Air Mata bagi Beda
Kianti Azizah
R
buhku bergegas duduk pada sebuah bangku panuangan sekretariat terlihat lenggang. jang dengan busa yang sudah menyeruak keluar Tidak ada tanda akan adanya sebuah acara di- di beberapa bagian. Tidak terawat, namun cukup sana. Padahal, pengumuman yang aku terima nyaman. “Hai”, dua orang perempuan menyapa bertadi malam sudah jelas mengatakan bahwa tahap samaan dan merusak lamunanku. Aku mengamaseleksi selanjutnya akan dilaksanakan disini. Aku menggerutu kesal, sepi. Mataku menempel di ti mereka. Satu perempuan manis dengan selera jendela ruangan, berusaha mencari tahu barang- berpakaian yang sangat baik tersenyum ramah. kali ada orang didalam. Kosong. Hanya ada kar- Sementara perempuan kedua adalah perempet biru dengan beberapa bungkus kacang yang puan berkerudung dengan gaya yang sedikit besudah habis dimakan diatasnya. Sudut-sudut ru- rantakan ala jurnalis. Cocok sekali dengan kegiatangan penuh dengan kertas dan Koran. Semen- an yang memang kami ingin ikuti, pers kampus. tara, papan tulis didepannya masih menyisakan Saat ini, adalah tahap kedua seleksi penerimaan untuk unit kegiatan tersebut. coretan. Tulisan-tulisan penuh argumentasi. “Halo, mau daftar juga ya?”, tanyaku me Ah, kakiku mulai terasa lelah berdiri. Tu-
ngulurkan tangan, “Kisya” “Dela” ujar Si Perempuan Modis. “Sofi” sahut Si Perempuan Berkerudung. Tepat saat kami selesai berkenalan, seorang laki-laki dan perempuan berjalan tergesa ke arah kami, wajah mereka terlihat bersalah, “kalian calon anggota baru ya?” ucap perempuan berkerudung merah muda membuka percakapan. Kepala kami mengangguk sopan, “Iya” Perempuan tersebut, yang ternyata adalah salah satu anggota pers, mengatakan bahwa lokasi tahap seleksi berubah dan meminta maaf untuk pemberitahuan yang terlambat kepada calon anggota. Kami diminta untuk segera pergi ke lokasi yang baru. Aku tersenyum, sedikit kesal namun memutuskan untuk tetap pergi ke lokasi yang baru. Dua menit sebelum kami meninggalkan sekretariat, laki-laki itu datang. Dia mengenakan jaket hitam dengan jeans berwarna senada. Matanya dilindungi oleh lensa. Alisnya rapi menaungi mata tersebut. Rambutnya ikal dan tampak tebal. Hidungnya mancung dengan bibir yang proporsional dibawahnya. Kulitnya putih. Wajahnya benar-benar tampak seperti bayi. Laki-laki itu mendengarkan penjelasan anggota pers, penjelasan yang sama seperti yang dikatakan kepada kami. Dia mengangguk singkat kemudian berbalik arah meninggalkan ruangan. Aku mengurungkan niatku untuk menyapa. Jelas sekali, dia tampak tidak ramah. AH! Membosankan. Sejujurnya, aku tidak benar-benar tertarik dengan jurnalistik. Aku hanya ingin menulis namun tentu menulis puisi atau cerita fiksi tampak jauh lebih menyenangkan dibandingkan dengan berargumentasi mengenai isu tertentu. Aku jauh lebih tertarik dengan cerita Dela mengenai pengalaman magangnya di salah satu majalah fashion terkemuka. Sebaliknya, laki-laki yang tampak tidak ramah tadi sedang berargumentasi dengan sangat bersemangat. Suaranya tenang namun cukup untuk mematahkan beberapa kalimat calon anggota lain. Beberapa tatapan senior memandangnya dengan senyum tipis, tentu aku mengerti, laki-laki itu calon anggota potensial yang dimiliki oleh pers ini. Aku juga sudah mengetahui namanya karena nama laki-laki itu terus disebut setidaknya dalam lima belas menit terakhir. Mataku mengalihkan pandangan, tidak
