I
I ,,J
BADAN PERBNCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS)
Final Report KAJIAN AWAL PJP BIDANG EKONOMI
Disampaikan kepada
:
Proyek Pembangunan Kelembagaan Perencanaan Jln. Taman Suropati No. 2 Menteng Jakarta Pusat
DOKUMENTASI
&
A[iJ.:;.
BAPPENAS Acc. No.
Cfaqs
Disampaikan oleh:
,:d:.{......t , --..y'.bQf.t
checked,|7.L}7.:;1o-l IU: H Rt. soi. it?(.
t.
t,\i vl. I (f
?r"1 f. \T (.,0\ 5l
i
I
TANT5
J[. Daksa I No. 16, Kebayoran Baru, Jakarta 12110, Indonesia Tetp: (021 ) 7279.2905 (hunting), 7279.2914, Faks: 7779.7907 E-mail: redecon@[ink. net.id Website: www. redecon. net
Kera Peruennrnn Laporan ini merupakan Laporan Final untuk pekerjaan Kajian
Awal PJP Bidang Ekonomi yang merupakan Back-Ground
Studi
Bidang Ekonomi untuk penyusunan Indonesia 2025 yang dilakukan
oleh PT. Redecon bekerja sama dengan Proyek Pembangunan Kelembagaan Perencanaan, Badan Perencana Pembangunan. Nasional (BAPPENAS), Tahun Anggaran 2OO2.
Laporan ini membahas mengenai arah
perkembangan
perekonomian Indonesia dalam duapuluh tahunan kedepan yang didasarkan pada keadaan perekonomian Indonesia saat ini, perkiraan
keadaan yang akan dihadapi dimasa mendatang dan saran-saran
yang perlu
dipeftimbangkan untuk kemajuan perekonomian Indonesia dimasa mendatang Studi ini juga dititik beratkan pada literature studi untuk melihat arah perkembangan perekonomian yang terjadi yang didasarkan pada pengalaman empirik dan teoritis
di negara-negara lain dan pengalaman Indonesia sendiri di
masa
yang lalu.
Hasil dari penelitian ini akan digunakan dalam tulisan yang berjudul Indonesia 2025. Secara umum ada 5 isu yang diteliti yang akan menentukan perkembangan perekonomian Indonesia di masa mendatang yang dituangkan dalam laporan ini. Hal-tersebut adalah sebagai berikut:
1. Lingkungan Global. Pada bagian ini dibahas mengenai perkembangan lingkungan global dan pengaruhnya terhadap perkembangan perekonomian Indonesia.
2. Daya Saing. Hal ini menunjukkan bahwa daya saing Indonesia masih sangat lemah. Oleh karena itu di masa mendatang
peningkatandayasaingmerupakansa|ahsatukuncikeberhasi|an untuk memajukan perekonomian Indonesia' mencakup 3. Stabilitas Ekonomi dan Pembiayaan Ke Depan. Isu ini
upayayangper|udi|akukanolehlndonesiada|ammenjaga stabilitas ekonomi dan berbagai langkah yang mungkin untuk di masa diambil dalam kebijakan untuk memajukan perekonomian mendatang.
4. Perlindungan Kesejahteraan Rakyat. Isu ini mencakup
mengenai
juga kecukupan kebutuhan pangan rakyat Indonesia. Isu ini mencakup berbagai masalah dan tantangan untuk mendorong proporsi usaha kecil dan menengah yang saat ini menempati terbsesar dari keseluruhan usaha di Indonesia'
5.
Kelembagaan Ekonomi.
Isu ini dikembangkan mengingat
bahwa
ke|embagaaniniakansangtmempengaruhiperkembangan kemajuan perekonomian Indonesia
"
Atas nama PT. Redecon IndOneSia, kami mengucapkan terima kasih kepada Proyek Pembangunan Kelembagaan Perencanaan, Badan Perencana Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Tahun hasil Anggaran 2OO2 atas kepercayaan yang diberikannya. semoga penelitian ini daPat bermanfaat.
Hormat Kami PT. REDECON,
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Sejarah negara-negara berkembang menunjukkan bahwa tidak adanya visi
dan rencana pembangunan jangka panjang, khususnya di bidang ekonomi, dapat mengakibatkan kegagalan proses pembangunan yang menuju ke arah kemajuan
bangsa. Bagi Indonesia, visi rencana Pembangunan Jangka Panjang saat ini sangat penting, karena perspektif masyarakat lebih didominasi oleh kepentingan jangka pendek. Visi dan rencana PJP ini akan menuntun perspektif jangka pendek tersebut pada perspektif jangka panjang tentang tatanan masyarakat dan taraf pembangunan yang hendak dicapai dalam segala bidang, termasuk bidang ekonomi.
Kemajuan perekonomian sangat berperan dan sekaligus menjadi indikator
yang menunjukkan kemajuan suatu bangsa. Bangsa yang maju
umumnya
didukung oleh perekonomian yang maju. Oleh sebab itu, untuk memajukan suatu
bangsa, kemajuan perekonomian negara harus dapat ditingkatkan. Namun demikian, upaya untuk memajukan perekomian bukanlah hal yang sederhana karena berdimensi luas dan bersifat kompleks. Kemajuan di bidang ekonomi tidak
terlepas dan saling mempengaruhi dengan kemajuan bidang-bidang yang lain. Kemajuan ekonomi juga juga sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang tidak saja ditentukan oleh faktor-faktor internal, tetapi juga ditentukan oleh faktor-faktor
eksternal yang menyatu dalam wujud masalah yang harus dipecahkan serta
tantangan yang harus dihadapi. Kesemuanya
ini harus dapat diatasi dan
dikendalikan untuk mencapai kemajuan ekonomi.
Agar perekonomian dapat terus maju dan berkembang
secara
berkelanjutan dalam jangka panjang, fundasi ekonomi suatu negara harus kuat dan hal ini tidak bisa diciptakan dalam seketika. Fundasi ekonomi tersebut harus dibangun secara bertahap dan dipertimbangkan secara cermat dengan arah dan tujuan yang jelas yang dituangkan dalam suatu visi rencana jangka panjang yang realistis yang mencakup tujuan-tujuan yang memungkinkan untuk dicapai. Oleh
sebab itu, sebelum dituangkan ke dalam bentuk visi jang panjang, perlu dipelajari dan dipahami secara mendalam berbagai tantangan, kendala, kelemahan, serta kekuatan ekonomi yang dimiliki, yang selanjutnya melalui analisa dan prediksi yang cermat dapat menghasilkan pemilihan strategi yang tepat untuk memajukan perekonomian Indonesia. Apabila langkah-langkah ini dilakukan dengan cermat maka kemajuan perekonomian lndonesia akan dapat terwujud.
Memang ada pihak-pihak yang begitu pesimis akan perkembangan kemajuan perekonomian Indonesia dalam 25 tahun mendatang. Namun sebaliknya banyak pihak yang sangat optimis bahwa perekonomian Indonesia
akan berkembang pesat dan memegang peranan penting dalam percaturan ekonomi dunia. John Marks Templeton misalnya menyebutkan bahwa Indonesia adalah raksasa yang sedang tidur dan akan bangkit sehingga pada tahun 2030-an
nanti, Indonesia di samping Cina akan memegang peran penting dalam perekonomian dunia. Pandangan ini didasarkan karena jumlah penduduk yang besar merupakan pasar dari sekaligus merupakan sumber ekonomi yang sangat potensial yang akan mengundang para investor untuk menanamkan modalnya di lndonesia.l
Dilihat dari teori ekonomi pertumbuhan,
hal tersebut
memang
memungkinkan. Teori pertumbuhan menyebutkan bahwa skala perekonomian negara-negara di dunia secara keseluruhan akan mengarah pada suatu besaran
ekonomi tertentu (converge) pada titik steady state. Dengan demikian, negaranegara yang memiliki skala ekonomi yang besar cenderung akan berkembang
lebih lambat dibandingkan dengan negara-negara yang lebih kecil
skala
ekonominya. Namun demikian, fakta yang ada menunjukkan bahwa konvergensi ini tidak terwujud. Berbagai teori telah membuktikan bahwa keadaan konvergen ini
tidak bisa tercapai karena adanya "technology shock" yang berwudud perbedaan produktivitas yang tidak seimbang antara negara yang sedang berkembang dan negara maju. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas memegang berperan yang
sangat penting dalam kemajuan perekomian. Saat ini, dihitung dari pendapatan
per kapita skala ekonomi lndonesia masih relatif kecil sehingga peluang untuk meningkatkan skala perekonomian Indonesia akan lebih terbuka asalkan dapat
mengantisipasi berbagai masalah
dan tantangan, serta
mengendalikannya
seoptimal mungkin.
Pada dasarnya, dengan semakin mengglobalnya perekonomian dunia, negara-negara yang tidak bisa meningkatkan produktivitasnya akan tergilas. Globalisasi yang terus dicanangkan dan akan dilaksanakan pada tahun 2020 oleh
negara-negara anggota WTO hanya akan bermanfaat bagi negara-negara yang
mampu meningkatkan produktivitasnya. Oleh sebab itu daya saing global ini merupakan tantangan utama pembangunan ekonomi Indonesia ke.depan. Untuk mampu bersaing dalam era globalisasi ekonomi, maka mau tidak mau Indonesia harus dapat meningkatkan produktivitas karena selama ini produktivitas Indonesia
cukup rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Dalam kondisi seperti
ini, tantangan tersebut sangat berat karena untuk meningkatkan produktivitas dalam kondisi sekarang ini dibutuhkan sejumlah reformasi struktural serta penerapan berbagai paradigma baru di Indonesia. Namun demikian, hal tersebut masih akan dapat diatasi sepanjang ada komitmen yang kuat dari segenap komponen bangsa terutama di dalam menyatukan dan mengkonsistenkan gerak langkah yang dilandasi oleh kejelasan arah dan cara pencapaian tujuan. Dengan
cara itu, potensi Indonesia sebagai salah satu negara besar yang memiliki banyak keunggulan SDA dan SDM dapat dimanfaatkan secara cermat dan efektif untuk
tujuan menjadikan negara ini unik sekaligus unggul dari negara-negara lain manapun didunia.
Peningkatan produktivitas tidak terlepas dari dukungan sistem ekonomi
yang ada. Kelembagaan ekonomi yang dimiliki harus dapat mendukung terciptanya produktivitas yang tinggi. Peran masyarakat juga harus semakin ditingkatkan, termasuk kualitas dari sumberdaya manusianya. Untuk itu masyarakat harus dapat diberdayakan oleh karena inti dari pembangunan ekonomi suatu negara berarti pembangunan masyarakatnya. Selain ikut berperan
dalam memajukan perekonomian, masyarakat juga harus dapat menikmati hasil dari kemajuan perekonomian, namun dengan catatan bahwa tingkat pembangunan yang diperoleh seseorang tidak harus sama satu dengan yang lainnya. Sepanjang perbedaan itu memang harus dan akan terjadi maka tidak ' John Marks Templeton, tnoking Forwards: The Next Forty Years," Templeton Foundation
Press,
perlu untuk memaksakan akan terjadi persamaan tingkat pembangunan karena bisa menimbulkan biaya ekonomiyang tinggi.2
Peningkatan produktivitas harus berjalan seiring dengan perkembangan piranti-piranti ekonomi lainnya. Ketersediaan infrastruktur dan kebutuhan dana
harus bisa mencukupi untuk dapat meningkatkan perekonomian. Pengalaman dimasa lalu menunjukkan bahwa krisis yang menghancur-leburkan perekonomian
Indonesia dimulai dari kegagalan instrumen-insfumen yang tercakup dalam pendanaan atau finansial sistem. Oleh sebab itu sistem pendanaan dan lembagalembaga yang terkait di dalamnya, termasuk peraturan-peraturan yang diperlukan perlu untuk dipelajari kembali dengan cermat dan disempurnakan.
Secara keseluruhan, dalam rangka menciptakan pemahaman yang menyeluruh dan obyektif tentang keadaan ekonomi dewasa ini maupun masa depan, diperlukan sejumlah pengkajian. Sesuai dengan tantangan yang diantisipasi ke depan, kajian tersebut seyogyanya meliputi aspek yang terkait dengan ekonomi makro maupun ekonomi mikro serta isyu dalam situasi perubahan lingkungan global maupun permasalahan dan arah pengembangan
domestik. Kemajuan ekonomi yang akan diwujudkan diharapkan tidak saja memberikan gambaran yang secara kuantitatif meningkat, namun juga memberikan hasil nyata yang berkualitas. Oleh karena itu, sesuai dengan amanat
sidang MPR 2001 (Tap. No. Vll/MPR/2001), fokus kajian akan menjangkau tidak saja aspek-aspek ekonomi yang berkaitan dengan pertumbuhan namun juga akan
meliput aspek-aspek yang berkaitan dengan pemerataan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Demikian pula, kepentingan nasional akan senantiasa menjadi dasar pemikiran utama, meskipun format arahannya harus tetap mempertimbangkan dinamika perubahan lingkungan global.
1.2
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perekonomian lndonesia dalam 25 tahun ke depan, baik dari permasalahan yang masih harus diselesaikan, berbagai tantangan yang akan dan mungkin untuk dihadapi, maupun langkah dan strategi
Philadelpi4 1993
'
Iwan Jaya Azis, Seminar Pokja Bidang Ekonomi, Bappenas, September 2002.
yang perlu untuk direkomendasikan dalam menghadapi berbagai masalah dan tantangan dalam rangka memajukan perekonomian Indonesia.
Hasil pengkajian disusun dalam bentuk background studi.
Melalui
background studi ini diharapkan dapat diperoleh gambaran yang jelas dan dapat
dianalisa perkembangan perekonomian lndonesia dalam 25 tahun mendatang yang selanjutnya akan digunakan dalam penyusunan perspektif perencanaan jangka panjang lndonesia dalam Indonesia 2025.
1.3
CAKUPAN PENELITIAN
Sesuai dengan bidang yang dibahas, penelitian hanya dikonsentrasikan pada bidang ekonomi. Namun demikian, dalam penelitian ini tetap diperhatikan keterkaitan dengan bidang-bidang lain yang keterkaitannya sulit untuk dipisahkan. Mengingat akan keterbatasan waktu dan dana, maka cakupan penelitian ini
juga dikonsentrasikan pada 5 (lima) isu utama. lsu-isu tersebut meliputi: (1) perkembangan lingkungan global; (2) peningkatan produktivitas dan perubahan struktur; (3) stabilitas ekonomi dan pembiayaan ke depan; (4) perlindungan kesejahteraan rakyat; dan
(5)
kelembagaan
ekonomi. Kelima isu
utama
merupakan isu-isu yang terpenting dalam perekonomian Indonesia, walaupun mungkin tidak bisa mencakup keseluruhan pokok bahasan dalam perekonomian Indonesia.
1.4
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan unsur-unsur sebagai berikut:
1. Studi literature, baik sebagai kerangka teoritis maupun dalam
memperoleh
gambaran empiris dari pengalaman negara-negara lain.
2.
Diskusi dan saling berbagi pendapat dengan para ahli maupun nara sumber. Diskusi tersebut dilakukan melalui lokakarya, seminar dan dialog langsung yang dilakukan terhadap para nara sumber.
3. Analisa statistik deskriptif dengan menggunakan data hasil langsung dan data data sekunder dari berbagai instansi.
pengamatan
1.5 SISTEMATIKA PENULISAN
Pembahasan diawali dengan bab pendahuluan uraian tentang latar belakang, tujuan dari penelitian, ruang lingkup penelitian. Masih dalam bab yang
sama, diaraikan pula mengenai secara ringkar mengenai metodotogi yang digunakan dan sistematika penulisan.
Bab ke dua sampai dengan bab ke tigabelas berisikan uraian lengkap dari hasil dad penelitian yang disesuaikan dengan pokok bahasan atau isu yang dikupas. Sesuai dengan sifatnya yang berupa background study,, maka antara satu bab dengan bab yang lain tidak selalu memiliki keterikatan. Oleh sebab itu
dalam tiap-tiap bab terkandung pembahasan yang berdiri sendiri, termasuk rekomendasi dan daftar pustaka yang disesuaikan dengan kebufuhan dari penelitian yang dilakukan. oleh sebab itu pula kesimpulan yang diambil ditempatkan pada masing-masing bab dan bukan merupakan kesimpulan secara menyeluruh dari keseluruhan bab. DAFTAR PUSTAKA 1.
John Marks Templeton, Looking Forwards: The Next Forty years. Templeton Foundation Press, Phlladelpia, 1993.
2.
Fiscal Affair Divisions, should Equity be Economic lssues, lMF, 1998.
a goal of
Economic policy.
BAB 2
LINGKUNGAN GLOBAL 2.1 Perkembangan Global
Liberalisasi perdagangan dan investasi yang dibarengi dengan pesatnya kemajuan teknologi komunikasi antar bangsa menuntut antisipasi yang cepat oleh
setiap negara agar mampu bersaing dengan negara lain dalam bidang tersebut,
baik dalam forum regional maupun internasional, seperti APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), AFTA (Asean Free Trade Area), dan WTO (World Trade Organization). Sementara itu, perwujudan era perdagangan bebas global (globally
free trade), pada satu sisi, telah menjadi obsesi bagi sebagian negara, terutama negara-negara industri/maju. Sebaliknya, bagi sebagian negara lainnya, terutama negara-negara yang keadaan ekonominya lemah, perdagangan bebas menjadi ancaman yang serius yang dapat semakin melemahkan keadaan dan kemampuan
ekonominya. Namun demikian, mau tidak mau, cepat atau lambat, kelompok negara yang terakhir ini harus ikut dalam proses perdagangan bebas tersebut. Indonesia sebagai negara berkembang, yang mengalami krisis multidimensi
dalam tiga tahun terakhir ini, termasuk kelompok negara kedua tersebut yang banyak dipertanyakan para ahli ekonomi dan ahli ekonomi-politik (political economy) mengenai kemampuan untuk bersaing dalam perdagangan bebas tersebut. Dalam hubungan ini, pertanyaan mendasar yang muncul adalah: "Apakah Indonesia benar-benar siap dan mampu memperoleh manfaat dari perdagangan bebas tersebut?" Ataukah sebaliknya, Indonesia justru akan menjadi
sasaran yang mudah bagi negara-negara lain untuk menguasai ekonomi Indonesia melalui kegiatan perdagangan bebasnya.
Di lingkungan ASEAN sendiri, ada visi 2020 yang disusun pada pertemuan informal para Kepala Negara ASEAN di Kuala Lumpur tanggal 15 Desember 1997
yang kemudian ditindaklanjuti dengan pertemuan di Hanoi yang menghasilkan Hanoi Plan of Action (HPA). Visi 2020 termasuk Hanoi Plan of Action tersebut berisi antara lain: kondisi yang ingin diwujudkan di beberapa bidang, seperti orientasi ke luar, hidup berdampingan secara damai dan menciptakan perdamian internasional. Beberapa agenda kegiatan yang akan dilaksanakan untuk
merealisasikan Visi 2020 adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya
manusia, ekonomi, lingkungan hidup, sosial, teknologi, hak cipta intelektual, keamanan dan perdamaian, serta turisme melalui serangkaian aksi bersama dalam bentuk hubungan kerjasama yang baik dan saling menguntungkan (win and
win solution atau non zero-sum game). semua anggota ASEAN, termasuk Indonesia, terikat pada ASEA N Vision 2020: Hanoi Plan of Action yang berisi serangkaian rencana tindak (Action P/an) untuk mewujudkan ASEAN (negaranegara ASEAN) yang maju tersebut pada tahun 2020. Kembali pada pertanyaan
dalam paragraf sebelumnya, "Apakah lndonesia siap berperan aktif untuk mewujudkan Visi 2020 tersebut?" Agar dapat berperan aktil maka kondisi sosial dan ekonomi Indonesia pun harus sesuai dengan rencana tindak ASEAN 2020 (Hanoi plan of Action). Selain itu, kesiapan Indonesia tersebut tidak hanya dikaitkan dengan ASEAN Vision 2020 tetapi juga dalam menghadapi ApEC dan
wro
serta rejim-rejim ekonomi-poliuk internasional dan regional lainnya.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, diperlukan kajian mengenai kesiapan Indonesia dalam menghadapi tantangan atas lingkungan global dan regional yang berkembang. Namun demikian, kajian ini hanya akan dibatasi di bidang ekonomi
dan yang terkait dengan perkembangan internasional, sehingga titik berat lebih difokuskan pada upaya Indonesia untuk membangun ekonominya agar sesuai dengan harapan ASEAN Vision 2020 dan mampu bersaing serta mengambil manfaat dalam forum perdagangan bebas lainnya, sepertiAPEC dan
wro.
2.1.1 Situasi Perkembangan Global Dengan berbagai perkembangan global terakhir, dapat dikatakan bahwa 20
30 tahun ke depan akan merupakan
masa-masa yang bergejolak. Perekonomian dunia akan mengalami perubahan yang dahsyat yang didorong oleh teknologi dan globalisasi. Posisi para pesaing saling berubah di dalam perdagangan dan produksi. Akibatnya, setiap negara dipaksa untuk melakukan perubahan basis keunggulan kompetitifnya. Kemajuan teknologi, pertumbuhan perdagangan dan keuangan dunia, serta urbanisasi dan perubahan sosio-politik
akan mendominasi kehidupan penduduk dengan harap-harap cemas. Dengan demikian, suatu negara dapat memanfaatkan perubahan-perubahan tersebut
apabila kebijakan jangka panjangnya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan nasional.
Untuk itu, rencana perspektif jangka panjang dapat disusun berdasarkan
kemungkinan pembangunan
di
dalam lingkungan internal dan
eksternal.
Keseluruhan sasaran rencana perspektif tersebut hendaknya mengubah Indonesia
menjadi negara yang stabil, progresif dan maju. Selanjutnya, upaya perwujudan sasaran tersebut harus diarahkan kepada perkembangan global pada tahun 2020 sebagaimana diidentifikasi di bawah ini.
Ekonomi Global dan Geopolitik 1.
Kekuatan globalisasi dan revolusi teknologi (terutama telematika) akan menyatu, dan pada tahun 2020 interdependensi perekonomian dunia akan menjadi lebih nyata. Akibatnya, beberapa pemusatan sistem ekonomi dan politik akan terbentuk dimana penerapan sistem aturan main dalam pasar dan demokrasi akan mendominasi. Akan tetapi, kecenderungan terhadap sistem otokrasi tetap tidak akan pudar.
2.
Bersamaan dengan globalisasi, regionalisasi dari ekonomi global dengan peningkatan keterkaitan antara perdagangan antar regional dan keuangan
akan terbentuk. Negara-negara Eropa akan lebih bersatu dan semakin mendekati bentuk negara Eropa Serikat (The United Sfates of Europe). Demikian pula, negara-negara Amerika Latin, serta negara-negara Asia Timur dan Tenggara juga akan lebih menyatukan perekonomiannya. Negara-negara
Afrika akan lebih meningkatkan kerjasama antar mereka, namun akan tetap terpisah-pisah ke dalam beberapa bagian dalam kurun waktu 20-30 tahun mendatang, walaupun secara formal telah diumumkan adanya transformasi dari Organisasi Persatuan Afrika ke UniAfrika. 3
Kekuatan regionalisasi akan memperlambat langkah penciptaan perekonomian
dunia tanpa batas apabila terbentuknya serikat-serikat tersebut
di atas
didorong oleh keinginan untuk melindungi negara-negara anggota dari negara-
negara bukan anggota. Dalam 20 atau 30 tahun mendatang, perekonomian dunia akan menjadi tiga pilar, yakni. Amerika Serikat termasuk negara-negara
Amerika lainnya, Uni Eropa, dan kawasan Asia-Pasifik (termasuk Cina dan India). Perdagangan antar regional akan menjadi lebih penting pada fase 4.
ini.
Makin kuatnya blok-blok ekonomi regional tersebut akan meningkatkan mobilitas tenaga kerja antar wilayah. Pada gilirannya, mobilitas tersebut akan berdampak pada budaya dan hubungan antar ras, juga akan menjadi pemicu potensial terjadinya konflik antar etnis dan peningkatan munculnya kelompok-
kelompok ekstrim tertentu. Penegakan hukum akan mendominasi agenda di wilayah-wilayah tersebut. 5.
Dampak negatif dari globalisasi dan revolusi telematika, seperti ketimpangan
regional dan antar penduduk, krisis identitas, urbanisasi yang tidak berkesinambungan dapat memperburuk keadaan dalam 20 atau 30 tahun mendatang. Munculnya konsep kesejahteraan makro dan kesengsaraan mikro
akan semakin memperburuk isu-isu yang berkaitan dengan bidang sosial. Hal
ini
mendorong terjadinya peningkatan konflik sosial, lebih memunculkan
peftentangan antar warga, baik dalam intern negara maupun antar negara di dalam satu kawasan. 6. Perubahan
besar berkaitan dengan perjanjian keamanan global akan terjadi.
Amerika Serikat akan berkonsentrasi pada benua Amerika dan beberapa strategi lainnya dalam perjanjian-perjanjian keamanan regional. Sedangkan negara-negara Eropa dan Asia akan memainkan peranan yang besar dalam wilayahnya sendiri sebagai tanggapan atas budaya regional dari terjadinya konflik antar etnis dan sosial. 7. Rusia tetap keberatan terhadap langkah Amerika Serikat untuk memiliki peluru
kendali pertahanan. Konsekuensi geopolitik terhadap keakraban antara Sino-
Rusia dan Korea Utara tidak begitu
jelas. Akan tetapi,
keterlibatan Rusia
dalam perkumpulan negara-negara kaya (G-8), dan peningkatan peran Cina dalam perdagangan internasional dapat mencegah terjadinya pertentangan ras yang luas. Narnun, kemungkinan poros ekonomi baru antara Rusia, Cina dan Korea Utara akan muncul.
8. Kawasan Timur Tengah tidak dapat
terus-menerus berperang.. Konflik
ketegangan antara lsrael dan Palestina mungkin akan mencapai puncaknya t0
dan kita mungkin akan melihat kestabilan tidak dalam waktu dekat. Hal
ini
akan menjadi perjanjian keamanan yang besar di kawasan Timur Tengah dan meningkatkan prospek ekonomi di kawasan tersebut.
9. lsu-isu HAM dan lingkungan hidup akan meningkat
dan akan semakin menarik
perhatian masyarakat internasional.
Ekonomi Regional dan Geopolitik 1.
Apabila Asia tumbuh pada tingkat yang diproyeksikan sebelum tqrjadinya krisis
pada tahun 1997-1998, maka pada. tahun 2025, kontribusi Asia dalam pendapatan dunia, yang dinyatakan dalam satuan purchasing power pan\, akan meningkat sekitar 57 persen. Dengan demikian, kekuatan ekonomi Asia akan hampir sama dengan beban populasi yang dimilikinya. Asia juga akan memiliki prospek yang baik pada 30 tahun ke
depan. Keuntungan dai
keterbelakangan yang dialami oleh banyak negara yang pada saat ini
tergolong miskin, lambat laun akan semakin memperkecil kesenjangannya dengan negara-negara kaya yang menjadi tetangganya, namun sementara itu, kemampuan negara-negara Asia yang kaya untuk mengejar ketertinggalannya dengan negara-negara industri maju masih tergolong lambat. 2.
Negara-negara maju Asia akan menghadapi peningkatan persaingan dari negara-negara
baru.
Perdagangan antar regional diramalkan berlipat ganda
dibandingkan pada tingkat yang sekarang. Akibatnya akan ada perubahanperubahan struktural yang substansial di Asia sebagai negara yang sedang menapak lebih lanjut dalam jenjang pembangunan. 3.
Cina diramalkan akan menjadi negara dengan perekonomian yang terkuat pada tahun 2020. Namun pada saat itu, Cina akan menjadi negara yang berbeda dibandingkan sekarang; lebih terbuka, berorientasi pasar dan mungkin
akan lebih demokratis dimana wilayah-wilayahnya akan memiliki otonominya
masing-masing. Dengan otonomi regional, Taiwan mungkin akan menjadi bagian dari kebesaran Cina. 4.
India diharapkan akan menjadi raksasa ekonomi. Meskipun ekspor akan memainkan peranan yang vital di lndia dan pertumbuhan Cina, keduanya diharapkan akan bergantung kepada pertumbuhan pasar internal r"r,nf;
masing pada tingkat yang lebih besar dibandingkan Jepang atau "Macan-
macan Asia"
lainnya. Dengan demikian,
negara-negara
itu tidak
akan
mengganggu negara-negara lainnya di pasar internasional, sebaliknya justru akan memberikan peluang-peluang. Baik lndia dan Cina akan menjadi negara tujuan utama bagi PMA (foreign Direct lnvestmenf). 5.
Dengan melejitnya Cina dan India, peranan Jepang sebagai motor pertumbuhan regional akan berkurang. Meskipun kemungkinan Asran Dollar terjadi, hal ini tidak akan didominasi oleh Yen
saja.
:
6. Unifikasi Korea dalam 10 atau 20 tahun mendatang mungkin terwujud. Hal ini
akan menghilangkan ancaman keamanan regional yang mungkin akan membawa kepada revisi yang signifikan dari kebijakan Amerika Serikat terhadap kawasan ini. 7.
sementara itu, negara ASEAN diharapakan akan semakin meluas dan mendalam. India, sebagai contoh, mungkin akan menjadi anggota baru ASEAN dan hubungannya dengan cina mungkin akan semakin mendalam
pula.
Lebih jauh lagi, mandat ASEAN kemungkinan akan meluas dengan
mengikutsertakan isu-isu mengenai keamanan regional sebagai tanggapan atas revisi kebijakan Amerika Serikat dan ketidakstabilan regional yang muncul karena munculnya konfl ik-konfl ik. 8.
Konflik Kashmir dan konflik etnis di Sri Lanka mungkin akan terselesaikan dalam kurun waktu 10 atau 15 tahun mendatang. Hal ini mungkin akan mengakibatkan blok perdagangan regional SAARC akan berkembang menjadi beberapa uni ekonomi.
2.2 PERKEMBANGAN REGIONAL
2.2.1 Perkembangan Asean sampai dengan perkembangan akhir, negara-negara di Asia Tenggara sebagian besar telah dapat menanggulangi krisis ekonomi dan keuangan yang melanda mereka di tahun 1997 dan 1998, namun demikian masih ada negara
yang belum mengalami pemulihan, misalnya Indonesia. Kinerja ekonomi yang dicapai dalam beberapa tahun terakhir ternyata melebihi dari perkiraan berbagai t2
pengamat (sebagian besar memperkirakan proses pemulihan akan berjalan lambat, akan tetapi pada kenyataannya negara-negara di Asia Tenggara telah mengalami proses pemulihan ekonomi yang cukup cepat). Pemulihan ekonomi ini dilakukan dengan meluncurkan kebijakan nasional dan program-program nasional
yang berupaya untuk melakukan reformasi dan memperkuat sektor keuangan dan
sektor rill. Tentunya adanya pemulihan ekonomi ini pada masa mendatang diperkirakan akan mempercepat terjadinya proses integrasi ekonomi; dan selanjutnya pada gilirannya akan dapat mempertahankan tingkat kompetitif negara-negara anggota ASEAN di kawasan Asia Tenggara.
Berikut ini akan diulas perkembangan terakhir ASEAN yang dibagi ke dalam lima pokok bahasan, yaitu. 1. Politik dan Keamanan; 2. Integrasi dan Kerja
Sama Ekonomi; 3. Pembangunan Sumber Daya Manusia; 4. Masalah-masalah Transnasional; serta 5. Hubungan Eksternal ASEAN.
(1)
Politik dan Keamanan Dialog politik dan keamanan bagi anggota negara-negara yang tergabung
dalam ASEAN terus berlanjut dalam berbagai macam tingkatan. Pada masa lalu
dialog politik dan keamaan hanya pada tingkat menteri dan pejabat senior, selanjutnya sejak tahun 1995 pertemuan tahunan ini dilanjutkan pada tingkat pemimpin negara tertinggi (Perdana Menteri/ Presiden). Pada berbagai pertemuan
yang telah dilakukan, baik yang bersifat formal ataupun informal,
telah
menghasilkan pertemuan penting untuk mengadakan dialog-dialog politik pada masa mendatang. Pada pertemuan informal tingkat tinggi ASEAN yang diadakan
di Manila pada November 1999, terdapat beberapa pandangan yang diajukan oleh pemimpin ASEAN dalam upaya untuk mengembangkan lingkungan keamanan regional selama tahun 1990-an. Berdasarkan hasil pertemuan tersebut, seluruh anggota merasakan bahwa ASEAN seharusnya telah membuat dasar-dasar dan pendekatan potitik dan keamanan, yang dapat dipakai untuk jangka panjang. Tentunya dasar-dasar ini haruslah relevan dipakai untuk memenuhi tantangantantangan ASEAN pada masa mendatang.
Berkaitan dengan politik dan keamanan ini telah dikembangkan Forum RegionalASEAN (FRA), FRA meliputi 10 negara anggota ASEAN plus 10 negara
mitra dialog negara-negara ASEAN yaitu Australia, Kanada, china, Masyarakat l3
Eropa, India, Jepang, Korea Utara, Selandia Baru, Rusia, Amerika Serikat, Papua
Nugini; dan Mongolia. Seluruh anggota ARF telah menyokong partisipasi Korea Utara sejak dimulainya pertemuan ARF ke 7 yang diadakan pada 27 Juli 2000.
ARF terus berlanjut sebagai sebuah kekuatan untuk perdamaian dan stabilitas dalam wilayah Asia Pasifik. ASEAN telah menegaskan kembali komitmennya untuk memperkuat peranannya sebagai kekuatan pendorong utama dari proses ARF.
Selanjutnya ASEAN terus mempertinggi intensitas dialog politik dan keamanan; dan kerjasama-kerjasama dalam berbagai tingkatan. Pertemuan
tahunan dari pemimpin negara-negara ASEAN sejak tahun 1995 telah menghasilkan kejadian penting untuk dialog politik dan konsultasi tingkat lebih tinggi. Pertemuan puncak informal ASEAN diadakan di Manila pada bulan November 1999. Pada pertemuan tersebut, pemimpin negara-negara ASEAN dan
rekan-rekannya
dari China, Jepang, dan Korea mengeluarkan
Pernyataan
Bersama dan Kerjasama Negara-negara Asia Timur. (2) Integrasi dan Kerjasama Ekonomi
Negara anggota ASEAN tetap konsisten untuk melakukan integrasi ekonomi secara regional. Untuk keperluan integrasi ini, fokus dilakukan pada bidang-bidang perdagangan; investasi; jasa; transportasi dan komunikasi; teknologi informasi; kerjasama industri; makanan; pertanian dan kehutanan.
Perdagangan Negara-negara anggota Asean setuju untuk lebih awal menghilangkan segala macam hambatan impor pada tahun 2010, rencana awalnya adalah tahun
2015. Sebanyak enam anggota asli (Brunei; Indonesia; Malaysia; Philipina; Singapore dan Thailand) yang menandatangani persetujuan skim Common Effective Preferential Tariff (CEPT) untuk ASEAN Free Trade Area (AFTA). Sementara itu anggota-anggota baru (Kamboja; Laos; Myanmar; dan Vietnam) telah menyetujui untuk menghilangkan seluruh hambatan
tarif
pada tahun 2015,
dengan beberapa komoditi sensitif tetap mengikuti tanggal awal yang telah ditetapkan yaitu 2018.
t4
Untuk mencapai tujuan AFTA tersebut, hampir 83% dari seluruh produk dibawah skim CEPT telah dimasukan dalam daftar. Paket CEPT untuk tahun 2000 dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 2.1: Paket CEPTTahun 1999
Country
Total
lnclusion
Temporar
Sensitive
General
List
v
List
Exception
14
202
6,492
Exclusion Brunei
6,276
Cambodia
3,115
3,523
50
134
6,822
lndonesia
7,158
25
4
65
7,252
Laos
1,247
2,142
88
74
3,551
Myanmar
2,386
3,016
51
49
5,472
Malaysia
8,859
218
83
53
9,213
Philippines
5,571
35
62
27
5,695
Singapore
5,739
11
109
5,859
Thailand
9,103
Vietnam
3,573
1,007
51
196
4,827
ASEAN
53,026
10,003
370
908
64,3
%
82.46
15.56
0.58
1.41
100.0
7
9,11
Sebagai bagian dari paket utama yang diumumkan pada saat Pertemuan
6 Desember 1998, masing-masing dari 6 anggota asli menandatangani kesepakatan CEPT untuk mengurangi tarif intra-regional sampai dengan 0-5Yo untuk 85% dari barang-barang yang berada dalam fsf. Sebagai Tingkat Tinggi Asean ke
konsekuensinya, rata-rata tingkat regional CEPT untuk produk-produk yang berada dalam list turun menjadi 4,29o/o dari 12,60/o di tahun 1993.
l5
Bila dilihat dari arah dan tujuannya, ekspor dari negara-negara ASEAN mengalami pemulihan di tahun 1999 tumbuh dengan 6,40/o dari US$ 322,8 miliar di
tahun 1998 hingga mencapai US$
U\4
miliar di tahun 1999. Pertumbuhan
ekspor ini ditentukan oleh terus menguatnya ekonomi Amerika Serikat; ekspansi ekonomi di negara-negara Eropa; dan pemulihan ekonomi yang terjadi di negara
Asia Timur. Sementara itu, impor yang mengalami kontraksi tajam ketika munculnya krisis, kembali kenilai asalnya, yaitu dari US$ 268,8 miliar di tahun 1998 hingga mencapai US$ 281,8 miliar di tahun 1999. Diantara negara-negara anggota, Malaysia dan Philipina mengalami pertumbuhan ekspor tertinggi yaitu 15% dan 19%. Sementara itu untuk impornya, Malaysia dan Thailand merupakan negara pengimpor terbesar di kawasan ASEAN yaitu 12% dan 18%. Di lain pihak,
diantara sesama negara ASEAN, perdagangan turun sebanyak 5,6% dari US$ 33,4 miliar selama enam bulan pertama 1998 hingga mencapai US$ 31,5 miliar dalam enam bulan pertama tahun 1999.
Transaksi perdagangan negara-negara ASEAN mengalami surplus besar pada tahun 1999. Surplus perdagangan naik dari US$ 24,3 Miliar pada setengah tahun 1999 (Januari-Juni) hingga mencapai US$ 27,3 Miliar selama pertengahan
1999 (mengalami kenaikan 12,3o/o). Dibandingkan dengan kawasan-kawan lainnya, Amerika Serikat mengalami surplus perdagangan US$ 12,2 miliar; Masyarakat Eropa surplus perdagangannya US$ 6,9 miliar, dan India surplus perdagangannya US$ 1,5 miliar. Meskipun demikian, ASEAN terus menerus mengalami defisit perdagangan yang besar dengan Jepang, tetapi hal ini lebih rendah dibandingkan periode yang lalu (yaitu US$ 7,4 miliar pada pertengahan tahun 1998 dibandingkan US$ 5 miliar pada pertengahan tahun 1999).
Kepabeanan Kerjasama kepabeanan di ASEAN ditujukan untuk mengembangkan jasa
kepabeanan yang setara dengan tingkat dunia dengan cara memfasilitasi perdagangan dan investasi dalam kawasan ini. Dengan adanya liberalisasi perdagangan yang sedang berlangsung, melalui pengembangan AFTA, dan
secara global melalui pelaksanaan aturan-aturan WTO, maka modernisasi kepabeanan, penyederhanaan prosedur, dan waktu penyelesaian yang. cepat dan lebih tranparan serta jasa yang efisien merupakan tindakan dan langkah perioritas t6
yang dilakukan. Peran memfasilitasi perdagangan secara cepat ditekankan. ASEAN memulai usaha-usaha kerjasama untuk memperbaiki kemampuan teknis
dari kepabeanan ASEAN untuk memenuhi permintaan lingkungan perdagangan yang lebih canggih dalam upaya mendukung integrasi ekonomi di ASEAN. Hal ini didorong melalui kerjasama, tidak hanya diantara sesama anggota ASEAN, tetapi
juga dengan perdagangan dan masyarakat bisnis dalam kawasan
ini,
sebagaimana melalui usaha bersama dengan kerjasama dialog ASEAN. Perkembangan terakhir dari kepabaenan ini adalah telah diadakannya workshop 2
hari dalam masalah pengauditan kepabeanan yang diadakan pada November 1999, dengan bantuan teknik dari Jepang. Ahli-ahli dari Kepabeanan Jepang dan
Biro Tariff Jepang, Kepabeanan Australia; dan Direktorat Bea dan Cukai dari Indonesia saling berbagi informasi dengan para partisipan dari seluruh anggota negara-negara ASEAN.
Jasa-jasa Dalam konferensi tingkat tinggi ASEAN ke 6, para anggota telah melakukan
inisiatif untuk melakukan putaran negosiasi baru dalam perdagangan jasa dari tahun 1999 hingga 2001, yang meliputi seluruh sektor jasa-jasa. ASEAN telah
menyetujui seperangkat parameter untuk menuntun liberalisasi dalam perdagangan jasa. Dalam jangka pendek (1999-2001), ASEAN setuju untuk membuat komitmen dalam beberapa subsektor dibawah General Agreement on
in
Services (GATS) atau ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS). Liberalisasi jangka pendek itu ditujukan untuk menghilangkan seluruh Trade
batasan-batasan antara lain dengan: membebaskan proses penawaran jasa-jasa
yang melintasi masing-masing negara anggota; pembebasan batasan untuk konsumsi jasa-jasa luar negeri; menghilangkan batas-batas perdagangan jasajasa perniagaan. ASEAN saat ini sedang bekerja untuk mengarahkan terjadinya liberalisasi jangka panjang dalam perdagangan jasa, dan pada akhirnya berupaya untuk mencapai aliran jasa bebas pada tahun 2020.
Hubungan Perdagangan Eksternal
ASEAN terus melakukan kajian untuk melakukan perdagangan bebas dengan Australia dan Selandia Baru dalam bentuk mekanisme AFTA-ANZCERTA.
Gugus tugas tingkat tinggi, yang dipimpin oleh mantan Perdana Menteri Philipina t7
Cersar Virata, yang beranggotakan orang-orang temama dari negara-negara anggota ASEAN dan CER, saat ini sedang melakukan studi kelayakan untuk mekanisme perdagangan bebas antara ASEAN dengan Australia dan Selandia Baru. Gugus tugas tersebut diperkirakan akan membuat rekomendasi akhir pada
Konsultasi Informal
ke 5 AEM pada Oktober 2000. AFTA-CER-FTA akan
menciptakan sebuah pasar dengan mengkombinasikan GDP sebesar lebih dari US$ 1 trilliun; dan total perdagangan sebesar US$ 740 miliar. Dengan kombinasi perdagangan ini membuat ASEAN+Australia+Selandia Baru akan menjadi serikat
perdagangan ketiga yang terbesar setelah Masyarakat Eropa .dan Amerika Serikat.
Terkait dengan kelancaran perdagangan antar negara ASEAN dan untuk memperkuat kemampuan dalam berkompetisi menghadapi Ekonomi Baru, ASEAN
telah mengembangkan Gugus Tugas e-ASEAN, yang terdiri dari perwakilan pemerintah dan swasta, bekerja dalam mekanisme kerjasama guna memfasilitasi
perkembangan pasar elektronik
di ASEAN. Mekanisme ini difokuskan untuk
mendorong dan memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan e-commerce. Dalam e-ASEAN ini juga akan memasukkan ukuran-ukuran untuk mempersempit pemisahan digital dalam kawasan ini. ASEAN berinisiatif melakukan konsultasi
dengan sektor swasta untuk menyelidiki rencana jangka pendek dan panjang
untuk membangun Infrastruktur Informasi ASEAN (llA), dan untuk itu telah dibentuk satu gugus tugas llA yang bertugas memformulasikan rencana-rencana untuk mempercepat pembangunan e-commerce didalam masing-masing kawasan tersebut.
Industri
Di
bawah skema Kerjasama Industri ASEAN (ASEAN
lndustrial
Cooperation, AICO), produk terkait yang beroperasi dalam perusahaan-perusahan
pada anggota negara-negara ASEAN dengan segera akan menikmati tarif hanya
ini, termasuk melepaskan persyaratan 30% dari kepemilikan nasional untuk seluruh perusahaan yang akan menjadi anggota AICO, yang diterima antara 1 Januari
0-5o/o. Dengan adanya kemajuan baru-baru dalam skim AICO
1999 hingga 31 Desember 2000, jumlah pelamar dari AICO naik dari 62 hingga mencapai 89; yang mana 52 dan jumlah tersebut telah disetujui. Persetujuan dari
l8
pengelolaan AICO ini diperkirakan akan menghasilkan US$ 534 miliar dalam transaksi perdagangan dalam setiap tahunnya.
Investasi ASEAN telah melaksanakan bentuk kesepakatan dalam ASEAN lnvestment
Area (AIA) yang telah ditandatangani tanggal 7 Oktober 1998 di Manila. ASEAN telah menyelesaikan Temporary Exclusion Lisf dan Sensifive Llsf untuk barangbarang manufaktur. Temporary Exctusion Lisf dan Sensifive Llsf barang-barang
manufaktur tersebut telah dipresentasikan dalam pertemuan AIA tangal 29 September 1999 di Singapura. Temporary Exclusion Lisf dan Senstftve Lisf akan dapat digunakan oleh masyarakat umum. Selanjutnya ASEAN juga akan membuat
Temporary Exclusion List dan Sensrtrve Lisf tersebut untuk barang-barang
dan kehutanan. Dalam upaya untuk ASEAN telah menerbitkan the frsf ASEAN
pertanian; perikanan; pertambangan mendukung promosi investasi;
lnvestment Repoft and "lnvesting in ASEAN: A Guide for Foreign /ntzesfors pada
bulan November 1999. Selain itu, ASEAN juga mempublikasikan peta lokasi investasi di ASEAN dan brosur promosi investasi di kawasan ASEAN. Selanjutnya
dalam rangka melakukan promosi investasi ini, Misi Negara-negara ASEAN yang
ke
Jepang; USA dan Eropa. Misi tersebut mengadakan seminar untuk menginformasikan potensi pada saat ini untuk mengurusi investasi dikirim
investor asing dalam rangka melakukan investasi ke ASEAN.
Pembangunan lnfrastruktur Pembangunan infrastruktur merupakan satu dari komponen penting dari upaya untuk integrasi ekonomi negara-negara ASEAN. Agenda dari infrastruktur
ASEAN antara fain Jaringan Jalan Layang ASEAN (ASEAN Highway Network); Hubungan Kereta antara Singapore-Kunning (the Singapore-Kunning Rail Link), Jaringan Energi Antar Negara ASEAN (the trans-ASEAN energy network) yang terdiri dari Jaringan Energi untuk negara-negara ASEAN (the ASEAN Power Grid)
dan
Proyek Pipa Saluran antara negara-negara ASEAN (Irans-ASEAN Pipeline
Projects),
dan lnformasi
Infrastruktur
di
negara-negara ASEAN (ASEAN
lnformation lnfrastructure). Tantangan besar bagi ASEAN dalam pembangunan
infrastruktur
ini adalah
menaikkan sumber daya besar yang dibutuhkan.
Kerjasama dalam bidang ini ditentukan oleh Rencana Mekanisme Tranportasi di l9
antara negera-negara ASEAN (ASEAN Transport Cooperation Framework Plan)
di tahun 1999-2004 dan Rencana Tindak untuk Kerjasama Energi untuk negaranegara ASEAN ( the ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation) di tahun 1999-2004.
(3) Pembangunan Sumber Daya Manusia
Pembangunan sumber daya manusia merupakan tujuan utama dari kerjasama ekonomi ASEAN. Sehingga berkaitan dengan pembangunan sosial dan
sumber daya manusia ini, ASEAN berupaya terus untuk menempatkan prioritas
yang tinggi dalam kerjasama ilmu pengetahuan dan teknologi, perencanaan sumber daya manusia, pendidikan, kesejahteran sosial, dan pemberantasan kemiskinan. Pada saat yang sama, ASEAN juga melakukan berbagai inisiatif untuk membicarakan pengaruh sosial dari perkembangan terakhir dari krisis ekonomi dan keuangan yang melanda pada beberapa negara ASEAN.
llmu Pengetahuan dan Teknologi Kerjasama dalam ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu bidang terpenting dalam kerjasama ASEAN. Tujuan kerjasama ini adalah untuk
melengkapi sumber daya
di kawasan
ASEAN dengan pengetahuan untuk
merespon tantangan baru dalam globalisasi dan modernisasi ekonomi. Selain itu,
kerjasama ilmu pengetahuan dan teknologi ini juga bertujuan untuk memperkuat ilmu pengetahuan dan teknologi dikawasan ini yang berdasarkan daya saing ekonomi yang lebih besar.
Pada pertemuan informal antar menteri untuk ilmu pengetahuan dan teknologi 7-8 April 2000 di Malaysia, telah disetujui bahwa ASEAN seharusnya dengan intensif mengadakan pengembangan The ASEAN science and Technology lnformation Netvvork (ASTNET) sebagai
dari
komponen e-ASEAN,
sehingga potensi penuh dari internet dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi kerjasama ASEAN dalam llmu pengetahuan dan Teknologi. Para menteri juga setuju untuk merekomendasikan penguatan unit ilmu pengetahuan dan teknologi pada Sekertariat ASEAN di Jakarta, lndonesia.
z0
Perencanaan Sumber Daya Manusia Pengembangan Proyek ASEAN untuk perencanaan pembangunan sumber
daya manusia saat ini sedang diupayakan. Proyek tersebut akan memaksimalkan sumbangannya terhadap perencaan pembangunan sumber daya manusia dalam
ekonomi pembangunan melalui penjaminan dari kompetensi keberadaan dan ketrampilan manusia dan utilisasi efisiensi untuk negara-negara ASEAN untuk
saling memberikan sumberdaya pelatihan yang ada dan arahan-arahan untuk pembangunan dalam memonitor pasar tenaga kerja. Proyek ini diperkirakan akan
dimulai pada pertengahan tahun 2001. Pada pertemuan ke 14 Menteri-menteri
di Manila 11-12 May 2000, yang didahului pertemuan Tingkat Tinggi Ketenagakerjaan ASEAN dan pertemuan sub-bagian Tenaga Kerja ASEAN
ketenagakerjaan. Para menteri memperbaharui komitmen dan penentuan untuk memperkuat bidang sosial ASEAN dengan mempromosikan potensi penuh dan
martabat pekerja; mengajukan masalah-masalah penting berkaitan dengan ketenagakerjaan; dan memperhatikan masalah integrasi ekonomi regional, perdagangan, liberalisasi, dan globalisasi. (4) Masalah-masalah Transnasional
Proses globalisasi, saling ketergantungan dan integrasi regional membuat kerjasama dalam masalah-masalah transnasional menjadi suatu yang penting. Puncak Pertemuan Informal ASEAN ke 3 di Manila November 1999 menjelaskan perkembangan lingkungan keamanan regional selama dasawarsa yang lalu dalam
upaya untuk menaikkan bentuk baru dari keamanan sesama negara-nagara ASEAN. Dalam hal ini, para pemimpin pemerintahan menegaskan kembali komitmen mereka untuk maju dalam kerjasama ASEAN berkaitan dengan masalah-masalah transnasional, antara lain: lingkungan; kesewenang-wenangan; kriminal; obat-obatan dan narkotika.
Lingkungan Untuk mendukung rencana Hanoi, ASEAN menggunakan rencana strategi dalam lingkungan (SPAE). Rencana 1999-2001 meliputi beberapa bidang berikut: (a). Masalah Pembakaran Tanah dan Hutan; (b) Konservasi Sumberdaya Alam;
(c)
Lingkungan Pesisir
dan Kelautan; (d)
Masalah-Masalah Lingkungan 2l
Internasional; (e). Masalah-masalah. Aktivitas Lingkungan Lainnya. Rencana Aksi
ini meliputi pengukuran tolok ukur yang berkaitan dengan bentuk dan targetnya. Berkaitan dengan rencana aksi ini, sistem monitoring juga dikembangkan dalam
rangka untuk mengikuti perkembangan masing-masing aktivitasnya. Tahun lingkungan ASEAN 2000 diluncurkan dengan tema: Our Heritage; Our Future. Kampanye Tahun Lingkungan Asean 2000 ini bertujuan untuk (a) Menaikkan
kesadaran dari isu-isu lingkungan pada seluruh tingkat masyarakat seluruh
ASEAN;
(b) Menciptakan informasi dan masyarakat yang sensitif
terhadap
lingkungan yang lebih baik, yang bertujuan untuk mempertinggi kapasitas pencapaian tujuan dari pembangunan berkelanjutan; (c) Menyoroti kesuksesan
ASEAN dalam bidang lingkungan; (d) Mempromosikan hubungan antara pemerintah dan swasta; dan selanjutnya mengaktifan keterlibatan kelompokkelompok besar dalam memprakarsai lingkungan.
Transboundary Haze Transboundary Haze Pollution yang muncul dari kebakaran tanah dan
hutan merupakan hal yang mencolok dan masalah yang sangat menekan lingkungan di negara-negara anggota ASEAN pada saat ini. Timbulnya kebakaran
dalam sekala besar yang menyebabkan polusi sering dibentuk dengan sengaja oleh petani kecil dan perusahaan pertanian besar. Antara April 1999 dan Maret
2000, kebakaran dan kesewenang-wenangan terjadi
di kawasan ini, terutama
sekali di Indonesia di propinsi Sumatra dan Kalimantan. Pada bulan April 2000, menteri-menteri yang berkaitan dengan lingkungan di ASEAN memperlihatkan upaya yang keras untuk pembersihan tanah dan pembakaran hutan. Mereka menegaskan keputusannya untuk menjalankan kebijakan pembakaran, yang mereka telah setujui lebih awal. (5) Hubungan Eksternal ASEAN
Minat dari mitra dialog ASEAN dalam perjanjian politik dengan negaranegara Asia Tenggara melalui ASEAN tetap terus berlangsung dengan intensitas
tinggi. Negara-negara lain melanjutkan kerjasama; misalnya mengetok pintu negara-negara ASEAN untuk mendapatkan mitra dialog. Sementara itu bila dilihat
mitra dialognya, kawasan dan organisasi internasional lainnya tetap berkeinginan
untuk berhubungan dengan negara-negara ASEAN. sementara itu, beberagra
mitra dialog memperlihatkan kurangnya keinginan untuk memperluas sumber daya
untuk kerjasama pembangunan dengan ASEAN sebagai suatu kawasan dan bahkan dengan anggota individu .Meskipun demikian, untuk negara-negara yang berkeinginan untuk bekeflasama, kerjasama pembangunan dengan ASEAN diikuti
dengan fokus yang tajam, menggunakan rencana aksi Hanoi sebagai suatu amanat dan pedoman.
Pada bulan Mei 1999, Sekretariat ASEAN bersidang dalam forum kerjasama pembangunan ASEAN (ADCF) untuk mendukung Rencana Aksi Hanoi
yang berkaitan dengan mitra dialog tersebut. Forum ini menawarkan sebuah hal penting untuk mitra-mitra tersebut yang berkaitan dengan proyek-proyek tertentu
yang berhubungan dengan pengembangan sumber daya manusia. Rencananya, ADCP yang kedua akan diatur dalam tahun 2001.
Mitra dialog antara ASEAN dengan negara-negara lain yang telah dilaksanakan adalah: Kerjasama dengan negara-negara di Asia Timur; Australia; Kanada; China; Masyarakat Eropa; India; Jepang; Korea Utara; Selandia Baru; Rusia; dan Amerika Serikat. 2.1 Perkembangan Ekonomi Asia Pasifik
Di bidang ekonomi, pelaksanaan hubungan ekonomi luar negeri Indonesia
selama tahun 2000 masih dikonsentrasikan pada pemulihan perekonomian nasional melalui upaya mencari dan menembus pasar-pasar baru serta meningkatkan hubungan perdagangan yang sudah ada dengan negara-negara yang dinilai potensial bagi peningkatan ekspor non-migas. Hubungan ekonomi luar
negeri ini secara terus-menerus dilakukan dalam tingkat multilateral, regional dan
bilateral. Indonesia secara aktif juga mengadakan perundingan-perundingan di bidang ekonomi, perdagangan, teknik dan ilmu pengetahuan, menyelenggarakan sidang-sidang Komisi Bersama serta program Upaya Peningkatan Kerjasama Ekonomi Secara Terpadu (UPKEST) dengan negara-negara lain. Dalam rangka
mengatasi kelangkaan devisa, sistem perdagangan imbal beli (counter trade) menjadi alternatif bagi peningkatan ekspor non-migas.
Hubungan ekonomi luar negeri Indonesia tetap diarahkan pada upaya untuk menghadapi berbagai tantangan global yang semakin kompleks. Untuk itu,
perhatian khusus perlu diberikan pada upaya penggalangan posisi bersama negara-negara berkembang dalam menghadapi isu-isu diantaranya: ketimpangan yang semakin tajam dalam tingkat pertumbuhan, kesenjangan tingkat penguasaan
teknologi, peningkatan akses pasar, pendanaan bagi ,pembangunan yang berkelanjutan, penyelesaian hutang luar negeri, alih teknologi, capacity building negara-negara berkembang, dan peningkatan peran PBB bagi pembangunan negara-negara berkembang.
Rangkaian Pertemuan ASEAN Ministerial Meeting (AMM) ke-33, ASEAN Regionat Forum (ARF) ke-7
dan Posf Ministerial Conference (PMC)
telah
di Bangkok dan diketuai oleh Thailand. Pertemuan tersebut telah mengeluarkan "pernyataan pemberian dukungan atas kedaulatan, integritas
dilaksanakan
wilayah dan kesatuan nasional Indonesia". Dukungan ini dituangkan dalam Joinf Communique AMM ke-33 dan Chairman's Sfafement ARF ke-7, bahkan ASEAN+3 Ministers Meeting secara khusus juga mengeluarkan Joint Statement of ASEAN+3
in Support of the Sovereignity, Tenitorial lntegrity and National Unity of lndonesia. Posisi Panitia Tetap ASEAN yang semula dipimpin oleh Thailand selanjutnya diserahkan kepada Vietnam.
Salah satu kesepakatan penting AMM di bidang politik adalah diadopsinya
Non-Paper
on ASEAN Troika yang berisi prinsip, tujuan dan
prosedur
pembentukan ASEAN Troika, agar ASEAN dapat menanggapi secara lebih cepat
perkembangan regional/internasional yang dinilai akan berdampak kepada ASEAN. ASEAN Troika bersifat adhoc dan hanya dibentuk kalau dinilai perlu dan atas persetujuan seluruh anggota ASEAN.
Pertemuan ke-2 Komisi Kawasan Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (SEANWFZ) di Bangkok, Juli 2000, telah meninjau perkembangan konsultasi
dengan Negara Senjata Nuklir mengenai Protokol SEANWFZ dan mencatat terbentuknya dialog langsung dengan pihak IAEA.
Dalam Pertemuan Para Menlu ASEAN di New York, 18 September 2000,
telah dibahas kemungkinan
penyederhanaan rangkaian pertemuan
AMM/ARF/PMC agar lebih singkat, dan agar pertemuan antar para Menlu ASEAN
dapat diadakan lebih sering dan secara informal. Dalam kaitan ini disepakati pula diadakannya AMM lnformal Retreat di Myanmar bulan April 2001. 24
Perkembangan terakhir
d'
Laut Cina Selatan menunjukkan
adanya
kestabilan di wilayah tersebut yang didorong oleh proses perumusan Draft Code of
Conduct
in the South China Sea antara negara-negara ASEAN dan
RRC.
Walaupun masih terdapat isu yang belum disepakati, namun disetujui agar masalahnya tetap dibahas lebih lanjut dalam tingkat Working Group.
Hubungan Indonesia dengan negara-negara Indocina, yaitu Vietnam, Kamboja, dan Laos berjalan dengan baik dan selama satu tahun terakhir memperlihatkan berbagai kemajuan. Hal
ini ditandai dengan adanya saling
kunjung antar pemimpin dan pejabat tinggi kedua negara serta adanya peningkatan dalam upaya kerjasama di bidang ekonomi melalui penandatanganan beberapa perjanjian.
Brunei Darussalam tetap memandang bahwa hubungan bilateralnya dengan Indonesia sebagai sesuatu yang sangat penting. Sebagai salah satu
dari pandangan tersebut adalah terbentuknya Komisi Bersama sebagai forum konsultasi dan koordinasi mengenai berbagai permasalahan bilateral di antara kedua negara. MoU Komisi Bersama tersebut telah perwujudan
ditandatangani oleh kedua negara pada tanggal 27 November 1999. Sedangkan Pertemuan Tingkat Pejabat Tinggi Pertama Komisi Bersama Indonesia-Brunei Darussalam akan diselenggarakan
di Bandar Seri
Begawan pada awal tahun
2001.
Salah satu tonggak penting hubungan bilateral Rl-Malaysia pada tahun 2000 adalah kesepakatan pemimpin kedua negara untuk bertemu setiap 6 bulan
sekali secara bergantian di Indonesia dan Malaysia. Pertemuan pertama telah berlangsung di Langkawi pada bulan Oktober 2000, dimana kedua kepala pemerintahan membahas berbagai isu bilateral penting, seperti masalah TKI Indonesia di Malaysia, kerjasama di bidang minyak dan gas serta rencana
bersama untuk mempromosikan Batam sebagai kota ASEAN. Selain
itu,
mengingat masalah perbatasan, baik darat maupun laut, merupakan isu sensitif
dalam hubungan bilateral kedua negara, maka disepakati untuk mengintensifkan konsultasi dan koordinasi melalui forum-forum bilateral yang telah ada seperti JCM
(Joint committee Meeting), GBC (General Border committee), dan JBC (Jornf Border Committee).
Hubungan bilateral yang sangat baik antara Rl-Singapura pada tahun 2000 tersimbolisasikan dengan intensitas hubungan yang meningkat secara signifikan di
antara pemimpin kedua negara. Sebagai negara sahabat Singapura juga ikut membantu Indonesia dalam upayanya keluar dari krisis ekonomi melalui komitmennya untuk memberikan skema bantuan senilai US$ 500 juta dan Sin $ 400 untuk UKM, meskipun baru sebagian kecil dari skema tersebut yang sudah
terealisir. Sementara
itu "out burst" yang terjadi akibat pernyataan
presiden
Abdurrahman Wahid mengenai diri Menteri Senior Lee Kuan Yew, yang telah dapat.diselesaikan dengan bijaksana, kiranya dapat mengingatkan kedua belah pihak betapa pentingnya penyelesaian segera beberapa masalah bilateral antara
lain masalah ekstradisi, FIR (Flight lnformation Region), statistik perdagangan, dan sebagainya.
Pada tahun 2000 hubungan Rl-Philipina telah mencapai suatu tahapan penting yang dapat digambarkan dengan kalimat "a friend in need is ftiend indeed". Hal tersebut tampak pada peran aktif Indonesia dalam ikut serta mencari penyelsaian atas konflik berkepanjangan di Mindanao Selatan hingga tercapainya
Perjanjian Damai GRP-MNLF berikut implementasinya. Sebaliknya Presiden Philipina, dalam kesempatan pertemuannya dengan Presiden AS Bill Clinton bulan
Agustus yang lalu telah menyampaikan harapannya agar AS dapat segera memulihkan kembali hubungan militernya dengan lndonesia.
Pada tanggal 10 Maret 2000, Indonesia dan Thailand memperingati 50 tahun pembukaan hubungan diplomatik di antara kedua negara. Dalam kesempatan tersebut telah dilakukan pertukaran pesan (exchange message) kepala pemerintahan kedua negara, dimana kedua kepala negara menekankah bahwa meskipun secara resmi hubungan kedua negara baru berusia 50 tahun namun hubungan yang sesungguhnya telah berlangsung bahkan jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Kedua negara terus berupaya meningkatkan hubungan
baik yang telah berlangsung selama ini, khususnya di bidang kelautan dan perikanan.
Hubungan bilateral RI-RRC mengalami peningkatan
di berbagai
bidang,
dan mencapai puncaknya pada awal Desember 1ggg, ketika presiden
Rl
melakukan kunjungan kenegaraan untuk pertama kalinya ke RRC sejak terpilih 26
sebagai presiden akhir Oktober 1999. Di bidang politik, RRC mendukung integritas
wilayah Indonesia, sementara Indonesia tetap menganut "Kebijakan Satu Cina".
Pemerintah RRC sangat menghargai upaya. Indonesia dalam ikut menyumbangkan penyelesaian-penyelesaian masalah di Laut Cina Selatan, termasuk dengan inisiatif menyelenggarakan Lokakarya Laut Cina Selatan. Hubungan bilateral RI-RRC diperkukuh dengan dibentuknya forum Konsultasi Bilateral Tingkat Pejabat Tinggi RI-RRC yang sampai saat ini telah berlangsung sebanyak enam kali. Pertemuan yang keenam diselengarakan
di Beijing pada
tanggal 28-29 Februari 2000. Setelah pertemuan tersebut, telah dilaksanakan pula Dialog Bilateral RI-RRC mengenai Keamanan Regionalyang ke-2.
