TESIS
PENURUNAN KADAR SUPEROKSIDA DISMUTASE LENSA BERHUBUNGAN DENGAN PENINGKATAN DERAJAT KEKERUHAN LENSA PADA KATARAK SENILIS
(7,6
I PUTU RUSTAMA PUTRA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
TESIS
PENURUNAN KADAR SUPEROKSIDA DISMUTASE LENSA BERHUBUNGAN DENGAN PENINGKATAN DERAJAT KEKERUHAN LENSA PADA KATARAK SENILIS
(7,6
I PUTU RUSTAMA PUTRA NIM : 0914128203
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
PENURUNAN KADAR SUPEROKSIDA DISMUTASE LENSA BERHUBUNGAN DENGAN PENINGKATAN DERAJAT KEKERUHAN LENSA PADA KATARAK SENILIS
Tesis Ini Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik (Combined Degree) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
I PUTU RUSTAMA PUTRA NIM : 0914128203
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 18 JUNI 2014
Pembimbing I,
Pembimbing II,
dr. W. G. Jayanegara, SpM(K) NIP. 19640229 1991031002
dr. AAA. Sukartini Djelantik, SpM(K) NIP. 19560420 1982122001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
Direktur, Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof.Dr.dr.Wimpie,I.Pangkahila,SpAnd,FAACS NIP. 19461213 1971071001
Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi,SpS(K) NIP. 19590215 1985102001
Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 18 Juni 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana No: 1658/UN14.4/HK/2014 , Tanggal 10 Juni 2014
Ketua
: dr. I W.Gede Jayanegara, Sp.M(K)
Sekretaris
: dr. A.A.A. Sukartini Djelantik, Sp.M(K)
1. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M.OH 2. Prof. dr. N.K. Niti Susila,Sp.M(K) 3. dr. Made Agus Kusumadjaja. Sp.M(K)
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkah-Nya, sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari sepenuhnya tesis ini tidak mungkin dapat selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, izinkan penulis dengan setulus hati menghaturkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada : 1.
Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), M.Kes yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Magister Pascasarjana dan Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 di Universitas Udayana.
2.
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. AA Raka Sudewi, SpS(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan sebagai mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana.
3.
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Combined Degree, Prof. Dr. dr. Wimpie, I. Pangkahila, SpAnd., FAACS yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan Program Studi Ilmu Biomedik combined degree.
4.
Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.kes atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 di Bagian Ilmu Kesehatan Mata.
5.
Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr. Putu Budhiastra, SpM (K) yang telah memberikan kesempatan mengikuti program
pendidikan spesialisasi dan memberikan bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi. 6.
Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr. AAA Sukartini Djelantik, SpM(K) yang telah memberikan kesempatan mengikuti program pendidikan spesialisasi, memberi petunjuk, serta bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi.
7.
dr. W. G. Jayanegara, SpM(K), sebagai pembimbing I yang telah meluangkan waktu, memberikan petunjuk dan pengarahan, sejak awal penulisan sampai dapat menyelesaikan tesis ini.
8.
dr. AAA Sukartini Djelantik, SpM(K) selaku pembimbing II yang selalu memberikan bimbingan dan pengarahan hingga terselesaikannya tesis ini.
9.
Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M.OH, Prof. N.K. Niti Susila, Sp.M(K) dan dr. Made Agus Kusumadjaja, Sp.M(K) selaku penguji atas semua masukan, koreksi dan saran dalam penyelesaian tesis ini.
10. Direktur RS Indera Denpasar atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melaksanakan penelitian di RS Indera Denpasar. 11. Dr. I G.N. Made Sugiana SpM, sebagai Kepala SMF Mata RS Indera Denpasar, yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian di RS Indera Denpasar. 12. Prof. DR. Ir. I.B. Putra Manuaba, M.Phil atas bantuan dan kerjasamanya dalam pemeriksaan sampel penelitian serta memberikan masukan mengenai statistik penelitian.
13. Seluruh Konsulen Ilmu Kesehatan Mata serta dosen Pascasarjana Program Studi Ilmu Biomedik Combined Degree atas segala bimbingannya. 14. Seluruh teman sejawat residen di Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas bantuan dan kerjasamanya selama ini 15. Seluruh paramedik di Poliklinik Mata dan IBS RSUP Sanglah atas bantuan dan kerjasamanya dalam pengumpulan sampel penelitian. 16. Seluruh paramedik di Poliklinik Mata dan Ruang Operasi RS Indera Denpasar atas kerjasamanya dalam pengumpulan sampel penelitian. Rasa syukur dan sujud kepada Ayahanda dan Ibunda kami I Nengah Sumatra, Ama.Pd. dan Ni Putu Rusmawati, yang telah memberikan doa, kasih-sayang, motivasi dan semangat kepada penulis. Ayahanda dan Ibunda Mertua I Ketut Nilawarsa dan Ni Nyoman Tunas, terimakasih atas dorongannya selama ini. Akhirnya kepada istri tercinta Ni Luh Made Cintia Dewi dan Ananda tersayang I Putu Prema Khamahitha dan I Made Raktha Anantanaya atas doa, dorongan semangat, dan pengertian selama penulis menyelesaikan pendidikan dan penelitian ini. Semoga tesis ini memberikan manfaat dan sumbangan yang berguna bagi perkembangan pelayanan kesehatan mata serta bagi pendidikan IImu Kesehatan Mata. Terakhir, semoga Sang Hyang Widhi Wasa – Tuhan Yang Maha Esa, selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.
Denpasar, 18 Juni 2014
Penulis
ABSTRAK
PENURUNAN KADAR SUPEROKSIDA DISMUTASE LENSA BERHUBUNGAN DENGAN PENINGKATAN DERAJAT KEKERUHAN LENSA PADA KATARAK SENILIS
Katarak senilis merupakan penyakit multifaktorial dan salah satu faktornya adalah stres oksidatif. Superoksida dismutase adalah satu antioksidan enzimatik lensa yang melindungi mata dari stres oksidatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara penurunan kadar superoksida dismutase (SOD) dengan peningkatan derajat kekeruhan lensa pada katarak senilis. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang analitik yang dilakukan di poliklinik Mata RSUP Sanglah dan RS Indera, Denpasar, Bali, mulai bulan Januari 2014 sampai bulan Mei 2014. Pasien katarak senilis dikelompokkan menjadi 4 kelompok berdasarkan derajat kekeruhan lensa menurut Burrato. Sampel diambil dengan teknik consecutive sampling dan dioperasi atas indikasi visual. Lensa yang diekstraksi diperiksa kadar SOD-nya. Jumlah sampel yang diperiksa sebanyak 52 lensa. Rerata kadar SOD lensa pada Derajat 2 sebesar 21,147±1,603 µg/g protein, Derajat 3 sebesar 16,653±0,991 µg/g protein, Derajat 4 sebesar 13,920±1,374 µg/g protein dan Derajat 5 sebesar 11,668±1,496 µg/g protein. Hubungan kadar SOD lensa derajat kekeruhan lensa dianalisis dengan uji Spearman dan didapatkan hubungan negatif yang sangat kuat (r= - 0,9) dan bermakna secara statistik (p=0,001). Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penurunan kadar superoksida dismutase lensa berhubungan dengan peningkatan derajat kekeruhan lensa pada katarak senilis. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mencari faktor-faktor lain yang ikut berperan dalam etiopatogenesis katarak senilis selain SOD. Kata kunci : katarak senilis, derajat kekeruhan lensa, kadar superoksida dismutase lensa
ABSTRACT
DECREASED OF LENS SUPEROXIDE DISMUTASE LEVEL CORRELATED WITH INCREASED OF LENS OPACIFICATION GRADE IN SENILE CATARACT
Senile cataract is a multifactorial disease including oxidative stress. Superoxide dismutase (SOD) is one of the enzymatic antioxidant lenses that protect the lens from oxidative stress. The aim of this study was to determine the correlation between the levels of lens superoxide dismutase and the grade of opacification of the lens in senile cataract. This study was an analytic cross-sectional observasional study conducted in Eye clinic Sanglah Hospital and Indera Hospital, Denpasar, Bali, starting in January 2014 until May 2014. Senile cataract patients classified into 4 groups based on the grade of lens opacification according Burrato criteria. Samples were taken with consecutive sampling technique and operation on visual indication. The extracted lens were examined for SOD level. A total of 52 patients were included in this study. The mean level of lens SOD were 21.147±1.603 µg/g protein in grade 2, 16.653±0.991 µg/g protein in grade 3, 13.920±1.374 µg/g protein in grade 4 and 11.668±1.496 µg/g protein in grade 5. Spearman's correlation test showed that was a very strong negative correlation between lens SOD level and grade of lens opacification in senile cataract (r= -0.9) and statistically significant (p=0.001). The conclusion was the decreased of lens SOD level correlated with increased of lens opacification grade in senile cataract. Further research is needed to look for other factors that play a role in the aetiopathogenesis senile cataract in addition to SOD. Keywords : senile cataract, lens opacification grade, lens superoxide dismutase level
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL………………………………………………………
i
PRASYARAT GELAR……………………………………………………
ii
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………….
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ……………………………………...
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT……………………………
v
UCAPAN TERIMA KASIH……………………………………………..
vi
ABSTRAK………………………………………………………………..
ix
ABSTRACT……………………………………………………………….
x
DAFTAR ISI………………………………………………………………
xi
DAFTAR TABEL…………………………………………………………
xiv
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………...
xv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG……………………………..
xvi
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xvii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang…………………………………………………….
1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………
7
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………….
7
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………...…
8
1.4.1 Manfaat teoritis ..………………………………………...…
8
1.4.2 Manfaat praktis…………………………………….....……..
8
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Lensa………………........................................................................
9
2.1.1 Anatomi dan histologi lensa ...................................................
9
2.1.2 Biokimia lensa ........................................................................
11
2.1.3 Fisiologi lensa .…………………………………….....……..
13
2.2 Katarak Senilis.................................................................................
15
2.2.1 Definisi dan epidemiologi katarak ..............……….....……..
15
2.2.2 Etiologi dan patofisiologi katarak senilis .......……......……..
16
2.2.3 Derajat kekeruhan lensa katarak senilis ....…………….........
18
2.2.4 Indikasi bedah pada katarak senilis………………………..
18
2.3 Radikal bebas dan Stres Oksidatif...................................................
19
2.3.1 Radikal bebas……...………………………………………...
19
2.3.2 Stres oksidatif…………………….........................................
21
2.3.3 Antioksidan……………. .......................................................
22
2.3.4 Superoksida dismutase…………….....………………….......
24
2.3.5 Stres oksidatif pada katarak senilis………………………….
26
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir .……………………………………………….
30
3.2 Konsep Penelitian…………...........……………………………….
31
3.3 Hipotesis Penelitian ………….………………………………......
31
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian……………………………………………...
32
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian……………………………………...
32
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian……........………………………...
33
4.3.1 Populasi penelitian........……………………………………..
33
4.3.2 Sampel penelitian …………………………………….........
33
4.3.2.1 Kriteria inklusi dan eksklusi penelitian ......................
33
4.3.2.2 Besar sampel...…………………………………....….
34
4.3.2.3 Cara pemilihan sampel…..................………………...
35
4.4 Variabel Penelitian………………………………………………...
35
4.4.1 Klasifikasi dan identifikasi variabel……………………........
35
4.4.2 Definisi operasional variabel………………………………..
36
4.5 Instrumen Penelitian.........................................................................
37
4.6 Prosedur Penelitian...........................................................................
37
4.6.1 Tahap persiapan......................................................................
37
4.6.2 Pelaksanaan penelitian............................................................
38
4.7 Alur Penelitian ................................................................................
40
4.8 Analisis Data .......………………………………………….……...
41
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian…………………………………
42
5.2 Perbedaan Kadar SOD Lensa pada Masing-Masing Derajat Kekeruhan Lensa……………………………………………….. 5.3 Hubungan Kadar SOD Lensa dengan Derajat Kekeruhan Lensa…
43 45
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Subjek Penelitian…………………………………………………
46
6.2 Kadar SOD Lensa pada Katarak Senilis…………………………
50
6.3 Hubungan antara Kadar SOD Lensa dengan Derajat Kekeruhan Lensa pada Katarak senilis………………………………………
56
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan………………………………………………………….
64
7.2 Saran………………………………………………………………
64
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………....…….
65
LAMPIRAN-LAMPIRAN .......................................................................
72
DAFTAR TABEL
5.1
Karakteristik Subjek Penelitian ……………………………………………
5.2
Perbedaan
5.3
Kadar
SOD
Lensa
pada
Masing-Masing
43
Derajat
Kekeruhan Lensa…………………………………………………………..
44
Hubungan antara Kadar SOD Lensa dengan Derajat Kekeruhan Lensa…..
45
DAFTAR GAMBAR Halaman
2.1
Anatomi Lensa ......................................................................................
10
2.2
Mekanisme Terjadinya ROS……..........………................................
21
2.3
Mekanisme Aktivitas ROS dan Antioksidan pada Lensa.....................
28
3.1
Bagan Konsep Penelitian ......................................................................
31
4.1
Rancangan Penelitian ............................................................................
32
4.2
Skema Hubungan Antar Variabel ........................................................
35
4.3
Skema Alur Penelitian ...........................................................................
40
5.1
Grafik Kadar SOD lensa pada Masing-Masing Derajat Kekeruhan Lensa…………………………………………………………………… 44
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
ATP
= Adenosine Triphosphate
AINS
= Anti inflamasi non steroid
DNA
= Deoxyribosa Nucleic Acid
HCl
= Hidrogen Chlorida
HMP
= Hexose Monophosphate
H2O2
= Hidrogen Peroksida
GSH
= Glutation
GPX
= Glutation Peroxidase
GSP
= Glutation S-Transferase
GSSG
= Glutation Disulfida
HMP
= Hexose Monophosphat
LOOH
= Lipid Peroksida
MDA
= Malondialdehyde
NADPH
= Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate
Na-K-ATPase
= Natrium-Kalium-Adenosine Triphosphatease
O2-
= Superoksida -
OH
= Hidroksil
PNS
= Pegawai Negeri Sipil
RNA
= Ribonucleic Acid
ROS
= Reactive Oxygen Species
SD
= Sekolah Dasar
SMP
= Sekolah Menengah Pertama
SMA
= Sekolah Menengah Atas
SOD
= Superoxide Dismutase
SICS
= Small Incision Cataract Surgery
WHO
= World Health Organization
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Surat Keterangan Kelaikan Penelitian………..
72
Lampiran 2
Surat Ijin Penelitian di RSUP Sanglah…………
73
Lampiran 3
Surat Ijin Penelitian di RS Indera………………
74
Lampiran 4
Penjelasan Penelitian…………………………..
75
Lampiran 5
Lembar Persetujuan ......................................
77
Lampiran 6
Kuisioner Penelitian…………………………….
78
Lampiran 7
Hasil Pemeriksaan Kadar SOD Lensa………….
80
Lampiran 8
Tabel Induk Penelitian…................................
82
Lampiran 9
Out Put SPSS…………………………………..