peduli. * Satu tahun setelahnya, aku merasakan pers mahasiswa tersebut semacam keluarga bagiku. Kehangatan selalu mengalir setiap kakiku menginjak sekretariat yang terletak di pojok barat gedung kegiatan mahasiswa itu. Jum’at malam menjadi salah satu momen yang paling aku tunggu selama seminggu. Walaupun sesungguhnya, jurnalistik dan diriku masih terasa belum pas. Aku masih belum merasakan bahwa aku seorang jurnalis. Teman-teman pers yang lain memiliki suatu pola pemikiran yang sama, sikap kritis yang sama dan bahkan, cara berbicara dan berpakaian yang sama. Hanya segelintir yang berbeda, aku dan Dela termasuk kedalamnya. Dela sayangnya, telah mengundurkan diri beberapa bulan lalu. Laki-laki tidak ramah itu, Gio, masih saja terasa tidak ramah bagiku. Aku selalu canggung jika berhadapan dengannya. Sikapnya sama dengan yang lain; idealis, kritis, dan berani. Artinya, berbanding terbalik denganku. Aku mulai berpikir jangan-jangan dia menganggapku perempuan tolol yang beruntung karena dapat lulus seleksi ketat pers mahasiswa ini. Duh, bahkan aku masih mengingat saat aku mengeluarkan pendapat, dia hanya melihatku lewat sudut matanya beberapa detik kemudian kembali terpaku kepada laptopnya. Siapa juga yang peduli? Toh jika aku harus memiliki hubungan cinta dengan seseorang, Gio tidak akan menjadi pilihan. Aku rasa aku akan mencoret semua laki-laki anggota pers ini dari daftarku. Sederhana, mereka tidak mampu membuatku merasa tertarik. * Mita menunjukan ekspresi memohon dihadapanku. Perempuan berkacamata yang sangat aktif ini memintaku untuk menjadi salah satu redaktur, rupanya sudah saatnya regenerasi, “Ki, mau ya bantuin gue?” “I don’t think that I can Mit” tolakku pelan. Kepala Mita menggeleng cepat sementara matanya berbinar bersemangat, “Kisya, lo tuh bisa. Gue yakin banget lo bisa. Gue butuh lo banget. Bisa ya? Ayo semangat Kisya! Lo bisa deh pegang ini” Otakku berhitung cepat, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika aku menerima tawaran Mita. Aku hampir memu-
tuskan untuk menolak tawaran Mita saat aku melihat, mata Mita benar-benar terasa mempercayaiku dan berharap aku bisa membantunya. Perempuan cerdas itu bahkan menambah senyum hangat setelah menyadari aku mentapnya. Sialan! Kalau begini caranya, aku merasa sungkan untuk menolaknya. “baiklah” ujarku, “gue mau Mit” MITA BERTERIAK. Demi Tuhan, dia berteriak sangat kencang berterimakasih karena aku mau membantunya kemudian memelukku erat sekali. Lima detik sebelum akhirnya aku bisa kembali bernafas lega. “Tanggung jawab gue apa saja, Mit?” tanyaku memulai obrolan formal yang memang sudah seharusnya. “Gampang Ki, sama saja sama yang sudah lo tahu sebelumnya. Lo buat TOR* setiap bulannya terkait isu seputar kompartemen lo, memanajemen reporter lo, melakukan editing buat liputan reporter lo, kerja sama dengan redaktur pelaksana buletin dan website” Aku mengangguk mantap, “oke”, Mita tersenyum senang. “Anyway, siapa redaktur pelaksananya ya Mit?”. Mita tersenyum simpul, matanya mengarahkan pandangan kedalam ruangan, “Gio” Laki-laki tidak ramah itu, resmi menjadi atasanku. Aku harus berkoordinasi dengan dia setidaknya satu kali dalam sebulan. Sungguh, aku sangat berharap dia tidak akan menganggapku bodoh atau semacamnya. Mungkin saja setelah aku menjadi redaktur, aku akan terlihat lebih pintar dan lebih memahami mengenai jurnalistik. * Tidak lama, hanya sebulan untuk menyadari bahwa menjadi redaktur tidak mengubah apapun. Tingkat kecerdasanku dalam dunia jurnalistik tidak berkembang sama sekali. Seirama dengan sikap kritis atau idealis juga begitu, tidak mengalami perkembangan. Aku hanya akan mengangguk mengamini rapat redaksi dan lebih memilih untuk membuat beberapa cerita pendek dan puisi. Ah, susah benar menjadi jurnalis! Redaktur yang kini aku sandang ternyata tidak semudah kedengarannya. Aku harus memikirkan setidaknya tiga isu mengenai kesehatan setiap bulannya lalu mengirimnya ke rapat redaksi yang akan dikritisi kemudian diliput oleh reporter. Setelahnya, aku bertugas untuk mengedit tulisan
