SKRIPSI EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM Di Susun untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.I) Dalam Ilmu Syari‟ah
Oleh: ANI RIANAWATI NIM. 231 107 056
JURUSAN SYARI’AH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PEKALONGAN 2011 1
PERNYATAAN
Yang bertandatangan di bawah ini: Nama
: ANI RIANAWATI
NIM
: 231107056
Jurusan
: Syari‟ah
Prodi
: Al – Ahwal Asy – Syakhsyiyyah
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Pidana Dan Hukum Islam” adalah benar–benar hasil karya sendiri. Apabila dikemudian hari ditemukan bahwa skripsi dengan judul diatas adalah plagiat, maka penulis siap dicabut gelarnya. Demikian pernyataan ini penulis buat dengan sebenar – benarnya.
Pekalongan,
Oktober 2011
Penulis
ANI RIANAWATI
2
Dr. Ade Dedi Rohayana, M.Ag
H. Sam’ani Sya’roni, M.Ag
Jl. Arimbi No. 12 Perum Panjam Indah
Jl. Supriyadi 36 RT. 1/5
Pekalongan
Tirto Pekalongan
NOTA PEMBIMBING Lamp
: 3 (Tiga) eksemplar
Hal
: Naskah Skripsi
Pekalongan, Oktober 2011
Sdr. Ani Rianawati
Kepada: Yth. Ketua STAIN Pekalongan c/q. Ketua Jurusan Syari‟ah DiPEKALONGAN
Assalamu‟alaikum Wr.Wb Setelah diadakan penelitian dan perbaikan seperlunya, maka bersama ini kami kirimkan naskah skripsi saudara: Nama
: ANI RIANAWATI
NIM
: 231 107 056
Judul Skripsi
: EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF PIDANA DAN HUKUM ISLAM
HUKUM
Dengan permohonan agar skripsi saudara tersebut segera dimunaqasyahkan. Demikian harap menjadi perhatian dan terima kasih. Wassalamu‟alaikum Wr. Wb
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ade Dedi Rohayana, M.Ag NIP. 197101151998031005
H. Sam’ani Sya’roni, M.Ag NIP. 197305051999031002
3
KEMENTERIAN AGAMA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PEKALONGAN Alamat : Jl. Kusuma Bangsa No. 9 Telp. (0285) 412575-412572 Fax. 423418 E-mail : stainpkl@
[email protected]
PENGESAHAN Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pekalongan mengesahkan Skripsi Saudara : Nama
:
ANI RIANAWATI
NIM
:
231 107 056
Judul
: EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM
Yang telah diujikan pada hari Kamis tanggal 27 Oktober 2011 dan dinyatakan berhasil, serta diterima sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) dalam Ilmu Syari‟ah. Dewan Penguji,
Dra. Hj. Rita Rahmawati, M.Pd NIP.196503301991032001 Ketua
Ali Trigiatno, M.Ag NIP. 197610182002121008 Anggota Pekalongan, Oktober 2011 Ketua,
DR. Ade Dedi Rohayana, M.Ag NIP. 19710115 1998031005
4
HALAMAN PERSEMBAHAN
Sripsi ini salah satu persembahan kepada mereka yang terkasih, tersayang yang telah memberikan motivasi saya untuk melangkah menuju hari depan yang lebih maju. Satu keyakinan doa dan kasih sayang pengiringku sebagai amanatdipundakku atas bimbingan dan petunjuk yang akan kembali pada ridho Allah SWT.
1. Untuk Ayah (almarhum) tercinta yang selalu menjadi motivasiku untuk bisa menjadi yang lebih baik 2. Ibunda penerang harapan sebagai curahan ta‟dhim dan baktiku, sungkem dan sanjungku semaga ananda menjadi shalihah 3. Untuk Kakaku tercinta maz Sugiyanto dan mba Suaeni serta Kakak Iparku yang selalu mendukung, membesarkan hatiku, untuk terus melangkah menuju cita-cita yang cerah 4. Untuk Adik-adikku tercinta Andi dan Agung yang selalu menghibur hari-hariku dalam kesunyian, semoga semua menjadi anak-anak yang sholih 5. Sahabat-sahabatku seperjuangan di Fakultas Syari‟ah khususnya di As, juga Sahabat-sahabatku di kos As-Salwa tercinta (Lia, Eni, Widi, Neli, Ero, Dini, Devi, Eni, Nurul, Wiwi) bersama kita goreskan kenangan dalam suka dan duka. 6. Untuk Ugeng Armawan yang menjadi harapanku senantiasa dengan amanat kasih sayang tulus membimbingku menuju ridho Allah, semoga suatu saat dengan izin dan ridho-Nya kita bersatu, aamiiiinnn.... 7. Almamaterku tercinta STAIN Pekalongan
5
MOTO
َو ِل ُك ِل ِّل
“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu maka apabila telah datang waktunya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya”.(QS. Al-A’raaf: 34)
6
ABSTRAK
Rianawati, Ani.2011. Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Pidana dan Hukum Islam. Skripsi Jurusan Syari‟ah.Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pekalongan. Euthanasia pada tahun 2004 menjadi perdebatan dikalangan ahli hukum, ahli medis dan ahli teolog di mana euthanasia merupakan tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit karena kasih sayang dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, yang sampai sekarang belum ada kejelasan tentang hukuman yang benar-benar ada dalam hukum pidana di Indonesia akan tetapi terdapat pasal yang bisa dijadikan pedoman dalam menentukan hukum bagi pelaku euthanasia yaitu pasal 344 KUHP. Sedangkan euthanasia dalam hukum Islam merupakan pembunuhan yang dapat dijatuhi hukuman qishas bagi pelaku euthanasia meskipun yang mengundangnya adalah rasa belas kasihan seorang dokter kepada pasiennya. Euthanasia termasuk juga dalam kategori bunuh diri ataupun pembunuhan yang disengaja yang dalam AlQur‟an telah dijelaskan dalam surat An_Nisaa ayat 29 dan ayat 93 Dalam Skripsi ini penulis merumuskan masalah yaitu bagaimana euthanasia dalam tinjauan hukum Pidana dan hukum Islam? Adapun tujuannya adalah untuk mengetahui tinjauan hukum pidana dan hukum Islam tentang euthanasia, diperbolehkan atau dilarang berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Al-Qur-an serta Al-Hadits. Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah (library research) penelitian berdasarkan buku-buku pustaka dan menggunakan pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang hasil analisisnya disajikan dalam bentuk deskriptif, yang diperoleh melalui buku-buku, Nash Al-Qur‟an, dan Hadits Nabi serta melalui browsing internet yang menjadi penunjang dalam penulisan skripsi ini, dari sumber-sumber data tersebut kemudian dianalisis secara komparatif sehingga menghasilkan kesimpulan-kesimpulan untuk menjawab pokok maslah atau rumusan masalah yang ada. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa euthanasia dalam hukum pidana di Indonesia dapat dikategorikan tindak pidana berdasarkan pasal 344 KUHP walaupun itu atas permintaan si korban dan diancam hukuman penjara selama 12 tahun. Meskipun didalamnya tidak secara langsung mengacu tentang euthanasia, tetapi setidaknya pasal tersebut dapat dijadikan bahan acuan atau pedoman diberlakukannya sanksi pidana bagi pelaku euthanasia. Sedangkam dalam hukum Islam euthanasia merupakan perbuatan yang dilarang karena bukan merupakan pembunuhan yang dibenarkan oleh syara‟, terkecuali euthanasia pasif yang didasarkan pada perilaku tawakal dan bukan karena keputusasaan serta bukan karena niat bunuh diri atau membunuh pasien,
7
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wata‟ala yang telah memberikan hidayah serta berbagai kenikmatan-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Pidana dan Hukum Islam Hal ini juga tak lepas dari bantuan berbagai pihak yang tanpa bantuan tersebut penulis tidak bisa menyelesaikan skripsi ini. Karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Ade Dedi Rohayana, M.Ag, selaku ketua STAIN Pekalongan dan dosen pembimbing. 2. Bapak H. Sam‟ani Sya‟roni, M.Ag, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan selama dalam penyusunan skripsi ini. 3. Drs. A. Tubagus Surur, M.Ag selaku dosen wali studi yang telah memberikan arahan dan bantuan kepada saya 4. Ibu yang senantiasa tiada hentinya memberikan dorongan, baik secara fisik maupun non fisik, dan tiada henti-hentinya pula untuk selalu mendo‟akan demi kelangsungan cita-cita anaknya.
8
5. Kakak dan adik, yang senantiasa memberikan spirit dalam membangkitkan jiwa
dan
raga,
supaya
bersungguh-sungguh
dalam
belajar
dan
menyelesaikan tugas akhir yang berupa pembuatan naskah skripsi ini. 6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per-satu yang telah membantu langsung maupun tidak langsung, hingga penyusunan skripsi ini selesai. Semoga amal baik beliau-beliau yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini diterima olah Allah Subhanahu Wata‟ala dengan “Jazaakumullah Khairan Katsiiraa” semoga mendapatkan balasan kebaikan yang banyak dari Allah Subhanhu Wata‟ala. Akhirnya doa jualah yang dapat penulis panjatkan, harapan penulis yaitu semoga skripsi dapat bermanfaat baik bagi penulis pada khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Pekalongan,
November 2011
ANI RIANAWATI
9
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i HALAMAN PERNYATAAN.................................................................................ii HALAMAN NOTA PEMBIMBING.....................................................................iii HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................iv HALAMAN PERSEMBAHAN...............................................................................v HALAMAN MOTTO.............................................................................................vi ABSTRAK.............................................................................................................vii KATA PENGANTAR..........................................................................................viii DAFTAR ISI............................................................................................................x BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.....................................................................1 B. Rumusan Masalah...............................................................................4 C.Penegasan Istilah..................................................................................4 D. Tujuan Penelitian................................................................................5 E. Keguaan Penelitian..............................................................................5 F. Tinjauan Pustaka.................................................................................6 G. Metode Penelitian.............................................................................11 H. Sistematika Pembahasan...................................................................13
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG EUTHANASIA
10
A. Pengertian Euthanasia......................................................................14 B. Macam dan Bentuk Euthanasia........................................................18 C. Fenomena Euthanasia.......................................................................24
1. Definisi Kematian........................................................................29 2. Hukum Berobat Menurut Islam...................................................33 BAB III EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM A. Euthanasia Dalam Tinjauan hukum Pidana......................................37 B.Euthanasia Dalam tinjauan Hukum Islam..........................................46 BAB IV ANALISIS A. Analisis Hukum Pidana Tentang Euthanais.....................................59 B. Analisis Hukum Islam Tentang Euthanasia......................................62 BAB V PENUTUP A. Simpulan...........................................................................................73 B. Saran – Saran....................................................................................73 DAFTAR PUSTAKA Daftar Riwayat Hidup
11
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam Al-Qur‟an surat Al-Mulk ayat 2 telah di ingatkan bahwa hidup dan mati adalah ditangan Allah, yang Ia ciptakan untuk menguji iman, amalan dan ketaatan manusia terhadap Tuhan penciptanya. Karena itu Islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia itu. Islam menetapkan berbagai norma hukum perdata dan pidana beserta sanksisanksi, hukuman-hukuman mati, diyat (denda) dan ta‟zir. Karena hidup dan mati itu adalah ditangan Allah dan merupakan karunia dan wewenang Tuhan maka Islam melarang orang melakukan pembunuhan, baik terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri. Pembunuhan itu bisa dilakukan oleh diri sendiri ataupun melalui bantuan orang lain, seperti halnya tenaga medis yaitu dokter, yang saat ini dikenal dengan istilah “euthanasia” yang dewasa ini diartikan dengan pembunuhan terhadap pasien yang tipis harapannya untuk sembuh.1 Dalam Bahasa Arab euthanasia disebut dengan qatl ar-Rahman atau taisir al-maut yaitu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit. Euthanasia dalam istilah pertolongan medis adalah agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang
1
Ali Ghufron Mukti, Abortus, Bayi Tabung, Euthanasia, Transplantasi Ginjal, dan Operasi Kelamin Tinjauan Hukum dan Hukum Islam, (Yogyakarta: Aditya Media), Hal. 206
12
akan meninggal diperingan juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada didalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.2 Peristiwa lain mungkin saja terjadi seperti seseorang tidak tega lagi melihat penderitaan orang lain, yang menurut orang tuanya atau keluarganya dan secara medis orang tersebut dinyatakan akan meninggal dalam waktu yang amat singkat lalu dia menyarankan kepada dokter, untuk mempercepat kematiannya atau dengan jalan mencabut infusnya peristiwa tersebut disebut dengan euthanasia yang masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang euthanasia. Pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, hal ini berdasarkan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu alasan kemanusiaan. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Sementara sebagian pihak yang tidak membolehkan euthanasia beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia. Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang dipakai sangatlah bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut adalah masalah legalitas dari perbuatan euthanasia, walaupun pada dasarnya 2
Ali Hasan, Masail Fiqiyah Al-Haditsah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), Hal.
132
13
tindakan euthanasia termasuk dalam perbuatan tindak pidana yang diatur dalam pasal 344 Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP). Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia mendapatkan tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan. Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban tersendiri bagi komunitas hukum. Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah persoalan euthanasia akan bermuara.3 Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif memberikan regulasi / pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan sangat membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebihlebih di tengah kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra tentang legalitasnya.4 Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien / korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP.5 Penggunaan pasal tersebut sangat diperlukan karena
3
http://laporanpenelitian.wordpress.com/2008/05/25/euthanasia-antara-legal-dan-nonlegal (20 Juli 2011) 4 http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-hukum-islam.(20 Juli 201 5 http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-hukum-islam. (20 Juli 2011)
14
yang menjadi tujuan akhir dari hukum pidana adalah melindungi masyarakat dari pihak-pihak yang hendak memaksa hak-haknya.6 Dengan latar belakang dalam permasalahan yang telah dikemukakan di atas tadi maka penulis memilih judul “EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM”
B. Rumusan Masalah Berdasarkan pada uraian di atas maka, rumusan masalah dari penelitian ini adalah 1.
Bagaimana euthanasia menurut tinjauan hukum pidana?
2.
Bagaimana euthanasia menurut tinjauan hukum Islam?
C. Penegasan Istilah Selanjutnya agar tidak terjadi kesalah pahaman terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam tulisan ini, maka perlu kiranya membatasi pengertian dan menguraikan secara singkat “EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM Euthanasia adalah tindakan mengakhiri kehidupan seseorang dengan sengaja yang dalam keadaan sakit berat atau luka parah dengan kematian yang tenang dan mudah atas dasar perikemanusiaan.7 Perspektif adalah Pandangan8
6 7
Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman..........Hal.135 Anton M Mulyono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1988)
hal. 237 8
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua, (jakarta : Balai Pustaka, 1996), hal. 760
15
Hukum Pidana adalah keseluruhan peraturan hukum yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan yang mempunyai sanksi pidana yang dikenakan kepada mereka yang melanggarnya. Sanksi pidana yang dimaksud guna menegakkan norma hukum yang ada padanya, agar tidak terjadi pelanggaran lagi.9 Hukum Islam adalah seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah swt dan sunnah Rosul-Nya tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.10 Mengingat euthanasia merupakan masalah yang sangat dilematis dan perlu adanya pemahaman yang mendalam tentang permasalahan tersebut, maka berangkat dari sinilah penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang euthanasia dan selanjutnya penulis mengambil judul euthanasia dalam perspektif hukum pidana dan hukum Islam D. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan: 1.
Untuk menetahui euthanasia dalam tinjauan hukum pidana
2.
