HUBUNGAN ANTARA FAKTOR LINGKUNGAN DENGAN PARAMETER DEMOGRAFI POPULASI MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis)
CORY WULAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Hubungan antara Faktor Lingkungan dengan Parameter Demografi Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2015 Cory Wulan NIM E351120051
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
RINGKASAN CORY WULAN. Hubungan antara Faktor Lingkungan dengan Parameter Demografi Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis). Dibimbing oleh YANTO SANTOSA dan ENTANG ISKANDAR.
Monyet ekor panjang dari wilayah Asia Tenggara merupakan jenis satwa primata utama yang diperdagangkan di dunia untuk berbagai pemanfaatan seperti di bidang biomedis, bidang antariksa dan lain sebagainya. Hingga akhir tahun 1990-an, permintaan yang tinggi terhadap monyet ekor panjang ternyata lebih banyak dipenuhi dari hasil tangkapan langsung dari alam dan menunjukkan adanya kecenderungan eksploitasi yang berlebihan sehingga dapat membahayakan kelestarian populasinya di alam bila pemanenannya tidak dilakukan dengan suatu kajian ilmiah. Sehubungan dengan pemanfaatannya tersebut, jumlah monyet ekor panjang yang ditangkap dari alam harus berdasarkan kuota tangkap yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan. Namun peraturan terkait kuota tangkap yang dikeluarkan hingga saat ini hanya berisi jumlah yang diambil dan belum terinci sesuai jenis kelamin dan kelas umur dan belum berdasarkan data parameter demografi populasinya. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa parameter demografi monyet ekor panjang yang dapat digunakan sebagai penentu kuota tangkap monyet ekor panjang tersebut adalah rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif dan peluang hidup. Lingkungan merupakan faktor penting bagi kehidupan populasi monyet ekor panjang di habitat alaminya sehingga seberapa besar pengaruh dari faktor lingkungan terhadap parameter demografi populasi dari monyet ekor panjang di habitat alaminya perlu dilakukan kajian secara menyeluruh. Penelitian tentang hubungan antara faktor lingkungan dengan paramater demografi populasi monyet ekor panjang dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap peluang hidup dan rasio jumlah bayi dan anak per betina reproduktif serta merumuskan model hubungan antara faktor-faktor lingkungan dan populasi yang telah teridentifikasi terhadap kedua parameter demografi tersebut. Pengambilan data parameter demografi populasi monyet ekor panjang dilakukan dengan menggunakan metode titik terkonsentrasi. Pengamatan dilakukan tiga kali yaitu pada pagi hari (06.00-08.00), siang hari (11.00-13.00), dan sore hari (16.00-18.00) masing-masing dengan 5 kali ulangan yang dilakukan selama 7 hari. Data yang dicatat selama pengamatan yaitu jumlah individu tiap kelompok, jumlah individu berdasarkan jenis kelamin serta berdasarkan kelas umur. Untuk parameter biofisik habitat yang diamati antara lain: suhu dan kelembaban udara di bawah tegakan, ketinggian tempat, pH tanah, kemiringan lokasi, intensitas cahaya matahari di bawah tegakan, jarak pohon pakan dari sumber air, jarak pohon pakan dari kebun terdekat milik masyarakat serta kerapatan tumbuhan pakan di berbagai tingkat pertumbuhan. Untuk mengetahui
ada tidaknya pengaruh faktor lingkungan terhadap parameter demografi digunakan uji regresi linear berganda pada selang kepercayaan 95%. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa peluang hidup kelas umur anak ke muda dipengaruhi oleh kerapatan pakan pada tingkat pancang dengan model hubungan yaitu Y(peluang hidup anak-muda) = 0.144 + 0.002 Kpcg. Rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif dipengaruhi oleh kerapatan pakan tingkat pancang dan tiang dengan model hubungan Y(rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif) = 1.186 – 0.005 Kpcg + 0.002 Ktg. Hasil analisis regresi juga menunjukkan bahwa peluang hidup dari kelas umur muda ke dewasa tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Kata kunci: faktor lingkungan, demografi
habitat, monyet ekor panjang, parameter
SUMMARY CORY WULAN. The relationship of environmental factors and population demographic parameters of long tailed macaque (Macaca fascicularis). Supervised by YANTO SANTOSA and ENTANG ISKANDAR. Long-tailed macaque from Southeast Asia is a main primate species traded in the world for multiple uses such as biomedical, aerospace and other fields. High demand for long tailed macaque in early nineties mostly fulfilled by wild caught, and caused a tendency of excessive exploitation. Therefore, the scientific study of population needs to be conducted to control population. The number of long-tailed macaque from wild caught must be based on the quota set by the Director General of Forest Protection and Nature Conservation of the Ministry of Forestry. But, the quota regulations only contain the number of wild caught and not based on demographic parameter yet. Previous studies show that demographic parameters used as a determinant of long-tailed macaques quota are the ratio of infant and juvenile to the reproductive female and life opportunity. Environment is an important factor for the long-tailed macaque’s population in their natural habitat. The influence of environmental factors on the demographic parameters should be examined thoroughly. The main reason of this research was to see environmental influences on demographic parameters of the population in their natural habitat and to formulate models of relationship between environmental factors to demographics parameters. This research was conducted in four types of natural habitat ecosystems that were planted forest ecosystem in Gunung Walat Education Forest, coastal and lowland forest ecosystem in the Pangandaran Nature Reserve/ Recreation Park, karst ecosystem in Paliyan Nature Reserve, and mountain forest ecosystem in Kaliurang Recreation Park. The object of this research was 11 groups of long tailed macaque in various habitat types using concentration count method. Observations were made for seven days, three times a day for each group; morning (6:00 to 08:00), noon (11:00 to 13:00) and afternoon (16:00 to 18:00). The data collected during the observation were the number of individual, individual by sex and individual by age class of each group. Environmental factors that were observed consists of temperature and humidity under the stands, altitude, the density of food sources, soil pH, slope, intensity of sunlight under stands, food sources distance from water source, and food sources distance from the nearest farm. The influence of environmental factors on demographic parameters was determined with multiple linear regression. The results show that the life opportunity of infant and juvenile to sub-adult classes was affected by food sources density of saplings. The model is Y = 0.144 + 0.002 Kpcg. The ratio of infants and juvenile to reproductive females was affected by food sources density of saplings and poles. The model is Y = 1.186-0.005 Kpcg + 0.002 Ktg. The regression analysis also show that the life opportunity of sub-adult to adults classes is not influenced by environmental factors Keywords: demography parameter, environmental factors, habitats, long tailed macaque
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
HUBUNGAN ANTARA FAKTOR LINGKUNGAN DENGAN PARAMETER DEMOGRAFI POPULASI MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis)
CORY WULAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis :
Dr Ir Nyoto Santoso, MS
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 hingga Mei 2014 ini ialah parameter demografi populasi monyet ekor panjang, dengan judul Hubungan antara Faktor Lingkungan dengan Parameter Demografi Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis). Penyusunan tesis ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak sehingga penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof Dr Ir Yanto Santosa selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr Ir Entang Iskandar selaku anggota komisi pembimbing, yang telah bersedia membimbing, meluangkan waktu, mengarahkan, serta memberikan saran sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. 2. Bapak Dr Ir Nyoto Santoso selaku penguji dari luar komisi yang telah memberikan masukan dan arahan untuk penyempurnaan penulisan tesis ini. 3. Ibu Dr Ir Siti Badriyah Rushayati selaku pimpinan sidang ujian tesis yang telah memberikan masukan dan saran untuk penyempurnaan penulisan tesis ini. 4. Bapak Dr Ir Nandi Kosmaryandi selaku Direktur Hutan Pendidikan Gunung Walat, Balai Besar KSDA Jawa Barat, Bapak Yana selaku Kepala Resort CA/ TWA Pangandaran, Balai KSDA Yogyakarta, Bapak Widodo selaku Kepala Resort Paliyan, Balai Taman Nasional Gunung Merapi, Bapak Teguh selaku Kepala Resort Pakem-Turi wilayah Kaliurang yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian. 5. Pak Uus, Pak Lilik, Pak Ona, Pak Radiyo, Pak Barjono, Tubagus Maulana Muhammad Yusuf, S.Hut, M.Si, dan Achmad Fauzi yang telah membantu penulis dalam pengambilan data di lapangan serta Koko Erliyanto, S.Hut atas bantuan pembuatan peta lokasi penelitian. 6. Ayahanda Armen Putra, Ibunda Rosmanidar A.Md, adik-adik penulis Titin Agusmella A.Md, Rola Nanda Widuri S.Si dan Mhd. Bintang Pamungkas serta seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya. 7. Ikhwanul Hakima SE atas doa, semangat, dan dukungannya. 8. Teman-teman seperjuangan Konservasi Biodiversitas Tropika (KVT) tahun 2012 untuk kebersamaan dan dukungannya selama ini. Demikian ucapan terima kasih ini disampaikan dengan penuh ketulusan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2015 Cory Wulan
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Hipotesis Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 2 3 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA
3
3 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
7
3 METODE Lokasi dan Waktu Alat dan Objek Penelitian Jenis data yang dikumpulkan Metode Pengumpulan Data Analisis Data
11 11 11 11 11 15
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter Demografi Faktor Lingkungan Habitat Analisis hubungan antara lingkungan dengan parameter demografi
18 18 25 30
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
33 33 33
DAFTAR PUSTAKA
34
LAMPIRAN
40
RIWAYAT HIDUP
51
DAFTAR TABEL 1 Teknik pengumpulan data pengamatan parameter demografi dan lingkungan populasi monyet ekor panjang 2 Karakteristik kelompok monyet ekor panjang di seluruh lokasi pengamatan 3 Peluang hidup dan rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif tiap kelompok monyet ekor panjang di seluruh lokasi pengamatan 4 Seks rasio monyet ekor panjang di seluruh lokasi pengamatan 5 Suhu harian dan kelembaban udara di seluruh lokasi pengamatan 6 Ketinggian lokasi, pH tanah lantai hutan dan kemiringan lahan di seluruh lokasi pengamatan 7 Jarak pohon pakan dari sumber air dan kebun masyarakat terdekat di seluruh lokasi pengamatan 8 Kerapatan pohon pakan di seluruh lokasi pengamatan
13 18
21 24 25 27 29 30
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5
Pengamatan struktur umur monyet ekor panjang Desain plot analisis vegetasi untuk tiap lokasi penelitian Monyet ekor panjang di berbagai lokasi pengamatan Habitat monyet ekor panjang di berbagai lokasi pengamatan Beberapa jenis tumbuhan pakan monyet ekor panjang di lokasi pengamatan
12 14 21 28 31
DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta lokasi penelitian 2 Hasil uji asumsi regresi klasik model hubungan antara faktor lingkungan dengan peluang hidup kelas umur anak-muda dan rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif
41
43
1 PENDAHULUAN Latar belakang Monyet ekor panjang dari wilayah Asia Tenggara merupakan jenis satwa primata utama yang diperdagangkan di dunia (Eudey 1999) dan dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian biomedis (Gaillot et al. 2006) contohnya sebagai model penelitian penyakit tubercolosis (Rahmi et al. 2010), model penelitian obesitas dan osteoporosis (Saniwu et al. 2010, Wardy et al. 2010). Selain pemanfaatan di bidang biomedis monyet ekor panjang juga dimanfaatkan dalam bidang teknologi antariksa (Santosa 1996). Monyet ekor panjang tersebut diekspor ke beberapa negara di dunia seperti Cina dan Amerika Serikat (Eudey 2008). Monyet ekor panjang dari kelompok jantan muda adalah jenis yang diminta untuk memenuhi permintaan ekspor tersebut (Kusmardiastuti 2010, Surya 2010). Hingga akhir tahun 1990-an, permintaan yang tinggi terhadap monyet ekor panjang ternyata lebih banyak dipenuhi dari hasil tangkapan langsung dari alam dan menunjukkan adanya kecenderungan eksploitasi yang berlebihan sehingga dapat membahayakan kelestarian populasinya di alam bila pemanenannya tidak dilakukan dengan suatu kajian ilmiah (Eudey 2008). Homyack dan Haas (2009) menyatakan bahwa pemahaman tentang cara pemanenan dari alam akan memberikan pengaruh bagi struktur ekosistem, proses ekologis, keragaman jenis serta kelangsungan hidup suatu populasi yang diperlukan bagi pengelolaan kawasan hutan demi kelestarian populasi secara ekologis dan ekonomis. Demi pemenuhan kebutuhan ekspor yang tinggi dan keuntungan ekonomi, perdagangan spesies ini dilakukan tidak hanya melalui perdagangan legal bahkan juga secara ilegal yang tentunya bisa mengakibatkan penurunan jumlah spesies ini dari habitat alaminya dengan cepat (Eudey 2008). Indonesia merupakan satu dari empat negara di Asia Tenggara selain Filipina, Malaysia, dan Thailand yang menjadi pengekspor monyet ekor panjang terbesar (Eudey 1999) ke negara lain. Hal ini merupakan upaya yang sedang digalakkan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka usaha peningkatan devisa negara dari sektor non-migas, antara lain dari sektor kehutanan (Santosa 1996). Sehubungan dengan pemanfaatannya, jumlah monyet ekor panjang yang ditangkap dari alam harus berdasarkan kuota tangkap yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan. Namun kenyataannya peraturan terkait kuota tangkap yang dikeluarkan oleh PHKA ini hingga saat ini hanya berisi jumlah yang diambil dan belum terinci sesuai jenis kelamin dan kelas umur, sehingga bisa dikatakan bahwa pengambilan spesies ini dari habitat alaminya belum berdasarkan data parameter demografi populasi. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Kusmardiastuti (2010), dan Surya (2010) diketahui bahwa parameter demografi monyet ekor panjang yang dapat digunakan sebagai penentu kuota tangkap monyet ekor panjang tersebut adalah rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif dan peluang hidup. Parameter demografi terdiri atas tingkat kelahiran, kematian, nisbah kelamin dan ukuran populasi merupakan komponen yang penting di dalam mempelajari perkembangan populasi satwa liar (Santosa 2010) dan juga merupakan hal yang mendasar untuk memahami bagaimana kondisi populasi
2
tersebut (Lebreton et al. 1993 dalam Marker et al. 2003). Kajian ilmiah terkait parameter demografi populasi yang tervalidasi pada dasarnya dapat menentukan strategi konservasi monyet ekor panjang tersebut (Santosa 2010). Perkembangan parameter demografi dari waktu ke waktu sangat diperlukan bagi analisis kelestarian suatu spesies di masa yang akan datang (Santosa et al. 2012). Perkembangan populasi monyet ekor panjang khususnya untuk populasi yang berada di alam tentunya akan berkaitan dengan kondisi lingkungan yang menjadi habitat spesies ini. Hasil penelitian terkait perilaku dan aktivitas harian monyet ekor panjang yang telah dilakukan oleh Widiyanti (2001) menyatakan bahwa aktivitas makan merupakan aktivitas yang paling banyak dilakukan selain bergerak. Makan menjadi salah satu aktivitas pokok satwa liar (Ueno 2001) karena energi yang diperlukan oleh makhluk hidup untuk menjalankan aktivitas hariannya diperoleh dari makanan yang diolah di dalam tubuhnya (Sinclair 2006). Bagi primata dari kelompok Macaca jenis frugivores yang artinya hampir sekitar 60-90% jenis pakannya didominasi oleh buah-buahan (Clutton-Brock dan Harvey 1977 dalam Bercovitch dan Huffman 1999), maka energi yang digunakan untuk beraktivitas berasal dari jenis buah-buahan tersebut. Jenis monyet ekor panjang hidup dalam koloni/ kelompok sehingga di dalam pemanfaatan potensi pakannya akan terlihat dari struktur sosial dalam kelompok tersebut (Berkovitch dan Huffman 1999). Berbagai hal terkait ekologi monyet ekor panjang selanjutnya dapat dianalisis dari aktivitas makan tersebut sebagai contoh yaitu bagaimana penggunaan relung monyet ekor panjang yang berkohabitasi dengan lutung (Hendratmoko 2009) serta bagaimana karakteristik wilayah jelajahnya (Hidayat 2012). Penelitian terkait parameter demografi monyet ekor panjang telah banyak dilakukan. Namun sejauh mana faktor lingkungan mempengaruhi parameter demografi populasi dari monyet ekor panjang di habitat alaminya belum dikaji secara menyeluruh, padahal lingkungan merupakan faktor penting bagi kehidupan populasi monyet ekor panjang di habitat alaminya. Hal inilah yang menjadi alasan utama penelitian ini perlu untuk dilakukan yaitu untuk melihat ada tidaknya pengaruh lingkungan terhadap parameter demografi populasi monyet ekor panjang di habitat alaminya. Perumusan Masalah Belum tersedianya data populasi dan kajian ilmiah menyeluruh terhadap populasi monyet ekor panjang terutama bagi komoditi ekspor membuat penurunan populasinya menurun secara cepat meskipun statusnya bukanlah satwa yang dilindungi. Selain itu belum dilakukannya kajian yang menyeluruh tentang bagaimana lingkungan mempengaruhi parameter demografi monyet ekor panjang di beberapa tipe habitat alaminya memunculkan pertanyaan penelitian sebagai berikut: a. Bagaimana variasi parameter demografi populasi monyet pada tiap-tiap tipe habitat tersebut? b. Bagaimana variasi kondisi lingkungan pada tiap-tiap tipe habitat monyet yang diamati? c. Bagaimana pengaruh faktor lingkungan terhadap parameter demografi populasi monyet di habitat alaminya?
