TESIS
KADAR MALONDIALDEHYDE SERUM PASIEN KATARAK SENILIS MATUR LEBIH TINGGI DARIPADA KATARAK SENILIS IMATUR (7,6
NI PUTU DITA RINJANI PRIYANTI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
TESIS
KADAR MALONDIALDEHYDE SERUM PASIEN KATARAK SENILIS MATUR LEBIH TINGGI DARIPADA KATARAK SENILIS IMATUR (7,6
NI PUTU DITA RINJANI PRIYANTI NIM 0914128101
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
KADAR MALONDIALDEHYDE SERUM PASIEN KATARAK SENILIS MATUR LEBIH TINGGI DARIPADA KATARAK SENILIS IMATUR
(7,6
Tesis ini untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI PUTU DITA RINJANI PRIYANTI NIM 0914128101
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 11 JULI 2013
Pembimbing I,
Pembimbing II,
dr. W. G. Jayanegara, SpM(K) NIP. 19640229 1991031002
Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK, M.Kes NIP. 19610505 1990022001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
Direktur, Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof.Dr.dr.Wimpie,I.Pangkahila,SpAnd,FAACS Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi,SpS(K) NIP. 19461213 1971071001 NIP. 19590215 1985102001
Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 10 Juli 2013
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana No: 1189/UN 14.4/HK/2013 , Tanggal 9 Juli 2013
Ketua
: dr. I W.Gede Jayanegara, Sp.M (K)
Sekretaris
: Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK, M.Kes
1. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M.OH 2. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.SC.,Sp.And 3. Dr. dr. Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkah-Nya, sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari sepenuhnya tesis ini tidak mungkin dapat selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, izinkan penulis dengan setulus hati menghaturkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada : 1.
Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD (KHOM) dan Dekan Fakultas Kedokteran Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPDKEMD yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Magister Pascasarjana dan Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 di Universitas Udayana.
2.
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. AA Raka Sudewi, SpS(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan sebagai mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana.
3.
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Combined Degree, Prof. Dr. dr. Wimpie, I. Pangkahila, SpAnd., FAACS yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan Program Studi Ilmu Biomedik combined degree.
4.
Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. I Wayan Sutarga, MPHM atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 di Bagian Ilmu Kesehatan Mata.
5.
Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr. Putu Budhiastra, SpM (K) yang telah memberikan kesempatan
mengikuti program pendidikan spesialisasi dan memberikan bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi. 6.
Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr. AAA Sukartini Djelantik, SpM (K) yang telah memberikan kesempatan mengikuti program pendidikan spesialisasi, memberi petunjuk, serta bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi.
7.
dr. W. G. Jayanegara, SpM (K), sebagai pembimbing I yang telah meluangkan waktu, memberikan petunjuk dan pengarahan, sejak awal penulisan sampai dapat menyelesaikan tesis ini.
8.
Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK, M.Kes selaku pembimbing II yang selalu memberikan bimbingan dan pengarahan hingga terselesaikannya tesis ini.
9.
Prof. Dr. dr. J Alex Pangkahila, M.SC, SpAnd, Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M.OH, dan Dr. dr. Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si, selaku penguji atas semua masukan, koreksi dan saran dalam penyelesaian tesis ini.
10. Direktur RS Indera Denpasar atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melaksanakan penelitian di RS Indera Denpasar. 11. Dr. IGN Md. Sugiana SpM, sebagai Kepala SMF Mata RS Indera Denpasar, yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian di RS Indera Denpasar 12. Prof. DR. Ir. I.B. Putra Manuaba, M.Phil atas bantuan dan kerjasamanya dalam pemeriksaan sampel penelitian serta memberikan masukan mengenai statistik penelitian
13. Seluruh Konsulen Ilmu Kesehatan Mata serta dosen Pascasarjana Program Studi Ilmu Biomedik Combined Degree atas segala bimbingannya. 14. Seluruh teman sejawat residen di Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas bantuan dan kerjasamanya selama ini 15. Seluruh paramedik di Poliklinik Mata RSUP Sanglah atas bantuan dan kerjasamanya dalam pengumpulan sampel penelitian. 16. Seluruh paramedik di bagian Laboratorium dan Poliklinik Mata RS Indera Denpasar atas kerjasamanya dalam pengumpulan sampel penelitian. Rasa syukur dan sujud kepada Ayahanda dan Ibunda kami dr. I Wayan Budiana, M.Kes dan dr. Desak Putu Mataram, yang telah memberikan bekal pendidikan yang cukup, motivasi dan semangat kepada penulis. Ayahanda dan Ibunda Mertua Ketut Patrem dan Ketut Sulingga, terimakasih atas dorongannya selama ini. Akhirnya kepada suami tercinta dr. Kadek Pasek Budiana dan Ananda tersayang Putu Hira Satwika Istarasmi, atas dorongan semangat dan pengertian selama penulis menyelesaikan pendidikan dan penelitian ini. Semoga tesis ini memberikan manfaat dan sumbangan yang berguna bagi perkembangan pelayanan kesehatan mata serta bagi pendidikan IImu Kesehatan Mata. Terakhir, semoga Sang Hyang Widhi Wasa – Tuhan Yang Maha Esa, selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.
Denpasar, Juni 2013
Penulis
ABSTRAK
KADAR MALONDIALDEHYDE SERUM PASIEN KATARAK SENILIS MATUR LEBIH TINGGI DARIPADA KATARAK SENILIS IMATUR
Katarak senilis sampai saat ini masih merupakan penyebab kebutaan yang paling utama. Peran stres oksidatif melalui proses peroksidasi lipid dalam patogenesis katarak senilis sudah banyak dipaparkan oleh peneliti, namun peran peroksidasi lipid dalam progresifitas maturitas katarak senilis masih menjadi perdebatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kadar MDA serum pada pasien katarak senilis matur lebih tinggi daripada katarak senilis imatur. Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional yang dilaksanakan di Poliklinik Mata RSUP Sanglah dan RS Indera Denpasar Bali, mulai bulan Oktober 2012 sampai bulan Maret 2013. Setiap sampel dilakukan pemeriksaan menggunakan slit lamp dan funduskopi untuk menentukan stadium katarak dan pengambilan sampel darah vena untuk pemeriksaan kadar MDA serum. Perbedaan kadar MDA serum dianalisis dengan uji t tidak berpasangan. Jumlah sampel yang memenuhi kriteria eligibilitas sebanyak 58 pasien yang terbagi menjadi 29 pasien katarak senilis matur dan 29 pasien katarak senilis imatur. Rerata kadar MDA serum pada pasien katarak senilis matur didapatkan sebesar 5,4±0,4 µmol/L sedangkan pada katarak senilis imatur adalah 4,6±0,6 µmol/L. Rerata kadar MDA pada kelompok katarak senilis matur 0,8 µmol/L lebih tinggi daripada katarak senilis imatur dan perbedaan ini bermakna secara statistik (p<0,001). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan kadar MDA serum pada pasien katarak senilis matur lebih tinggi daripada katarak senilis imatur. Kata kunci : katarak senilis matur, katarak senilis imatur, malondialdehyde (MDA) serum
ABSTRACT
SERUM MALONDIALDEHYDE LEVEL IN MATURE SENILE CATARACT PATIENT HIGHER THAN IN IMMATURE SENILE CATARACT
Senile cataract is the leading cause of blindness in the world. Role of oxidative stress through the lipid peroxidation process in the pathogenesis of senile cataract has been described, but its role in the progression of senile cataract maturity is still being debated. This study aimed to determine whether serum malondialdehyde (MDA) levels in mature senile cataract patients was higher than immature senile cataract. This is a cross sectional study taking place in the eye clinic of Sanglah Public General Hospital and Indera Hospital Denpasar, Bali starting from October 2012 until March 2013. Each samples underwent slit lamp examinations and funduscopy to determine the stage of cataract and venous blood sampling for examination of serum MDA levels. Analysis was conducted with independent t-test. There were 58 patients collected as subjects, divided into 29 mature and 29 immature senile cataract patients. Mean serum MDA levels in mature senile cataract patients was 5.4 ± 0.4 μmol / L while in immature senile cataract it was 4.6 ± 0.6 μmol / L. The mean serum MDA levels in the group of mature senile cataract was 0.8 μmol / L higher than immature senile cataract and this difference was statistically significant (p <0,001). The result of this study concludes that serum MDA levels in mature senile cataract was higher than immature senile cataract patients. Keywords : mature senile cataract, malondialdehyde (MDA)
immature senile
cataract, serum
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ...................................................................................
i
PRASYARAT GELAR ..............................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN.........................................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ...........................................................
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ...........................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................
vi
ABSTRAK ..................................................................................................
ix
ABSTRACT .................................................................................................
x
DAFTAR ISI………………………………………………………………
xi
DAFTAR TABEL .......................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………...
xv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG……………………………..
xvi
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xvii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang…………………………………………………….
1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………
6
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………….
6
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………...…
6
1.4.1 Manfaat teoritis ..………………………………………...…
6
1.4.2 Manfaat praktis…………………………………….....……..
6
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Lensa……………...........………………....
7
2.1.1 Struktur anatomi lensa ...........................................................
7
2.1.2 Komposisi kimia lensa ...........................................................
9
2.1.3 Fisiologi lensa .…………………………………….....……..
11
2.2 Katarak Senilis.................................................................................
11
2.2.1 Definisi dan epidemiologi katarak ..............……….....……..
11
2.2.2 Etiologi dan patofisiologi katarak senilis .......……......……..
12
2.2.3 Stadium dan gradasi katarak senilis ....…………….....……..
14
2.3 Stres Oksidatif.................................................................................
16
2.3.1 Definisi ……………………………………………………...
16
2.3.2 Radikal bebas, ROS dan antioksidan.......................................
16
2.3.3 Biomarker stres oksidatif .......................................................
19
2.3.4 Stres oksidatif pada katarak senilis ....………………….......
22
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir .……………………………………………….
27
3.2 Konsep Penelitian…………...........……………………………….
28
3.3 Hipotesis Penelitian ………….………………………………......
28
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian……………………………………………...
29
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian……………………………………...
29
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian……........………………………...
29
4.3.1 Populasi penelitian........……………………………………..
29
4.3.2 Sampel penelitian …………………………………….........
30
4.3.2.1 Kriteria inklusi dan eksklusi penelitian ......................
30
4.3.2.2 Besar sampel...…………………………………....….
31
4.3.2.3 Cara pemilihan sampel…..................………………...
32
4.4 Variabel Penelitian………………………………………………...
32
4.4.1 Klasifikasi dan identifikasi variabel……………………........
32
4.4.2 Definisi operasional variabel………………………………..
33
4.5 Instrumen Penelitian.........................................................................
34
4.6 Prosedur Penelitian...........................................................................
34
4.6.1 Tahap persiapan......................................................................
34
4.6.2 Pelaksanaan penelitian............................................................
35
4.7 Alur Penelitian ...............................................................................
36
4.8 Analisis Data .......………………………………………….……...
38
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian….....……………………………...
39
5.2 Perbedaan Kadar MDA Serum pada Katarak Senilis Matur dan Imatur ..............................................................................................
40
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Subjek Penelitian….....………......................……………………...
42
6.2 Kadar MDA Serum Pasien Katarak Senilis Matur ......…………...
46
6.3 Kadar MDA Serum Pasien Katarak Senilis Imatur ........................
47
6.4 Perbedaan Kadar MDA Serum Pasien Katarak Senilis Matur dan Imatur ..............................................................................................
49
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ….....……………………………....................................
55
7.2 Saran….....……………………........................................………...
55
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
56
LAMPIRAN-LAMPIRAN ..........................................................................
61
DAFTAR TABEL Halaman
5.1
Karakteristik Subjek Penelitian ............................................................. 39
5.2
Perbedaan Kadar MDA Serum pada Katarak Senilis Matur dan Imatur ...........................................................……….............................
40
DAFTAR GAMBAR Halaman
2.1
Anatomi Lensa ......................................................................................
8
2.2
Komposisi Lipid Membran Sel Lensa ..........………............................. 10
2.3
Mekanisme Proteksi Antioksidan pada Lensa ......................................
25
3.1
Bagan Konsep Penelitian ......................................................................
28
4.1
Rancangan Penelitian ............................................................................
29
4.2
Skema Hubungan Antar Variabel ........................................................
32
4.3
Skema Alur Penelitian ........................................................................... 37
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
ATP
= Adenosine Triphosphate
AINS
= Anti inflamasi non steroid
DNA
= Deoxyribosa Nucleic Acid
EDTA
= Ethylene diamine tetra acetic acid
GSH
= Glutathione
GSSH
= Oxidised glutathione
HCL
= Hidrogen chlorida
HMP
= Hexose Monophosphate
H2O2
= Hidrogen Peroksida
H2SO4
= Hidrogen Sulfat
MDA
= Malondialdehyde
NADPH
= Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate
O2-
= Superoksida
OH-
= Hidroksil
PNS
= Pegawai Negeri Sipil
RNA
= Ribonucleic Acid
ROS
= Reactive Oxygen Species
SD
= Sekolah Dasar
SMP
= Sekolah Menengah Pertama
SMA
= Sekolah Menengah Atas
TBA
= Tiobarbiturat Acid
TEP
= Tetraetoksipropane
WHO
=World Health Organization
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Penjelasan Penelitian ...............................................
61
Lampiran 2
Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan .................
63
Lampiran 3
Kuisioner Penelitian ..........……….........................
64
LLampiran 4
Tabel Induk penelitian ............................................
66
Lampiran 5
Hasil Pemeriksaan MDA ........................................
68
LLampiran 6
Out Put SPSS...........................................................
70
LLampiran 8
Kelaikan Etik ..........................................................
76
Lampiran 9 Surat Ijin Penelitian .................................................
77
a L
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutaan sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia. Di antara bermacam-macam penyakit yang dapat menyebabkan kebutaan, katarak merupakan penyebab kebutaan yang paling utama. Katarak merupakan kekeruhan pada lensa mata yang mengenai satu atau kedua mata, dan dapat disebabkan oleh kelainan kongenital, metabolik, traumatik dan proses degenerasi (Ilyas, 2001). Berdasarkan penelitian World Health Organization (WHO), kurang lebih 37 juta penduduk dunia mengalami kebutaan, dan 47,8% dari jumlah tersebut disebabkan oleh katarak (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Di Pakistan, diperkirakan 1,78% penduduk mengalami kebutaan dalam periode tiga tahun, dan sekitar 66% disebabkan oleh katarak (Anjum dkk., 2006). The Eye Diseases Prevalence Research Group berdasarkan sensus penduduk di Amerika Serikat, diperkirakan jumlah pasien katarak akan mengalami peningkatan sebesar 50% pada tahun 2020 (Obstbaum, 2006). Berdasarkan survei nasional pada tahun 1993-1996, angka kebutaan di Indonesia mencapai 1,5% dari total jumlah penduduk dan merupakan angka kebutaan tertinggi di Asia Tenggara. Angka kebutaan ini jauh lebih tinggi dari Bangladesh (1%), India (0,7%), Thailand (0,3%), Jepang dan Amerika Serikat (0,1 sampai 0,3%). Dari hasil survei tersebut, katarak merupakan penyebab kebutaan yang terbanyak di Indonesia yaitu sebanyak 0,78 % (Gsianturi, 2004).
