ISSN 0854-3461 Volume 30, Nomor 1, Pebruari 2015
JURNAL SENI BUDAYA Jurnal Seni Budaya Mudra merangkum berbagai topik kesenian, baik yang menyangkut konsepsi, gagasan, fenomena maupun kajian. Mudra memang diniatkan sebagai penyebar informasi seni budaya sebab itu dari jurnal ini kita memperoleh dan memetik banyak hal tentang kesenian dan permasalahannya. Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Persyaratan seperti yang tercantum pada halaman belakang (Petunjuk untuk Penulis). Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah dan tata cara lainnya. Terakreditasi dengan Peringkat B dari 22 Agustus 2013 sampai 22 Agustus 2018 (Akreditasi berlaku selama 5 (lima) tahun sejak ditetapkan), berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 58/DIKTI/Kep/2013, tanggal 22 Agustus 2013. Ketua Penyunting I Gede Arya Sugiartha
Wakil Ketua Penyunting I Wayan Setem
Penyunting Pelaksana Diah Kustiyanti Tri Haryanto, S,SKar., M.Si Dru Hendro, S.Sen., M.Si Dra. Antonia Indrawati, M.Si Suminto, S.Ag., M.Si Putu Agus Bratayadnya, SS., M.Hum Dra. Ni Made Rai Sunarini, M.Si I Made Gerya, S.Sn., M.Si
Penyunting Ahli Made Mantle Hood (University Putra Malaysia) Ethnomusicologist Jean Couteau. (Sarbone Francis) Sociologist of Art Ron Jenkins. (Wesleyan University) Theatre I Putu Gede Sudana (Universitas Udayana Denpasar) Linguistics Tata Usaha dan Administrasi Ni Wayan Putu Nuri Astini
Alamat Penyunting dan Tata Usaha: UPT. Penerbitan ISI Denpasar, Jalan Nusa Indah Denpasar 80235, Telepon (0361) 227316, Fax. (0361) 236100 E-Mail:
[email protected] Hp. 081337488267 Diterbitkan UPT. Penerbitan Institut Seni Indonesia Denpasar. Terbit pertama kali pada tahun 1990. Dari diterbitkan sampai saat ini sudah 5 (lima) kali berturut-turut mendapat legalitas akreditasi dari Dikti, 1998-2001 (C), 2001-2004 (C), 2004-2007 (C), 2007-2010 (B), 2010-2013 (B), 2013-2018 (B). Dicetak di Percetakan Koperasi Bali Sari Sedana, Jl. Gajah Mada I/1 Denpasar 80112, Telp. (0361) 234723. NPWP: 02.047.173.6.901.000, Tanggal Pengukuhan DKP: 16 Mei 2013 Mengutip ringkasan dan pernyataan atau mencetak ulang gambar atau label dari jurnal ini harus mendapat izin langsung dari penulis. Produksi ulang dalam bentuk kumpulan cetakan ulang atau untuk kepentingan periklanan atau promosi atau publikasi ulang dalam bentuk apa pun harus seizin salah satu penulis dan mendapat lisensi dari penerbit. Jurnal ini diedarkan sebagai tukaran untuk perguruan tinggi, lembaga penelitian dan perpustakaan di dalam dan luar negeri. Hanya iklan menyangkut sains dan produk yang berhubungan dengannya yang dapat dimuat pada jumal ini. Permission to quote excerpts and statements or reprint any figures or tables in this journal should be obtained directly from the authors. Reproduction in a reprint collection or for advertising or promotional purposes or republication in any form requires permission of one of the authors and a licence from the publisher. This journal is distributed for national and regional higher institution, institutional research and libraries. Only advertisements of scientific or related products will be allowed space in this journal.
ISSN 0854-3461
Volume 30, Nomor 1, Pebruari 2015
JURNAL SENI BUDAYA 1.
Bunyi Ngumbang Ngisep Gender Wayang Bali dalam Kajian Semiotika Ary Nugraha Wijayanto, Ketut Sumerjana..................................................................................
1
2.
Aspek Organologis Gender Wayang I Ketut Yasa......................................................................................................................................
8
3.
Estetika Hegemoni Talempong Pacik di Sumatra Barat Andar Indra Sastra..........................................................................................................................
18
4.
Menguak Ideologi di Balik Kehadiran Mabarung Seni Pertunjukan di Kabupaten Buleleng I Nyoman Chaya..............................................................................................................................
