JU L Androgynus) I – DESEMBER, 2013 VOLUME 8 , NO. Tepung 2 Pengaruh Penggunaan Daun Katuk (Sauropus Terhadap Kadar Kolesterol Telur Itik Mojosari (Anas Javanica). (DiahKasmirah, YosiFenita, UripSantoso) 77 – 86
Penambahan Tepung Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn) Dalam Ransum Terhadap performan pertumbuha ayam broiler.( Septi Susanti, Johan Setianto, Warnoto) 87 – 96 Kualitas Karkas Ayam Broiler yang Mengkonsumsi Ransum dengan Suplementasi Tepung Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn) (Gustina, Olfa Mega, R. Saepudin) 97 – 110 Karakteristik Morfologis Dan Reproduksi Kerbau Pampangan Di Propinsi Sumatera Selatan. (Muhakka, Riswandi dan Asep Indra M. Ali) 111 – 120 Model Penentuan Suhu Kritis Pada Sapi Perah Berdasarkan Kemampuan Produksi Dan Manajemen Pakan (D. Suherman2, B.P. Purwanto3, W. Manalu4, I.G. Permana5 ) 121 – 138 Pengaruh Penambahan Tepung Ikan Sidat (Anguilla Spp) Pada Pembuatan Tortilla Chips Terhadap Nilai Gizi, Kadar Air Dan Daya Terima Organoleptik (Yenni Okfrianti, Kamsiah, Dirga Gusti Veli) 139 - 152 Kualitas Karkas serta Uji Organoleptik Ayam Peraskok, Ayam Buras Kampung, dan Ayam Broiler pada Umur Potong Belah Empat (Kususiyah) 153 -158 Pengaruh Variasi Konsentrasi Tepung KedelaisebagaiBahan Pengikat terhadap Kadar Air dan MutuOrganoleptik Nugget Ikan Gabus (Ophiocephalus sriatus) (Yenni Ofrianti, Jamila Wati) 159-168 Analisis Pendapatan Peternak Ayam Ras Pedaging dengan Sistem Kemitraan Berbeda di Kecamatan Tellusiattinge Kabupaten Bone (Analysis of Broiler Breeders Income with Different Partnership System in Bone Regency, District Tellusiattinge) (S. N. Sirajuddin, V. S Lestari, dan M.Nizam) 169 - 175
107 – 114
ISSN 1978 - 3000
JURNAL SAIN PETERNAKAN INDONESIA (Indonesia Animal Science Journal) Dewan Redaksi Ketua
Dr. Ir. Rustama Saepudin, MSc. Dr. Irma Badarina, SPt, MP.
Reviewer
1. Prof. Dr. Ir. Urip Santoso, MSc 2. Prof. Dr.agr. Johan Setianto 3. Dr.Ir. Yosi Fenita, MP 4. Dr. Ir. Dwatmadji, MSc 5. Heri Dwi Putranto, SP.t, MS.c, Ph.D 6. Dr. Ir. Bieng Brata, MP 7. Dr. Ir. Dadang Suherman, MS.i 8. Dr. Ir. Basyarudin Zain, MP
Penyunting
1. Ir. Hidayat, MSc 2. Ir. Desia Kaharuddin, MP 3. Ir. Sutriyono, MS 4. Ir. Warnoto, MP 5. Ir. Kususiyah, MS 6. drh. Tatik Suteky, MS.c 7. Ir. Siwitri Kadarsih, MS 8. Ir. Tris Akbarillah, MP 9. Ir. Edi Sutrisno, MS.c
Administrasi dan Distribusi
Suharyanto, SP.t, MS.i Jarmuji, S.Pt., M.Si. Gema Pertiwi, S.E.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia adalah majalah ilmiah resmi yang dikeluarkan Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, sebagai sumbangannya kepada pengembangan ilmu Peternakan yang diterbitkan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris yang memuat hasil-hasil penelitian,telaah/tinjauan pustaka, kasus lapang atau gagasan dalam bidang peternakan. Jurnal Sain Peternakan Indonesia (ISSN 1978 – 3000) dalam satu tahun terbit dua kali (Januari-Juni dan Juli -Desember). Edisi khusus dalam Bahasa Inggris dapat diterbitkan apabila perlu. Redaksi menerima tulisan di bidang peternakan yang belum pernah dipublikasikan. Alamat Redaksi : Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian UNIB.
Jalan W.R. Supratman Kandang Limun Bengkulu 38371A. Telp (0736) 21170 pst 219. e-mail :
[email protected] dan
[email protected] Terbit Pertama Kali : Juni 2006 Harga langganan Rp. 200.000,- per tahun belum belum termasuk ongkos kirim
ISSN 1978 - 3000
EDITORIAL Salam Redaksi Jurnal Sain Peternakan Indonesia (JSPI) telah berusia 8 tahun dan tercermin dari volume edisi ini, yaitu volume 8 no 2. Usia 8 tahun adalah relatif muda untuk dikatakan sudah mapan, tetapi JSPI senantia berusaha untuk tampil dengan sebaik-baiknya. Pada volume ini, kembali JSPI menampilkan berbagai artikel ilmiah bidang peternakan, mulai dari aspek fisiologis, produksi, nutrisi, pemuliaan, teknologi hasil, dan aneka hewan potensial, termasuk kajian pada aspek sosial ekonominya. Khusu pada edisi ini dimuat tanggapan terhadap artikel berjudul “Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium dan Oviduk Serta Tampilan Produksi Telur Ayam Burgo” pada JSPI Vol 6 No. 2 halaman 103-114. Tanggapan ini diperlukan sebagai ajang diskusi untuk mendapatkan informasi ilmiah yang dibutuhkan. Artikel yang ada telah melewati proses telaah dan editing, namun demikian masukan dari pembaca masih sangat diperlukan untuk perbaikan di masa yang akan datang. Akhirnya, semoga artikel yang disajikan ini semakin memberikan wahana baru dalam pengembangan keilmuan bidang peternakan dan bermafaat bagi pengembangan bidang peternakan itu sendiri. Selamat membaca
Redaksi
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia (Indonesia Animal Science Journal) Volume 8 No 2. Juli – Desember 2013 DAFTAR ISI Pengaruh Penggunaan Tepung Daun Katuk (Sauropus Androgynus) Terhadap Kadar Kolesterol Telur Itik Mojosari (Anas Javanica). (DiahKasmirah, YosiFenita, UripSantoso)
77 – 86
Penambahan Tepung Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn) Dalam Ransum Terhadap performan pertumbuha ayam broiler.( Septi Susanti, Johan Setianto, Warnoto) 87 – 96 Kualitas Karkas Ayam Broiler yang Mengkonsumsi Ransum dengan Suplementasi Tepung Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn) (Gustina, Olfa Mega, R. Saepudin) 97 – 110 Karakteristik Morfologis Dan Reproduksi Kerbau Pampangan Di Propinsi Sumatera Selatan. (Muhakka, Riswandi dan Asep Indra M. Ali) 111 – 120 Model Penentuan Suhu Kritis Pada Sapi Perah Berdasarkan Kemampuan Produksi Dan Manajemen Pakan (D. Suherman2, B.P. Purwanto3, W. Manalu4, I.G. Permana5 ) 121 – 138 Pengaruh Penambahan Tepung Ikan Sidat (Anguilla Spp) Pada Pembuatan Tortilla Chips Terhadap Nilai Gizi, Kadar Air Dan Daya Terima Organoleptik (Yenni Okfrianti, Kamsiah, Dirga Gusti Veli) 139 - 152 Kualitas Karkas serta Uji Organoleptik Ayam Peraskok, Ayam Buras Kampung, dan Ayam Broiler pada Umur Potong Belah Empat (Kususiyah) 153 -158 Pengaruh Variasi Konsentrasi Tepung KedelaisebagaiBahan Pengikat terhadap Kadar Air dan MutuOrganoleptik Nugget Ikan Gabus (Ophiocephalus sriatus) (Yenni Ofrianti, Jamila Wati) 159-168 Analisis Pendapatan Peternak Ayam Ras Pedaging dengan Sistem Kemitraan Berbeda di Kecamatan Tellusiattinge Kabupaten Bone (Analysis of Broiler Breeders Income with Different Partnership System in Bone Regency, District Tellusiattinge) (S. N. Sirajuddin, V. S Lestari, dan M.Nizam) 169 - 175
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |77
ISSN 1978 - 3000
Pengaruh Penggunaan Tepung Daun Katuk (Sauropus Androgynus) Terhadap Kadar Kolesterol Telur Itik Mojosari (Anas Javanica) Effect of Katuk (Sauropusandrogynus) Meal Supplementation On Egg Cholesterol Level Of Mojosari (Anas Javanica) Diah Kasmirah, Yosi Fenita, Urip Santoso Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu Jalan W.R. Supratman Kandang Limun Bengkulu 38371A Email:
[email protected] ABSTRACT The aim of this study was to evaluate the effect of different levels of Katuk (Sauropus androgynus) meal supplementation on egg cholesterol of Mojosari ducks. The research was conducted from 23rd July to 17th September 2012. A total of 36 Mojosari ducks was assigned to completely randomized design. The experimental animals were distributed into four treatment groups as follows: R0 (diet without katuk leaf meal), R1 (diet + 2,5% katuk leaf meal), R2 (diet + 5% katuk leaf meal), R3 (diet + 7,5% katuk leaf meal) with three replication (nine ducks each). The results showed that katuk meal supplementation with levels of 2,5%, 5% and 7,5% which were mixedinto ration reduce egg yolk weight and egg cholesterol level. The result analysis of ANOVA showed that katuk meal supplementation had significantly reduced egg yolk weight and egg cholesterol level of Mojosari ducks at the 8th week of observation (P<0.01). Moreover, katuk (Sauropus androgynus) meal supplementation which was mixed into ration did not significantly affect egg yolk weight percentage. In conclusion, katuk (Sauropus androgynus) meal supplementation up to 5% in diet reduce egg yolk weight and egg cholesterol level of Mojosari ducks, but did not significantly affect egg yolk weight percentage. Keywords: Mojosari ducks, egg yolk, egg cholesterol level, and Sauropus androgynus leaf meal ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh pemberian tepung daun katuk terhadap kadar kolesterol kuning telur itik Mojosari. Penelitian ini dilaksanakan selama 23 Juli sampai 17 September 2012. Itik yang digunakan sebanyak 36 ekor, terdiri atas 4 perlakuan yaitu R0 (Ransum tanpa tepung daun katuk), R1 (Ransum + 2,5% tepung daun katuk ), R2 (Ransum + 5% tepung daun katuk), R3 (Ransum + 7,5% tepung daun katuk), dengan 3 ulangan (Masing- masing
ISSN 1978 - 3000
ulangan terdiri dari tiga itik Mojosari). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian tepung daun katuk (Saurpusandrogynus) dengan taraf 2,5%, 5%, dan 7,5% dalam ransum menurunkan berat kuning telur dan kadar kolesterol. Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa pemberian tepung daun katuk berpengaruh sangat nyata (P<0,01) menurunkan berat kuning telur pada pengamatan minggu ke 8 dan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) menurunkan kadar kolesterol telur itik. Penambahan tepung daun katuk dalam ransum berpengaruh tidak nyata terhadap persentase berat kuning telur. Disimpulkan bahwa pemberian tepung daun katuk pada level ≥ 5% dalam ransum, menurunkan berat kuning telur dan kadar kolesterol telur itik Mojosari, tetapi tidak menurunkan persentase berat kuning telur.Kata kunci: Itik Mojosari, kuning telur, kadar kolesterol telur, tepung daun katuk (Sauropus androgynus) Kata kunci : Itik mojosari, kuning telur, level kolesterol telur, tepung daun Sauropus androgynus
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |79
ISSN 1978 - 3000
PENDAHULUAN Itik merupakan salah satu jenis ternak unggas yang menyumbangkan protein hewani untuk kebutuhan masyarakat Indonesia.Hasil yang diberikan diantaranya berupa daging, telur dan bulu.Telur memiliki protein yang cukup tinggi dan harga yang relatif murah dibandingkan dengan sumber protein dari ternak lainnya. Konsumen dewasa ini sudah mulai memperhatikan mututelur yang dikonsumsinya. Ada kecenderungan bahwa konsumen lebih suka mengkonsumsi telur rendah kolesterol. Telur merupakan salah satu bahan pangan yang mengandung zat gizi kolesterol. Kolesterol yang terdapat di dalam kuning telur hanya didapatkan dari hasil sintesis kolesterol didalam hati, hati mensintesis kolesterol dari asetilKoA. Menurut pernyataan (Safitri, 2007) bahwa telur itik mengandung kolesterol sebesar 27,79 mg/g kuning telur. Beberapa dari hasil penelitian terdahulu, bahwa (Suprayogi, 2000) telah menemukan senyawa aktif yang terkandung di dalam daun katuk salah satunya yaitu senyawa sterol. Androstan- 17- one, 3-ethyl-3hidroxy-5-alpha 17-ketosteroid (kelompok keto pada C17), secara langsung merupakan precursor atau senyawa intermediate dalam biosintesis hormon steroid. Senyawa tersebut dapat digolongkan ke dalam fitosterol. Fitosterol terdiri dari sterol
80
| Pengaruh
dan stanol merupakan lemak tanaman yang terdapat pada pangan yang berasal dari tanaman. Sterol tanaman secara alami merupakan substansi yang ada dalam pangan, secara prinsip merupakan komponen minor dari minyak tanaman. Penggunaan tepung daun katuk level 9% dalam ransum, ternyata mampu menurunkan kolesterol pada telur, karkas dan hati pada ayam kampung (Subekti, 2003). Hasil ini diduga karena adanya kandungan methylpyroglutamate yang tinggi pada daun katuk (Santoso et al, 2009) sehingga mampu menurunkan kolesterol. Menurut pernyataan yang dikemukakan Santoso dan Sartini (2001) yaitu dengan pemberian daun katuk dalam pakanayam broiler sebagai pakan tambahan mampu mengurangi akumulasi lemak tubuh sehingga kadar kolesterol karkas semakin berkurang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung daun katuk dalam ransum terhadap kandungan kolesterol dalam telur itik Mojosari. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan selama 8 minggu pada tanggal 23 Juli sampai 17 September 2012, bertempat di Commercial Zone Animal Laboratory (CZAL) Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu.
Penggunaan Tepung Daun Katuk
ISSN 1978 - 3000
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah tempat ransum, tempat minum, timbangan Neraca Ohaus (Triple Beam) 500 g, timbangan duduk kapasitas 10 kg, ember, gayung, sekop, cangkul, dan sapu. Bahan yang dipergunakan pada penelitian ini yaitu 36 ekor itik Mojosari, dan berumur 49 minggu. Itik yang digunakan telah mengalami fase rontok bulu periode pertama, sehingga dilakukan pemaksaan rontok bulu (Force Molting). Perlakuan penelitian dimulai setelah produksi mencapai 60%. Bahan pakan yang terdiri dari bungkil kedelai, tepung ikan, jagung giling, CaPO4, mineral, dedak halus, tepung daun katuk, dan minyak Bimoli. Dalam penelitian ini bahan yang digunakan 36 ekor itik Mojosari dan bahan pakan yang digunakan yaitu dedak halus, jagung giling, tepung daun katuk, tepung mineral, Top Mix, dan CaPO4. Proses pembuatan tepung daun katuk (TDK) dengan cara penjemuran daun secara langsung dibawah sinar matahari. Daun katuk yang telah kering digiling sampai halus hingga menjadi tepung kemudian dicampur dalam ransum. Perlakuan pada penelitian ini menggunakan empat perlakuan dengan tiga petak ulangan, masingmasing petak menggunakan 3 ekor itik. Perlakuan dibedakan berdasarkan level pemberian tepung
daun katuk yang berbeda dalam ransum, yaitu: R0=Ransum Kontrol (tidak mengandung TDK) R1=Ransum mengandung 2,5% TDK R2 = Ransum mengandung 5% TDK R3 = Ransum mengandung 7,5% TDK Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang sistem litter yang berukuran 80 cm x 1 m sebanyak 12 petak dan setiap petak berisi 3 ekor itik yang dilengkapi tempat minum dan tempat pakan. Pakan diberikan sesuai kebutuhan itik fase bertelur yaitu 170 gram/ekor/hari (Windhyarti, 1999). Diberikan dua kali sehari yaitu pada jam 07:00 pagi dan jam 16:30 sore, sedangkan air minum diberikan ad libitum. Variabel yang diamati yaitu 1). Berat Kuning Telur (g/kuning telur), diukur untuk menghitung kadar kolestrol per 100 g kuning telur, di timbang setiap 2 minggu sekali selama penelitian berlangsung dengan cara memisahkan kuning telur dari putih telur dengan menggunakan timbngan analitik. 2). Persentase Kuning Telur (%), Persentase kuning telur dihitung untuk mengetahui persentase berat kuning telur didalam sebutir telur. Nilai persentase kuning telur didapat dari perhitungan dengan menggunakan rumus berikut:
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |81
ISSN 1978 - 3000
%
Kuning
Berat Kuning telur
=
HASIL DAN PEMBAHASAN
telur
x100%
berat telur/butir
Berat Kuning Telur
Kadar Kolesterol (mg/100 g), diukur pada minggu ke-7, ( hari ke-7 sebelum akhir penelitian). Pada penelitian ini proses Pengujian kadar kolesterol yaitu sampel dikirim ke Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Dilakukan berdasarkan metode Lieberman Burchard, Nilai kolesterol diperoleh dari perhitungan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: 1.Kolesterol(mg%)=
Pengaruh penggunaan tepung daun katuk dalam ransum itik Mojosari terhadap berat kuning telur disajikan pada Tabel 1
Pengujian kadar kolesterol yaitu sampel dikirim ke Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pengaruh pemberian tepung daun katuk terhadap berat kuning telur itik Mojosari disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis ragam menunjukkan, bahwa Tabel 1. Pengaruh penggunaan tepung daun katuk terhadap berat kuning telur
Perlakuan Pengamatan
R0
R1
R2
R3
SD
P
-----------------------------gram----------------Minggu 2
19,60
21,85
20,95
18,80
1,36
ns
Minggu 4
17,63
19,13
18,75
17,38
0,85
ns
Minggu 6
18,63
20,08
19,75
18,00
0,97
ns
Minggu 8
23,21a
21,61ab
18,45bc
16,93c
0,27
P<0,01
Ket : ns: menunjukkan perlakuan berbeda tidak nyata (P>0,05), superskrip bebeda pada pengamatan minggu ke 8 menunjukkan hasil berbeda sangat nyata (P<0,01) R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2,5% Tepung Daun Katuk (TDK), R2 ransum kontrol + 5 % TDK, R3 = ransum kontrol + 7,5% TDK. 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝐴𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟
standar ) x
𝑥 0,4( konsentrasi 100
berat sampel
2. Kolesterol (mg/1 g kuning telur)= mg % = mg/1 g kuning telur 100 3. Kolesterol (mg/butir telur)= mg/1 g kuning telur x berat kuning telur = mg/butir telur Data dianalisis menggunakkan sidik ragam (ANOVA) dan jika berbeda nyata dilanjutkan uji DMRT.
82
| Pengaruh
pemberian tepung daun katuk berpengaruh tidak nyata (P>0,05) tehadap kuning telur pada pengamatan minggu 2, 4, dan 6, tetapi berbeda sangat nyata (P<0,01) pada minggu ke 8. Hasil uji lanjut DMRT menunjukkan bahwa, R0 berbeda tidak nyata dengan R1 (P>0,05), tetapi R0 berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan R2 dan R3.
Penggunaan Tepung Daun Katuk
ISSN 1978 - 3000
Pada penelitian ini adanya pengaruh pada minggu ke 8, di duga bahwa pemberian tepung daun katuk terhadap berat kuning telur membutuhkan waktu paling sedikit yaitu 8 minggu untuk bisa menurunkan berat kuning telur. Salah satu faktor lainnya yang menyebabkan turunnya berat kuning telur yaitu turunnya berat telur pada minggu ke 8. Persentase Kuning Telur Pengaruh penggunaan tepung daun katuk dalam ransum itik Mojosari terhadap persentase kuning telur disajikan pada Tabel 2 dibawah ini.
Pengaruh penggunaan tepung daun katuk dalam ransum itik Mojosari terhadap persentase kuning telur disajikan pada Tabel 2 diatas. Hasil analisis ragam menunjukkan,bahwa pengaruh pemberian tepung daun katuk berpengaruh tidak nyata (P>0,05) tehadap persentase kuning telur terlihat pada pengamatan minggu 2, 4, 6 dan 8. Persentase bobot kuning telur dalam penelitian ini tidak berbeda jauh dengan yang dikemukakan oleh Suryaningsih (2008), menyatakan bahwa hasil penelitian nya
menunjukkan bahwa bobot persentase kuning telur yaitu berkisar antara 31,57-35,53%. Hasil penelitian ini menunjukkan kisaran persentase kuning telur yang ada pada Tabel 6 adalah berkisar antara 30,38- 34,60% . Kadar Kolesterol Pengaruh penggunaan tepung daun katuk dalam ransum itik Mojosari terhadap kadar koleterol disajikan pada Tabel 3. Hasil analisis ragam menunjukkan, bahwa pemberian tepung daun katuk berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar kolesterol (mg%) telur itik. Hasil uji lanjut DMRT menunjukkan, bahwa R0 berbeda sangat nyata (P<0,01), lebih rendah dari pada R1 tetapi berbeda sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dari R2 dan R3. Sementara R2 dan R3 berbeda tidak nyata (P>0,05). Hasil analisis ragam menunjukkan, bahwa pemberian tepung daun katuk berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar kolesterol (mg/1 g kuning telur) telur itik. Hasil uji lanjut DMRT menunjukkan, bahwa R0 berbeda sangat nyata (P<0,01), lebih rendah dari pada R1 tetapi berbeda sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dari R2 dan R3. R2 dan R3 berbeda tidak nyata (P>0,05).
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |83
ISSN 1978 - 3000
Hasil analisis ragam menunjukkan, bahwa pemberian tepung daun katuk berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar kolesterol (mg/butir telur) telur itik. Hasil uji lanjut DMRT menunjukkan bahwa R0 dan R1 berbeda tidak nyata (P>0,05), R0 dan R1 berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan R2 dan R3, R2 dengan R3 berbeda tidak nyata (P>0,05). Kolesterol telur itik yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 12,82 – 15,35 mg/g kuning telur. Untuk kadar kolesterol mg/butir telur pada level 2,5% memiliki kadar kolesterol paling tinggi yaitu 385,78 mg/butir telur, kemudian terjadi penurunan pada perlakuan 5% sebesar 248,15 mg/butir telur, dan penurunan kadar kolesterol terendah diperoleh pada perlakuan 7,5% yaitu 216,68 mg/butir telur. Pada penelitian ini hasil penurunan kadar kolesterol terjadi pada
perlakuan R2 sebesar 11,84% (13,53 mg/1gr kuning telur) dan pada perlakuan R3 sebesar 16,48% (12,82 mg/1 g kuning telur). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Nugraha (2008), bahwa hasil penelitiannya menunjukkan pada penggunaan tepung daun katuk level 5 sampai 15 % dalam ransum pada itik periode layer perpengaruhsangat nyata (P<0,01) menurunkan kadar kolesterol. Kisaran nilai kolesterol telur itik yang dihasilkan pada penelitiannya yaitu 19,92– 24,1 mg/g kuning telur. Jika dibandingkan dari hasil penelitian yang dilakukan safitri (2007) kolesterol telur itik yang diberikan tepung daun beluntas sampai level 2% tidak berpengaruh terhadap kolesterol telur itik, dimana kadar kolesterol pada perlakuan ransum kontrol sebesar 27,79 mg/g kuning telur.
Tabel 3. Pengaruh penggunaan tepung daun katuk terhadap kadar kolesterol telur Perlakuan Pengamatan
R0
R1
R2
R3
SD
P
1,54b
1,78a
1,35c
1,28c
0,22
P<0,01
telur)
15,35b
17,84a
13,53c
12,82c
2,24
P<0,01
Kolesterol (mg/ butir telur)
375,86a 385,7a 248,15b 216,68b
1,43
P<0,01
Kolesterol (mg/%) Kolesterol (mg/ 1 g kuning
Ket : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (P>0,05) R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2,5% Tepung Daun Katuk (TDK), R2 ransum kontrol + 5 % TDK, R3 = ransum kontrol + 7,5% TDK.
84
| Pengaruh
Penggunaan Tepung Daun Katuk
ISSN 1978 - 3000
Menurut Suprayogi (2000), menyatakan bahwa senyawa aktif yang berperan dalam penurunan kolesterol telur lebih dari satu antara lain yaitu Fitosterol, methylpyroglutamate, dan papaverin like compound. Daun katuk memiliki senyawa aktif yang sama dengan papaverin sehingga disebut dengan papaverin like compound yang kemungkinan memiliki efek kimia, farmakologi dan efek biologi yang menyerupai papaverin. Dari hasil penelitian Subekti et al. (2006) menyatakan bahwa pemberian ekstrak daun katuk dan tepung daun katuk pada puyuh jepang terjadi penurunan kolesterol yaitu pada kuning telur, karkas dan hati Puyuh. Penurunan kolesterol terjadi karena adanya senyawa aktif fitosterol yang terdapat pada daun katuk. Menurut pernyataan Subekti (2007) fitosterol merupakan zat non absorble, tidak dapat diabsorbsi oleh saluran pencernaan. Fitosterol adalah saingan dari kolesterol atau berkompetisi memperebutkan asam empedu. Kolesterol yang berasal dari makanan untuk dapat diabsorbsi oleh dinding usus halus harus bereaksi lebih dahulu dengan asam empedu. Sedangkan fungsi dari fitosterol itu sendiri dalam hal ini yaitu memiliki tugas mengikat sebagian asam empedu, sehingga asam empedu yang
tersedia untuk kolesterol menjadi lebih sedikit(Anwar dan Piliang 1992). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pemberian tepung daun katuk pada level ≥ 5% menurunkan kadar kolesterol telur itik Mojosari, tetapi tidak menurunkan persentase berat kuning telur.
Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan pengaruh penggunaan ekstrak daun katuk terhadap kadar kolesterol telur itik, karena diduga senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak daun katuk akan lebih lebih tinggi dari pada dalam tepung daun katuk.
DAFTAR PUSTAKA Anwar, H.M. dan W.G. Piliang. 1992. Biokimia dan Fisiologi Gizi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nugraha, A.P.D.,2008. Respon Penggunaan Tepung Daun Katuk (Sauropus Androgynus L. Merr.) Dalam Ransum TerhadapKolesterol Itik Lokal. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |85
ISSN 1978 - 3000
Safitri, A. 2007. Komposisi Kimia Telur Itik Lokal Pada Berbagai Level Pemberian Tepung DaunBeluntas. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Santoso, U and Sartini. 2001. Reduction of fat accumulation in broiler chickens by Sauropus androgynus (katuk) leaf meal supplementation. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 3 : 346 350. Santoso, U., dan Suharyanto. 2009. Penggunaan Ekstak Saropus androgynus untuk Meningkatkan Efisiensi Produksi dan Mutu Telur pada Peternakan Ayam Arab Petelur. Fakultas Pertanian. Jurusan peternakan. Universitas Bengkulu, Bengkulu. Subekti, S. 2003. Kualitas telur dan karkas ayam lokal yang diberi tepung daun katuk dalam ransum.Tesis.Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Subekti, S. 2007. Komponen sterol dalam ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr) dan hubungannya dengan sistem reproduksi puyuh.Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suprayogi, A. 2000. Studies on the Biological Effets of Sauropus androgynus (L.) Merr: Effects on Milk Production and the Possibilities of Induced Pulmonary Disorder in Lactating Sheep. Cuviller Verlag Gottingen. Windhyarti, S. S. 1999. Beternak Itik Tanpa Air. Penebar Swadaya, Jakarta.
Subekti, S. 2006. Penggunaan tepung daun katuk dan ekstrak daun katuk Sauropus androgynus) sebagai substitusi ransum yang dapat menghasilkan produk puyuh jepang yang rendah kolesterol.Fakultas peternakan IPB. Bogor.
86
| Pengaruh
Penggunaan Tepung Daun Katuk
ISSN 1978 - 3000
Penambahan Tepung Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn) Dalam Ransum Terhadap performan pertumbuha ayam broiler The Effect Of Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn) Petal Flour In Diet On Growth Performance Of Broiler Chicken Septi Susanti, Johan Setianto, Warnoto Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu Jalan W.R. Supratman Kandang Limun Bengkulu 38371A Email :
[email protected]
ABSTRACT This research aims to investigate the effect of rosella (Hibiscus sabdariffa Linn) petal flour supplementation in 18,47% protein diet on growth performance of broiler chickens. A total ofbroiler chickens were distributed into 4 treatment groups with 4 chickens in each group as replications. The treatmen groups were P0 (control group), P1 (basal diet +0,5% rosella petal flour), P2 (basal diet + 1% rosella petal flour) and P3 (basal diet +1,5% rosella petal flour). Result showed that based on the research results, it is revealed that rosella petal flour supplementation of 0,5%, 1%, 1,5% had significantly decreased feed intake, body weight and weight gain, how ever, the rosella petal flour supplementation of 1,5% increased feed conversion (P<0,05) Keyword :Supplement, broiler, performance, rosella
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performan ayam broiler yang diberikan tambahan tepung kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa Linn) sebagai feed supplement dalam ransum dengan kandungan protein 18,47%. Ayam yang digunakan sebanyak 48 ekor broiler.Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Setiap perlakuan yaitu P0 (ransum basal), P1 (ransum basal+0,5% tepung kelopak bunga rosella), P2 (ransum basal+1% tepung kelopak bunga rosella) dan P3 (ransum basal+1,5% tepung kelopak bunga rosella). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian tepung kelopak bunga rosella 0,5%, 1% dan 1,5% nyata menurunkan konsumsi ransum, berat badan akhir,
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
87
ISSN 1978 - 3000
pertambahan berat badan tetapi penambahan tepung kelopak bunga rosella 1,5% meningkatkan konversi ransum (P<0,05). Kata Kunci :Feed suplement, broiler, prforman, tepung kelopak bunga rosella PENDAHULUAN Ayam
konsumsi pakannya agar suhu tubuh
broiler
merupakan
unggas
penghasil
daging
sebagai
sumber
protein
hewani
untuk
ayam broiler kembali pada kisaran normal.
Konsumsi
menurun
akan
pakan
yang
berakibat
tidak
pemenuhan
kebutuhan
pangan
terpenuhinya asupan nutrien yang
masyarakat.
Permintaan
terhadap
akan berdampak pada penurunan
bertambah
pertumbuhan (St-Pierre et al., 2003).
peningkatan
Kondisi seperti ini juga menurunkan
kesadaran
daya tahan tubuh ayam, sehingga
masyarakat akan pentingnya asupan
mengakibatkan penurunan produksi
protein hewani. Ayam broiler memiliki
dan meningkatkan mortalitas.
daging
ayam
seiring
semakin
dengan
penghasilan
siklus
dan
produksi
lebih
singkat
Usaha yang dapat dilakukan
dibandingkan dengan unggas lain,
agar
karena mempunyai sifat genetik yang
pertumbuhan
semakin baik khususnya untuk sifat
dengan menambahkan feed supplement
pertumbuhan. Ayam broiler memiliki
dalam ransum broiler. Feed supplement
banyak
yaitu
dalam ransum untuk memperbaiki
pertumbuhannya cepat dan efisien
konsumsi, daya cerna serta daya tahan
dalam mengubah makanan menjadi
tubuh ayam broiler. Feed supplement
daging (Amrullah, 2004).
yang
kelebihan
Ayam
merupakan
tidak
terjadi pada
ditambahkan
penurunan broiler
dalam
yaitu
ransum
hewan
berupa feed supplement alami. Salah satu
homeotermi, artinya ayam memiliki
cara yang dapat dilakukan adalah
kemampuan untuk mempertahankan
pemanfaatan tanaman obat tradisional
suhu tubuhnya tetap stabil walaupun
sebagai feed supplement alami, salah
suhu lingkungan berubah-ubah. Suhu
satu tanaman obat tradisional tersebut
di Indonesia yang beriklim tropis dapat
adalah
menganggu proses homeostatis dan
sabdariffa
Linn).
metabolisme.
