TESIS
KADAR MALONDIALDEHYDE SERUM PASIEN KATARAK SENILIS SETELAH PEMBERIAN ASTAXANTHIN LEBIH RENDAH DARIPADA SEBELUM PEMBERIAN ASTAXANTHIN (7,6
NI NYOMAN SUNARIASIH
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
TESIS
KADAR MALONDIALDEHYDE SERUM PASIEN KATARAK SENILIS SETELAH PEMBERIAN ASTAXANTHIN LEBIH RENDAH DARIPADA SEBELUM PEMBERIAN ASTAXANTHIN (7,6
NI NYOMAN SUNARIASIH NIM 0914128201
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
KADAR MALONDIALDEHYDE SERUM PASIEN KATARAK SENILIS SETELAH PEMBERIAN ASTAXANTHIN LEBIH RENDAH DARIPADA SEBELUM PEMBERIAN ASTAXANTHIN
(7,6 Tesis ini untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI NYOMAN SUNARIASIH NIM 0914128201
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
KADAR MALONDIALDEHYDE SERUM PASIEN KATARAK SENILIS SETELAH PEMBERIAN ASTAXANTHIN LEBIH RENDAH DARIPADA SEBELUM PEMBERIAN ASTAXANTHIN
(7,6 Tesis ini untuk Memperoleh Gelar Dokter Spesialis Mata Pada Program Pendidikan Dokter Spesialis-1, Program Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
NI NYOMAN SUNARIASIH NIM 0914128201
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
Lembar Pengesahan Pembimbing
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL :
Pembimbing I,
2014
Pembimbing II,
dr. W. G. Jayanegara, Sp.M(K) NIP. 19640229 1991031002
dr. A.A.A. Sukartini Djelantik, Sp.M(K) NIP. 19560420 198212 2 001
Mengetahui, Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof.Dr.dr.Wimpie,I.Pangkahila,Sp.And,FAACS NIP. 19461213 1971071001
Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi,Sp.S(K) NIP. 19590215 1985102001
Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 30 April 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No: 1189/UN 14.4/HK/2013 , Tanggal 25 April 2014
Ketua
: dr. I W.Gede Jayanegara, Sp.M (K)
Sekretaris
: dr. A.A.A. Sukartini Djelantik, Sp.M(K)
1. Prof.Dr.Ir.I.B.Putra Manuaba, M.Phil 2. Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK, M.Kes 3. dr. I Made Agus Kusumadjaja, Sp.M (K)
UCAPAN TERIMA KASIH Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkah-Nya, sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari sepenuhnya tesis ini tidak mungkin dapat selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, izinkan penulis dengan setulus hati menghaturkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada : 1.
Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K),M.Kes. yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Magister Pascasarjana dan Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 di Universitas Udayana.
2.
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. AA Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan sebagai mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana.
3.
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Combined Degree, Prof. Dr. dr. Wimpie, I. Pangkahila, Sp.And., FAACS yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan Program Studi Ilmu Biomedik combined degree.
4.
Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Saraswati, M.Kes. atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 di Bagian Ilmu Kesehatan Mata.
5.
Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr. Putu Budhiastra, Sp..M (K) yang telah memberikan kesempatan
mengikuti program pendidikan spesialisasi dan memberikan bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi. 6.
Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr. AAA Sukartini Djelantik, Sp.M (K) yang telah memberikan kesempatan mengikuti program pendidikan spesialisasi, memberi petunjuk, serta bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi.
7.
dr. W. G. Jayanegara, Sp.M (K), sebagai pembimbing I yang telah meluangkan waktu, memberikan petunjuk dan pengarahan, sejak awal penulisan sampai dapat menyelesaikan tesis ini.
8.
dr. AAA Sukartini Djelantik, Sp.M (K) selaku pembimbing II yang selalu memberikan bimbingan dan pengarahan hingga terselesaikannya tesis ini.
9.
Prof. Dr. Ir. I.B. Putra Manuaba, M.Phil , Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK, M.Kes dan dr. I Made Agus Kusumadjaja, Sp.M(K) selaku penguji atas semua masukan, koreksi dan saran dalam penyelesaian tesis ini.
10. Direktur RS Indera Denpasar atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melaksanakan penelitian di RS Indera Denpasar. 11. Dr. IGN Md. Sugiana Sp.M, sebagai Kepala SMF Mata RS Indera Denpasar, yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian di RS Indera Denpasar 12. Prof. DR. Ir. I.B. Putra Manuaba, M.Phil. Selaku Kepala Lab Analitik UNUD, atas bantuan dan kerjasamanya dalam pemeriksaan sampel penelitian serta memberikan masukan mengenai statistik penelitian.
13. Seluruh Konsulen Ilmu Kesehatan Mata serta dosen Pascasarjana Program Studi Ilmu Biomedik Combined Degree atas segala bimbingannya. 14. Seluruh teman sejawat residen di Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas bantuan dan kerjasamanya selama ini, baik dalam pendidikan maupun dalam pengumpulan sampel penelitian. 15. Seluruh paramedik di Poliklinik Mata RSUP Sanglah, paramedik di bagian Laboratorium dan Poliklinik Mata RS Indera atas bantuan dan kerjasamanya dalam pengumpulan sampel penelitian. Rasa syukur dan sujud kepada Ayahanda I Ketut Nada dan Kakanda Ni Luh Wihartini yang telah memberikan bekal pendidikan, motivasi dan semangat kepada penulis. Ayahanda dan Ibunda Mertua I Ketut Suterana dan Ni Luh Ketut Murniasih, terimakasih atas dukungannya selama ini. Akhirnya kepada suami tercinta dr. I Wayan Suwandara, S.Ked,Sp.THT-KL, anak-anak terkasih Ni Luh Putu Arielya Maya Ari Suwandara, I Made Govinda Dwijatama Putra Suwandara dan I Nyoman Gopala Widyatama Putra Suwandara yang telah setia menemani dan mengorbankan banyak waktu selama penulis menjalani pendidikan. Semoga tesis ini memberikan manfaat dan sumbangan yang berguna bagi perkembangan pelayanan kesehatan mata serta bagi pendidikan IImu Kesehatan Mata. Terakhir, semoga Sang Hyang Widhi Wasa – Tuhan Yang Maha Esa, selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Denpasar, April 2014
Penulis
Abstrak KADAR MALONDIALDEHYDE SERUM PASIEN KATARAK SENILIS SETELAH PEMBERIAN ASTAXANTHIN LEBIH RENDAH DARIPADA SEBELUM PEMBERIAN ASTAXANTHIN Stres oksidatif berperan melalui proses peroksidasi lipid dalam patogenesis katarak senilis sudah banyak dipaparkan. Astaxanthin merupakan antioksidan yang dapat menurunkan stres oksidatif. Malondialdehyde (MDA) merupakan hasil reaksi radikal bebas dengan fosfolipid yang diproduksi secara konstan sesuai dengan proporsi peroksidase Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar MDA serum pada pasien katarak senilis setelah diberikan astaxanthin. Penelitian ini merupakan the one group pre and post test design dilaksanakan di Poliklinik Mata RSUP Sanglah dan RS Indera Denpasar Bali, mulai bulan Januari sampai Maret 2014. Jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 32 pasien. Setiap sampel dilakukan pemeriksaan menggunakan slit lamp dan funduskopi untuk menentukan stadium katarak dan pengambilan sampel darah vena untuk pemeriksaan kadar MDA serum. Pengambilan serum kedua setelah 14 hari pemberian 4 mg Astaxanthin. Perbedaan kadar MDA serum sebelum dan sesudah astaxanthin dianalisis dengan uji-t berpasangan. Kadar MDA serum setelah pemberian astaxanthin 1,23 µmol/L lebih rendah dibandingkan sebelum astaxanthin. Penurunan ini bermakna secara statistik (p<0,001). Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa kadar MDA serum pasien katarak senilis setelah pemberian astaxanthin lebih rendah daripada sebelum pemberian astaxanthin. Astaxanthin dapat diberikan pada pasien umur di atas 50 tahun untuk menghambat terjadinya katarak dan pada pasien katarak stadium awal untuk menghambat progresivitas katarak senilis. Kata kunci : katarak senilis, malondialdehyde (MDA) serum, Astaxanthin
Abstract MALONDIALDEHYDE SERUM LEVELS IN SENILE CATARACT PATIENT BEFORE ASTAXANTHIN LOWER THAN AFTER ASTAXANTHIN Role of oxidative stress through the process of lipid peroxidation in the pathogenesis of senile cataract has been described. Astaxanthin is an antioxidant that can reduce oxidative stress. Malondialdehyde ( MDA ) is the result of free radical reactions with phospholipids produced constantly in proportion peroxidase. This study aimed to determine the serum MDA levels in senile cataract patients. This one group pre and post test design study was implemented in Eye Clinic Sanglah Hospital and Indera Hospital Denpasar Bali , starting in January until March 2014. The number of samples that meet the eligibility criteria was 32 patients and signed the informed consent. Each sample was examined using a slit lamp and funduscopy to determine the stage of cataract and venous blood sampling for examination of serum MDA level. The second serum was taken after 14 days of 4 mg Astaxanthin administration. The difference in serum MDA levels before and after astaxanthin administration was analyzed by paired t test . MDA levels in serum after administration of astaxanthin 1.23 μmol / L lower than before astaxanthin. This decrease was statistically significant ( p < 0.001 ). Based on the results of this study, it can be concluded that malondialdehyde serum levels in senile cataract patient before astaxanthin lower than after astaxanthin. Astaxanthin should be applied to patients aged over 50 years old to inhibit development of cataract and to patients with early stage to inhibit progression of senile cataract. Keywords : senile cataract , malondialdehyde ( MDA ) serum , Astaxanthin
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ...................................................................................
i
PRASYARAT GELAR ..............................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN.........................................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ...........................................................
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ...........................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................
vi
ABSTRAK ..................................................................................................
ix
ABSTRACT .................................................................................................
x
DAFTAR ISI………………………………………………………………
xi
DAFTAR TABEL ......................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………...
xv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG……………………………..
xvi
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xvii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang…………………………………………………….
1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………
4
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………….
4
1.3.1 Tujuan umum…………………………………………..……
4
1.3.2 Tujuan khusus………………………………………….……
4
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………...…
5
1.4.1 Manfaat teoritis ..………………………………………...…
5
1.4.2 Manfaat praktis…………………………………….....……..
5
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Katarak Senilis................................................................ 2.1.1 Definisi dan epidemiologi katarak ..............……….....……..
6 6
2.1.2 Etiologi dan patofisiologi katarak senilis .......……......……..
6
2.1.3 Stadium dan gradasi katarak senilis .......……......……..
8
2.2 Stres Oksidatif..................................................................................
10
2.2.1 Definisi ……………………………………………………...
10
2.2.2 Radikal bebas……………………..........................................
10
2.2.3 Biomarker stres oksidatif .......................................................
11
2.2.4 Stres oksidatif pada katarak senilis ....………………….......
13
2.3 Antioksidan…...................................................................................
16
2.3.1 Definisi ……………………………………………………...
16
2.3.2 Klasifikasi dan mekanisme kerja...........................................
17
2.4 Astaxanthin..................................................................................
18
2.4.1 Definisi ……………………………………………………...
18
2.4.2 Komposisi kimia, absorbsi, dan metabolisme.........................
19
2.4.3 Peran astaxanthin terhadap mata.............................................
20
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir .……………………………………………….
21
3.2 Konsep Penelitian…………...........……………………………….
22
3.3 Hipotesis Penelitian ………….………………………………......
22
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian……………………………………………...
24
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian……………………………………...
24
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian……........………………………...
25
4.3.1 Populasi penelitian........……………………………………..
25
4.3.2 Sampel penelitian …………………………………….........
25
4.3.2.1 Kriteria inklusi dan eksklusi penelitian ......................
25
4.3.2.2 Besar sampel...…………………………………....….
26
4.3.2.3 Cara pemilihan sampel…..................………………...
27
4.4 Variabel Penelitian………………………………………………...
28
4.4.1 Klasifikasi dan identifikasi variabel……………………........
28
4.4.2 Definisi operasional variabel………………………………..
29
4.5 Instrumen Penelitian.........................................................................
30
4.6 Prosedur Penelitian...........................................................................
31
4.6.1 Tahap persiapan......................................................................
31
4.6.2 Pelaksanaan penelitian............................................................
31
4.7 Alur Penelitian ................................................................................
32
4.8 Analisis Data .......………………………………………….……...
34
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian .………………………………….
35
5.2 Penurunan Kadar MDA Serum pada Katarak Senilis Sesudah Pemberian Astaxanthin……………………………………………
36
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Subjek Penelitian……………………..…………………………... 6.2 Kadar MDA Serum Pasien Katarak Senilis Sebelum dan Setelah Diberikan Astaxanthin …………………………………………... 6.2.1 Kadar MDA Serum Pasien Katarak Senilis Sebelum Diberikan Astaxanthin........…………………………….. 6.2.2 Kadar MDA Serum Pasien Katarak Senilis Setelah Diberikan Astaxanthin………………………………......... 6.2.3 Penurunan Kadar MDA Serum Pasien Katarak Senilis Setelah Diberikan Astaxanthin .......................................... BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
38 42 42 44 45
7.1 Simpulan...........................................................................................
48
7.2 Saran.................................................................................................
48
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................
49
LAMPIRAN-LAMPIRAN. .......................................................................
55
DAFTAR TABEL Halaman
5.1
Karakteristik Subjek Penelitian ............................................................. 35
5.2
Penurunan Kadar MDA Serum pada Katarak Senilis Setelah 36 Pemberian Astaxanthin...............................……….............................
DAFTAR GAMBAR Halaman
2.1
Mekanisme proteksi kerja antioksidan pada lensa..............................
16
2.2
Struktur Kimia Astaxanthin…………………………………………...
18
3.1
Bagan Konsep Penelitian ......................................................................
23
4.1
Rancangan Penelitian ............................................................................
