Mata Air Air Mata Kumari by Yudhi Herwibowo
Keinginan sederhana setiap manusia, ingin dihargai itu yang saya tangkap di cerpen pertama, Kofa bahasa nya begitu mengalir, sederhana tapi saya terenyuh menyadari betapa keinginan tersebut bisa memutarbalikkan suasana dunia dari debu menjadi subur, lalu kembali lagi menjadi debu dan memang semua empatbelas cerpen di dalam buku ini dituturkan dengan sederhana dan mengalir sangat enak untuk dibaca dan semuanya mempunyai garis besar yang sama keinginan sederhana untuk dihargai diakui diterima disayang dicinta unsur etnis yang melatarbelakangi cerita-cerita nya juga sangat kental walaupun ada kesan tidak tuntas dan dalam kontradiksi antara mistik dan ilmiah, tradisional dan modernitas, ditampilkan dalam penuh tanda tanya saya dibuat bingung berkali-kali dan berusaha menebak maksud dan inti dari beberapa cerita yang (sengaja?) dibuat mengambang kejutan-kejutan yang diberikan seharusnya bisa menbuat lebih kaget jika saja petunjuk yang diberikan tidak terlalu 'cepat' nuansa politis pun disisipkan demi rasa peka penulis pada kondisi masyarakat, contohnya dalam anak lemang
nuansa politis pun disisipkan demi rasa peka penulis pada kondisi masyarakat, contohnya dalam anak lemang kawi yang menceritakan tentang papua (dan freeport?) dalam cara yang berbeda ada satu cerita berjudul lama fa yang menceritakan tentang tradisi perburuan paus di NTT. Cerita ini disampaikan dalam bentuk segmen-segmen dengan alur unik, kita bisa membaca dari segmen terakhir dan bergerak maju, atau dari segmen pertama dan bergerak mundur like this! hanya saja, saya sedikit kecewa karena alasan utama saya sebegitu ngototnya ikut Obrolan Pembaca Media Indonesi (OPMI) bulan Juni ini karena konon buku ini termasuk buku horor duh kurang berasa, euy.. kaget sih iya, tapi horor kayaknya bukan.. jadi yaa, bintang 3 rasanya sudah cukup.. atau 2.5 ya karena saya yang jarang memperhatikan typo pun merasa terganggu? hihihi PS: sangat disarankan membaca kata pengantarnya setelah selesai membaca semua cerpen-cerpennya.. terutama jika otak anda sama dunkdunk nya dengan otak saya -_-|Dapat buku ini karena ikutan OPMI periode Juni 2011. Saya adalah tipikal orang yang selalu membaca kata pengantar bila akan membaca sebuah buku, walau beberapa kali saya pernah terjebak oleh kata pengantar, ternyata saya tetap enggak kapok, dan dalam buku ini lagi-lagi saya terjebak. Tapi saya tetap tidak sudi dikatakan sebagai keledai bodoh, meskipun beberapa kali terjebak dalam "lubang" kata pengantar, tapi khan "lubang"nya enggak pernah sama *ngeles*. Kata pengantar yang disampaikan oleh Bandung Mawardi, seorang Esais dan mempunyai peran sebagai editor istimewa dalam buku ini benar-benar membuat saya terkecoh. Cara penyampaian dan pemilihan kata yang teramat sangat "tidak biasa" membuat saya hampir saja mengundurkan diri dari peserta OPMI. Yang terbayang oleh saya adalah buku ini sangat tidak nyaman untuk dibaca dan akan sangat sulit untuk dimengerti. Dan ternyata saya salah. Sangat salah.... (atau barangkali saya yang terlalu bodoh untuk bisa memahami apa yang dimaksudkan oleh Bandung Mawardi dalam kata pengantarnya sehingga saya harus terlebih dahulu menyelesaikan isi buku ini lalu kembali lagi membaca kata pengantar tersebut dan baru memahami apa yang beliau maksudkan dengan beraneka rupa katakata