Hubungan bilateral Rl-Jepang selama tahun ini terus berkembang dengan
baik. Jepang memberikan dukungan terhadap integritas teritorial Republik Indonesia dan kebijakan pemerintah lndonesia dalam mengatasi pergolakan di
di Indonesia
(Aceh, Ambon, Papua). Jepang juga telah memberikan bantuan medis dan sumbangan untuk para korban gempa bumi di
beberapa daerah
Bengkulu dan beberapa daerah lain di Sumatera. Untuk meningkatkan hubungan
kerjasama kedua negara, telah dibentuk JIANT (Japan-lndonesia Advisory Network). Sebagai suatu lembaga fungsional, JIANT merupakan jembatan dalam
menghubungkan kepentingan Indonesia-Jepang untuk mengkomunikasikan bidang-bidang kerjasama maupun keinginan peningkatan hubungan bilateral yang lebih intensif.
Hubungan bilateral lndonesia-Korea Selatan berlangsung baik dan erat. Pemerintah Korea Selatan mendukung sepenuhnya masalah integritas wilayah Rl
dan menghargai proses
demokratisasi
di
lndonesia. Korea Selatan juga
memberikan bantuan kemanusiaan terhadap para pengungsi akibat bencana alam
maupun korban pertikaian di berbagai daerah. Kunjungan resmi Presiden Rl ke
Seoul bulan Februari 2000 menandai semakin pentingnya hubungan kedua negara. Secara politis kedua pihak sepakat untuk meningkatkan hubungan baik ini
mefalui rencana pembentukan suatu Forum Consultative Meeting yang akan diketuai oleh masing-masing Menlu. Selain itu terdapat juga kesepakatan dalam
bidang kerjasama ekonomi dan perdagangan, otomotif,
telekomunikasi,
ketenagakerjaan, kehutanan, energi/LNG dan bantuan keuangan. Tindak lanjut 27
dari hasil pertemuan kedua kepala negara ditandai oleh kunjungan Misi Dagang Korea yang dipimpin oleh Menteri Perdagangan Luar Negeri Korea Selatan ke Indonesia pada bulan Mei 2000. Disamping itu, para pejabat Rl dan swasta juga
telah melakukan penjajagan dan mengamati prospek kerjasama lain yang saling menguntungkan.
Hubungan bilateral Rl-Korea Utara berlangsung baik. Korea Utara mengharapkan Presiden dan Wapres Rl dapat berkunjung ke Pyongyang. Korea
Utara melihat lndonesia sebagai negara sahabat yang dapat memahami posisi Korea Utara.
Memasuki pertengahan tahun 2000, hubungan Rl-Australia yang sempat
terganggu menunjukkan titik perbaikan. Hal ini ditunjukkan dengan pertemuan Menteri Luar Negeri kedua negara dalam beberapa kesempatan dan pertemuan
tingkat tinggi antara Presiden Rl dan PM Australia di Tokyo, New York, dan Bandar Seri Begawan. Dalam pertemuan-pertemuan tersebut beberapa kali disinggung mengenai pemulihan hubungan kedua negara. Kedua Pemimpin Negara menyatakan bahwa lebih baik kedua negara melihat ke depan dan melupakan yang telah terjadi. Selain itu pemulihan hubungan juga nampak dari pelaksanaan Indonesia-Australia Ministerial Forum (IAMF) ke-5 di Canberra, 7-8
Desember 2000, yang antara lain menghasilkan penandatanganan tiga kesepakatan bersama di bidang pertanian, bidang kesehatan dan transportasi. Forum ini juga menelurkan Rencana Aksi Bersama (Joint Plan
of
Action) dalam
mempromosikan soaf investasi dan perdagangan antara kedua negara. Selama
Sidang IAMF berlangsung bersamaan pula dilaksanakan Australia Indonesia Development Area (AIDA) yang mengkhususkan pada pengembangan wilayah
Timur lndonesia. Dalam pertemuan ini disepakati program pengembangan Kawasan Timur lndonesia (KTl), dengan mempromosikan investasi asing di KTl. Hubungan Rl-Selandia Baru, secara umum berjalan dengan baik dan tidak
terdapat permasalahan menonjol yang mengganggu hubungan kedua negara. Di antara para pejabat tinggi kedua negara telah terbentuk forum Komisi Bersama
sejak 1998 yang khusus membicarakan masalah ekonomi, pariwisata dan hubungan udara serta membahas bidang-bidang lain yang perlu ditingkatkan. 28
Pertemuan Komisi Bersama Rl-Selandia Baru berikutnya direncanakan akan dilaksanakan pada bulan Februari 2001.
Hubungan RI-PNG berkembang dengan baik dan erat, terlebih dengan berhasilnya pelaksanaan repatriasi sukarela penduduk warga negara Indonesia yang selama ini menetap di wilayah PNG. Antara bulan Maret-Agustus 2000 telah berhasil direpatriasi sebanyak 802 jiwa dari PNG ke Propinsi lrian Jaya. Ke-802
jiwa tersebut sekarang telah kembali ke pangkuan lbu Pertiwi dan mendapat pelayanan dari Pemda lrian Jaya berupa perumahan, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya. Hubungan RI-PNG semakin erat lagi dengan
berlangsungnya Kunjungan Kenegaraan lbu Wakil Presiden
ke PNG,
14-16
September 2000 yang dilakukan untuk merayakan Ulang Tahun Perak Kemerdekaan PNG dan sekaligus merayakan 25 tahun hubungan RI-PNG. Dalam
kunjungan ini dilakukan penandatanganan perjanjian perdagangan kedua negara. Untuk menyelesaikan masalah perbatasan, kedua negara telah membentuk forum kerjasama tahunan Joint Border Committee (JBC) pada tingkat Pejabat Tinggi.
Pertemuan ke-19 JBC telah dilaksanakan
di
Bandung, 11-13 Oktober 2000.
Pertemuan Border Liaison Meeting untuk tahun 2000 telah dilaksanakan di Lae, PNG, 21-24 Agustus 2000.
Untuk lebih mengembangkan hubungan dengan kawasan Pasifik, maka Pemerintah Rl melalui delegasi yang khusus menghadiri KTT PIF (Pacific /s/ands Forum) ke-31 di Tarawa, Kiribati, 30 Oktober 2000 telah mengajukan diri untuk
menjadi Mitra Dialog (Dialog Partner). Hal ini penting, sebab PIF merupakan organisasi regional yang telah lama berdiri dan kehadiran lndonesia dapat memagari upaya lobi Presidium Dewan Papua di Pasifik. Dalam komunike akhir sidang yang lalu, muncul penegasan dari PIF bahwa lrian Jaya merupakan bagian
dari Propinsi Indonesia dan Rl merupakan penguasa yang berdaulat atas wilayah ini. Hal ini diterima oleh semua negara anggota PIF dan semua diskusi dalam pertemuan PIF dilakukan berdasarkan sikap dan posisi itu. Selain itu, terdapat
kesamaan persepsi dalam komunike akhir tersebut bahwa OPM merupakan kelompok seksionis. Terhadap masalah lrian Jaya, tiga negara besar dan berpengaruh di Pasifik, yakni Australia, PNG, dan Selandia Baru telah
29
menunjukkan sikapnya secara tegas yang mendukung kedaulatan Rl atas lrian Jaya.
Presiden Rl telah me'lakukan kunjungan ke India pada bulan Februari 2000 serta ke Pakistan pada bulan Juni 2000. Dalam kunjungan ke lndia, dari tanggal 89 Februari 2000, ditandatangani MoU Kerjasama Pariwisata serta 2 MoU dalam
bidang imbal-beli dan rencana pembangunan jalur l(A di Sumatera dan Jawa. Selain itu juga dibahas mengenai rencana pembentukan komisi bersama untuk meningkatkan kerjasama di bidang ekonomi, perdagangan, dan iptek. Indonesia telah menerima kunjungan Jenderal Pervez Musharraf dari tanggal 30-31 Maret
2000. Dalam kunjungan tersebut ditandangani 2 MoU pembentukan Forum Konsultasi Indonesia-Pakistan dan kerjasama dalam bidang Keluarga Berencana.
Pada kesempatan kunjungan Presiden Rl ke Pakistan, dari tanggal 18-19 Juni 2000, disepakati rencana untuk meningkatkan kerjasama dalam bidang ekonomi, perdagangan, dan pertahanan bagi kepentingan bersama kedua negara. Selain itu juga dibahas mengenai rencana untuk menghidupkan kembali Forum lndonesiaPakistan Economic and Cultural Cooperation (lpECC).
Pada pertemuan Pemimpin Ekonomi APEC (AELM) Vlll di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, 15-16 November 2000, dengan tema "Delivering to
the communities" para pemimpin menegaskan kembali komitmennya
dalam
rangka pencapaian "Tujuan Bogol'' tentang perdagangan dan investasi yang terbuka dan bebas. Deklarasi Pemimpin Ekonomi APEC memuat 4 (empat) tema pokok, yakni: (1) Managing Globalization yang menekankan pentingnya ekonomi
terbuka untuk kesejahteraan sosial dan peningkatan standar hidup; (2) Creating New Oppoftunities menekankan pengembangan kemitraan antara pemerintah dengan swasta guna mengatasi kesenjangan teknologi informasi terutama melalui
program peningkatan kemampuan (capacity building); (3) strengthening the Multilateral rrading sysfem yang menyepakati penentukan agenda yang seimbang dan komprehensif untuk menampung seluruh kepentingan anggota wTo pada tahun 2001; (4) Making ApEC Mafter More menekankan pentingnya partisipasi masyarakat luas dalam program-program APEC.
Pada KTT OKI ke-9 di Doha, Qatar, 12-14 November 2000, telah dibentuk lnternational lslamic Sfock Exchange lJnion sebagai sarana untuk mempererat 30
keterkaitan ekonomi diantara negara anggota OKI dan sebagai langkah pembentukan pasar bersama lslam. Selain itu para pemimpin ekonomi menyepakati konsep New Economy melalui program
di
berbagai bidang.
Sebelumnya dalam Sidang ke-16 Komite Tetap Kerjasama Ekonomi dan Perdagangan OKI (COMCEC) di lstambul, Turki, 23-26 Oktober 2000 tetah menyepakati tahun 2001 sebagai 'the year of activation and development of small and medium enterpises". Dalam Pertemuan Tingkat Menteri (PTM) D-8 ke4 di New York, September
2000, membahas proyek-proyek kerjasama D-8, persiapan KTT D-8 ke-3 di Kairo
pada bulan Februari 2001, pembentukan Coordinating Center, serta tindaklanjut mekanisme penghubung antara D-8 dan OKl.
Dalam Kerjasama Teknik Untuk Negara Berkembang (KTNB) untuk tahun fiskal 2000 Indonesia telah menawarkan 9 program KTNB kepada negara-negara
berkembang. Kesembilan program tersebut merupakan kerjasama antara Pemerintah lndonesia dengan Pemerintah Jepang (JICA) dalam kerangka Ihird
Country Training Programme. Dalam kerjasama iptek, Rl-Pakistan telah menandatangani MoU Kerjasama di bidang Reproductive Health dan Keluarga Berencana pada tanggal 30 Maret 2000 di Jakarta. Pemerintah Bangladesh dalam
rangka memanfaatkan keberhasilan pembangunan desa di Indonesia telah mengirim 12 orang Tim Union Parishad Chairman (Lurah) ke daerah-daerah di lndonesia pada tanggal 25 Oktober-S November 2000. Pertemuan SOM dan Pertemuan Tingkat Menteri ke-8 lndonesia-Malaysia-
Thailand Growth Triangle (|MT-GT)
di
Songkhla, Thailand, 1-3 Maret 2000,
menyepakati agar kerjasama ekonomi sub-regional ini lebih memfokuskan perhatiannya pada berbagai upaya realisasi proyek-proyek kerjasama yang memiliki manfaat besar bagi anggotanya. Selain itu disepakati pula pembentukan
Joint Task Force (JTF) untuk mengevaluasi berbagai masalah yang dihadapi dengan melibatkan seluruh pihak terkait.
Pertemuan SOM ke-9
dan Pertemuan Tingkat Menteri ke-7
Brunei
Darussalam-lndonesia-Malaysia-the Philipprnes Easf ASEAN Growth Area (BIMP-
EAGA) di Labuan, Malaysia,
24
Agustus 2000, membahas perkembangan yang
difakukan oleh Easf ASEAN Eusrness Council(EABC), pembentukan BIMP-EAGA
3l
Kerja Transportasi Eusiness Council (BEMBC), perkembangan kegiatan Kelompok bidang Laut, perluasan kerjasama Transportasi Udara, pariwisata, kerjasama lingkungan dan kehutanan, serta SDM. memilih Pada tang gal 2o Juli 2000, sidang Dewan ke-232 Colombo P/an Dewan Colombo Duta Besar Rl di sri Lanka Mohammad saleh sebagai Presiden Pasifik' P/an untuk kerjasama ekonomi dan pembangunan sosialdiAsia
Dalam KTT OPEC ke-2 di Caracas, September 2000, telah ditandatangani lain memuat upaya Deklarasi Caracas sebagai produk akhir KTT yang antara pembentukan harga minyak yang stabil, kerjasama antara negara QPEC' peningkatan kemampuan hubungan antara negara konsumen dan produsen serta bersaing dalam fora internasional.
sidang consultative Group for lndonesr,a (cGl) ke-10 di Tokyo, 17-18 2001 Oktober 2000, menyepekati pemberian bantuan dalam tahun anggaran bantuan proyek sebesar US$ 4.836 juta yang terdiri dari bantuan program dan
ditambah hibah sebesar US$ 531 juta.
sidang tslamic Development Bank (lDB) ke-25 di Beirut, 7-8 November 2000, menandatangani tiga perjanjian pinjaman, yaitu: (1) /sfsna'a Agreement General concerning the Expansion and lJpgrade of 30 Private senior secondary ribu, (2) Schoo/s and 1S Senior Secondary Vocationalschools senilai US$ 2.528 the Republic of Agreement conceming the Authorization of the Government of of the sale lndonesia to Purchase Equipmenf as an Agent for and on Behalf senior thereof to the Govemment for LJse in Quatity lmprovement of Private Proiect secondary General schoo/s and senior secondary vocational school Dompu senilai us$ 13.961 ribu; (3) Loan Agreement for Pafticipation in Financing
juta' lntegrated Rural Development Proiect senilai lD (lslamic Dinar) 7 2000 di Dalam hubungan bilateral Rl-Vietnam, pada tanggal 17-18 Januari mekanisme Hanoi, telah dilaksanakan SOM on Counter Trade yang membahas perdagangan timbal-beli dimana MoU tentang hal tersebut telah ditandatangani pada tanggal 1 April 1999 antara Kadin dan Kementerian Perdagangan Vietnam' pinjaman dari Naskah pertukaran Nota and Record of Discussions bantuan (sekitar US$ Pemerintah Jepang kepada Indonesia sebesar Yen 71,928 milyar
32
600 juta) telah ditandatangani di Jakarta, 25 Januari 2000. Bantuan ini digunakan untuk program penyesuaian Jaring pengaman sosiar (Jps) yang merupakan pendanaan bersama dengan Bank Dunia. Selain itu pemerintah Jepang telah memberikan bantuan pinjaman untuk ,'Japan year Fiscar
2000,,.
Dalam hubungan ekonomi Rl-lndia telah ditandatangani dua MoU, yaitu: MoU on counter Trade antara Kadin dengan BUMN India India Metal and Mineral Trading corporation; dan sebuah MoU yang ditandatangani antara pertamina dengan delegasi Hidrokarbon India. Penandatanganan kedua Mou ini
dilakukan pada saat kunjungan presiden Rr ke India pada tanggar g_g Februari 2ooo.
Arrangement mengenai kerjasama keuangan antara Rr_Korea seratan untuk proyek Hospitar waste water Treatment prant sebesar us$ 40 juta ditandatangani di seour, 10 Februari 2000. sedangkan naskah Arrangement mengenai pelaksanaan proyek rhe lmprovement of District Hospitals in East Java
sekitar US$ 30 juta.
Pertemuan
Tim Teknis Rr-rrak di Jakarta, 22_2s Agustus 2000,
mengevaruasi hasir-hasir Agreed Minutes sidang ke-6. Untuk meningkatkan hubungan ekonomi antara kedua negara, rndonesia memanfaatkan progr am oit for Food rrak dengan memasukkan program tersebut daram agenda sidang Komisi Bersama Rl-lrak. Datam fase ke-7 program oit for Food tndonesia telah merealisasi kontrak dengan mensuplai kebutuhan makanan dan obat-obatan ke lran sebesar us$ 11-477.000 dan mendapatkan kontrak pemberian minyak sebesar 3 juta barrel' Untuk fase ke-8 Indonesia mendapatkan kontrak pembelian minyak sebesar 9 juta barrel.
sidang ke-5 komisi Bersama Rl-lran telah diraksanakan di reheran pada tanggar 30 september-1 .ktober 2000. Kedua pihak sepakat untuk meninjau
ulang kebijakan-kebijakan protektif daram upaya meningkatkan arus perdagangan kedua negara, termasuk juga kebijakan lran terhadap minyak sawit Indonesia. Di bidang kerjasama sektor swasta, kedua negara juga sepakat membentuk Komite Kerja bidang perdagangan, industri dan pertambangan. Sidang ke-5 Komisi Bersama RI-RRC terah diraksanakan di Beijing pada tanggal 23-24 oktober 2000. Menindaklanjuti hasil pertemuan tersebut pada 1a
JJ
tanggal 20-30 November 2000 delegasi RRC telah berkunjung ke Indonesia untuk mengembangkan dan meningkatkan kerjasama perdagangan dan ekonomi kedua negara.
Dalam rangka meningkatkan investasi asing ke Indonesia, Indonesia mengadakan Pertemuan I Tingkat Menteri Negara Teluk dan ASEAN mengenai investasi di Jakarta,
24Mei 200, dan Pertemuan ke-2 di Nusa Bali, 1-2 Juli 2000.
Pertemuan yang dihadiri oleh 12 negara tersebut menghasilkan dukungan bagi upaya Pemerintah Rl untuk menarik investasi langsung ke Indonesia dan komitmen para peserta untuk mendorong sektor swasta dan lembaga investasinya untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Kegiatan promosi investasi dilakukan dengan ikut serta dalam berbagai forum promosi investasi di luar negeri, seperti: Seminar Investasi Indonesia di Hiroshima, Jepang, 27-28 September 2000; Seminar lnvestasi di New york, 13-14 Juni 2000; serta seminar Investasi di Bangkok, Thailand, 15 November 2000.
Pada tanggal
1s Agustus 2000 telah
diterbitkan
sK
Menlu
No.
117lEKlXll2000/33 tentang Penugasan kepada Kepala Perwakilan Rl untuk Mengeluarkan surat Persetujuan penanaman Modal Asing (sppMA) di Penruakilan Rl dan Buku Pedoman/Petunjuk Pelaksanaan Persetujuan pMA oleh
perwakilan Rl. SK ini merupakan tindaklanjut dari Keppres No. 117 tahun 1999 tentang Tata cara Penanaman Modal dan Keppres No. 120 tahun 1g9g tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal.
sehubungan dengan perlindungan TKl, rapat Badan Koordinasi Penempatan TKI (BKPTKI), yang beranggotakan 11 menteri, menyepakati kemungkinan jeda sementara pengiriman TKl, khususnya TKWpRT ke saudi Arabia dan Timur Tengah serta pembagian tugas sesuai dengan lingkup tugas masing-masing instansi berkaitan dengan perbaikan program penempatan TKl. Deplu bertugas melakukan pengendalian dan pengawasa n job order, mitra kerja dan pengguna jasa; pembinaan dan pelayanan TKI di luar negeri; penyelesaian
permasalahan
TKI di luar negeri;
perlindungan
TKI di luar negeri; dan
pengembangan pasar luar negeri.
34
Di bidang perhubungan laut, sejak tanggal 29 November 2000 Indonesia (lMO). telah masuk dalam white list (daftar putih) Organisasi Maritim Internasional Daftar putih tersebut merupakan daftar negara-negara anggota IMO peserta
konvensi yang telah mengimplementasikan secara penuh ketentuan-ketentuan Amandemen 1995 Sfan dards of Training Certification and Watch Keeping of Seafarers (STWC) 1978.
Dalam sektor telekomunikasi, Undang-Undang no. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi mulai berlaku efektif pada tanggal 8 September 2000' Dengan berlakunya UU tersebut dan sesuai dengan komitmen Indonesia di dalam WTO' maka sektor telekomunikasi sudah mengarah ke liberalisasi yang ditandai dengan pengenaan tarif berdasarkan mekanisme pasar serta swasta sebagai pelaku utama karena pemerintah hanya menjadi fasilitator. Dalam bidang pariwisata, pada tahun 2000 telah ditandatangani tiga MoU di bidang kerjasama pariwisata, yaitu dengan Rl-lndia, Rl-RRC, Rl-Jordania'
Dalam kerjasama bilateral Rl-Korea Selatan, khususnya ketika Presiden Korea Selatan Kim Dae Jung berkunjung ke lndonesia tanggal 27-29 November 2000, telah dibahas agreement dalam bidang kerjasama energi dan sumber daya mineral.
Seiring dengan akan diberlakukannya Urldang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, Pemerintah Rl telah memberikan kesempatan yang
lebih besar kepada masyarakat di daerah untuk mengelola dan memajukan wilayahnya masing-masing. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang tercakup dalam Undang-Undang No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Intemasional maka Deplu berkewajiban membantu memfasilitasi pemerintah daerah yang berkeinginan membina kerjasama dengan mitranya di luar negeri. Masa depan hubungan bilateral Rl-Australia diharapkan akan kembali pulih sebagaimana tampak dari hasil-hasil positif pertemuan lndonesia-Australia
Ministeiat Forum (IAMF) ke-S. Australia telah menegaskan kembali dukungan terhadap integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
35
Pada tahun 2000, Pemerintah
Rl telah mengadakan serangkaian
pertemuan dan pembicaraan guna mempersiapkan kesediaan lndonesia untuk menjadi penyelenggara suatu Seminar Informal ASEM tentang HAM pada awal tahun 2001. Seminar tersebut akan dihadiri oleh para pejabat pemerintah, pakar dan LSM dari negara-negara ASEAN+(RRC, Jepang, Korea Selatan) dan UE. Berkenaan dengan upaya memperkuat sistem PBB, pembahasan reformasi
DK PBB sampai saat ini tidak mengalami kemajuan yang berarti. Masih terdapat perbedaan pandangan yang cukup tajam tidak hanya mengenai aspek perluasan,
yang mencakup soal jumlah dan komposisi keanggotaan, tetapi juga mengenai metoda kerja termasuk soal veto. Bagi negara-negara berkembang termasuk lndonesia penambahan anggota tetap DK PBB hendaknya dibarengi dengan masuknya anggota baru dari negara-negara berkembang. Mengenai hak veto, negara-negara anggota GNB dan berkembang lainnya berpendapat bahwa veto
dari aspek historis dan kontemporer sama sekali tidak dapat diterima karena tidak
sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dan kesamaan antar negara. Namun demikian, karena sulitnya menghapus veto pada tahap saat ini maka diusulkan
agar penggunaannya dibatasi pada masalah-masalah di bawah Bab Vll piagam PBB.
Dalam konteks nasional, modal dasar bagi pembangunan citra positif termaksud masih perlu ditopang dengan berbagai kerja keras untuk meningkatkan keamanan dan ketertiban nasional, seperti: meningkatkan supremasi hukum yang
memenuhi rasa keadilan masyarakat, penanganan berbagai
isu
disintegrasi
bangsa dengan berlandaskan pada konsistensi hukum dan mengupayakan penyelesaian secara dialogis, pemajuan dan perlindungan HAM, serta pemulihan
ekononomi nasional. Apabila isu-isu ini dapat ditangani dengan baik dan cepat maka hampir dapat dipastikan bahwa kinerja diplomasi Indonesia secara signifikan akan semakin baik.
Dalam konteks bilateral, peningkatan pendekatan bilateral melalui strategi baru untuk meningkatkan citra Indonesia di luar negeri, khususnya dalam masalah
HAM, lingkungan hidup, demokratisasi, dan hak-hak buruh, perlu dilaksanakan secara terpadu dengan upaya-upaya konkrit untuk meningkatkan kondisi-kondisi di dalam negeri. Dalam konteks regional, Indonesia memasuki tahun 2001 dengan 36
sikap optimis memperhatikan kecenderungan mulai pulih dan membaiknya perekonomian negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur pada umumnya. Indonesia akan terus berpartisipasi aktif dalam berbagai langkah kerjasama ekonomi dalam kerangka ASEAN maupun Sub-regional. Di bidang politik, raihan penting yang dicapai adalah diadopsinya Non-Paper on ASEAN Troika yang berisi prinsip, tujuan dan prosedur pembentukan ASEAN Troika agar dapat menanggapi secara lebih cepat perkembangan regional/internasional yang
dinilai akan berdampak kepada ASEAN. Di samping itu, muncul pula gagasan
untuk memformalkan forum ASEAN+3 menjadi East Asian Summit
yang
merupakan langkah maju bagi kerjasama antar kawasan.
Dalam konteks global, Indonesia akan terus memperjuangkan kesetaraan kepentingan antar negara berkembang dengan negara maju. lndonesia terus mengupayakan restrukturisasi PBB dan mengoptimalkan keanggotaannya dalam
berbagai organisasi dunia/internasional. Dalam WTO, Indonesia tetap berkomitmen kepada kesepakatan liberalisasi perdagangan, tetapi hendaknya liberalisasi tersebut harus juga memberikan keuntungan optimal bagi negaranegara berkembang.
2.3 ANALISA DAMPAK REGIONALISASI EKONOMI Sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab 2.2, bahwa menuju 2020 akan
terjadi kecenderungan regionalisasi yang kuat. Perdagangan antar regional diramalkan berlipat ganda dibandingkan pada tingkat yang sekarang. Negaranegara maju Asia akan menghadapi peningkatan persaingan dari negara-negara
baru. Akibatnya akan ada perubahan-perubahan struktural yang substansial di
Asia sebagai negara yang sedang menapak lebih lanjut dalam jenjang pembangunan.Cina diramalkan akan menjadi negara dengan perekonomian yang
terkuat pada tahun 2020. India diharapkan akan menjadi raksasa ekonomi. Dengan melejitnya Cina dan India, peranan Jepang sebagai motor pertumbuhan regional akan berkurang. Dengan berlandaskan trend perkembangan tersebut, pada bagian ini diulas
dampak kuantitatif yang terjadi bila terjadi regionalisasi perekonomian dunia dan bagaimana dampaknya terhadap Indonesia. Alat analisis yang digunakan adalah
Computable General Equilibrium. Kajian ini melihat apakah dampak yang terjadi JI
bila masing-masing negara melakukan kerjasama ekonomi bilateral dan regional diantara masing-masing negara. Kerjasama bilateral dan regional
ini
adalah
sebagai berikut. (1) Kerjasama ekonomi antara Jepang dengan 4 negara ASEAN
(JAS); (2). Kerjasama ekonomi antara Jepang dan NAFTA (JN); (3) Kerjasama jepang dan Singapura (JS) yang merupakan partner dagang terbesar ke 2 dan ke
3
Indonesia saat ini; (4). Kerjasama ekonomi antara Jepang, Singapura; Korea;
China (termasuk Hongkong,
) (JSKC); (5) Kerjasama ekonomi antara Jepang,
Singapura; Korea; China (termasuk Hongkong,
)
dan NAFTA (JSKCN);
(6).
Kerjasama ekonomi Jepang, Singapura, Korea, China (termasuk Hongkong), 4 negara anggota ASEAN (JSKCAS); (7) AFTA; (8). APEC. 2.3.1 Dampak Terhadap Perekonomian Dunia
Tabel
3
menjelaskan perubahan yang terjadi dalam perekonomin dunia
sebagai akibat kerjasama perdagangan tersebut. Perdagangan dunia dan GDP tumbuh dengan tingkat yang berbeda-beda.
Hasil dari simulasi menjelaskan secara eksplisit bahwa pertumbuhan ekonomi membaik dengan adanya kerjasama ekonomi. Terlihat bahwa JN, JSKN,
dan JSKCN (dengan adanya NAFTA) terlihat dapat menaikkan perekonomian dunia menjadi semakin baik dibandingkan kerjasama ekonomi bilateral lainnya (dengan tidak memasukkan NAFTA), yaitu pertumbuhan ekonomi dunia naik menjadi 0,06-0,08% dan perdagangan dunia naik menjadi 0,99-2,45. Hasil simulasi ini juga melihatkan bahwa dengan adanya APEC maka perekonomian dunia tumbuh jauh lebih baik dibandingkan kerjasama perdagangan lainnya. 2.3.2 Dampak Terhadap Perekonomian Secara lndividual
Tabel
4
memperlihatkan pengaruh skenario Free Trade Arrangement
(FTAs) terhadap pertumbuhan GDP. Walaupun perdagangan dunia dan produksi
dunia tidak dipengaruhi secara serius, terlihat bahwa masing-masing negara dipengaruhi oleh terjadinya trade diversion dan pengaruhnya secara berurutan terhadap akumulasi modal. Terlihat, bahwa masing-masing negara mendapatkan pengaruh yang positip dalam pertumbuhan ekonomi dan perdagangan dunia bila
mereka melakukan kerjasa ekonomi. Negara-negera yang mampu untuk
38
menghilangkan terjadinya distorsi dalam harga terlihat mendapatkan keuntungan secara umum.
Dengan hasil yang berbeda dalam perekonomian dunia secara keseluruhan, terdapat beberapa negara yang secara cukup besar dipengaruhi
oleh adanya JS. Diantara seluruh negara, Malaysia merupakan negara yang paling terkena dampaknya, yaitu mengalami penurunan GDP sekitar 0,08%. Sementara itu, pertumbuhan GDP Indonesia turun 0,01%.
Hasil simulasi juga memperlihatkan bahwa dengan tidak ikut kerjasama ekonomi, maka hal ini sangat tidak menguntungkan bagi 4 negara ASEAN. Ketika
JSKC melibatkan NAFTA dalam kerjasama ekonomi, maka GDP lndonesia, Malaysia, Philipina, dan Thailand mengalami penurunan sebesar 0,3%; 2,31o/o, 0,11%, dan 0,99%. Berdasarkan kondisi rasional masing-masing negara, baik China ataupun 4
negara ASEAN dapat memilih untuk berpartisipasi untuk ikut kerjasama dengan Jepang, Singapura, Korea untuk menghindari skenario buruk. Untuk kasus JSKC
memperlihatkan bahwa China memperoleh kenaikan sebesar
1,84o/o, sedangkan
negara-negara ASEAN, yaitu Indonesia, Malaysia, Philipina
dan
Thailand
mengalami dampak negatif dimana GDP turun sebesar 0,3o/o,2,31o/o, 0,11% dan
0,99%. Dengan terlibatnya ASEAN dalam kerjasama ekonomi regional JSKC, yaitu JSKCAS, Indonesia, Malaysia, Philipina dan Thailand mendapatkan manfaat yang cukup signifikan yaitu GDP naik masing-masing sebesar 2,35o/o, 4,55o/o
3,43o/o,
dan 6,85%. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh subtitusi yang kuat dan
konsisten dengan argumentasi bahwa China dapat menjadi ancaman untuk negara-negara ASEAN pada masa mendatang.
Dalam kasus ini, 4 negara ASEAN dapat menghapuskan pengaruh buruk dalam perekonomiannya dengan berpartisipasi dalam kerja sama ekonomi. Hasil simulasi dari JSKCAS membuktikan bahwa
4 negara ASEAN dapat menaikkan
GDP dan pendapatan nasionalnya tanpa mengurangi perolehannya di China. selanjutnya, china meningkatkan GDPnya dengan melakukan perdagangan dengan 4 negara ASEAN.
39
2.3.3 Kesimpulan Secara Umum
Skenario Free Trade Arrangemenf (FTAs) yang disusun adalah untuk mengevaluasi dampak pada anggota ekonomi, khususnya Jepang, china dan Indonesia. Karena restriction dari model kepemilikan (properties), dampak dari penanaman modal asing (FDl) dan perusahaan aliansi, sebagai contoh meluasnya
pengaruh teknologi tidak ikut dipertimbangkan. Model
ini dirancang untuk
menangkap pengaruh dari akumulasi kapital asli (endogenous) yang didorong oleh perubahan teknis dari luar dan liberalisasi perdagangan.
Pertama, dampak FTA terhadap perekonomian suatu negara tergantung pada kondisi yang menyertainya, seperti misalnya pola perdagangan negara yang bersangkutan dan kontribusinya terhadap perekonomian. Disamping itu, dampak
FTA tersebut juga tergantung pada besaran ekonomi negara yang bersangkutan dan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalam FTA. Perjanjian bilateral
dan singapura tidak akan mempengaruhi secara serius perekonomian negara lain atau bahkan perekonomian dunia. Akan tetapi dampak FTA akan berkurang apabila perdagangan bebas antara Jepang, Korea
perundingan yang saat ini sedang berlangsung mengenai rencana untuk tidak
mengikutsertakan komoditi-komoditi pertanian
dari FTA disetujui. Hal
ini
disebabkan oleh karena hasil yang diperoleh dari liberalisasi perdagangan tidak hanya berupa penurunan tarif tetapi juga realokasi dari kontribusi perdagangan di dalam sektor-sektor yang lebih produktif.
Kedua, Indonesia dapat memperluas pertumbuhan GDP potensiarnya dengan jalan bergabung ke dalam beragam FTA regional yang ada. Apabila lndonesia tidak bergabung dengan kawasan regional, pertumbuhan GDp dapat turun sebagai akibat dari kuatnya dampak penyimpangan perdagangan yang pada
akhirnya akan memperlambat akumulasi modal. Di samping kemungkinan penurunan pertumbuhan GDP, Indonesia juga mungkin akan mengalami pengurangan output sebagai akibat dari lambatnya akumulasi modal. Oleh karena
itu, jenis liberalisasi dan sektor-sektor yang terkena liberalisasi akan sangat menentukan tinggi rendahnya pertumbuhan di masa yang akan datang.
Ketiga, terdapat perbedaan ukuran antara FTA Jepang sebagai mitra dagang Asean yang dominan, dengan perekonomian Asia dan perekonomian 40
NAFTA. Dari sudut pandang perekonomian Asean, adalah sangat penting mengetahui bagaimana Jepang akan melaksanakan negosiasi-negosiasi bilateralnya. Pola koalisi yang diterapkan Jepang akan mempengaruhi dinamika anggota-anggota Asean lainnya, seperti misalnya dalam akumulasi modal dan
industrialisasi. Terdapat dampak substitusi antara
2 kawasan.
Meskipun hasil
positif dapat diperoleh, akan tetapi pendistribusian manfaat dari FTA mungkin akan penting dari sudut pandang ekonomi politik.
Keempat, FTA cenderung mengemukakan keunggulan-keunggulan komparatif berdasarkan kontribusinya. Dalam hal ini lndonesia perlu menetapkan
strategi industrialisasi tepat sesuai dengan partisipasinya dalam AFTA dan APEC
sehingga keunggulan komparatif Indonesia dalam kerjasama tersebut menjadi menonjol dan kerjasama perdagangan tersebut memberikan dampak positif yang optimal untuk perekonomian Indonesia.
ryffir,?2 TNI4IHPINIKATTREC\U\,I
W
JN
JAS
"s
sKo{
PtBDria(\dure)
0tr
0ft
trBDria(EgD
OG
0ll 0li
0li
40 0(
rurhggnDda(\durB)
0fi 0fi 0fi
001
02
ruOggnDrb(Ege)
001
051
oq 0z 22
{Z
00 0l( 0l( 01 24 0lt
33
5.4
m/rcFae) hdgilEnlrc(duro) rurUCrgnlKffi(rep)
0fi 00
{G
rud*artCqi*Fan
001
00 l3jtr
l.
-tx
14
0ft 0c
TKC
0ft
1.5
03(
{o
04
z\ffi
tL6t:
TtJl
GI]CBAI,
SKCAS
0l( 00 01 04 24)
{lt 53 0
564
AS
00 00 00 00 03 00 08 00
1r'
lrc 05
04 a7
{l( 7.3
04 148
42
rca
Gda,r L
Adl€ddrFddard"dpdtakdrn
2
Adl€hdi unkFartdr leqidranddr
3.
h'arptdmlq|{nan dfi
195.
&/rrn% L-Djualodal l%.
4l
2.4 PERSTAPAN MELANGKAH KE DEPAN (20201 2.4.1 Gambaran Situasi
Memasuki gelanggang dunia tahun 2020 membutuhkan persiapan yang matang dan terencana. Bagian ini membahas beberapa gambaran akan situasi yang dihadapi sesuai peran yang dimainkan, apakah sifatnya luas, yaitu negara
maupun yang lebih sempit, yakni organisasi perusahaan. Gambaran ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk mempersiapkan langkah yang perlu ditempuh untuk antisipasinya.
Tabel2.3: Pengaruh Kerjasama Ekonomi Terhadap PDB Negara-Negara
JS
JAS
JN
JSKC
JSKCN
JSKCAS
AS
APEC
-0.u
JPN.
4.li
4.3(
KOR
4.01
IND
-0.01
0.1I
4.41
4.3C
MLY
{.08
-1.04
-t.4
-2.31
PHL
0.00
{.0:
4.0(
4.ll
4.0t
0.x
0.81
4.45
4.7C
4.%
SGP
TIIA
4.42
CHN
-0.01
4.v
4.28
HKG
0.01
0.08
0.u
TWN
4.01
4.43
4.65
NFT
0.00
4.01
4.03
-0.ft 4.Vt 4.lC 4.01
4.0r
0.0(
Catatan
l.Ihit:
%
2.Irlegara dengan
shade
dalam Free Tiade Arranganant
Peranan Negara
1.
Kebebasan bertindak pemerintahan nasional suatu negara akan berkurang sebagai akibat dari adanya pengaruh kekuatan-kekuatan komersial (keuangan
42
internasional dan multinasional) dan lembaga-lembaga supra-nasional (seperti misalnya Bank Dunia, lMF, dan lain_lain).
2'
sementara di satu pihak ada beberapa pemusatan suatu kebijakan tertentu, seperti misalnya stabilitas ekonomi makro, dan kegiatan-kegiatan ekonomi pada tingkat mikro, di lain pihak, peran negara diharapkan dapat ditingkatkan melalui pengembangan seperangkat peraturan yang mengutamakan prinsip kehati-hatian dan pengembangan kelembagaan.
3. Ada
keyakinan tentang akan munculnya ,,merkantilisme baru,,, yakni, akan banyak negara yang meningkatkan perhatiann ya pada teknologi intensif yang canggih untuk bidang pabrikan. Dengan demikian, suatu negara secara sengaja akan mengolah industri dan teknologi shategisnya. Namun demikian, hal ini tidak mungkin dilaksanakan melalui perencanaan terpusat seperti yang selama ini terjadi, tetapi melalui pengembangan strategi kemitraan antara pemerintah dan sektor swasta, termasuk universitas dan lembaga-lembaga penelitian lainnya.
4. Peran masyarakat madani dalam mempengaruhi
kebijakan_kebijakan pemerintah juga mungkin akan meningkat. Dengan kemajuan telematika dan pendidikan, partisipasi masyarakat akan meningkat dalam pergerakan sosial yang mencari hak-hak asasi kaum minoritas, mengurangi resiko kemanusiaan, menjamin keamanan ekonomi, dan mengurangi degradasi lingkungan hidup.
Kemajuan telematika akan menyebabkan terjadinya penurunan dalam demokrasi perwakifan dan peningkatan demokrasi langsung atau partisipasi yang dilaksanakan melalui referendum.
Masyarakat dan Ekonomi
1. Dalam 10 sampai 20 tahun mendatang,
peningkatan kehancuran bidangHal ini tampak jelas dari jatuh-bangunnya
bidang kreatif meningkat tajam. perusahaan-perusahaan dot.com. Sejumrah skenario (baik positif maupun negatif) akan muncul, yaitu :
43
Skenario neqatif:
a. Akan ada sejumlah pergerakan sosial yang berlangsung tanpa
henti
dimana setiap pergerakan sosial itu akan berusaha mengejar agendanya masing-masing. Hal ini akan memperlemah posisi negara melalui kegiatan anarki.
b.
Akan ada kemunduran mendasar dan meningkatnya konflik sosial/etnis.
c.
Tekanan-tekanan tersebut akan mengikis dukungan sosial, mengakibatkan pihak-pihak yang dirugikan akan kekurangan alternatif lainnya.
d.
Tingginya ketidakpastian dalam pekerjaan yang muncul karena adanya tekanan-tekanan ekonomi dari globalisasi dan persaingan.
Skenario positif: e.
Perekonomian yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan akan menjadi
lebih kooperatif dibandingkan dengan kompetitif atau
konfrontasi.
ini muncul dari fakta bahwa ilmu pengetahuan secara alamiah adalah barang publik dan tanpa pesaing. Nilai dari ilmu Kemungkinan
pengetahuan tersebut akan meningkat apabila dibagikan.
Perilaku perusahaan yang kooperatif akan mengurangi ketidakpastian pekerjaan dimana suatu perusahaan tidak dapat bersaing hanya dengan
memangkas biaya karyawannya. Akan tetapi, perusahaan akan
meningkatkan kemampuan
daya saingnya melalui
peningkatan
produktivitas dengan penggunaan telematika dan hubungan industrial yang kooperatif.
g. Kegiatan masyarakat
madani dan kemungkinan partisipasi aktif masyarakat
melalui referendum sebagai akibat kemajuan telematika
akan
meningkatkan penyelenggaraan perusahaan dan negara yang baik. Skenario konsekuensi vanq tidak diketahui.
h.
Kekuatan dari media digital yang canggih akan menyerap budaya popular untuk mengubah persepsidan pikiran manusia dalam skala besar. 44
Peningkatan yang besar dalam konsumsi global, termasuk waktu luang, mengakibatkan transformasi besar dalam kegiatan-kegiatan sosial dan ekonomi menjadi dapat lebih terorganisasikan.
Masyarakat mungkin akan mengutamakan kehidupan yang mudah dan berkualitas pada keluarga dan komunitasnya. Konsep keluarga mungkin
akan berubah dimana akan lebih banyak yang hidup berdasarkan pada hukum secara defacto, namun tidak memiliki hubungan yang langgeng.
2.
Secara keseluruhan, akan ada peningkatan stress karena adanya kekuatankekuatan revolusioner dari telematika dan globalisasi, serta pasar bebas. Hal
ini akan menjadi menjadi gangguan sosial yang potensial sampai suatu ideologi baru mengenai sistem sosial dan ekonomi untuk abad ke-21 tercipta.
Organisasi Perusahaan dan Industrial
1. Akan ada penurunan dalam produksi masal.
Perusahaan-perusahaan akan
lebih memfokuskan pada pasar-pasar kecil dan produk-produk yang dapat dihasilkan dalam waktu singkat. Ukuran perusahaan akan menjadi kecil namun cepat tanggap dalam mengantisipasi perubahan cepat yang terjadi
seperti misalnya dalam cita rasa dan pembagian
saham.
Perusahaan-
perusahaan besar akan mengurangi anak-anak perusahaannya yang tidak terkait dengan bisnis utamanya. 2.
Seiring dengan menghilangnya sistem perekonomian yang berdasarkan perintah, maka gaya manajemen hirarki suatu perusahaan juga akan berkurang. Keterlibatan langsung karyawan dalam produksi akan meningkatkan desain.dan metode produksi.
3.
Seiring dengan perusahaan-perusahaan yang menciptakan pasar kecil dan spesialisasi, maka perusahaan-perusahaan yang memiliki kategori industri
yang besar akan berkelompok. Kita mungkin akan melihat banyak wilayahwilayah industri seperti Si/rcon Type dimana perusahaan-perusahaan yang ada
di dalamnya memproduksi komponen-komponennya melalui strategi kerjasama dengan perusahaan-perusahaan sejenis lainnya.
45
4. Perusahaan-perusahaan akan semakin tergantung kepada tenaga kerja yang
fleksibel dan yang memiliki kemampuan beragam serta tergantung kepada peralatan-peralatan yang multifungsi. 5.
akan berada dalam tekanan yang meningkat terhadap pilihan antara memaksimalkan keuntungan atau tingkat Perusahaan-perusahaan
pengembalian kepada para pemegang sahamnya. Perusahaan-perusahaan tersebut juga harus melayani beragam kepentingan para pihak terkait lainnya
(stakeholders), yaitu: karyawan, pelanggan, masyarakat lokal, penyalur, dan pedagang (dealers).
6.
Seiring dengan banyaknya partisipasi wanita dalam tenaga kerja, dan sistem
kekeluargaan, maka perusahaan-perusahaan harus mampu menciptakan lingkungan kerja yang menyerupai suatu keluarga dan nyaman serta sistem
hubungan industrial yang memungkinkan karyawannya menggabungkan antara keluarga dan pekerjaan.
2.4.2Persiapan Jangka Menengah-Panjang (Lebih dari 5 Tahun)
Dalam jangka menengah secara bertahap harus didorong terwujudnya struktur lingkungan bisnis dalam bentuk klaster, di mana keseluruhan unsur usaha
terkait dan saling mendukung satu dengan lainnya. Struktur klaster ini akan mendorong suatu perekonomian menjadi lebih produktif, dan inovatif. Suatu klaster tidak hanya sekedar suatu industri tunggal yang membuat produk tunggal,
tetapi melibatkan berbagai industri yang terkait, para pemasok dan lembagalembaga yang keseluruhannya berada pada lokasi yang sama.
Di
berbagai negara maju struktur klaster terbukti telah menciptakan perusahaan-perusahaan yang produktif dan inovatif. Sebagai contoh adalah klaster industri perkapalan di Norwegia, klaster industri anggur di California USA,
klaster industri pendidikan dan knowledge creation
di
Boston USA. Norwegia
merupakan negara kecil namun menghasilkan 10 persen dari seluruh transportasi
kapal laut dunia. Negara ini sanggup bersaing meskipun dengan tingkat upah yang tinggi. Ngara ini tidak hanya memiliki perusahaan perkapalan. Tetapi juga berbagai industri dan pemasok yang berhubungan dengan perkapalan, di samping
lembaga-lembaga yang sangat berspesialisasi, seperti asuransi, pengacara 46
perkapalan, perbankan dan lembaga keuangan usaha perkapalan, dan lembaga pendidikan dan litbang maritim yang handal.
Dalam beberapa tahun mendatang, Indonesia sudah harus menyusun kebijakan klaster yang agresif, canggih. Untuk itu, tidak diperlukan investasi pemerintah yang besar. Pemerintah diharapkan bertindak sebagai dinamisator, fasilitator dan regulator yang baik. Jika industri harus beralih ke tahap berikutnya,
yang diharapkan dari pemerintah adalah memahami apa saja kendalanya dan kebutuhannya serta memfasilitasi jalan keluarnya.
Dalam jangka waktu yang lebih panjang untuk mencapai keunggulan kompetitif kita harus mendorong tercapainya inovasi. Saat ini banyak perusahaan
melakukan penelitian dan pengembangan (litbang) tetapi tidak mudah mengubahnya menjadi inovator. Untuk itu, perlu dilakukan perubahan dari efektivitas operasional menjadi strategi, yang memerlukan kapasitas yang lebih besar dalam investasi lunak dalam hal litbang dan pelatihan.
Dalam kaitan itu, Indonesia perlu memulai investasi lebih besar untuk meningkatkan kapabilitas perusahaan melakukan kegiatan usaha yang memberikan nilai tambah yang terus meningkat. Untuk itu, pengembangan SDM harus menjadi prioritas. Pada dasarnya, perlu diciptakan struktur dan sistem yang
secara substansial untuk meningkatkan kualitas dan kecanggihan SDM yang kita miliki. Masalahnya adalah membangun sistem SDM yang benar-benar generatif memakan waktu satu dasawarsa. Selain daripada itu, universitas-universitas/PTPT kita belum termasuk klas dunia. Di samping itu, iptek juga merupakan prioritas,
dengan pentingnya inovasi. Kita juga perlu meningkatkan investasi dalam penelitian universitas/PT.
47
DAFTAR PUSTAKA
Asian Development Bank, New Regional Architecture and the ADB's Regional Economic Monitoring Unit, Economic and Social Commission for Asia and the Pacific, Jakarta, 2000.
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 2 Nomor 2 September 1999, Bank Indonesia, Jakarta. 3.
Economic and Social Commission for Asia and Pacific, United Nation, "
Development through Globalization and Partnership in the Twenty-First
Asia-Pacific Perspective for Integration Developing Countries and Economies in Transition into the International Trading
century:
an
System on a fair and Equitable Basis", New York, 2000. 4
Gunter, Frank R., Custom Union Theory: restrospect and prospect, Editor: Greenaway, D, Hyclak, T., dan Thornton, T.," Economic Aspect of Regional Trading Arrangements", Harverster Wheatsheaf, Great Britain, 1
989.
Greenaway, David, Regional Trading Arrengements and Intra-lndustry
Trade: Evidence and Policy lssues, Editor: Greenaway, D, Hyclak, T., dan
Thornton,
T.," Economic Aspect of Regional Trading Arrangements',
Harverster Wheatsheaf, Great Britain, 1989.
6.
H. S., Gatt dan WTO- Sistem, Forum dan Lembaga International di Bidang Perdagangan, Penerbit Universitas lndonesia, Kartadjoemena, Jakarta, 1996.
7.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas lndonesia, Final Report: StudiAntisipasi Gatt, November 1994.
8.
LeClair, Mark S., Regional Integration and Global Free Trade-Addressing
the Fundamental Conflicts, Avebury - Ashgate Publishing Lt, dan Ashgate Publishing Company, 1997.
9.
Oxley, Alan, The Challenge
of Free Trade, Harvester Wheatsheaf,
Great
Britain. 1990. 48
10.
Panglaykim,
J., Indonesia's Economic and Business relations with
ASEAN and Japan, edisi pertama, CSIS, Jakarta, Agustus 1977. 11. Tarmidi, L.T, The Economic Crisis and Indonesia's Commitments
in the
VWO, AFTA and APEC, Institute for Economic and Social Research faculty of Economics University of Indonesia, Jakarta, 1999. 12. The Asian Policy Forum Report, Policy Recommendations
for Preventing
Another CapitalAccount Crisis, The Asian Policy Forum, Jakarta, 2000. 13
World Bank, PREM Economic Policy Group and Development Economics Group, What ls Globalization, April2000.
14. Yue, Chia Siow, dan Yuan, Lee Tsao, Subregional Economic Zone: A New
Motive in Asia Pacific Development, Editor: Bergsten, C. Fred., Noland, Markus,'Pacific Dynamism and the International Economic System", Institute
for International Economics bekerja sama dengan The Pacific Trade and Development Conference Secretariat The Australian National University, 1993.
49
BAB 3
MENCIPTAKAN DAYA SAING NASIONAL
3.1 PENDAHULUAN: TANTANGAN GLOBALISASI DAN DESENTRALISASI
Dalam satu dekade terakhir, proses globalisasi ditandai dengan semakin
terintegrasinya ekonomi dunia antar satu negara dengan negara lainnya. lnterdependensi antara
satu perekonomian dengan perekonomian
lainnya
semakin menguat. Mobilisasi barang dan jasa, serta modal antarnegara semakin bebas. Bahkan kecenderungan mobilisasi pekerja antarnegara mulai meningkat. Pada akhirnya proses globalisasi akan melahirkan dunia tanpa batas, terutama di bidang ekonomi.
Proses globalisasi terus berlangsung, tidak dapat dihentikan dan tidak
terhindarkan. Globalisasi
telah melahirkan harapan-harapan baru
dalam
kehidupan antar-bangsa. Di lain pihak, globalisasi juga merupakan ancaman jika
kita tidak siap menghadapi persaingan yang semakin ketat. Setiap bangsa akan menghadapinya dengan persiapan-persiapan yang selaras dalam bidang iptek,
sumber daya manusia, manajemen dan sistem kelembagaan, yang diarahkan pada peningkatan daya saing perekonomian masing-masing. Perekonomian yang
tidak memiliki daya saing tidak akan mampu memanfaatkan peluang-peluang bisnis global serta akan tersisih dari medan persaingan dan akan mengalami kemunduran.
Berjalannya mekanisme pasar adalah inti dari globalisasi. Pasar tidak
menjamin tercapainya kesejahteraan untuk setiap orang, bahkan pasar dapat mengesampingkan sejumlah penduduk sebagai konsumen barang dan jasa jika mereka tidak memiliki daya beli akibat tidak memiliki pendapatan atau pendapatan yang tidak memadai. Pasar dapat mengesampingkan sejumlah penduduk sebagai
produsen jika mereka tidak memiliki aset atau kemampuan. Kemampuan ini
adalah terutama kemampuan untuk melakukan pekerjaan untuk memperoleh upah, yang diperoleh melalui pendidikan pelatihan atau pengalaman. Bahkan penduduk yang memiliki kemampuan dapat tidak memperoleh pekerjaan karena
tidak adanya permintaan terhadap kemampuannya, yang pada
akhirnya 50
ditentukan oleh pasar. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa proses globalisasi telah meningkatkan disparitas yang semakin melebar antara negara yang mampu memanfaatkan peluang tersebut dengan negara yang tidak mampu
karena keterbatasan sumber daya manusia, modal, teknologi
dan
kelembagaannya.
Dalam hal ini peranan Negara atau Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah, sangat penting dalam mempersiapkan masyarakat menuju era penuh persaingan tersebut. Pemerintah berperan penting agar jumlah masyarakat yang
terpinggirkan dalam era globalisasi (pasar bebas) dapat dimiminimasi, bahkan dihapuskan. Meskipun pada dasarnya globalisasi telah mengurangi otonomi
pengelolaan ekonomi oleh Pemerintah. Untuk
itu, diperlukan tindak lanjut
bagaimana menyerasikan tuntutan globalisasi tersebut dengan tujuan-tujuan nasional.
Dalam rangka globalisasi, lndonesia telah menetapkan langkah untuk masuk ke dalam proses integrasi perekonomian dunia tersebut. Untuk itu, lndonesia berpartisipasi dalam berbagai perjanjian kerjasama internasional, baik bilateral, regional maupun multilateral, seperti ASEAN, WTO dan APEC. Dengan demikian, secara bertahap, hambatan-hambatan yang diberikan untuk melindungi
produsen dalam negeri harus dikurangi dan dihilangkan. Jadwal terdekat yang
dihadapi Indonesia adalah pelaksanaan pasar bebas negara-negara Asia Tenggara (AFTA) pada tahun 2002.
Kesiapan lndonesia untuk menghadapi pelaksanaan kesepakatankesepakatan tersebut sangat penting agar lndonesia mampu memanfaatkan peluang yang ada, dan menghindarkan dampak negatif globalisasi dalam bentuk ketertinggalan ekonomi. Sejauh ini dirasakan kesiapan Indonesia relatif tertinggal
dibanding negara pesaing utama di kawasan ini. Terlebih lagi, sejak timbulnya krisis ekonomi yang berkembang ke segala bidang, hambatan untuk mempercepat proses tersebut menjadi lebih besar.
Tantangan yang dihadapi menjadi lebih besar dengan dimulainya otonomi daerah pada tahun 2AO1. Bersamaan dengan proses globalisasi yang mendorong setiap negara untuk lebih bersatu, dunia juga melihat adanya proses lokalisasi
(lebih luas dari desentralisasi) berkembang
di
banyak negara. Tuntutan 5l
masyarakaV daerah untuk lebih berperan di dalam menentukan nasibnya sendiri
semakin menguat. Proporsi negara dengan bentuk pemerintahan yang demokratis meningkat dari 28 persen pada tahun 1974 menjadi 61 persen pada tahun 1998.
Di Indonesia hal ini ditunjukkan oleh perubahan dalam sistem pemilu yaitu meningkatnya jumlah partai peserta pemilu, pelaksanaan otonomi daerah dan meningkatnya peran masyarakat serta LSM dalam pengawasan penyelenggaraan negara. Semua hal tersebut dilakukan dalam kurun waktu 3 tahun. Sesuatu yang
tidak pernah dilakukan sebelumnya oleh negara lain. Di negara-negara maju pelaksanaan desentralisasi dilakukan secara bertahap, bahkan bisa mencapai puluhan tahun untuk dapat mencapainya bentuknya yang sekarang.
Dengan demikian, dua tantangan utama ke depan yang dihadapi adalah
pertama meningkatkan daya saing nasional, yang pada gilirannya akan memperkokoh ketahanan ekonomi. Kedua, melaksanakan proses desentralisasi
agar berjalan sesuai dengan hasil yang diinginkan dan tidak menimbulkan masalah-masalah yang dapat menghambat pencapaian tujuan pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional secara menyeluruh, termasuk mewujudkan perekonomian yang berorientasikan perekonomian global.
Sepintas globalisasi dan desentralisasi/lokalisasi terlihat seperti kekuatan
yang saling bertentangan. Padahal pada dasarnya mereka berasal dari sumber
yang sama dan bahkan saling memperkuat. Misalnya kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi yang sangat penting bagi perkembangan globalisasi,
bahkan telah mendorong kelompoUmasyarakat lokal untuk meliwati pemerintah
pusat dalam mencari informasi dan bahkan pembiayaan. Bersama-sama, tekanan global dan lokal ini telah merevolusi pemerintahan yang sentralistik dan secara dramatis merubah pemikiran-pemikiran pembangunan.
Dalam kesempatan ini, makalah akan membahas langkah-langkah penting
untuk membangun daya saing nasional dalam perspektif daerah. Pembahasan akan dipilah ke dalam beberapa bagian. Bagian Pertama akan membahas tentang prinsip-prinsip dasar untuk mencapai kemakmuran ekonomi sebagai tujuan akhir
dari semua pembangunan ekonomi. Bagian Kedua akan membahas keadaan daya saing Indonesia terkini meliputi kinerla, masalah dan tantangan *!!
dihadapi. Bagian Ketiga akan menyampaikan Langkah-langkah Ke Depan untuk membangun daya saing nasional, baik oleh pemerintah maupun swasta dan masyarakat luas. Terakhir akan disampaikan implikasi dari membangun daya saing tersebut bagi daerah.
3.2
PRINSIP DASAR UNTUK MENCAPAI KEMAKMURAN EKONOMI: KEMAMPUAN DAYA SAING YANG TINGGI
Kita semua akrab dengan kosa kata makmur (prosperous). Tujuan setiap bangsa adalah meningkatkan kemakmuran bangsa, meningkatkan kualitas hidup
setiap penduduknya. Yang menjadi pertanyaan adalah "Apakah
yang
menentukan kemakmuran suatu bangsa?" Pengalaman membangun negara-
negara yang telah maju membuktikan bahwa jalan satu-satunya
untuk
menciptakan kemakmuran bangsa adalah mencapai tingkat produktivitas yang
tinggi dan terus meningkat secara berkelanjutan. Perekonomian yang produktif memungkinkan pemberian upah dan tingkat pengembalian
modal yang tinggi.
Namun sebaliknya, perekonomian yang tidak-produktif hanya akan memberikan
upah dan tingkat pengembalian modal yang rendah. Jelas
produktivitas
menentukan kemakmuran. Secara tegas, Michael Porter, ekonom dan pakar manajemen terkenal yang
banyak menulis tentang daya saing suatu bangsa, menyatakan bahwa produktivitas merupakan penentu utama daya saing. Kita sering beranggapan bahwa upah murah akan menjadikan negara kita lebih kompetitif. Pernyataan tersebut dapat diterima untuk masa waktu yang pendek. Namun demikian, daya
saing yang berlandaskan upah murah tidak dapat dipertahankan secara berkelanjutan. Sejalan dengan kemajuan perekonomian, biaya hidup cenderung
meningkat, demikian pula tingkat upah. Tanpa peningkatan produktivitas, peningkatan upah secara ekonomis tidak dapat dilakukan. Sesungguhnya, perusahaan yang dari tahun ke tahun hanya dapat membayar buruh dengan upah
yang murah berarti bahwa perusahaan tersebut tidak kompetitif dan oleh karena itu tidak dapat mendorong buruh untuk mencapai standar hidup (standard of living) yang tinggi.
Begitu pula dengan anggapan terhadap nilai tukar (kurs/exchange
rate).
Kita sering beranggapan bahwa nilai tukar yang rendah (melemah terhadap mata 53
uang asing) akan menjadikan negara kita lebih kompetitif. Padahal, apabila nilai
tukar mata uang suatu negara menurun nilainya secara terus menerus, berarti bangsa tersebut tidak kompetitif. Kualitas barang dan jasa yang diproduksi tidak mampu mendukung harga-harga yang berlaku pada saat itu. Dari kedua uraian tersebut, jelas penentu daya saing (competitiveness) dan pada akhirnya penentu kema km uran
(p
rosperify) suatu bangsa adala h peningkatan produktivitas.
Selanjutnya, perlu diperjelas hubungan antara produktivitas dan efisiensi. Produktivitas tidaklah sepenuhnya merupakan fungsi efisiensi, terutama sekali
dalam industri manufaktur. Dalam perekonomian modern, produktivitas tidak hanya berkaitan dengan efisiensi dalam menghasilkan barang yang sama jenisnya
tetapi juga mesti terkait dengan nilai (value) produk yang dihasilkan (sebagai
contoh, keunikan, mutu/kualitas). Nilai produk tersebut diukur berdasarkan kemauan konsumen untuk membayar (willing to pay). Konsumen mau membayar
lebih mahal apabila produk tersebut memiliki kualitas dan feature yang lebih baik
dan didukung oleh pelayanan yang lebih baik. Dengan kata lain, pertumbuhan produktivitas merupakan fungsi dari peningkatan nilai produk tersebut, di samping efisiensi.
Sementara itu, untuk memperoleh nilai produksi yang makin besar tidak berarti kita selalu harus menghasilkan produk-produk yang berteknologi canggih, seperti komputer, mobil dan pesawat terbang. Kita dapat menjadi lebih makmur dan produktif dalam bidang apa saja. Seharusnya ini lebih mudah bagi kita untuk
melakukannya, mengingat kekayaan alam kita yang beraneka ragam dan melimpah. Masalahnya adalah bagaimana kita menghasilkan produk tersebut, bukan apa yang kita produksi. Penduduk Bali akan dapat lebih makmur melalui
parawisata,
jika dapat meningkatkan
pengeluaran rata-rata wisatawan mancanegara dari sekitar AS$ 100 per hari menjadi AS$ 400 per hari dengan memberikan pengalaman yang mengesankan
- hotel, pelayanan, atraksi dan citra
yang lebih baik.
Contoh lain, misalnya, adalah industri sepatu di ltalia dan industri jam di Swiss. Walaupun industri sepatu dan jam terkesan tidak dapat dijadikan landasan
untuk menciptakan kemakmuran masyarakat tetapi baik ltalia maupun Swiss menjadi kaya masing-masing dari industri sepatu dan jam. Sepatu ltalia dibuat 54
dengan cara khusus
-
dengan gaya dan rancangan yang berkualitas, merek yang
terkenal serta distribusi yang baik. Sehingga perusahaan ltalia dapat menjual sepasang sepatu seharga AS$ 150 dan mendukung upah dan laba yang tinggi. Negara-negara lain yang membuat sepatu dengan meniru produk ltalia tersebut,
tanpa didukung oleh keahlian dan kecanggihan yang dimiliki pengrajin di ltalia, hanya dapat menjual produknya jauh lebih murah. Pada gilirannya, tingkat upah buruh yang dibayar juga sangat murah
Contoh di atas secara nyata memberikan gambaran bahwa untuk membangun ekonomi yang makmur, tidak berarti kita tidak dapat mengembangkan industri tradisional atau kita harus beralih ke industri teknologi
tinggi/canggih. Yang penting adalah fokus harus diarahkan untuk meningkatkan
basis pokok kemakmuran, yaitu kapasitas produktif ekonomi. Jika kita dapat mendorong produktivitas melalui peningkatan keahlian dan teknologi, pada gilirannya kemakmuran akan meningkat. Di pihak lain, jika terdapat rintangan yang
menghambat peningkatan produktivitas dapat dikatakan bahwa kemakmuran bangsa hanya merupakan angan-angan. Bagaimana kita dapat membangun kemampuan produktif bangsa? Dalam hal ini, pemerintah mempunyai peran yang mendasar dalam membangun ekonomi
yang produktif dan akan dibahas kemudian. Tetapi, sejak awal perlu ditekankan
bahwa pihak swasta juga mempunyai peran yang sama dengan pemerintah. Sejauh ini, peranan Pemerintah lndonesia masih dominan dan memimpin di depan. Apalagi sejak terjadinya krisis, peranan Pemerintah menjadi lebih penting
lagi. Namun demikian, nantinya peranan langsung pemerintah secara bertahap harus berkurang dan digantikan oleh pihak swasta. Pemerintah dan swasta masing-masing
mempunyai peran berbeda tetapi saling terkait
dalam
membangun perekonomian yang berdaya saing.
lndonesia merupakan negara berkembang yang berpendapatan menengah bawah. Untuk meningkatkan kemakmurannya, negara-negara berkembang dapat
meniru produk bangsa lain dan memanfaaU
hanya meniru, memangkas biaya, dan melakukan restrukturisasi perusahaan tetapi harus mengembangkan kapasitas inovatif. 55
Strategi mengandalkan upah buruh murah tersebut telah kita lakukan sejak
kita mendorong promosi ekspor non-migas pada pertengahan tahun 1980-an. Untuk meningkatkan daya saing, kita memanfaatkan upah buruh yang jauh lebih
murah, kemudian meningkatkan penyediaan prasarana fisik dan meningkatkan keterampilan buruh. Namun sejalan dengan meningkatnya kemajuan, tuntutan terhadap peningkatan upah buruh terus meningkat. Sayangnya, tuntutan tersebut
tidak diimbangi oleh peningkatan keterampilan dan akhirnya
peningkatan
produktivitas. Kita melihat daya saing kita dari sisi upah buruh yang murah sejak pertengahan tahun 90-an mulai menyurut. Negara-negara seperti Cina, Vietnam,
Kamboja dan Bangladesh mampu menyediakan produk sejenis dengan upah buruh yang lebih murah dan disiptin buruh yang tinggi. Memang seharusnya Indonesia sudah naik tingkat, tidak hanya sekedar mengembangkan industri tukang jahit yang mudah ditiru.