Untuk mengetahui euthanasia dalam tinjauan hukum Islam
E. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaannya sebagai berikut : 1.
Secara praktis
9
Zaenul Bahri, Kamus Umum Hukum dan Politik, (Bandung: Angkasa, 1996), Hal. 102 Amir Syarifudin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam, (Jakarta : Depag, Bumi Aksara dan Depag, edisi I, cet. II,1992), hal. 14 10
16
Peneletian ini diharapkan dapat memberi sumbangan wacana dan pengetahuan mengenai euthanasia 2.
Secara teoritis Meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan pengalaman dalam ruang lingkup yang lebih luas mengenai euthanasia
F. Tinjauan Pustaka 1. Kerangka Teori Islam diturunkan sebagai Rahmatan lil „alamin, karenanya segala dimensi pembangunnya harus mampu mengakomodir segala kebutuhan maupun tuntutan hidup manusia yang selalu menyesuaikan perjalanan waktu, tatanan ruang dan tuntutan efektifitas serta kepraktisan hidup. Maka, sesuai dengan peranan dan kepentingan ini, dari sisi hukum, hukum Islam (hukum Shar‟i) harus bisa menyesuaikan diri dengan dinamika problema masyarakat yang terus berubah, mengikuti ruang dan waktu. Untuk menjawab semuanya itu, diciptakanlah ilmu Fiqh, yaitu : kodifikasi hukum Shar‟i yang diciptakan menurut ruang dan waktu, yang sifatnya kontemporer dan substansial. Mencermati masalah euthanasia, yaitu suatu proses “pembunuhan yang disengaja” yang dilakukan oleh seorang dokter atau ahli medis lain terhadap pasiennya, dalam rangka mengurangi beban rasa sakit dan atau untuk menekan biaya berobat yang sia-sia, karena pada dasarnya tidak mungkin lagi si pasien disembuhkan, maka penyelesaiannya adalah dengan “membunuh” pasien, dalam hukum Islam terdapat hukum yang substansial.
17
Jika yang dijadikan Hujjah adalah dalil al-Qur‟an surat An-Nisaa‟ ayat 92, yang isinya, keharaman membunuh kecuali karena korban melakukan kesalahan yang dibolehkan oleh agama untuk membunuhnya, maka euthanasia menjadi haram, karena bagaimanapun seorang pasien tidak bisa dikategorikan sebagai orang yang menyalahi aturan agama, sebab penyakit menjadi suatu hal lain dari kuasa manusia untuk menghindarinya. Penyakit adalah takdir Tuhan yang tak dapat disangkal, dihindari, apalagi dibuang dengan kuasa manusia. Keharaman euthanasia menjadi lebih tegas, bila mencermati dalil alQur‟an surat An-Nisaa‟ ayat 29 yang isinya : keharaman membunuh diri sendiri. Ini menjawab, bahwa upaya pengobatan pasien adalah suatu kewajiban. Apapun alasannya seseorang yang sakit, diwajibkan berupaya untuk menyembuhkan dirinya.maka, jika dikaitkan dengan euthanasia, kerelaan pasien atau keluarganya untuk menjalani euthanasia, tidak sesuai dengan hukum Islam. Lalu, pada surat Al-Baqarah ayat 178, yang menerangkan tentang Qishash, yaitu : hukuman mati bagi seseorang yang membunuh karena sengaja; dapat menjerat seorang dokter atau ahli medis lain yang melakukan euthanasia. Namun dalam perkembangannya, ada beberapa sebab dan dalil ayat al-Qur‟an yang dapat dijadikan sebagai Hujjah kebolehan melakukan euthanasia. Lihat bunyi surat al-An‟aam ayat 151, yang menyatakan : dibolehkan membunuh karena adanya sebab yang dibenarkan secara Shar‟i. Asas pembangun hukum Shar‟i, salah satunya adalah hifdzil maal atau
18
hifdzil nashab. Jika dikaitkan dengan euthanasia, maka apa yang menjadi kesepakatan antara tenaga medis, pasien dan keluarga pasien, yaitu membunuh pasien, menjadi diperbolehkan. Pertimbangannya adalah untuk menyelamatkan harta pasien dari kesia-siaan melakukan upaya pengobatan, sebab hasil diagnosa akhir adalah pasien tidak mungkin disembuhkan. Upaya euthanasia dalam kasus seperti ini juga dalam rangka menyelamatkan keberlangsungan kehidupan keluarga, karena dengan euthanasia dapat menghidarkan keluarga dari keborosan atau perpecahan yang mungkin terjadi. Dalam hal penjatuhan hukum Qishash, hal ini dapat diabaikan, karena apa yang dilakukan dokter atau ahli medis lainnya berdasarkan kesepakatan dan izin pasien dan keluarganya. Di dalam kerelaan pasien dan keluarganya itu tentu berisi pula pintu maaf sepenuh hati bagi tindakan dokter atau ahli medis lainnya melakukan euthanasia. Hal ini sesuai dengan dalil al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 178, yang poin terpentingnya adalah : Penghapusan Qishash sebab adanya maaf dari keluarga korban. Adapun Diyat yang menjadi pengganti Qishash di dalam kasus euthanasia, juga terhapus karena adanya illat yang pasti, yaitu: pada dasarnya euthanasia yang dilakukan demi maslahah yang lebih besar. upaya pengobatan pada dasarnya hukumnya mandub (sunnah), sehingga pemasangan alat bantu penyembuhan serta pemberian obat boleh dihentikan jika memang final diagnosa menyatakan pasien tidak dapat lagi disembuhkan. Dokter tidak bisa di Qishas, karena dia hanya bertindak
19
sebagai perangkat medis. Dan apa yang dilakukannya (euthanasia) sematamata karena telah mendapatkan izin dari pasien dan keluarganya. Sesuai dengan dalil-dalil didalam al-Qur‟an yang memberikan peluang untuk melakukan euthanasia diatas, maka pada dasarnya hukum Shar‟i-pun membolehkan euthanasia dengan ketentuan-ketentuan yang mesti dilakukan, yaitu: a.
Hasil diagnosa akhir menyatakan pasien tidak mungkin lagi disembuhkan
b.
Upaya penyembuhan hanya kesia-siaan belaka, menimbulkan keborosan dan kemungkinan terjadi perpecahan.
c.
Adanya izin dari pasien dan keluarganya bagi dokter untuk melakukan euthanasia.
d.
Euthanasia dilakukan dengan cara manusiawi dan halus, seperti mencabut infus atau selang oksigen, tidak dengan cara kasar, seperti menyuntikkan suatu obat (racun) untuk mempercepat proses kematian. Jika semua syarat atau ketentuan-ketentuan ini telah terpenuhi, maka
euthanasia dapat dilakukan, dan hukumnya adalah boleh. Adapun dokter dan atau ahli medis lain tidak dapat dikenai Qishash dan juga Diyyat. Namun dalam hal ini ada beberapa alterntif pasal dalam KUHP yang dapat dijadikan pijakan dalam hal menentukan pertanggungjawaban pidana dalam kaitannya dengan persoalan dan peristiwa euthanasia. Berikut adalah pasal yang menjelaskan tentang pembunuhan secara umum, yaitu pasal pertama dalam bab XIX yakni pasal 338 yaitu:
20
“Barang siapa sengaja merapas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun” 2. Hasil Penelitian Yang Relevan Ada beberapa kajian atau tulisan yang berhubungan dengan problem penelitian ini. Tulisan atau pustaka tersebut antara lain : Dalam skripsi yang ditulis oleh Fajar Nugroho tahun 2008 yang berjudul Euthanasia Dalam Tinjauan Pidana Islam dijelaskan bahwa euthanasia berkaitan erat dengan pembunuhan, terutama euthanasia aktif. Membunuh manusia hukumnya haram dengan alasan apapun dan dengan cara apapun kecuali terhadap orang yang berhak untuk dibunuh, dan itupun dilakukan oleh negara, yaitu qishas terhadap membunuh, rajam bagi orang berzina yang statusnya sudah menikah. Sedangkan bunuh diri dengan cara apapun dan dengan alasan apapun tidak dibenarkan. Namun dalam hal ini tindakan euthanasia dalam hukum Islam belum ada kejelasan dalam hal pengkategorian tindakan pembunuhan yang merupakan suatu jarimah.11 Dalam jurnal yang berjudul Euthanasia Pasif yang Disahkan di Swedia dijelaskan bahwa otoritas medis mengakhiri kekosongan yuridis dengan mengijinkan dokter untuk menerima seorang wanita cacat dieuthanasia disambut baik oleh para pasien yang memang sudah menginginkan untuk dieuthanasia. Pasien yang menginginkan untuk dieuthanasia menganggap bahwa keputusan tersebut sangat baik karena hal tersebut memudahkan mereka untuk secepatnya dieuthanasiakan karena penyakit yang diderita tak kunjung sembuh. Keputusan tersebut merupakan 11
http://www.freeskripsi.com/search/jurnal-euthanasia.com. (30 Oktober 2011)
21
tanggapan terhadap penyelidikan yang ditimbulkan oleh masyarakat Swedia.12 Penelitian ini ada korelasinya dengan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas. Namun, dalam penelitian ini yang menjadi fokusnya yaitu euthanasia dalam pandangan hukum pidana positif di Indonesia dan hukum Islam. G. Metode Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan saperangkat metode penelitian yang dapat mempersiapkan, menunjang dan membimbing serta mengarahkan penelitian ini sehingga memperoleh target yang dituju secara ilimiah. 1.
Jenis penelitian Pada dasarnya penelitian ini adalah penelitian
kepustakaan dan
pendekatan kualitatif yaitu suatu pendekatan dalam melakukan penelitian yang berorientasi pada fenomena atau gejala yang bersifat alami dan hasil analisisnya disajikan dalam bentuk deskriptif,13 karena sumber data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari sumber-sumber kepustakaan yang relavan dengan tema pembahasan yang ada, dari berbagai sumber tersebut kemudian di deskripsikan dan kemudian dianalisis sehingga mengahasilkan kesimpulan-kesimpulan untuk menjawab pokok masalah atau rumusan masalah yang ada.
12
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://www.jurnal.md/en/news/p assive-euthanasia-legalized-in-sweden-185466.pdf. (30 Oktober 2011) 13 Wardi Bahtiar, Metodologi Penelitian Dakwah, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 72
22
2.
Sumber Data Data-data yang dihimpun sebagaimana tersebut di atas, diperoleh dari
literatur-literatur atau buku-buku tertulis, Nash Al-Qur‟an, Hadist Nabi Saw, Kitab Undang-undang serta diambil dari internet yang spesifik membahas dan mengupas secara tuntas terkait dengan penelitian tersebut. 3.
Tekhnik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam menulis skripsi ini yaitu dilakukan dengan menggunakan metode dokumentasi. Dokumen ini berupa kitab Undang-undang, penelitian terdahulu yang relevan dan buku-buku yang sesuai dengan pembahasan masalah. Adapun agar mempermudah dalam proses menganalisis data, maka cara yang digunakan adalah dengan membaca, memahami, dan mempelajari serta
menganalisis
dokumen-dokumen
tersebut,
kemudian
mengelompokkannya pada bab-bab sesuai dengan sifatnya masingmasing. 4.
Analisis Data Metode analisis data berisi cara-cara menganalisis bagaimana
menganalisis data yang telah terkumpul untuk digunakan dalam pemecahan masalah penelitian. Perolehan data dianalisis secara komparasi berdasarkan hukum pidana dan hukum Islam, menggunakan metode analisis untuk menganalisis hukum-hukum yang tertulis dalam bahan yang telah ditemukan berupa buku-buku, jurnal, Al-Qur‟an, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, maupun literatur dari internet. Kemudian data yang sudah
23
terkumpul dianalisis dan dipisah-pisahkan menurut kategori masing-masing dan kemudian ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban masalah-masalah penelitian.14 H. Sistematika Pembahasan Untuk lebih memperjelas gambaran dan mempermudah dalam penelaahan data-data terkait dari penelitian yang akan dilakukan, maka sistematika penulisan dalam penelitian ini, dikelompokkan ke dalam dua bagian pokok, yaitu: Bab I Pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, penegasan istilah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II Tinjauan umum, yang menguraikan tentang pengertian euthanasia macam dan bentuk euthanasia, dan juga, membahas tentang fenomena euthanasia. Bab III Berisi tentang Euthanasia dalam perspektif hukum pidana dan hukum Islam Bab IV Analisis, berisi analisis tentang euthanasia dalam tinjauan hukum pidana dan hukum Islam. Bab V Penutup, berisi tentang simpulan dan saran-saran
14
Burhan Asshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), Hal. 124
24
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EUTHANASIA
A. Pengertian Euthanasia Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian ke dalam tiga jenis yaitu: a) Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena proses ilmiah b) Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara tidak wajar c) Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter.15 Jenis kematian euthanasia kini menjadi polemik hangat dikalangan ahli teologi, ahli hukum, ahli kedokteran maupun masyarakat pada umumnya, kiranya perlu kita bahas lebih lanjut. Istilah “Euthanasia” secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yang berasal dari kata “Eu” dan “thanatos”. “Eu” yang artinya normal, baik atau sehat. “Thanatos” artinya mati, “Euthanateo” artinya aku menjalani kematian dengan layak. “Euthanatos” (kata sifat) artinya mati dengan tenang.16 Dalam berbagai kepustakaan ditemukan juga sebutan lain untuk Euthanasia, seperti “Mercy Death”, “Mercy Killing”, “hak untuk mati”, “mati secara terhormat”, “hak untuk menolak pengobatan”, “pembunuhan
15
Djoko Prakoso dan Djaman Adhi Nirwanto, Euthanasia, Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), Hal. 10 16 Sjechul Hadi Permono, Euthanasia Ditinjau Hukum Islam dan Hukum Pidana, (Surabaya: Wali Demak Press), hal. 32
25
diri dengan bantuan”, “dan pembunuhan dengan kasih sayang”. Namun diantara sekian banyak istilah tersebut, euthanasia merupakan sebutan yang paling mapan. Euthanasia secara sederhana dapat diartikan sebagai bentuk kematian yang baik, yang menurut beberapa pihak dianggap sebagai sesuatu yang baik.17 Euthanasia dalam istilah bahasa Arab disebut dengan ()الرحمة قحل, ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang dengan tujuan meringankan penderitaan sisakit, baik dengan cara positif maupun negatif.18 Beberapa tokoh berpendapat mengenai euthanasia, diantaranya adalah: 1.
Possidippos, pujangga sekitar tahun 300 SM, dia mengatakan “dari apa yang diminta manusia kepada para dewa, tiada sesuatu yang lebih baik daripada kematian yang baik”
2.
Suetius, ahli sejarah, sekitar tahun 170-70 SM menerangkan tentang kematian kaisar Agustinus sebagai berikut: “ia mujur mendapatkan kematian yang sudah seperti yang selalu diinginkannya. Karena ia hampir selalu mendengar seseorang dapat meninggal dengan cepat dan tanpa penderitaan, biasa memohon kepada dewa-dewa bagi dirinya dan keluarganya untuk dapat di euthanasia, itulah kata yang dipakainya”.
17 18
Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman, (Djambatan 2000), hal.135 Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, jil II, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995),
hal. 749
26
3.
Cirero, seorang sastrawan sekitar tahun 106 SM, “memakai istilah euthanasia dalam arti kematian penuh kehormatan, kemuliaan dan kelayakan”.
4.
Philo, filosof yahudi sekitar tahun 50-20 SM, “Euthanasia merupakan kematian tenang dan baik”19
5.
Fancis
Bacon, dalam “Nosa Atlantis” mengajukan gagasan
Euthanasia, medica: Dokter hendaknya memanfaatkan juga untuk meringankan penderitaan menjelang kematian”. 6.