yang tidak biasa tersebut). Buku Mata Air Air Mata Kumari ini merupakan kumcer yang berisi 14 cerita. Masing-masing cerita diramu dengan cara yang berbeda dan memberi sensasi yang berbeda pula dengan berbagai kejutan di akhir cerita. Saya setuju dengan Bandung bahwa Yudhi adalah seorang penulis yang peka. Ia telah mampu mengangkat sebuah tradisi dan kepercayaan yang terdapat dalam suatu masyarakat untuk diramu menjadi sebuah cerita. Hampir di semua cerita Yudhi menyerahkan penyelesaiannya kepada pembaca. Meminjam istilah Bandung tentang "ziarah imajinasi", maka terlihat disini bahwa Yudhi tak sekedar melakukan ziarah itu sendiri, namun para pembaca pun diajak melakukan ziarah imajinasi dalam menebak akhir cerita. Bagi saya, cerita yang paling menarik dalam buku ini adalah Lama Fa. Lama Fa adalah sebutan yang diberikan kepada seorang pemburu paus di suatu daerah di Nusa Tenggara Timur (melalui sebuah situs, saya mengetahui bahwa daerah tersebut bernama Lamalera). Perburuan ini dilakukan secara tradisional dengan menggunakan perahu kecil (pledang) dan bersenjatakan tempuling (tombak). Maka tidaklah sembarang orang dapat menyandang predikat Lama Fa. Hanya mereka yang memiliki keberanian dan mampu mentaati segala peraturan (termasuk menghindari pantangan-pantangannya) lah yang dapat menjadi Lama Fa sejati. Meskipun perburuan paus sangatlah bertentangan dengan upaya pelestarian lingkungan hidup, dan sudah dilarang berdasarkan ketentuan konvensi internasional, namun cerita yang diangkat tetap menarik buat saya. Dan eehhh ternyata,
(termasuk menghindari pantangan-pantangannya) lah yang dapat menjadi Lama Fa sejati. Meskipun perburuan paus sangatlah bertentangan dengan upaya pelestarian lingkungan hidup, dan sudah dilarang berdasarkan ketentuan konvensi internasional, namun cerita yang diangkat tetap menarik buat saya. Dan eehhh ternyata, pemerintah setempat justru melestarikan budaya peburuan paus ini dengan menjadikannya festival tahunan yang diberi nama Festival Baleo, dan festival ini digelar secara rutin sejak tahun 2009 *jadi prihatin*. Kembali ke buku ini, cerita yang terlalu biasa saja buat saya adalah Utusan Tanah Mati. Judul dan awal ceritanya membuat saya berfikir kalau cerita ini horor abis. Tetapi ternyata saya harus kecewa dengan sukses, apalagi dengan ending yang "enggak banget deh". Cerita Mata Air Air Mata Kumari sendiri merupakan cerita yang berasal dari Nepal. Ceritanya sendiri biasa saja, enggak beda jauh dengan legenda-legenda yang terdapat dalam masyarakat Indonesia, tapi lagi-lagi kepekaan pengarang dan kemampuannya dalam meramu kata dan menjalin kalimat membuat cerita menjadi enak untuk dibaca. Cerita lainnya cukup menarik, hanya saja saya tidak paham kenapa banyak teman yang menggolongkan buku ini sebagai buku horor ya. Padahal menurut saya buku ini sama sekali tidak seram. Akhirnya sebuah buku akan dianggap menarik atau tidak memang berpulang kepada masing-masing pembaca karena setiap pembaca mempunyai latar belakang yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula dan juga selera yang berbeda. Namun kemampuan seorang penulis dalam mencermati setiap masalah yang ada untuk kemudian diramu menjadi sebuah cerita yang menarik akan menentukan sebuah buku akan menjadi buku yang diminati atau tidak. Akhirnya, 3 bintang saya berikan untuk buku ini.