83
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Katarak merupakan penyebab kebutaan yang terbanyak di dunia sampai saat ini bila dibandingkan dengan penyakit mata lainnya. Katarak pada umumnya adalah penyakit degeneratif yang terjadi pada usia lanjut. Katarak dapat terjadi tanpa keluhan atau dengan keluhan berupa gangguan penglihatan dari derajat ringan sampai berat bahkan berakhir dengan kebutaan. Kebutaan karena katarak di Indonesia maupun di negara berkembang lainnya akan terus menjadi masalah kesehatan masyarakat. Menurut World Health Organization (WHO), di dunia pada saat ini jumlah penderita dengan tajam penglihatan terganggu sebanyak 180 juta, dan 37 juta orang di antaranya mengalami kebutaan serta diperkirakan akan meningkat menjadi dua kali lipat pada tahun 2020 (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Survei kesehatan indera penglihatan di Indonesia tahun 1993-1996 menunjukkan angka kebutaan 1,47% dari total jumlah penduduk. Penyebab utama kebutaan di Indonesia, yaitu katarak (1,02%), glaukoma (0,16%), kelainan refraksi (0,14%), kelainan retina 0,09%, dan kelainan kornea 0,06% (Depkes RI, 2009). Katarak senilis merupakan hampir 90% dari seluruh kasus katarak. (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Katarak senilis adalah kekeruhan lensa yang menyebabkan penurunan tajam penglihatan yang berkaitan dengan proses degenerasi lensa yang berusia lanjut, yaitu
di atas 40 tahun (Gondhowiardjo dan
Simanjuntak, 2006; Ilyas, 2008). Jumlah penderita katarak di Indonesia saat ini berbanding lurus dengan jumlah penduduk usia lanjut, yang pada tahun 2000 diperkirakan mencapai 15,3 juta dan cenderung bertambah besar pada tahun 2025 akan mengalami peningkatan sebesar 414 % dibandingkan dengan keadaan pada tahun 1990
(Depkes RI, 2009). Katarak senilis menjadi masalah yang serius di bidang kesehatan (Brian dan Taylor, 2001; Chang dkk., 2008). Jumlah pasien katarak senilis di Bali kemungkinan besar akan meningkat pula dengan bertambahnya jumlah penduduk usia tua. Penelitian epidemiologi di India melaporkan terjadi peningkatan prevalensi katarak senilis dari 3,44% pada usia di bawah 50 tahun menjadi 60,91% pada penduduk usia 5060 tahun (Purushottam, 2009). Katarak umumnya terjadi pada usia lanjut, namun 16% katarak di Indonesia terjadi pada usia produktif (40-45 tahun) (Depkes RI, 2009). Masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan menderita katarak 15 tahun lebih cepat dibandingkan penderita di daerah subtropik. Peningkatan maturitas atau kekeruhan katarak senilis tentunya diikuti pula dengan semakin berkurangnya tajam penglihatan pasien yang pada akhirnya akan menimbulkan beban baik bagi pasien maupun keluarganya (Soehardjo, 2004). Sampai sekarang tidak terdapat penanganan medis untuk katarak senilis kecuali pembedahan. Peningkatan maturitas juga berpengaruh pada semakin tingginya kejadian komplikasi baik sebelum maupun pada saat dilakukan tindakan pembedahan katarak (Soehardjo, 2004). Pembedahan katarak masih sulit dijangkau oleh sebagian besar masyarakat akibat kurangnya fasilitas kesehatan, sumber daya manusia belum memadai, besarnya biaya yang diperlukan untuk operasi, sehingga angka backlog katarak di Indonesia masih tinggi. Demikian pula hasil akhir operasi terkadang tidak sesuai harapan (Brain dan Taylor, 2001). Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang mendalam tentang etiopatogenesis katarak senilis, sehingga dapat dikembangkan strategi dalam usaha memperlambat perkembangan maturitas katarak senilis (Delcourt
dkk., 2003; Tabin dkk., 2008; Chang dkk., 2013). Proses terjadinya katarak senilis memang tidak dapat dicegah namun usaha untuk menunda onset terjadinya atau menghambat progresivitas katarak dapat mengurangi jumlah operasi katarak (Taylor, 2000). Bila onset terjadinya katarak dapat ditunda sampai 10 tahun, kebutuhan operasi dapat diturunkan sampai setengah dari jumlah keseluruhan penderita yang memerlukan operasi (Brian dan Taylor, 2001; Virgolici dkk., 2009). Etiopatogenesis katarak bersifat multifaktorial dan sampai saat ini belum sepenuhnya diketahui secara pasti (Beebe dkk., 2010; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Salah satu teori tentang etiopatogenesis katarak yang banyak berkembang belakangan ini adalah mekanisme stres oksidatif. Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan (Palmiere dan Sblendario, 2006; Winarsi, 2007). Stres oksidatif yang terjadi terus-menerus merupakan mekanisme penting yang berpengaruh pada proses terjadinya katarak. Lensa mata sangat sensitif terhadap stres oksidatif. Lensa berada dalam lingkungan endogen yang kaya dengan radikal bebas yang diproduksi oleh konsentrasi oksigen lokal yang tinggi, paparan sinar ultraviolet yang lama dan aktivitas sel-sel epitelial lensa yang patologis (Virgolici dkk., 2009). Lensa mata normal dilengkapi perlindungan dan sistem antioksidan untuk melawan stres oksidatif. Seiring bertambahnya usia dan adanya paparan yang terus-menerus oleh agen dari luar, sehingga terjadi akumulasi radikal bebas yang berlebihan dan akan menyebabkan gangguan mekanisme proteksi antioksidan lensa mata (Cekic dkk., 2010; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Hasil akumulasi dari stres oksidatif menyebabkan gangguan fungsi metabolisme lensa, agregasi protein lensa, peningkatan
protein tidak larut air (water insoluble protein), sehingga menyebabkan gangguan transparansi lensa dan terjadi katarak (El-Ghaffar dkk., 2007; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a; Kisic dkk., 2012). Radikal bebas mempunyai sifat sangat reaktif dan dapat mengubah molekul menjadi radikal. Radikal bebas atau Reaktive Oxygen Species (ROS) merupakan suatu bentukan yang dihasilkan oleh pernapasan secara aerob dan reaksi metabolik yang menggunakan oksigen. Oksigen selama proses oksidasi akan dikonversi menjadi air, tetapi 1-2% akan menjadi oksigen reaktif terutama superoksida (O2-), hidroksil (OH•) dan hidroperoksida (H2O2). Superoksida ini sangatlah reaktif dan membutuhkan antioksidan untuk menetralisirnya (William, 2006; Ates dkk., 2010). Radikal bebas ini akan merusak membran sel yang banyak mengandung asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lipid. Peroksida lipid sebagai radikal bebas yang sangat toksik beredar di seluruh tubuh dan akan merusak membran sel yang merupakan awal dari pembentukan katarak. (Vinson, 2006; Winarsi, 2007). Antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal dampak negatif radikal bebas. Superoksida dismutase (SOD) merupakan salah satu enzim antioksidan penting yang berasal dari tubuh sendiri, berefek sangat kuat dan merupakan pertahanan tubuh garis pertama dalam mengatasi stres oksidatif (Rajkumar dkk., 2008). SOD merupakan antioksidan
pencegah
yang
dapat
menghambat
sebelum
anion
superoksida
menyebabkan kerusakan. Cara kerja SOD adalah dengan mengkonversi anion superoksida (O2-) menjadi komponen lain yang kurang berbahaya, yaitu hidrogen peroksida (H2O2) yang selanjutnya dengan bantuan katalase diubah menjadi air (H2O) (Behndig dkk., 1998; Li, 2003). Kadar radikal bebas yang tinggi di dalam tubuh dapat
ditunjukkan oleh rendahnya kadar aktivitas enzim antioksidan dan tingginya kadar malondialdehid (MDA) pada plasma (Winarsi, 2007; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Priyanti (2013), melaporkan kadar MDA pada katarak senilis matur lebih tinggi daripada katarak senilis imatur. Beberapa penelitian menyebutkan SOD adalah biomarker yang amat penting untuk mengetahui kapasitas antioksidan dalam patogenesis terjadinya katarak senilis namun hasilnya masih bervariasi (Chakraborty dkk., 2007; Rajkumar dkk., 2008). Penelitian Kaur dkk. (2012) di India, menemukan SOD serum pasien katarak senilis (2,0-3,3unit/ml) lebih rendah daripada orang tanpa katarak senilis(2,8-66,6 unit/ml). Deepa dkk. (2011) yang melakukan penelitian di India menemukan aktivitas antioksidan lensa pada katarak senilis matur (0,765±0,059 unit/ml) lebih rendah daripada katarak senilis imatur (0,886±0,069 unit/ml). Chakraborty dkk. (2007) menemukan bahwa terjadi penurunan SOD dalam serum pasien katarak senilis (3,28±0,32 unit/ml) bila dibandingkan dengan kontrol (4,06±0,26 unit/ml) yang merupakan pasien tanpa katarak senilis. Demikian juga penelitian di China yang dilakukan oleh Chang dkk. (2013) menemukan bahwa kadar SOD serum pada pasien katarak
senilis
(97,26±13,56
unit/ml)
lebih rendah
daripada
orang normal
(103,47±18,97 unit/ml). Hasil yang berbeda diperoleh pada penelitian POLA bahwa peningkatan kadar SOD eritrosit dengan peningkatan risiko katarak senilis tipe nuklear (Delcourt dkk., 2003). Nourmohammadi dkk. (2001) pada penelitian di Iran menemukan peningkatan aktivitas SOD eritrosit pada pasien katarak dibandingkan dengan pasien tanpa katarak.
Telah diketahui bahwa hampir setiap sel tubuh manusia menghasilkan SOD yang berfungsi melindungi sel selama metabolisme tubuh yang menggunakan oksigen dengan menangkap radikal bebas dan mengubahnya menjadi bentuk yang kurang berbahaya. SOD bekerja di seluruh organ bahkan di setiap sel demikian pula sel-sel lensa mata. Lensa adalah organ yang spesifik,yaitu
avaskular dan seluruh
metabolismenya didukung oleh humor akuos. Aktivitas SOD pada lensa mata berbeda dengan organ atau jaringan lainnya (American Academy of Ophthalmology Staff, 20112012a; Kisic dkk., 2012). Selama ini telah banyak penelitian mengenai aktivitas SOD secara sistemik yang diukur dari sampel serum darah dan eritrosit sedangkan penelitian aktivitas atau kadar SOD pada lensa mata masih sedikit. Penelitian ini mengukur kadar SOD pada lensa pasien katarak yang telah menjalani operasi katarak dengan indikasi visual dan diharapkan dapat diketahui kadar SOD langsung pada target organ yang mengalami stres oksidatif. Penelitian mengenai hubungan kadar SOD lensa dengan derajat kekeruhan lensa pada pasien katarak senilis belum pernah dilakukan sampai saat ini di Bali bahkan di Indonesia. Penduduk pulau Bali umumnya termasuk ras melayu, tinggal di daerah tropis dengan paparan sinar ultra violet yang banyak, umumnya bekerja sebagai petani, tingkat pendidikan yang relatif rendah, dan nutrisi yang tentunya berbeda dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan di negara lain tentunya akan memberikan hasil penelitian yang berbeda. Wawasan
tentang etiopatogenesis katarak senilis dalam
hubungannya dengan stres oksidatif melalui pemeriksaan SOD, diharapkan dapat memberikan masukan dalam pengembangan strategi untuk menunda onset terjadinya katarak senilis.
1.2 Rumusan Masalah Apakah penurunan kadar SOD lensa berhubungan dengan peningkatan derajat kekeruhan lensa pada katarak senilis? 1.3 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui hubungan antara penurunan kadar SOD lensa dengan peningkatan derajat kekeruhan lensa pada katarak senilis. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1
Manfaat teoritis 1. Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang etiopatogenesis katarak senilis dalam hubungannya dengan stres oksidatif. 2. Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang kadar SOD lensa pada masing-masing derajat kekeruhan lensa katarak senilis.
1.4.2
Manfaat praktis 1.
Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan, peran SOD dalam menilai dan memprediksi derajat kekeruhan lensa katarak senilis.
2.
Dapat digunakan sebagai awal dari sebuah pohon penelitian, sehingga nantinya dapat dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengembangkan strategi dalam memperlambat onset terjadinya katarak senilis.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Lensa 2.1.1 Anatomi dan histologi lensa Lensa adalah struktur kristalin berbentuk bikonveks dan transparan. Lensa adalah salah satu dari media refraktif terpenting yang berfungsi memfokuskan cahaya masuk ke mata agar tepat jatuh di retina. Lensa memiliki dua permukaan, yaitu permukaan anterior dan posterior. Permukaan posterior lebih cembung daripada permukaan anterior. Lensa bersama dengan iris membentuk diafragma optikal yang memisahkan bilik anterior dan posterior bola mata. Lensa tidak memiliki serabut saraf, pembuluh darah, dan jaringan ikat (Lang, 2000; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b). Secara histologis, lensa memiliki empat komponen utama, yaitu kapsul lensa, epitelial subkapsular, korteks , dan nukleus. Kapsul lensa terdiri dari kapsul anterior dan kapsul posterior. Kapsul ini merupakan suatu membran basalis dan terutama terdiri atas kolagen tipe IV, beberapa serat kolagen lain dan komponen matriks ekstraselular, seperti glikosaminoglikan, laminin, fibronektin, dan proteoglikan (Sihota dan Tandan, 2007; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b). Epitelial subkapsular terdiri atas sel epitel kuboid yang hanya terdapat pada permukaan anterior lensa. Epitelial subkapsular yang berbentuk kuboid akan berubah menjadi kolumnar di bagian ekuator dan akan terus memanjang dan membentuk serat lensa. Lensa bertambah besar dan tumbuh seumur hidup dengan terbentuknya serat lensa baru dari sel-sel yang terdapat di ekuator lensa. (Kanski, 2003; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b).
Nukleus merupakan serat massa lensa yang terbentuk sejak lahir sedangkan korteks merupakan serat yang terbentuk setelah lahir. Nukleus
lensa lebih keras
daripada korteks. Serat lensa tersusun memanjang dan tampak sebagai struktur tipis dan gepeng. Serat ini merupakan sel-sel yang sangat terdiferensiasi dan berasal dari sel-sel subkapsular. Serat lensa akhirnya kehilangan inti serta organelnya dan menjadi sangat panjang. Sesuai dengan bertambahnya umur, lensa lama-kelamaan menjadi lebih besar dan kurang elastis. Sel-sel ini berisikan sekelompok protein yang disebut kristalin. Nukleus dan korteks terbentuk dari lamella konsentris yang panjang. Lensa ditahan di tempatnya oleh sekelompok serat yang tersusun radial yang disebut zonula, yang satu sisinya tertanam di kapsul lensa dan sisi lainnya pada badan siliar (Sihota dan Tandan, 2007; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b).
Gambar 2.1 Anatomi lensa (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b)
2.1.2 Biokimia lensa
Lensa manusia mempunyai konsentrasi protein 33% dari berat keringnya, 2 kali lebih besar daripada di jaringan lainnya. Protein lensa dibagi ke dalam dua kelompok berdasarkan kelarutannya di dalam air, yaitu fraksi yang larut dalam air dan fraksi yang tidak larut dalam air. Fraksi yang larut di dalam air berjumlah sekitar 80% dari protein lensa dan terdiri dari sekelompok protein yang disebut kristalin. Kristalin merupakan protein intraselular yang tersusun di dalam epitelial dan membran plasma dari serat lensa. Kristalin dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu: alfa, beta, dan gamma. Fraksi yang tidak larut di dalam air dibagi lagi menjadi dua fraksi, yaitu yang larut dan tidak larut di dalam urea. Fraksi yang larut dalam urea terdiri dari protein sitoskeletal yang menjadi penyusun struktur sel lensa. Fraksi yang tidak larut di dalam urea menyusun membran plasma serat lensa (Lang, 2006; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Lensa membutuhkan suplai energi dalam bentuk adenisine triphosphate (ATP) yang terus-menerus untuk transport aktif ion dan asam amino, mempertahankan keadaan dehidrasi lensa, untuk sintesis protein dan glutation (GSH) secara terusmenerus. Kebanyakan energi yang dihasilkan dipakai oleh sel-sel epitelial sebagai tempat utama proses transpor aktif. Hanya sekitar 10-20% ATP yang digunakan untuk sintesis protein (Kanski, 2003; American Academy of Ophthalmology Staff, 20112012a). Produksi energi sangat bergantung pada metabolisme glukosa. Glukosa memasuki lensa dari humor akuos secara difusi, baik yang sederhana maupun yang terfasilitasi. Metabolisme glukosa pada lensa, 78% dimetabolisme secara anaerob oleh jalur glikolisis, 5% oleh hexose monophosphate (HMP) shunt dan sebagian kecil melalui siklus Krebs (Vavvas dkk., 2002; American Academy of Ophthalmology Staff,
2011-2012a). Kebanyakan glukosa yang ditransport ke dalam lensa difosforilasi menjadi glukosa-6-fosfat (G6P) oleh enzim heksokinase. Kemudian
G6P akan
memasuki dua jalur metabolisme, yaitu glikolosis anaerob dan HMP shunt (Kanski, 2003; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Jalur yang paling aktif adalah glikolosis anaerob, yang menyediakan ATP dalam jumlah yang banyak yang dibutuhkan untuk metabolisme lensa. Jalur glikolisis anaerob kurang efektif dibandingkan glikolisis aerob karena hanya menghasilkan 2 molekul ATP dari 1 molekul glukosa sedangkan glikolisis aerob menghasilkan 36 ATP. Rendahnya tekanan oksigen di dalam lensa menyebabkan hanya sekitar 3% dari glukosa lensa yang melalui jalur siklus Krebs untuk menghasilkan energi (Lang, 2006; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Jalur yang kurang aktif dalam menggunakan G6P di dalam lensa adalah HMP shunt atau yang biasa dikenal sebagai jalur pentosa fosfat. Aktivitas HMP shunt di dalam lensa lebih tinggi daripada jaringan tubuh lainnya. Aktivitas HMP shunt menghasilkan nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH) untuk biosintesis asam lemak dan biosintesis ribosa nukleotida. NADPH juga yang sangat penting untuk glutation reduktase dan untuk aktivitas aldose reduktase di dalam lensa. Produk karbohidrat dari HMP shunt memasuki jalur glikolisis dan dimetabolisme menjadi laktat (Kanski, 2003; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Jalur sorbitol relatif tidak tetap pada lensa normal tetapi jalur ini berperan penting dalam terjadinya katarak pada pasien diabetes dan galaktosemia. Aldose reduktase merupakan enzim kunci dalam jalur sorbitol. Ketika terjadi peningkatan kadar glukosa di dalam lensa, seperti yang terjadi pada keadaan hiperglikemia, jalur sorbitol
lebih diaktifkan daripada jalur glikolisis dan sorbitol terakumulasi. Sorbitol dimetabolisme menjadi fruktosa oleh enzim polyol dehidrogenase. Sebagian kecil glukosa akan mengalami metabolisme aerob melalui siklus Krebs. Metabolisme aerob ini dapat menghasilkan radikal bebas yang dapat mengganggu fisiologi lensa (Vavvas dkk., 2002; Berthoud dan Beyer, 2009; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). 2.2.3 Fisiologi Lensa Epitelial merupakan bagian lensa dengan tingkat metabolisme paling tinggi. Pada epitelial lensa terjadinya aktivitas metabolisme dan transport aktif yang membawa keluar seluruh hasil aktivitas sel normal termasuk deoxyribonucleic acid (DNA), ribonucleic acid (RNA), protein, sintesis lipid, dan ATP. ATP dibutuhkan untuk transportasi nutrisi, memelihara pertumbuhan sel, dan transparansi lensa. Lensa bersifat avaskular, sehingga humor akuos berfungsi sebagai sumber nutrisi dan mengeluarkan produk sisa metabolik lensa (Vavvas dkk., 2002). Aspek fisiologi yang terpenting dalam menjaga ketransparanan lensa adalah pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit. Ketransparanan lensa sangat bergantung pada komponen struktural, makromolekular dan hidrasi lensa Lensa mempunyai kadar kalium dan asam amino yang tinggi dibandingkan humor akuos dan korpus vitreus tetapi memiliki kadar natrium dan klorida yang lebih rendah dibandingkan sekitarnya. Keseimbangan elektrolit diatur oleh permeabilitas membran dan pompa natrium dan enzim Na-K-ATPase. Pompa ini berfungsi memompa natrium keluar dan memompa kalium untuk masuk. Kalium dan asam amino ditransportasikan ke dalam lensa secara aktif ke anterior lensa melalui epitelial. Lalu kalium dan asam amino akan berdifusi
melalui bagian posterior lensa sedangkan natrium masuk ke dalam lensa di bagian posterior lensa secara difusi dan keluar melalui bagian anterior lensa secara aktif (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Kadar natrium di dalam lensa sekitar 20 mM dan kadar kalium sekitar 120 mM. Kadar natrium dan kalium di sekitar humor akuos dan korpus vitreus sedikit berbeda. Natrium lebih tinggi sekitar 150 mM sedangkan kalium sekitar 5 mM. Pompa natrium berfungsi memompa ion natrium keluar sedangkan ion kalium masuk. Mekanisme pompa natrium bergantung pada pemecahan ATP dan diatur oleh enzim Na-K-ATPase. Adanya hambatan pada enzim Na-K-ATPase menyebabkan kehilangan keseimbangan kation dan peningkatan air di dalam lensa (Vavvas dkk., 2002 ). 2.2. Katarak Senilis 2.2.1
Definisi dan epidemiologi katarak senilis
Katarak merupakan kekeruhan pada serabut lensa atau bahan lensa mata di dalam kapsul lensa yang diakibatkan hidrasi cairan lensa, denaturasi protein lensa, dan gangguan metabolisme lensa (Ilyas, 2008). Katarak senilis merupakan jenis katarak yang paling banyak ditemukan. Pasien katarak senilis diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus katarak (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Katarak senilis adalah kekeruhan lensa yang terjadi karena proses degenerasi dan biasanya mulai timbul pada usia diatas 40 tahun (Gondhowiardjo dan Simanjuntak, 2006; Ilyas, 2008). World Health Organization (WHO) melaporkan kurang lebih 37 juta penduduk dunia mengalami kebutaan dan 47,8% dari jumlah tersebut disebabkan oleh katarak (Tabin dkk., 2008; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a;).