St. Thomas, dalam “the best from of gofernmentand the new island of utopia” yang terbit pada tahun 1516 M, menguraikan gagasan mengakhiri kehidupan yang penuh dengan sengasara secara bebas dengan
berhenti
makan
atau
dengan
racun
yang
dapat
membinasakan.20 Euthanasia biasa didefinisikan sebagai a good death atau mati dengan tenang. Hal ini dapat terjadi karena pertolongan dokter atas permintaan dari pasien ataupun keluarganya, karena penderitaan yang sangat hebat, dan tiada akhir, ataupun tindakan membiarkan saja oleh dokter kepada pasien yang
sedang
sakit
tanpa
menentu,tanpa
memberikan
pertolongan
seperlunya.21 Menurut kalangan medis, istilah euthanasia berarti membantu seseorang untuk meninggal dunia lebih cepat demi untuk membebaskanya 19
http://www.inchrist.net/artikel/misi/euthanasia_sebuah_dilema_abuabu_dunia_kedokter an.(20 Juli 201) 20 20 Djoko Prakoso, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, Hal. 35 21 Djoko Prakoso, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hal. 55
27
dari penderitaan akibat penyakitnya. Dari sini jelas bahwa meskipun petugas medis mempercepat atau paling sedikit “tidak menghambat” datangnya ajal, mereka ingin membedakanya dari pengertian “pembunuhan” yang mempunyai sifat kriminal, karena tugas yang paling utama dari seorang dokter adalah memulihkan kesehatan (dan dengan demikian maka akan menghambat kematian) dan bukanya mempercepat kematian seseorang, maka sampai pada batas pengertian ini, sebenarnya euthanasia bertentangan dengan tugas profesi seorang dokter,22 dan menjadi kontroversi para ahli hukum, ahli teolog dan ahli kedokteran yang membutuhkan titik temu dalam menanggapi masalah euthanasia. Di Indonesia menurut kode etik kedokteran Indonesia (Kodeki), istilah euthanasia dipergunakan dalam tiga arti, yaitu: a.
Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa adanya penderitaan untuk mereka yang beriman dengan menyebut nama Allah
b.
Ketika hidup berakhir, penderitaan sisakit diringankan dengan cara memberikan obat penenang.
c.
Mengakhiri penderitaan dari hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan dari sipasien sendiri dan keluarganya.23 Dari berbagai adanya perumusan istilah euthanasia, maka penulis
cenderung untuk melihat dari sisi hukum Islam dan hukum pidana serta dilihat dari medis, hingga dapat mengemukakan definisi euthanasia adalah
22
Sjechul Hadi Permono, Euthanasia Ditinjau Hukum Islam dan Hukum Pidana.........
hal. 33 23
Abul Fadl Mohsin Ebrahin, Kloning Euthanasia, Transfusi Darah, Transplantasi Organ dan Eksperimen pada Hewan..............Hal. 148-149
28
segala macam tindakan melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang pasien dengan cara membebaskan dari penderitaannya demi kepentingan pasien sendiri dengan segala pertimbangan yang matang, dengan berdasarkan atas persetujuan dari berbagai pihak baik dari diri pasien itu sendiri, keluarganya maupun dari dokter yang ahli dibidangnya.24 B. Macam dan Bentuk Euthanasia Dari uraian di atas tentang pengertian dan pemahaman istilah euthanasia sebagaimana yang telah diuraikan, maka kita dapat menarik suatu batas dalam macam dan bentuk euthanasia. Pada dasarnya euthanasia dapat dibedakan kedalam tiga macam, yaitu: a.
Euthanasia Aktif yaitu suatu tindakan dari dokter atau tenaga kesehatan lainnya dengan secara sengaja memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien.
b.
Euthanasia pasif Yaitu suatu tindakan dari seorang dokter atau tenaga kesehatan lainnya dengan secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan medis yang akan dapat memperpanjang hidup si pasien, dalam hal ini bukan berarti tindakan perawatan dihentikan akan tetapi perawatan terhadap pasien
tetap
diberikan
terus
menerus
secara
optimal
yang
dimaksudkan untuk membantu terhadap pasien dalam akhir hidupnya.
24
http://
walausetitik
.blogspot.com/2007/09/euthanasia-menurut-hukum-islam.htm. (20 Juli
2011)
29
c.
Auto euthanasia Yaitu tindakan seorang pasien yang menolak secara tegas dan dalam keadaan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia juga mengetahui bahwa hal tersebut akan dapat memeperpendek atau mengakhiri hidupnya dan penolakan tersebut ia membuat sebuah cocodicil (pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia pada dasarnya adalah bentuk euthanasia pasif atas permintaan dari pasien. Euthanasia menurut Jenny Teichman dapat digolongkan menjadi
tiga golongan yaitu antara lain: a.
Voluntary Euthanasia (euthanasia sukarela)
b.
Non Voluntary Euthanasia (euthanasia yang diandai-andaikan)
c.
Involuntary Euthanasia (euthanasia yang dipaksakan)25 Penggolongan euthanasia menurut Jenny Teichman tersebut di atas
mempunyai pengertian bahwa, voluntary euthanasia ini diartikan sebagai kematian yang diminta oleh seseorang (pasien) sehingga tertolong untuk segera mati, misalnya seseorang yang sedang menderita Sindroma Tay Sach. Keputusan atau keinginan untuk mati ada pada pihak orang tua pasien atau pada orang yang bertanggung jawab terhadap perbuatan tersebut. Jenis yang kedua, mengandung pengertian bahwa kematian yang dialami oleh pasien tidak diusulkan karena pasien tidak sadar atau terlalu dini untuk diajak berbicara. Dalam hal ini individu tersebut dapat menyatakan keinginannya.
25
Jenny Theichman, Etika Sosial, Kavislus, Cet. I, (Yogyakarta: 1998), hal. 75
30
Jenis euthanasia yang ketiga, dapat diartikan sebagai pembunuhan atas diri pasien yang dalam keadaan sadar akan tetapi tidak dimintai persetujuan sebelumnya. Dr. JE. Sahetapi, SH, telah menggolongkan euthanasia, pada majalah Badan Pembangunan Hukum Masyarakat (BPHM) kedalam tiga jenis, yaitu: a.
Action to Permit-Death to Occur
b.
Failure to Take Action to Prevent-Death
c.
Positive Action to Cause.26 Penjelasan dari tiga jenis euthanasia tersebut di atas adalah bahwa
pada jenis euthanasia yang pertama adalah bentuk kematian yang dapat terjadi karena pasien dengan sungguh-sungguh dan secara cepat menginginkan untuk segera mati. dalam hal ini pasien tentunya secara sadar dan mengetahui bahwa penyakit yang di deritanya tidak akan dapat di sembuhkan lagi, walaupun di adakan pengobatan dan perawatan secara baik. Oleh karena itu pasien tersebut kemudian meminta kepada seorang dokter agar dokter tidak usah memberikan pengobatan kepadanya guna panyembuhan terhadap penyakit yang di deritanya, di samping itu juga pasien tersebut meminta untuk tidak di adakan perawatan di rumah sakit lagi, namun pasien supaya di biarkan begitu saja di rumah pasien sendiri, dengan asumsi bahwa pasien tersebut akan merasa bahagia karena pasien akan segera mati dengan tenang di samping keluarganya. Dalam hal ini apabila dokter memberikan izin atas segala permohonan pasien, kematian 26
Djoko Prakoso dan Djaman Adhi Nirwanto, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana........... hal.73
31
yang mungkin akan terjadi seolah-olah merupakan bentuk kerjasama antara pasien dan dokter yang semula merawatnya. Jenis euthanasia diatas disebut dengan euthanasia pasif. Jenis euthanasia yang kedua (Failure to take action to prevent death), yaitu kematian yang terjadi karena kelalaian dari seorang dokter dalam mengambil suatu tindakan guna mencegah adanya kematian, tatapi ia tidak mengerjakan
apapun
atau
tidak
melakukan
sesuatu,karena
dokter
mengetahui atau mengerti bahwa pengobatan yang akan di berikan kepada pasien tersebut adalah sia-sia belaka. Dengan pangertian bahwa bila dokter tersebut akan memberikan pengobatan, maka hal itu di pandang sebagai suatu tindakan yang tidak berarti, sehingga sudah tidak ada lagi upaya penyembuhan secara normal. Akhirnya pasien dibiarkan begitu saja sampai ajalnya tiba dengan sendirinya. Pada dasarnya euthanasia jenis yang kedua ini adalah sama dengan jenis euthanasia yang pertama. Adapun letak perbedaannya adalah pada tindakan membiarkan pasien tersebut mati dengan sendirinya tanpa mengadakan pencegahan. Jika pada jenis yang pertama tindakan membiarkan ini timbul karena adanya persetujuan dari kedua belah pihak, yaitu persetujuan antara pasien dan dokter yang telah merawatnya, sedangkan pada jenis yang kedua tindakan itu timbul hanya datang dari salah satu pihak saja, yakni dari pihak dokter yang merawatnya. Euthanasia jenis yang ketiga
(positive action to cause death)
merupakan tindakan yang positif dari seorang dokter untuk mempercepat terjadinya kematian. pada jenis euthanasia ini biasanya di katagorikan
32
sebagai euthanasia aktif, karena adanya aktifitas yang dilakukan oleh dokter atau pihak lainnya untuk mempercepat kematian seseorang.27 Euthanasia menurut Dr. Yusuf Qordowi di golongkan kedalam tiga jenis 1.
Taisir al maut / Qotlu al rohmah, yaitu tindakan mempermudah kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit karena adanya kasih sayang dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik yang di lakukan dengan cara positif maupun negatif.
2.
Taisir al-maut ialah tindakan memudahkan kematian si sakit, karena kasih sayang yang di lakukan oleh dokter yang mempergunakan instruman (alat).
3.
Taisir al-maut mufa‟il, pada euthanasia jenis ini dipergunakan instrumen (alat) ataupun langkah - langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, akan tetapi si sakit (pasien) hanya di biarkan pengobatan untuk memperpanjang akhir hayatnya.28 Di dalam dunia medis, ada yang disebut dengan pseudo euthanasia,
yaitu bentuk semu euthanasia, bentuk ini Nampak mirip dengan euthanasia tetapi bentuk ini bukanlah euthanasia, jadi pseudo euthanasia merupakan tindakan yang mirip euthanasia baik yang aktif maupun yang pasif29. hal ini perlu diketahui atau dikemukakan oleh penulis agar dalam menentukan suatu tindakan medis yang berhubungan dengan “hidup dan mati” tidaklah 27
Djoko Prakoso, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana........... hal.74 Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, jilid II (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 749 29 http://laporanpenelitian.wordpress.com/2008/05/25/euthanasia-antara-legal-dan-nonlegal. (20 juli 2011) 28
33
gegabah dan juga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan apakah suatu perbuatan dapat disebut sebagai euthanasia atau bukan. Menurut pendapat kesehatan pada
Prof.
Fakultas
Mr. H.J.J. Leenen, guru besar
Hukum dan Fakultas
Kedokteran
hukum Van
Amsterdam yang mensinyalir bahwa di dalam dunia medis di temukan bentuk-bentuk pengakhiran hidup yang bukan euthanasia, akan tetapi memang mirip dengannya, bentuk-bentuk
yang di maksud antara lain
adalah: 1. Pengakhiran perawatan pasien karena “mati batang otak” (brain death) dalam keadaan seperti ini memperoleh tindakan penopang (supurfit) dengan bantuan mesin. 2. Keadaan darurat (emergency) yang tidak dapat di atasi karena terbatasnya fasilitas pelayanan kesehatan yang ada, misalnya pada kejadian-kejadian luar biasa seperti adanya bencana alam. 3. Penghentian tindakan atau perawatan medis yang tidak ada gunanya lagi, berdasarkan kriteria-kriteria ilmu kedokteran (zin loo) 30 4. Penolakan perawatan medis31 Dari berbagai uraian macam dan bentuk euthanasia di atas kiranya kita dapat mensinyalir bentuk dan macam euthanasia, apa yang ada sesuai
30
Djoko Prakoso dan Djaman Adhi Nirwanto, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana........... hal.87 31 Danny Wradharma, Penuntun Kuliah Kedokteran, (Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1996), Hal. 44
34
dengan fenomena yang terjadi, baik di kalangan medis dan di masyarakat pada umumnya.
C. Fenomena Euthanasia Euthanasia
merupakan
sebuah
istilah
yang
mungkin
jarang
dibicarakan tetapi juga merupakan persoalan dan pilihan-pilihan sulit ketika memang harus terjadi, karena keduanya adalah bagian dari realitas dalam kehidupan kita . Seorang ibu muda (Agian Isna Nauli) baru 30-an tahun umurnya, pasca melahirkan melalui caesar sebagian besar jaringan ototnya tiba-tiba menglami lumpuh secara total, termasuk otot yang di perlukan untuk bernafas, menelan, membuang kotoran dan sebagiannya tetapi sarafsarafnya hidup, karena itu ia hanya terbaring, namun sadar sepenuhnya dan hal ini tentu akan amat menyiksanya. Sebab dengan demikian, ia bisa merasakan rasa ngilu luar biasa yang mengiringi penyakitnya, serta dengan tanpa henti menderanya berbulan-bulan ia begitu, dengan 1001 macam jarum tertanam di tubuhnya, sebab lantaran alat-alat itu sajalah, ia masih bertahan hidup. Sebelum ini, suaminya banyak melakukan perjalanan, mengurus usahanya yang lumayan maju, kini tentu tidak bisa lagi, seluruh usahanya berhenti secara total. Sebaliknya lebih dari satu milyar rupiah hanya dikeluarkan untuk membiayai pengobatan, satu persatu barang milik yang berharga terpaksa di jual, anak-anak pun kurang perhatian dan terbengkalai
35
sekolahnya. Suatu hari dokter spesialis neorologi yang merawatnya berkata; “Bahwa usaha saya sudah maksimal”, akan tetapi kemungkinan istrinya untuk sembuh nyaris tiada, namun ia masih bisa bertahan, itu semata-mata adalah karena alat penunjang yang mahal biaya pemakaiannya, sementara itu banyak pasien lain yang membutuhkan alat-alat tersebut. Oleh karena itu, dokter meminta agar keluarganya mempetimbangkan apakah tidak sebaiknya alat-alat tersebut di cabut saja. Dengan demikian sang isteri tercinta bisa meninggal secara alamiah, bahkan terbebas dari penderitannya, kalaupun Tuhan berkenan memberikan mukhjizat, toh tidak bergantung pada menempel atau tidaknya alat-alat tersebut. Dengan sangat terpaksa pada hari Jum‟at tanggal 22 Oktober 2004, pasca Satrya Hasan Kusuma, menetapkan hati untuk mengirim surat permohonan tindakan euthanasia untuk isteri Again Isna Nauli (23 tahun ke pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, dalam surat permohonan tersebut,
32
Hasan meminta
kepada ketua PN Jakarta Pusat untuk berkenan menetapkan apakah bisa dilakukan euthanasia terhadap isterinya atau tidak). Dengan adanya kasus ini sontak mengundang polemik kembali meski sudah sejak lama, beberapa kalangan
menilai
bahwa
tindakan
euthanasia
sama
saja
dengan
pembunuhan, sementara pihak lain menganggap bahwa euthanasia bisa dilakukan jika alasannya memang demi membantu si pasien terlepas dari penderitaan.
