Kadang kita lupa, kebahagiaan selalu datang bersama dengan air mata…
Relation-shit @aliftyaas
Suara penyiar radio menggema di dalam mobilku. Seperti biasa, rutinitas pagiku sebelum ke kantor, harus mendengarkan suara gadis ini yang sedang menyapa pendengarnya melalui radio. Farah. Aku sudah mengenalnya selama dua tahun terakhir ini. Dia baik, pintar, semua hal yang biasa para gadis 2
lakukan, ada padanya. Dia akan cemberut jika tiket konser band favorite-nya sold out. Dia juga akan jengkel jika sinetron kesayangannya tidak tayang dan digantikan oleh pertandingan bola. Dan, dia juga akan merengek jika melihat cupcakes kesukaannya dipajang di etalase toko kue. Dia hanya gadis biasa yang selalu terlihat luar biasa di mataku. “Lagi apa sih, Far? Serius banget.” tanyaku kala itu. Kami sedang berada di sebuah kafe. Farah memintaku
menemaninya
ke
sini
untuk
membicarakan hal penting. “Lihat deh. Bagus, ya, pemandangannya.” Farah menunjukan gambar-gambar Big Ben padaku. “Kita juga punya kok di sini.” “Oh
ya!?
Dimana!?”
Farah
langsung
mengalihkan perhatiannya kepadaku. Dengan mata berbinar, dia menatapku. “Di Padang. Jam gadang.” Jawabku santai. Dia memberenggut. Mengerucutkan bibirnya lalu melipat kedua tangannya di depan dada. 3
“Its just a joke.” Aku mengangkat bahu. “Tidak lucu!” dia mengalihkan pandangannya dan kembali fokus dengan gambar-gambar Big Bennya. Aku hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Tidak ada yang berubah darinya. Sejak pertama kami berkenalan hingga sekarang saat status kami hanya sebagai mantan kekasih, Farah masih selalu bersikap aku adalah segalanya. Farah tidak pernah berusaha menjauh atau membenciku. Dia selalu bersikap seperti kami baru berkenalan. Meski terkadang dia membawa kami bernostalgia dengan kisah indah kami dulu. Dan buatku, tidak ada hal yang lebih bahagia dibanding melihat setiap ekspresi yang dia keluarkan. Dia juga selalu menanggapi setiap keluh kesahku tentang gadis-gadis yang sedang kudekati. Dia selalu memberikan masukan tentang bagaimana aku harus menghadapi seorang wanita. Dia sangat mengertiku. 4
Tidak
ada
orang
yang
bisa
menghadapiku sesabar Farah. Farahku sangat luar biasa. Setelah memarkirkan mobil, aku keluar lalu memasuki lobi kantor. Beberapa orang menyapa saat melihatku datang. Aku hanya menganggukan kepala karena terlalu sibuk mendengarkan ocehan Farah melalui earphone-ku. Kalau boleh kubilang, Farah hanya beruntung bisa menjadi seorang penyiar. Karena suaranya itu tidak semanis dan semerdu gadis-gadis lain. Suaranya melengking. Entah apa yang ada dipikiran produser saat itu sehingga dia bisa menerima Farah bekerja di stasiun radionya. Aku menyimpan ranselku di loker, lalu menghempaskan tubuh di kursi. Beberapa note sudah terpasang di layar komputerku yang masih belum menyala. Kubaca satu per satu dengan setengah hati. Kusingkirkan note-note itu dari depan layarku. Selagi menunggu layarku menyala, aku memejamkan mata sambil membayangkan gaya konyol Farah saat sedang
siaran.
Sekarang,
dia
pasti
sedang
menggunakan roll rambutnya. Masih dengan piyama 5
di balik jaket warna abu-abunya. Dan sandal boneka beruang warna coklat di kakinya. Aku tersenyum, bukan, aku tertawa membayangkan dia menggunakan itu saat bekerja. Dia selalu menggunakan itu saat bekerja. “Farah! yakin pakai ini ke kantor?” Aku terbelalak saat mendapati orang yang akan kuantar ke kantor menggunakan piyama. “Iya, yakin. Ayo, cepat. Nanti aku telat siaran.” Dia menarikku untuk cepat masuk ke dalam mobil. Farah menduduki kursi di sampingku sambil mengangkat kedua kakinya dan memeluk boneka beruang kesayangannya. Tertidur. Aku hanya bisa menggelengkan kepala saat itu. Entah apa yang ada di otaknya. Dia sangat abnormal. “Dika, editan cover yang kemarin, sudah selesai belum?” Suara berat Rian membuatku membuka mata dan menarikku kembali menapak bumi. “Belum. Tinggal dikasih barcode saja.” 6
“Oke. Cepat, ya. Mau dicetak nanti siang.” Setelah menepuk bahuku, dia ngeloyor pergi menuju billing-nya. Aku menghela nafas, melepaskan earphone lalu mulai mengerjakan permintaan Rian.