(Hibiscus
sabdariffa
Apabila
suhu
tanaman
rosella Saat
ini
Linn)
(Hibiscus rosella menjadi
lingkungan meningkat, ayam broiler
begitu populer.Hal ini disebabkan
akan
proses
hampir seluruh bagian tanaman ini
menurunkan
dapat digunakan untuk kebutuhan
memperlambat
metabolisme
88
dan
| Penambahan Tepung Kelopak Bunga Rosella
ISSN 1978 - 3000
pengobatan
terutama
untuk
kebutuhannya
meningkat
pengobatan alternatif.Selain itu rosella
2002).
memiliki kandungan senyawa kimia
bahwa rosella mengandung sejumlah
yang
zat aktif yang secara sinergi memberi
dapat
memberikan
banyak
manfaat (Mardiah et al., 2009). Tanaman
rosella
Berdasarkan
(Sahin,
memiliki
seperti antistress, anti bakteri dan anti kanker.Oleh
menjaga
penelitian
tubuh.
diatas
efek yang baik bagi kesehatan tubuh
manfaat yang sangat besar dalam kesehatan
uraian
Bunga
karena dengan
itu
dilakukan
memanfaatkan
rosella mempunyai banyak kelebihan
tepung kelopak bunga rosella dalam
yaitu mengandung kalsium, vitamin C,
ransum untuk melihat efek terhadap
D, B1, B2, magnesium, omega-3, beta-
performan ayam broiler.
caroten dan 18 asam amino esensial
Penelitian bertujuan mengetahui
untuk tubuh, (Wijayanti, 2010). Setiap
performan pertumbuhan ayam broiler
100 g bunga rosella mengandung 244,4
yang
mg vitamin C, dengan berat yang sama
kelopak
jeruk hanya mengandung 48 mg,
sabdariffa Linn) dalam ransum sebagai
belimbing hanya 25,8 mg, sedangkan
feed supplement. Penambahan tepung
papaya mengandung 71 mg. Vitamin C
kelopak rosella sebagai feed supplement
pada bunga rosella 3 kali lipat dari
dalam ransum diharapkan mampu
anggur hitam, 9 kali lipat dari jeruk
meningkatkan
sitrus (Mardiah et al., 2009).
pertumbuhan ayam broiler.
Tingginya kandungan vitamin C bunga rosella dapat berperan dalam metabolisme glukoneogenesis yaitu suatu proses penyediaan energi selama terjadinya
cekaman
Mekanismenya
suhu
tinggi. melalui
pengkonversian protein dan lemak menjadi energi untuk produktivitas. Ayam memiliki enzim gulonolakton oksidase sehingga mampu mensintesis vitamin C dalam tubuhnya, namun pada kondisi cekaman panas produksi vitamin C tersebut menurun, sehingga
diberikan bunga
tambahan rosella
tepung (Hibiscus
performan
MATERI DAN METODE Penelitian
dilakukan
pada
tanggal 4 Juni 2012 sampai 3 Agustus 2012, di Zona Pertanian Terpadu Fakultas
Pertanian
Universitas
Bengkulu, Medan Baru Kota Bengkulu bertempat di Laboratorium Jurusan Peternakan
Fakultas
Pertanian
Universitas Bengkulu. Bunga rosela yang digunakan diambil dari Zona Pertanian Terpadu Medan Baru. Proses pembuatan tepung kelopak rosella yaitu kelopak bunga
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
89
ISSN 1978 - 3000
rosella yang baru dipetik dikeringkan
Rataan
konsumsi
ransum
dengan cara dijemur dengan sinar
selama penelitian tertera pada tabel,
matahari selama ± 2-3 hari (Mardiah et
hasil analisis ragam menunjukkan
al., 2009). Kelopak bunga rosella yang
pemberian
sudah kering dipisahkan dari bijinya
rosella berpengaruh nyata terhadap
dan dihaluskan sampai menjadi bubuk.
konsumsi ransum broiler (P<0,05).
Penelitian ini menggunakan 48 ekor ayam broiler. Setiap ulangan
Rataan
tepung
kelopak
konsumsi
bunga
ransum
broiler
selama penelitian
berisi 3 ekor ayam broiler yang
Penambahan tepung kelopak
ditempatkan secara acak ke dalam 16
bunga rosella dalam ransum 0,5%, 1%
buah petak dalam kandang litter.
dan 1,5% diduga menurunkan selera
Adapun rancangan yang digunakan
makan
adalah rancangan acak lengkap (RAL)
mengakibatkan turunnya konsumsi
yang
ransum. Bila diamati dari nilai rataan
terbagi
dalam
4
perlakuan
(appetite)
sehingga
dengan 4 ulangan, yaitu :
yang diperoleh dari Tabel 5 pada setiap
P0 : ransum basal
perlakuan P1(1887,50), P2(1710,00), P3
P1 : ransum basal + 0,5 % tepung
(1270,00) menunjukkan hasil bahwa
kelopak bunga rosella
semakin tinggi level tepung kelopak
P2 : ransum basal + 1 % tepung kelopak
bunga
bunga rosella
dalam
P3 : ransum basal + 1,5 % tepung
menurunkan konsumsi ransum.
kelopak bunga rosella
rosella
yang
ransum
ditambahkan
maka
semakin
Rendahnya konsumsi ransum
Adapun variabel yang diamati
diduga dipengaruhi oleh palabilitas
terdiri dari konsumsi ransum, berat
(tingkat kesukaan) terhadap bau, rasa,
badan akhir, pertambahan berat badan,
tekstur
dan konversi ransum. Data yang
diberikan. Ransum yang diberikan
diperoleh dianalisis varians dan jika
pada penelitian ini dalam kondisi
berbeda nyata dilanjutkan dengan uji
kurang baik karena bahan-bahan yang
DMRT.
digunakan dalam menyusun ransum
dan
warna
ransum
yang
berkualitas rendah dan kemungkinan HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Ransum
90
| Penambahan Tepung Kelopak Bunga Rosella
menyebabkan rendahnya kandungan nutrisi
dalam
diperkuat
ransum. dengan
Hal
ini
pendapat
(Anggorodi, 1994)yang menyatakan
ISSN 1978 - 3000
bahwa
kandungan
ransum
jika
protein
tidak
dalam
berdasarkan
memenuhi
sebagimana
komposisi
ransum
tertera pada Tabel 3
kebutuhan ayam, maka pertumbuhan
kandungan protein yang diharapkan
ayam akan terhambat. Menurunnya
22,54%,
konsumsi ransum menyebabkan berat
laboratorium kandungan protein yang
badan dan pertambahan berat badan
ada pada ransum hanya mencapai
yang
rendah,
18,47% sehingga menyebabkan ayam
(terutama
mengalami kekurangan protein yang
energi dan protein) semakin sedikit.
akan digunakan untuk pertambahan
Berat badan erat hubungannya dengan
berat badan. Protein merupakan zat
jumlah konsumsi ransum (Bell &
nutrisi utama yang berguna untuk
Weaver, 2002). Menurunnya konsumsi
pertumbuhan dan pembentukkan sel-
ransum
sel baru pada organ-organ tubuh.
karena
diperoleh
semakin
asupan
nutrien
mengakibatkan
pertambahan
berat
rendahnya
badan
ternyata setelah dianalisis
karena
Semakin tinggi kandungan protein
konsumsi nutrien berkurang (Leeson &
yang dikonsumsi, pertumbuhan yang
Summers, 1991).
terjadi
juga
sebaliknya Berat badan Akhir Konsumsi
ransum
akan
semakin jika
besar
dan
protein
dikonsumsi
kurang
pertumbuhan
akan
maka terhambat
berhubungan dengan kondisi berat
(Nasution,
badan akhir. Berat badan akhir broiler
rendah dan konsumsi ransum juga
selama penelitian tertera pada tabel,
rendah maka kandungan nutrisi yang
hasil analisis ragam menunjukkan
masuk
pemberian
kebutuhan
tepung
kelopak
bunga
2009),
yang
(intake)
dengan
tidak
ayam
protein
memenuhi
broiler
yang
pertumbuhan
ayam
rosella berpengaruh nyata terhadap
menyebabkan
berat badan akhir broiler (P<0,05).
broiler terhambat. Ransum untuk ayam pedaging dibedakan menjadi dua macam yaitu
Rataan berat badan akhir broiler
ransum
untuk
periode
starterdan
periode finisher. Hal ini disebabkan Rendahnya berat badan akhir pada
oleh perbedaan kebutuhan nutrien
penelitian ini dikarenakan kandungan
ransum
protein dalam ransum yang diberikan
pertumbuhan ayam (Rasyaf, 2004).
tidak
Pada penelitian ini pemberian ransum
sesuai
dengan
hitungan
sesuai
dengan
periode
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
91
ISSN 1978 - 3000
dengan kandungan protein 18,47%
Pemberian
tepung
kelopak
diberikan sejak DOC awal hingga
bunga resella yang diberikan mulai
priode
DOC
akhir,
sehingga
kebutuhan
awal
hingga
periode
akhir
protein broiler tidak terpenuhi yang
mengakibatkan
menyebabkan
ayam
pertambahan berat badan semakin
menjadi terhambat. Disamping itu
besar. Pada tepung kelopak bunga
penambahan tepung kelopak rosella
rosella mengandung kadar antioksidan
pada perlakuan P1, P2, dan P3 juga
yang
memberikan pengaruh terhadap berat
memperlambat atau pun mencegah
badan akhir broiler.
oksidasi molekul lain (Wijayanti, 2010).
pertumbuhan
tinggi
Tabel 7. Rataan pertambahan berat badan broiler Pertambahan berat badan (gram) Ulangan Perlakuan 1 2 3 4
penurunan
yang
berkemampuan
Jumlah
Rataan a
P0
800,00
843,00
836,00
836,00
3315,00
828,75
P1
590,00
723,00
583,00
643,00
2539,00
634,75b
P2 P3
560,00 390,00
556,00 340,00
483,00 396,00
546,00 346,00
2145,00 1472,00
536,25c 368,00d
Keterangan : Angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom rataan menunjukkan beda nyata (P<0,05).
Tabel 8. Rataan konversi ransum broiler Konversi ransum Ulangan Perlakuan 1 2 3 4
Jumlah
Rataan
P0
2,96
2,51
2,45
2,69
10,62
2,66b
P1
3,19
2,61
3,40
2,80
12,00
3,00b
P2 P3
3,05 3,36
3,09 3,94
3,60 3,13
3,06 3,44
12,81 13,87
3,20ab 3,47a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom rataan menunjukkan beda nyata (P<0,05).
92
| Penambahan Tepung Kelopak Bunga Rosella
ISSN 1978 - 3000
Antioksidan
yang
terdapat
dalam tepung kelopak bunga rosella adalah vitamin C. Vitamin C berperan penting dalam proses pembakaran lemak
dalam
tubuh
dan
sebagai
sumber energi. Menurut Ilyas (1987)
tergantung dari kandungan asam-asam amino esensial dan asam-asam amino non-esensial yang dapat digunakan untuk kebutuhan metabolitnya. Kekurangan protein dalam ransum dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan.
vitamin C yang dibutuhkan oleh ayam broiler sebesar 20-150 ppm. (Mardiah et al.,
2009) kelopak bunga rosella
berpengaruh pertambahan
nyata berat
terhadap
badan
broiler
(P<0,05). Rosella mengandung vitamin C berkisar 244,4 mg/100gr. Sumbangan vitamin C kelopak bunga rosella yang terdapat dalam ransum perlakuan (P1, P2, dan P3) yaitu 12,22 ppm (P1), 24,44ppm (P2) dan 36,66 ppm (P3). Oleh karena itu perlakuan (P1, P2, dan P3) yang mengandung tepung kelopak bunga rosella nyata menurunkan bobot ayam broiler dibandingkan perlakuan kontrol (P0). Pertambahan berat badan Rataan pertambahan berat badan selama penelitian tertera pada tabel, hasil analisis ragam menunjukkan pemberian tepung kelopak bunga Rendahnya pertambahan berat badan juga dipengaruhi oleh kandungan protein tercerna dalam ransum, hal ini sesuai dengan pendapat Tilman et al. (1991) bahwa efisiensi penggunaan protein makanan
Menurut Abidin (2002), faktor yang mempengaruhi pertambahan berat badan adalah konsumsi ransum. Pendapat ini juga didukung oleh Ichwan (2003) yang menyatakan bahwa, secara umum penambahan berat badan akan dipengaruhi oleh jumlah konsumsi ransum yang dimakan dan kandungan nutrisi yang terdapat dalam ransum tersebut. Pada Tabel 5 konsumsi ransum berbanding lurus dengan konsumsi zat nutrisi yang masuk kedalam tubuh, karena konsumsi ransum rendah maka jumlah zat nutrisi yang masuk kedalam tubuh juga rendah. Hal ini menyebabkan pertumbuhan ayam terganggu. Ayam tidak dapat tumbuh secara maksimal karena zat makanan yang masuk kedalam tubuh tidak mencukupi untuk proses sintesis protein dalam tubuh. Hal ini mengakibatkan pertambahan berat badan sangat rendah sekali. Penambahan tepung kelopak bunga resella dalam ransum yang diberikan sejak DOC awal hingga priode akhir tidak berdampak positif. Akibatnya penurunan pertambahan berat badan semakin besar. Pada tepung kelopak bunga rosella mengandung kadar antioksidan yang
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
93
ISSN 1978 - 3000
tinggi yang berkemampuan memperlambat ataupun mencegah oksidasi molekul lain (Wijayanti, 2010). Antioksidan yang terdapat dalam tepung kelopak bunga rosella adalah vitamin C. Oleh karena itu perlakuan (P1, P2, P3) yang mengandung tepung kelopak bunga rosella nyata menurunkan bobot ayam broiler dibandingkan perlakuan kontrol (P0).
Konversi ransum Konversi ransum selama penelitian tertera pada tabel, hasil analisis ragam menunjukkan pemberian tepung kelopak bunga rosella berpengaruh nyata terhadap konversi ransum ayam broiler (P<0,05). Menurut Rasyaf (2004), konversi ransum yang dianggap baik untuk ayam pedaging umur 5 minggu yaitu antara 1,91 sampai 2,06, sedangkan rataan konversi ransum selama penelitian P0 (2,66) P1 (3,00) P2 (3,20) dan P3 (3,47). Nilai konversi ransum pada penelitian ini kurang efisien, karena nilai dari konversi ransum selama penelitian diatas 2 yang berarti bahwa ransum yang dikonsumsi lebih banyak, sementara pertambahan berat badan rendah. Hal ini disebabkan karena kandungan nutrisi ransum yang dikonsumsi tidak memenuhi kebutuhan untuk menaikkan berat badan yang lebih tinggi. Semakin baik mutu ransum, maka semakin kecil pula konversi
94
| Penambahan Tepung Kelopak Bunga Rosella
ransumnya. Hal ini didukung oleh pendapat Anggorodi (1994) yang menyatakan bahwa tinggi rendahnya konversi ransum sangat ditentukan oleh keseimbangan antara energi metabolisme dengan zat-zat nutrisi terutama protein dan asam-asam amino. Menurut Card dan Neisheim (1972) nilai konversi ransum yang tinggi menunjukkan jumlah ransum yang dibutuhkan untuk menaikkan berat badan semakin meningkat dan efisiensi ransum semakin rendah.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penambahan tepung kelopak bunga rosella dalam ransum 0,5%, 1% dan 1,5% nyata menurunkan konsumsi ransum, berat badan akhir, pertambahan berat badan broiler dan meningkatkan konversi ransum. Saran Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disarankan agar melakukan penelitian lebih lanjut dengan sistem dan metode yang lebih baik. Pemberian tepung kelopak bunga rosella sebaiknya diberikan pada fase finisher.
ISSN 1978 - 3000
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Z. 2002. Meningkatkan Produktivitas Ayam Ras Pedaging. Agromedia Pustaka, Jakarta. Amrullah, I. K. 2004. Manajemen Ternak Ayam Broiler. IPBPress, Bogor. Anggorodi R. 1994. Kemajuan Mutakhir dalam Ilmu Makanan Ayam Unggas.Penerbit Universitas Indonesia Press Jakarta. Bell, D. & W. D. Weaver. 2002. Commercial Chicken Production Meat and Egg Production. 5th Ed. Springer Science and Business Media, USA. Card L. And E. Nesheim M.C. (1972): Poultry Production. 11th ed. Lea and Febiger, PA. Ichwan, W. 2003. Membuat Pakan Ayam Ras Pedaging. Agromedia Pustaka. Jakarta. Ilyas, N. N. 1987. Vitamin C diperlukan untuk ayam. Dalam Majalah Ayam dan Telur, No.18 Tahun XVIII, 27-28. Lesson, S. and J. D. Summers 1991.Commercial Poultry Nutrition.University Books. Guelph. Canada. Mardiah, Sawarni H. R. W. Ashadi. A. Rahayu. 2009. Budi Daya Dan Pengolahan Rosela Si Merah Segudang Manfaat. Cetakan
kesatu. Agromedia Pustaka. Jakarta. Morrison, F.B. 1967. Feed and Feeding. The Morrison Publishing Co. Clinton, Iowa, USA. Nasution, E. Z. J. 2009. Pemanfaatan Isi Rumen yang Difermentasi Dengan Probiotik sebagai Substitrusi Bekatul terhadap Performan Ayam Pedaging. Universitas Airlangga. Surabaya. Rasyaf, M. 2004. Beternak Ayam Pedaging. Cetakan Keempat Belas. Penebar Swadaya. Jakarta. Sahin K. and N. Sahin. 2002. Efect of chromium picolinate and ascorbic acid dietary supplementation on nitrogen and mineral excretion of laying hens reared in low ambient temperature (70C). Acta. Vet. Brno. 71: 183-189. St-Pierre, N.R., B. Cobanov, and G. Schnitkey. 2003. Economic losses from heat stress by US livestock industries. J. Dairy Sci. 86:E52-E77. Tillman, A. D., H., Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekodjo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan Kelima.Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. Wijayanti P. 2010. Budidaya Tanaman Obat Rosella Merah (Hibiscus sabdariffaLinn.) Dan Peman-
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
95
ISSN 1978 - 3000
faatan Senyawa Metabolis Sekundernya. Universitas Sebelas Maret Surakarta Surakarta.
96
| Penambahan Tepung Kelopak Bunga Rosella
ISSN 1978 - 3000
Kualitas Karkas Ayam Broiler yang Mengkonsumsi Ransum dengan Suplementasi Tepung Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn) The effect of petal flour rosella (Hibiscus sabdariffa Linn) as supplement on the quality of broiler karkas Gustina, Olfa Mega, Rustama Saepudin Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu Jalan W.R. Supratman Kandang Limun Bengkulu 38371A Email :
[email protected] ABSTRACT This research to evaluate the impact of rosella petal flour (Hibiscus sabdariffa Linn) on the quality of carcass broiler. This research used completely randomized design of 4 treatments and 4 replicates groups. There fore the total broiler, used in this research were is 48 broilers. The treatment consists of P0 (basal ration), P1 (basal ration+0.5% flour petals rosella), P2 (basal ration+1% of flour petals rosella), P3 (basal ration+1.5% flour petals rosella). The results showed that giving flour petals rosella significantly reduced weight of carcass (P< 0.05). On treatment of the P3 (331,13 g) was much lower than P2 (390,50 g), P1 (488,38 g) and P0 (606,25 g). Treatment of the carcass weight of P2 (390,50 g) was much lower than P1 (488,38 g) and P0 (606,25 g) and weight of carcass treatment P1 (488,38 g) was much lower than P0 (606,25 g). On the other hard, giving rosella petal flour was not significantly affect on the percentage of carcass (P0 59,14%, 58,84% P1, P2, and P3 59,62% 59,91%), color of the carcass (ranging from 3.03-3.27), and meat bone ratio thighs and chest (ranged thigh 1.96-2.63 and chest range from 1.95-3.29). Giving flour petals rosella (Hibiscus sabdariffa Linn) reduced weight of carcass but did not affect the percentage of carcass, carcass color, and meat bone ratio of thighs and chest. Keyword :Supplement, carcass quality, rosella
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kualitas karkas ayam broiler dengan ransum protein yang menggunakan tepung kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa Linn) sebagai feed suplement. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan.Ayam yang digunakan sebanyak 48 Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
97
ISSN 1978 - 3000
ekor broiler. Perlakuan terdiri dari P0 (ransum basal), P1 (ransum basal+0,5% tepung kelopak bunga rosella), P2 (ransum basal+1% tepung kelopak bunga rosella), P3 (ransum basal+1,5% tepung kelopak bunga rosella). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian tepung kelopak bunga rosella nyata (P<0,05) menurunkan berat karkas. Pada perlakuan P3 (331,13 g) nyata lebih rendah dari P2 (390,50 g), P1 (488,38 g) dan P0 (606,25 g). Berat karkas perlakuan P2 (390,50 g) nyata lebih rendah dibandingkan P1 (488,38 g) dan P0 (606,25 g) dan berat karkas perlakuan P1 (488,38 g) nyata lebih rendah dari P0 (606,25 g). Namun demikian perlakuan tersebut tidak nyata mempengaruhi persentase karkas (P0 59,14%, P1 58,84%, P2 59,62%, dan P3 59,91%), warna karkas (berkisar 3,03-3,27) dan meat bone ratio paha dan dada (Paha berkisar 1,96-2,63 dan dada berkisar 1,95-3,29). Pemberian tepung kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa Linn) menurunkan berat karkas tetapi tidakberpengaruh terhadap persentase karkas, warna karkas dan meat bone ratio paha dan dada. Kata Kunci :Feed suplement, kualitas karkas, tepung kelopak bunga rosella
PENDAHULUAN Broiler merupakan ayam hasil budidaya teknologi peternakan yang memiliki karakteristik ekonomi dengan ciri khas pertumbuhan yang cepat, sebagai penghasil daging dengan konversi pakan rendah dan siap dipotong pada usia relatif muda (Priyatno, 2000). Rasyaf (2001) menyatakan bahwa persentase karkas broiler umur 5–6 minggu adalah 65– 70% dari berat akhir.Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum pemotongan dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur dan pakan (Abubakar et al., 1991). Pakan sangat dibutuhkan oleh ayam untuk memenuhi kebutuhan hidup.Pakan yang
98
diberikan harus memberikan nutrisi yang dibutuhkan ayam, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral, sehingga pertambahan berat badan per hari (Average Daily Gain/ADG) tinggi (Prabowo, 2007). Ransum adalah bahan pakan ternak yang telah diramu dan biasanya terdiri dari berbagai jenis bahan pakan dengan komposisi tertentu (Sudaro et al., 2007).Konsumsi ransum ayam pedaging tergantung pada strain, umur, aktivitas serta temperatur lingkungan (Wahju, 1992). Formula ransum ayam broiler umumnya terdiri dari bahan pakan: jagung 40-50%, bungkil kedelai 2530%, dedak/pollar 3%, bungkil kelapa 10%, tepung ikan/tepung daging dan tulang 5%, minyak kelapa 3%, mineral
| Kualitas Karkas Ayam Broiler yang Mengkonsumsi Ransum dengan Tepung Kelopak Bunga
ISSN 1978 - 3000
(limestone/dicalsiumphosphat) + vitamin 1-1,5% (Amrullah, 2004). Pertumbuhan yang cepat pada ayam broiler biasanya diikuti pula dengan pertumbuhan jaringan lemak yang cepat pula sedangkan konsumen lebih menyukai daging dengan kandungan lemak yang rendah (Soeparno, 1994). Salah satu usaha untuk mendapatkan daging dengan kualitas yang baik adalah dengan menambahkan feed suplement dalam ransum broiler. Feed suplement dalam ransum ditujukan untuk memperbaiki konsumsi, daya cerna serta daya tahan tubuh serta mengurangi tingkat stres pada ayam broiler. Feed suplement yang ditambahkan dalam ransum berupa feed suplement alami, yang dirancang untuk menghasilkan daging ayam broiler yang sesuaidengan kebutuhan konsumen. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah pemanfaatan tanaman obat tradisional sebagai feed suplement alami, salah satu tanaman obat tradisional tersebut adalah tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa Linn). Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa Linn) merupakan tanaman semusim yang tumbuh tegak bercabang yang berbatang bulat dan berkayu. Rosella mengandung kadar antioksidan yang tinggi terutama jika dikonsumsi dalam bentuk kering. Menurut Didah (2006) kandungan antioksidan pada kelopak merah (kelopak bunga rosella), jumlahnya
1,7 mmol/prolox lebih tinggi dibandingkan dengan kumis kucing. Antioksidan yang terdapat didalam rosella berkemampuan memperlambat ataupun mencegah oksidasi molekul lain. Selain itu tanaman rosella mengandung vitamin C, vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, niasin, vitamin D dan 18 asam amino termasuk arginin dan lisin yang berperan dalam proses peremajaan sel tubuh (Wijayanti, 2010). Warna merah pada kelopak bunga rosella disebabkan rosella mengandung pigmen antosianin yang dapat berfungsi sebagai antioksidan.Flavonoid rosella terdiri flavanols dan pigmen antosianin atau pigmen tumbuhan yang bertanggung jawab menghindarkan dari kerusakan sel akibat paparan sinar ultraviolet berlebihan (Mardiah et al., 2009). Semakin pekat warna merah pada kelopak bunga rosella, rasanya akan semakin asam dan kandungan antosianin (sebagai antioksidan) semakin tinggi. Selain antosianin, asam askorbat (vitamin C), asam sitrat, asam malat dan betakarotin merupakan sumber antioksidan yang terdapat pada kelopak bunga rosella (Reindi, 2009). Menurut Setiawan (2010) ekstrak kelopak bunga rosella mempunyai pengaruh dalam menurunkan kadar gula darah tikus putih, tetapi belum ada penelitian tentang pemanfaatan bunga rosella pada ayam broiler. Oleh karena itu
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
99
ISSN 1978 - 3000
berdasarkan hasil uraian diatas akan dilakukan penelitian dengan menggunakan tepung kelopak bunga rosella dalam ransum ayam broiler. Suplementasi tepung kelopak bunga rosella (H. sabdariffa Linn) pada ransum ayam broiler diharapkan berpengaruh positif pada kualitas karkas ayam broiler.
MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan selama 60 hari dengan pemeliharaan selama 40 hari, dimulai tanggal 4 Juni 2012 sampai 3 Agustus 2012, penelitian dilaksanakan di Zona Pertanian Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu di Medan Baru. Pengukuran variabel yang diamati bertempat di Laboratorium Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Bunga rosela yang digunakan diambil dari Zona Pertanian Terpadu Medan Baru. Proses pembuatan tepung kelopak rosella yaitu kelopak bunga rosella yang baru dipetik dikeringkan dengan cara dijemur dengan sinar matahari selama ± 2-3 hari (Mardiah et al., 2009). Kelopak bunga rosella yang sudah kering
100
dipisahkan dari bijinya dan dihaluskan sampai menjadi bubuk. Penelitian ini menggunakan 48 ekor ayam broiler. Setiap ulangan berisi 3 ekor ayam broiler yang ditempatkan secara acak ke dalam 16 buah petak dalam kandang litter. Adapun rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang terbagi dalam 4 perlakuan dengan 4 ulangan, yaitu : P0 : ransum basal P1 : ransum basal + 0,5 % tepung kelopak bunga rosella P2 : ransum basal + 1 % tepung kelopak bunga rosella P3 : ransum basal + 1,5 % tepung kelopak bunga rosella HASIL DAN PEMBAHASAN Berat karkas Berat karkas diperoleh dari berat tubuh broiler setelah pemotongan dan dikurangi dengan darah, bulu, kepala hingga pangkal leher dan kaki. Rataan berat karkas ayam broiler yang diperoleh selama penelitian didapat seperti terlihat pada Tabel 1 berikut.
| Kualitas Karkas Ayam Broiler yang Mengkonsumsi Ransum dengan Tepung Kelopak Bunga
ISSN 1978 - 3000
Tabel 1. Rataan berat karkas ayam broiler selama penelitian (g/ekor).
Berat karkas (g) Ulangan
Perlakuan 1
2
3
4
Jumlah
Rataan ± Standar Deviasi
P0
633,000
591,000
612,500
637,500
2474,0
618,50
a
P1
504,000
480,000
497,500
502,500
1984,0
496,00
b
P2
392,500
395,500
389,500
406,500
1584,0
P3
334,000
358,500
315,000
332,000
1339,5
396,00 334,88 d
Rataan
c
461,34
*
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada kolom yang sama menunjukkan beda nyata (P<0,05) pada uji DMRT taraf 5%. * = beda nyata P0 = ransum bassal, P1 = ransum basal+0,5% tepung kelopak bunga rosella, P2 = ransum basal+1% tepung kelopak bunga rosella, P3 = ransum basal+1,5% tepung kelopak bunga rosella.