37
5.
Estetika Randai Analisis Tekstual dan Kontekstual Sri Rustiyanti...................................................................................................................................
47
6.
Kebangkitan Pasantian di Bali pada Era Globalisasi I Komang Sudirga, I Gde Parimartha, I Wayan Dibia, I Made Suastika .................................
57
7.
Implikasi Pragmatik Bahasa Ungkap Tari Bondhan Maryono...........................................................................................................................................
65
8.
Menyikapi Seni Pertunjukan Tradisional sebagai Media Pengembangan Bangsa Mahdi Bahar....................................................................................................................................
76
9.
Idiologi Estetik Dalang Wayang Topeng Malang Robby Hidajat..................................................................................................................................
83
10. Analisa Stuktur Komposisi Si Bongkok dengan Sulingnya Karya Amir Pasaribu dan Sumatran Fiesta Karya Ben Pasaribu Ance Juliet Panggabean..................................................................................................................
91
11. Strategi Pengembangan Manajemen Pesta Kesenian Bali Berbasis Sinergisitas Kearifan Lokal, Budaya Nasional, dan Pengetahuan Global I Nyoman Suarka, I Wayan Rai S., I Nyoman Dhana, Ni Made Wiasti .................................... 105 12. Testimoni I Wayan Beratha: Seniman Alam yang Kreatif dan Lumbung Keilmuan I Ketut Gde Asnawa........................................................................................................................ 114 Media Komunikasi Seni Budaya. Diterbitkan oleh: UPT. Penerbitan Institut Seni Indonesia Denpasar Terbit tiga kali setahun
Volume 30, 2015
Jurnal Seni Budaya VolumeMUDRA 30, Nomor 1, Pebruari 2015 p1-7
ISSN 0854-3461
Bunyi Ngumbang Ngisep Gender Wayang Bali dalam Kajian Semiotika ARY NUGRAHA WIJAYANTO 1, KETUT SUMERJANA2. 1.
Program Studi Pengkajian Musik Nusantara, Program Pasca Sarjana, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Indonesia. 2. Program Studi Seni Musik, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar, Indonesia. E-mail: arynugrahayahoo.com
Bunyi merupakan sebuah tanda yang eksistensinya dapat ditangkap sistem indra. Sebagai tanda, bunyi merupakan sebuah pesan komunikasi yang dijabarkan dalam tingkatan-tingkatan intepretasi makna. Proses dialektika bunyi terhadap sistem intepretasi memerlukan relasi ilmu pengetahuan untuk memahami keunikan maknanya. Salah satu bunyi yang mempunyai keunikan dialektika terhadap sistem intepretasi adalah ngumbang ngisep gender wayang dalam sistem karawitan Bali sehingga fokus penelitian pada intepretasi makna bunyi ngumbang ngisep gender wayang Bali. Penelitian menggunakan teori semiotika dengan metode kuantitatif-kualitatif yang menitikberatkan pada proses semiosis. Pengumpulan data dilakukan dengan pengukuran bunyi, wawancara terhadap partisipan. Analisis data tiga tahapan yang dikemukakan oleh Nattiez yaitu analisis struktural, latar belakang dan proses kognisi pada bunyi ngumbang ngisep gender wayang Bali. Proses semiosis menggunakan segitiga makna dan tahapan Nattiez memperoleh hasil bahwa bunyi ngumbang ngisep gender wayang merupakan tanda yang mempunyai makna sebagai simbol keseimbangan dan semangat.
Sound of Ngumbang Ngisep Gender Wayang Bali in Semiotika Study’s Sound is one sign which its existence can be a prey to indra’s system. As sign as, sound constitutes one enlightened communication order deep intepretation levels meanings. Sound dialectic process to intepretation system require knowledge relationship to understand its meaning uniqueness. One of sound that have dialectic uniqueness to system intepretation is ngumbang ngisep gender wayang in karawitan’s Bali system so in focus research on intepretation sound meaning ngumbang ngisep wayang Bali. Research utilizes semiotika’s theory by mixed method who emphasizes on semiosis’s process. Data collecting by sound measurement, interview to participant. Data analysis use three step Nattiez which is analysis structural, History and kognisi on sound ngumbang ngisep gender wayang Bali. Semiosis’s process use triangle meaning and Nattiez’s step show result that ngumbang ngisep gender wayang Bali constitutes sign that have balance and spirit meaning. Keywords: Ngumbang ngisep, sign, gender wayang, and semiotic.