3
Tujuan Penelitian Penelitian tentang hubungan antara faktor lingkungan dengan paramater demografi populasi monyet ekor panjang dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap peluang hidup dan rasio jumlah bayi per betina reproduktif serta merumuskan model hubungan antara faktor-faktor lingkungan dan populasi yang telah teridentifikasi terhadap kedua parameter demografi tersebut. Hipotesis Penelitian Hipotesis dari penelitian adalah bahwa faktor lingkungan di habitat alaminya mempengaruhi parameter demografi populasi monyet ekor panjang. Ruang lingkup penelitian Penelitian ini meliputi kajian literatur terhadap hasil-hasil penelitian yang menyangkut aspek demografi serta habitat populasi alami monyet ekor panjang serta serangkaian pengamatan lapangan secara langsung yang ditujukan untuk memperoleh data ukuran dan tipe kelompok, ukuran populasi, struktur kelas umur, nisbah kelamin, dan kondisi habitatnya pada beberapa tipe habitat alami monyet ekor panjang yang diamati.
2 TINJAUAN PUSTAKA Bio Ekologi Monyet Ekor Panjang Persebaran monyet ekor panjang Penyebaran populasi merupakan suatu gambaran proses pemencaran individu-individu dalam ruang dan waktu (Santosa 1995). Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) merupakan satu dari 19 jenis primata genus Macaca (Fooden 1982) dan merupakan genus primata yang paling banyak tersebar di seluruh dunia (Berkovitch dan Huffman 1999) yang terdistribusi di selatan, tenggara dan timur Asia serta di utara Afrika (Matsumura 2001). Daerah persebaran monyet ekor panjang yaitu Indocina, Thailand, Burma (Myanmar), Malaysia, Philipina, dan Indonesia (Hendratmoko 2009). Monyet ekor panjang di Indonesia menyebar di banyak wilayah di Indonesia yaitu meliputi Kalimantan, Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sumba dan Flores (Supriatna dan Wahyono 2000). Persebaran yang luas tersebut dikarenakan kemampuan monyet ekor panjang dalam beradaptasi terhadap lingkungannya bila dibandingkan dengan jenis primata selain manusia lainnya (Lindburg 1991 dalam Berkovitch dan Huffman 1999) dan didukung pula dengan kemampuannya untuk tetap bertahan hidup pada habitat yang terganggu (Cowlishaw dan Dunbar 2000), monyet ekor panjang mampu hidup di pepohonan dan di atas tanah), mempunyai variasi pakan yang banyak, laju reproduksi yang tinggi dan tidak takut dengan kehadiran manusia. Persebaran monyet ekor panjang di Pulau Jawa yang pernah dijumpai beberapa di antaranya yaitu Gunung Mas, Cagar Alam Telaga Warna, Cikakak, Kali Gondang, Maja Singi, Tawangmangu, Wanagama, Tulung Agung, Bektiharjo, Sumber Semen, Colo, Goa Kreo, Kutosari, Jati Barang, Cirebon, Cibubur, Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Halimun Salak, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, dan Gunung Slamet. Galdikas (1984) menyatakan bahwa monyet ekor panjang biasanya dapat dijumpai di sepanjang sungai-sugai ataupun daerah rawa yang berbatasan dengan sungai ataupun hutanhutan dengan tanah yang kering. Nugroho (2012) menyatakan bahwa keberadaan monyet ekor panjang juga tersebar di antara lahan pertanian, bahkan terkadang hidup berdekatan dengan lingkungan tempat tinggal manusia karena dapat mencari makanan di sekitar tempat sampah (Lekagul dan McNeely 1977) sehingga sering menimbulkan konflik dengan manusia. Habitat Monyet Ekor Panjang Habitat satwa liar secara umum diartikan adalah tempat/ lokasi dimana satwa liar tersebut hidup (Morrison et al. 2006). Habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air, dan perlindungan (Bailey 1984). Habitat yang sesuai menyediakan semua kelengkapan habitat bagi suatu jenis selama periode musim tertentu atau berlangsung sepanjang tahun (Surya 2010). Secara lengkap habitat dapat didefinisikan sebagai sumberdaya yang cocok (makanan, tempat perlindungan) serta kondisi lingkungan (faktor abiotik seperti suhu udara, faktor biotik seperti pesaing dan predator) yang dapat menentukan kehadiran, ketahanan, serta perkembangbiakan suatu populasi (Sinclair et al. 2006). Akses untuk
5
memperoleh habitat yang sesuai menjadi hal yang penting bagi satwa liar untuk bertahan hidup dan berkembang biak (Lindenmeyer dan Fischer 2006). Matsumura (2001) menjelaskan bahwa kelompok genus Macaca memiliki habitat yang tersebar merata di hampir seluruh tipe habitat seluruh dunia, yaitu mulai dari hutan hujan tropis hingga daerah kering (semi-arid), mangrove, hingga hutan temperate. Hal ini merupakan bukti bahwa kemampuan adaptasi satwa ini sangat tinggi terhadap berbagai tipe habitat (Supriatna dan Wahyono 2000). Jenis pakan Pakan monyet ekor panjang dapat terdiri dari buah-buahan, biji-bijian, pucuk, serangga, kepiting, kadal, katak, moluska (Lekagul dan McNeely 1977). Beberapa hasil penelitian terkait jenis tumbuhan yang menjadi pakan monyet ekor panjang antara lain: Santoso (1996), Kusmardiastuti (2010), Surya (2010), Hidayat (2012) menyatakan bahwa monyet ekor panjang yang diamati banyak memakan daun dan buah. Perilaku Makan Monyet ekor panjang termasuk ke dalam kelompok satwa yang beraktivitas pada siang hari (diurnal) yang lebih banyak dilakukan di atas permukaan tanah/ terestrial dibandingkan di atas pohon (Napier dan Napier 1967). Priyono (1998) menyatakan bahwa monyet ekor panjang tidur di atas pohon secara berpindah-pindah untuk menghindarkan diri dari predator. Aktivitas harian monyet ekor panjang diatur dalam hierarki sosial dalam kelompoknya. Pada saat mencari makan pagi hari, jantan muda berjalan di depan dan di samping luar kelompoknya, jantan dominan berjalan di tengah-tengah kelompok bersama dengan betina dan anaknya yang masih kecil. Pada saat makan individu yang paling dominan akan makan terlebih dahulu kemudian diikuti dengan anggota kelompok yang lain berdasarkan pola hierarki (Napier dan Napier 1967). Pada saat beristirahat, jantan dominan monyet ekor panjang dikelilingi oleh betinabetina dengan anak-anaknya yang masih kecil yang berada pada tempat yang lebih baik dan dekat dengan lokasi makanannya. Pada saat menghadapi bahaya atau bilamana ada monyet lain yang memasuki wilayah teritorinya, jantan dominan dan jantan lainnya akan menghadapinya secara bersama-sama sedangkan betina dan anaknya akan menghindar dari bahaya (Soeratmo 1979 dalam Priyono 1998). Parameter Demografi Populasi Angka kelahiran (Natalitas) Natalitas monyet ekor panjang termasuk ke dalam a birth flow model yaitu golongan yang dapat menghasikan individu baru dengan kecepatan yang tetap sepanjang tahun. Priyono (1998) menyatakan bahwa laju natalitas spesifik monyet ekor panjang di alam tidak dapat dihitung secara tepat karena: (1) umur tiap individu monyet ekor panjang di alam tidak dapat ditentukan secara pasti, (2) pengelompokan umur tiap individu didasarkan atas ciri-ciri kualitatif, (3) selang waktu antar kelas umur tidak sama. Untuk mengatasi keterbatasan tersebut maka pendugaan laju natalitas didasarkan pada hasil pengamatan terhadap kelompok
6
monyet ekor panjang dengan komposisi struktur umur yang lengkap yaitu bayi, anak, muda dan dewasa. Sejauh ini pendekatan yang bisa dilakukan dalam pendugaan laju natalitas adalah dengan menggunakan asumsi-asumsi sebagai berikut (Priyono 1998): (1) anggota populasi pada kelas umur bayi merupakan jumlah kelahiran kumulatif selama 1.5 tahun, (2) laju kematian pada setiap kelas umur adalah konstan, dan (3) individu monyet ekor panjang yang dapat melahirkan termasuk ke dalam kelas umur muda dan dewasa. Angka kematian (Mortalitas) Mortalitas atau tingkat kematian adalah suatu perbandingan antara jumlah total individu yang mati dengan jumlah total individu (Santosa 1996). Angka laju kematian populasi monyet ekor panjang dapat diduga pula dari peluang hidup poplasi dari setiap kelas umurnya (Supartono 2001). Mortalitas satwa liar dapat disebabkan karena keadaan alam, kecelakaan, perkelahian ataupun karena aktivitas manusia. Kematian yang disebabkan oleh keadaan alam seperti penyakit, pemangsaan, kebakaran, kelaparan, dan lain sebagainya. Kematian yang disebabkan karena kecelakaan misalnya seperti tenggelam, tertimbun tanah longsor, tertimpa batu, ataupun kecelakaan yang menyebabkan terjadinya infeksi sehingga mengalami kematian. Untuk kematian yang diakibatkan karena adanya perkelahian biasanya terjadi karena antara jenis yang sama untuk mendapatkan ruang, makanan, dan air serta persaingan untuk menguasai kawasan. Sedangkan untuk kematian yang disebabkan karena aktivitas manusia seperti perusakan habitat, pemburuan, terkena perangkap, dan lain sebagainya. Reproduksi Santosa (1996) menyatakan bahwa laju reproduksi adalah jumlah anak yang dihasilkan dari tiap betina yang telah matang seksual. Monyet ekor panjang mencapai kedewasaan atau minimum dapat melakukan perkawinan berkisar antara 3.5-5 tahun (van Lavieren 1983 dalam Priyono 1998). Siklus menstruasi berkisar 28 hari dengan lama birahi sekitar 11 hari (Napier dan Napier 1967). Selang waktu pembiakan (breeding interval) terjadi antara 24-28 bulan, masa bunting berkisar antara 160-186 hari dengan rata-rata 167 hari. Jumlah anak yang dilahirkan adalah sebanyak satu ekor (Supriatna dan Wahyono 2000) dengan berat bayi yang dilahirkan berkisar antara 230-470 gram. Induk betina dapat melahirkan tiap dua tahun bila masa sapih anak dibiarkan secara alami yaitu sampai anak berumur 1.5 tahun (Napier dan Napier 1967). Monyet ekor panjang memiliki sistem perkawinan multi male-multi female, yakni memiliki beberapa ekor betina dan jantan dewasa dalam kelompoknya. Seks Rasio Seks rasio/ nisbah kelamin adalah perbandingan jumlah jantan dengan betina dalam satu populasi (Alikodra 2002) yang terdiri dari: a. Global/ kasar yaitu perbandingan antara jumlah seluruh jantan terhadap jumlah seluruh betina dalam populasi. b. Spesifik/ khusus yaitu perbandingan antara jumlah jantan pada kelas umur tertentu terhadap jumlah betina dari kelas umur tersebut.
7
Struktur populasi Struktur populasi/ piramida umur yaitu gambaran proporsi jumlah individu pada setiap kelas umur dan jenis kelamin terhadap jumlah keseluruhan anggota populasi (Kartono dan Santosa 2012). Odum (1993) menyatakan bahwa penyebaran umur merupakan ciri atau sifat penting populasi yang mempengaruhi natalitas dan mortalitas. Lebih lanjut Odum (1993) kembali menjelaskan bahwa nisbah dari pelbagai kelompok umur dalam suatu populasi menentukan status reproduktif yang sedang berlangsung dari populasi dan menyatakan apa yang dapat diharapkan pada masa mendatang.