*
Malam sangat tidak bersahabat kali ini. Hujan turun sangat deras. Petir juga tidak berhenti menyambar. Aku sedang duduk di balkon kamar dengan earphone menyumpal kedua telingaku. Aku sedang menelepon Farah sejak sejam yang lalu. Dia sedang menceritakan harinya padaku. “Sumpah, kesal banget. Bayangin, dong. Aku sudah nunggu hampir lima belas menit eh ibu itu malah nyerobot antrian.” “Yaudahlah. Yang penting, kamu tetap dapat cupcakesnya.” “Ya, tetap saja kesal. aku buang-buang waktu lima belas menit, tahu!” gerutunya. 7
Aku hanya terkekeh menanggapi ocehan gadis dengan alis tebal itu. Dia akan selalu seperti ini. Menceritakan setiap detail hal yang membuatnya kesal hari ini dengan amarah yang menggebu-gebu. Seakan dia baru mengalaminya semenit yang lalu. “Oh iya, Dik. Dikantor ada anak baru, calon teman siaran. Orangnya asik banget. Dan yang bikin lucu, mukanya mirip kamu.” Aku mendengar dia tertawa geli ujung sana. “Tadi sempat foto berdua. Aku kirim, ya, fotonya.” Sedetik kemudian layar ponselku menyala. Sebuah email dari Farah dengan attach
gambar
orang yang dia maksud mirip denganku. Aku diam sebentar. Melihat wajah lelaki yang sedang berada di samping Farah. “Apa yang mirip, Far? Jauh banget gitu.” “Ih! Mirip. Coba deh perhatiin. Raut wajah kalian tuh sama. Sama-sama jutek.” “Beda. Aku tidak mau disamakan sama dia.” “Ih! Menyebalkan!” dan berakhir dengan Farah marah padaku. 8
Selalu seperti ini. Dia akan menanggapiku seadanya kemudian dia tidak akan bicara padaku sampai beberapa hari. Sampai aku mengaku salah dan membenarkan pernyataannya. Kali ini juga begitu. Dan lebih parahnya, dia mengajakku untuk menemui
lelaki—yang
menurutnya
mirip
denganku—itu. Aku duduk di hadapannya dengan Farah duduk di sampingku. Dia senyum-senyum konyol melihat kami. “Kalian lebih mirip kalau dilihat secara langsung.” “Farah!” geramku sambil menyubit pipinya. “Apa sih.” Farah menjulingkan matanya. “Ayo, kenalan dong.” Dia menarik tanganku dan lelaki itu secara paksa. Dia baru melepaskannya saat kami sudah saling berjabat tangan. “Lintang.” Ucapnya. Aku hanya mengangguk. Kemudian Farah menusuk rusukku dengan telunjuknya. “Aw!” “Sebutin nama.” Dia memelototiku.
9
“Dika.” Aku tersenyum lalu melepaskan jabatan tanganku. Setelah saling menyebutkan nama, Lintang lebih sering bertanya dibanding aku. Dia menanyakan banyak hal bahkan dia sampai bertanya, seberapa sering aku menelepon Farah. Farah juga lebih sering tertawa. Matanya tidak pernah lepas dari Lintang. Rasa
khawatir
menghampiriku.
Apakah
Farah
menyukainya. Oh, jangan sampai itu terjadi. Aku tidak ingin kehilangan dia. Sungguh tidak ingin.
*
“Dika!”
Farah
melambai dari kursinya.
“Lama banget sih.” Keluhnya saat aku sudah duduk di hadapannya. “Macet. Lupa kalau sekarang jam pulang kantor?” aku menarik coklat dingin milik Farah, menyeruputnya pelan. “Ada apa? tumben minta ketemu dadakan.”
10