Bunyi merupakan sebuah tanda yang eksistensinya dapat ditangkap sistem indra. Sebagai tanda, bunyi merupakan sebuah pesan komunikasi yang dijabarkan dalam tingkatan-tingkatan intepretasi makna. Proses dialektika bunyi terhadap sistem intepretasi memerlukan obyek sehingga diperlukan relasi ilmu pengetahuan untuk memahami maknanya. Salah
satu bunyi yang mempunyai keunikan dialektika terhadap sistem intepretasi adalah bunyi ngumbang ngisep dalam sistem karawitan Bali. Munculnya ngumbang ngisep pada sistem karawitan Bali tidak lepas dari konteks filosofi Rwa Bhineda dalam masyarakat yang diwujudkan ke dalam konsep 1
Ary Nugraha Wijayanto, dkk. (Bunyi Ngumbang Ngisep Gender Wayang...)
gamelan berpasangan yaitu instrumen pengumbangpengisep yang bertujuan membentuk keseimbangan akustik. Rai (dalam Ardana, 2011: 117) bahwa bunyi ngumbang ngisep dihasilkan secara sengaja dari instrumen pengumbang-pengisep sehingga menghasilkan unsur keindahan atau estetika akustik dan merupakan implementasi Rwa Bhineda. Membicarakan kata “sengaja” memberikan tekateki terhadap pembentukan bunyi ngumbang ngisep sebagai sebuah tanda karena diperlukan relasi ilmu pengetahuan yang luar biasa untuk membentuknya. Secara visual, bunyi ngumbang ngisep merupakan tanda imajiner melalui konstruksi instrumen pengumbang-pengisep sedangkan secara audio merupakan tanda nyata karena bunyinya dapat di indera. Konstruksi instrumen pengumbangpengisep yang menarik dan mempunyai bunyi ngumbang ngisep yang unik adalah gender wayang laras slendro.
MUDRA Jurnal Seni Budaya
masyarakat. Latar belakang munculnya ngumbang ngisep gender wayang Bali sebagai sebuah tanda tidak mudah karena unsur-unsurnya terintegrasi secara sempurna membentuk sebuah bunyi dan akar sejarah yang bersifat universal yaitu filosofi rwa bhineda. Fungsi bunyi ngumbang ngisep gender wayang Bali dalam masyarakat selama ini diketahui sebagai pengiring dalam seni pertunjukkan terutama dalam partunjukkan wayang. Membicarakan bunyi ngumbang ngisep gender wayang laras slendro sebagai sebuah tanda tidak lepas dari semiotika. Sausurre (dalam Nattiez, 1990) mengungkapkan bahwa tanda merupakan relasi antara konsep dan imaji. Konsep yang dimaksud Sausure adalah pertanda yang dilihat sebagai makna yang terungkap melalui fungsi dan nilai dalam karya sedangkan imaji bunyi merupakan penanda yang dilihat sebagai bentuk atau wujud fisik yang dapat dikenal melalui wujud karya.
Gender wayang Bali merupakan instrumen berpasangan yang mempunyai keunikan pada konstruksi instrumen, terdiri dari kombinasi logam pada wilah dan bambu pada tabung resonator. Kontruksi dan kombinasi material memberikan representament pada proses kognisi mengenai imaji bunyi yang dihasilkan. Sedangkan secara audio, bunyi ngumbang ngisep gender wayang Bali mempunyai karakter yang halus, lembut dan bergelombang sehingga untuk memahami makna bunyi ngumbang ngisep gender wayang memerlukan transformasi audio ke visual untuk dapat memberikan intepretasi.
Konsep mengenai tanda yang kedua ditawarkan oleh Pierce dengan konsep triadic atau teori segitiga makna yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni representamen, obyek, dan interpretant. Representamen atau tanda merupakan sesuatu yang dapat ditangkap oleh panca indera, yang merujuk pada representasi sesuatu. obyek merupakan acuan tanda, dan intepretant merupakan pengguna tanda atau konsep pemikiran dari orang yang ingin memberikan makna pada tanda. Konsep tanda oleh Sausurre dan Pierce mempunyai persamaan yaitu menekankan pada proses semiosis yaitu sebuah proses pemaknaan tanda.