3 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Hutan Pendidikan Gunung Walat Sejarah, letak dan luas Hutan Pendidikan Gunung walat (HPGW) terletak 2.4 km dari poros jalan Sukabumi-Bogor. Secara geografis HPGW berada pada 106048’27” BT sampai 106050’29” BT dan 6054’23” LS sampai 6055’35” LS. Secara administrasi pemerintahan HPGW terletak di wilayah kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi dan termasuk ke dalam wilayah Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi. Luas kawasan HPGW adalah 359 ha, terdiri dari 3 blok, yaitu Blok Timur (Cikatomang) seluas 120 ha, blok Barat (Cimenyan) seluas 125 ha, dan blok tengah (Tangkalak) seluas 114 ha. Komplek Hutan Gunung Walat ditunjuk menjadi kawasan HPGW berdasarkan SK Menteri Pertanian RI No. 008/Kpts/DJ/I/1973. Pengelolaan kawasan HPGW seluas 3359 ha dilaksanankan oleh IPB dengan status hak pakai sebagai hutan pendididkan dan dikelola oleh Unit Kebun Percobaan IPB degan jangka waktu 20 tahun. Tahun 1992 berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 687/Kpts-II/1992 tentang penunjukan komplek hutan Gunung Walat sebagai hutan pendidikan dilaksanakan bersama antara Fakultas Kehutanan IPB dan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan/ Balai Latihan Kehutanan (BLK) Bogor. Tahun 2005 status hukum kawasan HPGW lebih kuat dengan terbitnya SK Menhut No. 188/Menhut-II/2005 yang menetapkan fungsi hutan kawasan HPGW sebagai kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) dan pengelolaannya diserahkan kepada Fakultas Kehutanan IPB dengan tujuan khusus sebagai hutan pendidikan. Kondisi fisik kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat terletak pada ketinggian 460-715 mdpl. Topografi bervariasi dari landai sampai bergelombang terutama di bagian selatan, sedangkan di bagian utara mempunyai topografi yang semakin curam. Jenis tanah HPGW yaitu kompleks dari podsolik, latosol, litosol dari batuan endapan dan bekuan daerah bukit, sedang di bagian barat daya terdapat areal peralihan dengan jenis batuan karst, sehingga di sekitar kawasan tersebut terbentuk beberapa gua alam karst. Klasifikasi iklim HPGW menurut Schmidt dan Ferguson termasuk tipe B, dengan curah hujan tahunan berkisar antara 1600-4400 mm. Kawasan HPGW masuk ke dalam sistem pengelolaan DAS Cimandiri. Kondisi biologis kawasan Tegakan yang ada di HPGW didominasi oleh tanaman damar (Agathis lorantifolia), pinus (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), sengon (Paraserianthis falcataria), mahoni daun besar (Swietenia macrophylla) dan jenis lainnya seperti kayu afrika (Maesopsis eminii), rasamala (Altingia excelsa), sonokeling (Dalbergia latifolia), Gliricidia sp., Shorea sp., dan akasia (Acacia mangium). Sedangkan untuk keragaman fauna, dapat ditemukan beberapa jenis
9
satwaliar dari jenis mamalia, reptilia, dan burung. Kelompok mamalia yang bisa dijumpai yaitu babi hutan (Sus scrofa), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), kelinci liar (Nesolagus sp.), meong congkok (Felis bengalensis), tupai (Callociurus sp.), trenggiling (Manis javanica), musang (Paradoxurus hermaphroditus). Untuk kelompok jenis burung dapat dijumpai sekitar 20 enis burung, antara lain elang jawa (Spizaetus bartelsii), emprit, kutilang, dan lain-lain. Untuk jenis reptilia antara lain biawak, ular, dan bunglon. CA/ TWA Pangandaran Sejarah, letak dan luas Kawasan Cagar Alam Pangandaran (CAP) menyatu dengan Taman Wisata Alam (TWAP) merupakan semenanjung kecil yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa. Semenanjung ini merupakan sebuah pulau yang dihubungkan dengan daratan utama dan dipisahkan oleh jalur sempit yang diapit antara dua teluk selebar ±200 meter. Secara administratif pemerintahan CAP dan TWAP berada di Desa Pangandaran, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat, sedangkan secara geografis kawasan CAP/ TWAP terletak pada koordinat 108039’05”-108040’48” BT dan 7042’03”-7043’48” LS. Sebelum ditetapkan sebagai Cagar Alam (CA) kawasan hutan pangandaran terlebih dahulu ditetapkan sebagai kawasan Suaka Margasatwa, hal ini berdasarkan Gb Tanggal 7-12-1934 Nomor 19 Stbl. 669, dengan luas 497 ha (luas yang sebenarnya 530 ha) dan taman laut luasnya 470 ha. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya setelah ditemukan bunga Raflesia Padma, status Suaka Margasatwa diubah menjadi Cagar Alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 34/KMP/1961. Seiring dengan kebutuhan masyarakat akan rekreasi, maka sebagian kawasan seluas 37.70 Ha dijadikan Hutan Wisata dalam bentuk Taman Wisata Alam (TWA) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 170/Kpts/Um/3/1978 tanggal 10-3-1978. Topografi dan iklim Topografi kawasan ini mulai dari landai sampai berbukit kecil dengan ketinggian tempat rata-rata 100 meter di atas permukaan laut. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, CA dan TWA Pangandaran termasuk tipe iklim B dengan curah hujan rata-rata per tahun 3.196 mm dengan kelembaban udara antara 8090%. Potensi biotik kawasan Flora Flora yang terdapat sekitar 80% merupakan vegetasi hutan sekunder tua dan sisanya adalah hutan primer. Pohon-pohon yang dominan antara lain Laban (Vitex pubescens), Kisegel (Dilenia excelsea), dan Marong (Cratoxylon formosum). Selain itu banyak juga terdapat jenis-jenis pohon seperti: reungas (Buchanania arborencens), kondang (Ficus variegata), teureup (Artocarpus elsatica) dan lain-lain. Formasi Baringtonia terdiri dari nyamplung (Callophylum inophylum), waru laut (Hibiscus tiliaceus), ketapang (Terminalia cattapa), dan
10
butun (Baringtonia asiatica). Untuk dataran rendahnya terdapat hutan tanaman yang merupakan tanaman exotica, yaitu yang terdiri dari tanaman jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia mahagoni) dan komis (Acacia auriculirformis). Fauna Satwa liar yang terdapat diantaranya adalah: banteng (Bos sondaicus), kijang (Muntiacus muntjak), tando (Cynocephalus variegatus), kalong (Pteroptus vampyrus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung (Trcyphithecus auratus), kangkareng (Anthracoceros convexus), rangkong (Buceros rhinoceros), dan ayam hutan (Gallus gallus). Suaka Margasatwa Paliyan Sejarah, letak, dan luas Suaka Margasatwa Paliyan dengan luas total 434.60 hektar berada di wilayah Kecamatan Paliyan dan Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul. Letak Suaka Margasatwa Paliyan sendiri berada pada petak 136 s/d 141 yang dulunya merupakan wilayah pangkuan hutan produksi dari Dinas Kehutanan Provinsi D.I Yogyakarta (tepatnya masuk wilayah Resort Polisi Hutan (RPH) Paliyan yang tergabung dalam Bagian Daerah Hutan (BDH). Suaka Margasatwa Paliyan ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 171/Kpts-II/2000 tentang penunjukan kawasan hutan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kawasan ini merupakan alih fungsi dari kawasan hutan produksi pada petak 136 sampai dengan petak 141 berada di wilayah BDH Paliyan dengan luas total 434.60 ha. Topografi Topografi kawasan SM Paliyan berupa perbukitan karst dengan lapisan tanah yang tipis, memiliki kelerengan di atas 40% serta pada ketinggian antara 100-300 m dpl. Potensi biotik kawasan Flora Tanaman kayu-kayuan yang ada di dalam kawasan SM Paliyan sudah jarang ditemukan. Hanya petak 136, 137 dan 138 atau sekitar 3.25% dari total kawasan SM Paliyan yang terdapat beberapa tanaman tinggal dalam tingkatan permudaan pancang, tiang dan pohon dengan kondisi yang juga tidak lebih sehat dengan kondisi normal. Jenis pohon yang ada terdiri dari jati dan sono keling. Fauna Satwa utama kawasan SM Paliyan adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Untuk jenis satwa lainnya di SM Paliyan ditemukan 20 spesies burung yang tergabung dalam 14 famili, terbagi dalam lima jenis frugivorousinsectivorous, 12 jenis insectivorous, dua spesies nectarinivorous dan satu jenis carnivorous. Terdapat satu jenis burung yang termasuk kategori vulnerable berdasarkan status IUCN, yaitu butbut (Centopus nigrorufus) dan yang lainnya
11
termasuk kategori tidak terancam secara global. Adapun jenis-jenis burung yang mempunyai kepadatan populasi tertinggi yaitu : kutilang, pentet/ bentet kelabu, olive backed sunbird dan tekukur. Hutan Wisata Kaliurang Letak dan luas Hutan Wisata Kaliurang berada di bawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Merapi yang terletak di antara 107015’03” dan 100029’30” BT, 7034’51” dan 7047’03” LS dengan ketinggian antara 775-2000 m dpl. Wilayah di bagian selatan merupakan dataran rendah yang subur, sedangkan di bagian utara sebagian besar merupakan tanah kering yang berupa perladangan dan pekarangan serta memiliki permukaan yang agak miring ke selatan dengan batas paling utara adalah Gunung Merapi. Kondisi fisik kawasan Secara klimatologis, Kaliurang memiliki curah hujan rata-rata tahunan 3000-3500 mm/tahun. Berdasarkan analisis peta kemiringan lereng dapat diketahui bahwa kawasan wisata Kaliurang mempunyai kemiringan lereng berkisar antara 8-150. Potensi biotik kawasan Flora Berdasarkan hasil inventarisasi, Kaliurang memiliki leih dari 1000 jenis tumbuhan, termasuk 75 anggrek langka. Flora di lereng selatan didominasi oleh hutan campuran yang relatif stabil dan berstatus hutan lindung. Jenis-jenis eksotik yang ada di kawasan ini antara lain: rasamala (Altingia excelsa), bambu cendani (Bambusa vulgaris), bunga sepatu (Hibiscus rosasinensis), nogosari (Palaqium rostratum) dan lain-lain. Beberapa jenis anggrek yang bisa ditemukan antara lain: anggrek ekor bajing/ tupai (Rinchostylist retusa), anggrek kalajengking (Arachinis flosseris), Vanda tricolor, dan lain-lain. Fauna Hutan Wisata Kaliurang memiliki jenis mamalia kecil dan besar. Berdasarkan hasil inventarisasi yang telah dilakukan diketahui bahwa di dalam kawasan ini terdapat 147 jenis burung, 90 jenis di antaranya merupakan jenis burung-brung yang menetap. Beberapa jenis tersebut merupakan burung endemik Jawa dan dua jenis dikhawatirkan punah yaitu burung matahari (Crocias albonotatus) dan burung kuda (Garrulac rufifron). Hutan Kaliurang juga dikenal sebagai habitat elang hitam. Jenis fauna lain yang juga bisa ditemukan di dalam kawasan ini antara lain macan tutul, kijang, kucing hutan, ayam hutan, alap-alap, kedasih, macan kumbang, lutung, elang jawa, dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).
4 METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada berbagai tipe habitat monyet ekor panjang (Lampiran 1) yaitu: Hutan Wisata Kaliurang (ekosistem hutan pegunungan), SM Paliyan (ekosistem karst), CA/ TWA Pangandaran (ekosistem pantai dan hutan dataran rendah), Hutan Pendidikan Gunung Walat (ekosistem hutan tanaman). Penelitian dilakukan pada bulan Februari hingga Mei 2014. Alat dan Objek Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: peta tematik lokasi penelitian pada berbagai tipe habitat, kompas, teropong binokuler, GPS receiver, pita meter, hand counter, tali rafia, kamera digital, stopwatch, termohygrometer, tally sheet pengamatan serta alat tulis. Objek penelitian yaitu 11 kelompok monyet ekor panjang yaitu terdiri dari dua kelompok pada Hutan Wisata Kaliurang, dua kelompok pada SM Paliyan, empat kelompok pada CA/TWA Pangandaran, serta tiga kelompok pada Hutan Pendidikan Gunung Walat. Jenis data yang dikumpulkan Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu berupa data primer dan data sekunder. Data primer meliputi struktur umur, jumlah kelompok dan individu dalam kelompok monyet ekor panjang serta kerapatan vegetasi sumber pakan monyet ekor panjang pada berbagai tipe habitat. Data sekunder meliputi rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif, peluang hidup serta faktorfaktor yang paling berpengaruh terhadap kedua parameter monyet ekor panjang tersebut di alam serta kondisi vegetasi pada lokasi penelitian. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara pengamatan langsung. Pengambilan data melalui pengamatan di lapangan secara langsung dilakukan untuk mengetahui kerapatan vegetasi potensi sumber pakan monyet ekor panjang, jumlah populasi, jumlah anggota, struktur umur dan nisbah kelamin tiap kelompok pada berbagai tipe habitat. Metode pengumpulan data monyet ekor panjang, potensi tumbuhan pakan dan kondisi fisik habitatnya adalah sebagai berikut: Parameter demografi Pengambilan data parameter demografi populasi monyet ekor panjang dilakukan dengan menggunakan metode titik terkonsentrasi (concentration count method). Rinaldi (1992) menyatakan bahwa metode ini digunakan untuk mengetahui struktur kelompok berupa ukuran dan komposisi suatu kelompok satwa dimana pengamatan atau pencatatan dilakukan secara langsung pada saat
13
kelompok satwa sedang melakukan aktivitas. Lokasi pengamatan yaitu berdasarkan pada infomasi awal yang diperoleh dari petugas lapangan tentang lokasi keberadaan monyet ekor panjang yang paling sering dijumpai. Pengamatan dilakukan tiga kali yaitu pada pagi hari (06.00-08.00), siang hari (11.00-13.00), dan sore hari (16.00-18.00) masing-masing dengan lima kali ulangan yang dilakukan selama tujuh hari. Data yang dicatat selama pengamatan yaitu jumlah individu tiap kelompok, jumlah individu berdasarkan jenis kelamin serta berdasarkan kelas umur. Pengamatan terhadap struktur umur (Gambar 1) dikelompokkan menjadi empat yaitu (Soma et al. 2009): a. Jantan dewasa (9-21 tahun), ditandai oleh wajah dengan cambang kurang lebat, berkumis, bantalan duduk kiri dan kanan menyatu, adanya skrotum. Jantan dewasa memiliki morfologi badan besar, taring panjang, dan tingkah laku cenderung superior, b. Betina dewasa (9-21 tahun), ditandai oleh wajah dengan cambang yang lebat, berjenggot, bantalan duduk kiri dan kanan terpisah, adanya vulva vagina. Betina dewasa memiliki ambing dan puting susu yang terlihat menggantung. c. Kelompok muda (4-9 tahun), dimana pengamatan antara jantan dan betina digabung menjadi satu karena secara morfologi belum terlihat adanya tandatanda yang spesifik untuk membedakan jenis kelaminnya. Batas bawah umur muda adalah berubahnya warna rambut hitam di kepala menjadi keabu-abuan. d. Anakan (0-4 tahun) yaitu monyet yang baru lahir, memiliki warna hitam pada rambut kepala, dan masih digendong oleh induk monyet.