Katarak senilis merupakan jenis katarak yang paling banyak ditemukan. Pasien katarak senilis diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus katarak (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Katarak senilis adalah kekeruhan lensa yang terjadi karena proses degenerasi dan biasanya mulai timbul pada usia di atas 50 tahun (Ilyas, 2001; Sihota dan Tandan, 2007). Di Amerika Serikat prevalensi katarak senilis meningkat dari 5% pada usia 65 tahun menjadi 50% pada penduduk usia 70 tahun ke atas (Beebe dkk., 2010). Berdasarkan data penduduk tahun 2007-2011 di Indonesia, jumlah penduduk usia lanjut di Bali pada tahun 2011 mencapai 10,28% dari total jumlah penduduk dan merupakan angka tertinggi kelima setelah Yogyakarta (13,04%), Jawa Timur (11,21%) dan Jawa Tengah (10,68%) (Depkes RI, 2009). Tingginya jumlah penduduk usia lanjut di Bali maka diasumsikan jumlah pasien katarak senilis juga akan semakin meningkat. Hal ini menyebabkan katarak senilis menjadi masalah di bidang kesehatan yang perlu mendapat perhatian serius (Baltranena dkk., 2007; Chang dkk., 2008). Berdasarkan maturitasnya, katarak senilis dapat dibagi menjadi empat stadium yaitu insipien, imatur, matur dan hipermatur (Ilyas, 2001; Sihota dan Tandan, 2007). Penelitian epidemiologi di India didapatkan terjadi peningkatan prevalensi katarak senilis imatur dari 3,44% pada usia di bawah 50 tahun menjadi 60,91% pada penduduk usia 50-60 tahun. Demikian pula dengan prevalensi katarak senilis matur, meningkat dari 2,04% pada usia di bawah 50 tahun menjadi 51,02% pada penduduk usia 50-60 tahun (Purushotam, 2009). The Longitudinal Study of Cataract mendapatkan terjadi perkembangan maturitas katarak senilis
sebesar 6% setelah dilakukan follow up selama 2 tahun dan 8% setelah follow up 5 tahun pada pasien katarak senilis usia 65 tahun (Leske dkk., 1997). Peningkatan maturitas katarak senilis tentunya diikuti pula dengan semakin berkurangnya tajam penglihatan pasien yang pada akhirnya akan menimbulkan beban baik bagi pasien maupun keluarganya. Peningkatan maturitas juga berpengaruh pada semakin tingginya kejadian komplikasi baik sebelum maupun pada saat dilakukan tindakan pembedahan katarak. Diperlukan pemahaman yang mendalam tentang etiopatogenesis katarak senilis untuk dapat mengembangkan strategi yang dapat memperlambat perkembangan maturitas katarak senilis (Tabin dkk., 2008; Kisic dkk., 2009). Etiologi katarak bersifat multifaktorial dan sampai saat ini belum sepenuhnya diketahui secara pasti (Beebe dkk., 2010; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Salah satu teori tentang etiologi katarak senilis yang banyak berkembang belakangan ini adalah mekanisme stres oksidatif. Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan (Palmiere dan Sblendario, 2006; Winarsi, 2007). Lensa mata sangat sensitif terhadap terjadinya stres oksidatif. Lensa mata normal dilengkapi perlindungan dan sistem antioksidan untuk melawan stres oksidatif. Seiring bertambahnya usia dan adanya paparan yang terus-menerus oleh agen dari luar, akan menyebabkan gangguan mekanisme proteksi antioksidan lensa mata sehingga terjadi akumulasi radikal bebas yang berlebihan (Cekic dkk., 2010; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a).
Radikal bebas merupakan suatu senyawa yang memiliki satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbit luarnya. Adanya elektron tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan, dengan cara mengikat elektron molekul disekitarnya dan menyebabkan terbentuknya radikal bebas baru, dan seterusnya sehingga terjadi reaksi berantai. Target utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tidak jenuh dan deoxyribonucleic acid (DNA). Dari ketiga molekul target tersebut yang paling rentan terhadap serangan radikal bebas adalah asam lemak tidak jenuh (Winarsi, 2007; Ates dkk., 2010). Membran sel lensa mengandung asam lemak tidak jenuh ganda berupa fosfolipid terutama dihidrospingomyelin dalam konsentrasi tinggi dan kolesterol. Reaksi radikal bebas dengan asam lemak tidak jenuh ganda yang terdapat pada membran sel lensa akan menyebabkan kerusakan sel lensa dan menghasilkan malondialdehyde (MDA) melalui proses peroksidasi lipid. Beberapa peneliti menyatakan peroksidasi lipid terjadi pada tahap awal dari patogenesis katarak senilis (Babizhayev, 1985). Reaksi radikal bebas dengan lipid membran sel lensa dan protein akan menyebabkan cross-linking lipid dan protein, agregasi protein lensa, peningkatan protein tidak larut air (water insoluble protein) sehingga menyebabkan kejernihan lensa menurun dan terjadi katarak (El-Ghaffar dkk. 2007; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Konsentrasi MDA meningkat sesuai dengan peningkatan umur. Penelitian Casado dkk. (2006) di Spanyol menemukan kadar MDA orang normal yang berumur di atas 50 tahun berkisar antara 3,29-3,38 µmol/L. Terjadinya stres oksidatif akan menghasilkan peningkatan konsentrasi MDA, sehingga MDA dapat
digunakan sebagai biomarker stres oksidatif pada katarak senilis (Winarsi, 2007). Namun di sisi lain, peranan stres oksidatif terutama peroksidasi lipid dalam maturitas katarak senilis sampai saat ini masih menjadi perdebatan (Miric dkk., 2012). Penelitian Cekic dkk. (2010) di Serbia menemukan terjadinya peningkatan kadar MDA dalam darah pasien dengan katarak senilis (20,24±8,12 µmol/L) dibandingkan tanpa katarak senilis (8,73±2,53µmol/L). Penelitian Kisic dkk. (2009) ditemukan kadar MDA lensa pasien katarak senilis stadium matur (3,17±0,78 nmol/g lensa) lebih tinggi daripada katarak senilis stadium insipien (1,81±0,67 nmol/g lensa). Hal yang berbeda ditemukan pada penelitian Miric dkk. (2012) dimana tidak didapatkan perbedaan bermakna kadar MDA serum pada pasien katarak senilis matur dan imatur. Di Bali belum pernah dilakukan penelitian mengenai kadar MDA pada pasien katarak senilis. Perbedaan ras dan populasi dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan di negara lain, tentunya belum tentu memberikan hasil yang sama. Selain itu dengan peningkatan jumlah penduduk usia lanjut, diperkirakan jumlah pasien katarak senilis khususnya di Bali juga akan semakin meningkat, sehingga dengan diketahuinya etiopatogenesis katarak senilis dalam hubungannya dengan stres oksidatif melalui pemeriksaan MDA, diharapkan dapat dikembangkan strategi untuk
memperlambat
terjadinya
katarak
senilis
serta
memperlambat
perkembangan maturitas katarak senilis terutama pada stadium awal. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan kadar MDA serum pada pasien katarak senilis matur dan imatur.
1.2
Rumusan Masalah Apakah kadar MDA serum pasien katarak senilis matur lebih tinggi daripada katarak senilis imatur?
1.3
Tujuan Penelitian Untuk mengetahui kadar MDA serum pada pasien katarak senilis matur lebih tinggi daripada katarak senilis imatur
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat teoritis 1. Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang etiopatogenesis katarak senilis dalam hubungannya dengan stres oksidatif 2. Menambah pengetahuan tentang nilai rentang kadar MDA serum pada pasien katarak senilis matur dan imatur khususnya di Bali
1.4.2
Manfaat praktis 1.
Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan, peran MDA dalam menilai dan memprediksi maturitas katarak senilis.
2.
Dapat digunakan sebagai awal dari sebuah pohon penelitian sehingga nantinya
dapat
dilakukan
penelitian
lebih
lanjut
untuk
mengembangkan strategi dalam memperlambat terjadinya katarak senilis
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1
Anatomi dan Fisiologi Lensa
2.1.1
Struktur anatomi lensa
Lensa merupakan bagian dari sistem optik yang mempunyai sifat transparan, avaskuler, dan tidak berwarna. Bersama dengan kornea, lensa berfungsi untuk menfokuskan cahaya ke elemen sensoris retina. Untuk dapat melaksanakan fungsinya tersebut, diperlukan sifat transparan dari lensa dan juga indek refraksi yang lebih tinggi dari cairan disekelilingnya. Transparansi tergantung pada organisasi struktur seluler dari lensa dan matrik protein pada serat sitoplasma lensa. Lensa mempunyai kekuatan refraksi 15-20 dioptri dan mempunyai kemampuan untuk berubah bentuk saat akomodasi karena bantuan otot-otot siliaris. Indek refraksi yang tinggi terjadi karena adanya konsentrasi yang sangat tinggi dari protein lensa terutama protein larut air (water soluble protein) yang disebut kristalin. Kemampuan akomodasi lensa akan berkurang seiring bertambahnya usia (Andley dkk., 2003; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b). Secara umum lensa dapat dibagi menjadi beberapa komponen yaitu kapsul lensa, sel epitel lensa, korteks, dan nukleus (Gambar 2.1). Lensa di bungkus oleh kapsul lensa pada bagian luar dan berbentuk bikonvek. Kapsul lensa merupakan membran elastis dan aseluler yang melapisi lensa. Kapsul tersusun dari serat-serat kolagen tipe IV, beberapa serat kolagen lain dan komponen matriks ekstraseluler seperti glikosaminoglikan, laminin, fibronektin dan proteoglikan. Kapsul lensa
merupakan membran halus, homogen dan tidak mengandung pembuluh darah serta bersifat semipermeabel sehingga dapat dilalui oleh air dan elektrolit. Kapsul lensa terdiri dari kapsul anterior dan kapsul posterior. Kapsul anterior melapisi bagian epitel lensa anterior dan berukuran lebih tebal dibandingkan bagian posterior. Ketebalan kapsul lensa bervariasi dimana yang paling tebal terdapat di daerah ekuator dan yang paling tipis di daerah polus posterior. Kelengkungan bagian anterior lensa berbeda dengan kelengkungan bagian posterior dimana kelengkungan bagian posterior dengan radius kurvatura 10.0 mm sedangkan kelengkungan anterior dengan radius kurvatura 6.0 mm (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b).
Gambar 2.1 Anatomi lensa (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b)
Lapisan epitel hanya terdapat pada bagian anterior lensa yang terdiri dari selapis sel epitel kuboid yang tersusun ireguler. Di sinilah terjadinya aktivitas metabolisme dan transport aktif yang membawa keluar seluruh hasil aktivitas sel normal termasuk Deoxyribonucleic Acid (DNA), Ribonucleic Acid (RNA), protein dan sintesis lipid. Di sini pula terbentuk Adenosine Triphosphate (ATP) yang dibutuhkan oleh lensa untuk transport nutrisi karena lensa merupakan organ
avaskuler (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b). Korteks lensa merupakan bagian yang lebih lunak daripada nukleus lensa. Nukleus merupakan serat massa lensa yang terbentuk sejak lahir dan korteks merupakan serat baru yang terbentuk setelah lahir. Sesuai dengan bertambahnya usia, serat-serat lamelar subepitel terus berproduksi, sehingga lama kelamaan lensa menjadi lebih besar dan kurang elastis. Nukleus dan korteks terbentuk dari lamela konsentris yang panjang. Tempat bertemunya lamela-lamela ini berbentuk Y yang dapat dilihat dengan menggunakan slit lamp dengan bagian tegak di anterior dan terbalik di posterior. Lensa secara terus menerus membentuk seratserat baru dimana serat yang lebih dulu dibentuk akan tergeser dan tertekan ke bagian tengah lensa sehingga menjadi bagian dari nukleus lensa yang tidak elastis, oleh karena itu ukuran nukleus lensa yang tidak elastis akan bertambah besar (Andley dkk., 2003; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b). 2.1.2
Komposisi kimia lensa Komposisi kimia lensa terdiri dari membran dan protein lensa. Komposisi
membran sel serat lensa sangat stabil dan rigid. Mengandung konsentrasi tinggi fosfolipid terutama dihidrospingomyelin dan kolesterol dimana semuanya berperan dalam memberikan kekuatan membran sel lensa (Gambar 2.2). Walaupun lipid pada lensa hanya 1% dari total massa lensa, namun merupakan 55% dari berat kering membran sel lensa. Seiring bertambahnya umur, rasio protein berbanding lipid dan rasio kolesterol berbanding fosfolipid meningkat
terutama pada nukleus (Borchman dan Yappert, 2011; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b).
Gambar 2.2 Komposisi lipid membran sel lensa (Borchman dan Yappert, 2011)
Lensa mempunyai kadar protein yang tinggi yaitu 35% dari berat lensa. Terdapat 2 bentuk protein lensa yaitu protein larut air (water soluble protein) dan protein tidak larut air (water insoluble protein). Protein larut air terdiri dari kristalin ά, ß, γ yang dibedakan berdasarkan titik isoelektrik dan berat molekulnya. Kristalin merupakan protein spesifik yang terdapat pada lensa. Pembentukannya di mulai pada saat awal diferensiasi lensa dan selanjutnya pembentukannya terbatas. Dengan demikian protein lensa adalah protein tertua yang masih berada di dalam tubuh. Fungsi kristalin antara lain sebagai penentu tingginya indek refraksi lensa, penentu faktor genetik dan juga sebagai antioksidan. Sedangkan protein tidak larut air terdiri dari albuminoid, protein membran, yang berfungsi sebagai media transport melalui membran dan sitoskeletal protein yang merupakan elemen protein pada kapsul lensa dan
berfungsi pada saat akomodasi (Beebe dkk., 2010; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b). 2.1.3
Fisiologi lensa Energi yang dibutuhkan lensa terutama dihasilkan melalui jalur
metabolisme glikolisis anaerob. Hal ini adalah konsekuensi lensa sebagai jaringan avaskuler, dimana kadar oksigen di dalam lensa lebih rendah dibandingkan jaringan tubuh lainnya. Glukosa sebagai sumber utama energi lensa berasal dari aqueous humor dan masuk ke dalam lensa secara difusi. Selain glikolisis anaerob, lensa memiliki jalur metabolisme glukosa alternatif yaitu jalur sorbitol dan hexose monophosphat (HMP) shunt. Kedua jalur ini akan teraktivasi pada kondisi stres oksidatif yang akan timbul pada keadaan glukosa yang berlebihan. Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa jalur HMP shunt yang teraktivasi akan menghasilkan nicotinamide-adenine dinucleotide phosphate (NADPH) tereduksi. Senyawa ini diperlukan untuk menghasilkan glutation reduktase, suatu enzim yang berperan pada sistem reduksi-oksidasi di lensa. Enzim ini memiliki fungsi menetralisir radikal bebas yang terbentuk pada kondisi stres oksidatif dengan cara mengkatalis reaksi antara radikal bebas dan glutation. Sebagian kecil glukosa juga akan mengalami metabolisme aerob melalui siklus krebs. Proses ini terutama berlangsung di sel epitel lensa dan sel serat lensa superfisial. Metabolisme aerob ini akan menghasilkan radikal bebas endogen yang dapat mengganggu fungsi fisiologi
lensa.
(Berthoud
dan
Ophthalmology Staff, 2011-2012a).
Beyer,
2009;
American
Academy
of
2.2.