24
4.2
Skema Hubungan Antar Variabel ........................................................
28
4.3
Skema Alur Penelitian ........................................................................... 33
5.1
Perbedaan Kadar MDA Serum Sebelum dan Sesudah Astaxanthin…..
37
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
ATP
= Adenosine Triphosphate
AINS
= Anti inflamasi non steroid
DNA
= Deoxyribosa Nucleic Acid
EDTA
= Ethylene diamine tetra acetic acid
GSH
= Glutathione
HMP
= Hexose Monophosphate
H2O2
= Hidrogen Peroksida
MDA
= Malondialdehyde
NADPH
= Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate
O2-
= Superoksida
OH-
= Hidroksil
RNA
= Ribonucleic Acid
ROS
= Reactive Oxygen Species
TBA
= Tiobarbiturat Acid
WHO
=World Health Organization
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Penjelasan Penelitian ...............................................
55
Lampiran 2
Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan .................
57
Lampiran 3
Kuisioner Penelitian ..........……….........................
58
LLampiran 4
Tabel Induk Penelitian.............................................
60
LLampiran 5
Hasil Pemeriksaan MDA ........................................
61
LLampiran 6
Out Put SPSS...........................................................
63
LLampiran 7
Kelaikan Etik……………………………………..
66
LLampiran 8
Surat Ijin Penelitian………………………………
67
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutaan merupakan masalah dunia sampai saat ini. Katarak merupakan penyebab kebutaan yang paling utama, dari berbagai kelainan mata yang ada. Katarak sebagai penyebab kebutaan pada 48 % penduduk dunia yang mengalami kebutaan (Artunay et al, 2009). Katarak merupakan kekeruhan pada lensa mata yang mengenai satu atau kedua mata. Katarak dapat disebabkan oleh kelainan kongenital, metabolik, traumatik dan proses degenerasi (Ilyas, 2009; AAO, 20112012a). Tingginya angka kebutaan akibat katarak berhubungan dengan bertambahnya jumlah penduduk yang berusia lanjut. Diperkirakan tahun 2020 penduduk yang berusia lebih dari usia 65 tahun akan meningkat dua kali lipat (Depkes RI 2009). Angka kebutaan di Indonesia berdasarkan survei nasional pada tahun 19931996 merupakan angka kebutaan tertinggi di Asia Tenggara, mencapai 1,5% dari total jumlah penduduk. Katarak merupakan penyebab kebutaan yang terbanyak di Indonesia yaitu sebanyak 0,78 % (Gsianturi, 2004). Katarak senilis merupakan jenis katarak yang paling banyak ditemukan, diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus katarak (AAO, 2011-2012a). Katarak senilis adalah kekeruhan lensa yang terjadi karena proses degenerasi dan biasanya mulai timbul pada usia di atas 50 tahun (Sihota and Tandan, 2007; Ilyas, 2009). Prevalensi katarak senilis di Amerika Serikat meningkat dari 5% pada usia 65 tahun menjadi 50% pada penduduk usia 70 tahun ke atas (Beebe et al, 2010).
Berdasarkan data penduduk tahun 2007-2011 di Indonesia, jumlah penduduk usia lanjut di Bali pada tahun 2011 mencapai 10,28% dari total jumlah penduduk dan merupakan angka tertinggi kelima setelah Yogyakarta (13,04%), Jawa Timur (11,21%) dan Jawa Tengah (10,68%) (Depkes RI, 2009). Jumlah penduduk usia lanjut yang tinggi di Bali, berhubungan dengan tingginya jumlah pasien katarak senilis yang akan semakin meningkat. Tingginya jumlah pasien katarak senilis
menjadi masalah di bidang kesehatan yang perlu mendapat
perhatian serius (Baltranena et al, 2007; Chang et al, 2008). Etiopatogenesis katarak senilis sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Stres oksidatif memiliki peran yang penting dalam proses terjadinya katarak senilis pada beberapa studi (Pradhan et al, 2004; Beebe et al, 2010). Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan (Winarsi, 2007; Oduntan and Mashiage, 2011). Oksidasi kimia dapat terjadi pada lensa meskipun kadar oksigen rendah. Proses oksidasi ini terutama menyerang lipid dan protein. Malondialdehyde (MDA) merupakan produk sekunder dari oksidasi lipid. Konsentrasi MDA pada lensa manusia meningkat sesuai umur dan meningkat pula pada katarak. Kekeruhan lensa dan oksidasi lipid diyakini berkaitan dalam patogenesis terjadi katarak (Borchman and Yappert, 2011; Kaur et al, 2012) Malondialdehyde (MDA) merupakan hasil reaksi radikal bebas dengan fosfolipid yang diproduksi secara konstan sesuai dengan proporsi peroksidase lipid yang terjadi, sehingga merupakan indikator yang baik untuk melihat kecepatan peroksidasi lipid in vivo (Kaur et al, 2012). Penelitian Cekic et al
(2010) di Serbia menemukan terjadinya peningkatan kadar MDA dalam darah pasien dengan katarak senilis (20,24±8,12 µmol/ml) dibandingkan tanpa katarak senilis (8,73±2,53µmol/ml). Penelitian Artunay et al (2009) membandingkan kadar MDA serum pada pasien katarak senilis lebih tinggi (3,50±0,54 µmol/ml) dari
pada
kontrol
(2,52±1,69
µmol/ml).
Sedangkan
penelitian
yang
membandingkan kadar MDA serum pada stadium katarak senilis oleh Priyanti (2013) menyatakan bahwa kadar MDA serum pada pasien katarak senilis matur lebih tinggi daripada katarak senilis imatur. Kadar MDA pada stress oksidatif dapat diturunkan dengan pemberian antioksidan. Salah satu antioksidan yang banyak diteliti adalah astaxanthin. Astaxanthin merupakan golongan karotenoid yang memberikan pigmen merah terang pada alga dan binatang laut lainnya. Struktur astaxanthin memiliki dua rantai karbon asimetris dengan dua cincin (Mc.Nulty et al, 2006). Penelitian Effendi (2013) mendapatkan bahwa suplementasi astaxanthin dapat menurunkan kadar MDA lensa penderita katarak senilis.
Suplementasi
astaxanthin 4 mg selama 14 hari telah menurunkan kadar MDA lensa secara signifikan. Penelitian Nakamura et al (2004) menyatakan efek yang sama pada dosis astaxanthin 4 mg dan 8 mg yang diberikan selama 4 minggu. Miyawaki et al (2008) menyatakan terjadi
efek pemendekan blood transite time dan
meningkatkan blood rheologi setelah pemberian astaxanthin 6 mg/ hari selama 10 hari. Peningkatan
jumlah
penduduk
usia
lanjut,
diperkirakan
akan
meningkatkan pula jumlah pasien katarak senilis, khususnya di Bali. Bedah
katarak dan tanam lensa merupakan cara yang efektif untuk mengatasi buta katarak, namun bedah katarak juga terdapat berbagai komplikasi. Salah satu komplikasi yang paling berat adalah endoftalmitis. Di India dilaporkan insiden endoftalmitis akut pasca operasi 0,09% (Ravindran et al, 2009). Perlu dilakukan upaya untuk Penelitian
lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui cara untuk
menghambat terjadinya katarak dan progresivitas katarak senilis stadium dini sehingga tidak memerlukan tindakan bedah katarak. Berbagai penelitian untuk mencegah progresivitas dan maturitas katarak dengan antioksidan masih perlu dilakukan. Belum ada penelitian yang membandingkan kadar MDA serum pada pasien katarak senilis sebelum dan sesudah pemberian astaxanthin. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perubahan kadar MDA serum pada pasien katarak senilis yang diberikan astaxanthin, sehingga dapat menjadi strategi untuk memperlambat onset terjadinya katarak senilis, serta menghambat maturitas dan progresivitas katarak pada stadium yang lebih awal.
1.2
Rumusan Masalah Apakah kadar MDA serum pasien katarak senilis setelah diberikan astaxanthin lebih rendah daripada pasien katarak senilis sebelum diberikan astaxanthin?
1.3
Tujuan Penelitian Untuk mengetahui kadar MDA serum pasien katarak senilis setelah diberikan astaxanthin lebih rendah daripada pasien katarak senilis sebelum diberikan astaxanthin.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat teoritis Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang kadar MDA serum pada pasien katarak senilis yang diberikan astaxanthin.
1.4.2
Manfaat praktis Dapat
melakukan
pencegahan
katarak
senilis dengan
pemberian
astaxanthin lebih dini sehingga memperlambat onset terjadinya katarak senilis dan menghambat progresivitas katarak senilis insipien sehingga tidak berlanjut menjadi stadium imatur maupun matur dengan pemberian astaxanthin pada katarak senilis dengan stadium insipien.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Katarak Senilis
2.1.1
Definisi Katarak merupakan kekeruhan pada lensa mata yang melibatkan satu atau
kedua mata. Kekeruhan lensa ini dapat disebabkan oleh kelainan kongenital, metabolik, traumatik dan proses degenerasi. Katarak senilis adalah kekeruhan lensa yang terjadi karena proses degenerasi dan biasanya mulai timbul pada usia di atas 50 tahun (Sihota and Tandan, 2007; Ilyas, 2009). Katarak senilis merupakan jenis katarak yang paling banyak ditemukan. Pasien katarak senilis diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus katarak (AAO, 2011-2012a). World Health Organization (WHO) melaporkan kurang lebih 37 juta penduduk dunia mengalami kebutaan, dan 47,8% dari jumlah tersebut disebabkan oleh katarak (Tabin et al, 2008; AAO, 2011-2012a;). Berdasarkan survei nasional pada tahun 1993-1996, angka kebutaan di Indonesia mencapai 1,5% dari total jumlah penduduk dan merupakan angka kebutaan tertinggi di Asia Tenggara. Katarak merupakan penyebab kebutaan yang terbanyak di Indonesia dari hasil survei nasional tersebut yaitu sebanyak 0,78% (Gsianturi, 2004). 2.1.2
Etiologi dan patofisiologi katarak senilis Etiologi katarak bersifat multifaktorial dan sampai saat ini belum
sepenuhnya diketahui secara pasti. Beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap terjadinya katarak antara lain umur, genetik, diabetes melitus,
kekurangan gizi antara lain defisiensi vitamin A,C,E, pemakaian obat-obatan tertentu serta faktor lingkungan seperti paparan sinar ultraviolet dan merokok. Pada katarak senilis, faktor terpenting yang mempengaruhi terjadinya kekeruhan lensa pada katarak senilis adalah usia (Sihota and Tandan, 2007). Namun secara spesifik sangat sulit menentukan faktor yang paling berperan dalam etiologi katarak (Beebe, 2003; Beebe et al, 2010). Katarak dapat terjadi karena disorganisasi struktur seluler serat lensa dan protein lensa, serta terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi peningkatan volume air pada lensa yang menyebabkan kekeruhan lensa (Sihota and Tandan, 2007; AAO, 2011-2012a). Proses terbentuknya katarak ditandai dengan terjadinya hidrasi akibat perubahan tekanan osmotik atau perubahan permeabilitas kapsul lensa serta denaturasi protein yang ditandai dengan peningkatan protein tidak larut air sehingga terjadi kekeruhan lensa (Sihota and Tandan, 2007). Lensa mata sangat sensitif terhadap terjadinya stres oksidatif, sehingga banyak berkembang teori tentang etiologi katarak senilis yang berhubungan dengan mekanisme stres oksidatif. Bertambahnya usia dan adanya paparan yang terus-menerus oleh agen dari luar, akan menyebabkan gangguan mekanisme proteksi antioksidan lensa mata. Namun tidak dapat ditentukan secara pasti pada umur berapa mulai timbulnya katarak dalam hubungannya dengan stres oksidatif karena banyak faktor yang berpengaruh dan berbeda-beda pada masing-masing individu (Spector, 1995; Ates et al, 2010; Cekic et al, 2010). Hasil akumulasi dari stres oksidatif menyebabkan gangguan fungsi metabolisme lensa, agregasi protein
lensa, peningkatan protein tidak larut air (water insoluble protein) sehingga menyebabkan gangguan transparansi lensa dan terjadi katarak (El-Ghaffar et al 2007; Cekic et al, 2010; AAO, 2011-2012a). 2.1.3
Stadium dan gradasi katarak senilis Katarak senilis berdasarkan maturitasnya dapat dibagi menjadi empat
stadium yaitu stadium insipien, imatur, matur dan hipermatur. Katarak senilis stadium insipien terjadi pada permulaan dan kekeruhan hanya tampak bila pupil dilebarkan. Kekeruhan tidak teratur seperti bercak-bercak yang membentuk gerigi dengan dasar di perifer dan daerah jernih diantaranya. Pada stadium ini terdapat keluhan poliopia karena indek refraksi yang tidak sama pada semua lensa. Pasien dengan katarak senilis stadium insipien biasanya tanpa keluhan dan sering ditemukan pada pemeriksaan rutin mata. Visus dengan koreksi masih bisa mencapai 6/6 (Ilyas, 2009; AAO, 2011-2012a). Pada katarak senilis stadium imatur terjadi kekeruhan yang lebih tebal tetapi belum mengenai seluruh bagian lensa sehingga masih terdapat bagianbagian yang jernih pada lensa. Hidrasi korteks terjadi pada stadium ini, karena meningkatnya tekanan osmotik bahan lensa yang degeneratif, mengakibatkan lensa menjadi bertambah cembung. Perubahan indek refraksi terjadi karena proses pencembungan lensa, dimana mata akan cenderung menjadi lebih miopia dan juga mengakibatkan pendorongan iris ke depan sehingga sudut bilik mata depan akan lebih sempit. Tes bayangan iris serta reflek fundus pada keadaan ini positif (Ilyas, 2009; AAO, 2011-2012a).