Jantan dewasa
Betina dewasa
Muda
Anak
Bayi
Gambar 1 Pengamatan struktur umur monyet ekor panjang menurut Soma et al. (2009)
14
Kondisi biofisik habitat Parameter biofisik habitat alami monyet ekor panjang yang diamati dan teknik pengumpulan datanya seperti pada Tabel 1 sebagai berikut: Tabel 1
Teknik pengumpulan data pengamatan parameter demografi dan lingkungan populasi MEP
Data Parameter Data biofisik a. Suhu dan kelembaban habitat udara
b. Ketinggian tempat
c. Vegetasi
d. Kerapatan tumbuhan pakan
e. jarak pohon pakan dari sumber air f. jarak pohon pakan ke kebun terdekat milik masyarakat sekitar g. Intensitas cahaya matahari
Teknik pengumpulan data suhu dan kelembaban udara diukur dengan termohygrometer yang dilakukan pada pagi hari jam 07.00 WIB, siang hari jam 11.00 WIB dan sore hari jam 17.00 WIB pada setiap titik lokasi pengamatantidur) ketinggian tempat dari permukaan laut (mdpl) diukur dengan menggunakan GPS pada setiap jalur pengamatan dilakukan analisis vegetasi dengan menggunakan metode garis berpetak, di mana pohon pakan merupakan titik awal dilakukannya analisis vegetasi. Analisis vegetasi ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui bagaimana kondisi vegetasi di lokasi pengamatan serta kerapatan tumbuhan yang menjadi sumber pakan monyet ekor panjang identifikasi jenis tumbuhan pakan monyet ekor panjang dari hasil analisis vegetasi pada petak contoh untuk tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon, selanjutnya dihitung jumlah jenisnya jarak tegak lurus terhadap sumber air terdekat yang diukur dengan menggunakan GPS jarak tegak lurus terhadap kebun terdekat yang diukur dengan menggunakan GPS. mengukur intensitas cahaya matahari di bawah tegakan yang dihitung pada saat siang hari yaitu pada posisi matahari tertinggi
15
Data
Parameter h. pH tanah
Teknik pengumpulan data pH tanah diukur pada tiga titik per lokasi pengamatan, selanjutnya nilai pH tanah adalah hasil rataan dari penghitungan tiga titik tersebut. kemiringan lahan diukur dengan menggunakan suunto per lokasi pengamatan populasi monyet ekor panjang
i. Kemiringan lahan
Analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan petak pengamatan berukuran 20 x 20 m yang diletakkan mengelilingi pohon pakan yang telah ditandai sebagai titik awal dilakukannya analisis vegetasi. Metode ini dilakukan dengan asumsi bahwa monyet ekor panjang akan berada dekat di sekitar titik-titik pohon pakan yang telah ditandai. Setiap titik lokasi pohon pakan dibuat lima petak pengamatan (Gambar 2). Pohon pakan menjadi titik awal pembuatan plot pengamatan pertama selanjutnya empat plot pengamatan berikutnya tersebar pada empat penjuru titik pohon pakan yaitu arah utara, selatan, barat, dan timur. Plot pengamatan dapat bertambah sesuai dengan arah jalur lintasan monyet ekor panjang, yaitu pada kondisi vegetasi yang berbeda dengan plot pengamatan sebelumnya atau sesuai dengan luas wilayah jelajah harian monyet ekor panjang dengan intensitas sampling sebesar 2%. Identifikasi tumbuhan pakan dilakukan berdasarkan informasi masyarakat dan pengamatan di lapangan. Semua tingkatan tumbuhan dicatat nama lokal, jumlah, serta bagian yang dimakan oleh monyet ekor panjang. Adapun bentuk jalur pengamatan adalah seperti pada Gambar 1 sebagai berikut:
A dB
D C
A B
D
ABB C
D
Pohon ABB
C C
C
D
ABB C
D
Petak pengamatan berukuran 20 x 20 m
Gambar 2 Desain plot analisis vegetasi untuk tiap lokasi penelitian
16
Keterangan A B C D
: : : : :
Petak pengukuran semai berukuran 2 x 2 m Petak pengukuran pancang berukuran 4 x 4 m Petak pengukuran tiang berukuran 10 x 10 m Petak pengukuran semai berukuran 20 x 20 m Analisis Data
Parameter Demografi Data pengamatan terhadap populasi monyet ekor panjang (jumlah individu tiap kelompok, jumlah individu berdasar jenis kelamin serta berdasar kelas umur) digunakan untuk mencari rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif dan peluang hidup untuk setiap kelas umur. Dua parameter ini dianalisis sesuai dengan pertumbuhan populasi monyet ekor panjang yang mengikuti matriks Leslie yang telah dimodifikasi (Priyono 1998), yaitu: Rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif (r) Rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif merupakan perbadingan antara jumlah individu kelompok umur bayi dan anak terhadap jumlah total individu betina produktif pada suatu periode tertentu. Persamaan yang digunakan untuk menghitung rasio tersebut adalah sebagai berikut: r= Keterangan: r = rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif = jumlah bayi dan anak pada kelompok ke-i Xi Bi = jumlah betina produktif pada kelompok ke-i Peluang hidup Persamaan untuk menghitung peluang hidup (px) untuk setiap kelas umur yaitu sebagai berikut: px = = 1 – Mortalitas Keterangan: Lx+1 = jumlah individu yang hidup pada KUx+1 Lx = jumlah individu yang hidup pada KUx
17
Kerapatan tumbuhan pakan Potensi tumbuhan pakan monyet ekor panjang pada tiap lokasi penelitian dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Soerianegara dan Indrawan 2005): K= ( ) Untuk jenis tumbuhan yang menjadi pakan monyet ekor panjang mengacu pada hasil penelitian Hendratmoko (2009), Kusmardiatuti (2010), serta Hidayat (2012). Analisis pengaruh faktor lingkungan terhadap parameter demografi monyet ekor panjang Regresi digunakan untuk menganalisis hubungan di antara beberapa variabel bebas dengan variabel terikat (Gotelli dan Ellison 2004). Uji regresi linear dengan metode stepwise menggunakan SPSS 16.0 digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor lingkungan terhadap parameter demografi. Selang kepercayaan yang digunakan yaitu sebesar 95%. Variabel bebas yaitu dari faktor lingkungan meliputi suhu udara, kelembaban udara, ketinggian tempat, kerapatan semai, kerapatan pancang, kerapatan tiang, kerapatan pohon, jarak pohon pakan dari sumber air, jarak pohon pakan dari kebun masyarakat, pH tanah, intensitas cahaya matahari serta kemiringan lahan. Sedangkan parameter demografi yang merupakan variabel terikat adalah peluang hidup dan rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif. Persamaan yang digunakan yaitu: Y = b0 + b1x1 + b2x2 + ... + b12x12 + Ɛ Keterangan: Y b0 bi x1 x2 x3 x4 x5 x6 x7 x8 x9 x10 x11 x12
= = = = = = = = = = = = = = = Ɛ =
parameter demografi nilai intersep nilai koefisien regresi ke-i suhu udara (0C) kelembaban udara (%) ketinggian tempat (m dpl) kerapatan pakan tingkat semai kerapatan pakan tingkat pancang kerapatan pakan tingkat tiang kerapatan pakan tingkat pohon jarak dari sumber air jarak dari kebun masyarakat kemiringan lahan (0) intensitas cahaya (lux) pH tanah kesalahan pengganggu
18
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis ini adalah sebagai berikut: a. Uji asumsi regresi klasik. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui apakah data ke-9 peubah tersebut layak untuk diproses lebih lanjut untuk bisa diregresikan. Kelayakan tersebut dilihat dari: uji normalitas data yaitu dengan menggunakan Uji KolmogorovSmirnov uji multikolinearitas dengan menggunakan nilai tolerance dan VIF uji heterokedastisitas dengan menggunakan metode scatter plot uji autokolinearitas dengan menggunakan metode durbin-watson. b.
Analisis regresi stepwise. Variabel-variabel hasil analisis faktor yang layak diuji selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis regresi linier dengan metode stepwise. Regresi stepwise merupakan salah satu solusi menyelesaikan masalah regresi yang variabel bebasnya saling berkorelasi (multikolineritas). Dalam analisis ini, tidak semua variabel bebas (X) yang diduga memiliki pengaruh terhadap variabel tidak bebas (Y) dimasukkan dalam model regresi. Salah satu variabel bebas kadang berkorelasi atau berhubungan dengan variabel bebas lainnya. Oleh karena itu prosedur regresi stepwise dibuat agar menghasilkan model regresi terbaik. Selain itu, karena kemungkinan terdapat variabel bebas yang saling berkorelasi maka tidak semua variabel bebas hasil analisis regresi stepwise masuk dalam model. Hal ini disebabkan variabel bebas lain yang memiliki korelasi lebih besar dengan variabel tidak bebas sudah diwakilinya (Iriawan dan Astuti 2006). Uji regresi secara keseluruhan (uji F) digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh secara bersama-sama dari parameter biofisik habitat monyet ekor panjang yang diamati terhadap parameter demografinya. Hipotesis yang dibangun untuk uji F ini adalah: H0 H1
: b1 = b2 = ... = b8 = 0 (semua variabel bebas X tidak ada yang mempengaruhi variabel tidak bebas Y) : b1 ≠ b2 ≠ ... ≠ b8 ≠ 0 (paling sedikit ada satu variabel bebas X yang mempengaruhi Y)
Uji lanjutan diperlukan jika berdasarkan uji F, H0 ditolak dan memiliki makna sedikitnya terdapat satu parameter biofisik habitat yang berpengaruh nyata terhadap parameter demografi monyet ekor panjang. Uji lanjutan ini yaitu berupa uji parsial atau uji t. Uji t ini dilakukan untuk mengidentifikasi parameter biofisik habitat yang berpengaruh nyata terhadap parameter demografi monyet ekor panjang. Hipotesis yang dibangun untuk uji t ini adalah: H0 H1
: bi = 0 (peubah bebas ke-i tidak mempengaruhi peubah terikat) : bi ≠ 0 (peubah bebas ke-i mempengaruhi peubah terikat)
Kriteria dan kaidah pengambilan keputusan pada selang kepercayaan 95% untuk uji t yaitu tolak H0 jika thitung > t0.05; db dan terima H0 jika thitung ≤ t0.05; db.
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter demografi Ukuran kelompok Kelompok monyet ekor panjang (MEP) yang diamati di seluruh lokasi pengamatan berjumlah 11 kelompok (Gambar 3), yaitu tiga kelompok di Hutan Pendidikan Gunung Walat, empat kelompok di Cagar Alam/ Taman Wisata Alam Pangandaran (CA/ TWA Pangandaran), dua kelompok di Suaka Margasatwa (SM) Paliyan, serta dua kelompok di Hutan Wisata Kaliurang. Jumlah individu tiap kelompok dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2
Karakteristik kelompok monyet ekor panjang di seluruh lokasi pengamatan
No. Kelompok
Anak
Muda Dewasa Jantan Betina Jantan Betina Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) 1 Stasiun TVRI 22 5 9 7 8 2 Belakang camp 29 3 7 5 8 3 DAS 24 3 6 1 4 CA/ TWA Pangandaran 4 Pasir Putih Utara 11 11 2 3 14 5 Pasir Putih Selatan 7 4 2 3 8 6 Goa Rengganis 29 5 6 5 14 7 Kalenhaur 13 4 2 3 6 SM Paliyan 8 Petak 141 6 5 2 5 11 9 Petak 139 Selatan 53 7 13 9 4 Hutan Wisata Kaliurang 10 Nirmolo 17 3 5 7 10 11 Tlogo Muncar 17 9 3 6 18
Jumlah
51 52 38 41 24 59 28 29 106 42 53
Ukuran kelompok merupakan aspek pokok dari adaptasi dari satwa sosial terhadap lingkungannya (Grove 2012). Pada habitat alaminya, ukuran kelompok dibatasi oleh faktor ekologis habitat yang akan memberikan pengaruh pada demografi kelompok tersebut (Rodriguez-Llanes et al. 2009). Monyet ekor panjang hidup secara berkelompok. Sueur (2011) menyatakan bahwa hidup berkoloni/ berkelompok pada suatu kelompok satwa memberikan banyak keuntungan bila dibandingkan dengan hidup soliter. Beberapa keuntungan tersebut antara lain mengurangi resiko pemangsaan oleh predator (Jędrzejewski et al. 2006, Sueur et al. 2011) yaitu dengan menjauhi predator yang juga dipengaruhi oleh kondisi ekologis habitatnya (Hollén et al. 2011), meningkatkan efisiensi pencarian pakan (Caro 2005 dalam Pollard dan Blumstein 2008), dan meningkatkan akses yang lebih baik bagi reproduksi yang potensial dalam kelompok tersebut (Sueur 2011). Peningkatan jumlah individu dalam kelompok MEP yang diamati diduga karena ketersediaan pakan yang melimpah di habitat alaminya sehingga MEP
20
mampu berkembang biak dengan baik dan kecilnya angka mortalitas di alam. Selain itu karena status kawasannya, yaitu HPGW yaitu hutan pendidikan yang dikelola di bawah Fakultas Kehutanan IPB, dan CA/TWA Pangandaran yaitu kawasan konservasi sehingga tidak ditemukan adanya kasus perburuan dalam skala besar terhadap MEP. Sehingga keberadaan MEP tetap terjaga dan lestari di dalam habitat alaminya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gaillot et al. (2006) yang menyatakan bahwa keberadaan suatu satwaliar di dalam kawasan konservasi cenderung akan terlindungi bila dibandingkan dengan kawasan yang tidak memiliki status yang legal sebagai suatu kawasan perlindungan. Berbeda dengan hasil pengamatan di HPGW dan CA/TWA Pangandaran, populasi MEP di SM Paliyan dari jumlah terakhir pencatatan populasi yaitu berdasarkan hasil penelitian Kusmardiastuti (2010) hanya satu kelompok yang mengalami peningkatan, sedangkan satu kelompok terakhir yang diamati mengalami penurunan jumlah populasi hampir setengah dari jumlah populasi tahun 2010. Penurunan jumlah populasi ini juga dikarenakan adanya penangkapan jumlah monyet ekor panjang dalam jumlah besar yang dilakukan dari pihak BKSDA Yogyakarta terkait pelaporan gangguan dari kelompok monyet ekor panjang yang memakan hasil kebun dari masyarakat yang berkebun di dekat kawasan SM Paliyan. Untuk daerah SM Paliyan, keberadaan monyet ekor panjang dianggap sebagai hama penganggu hasil kebun oleh petani di sekitar kawasan SM Paliyan, karena hingga saat ini monyet ekor panjang cenderung memilih pohon sarang dan pohon tidur dekat dengan kebun petani dan keberadaannya lebih banyak dijumpai di luar kawasan SM Paliyan, yang secara batas kawasan, kebun petani dan kawasan SM Paliyan memang sangat berdekatan. Satu kelompok berikutnya di SM Paliyan berjumlah 106 ekor, dan merupakan jumlah populasi monyet ekor panjang terbesar dari seluruh lokasi pengamatan. Jumlah ini diduga merupakan gabungan/ fusion antar beberapa grup monyet ekor panjang di sekitar kawasan SM Paliyan, sebagai akibat pengusiran oleh petani sehingga beberapa kelompok kecil monyet ekor panjang selanjutnya bergabung menjadi satu kelompok besar. Menurut Henzi et al. (1997) fusion merupakan invers dari makna fission dalam grup satwa liar yaitu adalah penggabungan beberapa kelompok kecil satwa menjadi satu kelompok besar dikarenakan adanya suatu kepentingan bersama yang menguntungkan apabila menjadi satu kelompok besar. Mekanisme penggabungan kelompok seperti ini banyak terjadi pada saat satwa melakukan aktivitas mencari makan/ foraging (King et al. 2008, Grove 2012). Beberapa kelompok satwa melakukan mekanisme seperti ini untuk meningkatkan asupan makanan (Price dan Stoinski 2007, Asensio et al. 2008, Bowler dan Bodmer 2009) serta mengurangi terjadinya konflik di dalam kelompok (Lehmann et al. 2006) yang tergantung pada kondisi lingkungan yang menjadi habitat dari satwa tersebut (Smith et al. 2008), meskipun di alam fenomena seperti ini jarang terjadi (Young dan Isbell 1994, Sueur et al. 2010). Konflik dalam kelompok MEP mungkin terjadi karena satwa ini hidup dengan sistem multi male-multi female (Broom et al. 2004). Fenomena fusion ini mungkin terjadi dalam waktu singkat/ temporary (Kappeler dan van Schaik 2002) ataupun bisa dalam jangka waktu yang lama/ permanent tergantung kepada bagaimana lingkungan habitat dari satwa tersebut (Sueur et al. 2010).