Katarak Senilis
2.2.1
Definisi dan epidemiologi katarak Katarak merupakan kekeruhan pada lensa mata yang mengenai satu atau
kedua mata dan dapat disebabkan oleh kelainan kongenital, metabolik, traumatik dan proses degenerasi (Ilyas, 2001). World Health Organization (WHO) melaporkan kurang lebih 37 juta penduduk dunia mengalami kebutaan, dan 47,8% dari jumlah tersebut disebabkan oleh katarak (Tabin dkk., 2008; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a;). Berdasarkan survei nasional pada tahun 1993-1996, angka kebutaan di Indonesia mencapai 1,5% dari total jumlah penduduk dan merupakan angka kebutaan tertinggi di Asia Tenggara. Dari hasil survei tersebut, katarak merupakan penyebab kebutaan yang terbanyak di Indonesia yaitu sebanyak 0,78% (Gsianturi, 2004). Katarak senilis merupakan jenis katarak yang paling banyak ditemukan. Pasien katarak senilis diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus katarak (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Katarak senilis adalah kekeruhan lensa yang terjadi karena proses degenerasi dan biasanya mulai timbul pada usia di atas 50 tahun (Ilyas, 2001; Sihota dan Tandan, 2007). 2.2.2
Etiologi dan patofisiologi katarak senilis Etiologi katarak bersifat multifaktorial dan sampai saat ini belum
sepenuhnya diketahui secara pasti. Beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap terjadinya katarak antara lain umur, genetik, diabetes melitus, kekurangan gizi antara lain defisiensi vitamin A,C,E, pemakaian obat-obatan tertentu serta faktor lingkungan seperti paparan sinar ultraviolet dan merokok.
Faktor terpenting yang mempengaruhi terjadinya kekeruhan lensa pada katarak senilis adalah usia (Sihota dan Tandan, 2007). Namun secara spesifik sangat sulit menentukan faktor yang paling berperan dalam etiologi katarak (Beebe, 2003; Beebe dkk., 2010). Kejernihan lensa dihasilkan dan dipertahankan oleh struktur sel serat lensa yang teratur, kadar protein kristalin yang tinggi, keseimbangan cairan dan elektrolit, metabolisme aerob yang minimal dan sistem reduksi oksidasi untuk mengatasi stres oksidatif dalam lensa. Katarak dapat terjadi karena disorganisasi struktur seluler serat lensa dan protein lensa, serta terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi peningkatan volume air pada lensa yang menyebabkan kekeruhan lensa (Sihota dan Tandan, 2007; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Proses terbentuknya katarak ditandai dengan terjadinya hidrasi akibat perubahan tekanan osmotik atau perubahan permeabilitas kapsul lensa serta denaturasi protein yang ditandai dengan peningkatan protein tidak larut air sehingga terjadi kekeruhan lensa (Sihota dan Tandan, 2007). Salah satu teori tentang etiologi katarak senilis yang banyak berkembang belakangan ini adalah mekanisme stres oksidatif. Lensa mata sangat sensitif terhadap terjadinya stres oksidatif. Seiring bertambahnya usia dan adanya paparan yang terus-menerus oleh agen dari luar, akan menyebabkan gangguan mekanisme proteksi antioksidan lensa mata. Namun tidak dapat ditentukan secara pasti pada umur berapa mulai timbulnya katarak dalam hubungannya dengan stres oksidatif karena banyak faktor yang berpengaruh dan berbeda-beda pada masing-masing individu (Spector, 1995; Ates dkk., 2010; Cekic dkk., 2010). Hasil akumulasi dari
stres oksidatif menyebabkan gangguan fungsi metabolisme lensa, agregasi protein lensa, peningkatan protein tidak larut air (water insoluble protein) sehingga menyebabkan gangguan transparansi lensa dan terjadi katarak (El-Ghaffar dkk. 2007; Cekic dkk., 2010; American Academy of Ophthalmology Staff, 20112012a). 2.2.3
Stadium dan gradasi katarak senilis Katarak senilis secara klinis dapat dibagi menjadi empat stadium
berdasarkan maturitasnya yaitu stadium insipien, imatur, matur dan hipermatur. Pada katarak senilis stadium insipien kekeruhan terjadi pada permulaan dan hanya tampak bila pupil dilebarkan. Kekeruhan tidak teratur seperti bercak-bercak yang membentuk gerigi dengan dasar di perifer dan daerah jernih diantaranya. Pada stadium ini terdapat keluhan poliopia karena indek refraksi yang tidak sama pada semua lensa. Pasien dengan katarak senilis stadium insipien biasanya tanpa keluhan dan sering ditemukan pada pemeriksaan rutin mata. Visus dengan koreksi masih bisa mencapai 6/6. Stadium selanjutnya adalah imatur. Pada katarak senilis stadium imatur terjadi kekeruhan yang lebih tebal tetapi tidak atau belum mengenai seluruh bagian lensa sehingga masih terdapat bagian-bagian yang jernih pada lensa. Pada stadium ini terjadi hidrasi korteks karena meningkatnya tekanan osmotik bahan lensa yang degeneratif, mengakibatkan lensa menjadi bertambah cembung. Pencembungan lensa ini akan memberikan perubahan indek refraksi dimana mata akan cenderung menjadi lebih miopia dan juga mengakibatkan pendorongan iris ke depan sehingga sudut bilik mata depan akan lebih sempit. Tes bayangan iris serta reflek fundus pada keadaan ini positif. Pada katarak senilis
stadium matur, kekeruhan telah mengenai seluruh masa lensa. Hal ini terjadi karena proses degenerasi berjalan terus sehingga terjadi pengeluaran air bersama hasil disintegritas melalui kapsul lensa. Dalam stadium ini, lensa akan berukuran normal kembali. Bila dilakukan tes bayangan iris dan reflek fundus akan terlihat hasil negatif. Stadium terakhir adalah stadium hipermatur, dimana terjadi proses degenerasi lanjut lensa sehingga korteks lensa mencair dan dapat keluar melalui kapsul lensa. Lensa mengeriput dan berwarna kuning. Akibat pengeriputan lensa dan mencairnya korteks, maka korteks memperlihatkan bentuk sebagai sekantong susu disertai nukleus lensa tenggelam disebut katarak morgagnian. Lensa yang mengecil menyebabkan bilik mata depan menjadi dalam. Tes bayangan iris memberikan gambaran pseudopositif (Ilyas, 2001; Sihota dan Tandan, 2007). Tingkat kekeruhan lensa pada katarak senilis dapat dibagi menjadi lima gradasi berdasarkan klasifikasi Buratto. Gradasi 1 biasanya ditandai dengan visus yang masih lebih baik dari 6/12, lensa tampak sedikit keruh dengan warna agak keputihan, dan refleks fundus masih dengan mudah dapat dilihat. Gradasi 2 ditandai dengan nukleus yang mulai sedikit berwarna kekuningan, visus antara 6/12 sampai 6/30, dan refleks fundus juga masih mudah diperoleh. Katarak Gradasi 3 ditandai dengan nukleus berwarna kuning dan korteks yang berwarna keabu-abuan, visus antara 3/60 sampai 6/30. Gradasi 4 ditandai dengan nukleus yang sudah berwarna kuning kecoklatan, dengan usia pasien biasanya sudah lebih dari 65 tahun, dan visus biasanya antara 3/60 sampai 1/60. Gradasi 5 ditandai dengan nukleus berwarna coklat hingga kehitaman, visus biasanya 1/60 atau lebih jelek (Sihota dan Tandan, 2007).
2.3
Stres Oksidatif
2.3.1
Definisi Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketidakseimbangan antara radikal
bebas dengan antioksidan. Hal ini disebabkan oleh pembentukan radikal bebas yang berlebihan melebihi kemampuan sistem pertahanan antioksidan untuk mengatasinya. Tanpa disadari didalam tubuh kita terbentuk radikal bebas secara terus menerus baik melalui proses metabolisme sel normal, respon terhadap pengaruh dari luar tubuh dan lain-lain. Dengan meningkatnya usia seseorang, pembentukan radikal bebas juga meningkat. Pada kondisi fisiologis, antioksidan sebagai sistem pertahanan dalam tubuh dapat melindungi sel dan jaringan melawan radikal bebas yang terbentuk. (William, 2006; Winarsi, 2007). 2.3.2. Radikal Bebas, reactive oxygen species (ROS) dan antioksidan Radikal bebas adalah suatu senyawa atau molekul yang memiliki satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbit luarnya. Adanya elektron tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan, dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada disekitarnya. Bila elektron yang terikat oleh senyawa radikal bebas yang bersifat ionik maka tidak berbahaya, tetapi bila terikat dengan senyawa yang berikatan kovalen maka sangat berbahaya karena digunakan secara bersama-sama pada orbit luarnya. Senyawa yang memiliki ikatan kovalen adalah molekul besar seperti lipid, protein dan DNA. Dari ketiga molekul target tersebut, yang paling rentan terhadap serangan radikal bebas adalah asam lemak tak jenuh (Winarsi, 2007).
Reactive oxygen species (ROS) adalah radikal bebas yang mengandung oksigen. Oksigen mengandung radikal bebas seperti radikal hydroxyl, radikal superoxide anion, radikal hydrogen peroxide, oxygen tunggal, radikal nitric oxide dan peroxynitrite merupakan spesies reaktif tinggi pada nukleus dan membran sel merusak secara biologi seperti DNA, protein, karbohidrat dan lemak (Winarsi, 2007; Berthoud dan Beyer; 2009). Pada dasarnya dikenal tiga tipe utama ROS, yaitu superoksida (O2•-), hidrogen peroksida (H2O2), hidroksil (OH•). Radikal superoksida terbentuk bila terjadi kehilangan elektron saat proses rantai transport elektron. Dismutasi superoksida menghasilkan pembentukan hidrogen peroksida. Ion hidroksil bersifat sangat reaktif bereaksi dengan purin dan pirimidin menyebabkan penghancuran strand dan berakhir dengan kerusakan DNA (Winarsi, 2007). Antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (electron donor). Secara biologis, antioksidan adalah senyawa yang dapat melindungi tubuh dari serangan radikal bebas. Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif, sehingga kerusakan sel akan dihambat. Sistem antioksidan ini dibagi menjadi kelompok enzimatis dan non enzimatis. Antioksidan enzimatis disebut juga antioksidan pencegah, terdiri dari superoksid dismutase, katalase dan glutation peroxidase. Antioksidan enzimatis merupakan sistem pertahanan utama (primer) terhadap kondisi stres oksidatif dan bekerja dengan cara mencegah terbentuknya senyawa radikal bebas baru. Antioksidan non enzimatis disebut juga antioksidan pemecah rantai yang dapat berupa senyawa nutrisi maupun non nutrisi. Kedua kelompok
antioksidan non enzimatis ini disebut juga antioksidan sekunder karena dapat diperoleh dari asupan makanan seperti vitamin C, E, A, dan β karoten. Glutation, asam urat, bilirubin, albumin dan flavonoid juga termasuk kelompok ini. Senyawa-senyawa tersebut berfungsi menangkap senyawa oksidan serta mencegah terjadinya reaksi berantai (William, 2006; Winarsi, 2007). Antioksidan baik non enzimatis maupun enzimatis berperan melawan efek toksik peroksidasi lipid dan radikal oksigen serta mengurangi jumlah lipid peroksida yang terbentuk. Adanya antioksidan non-enzimatis ini berperan dalam melawan efek toksik radikal bebas, pada lingkungan yang lipofilik vitamin A berperan sebagai antioksidan pemecah rantai, vitamin C berperan sebagai scavenging superoksida dan bermacam peroksidasi lipid. Disamping vitamin E berperan sebagai pelindung dalam melawan peroksidasi lipid, juga dapat menstabilkan lapisan lemak (Chandrasena dkk., 2006; William, 2006). 2.3.3 Biomarker stres oksidatif Biomarker didefinisikan sebagai suatu karakteristik yang secara obyektif dapat diukur dan dievaluasi sebagai indikator normal terhadap proses biologi, patologi dan respon farmakologi terhadap intervensi terapeutik. Senyawa radikal bebas dapat menyerang komponen seluler yang berada di sekelilingnya berupa senyawa lipid, protein dan DNA (Dalle-Donne dkk., 2006; Winarsi, 2007). Adapun proses oksidasi ketiga komponen tersebut adalah : 1. Peroksidasi lipid Kerusakan oksidatif pada senyawa lipid terjadi bila senyawa radikal bebas bereaksi dengan senyawa asam lemak tak jenuh ganda. Jadi target utama dari
senyawa oksigen reaktif adalah asam lemak tak jenuh ganda. Asam lemak tak jenuh ganda yang mengandung dua atau lebih ikatan rangkap dan sangat rentan terhadap oksidasi oleh radikal bebas atau molekul-molekul reaktif lainnya. Molekul reaktif seperti radikal hidroksil menarik atom hidrogen dari ikatan rangkap asam lemak tak jenuh dan membentuk radikal peroksil lipid. Radikal ini kemudian bereaksi dengan asam lemak tak jenuh lainnya membentuk hidroperoksida lipid dan radikal peroksil lipid yang baru, yang kemudian meneruskan reaksi oksidasi terhadap lipid lainnya, yang dikenal dengan peroksidasi lipid (Babizhaev, 2005; Winarsi, 2007; Kisic dkk., 2009). Salah satu akibat penting peroksidasi lipid adalah pembentukan senyawa-senyawa aldehida. Hidroksiperoksida lipid bersifat tak stabil dan dapat di dekomposisi atau terurai menjadi aldehid terutama malondialdehyde (MDA). Produk-produk degradasi peroksidasi lipid adalah MDA dan hidrokarbon, sementara etana dan etilen merupakan produk akhir peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid merupakan hasil kerja radikal bebas yang diketahui paling awal dan paling mudah pengukurannya karena itulah reaksi ini paling sering dilakukan untuk mempelajari stres oksidatif. Pembentukan radikal bebas dari peroksidasi lipid merupakan petunjuk penting kerusakan sel yang diakibatkan oleh radikal bebas (Patil, dkk., 2006, Winarsi, 2007). Radikal bebas bersifat sangat reaktif dan tidak stabil sehingga sangat sulit mengukurnya secara langsung. Namun terbentuknya peroksidasi lipid dapat digunakan mendeteksi secara tidak langsung adanya radikal bebas tersebut. MDA adalah salah satu produk akhir dari proses peroksidasi lipid.
MDA adalah senyawa organik dengan rumus kimia CH2(CHO)2, mempunyai berat molekul rendah. MDA menjadi alat ukur yang paling banyak digunakan sebagai indikator peroksidasi lipid. Pengukuran kadar MDA dilakukan dengan dasar reaksi MDA dengan asam tiobarbiturat (TBA) yang membentuk senyawa berwarna MDA-TBA2 dan mengabsorbsi sinar dengan panjang gelombang 532-534 nm. Senyawa berwarna tersebut dapat diukur konsentrasinya berdasarkan absorbansi warna yang terbentuk, dengan membandingkannya pada absorbansi warna larutan standar yang telah diketahui konsentrasinya menggunakan
spektrofotometer
(NWLSSTM
Malondialdehyde
Assay)
(Yagi,1982; Dalle-Donne dkk., 2006; Anonim, 2008). MDA ditemukan hampir di seluruh cairan biologis termasuk plasma, urine, cairan aqueous, cairan persendian, cairan bronkoalveolar, cairan empedu, cairan getah bening, cairan amnion, perikardial dan seminal. Namun plasma dan urine merupakan sampel yang paling umum digunakan, karena paling mudah didapat dan tidak invasif. MDA sangat cocok sebagai biomarker untuk stres oksidatif karena beberapa alasan, yaitu (1) pembentukan MDA meningkat sesuai dengan stres oksidatif, (2) kadarnya dapat diukur secara akurat dengan berbagai metode yang telah tersedia, (3) bersifat stabil dalam sampel cairan tubuh yang diisolasi, (4) pengukurannya tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dan tidak dipengaruhi kandungan lemak dalam diet, (5) merupakan produk spesifik dari peroksidasi lipid, dan (6) terdapat dalam jumlah yang dapat dideteksi pada semua jaringan tubuh dan cairan biologis
sehingga memungkinkan untuk menentukan referensi interval (Palmiere dan Sblendorio, 2006; Patil dkk., 2006; Winarsi, 2007). 2. Oksidasi protein Protein tersusun atas rangkaian asam amino yang terikat satu sama lainnya melalui ikatan peptida. Perubahan akibat kerusakan struktur yang dibentuk oleh interaksi antar gugus R atau kerusakan pada gugus R akan merusak fungsi protein tersebut. Bagian-bagian protein (gugus R) adalah target reaktivitas senyawa radikal bebas. Kerusakan molekul protein pada bagian rantai peptida akan terbentuk senyawa karbonil. Produk-produk oksidasi protein yang dapat diukur adalah gugus thiol tereduksi dalam protein plasma, protein karbonil dalam plasma, orto-tirosin dalam protein plasma. Biomarker yang umum digunakan untuk pengukuran protein teroksidasi adalah protein karbonil melalui kolorimeter (Winarsi, 2007). 3. Oksidasi DNA Asam nukleat seperti DNA dan RNA yang mengandung banyak karbohidrat seperti ribose atau deoksiribosa, rentan terhadap serangan senyawa radikal bebas. Kerusakan DNA ditunjukkan oleh bagian gula dan basa yang mudah teroksidasi sehingga menyebabkan hancurnya single stand serta protein cross linking. Terdegradasinya basa DNA akan menghasilkan produk seperti 8hidroksiguanin, hidroksimetil urea, timin, glikol dan produk lainnya. Biomarker stres oksidatif tingkat DNA yang dapat diukur adalah 8-hydroxy-2deoxyguanosine (8-OHdG) (Winarsi, 2007).