32
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-hukum-islam. (20 juli
2011)
36
Manusia hanya dapat berusaha akan tetapi akhirnya hanya Allah yang Maha Penentu dan pengatur segalanya, sesuatu yang dianggap baik oleh manusia belum tentu baik menurut Allah. Tragis memang bila Ny. Agian atas usulan suaminya agar dieuthanasia, yang mengundang polemik diberbagai kalangan, baik kalangan hukum, agama, kedokteran dan masyarakat luas ketika itu. Ternyata pada awal Januari 2005 sang isteri (Ny Agian) yang berbulan-bulan koma, sudah dapat berbicara, berdoa dan bernyanyi pula. Usul suami tidak sepenuhnya salah karena berangkat dari ketetapan prognosis dokter yang menilai kondisi penyakit Ny. Again yang sudah tidak mungkin dapat pulih kembali. 33 Kalau begitu kasus Ny. Again secara bahasa medis dinilai sudah berprognosis infaust, bernasib buruk tanpa bisa ada tangan medis yang memulihkannya lagi, ternyata apa yang dikategorikan berprognosis buruk itu ternyata tidak seburuk yang dikira, hal itu berarti kita tidak harus sepenuhnya
percaya
kepada
bahasa
medis,
ramalan
medis
atau
penghitungan nasib penyakit yang kita idap, mungkin saja memang lebih banyak betulnya, akan tetapi kita jangan lupa siapa tahu masih ada keajaiban di sana, keajaiban yang semacam inilah yang tidak boleh kita nafikan. Memang tidak bijak bila kita tergesa-gesa mengambil keputusan dan setiap realita yang masih menyimpan keajaiban, termasuk keajaiban untuk sembuh, entah oleh tangan siapa yang harus kita tetap yakini bahwa Tuhan 33
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-hukum-islam. (20 juli
2011)
37
masih mau ikut campur dengan urusan kita, jika kita mau untuk memintanya. Masalah euthanasia ramai diperdebatkan di negara Belanda, sekitar tahun 1952-an, yang bermula pada kasus seorang dokter yang melakukan pembunuhan dengan niat sebenarnya membantu pasien melepaskan diri dari derita berkepanjangan, pasien yang menderita penyakit yang selain membuatnya sangat kesakitan juga tidak dapat di sembuhkan dengan cara memberikan tablet dan suntikan. Kasus ini dihadapi oleh Rg. Utrecht, dan mejatuhkan pidana bersyarat satu tahun vonis karena bertindak atas dorongan hati nurani dengan berdasarkan ketentuan pasal 293 (pasal 344 KUHP jo pasal 447 dst, R KUHP/1999-2000), pembuat Undang-undang yang berhadapan dengan konflik baru demikian tidak ditemukan alasan meniadakan atau menghapus karakter pidana perbuatan yang dimaksud.34 Pandangan euthanasia yang lebih lunak dalam kehidupan masyarakat digambarkan pada kebijakan penuntutan putusan pengadilan, hoge road. Berikut ini diuraikan kasus euthanasia yang masuk ke pengadilan luar negri yakni di Belanda; seorang wanita berumur 95 tahun berulangkali dengan sungguh-sungguh meminta untuk diakhiri hidupnya, karena keadaan fisiknya yang semakin lemah disebabkan penyempitan pembuluh darah. Meskipun dua tahun sebelumnya wanita tua itu yang secara mental cukup normal telah membuat pernyataan euthanasia. Dokter keluarga yang diminta melakukan euthanasia seringkali membicarakan masalah itu dengan
34
Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), Hal. 271
38
pasiennya dan bersama anak laki-laki dan menantunya. Dokter tersebut dengan disertai asistennya melakukan tindakan euthanasia atas permintaan tegas dari pasien tersebut, dengan memberikan suntikan, kemudian melaporkan perbuatannya itu kepada polisi. Pengadilan Alkmaar, 10 Mei 1983, berdasarkan ketiadaan unsur melawan hukum materiil telah membebaskan dokter tersebut dari tuntutan hukum. Tidak menutup kemungkinan hal yang sama (euthanasia) atas permintaan pasien dengan sunguh-sungguh tejadi di Indonesia, pernah menjadi kontroversi jika dilakukan bagi penderita Aids stadium akhir. 35 Menurut K.H. Ibrahim Hosein, ketua komisi fatwa MUI, menjelaskan bahwa euthanasia yang boleh dilakukan bagi penderita Aids yang mengalami penderitaan berkepanjangan dan tidak bisa disembuhkan.36 Kedua, karena penderita Aids berbahaya bagi orang lain, mengingat daya tularnya yang mengerikan. Melihat pada sisi kemaslahatan dan keadaan penderita Aids yang sudah kronis hanya akan menderita tanpa bisa disembuhkan.37 Satu-satunya cara untuk meringankan beban sang pasien dalam kondisi semacam ini adalah dengan memberikan kematian yang damai. Tanpa tindakan ini, para dokter dan kerabat keluarga hanya akan menyiksa atau membiarkan penderitaan pasien. Pendapat ini disanggah oleh K.H. Hasan Basri, ketua MUI ketika itu pelaksanaan euthanasia aktif 35
http://www.ptiq.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=40&Itemid=34
36
http://www.ptiq.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=40&Itemid=34
37
http://www.ptiq.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=40&Itemid=34 (20 Juli 2011)
39
bertentangan, baik dari sudut pandang agama, undang-undang, maupun kode etik kedokteran. Dari fenomena-fenomena tersebut di atas masalah euthanasia bukan suatu masalah medical ethis saja, tetapi juga termasuk persoalan bioethics yang bersifat interdisipliner. Oleh sebab itu diharapkan dapat menghasilkan gambaran secara jelas mengenai perumusan masalah euthanasia yang selama ini masih merupakan dilema dan kalaupun memang kematian merupakan suatu yang bakal menimpa setiap orang, maka kematian yang seharusnya akan dipilih. 1. Definisi Kematian Dalam pandangan medis, kematian merupakan suatu bentuk proses yang sebenarnya sudah diawali sejak bayi baru lahir. Sejak bayi, setiap hari sebagian sel tubuh manusia mengalami kematian, kemudian diganti dengan sel-sel yanga baru saja terbentuk. Semkin tua umur manusia, maka pergantian sel-sel yang mati semakin tidak sempurna dan tidak semua sel yang mati itu dapat diganti, sehingga pada akhirnya semua sel dalam tubuh itu mati semua. Menurut pernyataan IDI (Ikatan Dokter Indonesia), bahwa mati adalah proses yang berlangsung secara berangsur-angsur, tiap sel tubuh manusia mempunyai daya tahan yang berbeda-beda terhadap tidak adanya oksigen dan karenanya mempunyai saat kematian yang berbeda pula. karena kematian merupakan suatu proses yang berlangsung secara berangsur, secara kliniks sulit untuk menetapkan kapan seseorang dinyatakan mati.
40
Namun dengan demikian berangsur pula teknologi modern di bidang kedokteran telah mampu merubah konsep manusia tentang kematian. Dahulu manusia mengatur kematian dengan pernapasan, dengan pengertian jika seseorang telah terputus nafasnya, maka ia dapat dikatakan sudah mati. Ukuran tersebut kemudian ditinggalkan, karena beberapa kejadian telah membuktikan bahwa orang yang tidak bernafas selang beberapa waktu ia dapat kembali bernafas, setelah itu orang mempercayai bahwa ukuran kematian disebabkan oleh detak jantung, sejalan dengan lajunya perkembangan teknologi kedokteran, ukuran itupun dibatalkan karena ternyata secara ilmiah bahwa jantung tersebut digerakan oleh pusat syaraf yang terletak di otak. Keyakinan terakhir inilah yang mengantarkan para dokter kepada definisi mati dipatok oleh kondisi batang otak yang bekerja sebagai pusat saluran syaraf pada tubuh manusia. Apabila batang otak betulbetul diyakini sudah mati, tidak berfungsi lagi, maka dapat dipastikan kalau hidup seseorang telah berakhir.38 Dalam ilmu kedokteran kematian dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu: 1.
Somatic Death, yaitu kematian secara badaniah saja, terhadap kematian ini orang belum dianggap mati dengan sesungguhnya, karena masih dimungkinkan timbul gejala-gejala untuk hidup lagi walaupun gejalagejala tersebut sangat kecil kemungkinannya. Adapun tanda-tanda seseorang dapat dikatakan somatic death adalah:
38
Luthfi Asy-Syaukani, Politik, HAM dan Isu-isu Teknologi dalam Fikih Kontemporer, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), Hal. 179
41
a. Livor minorilus (lebam mayat) b. Rigor mortis (kaku mayat) c. Algor mortis (warna dan dingin mayat)39 Setelah terjadi somatic death, untuk memastikan tentang kematian seseorang hendaknya harus ditunggu sampai kurang lebih dua jam lamanya, saat inilah yang dimungkinkan terjadinya apa yang disebut dengan mati suri, dan apabila setelah lewat dari dua jam, maka mati suri itu berlanjut, maka terjadilah gejala-gejala cel degeneration, sampai pada akhirnya terjadi kematian biological death 2.
Biological Death, yaitu kematian secara biologis atau kematian yang dialami oleh semua organ, baik jasmani maupun rohaninya, yang sebelumnya ditandai dengan gejala-gejala sebagai berikut: a. Discoloration (terjadinya perubahan warna) b. Soffering (jaringan menjadi lemah) c. Nothing (terjadinya pembusukan)40 Dengan tanda-tanda tersebut, dapatlah diketahui bahwa yang disebut
mati dalam ilmu kedokteran adalah biological death (mati secara biologis), dengan pengertian bahwa untuk meyakinkan kematian biological tersebut, maka harus menunggu waktu selama 24 jam secara terus menerus dan dites secara medis, apakah seluruh sel tubuh manusia sudah tidak berfungsi lagi atau muncul sebaliknya. 39
Djoko Prakoso dan Djaman Adhi Nirwanto, Euthanasia, HAM dan Hukum Pidana,
Hal. 78 40
Djoko Prakoso dan Djaman Adhi Nirwanto, Euthanasia, HAM dan Hukum Pidana,
Hal. 97
42
Dalam “kasus kematian” dengan berbagai pengertianya sangat luas, oleh karena mencakup segala macam kematian yang diduga karena peristiwa yang merupakan “tindak pidana”, jadi semua kematian yang diduga ditimbulkan dan atau diakibatkan oleh suatu tindak pidana, baik berupa perbuatan atau tindakan kekerasan maupun penganiayaan, peracunan dengan berbagai macam racun atau obat ataupun gas dan lain-lain dikategorikan tindak pidana karena dapat merusak kesehatan dan tubuh serta menghilangkan nyawa manusia.41 Seseorang dikatakan mati, menurut Syekh Izzudin bin Abdus Salam yaitu putusnya pengendalian ruh terhadap seluruh anggota badan adalah alat bagi ruh. Ruhlah yang mengfungsikannya, jadi mati berarti tidak berfungsinya seluruh anggota tubuh, sedangkan kematian menurut hukum adalah diukur dengan bernafas atau tidaknya seseorang,42 dengan asumsi bahwa apabila seseorang masih bernafas, maka ia belum bisa dikatakan mati, jadi seseorang dikatakan mati bilamana orang tersebut sudah tidak bernafas lagi. Kematian menurut hukum ini setidaknya dapat diketahui demi diajukannya
suatu
kasus
kesidang
pengadilan,
apabila
hakim
mendefinisikan bahwa orang tersebut mati terbunuh yang pada akhirnya terdakwa dikenakan sanksi sesuai dengan pasal yang mengatur tentang hal tersebut. Kematian seseorang tentu disebabkan karena hal-hal tertentu yang memang memungkinkan dapat mematikan atau mengakhiri hidup seseorang 41
R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science), (Bandung: Tarsito,1991,) hal. 37 42 Djoko Prakoso, Euthanasia, HAM dan Hukum Pidana, Hal. 98
43
namun, diantara sekian banyak penyebab kematian seseorang yakni karena menderita suatu penyakit. Untuk hal ini perlu kiranya seseorang melakukan usaha demi mempertahankan hidupnya dengan cara pengobatan. 2. Hukum Berobat Menurut Hukum Islam Mengenai usaha pengobatan terhadap suatu penyakit, Rosulullah Saw memaparkan dalam sebuah haditsnya diantaranya:
َع َع ْن َع َع:ُه َع َع ْن ِب َع َع َّن َع قَع َعل
ُه َع ْنل ُه َع ِب اللَّن ِب ِّي ِب َع َع
َع ْن ِبأ ُه َعر َعْنر َع َع ِب َع ُه َعا ًءا ِب َّن َع ْن َع َع لَع ُه ِب َع ًءا
Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW beliau bersabda, “Tidaklah Allah SWT menurunkan penyakit melainkan menurunkan obat penyembuhnya”43 Seseorang tertimpa suatu penyakit merupakan takdir Allah dalam rangka menguji hamba-Nya, disitu timbul hukum kausalitas (sebab akibat) yakni timbulnya suatu penyakit maka akibatnya harus diobati, seperti halnya sudah menjadi hukum alamiah, bahwa setiap manusia memiliki rasa lapar, haus, panas dingin, itu semua merupakan takdir Allah, maka untuk menghindari/menolak rasa itu juga harus dilawan dengan takdir Allah pula, serangan musuh adalah takdir Allah SWT, dilawan dengan jihad adalah takdir Allah pula. 44 Begitu pula dengan penyakit, maka harus dilawan dengan pengobatan demi untuk kesembuhan, agar selanjutnya dapat membawa kemanfaatan menjadi tenang dalam menjalankan ibadah kepada Allah. Tidak mau
43
Abi Abdilah Muhammadbin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari Juz V (Beirut Darul Fikr, 1994), Hal. 11 44 http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-hukum-islam (20 Juli 2011)
44
berobat karena adanya keputusan tidak boleh dilakukan karena putus asa itu sendiri dilarang oleh agama, menurut pendapat dari golongan Syafi‟iyah, menyatakan bahwa hukum berobat bagi orang yang sakit hukumnya sunnah, sedangkan menurut pendapat jumhur ulama‟, bahwa hukum berobat tidaklah bertentangan dengan tawakal kepada Allah, sehingga dapat dikatakan hukumnya boleh. Adapun mengenai hukum atau keutamaan berobat, para ulama berbeda pendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama.45 Dalam hal ini hukum berobat atau mengobati penyakit yang lebih tepat adalah pada dasarnya hukumnya wajib terutama untuk kesembuhan sesuai dengan perintah Allah SWT untuk berobat. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi Saw dalam masalah pengobatan. Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya sunnah atau wajib apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya, sedangkan jika secara perhitungan akurat medis yang dapat dipertanggungjawabkan sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnatullah dalam hukum kausalitas yang dikuasai oleh para ahli, seperti dokter ahli, maka tidak ada seorang pun yang mengatakan sunnah berobat apalagi wajib. Menurut pendapat penulis sendiri, hukum berobat tetap hukumnya wajib untuk dilakukan selagi masih ada harapan untuk sembuh, ketika sudah berusaha semaksimal mungkin akan tetapi penyakitnya tak kunjung sembuh,
45
Abdul Qadim Zallum Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati, (Bangil: Al Izzah. 1998), hal. 69
45
maka barulah kita bertawakal kepada Allah swt, kalaupun Allah swt berkehendak lain dan harus berakhir masa hidupnya. Dari pendapat-pendapat para ulama‟ tersebut dikaji sebagaimana dalam kaidah fiqhiyyah dan kalau memang penyakit itu termasuk “bahaya” maka, sesuatu yang menimbulkan bahaya itu harus dihilangkan, dengan cara melakukan pengobatan. Seperti pada kaidah fiqh yang berbunyi
“kemadlaratan (bahaya harus dihilangkan)”
ض َعر ُه ُه َع ا ُه ا ل َع
46
Dan juga sesuai dengan sabda Rasulullah saw.