21
Populasi monyet ekor panjang yang ada di kawasan Hutan Wisata Kaliurang hanya diwakili oleh dua kelompok yaitu kelompok Nirmolo dan Tlogo Muncar. Hasil penelitian Kusmardiastuti (2010) yang mengamati empat kelompok monyet ekor panjang, tiga kelompok mati terkena erupsi Gunung Merapi 2010, sehingga tersisa satu kelompok yang bisa diamati. Bencana alam yang terjadi pada tahun 2010 merupakan faktor kematian utama terbesar yang membuat populasi monyet ekor panjang berkurang. Majolo (2008) menyatakan bahwa bencana alam merupakan faktor kematian terbesar bagi suatu populasi satwaliar. Bencana alam mampu memusnahkan suatu populasi. Secara alami ini merupakan mekanisme dalam proses seleksi alam dalam mengendalikan jumlah populasi di alam bila kondisinya sudah tidak seimbang. Kondisi populasi monyet ekor panjang di kawasan Hutan Wisata Kaliurang sebelum terjadinya erupsi Gunung Merapi 2010 cukup berlimpah yang tersebar menjadi beberapa kelompok populasi. Monyet ekor panjang di Hutan Wisata Kaliurang telah beradaptasi dengan manusia karena menjadi lokasi wisata sehingga banyak warung makanan yang tersebar, dan tak jarang tiap pagi hari beberapa kelompok monyet ekor panjang akan turun dari sarangnya dan mendatangi warung-warung makanan tersebut. Konflik antara manusia dan satwaliar, dalam hal ini monyet ekor panjang sering terjadi dan tidak terhindarkan akibat perubahan peruntukan dan status kawasan tersebut. Berkurangnya habitat dan ketersediaan pakan tambahan akibat adanya kegiatan wisata, sebagai contoh pendirian tempat makan bagi para wisatawan menjadi penyebab utama bagi konflik anatara manusia dan spesies ini. Konflik antar kelompok monyet ekor panjang juga sering terjadi, di antaranya karena kompetisi dalam hal pakan, ataupun karena masuk ke wilayah teritori kelompok monyet lainnya (De Wall 1998). Berdasarkan hasil pengamatan jumlah monyet ekor panjang terbesar selama pengamatan terdapat di SM Paliyan, yaitu berjumlah 106 ekor. Dekatnya dengan kawasan perkebunan milik masyarakat di sekitar SM Paliyan, di mana masyarakat menanam singkong, kacang tanah, kelapa menjadi jenis pakan tambahan bagi monyet ekor panjang selain pakan yang tersedia di habitat alaminya. Chu (2006) menyatakan bahwa monyet ekor panjang memiliki tingkat adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan termasuk di dalamnya adaptasi dalam rentang atau rezim pakan yang luas, sehingga monyet ekor panjang akan lebih mudah untuk bertahan hidup dibandingkan dengan jenis satwa lain yang lebih spesifik jenis pakannya (Orams 2002). Kemampuan beradaptasi terhadap pakan juga terjadi pada masa bunting dimana jumlah monyet ekor panjang betina yang bunting akan meningkat pada saat puncak musim berbuah pohon pakan (Knott et al. 2009).
22
MEP di HPGW
MEP di TWA Pangandaran
MEP di SM Paliyan
MEP di Hutan Wisata Kaliurang
Gambar 3 MEP di berbagai lokasi pengamatan Peluang hidup dan rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif Peluang hidup dan rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif menjadi dua parameter demografi yang dianalisis dalam mengkaji hubungan antara parameter demografi dengan faktor lingkungan. Hal ini sesuai dengan pertumbuhan populasi monyet ekor panjang yang mengikuti Matriks Leslie yang telah dimodifikasi (Priyono 1998). Hasil perhitungan peluang hidup dan rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif dari tiap kelompok monyet ekor panjang yang diamati dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil perhitungan terhadap nilai peluang hidup untuk kelas umur anakmuda, dan muda-dewasa menunjukkan nilai yang bervariasi. Variasi nilai ini memperlihatkan bahwa lingkungan habitat dari monyet ekor panjang yang diamati memiliki pengaruh terhadap parameter demografinya. Keanekaragaman hayati dari tiap habitat yang diamati juga menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang nyata lingkungan habitat MEP, bila dikaitkan dengan potensi tumbuhan yang menjadi pakan alami MEP. Begitupun halnya dengan nilai rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif juga memberikan hasil yang bervariasi yang tergantung pada jumlah dari kelas umur anakan dan betina produktif dalam satu kelompok tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan terlihat bahwa kelompok MEP Pasir Putih Utara, dan Petak 141 memiliki nilai peluang hidup dari KU Anak ke Muda dengan nilai tertinggi yaitu mendekati 1. Ini berarti bahwa selama tahun pengamatan berjalan angka kematian pada kelompok MEP yang diamati tersebut adalah rendah. Bila dilihat dari kondisi lingkungan di kedua kelompok MEP tersebut, bisa dikatakan bahwa kondisi lingkungan masing-masing kelompok MEP tersebut tidak mengalami perubahan yang besar, meskipun keberadaan MEP Petak 141
23
menjadi konflik dengan petani namun tidak terdapat kasus perburuan sehingga mampu mendukung MEP untuk tetap berkembang. Tabel 3 Peluang hidup dan rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif kelompok MEP di seluruh lokasi pengamatan
No.
Kelompok
Peluang hidup (px) AnakMuda
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Stasiun TVRI HPGW Belakang Camp HPGW DAS HPGW Pasir putih utara Pasir putih selatan Goa Rengganis Kalenhaur Petak 141 Petak 139 Selatan Nirmolo Tlogo Muncar
0.509 0.276 0.300 0.945 0.686 0.303 0.369 0.933 0.302 0.376 0.565
Peluang hidup (px) MudaDewasa 0.446 0.542 0.231 0.545 0.764 0.720 0.625 0.952 0.688 0.885 0.833
Rasio bayi dan anak per betina reproduktif (r) 0.647 0.967 1.200 0.344 0.350 0.813 0.725 0.231 1.559 0.567 0.405
Leca et al. (2007) menyatakan bahwa tingkat peluang hidup yang tinggi sangat mungkin terjadi bila kondisi lingkungan yang menjadi habitat satwa tersebut mendukung bagi perkembangan populasi satwa tersebut. Nilai peluang hidup KU Anak ke Muda terendah yaitu pada kelompok MEP Belakang camp utama HPGW. Selama pengamatan, kelompok MEP HPGW merupakan kelompok MEP yang paling sulit untuk diamati bila dibandingkan dengan lokasi pengamatan yang lain. Selain karena peka terhadap kehadiran manusia, MEP di HPGW lebih bersifat arboreal, sehingga pengamatan lebih banyak dilakukan pada saat MEP sedang beraktivitas di pepohonan. Untuk peluang hidup dari KU Muda ke Dewasa nilai tertinggi yaitu pada MEP Petak 141, Nirmolo dan Tlogo Muncar. Hasil keseluruhan untuk nilai peluang hidup pada semua kelompok MEP menunjukkan nilai yang hampir mendekati 1. Ini artinya bhawa angka kejadian kematian pada peralihan KU Muda ke Dewasa sangat sedikit sekali terjadi, sehingga perkembangan MEP terjadi dengan baik. Gibs (2001) menyatakan bahwa peluang hidup MEP di habitat alaminya memang cenderung tinggi yang mungkin diakibatkan karena tingkat adaptabilitas yang tinggi dari MEP terhadap kondisi lingkungan habitatnya dengan segala bentuk perubahan yang terjadi. Hal ini juga terlihat pada saat pengamatan, dimana kelompok MEP yang berada di dalam kawasan wisata (Hutan Wisata Kaliurang) sudah terbiasa dengan kehadiran manusia bahkan sudah beradaptasi dengan makanan olahan yang diberikan oleh pengunjung. Ini membuat MEP tidak hanya bergantung kepada jenis pakan alaminya tetapi juga bisa memakan jenis makanan selain pakan alaminya dan merupakan salah satu dampak negatif dari kegiatan wisata yang dilakukan oleh pengunjung (Fuentes et al. 2006, Martin dan Réale 2008, Cunha 2010).
24
Hasil perhitungan terhadap nilai rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif untuk seluruh lokasi pengamatan populasi MEP menunjukkan nilai yang bervariasi. Nilai rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif tertinggi yaitu pada kelompok MEP Petak 139 Selatan. Tingginya nilai rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif untuk kelompok MEP ini sebanding dengan jumlah kelompoknya. MEP di Petak 139 Selatan SM Paliyan merupakan kelompok MEP dengan ukuran populasi terbesar. MEP di tempat ini memiliki jumlah tertinggi untuk anakan MEP dengan perbandingan jumlah betina reproduktif yang juga tinggi. Peningkatan ukuran populasi ini secara proporsional akan membuat MEP betina dewasa memberikan waktu yang lebih banyak untuk merawat bayi dan anak hingga masa sapihnya (Grueter et al. 2013). Peningkatan jumlah populasi suatu satwa liar ditentukan dari ukuran kelompoknya, berapa jumlah bayi yang lahir, dan berapa jumlah individu yang mati dalam kelompok tersebut selama satu tahun, sehingga angka kelahiran menjadi salah satu komponen dalam populasi yang dinamis yang dapat diukur, salah satu yang lebih sering diamati yaitu angka rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif (Sinclair et al 2006). Natalitas/tingkat kelahiran memberikan gambaran tentang kondisi suatu populasi satwa liar yaitu berupa peningkatan dalam jumlah individu dan ukuran kelompoknya (Caron-Lormier et al. 2006). Ciani et al. (2004) menyatakan bahwa natalitas yang tinggi mendukung perkembangan dari suatu populasi satwa liar sehingga populasi tersebut tetap terjaga keberadaannya/ lestari. Berbagai faktor lingkungan dan kondisi habitat MEP juga mendukung tingginya nilai rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif ini. Hal ini juga disampaikan oleh Llanes et al. (2009) bahwa natalitas/ tingkat kelahiran/ rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif memberikan gambaran tentang kondisi suatu populasi satwa liar, meskipun sangat sulit untuk diamati secara akurat (Leridon 2007). Selanjutnya untuk nilai rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif terendah yaitu kelompok MEP Petak 141 SM Paliyan. Hal ini juga bisa dilihat dari tren penurunan jumlah populasi bila dibandingkan dengan hasil pengamatan pada tahun 2010. Meskipun nilai peluang kehidupan MEP ini tinggi namun jumlah anakan MEP dan betina yang reproduktif jumlahnya cenderung menurun. Perbedaan nilai rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif ini dapat dilihat dari kondisi habitat masing-masing kelompok. MEP di Petak 139 Selatan berada dekat dengan kebun-kebun milik petani dan masih berupa kebun yang produktif, sehingga MEP masih bisa memperoleh pakan selain dari pakan alaminya dari hasil kebun milik petani, meskipun hingga saat ini kondisi ini menjadi konflik dengan para petani. Sementara pada Petak 141, kondisi habitatnya jauh berbeda dengan MEP Petak 139 Selatan. Pada habitat kelompok MEP Petak 141 habitat di sekitarnya lebih banyak berupa lahan-lahan kosong yang sudah ditinggalkan oleh para petani, dan beberapa lahan yang masih diolah oleh para petani ditinggalkan anjing penjaga untuk mengawasi agar MEP tidak masuk ke dalam lahan milik petani tersebut. Kondisi ini membuat MEP sulit untuk masuk ke dalam lahan petani, sehingga MEP Petak 141 hanya bisa memperoleh pakan dari pakan yang tersedia di habitat alaminya.
25
Seks Rasio Seks rasio atau nisbah kelamin dari seluruh kelompok MEP yang diamati dihitung dengan cara membandingkan jumlah individu jantan dengan jumlah individu betina secara keseluruhan. Namun karena untuk kelas umur anak belum bisa dibedakan antara kelamin jantan dan betina, maka yang diperhitungkan adalah jumlah individu jantan dan betina dari kelas umur muda hingga dewasa. Hasil perhitungan seks rasio untuk setiap kelompok MEP yang diamati dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil perhitungan terhadap seks rasio/ nisbah kelamin untuk seluruh kelompok MEP di semua lokasi pengamatan memberikan nilai yang bervariasi. Secara keseluruhan untuk MEP yang diamati, terlihat bahwa jumlah jantan dan betina dalam satu kelompok hampir sama banyaknya. Pada dasarnya MEP merupakan satwa yang menggunakan sistem multi male-multi female (Blomquist dan Turnquist 2011), namun dari hasil pengamatan diketahui bahwa jumlah betina yang mungkin dimiliki oleh alpha male tidak berjumlah banyak, meskipun alpha male mampu kawin berkali-kali dengan betina MEP yang sedang dalam masa estrus. Hasil perhitungan seks rasio ini tidak jauh berbeda dengan hasil pengamatan pada penelitian terdahulu, yaitu di HPGW oleh Hidayat (2012). Hendratmoko (2009) di CA/TWA Pangandaran, serta Kusmardiastuti (2010). Perbedaannya hanya pada seks rasio MEP DAS HPGW, dimana hasil penelitian Hidayat (2012) memperoleh nilai seks rasio 1:4 , sedangkan pada saat penelitian ini dilakukan, seks rasio untuk MEP DAS yaitu 1:3. Kuat dugaan jumlah MEP DAS pada saat pengamatan jumlahnya berkurang bila dibandingkan dengan tahun terakhir pengamatan. Hal ini juga bisa dilihat dari peluang perjumpaan yang rendah bila diandingkan dengan lokasi MEP di HPGW yang lain. Tabel 4 Seks Rasio MEP di seluruh lokasi pengamatan No.
Kelompok MEP
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Stasiun TVRI HPGW Belakang Camp HPGW DAS HPGW Pasir putih utara Pasir putih selatan Goa Rengganis Kalenhaur Petak 141 Petak 139 Selatan Nirmolo Tlogo Muncar
Seks rasio* (jt : btn) 1:1 1:2 1:3 1:1 1:1 1:2 1:1 1:1 1:1 1:2 1:1
* untuk kelas umur muda dan dewasa
Hasil perhitungan seks rasio ini tidak jauh berbeda dengan hasil pengamatan pada penelitian terdahulu, yaitu di HPGW oleh Hidayat (2012). Hendratmoko (2009) di CA/TWA Pangandaran, serta Kusmardiastuti (2010). Perbedaannya hanya pada seks rasio MEP DAS HPGW, dimana hasil penelitian
26
Hidayat (2012) memperoleh nilai seks rasio 1:4 , sedangkan pada saat penelitian ini dilakukan, seks rasio untuk MEP DAS yaitu 1:3. Kuat dugaan jumlah MEP DAS pada saat pengamatan jumlahnya berkurang bila dibandingkan dengan tahun terakhir pengamatan. Hal ini juga bisa dilihat dari peluang perjumpaan yang rendah bila diandingkan dengan lokasi MEP di HPGW yang lain. Faktor lingkungan habitat MEP Suhu, kelembaban udara, dan intensitas cahaya Hasil pengamatan terhadap suhu rata-rata harian dan kelembaban udara pada tiap lokasi habitat MEP yaitu seperti yang ditampilkan pada Tabel 5 sebagai berikut: Tabel 5 Suhu harian dan kelembaban udara di seluruh lokasi pengamatan No.