Transformasi audio ke visual memberikan langkah awal untuk memahami makna bunyi ngumbang ngisep gender wayang sebagai sebuah fenomena fisis yang diuraikan dalam komponen-komponen atau struktur pembentuk bunyi terutama elemen frekuensi. Transformasi audio-visual untuk memahami bunyi ngumbang ngisep sebagai sebuah tanda secara tidak langsung diuraikan dalam lontar Prakempa yang diterjemahkan oleh I Made Bandem (1986) yang mengisyaratkan dualisme suarawarna.
Proses pemaknaan tanda sebuah obyek yang dilakukan oleh Sausurre dan Pierce memberikan landasan dasar untuk menggunakan semiotika dalam mengkaji musik atau bunyi. Jean Nattiez (1990) semiologi musik merupakan fungsi sebuah karya musik berkerja dalam masyarakat sehingga untuk memahami tanda semiologi diperlukan tiga tahapan yaitu analisis struktural musik, latar belakang budaya dan proses kognisi dalam persepsi.
Sebagai fenomena fisis, unsur-unsur bunyi ngumbang ngisep gender wayang. Bali tidak lepas dari latar belakang dan fungsinya di dalam 2
Nattiez (1990) dalam Music and Discourse memberikan sebuah pemahaman bahwa analisis musikal sebagai langkah awal memerlukan dualisme audio-visual yang merupakan bagian dalam keilmuan fisika yang mempunyai landasan untuk
Volume 30, 2015
memberikan pikiran menuju sebuah konteks budaya yang melatar belakangi sebuah karya musik. Konsep yang ditawarkan Nattiez mempunyai kesamaan dengan Lontar Prakempa yang diterjemahkan oleh I Made Bandem (1986) dalam pupuh atau isi lontar secara eksplisit dijelaskan mengenai konsep dualisme suara-warna walaupun masih terlihat samar, di mana suara mempunyai masing-masing warna begitu sebaliknya. Lontar Prakempa sebagai pondasi dalam mengintepretasikan makna gamelan Bali dimulai dari dualisme audio-visual yang merupakan bagian dari ilmu fisika. Dualisme suara-warna yang ditawarkan dalam lontar Prakempa ataupun audiovisual oleh Nattiez memberikan ruang berpikir untuk memberikan landasan memahami kajian latar belakang budaya yang membentuk bunyi ngumbang ngisep gender wayang dan proses persepsi pendengar terhadap bunyi tersebut. Berdasarkan uraian di atas maka fokus penelitian adalah memahami bunyi ngumbang ngisep gender wayang Bali sebagai tanda yang berhubungan dengan bunyi itu sendiri, latar belakang munculnya ngumbang ngisep serta proses kognisi yang terjadi ketika mendengar bunyi sehingga mendapatkan sebuah intepretasi makna bunyi ngumbang ngisep gender wayang Bali laras slendro. Penelitian menggunakan metodologi kuantitatifkualitatif. Teknik pengumpulan data kuantitatif adalah dengan pengukuran bunyi nada ngumbang ngisep Gender Wayang Bali dengan menggunakan program Sound Forge 6.0 sedangkan teknik pengumpulan data untuk kualitatif dilakukan dengan wawancara terstruktur dan studi pustaka untuk mengetahui latar belakang dan proses kognisi pada bunyi ngumbang ngisep. Analisis data proses semiosis dibagi menjadi tiga tahapan. Tahap pertama adalah suara nada ngumbang ngisep Gender Wayang Bali dibaca dan dipahami sebagai tanda fisik. Tahapan ini analisis mempergunakan FFT yang terdapat dalam program Sound Forge 6.0 untuk menguraikan komponen frekuensi yang membentuk struktur bunyi ngumbang ngisep. Tahap kedua bunyi ngumbang ngisep dipahami sebagai tanda yang mempunyai latar belakang. Tahap ketiga adalah tanda berupa suara
MUDRA Jurnal Seni Budaya