Berdasarkan survei nasional pada tahun 1993-1996, angka kebutaan di Indonesia mencapai 1,47% dari total jumlah penduduk dan merupakan angka kebutaan tertinggi di Asia Tenggara. Dari hasil survei tersebut, katarak merupakan penyebab kebutaan yang terbanyak di Indonesia, yaitu sebanyak 1.02 % (Gsianturi, 2004; Depkes RI, 2009). Kejadian katarak senilis sangat erat kaitannya dengan umur, hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari berbagai ras (Congdon dkk., 200l). Penelitian oleh Leske dkk. (2002) pada Barbados Eye Studies Group menunjukkan bahwa kelompok umur 5059 tahun mempunyai angka risiko relatif 11 kali dibanding kelompok umur 40-49 tahun dan angka risiko relatif akan terus meningkat dengan bertambahnya umur. Penelitian oleh Eye Diseases Prevalence Research Group di Amerika Serikat tentang prevalensi katarak menunjukkan bahwa prevalensi katarak pada kelompok umur 40-49 tahun 2,5%, meningkat menjadi 25% pada kelompok umur 65-69 tahun dan 68,3% pada kelompok diatas 80 tahun (Friedman dkk., 2004). 2.2.2
Etiopatogenesis katarak senilis
Telah banyak informasi yang diperoleh sehubungan dengan mekanisme biokimia dan metabolism lensa normal maupun katarak pada berbagai binatang percobaan. Informasi sangat membantu menjelaskan perubahan fisik dan kimia yang terjadi akibat radiasi, trauma fisik, obat-obatan, kekurangan nutrisi, katarak pada diabetes. Timbulnya katarak senilis merupakan yang proses yang disebabkan oleh berbagai faktor yang meliputi faktor ekternal dan internal yang terjadi secara akumulasi. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi secara berulang-ulang melalui berbagai reaksi kimia, sehingga merusak kejernihan lensa (Li, 2003; Vinson, 2006). Namun untuk menjelaskan proses kataraktogenesis sebagai proses sebab dan akibat pada katarak senilis secara pasti belum
ditemukan. Berbagai penelitian meliputi studi epidemiologi, histologis, analisis biokimia, beberapa faktor risiko kataraktogenesis sudah dan terus berlangsung sampai sekarang. Lensa katarak mempunyai tanda karakteristik berupa degenerasi hidrofik, denaturasi protein, nekrosis, dan gangguan susunan serabut lensa (Vaughan dkk., 2002). Penambahan umur akan mengakibatkan lensa menjadi lebih berat dan lebih tebal, lapisan baru serabut lensa membentuk korteks dan akhirnya nukleus menjadi tertekan kemudian mengeras. Melalui mekanisme kimia, kristalin mengalami agregasi dan berat molekulnya meningkat. Hasil agregasi protein mengakibatkan penurunan kecerahan, perubahan indeks refraksi lensa serta penyebaran sinar (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Perubahan kimiawi protein nukleus lensa menghasilkan pigmen yang berlebihan, sehingga warna menjadi kuning atau abu-abu. Pada lensa juga mengalami penurunan kadar glutation dan kalium, peningkatan kadar natrium dan kalsium serta peningkatan hidrasi. Konsumsi antioksidan yang kurang juga dapat dikaitkan dengan berbagai bentuk katarak senilis (Michael dan Bron, 2011). Aktivitas sistem antioksidan enzimatik (SOD, glutation peroksidase, katalase) dan antioksidan nonenzimatik (vitamin C, glutation, sistein) yang menurun pada lensa, humor akuos dan proses penuaan sangat mempengaruhi perkembangan katarak senilis (Ozmen dkk., 2000). Mengingat penyebab terjadinya katarak senilis bersifat multifaktorial dan belum diketahui secara pasti, maka guna mendapatkan strategi pengendalian perlu dicari beberapa faktor risiko. Berbagai faktor risiko yang dianggap berhubungan dengan terjadinya katarak senilis antara lain diabetes mellitus, hipertensi, paparan sinar ultra violet B, obesitas, merokok, tingkat pendidikan, kekurangan vitamin E serum,
peningkatan asam urat serum, kekurangan riboflavin, myopia, warna iris yang gelap, dan lain-lain (Leske dkk.,2002; Zoric dkk., 2008). Dewasa ini salah satu teori tentang etiologi katarak senilis yang banyak berkembang adalah mekanisme stres oksidatif. Lensa mata sangat sensitif terhadap terjadinya stres oksidatif. Seiring bertambahnya umur dan adanya paparan yang terusmenerus oleh agen dari luar, akan menyebabkan gangguan mekanisme proteksi antioksidan lensa mata. Hasil akumulasi dari stres oksidatif menyebabkan gangguan fungsi metabolisme lensa, agregasi protein lensa, peningkatan protein tidak larut air (water insoluble protein), sehingga menyebabkan gangguan transparansi lensa dan terjadi katarak (El-Ghaffar dkk., 2007; Cekic dkk., 2010; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Secara pasti belum bisa ditentukan pada umur berapa mulai timbulnya katarak dalam hubungannya dengan stres oksidatif karena banyak faktor yang berpengaruh dan berbeda-beda pada masing-masing individu (Spector, 1995; Ates dkk., 2010; Cekic dkk., 2010). 2.2.3
Derajat kekeruhan lensa katarak senilis Derajat kekeruhan lensa pada katarak senilis dapat dibagi menjadi lima derajat
berdasarkan klasifikasi Buratto. Derajat 1 biasanya ditandai dengan visus yang masih lebih baik dari 6/12, lensa tampak sedikit keruh dengan warna agak keputihan dan refleks fundus masih dengan mudah dapat dilihat. Derajat 2 ditandai dengan nukleus yang mulai sedikit berwarna kekuningan, visus antara 6/12 sampai 6/30 dan refleks fundus juga masih mudah diperoleh. Derajat 3 ditandai dengan nukleus berwarna kuning dan korteks yang berwarna keabu-abuan dan visus antara 3/60 sampai 6/30. Derajat 4 ditandai dengan nukleus yang sudah berwarna kuning kecoklatan dengan usia
pasien biasanya sudah lebih dari 65 tahun dan visus biasanya antara 3/60 sampai 1/60. Derajat 5 ditandai dengan nukleus berwarna coklat hingga kehitaman dan visus biasanya 1/60 atau lebih jelek (Sihota dan Tandan, 2007; Ilyas 2008). 2.2.4 Indikasi bedah pada katarak senilis Indikasi utama bedah pada katarak senilis adalah keinginan pasien untuk meningkatkan tajam penglihatannya. Indikasi bedah katarak lainnya meliputi indikasi medik dan kosmetik. Indikasi medik dilakukan pada pasien glaukoma fakolitik, glaukoma fakomorfik, uveitis fakoantigenik, dislokasi lensa ke bilik mata depan, dan beberapa indikasi tambahan sehubungan dengan katarak yang mengganggu tindakan medik di belakang lensa, misalnya laser pada retina, diagnosis retina, dan vitrektomi (Soehardjo, 2004; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). 2.3 Radikal Bebas dan Stres Oksidatif 2.3.1 Radikal bebas Dewasa ini, dunia kedokteran dan kesehatan banyak membahas tentang radikal bebas dan antioksidan. Hal ini karena sebagian besar penyakit diawali oleh adanya reaksi oksidasi yang berlebihan di dalam tubuh. Tampaknya oksigen merupakan sesuatu yang paradoksial dalam kehidupan. Molekul ini sangat dibutuhkan oleh organisme aerob karena memberi energi pada proses metabolisme dan respirasi, namun pada kondisi tertentu keberadaannya dapat berimplikasi pada berbagai penyakit (Vinson, 2006; Winarsi, 2007). Radikal bebas merupakan spesies kimiawi dengan satu elektron yang tak berpasangan di orbit terluar. Keadaan kimiawi tersebut sangat tidak stabil dan mudah bereaksi dengan zat kimia organik atau anorganik. Saat dibentuk di dalam sel, radikal
bebas segera menyerang dan mendegradasi asam nukleat dan berbagai molekul membran sel. Selain itu radikal bebas menginisasi reaksi autokatalitik, sehingga semakin memperbanyak rantai kerusakan (Mitchel dan Contran, 2008). Target utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh, lipoprotein, karbohidrat, RNA, dan DNA (Valko dkk., 2005; Winarsi, 2007). Radikal bebas terbentuk dari metabolisme normal sel-sel tubuh, fagositosis sebagai bagian dari reaksi inflamasi, radiasi, polusi, merokok, dan lain-lain. Radikal bebas juga dapat terbentuk dari senyawa lain yang sebenarnya bukan radikal bebas tetapi mudah berubah menjadi radikal bebas, misalnya hidrogen peroksida, ozon, dan lain-lain. Kedua kelompok senyawa tersebut sering disebut sebagai senyawa reaktif oksigen atau Reaktive Oxigen Species (ROS). Telah dikenal tiga jenis ROS, yaitu superoksida (O2-), hidrogen peroksida (H2O2) dan hidroksil (OH•) (Winarsi, 2007). Reaktive Oxigen Species juga dapat diproduksi oleh sel dalam kondisi stres maupun tidak stres. Pada kondisi tidak stres, terdapat keseimbangan antara proses pembentukan dan pemusnahan ROS. Sementara pada keadaan stres, pembentukan ROS lebih tinggi dibandingkan dengan pemusnahannya. Akibatnya sistem pertahanan tubuh terpacu untuk bekerja keras memusnahkan ROS. Antioksidan enzimatis dan nonenzimatis adalah sistem pertahanan yang bekerja menekan ROS yang berlebihan (Mitchel dan Contran, 2008). Reaktive Oxigen Species adalah produk normal dari metabolisme seluler. ROS memiliki efek menguntungkan dan efek merugikan. Efek menguntungkan ROS terjadi pada konsentrasi rendah hingga sedang yang merupakan proses fisiologis dalam respon seluler terhadap bahan-bahan yang merugikan, seperti dalam pertahanan diri terhadap
infeksi, dalam sejumlah fungsi sistem sinyal seluler, dan induksi respon mitogenik (Valko dkk., 2006). ROS dapat terjadi melalui beberapa mekanisme yang berbeda, seperti reperfusi-iskemia, aktivasi neutrofil dan makrofag, kimia Fenton, endothelial cell xanthine oxidase, metabolisme asam lemak bebas dan prostaglandin, dan hipoksia seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.2 (Kohen dan Nyska, 2002; Winarsi, 2007; Hiromichi dkk., 2008).
Gambar 2.2 Mekanisme terjadinya ROS (Hiromichi dkk., 2008).
2.3.2 Stres oksidatif Stres oksidatif didefinisikan sebagai gangguan keseimbangan antara produksi radikal bebas dengan antioksidan yang menyebabkan kerusakan jaringan. Stres oksidatif
dapat diakibatkan oleh pengurangan level antioksidan dan peningkatan produksi radikal bebas ( Winarsi, 2007). Organisme harus menghadapi dan mengontrol adanya ROS dan antioksidan secara terus-menerus. Keseimbangan kedua faktor ini yang dikenal dengan nama redoks potensial yang bersifat spesifik untuk tiap organel dan lokasi biologis. Hal-hal yang mempengaruhi keseimbangan ke arah manapun menimbulkan efek buruk terhadap sel dan organisme. Perubahan keseimbangan kearah peningkatan ROS yang disebut stres oksidatif akan menyebabkan kerusakan oksidatif. Perubahan keseimbangan kearah peningkatan kekuatan reduksi atau antioksidan juga akan menimbulkan kerusakan yang disebut stres reduktif (Kohen dan Nyska, 2002). Stres oksidatif terjadi akibat reaksi metabolik yang menggunakan oksigen dan menunjukkan gangguan keseimbangan status reaksi oksidan dan antioksidan pada makhluk hidup. ROS yang berlebihan akan merusak lipid seluler, protein maupun
DNA dan menghambat fungsi normal sel
(Kovacic dan Jacintho, 2001). 2.3.3 Antioksidan Antioksidan adalah senyawa yang dapat memberikan elektron (electron donors) atau reduktan. Antioksidan mampu menangkal atau meredam dampak negatif radikal bebas dalam tubuh. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat radikal bebas, sehingga aktivitas senyawa tersebut bisa dihambat. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil tetapi mampu menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi dengan cara mencegah terbentuknya radikal bebas. Antioksidan juga dapat menghambat reaksi oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif, sehingga kerusakan sel akan dihambat (Winarsi, 2007).
Berkaitan dengan reaksi oksidasi di dalam tubuh, status antioksidan merupakan parameter penting untuk memantau kesehatan seseorang. Tubuh memiliki sistem antioksidan untuk menangkal reaktivitas radikal bebas yang secara kontinu dibentuk sendiri oleh tubuh. Bila jumlah ROS ini melebihi jumlah antioksidan dalam tubuh, kelebihannya akan menyerang komponen lipid, protein, maupun DNA, sehingga mengakibatkan kerusakan-kerusakan yang disebut stress oksidatif. Reaktivitas radikal bebas dapat dihambat melalui 3 cara, yaitu mencegah atau menghambat pembentukan radikal bebas baru, menginaktivasi atau menangkap radikal bebas dan memotong propagasi (pemutusan rantai), dan memperbaiki kerusakan karena radikal bebas (Winarsi, 2007). Secara umum antioksidan dikelompokkan menjadi 2, antioksidan enzimatis dan antioksidan nonenzimatis. Antioksidan enzimatik, misalnya SOD, katalase, dan glutation peroksidase. Antioksidan nonenzimatik, misalnya vitamin C, E, karotenoid, flavonoid, quinon, bilirubin, asam urat, dan lain-lain. Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu: 1. Antioksidan Primer (Endogen) Bekerja dengan cara mencegah pembentukan radikal bebas yang baru serta mengubah radikal bebas menjadi molekul yang tidak berbahaya. Termasuk di dalamnya adalah SOD, glutation peroksidase dan katalase. Antioksidan primer sering juga disebut antioksidant enzimatis. 2. Antioksidan Sekunder (Eksogen)
Berguna untuk menangkap radikal dan mencegah terjadinya reaksi berantai. Termasuk di dalamnya adalah vitamin E (α-tokoferol), vitamin C, β karoten, asam urat, bilirubin dan albumin. 3. Antioksidan Tersier Berguna untuk memperbaiki kerusakan biomolekuler yang disebabkan oleh radikal bebas. Termasuk didalamnya adalah DNA repair enzyme dan metionin sulfoksida reduktase (Winarsi, 2007). 2.3.4 Superoksida dismutase Superoksida dismutase merupakan enzim yang mengkatalisis radikal superoksid menjadi hidrogen peroksida dan oksigen. Enzim yang sebenarnya telah ada dalam tubuh tetapi memerlukan bantuan zat-zat gizi mineral, seperti mangan (Mn), seng (Zn) dan tembaga (Cu) (Winarsi, 2007; Pavani dkk., 2012). Terdapat beberapa jenis SOD, seperti Copper-Zinc-SOD (Cu-Zn-SOD) yang terdapat di dalam sitosol terutama di lisosom dan nukleus, manganese-SOD (Mn-SOD) yang terdapat di dalam mitokondria, ekstraseluler SOD (EC-SOD) dan besi-SOD
(Fe-SOD) yang hanya ditemukan pada tumbuhan
(Chakraborty dkk., 2007; Cemelli dkk., 2009). Enzim SOD terdapat dalam semua organisme aerob dan sebagian besar berada dalam tingkat subseluler (intraseluler). Organisme aerob selalu membutuhkan oksigen untuk hidupnya, namun dalam setiap aktivitasnya dapat menimbulkan senyawa oksigen reaktif atau ROS. SOD merupakan enzim antioksidan pencegah, yang merupakan suatu antioksidan metalloenzim. SOD berefek sangat kuat dan merupakan pertahanan tubuh pertama dalam menghadapi serangan radikal bebas. SOD adalah enzim antioksidan intraseluler utama yang dapat digunakan untuk menetralisir aktivitas O2-. Secara umum
semua SOD, ion metal mengkatalisa dismutasi O2- melalui mekanisme oksidasi reduksi. Superoksida dismutase menetralisir O2- menjadi oksigen dan hidrogen peroksida (H2O2). Selanjutnya H2O2 diubah menjadi molekul air (H2O) oleh enzim katalase dan glutation peroksidase (Winarsi, 2007): 2O2- + 2H+ 2H2O2 2GSH + H2O2
O2 + H2O2 (oleh superoksida dismutase) 2H2O + O2 (oleh katalase) GSSG + 2H2 (oleh glutation peroksidase).