Kekeruhan lensa pada katarak senilis stadium matur, telah mengenai seluruh masa lensa. Patologi ini terjadi karena proses degenerasi terus berlanjut sehingga terjadi pengeluaran air bersama hasil disintegritas melalui kapsul lensa. Lensa akan berukuran normal kembali dan tes bayangan iris dan reflek fundus akan negatif. Stadium akhir adalah stadium hipermatur, dimana terjadi proses degenerasi lanjut lensa sehingga korteks lensa mencair dan dapat keluar melalui kapsul lensa. Lensa mengeriput dan berwarna kuning. Akibat pengeriputan lensa dan mencairnya korteks, maka korteks memperlihatkan bentuk sebagai sekantong susu disertai nukleus lensa tenggelam disebut katarak morgagnian. Lensa yang mengecil menyebabkan bilik mata depan menjadi dalam. Tes bayangan iris memberikan gambaran pseudopositif (Ilyas, 2009; Sihota and Tandan, 2007). Tingkat kekeruhan lensa pada katarak senilis dapat dibagi menjadi lima gradasi berdasarkan klasifikasi Buratto. Gradasi 1 biasanya ditandai dengan visus yang masih lebih baik dari 6/12, lensa tampak sedikit keruh dengan warna agak keputihan, dan refleks fundus masih dengan mudah dapat dilihat. Gradasi 2 ditandai dengan nukleus yang mulai sedikit berwarna kekuningan, visus antara 6/12 sampai 6/30, dan refleks fundus juga masih mudah diperoleh. Katarak Gradasi 3 ditandai dengan nukleus berwarna kuning dan korteks yang berwarna keabu-abuan, visus antara 3/60 sampai 6/30. Gradasi 4 ditandai dengan nukleus yang sudah berwarna kuning kecoklatan, dengan usia pasien biasanya sudah lebih dari 65 tahun, dan visus biasanya antara 3/60 sampai 1/60. Gradasi 5 ditandai dengan nukleus berwarna coklat hingga kehitaman, visus biasanya 1/60 atau lebih jelek (Sihota and Tandan, 2007).
2.2
Stres Oksidatif
2.2.1
Definisi Stres oksidatif adalah suatu keadaan dalam tubuh yang terjadi karena
ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan. Kondisi ini disebabkan oleh pembentukan radikal bebas yang berlebihan melebihi kemampuan sistem pertahanan antioksidan untuk mengatasinya. Tanpa disadari didalam tubuh kita terbentuk radikal bebas secara terus menerus baik melalui proses metabolisme sel normal, respon terhadap pengaruh dari luar tubuh serta penambahan usia. Pada kondisi fisiologis, antioksidan sebagai sistem pertahanan dalam tubuh dapat melindungi sel dan jaringan melawan radikal bebas yang terbentuk (William, 2006; Winarsi, 2007). 2.2.2. Radikal Bebas Radikal bebas adalah suatu senyawa atau molekul yang memiliki satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbit luarnya, sehingga menjadi sangat reaktif mencari pasangan, dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada disekitarnya. Bila elektron yang terikat oleh senyawa radikal bebas yang bersifat ionik maka tidak berbahaya, tetapi bila terikat dengan senyawa yang berikatan kovalen maka sangat berbahaya karena digunakan secara bersama-sama pada orbit luarnya. Senyawa yang memiliki ikatan kovalen adalah molekul besar seperti lipid, protein dan DNA. Dari ketiga molekul target tersebut, yang paling rentan terhadap serangan radikal bebas adalah asam lemak tak jenuh (Winarsi, 2007).
Reactive oxygen species (ROS) adalah radikal bebas yang mengandung oksigen. Oksigen mengandung radikal bebas seperti radikal hydroxyl, radikal superoxide anion, radikal hydrogen peroxide, oxygen tunggal, radikal nitric oxide dan peroxynitrite merupakan spesies reaktif tinggi pada nukleus dan membran sel merusak secara biologi seperti DNA, protein, karbohidrat dan lemak (Winarsi, 2007; Pham-Huy et al, 2008; Berthoud and Beyer; 2009). Terdapat tiga tipe utama ROS, yaitu superoksida (O2-), hidrogen peroksida (H2O2), hidroksil (OH•). Radikal superoksida terbentuk bila terjadi kehilangan elektron
saat
proses
rantai
transport
elektron.
Dismutasi
superoksida
menghasilkan pembentukan hidrogen peroksida. Ion hidroksil bersifat sangat reaktif bereaksi dengan purin dan pirimidin menyebabkan penghancuran strand dan berakhir dengan kerusakan DNA (Winarsi, 2007). 2.2.3 Biomarker stres oksidatif Biomarker didefinisikan sebagai suatu karakteristik yang secara obyektif dapat diukur dan dievaluasi sebagai indikator normal terhadap proses biologi, patologi dan respon farmakologi terhadap intervensi terapeutik. Senyawa radikal bebas dapat menyerang komponen seluler yang berada di sekelilingnya berupa senyawa lipid, protein dan DNA. Proses oksidasi ketiga komponen tersebut adalah peroksidase lipid, oksidasi protein, dan oksidasi DNA (Dalle-Donne et al, 2006; Winarsi, 2007). Kerusakan oksidatif pada senyawa lipid terjadi bila senyawa radikal bebas bereaksi dengan senyawa asam lemak tak jenuh ganda. Jadi target utama dari senyawa oksigen reaktif adalah asam lemak tak jenuh ganda. Asam lemak tak
jenuh ganda yang mengandung dua atau lebih ikatan rangkap dan sangat rentan terhadap oksidasi oleh radikal bebas atau molekul-molekul reaktif lainnya. Molekul reaktif seperti radikal hidroksil menarik atom hidrogen dari ikatan rangkap asam lemak tak jenuh dan membentuk radikal peroksil lipid. Radikal ini kemudian bereaksi dengan asam lemak tak jenuh lainnya membentuk hidroperoksida lipid dan radikal peroksil lipid yang baru, yang kemudian meneruskan reaksi oksidasi terhadap lipid lainnya, yang dikenal dengan peroksidasi lipid (Babizhaev, 2005; Winarsi, 2007; Kisic et al, 2009). Salah satu akibat penting peroksidasi lipid adalah pembentukan senyawasenyawa aldehida. Hidroksiperoksida lipid bersifat tak stabil dan dapat di dekomposisi atau terurai menjadi aldehid terutama malondialdehyde (MDA). Produk-produk degradasi peroksidasi lipid adalah MDA dan hidrokarbon, sementara etana dan etilen merupakan produk akhir peroksidasi lipid. Pembentukan radikal bebas dari peroksidasi lipid merupakan petunjuk penting kerusakan sel yang diakibatkan oleh radikal bebas (Patil, et al, 2006, Winarsi, 2007). Radikal bebas bersifat sangat reaktif dan tidak stabil sehingga sangat sulit mengukurnya secara langsung. Terbentuknya peroksidasi lipid dapat digunakan mendeteksi secara tidak langsung adanya radikal bebas tersebut. MDA adalah salah satu produk akhir dari proses peroksidasi lipid. MDA adalah senyawa organik dengan rumus kimia CH2(CHO)2, dengan berat molekul rendah. MDA menjadi alat ukur yang paling banyak digunakan sebagai indikator peroksidasi lipid. Pengukuran kadar MDA dilakukan dengan dasar reaksi MDA dengan asam
tiobarbiturat (TBA) yang membentuk senyawa berwarna MDA-TBA2. Senyawa berwarna tersebut dapat diukur konsentrasinya berdasarkan absorbansi warna yang terbentuk, dengan membandingkannya pada absorbansi warna larutan standar yang telah diketahui konsentrasinya menggunakan spektrofotometer (NWLSSTM Malondialdehyde Assay) (Yagi,1982). Malondialdehyde (MDA) ditemukan hampir di seluruh cairan biologis termasuk plasma, urin, cairan akuos, cairan persendian, cairan bronkoalveolar, cairan empedu, cairan getah bening, cairan amnion, perikardial dan seminal. Namun plasma dan urine merupakan sampel yang paling umum digunakan, karena paling mudah didapat dan tidak invasif (Palmiere and Sblendorio, 2006; Patil et al, 2006; Winarsi, 2007). 2.2.4
Stres oksidatif pada katarak senilis Dengan meningkatnya usia pembentukan radikal bebas juga semakin
meningkat. Lensa mata sangat sensitif terhadap terjadinya stres oksidatif sebagai akibat rendahnya kandungan oksigen pada lensa. Pada sel epitel lensa dan sel serat lensa superfisial, sebagian kecil glukosa mengalami metabolisme aerob melalui siklus krebs. Metabolisme aerob pada lensa ini dapat menghasilkan radikal bebas endogen seperti superoksida (O2-), hidrogen peroksida (H2O2), dan radikal hidroksil (OH-). Terbentuknya radikal bebas yang berlebihan melebihi kemampuan sistem pertahanan antioksidan lensa akan menimbulkan terjadinya stres oksidatif sehingga dapat mengganggu fungsi fisiologis lensa (Spector, 1995; Ates et al, 2010; Cekic et al, 2010).
Senyawa radikal bebas dalam tubuh termasuk dalam lensa, dapat merusak membran sel yang mengandung asam lemak tidak jenuh ganda. Reaksi radikal bebas dengan asam lemak tidak jenuh ganda pada membran sel terjadi melalui proses peroksidasi lipid. Asam lemak tidak jenuh ganda ditemukan didalam sel sebagai gliserilester dalam bentuk fosfolipid atau trigliserida. Membran sel lensa mengandung fosfolipid terutama dihidrospingomyelin dalam konsentrasi tinggi dan kolesterol. Peroksidasi lipid merupakan salah satu faktor penyebab dan patogenik pada katarak (AAO, 2011-2012b). Babizhaev (2005) menyatakan peroksidasi lipid terjadi pada tahap awal dalam patogenesis katarak. Peroksidasi lipid dapat menyebabkan kerusakan membran sel lensa secara langsung dengan mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran atau menghambat pompa ion membran. Sedangkan secara tidak langsung atau sekunder menyebabkan kerusakan membran sel lensa melalui dekomposisi aldehid. Hidroksiperoksidasi lipid bersifat tidak stabil dan dapat di dekomposisi menjadi aldehid seperti malondialdehyide (MDA). MDA merupakan aldehid yang reaktif dan hasil produksi sekunder mayor dari peroksidasi lipid. Reaksi radikal bebas dengan lipid membran sel lensa dan protein akan menyebabkan cross-linking lipid dan protein, agregasi protein lensa, peningkatan protein tidak larut air (water insoluble protein) sehingga menyebabkan kejernihan lensa menurun dan terjadi katarak (ElGhaffar et al 2007; Cekic et al, 2010; AAO, 2011-2012a). Mekanisme perbaikan dan regenerasi sebagai akibat radikal bebas dikatakan aktif terjadi pada epitel lensa dan korteks superfisial, namun mekanisme tersebut hampir tidak ditemukan pada korteks lensa bagian dalam dan pada nukleus. Hal ini yang menyebabkan
kerusakan pada protein lensa dan membran lipid bersifat ireversibel (AAO, 20112012b). Lensa mata manusia yang normal dilengkapi perlindungan dan sistem antioksidan yang komplek untuk melawan stres oksidatif. Antioksidan tersebut antara lain superoksid dismutase, katalase, glutation peroxidase, asam askorbat, vitamin E dan karotenoid. Pada siklus reduksi oksidasi glutation, GSH bertindak sebagai mayor scavenger dari senyawa oksigen reaktif di lensa. Lensa mata manusia yang masih muda mengandung GSH dalam konsentrasi tinggi, yang awalnya disintesis di epitel kemudian bermigrasi ke kortek dan nukleus. Semakin bertambah umur terjadi penurunan konsentrasi GSH secara signifikan pada lensa terutama di nukleus. Beberapa studi mengindikasikan bahwa terdapat barier kortikal nuklear pada lensa matur yang menghambat aliran GSH ke nukleus, sehingga disimpulkan dengan semakin bertambahnya umur maka nukleus lensa akan lebih mudah mengalami kerusakan akibat stres oksidatif dan terjadi katarak. Vitamin E dan karotenoid sebagai antioksidan dikatakan dapat menghambat proses autooksidasi peroksidasi lipid dengan cara yang berbeda. Jika peroksidasi lipid sudah terbentuk, antioksidan glutation peroksidase dapat mendegradasi atau mereduksinya dengan bantuan selenium sebagai kofaktor. Jika proteksi oleh glutation peroksidase tidak aktif, maka radikal bebas yang terbentuk akan lebih banyak. Astaxanthin sebagai karotenoid bekerja menghambat reaksi peroksidase lipid sehingga tidak terbentuk radikal bebas. Mekanisme ini dapat menekan stress oksidatif sehingga menurunkan kadar MDA serum. Mekanisme antioksidan pada lensa dapat dilihat pada Gambar 2.1 (Ates et al, 2010; AAO, 2011-2012b).
Gambar 2.1 Mekanisme proteksi antioksidan pada lensa (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b)
Beberapa studi mendukung stres oksidatif berperan penting pada patogenesis dari katarak senilis. Cekic et al (2010) menemukan terjadinya peningkatan kadar MDA dalam darah pasien dengan katarak senilis (20,24±8,12 µmol/ml) dibandingkan tanpa katarak senilis (8,73±2,53µmol/ml). Priyanti et al (2013)
membandingkan kadar MDA serum pada katarak senilis berdasarkan
stadium didapatkan bahwa kadar MDA serum pada pasien katarak senilis matur lebih tinggi daripada katarak senilis imatur.