2.3.4
Stres oksidatif pada katarak senilis Tanpa disadari, didalam tubuh kita terbentuk radikal bebas secara terus
menerus dan dengan meningkatnya usia, pembentukan radikal bebas juga semakin meningkat. Lensa mata sangat sensitif terhadap terjadinya stres oksidatif sebagai akibat rendahnya kandungan oksigen pada lensa. Pada sel epitel lensa dan sel serat lensa superfisial, sebagian kecil glukosa mengalami metabolisme aerob melalui siklus krebs. Metabolisme aerob pada lensa ini dapat menghasilkan radikal bebas endogen seperti superoksida (O2-), hidrogen peroksida (H2O2), dan radikal hidroksil (OH-). Terbentuknya radikal bebas yang berlebihan melebihi kemampuan sistem pertahanan antioksidan lensa akan menimbulkan terjadinya stres oksidatif sehingga dapat mengganggu fungsi fisiologis lensa (Spector, 1995; Ates dkk., 2010; Cekic dkk., 2010). Senyawa radikal bebas dalam tubuh termasuk dalam lensa, dapat merusak membran sel yang mengandung asam lemak tidak jenuh ganda. Reaksi radikal bebas dengan asam lemak tidak jenuh ganda pada membran sel terjadi melalui proses peroksidasi lipid. Asam lemak tidak jenuh ganda ditemukan didalam sel sebagai gliserilester dalam bentuk fosfolipid atau trigliserida. Membran sel lensa mengandung fosfolipid terutama dihidrospingomyelin dalam konsentrasi tinggi dan kolesterol (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b). Peroksidasi lipid merupakan salah satu faktor penyebab dan patogenik pada katarak. Babizhayev (1985) menyatakan peroksidasi lipid terjadi pada tahap awal dalam patogenesis katarak. Peroksidasi lipid dapat menyebabkan kerusakan membran sel lensa secara langsung dengan mengakibatkan peningkatan
permeabilitas membran atau menghambat pompa ion membran. Sedangkan secara tidak langsung atau sekunder menyebabkan kerusakan membran sel lensa melalui dekomposisi aldehid. Hidroksiperoksidasi lipid bersifat tidak stabil dan dapat di dekomposisi menjadi aldehid seperti malondialdehyide (MDA). MDA merupakan aldehid yang reaktif dan hasil produksi sekunder mayor dari peroksidasi lipid. Reaksi radikal bebas dengan lipid membran sel lensa dan protein akan menyebabkan cross-linking lipid dan protein, agregasi protein lensa, peningkatan protein tidak larut air (water insoluble protein) sehingga menyebabkan kejernihan lensa menurun dan terjadi katarak (El-Ghaffar dkk. 2007; Cekic dkk., 2010; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Beberapa peneliti juga menduga stres oksidatif berperan dalam perkembangan maturitas katarak senilis (Spector, 1995; Ates dkk.,2010). Mekanisme perbaikan dan regenerasi sebagai akibat radikal bebas dikatakan aktif terjadi pada epitel lensa dan korteks superfisial, namun mekanisme tersebut hampir tidak ditemukan pada korteks lensa bagian dalam dan pada nukleus. Hal inilah yang menyebabkan kerusakan pada protein lensa dan membran lipid bersifat ireversibel (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b). Lensa mata manusia yang normal dilengkapi perlindungan dan sistem antioksidan yang komplek untuk melawan stres oksidatif. Antioksidan tersebut antara lain superoksid dismutase, katalase, glutation peroxidase, asam askorbat, vitamin E dan karotenoid. Pada siklus reduksi oksidasi glutation, GSSG dikonversi menjadi glutation (GSH) oleh enzim glutation reduktase melalui
pyridine nucleotide NADPH yang disediakan oleh HMP shunt sebagai reducing pathways. GSH bertindak sebagai mayor scavenger dari senyawa oksigen reaktif di lensa. Lensa mata manusia yang masih muda, mengandung GSH dalam konsentrasi tinggi, yang awalnya disintesis di epitel kemudian bermigrasi ke kortek dan nukleus. Semakin bertambah umur terjadi penurunan konsentrasi GSH secara signifikan pada lensa terutama di nukleus. Beberapa studi mengindikasikan bahwa terdapat barier kortikal nuklear pada lensa matur yang menghambat aliran GSH ke nukleus, sehingga disimpulkan dengan semakin bertambahnya umur maka nukleus lensa akan lebih mudah mengalami kerusakan akibat stres oksidatif dan terjadi katarak. Vitamin E dan C juga terdapat pada lensa sebagai antioksidan yang bersama GSH dan siklus reduksi oksidasi glutathione bekerja melindungi lensa dari stres oksidatif. Vitamin E dan karotenoid sebagai antioksidan dikatakan dapat menghambat proses autooksidasi peroksidasi lipid dengan cara yang berbeda. Jika peroksidasi lipid sudah terbentuk, antioksidan glutation peroksidase dapat mendegradasi atau mereduksinya dengan bantuan selenium sebagai kofaktor. Namun jika proteksi oleh glutation peroksidase tidak aktif, maka radikal bebas yang terbentuk akan lebih banyak. Mekanisme antioksidan pada lensa dapat dilihat pada Gambar 2.3 (Ates dkk., 2010; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b).
Gambar 2.3 Mekanisme proteksi antioksidan pada lensa (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b)
Beberapa studi mendukung stres oksidatif berperan penting pada patogenesis dari katarak senilis. Penelitian El Saygili dkk. (2010) didapatkan kadar total oksidan yang lebih tinggi pada pasien katarak diabetik (11,34±5,27 µmolH2O2 Eq/l) dibandingkan pada katarak senilis (8,07±2,52 µmolH2O2 Eq/l). Cekic dkk. (2010) menemukan terjadinya peningkatan kadar MDA dalam darah pasien dengan katarak senilis (20,24±8,12 µmol/L) dibandingkan tanpa katarak senilis (8,73±2,53µmol/L). Penelitian El-Ghaffar dkk. (2007) didapatkan terjadinya peningkatan kadar MDA dalam darah pasien dengan katarak senilis tipe kortikal dan nuklear. Widowati dkk. (2004) menemukan kadar MDA pada pasien katarak komplikata yang mendapatkan tetes mata sodium diclofenac 0,1% sebelum operasi lebih rendah dibandingkan tanpa tetes mata sodium diclofenac 0,1%. Penelitian Lienderiwati (2013) menemukan kadar MDA serum pasien katarak senilis imatur dengan diabetes melitus lebih tinggi daripada tanpa diabetes melitus. Deepa dkk. (2011) di India, didapatkan terjadinya penurunan aktivitas
antioksidan pada pasien dengan katarak senilis. Pada penelitian tersebut juga ditemukan bahwa kadar MDA serum pasien katarak senilis stadium matur (6,830±0,451 µmol/L) lebih tinggi daripada katarak senilis stadium imatur (5,35±0,939 µmol/L). Penelitian Kisic dkk. (2009) di Serbia menemukan kadar MDA lensa pada pasien katarak senilis stadium matur lebih tinggi dibandingkan pada katarak insipien. Hal yang berbeda ditemukan pada penelitian Miric dkk. (2012) dimana tidak didapatkan perbedaan bermakna kadar MDA serum pada pasien katarak senilis matur dan imatur. Di Bali sebelum pernah dilakukan penelitian mengenai kadar MDA pada populasi normal, sehingga belum terdapat data kadar MDA pada populasi normal serta data mengenai perbedaan kadar MDA pada pasien katarak senilis stadium matur dan imatur.
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Katarak merupakan penyebab kebutaan yang paling utama. Salah satu teori tentang etiologi katarak senilis yang banyak berkembang belakangan ini adalah mekanisme
stres
oksidatif.
Stres
oksidatif
adalah
suatu
keadaan
ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan. Stres oksidatif dapat timbul apabila pembentukan radikal bebas terjadi berlebihan disertai berkurang atau menetapnya sistem pertahanan antioksidan. Seiring bertambahnya usia, akan menyebabkan gangguan mekanisme proteksi antioksidan lensa mata sehingga terjadi akumulasi radikal bebas yang berlebihan. Reaksi radikal bebas dengan asam lemak tidak jenuh ganda yang terdapat pada membran sel lensa akan menyebabkan kerusakan sel lensa dan menghasilkan malondialdehyde (MDA) melalui proses peroksidasi lipid. MDA merupakan aldehid reaktif yang dapat menyebabkan terjadinya agregasi protein lensa, membentuk protein tidak larut air (water insoluble protein) sehingga terjadi penurunan kejernihan lensa dan timbul katarak. MDA dapat berfungsi sebagai biomarker stres oksidatif. Kadar MDA dikatakan meningkat pada katarak senilis. Beberapa peneliti juga menduga stres oksidatif berperan dalam perkembangan maturitas katarak senilis. Kadar MDA dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain adalah umur dan genetik, sedangkan yang termasuk faktor eksternal antara lain paparan sinar ultraviolet, penyakit sistemik
kronis, merokok, penggunaan obat anti inflamasi non steroid (AINS), obat kortikosteroid atau obat imunosupresan, vitamin antioksidan, stadium katarak senilis, infeksi intraokular, aktivitas fisik, dan stres psikologis 3.2 Konsep Penelitian Faktor Internal
Faktor Eksternal
1. Umur 2. Genetik
1. Paparan sinar ultraviolet 2. Penyakit sistemik, kronis 3. Merokok 4. Obat anti inflamasi non steroid (AINS), obat kortikosteroid atau obat imunosupresan 5. Vitamin antioksidan 6. Infeksi intraokular 7. Stadium katarak senilis 8. Aktivitas fisik 9. Stres psikologis
Kadar MDA serum pada katarak senilis matur dan imatur Gambar 3.1 Bagan Konsep Penelitian
3.3 Hipotesis Penelitian Kadar malondialdehyde (MDA) serum pasien katarak senilis matur lebih tinggi daripada katarak senilis imatur
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1
Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan suatu penelitian observasional analitik dengan
pendekatan studi potong lintang (cross-sectional) (Fleiss, 1981) untuk mengetahui perbedaan kadar malondialdehyde (MDA) serum pada pasien katarak senilis matur dan imatur. Rancangan penelitian dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut: Katarak Senilis Kadar MDA Serum
Kadar MDA Serum
Katarak Senilis Matur
Katarak Senilis Imatur
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian
4.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Mata RSUP Sanglah dan RS Indera
Denpasar Bali, mulai bulan Oktober 2012 sampai bulan Maret 2013. Pemeriksaan kadar MDA serum dilakukan di Laboratorium Analitik Universitas Udayana di Bukit Jimbaran. 4.3
Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi penelitian Populasi target penelitian adalah semua pasien katarak senilis. Populasi terjangkau penelitian adalah semua pasien katarak senilis yang datang berobat ke Poliklinik Mata RSUP Sanglah dan RS Indera, Denpasar periode bulan Oktober 2012 sampai Maret 2013. 4.3.2 Sampel penelitian Sampel penelitian adalah semua pasien katarak senilis yang datang berobat ke Poliklinik Mata RSUP Sanglah dan RS Indera, Denpasar periode bulan Oktober 2012 sampai Maret 2013 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 4.3.2.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Penelitian 4.3.2.1.1
Kriteria inklusi
a. Pasien katarak senilis stadium matur dan imatur berumur di atas 50 tahun 4.3.2.1.2
Kriteria eksklusi
a. Subjek sedang menderita penyakit sistemik yang kronis seperti diabetes melitus, hipertensi, penyakit kardiovaskular dan penyakit keganasan b. Subjek
sedang
mendapat
pengobatan
antiinflamasi
non
steroid,
kortikosteroid atau obat imunosupresan lainnya dalam satu bulan terakhir c. Subjek sedang mengkonsumsi vitamin antioksidan (vitamin A dan E) dalam satu bulan terakhir d. Subjek yang merokok dalam satu bulan terakhir
e. Subjek dengan infeksi intraokular pada segmen anterior dan atau segmen posterior bola mata, antara lain konjungtivitis, keratitis, ulkus kornea, uveitis anterior dan posterior f.
Subjek dengan riwayat atau sedang mengalami kelainan pada segmen posterior mata berupa kelainan vitreus, retinopati, ablasio retina, dan kelainan makula
g. Subjek dengan riwayat operasi intraokular h. Katarak senilis dengan komplikasi berupa tekanan intraokular >21 mmHg atau dengan glaukoma sekunder dan uveitis 4.3.2.2 Besar sampel Besar sampel yang dibutuhkan dalam penelitian dihitung berdasarkan rumus (Lemeshow dkk, 1990): {Zα + Zβ x SD}2 n1 = n2 = 2 {x1-x2}2 1.
Tingkat kemaknaan yang dikehendaki sebesar 95%, yaitu α = 0,05 dan dipakai Zα = 1,960
2.
Power penelitian yang direncanakan sebesar 80%, yaitu β = 0,20 dan Zβ = 0,842
3.
Simpang baku (SD) (dikutip dari kepustakaan Kisic dkk, 2009), SD = 0,74
4.
X1-X2 adalah perbedaan klinis yang diinginkan sebesar 0,55
{Zα + Zβ}2 x SD2 n1 = n2 = 2
{x1-x2}2 =2
(1,960 + 0,842)2 x 0,742 (0,55)2
= 28,5 ~ 29 subjek (individu) Jadi jumlah sampel penelitian sebesar 58 sampel (individu), masingmasing kelompok 29 sampel (individu). 4.3.2.3 Cara pemilihan sampel Sampel dipilih dengan teknik consecutive sampling dari populasi terjangkau. Sampel yang dipilih adalah pasien katarak senilis dengan maturitas yang sama pada kedua mata, atau apabila kedua mata berbeda maturitasnya, dimana salah satu mata ternyata sudah termasuk katarak senilis stadium matur, maka pasien dimasukkan ke dalam kelompok katarak dengan maturitas yang lebih tinggi (matur). 4.4
Variabel Penelitian
4.4.1 Klasifikasi dan identifikasi variabel 1.
Variabel bebas adalah katarak senilis stadium matur dan imatur
2.
Variabel tergantung adalah kadar malondialdehyde (MDA) dalam serum
3.