Kelompok MEP
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Stasiun TVRI HPGW Belakang Camp HPGW DAS HPGW Pasir putih utara Pasir putih selatan Goa Rengganis Kalenhaur Petak 141 Petak 139 Selatan Nirmolo Tlogo Muncar
Suhu rata-rata harian (T0) 21.50 23.30 22.90 26.50 26.50 26.80 26.40 27.50 27.50 21.00 22.80
Kelembaban udara (RH %) 83.00 85.00 83.00 76.00 78.00 79.00 76.00 69.00 71.00 80.00 85.00
Intensitas cahaya (x 10 lux) 112 172 160 72 56 143 30 465 433 117 81
Suhu harian rata-rata diperoleh dari data pengamatan suhu harian selama tiga kali per hari (pagi, siang, dan sore). Suhu harian rata-rata yang diamati yaitu suhu di bawah tegakan. Suhu udara bervariasi sesuai dengan kondisi habitat masing-masing lokasi pengamatan, yang dinilai merupakan suhu udara harian yang sesuai bagi MEP untuk beraktivitas dan beristirahat (Korstjens et al. 2010). Berdasarkan hasil penelitian, kelompok MEP yang ada di Stasiun TVRI HPGW, DAS HPGW, Nirmolo dan Tlogo Muncar adalah kelompok MEP yang memiliki suhu harian rata-rata terendah. Sedangkan kelompok MEP di Petak 141 dan Petak 139 selatan SM Paliyan memiliki suhu harian rata-rata tertinggi. Suhu di permukaan bumi akan bertambah rendah dengan bertambahnya lintang seperti halnya penurunan suhu menurut ketinggian (Nasir et al. 1993). Hal ini terlihat dari hasil pengamatan suhu rata-rata harian, dimana lokasi dengan ketinggian lokasi 700-900 m dpl memiliki suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan lokasi yang berdekatan dengan laut. Kelembaban udara yang diukur di bawah tegakan adalah pengukuran kelembaban nisbi (relative humidity/ RH). Nasir et al. (1993) menyatakan bahwa kelembaban nisbi merupakan perbandingan antara kelembaban aktual dengan kapasitas udara untuk menampung air. Dari pernyataan tersebut bisa diketahui
27
bahwa bila suhu udara semakin tinggi/ meningkat maka nilai RH akan semakin rendah dan begitu pula sebaliknya, nilai RH akan semakin tinggi bila suhu udara semakin rendah. Pendapat ini sesuai dengan hasil pengamatan di seluruh lokasi habitat MEP yang diamati. Pada kelompok MEP dengan suhu harian rata-rata maka nilai RH-nya akan semakin tinggi, begitu pula sebaliknya semakin tinggi suhu harian rata-ratanya maka nilai RH lokasi habitat MEP tersebut akan semakin rendah. Hasil pengamatan terhadap pengukuran intensitas cahaya matahari yang berada di bawah tegakan juga menunjukkan hasil yang sebanding dengan hasil pengukuran suhu harian rata-rata dan kelembaban udara. Nilai intensitas cahaya tertinggi yaitu pada lokasi Petak 141 dan Petak 139 selatan SM Paliyan. Habitat MEP di SM Paliyan (Petak 141 dan Petak 139 Selatan) memang didominasi oleh tanaman perkebunan milik petani sekitar kawasan karena kawasan SM berbatasan langsung dengan lahan pertanian. Tumbuhan yang mendominasi habitat MEP di Paliyan yaitu jati (Tectona grandis) yang juga menjadi pakan alami MEP di kawasan ini. Kawasan SM Paliyan baru ditunjuk pada tahun 2000 sebagai kawasan konservasi. Sebelum penunjukan kawasan, kawasan ini dahulunya merupakan kawasan hutan produksi jati, namun pada saat era reformasi tahun 1998, kawasan hutan produksi ini mengalami penjarahan besar-besaran terhadap kayu jati tersebut, sehingga lahan hutan produksi tersebut menjadi lahan kritis, dan baru mulai direhabilitasi melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan pada tahun 2003 dan 2004 sehingga pada saat pengamatan tahun 2014 lahan SM Paliyan masih belum memiliki vegetasi yang rapat dan rindang. Selain juga karena habitatnya yang berada dekat dengan laut dan tipe habitat pegunungan kapur/ karst sehingga cahaya maahari diterima langsung ke lantai hutan tanpa terhalang rindangnya pepohonan. Ketinggian lokasi, kemiringan lahan, dan pH tanah Hasil untuk ketinggian lokasi, pH tanah lantai hutan serta kemiringan lahan di setiap lokasi pengamatan yang menjadi habitat MEP (Gambar 4) adalah seperti yang ditampilkan pada Tabel 6. Peubah ketinggian lokasi merupakan pengukuran ketinggian lokasi dari permukaan air laut. Berdasarkan hasil pengamatan untuk ketinggian lokasi, diketahui bahwa habitat MEP tersebar dari hutan pantai hingga ke hutan pegunungan. Gaillot (2006) menyatakan bahwa MEP merupakan satwa yang tersebar dan mampu hidup pada berbagai tipe habitat. Habitat MEP yang menjadi lokasi pengamatan terbagi menjadi empat tipe yaitu hutan tanaman (HPGW), hutan pantai dan dataran rendah (CA/ TWA Pangandaran), hutan karst (SM Paliyan), serta hutan pegunungan (Hutan Wisata Kaliurang). Penyebaran habitat MEP ini juga menunjukkan bahwa MEP merupakan satwa yang juga memiliki tingkat adaptabilitas yang tinggi pada kondisi habitatnya serta mampu berkembang biak pada habitatnya tersebut.
28
Tabel 6 Ketinggian lokasi, pH tanah lantai hutan dan kemiringan lahan di seluruh lokasi pengamatan No.
Kelompok MEP
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Stasiun TVRI HPGW Belakang Camp HPGW DAS HPGW Pasir putih utara Pasir putih selatan Goa Rengganis Kalenhaur Petak 141 Petak 139 Selatan Nirmolo Tlogo Muncar
Ketingian lokasi (m dpl) 709 624 602 37 93 30 76 274 196 1040 920
Kemiringan lahan (0)
pH tanah
21 15 7 12 28 28 5 40 38 23 40
5.83 6.20 6.47 5.33 5.13 5.13 5.80 6.40 6.00 5.87 6.27
Peubah ketinggian lokasi merupakan pengukuran ketinggian lokasi dari permukaan air laut. Berdasarkan hasil pengamatan untuk ketinggian lokasi, diketahui bahwa habitat MEP tersebar dari hutan pantai hingga ke hutan pegunungan. Gaillot (2006) menyatakan bahwa MEP merupakan satwa yang tersebar dan mampu hidup pada berbagai tipe habitat. Habitat MEP yang menjadi lokasi pengamatan terbagi menjadi empat tipe yaitu hutan tanaman (HPGW), hutan pantai dan dataran rendah (CA/ TWA Pangandaran), hutan karst (SM Paliyan), serta hutan pegunungan (Hutan Wisata Kaliurang). Penyebaran habitat MEP ini juga menunjukkan bahwa MEP merupakan satwa yang juga memiliki tingkat adaptabilitas yang tinggi pada kondisi habitatnya serta mampu berkembang biak pada habitatnya tersebut. Topografi dari berbagai tipe habitat MEP yang diamati mulai dari datar hingga berbukit. Topografi datar dijumpai pada lokasi habitat MEP di sebagian lokasi pengamatan HPGW, dan di CA/ TWA Pangandaran dengan kemiringan lahan mulai dari 50-150. Sedangkan topografi berbukit dijumpai pada beberapa lokasi di HPGW, Kalenhaur di CA/TWA Pangandaran, lokasi SM Paliyan dan Hutan Wisata Kaliurang dengan kemiringan lahan mulai dari 200-400. pH tanah pada berbagai tipe habitat MEP yang diamati secara keseluruhan berada pada nilai 5-6. Ini menunjukkan bahwa pH tanah lantai hutan yang menjadi habitat MEP tidak jauh berbeda. Jenis tanah pada lokasi HPGW yaitu podsolik, latosol dan litosol dari batu endapan dan bekuan dari daerah bukit (Hidayat 2012). Untuk jenis tanah di CA/ TWA Pangandaran yaitu podsolik merah kuning, podsolik kunin, latosol coklat dan litosol (Hendratmoko 2009). Selanjutnya tipe tanah di SM Paliyan yaitu jenis tanah mediteran, grumusol, litosol dan rendzina, sedangkan jenis tanah di Hutan Wisata Kaliurang yaitu jenis tanah regosol dan andisol (Kusmardiastuti 2010).
29
Habitat MEP di HPGW
Habitat MEP di TWA Pangandaran
Habitat MEP di SM Paliyan
Habitat MEP di Hutan Wisata Kaliurang
Gambar 4 Habitat MEP di berbagai lokasi pengamatan
Jarak pohon pakan ke sumber air terdekat dan kebun masyarakat Pengamatan terhadap faktor lingkungan habitat MEP juga dilihat dari jarak pohon pakan terhadap sumber air dan kebun masyarakat. Hal ini didasarkan bahwa satwa memiliki kebutuhan akan air sehingga cenderung untuk mencari sarang yang dekat dengan sumber air. Untuk pengukuran jarak terhadap kebun masyarakat juga dilakukan yaitu untuk menduga apakah faktor manusia juga mempengaruhi keberadaan MEP di suatu tempat. Hasil pengamatan terhadap jarak pohon pakan ke sumber air terdekat serta jarak pohon pakan ke kebun masyarakat terdekat dapat dilihat pada Tabel 7. Pengukuran jarak dari pohon pakan ke sumber air terdekat dan kebun masyarakat terdekat diukur dari pohon pakan yang ditandai sebagai pohon pakan pertama yang didatangi oleh MEP yang juga biasanya merupakan pohon tidur MEP pada hari sebelumnya. Berdasarkan hasil pengamatan terlihat bahwa untuk jarak pohon pakan ke sumber air terdekat berada pada kisaran ratusan meter mulai dari 40-350 meter. Namun untuk lokasi pengamatan di SM Paliyan pada petak 141 merupakan lokasi dengan jarak sumber air terjauh yaitu 2.6 km dari pohon pakan.
30
Tabel 7 Jarak pohon pakan dari sumber air dan kebun masyarakat terdekat di seluruh lokasi pengamatan No.
Kelompok
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Stasiun TVRI HPGW Belakang Camp HPGW DAS HPGW Pasir putih utara Pasir putih selatan Goa Rengganis Kalenhaur Petak 141 Petak 139 Selatan Nirmolo Tlogo Muncar
Jarak pohon pakan ke sumber air (m) 150 287 40 322 377 326 200 2600 122 207 125
Jarak pohon pakan ke kebun masyarakat (m) 361 277 420 332 605 727 1300 22 36 165 464
Diduga MEP pada kelompok ini memperoleh sumber air dari berbagai pakan yang dikonsumsinya. Sedangkan untuk jarak pohon pakan dengan kebun masyarakat terdekat berada pada kisaran jarak 250-470 meter dari pohon pakan. Habitat MEP di SM Paliyan merupakan lokasi pengamatan dengan jarak kebun paling dekat dengan pohon pakan. Hal ini dikarenakan batas kawasan SM dengan lahan pertanian milik masyarakat sangat berdekatan, sehingga konflik antara petani dengan MEP sangat sering terjadi, dan bagi petani di Paliyan, MEP merupakan satwa hama yang menjadi musuh dan harus selalu diawasi agar tidak masuk dan merusak tanaman perkebunan milik petani tersebut. Jarak kebun terjauh yaitu pada lokasi MEP Kalenhaur. Ini dikarenakan lokasi habitat MEP yang berada di dalam kawasan Cagar Alam, sehingga keberadaan MEP selalu ada di dalam kawasan konservasi yang tentu saja tidak boleh dilakukan pengolahan lahannya oleh masyarakat dalam bentuk apapun untuk menjaga kelestarian kawasannya. Kerapatan tumbuhan pakan Kerapatan pakan pada seluruh lokasi pengamatan MEP dihitung dari hasil analisis vegetasi pada seluruh lokasi ditemukannya MEP yang menjadi pakan alami MEP tersebut. Kerapatan pakan ini meliputi seluruh tingkatan pertumbuhan vegetasi yaitu semai, pancang, tiang dan pohon. Pada tingkat semai tidak hanya dari permudaan vegetasi pepohonan tetapi juga dari tumbuhan bawah yang juga dikonsumsi oleh MEP (Gambar 5). Hasil dari kerapatan pakan pada seluruh lokasi pengamatan dapat dilihat dari Tabel 8. Kerapatan pakan tertinggi pada tingkat semai yaitu lokasi MEP di Pasir Putih Selatan dan Goa Rengganis dengan nilai kerapatan pakan masing-masing sebesar 3505 individu/ha dan 2145 individu/ha. Hal ini dikarenakan banyaknya permudaan bayur (Pterospermum javanicum) yang ditemukan pada habitat MEP Pasir Putih Selatan. Bayur menjadi salah satu pakan alami MEP di Pangandaran dan merupakan jenis yang mudah untuk berkembang pada permudaannya, meskipun pada tingkatan pertumbuhan selanjutnya tidak semua individu bayur
31
pada tingkat semai tersebut akan tetap hidup. Sedangkan nilai kerapatan pakan tingkat semai terendah yaitu pada lokasi MEP DAS HPGW yaitu dengan nilai kerapatan pakan 170 individu/ha. Tabel 8 Kerapatan pakan dalam berbagai tingkat permudaan di seluruh lokasi pengamatan No. Kelompok MEP 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Stasiun TVRI HPGW Belakang Camp HPGW DAS HPGW Pasir putih utara Pasir putih selatan Goa Rengganis Kalenhaur Petak 141 Petak 139 Selatan Nirmolo Tlogo Muncar
Semai 170 255 160 800 3505 2145 535 380 375 705 325
Kerapatan pakan (individu/ha) Pancang Tiang Pohon 95 55 230 120 150 295 125 115 435 240 95 220 235 305 145 95 100 320 245 120 265 245 200 120 55 245 70 240 160 400 245 135 145
Kerapatan pakan tertinggi pada tingkat pancang yaitu pada lokasi MEP Kalenhaur, Petak 141, serta Tlogo Muncar dengan nilai kerapatan pakan masing-masing 245 individu/ha. Sedangkan untuk nilai kerapatan pakan terendah yaitu pada lokasi MEP Petak 139 Selatan. Li et al. (2014) menyatakan bahwa kondisi abiotik dari suatu habitat memberika pengaruh yang besar pada pertumbuhan jenis suatu tumbuhan. Kerapatan pakan tertinggi pada tingkat tiang yaitu pada lokasi MEP Petak 139 Selatan dengan nilai kerapatan pakan 245 individu/ha. Sedangkan untuk nilai kerapatan pakan terendah yaitu pada lokasi MEP Stasiun TVRI HPGW dan MEP Bak air HPGW dengan nilai kerapatan pakan masing-masing 55 individu/ha. Habitat MEP di HPGW memang didominasi oleh pepohonan yang ditanam mulai 1951 (Hidayat 2012), sehingga jenis pakan alami dalam tingkat tiang sangat sedikit ditemukan. Kerapatan pakan tertinggi pada tingkat pohon yaitu pada lokasi MEP DAS HPGW dengan nilai kerapatan pakan 435 individu/ha. Sedangkan untuk nilai kerapatan pakan terendah yaitu pada lokasi MEP Petak 139 Selatan dengan nilai kerapatan pakan sebesar 70 individu/ha. Monyet ekor panjang di habitat alaminya termasuk satwa frugivorous karena hampir 60% jenis pakan alaminya adalah berupa buah-buahan, sedangkan 40% lainnya dipenuhi dari jenis pakan lain baik berupa serangga (Rothman et al. 2014), bunga, daun, dan sumber pakan yang lainnya bahkan kelompok monyet ekor panjang di CA/ WA Pangandaran juga memakan jenis kerang-kerangan yang terdapat di pantai. Hal ini merupakan bentuk pemenuhan energi bagi monyet ekor panjang untuk melakukan aktivitasnya. Monyet ekor panjang yang frugivorous ini memberikan keuntungan tersendiri bagi kehidupan populasi monyet ekor panjang tersebut karena turut serta berperan dalam pemencaran biji dari buah yang telah dimakannya yang secara tidak langsung merupakan mekanisme regenerasi dari habitat hutan alaminya (Gupta dan Chivers 2004). Pemencaran biji oleh satwa primata (Fuentes et al. 2008) memainkan peranan penting dalam dinamika hutan,
32
sehingga bila keberadaan satwa pimata frugivorous tersebut menghilang maka akan terjadi perubahan pola vegetasi hutan yang akan mengakibatkan menurunnya keragaman jenis tumbuhan (Brodie et al. 2009 dalam Gross-Camp dan Kaplin 2011).