Menurut Fujiwara dkk. (1992) aktivitas SOD pada lensa mata manusia dominan terlokalisir pada epitelial kapsul lensa, korteks bagian luar dan sedikit ditemukan pada nukleus. Aktivitas SOD sangat penting sebagai barier fotooksidasi. SOD dan GSH menurun secara signifikan pada lensa katarak senilis matur. SOD adalah enzim yang mampu mencegah awal terjadinya katarak (Kisic dkk., 2012). SOD adalah antioksidan yang amat penting bila dibandingkan dengan antioksidan enzimatik lainnya karena merupakan pertahanan pertama dalam melawan radikal bebas (Rajkumar dkk., 2008). Semua bentuk enzim SOD memiliki inti dan argetnya adalah kompartemen subseluler pada ujung terminal amino. Masing-masing isoenzim SOD diatur secara independen oleh derajat stres oksidatif pada kompartemen subselular. Aktivitas SOD dapat dilihat dari banyaknya produk peroksidasi lipid dari setiap organel. Tingginya aktivitas SOD dapat tergambarkan oleh rendahnya produk oksidasi lipid (Winarsi, 2007). SOD adalah salah satu biomarker yang baik untuk menilai tingkat stress oksidatif pada katarak (Pavani dkk., 2012). Penurunan kadar SOD berimplikasi pada beberapa kondisi dan penyakit, seperti reumatoid artritis, anemia Fanconi, infeksi saluran nafas, katarak, dan infertil (Winarsi, 2007). Aktivitas SOD dapat diukur dengan beberapa cara,
namun sebagian besar pengukurannya dilakukan secara tidak langsung. Salah satu cara adalah dengan menggunakan sistem yang menghasikan superoksida dan indikator. Selanjutnya, indikator akan bereaksi dengan anion superoksida. Warna yang terbentuk diukur dengan menggunakan spektrofotometer (Winarsi, 2007; Rajkumar dkk., 2008) 2.3.5
Stres oksidatif pada katarak senilis Radikal bebas pada lensa dihasilkan oleh proses metabolisme sel dan dapat juga
akibat pengaruh luar, misalnya akibat radiasi. Radikal bebas terbentuk secara terusmenerus dan akan semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Struktur dan komposisi biokimiawi lensa mampu menyerap sinar ultraviolet yang bersifat sitotoksis. Keseimbangan antara ketersediaan antioksidan dan terbentuknya radikal bebas mempunyai arti penting dalam menjaga lingkungan di dalam sel. Apabila ketersediaan antioksidan tidak mampu menetralisir radikal bebas, akan timbul stress oksidatif yang berujung pada kerusakan membran sel, lisosom, mitokondria, DNA, maupun serabut lensa. Stress oksidatif diyakini merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam terjadinya katarak (Pavani dkk., 2012). Peroksidasi lipid membran plasma serabut lensa dianggap sebagai faktor yang berperan timbulnya katarak. Pada proses peroksidasi lipid, bahan teroksidasi akan mengambil atom hidrogen dari asam lemak tidak jenuh, sehingga terbentuk radikal asam lemak dan seterusnya dengan oksigen akan terbentuk radikal peroksi lipid. Reaksi ini dapat memperbanyak rantai, yang menyebabkan pembentukan lipid peroksida (LOOH) serta akhirnya terjadi hasil utama pemecahan berupa MDA. Malondialdehida dihipotesiskan mampu bereaksi silang dengan lipid membran maupun protein membran,
yang akhirnya fungsi normal membran terganggu (Cabrera dan Chihuailaf, 2011; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Tekanan oksigen dalam lensa relatif rendah, dengan demikian reaksi radikal bebas mungkin tidak melibatkan molekul oksigen. Radikal bebas dapat bereaksi langsung dengan molekul-molekul DNA dan menimbulkan kerusakan. Kerusakan tersebut sebagian dapat diperbaiki tetapi sebagian bersifat permanen. Radikal bebas dapat juga merusak protein maupun lipid membran sel pada korteks lensa. Kerusakan dalam serabut lensa mengakibatkan polimerisasi dan ikatan silang antara lipid dan protein, serta akhirnya terjadi peningkatan jumlah protein lensa yang tidak larut air (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Beberapa peneliti meyakini perkembangan maturitas katarak senilis dipengaruhi oleh stres oksidatif (Spector, 1995; Zoric dkk., 2008; Ates dkk., 2010). Mekanisme perbaikan dan regenerasi sebagai akibat radikal bebas dikatakan aktif terjadi pada epitel lensa dan korteks superfisial, namun mekanisme tersebut hampir tidak ditemukan pada korteks lensa bagian dalam dan pada nukleus. Hal inilah yang menyebabkan kerusakan pada protein lensa dan membran lipid bersifat ireversibel (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b).Lensa mempunyai beberapa enzim yang berfungsi untuk melindungi lensa dari kerusakan akibat radikal bebas atau oksigen. Enzim-enzim ini termasuk SOD, glutation peroksidase dan katalase. SOD mengkatalisis superoksida (O2-) dan menghasilkan hidrogen peroksida: 2O2- + 2H+ → H2O2 + O2. Katalase dapat memecah peroksida dengan reaksi: 2H2O2 → 2H2O + O2. Glutation peroksidase mengkatalisis reaksi: 2GSH + LOOH → GSSG + LOH + H2O. Glutation disulfida (GSSG) kemudian dikonversi kembali menjadi glutation (GSH) oleh glutation reduktase dengan menggunakan
nukleotida piridin NADPH yang disediakan oleh HMP shunt sebagai agen pereduksi: GSSG + NADPH + H+ → 2GSH + NADP+.
Gambar 2.3 Skema aktivitas ROS dan antioksidan pada lensa (Berthoud dan Beyer, 2009)
Oleh karena itu, SOD sangat berperan dalam mekanisme pertahanan terhadap stres oksidatif. SOD merupakan pertahanan garis pertama dalam melawan ROS. Vitamin E dan asam askorbat juga banyak ditemukan di dalam lensa. Kedua substansi ini dapat bekerjasama sebagai pemecah radikal bebas dan melindungi lensa dari kerusakan oksidatif (Rajkumar dkk., 2008; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b). Antioksidan enzimatik, nonenzimatik, dan aktivitas sistem perbaikan menurun pada lensa lensa dan humor akuos selama proses pada proses perkembangan atau maturitas katarak senilis (Ozmen dkk., 2000). Telah dilakukan beberapa penelitian yang mendukung peranan penting stres oksidatif
khususnya SOD dalam patogenesis katarak senilis. Kisic dkk. (2012)
menemukan kadar SOD lensa pada katarak senilis insipien (4,13±2,14 kU/g protein) lebih tinggi daripada katarak senilis matur (2,14±0,91 kU/g protein). Deepa dkk. (2011)
menemukan kadar aktivitas antioksidan lensa imatur (1,320±0,208 mg/mg protein) lebih tinggi daripada katarak senilis matur (0,820±0.085 mg/mg protein). Ohrloff dan Hockwin (1984) menyatakan tidak menemukan aktivitas SOD lensa katarak senilis matur (0,0 U/mg protein) sedangkan SOD pada lensa normal tanpa katarak rata-ratanya sebesar 0,20±0,05 U/mg protein. Chang dkk. (2013) menemukan kadar serum SOD pada pasien katarak senilis (97,26 ±13,56 U/ml) lebih rendah daripada pasien normal tanpa katarak senilis (103,47±18,97 U/mg). Sepanjang pengetahuan peneliti, di Bali dan bahkan di Indonesia sampai saat ini belum pernah diteliti mengenai kadar SOD lensa pada lensa normal maupun pada lensa katarak senilis, sehingga belum ada data mengenai kadar SOD lensa normal pada populasi normal maupun hubungan kadar SOD lensa dengan derajat kekeruhan lensa katarak senilis.
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Katarak senilis merupakan penyakit multifaktorial
yang etiopatogenesisnya
belum diketahui secara pasti. Salah satu teori tentang etiopatogenesis katarak senilis yang banyak berkembang adalah stres oksidatif. Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan. Stres oksidatif dapat timbul apabila pembentukan radikal bebas terjadi berlebihan disertai berkurang atau menetapnya sistem pertahanan antioksidan. Salah satu anti oksidan alami berupa enzim yang terdapat dalam tubuh adalah SOD. SOD mempunyai efek sangat kuat dan merupakan pertahanan tubuh pertama terhadap serangan radikal bebas. SOD mampu mengubah radikal bebas paling reaktif dan paling berbahaya, yaitu superoksida menjadi hidrogen peroksida. Kadar SOD mempengaruhi progresivitas atau derajat kekeruhan lensa pada katarak senilis. Seiring bertambahnya umur, akan terjadi gangguan atau penurunan mekanisme proteksi SOD lensa mata, sehingga terjadi akumulasi radikal bebas yang berlebihan. Kekeruhan lensa juga cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Beberapa peneliti juga menduga stres oksidatif berperan dalam etiopatogenesis katarak senilis. Kadar SOD dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal, antara lain adalah umur dan genetik sedangkan yang termasuk faktor eksternal, antara lain paparan sinar ultraviolet, penyakit sistemik kronis, merokok, penggunaan
obat anti inflamasi nonsteroid (AINS), obat kortikosteroid atau obat imunosupresan, vitamin antioksidan, infeksi intraokular, aktivitas fisik, dan stres psikologis. 3.2 Konsep Penelitian Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka berpikir yang telah dikaji, selanjutnya dapat disusun konsep penelitian sebagai berikut (Gambar 3.1):
Faktor Internal
Kadar SOD lensa pada masing-masing derajat kekeruhan lensa pada katarak senilis
Faktor Eksternal 1. Paparan sinar ultraviolet 2. Penyakit sistemik, kronis 3. Merokok 4. Obat anti inflamasi non steroid (AINS), obat kortikosteroid atau obat imunosupresan 5. Vitamin antioksidan 6. Infeksi intraokular 7. Aktivitas fisik 8. Stres psikologis
1. Umur 2. Genetik
Gambar 3.1 Bagan Konsep Penelitian
3.3 Hipotesis Penelitian Penurunan kadar SOD lensa kekeruhan lensa pada katarak senilis.
berhubungan dengan peningkatan
derajat
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1
Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan suatu penelitian observasional analitik dengan
pendekatan studi potong lintang (cross-sectional) (Fleiss, 1981) untuk mengetahui hubungan antara penurunan kadar SOD lensa dengan peningkatan derajat kekeruhan lensa pada katarak senilis. Rancangan penelitian dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:
Populasi
Samp el
Kekeruhan lensa Derajat 2
Kadar Kadar SOD SOD lensa lensa
Kekeruhan lensa Derajat 3
Kadar SOD lensa
Kekeruhan lensa Derajat 4
Kadar SOD lensa
Kekeruhan lensa Derajat 5
Kadar SOD lensa
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian 4.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Mata RSUP Sanglah, Denpasar; RS Indera,
Propinsi Bali dan UPT. Laboratorium Kimia Analitik Universitas Udayana, mulai bulan Januari 2014 sampai bulan Mei 2014.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1 Populasi penelitian Populasi target penelitian adalah semua pasien katarak senilis. Populasi terjangkau penelitian adalah semua pasien katarak senilis yang datang berobat ke Poliklinik Mata RSUP Sanglah dan RS Indera, Denpasar periode bulan Januari 2014 sampai Mei 2014. 4.3.2 Sampel penelitian Sampel penelitian adalah semua pasien katarak senilis yang datang berobat Poliklinik Mata RSUP Sanglah, Denpasar dan RS Indera, Propinsi Bali periode bulan Januari 2014 sampai Mei 2014 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 4.3.2.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Penelitian 4.3.2.1.1 Kriteria inklusi Pasien katarak senilis laki-laki atau wanita yang berumur di atas 40 tahun dengan derajat kekeruhan lensa 2, 3, 4, dan 5 dan bersedia dioperasi. 4.3.2.1.2 Kriteria eksklusi a. Subjek sedang menderita penyakit sistemik yang kronis, seperti diabetes melitus, hipertensi, penyakit kardiovaskular dan penyakit keganasan. b. Subjek sedang mendapat pengobatan antiinflamasi nonsteroid, kortikosteroid atau obat imunosupresan lainnya dalam satu bulan terakhir. c. Subjek sedang mengkonsumsi vitamin antioksidan (vitamin A, C, dan E) dalam satu bulan terakhir. d. Subjek yang merokok dalam satu bulan terakhir.
e. Subjek dengan infeksi intraokular pada segmen anterior dan atau segmen posterior bola mata, antara lain konjungtivitis, keratitis, ulkus kornea, uveitis anterior dan posterior. f.
Subjek dengan riwayat atau sedang mengalami kelainan pada segmen posterior mata berupa kelainan vitreus, retinopati, ablasio retina, dan kelainan makula.
g. Subjek dengan riwayat operasi intraokular. h. Katarak senilis dengan komplikasi berupa tekanan intraokular >21 mmHg atau dengan glaukoma sekunder dan uveitis. 4.3.2.2 Besar sampel Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Dahlan, 2009):
Zα + Zβ
2
1+ r n = 0,5 ln
+3 1-r
1.
Tingkat kemaknaan yang dikehendaki sebesar 95%, yaitu α = 0,05 dan dipakai Zα = 1,64
2.
Power penelitian yang direncanakan sebesar 90%, yaitu β = 0,10 dan Zβ = 1.28
3.
Koefisien korelasi (r) = 0,4 (dikutip dari kepustakaan Chakraborty dkk., 2007)
1,64 + 1,28
2
1+ 0,4 n = 0,5 ln
+3 1 - 0,4
= 52 sampel (mata) Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus di atas, diperoleh besar sampel penelitian adalah 52 subjek (mata). 4.3.2.3 Cara pemilihan sampel Sampel dipilih dengan teknik consecutive sampling dari populasi terjangkau. Sampel yang dipilih adalah pasien katarak senilis yang bersedia menjalani operasi katarak small incision cataract surgery (SICS) dengan persetujuan tertulis dan dilakukan atas indikasi visual. 4.4
Variabel Penelitian
4.4.1 Klasifikasi dan identifikasi variabel 1.
Variabel bebas adalah kadar SOD lensa katarak senilis.
2.
Variabel tergantung adalah derajat kekeruhan lensa katarak senilis.
3.
Variabel kendali adalah umur.
Variabel Bebas
Variabel Tergantung
Kadar SOD lensa katarak senilis
Derajat kekeruhan lensa katarak senilis Variabel Kendali Umur Gambar 4.2 Skema Hubungan antar Variabel
4.4.2 Definisi operasional variabel 1.
Katarak senilis adalah kekeruhan pada lensa yang terjadi pada usia di atas 40 tahun (Gondhowiardjo dan Simanjuntak 2006; Ilyas, 2008).
2.
Kadar SOD lensa pada katarak senilis adalah kadar SOD yang diperiksa dengan metode spektrofotometer dari bahan sampel lensa dalam satuan unit/ml dan pemeriksaan dikerjakan di Laboratorium terpusat yang sudah terakreditasi, yaitu UPT. Laboratorium Kimia Analitik Universitas Udayana di Bukit Jimbaran.
3.
Derajat kekeruhan katarak senilis adalah derajat kekeruhan katarak senilis derajat 25 berdasarkan klasifikasi Buratto (Sihota dan Tandan, 2007; Ilyas, 2008):
Derajat 2 ditandai dengan nukleus yang mulai sedikit berwarna kekuningan, visus antara 6/12 sampai 6/30, dan refleks fundus juga masih mudah diperoleh.
Derajat
3 ditandai dengan nukleus berwarna kuning dan korteks yang
berwarna keabu-abuan, visus antara 3/60 sampai 6/30.
Derajat 4 ditandai dengan nukleus yang sudah berwarna kuning kecoklatan, dengan usia pasien biasanya sudah lebih dari 65 tahun dan visus biasanya antara 3/60 sampai 1/60.
Derajat 5 ditandai dengan nukleus berwarna coklat hingga kehitaman dan visus biasanya 1/60 atau lebih jelek.
4. Umur adalah umur ditentukan dari tanggal kelahiran sampai datang ke rumah sakit berdasarkan kartu tanda penduduk atau kartu keluarga.
5. Pendidikan adalah pendidikan terakhir yang pernah ditempuh oleh subjek penelitian, yang dibagi menjadi tidak sekolah, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi. 6.
Pekerjaan adalah pekerjaan utama yang ditekuni oleh subjek penelitian sekurangkurangnya dalam 10 tahun terakhir, antara lain petani, ibu rumah tangga (IRT), pegawai swasta, dan pegawai negeri sipil (PNS) atau pensiunan.
4.5 Instrumen Penelitian Pengumpulan
data
dilakukan
dengan
wawancara,
pemeriksaan
fisik,
pemeriksaan oftalmologi, dan pengambilan sampel lensa. Untuk menegakkan diagnosis katarak senilis dan menentukan derajat kekeruhan lensanya, digunakan lembar pemeriksaan status oftalmologis dan lembar kuisioner penelitian, E chart atau snellen chart, tonometri schiotz, funduskopi atau lensa 78, slit lamp, anestesi topikal (pantocain 0,5%), dan sikloplegik (mydriatil 0,5%). Spesimen lensa ditampung dengan kontener kecil dan dimasukkan lagi ke dalam kontener yang lebih besar yang berisi es dengan temperatur - 4˚C. 4.6
Prosedur Penelitian
4.6.1 Tahap persiapan Sampel penelitian diseleksi di poliklinik mata RSUP Sanglah dan RS Indera Denpasar. Wawancara dan pemeriksaan mata dilakukan oleh peneliti. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian dan kemudian menandatangani informed consent. Selanjutnya dilakukan identifikasi tentang karakteristik sampel penelitian. 4.6.2 Pelaksanaan penelitian
Adapun urutan pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Anamnesis meliputi nama, umur, jenis kelamin, dan pekerjaan berdasarkan lembar kuisioner penelitian. Data kemudian dicatat dalam bentuk tabel induk
2.