Jelas satu-satunya cara guna membenarkan upah tinggi saat ini
bahkan upah yang makin tinggi
di
-
dan
masa depan sejalan dengan terus
meningkatnya UMP- adalah dengan menghasilkan produk dan jasa yang bernilai
tinggi dan tidak dapat dengan mudah dihasilkan oleh negara lain. Bertumbuhnya kemakmuran bergantung kepada kapasitas untuk berinovasi, dan menghasilkan
produk yang unik dan semakin bernilai sehingga pihak lain tidak dapat menghasilkannya atau akan menghasilkan produk tersebut namun tidak sebaik
yang kita hasilkan. Upah yang mahal tersebut perlu didukung produktivitas yang tinggi dengan menerapkan tingkat teknologi produksi yang semakin baik.
Semua hal tersebut di atas merupakan landasan ekonomi global modern
yang akan kita hadapi. Kalau kita gagal mengembangkan kapasitas ini untuk menjadi lebih produktil kesempatan yang terbuka akibat globalisasi akan hilang. Sebaliknya kita akan menghadapi ancaman dan kalah terhadap tekanan kekuatan pasar.
3.3 KINERJA DAYA SAING, MASALAH DAN TANTANGAN YANG DIHADAPI Bagaimana sesungguhnya daya saing kita saat ini? Masalah dan tantangan apa yang kita hadapi dalam meningkatkan daya saing?
56
3.3.1 Nasional
Dalam World Competitiveness Report 2001 terakhir disebutkan bahwa Indonesia di antara 75 negara yang disurvei oleh World Ecanomic Forum (WEn
berdasarkan ndeks Dayasaing Pertumbuhan (Grovvth Competitiveness lndex/GCl) yang lebih bersifat ekonomi makro berada pada peringkat ke-64. Sementara itu, berdasarkan Indeks Dayasaing Terkini (Current Competifiveness lndex/CCl yang didasarkan pendekatan ekonomi mikro, Indonesia menempati f
peringkat ke-55. Merosotnya peringkat Indonesia berdasarkan CCI disebabkan Indonesia tengah menghadapi prospek pertumbuhan yang menurun.
Sementara itu,
di antara keenam negara anggota ASEAN, pada
tahun
2001, lndonesia menduduki peringkat ke-6 untuk GCI dan peringkat ke-5 untuk
CCI (Lihat Tabel 1). Di samping itu, kalau dilihat dari negara-negara anggota APEC yang disurvei WEF tersebut, di antara 19 negara anggota APEC, Indonesia menempati peringkat ke-19 untuk GCI dan peringkat ke-16 untuk CCI (LihatTabel 2).
Tabel 3.1: Growth- and Current-Competitiveness lndex for Asean Peringkat GCI
Negara
Peringkat CCI
2000
2001
ASEAN
2001
2000
1
1
Singapura
1
I
2
2
Malaysia
2
2
3
3
Thailand
3
3
4
4
Filipina
4
4
5
6
lndonesia
5
5
6
5
Vietnam
6
6
Sumber: World Competitiveness Report 2001
57
Catatan. GCI (Growth Competitiveness Index) meliputi Technology Index, Public Institutions lndex dan Macroeconomic Environment Index.
CCI (Current Competitiveness lndex) mencakup Company Operations and Strategy dan Quality of the National Business Environment.
Tabel 3.2: Growth- and Current-Competitiveness Index for APEC Peringkat GCI
Negara
Peringkat CCI
2000
2001
APEC
2001
2000
1
1
Amerika Serikat
1
1
3
2
Kanada
4
4
2
3
Singapura
3
2
6
4
Australia
2
3
5
5
Taiwan
8
8
7
6
Selandia Baru
7
7
4
7
Hong Kong
6
6
8
I
Jepang
5
5
11
9
Korea
9
10
10
10
citi
10
I
9
11
Malaysia
11
11
12
12
Thailand
12
12
14
13
Cina
13
14
15
14
Meksiko
14
13
13
15
Filipina
15
15
17
16
Peru
19
17 58
18
17
Vietnam
18
19
19
18
Rusia
17
18
16
19
Indonesia
16
16
Sumber: World Competitiveness Report 2001
Jelas hal tersebut menunjukkan bahwa saat ini daya saing kita sangat rendah. Mengapa hal itu terjadi? Dalam periode 1986 1995, reformasi perdagangan berjalan dengan baik, dengan menurunnya rata-rata tarif. Penurunan
tarif besar-besaran dilakukan melalui Paket Mei 1995 (meliputi 64 persen pos tarif) dan yang juga mencakup jadwal penurunan tarif selama periode 1995 2003.
-
Pada tahun 2003, seluruh tarif, kecuali tarif komponen dan produk otomotif, maksimum hanya 10 persen, dengan sebagian besar tarif berada dalam ambang antara 0
-
5 persen. Dibanding negara ASEAN lainnya, tingkat tarif Indonesia
relatif rendah dan cukup kompetitif.
Namun dalam
lembaga-lembaga
hal
publik
struktur industri, kemampuan teknologi, kapasitas (termasuk transparansi, KKN dan koordinasi
kelembagaan), situasi ekonomi makro, daya dukung infrastruktur fisik, kapasitas corporate governance, serta kepastian hukum dan bisnis; maka kemampuan Indonesia relatif rendah.
Dalam hal daya saing di sector industri, kondisi industri Indonesia dewasa ini masih menghadapi masalah struktur, SDM, dan intensitas teknologi. Struktur industri Indonesia berdasarkan data BPS 1997 menunjukkan adanya ketimpangan dalam jumlah perusahaan skala besar-menengah dibandingkan perusahaan kecil-
rumah tangga
di samping ketergantungan pada tenaga kerja murah dan
sumberdaya alam. Kontribusi output industri besar-menengah sangat besar (Rp 264,27 triliun atau 90,99 persen), menyerap banyak tenaga kerja (40,65 persen) dan kecil populasinya (0,83 persen). Ketimpangan ini mengakibatkan ketimpangan dalam pertumbuhan kemampuan berusaha. Padahal, industri kecil-rumah tangga sangat besar populasinya (99,17 persen).
sDM
Menurut survai lnstitute for Management Development (lMD) tahun 1ggg, Indonesia masih menempati urutan terendah, yaitu posisi 44 untuk 59
penyediaan tenaga kerja berpredikat insinyur, posisi 46 dalam kerjasama teknologi
antarindustri
dan posisi 46 dalam kerjasama penelitian
antarindustri dan universitas. Untuk itu, penting bagi lndonesia untuk meningkatkan SDM dalam penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan iptek, termasuk pemanfaatan teknologi domestik dalam dunia usaha. Sementara itu, masalah umumnya adalah
relatif rendahnya kualitas SDM yang dipengaruhi oleh sistem pendidikan formal maupun pelaksanaan pelatihan kerja yang cenderung masih bersifat umum dan belum mengarah pada perkembangan kebutuhan dunia usaha.
Begitu pula, intensitas teknologi dalam produk ekspor terlihat bahwa sebagian besar produk ekspor Indonesia masih tergolong dalam kelompok teknologi rendah dan menengah-rendah (Kategori pengelompokan adalah Tinggi, Menengah-Tinggi, Menegah-Rendah, dan Rendah). Dengan demikian, pemerintah dan dunia usaha perlu lebih memperhatikan penerapan iptek dalam meningkatkan
dayasaing ekspor produk lndonesia di pasar internasional, khususnya di pasar ASEAN.
Untuk mencapai dayasaing internasional pada produk-produk sektor industri perlu upaya mentransformasikan keunggulan komparatif (upah buruh murah dan SDA) menjadi keunggulan kompetitif melalui peningkatan produktivitas.
Arah pengembangan industri ini adalah meningkatkan kandungan iptek, baik dalam proses maupun produk. 3.3.2 Daerah
Bagaimana kemampuan daya saing daerah ? Apabila dilihat perbandingan daya saing antar daerah, maka keadaannya menjadi lebih memprihatinkan. Banyak daerah
di lndonesia
yang saat ini masih belum siap sama sekali
menghadapi perubahan global. Banyak hambatan yang dialami berbagai daerah, sehingga mengalami kesulitan untuk meningkatkan daya saing ekonominya di
pasar global. Masalah utama yang dihadapi oleh daerah tersebut menyangkut
kualitas sumber daya manusia, ketersediaan infrastruktur, kelembagaan, khususnya Pemerintah Daerah, dan teknologi. Lebih parah lagi disparitas kemampuan daya saing antar daerah sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3 berikut yang menunjukkan perbandingan lndeks Pembangunan Manusia
(atau Human Development lndex)3 antardaerah pada tahun 1996 dan 1999, yang diterbitkan oleh BPS.
Selanjutnya, kita juga menghadapi hambatan yang timbul sebagai pelaksanaan desentralisasi yang belum berjalan seperti yang diharapkan. Konsekuensi dari desentralisasi adalah meningkatnya persaingan antar daerah.
Sayangnya, kemampuan Pemerintah Daerah dalam menghadapi persaingan
masih jauh dari memadai. Kemampuan menyusun kebijakan pembangunan, seperti kebijakan industri, pertanian, infrastruktur, pendidikan dan kesehatan, pengelolaan keuangan daerah dan lain-lain masih lemah, bahkan bertentangan dengan prinsip persaingan. Misalnya, dalam situasi PAD yang terbatas, perhatian Pemerintah Daerah
lebih tefokus pada upaya untuk meningkatkan PAD dengan berbagai macam pajak dan pungutan daerah tanpa memperhitungkan dampak jangka panjangnyaa. Selain hambatan pajak, muncul hambatan-hambatan yang mengurangi minat atau pergerakan sumber daya dalam bentuk peningkatan hambatan perdagangan
dan peningkatan hambatan pergerakan sumber daya manusia. Kecenderungan yang ada dari pelaksanaan desentralisasi yang baru seumur jagung ini adalah desentralisasi menjadi lebih diartikan sebagai kedaerahan, dalam bentuk "hasil daerah' dan "putra daerah". Lingkungan usaha yang tidak sehat tersebut akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan ketidakpstian usaha sehingga menghambat masuknya investasi
dan masuknya sumber daya unggulan ke daerah, yang pada gilirannya akan menghancurkan daya saing perekonomian daerah di tingkat nasional dan global.
Sejauh ini belum banyak daerah yang mampu mengembangkan insentif yang
diharapkan, yang dapat menarik masuknya para investor melakukah kegiatan usaha dan investasi. Selanjutnya, masih banyak pemerintah daerah yang belum siap melakukan
pengelolaan daerah berdasarkan prinsip-prinsip
good governance
yaitu
3
Indeks Pembangunan Manusia merupakan indeks komposit dari Indekas Harapan Hidup, Indeks Melek Huruf, lndeks Lama Sekolah, dan Indeks Biaya Hidup. Indeks ini melihat kebehasilan pembangunan secara komprehensif , yang mencerrninkan produktivitas. pemerataan, kesinambungan dan pemberdayaan.
6l
profesional, transparan, dan akuntabel. Padahal hal ini tidak hanya penting untuk
menentukan kemampuan daya saing daerah, tetapi juga survival daerah dalam
pelaksanaan otonomi daerah. Mismanajemen keuangan daerah akan menimbulkan kebocoran dan pemborosan keuangan dana yang terbatas.
Tabel 3.3: Indeks Pembangunan Manusia Menurut Propinsi 1996 dan 1999
Propinsi
1996
1999
DlAceh
69,0
61,1
Sumut
70,5
62.1
Sumbar
69,2
61,8
Riau
70,6
62,8
Jambi
69,3
60,8
Sumsel
68,0
57,8
Bengkulu
68,4
59,3
Lampung
67,6
59,4
DKI Jakarta
76,1
69,1
Jabar
68,2
60,8
Jateng
67,0
60,9
Dl Yogyakarta
71,8
65,4
- Sebagai contoh adalah Pajak Reklame Kabupaten Lampung Selatan, Pengendalian Perijinan dan Retribusi Limbah Padat Kabupaten Kerawang. Sumbangan Pihak Ketiga Kabupaten Tapin, Retribusi ljin Komoditi Ke Luar Propinsi Lampung, dan Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah Kabupaten Flores Timur.
62
Jatim
65,5
58,3
Bali
70,1
62,2
NTB
56,7
49,0
NTT
60,9
52,9
Kalbar
63,6
54,7
Kalteng
71,3
60,4
Kalsel
66,3
58,0
Kaltim
71,4
63,9
Sulut
71,8
63,7
Sulteng
66,4
55,7
Sulsel
66,0
58,9
Sultra
66,2
56,6
Maluku
68,2
61,0
lrja
60,2
52,3
Sumber: Biro Pusat Statistik
3.4
AGENDA NASIONAL UNTUK MENINGKATKAN DAYA SAING
Dengan melihat kinerja daya saing kita saat ini dan melihat tantangan globalisasi di masa depan, perlu semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) untuk segera melakukan tindakan nyata dalam rangka meningkatkan daya saing. Sesungguhnya visi nasional dan rencana tindak untuk meningkatkan daya saing
sudah tertuang dalam Propenas 2000-2004, namun demikian masih harus kita mantapkan lebih lanjut, terlebih lagi imptementasinya. Kita tidak dapat membangun daya saing nasional yang kuat dalam sekejap, mengingat kompleksitas masalah dan keterbatasan sumber daya yang kita miliki.
Untuk itu, diperlukan suatu tindakan yang sistematis, terencana dan bertahap 63
dalam jangka waktu yang panjang. Secara bertahap, kita perlu melakukan tranformasi perekonomian dari yang saat ini bersifat resource based menuju investment based
dan akhirnya inovation based. Langkah-langkah
tersebut
dituangkan ke dalam suatu Agenda Nasional untuk Menciptakan Daya Saing Nasional.
Agenda tersebut menurut jangka waktunya dibagi ke dalam mendesak, jangka pendek (1-2 tahun) menengah (3
agenda
- menengah (3-5 tahun) dan agenda jangka
- 5 tahun) - panjang (lebih dari 5 tahun). Dalam jangka pendek -
menengah, fokus diberikan pada upaya untuk memanfaatkan keunggulan komparatif secara optimal. Dalam jangka menengah - panjang, ingin diperkuat keunggulan komparatif tersebut menjadi keunggulan kompetitif. Dengan demikian,
daya saing yang tercipta dapat dipertahankan secara berkesinambungan untuk meningkatkan tingkat kemakmuran bangsa. Tindakan tersebut ada yang menjadi tanggung jawab Pemerintah, tetapijuga ada yang menjadi tanggung jawab swasta untuk melaksanakannya. 3.4.1 Agenda Jangka Pendek
-
Menengah (1 - 5 Tahun)
Dalam jangka pendek, peftama kali pemerintah harus segera melakukan tindakan nyata untuk menciptakan lingkungan ekonomi makro, politik dan hukum
yang handal dan stabil. Namun harus disadari bahwa terciptanya lingkungan ekonomi makro, politik dan hukum yang handal dan stabil tersebut baru merupakan keharusan (necessary condition) namun tidak cukup (nof sufficienf)
untuk menjamin tercapainya kemakmuran ekonomi. Kebijakan makro tersebut
tidak menciptakan kekayaan. Kebijakan tersebut hanya memungkinkan atau memudahkan perusahaan-perusahaan dalam menciptakan kekayaan, tetapi kemakmuran tidak akan meningkat jika landasan ekonomi makro tidak handal dan membaik. ;
Meskipun masih banyak yang harus diperbaiki, terlihat saat ini bahwa kondisi lingkungan ekonomi makro dan politik sudah lebih kondusif. Sebaliknya, kondisi lingkungan hukum merupakan "penyakit kronis" sejak dahulu, dan hingga
kini masih memprihatinkan. Upaya pembenahan di bidang hukum ini menjadi prioritas dan segera dilakukan.
harus
Langkah kedua adalah harus segera dibangun landasan ekonomi mikro
yang kuat. Pertama dan yang paling utama adalah sejak sekarang kita harus memperbaiki kapasitas perusahaan-perusahaan Indonesia, termasuk pelaksanaan
good corporate govemance.Inti kemakmuran ekonomi terletak pada kecanggihan operasional perusahaan-perusahaan di dalam negeri.
Ekonomi lndonesia tidak dapat menjadi produktif jika perusahaanperusahaan dan cabang-cabangnya di Indonesia tidak produktif. Kita tidak dapat terus mempertahankan perusahaan yang tidak efisien, baik itu perusahaan swasta
maupun perusahaan negara. Perusahaan yang demikian tidak hanya akan merugikan industri lain yang bergantung kepadanya untuk penyediaan input barang dan jasa tetapi juga akan memboroskan pemanfaatan sumber daya yang kita miliki, khususnya sumber daya alam.
Perusahaan harus menciptakan efektivitas operasional dengan mencapai best practice dari sudut pandang global. Selanjutnya, meningkatkan produktivitas
yang berkelanjutan memerlukan upaya yang lebih besar daripada sekedar asimilasi berbagai best practice tersebut. Secara bertahap, perusahaan harus dapat menciptakan besf practice-nya sendiri dan mengembangkan posisi strategis yang unik. Langkah ketiga adalah secara bertahap harus dibangun lingkungan usaha
ekonomi mikro yang baik
di
lokasi perusahaan tersebut bersaing, seperti ketersediaan sarana dan prasarana untuk melancarkan transaksi bisnis, ketersediaan tenaga kerja yang berkualitas sesuai kebutuhan, ketersediaan lembaga keuangan dalam negeri yang sehat serta kepastian peraturan di mana
perusahaan tersebut melakukan kegiatan usaha. Perusahan terbaik yang berupaya menerapkan teknik manajerial yang paling maju dan paling canggih pun
akan menghadapi kendala jika tidak memiliki lingkungan lokal/setempat yang sesuai. Dl sini peranan Pemerintah Daerah sangat penting untuk menciptakan lingkungan bisnis ekonomi mikro yang baik tersebut, yang meliputi input yang digunakan perusahaan, seperti SDM, prasarana fisik, prasarana iptek, modal, informasi komersial, aturan dan regulasi administratif. Semua ini merupakan input
krusial yang harus dihadapi setiap hari oleh pihak bisnis untuk menciptakan nilai
(value creation). Karena itu, secara bertahap, kualitas rata-rata SDM, kualitas 65
basis ilmiah, penyediaan sarana-prasarana fisik, lembaga keuangan dalam negeri dan sebagainya harus dapat diangkat. Lingkungan bisnis ekonomi mikro yang baik juga harus dapat memberikan kesempatan adanya persaingan, baik persaingan internal maupun eksternal. Kita
tidak dapat berharap suatu perusahaan mampu bersaing di luar negeri jika perusahaan tersebut tidak harus bersaing di dalam negeri, apalagi lokal di daerah. Kita tidak mau perusahaan kita hanya menjadi 'Jagoan" karena fasilitas. "Jagoan"
yang demikian hanyalah jagoan-jagoan kandang seperti kebanyakan konglomerat
kita di masa lalu. Sekarang, kita sudah memiliki UU Anti Monopoli sebagai landasan yang baik untuk terciptanya persaingan. Untuk itu diharapkan penerapannya secara konsisten dapat lebih diperkuat dan ditingkatkan lagi.
Sesungguhnya, pemerintah, termasuk pemerintah daerah, sebagai konsumen yang besar mampu mendorong persaingan internal melalui tata cara pengadaan barang pemerintah yang baik dan dengan menetapkan standar yang
tinggi. Pada saat ini, pengadaan barang pemerintah seringkali tidak ditetapkan berdasarkan tender yang benar dan lebih menekan aspek harga yang murah, daripada kualitas. Selanjutnya, untuk menciptakan ekonomi yang produktif juga harus mampu
diciptakan iklim dan perangkat insentif yang mendorong investasi secara agresif,
baik berupa investasi hard assefs seperti mesin-mesin dan bangunan, maupun investasi soft assefs seperti pelatihan, teknologi litbang, merek, dan jaringan pemasaran internasional.
Sementara itu, suatu perekonomian yang maju tidak hanya memerlukan perusahaan yang baik tetapi juga memerlukan konsumen yang mempunyai daya beli, kritis, serta tahu akan hak dan kewajibannya sebagai konsumen. Konsumen
yang demikian akan lebih mendorong perusahaan yang bersaing memberikan produk dan pelayanan yang terbaik serta terus melakukan inovasi, dan ini akan menjadi basis keberhasilan di pasar internasional. Karena ltu, Iangkah keempat adalah menciptakan suatu lingkungan di mana para konsumen rumah tangga dan
konsumen bisnis sadar dan secara kritis menuntut hak-haknya untuk mendapatkan yang terbaik. Untuk itu, pelaksanaan UU Perlindungan Konsumen yang telah kita miliki perlu terus diperkuat dan
ditegakkan. 66
3.4.2 Agenda Jangka Menengah - Panjang (lebih dari 5 Tahun) Dalam jangka menengah secara bertahap harus didorong tenrvujudnya struktur lingkungan bisnis dalam bentuk klaster, di mana keseluruhan unsur usaha
terkait dan saling mendukung satu dengan lainnya. Struktur klaster ini akan mendorong suatu perekonomian menjadi lebih produktif dan inovatif. Suatu klaster
tidak hanya sekedar suatu industri tunggal yang membuat produk tunggal, tetapi melibatkan berbagai industri yang terkait, para pemasok dan lembaga-lembaga yang keseluruhannya berada pada lokasiyang sama.
Di
berbagai negara maju, struktur klaster terbukti telah menciptakan perusahaan-perusahaan yang produktif dan inovatif. Sebagai contoh adalah klaster industri perkapalan di Norwegia, klaster industri anggur di California USA
(lihat Gambar terlampir), klaster industri pendidikan dan knowledge creation
di
Boston USA. Kalifornia memiliki sekitar 440 perusahaan minuman anggur dan sekitar 3000 petani anggur yang independen. Di samping industri pendukung
seperti industri botol, tong{ong anggur, dan permesinan anggur, perusahaan minuman anggur dan petani tersebut juga didukung oleh berbagai lembaga di berbagai bidang, termasuk industri wisata. Misalnya University of California, Davis,
merupakan salah satu pusat penelitian dan pengembangan teknologi pertanian anggur dan pembuatan minuman anggur termaju di dunia. Selain itu, berbagai
jurnal perdagangan khusus, majalah, dan newsletters meliput berbagai tulisan tentang industri anggur yang disebar ke seluruh dunia.
Selanjutnya, Norwegia merupakan negara kecil namun menghasilkan 10 persen dari seluruh transportasi kapal laut dunia. Negara ini sanggup bersaing
meskipun dengan tingkat upah yang tinggi. Negara ini tidak hanya memiliki perusahaan perkapalan. Tetapi juga berbagai industri dan pemasok yang berhubungan dengan perkapalan,
di
samping lembaga-lembaga yang sangat berspesialisasi, seperti asuransi, pengacara perkapalan, perbankan dan lembaga keuangan usaha perkapalan, dan lembaga pendidikan dan litbang maritim yang handal.
Dalam beberapa tahun mendatang, diharapkan sudah dapat disusun kebijakan klaster yang agresif, canggih. Untuk itu, investasi pemerintah yang besar tidak diperlukan. Pemerintah diharapkan bertindak sebagai dinamisator, 67
fasilitator dan regulator yang baik. Jika industri harus beralih ke tahap berikutnya,
yang diharapkan dari pemerintah adalah memahami apa saja kendalanya dan kebutuhannya serta memfasilitasi jalan keluarnya. Dalam jangka waktu yang lebih panjang untuk mencapai keunggulan kompetitif kita harus mendorong tercapainya inovasi. Sebagaimana kita ketahui, banyak perusahaan melakukan penelitian dan pengembangan (litbang) tetapi tidak
mudah mengubahnya menjadi inovator. Untuk itu, perlu dilakukan perubahan dari efektivitas operasional menjadi strategi, yang memerlukan kapasitas yang lebih besar dalam investasi lunak dalam hal litbang dan pelatihan.
Dalam kaitan itu, lndonesia perlu memulai investasi lebih besar untuk meningkatkan kapabilitas perusahaan melakukan kegiatan usaha yang memberikan nilai tambah yang terus meningkat. Untuk itu, pengembangan SDM harus menjadi prioritas. Pada dasarnya perlu diciptakan struktur dan sistem yang
secara substansial untuk meningkatkan kualitas dan kecanggihan SDM yang kita
miliki. Masalahnya adalah membangun sistem SDM yang benar-benar generatif memakan waktu satu dasawarsa. Selain daripada itu, universitas-universitas/PTPT kita belum termasuk klas dunia. Di samping itu, iptek juga merupakan prioritas,
dengan pentingnya inovasi. Kita juga perlu meningkatkan investasi dalam penelitian universitas/PT.
68
The California Wne Cluster
wirn*rigeqiDnrrt
r mcr rrr.
stal Gollnm.|tAgp|ch, Gg..
*lctcoon tlt
ot
wl.
lDd|etDtaxl bron'dt
c+raroco*r
'+'
I
I
I I I
PtDtbRtEtb|Ja|d I
A.turftbg
I
sptcbtErd ltDtFbl' I Gg.. Wh. specEDt I
m M Trd.
Biligr'
Rtr€|hlal neraalul. &Tri{lr a .o. wtra hrttt. lrc oatl, ci Ina r/ ttrilttt
oKElElbr
3-.r:Crb! Dr).arilrmr.xd,CrrtlluDl{larra abrr.at. a14,l. a!4.1. hr '.t.9lerrt.r.
lrd rdrd
ttBC tF.r.rta,
Jo
rlre!
I
Sumber: Michael Porter. 1998
3.5
PERANAN DAERAH DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING NASIONAL Dalam meningkatkan daya saing nasional, daerah (pemerintah, swasta dan
masyarakat) me4punyai peranan yang sangat krusial dalam mendukung agenda
nasional tersebut. Peranan daerah tersebut terfokus kepada lingkungan ekonomi
mikronya karena lingkungan ekonomi mikro merupakan tempat perusahaan beroperasi dan bersaing. Tanpa lingkungan ekonomi mikro yang baik, mustahil
diharapkan akan tumbuh, berkembang
dan
meningkat daya saing
daerah/nasional. Langkah-langkah yang diperlukan untuk meningkatkan daya saing nasional dalam kerangka perspektif daerah antara lain adalah sebagai berikut:
Agenda jangka pendek-menengah:
Peranan pemerintah daerah sangat penting untuk menciptakan lingkungan bisnis ekonomi mikro yang baik, seperti aturan dan regulasi administratif, serta perangkat insentif.
69
Terbentuknya perangkat peraturan yang jelas dan tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip ekonomi dan peraturan-perundang-undangan nasional, termasuk terciptanya standar pelayanan minimum untuk setiap pelayanan publik. Pengembangan good local governance. Pembangunan akan berhasil pada tingkat lokaljika pemerintah daerah memberikan governance yang baik dan efektif. Good local governance memberikan kesempatan masyarakat untuk
berpartisipasi aktif (mengemukakan pendapat, mengawasi pelaksanaan
dan mengembangkan peraturan yang dapat menjamin itas pegawai negeri. Good governance akan merangsang
pemerintahan) akuntabif
masyarakat untuk taat peraturan dan memenuhi kewajibannya. Dengan berjafannya waktu maka governance yang baik akan membangun frusf dan modal social. Peningkatan kemampuan SDM daerah, termasuk aparatur daerah. Untuk masyarakat dimulai dengan penerapan program wajib belajar 9 tahun serta
di daerah; dan peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat. Untuk aparatnya, peningkatan kualitas pendidikan menengah dan tinggi
Pemerintah daerah harus mulai membangun keahlian dan sumber daya
untuk menyediakan pelayanan publik berkualitas tinggi yang memenuhi kebutuhan konstituennya. Pengembangan sarana dan prasarana dasar, terutama yang fungsional dan quick yielding, dalam jumlah memadai.
Peningkatan partisipasi swasta dalam pembangunan daerah. Untuk mendorong partisipasi swasta ini maka pemerintah daerah harus menyusun regulasi yang menekan biaya transaksi dan hambatan untuk berusaha serta menjamin bahwa pengusaha tersebut memberikan layanan sesuai dengan
perjanjian. Pemerintah daerah sebagai konsumen potensial dapat mendorong persaingan internal melalui tata cara pengadaan barang dan jasa pemerintah yang baik di daerah dan dengan menetapkan standar yang
tinggi. Sampai sejauh ini, pengadaan barang dan
jasa
pemerintah di
70
daerah seringkali tidak ditetapkan berdasarkan tender yang benar dan lebih menekan aspek harga yang murah, daripada kualitas.
.
Selain peran pemerintah daerah, suatu perekonomian yang
maju
memerlukan konsumen yang mempunyai daya beli, kritis, serta tahu akan
hak dan kewajibannya sebagai konsumen, di samping perusahaan yang
baik.
Konsumen seperti
ini akan lebih mendorong perusahaan
yang
bersaing dalam memberikan produk dan pelayanan yang terbaik. Hal ini
saja akan menjadi basis keberhasilan di pasar internasional. Untuk itu, pelaksanaan UU Perlindungan Konsumen di daerah perlu terus
tentu
diperkuat dan ditegakkan oleh pemerintah daerah. Agenda jangka menengah-panjang.
Secara bertahap, terwujudnya struktur lingkungan bisnis dalam bentuk klaster harus didorong. Struktur klaster ini akan mendorong suatu perekonomian menjadi lebih produktif dan inovatif. Di samping itu, struktur klaster daerah harus bertumpu kepada pemanfaatan keunggulan komparatif. Selanjutnya, diharapkan keunggulan komparatif tersebut akan dapat diubah menjadi keunggulan kompetitif.
Untuk itu, dalam beberapa tahun mendatang diharapkan daerah (antar
daerah otonom dalam satu provinsi atau lintas provinsi), sudah dapat mengembangkan suatu kebijakan klaster industri sesuai dengan potensi sumber daya yang dimilikinya. Dalam hal ini, pemerintah daerah hanya bertindak sebagai dinamisator, fasilitator dan regulator yang baik. Jika industri harus beralih ke tahap berikutnya, yang diharapkan dari pemerintah daerah adalah memahami apa saja
kendalanya dan kebutuhannya serta memfasilitasi jalan keluarnya. Pemerintah
perlu mendorong pengembangan kemampuan teknologi dan
manajerial,
membangun kelembagaan yang dapat memfasilitasi, menyusun regulasi dan mengarahkan berfungsinya pasar dan mengembangkan intervensi strategis yang mengkaitkan aktivitas di berbagai sector yang saling mendukung dan menunjang.
Selanjutnya, dalam jangka panjang daerah harus dapat mengembangkan
SDM yang berkualitas didukung oleh lembaga pendidikan
di
daerah yang
mendorong berkembangnya inovasi-inovasi lokal yang berbasis potensi khusus di
masing-masing
daerah. Dalam hal ini
Pemerintah daerah perlu mendorong
7l
penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, pengembangan pusat penelitian dan pengembangan yang memadai serta perangkat peraturan yang memberikan insentif bagj upaya pengembangan SDM dan R & D, termasuk penegakan hak cipta.
3.6 PENUTUP
Globalisasi ekonomi dan desentralisasi merupakan fenomena dunia yang tidak terhindarkan. Keduanya mengandung peluang dan juga resiko, bahkan ancaman, bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan bangsa. Globalisasi dan desentralisasi pada dasarnya saling memperkuat serta dipandang dari sudut
pandang ilmu ekonomi memberikan konsekuensi yang sama yaitu semakin ketatnya persaingan dan meningkatnya ketidakpastian.
Semua bangsa bersaing ketat untuk memberikan lingkungan usaha yang paling produktif untuk kegiatan usaha. Dari lingkungan usaha yang produktif inilah
akan tercipta kegiatan usaha yang produktif, dan pada gilirannya daya saing nasional akan menjadi kuat. Ketatnya persaingan menuntut kesiapan sumber daya
manusia lndonesia dalam menghadapi pertempuran
di
berbagai arena
persaingan.
Meningkatnya ketidakpastian menuntut kehati-hatian dan fleksibilitas dan antisipasi yang cermat dalam melaksanakan kegiatan usaha. Dalam keadaan normal hal tersebut tidak mudah dicapai. Apalagi bagi Indonesia yang saat ini mengalami krisis multidimensi. Dengan demikian strategi khusus dan usaha
ekstra perlu segera dikembangkan agar Indonesia mampu menangkap peluang yang terbuka akibat globalisasi ekonomi dan desentralisasi.
Peristiwa krisis yang melanda dunia pada tahun 1980-an dan negara-
negara Asia pada tahun 1990-an telah menunjukkan bahwa
susunan
kelembagaan yang ada saat ini baik lokal, nasional dan internasional tidak lagi memadai untuk menghadapi permasalahan ekonomi di masa datang. Kita harus belajar dari pengalaman masa lalu. Jika tidak ada perubahan dalam cara kita
melaksanakan pembangunan maka krisis berikutnya akan selalu muncul,
seberapa besarpun sumber daya alam yang telah
kita habiskan untuk
membangun. 72
Tugas semua pihak adalah menyiapkan sumber daya manusia berkualitas
tersebut dalam kerangka
pembangunan ekonomi yang terpadu dengan
pembangunan sosial, dan pembangunan bidang lainnya serta memperkuat daya
saing nasional. Pembangunan nasional dan daerah harus bersifat holistik, berlandaskan basis yang meluas, partisipatif, dan atas dasar hubungan kemitraan antar berbagai stake-holders.
Untuk menciptakan daya saing nasional tidak mudah, perlu komitmen kita
semua untuk mewujudkannya. Urgensi permasalahan menuntut kita untuk menghindari keterlambatan dan kesalahan dalam langkah-langkah kita. Hal yang paling adalah bahwa pemerintah dan swasta mempunyai peran yang sama dalam membangun ekonomi yang produktif walaupun berbeda cakupannya.
t)
DAFTAR PUSTAKA
1. Abell, Peter, The Viability and Competitiveness of Parcipatory Firms Market Economic System, Working Paper, Interdisciplinary Institute
in of
Management, London School of Economics and Political Science.
2.
Aiginger, Karl, A Framework for Evaluating the Dynamic Competitiveness
of Countries, 1
Structural Change and Economic Dynamics, page 159-1g9,
998.
3. Akira, Kojima, The competitve Advantage of Nations, Japan Forum, July, 2002, http ://www.jef. or. p/en/iti/200207 0 1 t htm i
4.
Economic
I
Amit, Raphael; and Paul J. Shoemaker, Strategic Assets and Organizational Rent, Strategic Management Journal, Volume 14, page 33-46, 1993.
5.
Bates, Kimberly A; and E James Flynn, Innovation History and competitive
Advantage:
A
Resource-based
view Analysis of
Manufacturing
Technology Innovations, Academy of Management Journal, Special lssue Best papers Proceedings 1995, page 235.
6.
Bellak, christian; and Andreas weiss,
A Note on the Austrian "Diamond",
Management International Review, Volume 33, lssue 2, wiesbaden. Second Quarter 1993.
7.
Carland, James W.; JoAnn C. Carland; and James
W. Busbin, Nurturing
Entrepreneurship: Reconideration for Competitive Advantage, Advanced Competitive Research (ACR), Volume 5, No. 1,1997.
8.
chairatana, Pun-arj, The Economics of the Agro-lnnovation system (Als),
working Paper, IKE Group and DRUID, Department of Business studies, Aalborg University, Aalborg, Denmark, Secodn Draft, May 2000.
9. chakraborty, Kishore, sustained competitive Advantage:
A Resource-
based Framework, Advanced competitive Research (ACR), Vorume 5, No. 1
1,
997. 74
10.Cho, Dong-Sung, From national Competitiveness
to Bloc and Global
Competitiveness, Competitiveness Review, Volume 8, lssue 1, 1998. 11.Davis, Howard; and Paul Ellis, Porter's Competitive Advantage
of
Nations:
Time for the Final Judgement?, Journal of Management Studies; Volume 37:8, page 1 189
-
1213, December 2000.
12.Doryan, Eduardo A, An Institutional Perspective
Industrial Restructuring Policies
in
of Gompetitiveness and
Developing Gountries, Journal of
Economic lssues, Volume 27, lssue 2, Lincoln, Jun 1993. 13.
Dunning, John
H, Internationalizing Porter's
Diamond, Management
International Review, Volume 33, lssue 2, Wiesbaden, Second Quarter 1993. 14. Etttie,
John E, What Makes A Manufacturing Firm Innovative?, Academy of
Management Executive, Volume 4, No. 4, page 7 -20,1990.
15.Franke, Richard H.; Geert Hofstede; and Michael H. Bond, Cultural Roots of
Economic Performance: A Research Note, Strategic Management Journal, Volume 12,Page 165-173, 1991.
16.Garside, W.R., Industrial Policy
and the Development State: British
Responses to the Competitive Environment Before and After the 1970s, Business and Economic History, Volume 27, lssue 1, Williamsburg, Fall 1998.
17.Grant, Robert M, Porter's Competitive Advantage of Nation': An Assessment, Strategic Management Journal, Volume 12, page 535-548, 1991.
18.Fingleton, Eamonn, The Forgotten Merits
of
Manufacturing, Challenge,
Armonk, Volume 43, Number, 2, page 67-85, Mar/Apr 2000.
75
BAB 4
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI
4.1
PERKIRAAN TOTAL FACTOR PRODUCTIVITY Sejak awal tahun 1970 hingga sebelum terjadinya krisis ekonomi, Indonesia
mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, yakni rata-rata sebesar 6,8 persen per tahun. Dalam periode tersebut, sektor industri pengolahan menjadi
mesin pendorong perkembangan ekonomi seperti tercermin pertumbuhannya yang rata-rata mencapai lebih
dari 10 persen per
pada
tahun.
Berbagai kebijakan sektor riil telah membuka peluang bagi berkembangnya sektor
tersebut yang pada gilirannya mendorong proses perubahan struktur perekonomian nasional. Ini tercermin pada sumbangan sektor produksi terhadap produk domestik bruto (PDB). Pada awal tahun 1970 sumbangan sektor pertanian terhadap PDB masih lebih besar dibandingkan dengan sektor industri pengolahan. Namun, sejak awal tahun 1990-an sumbangan sektor industri pengolahan sudah
lebih tinggi dibandingkan dengan sektor pertanian. Ini berarti lndonesia telah memasuki tahapan sebagai negara industri baru. Namun demikian, perubahan besar terjadi sejak perekonomian nasional mengalami krisis pada pertengahan tahun 1997, yang diawali oleh krisis di sektor keuangan dan perbankan. Krisis ini terus meluas dan semakin mendalam sehingga kemudian menyebabkan macetnya hampir seluruh kegiatan sektor produksi. Dalam tahun 1998 lndonesia
mengalami resesi kegiatan ekonomi yang cukup dalam. Produksi nasional mengalami penurunan sebesar -13,2 persen, sementara sektor industri pengolahan mengalami penurunan sebesar 11,9 persen.
Sesungguhnya krisis keuangan
di beberapa negara Asia, termasuk
lndonesia, sangat sulit untuk diramalkan. Namun, apa yang menjadi penyebab terjadinya penurunan ekonomi di negara-negara tersebut termasuk perkiraan akan
terjadi krisis keuangan sudah beberapa kali dilakukan. Paul Krugman (1994), diantaranya, dengan menggunakan hasil penelitian Young (1992) mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi di negara-negara Asia Timur selama tiga 76
dasawarsa adalah terutama didorong oleh akumulasi kapital, peningkatan partisipasi angkatan kerja, dan perbaikan dalam kualitas tenaga kerja, bukan oleh peningkatan produktivitas. Dengan struktur seperti itu, maka tingkat pertumbuhan
di negara-negara tersebut pada akhirnya akan menurun. Meskipun pada saat itu Krugman tidak melihat akan munculnya krisis keuangan Asia, namun dia melihat bahwa keajaiban Asia (Asian miracle) akan berakhir. Krisis tersebut hanyalah mempercepat proses berakhirnya keajaiban Asia.
Pertumbuhan ekonomi yang tidak disebabkan oleh akumulasi faktor produksi, yaitu kapital dan tenaga kerja, dikelompokkan ke dalam total factor productivity (TFP) yang secara umum mencakup perubahan kualitas sumber daya manusia dan penguasaan teknologi. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan
TFP cukup beragam diantaranya adalah tingkat pendidikan, kesehatan, dan kebijakan pemerintah. Oleh karena itu sangat sulit mengukur perubahan yang terjadi pada TFP ini. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengukur TFP ini,
namun yang paling penting adalah bagaimana menginterpretasikan dan menganalisa hasil-hasil yang ada.
lndonesia, sebagaimana banyak negara-negara berkembang lainnya, sedang menuju
ke arah struktur negara industri baru. Krisis ekonomi
telah
menghambat proses tersebut karena banyak perusahaan terkena dampaknya. Pelajaran yang diperoleh dari krisis tersebut, yang juga menyebabkan krisis ini berkepanjangan, adalah ketidak-siapan dan ketidak-efisienan pranata ekonomi di
Indonesia. Kesemuanya itu, seperti yang diindikasikan oleh berbagai studi, tercermin pada perkiraan TFP Indonesia yang rendah. Sebagai contoh studi yang dilakukan Sarel (1997) memperkirakan bahwa dalam periode 1978-96 TFP di Indonesia adalah 1,16. Berbagai studi telah dilakukan untuk memperkirakan besarnya angka TFP, termasuk perbandingan antar negara. Ada beberapa hal yang dapat dipelajari dari
tulisan ini, yaitu: (i) bagaimana perkiraan TFP dilakukan dan perbandingannya di beberapa negara; (ii) perubahan struktur ekonomi yang terjadi di negara lain; (iii)
gambaran tentang hasil perhitungan TFP dan perubahan struktur ekonomi di lndonesia.
77
4.2 PEMBANGUNAN
DAYA SAING INDUSTRI NASIONAL
Kesejahteraan diciptakan, bukan diwarisi (Porter, 1980). Dalam iklim global
yang semakin terbuka, persaingan antara negara dalam
menciptakan
kesejahteraan bagi penduduknya akan semakin nyata dan keras. Kesejahteraan
tercipta melalui nilai tambah ekonomi dari barang / jasa yang dihasilkan masyarakat tersebut. Dalam perspektif ini, Porter mengatakan bahwa dalam persaingan negara menciptakan kesejahteraan, pelaku utama adalah perusahaan
bukan negara (Grant, 1991). Di unit usaha ini, nilai tambah diciptakan dan distribusikan ke masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Nilai tambah yang diciptakan melalui barang atau jasa akan terealisasikan bila barang-
atau Jasa yang bersangkutan berjaya di pasar, artinya berhasil merebut konsumen. Kalau tidak, nilai tambah yang terciptak menjadi mubazir, nilainya kembali nol. Kejayaan barang / jasa tersebut menunjukkan daya saing unit usaha yang menghasilkannya. Masyarakat Indonesia telah menyatakan tekadnya untuk ikut serta dalam penciptaan pasar global yang terbuka. Artinya, pasar dalam negeri akan terbuka bagi unit usaha dari negara lain dan sebaliknya pasar luar negerijuga terbuka bagi
unit usaha lndonesia. Dalam situasi pasar seperti ini, tingkat persaingan akan meningkat. Tuntutan daya saing usaha akan semakin nyata dan lebih keras. am kaitan ini, negara bertindak sebagai rumah cendong (home base) bagi unitunit usaha sebagi pemain utama persaingan antar negara. Di rumah inilah daya Daf
saing para pemain utama tersebut ditumbuh-kembangkan dan dipelihara. Dalam perekonomian modern, peranan negara semakin penting karena komponen pengetahuan dan teknologi dalam produk dan jasa yang diperdagangkan di pasar
semakin besar. Sehingga, pemerintah dituntut menciptakan iklim yang subur bagi penumbuhan daya saing unit usaha. Analisis dimulai pada level nasional dan turun ke level perusahaan yang selanjutkan disintesakan dalam mencari pilihan-pilhan kebijakan yang diperlukan.
Analisa level nasional ditujukan untuk mengetahui tingkat persaingan global dan regional dimana Indonesia punya andil. Alat analisa yang digunakan adalah 'Frye Forces" dari Michael Porter. Dari hasil kajian tentang tingkat persaingan ini akan diidentifikasi peluang-peluang dan ancaman yang akan dihadapi industri nasional. 78
Masih dalam level nasional, akan dikaji kekuatan-kekuatan (strength) dan kelemahan-kelemahan nasional dalam menghadapi masing-maing peluang dan
ancaman yang ada
di pasar global
ancaman dengan kekuatan
-
/ regional. Perpadanan antara peluang -
kelemahan akan dicari stratgi-strategi makro yang
diperlukan.
Analisa di level industri ditujukan untuk mengkaji kekuatan dan kelemahan masing-masing industri dalam hal kualitas sumber daya manusianya, kemampuan
menciptakan nilai tambah, kapasitas terpakai dan terpasang, penyebaran geografisnya, kualitas jaringan supplier dan induknya, serta kepemilikiannya. Dari analisa kajian ini akan diidentifikasi industri-industri yang potensial dikembangkan beserta kebijakan yang diperlukan.
Kajian
di level perusahaan, ditujukan untuk mengidentifikasi perilaku
strategis oleh perusahaan dalam menghadapi perusahaan. Perilaku strategis ini
akan dianalisa berdasarkan pada 'Resource-based Theory", yang selanjutnya diarahkan pada pilihan-pilihan strategis pengembangan teknologi. Dari hasil kajian
level perusahaan ini akan diidentifikasi pilihan-pilihan tindak lanjut yang diperlukan untuk menerapkan kebijakan yang telah di identifikasisebelumnya.
Sebelum kajian di ketiga level ini dilakukan, pada bagian awal akan didiskusikan kerangka analisa daya saing nasional. Diskusi ini dimaksudkan untuk mencari kerangka analisa yang tepat bagi kondisi Indonesia.
4.3 PENINGKATAN STRUKTUR DAN DAYA SAING SUMBER
DAYA
MANUSIA SERTA ILMU PENGETAHUAN . TEKNOLOGI Meskipun secara umum aspek sumber daya manusia telah menjadi bagian
sendiri dalam kelompok kerja yang lebih besar, namun pemahaman mengenai bagian dari SDM yang menjadi penggerak perekonomian lah yang menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara. Struktur tenaga kerja profesional merupakan penentu maju atau tidaknya produktivitas suatu negara. Kajian mengenai produktivitas tenaga kerja menjadi mendesak dilakukan mengingat begitu banyaknya isu yang terkait dengan tenaga kerja yang akan terimbas oleh berbagai pranata yang akan efektif bekerja dalam era perdagangan bebas.
79
Upaya-upaya pengembangan tenaga kerja professional dan terampil dapat
dipersiapkan melalui berbagai pendidikan dan pelatihan serta pengembangan ditempat kerja. Artinya, sampai saat ini, terbuka peluang dan prospek yang tinggi bagi penciptaan tenaga kerja professional dan terampil untuk memenuhi kebutuhan aktivitas-aktivitas perekonomian nasional. Pendidikan dan pelatihan pada dasarnya membawa situasi pada perbaikan sumber daya manusia (sDM).
Program pendidikan merupakan jalur peningkatan kualitas SDM yang lebih menekankan pada pembentukan kualitas dasar, misalnya kepribadian, kecerdasan, disiplin, kreativitas, dan sebagainya. Program pelatihan merupakan jalur peningkatan kualitas SDM yang lebih menekankan pada pembentukan dan
pengembangan profesionalisme
atau
kompetensi. Semenetara
itu,
pengembangan di tempat kerja lebih menekankan pada pengembangan aplikasi kompetensi SDM untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi. Pergeseran struktur tenaga kerja profesional dan ahli/terampil ditunjukkan
dari pergeseran struktur lapangan usaha (pertanian, manufaktur, dan jasa). Jepang, sebagai misal telah mencanangkan pergeseran struktur ekonominya (dan
berarti tenaga kerjanya) dari orientasi manfuktur ke jasa. Perencanaan jangka
panjang yang dapat mengakomodasikan perkembangan perubahan struktur tersebut merupakan sebuah kepentingan yang begitu nyata dalam meningkatkan daya saing bangsa kita.
Sejalan dengan terjadinya perubahan struktur lapangan kerja dan perubahan sumber-sumber pertumbuhan dari sumber primer ke efisiensi dan produktivitas, Juga terjadi perubahan teknologi dan ilmu pengetahuan. Bahkan
perubahan teknologi
ini
berjalan semakin cepat, sehingga membutuhkan tanggapan yang serba cepat dan tepat. Jelas kiranya bahwa terjadinya perubahan-perubahan yang cepat, khususnya di dunia kerja, mensyaratkan bahwa sistem pendidikan dan pelatihan memiliki ciri fleksibilitas yang lebih besar.
Meskipun disadari bahwa sistem pendidikan tidak bisa secara mudah diubah,
namun upaya-upaya guna menyesuaikan terhadap kebutuhan tenaga kerja khususnya tenaga profesionaldan terampil yang harus dipersiapkan sejak dini. Peranan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pertumbuhan digambarkan
Robert Solow dalam model pertumbuhannya. Teknologi ditengarai merupakan
salah satu faktor dominan dalam Total Factor Productivity (TFP). Dalam beberapa referensi, Total Factor Productivity (TFP) bahkan sering diekstrimkan sebagai "teknologi' ataupun 'kemajuan teknis". Untuk dapat melakukan analisa yang
tajam dan menghindari bias "black box" yang sering terjadi, perlu
pula
ditambahkan bahwa dalam model Solow tersebut, TFP merupakan faktor residual
(sisa) yang menerangkan practically semua hal di luar faktor aspek kuantitatif kapital dan tenaga kerja. Dengan kata lain, sesungguhnya TFP memuat faktorfaktor peningkatan kualitas pada kedua faktor lainnya, yailu labor dan kapital.
Dalam konteks khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi,
perlu
sebelumnya d'tjelaskan bagaimana peran teknologi dapat berkontribusi terhadap
sektor riil. Dalam berbagai model yang dikembangkan di bidang manajemen teknologi, diketahui bahwa pemaknaan teknologi tidak seluas cakupan sebagaimana yang digambarkan oleh model pertumbuhan Solow. Dalam wacana
manajemen teknologi, pemahaman teknologi dibatasi sebagai ,,hasil dari kegiatan penelitian yang terstruktur yang mampu menjawab permasalahan
teknis, dengan mengakomodasikan pengetahuan dan sumber daya yang dimiliki". Secara skematis, pendefinisian teknologi semacam itu ditunjukkan dalam gambar berikut ini: Pengetahuan Sains
Penyelesaian Masalah
+
t''-"Gtl Gambar 4.1: Lingkup Definisi Teknologi 8l
Dalam definisi di atas jelaslah bahwa teknologi bukanlah: (1) pengetahuan
(2) keterampilan tradisional turun temurun (craftmanship), dan (3) keahlian seni (artistik), dan pengetahuan lainnya yang didasarkan kepada individuaf,
pengalaman semata, serta (4) pengetahuan yang tidak secara langsung dapat diaplikasikan dalam kegiatan industri (seperti pengetahuan akuntasi, keuangan, pemasaran, dan sebagainya). Namun perlu pula dicatat bahwa pengelolaan pengetahuan pada suatu organisasi yang bersifat tacit knowledge merupakan
bagian penting dari manajemen teknologi, yang dikenal sebagai manajemen pengetahuan (knowledge managemenf). Sehingga pengetahuan semacam ini tetap dipandang sebagai aset yang diperhatikan dalam pengelolaan teknologi dalam suatu organisasi.
Berbicara mengenai peranan teknologi dalam produktivitas dalam konteks definisi di atas, menarik untuk mengutip Michael Porter yang menguraikan bahwa
daya saing teknologi suatu negara ditentukan oleh kemajuan teknologi pada tingkat perusahaan (dunia usaha). Dengan kata lain, dunia usaha merupakan
agen pembangunan teknologi yang dari fingertips merekalah produktivitas teknologi ditelurkan. Dua frasa kunci dari penjelasan beberapa definisi di atas adalah "peranan penelitian" dan "teknologi di dunia usaha". Pendefinisian di atas akan mengerucutkan semesta pembicaraan kontribusi teknologi bagi daya saing nasional dalam paper ini kedalam apa yang disebut sebagai "kapasitas litbang dunia usaha". Kapasitas tersebut dalam khasanah manajemen teknologi biasa diwakili oleh sebuah indikator yang dikenal sebagai business expenditure on research and development (BERD) yang secara fisikal menggambarkan kemauan
dunia bisnis untuk melakukan pembiayaan bagi kegiatan penelitian
dan
pengembangan di perusahaannya.
Tujuan tulisan ini adalah: (i) Menggambarkan keadaan makro yang lebih konkrit mengenai kondisi dan kegiatan tenaga-tenaga professional dan terampil pada jenis-jenis pekerjaan di berbagai sektor, sehingga berguna sebagai masukan
di dalam perencanaan
ketengakerjaan yang lebih tepat
dan terarah;
(ii)
Menganalisis implikasi dan kebijakan kebutuhan tenaga profesional dan terampil
sehubungan jenis-jenis pekerjaan yang dibutuhkan pada saat sekarang dan dimasa mendatang; (iii) Mengetahui kapasitas penelitian dan pengembangan di
dunia usaha, dan mengenali pola inovasi perusahaan dalam meningkatkan produktivitasnya; (iv) Menganalisis implikasi kebijakan intervensi pemerintah yang diperlukan untuk meningkatkan kapasitas teknologi dan inovasi perusahaan.
4.4 HUBUNGAN
KAUSALITAS ANTARA SEKTOR PERTANIAN, INDUSTRI,
JASA, DAN VARIABEL EKONOMI MAKRO LAINNYA
Secara umum telah dipahami dan dipercayai bahwa sektor pertanian memainkan peranan yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan ekonomi, khususnya dalam mendukung pertumbuhan perekonomian
di
negara
berkembang. Memang merupakan suatu kenyataan bahwa kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB) secara langsung
dalam perekonomian terus mengalami penurunan secara konsisten. Namun demikian, sektor ini tetap memiliki peran yang sangat strategis dalam pembangunan ekonomi suatu negara melalui: (1) kontribusi produk (product contribution), yaitu pemyediaan pangan, bahan mentah, dan faktor produksi bagi
pengembangan industri;
(2) keterkaitan produk (production linkages),
yaitu
keterkaitan dalam mendorong terciptanya berbagai aktivitas produksi baru, baik
yang bersifat keterkaitan ke muka (foreward linkages), maupun keterkaitan ke belakang (bacl<ward linkages); serta (3) penyediaan pasar yang potensial bagi produk barang-barang bukan pertanian.
Kerangka pola pikir yang boleh dikatakan sudah menjadi aksioma tersebut memicu daya kritis berupa pertanyaan yang perlu dijawab. Pertanyaan tersebut adalah: Apakah terdapat hubungan kausalitas antara keragaan sektor pertanian berkaitan dengan keragaan sektor lain atau variabel ekonomi makro lainnya? Bila memang ada, bagaimanakah sifat hubungan kausalitas yang terjadi?
Analisis mengenai adanya hubungan kasualitas antar berbagai sektor perekonomian merupakan hal yang sangat penting dalam proses perencanaan pembangunan ekonomi dan proses industrialisasi nasional. Dengan mengetahui informasi mengenai sifat kasualitas tersebut secara lebih akurat, para perencana akan bisa lebih mudah menyusun perencanaan strategis pembangunan ekonomi,
termasuk pula akan dapat menemukan kriteria dasar yang membantu proses perumusan arah kebijakan pembangunan ekonomi, serta menemukan titik-titik 83
intervensi kebijakan yang penting dan strategis. Dengan demikian penentuan arah
intervensi kebijakan akan terjadi secara lebih efisien dan memiliki dasar pijakan yang kokoh. Inilah tujuan utama dari analisis yang dilaksanakan dalam penulisan paper ini. Untuk dapat melakukan analisis hubungan kausalitas antar berbagai variable
ekonomi, pertama-tama disusun suatu model teoritis sederhana yang menggambarkan interaksi antara sektor di sisi produksi dan sektor di sisi konsumsi melalui mekanisme pasar. Dalam analisis ini sektor produksi terdiri atas
tiga sektor, yaitu sektor pertanian, sektor industri, serta sektor jasa-jasa. Sedangkan pada sisi konsumsi sebagai pengguna akhir produk sektor produksi
meliputi sektor konsumsi rumah tangga, sektor konsumsi pemerintah, serta perdagangan internasional. Aliran pergerakan barang dan jasa dari sisi produksi ke sisi konsumsi berlangsung dengan mediasi sistem pasar.
Model sederhana ini merefleksikan peluang adanya hubungan sebab-akibat
(kausalitas) antar berbagai aktivitas ekonomi tersebut. Dalam hal ini termasuk kemungkinan adanya hubungan kausalitas antar setiap sektor dalam sisi produksi atau sisi penawaran (supply srde) maupun hubungan antara masing-masing sektor
produksi dengan sisi permintaan (demand side) yang menggambarkan adanya saling hubungan antar sektor/variabel.
Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan kausalitas antar berbagai variable dilakukan analisis terhadap seri data produk domestik bruto (PDB) yang diterbitkan oleh BPS. Dalam hal ini analisis diawali dengan uji stasioner (stationary
test) pada setiap seri data untuk mengetahui tingkatan orde integrasinya. Pada tahap selanjutnya, diuji adanya keterkaitan atau hubungan antara satu variabel dengan variabel ekonomi lainnya dengan melakukan uji kointegrasi (co-infegration
fesf). Hubungan yang stabil (equilibrium) sepasang variabel dapat dipastikan ada apabila pasangan variabel tersebut terkointegrasi (co-tnfegrated). Hal yang paling penting dalam analisis ini adalah untuk mengidentifikasi arah hubungan kausalitas yang ada pada setiap pasangan variabel. Dengan diketahuinya arah hubungan ini,
akan dapat dilihat apakah suatu sektor mempunyai pengaruh yang signifikan dalam menentukan perkembangan variabel lainnya. Alat uji untuk mengetahui
84
arah hubungan sebab-akibat tersebut adalah Granger-causality fesf,
yang
dilakukan pada setiap pasang variabel ekonomiyang terkointegrasi.
Dengan diketahuinya arah hubungan kausalitas antarberbagai variabel ekonomi, akan diketahui peran penting dari masing-masing sektor dalam kaitannya dengan perkembangan sektor lainnya. Dengan demikian strategi atau kebijaksanaan yang paling sesuai untuk masa depan dapat diidentifikasi dengan
lebih baik dan lebih efisien, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar dalam memberikan arah perubahan struktur ekonomi dalam rangka peningkatan daya saing nasional.
85
DAFTAR PUSTAKA
4. Hewitt, Patricia, The Rt. Hon; Greating Competitive Advantage in
the
Knowledge Economy, Speech at Said Business School, University of Oxford, Tuesday, November 21, 20Q0.
5. Kazuyuki,
Motohasi, Spotlight on Japan's Competitiveness, part 1: Overall
Evaluation,
http://www.ief.or.ip/en/iti/200209
6.
Economic
Japan 01
Forum,
2002;
7.html
Krugman, Paul, Competitiveness: A Dangerous Obsession, Foreign Affairs, Volume 73, lssue 2, New York, Mar/Apr 1994.
7.
Lewis, Pam; and Howard Thomas, The Linkage Between Strategy, Strategic
Groups, and Performance in the U.K. Retail Grocery Industry, Strategic Management Journal, Volume
1
1, page 385-397, 1990.
8. Makino, Shige, MlTl Minister Kaoru Yosano on Reviving
Japan's
Competitive Advantage, Academy of Management Executive, Volume 13, No. 4, 1999.
9. Merrifield,
D. Eiruce, Changing nature of Gompetitive Advantage, Research
Technology and Management, January-February, 2000. 10.Osman-gani, A Ahad M, International Technology Transfer
for Competitive
Advantage: A Gonceptual Analysis of the Role of HRD, Competitve Review, Volume 9, lssue 1, lndiana, 1999. 11. Peng, Mike
W.; and Peggy Sue Heath, The Growth of the Firm in Planned
Economies in Trasition: Institutions, Organizations, and Strategic Choice, Academy of Management Review, Volume 21, No. 2, page 492-528,1996.
12.Porler, Michael
E., The Gompetitive Advantage
of Nations, Harvard
Business Review, March-April 1 990.
of Innovation: Regional Foundations of U.S. Competitiveness, Presented on National Cluster of lnnovation Meeting,
13.Porter, Michael E., Gluster
Washington D.C., December 13, 2001. 86
l4.Prahalad, C.K., The Role
of Core Competencies in the Corporation,
Research Technology Management, Washington; Vol. 36, lss. 6; pg. 40, B pgs; Nov/Dec 1993.
15.Price, Robert M, Executive Forum: Technology and Strategic Advantage, California Management Review, Volume 38, lssue 3, Berkley, Spring 1996.
l6.Sakakibara, Mariko;Michael E Porter, Competing At Home to Win Abroad: Evidence from Japanese Industry, The Review of Economics and Statistics; Volume 83, lssue 2, page 310
17.Sohal, Amrik
-
322, Cambridge; May 2001.
S.; and Bill Ferme, An Analysis of the South
Korean
Automotive, Shipbuilding and Steel Industries, Benchmarking for Quality Management and Technology, Volume 3, No. 2, 1996.
18.Teece, David J., Foreign Investment and Technological Development in
Silicon Valley, California Management Review; Volume 34, lssue 2, Berkeley; Winter 1992. 19.Tsang, Denise; National Culture and National Competitiveness: A Study of
the Microcomputer Component Industry, Advances in
Competitiveness
Research, lndiana, Volume 7, lssue 1, page 1-34.
20.Vest, Charles M; Technology, Innovation and Economic Progress, Speech of the President of MIT at Economic Forum of Baylor University on August 13, 2002, MIT News, August 23,2002. 21. Weihrich, Heinz,
Decision Making for Gaining A Competitve Advantage for
the Nation With the TOWS Matrix
-
An Alternative to Porter's Model
-
lllustrated by the People Republic Of Ghina, Innovatie Management. 19.Wilson, Peter; and Wong Yin Mei, The Export Gompetitiveness of ASEAN
Economies, 1986-95, ASEAN Economic Bulletin, Volume 16, No 2, August, 1
999
87
BAB 5
KAJIAN PERANAN PEMERINTAH DALAM STABILISASI PEREKONOMIAN 5.1
PENDAHULUAN Kegagalan mekanisme pasar untuk mengalokasikan sumber daya yang ada
di masyarakat secara efisien serta pendistribusian outputnya secara relatif merata
di masa lalu, menjadi pembenaran atas terjadinya intervensi pemerintah dalam perkonomian suatu negara. Pemerintah melalui fungsi regulator dan kemampuan
pengalokasian anggaran yang dimilikinya, mencoba mengatur agar pasar dapat
berjalan secara efektif. Peran tersebut semakin besar seiring dengan perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terjadi. Namun disisi lain semakin besarnya peran tersebut, menyebabkan jumlah
aparatur dan peraturan-peraturan yang mengatur perekonomian semakin besar
dan luas cakupannya, sehingga membutuhkan biaya yang semakin besar untuk mejamin pelaksanaannya. Ongkos tersebut harus ditanggung oleh masyarakat, baik melalui mekanisme pajak maupun pungutan, yang ternyata saling tumpang tindih sehingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Kondisi ini tidak dapat dipertahankan lagi, sehingga mendorong banyak negara melakukan deregulasi dan debirokratisasi agar perekonomian dapat berjalan efisien.