|(Sebetulnya bingung mau pijit berapa bintang, sebab cukup kenal penulisnya dan takutnya jadi tidak obyektif. Jadi, kuambilah titik tengahnya: tiga bintang.) Ada beberapa kalimat rancu, kata-kata ganjil, dan sejenisnya, yang barangkali kelalaian dalam pengeditan, tapi secara garis besar cara berceritanya cukup nyaman diikuti (juga cukup punya intensitas dalam pembangunan suasana). Belum selesai sih, baru baca beberapa cerpen. Gaya berceritanya terbilang deskriptif, sangat deskriptif (berhubung baru saja selesai baca Leila Aboulella, jadi agak teringat dengan tulisannya yang juga deskriptif banget). Bedanya, barangkali, alur Leila Aboulella lebih intuitif, sedangkan cerpen-cerpen di buku ini terlihat sekali lebih struktural. Kofa. Sebetulnya ceritanya unik, imajinatif, kukira cerpen ini bisa lebih menghentak andaikata ada paparan emosi yang lebih mengena. Tapi, barangkali penulis sepertnya (malah jelas sekali) lebih fokus pada latar lokalitasnya ketimbang sisi emosional, jadi apa boleh buat. Tapi aku suka. Amela-Ameli. Aku suka suspense emosional (nyaris psikologis) di awal-awalnya, tapi pada akhirnya, pas sudah mulai terbaca arah ceritanya, cerpen ini mulailah terasa agak klise. Kukira sudah cukup banyak bentuk begini, dan ini barangkali salah satu inovasinya, yang sayangnya menurutku kurang berhasil menonjol. Lama Fa. Unik. Menarik. Walau agak mengingatkan pada Hemingway. Tetapi tetap unik dan menarik. Jarangjarang saja, walau sudah ditenarkan Hemingway. Tetapi ada yang membikinku bingung dalam jalinan ceritanya (setidaknya menurutku): mengenai hubungan Marten Batanoa dengan Papa Batanoa. Dikisahkan Papa Batanoa ini seorang lama fa yang handal, piawai, barangkali hampir-hampir legendaris, yang tentu saja patuh pada pantangan, yang salah satunya "dilarang berhubungan dengan perempuan." Lantas siapa Marten Batanoa? Anak kandung? Anak angkat yang sengaja diasuh untuk jadi penerus? Kisah Si Umar Pengkor. Aku suka cerita ini. Alurnya lurus, sederhana (apalagi dibanding tiga cerita sebelumnya), tapi aku cukup suka nuansa dan emosi ceritanya. Tapi ada yang kusayangkan, kepengkoran (atau bentuk kaki O) si Umar rupanya tidak punya andil besar di cerita ini (selain di bagian awal—yang juga tidak berandil besar—dan, konon, memudahkan dia menyelam—bocah-bocah kampung di Sumatera Selatan pun tetap jago menyelam,
tapi aku cukup suka nuansa dan emosi ceritanya. Tapi ada yang kusayangkan, kepengkoran (atau bentuk kaki O) si Umar rupanya tidak punya andil besar di cerita ini (selain di bagian awal—yang juga tidak berandil besar—dan, konon, memudahkan dia menyelam—bocah-bocah kampung di Sumatera Selatan pun tetap jago menyelam, bahkan terjun ke sungai dari pucuk jembatan tinggi, tanpa kaki pengkor). Kukira, dengan atau tanpa kaki pengkor pun inti ceritanya tetap bisa tersampaikan. Padahal judulnya Kisah Si Umar Pengkor. Bayi Baboa. Cerita yang cenderung biasa-biasa saja: selain kisahnya yang biasa, cara penturuannya juga biasa saja. Nuansa lokalitasnya tidak sepadat cerita yang lain, dan sekalipun begitu juga tak banyak membantu. Menjelang paruh akhir cerita aku sudah bisa menebak arah ceritanya. Keris Kyai Setan Kober. Aku tidak kenal Kyai Setan Kober (atau Setan Kober) maupun kerisnya. Aku sama sekali tidak mengenal latar di balik legenda ini. Jadi, jujur saja, aku kurang bisa mengikuti cerpen ini. Meskipun begitu, kukira cerpen ini menarik sebab (1) ceritanya merupakan personifikasi si keris itu sendiri dan (2) aku menikmati bangunan monolog interiornya si keris itu. Tapi, barangkali juga karena aku sebelumnya tidak kenal dan baru kali ini