Diagnosis dan stadium katarak senilis Diagnosis dan stadium katarak senilis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan dengan menggunakan slit lamp dan funduskopi. Pemeriksaan dilakukan pada kedua mata. Pertama dilakukan pemeriksaan visus dengan menggunakan E chart atau snellen chart, kemudian dilakukan pemeriksaan tekanan intraokular dengan tonometri schiotz dan bila hasilnya kurang dari 21 mmHg, pupil pasien kemudian dilebarkan dengan sikloplegik (mydriatil 0,5%). Setelah pupil lebar dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan slit lamp untuk mengevaluasi kelainan pada segmen anterior, dilanjutkan dengan menggunakan lensa 78D dan funduskopi untuk mengevaluasi kelainan pada segmen posterior. Derajat kekeruhan katarak senilis ditentukan oleh seorang dokter Spesialis Mata Divisi Korneo-lensa (JN) berdasarkan kriteria Burrato. Sampel penelitian kemudian dibagi ke dalam 4 kelompok, yaitu kekeruhan Derajat 2, Derajat 3, Derajat 4 dan Derajat 5.
3.
Pengambilan spesimen lensa Spesimen lensa adalah bagian kapsul anterior yang diambil saat
kapsulotomi
kapsul anterior lensa dan nukleus lensa manusia yang didapat melalui tindakan operasi katarak SICS. Sampel katarak senilis dengan derajat kekeruhan 2, 3, 4 dan 5 yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi, serta bersedia menandatangani informed consent, selanjutnya dilakukan ekstraksi lensa dengan teknik SICS di IBS RSUP Sanglah dan IBS RS Indera dengan operator dokter spesialis mata, residen
mata ataupun peneliti yang didampingi dokter spesialis mata. Spesimen lensa tersebut, selanjutnya dimasukkan ke dalam kontainer dan ditampung dalam suatu kontener yang lebih besar yang berisi es yang bertemperatur – 4˚C. Masing- masing spesimen diberi label sesuai dengan nomor urut kelompok katarak senilis derajat kekeruhan 2, 3, 4, dan 5 kemudian dikirim ke Laboratorium Analitik Universitas Udayana di Bukit Jimbaran untuk pemeneriksaan SOD lensa. 4.
Pemeriksaan SOD lensa Di Laboratorium Analitik Universitas Udayana di Bukit Jimbaran setiap spesimen lensa kemudian digerus dan dihomogenisasikan dengan 1 ml larutan dapar 0,1M Tris/HCl pH 7,2 yang mengandung 154 mM NaCl dalam temperatur 4˚C. Selanjutnya dilakukan pemusingan dengan 3000 x G selama 20 menit dalam suhu 4˚C, bagian supernaktan/larutannya dipisahkan untuk dianalisis atau kembali dibekukan pada temperatur -20˚C. Aktivitas SOD ditentukan secara biokimia, yaitu menggunakan kit RanSOD®. Aktivitas SOD total ditetapkan dari derajat penghambatan pembentukan warna formazan ini diukur dengan spektofotometer A505 nm. Reagen-reagen pada pada kit ini terdiri dari campuran substrat yang mengandung xantin, buffer fosfat, xantin oksidase dan larutan standar untuk membuat kurva standar.
4.7 Alur Penelitian Untuk lebih mempermudah dalam pelaksanaan penelitian, maka dibuat alur penelitian yang ditunjukkan dengan bagan alur penelitian (Gambar 4.3).
Semua penderita katarak senilis yang Semua penderita katarak senilis datang berobat ke poliklinik Mata RSUP Sanglah dan RS Indera, Denpasar periode bulan Januari 2014 - Mei 2014 Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi
Sampel Penelitian
Informed Consent
Eligible Subject
Derajat Kekeruhan Katarak Senilis Kadar SOD lensa
Analisis Data
Gambar 4.3 Skema Alur Penelitian
4.8
Analisis Data Data dimasukkan ke dalam formulir penelitian kemudian direkam dalam tabel
induk. Untuk menjawab permasalahan penelitian dilakukan serangkaian tahapan analisis data: 1. Seleksi data yaitu editing, coding dan tabulasi dimasukkan pada file navigator program Stastical Package for The Social Sciences (SPSS). 2. Analisis statistik deskriptif Untuk menggambarkan karakteristik umum dan distribusi berbagai variabel. Data berskala kategorik dideskripsikan dalam bentuk frekuensi dan persentase sedangkan untuk data berskala numerik dalam bentuk rerata dan standar deviasi. 3. Uji normalitas Shapiro-Wilk Mengingat jumlah sampel kurang dari 30 pada masing-masing kelompok, maka digunakan uji ini untuk menguji apakah data-data penelitian berdistribusi normal atau tidak. 4. Analisis perbedaan Untuk mengetahui perbedaan kadar SOD lensa pada masing-masing derajat kekeruhan lensa, digunakan analisis uji Kruskal-Wallis karena salah satu data tidak berdistribusi normal. 5. Hubungan antara kadar SOD lensa dengan derajat kekeruhan lensa dianalisis dengan uji korelasi Spearman dan tingkat kemaknaan ditetapkan pada p < 0,05.
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian Subjek penelitian dipilih secara konsekutif dari populasi terjangkau, yaitu pasien katarak senilis yang datang ke RSUP Sanglah, Denpasar dan RS Indera, Propinsi Bali selama periode 1 Januari 2014–30 April 2014. Lima puluh dua orang terkumpul yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, telah diberi informed consent, dan bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani surat persetujuan. Subjek penelitian kemudian menjalani operasi katarak teknik SICS sesuai jadwal. Kapsul anterior dan nukleus lensa yang telah diekstraksi dikumpulkan dan diperiksa kadar SOD-nya. Karakteristik subjek penelitian ditampilkan pada Tabel 5.1, yang meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan, dan pekerjaan. Subjek penelitian berjenis kelamin laki-laki sebanyak 22 (42,3%) dan wanita sebanyak 30 (57,7%). Pada variabel umur, rerata umur pasien 69±9,86 tahun. Pada variabel status pendidikan didapatkan tidak bersekolah sebanyak 28,8%, Sekolah Dasar ditemukan sebanyak 57,7%, SMP sebanyak 3,85%, SMU sebanyak 5,77%, dan paling sedikit Perguruan Tinggi sebanyak 3,85%. Pada variabel pekerjaan petani merupakan jenis pekerjaan yang paling banyak, yaitu 59,62%, disusul oleh ibu rumah tangga sebanyak 19,23%, wiraswasta sebanyak 17,31%, dan Pegawai Negeri Sipil paling sedikit sebanyak 3,85%.
Tabel 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian Variabel
Deskriptif
Jenis kelamin {n (%)} Laki-laki Wanita Umur {(tahun)(rerata±SD)} Pendidikan {n (%)} Tidak bersekolah SD SMP SMU Perguruan Tinggi Pekerjaan {n (%)} Petani Ibu rumah tangga Wiraswasta PNS
22 (42,3) 30 (57,7) 69,2 ± 9,9 15 (28,8) 30 (57,7) 2 (3,85) 3 (5,77) 2 (3,85) 31(59,62) 10 (19,23) 9 (17,31) 2 (3,85)
5.2 Perbedaan Kadar SOD Lensa pada Masing-Masing Derajat Kekeruhan Lensa Tabel 5.2 terlihat bahwa derajat kekeruhan lensa pasien terbanyak adalah Derajat 5 sebesar 36,54% dan paling sedikit Derajat 2 sebesar 17,31%. Kadar SOD minimum didapatkan sebesar 9,062 µg/g protein dan maksimum sebesar 22,855 µg/g protein. Rerata kadar SOD lensa pada Derajat 2 sebesar 21,147±1,603 µg/g protein, Derajat 3 sebesar 16,653±0,991 µg/g protein, Derajat 4 sebesar 13,920±1,374 µg/g protein dan Derajat 5 sebesar 11,668±1,496 µg/g protein. Data ini menunjukkan kadar SOD yang paling rendah pada derajat kekeruhan lensa yang paling tinggi. Hasil analisis perbedaan kadar SOD lensa pada masing-masing kekeruhan lensa bermakna secara statistik (p=0,001). Tabel 5.2
Perbedaan Kadar SOD Lensa padaMasing-Masing Derajat Kekeruhan Lensa
Derajat
Jumlah
%
2 3 4 5
9 10 14 19
17,31 19,23 26,92 36,54
Minimal 17,375 15,687 12,042 9,062
Total
52
100
9,062
SOD (µg/g protein) Maksimal rerata±SD 22,855 21,147±1,603 18,673 16,653±0,991 16,089 13,920±1,374 14,025 11,668±1,496 22,855
14,873±3,673
Uji Kruskal-Wallis (p=0,001) Pada Gambar 5.1 terlihat rerata kadar SOD lensa pada masing-masing derajat kekeruhan lensa dan terdapat kecendrungan bahwa semakin tinggi derajat kekeruhan lensa, maka kadar SOD lensanya semakin rendah.
Gambar 5.1 Grafik Rerata Kadar SOD Lensa pada Masing-Masing Derajat Kekeruhan Lensa 5.3 Hubungan antara Kadar SOD Lensa dengan Derajat Kekeruhan Lensa
Hubungan kadar SOD lensa dengan derajat kekeruhan lensa dianalisis dengan uji Spearman. Pada Tabel 5.3 ditampilkan kadar SOD lensa berkorelasi negatif dengan derajat kekeruhan lensa. Koefisien korelasi (r) didapatkan - 0,90 dan bermakna secara statistik (p=0,001). Tabel 5.3 Hubungan antara Kadar SOD Lensa dengan Derajat Kekeruhan Lensa pada Katarak Senilis Variabel Kadar SOD lensa dengan Derajat kekeruhan lensa *Uji Spearman
Koefisien korelasi - 0,90
Nilai p 0,001*
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Subjek Penelitian Penelitian ini melibatkan 52 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi kemudian dikelompokkan menjadi katarak senilis kekeruhan lensa Derajat 2, 3, 4, dan 5. Subjek penelitian kemudian dilakukan ekstraksi lensa dengan indikasi visual dan dilakukan pemeriksaan kadar SOD pada spesimen lensanya. Berdasarkan umur, pada penelitian ini didapatkan rerata umur pasien katarak senilis adalah 69,2±9,86 tahun. Penelitian di Amerika Serikat menemukan prevalensi katarak senilis meningkat 5% pada umur 65 tahun dan 50% pada umur 70 tahun ke atas (Beebe dkk., 2010; Goyal dkk., 2010). Di India ditemukan rerata umur pasien katarak senilis adalah 65,8±1,7 tahun (Moyong dkk., 2012). Di Cina dilaporkan rerata umur pasien katarak senilis adalah 61±10,3 tahun (Chang dkk., 2013). Umur merupakan faktor risiko terpenting untuk terjadinya katarak senilis. Katarak senilis umumnya mulai terjadi pada umur di atas 40 tahun dan terdapat kecenderungan peningkatan umur diikuti pula dengan peningkatan maturitas atau derajat kekeruhan lensa katarak senilis (Ilyas, 2008; Kaur dkk., 2012). Lensa mata mengalami perubahan sesuai dengan peningkatan umur. Lensa akan terjadi mekanisme kompleks yang menyebabkan perubahan formasi serat lensa dan lensa juga akan lebih rentan mengalami stres oksidatif, sehingga kejernihan lensa menurun dan terjadi katarak senilis (Kisic dkk., 2012; Cekic dkk., 2010; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Seiring bertambahnya usia dan adanya paparan yang terus-menerus oleh agen dari luar, sehingga terjadi akumulasi radikal bebas yang berlebihan dan akan menyebabkan gangguan mekanisme
proteksi antioksidan lensa mata (Cekic dkk., 2010; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Pada penelitian ini didapatkan pasien laki-laki katarak senilis sebesar 42,3% dan wanita sebesar 57,7%. Penelitian-penelitian lain yang dilakukan di berbagai negara mendapatkan hasil yang berbeda-beda mengenai predileksi jenis kelamin pada pasien katarak senilis. Penelitian di Amerika Serikat menemukan kelompok wanita menderita lebih banyak katarak senilis daripada laki-laki secara signifikan (Friedman dkk., 2004). Penelitian di Jepang menemukan ratio laki-laki dan wanita menderita katarak senilis adalah 1: 8 dan pasien katarak senilis yang telah menjalani operasi didominasi oleh wanita berumur di atas 65 tahun (Nishikiori dan Yamamoto, 1987). Pada penelitian ini didapatkan pasien katarak senilis lebih banyak terjadi pada jenis kelamin wanita. Hal ini kemungkinan disebabkan karena wanita pada umur di atas 45 tahun sudah mengalami menopause dan telah dibuktikan bahwa wanita yang mendapatkan terapi hormon estrogen pada masa menopause terhindar dari katarak nuklearis. Menopause adalah salah satu faktor risiko terjadinya katarak senilis (Leske dkk., 2002). Katarak senilis lebih banyak diderita oleh wanita karena adanya angka harapan hidup wanita yang tinggi di beberapa negara dibandingan laki-laki (Suhardjo, 2004). Beberapa penelitian lain melaporkan bahwa laki-laki lebih banyak menderita katarak senilis daripada wanita (Ates dkk., 2010; Miric dkk., 2012). Hal ini kemungkinan disebabkan karena laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas di luar ruangan. Aktivitas di luar ruangan dihubungkan dengan banyaknya paparan sinar ultraviolet yang dialami seseorang, terutama di daerah tropis dengan intensitas paparan sinar matahari yang tinggi (Valero dkk., 2007).
Pada penelitian ini didapatkan sebagian besar pasien pada kelompok katarak senilis memiliki status pendidikan Sekolah Dasar, yaitu sebesar 57,7% dan
tidak
bersekolah diurutan kedua, yaitu sebesar 28,8%. Hasil ini didukung penelitian di Singapura dan Malaysia yang menemukan katarak senilis lebih banyak ditemukan pada pasien dengan tingkat pendidikan primer (Sekolah Dasar) atau lebih rendah, yaitu sebesar 74,4% (Sabanayagam dkk., 2011). Penelitian di Malaysia menemukan sebagian besar pasien katarak senilis memiliki tingkat pendidikan rendah, yaitu sebesar 63,5% (Noran dkk., 2007). Beberapa peneliti menghubungkan tingkat pendidikan pasien katarak senilis dengan pemahaman pasien tentang penyakitnya, pengobatan yang dicari, higienitas, gaya hidup, status sosial ekonomi, dan yang terpenting adalah status nutrisi (Leske dkk., 2002; Lindblad, 2008; Wu dkk. 2010). Tingkat pendidikan dapat dihubungkan dengan kecepatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Pasien dengan tingkat pendidikan tinggi biasanya lebih cepat mencari pelayanan kesehatan, sehingga katarak senilis lebih banyak ditemukan pada stadium yang lebih awal. Pasien dengan tingkat pendidikan rendah sebagian besar katarak senilis ditemukan sudah dalam stadium matur, sehingga lebih berisiko untuk terjadi komplikasi baik sebelum maupun pada saat dilakukan tindakan pembedahan katarak (Tabin dkk., 2008; Kisic dkk., 2012). Rendahnya asupan nutrisi seperti vitamin C, E, A, riboflavin, dan β karoten atau terjadinya defisiensi nutrisi pada periode kehidupan dapat memicu timbulnya katarak senilis yang lebih cepat dan juga dapat mempercepat progresivitas maturitas katarak senilis (Nirmalan dkk., 2004; Noran dkk., 2007; Lindblad, 2008). Pada penelitian ini didapatkan sebagian besar pekerjaan pasien adalah petani yaitu, sebesar 59,62% pada katarak senilis. Penelitian di India menemukan 90% pasien
dengan katarak senilis bekerja di bidang pertanian oleh (Nirmalan dkk., 2004). Beberapa peneliti berpendapat bahwa pekerjaan pokok yang nonprofesional berhubungan dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah. Orang dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah lebih mudah terkena katarak (Leske dkk., 2002). Kasus katarak senilis di Kalimantan Timur meningkat pada pasien dengan aktivitas di luar ruangan lebih dari 5 jam perhari dalam 10 tahun terakhir (Ziaulhak, 2007). Negara tropis dengan karakteristik intensitas paparan sinar matahari yang lebih tinggi dan aktivitas di luar ruangan dihubungkan dengan besarnya paparan sinar ultraviolet yang dialami. Semakin lama aktivitas di luar ruangan akan menyebabkan semakin besar paparan sinar ultraviolet yang didapat (Katoh dkk., 2001; Valero dkk., 2007). Beberapa peneliti menghubungkan pekerjaan dengan lamanya pasien melakukan aktivitas di luar ruangan yang selanjutnya dihubungkan dengan lamanya paparan sinar ultraviolet yang dialami (Valero dkk., 2007). Paparan sinar ultraviolet pada lensa akan mencetuskan reaksi oksidatif yang menghasilkan radikal bebas berlebihan. Radikal bebas yang tidak dapat dikompensasi oleh sistem antioksidan dalam lensa, baik secara langsung maupun tidak langsung akan menyebabkan kerusakan komponen lensa, sehingga kejernihan lensa menurun dan terjadi katarak (Cekic dkk., 2010; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Umur juga dikatakan memiliki pengaruh pada sensitivitas lensa terhadap paparan sinar ultraviolet. Paparan sinar ultraviolet yang reguler selama aktivitas pekerjaan akan dapat memicu terjadinya stres oksidatif yang dapat menyebabkan berbagai macam penyakit termasuk katarak senilis (Nirmalan dkk., 2004; Valero dkk., 2007).