Pemerintahan yang kredibel, profesional
dan berwibawa dari waktu kewaktu semakin diperlukan keberadaannya. Semakin berkembangnya demokrasi dimasyarakat, pesatnya kemajuan teknologi informasi dan semakin dinamisnya aktivitas perekonomian, menuntut peran pemerintah yang lebih baik.
Disisi lain semakin maraknya tuntutan kenaikan upah buruh, semakin tingginya kesenjangan antar sektor, antar wilayah dan antar individu mendorong pemerintah
untuk dapat memperbaiki dalam pengambilan kebijakan yang
tepat.
Tuntutan
good governance juga datang dari dunia internasional, karena ketidakstabilan perekonomian disuafu negara akan berdampak terhadap negara lain.
di DPR dan MPR merumuskan atau keinginannya melalui GBHN. Kehendak masyarakat
Masyarakat, melalui perwakilannya kehendaknya
khususnya dalam kaitan ekonomi adalah terjadinya peningkatan pendapatan 88
(output) dan rendahnya pengangguran. Kedua kehendak tersebut akan meningkatkan kesejahteraan/kemakmuran. Pemerintah selaku eksekutif harus mampu menjalankan amanat tersebut melalui kebijakan publiknya dilapangan. Dengan keterbatasan sumberdaya, pemerintah harus melakukan pilihanpilihan/alternatif kebijakan. Apabila pemerintah tidak bisa merumuskan kebijakan
dengan tepat atau dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan
sehingga meleset dari target, maka akan menimbulkan instabilisasi dalam perekonomian.
Kebijakan publik untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan meminimisasi tingkat pengangguran didasarkan pada akuntabilitas GNP (Gross National ProducQ hanya dapat dicapai berdasarkan sumberdaya yang dimiliki oleh
suatu negara. Peran yang harus dilakukan pemerintah dalam mewujudkan kehendak publik dibagi kedalam tiga golongan yaitu alokasi sumberdaya yang efisien, distribusi pendapatan yang adil (equity) dan terpeliharanya stabilisasi perekonomian. Pengalokasian sumberdaya secara efisien menyangkut barangbarang publik yang tidak disediakan oleh pasar. Karena barang tersebut dibutuhkan oleh masyarakat dan terbatas, maka pemerintah harus mengambil peran (misalnya infrastruktur dasar). Distribusi pendapatan yang adil adalah
dimaksudkan
agar pemerintah mampu mengatasi kesenjangan
masyarakat, karena sistem pasar bebas tidak menjamin untuk
itu.
diantara
Stabilisasi
perekonomian dimaksudkan agar tercipta kepastian dimasyarakat, sehingga masyarakat dapat melakukan aktifitas berusaha sesuai dengan harapannya.
stabilisasi perekonomian dapat dicapai apabila pemerintah mampu melaksanakan kebijakan fiskalnya dengan baik. Artinya pemerintah mampu memelihara angkatan kerja tinggi (pengangguran rendah), tingkat harga yang stabil , tingkat sukubunga yang wajar, balance of paymenf dan pertumbuhan
yang memadai. Dengan perekonomian yang stabil maka pendapatan masyarakat akan meningkat dan pengangguran menurun sehingga tercipta
ekonomi
kesejahteraan sesuai dengan harapan masyarakat.
di atas, menyiratkan perlunya mencari format dan juga ukuran yang pas bagi peran pemerintah dalam perekonomian sesuai dengan perkembangan ekonomi masyarakat. Apabila pada saat yang lalu peran Paparan
89
pemerintah yang dominan mampu mendorong perekonomian secara signifikan, maka pada era perekonomian yang sudah berkembang seperti kondisi Indonesia
dewasa ini, peran pemerintah yang dominan tersebut justru menjadi kontra produktif untuk meningkatkan daya saing produk-produk lndonesia dalam pasar persaingan internasional. Upaya pencarian format dan juga ukuran yang pas tersebut perlu dilakukan mengingat sampai saat ini juga belum ada studi-studi yang mampu memberikan
arah indikatif yang jelas bagaimana sebaiknya peran pemerintah
dalam
perekonomian di suatu negara. Kondisi ini mengharuskan kita harus menelaah
sejarah perjalanan perekonomian secara utuh, baik sejarah perekonomian domestik maupun sejarah perekonomian negara lain. Kajian kesejarahan ini diharapkan mampu memberikan pemahaman yang baik mengenai peran pemerintah dalam perekonomian yang bersifat dinamis. Pemahaman ini kiranya
akan dapat membantu perumuskan peran pemerintah
di masa depan
dalam
perspektif jangka panjang. 5.2
ALASAN.ALASAN (RATIONALITAS) PERANAN PEMERINTAH DALAM PEREKONOMIAN
Apabila perkonomian suatu negara sepenuhnya diserahkan kepada pasar
bebas maka akan menimbulkan distorsi dan berantakan. Pemerintah tidak campurtangan artinya pasar bekerja secara penuh. Pelaku ekonomi yang bermain hanya produsen dan konsumen. Produsen berprilaku untuk memaksimumkan keuntungannya yang sebesar-besarnya sedangkan konsumen berprilaku untuk memaksimumkan kepuasannya. Dalam kondisi seperti itu, hanya produsen dan konsumen yang memiliki kemampuan yang kuat saja yang menang dalam persaingan. Sedangkan produsen dan konsumen yang lemah akan tersingkirkan. Untuk memaksimumkan keuntungannya produsen akan berusaha menekan
upah buruh yang serendah-rendahnya dan mematok harga jual yang setinggitingginya. Konsumen yang kaya tidak ada yang mau memperhatikan kelompok konsumen yang daya belinya lemah, karena kepuasan sikaya akan berkurang jika
hartanya dibagikan pada
simiskin.
Apabila dibiarkan berlarut kesenjangan
(distorsi) akan semakin melebar dan sangat berpotensi untuk menimbulkan kriminal itas
da
n akhirnya terjadi instabi litas. 90
Disisi lain infrastuktur dasar
( jalur
transfortasi dan keamanan) sebagai
prasyarat dasar terbentuknya iklim berusaha, tidak akan ada yang mau melamaksanakannya karena biayanya tinggi dan tidak menghasilkan untung. Apabila jalur transfortasi tidak ada yang mengusahakan mobilitas barang akan terhambat. Aktifitas ekonomi yang diganggu oleh kriminalitas yang tinggi juga
tidak akan berjalan. Hal-hal tersebut akan menyebabkan market
failure.
Oleh
karena itu peran pemerintah mutlak diperlukan. Dari penjelasan diatas jelas pemerintah mempunyai peranan sentral dalam mendukung aktivitas perekonomian suatu negara agar distorsi dapat diminimisasi,
terciptanya iklim berusaha dan masyarakat lemah dapat dilindungi sehingga kegagalan pasar dapat dihindarkan. Secara garis besar peranan tersebut diklasiflkasikan kedalam tiga golongan besar yaitu peranan alokasi, peranan distribusi dan peranan stabilisasi.
5.2.1 Peranan Alokasi Peran alokasi adalah peran yang harus diambil pemerintah dalam menyediakan barang yang dan jasa dipasar karena barang tersebut gagal disediakan oleh pasar sendiri (market failure). Barang dan jasa yang disediakan pemerintah karena swasta tidak bisa menyediakannya disebut barang publik.
Barang publik gagal disediakan pasar karena memiliki sifat-sifat non-exludable, non-rival dan non-divisible, sedangkan barang-barang swasta bersifat sebaliknya. Musgrave (1989), penyediaan barang publik kedalam stuktur ekonomi, bisa
dilihat dari bagaimana pemerintah menggunakan anggaranya dalam melakukan belanja yang dibedakan antara (1) belanja faktor produksi dan hasil produksi, (2) penyediaan barang untuk konsumsi dan investasi dan (3) penyediaan ke konsumen dan perusahaan. Pegawai negeri dan sekolah-sekolah negeri adalah merupakan contoh faktor produksi dan hasil produksi yang disediakan pemerintah. Pemerintah menggaji pegawai negeri dan meyediakan prasarana sekolah-sekolah
negeri membutuhkan anggaran rutin yang tidak sedikit. Setelah lulus sekolah sumberdaya manusia tadi segaian diserap kembali oleh sektor-sektor pemerintahan dijadikan pegawai negeri.
9l
Peralatan bersenjata, birokrasi, sarana transfortasi merupakan bagian dari anggaran pemerintah yang dikeluarkan untuk dikonsumsi oleh masyarakat dan
sekaligus proses capital formation dalam investasi. Barang-barang tadi bagi
sektor swasta lebih merupakan intermediate good. Dengan disediakannya fasilitas jalan raya dan iklim berusaha yang aman, akan mengurangi biaya perusahaan dalam menjalankan usahanya.
Proses pengalokasian barang-barang publik bukanlah hal yang mudah karena keterbatasan anggaran. Oleh karena itu diperlukan pemerintah yang kredibel yang mampu mengambil kebijakan-kebijakan yang
tepat. Prinsip
yang
dianut adalah efisiensi (pareto optimat) disatu sisi dan pertimbangan rasa keadilan
disisi
lain.
Seringkali pengambilan kebijakan ini merupakan trade-off artinya
seringkali ada pihak-pihak yang dikorbankan. Karena prinsif alokasi yang pareto optimatartinya seseorang tidak bisa menjadi better off tanpa membuat orang lain
worse
off.
Apabila prinsif pareto optimal tdak bisa dicapai policy maker, harus
berupaya mencari pareto improvement,
yaitu upaya
melakukan
perubahan/perbaikan alokasi sehingga membuat seseorang better off juga dan dampak korbanannyapun lebih kecil daripada mamfaat yang diperoleh. Seringkali
pemerintah juga harus mengambil langkah terbaik kedua
( fhe second besf ).
Pilihan penentuan alokasi akan mempengaruhi distribusi oleh karena
itu
pengoreksian terhadap distribusi pendapatan tidak terlepas dari alokasi-alkokasi sumberdaya yang dilakukan.
5.2.2 Peranan Distribusi Tanpa ada campurtangan politik, proses distribusi pendapatan dan kekayaan tergantung pada pemilikan faktor produksi, termasuk kemampuan perseorangan dalam memperoleh pendapatan sehingga terakumulasi menjadi kekayaan
.
Distribusi pendapatan melalui kepemilikan faktor produksi ditentukan
melalui proses harga faktor
, melalui
sistem pasar pendapatan
faktor
sama
dengan nilaidari marginal produk.
Distribusi pendapatan mungkin saja sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat, akan tetapi kemungkinan besar tidak sesuai. Pertimbangan yang
harus digambarkan adalah prinsif esisiensi faktor produksi sebagai input dalam kompetisi pasar bebas dan proporsi distribusi pendapatan dalam keluarga yang
harus dipenuhi melalui pasar bebas. Ini merupakan dua prinsif yang berbeda. Karena proporsi pendapatan untuk keluarga tidak mengacu kepada pasar bebas, tapi mengacu pada basic need yang harus dipenuhi. Penyesuaian yang dilakukan
harus berprinsif efisiensi biaya dan biaya harus
mengikuti aturan kebijakan
distribusi pendapatan. Kebijakan distribusi pendapatan harus mempertimbangkan philosofi sosial
dan hukum nilai. Menurut philosofinya distribusi pendapatan harus disusun bagaimana memaksimumkan kepuasan dengan standar keadilan yang ditentukan.
Ada dua masalah besar yaitu bagaimana menerjemahkan hukum keadilan kedalam distribusi pendapatan. Pertama adalah tidak mungkin untuk membandingkan tingkat kepuasan diantara individu karena sifatnya relatif. Kedua, adalah fakta di lapangan menunjukkan bahwa bagian dari pendapatan yang harus didistribusikan berbeda dengan bagaimana cara mendistribusikannya.
Oleh karena itu, seringkali pemerintah gagal dalam
melakukan
pengentasan kemiskinan (proyeknya jalan dan dananya habis tapi rakyatnya tetap
saja terbelenggu dalam kemiskinan bahkan cenderung semakin
banyak).
Masyarakat harus merumuskannya sendiri yang diinginkan tentang keadilan dimaksud, melalui perwakilannya. Selanjutnya pemerintah melalui kebijakan fiskal
dan moneter merubah keadaan masyarakat sesuai yang dinginkan. Berkaitan dengan itu terjadi pengalihan transfer sumberdaya dari masyarakat yang berpendapatan tinggi kepada masyarakat yang berpendapatan rendah.
Musgrave (1989), melalui manuver kebijakan fiskal, redistribusi income diimplementasikan secara langsung melalui (1) skema tax-transfer, merupakan kombinasi pajak progresif dari yang berpendapatan tinggi dengan subsidi kepada
rumahtangga yang berpendapatan rendah, (2) pajak progresif digunakan untuk membiayai pelayanan publik, misalnya bantuan perumahan bagi masyarakat yang berpendapatan rendah, (3) kombinasi antara pajak barang mewah bagi konsumen berpendapatan tinggi denga subsidi bagi konsumen berbendapatan rendah.
Pogue dan Sgontz (1978), mekanisme redistribusi ada beberapa cara diantaranya (1) transfer programs, (2) provision of goods and services dan (3) manipulation of market prices. 93
1. Transfer Programs Untuk kelompok masyarakat tertentu, pemerintah memberikan bantuan langsung berupa dana cash atau barang dan jasa. Misalnya bantuan pangan, obat-obatan, dan perumahan. Transfer program juga bisa dalam bentuk intergeneration transfers artinya orangtua membayar pajak, kemudian pajak tersebut didistribusikan kembali ke masyarakat berupa fasilitas pendidikan. Sehingga anak usia sekolah dapat mengenyam pendidikannya, terutama bagi anak-anak yang tidak mampu. 2. Provision of Good and Services
Pemerintah menyediakan barang atau jasa berupa barang publik. Dengan menggunakan barang publik tersebut, pendapatan masyarakat meningkat,
akibat nilai/kegunaan dari barang publik tersebut. Misalnya pembuatan dam akan mengurangi banjir didaerah yang biasanya terkena banjir, sehingga kepemilikan barang masyarakat setempat bisa didayagunakan. 3. Manipulation of Market Prices
Pemerintah dapat melakukan redistribusi income dengan mengubah harga pasar melalui (1) regulasi atau kontrol harga, output dan masuk kedalam
pasar, (2) subsidi, tarif dan
pajak. Harga bisa memanipulasi
sumber
pendapatan (upah, bunga, sewa) dan penggunaan pendapatan (harga produk). Contohnya adalah upah minimum, subsidi dan tarif serta pembatasan suplai. Upah minimum akan menaikan upah para pekerja. Subsidi kepada produsen
domenstik dan
tarif pada produsen
asing akan membantu industri dalam
negeri untuk berkompetisi. Sedangkan pembatasan suplai produksi dan faktor produksi tertentu akan menaikan harganya dan pendapatan pemiliknya juga akan meningkat.
5.2.3 Peranan Stabilisasi Perekonomian yang diserahkan sepenuhnya pada pasar bebas sangat rentan terhadap goncangan keadaan yang akan menimbulkan inflasi dan
pengangguran. lnflasi akan berdampak negatif terhadap daya beli masyarakat. Apabila inflasi tidak dikendalikan maka kemampuan masyarakat untuk 94
mendapatkan barang-barang akan semakin rendah (terutama masyarakat yang
berpenghasilan
tetap).
Negara yang perekonomiannya sering mengalami
guncangan akan menimbulkan ketidakpastian dimasyarakat dan berdampak
negatif terhadap pelaku bisnis dan akan meningkatkan pengangguran. Pengangguran yang semakin tinggi akan menyebabkan kerawanan sosial, menyebabkan semakin meningkatnya masyarakat yang miskin. Pemerintah perlu
campurtangan (intervensi) agar tidak menimbulkan dampak yang berantai (siklis) untuk menggerakan kembali perekonomian nasional. Keseluruhan tingkat harga dan angkatan kerja, tergantung kepada tingkat aggregate demand. Agregat demand tergantung pada potensi atau nilai kapasitas output dengan tingkat harga tertentu. Tingkat permintaan merupakan fungsi dari
keputusan pengeluaran dari jutaan orang konsumen, manager perusahaan, investor finansial dan lain-lain. Keputusan mereka tergantung kepada banyak
faktor misalnya pendapatan sekarang dan sebelumnya, posisi kekayaan, kredit yang mungkin diperoleh dan harapan kedepan.
Untuk periode tertentu, mungkin tingkat pengeluaran tidak sesuai dengan full empoyment yang ditargetkan. Atau karena berbagai macam alasan, misalnya upah dan harga cenderung kaku untuk turun, sehingga tidak terjadi penyesuaian secara otomatis. Maka diperlukan tindakan ekspansi untuk meningkatkan agregat
demand. Pada periode lainnya mungkin terjadi pengeluaran melebihi output pada full employment sehingga cenderung mengakibatkan inflasi. Dalam situasi ini diperlukan tindakan kontraktif untuk mengerem laju permintaan. Perubahan ekspektasi merupakan sebuah kekuatan yang bersifat dinamis juga berpotensi terhadap instabilisasi. Karena tidak ada kasus proses penyesuaian secara otomatis dimana angkatan kerja tinggi dan stabil, maka pemerintah harus ambil peranan.
5.3
PEMNAN PEMERINTAH DALAM STABTLISASI
5.3.1 Sisi Fiskal Kebijakan fiskal adalah kebijakan ekonomi yang digunakan pemerintah
untuk mengelola/mengarahkan perekonomian ke kondisi yang lebih baik atau diinginkan dengan cara mengubah-ubah penerimaan dan pengeluaran 95
pemerintah. Pemerintah membeli barang dan jasa, secara langsung berpengaruh terhadap agregat demand (yaitu total permintaan terhadap barang dan jasa yang diproduksi oleh perekonomian suatu negara). Untuk membiayai pengeluaran, dibiayai dari pajak dan pinjaman atau membuat transfer payment dengan individu,
pemerintah mempengaruhi permintaan
unit-unit rumahtangga dan
swasta,
secara tidak langsung mempengaruhi aggregat demand. Melalui kebijakan ini pemerintah dapat mempengaruhi agregat employment, output dan tingkat harga. Jadi dengan kebijakan fiskal, dana publik dikendalikan oleh pemerintah baik darisisi penerimaannya (collection) maupun pengeluarannya (disbursement).
Penerimaan pemerintah terutama berasal dari pajak (fax). Pajak dapat didefinisikan sebagai iuran wajib kepada pemerintah yang bersifat memaksa
(coercion)
dan legal (berdasarkan undang-undang), sehingga
pemerintah
mempunyai kekuatan hukum untuk mendapatkannya. Sebaliknya pemerintah
tidak mempunyai kewajiban untuk membalas jasa secara langsung kepada para pembayar pajak. Pengeluaran pemerintah adalah dana yang dibutuhkan pemerintah untuk menyediakan barang-barang publik, distribusi pendapatan dan
tindakan lain yang menimbulkan eksternalitas yang positif bagi aktivitas perekonomian. Kebijakan pemerintah dalam penerimaan dan pengeluaran dimuat
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan
misi
pertumbuhan, pemerataan dan stabilisasi (Trilogi Pembangunan). 5.3.1.1 Penerimaan Pemerintah.
Penerimaan pemerintah dari pajak harus dilaksanakan secara hati-hati karena akan menyebabkan pendapatan riil makin rendah atau harga barang makin
mahal. Oleh karena itu perlu diperhatikan dua aspek yaitu siapa yang membayar pajak (wajib pajak) dan siapa yang akhirnya menderita beban pajak. Aspek siapa yang membayar pajak (wajib pajak) yaitu pihak-pihak yang membayar suatu jenis pajak terdiri dari orang atau badan yang disebutkan dalam undang-undang pajak.
Aspek siapa yang menderita beban pajak belum tentu pihak yang membayar pajak. Karena pajak yang dikenakan pada suatu perusahaan /badan usaha, yang terkena beban bisa konsumen dalam bentuk kenaikan harga atau pemilik faktor produksi dalam bentuk penurunan penerimaan neto pemilik faktor produksi. Teori yang melandasi pihak yang menderita beban pajak disebut teori insidens pajak
(tax incidence theory). Konsep ini tergantung pada pola pengeluaran pemerintah,
yang dibagi menjadi insidens pajak absolut, insidens pajak anggaran berimbang, dan insidens pajak diferensial. Prinsip pengenaan pajak yang baik, dikemukakan oleh Adam Smith adalah
cannon of
taxation Dijelaskan bahwa sistem pajak harus memenuhi
kriteria misalnya
, keadilan,
beberapa
efisiensi, konstruktif, ability, dimengerti, sederhana,
pasti, dapat dilaksanakan dan dapat diterima. sedangkan dalam rangka menjungjung tinggi keadilan digunakan dua prinsif yaitu prinsif manfaat dan prinsif ability to pay. 5.3.1.2 Pengeluaran Pemerintah Pengeluaran pemerintah merupakan penrujudan dari kebijakan pemerintah
dan bagian dari kebijakan publik yang ditetapkan bersama-sama dengan DpR. Kegiatan ini mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk membeli barang dan jasa untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Pengeluaran pemerintah dapat dipandang dari sisi makro maupun dari sisi mikro.
Gorrerment prrchases .ard subsides to business
Indinct hrsinesstaxes fpayoll,corporde income,rnhe added, sales,
nctht, r-=\
gross
:> Gross lnvesment
,/
E:+
Business
Firms
1<-
---
./ ,/'
Factor payments (wageqintere$, tlev'ident
\
rerf, bginess lrarsfas)
Ilouseholds
savingF
Househdd t
Taxes paid bt persons
Business saring
\
ConsJmption Experditures
\
etc.l
^/
:
Gcnrernment Payroll, transfer
_/
(on waqpqinlere* rent, etc)
Ganrbar 1. Aliran Pendapatan, dampak paiak terhadap rumahtangga dan perusahaan. 97
Mangkoesoebroto (1999),
teori makro yang melandasinya ada
tiga
golongan yaitu (1) model pembangunan perkembangan pengeluaran pemerintah,
(2) hukum Wagner tentang perkembangan aktivitas pemerintah dan (3) teori Peacock & Wiseman. Model pembangunan tentang perkembangan Pengeluaran Pemerintah dikaitkan dengan pembangunan ekonomi, dibedakan dalam tahap awal, tahap menengah, dan tahap lanjut. Pada tahap awal investasi pemerintah terhadap total investasi besar, karena pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, transfortasi dan lain sebagainya. Pada
tahap menengah, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun investasi swasta sudah
semakin membesar. Pada tahap
ini peran
pemerintah tetap besar karena
hubungan antar sektor menjadi semakin rumit dan pemerintah dituntut untuk menjamin tersedianya fasilitas publik yang lebih berkualitas akibat market failure. Pemerintah juga harus melindungi buruh yang berada dalam
posisi lemah agar
dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.
Tahap selanjutnya aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan prasarana
ke pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari
tua,
program pelayanan masyarakat dan lain-lain.
Hukum Wagner yang mendasarkan teori pada teori organis mengenai pemerintah (organic theory of the stafe) adalah bahwa dengan bertumbuhnya perekonomian hubungan antara industri dengan industri, hubungan industri dengan masyarakat menjadi semakin rumit, maka potensi kegagalan pasar dan ekternalitas negatip menjadi semakin besar. Sejalan dengan itu maka peranan pemerintah secara relatif akan semakin meningkat pula. Sedangkan Peacock dan Wiseman mendasarkan teorinya pada pandangan
bahwa pemerintah selalu berusaha untuk memperbesar pengeluarannya sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah tersebut. Teori inijuga merupakan dasar dari
teori pemungutan suara. Teori ini lebih lanjut mengatakan bahwa masyarakat mempunyai tingkat toleransi untuk membayar pajak dan ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pajak secara semena-mena.
98
Dapat disimpulkan dari ke tiga teori tersebut pengeluaran pemerintah per
GDP dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan dengan grafik yang berbeda-beda.
Dalam teori mikro mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang menimbulkan permintaan barang publik dan faktor-faktor yang mempengaruhi tersedianya barang publik. Intereaksi
antara permintaan dan penawaran barang publik menentukan Jumlah barang publik yang akan disediakan melalui anggaran belanja. Jumlah barang publik
yang akan disediakan tersebut akan menimbulkan dampak
samping
(eksternalitas) positif terhadap barang lain (barang swasta), yang selanjutnya menggerakkan seluruh aktivitas perekonomian. Akan tetapi permintaan dan
penawaran barang publik dan swasta tersebut tergantung kepada kendala anggaran
(b u dg
et consfralnts).
5.3.2 Mekanisme Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal bertujuan untuk mengarahkan perekonomian ke kondisi
yang lebih baik yang berdampak terhadap keseimbangan ekonomi. Alat yang digunakan adalah penerimaan pemerintah melalui pajak (tax) dengan simbol T
dan pengeluaran pemerintah (G). Strategi yang dilakukan dibedakan menjadi anggaran berimbang dan anggaran tidak berimbang. Hasil yang dicapai dari kebijakan fiskal merupakan intereaksi (resultante) dari dampak pajak dan pengeluaran pemerintah terhadap output (Y).
Anggaran tidak berimbang dibedakan menjadi anggaran defisit (deficit budget) dan anggaran surplus (surplus budget). Anggaran defisit (kebijakan
fiskal ekspansif) adalah anggaran yang memang direncanakan untuk defisit, pengeluaran pemerintah direncanakan lebih besar dari penerimaan pemerintah
(T
ditempuh biasanya jika pemerintah ingin menstimulir pertumbuhan ekonomi, dilakukan pada saat kondisi ekonomi resesi. Dengan kebijakan ini diharapkan dampaknya terhadap pertambahan pendapatan lebih besar dibandingkan defisit pengeluaran yang direncanakan.
Dalam anggaran surplus, pemerintah merencanakan penerimaan lebih besar dari pengeluaran (TtG). Anggaran surplus (kebijakan fiskal kontraktif)
dilakukan bila perekonomian dalam tahap ekspansi dan terus memanas (overheating). Melalui anggaran surplus pemerintah mengerem pengeluarannya untuk menurunkan tekanan permintaan atau mengurangi daya beli dengan menaikan
pajak.
Pengaruh anggaran surplus terhadap output keseimbangan
adalah kebalikan dari pengaruh anggaran defisit. Anggaran berimbang (balanced budget) apabila pemerintah merencanakan
pengeluaran sama dengan penerimaan
(G=T). Dalam
kebijakan anggaran
berimbang hal yang ingin ditempuh adalan peningkatan disiplin dan kepastian anggaran. Kebijakan fiskal dapat efektif bila mampu mengubah tingkat suku bunga
(0 dan atau output
sesuai dengan yang dinginkan pemerintah. Pengaruh
kebijakan fiskal terhadap output keseimbangan, diawali pengaruhnya terhadap keseimbangan pasar barang dan
jasa.
Dampak pengeluaran pemerintah yang
ekspansif, menyebabkan kurva lS bergeser ke kanan, pada tingkat bunga yang
sama, menyebabkan output keseimbangan bergeser ke kanan.
Dampak
anggaran defisit menyebabkan kurva lS bergeser ke kiri, pada tingkat bunga yang
sama menyebabkan output keseimbangan bergeser ke
kiri.
Kebijakan ini efektif
jika didukung oleh sektor moneter, karena sulit mempertahankan suku bunga yang
tetap pada kondisi sektor fiskal yang berubah. Oleh karena itu perlu dipahami kebijakan disektor moneternya.
5.3.3 Sisi Moneter Kebijakan moneter adalah upaya pengendalian atau mengarahkan perekonomian makro ke kondisi yang diinginkan (lebih baik) dengan mengatur jumlah uang beredar. Kondisi yang lebih baik dimaksudkan adalah terjadi peningkatan output keseimbangan dan atau terpeliharanya stabilitas harga (inflasi
terkontrol). Melalui kebijakan moneter pemerintah dapat
mempertahankan,
menambah atau mengurangi jumlah uang beredar dalam upaya mempertahankan kemampuan pertumbuhan ekonomi, sekaligus mengendalikan inflasi.
Jika yang dilakukan adalah menambah jumlah uang beredar, maka pemerintah menempuh kebijakan moneter ekspansif (monetary expansive) dan
jika jumlah uang beredar dikurangi, pemerintah menempuh kebijakan moneter kontraktif (monetary contractive atau tight monetary policy). Ada tiga instrumen utama yang digunakan untuk mengatur jumlah uang beredar yaitu operasi
p.ffi;
terbuka (open market operation), fasilitas diskonto (drscount rate) dan rasio cadangan wajib (reserue requirement ratiol.
Operasi pasar terbuka adalah pengendalian jumlah uang beredar dengan
cara menjual atau membeli surat-surat berharga milik pemerintah (government secun?ies). Jika diinginkan mengurangi jumlah uang beredar, maka pemerintah menjual surat-surat berharga (open market selling) sehingga uang yang ada dimasyarakat mengalir ke otoritas moneter. Jika pemerintah ingin menambah
jumlah uang beredar, maka pemerintah membeli kembali surat-surat berharga tersebut (open market buying). Guna mengefektifkan operasi pasar terbuka, maka pemerintah menambah fasilitas repurchase agreement (repo) kemasing-masing instrumen, dikenal dengan SBI repo dan SBPU repo.
Tingkat bunga diskonto adalah tingkat bunga yang ditetapkan pemerintah
kepada bank umum yang meminjam uang ke bank sentral. Dalam kondisi
tertentu bank-bank mengalami kekurangan uang, sehingga mereka harus meminjam ke bank sentral. Kebutuhan ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengurangi atau menambah jumlah uang beredar.
Penetapan rasio cadangan wajib dapat mengubah jumlah uang beredar.
Untuk mengurangi jumlah uang beredar dimasyarakat pemerintah juga dapat meningkatkan rasio cadangan wajib dan sebaliknya. Kebijakan lain yang juga bisa
dilakukan pemerintah agar uang beredar terkendali yaitu dengan imbauan moral (moral persuasion).
5.3.4 Mekanisme IS-LM Dalam Stabilisasi Perekonomian dikatakan telah mencapai keseimbangan apabila pasar barang dan jasa, pasar uang-modal berada dalam keseimbangan. Pasar barang
dan jasa diwakili oleh kurva lS dan pasar uang-modal diwakili oleh kurva LM. Kurva IS.LM ini merupakan alat kebijakan pemerintah dalam stabilisasi
perekonomian. Berada dalam keseimbangan artinya kurva lS dan kurva
LM
titik. Pada titik keseimbangan IS-LM output (Y) dan suku bunga ( r ) tertentu. Apabila diluar titik itu berarti kondisi perekonomian tidak berpotongan dalam satu
berada dalam kesetimbangan. Bentuknya bisa ekses suplai atau ekses demand.
Pemerintah mempunyai peranan penting untuk mengembalikan kondisi 101
perekonomian ke kondisi keseimbangan agar tercipta kepastian beraktivitas di kalangan masyarakat. Pemerintahpun mempunyai kekuatan untuk mendorong perekonomian ke keseimbangan baru dimana kondisinya menjadi lebih baik dari
kondisiyang pertama, melalui mekanisme lS-LM tadi. Misalnya, dalam kebijakan fiskal yang ekspansif, menyebabkan kurva lS bergeser kekanan dengan harapan terjadi peningkatan output keseimbangan (Y)
.
Tetapi meningkatnya pengeluaran pemerintah juga menyebabkan meningkatnya pengeluaran secara agregat. Naiknya pengeluaran agregat, meningkatkan keinginan sektor swasta untuk meningkatkan investasi. Naiknya investasi, apabila
tidak disertai peningkatan pemberian kredit dari sektor moneter (LM tetap) akan menyebabkan naiknya harga investasi dengan kata lain suku bunga (r) meningkat. Naiknya suku bunga maka sebagian investasi gagal karena biayanya menjadi lebih
mahal. Karena investasi meningkat tidak sesuai dengan yang
diharapkan, akibat kekakuan sektor moneter menyebabkan pertumbuhan output
tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kondisi seperti ini disebut crowding out effect.
Oleh karena itu kebijakan fiskal tidak bisa berjalan sendirian. Artinya kebijakan fiskal ekpansif tadi harus diikuiti atau dibarengi secara simultan dengan kebijakan moneter yang ekspansif pula agar suku bunga terjaga dan pertumbuhan
r02
ekonomi bergeser Suku Bunga (r
ke
keseimbangan baru sesuai dengan yang diharapkan.
) LMo
------+
r1
Pendapatan Nasional
G amb
ar 2. Melcanisne Kombinasi Kebij akan Fidcd rlan l!fion eter Ekp ansif
5.4 KESIMPULAN
l.
Pemerintah memegang peranan penting dalam perekonomian suatu negara. Dengan semakin modernnya aktivitas perekonomian disuatu negara, semakin
kompleksnya permasalahan ekonomi, dan semakin tingginya distorsi (gap), dituntut pemerintahan yang kredibel, profesional dan benrvibawa sehingga dapat memenuhi harapan publik.
2. Peranan
pemerintah dalam suatu perekonomian digolongkan sebagai peran
alokasi, distribusi dan stabilisasi. Dalam ketiga peranan tersebut, pemerintah diharapkan mampu mengambil kebijakan-kebijakan publik yang tepat, agar mampu menciptakan angkatan kerja yang tinggi dan tingkat harga yang stabil, sehingga mendorong aktivitas perekonomian yang kondusif. 103
3.
Kebijakan fiskal yang defisit, surplus
dan berimbang yang
dilakukan
pemerintah melalui APBN dengan instrumen pengeluaran pemerintah (G) dan
pajak (T) adalah untuk memenuhi tiga peran pemerintah dalam perekonomian yang disesuaikan dengan kondisi riel. 4. Kebijak fiskal melalui Instrumen lS harus dipadukan dengan kebijakan moneter
melalui instrumen LM, agar langkah-langkah pencapaian target perekonomian bisa dicapai dengan efektif. 5.
Perekonomian
yang stabil bisa dicapai, apabila pemerintah
mampu
memelihara target-target angkatan kerja yang tinggi, tingkat harga yang stabil, tingkat sukubunga yang wajar, balance of payment, dan pertumbuhan ekonomi yang wajar. 6.
Terpeliharanya perekonomian yang stabil, pendapatan masyarakat secara
agregat akan meningkat. Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, maka secara keseluruhan kesejahteraan masyarakat suatu negara meningkat.
104
DAFTAR PUSTAKA
1.
Cullis
J, and P. Jones, Public Finance and Public Choice Analitical
Prespectives. Mc Graw-Hill Book Co., London, 1992.
2.
Djojohadikusumo, S, Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta. 1991
3.
Galbraith, J.K., A History of Economics. Penguin Books. London. England, 1987.
4.
lkhsan, Makhyudin, Statistik Makroekonomi, PAU-EK-Ul, Jakarta, 1992.
5.
Just, E.R., Hueth, L. D. and Schmitz, A., Applied Welfare Economics and
Public Policy. Prentice Hall. USA, 1982.
6.
Kamaludin, R., Pengantar Ekonomi Pembangunan. FEUI. Jakarta, 1998, Luis Catao and Marco Terrones, Fiscal Deficits and lnflation:
A
New Look at
the Emerging Market Evidence, IMF Working Paper, WPl01n4, May 2001
7.
Mangkoesoebroto, G, Ekonomi
Publik. BPFE. Yogyakarta.
.
Indonesia,
1999.
8.
Myles, G.D., Public Economics. Cambridge University Press. USA, 1997.
9.
Pogue, T.F. and Sgontz, L.G, Government And Economic
Choice. An
Introduction to Public Finance. University of lowa. USA, 1978
10.
Nigel Chalk and Richard Hemming, Assessing Fiscal Sustainability in Theory and Practice, IMF Working Paper, WP/00/81, April 2000
11. Oliver
Branchard cs, The Sustainability
of Fiscal Policy: New Answer to
an Old Question. OECD Economic Studies No. 15. Autum 1990
12. Romer,
D, Advanced macroeconomices. The
McGraw-Hill.
California,1996.
13. Tambunan, T, Perekonomian Indonesia (Beberapa lsu Penting). f
Ghalia
ndonesia. Jakarta. 2001.
105
14. William Buiter, Measuring Fiscal Sustainability, lMF, August 1995
106
BAB 6
SISTEM FINANSIAL INDONESIA
6.1
KONDISI SISTEM FINANSIAL INDONESIA SAAT
INI DAN
PER-
MASALAHANNYA
Di Indonesia, sektor keuangan mencakup tiga subsektor. Pertama, sistem perbankan, merupakan subsektor terbesar, saat ini masih dalam kondisi sakit dan sedang dilakukan restrukturisasi. Kedua, pasar modal yang meliputi pasar saham
dan pasar obligasi. Dan Ketiga, sektor lembaga keuangan non-bank
seperti
asuransi, dana pensiun, koperasi, dan lembaga keuangan non-bank lainnya.
6.1.1 Sistem Perbankan Nasional
Krisis keuangan yang terjadi tahun 1997 telah
diupayakan
penyelamatannya dengan berbagai proses. Pertama, konsolidasi untuk meningkatkan efisiensi bank dengan cbra penutupan (70 bank), penggabungan beberapa bank (15 banks) dan pengalihan kepemilikannya kepada pemerintah (13
bank). Kedua, diberlakukannya program penjaminan dan rekapitalisasi. Ketiga, dibentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasionaf dengan tujuan untuk melakukan
penyehatan
dan restrukturisasi perbankan nasional. Ketiga, dilakukannya
restrukturisasi perusahaan. Walaupun langkah-langkah tersebut telah ditempuh, namun berbagai permasalahan yang sangat mendasar belum dapat diatasi.
Tiga permasalahan yang mempengaruhi rentannya perbankan nasional adalah sebagai berikut. Pertama, lemahnya sistem peraturan yang berkaitan dengan perbankan dan sektor keuangan. Pertumbuhan sektor perbankan tidak diikuti dengan law enforcement dari prinsip-prinsip kehatian-hatian, disamping masih kurang efektifnya pengawasan terhadap perbankan. Kedua, lemahnya corporate govemance sektor perbankan yang disebabkan oleh lemahnya etika para pemegang saham mayoritas bagi pengembangan bank yang bersangkutan.
Ketiga, adanya efek dari gelombang internasional untuk terjadinya integrasi keuangan global.
'
Termasuk penggabungan 5 bank menjadi bank patriot, 2002.
107
Sesungguhnya melalui bangsa lndonesia telah paham terhadap hadirnya permasalahan utama sebagaimana disebutkan diatas. Namun yang menjadi isu
adalah cara-cara yang dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Beberapa isu yang berhasil diidentifikasi adalah sebagai berikut: 1.
Tidak adanya konsensus dari upaya penyembuhan sistem perbankan. Salah
satu penyebab lambatnya recovery progress adalah tidak adanya konsensus antara pembuat keputusan, para analis dan DPR. Kurangnya koordinasi antar instansi yang bertanggung jawab dan berwenang dalam sektor keuangan dan perbankan. 2.
Sukarnya mewujudkan suatu konsolidasi institusi pengawas jasa keuangan. Pendirian Otoritas Jasa Keuangan berjalan lambat disebabkan oleh sukarnya merancang penggabungan antara fungsi-fungsi yang selama ini telah melekat pada Bank lndonesia, Bapepam, dan Departemen Keuangan.
3.
Masih berbeda cara pandang terhadap obligasi rekapitalisasi. Obligasi rekapitalisasi sejumlah Rp. 430 triliun masih melekat pada bank-bank rekap. Kebijakan pemerintah berupa divestasi bank-bank rekap mengandung polemik.
2
alternatif yang dapat diambil adalah divestasi dilakukan dengan obligasi
pemerintah tetap melekat padanya atau menarik obligasi pemerintah terlebih dahulu sebelum divestasi dilakukan.
4.
Berbeda pandang terhadap bank lending.
5.
Arah sistem perbankan dimasa depan. Yang paling popular di lndonesia, arah perkembangan perbankan cenderung bergeser dari nasional bank ke arah regional bank. Berkaitan dengan arah perbankan dimasa depan, timbul pula pendapat mengenai perlu adanya bank landscaping dan blueprint perbankan.
6.1.2 Pasar Modal Dalam Negeri lsue pasar modal dimasa mendatang adalah apakah pasar modal dapat menjadi alternatif pendanaan pembangunan baik sektor swasta maupun publik. Dengan demikian, fokus lebih dititik beratkan pada pasar hutang baik obligasi korporasi maupun obligasi pemerintah.
108
Permasalahan dalam pasar obligasi yang telah diidentifikasi adalah sebagai berikut:
1.
Pengembangan pasar sekunder bagi obligasi pemerintah.
Sesungguhnya dengan telah tersedianya obligasi pemerintah
di
pasar
sekunder sebesar Rp. 411 triliun dan telah adanya peraturan yang melandasi perdagangan obligasi perintah di pasar sekunder, seharusnya pasar sekunder
telah dapat beroperasi. Namun ternyata minat investor terhadap instrumen ini tidak sebaik minatnya terhadap obligasi korporasi.
Salah satu cara untuk meningkatkan minat masyarakat pada obligasi pemerintah adalah dengan menyempurnakan peraturan perpajakan. Dalam peraturan pasar modal, terdapat instrumen-instrumen yang dibebaskan dari beban pajak, seperti reksa dana. Perbedaan perilaku ini perlu dikaji kembali.
2.
Kapasitas penyerapan pasar pada obligasi pemerintah.
Obligasi Pemerintah lndonesia memiliki fungsi sebagai instrumen penyelamat perbankan nasional (hutang dalam negeri) dan secara bersamaan dituntut pula sebagai penggerak pasar obligasi dalam negeri. Sebagai hutang dalam negeri jumlah total obligasi pemerintah dalam hal ini khusus obtigasi rekap (Rp. a30
triliun) dirasakan sangat membebani keuangan negara dan pelunasan beban jatuh temponya hingga kini diatasi dengan pembayaran tunai dan penerbitan obligasi baru di pasar.
Dari sudut pandang pengembangan pasar sekunder obligasi pemerintah, solusi ini sangat tepat. Namun permasalahannya adalah adanya kekhawatiran pada daya serap pasar terhadap besarnya nilai penerbitan baru dari obligasi pemerintah tersebut.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, diperoleh beberapa temuan sebagai berikut:
1.
Karakteristik obligasi pemerintah yang secara teori dipercaya sebagai risk free
investment ternyata tidak sepenuhnya berlaku pada kasus lndonesia. Besarnya nilai nominal dari obligasi rekapitalisasi dimana jatuh tempo secara mayoritas
di tahun 2004-2009 telah nyata-nyata
dipahami oleh investor 109
sebagai beban pemerintah yang diduga sulit untuk dipenuhi tepat sesuai dengan rencana. Desain awal dari penerbitan obligasi pemerintah ini memang dirancang untuk mendanai kebutuhan perbankan dan sektor riil dalam jangka
pendek dan menengah. Hal
ini terlihat dari nilai
pemerintah yang telah diperdagangkan masih
outstanding obligasi
jauh dari jumlah
yang
ditawarkan. Selain itu, titik keseimbangan dari kurva supply dan demand memperlihatkan kecenderungan adanya penurunan harga obligasi terhadap coupon dan jangka waktu yang ditawarkan. 2.
Terjadi oversuppty pada obligasi pemerintah
bertip
e fixed rafe, terutama untuk
masa tenor diatas 5 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa investasi dalam negeri saat ini masih lebih berorientasijangka pendek. 3
Yield pada obligasi pemerintah bertipe variable bonds menjadi lebih tinggi, karena spread yang diperoleh investor untuk diperdagangkan kembali cukup significant dibandingkan dengan alternatif investasi lainnya seperti SBI-3 bulan maupun deposito 3-bulan.
4.
Terjadi over demand pada obligasi pemerintah bertipe variable rate bonds, terutama VR0002 dan VR0003. Masa tenor 3 tahun merupakan jangka waktu yang cukup berarti bagi investor untuk meninjau kembali strategi portofofionya. Hal ini juga menunjukkan adanya faktor wait and see investor terhadap market confidence di lndonesia.
5. Pergerakan tingkat suku bunga deposito-3
bulan diamati lebih memberikan
dampak terhadap pergerakan obligasi pemerintah
di
pasar
sekunder
dibandingkan dengan pergerakan tingkat suku bunga SBI-3 bulan.
Hasil temuan terhadap kinerja pasar obligasi pemerintah tersebut perlu
menjadi pertimbangan dalam menyusun strategi penyelamatan perbankan nasional. Karena tampaknya terdapat indikasi adanya cara-cara refinancing dari obligasi pemerintah yang telah jatuh tempo. Dengan demikian dikhawatirkan akan terjadi over supply terhadap obligasi pemerintah dipasar sekunder.
ll0
6.2
KERANGKA TEORITIS DAN PENGALAMAN INTERNASIONAL
Financial system mencakup dimensi yang luas. Sistem ini tidak hanya menyangkut ketersediaan lembaga dan mekanisme dalam finansial sistem, tetapi
juga meliputi peraturan-peraturan yang terdapat di dalamnya dan strategi yang harus diambil agar finansial system ini bisa mendorong kemajuan perekonomian.
Seperti yang lazim terjadi
di dalam perekonomian dan dunia
bisnis
khususnya, tidak semua usaha harus dibiayai dengan menggunakan dana sendiri.
Perusahaan yang potensial menghasilkan keuntungan namun dibatasi oleh ketersediaan dana cenderung untuk menggunakan dana
dari pihak yang
mempunyai dana berlebih. Dengan sistem seperti ini perusahaan potensial yang
membutuhkan dana dan pihak yang memiliki dana sama-sama dapat menarik keuntungan, atau dengan kata lain masing-masing pihak dapat meningkatkan
yang berarti juga meningkatkan kesejahteranaan dan perekonomian suatu negara. Financial system merupakan sistem yang kesejahteraannya,
menjembatani kebutuhan seseorang atau suatu institusi terhadap dana dengan pihak pemilik dana.
Dalam penerapannya, ada
3 jenis
pelayanan yang diciptakan dalam
financial system, yaitu risk sharing, liquidity dan informasi. Risk sharing ditujukan
untuk membagi-bagi resiko yang mungkin terjadi atas portfolio yang dimiliki. Pengalokasian keseluruhan portfolio dalam suatu bentuk asset tertentu dapat menghasilkan keuntungan yang sangat besar, namun juga menanggung beban
resiko yang tinggi dan dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar pula.
Untuk menghindari risiko yang terlalu tinggi, maka pelaku pasar cenderung melakukan diversifikasi pada asset-asset yang dimilikinya. Dengan demikian, meskipun dengan cara ini keuntungan yang data diraih tidak terlalu besar, namun risiko yang bisa terjadipun dapat diminimalkan. Pelayanan yang kedua adalah ketersediaan liquiditas. Hal ini terkait dengan
tingkat kemudahan untuk mentransfer asset-asset yang dimiliki kedalam bentuk
uang yang selanjutnya dapat ditukarkan lagi kedalam bentuk asset yang lain. Dengan perkataan lain, semakin liquid suatu asset, akan semakin mudah asset tersebut untuk ditransfer ke bentuk portfolio yang lain. Hal ini dibutuhkan karena
lll
setiap saat seseorang bisa berubah pikiran untuk mentransfer asset yang dimilikinya kedalam bentuk asset yang lain.
Pelayanan yang ketiga dari financial system adalah mengumpulkan dan mengkomunikasikan informasi. Peran utama dari informasi ini dalam sistem
financial adalah untuk menghimpun informasi. Hal ini menyangkut informasi mengenai prospective dari peminjam dan apa yang dilakukan dengan pinjaman tersebut. Pengumpulan informasi ini akan membutuhkan biaya yang besar dan menghabiskan waktu apabila pengumpulannya dilakukan sendiri oleh si pemilik
dana atau si peminjam. Dengan adanya financial system, masalah ini dapat diatasi.
Dalam mekanismenya, financial system dijalankan oleh instituai yang berfungsi sebagai intermediasi perbankan. lntermediasi perbankan berfungsi
sebagai jembatan yang menghubungkan pemilik dana dan pihak yang memerlukan dana. lnstitusi ini memberi kemudahan bagi pencari dana untuk memperoleh dana, sedangkan bagi pemilik dana akan lebih mudah untuk menempatkan dananya. Selain itu dengan adanya intermediasi perbankan, risiko
pemilik dana bsa didistribusikan. Intermediasi perbankan adalah institusi yang dapat berbentuk bank komersial, credit unions, asosiasi-asosiasi untuk tabungan
dan pinjaman, mutual saving bank, mutual funds, finance company, perusahaanperusahaan asuransi dan pengelola dana pensiun yang melakukan pengumpulan
Pendistribusian Resiko
Dana Hasil
Likuiditas
Financial Financial lntermediari
Dana Hasil
lnformasi
lt2
dana dan memberi pinjaman bagiyang membutuhkan.
Salah satu persyaratan agar fungsi intermediasi perbakankan berjalan dengan baik adalah terjadinya keseimbangan pasar antara dana yang dibutuhkan
dan dana yang tersedia, dan ini akan terjadi apabila jumlah pemilik dana yang
identik cukup banyak (bukan monopoli) dan adanya symmetric information. Namun demikian meningkatnya kebutuhan akan informasi ini telah menimbulkan terjadinya masalah asymmetric information. Dengan kata lain timbul permasalahan
dimana peminjam memiliki informasi mengenai kesempatan yang bisa diraihnya
yang tidak dibuka terhadap peminjam atau kreditor dan mengambil keuntungan
dari informasi yang dimilikinya. Masalah lain yang timbul adalah cara mengkomunikasikan informasi. Cara penyampaian informasi yang salah akan mengakibatkan pengambilan langkah yang salah. Pada kesimpulannya pemberi pinjaman dan peminjam akan memperoleh keuntungan dari informasi dari finansial
system. Dengan adanya symmetric information, kondisi perfect competition akan dapat dicapai.
Namun demikian keberadaan sejumlah pemberi pinjaman dan adanya symmetric information tidak menjamin terjadinya keseimbangan pasar. Stanley
E.Zin (2001) telah mempelajari pasar keuangan untuk utang pemerintah yang
mengalami kegagalan dimana meskipun banyak peminjam
dan
tersedia
asymmetric information dimana segalanya transparan dan tidak ada faktor-faktor
yang tersembunyi, kondisi perfect competition tidak dapat dicapai. Hal ini terjadi
karena ketika peminjam swasta memperbolehkan pemeritah tertentu untuk meningkatkan hutangnya, peminjam tersebut secara tidak langsung telah mendorong terciptanya kegagalan extemal pada yang lain yang juga memberi
pinjaman terhadap pemerintah tersebut. Dalam kasus ini, dalam keadaan peminjam memiliki kemampuan untuk membayar kembali utang pertama namun tidak memiliki kemampuan untuk membayar hutang yang kedua, maka peminjam cenderung untuk mengambil kedua pinjaman dan tidak membayar kedua pinjaman
yang diambilnya. Ketika peminjan tidak memiliki kontrol terhadap prilaku dari peminjam yang lain, mereka harus mengantisipasi prilaku ini dan memikirkan strategi peminjaman yang konsisten tidak hanya pada pemeritah yang meminjam,
tetapi juga pada pemberi pinjaman yang lain. Dengan adanya perkembangan
ll3
strategi ini, ekuilibrium yang dicapai sama seperti yang diterapkan pada harga dan kuantitas dalam penerapan monopoli. Stanley juga menemukan bahwa intervensi
yang wajar dalam pasar-pasar yang dilakukan oleh institusi internasional finance
yang baik meskipun dilakukan secara cermat di dalam kasus-kasus tertentu bahkan menurunkan kesejahteraan negara peminjam dan meningkatkan kesejahteraan dari si pemberi pinjaman.
Transaksi yang terjadi dalam finansial sistem mengandung risiko yang tinggi. Setiap pemilik dana harus yakin bahwa dana yang dipinjamkannya bisa kembali dan mendapatkan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Sebaliknya pihak
yang membutuhkan dana harus dapat memanfaatkan modal yang dibutuhkannya sesuai dengan rencana yang telah disusunnya. lni berarti harus ada ketentuanketentuan yang jelas dan kepastian agar sistem ini dapat berjalan dengan baik.
Aturan-aturan yang jelas dan transparan ini memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan kemajuan dalam finansialsystem.
Perkembangan dunia yang dinamis cenderung untuk memperluas dimensi
dari financial system. Perkembangnya proses globalisasi telah
mendorong
cakupan dalam sistem finansial menjadi lebih luas. Pemenuhan kebutuhan dana
tidak hanya mencakup kebutuhan antara satu perusahaan dengan perusahaan yang lain, tetapijuga mencakup kebutuhan suatu negara.
Karena pergerakan sistem finansial tidak terlepas dari pergerakan risiko
yang muncul, maka dari waktu ke waktu terus terjadi reformasi mengenai internasional money dan financial system. Keinginan untuk mereformasi internasional monetary dan financial system seperti aliran modal ke emerging
market yang terjadi akhir-akhir ini cenderung untuk meningkat. Keinginan ini menggelora ketika terjadi krisis dan surut ketika keadaan membaik. Keinginan untuk melakukan reformasi tersebut meningkat akhir-akhir ini yang dorangsang oleh terjadinya krisis yang dimulai dengan Exchange rate mechanism krisis yang
terjadi tahun 1992/1993, yang diikuti tequila krisis tahun 1994/1995 dan perkembagan dalam 2 tahun terakhir ini di mana krisis melanda dimana-mana.
Menurut Peter Kenen (1999), meskipun terjadi peningkatan tuntutan untuk melakukan reformasi dalam international monetary dan financial system, namun isu-isu utama yang dibahas tidak berubah. Tujuan sistem ini masih tetap sama,
yaitu mempercepat arus perdagangan barang dan asset, mempromosikan kesejahteraan dan pertumbuhan, mencapai distribusi pendapatan dan kesejahteraan secara merata dan menjamin stabilitas dari sistem tersebut. yang
menjadi pertanyaan dan membutuhkan jawaban dari hal-hal tersebut masih juga tetap sama, yaitu. bagaimana membagi tekanan yang terjadi, seberapa cepat adjustment yang diinginkan yang berdampak pada kebutuhan skala financing, dan anchor apa yang terbaik untuk diterapkan pada keseluruhan system dan masingmasing negara.
lsue-isue ini muncul secara tersamar dengan perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat. Oleh karena itu agenda untuk reformasi sangat dipengaruhi oleh revolusi telekomunikasi dan informasi yang memfasilitasi integrasi finansial
market dengan adanya liberalisasi finansial market secara luas. Dengan perkembangan ini, pasar-pasar untuk barang, jasa dan asset menjadi lebih menyatu dan negara-negara berkembang secara cepat masuk ke dalam pasar global. Lebih jauh lagi, aliran private capital semakin memegang peranan penting
dalam membiayai ketidakseimbangan dalam current account dari perekonomian negara yang sudah maju dan bahkan meningkat lebih cepat lagi di negara-negara yang sedang berkembang. Perkembangan pergerakan finansial system sangat menentukan kemajuan perekonomian suatu bangsa. Semakin maju suatu negara, semakin besar transaksi yang terjadi dalam financial systemnya. Pada saat sekarang ini masalah yang dihadapi intitusi-institusi keuangan ini
telah menjadi isu yang besar, khususnya yang menyangkut dengan jaminan terhadap deposito. Oleh sebab itu berbagai reformasi dibidang ini terus berkembang, yang diantaranya mengakibatkan dan mengharuskan berbagai bank: bank untuk melakukan merger.
Untuk meminimilkan resiko dalam system keuangan, diperlukan aturanaturan yang jelas yang harus dapat disesuaikan dengan perkembangan keadaan. Oleh sebab itu regulasi dan penataan kelembagaan dalam financial system sangat mutlak diperlukan.
u5
6.3
UPAYA PERBAIKAN SEKTOR KEUANGAN DALAM 20 TAHUN MENDATANG
Dengan memperhatikan kekhasan l<arakteristik krisis yang melanda Indonesia, serta dengan mempelajari berbagai strategi atau cara-cara yang berlaku umum secara internasional sebagaimana diuraikan dalam Bab 2, berikut ini akan dicoba beberapa upaya perbaikan sektor keuangan dalam kurun waktu 20 tahun mendatang. 6.3.1 Sasaran Perbaikan Sektor Keuangan
sasaran dari perbaikan sektor keuangan dalam pembangunan jangka panjang adalah terciptanya stabilitas keuangan. Stabilitas keuangan merupakan dasar terbentuknya stabilitas moneter.
Untuk mewujudkan stabilitas keuangan, perlu disepakati terlebih dahulu definisi dari statibitas keuangan yang ingin dicapai tersebut. Definisi dari stabilitas keuangan adalah kestabilan institusi keuangan dan kestabilan pasar yang tergabung dalam sistem keuangan tersebut6. Dengan mengacu pada definisi tersebut, terdapat dua komponen yang harus dipenuhi dalam mencapai stabilitas keuangan yaitu:
1.
Kestabilan institusi
Kestabilan institusi dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana setiap lembaga keuangan dapat menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada nasabah tanpa adanya bantuan dari pihak
luar, seperti pemerintah maupun otoritas terkait. Selama pada s.aat-saat kewajiban harus dipenuhi fiatuh tempo), namun tidak dapat direalisasikan oleh institusi keuangan terebut, maka telah terjadi institutional instability.
Secara sistem, untuk mewujudkan kestabilan institusi, maka perlu diperjelas lembaga keuangan yang berpengaruh secara significant terhadap keseluruhan
sistem keuangan
di
Indonesia. Permasalahan utamanya terletak pada
6
Meskipun secara universal belum diperoleh satu definisi baku dari stabilitas keuangan, namun dalam paper ini diambil definisi yang disampaikan oleh Andrew Crockett (BlS). Definisi ini diambil dari makalah Dr. Syahril Sabirin, berjudul "Peran Bank Indonesia dalam Financial Stability" yang
il6
penentuan kriteria yang dinyatakan significant tersebut. Dalam prakteknya memang belum terdapat suatu rumusan standar mengenai tolok ukur tingkat kepentingan (significance) lembaga keuangan dalam suatu sistem keuangan
secara menyuluruh, namun pendekatan yang dilakukan diberbagai negara didasarkan pada dua kriteria berikut ini. Pertama, pangsa pasar yang sangat
dominan. Misalnya pangsa kredit dalam industri yang dimiliki oleh suatu lembaga keuangan. Kedua, ukuran stabilitas bagi lembaga keuangan individual.
2. Kestabilan pasar Kestabilan pasar meliputi pasar modal maupun pasar uang. Stabilitas pasar
terjadi bila para pelaku pasar (misalnya investor) masih percaya untuk melakukan transaksi pada tingkat harga yang merupakan refleksi dari fundamental ekonomi dan volatilitas harga pasar yang tidak ekstrim dalam
jangka pendek. Dalam krisis keuangan, ketidakstabilan pasar
dapat
berdampak pada:
a.
menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat (depositor dan investor) terhadap sistem keuangan, serta dapat menimbulkan bank run,
b. fungsi intermediasi menjadi tidak efektif, mengingat suku bunga bank menjadi tidak realistis,
c.
alokasi sumber-sumber dana menjadi tidak efektif karena orang akan lebih senang memegang cash atau terjadi capital outflow,
d.
biaya yang relatif besar untuk menyelamatkan lembaga keuangan atau bank yang memiliki dampak sistemik terhadap perekonomian,
e.
kebijakan moneter tidak dapat diterapkan dengan baik.
Bank Indonesia mencoba mencari benang merah pendekatan yang harus dilakukan dalam mewujudkan kedua komponen tersebut. Menurut penilaiannya,
selama ini sesungguhnya pendekatan untuk menuju kearah tersebut telah diupayakan oleh Bank Indonesia sebagai satu kesatuan tugas bank sentral dalam disampaikan pada Seminar mengenai Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta pada tanggal 27 Februai
tl7
menjaga stabilitas moneter. Namun karena kompleksnya permasalahan tidak stabilnya sistem keuangan nasional saat ini membawa isu ini menjadi suatu isu
sentral yang perlu penanganan secara khusus. Selain itu, penyatuan fungsi stabilitas keuangan dalam fungsi stabilitas moneter dinilai kurang efektif, dikarenakan hal-hal berikut ini.
a. Kompleksitas
usaha lembaga keuangan/bank telah berkembang begitu pesat,
bahkan dalam beberapa kasus terdapat kesulitan untuk menentukan posisi unit
usaha bank di dalam suatu struktur konglomerasi yang relatif besar. Apabila terjadi permasalahan pada perusahaan yang ada dalam suatu group (konglomerat), maka tidak tertutup kemungkinan permasalahan tersebut akan
dapat membahayakan kelangsungan unit usaha bank yang merupakan bagian integral dalam group usaha tersebut. Disamping itu, kompleksitas instrumen keuangan yang dipakai dan luasnya cakupan daerah operasi, dalam berbagai kasus juga mengakibatkan sulitnya menentukan nilai nasionalitas dari bank tersebut.
Dengan semakin majunya sistem informasi dan globalisasi operasi perusahaan
keuangan/bank, permasalahan yang terjadi
di pasar internasional dapat
berdampak langsung terhadap kondisi pasar domestik (contagion effecf). c.
Capital inflow dan outflow semakin sulit untuk dikendalikan
d.
Kebijakan moneter dan fiskal yang kurang tepat memungkinkan juga untuk menimbulkan permasalahan di sektor keuangan dan bank.
e. Hutang luar negeri yagn jatuh tempo di masa
mendatang dapat pula
menyebabkan adannya tekanan terhadap pasar valuta asing, dimana tingginya permintaan valas tidak sepenuhnya dapat diimbangi dengan penawaran.
f.
Struktur ekonomi yang terkonsentrasi pada beberapa kelompok usaha akan dapat memberikan tekanan dalam stabilitas keuangan.
6.3.2 Framework dalam Menjaga Stabilitas Keuangan
2002. r
l8
Framework dalam menjaga stabilitas sistem keuangan perlu disepakati oleh lembaga yang terkait khususnya Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Pemerintah. Hal
ini ditujukan untuk menghindari terjadinya duplikasi
maupun
konflik dalam pelaksanaan fungsi dimasing-masing lembaga. Secara umum framework tersebut dapat digambarkan dalam Gambar 3.1.
Perwujudan dari framework sebagaimana diperlihatkan dalam Gambar
1.
dituangkan dalam butir-butir berikut ini.
1. Misidan tujuan Misi dan tujuan dalam skema yang tertera di Gambar 1 adalah versi yang disampaikan oleh Bank Indonesia. Tentu misi dan tujuan ini perlu dibahas bersama-sama dengan seluruh stakeholder sektor keuangan. Sebagai suatu
counter arguement terhadap misi dan tujuan Bank lndonesia tersebut adalah kestabilan keuangan tercapai bila seluruh institusi/lembaga keuangan mampu
memenuhi kewajibannya kepada nasabah, sehingga kurang tepat bila pendekatan yang dilakukan adalah menjaga stabilitas harga. Akan lebih berarti bila pendekatannya adalah kepada good corporate governance pada
lembaga-lembaga keuangan. Dengan membaiknya governance dalam perusahaan-perusahaan atau lembaga-lembaga keuangan, maka akan diikuti dengan tercapainya stabilitas pasar. Mengingat besarnya misi dan tujuan yang ingin dicapai dalam jangka panjang pembangunan lndonesia dibidang sistem keuangan, sedangkan institusi yang
terlibat dalam pemenuhan tujuan ini sangat banyak dengan karakteristik dan
landasan pembentukan yang beragam (pemerintah, dunia usaha, maupun indipenden), maka perlu ditetapkan satu institusi penanggung jawab yang menjamin terlaksananya PJP sektor keuangan
ini. Analog
kompleksitas
cakupan kandungan PJP dengan Propenas 2000-2004, untuk propenas Bappenas merupakan institusi penanggung jawab yang mengawasi terlaksananya program-program yang ditetapkan dalam Propenas tersebut.
Selanjutnya status hukum dari PJP
ini adalah Undang-undang,
dengan
pertimbangan, antara lain: a) untuk memberikan pijakan yang lebih jelas bagi
institusi penanggung jawab untuk melaksanakan tugas dan tanggung 119
jawabnya, serta
b)
memberikan kewenangan
yang memadai
untuk
mewujudkan tugas dan tanggung jawabnya tersebut. Pengalaman dibeberapa
negara, seperti Inggris, Austria, Korea Selatan, dan Malaysia, instansi penanggung jawab yang menjamin terlaksananya stabilitas keuangan adalah bank sentral masing-masing negara tersebut.
2.
Strategi
Gambar 3.1 Financial System Stability Framework yang diusulkan Bank Indonesia
Mencapai dan memelihara stabilitas harga dengan memelihara kestablian moneter dan mendorong stabilitas sistem keuansan.
Misi
Mendorong sistem keuangan nasional yang sehat dan stabil.