Variabel kendali adalah umur dan stadium katarak senilis
Variabel Bebas
Variabel Tergantung
Katarak senilis matur dan imatur
Kadar MDA serum
Variabel Kendali Umur, stadium katarak senilis
Gambar 4.2 Skema Hubungan antar Variabel
4.4.2 Definisi operasional variabel 1.
Katarak senilis adalah kekeruhan pada lensa yang terjadi pada usia di atas 50 tahun (Ilyas, 2001).
2.
Katarak senilis stadium matur adalah katarak senilis gradasi 5 berdasarkan klasifikasi Buratto dan pada pemeriksaan tes bayangan iris dan reflek fundus hasilnya negatif (Ilyas, 2001).
3.
Katarak senilis stadium imatur adalah katarak senilis gradasi 2-4 berdasarkan klasifikasi Buratto dan pada pemeriksaan tes bayangan iris dan refleks fundus hasilnya positif (Ilyas, 2001).
4.
Kadar malondialdehyde (MDA) adalah produk akhir peroksidasi lipid dalam tubuh yang diperiksa dengan spektrofotometer (NWLSSTM Malondialdehyde assay) dari bahan sampel darah serum, dan satuan MDA dinyatakan dalam µmol/L (Yagi, 1982). Pemeriksaan dikerjakan di Laboratorium terpusat yang sudah terakreditasi yaitu Laboratorium Analitik Universitas Udayana di Bukit Jimbaran.
5.
Umur adalah umur ditentukan dari tanggal kelahiran sampai datang ke rumah sakit berdasarkan kartu tanda penduduk atau kartu keluarga.
6.
Pendidikan adalah pendidikan terakhir yang pernah ditempuh oleh subjek penelitian, yang dibagi menjadi tidak sekolah, Sekolah dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan tinggi
7.
Pekerjaan adalah pekerjaan utama yang ditekuni oleh subjek penelitian sekurang-kurangnya dalam 10 tahun terakhir, antara lain petani, ibu rumah tangga (IRT), swasta, dan pegawai negeri sipil (PNS) atau pensiunan.
4.5
Instrumen Penelitian Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan oftalmologi, dan pengambilan sampel darah. Untuk menegakkan diagnosis katarak senilis dan stadium maturitasnya, digunakan lembar pemeriksaan status oftalmologis dan lembar kuisioner penelitian, E chart atau snellen chart, tonometri schiotz, funduskopi atau lensa 78, slit lamp, anestesi topikal (pantocain 0,5%), dan sikloplegik (mydriatil 0,5%). Peralatan yang digunakan dalam pengambilan sampel darah untuk pengukuran kadar MDA serum adalah sarung tangan steril, kapas alkohol, tourniket, spuit 3 cc disposible, serta tabung berisi reagen EDTA (ethylene diamine tetra acetic acid). 4.6
Prosedur Penelitian
4.6.1 Tahap persiapan Sampel penelitian diseleksi di poliklinik mata RSUP Sanglah dan RS Indera Denpasar. Wawancara dan pemeriksaan mata dilakukan oleh peneliti. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian dan kemudian menandatangani informed consent. Selanjutnya dilakukan identifikasi tentang karakteristik sampel penelitian.
4.6.2 Pelaksanaan penelitian Adapun urutan pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Anamnesis meliputi nama, umur, jenis kelamin, dan pekerjaan berdasarkan lembar kuisioner penelitian. Data kemudian dicatat dalam bentuk tabel induk
2.
Diagnosis dan stadium katarak senilis Diagnosis dan stadium katarak senilis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan dengan menggunakan slit lamp dan funduskopi. Pemeriksaan dilakukan pada kedua mata. Pertama dilakukan pemeriksaan visus dengan menggunakan E chart atau snellen chart, kemudian dilakukan pemeriksaan tekanan intraokular dengan tonometri schiotz dan bila hasilnya kurang dari 21 mmHg, pupil pasien kemudian dilebarkan dengan sikloplegik (mydriatil 0,5%). Setelah pupil lebar, dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan slit lamp untuk mengevaluasi kelainan pada segmen anterior, dilanjutkan dengan menggunakan lensa 78 dan funduskopi untuk mengevaluasi kelainan pada segmen posterior apabila memungkinkan sekaligus juga untuk menentukan stadium maturitas katarak senilis. Stadium maturitas katarak senilis ditentukan berdasarkan kriteria Burrato. Sampel penelitian kemudian dibagi ke dalam 2 kelompok yaitu kelompok katarak senilis matur dan kelompok katarak senilis imatur.
3.
Pengambilan sampel darah Pengambilan sampel darah dilakukan melalui vena cubiti yaitu sebanyak 3 cc dengan menggunakan spuite 3 cc setelah sebelumnya dilakukan desinfeksi pada tempat pengambilan. Masing-masing sampel darah vena yang diambil
ditampung dalam tabung yang berisi reagen EDTA (ethylene diamine tetra acetic acid). Sampel darah akan diberikan label sesuai dengan nomor urut masing-masing dari kedua kelompok yaitu kelompok katarak senilis matur dan kelompok katarak senilis imatur. Pengambilan sampel darah dilakukan oleh petugas laboratorium yang kemudian sampel darah tersebut dikirim ke Laboratorium Analitik Universitas Udayana di Bukit Jimbaran untuk dilakukan pemeriksaan kadar MDA serum. 4.
Pemeriksaan MDA serum Prinsip pemeriksaan kadar MDA adalah dengan menggunakan reaksi asam tiobarbiturat dengan MDA, ditandai dengan timbulnya warna yang serapannya diukur menggunakan spektrofotometer, yang dikenal dengan Malondialdehyde Assay Northweast Life Science Specialties (NWLSS). Hasil pemeriksaan yang didapat kemudian akan dikumpulkan oleh peneliti dan selanjutnya dianalisis untuk mengetahui perbedaan rerata kadar MDA serum pada pasien katarak senilis matur dan katarak senilis imatur.
4.7
Alur Penelitian Untuk lebih mempermudah dalam pelaksanaan penelitian maka dibuat alur
penelitian yang ditunjukkan dengan bagan alur penelitian pada Gambar 4.3
Semua pasien katarak senilis
Semua pasien katarak senilis yang datang berobat ke poliklinik Mata RSUP Sanglah dan RS Indera, Denpasar periode bulan Oktober 2012 - Maret 2013
1. 2.
3. 4. 5. 6.
7. 8.
Kriteria Eksklusi Subjek sedang menderita penyakit sistemik yang kronis Subjek sedang mendapat pengobatan antiinflamasi non steroid, kortikosteroid atau obat imunosupresan lainnya dalam satu bulan terakhir. Subjek mengkonsumsi vitamin antioksidan satu bulan terakhir Subjek yang merokok dalam satu bulan terakhir Subjek dengan infeksi intraokular Subjek dengan riwayat atau sedang mengalami kelainan pada segmen posterior mata Subjek dengan riwayat operasi intraokular Katarak senilis dengan komplikasi
Kriteria Inklusi 1. Pasien katarak senilis stadium matur dan imatur berumur di atas 50 tahun
Sampel Penelitian
Informed Consent
Eligible Subject
Katarak Senilis Matur
Katarak Senilis Imatur
Kadar MDA Serum
Kadar MDA Serum
ANALISIS DATA Gambar 4.3 Skema Alur Penelitian
4.8
Analisis Data Data dicatat dalam formulir penelitian kemudian direkam dalam tabel induk.
Untuk menjawab permasalahan penelitian dilakukan serangkaian tahapan analisis data: 1.
Seleksi data yaitu editing, coding dan tabulasi dimasukkan pada file navigator program Stastical Package for The Social Sciences (SPSS).
2.
Analisis statistik deskriptif Analisis ini berguna untuk menggambarkan karakteristik umum dan distribusi variabel yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan kadar MDA serum pada kelompok katarak senilis matur dan imatur.
3.
Uji normalitas Shapiro-Wilk Mengingat jumlah sampel masing-masing kelompok kurang dari 30 maka digunakan uji normalitas Shapiro-Wilk. Data berdistribusi normal bila nilai p>0,05. Setelah dilakukan uji normalitas didapatkan data kadar MDA serum pada kelompok katarak senilis matur dan imatur berdistribusi normal.
4.
Uji homogenitas varians antar kelompok dengan uji-Levene Digunakan untuk menganalisis varians variabel antar kelompok katarak senilis matur dan imatur. Uji homogenitas varians kadar MDA serum antar kelompok katarak senilis matur dan imatur dengan uji-Levene didapatkan nilai p>0,05 yang menunjukkan data homogen.
5.
Analisis perbedaan Untuk mengetahui perbedaan kadar MDA serum antara kelompok katarak senilis matur dan imatur, digunakan analisis dengan uji t tidak berpasangan karena data berdistribusi normal.
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian Subjek penelitian dipilih secara konsekutif dari pasien katarak senilis yang datang ke RSUP Sanglah dan RS Indera, Denpasar selama periode 1 Oktober 2012 sampai 31 Maret 2013. Lima puluh delapan pasien memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yaitu 29 pasien katarak senilis matur dan 29 pasien katarak senilis imatur. Tabel 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik
Diagnosis Katarak Senilis Katarak Senilis Matur Imatur n=29 n=29 65,3±9,4 63,3±8,0
Umur (Tahun) (Rerata±SD) Jenis Kelamin {n (%)} Laki-laki Perempuan Pendidikan {n (%)} Tidak Sekolah SD SMP SMA Perguruan tinggi Pekerjaan {n (%)} Petani Ibu Rumah Tangga Swasta PNS/Pensiunan * Uji t tidak berpasangan ** Uji Chi square ***Uji Kolmogorov-Smirnov
17 (58,6) 12 (41,4)
16 (55,2) 13 (44,8)
Nilai p 0,377* 0,791** 0,564***
15 (51,7) 4 (13,8) 2 (6,9) 8 (27,6) 0 (0,0)
9 (31,0) 8 (27,6) 2 (6,9) 7 (24,1) 3 (10,3)
13 (44,8) 5 (17,2) 9 (31,0) 2 (6,9)
11 (37,9) 5 (17,2) 7 (24,1) 6 (20,7)
0,491**
Tabel 5.1 memperlihatkan karakteristik subjek penelitian. Pasien pada kelompok katarak senilis matur memiliki rerata umur 65,3±9,4 tahun dan rerata umur pasien katarak senilis imatur adalah 63,3±8,0 tahun. Jenis kelamin laki-laki ditemukan lebih banyak dibandingkan perempuan pada kedua kelompok yaitu 58,6% pada katarak senilis matur dan 55,2% pada katarak senilis imatur. Status pendidikan tidak sekolah ditemukan paling banyak yaitu sebesar 51,7% pada katarak senilis matur dan 31,0% pada katarak senilis imatur. Petani merupakan jenis pekerjaan terbanyak baik pada kelompok katarak senilis matur (44,8%) maupun katarak senilis imatur (37,9%). Tidak terdapat perbedaan antara kedua kelompok dalam karakteristik subjek penelitian 5.2
Perbedaan Kadar MDA Serum pada Katarak Senilis Matur dan Imatur Perbedaan kadar MDA serum pada kelompok katarak senilis matur dan
imatur dianalisis dengan uji t tidak berpasangan karena setelah dilakukan uji normalitas dengan Shapiro-Wilk dan uji homogenitas varians antar kelompok dengan uji-Levene didapatkan nilai p>0,05. Tabel 5.2 Perbedaan Kadar MDA Serum pada Katarak Senilis Matur dan Imatur Variabel Kadar MDA (µmol/L) (Rerata±SD)
Diagnosis Katarak Katarak Senilis Matur Senilis Imatur 5,4±0,4
*Uji t tidak berpasangan
4,6±0,6
Beda Rerata 0,8
Nilai p
IK 95%
<0,001* 0,543-1,055
Tabel 5.2 memperlihatkan perbedaan rerata kadar MDA serum pada kelompok katarak senilis matur dan imatur. Rerata kadar MDA serum pada kelompok katarak senilis matur didapatkan hasil yang lebih tinggi yaitu 5,4±0,4 µmol/L sedangkan pada katarak senilis imatur adalah 4,6±0,6 µmol/L. Hasil ini menunjukkan, rerata kadar MDA pada katarak senilis matur 0,8 µmol/L lebih tinggi daripada katarak senilis imatur dan perbedaan ini bermakna secara statistik (p<0,001).