َع َع َعر ُه َع َع ِب َعرا َع “tidak boleh memadaratkan orang lain dan diri sendiri”.47 Merupakan salah satu dari tujuan hukum Islam yang terhimpun dalam al-kulliyah al-khamsah dan harus dipelihara antara lain adalah tentang: ( ح ظ )الل س/ memelihara jiwa.48 terpeliharanya kehidupan jiwa harus di usahakan dan di akhiratnya, begitupun pengobatan adalah termasuk salah satu ikhtiar pemeliharaan terhadap kelangsungan hidup yang wajib di lakukan selagi dalam batas kemampuan manusia. Maka berobat perlu di lakukan pada diri kita untuk menjaga potensi diri kita agar tetap sehat dan kuat, seingga segala aktivitas dapat berjalan dengan baik. Akan tetapi mejadi sebuah dilema manakala keadaan sudah tidak memungkinkan lagi dilakukan, harapan hidup sangat tipis berdasarkan 46 47
Abdul Mujib, Al-Qoidah Fiqiyyah, (Yogyakarta: Nurcahaya, 1990), Hal. 19 Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qowaid Fiqhiyyah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008),
Hal. 48 48
Ismail Muhammad Iyah, Filsafata Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hal.
70
46
diagnosa dari dokter atau mungkin karena keadan ekonomi dan untuk biaya pengobatan sudah tidak ada lagi. Apakah pengobatan bisa di hentikan? lebih lanjutnya penulis akan membahas masalah euthanasia di tinjau dari hukum Islam dan hukum pidana pada bab berikutnya.
47
BAB III EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM
A. Euthanasia Dalam Tinjauan Hukum Pidana Di Indonesia baik dan buruknya terhadap euthanasia belum sepenuhnya dapat dilakukan bahkan belum terlegalkan, mengingat pancasila sebagai sumber etika sekaligus sumber dari segala hukum, maka sepantasnyalah semua ketentuan yang ada berkenaan dengan euthanasia ini berpedoman pada sumber tersebut meskipun belum ada hukum yang jelas dan tegas secara langsung dalam mengatur euthanasia kiranya perlu dicarikan acuan yang mendekati konsekuensi hukum bagi para pihak dan pelaku euthanasia. Jika mengacu pada perundang-undangan yang mengatur permasalahan euthanasia masih berupa produk hukum warisan colonial Belanda, dalam bentuk KUHP termaktub di dalamnya mengenai persoalan kejahatan terhadap tubuh dan nyawa manusia, sekurang-kurangnya sedikit mendekati terhadap euthanasia. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur kejahatan terhadap tubuh dan nyawa manusia mengandung kepentingan hukum yang melindungi obyek kejahatan nyawa manusia.49 kejahatan terhadap nyawa
49
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), Hal. 60
48
dalam KUHP dapat dibedakan atau dikelompokkan menjadi dua dasar yaitu: atas dasar unsur kesalahannya dan atas dasar obyeknya (nyawa). Atas dasar kesalahannya ada dua kelompok kejahatan terhadap nyawa yaitu: 1.
Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan cara sengaja (dolus misdrijven), adalah bentuk kejahatan yang dimuat dalam bab XIX KUHP, pasal 338 s/d 350.
2.
Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan tidak dengan cara sengaja (culpuse misdrijven) yang termuat dalam bab XIX (khusus pada pasal 359)50 Atas dasar obyeknya (kepentingan hukum yang dilindungi), maka
kejahatan terhadap nyawa dengan sengaja dibedakan menjadi tiga macam yaitu: 1.
Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan, dimuat dalam pasal 341, pasal 342 dan pasal 343.51
2.
Kejahatan pada nyawa orang pada umumnya, dimuat dalam pasal 338, 339, 340, pasal 344 dan pasal 345.
3.
Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih dalam kandungan ibunya (janin), dimuat dalam pasal 346, 347, 348 dan 34952 Perihal kematian seseorang yang bertalian dengan perbuatan orang
lain, maka peristiwa tersebut hendaknya perlu ditinjau secara teoritis dari segi hukum pidana mengenai kualifikasi delik-delik pembunuhan, makna 50
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa.................Hal. 62 R Sugandi, KUHP dan Penjelasannya....................Hal. 357 52 Muljatno, KUHP.........................Hal. 123-125 51
49
dan penentuan hubungan krusial dalam hukum pidana, hubungan batin yang berbeda antara orang melakukan perbuatan dengan akibat matinya orang, sifat dan pembuktian kealpaan.53 Untuk dapat dipidanakan atau tidaknya karena kejahatan terhadap jiwa, maka harus ada unsur-unsur yang terkandung dalam pasal-pasal yang bersangkutan untuk mengantisipasi terjadinya euthanasia di Indonesia meskipun pada kenyataannya kasus euthanasia yang sampai diajukan ke pengadilan, namun belum ada seorang pun atau lembaga yang menyetujui legalisasi euthanasia. Dalam hal ini ada beberapa alternatif pasal dalam KUHP yang dapat dijadikan pijakan dalam hal menentukan pertanggungjawaban pidana dalam kaitannya dengan persoalan dan peristiwa euthanasia, Begitu pun dengan masalah euthanasia yang masih menjadi teka-teki apa penyebabnya, karena mengenai peristiwa matinya orang yang bertalian dengan perbuatan orang lain. Berikut ini adalah pasal yang menjelaskan tentang pembunuhan secara umum, yaitu pasal pertama dalam bab XIX yakni pasal 388 dalam terjemahannya berbunyi: “Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun”.54 Apabila rumusan tersebut jika dirinci unsur-unsurnya, maka terdiri dari: 1. Unsur Obyektif:
53 54
Muljatno, Membangun Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 2002), hal. 3 Muljatno, KUHP, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hal. 122
50
a. Perbuatan : menghilangkan nyawa b. Obyeknya : nyawa orang lain 2. Unsur Subyektif: Dalam perbuatan merampas nyawa seseorang terdapat tiga syarat yang harus terpenuhi, yaitu: a. Adanya wujud perbuatan b. Adanya hak kematian (orang lain) c. Adanya hubungan sebab dan akibat (casual verband) antara perbuatan dan akibat kematian orang lain.55 Dari kata “merampas nyawa” di atas, memiliki makna atau sifat jahat dengan penilaian sebab terjadinya pristiwa tersebut (kematian). Meskipun banyak yang menggunakan kata “menghilangkan nyawa”, bermaksud sama yakni kematian, untuk dapat dituntut menurut pasal ini, pembunuhan itu dilakukan dengan segera setelah timbul maksud dan tidak berfikir lebih lama,56 dalam pasal 304 berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, sedang ia wajib memberi kehidupan, perawatan, dan pemeliharaan kepada orang itu, karena hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda sabanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah”. Pasal ini dapat dijadikan acuan bagi tindakan euthanasia pasif dengan membiarkan pasien menderita tanpa memberikan perawatan maupun pengobatan. Pasal ini juga terdapat unsur “karena perjanjian”, kewajiban
55 56
Adami Chazawi, Kejahatan terhadap Tubuh dan Nyawa……hal. 57 R. Sugandhi, KUHP dan penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 2002), hal. 357
51
hukum, hubungan antara pasien dan dokter yang sering dikenal dengan terapeutik. Pasal 338 KUHP merupakan aturan umum dari perampasan nyawa seseorang, yaitu yang berbunyi: “Barang siapa yang sengaja menghilangkan nyawa orang karena pembunuhan biasa, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun. Kejahatan seperti ini disebut dengan “makar mati” atau pembunuhan, peristiwa ini juga perlu dibuktikan suatu perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain, dan kematian itu memang disengaja.57 Dalam hal ini meskipun tindakan euthanasia merupakan salah satu dari bentuk perampasan nyawa dengan cara atau menggunakan alat apapun yang jelas, pasien yang menderita itu menuju kematian, baik dengan cara euthanasia pasif maupun aktif. Selanjutnya pasal 340 KUHP, sebagai pasal alternatif yang dapat digunakan sebagai acuan tindakan pidana bagi pelaku euthanasia, antara lain berbunyi: “Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, karena bersalah melakukan pembunuhan dengan berencana, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”. Rumusan tersebut terdiri dari unsur-unsur: 1.
Unsur Subyektif: a. Dengan sengaja b. Dan dengan rencana terlebih dahulu
2.
Unsur Obyektif
57
R. Sugandhi, KUHP dan penjelasannya....................... Hal. 357
52
a. Perbuatan : menghilangkan nyawa b. obyeknya : nyawa orang lain.58 Unsur “direncana terlebih dahulu” artinya timbulnya maksud pembunuhan dengan pelaksanaannya itu masih ada tempo (waktu) bagi pelaku pembunuhan untuk pelaksanaan niatnya, dengan tenang untuk memikirkannya, dengan pengertian apakah dalam tempo tersebut pelaku ingin meneruskan rencananya untuk membunuh dengan “modus operandi” yang telah direncanakan, dapat dilihat dengan indikatornya bahwa dalam waktu itu: 1.
Pelaku masih sempat untuk menarik kembali kehendaknya untuk membunuh, karena memahami tindakannya diancam hukuman pidana
2.
Bila kehendaknya sudah bulat, ada waktu yang cukup untuk memikirkan,
misalnya
bagaimana
caranya,
dengan
alat
apa
melaksanakannya, bagaimana cara menghilangkan jejaknya, untuk menghindari
tanggung
jawab,
jadi
punya
kesempatan
untuk
memikirkan rekayasa. Berkaitan dengan euthanasia, maka perlu dapat mengetahui secara jelas sesuatu yang dapat mengakibatkan pasien tersebut, cepat atau lambat akan berakhir hidupnya. Alternatif pasal berikutnya dapat dijadikan acuan hukum euthanasia yang dijelaskan dalam KUHP pasal 344 yang berbunyi:
58
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa,……..hal. 81
53
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”59 Kejahatan yang dirumuskan tersebut, terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: a.
Perbuatan: menghilangkan nyawa
b.
Obyek: nyawa orang lain
c.
Atas permintaan orang itu sendiri
d.
yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh Pasal 344 KUHP ini berpedoman bahwa orang yang membunuh tidak
dapat membuktikan bahwa pembunuhan itu atas permintaan korban karena pasal ini dikenakan kepada pelaku euthanasia aktif. Pembunuhan atas permintaan sendiri pasal 344 ini sering disebut dengan euthanasia (mercy killing), yang dipidananya pembunuh, walaupun terbunuh sendiri yang memintanya, pembuktian bahwa sifat publiknya lebih kuat dalam hukum pidana. Walaupun korbannya meminta sendiri agar nyawanya dihilangkan, toh perbuatan orang lain yang memenuhi permintaannya untuk tetap dapat dipidana. Kedua unsur yang harus dibuktikan disyaratkan harus mengacu pada pasal 245 HIR, yaitu: 1.
Kesaksian
2.
Surat-surat
3.
Pengakuan
59
Moeljatno, KUHP...............................124
54
4.
Isyarat-isyarat60. Dari ke empat unsur yang paling mungkin untuk didapatkan dalam
kasus euthanasia ini adalah alat bukti, surat-surat, dan kesaksian. Jadi jelaslah bagi kalangan medis pada umumnya dan para dokter bila melihat ketentuan-ketentuan diatas maka pelaksanaan euthanasia tidak mungkin terjadi, kecuali apabila tindakan euthanasia tidak lagi diartikan tersebut di atas, misalnya dokter yang “membiarkan” obat yang mematikan di minum oleh si pasien atau membantunya mengarahkan jarum suntik.61 Terpaut dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.62 Dalam memandang kasus seperti ini kita memandang dari dua sisi, yaitu pertama, pasien memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan mempunyai hak untuk menolak perawatan, hal ini merupakan hak dasar
60
Djoko Prakoso, Euthanasia HAM dan Hukum Pidana,………hal. 72 Jan Ramelik, Hukum Pidana, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal.272 62 http://www.scribd.com/doc/11639357/Euthanasia-Persepetif-Medis-Dan-HukumPidana-Indonesia. (25 Sept 2011) 61
55
yang tercantum di dalam UU HAM dan UU Kesehatan.63 Kedua, dokter mempunyai kewajiban bahwa di dalam menjalankan hak dan kebebasanya sebagai seorang dokter hendaknya menghormati hak dan kebebasan yang digunakan pasien untuk memenuhi tuntuntan yang adil sesuai dengan pertimbangan etik-moral. Prof. Olga Lelacic dari fakultas hukum SPLIT mengemukakan bahwa seorang pasien yang meminta dokter untuk mengakhiri hidupnya sebetulnya tidak ingin mati tetapi ingin mengakhiri penderitaanya. Namun demikian di negara kita belum ada hukum yang jelas mengenai euthanasia ini. Dasar dari penentuan tindakan boleh dilakukan euthanasia atau tidak boleh dilakukan euthanasia adalah pedoman yang dikeluarkan oleh Pengurus
besar
Ikatan
Dokter
Indonesia,
yaitu
Surat
Edaran
No.702/PB/H.2/09/2004 tentang euthanasia. Dalam pandangan hukum, euthanasia bisa dilakukan jika pengadilan megijinkan. Namun bila euthanasia dilakukan tanpa dasar hukum, maka dokter dan rumah sakit bisa dianggap melanggar pasal 345 KUHP, yaitu menghilangkan nyawa orang lain dengan menggunakan sarana. Dari sudut pandang hukum euthanasia aktif jelas melanggar, UU RI No. 39 tahun 1999 tentang HAM, yaitu Pasal 4, Pasal 9 ayat 1, Pasal 32, Pasal 51, Pasal 340, Pasal 344, dan Pasal 359.64
63
http://laporanpenelitian.wordpress.com/2008/05/25/euthanasia-antara-legal-dannon-legal. (20 Juli 2011) 64
http://laporanpenelitian.wordpress.com/2008/05/25/euthanasia-antara-legal-dannon-legal. (20 Juli 2011)
56
B. Euthanasia Dalam Tinjauan Hukum Islam Islam
sebagai
agama
yang
rahmatan
lil
al-„amin
sangat
memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan pemeluk sejak ia berada dalam kandungan ibunya, sepanjang sampai ia mati, untuk melindungi keselamatan hidup dan kehidupan tersebut dalam Islam menetapkan sebagai norma baik sakhsiyyah (perdata) maupun pidana dikenal dengan jinayah di rumuskan beberapa asas hak asasi manusia sesuai dengan kebutuhannya yakni; 65
ظ ْناللَع ْن ِبس ِبح ْن ُه ظ اْنل َعم ِب ِبح ْن ُه ْنللَع ْن ِبل ِبح ْن ُه ظ ْنال َع ْن ِبل ِبح ْن ُه ِبح ْن ُه ظ ال ِبلِّي ْن ِب
“Menjaga akal, harta, keturunan, jiwa dan agama” Dari kelima asas tersebut dalam pemahasan ini lebih di fokuskan pada ح ض الل س
yang akan di uraikan lebih lanjut.