Tujuan
Shategi
Irstnrmen
Indikator
& \ /
rEarly wamin
a
o
Koordinasi dgn OJK
Systems
Koordinasi
. Macroeconomi
dgn
indicators
DepKeu O FSS Standing Commitlee
o
Micro-
prudential indicators
oFramework ketentuan oTindakan
Safety Net (misal: deposit insurance,
LoLR)
pengarvasan
.Kebijakan
o inancial architecture
moneter
Sumber: Gubemur Bank Indonesia, "Peran Bank Indonesia Dalam Financial Stabiliw. 27 Februari 2002.
t20
Untuk mencapai financial stability sebagaimana ditetapkan dalam misi dan tujuan, maka diperlukan suatu strategi yang dapat menjamin efektifitas instansi penanggung jawab dalam melakukan tugas menjaga terlaksananya stabilitas
sistem keuangan. Strategi yang akan dilaksanakan menjadi bagian terpenting dari isi rencana PJP. Strategi perlu memasukkan unsur-unsur sebagai berikut: koordinasi dan kerjasama, surveillance/obseruation, pencegahan, dan resolusi.
3.
lndikator
Agar memudahkan penjabaran strategi kedalam kebijaksanaan, maka perlu ditetapkan indikator-indikator yang akan dipakai dalam mengukur tingkat pencapaian stabilitas keuangan. Indikator-indikator tersebut harus disepakati
oleh seluruh stakeholder sektor keuangan. Beberapa indikator yang dapat digunakan adalah sebagai berikutT:
A. lndikator micro:
i.
Tingkat kecukupan modal, yaitu CAR.
ii.
Kualitas aset, mencakup:
lndikator untuk institusi/lembaga pemberi pinjaman, antara lain: sectoral credit concentration, foreign currency-denominated lending, connected lending, Non Performing Loan, dan provision.
o
lndikator untuk institusi/lembaga peminjam, antara lain: debt-equity ralios, dan corporate provitability.
il1.
Tingkat kesehatan manajemen (management soundness/, antara lain: tingkat pertumbuhan lembaga keuangan.
tv.
Eaming and profitability, antara lain: Return of Assefg Return of Equity, dan lncome and Expense ratios.
V.
Likuiditas, antara lain: Loan
to
Deposit Ratio (LDR), dan matuity
structure of assets and liabilities.
'
Sumber: Evans et.al, "Macroprudential Indicators of Financial System Soundness", IMF Occasional Paper
No. 192,2000.
t2l
vi. Sensitivitas terhadap resiko pasar, antara lain. foreign exchange risk, interest rate risk, dan equity price risk. vii. Market
based indicators, antara lain: market price dari instrumen-
instrumen keuangan, credit ratings, dan sovereign yield spread.
B. lndikator makro:
i.
Pertumbuhan ekonomi, antara lain tingkat pertumbuhan ekonomi, dan sectorals/umps.
ii.
Neraca pembayaran, antara lain: cunent account deficit, foreign exchange reseve adequacy, external debt (termasuk struktur jatuh temponya), term of trade, dan composisi dan jatuh tempo dari capital flows.
iii.
Inflasi, antara lain: tingkat volatilitas inflasi.
iv.
lnterest and exchange rate, antara lain: volatility
of
interest and
exchange rates, level of domestic interest rafes, dan exchange rate sustainability.
v.
Contagion effect, antara lain: trade spillovers, dan financial market conelation.
vi.
Faktor-faktor lain. directed lending and investment, dan government resource to banking system.
4. Pencegahan Pencegahan terhadap perilaku lembaga keuangan dan pasar yang akan mengarah pada kondisi tidak stabil dalam sistem keuangan dilakukan melalui
penerapan standar dan regulasi. Dalam berbagai forum yang dimotori oleh lembaga internasional seperti IMF dan BlS, telah disepakati untuk menerapkan
standar atau regulasi yang sejalan dengan standar and regulasi internasional.
Pada prinsipnya forum tersebut menyampaikan cara-cara pencegahan terjadinya financial sysfem instability yang dituangkan dalam 12 key standard
for sound financial system.
Keduabelas standar tersebut dikelompokkan
menjadi tiga klasifi kasi yaitu: 122
a.
macroeconomic policies and data transparency, meliputi:
i.
code fo good practice of transparency dalam kebijaksanaan moneter dan keuangan,
b.
ii.
code fo good practice dalam transparansi fiskal, dan
iii.
data dissemination standard
institutional and market infrastrucfure, meliputi:
i.
principles of corporate governance,
ii. core principles for systemically important iii.
payment system,
market integrity,
iv. involvency,
v.
intemational accounting standard, dan
vi.
international standard on auditing.
c.
Prudential financial regulation and supervision, meliputi:
i.
ii. iii.
core pinciples for effective banking superuision, principles
of securities
regulation, dan
core pinciples for insurance superuision.
Berkaitan dengan
25 Core Pinciples for Effective Banking Supervision
di
Indonesia, kedua belas standar tersebut perlu dikaji lebih lanjut.
5.
Resolusi Komponen resolusi tetap perlu dimunculkan dalam financial stability frameworl< karena merupakan tindakan penyelamatan bila terjadi krisis keuangan. Hal-hal utama yang perlu diperhatikan dalam resolusi adalah:
a.
Pengaturan kewenangan lembaga/institusi resolusi, dimana institusi ini akan bertindak sebagai penentu suatu lembaga keuangan termasuk atau diluar kategori yang menimbulkan kehancuran sistemik sistem keuangan.
t23
b.
Tindakan-tindakan penyelamatan yang dapat dilakukan.
Hal ini
harus
disepakati dan dimengerti oleh seluruh stakeholder sektor keuangan karena melibatkan penggunaan dana masyarakat dalam jumlah yang sangat besar. c.
Peranan dari masing-masing institusi terkait dalam pengawasan dan pengaturan sektor keuangan.
t24
DAFTAR PUSTAKA
l.
Hubbard, Glenn R., Money, The Financial System, and The Economy. Addison Wesley, Boston, 2001.
2.
Kenward, Lloyd R., Kemana Indonesia's Financial Sector? Partnership for Economic Growth-Bappenas, July, 2002.
3. Kenen, Peter B and
Alexander
K. Swoboda, Overview: Reforming the
International Monetary and Financial System. lMF, Washington DC, 1999.
4. Sabirin, Syahril, Peran Bank Indonesia dalam Financial Stability.
Seminar
Otoritas Jasa Keuangan, Jakarta, 27 Februari20A2.
5.
Stanley E. Zin and Bryan R Routledge, Model Uncertainty and Liquidity. NBER Working Paper Series No. 8683, December 2001.
6.
Webiste Bapepam: www.bapepam.qo.id
7.
Website Bank Indonesia: vwnil.bi.qo.id
8.
Website pusat manajement obligasi negara, departemen keuangan: www.dmo.or.id
r25
BAB 7
OPSI KEBIJAKSANAAN NILAI TUKAR DI INDONESIA: MENCARI STABILITAS DAN KESINAMBUNGAN
7.1 PENDAHULUAN
Sejak terjadinya krisis keuangan dan ekonomi, tekanan depresiasi nilai tukar rupiah memaksa otoritas moneter meninggalkan nilai tukar sistem mengambang terkendali (managed floating) dan berubah menganut nilai tukar mengambang bebas (independent floating). Perubahan sistem nilai tukar ini memberikan implikasi terhadap kebijaksanaan moneter, terutama di dalam lingkungan mobilitas modal yang tinggi. Di lingkungan mobilitas modal yang tinggi, sedikit saja perubahan alokasi portfolio internasional akan menyebabkan terjadinya "large swing' arus keluar-masuk kapital. Oleh karena itu, kebijaksanaan dan peranan nilai tukar menjadi sangat penting bagi perekonomian disamping kebijaksanaan suku bunga. Sudah menjadi konsensus umum bahwa sistem nilai tukar di tengah-tengah (soft peg or pegged-but-adjustable rates) menyebabkan ketidak-stabilan di sektor keuangan dan ekonomi. Hal ini sudah dibuktikan dengan terjadinya krisis keuangan di Meksiko (1994), Thailand, Indonesia, dan Korea (1997), Rusia dan Brazil (1998), dan Turki (2000). Pendekatan "two corner solution" pada
kebijaksanaan nilai tukar, nilai tukar fleksibel (freely floating regime) atau nilai tukar super tetap (hard pegs seperti super-fixed exchange rate, dolarisasi, currency board, dan unifikasi mata uang regional) menjadi lebih menarik untuk dikaji.
Background paper ini akan mengkaji kelayakan sistem nilai tukar yang sesuai dengan struktur perekonomian lndonesia ke depan, berdasarkan pendekatan "two corner solution" yaitu penerapan nilai tukar fleksibel dengan segala konsekuensinya atau penerapan nilai tukar super tetap. Kinerja sistim nilai
tukar fleksibel, berdasarkan money based target (1997-2002) yang sedang diterapkan sampai saat ini, sudah dapat dievaluasi. Alternatif lain, nilai tukar bebas
berdasarkan target inflasi dan nilai tukar super tetap dengan kontrol arus modal.
Background paper ini akan di bagi dalam
5 (lima) bahagian yaitu bab pertama
merupakan pendahuluan, bab kedua membahas studi literature tentang teori optimum currency area modern dan pengalaman di berbagai negara mengenai penerapan berbagai sistem nilai tukar. Bab tiga membahas kinerja nilai tukar di Indonesia baik pada waktu menerapkan nilai tukar crawling pegged (1978-1997) maupun selama menerapkan independent floating (1997-2002). Bab empat akan membahas mengenai opsi nilai tukar di Indonesia ke depan menuju stabilitas dan
kesinambungan, dengan berbagai konsekuensinya. Dan bab terakhir adalah kesimpulan.
7.2 STUDI LITERATURE: OPTIMUM CURRENGY AREA (OcA)
DAN
PENGALAMAN INTERNASIONAL 7.2.1 Regim Nilai Tukar Tetap Versus Nilai Tukar Fleksibel
Analisa biaya dan manfaat dari sistem nilai tukar atau yang dinamakan 'Optimum Currency Area (OCA)" menyimpulkan bahwa tidak ada satupun sistem
nilai tukar yang secara umum cocok dapat digunakan untuk semua struktur ekonomi suatu negara, tanpa batas waktu. Penerapan sistim nilai tukar, baik nilai tukar tetap (pegged exchange rate) maupun nilai tukar fleksibel (flexible exchange rate), sangat tergantung kepada kondisi, karakteristik dan struktur ekonomi suatu negara serta kondisi ekonomi global. Dalam perkembangan teori OCA, penerapan
sistim nilai tukar harus berdasarkan pada gambaran ekonomi secara menyeluruh
dan mempertimbangkan kriteria-kriteria penting yang mempengaruhi struktur suatu perekonomian. Berdasarkan tradisional literature, ada beberapa kriteria pokok yang harus
dipertimbangkan
seperti: keterbukaan (openness) dan ukuran (size)
ekonomi
suatu negara; tingkat mobilitas faktor-faktor produksi; tingkat diversifikasi komoditi;
fleksibilitas harga dan upah; kesamaan tingkat inflasi dengan mitra dagang dan inflasi dunia; tingkat integrasi pasar; integrasi flskal; variabilitas nilai tukar riil; dan
faktor-faktor politik. Perkembangan analisa makroekonomi telah memberikan kontribusi yang amat penting terhadap pengembangan oCA teori. Beberapa kriteria-kriteria tradisional dikembangkan atau dimodifikasi dan ditambahkan
kriteria-kriteria baru seperti: tingkat subsitusi mata uang internasionali tingkat effetifitas keuangan publik; informasi harga dan kuantitas dari pasar uang dan keuangan (money & financial markets); tingkat kontrol uang yang beredar (money supply); masalah "time inconsistencf; dan isu-isu kredibilitas dari otoritas moneter dan fiscal.
Tower dan Willett (1976) berargumentasi bahwa analisa OCA sebaiknya dipertimbangkan sebagai suatu pendekatan (analytical approach), bukan sebagai
suatu teori yang lebih spesifik. Oleh karena itu, penerapan sistim nilai tukar berdasarkan kriteria-kriteria tersebut
di atas tidaklah suatu keharusan yang
mengikat, melainkan sebagai suatu pendekatan kerangka dasar ekonomi bagi penerapan sistim nilai tukar. Akhir-akhir ini OCA teori lebih memfokuskan pada "properties" dari sistem nilai tukar tetap versus nilai tukar fleksibel sebagai "automatic stabilizers" dalam menghadapi berbagai tipe gangguan (shocks) baik internal maupun eksternal terhadap ekonomi domestik.
Pemilihan sistem nilai tukar tetap pada negara berkembang dan emerging market yang perekonomiannya lebih terbuka, pada mulanya lebih menitikberatkan
pada peningkatan tingkat kompetisi perdagangan internasinalnya. Tetapi setelah
terjadinya berbagai krisis keuangan, kebijakan
ini
menjadi kurang relevan bilamana dilihat dari biaya (cost) yang ditimbulkan akibat krisis tersebut.
Walaupun demikian, berbagai literature (Pillbeam) mengidentifikasikan beberapa keuntungan dari penerapan nilai tukar tetap, adalah sebagai berikut:
a.
Mempromosikan dan meningkatkan perdagangan internasional dan investasi.
Fluktuasi nilai tukar menimbulkan besarnya ketidakpastian dan resiko tambahan terhadap transaksi ekonomi internasional, pertumbuhan dan pembangunan. Banyak negara "emerging market' mempunyai sindrom "fear of
floating", yang disebabkan oleh menurunnya tingkat kompetisi bilamana nilai tukarnya telalu berfluktuasi.
b.
Menciptakan iklim yang lebih berdisiplin untuk kebijakan-kebijakan makro. Dengan diterapkannya sistim nilai tukar tetap, nominal nilai tukar (nominal
exchange rate) dijadikan sebagai angkur (anchors) untuk pencapaian kebijakan-keb'tjakan makro. Nominal exchange rate anchor akan memberikan
suatu acuan yang efektif untuk mengarahkan program disinflasi, dan menjaga stabilitas makroekonomi, sehingga kebijakan-kebijakan makro yang sembrono dapat dihindari.
Dapat mempromosikan kerja sama internasional. Penerapan nilai tukar tetap selalu mempertahankan tingkat inflasi domestik, similar dengan inflasi negara-
negara mitra dagang dan inflasi internasional. Kondisi yang demikian membutuhkan tingkat kerja sama internasional dan tigkat koordinasi antar negara mitra dagang yang lebih baik. d
Mencegah timbulnya spekulasi irrational yang menyebabkan destabilisasi ekonomi, seperti munculnya "excessive risk averse", "band wagon effect", "peso problem" dan "rational buble"l. Hal-hal yang demikian akan menciptakan tingkat nilai tukar yang salah dan jauh dari nilai tukar ekuilibriumnya.
Adapun keuntungan dari penerapan nilai tukar fleksibel, adalah sebagai berikut: a.
selalu menjaga keseimbangan neraca pembayaran (balance of payment). Fluktuasi nilai tukar lebih ditentukan oleh kekuatan pasar, ditentukan oleh suplai dan permintaan akan mata uang domestik relative terhadap mata uang
asing. Kelebihan permintaan (excess demand) mata uang domestik relatif terhadap mata uang asing menyebabkan mata uang domestik terapresiasi, sebaliknya kelebihan suplai (excess supply) mata uang domestik relatif terhadap mata uang asing menyebabkan mata uang domestik terdepresiasi. Suatu negara yang menjalankan defisit perdagangan (current account deficit)
biasanya nilai tukar mata uang domestik mengalami depresiasi, yang mengakibatkan berkurangnya pengeluaran import dan meningkatnya penerimaan ekspor, sampai neraca pembayaran mengalami keseimbangan.
oleh karena itu,
berfluktuasinya nilai tukar akan tetap menjaga neraca
pembayaran dalam keseimbangan. b.
Menjamin otonomi moneter yang lebih besar. Penentuan tingkat inflasi tidak
tergantung kepada negara mitra dagang, sehingga bank sentral dapat ' Pengertian mengenai excessive risk averse. band wagon effect, peso problem dan rational buble dapat dilihat pada Keith Pilbeam hal 253-255.
menentukan tingkat inflasi yang akan dicapai. Suatu negara yang lebih menyukai tingkat inflasi rendah akan lebih bebas menentukan kebijakan uang
ketat (tight macroeconomic policies) sampai nilai tukar mata uang domestik terapresiasi. Hal yang demikian akan bersifat kontras dengan penerapan nilai
tukar tetap, dimana secara umum harus mempertahankan tingkat inflasi dengan tingkat inflasi mitra dagang atau internasional dalam rangka mempertahankan daya saing. c.
Nilai tukar fleksibel dapat mengisolasi perekonomian dari gangguan eksternal
(external shocks). Penerapan sistem ini dapat menghindari dampak dari perubahan atau fluktuasi harga dari negara mitra dagang atau dapat mencegah terjadinya impor inflasi dari negara lain.
Dapat mempromosikan stabilitas ekonomi2. Sebagai contoh, bilamana suatu perekonomian mengalami penurunan daya saing perdagangan internasional, lebih baik membiarkan nilai tukar (mata uang domestik relatif terhadap mata uang asing) terdepresiasi dari pada tetap mempertahankan nilai tukar mata uang domestik. Dalam kondisi tersebut, sistim nilai tukar tetap membutuhkan kebijakan-kebijakan deflasi (deflationary policies) agar tetap mempertahankan
tingkat daya saing internasional. Dalam iklim dimana harga domestik sangat
sulit untuk turun, kebijakan deflasi akan meningkatkan tingkat pengangguran (unemployment) dalam rangka mempertahankan tingkat daya saing. e.
Dalam sistem nilai tukar fleksibel, spekulasi (private speculation) dapat mendorong meningkatnya stabilitas ekonomi. Economist yang lebih cenderung
menyukai nilai tukar fleksibel spekulan swasta cenderung menciptakan kestabilan nilai tukar dibandingkan menciptakan ketidakstabilan, sebagai contoh bilamana spekulan berusaha membeli mata uang pada saat nilai rendah dan membeli mata uang pada saat nilainya tingi. Hal ini dapat mengurangi kesenjangan (gap) nilai tukar terhadap nilai tukar ekuilibriumnya.
Dalam hal
ini spekulan dapat
menggerakkan arah nilai tukar
ke
arah
fundamental nilai ekuilibriumnya.
'
Argumentasi ini diutarakan oleh Milton Friedman (1953) yang lebih bertendensi kepada sistem nilai tukar fleksibel. Dia berargumentasi bahwa menurunkan harga lebih sulit dibandingkan dengan merubah nilai
tukar.
Pendekatan tradisional tentang keuntungan dan kerugian yang disebutkan
di atas menimbulkan perdebatan yang sangat luas. Pendekatan yang lebih modern, tentang evaluasi penerapan sistem nilai tukar apakah nilai tukar tetap
atau nilai tukar fleksible atau pula sistem nilai tukar yang berada di antaranya, adalah mengevaluasi pemilihan sistem nilai tukar berdasarkan bagaimana sistem
nilai tukar tersebut dapat menstabilkan domestik ekonomi terhadap beberapa gangguan (various shocks) baik gangguan ekternal maupun internal. Oleh karena itu, berbagai literature tidak memberikan jawaban yang jelas terhadap pertanyaan sistem nilai tukar mana yang paling baik diterapkan. Pemilihan sistem nilai tukar tergantung kepada banyak faktor atau kriteria kondisi perekonomian yang telah disebut pada kriteria OCA di atas.
7.2.2 Pre-Kondisi dan Konsekuensi Sistem Nilai Tukar Tetap Berdasarkan kriteria-kriteria OCA, tingkat keterbukaan perekonomian suatu negara merupakan satu faktor penting dalam pemilihan sistem nilai tukar. Tingkat keterbukaan perekonomian mempengaruhi tingkat inflasi/deflasi dalam sistem nilai
tukar tetap. Makin terbuka suatu perekonomian, makin besar propensity of import
(makin elastis terhadap perubahan money income) dan makin kecil pengaruh terhadap inflasi/deflasi karena kecilnya pengaruh fluktuasi nilai tukar terhadap
inflasi domestik3. Oleh karena itu, pada sistem nilai tukar tetap
untuk
perekonomian yang lebih terbuka, tekanan inflasi pada perekonomian domestik
yang makin besar cenderung meningkatkan arus impor dibandingkan dengan meningkatnya harga domestik. Oleh karena itu, ekspansi fiskal dan moneter yang
berlebihan akan menyebabkan pengeluaran belanja yang berlebihan terhadap
barang impor dibandingkan dengan kenaikan harga dan upah. Dalam hal ini, kebijakan pengetatan keuangan akan mudah mengurangi aggregate permintaan dan mengatasi difisit tanpa dibarengi dengan meningkatnya tingkat pengangguran.
Tingkat keterbukaan ekonomi pun menentukan effektifitas kebijakan devaluasia. Makin terbuka suatu perekonomian, perbaikan neraca perdagangan
r
Pada sistem nilai tukar yang cenderung tetap termasuk crarvling peg, fluktuasi nilai tukar sangat kecil yang pada akhirnya kecil sekali pengaruhnya terhadap inflasi domestik " Negara vang menganut sistem nilai tukar yang lebih rigid. kebi-iakan devaluasi sering dilakukan dalam rangka mcnrpertahankan tingkat daya saing. Indonesia melakukan 3 kali kebijakan devaluasi pada saat menerapkan sistem nilai tukar crawling peg dan terbukti kebiiakan tersebut tidak efektif
(trade balance) yang dihasilkan oleh kebijakan devaluasi akan meningkatkan
tekanan inflasi pada sumber-sumber domestik dibandingkan dengan suatu perekonomian yang lebih tertutup, sehingga riil nilai tukar yang menentukan tingkat daya saing tidak berubah bahkan mengalami apresiasi. Makin terbuka perekonomian, efektifitas kebijakan devaluasi akan makin berkurang. Pada akhir tahun 80-an dan awal tahun 90-an sistem nilai tukar yang lebih
rigid menjadi sistem nilai tukar yang cukup populer terutama di negara-negara
yang tingkat inflasinya cukup tinggi. Di dasarkan pada argumentasi
time-
consisfency dan political economy, nilai tukar nominal tetap memberikan sistem yang effektif sebagai katalisator program disinflasi dan mempertahankan stabilitas
makroekonomi. Berdasarkan pandangan ini, kebijakan moneter yang mengacu pada nilai tukar nominal sebagai angkur hanya cocok dan efektif pada negaranegara yang tinggi tingkat inflasinya (tingkat inflasi di atas dua digit). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Edward (1998) pada negara Chili (1977-1982) dan
Meksiko (1988-1994) dimana pada kurun waktu tersebut kedua negara tersebut menerapkan program stabilisasi ekonomi berdasarkan nilai tukar sebagai angkur
(exchange rate-based stabilizations), tingkat persistensi inflasi sebelum dan sesudah menerapkan program tersebut tetap tidak berubah secara berarti. Kedua
negara tersebut mempunyai karakteristik tingkat inersia inflasi yang tinggi, sehingga dengan menerapkan sistem nilai tukar tetap, nominal nilai tukar menghasilkan apresiasi pada riil nilai tukar mata uang domestik dan sebagai konsekuensinya mengakibatkan menurunnya daya saing ekspor. Dornbusch (1997, hal 131) menyebutkan bahwa pada krisis keuangan di Mexiko tahun 1994 terdapat tiga phase berbahayanya menggunakan nilai tukar sebagai angkur pada
kebijakan moneter. Phase pertama, exchange rate-based stbilization berjatan dengan baik dan dapat menekan inflasi yang meningkatkan stabilisasi ekonomi. Kemudian, pada phase kedua, secara perlahan terjadi apresiasi terhadap riil nilai
tukar (real appreciation). Phase ketiga, akibat apresiasi nilai tukar, daya saing ekpor telihat jelas menurun, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah kebijakan
devaluasi. Tetapi pada saat
itu
kondisi politik tidak mengizinkan untuk
dilakukannya devaluasi. Tekanan terhadap mata uang peso makin besar sehingga
sampaiterjadinya krisis keuangan pada tahun 1994.
Hal yang sama juga terjadi sebelum krisis keuangan di Asia pada tahun 1997, dimana Korea, Thailand, dan Indonesia mengalami apresiasi pada riil nilai tukarnya. Ketiga negara tersebut mengalami komplikasi akibat menerapkan sistem
nilai tukar yang lebih rigid (pegged exchange rate). Pengaruh negatif gangguan eksternal cenderung menimbulkan biaya penyesuaian yang sangat mahal. Reaksi yang optimal terhadap negatif gangguan eksternal dalam sistem nilai tukar tetap
adalah melakukan kebijakan moneter dan fiscal yang ketat. Konsekuensi dari kebijakan tersebut adalah aktifitas perekonomian menurun dan tingkat pengangguran makin meningkat.
Jika suatu negara sedang menderita real
exchange rate overualuation, menjadi suatu yang sangat sulit secara politik untuk
melakukan penyesuaian terhadap nilai tukarnya dan umumnya banyak negara terutama emerging market countries melakukan penundaan kebijakan moneter dan fiscal yang ketat sehingga makin menimbulkan kerentanan ekonomi.
Penerapan sistem nilai tukar yang lebih rigid, stabilitas perekonomiannya
juga tergantung kepada kondisi perekonomian dari negara yang di peg mata uangnya dan negara yang banyak memberikan kontribusi bantuan keuangan. Dalam kasus krisis Asian, negara-negara yang mengalami krisis sangat tergantung terhadap perekonomian Jepang dan Amerika Serikat. Pada saat kurun
waktu dimana mata uang Yen mengalami apresiasi terhadap US dollar, para
eksporter Asian menikmati keuntungan dan menyumbang besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Tetapi pada saat kurun waktu dimana Yen mengalami depresiasi terhadap US dollar, perekonomian Asian menjadi kurang mengesankan
dan nilai tukar tetap menggiring tingkat suku bunga menjadi tinggi, sehingga mendorong masuknya investasi portfolio jangka pendek yang merupakan faktor kunci sebagai penyebab krisis keuangan di Asian.
Tingkat fleksibilitas upah dan harga domestik merupakan salah satu faktor
penting dalam penerapan sistem nilai tukar tetap. Sebagai contoh, untuk mengatasi defisit perdagangan melalui kekuatan pasar dalam nilai tukar tetap pada umumnya menyebabkan berkurangnya money income relative terhadap negara lain (mitra dagang). Tingkat pengangguran dapat ditekan bilamana berkurangnya money income dibarengi oleh menurunnya upah dan harga. Permasalahan yang ada adalah sulit sekali upah dan harga dapat menurun
(downward inflexibility), Oleh karena itu, fleksibilitas nilai tukar sangat diperlukan
untuk melakukan penyesuaian pada neraca pembayaran tanpa menimbulkan kerugian akibat pengangguran (cost of unemployment). Penerapan sistem nilai tukar tetap pada perekonomian dengan tingkat fleksibilitas upah dan harga yang
rendah akan mengakibatkan biaya yang tinggi akibat tingginya tingkat pengangguran.
Ada satu proposisi yang sangat mendasar yang masih sengit
dalam
perdebatan, yaitu penerapan nilai tukar tetap dalam kondisi mobilitas kapital yang
bebas. Sudah menjadi konsensus bahwa pemilihan sistem nilai tukar akan menentukan tingkat kemampuan dan kepiawaian dalam melaksanakan kebijakan moneter yang independen. Summers (2000) menyatakan bahwa nilai tukar super
tetap mengorbankan kebebasan kebijakan moneter, sementara nilai tukar fleksibel
menciptakan kemandirian nasional dalam pelaksanaan kebijakan moneter. Summer juga menekankan bahwa sangat tidak memungkinkan suatu negara menjalankan 3 (tiga) hal penting secara simultan, mobilitas kapital bebas, penerapan nilai tukar tetap, dan kebijakan moneter yang bebas.
Gangguan-gangguan
cyclical dan microeconomic mungkin
juga
menentukan selera pemilihan sistem nilai tukar antara nilai tukar tetap atau nilai
tukar fleksibel. Kenen (2000) berargumentasi bahwa diversifikasi perekonomian sangat menentukan pemilihan sistim nilai tukar. Makin diversifikasi struktur perekonomian, maka tingkat fluktuasi nilai tukar dalam sistem nilai tukar fleksibel
akan makin kecil dibandingkan pada perekonomian yang kurang terdiversifikasi. Dalam suatu perekonomian yang lebih terdiversifikasi, tingkat subsitusi barang
jasa lebih besar. Barang dan jasa domestik akan menjadi subsitusi yang lebih baik untuk barang produk impor dari pada struktur ekonomi yang kurang
dan
terdiversifikasi. Ekonomi yang lebih terdiversifikasi cenderung mempunyai elastisitas ekses
suplai dan permintaan yang lebih besar dalam sektor perdagangan internasionalnya. Seiring dengan argumentasi Orcutt dan Mc Kinnon bahwa keterbukaan ekonomi cenderung menurunkan elastisitas dari ekses suplai dan permintaan, sehingga penyesuaian nilai tukar akan relatif lebih efektif pada perekonomian yang lebih tetutup. Ekonomi yang lebih terdiversifikasi cenderung
lebih tertutup dan mempunyai propensity import yang lebih kecil, sehingga penyesuaian internal (internal adjustment) akan lebih memerlukan biaya tinggi (artinya bahwa penerapan nilai tukar fleksibel akan lebih efektif dibandingkan dengan nilai tukar tetap).
7.2.3 Dolarisasi, Currency Board, dan Unifikasi Mata Uang Dolarisasi, Currency Board dan Unifikasi Mata Uang merupakan bentuk
sistem nilai tukar yang super tetap. Ada beberapa alasan suatu negara mengadopsi dolarisasi, currency board atau unifikasi mata uang. Alasan-alasan ini
juga termasuk keuntungan-keuntungan dari sistem nilai tukar tetap yang telah disebutkan
di atas. Panama adalah negara yang cukup sukses menerapkan
sistem dolarisasi. Panama mengadopsi US dollar sebagai mata uang domestik yang sah (legal tender) sejak tahun 1904. Argentina pada awal 1991 mengadopsi
currency board dan merupakan case yang menarik dari penerapan sistem nilai
tukar super tetap ini, Pada awalnya Argentina cukup sukses menekan inflasi domestik, tetapi gejala penyakit sistem ini terlihat jelas pada tiga tahun terakhir, sampai akhirnya terjadi krisis keuangan yang dialami Argentina pada awal tahun 2002.
Adapun alasan mengapa suatu negara mengadopsi dolarisasi atau currency board adalah pertama, dolarisasi atau currency boards mungkin akan mempromosikan pertumbuhan. Kebijakan sistem ini mengurangi biaya transaksi mata uang dengan menggunakan satu mata uang yang tebih umum (dalam hal ini
US dollar). Penggunaan satu mata uang asing ini menjadi pilihan yang menarik
terutama akan meningkatkan transaksi perdagangan internasional
dan
menurunkan biaya kapital. Kedua, Otoritas moneter dan pemerintah tidak dapat semena-mena mencetak uang untuk mengisi besarnya defisit anggaran, sehingga
institusi-institusi ini lebih dipacu untuk mendisiplinkan diri dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan moneter dan fiskal. Untuk negara-negara di Amerika Latin, pertimbangan ini menjadi salah satu faktor penting karena tingkat segniorage di negara-negara tersebut cukup tinggi. Ketiga, penerapan dolarisasi atau cunency
board diharapkan dapat mengakhiri inflation-devaluation trap dan menggiring tingkat harga domestik kearah tingkat harga US dollar. Disamping itu sistem ini mungkin mempromosikan tingkat inflasi yang rendah atau menciptakan stabilitas t0
harga melalui nilai tukar tetap sebagi angkur dalam kebijakan moneter. Kebijakan ini telah dibahas di atas dan menggiring perekonomian ke arah kerentanan
(vulnerable) krisis keuangan. Keempat, dolarisasi ataupun currency board mungkin menciptakan kondisi dimana tingkat suku bunga menjadi rendah. Menurunnya tingkat inflasi al
dan pada akhirnya akan menggerakkan pertumbuhan alokasi kredit di sektor swasta. Kelima, mendorong terciptanya transparansi yang lebih besar. Dolarisasi, khususnya, akan mengeliminasi "currency confiscation", kontrol kapital, atau
peggunaan devaluasi sebagai
alat kebijakan publik. Tranparansi akan
menstimulasi reformasi struktural dan fiskal, karena defisit fiskal yang besar tidak
lagi dapat disembunyikan oleh penerapan kebijakan ekspansi suplai uang untuk membiayai pengeluaran publik. Terakhir, kecenderungan penerapan dolarisasi alau currency board lebih disebabkan oleh kegagalan dari penerapan sistem nilai
tukar fleksibel. Ricardo Hausmann (1997) berargumen tentang kegagalan penerapan nilai tukar fleksibel. Dia megatakan bahwa penerapan nilai tukar fleksibel di banyak negara Amerika Latin telah gagal dalam beberapa hal: memberikan otonomi yang layak dalam penentuan suku bunga; tidak memfasilitasi
terciptanya ekonomi yang lebih stabil; sistem tersebut juga tidak meningkatkan kemampuan untuk mengabsorb gangguan eksternal. Kegagalan ini didasarkan pada kejadian empirik di negara-negara Amerika Latin.
Unifikasi satu mata uang untuk lebih dari satu negara juga merupakan
suatu bentuk penerapan nilai tukar super tetap. Ada
2 (dua) komponen
utama
dalam unifikasi satu mata uang yaitu: unifikasi nilai tukar terhadap satu mata uang
dan intergrasi pasar modal (capital market integration). Unifikasi mata uang berarti negara-negara bersepakat untuk menerapkan nilai tukar tetap terhadap satu mata
uang yang telah disepakati bersama dengan tanpa margin fluktuasi atau dengan
kata lain beberapa negara bersepakat menggunakan satu mata uang (single cunency) sebagai legal tender. Sedangkan integrasi pasar modaljuga merupakan integrasi secara menyeluruh pasar modal dan kapital sehingga seluruh hambatanhambatan pergerakan kapital dan finansial diantara negara-negara unifikasi mata
uang dihilangkan. Disamping itu, integrasi pasar modal menghendaki perlakuan yang sama dari finasial kapital di seluruh negara-negara anggota unifikasi mata uang.
ll
Unifikasi mata uang berbeda dengan penerapan system nilai tukar tepat dalam beberapa hal mendasar. Dalam unifikasi mata uang memerlukan kerangka kelembagaan baik dan telah berkembang seperti adanya satu unifikasi bank sentral. Disamping itu, system ini harus mengizinkan kapital dapat bergerak bebas
antara negara-negara unifikasi mata uang, hal tersebut bertolak belakang dengan satu negara yang menerapkan system nilai tukar tetap yang secara
di
simulatn menerapkan kebijaksanaan kapital kontrol. Penerapan unifikasi mata uang telah dilakukan oleh negara-negara di eropa
yang tergabung dalam masyarakat ekonomi eropa (EEC) Unifikasi mata uang eropa (EMU) diawali dengan terciptanya integrasi pasar EEC menjadi pasar tunggal (single market) yang kemudian harus diikuti dengan terbentuknya satu mata uang bersama (single currency). Oleh karena itu, sebagai langkah awal menuju terbentuknya EMU, European Monetary System (EMS) dibentuk dan mulai beroperasi pada bulan Maret 1979.
Adapun keuntungan dan biayas yang harus ditanggung dengan penerapan EMU adalah sebagai berikut:
o
Keuntungan yang didapat adalah pengalokasian faktor produksi akan lebih
efiesien
di
dalam EEC, mengekonomisasi cadangan devisa dan dapat
melakukan seigniorage dibandingkan dengan penerapan nilai tukar tetap pada satu negara; adanya penghematan biaya administrative bagitransaksi bisnis.
o
Biaya yang harus ditanggung oleh masing-masing negara adalah hilangnya
hak otonomi nasional atas kebijakan-kebijakan ekonomi makro; hilangnya pajak inflasi; menimbulkan dan mempertajam ketimpangan regional; dan hilangnya pentingnya nilai tukar sebagai instrument kebijakan moneter.
Pada dasamya keberhasilan penerapan unifikasi mata uang, selain mempunyai kepentingan bersama dibidang sosial dan politik, kriteia-kriteria OCA
yang utama menuju terbentuknya unifikasi mata uang bersama adalah: tingkat mobilitas factor-faktor produksi; tingkat integrasi keuangan; tingkat keterbukaan
perekonomian; tingkat diversifikasi produksi barang dan jasa;
dan
tingkat
kesamaan tingkat inflasi.
t2
7.2.4 Pre-kondisi dan Konsekuensi Sistem Nilai Tukar Bebas Negara-negara emerging market yang pertumbuhan ekonominya sangat tergantung kepada hasil produk ekspor (export oriented) umumnya mempunyai
sindrom fear of floating. Sindrom ini cukup beralasan karena dalam beberapa tahun ini terjadi perdebatan mengapa negara-negara di Amerika Latin tidak sukses menerapkan sistem nilai tukar fleksibel. Ada dua factor utama yang menyebabkan
kegagalan. Pertama, negara emerging market cenderung export oriented, nrlai
tukar fleksibel akan mudah menimbulkan volatilitas. Kedua, negara emerging market umumnya belum mempunyai kelembagaan yang baik dan efektif untuk melaksanakan kebijakan moneter yang independent dafam sistem nilai tukar fleksibel. Calvo (1999) dan Reinhart (2000) menyatakan bahwa kekuatiran akan
nilai tukar fleksibel juga dikarenakan tingginya mobilitas kapital dan modal di lingkungan global, informasi yang tidak sempurna di negara-negara emerging market, dan mempunyai tingkat liabilities yang didominasi mata uang US dollar. Kondisi yang demikian menyebabkan fluktuasi nilai tukar -khususnya depresiasi yang besar- akan cenderung mempunyai efek negatif pada inflasi dan hutang perusahaan (corporate debt).
lebih
Penerapan nilai tukar fleksibel (secara luas dterima oleh para ekonom) menguntungkan bilamana neraca pembayaran seringkali mendapat
gangguan eksternal. Dalam sistim nilai tukar tetap, pengaruh gangguan satu negara akan mudah contagious terhadap negara lain yang mempunyai kedekatan hubungan perdagangan, oleh karena itu untuk menghindari pengaruh contagious
dari negara mitra dagang, penerapan sistim nilai tukar fleksibel akan menolong menginsolasi terhadap gangguan eksternal.Sebaliknya bilamana lebih banyak gangguan internal, penerapan sistim ini kurang efektif.
Kondisi Trinitas (Trinity Condition) Taylor (2000) menyatakan bahwa penerapan sistem nilai tukar fleksibel (pure floating) sebaiknya dikondisikan dengan tingkat mobilitas yang tinggi,
kebebasan melaksanakan kebijakan moneter (monetary policy rule), dan '
Penjelasan detail mengenai manfaat dan biaya dari penerapan EMU, lihat Pilbeam hal 359- 364.
l3
kebijakan menargetkan inflasi (inflation targeting). Taylor menyebutkan ketiga kondisi tersebut sebagai trinity condition yang sebaiknya dipenuhi pada penerapan
nilai tukar fleksibel. Penelitian yang telah dilakukan oleh Taylor adalah pada negara-negara maju dan masih dalam perdebatan untuk penerapannya di negaranegara emerging market.
Taylor berargumen bahwa menargetkan inflasi adalah suatu yang mendasar bagi kebijakan moneter dimana suatu negara memutuskan untuk memilih regim nilai tukar fleksibel. Target inflasi dijadikan suatu nominal angkur bagi kebijakan moneter untuk menstabilkan harga domestik, yang sangat berbeda dibandingkan dengan penerapan regim nilai tukar tetap, currency board, atau
dolarisasi dimana tingkat exchange rate sebagai nominal angkur. Penerapan inflation targeting pada negara-negara emerging market masih merupakan suatu
daerah yang luas untuk kajian (research). Kemungkinan penerapan inflation targeting pada negara-negara emerging market akan dibahas khusus pada bagian
tersendiridi bab ini. Taylor memberikan suatu alternatif pemakaian selain target inflasi sebagai nominal angkur, yaitu jumlah uang yang beredar (monetary aggregate) sebagai
nominal angkur. Taylor menyatakan bahwa untuk negara-negara emerging market, jumlah uang yang beredar masih dapat dijadikan instrument yang baik untuk mengukur pencapaian target inflasi. Akan tetapi, kemajuan inovasi di bidang
keuangan semakin pesat terutama
di
negara-negara emerging market seperti
banyaknya pemakaian kredit cards dan banyaknya Automatic Teller Machine
(ATM) dan bentuk-bentuk inovasi keuangan lainnya, sehingga kecepatan peredaran uang sulit untuk diprediksi, yang pada akhirnya jumlah uang yang beredarpun sulit untuk diproyeksikan dengan akurat untuk satu atau dua tahun kedepan. Oleh karena itu, tidaklah mudah bahwa jumlah uang yang beredar dapat dijadikan intermediate target bagi tercapainya target inflasi.
Base Money sebagai Angkur
Pada penerapan nilai tukar flesibel, bisa saja kebijakan moneter yang didasarkan pada base money target menjadi alternatif dari pada target inflasi sebagai nominal angkur. Kebijakan ini sangat terkait dengan hubungan tingkat t4
stabilitas antara ekonomi real dan variable-variabel moneter. Telah disebutkan sebelumnya, dengan pesatnya perkembangan inovasi keuangan dan liberalisasi
kapital, kecepatan peredaran uang sulit sekali diprediksi, sehingga tingkat hubungan antara ekonomi real dan variabel-variabel moneter menjadi kurang stabil. Hal ini menjadi suatu kendala pemakaian base money sebagai nominal angkur atau intermediate target untuk mengukur pencapaian target inflasi atau target income (income targeting).
Ketika Philippines merubah untuk menerapkan nilai tukar fleksibel, sentral bank mengadopsi base money sebagai suatu intermediate target utama dalam
pencapaian tujuan kebijakan moneter. Dalam prakteknya otoritas moneter mengalami 2 (dua) hambatan pokok yaitu pertama, dalam proyeksi besaranbesaran moneter, sentral bank menghadapi permintaan yang labil terhadap broad
money, sebagai contoh, khususnya ratio broad money terhadap nominal Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat sangat tajam dari 1.5 percent pada tahun 1993
menjadi 12.5 percent pada tahun 1994. Kedua, hubungan antara base money (variable yang dipengaruhi langsung oleh bank sentral) dan broad money telah menjadi tidak stabil. Hal ini disebabkan oleh adanya swing yang tajam di dalam currency-to-deposit ratio, sehingga tingkat percepatan broad money tidak setara dengan percepatan dari base money.
Perubahan tingkat dan komposisi dari permintaan uang secara perlahan
telah menurunkan stabilitas, baik kecepatan uang beredar (money velocig) maupun dampak berantai (multiplier effect) dari base money. Kondisi ini menyulitkan prediksi dari tingkat pertumbuhan, baik base money maupun broad money yang konsisten dengan tujuan moneter untuk mencapai target inflasi yang diinginkan.
Indonesia merubah sistem nilai tukar dari crawling pegged ke sistem nilai
tukar fleksibel sejak tahun 1997, dan pada tahun1999 Indonesia secara implisit
mulai mencoba untuk menerapkan inflation targeting sistem, tetapi sebagai nominal angkur digunakan base money dalam pencapaian target inflasi. Bank lndonesia menggunakan monetary aggregate sebagai intermediate target dalam kebijakan moneter disebabkan besaran-besaran uang yang beredar masih cukup
relevan dijadikan target untuk pencapaian tujuan-tujuan moneter. Sedangkan l5
negara-negara yang menerapkan inflation targeting sistem secara konsisten seperti Australia, New Zealand, Kanada, dan uK, nominal angkur yang digunakan adalah tingkat inflasi itu sendiri, karena pencapaian tingkat inflasi merupakan satusatunya tujuan dalam kebijakan moneter.
lnflation Targeting Secara teoritis, inflation targeting merupakan sistem kebijakan moneter yang jelas. Bank sentral memproyeksikan tingkat inflasi ke depan dalam kurun waktu satu atau. dua tahun, proyeksi tingkat inflasi kemudian dibandingkan dengan
target inflasi yang akan dicapai. Perbedaan antara tingkat proyeksi dan target inflasi menentukan seberapa jauh dilakukannya penyesuaian instrumen moneter (monetary policy rule) untuk mengkonvergensikan tingkat proyeksi dan target inflasi.
Atau dengan kata lain bahwa inflation targeting adalah suatu kerangka strategi kebijakan moneter dimana implementasi kebijakannya diarahkan oleh proyeksi tingkat inflasi ke depan relatif terhadap target inflasi yang diumumkan sebelumnya. Otoritas moneter menetapkan tingkat inflasi atau range tingkat inflasi
yang diinginkan sebagai tujuan utama kebijakan moneter. Frederick Mishkin (2000) mendefinisikan inflation targeting dengan lebih detail. Dia menyebutkan bahwa inflation targeting mencakup lima elemen pokok yaitu: pertama, adanya publikasi kepada umum mengenai tingkat inflasi yang akan dicapai untuk jangka
waktu ke depan; kedua, stabilitas harga sebagai tujuan utama dari kebijakan moneter sedangkan tujuan{ujuan moneter lainnya sebagai subordinate; ketiga, eksistensi informasi terbuka termasuk strategi apa yang akan digunakan otoritas moneter dalam menentukan setting instrumen kebijakan moneter; keempat,
strategi kebijakan moneter yang lebih transparan; yang terakhir, adanya akuntabilitas dari bank sentral untuk mencapaitujuan tingkat inflasi.
lnflation targeting sebagai strategi kebijakan moneter telah berhasil diterapkan dan dilaksanakan oleh beberapa negara industri. New Zealand adalah merupakan negara pertama yang secara formal menerapkan inflation targeting,
yang kemudian diikuti oleh Kanada, the United Kingdom, Finlandia, Swedia, dan Australia. Sedangkan negara-negara emerging market yang telah menerapkan
l6
sistem ini adalah Chili, Brazil, the Czech Republic, Polandia, Afrika Selatan, lsrael,
Korea dan Thailand. Walaupun nehgara-negara tersebut sama menerapkan inflation targeting sistem, setiap negara mempunyai pendekatan-pendekatan yang berbeda -tidak meniru persis satu sama lainnya- khususnya dalam menentukan range tingkat inflasi dan horizon pencapaian target inflasi, indek harga, dan
kriteria-kriteria lainnya yang tergantung dari karakteristik masing-masing negara (Mason, Savastano & Sharma 1997).
Kebanyakan negara-negara yang mengadopsi Inflation Targeting sistem mempunyai pengalaman yang kurang menggembirakan pada saat menggunakan
nilai tukar (exchange rate) sebagai nominal angkur dalam kebijakan moneternya.
Dengan merubah sistem nilai tukar dari regim nilai tukar tetap atau terbatas menjadi regim nilai tukar fleksibel, bank sentral pada negara-negara tersebut telah
menggunakan inflation targeting sebagai nominal angkur dalam implementasi kebijaksanaan moneternya. Khususnya Australia, Kanada, dan Inggris, mereka menggunakan inflation
targeting karena disamping menggunakan regim nilai tukar fleksibel, mereka juga mempertimbangkan bahwa ada korelasi yang sangat lemah diantara aggregat
moneter, sehingga hal ini menyebabkan sulitnya untuk mencapai target akhir
dengan menggunakan jumlah uang yang beredar sebagai nominal angkur. Korelasi yang lemah antara aggregat moneter disebabkan oleh meningkatnya
inovasi sistem keuangan, globalisasi ekonomi, dan adanya decoupling antarasektor keuangan dan sektor riil.
Sejak keluarnya Undang-Undang No.23 Tahun 1999, aplikasi kerangka
inflation targeting telah dilegitimasi dengan diberikannya tingginya tingkat independensi kepada bank sentral dan memfokuskan kebijaksanaan bank sentral
untuk menjaga stabilitas harga domestik. Sejak Agustus 1999, Bank Indonesia
secara implicit telah mengaplikasikan beberapa elemen kerangka inflation targeting, seperti kuantitatif target untuk inflasi ke depan, diseminasi kebijakan,
dan komitmen stabilitas mata uang domestik sebagai tujuan tunggal,
serta
persiapan teknis dalam rangka memprediksi inflasi. Bagi Bank lndonesia stabilitas
harga domestik berarti bahwa sentral bank mengkontrol dan menjaga tingkat inflasi dan tingkat nilai tukar yang diinginkan.
t7
7.3
KINERJA SISTEM NILAI TUKAR DI INDONESIA Pada bulan Juli 1997 Indonesia dengan terpaksa merubah sistem nilai tukar
dari managed floating menjadi independently floating akibat tekanan depresiasi yang sangat besar terhadap nilai tukar rupiah. Perubahan ini akan membawa implikasi terhadap kebijakan-kebijakan moneter lainnya. Kinerja nilai tukar mengambang bebas ini sudah berjalan empat tahun lebih dan sudah selayaknya
regim
ini
dapat dievaluasi dan diidentifikasi manfaat dan
kelemahan-
kelemahannya.
Dalam mengevaluasi kebijaksanaan nilai tukar setelah krisis di Indonesia,
isu utama yang harus dilihat adalah mengidentifikasi hasil-hasil yang dicapai selama periode setelah krisis. Hasil hasil yang dicapai tersebut dibandingkan dengan negara-negara lain yang juga sama mengarami krisis, khususnya Malaysia, Korea, Thailand, dan Philippines. Korea dan Thailand mempunyai periode regim nilai tukar yang similar dengan Indonesia. Korea, pada periode 1980-1997 menggunakan managed floating dan pada periode 1997 sampai sekarang menggunakan independently floating. Sedangkan Thailand, sebelum periode krisis, 1970-1997 menggunakan regim fixed exchange rate, dan beralih menjadi independently floating setelah krisis keuangan yaitu dari 19g7 sampai sekarang. Malaysia dan Philippines, sebelum periode krisis telah beberapa kali merubah sistem nilai tukarnya. Setelah krisis ekonomi Philippines menerapkan nilai tukar bebas (independently floating), sedangkan Malaysia menerapkan sistem
nilai tukar berlainan dengan negara-negara krisis
di Asia lainnya,
yaitu
menerapkan pegged exchange rate. Evaluasi dan identifikasi sistim nilai tukar mengambang bebas, metodologi
yang digunakan dalam bab ini adalah melihat tingkat volatilitas nilai tukar, tingkat volatilitas cadangan devisa, tingkat volatilitas suku bunga, dan tingkat fluktuasi inflasi. Tingkat volatilitas keempat komponen tersebut akan dibandingkan pada kondisi setelah krisis dan kondisi pada saat sebelum krisis atau pada saat sebelum terjadinya krisis.
l8
Volatilitas Nilai Tukar (Exchange Rate Volatility) Pendapat umum mengatakan bahwa tingkat volatilitas nilai tukar pada regim nilai tukar mengambang bebas akan lebih berfluktuasi dibandingkan dengan
regim nilai tukar yang lebih rigid. Oleh karena itu, dalam hal volatilitas nilai tukar mengambang bebas
di lndonesia akan
dibandingkan dengan tingkat volatilitas
nilai tukar di negara-negara yang mengalami krisis keuangan dan negara-negara yang sudah lama menerapkan regim nilai tukar mengambang bebas.
Gambar.l dibawah ini memperlihatkan nilai tukar bilateral terhadap U.S.dollar dari lima negara pada krisis Asia, baik sebelum dan sesudah terjadinya krisis keuangan.
Gambar 7.1: Bilateral Exchange Rate Lima Negara Asia
tDs
Catatan: Log naturaldari nominalexchange rate indices (Jan 1990=100) Sumber: IMF Dari gambar di atas menunjukkan bahwa Indonesia mengalami tidak hanya tingkat depresiasi yang besar melainkan juga mengalami fluktuasi nilai tukar yang
sangat siknifikan setefah paska krisis dibandingkan dengan sebelum terjadinya krisis. Sedangkan Malaysia yang menerapkan nilai tukar tetap (pegged) terlihat
l9
mengalami tingkat depresiasi yang paling rendah dibanding empat negara lainnya. Korea, Philippines, dan Thailand relatif mengalami tingkat fluktuasi nilai tukar yang relatif lebih stabil.
Volatilitas nilai tukar didefinisikan sebagai standar deviasi dari persentase perubahan nilai tukar terhadap U.S. dollar. Selain itu, ukuran statistik lainnya
seperti variasi range dari perubahan persentase nilai tukar. Table 7.1 menunjukkan volatilitas nilai tukar bulanan di negara-negara krisis Asian dibandingkan dengan negara krisis di Amerika Latin, Meksiko dan Chile, serta Amerika Serikat yang menerapkan murni nilai tukar mengambang bebas. Tabel 7.1: Volatilitas nominal nilai tukar bulanan di lima negara krisis Asia
U.S.
gDM
U,SSirYcu
Cbllc
Ilrngr
Slrldrrd Dtrtraioa
hc-criiig
0.083
0.024
Pcl-cdsis
0,01E
u,0?I
Prc
0,
t4?
Postcisis
0,0s+
0.030 0,038
hc{risis
0,0t0
0,01f
Fost-cdi.cit
0,059 0.068 0.10,f 0.033
0.0?s
lvlcllcc
hE-crisis
IndoneCr
Prc
Korar
Pout-rdsis Pre+rlsis
Fosr{isg
Theilsgd
0.007 0.063
o,0l I
fre+risis Poat-crisir
0_068
0-ol?
Pro-crisls
0.o16 0.0?0
0.0sr
bc-crisis Foar-crisis
Fhilippincr
0.03,
0.043 0.066 0.o2? 0.00 0"o11
Porr-qrisis
Ivlahysh
0330
0.019
Pct-criris
0,017 s_00?
0.00 0-003
o.alE
Sumber: IMF Working Paper WPl01l170 Dari table diatas memperlihatkan bahwa didalam periode sebelum krisis, Indonesia dan empat negara Asia lainnya mempunyai volatilitas nilai tukar yang
lebih stabil dibandingkan dengan negara yang menerapkan murni nilai tukar mengambang bebas (clean floaters) seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang.
Lebih jauh, bilateral nilai tukar lima negara Asia terhadap U.S. dollar selama sebelum krisis bahkan lebih stabil dibandingkan dengan Chile, yang mana pada saat yang sama selalu mempertahankan "band" nilai tukar yang diinginkan. Dari
sini terlihat bahwa lndonesia dan empat negara Asia lainnya secara aktif 20
mempertahankan nilai tukar tetap dengan segala konsekuensinya terhadap kondisi makroekonomi lainnya.
Tabel 7.2 menunjukkan tingkat volatilitas nilai tukar di lima negara Asia dibanding dengan negara-negara yang konsisten menerapkan nilai tukar bebas secara murni. Khususnya Indonesia, setelah krisis keuangan nilai tukar bilateral terhadap U.S. dollar jauh lebih tidak stabil dibandingkan dengan empat negara
Asia, bahkan juga melebihi volatilitas dari nilai tukar negara yang menerapkan murni nilai tukar mengambang bebas seperti Jerman, Jepang dan Amerika Serikat. Ada banyak faktor yang menyebabkan tingkat fluktuasi yang besar di lndonesia dibandingkan dengan empat negara Asia lainnya. Fluktuasi tersebut
tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi tetapi juga faktor ketidakstabilan dibidang politik, sosial dan hukum. Ditinjau dari aspek kebijaksanaan ekonomi, khususnya kebijakan moneter, kenyataan tersebut menggambarkan bahwa walaupun telah terjadi perubahan yang mendasar dari kebijakan nilai tukar di
Indonesia, Indonesia tidak menerapkan sepenuhnya regim nilai tukar mengambang bebas (independent floating) selama paska krisis secara konsisten. Seringkali Bank Indonesia, sebagai bank sentral, mengintervensi pasar mata uang
asing (foreign exchange market) untuk tetap menjaga nilai mata uang rupiah dalam koridor yang diinginkan. Calvo-Reinhart (2000) dalam makalahnya mengatakan bahwa tidak ada satu negara dari empat negara Asia yang mengalami krisis benar-benar menerapkan regim nilai tukar mengambang bebas (independent floating), dan dalam implementasi kebijakan nilai tukar sebelum dan paska krisis tidak terdapat perbedaan yang siknifikan.
2l
Tabel7.2: Volatilitas nilai tukar lima negara Asia dibanding dengan negaranegara Yang menerapkan murni nilaitukar bebas
1998 rW
l99s
1996
o,r5 o,?3
?.49 ?,65
Thril^rrnd ,t"verage
o.l5 azs o2a o.l2 o2a
o,os O,G 0.13
r | 2.M
2.v
Malaysia
o"23
o.l5
0.90
t.75
A.cis 5 Indonesia
Korca Philippiaes
hdependeot Flmts U ,du*trajia o53 o3s Cmada Gcrrnany
0.79
Japao
o-q) 437
Mexico Ncw Zcalsnd Sourh Africa Swdcn Switzeiland
UJL Lverage
o.3E
o.2?
o.7z o.v2 o.5?
1.3
t.7
4.86
l.?5 r,19
r58
1.88 0-46 o.4s 0.56
o.84 o"or
o.40 0.6{} 0.s4 t).58 o.20 i.27 0.38 0.35 0,4t
o.48 o.34 o.37 0,69 o.48 o.53 0.38
a.62 0_56 0.6{}
0,75 o.ffi 0.53 0.31 0,63 0,69 0.52
1.O8 0.66 0_$9 L.t4 0"?O 0.65 0.46
0.83 0,59 t}.64 0,63 O.57 0.6s 0.u
looo l,o5 0,.t? o"58 0.45 0_s?
0.01
0.?6 0-33 0-?7 0,63 0,4? 0_96
0.60 0.?6
o?3 0.5?
Sumber: IMF working Paper WPl01l1S2 Seringnya intervensi dari bank sentral ini, dapat juga dilihat dari tingkat
volatilitas foreign exchange reserve, sebagai indikator kedua untuk menggambarkan hasil dari implementasi dari kebijakan nilai tukar. Intervensi kedalam pasar mata uang asing akan melibatkan terjadinya perubahan cadangan dari foreign reserve yang berada di bank sentral. Makin sering terjadinya intervensi maka makin tinggi tingkat volatilitas dari cadangan devisa.
volatilitas Gadangan Devisa (Foreign Exchange Reserve Volatility) Akibat perubahan stok cadangan devisa akibat intervensi bank sentral, diasumsikan bahwa negara yang jarang atau kurang mengintervensi pasar devisa berarti mengizinkan pasar devisa dapat menyerap efek dari gangguan internal dan eksternal. Jadi, negara yang jarang mengintervensi pasar devisa akan mempunyai
cadangan devisa yang lebih stabil dibandingkan dengan negara-negara yang
22
sering mengintervensi pasar untuk mempertahankan tingkat nilai
tukar
domestiknya.
Tabel 7.3 menunjukkan tingkat cadangan devisa di lima negara Asian dibandingkan dengan negara krisis di Amerika latin, Chile dan Meksiko, dan dibandingkan dengan negara-negara yang menerapkan regim nilai tukar bebas murni yang ditunjukkan pada Tabel 7.4. Indikator volatilitas cadangan devisa didefinisikan sebagai rata-rata absolut dari persentase perubahan cadangan
devisa dan standar deviasi dari persentase perubahan cadangan bulanan. Sebelum krisis negara-negara yang menerapkan nilai tukar bebas murni seperti Jerman dan Jepang menunjukkan rata-rata perubahan cadangan devisa yang lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara emerging market. Hal ini sesuai dengan apa yang diharapkan karena makin fleksibel nilai tukar suatu negara, maka makin stabil tingkat cadangan devisanya. Suatu negara dengan regim nilai tukar fleksibel jarang sekali melakukan intervensi pasar valuta asing, sehingga tingkat perubahan cadangan devisa juga makin kecil.
Table 7.3: volatilitas nominal nilaitukar bulanan di lima negara Asia Perbd Pq!t-si6ir
I[csnAbroluh Chalge
Srnnfurd deylrtlou
1.083
1.325
r.125 t.488
t,535
Jepu
h*risig
chih
Pq${iris kc{risis
2.?'!4
2.94S 2-948
lldco
Pogt-crixi$
3.ffi3
Prcsirit
3.086
5.059
Port-6isic
t,9t I
2.341
PrE+dsis
u.038 3.169
Fft{rfuit
3"175 ?"893 5"335
3.0{6
J.756
Post-sridr
Er'clirit
2-6ll 2"1 t8
4803
frdoncdt
Konr
}t.ll{rdr
Fo*'sritia
2.193
2.469
1.808
Fosl-crisls
Phlllppnc
2.Gr3
ItBqiste
3,1E3
1,8t9
ttribud
Po*.c,risir
hEqisis
3.458
d479 d47{t
Fos.crilir
1.850
LW
1.552
LtSl
Sumber: fMF Working paper WptO1t17O
23
Dari Tabel 7.3 juga menunjukkan bahwa dari empat negara krisis Asia yang
menerapkan regim nilai tukar fleksibel setelah krisis ekonomi, hanya lndonesia
yang mengalami peningkatan tingkat volatilitas cadangan devisa setelah krisis. Phenomena Indonesia ini bertentangan secara teoritis, dimana tingkat volatilitas cadangan devisa selama penerapan nilai tukar fleksibel seharusnya semakin kecil dibandingkan dengan pada saat penerapan nilai tukar tetap atau cenderung tetap.
Malaysia yang menerapkan nilai tukar tetap setelah krisis, mengalami kenaikan tingkat volatilitas cadangan devisanya dibandingkan dengan sebelum krisis, hal ini
sesuai dengan kerangka teoritis. Begitu juga dengan Korea, Philippines dan Thailand tingkat volatilitas cadangan devisa semakin kecil setelah menerapkan regim nilai tukar fleksibel.
Tabel 7.4: Volatilitas Cadangan Devisa dari tahun 1995-2000
1995
1996
1997
r998
1999
?000
158
3.s8
4.19
6.45
2.39
?.58
Korca
?.78
3.n
1.90
r.60
557
1.fi
3"16
4.5?
?.52
lio
6.r3
Thsilnd
3-l I
3.1I
4.17 5.43
2-t0
Averege
850 ?J3 9.t8 750
4.97
Philippines
2.39
2"12 3-98
Malaysia
2.#
?.72
6.tI5
45J
3J6
L82
.A,sh 5
Indoocsia
Indcpcud*nt
flortr V
Ausralil Ccoada Gcrmaay
4.88 ,t.96
l:l
3g], Mcrico 3{l,,lt} Ncv Zerlsnd 4jg Souft Africa 19,88 Japon
10,3?
3.45
6.31
7.63
lt"ol
4-42
?.66
10.50
4_21
L2?
1.47
LN l.l7
4.29 ?.61
5.96
3.90
1,v7
?.41
3.91
1.ls
d.3l
7.45 4-52
3.9?
L39 4,t7
?.*r
s.5fi
3.65 3-6$
2t,04
17,91
?.04
l"El *.16
Swo&r Swiedand
4,45
9.39
l0,l?
to.42
6.21
5.m
4.08
5.t5
5.Tl 353
4.62
U-K
e09
5.37
3-30
2-8r
4.82
6.62
8.2B
Sumber : IMF working Paper WPl01l1iz
24
Phenomena lndonesia
ini harus dilihat dari perspektif lain. Menurut
Hernandez dan Montiel (2001) dalam makalahnya berargumentasi bahwa fluktuasi
tingkat cadangan devisa tidak saja dipengaruhi oleh penerapan sistem nilai tukar, tetapi juga dipengaruhi oleh besarnya gangguan terhadap pasar valuta asing (exchange market volatility). Mereka melakukan observasi terhadap pasar valuta asing, seperti yang terlihat pada Tabel
7.5. Table tersebut menunjukkan bahwa
kecuali Malaysia dan Korea, paska krisis tiga negara asia lainnya mengalami tingkat gangguan pasar valuta asing yang besar khususnya terjadi di lndonesia dan Philippines. lndek tingkat gangguan pasar valuta asing dihitung berdasarkan metodologi Girton dan Roper (1977), yaitu rata-rata tertimbang dari persentase perubahan nilai tukar, perubahan cadangan devisa, dan tingkat suku bunga domestik.
Tabel 7.5: Tingkat Volatilitas Pasar Valuta Asing di Lima Negara Krisis Asia
Pag|*
Pnst*t*b
lndmcsis
4-siYo
68.1tr/'
Kofcs
x?,?3r$
22.ffi
}ldaysil
4J5?t
0.001/.