2.3. Antioksidan 2.3.1. Definisi Antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (electron donor). Secara biologis, antioksidan adalah senyawa yang dapat melindungi tubuh dari serangan radikal bebas. Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi
oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif, sehingga kerusakan sel akan dihambat (Winarsi, 2007). 2.3.2 Klasifikasi dan Mekanisme Kerja Sistem antioksidan ini dibagi menjadi kelompok enzimatis dan non enzimatis. Antioksidan enzimatis disebut juga antioksidan pencegah, terdiri dari superoksid dismutase, katalase dan glutation peroxidase. Antioksidan enzimatis merupakan sistem pertahanan utama (primer) terhadap kondisi stres oksidatif dan bekerja dengan cara mencegah terbentuknya senyawa radikal bebas baru. Antioksidan non enzimatis disebut juga antioksidan pemecah rantai yang dapat berupa senyawa nutrisi maupun non nutrisi. Kedua kelompok antioksidan non enzimatis ini disebut juga antioksidan sekunder karena dapat diperoleh dari asupan makanan seperti vitamin C, E, A, dan β karoten. Glutation, asam urat, bilirubin, albumin dan flavonoid juga termasuk kelompok ini. Senyawa-senyawa tersebut berfungsi menangkap senyawa oksidan serta mencegah terjadinya reaksi berantai (William, 2006; Winarsi, 2007). Antioksidan baik non enzimatis maupun enzimatis berperan melawan efek toksik peroksidasi lipid dan radikal oksigen serta mengurangi jumlah lipid peroksida yang terbentuk. Adanya antioksidan non-enzimatis ini berperan dalam melawan efek toksik radikal bebas, pada lingkungan yang lipofilik. Vitamin A berperan sebagai antioksidan pemecah rantai, vitamin C berperan sebagai scavenging superoksida dan bermacam peroksidasi lipid. Disamping vitamin E berperan sebagai pelindung dalam melawan peroksidasi lipid, juga dapat menstabilkan lapisan lemak (Chandrasena et al, 2006; William, 2006).
2.4 Astaxanthin 2.4.1 Definisi Astaxanthin atau 3,3’-dihydroxy-β,β-carotene-4,4’-dione memiliki struktur molekul seperti tampak pada gambar 2.3. Merupakan suatu pigmen karotenoid alami yang memiliki aktivitas biologis sebagai antioksidan yang kuat dan dapat ditemukan secara luas di alam. Astaxanthin dapat ditemui pada hewan-hewan yang hidup di air seperti ikan salmon segar, udang dan lobster. Pigmen astaxanthin terakumulasi memberikan warna merah muda pada hewan tersebut (Guerin et al, 2003; Hussein et al, 2006). Astaxanthin juga dapat ditemukan pada mikroalga seperti Haematococcus Pluvialis. Alga ini merupakan satu-satunya alga hijau yang memiliki kandungan Astaxanthin yang lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan Astaxanthin pada ikan salmon (Suseela and Toppo, 2006). Penelitian Julyasih et al. (2009) menemukan aktivitas antioksidan Bulung Boni (Caulerpa
spp.)
paling
tinggi
dengan
kandungan
karotenoid
tertinggi
dibandingkan rumput laut komersial yang dikonsumsi di Bali. 2.4.2 Komposisi kimia, Absorbsi dan Metabolisme Astaxanthin adalah sub-grup dari xanthophyl yang merupakan keluarga karotenoid yang mengandung oksigen. Astaxanthin memiliki dua rantai karbon asimetris dengan dua cincin. Struktur karotenoid memiliki potensi yang berbeda karena terdapat gugus hidroksil pada bagian terminalnya (Østerlie et al, 2000) .
Gambar 2.2
Struktur kimia astaxanthin (Østerlie et al, 2000)
Karotenoid diabsorbsi secara difusi pasif ke mukosa usus, berhubungan dengan plasma lipoprotein dan dengan carotenoid-binding protein yang spesifik. Konsentrasi plasma meningkat setelah 6,7 ±1,2 jam setelah pemberian peroral. Setelah memasuki peredaran darah, karotenoid terdapat diberbagai jaringan tubuh seperti hati, lemak, pancreas, ginjal, paru, adrenal, lien, jantung, tiroid, testis, ovarium, dan mata (Østerlie et al, 2000; Odenberg et al,2003) Astaxanthin memiliki sifat lipofilik dengan bioaviabilitas oral yang rendah seperti golongan karotenoid yang lainnya (Odenberg et al, 2003). Østerlie et al (2000) meneliti kadar maksimum astaxanthin tertinggi dalam waktu 6 jam setelah diberikan peroral dengan waktu paruh 21 jam. Guerin et al (2003) melalui uji coba hewan didapatkan bahwa astaxanthin dapat melewati blood brain barier dan selanjutnya tersimpan di retina. Pada penelitian ini tidak ditemukan efek samping dan toksisitas astaxanthin pada dosis terendah maupun dosis tertinggi. Nakamura et al (2004) menyatakan efek yang sama pada dosis astaxanthin 4 mg dan 8 mg yang diberikan selama 4 minggu. Miyawaki et al (2008) menyatakan terjadi
efek pemendekan blood transite time dan meningkatkan
blood rheologi setelah pemberian astaxanthin 6 mg/ hari selama 10 hari. Sedangkan penelitian Effendy (2013) mendapatkan efek penurunan kadar MDA lensa lebih rendah pada pasien katarak yang diberikan astaxanthin 4 mg selama 14 hari dibandingkan yang tidak diberikan astaxanthin.
2.4.3 Peran astaxanthin terhadap mata Astaxanthin sebagai antioksidan yang paling poten memiliki efek dalam melindungi tubuh dari kerusakan akibat efek oksidasi. Mekanisme kerjanya melalui dua cara yaitu dengan menetralkan singlet oksigen dan peroksidasi lipid (Mc Nulty et al, 2006). Astaxanthin bekerja pada membran sel melawan radikal bebas yang terbentuk melalui stres oksidatif pada membrane sel. Proses ini juga terjadi pada sel epitel lensa. Astaxanthin dapat mengambil radikal bebas yang berlebihan yang terbentuk pada membrane sel (Parrisi, 2011). Produksi ROS dan menurunnya antioksidan endogen pada jaringan mata juga dapat menyebabkan stres oksidatif dan terbentuknya katarak senilis. Antioksidan memegang peranan dalam memperlambat onset dan progresifitas katarak senilis (Pradhan et al, 2004 ; Od untan and Mashiage, 2011).
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Penyebab kebutaan yang paling utama adalah katarak. Bedah katarak dan tanam lensa dapat mengatasinya, namun tidak sedikit komplikasi yang dapat terjadi pasca uperasi. Teori tentang patogenesis katarak senilis belum diketahui secara pasti. Penelitian tentang bagaimana memperlambat progresifitas katarak makin banyak dilakukan. Salah satu teori tentang etiologi katarak senilis yang banyak berkembang belakangan ini adalah mekanisme stres oksidatif. Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan. Stres oksidatif dapat timbul apabila pembentukan radikal bebas terjadi berlebihan, tidak diimbangi peningkatan sistem antioksidan. Proses ini dapat mengawali kerusakan jaringan dan sel serta penuaan. Seiring bertambahnya usia, akan menyebabkan gangguan mekanisme proteksi antioksidan lensa mata sehingga terjadi akumulasi radikal bebas yang berlebihan. Malondialdehyide (MDA) diproduksi melalui proses peroksidasi lipid pada membran sel lensa. MDA merupakan aldehid reaktif yang dapat menyebabkan terjadinya agregasi protein lensa, membentuk protein tidak larut air (water insoluble protein) sehingga terjadi penurunan kejernihan lensa dan timbul katarak. MDA dapat dipakai sebagai biomarker stres oksidatif. Kadar MDA dikatakan meningkat pada katarak senilis. Kadar MDA dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal. Faktor internal antara lain adalah umur dan genetik, sedangkan yang termasuk faktor eksternal antara lain paparan sinar ultraviolet, penyakit sistemik kronis, merokok, penggunaan obat anti inflamasi non steroid (AINS), obat kortikosteroid atau obat imunosupresan, vitamin antioksidan, stadium katarak senilis, infeksi intraokular, aktivitas fisik, dan stres psikologis. Antioksidan dapat berperan melawan proses stres oksidatif. Astaxanthin merupakan salah satu antioksidan yang paling poten melawan peroksidasi lipid dan stres oksidatif, sehingga dapat diberikan untuk mencegah terjadinya katarak dan mencegah progresivitas katarak.
3.2 Konsep Penelitian Berdasarkan dari uraian di atas, maka dapat digambarkan konsep penelitian seperti tampak pada Gambar 3.1.
3.3 Hipotesis Penelitian Kadar malondialdehyde (MDA) serum pasien katarak senilis setelah pemberian astaxanthin lebih rendah daripada katarak senilis sebelum pemberian astaxanthin.
Tanpa Astaxanthin
Astaxanthin
KATARAK SENILIS Kadar MDA ↑↑
MDA ↑↑↑
MDA ↑
Faktor Internal 1. Umur 2. Genetik
Faktor Eksternal 1. Paparan sinar ultraviolet 2. Penyakit sistemik, kronis 3. Merokok 4. Obat anti inflamasi non steroid (AINS), obat kortikosteroid atau obat imunosupresan 5. Vitamin antioksidan 6. Infeksi intraokular 7. Stadium katarak senilis 8. Aktivitas fisik 9. Stres psikologis
Keterangan : : Variabel yang diukur : Variabel yang tidak diukur
Kadar MDA ↑↑ : kadar MDA tinggi pada katarak senilis sebelum astaxanthin MDA ↑↑↑ : Kadar MDA tinggi tanpa pemberian astaxanthin MDA ↑ : kadar MDA menurun setelah pemberian astaxanthin Gambar 3.1 Bagan Konsep Penelitian
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1
Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan suatu penelitian the one group pre and post test
design untuk mengetahui perbedaan kadar malondialdehyde (MDA) serum pada penderita katarak senilis sebelum dan sesudah pemberian astaxanthin 4 mg selama 2 minggu. Rancangan penelitian dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut: Astaxanthin 4mg selama 2 minggu
Populasi Sampel Katarak Senilis
Kadar MDA serum
Kadar MDA serum
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian
4.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Mata RSUP Sanglah, RS Indera
Denpasar Bali, dan UPT Laboratorium Analitik Universitas Udayana Bukit Jimbaran. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai Maret 2014,
4.3
Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi Penelitian Populasi target penelitian adalah semua penderita katarak senilis. Populasi terjangkau penelitian adalah semua penderita katarak senilis yang datang berobat ke Poliklinik Mata RSUP Sanglah dan RS Indera, Denpasar periode bulan Januari sampai Maret 2014. 4.3.2 Sampel Penelitian Sampel penelitian adalah semua penderita katarak senilis yang datang berobat ke Poliklinik Mata RSUP Sanglah dan RS Indera Denpasar periode bulan Januari sampai Maret 2014 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 4.3.2.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Penelitian 4.3.2.1.1
Kriteria Inklusi
a. Penderita katarak senilis b. Subyek tidak sedang menderita kelainan mata lainnya dan tidak sedang menderita penyakit sistemik yang kronis b. Tidak dilakukan operasi katarak selama periode penelitian. c. Bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani lembar informed consent. 4.3.2.1.2
Kriteria Eksklusi
a. Subyek
sedang
mendapat
pengobatan
antiinflamasi
non
steroid,
kortikosteroid atau obat imunosupresan lainnya dalam satu bulan terakhir
b. Subyek sedang mengkonsumsi vitamin antioksidan (vitamin A dan E) dalam satu bulan terakhir c. Subyek yang merokok dalam 1 bulan terakhir d. Subyek dengan infeksi intraokular e. Subyek dengan kelainan pada segmen posterior mata berupa kelainan vitreus, retinopati, ablasio retina, kelainan makula (age-related macular degeneration), dan optik neuropati f.
Subyek dengan riwayat operasi mata
g. Katarak senilis dengan komplikasi berupa tekanan intraokular >21 mmHg atau dengan glaukoma sekunder dan uveitis 4.3.2.1.3 Kriteria Drop Out a. Dilakukan operasi selama periode penelitian b. Terjadi komplikasi katarak dalam perjalanan penyakitnya seperti glaukoma skunder dan uveitis selama periode penelitian c. Penderita mengalami infeksi sistemik dan infeksi pada mata selama periode penelitian. c. Tidak menjalankan prosedur penelitian 4.3.2.2 Besar Sampel Besar sampel yang dibutuhkan dalam penelitian korelasi numerik berpasangan dihitung berdasarkan rumus (Pocock, 2008): 2 δ2 N=
(μ 2- μ1 )
2
x f (α,β)
1.
Tingkat kemaknaan yang dikehendaki sebesar 95%, yaitu α = 0,05 dan dipakai Zα = 1,960
2. Power penelitian yang direncanakan sebesar 90%, yaitu β = 0,10 dan Zβ = 1,282 3. Nilai f(α,β) pada tabel = 10,5 (Pocock, 2008) 4. Simpang baku (δ) selisih kedua kelompok (dikutip dari kepustakaan Artunay et al, 2009), δ = 1,15 5. μ 2- μ1 adalah perbedaan klinis kadar MDA yang diinginkan sebesar 0,98 2 δ2 N=
(μ 2- μ1 )2
x f (α,β)
2 (1,15)2 N=
x 10,5 (0,98 )2
=
28,94 subyek (individu) ~ 29 subyek (individu)
Untuk menghindari drop out, sampel ditambahkan 10 % Sampel yang diteliti
= 29+2,9 = 31,9 ~ 32
Jadi jumlah sampel yang diteliti sebanyak 32 pasien. 4.3.2.3 Cara Pemilihan Sampel Sampel dipilih dengan teknik consecutive sampling dari populasi terjangkau. Sampel yang dipilih adalah penderita katarak senilis dengan maturitas yang sama pada kedua mata atau apabila kedua mata berbeda maturitasnya, maka pasien dimasukan kedalam kelompok katarak dengan maturitas yang lebih tinggi. Sampel
dengan maturitas katarak imatur pada satu mata dan matur pada mata sebelahnya maka digolongkan pada katarak senilis matur. Seluruh sampel mengisi informed consent. Pengambilan sampel darah dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pertama sebelum pemberian astaxanthin dan tahap dua setelah 14 hari diberikan astaxanthin.