Salam (Syzigium polyanthum)
Kipancar (Podocarpus neriifolia)
Tembelekan (Lantana camara)
Arumdalu (Cestrum nocturnum)
Gambar 5 Beberapa jenis tumbuhan pakan MEP di lokasi pengamatan
Analisis hubungan antara faktor lingkungan dengan parameter demografi Hubungan antara faktor lingkungan dengan parameter demografi MEP dianalisis melalui persamaan regresi linear berganda. Parameter demografi yang akan dianalisis yaitu peluang hidup dan rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif. Adapun model hubungan antara faktor lingkungan dengan parameter demografi monyet ekor panjang yang diperoleh pada selang kepercayaan 95% yaitu sebagai berikut: 1. Y(peluang hidup anak-muda) = 0.144 + 0.002 Kpcg (R2 = 40% signifikansi 0.037); 2. Y(peluang hidup muda-dewasa) = 3,02 - 0,0266 T - 1,69 RH + 0,000086 Pkbn - 0,000008 Ksmi + 0,00112 Kpcg + 0,00018 Ktg - 0,00046 Kphn (R2 = 44.6% signifikansi 0.888); 3. Y(rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif) = 1.186 – 0.005 Kpcg + 0.002 Ktg (R2 = 82.3% signifikansi 0.001).
Hasil analisis ANOVA terhadap parameter demografi (peluang hidup dan rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif) dengan beberapa variabel yang menjadi faktor lingkungan diketahui bahwa peluang hidup dari KU Anak ke
33
Muda dipengaruhi oleh kerapatan pakan tingkat pancang. Hal ini bisa dilihat dari kemampuan MEP usia anak yang masih terbatas dalam mencari pakannya sendiri. MEP KU bayi masih berada dalam jangkauan induknya dalam meencari pakan, sehingga masih tergantung pada induknya, sedangkan MEP KU Anak berada pada masa belajar untuk mencari pakannya sendiri, yaitu pada saat disapih oleh induknya. Diduga kerapatan pancang memberikan pengaruh bagi nilai peluang hidup KU Anak ke Muda karena kemampuan KU anak yang masih terbatas dalam mencari pakan, sehingga mengandalkan pada jenis pakan yang keberadaannya tidak jauh dari lantai hutan. Berbeda halnya dengan peluang hidup dari KU Muda ke Dewasa dimana berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa tidak ada satupun faktor lingkungan yang memberikan pengaruh untuk nilai peluang hidup. Diduga terdapat faktorfaktor eksternal lain yang masih belum diukur pada penelitian ini yang bisa memberikan pengaruh pada nilai peluang hidup tersebut. Kemudian untuk rasio jumlah bayi terhadap betina reproduktif diketahui dipengaruhi oleh kerapatan pancang dan tiang. MEP akan memiliki peluang hidup yang tinggi dengan kondisi lingkungan yang dinilai nyaman untuk berkembang biak, meskipun pada kenyataannya MEP adalah satwa yang memiliki tingkat adaptabilitas yang tinggi terhadap lingkungannya sehingga mampu bertahan hidup dan berkembang biak dengan baik dalam berbagai tipe habitat (Gumert 2011). Hasil penelitian ini berhasil menunjukkan adanya hubungan antara faktor lingkungan terhadap parameter demografi populasi monyet ekor panjang, yang pada penelitian sebelumnya untuk lokasi yang sama yaitu di SM Paliyan dan Hutan Wisata Kaliurang yang dilakukan oleh Kusmardiastuti (2010) diperoleh hasil yang berbeda dengan hasil penelitian ini. Penelitian Kusmardiastuti (2010) menggunakan 4 buah variabel lingkungan dan untuk penelitian ini menggunakan 12 variabel lingkungan. Meskipun untuk peluang hidup dari KU Muda ke Dewasa tidak ada satupun faktor variabel lingkungan yang memberikan pengaruh namun dengan semakin mengkaji faktor-faktor lingkungan dari habitat monyet ekor panjang besar kemungkinan akan memberikan pengaruh terhadap kondisi populasi satwa liar. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa pakan dan keberadaan pakan menjadi faktor yang sangat berpengaruh di dalam kehidupan populasi MEP meskipun kondisinya pada saat ini MEP tidak hanya bergantung kepada pakan alami yang ada di dalam habitatnya. Natalitas dan mortalitas juga merupakan deskripsi dari kemampuan suatu populasi untuk bertahan hidup sehingga dengan dengan kondisi ideal yaitu angka natalitas yang tinggi dan tingkat mortalitas yang rendah serta dengan kondisi habitat yang baik, populasi MEP tersebut akan tetap lestari dan bila terdapat populasi yang berlebih, maka mekanisme pemanenan pun bisa dilakukan untuk menjaga keseimbangan populasi tersebut di alam. Kelompok primata merupakan kelompok satwa dengan aktivitas seksual yang berlangsung secara terus menerus (Krebs dan Davies 1993). Monyet ekor panjang yang ada di wilayah tropis tidak memiliki musim tertentu untuk kawin, sehingga aktivitas seksual dari monyet ekor panjang dapat berlangsung setiap hari sepanjang tahun (Maestripieri 2007). Namun aktivitas seksual yang bisa berlangsung sepanjang tahun belum tentu menjadi indikasi keberhasilan perkembangbiakan suatu populasi MEP. Terdapat faktor-faktor eksternal yang
34
belum dikaji pada penelitian ini dan berasal dari luar kelompok yang turut serta mempengaruhi variabel dari parameter demografi yang diamati.
35
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Peluang hidup dari kelas umur anak ke kelas umur muda dipengaruhi oleh kerapatan pakan pada tingkat pancang, sedangkan peluang hidup dari kelas umur muda ke dewasa tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang diamati. Rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif dipengaruhi oleh kerapatan pakan pada tingkat pertumbuhan pancang dan tiang. 2. Model hubungan untuk peluang hidup Anak ke Muda yaitu Y = 0.144 + 0.002 Kpcg, dan model hubungan untuk rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif yaitu Y = 1.186 – 0.005 Kpcg + 0.002 Ktg. Saran 1. Kuota tangkap pemanenan monyet ekor panjang di habitat alaminya dapat ditentukan dengan dasar parameter demografi populasi. Pemanenan dari alam dapat dilakukan apabila populasi monyet ekor panjang tersebut diketahui memiliki jumlah yang berlebih dengan seks rasio yang tidak berimbang sehingga langkah ini merupakan salah satu mekanisme pengendalian populasi monyet ekor panjang di habitat alaminya. 2. Pengaruh kehadiran manusia pada habitat monyet ekor panjang yang juga merupakan lokasi wisata perlu dikaji secara komprehensif untuk melihat sejauh mana dampak perubahan yang terjadi di dalam kelompok monyet ekor panjang tersebut dengan kondisi habitat alaminya.
36
DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwa Liar Jilid 1. Bogor (ID): Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Asensio N, Korstjens AH, Schaffner CM, Aureli F. 2008. Intragroup aggression, fission-fusion dynamics and feeding competition in spider monkeys. Behaviour 145:983-1001. Bailey J. 1984. Principle of Wildlife Management. Colorado (US): John Wailey and Sons. Berkovitch FB, Huffman MA. 1999. The Macaques. Dolhinow P, Fuentes A, editor. California (US): Mayfield Publishing Company. Blomquist GE, Turnquist JE. 2011. Selection on adult female body size in rhesus macaques. J of Human Evol. 60:677-683. doi:10.1016/j.jhevol.2010.05.010. Bowler M, Bodmer R. 2009. Social behavior in fission-fusion groups of red uakari monkeys (Cacajao calvus ucayalii). American Journal of Primatology 71:1-12. doi 10.1002/ajp.20740. Broom M, Borries C, Koenig A. 2004. Infanticide and infant defence by malesmodeling the conditions in primate multi-male groups. J of Theoretical Biol. 231:261-270. doi:10.1016/j.jtbi.2004.07.001. Caron-Lormier G, Masson JP, Ménard N, Pierre JS. 2006. A branching process, its application in biology: Influence of demographic parameters on the social structure in mammal groups. Journal of Theoretical Biology 238:564574. doi:10.1016/j.jtbi.2005.06.010. Chu JH, Lin YS, Wu HY. 2006. Evolution and dispersal of three closely related macaque species, Macaca mulatta, M. cyclopis, and M. fuscata, in the eastern Asia. Mol. Phyl. And Evol (43): 418-429. Cowlishaw G, Dunbar R. 2000. Primate Conservation Biology. London (UK): The University of Chicago Press. Cunha AA. 2010. Negative effects of tourism in a Brazilian Atlantic forest national park. J for Nat. Con. 18:291-295. doi:10.1016/j.jnc.2010.01.001. De Wall FBM. 1998. Conflict as Negotiation. McGrew WC, Marchant LF, Nishida T, editor. Cambridge (UK): Cambridge University Press. Einspanier A, Gore MA. 2005. Reproduction: Definition of a Primate Model of Female Fertility. Wolfe-Coote S, editor. Oxford (UK): Elsevier Academic Press. Eudey AA. 1999. Asian Primates Conservation – My Perspective. Dolhinow P, Fuentes A, editor. California (US): Mayfield Publishing Company. Eudey AA. 2008. The crab-eating macaque (Macaca fascicularis) widespread and rapidly declining. J Primate Conservation 23:129-132. Fooden J. 1982. Ecogeographic segregation of macaques species. Primates 23(4): 574-579. Fuentes A, Shaw E, Cortes J. 2006. Qualitative assesment of macaque tourist sies in Padangtegal, Bali, Indonesia and the Upper Rock nature reserve, Gibraltar. Int. J. Primatol. DOI 10.1007/s10764-007-9184-y. Fuentes A, Kalchik S, Gettler L, Kwiatt A, Konecki M, Jones-Engel L. 2008. Characterizing human-macaque interactions in Singapore. American J of Primatol. 70:1-5. DOI 10.1002/ajp.20575.
37
Gaillot ED, Lepage MFP, Clément C, Burnett R. 2006. A review of background findings in cynomolgus monkeys (Macaca fascicularis) from three different geographical origins. J Experimental and Toxicologic Pathology 58:77-88 doi:10.1016/j.etp.2006.07.003. Galdikas B. 1984. Adaptasi Orangutan di Suaka Margasatwa Tanjung Puting Kalimantan Tengah. Jakarta (ID): Penerbit Universitas Indonesia. Gotelli NJ, Ellison AM. 2004. A Primer of Ecological Statistics. Massachusetts (US): Sinauer Associates, Inc. Gross-Kamp ND, Kaplin BA. 2011. Differential seed handling by two African primates affects seed fate and establishment of large-seeded tress. Acta Oecologica 37:578-586. doi:10.1016/j.actao.2011.04.003. Grove M. 2012. Space, time, and group size: a model of constraints on primate social foraging. Anim. Behav. 83:411-419. doi:10.1016/j.anbehav.2011.11.011. Grueter CC, Bissonnette A, Isler K, van Schaik CP. 2013. Grooming and group cohesion in primates: implications for the evolution of language. Evol. and Human Behav. 34:61-68. http://dx.doi.org/10.1016/j.evolhumbehav.2012.09.004. Gumert MD. 2011. The common monkey of southeast Asia: Long-tailed macaque populations, ethnophoresy, and their occurence in human environment. Gumert Md, Fuentes A, Jones-Engel L, editor. Cambridge (UK): Cambridge University Press. Gupta AK, Chivers DJ. 2004. Biomass and use of resources in soth and south-east Asian primates communities. Fleagle JG, Janson CH, Reed KE. Cambridge (UK): Cambridge University Press. Hendratmoko Y. 2009. Studi Kohabitasi Monyet Ekor Panjang dengan Lutung Di Cagar Alam Pangandaran Jawa Barat [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Henzi SP, Lycett JE, Piper SE. 1997. Fission and troop size in a mountain baboon population. Anim. Behav. (53): 525-535. Hidayat A. 2012. Studi Populasi dan Pola Penggunaan Ruang Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Di Hutan Pendidikan Gunung Walat [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hollén LI, Bell MBV, Wade HM, Rose R, Russell A, Niven F, Ridley AR, Radford AN. 2011. Ecologial conditions influence sentinel decisions. Anim. Behav. 82:1435-1441. doi:10.1016/j.anbehav.2011.09.028. Homyack JA, Haas CA. 2009. Long-term effects of experimental forest harvesting on abundance and reproductive demography of terrestrial salamanders. Biol. Con. 142:110-121. doi:10.1016/j.biocon.2008.10.003. Indriyanto. 2008. Ekologi Hutan. Jakarta : PT Bumi Aksara. Iriawan N, Astuti SP. 2006. Mengolah Data Statistik Dengan Menggunakan Minitab 14. C.V Andi offset. Yogyakarta. Jędrzejewski W, Spaedtke H, Kamler JF, Jędrzejewska B, Stenkewitz U. 2006. Group size dynamics of red deer in Bialowieża primeval forest, Poland. J of Wildlife Management 70(4):1054-1059. Kappeler PM, van Schaik CP. 2002. Evolution of primates social systems. International Journal of Primatology 23(4): 707-740. doi: 01640291/02/0800-0707/0.
38
Kartono AP, Santosa Y. 2012. Bahan Pengajaran Mata Kuliah Dinamika Populasi: Analisis Pertumbuhan dan Dinamika Populasi. Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor [tidak dipublikasikan]. King AJ, Douglas CMS, Huchard E, Isaac NJB, Cowlishaw G. 2008. Dominance and affiliation mediate despotism in a social primate. Current Biology 18:1833-1838. DOI 10.1016/j.cub.2008.10.048. Knott CD. Thompson ME, Wich SA. 2009. The Ecology of Female Reproduction in Wild Orangutans. Wich SA, Atmoko SSC, Setia MT, van Schaik CP, editor. New York (US): Oxford University Press. Korstjens AH, Lehmann J, Dunbar RIM. 2010. Resting time as an ecological constraint on primate biogeography. Anim. Behav. 79:361-374. doi:10.1016/j.anbehav.2009.11.012. Krebs JR, Davies NB. 1993. An Introduction to Behavioural Ecology. Malden (US): Blackwell Publishing. Kusmardiastuti. 2010. Penentuan Kuota Panen Monyet Ekor Panjang Macaca fascicularis Berdasarkan Parameter Demografi [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Leca JB, Gunst N, Huffman MA. 2007. Age-related differences in the performance, difussion, and maintenance of stone handling, a behavioural tradition in Japanese macaques. J of Human Evol. 53:691-708. doi:10.1016/j.jhevol.2007.05.009 Lehmann J, Korstjens AH, Dunbar R. 2006. Fission-fusion social systems as a strategy for coping with ecological constraints: a primate case. Evol Ecol 2006. DOI 10.1007/s10682-006-9141-9. Lekagul B, McNeely JA. 1977. Mammals of Thailand. Bangkok (TH): The association for conservation of wildlife. Leridon H. 2007. Studies of fertility and fecundity: comparative approaches from demography and epidemiology. C. R. Biologies 330:339-346. doi:10.1016/j.crvi.2007.02.013. Li Y, Härdtle W, Bruelheide H, Nadrowski K, Scholten T, von Wehrden H, von Oheimb G. 2014. Site and neighborhood effects on growth of tree saplings in subtropical plantations (China). Forest Ecol.and Management 327:118127. http://dx.doi.org/10.1016/j.foreco.2014.04.039. Lindenmeyer DB, Fischer J. 2006. Habitat Fragmentation and Landscape Change An Ecological an Conservation Synthesis. Washington, D.C (US): Island Press. Marker LL, Dickman AJ, Jeo RM, Mills MGL, Macdonald DW. 2003. Demography of namibian cheetah, Acinonyx jubatus jubatus. Biol. Conserv. 114:413-425. doi:10.1016/S0006-3207(03)00069-7. Martin JGA, Réale D. 2008. Animal temperament and human disturbance: implications for the response of wildlife to tourism. Behavioural Processes 77:66-72. doi:10.1016/j.beproc.2007.06.004. Matsumura S. 2001. The Myth of Despotism and Nepotism: Dominance and Kinship in Matrilineal Societies of Macaques. Matsuzawa T, editor. Tokyo (JPN): Springer-Verlag.