Fhilippiner
,4J570
31.$P/,
Thdhnd
455?0
9.rs%
Sumber: Hernandez & Montiel (2001) Taimur Baig (2001) dalam makalahnya menyatakan bahwa tingkat fluktuasi cadangan devisa dipengaruhi oleh dua komponen penting, yaitu pertama, fluktuasi
cadangan devisa dapat merefleksikan penyesuaian nilai tukar, pembayaran hutang baik swasta atau pemerintah, dan faktor lain yang bukan merupakan representasi dari intervensi pasar valuta asing. Kedua, intervensi forward market,
yang mana pada umumnya di beberapa negara, tidak sepenuhnya dapat terlihat
pada gambaran perubahan cadangan devisa. Intervensi spot market dapat menunjukkan perubahan neraca bank sentral dengan segera, akan tetapi intervensi forward market tidak merubah neraca bank sentral pada waktu itu juga. Phenomena di Indonesia ini lebih banyak disebabkan oleh selain tingginya
gangguan terhadap pasar valuta asing, juga disebabkan oleh jatuh temponya pembayaran hutang baik swasta dan pemerintah. Tingginya gangguan pasar 25
valuta asing disebabkan oleh belum tuntasnya penyelesaian restrukturisasi perbankan, reformasi di bidang keuangan dan perbankan, dan perekonomian secara umum serta ketidakstabilan di bidang politik, sosialdan hukum.
Volatilitas Suku Bunga (lnterest Rate Volatility) Indikator lain dari kinerja penerapan sistem nilai tukar adalah tingkat volatilitas suku bunga. Suku bunga merupakan instrument utama moneter, selain exchange rate untuk mempengaruhi sektor riil. Di banyak negara industri atau
maju, suku bunga merupakan satu-satunya instrumen moneter yang utama, dimana suku bunga merupakan fungsi dari tingkat output dan tingkat inflasi (monetary policy rules). Untuk suatu negara dengan perekonomian yang terbuka, selain output dan inflasi sebagai variabel yang mempengaruhi tingkat suku bunga,
nilai tukar (exchange rate) pun merupakan variabel penting dalam menentukan tingkat suku bunga. Mekanisme transmisi (lag) pengaruh perubahan nilai tukar terhadap output dan inflasi bahkan lebih cepat dibandingkan dengan transmisi perubahan suku bunga. lnstrumen moneter dengan mengkombinasikan tingkat
suku bungan dan tingkat nilai tukar untuk mendapatkan output dan inflasi yang diinginkan dinamakan Monetary Conditin Index (MCl). Secara teoritis dalam perekonomian terbuka, tingkat fleksibilitas nilai tukar
yang lebih besar akan dibarengi dengan tingkat volatilitas suku bunga yang lebih kecil. Penyimpangan tingkat output dan atau inflasi akan diredam sebahagian oleh fleksibilitas nilai tukar, sehingga tingkat penyesuaian suku bunga akan menjadi
lebih kecil. Sebaliknya untuk negara yang menerapkan regim nilai tukar tetap, suku bunga merupakan satu-satunya alat untuk mengendalikan gangguan agar tingkat output dan atau inflasi berada pada tingkat yang diinginkan, sehingga tingkat volatilitas suku bunga pada negara regim nilai tukar teatp akan menjadi lebih besar. Tabel 7.5 menunjukkan tingkat volatilitas suku bunga di lima negara krisis di
Asia. Korea dan Thailand mengalami penurunan tingkat suku bunga pada paska krisis relatif dibandingkan dengan sebelum krisis. Hasil ini tentunya konsisten dengan penerapan nilai tukar fleksibel pada paska krisis. Sebaliknya Indonesia
dan Malaysia mengalami inkonsistensi pada tingkat volatilitas suku bungan 26
sebagai konsekuensi penerapan nilai tukarnya. Tingkat volatilitas suku bunga di Malaysia menjadi lebih kecil setelah krisis dibandingkan pada sebelum krisis, walaupun Malaysia menerapkan sistem nilai tukar yang lebih rigid. Sedangkan
tingkat volatilitas suku bunga
di
Indonesia menjadi lebih besar setelah krisis
dibandingkan dengan sebelum krisis, walaupun sistem nilai tukarnya menjadi lebih
fleksibel setelah krisis. Inkonsistensi yang terjadi pada Malaysia mungkin disebabkan oleh pengaruh kebijaksanaan kapital kontrol yang dapat meredam efek-efek gangguan (shocks) di pasar valuta asing. Disamping itu, turunnya volatilitas suku bunga sebagai akibat untuk mempertahankan nilai tukar melalui intervensi sterilisasi dari pada menggunakan intervensi unsterilisasi di pasar valuta asing.
Sedangkan inkonsistensi yang terjadi di Indonesia lebih banyak disebabkan
oleh tidak konsistennya menerapkan sistem nilai tukar fleksibel. Seringnya intervensi Bank Indonesia untuk mempertahankan tingkat nilai tukar rupiah terhadap U.S.dollar dengan cara sterilisasi menyebabkan tingginya volatilitas suku bunga. lntervensi sterilisasi ini dimaksudkan untuk menekan tingkat inflasi. Tingkat inflasi setelah tahun 1998 kenyataannya dapat ditekan pada tingkatan satu digit.
Ketiga indikator tersebut di atas, volatilitas nilai tukar, volatilitas cadangan devisa, dan volatilitas suku bunga, menunjukkan bahwa kinerja penerapan regim nilai tukar mengambang bebas di Indonesia belum memberikan hasil yang lebih baik, bilamana dibandingkan dengan empat negara krisis Asia lainnya. Calvo dan Reinhard (2001) berargumen bahwa negara-negara krisis Asia kecuali Malaysia, secara de jure menerapkan system nilai tukar mengambang bebas akan tetapi secara de facto kebijaksanaan nilai tukar negara-negara tersebut tidak jauh berbeda dengan kebijaksanaan nilai tukar sebelum krisis tahun 1997. Phenomena "fear of pure floating" pada negara-negara emerging market yang di cetuskan oleh
beberapa ekonom terkemuka, seperti Calvo, Reinhard, Willett, Miskhin dan lainlain benar menjadi kenyataan seperti yang terjadi pada negara-negara krisis Asia.
27
Tabel7.6: Volatilitas suku bunga bulanan di lima negara krisis Asia Range
Gernrny
Jrprn Chite
Ill€rlco
hdoudr Koreo
lllrhyxb Plllpplmr Thdtrrd
Pre'crisis 0J3 Post-cririr 0.68 Preqisis 03,1 Foct-crisir 027 Prcsisis 11.94 Poel-crisi$ I I Jo Prp-crisis U.52 Post-criris 6.M Pre-crbis 4.97 Prxr.cnsh 12-19 ho-crisis 4.35 Pwt{risis 0,93 Pro-crisir 5.67 Post-crisis 1.8? Pro.crisir l.?6 Post-crisis 8.58 Pre-cdsis 10-89 Poit.crisis 1.45
MerrAboold+Cbnnge
.Stcud*rdDevlnti,oo
1.96
0.12 0.16 o.g7 0.05 3.08 ?.J9
4j,4
5.l]
1.45 0.E7 2,01
t.84
0,08
0.t3 0.03
0.02
2i7
0.?9 0.13 0.53 0.16 0.53 0.6x
L2r
l.12 t.0J 0,?,0
0.9J 0"1? Q,79
l.4ft
?,13
?J8
0..u)
s.8
Sumber: IMF Working Paper WPl011170
7.4
KESIMPULAN DAN SARAN
Optimum Currency Area (OCA) analysis menyimpulkan bahwa tidak ada satupun sistem nilai tukar dari sistem nilai tukar tetap sampai sistem nilai tukar mengambang bebas termasuk sistem nilai tukar di tengah-tengah
dapat secara
umum cocok digunakan untuk semua struktur ekonomi suatu negara, tanpa batas
waktu. Penerapan sistim nilai tukar, baik nilai tukar tetap (pegged exchange rate) maupun nilai tukar fleksibel (flexible exchange rate), sangat tergantung kepada kondisi, karakteristik dan struktur ekonomi suatu negara serta kondisi ekonomi global.
Kriteria- kriteria pokok yang harus dipertimbangkan untuk penerapan sistem
nilai tukar adalah keterbukaan (openness) dan ukuran (size) ekonomi suatu negara; tingkat mobilitas faktor-faktor produksi; tingkat diversifikasi komoditi; fleksibilitas harga dan upah; kesamaan tingkat inflasi dengan mitra dagang dan inflasi dunia; tingkat integrasi pasar; integrasi fiskal; variabilitas nilai tukar riil; dan faktor-faktor politik.
Sudah menjadi konsensus bahwa sistem nilai tukar super tetap akan mengorbankan kebebasan kebijakan moneter, sementara nilai tukar fleksibel 28
menciptakan kemandirian dalam pelaksanaan kebijakan moneter. Tidak memungkinkan suatu negara dapat menjalankan 3 (tiga) hal penting secara simultan dalam perekonomian yaitu mobilitas kapital bebas, penerapan sistem nilai tukar tetap, dan kebijakan moneter (monetary policy rules) yang bebas.
lndonesia dalam melaksanakan sistem nilai tukar crawling pegged, sistem nilai tukar yang lebih rigid, memang telah berhasil meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) dan menekan inflasi secara siknifikan sejak tahun 1973 hingga tahun 1997, bahkan telah menobatkan Indonesia sebagai macan perekonomian di Asia
tenggara pada pertengahan tahun delapan puluhan. Walaupun demikian, dalam perjalanannya sistem nilai tukar tersebut sempat tiga kali dikoreksi oleh kebijakan devaluasi yaitu pada tahun 1978, 1983 dan terakhir pada tahun 1986. Kebijakan devaluasi dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan pada sistem nilai tukar yang
lebih rigid, yaitu mata uang rupiah mengalami apresiasi secara riil terhadap U.S. dollar sehingga akan mengurangi daya saing perdagangan internasional. Kelemahan-kelemahan penerapan sistem nilai tukar lebih rigid (crawling pegged) disertai dengan liberalisasi keuangan dan permodalan yang tidak disertai
oleh adanya regulasi dan kontrol yang memadai, menyebabkan
sistem
perekonomian lndoneisa menjadi rentan terhadap gangguan eksternal. Disamping
itu, secara teoritis disebutkan bahwa tidak mungkin suatu negara menjalankan 3 (tiga) hal penting secara simultan dalam perekonomian dengan mobilitas kapital bebas liberalisasi keuangan, penerapan sistem nilai tukar tetap atau yang lebih
rigid, dan kebijakan moneter (monetary policy rules) yang bebas yang dapat dijalankan sepenuhnya oleh otoritas moneter. Hal tersebut di atas terbukti dengan kejadian krisis keuangan di lndonesia pada tahun 1997. Berbagai argumen dan alasan telah dikemukakan oleh para analis tentang penyebab terjadinya krisis di
Asia, keretanan perekonomian lndonesia tidak saja disebabkan oleh alas analasan ekonomi tetapi juga disebabkan oleh adanya ketidakstabilan politik, keamanan dan masalah-masalah social yang memperburuk krisis keuangan menjadi krisis multidimensi. Setelah terjadinya krisis keuangan, pada bulan Juli 1997 Indonesia dengan
terpaksa merubah sistem nilai tukar dari managed floating menjadi independently floating akibat tekanan depresiasi yang sangat besar terhadap nilai tukar rupiah. 29
Penerapan sistem nilai tukar yang lebih fleksibel sejak bulan Juli 1997 sampai
sekarang belum memberikan kinerja yang siknifikan terhadap penyembuhan perekonomian lndonesia. Kondisi tersebut dapat dilihat dari tiga indikator kinerja
penerapan nilai tukar mengambang bebas seperti volatilitas nilai tukar, volatilitas
cadangan devisa,
dan volatilitas suku bunga. Ketiga indikator
tersebut
menunjukkan kinerja penerapan regim nilai tukar mengambang bebas di lndonesia
belum memberikan hasil yang lebih baik dan jauh dari optimal, bilamana dibandingkan dengan empat negara krisis Asia lainnya.
Belum berhasilnya penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas di Indonesia disebabkan oleh salah satu faktor utama yaitu secara de jure lndonesia melalui Bank lndonesia menerapkan system nilai tukar mengambang bebas akan
tetapi secara de facto kebijaksanaan nilai tukar tersebut tidak jauh berbeda dengan kebijaksanaan nilai tukar sebelum krisis tahun 1997. Phenomena "fear of pure floating" benar menjadi kenyataan seperti yang terjadi pada negara-negara krisis
Asia, seperti yang dikemukanan oleh ekonom terkemuka Calvo,
Reinhard,
Willett. dan Miskhin.
30
DAFTAR PUSTAK,A
1.
Baig, Taimur., lnternational Monetary Fund Working Paper. WP/01/ Characteristic Exchange Rate Regime in Post-Crisis East Asia 152, October 1997.
2.
Behadi., Financial Sector Deregulation, Banking Development, and Monetary Policy: The Indonesian Experience, Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993.
3.
Blejer Mario 1., et al. Inflation Targeting
operational lssues and Application
to
in Practice: Strategic
and
Emerging Market Economies.
International Monetary Fund, Washington D.C., 2000.
4.
Boediono., Merenungkan Kembali Mekanisme Transmisi Moneter di fndonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Volume 1 No.1, July 1
5.
998.
Christoffersen, Peter, and Robert
F. Wescott.,
ls Polandia Ready for
Inflation Targeting? lnternational Monetary Fund Working Paper. WP 199t41, March 1999.
6.
Debelle, Guy, and Cheng Hoon Lim., Preliminary Considerations
of
an
fnffation Targeting Framework for the Phillipines. lnternational Monetary Fund Working Paper. WP/98/39, March 1998
7.
Debelle, Guy, and cheng Hoon Lim., Preliminary considerations
of
an
fnflation Targeting Framework for the Phillipines. /nfernational Monetary Fund Working Paper. WP/98/39, March 1998.
8.
Debelle, Guy. Inflation Targeting in Practice. Internationat Monetary Fund Working Paper. WP/97/35, March 1999
9.
Edwards, Sebastian., The Great Exchange Rate Debate After Argentina.
National Bureau
of Economic
Research,
lnc. working paper
No.9257,
October 2002.
3l
10.
., Exchange Rate Regime, Gapital Flows and Crisis Prevention. National Bureau of Economic Research, lnc. Working paper No.8529,
October 2001.
Barry and Ricardo Hausmann., Exchange Rates and Financial Fragility. National Bureau of Economic Research, lnc. Working
11, Eichengreen,
paper No.7418, November 1999. 12
Fischer, Stanley., Exchange Rate Regimes: ls the Bipolar View Correct? lnternational Monetary Fund, January 2001.
13.
Hernandez, Leonardo, and Peter Montiel., Post-Crisis Exchange Rate
Policy
in
Five Asian Countries: Filling
in the "Hollow
Middle"?
lnternational Monetary Fund Working Paper. WP1011170, January 2001 14. Hoffmaister, Alexander.,
Inflation Targeting
in
Korea:
An
.
Empirical
Expforation. lnternational Monetary Fund Working Paper. WPI99T, January 1
15.
999.
Houben, Aerdt., Exchange Rate Policy and Monetary Strategy Option in
the Phifippines: The Search for Stability and Sustainability. lnternational Monetary Fund . PPAA|9714, April1997. 16.
International Monetary Fund, Indonesian Selected lssues. Washington, August 16, 2000.
17
Lahiri, Amartya, and Carlos A. Veigh., Living with the Fear of Floating: An
Optimal Policy Perspective. National Bureau of Economic Research, lnc. Working paper No.8391, July 2001. 18.
Masson, Paul R., Miguel A. Savastano., and Sunit Sharma., The Scope for
Inflation Targeting in Developing Countries. lnternational Monetary Fund Working Paper. WP/97/130, October 1997. 19.
Mishkin, Frederic S., and Ben
S. Bernanke. lnflation targeting: A
new
Framework for Monetary Policy? National Bureau of Economic Research, /nc. Working paper No.5893, January 1997.
32
s.
2000. Inftation Targeting In Emerging Market Gountries. National Bureau of Economic Research, lnc. working paper
20. Mishkin, Frederic
No.7618, March 2000. 21
, Financial Policies and the Prevention of Financial Crises in Emerging Market Countries. National Bureau of Economic Research, lnc. Working paper No.8087, January 2001.
22.
Mussa et al., Exchange Rate Regimes in an Increasing
world Economy.
IMF Occasional Paper 193,2000. 23. Pillbeam, lnternational Money and Finance, London: 2nd ed., 199g 24.
saxena, Sweta c., and cerra, Valerie., contangion, Monsiins, and Domestic Turmoil in Indonesia: A case Study in the Asian currency
crisis. lnternational Monetary Fund working paper. wp/00/60, october 2000. 25
sarwono, Hartadi A., and perry warjiyo, Mencari paradigma Baru Manajemen Moneter dalam sistem Nilai rukar Fleksibel: suatu Pemikiran untuk Penerapannya di Indonesia. Butetin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Volume 1 No.1, July 1999.
26. Radelet,
stevens and Jeffrey Sachs, The East Asian Financial
Grisis:Diagnosis, Remedies, prospects. Brooking papers on Economic Activi$ 1,1998. 27.
Taylor, John., Recent Deveropment in the Use of Monetary policy Rules,
A written version of a dinner speech given at the conference. lnflation Targeting and Monetary policies in Emerging Economies" at the central Bank of the Republic of Indonesia, Jakarta, Indonesia , July 13-14, 2000.
28. w'rjoyo, santoso., dan lskandar., pengendalian Moneter dafam sistem Nifai Tukar Fleksibel. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Volume 2 No.2, September 1ggg.
29.
willet, wihlborg, and sweeney., Exchange Rate policy for Emerging Market Economies. California: Westview. 1999. 33
BAB 8
PERSPEKTIF KETAHANAN PANGAN
8.1
PENDAHULUAN Rakyat mempunyai hak atas pangan (right to food) dan hak untuk terbebas
dari kelaparan (free from hunger). Oleh karena itu dalam era globalisasi ini kita harus mempersiapkan betul masalah ketahanan pangan ini dengan mengerti dan mengejawantahkan keterkaitan antara Globalisasi, Kemiskinan dan Ketahanan Pangan (Gambar 1). Macam-macam dimensi dari globalisasi seperti disajikan di box paling atas
dalam gambar tersebut mempengaruhi pemerintah, masyarakat, pasar dan lingkungan serta sumber daya alam. Contohnya: Globalisasi mempengaruhi otonomi kebijakan pemerintah dan ketersediaan sumber daya publik. Globalisasi juga mempengaruhi kebudayaan dan nilai-nilai di dalam masyarakat. Selain itu, globafisasi berpengaruh terhadap struktur pasar dan juga bisa menimbutkan
dampak terhadap masalah lingkungan. Selanjutnya, perubahan-perubahan tersebut mempunyai implikasi terhadap berbagai sektor seperti: pertanian dan non pertanian, desa dan non desa, pangan dan non pangan. Akhirnya, berbagai dimensi globalisasi tersebut berpengaruh terhadap kemiskinan melalui impaknya dalam ekonomi dan asset non ekonomi serta mekanisme pemerataan pendapatan dan faktor-faktor institutional lainnya.
Ketahanan pangan adalah merupakan bagian dari seluruh framework ini. Sejak Pertemuan Pangan Dunia pada tahun 1974, fokus dari ketahanan pangan
telah berubah dari global dan national perspektive menjadi perspective rumah tangga dan individu, dimana masalah kekurangan gizi dan kelaparan terjadi. Diakui bahwa masalah utama dari ketahanan pangan adalah kurangnya akses kepada pangan karena kemiskinan dan bukan karena kurangnya persediaan pangan nasional. Oleh karena itu Pertemuan Pangan Dunia pada tahun 19g6 mendefinisikan ketahanan pangan sebagai berikut: Ketahanan pangan terjadi ketika semua rakyat sepanjang waktu mempunyai akses baik fisik maupun
34
b. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas
dari
cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah agama.
c.
Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan yang harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh'tanah air.
Undang-undang ini menyatakan bahwa pemerintah bersama masyarakat bertanggungjawab mewujudkan ketahanan pangan. Dalam kaitan ini pemerintah
menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian,
dan
pengawasan
terhadap ketersediaan pangan.
Otonomi daerah berdasarkan UU No.22, 1999 tentang "Pemerintahan Daerah" memberikan kewenangan lebih besar kepada kabupaten dan kota untuk mengatur daerahnya sendiri, termasuk tentang sektor pertanian. Tetapi PP No.25,
2000 tentang "Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom" tidak mencantumkan secara tegas kewenangan ketahanan pangan yang ditangani oleh pusat maupun propinsi. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa kewenangan ini, sampai batas tertentu, menjadi kewenangan "sisa" yang merupakan urusan kabupaten dan kota. Pemberian kewenangan ini kepada daerah akan menciptakan keragaman dalam kebijakan di masing-masing
daerah. Kebijakan tersebut akan sangat bergantung pada potensi dan persoalan masing-masing daerah, serta penetapan prioritas pembangunan di setiap daerah yang bersangkutan
Untuk bidang ketahanan pangan, misalnya, daerah dimungkinkan untuk merumuskan kebijaksanaan ketahanan pangan dengan pertimbangan lokal. Daerah dapat merencanakan pengembangan ketahanan pangan berdasarkan sumberdaya dan kearifan lokal yang berakar dalam masyarakat. Dengan demikian
ada kemungkinan daerah akan mengembalikan tradisi pola pangan yang telah memudar, misalnya, jenis pangan lokal non beras. Beberapa daerah sebenarnya memiliki tradisi tersendiri dalam jenis makanan pokoknya, seperti jagung, sagu, dan ubi. Namun akibat proyek "modernisasi pertanian" selama masa Order Baru yang berorientasi pada swasembada beras, maka yang terjadi adalah "berasisasi" nasional. Lebih lanjut, kebutuhan makanan pokok rakyat menjadi seragam dan 36
rentan terhadap ketersediaan satu jenis makanan, yaitu beras. Akibatnya, beras di
lndonesia tidak lagi sekedar sebagai komoditi pangan (ekonomi), tetapi telah menjadi komoditi sosial, bahkan komoditi politik.
Berbagai masyarakat di daerah juga mempunyai tradisi lokal dalam menangani keamanan pangan yang selama ini cenderung dilupakan atas nama "modernisasi pertanian." Institusi yang dimaksud antara lain adalah "lappo ase" di
Sulawesi Selatan, "rangkiang sitangkalapa" di Sumatera Barat, "keliu"
di
Pulau
Mentawai, "lumbung desa" di Pulau Jawa, "rumah page" dan "krano" di Kabupaten
Karo, "lopo"
di Pulau Timor, dan lain-lain. Melalui kebijaksanaan otonomi
yang
bermakna bahwa pemerintah memberi kewenangan dan kepercayaan kepada
komunitas masyarakat, maka pemerintah pusat maupun daerah perlu memfasilitasi untuk menumbuhkembangkan institusi-institusi tersebut.
Kewenangan daerah yang lebih besar dalam kebijaksanaan ketahanan
pangan dapat menjadi salah satu cara untuk keluar dari situasi kerawanan pangan. Dengan berbedanya keunggulan komparatif dan kompetitif antar daerah,
maka setiap daerah, bahkan setiap petani, bebas mengembangkan komoditas unggulannya. Daerah tertentu atau petani bebas mengalihkan tanaman padi ke
tanaman lain yang lebih menguntungkan sebagaimana dimungkinkan oleh UU No.12, 1992 tentang "Sistem Budidaya Tanaman." Dengan demikian, misalnya, pemerintah tidak perlu memaksa rakyat Pulau Sumba untuk menanam padi.
Namun menurut sejumlah pejabat pusat, jika daerah dan petani diberi kebebasan, dikhawatirkan ketahanan pangan dalam lingkup nasional dapat terganggu, dan investasi besar yang ditanam selama ini, seperti irigasi dan infrastruktur lainnya, menjadi mubazir. Kekhawatiran seperti itu mengindikasikan bahwa birokrasi pusat memang masih tetap belum yakin mengenai kemampuan
daerah dan kearifan petani. Menteri Pertanian, misalnya, mengeluarkan surat edaran yang meminta agar daerah membentuk Badan Ketahanan Pangan (BKP)
baik di tingkat propinsi maupun di kabupaten dan kota di luar Dinas Pertanian.
Daerah menanggapi instruksi ini dengan sikap berbeda. Sebagian menolak dengan alasan tugas pokok dan fungsi yang menyangkut ketahanan pangan cukup diurus oleh Dinas Pertanian. Sebagian lainnya setuju membentuk BKP guna menampung eks pegawai Kantor Wilayah dan Kantor Departemen Pertanian 37
serta Kantor Bimbingan Massal (BIMAS). Selebihnya membentuk BPK karena merasa bahwa surat edaran pusat harus dipatuhi. Muncul juga pemikiran lain bahwa urusan ketahanan pangan dapat juga
diserahkan pada mekanisme pasar guna memperingan tugas pemerintah baik pusat maupun daerah. Namun, jika cara ini dilakukan mungkin akan berdampak buruk pada kelompok masyarakat miskin. Kerawanan pangan dapat terjadi karena daya beli masyarakat rendah atau aksesibilitas mereka terhadap pangan rendah.
Masafah ketahanan pangan di Indonesia tidak lepas dari krisis moneter dan ekonomi sejak pertengahan 1997 yang menyebabkan turunnya kemampuan daya beli masyarakat. Melihat kenyataan tersebut maka ketahanan pangan di lndonesia
memang masih memerlukan campur tangan pemerintah baik pusat maupun daerah, sebagaimana diamanatkan oleh UU No.7, 1996. Di beberapa negara lain,
seperti Jepang, Korea Selatan, dan Malaysia peran pemerintah dalam memperkuat ketahanan pangan nasional masih tetap besar. Di Indonesia, pada era otonomi daerah sekarang ini kita perlu merumuskan perimbangan peran yang harus ditangani pusat dan yang wajib dikerjakan pemerintah daerah, agar tercipta ketahanan pangan yang kuat di seluruh pelosok tanah air.
Ketahanan pangan antara lain tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, beragam dengan harga yang cukup terjangkau oleh daya beli masyarakat,
dan lebih khusus lagi terjangkau oleh setiap keluarga; serta beranekaragamnya konsumsi pangan keluarga/masyarakat pada tingkat wilayah yang yang berbasis agroekosistem, budaya dan kondisi sosial ekonomi. Dengan demikian terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga merupakan komitmen nasional. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999-2004, terdapat dua
hal pokok yang harus diperhatikan dalam upaya mewujudkan sistem ketahanan pangan, yaitu: (a) bahwa perwujudan ketahanan pangan adalah tanggung jawab bersama antara seluruh ajajaran pemerintahan dan masyarakat, bukan tanggung
jawab pemerintah pusat semata; (b) pencapaiannya harus diupayakan dengan memanfaatkan secara optimal sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal.
38
8.1.2 Peran Strategis Pembangunan Ketahanan Pangan Ketahanan pangan adalah kunci utama dan harus menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan, sebagaimana telah diingatkan oleh Lappe dan
collins (1977) dalam bukunya yang berjudul Food First: Beyond the Myth of scarcity. Alasannya adalah, tanpa dukungan kecukupan pangan tak ada negara yang dapat mengefektifkan pengerahan tenaga atau pikiran secara optimal. Di samping itu bahwa surplus pangan di suatu negara tidak dengan sendirinya akan
mengalir
ke negara-negara berkembang yang banyak penduduknya
lapar.
Pergerakan pangan akan mengikuti kaidah pasar, yaitu mengalir menuju ke negara-negara yang memiliki devisa dan berdaya beli lebih tinggi, meskipun tak
ada orang lapar di sana. Hal ini dapat dibuktikan dengan data empirik, dimana ekspor pangan Amerika serikat ke negara berkembang (berupa food aid) hanyafah sekitar 10 persen, sedangkan lebih dari separuh ekspornya tertuju ke negara-negara kaya seperti Jepang, Kanada, Belanda, dan Jerman. lntinya
adalah, bagi negara berkembang yang cadangan devisanya
terbatas,
menggantungkan pangan dari pasar dunia adalah kebijakan yang sangat beresiko.
selain menggantungkan ketahanan pangan pada pasar dunia sangat beresiko karena alasan pergerakan bahan pangan yang selalu mengikuti kaidah pasar, resiko tersebut menjadi semakin besar mengingat kondisi pasar pangan, utamanya beras, bukanlah pasar yang kompetitif. Pasar beras dunia merupakan residual market dan volumenya sangat tipis (hanya sekitar 4-5 persen dari total produksi), dan bersifat oligopolistik karena 80 persen perdagangan beras dunia dikuasai oleh 6 negara: Thailand, Amerika serikat, Vietnam, pakistan, cina, dan
India. Apabila terjadi goncangan produksi di negara-negara tersebut maka supply ke pasar dunia menjadi sangat terbatas dan harga pun menjadi sangat tidak stabil.
8.1.3 Konsep Sistem Ketahanan pangan Peningkatan produksi pangan secara nasional sejak Pelita pertama dititikberatkan pada padi atau beras dengan sasaran utama tercapainya swasembada
beras. Kebijakan tersebut diambil dengan rasionalitas yang baik, mengingat beras
adalah bahan pangan pokok penduduk dan fluktuasi harga beras akan
39
berpengaruh pada laju inflasi dan stabilitas ekonomi nasional. Dengan kebijakan tersebut, Indonesia telah berhasil mencapai swasembada beras pada tahun 1984.
Bila dievaluasi lebih mendalam, pada perkembangannya ternyata program pencapaian swasembada yang terfokus orientasinya pada beras tersebut relatif rentan terhadap faktor-faktor eksternal, seperti iklim, serangan hama dan penyakit
di samping faktor internal sepeerti keterbatasan dalam peningkatan produktivitas. Berdasarkan permasalahan yang dihadapi dalam upaya peningkatan produksi pangan tersebut, maka kebijakan tanaman, serta gejolak pasar,
pembangunan
di bidang pangan lebih diarahkan
pada terwujudnya sistem
ketahanan pangan dari tingkat nasional hingga tingkat rumah tangga. Ketahanan pangan, secara luas. dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memenuhi kecukupan pangan masyarakat dari waktu ke waktu. waktu dalam hal
ini mencakup segi kuantitas dan kualitas, balk dari produksi sendiri membeli
di pasar. Terwujudnya sistem ketahanan
maupun
pangan tersebut tercerrmin
antara lain pada ketersediaan pangan yang cukup dan terjangkau daya beli masyarakat, serta terwujudnya diversifikasi pangan, baik dari sisi produksi maupun dari sisi konsumsi. Oleh karena itu pembangunan di bidang pangan di
arahkan pada upaya peningkatan swasembada pangan yang tidak hanya berorientasi pada beras saja, namun didukung pula oleh jenis-jenis komoditi strategis lainnya, seperti palawija, sebagai bahan pangan utama.
Selama ini, program peningkatan produksi palawija masih dititik-beratkan pada jagung dan kedelai, karena selain diperlukan untuk pangan dan merupakan bahan baku industri, namun ketersediaannya masih tergantung pada impor. Pada sisi lain, belum memasyarakatnya diversifikasi pangan dan ketergantungan bahan
pangan utama non beras pada impor tersebut akan memperlemah tingkat ketahanan pangan, baik secara nasional maupun rumah tangga.
Lemahnya sistem ketahanan pangan tersebut dalam kondisi krisis yang
terjadi akhir- akhir ini dapat diketahui dari munculnya berbagai masalah sehubungan dengan ketcrsediaan bahan pangan yang terbatas, disertai dengan lemahnya daya beli masyarakat. Krisis ekonomi yang terjadi pada saat yang bersamaan dengan rendahnya produksi pangan, terutama beras akibat kondisi
alam yang kurang menunjang pada musim gadu tahun 1988 ini ternyata memacu kenaikan harga beras. Pada sisi lain, seharusnya kenaikan harga tersebut dapat
dinikmati oleh petani namun pada kenyataannya justru memperlebar marjin pemasaran yang memberikan insentif pada para pelaku pemasaran untuk
melakukan perniagaan beras. Kondisi tersebut selanjutnya menyebabkan tingginya harga beras ditingkat konsumen yang bahkan dengan lemahny.a daya beli masyarakat maka harga tersebut menjadi semakin tidak terjangkau. Untuk itu maka pemerintah Indonesia pada tahun 1988 ini mengimpor lebih dari tiga juta ton beras, lebih dari satu juta ton jagung dan lebih dari setengah juta ton kedelai,
dengan harapan dapat menurunkan harga beras di dalam negeri. Selain itu, impor bahan pangan pada tingkat kurs dollar-rupiah yang tinggi pada saat itu akan menyerap dana yang sangat tinggi pula karena tingkat harga bahan pangan impor tersebut febih tinggi dari harga di dalam negeri.
Semakin lemahnya sistem ketahanan pangan di lndonesia tersebut akan semakin diperburuk lagi dengan semakin menurunnya kegairahan petani untuk melakukan usahatani tanaman pangan yang disebabkan oleh meningkatnya harga
input akhir-akhir
ini.
Kondisi tersebut secara komprehensif akan semakin
mengarah pada rapulmya sistem pangan secara keseluruhan. Untuk itu diperlukan reorientasi kebijakan pembangunan pertanian secara mendasar yaitu dengan titik
berat tidak saja pada upaya peningkatan produksi pertanian saja, terutama pangan, tetapijuga pada upaya peningkatan pendapatan petani.
Berdasarkan uraian terdahulu maka dapat dirumuskan kerangka pikir tentang ketahanan pangan sebagai sistem ketahanan pangan yang terdiri dari tiga
komponen utama yang saling terkait, yaitu: (1) komponen produksi pangan, (2)
komponen konsumsi,
dan (3) komponen pasar. Masing,masing
komponen
tersebut mempunyai kinerja yang dipengaruhi oleh faktor-faktor, baik internal maupun ekstemal, namun indikator yang dapat digunakan sebagai ukuran kinerja
sistem ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan dan aksesibilitas konsumen terhadap pangan.
Ketersediaan pangan
pada dasarnya diperhitungkan
ketersediaan (supply) yang ada
di
berdasarkan
masyarakat. Ketersediaan pangan dapat
berasal dari produksi dalam negeri (domestik) dan impor pangan. Namun 4l
demikian ketersediaan yang berasal dari produksi domestik "relatif lebih murah"
dan dapat mengurangi ketergantungan terhadap negara lain. Hal
tersebut
tercermin dari keinginan pemerintah untuk tetap dapat mewujudkan swasembada pangan nasional yang akhir-akhir ini diarahkan untuk tidak hanya tergantung pada
komoditi pangan tertentu saja, seperti beras dan terigu. Kelemahan sistem ketahanan pangan yang bergantung pada dua komoditas tersebut menuntut pergeseran konsep swasembada pangan ke arah kemandirian yang didasarkan pada keanekaraganlan (diversifikasi) ketersediaan bahan pangan selain beras dan terigu.
Sedangkan aksesibilitas konsumen terhadap pangan dalam hal ini lebih
diartikan sebagai kemampuan untuk memperoleh bahan pangan yang cukup dalam jumlah, mutu dan keragamannya (diversifikasi) untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizinya. Kemampuan tersebut dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi
dan budaya masyarakat serta kondisi geografis. Ketersediaan pangan di masyarakat belum tentu menjamiin tercapainya ketahanan pangan apabila masyarakat tidak mampu menjangkau pangan tersebut, baik ditin.iau dari daya
beli masyarakat maupun faktor isolasi geografis dan gangguan keamanan masyarakat.
Ditinjau dari indikator sistem ketahanan pangan tersebut tampak adanya
keterkaitan
dan kesesuaian antara ketersediaan pangan dan
aksesibilitas
konsumsi dengan pengertian bahwa ketersediaan pangan harus dapat memenuhi
kuantitas dan kualitas yang terjangkau oleh daya befi masyarakat sejak dari tingkat nasional sampai di tingkat rumah tangga. Dengan demikian tampak bahwa sistem ketahanan pangan bersifat multi-dimensionalyang saling berkait dan saling menentukan. Berdasarkan hasil Sidang Komite Pangan Dunia ke-18 tahun 1993 dapat ditunjukkan bahwa konsep ketahanan pangan mencakup tiga aspek penting, yaitu:
(l) ketersediaan pangan, (2) stabilitas penyediaan bahan pangan, dan (3) akses individu dan/atau rumah tangga untuk memperoleh pangan. Dengan demikian untuk dapat mewujudkan ketahanan pangan dapat dilakukan upaya-upaya seperti:
42
1. Peningkatan swasembada pangan yang multi komoditas
2. Peningkatan efektivitas dan efisiensi distribusi pangan 3. Peningkatan daya beli masyarakat 4. Peningkatan kemampuan penyediaan pangan fiumlah, mutu, dan ragamnya)
5. Peningkatan kemampuan penyediaan cadangan pangan 6. Peningkatan pengetahuan masyarakat tentang pangan dan gizi
Upaya-upaya tersebut ditentukan oleh kemampuan untuk mewujudkan diversifikasi pangan, baik dari sisi produksi maupun sisi konsumsi dan efisiensi
kinerja komponen-komponen sisiem ketahanan pangan sejak dari produksi, distribusi dan pemasaran bahan pangan.
Selain itu unsur teknologi terutama teknologi pertanian dan teknologi pangan perlu dikembangkan untuk dapat meningkatkan produksi komoditas pangan (beras dan pangan alternatif lainnya dan pada sisi lain dapat menggeser elastisitas permintaan komoditas pangan. Teknologi pengolahan pangan pada
dasamya dapat digunakan untuk mengurangi resiko gangguan ketersediaan pangan akibat musim dan sifat bahan pangan yang mudah rusak itu. Upaya_ upaya tersebut dapat ditempuh melalui kegiatan-kegiatan antara lain:
1. Pengembangan produksi komoditas pangan yang mempunyai daya saing regional maupun nasional atau intemasional,
2. Pengembangan industri pengolahan basil produksi pangan (agroindustri) dengan teknologi yang dapat segera dikuasai oleh masyarakat di pedesaan sebagai sentra produksi pangan,
3. Agroindustri pengolahan produksi pangan tersebut selain dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan produksi pangan hendaknya juga mempunyai dampak langsung terhadap peningkatan pendapatan petani dan masyarakat di daerah itu,
4. Pengembangan Agroindustri pangan ke arab produk-produk yang
mampu
mendorong konsumen untuk melakukan diversifikasi konsumsi pangan, 43
5. Pemanfaatan fasilitas permodalan secara optimal
untuk pengembangan
agroindustri pangan. Pada dasamya pemerintah diharapkan berperan
aktif untuk memberikan motivasi,
fasilitas dan pembinaan untuk mengantarkan komponen-komponen tersebut di atas untuk
secara integratif dapat mewujudkan sistem ketahanan pangan yang berkelanjutan (sustainable). Intervensi pemerintah pada sistem ini dapat bersifat langsung maupun tidak langsung, seperti kebiiakan harga,
tarif dan permodalan atau sistem distribusi
dan
pemasaran. Selain itu diperlukan pula pembinaan untuk pengembangan teknologi, efisiensi
produksi dan pasar, pemberdayaan ekonomi masyarakat dan kampanye diversifikasi pangan.
8.2
PERKEMBANGAN KEBUAKAN DI BIDANG KETAHANAN PANGAN
8.2.1 Kebijakan Pangan Masa Pra-Kemerdekaan Perhatian terhadap pangan, khususnya padi atau beras, berikut produksinya telah berlangsung sejak lama. Pada tahun 1800 Gubernur Jenderal
Daendels misalnya tercatat pernah memerintahkan kepada pegawai-pegawinya
untuk melakukan berbagai tindakan untuk meningkatkan produksi beras para petani melalui perbaikan cara bercocok tanam. Pada tyahun 1A74 dibentuk sebuah panitia yang beranggotakan pejabat-pejabat Belanda yang ditugasi untuk memberikan pengajaran atau penyuluhan kepada para petani dalam usaha meningkatkan produksi padi sawah. Upaya ini diikuti dengan upaya pemerintah kolonial menyelenggarakan percobaan dan percontohan budidaya padi, yang kemudian dihentikan pada tahun 1900 karena dinilai tidak berhasil menggerakkan petani untuk mencontohnya.
Pada masa itu campur tangan pemerintah untuk meningkatkan produksi padi selalu disalurkan melalui jalaran Pamong Pra1a, walaupun kemudian dinilai
kurang berhasil. Melchior Treub (Direktur Kebun Raya) berhasil meyakinkan pemerintah Belanda tentang perlunya penanganan secara khusus masalah pertanian rakyat oleh suatu badan teknis, sehingga didirikanlah Departemen Pertanian (Departemen van Landbouw) yang mulai bekerja pad a tanggal 1 Januari 1905 di bawah pimpinan Treub. Dalam Koninklikje Bestuit (Keputusan Kerajaan) 28 Juli 1904 no.28 (sfaafsb/ad 380) yang memberikan landasan kerja 44
bagi Departemen Pertanian, dinyatakan bahwa untuk memajukan pertanian rakyat diperlukan campur tangan pemerintah dan pertanian rakyat mendapat prioritas
utama dbanding bidang-bidang lain. Pada 1937 dapat dicatat sebagai lahirnya program intensifikasi, sewaktu pemerintah jajahan Hindia Belanda mengantarkan Verbeterde Cultu ur Technieken.
Upaya dalam bidang pendidikan ditandai dengan didirikannya Sekolah Pertanian Bogor dan diselenggarakannya berbagai kursus oleh Kebun Tanaman Perdagangan dan Balai Penelitian Tanaman Padi serta dibukanya kebun-kebun
demonstrasi. Pada tahun 1908 pemerintah mengangkat penasehat-penasehat pertanian. Pada tahun 1910 Departemen Pertanian
di bawah pimpinan Lovink
membentuk Dinas Penyuluhan Pertanian (Landbouw Voorlichtings Dienst), sesudah itu dimulai upaya memajukan pertanian rakyat dengan penyuluhan pertanian. Penyuluhan kepada para petani, termasuk dalam peningkatan produksi
padi, dilaksanakan dengan strategi 'tetesan minyak' (olie vlek sysfem). Dengan strategi ini, penyebaran gagasan, pengetahuan dan teknologi kepada para petani pada umumnya dilakukan melalui para pemimpin masyarakat dengan dukungan percobaan dan percontohan budidaya tanaman, kursus tani, serta pembentukan
dan pembinaan kelompok tani yang sasaran pertamanya adalah lapisan elit masyarakat desa.
8.2.2 Kebijakan Pangan Pada Awal Kemerdekaan Pada awal kemerdekaan, kebijakan pangan yang dilakukan pada dasarnya
meneruskan kebijakan yang dilakukan oleh kolonial Belanda. Dasar pemikiran
yang melandasi kebijakan pangan waktu itu adalah bahwa beras merupakan komoditas yang sangat penting. Oleh karenanya pemerintah perlu melakukan intervensi langsung ke pasar, misalnya dengan hambatan dagang, penetapan harga "atas" dan "bawah" dan kepercayaan pada harga murah impor untuk menjaga stabilitas. Pada kurun waktu 1945-1963, upaya untuk memajukan pertanian dirancang
dengan 'Plan Kasimo", yang mencakup produksi benih unggul, perbaikan dan
perluasan pengairan pedesaan, peningkatan penggunaan pupuk, dan pemberantasan hama, peningkatan pengendafian tanah larut, intensifikasi 45
pemakaian tanah kering, dan peningkatan pendidikan masyarakat desa. Dalam hal penyuluhan pertanian dilakukan inovasi dengan didirikannya Balai Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD), suatu tempat dengan bangunan untuk pertemuanpertemuan dan lahan (1-2 ha) untuk demonstrasi usahatani dan industri kecil di
tingkat kecamatan. Pemimpin Balai dipegang oleh petugas Jawatan Pertanian Rakyat, dan Balai ini dinyatakan bersifat'netral' dari kepentingan politik.
Kebutuhan beras yang meningkat dan tingginya lajunya pertambahan penduduk mendesak Pemerintah untuk memperhatikan secara istimewa perihal peningkatan produksi beras. Pemerintah lalu mengeluarkan Rencana Tiga Tahun Produksi Padi (1959-1961) yang mempunyai target swasembada beras pada akhir
tahun 1961. Untuk mencapai target tersebut, dilancarkan gerakan masyarakat yang didukung dengan penyediaan sarana produksi. Bahkan pemerintah membentuk KOTOE (Komando Tertinggi Operasi Ekonomi) untuk memperbaiki
kondisi ekonomi yang saat itu,
di awal 1960-an, dirasa makin sulit.
Untuk
memobilisasi gerakan masyarakat dalam perbaikan pertanian, khususnya peningkatan produksi padi, dibentuk Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM) yang di tingkat pusat dipimpin oleh Menteri Pertanian. Sementara di propinsi dan kabupaten masing-masing dipimpin gubernur dan bupati. Sedangkan di desa-desa diangkat Pamong Tani Desa (PTD), yang bertugas membantu kepala desa dalam
melaksanakan kegiatan swasembada beras. Patut dicatat upaya pemerintah
melalui KOTOE dan KOGM tidak terlepas dari pengaruh politik 'Demokrasi Terpimpin' saat itu, sehingga tak heran unsur ABRI (TNl sekarang) sangat turut mewarnai upaya menggerakan masyarakat di bidang pertanian.
Selanjutnya dibentuk
pula Badan Produksi Bahan Makanan
dan
Pembukaan Tanah (BPMT) dengan dua anak perusahaan yaitu Padi Sentra dan
Mekatani. Padi Sentra yang kemudian menjadi PN Pertani bertugas untuk mengadakan, menyalurkan, dan menyediakan sarana produksi bagi para petani. Sementara Mekatani bertugas membuka lahan baru dengan lata-alat berat untuk
ditanami padi lahan kering, terutama di luar Jawa. Penyuluhan masa itu dirubah
dengan mengadakan kampanye besar-besaran, termasuk dengan ceramahceramah, pameran, dan pawai-pawai.
46
Di Jawa Barat dibentuk kelompok-kelompok yang anggotanya
adalah
petani yang menggarap sawah 'seamparan samak'(sehampar tikar) yaitu mereka
yang lahan sawahnya berdekatan letaknya. Petani sehamparan bernaung dalam OPSSB (Organisasi Pelaksana Swa Sembada Beras). Organisasi ini merupakan kelompok tani pertama yang anggotanya bersifat massal.
Apa yang bisa dicatat dari semua kebijakan
di atas adalah upaya
mendorong petani untuk menggunakan teknologi baru yaitu insektisida, pupuk anorganik dan bibit unggul, serta rangsangan penyediaan kredit oleh Padi Senfra, ternyata tidak dapat mencapai hasil yang diharapkan. Penyuluhan. pertanian tidak
mampu meyakinkan petani agar dalam waktu sing kat bersedia mengadopsi teknologi baru tersebut. Salah satu pelajaran utama yang dapat ditarik dari seluruh keb'rjakan pertanian
di atas adalah bahwa
menggiatkan 'gerakan' para petani
dengan pendekatan 'komando' bukanlah pilihan yang benar karena nyatanya tujuan yang diharapkan gagal diraih,
8.2.3 Kebijakan Pangan Pada Masa Orde Baru
A. Periode Pencapaian Swasembada Beras Memasuki dekade 1970-an muncul gejala yang berlawanan arah dan cukup mengejutkan. Pemerintah dalam hal ini harus mengambil langkah kebijakan untuk
mengerem laju peningkatan produksi (over-supply) karena menganggap hal itu hanya akan mengakibatkan turunnya harga beras dan itu berarti akan memukul
pula kehidupan para petani sendiri. Berdasarkan pertimbangan itu
Menteri
Pertanian kemudian membentuk 'Team Perumus Penyesuaian Target Produksi Beras' pada tahun 197311974.
Sekali lagi keadaan
ini tentu saja sangat bertolak belakang
dengan
keadaan kemampuan produksi pada tahun 1959 ketika hasrat untuk mencapai 'swasembada beras' mulai keras diteriakkan dan diusahakan. Di tahun 1960-an hampir sekitar 100 juta US dollar dihabiskan tiap tahun untuk mengimpor beras
menutupi kekurangan pangan. Dalam periode tahun 1955-1964 itu, secara sederhana dapat kita nyatakan bahwa naik turunnya produksi padi praktis dikuasai oleh irama alam, walaupun penyuluhan panca usaha dan pembinaan usaha-usaha
47
intensifikasi produksi padi telah mulai dilakukan secara besar-besaran melalui Padi Sentra.
Kegagalan pendekatan gaya 'komando' pada kebijakan pertanian sebenarnya telah sempat menimbulkan syak-wasangka apakah petani-petani subsisten yang lahannya bertambah sempit dan sebagian besar mereka tinggal di
Jawa dapat berubah dan dapat dibina ke arah penerimaan dan penggunaan teknologi baru. Bagi kalangan ini bayangan tradisi kebudayaan Jawa yang telah berurat akar pada petani/komunitas desa adalah faktor utama penghambat terwujudnya adopsi teknologi baru secara meluas. Syak-wasangka itu mereda tatkala IPB mengumumkan keberhasilan hasil
proyek kecil pembinaan Demonstrasi Pancausaha Lengkap yang dijalankan di
Kabupaten Karawang dalam M.H. 1963/1964. Pemerintah kemudian tertarik
kembali oleh hasil usaha
ini dan melihat adanya harapan-harapan untuk
melebarkan adopsi teknologi baru, khususnya di bidang pertanaman padi. Atas
dasar itulah dilancarkan program Demonstrasi Massal (DEMAS) 1964/1965 secara terbatas, dan ketika dinilai berhasil baik tak lama kemudian dilansir program Bimbingan Massal (BIMAS). Angka-angka statistik peningkatan produksi
padi yang terjadi antara 1965-1970 dapat memberikan gambaran kepada kita signifikansi 'keberhasilan' program Bimas dilihat dari segi kuantitas. Produksi beras misalnya meningkat 6
o/o
per tahun dibandingkan semula hanya 2.5 o/o per
tahun saja.
Peningkatan produksi yang pesat dapat dipertahankan hingga era tahun 1980an, sehingga tercapailah swasembada beras pada tahun 1984. Pencapaian
prestasi swasembada beras pada era 1980 an tidak terlepas dari kebijakan ketahanan pangan yang diterapkan pada masa itu. Strategi yang dilakukan saat
itu bertumpu pada pencapaian stabilitas harga pangan, kemudaan akses pangan, diversifikasi pangan, dan perbaikan nutrisi yang terdiri atas 3 komponen yaitu (a) kebijakan menyeluruh tentang harga yang mengontrol tingkat dan stabilitas harga konsumen dan produsen beras dan juga input penting lainnya seperti pupuk, (b) investasi publik dalam teknologi produksi beras secara modern dalam infrastruktur
dan institusi yang dibutuhkan untuk mendukung teknologi inovasi baru, dan sebuah upaya terpadu dalam meningkatkan status nutrisi.
(c)
Memang sejak awal tujuan kebijakan program pertanian di bawah nama
yang berubah-ubah itu, adalah hanya untuk meningkatkan angka produksi (tanaman padi) saja. Dengan kata lain siapa dan golongan petani mana yang memanfaatkan dan menikmati program terse but tidak terlalu menjadi perhatian.
Pikiran dasarnya adalah produksi padi harus naik, sedangkan pembagian hasil pada gilirannya akan diatur oleh kekuatan atau mekanisme pasar sendiri. Seperti
kotak Pandora yang mengandung ketidak pastian; segala sesuatu bisa ke luar atau muncul dari Kotak Pandora tersebut. Patut dikemukakan keswasembadaan beras yang dicapai 1984 adalah hasil modernisasi pertanian tanpa reformasi agraria.
B.
Era Stabilisasi Orde Baru (1987-1997)
Pada era orde baru, stabilisasi harga beras merupakan salah satu kebijakan yang penting. Ketidakstabilan harga beras dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda yaitu (i) ketidakstabilan antar musim, yaitu musim panen dan musim paceklik; (ii) ketidakstabilan antar tahun, karena pengaruh iklim seperti kekeringan
atau kebanjiran dan fluktuasi harga beras di pasar internasional yang keduanya sulit diramalkan. Oengan demikian stabilisasi harga melewati batas musim dan tahun.
Ketidakstabifan harga antar musim terkait erat dengan pola panen, yaitu
panen raya yang berlangsung pada bulan Pebruari-Mei (60-65 persen dari total produksi nasional); panen musim gadu pertama yang berlangsung antara JuniSeptember (25-30 persen); dan sisanya panen antara bulan Oktober-Januari. Bila
harga pad'rjberas dilepas sepenuhnya kepada mekanisme pasar, maka harga beras/padi akan jatuh pad a musim panen raya dan meningkat pesat pada musim paceklik (Oktober-Januari). Ketidakstabilan harga tersebut dapat memukul produsen pada musim panen dan memberatkan konsumen pad a musim paceklik. Di samping itu juga akan berakibat luas pada ekonomi makro khususnya inflasi.
Pada saat itu, berbagai instrumen kebijakan digunakan
untuk
mengamankan harga beras. lnstrumen kebijakan tersebut dapat digolongkan ke dalam dua tingkatan yaitu (a) tingkat usahatani, dan (b) tingkat pasar/konsumen.
Di tingkat usahatani, kebijakan yang terpenting berupa subsidi harga output 49
(Jaminan harga dasar), subsidi harga input (benih, pupuk, pestisida), dan subsidi
bunga kredit usahatani. Di tingkat pasar, kebijakan yang dilaksanakan berupa manajemen stok dan monopoli impor oleh Bulog, penyediaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk operasionalisasi pengadaan beras oleh Bulog, Kredit Pengadaan pangan bagi 'Koperasi/KUD, dan operasi pasar oleh Bulog saat harga beras tinggi.
Manajemen stok merupakan instrumen inti dari kebijakan stabilisasi. Stok
beras yang dikuasai Bulog bervariasi antara satu musim dengan musim lainnya,
dan antara satu tahun dengan tahun lainnya, bergantung pad a produksi dalam negeri. Bila produksi dalam negeri baik, maka seluruh stok beras berasal dari produksi dalam negeri, sebaliknya bila terjadi kekeringan/banjir, maka sebagian
stok beras akan diisi dari impor. Bulog hanya menguasai stok beras antara 4-8
persen dari total produksi dalam negeri. Jumlah tersebut, cukup untuk mempengaruhi pasar, dengan membeli pada saat panen raya dan melepaskan ke pasar pada saat paceklik. Selain itu, Bulog mempunyai captive market reguler bulanan PNS dan TNI/POLRI.
Manajemen stok beras memerlukan dana, yang besarnya meningkat karena meningkatnya biaya pengadaan, eksploitasi dan manajerr Biaya terbesar yang dikeluarkan Bulog adalah untuk pembayaran bunga b yang mencapai 50 persen dari total biaya stabilisasi (Tabel 1). Pada masa tersebut, Bulog mendapat keringanan suku bunga dari dana KLBI. Biaya lain yang tidak kalah besarnya adafah biaya eksploitasi dan manajemen, masi masing sebesar 27 persen dan 17 persen. Besamya biaya yang dikeluarkan, serta tidak transparannya pengelolaan keuangan pada waktu itu, menyebabkan biaya ekonomi dan sosial dari kebijakan ini sangat tinggi, yang dampaknya masih ter sampai sa at ini.
50
Tabel8.1: Biaya Stabilisasi Beras Bulog:
1996/97
Rincian Biaya
Persen
Eksploitasi
27,37
Manajemen
17,31
Susut Komoditas Bunga Bank*) Total (Rp. juta)
4,gg 50,43 1.136.069
Keterangan: *) termasuk biaya bank sebesar 3,4g% sumber: Bulog
Dengan dukungan instrumen dan pembiayaan yang cukup tersebut, harga
beras relatif cukup stabil walaupun cenderung meningkat sejalan dengan laju inflasi. Harga gabah kering panen (GKP) yang diterima petanijl terlihat relatif stabil di sekitar harga dasar gabah yang ditetapkan pemerin pada saat itu. Keberhasilan upaya stabilisasi ini terny memerlukan ongkos yang besar dan terus meningkat sepanjang tahun, yc pada perjalanannya menimbulkan banyak masalah.
8.2.4 Kebijakan Pangan pada Era Reformasi Lingkungan strategis domestik dan global berubah secara sangat dinamis dalam periode empat tahun terakhir (1998-2001), Khusus yang terkait dengan
pemantapan ketahanan pangan, perubahan yang sangat signifikan adalah : (a) Pemerintah lebih membuka ekonomi lndonesia terhadap pasar global, termasuk untuk beras, dan (b) terjadi perubahan paradigma pelaksanaan pembangunan dari sentralisasi ke arah desentralisasi dan otonomi daerah; serta dari kentalnya peran
5l
pemerintah sebagai "pelaku" menjadi peran "pemicu dan/atau pemacu" pembangunan yang dilaksanakan masyarakat.
Sejalan dengan perubahan lingkungan strategis tersebut, unsur-unsur penopang paket kebijakan ekonomi beras yang telah dioperasionalkan pada era Orde Baru runtuh satu persatu, sehingga kebijakan tersebut menjadi tidak efektif
lagi. Hal ini juga disebabkan oleh adanya krisis ekonomi tahun 1997 yang diikuti dengan komitmen perubahan kebijakan ekonomi atas dorongan lembaga internasional,
Pada periode ini yang masih berlaku hanyalah kebijqkan Harga Dasar Gabah (HDG), yang diatur dengan Instruksi Presiden (lnpres) No.8, Tahun 2000. Inpres ini mengatur harga dasar gabah sebesar Rp. 1.500,-/kg GKG (Gabah Kering Giling), setara dengan Rp.2.470,-/kg beras. Sejak akhir tahun 1ggg, unsurunsur penopang kebijakan ekonomi beras yang telah dihilangkan, adalah:
a.
Insulasi pasar beras domestik dari pasar internasional, dengan dicabutnya monopoli impor beras yang selama itu dimiliki Bulog, disubstitusi dengan kebijakan tarif impor beras (saat ini sebesar Rp. 430,-/kg). Kebijakan ini ternyata tidak efektif karena adanya "moral hazard'.
b.
"captive market'bagi beras Bulog yang berupa catu beras bagi pNS, sehingga outlet bagi beras Bulog menjadi terbatas. Hal ini menyebabkan kemampuan Bulog untuk menyerap "marketable sup/us" beras terbatas.
c. Dihapuskannya dana KLBI bagi Bulog dan koperasi untuk pembelian gabah/beras petani, sehingga Bulog harus beroperasi dengan dana komersiaf.
Hal ini membatasi kemampuan kedua institusi tersebut untuk melaksanakan pengadaan pangan dari produksi domestik.
d.
Dihapuskannya berbagai subsidi input, terakhir adalah dicabutnya subsidi pupuk dan distribusinya diserahkan kepada pasar. Kebijakan ini meningkatkan biaya usahatani, sehingga petani mengharapkan mendapatkan harga gabah yang tinggi.
Sejak tahun 1999, kebijakan HDG tersebut tidak efektif, karena selain kebijakan pendukungnya tidak ada (seperti dikemukakan di atas), juga tingkat 52
HOG yang ditetapkan tidak didasarkan atas rasionalitas ekonomi dan tidak mempertimbangkan dinamika pasar intemasional; padahal ekonomi beras sudah
diliberalisasikan. Pada saat harga dasar ditetapkan tahun 1998 sebesar Rp. 1.400,-/kg GKG harga beras internasional sekitar US$ 275lton. Namun, pad a saat harga beras internasional tahun 2000 turun menjadi sekitar US$ 17slton, harga dasar malah dinaikkan menjadi Rp. 1.500/kg GKG. walaupun dengan kurs Rp. 10.500/US$, tingkat harga dasar ini sangat jauh lebih tinggi dari harga paritas impornya.
Dengan berlakunya era pasar global, keterlibatan pemerintah dalam pemasaran beras dalam negeri maupun monopoli impor beras yang dilakukan selama ini tidak ada lagi. Keterbatasan devisa negara telah menyebabkan berubahnya kebijakan subsidi umum (generat subsidy) menjadi subsidi bertarget (targeted subsidy). Dalam hal ini, Bulog mempunyai tugas untuk menyalurkan beras bersubsidi melalui program Operasi Pasar Khusus beras (OPK beras) khusus bagi keluarga miskin, yang kemudian dikenal sebagai program RASKIN. Dampak yang nyata dail kebijakan era transisi ini adalah: pada saat panen raya harga gabah di tingkat petani tertekan ke bawah sehingga sebagian besar
para petani menerima harga
di
bawah harga dasar (laporan bulanan Bps mengenai perkembangan harga gabah). Namun demikian, volatilitas harga bulanan sesudah liberalisasi perdagangan beras ternyata tidak lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya. Data yang disajikan dalam Tabel 2, menunjukkan harga beras bulanan ternyata lebih sering berfluktuasi pada era stabilisasi Bulog, dibandingkan dengan kondisi tiga tahun terakhir. Selama periode
1980-1997, rata-rata nilai coefficient
of
variation (angka pengukur volatilitas),
sebesar 4,2 persen, sedangkan tahun lggg-2001 sebesar 3,9 persen. walaupun perlu pengamatan yang lebih panjang atas dampak kebijakan mekanisme pasar terkendali ini, informasi tersebut menunjukkan bahwa swasta telah memanfaatkan kesempatan ekonomi untuk melakukan impor dalam mengisi kekurangan pasokan domestik, sehingga mampu menurunkan variasi harga beras bulanan. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa di era orde Baru, Bulog-pun tidak mampu melakukan stabilisasi harga beras ketika terjadi perubahan iklim (kekeringan) yang meluas di seluruh wilayah tanah air, sepertiyang terjadi pada tahun 19g7, 1994 dan 1ggg. 53
8.3
EVALUASISITUASI KETAHANAN PANGAN Pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup merupakan salah satu hak bagi
manusia yang paling azasi dan merupakan salah satu faktor penentu bagi perwujudan ketahanan nasional. Kekurangan pangan yang terjadi secara meluas
di suatu negara akan menyebabkan kerawanan ekonomi, sosial, dan politik yang dapat menggoyahkan stabilitas suatu negara.
Beras merupakan pangan pokok yang sangat dominan bagi masyarakat Indonesai. Pengalaman menunjukkan bahwa kelangkaan penyediaan beras yang
menyebabkan melonjaknya harga beras pada tahun 1966 dan 1998, secara langsung ataupun tidak langsung memperparah krisis ekonomi, sosial, dan politik yang terjadi pada saat itu, yang berujung pada pergantian rejim pemerintahan.
Secara ekonomis, beras masih tetap merupakan komoditas strategis dalam
perekonomian nasional, karena: (a) Usahatani padi menyediakan kesempatan
kerja dan sumber pendapatan bagi 21 juta rumah tangga tani, (b) Merupakan bahan pangan pokok bagi 95 persen penduduk lndonesia yang jumlahnya sekitar 205 juta jiwa, dengan pangsa konsumsi energi dan protein yang berasal dari beras
lebih dari 55 persen, dan (c) Sekitar 30 persen dari total pengeluaran rumah tangga miskin dialokasikan untuk beras.
Tabel 8.2: Volatilitas Harga Beras diTingkat Pengecer, 1980-2001
Tahun
Koefisien Variasi (%)
1980
5,8
1992
1,0
1981
3,9
1993
2,4
1982
5,9
1994
6,3
1983
4,8
1
995
2,9
Koefisien Variasi (%)
Tahun
54
1
984
1,8
1996
1,5
1
985
2,7
1
997
8,5
1986
5,4
1998
31,5
1987
9,5
1
999
5,0
1
988
5,0
2000
2,4
1
989
2,3
2001
4,4
1990
2,8
1991
3,9
Koefisien variasi dihitung sebagai standar deviasi dibagi nilai rata-rata Angka Statistik mengukur volatilitas harga beras bulanan yang bersumber dari Bulog dan BPS. sumber : Rosner, P. (Development Alternatives, lnc), komunikasi pribadi.
Dengan gambaran peran startegis ekonomi perberasan di Indonesia, maka
gejolak harga beras, akan berdampak terhadap pendapatan
usahatani,
kesejahteraarl paia petani, serta buruh tani, dan para konsumen beras terutama kelompok miskin. Oleh karena itu, di satu slsi kenaikan harga beras yang tinggi
akan mempengaruhi jumlah dan - "kedalaman" tingkat kemiskinan di Indonesia, dan di sisi lain penurunan harga berasjgabah yang menurun tajam pada saat panen raya akan merugikan para petani dan buruh tani.
Memetik pelajaran dan hikmah dari pengalaman masa lalu dar'i juga kejadian baru-baru ini, maka sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 7
Tahun 1996 tentang Pangan, seyogyanyalah pemerintah bersama masyarakat yang diwakili oleh Dewan Perwakifan Rakyat (DpR) berupaya dengan sungguh_ sungguh untuk mendudukkan permasalahan perberasan nasional secara proporsional, mempunyai visi dan persepsi yang sarna, untuk berupaya sebagai bangsa yang mampu memenuhi sendiri kebutuhan pangan pokok (beras) bagi
seluruh rakyat. Namun bersamaan dengan
itu mampu mengurangi
ketergantungan ma-yarakat terhadap beras dengan cara mengembangkan 55
diversifikasi konsumsi pangan ke arah pola konsumsi yang lebih beragam, bergizi, dan berimbang.