berkenalan dengan Keris Kyai Setan Kober, aku agak terbata-bata mengikuti. Aku pun kurang mendapatkan kemenonjolan (atau kespesialan) Keris Kyai Setan Kober ini dibanding senjata legendaris lain (Excalibur, Asi, Mjolnir, Caladbolg, Galatine, Hrunting, dan lain-lain) yang sudah lebih dulu kukenal dari dongengan kanak dan game Playstation. Eksekusi. Cerita yang juga cenderung biasa-biasa saja, malah klise. Kukira kebiasa-biasaan cerpen ini malah membikin cerpen Bayi Baboa jadi lebih kurang-biasa. Judulnya berhasil menipuku: sebelumnya aku mengira cerpen ini bakal bercerita tentang orang-orang yang bakal dieksekusi karena sebuah kejahatan ekstrim (penjahat perang, pembunuhan berantai, terorisme, dan sebagainya), rupa-rupanya cuma persoalan percintaan. Dan, apakah kejahatan yang dilakukan tokoh utama, secara hukum, memang bakal dijatuhi hukum mati? Bahkan Sumanto pun tidak dihukum mati. Ana Bakka. Cerpen ini sepola dengan Bayi Baboa, baik dari segi plot, alunan cerita, bahkan sampai tokoh utamanya yang sama-sama dokter (termasuk juga nasib tokoh utama yang nyaris sama). Kukira premis dan model dalam cerpen ini sudah cukup sering ditemui di film-film horror komersial Hollywood. Bayangan pada Tempayan Penuh Air, Cermin Retak, Langit-langit Kamar, Rumah Kosong Penuh Debu, dan Epitaf yang Patah. Cerpen mistis lagi. Tokoh utama yang diangkat serupa Kofa, tetapi minus lokalitas dan kali ini lebih gelap. Aku menangkap cerpen ini bercerita tentang obsesi si tokoh utama dengan sosok bayangan (imajinasi). Sayangnya aku kurang tergerak oleh ceritanya sendiri, dan bentuk cerita yang dibikin episodik itu pun tak banyak membantu. Anak Nemang Kawi. Cerpen lokalitas lagi. Kali ini Papua. Dari sudut pandang anak-anak (setidaknya begitu yang kutangkap). Lumayan, setidaknya dibandingkan cerpen-cerpen lain di buku ini. Utusan Tanah Mati. Cerpen yang agak berbeda temanya dengan cerpen-cerpen sebelumnya, tetapi baik cerita maupun cara penggarapannya tidak membuat cerpen ini spesial atau sekedar menonjol. Mata Air Air Mata Kumari. Salah satu cerpen yang menonjol dibanding cerpen lainnya, dan untuk itu aku cukup mengerti kenapa judul cerpen ini dijadikan judul buku. Cara penceritaan, sudut pandang cerita, bahkan kejutan ceritanya digarap lebih baik dibangin kebanyakan cerpen di kumpulan cerpen ini. Nuansa lokalitasnya juga memberi nilai lebih dan, yang terpenting: tepat guna.
Bersambung...|Saya kaget………………………! Mengetahui ada seekor ular yang selalu mendatangi seorang bayi, bahkan walau bayi itu telah dibawa jauh dari kampungnya. Sang ular dengan segala cara bisa menemukannya, ia tetap ada disebelahnya hingga seseorang berteriak karena kaget! Saya takut…………………….! Mengetahui seorang gadis kecil bermata perak mampu membunuh pelanggan setia ibunya
Mengetahui seorang gadis kecil bermata perak mampu membunuh pelanggan setia ibunya Saya khawatir........................! Belum ada yang menemukan tubuh layu seorang bocah Saya merinding..................! Membaca tulisan, ” Dan siapa yang akan berani menggoda lakuku? Bahkan jin-jin itu pun kuharap akan jera!” diucapkan oleh Empu Bayu Aji, masa pajajaran 1159 M Dan semuanya gara-gara membaca buku terbaru dari Yudhi Herwibowo, Mata Air Air Mata Kumari. Seluruh tenaga dan emosi seakan tersedot habis, meluluhlantahkan pertahanan diri.Buku setebal 140 halaman ini, menyeret saya keluar dari zona nyaman. Melelahkan, namun juga memberi asupan gizi bagi jiwa saya. Buku yang berupa kumpulan cerita pendek ini memuat 14 belas cerita. Diantaranya- Kofa yang bercerita mengenai indahnya sebuah kota, tepatnya dahulu indah, Utusan