Hasil analisis ragam menunjukkan pemberian tepung kelopak bunga rosella berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap berat karkas ayam broiler. Rataan berat karkas ayam broiler selama penelitian adalah 461 g/ekor, dengan kisaran 334,88 g/ekor sampai dengan 618,50 g/ekor. Berat karkas tertinggi yaitu sebesar 618,50 g/ekor terdapat pada perlakuan P0 yaitu perlakuan tanpa menggunakan tepung kelopak bunga rosella sedangkan berat karkas terendah terdapat pada perlakuan dengan penggunaan tepung kelopak bunga rosella 1,5% (P3) (Tabel 5). Hasil analisis beda rerata dengan menggunakan uji DMRT pada taraf kepercayaan 95% menunjukkan adanya perbedaan berat karkas yang nyata antara perlakuan yang diberikan tepung kelopak bunga rosella dalam ransum terhadap berat karkas. Pemberian tepung kelopak
bunga rosella pada perlakuan P3 (334,88 g/ekor) nyata lebih rendah dari P2 (396,00 g/ekor), P1 (496,00 g/ekor) dan P0 (618,50 g/ekor). Berat karkas perlakuan P2 (396,00 g/ekor) nyata lebih rendah dibandingkan P1 (496,00 g/ekor) dan P0 (618,50 g/ekor) dan berat karkas pada perlakuan P1 (496,00 g/ekor) nyata lebih rendah dari P0 (618,50 g/ekor). Vitamin C berperan penting dalam proses pembakaran lemak dalam tubuh dan sebagai sumber energi (Hery, 2009). Ayam broiler yang mengkonsumsi vitamin C dalam jumlah yang cukup dapat membakar lemak lebih banyak sehingga menurunkan berat karkas ayam broiler. Menurut Ilyas (1987) vitamin C yang dibutuhkan oleh ayam broiler sebesar 20-150 ppm. Sedangkan kelopak bunga rosella mengandung vitamin C berkisar 260-280 mg/100g (Anonimous, 2008). Sumbangan
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
101
ISSN 1978 - 3000
vitamin C kelopak bunga rosella yang terdapat dalam ransum perlakuan (P1, P2, P3) yaitu 14 ppm (P1), 28 ppm (P2) dan 42 ppm (P3). Oleh karena itu perlakuan (P1, P2, P3) yang mengandung tepung kelopak bunga rosella nyata menurunkan berat karkas ayam broiler dibandingkan perlakuan kontrol (P0).
ayam broiler selama penelitian adalah 454 g/ekor, dengan kisaran 331,13 g/ekor sampai dengan 606,25 g/ekor. Berat karkas tertinggi yaitu sebesar
606,25 g/ekor terdapat pada perlakuan P0 yaitu perlakuan tanpa menggunakan tepung kelopak bunga rosella sedangkan berat karkas terendah terdapat pada perlakuan dengan penggunaan tepung kelopak bunga rosella 1,5% (P3). Pakan yang diberikan dalam ransum belum memenuhi kebutuhan ayam broiler karena protein yang terkandung dalam ransum dibawah normal. Rancangan protein ransum awal penelitian yaitu 22% tetapi setelah dianalisis protein yang terkandung dalam ransum penelitian yaitu 18,47%, sedangkan protein yang dibutuhkan oleh ayam broiler sekitar
Dilihat dari gambar grafik diatas diperoleh hasil semakin tinggi level penggunaan tepung kelopak bunga rosella yang diberikan dalam ransum ayam broiler, semakin menurunkan berat karkas ayam broiler. Penurunan yang terjadi pada tiap 0,5% pemberian tepung kelopak bunga rosella pada setiap perlakuan sama yaitu 95,09 g. Hasil analisis ragam menunjukkan pemberian tepung kelopak bunga rosella berpengaruh
Tabel 5. Rataan berat karkas tanpa lemak abdomen ayam broiler selama penelitian (g/ekor). Rata-rata + Ulangan Perlakuan
1
2
3
4
Jumlah
Standar Deviasi
620
580
600
625
2425,0
606,25 + 20,56 a
P1600
496
473
490
494,5
1953,5
488,38 + 10,56
P2
386
390
385,5
400,5
1562,0
P3
330
354
328,5
1324,5
390,50 + 6,96 c d 331,13 + 17,29 454 + 108,50 *
700
Berat karkas tanpa lemak abdomen (g)
P0
500 400
312 Rerata
b
y = -184.65x 592.55 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada kolom atau baris yang sama menunjukkan beda+ nyata (P<0,05). 300 R² = 0.9653 * = beda nyata 200 100 0 0
0.2 0.4 0.6 0.8 1 Level Pemberian Tepung Kelopak Bunga Rosella (%)
1.2
1.4
1.6
Gambar 1. Grafik rataan berat karkas tanpa lemak abdomen ayam broiler
nyata (P<0,05) terhadap berat karkas ayam broiler. Rataan berat karkas 102
20-23% (NRC, 1994) sehingga berat
| Kualitas Karkas Ayam Broiler yang Mengkonsumsi Ransum dengan Tepung Kelopak Bunga
ISSN 1978 - 3000
karkas ayam broiler penelitian ini lebih rendah daripada berat karkas normal. Selain itu pemberian feed suplement (tepung kelopak bunga
tepung kelopak bunga rosella dalam ransum nyata menurunkan berat karkas tanpa lemak abdomen secara signifikan dengan semakin tingginya
Tabel 6. Rataan persentase karkas broiler Ulangan 2 3 4 Jumlah
Rata-rata + Standar Deviasi
Perlakuan
1
P0
59,05
59,18
58,25
60,10
236,58
59,14 + 0,76 a
P1
59,05
58,40
59,04
58,87
235,36
58,84 + 0,31
P2 P3
58,48 58,93
59,09 62,11
60,23 57,78
60,68 60,83
238,48 239,65
59,62 + 1,01 a a 59,91 + 1,93
Rerata
a
59,38 + 1,125 ns
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05).
rosella) dalam ransum pada fase stater (umur 4 hari) diduga menjadi salah satu penyebab pertumbuhan ayam broiler perlakuan menjadi terhambat karena kelopak bunga rosella mengandung antioksidan dan vitamin C yang tinggi padahal pada fase itu ayam broiler masih dalam tahap berkembang. Menurut Didah (2006) kandungan antioksidan pada kelopak merah (bunga rosella), jumlahnya 1,7 mmol/prolox lebih tinggi dibandingkan dengan kumis kucing. Kandungan vitamin C dalam tepung kelopak bunga rosella berperan dalam menurunnya berat karkas tanpa lemak abdomen ayam broiler. Kelopak bunga rosella mengandung vitamin C 3 kali lebih banyak dari anggur hitam, 9 kali dari jeruk sitrus, 10 kali dari buah belimbing dan 2,5 kali dari jambu biji (Anonimous, 2008). Dari dijelaskan
gambar bahwa
diatas dapat penambahan
penggunaan level tepung kelopak bunga rosella pada setiap perlakuan yang diberikan pada ayam broiler. Pada kenaikan tiap 0,5% pemberian tepung kelopak bunga rosella terjadi penurunan berat karkas tanpa lemak abdomen yaitu sebesar 92,32 g (P1), 92,33 g (P2) dan 92,32 g (P3).
Persentase Karkas Hasil analisis ragam menunjukkan pemberian tepung kelopak bunga rosella tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap persentase karkas ayam broiler. Hal ini berarti kandungan yang terdapat dalam tepung kelopak bunga rosella dalam pakan yang diberikan belum atau tidak dapat memberikan pengaruh yang berarti terhadap persentase karkas ayam broiler. Rataan persentase karkas ayam broiler selama penelitian adalah
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
103
ISSN 1978 - 3000
59,38%. Dengan kisaran 58,84% sampai dengan 59,91%. Meskipun tidak berbeda nyata secara deskriptif menunjukkan bahwa semakin tinggi level tepung kelopak bunga rosella yang diberikan maka Tabel 6. Rataan warna karkas broiler Ulangan Perlakuan 1 2 3 P0
3,58
3,23
3,32
kontrol (P0) yaitu 101,38 g sedangkan pada perlakuan yang menggunakan tepung kelopak bunga rosella berkisar 59,50 g-82,625 g (Wandono, 2012). Persentase karkas memiliki rata-rata yang dihasilkan pada setiap Rata-rata + 4 2,95
Jumlah 13,08
Standar Deviasi 3,27 + 0,26
a a
P1
3,27
2,90
3,05
2,89
12,10
3,03 + 0,18
P2
3,20
3,12
2,95
3,58
P3
3,03
2,98
3,32
3,17
12,85 12,50
3,21 + 0,27 3,13 + 0,15 a
Rerata
a
3,16 + 0,22 ns
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama menunjukkan tidak beda nyata ns = tidak beda nyata(P>0,05).
semakin meningkat persentase karkas. Kisaran persentase karkas broiler yang diperoleh dalam penelitian adalah 57,78–62,11%. Menurut Ensminger (1980) faktorfaktor yang mempengaruhi persentase karkas antara lain berat
badan akhir, kegemukan dan deposisi daging. Bertambahnya berat hidup ayam pedaging akan mengakibatkan berat karkas meningkat dan persentase karkas akan meningkat pula, tetapi hasil penelitian menunjukkan berat karkas paling tinggi pada perlakuan P0 sedangkan persentase karkas paling tinggi pada perlakuan P3. Hal ini disebabkan bahwa persentase non karkas yang diperoleh dalam penelitian berkisar 31,74%-40,37%. Sedangkan berat non karkas lebih tinggi pada perlakuan
104
perlakuan dapat terlihat pada gambar 3. Dari gambar diatas dapat dijelaskan bahwa penambahan tepung kelopak bunga rosella dalam ransum meningkatkan persentase karkas dengan semakin tingginya penggunaan level tepung kelopak bunga rosella pada setiap
perlakuan yang diberikan dalam ransum ayam broiler. Kenaikan yang terjadi pada tiap 0,5% pemberian tepung kelopak bunga rosella yaitu 0,30 (P1), 0,31 (P2) dan 0,31 (P3). Warna Karkas Warna karkas broiler diperoleh dengan uji secara organoleptik dilakukan oleh 15 orang panelis yang
| Kualitas Karkas Ayam Broiler yang Mengkonsumsi Ransum dengan Tepung Kelopak Bunga
ISSN 1978 - 3000
persentase karkas (%)
memberi skor terhadap warna karkas. Panelis menilai dengan memberikan skor pada masing-masing sampel dengan skala 1–5 terhadap warna karkas mulai dari agak kuning (1) sampai sangat kuning (5). Dari hasil penelitian diperoleh rataan warna karkas pada tabel berikut:
Hasil analisis ragam menunjukkan pemberian tepung kelopak bunga rosella tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap warna karkas ayam broiler. Hal ini berarti kandungan pigmen yang terdapat dalam tepung kelopak bunga rosella dalam pakan yang diberikan belum atau tidak dapat memberikan pengaruh yang berarti terhadap warna karkas ayam broiler.
62.50 61.50 60.50
y = 0.617x + 58.916 R² = 0.1001
59.50 58.50 57.50 0
0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 Level Pemberian Tepung kelopak Bunga Rosella (%)
1.4
1.6
Gambar 3. Grafik rataan persentase karkas ayam broiler.
Warna Karkas
3.50 3.40 3.30 3.20 3.10
y = -0.1532x + 3.2689 R² = 0.9978
3.00 2.90 0
0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 Level Pemberian Tepung Kelopak Bunga Rosella (%)
1.4
1.6
Gambar 4. Grafik rataan persentase karkas ayam broiler
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
105
ISSN 1978 - 3000
Rataan skor warna karkas ayam broiler sebesar 3,16 dengan kisaran skor warna 3,03 sampai dengan 3,27. Secara keseluruhan dapat dijelaskan bahwa warna karkas ayam broiler selama penelitian berwarna kuning, dapat dilihat pada gambar 4. Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa semakin besar level penggunaan tepung kelopak bunga rosella yang diberikan dalam ransum ayam broiler menunjukan penurunan pada setiap perlakuan (P1, P2, P3) terhadap warna karkas.
alami dari tanaman yang berwarna kuning.Struktur zat warna flavonoid menyerupai
struktur
(Tranggano
et
antosianin
dan
al.,
antosianin 1990).Pigmen
flavonoid
yang
terdapat dalam kelopak bunga rosella dalam
ransum
memberikan
perlakuan
pengaruh
tidak
terhadap
warna karkas ayam broiler. Hal ini dapat
dilihat
dengan
tidak
berpengaruh nyata antara perlakuan kontrol
(P0),
pemberian
tepung
kelopak bunga rosella 0,5% (P1), 1% (P2) dan 1,5% (P3) terhadap warna
Tabel 7. Rataan Meat bone ratio Rata-rata + Standar Deviasi Paha
Perlakuan P0
2,63 + 0,1
P1
2,29 + 0,07
P2 P3
2,29 + 0,16 1,96 + 0,35
Rerata
2,30 + 0,30
Rata-rata + Standar Deviasi Dada
a
3,29 + 0,29
a
a
3,19 + 0,09
a
a
2,96 + 0,21 1,95 + 0,61
a
a ns
2,85 + 0,63
a ns
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05).
karkas. Penurunan pada setiap 0,5% level
pemberian
tepung
kelopak
bunga rosella sebesar 0,03 (P1), 0,02 (P2) dan 0,03 (P3). Rataan
karkas
Meat bone ratio merupakan
ayam broiler sebesar 3,16 dengan
perbandingan antara jumlah daging
kisaran skor warna 3,03 sampai
dan tulang dari seekor ternak. Meat
dengan 3,27. Dalam kelopak bunga
bone ratio paha adalah berat daging
rosella terdapat pigmen antosianin
paha tanpa tulang dibandingkan berat
yang
flavonoid.
tulang pada bagian paha. Rataan meat
Flavonoid adalah kelompok zat warna
bone ratio paha dan dada selama
106
skor
Meat bone ratio
membentuk
warna
| Kualitas Karkas Ayam Broiler yang Mengkonsumsi Ransum dengan Tepung Kelopak Bunga
ISSN 1978 - 3000
penelitian
disajikan
pada
tabel
berikut:
paha pada perlakuan P2 dan P1 memiliki rataan yang sama yaitu 2,29.
Hasil menunjukkan kelopak
analisis
ragam
pemberian
tepung
bunga
rosella
Tetapi
lebih
rendah
daripada
perlakuan P0 (2,63).
tidak
Meat bone ratio dada adalah
berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap
berat daging dada tanpa tulang
meat bone ratio paha. Meat bone ratio
dibandingkan
ayam broiler sebesar 2,30. Dengan
bagian dada. Hasil analisis ragam
kisaran meat bone ratio paha 1,96
menunjukkan
sampai dengan 2,63 (Tabel 7). Meat
kelopak
bone ratio paha memiliki rata-rata yang
berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap
dihasilkan pada setiap perlakuan
meat bone ratio dada. Hal ini berarti
dapat terlihat pada gambar 5.
kandungan
Gambar 5. Grafik rataan Meat bone
tepung kelopak bunga rosella dalam
ratio paha ayam broiler
pakan yang diberikan tidak dapat
Hasil penelitian menunjukkan terjadinya penurunan pada setiap perlakuan
dengan
banyaknya
level
semakin
tepung
kelopak
bunga rosella yang diberikan dalam ransum. Dapat dilihat dari gambar grafik
diatas
yang
menunjukkan
perununan yang terjadi pada tiap 0,5% level pemberian tepung kelopak bunga rosella dalam ransum yaitu 0,20 (P1), 0,21 (P2), 0,20 (P3). Namun tidak menunjukkan nilai rerata meat bone ratio paha secara signifikan. Secara
deskriptif
menunjukkan
pemberian tepung kelopak bunga rosella pada perlakuan P3 (1,96) lebih rendah dari perlakuan P2 (2,29), P1 (2,29) dan P0 (2,63). Meat bone ratio
berat
tulang
pemberian
bunga
yang
pada tepung
rosella
tidak
terdapat
dalam
memberikan pengaruh yang berarti terhadap meat bone ratio dada ayam broiler. Dari dilihat
gambar
bahwa
diatas
pemberian
dapat tepung
kelopak bunga rosella pada tiap level 0,5% menurunkan meat bone ratio dada setiap perlakuan sebesar 0,42 (P1), 0,43 (P2 dan P3). Rataan meat bone ratio dada
ayam
broiler
sebesar
2,85
dengan kisaran meat bone ratio dada 1,95 sampai dengan 3,30 (Tabel 9). Rataan meat bone ratio dada ayam broiler sebesar 2,85 dengan kisaran meat bone ratio dada 1,95 sampai dengan 3,30. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa level tepung kelopak
bunga
rosella
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
tidak
107
ISSN 1978 - 3000
berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap
semakin
meat bone ratio pada paha dan dada.
tepung kelopak bunga rosella dalam
Namun
deskriptif
ransum mengakibatkan menurunnya
kecenderungan
berat karkas, namun tidak nyata
secara
menunjukkan
ada
tinggi
level
pemberian
bahwa semakin tinggi level tepung
mempengaruhi
kelopak bunga rosella yang diberikan
warna karkas,dan meat bone ratio (paha
dalam
dan dada).
ransum
maka
semakin
persentase
karkas,
menurun nilai meat bone ratio paha dan dada. Hal ini berarti bahwa terdapat
SARAN
peningkatan berat tulang pada bagian
Perlu lanjut
dilakukan pemberian
penelitian
dada dan paha dengan semakin
lebih
tepung
meningkatnya penambahan tepung
kelopak bunga rosella pada fase
kelopak bunga rosella dalam ransum,
finisher ayam broiler dengan level
namun peningkatan tersebut tidak
yang berbeda.
signifikan. Terjadinya peningkatan berat
tulang
seiring
dengan
penambahan tepung kelopak bunga rosella disebabkan tepung kelopak bunga rosella mengandung kalsium dan fosfor yang tinggi yaitu 160 mg dan 60 mg (Maryani dan Kristiana, 2005). Menurut (Arellano et al., 2004) Kandungan
kalsium
yang
tinggi
sangat membantu pertumbuhan serta kekuatan tulang. Berat daging yang menurun
pada
meat
bone
ratio
disebabkan oleh kandungan nutrisi yang
terkandung
dalam
ransum
belum mencukupi kebutuhan ayam broiler. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian maka
108
dapat
disimpulkan
DAFTAR PUSTAKA Abubakar, Triyantini dan H. Setiyanto. 1991. Kualitas fisik karkas broiler (Studi kasus diempat ibu kota di P. Jawa). Prosiding Seminar Pengembangan Peternakan dalam Menunjang Pembangunan Ekonomi Nasional. Fakultas Pertanian Universitas Jendral Sudirman, Purwokerto. Anonimous. 2008. Rosella, bunga wangi kaya manfaat. Http://tehmerahrosella.wordpres s.com/2008/08/14/rosella-bungawangi-kaya-manfaat/ Amrulah, K. I. 2004. Nutrisi Ayam Broiler. Lembaga Satu Gunung Budi, Bogor.
bahwa
| Kualitas Karkas Ayam Broiler yang Mengkonsumsi Ransum dengan Tepung Kelopak Bunga
ISSN 1978 - 3000
Arellano, A. F., Jr., P. S. Kasibhatla, L. Giglio, G. R. van der Werf, and J. T. Randerson. 2004. Top-down estimates of global CO sources using MOPITT measurements, Geophys. Res. Lett., 31, L01104, doi:10.1029/2003GL018609. Didah, N. 2006. Bunga rosela, penghias taman antihipertensi. Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.Http://www.kompas.com Ensminger. 1980. Feed Nutrition Complete. The Ensminger Publishing Company, Clovis, California. Hery. 2009. Pentingnya aspirin dan vitamin C. Http://broilerkita.blogspot.com Ilyas, N. N. 1987. Vitamin C diperlukan untuk ayam. Dalam Majalah Ayam dan Telur, No.18 Tahun XVIII, 27-28. Mardiah, Sawarni, H., R. W. Ashadi., dan A. Rahayu. 2009. Budi Daya dan Pengolahan Rosella si Merah Segudang Manfaat. Cetakan 1. Agromedia Pustaka, Jakarta. Maryani, H. dan Kristiana, L. 2005. Khasiat dan Manfaat Rosela. Agromedia Pustaka, Jakarta. National Reasearch Council. 1994. Nutrient Requirement of Poultry. 9th revised edition.National Academy Press, Washington DC. Prabowo. 2007. Budidaya ayam pedaging (broiler). http://teknis-
budidaya.blogspot.com/2007/10/b udidaya-ayam-pedagingbroiler.html Priyatno, M. A. 2000. Mendirikan Usaha Pemotongan Ayam. Penebar Swadaya, Jakarta. Rasyaf, M. 2001. Beternak Ayam Pedaging. Cetakan 20. Penebar Swadaya, Jakarta. Reindi. 2009. Rosella sebagai zat antioksidan. http://www.warungedukasi.co.cc /2009/02/rosella-sebagai-zatantioksidan.html Setiawan, I. 2010. Bahan baku lain dalam ransum ayam petelur. Http://centralunggas.blogspot.co m Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Edisi kedua Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sudaro, Yani dan Siriwa, A. 2007. Ransum Ayam dan Itik. Cetakan IX. Penebar Swadaya,. Jakarta. Tranggano, A. Haryadi dan S. Mardiati. 1990. Bahan Tambahan Pangan (Food Additives). Universitas Gajah madah.Yogyakarta. Wahju, J. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan III. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. Wandono, Y. T. 2012. Persentase organ dalam broiler yang diberi pakan tambahan tepung kelopak bunga rosella (Hibiscus Sabdariffa Linn). Universitas Bengkulu, Bengkulu. Belum dipublikasikan.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
109
ISSN 1978 - 3000
Wijayanti, P. 2010. Budidaya tanaman obat rosella merah (Hibiscus sabdariffa Linn) dan pemanfaatan senyawa metabolis sekundernya di PT. Temu Kencono, Semarang. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Surakarta.
110
W. Piliang. 2004. Penggunaan ekstrak daun katuk sebagai feed additive untuk memproduksi meat designer. Laporan Penelitian Hibah Pekerti. Universitas Bengkulu, Bengkulu.
| Kualitas Karkas Ayam Broiler yang Mengkonsumsi Ransum dengan Tepung Kelopak Bunga
ISSN 1978 - 3000
Karakteristik Morfologis Dan Reproduksi Kerbau Pampangan Di Propinsi Sumatera Selatan Muhakka, Riswandi dan Asep Indra M. Ali Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Telp. 0711581106, HP: 08153808409, 081367755499, e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik morfologis dan reproduksi kerbau pampangan di Propinsi Sumatera Selatan. Dilaksanakan di tiga kabupaten yaitu kabupaten OKI, Banyuasin dan Ogan Ilir selama 6 bulan. Metode yang digunakan adalah metode survei. Penarikan contoh bersifat multistage purposive sampling mulai dari penentuan kabupaten, kecamatan, serta peternak. Setelah ditetapkan tiga kabupaten lokasi sampel, akan dipilih masing-masing satu kecamatan sentra populasi yang jumlah populasinya terbanyak. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data yang diperoleh diolah secara matematis, disajikan secara tabulasi kemudian dijelaskan secara deskriptif, yaitu melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik morfologis dan reproduksi kerbau pampangan secara cermat dan faktual dari data yang telah terkumpulkan. Karakteristik morfologis kerbau pampangan adalah warna bulu hitam/hitam keabu-abuan, bentuk tubuh besar, temperamen tenang, kepala besar dan telinga panjang, tanduk ada yang tegak panjang dan melingkar ke arah belakang dan ada juga yang arah ke bawah. Bentuk ambing simetris dan berkembang dengan baik. Karakteristik reproduksi kerbau Pampangan umur pertama kawin rata-rata 2,3 tahun atau 27 bulan, umur beranak pertama 3,23 tahun, estrus (berahi) pertama setelah beranak 88,33 hari, kawin setelah beranak 139,11 hari, jarak beranak 14 bulan dan umur lepas sapih anak 9,07 bulan. Kata kunci: Karakteristik, morfologis, reproduksi, kerbau
PENDAHULUAN Latar Belakang Di Sumatera Selatan, banyak ditemukan ternak kerbau yang hidup di daerah rawa lebak terutama di Desa
Pulau Layang Kecamatan Pampangan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dan di Desa Rambutan Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin, Di Desa Talang Pangeran Ulu Kecamatan
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
111
ISSN 1978 - 3000
Pemulutan Kabupaten Ogan Ilir yang dikenal dengan Kerbau Pampangan yang merupakan salah satu kekayaan plasma nutfah di Sumatera Selatan. Selain diambil dagingnnya, kerbau Pampangan dikenal juga sebagai penghasil susu. Plasma nutfah merupakan bahan genetik yang memiliki nilai guna, baik secara nyata maupun yang masih berupa potensi. Wilayah Indonesia yang membentang luas dengan kondisi geografis dan ekologi yang bervariasi telah menciptakan keanekaragaman plasma nutfah yang sangat tinggi. Dengan keanekaragaman plasma nutfah, terbuka peluang yang besar bagi upaya program pemuliaan guna memperoleh manfaat secara optimal (Kurniawan et al., 2004). Untuk mengurangi atau bahkan mencegah terjadinya erosi genetik yang makin meningkat terhadap plasma nutfah, maka perlu perhatian yang besar terhadap plasma nutfah yang ada terutama varietasvarietas lokal baik tanaman maupun hewan. Perhatian diberikan dalam bentuk kegiatan inventarisasi (koleksi), pendataan (dokumentasi) dan pelestarian (konservasi). Guna meningkatkan nilai gunanya perlu diikuti dengan upaya identifikasi karakter penting melalui kegiatan karakterisasi dan evaluasi secara sistematis dan berkelanjutan seperti melalui seleksi maupun rakayasa
112
| Karakteristik morfologis kerbau
genetik agar dapat dimanfaatkan (Handoyo, 2005). Akibat perkawinan silang ternak lokal dengan ternak-ternak impor yang dilaksanakan tanpa rencana dan evaluasi yang mantap, akan menyebabkan keragaman gen di dalam bangsa dan antara bangsa ternak. Ternak-ternak lokal telah mengalami seleksi alam dan buatan oleh manusia setempat dan telah beradaptasi dengan baik terhadap lingkungannya. Sifat daya adaptasi ternak lokal yang baik terhadap lingkungan alamnya menjadi berkurang dikarenakan persilangan dengan bangsa-bangsa ternak lain, sedangkan untuk meningkatkan mutu genetik ternak-ternak lokal kurang sekali dilakukan (Hardjosworo, 1985). Daya tahan umumnya sudah dimiliki oleh ternak-ternak lokal setempat dan daya tahan ternakternak lokal ini berkurang oleh pengaruh persilangan dengan ternakternak impor dari daerah lain. Untuk itu diperlukan suatu upaya untuk mempertahankan dan melestarikan ternak-ternak lokal ini secara murni dan meneliti tentang gen-gen unik yang dimiliki (Mansjoer, 1985). Kerbau Pampangan dipelihara secara tradisional, yaitu pada malam hari dikandangkan secara berkelompok, sedangkan pada siang hari dilepas-gembalakan di daerah rawa-rawa. Populasi ternak ini dari tahun ke tahun terus mengalami
ISSN 1978 - 3000
penurunan. Hingga saat ini populasi ternak ini diperkirakan hanya tinggal 3.623 ekor. Permasalahan lain minimnya tata laksana pemeliharaan mengakibatkan terjadinya inbreeding, sehingga akan mengakibatkan penurunan potensi genetik Kerbau Pampangan. Data mengenai potensi karakteristik morfologis dan reproduksi Kerbau Pampangan belum pernah dilaporkan, sehingga keunggulan dan kelemahan potensi kerbau pampangan belum diketahui. Hal ini disebabkan karena tidak tersedianya data untuk keperluan analisis potensi karakteristik morfologis dan reproduksi karena sistem identifikasi dan recording ternak tidak pernah dilakukan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik morfologis dan reproduksi kerbau pampangan di Sumatera Selatan. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui karakteristik morfologis dan reproduksi kerbau pampangan di Propinsi Sumatera Selatan.
METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di tiga kabupaten di Propinsi Sumatera Selatan dengan penekanan pada kabupaten yang memiliki kerbau rawa yang cukup banyak, yakni Kabupaten Ogan Komering Ilir
(Kecamatan Pampangan) Banyuasin (Kecamatan Rambutan) dan Ogan Ilir (Kecamatan Pemulutan). Lama penelitian selama 6 bulan, dari bulan Juli-Desember 2012. Metode yang digunakan adalah metode survei. Penarikan contoh bersifat multistage purposive sampling mulai dari penentuan kabupaten, kecamatan, serta peternak. Setelah ditetapkan tiga kabupaten lokasi sampel, langkah selanjutnya akan dipilih masingmasing satu kecamatan sentra populasi yang jumlah populasinya terbanyak. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data yang diperoleh di lapangan kemudian diolah secara matematis, disajikan secara tabulasi kemudian dijelaskan secara deskriptif, yaitu melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik morfologis dan reproduksi kerbau pampangan secara cermat dan faktual dari data yang telah terkumpulkan HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Peternak Kerbau Pampangan Keadaan umum peternak ketiga desa yang dijadikan tempat penelitian study karakteristik kerbau pampangan yang merupakan ketiga kabupaten yaitu Kabupaten OKI, Banyuasin Ogan Ilir Sumatera Dari data statistik ke tiga desa tersebut, mata pencaharian utama
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
113
ISSN 1978 - 3000
masyarakatnya adalah sangat bervariasi, namun sebagian besar adalah petani (70,46%), peternak (15,91%), Pedagang (6,82%), swasta (2,27%), POLRI (2,27%) dan sopir (2,27%) dan tiap-tiap kepala keluarga memelihara ternak sebagai usaha sampingan seperti sapi, kerbau dan kambing. Karakteristik peternak menunjukkan bahwa usia peternak yang masih produksif atau usia mereka masih muda dengan rata-rata umur pternak 40,12 tahun dengan usia termuda 18 tahun dan usia tertua 62 tahun, dengan pengalaman (lama) beternak kerbau rata-rata 12,47 tahun dengan skala pengalaman beternak dari 2 tahun sampai dengan 40 tahun. Berdasarkan datastatistik, pada umumnya tingkat pendidikan peternak kerbau adalah sebagai berikut dimana Sekolah Dasar (55,56%), SMP (31,11%) dan tingkat SMA/sederajat hanya (13,33%). Hasil diskusi dengan peternak menunjukkan bahwa minat peternak untuk mengembangkan ternak ternak kerbau cukup besar, hal ini ditandai dengan aktifnya menanyakan bagaimana cara mendapatkan bantuan kerbau dari pemerintah, bagaimana sistem beternak kerbau yang baik dan masalah utama yang dihadapi oleh peternak dalam mengelola usaha ternak kerbau adalah terbatasnya tingkat pengetahuan beternak kerbau yang baik, baik ditinjau dari segi
114
| Karakteristik morfologis kerbau
penyediaan pakan (rumput unggul), pengolahan pakan, khususnya pengolahan limbah pertanian/perkebunan sebagai sumber pakan ternak, perkandangan maupun dari segi pencegahan penyakit, lemahnya permodalan dan kelembagaan kelompok usaha yang ada. Karakteristik Morfologis Kerbau Pampangan Di Sumatera Selatan (Sumsel), banyak ditemukan ternak kerbau yang hidup di daerah rawa lebak terutama di Kec. Pampangan, Kab. Ogan Komering Ilir (OKI) yang dikenal dengan Kerbau Pampangan yang merupakan salah satu kekayaan plasma nutfah di Sumsel. Selain diambil dagingnnya, kerbau Pampangan dikenal juga sebagai penghasil susu. Kerbau Pampangan umumnya dipelihara secara ektensif dimana pada siang hari dilepaskan di padang penggembalaan dan pada malam harinya di kandangkan.Perkembangan populasi kerbau Pampangan di Sumatera Selatan dari 2010 hingga 2011 terjadi penurunan yaitu dari 76.113 menjadi 29.143 ekor (- 61,7%). Penurunan populasi kerbau Pampangan ini disebabkan beberapa faktor, diantaranya jumlah pemotongan yang terus meningkat dan lebih tinggi dibandingkan penambahan populasi, disamping kuranmgnya perhatian terhadap ternak kerbau, menurunnya lahan untuk padang penggembalaan.
ISSN 1978 - 3000
Selain itu secara alamiah kerbau memiliki tingkat reproduksi yang rendah (Barile, 2005; De Rensis dan Lopes-Gatius, 2007; Perera, 2011). Populasi ternak kerbau tersebar di Kabupaten OKI (5.286 ekor), Banyuasin (1.843 ekor) dan Ogan Ilir (1.727 ekor). Sebagian besar kerbau tersebut dipelihara di Desa Pulau Layang OKI, Rambutan Banyuasi dan Talang Pangeran Ulu Ogan Ilir. Dari ke-3 desa tersebut ada 44 orang peternak kerbau pampangan yang diwawancarai dengan jumlah ternak 1.060 ekor. Peternak memelihara kerbau dengan jumlah yang bervariasi yaitu dari 4 ekor – 100 ekor, dengan tingkat kepemilikan ada yang milik sendiri dan ada yang bagi hasil. Untuk peternak kerbau dengan tingkat kepemilikan dan bagi hasil yaitu ada 29 peternak (65,90%), milik sedndiri 10 peternak (22,73%) dan hanya bagi hasil 5 peternak (11,37%). Dari hasil inventarisasi diperoleh karakteristik morfologis kerbau pampangan dengan ciri-ciri sepaerti pada Gambar 1. Morfologis adalah tampilan eksternal tubuh makhluk hidup yang merupakan ekspresi dari bentuk keseimbangan biologis, sehingga dapat dipakai untuk menentukan asal-usul dan hubungan filogenekantara spesies, bangsa dan tipe ternak berbeda (Warwick et al., 1995; Drucker et al., 2011)
Gambar 1. Karakteristik morfologis kerbau pampangan Adapun karakteristik morfologis kerbau pampangan di Sumatera Selatan adalah warna bulu hitam/hitam keabu-abuan, bentuk tubuh besar, temperamen tenang, kepala besar dan telinga panjang, tanduk ada yang tegak panjang dan melingkar ke arah belakang dan ada juga yang arah ke bawah. Bentuk ambing simetris dan berkembang dengan baik. Bobot badan rata-rata untuk jantan dewasa 400-450 kg dan betina dewasa 300-350 kg. Bentuk tanduk melingkar ke arah bawah atau menggantung, diduga karena telah terjadi inbreeding pada kerbau Pampangan. Menurut Sianturi et al. (2012) kerbau-kerbau di pedesaan telah terjadi inbreeding, karena kelangkaan pejantan unggul sehingga perkawinan kerbau di pedesaan sulit ditata, hal ini dapat dilihat dari meningkatnya populasi kerbau albino dan kerbau-kerbau dengan tanduk yang menggantung.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
115
ISSN 1978 - 3000
4.3. Karakteristik Reproduksi Kerbau Pampangan Rataan karakteristik reproduksi ternak Kerbau Berdasarkan Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa umur pertama kawin Kerbau Pampangan di Sumatera Selatan rata-rata 2,3 tahun atau 27 bulan. Ini menunjukkan bahwa kerbau pampangan sangat lamban pubertas bila dibandingkan dengan Kerbau Belang di Sulawesi Selatan. Batasomma (2004) melaporkan bahwa ternak Kerbau Belang pubertas (pertama kawin) pada umur kisaran 16 – 22 bulan. Hal ini di duga karena adanya perbedaan lingkungan setempat dan manajemen pemberian pakan. Pada umumnya kerbau di Indonesia lambat mencapai dewasa kelamin dan reproduksinya serta kawin setelah beranak memerlukan waktu yang lama, sifat kurang baik ini akan bertambah lagi
Pampangan di Sumatera disajikan pada Tabel 3.
jika tidak disertai dengan manajemen pemberian pakan yang baik (Batasamma, 2004). Kondisi ini terjadi pada ternak Kerbau Pampangan di Sumatera Selatan dimana ternak kerbau hanya dipelihara secara ekstensif tanpa manajemen pemberian pakan hijauan yang berkualitas apalagi pemberian konsentrat. Kerbau dara umumnya mengalami estrus pertama kali pada kisaran umur 2 – 2,5 tahun, siklus estrusnya sama dengan sapi yaitu 21 hari, dengan kisaran 18 – 24 hari. Waktu birahi pada umumnya mempunyai kisaran 12 – 40 jam dengan rata-rata 24 jam (Mc Dowell, 1972 dalam Murti dan Ciptadi, 1988). Umur beranak pertama Kerbau Pampangan di Sumatera Selatan ratarata 3,23 tahun, angka tersebut wajar
Gambar 3. Rata-rata Karakteris Kerbau
No. Karakteristik 1 Umur pertama kawin (tahun) 2 Umur beranak pertama (tahun) 3 Estrus (berahi) pertama setelah beranak (hari) 4 Kawin setelah beranak (hari) 5 Jarak beranak (bulan) 6 Umur sapih anak (bulan)
116
| Karakteristik morfologis kerbau
Selatan
Rataan 2,30 3,23 88,33 139,11 14 9,07
ISSN 1978 - 3000
karena umur pertama kawin (pubertas) rata-rata 2,3 tahun, dalam artian ternak tersebut beranak pertama setelah satu tahun sejak kawin pertama. Angka ini lebih rendah bila dibandingkan hasil penelitian Chantalakhana (1981) yang menyatakan umur beranak pertama kerbau di Indonesia berkisar 3,5 – 4,7 tahun. Estrus (berahai) pertama setelah beranak Kerbau Pampangan rata-rata 88,33 hari, hasil tersebut menunjukkan bahwa kerbau pampangan estrus setelah beranak cukup cepat dibandingkan dengan Kerbau Belang di Sulawesi Selatan. Kerbau Belang berahi setelah beranak
rata-rata 130 hari (Batasamma, 2006). Kalau dilihat dari hasil menunjukkan bahwa meskipun estrus lebih cepat setelah beranak namun estrus tersebut tidak dibarengi dengan kawin, sehingga rata-rata kawin setelah beranak 139,11 hari. Hasil ini hampir sama dengan hasil penelitian Batasamma (2004), bahwa Kerbau Belang kawin setelah beranak ratarata 130 hari pada saat terjadinya gejalah berahi. Pada Tabel 4 ditampilkan beberapa data tentang berahi (estrus) pertama setelah beranak pada beberapa jenis kerbau.