8.3.1 Perkembangan Produksi dan Ketersediaan Pangan Produksi padi selama sepuluh tahun terakhir 1990-2001, meningkat relatif lambat, dengan rata-rata pertumbuhan pertahun sebesar 1,01 persen. Pada tahun 1990 produksi padi mencapai 45,2 juta ton GKG, lalu berfluktuasi dan mencapai tingkat yang cukup tinggi tahun 1996, sebesar 51,10 juta ton GKG. Selama masa krisis dan kemarau panjang periode 1997/1998 produksi padi menurun tajam, dan kembali meningkat pada tahun 1999 serta puncaknya tahun 2000 sebesar 51,90
juta ton, suatu tingkat produksi tertinggi yang pernah dicapai Indonesia. Namun demikian, karena berbagai permasalahan yang berkaitan dengan krisis ekonomi
yang menimpa petani dan proses "adjustment" otonomi daerah, diperkirakan produksi padi tahun 2001 lebih rendah dari tahun 2002. Secara umum produksi meningkat dengan laju rata-rala 0,77 persen per tahun. Namun demikian, apabila
kita cermati perkembangan lima tahun terakhir, 1996-2001, terlihat
adanya
kecenderungan penurunan produksi rata-rata 0,9 persen pertahun.
Selama periode 1990-2001, perkembangan volume impor beras juga berfluktuasi dan cenderung meningkat dengan laju pertumbuhan rata- rata lebih
dari 150 persen per tahun. lmpor beras yang besar terjadi pada tahun 1995 sebesar 3,0 juta ton, tahun 1998 sebesar 6,1 juta ton dan tahun 1999 mencapai
4,2 juta ton; bersamaan dengan adanya penurunan produksi yang tajam akibat kemarau panjang. Namun demikian, Se]ak tahun 1998 impor rerus menurun, dan pada dua tahun terakhirvolume impor beras relatif stabil pada tingkat 1,5 dan 1,4 juta ton atau ton atau kurang dari 5 persen dari total produksi nasional. Dengan produksi dan impor yang berfluktuasi tersebut, maka ketersediaan
beras di dalam negeri juga berfluktuasi, dengan kecenderungan yang meningkat
sekitar 1,35 persen pertahun selama sepuluh tahun. Pertumbuhan ketersediaan beras ini sejalan dengan besamya pertumbuhan penduduk lndonesia. Namun
demikian, selama lima tahun terakhir, (1996-2001) terlihat kecenderungan ketersediaan beras yang menurun sekitar 0,5 persen. Ketersediaan beras selama dua tahun terakhir relatif stabil pada kisaran 33 juta ton per tahun.
Dengan pertumbuhan penduduk sekitar 1,35 persen per tahun maka ketersediaan beras pei kapita berkisar antara 160 hingga 180 kg per tahun selama
sepuluh tahun terakhir. Jumlah ini sebenarnya jauh lebih tinggi dari rata-rata konsumsi per kapita per tahun. Namun demikian dalam kurun waktu lima tahun terakhir ketersedian beras tersebut cenderung menurun sebesar 1,7 persen per tahun.
Secara keseluruhan luas panen padi berkisar pada 11 juta hektar, dengan titik-titik terendah pada tahun 1991, 1994 dan 1997, saat kawasan produksi utama mengalami musim kemarau panjang akibat anomali iklim El-Nino. Perkembangan
luas panen selama sepuluh tahun meningkat 0,83 persen per tahun. Apabila dicermati lebih jauh, perkembangan luas panen selama kurun waktu 1999-2001, menunjukkan penurunan menjada 11,4 juta hektar, walaupun kondisi iklim cukup
kondusif. Demikian halnya dengan produktivitas, terdapat
kecenderungan
menurun sekitar 0,08 persen selama lima tahun terakhir khususnya terjadi pada tahun 1998 dan 2001.
Fenomena penurunan luas panen don produktivitas padi pada
3
tahun
terakhir, berkaitan erat dengan terjadinya krisis ekonomi dan transisi kebijakan perekonomian nasional. Persoalan yang dihadapi petani diantaranya adalah
(i) terjadinya kelangkaan pupuk Urea dan mahalnya pupuk Phosphat dan Kalium; (ii) penurunan ketersediaan dan kualitas benih; (iii)
disebabkan oleh.
keterbatasan sumber pembiayaan karena dihapusnya kredit program (kecuali subsidi bunga); (iv) terdapatnya persepsi usahatani padi memberikan keuntungan
yang lebih rendah sehingga petani beralih komoditas (antara lain tebu, jeruk, tembakau, kelapa sawit, jagung); (v) munculnya masalah keterbatasan air dan serangan hama dan penyakit:, dan (vi) kinerla penyuluhan menurun sehubungan
dengan proses otonomi daerah. Sebagian besar penurunan luas panen dan produktivitas tersebut dipengaruhi oleh berkurangnya insentif berproduksi yang berkaitan erat dengan proses transisi dan terbatasnya kemampuan pembiayaan pemerintah.
Pada tataran dunia, produksi beras selama lima tahun terakhir rata-rata sebesar 591 juta ton per tahun. Indonesia merupakan produsen terbesar ke tiga setelah China dan lndia. Pangsa produksi Indonesia adalah sekitar 8,5 persen; 57
lndia 21,9 persen; dan china 32,9 persen dari produksi dunia. Dari volume produksi tersebut, jumlah yang diperdagangkan pada pasar internasional rata-rata sebesar 23,3 juta ton, atau 3,8 persen dari total' produksi dunia. Volume beras
yang diperdagangkan ini sangat tipis, terutama bagi Indonesia yang
total
konsumennya sekitar 1,5 kalidarivolume perdagangan dunia tersebut.
Thailand dan Vietnam, walaupun pangsa produksinya relatif rendah, 4,0 dan 5,3 persen, merupakan negara pemasok terbesar pada pasar ekspor, yaitu
,0 dan 15,8 persen. Peranan India dan China dalam memasok ekspor beras di pasar dunia masing-masing hanya sekitar 10 persen, karena kedua negara ini 27
dengan penduduk yang sangat besar dan mengkonsumsi beras cukup banyak pula.
lndonesia, sebagai produsen terbesar ketiga justru menjadi importir yang terbesar, dengan pangsa rata-rata lima tahun sebesar 11,3 persen. Besarnya peran sebagai pembeli di pasar dunia ini/ menyebabkan perilaku impor lndonesia memberikan pengaruh nyata pada pergerakan harga beras dunia. Manakala Indonesia membutuhkan impor yang lebih tinggi maka harga beras internasional
akan meningkat secara nyata. Oleh sebab itu, perilaku fluktuasi produksi beras lndonesia selalu diamati secara cermat oleh pelaku pasar beras internasional.
8.3.2 Perkembangan Konsumsi pangan Berdasarkan data Susenas yang tersedia sampai tahun 1ggg, rata-rata konsumsi per kapita dalam rumah tangga mengalami penurunan sekitar 4,2 persen setiap tiga tahun dari 117,7 Kg pertahun pada tahun 19g0 menjadi 111,2 Kg pada tahun 1996 dan 103,5 Kg pada tahun 1999. Disamping konsumsi di dalam rumah, beras juga dikonsumsi di luar rumah
dalam berbagai bentuk yang disediakan pada rumah makan, warung dan penyedia jasa boga lainnya. Konsumsi diluar rumah diperkirakan mengalami peningkatan dari sekitar 5 persen darijumlah konsumsi rumah tangga, pada tahun 1990; kemudian 10 persen pada tahun 1995 dan menjadi 12 persen tahun 1ggg.
Hal ini sejalan dengan perkembangan perilaku makan masyarakat yang semakin dinamis seiring dengan perkembangan ekonomi sosial maupun budaya. pangsa
58
konsumsi di luar rumah ini diperkirakan meningkat cukup tinggi sekitar 44 persen setiap kurun waktu tiga tahun.
Konsumsi beras untuk bahan baku industri juga mengalami peningkatan
yang sangat tinggi sejalan dengan berkembangnya ragam produk olahan berbahan baku beras mulai dari tepung, bahan setengah jadi seperti mie dan berbagai jenis kue basah maupun kering. Disamping perkembangan jenis produk, jumlah dan kapasitas industri berbahan baku beras juga bertambah. penggunaan
beras oleh industri diperkirakan meningkat dari sekitar 2,6 persen pada tahun 1990, dan menjadi 5,8 persen pada tahun 1g95 dan g persen pada tahun 1999. Dengan perkiraan tersebut maka pertumbuhan kebutuhan beras untuk industri diperkirakan mencapai 52 persen setiap tiga tahun. Di luar kebutuhan di atas masih terdapat kebutuhan lain-lain seperti pakan,
obat dan kosmetik, bahan tercecer dan berbagai penggunaan lain
oleh
masyarakat, termasuk keperluan sosial maupun persediaan untuk mengantisipasi
adanya keperluan mendadak. Untuk keperluan tersebut jumfahnya sangat bervariasi antar wilayah, dan diperkirakan sekitar 8 persen darijumlah konsumsi di dalam rumah. Berdasarkan perhitungan konsumsi dalam rumah, konsumsi di luar rumah, dan konsumsi industri diperoleh perkiraan kebutuhan konsumsi per kapita sebesar 128 Kg pad a tahun 1990, menjadi 134 Kg pada tahun 1996 dan menurun kembali menjadi 131 Kg per kapita pada tahun 1999. Diperkirakan kebutuhan konsumsi ini
meningkat 0,84 persen setiap tiga tahun. Apabila ditambah dengan kebutuhan lain-lain maka total kebutuhan beras per kapita per tahun meningkat dari 13g Kg pada tahun 1990 menjadi 143 Kg pada tahun 1996 dan 140 Kg pada tahun 1999.
8.3.3 Kondisi Produksi pangan dan pendapatan petani Kebijakan pembangunan pertanian pada tiga dekade terakhir tampak lebih berorientasi itu yang lebih ditekankan pada upaya peningkatan produksi yang
cenderung kurang responsif terhadap perubahan keadaan pasar. Selarn itu, 59
kebijakan ekonomi secara makro yang mengarah pada upaya peningkatan sektor
industri menjadikan sektor pertanian semakin terlepas dari sektor riil lainnya. Bahkan sektor pertanian hanya lebih dipandang sebagai sektor pendukung yang diposisikan sebagai: (a) pemasok bahan kebutuhan pangan dan bahan baku industri berharga murah, (b) pengendali stabilisasi barga, dan (c) pemasok tenaga kerja murah (Solahuddin, 1988). Cara pandang tersebut semakin memperlemah posisi sektor pertanian karena pengalaman yang lalu menunjukkan bahwa industri yang berbahan-baku basil pertanian ternyata lebih mengutamakan dukungan
pasokan bahan baku impor yang pada saat itu relatif lebih murah dari harga domestik. Dengan demikian, upaya peningkatan produksi pertanian selalu menghadapi persoalan rendahnya tingkat harga hasil, yang pada akhimya tidak memberikan insentif bagi petani sebagai produsen. Untuk memberikan gambaran tentang upaya peningkatan produksi pangan
di
Indonesia selama
ini maka dapat ditunjukkan laju pertumbuhan
produksi,
produktivitas (hasil) dan areal beberapa tanaman pangan utama. Data tersebut menunjukkan bahwa laju pertumbuhan produksi padi, sebagai bahan pangan pokok, pada awalnya meningkat hingga mencapai tingkat tertinggi pada periode 1979-83 sehingga mampu membawa ke tingkat swasembada beras pada tahun 1984. Laju pertumbuhan yang cepat itu lebih disebabkan oleh laju peningkatan produktivitas karena terjadi justru pada laju pertumbuhan areal yang lambat. Laju peningkatan produktivitas padi tersebut pada dasanya merupakan keberhasilan dalam program intcnsifikasi dengan penerapan benih unggul yang ditunjang oleh irigasi yang baik (Darwanto, 1998). Namun demikian, pada periode setelah tercapainya swasembada beras itu tampak bahwa laju pertumbuhan produksi menjadi semakin lambat, bahkan lebih lambat dari laju pertumbuhan pada periode sebelum tahun 1984. Dengan kalimat
lain dapat dikatakan bahwa produksi padi pada periode setelah swasembada beras mengalami stagnasi. pada sisi lain tampak bahwa upaya peningkatan produksi padi selama tiga Pel ita pertama tersebut disertai pula dengan semakin lambatnya laju pertumbuhan produksi pangan lainnya, kecuali jagung yang pada saat itu juga dilakukan intensifikasi seperti dapat ditunjukkan oleh peningkatan laju pertumbuhan produktivitas jagung pada periode itu.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pertanian pada saat itu
lebih ditekankan pada upaya peningkatan produksi padi dalam ambisi untuk mencapai swasembada beras. Sedangkan upaya peningkatan produksi jagung lebih diarahkan untuk penyediaan bahan pangan substitusi beras dan bahan baku industri pakan temak. Pada periode setelah tahun 19U, yaitu pada saat produksi
padi mengalami stagnasi, laju pertumbuhan produksi jagung semakin tinggi dengan semakin cepatnya peningkatan tingkat produktivitas dan areal.
Upaya peningkatan produksi jagung tersebut terutama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan .iagung yang meningkat, terutama untuk pabrik pakan temak. Laju pertumbuhan kebutuhan jagung untuk pabrik pakan temak mencapai 11,5% sedang konsumsi lain hanya s,B% per tahun. walaupun dari jumlah konsumsi untuk pangan relatif masih berkisar antara 65-76% dari total konsumsi (Abbas, 1997).
Selain itu. ternyata peningkatan produksi jagung tersebut disertai pula dengan peningkatan produksi kedelai yang cepat pada periode 1984-88 melalui peningkatan produktivitas dan perluasan areal kedelai. Namun demikian, pada
periode setelah tahun 1989 laju pertumbuhan produksi pangan secara umum
menjadi semakin lambat yang ternyata seiring pula dengan penurunan kemampuan usahatani tanaman pangan untuk memberikan keuntungan, seperti dapat ditunjukkan oleh rasio biaya-manfaat (B/C) dari usahatani tersebut yang
semakin menurun (tabel 5). Keadaan tersebut lebih disebabkan oleh semakin meningkatnya biaya usahatani yang lebih tinggi sebagai akibat dari berkurangnya subsidi harga input, terutama pupuk dan pestisida, pada tahun 19g6/1997.
Penurunan kemampuan usahatani tanaman pangan
tersebut
mengakibatkan penurunan insentif bagi petani untuk melakukan peningkatan produksi pangan. Pada sisi lain ternyata impor bahan pangan pada periode tersebut meningkat pula. limpor beras netto meningkat dari 12.8 ribu ton pada tahun 1988 menjadi 1.6 juta ton pada tahun 1996. Sedangkan pada periode 198995 terjadi pula impor jagung dengan laju pertumbuhan sebesar 148,5o/o per tahun dengan jumlah tertinggi sebesar 1 .1 juta ton pada tahun 1994 (Abbas, 1997).
6r
Dengan terjadinya krisis ekonomi akhir-akhir ini ternyata harga bahan pangan impor tersebut menjadi lebih mahal sehingga industri pengolahan yang berbasis utama pada bahan baku impor ini menggantikannya dengan bahan baku lokal. Namun produksi lokal ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan tersebut.
Keadaan itu mengakibatkan kenaikan harga dari bahan pangan terutama beras, jagung dan kedelai. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kebijakan peningkatan produksi pangan pasca swasembada beras ternyata tidak ditunjang oleh kebijakan ekonomi makro yang dititik beratkan pada upaya pengembangan industri sehingga justru
dari industri itu sendiri. Selain itu, kebijakan pemerintah pada periode tersebut cenderung mcngarah pada intervensi pemerintah yang lebih terfokus pada pengaturan pasar dan justru bukan menyebabkan rapuhnya basis
mengarahkan sistem pangan pada mekanisme pasar.
8.4 PELAJARAN YANG DIPEROLEH DAN PERSPEKTIF
KETAHANAN
PANGAN MASA DEPAN Berdasarkan pengalaman dalam upaya peningkatan produksi pangan yang
selama ini hanya berorientasi pada komoditi tertentu dan kurang didasarkan pada upaya peningkatan pendapatan petani. Bahkan kebijakan ini disertai dengan intervensi pasar yang temyata berakibat pada lemahnya sistem ketahanan pangan
dan rapuhnya basis industri pengolahan hasil pertanian. Oleh karena
itu
diperlukan adanya reorientasi kebijakan yang mendorong sistem usaha pertanian ke arah usaha yang berorientasi pasar dengan memanfaatkan sumberdaya secara optimal.
Pemanfaatan sumberdaya secara optimal perlu pula lebih ditekankan mengingat selama ini kegiatan "revolusi hijau" yang bertujuan untuk meningkatkan
produksi pangan dunia dengan perluasan penggunaan varietas-varietas unggul ternyata menggunakan input kimia yang relatif tinggi. Hal itu terbukti menyebabkan timbulnya akumulasi unsur kimia dalam tanah, yang disadari atau tidak justru akan berakibat pada terganggunya keseimbangan alam. selain itu, penggunaan input
yang tinggi itu secara ekonomi justru dapat menyebabkan usahatani menjadi kurang menguntungkan dan tidak efisien. 62
Dalam rangka peningkatan ketahanan pangan dan industri berbasis pertanian (agroindustri secara luas) maka diperlukan upaya untuk memperkuat sistem pangan baik secara nasional maupun regional dengan memperhatikan
keunggulan komparatif daerah. Untuk
itu reorientasi kebijakan pertanian
hendaknya diarahkan pada upaya-upaya:
1.
Peningkatan produksi yang mempertimbangkan
(a) kuantitas dan
kualitas
produksi, (b) bertujuan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
petani (termasuk masyarakat pedesaan), dan sekaligus
(c)
mampu
mengentaskan kemiskinan;
2.
Penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pemerataan kesempatan kerja secara adil bagi keluarga petani dan masyarakat pedesaan;
3. Pengembangan
komoditi-komoditi pertanian yang memperhatikin karakteristik
sumberdaya dan keunggulan kompetitif & komparatif. Dengan demikian penggunaan sumberdaya setempat, yang meliputi sumberdaya hayati, sumberdaya fisik, dan sumberdaya manusia, dilakukan secara optimal dan efisien;
4.
Pembinaan yang mengarahkan dan memberikan kesempatan pada petani
serta masyarakat pedesaan agar berperan dan mampu melaksanakan agribisnis dan agroindustriyang didasarkan pada potensi daerah;
5.
Pemberian fasilitas informasi pasar, baik nasional maupun intemasional, yang transparan pada petani sebagai pelaku bisnis di bidang pertanian;
6. Mempertimbangkan
pelestarian kualitas lingkungan hidup yang baik
.
Kemudian, dalam penyusunan kebijakan pembangunan pertanian hendaknya memperhatikan pula faktor-faktor berikut:
1. Tidak terlalu menitik beratkan pada sektor tanaman pangan, terutama padi, tetapi juga memperhatikan pada komoditi-komoditi lain yang mendukung agroindustri setempat dan berorientasi ekspor atau untuk mengurangi impor. Misalkan kapas yang mendukung industri tekstil dan garmen tetapi masih harus diimpor. 63
2.
Benih unggul yang dianjurkan hendaknya merupakan hasil pemuliaan dari benih lokal yang sudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat. Untuk bibit tanaman tahunan/keras, seperti buahan, hendaknya perlu dilakukan
pengawasan mutu sehingga menjamin kualitas dan kuantitas hasil sehingga mampu bersaing di pasar nasional dan intemasional.
3. Penentuan dosis pupuk kimia hendaknya
disesuaikan dengan kondisi dan
karakteristik lahan di wilayah tertentu sehingga penggunaan pupuk berimbang
yang dianjurkan dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Untuk itu masing-
masing daerah harus mempunyai peta agroekosistem yang mencakup kesesuaian lahan untuk pengembangan komoditi dan kandungan hara dalam tanahnya.
untuk pembangunan irigasi hendaknya mempertimbangkan potensi daerah yang dapat dikembangkan untuk areal pertanian tanaman pangan.
4. Investasi
Namun perlu pula dihindari peningkatan produksi di daerah irigasi terse but yang mengarah pada monokultur sepanjang tahun tanpa mempertimbangkan aspek agroekosistemnya. 5.
Pemberian subsidi sarana produksi secara selektif, yaitu pada komoditikomoditi strategis untuk kebutuhan dalam negeri terutama pangan yang dilakukan oleh petani kecil. Dengan demikian maka sarana produksi untuk tanaman-tanaman perkebunan atau komoditi lainnya yang diusahakan dengan skala perusahaan dan berorientasi ekspor tidak perlu diberikan SubSidi lagi. Penyediaan kredit usahatani. lni tidak terbatas hanya pada tanaman tertentu
saja tetapi juga pada usahatani komoditi lainnya yang berorientasi bisnis sehingga dapat memberikan insentif bagi petani atau masyarakat pedesaan untuk melakukan diversifikasi produksi yang untuk jangka panjang. 7.
Reorientasi program Bimas (sebagai metode penyuluhan) dari sifat struktural
yang kaku dan bertujuan "menggerakkan" petani seperti yang selama ini dilakukan, ke arah bimbingan yang bersifat fungsional dan bertujuan "membantu" petani dalam pelaksanaan usahanya. Sifat fungsional dari Bimas
tersebut akan mampu mengarahkan usaha menuju sistem agribisnis dan
64
agroindustri untuk seluruh subsektor pada sektor pertanian. Untuk itu perlu pula dilakukan revitalisasi penyuluh pertanian ke arah "mitra" bagi petani
8.
Menyediakan anggaran penelitian
dan pengembangan pada
teknologi
budidaya pertanian dan pasca panen yang mengarah pada terbentuknya sistem agribisnis dan agroindustri yang efisien dan berorientasi pasar. Selain
itu untuk masing-masing daerah diarahkan agar dapat menggali potensi dan keunggulan kompetitif dari komoditi di daerah tersebut.
9. Efisiensi dan efektifitas penelitian pertanian antar lembaga-lembaga di daerah, seperti BPTP/IP2TP, Perguruan tinggi dan lembaga
penelitian penelitian
lainnya. 10.
Menggunakan hasil-hasil penelitian sebagai dasar untuk pengembangan wilayah sehingga secara makro akan meningkatkan kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan daerah/nasional.
Dengan demikian kebijakan pembangunan pangan
dan
pertanian
diharapkan mampu mengarahkan usaha petani ke arah agribisnis dan agroindustri
yang berorientasi pasar dengan mempertimbangkan sumberdaya daerah (Market Oriented and Environmentally Sustainable Agriculture/MoEsA). Model tersebut
diartikan sebagai suatu model peftanian ramah tingkungan yang mampu mendukung perkembangan agroindustri dan beroienfasi pasa r, baik domestik dan internasional maupun dalam rangka subsfifusi impor.
65
DAFTAR PUSTAKA
1. Abbas, s. 1997. Revolusi Hijau dengan swasembada Beras dan Jagung. Sekretariat Badan Pengendali Bimas. Departemen pertanian.
2.
Danranto, D.
H. 1998. Peningkatan Mutu Intensifikasi Pangan
melalui
Reorientasi Program Bimas/Penyuluhan. Makalah Utama pada Semiloka Nasional Perguruan Tinggi Pertanian Menjawab Tantangan Krisis pangan nasional. lPB, Bogor 13-14 Juti 1998.
3. Fakultas Pertanian lpB, Tahun 1963. perguruan Tinggi
Menjawab
Tantangan Masalah Pangan, Bogor, jgg2.
4.
Mubyarto (1990), Pembangunan Pertanian: korban 'Arus Utama'. Prisma no 2, Lp3ES, Jakarta.
5.
Sajogyo (1972), Modernization Without Development, Bangkok.
6.
Tjondronegoro, Sediono (1990), Revolusi Hijau dan perubahan sosial Di pedesaan Jawa, Prisma no 2, Lp3ES. Jakarta.
dari Bias pemikiran
66
BAB 9
STRATEGI PENGEMBANGAN PMKMK' SEBAGAI SALAH SATU PILAR PEMBANGUNAN SISTEM EKONOMI KERAKYATAN DI INDONESIA
9.1
PENDAHULUAN
9.1.1 Visi dan Misi: Pembangunan Yang Bertumpu Pada Masyarakat Dalam rangka menangkap semangat reformasi, demokratisasi, desentralisasi,
dan partisipasi; maka perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pemantauan, evaluasi, dan penyempurnaan terus-menerus keseluruhan program pembangunan
seyogyanya mengacu pada paradigma pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community-based development) atau pembangunan yang berpusat pada manusia (people-centered development). Konsep pelaksanaan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat tersebut antara lain berlandaskan azas-azas: (a) komitmen penuh pemerintah dengan keterlibatan minimal (fulty commifted with tess involvement), pemerintah berintervensi hanya apabila terjadi distorsi pasar dengan cara selektif dan bijaksana (smart interuention); (b) peran-serta aktif (participatory process/ dari seluruh komponen masyarakat madani (civit societg; (c) keberlanjutan (sustainability); serta (d) pendanaan bertumpu pada prinsip-prinsip: efisiensi,
efektivitas, transparansi, dan accountability serta dapat langsung diterima oleh
masyarakat yang betul-betul memerlukan (intended beneficiaries). Sebagai konsekuensinya semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) atau semua unsur
masyarakat madani (pemerintah, pengusaha, perguruan tinggi serta masyarakat dan/atau LSM) haruslah dilibatkan di dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pemantauan, dan evaluasi pembangunan, baik
di
tingkat pusat
maupun daerah/lokal.
Upaya menegakkan kemandirian nasional dalam rangka mengurangi/ menghapuskan beban hutang dan ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri PMKMK adalah singkatan dari pengusaha mikro, kecil dan menengah serta koperasi.
67
serta upaya memperkuat ketahanan ekonomi nasionat harus dibangun melalui penggalian dan mobilisasi dana masyarakat serta peningkatan partisipasi segenap
unsur masyarakat madani (INDONESIA INCORPORATED) dalam proses pembangunan berlandaskan paradigma pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community-based development). Dengan demikian pengembangan investasi akan berlangsung secara berkelanjutan dan berakar dari kemampuan sumberdaya nasional dengan partisipasi luas masyarakat dan dunia usaha, terutama pengusaha mikro, kecil dan menengah serta koperasi (PMKMK) sebagai komponen
terbesar usaha nasional, sehingga terbentuk keandalan daya saing investasi nasional. Pembangunan investasi bagi perkuatan usaha nasional, terutama pMKMK,
perlu lebih didorong untuk memperluas pemerataan kesempatan berusaha bagi seluruh pelaku ekonomi dalam rangka memperkuat basis perekonomian nasional yang tangguh dan mandiri serta untuk mewujudkan sistem ekonomi kerakyatan.
9.1.2 Pembangunan Dunia Usaha dan Kemandirian Nasional Pelaksanaan reformasi ekonomi dan implikasinya terhadap dunia usaha berlandaskan pada perspektif sebagai berikut:
a.
Pembangunan yang berkelanjutan
dan berakar pada sumberdaya nasional dengan partisipasi luas dari dunia usaha/masyarakat dan peran pemerintah sebagai fasilitator.
b.
Ketahanan dan daya saing perekonomian merupakan faktor penentu. Ketahanan dibangun dengan memperluas basis ekonomi, sedangkan daya saing dibangun dengan meningkatkan produktivitas yang bersumber dari kualitas SDM, teknologi, dan efisiensi penggunaan sumberdaya.
c-
Perkuatan daya saing sekaligus untuk mengurangi kesenjangan usaha nasional melalui pemberdayaan ekonomi rakyat, terutama yang lemah dan tertinggal, merupakan agenda utama pembangunan. Hal ini merupakan syarat perlu bagi terjaminnya ketahanan dan stabilitas ekonomi nasional yang berketanjutan.
Dunia usaha, termasuk PMKMK, diharapkan mampu memiliki daya tahan dan daya saing yang tinggi, dengan ciri-ciri: (a) mempunyai keluwesan (fleksibilitas); (b) 68
memiliki produktivitas tinggi; dan (c) dikelola dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen dan kaidah ekonomi modern. Koperasi, usaha negara, dan usaha swasta
(termasuk usaha kecil dan menengah) diharapkan mampu melaksanakan fungsi dan
perannya masing-masing secara optimal dalam perekonomian nasional, sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945 melalui terjalinnya tata hubungan dan kerjasama serta kemitraan usaha yang serasi, selaras dan seimbang serta saling menguntungkan. PMKMK mampu menjadi tulang punggung perekonomian yang makin handal; mampu
berkembang sebagai badan usaha sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang
sehat, tangguh, kuat dan mandiri; serta menjadi wadah yang efektif untuk menggalang kekuatan ekonomi rakyat di semua kegiatan/sektor perekonomian.
Setelah secara bertahap keluar dari krisis ekonomi, Indonesia diharapkan mampu membangun ketahanan ekonomi yang semakin kuat yang dilandasi oleh: (a)
basis kegiatan ekonomi yang semakin luas bersamaan dengan berkembangnya produk-produk andalan yang bernilai tambah tinggi; (b) neraca pembayaran yang semakin mantap; (c) lembaga-lembaga ekonomi yang makin berfungsi dengan mantap dan bekerja dengan efisien; dan (d) produktivitas SDM meningkat, angkatan
kerja makin terdidik dan terampil, serta peran tenaga profesional, teknisi dan manajemen meningkat seiring berkembangnya spesialisasi.
Selanjutnya pada sepuluh atau duapuluh tahun yang akan datang diharapkan telah dicapai kemandirian dalam pembiayaan pembangunan lndonesia. Artinya, pada
saat itu sumber utama investasi ekonomi telah bertumpu pada pemupukan, akumulasi serta mobilisasi aliran modal (dana) dari dalam negeri. lni tidak berarti bahwa tidak ada aliran modal dari luar negeri, termasuk yang berupa pinjaman dalam
dunia usaha. Namun pinjaman luar negeri tidak menjadi faktor yang terlalu menentukan kesehatan perekonomian nasional. Dengan demikian pengembangan investasi akan berlangsung secara berkelanjutan dan berakar dari kemampuan sumberdaya nasional dengan partisipasi luas masyarakat dan dunia usaha, terutama PMKMK, sehingga terbentuk ketahanan ekonomidan keandalan daya saing nasional.
69
9.1.3 Pengembangan UKM Sebagai Pilar Utama Sistem Ekonomi Kerakyatan Secara logika sederhana keberadaan usaha kecil dan menengah (UKM), termasuk yang berskala usaha mikro, sebagai bagian terbesar dari seluruh entitas usaha nasional merupakan wujud nyata kehidupan ekonomi rakyat lndonesia. Posisi seperti itu seharusnya menempatkan peran UKM (termasuk koperasi) sebagai salah
satu pilar utama dalam mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan, namun hingga kini perkembangannya masih jauh tertinggal dibandingkan dengan pelaku ekonomi yang lain. Oleh karena itu pengembangan PMKMK harus menjadi salah satu strategi
utama pembangunan nasional yang pelaksanaannya diwujudkan secara sungguhsungguh dengan komitmen bersama yang kuat serta didukung oleh upaya-upaya sistematis dan konseptual secara konsisten dan terus-menerus dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat di
tingkat nasional, regional, maupun lokal). Barang tentu hal ini juga harus dibarengi
dengan strategi pengembangan usaha besar dalam kerangka sistem ekonomi kerakyatan.
Konsep pengembangan UKM dalam sistem ekonomi kerakyatan seyogyanya mempunyai perspektif tentang pentingnya: (a) peranserta aktif seluruh komponen
masyarakat; (b) jiwa dan semangat kewirausahaan yang tinggi;
(c)
kebebasan
berusaha, berkreasi dan berinovasi; (d) kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan, teknologi dan informasi; (e) sistem ekonomi yang terbuka, transparan dan efisien; dan (0 mekanisme pasar yang berkeadilan (lihat Gambar 01).
Pengembangan PMKMK menjadi komponen penting
bagi
program
pembangunan nasional untuk meletakkan landasan pembangunan sistem ekonomi kerakyatan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Proses dan cara untuk mencapai
tujuan pembangunan tersebut sangat penting, terutama melalui upaya penguatan kelembagaan dan peningkatan kapasitas. Pendekatan demikian diharapkan lebih
menjamin terwujudnya perekonomian yang lebih adil dan merata, berdaya saing
dengan basis efisiensi
di berbagai sektor dan keunggulan kompetitif untuk
memenangkan persaingan global, berwawasan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang lestari, dengan partisipasi masyarakat yang lebih menonjol
70
dan desentralisasi pembangunan untuk meningkatkan kapasitas dan memaksimalkan potensidaerah, serta bersih dari KKN.
Program penyelamatan dan pemulihan ekonomi nasional hendaknya tidak hanya dipandang sebagai crash-program yang bersifat sementara, tetapi juga harus
dipandang sekaligus sebagai proses percepatan transformasi struktural dan pembangunan yang berkelanjutan untuk meletakkan landasan bagi terwujudnya struktur ekonomi yang kuat dengan peran serta masyarakat dan dunia usaha yang
lebih besar, terutama kontribusi PMKMK dalam pembentukan nilai
tambah,
kepemilikan aset, dan daya saing. Artinya upaya pengembangan PMKMK sekaligus merupakan pilihan strategis dalam rangka membangun daya saing dan ketahanan ekonomi nasional serta untuk mewujudkan sistem eknomi kerakyatan. Peningkatan daya saing usaha nasional, termasuk PMKMK, dalam persaingan
harus dicapai secara bersamaan dengan pembangunan kemampuan ekonomi masyarakat yang tertinggal. Peran PMKMK cukup berarti di dalam proses pembangunan, karena industri besar terbukti tidak bisa menjadi pemeran tunggal
dalam memecahkan: (a) pengangguran dan setengah pengangguran di negaranegara berkembang, (b) ketidak-merataan distribusi pendapatan, dan (c) ketidakseimbangan struktur pembangunan ekonomi sektoraldan regional atau desa-kota.
9.2
MASALAH, TANTANGAN, DAN KESEMPATAN
9.2.1 Pemberdayaan PMKMK Data BPS dan Menegkop & PKM menunjukkan bahwa pada tahun 1999 di Indonesia terdapat sekitar 37,86 juta unit usaha yang hampir keseluruhannya (37,8
juta atau 99,9 persen) adalah usaha mikro (beromset < Rp. 50 juta per tahun) dan usaha kecil (beromset < Rp. 1 miliar per tahun), sedangkan sisanya sejumlah 51,8 ribu adalah usaha menengah (0,14 persen) dan 1,9 ribu usaha besar(0,005 persen).
Sekitar 59,6 juta orang tenaga kerja (88,9 persen dari 67,1 juta lapangan kerja nasional) diserap oleh usaha mikro dan kecil, namun perannya dalam pembentukan
PDB nasional (non-migas) hanya 41,3 persen, sedangkan usaha menengah dan besar berturut-turut sebesar 16,3 dan 33,1 persen.
71
Jumlah unit usaha serta tenaga kerja yang besar dengan rata-rata kualitas
sumberdaya manusia
yang rendah menjadi hambatan mendasar
dalam
pengembangan PMKMK. Di samping itu terdapat berbagai permasalahan kebijakan,
termasuk regulasi, birokrasi dan retribusi yang berlebihan, sehingga menyebabkan beban biaya transaksi yang besar pada PMKMK dan keterbatasan akses terhadap sumberdaya produktif seperti modal, teknologi, pasar dan informasi.
Tantangan eksternal yang mendasar adalah pesatnya perkembangan globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan bersamaan dengan pesatnya mobilitas dana investasi. Demikian pula perkembangan teknologi yang diikuti dengan cepatnya perubahan selera konsumen semakin memperpendek daur hidup produk
(product life cycle\. Sementara itu dari segi potensi, usaha kecil dan menengah
(UKM) merupakan skala usaha yang dinamis yang memiliki daya responsif, fleksibilitas dan adaptasi yang tinggiterhadap perubahan teknologidan pasar.
Dalam kaitannya dengan krisis ekonomi yang tengah terjadi saat ini, usaha nasional perlu diselamatkan, dibangkitkan kembali, dan diperkuat, terutama PMKMK yang terbukti memiliki fleksibilitas lebih tinggi untuk beradaptasi terhadap perubahan. Dengan demikian dalam krisis ini PMKMK diharapkan mampu lebih berperan dalam
mengatasi pengangguran, pemenuhan ketersediaan kebutuhan masyarakat, dan menggerakkan kembali roda perekonomian nasional. Pembangunan dunia usaha yang kondusif bagi pemberdayaan PMKMK
Tantangan bagi dunia usaha agar kondusif bagi upaya-upaya pemberdayaan dan pengembangan PMKMK mencakup aspek yang luas, antara lain: (a) peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam hal kemampuan manajemen, organisasi, dan
teknologi; (b) kompetensi kewira-usahaan; (c) akses yang lebih meluas terhadap permodalan, informasi teknologi dan pasar, serta faktor masukan produksi lainnya;
dan (d) iklim usaha yang sehat yang mendukung tumbuhnya inovasi dan kewirausahaan, praktek bisnis berstandar internasional, serta persaingan yang sehat.
Tantangan lain yang paling mendasar adalah bagaimana membenahi krisis moral (moral hazard) yang telah melanda, baik kalangan pemerintah maupun dunia usaha, dan telah melahirkan "monstel' KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang 72
tefah merusak sendi-sendi etika berusaha (business ethic) dan iklim usaha sehingga kurang sehat dan kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya pelaku-pelaku ekonomi
nasional yang mandiri (bukan karena fasititas), tangguh dan mampu bersaing di arena internasional. lmplikasi krisis ekonomi yang kita alami dewasa ini sekaligus juga tantangan bagi upaya pengembangan investasi dan dunia usaha antara lain adalah, pertama-
tama seluruh energi bangsa perlu dipadukan, termasuk dunia usaha, masyarakat, dan pemerintah (lndonesia incorporated) untuk saling memberi dukungan moral untuk memperkuat percaya diri sebagai bangsa untuk keluar dari krisis. Kemudian sikap kita harus dilandasi optimisme yang realistis, antara lain mefalui pemanfaatan peluang-peluang ekspor serta kegiatan-kegiatan usaha yang mengandalkan pada sumber alam (resource-based industies) dan bahan baku lokal seperti sektor
pertanian (agroindusties/agrobusiness) dan pariwisata. Yang juga penting, dunia usaha perlu menghayati pentingnya kemampuan akses dan penguasaan informasi sebagai sumber keunggulan kompetitifnya.
Selain itu dunia usaha harus segera menyiapkan diri untuk menghadapi terjadinya reorientasi, pergeseran, serta restrukturisasi di bidang masing-masing. Reformasi untuk membangun good corporate govemance juga harus segera dilaksanakan dan diperluas agar dunia usaha nasional dapat dipercaya dan diterima oleh masyarakat dunia usaha internasional. Yang terakhir namun justru sangat
penting adalah bahwa reformasi perbankan harus segera dituntaskan, antara lain melalui: (a) rasionalisasi, restrukturisasi, dan rekapitalisasi bank-bank swasta dan nasional agar lebih sehat, termasuk lembaga keuangan masyarakat (LKM)6; (b) kebijaksanaan moneter yang seksama untuk mencegah terjadinya hiperinflasi; serta (c) mengupayakan mengalirnya kembali sumber-sumber pembiayaan, terutama bagi kegiatan-kegiatan yang vital seperti ekspor, produksi pangan, usaha kecil dan menengah, dan sebagainya.
6
Antara lain Bank Perkereditan Rakyat (BPR), Balaiusaha Mandiri Terpadu (BMT), Koperasi/Unit Simpan-pinjam (KSPruSP)' Badan Kredit Desa (BKD), Modal Ventura Daerah lvvo;, Koperasi Kred ft (Credt Union), darr lumbung nagari.
73
9.2.2 Pengembangan Investasi dan Dunia Usaha Disadari bahwa terdapat beberapa persoalan pokok yang masih belum terselesaikan selama pembangunan
di masa Orde Baru. Diantaranya adalah
iklim
investasi yang belum sepenuhnya mendukung: (a) peningkatan kapasitas dan peran
serta aktif masyarakat dalam pembangunan; (b) penciptaan lapangan kerja; pemerataan pembangunan dan kesempatan berusaha; serta
(d)
(c)
pemberdayaan
masyarakat, terutama yang tertinggal. Masalah lain yang bersifat internal, di samping
sumber daya manusia dan kelembagaan, adalah menyangkut efisiensi dan efektivitas penggunaan dana investasi, terutama masih adanya aliran dana kepada kegiatan investasi kurang produktif serta spekulatif. Hal terakhir ini bisa menghambat upaya
penanganan masalah-masalah ekonomi dan sosial yang mendesak antara lain seperti penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat secara lebih merata.
Permasalahan tersebut menampakkan banyak
hal yang perlu dibangun,
terutama adalah bagaimana meningkatkan kapasitas, kapabilitas, efisiensi dan
efektivitas dari bekerjanya baik sistem dan kelembagaan investasi maupun kelembagaan pendukungnya. Dengan demikian menjadi sangat penting dalam pembangunan investasi adalah kegiatan pembangunan kelembagaan untuk melan-
carkan serta menjamin berlangsungnya kegiatan investasi. Terutama yang sangat penting dan mendasar adalah pembangunan investasijuga harus mampu mendorong berkembangnya prakarsa dan partisipasi luas masyarakat, terutama PMKMK.
Tantangan yang semakin berat di masa mendatang, adalah mengembalikan
momentum laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yang diiringi oleh pemerataan dan transformasi struktural dalam perekonomian nasional. Tantangan
pembangunan investasi dalam jangka menengah antara lain adalah: pertama,
meningkatkan ketersediaan
dana investasi terutama yang bersumber
dari
di
dalam negeri melalui upaya penggalian, pemanfaatan dan pengembangan berbagai sumber dana dan bentuk pembiayaan investasi, baik melalui perbankan dan lembaga keuangan bukan bank maupun lembaga
masyarakat
pembiayaan yang telah berkembang dan mengakar
di masyarakat; dan kedua, 74
kebijaksanaan mengarahkan penggunaan dana investasi pada kegiatan produktif yang melibatkan peranserta masyarakat yang luas terutama melalui berkembangnya
PMKMK, dan yang memberikan sebesar-besarnya manfaat langsung bagi masyarakat, serta peningkatan daya saing nasional.
9.2.3 Sistem Pembiayaan PMKMK dan LKM Berdasarkan data Bank lndonesia bulan Mei 1999, hanya sekitar Rp. 37,5
triliun atau 8,2 persen dari Rp. 454,7 triliun dana perkreditan nasional disalurkan untuk 7,6 juta rekening usaha kecil. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 60 persen
yang betul-betul dimanfaatkan untuk keperluan kegiatan produktif
(termasuk
40
persen sisanya digunakan untuk keperluan konsumtif seperti untuk kredit pembelian televisi, rumah, dan mobil/motor. Berarti hanya sekitar 5 persen dana perbankan dipinjamkan kepada UKM serta hanya investasi), sedangkan sekitar
sekitar 12 persen UKM yang dapat mengakses kredit melalui sistem perbankan
umum untuk kegiatan produktif. Kesenjangan ini akan semakin mengusik rasa keadilan bilamana angka-angka tersebut dibandingkan dengan dana BLBI bagi sekitar 129 bank bermasalah yang mencapai sekitar Rp. 145 triliun. Apalagi sebagian besar dana tersebut hanya dinikmati oleh segelintir bank besar seperti BDNI (Rp. 38 triliun), BCA (Rp. 27,6 triliun), dan Bank Danamon (Rp. 25,8 triliun).
ini
bank-bank besar/modern pada umumnya menggunakan pendekatan bank perusahaan besar (corporate banking approach) dengan
Selama
persyaratan pinjaman sangat ketat sehingga sulit diakses oleh UKM (dikenal dengan
5C: character, capacity, condition, capital, dan collateraf). Untuk bank besar tertentu
(swasta maupun pemerintah), dengan cabang-cabangnya yang menyebar di berbagai pelosok tanah air, justru terkesan lebih banyak menyedot dana rakyat (melalui berbagai skim tabungan) ketimbang meminjamkannya kepada UKM setempat. Dengan demikian boleh dikatakan tabungan masyarakat tersebut lebih
banyak digunakan bagi pembiayaan usaha-usaha besar (yang umumnya di pusaUJakarta) sehingga seolah-olah rakyat kecil di daerah lah yang justru banyak mensubsidi usaha besar di pusat.
75
Sementara itu selama ini yang justru banyak melayani kebutuhan pembiayaan
PMKMK
di daerah
(kabupaten/kota, kecamatan, atau desa) sebenarnya adalah
lembaga-lembaga keuangan yang mandiri dan mengakar di masyarakat (LKM3) atau
singkatnya lembaga keuangan masyarakat (LKM) yang beroperasi secara mandiri,
hampir tanpa bantuan ("pembinaan") dari pemerintah. Dengan menggunakan pendekatan bank eceran (retail banking approach) dan umumnya tanpa agunan, lembaga-lembaga keuangan tersebut merupakan sumber pembiayaan yang mudah diakses oleh UKM (terutama usaha mikro). Namun karena LKM tersebut umumnya mempunyai keterbatasan modal, maka daya jangkau dan kemampuan mereka untuk membiayai UKM masih amat terbatas. Oleh karena itu tantangan yang cukup
mendesak dalam mengembangkan sistem pembiayaan bagi PMKMK adalah bagaimana LKM yang telah banyak membantu UKM di tingkat lokal tersebut dapat diperkuat dan dikembangkan antara lain melalui bantuan perkuatan permodalan dan
manajemen.
Hal ini kiranya akan seiring dengan upaya-upaya percepatan
desentralisasi dan pengembangan ekonomi daerah/lokal.
9.3
STR,ATEGI PEMBERDAYAAN PMKMK
9.3.1 Prinsip-prinsip dan Tahapan Pembangunan Secara keseluruhan pembangunan ekonomi dan pemberdayaan PMKMK diarahkan untuk: (a) mengurangi kesenjangan antarpelaku ekonomi & antardaerah; (b) mempercepat transformasi ekonomi dan menciptakan pembangunan yang berkelanjutan; serta (c) penumbuhan kewirausahaan & meningkatkan daya saing (lihat Gambar 01). Dalam jangka pendek pembangunan ekonomi dilaksanakan dalam
rangka mempercepat pemulihan ekonomi; dalam jangka menengah
untuk
memperkuat landasan pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan bertumpu pada peningkatan efisiensi, produktivitas dan daya-saing; dan dalam jangka panjang untuk menciptakan sistem ekonomi kerakyatan yang berkesejahteraan dan berkeadilan. Prinsip pertama yang perlu diperhatikan adalah bahwa pembangunan ekonomi
harus dilaksanakan berlandaskan kebijakan yang disusun secara transparan dan bertanggung-gugat sesuai dengan azas-azas pengelotaan pemerintahan maupun pengefolaan perusahaan yang baik dan bersih (ctean and good governance). Kedua, 76
pembangunan ekonomi harus berdasarkan daya dukung sumberdaya alam, lingkungan hidup dan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ketiga,
pembangunan ekonomi harus menerapkan prinsip efisiensi yang didukung oleh
peningkatan kemampuan SDM serta teknologi untuk memperkuat landasan pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan daya saing nasional. Keempat, pembangunan ekonomi berlandaskan pengembangan otonomi daerah dan peran
serta aktif masyarakat secara nyata dan konsisten. Kelima, pembangunan ekonomi berorientasi pada perkembangan ekonomi global. Keenam, pembangunan ekonomi makro harus dikelola secara hati-hati, disiplin dan bertanggung jawab dalam rangka menghadapi ketidakpastian yang meningkat akibat proses globalisasi.
Berkaitan dengan krisis ekonomi yang kita hadapi dewasa ini, maka dalam
jangka pendek (paling lama setahun lagi) bangsa lndonesia harus sudah mampu menyelamatkan
diri untuk keluar dari kemelut ekonomi dan segera
mampu
memufihkan dan menstabilkan diri (tahap "rescuing, recovery and stabilization'), Pada tahap kedua Indonesia diharapkan mampu menata kembali perekonomiannya
(tahap "restructuing, reengineeing, and revitalizing'), dan kemudian pada tahap ketiga harus mampu bangkit kembali untuk berpacu bersama-sama dengan negaranegara berkembang lainnya (tahap "accelerated grovvth and developmenf'), terutama di kawasan ASEAN dan Asia-Pasifik.
Dalam tahap penyelamatan dan pemulihan, diperlukan upaya untuk mengangkat kembali permintaan pasar (market demand) dalam bentuk peran langsung pemerintah melalui APBN (pump piming) agar kegiatan ekonomi bergulir
kembali. Kegiatan
ini hanya bersifat
sementara mengingat keterbatasan dana,
sehingga perlu diarahkan pada simpul-simpul perekonomian strategis. Bersamaan dengan upaya pemulihan ekonomi di tingkat makro beserta perbaikan tatanannya, peran langsung pemerintah yang juga penting adalah menciptakan jaring pengaman sosiaf
- JPS (social safety net -
SSN) bagi kelompok masyarakat yang paling parah
terkena dampak krisis. Program ini mempunyai tujuan untuk memperkuat kembali ketahanan pangan (food security) melalui penyediaan kebutuhan pokok masyarakat; menciptakan lapangan kerja (employment creation) untuk mencegah kemerosotan
daya beli masyarakat; mengembangkan usaha kecil dan menengah (small and
-
-
promotion) termasuk koperasi, sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kembali pendapatan riil masyakarat; serta melindungi dari
medium enterpise
SME
merosotnya derajat kesehatan masyarakat dan mempertahankan kelanjutan program pendidikan (social protection).
Peningkatan peran (tidak langsung) pemerintah
juga perlu
diupayakan
terutama menyangkut penanganan hal-hal mendasar yang mendukung pemulihan perekonomian dari krisis, yaitu upaya pengembalian kepercayaan (confidence) baik dari para pelaku ekonomi di dalam negeri maupun luar negeri. Upaya-upaya tersebut antara lain:
a.
Pengembalian rasa aman
di antara para pelaku ekonomi, terutama dari
para
pelaku ekonomi dalam negeri sendiri. Untuk itu harus kembali bertumpu pada cita-
cita para pendiri Republik, yaitu membangun suatu negara yang dapat melindungi seluruh tumpah darah lndonesia, termasuk warga negaranya, tanpa memandang agama, suku, dan warna kulitnya.
b. Stabilitas sosial dan politik dalam negeri. Dengan tercapainya
konsensus
mengenai program reformasi politik maka terus diupayakan adanya suatu landasan yang mantap bagi upaya pembenahan stabilitas ekonomi dengan mendahulukan kepentingan seluruh bangsa.
c.
Pelaksanaan good govemance sekaligus penciptaan sistem check and balance
dalam proses kegiatan ekonomi, baik di sektor pemerintah (public govemance) maupun di sektor swasta (corporate govemance) sehingga memberikan kepastian
mengenai aturan main yang berlaku untuk semua pelaku secara adil dan transparan.
d.
Penyempurnan sistem hukum dan peradilan (reformasi hukum), deregulasi dan debirokratisasi untuk menghilangkan praktek KKN
di
pemerintahan dan dunia
usaha, menghilangkan praktek monopoli dan oligopoli untuk menciptakan persaingan yang sehat.
78
e.
Percepatan pembenahan sektor perbankan untuk memfungsikan kembali dua peran pokok perbankan, yaitu sebagai distributor dana bagi perekonomian dan sebagai pelaku sentral sistem pembayaran nasional dan internasional.
9.3.2 PEMBANGUN.AN DUNIA USAHA DAN PEMBERDAYAAN PMKMK Strategi pembangunan dunia usaha dilaksanakan antara lain dalam konteks:
a.
Restrukturisasi dunia usaha dari aspek skala usaha (mikro, kecil, menengah, dan
besar), adalah pemberdayaan usaha kecil dan menengah dalam membangun daya saing nasional. Hal tersebut disebabkan usaha kecil merupakan bagian
terbesar dari usaha nasional. Selain
itu usaha kecil dan menengah
lebih
responsif, fleksibel, dan adaptif terhadap perubahan teknologi dan pasar [sebagai catatan, perusahaan besar asing (multi-national corporation - MNC) justru banyak melakukan down-sizing / leaning-downl.
b.
Peningkatan kandungan nilai tambah dan produktivitas yang bersumber dari:
'
Peralihan bahan baku impor kepada bahan baku lokal, terutama di (sub)sektor
agroindustri/agrobisnis.
Pada gilirannya merupakan perubahan
struktur
ekonomi dari dominasi sektor pertanian menuju dominasi sektor industri pengolahan yang bertumpu pada sektor agroindustri/ agrobisnis.
'
Peningkatan dari tenaga kerja nir-terampil (unskilled labor) kepada padat keterampilan (skilled labor intensive) dan berpengetahuan serta berakhlak m
ulia (mem
pu
nyai business & profes si o n al efhics).
c.
Pembentukan dan perkuatan sikap{iwa, etos kerja, dan budaya industri serta mendorong tumbuh dan berkembangnya wirausaha-wirausaha baru.
d.
Pembenahan yang mendukung kepada peningkatan kapasitas, kapabilitas, efisiensi, dan efektivitas dari bekerjanya sistem dan kelembagaan ekonomi.
e.
Peningkatan akses seluruh masyarakat ke dalam aset-aset produksi, meliputi tanah, modal, teknologi, dan informasi;
79
f.
Pembangunan daerah melalui pendekatan yang sesuai dengan kondisi setempat (region specific atau local specific\; Selama pengembangan PMKMK merupakan bagian integral dari pembanguan
masyarakat, maka upaya-upaya pengembangan PMKMK harus dilandasi oleh prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat yang terdiri atas tiga komponen utama: (a)
Menciptakan suasana
atau iklim yang memungkinkan potensi
masyarakat
berkembang (enabling); (b) Memperkuat potensi ekonomi atau daya yang dimiliki
oleh masyarakat (empowering); dan (c) Membangun iklim persaingan usaha dan mekanisme pasar yang adil (fair market mechanism) serta mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang serta kemungkinan terjadinya eksploitasi yang kuat atas yang lemah (level playing field).
9.3.3 Lingkup dan Fokus Pemberdayaan PMKMK Lingkup strategi Pemberdayaan PMKMK seyogyanya adalah: (a) pada "meta & macro-level" mencakup upaya penciptaan iklim yang kondusif bagi pengembangan
(b) pada "meso-level" mencakup upaya peningkatan akses kepada sumberdaya produktif melalui perkuatan lembaga-lembaga pendukung pengembangan PMKMK; serta (c) pada "micro-level" mencakup upaya PMKMK;
pengembangan kewirausahaan dan PMKMK berkeunggulan kompetitif (lihat Gambar
02). Adapun fokus strategi tersebut adalah pengembangan kelembagaan
dan
peningkatan kapasitas sistem jaringan lembaga-lembaga pendukung pengembangan
PMKMK serta peningkatan daya saing dan produktivitas PMKMK, terutama yang berusaha di bidang agroindustri/agrobisnis serta yang berbasis sumberdaya alam dan/atau sumberdaya lokal (setempat).
lklim yang kondusif tersebut diciptakan antara lain melalui evatuasi dan perumusan: (a) kebijakan moneter dan fiskal, (b) ,peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan daerah yang berpihak dan berorientasi kepada pengembangan PMKMK setempat, dan (c) stabilitas sosial dan politik di tingkat nasional maupun daerah/lokal. Adapun perkuatan lembaga-lembaga pendukung pengembangan PMKMK antara lain meliputi (a) lembaga layanan pengembangan usaha (busrness
development service
-
BDS
-
providerg, (b) lembaga keuangan alternatif (Ll(A),
terutama lembaga keuangan masyarakat (LKM), (c) lembaga pengembangan sumberdaya manusia (SDM); dan (d) sistem jaringan produksi dan distribusi (clusters). Berdasarkan pendekatan yang konsisten dan terpadu maka disusun reformasi
kebijakan yang dituangkan di dalam Strategi pemberdayaan PMKMK dengan tujuan untuk: (a) Membuka kesempatan berusaha seluas mungkin serta menjamin adanya kepastian berusaha bagi PMKMK agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik;
(b) Memperluas akses PMKMK kepada sumberdaya produktif agar semakin mampu memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumberdaya lokal serta meningkatkan skala usahanya; dan (c) Mengembangkan PMKMK yang mempunyai keunggulan kompetitif, terutama yang berbasis teknologi. Adapun sasaran reformasi
kebijakan tersebut adalah terciptanya daya saing dan produktivitas PMKMK yang
tinggi berlandaskan jiwa dan sikap kewirausahaan dan kewirakoperasian
yang
handal.
9.4
LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN PMKMK
Dalam kerangka pemberdayaan dan pengembangan PMKMK, langkahlangkah kebijakan yang perlu dilaksanakan adalah: (a) penciptaan iklim usaha yang
kondusif;
(b)
peningkatan akses kepada sumberdaya produktif;
dan
(c)
pengembangan kewirausahaan dan PMKMK berkeunggulan kompetitif. Langkah-
langkah kebijakan tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan maksimalisasi jangkauan,
efi
aspek
siensi, efektivitas dan keberlanjutan.
9.4.'a Kebijakan Penciptaan lklim Usaha yang Kondusif Kebijakan ini bertujuan untuk membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya,
serta menjamin kepastian usaha dengan memperhatikan kaidah efisiensi ekonomi sebagai prasyarat utama untuk berkembangnya PMKMK. Sasaran yang ingin dicapai
adalah menurunnya biaya transaksi dan meningkatnya skala usaha PMKMK dalam kegiatan ekonomi. Langkah-langkah kebijakan tersebut antara lain sebagai berikut:
81
(1) Menyempurnakan peraturan perundang-undangan, penyederhanaan perijinan, birokrasi, peraturan daerah dan retribusi; serta peningkatan upaya penegakan hukum dan perlindungan usaha terhadap persaingan yang tidak sehat;
(2) Mengembangkan kebijakan fiskal, perpajakan, sektoral termasuk perdagangan dan jasa antardaerah dan antarnegara, dan investasi UKM;
(3) Memberikan insentif dan kemudahan untuk mengembangkan sistem dan jaringan lembaga pendukung PMKMK yang lebih meluas di daerah, seperti lembaga keuangan masyarakaUtradisional (LKM), lembaga penjaminan kredit, dan lembaga-lembaga penyedia jasa pengembangan usaha, pelatihan, teknologi, informasi, dan jasa advokasi. Sistem insentif diberikan pada tahap awal bersamaan dengan upaya penguatan institusi;
(4) Meningkatkan kemampuan dan pelibatan unsur lintas pelaku (stakehotder) dalam pengembangan PMKMK di tingkat pusat dan daerah dalam perencanaan, pelaksanaan, serta pengendalian kebijakan dan program pembangunan, termasuk mekanisme koordinasinya, serta pengembangan etika dan budaya usaha.
9.4.2 Kebijakan Peningkatan Akses kepada sumberdaya produktif Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan PMKMK dalam memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumberdaya, terutama sumberdaya lokal yang tersedia. Adapun sasaran kebijakan ini adalah tersedianya lembaga pendukung untuk meningkatkan akses PMKMK terhadap sumberdaya
produktif, seperti sumberdaya manusia, modal, pasar, teknologi, dan informasi. Kebijakan ini antara lain mencakup tangkah-langkah sebagai berikut:
(1) Meningkatkan kualitas layanan LKM serta lembaga keuangan sekunder terutama untuk mendukung usaha mikro di tingkat lokal melalui dukungan: (a) perlindungan
status badan hukum, kemudahan perijinan serta penyediaan sistem insentif; (b) peningkatan kemampuan manajemen dan penguatan permodalan yang didukung penjaminan secara selektif; dan (c) pembentukan sistem jaringan antar-LKM, dan antara LKM dan Bank agar terjalin kerjasama keuangan; 82
(2) Memperluas sumber pembiayaan PMKMK, antara lain melalui perluasan layanan penjaminan kredit, perluasan peran modal ventura, dukungan sistem insentif bagi
investor asing yang melakukan penyertaan modal (equity financing) pada usaha modaf ventura, dan pengembangan industri sewa beli (/easrng industry) sebagai
salah satu lembaga pembiayaan modal tetap bagi PMKMK. Upaya akses pendanaan kepada PMKMK disertai pengembangan sistem penilaian kredit (credit scoing system) dan jaringan informasinya;
(3) Meningkatkan kemampuan lembaga penyedia jasa pengembangan usaha, teknologi dan informasi bagi PMKMK di tingkat lokal serta penciptaan sistem jaringannya melalui dukungan penguatan manajemen secara partisipatif dan kompetitif. Langkah tersebut disertai dengan pengembangan sistem akreditasi lembaga dan sertifikasi jasa pengembangan usaha;
(4) Mengembangkan sistem insentif dan perkuatan lembaga-lembaga pelatihan, pengelola dan anggota koperasi serta jaringan kerjasama antar lembaga pelatihan;
(5) Reorientasi dan restrukturisasi balai atau unit pelatihan dan penelitian dan pengembangan (litbang) milik berbagai instansi pemerintah menjadi lembaga pengembangan usaha PMKMK yang mandiri. Langkah tersebut disertai dengan peningkatan dan reposisi tenaga-tenaga penyuluh/pendamping untuk menjadi konsultan PMKMK yang profesional mandiri;
(6) Memperkuat organisasi dan modernisasi manajemen koperasi yang menjadi wadah bagi PMKM untuk meningkatkan skala usaha yang ekonomis dan efisien secara bersama.
9.4.3 Kebijakan Pengembangan Kewirausahaan
& PMKMK Berkeunggulan
Kompetitif Kebijakan ini bertujuan untuk mengembangkan perilaku kewirausahaan serta meningkatkan dayasaing PMKMK. Sasaran yang akan dicapai adalah meningkatnya
pengetahuan serta sikap wirausaha
dan meningkatnya produktivitas PMKMK.
Kebijakan ini mencakup langkah-langkah antara lain: 83
(1) Memasyarakatkan kewirausahaan dan pengembangan sistem insentif bagi wirausaha baru (busrness sfarf-up);
(2) Mengembangkan inkubator bisnis dan teknologi terutama yang dikelola oleh dunia usaha/masyarakat untuk mendukung pengembangan PMKMK dan wirausaha baru berbasis teknologi. Hal ini disertai dengan pengembangan modal ventura dan penyediaan pinjaman berjangka panjang;
(3) Menyediakan sistem insentif dan pembinaan untuk memacu pengembangan UKM berbasis teknologi antara lain untuk mendukung pengembangan dan pemanfaatan inovasi/teknologi lokal; komersialisasi hasil inovasi teknologi; pengembangan kemitraan usaha antara UKM dengan perusahaan asing yang
menerapkan alih teknologi/manajemen modern kepada UKM mitranya; dan pengadaan fasifitas usaha bersama dalam rangka modernisasi atau peningkatan nilaitambah usaha;
(4) Mengembangkan jaringan produksi dan distribusi melalui pemanfaatan teknologi informasi, pengembangan usaha kelompok dan jaringan antar PMKMK dalam wadah koperasi melalui integrasi usaha secara vertikal dan horisontal. serta jaringan antara PMKMK dan usaha besar merarui kemitraan usaha;
(5) Meningkatkan kualitas PKM, termasuk wanita PKM, menjadi wirausaha yang dijiwai semangat kooperatif untuk mampu memanfaatkan potensi, keterampilan, dan keahliannya untuk berinovasidan menciptakan lapangan kerja.
9.5
BEBERAPA USULAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN YANG PENTING DAN MENDESAK
9.5.1 Reformasi sistem Perbankan Nasional dan Rekapitalisasi LKM Hal mendasar yang nampaknya perlu segera dilaksanakan adalah reformasi sistem perbankan nasional sehingga betuf-betul kondusif bagi pengembangan UKM, yaitu dengan membagi fungsi dan peran bank-bank besar di pusat (yang menerapkan sistem cabang) dan bank-bank di daerah (dengan menerapkan sistem univjaringan).
Oleh karena itu seyogyanya diterapkan salah satu dari dua alternatif sistem perbankan, yaitu "unit banking sysfem" (dewasa ini secara unik hanya diterapkan di
Amerika Serikat) atau "hybid banking system" (sebagaimana di Jepang, Jerman, fndia, dan Perancis); bukan "branch banking system" sebagaimana diterapkan di lnggris, Australia, Kanada, New Zealand, dan Afrika Selatan.
Di dalam sistem unit, suatu bank hanya diperkenankan membuka cabang di
dalam suatu wilayah tertentu saja, misalnya di dalam satu propinsi atau negara
bagian (state), tidak boleh keluar dari wilayah domisilinya. Bank diperkenankan membuka cabangnya di wilayah lain melalui sistem
tersebut jaringan
"conespondence banK' atau bisa saja diperbolehkan bilamana terdapat perjanjian kesepakatan antar wilayah (propinsi) mengenai izin membuka cabang. Sedangkan
sistem campuran (hybn{ ditengarai oleh adanya sejumlah kecil bank-bank besar dengan sistem cabangnya yang memegang sebagian tertentu deposito nasional dan
sejumlah besar sisanya adalah bank-bank kecil (dalam sistem jaringan) yang melayani kegiatan ekonomi (PMKMK) regional/lokal.