39
Maestripieri D. 2007. Macachiavellian Intelligence How Rhesus Macaques and Human Have Concuered the World. Chicago (US): The University of Chicago Press. Morrison ML, Marcot BG, Mannan RW. 2006. Wildlife-Habitat Relationships Concepts and Applications third edition. Washington, D.C (US): Island Press. Napier JR, PH Napier. 1967. A Handbook of Living Primates: Morphology, Ecology, and Behaviour of Non Human Primates. New York (US): Academic Press. Nasir AA, Handoko, June T, Hidayati R. 1993. Klimatologi Dasar. Handoko, editor. Jakarta (ID): Pustaka Jaya. Nugroho TC. 2012. Sebaran Populasi dan Karakteristik Habitat Monyet Ekor Panjang Di Taman Nasional Gunung Merapi [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Orams MB. 2002. Feeding wildlife as a tourism attraction: a review of issues and impacts. Tourism Management 23:281-293. Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Samingan T, penerjemah; Srigandono, editor. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Fundamentals of Ecology. Ed ke-3. Pollard KA, Blumstein DT. 2008. Time allocation and the evolution of group size. Anim. Behav. 76:1683-1699. doi:10.1016/j.anbehav.2008.08.006. Price EE, Stoinski TS. 2007. Group size: Determinants in the wild and implications for the captive housing of wild mammals in zoos. App Anim Behaviour Sci 103:255-264. doi:10.1016/j.applanim.2006.05.021 Priyono A. 1998. Penentuan Ukuran Populasi Optimal Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis Raffles) dalam Penangkaran dengan Sistem Pemeliharaan di Alam Bebas: Studi Kasus di PT Musi Hutan Persada [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rahmi E, Sutriana A, Aliza D. 2010. Uji tubereulin pada kulit monyet ekor panjang (Macaca fascicularis): Dalam upaya pencegahan penyakit zoonosis Tuberkulosis (TBC) i kawasan wisata Pulau Weh Sabang. J Primatologi Indonesia. 7(1):21-26. Rinaldi D. 1992. Penggunaan metode triangle dan concentration count dalam penelitian sebaran populasi gibbon (Hylobatidae). Media Konservasi IV(1):9-21. Rodriguez-Llanes JM, Verbeke G, Finlayson C. 2009. Reproductive benefits of high social status in male macaques (Macaca). Anim. Behav. 78:643-649. doi:10.1016/j.anbehav.2009.06.012. Rothman JM, Raubenheimer D, Bryer MAH, Takahashi M, Gilbert CC. 2014. Nutritional contributions of insects to primate diets: implications for primate evolution. J of Human Evol. 71:59-69. http://dx.doi.org/10.1016/j.jhevol.2014.02.016. Saniwu LM, Suprayogi A, Mansjoer SS. 2010. Analisis hematologi, nilai kecernaan dan tingkah laku monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) jantan obes yang diintervensi nikotin. J Primatologi Indonesia 7(1):3-10. Santosa Y. 1995. Konsep Ukuran Keanekaragaman Hayati Di Hutan Tropika. Bogor (ID): Fkultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
40
Santosa Y. 1996. Beberapa parameter bio-ekologi penting dalam pengusahaan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Media Konservasi V(1):25-29. Santosa Y. 2010. Permasalahan dan peran pendugaan parameter demografi populasi dalam konservasi jenis satwa liar. Bogor (ID): Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Santosa Y, Muhammad RYZ, Rahman DA. 2012. Pendugaan parameter demografi dan betuk sebaran spasial biawak komodo (Varanus komodoensis Ouwens 1912) di Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo. J Ilmu Pertanian Indonesia 17(2):159-165. Santoso N. 1996. Analisis habitat dan potensi pakan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis, Raffles) di Pulau Tinjil. J Media Konservasi 5(1):5-9. Sinclair AR, Fryxell JM, Caughley G. 2006. Wildlife Ecology, Conservation, and Management. Malden (US): Blackwell Publishing Ltd. Smith JE, Kolowski JM, Graham KE, Dawes SE, Holekamp KE. 2008. Social and ecological determinants of fission-fusion dynamics in the spotted hyaena. Anim Behav 76:619-636. doi:10.1016/j.anbehav.2008.05.001. Soerianegara I, Indrawan A. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Soma IG, Wandia IN, Suatha IK, Widyastuti SK, ompis ALT, Arjentinia GY. 2009. Dinamika populasi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di hutan wisata Alas Kedaton Tabanan. Buletin Veteriner Udayana 1(2):47-53. Sueur C, Petit O, Deneubourg JL. 2010. Short-term group fission processes in macaques: a social networking approach. The Journal of Experimental Biology 213: 1338-1346. doi:10.1242/jeb.039016. Sueur C, King AJ, Conradt L, Kerth G, Lusseau D, Hoffmann CM, Schaffner CM, Williams L, Zinner D, Aureli F. 2011. Collective decision-making and fission-fusion dynamics: a conceptual framework. Oikos 000:001-010. doi: 10.1111/j.1600-0706.2011.19685.x. Sueur C, Deneubourg JL, Petit O, Couzin ID. 2011. Group size, grooming and fission in primates: a modeling approach based on group structure. J of Theoretical Biol. 273:156-166. doi:10.1016/j.jtbi.2010.12.035. Supartono T. 2001. Studi Habitat dan Populasi Monyet Ekor Panjang di Kawasan Lindung HPHTI PT. Riau Anadalan Pulp And Paper [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Supriatna J, Wahyono EH. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Surya RA. 2010. Penentuan Ukuran Populasi Minimum Lestari Monyet Ekor Panjang Macaca fascicularis Berdasarkan Parameter Demografi (Studi Kasus di Provinsi Lampung) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ueno Y. 2001. How Do We Eat? Hypothesis of Foraging Strategy from the Viewpoint of Gustation in Primates. Matsuzawa T, editor. Tokyo (JPN): Springer-Verlag. Wardy A, Jusuf I, Sajuthi D, Sulistiawati E, Mansjoer SS, Oktarina R. 2010. Intervensi nikotin terhadap level low density lipoprotein dan ekspresi UCP-1 (uncuopling protein 1) pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) obes dengan resiko atreogenesis. J Primatologi Indonesia 7(1):11-15.
41
Widiyanti DR. 2001. Aktivitas Harian Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) dan Pengarhnya Terhadap Pengelolaan Lahan Hutan Rakyat (Studi Kasus di Dusun Nyemani, Desa Sidoharjo, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Young TP, Isbell LA. 1994. Minimum group size and other conservation lesson exemplified by a declining primate population. Biol. Con. 68(129-134). doi:0006-3207/94/$07.00.
LAMPIRAN
42
Lampiran 1
Peta lokasi penelitian
Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi, Jawa Barat
Cagar Alam/ Taman Wisata Alam Pangandaran, Pangandaran, Jawa Barat
43
Suaka Margasatwa Paliyan, Paliyan Gunung Kidul, DI Yogyakarta
Hutan Wisata Kaliurang, Kaliurang Sleman, DI Yogyakarta
44
Lampiran 2
Hasil uji asumsi regresi klasik model hubungan antara faktor lingkungan dengan peluang hidup kelas umur anak-muda dan rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif
a. Peluang hidup kelas umur anak ke muda Uji normalitas data
44
45
Uji multikolinearitas a
Coefficients Model
Unstandardized
Standardize
Coefficients
d
t
Sig.
Collinearity Statistics
Coefficients B
Std. Error
Beta
Toleranc
VIF
e (Constant)
2,164
,000
.
.
,017
,000
,173
.
.
,164
6,102
-2,489
,000
-,623
.
.
,107
9,307
,242
,000
,465
.
.
,058
17,284
-,015
,000
-,769
.
.
,028
35,269
-2,607
,000
-,588
.
.
,022
45,575
,000
,000
,178
.
.
,106
9,439
,000
,072
.
.
,106
9,436
,002
,000
,698
.
.
,766
1,306
Ktg
-,003
,000
-,838
.
.
,248
4,036
Kphn
-,001
,000
-,549
.
.
,289
3,462
T RHtransfor m pHtan KML PAtransfor 1 m PKbn
1,737EKsmi 005 Kpcg
a. Dependent Variable: YpxAM
Uji heterokedastisitas
46
Uji autokorelasi b
Model Summary
Model 1
R ,975a
R Square ,951
Adjusted R Square ,837
Std. Error of the Estimate ,101054
DurbinWatson 1,065
a. Predictors: (Constant), Kphn, Kpcg, Ksmi, PKbn, RHtransform, Ktg, T b. Dependent Variable: YpxAM
4-D 2,935 untuk T 11 K 7 maka nilai: dl du
0,20253 3,00447
KESIMPULAN Deteksi Autokorelasi Positif: Jika d < dL maka terdapat autokorelasi positif, Jika d > dU maka tidak terdapat autokorelasi positif, Jika dL < d < dU maka pengujian tidak meyakinkan atau tidak dapat disimpulkan. Deteksi Autokorelasi Negatif: Jika (4 - d) < dL maka terdapat autokorelasi negatif, Jika (4 - d) > dU maka tidak terdapat autokorelasi negatif, Jika dL < (4 - d) < dU maka pengujian tidak meyakinkan atau tidak dapat disimpulkan.
Kesimpulan :
SALAH SALAH BENAR SALAH SALAH BENAR
PENGUJIAN TIDAK MEYAKINKAN UNTUK DAPAT DISIMPULKAN APAKAH TERDAPAT AUTOKORELASI POSITIF ATAUPUN NEGATIF sehingga pengujian dilanjutkan dengan metode run-test
47
Regresi stepwise untuk peluang hidup kelas umur anak-muda Model Summary
Model 1
R ,633a
R Square ,400
Adjusted R Square ,334
Std. Error of the Estimate ,204060
a. Predictors: (Constant), Kpcg ANOVAa Model 1
Regression
Sum of Squares ,250
1
Mean Square ,250 ,042
df
Residual
,375
9
Total
,625
10
F 6,004
Sig. b ,037
t ,902
Sig. ,391
2,450
,037
a. Dependent Variable: YpxAM b. Predictors: (Constant), Kpcg a
Model 1
(Constant) Kpcg
a. Dependent Variable: YpxAM
Coefficients Unstandardized Coefficients Std. Error B ,144 ,160 ,002
,001
Standardized Coefficients Beta ,633
48
b. Rasio jumlah bayi dan anak terhadap betina reproduktif Uji normalitas data
48
49
Uji multikolinearitas a
Coefficients Model
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
Std. Error
B (Constant)
-1,250
,000
,044
,000
RHtransform
4,343
pHtan
Sig.
Collinearity Statistics
Beta
Tolerance
VIF
.
.
,267
.
.
,164
6,102
,000
,669
.
.
,107
9,307
-,943
,000
-1,115
.
.
,058
17,284
,047
,000
1,462
.
.
,028
35,269
13,270
,000
1,843
.
.
,022
45,575
PKbn
-,001
,000
-,674
.
.
,106
9,439
Ksmi
,000
,000
-1,033
.
.
,106
9,436
Kpcg
-,004
,000
-,820
.
.
,766
1,306
Ktg
,004
,000
,794
.
.
,248
4,036
Kphn
,002
,000
,516
.
.
,289
3,462
T
KML 1
t
PAtransform
a. Dependent Variable: Yr
Uji heterokedastisitas
50
Uji autokorelasi Model Summaryb
R a ,957
Model 1
R Square ,916
Adjusted R Square ,719
Std. Error of the Estimate ,215310
Durbin Watso n 2,195
a. Predictors: (Constant), Kphn, Kpcg, Ksmi, PKbn, RHtransform, Ktg, T b. Dependent Variable: Yr
4-D 1,805 untuk T 11 K 7 maka nilai: dl du
0,20253 3,00447 KESIMPULAN
Deteksi Autokorelasi Positif: Jika d < dL maka terdapat autokorelasi positif, Jika d > dU maka tidak terdapat autokorelasi positif, Jika dL < d < dU maka pengujian tidak meyakinkan atau tidak dapat disimpulkan.
SALAH SALAH
Deteksi Autokorelasi Negatif: Jika (4 - d) < dL maka terdapat autokorelasi negatif, Jika (4 - d) > dU maka tidak terdapat autokorelasi negatif, Jika dL < (4 - d) < dU maka pengujian tidak meyakinkan atau tidak dapat disimpulkan.
SALAH SALAH
Runs Test
a
Cases < Test Value Cases >= Test Value Total Cases Number of Runs
Unstandardized Residual ,00930 5 6 11 6
Z
0,000
Asymp. Sig. (2tailed)
1,000
a. Median
BENAR
PENGUJIAN TIDAK MEYAKINKAN UNTUK DAPAT DISIMPULKAN APAKAH TERDAPAT AUTOKORELASI POSITIF ATAUPUN NEGATIF
KESIMPULAN:
Test Value
BENAR
51
Model Summary
Model 1
,818a
R Square ,669
Adjusted R Square ,632
Std. Error of the Estimate ,246336
,907b
,823
,778
,191218
R
2
a. Predictors: (Constant), Kpcg b. Predictors: (Constant), Kpcg, Ktg a
ANOVA Model 1
1
Mean Square 1,102
,546
9
,061
Total
1,648
10
Regression
1,356
2
,678
,293
8
,037
1,648
10
Regression Residual
2
Residual Total
Sum of Squares 1,102
df
F 18,162
Sig. ,002b
18,539
,001
t 7,611
Sig. ,000
-4,262
,002
6,434
,000
c
a. Dependent Variable: Yr b. Predictors: (Constant), Kpcg c. Predictors: (Constant), Kpcg, Ktg Coefficientsa
Model 1 2
(Constant)
Unstandardized Coefficients Std. B Error 1,469 ,193
Standardi zed Coefficient s Beta
Kpcg
-,004
,001
(Constant)
1,186
,184
Kpcg
-,005
,001
-,879
-5,831
,000
,002
,001
,397
2,634
,030
Ktg a. Dependent Variable: Yr
-,818
52
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Gedang, Kecamatan Sungai Penuh, Kerinci pada tanggal 6 Desember 1987 sebagai anak sulung dari empat bersaudara pasangan ayahanda Armen Putra dan ibunda Rosmanidar, A.Md. Adik-adik penulis bernama Titin Agusmella, A.Md, Rola Nanda Widuri, S.Si, dan Mhd. Bintang Pamungkas. Pendidikan sarjana ditempuh di Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2005 dan lulus pada Januari 2010. Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada program studi Konservasi Biodiversitas Tropika pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2012 melalui Beasiswa Unggulan untuk calon dosen dari Direktorat Pendidikan Tinggi 2012 (BU DIKTI 2012). Selama menempuh pendidikan magister, penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Inventarisasi dan Pemantauan Tumbuhan pada tahun ajaran 2012/2013. Publikasi ilmiah penulis dengan judul Hubungan antara Faktor Lingkungan dengan Parameter Demografi Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) saat ini masih dalam proses pemeriksaan Dewan Redaksi Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Kementerian Kehutanan.