jam, pada waktu sore hari ketiga. Perbedaan waktu pemulihan ini menandakan adanya perbedaan tekanan cekaman yang dialami selama pengangkutan. Makin lama MEP mengalami cekaman, maka makin lama juga pemulihannya.
Pengaruh Kandang Perbedaan bentuk kandang ya ng digunakan dalam percobaan pengangkutan ini tidak menunjukan pengaruh terhadap konsumsi, Kecernaan semu za -zat makanan, dan perubahan bobot badan MEP (Tabel 13).
41
Tabel 13 Rerata penampilan MEP selama pengangkutan. Lama Pengangkutan 8 Jam 24 Jam Kandang Kandang Kandang Kandang Tertutup Berjendela Tertutup Berjendela
Pengukuran
Konsumsi BK (g/ekor) Kecernaan semu Energi (kal/g/ekor) Kecernaan Semu Protein (g/ekor) Perubahan Bobot Badan (g/ekor)
119,69
125,40
11,00
166,63
168,96
-
2.484,00
2.549,00
-
6,79
7,84
-89,00
-84,00
15,00
Rendahnya respon terhadap kondisi biologis MEP pada kandang tertutup dibandingkan kandang berjendela selama pengangkutan secara absolut ada, namun
hasil
uji
statistik
tidak
menunjukkan
perbedaan
nyata
selama
pengangkutan, sekalipun pada penelitian yang dilaporkan oleh Sutian (2005) bahwa ada perbedaan nyata P<0,05 terhadap kandungan hormon kortisol dalam urine yang lebih tinggi dikandang tertutup. Hal ini karena respon langsung terhadap cekaman adalah reaksi metabolisme yang melibatkan peranan hormonal, sedangkan kondisi biologis merupakan hasil akhir dari reaksi metabolisme yang terjadi. Tidak adanya perbedaan nyata diduga karena MEP masih dapat berkomunikasi melalui suara, pe nciuman, pergerakan yang ditimbulkan, dan sudah saling mengenal karena berasal dari satu kandang penangkaran. Hasil ini mendukung penelitian sebelumnya oleh Crockett et al. (1993) bahwa perlakuan yang dibedakan oleh bentuk kandang, hanya memberikan pengaruh pada aktivitas dan tingkah laku MEP.
42
Simpulan 1. Pemberian pakan yang terbaik selama proses pengangkutan 8 dan 24 jam monyet ekor panjang adalah pakan campuran monkey chow dan buah-buahan, dengan penambahan multivitamin (R2). 2. Penggunaan model kandang berjendela dan tertutup tidak berpengaruh terhadap konsumsi dan penyerapan makanan, serta perubahan bobot badan. 3. Pada proses pengangkutan yang lebih lama mengakibatkan derajat cekaman lebih besar, yang ditunjukkan dengan waktu pemulihan yang lebih lama pula. 4. Lama waktu pemulihan dapat dijadikan indikator derajat cekaman yang dialami selama proses pengangkutan.
Saran 1. Sebaiknya selama pengangkutan monyet ekor panjang, diberikan pakan yang mengandung zat-zat nutrisi lengkap sesuai dengan kebutuhan. Pemberian multivitamin dan obat penenang dapat dipertimbangkan sebagai usaha peningkatan kesejahteraan monyet. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjut tentang kebutuhan zat-zat nutrisi untuk dapat mengurangi pengaruh cekaman selama pengangkutan MEP. 3. Penelitian semacam ini perlu dikembangkan, sehingga dapat me ngungkap kriteria pengukuran cekaman melalui kriteria hormonal dan tingkah laku atau indikator biologis lainnya.