Penerapan sistem jaringan bagi bank-bank besar tersebut akan sekaligus
merupakan proses "re-engineering", "re-inventing", dan restrukturisasi perusahaan antara lain melalui "down-sizing" dan "leaning-down" ke dalam unit-unit mandiri yang
lebih kecil (misalnya dalam uniUdivisi propinsi atau kabupaten/kota) namun tetap berinteraksi dengan atau dikendalikan oleh kantor pusatnya melalui suatu jaringan
agar lebih responsive, adaptif, dan fleksibel terhadap pesatnya perubahan teknologi dan lingkungan pasar. Sistem tersebut telah banyak diterapkan dengan sukses oleh perusahaan-perusahaan kelas dunia seperti General Electric (GE) dan IBM dalam upaya mengantisipasikecenderungan dan persaingan global di masa depan.
Bank-bank besar seyogyanya hanya melayani usaha-usaha besar
di
pusat
dan subsidiarylaffiliated company mereka di daerah melalui cabang; sedangkan bank-bank atau lembaga-lembaga keuangan daerah/lokal melayani UKM setempat. Namun bank-bank besar juga didorong (melalui sistem insentif yang kondusif) untuk
juga melayani UKM melalui LKM setempat yang menjadi coffespondence bank mereka (melalui sistem jaringan, bukan cabang). Dengan demikian diharapkan dana
dari masyarakat yang dihimpun dalam suatu wilayah (propinsi atau kabupaten/kota)
85
tidak tersedot ke (kantor) pusat, melainkan berputar dan dimanfaatkan oleh masyarakat atau UMKMK wilayah tersebut bahkan dapat ditambah dana dari pusat.
Rekapitalisasi
dan restrukturisasi perbankan nasional hendaknya
tidak
ditujukan hanya kepada bank-bank besar (dengan sistem cabangnya) saja, melainkan juga bagi lembaga-lembaga keuangan lokal atau LKM. Misalnya melalui rekapitalisasi dan pembentukan lembaga-lembaga penjaminan lokal (LpL) yang diwajibkan mendepositkan dana rekapitalisasi tersebut (sebagai dana "abadi")
kepada lembaga-lembaga keuangan lokal (LKM) dalam sistem jaringan. Dana rekapitalisasi tersebut dapat dialokasikan dari sebagian dana hasil penjuatan asset BPPN atau dari sebagian dana APBN yang dianggarkan bagi pembayaran bunga obligasi/ rekapitalisasi perbankan yang tahun ini saja sudah mencapai sekitar Rp. 40
triliun. Pembayaran bunga obligasi tersebut (yang notabene hanya diperuntukkan bagi sekitar 129 bankir) lebih besar dari dana pembangunan (diperuntukkan bagi sekitar 210 juta rakyat Indonesia). Dana juga dapat diperoleh dari Pemerintah Daerah
setempat (berupa pinjaman, subsidi, atau penyertaan) dan dana-dana masyarakat lainnya (berupa pinjaman atau penyertaan dari pMKMK, usaha besar, bank, LKM, BUMN, dan individual).
Perlu digaris-bawahi bahwa rekapitalisasi sebaiknya lebih difokuskan pada lembaga penjaminan lokal atau LPL melalui deposito "abadi" dana penjaminannya kepada LKM agar memudahkan akses PMKMK kepada sumber-sumber pembiayaan setempat. Sekali PMKMK tersebut mendapat jaminan dari LPL maka akan mudah
baginya untuk memperoleh pinjaman dari LKM karena sebagian dana LKM merupakan dana deposito dari LPL. Keberadaan lembaga-lembaga penjaminan dan keuangan di tingkat lokal (kabupaten, kecamatan, atau desa) merupakan syarat
mutlak bagi pengembangan sistem pembiayaan PMKMK, karena akan sangat membantu PMKMK dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan. Selama ini sebenarnya kita sudah mempunyai lembaga penjaminan serupa (Perum pKK) namun hanya berdomisili di Jakarta dan beberapa ibukota propinsi sehingga sulit diakses PMKMK.
86
Lembaga penjaminan lokal tersebut perlu dikembangkan melalui suatu sistem
jaringan dengan membentuk semacam asosiasi atau koperasi baik di tingkat kabupaten dan propinsi maupun di tingkat nasional. Selain dibutuhkan dukungan suatu sistem dan jaringan teknologi informasi, maka untuk mencegah timbulnya moral hazard sistem pembiayaan PMKMK ini juga perlu diatur dan dijamin oleh Undang-undang. LPL tersebut juga perlu menjaminkan/ mengasuransikan kembali dana penjaminan tersebut kepada lembaga tertentu di tingkat nasional, agar lebih aman dan untuk mencegah kemungkinan terburuk di masa yang akan datang, misalnya bila terjadi kemacetan pengembalian pinjaman kredit PMKMK di LKM.
9.5.2 Pengembangan Jaringan Layanan Pengembangan Usaha Selanjutnya PMKMK yang telah dijamin oleh lembaga penjaminan tersebut (tentu saja setelah didiagnosa, dibantu dan direkomendasi oleh semacam lembaga konsuftasi usaha atau business development service center
- BDSC) dapat langsung
mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan setempat tanpa harus menyerahkan
agunan. Lembaga penjaminan tersebut dalam menentukan/memilih lembaga keuangan lokal calon mitranya harus melalui mekanisme seleksi yang terbuka dan mentaati azas-zas prudential perbankan, antara lain melalui fit and proper test
dengan mencermati kinerjanya
di masa lalu (track record). Konsep pembiayaan
PMKMK tersebut yang sekaligus juga merupakan konsep restrukturisasi dan rekapitalisasi LKM3 atau LKM dapat dilihat dalam Gambar 03 terlampir.
Jelas bahwa sistem pembiayaan PMKMK tersebut perlu didukung oleh adanya suatu jaringan pusat-pusat layanan pengembangan usaha (buslness development
seruice center
-
EDSC) tingkat lokal. Lembaga
di tingkat lokal ini
membantu
perkembangan PMKMK dalam hal manajemen, teknis, pelatihan, dan kemudahan
akses terhadap pasar, informasi, teknologi, dan modal. Misalnya membuatkan proposal pengembangan usaha bagi PMKMK dalam rangka mendapatkan penjaminan dari LPL agar dapat memperoleh pinjaman kredit dari LKM.
Pemerintah dapat memberikan bantuan/subsidi berupa voucher kepada PMKMK untuk memperoleh bantuan layanan dari BDSC setempat (sebagaimana
telah dikembangkan dengan cukup berhasil oleh sebuah LSM Internasionat
di 87
beberapa propinsi di Indonesia). PMKMK tersebut hanya akan membayar (berupa voucher) kepada bantuan layanan BDSC apabila layanan tersebut memang betulbetul dirasakan bermanfaat. Dengan demikian sistem voucher ini selain dapat membantu PMKMK, juga sekaligus dapat membantu BDSC dan memacunya agar betul-betul memberikan layanan secara profesional. Sebagai catatan tanda panah terputus (titik-titik) dalam Gambar 03 terlampir menunjukkan bahwa sebagian LKM (terutama yang melayani usaha mikro) juga memerlukan penjaminan (antara lain bila memerlukan tambahan pendanaan dari sumber-sumber lain untuk meningkatkan kapasitasnya) maupun layanan pengembangan usaha. Sedangkan untuk usaha mikro, barangkali belum memerlukan penjaminan mengingat jumlah pinjamannya yang relatif sangat kecil sehingga penjaminan akan kurang efisien dan efektif. Seyogyanya dibentuk suatu lembaga semacam konsorsium yang mempunyai wewenang melaksanakan pengujian dan menebitkan lisensi/sertifikat bagi konsultan
dan akreditasi bagi BDSC. Konsorsium tersebut seyogyanya beranggotakan antara lain perusahaan konsultan manajemen/teknik swasta (domestik dan internasional), asosiasi PMKMK, dan perguruan tinggi yang mempunyai reputasi baik secara nasional maupun internasional. Biaya pelatihan serta pengujian lisensi/sertifikat dan akreditasi bisa sebagian atau seluruhnya ditanggung/disubsidi oleh pemerintah untuk yang pertama kali saja dan diutamakan bagi konsultan PMKMK dan BDSC yang sudah ada. Untuk biaya ujian yang kedua dan seterusnya (pengulangan) ditanggung sepenuhnya oleh peserta.
88
DAFTAR PUSTAKA
1.
Biro pemberdayaan UKMK, BAPPENAS (2000). Mengembangkan Usaha Skala Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi di dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000
2.
-
2004, Balb IV.C.2.
Brock, William S. & DS. Evans. (1989). Small Business Economics, di dalam Zoltan J. Acs (ed.): 'Small Firms and Economic Growth, Vol. l'. Hal.97-110. Edward Elgar Pub. Ltd., Brookfield.
3.
Fischer, Stanley (1998). ABCDE: Past Ten Years, Next Ten Years, di dalam AnnualWorld Bank Conference on Development Economics.
4. Garber, Carter (1997). Private Investment as
a
Financing Source for
Microcredit. The North-South Center, University of Miami.
5. Getubig,
1.,
J. Remenyi, dan B. Quinones (eds.). 1997. Greating the Vision:
Micro-financing the Poor in Asia-Pacific; lssues, Gonstraints, and Gapacity Building. Malaysia: Asian and Pacific Development Centre, hal. 10-13.
6.
Hamel, Gary (1997). Reinventing the Basis
for Competition, di dalam
Rowan
Gibson (ed.): Rethinking The Future. Nicholas Brealey Pub., London.
T.
Kelompok Kerja (Pokja) Nasional Pengembangan UKM (2000), Rencana Tindak
Jangka Menengah Pengembangan UKM, Bappenas
8.
-
Menegkop & PKM.
Kotler, Philip (1997). Mapping the Future Market, di dalam Rowan Gibson (ed.): Rethinking The Future, Nicholas Brealey Pub, London.
9.
et al. (1997) The Marketing of Nations: A Strategic Approach to Building NationalWealth, The Free Press, New York.
10.Naisbitt, John (1997). From Nation States to Networks, di dalam Rowan Gibson
(ed.): Rethinking The Future. Nicholas Brealey Pub, London.
89
11.
Noyelle, Thiery & sidy LP. Suyitno (1998). strengthening the Policy' (FDl) Regulatory, and Institutional Framework for Foreign Direct Investment in Indonesia, Evaluasi Proyek INS/93/026, BKPIV|/FIASIUNDP, Maret.
12.Porter, Michael (1997). Greating Tomorrow's Advantages, di dalam Rowan Gibson (ed.): Rethinking The Future. Nicholas Brealey Pub, London'
13.Prahalad,
cK. (1997). Strategies for Growth, di dalam Rowan Gibson
(ed.):
Rethinking The Future' Nicholas Brealey Pub, London'
14.Stiglitz, Joseph E. (1998). Knowledge for Development: Economic Science, Economic policy, and Economic Advice, Opening Address di dalam Annual World Bank Conference on Development Economics'
LP. (2000b). Reformasi sistem Perbankan Nasional serta Restrukturisasi dan Rekapitalisasi Lembaga Keuangan Masyarakat (LKM) Dalam Rangka Pengembangan Sistem Ekonomi Kerakyatan, disampaikan dalam Seminar Ketompok Kerja Nasional Pengembangan Usaha Kecil dan
.15.Suyitno, Sidqy
Menengah; Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 7 November' 16.
(2000a). Konsep Restrukturisasi/Rekapitalisasi LKM dan Pengembangan usaha Mikro, Kecil & Menengah dan Koperasi (UMKMK), paparan yang disampaikan dalam Seminar Kecil tentang Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro; diselenggarakan oleh Deputi Vl Menko Perekonomian, 24 Oktober.
17.
(1999c). Strategi Perkuatan Lembaga Layanan Pengembangan Usaha Kecil & Menengah, disampaikan pada Konferensi Nasional Usaha Kecil & Menengah, Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil (PUPUK), Jakarla, 14 Desember.
18
(1999b). Prospek Ekonomi Indonesia
& lmplikasinya Bagi Strategi
pengembangan Dunia Usaha. Disampaikan pada Seminar Perspektif lndusti Otomotif Nasional Dalam Menghadapi Era Globalisasi; diselenggarakan oleh pimpinan Pusat Serikat Pekerja Metal Indonesia Sektor Automotif, Mesin & Komponen di Cisarua (Bogor), 15 Mei. 90
19.
(1999a). Strategi Peningkatan Kineria Lembaga Keuangan Alternatif (LKA) Milik Masyarakat Untuk Memacu Pembangunan Sektor Riil dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, disampaikan pada "Semiloka Optimalisasi Skim-skim Kredit Melalui BMT Dalam Rangka Pemberdayaan Ekonomi Rakyaf,
diselenggarakan
oleh Balitbang
Depkop&PKM bekerja-sama dengan
INKOPSYIAH dan PINBUK diJakarta, 9-10 Februari.
(1998). Strategi Pemberdayaan UMKMK melalui Pengembangan
20.
LKA Milik Masyarakat, disampaikan pada Lokakarya Kredit Mikro
yang
diselenggarakan oleh Bank Bukopin di Puncak-Bogor, 30 Agustus.
21.Tobin, James (1998). Financial Globalization: Gan National Currencies Survive?, Keynote Address di dalam Annual Wortd Bank Conference on D
evelopment Economics.
22.Wolfensohn, James
D. (1998). Rethinking Development
Principles,
Approaches, and Projects, Welcoming Address di dalam Annual World Bank Conference on Development Economics.
23.Yaron, Jacob
& M. Benjam (1998). Promoting Efficient Rural Financial
fntermediation, di dalam 'The World Bank Research Obseruef, Vol. 13, No. 2, Agustus, hal.147-170.
9l
BAB 10
PERLINDUNGAN SOSIAL
10.1 PENDAHULUAN
Dalam masyarakat industri modern, kebanyakan keluarga menggantungkan hidupnya dari gaji dan upah. Jika terjadi suatu kemalangan yang menimpa pencari
nafkah dalam suatu keluarga (breadwinner), seperti pemutusan hubungan kerja, kecacatan (kecelakaan kerja) , sakit, dan kematian, maka diperlukan suatu mekanisme perlindungan sosial yang dapat melindungi keluarganya dari hilangnya
penghasilan dan jaminan terhadap konsekuensi lainnya seperti kesempatan melanjutkan pendidikan,
hilangnya
dan hilangnya akses terhadap
fasilitas
kesehatan.
Terdapat dua bentuk perlindungan sosial yaitu Program Asuransi Sosial (Socia/ lnsurance Program) dan Program Bantuan Publik (Public Asslsfance Program). Asuransi Sosial adalah jaminan sosial bagi para pekerja, terutama di sektor formal (baik pekerja badan usaha swasta atau pegawai negeri) yang diadakan
untuk menjamin mereka atas ketidakpastian hidup karena kecelakaan kerja, sakit, dan kematian. Asuransi Sosial ini dibiayai oleh pekerja sendiri dan dapat juga didanai
oleh perusahaan, atau didanai secara bersama-sama antara pekerja, perusahaan dan pemerintah. Asuransi Sosial ini sifatnya penyelenggaraan jasa untuk memberikan jaminan sosial ketika terjadi suatu peristiwa yang tidak diinginkan dan
juga sebagai bentuk imbalan atas masukan (premi/iuran) tertentu yang dibayarkan. Penyelenggaraan asuransi sosial ini biasanya difakukan oleh lembaga independen not for profit, yang khusus bergerak di sektor usaha jasa asuransi sosial.
Program Bantuan Publik (Public Assisfance Program) adalah jaminan sosial
yang didasarkan pada kebutuhan sosial dan kebutuhan ekonomi dari para aplikan
yang ditentukan dengan melalui suatu seleksi tertentu yang didasarkan pada kebutuhan rata-rata yang tetap dari sebuah keluarga. Asistensi ini dapat berupa bantuan uang yang dapat dibelanjakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Asistensi 92
ini dapat berupa memasukan orang miskin ke dalam institusi atau lembaga sosial yang memang dimaksudkan untuk memberikan asistensi, atau dapat juga berupa penyaluran bantuan langsung kepada orang miskin.
pada paparan berikut akan diuraikan secara lebih rinci mengenai Asuransi Sosial dan Program Bantuan Publik yang dilaksanakan di negara maju dan beberapa negara Asia dan Pasifik. 10.2 ASURANSI SOSIAL
DI NEGARA ASIA DAN PASIFIK
Asuransi sosial telah dijalankan di negara-negara maju (developing member counties, DMCs) dalam beberapa bentuk, antara lain jaminan pensiun (old age pensions), Asuransi Kesehatan (Health Insurance), bantuan kematian (death grants), pesangon PHK (unemployment benefif), Pendapatan Selama SakiUCacat (Sickness
and Disabitity Benefits), Pembayaran/Lump sum untuk lbu Hamil (Matemity Benefits), dan Santunan Kecelakaan Kerja (Work lnjury Benefits). Di negara-negara Asia dan Pasifik, termasuk Indonesia, yang terkena krisis 1997, penyempurnaan terhadap Sistem Asuransi Sosial sudah mulai dilakukan. Langkah ini dilakukan untuk mengantisipasi resiko serupa yang mungkin terjadi di masa datang. Beberapa negara telah melaksanakan Skim tertentu yang dianggap prioritas oleh kelompokkelompok masyarakat (terutama kelompok pekerja). Cakupan dan keragaman Skim Asuransi Sosial di sutau negara ditentukan oleh tingkat pembangunan ekonomi dan lama Skim Asuransi Sosial dilaksanakan disuatu negara.
Uraian berikut akan menyajikan jenis-jenis Skim Asuransi Sosial yang telah dilaksanakan di DMCs, dan negara-negara Asia dan Pasifik.
10.2.1Jaminan Pensiun (Old Age Pensions)
Dana pensiun dirancang untuk melindungi penduduk lanjut usia
dari
kemiskinan. Pada usia lanjut, kemampuan dan kapasitas mereka umumnya menurun sehingga mereka kemungkinan tidak dapat memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Kesinambungan penghasilan hari tua termasuk unsur kesejahteraan yang harus
diupayakan negara. Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa memberikan sejumlah uang secara sekaligus pada saat pensiun tidak menjamin kesinambungan 93
penghasilan. Hal yang sama terjadi jika dilakukan pembayaran secara berkala tetapi tidak terjaga nilainya artinya meskipun pegawai menerima tunjangan pensiun secara
berkala tetapi karena jumlahnya kecil maka pegawai tersebut tidak terjaga kesinambungan Penghasilannya.
program penyediaan dana pensiun disediakan melalui tiga pilar, yaitu : (1) Pay as you Go (PAYG) yaitu pembayaran pensiun bagi para pensiunan saat ini diperoleh dari iuran/sumbangan penduduk yang bekerja sekarang; (2) Mandatory Funded atau Fully Funded yaitu sistem pensiun yang pembiayaannya murni berasal dari deposito peserta yang dikumpulkan selama mereka bekerja; dan (3) voluntary private or
voluntary funded yaitu sistem pensiun yang dikelola oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawainYa.
Pilar Pertama: Pay as You Go mempunyai karakteristik sebagai berikut:
-
Dana berasal dari iuran/kontribusi pekerja dan pengusaha
-
Pensiun dibayarkan dari sumbangan pekerja dan pengusaha saat ini
-
Berdampak positif pada pengentasan kemiskinan
-
Sistem ini dapat berkembang jika ekonomi mengalami pertumbuhan
-
Sistem bekerja dengan baik, jika jumlah pekerja melebihi jumlah yang pensiun.
Diagram : Pay As You Go
[,*l workers
I
I
94
ratio
Sistem PAYG dapat bertahan untuk jangka yang cukup lama iika dependency yaitu rasio jumlah pensiunan terhadap jumlah penyumpang (pekerja)
pengeluaran untuk memungkankan terkumpulnya dana yang cukup guna membiayai jaminan pensiun.
Jika beban pembayaran pensiun pada masa mendatang
diperkirakan
perlu membengkak, beberapa penyesuaian untuk menyelamatkan sistem ini, penurunan besarnya nilai dilakukan antara lain melalui perpanjangan usia pensiun, jaminan pensiun, peningkatan jumlah sumbangan/iuran, perpanjangan period pembayaran iuran, perubahan aturan indeksasi, dan pemberian hambatan bagi pekerja untuk Pensiun dini.
pilar Kedua
:
Mandatory Funded atau Fully Funded mempunyai karakteristik
sebagai berikut:
-
pembiayaan untuk pembayaran jaminan pensiun berasal dari deposito dan bunganya yang dikumpulkan dari iuran-iuran selama periode mereka bekerja;
-
Sumbanganfiuran dikumpulkan oleh pemerintah dan selanjutnya dikelola oleh manager keuangan;
-
Memungkinkan untuk melakukan difersifikasi resiko dengan menanamkan simpanan pada pasar modal internasional;
-
Tidak terpengaruh oleh faktor-faktor demografi;
-
Meningkatkan tanggung jawab perseorangan;
-
Memdukung pertumbuhan pasar modal;
-
Memerlukan jaminan dari pemerintah atas pembayaran minimal pensiun. Hal ini berakibat pada peningkatan pengeluaran pemerintah pada saat terjadi
resesidi Pasar modal;
-
Tidak ada transfer sumber daya terhadap masyarakat berpendapatan rendah; 95
-
Membutuhkan peraturan perundangan yang ketat;
-
Pembayaran dapat dilakukan secara tahunan atau lump surns;
-
Biaya administrasi cukup besar.
Diagram : Fully Funded SOCIAL INSURANCE OFFICE
CAPITAL MARKETS Agar sistem pensiun Fully Funded dapat adanya dukungan peraturan perundangan yang lengkap. Berikut diuraikan beberapa prasyarat agar sistem pensiun ini dapat berjalan dengan baik.
a.
Kepesertaan bersifat wajib;
b.
Pekerja dan pemberi kerja mempunyai kewajiban untuk membayar iuran pensiun dalam jumlah yang sama;
c. Perlu dibentuk Komite Pengendali
Sistem Pensiun (Pensions Control
commission, PCC) yang bertugas untuk mengawasi skim, melindungi dana anggota, dan memberi lisensi perusahaan pengetola pensiun. Komite inidipimpin oleh ketua yang independen. Komite beranggotakan individu yang mewakili perusahaan pengelola asuransi sosial;
d.
PCC mempunyai kewenangan untuk melakukan investigasi atas hal-halyang berkaitan dengan pengelolaan dana pensiun oleh perusahaan pengelola pensiun.
96
Pilar yang ketiga : Voluntary Funded
Merupakan sistem pensiun yang dikelola
oleh pemberi kerja
untuk
kepentingan pegawainya. Sistem pensiun ini menghambat mobilitas pekerja untuk
berpindah pada perusahaan lain. Selain
itu pekerja menderita
kerugian jika
perusahaan tempat mereka bekerja mengalami kelesuan dalam usahanya. Praktek di
banyak negara maju, sangat membatasi pengelolaan pensiun dengan pilar ketiga ini.
Hal ini terutama mengingat faktor efisiensi dan lemahnya perlindungan terhadap pegawai.
Diagram : Voluntary Funded
CAPITAL
PRIVATE FUNDS
MARKETS
9.2.2 Asuransi Kesehatan Sosial (Soclal Health lnsurancel Batasan Asuransi Kesehatan Social menurut tLO
'
Social Health Insurance is
a system under which social risk such a loss of income or need for medical treatment
are pooled on mandatory basis among as board a group as possible, and cost are shared by contribution, are imposed by statute on a uniform basis, without regard the individual risk. Member should not permit to seek exemption from average, since this will result in dilution of the risk pool.
97
Dengan batasan dari lLO, maka Asuransi Kesehatan Sosial memiliki karakteristik sebagai berikut
:
a.
Kepesertaan bersifat wajib berdasarkan peraturan perundangan;
b.
Besaran kontribusi (premi) peserta tidak berdasarkan resiko individual dan ditetapkan dalam bentuk persentase pendapatan atau gaji (sharing risk but not risk basis);
c.
Premi menjadi tanggung jawab bersama antara pemberi kerja dan pekerja;
d.
Benefit (pertanggungan) sama untuk seluruh peserta;
e.
Peran Pemerintah dalam penyelenggaraannya sangat besar khususnya dalam hal regulasi.
Disamping aspek yang diuraikan
di atas, dalam operasionalisasinya
selalu
mengupayakan terlaksananya program secara efektif dan efisien, serta bermanfaat bagi semua pihak. Untuk itu tiga prinsip utama yang harus dipenuhiyaitu:
a.
Hukum Bilangan Besar (Law of the large number), dengan jumlah cakupan yang besar maka sebaran resiko (risk distributor) akan terjadi secara lebih merata dan mendekati perkiraan-perkiraan, sehingga beban yang dipikul oleh masing-masing peserta dalam kelompok akan semakin kecil, namun dengan benefit{aminan yang luas. Dengan perkataan lain penyelenggaraan akan menjadi lebih efisien.
b.
Pelayanan Kesehatan Yang Menyeluruh Sesuai Kebutuhan Medis dan berlaku di seluruh wilayah negara. Adanya jaringan pelayanan kesehatan yang tersebar dapat menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan yang sesuaidengan kebutuhan medis peserta.
c. Kendali mutu dan biaya; Hal ini ditujukan agar dengan premi yang relatif rendah/murah diperoleh jaminan yang besar/luas cakupannya, namun dengan mutu pelayanan yang tetap terjamin.
Model asuransi sosial tersebut di atas mulai dirintis sejak Jerman di bawah Bismarck pada tahun 1882. Model inilah yang berkembang di beberapa negara 98
Eropa, Jepang (sejak 1922), dan kemudian negara-negara Asia lainnya, Philipina, Korea, Taiwan dan lain sebagainya. Kelebihan sistem ini, memungkinkan cakupan 100
o/o
penduduk dan relatif rendahnya peningkatan biaya pelayanan kesehatan yang
disebabkan oleh kecilnya "bias selection' para pesertanya. Dua modet asuransi lainnya yang diterapkan diAmerika dan Ingris adalah sebagai berikut :
a.
ModelAsuransi Kesehatan Komersial (Commerciat Heatth lnsurance). Hanya AS yang sepenuhnya menganut prinsip asuransi kesehatan komersial, termasuk dalam penyelenggaraan program jaminan sosial bagi masyarakat
yang tidak mampu dan usia lanjut (Medicaid dan Medicare), yang oleh Pemerintah AS dititipkan penyelenggaraannya pada perusahaan asuransi kesehatan. Namun, sistem ini gagal mencapai cakupan
100o/o
penduduk. Di AS,
sekitar 38 persen penduduk tidak tercakup dalam sistem ini. Selain itu, peningkatan biaya kesehatan juga sangat drastis, disebabkan peluang "moral
hazart yang besar. Karena itu
direkomendasikan oleh Bank Dunia (1993)
pengembangan "Regulated Health Insurance", dimana kepesertaan berdasar kelompok dengan syarat jumlah minimal tertentu, sehingga mengurangi peluang moral hazard.
b.
Model National Health Servrbeg yang dirintis oleh pemerintah Inggris sejak usai Perang Dunia Kedua. Model inijuga membuka petuang cakupan 100o/o penduduk. Namun pembiayaan kesehatan yang dijamin melalui anggaran pemerintah , akan menjadi beban yang berat.
Selanjutnya kecenderungan (universal) yang menarik dari imptementasi sistem asuransi kesehatan khususnya asuransi kesehatan sosial adalah :
a.
Program asuransi kesehatan sosial justru dimulai pada kelompok formal, tenaga
keria, untuk kemudian berkembang pada kelompok non-formal dan "self employed' (Jerman, Jepang, Korea dan Lainnya). Meskipun demikian, manfaat program asuransi kesehatan sosial juga telah dapat dinikmati kelompok masyarakat yang belum tercakup dalam program asuransi kesehatan sosial, melalui penyediaan sarana kesehatan yang dibangun untuk mendukung program
asuransi kesehatan sosial. Program asuransi kesehatan sosial ternyata
meningkatkan akses seluruh penduduk pada sarana kesehatan, dengan biaya yang lebih terkendali.
b. Meskipun
diawali dengan beberapa badan penyelenggara, jumlah badan
penyelenggara asuransi kesehatan sosial
di suatu negara semakin menurun.
Dimulai dengan koordinasi/kerja sama di antara berbagai badan penyelenggara,
merger kemudian menjadi satu badan penyelenggara (Taiwan, Korea). Dengan demikian "bargaining powef badan penyelenggara asuransi kesehatan semakin besar, sementara hukum, the law of large numbef' juga semakin besar.
Selain itu, model asuransi kesehatan sosial, baik dari aspek sosial maupun
ekonomi, dianggap akan mampu menghadapi kecenderungan masa depan pelayanan kesehatan yang semakin mahal, disamping mempertahankan sifat sosial pelayanan kesehatan. Hal ini terlepas, bahwa dalam perjalanan berbagai model itu
sering kita lihat beberapa perkembangan yang sangat menarik. Asuransi Kesehatan Sosial (misalnya) dapat belajar dari pengalaman asuransi kesehatan komersial, khususnya dari AS, tentang cara-cara mengembangkan pelayanan dan pembiayaan kesehatan yang efisien (managed healthcare concepf). Perkembangan seperti itu, juga telah mengubah konsep asuransi kesehatan
tradisional sebagaimana selama ini dikenal. Asuransi (kesehatan) tidak hanya dianggap sebagai sistem pembiayaan kesehatan, tetapi juga sistem pemeliharaan kesehatan. Karena itu, dalam konsep asuransi kesehatan sekarang, baik sosial maupun komersial, setiap program asuransi kesehatan harus mendasarkan kerjanya pada dua tiang penyangga yaitu sistem pembiayaan (financing of healthcare) dan sistem pelayanan kesehatan (delivery of healthcare) yang efisien dan efektif. Semua itu diperlukan untuk dapat mengatasi peningkatan biaya pelayanan kesehatan, yang digambarkan sering drastis, melampaui inflasi dan kenaikan barang-barang konsumsi yang lain.
Dengan perkembangan seperti itu, penyelenggaraan/manajemen setiap program asuransi kesehatan menjadi semakin kompleks. Baik sistem pembiayaan maupun sistem pelayanan kesehatan telah berkembang jauh, sehingga memerlukan penguasaan sifat pelayanan kesehatan itu sendiri. Dari aspek disiplin ilmu asuransi, 100
asuransi tidak lagi semata-mata mekanisme risk sharing tetapi juga profit sharing, dimana mekanisme pemberian insentif untuk efisiensi menjadi sangat penting. ldealnya model asuransi kesehatan sosial itu akan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a- Kepesertaan yang bersifat wajib, berdasar kelompok kerja atau masyarakat. Asuransi kesehatan sosial tidak mengenal kepesertaan perorangan;
b.
Perhitungan iuran premi berdasar resiko kelompok, "group rating" bagi kelompok tenaga kerja atau community rating bagi kelompok masyarakat;
c.
Santunan/benefit package yang bersifat menyeluruh (comprehensive), sesuai dengan kebutuhan medik, yaitu keseluruhan petayanan kesehatan yang diperlukan untuk tetap hidup sehat dan pulih kembali setelah sakit. Dalam hal ini mencakup pelayanan pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi, yang harus diselenggarakan secara
efi
sien.
10-2-3 Bantuan Untuk Kematian (Death Grants
and Suruivor's pensiopns)
Meninggalnya kepala keluarga (pencari nafkah) dapat menyebabkan anggota keluarga yang menggantungkan hidup darinya hidup dalam kemiskinan. Banyak asuransi sosial melindungi dari resiko ini dengan memberikan pembayaran manfaat
segera setalah kepala keluarga meninggal yaitu berupa pembayaran
biaya
pemakaman dan biaya hidup untuk beberapa bulan ke depan.
Besamya manfaat yang diperoleh biasanya terkait dengan jumlah gaji terakhir dari almarhum atau dapat juga ditentukan oleh besarnya iuran yang almarhum bayar
sebelum dia meninggal. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan manfaat dari asuransi ini biasanya meliputi: Lamanya almarhum menjadi peserta asuransi; Usia dari pasangan dan anak yang ditinggalkan, serta jumlah anggota rumahtangga.
101
10.2.4 Tunjangan PHK (Unemployment BenefiQ
Resiko kehilangan pekerjaan dapat menimpa semua pekerja. Oleh karena itu perlu dirancang pembayaran manfaat yang dapat melindungi pekerja dari resiko
semacam ini. Dengan memindahkan resiko individu kepada seluruh seluruh komunitas peserta asuransi, maka asuransi ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Tunjangan PHK biasanya ditujukan pada: (1) penyediaan kompensasi pada pekerja yang kehilangan pendapatan sementara akibat
kehilangan pekerjaan. Besarnya kompensasi dihitung untuk mencukupi kebutuhan dalam jangka pendek; (2) Kompensasi sudah memperhitungkan kelonggaran bagi mereka untuk dapat segera mencari pekerjaan baru. Jadi tunjangan PHK ini berperan sebagai penyediaan pendapatan selama pekeria tidak bekerja. 10.3 PERLINDUNGAN SOSIAL DI MALAYSIA
Seperti kebanyakan negara
di dunia ini,
Malaysia juga mempunyai Dasar
Perlindungan Sosial yang dibentuk bertujuan untuk melindungi masyarakat Malaysia
dari risiko kemiskinan atau menurunnya pendapatan yang diakibatkan
oleh
kemalangan, kecacatan, kecederaan, ketidakupayaan bekerja, dan sebagainya. Bertitik-tolak dari hal tersebut, perlindungan sosial juga dikenali sebagai satu skim insurans sosial masyarakat di Malaysia, perlindungan sosial lebih dikaitkan dengan skim-skim insurans atau bantuan keuangan dan bukan keuangan yang diuruskan
oleh Kumpulan Wang Simpanan Pekerja (KWSP) dan Pertumbuhan Keselarnatan Sosial (PERKESO). Selain daripada dua organisasi perlindungan sosial utama ini, terdapat juga pelbagai skim insurans sosial yang diuruskan oleh Jabatan Kebijakan Masyarakat, sektor swasta dan pertumbuhan bukan kerajaan. 10.3.1 Perkembangan Program Perlindungan sosiat di Maraysia
Konsep "perlindungan sosial" wujud bersama-sama dengan kewujudan masyarakat Melayu di rantau ini. ldea perlindungan sosial ini telah dimanifestasikan ke dalam hampir kesemua aspek kehidupan masyarakat kita. Misalnya, adalah menjadi amalan kebanyakan ahli masyarakat Melayu (serta masyarakat-masyarakat
yang lain) memberikan hadiah kepada pasangan pengantin yang baru berkawin. Hadiah yang diberikan biasanya berbentuk alatan-alatan rumahtangga atau 102
keuangan. Amalan memberi hadiah ini boleh dilihat sebagai satu bentuk perlindungan
sosial. Pemberi umumnya, dan masyarakat khususnya mengharapkan pemberian hadiah ini sekurang-kurangnya boleh membantu pasangan pengantin tadi memulakan hidup berkeluarga dan tanggungjawab baru yang bakal mereka hadapi.
Tabung Khairat Kematian juga boleh dilihat sebagai satu bentuk progroam perlindungan sosial informal. Tabung keuangan ini biasanya ditumbuhkan oleh ahli jawatankuasa kampung, surau atau masjid sebuah kampung atau daerah. Operasi Tabung Khairat ini sangat mudah. Semua isirumah yang beragama lslam di kawasan
tersebut boleh menjadi ahli dengan cara membayar kutipan keahlian (biasanya diantara RMS-RM10 sebulan) kepada jawatankuasa masjid atau suaru kawasan tersebut. Hasil kutipan tersebut akan digunakan untuk membiayai urusan-urusan pengebumian kematian yang berlaku pada masa-masa keluarga ahli. Ini bermakna setiap ahli membayar sejumlah wang ke dalam dana ini untuk bakal digunakan pada
masa hadapan sekiranya berlaku kematian di dalam keluarga masing-masing. Walaupun bantuan yang diterima kecil tetapi
ia boleh membantu mengurangkan bebanan keluarga si mati. Secara tidak langsung ia memperlihatkan kerjasama masyarakat membantu ahli-ahlinya sendiri di dalam menghadapi kesusahan yang
melanda.
Contoh lain yang boleh dikaitkan dengan perlindungan sosial ialah amalan gotong-royong yang diamalkan oleh kebanyakan petani, terutamanya pesawah padi. Semasa musim menuai tiba, pesawah-pesawah padi biasanya akan bekerjasama untuk menuai padi di setiap plot padi yang ada bukan sahaja plot padinya. Ini dilakukan bertujuan agar padi dapat dikutip di dalam musim menuai tersebut, yaitu sbeelum musim lain (misalnya musim hujan, ribut kemarau) datang yang mana ini boleh mengancam hasil tanaman pada mereka. Hanya dengan gotong-royong ini
sjaja selalunya pada dapat dikutip di dalam tempoh masa menunai. Gotong-royong inijuga dilakukan agar semua pesawah tersbut sama-sama menikmati hasil tanaham pada tahun tersebut setelah berpenat-lelah berusaha.
Kesemua contoh di atas menunjukkan bahwa pertindungan sosial bukanlah satu konsep atau institusi baru di dalam masyarakat kita. Diasaskan daripada
103
semangat kerjasama dan tolong-menolong dikalangan ahli masyarakat bagi melindungi kepentingan-kepntingan bersama konsep ini akhirnya dikembangkan dan diformulasikan ke bentuk yang lebih modern selaras dengan perubahan yang berlaku dalam masyarakat.
Di Malaysia perkembangan perlindungan sosial ke bentuk, skim, program dan organisasi yang lebih modern. Dewasa ini Malaysia berada pada era Dasar Ekonomi
Baru (DEB), yaitu tahap pembinaan semula keadaan-keadaan ekonomi sosial dan politik negara yang tidak seimbang. Tiga tujuan utama DEB ialah (1) membasmi kemiskinan, (2) menyusun masyarakat Malaysia yang sejahtera dan (3) membentuk
persatuan ekonomi nasional. Selaras dengan tujuan DEB tersebut, KWSP telah mengembangkan lagi liputan serta skim-skimnya untuk membantu masyarakat yang
miskin dan meningkatkan status sosio-ekonomi masyarakat Malaysia secara keseluruhan, terutama mereka yang tertinggal. Cakupan KWSP telah diluaskan dengan memberikan perlindungan kepada semua pekerja yang bergaji. Malah, pekerja-pekerja asing dan pembantu-pembantu rumah telah digalakkan menyertai skim-skim lC /SP. Peristiwa penting pada tahap ini ialah penumbuhan Organisasi Keselamatan
Sosial Pekeria (PERKESO) pada tahun 1971. PERKESO menyediakan beberapa skim bantuan perlindungan daripada kemalangan kecederaan, keuzuran, kematian serta kecacatan yang berpuncak daripada tempat kerja atau berlaku ditempat kerja
ketika bekeria. Pendek kata, PERKESO merupakan satu skim ganti rugi yang terancang. Sehingga kini, terdapat lebih kurang lima skim utama KWSP dan 13 skim
utama PERKESO. Kesemua skim tersebut dibentuk bertujuan untuk melindungi tahap sosio-ekonomi masyarakat di hari tua ataupun apabila sesuatu malapetaka yang tidak diduga berlaku. 10.4 JAMINAN SOSIAL INDONESIA
Di
Indonesia, jaminan sosial mulai dilaksanakan beberapa saat setelah kemerdekaan yaitu dengan ditetapkannya Undang-undang No.3 Tentang Kecetakaan
pada Tahun 1947. Namun sebenarnya bagi pegawai negeri, jaminan sosial yang berupa pemberian pensiun telah diberikan sejak jaman kolonial Belanda. Dewasa ini 104
terdapat 5 (lima) lembaga penyelenggara asuransi{aminan sosial yaitu PT Taspen, PT Asabri, PT Askes, PT Jamsostek, dan PT Jasa Raharja.
Sebuah lompatan besar dari Perubahan UUD 1945 adalah perubahan Pasal
34 Ayat (2), yang secara tegas menunjukkan kemauan politik untuk melaksanakan sistem jaminan sosial dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Hal ini disebabkan,
dengan pilihan itu berarti Indonesia telah memilih jalan sebagaimana ditempuh negara-negara lain, sehingga lndonesia harus mengikuti prinsip-prinsip yang bersifat universal dalam memenuhi kebutuhan kesejahteraan rakyatnya.
Sebenarnya, untuk mewujudkan Sistem Jaminan Sosial sebagaimana termaktub dalam Pasal 34 UUD 1945 tidak perlu dengan mengubah UUD 1945. Namun, dengan dicantumkannya Sistem Jaminan Sosial dalam Perubahan UUD 1945, dapat diartikan sebagai komitmen politik yang lebih besar dari bangsa ini tentang cata-cara dan jalan mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Siapa pun yang memegang pemerintahan negeri ini, wajib melaksanakan prinsipprinsip Sistem Jaminan Sosialdalam mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
10.4.1|sue-lsue Bantuan Sosial di lndonesia Dengan ditetapkannya Sistem Jaminan Sosial dalam Perubahan UUD 1945, maka harus diikuti dengan penerbitan Undang-Undang (UU) oleh DPR. UU itu, pada kenyataannya, harus me-review perundangan yang ada, yang kini telah melandasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial, misalnya penyelenggaraan PT Jamsostek,
Askes, Taspen, dan sebagainya. Pendekatannya, selayaknya merupakan penyempurnaan perundangan yang telah ada disertai upaya meningkatkan perluasan kepesertaan dan mutu jaminan sosialyang telah diberikan.
Pemerintah, dalam hal
ini (sebenarnya) telah "mendahului" MPR,
karena
sebagaimana dibaca di berbagai media massa beberapa waktu lalu, presiden telah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) mengenai terbentuknya sebuah Tim yang akan menyempurnakan Sistem Jaminan Sosial yang ada. Tim ini, yang di ketuai
Prof Dr Yaumil C Agoes Achir, akan menyusun konsep akademis perundangan yang diperlukan, yang direncanakan akan menjadi "payung" segenap penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia serta konsep Sistem Jaminan Sosial Nasional yang akan 105
dilaksanakan. Direncanakan, jaminan sosial itu akan meliputi jaminan hari tua dan kematian, pensiun, pemeliharaan kesehatan, dan kecelakaan kerja serta pemutusan hubungan kerja.
Oleh karena itu, dalam menyongsong perubahan-perubahan itu, sudah setayaknya kita semua menyiapkan diri, agar perubahan-perubahan itu dapat berjalan mulus, tidak menimbulkan keguncangan masyarakat, mengingat masalah kesejahteraan akan menyangkut kebutuhan manusia yang mendasar. Kesamaan persepsi antara berbagai pihak, misalnya para decision-makers, anggota DPR dan kalangan politisi, pemberi kerja, penerima kerja, dan masyarakat umum, akan meniadi kunci dari keberhasilan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tanpa persepsi yang sama, akan sulit bagi Indonesia untuk membangun Sistem Jaminan Sosial sebagaimana diharapkan, untuk dapat "mengeja/' ketertinggalan kita dalam sistem jaminan sosial ini dibanding negara-negara lain, termasuk negara-negara di kawasan Asean. Di antara persepsi yang sama itu, selain prinsip-prinsip universal sebagaimana
dikemukakan di atas, juga penyempurnaan terhadap hal-hal yang selama ini telah berjalan, misalnya:
Peftama, wujud kegotongroyongan yang belum berjalan sebagaimana mestinya. Dalam program Jamsostek, iuran untuk penyelenggaraan jaminan kesehatan hanya menjadi beban pemberi kerja, sementara untuk pegawai negeri sipil, justru hanya menjadi beban penerima kerja. Baik pemberi kerja (employer) maupun penerima keria (employee), mestinya harus memberi iuran. Dampaknya, dana yang tersedia amat terbatas, sehingga kemampuannya melayani peserta amat terbatas.
Kedua; prinsip pengelolaan dana yang belum sesuai dengan prinsip-prinsip sebagaimana dikemukakan di atas. Bentuk badan yang dipilih (Persero), mewajibkan badan-badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial, baik PT Jamsostek maupun pT Askes Indonesia, dan lain-lain membayar pajak dan membagi deviden, sehingga (sebenarnya) amat merugikan peserta. Yang sangat mencolok adalah dalam
106
penyelenggaraan PT Askes Indonesia,
di mana seluruh iuran askes dibayar
dari
potongan gaji PNS, namun pemerintah menikmati pajak dan dividen.
Ketiga, kebijakan investasi dana tampaknya juga belum terarah. Aspek kehatihatian serta keamanan investasi masih perlu ditingkatkan. Pemerintah perlu memberi
arah jelas tentang investasi dana jaminan sosial, sehingga tidak hanya tergantung pada kebijakan menteriteknis yang membidangi BUMN bersangkutan.
Keempat, pemahaman terhadap prinsip asuransi sosial bahwa mekanisme asuransi harus mempertimbangkan sungguh-sungguh hukum bilangan banyak (the
law of large numbers), untuk dapat mencegah kecenderungan penyetenggaraan program yang fragmented, sehingga kontinuitas program dapat terganggu. Penyelenggaraan yang fragmented juga menyebabkan dampak ekonomi Sistem Jaminan Sosial mengecil.
Apabila persepsi seperti itu telah diperoleh, sebuah skenario makro dan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional perlu segera disiapkan. Namun, dengan agenda DPR yang demikian padat menjelang tahun 2004, menjadi pertanyaan, mungkinkah UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dapat diterbitkan sebelum pemilu? Initah yang
kini perlu memperoleh perhatian semua pihak, agar Perubahan UUD 1945 benarbenar akan menjadi lompatan besar dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.
r07
DAFTAR PUSTAKA
1. Ortiz, lsabel (editor), Social Protection in Asia and The Pacific; Ghapter Z: Social Assrcfance: Theoritical Backgroun4 ADB,
2.
2OO1
.
Pilian, J. Indra dkk (penyunting), Merumuskan Kembali Kebangsaan tndonesia,
Bab 35: Pemikiran Baru Tentang Kemiskinan, Pemerataan dan Kebijakan Perlindungan SosiaL CSIS, Jakarta, 2002.
3. Bank Dunia, World Development Report
2OOO/01:
Attacking povefi.
Washington DC, USA, 2000.
4.
BAPPENAS, Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2OOO-2004, Percetakan Negara, Jakarta, 2000.
5. BAPPENAS, Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) Tahun
2002,
Percetakan Negara, Jakarta, 2001.
6.
BAPPENAS, Rancangan Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) Tahun 2003, Percetakan Negara, Jakarta, 2002.
7. Mahar, Ari Indrayono, Sistem Perlindungan Sosial
di
Indonesia dan
Permasalahannya, Diskusi di Bappenas, Jakarta, 7 November 2oo2
108
BAB
11
STUDI PENGEMBANGAN , PEMBERDAYAAN DAN PENINGI(ATAN KAPASITAS KELEMBAGAAN DAI.AM RANG]G PENINGKATAN DAN PERLUASAN KESEMPATAN KERJA DAN PERBAII(AN EKONOMI INDONESIA
LATAR BELAKANG MASALAH
Perubahan tatanan politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan bangsa dari sistem outoritarian ke sistem demokrasi, dan peralihan sistem pemerintahan dari
sentralisme
ke desentralisasi/otonomi menimbulkan sejumlah masalah
terutama
bagaimana mengelola masa transisi dari sentralisasi ke desentralisasi itu.
Dalam menghadapi masalah ini maka muncul pemikiran bahwa pembangunan kelembagaan baik melalui pemberdayaan (empowering) maupun melalui peningkatan
kapasitas (capacity building) menjadi salah satu strategi yang dianut oleh para ahli (di antaranya Kenneth Arrow salah satu pemenang hadiah Nobel).
Asumsi dasar yang dikemukakan oleh para ahli tersebut adalah bahwa pemberdayaan dan peningkatan kapasitas kelembagaan menjadi penting dan sangat
diperlukan bagi sebuah perekonomian yang menjalankan mekanisme pasar. Hal ini di awali dengan pentingnya aspek legal (penegakan dan pentaatan hokum) guna mengikat kontrak/perilaku bisnis/kesepakatan serta pentingya dibangun berbagai badan /institusi pengatur yang membuat sistem keuangan mampu bekerja efisien dan efektif.
Dalam pola pikir itulah perlu juga dikembangkan sistem anti monopoli dan perlunya merangsang persaingan dan memilih pola transisi secara bertahap menuju
ekonomi pasar dengan pengendalian kebijakan moneter yang menekan berkembangnya inflasi.Dalam kontek inilah maka pembentukan ketembagaan, perkembangan kondisi sosial ekonomi , dan masalah distribusi pendapatan menjadi masalah penting yang perlu dipertimbangkan. Perhatian utama bukan se-mata-mata menekankan aspek makro, melainkan juga memperhatikan fakta-fakta yang lebih
mikro sifatnya sehingga tidak saja mengetahui keadaan secara
menyeluruh,
melainkan juga tahu seluk beluk kondisi perekonomian berikut perkembangan sosial 109
cultural secara mendalam.Kesemuanya
ini pada akhir akan mencapai
suatu
perekonomian yang menjadi basis program bagi berkembangnya tatanan masyarakat
madani (civil society) yang di-cita-citakan. Dalam kaitan ini fokus perhatian harus ditujukan kepada upaya memperkuat masyarakat sipil berikut kelembagaannya baik secara teknis maupun secara ekonomis, sosial ,cultural dan politis, dengan berbagai
model pendekatan dan cara yang dibutuhkan (demand driven) guna menjamin kelangsungan proses demokratisasi terutama selama masa transisi dari sentralisme
ke desentralisasi, sehingga dapat dicapai basis-basis bagi terwujudnya budaya dan prinsip " good governance" dan tujuan{ujuan pembangunan jangka panjang bagi kemamuran seluruh rakyat dan bangsa lndonesia.
Menghadapi realita perkembangan ekonomi global dan sistem pasar bebas
yang bertolak dari doktrin ekonomi pasar yang efisien dan efektif, maka kian mendesak perlunya pembangunan dan penataan sistem kelembagaan masyarakat. Hal ini sudah menjadi semacam aksioma karena dalam bekerjanya sistem ekonomi pasar itulah peran kelembagaan yang berfungsi di dalamnya akan menjadi subjek
dan objek yang dinamis dalam berfungsi selaku instrumen sistem tersebut. Oleh karena itu maka pengembangan dan penataan kelembagaan sudah menjadi tuntutan
alami sifatnya dan tak mungkin ditolak. Dan tiap organisasi/kelemnbagaan harus benar-benar siap menghadapi segala dinamika yang berkembang secara lebih nyata dalam sistem ekonomi pasar tersebut.
II.
IDENTIFIKASI MASAI.AH
Program-program pembangunan masyarakat madani memang selalu memerlukan upaya pengembangan kelembagaan yang intensif..Dalam hal ini antara lain peningkatan kapasitas dari kelembagaan-kelembagaan lokal yang sudah ada dan yang sedang ditumbuh-kembangkan (seperti badan-badan legislatif dan eksekutif
di daerah otonom, LSM, lembaga/badan usaha local, asosiasi usaha dan profesi, serta sejumlah "community based organization" lainnya).Upaya pemberdayaan dan peningkatan kapasitas itu dengan sendirinya akan mencakup sejumlah kelembagaan
yang luas yang meliputi juga sektor organisasi/kelembagaan swasta, pemerintah lokal dan bahkan kelembagaan di pusat. Jadi issu utamanya sebagai issu strategik adalah pengembangan kelembagaan. Upaya-upaya yang lebih terencana dan
ll0
berjangka panjang bagi pengembangan kelembagaan yang dapat diidentikasikan meliputi berbagai kemungkinan studidan kajian tentang hal-hal sebagai berikut:
o
Reformasi Kebijakan desentralisasi dan peningkatan kapasitas pemerintahan daerah yang terfokus antara lain kepada isu-isu: (i) kinerja pemerintah daerah berbasis manajemen (local government performance- based management), (ii) mobilisasi sumber-sumber pendapatan,(iii) penataan dan administrasi perpajakan,
(iv) standar pelayanan minimal (minimum basic serivice), (v) sistem kemitraan pemerintah dan swasta, (v) penerapan prinsip-prinsip "good governance" secara nyata dan bertanggung jawab, (vi )kesadaran pelestarian lingkungan dan (vii) pengelolaan sumber-sumber alam yang terbarukan (management
of
renewable
natural resources).;
o
Penguatan masyarakat madani untuk (i) meningkatkan partisipasi seluruh rakyat
dalam urusan-urusan publik, (ii) pelayanan mutu pelayanan publik, (iii) akuntabilitas lembaga-lembaga pemerintahan dan lembaga publik lainnya,(iv) peningkatan efisiensi dan efektifitas LSM dalam penyediaan tugas-tugas pelayanan dan advokasi;
o
Pefl€gakan dan pentaatan hukum meliputi (i) pembuatan dan penataan sejumlah peraturan pemerintah /daerah yang diperlukan ,dan (ii) peningkatan kapasitas lembaga-lembaga hukum /peradilan
o
;
Pengembangan kelembagaan dapat juga sebagai upaya pengembangan aturan main (sistem dan prosedur kelembagaan) yang mengatur dan membatasi perilaku dari individu-individu serta organisasi dalam masyarakat
o
.
Pengembangan mekanisme pasar sebagai sekumpulan sistem dan prosedur sebagai afuran main, termasuk tata cara penegakannya yang memungkinkan terjadinya kegiatan ekonomi tanpa harus dilakukan pembaruan kesepakatan rinci setiap kali dilakukan transaksi.
o
Penguatan dan pengembangan lembaga-lembaga demokrasi yang meliputi antara lain aspek (i) penguatan kinerja internal, (ii) sistem dan prosedur, (iii) manajemen sistem teknologi informasi, (iv) memperkuat kebijakan, analisis dan
lll
manajemen keuangan,
(v)
kebijakan-kebijakan
dan kepekaan kepada
kepentingan konstituen serta, (vi) pengawasan kinerja instansi eksekutif;
o
Pengembangan organisasiftelembagaan mencakup kegiatan-kegiatan (i) pengembangan sektor informal dan non formal (termasuk sektor usaha kecil dan
menengahruKM,
(ii)
(peningkatan peran serta dalam
self assessment,
(iii)
penyusunan rencana dan management strategik, (iv)pendidikan dan pelatihan, (v)
pengembangan sistem-sistem dan teknologi komunikasi
dan informasi,
dan
kegiatan lainnya yang relevan.
o
Pembentukan, pembinaan dan pengembangan lembaga "trading house" bagi promosi produk-produk ekspor Usaha kecildan Menengah (UKM).
o
Masalah alokasi sumber daya dan dana secara yang lebih efisien melalui mekanisme pasar berdasarkan keberadaan kelembagaan / organisasi yang memiliki sistem dan prosedur kerja dan aturan main yang menjamin pencapaian efi
o
siensi dan efektifitas kinerjanya.
Studi dan kajian program-program penguatan masyarakat madani
juga
menyangkut studi kelembagaan yang sangat luas meliputi upaya pemberdayaan
dan peningkatan kapasitas organisasi-organisasi lokal yang ada dan sedang berkembang, seperti organisasi lembaga swadaya masyarakat, organisasi berbasis masyarakat (community based organization), organisasi pendukung dunia usaha, organisasi profesi dan sebagainya.
Dapat disimpulkan bahwa dari berbagai aspek dan hal-hal yang dikemukakan
di atas maka studi-studi dan kajian kelembagaan berikut masalah pengembangan kelembagaan yang telah didentyifikasikan mencakup ruang lingkup dan aspek-aspek
yang sangat luas,
rumit dan komplek.Untuk itu perlu suatu upaya memilah-milah
manakah kajian studi kelembagaan yang paling diperlukan dan perlu diperioritaskan
dalam kontek kondisi dan situasi objektif yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa ini. Dalam hal ini timbul suatu keharusan untuk memprioritaskan kajian pengembangan kelembagaan yang sangat mendesak agar studi ini dapat benar-benar bermanfaat bukan saja dalam upaya menemukan suatu pola konseptuat
tt2
dan metode pendekatan yang diperlukan melainkan juga yang dari segi praktis berguna bagi mayoritas rakyat banyak.
III. PEMBATASAN MASALAH TERFOKUS KEPADA PEMBERDAYAAN DAN PENINGKATAN KAPASITAS USAHA KECIL DAN MENENGAH (UKM}
Dari identifikasi masalah-masalah yang menyangkut program pemberdayaan dan peningkatan kapasitas kelembagaan yang kami uraikan di atas, ternyata bahwa studi masalah pemberdayaan dan peningkatan kapaistas kelembagaan menyangkut aspek-aspek dan sektor yang sangat luas, rumit dan komplek sifatnya. Karena keterbatasan waktu dan biaya yang tersedia bagi studi masalah pemberdayaan dan
peningkatan kelembagaan
ini maka studi dibatasi pada kajian kelembagaan
/organisasi Usaha Kecil dan Menengah (selanjutnya dalam tulisan ini disingkat UKM) dengan sejumlah alasan sebagai berikut:
o
Dalam perjalanan sejarahnya UKM telah sangat memainkan peranannya dalam aktifitas ekonomi terutama dalam membuka dan memperluas peluang kerja bagi
jutaan orang atas dasar semangat swadaya /kemandirian; swasembada dan swakerta.
'
UKM telah menjadi mesin pembangunan bagi kesinambungan
ekonomi
masyarakat dan pergaulan hidup tingkat lokal dan kokoh terhadap berbagai guncangan internal maupun eksternal.
'
Dalam masa-masa mendatang terutama selama dan pasca masa krisis multidimensional yang masih dirasakan sebagai beban hidup dewasa ini UKM terbukti mampu terus berperan juga selaku pencipta peluang pasar, bahkan masih menjadi salah satu penyumbang terbesar bagi neraca pembayaran internasional Indonesia.
I
Terutama dalam negara berkembang dan yang sedang berkembang seperti Indonesia dalam kegiatan hidup perekonomian memang UKM selalu menjadi pemain utama yang tak selalu secara nyata terlihat dalam sector-sektor produksi, distribusi dan pelayanan jasa
ll3
IV.
MAKNA PENGEMBANGAN ORGANISASI
Untuk acuan selanjutnya dalam studi ini perlu ditarik secara definitif dan jelas
makna/apa yang dimaksudkan dengan pengembangan kelembagaan
itu.
Definisi
operasional pengembangan kelembagaan adalah suatu upaya perbaikan dan peningkatan pada kepekaan organisasi terhadap kebutuhan-kebutuhan
pan
stake
holdertbenefici aies yang terlibat di dal amny a. Secara praktis definisitersebut dapat mempunyai makna sebagai berikut:
(a) Memilah-milah atau merinci dan mengklasisifikasikan secara lebih baik antara berbagai kebutuhan-kebutuhan para beneficiaries
(b) Respon yang lebih cepat terhadap pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan para
benefi ciaries tersebut.
(c)
Kemampuan untuk merealisasikan kedua hal
di atas dalam skala demografik
yang lebih luas
Bertolak dari definiisi tersebut maka kita tak perlu secara apriori melakukan
definisi tentang kebutuhan yang harus dapat dipenuhi. Pengalaman menunjukkan kepada kita bahwa membuat definisi tentang kebutuhan akan menjadi sesuatu hal yang sulit, mengingat kebutuhan selalu dapat menjadi sangat bervariasi dan berbedabeda antara berbagai orang. Dengan cara itu juga aan lebih berguna bagi kita untuk
membuka peluang bagi berbagai-bagai kemungkinan strategi kelembagaan yang merupakan refleksi dari adanya perbedaan-perbedaan dalam kebutuhan.
Kebanyakan organisasi-organisasi melakukan pilihan-pilihan strategik sebagai bentuk kepekaannya yang menjadi respon utamanya terhadap kebutuhan-kebutuhan
para beneficiariesnya. Misalnya ada sejumlah bank yang melakukan kekhususan dalam pelayanan kepada nasabahnya yang lebih mempribadi hanya pada sejumlah orang yang mempunyai potensi lebih besar untuk menyimpan uangnya pada bank tersebut dengan menfokuskan pelayananya pada butir (a) dan (b) tersebut di atas.
ll4
perbaikan mutu kinerja
UKM
sebagai sebuah organisasi berbasis misi
kerakyatan.
V.
TUJUAN STUDI
Tujuan studi adalah sebagai berikut
1.
:
Membangun dasar-dasar yang kokoh bagi terwujudnya sistem kelembagaan masyarakat madani (civil society) dan lembaga-lembaga demokrasi yang bersifat swadiri, swakarya dan swasembada.
2. Mengembangkan
secara ekstensif kelembagan UKM melalui peningkatan
kapasitas (capacity boulding) khususnya lembaga-lembaga UKM lokal yang bersifat lembaga swadaya masyarakat sebagai organisasi berbasis masyarakat
dan lembaga yang mendukung kemandirian dan swakarya serta
mampu
menciptakan peluang dan lapangan kerja pada semua sektor kegiatan ekonomi.
vt.
RASIONAL STUDI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN
Pertama. studi kelembagaan akan membantu mengurangi ketidak pastian. Tanpa pemahaman sepenuhnya akan peran UKM sebagaiorganisasi ekonomi masyarakat akan sulit bagi pengambil kebijakan meramalkan hasil-hasil kebijakan yang direncanakan dan dilaksanakan terhadap UKM sebagai "bumper" masa krisis yang berkepanjangan dewasa ini. Pengenalan dan pemahaman yang lebih mendalam tentang hakikat kinerja dan peran UKM dalam kontek pembangunan menyeluruh akan membantu memudahkan formulasi kebijakan publik yang lebih efektif.
Kedua, Studi kelembagaan UKM akan menciptakan komitmen perubahan yang diperlukan. Memahami saja "rule
mencukupi
of the game" yang berlaku di UKM
bagi alternatif kebijakan yang diperlukan.
belum
Pengembangan
kelembagaan UKM juga memerlukan adanya komitmen untuk perubahan "rule of
the game" yang ada dan sedang berlaku, yang mungkin telah
menjadi
hambatan/kendala atau bahkan menghalangi sejumlah aspek pertumbuhan ekonomi. Studi tentang perlunya perubahan adalah suatu cara guna menciptakan
dan insentif penyesuaian struktur {alam organisasi UKM. Suatu alasan
lain 115
mengapa perlu perubahan bertumpu pada realita pentingnya insentif perubahan struktur yang inhaerent dengan hakikat UKM itu sendiri.Mengidentifikasikan dan membangun terwujudnya perubahan-perubahan kelembagaan juga merupakan refleksi pentingnya secara implisit insentif kinerja guna mengurangi inefisiensi dan ketidak efektifan kineria organisasi UKM.
.
Ketiqa. studi kelembagaan UKM akan membantu meningkatkan keunggulan bersaing ekonomi secara nasional. Mengkaji aspek-aspek dan hal-hal ketidakpastian dalam UKM akan membantu meningkatkan efisiensi ekonomi dan mendorong daya saing nasional, dengan menarik daya investasi, penciptaan
lapangan kerja dan peningkatan pendapatan. Dalam kondisi peningkatan daya saing , akan meningkatkan dorongan kepada pihak pemerintah untuk dapat melakukan pembaharuan kelembagaan UKM agar dapat lebih meningkatkan daya saingnya pada pasar internasional.
VII.
METODOLOGI'PENDEKATAN STUDI
Studi ini dilaksanakan dengan metode-metode sebagai berikut:
1.
Kajian literatur yang relevan dan terkini tentang studi pengembangan kelembagaan umumnya dan studi organisasi UKM di Indonesia pada khususnya baik dari sumber dalam dan luar negeri
Z.
Kajian laporan hasil survai /penelitian spasifik tentang pengembangan organisasi UKM dalam dan luar negeri.
3.
Analisis temuan data dan hasil kajian pada butir 1 dan 2 di atas
4.
Penyusunan draf laporan sementara
5. 6. 7.
Workshop singkat terhadap draf laporan sementara.
.
;
Perbaikanlaporanberdasarkanhasilworkshop Penyampaian Laporan Akhir Studi
116
VIII. MANFAAT STUDI Studi inidiharapkan akan bermanfaat bagi:
1. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) khususnya Direktorat Ketenagakerjaan dan Analisis Ekonomi, di Jakarta. Sebagai bahan untuk dapat lebih merumuskan kebijakan perencanaan ketenagakerjaan dan ekonomi di sektor informal, nonformal dan formal dalam skala yang lebih luas melalui perencanaan pengembangan kelembagaan Usaha Kecil dan Menengah.
2.
Kelembagaan UKM
itu sendiri agar dapat lebih meningkatkan kinerja dan
lingkungan/iklim usaha yang lebih kondusif guna menciptakan keunggulan bersaing dan lebih memperluas peluang kerja bagi para penganggur yang makin meningkat jumlahnya dalam krisis ekonomi berkepanjangan dewasa ini.
3. Bagi upaya-upaya kajian dan penelitian lebih lanjut dalam pengembangan kelembagaan dan organisasidi Indonesia dalam waktu-waktu mendatang
.
lt7