Menjaga dan menghormati jiwa ( )ح ظ الل سmerupakan hak yang paling utama, berdasarkan peninjauan dari sisi transisi tanpa mempertimbangkan warna kulit, agama, kebangsaan dan negara, adapun yang paling utama yang paling penting adalah hak hidup (pemeliharan jiwa), karena hal ini adalah hak yang suci, tidak dibenarkan secara hukum jika di langgar kemuliaannya dan tidak boleh di anggap remeh eksistensinya. Pelanggaran hidup terhadap jiwa seseorang yang berakibat pada kematian dengan cara pembunuhan dalam konteks Islam disebut dengan ) (ال حلyang menurut Ibnu Qosim al-Ghozali diartikan dengan “hilangnya nyawa”, yang ditimbulkan (disebabkan) oleh suatu tindakan walaupun 65
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hal. 65
57
secara hukum, orang yang mati karena pembunuhan biasa disebut dengan ( ا )لم حوterbunuh, sedangkan orang yang mati bukan karena pembunuhan disebut dengan “mati” secara wajar. Perbedaan sebutan di atas harus ditegaskan, karena orang yang mati yang disebabkan pembunuhan, ternyata terdapat suatu penyebab dan adanya konsekuensi hukum yang harus diterima oleh wali dan terhukum. Dalam Al-Qur‟an menjelaskan beberapa ayat tentang larangan melakukan pembunuhan beserta ancaman para pelakunya, antara lain:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah, kecuali dengan yang hak”.66 (QS. Al-Isro : 33)
“Dan tidak boleh seorang mukmin membunuh orang mukmin yang lain, kecuali karena kesalahan, barang siapa membunuh orang mukmin karena kesalahan maka ia wajib memerdekakan hamba sahaya yang mukmin dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya, (sipembunuh), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) menyedekahkannya” (QS. an-Nisa : 92)67
66
Deapartemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Jumanatul „AliART, 2005), Hal. 285 67 http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-hukum-islam. (24 juli 2011)
58
“Barang siapa yang membunuh orang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka jahannam, ia kekal di dalamnya, Allah mengutuknya dan menyediakan baginya siksaan yang pedih” (QS. An-Nisa: 93) 68 Di samping melarang untuk melakukan perbuatan pembunuhan terhadap orang lain syari‟at Islam juga melarang untuk melakukan perbuatan bunuh diri, sebagaimana dalam surat Al-Baqarah ayat 195:
“Dan bernafkahlah kamu pada jalan Allah dan jangan kamu lemparkan dirimu kedalam kebinasaan dan berbuat baiklah, sesungguhnya Allah menyukai kepada orang-orang yang berbuat baik”.(QS. Al-Baqarah: 195)69 Adapun mengenai pengklasifikasian pembunuhan dalam konteks Islam para fuqoha‟ berbeda pendapat: 1.
Ulama‟ Malikiyah mengklasifikasikan bentuk-bentuk pembunuhan menjadi dua macam yaitu: pembunuhan sengaja (Al-Qothlu Al-Amdi) dan pembunuhan keliru (Al-Qothlu Al-Khoto‟).
2.
Jumhur Ulama‟ mengklasifikasikannya menjadi tiga macam, yaitu: pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan.
3.
Sebagian Ulama‟Hanafiyah mengklasifikasikannya menjadi empat macam, yaitu: pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan dan serupa kekeliruan.
68 69
Deapartemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya...........................Hal. 93 Deapartemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya...........................Hal.30
59
4.
Sebagian Ulama‟ Hanafiyah mengklasifikasikannya menjadi empat macam yaitu; pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan, serupa kekeliruan dan pembunuhan secara tidak langsung.70 Menurut pendapat para fuqoha tersebut Akibat hukum dari sekian
banyak macam dan bentuk pembunuhan, Islam menetapkan qishas atau diyat bagi para pelaku pembunuhan, untuk dapat munentukan macammacam pembunuhan untuk di lakukan seseorang, dapat di lihat niat seseorang apakah pembunuhan sengaja, semi sengaja atau kekeliruan. Melihat posisi niat yang sangat penting dalam menentukan status hukum suatu perbuatan, maka para ulama‟ membuat para kaidah asasi tentang niat, yaitu; )
ل
و أم
(ا,71 pengklasifikasian pembunuhan
sengaja menurut jumhur Ulama‟ yakni apabila sipembunuh melakukannya dengan adanya niat atau maksud untuk menghilangkan nyawa korban. Menurut ulama Hanafiyah suatu pembunuhan dikatakan sengaja, apabila menggunakan alat yang dapat melukai tubuh, seperti: pisau, pedang, panah, tombak dan alat-alat lainnya yang dapat menghilangkan nyawa tanpa keraguan. Ulama‟ Syafi‟iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa alat yang dapat menunjukkan suatu pembunuhan merupakan pembunuhan sengaja adalah alat-alat yang pada umumnya dapat membunuh seseorang (menghilangkan nyawa), alat-alat tersebut tidak selalu harus tajam. hal ini sebagaimana kaidah yang berkenaan dengan pembunuhan sengaja ialah:
ا َع ْنل َع ْنمل ُه ُه َعوأِب َعم َع ْنح ُه ُهل َع غ ِبل ًء 70 71
Jaih Mubarok, Kaidah Fikih Jinayah, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), hal. 9 A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), Hal.34
60
“Pembunuhan sengaja adalah pembunuhan yang dilakukan dengan menggunakan alat yang pada umumnya dapat mematikan”.72
Kualifikasi pembunuhan semi sengaja dapat diketahui, jika alat-alat yang digunakan bukan alat-alat yang dapat melukai, sebagaimana dalam kaidah disebutkan.
ِب ْن ُه ْنال َع ْنم ِبل ُه َعو ِبأغَع ِبْنر اَعل َعِبَل ح “Pembunuhan semi sengaja adalah pembunuhan yang dilakukan tidak dengan menggunakan alat yang melukai atau senjata tajam”. Adapun Ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa pembunuhan semi sengaja adalah yang dilakukan dengan menggunakan alat yang pada umumnya tidak mematikan. Euthanasia aktif dalam pandangan hukum Islam dapat dimasukkan dalam jenis pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja, apabila euthanasia aktif ini memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1.
Pembunuh: berakal, baligh, kesengajaan
2.
Adanya target tertentu (membunuh orang)
3.
Dilakukan dengan menggunakan alat yang pada umumnya dapat berakibat orang lain terbunuh. Ketiga unsur tersebut haruslah terpenuhi semuanya dengan pengertian
tidak boleh ada satu unsur yang tertinggal. Sedankan euthanasia aktif yang dilakukan oleh medis terhadap pasien yang dalam keadaan sadar tidak dimintai persetujuannya, dokter yang menanganinya tidak meminta 72
Jaih Mubarok, Kaidah Fikih Jinayah, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), Hal. 14
61
pendapat dari teman sejawatnya dan tidak atas persetujuan keluarga pasien, maka tindakan euthanasia aktif seperti diatas dapat digolongkan kedalam pembunuhan sengaja, kesengajaan tersebut dilihat dari adanya tindakan yang dilakukan oleh seorang ahli medis, misalnya dengan memberikan obat penenang, obat penghilang rasa sakit yang melebihi dosis, dengan tujuan pasien dapat segera menemui ajalnya dengan tidak merasakan sakit dikala maut menjemputnya. Tindakan para medis terhadap para pasien yang mengalami vegetative yang hidupnya tergantung pada alat bantu yang dipergunakan, sehingga apabila alat bantu tersebut diambil atau dimatikan, tentunya pasien yang mengalami hal tersebut akan menemui ajalnya dengan segera, karena kehidupan pasien hanya bergantung pada alat bantu (instrument) tersebut. 73 Tindakan seperti tersebut diatas apabila dilakukan oleh ahli medis, tanpa adanya persetujuan dari keluarga pasien, maupun pendapat dari teman sejawatnya, maka tindakannya disebut sebagai pembunuhan yang sengaja. Oleh karena itu di samping tindakan ahli medis tersebut telah memenuhi unsur-unsur dalam pembunuhan sengaja, dan juga dilakukan atas inisiatif dokter itu sendiri
tanpa memperdulikan pertimbangan lain
yang
berhubungan dengan hal tersebut, maka tentunya pelaku pembunuhan akan mendapatkan hukuman qishas, sebagaimana telah dijelaskandalam AlQur‟an surat al-Baqarah ayat 178
73
Jaih Mubarok, Kaidah Fikih Jinayah.................Hal. 15
62
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu sekalian qishas dalam pembunuhan”.(QS. Al-Baqarah: 178)74 Mengenai alat yang dipergunakan untuk pembunuhan sengaja, menurut Ulama‟ Hanafiyah, yang pada umumnya dengan alat yang dapat melukai tubuh, sehingga dapat mengakibatkan terbunuhnya seseorang, berkaitan dengan euthanasia aktif, alat yang dipergunakan tentunya bukan merupakan suatu alat yang tajam, akan tetapi secara umum dapat dipahami bahwa pemberian obat penenang atau pembiusan yang melebihi dosis, juga pencabutan alat bantu bagi pasien vegetatif, maka pembunuhan (euthanasia) yang demikian dapat dikategorikan dengan pembunuhan sengaja dan akan mendapatkan sanksi hukum, harus membayar diyat bagi pembunuh kepada keluarga yang terbunuh. Ulama‟ Syafi‟iyah menyatakan bahwa pembunuhan dikatakan sengaja dengan menggunakan alat yang biasanya dapat menjadikan hilangnya nyawa seseorang (mati) dan tidak harus selalu alat yang tajam, dengan demikian tindakan medis euthanasia aktif dengan cara mencabut alat bantu atau dengan memberikan obat bius yang melebihi dosis yang dilakukan tanpa persetujuan dari pasien atau keluarganya, maka dapat dikatakan sebagai pembunuhan sengaja dengan konsekuensi hukumnya adalah qishas bagi pelakunya.
74
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya....................Hal.27
63
Qishas sebagai sanksi hukum dari pembunuhan yang sengaja dapat dilaksanakan apabila terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1.
Pelaku pembunuhan sudah baligh
2.
Pelaku pembunuhan berakal sehat
3.
Pelaku pembunuhan bukan orang tua korban
4.
Ketika terjadi pembunuhan, antara pembunuh dan yang terbunuh sederajat, dalam hal agama dan kemerdekaannya. Hukum qishas tidak dapat dilaksanakan apabila terdapat hal-hal yang
tersebut dibawah ini: 1. Pembunuhan orang Islam dan korbannya non muslim 2. Orang yang merdeka membunuh budak 3. Orang tua membunuh anaknya sendiri75 Mengenai identitas korban yang tidak diketahui, dengan pengertian apakah korban beragama Islam atau tidak, merdeka atau budak, maka menurut Ar-Royani adalah bahwa pembunuhan dengan korban yang masih tidak jelas identitasnya, maka hukum qishas tidak bisa dilaksanakan karena alasan subhat. Tindakan euthanasia aktif sebagaimana dikemukakan di atas, demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada pasien dan untuk meringankan penderitaanya, karena bagaimanapun dokter tidaklah lebih pengasih dan
75
Huzaemah Tahedo, Masail Fiqiyah, (Bandung: Bumi Aksara, 2005), hal. 111
64
penyayang dari pada zdat yang menciptakannya.76 Karena itu serahkanlah usaha tersebut kepada Allah swt, karena dialah yang memberikan kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya. Pengecualian terhadap euthanasia aktif yang dilakukan oleh seorang dokter dalam menyelamatkan ibu yang akan melahirkan anak dengan jalan mematikan bayi yang ada dikandungannya, pada saat diketahui proses kelahiran bayi tersebut akan membahayakan nyawa ibunya. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul:
ض ُهر َع ْن ِب ِب جِب َع ِباا َع َع ِبل ِب َعم َع ْنر ج َع ِبك ُه َعف ال َع ب اَعخ ُه
“Menempuh salah satu tindakan yang lebih ringan demi dua hal yang berbahaya, karena kumpulnya dua bahaya tersebut” Pengorbanan nyawa bayi yang masih dalam kandungan adalah termasuk bahaya, akan tetapi akan lebih besar bahayanya jika membiarkan bayinya selamat, tetapi harus mengorbankan nyawa ibu yang sudah, sempurna, eksis dengan segala hak dan kewajibannya di dunia yang ramai ini. Ia telah sempurna dengan adanya kepatutan mendapatkan hak dan kewajiban dan patut untuk bertanggung jawab.77 Dari kedua bahaya tersebut maka diambil tindakan dengan cara melihat kemaslahatan yang lebih besar dan syara‟ juga memperbolehkan tindakan semacam ini, karena keadaan yang dhorurot, sesuai dengan kaidah:
ت ض ْنو َع ا ِب ض ُهر ْن َع اتُه ج ُه ِب ْن ُهح ْنال َعم ْنح ُه ا ل َع
76
Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual..............................Hal. 178 Sjechul Hadi Permono, Euthanasia ditinjau dari hukum islam dan hukum pidana........hal.45 77
65
“Keadaan dhorurot dapat diperbolehkan terhadap perbuatan yang dilarang”.78 Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif (euthanasia pasif), misalnya: ada seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita kelumpuhan tulang belakang atau kelumpuhan otaknya, maka dalam keadaan ini ia dapat saja dibiarkan tanpa diberi pengobatan, apabila terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit otak, yang mungkin akan membawa kematian anak tersebut. 79 Dalam contoh tersebut di atas “menghentikan pengobatan atau tidak memberikan pengobatan” merupakan salah satu bentuk euthanasia pasif, hal ini berdasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang di lakukan sia-sia saja dan tidak memberikan harapan kepada pasien sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam) dan hukum sebab akibat.80 Diantara masalah yang terkenal dikalangan ulama‟ yang telah dijelaskan, ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqoha‟ dan para imam madzab, bahkan ada pula yang menghukumi mubah / boleh, sebagian nadzab Syafi‟iyah dan imam Ahmad mewajibkannya, sebagai mana di kemukakan oleh Syechul Islam Ibnu Timiyyah, dan sebagian lagi menganggapnya sunnah. Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya sunnah atau pun wajib, apabila penderita dapat di harapkan kesembuhannya. Sedangkan jika secara penghitungan yang akurat medis yang dapat di pertanggung 78
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qowaid Fiqiyyah......................Hal. 265 Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual.......................Hal. 180 80 Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer jilid II..........................Hal. 750-751 79
66
jawabkan sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnatullah dan causalitas yang di kuasai para ahli, seperti dokter ahli maka tidak ada seorang pun yang menyatakan sunnah berobat apalagi wajib, 81 maka penghentian obat atau tidak memberikan pengobatan, tindakan dokter semacam ini hanya bersikap meninggalkan sesuatu yang hukumnya tidak wajib ataupun tidak sunnah sehingga tidak terkena sanksi hukuman baik menurut hukum Islam maupun hukum positif, tindakan euthanasia pasif oleh dokter dalam kondisi seperti ini adalah jaiz (boleh) dan di benarkan syara‟ apabila keluarga pasien mengizinkannya demi meringankan penderitaan dan beban pasien dan keluarganya.82 Dengan dihentikan perawatan atau usaha medis, maka biasanya ajal akan cepat menjemput, bagi pasien yang mampu membiayai pengobatan, nampaknya akan terus dilanjutkan, tetapi bagi pasien yang miskin tentunya upaya medis akan dihentikan, dan tinginya perawatan medis inilah yang mendorong keluarga pasien untuk menghentikan upaya terhadap si sakit, kejadian yang seringkali ditemui adalah si sakit di bawa pulang dan di lakukan perawatan di rumah. Dengan demikian pasien yang dalam keadaan moriboundity seperti ini, Islam memandang bahwa sisi baik dari tindakan pasif adalah dari rasa kasihan terhadap pasien maupun keluarganya. Islam tidak memperbolehkan orang untuk menganjurkan bunuh diri apalagi melakukannya, akan tetapi tradisi yang sudah berlaku sudah lama dilakukan oleh masyarakat Indonesia 81
Yusuf Qordowi, Fatwa-fatwa Kontemporer jilid II..............Hal. 753 Badri Khaeruman, Hukum Islam dan Perubahan Sosial, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hal. 210 82
67
adalah menyerahkan urusan hidup dan matinya terhadap Allah swt, kebiasan tersebut adalah dibacakannya surat yasin atau dengan cara yang lainnya, oleh para kelurga si sakit dengan maksud apabila si sakit lebih baik di perpanjang hidupnya maka hal itu dipasrahkan kepada sang Kholik yang maha berkehendak kapan manusia itu akan mati, dan apabila mati itu lebih baik terhadap keadaan bagi si sakit, maka hal itu juga atas izin Allah swt, sesuai dengan sabda Nabi saw dari Anas bin Malik sebagai berikut:
َع َعح َع َعم َّن : ِب َع َع َّن ْن ِبل ْن َعم ْنو ِب ال َّن ُه َّن:ت ْنل َع َع ُه ْنل
ُه َع َع ْن
َع َع ِب
قَع َعل َع ُه ْنو ُه: ُه َع ْنل ُه
ِب َع ْن َعك َع َع أَعلَّن ُه ح َع َعملَّن ًء ث ْنال َعوفَع ُه َعخ ًءْنرا ِبل َع ج َع َعو فَّنلِب ِبذَعا َعك َع ِب
َع ْن ٍَعس َع ِب َع ت ِبل ُه ا َع َعحل ُه ُهك ُه ْنال َعم ْنو َع ض ٍ ِّير َع َع َع أِب ِب ث ْنال َعح َع ُه َعخ ًءْنرا ِبل َع ْنح ِبلِب َع َعك َع ِب
Dari Anas RA, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, Janganlah seseorang diantara kalian mengharapkan kematian karena kesengsaraan yang menimpanyakalaupun dia memang harus mengharapkan kematian maka sebaiknya mengucapkan “Ya Allah, hidupkanlah aku selama kehidupan itu baik bagiku, dan matikanlah aku bila memang kematian itu lebih baik bagiku” (HR. Shahih Bukhari).83 Dari paparan hadits diatas maka, tradisi dilakukan seperti yang terjadi selama ini tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam, karena tujuan yang sebenarnya adalah menyerahkan seluruh hidup dan mati hanya kepada Allah swt, dengan pengertian bahwa hal ini tidak melanggar kewenangan (kekuasaan) Allah untuk menentukan hidup dan mati hanya di tangan Allah. Menyikapi masalah permintan tersebut di atas, Islam mensyaratkan adanya unsur keterpaksaan, karena hal ini di tegaskan dengan adanya kalimat: (
83
ف
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Barri Jilid 30, (Jakarta: Pustaka Azam, 2008), Hal.