Pada penelitian ini didapatkan pasien katarak senilis yang dilakukan tindakan pembedahan paling banyak pada Derajat 5 (36,54%) disusul Derajat 4 (26,92%), Derajat 3(19,23%), dan Derajat 2 (17,31%). Hal ini kemungkinan disebabkan pasien dengan Derajat 5 visusnya sangat buruk dan sangat mengganggu aktivitas sehariharinya, sehingga datang ke tempat pelayanan kesehatan dan bersedia untuk dioperasi. Pasien dengan derajat kekeruhan yang lebih baik biasanya lebih memilih menunda operasinya karena visus belum begitu mengganggu aktivitasnya. Indikasi operasi katarak senilis yang paling utama adalah keinginan pasien untuk meningkatkan visusnya dan keputusan untuk operasi tidak semata-mata berdasarkan tingkat visus tertentu (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Adanya kesalahan konsep penanganan katarak di masyarakat bahwa katarak senilis baru boleh dioperasi bila telah stadium matur, sehingga pasien yang datang minta operasi adalah pasien katarak stadium matur yang tentunya akan meningkatkan komplikasi operasinya (Brian dan Taylor, 2001). 6.2 Kadar SOD Lensa pada Katarak Senilis Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa stres oksidatif berperan amat besar dalam patogenesis katarak senilis. Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan (Palmiere dan Sblendario, 2006; Winarsi, 2007). Radikal bebas akan menyebabkan kerusakan terutama pada membran sel dan DNA. Stres oksidatif yang terjadi terus-menerus merupakan mekanisme penting yang berpengaruh pada proses terjadinya katarak. Lensa mata sangat sensitif terhadap stres oksidatif (Cekic dkk., 2010; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Hasil akumulasi dari stres oksidatif menyebabkan
gangguan fungsi metabolisme lensa, agregasi protein lensa, peningkatan protein tidak larut air (water insoluble protein), sehingga menyebabkan gangguan transparansi lensa dan terjadi katarak (El-Ghaffar dkk., 2007; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a; Kisic dkk., 2012).
Pengukuran stres oksidatif secara langsung
adalah sangat sulit, maka stres oksidatif dapat diukur secara tidak langsung, yaitu dengan mengukur kadar antioksidan baik di serum, eritrosit maupun jaringan seperti lensa (Chandrasena dkk., 2006; Kisic dkk., 2012). Selain itu stres oksidatif juga dapat diukur dari produk yang dihasilkan stres oksidatif tersebut berupa produk degenerasi lipid, antara lain MDA, hidrokarbon, etina dan etilen (Winarsi, 2007). Lensa mata normal dilengkapi perlindungan dan sistem antioksidan untuk melawan stres oksidatif. Antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal dampak negatif radikal bebas. Secara umum antioksidan dikelompokkan menjadi dua, yaitu antioksidan enzimatis dan antioksidan nonenzimatis. Antioksidan enzimatik terdiri dari SOD, katalase, dan GPX yang bertugas mencegah atau menghambat pembentukan radikal bebas baru. Antioksidan nonenzimatis terdiri dari vitamin C, E, karotenoid, flavonoid, quinon, bilirubin, asam urat, dan lain-lain yang berfungsi menginaktivasi atau menangkap dan memotong propagasi radikal bebas (Winarsi, 2007). SOD merupakan salah satu enzim antioksidan penting yang berasal dari tubuh sendiri, berefek sangat kuat dan merupakan pertahanan tubuh garis pertama dalam mengatasi stres oksidatif (Rajkumar dkk., 2008). SOD adalah antioksidan pencegah yang dapat menghambat sebelum
anion
superoksida
menyebabkan
kerusakan.
Antioksidan
enzimatik,
nonenzimatis, dan aktivitas sistem perbaikan menurun pada lensa lensa dan humor akuos selama proses perkembangan atau maturitas katarak senilis (Ozmen dkk., 2000).
Penelitian ini mengukur kadar SOD lensa pasien katarak yang diekstraksi atas indikasi visual dan didapatkan rerata kadar SOD lensa pada Derajat 2 sebesar 21,147±1,60 µg/g protein, Derajat 3 sebesar 16,653±0,99 µg/g protein, Derajat 4 sebesar 13,920±1,37 µg/g protein, dan Derajat 5 sebesar 11,668±1,50 µg/g protein. Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi derajat kekeruhan, maka semakin rendah kadar SOD lensanya dan perbedaan kadar SOD lensa antar derajat kekeruhan lensa yang bermakna secara statistik (p= 0,001). Hasil ini didukung oleh penelitian Kisic dkk. (2012) di Serbia yang menemukan kadar SOD lensa pada katarak senilis insipien (4,13±2,14 kU/g protein) lebih tinggi daripada katarak senilis matur (2,14±0,91 kU/g protein). Hasil yang hampir sama dibuktikan oleh Ohrloff dan Hockwin (1984) yang menyatakan tidak menemukan aktivitas SOD lensa katarak senilis matur bila dibandingkan dengan lensa tanpa katarak. Sepanjang pengetahuan peneliti, studi tentang SOD lensa masih sedikit. Pada penelitian ini menggunakan lensa sebagai sampel penelitian disebabkan oleh beberapa pertimbangan. Lensa adalah jaringan sensitif terhadap keadaan stres oksidatif. Lensa adalah jaringan yang spesifik, yaitu avaskular dan seluruh metabolismenya didukung oleh humor akuos. Lensa terdiri dari kapsul, epitelial, korteks, dan nukleus. Kapsul lensa anterior mempunyai lapisan epitelial yang mempunyai mampu memproduksi SOD dan tempat pertama terjadinya stress oksidatif sebelum merusak lensa secara keseluruhan. Bisa dikatakan bahwa lensa jaringan yang terisolir dari jaringan atau organ tubuh lainnya. Aktivitas SOD pada lensa mata berbeda dengan organ atau jaringan lainnya. Penelitian sebelumnya lebih banyak meneliti kadar SOD sistemik menggunakan spesimen penelitian berupa serum, plasma, eritrosit, leukosit, epitelial
kapsul lensa, dan humor akuos. Kekurangan penelitian ini bahwa tidak bisa menilai kadar SOD lensa pada pasien tanpa katarak, sehingga tidak dapat dibandingkan antara kadar SOD lensa pada katarak senilis dengan kadar SOD lensa tanpa katarak. Penelitipeneliti yang lain dengan pertimbangan tersebut, lebih banyak meneliti kadar SOD pada serum, plasma, eritrosit, leukosit, epitelial kapsul lensa, dan humor akuos, namun hasilnya bervariasi. Pada plasma pasien katarak senilis ditemukan penurunan kadar SOD disertai penurunan kadar Zn dan peningkatan MDA (Chakraborty dkk., 2007).
Pada eritrosit
didapatkan peningkatan kadar SOD yang meningkatan risiko katarak senilis tipe nuklear (Delcourt dkk., 2003). Adanya peningkatan aktivitas SOD eritrosit pada pasien katarak senilis dibandingkan dengan pasien tanpa katarak senilis (Nourmohammadi dkk.,2001). Tidak terdapat peningkatan aktivitas SOD eritrosit yang signifikan pada pasien katarak senilis (Jacques dkk.,1988). Pada serum didapatkan kadar SOD dan katalase serum pasien katarak senilis lebih rendah dibandingkan dengan orang normal dan tidak berbeda bermakna dengan pasien katarak diabetika (Artunay dkk., 2009). Kadar serum SOD pada pasien katarak senilis lebih rendah daripada pasien normal tanpa katarak senilis (Chang dkk., 2013). Penurunan kadar SOD serum pada pasien katarak bila dibandingkan dengan kontrol (Moyong dkk., 2012). Kadar SOD dan GPX serum menurun pada pasien katarak senilis bila dibandingkan kontrol (Kaur dkk., 2012). Pada leukosit pasien katarak senilis ditemukan peningkatan kadar SOD yang dibandingkan dengan kontrol (Saraymen dkk., 2003). Pada humor akuos ditemukan korelasi yang signifikan antara peningkatan aktivitas SOD dan protein total dengan tingkat keparahan atau progresivitas katarak yang terjadi diperkirakan karena adanya kebocoran kapsul
lensa (Sawada dkk., 2009). Pada epitelial kapsul lensa katarak senilis yang disertai sindroma pseudoekspoliasi ditemukan peningkatan kadar SOD dan peningkatan SOD tersebut diduga merupakan suatu mekanisme kompensasi terhadap stres oksidatif (Uçakahn dkk., 2006). Pada penelitian lain ditemukan penurunan aktivitas isoenzim SOD pada sel epitelial lensa katarak senilis sesuai dengan peningkatan umur dan berbeda pada tiap tipe kataraknya (Rajkumar dkk., 2008). Radikal bebas dapat juga merusak protein maupun lipid membran sel pada korteks lensa. Kerusakan dalam serabut lensa mengakibatkan polimerisasi dan ikatan silang antara lipid dan protein, serta akhirnya terjadi peningkatan jumlah protein lensa yang tidak larut air. Kerusakan tersebut sebagian dapat diperbaiki tetapi sebagian bersifat permanen (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Beberapa peneliti meyakini perkembangan maturitas katarak senilis dipengaruhi oleh stres oksidatif (Spector, 1995; Zoric dkk., 2008; Ates dkk., 2010). Mekanisme perbaikan dan regenerasi sebagai akibat radikal bebas dikatakan aktif terjadi terutama pada epitelial lensa dan korteks superfisial tetapi tidak terjadi pada nukleus. Hal inilah yang menyebabkan kerusakan pada protein lensa dan membran lipid bersifat ireversibel (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b). Penurunan aktivitas SOD melawan ROS dapat disebabkan
oleh penurunan
kadar vitamin E, vitamin A, dan vitamin C dalam jaringan. Beberapa faktor lingkungan seperti nutrisi, konsumsi alkohol berlebihan, dan polusi juga berpengaruh terhadap penurunan vitamin antioksidan tersebut (Cakraborthy dkk., 2007). Antioksidan enzimatis dan nonenzimatis (vitamin antioksidan) bersinergi yang melindungi sel
terhadap stres oksidatif, sehingga penurunan aktivitas antioksidan nonenzimatis dapat merangsang produksi antioksidan enzimatis (Nourmohammadi dkk., 2001). Aktivitas SOD sangat penting sebagai barier fotooksidasi. SOD dan GSH menurun secara signifikan pada lensa katarak senilis matur. SOD adalah enzim yang mampu mencegah awal terjadinya katarak (Kisic dkk., 2012). SOD adalah antioksidan yang amat penting bila dibandingkan dengan antioksidan enzimatik lainnya karena merupakan pertahanan pertama dalam melawan radikal bebas (Rajkumar dkk., 2008). Aktivitas SOD dapat dilihat dari banyaknya produk peroksidasi lipid dari setiap organel. Tingginya aktivitas SOD dapat tergambarkan oleh rendahnya produk oksidasi lipid (Winarsi, 2007). SOD adalah salah satu biomarker yang baik untuk menilai tingkat stress oksidatif pada katarak (Pavani dkk., 2012). Aktivitas SOD dapat diukur dengan beberapa cara, namun sebagian besar pengukurannya dilakukan secara tidak langsung. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan sistem yang menghasilkan superoksida dan indikator. Selanjutnya, indikator akan bereaksi dengan anion superoksida. Warna yang terbentuk diukur dengan menggunakan spektrofotometer (Winarsi, 2007; Rajkumar dkk., 2008). 6.3 Hubungan antara Kadar SOD Lensa dengan Derajat Kekeruhan Lensa Kejernihan lensa akan terjaga bila tetap berada dalam kondisi keseimbangan redoks. Anti oksidan baik enzimatik dan nonenzimatik memegang peran amat vital dalam melawan ROS endogen dan eksogen. Telah diyakini oleh banyak peneliti bahwa ROS mampu merusak berbagai komponen sel, mengganggu fungsi fisiologis, dan mempercepat proses penuaan. Stres oksidatif bertanggung jawab pada berbagai
penyakit, antara lain kanker, penyakit jantung dan vaskular, degenerasi saraf, degenerasi makular, dan katarak (Artunay dkk., 2009). Kekeruhan lensa katarak menurut kriteria Buratto dibagi menjadi 5, yaitu derajat 1, 2, 3, 4, dan 5 yang didasarkan pada kekeruhan nukleus lensa dan tajam penglihatan. Pada penelitian ini menggunakan spesimen lensa dengan derajat kekeruhan 2, 3, 4, dan 5 karena tajam penglihatan pasien katarak terganggu pada derajat kekeruhan lensa tersebut dan datang ke rumah sakit untuk minta pertolongan. Pemeriksaannya sederhana tanpa alat-alat yang canggih. Bisa dengan senter pada keadaan pupil lebar. Kriteria Burrato masih menjadi pemeriksaan standar untuk pasien katarak di RSUP Sanglah Denpasar dan RS Indera Propinsi Bali. Kriteria Burrato juga praktis digunakan untuk kegiatan di lapangan atau di luar rumah sakit terutama kegiatan skrining pasien katarak. Pada studi-studi sebelumnya hanya membandingkan kadar SOD pasien katarak senilis matur dengan imatur, pasien katarak senilis dengan pasien tanpa katarak senilis sedangkan penelitian ini mencari hubungan atau korelasi antara kadar SOD dengan derajat kekeruhan lensa. Penelitian ini memperoleh hasil seperti yang diharapkan, yaitu adanya korelasi negatif yang sangat kuat (r= - 0,9) antara kadar SOD lensa dengan derajat kekeruhan lensa yang bermakna secara statistik (p= 0,001). Hal ini membuktikan fakta bahwa adanya penurunan aktivitas antioksidan (SOD) yang bertanggung jawab terhadap ketidakseimbangan sistem redoks lensa yang mengarah kepada stres oksidatif yang turut berperan dalam pembentukan katarak. Hasil ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang menyebutkan adanya penurunan aktivitas antioksidan pada pasien katarak senilis bila dibandingkan dengan orang normal (Chakraborty dkk., 2007; Chang dkk., 2013). Demikian juga terdapat perbedaan kadar antioksidan yang bermakna antara
derajat kekeruhan lensa. Semakin keruh lensa, maka kadar antioksidannya akan semakin menurun (Kisic dkk., 2012). Hasil yang berbeda juga didapatkan oleh beberapa penelitian sebelumnya. Adanya peningkatan kadar SOD eritrosit dapat meningkatan risiko katarak senilis tipe nuklear (Delcourt dkk., 2003). Penelitian di Iran menemukan peningkatan aktivitas SOD eritrosit pada pasien katarak dibandingkan dengan pasien tanpa katarak
(Nourmohammadi dkk., 2001). Hal tersebut dapat terjadi karena adanya respon pertahanan tubuh terhadap serangan ROS, sehingga meningkatkan aktivitas antioksidan. Adanya kerjasama antara antioksidan enzimatis dan nonenzimatis dalam melawan ROS. Penurunan antioksidan nonenzimatis dapat memicu peningkatan antioksidan enzimatis, sehingga dapat meminimalkan kerusakkan yang disebabkan oleh ROS (Chandrasena dkk., 2006). Proses terbentuknya katarak ditandai dengan terjadinya hidrasi akibat perubahan tekanan osmotik atau perubahan permeabilitas kapsul lensa serta denaturasi protein yang ditandai dengan peningkatan protein tidak larut air, sehingga terjadi kekeruhan lensa (Sihota dan Tandan, 2007). Lensa katarak mempunyai tanda karakteristik berupa degenerasi hidrofik, denaturasi protein, nekrosis, dan gangguan susunan serabut lensa (Vaughan dkk., 2002). Aktivitas SOD dapat dilihat dari banyaknya produk peroksidasi lipid dari setiap organel. Tingginya aktivitas SOD dapat tergambarkan oleh rendahnya produk peroksidasi lipid (Winarsi, 2007). Hasil akumulasi dari stres oksidatif menyebabkan gangguan fungsi metabolisme lensa, agregasi protein lensa, peningkatan protein tidak larut air (water insoluble protein), sehingga menyebabkan gangguan transparansi lensa
dan terjadi katarak (El-Ghaffar dkk., 2007). Peran peroksidasi lipid dalam progresivitas maturitas katarak senilis masih menjadi perdebatan (Kisic dkk., 2012; Miric dkk., 2012). Komposisi lipid lensa berubah secara dramatis sesuai dengan peningkatan umur akibat terjadinya stres oksidatif (American Academy of Ophthalmology Staff, 20112012b). Proses peroksidasi lipid terjadi apabila senyawa radikal bebas bereaksi dengan senyawa asam lemak tak jenuh ganda. Bentuk produk dari proses peroksidasi lipid ini antara lain diena terkonjugasi, hidroperoksida dan senyawa-senyawa aldehida yang salah satunya adalah MDA. MDA merupakan produk akhir dari peroksidasi lipid dalam tubuh. Konsentrasi MDA yang tinggi menunjukkan adanya proses oksidasi pada membran sel serta status antioksidan yang rendah (Winarsi, 2007; Kisic dkk., 2012). Penurunan kadar SOD pada lensa katarak senilis disebabkan oleh beberapa hal, yaitu secara alami dengan proses penuaan produksi SOD sudah menurun, pemakaian SOD yang meningkat karena mengkonversikan radikal superoksida menjadi hidrogen peroksida dan selanjutnya hidrogen peroksida sendiri akan menghambat aktivitas SOD (Moyong dkk., 2012; Kaur dkk., 2014). Penurunan kadar SOD pada katarak senilis mungkin juga disebabkan oleh denaturasi molekul enzim dan atau penurunan sintesis enzim. Penurunan aktivitas SOD akan menyebabkan peningkatan konsentrasi H2O2 yang mengakibatkan pembentukan radikal hidroksil dari reaksi Fenton’s dan kemudian akan membentuk radikal superoksida yang menginisiasi proses lipid peroksidasi di lensa (Kisic dkk., 2012). Penyebab yang tepat mengenai penurunan SOD pada katarak senilis belum diketahui, kemungkinan disebabkan oleh penurunan ion logam penyusun SOD, seperti Cu, Zn, dan Mn. Kemungkinan yang lain adalah bahwa dengan bertambahnya umur,
kerentanan sel epitelial kapsul lensa meningkat terhadap stress oksidatif sebagai akibat penurunan densitas sel oleh nekrosis dan apoptosis. Telah dibuktikan pula bahwa lapisan sel epitelial pasien katarak yang berumur lebih dari 50 tahun lebih tipis daripada pasien yang lebih muda. Dengan demikian diperkirakan bahwa sel epitelial dengan densitas yang sudah menurun gagal melawan stres oksidatif karena tidak bisa memproduksi antioksidan enzimatik secara memadai. Namun masih belum jelas apakah penurunan aktivitas SOD tersebut adalah murni karena proses penuaan atau suatu kondisi patologis (Rajkumar dkk., 2008). Peningkatan MDA serum dan penurunan SOD plasma disertai penurunan Zn serum pada pasien katarak senilis. Penurunan SOD mungkin disebabkan oleh penurunan mRNA yang mengkodekan enzim SOD, perubahan atau modifikasi enzim SOD karena stres oksidatif, dan lain sebagainya. Pada proses penuaan, ROS juga bisa merangsang produksi antioksidan enzimatik sebagai suatu respon adaptasi sel terhadap stres oksidatif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pasien yang berhasil beradaptasi dengan kondisi stres oksidatif akan terbentuk SOD serum yang cukup tinggi yang melindunginya dari katarak senilis. Sebaliknya pasien yang tidak mampu beradaptasi akan menderita katarak dan SOD serumnya akan rendah. Kemampuan adaptasi seseorang sangat dipengaruhi oleh genetik dan lingkungannya. Peningkatan umur akan berpengaruh pada penurunan produksi SOD dan di lain pihak peningkatan produksi ROS, maka semakin banyak pula SOD yang terpakai untuk menetralkan ROS. Lensa dengan tingkat kekeruhan yang rendah mencerminkan aktivitas SOD yang cukup tinggi, sehingga mampu menangkal ROS dan kekeruhan lensa dapat dihambat (Kaur dkk., 2014). Peneliti lain juga mempercayai bahwa semakin
meningkatnya proses peroksidasi lipid yang ditandai dengan tingginya kadar MDA berhubungan dengan peningkatan derajat kekeruhan lensa katarak senilis (Gupta dkk., 2003; Artunay dkk., 2009). Paparan stres oksidatif yang khronis dikatakan pula dapat mempercepat maturitas katarak senilis. Lensa yang keruh menunjukkan adanya stress oksidatif yang tinggi. Semakin keruh lensa, maka semakin tinggi stres oksidatifnya (Kaur dkk., 2012; Miric dkk., 2012). Katarak mungkin dapat dicegah atau diperlambat dengan menghambat akumulasi peroksidasi lipid di dalam lensa dan mempertahankan level GSH dan fungsi GPX dan GST yang adekuat (Kisic dkk.,
2012). Onset dan
progresivitas katarak senilis dapat diperlambat dengan pemberian asupan antioksidan. Masyarakat sebaiknya dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan kaya SOD, seperti rumput gandum, brokoli, melon, kubis, dan berbagai buah-buahan segar (Kaur dkk., 2014). Nilai aplikatif yang bisa diambil dari penelitian ini, yaitu dengan derajat kekeruhan lensa katarak senilis dapat digunakan untuk memperkirakan kadar SOD lensanya meskipun belum bisa digeneralisir pada populasi. Semakin tinggi derajat kekeruhan lensanya, maka kadar SOD lensanya semakin rendah.