4.4
Variabel Penelitian
4.4.1 Klasifikasi dan Identifikasi Variabel 1.
Variabel bebas adalah astaxanthin dosis 4 mg selama 2 minggu.
2.
Variabel tergantung adalah kadar malondialdehyde (MDA) dalam serum
3.
Variabel kendali adalah umur, merokok, penyakit sistemik kronis, penggunaan obat antiinflamasi non steroid, kortikosteroid atau obat imunosupresan, stadium katarak dan infeksi pada mata.
Hubungan antar variabel digambarkan pada Gambar 4.2
Variabel Bebas
Variabel Tergantung
Astaxanthin pada pasien katarak senilis
Kadar MDA serum
Variabel Kendali
Umur, merokok, penyakit sistemik kronis, penggunaan obat antiinflamasi non steroid, kortikosteroid atau obat imunosupresan, stadium katarak, infeksi mata Gambar 4.2 Skema Hubungan antar Variabel
4.4.2 Definisi Operasional Variabel 1.
Katarak senilis adalah kekeruhan pada lensa yang terjadi pada usia diatas 50 tahun. Berdasarkan maturitasnya dapat dibagi menjadi empat stadium yaitu insipien, imatur, matur dan hipermatur (Ilyas, 2009).
2.
Astaxanthin merupakan suatu pigmen karoteniod alami yang memiliki aktivitas biologis sebagai antioksidan yang kuat (Østerlie et al, 2000). Astaxanthin yang dipakai dalam penelitian ini adalah obat kemasan yang mengandung astaxanthin murni, dikemas dalam likaps dosis 4 mg per likaps. Pemberian setelah pengambilan sampel darah pertama, dosis 4 mg per hari selama 2 minggu.
3.
Kadar malondialdehyde (MDA) adalah produk akhir peroksidasi lipid dalam tubuh
yang
diperiksa
dengan
metode
spektrofotometer
(NWLSSTM
Malondialdehyde assay) dari bahan sampel serum darah, dan satuan MDA dinyatakan dalam µmol/L (Yagi,
1982).
Pemeriksaan dikerjakan di
Laboratorium terpusat yang sudah terakreditasi yaitu Laboratorium Analitik Universitas Udayana di Bukit Jimbaran. 4.
Umur adalah umur ditentukan dari tanggal kelahiran sampai datang ke rumah sakit berdasarkan kartu tanda penduduk atau kartu keluarga.
5.
Perokok adalah subyek dengan riwayat sedang atau pernah merokok dalam kurun waktu lebih dari atau sama dengan empat minggu sebelumnya, yang diperoleh melalui teknik wawancara.
6.
Penyakit sistemik yang kronis adalah subyek sedang menderita penyakit diabetes melitus, hipertensi, kardiovaskular, penyakit keganasan yang diperoleh melalui teknik wawancara.
7.
Pengguna kortikosteroid adalah subyek dengan riwayat sedang atau pernah mengkonsumsi obat kortikosteroid dalam kurun waktu lebih dari atau sama dengan empat minggu sebelumnya, diperoleh melalui teknik wawancara.
8.
Pengguna antiinflamasi non steroid adalah subyek dengan riwayat sedang atau pernah mengkonsumsi antiinflamasi non steroid, dalam kurun waktu lebih dari atau sama dengan empat minggu sebelumnya, yang diperoleh melalui teknik wawancara.
9.
Pengguna vitamin antioksidan adalah subyek dengan riwayat sedang atau pernah mengkonsumsi vitamin antioksidan (vitamin A dan E) dalam kurun waktu lebih dari atau sama dengan empat minggu sebelumnya, yang diperoleh melalui teknik wawancara.
10. Infeksi mata adalah subyek yang sedang menderita peradangan pada segmen anterior dan atau segmen posterior bola mata, antara lain blefaritis, konjungtivitis, keratitis, ulkus kornea, uveitis anterior dan posterior, yang ditentukan dengan pemeriksaan slit lamp dan funduskopi
4.5
Instrumen Penelitian Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan oftalmologi, dan pengambilan sampel darah. Untuk menegakkan diagnosis katarak senilis dan stadium maturitasnya, digunakan lembar
pemeriksaan status oftalmologis dan lembar kuisioner penelitian, E chart atau Snellen chart, tonometri Schiotz, funduskopi atau lensa 78, slit lamp, anestesi topikal (pantocain 0,5%), dan sikloplegik (mydriatil 0,5%). Peralatan yang digunakan dalam pengambilan sampel darah untuk pengukuran kadar MDA serum adalah sarung tangan steril, kapas alkohol, tourniket, spuit 3 cc sekali pakai, serta tabung berisi reagen EDTA (ethylene diamine tetra acetic acid).
4.6
Prosedur Penelitian
4.6.1 Tahap persiapan Subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian serta penjelasan tentang Astaxanthin kemudian menandatangani informed consent. Selanjutnya dilakukan identifikasi tentang karakteristik sampel penelitian. 4.6.2 Pelaksanaan Penelitian Adapun urutan pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Anamnesis meliputi nama, umur, jenis kelamin, dan pekerjaan berdasarkan lembar kuisioner penelitian. Data kemudian dicatat dalam bentuk tabel induk
2.
Stadium katarak senilis Diagnosis dan stadium katarak senilis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan dengan menggunakan slit lamp dan funduskopi. Pemeriksaan dilakukan pada kedua mata. Pertama dilakukan pemeriksaan visus dengan menggunakan E chart atau Snellen chart, kemudian dilakukan pemeriksaan tekanan intraokular dengan tonometri schiotz dan bila hasilnya kurang dari 21
mmHg, pupil penderita kemudian dilebarkan dengan sikloplegik (mydriatil 0,5%),dan ditentukan stadium maturitas katarak berdasarkan kriteria Burrato. 3.
Pengambilan sampel Darah Pengambilan sampel darah dilakukan melalui vena cubiti yaitu sebanyak 3 cc dengan menggunakan spuite 3 cc setelah sebelumnya dilakukan desinfeksi pada tempat pengambilan. Masing-masing sampel darah vena yang diambil ditampung dalam tabung yang berisi reagen EDTA (ethylene diamine tetra acetic acid). Sampel darah akan diberikan label sesuai dengan nomor urut sampel. Pengambilan sampel darah dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan sebelum pemberian Astaxanthin, tahap kedua diambil setelah pemberian Astaxanthin.
4.
Pemeriksaan MDA Serum Pemeriksaan MDA serum dikerjakan dengan metode spektrofotometer. Prinsip kerjanya adalah dengan menggunakan reaksi asam tiobarbiturat dengan MDA. Alat yang digunakan adalah spektofotometer (NWLSSTM Malondialdehyde assay).
6.
Follow up Semua subyek di follow up pada hari ke-7 dan ke-15 pemberian obat untuk mengetahui kepatuhan subyek dalam mengonsumsi obat dan subyek yang tidak datang akan diingatkan melalui telefon atau dengan kunjungan rumah.
4.7
Alur Penelitian Alur penelitian ditunjukkan dengan bagan alur penelitian pada Gambar 4.3
Semua penderita katarak senilis
Semua penderita katarak senilis yang datang berobat ke poliklinik Mata RSUP Sanglah dan RS Indera, Denpasar periode bulan Januari – Maret 2014 Kriteria Eksklusi • Subyek sedang menderita penyakit sistemik yang kronis • Subyek sedang mendapat pengobatan antiinflamasi non steroid, kortikosteroid atau obat imunosupresan lainnya dalam satu bulan terakhir. • Subyek mengkonsumsi vitamin antioksidan (vitamin A dan E) dalam satu bulan terakhir. • Subyek yang merokok • Subyek dengan infeksi intraokular • Subyek dengan kelainan pada segmen posterior mata • Subyek dengan riwayat operasi intraokular • Katarak senilis dengan komplikasi
Kriteria Inklusi • Pasien katarak senilis Sampel Penelitian
Informed Consent Eligible Subject Kadar MDA Serum Pemberian Astaxanthin Kadar MDA Serum
ANALISIS DATA Gambar 4.3 Skema Alur Penelitian
4.8
Analisis Data Data dimasukkan ke dalam formulir penelitian kemudian direkam dalam
tabel induk. Untuk menjawab permasalahan penelitian dilakukan serangkaian tahapan analisis data: 1.
Analisis statistik deskriptif Data terlebih dahulu dideskripsikan melalui tahap-tahap seleksi, editing, coding dan tabulasi. Semua ini dilakukan menggunakan program SPSS. Untuk menggambarkan karakteristik umum dan distribusi berbagai variabel. Data berskala kategorikal dideskripsikan dalam bentuk frekuensi dan persentase sedangkan untuk data berskala numerik dalam bentuk rerata dan standar deviasi.
2.
Untuk mengetahui efek astaxanthin dilakukan uji perbedaan kadar MDA sebelum dan sesudah pemberian astaxanthin : a. Uji normalitas Untuk menguji normalitas data digunakan uji Shapiro-Wilk. b. Analisis perbedaan Menguji perbedaan kadar MDA antara kelompok katarak senilis sebelum pemberian astaxanthin dan katarak senilis setelah pemberian astaxanthin, dianalisis dengan uji-t berpasangan. c. Hasil bermakna pada p < 0,05.
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian Subjek penelitian dipilih secara konsekutif dari pasien katarak senilis yang datang ke RSUP Sanglah dan RS Indera Denpasar selama periode Januari 2014 sampai Maret 2014. Sebanyak 32 subjek memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani informed consent. Seluruh subjek kemudian dlakukan pengambilan darah pertama dan pemberian astaxanthin. Astaxanthin diberikan sekali sehari 4 mg selama 14 hari. Pada hari ke-15 dilakukan pengambilan darah kedua. Tabel 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian Karakteristik Umur {Tahun (Rerata±SD) } Jenis Kelamin {n (%)} Laki Perempuan Pendidikan Tidak sekolah SD SMP SMA D3 Pekerjaan {n (%)} Petani Ibu Rumah Tangga Swasta PNS/Pensiunan Diagnosis {n (%)} Katarak Senilis Insipien Katarak senilis Imatur Katarak Senilis Matur
n = 32 pasien 63,91 ± 10,5 17 (53 %) 15 (47 %) 18 (56 %) 10 (31 %) 3 (9 %) 5 (16 %) 1 (3 %) 23 (72 %) 5 (16 %) 3 (9 %) 1 (3 %) 2 (6 %) 16 (50 %) 14 (44%)
Tabel 5.1 memperlihatkan karakteristik subjek penelitian. Pasien memiliki rerata umur 63,91 ± 10,5 tahun. Jenis kelamin laki-laki ditemukan lebih banyak dibandingkan perempuan yaitu 53%. Status pendidikan tidak sekolah ditemukan paling banyak yaitu sebesar 56 %. Petani merupakan jenis pekerjaan terbanyak (72%).) Sebagian sampel (50 %) merupakan pasien dengan katarak senilis imatur.
5.2
Penurunan Kadar MDA Serum pada Katarak Senilis Sesudah Pemberian Astaxanthin Perbedaan kadar MDA serum sebelum dan sesudah pemberian astaxanthin
dianalisis dengan uji t dua sampel berpasangan. Tabel 5.3 Rerata Penurunan Kadar MDA Serum pada Katarak Senilis Sebelum dan Sesudah Astaxanthin
Variabel
Sebelum
Sesudah
Rerata Penurunan
Nilai p
IK 95%
Kadar MDA (µmol/L) (Rerata±SD)
5,07±0,51
3,84±0,57
1,23
0,0001*
1,039-1,419
*Uji t berpasangan Tabel 5.2 memperlihatkan perbedaan rerata kadar MDA serum pada kelompok katarak senilis sebelum dan sesudah diberikan astaxanthin. Rerata kadar MDA serum pada kelompok katarak senilis sebelum diberikan astaxanthin didapatkan hasil 5,07±0,51 µmol/L sedangkan pada katarak senilis sesudah diberikan astaxanthin adalah 3,84±0,57 µmol/L. Gambar 5.1 menunjukkan
perbedaan rerata kadar MDA serum pasien katarak senilis sebelum dan sesudah pemberian astaxanthin.
Gambar 5.1 Perbedaan kadar MDA serum sebelum (pre) dan sesudah (post) pemberian astaxanthin
Hasil ini menunjukkan, secara statistik terdapat perbedaan bermakna pada rerata kadar MDA katarak senilis sebelum dan sesudah diberikan astaxanthin (p<0,05). Terdapat penurunan kadar MDA serum sebesar 1,23 µmol/L dengan 95% IK antara 1,039-1,419.
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Subjek Penelitian Penelitian ini melibatkan 32 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Terdiri dari 2 pasien katarak senilis insipien, 16 pasien katarak senilis imatur dan 14 pasien katarak senilis matur. Subjek penelitian kemudian dilakukan pengambilan darah vena untuk mengukur kadar MDA serum. Pertama diambil sebelum pemberian Astaxanthin, kemudian pengambilan sampel darah kedua dilakukan setelah 14 hari pemberian Astaxanthin. Karakteristik subjek penelitian dalam penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan pekerjaan dan diagnosis. Perubahan kadar MDA serum dikatakan meningkat sesuai umur. Makin bertambah umur, terjadi peningkatan kejadian katarak senilis (Sihota and Tandan, 2007; Beebe et al., 2010). Rerata umur pasien katarak senilis pada penelitian Goyal et al. (2010) adalah 66,6±7,83 tahun. Priyanti,et al (2013) mendapatkan rerata umur yang lebih tinggi pada kelompok pasien katarak senilis matur yaitu 65,3±9,4 tahun sedangkan pada katarak senilis imatur adalah 63,3±8,0 tahun. Penelitian ini didapatkan rerata umur pasien katarak senilis adalah 63,91 ± 10,5 tahun. Kejadian katarak senilis meningkat dengan bertambahnya umur karena umur merupakan faktor penting untuk terjadinya katarak senilis. Katarak senilis terjadi pada umur diatas 50 tahun (Ilyas, 2009).