521
68
ألف َل
)كyang dapat diartikan dengan "apabila si sakit tersebut harus
melakukan". Menurut penjelasan tentang euthanasia tersebut di atas, maka diperoleh gambaran, bahwa yang dapat diterima oleh ajaran dan hukum Islam adalah euthanasia yang pasif. Hal itupun masih disyaratkan adanya ketentuan bahwa pasien tersebut sudah diberikan beberapa macam obat, suntikan, usaha pengobatan lainnya dan juga sudah berganti-ganti dokternya dan menurut pendapat para dokter ahli, pasien dinyatakan tidak akan dapat sembuh lagi, harapan hidupnya tipis, hanya menunggu kapan ajal akan datang menjemputnya.
69
BAB IV ANALISIS KOMPARATIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM TENTANG EUTHANASIA
A. Analisis Hukum Pidana Tentang Euthanasia Apabila kita perhatikan lebih lanjut, dari pasal-pasal yang terkait dengan masalah kejahatan terhadap tubuh dan nyawa, yaitu pasal 338, 340 dan 344 KUHP, ketiga-tiganya adalah mengandung makna larangan untuk membunuh selanjutnya pasal 338 KUHP merupakan aturan umum dari pada perampasan nyawa orang lain, pasal 340 KUHP adalah aturan khususnya, karena dengan dimasukannya unsur-unsur dengan rencana lebih dulu, oleh sebab itu pasal 340 KUHP ini dikatakan sebagai pasal terhadap pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana. Begitu pula jika diperhatikan lebih lanjut pasal 344 KUHP pun merupakan aturan khusus dari pasal 338 KUHP. Hal ini karena disamping pasal 344 KUHP tersebut mengandung makna perampasan nyawa atau pembunuhan sebagaimana diatur dalam pasal 338 KUHP, pada pasal 344 KUHP ditambah pula adanya unsur “atas permintaan sendiri yang jelas dan dinyatakan dengan kesungguhan hati”. Jadi masalah euthanasia ini dapat menyangkut dua aturan hukum yakni pasal 338 dan pasal 344 KUHP, dalam hal ini terdapat apa yang disebut dengan concorcus idealis, yang merupakan sistem pemberian pidana juga terjadi satu perbuatan pidana yang masuk dalam beberapa peraturan
70
hukum concorcus idealis ini diatur dalam pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa: a. Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana , maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan adalah yang memuat ancaman hukuman pokok yang paling berat. b. Jika suatu perbuatan yang masuk dalam satu aturan pidana yang umum diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan sanksinya. Dalam pasal 63 ayat 2 KUHP ini mengandung asas lex specialis derogat lege generali, yaitu bahwa aturan-aturan yang khusus akan mendesak atau mengalahkan terhadap peraturan-peraturan yang dikatanya umum84, yang dimaksudkan sebagai peraturan yang khusus disini adalah: “peraturan pidana yang mempunyai atau memuat unsur-unsur yang termuat dalam peraturan pidana yang tidak termuat dalam peraturan pidana umum”. Dengan adanya hal-hal tersebut diatas dapat dianalisiskan bahwa masalah euthanasia yang menyangkut dua aturan hukum yaitu pasal 338 dan 344 KUHP itu, maka yang diterapkan adalah pasal 344 KUHP. Apabila tidak terdapat asas lex specialis derogat lege generali, yang disebut dalam pasal 63 (2) KUHP itu, maka aturan pemidanaan yang dipakai adalah pasal 338 KUHP. Hal ini disebabkan karena ancaman pidana
84
http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-dalam-pelaksanaaneuthanasia-di-indonesia. (24 sept 2011)
71
penjara pada pasal 338 yaitu selama 15 tahun, berarti lebih berat daripada ancman yang terdapat dalam pasal 344 KUHP yang hanya 12 tahun. Hal ini dapat dimengerti karena dalam concorcus idealis akan diterapkan sistem absorbsi, sebagaimana disebutkan pada pasal 63 (1) KUHP85 yang memilih ancaman pidananya yang terberat, oleh sebab itu di dalam KUHP kita hanya ada satu pasal saja yang mengatur tentang masalah euthanasia, yaitu pada pasal 344 KUHP, yang menurut penulis termasuk pasal alternatif yang dapat diterapkan dan dipakai dasar hukum bagi para pelaku euthanasia, dengan adanya bukti pernyataan dengan kesungguhan hati dan tidak boleh hanya diucapkan hanya dengan lisan, dan sebaiknya secara tertulis serta disertai tanda tangan oleh saksi-saksiya, sehingga pada proses pembuktian di pengadilan nanti, surat pernyataan tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti seperti tersebut dalam pasal 295 HIR. Dengan adanya hal-hal tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah euthanasia yang menyangkut dua aturan hukum yaitu pasal 338 dan pasal 344 KUHP maka dalam hal ini yang dapat diterapkan adalah pasal 344 KUHP. yaitu tentang pembunuhan atas permintaan sendiri. tetapi apabila tidak terdapat lex specialis derogat lege generali yang disebutkan dalam pasal 63 KUHP itu maka aturan pemidanaan yang dipakai adalah pasal 338 KUHP. Hal ini karena ancaman pidana penjara pada pasal 338 KUHP yaitu 15 tahun penjara dan itu lebih berat dari ancaman pidana yang terdapat pada pasal 344 KUHP yang hanya 12 tahun penjara dan itu sudah lebih dari 85
http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-dalam-pelaksanaaneuthanasia-di-indonesia (20 Oktober 2011)
72
cukup dari apa yang telah dilakukan si pembunuh walaupun itu atas permintaan dari si korban itu sendiri. setidaknya itu akan membuat jera bagi pelaku yang bersangkutan tetapi apabila bukan didasarkan dengan pembunuhan yang disengaja seperti euthanasia pasif yang hanya melepaskan alat yang menjadi kelangsungan hidup bagi pasien seperti respirator karena menurutnya sudah tidak berguna lagi, dan didasarkan atas perilaku tawakal maka euthanasia pasif diperbolehkan. B. Analisis Hukum Islam Tentang Euthanasia Secara umum tujuan hukum Islam adalah selaras dengan fungsi dari risalah Nabi Muahammad saw, yaitu “
لم
” حمة لuntuk menciptakan
rahmat untuk alam semesta. Sesuatu dapat dikatakan rahmat apabila mengandung peningkatan harkat dan martabat manusia, meluruskan keadailan
ditengah-tengah
masyarakat
dan
dapat
merealisasikan
kemaslahatan-kemaslahatan. Kemaslahatan dapat diwujudkan dengan pemeliharaan 5 (lima) pokok hak asasi manusia yang harus dilindungi, yaitu: a. Hak kebebasan untuk beragama b. Hak terjaminnya perlindungan hidup c. Hak terjaminnya memperoleh keturunan d. Hak atas pengembangan akal dan berpendapat dengan pemikiran yang sehat
73
e. Hak terjaminnya perlindungan harta benda.86 Masalah euthanasia yaitu masalah yang berhubungan erat dengan hak perlindungan jiwa (hidup), ketika banyak orang menuntut haknya untuk hidup. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw
. ث َعك َعك َع َعرهُه َعح ًء َعك َع َعر َع ْن َع ْنال َعم ِب ِب
“Mematahkan tulang mayat seperti mematahkannya ketika dia masih hidup”. Namun ada sebagian orang yang menuntut hak untuk menentukan kematiannya, karena merasa cukup menderita suatu penyakit yang sesuai
dengan diagnosa dokter sudah tidak ada harapan sembuh lagi, dan daripada lama-lama menderita, akhirnya si penderita meminta untuk segera diakhiri saja hidupnya. Jelas sudah, kita sebagai umat beragama telah meyakini bahwa permasalahan hidup dan matinya seseorang itu adalah merupakan hak prerogatif bagi Allah swt, sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-Qur‟an surat Yunus ayat 56
“Dia (Allah) yang menghidupkan dan mematikan dan kepada-Nya kamu sekalian kembali”(QS. Yunus: 56)87 Euthanasia jika dilihat dari segi jenisnya yaitu euthanasia aktif dan euthanasia
pasif,
maka
menurut
para
fuqoha‟
menilai
dan
mempertimbangkan dibolehkan atau tidaknya euthanasia dilihat dari jenis
86
Abul A‟la Maududi, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Bandug:Penerbit Pustaka, 1985), Hal.21-39 87 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bogor : Syaamil Al-Qur‟an, 2007 )Hal. 215
74
pembunuhan dan alasan dilakukannya pembunuhan, yang jelas pembunuhan yang dibolehkan menurut hadits Nabi, telah dikemukakan oleh prof. Mahmud Saltut dalam kitabnya “Al-Islam Aqidah Wa Syari‟ah”, bahwa dengan melihat maksud dan tujuannya, pembunuhan yang dibolehkan syara‟ dapat dirumuskan dalam tiga segi yaitu: a.
Dilihat dari segi perintah atau kewajiban seperti pelaksanaan hukuman mati oleh algojo atas perintah dari pengadilan atau hakim. Sebagai konsekuensi hukumnya atas perbuatan yang dilakukan oleh orang yang terkena hukuman.
b.
Dilihat dari segi pelaksanaan hak yang meliputi: 1.
Hak wali si korban untuk melaksanakan hukuman qishas.
2.
Hak penguasa untuk menghukum mati perampok / pengganggu stabilitas keamanan.
c.
Segi pembelaan, baik terhadap diri, kehormatan maupun terhadap harta benda yang dimilikinya. Dari tiga segi pembunuhan yang dibolehkan yang dikemukakan oleh
Prof. Mahmud Syaltut di atas, euthanasia tidak termasuk didalamnya, jadi dengan demikian maka euthanasia aktif jelas-jelas dilarang oleh hukum Islam. Adapun euthanasia aktif yang dilakukan oleh seorang dokter dalam rangka menyelamatkan ibu yang akan melahirkan dengan jalan mematikan bayi yang akan dilahirkannya, pada saat diketahui proses kelahiran bayi akan mengakibatkan hilangnya nyawa si ibu, hal ini dibolehkan karena
75
dharurat, dan mengandung kemadharatan sedangkan kemadharatan itu harus dihilangkan, sesuai dengan kaidah:
“Kemadhorotan harus dihilangkan”
ض َعر ُه ُه َع ا ُه ال َع
88
Sehubungan dengan adanya pengaruh keadaan dharurat tersebut Abdul Wahab Khallaf dalam bukunya “Ushul Fiqih” menyatakan barang siapa yang tidak bisa mempertahankan keselamatan dirinya kecuali dengan cara membinasakan orang lain, tidaklah ia berdosa dengan tindakan itu apalagi dalam keadaan dharurat, maka melakukan perbuatan yang dilarang diperbolehkan pada saat itu, hal ini sesuai dengan kaidah:
ت ض ُهر ْن َع اتُه ج ُه ِب ْن ُهح ْنال َعم ْنح ُه ْن َع ا ِب اَعل َع “Keadaan dharurat dapat memperbolehkan terhadap perbuatan yang dilarang”89 Selain itu juga karena adanya pertimbangan dua kemadharatan, maka yang diambil adalah yang lebih ringan akibat yang akan ditimbulkannya, berdasarkan kaidah:
ض ُهر َع ْن ِب ِب ِبج َع ِبا ا َع َع ِبل ِب َعم َع ْنرج َع ِبك ُه َعف ال َع ب اَعخ ُه “Menempuh salah satu tindakan yang lebih ringan demi dua hal yang berbahaya, karena kumpulnya dua bahaya tersebut”. Selanjutnya bertalian dengan masalah persetujuan yang diberikan oleh seorang dokter untuk membantu mempercepat kematiannya dianggap tidak ada, tetapi dokter yang melakukan euthanasia dianggap melakukan tindakan pidana atau kriminal yang harus dijatuhi hukuman jika memang telah 88
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qowa‟id Fiqhiyyah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), Hal. 88 89 Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qowaid Fiqhiyyah........................Hal. 265
76
memenuhi
unsur-unsur
pembunuhan,
hanya
saja
mengenai
jenis
hukumannya menurut para ulama‟ terdapat adanya perbedaan. Menurut Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan dan sebagian ulama‟ Syafi‟iyah, bahwa hukuman yang dikenakan terhadap pelaku euthanasia (pembunuhan dengan persetujuan korban) adalah membayar 100 ekor unta atau seharga itu dan bukan diqishas, dengan alasan bahwa persetujuan si korban untuk menjadi obyek euthanasia merupakan syubhat dalam status perbuatannya sesuai dengan hadits Nabi saw, yaitu apabila dalam jarimah hudud (termasuk didalamnya qishas) terdapat syubhat, maka hukumannya dapat digugurkan atau membayar ganti rugi. Menurut Zufar, salah seorang murid Abu Hanifah, yaitu bahwa hukuman yang dikenakan pada pelaku euthanasia tersebut di atas, tetap hukuman qishas (hukuman mati), karena persetujuan untuk menjadi obyek euthanasia tersebut dianggap tidak pernah ada, sehingga persetujuan tersebut tidak ada pengaruhnya sama sekali. Sedangkan menurut pendapat Imam Ahmad bin Hambal dan sebagian ulama‟ Syafi‟iyah, bahwa pelaku euthanasia atas persetujuan si korban dibebaskan dari hukuman, karena persetujuan pasien untuk menjadi obyek euthanasia, sama statusnya dengan pembunuhan, baik dari hukuman qishas, maupun diyat, maka dia bebas dari hukuman. Dalam hal ini penulis tidak sependapat dengan Zufar, karena pelaku atau dokter yang menangani kasus ini hendaknya dibebaskan dari hukuman qishas atau di Indonesia diatur dalam KUHP pasal 344, karena persetujuan euthanasia oleh pasien atau
77
keluarganya atas pertimbangan antara penyelamatan si pasien dan nyawa ibunya yang akan melahirkan dengan bayi yang akan dilahirkannya, dengan syarat persetujuan tersebut dilakukan secara tertulis, sehingga dapat dilakukan bukti otentik, bila terjadi sesuatu atau tuntutan dikemudian hari. Upaya defensif medis yang dilakukan oleh dokter untuk melakukan euthanasia pasif, ini biasanya terjadi pada keluarga pasien yang miskin, dengan keputusasaan dan kepasrahan pasien terpaksa dibawa pulang untuk dirawat di rumahnya, dan bila meninggalpun pasien diharapkan mati secara alamiah, walaupun ada harapan tertolong sangat kecil, sementara bila bergantung pada rumah sakit, beban pengobatan akan semakin besar, sedangkan masih ada kebutuhan lain yang juga butuh biaya untuk menghidupi keluarga lainnya. Menurut Dr. Yusuf Qordhowi, yang berpedoman pada keputusan lembaga “Fiqih Islam Al-Alam” (lembaga fiqih Islam internasional) menyatakan tentang diberlakukannya semua hukum syara‟ yang berkenaan dengan kematian, apabila telah ada indikasi medis antara lain yaitu: a. Apabila denyut jantung dan pernafasannya sudah berhenti secara total dan para dokter telah menetapkan bahwa keberhentian ini tidak dapat pulih kembali. b. Apabila seluruh aktivitas otaknya sudah berhenti dan para dokter ahli sudah menetapkan tidak dapat pulih kembali, otaknya sudah tidak berfungsi lagi.90
90
Yusuf Qordhowi, Fatwa-Fatwa kontemporer..............................Hal. 751
78
Dari dictum di atas dihasilkan hukum syara‟, yaitu: “Boleh melepas alat-alat pengaktif organ dan pernafasan pasien karena tidak berguna lagi”, manfaat dari tindakan ini adalah: a.