Stres oksidatif
berperan dalam patogenesis katarak senilis dan SOD sangat berpengaruh dalam progresivitas atau maturitas katarak senilis. Kadar SOD harus tetap dijaga agar tetap optimal untuk melawan ROS, sehingga stres oksidatif dapat dihambat. Adanya keseimbangan antioksidan dan ROS, maka kerusakan sel lensa dapat dihambat dan terjadinya katarak senilis dapat dicegah atau ditunda onsetnya. Kadar SOD lensa dapat
digunakan untuk menilai atau memperkirakan tingkat stres oksidatif di lensa, yaitu makin tinggi kadar SOD lensa, maka akan makin rendah tingkat stres oksidatif di lensa. Salah satu strategi dalam memperlambat onset katarak senilis adalah dengan penggunaan antioksidan. Antioksidan dipertimbangkan pemberiannya pada pasien berumur 40 tahun ke atas, diharapkan katarak senilis dapat dicegah atau setidaknya memperlambat onset timbulnya katarak senilis. Beberapa peneliti mempercayai pemberian atau asupan antioksidan diduga dapat memperlambat memperlambat onset terjadinya katarak senilis (Artunay dkk., 2009; Kisic dkk., 2012). Konsumsi antioksidan yang kurang juga dapat dikaitkan dengan berbagai bentuk katarak senilis (Michael dan Bron, 2011). Pemberian antioksidan pada pasien katarak senilis sudah banyak dipaparkan oleh peneliti. Pemberian asupan lutein/zeaxanthin dan vitamin E yang tinggi dari makanan dan suplemen pada 35.551 orang wanita pegawai kesehatan profesional menurunkan risiko katarak secara bermakna (Christen dkk., 2008). Pemberian vitamin C dikombinasi dengan β karoten dan zinc dapat memberikan proteksi jangka panjang terhadap terjadinya katarak dan juga dapat memperlambat progresivitas katarak senilis terutama tipe nuklear. Antioksidan sendiri tidak harus selalu diperoleh dari obat-obatan. Bahan makanan yang mengandung vitamin A, C, E, dan β karoten juga dapat bertindak sebagai antioksidan non enzimatis, seperti buah-buahan, biji-bijian, dan kacangkacangan (Tan dkk., 2008). Aktivitas SOD eritrosit pada kaum pria yang diberi jus tomat selama seminggu meningkat secara bermakna. Peningkatan SOD ini disebabkan oleh kandungan antioksidan likopen dalam tomat dapat menghambat terjadinya reaksi oksidasi (Bub dkk., 2000). Penemuan tersebut membuktikan bahwa aktivitas antioksidan enzimatis sangat dipengaruhi asupan antioksidan nonenzimatis. Dalam hal
ini, penting untuk memberikan edukasi kepada pasien mengenai pola makan, status nutrisi dan gaya hidup untuk meningkatkan asupan antioksidan yang selanjutnya dapat memberikan proteksi terhadap stres oksidatif, sehingga nantinya dapat melindungi tubuh dari penyakit-penyakit degeneratif termasuk katarak senilis. Pemberian antioksidan
ditujukan utamanya untuk mencegah atau menunda onset terjadinya
katarak senilis, sehingga tindakan pembedahan katarak dapat dikurangi. Pada penelitian ini terungkap bahwa oksidatif stres berperan dalam patogenesis katarak. SOD sebagai salah satu antioksidan yang berperan melawan oksidatif stres yang kadarnya semakin menurun signifikan seiring dengan bertambahnya kekeruhan lensa. Mengingat katarak senilis adalah penyakit multifaktorial, maka diperlukan penelitian lanjutan mengenai faktor- faktor lain yang turut berpengaruh dalam patogenesis katarak senilis. Penelitian lebih lanjut juga diperlukan untuk mengetahui peranan antioksidan enzimatis yang lain dan antioksidan nonenzimatis dalam patofisiologi katarak senilis. SOD selain dapat diperoleh dari makanan, dapat juga diperoleh dari sediaan langsung berupa kapsul. Bahkan
dapat dilakukan suatu
penelitian uji klinis untuk meneliti efektivitas SOD dalam mencegah katarak senilis. Dari hasil penelitian ini dapat dinyatakan bahwa adanya penurunan kadar SOD lensa dapat dijadikan biomarker stres oksidatif pada katarak senilis.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan bahwa penurunan kadar SOD lensa berhubungan dengan peningkatan derajat kekeruhan lensa pada katarak senilis. 7.2 Saran Mengingat katarak senilis adalah penyakit multifaktorial, maka diperlukan penelitian lebih lanjut
untuk mencari faktor-faktor lain yang ikut berperan dalam
etiopatogenesis katarak senilis selain SOD.
DAFTAR PUSTAKA American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012a. Lens and Cataract. United State of America: American Academy of Ophthalmology. p. 5-74 American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012b. Fundamental and Principles of Ophthalmology. United State of America: American Academy of Ophthalmology. p. 273-318 Artunay O., Uslu E., Unal M., Aydin S., Devranoglu K., dan Bahcecioglu H. 2009. Role of Anti-Oxidant System and Lipid Peroxidation in the Development of AgeRelated and Diabetic Cataract. Glo Kat, 4:221-225 Ates O., Hamit H., Kocer I., Baykal O., dan Salman I.A. 2010. Oxidative DNA Damage in Patients with Cataract. Acta Ophthalmologica, 88:891-895 Beebe D.C., Shui Y.B., dan Holekamp N.M. 2010. Biochemical Mechanism of AgeRelated Cataract. In: Levin L.A., Albert D.M. editors. Ocular Disease Mechanisms and Management. Philadelphia: Saunders.p. 231-237 Behndig A., Svensson B., Marklund S.T., dan Karisson K. 1998. Superoxide Dismutase in Human eye. Invest Ophthalmol Vis Sci, 39(3): 471-475 Berthoud V.M. dan Beyer E.C. 2009. Oxidative Stress, Lens Gap Junction and Cataract. Antioxid Redox Signal, 11 (2): 339-353 Brian G. dan Taylor H. 2001. Cataract blindness challenges for 21st century. Bull of World Health Organization, 79: 249-256 Bub A., Watzl B., Abrahamse L., Delince´ H., Adam S., Wever J., Muller H., dan Rechkemmer G. 2000. Moderate Intervention with Carotenoid-Rich Vegetable Products Reduces Lipid Peroxidation in Men. Journal of Nutrition, 130: 22002206 Cabrera M.P. dan Chihuailaf R.H. 2011. Antioxidant and the Integrity of Ocular Tissue. Veterinary Medicine International, 2011: 1-8 Cemelli, E., Baumgatner, A., dan Anderson, D. 2009, Antioxidant and The Commet Assay. Mutation Research, 681: 51-67 Cekic S., Zlatanovic G., Cvetkovic T., dan Petrovic B. 2010. Oxidative Stress in Cataractogenesis. Bosnian Journal of Basic Medical Sciences, 3: 265-269 Chakraborty I., Kunti S., Bandyopadhyay M., Dasgupta A., Chattopadhyay G.D., dan Chakraborty S. 2007. Indian Journal of Clinical Biochemestry, 22(2): 109-113
Chandrasena L.G., Chackrewarthy S., Perera T.M., dan Silva D. 2006. Erythrocyte Antioxidant Enzyme in Patient with Cataract. Annal of Clinical and Laboratory Science, 36 (2): 201-204 Chang D., Zhang X., Rong S., Sha Q., Liu P., Han T., dan Pan H. 2013. Serum Oxidative Enzyme Level and Oxidative Stress Product in Age-Related Cataract Patients. Oxidative Medicine and Cellular Longevity, 2013: 1-7 Christen W.G., Liu S., Glynn R.J., Gaziano J. M., dan Buring J.E. 2008. Dietary Carotinoids, Vitamin C and E, and Risk of Cataract in Women. Arch Ophthalmol, 126(1): 102-109 Congdon N., West S.K., dan Buhrmann R.R., 200l. Prevalence of the differenttypes of age–related cataract in an African population. Invest Ophthalmol Vis Sci 42: 2478-2482 Dahlan M.S. 2009. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel. Edisi ke-2. Jakarta: Salemba Medika. p.17-21 Deepa K., Goud M., Nandini M., Kamoth A., Sudhir, dan Nayol B. 2011. Oxidative Stress and Calcium Levels in Senile ang Type 2 Diabetic Cataract Patient. Biochemistry, 2: 109-115 Delcourt C., Carriere I., Delage M., Descomps B., Cristol J.P., dan Papoz L. 2003. Association of Cataract with Antioxidant Enzymes and Other Risk Factors. Ophthalmology, 110: 2318-2326 Departemen Kesehatan RI. 2009. Data Penduduk Sasaran Program Pembangunan Kesehatan 2007-2011. Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. p. 26 El-Ghaffar A.A., Aziz M.A., Mahmoud A.M., dan Al-Balkini S.M. 2007. Elevation of Plasma Nitrate and Malondialdehyde in Patient with Age-Related cataract. Middle East Journal of Ophthalmology, 14: 13-15 Fleiss J.L. 1981. Statistical Methods for Rates and Proportions. Second edition. New York: John Wiley. p. 100-110 Friedman D.S., Congdon N.G., dan Kempen J.H., 2004. Prevalence of cataract and Pseudophakia/Aphakia Among Adults in the United States. Arch Ophthalmol, 122: 487-494 Fujiwara H., Takigawa Y., Suzuki T., dan Nakata K. 1992. Superoxide dismutase activity in cataractous lenses. Japanese Journal of Ophthalmology, 36(3): 273280 Gondhowiardjo T.D. dan Simanjuntak G.W.S. 2006. Panduan Manajemen Klinis Perdami. Cetakan pertama. Jakarta: PP Perdami. p. 51-55
Goyal M.M., Vishwajeet P., Mittal R., dan Sune P. 2010. A Potential Correlation between Systemic Oxidative Stress and Intracellular Ambiance of the Lens Epithelia in Patients with Cataract. Journal of Clinical and Diagnostic Research, 4: 2061-2067 Gsianturi. 2004. Angka Kebutaan di Indonesia Tertinggi di Asia Tenggara. Available from: http://www.AngkakebutaandiIndonesiatertinggidiAsia Tenggara.htm. Last update: 15 Mei 2004 Gupta S.K., Trivedi D., Srivastava S., Joshi S., Halder N., dan Verma S.D. 2003. Lycopene Attenuates Oxidative Stress Induced Experimental Cataract Development: An In Vitro and In Vivo Study. Nutrition, 19: 794-799 Hiromichi, S., Yuichiro, Y., dan Berthold, K. 2008. Oxidative Stress and Antioxidants in The Perinatal Period. In : Packer, L. and Helmut, S., editors. Oxidative Stress and Inflammatory Mechanism in Obesity, Diabetes, and The Metabolic Syndrome. London : CRC Press Taylor & Francis Group. p. 71-85 Ilyas S. 2008. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta: Balai penerbit FKUI. p. 212214 Jacques P.K., Chylack L.T., McGandy R.B., dan Hatz S.C. 1988. Antioxidant status in person with and without Senile Cataract. Archive of Ophthalmology, 106(3): 337-340 Kanski J.J. 2003 Clinical Ophthalmology. 5th Edition. Windsor: Butterworth Heinemann. p. 695-700 Katoh N., Jonasson F., Sasaki H., Kojima M., Ono M., Takahashi N., dan Sasaki K. 2001. Cortical lens Opacification in Iceland. Acta Ophthalmol Scand, 79: 154159 Kaur J., Kukreja S., Kaur A., Malhotra N., dan Kaur R. 2012. The Oxidative Stress in Cataract Patiens. Journal of Clinical and Diagnostic Research, 6(10): 16291632 Kaur S., Gujral U., dan Singh P. 2014. Research Article: Role of Superoxide Dismutase in Cataract Patients. International Journal of Recent Scientific Research, 5(3): 669-672 Kisic B., Miric D., Zoric L., dan Ilic A. 2012. Role of Lipid Peroxidation in the Pathologenesis of Age-Related Cataract. Intech, 21: 457-482 Kohen, R., dan Nyska, A. 2002. Oxidation of Biological System: Oxidative Stress Phenomen, Antioxidants, Redox Reactions, and Methods for Their Quantification. Toxicology Pathology. 30(6): 620-650
Kovacic P. dan Jacintho J.D. 2001. Mechanisms of Carcinogenesis: Focus On Oxidative Stress and Electron Tranfer. Curr.Med.Chem, 8: 773-796 Lang G. 2006. Ophthalmology: A Pocket Texbook Atlas. Second Edition. Stuttgut, New York: Thieme. p. 169-189 Leske M.C., Wu S.Y., dan Nemesure B. 2002. Risk Factors for Incidence Nuclear Opacities. Ophthalmology, 109: 1303-1308. Li H. 2003. Free Radical and Cataract. Free Radical in Biology and Medicine, 77(222): 1-23 Lindblad B.E. 2008. “Risk Factors for Age-Related Cataract a Prospective Cohort Study” (thesis). Stockholm, Sweden: Karolinska Institutet Michael R. dan Bron A.J. 2011.The ageing lens and cataract: a model of normal and pathological ageing. Phil. Trans. R. Soc. B, 366: 1278-1292 Miric D., Kisic B., Zoric L., Dolicanin Z., Mitic R., dan Miric M. 2012. The Impact of senile Cataract Maturity on Blood Oxidative Stress Markers and GlutathioneDependent Antioxidant: Relations with Lens Variables. J Med Biochem, 31: 164-92 Mitchell R.N. dan Contran R.S. 2008. Cell Injury, Cell Death, and Adaptations. In: Kumar, Abas, Fausto, Mitchell, editors. Basic Pathology. Ed.8th. Philadelphia: Elsevier Saunders. p.1-30 Moyong K., Kawanpure H., Kamble P., Kaleon T., dan Padmanabha B.V. 2012. Study on Oxidative Stress in Senile Cataract. International Journal of Health Sciences and Research, 2(4): 8-12 Nishikiori T. dan Yamamoto K. 1987. Epidemiology of cataracts. Dev Ophthalmol,15: 24-27 Nirmalan P.K., Robin A.L., Katz J., Tielsch J.M., Thulasiraj R.D., Krisnadas R., dan Ramakrishnan R. 2004. Risk Factors for Age Related Cataract in a Rural Population of Southern India: The Aravind Comprehensive Eye Study. Br J Ophthalmol, 88: 989-994 Noran N.H., Nooriah S., dan Mimiwati Z. 2007. The Association between Body Mass Index and Age Related Cataract. Med J Malaysia, 62: 49-52 Nourmohammadi I., Gohari L., Moddares M., dan Ghayoumi-Javinani A. 2001. Evaluation of Erythrocyte Glutation Peroxidase, Superoxide Dismutase and Total Antioxidants in Cataract Patiens. Archives of Iran Medicine, 4(3): 123-126 Ohrloff C. dan Hockwin O.1984. Superoxide dismutase (SOD) in normal and cataractous human lenses. Graefe’s Ach Clin Exp ophthalmol, 222: 79-81