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Subjek Penelitian Penelitian ini melibatkan 58 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yaitu dibagi menjadi 29 pasien katarak senilis imatur dan 29 pasien katarak senilis matur. Subjek penelitian kemudian dilakukan pengambilan darah vena untuk mengukur kadar MDA serum. Karakteristik subjek penelitian dalam penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan. Berdasarkan umur, penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan jumlah kasus katarak senilis meningkat sesuai dengan peningkatan umur (Sihota dan Tandan, 2007; Beebe dkk., 2010). Di Amerika Serikat, prevalensi katarak senilis meningkat dari 5% pada usia 65 tahun menjadi 50% pada penduduk usia 70 tahun ke atas (Beebe dkk., 2010). Goyal dkk. (2010) menemukan rerata umur pasien katarak senilis adalah 66,6±7,83 tahun. Penelitian Deepa dkk. (2011) di India menemukan rerata umur pasien katarak senilis matur adalah 64,73±8,39 tahun sedangkan pada pasien katarak senilis imatur adalah 62,25±7,49 tahun. Penelitian ini didapatkan rerata umur yang lebih tinggi pada kelompok pasien katarak senilis matur yaitu 65,3±9,4 tahun sedangkan pada katarak senilis imatur adalah 63,3±8,0 tahun. Umur merupakan faktor risiko terpenting untuk terjadinya katarak senilis. Katarak senilis umumnya mulai terjadi pada umur di atas 50 tahun dan terdapat kecenderungan peningkatan umur diikuti pula dengan peningkatan maturitas atau gradasi katarak senilis (Sihota dan Tandan, 2007; Kaur dkk., 2012). Lensa mata
mengalami perubahan sesuai dengan peningkatan umur, pada lensa akan terjadi mekanisme komplek yang menyebabkan perubahan formasi serat lensa dan lensa juga akan lebih rentan mengalami stres oksidatif sehingga kejernihan lensa menurun dan terjadi katarak senilis (Kisic dkk., 2009; Cekic dkk., 2010; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Ates dkk. (2010) mendapatkan sebesar 61% pasien katarak senilis adalah laki-laki sedangkan sisanya sebesar 39% adalah perempuan. Penelitian Miric dkk. (2012) menemukan baik katarak senilis matur maupun katarak senilis imatur lebih banyak ditemukan pada laki-laki yaitu 60% dan 58%. Penelitian ini didapatkan pasien laki-laki dengan katarak senilis matur sebesar 58,6% dan perempuan sebesar 41,4% sedangkan pada katarak senilis imatur, 55,2% ditemukan pada lakilaki dan 44,8% pada perempuan. Penelitian-penelitian lain yang dilakukan di berbagai negara mendapatkan hasil yang berbeda-beda mengenai predileksi jenis kelamin pada pasien katarak senilis. Katarak senilis matur maupun imatur pada penelitian ini didapatkan lebih banyak terjadi pada jenis kelamin laki-laki. Hal ini kemungkinan disebabkan karena laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas di luar ruangan. Negara tropis dengan karakteristik intensitas paparan sinar matahari yang lebih tinggi, aktivitas di luar ruangan dihubungkan dengan besarnya paparan sinar ultraviolet yang dialami. Semakin lama aktivitas di luar ruangan akan menyebabkan semakin besar paparan sinar ultraviolet yang didapat (Katoh dkk., 2001; Valero dkk., 2007). Suatu penelitian epidemiologi di Jepang menemukan jumlah pasien katarak senilis yang lebih tinggi pada pasien laki-laki yang bekerja di luar ruangan selama lebih
dari 5 jam perhari tanpa menggunakan alat pelindung (Nishikiori dan Yamamoto, 1987). Penelitian Sabanayagam dkk. (2011) di Singapura dan Malaysia menemukan katarak senilis lebih banyak ditemukan pada pasien dengan tingkat pendidikan primer (sekolah dasar) atau lebih rendah yaitu sebesar 74,4%. Noran dkk. (2007) menemukan sebagian besar pasien katarak senilis memiliki tingkat pendidikan rendah yaitu sebesar 63,5%. Penelitian ini didapatkan sebagian besar pasien pada kelompok katarak senilis matur memiliki status pendidikan tidak bersekolah yaitu sebesar 51,7%, demikian juga pada katarak senilis imatur sebagian besar pasien memiliki status pendidikan tidak bersekolah yaitu sebesar 31,0%. Beberapa peneliti menghubungkan tingkat pendidikan pasien katarak senilis dengan pemahaman pasien tentang penyakitnya, pengobatan yang dicari, higieni, gaya hidup, status sosial ekonomi, dan yang terpenting adalah status nutrisi (Leske dkk., 1997; Lindblad, 2008; Wu dkk. 2010). Rendahnya asupan nutrisi seperti vitamin C, E, A, riboflavin dan β karoten atau terjadinya defisiensi nutrisi pada periode kehidupan dapat memicu timbulnya katarak senilis yang lebih cepat dan juga dapat mempercepat progresivitas maturitas katarak senilis (Nirmalan dkk., 2004; Noran dkk., 2007; Lindblad, 2008). Selain itu, tingkat pendidikan juga dihubungkan dengan kecepatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Pasien dengan tingkat pendidikan tinggi biasanya lebih cepat mencari pelayanan kesehatan sehingga katarak senilis lebih banyak ditemukan pada stadium yang lebih awal, sedangkan pasien dengan tingkat pendidikan rendah
sebagian besar katarak senilis ditemukan sudah dalam stadium matur sehingga lebih berisiko untuk terjadi komplikasi baik sebelum maupun pada saat dilakukan tindakan pembedahan katarak (Tabin dkk., 2008; Kisic dkk., 2009). Nirmalan dkk. (2004) di India menemukan sebesar 90% pasien dengan katarak senilis bekerja di bidang pertanian. Penelitian Leske dkk. (1997) menemukan sebesar 23% pasien katarak senilis bekerja di bidang pertanian. Ziaulhak (2007) di Kalimantan Timur menemukan kasus katarak senilis meningkat pada pasien dengan aktivitas di luar ruangan lebih dari 5 jam perhari dalam 10 tahun terakhir. Katoh dkk. (2001) menemukan individu yang melakukan aktivitas di luar ruangan lebih dari 5 jam perhari pada dekade 2-3 masa kehidupannya akan memiliki risiko terjadi katarak senilis 2,8 kali lebih besar dibandingkan yang tidak melakukan aktivitas di luar ruangan. Penelitian ini didapatkan sebagian besar pekerjaan pasien adalah petani yaitu sebesar 44,8% pada katarak senilis matur dan 37,9% pada katarak senilis imatur. Beberapa peneliti menghubungkan pekerjaan dengan lamanya pasien melakukan aktivitas di luar ruangan yang selanjutnya dihubungkan dengan lamanya paparan sinar ultraviolet yang dialami (Valero dkk., 2007). Paparan sinar ultraviolet pada lensa akan mencetuskan reaksi oksidatif yang menghasilkan radikal bebas berlebihan. Radikal bebas yang tidak dapat dikompensasi oleh sistem antioksidan dalam lensa, baik secara langsung maupun tidak langsung akan menyebabkan kerusakan komponen lensa sehingga kejernihan lensa menurun dan terjadi katarak (Cekic dkk., 2010; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Usia juga dikatakan memiliki pengaruh pada sensitivitas lensa
terhadap paparan sinar ultraviolet. Paparan sinar ultraviolet yang reguler selama aktivitas pekerjaan akan dapat memicu terjadinya stres oksidatif yang dapat menyebabkan berbagai macam penyakit termasuk katarak senilis (Nirmalan dkk., 2004; Valero dkk., 2007).
6.2
Kadar MDA Serum Pasien Katarak Senilis Matur Berdasarkan maturitasnya, katarak senilis dapat dibagi menjadi empat
stadium yaitu insipien, imatur, matur dan hipermatur (Ilyas, 2001; Sihota dan Tandan, 2007). Di negara maju katarak senilis lebih banyak sudah ditemukan pada stadium insipien dan imatur. Hal berbeda ditemukan di negara berkembang dimana pasien dengan katarak senilis sebagian besar sudah berada pada stadium matur (Vashist dkk., 2008; Purushotam, 2009). Peningkatan maturitas katarak senilis akan diikuti dengan semakin berkurangnya tajam penglihatan pasien dan semakin tingginya kejadian komplikasi baik sebelum maupun pada saat dilakukan tindakan pembedahan katarak. Hal ini tentunya akan menimbulkan beban baik bagi pasien maupun keluarganya (Tabin dkk., 2008; Vashist dkk., 2008; Kisic dkk., 2009). Penelitian mengenai peran peroksidasi lipid pada berbagai stadium katarak senilis masih sangat sedikit dan memiliki rentang nilai yang bervariasi di berbagai negara (Kisic dkk., 2009; Deepa dkk., 2011; Miric dkk. 2012). Penelitian Deepa dkk. (2011) di India menemukan kadar MDA serum pasien katarak senilis stadium matur sebesar 6,830±0,451 µmol/L. Penelitian Miric dkk. (2012) ditemukan kadar MDA serum pasien katarak senilis stadium matur sebesar
5,11±1,23 µmol/L. Penelitian ini ditemukan rerata kadar MDA serum pasien katarak senilis matur sebesar 5,4±0,4 µmol/L. Kadar MDA serum pada katarak senilis matur dalam penelitian ini ditemukan lebih rendah dibandingkan penelitian Deepa dkk. (2011) di India, kemungkinan karena terdapat faktor-faktor yang berpengaruh pada kadar MDA serum belum dikontrol pada penelitian tersebut. Kadar MDA serum dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain umur, penyakit sistemik kronis, konsumsi obat antioksidan, merokok dan infeksi intraokular (Palmiere dan Sblendorio, 2006; Winarsi, 2007). Semua faktor tersebut telah dikontrol pada design penelitian ini melalui kriteria eksklusi, sehingga faktor-faktor tersebut diharapkan tidak berpengaruh terhadap kadar MDA serum pasien katarak senilis. Perbedaaan etnik dan ras juga kemungkinan berpengaruh pada perbedaan hasil yang didapat. Belum ada penelitian yang meneliti kadar MDA serum katarak senilis matur pada etnik atau ras yeng berbeda sehingga perlu dibuktikan melalui penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar dan melibatkan multisenter.
6.3
Kadar MDA Serum Pasien Katarak Senilis Imatur Katarak senilis stadium imatur merupakan stadium katarak yang paling
banyak ditemukan (Tabin dkk., 2008; Vashist dkk., 2008). Di Pakistan, didapatkan lebih dari 50% pasien dengan katarak senilis berada pada stadium imatur (Anjum dkk., 2006). Penelitian epidemiologi di India ditemukan terjadi peningkatan prevalensi katarak senilis imatur dari 3,44% pada usia di bawah 50 tahun menjadi 60,91% pada penduduk usia 50-60 tahun (Purushotam, 2009). Diperlukan pemahaman yang mendalam tentang patogenesis katarak senilis untuk
dapat mengembangkan strategi yang dapat memperlambat perkembangan maturitas katarak senilis (Tabin dkk., 2008; Kisic dkk., 2009). Stres oksidatif terutama peroksidasi lipid, berperan dalam patogenesis serta perkembangan maturitas katarak senilis (Kisic dkk., 2009; Cekic dkk., 2010). Penelitian Artunay dkk. (2009) menemukan kadar MDA serum pasien tanpa katarak senilis yang berumur di atas 50 tahun sebesar 2,54±1,69 µmol/L. Penelitian Deepa dkk. (2011) di India menemukan kadar MDA serum pasien katarak senilis stadium imatur sebesar 5,35±0,939 µmol/L. Penelitian ini didapatkan rerata kadar MDA serum pasien katarak senilis imatur sebesar 4,6±0,6 µmol/L. Penelitian ini menemukan kadar MDA serum pasien katarak senilis imatur lebih tinggi daripada nilai kadar MDA normal pada pasien berumur diatas 50 tahun. Hal ini menunjukkan keadaan stres oksidatif yang lebih tinggi pada pasien dengan katarak senilis. Pemeriksaan kadar MDA serum pada populasi normal belum pernah dilakukan di Bali. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menilai kadar MDA serum pada populasi normal di Bali karena perbedaan etnik, ras dan populasi dengan penelitian di negara lain tentunya dapat memberikan rentang nilai yang berbeda-beda. Kadar MDA serum pasien katarak senilis imatur pada penelitian ini ditemukan lebih rendah dibandingkan penelitian Deepa dkk. (2011) di India. Sama halnya dengan hasil yang diperoleh pada kadar MDA serum pasien katarak senilis matur, perbedaan ini kemungkinan disebabkan karena terdapat faktorfaktor yang berpengaruh pada kadar MDA serum belum dikontrol pada penelitian
tersebut. Perbedaaan etnik dan ras juga kemungkinan berpengaruh pada perbedaan hasil yang didapat.
6.4
Perbedaan Kadar MDA Serum Pasien Katarak Senilis Matur dan Imatur Stres oksidatif sangat berperan dalam patogenesis katarak senilis dan telah
dibuktikan oleh beberapa penelitian sebelumnya (El-Ghaffar dkk., 2007; Cekic dkk., 2010). Beberapa peneliti meyakini, dengan menunda kasus katarak senilis hingga 10 tahun lebih lambat, diharapkan dapat mengurangi kasus buta katarak yang perlu menjalani operasi menjadi setengahnya. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan mengidentifikasi faktor risiko katarak senilis dan mempelajari perubahan akibat stres oksidatif yang dapat mempengaruhi perkembangan katarak sehingga maturitas katarak senilis dapat diperlambat (Kisic dkk., 2009; Wu dkk., 2010; Kaur dkk.; 2012). Penelitian Deepa dkk. (2011) di India menemukan kadar MDA serum pasien katarak senilis stadium matur 1,48 µmol/L lebih tinggi daripada katarak senilis stadium imatur. Kisic dkk. (2009) di Serbia menemukan kadar MDA lensa pada pasien katarak senilis stadium matur (3,17±0,78 nmol/g lensa) lebih tinggi dibandingkan pada katarak senilis stadium insipien (1,81±0,67 nmol/g lensa) dengan beda rerata sebesar 1,36 nmol/g lensa. Penelitian ini didapatkan rerata kadar MDA serum pada kelompok katarak senilis matur 0,8 µmol/L lebih tinggi daripada katarak senilis imatur dan perbedaan ini bermakna secara statistik. Beda rerata kadar MDA serum pada kelompok katarak senilis matur dan imatur pada penelitian ini didapatkan lebih
rendah daripada penelitian sebelumnya di negara lain, hal ini kemungkinan disebabkan berbagai faktor yang dapat berpengaruh pada kadar MDA serum telah dikontrol pada design penelitian ini melalui kriteria eksklusi, sehingga faktorfaktor tersebut diharapkan tidak mempengaruhi hasil perbedaan kadar MDA serum pasien katarak senilis matur dan imatur. Peran peroksidasi lipid dalam progresivitas maturitas katarak senilis masih menjadi perdebatan (Kisic dkk., 2009; Miric dkk., 2012). Komposisi lipid lensa berubah secara dramatis sesuai dengan peningkatan umur akibat terjadinya stres oksidatif (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b). Proses peroksidasi lipid terjadi apabila senyawa radikal bebas bereaksi dengan senyawa asam lemak tak jenuh ganda. Bentuk produk dari proses peroksidasi lipid ini antara lain diena terkonjugasi, hidroperoksida dan senyawa-senyawa aldehida yang salah satunya adalah MDA. MDA merupakan produk akhir dari peroksidasi lipid dalam tubuh. Konsentrasi MDA yang tinggi menunjukkan adanya proses oksidasi pada membran sel serta status antioksidan yang rendah, sehingga MDA dapat digunakan sebagai indikator stres oksidatif (Winarsi, 2007; Kisic dkk., 2009). Beberapa peneliti menyatakan peroksidasi lipid terjadi pada tahap awal dari patogenesis katarak senilis (Babizhayev, 1985). Proses peroksidasi lipid dalam patogenesis katarak senilis akan terjadi reaksi radikal bebas dengan asam lemak tidak jenuh ganda yang terdapat pada membran sel lensa yang selanjutnya menyebabkan cross-linking lipid dan protein, agregasi protein lensa, peningkatan protein tidak larut air (water insoluble protein) sehingga menyebabkan kejernihan
lensa menurun dan terjadi katarak (El-Ghaffar dkk. 2007; Cekic dkk., 2010; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Hasil produksi sekunder mayor dari peroksidasi lipid berupa aldehid yang reaktif yaitu MDA, dapat digunakan sebagai biomarker stres oksidatif pada katarak senilis (Winarsi, 2007; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Dalam hubungan dengan progresivitas maturitas katarak senilis, penelitian Kisic dkk. (2009) menyatakan pada katarak senilis stadium insipien didapatkan kadar diena terkonjugasi pada lensa yang tinggi dan kadar MDA pada lensa yang rendah. Diena terkonjugasi merupakan molekul produk primer dari peroksidasi lipid yang biasanya ditemukan pada tahap awal proses peroksidasi lipid. Hal ini menjelaskan bahwa kadar diena terkonjugasi akan ditemukan lebih tinggi pada stadium katarak senilis awal (insipien). Hal yang sebaliknya ditemukan pada katarak senilis stadium matur, dimana pada penelitian tersebut didapatkan kadar MDA lensa yang tinggi dan kadar diena terkonjugasi yang rendah. MDA merupakan hasil degradasi akhir peroksidasi lipid sehingga kadarnya akan ditemukan lebih tinggi pada stadium katarak senilis yang lebih matur (Gupta dkk. 2003; Kisic dkk., 2009; Miric dkk., 2012). Penelitian Kisic dkk. (2009) tersebut mendukung bahwa peroksidasi lipid berperan dalam progresivitas maturitas katarak senilis. Peneliti lain juga mempercayai bahwa semakin meningkatnya proses peroksidasi lipid yang ditandai dengan tingginya kadar MDA berhubungan dengan peningkatan gradasi katarak senilis (Gupta dkk., 2003; Artunay dkk.,
2009). Paparan stres oksidatif yang kronis dikatakan pula dapat mempercepat maturitas katarak senilis (Miric dkk., 2012). Pemeriksaan MDA pada penelitian ini diambil dari serum. MDA ditemukan hampir di seluruh cairan biologis namun serum dan urine merupakan sampel yang paling umum digunakan, karena paling mudah didapat dan tidak invasif (Palmiere dan Sblendorio, 2006; Winarsi, 2007). Pemeriksaan MDA serum dikatakan kurang spesifik untuk katarak senilis karena dipengaruhi oleh keadaan homeostasis sistemik. Pemeriksaan MDA langsung pada lensa tentunya akan memberikan gambaran yang lebih akurat mengenai keadaan stres oksidatif pada katarak senilis (Zoric, 2003; Kisic dkk. 2009). Namun penelitian Zoric (2003) menemukan bahwa hasil pemeriksaan MDA pada lensa, aqueous, dan serum pada pasien katarak senilis memberikan nilai yang hampir sama sehingga dapat disimpulkan pemeriksaan MDA serum sudah memberikan gambaran keadaan stes oksidatif pada pasien katarak senilis. Nilai aplikatif yang bisa diambil dari penelitian ini adalah MDA serum dapat digunakan sebagai indikator dalam menilai progresivitas maturitas katarak senilis. Pemeriksaan MDA tentunya perlu mempertimbangkan biaya, karena pemeriksaan ini tergolong mahal dan terdapat masa kadaluarsa dari Kit MDA. Pemeriksaan kadar MDA serum rutin tidak perlu dilakukan pada setiap pasien katarak senilis. Pemeriksaan MDA dapat dipertimbangkan pada kasus katarak senilis stadium awal yang sudah muncul pada umur muda, sehingga selanjutnya dapat dipertimbangkan penggunaan antioksidan sebagai salah satu strategi dalam memperlambat progresivitas maturitas katarak senilis. Antioksidan juga
dipertimbangkan pemberiannya pada pasien berumur diatas 50 tahun tanpa katarak senilis untuk memperlambat timbulnya katarak senilis. Peroksidasi lipid terjadi dalam 3 tahap yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi (Winarsi, 2007). Beberapa peneliti mempercayai apabila salah satu tahapan proses peroksidasi lipid tersebut dapat dihambat, misalnya dengan pemberian antioksidan diduga dapat memperlambat terjadinya progresivitas maturitas katarak senilis atau bahkan memperlambat terjadinya katarak senilis (Gupta dkk., 2003; Artunay dkk., 2009; Kisic dkk., 2009). Pemberian antioksidan pada pasien katarak senilis sudah banyak dipaparkan oleh peneliti (Moeller dkk., 2008; Tan dkk., 2008). Penelitian Tan dkk. (2008) menemukan pemberian vitamin C dikombinasi dengan β karoten dan zinc dapat memberikan proteksi jangka panjang terhadap terjadinya katarak dan juga dapat memperlambat progresivitas katarak senilis terutama tipe nuklear. Penelitian Moeller dkk. (2008) menemukan pemberian lutein dan zeaxanthin pada katarak stadium awal, dapat memperlambat perkembangan maturitas katarak senilis. Penelitian tersebut juga menemukan pemberian lutein dan zeaxanthin pada pasien umur diatas 50 tahun tanpa katarak senilis, dapat memperlambat terjadinya katarak senilis. Antioksidan sendiri tidak harus selalu diperoleh dari obat-obatan. Bahan makanan yang mengandung vitamin A, C, E dan β karoten juga dapat bertindak sebagai antioksidan non enzimatis. Dalam hal ini, penting untuk memberikan edukasi kepada pasien mengenai pola makan, status nutrisi dan gaya hidup untuk meningkatkan asupan antioksidan yang selanjutnya dapat
memberikan proteksi terhadap stres oksidatif, sehingga nantinya dapat melindungi tubuh dari penyakit-penyakit degeneratif termasuk katarak senilis. Kadar MDA serum dipengaruhi oleh banyak faktor. Kelemahan dari penelitian ini adalah riwayat penyakit sistemik, merokok, penggunaan obat-obatan pada pasien didapatkan melalui wawancara serta tidak dilakukan analisis mengenai paparan sinar ultraviolet yang memang sangat sulit untuk dikendalikan sehingga hal ini dapat sebagai sumber bias dalam penelitian ini.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan kadar malondialdehyde (MDA) serum pada pasien katarak senilis matur lebih tinggi daripada katarak senilis imatur.