Lensa mata mengalami perubahan sesuai dengan peningkatan umur, pada lensa akan terjadi mekanisme komplek yang menyebabkan perubahan formasi serat lensa dan lensa juga akan lebih rentan mengalami stres oksidatif sehingga kejernihan lensa menurun dan terjadi katarak senilis (Kisic et al., 2009; Cekic et al., 2010; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Penelitian Miric et al. (2012) menemukan baik katarak senilis matur maupun katarak senilis imatur lebih banyak ditemukan pada laki-laki yaitu 60% dan 58%. Priyanti et al (2013) mendapatkan pasien laki-laki dengan katarak senilis matur sebesar 58,6% dan perempuan sebesar 41,4% sedangkan pada katarak senilis imatur, 55,2% di temukan pada laki-laki dan 44,8% pada perempuan. Ates et al. (2010) mendapatkan sebesar 61% pasien katarak senilis adalah laki-laki sedangkan sisanya sebesar 39% adalah perempuan. Pada penelitian ini jenis kelamin laki-laki (53%) ditemukan lebih banyak dibandingkan perempuan yaitu. Hal ini mungkin disebabkan karena laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas di luar ruangan. Negara tropis dengan karakteristik intensitas paparan sinar matahari yang lebih tinggi, aktivitas di luar ruangan dihubungkan dengan besarnya paparan sinar ultraviolet yang dialami (Katoh et al., 2001; Valero et al., 2007). Noran et al. (2007) menemukan sebagian besar pasien katarak senilis memiliki tingkat pendidikan rendah yaitu sebesar 63,5%. Penelitian Priyanti et al. (2013) menemukan sebagian besar pasien pada kelompok katarak senilis matur memiliki status pendidikan tidak bersekolah yaitu sebesar 51,7%, demikian juga pada katarak senilis imatur sebagian besar pasien memiliki status pendidikan tidak
bersekolah yaitu sebesar 31,0%. Sabanayagam et al. (2011) di Singapura dan Malaysia menemukan katarak senilis lebih banyak ditemukan pada pasien dengan tingkat pendidikan primer (sekolah dasar) atau lebih rendah yaitu sebesar 74,4%. Status pendidikan tidak sekolah ditemukan paling banyak pada penelitian ini yaitu 56 %. Tingkat pendidikan pasien katarak senilis dihubungkan dengan pemahaman pasien tentang penyakitnya, pengobatan yang dicari, gaya hidup, status sosial ekonomi, dan status nutrisi (Leske et al., 1997; Lindblad, 2008; Wu et al. 2010). Tingkat pendidikan juga dihubungkan dengan kecepatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Makin tinggi tingkat pendidikan biasanya lebih cepat mencari pelayanan kesehatan sehingga katarak senilis lebih banyak ditemukan pada stadium yang lebih awal, sedangkan pasien dengan tingkat pendidikan rendah sebagian besar katarak senilis ditemukan sudah dalam stadium matur (Tabin et al., 2008; Kisic et al., 2009). Nirmalan et al. (2004) di India menemukan sebesar 90% pasien dengan katarak senilis bekerja di bidang pertanian. Penelitian Ziaulhak (2007) di Kalimantan Timur menemukan kasus katarak senilis meningkat pada pasien dengan aktivitas di luar ruangan lebih dari 5 jam perhari dalam 10 tahun terakhir. Priyanti et al (2013) mendapatkan sebagian besar pekerjaan pasien adalah petani yaitu sebesar 44,8% pada katarak senilis matur dan 37,9% pada katarak senilis imatur. Pekerjaan petani lebih banyak didapatkan pada penelitian ini. Pada beberapa penelitian pekerjaan dihubungkan dengan lamanya pasien melakukan aktivitas di luar ruangan yang selanjutnya dihubungkan dengan lamanya paparan
sinar ultraviolet yang dialami (Valero et al., 2007). Paparan sinar ultraviolet pada lensa akan mencetuskan reaksi oksidatif yang menghasilkan radikal bebas berlebihan. Radikal bebas yang berlebihan melebihi kemampuan kompensasi sistem antioksidan dalam lensa, akan menyebabkan kerusakan komponen lensa sehingga kejernihan lensa menurun dan terjadi katarak (Cekic et al., 2010; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Katarak senilis berdasarkan maturitasnya, dapat dibagi menjadi empat stadium yaitu insipien, imatur, matur dan hipermatur (Ilyas, 2009; Sihota dan Tandan, 2007). Di negara maju katarak senilis lebih banyak ditemukan pada stadium insipien dan imatur. Pada negara berkembang pasien dengan katarak senilis sebagian besar ditemukan sudah berada pada stadium matur (Vashist et al., 2008; Purushotam, 2009). Katarak senilis imatur merupakan stadium katarak yang paling banyak ditemukan (Tabin et al., 2008; Vashist et al., 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Anjum et al., (2006) di Pakistan, didapatkan lebih dari 50% pasien dengan katarak senilis berada pada stadium imatur. Penelitian epidemiologi di India ditemukan terjadi peningkatan prevalensi katarak senilis imatur dari 3,44% pada usia di bawah 50 tahun menjadi 60,91% pada penduduk usia 50-60 tahun (Purushotam, 2009). Pada penelitian ini didapatkan lebih banyak katarak senilis imatur. Hal ini mungkin disebabkan karena menigkatnya kesadaran masyarakat dalam hal mencari pelayanan kesehatan sebelum pengelihatan lebih kabur lagi, dan dengan peralihan tehnologi, sarana prasarana dalam operasi katarak seperti berkembangnya teknik fakoemulsifikasi sehingga katarak bisa dilakukan operasi meskipun masih stadium imatur. Perkembangan teknik operasi
ini mempengaruhi pasien dalam mengambil keputusan untuk mendapatkan tindakan perbaikan tajam pengelihatannya.
6.2
Kadar MDA Serum Pasien Katarak Senilis Sebelum dan Sesudah Diberikan Astaxanthin
6.2.1
Kadar MDA Serum Pasien Katarak Senilis Sebelum Diberikan Astaxanthin Stres oksidatif sangat berperan dalam patogenesis katarak senilis dan telah
dibuktikan oleh beberapa penelitian sebelumnya (El-Ghaffar et al., 2007; Cekic et al., 2010). Komposisi lipid lensa berubah secara dramatis sesuai dengan peningkatan umur akibat terjadinya stres oksidatif (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b). Proses peroksidasi lipid terjadi apabila senyawa radikal bebas bereaksi dengan senyawa asam lemak tak jenuh ganda. Bentuk produk dari proses peroksidasi lipid ini antara lain diena terkonjugasi, hidroperoksida dan senyawa-senyawa aldehida yang salah satunya adalah MDA. MDA merupakan produk akhir dari peroksidasi lipid dalam tubuh. Konsentrasi MDA yang tinggi menunjukkan adanya proses oksidasi pada membran sel serta status antioksidan yang rendah, sehingga MDA dapat digunakan sebagai indikator stres oksidatif (Winarsi, 2007; Kisic et al., 2009). Beberapa peneliti menyatakan peroksidasi lipid terjadi pada tahap awal dari patogenesis katarak senilis (Babizhayev, 1985). Proses peroksidasi lipid dalam patogenesis katarak senilis akan terjadi reaksi radikal bebas dengan asam lemak tidak jenuh ganda yang terdapat pada membran sel lensa yang selanjutnya menyebabkan cross-linking lipid dan protein, agregasi protein lensa, peningkatan
protein tidak larut air (water insoluble protein) sehingga menyebabkan kejernihan lensa menurun dan terjadi katarak (El-Ghaffar et al. 2007; Cekic et al., 2010; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Hasil produksi sekunder mayor dari peroksidasi lipid berupa aldehid yang reaktif yaitu MDA, dapat digunakan sebagai biomarker stres oksidatif pada katarak senilis (Winarsi, 2007; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Malondialdehyde merupakan hasil degradasi akhir peroksidasi lipid sehingga kadarnya akan ditemukan lebih tinggi pada stadium katarak senilis yang lebih matur (Gupta et al. 2003; Kisic et al., 2009; Miric et al., 2012). Penelitian Kisic et al. (2009) tersebut mendukung bahwa peroksidasi lipid berperan dalam progresivitas maturitas katarak senilis. Pemeriksaan MDA serum dikatakan kurang spesifik untuk katarak senilis karena dipengaruhi oleh keadaan homeostasis sistemik. Pemeriksaan MDA langsung pada lensa tentu akan memberikan gambaran yang lebih akurat mengenai keadaan stres oksidatif pada katarak senilis (Zoric, 2003; Kisic et al. 2009). Namun penelitian Zoric (2003) menemukan bahwa hasil pemeriksaan MDA pada lensa, aqueous, dan serum pada pasien katarak senilis memberikan nilai yang hampir sama sehingga dapat disimpulkan pemeriksaan MDA serum sudah memberikan gambaran keadaan stres oksidatif pada pasien katarak senilis. Ates et al (2004) mendapatkan kadar MDA serum pasien katarak senilis lebih tinggi (4.47 ± 0,35 µmol/L) daripada kontrol (2,94 ± 0,26 µmol/L). Pada penelitian ini didapatkan kadar MDA serum katarak senilis 5,07 ± 0,5 µmol/L.
Kadar MDA yang cukup tnggi menunjukkan peranan stres oksidatif dalam etiopatogenesis katarak senilis. 6.2.2
Kadar MDA Serum Pasien Katarak Senilis Setelah pemberian Astaxanthin. Peroksidasi lipid terjadi dalam 3 tahap yaitu inisiasi, propagasi dan
terminasi (Winarsi, 2007). Beberapa peneliti mempercayai apabila salah satu tahapan proses peroksidasi lipid tersebut dapat dihambat, misalnya dengan pemberian antioksidan diduga dapat memperlambat terjadinya progresivitas maturitas katarak senilis atau bahkan memperlambat terjadinya katarak senilis (Gupta et al., 2003; Artunay et al., 2009; Kisic et al., 2009). Pemberian antioksidan pada pasien katarak senilis sudah banyak dipaparkan oleh peneliti (Moeller et al., 2008; Tan et al., 2008). Penelitian Tan et al. (2008) menemukan pemberian vitamin C dikombinasi dengan β karoten dan zinc dapat memberikan proteksi jangka panjang terhadap terjadinya katarak dan juga dapat memperlambat progresivitas katarak senilis terutama tipe nuklear. Penelitan Moeller et al. (2008) menemukan pemberian lutein dan zeaxanthin pada katarak stadium awal, dapat memperlambat perkembangan maturitas katarak senilis. Penelitian tersebut juga menemukan pemberian lutein dan zeaxanthin pada pasien umur diatas 50 tahun tanpa katarak senilis, dapat memperlambat terjadinya katarak senilis. Antioksidan sendiri tidak harus selalu diperoleh dari obat-obatan. Bahan makanan yang mengandung vitamin A, C, E dan β karoten juga dapat bertindak sebagai antioksidan disebut antioksidan non enzimatis.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Effendi et al. (2013) didapatkan rerata kadar MDA lensa setelah pemberian Astaxanthin adalah 50,315 nmol/mg. Pada Rerata kadar MDA serum setelah pemberian Astaxanthin penelitian ini adalah 3,84±0,57 µmol/L. 6.2.3 Penurunan Kadar MDA Serum Setelah Pemberian Astaxanthin Astaxanthin merupakan antioksidan yang banyak diyakini pengaruhnya dalam menurunkan peroksidasi lemak. Penelitian yang membandingkan aktivitas antioksidan berbagai karotenoid dan menunjukkan bahwa reaktivitas astaxanthin, lutein, lycopene, alfakaroten, betakaroten, alfatokoferol , dan 6 - hydroxy - 2 , 5 , 7 , 8 - tetramethylchroman-2-carboxylic acid terhadap radikal peroksil adalah 1,3; 0,4; 0,4; 0,5; 0,2; 0,9; dan 1,0, mengindikasikan bahwa astaxanthin memiliki aktivitas antioksidan tertinggi (Naguib, 2000). Selain itu, McNulty et al (2007) menemukan astaxanthin melindungi dinding dan memperlihatkan aktivitas antioksidan bermakna dengan 40% penurunan kadar hidroperoksida lemak. Wahyu dan Gondhowiardjo (2004) menyimpulkan bahwa gabungan suplementasi vitamin C dan E selama dua minggu mempunyai efek sinergistik sehingga dapat menurunkan tingkat stres oksidatif di humor akuos dan lensa lebih banyak daripada vitamin C atau vitamin E saja. Proses stres oksidatif dapat dikurangi atau diatasi dengan menggunakan astaxanthin. Astaxanthin, anggota famili karotenoid, merupakan xantofil yang mirip dengan karotenoid lain yang telah dikenal dengan baik seperti betakaroten, zeaxanthin, dan lutein, sehingga memiliki fungsi metabolik dan fisiologik yang hampir sama Guerin (2003). Effendi et al (2013) mendapatkan bahwa dengan
suplementasi astaxanthin 4 mg selama 14 hari telah menurunkan kadar malondialdehid lensa mata. Dapat disimpulkan bahwa astaxanthin dapat menurunkan tingkat stres oksidatif yang terjadi di lensa mata. Pada penelitian ini, dengan pemberian Astaxanthin 4 mg selama 14 hari dapat menurunkan kadar MDA serum pasien katarak senilis secara bermakna sebanyak 1,23 µmol/L. Kadar MDA serum dipengaruhi oleh banyak faktor. Kelemahan dari penelitian ini adalah riwayat penyakit sistemik, merokok, penggunaan obat-obatan pada pasien didapatkan melalui wawancara serta tidak dilakukan analisis mengenai paparan sinar ultraviolet yang memang sangat sulit untuk dikendalikan sehingga hal ini dapat sebagai sumber bias dalam penelitian ini. Pengaruh penurunan kadar MDA serum pada penelitian ini tidak dapat disimpulkan murni disebabkan oleh pemberian astaxanthin karena tidak terdapat kontrol pada desain penelitian ini. Pada penelitian ini tidak dilakukan analisa penurunan kadar MDA pada masing–masing diagnosis karena tidak terpenuhinya sampel minimal. Bila ingin mengetahui gambaran penurunan kadar MDA berdasarkan diagnosis maka diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan sampel yang lebih besar. Nilai aplikatif yang bisa diambil dari penelitian ini adalah MDA serum dapat digunakan sebagai indikator dalam menilai progresivitas maturitas katarak senilis. Pemeriksaan MDA tentunya perlu mempertimbangkan biaya, karena pemeriksaan ini tergolong mahal dan terdapat masa kadaluarsa dari Kit MDA. Pemeriksaan kadar MDA serum rutin tidak perlu dilakukan pada setiap pasien
katarak senilis. Pemeriksaan MDA dapat dipertimbangkan pada kasus katarak senilis stadium awal yang sudah muncul pada umur muda, sehingga selanjutnya dapat dipertimbangkan penggunaan antioksidan sebagai salah satu strategi dalam memperlambat progresivitas maturitas katarak senilis. Antioksidan juga dipertimbangkan pemberiannya pada pasien berumur di atas 50 tahun tanpa katarak senilis untuk memperlambat timbulnya katarak senilis.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan bahwa kadar malondialdehyde (MDA) serum pada pasien katarak senilis setelah pemberian Astaxanthin lebih rendah daripada sebelum pemberian astaxanthin.