Tabel 4. Data estrus pertama setelah beranak beberapa jenis kerbau . No.
1
2 3
Jenis dan Bangsa Kerbau
Negara dan Tempat Rata-Rata Estrus pertama setelah Pengamatan beranak (hari)
Jenis Sungai Murrah India Murrah India Utara Murrah Philipina Kerbau Mesir Mesir Jenis Lumpur Philipina Keturunan kawin silang lumpur dengan sungai Philipina (Murrah Philipina)
87 115 49,6 43 54 45,8
Sumber : Fahimudin, M. (1975) dalam Murti dan Ciptadi, 1988).
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
117
ISSN 1978 - 3000
Berdasarkan Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa rata-rata estrus setelah beranak Kerbau Murrah dari India 87 hari, data tersebut hampir sama dengan hasil yang diperoleh bahwa estrus pertama setelah beranak Kerbau Pampangan rata-rata 88,33 hari. Hasil tersebut diduga bahwa Kerbau Pampangan asal-usulnya berasal dari India atau kerbau silangan atau keturunannya. Berdasarkan Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa jarak beranak/jarak kelahiran Kerbau Pampangan rata-rata 14 bulan atau 420 hari, hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian Chantalakhana (1981) yang menyatakan bahwa jarak beranak kerbau di Indonesia berkisar 370 – 670 hari. Kerbau Belang jarak beranak (calving interval) rata-rata 400 – 600 hari (Batosamma, 2004). Kerbau betina umumnya beranak pertama kali pada umur 4 tahun dengan lama kebuntingan 10,5 bulan. Bila pakannya cukup memadai maka 3-4 bulan setelah melahirkan induk kerbau biasanya sudah dapat dikawinkan lagi. Sebagian peternak melaporkan jarak beranak selama 14 bulan. Namun umumnya ditemui bahwa usia kebuntingan induk sekitar dua bulan pada saat anak sudah berumur setahun. Dengan demikian jarak beranak menjadi 21 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat reproduksi kerbau hanya mencapai 60%. Apabila dikelola dengan baik maka jarak beranak dapat dipersingkat lagi, terutama dengan penyediaan pakan yang memadai bagi
118
kebutuhan induk dan bagi produksi susunya (Permentan, 2006). Kegagalan perkawinan akan menambah panjang jarak antar satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya. Kerbau India – Pakistan rata-rata mempunyai jarak kelahiran satu anak dengan anak berikutnya sekitar 450 hari, kerbau Mesir 540 hari, kerbau rawa Philipina 535 hari, kerbau hasil perkawinan silang Murrah dengan rawa Philipina 429,2 hari dan kerbau keturunan ke-3 dan ke-4 perkawinan silang antara kerbau rawa Thailand dengan kerbau Murrah adalah 287 – 420 hari. Secara umum dapat digolongkan dalam kelompok berdasarkan jenis kerbaunya bahwa kerbau lumpur mempunyai kisaran jarak satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya 480 – 912 hari, kerbau sungai 450 – 580 hari dan persilangan keduanya lebih kurang 344 hari (Tumwasorn, 1984 dalam Murti dan Ciptadi, 1988). Adanya perbedaan jarak beranak (calving interval) kerbau tersebut diduga karena adanya perbedaan genetik (bangsa) dan lingkungan. Meskipun perbedaan pengharuh genetik hanya sekitar 30% dan yang paling besar porsinya lingkungan 70%. Umur sapih anak Kerbau Pampangan di Sumatera Selatan ratarata 9,07 bulan. Hasil tersebut tegolong cukup tinggi bila dibandingkan pada ternak sapi yang kisarannya 4,89 – 7,83 bulan (Astuti, 2004). Tingginya umur sapih karena sistem pemeliharaan pada ternak kerbau dilakukan secara ekstensif. Dimana ternak hanya
| Model Penentuan Suhu Kritis Pada Sapi Perah
ISSN 1978 - 3000
dibiarkan mencari pakan sendiri di padang penggembalaan, sehingga anak kerbau selalu tergantung dan mengikuti induknya di padang penggembalaan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Karakteristik morfologis Kerbau Pampangan di Sumatera Selatan adalah warna bulu hitam/hitam keabu-abuan, bentuk tubuh besar, temperamen tenang, kepala besar dan telinga panjang, tanduk ada yang tegak panjang dan melingkar ke arah belakang dan ada juga yang arah ke bawah. Bentuk ambing simetris dan berkembang dengan baik. Bobot badan rata-rata untuk jantan dewasa 400-450 kg dan betina dewasa 300-350 Karakteristik reproduksi kerbau Pampangan di Sumatera Selatan umur pertama kawin rata-rata 2,3 tahun atau 27 bulan, umur beranak pertama 3,23 tahun, estrus (berahi) pertama setelah beranak 88,33 hari, kawin setelah beranak 139,11 hari, jarak beranak 14 bulan dan umur lepas sapih anak 9,07 bulan. Saran Untuk meningkatkan karakteristik reproduksi Kerbau Pampangan, maka perlu dilakukan perbaikan sistem pemeliharaan terutama manajemen pemberian pakan pada musim kemarau.
DAFTAR PUSTAKA Astuti,
M. 2004. Potensi dan keragaman sumberdaya genetik sapi peranakan ongole (PO). Lokakarya Nasional Sapi Potong. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan, 2011. Kerbau pampangan sebagai Plasma Nutfah Sumatera Selatan.
[email protected] Barile, V.L. 2005. Improving reproductive efficiency in female buffaloes. Liv. Reprod. Sci. 92: 183-194. Batosamma, T. 2004. Potensi dan Prospek Pengembangan Kerbau Belang di Sulawesi Selatan. Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional Peningkatan Populasi dan Produktivitas Ternak Kerbau di Indonesia. Banjarmasin,7-8 Desember 2004. Batosamma, T. 2006. Potential and application of reproduction technologies of water buffaloes in Indonesia. International Seminar on Artificial Reproductive Biotechnologies for Buffaloes, Bogor, August 28 – September 01. De Rensis, F. and F. Lopez-Gatius. 2007. Protocolsfor synchronizing estrus and ovulation in buffalo (Bubalus bubalis): A review. Theriogenelogy 67:209-216.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
119
ISSN 1978 - 3000
Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Banyuasin. 2011. Populasi ternak menurut jenis. Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Banyuasin. 2011. Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. OKI. 2011. Populasi ternak menurut jenis. Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. OKI. Drucker, A.G, V. Gomez an S. Anderson. 2001. The economic valuation of farm animal genetic resources: A survey of available methods. Ecol. Econ. 36:1-18. Hardjosworo, P.S. 1985. Konservasi Ternak Asli.Fakultas Peternakan. IPB. Bogor Handoyo. J., Sherly Sisca dan Mastutiningsih. 2005. Sekilas Keragaman Hayati di Jawa Tengah. Warta Plasma Nutfah Indonesia. No.17. Kurniawan, Ida Haranida. S, Hadiatmi dan Asadi. 2004. KATALOG DATA PASPOR PLASMA Nutfah Tanaman Pangan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Bogor.
120
Mansjoer, S.S. 1985. Pengkajian sifatsifat produksi ayam kampung serta persilangannya dengan ayam Rhode Island Red. Disertasi. Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor. Murti, T.W., G. Ciptadi. 1988. Kerbau Perah dan Kerbau Kerja. Tatalaksana dan Pengetahuan Dasar Pasca Panen. PT. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta. Perera, B.M.A.O. 2011.Reproductive cycles of Buffallo. Anim. Reprod. Sci. 124:194-199. Permentan.2006. Tentang Pedoman Pembibitan Kerbau yang Baik (Good Breeding Practice). Sianturi, R.G., B. Purwantara, I. Supriatna, Amrozi dan P. Situmorang. 2012. Optimasi Inseminasi Buatan pada kerbau lumpur (Bubalus bubalis) melalui teknik sinkronisasi estrus dan ovulasi.Jur. Ilmu Ternak dan Veteriner. 17:92-99. Warwck, E.J., J.M. Astuti dan W. Hardjosubroto. 1995. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University. Press, Yogyakarta.
| Model Penentuan Suhu Kritis Pada Sapi Perah
ISSN 1978 - 3000
Model Penentuan Suhu Kritis Pada Sapi Perah Berdasarkan Kemampuan Produksi Dan Manajemen Pakan (The Model of Critical Temperature of Dairy Cattle on product ability and feed management ) D. Suherman, B.P. Purwanto, W. Manalu4, I.G. Permana Bagian Disertasi di Sekolah Pascasarjana IPB Mahasiswa Program Doktor pada Mayor ITP, SPs. IPB 3) Dept. ITP FAPET-IPB. Ketua Komisi Pembimbing 4) Bagian Fisiologi FKH-IPB. Anggota Komisi Pembimbing 5) Dept. Ilmu Nutrisi Ternak FAPET-IPB. Anggota Komisi Pembimbing 1) 2)
ABSTRACT A research was conducted in Jakarta and Bogor and during January 2011 until February 2011. The objective of research were to measure effects of critical temperature (air temperature and humidity) on indicate physiological responses for critical temperature of Fries Holland Heifer.They were fed twice daily with grass and concentrate. Six dairy heifers were used in the research. The Indicate physiological responses were skin temperature, rectal temperature, and body temperature for 14 days. The results show that critical temperature on physiogical responses were significantly better on cattle for ANN which for critical temperature in Jakarta and Bogor that with the same and significantly better too on cattle which rectal temperature and skin temperature in Jakarta and Bogor. Key words: critical temperature, heifer, indicate physiological responses, ANN
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan di Jakarta dan Bogor dari bulan Januari hingga Pebruari 2012.Penelitian ini bertujuan untuk menentukan suhu kritis (suhu dan kelembaban udara) pada sapi dara peranakan Fries Holland berdasarkan indikator respon fisiologis.Pakan diberikan dua kali setiap hari dengan rumput dan konsentrat.Enam ekor sapi dara yang digunakan dalam penelitiannya.Parameter respon fisiologis yang diamati meliputi suhu kulit, suhu rektal, dan suhu tubuh selama 14 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan suhu kritis pada sapi dara yang dihitung dengan program Artificial Neural Network (ANN) di dareah Jakarta dan Bogor. Berdasarkan indikator respon fisiologis untuk menentukan suhu kritis dengan program ANN yang paling sensitif melalui suhu rektal dan suhu kulit baik di Jakarta maupun Bogor Kata kunci: suhu kritis, sapi dara, indikator respon fisiologis
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
121
ISSN 1978 - 3000
PENDAHULUAN Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas ternak sapi perah. Keunggulan genetik seekor ternak sapi perah tidak akan ditampilkan optimal apabila faktor lingkungannya tidak sesuai. Salah satu faktor lingkungan yang menjadi kendala tidak terekspresinya sifat genetik ternak adalah lingkungan mikro(Esmay 1978). Faktor-faktor lingkungan mikro yang menjadi kendala terutama adalah suhu udara, kelembaban udara, radiasi matahari, dan kecepatan angin (Gebremedhin 1985; Santosoet al. 2003), sehingga perlu upaya pengendalian lingkungan mikro agar produktivitas ternak sapi perah dapat ditingkatkan. Sapi perah dapat hidup dengan nyaman dan berproduksi secara optimum bila faktor-faktor internal dan eksternal berada dalam batasanbatasan normal yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Suhu lingkungan merupakan salah satu factor eksternal yang dapat mempengaruhi kenyamanan dan produktivitas sapi perah. Lingkungan suhu kritis dan cekaman panas pada peternakan sapi perah menjadi salah satu masalah utama karena dapat menyebabkan kerugian ekonomi akibat penurunan produktivitas (StPierre et et al. 2003). Pada saat akhir abad 19 dan abad 20 ditandai dengan meningkatnya rataan temperatur
122
global dari 0,8 menjadi 1,70C. Akibatnya terjadi peningkatan rataan temperatur global selama 5 tahun terakhir. Oleh karena itu, diduga terjadi pergeseran kisaran suhu termonetral dan suhu kritis pada sapi perah . Sebagian besar sapi perah yang ada di Indonesia adalah sapi bangsa Fries Holland (FH), yang didatangkan dari negara-negara Eropa dan memiliki iklim sedang (temperate) dengan kisaran suhu termonetral rendah berkisar 13-18oC (McDowell 1972), 5-25oC (McNeilly 2001). Kondisi asal iklim tersebut, sapi perah FH sangat peka terhadap perubahan iklim mikro terutama suhu dan kelembaban udara tinggi menyebabkan cekaman panas dan berakibat menurunnya produktivitas.Strategi mengurangi cekaman panas dapat dilakukan dengan perbaikan pakan, perbaikan konstruksi kandang, pemberian naungan pohon dan air minum ad libitum (Velasco et al. 2002). Model penentuan suhu kritis berdasarkan pada respon fisiologis sapi perah cukup intensif dilakukan di daerah subtropis.Namun demikian, penentuan suhu kritis berdasarkan pada respon fisiologis sapi perah yang dipelihara di dataran rendah dan dataran sedang dari daerah tropis pada usaha peternakan rakyat, khususnya Indonesia, masihbelum dilakukan secara menyeluruh serta berkesinambungan.Selain itu hasil penentuan suhu kritis dari daerah
| Model Penentuan Suhu Kritis Pada Sapi Perah
ISSN 1978 - 3000
subtropis belum tentu cocok diterapkan di daerah tropis, akibat lingkungan mikro berbeda sehingga diduga memberikan hasil berbeda. Di daearah tropis, daya tahan ternak terhadap panas merupakan salah satu faktor yang sangat penting agar ternak berproduksi optimal sesuai kemampuan genetis yang dimiliki. Ternak yang tidak tahan terhadap panas, produktivitasnya akan turun akibat dari menurunnya konsumsi pakan. Sementara itu ternak yang tahan terhadap panas dapat mempertahankan suhu tubuhnya dalam kisaran yang normal tanpa mengalami perubahan status fisiologis dan produktivitas (Tyler danEnseminger 2006). Proses mempertahankan suhu tubuh tersebut dikenal dengan proses termoregulasi atau pengaturan panas. Proses ini terjadi bila sapi perah mulai merasa tidak nyaman. Proses termoregulasi pada prinsipnya adalah keseimbangan panas antara produksi panas dan pelepasan panas (Yousef 1985). Ternak akan memproduksi panas dalam tubuhnya sebagai upaya menghasilkan energi yang diperlukan untuk kehidupannya (beraktifitas dan penyesuaian terhadap lingkungan). Panas yang diproduksi tergantung dari aktifitas ternak dan intake pakan, feed intake dinyatakan dalam TDN yang menunjukkan total bahan pakan dapat dicerna oleh ternak (Rahardja 2007). Perolehan panas dari energi pakan akan menambah beban panas bagi ternak bila suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman dan
sebaliknya kehilangan panas bila suhu udara lebih rendah dari suhu nyaman. Penelitian mengenai sifat daya tahan panas telah banyak dilakukan pada sapi perah berdasarkan pada sumber panas dari luar tubuh, sedangkan sumber panas dari dalam tubuh seperti waktu pemberian pakan belum banyak dilakukan. Panas ini memberikan makna esensial untuk mempertahankan suhu tubuh dan laju metabolisme yang tinggi pada sapi perah, sehingga dapat menghasilkan produktivitas yang normal. Akan tetapi sebaliknya di lingkungan dengan suhu yang tinggi, EKP merupakan tambahan beban panas dan menurunkan produksi (West 2003; Pennintong dan van Devender 2004). Pada tempat-tempat tertentu bagi pengembangan sapi perah FH di daerah tropik, suhu lingkungan siang hari mencapai 270C selama lebih dari 6 jam. Hal tersebut dapat menyebabkan sapi mengalami suhu kritis dan akhirnya mengalamicekaman panas berkelanjutan sehingga produksi maksimal tidak akan tercapai. Dalam keadaan suhu kritis dan cekaman panas diperlukan energi tambahan untuk meningkatkan pembuangan panas melalui penguapan kulit dan pernapasan, akibatnya produksi menurun. Oleh karena itu, perlu adanya suatu penelitian tentang penentuan batas suhu kritis berdasarkan kemampuan produksi dan manajemen pakan di daerah tropik pada dataran sedang dan rendah untuk meningkatkan produksi
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
123
ISSN 1978 - 3000
yang dihasilkan. Penentuan lingkungan suhu kritis berdasarkan kemampuan produksi dan manajemen pakan pada sapi perah diharapkan sebagai dasar untuk menentukan respon fisiologis dan kehilangan panas melalui penguapan dari permukaan kulit, sehingga akan memperbaiki keseimbangan panas, selanjutnya akan meningkatkan konsumsi pakan dan produksi. Suhu dan kelembaban udara berpengaruh langsung terhadap perubahan fisiologis sapi perah, sehingga akhirnya akan berdampak pada produksi. Pada keadaan suhu dan kelembaban tinggi akan terjadi penentuan antara imbangan proses perolehan panas (produksi panas metabolisme dan perolehan dari lingkungan) dengan pembuangan panas dalam rangka memelihara tingkat suhu tubuh normal. Semakin tinggi suhu lingkungan di atas Thermoneural zone akan menyebabkan perolehan panas lebih banyak daripada pembebasan panas, akibatnya peningkatan suhu tubuh. Bila suhu tubuh meningkat, akan terjadi usaha ternak untuk mengeluarkan panas dengan cara radiasi, konduksi, konveksi, dan evaporasi, yang mengakibatkan terjadinya peningkatan konsumsi air minum dan menurunkan konsumsi pakan, serta energi yang digunakan untuk mengatur suhu tubuh meningkat. Peningkatan suhu tubuh tersebut akan meningkatkan laju metabolisme dalam sel. Namun adanya pengaturan homeostasi
124
melalui hormonal, akan menurunkan laju produksi panas. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai model penentuan batas suhu kritis sapi perah dara berdasarkan respon fisiologis di dua daerah dengan lingkungan yang berbeda. Informasi mengenai suhu kritis berdasarkan respon fisiologis akan digunakan sebagai dasar pengembangan sapi perah.
MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di Laboratorium lapangan, unit produksi ternak perah Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan IPB Bogor dan Kebon Pedes Bogor sebagai daerah topografi sedang (400-600 dpl), dan peternakan sapi perah rakyat di Pondok Rangon Jakarta Timur sebagai topografi rendah (200-400 dpl). Lama penelitian dilaksanakan masingmasing daerah selama satu bulan serta dimulai dari bulan Januari 2011 hingga Februari 2011. Kegiatan penelitian kajian untuk menganalisis penentuan batas suhu kritis sapi perah dara dalam kandang berdasarkan respon fisiologis pada masing-masing lingkungan
waktu
dan
suhu
serta berbeda daerah.
Enam ekor sapi dara PFH menempati tiap
petak
kandang.
Sapi-sapi
dipelihara selama 14 hari, dengan kurun waktu tersebut setiap hari diberikan pakan pada pagi hari pukul
| Model Penentuan Suhu Kritis Pada Sapi Perah
ISSN 1978 - 3000
06.00 - 07.00 dan sore hari pukul 15.00 - 16.00 dengan 60% rumput dan 40% konsentrat. Selama pengamatan sapi tidak dimandikan. Rancangan penelitian secara purposive untuk menganalisis penentuan batas suhu kritis sapi perah dara dalam kandang berdasarkan respon fisiologis pada masing-masing waktu dan suhu lingkungan dengan berbeda daerah. Selanjutnya dilakukan pengamatan respon fisiologis pada masing-masing waktu dan suhu lingkungannya, dari pukul 5.00 hingga pukul 20.00 dengan selang waktu pengamatan satu jam. Parameter yang diamati terdiri atas faktor iklim dan respon fisiologis sapi perah. Faktor iklim yang diukur meliputi suhu udara bola basah dan bola kering (DBT-WBT), kelembaban udara (RH), kecepatan angin, dan menghitung
Temperature
Humidity
Indeks (THI). Pengamatan suhu udara dan
kelembaban
dalam
kandang
dilakukan setiap hari dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00 dengan selang waktu satu jam selama 14 hari. Respon fisiologis sapi yang diukur adalah suhu permukaan kulit (Ts), suhu rektal (Tr), dan menghitung suhu tubuh
(Tb).
Pencatatan
suhu
permukaan kulit (Ts), suhu rektat (Tr), dan suhu tubuh (Tb) dilakukan selama 14 hari dari pukul 05.00 hingga pukul
Metode Pengukuran Parameter 1. Suhu dan kelembaban udara diukur dengan termometer bola basah dan bola kering. Pengukuran dilakukan di dalam kandang. 2. Indeks suhu kelembaban (THI) dihitung menggunakan rumus Hahn (1985) yaitu : THI = DBT + 0,36 WBT + 41.2, DBT = suhu bola kering (0C) dan WBT = suhu bola basah (0C). 3. Kecepatan angin diukur menggunakan anemometer digital yang diletakkan di dalam kandang. Anemometer di buka selama 15 menit kemudian di baca kecepatan rata-rata tiap detiknya. 4. Suhu permukaan kulit (Ts), diukur pada empat titik lokasi pengukuran yaitu punggung(A), dada (B), tungkai atas (C), dan tungkai bawah (D). Rataan suhu permukaaan kulit dihitung berdasarkan rumus McLean et al. (1983); Ts = 0.25 (A + B) + 0.32 C + 0.18 D. 5. Suhu rektal (Tr), diukur dengan memasukkan termometer klinis ke dalam rektal sedalam ± 10 cm selama tiga menit. 6. Suhu tubuh (Tb), dihitung dari suhu permukaan kulit (Ts) dan menjumlahkan dengan suhu rektal (Tr) menurut McLean et al. (1983). Suhu tubuh (Tb) dihitung dengan rumus : Tb = 0.86 Tr + 0.14 Ts Analisis data berupa penentuan batas suhu kritis pada sapi dara PFH
20.00 dengan selang waktu satu jam.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
125
ISSN 1978 - 3000
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Iklim Mikro Perubahan-perubahan pada panas lingkungan sangat tergantung dari kondisi udara lingkungan yang meliputi suhu udara, kelembaban udara, radiasi matahari, kecepatan angin, kepadatan kandang, dan karakter pelepasan panas metabolis tubuh ternak (Berman 2008). Hasil pengamatan selama penelitian yang berlangsung dari pukul 05.00 hinggga pukul 20.00, kondisi lingkungan iklim mikro di daerah Bogor dan Jakarta, berupa kisaran suhu udara berkisar antara 22-330C dan 23,50-33,500C, kelembaban udara antara 53-91% dan 56-88% , kecepatan angin antara 0-0,9 m/s dan 0-0,6 m/s, dan nilai THI berkisar antara 70,94-83,92 dan 72,8084,42 (Gambar 1). Nilai suhu dan kelembaban udara tersebut menunjukkan kondisi lingkungan ternak berpotensi memberikan suhu kritis dan cekaman fisiologis pada sapi dara peranakan FH. Kisaran zona termonetral ternak berada pada suhu udara antara 13-180C (McDowell 1972), 5-250C (Jones dan Stallings 1999), suhu udara antara 13-250C dan kelembaban udara antara 50-60% (McNeilly 2001). Suhu dan kelembaban lingkungan yang ideal bagi penampilan produksi sapi perah peranakan FH akan dicapai pada suhu udara 18,30C dan kelembaban udara 55% (Sutardi 1981), serta penampilan produksi masih cukup baik bila suhu lingkungan meningkat sampai 21,10C
126
serta suhu kritis sebesar 270C (Sudono et al. 2003). Kondisi pada pagi hari (pukul 05.00-09.00) relatif sama dengan sore hari (pukul 16.00-20.00), baik di daerah Bogor maupun Jakarta. Suhu udara pagi hari relatif sesuai untuk sapi dara FH, akan tetapi kelembaban udara kurang sesuai, karena berada di atas kisaran normal. Pada sore hari, terjadi cekaman udara diakibatkan kelembaban udara. Rataan nilai THI sore hari sebesar 75 di daerah Bogor dan sebesar 76 di daerah Jakarta menunjukkan terjadinya cekaman ringan. Suhu udara pada sore hari menurun, akan tetapi kelembaban udara meningkat. Sementara itu, kecepatan angin pada sore hari relatif belum cukup untuk mengurangi beban panas tubuh ternak. Kelembaban udara tersebut dapat menjadi faktor penghambat proses konveksi dan evaporasi ternak. Bohmanova (2007) menyatakan bahwa kelembaban udara merupakan faktor penghambat proses stress panas pada iklim lembab dan suhu udara kering adalah faktor pembatas stress panas pada iklim kering. Pada Gambar 1, pukul 05.00 hingga 09.00 kondisi suhu udara, kelembaban udara dan THI berpotensi menyebabkan cekaman ringan. Cekaman lebih disebabkan tingginya kelembaban udara pada pukul tersebut. Berdasarkan nilai suhu udara dan THI tersebut, bagi sapi perah mengindikasikan mengalami suhu kritis. Apabila suhu udara meningkat diatas suhu termonetral sapi akan
| Model Penentuan Suhu Kritis Pada Sapi Perah
ISSN 1978 - 3000
mulai menderita suhu kritis atau dimulainya menderita cekaman, sehingga mekanisme termoregulasi mulai bekerja terutama dengan cara meningkatkan pernafasan, denyut jantung dan penguapan air melalui kulit. Untuk mengetahui status suhu kritis pada ternak dapat dilakukan dengan mengetahui suhu tubuh yang diestimasikan dari hasil pengukuran suhu rektal dan suhu kulit, sedangkan untuk mengetahui tingkat pembuangan panas tubuh (heat loss) dapat dilakukan dengan mengetahui suhu kulit, frekuensi pernafasan dan denyut jantung (Purwanto 1993). Daerah termonetral bagi ternak merupakan kisaran suhu udara dan THI yang paling sesuai untuk kehidupannya, dimana terjadi metabolisme basal dan hanya terjadi mekanisme pengaturan panas secara sensible dengan menggunakan energi yang paling sedikit. Kisaran suhu udara tersebut tidak menyebabkan peningkatan atau penurunan fungsi tubuh (McDowell 1972; Yousef 1985), terjadinya metabolisme basal pada kisaran suhu termonetral tersebut berarti pula produksi panas tubuh sangat rendah. Kecepatan angin pada pukul 05.00 hingga pukul 07.00 (Gambar 1) sangat rendah dan bernilai 0 m/s sehingga angin belum cukup berfungsi untuk membantu pelepasan panas dan mereduksi beban panas tubuh ternak (Yani dan Purwanto 2006). Pada siang hari (pukul 10.0015.00), suhu udara dan THI meningkat hingga pukul 13.00 di daerah Bogor
dan Jakarta (pukul 12.00), sebaliknya kelembaban udara menurun, akan tetapi kelembaban tersebut tetap pada nilai yang berpotensi memberikan suhu kritis ternak atau cekaman panas, baik di daerah Bogor maupun Jakarta. Nilai rataan THI pada pukul 12.00 dan pukul 13.00 adalah yang tertinggi di daerah Bogor yaitu sebesar 82, tetapi di daerah Jakarta sebesar 84. Hasil nilai rataan THI tersebut mengindikasikan adanya suhu kritis atau cekaman panas pada ternak, hal ini berdasarkan klasifikasi Pennington dan VanDevender (2004) nilai THI tersebut menunjukan terjadinya suhu kritis atau cekaman panas sedang pada ternak. Cekaman panas sedang ditandai dengan terjadinya pelepasan tubuh sebanyak 50% melalui proses respirasi (Berman 2005). Pada kondisi iklim mikro tersebut, harus diperhatikan peternak di Indonesia untuk mengurangi pengaruh iklim mikro dengan beberapa cara yang disarankan oleh Velasco et al. (2002) melalui perbaikan manajemen pakan, imbangan nutrisi, pemberian air minum adlibitum, dan sirkulasi kandang. Usaha lain untuk peningkatan pemahaman efek lingkungan iklim mikro pada siang hari dengan ditandai terjadinya suhu kritis ternak dan cekaman panas menuntut peternak untuk memaksimalkan efek positif dan negatifnya (Coller et al. 2006). Waktu pemberian pakan dan pemberian pakan yang memiliki heat increamentrelatif rendah dengan berdasarkan suhu kritis ternak
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
127
ISSN 1978 - 3000
disarankan untuk dilakukan bila siang hari ada cekaman iklim panas di daerah pengembangan sapi perah. Kecepatan angin berfungsi mengalirkan udara yang bersuhu lebih tinggi di sekitar ternak ke tempat yang lain. Selain itu, angin dapat membantu proses konveksi dan evaporasi panas dari tubuh ternak ke lingkungan. Pada pagi menuju siang hari, kecepatan angin meningkat seiring meningkatnya suhu udara, sehingga peningkatan kecepatan angin belum banyak berpengaruh pada penurunan cekaman panas tubuh ternak, sebaliknya sore hari semakin menurun. Rataan kecepatan angin pada siang dan sore hari di daerah Bogor dan Jakarta masih relatif rendah yaitu 0,4 m/s dan 0,2 m/s serta 0,1 m/s dan 0,08 m/s. Pemberian kecepatan angin 1,12-1.30 m/s akan membantu sapi FH mengatasi suhu kritis ternak atau cekaman panas (Lee dan Keala 2005). Perpindahan panas dengan konveksi dan evaporasi antara ternak dengan lingkungan dipengaruhi kecepatan angin sebesar 25%. Angin dapat digunakan untuk membantu mereduksi cekaman panas pada ternak (Beede dan Colier 1986). Respon Fisiologis Ternak Suhu rektal merupakan salah satu parameter dari pengaturan suhu tubuh yang umum digunakan, karena kisaran suhunya relatif lebih konstan dan lebih mudah pengukuran di lapangan. Hasil pengukuran suhu rektal harian ternak di daerah Bogor dan Jakarta sebagian besar masih dalam kisaran normal, yaitu berkisar
128
antara 38,47-39,210C dan 38,34-39,580C. Kisaran suhu rektal normal untuk sapi perah antara 38,2-39,10C (Schutz et al. 2009). Pada penelitian ini, untuk daerah Bogor dan Jakarta, suhu rektal terendah terjadi pada pukul 05.00 (pagi) dan meningkat setelah ternak mengkonsumsi pakan dan seiring meningkatnya suhu udara (Gambar 2). Suhu rektal meningkat selama stress panas (40,40C) dapat mengurangi konsumsi bahan kering sebanyak 30% (Wheelock et al. 2010). Berdasarkan grafik pada Gambar 2, suhu rektal ternak mulai mengalami stress panas pada siang hari pukul 12.00 saat suhu udara tertinggi, suhu rektal di bogor (39,040C) dan Jakarta (39,220C). Suhu rektal tertinggi di Bogor dan Jakarta terjadi pada sore hari pukul 17.00 (39,050C) dan pukul 16.00 (39,130C). Peningkatan suhu rektal tersebut diakibatkan adanya peningkatan panas metabolisme tubuh, karena ternak baru mengkonsumsi pakan, dan juga disebabkan proses homeostasis ternak setelah terjadi gangguan homeostasis pada siang hari. Hasil penelitian Purwanto et al. (1993) serta Kendal et al. (2006) melaporkan bahwa pada suhu lingkungan 300C serta 32,20C, suhu rektal dapat mencapai lebih dari 39,80C serta 400C. Kondisi suhu rektal yang tinggi tersebut, mengindikasikan fungsi tubuh bekerja secara ekstra
| Model Penentuan Suhu Kritis Pada Sapi Perah
ISSN 1978 - 3000
untuk mencapai keseimbangan panas yang baik dengan pelepasan panas. Untuk mengetahui suhu kritis (suhu dan kelembaban udara) di sekitar
kandang sapi perah berdasarkan suhu rektal sapi dara dapat digunakan hasil simulasi ANN.