tersebut. Awalnya terasa sangat mengagumkan. Aku sungguh kagum dengan diriku. Namun, mengedit bukan perkara mudah dan aku tahu, aku belum memiliki kemampuan mengedit. Lalu Gio, yang nampaknya tidak sabar dengan hasil tulisan dari kompartemenku, menawarkan bantuan. Gio membantuku mengedit. “Terimakasih ya Gi” ujarku tersenyum tulus. Gio menatapku lembut, tatapan pertama yang membuatku menyadari dia memiliki warna mata cokelat muda, “untuk apa?”, tanganku mengangkat sepiring chicken mozzarella, “untuk bantuin gue ngedit dan untuk ini” Kami sedang makan malam di salah satu restoran daerah Depok. Gio dalam balutan kemeja biru dongker dan jeans hitam mulai terlihat memukau bagiku. Ruangan dengan dominasi warna coklat dengan tempat duduk berupa sofa empuk menghangatkan suasana ditambah api lilin kecil yang menyala diantara kami, sementara alunan lagu could it be dari Raisa bergema, “Ekspresi muka lo lucu kaya gitu”, ujarnya pelan. BUM! Aku bersumpah, tidak akan ada lagi ‘Gio: Si Laki-laki Tidak Ramah’. Sungguh rasanya semacam melahap habis omonganku sendiri. Setelah bantuan Gio terhadapku, hubungan kami semakin menjauh dari sekedar hubungan kerja. Kami mulai mengobrol hal-hal diluar pers kampus. Gio mulai bercerita mengenai latar belakangnya, pun begitu denganku. Pesan-pesan kami berkembang menjadi pesan yang sangat intens. Jangan tanya, tentu kami mencuri pandang disela-sela rapat redaksi
dan tanpa sepengetahuan anggota lainnya, kami kerap makan malam bersama sambil membahas hasil rapat. Menyenangkan sekali, tentu saja. Menyenangkan kembali merasakan wajah yang menghangat saat sosoknya hadir. Menyenangkan merasa gugup saat harus berbicara dengan tatapan mata Gio sepenuhnya menatap kearahku. Hubungan kami terasa sangat menyenangkan. Gio satu tahun lebih tua dariku, dia mahasiswa ilmu politik. Obrolan kami terasa menyenangkan, kami sangat berbeda dalam beberapa hal namun terasa sama dalam hal lainnya. Selera music kami berbeda, begitu pula dengan genre film dan hobi kami. Namun kami sama-sama memiliki mood yang suka berubah, senang menulis dan senang tertawa bersama. Ah, silahkan garisbawahi tertawa bersama. Tertawa bersamanya selalu menyenangkan. Mataku menangkap kacamata merah muda dengan model ala anak perempuan di salah satu etalase toko, “Gi, itu coba pake kacamata pink ini coba, aku mau lihat muka kamu”. Gio tertawa namun tangannya gesit meraih kacamata tersebut, mencobanya setelah diperbolehkan oleh pemilik toko. Laki-laki itu tersenyum dengan deretan gigi yang ditunjukan kepadaku, lucu sekali! “Gi, tetap nyengir kaya gitu ya! Lucu banget, pake kacamatanya juga, aku mau foto!”, bergegas tanganku meraih ponsel. Dua kali potret kemudian kami berterimakasih kepada pemiliki toko. “Kita belum pernah foto bareng ya Gi, photobox yuk!” seruku heboh sambil menunjuk booth foto yang berdiri tiga meter dihadapan kami. Gio mengangguk kemudian melangkah menyusul yang sudah berlari ke booth foto. Kami berpose beberapa gaya, aku menjadi penentu gaya tentu saja. Aku tidak ingin foto kami diisi dengan tatapan datar Gio. “Terakhir Gi! Senyum biasa deh” ujarku kemudian tersenyum. Gio meraih puncak kepalaku dan menempelkan pipinya disana lalu tersenyum menghadap kamera. Riuh kemudian hatiku, jantungku mulai berpacu berlebihan, Tuhan, aku jatuh hati. Boleh aku ulangi? TUHAN, AKU JATUH HATI. Serakan rasa mulai mewarnai hati, Wahai, untuk kali ini aku mohon amini, Tuliskan seindah-indahnya cerita untuk kami, Setiap inci dirinya bagai candu abadi,