7.2 Saran Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kadar normal MDA serum pada populasi dengan jumlah sampel yang lebih besar dan melibatkan multisenter sehingga nantinya juga diketahui pengaruh ras dan etnik pada kadar MDA serum pasien katarak senilis.
DAFTAR PUSTAKA American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012a. Lens and Cataract. United State of America: American Academy of Ophthalmology. p. 5-74 American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012b. Fundamental and Principles of Ophthalmology. United State of America: American Academy of Ophthalmology. p. 273-318 Andley U.P., Liang J.J.N., dan Lou M.F. 2003. Biochemical Mechanism of AgeRelated Cataract. In: Albert D.M., Jakobiec F.A., editors. Principles and Practice of Ophthalmology. 3th ed. Philadelphia: Saunder. p. 1428-49 Anjum K.M., Qureshi M.A., Jan N., Ali A., Ahmad K., dan Khan M.D. 2006. Cataract Blindness and Visual Outcome of Cataract Surgery in a Tribal Area Pakistan. Br J Ophthalmol, 90: 135-8 Anonim. 2008. Calorimetric Assay for Lipid Peroxidation. Available from : URL: http://www.oxfordbiomed.com. Last update: 2 Agustus 2008 Artunay O., Uslu E., Unal M., Aydin S., Devranoglu K., dan Bahcecioglu H. 2009. Role of Anti-Oxidant System and Lipid Peroxidation in the Development of Age-Related and Diabetic Cataract. Glo Kat, 4:221-5 Ates O., Hamit H., Kocer I., Baykal O., dan Salman I.A. 2010. Oxidative DNA Damage in Patients with Cataract. Acta Ophthalmologica, 88:891-5 Babizhaev M.A. 1985. Accumulation of Lipid Peroxidation Product in Human Lens during Cataract Maturation. Vorp Med Khim, 31 (6): 100-4 Babizhaev M.A. 2005. Analysis of Lipid Peroxidation and Electron Microscope Survey of Maturation Stages During Human Cataractogenesis: Pharmacokinetic Assay of Can-C N- Acetylcarnosine Prodrug Lubricant Eye Drop for Cataract Prevention. Drug RD, 6 (6): 345-69 Baltranena F., Casasola K., Silva J.C., dan Limburg H. 2007. Cataract Blindness in 4 Region of Guatemala: Result of a Population-Based Study. J Cataract Refract Surg, 114: 1558-63 Beebe D.C. 2003. Lens. In: Koufman P.L., Alm A., Editors. Adler’s Physiology of The Eye. St Louis: Mosby. p. 117-57 Beebe D.C., Shui Y.B., dan Holekamp N.M. 2010. Biochemical Mechanism of Age-Related Cataract. In: Levin L.A., Albert D.M. editors. Ocular Disease Mechanisms and Management. Philadelphia: Saunders.p. 231-7
Berthoud V.M. dan Beyer E.C. 2009. Oxidative Stress, Lens Gap Junction and Cataract. Antioxid Redox Signal, 11 (2): 339-53 Borchman D. dan Yappert M.C. 2011. Lipid and Ocular Disease. Journal of Lipid Research, 20: 1-55 Casado A., De Lucas N., Lopez-Fernandez E., Sanchez A., dan Jimenez J.A. 2006. Lipid Peroxidation, Occupational Stress and Aging in Workers of a Prehospital Emergency Service. European Journal of Emergency Medicine, 13 (3): 165-71 Cekic S., Zlatanovic G., Cvetkovic T., dan Petrovic B. 2010. Oxidative Stress in Cataractogenesis. Bosnian Journal of Basic Medical Sciences, 3: 265-9 Chandrasena L.G., Chackrewarthy S., Perera T.M., dan Silva D. 2006. Erythrocite Antioxidant Enzyme in Patient with Cataract. Annal of Clinical and Laboratory Science, 36 (2): 201-4 Chang M.A., Congdon N.G., Baker S.K., Bloem M.W., Savage H., dan Sommer A. 2008. The Surgical management of Cataract: Barriers, Best Practices and Outcomes. Int Ophthalmol, 28: 247-60 Dalle-Donne I., Rossi R., Colombo R., Giustarini D., dan Milzani A. 2006. Biomarker of Oxidative Damage in Human Disease. Clinical Chemistry, 52 (4): 601-23 Deepa K., Goud M., Nandini M., Kamoth A., Sudhir, dan Nayol B. 2011. Oxidative Stress and Calcium Levels in Senile ang Type 2 Diabetic Cataract Patient. Biochemistry, 2: 109-15 Departement Kesehatan RI. 2009. Data Penduduk Sasaran Program Pembangunan Kesehatan 2007-2011. Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. p. 26 El Saygili S.N., Aksoy B., Gurier A., Aksoy O., Erel M., dan Ozaslan. 2010. Oxidant/Antioxidant Status of Patient with Diabetic and Senile Cataract. Biotechnol & Biotechnol Eq, 24 (1): 1648-52 El-Ghaffar A.A., Aziz M.A., Mahmoud A.M., dan Al-Balkini S.M. 2007. Elevation of Plasma Nitrate and Malondialdehyde in Patient with AgeRelated cataract. Middle East Journal of Ophthalmology, 14: 13-5 Fleiss J.L. 1981. Statistical Methods for Rates and Proportions. Second edition. New York: John Wiley. p. 100-10 Goyal M.M., Vishwajeet P., Mittal R., dan Sune P. 2010. A Potential Correlation between Systemic Oxidative Stress and Intracellular Ambiance of the Lens
Epithelia in Patients with Cataract. Journal of Clinical and Diagnostic Research, 4:2061-2067 Gsianturi. 2004. Angka Kebutaan di Indonesia Tertinggi di Asia Tenggara. Available from: http://www.AngkakebutaandiIndonesiatertinggidiAsia Tenggara.htm. Last update: 15 Mei 2004 Gupta S.K., Trivedi D., Srivastava S., Joshi S., Halder N., dan Verma S.D. 2003. Lycopene Attenuates Oxidative Stress Induced Experimental Cataract Development: An In Vitro and In Vivo Study. Nutrition, 19: 794-9 Ilyas S. 2001. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai penerbit FKUI. p. 212-4 Katoh N., Jonasson F., Sasaki H., Kojima M., Ono M., Takahashi N., dan Sasaki K. 2001. Cortical lens Opacification in Iceland. Acta Ophthalmol Scand, 79:154-9 Kaur J., Kukreja S., Kaur A., Malhotra N., dan Kaur R. 2012. The Oxidative Stress in Cataract Patients. Journal of Clinical and Diagnostic Research, 6 (10):1629-32 Kisic B., Miric D., Zoric L., Dragojevic I., dan Stolic A. 2009. Role of Lipid Peroxidation in the Pathogenesis of Age-Related Cataract. Vojnosanit Pregl, 66 (5): 371-5 Lemeshow S., Hosmer Jr D.W., Klar J., dan Lwanga S.K. 1990. Adequacy of Sample Size in Health Studies. Chichester: John Willey and Ons inc. p. 171-3 Leske M.C., Chylack L.T., dan He Q. 1997. Incidence and Progression of Cortical and Posterior subcapsular Opacities: the Longitudinal Study of Cataract. Ophthalmology, 104(12): 1987-93 Lienderiwati N.M. 2013. Kadar Malondialdehyde Serum Pasien dengan Diabetes Melitus Lebih Tinggi daripada Tanpa Diabetes Melitus pada Katarak Senilis Imatur. Tesis. Denpasar:Universitas Udayana Lindblad B.E. 2008. Risk Factors for Age-Related Cataract a Prospective Cohort Study. Thesis. Stockholm Sweden: Karolinska Institutet Miric D., Kisic B., Zoric L., Dolicanin Z., Mitic R., dan Miric M. 2012. The Impact of senile Cataract Maturity on Blood Oxidative Stress Markers and Glutathione-Dependent Antioxidant: Relations with Lens Variables. J Med Biochem, 31: 164-92 Moeller S.M., Voland R., Tinker L., Blodi B.A., Klein M.L., Gehrs K.M., Johnson E.J., Snodderly D.M., Wallace R.B., Chappell R.J., Parekh N., Ritenbaugh C., dan Mares J.A. 2008. Associations between Age-related
Nuclear Cataract and Lutein and Zeaxanthin in the Diet and Serum in the Carotenoids in the Age-Related Eye Disease Study, an Ancillary Study of the Women's Health Initiative. Arch Ophthalmol, 126 (3): 354-64 Nirmalan P.K., Robin A.L., Katz J., Tielsch J.M., Thulasiraj R.D., Krisnadas R., dan Ramakrishnan R. 2004. Risk Factors for Age Related Cataract in a Rural Population of Southern India: The Aravind Comprehensive Eye Study. Br J Ophthalmol, 88: 989-94 Nishikiori T., dan Yamamoto K. 1987. Epidemiology of cataracts. Dev Ophthalmol,15:24-7 Noran N.H., Nooriah S., dan Mimiwati Z. 2007. The Association between Body Mass Index and Age Related Cataract. Med J Malaysia, 62:49-52 Obstbaum S.A. 2006. Utilization, Appropriate Care, and Quality of Life for Patient with Cataract. J Cataract Refract Surg, 32: 1748-51 Palmiere B. dan Sblendorio V. 2006. Oxidative Stress Detection: What For?. European Review for Medical and Pharmacological Sciences, 10: 291-317 Patil, S. B., Kodliwadmath, M. V., and Sheela, M. K. 2006. Lipid peroxidation and Nonenzymatic Antioxidants in Normal Pregnancy. J Obstet Gynecol India, 56 (5): p. 399-401 Purushottam K. 2009. Cataract A Pilot Study. Indian J Ophthalmol, 55:355-9 Sabanayagam C., Wang J.J., Mitchell P., Tan A.G., Tai E.S., Aung T., Saw S.M., dan Wong T.Y. 2011. Metabolic Syndrome Components and Age-Related Cataract: The Singapore Malay Eye Study. Invest Ophthalmol Vis Sci, 52: 2397-404 Sihota R. dan Tandan R. 2007. Parson’s Diseases of The Eye. Indian: Elsevier. p. 247-69 Spector A. 1995. Oxidative Stress-Induced Cataract: Mechanism of Action. FASEB J, 9:1173-82 Tabin G., Chen M., dan Espandar L. 2008. Cataract Surgery for the Developing World. Curr Opin Ophthalmol, 19: 55-9 Tan A.G., Mitchell P., Flood V.M., Burlutsky G., Rochtchina E., Cumming R.G., dan Wang J.J. 2008. Antioxidant nutrient intake and the long-term incidence of age-related cataract: the Blue Mountains Eye Study. Am J Clin Nutr, 87:1899-904
Valero M.P., Fletcher A.E., Stavola B.L., dan Alepúz V.C. 2007. Years of Sunlight Exposure and Cataract: a Case-Control Study in a Mediterranean population. BMC Ophthalmology, 7:1-8 Vashist P., Talwar B., Gogoi M., Maraini G., Campatrini M., Ravindran R.D., Murthy G.V., Fitzpatrick K.E., John N., Chakravarthy U., Ravilla T.D., dan Fletcher A.E. 2011. Prevalence cataract in an Older Population in India The India Study of Age-related Eye Disease. Ophthalmology, 118:272-8 Widowati W., Suhardjo, Gunawan W., dan Ekantini R. 2004. Malondialdehyde Level in The Lens of Complicated Cataract patients with The Instillation of Diclofenac Sodium 0,1% Eye Drop Preoperatively. Berkala Ilmu Kedokteran, 36: 97-102 William D.L. 2006. Oxidation, Antioxidants and Cataract Formation: A Literature Review. Veterinary Ophthalmology, 9 (5): 292-8 Winarsi H. 2007. Antioksidan alami dan radikal bebas. Cetakan ke 2 , Kanisnus Yogyakarta. p. 50-5 Wu R., Wang J.J., Mitchell P., Lamoureux E.L., Zheng Y., Rochtchina E., Tan A.G., dan Wong T.Y. 2010. Smoking, Sosioeconomic Factors, and Agerelated Cataract. Arch Ophthalmol, 128 (8): 1029-35 Yagi, K. 1982. Assay for Serum Lipid Peroxide Level and Its Clinical Significance. In: Yagi, K. editor. Lipid Peroxide in Biology and Medicine. New York: Academic Press. p. 223-42 Ziaulhak S.R. 2007. Profil Penderita Katarak dan Pterigium di Kalimantan Timur Analisis Faktor Resiko Paparan Sinar Ultraviolet. Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia Zoric L. 2003. Parameters of Oxidative Stress in The lens, Aqueous Humor and Blood in Patients with Diabetes and Senile Cataracts. Srp Arh Celok Lek., 131(3-4):137-42
Lampiran 1. Penjelasan Penelitian INFORMASI YANG DIBERIKAN KEPADA SUBYEK PENELITIAN Kadar Malondialdehyde Serum Pasien Katarak Senilis Matur Lebih Tinggi daripada Katarak Senilis Imatur
Bapak dan ibu Yth, Katarak sampai saat ini masih menjadi penyebab kebutaan yang paling utama. Katarak merupakan kekeruhan pada lensa mata yang mengenai satu atau kedua mata. Katarak senilis merupakan jenis katarak yang terjadi karena proses degenerasi (penuaan) dan biasanya mulai timbul pada usia di atas 50 tahun. Penyebab katarak senilis ini bermacam-macam dan salah satunya adalah peranan stres oksidatif. Lensa mata normal dilengkapi perlindungan dan sistem antioksidan untuk melawan stres oksidatif. Seiring bertambahnya usia dan adanya paparan yang terus-menerus oleh bahan aktif, akan menyebabkan gangguan mekanisme proteksi antioksidan lensa mata. Hasil akumulasi dari stres oksidatif ini menyebabkan gangguan transparansi lensa sehingga terjadi katarak. Stres oksidatif juga diduga berperan dalam perkembangan maturitas katarak senilis. Malondialdehyde (MDA) merupakan biomarker stres
oksidatif,
dimana
konsentrasi MDA yang tinggi menunjukkan adanya peningkatan stres oksidatif. Kami akan melakukan penelitian apakah kadar MDA pada pasien katarak senilis matur lebih tinggi daripada pada katarak senilis imatur. Bila bapak dan ibu bersedia menjadi sampel penelitian, kami akan mengambil darah bapak/ibu untuk diperiksa kadar MDA nya di Laboratorium Analitik Universitas Udayana di Bukit
Jimbaran. Biaya yang diperlukan untuk pemeriksaan akan ditanggung oleh peneliti. Jika hasil pemeriksaan (kadar MDA) telah diketahui, maka hasil pemeriksaan tersebut akan kami sampaikan kepada bapak/ibu. Hasil pemeriksaan akan dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian seperti yang dimaksud diatas. Dengan ikut serta dalam penelitian ini, berarti bapak/ibu ikut berperan serta dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya etiopatogenesis dan perkembangan maturitas katarak senilis. Data mengenai bapak/ibu akan kami rahasiakan. Demikian penjelasan ini kami sampaikan, dan atas kesediaan bapak/ibu ikut serta menjadi sampel atau koresponden dalam penelitian ini, kami sampaikan banyak terima kasih. Bila ada hal-hal yang belum jelas, bapak/ibu dapat menghubungi peneliti dr Ni Putu Dita Rinjani P. di nomor HP 081337293421.