Suhu (m/s) Kecepatan angin Udara (0C)Indeks Kelembaba Suhu n Udara (%) Kelem baban
0.6 100 0.5 0.4 0 0.3 0.2
5
Jakarta 6
7
8
5
6
9
10 11 12Waktu 13 (WIB 14 15 ) 16 17 18 19 20
Jakarta
100 80 60
0.1 50 00
Bogor Jakarta 7
8 Waktu 9 10 pengamatan 11 12 13 (WIB) 14 15 16 17 18 19 20 Waktu (WIB)
5 5 6 6 7 7 8 8 9 9 1010 1111 1212 1313 1414 1515 1616 1717 1818 1919 2020
Bogor Jakarta Bogor
Waktu pengamatan (WIB)
Gambar 1.Rataan Fluktuasi suhu udara, kelembaban udara, indeks suhu kelembaban dan Kecepatan angin.
Permukaan kulit hewan dapat berfungsi untuk melepaskan atau tempat
pembuangan
utama
melalui
panas
proses
yang radiasi,
konveksi, konduksi, dan evaporasi (Berman 2003). Pada penelitian ini, suhu kulit harian ternak di daerah Bogor dan Jakarta sebagian masih dalam kisaran normal, yaitu berkisar antara 28,84-35,010C dan 29,38-33,910C. Suhu kulit sapi yang dipelihara pada lingkungan mikro yang nyaman yaitu berkisar antara 33,5-37,10C (Tucker et al. 2008). Suhu kulit terendah di Bogor dan Jakarta yaitu pada pukul 05.00 pagi (29,220C) dan (30,360C). Suhu kulit tertinggi pada pukul 12.00 siang
(34,310C) dan (33,780C) masing-masing untuk Bogor dan Jakarta. Suhu kulit tertinggi di Bogor dan Jakarta terjadi pada sore hari pukul 17.00 (32,280C) dan pukul 16.00 (33,400C) (Gambar 3). Pada saat suhu tinggi, tubuh akan mengeluarkan keringat dalam jumlah banyak serta memperlebar pembuluh
darah
(vasodilatasi)
sehingga panas akan terbawa keluar dari tubuh. Sebaliknya, pada saat suhu rendah, suhu tubuh akan mengeluarkan lebih sedikit keringat dan mempersempit pembuluh sehingga
darah
(vasokonstriksi)
mengurangi
pengeluaran
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
129
ISSN 1978 - 3000
panas
oleh
tubuh.
sangat
merupakan perwujudan dari suhu
berkorelasi dengan fluktuasi unsur
organ-organ di dalam tubuh serta
cuaca
kontak
organ-organ di luar tubuh. Suhu di
Suhu
dalam tubuh diwakili oleh suhu rektal
bervariasi
dan suhu di luar tubuh diwakili oleh
karena
langsung
Kulit
mengalami
dengan
cuaca.
permukaan
tubuh
berdasarkan
kadar
air
suhu permukaan kulit. Peningkatan
kandang
beban panas yang disebabkan oleh
(naungan), dan ventilasi (Marcilae
kombinasi suhu udara, kelembaban
2009).
udara, pergerakan udara, dan radiasi
lingkungan,
uap
lokasi
Proses pelepasan panas melalui kulit
terjadi
melalui
matahari dapat meningkatkan suhu
mekanisme
tubuh dan frekuensi respirasi serta
vasodilatasi. Mekanisme vasodilatasi
mengurangi konsumsi pakan dan
yaitu pembuluh darah mengembang
produksi susu (Hahn 1999; Ominski et
untuk
kulit
al. 2002; West 2003). Hasil perhitungan
yang
suhu tubuh harian ternak di daerah
berdekatan
(lingkungan
dengan luar)
memungkinkan
panas
dibebaskan
Bogor dan Jakarta sebagian
masih
keluar. Bulu kulit ditegakkan untuk
dalam kisaran normal, yaitu berkisar
mengurangi udara yang terperangkap
antara 37,18-38,500C dan 37,24-38,770C.
pada kulit supaya panas mudah
Suhu tubuh sapi yang dipelihara pada
dibebaskan
adalah
lingkungan mikro yang nyaman yaitu
konduktor panas yang baik. Ganong
berkisar antara 38,3-38,6oC (Schutz et
(1983) mengemukakan jumlah panas
al. 2008). Suhu tubuh terendah di
yang hilang dari tubuh dalam batas-
Bogor dan Jakarta yaitu pada pukul
batas yang luas di atur oleh perubahan
05.00 pagi (37,290C) dan (37,650C) serta
jumlah darah yang mengalir melului
meningkat
kulit. Kulit berperan penting dalam
beban panas dari lingkungan dan dari
menerima rangsangan panas atau
hasil metabolisme. Respon suhu tubuh
rangsangan dingin untuk dihantarkan
terhadap stress panas berbeda-beda
ke
tiap individu dan respon tersebut
susunan
karena
udara
syaraf
pusat
dan
seiring
diteruskan ke hipotalamus bagian pre
disebabkan
optic.
tersebut
pelepasan panas tubuh. Suhu tubuh
diteruskan ke pusat pengatur panas
tertinggi pada pukul 12.00 siang
yang juga di hipotalamus untuk
(38,370C) dan (38,450C) masing-masing
melakukan usaha-usaha penurunan
untuk Bogor dan Jakarta (Gambar 4).
produksi atau pengeluaran panas
Sementara itu suhu tubuh tertinggi di
(Isnaeni
Bogor dan Jakarta terjadi pada sore
130
Rangsangan
2006).
suhu
Suhu
tubuh
| Model Penentuan Suhu Kritis Pada Sapi Perah
oleh
meningkatnya
produksi
dan
ISSN 1978 - 3000
hari pukul 17.00 (32,280C) dan pukul
mempertahankan
suhu
tubuhnya
16.00 (33,400C).
dengan
menyeimbangkan
Suhu tubuh dapat dijadikan
pembentukan dan pelepasan panas.
indikator dalam menentukan dimulai
Suhu dan kelembaban udara dalam
cekaman panas pada ternak yang
kandang yang termasuk iklim mikro
disebabkan
merupakan dua faktor iklim yang
pakan.
lingkungan mikro dan
Pengaturan
suhu
tubuh
mempengaruhi produksi sapi perah,
dilakukan melalui mekanisme umpan
karena
balik oleh saraf eferen, hipotalamus,
perubahan
dan efektor saraf eferen. Bagian-
dalam tubuh ternak, keseimbangan
bagian tersebut berfungsi sebagai
air,
termostat dengan hipotalamus sebagai
keseimbangan tingkah laku ternak
pusat
(Hafez dan Bouissou 1975).
kontrolnya.
Tubuh
akan
dapat
menyebabkan
keseimbangan
keseimbangan
panas
energi
dan
Gambar 2 Rataan fluktuasi suhu rektal (Tr) sapi dara PFH tiap jam dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00 antara daerah Bogor dengan Jakarta
Suhu kulit ( 0C)
36 34 32 30
Panitan bogor
28
pondok rangon
26 5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Waktu pengamatan (WIB)
Gambar 3 Rataan fluktuasi suhu kulit sapi dara PFH tiap jam dari pukul 05.00 -pukul 20.00 antara daerah Bogor dengan Jakarta
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
131
ISSN 1978 - 3000
Suhu tubuh ( 0C)
39 38.5 38 37.5
Panitan bogor
37
pondok rangon
36.5 5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Waktu pengamatan (WIB)
Gambar 4 Rataan fluktuasi suhu tubuh (Tb) sapi dara PFH tiap jam dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00 antara daerah Bogor dengan Jakarta
suhu rektal sebesar 0,199510 dan ModelPendugaan Suhu Kritis Berdasarkan Indikator Respon Fisiologis Melalui Simulasi ANN Aplikasi
program
ANN
merupakan langkah metode pelatihan propagasi
balik
yang
dilakukan
terhadap data-data pelatihan dengan harapan kesalahan (error) terkecil. Setelah dilakukan iterasi berulangulang dihasilkan nilai kesalahan yang fruktuasi serta nilai kesalahan yang semakin menurun dari setiap iterasi. Nilai kesalahan yang terkecil pada output
prediksi
terhadap
output
target, baik di daerah Bogor maupun Jakarta pada Yp1 (suhu rektal) dan Yp2 (suhu kulit) yaitu setelah dilakukan iterasi sebanyak 2.100.000/100 (21.000 kali). Masing-masing di daerah Bogor dan Jakarta diperoleh nilai error pada
132
0,693969, suhu kulit sebesar 0,392903 dan 0,828096. Langkah validasi hasil ANN pada suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts) rectal dan suhu kulit hasil perhitungan
ANN
dibandingkan
dengan hasil pengukuran di lapang. Pelaksanaan validasi dilakukan pada kondisi suhu dan kelembaban udara yang
sama
perhitungan
antara
data
hasil
ANN
dan
hasil
pengukuran di lapang. Selanjutnya validasi dimulai setelah didapatkan nilai
error
terendah,
kemudian
dilakukan proses normalisasi kembali, yaitu normalisasi data input (x1, x2), data target (yt1, yt2, ) dan hasil prediksi perhitungan ANN (yp1, yp2) Nilai
validasi
kecenderungan
hasil
menunjukkan perhitungan
ANN mendekati hasil pengukuran
| Model Penentuan Suhu Kritis Pada Sapi Perah
ISSN 1978 - 3000
penelitian lapang dengan rataan nilai
dapat
persentase error yang rendah, masing-
fisiologis sapi perah pada suhu rectal
masing untuk daerah Bogor dan
dan suhu kulit, tanpa perlu mengukur
Jakarta yaitu yp1 = 0,65% dan 0,80%, yp2
langsung kepada ternaknya, tetapi
= 1,34% dan 1,40%. Pada beberapa titik
cukup melihat suhu dan kelembaban
validasi terjadi perbedaan persentase
udara yang terukur saat itu, kemudian
error yang cukup besar, tetapi masih
disimulasikan dengan ANN. Hasil
relatif dalam batasan yang rendah (%
simulasi
error <5%). Hasil nilai tersebut dapat
mengetahui tingkat respon fisiologis
diartikan bahwa nilai prediksi sudah
sapi perah (Tr dan Ts) terhadap
mendekati
Nilai
perubahan suhu dan kelembaban
yang
rendah
udara yang berbeda. Hasil simulasi
bahwa
hasil
nilai
persentase
error
menunjukkan
aktualnya.
perhitungan ANN memiliki akuarasi yang tinggi sehingga dapat dijadikan
mengetahui
dapat
menggunakan
berapa
respon
digunakan
ANN
untuk
tertera
pada
Tabel 3 Hasil
prediksi
dari
simulasi
acuan untuk suhu dan kelembaban
ANN menunjukkan bahwa semakin
udara dalam penentuan suhu kritis
meningkat suhu udara, maka semakin
sapi dara di daerah Bogor dan Jakarta.
meningkat pula suhu rektal dan suhu
Simulasi
merupakan
teknik
kulit sapi perah baik daerah Bogor
penyusunan dari kondisi yang nyata
maupun Jakarta (Tabel 3). Begitu juga,
dan kemudian melakukan penelitian
semakin
pada model yang dibuat dari sistem.
udara baik pada suhu yang sama atau
Pada simulasi ini dilakukan dengan
pada suhu udara yang meningkat
memperhatikan parameter suhu dan
mengakibatkan
kelembaban udara sebagai penentu
rektal dan suhu kulit. Berdasarkan
suhu kritis dengan respon fisiologis
hasil simulasi ANN dapat diperoleh
ternak untuk setiap kondisi mulai dari
korelasi anatara suhu dan kelembaban
nilai
minimum
meningkat
kelembaban
peningkatan
suhu
sampai
nilai
udara dengan tingkat cekaman panas
terukur
pada
(suhu kritis) sapi berdasarkan suhu
dengan
rektal dan suhu kulit. Kisaran suhu
mengkombinasi nilai input suhu dan
rektal normal untuk sapi perah antara
kelembaban udara, maka didapatkan
38,2 - 39,10C (Schutz et al. 2009). Tucker
variasi nilai output suhu rektal dan
et al. (2008) mengemukakan bahwa
suhu kulit di daerah Bogor dan
suhu permukaan kulit sapi yang
Jakarta. Berdasarkan hasil simulasi
dipelihara pada lingkungan mikro
suhu dan kelembaban udara, maka
nyaman berkisar antara 33,5-37,1oC.
maksimum penelitian.
yang Pada
simulasi
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
133
ISSN 1978 - 3000
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat
mempengaruhi suhu rektal dan suhu
dikatakan
kulit pada sapi perah.Tingkat suhu
bahwa
sapi
perah
mengalamami cekaman panas apabila
kritis
suhu rektal lebih dari 39,1 C dan suhu
suhu kulit pada suhu dan kelembaban
kulit lebih dari 37,1oC.
udara yang berbeda baik di daerah
o
Berdasarkan hasil prediksi hasil simulasi ANN, perubahan suhu dan kelembaban udara sangat
berdasarkan suhu rektal dan
Bogor maupun Jakarta dapat dilihat pada Tabel 2.
sensitif
Peningkatan kelembaban udara
terhadap
perubahan
suhu
rektal
dan suhu udara yang sama dan suhu
dibandingkan perubahan suhu kulit.
udara berbeda sangat mempengaruhi
Suhu kritis dengan indikator suhu
terhadap suhu kritis pada sapi perah.
kulit mulai terjadi apabila suhu udara
Pada saat udara 22,50-25,50 C baik di
naik menjadi 31oC dengan kelembaban
daerah Bogor maupun Jakarta belum
udara 86% (Bogor) dan suhu udara
terjadi suhu kritis(cekaman panas)
naik menjadi 32,50oC dan kelembaban
meskipun
perubahan
udara 88% (Jakarta). Pada saat suhu
kelembaban udara. Suhu udara dan
udarayang tinggi yaitu 31- 32oC dan
kelembaban udara tersebut, suhu
32,50-33,50oC masing-masing untuk
rektal dan suhu kulit masih pada
daerah Bogor dan Jakarta, terjadi suhu
kisaran normal. Saat suhu udara 26-
kritis
32oC (Bogor) dan suhu udara 26-
indikator suhu rektal dan suhu kulit,
33,50oC (Jakarta), sapi perah mulai
tetapi
terjadi suhu kritis (cekaman panas)
dibandingkan suhu kulit, karena suhu
dengan indikator cekaman panas pada
rektal
suhu rektal. Pada saat peningkatan
lingkungan eksternal berasal dari
kelembaban udara dengan suhu udara
iklim mikro maupun berasal dari
yang sama dan suhu udara yang
panas tubuh.
o
berbeda
134
terjadi
sangat
mempengaruhi
| Model Penentuan Suhu Kritis Pada Sapi Perah
(cekaman) suhu
panas
rektal
dipengaruhi
lebih baik
dengan sensitif dari
ISSN 1978 - 3000
Tabel 1. Hasil simulasi ANN perkiraan suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts) pada suhu dan kelembaban udara yang berbeda di daerah Bogor dan Jakarta Bogor Suhu udara Kelembaba Suhu rektal n udara (%) (oC) (oC)
Jakarta Suhu kulit (oC)
Suhu udara Kelembaba Suhu rektal n udara (%) (oC) (oC)
Suhu kulit (oC)
24 24 24 26 26 26 28 28 28 30 30 30 32 32
86 84 82 86 84 82 86 84 82 86 84 82 86 84
38,86 38,88 38,89 39,11 38,83 38,83 39,23 39,15 39,01 39,14 39,11 38,87 39,26 39,17
31,52 31,14 30,74 32,23 32,12 31,86 35,35 33,71 32,61 35,15 33,02 32,89 37,26 34,76
24 24 24 26 26 26 27,50 27,50 27,50 29 29 29 33 33
88 86 84 88 86 84 88 86 84 88 86 84 66 64
38,75 38,80 38,85 39,13 38,98 38,94 39,11 38,93 38,84 39,11 38,96 38,93 39,13 39,20
30,10 30,73 30,86 31,13 31,67 31,08 32,00 31,85 31,81 31,88 31,80 31,76 32,32 32,32
32
82
38,89
31,76
33
62
39,27
32,33
Tabel 2 Suhu dan kelembaban udara pada saat sapi perah mulai mengalami suhu kritis (cekaman panas) dengan indikator suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts) di daerah Bogor dan Jakarta Bogor o
Suhu udara ( C)
Kelembaban udara (%)
22,50 – 25,5 26 27 28 29 30 31 31 32 32
60 86 84 84 84 84 86 84 84 86
Jakarta Indikator cekaman panas Tr Tr Tr Tr Tr Ts Tr Tr Ts
Suhu udara Kelembaba n udara (oC) (%) 23,5–25,5 26 27,5 29 30,5 31 32 32,5 33 33
58 88 88 88 88 84 82 88 66 78
Indikator cekaman panas Tr Tr Tr Tr Tr Tr Ts Tr Ts
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
135
ISSN 1978 - 3000
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Model penerapan Artificial Neural Network (ANN) dapat digunakan untuk menentukan suhu kritis berdasarkan peubah suhu dan kelembaban udara di dalam kandang sapi perah PFH terhadap respon fisiologisnya dengan indikator suhu rektal dan suhu permukaan kulit. 2. Peningkatan kelembaban dan suhu udara yang sama dan suhu udara berbeda sangat mempengaruhi terhadap suhu kritis pada sapi perah. Suhu udara berkisar antara 22,50-25,50oC baik di daerah Bogor maupun Jakarta belum terjadi suhu kritis meskipun terjadi perubahan kelembaban udara. 3. Suhu udara 26oC dengan kelembaban udara 86% di Bogor dan Suhu udara 26oC dengan kelembaban udara 88% di Jakarta, sapi perah mulai terjadi suhu kritis dengan indikator cekaman panas pada suhu rektal. Suhu kritis dengan indikator suhu kulit mulai terjadi pada suhu udara 31oC dengan kelembaban udara 86% (Bogor) dan suhu udara naik menjadi 32,50oC dan kelembaban udara 88% (Jakarta). Suhu rektal lebih sensitif dibandingkan suhu kulit. Semakin meningkat suhu rektal sapi perah lebih sensitif dipengaruhi perubahan kelembaban dan suhu udara
Beede DK, Coolier RJ. 1986. Potential nutritions for intensive managed cattle during thermal stress. J Anim Sci 62: 543. Berman A. 2005. Estimates of heat stress relief needs for Holstein dairy cows. J Anim Sci 83: 13771384. Berman A. 2008. Increasing heat stress relief produced by coupled coat wetting and forced ventilation. J Dairy Sci 91: 4571-4578. Berman A. 2010. Forced heat loss from body surface heat flow to body surface.J Dairy Sci 93:242-248. Bohmanova J, Misztal I, Cole JB. 2007. Temperature-humidity indices as indicators of milk production losses due to heat stress. J Dairy Sci 90: 1947-1956. Brosh Aet al. Effect of solar radiation, dietary energy, and time of feeding on thermoregulatory responses and energy balance in cattle in a hot environment. J Anim Sci 76: 2671-2677. Collier RJ, Dahl GE, VanBaale MJ. 2006. Major advances associated with environmental effects on dairy cattle. J Dairy Sci 89: 12441253. Ganong. 1983. Review of Medical Physiology.Ed ke-11. California: Lange Medical Publication. Gebremedhin KG. 1985. Heat Exchange Between Livestock and Environment. Dalam:
136
| Model Penentuan Suhu Kritis Pada Sapi Perah
ISSN 1978 - 3000
Yousef MK, editor. Stress Physiology of Livestock.Volume ke-1, Basic Principle. Florida: CRC Press Inc. Hafez ESE, Bouissou MF. 1075. The behaviourr of cattle. Dalam: Behaviour of Domestic Animals.Ed ke-3. Baltimore: Williams and Wilkims Co. Hahn GL. 1999. Dynamic responses of cattle to thermal heat loads. J Anim Sci 77: 10-20 Isnaeni W. 2006.Fisiologi Hewan. Penerbit Kanisius: Yogyakarta. Jones GM, CC Stallings. 1999. Reducing heat stress for dairy cattle. Virginia Cooperative Extension. Publication Number 404-420. http://www.ext.edu/index.html. [21 Oktober 2005]. Kelly WR. 1984. Veterinary Clinical Diagnosis. London: Bailliere Tindall. Kendall PE et al. 2006. The effect of providing shade to lactating dairy cows in a temperate climate.Livest Sci 103: 148-157. Kusumadewi S. 2003. Artificial Intelligence (Teknik dan Aplikasinya). Graha Ilmu, Yogyakarta. Lee CN, Keala N. 2005. Evalution of cooling system to improve lactating Holstein cows comfort in the sub-tropics. J Anim Sci 82: 128-136. Marcilac-Emberston NM et al. 2009. Effect of shade and sprinklers on
performance, behavior, physiology, and the environment of heifers.J Dairy Sci 92: 506-517. McDowell RE. 1972. Improvement of Livestock Production in Warm Climate. WH Freeman and Co. San Fransisco. McLean JA, Downie AJ, Jones CDR, Strombough DP, Glasbey CA. 1983.Thermal adjustments of stress (Bos Taurus) to abrupt changes in environments temperature.Camb J Agric Sci 48:81-84. McNeilly AS. 2001. Reproduction, fertility, and development. CSIRO Publishing 13:583-590. Ominski KH et al. 2002. Physiological and production responses to feeding schedule in lactating dairy cows exposed to shortterm, moderate heat stress. J Dairy Sci 85:730-737. Pennington JA, VanDevender K. 2004. Heat Stress in Dairy Cattle.http://www.uaex.edu/oth er areas/publication/html [19 Mei 2004]. Purwanto BP et al. 1993. Effect of standing and lying behaviours on heat production of dairy heifers differing in feed intake levels.AJAS 6: 271-274. Rahardja DP. 2007. Ilmu Lingkungan Ternak. Makassar: Citra Emulsi. Santoso AB et al. 2003. Pengaruh lingkungan mikro terhadap
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
137
ISSN 1978 - 3000
respons fisiologi sapi dara peranakan Fries Holland. Forum Pascasarjana vol 26(4): 277-288. Schirman K et al. 2009. Technical note: Validation of a system for monitoring ruminansia in dairy cows. J Dairy Sci 92: 6052-6055. Schutz KE, Cox NR, Matthews LR. 2008. How important is shade to dairy cattle? Choice between shade or lying following different levels of lying deprivation. Appl Anim Behav Sci 114:307-318. Schutz KE, Rogers AR, Cox NR, Tucker CB. 2009. Dairy cows prefer shade that offers greater protection against solar radiation in summer: shade use, behavior, and body temperature. Appl Anim Behav Sci 116:28-34. Schutz KE et al. 2010. The amount of shade influences the behavior and physiology of dairy cattle. J Dairy Sci 93: 125-133. Schutz KE et al. 2011. Dairy cattle prefer shade over sprinklers: Effects on behaviuor and physiology.J Dairy Sci 94: 273283. Sudono A, Rosdiana RF, Setiawan BS. 2003. Beternak Sapi Perah Secara
138
Intensif. Cetakan ke-2. AgroMedia Pustaka, Bogor. Tucker CB, Rogers AR, Schutz KE. 2008. Effect of solar radiation on dairy cattle behaviuor, use of shade and body temperature in a pasture-based system.Appl Anim Behav Sci 109:141-154. Tyler HD, Enseminger ME. 2006. Dairy Cattle Science. Pearson edution, Inc. Upper Saddle River, New Jersey. Velasco NB, Arguzon JA, Briones JI. 2002. Reducing heat stress in dairy cattle: Phlippines.International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle.Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26-31, 2002, Tainan, Taiwan, ROC. West JW. 2003. Effects of heat stress on production in dairy cattle. J Dairy Sci 86:2131-2141 Wheelock JB et al. 2010. Effects of heat stress on energetic metabolism in lactating Holstein cows. J Dairy Sci 93: 644-655. Yousef MK. 1985. Thermoneutral Zone. In: Stress Physiology of Livestock. Volume II, Basic Principle. Florida: CRC Press Inc.
| Model Penentuan Suhu Kritis Pada Sapi Perah
ISSN 1978 - 3000
Pengaruh Penambahan Tepung Ikan Sidat (Anguilla Spp) Pada Pembuatan Tortilla Chips Terhadap Nilai Gizi, Kadar Air Dan Daya Terima Organoleptik The Addition OfFish MealEelOn Nutrition Content, WaterContent AndOrganoleptic QualityTortilla Chips Yenni Okfrianti, Kamsiah, Dirga Gusti Veli Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Bengkulu Jalan Indragiri No. 3, Padang Harapan Bengkulu, Telp (0736) 341212
ABSTRACT Tortilla Chips is a typical Mexican food in the form of cassava chips, flat round shape, golden brown color and crispy and savory taste. The process of making tortilla chips that use local materials eel that is widely available in the Bengkulu area and has a high nutritional value that is in the eel 100g contains 19 grams of protein, unsaturated fatty acids 12 g, Vitamin A at 4700 IU, 1337 mg of DHA, and EPA 742 mg.This studyaimed todetermine the effect ofaddition offish mealeelvariationon water contentandorganoleptic qualitytortilla chips..This study was conducted using a completely randomized design. Organoleptic analysis of the test data were analyzed using the Kruskal-Wallis test significant if it is followed by Mann Whitney test, while for the water content in the data analysis by One Way Anova test and if the test continued with significant LSD.The results of water content test showed no effect of fish meal on the eel to the water content in the tortilla chips which show the value of ρ = 0.000 (ρ <0,05). While the results of organoleptic tests found no effect of adding flour to the organoleptic quality eel color, flavor, and texture of the tortilla chips, so it is not followed by Mann Whitney test.The addition of flour tortilla chips eel at a concentration of 10% is the addition of the most ideal and most preferred by the panelists of the organoleptic quality of the color, flavor, and texture. This research can be continued to test the protein in tortilla chips eel. Keywords: Water Content, Appearance, Eelfish, TortillaChips
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
139
ISSN 1978 - 3000
ABSTRAK Tortilla Chips adalah makanan khas Meksiko yang berupa keripik dengan bahan baku singkong, berbentuk bundar gepeng, warna kuning kecoklatan dan rasanya renyah serta gurih. Proses pembuatan tortilla chips memanfaatkan bahan lokal yaitu ikan sidat yang banyak terdapat di daerah Bengkulu dan mempunyai nilai gizi yang tinggi yaitu dalam 100gr ikan sidat mengandung protein 19 gr, asam lemak tak jenuh 12 gr, Vitamin A sebesar 4700 IU, DHA sebesar 1337 mg, dan EPA 742 mg.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi penambahan tepung ikan sidat terhadap kadar air dan mutu organoleptik tortilla chips. Penelitian ini dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap. Analisis data hasil uji organoleptik dianalisis menggunakan uji Kruskal Wallis apabila signifikan maka dilanjutkan dengan uji Mann Whitney, sedangkan untuk data kadar air di analisis dengan uji One Way Anova dan apabila signifikan dilanjutkan dengan uji LSD. Hasil penelitian uji kadar air menunjukkan ada pengaruh penambahan tepung ikan sidat terhadap kadar air pada tortilla chips yang di tunjukkan dengan nilai ρ=0,000 (ρ<0,05). Sedangkan dari hasil uji organoleptik didapatkan tidak ada pengaruh penambahan tepung ikan sidat terhadap mutu organoleptik warna, rasa, dan tekstur tortilla chips, sehingga tidak dilanjutkan dengan uji Mann Whitney.Penambahan tepung ikan sidat pada tortilla chips dengan konsentrasi 10% merupakan penambahan yang paling ideal serta paling disukai oleh panelis dari mutu organoleptik warna, rasa, dan tekstur. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan melakukan uji protein pada tortilla chips ikan sidat. Kata Kunci : Kadar Air,Organoleptik, Ikan Sidat, Tortilla Chips PENDAHULUAN Konsumsi ikan di Indonesia masih rendah jika di bandingkan dengan negara tetangga yaitu Malaysia (Tempo, 2012). Berdasarkan data Kementrian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2011 konsumsi ikan di Indonesia hanya sebesar 31,5 kg perkapita per tahunnya, sedangkan di Malaysia mencapai 55,4 kg perkapita per tahunnya. Di Bengkulu sendiri konsumsi ikan juga masih rendah yaitu sebesar 26 kg
140
perkapita per tahunnya (Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), 2011). Salah satu kekayaan ikan di Indonesia yang terdapat di Bengkulu adalah ikan sidat. Ikan Sidat atau di daerah Bengkulu di kenal dengan ikan Pelus merupakan salah satu jenis ikan yang mempunyai potensi yang cukup besar di Bengkulu, tetapi ikan ini belum banyak dimanfaatkan karena masih kurangnya pengetahuan masyarakat tentang ikan ini. Ikan Sidat mengandung nilai gizi yang tinggi, jika dibandingkan dengan ikan
|Karakteristik Fisik dan Organoleptik Sosis Daging Sapi
ISSN 1978 - 3000
beledang yang memiliki protein 18 gr (DKP, 2011). Kandungan daging ikan Sidat jauh lebih baik dibandingkan daging lain nya termasuk ikan Salmon yang biasanya disebut sebagai ikan yang kandungan zat gizi nya yang paling baik. Kandungan gizi ikan Sidat terdiri dari, protein sebesar 19 gr per 100 gr, asam lemak tak jenuh sebesar 12 gram per 100 gram, serta omega 3 (DHA dan EPA) yang dapat menguatkan fungsi otak. Ikan Sidat juga mengandung vitamin A yang tidak dimiliki oleh ikan Salmon yaitu sebesar 4700 IU/100 gram, serta dibandingkan ikan Salmon ikan Sidat mengandung DHA sebanyak 1.337 mg/100 gram sementara Salmon hanya 748 mg/100 gram dan kandungan EPA ikan sidat sebesar 742 mg/100 gram sementara Salmon hanya 492 mg/100 gram (Setianto, 2011). Vitamin A berfungsi pada pertumbuhan tulang dan gigi serta berperan dalam proses antioksidan dalam tubuh serta DHA dan EPA berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan otak pada anak. Perkembangan anak usia sekolah (7 – 12 tahun) adalah kelompok usia yang mengalami pertumbuhan yang sangat pesat sehingga membutuhkan zat gizi dalam jumlah yang relatif besar yang di dapatkan dari makanan, vitamin tambahan, dan susu (Sediaoetama, 2004). Makanan yang di konsumsi
seringkali tidak mengandung zat – zat gizi yang dibutuhkan dalam pertumbuhan mereka seperti seringnya mengkonsumsi jajanan, sedangkantumbuh kembang anak usia sekolah yang optimum tergantung pemberian nutrisi dengan kualitas dan kuantitas yang baik serta benar(Judarwanto, 2007). Makanan yang suka dikonsumsi anak – anak adalah yang bersifat renyah, manis, gurih, serta asam misal nya permen, chips, wafer, biskuit, olahan daging/ikan dan sebagainya yang seringkali tidak mengandung zat gizi yang dibutuhkan (Handayani, 2008). Tortilla chipsadalah salah satu bentuk makanan yang renyah, gurih yang bisa di konsumsi oleh anak – anak usia sekolah. Tortilla chipssebenarnya merupakan makanan khas Meksiko berbentuk keripik dengan bahan baku singkong, biasanya berbentuk bundar gepeng. Tortilla chips singkongmengandungenergi yang cukup tinggi tetapi protein yang relatif rendah, maka perlu adanya penambahan bahan yang mengandung protein yang tinggi baik dari protein hewani ataupun nabati. Peningkatan nilai gizi khususnya protein hewani dalam pembuatan tortilla singkong dapat dilakukan dengan penambahan tepung ikan sidat (Saldana, 2000). Tepung ikan sidat adalah tepung yang dibuat dengan bahan dasar ikan sidat yang terlebih dahulu
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
141
ISSN 1978 - 3000
dibersihkan, dikukus, dihaluskan, lalu dilakukan pengeringan sebelum pengayakan menggunakan mess 60 untuk mendapatkan tepung. Sehingga tepung ikan sidat dapat di tambahkan sebagai bahan yang dapat meningkatkan nilai gizi protein dalam pembuatan tortilla chips yang pada umumnya hanya dibuat dengan bahan dasar singkong atau bahan yang mengandung pati saja (Perana, 2003). Tortilla Chips merupakan produk yang mempunyai bentuk bundar gepeng, rasa renyah, bau khas, dan mempunyai keawetan yang relatif lama. Kadar air dalam bahan makanan mempengaruhi daya tahan dan sangat menentukan mutu tortilla chips. Batas maksimum kadar air tortilla chips berdasarkan standarnya adalah 6%. Pengolahan yang tepat guna terhadap bahan pangan dapat memberi nilai tambah, dan menghasilkan produk yang digemari oleh anak – anak, remaja, dan dewasa. Penilaian suatu produk yang dihasilkan biasanya dilakukan dengan uji organoleptik. Uji organoleptik merupakan cara pengujian dengan menggunakan indera manusia untuk pengukuran terhadap makanan. Berdasarkan penjelasan diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Penambahan Tepung Ikan Sidat (Anguilla spp) Pada Pembuatan Tortilla Chips Terhadap Kadar Air dan Daya Terima Organoleptik.