Selayaknya obat yang tidak memiliki ganti, Wahai, untuk kali ini, aku mohon permisi. Bibirku melafalkan kalimat-kalimat yang begitu saja muncul dalam benak. Gio tertegun, mendengarkan. Cengirannya kembali hadir saat aku mengakhiri kalimat-kalimatku. Tangan Gio mengambil tanganku, menggenggamnya. Tanpa kata, tanpa rangkai bahasa. Sederhana. Gio dan aku tahu bahwa akhirnya hubungan kami menuju satu kata; pacaran. Hubungan seorang laki-laki dan perempuan yang dinilai ‘formal’ dan mengikat. Aku sangat ingin mendengar kalimat Gio memintaku untuk menjadi pasangannya namun aku membiarkan Gio untuk melakukannya kapanpun dia menginginkan. Bukan karena diriku. Laki-laki tidak ramah itu kini menjadi lakilaki yang paling berarti bagiku. Aku memang selalu percaya hidup memiliki berbagai macam hal tidak terduga. Hidup selalu memiliki kejutan manis bagi mereka yang percaya. Namun ternyata meskipun aku sudah mengetahuinya, rasanya jauh lebih menyenangkan saat mengalami kejutan itu secara langsung. Gio terhitung sebagai kejutan yang sangat menyenangkan bagiku. Benar-benar menyenangkan. * Pun lagi-lagi hidup memiliki setir yang mengagumkan. Hidup memiliki peluang untuk membanting cerita, mengobrak-abrik takdir dan meluluhlantahkan harap. Sekalipun sepuluh juta doa sudah ditebarkan. Gio dan aku mengalaminya. Sesederhana jatuh hati, rasanya masalah yang muncul dihadapan kami juga sederhana. Hanya saja, terasa berat saat harus mengatasinya. Gio sangat berbeda denganku. Sangat amat berbeda. aku sudah menyadarinya dari awal, namun sungguh aku tidak menyangka perbedaannya bisa berkembang menjadi serumit ini. Kami lahir dan besar di dua tempat yang jauh berbeda. Aku lahir dan besar di Jakarta. Tumbuh dengan mencicipi satu mall ke mall lainnya, menyanyi ditengah konser-konser musisi dunia, jeli merinci seluruh barang dari brand-brand terkenal kemudian mengumpulkan uangku untuk membelinya. Aku dikelilingi pula oleh lingkungan seperti itu. Sementara dia lahir di salah satu kota di Jawa Tengah. Gio menjadi murid berprestasi, menghabiskan waktunya dengan bercengkrama
pada akhirnya aku menyadari perbedaan ini tidak mampu diatasi oleh kami? Apakah saat itu akan terlambat? Seberapa mampu aku bertahan menghadapi perbedaan yang jelas-jelas besar ini? “Ada apa Ki?” tanya Gio. Aku mengalihkan pandanganku dari jalan, menoleh kearahnya sambil tanganku kencang memegang setir, “gapapa kok, Gi”. Gio tersenyum kemudian tangannya mengusap rambutku, “Kamu capek nyetir ya? Maaf ya aku gak bisa nyetir jadi gak bisa gantiin kamu deh” lirihnya terlihat menyesal. Demi melihat kesenduan yang hadir pada matanya, aku tersenyum, “Gak apa-apa Gio” “Kita beda banget ya Ki?” ucap Gio setelah beberapa saat hening. Kaget, aku menoleh, “maksudnya?”. Kali ini gentian Gio yang menggeleng, “bukan apa-apa Ki, kamu tahu? Aku sedi kawasan wisata terkenal kotanya, berpikiran lalu bersyukur punya kesempatan untuk bertemu yang sangat idealis untuk membangun dan bersama kamu” dedikasi terhadap bangsa. Aku terdiam. Suara Adele bernyanyi some Sesungguhnya semuanya mengenai gaya one like you terasa sangat menusuk. hidup. Gaya hidup kami terasa tidak memiliki ti“Kisya, aku tahu kamu” Gio kembali metik temu. Jika aku lebih menyukai menjadi bagian lanjutkan, “aku tahu apa yang kamu rasakan”. Gio dari kegiatan yang menitikberatkan pada acara menghibur, Gio lebih menyukai menjalani ke- menghela nafas