Tanah Mati, Keris Si Umar Pengkor , Mata Air Air Mata Kumari, serta Bayang pada Tempayan Penuh Air, Cermin Retak, Langit-langit Kamar, Rumah Kosong Penuh Debu dan Epitaf yang Patah. Uniknya dalam buku ini, beberapa cerita dibuat dengan lokasi bukan Pulau Jawa, daerah tempat penulis bermukim. Pengolahan cerita yang indah membuat seolah penulis ada di sana. Setiap cerita juga memiliki keunikan sendiri-sendiri. Tidak ada yang sama dari setiap cerita, selalu ada unsur kejutan. Pemilihan judul juga mendapat perhatian dari sang penulis. Kadang menggunakan satu kata singkat, langsung pada sasaran. Dilain cerita memilih kalimat yang panjang. Dalam daftar isi, di bawah judul diberikan uraian singkat, tak lebih dari 5 baris berisi inti cerita. Sungguh menarik! Kita bisa membaca cerita yang menggoda perhatian kita terlebih dahulu. Namun jangan khawatir, semua cerita menarik. Sulit menentukan mana cerita favorit saya. Semuanya begitu indah dan menawan. Dibeberapa cerita, terdapat ilustrasi yang sungguh berbeda dengan bukubuku lain buah karya sang penulis. Ilustrasinya seakan berkesan kelam dan dewasa. Buku ini sungguh istimewa! Yang ditawarkan dalam buku ini bukan uraian panjang lebar kata, bukan ungkapan yang mendayu-dayu, bukan fakta-fakta berdasarkan hasil penelitian, bukan khayalan yang dibuat, namun sebuah untaian kata yang bersumber dari hati. Semuanya penuh dengan rasa. Menyentuh Lembar pertama menyihir saya dalam kagum! Selanjutnya saya merelakan diri tersihir. Buku ini seakan-akan dibuat dengan mencurahkan seluruh kemampuan yang ada, seolah tidak ada lagi buku yang bisa dibuat esok! Kekurangannya.................?Seperti biasa, ada beberapa typo. Sang Tukang Cerita Ada yang menulis, “ YUDHI HERWIBOWO ia an Indonesian novelist. He was wrote a many book already, from a kind of genres. Usually he use HIKOZZA for japanese novel that he wrote and YUDHI H. for some comedy novel. “ Muda, rendah hati, kreatif dan produktif! Gambaran singkat mengenai sosok sang tukang cerita yang ada di benak saya. Jika Yudhi Herwibowo bukan sosok yang spesial, tak mungkin seorang Bandung Mawardi berkenan menjadi editor khusus. Kerelaan beliau meluangkan waktu diantara kesibukan sebagai seorang esais, tentunya berdasarkan pertimbangan yang matang.Tidak semua orang bisa mendapat penghormatan seperti itu. Dalam usianya yang masih tergolong muda, sudah 26 buku selesai digarapnya. Belum lagi kegiatan lainnya, mengelola penerbitan, berburu naskah, menjadi editor hingga menjadi sekretaris di penerbitan. Bukan mau bersikap one man show, namun keadaan memang membuatnya menjadi seorang pekerja keras. Penerbitan yang menurut pengakuannya ”kecil” selalu membuat saya tergoda untuk mampir, dalam dunia maya tentunya. Entah sekedar beramah-tamah atau mengintip buku-buku baru yang ditawarkan. Sebagai penggemar buku, tentunya berharap sebuah buku gratis hadiah dari kuis. Namun jika tidak menang kuis, para penggemar setia penerbit ini rela berburu dan mengeluarkan kocek sendiri demi sebuah buku. Yudhi tahu sekali bagaimana
buku, tentunya berharap sebuah buku gratis hadiah dari kuis. Namun jika tidak menang kuis, para penggemar setia penerbit ini rela berburu dan mengeluarkan kocek sendiri demi sebuah buku. Yudhi tahu sekali bagaimana memanjakan pembacanya. Buku-buku yang diterbitkan selalu buku-buku dengan tema menarik, tema yang belum pernah ada. Promosi yang digunakannya belakangan mulai ditiru penerbit lain. Inovatif! Dalam memilih kata, Yudhi terkesan sangat teliti. Setiap kata yang dipergunakan memancarkan aura tertentu. Tengok saja kalimat berikut, Cukup ingat