142
MATERI DAN METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam pembuatan Tortilla Chips ikan Sidat adalah singkong, ikan Sidat, garam, bawang putih, merica, tepung terigu, tepung tapioka, dan minyak goreng. Sedangkan alat yang digunakan adalah pisau, timbangan, kukusan, oven, loyang oven, baskom, kompor gas, blender, ayakan mess 60, mesin pengiling mie, penggorengan deep frying, saringan goreng, sendok penggorengan, blender. Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini meliputi beberapa tahap yaitu : pembuatan tepung ikan Sidat, pembuatan tortilla chips ikan sidat, penggorengan tortilla chips selanjutnya tortilla chips yang dihasilkan dianalisis kadar air dan mutu organoleptiknya. 1. Penelitian tahap I Penelitian tahap I, pelaksanaan penelitian diawali dengan pengolahan ikan Sidat menjadi tepung. Mula – mula pilih ikan Sidat yang masih segar untuk dijadikan tepung. Setelah itu ikan yang sudah dipilih dilakukan proses pengukusan guna untuk mengilangkan lemak – lemak selama kurang lebih 45 menit. Proses selanjutnya adalah ikan yang telah dikukus tadi dihaluskan dengan menggunakan blender sampai menjadi seperti bubur yang kemudian
|Karakteristik Fisik dan Organoleptik Sosis Daging Sapi
ISSN 1978 - 3000
di keringkan dengan mengunakan oven. Kemudian dilakukan pemblenderan lagi sebulum pengayakan dengan menggunkan mess 60. 2. Penelitian tahap II Penelitian tahap II adalah pembersihan singkong dari kulitnya, yang kemudian direbus selama 30 menit.Kemudian singkong yang telah direbus dihaluskan dengan menggunakan blender. Setelah itu dilakukan pencampuran ke tepung ikan Sidat, tepung terigu, tepung tapioka, telur dan bumbu, lalu aduk rata sehingga membentuk adonan. Pencetakan dengan menggunakan mesin penggiling mie, setelah itu pemotongan tortilla chips dengan ketebalan 1 – 2 mm, lalu potongan tortilla chips dikeringkan dalam oven dengan suhu 60º C selama 15 menit. Tortilla chips yang telah dikeringkan digoreng dengan suhu diatas 100º C selama 10 detik. 3. Penelitian tahap III Penelitian tahap III adalah penilaian organoleptik yang dilakukan dengan menggunakan panelis agak terlatih dalam pengujian organoleptik sebanyak 30.Parameter yang diamati dan diukur adalah uji organoleptik (warna, rasa, dan tekstur). Nilai uji organoleptik didasarkan pada urutan peringkat yakni 1= amat sangat tidak suka, 2= sangat tidak suka, 3= agak tidak suka,
4= netral, dan 5= agak suka, 6= suka, 7= suka sekali. 4. Penelitian tahap IV Penelitian tahap IV adalah penentuan kadar air diukur dengan cara pengeringan menggunakan oven dan penimbangan berat awal dan akhir dengan menggunakan timbangan analitik. Analisa ini dilakukan terhadap 3 sampel yang berbeda dan dilakukan terhadap 3 kali ulangan
Metode Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat eksperimen dan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)dengan menggunakan tiga macam perlakuan dengan satu kali pengulangan. RAL dipilih karena bahan percobaan yang akan dipakai sebagai unit percobaan homogen dan perlakuannya terbatas. Lay out penelitian dapat di lihat pada tabel 1.1.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
143
ISSN 1978 - 3000
Tabel 1.1 Lay Out Penelitian Perlakuan Kosentrasi
Penambahan
Tepung Ikan Sidat
2 P1
3 P1
1 P1
P Keterangan :
P1= Tortilla Chips dengan penambahan tepung ikan sidat 10% P2= Tortilla Chips dengan penambahan tepung ikan sidat 20% P3= Tortilla Chips dengan penambahan tepung ikan sidat 30%
Tabel 1.2 Komposisi Zat Gizi Tortilla Chips setelah Penambaha Tepung Ikan Sidat dalam 100 gram Nama Zat Gizi Energi Protein Lemak Karbohidrat Vitamin A
Penambahan Tepung Ikan Sidat P1 336,91 kkal 6,04 gr 2,665 gr 66,995 gr 3325 IU
Analisis Data yang diperoleh dari uji organoleptik dianalisis secara statistik dengan Uji Kruskal wallis jika hasilnya signifikan p < 0,05 maka uji dilanjutkan dengan Uji Mann Whitney dan untuk data yang diperoleh dari uji
144
P2 339,81 kkal 6,93 gr 3,05 gr 65,26 gr 3560 IU
P3 342,71 kkal 7,82 gr 3,635 gr 63,525 gr 3795 IU
kadar air dianalisa secara statistik dengan uji One – Way Analisa Of Variance (ANOVA) apabila signifika p < 0.05 maka uji di lanjutkannya yaitu uji LSD (Least Signifikan Different)
|Karakteristik Fisik dan Organoleptik Sosis Daging Sapi
ISSN 1978 - 3000
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Nilai Gizi Tortilla Chips Ikan Sidat
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terjadi perbedaan nilai gizi tortilla chips setelah dilakukan penambahan tepung ikan
sidat. Kandungan zat gizi tortilla chips yang tinggi terjadi pada perlakuan P3, yang bearti semakin banyak penambahan tepung sidat maka semakin meningkat beberapa nilai zat gizinya, terutama nilai zat gizi makronya. Dapat di lihat pada Tabel 1.2 berikut ini
tertinggi, dapat dilihat pada Tabel 1.3. Hasil Uji One Way Anova pada perlakuan P1, P2, dan P3 memberi pengaruh nyata terhadap kadar air tortilla chips ikan sidat, yang ditunjukkan nilai ρ = 0,000 (ρ<0,05), maka dilanjutkan lagi dengan uji LSD (Least Signifikan Different). Ini menunjukkan bahwa semakin banyak penambahan tepung ikan sidat maka semakin rendah kadar air.
Penurunan kadar air pada tortilla chips sidat dipengaruhi oleh bahan yang digunakan yaitu tepung ikan sidat yang telah mengalami proses pengeringan sehingga tidak mengandung banyak air, ini berbeda
Tabel 1.3 Kadar Air Tortilla Chips dengan Penambahan Tepung Ikan Sidat Penambahan Skor Rata-rata Keterangan Uji Anova Tepung Ikan Kadar Air(%) P1 12,5 a P2 11,8 b 0 P3 11,2 c Keterangan : Huruf a, b, c p ada keterangan menunjukkan ada p erbedaan ny ata p ada taraf 5% menurut uji LSD (ρ)
2. Pengaruh Variasi Konsentrasi Tepung Ikan Sidat Terhadap Kadar Air Tortilla Chips Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tortilla chips dengan perlakuan P1 memiliki kadar air
dengan bahan yang digunakan dalam pembuatan tortilla chips biasanya yang dalam campuran pembuatannya tidak menggunakan bahan yang telah mengalami proses pengeringan (Wahyuni, 2008). Kadar air tortilla chips ikan sidat jika dibandingkan dengan standar SNI kadar air tortilla
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
145
ISSN 1978 - 3000
chips memiliki nilai rata- rata untuk ketiga perlakuan yaitu 1%, ini masih dibawah standar maksimum SNI yaitu 6%, hal ini disebakan karena dalam pembuatan tortilla chips ikan sidat sangat tidak menggunakan air sebagai pelarut.
perlakuan P1 adalah 6 (suka), dapat dilihat pada Tabel 1.4. Hasil Uji Kruskal Wallis pada perlakuan (P1, P2, dan P3) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap warna tortilla chips ikan sidat, yang ditunjukkan nilai ρ = 0,848 (ρ>0,05), sehingga tidak dilanjutkan dengan Uji Mann Whitney. Hal ini menunjukkan bahwa panelis tidak dapat membedakan warna tortilla chips dengan variasi penambahan tepung ikan sidat yang berbeda dan dapat diartikan bahwa semakin banyak penambahan tepung ikan sidat maka semakin rendah tingkat kesukaan panelis terhadap mutu organoleptik (warna) tortilla chips ikan sidat.
3. Pengaruh
Variasi Konsentrasi Tepung Ikan Sidat Terhadap Mutu Organoleptik (Warna) Tortilla Chips
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tortilla chips dengan perlakuan P1 memilik tingkat kesukaan yang tertinggi ini ditunjukkan oleh nilai modus pada
Tabel 1.4 Nilai Mutu Organoleptik (Warna) Tortilla Chps Ikan Sidat Perlakuan
Nilai Modus
Nilai Rata - Rata
Ket
P1 P2 P3
6 5 5
5 5,2 5,1
a a a
* Huruf y ang sama (a) p ada keterangan menunjukkan tidak ada p erbedaan ny ata p ada taraf 5% menurut uji Kruskal Wallis (ρ). Keterangan Nilai M odus dan nilai rata - rata : 1 : amat sangat tidak suka, 2: sangat tidak suka, 3 : agak tidak suka, 4: netral 5 : agak suka, 6: suka, 7 : suka sekali.
Tabel 1.5 Nilai Mutu Organoleptik (Rasa) Tortilla Chips Ikan Sidat Perlakuan
Nilai Modus
Nilai Rata Rata
Keterangan
P1 P2 P3
6 5 5
5,9 5,47 5.47
a a a
Uji Kruskal Wallis (ρ) 0,062
*Huruf yang sama (a) pada keterangan menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada taraf 5% menurut uji Kruskal Wallis (ρ). Keterangan Nilai Modus dan nilai rata - rata : 1 : amat sangat tidak suka, 2: sangat tidak suka, 3 : agak tidak suka, 4: netral 5 : agak suka, 6: suka, 7 : suka sekali.
146
|Karakteristik Fisik dan Organoleptik Sosis Daging Sapi
ISSN 1978 - 3000
Warna yang hampir sama untuk ketiga produk tersebut juga dipengaruhi oleh kandungan protein yang tinggi dari tepung ikan sidat berperan dalam reaksi Maillard dan adanya proses pemanasan akan memberikan warna coklat pada saat tortilla chips digoreng. Menurut Winarno (2008), reaksi Maillard merupakan reaksi antara karbohidrat, khususnya gula preduksi dengan NH2 dari protein yang menghasilkan senyawa hidroksimetilfurfural yang kemudian berlanjut menjadi furfural. Furfural yang terbentuk kemudian membentuk senyawa melanoidin yang berwarna coklat. Melanoidin inilah yang memberikan warna coklat pada tortilla chips. Faktor lain yang mempengaruhi warna tortilla chips yang dihasilkan yaitu suhu penggorengan, campuran bumbu dan lama penggorengan.
4. Pengaruh Variasi Konsentrasi Tepung Ikan Sidat Terhadap Mutu Organoleptik (Rasa) Tortilla Chips Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tortilla chips dengan perlakuan P1 memilik tingkat kesukaan tertinggi, ini ditunjukkan oleh nilai modus untuk perlakuan P1 adalah 6. Ini berarti bahwa semakin banyak penambahan tepung ikan sidat, maka semakin rendah atau berkurangnya tingkat kesukaan panelis terhadap rasa tortilla chips ikan sidat, dapat dilihat pada Tabel 1.5. Hasil Uji Kruskall Wallis diketahui bahwa perlakuan (P1, P2, dan P3) tidak berpengaruh signifikan terhadap rasa tortilla chips ikan sidat, yang ditunjukkan dengan nilai ρ = 0,062 (ρ > 0,05) sehingga tidak dilanjutkan dengan Uji Mann Whitney. Hal ini berarti panelis tidak dapat membedakan rasa tortilla chips dengan variasi penambahan tepung ikan sidat yang berbeda.
Tabel 1.6 Nilai Mutu Organoleptik (Tekstur) Tortilla Chips Ikan Sidat Perlakuan P1 P2 P3
Nilai Modus Nilai Rata – Rata 6 5,23 5 4,93 5 5,20
Ket A A A
Uji Kruskal Wallis (ρ) 0,291
*Huruf yang sama (a) pada keterangan menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada taraf 5% menurut uji Kruskal Wallis (ρ). Keterangan Nilai Modus dan nilai rata - rata : 1 : amat sangat tidak suka, 2: sangat tidak suka, 3 : agak tidak suka, 4: netral 5 : agak suka, 6: suka, 7 : suka sekali.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
147
ISSN 1978 - 3000
Rasa yang hampir sama untuk ketiga tortilla chips karena tortilla
tingkat kesukaan panelis terhadap mutu organoleptik (tekstur)
chips ikan sidat mengandung banyak
Tidak
dipengaruhinya
mutu
protein yang dapat mempengaruhi
oragnoleptik (tekstur) tortilla chips
rasa dari tortilla chips. Menurut
terhadap
Winarno (2008), protein mengandung
konsentrasi
beberapa asam amino diantaranya
dikarenakan tortilla chips ikan sidat
adalah
Asam
tidak menggunakan santan dan hanya
glutamat sangat penting perannya
sedikit telur. Menurut Winarno (2008),
dalam pengolahan makanan, karena
penambahan lemak (santan dan telur)
dapat menimbulkan rasa yang lezat
dimaksudkan
dan dapat meningkatkan cita rasa
kalori serta memperbaiki tekstur dan
yang diinginkan sambil mengurangai
cita
rasa yang tidak diinginkan.
terkandung dalam bahan makanan
asam
glutamat.
rasa
penambahan tepung
variasi
ikan
untuk
sidat
menambah
makanan.
Air
yang
dapat mempengaruhi tekstur dan cita 5. Pengaruh
Variasi
Konsentrasi
rasa makanan. Semakin sedikit air
Tepung Ikan Sidat Terhadap
dalam bahan makanan, maka tekstur
Mutu
bahan
Organoleptik
(Tekstur)
Tortilla Chips Berdasarkan
makanan
semakin
keras.
Didalam pembuatan tortilla chips hasil
penelitian
diketahui bahwa tortilla chips dengan
ikan sidat tidak menggunakan air tetapi menggunakan sedikit telur.
perlakuan P2 memilik nilai modus 5 dan nilai rata-rata terendah yaitu 4,93,
KESIMPULAN dan SARAN
dapat dilihat pada Tabel 1.6. Hasil Uji Kruskall
Walls
diketahui
bahwa
perlakuan P1, P2, dan P3, tidak berpengaruh
secara
signifikan
KESIMPULAN 1) Diketahui bahwa penambahan tepung
ikan
peralakuan
sidat yang ditunjukkan dengan nilai ρ
berpengaruh terhadap kadar air
= 0,291 (ρ > 0,05), sehingga tidak
tortills chips ikan sidat. Kadar air
dilanjutkan
tortilla
Uji
Mann
chips
P2,
pada
terhadap tekstur tortilla chips ikan
dengan
P1,
sidat dan
tertinggi
P3
yaitu
Whitney. Ini menunjukan bahwa
tortilla chips dengan perlakuan
semakin banyak penambahan tepung
P1.
ikan sidat maka semakain rendah
148
|Karakteristik Fisik dan Organoleptik Sosis Daging Sapi
ISSN 1978 - 3000
2) Diketahui bahwa penambahan
dapat mempengaruhi warna
tepung ikan sidat pada perlakuan
tortilla.
P1, P2 dan P3 tidak berpengaruh
2) Penelitian ini dapat dilanjutkan
terhadap sifat organoleptik warna
dengan melakukan uji protein
tortilla chips ikan sidat. Warna
pada tortilla chips ikan sidat.
tortilla chips yang paling disukai yaitu
tortilla
chips
dengan
perlakuan P1.
DAFTAR PUSTAKA
3) Diketahui bahwa penambahan tepung ikan sidat pada perlakuan P1, P2 dan P3 tidak berpengaruh terhadap sifat organoleptik rasa tortilla chips ikan sidat. Rasa
Bahar,
B. 2006. Panduan Praktis Memilih dan Menangani Produk Perikanan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
tortilla chips yang paling disukai yaitu
tortilla
chips
dengan
perlakuan P1 4) Diketahui bahwa penambahan tepung ikan sidat pada perlakuan P1, P2 dan P3 tidak berpengaruh terhadap
sifat
organoleptik
tekstur tortilla chips ikan sidat. Tekstu tortilla yang paling disukai yaitu
tortilla
chips
dengan
perlakuan P1. 5) Tortilla Chips dengan perlakuan P1 merupakan penambahan yang paling ideal.
SARAN 1) Pada
penelitian
lanjut,
pembuatan Tortilla Chips Ikan Sidat suhu
perlu
Borgstrom, (2000) dalam Suwandi (2003). Sifat-sifat Organoleptik Dalam Pengujian Terhadap Bahan Makanan, diakses dari http://www. Judul Sifat-sifat Organoleptik Dalam Pengujian Terhadap Bahan Makanan_artikel.com, 02 Januari 2013. Daftar Komposisi Bahan Makanan Widiya Pangan dan Gizi. 2005 Dinas Kelautan dan Perikanan, 2011. Konsumsu Ikan Bengkulu Masih Rendah. Diaskes darihttp:///E:/ikan/Konsumsi/I kan_BengkuluMasih/Rendah_I ndonesianSumatra.htm, 02 November 2012. Gasperz, V. 1995. Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan I. Bandung. Tarsito
memperhatikan
penggorengan
yang
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
149
ISSN 1978 - 3000
Handayani, L.2008. Jurnal Manajemen Kesehatan Masyarakat. Volume 11. Hanum,Y,S. 1998. Penilaian Indrawi. Universitas Sriwijaya Indralaya. Harris, R,S. Dan Karmas, E, 2000. Evaluasi Gizi Pada Bahan Pengolahan Bahan Pangan. ITB. Bandung Hillocks, R.J., J.M. Thresh, A. Belloti. 2002. Cassava Biology, Production and Utilization. CABI Publishing. New York, USA. Judarwanto, W. 2007. Profil Jajanan Anak Sekolah. Diaskes dari http://www.Pustaka.jurnalUnd ip.htm.id, 19 Oktober 2012 Kataren, S., 2005. Minyak dan Lemak Pangan, UI Press, Jakarta. Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011. Konsumsi Ikan Di Indonesia, diaskes dari http:///E:/ikan sidat/Indeks Konsumsi Ikan Perkapita Indonesia « Majalah Refrensi Anda.htm, 02 November 2012. Kusmiadi, 2007. Petunjuk Pengujian Organoleptik. Web-site: http://www.pustaka.smsrtsain.co m. Diakses tanggal 20 Oktober 2012 Latifah, 2010. Variasi Es Krim Terhadap Sifat Organoleptik. Diaskes dari http://www.pustaka.stppbogor .ac.id/pdf, 15 Oktober 2012 Mahani. 1999. Pembuatan Cookies yang diperkaya Denga Kalsium. Jurusan Gizi Masyarakat dan
150
Sumber Daya keluarga Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. 75 hal Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Jakarta. Ghali Indonesia. Rukmana dan Yuniarsih. 2001. Aneka Olahan Ubi Kayu. Yogyakarta : Kanisius. Saldana, 2000. Nutritional compotision of corn and flour tortillas. Journal of food science, 49, 1202 – 1203 Santoso,B.,Nur,H.,dan Wahyu, A., 2006. Tortilla. Surabaya. Trubus Agrisarana. Sarwono, B. 2006. Budidaya Belut dan Sidat .Cet. 26. Jakarta. Penebara Swadaya Sasongko, Agus., dkk. 2007. Sidat – Panduan agribisnis penangkapan, pendederan dan pembesaran. Jakarta. Cet.1. Penebar Swadaya SEAFAST CENTER IPB (2010). Kebiasaan Jajan Siswa Sekolah Dasar. Diaskes dari http:///wordpress.com/2010/12/ 25/seafast-centeripb/kebiasaan-jajan-siswasekolah-dasar, 10 Oktober 2012. Setianto, D., 2011. Cara Mudah dan Cepat Budidaya Sidat. Jakarta. Pustaka Baru Press. Soediaotama. 2004. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan profesi. Jakarta . Dian Rakyat. Soetanto, Edi. 2001. Membuat Patilo dan Kerupuk Ketela. Yogyakarta : Kanisius
|Karakteristik Fisik dan Organoleptik Sosis Daging Sapi
ISSN 1978 - 3000
Soekarto, (1985) dalam Nurjanah dkk, (2005), Pengaruh penambahan bahan pengikat terhadap karateristik fisik otak-otak ikan sapu-sapu (Liposarcus pardalis), diakses dari http: //pustaka.deptan.id/pdf, 15 Februari 2013. Soeparno, (2005), Ilmu dan Teknologi Daging, yogyakarta, Gadjah Mada University Press. Steenis, van. 1998. Flora. Terjemahan Moesa Surjowinoto dkk. Jakarta : Pradnya Paramita Suarni. 2009. Prospek Pemanfaatan Tepung Jagung Untuk Kue Kering (Cookies). Diaskes dari http//www.pustaka.deptan.id/ publikasi/.pdf. 13 Oktober 2012. Sudarmadji et al, (1989) dalam Priwindo S, (2009), Pengaruh Pemberian Tepung Susu Sebagai Bahan Pengikat terhadap Kualitas Nugget Angsa, diakses dari http://www.pustaka/usu.ac.id/ bitstream.pdf, 15 Februari 2013 Sumardji, 1984 (dalam Indriyani, 2007). Cookies Tepung Garut (Maranta arudinaceae) Deangan Pengkayaan Serat. Diakses dari hhtp://digilib.unimus.ac.id. tanggal 4 Desember 2012. Suryanagara, P. 2006. Uji Kadar Air, Aktifitas Air, Dan Ketahanan Benturan Ransum Komplit Domba Bentuk Palet Menggunakan Daun Kelpa Sawit Sebagai Substitusi Hijauan.
Diakses dari http://id.pdf shvoong jurnal.comTanggal4 Desember 2012. Suryani. A . 2006. Bisnis Kue Kering. Jakarta. Penebar Swadaya. Tejasari, 2005. Nilai – nilai Pangan. Yogyakarta. Graha Ilmu. Tempo, 2012. Konsumsi Ikan Indonesia Rendah Dibandingkan Malaysia, diaskes dari http:///E:/ikansidat/KonsumsiIkan-RI-Lebih-RendahKetimbang-Malaysia.htm, 31 Oktober 2012 Tjokroadikoesoemo, P.S. 2000. HFS dan Industri Kayu Lainnya. Jakarta. Gramedia Perana, A.W., 2003, Penambahan Ikan Teri (Stolephorus sp) Sebagai Sumber Protein DalamPembuatan Tortiila Chips. Skripsi, Institut Pertanian Bogor. Pudjirahaju, A. 2001. Diklat ITP, Penilaian Kualitas Makanan Secara Organoleptik. Malang Wahyuni, 2008. Komposisi Kimia dan Karakteristik Protein Tortilla Chips dengan Penambahan Tepung Putih Telur sebagai Sumber Protein. Diaskes dari http:// pdf. Skripsi Institut Pertanian Bogor/Pertanian 17 Februari 2013. Wijandi, 2003. Penilaian Organoleptik, diakses dari http://file.upi.edu/Direktori, 21 Januari 2013.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8, No 2. Juli – Desember 2013 |
151
ISSN 1978 - 3000
Winarno, F.G.1993. Pangan Gizi, Teknologi, dan Konsumen. Jakarta . PT Grahamedia Pustaka Utama.
152
Winarno, F.G. 2008. Kimia Pangan Dan Gizi. Bogor. MBRIO press.
|Karakteristik Fisik dan Organoleptik Sosis Daging Sapi
ISSN 1978 - 3000
Kualitas Karkas serta Uji Organoleptik Ayam Peraskok, Ayam Buras Kampung, dan Ayam Broiler pada Umur Potong Belah Empat Carcass quality and organoleptic of peraskok, native chickens, and broiler to provide four-cut chicken Kususiyah Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu Jalan Raya Kandang Limun, Bengkulu. Telp.(0736) 2170 pst.219. ABSTRACT Peraskok is a cross between layer and Bangkok native chicken which are expected to have high growth rate and native chicken quality. An experiment was conducted to evaluate carcass quality and organoleptic of Peraskok (a cross between layer chicken and Bangkok native chicken), native chickens and broiler to provide fourcut chickens. Five chicken, each for peraskok, native chickens and broiler were sampled for evaluation of chicken weight at four-cut age, carcass weight, carcass percentage, shank length, drumstick length, back length, carcass appearance, and carcass-preference tests, including taste, smell, color, and texture. Data were tabulated and discussed descriptively. The results demonstrated that carcass quality of peraskok was similar to those of native chicken. Keyword: native chicken, carcass, organoleptic ABSTRAK Peraskok merupakan ayam F1 hasil persilangan ayam ras petelur dengan ayam Buras Bangkok yang diharapkan memiliki pertumbuhan cepat dan kualitas daging setara dengan ayam kampung.Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas serta uji organoleptik Ayam Peraskok, Ayam Buras Kampung, dan Ayam Broiler pada umur potong belah empat. Lima ekor Ayam Peraskok, lima ekor Ayam Buras Kampung, lima ekor Ayam Broiler dipergunakan untuk pengambilan data. Peubah yang diukur adalah berat potong belah empat, berat karkas, persentase karkas, panjang shank, panjang drumstik, panjang punggung, tampilan karkas, dan uji organoleptik yang meliputi : uji rasa, uji bau, uji warna, serta kekesatan karkas. Data yang diperoleh ditabulasi dan dibahas secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas karkas Ayam Peraskok sama dengan kualitas karkas Ayam Kampung. Kata kunci: ayam kampung, karkas, organoleptik
Analisis Pendapatan Peternak Ayam Ras
153
ISSN 1978 - 3000
PENDAHULUAN Istilah ayam potong belah empat telah dikenal oleh masyarakat. Biasanya ayam potong belah empat ini diolah sebagai ayam bakar atau gulai ayam. Pada awalnya jenis ayam yang digunakan sebagai ayam potong belah empat ini adalah ayam buras, namun saat ini ayam ras pedaging (broiler) juga telah diusahakan sebagai ayam potong belah empat. Munculnya ayam potong belah empat dari broiler ini karena ketersediaan bibit broiler dan cepatnya pertumbuhan ayam broiler itu sendiri, sementara potensi genetik ayam buras yg relatif rendah (Rasyaf, 1995, Kingston, 1979) menyebabkan perkembangan dan pertumbuhan ayam buras tergolong lambat. Untuk mengatasi lambatnya perkembangan dan pertumbuhan ayam buras ini perlu dilakukan persilangan. Melalui persilangan, menurut Sheridan (1986) dan Warwick et al. (1990 ), efek komplementer dari persilangan akan meningkatkan produktivitas ternak. Ayam Peraskok adalah ayam hasil persilangan antara ayam ras petelur betina dengan ayam buras jantan jenis bangkok (Kususiyah, 2010). Postur tubuh ayam buras bangkok dengan perdagingan yang baik ini bila disilangkan dengan ayam ras petelur disinyalir akan menghasilkan keturunan yang mirip dengan ayam buras dengan pertumbuhan yang lebih baik tanpa mengurangi cita rasanya sebagaimana ayam buras.
154
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas karkas serta uji organoleptik Ayam Peraskok, Ayam Buras, dan Ayam Broiler pada umur potong belah empat. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan 15 ekor ayam; yang terdiri dari 5 ekor Ayam Buras, 5 ekor Ayam Peraskok, dan 5 ekor Ayam Ras pedaging (broiler). Ayam yang digunakan adalah ayam pada umur potong belah empat yaitu Ayam Peraskok berumur 10 minggu dengan berat hidup sekitar 700 g, Ayam Buras berumur 12 minggu dengan berat hidup sekitar 700 g, dan Ayam Ras pedaging berumur 4 minggu dengan berat hidup sekitar 1000 g. Semua ayam dipotong, dibului, dipotong kaki dan lehernya, dikeluarkan isi jeroannya, lalu diambil datanya. Data yang diperoleh ditabulasi dan dibahas secara deskriptif. Parameter yang diukur meliputi : 1. Persentase karkas, diketahui dengan cara membandingkan berat karkas dan berat hidup dikali 100% 2. Uji rasa, penilaian dilakukan oleh panelis dengan memberi skor sebagai berikut : skor 1 sangat tidak enak, skor 2 tidak enak, skor 3 kurang enak, skor 4 enak, dan skor 5 sangat enak 3. Warna karkas, penilaian dilakukan oleh panelis uji rasa dengan
| Kualitas Karkas serta Uji Organoleptik Ayam Peraskok
ISSN 1978 - 3000
4.
5. 6.
7.