panjang, “maaf ya kalau aku bugiatan yang bersifat mengedukasi. Aku bahkan kan laki-laki yang kamu harapkan” Senyum tipis mengembang pada wajah berani mempertaruhkan uangku di bank, Gio ter- masuk mahasiswa yang pendiam di jurusannya. Gio, mata coklat kesukaanku itu masih menatap Sebaliknya, jangan tanya aku seperti apa di juru- kendaraan dihadapan kami yang berjalan lambat. Sementara lampu-lampu jalan berpendar malusanku. Jika aku brand oriented dan mengede- malu. Semacam memahami kegundahan hati. “Bukankah kita pernah membahas tentang pankan keaslian dari barang yang aku kenakan, Gio sebaliknya. Gio lebih memilih membeli barang beda diantara kita, Ki? Apa yang kamu katakan semampunya. Ah, Gio memang laki-laki yang saat itu? Bukan masalah?” ujar Gio. Mataku mulai mandiri. Dia tidak pernah meminta uang tam- memanas mendengar kalimat Gio, bodoh benar bahan dari orangtuanya yang telah lama berpisah. aku tidak bersyukur dengan kehadirannya. “sekarang aku tanya kamu, kita kan sudah Sayangnya, uang bulanannya juga tidak men- cukup kebutuhannya. Menurut pandanganku tahu arah kita mau kemana, aku mau buat hubungan ini jelas, Ki” lirih Gio. tentu saja. Mataku perlahan meneteskan air mata. Aku seorang perempuan yang lahir dari ke- luarga yang hangat, sangat hangat sedangkan dia, Campur aduk rasanya ditengah sini. Sebagian tentu saja, sebaliknya. Hal tersebut menyebabkan dari diriku terasa bahagia, sebagian lagi malah diriku merasa bahwa dia memiliki sikap yang sa- terasa menolaknya. Menyedihkan. “Kisya mau jadi pendamping hidup Gio?” ngat dingin. Sayangnya, aku belum pernah me- tanyanya meminta tanganku. miliki hubungan cinta dengan laki-laki dingin. Aku terdiam. Malam sudah begitu pekat. Kali ini, aku sungguh khawatir. Kebersa- Kendaraan masih berlalu lalang dihadapan kami. maan dengan dirinya semacam pertanyaan bagiku. Seperti aku diserang oleh pikiranku sendiri. Mobilku sekarang sudah terparkir sempurna di deApakah benar aku menginginkan Gio? Bagaima- pan kosannya. Mata Gio menatapku, tatapan yang na dengan perbedaan yang ada? Bagaimana jika membuatku tidak mampu melupakan rasa baha-
gia. Tidak bahkan sedetik. Aku masih terdiam, Gio kini menarik badanku kedalam peluknya. Hangat sekali, semacam memberikan perlindungan untukku, semacam meyakinkan diriku untuk bersamanya. Rasanya nyaman. “mau kan Ki?” Gio kembali mengulang pertanyaannya. Aku menghela nafas panjang, tersenyum tipis dan melepaskan pelukannya, “maaf, tapi aku gak bisa Gi. Untuk sekarang setidaknya aku belum bisa” lirihku menahan tangis, “maaf, maafin aku” Gio tampak terhenyak kaget. Ekspresinya menyiratkan ketidakmengertian dirinya akan keputusanku, “tapi kenapa? Gara-gara kita terlalu beda?”. Aku terdiam, tidak mampu menjawab. Isak tangisku makin menjadi. “maaf, maafin aku” ucapku pelan. Gio terlihat marah dan tidak sabar denganku. Dia merapikan barangnya kemudian membuka pintu mobil, “aku pikir kamu perempuan yang beda. Aku pikir kita bisa saling sayang dan buat satu sama lain bahagia”, kepala Gio menggeleng kemudian tawanya pecah, sebuah tawa putus asa. “maaf Gi, maafin aku, aku sayang sama kamu, tapi…” “Terimakasih, kamu sama saja sama yang lain Ki” kemudian dia menutup pintu, melangkah pergi tanpa kembali menoleh. Tangisku masih belum berhenti. Kacau sekali rasanya kehilangan Gio. Tapi aku tidak ingin memaksa diriku untuk melawan perbedaan yang begitu banyak. Aku menyayanginya namun tidak cukup kuat untuk bersamanya nanti. Tolol! Perempuan payah, hatiku berteriak mengejek. Aku abaikan. Tanganku segera menyalakan mesin mobil, aku memutuskan untuk pergi.***