Mencegah perbuatan sia-sia, membuang tenaga, waktu dan biaya yang hal itu dilarang oleh agama Islam karena mubazir.
b.
Mempercepat pengurusan mayat
c.
Memberikan mafsadat kepada orang lain untuk memanfaatkan alat-alat yang digunakan oleh pasien tersebut.91 Dari pertimbangan tersebut di atas sesuai dengan salah satu tujuan
hukum Islam yaitu “rahmatan lil al-amin” yakni dengan memberikan kemaslahatan, hal ini sesuai dengan kaidah ushul:
“Menolak kerusakan kemashlahatan”
harus
ِب ْن َع ْن ِب ب ْنال َعم َع ِبلحِب
lebih
diutamakan
َع ْن ُها ْنال َعم َع ِب ِبل ا ُه ْن لَع
daripada
menarik
Dengan demikian, maka dapat, penulis simpulkan bahwa yang dapat diterima oleh ajaran / hukum Islam hanyalah euthanasia pasif, sesuai dengan hadis nabi
َع َع ْن َع َع:ُه َع َع ْن ِب َع َع َّن َع قَع َعل
ُه َع ْنل ُه َع ِب اللَّن ِب ِّي ِب َع َع
َع ْن ِبأ ُه َعر َعْنر َع َع ِب َع ُه َعا ًءا ِب َّن َع ْن َع َع لَع ُه ِب َع ًءا
Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW beliau bersabda, “Tidaklah Allah SWT menurunkan penyakit melainkan menurunkan obat penyembuhnya”92 Euthanasia pasif mengandung keperluan yang penting bagi si pasien untuk mempermudah proses kematian karena adanya kerusakan yang 91
Badri Khaeruman, Hukum Islam dan Perubahan sosial..............................Hal. 213 Abi Abdilah Muhammadbin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari Juz V (Beirut Darul Fikr, 1994), Hal. 11 92
79
menurut pertimbangan medis dapat dipastikan bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak berguna, tidak dapat memberikan harapan sembuh pada pasien, seperti kerusakan pada batang otak, dalam kondisi demikian, tindakan euthanasia pasif boleh dilakukan, umpamanya dengan mencabut selang pernapasan, masker oksigen dan pemacu jantung. Disamping itu, hukum mengobati penyakit dalam waktu cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan maka pengobatannya itu tidak wajib, terlebih lagi, membiarkan pasien yang hanya tampak dalam pernapasan dan denyut nadi, padahal pasien itu sudah seperti orang mati, tidak reponsif, tidak dapat mengerti dan tidak dapat merasakan sesuatu hanya akan menghabiskan dana yang tak terbatas dan tidak dapat menambah penderitaan lagi dan kesedihan bagi keluarga yang mungkin sampai puluhan tahun maka euthanasia pasif merupakan tindakan yang mendatangkan maslahat bagi si pasien, keluarga, serta para pasien yang membutuhkan peralatan yang digunakan pasien tersebut. Jadi meskipun pasien tersebut sudah tidak dibantu dengan alat pernapasan tetapi, apabila Allah sudah berkehendak untuk menghidupkan pasien yang sudah dalam keadaan koma tersebut maka tidak menuntut kemungkinan kalau pasien itu bisa sembuh. Seperti yang kita ketahui bahwa semua yang hidup pasti mati dan kembali kepada sang penciptanya, dari paparan analisis tersebut di atas, penulis dapat mengkonsep perbandingan pandangan tentang euthanasia. N No 01
Masalah
Hukum Pidana
Hukum Islam
Kesimpulan
Pengertian
Euthanasia
Euthanasia
Euthanasia
80
adalah
adalah kematian adalah bagian perbuatan belas
kasihan dari
(mercy
death), bunuh
yang
tindakan dilakukan
untuk
diri, mengakhiri
hidup
sebab kematian sebab pada diri seorang pasien yang terjadi
apabila kedua
berdasar
pada tersebut
permintaan pasien
02
Kebolehan
orang penyakitnya
divonis
yaitu tidak
pasien
bisa
dan disembuhkan
untuk dokter adanya dengan
lagi
melakukan
mengakhiri
kesadaran
sesuatu
hidupnya93.
untuk
melakukan
mengakhiri
dan dengan bantuan
hidupnya
medis yang diminta
dengan
dengan
bantuan medis
sungguh oleh pasien
Dilarang
Negara kita melarang
Dilarang94
atau
tidak sesuatu
sungguh-
terhadap euthanasia
03
Hukuman
Sesuai
dengan Menurut
KUHP
pasal Qur‟an
344,
diancam An-Nisa‟
93
Al- Seseorang
yang
surat melakukan euthanasia 29- harus
di
hukum,
Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman...............................135 Djoko Prakoso dan Djaman Adhi Nirwanto Euthanasia, Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana........................Hal. 34 94
81
pidana
paling 30
lama 12 tahun95
sebab
hukumannya dosa
apabila
diperbolehkan
besar, melakukannya maka
sedang dalam akan fiqih qishas, diyat,
dibuat
adanya sewenang-wenang had, oleh orang yang tidak ta‟zir dapat
bertanggung
dan
masuk jawab/tidak berdaya
neraka
besok
di akhirat96.
Berdasarkan paparan tersebut di atas yang paling relevan untuk dijadikan hujjah dalam menentukan hukum euthanasia yaitu hukum Islam, karena dalam menentukan hukuman yang dijatuhkan kepada pihak pasien dan dokter yaitu berdasrkan Nash Al-Qur‟an yang sudah ada ketentuan hukum-hukumnya dan ketentuan tersebut berasal dari Tuhan yang telah menciptakannya dan sudah menjadi kodrat manusia yang pasti akan kembali kepada-Nya. Karena menurut penulis kalau hanya dokter yang dijatuhi hukuman saja maka itu tidak adil karena dalam hal ini dokter hanya menjalankan
tugasnya
sebagai
seorang dokter
yang selalu
ingin
menyelamatkan pasienya dari kesakitan yang dideritanya. Jadi hanya Allah yang berhak menghukum pelaku euthanasia tersebut tetapi itu jika dalam hal 95 96
R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya..........................Hal. 361 http//www.freskripsi.com/search/jurnal.euthanasia.com. (30 Oktober 2011)
82
euthanasia pasif. karena disini dokter tidak berbuat sesuatu yang aktif seperti memberi obat yang dosisnya tinggi sehingga pasien menjadi over dosis yang sama halnya dengan pembunuhan yang disengaja dan kalau hal tersebut terjadi maka hukum pidana positif di Indonesialah yang dijadikan acuan dalam menentukan hukum bagi dokter tersebut karena di sini ada unsur kesengajaan.
83
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Dari pembahasan di atas, maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut: 1. Euthanasia ditinjau dari segi hukum pidana, maka dapat dikenakan pasal 344 KUHP, meskipun di dalamnya tidak secara langsung mengatur tentang euthanasia, tetapi setidaknya pasal tersebut dapat dijadikan sebagai bahan acuan atau pedoman diberlakukannya sanksi pidana bagi para pelaku euthanasia, yaitu akan diancam hukuman pidana minimal 12 tahun penjara. 2. Menurut hukum Islam, bahwa pada dasarnya euthanasia itu dilarang karena bukan merupakan pembunuhan yang dibenarkan (hak) oleh agama (syara‟), terkecuali euthanasia pasif yang didasarkan pada keadaan dan perilaku tawakal, dan bukan karena keputusasaan serta bukan pula adanya niat bunuh diri atau membunuh pasien, maka diperbolehkan untuk melakukan euthanasia pasif, karena meskipun hukum berobat itu wajib, euthanasia yang dilakukan ini sudah dalam keadaan diluar batas kemampuan manusia, diluar hal ini maka tawakkal itu lebih afdhol.
B. Saran-Saran 1. Perlunya informasi yang lengkap bagi penderita suatu penyakit atau keluarganya tentang penyakit yang diderita dan dialami oleh si sakit, baik
84
yang dapat diusahakan penyembuhannya ataupun yang tidak dapat diusahakan, sehingga tidak gegabah dalam menyikapi tindakan euthanasia. 2. Perlu adanya peninjauan kembali terhadap pasal yang terdapat dalam KUHP atau perundang-undangan lainnya yang mempunyai hubungan erat dengan euthanasia, oleh karena itu maka sebaiknya pemerintah membuat Undang-undang yang khususnya membahas tentang euthanasia. 3. Pemberian informasi yang jelas dan mudah difahami dan dimengerti mengenai permasalahan euthanasia kepada seluruh masyarakat, baik dari kalangan medis, instansi pemerintah yang terkait maupun lembagalembaga keagamaan yang ada di Indonesia.
85
DAFTAR PUSTAKA
Al Ghozali, Imam.1994. Terjemah Ihya Ulumudin jilid IX. Semarang. CV. Asy Syifa. Arikunto, Suharsismi. 1982. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta Asshofa, Burhan. 2007. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rineka Cipta Asy-Syaukani, Lutfi.1998. Politik, HAM dan Isu-isu Teknologi Dalam Fikih Kontemporer. Bandung : Pustaka Hidayah Audah, Abdul Qadir 1992. At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islami. Beirut : Muasasah ArRisalah Bahri, Zaenul. 1996. Kamus Umum Hukum dan Politik. Bandung : Angkasa Bahtiar, Wardi. 1997. Metodologi Penelitian Dakwah. Jakarta : Logos Wacana Ilmu Budi Utomo, Setiawan. 2003. Fkih Aktual. Jakarta : Gema Insani Press Chazawi, Adam. 2004. Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. Jakarta : Rajawali Press Deapartemen Agama RI. 2005. Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Bandung : Jumanatul „Ali-ART Fadl Mohsin Ebrahim, Abul. 2004. Telaah Fikih dan Bioetika Islam, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta Hadi Permono, Sjechul. 2004. Euthanasia Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Pidana. Surabaya : Wali Demak Press Hasan, M Ali. 1995. Masail Fiqiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada Khaeruman, Badri. 2010. Hukum Islam dan Perubahan Sosial. Bandung : CV Pustaka Setia Mubarok, Jaih. 2004. Kaidah Fikih Jinayah. Bandung : Pustaka Bani Quraisy Muhammad Iyah, Ismail. 1999. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Bumi Aksara Mujib, Abdul. 1990. Al-Qoidah Fiqiyyah. Yogyakarta : Nurcahya
86
Mukti, Ali Ghufron. 1993. Abortus, Bayi Tabung, Euthanasia, Transplantasi Ginjal, dan Operasi Kelamin Tinjauan Gukum dan Hukum Islam. Yogyakarta : Aditya Media Muljatno. 2002. Membangun Hukum Pidana. Jakarta : Bina Aksara ------------- 2007. KUHP. Jakarta : Bumi Aksara Mulyono, Anton M. 1988. Kamus Besar bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka Nasif, Syekh Mansyur Ali. 1994. Mahkota pokok-pokok Hadits Rosulullah SAW jilid 3. Bandung : Sinar Baru Agnesindo Prakoso, Djoko. 1984. Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia Qordowi, Yusuf. 1995. Fatwa-fatwa Kontemporer. jilid II. Jakarta : Gema Insani Press Rammelink, Jan. 2003. Hukum Pidana. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Ranoemihardja, Atang R. 1991. Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensik Science). Bandung : Tarsito Sugandhi, R. 2002. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya : Usaha Nasional Syarifudin, Amir. 1992. Pengertian dan Sumber Hukum Islam (dalam falsafah hukum islam). Jakarta : Depag. Bumi Aksara dan Depag. edisi I. cet. II Tahedo, Huzaemah. 2005. Masail Fiqiyah. Bandung. Bumi Aksara Theichman, Jeni. 1998. Etika Sosial Kavislus, Cet I. Yogyakarta Waluyadi.2005. Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta : Djambatan W.J.S Poerwadarminta. 1999. Kamus Bahasa Indonesia. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka Wradharma, Danny. 1996. Penuntun Kuliah Kedokteran. Jakarta : Bina Rupa Aksara. Zallum, Abdul Qadim. 1998. Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan Islam, Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al Izzah
87
Browsing Internet http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-hukum-Islam (20 juli 2011) http://www.ilunifk83.com/t130-kode-etik-kedokteran-indonesia (20 Juli 2011) http://www.ptiq.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=40&Itemid =34 (20 Juli 2011) http://www.ptiq.konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menuruthukum-islam (20 Juli 2011) http://www.scribd.com/doc/11639357/Euthanasia-Persepetif-Medis-Dan-HukumPidana-Indonesia (25 Sept 2011) http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://www.jurnal.md/en/n ews/passive-euthanasia-legalized-in-sweden-185466.pdf. (30 Oktober 2011) http://www.freeskripsi.com/search/jurnal-euthanasia.com. (30 Oktober 2011)
88
DAFTAR RIWAYAYT HIDUP
Identitas Diri Nama Lengkap
: Ani Rianawati
NIM
: 231107056
Tempat/Tanggal Lahir
: Brebes, 21 Juli 1987
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Alamat
: brebes
Identitas Orang Tua Nama Ibu
: Nuripah
Nama Ayah : Madnuri (alm) Alamat Orang Tua
: Brebes
Riwayat Pendidikan 1. SD KEMURANG WETAN 4 2. SMPN 02 Bulakamba 3. SMA N 1 Bulakamba 4. STAIN Pekalongan
89