8.
memberi skor sebagai berikut : skor 1sangat tidak suka, skor 2 tidak suka, skor 3 kurang suka, skor 4 suka, dan skor 5 sangat suka Tampilan karkas, penilaian dilakukan oleh panelis uji rasa dengan menjawab pertanyaan: jenis ayam apa dari karkas ayam yang disajikan, skor 1 adalah ayam ras pedaging, skor 2 adalah ayam buras atau ayam kampung Panjang shank, diukur panjang bagian shanknya Panjang drumnstick, diketahui dengan mengukur panjang drumsticknya Panjang punggung, diketahui dengan mengukur bagian punggung mulai dari pangkal leher sampai pangkal pigostile (tunggir). Kekesatan karkas, diukur dengan mengamati karkas sambil menekan karkas untuk diketahui kekesatannya dengan memberi skor sebagai berikut : skor 1 sangat lembek; skor 2 lembek; skor 3 agak lembek; skor 4 tidak lembek; skor 5
pemilihan panelis dengan kriteria penggemar ayam kampung ini diharapkan agar panelis lebih jeli dalam menilai karkas yang disajikan. HASIL DAN PEMBAHASAN Rataan berat hidup, berat karkas dan persentase karkas ayam buras, ayam peraskok dan ayam broiler pada umur potong belah empat disajikan pada Tabel 1. Pada umumnya ayam potong belah empat dari ayam buras dipotong pada berat badan sekitar 700 gram, sedangkan ayam potong belah empat dari ayam broiler dipotong saat umur 4 minggu. Terlihat dari Tabel 1. bahwa untuk mencapai berat potong belah empat, umur yang dicapai dari masing-masing jenis ayam berbedabeda. Ayam broiler yang merupakan ayam pedaging, pada umur 4 minggu telah mencapai berat 1014 g per ekor, Ayam Peraskok yg merupakan hasil persilangan antara ayam ras petelur dengan Ayam Buras Bangkok pada
Tabel 1. Rataan berat hidup, berat karkas, dan persentase berat karkas Ayam Buras, Ayam Peraskok dan Ayam Broiler pada umur potong belah empat Jenis ayam Ayam Peraskok Umur 10 Mingu Ayam Buras Umur 12 Minggu Ayam Broiler Umur 4 Minggu
Berat Hidup (g) 728 734 1014
Berat Karkas (g) 452 457 668
Persentase Karkas (%) 62,11 62,27 65,86
kesat Uji rasa, penilaian warna karkas, dan tampilan karkas dilakukan oleh panelis yang lebih menyukai ayam kampung dibanding ayam broiler,
umur 10 minggu mencapai 728 g per ekor dan Ayam Buras Kampung pada umur 12 minggu mencapai berat 734 g per ekor. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mencapai berat potong belah
Analisis Pendapatan Peternak Ayam Ras
155
ISSN 1978 - 3000
empat, Ayam Peraskok membutuhkan waktu pemeliharaan lebih cepat 2 minggu dibanding waktu yang dibutuhkan Ayam Buras, akan tetapi lebih lambat 6 minggu bila dibanding Ayam Broiler. Perbedaan capaian waktu ini disebabkan oleh perbedaan kemampuan jenis ayam Tabel 2.
Rataan panjang shank, panjang drumstik, dan panjang punggung, serta tampilan karkas pada umur potong belah empat
Jenis ayam Ayam Peraskok Umur 10 Mingu Ayam Buras Umur 12 Minggu Ayam Broiler Umur 4 Minggu
Panjang shank (cm) 6.88
Panjang drumstik (cm) 10.88
Panjang Punggung (cm) 14.48
Tampilan Karkas 2
7.14
11.16
14.96
2
5.1
8.2
14.1
1
dalam mengkonsumsi ransum, selain itu juga disebabkan oleh perbedaan efisiensi penggunaan ransum. Kususiyah (2010) melaporkan bahwa konversi ransum Ayam Peraskok adalah 3.95 , sedangkan konversi ransum Ayam Buras Kampung sebesar 4.63. Konversi ransum pada broiler relatif lebih baik dibanding ayam peraskok maupun ayam buras kampung, yaitu 2,52 (Suteky et al., 2006) sedangkan menurut Brata (2009) berkisar 2,17-2,31. Berat Karkas dan Persentase Berat Karkas Sesuai capaian berat badan pada umur potong belah empat, berat karkas dan persentase karkas Ayam Peraskok dengan Ayam Buras tidak jauh berbeda , namun jauh lebih
156
rendah dibanding Ayam Broiler. Lebih rendahnya berat badan Ayam Peraskok dan Ayam Buras pada umur potong belah empat ini dapat dimengerti karena Ayam Broiler merupakan ayam pedaging sejati dengan efisiensi ransum lebih baik. Salah satu faktor yang menentukan
persentase karkas adalah berat badan ayam, dimana ayam dengan berat badan yang lebih tinggi mempunyai bagian terbuang yang lebih kecil dari pada yang memiliki berat badan yang lebih rendah (Rozany, 1981). Rataan panjang shank, panjang drumstik, dan panjang punggung ditampilkan pada Tabel 2. Ciri khas karkas ayam buras adalah berpenampilan langsing dengan pertulangan yang relatif panjang dibanding ayam broiler atau ayam pedaging. Tabel 2. memperlihatkan bahwa panjang shank, panjang drumstik dan panjang punggung Ayam Peraskok sedikit lebih pendek dibanding Ayam Buras Kampung, tetapi lebih panjang dibanding Ayam Broiler. Perbedaan panjang shank, panjang drumstik, dan
| Kualitas Karkas serta Uji Organoleptik Ayam Peraskok
ISSN 1978 - 3000
panjang punggung antara Ayam Peraskok dengan Ayam Buras Kampung yang hanya sedikit ini secara visual tidak nampak sehingga telah membuat panelis tidak dapat membedakan dan menyatakan bahwa Ayam Peraskok adalah Ayam Buras Kampung. Hal ini ditunjukkan oleh penilaian dari semua panelis yang menyatakan bahwa tampilan karkas ayam peraskok dinilai 2 yang berarti sebagai karkas ayam kampung. Uji organoleptik Hasil penilaian panelis terhadap uji rasa menunjukkan bahwa skor uji rasa dari ketiga jenis ayam berada pada rasa enak dan sangat enak dengan skor rasa tertinggi pada Ayam Peraskok (4.75) diikuti Ayam Kampung (4.55) dan paling rendah skor rasa Ayam Broiler (4.45). Hal ini menunjukkan bahwa Ayam Peraskok dan Ayam Kampung lebih disukai dibanding Ayam Broiler. Selanjutnya skor uji bau karkas menunjukkan bahwa bau karkas Ayam Peraskok dan Ayam Kampung berada pada bau kurang amis dan tidak amis, sedangkan Ayam Broiler masuk katagori antara kurang amis dan agak amis. Skor uji bau karkas Ayam Peraskok adalah 4,75, skor uji bau karkas Ayam Buras adalah 4,65 sedangkan skor uji bau karkas Ayam Broiler paling rendah yaitu 3,33. Hal ini menunjukkan bahwa bau karkas Ayam Peraskok dan Ayam Kampung lebih disukai karena tidak lebih amis
Analisis Pendapatan Peternak Ayam Ras
dibandingkan dengan bau karkas Ayam Broiler. Hasil penilaian uji warna karkas menunjukkan bahwa skor uji warna karkas Ayam Peraskok adalah 5.0 tergolong warna kuning, sedangkan Ayam Buras Kampung adalah 4.75 tergolong antara warna kurang kuning sampai kuning, sementara itu skor warna karkas broiler adalah yang paling rendah yaitu 3.33 tergolong warna antara warna pucat dan tidak kuning. Hal ini menunjukkan bahwa warna karkas Ayam Peraskok dan Ayam Buras Kampung lebih kuning dibanding Ayam Broiler. Warna karkas kuning lebih disukai oleh kebanyakan konsumen sehingga ditemukan banyak pedagang Ayam Buras Kampung khususnya yang memanipulasi warna karkas ayam yang dijualnya dengan memberi pewarna kuning untuk menarik minat bagi konsumennya. Hasil uji kekesatan karkas menunjukkan bahwa nilai kekesatan Ayam Peraskok sama dengan Ayam Kampung yaitu sebesar 4,7 tergolong antara tidak lembek dan kesat Sedangkan nilai kekesatan Ayam Broiler adalah sebesar 3,5 tergolong antara kurang lembek dan tidak lembek. Lebih tingginya nilai kekesatan Ayam Peraskok dan Ayam Kampung ini menunjukkan bahwa Ayam Peraskok dan Ayam Kampung lebih disukai dibanding karkas Ayam Broiler.
157
ISSN 1978 - 3000 Tabel 3. Rataan skor uji rasa, bau karkas, warna karkas, tampilan karkas Jenis ayam
Uji Rasa 4.75
Uji bau karkas 4.75
Uji warna karkas 5.0
Kekesatan karkas 4.7
Ayam Peraskok Umur 10 Minggu Ayam Buras Umur 12 Minggu 4.55 4.65 4.2 4.7 Ayam Broiler Umur 4 Minggu 4.45 3.33 3.3 3.5 Keterangan: Uji rasa : skor 1sangat tidak enak; skor 2 kurang enak; skor 3 agak enak; skor 4 enak; skor 5 sangat enak Uji bau karkas : skor 1 sangat amis; skor 2 amis; skor 3 agak amis; skor 4 kurang amis; skor 5 tidak amis Uji warna : skor 1 sangat pucat; skor 2 pucat; skor 3 tidak kuning; skor 4 kurang kuning; skor 5 kuning Kekesatan karkas : skor 1 sangat lembek; skor 2 lembek; skor 3 agak lembek; skor 4 tidak lembek; skor 5 kesat
SIMPULAN Kualitas karkas Ayam Peraskok sama dengan Ayam Buras Kampung. DAFTAR PUSTAKA Brata, B. 2009. Pengaruh pemberian isi rumen yang difermentasi dengan kapang trichoderma harzianum terhadap performans ayam broiler. 4(2) : 78-87 Kingston, D.J. 1979. Peranan ayam berkeliaran di Indonesia. Laporan Seminar Industri Perunggasan II. Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor. Kususiyah. 2010. Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok serta Income Over Feed and Chick Cost. Laporan Penelitian. Universitas Bengkulu.
158
Rasyaf, M. 1995. Beternak Ayam Petelur. Penebar Swadaya. Rozany, H.R. 1981. Pengaruh minyak kelapa dan minyak kacang tanah terhadap pertumbuhan ayam pedaging.Tesis. Fakultas Pasca Sarjana. IPB. Sheridan, A. K. 1986. Selection for heterosis from reciprocal cross population : Estimation of the F1 heterosis and its mode of inheritance. British Poultry Sci (27) 541-550 Suteky, T., Y. Fenita, dan Yusnita. 2006. Suplementasi Enkapsulasi Minyak Ikan Lemuru (Sardinella longiceps) dalam Ransum terhadap performans ayam broiler. JSPI 1(1) : 1-7 Warwick, E. J., J. M. Astuti, dan W. Hardjosubroto. 1990. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
| Kualitas Karkas serta Uji Organoleptik Ayam Peraskok
ISSN 1978 - 3000
Pengaruh Variasi Konsentrasi Tepung Kedelai sebagai Bahan Pengikat terhadap Kadar Air dan MutuOrganoleptik Nugget Ikan Gabus(Ophiocephalus Sriatus) SoybeanFlouras AContributionto TheBinderWater Content andOrganolepticQuality NuggetFishCork(Ophiocephalus sriatus) Yenni Ofrianti, Jamila Wati Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Bengkulu Jalan Indragiri No. 3 Padang Harapan, Bengkulu, Telp (0736) 341212 ABSTRACT This research aims tolook atinfluence of additionsoybean flourinthe manufacture ofcorkfishnuggets(Ophiocephalus Sriatus) on water content andorganolepticquality. This researchis anexperimental studyusing acompletely randomized design(CRD). The results showedthatthere was noinfluence ofthe addition ofsoy flourto thewater content ofthe fishnuggetscork. There is noeffect ofthe addition ofsoybean flourwithorganolepticquality(color attribute) (ρ>0.05). And there is an effect o fthe addition of soybean flour terrhadaptheorganolepticquality(taste and textureattributes) (ρ <0.05). Research wascan becontinued withthe addition of soybean flourconcentrationinfluencestheshelf lifenugget. Kaywords:soybean flour, nuggets, water content, organoleptic ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh penambahan tepung kedelai pada pembuatan nugget ikan gabus (Ophiocephalus Sriatus) terhadap kadar air dan mutu organoleptik. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh penambahan tepung kedelai terhadap kadar air nugget ikan gabus. Tidak ada pengaruh penambahan tepung kedelai dengan mutu organoleptik (atribut warna) (ρ > 0,05). Serta ada pengaruh terrhadap penambahan tepung kedelai dengan mutu organoleptik (atribut rasa dan tekstur) (ρ < 0,05). Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan pengaruh konsentrasi penambahan tepung kedelai terhadap daya simpan nugget. Kata Kunci:Nugget, Bahan Pengikat, Kedelai, Ikan Gabus Analisis Pendapatan Peternak Ayam Ras
159
ISSN 1978 - 3000
PENDAHULUAN Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja.Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multifaktor, oleh karena itu pendekatan penanggulangannya harus melibatkan beberapa sektor yang terkait (Supariasa dkk, 2001). Salah satu masalah gizi di Indonesia adalah Kurang Energi Kronik (KEK) pada ibu hamil. Kekurangan Energi Kronik (KEK) adalah keadaan dimana seseorang mengalami kekura-ngan gizi (energi dan protein) yang berlangsung lama atau menahun (Chinue, 2009 dalam Nur, 2010). KEK perlumengalami penanganan yaitu dengan pemberian maka-nan tambahan melalui penganeka-ragaman pangan. Penganekaragaman pangan adalah upaya untuk menganeka-ragamkan pola konsumsi pangan masya-rakat dalam rangka meningkatkan mutu gizi makanan yang di konsumsi yang pada akhirnya akan meningkatkan status gizi (Almatsier, 2003). Salah satu produk pangan yang berkembang di masyarakat adalah nugget.Nugget dapat dijadikan cemilan bagi ibu hamil.Nugget adalah suatu bentuk produk olahan daging yang tebuat dari daging giling yang dicetak dalam bentuk potongan persegi empat dan dilapisi dengan
160
tepung berbumbu (baterred dan braded). Pada pembuatan nugget memerlukan beberapa proses, antara lain pengukusan dan penggorengan. Pengukusan akan me-nyebabkan pengeluaran cairan pada daging terutama pada daging yang memiliki kandungan lemaknya sangat sedikit. Hal ini akan mempengaruhi kelezatan dan nilai gizi dari nugget, sehingga perlu dilakukan penambahan bahan pengikat. Bahan pengikat adalah material bukan daging yang dapat mengikat daya ikat air daging dan emulsifikasi lemak. Bahan pengikat mengandung protein tinggi, terutama berasal dari susu kering dan produk kedelai, misalnya tepung kedelai (Soeparno, 2005). Penambahan bahan pengikat ke dalam emulsinugget disamping sebagai bahan pengikat dan pengisi juga untuk menarik air, memberi warna dan membentuk tekstur padat (Tanikawa, 1963).Kegunaan penam-bahan bahan pengikat adalah mening-katkan daya ikat air produk daging, mengurangi pengerutan selama pemasa-kan, meningkatkan stabilitas emulsi, meningkatkan flavour dan meningkatkan karateristik irisan produk (Soeparno, 2005). Menurut Standar Nasional Indo-nesia, dalam pembuatan nugget batas maksimum kadar air adalah 60%. Untuk mendapatkan kadar air yang mendekati Standar Nasional Indonesia pada nugget, maka
| Pengaruh Konsentrasi Variasi Kedelai sebagai Bahan Pengikat
ISSN 1978 - 3000
dilakukan penambahan bahan pengikat yaitu tepung kedelai dengan menggunakan variasi konsentrasi 10%, 15% dan 20%. Tepung kedelai adalah hasil olahan dari kacang kedelai, yang mengandung energi 347 kkal, protein 35,9 gr, lemak 20,6 gr, dan karbohidrat 29,9 gr (DKBM, 2005). Salah satu bahan yang dapat digunakan dalam pembuatan nugget adalah ikan gabus (Ophiocephalus Striatus). Ikan gabus merupakan salah satu ikan air tawar yang memiliki kandungan protein yang paling tinggi, yaitu sebesar 25% dan memiliki kadar albumin sebesar 6,2%, dengan kadar lemaknya yang sangat rendah (Carvallo,1998 dalam Ghufran, 2010)).Berdasarkan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM, 2005) dalam 100 gr ikan gabus mengandung 74 kkal energi, 25,2 gr protein, 1,7 gr lemak dan 0 gr karbohidrat. Tujuan penelitian ini adalah melihat pengaruh variasi konsentrasi tepung kedelai sebagai bahan pengikat terhadap kadar air dan mutu organo-leptik nugget ikan gabus.
pembuatan tepung kedelai, tahap pembuatan nugget ikan gabus, selanjut-nya nugget yang dihasilkan dianalisa kadar air dan mutu organoleptiknya. Tahap 1 Pelaksanaan penelitian diawali dengan pengolahan kedelai menjadi tepung.Mula-mula kedelai disortasi untuk memilih kedelai yang baik, membuang benda asing dan kedelai yang rusak atau pecah.Kemudian kedelai direndam selama 8-16 jam, dan direbus 30 menit.Setelah itu, kedelai ditiriskan dan dipisahkan kulitnya.Lalu dikeringkan dengan dijemur atau menggunakan oven dengan suhu 50-60 oC dan digiling halus sehingga diperoleh tepung kedelai.
Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Kimia dan Ilmu Teknilogi Pangan Poltekkes Kemenkes Bengkulu, pada bulan januari 2012. Penelitian ini meliputi beberapa tahap yaitu tahap
Tahap 2 Proses pembuatan nugget. Sortir bahan baku, pencucian bahan dari kotoran dan penirisan, timbang tepung kedelai, bumbu-bumbu dihaluskan, kemudian campur semua bahan dan bumbu-bumbu yang sudah dihaluskan dan aduk rata menggunakan food processor, masukkan ke dalam loyang dan dikukus selama 30 menit dengan suhu 60 oC, setelah matang adonan didinginkan selama 30 menit supaya adonan tidak lengket, kemudian adonan dipotong-potong sesuai selera, setelah itu adonan dicelupkan ke dalam kocokan telur dan dilumuri dengan tepung roti, lalu masukkan ke
Analisis Pendapatan Peternak Ayam Ras
161
MATERI DAN METODE
ISSN 1978 - 3000
dalam freezer selama 2 jam, kemudian panaskan minyak dalam wajan dengan suhu 150 oC, kemudian goreng nugget selama 1 menit hingga matang berwarna kecoklatan, angkat dan tiriskan. Tahap 3 Penelitian tahap 3 yaitu uji kadar air. Analisa kadar air dilakukan terhadap 3 sampel yang berbeda dan dilakukan 2 kali ulangan. Untuk mendapatkan % kadar air menggunakan rumus. Sedang-kan uji organoleptik dilakukan untuk menilai warna, rasa dan tekstur nugget ikan gabus dengan menggunakan panelis. Penelis yang melakukan peni-laian adalah panelis agak terlatik, yaitu mahasiswa Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Bengkulu tinggkat III yang berjumlah 25 orang. Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan Ranca-ngan Acak Lengkap (RAL) dengan dua kali ulangan dan 3 perlakuan. Penelitian dilakukan dengan rancangan acak lengkap (RAL) yang dipilih karena bahan percobaan yang akan dipakai sebagai unit percobaan homogen dan jumlah perlakuan terbatas, yakni meliputi 3 macam perlakuan yaitu penambahan tepung kedelai sebanyak 10 %, 15 % dan 20 %. Layout penelitian yaitu: A
162
: Konsentrasipenambahan tepung kedelai 10%
B
: Konsentrasi penambahan tepung kedelai 15% C : Konsentrasi penambahan tepung kedelai 20% I : Nugget dengan pengulangan kadar air I II : Nugget dengan pengulangan kadar air II A,I : Nugget dengan penambahan tepung kedelai 10% terhadap pengulangan kadar air I A,II : Nugget dengan penambahan tepung kedelai 10% terhadap pengulangan kadar air II B,I : Nugget dengan penambahan tepung kedelai 15% terhadap pengulangan kadar air I B,II : Nugget dengan penambahan tepung kedelai 15% terhadap pengulangan kadar air II. C,I : Nugget dengan penambahan tepung kedelai 20% terhadap pengulangan kadar kadar I C,II : Nugget dengan penambahan tepung kedelai 20% terhadap pengulangankadar air II. HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air Berdasarkan hasil penelitian dike-tahui bahwa nugget ikan gabus dengan penambahan tepung kedelai 10% memi-liki kadar air tertinggi, dapat dilihat pada tabel 1. Berdasarkan hasil Uji One Way Anova penambahan tepung kedelai 10%, 15% dan 20% tidak berpengaruh terhadap kadar air nugget ikan gabus, yang ditunjukkan nilai ρ = 0,216 (ρ˃0,05).
| Pengaruh Konsentrasi Variasi Kedelai sebagai Bahan Pengikat
ISSN 1978 - 3000
nugget ikan gabus dengan penambahan tepung kedelai 10% dan 15% sebanyak 56% panelis. 60% Jumlah Panelis (%)
Ini berarti bahwa semakin sedikit penambahan tepung kedelai maka semakin tinggi kadar air. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa menurunnya tingkat konsentrasi tepung kedelai menyebab-kan meningkatnya kadar air nugget ikan gabus. Peningkatan kadar air dapat disebabkan oleh pH daging. Menurut Soeparno (2005), DIA (Daya Ikat Air) akan meningkat bila pH daging lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektik proteinprotein daging. Pada pH yang lebih
40%
Sangat tidak suka Tidak suka
30%
Agak suka
50%
20%
Suka
10%
Sangat suka
0% 10%
15%
20%
Penambahan Tepung Kedelai (%)
Gambar 1. Hasil Uji Organoleptik Warna Nugget Ikan Gabus
Tabel 1. Kadar Air Nugget Ikan Gabus dengan Penambahan Tepung Kedelai Penambahan Tepung Kadar Air (%) dalam Keterangan kedelai 100 gr 10% 11 a 15% 10,6 a 20% 10,5 a
Uji Anova
0,216
Keterangan : Huruf yang sama (a) pada keterangan menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada taraf 5% menurut uji LSD (ρ).
rendah terdapat akses muatan positif yang mengakibatkan penolakan miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul-molekul air. Karateristik Organoleptik Warna Adapun presentase penerimaan panelis sebanyak 25 orang terhadap atribut warna pada nugget ikan gabus dengan variasi penambahan tepung kedelai 10%, 15%, dam 20% dapat dilihat pada Gambar 1. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar panelis memberikan penilaian suka (skor 4) pada warna
Analisis Pendapatan Peternak Ayam Ras
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa nugget ikan gabus dengan penambahan tepung kedelai 10% memilik nilai rata-rata tertinggi untuk mutu organoleptik (warna) nugget, dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan hasil Uji Kruskal Wallis penambahan tepung kedelai (10%, 15% dan 20%) tidak berpe-ngaruh secara signifikan terhadap warna nugget ikan gabus, yang ditunjukkan nilai ρ = 0,510 (ρ˃0,05). Ini berarti bahwa semakin sedikit penam-bahan tepung kedelai maka semakin tinggi tingkat kesukaan panelis terhadap
163
ISSN 1978 - 3000 Tabel 2. Nilai Rata–Rata Mutu Organoleptik (Warna) Nugget Ikan Gabus Penambahan Tepung Kedelai Nilai Rata-rata Keterangan Warna 10% 40,14 a 15% 39,48 a 20% 34,38 a
Uji Kruskal Wallis (ρ) 0,510
mutu organo-leptik (warna) nugget ikan gabus. Hal ini dikarenakan kandungan protein yang berasal dari ikan gabus dan tepung kedelai berperan dalam reaksi Maillard dan adanya proses pemanasan akan memberikan warna coklat pada saat nugget digoreng. Menurut Winarno (2008), reaksi Maillard merupakan reaksi antara karbohidrat, khususnya gula preduksi dengan NH2 dari protein menghasilkan senyawa hidroksimetilfur-fural yang kemudian berlanjut menjadi furfural. Furfural yang terbentuk kemu-dian membentuk senyawa melanoidin yang berwarna coklat.Melanoidin inilah yang memberikan warna coklat pada nugget. Rasa Adapun presentase penerimaan panelis sebanyak 25 orang terhadap atribut rasa pada nugget ikan gabus dengan variasi penambahan tepung kedelai 10%, 15%, dam 20%, dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar panelis memberikan penilaian suka (skor 4) pada rasa
164
Jumlah Panelis (%)
Keterangan : Huruf yang sama (a) pada keterangan menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada taraf 5% menurut uji Kruskal Wallis (ρ).
Sangat tidak suka tidak suka
70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Agak suka Suka Sangat suka
10%
15%
20%
Penambahan Tepung Kedelai (%) Gambar 2. Hasil Uji Organoleptik Rasa Nugget Ikan Gabus
nugget ikan gabus dengan penambahan tepung kedelai 15% sebanyak 64% panelis. Berdasarkan hasil penelitian dike-tahui bahwa nugget ikan gabus dengan penambahan tepung kedelai 20% memilik nilai rata-rata terendah untuk mutu organoleptik (rasa) nugget, dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan Uji Kruskall Walls diketahui bahwa variasi penambahan tepung kedelai 10%, 15% dan 20%, berpengaruh signifikan terhadap rasa nugget ikan gabus, yang ditunjukkan dengan nilai ρ = 0,035 (ρ < 0,05). Ini berarti bahwa semakin banyak penambahan tepung kedelai, maka semakin rendah atau berkurangnya tingkat kesukaan panelis terhadap rasa nugget ikan gabus. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa mutu oragnoleptik
| Pengaruh Konsentrasi Variasi Kedelai sebagai Bahan Pengikat
ISSN 1978 - 3000
(rasa) nugget ikan gabus dipengaruhi oleh penam-bahan variasi konsentrasi tepung kedelai.Hal ini dikarenakan nugget ikan gabus mengandung banyak protein yang dapat mempengaruhi rasa dari nugget ikan gabus. Menurut Winarno (2008), protein mengandung beberapa asam amino diantaranya adalah asam glutamat. Asam glutamat sangat penting perannya dalam pengolahan makanan, karena dapat menimbulkan rasa yang lezat.Ada bebrapa pendapat mengenai mekanisme kerja asam glutamat sehingga dapat menimbulkan cita rasa.Rasa daging mungkin disebabkan oleh hidrolisis protein dalam mulut.Asam glutamat meningkatkan cita rasa yang diinginkan sambil mengurangai rasa yang tidak diinginkan. Pendapat lainmengatakan bahwa asam glutamat memperbaiki keseimbangan cita rasa makanan olahan. Diutarakan juga asam glutamat menyebabkan sel reseptor rasa lebih peka sehingga dapat meningkatkan rasa dengan lebih baik.
Tekstur Adapun presentase penerimaan panelis sebanyak 25 orang terhadap atribut tekstur pada nugget ikan gabus dengan variasi penambahan tepung kedelai 10%, 15%, dam 20%, dapat dilihat pada Gambar 3. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar panelis memberikan penilaian suka (skor 4) pada rasa nugget ikan gabus dengan penambahan tepung kedelai 15% sebanyak 60% panelis. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa nugget ikan gabus dengan penambahan tepung kedelai 15% memilik nilai rata-rata tertinggi untuk mutu organoleptik (tekstur) nugget, dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan Uji Kruskall Walls diketahui bahwa variasi penambahan tepung kedelai 10%, 15% dan 20%, berpengaruh signifikan terhadap tekstur nugget ikan gabus yang ditunjukkan dengan nilai ρ=0,009 (ρ<0,05).
Tabel 3 Nilai Rata–Rata Mutu Organoleptik (Rasa) Nugget Ikan Gabus Penambahan Tepung Kedelai
Nilai Rata-rata Rasa
Keterangan
Uji Kruskal Wallis (ρ)
10% 15% 20%
43,54 40,64 29,82
a a b
0,035
Keterangan : Huruf yang berbeda (b) pada keterangan menunjukkan ada perbedaan nyata pada taraf 5% menurut Uji Kruskal Wallis (ρ).
Analisis Pendapatan Peternak Ayam Ras
165
Jumlah Panelis (%)
ISSN 1978 - 3000 Sangat tidak suka
70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
SIMPULAN
Tidak suka
Agak suka Suka Sangat suka
10%
15%
20%
Penambahan Tepung Kedelai (%) Gambar 3. Hasil Uji Organoleptik Tekstur Nugget Ikan Gabus
Berdasarkanpenelitian diketahui bahwa mutu oragnoleptik (tekstur) nugget ikan gabus dipengaruhi oleh penambahan variasi konsentrasi tepung kedelai.Hal ini dikarenakan nugget ikan gabus hanya menggunakan santan dan telur (sumber lemak) sebagai cairannya. Menurut Winarno (2008), penambahan lemak (santan dan telur) dimaksudkan untuk menambah kalori serta memperbaiki tekstur dan cita rasa makanan. Air yang terkandung dalam bahan makanan dapat mempengaruhi tekstur dan cita rasa makanan.Semakin sedikit air dalam bahan makanan, maka tekstur bahan makanan semakin keras.Didalam pembuatan nugget ikan gabus tidak menggunakan air tetapi hanya menggunakan santan dan telur sebagai penggati air atau cairan.
1. Penambahan tepung kedelai tidak berpengaruh terhadap kadar air nugget ikan gabus. Kadar air nugget tertinggi yaitu nugget ikan gabus dengan penambahan tepung kedelai 10%. 2. Penambahan tepung kedelai tidak berpengaruh terhadap sifat organoleptik warna nugget ikan gabus. Warnanugget yang paling disukai yaitu nugget ikan gabus dengan penambahan tepung kedelai 10%. 3. Penambahan tepung kedelai berpengaruh terhadap sifat organoleptik rasa nugget ikan gabus. Rasa nugget yang paling disukai yaitu nugget ikan gabus dengan penambahan tepung kedelai 10%. 4. Penambahan tepung kedelai berpengaruh terhadap sifat organoleptik tekstur nugget ikan gabus. Tekstur nugget yang paling disukai yaitu nugget ikan gabus dengan penambahan tepung kedelai 15%. 5. Nugget ikan gabus dengan penambahan tepung kedelai 10% merupakan penambahan yang paling ideal.
Tabel 4. Nilai Rata – Rata Mutu Organoleptik (Tekstur) Nugget Ikan Gabus Penambahan Tepung Nilai Rata-rata Keterangan Kedelai Tekstur 10% 34,04 a 15% 47,80 a 20% 32,14 b
Uji Kruskal Wallis (ϼ) 0,009
Keterangan : Huruf yang berbeda (b) pada keterangan menunjukkan ada perbedaan nyata pada taraf 5% menurut Uji Kruskal Wallis (ρ).