Ozmen D., Ozmen B., Erkin E., Guner I., Habil S., dan Bayindir O. 2000. Lens Superoxide Dismutase and Catalase Activities in Diabetic Cataract. Turkish Journal of Endocrinology and Metaboilsm, 1: 1-4 Palmiere B. dan Sblendorio V. 2006. Oxidative Stress Detection: What For?. European Review for Medical and Pharmacological Sciences, 10: 291-317 Pavani B.Ch., Kumar S.V., Ramarao J., Rau B.R., dan Mohanty S. 2012. Role of Biochemical Marker for Evaluation of Oxidative Stress in Cataract. Int J Pharm Bio Sci, 2(2): 178-184 Priyanti N.P.D.R. 2013. “Kadar Malondialdehyde Serum Pasien Katarak Senilis Matur Lebih Tinggi daripada Katarak Senilis Imatur” (Tesis). Denpasar: Universitas Udayana Purushottam K. 2009. Cataract A Pilot Study. Indian J Ophthalmol, 55: 355-359 Rajkumar S., Praveen M.R., Gajjar D., Vasawada A.R., Alapure B., Patel D., dan Kapur S. 2008. Activitas of superoxide dismutase isoenzymes in epithel cells derived from different types of age-related cataract. J Cataract Refrat Surg, 34: 470-474 Sabanayagam C., Wang J.J., Mitchell P., Tan A.G., Tai E.S., Aung T., Saw S.M., dan Wong T.Y. 2011. Metabolic Syndrome Components and Age-Related Cataract: The Singapore Malay Eye Study. Invest Ophthalmol Vis Sci, 52: 2397-2404 Saraymen R., Kilic E., Yasar S., dan Cetin M. 2003. Influence sex and age on the activity of antioxidant enzymes of polymorphonuclear leukocytes in healthy subjects, Yosei Med J, 44: 9-14 Sawada H., Fukuchi T., dan Abe H. 2009. Oxidative stress marker in aqueous humor of patients with senile cataracts. Curr Eye Res, 34: 36-41 Sihota R. dan Tandan R. 2007. Parson’s Diseases of The Eye. Indian: Elsevier. p. 247269 Spector A. 1995. Oxidative Stress-Induced Cataract: Mechanism of Action. FASEB J, 9:1173-1182 Soehardjo. 2004. “Kebutaan Katarak: Faktor-Faktor Risiko, Penanganan Klinis, dan Pengendalian” (disertasi). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Tabin G., Chen M., dan Espandar L. 2008. Cataract Surgery for the Developing World. Curr Opin Ophthalmol, 19: 55-59 Tan A.G., Mitchell P., Flood V.M., Burlutsky G., Rochtchina E., Cumming R.G., dan Wang J.J. 2008. Antioxidant nutrient intake and the long-term incidence of agerelated cataract: the Blue Mountains Eye Study. Am J Clin Nutr, 87: 1899-1904
Taylor H. 2000. Cataract: How much surgery do we have to do?. Br J Ophthalmol, 84: 1-2 Uçakahn O.O., Karel F., Kanpolat A., Devrim E., dan Durak I. 2006. Superoxide dismutase activity in lens capsule of patients with pseudoexpoliation syndrome and cataract. J Cataract Refract Surg, 22: 618-622 Valko, M., Rhodes,C.J., Moncol, J., Izakovic, M., dan Mazur, M. 2005. Free Radicals, Metals and Antioxidant in Oxidative Stress-Induced Cancer, Chem. Biol. Interact, 160: 1-40. Valero M.P., Fletcher A.E., Stavola B.L., dan Alepúz V.C. 2007. Years of Sunlight Exposure and Cataract: a Case-Control Study in a Mediterranean population. BMC Ophthalmology, 7: 1-8 Vaughan D., Asbury T., dan Riordan-Eva P. 2002. General Ophthalmology. 14th Edition. London: Pretice Hall Inc. p. 169-178 Vavvas D., Azar N.F., dan Azar D.T. 2002. Mechanism of disease: cataracts. Ophthamol Clin N Am, 15: 49-60 Vinson J.A. 2006. Review: Oxidative stress in cataract. Pathophysiology, 13: 151-162 Virgolici B., Stoian I., Muskurel C., Maracine M., Popescu L., Moraru C., dan Dinu V. 2009. Systemic Redox Modification in Senile Cataract. Rom J Intern Med, 47(3): 279-287 William D.L. 2006. Oxidation, Antioxidants and Cataract Formation: A Literature Review. Veterinary Ophthalmology, 9 (5): 292-298 Winarsi H. 2007. Antioksidan alami dan radikal bebas. Cetakan ke-2. Yogyakarta: Kanisnus. p. 11-121 Wu R., Wang J.J., Mitchell P., Lamoureux E.L., Zheng Y., Rochtchina E., Tan A.G., dan Wong T.Y. 2010. Smoking, Sosioeconomic Factors, and Age-related Cataract. Arch Ophthalmol, 128 (8): 1029-1035 Ziaulhak S.R. 2007. “Profil Penderita Katarak dan Pterigium di Kalimantan Timur Analisis Faktor Resiko Paparan Sinar Ultraviolet” (tesis). Jakarta: Universitas Indonesia
Zoric L., Elek-Vlajic S., Jovanovic M., Kisic B., Djokic O., Canadanovic V., Cosic V., dan Jaksic V. 2008. Oxidative stress intensity in lens and aqueous depending on age-related cataract type and brunescense. European Journal of Ophthalmology, 18(5): 669-674
Lampiran 4. Penjelasan Penelitian INFORMASI YANG DIBERIKAN KEPADA SUBYEK PENELITIAN Penurunan Kadar Superoksida Dismutase Lensa Berhubungan dengan Peningkatan Derajat Kekeruhan Lensa pada Katarak Senilis
Bapak dan ibu Yth, Katarak senilis merupakan penyakit multifaktorial
yang etiopatogenesisnya
belum diketahui secara pasti. Salah satu teori tentang etiopatogenesis katarak senilis yang banyak berkembang adalah stres oksidatif. Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan. Stres oksidatif dapat timbul apabila pembentukan radikal bebas terjadi berlebihan disertai berkurang atau menetapnya sistem pertahanan antioksidan. Seiring bertambahnya usia, akan menyebabkan gangguan mekanisme proteksi antioksidan lensa mata sehingga terjadi akumulasi radikal bebas yang berlebihan. Salah satu anti oksidan alami berupa enzim yang terdapat dalam tubuh adalah SOD. SOD mempunyai efek sangat kuat dan merupakan pertahanan tubuh pertama terhadap serangan radikal bebas. SOD mampu mengubah radikal bebas paling reaktif dan paling berbahaya, yaitu superoksida menjadi ion-ion tidak berbahaya. Kadar SOD lensa diduga berhubungan erat dengan derajat kekeruhan lensa katarak senilis. Kami akan melakukan penelitian apakah penurunan kadar SOD lensa berhubungan dengan derajat kekeruhan lensa pada pasien katarak senilis. Bila Bapak/Ibu bersedia menjadi sampel penelitian, kami akan mengambil lensa Bapak/Ibu yang telah dioperasi untuk diperiksa kadar SOD-nya di Laboratorium Analitik Universitas Udayana di Bukit
Jimbaran. Biaya yang diperlukan untuk pemeriksaan akan ditanggung oleh peneliti. Jika hasil pemeriksaan (kadar SOD) telah diketahui, maka hasil pemeriksaan tersebut akan kami sampaikan kepada Bapak/Ibu. Hasil pemeriksaan akan dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian seperti yang dimaksud diatas. Dengan ikut serta dalam penelitian ini, berarti Bapak/Ibu ikut berperan serta dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya etiopatogenesis dan perkembangan maturitas katarak senilis. Data mengenai Bapak/Ibu akan kami rahasiakan. Demikian penjelasan ini kami sampaikan, dan atas kesediaan Bapak/Ibu ikut serta menjadi sampel atau koresponden dalam penelitian ini, kami sampaikan banyak terima kasih. Bila ada hal-hal yang belum jelas, Bapak/Ibu dapat menghubungi peneliti dr. I Putu Rustama Putra di nomor HP 08124611358.
Peneliti,
dr. I Putu Rustama Putra
Lampiran 5. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)
Yang bertanda tangan dibawah ini: Nama
:
Umur
:
Alamat
:
Telepon : Setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap mengenai maksud, tujuan dan manfaat penelitian ini, maka menyatakan setuju dan bersedia ikut serta dalam penelitian ini. Saya bersedia mentaati semua peraturan yang diberikan. Saya mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian ini bila saya menginginkan dan tidak akan merusak hubungan dokter-pasien dengan saya.
Denpasar, ............................. 2013 Tanda tangan pasien
.....................................
Saksi
....................................
Peneliti,
dr. I Putu Rustama Putra
Lampiran 6. Kuisioner Penelitian
1.
No Sampel :
2.
No CM
3.
Tgl pemeriksaan :
4.
Nama
:
5.
Umur
:
6.
Jenis Kelamin
:
7.
Pekerjaan
:
8.
Pendidikan :
9.
Alamat
:
: ( Tlp / HP:
10. Riwayat merokok
)
: merokok / tidak; jumlah ...... ; lama .......
11. Riwayat penyakit lain : a. DM
: Ada / tidak; lama ......
b. Hipertensi
: Ada / tidak; lama ......
c. Jantung
: Ada / tidak
d. Keganasan
: Ada / tidak; jenis .......
12. Riwayat terapi a. AISN
: : Ada / tidak; lama ......
b. Kortikosteroid : Ada / tidak; lama ...... c. Imunosupresan
: Ada / tidak; lama ......
d. Antioksidan (vitamin A & E) : Ada / tidak; lama ...... 13. Vital sign
: TD: ............ mmHg; N: ........ X/mnt; R: ........ X/mnt; t: .........°C
14. Status General
:
15. Status oftalmologi
OD
OS VA PH Palpebra Konjungtiva Kornea COA Iris/Pupil
Derajat.........................
Lensa Vitreus Fundus
16. Diagnosis 17. Kadar SOD :
:
Derajat......................
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS UDAYANA UPT. LAB. ANALITIK Kampus Bukit Jimbaran, Telp. 0361701954, HP.082341777050
Nomor Hal
KEPADA YTH: dr. I P. Rustama Putra
: 091/UN14.24/UPTLA/2014 : Hasil Laboratorium
di tempat
No. Pasien 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Identitas
Derajat Kekeruhan Lensa
SOD (g/g protein)
MTD IWP NNB IWK NKB KTR GNN IKB NWB IWN IKL NKL NKK IWC NWS NNT WYA NKR WCT GMA IWP IKR IKW NWS NNS INS NWN DWK
2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4
21,354 20,644 21,047 20,946 21,805 22,706 21,591 22,855 17,375 18,673 17,807 16,772 17,064 16,072 15,806 15,771 15,687 16,877 15,997 16,089 14,993 15,876 14,952 14,081 14,556 14,883 13,775 13,681
29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52
MDK GPY IBK IKS IWM NMT KTS SGR NKD NKP INW IKM NWY NNY IKL NSG KST NWR WTJ IMO MRD NMT NKM SKS
4 4 4 4 4 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
12,906 12,881 12,094 12,074 12,042 13,768 14,025 12,869 11,973 12,806 12,861 13,082 12,684 10,061 11,899 12,864 11,841 10,662 10,839 9,062 10,178 9,857 10,687 9,671
Bukit Jimbaran, 10 April 2014 Kepala UPT Laboratorium Kimia Analitik Unud
(Prof.Dr. Ir. Ida Bagus Putra Manuaba, MPhil)
Lampiran 8. TABEL INDUK PENELITIAN NO
NAMA
UMUR
JENIS KELAMIN
PENDIDIKAN
PEKERJAAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52
NMT GMA IWN NWB IKR KTS IKL MTD SGR NKD IWP NKP IKW IWP NWS NKL NKK NNS NNB INS IWK INW IKM IWC NWS NWN NWY NNT NKB NNY IKL NSG KST DWK MDK NWR WTJ GPY WYA IBK KTR GNN IMO MRD NMT NKM IKS NKR WCT IKB IWM SKS
62 68 72 66 71 58 82 72 72 82 67 60 83 41 64 67 75 54 63 77 74 75 63 69 57 69 65 64 71 79 61 90 88 79 78 67 85 89 70 53 57 76 57 64 62 63 71 61 69 67 78 70
W W L W L W L L W W L W L L W W W W W L L W W L W W W W W W L L W W W W L L W L L L L W W W L W L L L W
SD TIDAK SD TIDAK TIDAK SD TIDAK PT SD TIDAK SMP SD SD SMU SD SMU SD SD SD SD SD TIDAK SD SD SD TIDAK TIDAK SD SD TIDAK SMP TIDAK TIDAK PT SMU TIDAK TIDAK SD TIDAK SD SD SD SD SD SD SD TIDAK SD SD SD SD SD
PETANI WIRASWASTA PETANI PETANI PETANI PETANI PETANI PNS IRT PETANI PETANI IRT PETANI WIRASWASTA PETANI WIRASWASTA IRT WIRASWASTA WIRASWASTA WIRASWASTA PETANI PETANI IRT PETANI WIRASWASTA IRT PETANI PETANI IRT PETANI PETANI PETANI PETANI PNS IRT PETANI PETANI PETANI IRT WIRASWASTA PETANI PETANI PETANI WIRASWASTA PETANI IRT PETANI IRT PETANI PETANI PETANI PETANI
DERAJAT KEKERUHAN LENSA 5 4 3 2 4 5 3 2 5 5 4 5 4 2 4 3 3 4 2 4 2 5 5 3 3 4 5 3 2 5 5 5 5 4 4 5 5 4 3 4 2 2 5 5 5 5 4 3 3 2 4 5
KADAR SOD
13,678 16,089 18,673 17,375 15,876 14,025 17,807 21,354 12,869 11,973 14,993 12,806 14,952 20,644 14,081 16,772 17,064 14,556 21,047 14,883 20,946 12,861 13,082 16,072 15,806 13,775 12,684 15,771 21,805 10,061 11,899 12,864 11,841 13,681 12,906 10,662 10,839 12,881 15,687 12,094 22,706 21,591 9,062 10,178 9,867 10,687 12,074 16,877 15,997 22,855 12,042 9,671
Lampiran 9. OUT PUT SPSS Jenis Kelamin
Cumulative Frequency Valid
Percent
Percent
laki-laki
22
42.3
42.3
42.3
wanita
30
57.7
57.7
100.0
Total
52
100.0
100.0
Umur
N
Valid Percent
Valid
52
Missing
0
Mean
69.1731
Std. Error of Mean
1.36668
Median
69.0000
Mode
67.00
Std. Deviation
9.85527
Variance
97.126
Skewness
-.038
Std. Error of Skewness
.330
Kurtosis
.375
Std. Error of Kurtosis
.650
Range
49.00
Minimum
41.00
Maximum
90.00
Pendidikan Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Tidak Bersekolah
15
28.8
28.8
28.8
SD
30
57.7
57.7
86.5
SMP
2
3.8
3.8
90.4
SMU
3
5.8
5.8
96.2
Perguruan Tinggi
2
3.8
3.8
100.0
52
100.0
100.0
Total
Pekerjaan Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Petani
31
59.6
59.6
59.6
Ibu Rumah Tangga
10
19.2
19.2
78.8
Wiraswasta
9
17.3
17.3
96.2
PNS
2
3.8
3.8
100.0
Total
52
100.0
100.0
Derajat Kekeruhan Lensa
Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
2
9
17.3
17.3
17.3
3
10
19.2
19.2
36.5
4
14
26.9
26.9
63.5
5
19
36.5
36.5
100.0
Total
52
100.0
100.0
Kadar SOD Lensa pada Masing-Masing Derajat Kekeruhan Lensa
Derajat sod
2
Statistic Mean 95% Confidence Interval for Mean
21.14700 Lower Bound
19.91497
Upper Bound
22.37903
5% Trimmed Mean
21.26167
Median
21.35400
Variance
1.602813
Minimum
17.375
Maximum
22.855
Range
5.480
Interquartile Range
1.460
Skewness Kurtosis Mean 95% Confidence Interval for Mean
-1.743
.717
4.242
1.400
16.65260
.313435
Lower Bound
15.94356
Upper Bound
17.36164
5% Trimmed Mean
16.59400
Median
16.42200
Variance Std. Deviation
.534271
2.569
Std. Deviation
3
Std. Error
.982 .991170
Minimum
15.687
Maximum
18.673
Range
2.986
Interquartile Range
1.452
Skewness
1.027
.687
.354
1.334
Kurtosis
4
Mean 95% Confidence Interval for Mean
13.92021 Lower Bound
13.12662
Upper Bound
14.71381
5% Trimmed Mean
13.90407
Median
13.92800
Variance
1.889
Std. Deviation
1.374475
Minimum
12.042
Maximum
16.089
Range
4.047
Interquartile Range
2.278
Skewness Kurtosis 5
Mean 95% Confidence Interval for Mean
.000
.597
-1.178
1.154
11.66784
.343220
Lower Bound
10.94676
Upper Bound
12.38892
5% Trimmed Mean
11.68166
Median
11.89900
Variance Std. Deviation
.367344
2.238 1.496063
Minimum
9.062
Maximum
14.025
Range
4.963
Interquartile Range
2.686
Skewness
-.161
.524
-1.249
1.014
Kurtosis
Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov derajat sod
Statistic
df
Sig.
df
Sig.
.266
9
.066
.825
9
.039
3
.221
10
.182
.880
10
.129
4
.127
14
.200
*
.934
14
.345
5
.173
19
.139
.939
19
.249
*. This is a lower bound of the true significance.
Ranks derajat
N
Mean Rank
2
9
47.78
3
10
37.90
4
14
24.71
5
19
11.74
Total
52
a,b
Test Statistics
sod Chi-Square
41.626
df Asymp. Sig. a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: derajat
Statistic
2
a. Lilliefors Significance Correction
sod
Shapiro-Wilk
3 .000
Hubungan Kadar SOD lensa dengan Derajat Kekeruhan Lensa (Uji Spearman) Correlations derajat Spearman's rho
Derajat
Correlation Coefficient
sod
1.000
Sig. (2-tailed) N Sod
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
-.900
**
.
.000
52
52
**
1.000
.000
.
52
52
-.900