7.2 Saran Antioksidan dapat dipertimbangkan pemberiannya pada pasien berumur di atas 50 tahun tanpa katarak senilis untuk memperlambat timbulnya katarak senilis. Pada pasien katarak senilis stadium awal pemberian astaxanthin untuk menghambat progresivitas penyakitnya sehingga bedah katarak dapat dihindari. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah penurunan kadar
MDA serum murni disebabkan karena pemberian astaxanthin dengan
desain penelitian yang sesuai dan jumlah sampel yang lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Ophthalmology (AAO). 2011-2012a. Lens and Cataract. United State of America: American Academy of Ophthalmology. p. 5-74 American Academy of Ophthalmology (AAO). 2011-2012b. Fundamental and Principles of Ophthalmology. United State of America: American Academy of Ophthalmology. p. 273-318 Andley U.P., Liang J.J.N., and Lou M.F. 2003. Biochemical Mechanism of AgeRelated Cataract. In: Albert D.M., Jakobiec F.A., editors. Principles and Practice of Ophthalmology. 3th ed. Philadelphia: Saunder. p. 1428-49 Artunay o., Uslu E., Unal M.,Aydin S., Deuranoghe K., and Bahcecioglu H. 2009. Role of Anti-Oxidant system and Lipid Peroxidation in the Development of Age-Relaed and Diabetic Cataract. In Glo-cat. 4: 221-5 Ates O., Hamit H., Kocer I., Baykal O., and Salman I.A. 2010. Oxidative DNA Damage in Patients with Cataract. Acta Ophthalmologica, 88:891-5 Babizhaev M.A. 2005. Analysis of Lipid Peroxidation and Electron Microscope Survey of Maturation Stages During Human Cataractogenesis: Pharmacokinetic Assay of Can-C N- Acetylcarnosine Prodrug Lubricant Eye Drop for Cataract Prevention. Drug RD, 6 (6): 345-69 Baltranena F., Casasola K., Silva J.C., and Limburg H. 2007. Cataract Blindness in 4 Region of Guatemala: Result of a Population-Based Study. J Cataract Refract Surg, 114: 1558-63 Beebe D.C. 2003. Lens. In: Koufman P.L., Alm A., Editors. Adler’s Physiology of The Eye. St Louis: Mosby. p. 117-57 Beebe D.C., Shui Y.B., and Holekamp N.M. 2010. Biochemical Mechanism of Age-Related Cataract. In: Levin L.A., Albert D.M. editors. Ocular Disease Mechanisms and Management. Philadelphia: Saunders.p. 231-7 Berthoud V.M. and Beyer E.C. 2009. Oxidative Stress, Lens Gap Junction and Cataract. Antioxid Redox Signal, 11 (2): 339-53 Borchman D. and Yappert M.C. 2011. Lipid and Ocular Disease. Journal of Lipid Research, 20: 1-55 Cekic S., Zlatanovic G., Cvetkovic T., and Petrovic B. 2010. Oxidative Stress in Cataractogenesis. Bosnian Journal of Basic Medical Sciences, 3: 265-9
Chandrasena L.G., Chackrewarthy S., Perera T.M., and Silva D. 2006. Erythrocite Antioxidant Enzyme in Patient with Cataract. Annal of Clinical and Laboratory Science, 36 (2): 201-4 Chang M.A., Congdon N.G., Baker S.K., Bloem M.W., Savage H., and Sommer A. 2008. The Surgical management of Cataract: Barriers, Best Practices and Outcomes. Int Ophthalmol, 28: 247-60 Dalle-Donne I., Rossi R., Colombo R., Giustarini D., and Milzani A. 2006. Biomarker of Oxidative Damage in Human Disease. Clinical Chemistry, 52 (4): 601-23 Departement Kesehatan RI. 2009. Data Penduduk Sasaran Program Pembangunan Kesehatan 2007-2011. Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. p. 26 Effendi M.M. 2013. Suplementasi Astaxanthin Menurunkan Malondialdehide Lensa Penderita Katarak Senilis. Jurnal Kedokteran Brawijaya. 27 (3). 163-8 El-Ghaffar A.A., Aziz M.A., Mahmoud A.M., and Al-Balkini S.M. 2007. Elevation of Plasma Nitrate and Malondialdehyde in Patient with AgeRelated cataract. Middle East Journal of Ophthalmology, 14: 13-5 Goyal M.M., Vishwajeet P., Mittal R., dan Sune P. 2010. A Potential Correlation between Systemic Oxidative Stress and Intracellular Ambiance of the Lens Epithelia in Patients with Cataract. Journal of Clinical and Diagnostic Research, 4:2061-2067 Gsianturi. 2004. Angka Kebutaan di Indonesia Tertinggi di Asia Tenggara. Available from: http://www.AngkakebutaandiIndonesiatertinggidiAsia Tenggara.htm. Last update: 15 Mei 2004 Guerin M, Huntley ME, and Olaizola M. 2003. Haematococcus Astaxanthin: Applications for Human Health and Nutrition. Trends in Biotechnology. 21(5): 210-216 Gupta S.K., Trivedi D., Srivastava S., Joshi S., Halder N., dan Verma S.D. 2003. Lycopene Attenuates Oxidative Stress Induced Experimental Cataract Development: An In Vitro and In Vivo Study. Nutrition, 19: 794-9 Harper, R.A. and Shock, J.P. 2004. Lens. In; Riordan-Eva editor. Vaughan & Asbury’s general ophthalmology. 6th edition. Boston: McGraw Hill;. p.173-81 Hussein, G., Sankawa, U., goto, H., Matsumoto, K., and Watanabe, H. 2006. Astaxanthin, a carotenoid with potential in human health and nutrition. J.Nat. prod. Vol 69. 443-449
Ilyas S. 2009. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta: Balai penerbit FKUI. p. 212-4 Julyasih S.M.,Wirawan I.G.P., Harijani W.S., Widajati W. 2009. Aktivitas Antioksidan Beberapa Jenis Rumput Laut (Sea Weeds) Komersial Di Bali. Seminar Nasional.Fakultas Pertanian UPN Veteran Jawa Timur. Surabya 2 Desember 2009. Katoh N., Jonasson F., Sasaki H., Kojima M., Ono M., Takahashi N., dan Sasaki K. 2001. Cortical lens Opacification in Iceland. Acta Ophthalmol Scand, 79:154-9 Kaur, J., Kukreja, S., Kaur, A., Malhotra, N., and Kaur, R. 2012. The oxidative stress in Cataracr Patients. Journal of Clinical and Diagnostic Research. Vol 6(10): 1629-32 Kisic B., Miric D., Zoric L., Dragojevic I., and Stolic A. 2009. Role of Lipid Peroxidation in Pathogenesis of Senile Cataract. Vojnosanit Pregl, 66 (5): 371-5 Leske M.C., Chylack L.T., dan He Q. 1997. Incidence and Progression of Cortical and Posterior subcapsular Opacities: the Longitudinal Study of Cataract. Ophthalmology, 104(12): 1987-93 Lindblad B.E. 2008. Risk Factors for Age-Related Cataract a Prospective Cohort Study. Thesis. Stockholm Sweden: Karolinska Institutet Madiyono, B., Moeslichan, S., Sastroasmoro, S. Budiman, I. and Purwanto, S.H. 2010. Perkiraan besar sampel. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi ketiga. P 302-30 McNulty HP, Byun J, Lockwood SF, Jacob RF, and Mason RP. 2007. Differential Effects of Carotenoids on Lipid Peroxition Due to Membrane Interactions: X-Ray Diffraction Analysis. Biochimica et Biophysica Acta (BBA)Biomembranes.; 1768(1): 167-174. Miric D., Kisic B., Zoric L., Dolicanin Z., Mitic R., and Miric M. 2012. The Impact of senile Cataract Maturity on Blood Oxidative Stress Markers and Glutathione-Dependent Antioxidant: Relations with Lens Variables. J Med Biochem, 31: 164-92 Miyawaki, H., Takahashi, J., tsukahara, H., and Takehara, I. 2008. Effect of Astaxanthin on Human Blood Rheology. J.Clin.Biochem.Nutr; 43; 69-74 Moeller S.M., Voland R., Tinker L., Blodi B.A., Klein M.L., Gehrs K.M., et all. 2008. Associations between Age-related Nuclear Cataract and Lutein and Zeaxanthin in the Diet and Serum in the Carotenoids in the Age-Related
Eye Disease Study, an Ancillary Study of the Women's Health Initiative. Arch Ophthalmol, 126 (3): 354-64 Naguib YM. 2000. Antioxidant Activities of Astaxanthin and Related Carotenoids. Journal of Agriculture and Food Chemistry.; 48(4): 1150-1154. Nakamura, A., Isobe, R., Abematsu, Y., Nakata, D., Honma, C., and Sakurai, S. (2004). Changes in visual function following peroral Astaxanthin. Rinsho Ganka. Japan .J Clin. Ophthalmol. 58(6): 1051-1054 Nirmalan P.K., Robin A.L., Katz J., Tielsch J.M., Thulasiraj R.D., Krisnadas R., dan Ramakrishnan R. 2004. Risk Factors for Age Related Cataract in a Rural Population of Southern India: The Aravind Comprehensive Eye Study. Br J Ophthalmol, 88: 989-94 Noran N.H., Nooriah S., dan Mimiwati Z. 2007. The Association between Body Mass Index and Age Related Cataract. Med J Malaysia, 62:49-52 Odenberg, J.M., Lignell, A., Petterson, A., and Hoglund, P.2003. Oral Bioavaiability of the Antioxidant Astaxanthin in Human is Enhanced by Incorporation of Lipid Based Formulations. European Journal of Pharmaceutical Sciences. Vol 19: 299-304 Oduntan O.A., and Mashiage K.P. 2011. A Review of he role of oxidative stress in the pathogenesis of eye disease. S.Afr Optom. 70(4): 191-199 Østerlie, M., Bjerkeng, B., and Liaaen-Jensen, S.2000. Plasma appearace and distribution of astaxanthin E/Z and R/S isomers in plasma lipoproteins of men after single dose administration of astaxanthin. J.Nutr.Biochem. Vol 11: 482-490 Palmiere B. and Sblendorio V. 2006. Oxidative Stress Detection: What For?. European Review for Medical and Pharmacological Sciences, 10: 291317. Pangkahila W. 2007. Anti Aging Medicine : Memperlambat Penuaan, Meningkatkan Kualitas Hidup. Cetakan ke-1: Jakarta: Penerbit buku Kompas. p. 8-17 Parisi V, Tedeschi M, and Gallinaro G, 2008. Carotenoids and Antioxidants in Age-Related Maculopathy Italian Study: Multifocal Electroretinogram Modifications after 1 Year. Ophthalmology.;115(2): 324-333 Park,J.C., Chyun,J.H., Kim,Y.K., Line,L.L., and Chew,B.P.2010. Astaxanthin Decreased Oxidative Stress and Inflamation and Enhanced Immune Response in Humans. Nutrition and Metabolism. Vol 7: 18-28
Patil, S. B., Kodliwadmath, M. V., and Sheela, M. K. 2006. Lipid peroxidation and nonenzymatic antioxidants in normal pregnancy. J Obstet Gynecol India, 56 (5): 399-401 Pham-huy,L.A.P., He, H., and Pham-Huy, C. 2008. Free Radicals, Antioxidants in Disease and Health. Int J Biomed Sci. Vol 4: 89-96 Pocock S.J. 2008. Clinical trial. A Practical Approach. New York. A Willey Medical Publication. p. 128 Pradhan A.K., Sukla A.K., Redaymur, and Garg N. 2004. Assesment of oxidative stress and Antioxidant status in age related cataract in a rural population. Indian Journal of Clinical Biochemistry. 19(1): 83-87 Priyanti,D.R. 2013. “Kadar Malondialdehyde Serum Pasien Katarak senilis Matur Lebih Tinggi Daripada Katarak senilis Imatur” (thesis). Denpasar : Universitas Udayana. Purushottam K. 2009. Cataract A Pilot Study. Indian J Ophthalmol, 55:355-9 Ravindran, R.D., Venkatesh, R. Chang, D.F. Sengupta, S. Gyatsho, J. Talwar B. 2009. Incidence of post-cataract endophthalmitis at Aravind Eye Hospital Outcomes of more than 42000 consecutive cases using standardized sterilization and prophylaxis protocols. DNBJ Cataract Refract Surg. 35.p. 629–636 Sabanayagam C., Wang J.J., Mitchell P., Tan A.G., Tai E.S., Aung T., Saw S.M., dan Wong T.Y. 2011. Metabolic Syndrome Components and Age-Related Cataract: The Singapore Malay Eye Study. Invest Ophthalmol Vis Sci, 52: 2397-404 Sihota R. and Tandan R. 2007. Parson’s Diseases of The Eye. Indian: Elsevier. p. 247-69 Spector A. 1995. Oxidative Stress-Induced Cataract: Mechanism of Action. FASEB J, 9:1173-82 Suseela, M.R. and Toppo, K. 2006. Haematococcus pluvialis A green Algae, Richest Natural Source of Astaxanthin. Corrent Science. Vol 90(12): 1602-03 Tabin G., Chen M., and Espandar L. 2008. Cataract Surgery for the Developing World. Curr Opin Ophthalmol, 19: 55-9 Tan A.G., Mitchell P., Flood V.M., Burlutsky G., Rochtchina E., Cumming R.G., dan Wang J.J. 2008. Antioxidant nutrient intake and the long-term incidence of age-related cataract: the Blue Mountains Eye Study. Am J Clin Nutr, 87:1899-904