Peneliti
dr. Ni Putu Dita Rinjani Priyanti
Lampiran 2. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)
Yang bertanda tangan dibawah ini: Nama
:
Umur
:
Alamat
:
Telepon
:
Setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap mengenai maksud, tujuan dan manfaat penelitian ini, maka menyatakan setuju dan bersedia ikut serta dalam penelitian ini. Saya bersedia mentaati semua peraturan yang diberikan. Saya mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian ini bila saya menginginkan dan tidak akan merusak hubungan dokter-pasien dengan saya.
Denpasar, ..............................2013 Tanda tangan pasien
.....................................
Saksi
....................................
Peneliti
Dr Ni Putu Dita Rinjani Priyanti
Lampiran 3. Kuisioner Penelitian
1.
No Sampel
:
2.
No CM
:
3.
Tgl pemeriksaan :
4.
Nama
:
5.
Umur
:
6.
Jenis Kelamin
:
7.
Pekerjaan
:
8.
Pendidikan
:
9.
Alamat
: Tlp
10. Riwayat merokok
: merokok / tidak; jumlah ...... ; lama .......
11. Riwayat penyakit lain
:
a. DM
: Ada / tidak; lama ......
b. Hipertensi
: Ada / tidak; lama ......
c. Jantung
: Ada / tidak
d. Keganasan
: Ada / tidak; jenis .......
12. Riwayat terapi
:
a. AISN
: Ada / tidak; lama ......
b. Kortikosteroid
: Ada / tidak; lama ......
c. Imunosupresan
: Ada / tidak; lama ......
d. Antioksidan (vitamin A & E) : Ada / tidak; lama ...... 13. Vital sign
: TD: ............ mmHg; N: ........ X/mnt; R: ........ X/mnt; t: .........°C
14. Status General
:
15. Status oftalmologi OD
OS VA PH Palpebra Konjungtiva Kornea AC Iris/Pupil
Tipe........ Gradasi..........
Lensa Vitreus Fundus
16. Diagnosis
:
17. Kadar MDA
:
Tipe........ Gradasi..........
Lampiran 4. TABEL INDUK PENELITIAN NO
UMUR
JK
PEKERJAAN
PENDIDIKAN
DIAGNOSIS
1
MHS
NAMA
52
PEREMPUAN
SWASTA
SMA
KSI
MDA 4.55
2
IKS
68
LAKI-LAKI
PETANI
TIDAK
KSI
4.35
3
SDJ
65
PEREMPUAN
PENSIUNAN
S1
KSI
4.16
4
NWS
75
PEREMPUAN
IRT
TIDAK
KSI
4.23
5
GNP
62
LAKI-LAKI
PETANI
TIDAK
KSI
5.00
6
IKJ
65
LAKI-LAKI
PETANI
SD
KSI
4.26
7
IWP
66
LAKI-LAKI
SWASTA
SMP
KSI
4.75
8
NWR
64
PEREMPUAN
IRT
SD
KSI
5.10
9
NWK
73
PEREMPUAN
IRT
TIDAK
KSI
4.39
10
IKB
70
LAKI-LAKI
PENSIUNAN
SMA
KSI
5.17
11
IPS
51
LAKI-LAKI
PNS
S1
KSI
4.95
12
DTB
74
LAKI-LAKI
PETANI
TIDAK
KSI
4.00
13
NWN
65
PEREMPUAN
PETANI
TIDAK
KSI
4.19
14
JRP
63
PEREMPUAN
IRT
SD
KSI
3.59
15
NWK
53
PEREMPUAN
SWASTA
SMA
KSI
4.38
16
NMS
68
PEREMPUAN
PETANI
TIDAK
KSI
4.01
17
INS
57
LAKI-LAKI
SWASTA
SD
KSI
4.92
18
INL
51
LAKI-LAKI
SWASTA
SMA
KSI
5.37
19
INS
67
PEREMPUAN
PENSIUNAN
SMA
KSI
4.93
20
NWM
52
PEREMPUAN
PNS
S1
KSI
5.07
21
IKM
81
LAKI-LAKI
PETANI
TIDAK
KSI
3.19
22
IKP
70
LAKI-LAKI
PETANI
TIDAK
KSI
5.10
23
NYM
58
LAKI-LAKI
PETANI
SD
KSI
5.12
24
IWG
67
LAKI-LAKI
PETANI
SMP
KSI
5.25
25
IWD
58
LAKI-LAKI
SWASTA
SD
KSI
4.65
26
ITN
52
PEREMPUAN
IRT
SMA
KSI
4.14
27
NWS
60
PEREMPUAN
PENSIUNAN
SMA
KSI
4.75
28
QRO
68
LAKI-LAKI
SWASTA
SD
KSI
4.95
29
IWM
60
LAKI-LAKI
PETANI
SD
KSI
5.22
30
NKR
61
PEREMPUAN
PETANI
TIDAK
KSM
5.54
31
NPK
75
PEREMPUAN
PETANI
TIDAK
KSM
5.87
32
GAS
65
PEREMPUAN
IRT
TIDAK
KSM
5.92
33
IKM
60
LAKI-LAKI
SWASTA
TIDAK
KSM
5.20
34
IWD
76
LAKI-LAKI
PETANI
TIDAK
KSM
5.32
35
RBY
60
PEREMPUAN
IRT
SD
KSM
5.40
36
YLU
62
PEREMPUAN
PENSIUNAN
SMA
KSM
5.25
37
IKS
52
LAKI-LAKI
SWASTA
SMA
KSM
5.17
38
IWN
70
LAKI-LAKI
PETANI
TIDAK
KSM
4.88
39
NWW
76
PEREMPUAN
PETANI
SD
KSM
5.42
40
NGM
58
PEREMPUAN
SWASTA
SMA
KSM
5.45
41
NKP
61
PEREMPUAN
SWASTA
SMA
KSM
4.95
42
IMS
60
LAKI-LAKI
SWASTA
SMA
KSM
6.04
43
INM
80
LAKI-LAKI
PETANI
TIDAK
KSM
5.07
44
SMI
59
LAKI-LAKI
SWASTA
SD
KSM
5.00
45
INK
76
LAKI-LAKI
PETANI
TIDAK
KSM
5.74
46
NWJ
69
PEREMPUAN
PETANI
TIDAK
KSM
5.42
47
MSR
68
LAKI-LAKI
PETANI
TIDAK
KSM
5.79
48
INW
55
LAKI-LAKI
SWASTA
SMP
KSM
5.25
49
MSP
52
LAKI-LAKI
SWASTA
SMA
KSM
5.67
50
IMD
62
LAKI-LAKI
PETANI
TIDAK
KSM
5.32
51
KDJ
72
PEREMPUAN
IRT
TIDAK
KSM
5.15
52
MWY
86
LAKI-LAKI
PETANI
SD
KSM
6.81
53
IWM
82
LAKI-LAKI
PETANI
TIDAK
KSM
4.95
54
RNK
58
LAKI-LAKI
PENSIUNAN
SMA
KSM
5.40
55
NMD
70
PEREMPUAN
IRT
TIDAK
KSM
4.60
56
IWS
56
LAKI-LAKI
SWASTA
SMP
KSM
5.50
57
AAE
54
PEREMPUAN
IRT
SMA
KSM
5.15
58
IKD
59
LAKI-LAKI
PETANI
TIDAK
KSM
5.67
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS UDAYANA UPT. LAB. ANALITIK Kampus Bukit Jimbaran, Telp. 0361701954, HP.082341777050 Nomor
: 160/UN14.24/UPTLA/2013
KEPADA YTH: dr. Dita
Hal
: Hasil Laboratorium
di tempat
No. Pasien 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
MDA (Mol/L) KSI KSM 4.55 5.54 4.35 5.87 4.16 5.92 4.23 5.20 5.00 5.32 4.26 5.40 4.75 5.25 5.10 5.17 4.39 4.88 5.17 5.42 4.95 5.45 4.00 4.95 4.19 6.04 3.59 5.07 4.38 5.00 4.01 5.74 4.92 5.42 5.37 5.79 4.93 5.25 5.07 5.67 3.19 5.32 5.10 5.15 5.12 6.81 5.25 4.95 4.65 5.40
26 27 28 29
4.14 4.75 4.95 5.22
4.60 5.50 5.15 5.67
Bukit Jimbaran, 12 April 2013 Kepala UPT Laboratorium Kimia Analitik Unud
(Prof.Dr. Ir. Ida Bagus Putra Manuaba, MPhil)
Lampiran 5. Out Put SPSS UMUR Diagnos is umur
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
KSI
29
63.28
7.950
1.476
KSM
29
65.31
9.400
1.746
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova
Diagnos is umur
Statistic
Df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
KSI
.109
29
.200*
.959
29
.307
KSM
.189
29
.009
.938
29
.090
a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance.
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Sig. (2-
F
Sig.
umur Equal variances assumed Equal variances not assumed
1.698
.198
T
df -
.890
.890
Mean
Std. Error
Difference
tailed) Difference Difference Lower
Upper
56
.377
-2.034
2.286
-6.614
2.545
54.499
.377
-2.034
2.286
-6.617
2.548
JENIS KELAMIN diagnosis KSI jenis_kelamin
laki-laki
Count % within diagnosis
perempuan
Count % within diagnosis
Total
Count % within diagnosis
KSM
Total
16
17
33
55.2%
58.6%
56.9%
13
12
25
44.8%
41.4%
43.1%
29
29
58
100.0%
100.0%
100.0%
Chi-Square Tests (Jenis kelamin)
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
.070a
1
.791
Continuity Correctionb
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.070
1
.791
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
1.000 .069
1
.793
58
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.50. b. Computed only for a 2x2 table
.500
PENDIDIKAN diagnosis KSI pendidikan
tidak
Count % within diagnosis
sd
sltp
slta
31.0%
51.7%
41.4%
8
4
12
27.6%
13.8%
20.7%
2
2
4
6.9%
6.9%
6.9%
7
8
15
24.1%
27.6%
25.9%
3
0
3
10.3%
.0%
5.2%
29
29
58
100.0%
100.0%
100.0%
Count % within diagnosis
Total
24
Count % within diagnosis
univ
15
Count % within diagnosis
Count % within diagnosis
Total
9
Count % within diagnosis
KSM
Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
5.900a
4
.207
Likelihood Ratio
7.101
4
.131
Linear-by-Linear Association
1.527
1
.217
Pearson Chi-Square
N of Valid Cases
58
a. 4 cells (40.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.50.
Test Statisticsa pendidikan Most Extreme Differences
Absolute
.207
Positive
.000
Negative
-.207
Kolmogorov-Smirnov Z
.788
Asymp. Sig. (2-tailed)
.564
a. Grouping Variable: diagnosis
PEKERJAAN diagnosis KSI pekerjaan
petani
Count
13
24
37.9%
44.8%
41.4%
5
5
10
17.2%
17.2%
17.2%
7
9
16
24.1%
31.0%
27.6%
6
2
8
20.7%
6.9%
13.8%
29
29
58
100.0%
100.0%
100.0%
Count % within diagnosis
swasta
Count % within diagnosis
PNS Pensiunan
Count % within diagnosis
Total
Count % within diagnosis
Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
df
sided)
2.417a
3
.491
2.511
3
.473
.887
1
.346
58
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.00.
Total
11
% within diagnosis IRT
KSM
KADAR MDA Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova
Diagno sis mda
Statistic
Df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
KSI
.165
29
.042
.934
29
.068
KSM
.118
29
.200*
.937
29
.085
a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance.
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Sig. (2-
F
Sig.
T
df
Mean
Std. Error
Difference
tailed) Difference Difference Lower
Upper
mda Equal variances
3.368
.072 6.248
56
.000
.79862
.12783 .54255 1.05469
6.248 53.475
.000
.79862
.12783 .54229 1.05495
assumed Equal variances not assumed
KADAR MDA Diagnosis mda
KSI
Statistic
Mean
4.6117
95% Confidence Interval for Lower Bound
4.4074
Mean
Upper Bound
4.6438
Median
4.7500 .288
Std. Deviation
.53704
Minimum
3.19
Maximum
5.37
Range
2.18
Interquartile Range
.87
Skewness
-.753
.434
.183
.845
Mean
5.4103
.07997
95% Confidence Interval for Lower Bound
5.2465
Kurtosis KSM
.09973
4.8160
5% Trimmed Mean
Variance
Std. Error
Mean
Upper Bound
5.5741
5% Trimmed Mean
5.3861
Median
5.4000
Variance Std. Deviation
.185 .43063
Minimum
4.60
Maximum
6.81
Range
2.21
Interquartile Range
.52
Skewness
1.103
.434
Kurtosis
2.837
.845