166
| Pengaruh Konsentrasi Variasi Kedelai sebagai Bahan Pengikat
ISSN 1978 - 3000
DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S., 2001. Prisip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Anonimous, 2005. DKBM (Daftar Komposisi Bahan Makanan). Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI), Jakarta. Anonimous, Kedelai (Glycine max L). Diakses dari http://migroplus.com/brosur/ Budidaya%20kedelai.pdf, 15 Oktober 2011. Anonimous, Pemanfaatan Ikan Gabus/Kutuk.Diakses dari http://www.facebook.com/to pic.php?uid=11919927477889 9&topic=60, 19 Oktober 2011. Anonimous, SNI (Standar Nasional Indonesia) 01-6683-2002. Diaksesdari http://pustan.bpkimi.kemenp erin.go.id/files/SNI%20016683-2002.pdf, 15 Oktober 2011. Astawan, M., 2004.Ikan yang sedap dan bergizi.Tiga serangkai, Solo. Dena, 2011.Persiapan uji Organoleptik (1). Diakses dari http://yakacerdas.blogspot.co m/2011/03/persiapan-ujiorganoleptik-1.html, 03 November 2011. Dena, 2011. Uji Kesukaan (Uji Hedonik). Diakses dari http://yakacerdas.blogspot.co m/2011/03/uji-kesukaan-uji-
Analisis Pendapatan Peternak Ayam Ras
hedonik.html, 03 November 2011. Ghufran, M.H., 2010. A to Z Budidaya Biota Akuatik untuk Pangan, Kosmetik dan Obat-obatan, Penerbit Andi.Diakses dari file:///D:/iTp/book_ikan%20g abus.htm#v=onepage&q=ikan %20gabus&f=false, 15 Oktober 2011. Ginting, N., 2006. Penambahan Bahan Pengikat pada Nugget Itik Serati.Diakses dari http://repository.usu.ac.id/bit stream/123456789/15155/1/ag p-apr2006-2.pdf, 11 Oktober 2011. Kristiyanasari, W., 2010. Gizi Ibu Hamil. Nuha Medika, Yogyakarta Latifah, 2010. Variasi Es Krim Terhadap Sifat Organoleptiknya. Diakses dari http://www.stppbogor.a.c.id, 15 Oktober 2011. Manurung, R., 2005. Pengaruh Penambahan Bubuk Kedelai dan Sodium Poliposfat terhadap Mutu Nugget Ikan Cucut (Sphyraena Barracuda).Diakses dari http://repository.usu.ac.id/bit stream/123456789/15000/1/01 0305002.pdf, 15 Oktober 2011. Nur, E., 2010. Hubungan antara Asupan Protein dengan Kekurangan Energi Kronik pada ibu Hamil. Diakses dari
167
ISSN 1978 - 3000
http://eprints.uns.ac.id/130/1/ 167080309201010381.pdf, 01 Desember 2011. Nurbahri, W., 2011.Organoleptik. Diakses dari http://wimvynurbahri.blogsp ot.com/2011/06/organoleptik. html, 03 November 2011. Nurjanah, dkk., 2005. Pengaruh penambahan bahan pengikat terhadap karateristik fisik otak-otak ikan sapu-sapu (Liposarcus pardalis).Diakses dari http://repository.usu.ac.id/bit stream/123456789/15155/1/ag p-apr2006-2.pdf, 15 Oktober 2011. Oktavia, Q., 2011. Pembuatan Abon Ikan Tuna dengan Penambahan Jamur Tiram. Karya Tulis Ilmiah, Politeknik Kemenkes, Bengkulu. Priwindo, S., 2009.Pengaruh Pemberian Tepung Susu Sebagai Bahan Pengikat terhadap Kualitas Nugget Angsa.Diakses dari http://repository.usu.ac.id/bit stream/123456789/7604/1/09E 00567.pdf, 15 Oktober 2011. Riwan, 2008.Sifat-sifat Organoleptik Dalam Pengujian Terhadap Bahan Makanan. Diakses dari http://www.ubb.ac.id/menule ngkap.php?judul=Sifatsifat%20Organoleptik%20Dal am%20Pengujian%20Terhada p%20Bahan%20Makanan&& nomorurut_artikel=130, 02 November 2011. Sakti, Arrs., 2008. Petunjuk Pengujian Organoleptik. Diakses dari
168
http://smartsains.blogspot.co m/2008/06/petunjukpengujian-organoleptik.html, 03 Novem-ber 2011. Soeparno, 2005.Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Santoso, 2005. Teknologi Pengolahan Kedelai (Teori dan Praktek). Diakses dari http://labfpuwg.files.wordpre ss.com/2010/02/teknologipengolahan-kedelai-teoridan-praktek.pdf, 15 Oktober 2011. Supariasa, IDN, dkk., 2001. Penilain Status Gizi. Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Tarwotjo C. S., 1998. Dasar-Dasar Gizi Kuliner. Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Winarno F.G., 2008. Kimia Pangan danGizi. M-Biro Press, Bogor.
| Pengaruh Konsentrasi Variasi Kedelai sebagai Bahan Pengikat
ISSN 1978 - 3000
Analisis Pendapatan Peternak Ayam Ras Pedaging dengan Sistem Kemitraan Berbeda di Kecamatan Tellusiattinge Kabupaten Bone (Analysis of Broiler Breeders Income with Different Partnership System in Bone Regency,District Tellusiattinge) S. N. Sirajuddin, V. S Lestari, dan M.Nizam Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan,Universitas Hasanuddin Mak Makassar, 90245 Indonesia e-mail :
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstract This study aimed to determine differences income of broiler breeders on different partnership system. The research was conducted in the District Tellusiattinge March to May 2013 with the kind of research was descriptive and analytical data used was Revenue = Revenue-Cost. The results showed that the income of broiler farmers who partner with companies was higher than farmers who partner with private companies (bakul) Key words: income,partnership,breeders,broiler,company,privat company Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pendapatan pendapatan peternak ayam ras pedaging pada sistem kemitraan berbeda . Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Tellusiattinge pada bulan Maret hingga Mei 2013 dengan jenis penelitian adalah deskriptif dan analisis data yang digunakan yaitu Pendapatan= Penerimaan-Biaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan peternak ayam ras pedaging yang bermitra dengan perusahaan lebih tinggi dibandingkan peternak yang bermitra dengan perusahaan perorangan(bakul) Kata kunci: pendapatan,bermitra,peternak, ayam ras pedaging,perusahaan,bakul Pendahuluan Hasil analisis empirik agribisnis perunggasan peternakan broiler secara parsial yang dilakukan selama ini (Sumaryanto et al. 1989; Rusastra et al.,1990; Agustian dan Rachman, 1994; ; Saptana et al., 2002) memberikan beberapa informasi penting diantaranya bahwa struktur industri perunggasan perlu diarahkan pada penguatan konsolidasi kelembagaan di Analisis Pendapatan Peternak Ayam Ras
tingkat peternak rakyat melalui pengembangan pola kemitraan dengan azas saling membutuhkan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan Kemitraan inti-plasma dalam budidaya ayam pedaging merupakan suatu bentuk usaha peternakan yang dijalankan secara terorganisir dimana pihak perusahaan sebagai inti berfungsi menyediakan bibit(DOC),pakan,obat-obatan/vaksin serta pengaturan dan pengawasan 169
ISSN 1978 - 3000
program produksi. Sedangkan peternak sebagai plasma berfungsi sebagai penyedia kandang, peralatan dan tenaga kerja (Sirajuddin,2010;Sirajuddin et al,2005). Peternak plasma pada umumnya mempunyai ketergantungan yang tinggi kepada perusahaan inti dalam hal bibit(DOC), pakan dan input produksi lainnya. Selain itu terdapat beberapa kelemahan dan keterbatasan yang melekat pada peternak plasma diantaranya adalah terbatasnya modal, skill (penguasaan teknis), akses pasar dan lemahnya kemampuan memprediksi pasar yang sangat fluktuatif setiap saat. Kondisi ini menyebabkan peternak plasma dalam posisi yang lemah terutama dalam posisi tawar terhadap harga DOC, pakan ternak dan harga ayam yang dihasilkan. Dengan posisi yang lemah ini, daya tawar peternak plasma lebih banyak ditentukan oleh perusahaan inti termasuk dalam pembagian laba dalam pola kemitraan ayam ras pedaging sehingga terjadinya distribusi laba yang kurang seimbang antara inti dan plasma sangat dimungkinkan (Windarsari,2007). Kemitraan melibatkan antara pihak inti (perusahaan) dan pihak plasma (peternak) dengan menyepakati kontrak yang ditawarkan oleh perusahaan. Kontrak kemitraan ayam ras pedaging dilakukan antara pihak perusahaan sebagai inti dengan pihak peternak atau petani/peternak. Pihak inti adalah perusahaan terintegrasi yang menyiapkan seluruh sarana produksi mulai dari bibit ayam (DOC), pakan, obat-obatan serta asistensi
budidaya. Pihak peternak menyiapkan sarana kandang, peralatan ternak serta tenaga kerja (Sirajuddin dkk.,2012:Sirajuddin,dkk.,2007). Pada wilayah Sulawesi Selatan akan lebih mudah kita untuk menemukan peternakan ayam ras pedaging yang merupakan plasma pada perusahaan inti dibandingkan peternak dengan usaha mandiri. Hal tersebut dikarenakan kemitraan di Sulawesi Selatan tergolong mengalami perkembangan yang cukup pesat dan menjadi sebaliknya untuk peternak yang berusaha mandiri. Kemitraan usaha ayam pedaging telah berkembang pesat di Indonesia, hal ini memberikan keuntungan yang cukup tinggi bagi peternak. Hal tersebut didukung oleh kutipan pada majalah Poultry Indonesia berdasarkan informasi yang diperoleh dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, Sulawesi Selatan, bahwa hingga saat ini jumlah kelompok mitra petani ternak ada sebanyak 1.200 orang dan perusahaan inti industri perunggasan sebanyak 24 perusahaan (Hatta, 2012 dalam Surya,2013). Peternak yang memelihara ayam ras pedaging di Kecamatan Tellusiattinge bekerja sama dengan beberapa perusahaan kemitraan, namun pada daerah tersebut juga terdapat peternak yang tidak bermitra dengan perusahaan sebagaimana peternak kebanyakan. Peternak yang dimaksud juga bukan peternak yang mandiri melainkan peternak yang melakukan kerjasama dengan pedagang pengumpul (bakul) atau kemitraan perseorangan.hal ini sesuai hasil penelitian Supriyatna,dkk(2006)
ISSN 1978 - 3000
bahwa peternak pola kemitraan melalui inti memiliki akses langsung ke pasar modern dan konvensional sementara peternak mandiri umumnya melakukan penjualan melalui pedagang pengumpul. Keterkaitan fungsional yang Bentuk kerjasama peternak dengan kemitraan perseorangan(bakul) ini merupakan pola yang telah dilakukan peternak lokal sebelum konsep kemitraan perusahaan diperkenalkan oleh perusahaan-perusahaan mitra kira-kira dimulai tahun 1997, sedangkan keberadaan perusahaan-perusahaan kemitraan menurut masyarakat setempat diperkirakan pada awal tahun 2003. Sejak masuknya kemitraan berangsur-angsur peternak beralih untuk bermitra dengan perusahaanperusahaan tersebut sehingga peternak yang menggunakan kerjasama dengan kemitraan perseorangan ini semakin berkurang. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih 2 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan Mei 2013 di Kecamatan Tellusiattinge, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Penentuan lokasi tersebut diambil karena adanya dua bentuk kerjasama yang berbeda di kecamatan tersebut yaitu kerjasama dengan kemitraan perseorangan (bakul) dan kerjasama dengan perusahaan kemitraan mitra jaya mandiri(MJM). Jenis penelitian ini adalah deskriptif yaitu menggambarkan atau menguraikan variable penelitian yaitu pendapatan usaha peternakan ayam ras pedaging yang bekerjasama dengan Analisis Pendapatan Peternak Ayam Ras
kemitraan perseorangan (bakul) dan yang bekerjasama dengan perusahaan di Kecamatan Tellusiattinge, Kab. Bone. Populasi merupakan peternak ayam ras pedaging yang bekerjasama dengan kemitraan perseorangan (bakul) dan peternak yang bermitra dengan perusahaan sedangkan untuk sampel yang digunakan sekaligus merupakan keseluruhan dari jumlah populasi, hal tersebut dikarenakan jumlahnya yang cukup kecil. Khusus pengambilan sampel untuk peternak yang bermitra dengan perusahaan yaitu memiliki populasi 1500 ekor dimaksudkan agar meminimalisir pembiasan dalam melakukan perbandingan dengan pola kerjasma antara peternak dengan kemitraan perseorangan (bakul) yang memiliki populasi maksimal 500 ekor. Metode pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini adalah observasi dan wawancara sedangkan jenis data yang digunakan yaitu data kuantitatif yaitu data yang berupa angka-angka berdasarkan hasil kuisioner dari hasil usaha ayam ras pedaging meliputi jumlah penjualan ayam, feses, dan karung pakan serta biaya-biaya di Kecamatan Tellusiattinge Kabupaten Bone. Adapun sumber data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer yaitu data yang bersumber dari hasil wawancara langsung dengan peternak meliputi identitas responden, hasil usaha dan biaya-biaya dan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari instansi-instansi terkait, Kantor Kecamatan Tellusiattinge dan lain sebagainya yang telah tersedia, seperti gambaran umum lokasi, keadaan 171
ISSN 1978 - 3000
kondisi wilayah, kependudukan dan sejarah singkat dan lain sebagainya. Analisa Data Analisis data yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisa statistik deskriptif yaitu dengan menghitung rata – rata pendapatan, persentase, menghitung besarnya sampel dan melakukan penyederhanaan data serta penyajian data dengan menggunakan tabel. Untuk mengetahui seberapa besar pendapatan peternak dari usaha ayam ras pedaging digunakan rumus menurut Soekartawi (2006) :Pd = TR TC Yaitu Pd = Total Pendapatan (Rp) TR = Total Penerimaan (Rp) TC = Total Biaya (Rp)
Hasil dan Pembahasan Biaya Total (TC) Biaya total (TC) adalah merupakan penjumlahan dari biaya variabel (bibit, pakan, vaksin/obatobatan, air dan listrik) dengan biaya tetap (penyusutan peralatan, penyusutan kandang, dan pajak bumi bangunan (PBB). Adapun biaya total produksi yang dikeluarkan oleh peternak di Kecamatan Tellusiattinge, Kabupaten Bone dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan dari total biaya produksi tersebut biaya variabel merupakan biaya yang paling besar dikeluarkan oleh peternak dalam masa satu periode produksi dibandingkan dengan biaya tetap. Biaya variabel merupakan komponen biaya terbesar
karena berkaitan dengan jumlah skala usaha atau jumlah ternak yang dipelihara peternak dimana semakin tinggi jumlah ternak makin tinggi juga biaya variabel yang dikeluarkan Penerimaan Hasil Produksi Total penerimaan merupakan penjumlahan komponen penerimaan hasil produksi dinyatakan dalam bentuk rupiah yaitu penjualan daging/ayam, penjualan feses dan penjualan karung pakan. Adapun total penerimaan yang didapatkan peternak di Kecamatan Tellusiattinge Kabupaten Bone dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa total penerimaan dari semua komponen yang bermitra dengan perusahaan perseorangan pada skala usaha 500 yakni Rp.13.014.500 sedangkan pada skala usaha 1.000 total penerimaannya adalah Rp.24.001.000 sedangkan yang bermitra dengan perusahaan total penerimaannya adalah Rp. 34.257.000. Berdasarkan tabel tersebut juga menunjukkan komponen penerimaan usaha peternakan ayam broiler di Kecamatan Tellusiattinge Kabupaten Bone yaitu bersumber dari hasil penjualan daging/ayam, penjualan feses dan penjualan karung pakan. Dari tabel tersebut juga dilihat sumber penerimaan daging/ayam yang paling besar memperoleh penerimaan adalah dari penjualan daging/ayam. Pendapatan Peternak Pendapatan atau keuntungan merupakan tujuan setiap jenis usaha. Keuntungan dapat dicapai jika jumlah penerimaan yang diperoleh dari hasil
ISSN 1978 - 3000
Analisis Pendapatan Peternak Ayam Ras
173
ISSN 1978 - 3000
usaha lebih besar daripada jumlah pengeluarannya. Semaking tinggi selisih tersebut, semaking meningkat keuntungan yang dapat diperoleh. Bisa diartikan pula bahwa secara ekonomi
usaha tersebut layak dipertahankan atau dilanjutkan. Jika situasinya terbalik, usaha tersebut mengalami kerugian dan secara ekonomis sudah
tidak layak dilanjutkan. Adapun besarnya pendapatan peternak di Kecamatan Tellusiattinge Kabupaten Bone dapat dilihat pada Tabel 3 Berdasarkan data pada tabel 3 bahwa pendapatan peternak yang bermitra dengan perusahaan perseorangan (bakul) pada skala usaha 500 sebesar Rp.1.089.958,33/periode atau Rp.2.179,91/ekor dan pada skala 1.000 sebesar Rp. 2.336.550/periode atau pendapatan Rp.2.336,55/ekor sedangkan pendapatan peternak yang bermitra dengan perusahaan dengan skala usaha 1.500 sebesar Rp.4.026.063,73/periodenya atau ratarata Rp.2.684,04/ekor Hal ini ini sejalan dengan pendapat Gusasi dan Saade (2006) bahwa perbedaan pendapatan pada setiap tingkatan skala usaha sangat nyata sehingga manfaat dan keuntungan dapat diperoleh pada skala usaha yang lebih besar. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan yaitu pendapatan peternak yang bermitra dengan perusahaan cenderung lebih tinggi dibandingkan pendapatan peternak yang bermitra dengan kemitraan perseorangan (bakul). Saran
Peternak yang mengikuti kemitraan perseorangan (bakul) agar dapat mempertimbangkan tawaran kemitraan oleh perusahaan yang berdasarkan pola dan pendapatannya lebih menguntungkan.
Daftar Pustaka Agutian, A. dan B. Rahman. 1994. Aspek Penyaluran Sapronak, Pemasaran Hasil dan Pola Kerjasama dalam PIR Perunggasan di Jawa Barat dan Jawa Timur. Forum Penelitian Agro Ekonomi 12(2). Puslitbang Sosek Pertanian, Bogor. Gusasi. A dan Saade. M.A 2006. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Ternak Ayam Potong pada Skala Usaha Kecil. Jurnal Agri sistem. 2 (1):1-7 Rusastra, I.W.R., Y.Y u s d j a dan Sumaryanto. 1990. Analisis Kelembagaan Perusahaan Inti Rakyat Perunggasan Nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi 8(1). Puslitbang Sosek Pertanian, Bogor.
ISSN 1978 - 3000
Saptana, R. Sayuti dan K.M. Noekman. 2002. Industri Perunggasan: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Forum Penelitian Agro Ekonomi 20(1). Puslitbang Sosek Pertanian, Bogor. Sirajuddin, S.N, Aminawar, M, Yunus, D. 2007. Faktor-faktor yang Memotivasi Peternak dalam Melakukan Kemitraan di Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros. Jurnal Agribisnis,.VI(2) :14-27. Sirajuddin, S.N,.Rohani, S, Lestari, V.S, Aminawar, M, Siregar A.R, Aryanto. 2012. Penerapan Kontrak Sistem Kemitraan Dalam Menunjang Agribinis Ayam Ras Pedaging di Propinsi Sulawesi Selatan. Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan 4. Prosiding. Hal.238-240. Sirajuddin,S.N. 2005. Analisis Produktifitas Kerja Peternak pada Usaha Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan dan Mandiri di Kabupaten Maros. Jurnal Ilmu
Analisis Pendapatan Peternak Ayam Ras
dan Teknologi Peternakan UNHAS . VI (2):151-159 Sirajuddin, S.N. 2010. Sistem Bagi Hasil pada Peternak Ayam Pedaging Pola Kemitraan di Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Agribisnis. VII (2) Supriyatna,S.,Wahyuni,S.,Rusastra.I.W .R.2006.Analisis Kelembagaan Kemitraan Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging:Studi Kasus di Propinsi Bali.Seminar Nasional Teknologi dan Peternakan.hal :830-840 Surya,A. 2013. Pengambilan Keputusan Peternak Ayam Ras Pedaging Dalam Menentukan Perusahaan Mitra. Skripsi. Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan UNHAS Windarsari. 2007. Kajian Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Karanganyar: Membandingkan antara Pola Kemitraan dan Pola Mandiri. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
175
ISSN 1978 - 3000
Kepada Yth: Ketua Redaksi JSPI Mencermati isi JSPI volume 6, nomor 2 edisi Juli-Desember 2011, halaman 103-114, dengan judul “Pengaruh Suplementasi Daun Katuk terhadap Ukuran Ovarium dan Oviduk serta Tampilan Produksi Telur Ayam Burgo” saya sebagai pembaca yang mengampu mata kuliah Produksi Ternak Unggas menemukan beberapa data dan pernyataan yang tidak sesuai dengan hasil penelitian terdahulu dan teori yang sudah diakui secara luas oleh para ilmuwan unggas, yaitu: 1.
Data ovarium ayam Burgo yang ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. halaman 109 menunjukkan bahwa jumlah ovarium ayam Burgo ada 2
buah; pada Tabel 2. tersebut ditampilkan data berat ovarium sebelah kiri dan data berat ovarium sebelah kanan. Selanjutnya penulis menyatakan bahwa secara umum ovarium ayam Burgo betina sebelah kanan cenderung lebih berat dibandingkan ovarium sebelah kiri (alinea 1 halaman 109). Lebih lanjut penulis merujuk buku Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi yang ditulis oleh Salisbury (1985) yang dikutip sebagai berikut : ”Ovarium unggas sebelah kanan cenderung lebih aktif dari pada ovarium sebelah kiri sehingga ovarium unggas sebelah kanan akan lebih besar ukurannya dan lebih besar bobotnya dibanding ovarium unggas sebelah kiri. 2.
Jumlah oviduk Alinea 2 halaman 109, penulis menyatakan bahwa terdapat sepasang oviduk
dan merupakan saluran penghubung antara ovarium dan uterus. Dari kedua hal tersebut di atas, saya sebagai pembaca menyimpulkan bahwa artikel tersebut menyampaikan
jumlah ovarium ayam Burgo ada 2 buah, yaitu
ovarium sebelah kiri dan sebelah kanan, dimana ovarium ayam Burgo sebelah kanan cenderung lebih berat dibandingkan ovarium sebelah kiri. Selain hal tersebut juga disampaikan bahwa jumlah oviduknya ada sepasang. Pernyataan ini sangat berbeda dengan teori yang selama ini telah diakui secara luas oleh ilmuwan unggas antara lain sebagai berikut: Menurut Nickel et al. (1977), meskipun ada dua gonad selama tahap pertumnbuhan, umumnya pada burung hanya ovarium kiri yang berkembang penuh. Pada unggas, pertumbuhan ovarium kanan sudah kalah jauh dari bagian kiri pada penetasan hari ke-7, dan sehari setelah menetas ovarium kanan sudah menghilang dan hanya tertinggal sedikit. Ovarium terletak mendatar pada lobus anterior dari ginjal kiri. Nesheim et al. (1979) menyatakan, meskipun burung memiliki
ISSN 1978 - 3000
dua ovarium dan oviduct, hanya bagian kiri yang berkembang normal dan berfungsi pada hampir seluruh burung, termasuk ternak unggas.
North (1984) juga
menyatakan, pada awal perkembangan embrio, ada dua ovarium dan dua oviduk, tetapi bagian kanan mengecil, sehingga hanya tinggal ovarium dan oviduk kiri pada saat menetas. Etches (2000) menyatakan, pada ayam betina dewasa, ovarium kiri merupakan organ yang kompleks, mengandung beberapa jaringan, sementara ovarium bagian kanan tidak berfungsi, strukturnya menjadi rudimenter. Selanjutnya Suprijatna et al. (2008) menyatakan, pada awal perkembangan embrio, terdapat dua ovarium dan dua oviduk, bagian sebelah kanan mengalami atropi sehingga pada saat menetas yang tinggal hanya ovarium dan oviduk bagian kiri. Selanjutnya untuk membuktikan kebenaran jumlah ovarium dan oviduk ayam Burgo ini, saya didampingi oleh pakar unggas Prof. Dr. Ir. Urip Santoso, MSc. telah melakukan pembedahan terhadap dua ekor ayam Burgo betina yang sedang berproduksi. Hasil pembedahan menunjukkan bahwa, jumlah ovarium ayam Burgo betina hanya ada satu buah. Ovarium terdapat menempel di lobus anterior ginjal kiri (bila posisi ayam ditelentangkan, ovarium terdapat di atas ginjal sebelah kiri) . Kalau memang benar bahwa jumlah ovarium ayam Burgo ada dua buah seperti yang disampaikan oleh penulis yang ditampilkan padaTabel 2. tersebut, yaitu sebelah kiri dan sebelah kanan, seharusnya ovarium kanan berada di atas ginjal sebelah kanan juga. Tetapi hasil pembedahan terhadap kedua ayam Burgo tersebut, saya dan Prof. Dr. Ir. Urip Santoso, MSc. tidak menemukan ovarium sebelah kanannya. Selanjutnya penulis yang merujuk Salisbury (1985) dalam membahas ovarium ayam Burgo adalah tidak tepat. Salisbury (1985) adalah buku tentang Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi; buku tersebut sama sekali tidak membahas organ reproduksi pada unggas. Saya mempertanyakan kebenaran kutipan penulis dari Salisbury (1985) yang dituangkan pada alinea 2 halaman 109 dengan kutipan sebagai berikut: “ bahwa ovarium unggas sebelah kanan cenderung lebih aktif dari pada ovarium unggas sebelah kiri sehingga ovarium unggas sebelah kanan akan lebih besar ukurannya dan lebih berat bobotnya dibanding ovarium unggas sebelah kiri”.
Demikian yang bisa
saya sampaikan terhadap isi JSPI volume 6 nomor 2, edisi Juli-Desember 2011, halaman 103-114 dengan judul “Pengaruh Suplementasi Daun Katuk terhadap Ukuran Ovarium dan Oviduk serta Tampilan Produksi Telur Ayam Burgo “ tersebut. Berbagai kritik dan tanggapan yang bersifat membangun sangat saya harapkan.
Analisis Pendapatan Peternak Ayam Ras
177
ISSN 1978 - 3000
Daftar Pustaka Etches, R.J. 2000. Reproduction in Poultry. CAB INTERNATIONAL. Neheim, M.C., R.E. Austic, and L.E.Card. 1979. Poultry Production. 12th ed. Lea& Febiger. Philadelphia. Nickel, R., A. Schummer., E. Seiferle., and W. G. Siller. P.A.L. Wight. 1977. Anatomy of the Domestic Birds. Springer-Verlag. New York. Heidelberg. Berlin. North, M.O. 1984. Commercial Chicken Production Manual. Third Edition. AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. Salisburi, G.W. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Gajah Mada Universiti. Suprijatna, E., U. Atmomarsono, dan R. Kartasudjana. 2008. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya.
Note Nickel et al. (1977) : “although there are two gonads during developmental stages, in the majority of birds only the left ovary reaches full development. In the fowl, development of the right ovary has alreaday fallen behind the left by the 7th day of incubation and within the first day after hatching it has all disappeared except for a small remnant. The ovary lies flat against the anterior lobe of the left kidney.” Nesheim et al. (1979) : ”Although bird embryos possess two ovaries and oviducts, only the left one normally develops and becomes functional in nearly all species of birds, including the domestic fowl”. North (1984):”at the time of early embryonic development, two ovaries and two oviducts exist, but the right set atrophies, leaving only the left ovary and oviduct at hatching”. Etches (2000) :“In the mature laying hen, the left ovary is acomplex organ containing several different tissues where as the right ovary is a nonfunctional, rudimentary structure”. Suprijatna et al. (2008) :” pada awal perkembangan embrio, terdapat dua ovarium dan dua oviduk, bagian sebelah kanan mengalami atrofi sehingga pada saat menetas yang tinggal hanya ovarium dan oviduk bagian kiri”.
ISSN 1978 - 3000
PETUNJUK PENULISAN NASKAH/ARTIKEL JURNAL SAIN PETERNAKAN INDONESIA (Indonesia Animal Science Journal) 1.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia, memuat tulisan/karya ilmiah dalam bidang Ilmu Peternakan. Manuskrip dapat berupa hasil penelitian, telaah/tinjauan pustaka, kasus lapang dan gagasan. Naskah harus asli (belum pernah diterbitkan) menggunakan Bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Jurnal ini terbit 2 kali dalam setahun yaitu Januari – Juni dan Juli – Desember.
2.
Naskah atau artikel dikirim bersama soft copy dan cetakan lengkap sebanyak 3 (tiga) eksemplar atau melalui E-mail dengan menggunakan pengolah kata Microsoft Word, atau Open Office diketik menggunakan ukuran A4, fontasi Times New Roman berukuran 11kecuali abstrak dan tabel dengan ukuran fontasi 9, margin kiri dan kanan 2,5
3. 4. 5. 6.
7.
8.
9.
10.
11. 12.
13.
cm, margin atas dan bawah 2,5 cm. Ditulis dalam spasi 2 dan jumlah halaman seluruhnya tidak lebih dari 15 halaman. Tabel, Gambar, Grafik dan sejenisnya diletakkan di lembar terpisah (tidak masuk di dalam teks), yaitu setelah Daftar Pustaka. Jumlah halaman paling banyak 10 lembar Gambar berformat JPEG dan Tabel berformat Excel masing-masing tidak lebih dari 2. Naskah Asli/Artikel asli harus diselaraskan dalam judul (dalam bahasa Indonesia dan Inggris, pendahuluan, materi dan metode, hasil dan pembahasan, kesimpulan, ucapan terima kasih dan daftar pustaka) JUDUL ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (jika artikel berbahasa Indonesia, jika naskah dalam bahasa Inggris maka tidak perlu judul bahasa Indonesia), jumlah kata tidak melebihi dari 15 (lima belas) kata. Nama penulis dan alamat, termasuk email penulis ditulis dibawah judul. ABSTRACT, ditulis dalam bahasa Inggris, singkat dan padat serta dibawahnya dituliskan Key words atau Kata kunci 4-6 kata. Jumlah kata dalam Abstract tidak lebih dari 200 kata dengan 1 spasi. ABSTRAK, ditulis dalam bahasa Indonesia, singkat dan padat serta di bawahnya ditulis kata kunci. Jumlah kata dalam Abstract tidak lebih dari 200 kata 1 spasi.. PENDAHULUAN, memuat latar belakang penelitian berdasarkan bahan pustaka yang relevan, tujuan dan hipotesis penelitian (hipotesis tidak diperlukan dalam telaah/ tinjauan pustaka). MATERI DAN METODE, memuat materi dan metode yang digunakan dalam kajian secara rinci dan singkat serta analisis statistik yang digunakan. HASIL DAN PEMBAHASAN, memuat hasil penelitian yang berupa ulasan, tabel atau grafik. Pembahasan memuat diskusi hasil penelitian yang dirujuk dengan bahan pustaka yang relevan dan telah termuat dalam pendahuluan. KESIMPULAN, memuat kesimpulan atas hasil dan pembahasan secara singkat dan padat dan tidak boleh lebih dari satu alenia.
Analisis Pendapatan Peternak Ayam Ras
179
ISSN 1978 - 3000
14. 15.
SARAN, memuat saran - saran atau masukan yang perlu disampaikan berdasarkan penelitian yangtelah dilakukan. DAFTAR PUSTAKA, disusun dengan memuat nama berdasarkan abjad, tahun, judul, Penerbit, Kota, halaman tanpa nomor urut. Memuat minimal 7 (tujuh) buah jurnal ilmiah. Contoh penulisaan daftar pustaka: Antalikova, J., M. Baranovska, I. Mravcova, V. Sabo dan P. Skrobanek.2001. Different Influence of Hypodynamy on Calcium and Phosphorus Levels in Bones of Male and Female Japanese Quails. http://www.biomed.cas.cz/physiolres. 20 April 2001. Fenita, Y., I. Badarina, dan E. Tamsar. 2005. Uji kerusakan lemak ransum ayam petelur yang menggunakan minyak ikan lemuru (Sardinella longiceps) dengan penambahan bawang putih sebagai antioksidan alami selama penyimpanan. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan, 8 (4) :45-48.
CATATAN: INFORMASI TAMBAHAN: Jurnal ini terbit dua kali dalam setahun (periode januari-Juni dan Juli – Desember). Naskah dapat dikirim melalui email:
[email protected] dan
[email protected].
ISSN 1978 - 3000
Formulir Pemesanan JURNAL SAIN PETERNAKAN INDONESIA (Indonesia Animal Science Journal) ISSN 1978 – 3000
Yang Bertanda Tangan dibawah ini: Nama : ……………………………………………………..... Lembaga/Perguruan Tinggi: ……………………………………………………..... Alamat :……………………………………………………...... : ……………………………………………………..... Kabupaten/Kodia : ……………………………………………………..... Propinsi Kode Pos e- mail Telepon/HP Fax
: ……………………………………………………..... : ……………………………………………………..... : ……………………………………………………..... : ………………………………………………………. : ……………………………………………………….
Menyatakan untuk membeli/memesan/ berlangganan Jurnal Sain Peternakan Indonesia: Volume : ……………………………………………………… Nomor : ……………………………………………………… Sebanyak : ……………………………………………………… Biaya Pembelian/pemesanan (ditambah ongkos kirim) sebesar Rp. 200.000 Dibayar secara (a) Langsung (b) Transfer ke Bank Mandiri Bengkulu No Rek. 113-00-0970722-9 a.n. Rustama Saepudin, Ir. MSc -----------------------------------------------------------------------------------------------------------Kirimkan formulir ini ke Redaksi Jurnal Sain Peternakan Indonesia, Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Jl. Raya Kandang Limun Bengkulu 38371 A Telp. (0736) 21170 psw. 219. Atau melalui Email:
[email protected] [email protected] dan
[email protected]
Analisis Pendapatan Peternak Ayam Ras
181