Valero M.P., Fletcher A.E., Stavola B.L., dan Alepúz V.C. 2007. Years of Sunlight Exposure and Cataract: a Case-Control Study in a Mediterranean population. BMC Ophthalmology, 7:1-8 Vashist P., Talwar B., Gogoi M., Maraini G., Campatrini M., Ravindran R.D., Murthy G.V., Fitzpatrick K.E., John N., Chakravarthy U., Ravilla T.D., dan Fletcher A.E. 2011. Prevalence cataract in an Older Population in India The India Study of Age-related Eye Disease. Ophthalmology, 118:272-8 Wahyu L and Gondhowiardjo TD. 2004. Efek Suplementasi Vitamin C dan E terhadap Stresoksidatif pada LensaKatarak. Ophthalmologica Indonesiana.; 31(3): 194-200 William D.L. 2006. Oxidation, Antioxidants and Cataract Formation: A Literature Review. Veterinary Ophthalmology, 9 (5): 292-8 Winarsi H. 2007. Antioksidan alami dan radikal bebas. Cetakan ke 2 , Kanisnus Yogyakarta. p. 50-5 Wu R., Wang J.J., Mitchell P., Lamoureux E.L., Zheng Y., Rochtchina E., Tan A.G., dan Wong T.Y. 2010. Smoking, Sosioeconomic Factors, and Agerelated Cataract. Arch Ophthalmol, 128 (8): 1029-35 Yagi, K. 1982. Assay for Serum Lipid Peroxide Level and Its Clinical Significance. In: Yagi, K. editor. Lipid Peroxide in Biology and Medicine. New York: Academic Press. p. 223-42 Ziaulhak S.R. 2007. Profil Penderita Katarak dan Pterigium di Kalimantan Timur Analisis Faktor Resiko Paparan Sinar Ultraviolet. Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia Zoric L. 2003. Parameters of Oxidative Stress in The lens, Aqueous Humor and Blood in Patients with Diabetes and Senile Cataracts. Srp Arh Celok Lek., 131(3-4):137-42
Lampiran 1. Penjelasan Penelitian INFORMASI YANG DIBERIKAN KEPADA SUBYEK PENELITIAN Pemberian Astaxanthin Menurunkan Kadar Malondialdehyde Serum Pasien Katarak Senilis
Bapak dan ibu Yth, Katarak sampai saat ini masih menjadi penyebab kebutaan yang paling utama. Katarak merupakan kekeruhan pada lensa mata yang mengenai satu atau kedua mata. Katarak senilis merupakan jenis katarak yang terjadi karena proses degenerasi (penuaan) dan biasanya mulai timbul pada usia di atas 50 tahun. Penyebab katarak senilis ini bermacam-macam dan salah satunya adalah peranan stres oksidatif. Lensa mata normal dilengkapi perlindungan dan sistem antioksidan untuk melawan stres oksidatif. Hasil akumulasi dari stres oksidatif ini menyebabkan
gangguan
Malondialdehyde
(MDA)
transparansi
lensa
sehingga
terjadi
merupakan biomarker stres oksidatif,
katarak. dimana
konsentrasi MDA yang tinggi menunjukkan adanya peningkatan stres oksidatif. Antioksidan dapat melawan proses stres oksidatif. Astaxanthin merupakan antioksidan yang sangat poten. Astaxanthin telah diketahui memiliki banyak manfaat dibidang kesehatan dengan mencegah pengaruh buruk dari stres oksidatif. Di bidang kesehatan mata penggunaan astaxanthin telah diteliti dalam mengurangi kelelahan mata, mencegah proses degenerasi pada retina, dan saat ini dikembangkan dalam upaya mencegah proses katarak senilis. Astaxanthin telah
diteliti efek samping penggunaannya dan dikatakan tidak ada efek samping yang buruk selama penggunaannya. Kami akan melakukan penelitian apakah kadar MDA pada pasien katarak senilis dengan astaxanthin lebih rendah daripada tanpa astaxanthin. Bila bapak dan ibu bersedia menjadi sampel penelitian, kami akan mengambil darah bapak/ibu untuk diperiksa kadar MDA nya di Laboratorium Analitik Universitas Udayana di Bukit Jimbaran. Selanjutnya bapak/ibu akan kami berikan tablet astaxanthin yang dikonsumsi 1 tablet sehari malam hari setelah makan malam selama 2 minggu. Setelah 2 minggu kami akan memeriksa kembali darah bapak/ibu untuk dibandingkan dengan pemeriksaan pertama. Biaya yang diperlukan untuk pemeriksaan akan ditanggung oleh peneliti. Jika hasil pemeriksaan (kadar MDA) telah diketahui, maka hasil pemeriksaan tersebut akan kami sampaikan kepada bapak/ibu. Hasil pemeriksaan akan dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian seperti yang dimaksud diatas. Dengan ikut serta dalam penelitian ini, berarti bapak/ibu ikut berperan serta dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya peran antioksidan dalam menurunkan stes oksidatif pada pasien katarak senilis. Data mengenai bapak/ibu akan kami rahasiakan. Demikian penjelasan ini kami sampaikan, dan atas kesediaan bapak/ibu ikut serta menjadi sampel atau koresponden dalam penelitian ini, kami sampaikan banyak terima kasih. Bila ada hal-hal yang belum jelas, bapak/ibu dapat menghubungi peneliti dr Ni Nyoman Sunariasih di nomor HP 085242294400. Peneliti dr. Ni Nyoman Sunariasih
Lampiran 2. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)
Yang bertanda tangan dibawah ini: Nama
:
Umur
:
Alamat
:
Telepon
:
Setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap mengenai maksud, tujuan dan manfaat penelitian ini, maka menyatakan setuju dan bersedia ikut serta dalam penelitian ini. Saya bersedia mentaati semua peraturan yang diberikan. Saya mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian ini bila saya menginginkan dan tidak akan merusak hubungan dokter-pasien dengan saya.
Denpasar, ..............................2014
Tanda tangan pasien
Peneliti
………………………..
Dr Ni Nyoman Sunariasih
Saksi
………………………..
Lampiran 3. Kuisioner Penelitian
1.
No Sampel
:
2.
No CM
:
3.
Tgl pemeriksaan :
4.
Nama
:
5.
Umur
:
6.
Jenis Kelamin
:
7.
Pekerjaan
:
8.
Pendidikan
:
9.
Alamat
: Tlp
10. Riwayat sosial
: merokok / tidak; jumlah ...... ; lama .......
11. Riwayat penyakit lain
:
a. DM
: Ada / tidak; lama ......
b. Hipertensi
: Ada / tidak; lama ......
c. Jantung
: Ada / tidak
d. Keganasan
: Ada / tidak; jenis .......
12. Riwayat terapi
:
a. AISN
: Ada / tidak; lama ......
b. Kortikosteroid
: Ada / tidak; lama ......
c. Imunosupresan
: Ada / tidak; lama ......
d. Antioksidan (vitamin A & E) : Ada / tidak; lama ...... 13. Vital sign
: TD: ............ mmHg; N: ........ X/mnt; R: ........ X/mnt; t: .........°C
14. Status General
:
15. Status oftalmologi OD
OS VA PH Palpebra Konjungtiva Kornea AC Iris/Pupil
Tipe........ Gradasi..........
Lensa Vitreus Fundus
16. Diagnosis
:
17. Kadar MDA
:
a. A ( Sebelum Astaxanthin) : b. B (Setelah Astaxanthin) :
Tipe........ Gradasi..........
Lampiran 4. TABEL INDUK PENELITIAN No
ID
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
DRS GAS JMT MTS DEK IKT NWS SKT SAM NMS KTL IKC SKS WKR KPT HSN IWP GMO NST NRA INN NNS IMM SLM INA IBO NWM SNK WPR RGG WUK WMD
UMUR (TH) 52 70 51 58 51 75 55 51 51 67 53 75 54 55 70 60 57 72 84 62 55 65 69 65 72 68 70 51 73 80 89 65
JK P P L P P L P P P L L L P P L L L L L P P P L L L L P P L L L P
PEKERJA AN PETANI IRT SWASTA IRT PNS PETANI PETANI SWASTA IRT PETANI PETANI PETANI PETANI IRT PETANI SWASTA PETANI PETANI PETANI IRT PETANI PETANI PETANI PETANI PETANI PETANI PETANI PETANI PETANI PETANI PETANI PETANI
PENDIDI KAN SLTA SLTA D3 SLTA SLTP SD SD SLTP SD SLTA SD SD SD SD -
DIAGNO SIS KSM KSM KSI KSM INSIPIEN KSI KSI INSIPIEN KSI KSM KSM KSM KSM KSM KSM KSI KSM KSI KSM KSI KSM KSM KSI KSI KSI KSI KSI KSM KSI KSI KSI KSM
MDA(µM/L) PRE POST 5.5448 3.2632 5.8672 3.6352 4.156 2.9408 5.1976 4.2056 4.9992 3.0648 4.2552 3.164 4.7512 3.7592 5.0984 4.1808 4.6272 3.1392 5.4456 3.9328 5.2224 3.7096 5.4208 3.4616 5.396 4.1808 5.1728 4.3296 5.8424 4.7512 4.0072 3.7592 5.1232 3.9328 4.8504 3.3128 5.4456 3.2632 4.6272 3.9328 5.5696 3.8336 5.2968 3.66 5.1232 4.3296 5.2472 4.7264 4.652 4.156 3.8832 3.0152 4.7512 3.5608 4.9496 3.412 5.2224 4.1808 5.3712 4.8256 5.9416 5.1728 5.1976 4.1312
Lampiran 5.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS UDAYANA UPT. LAB. ANALITIK Kampus Bukit Jimbaran, Telp. 0361701954, HP.082341777050
Nomor Hal
KEPADA YTH: dr. Ni Nyoman Sunariasih
: 088/UN14.24/UPTLA/2014 : Hasil Laboratorium
di tempat
No. Pasien 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
MDA (µM/L) Pre 5.5448 5.8672 4.156 5.1976 4.9992 4.2552 4.7512 5.0984 4.6272 5.4456 5.2224 5.4208 5.396 5.1728 5.8424 4.0072 5.1232 4.8504 5.4456 4.6272 5.5696 5.2968 5.1232 5.2472 4.652 3.8832
Pos 3.2632 3.6352 2.9408 4.2056 3.0648 3.164 3.7592 4.1808 3.1392 3.9328 3.7096 3.4616 4.1808 4.3296 4.7512 3.7592 3.9328 3.3128 3.2632 3.9328 3.8336 3.66 4.3296 4.7264 4.156 3.0152
27 28 29 30 31 32
4.7512 4.9496 5.2224 5.3712 5.9416 5.1976
3.5608 3.412 4.1808 4.8256 5.1728 4.1312
Bukit Jimbaran, 4 April 2014 Kepala UPT Laboratorium Kimia Analitik Unud
(Prof.Dr. Ir. Ida Bagus Putra Manuaba, MPhil)
Lampiran 6. Output SPSS UMUR Descriptive Statistics N
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
Umur
32
51.00
89.00
63.8125
10.50787
MDAPre
32
3.88
5.94
5.0705
.51190
MDAPost
32
2.94
5.17
3.8414
.56869
Valid N (listwise)
32
Tests of Normality Shapiro-Wilk Kelompok Statistic MDA
df
Sig.
Pre
.959
32
.260
Pos
.975
32
.649
*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction
Test of Homogeneity of Variance
MDA
Levene Statistic
df1
df2
Sig.
Based on Mean
.341
1
62
.561
Based on Median
.135
1
62
.714
Based on Median and with adjusted df
.135
1
56.279
.714
Based on trimmed mean
.279
1
62
.599
KADAR MDA Statistic MDAPre
Mean 95% Confidence Interval for Mean
5.0705 Lower Bound
4.8859
Upper Bound
5.2551
5% Trimmed Mean
5.0870
Median
5.1852
Variance
.51190
Minimum
3.88
Maximum
5.94
Range
2.06
Interquartile Range
.66
Skewness Kurtosis Mean
-.618
.414
.144
.809
3.8414
.10053
95% Confidence Interval
Lower Bound
3.6363
for Mean
Upper Bound
4.0464
5% Trimmed Mean
3.8231
Median
3.7964
Variance Std. Deviation
.323 .56869
Minimum
2.94
Maximum
5.17
Range
2.23
Interquartile Range Skewness Kurtosis
.09049
.262
Std. Deviation
MDAPost
Std. Error
.84 .391
.414
-.366
.809
T-Test Paired Samples Correlations
Pair 1
MDAPre & MDAPos
N
Correlation
Sig.
32
.527
.002
Paired Samples Test Paired Differences Mean
Pair 1
MDAPre MDAPos
1.229
Std. Deviati on
.528
Std. Error Mean
.093
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
1.039
1.419
t
df
Sig.(2 tailed)
13.169
31
.0001