aku sebagai : hikozza ”... dan aku akan mengukir kata demi kata didedaunan yang menjatuhi tubuhmu menjadi imajinasi paling indah bagimu...” Hiyaaaaaaaaaaaaaaa bisa-bisa saya jadi melo nih. Buat saya, sosok Yudhi sungguh luar biasa! Dalam menulis buku, ia bermetamorfosis sesuai dengan tema buku yang ditulisnya. Buku itu tetap ”Bukunya Yudhi” namun terasa perbedaan nyata saat ia menulis buku humor, Jnovel atau lainnya. Saat membaca Pandaya Sriwijaya, saya tidak merasa digurui soal sejarah, namun saya seakan hidup sebagai masyarakat setempat dimana sebuah kejadian sedang berlangsung. Dalam Samurai Cahaya, saya adalah orang biasa yang hidup dijaman samurai sedang berkuasa. Saya bisa merasakan betapa kentalnya unsur Yudhi dalam aneka wujud. Serius, jenaka, dewasa, sebut saja! Saya memang bukan penggemar cerita sejarah dan J-Novel, namun melalui buku-buku Yudhi, saya belajar menikmatinya. Dalam buku ini.. SAYA LELAH! Setiap cerita mengaduk-aduk emosi tanpa saya sadari Sebanyak 15 penulis Indonesia terpilih mengikuti perhelatan sastra tingkat dunia "Ubud Writers and Readers Festival 2010" yang akan berlangsung di Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali, 6-10 Oktober 2010. Mereka adalah Kurnia Effendi (Jakarta), Medy Lukito (Jakarta), Nusya Kuswatin (Yogyakarta), Arif Riski (Padang), Zelfeni Wimra (Padang), Wa Ode Wulan Ratna (Jakarta), Andha S (Padang), Imam Muhtarom (Blitar), Wendoko (Semarang), Yudhi Heribowo (Solo), W. Hariyanto (Surabaya), Benny Arnas (Sumatera Selatan), Magriza Novita Syahti (Padang), Harry B Koriun (Riau), serta Hermawan Aksan (Bandung). Saya sungguh berharap, sang tukang cerita mendapat sesuatu yang setimpal dengan usahanya membuat pembaca "merana" Yudhi bisa ditemui di :
[email protected] http://yudhiherwibowo.com/ http://yudhiherwibowo.blogspot.com/ http://yudhiherwibowo.wordpress.com/ http://pandayasriwijaya.blogspot.com/ http://untung-surapati.blogspot.com/ STOP! Sudahi saja membaca coretan iseng saya ini, karena saya sudah tidak tahu harus berucap apa lagi Segera sajalah intip link di atas. Anda tidak akan rugi!
buat GRI ada kuis berhadiah 5 buku ini sedang di posting with Agen 007-b alias Ijul* plus ttd tentunya|kumpulan cerpen yang sebelum na telah diterbitkan. jadi setidak na telah melalui saringan yang cukup sampai akhir na dibukukan. hanya saja, mentang-mentang sudah pernah diterbitkan sebelum na lalu proses editing na berkurangkah? karena dalam buku ini, banyak ditemukan kesalahan tulis, baik tulisan maupun pengulangan. cukup mengganggu mengingat ini pernah diterbitkan sebelum na. jika sebelum na ada yang salah, kenapa tidak dilakukan perbaikan??? pengantar dalam kumpulan cerita ini, ntah kenapa... ga enak aja. membuat pembaca diarahkan lebih dulu untuk memahami makna dari cerita-cerita yang ada itu 'ya seperti ini'. namun dari apa yang ada, cukuplah membawa pembaca untuk berkeliling melalui 14 cerita. antara dunia nyata dan dunia roh, antara keberadaan dan ketiadaan. antara masa sekarang dan masa silam. antara kenyataan dan kebendaan. menycoba menyeimbangkan setiap apa yang ada di alam.
antara masa sekarang dan masa silam. antara kenyataan dan kebendaan. menycoba menyeimbangkan setiap apa yang ada di alam. mungkin itulah yang menjadi benang merah antara cerita-cerita yang ada. bahwa tidak ada yang sepenuh na benar atau salah. karena akan ada pembalasan untuk setiap keputusan na, baik benar maupun salah. juga beranjak ke tempat-tempat yang mungkin jarang diekspos dan coba diangkat oleh penulis. mmm.... seakan menjadi acara jalan-jalan mengikuti cerita-cerita dalam kumpulan ini. -15-