ngumbang ngisep Gender Wayang Bali dipahami dan dibaca dalam proses kognisi pendengar. KAJIAN TEORI Hui (2011) menyatakan bahwa pemahaman terhadap bunyi merupakan realitas metapor alam dan budaya seperti memahami frekuensi dan pitch sebagai ekspresi budaya. Hal ini memberikan gambaran bahwa bunyi sebagai esensi dasar dari musik mempunyai hubungan dengan filosofi masyarakat. Alperson (1994) bahwa musik sejak dulu mempunyai hubungan dengan filosofi yang berkaitan dengan aktifitas, mendengar, dan membuat musik sehingga masyarakat memahami musik dari sisi material dan makna. Ditinjau dari sisi material maka setiap instrumen musik mempunyai konsep yang berbeda dalam menghasilkan bunyi. Gitar, Biola menggunakan string sebagai produksi suara berbeda dengan seruling yang menggunakan prinsip kolom udara, gong yang menggunakan impedansi bunyi. Hanslick (dalam Alperson, 1994) konsep produksi suara atau bunyi berkaitan dengan makna dari sebuah sumber bunyi. Makna bunyi berkaitan dengan elemen musikal yang dapat memberikan sensasi pada pendengar, berkaitan dengan ekspresi yang dihasilkan. Hanslick menambahkan bahwa makna musik merupakan hubungan mimesis dari alam dengan ekspresi dari gambaran aktifitas budaya masyarakat. Sebagai mimesis dari alam, apa yang diwujudkan dari pengalaman apa yang dilihat oleh persepsi dari alam, contoh bunyi yang dibentuk dari mimesis suara burung, dimana suara burung merupakan tanda skalar, tidak ada melodi, harmoni namun hanya sebuah indek pola irama. Namun ketika ekspresi manusia bekerja dengan sistem filosofi maka menghasilkan sebuah melodi dan harmoni yang menarik yang merupakan pengembangan dari pola irama suara burung. Tanda atau representament adalah sesuatu yang berbentuk fisik, dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merepresentasikan hal lain di luar tanda itu sendiri. Menurut Peirce tanda terdiri dari tiga hal yaitu ikon, indek dan simbol. Ikon adalah tanda yang 3
Ary Nugraha Wijayanto, dkk. (Bunyi Ngumbang Ngisep Gender Wayang...)
muncul dari perwakilan fisik. Indek merupakan tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat sedangkan simbol berupa tanda yang muncul dari kesepakatan. Sebuah tanda dapat menjadi ikon, indek ataupun simbol. Tanda menjadi sebuah ikon apabila ada kemiripan atau menyerupai lambang tersebut. Pierce menambahkan bahwa ikon adalah kemiripan tanda fisik yang berkaitan dengan apa diwakili. Kemiripan demikian dapat berupa bentuk, misalnya foto, lukisan, peta jenis tertentu dari diagram juga ikonik sebab terdapat adalah kemiripan struktural. Secara audio, penyajian dari naik-turun legato dan noktah dimainkan dengan putus-putus notasi musik dapat dipersyaratkan seperti ikon. Indeks adalah tanda yang terkoneksi dengan hubungan sebab akibat pada apa yang lambang
MUDRA Jurnal Seni Budaya
wakili. Indek merupakan tanda yang paling penting pada semiotika musik. Semua elemen musikal mengisyaratkan dapat dipandang sebagai indek, sedangkan simbol adalah lambang yang tidak menggambarkan lambang seperti contoh burung garuda melambangkan Republik Indonesia. Pemahaman tanda apakah menjadi simbol, indek atau ikon diperlukan obyek dan interpretant. Obyek adalah acuan tanda yang merupakan referensi dari tanda yang ditunjuk tanda. Intepretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi.
Obyek
Representamen atau tanda
Intepretant
Gambar 1. Diagram segitiga makna Pierce.
Gambar 1. Diagram segitiga makna Pierce.
Konsep Pierce mengenai segitiga makna memberikan Tahap kedua adalah mengkaji latar belakang budaya Konsep Pierce mengenai segitiga makna memberikan bagi struktural Nattiez untuk gagasan bagi Nattiez untuk menggunakan semiologi dan konteks gagasan dari perbedaan musikal yang menggunakan semiologi dalam mengkaji musik. Nattiez (1990) dalam Music and dalam mengkaji musik. Nattiez (1990) dalam dapat di intepretasikan oleh para sejarawan dan Discourse, semiologi musik fungsidalam sebuahkaitannya karya musik sebagai Music and Discourse, semiologi musikmerupakan merupakanbagaimana musikolog dengan penerimaan seni fungsi bekerjasebuah di dalam masyarakat sehingga proses semosis dibagi bagaimana karya musik sebagai norma-norma serta menjadi standar tiga yangtahapan. ada. Nattiez Tahap pertama adalah menganalisis kelengkapan struktural musik dimana hal tersebut tahap seni bekerja di dalam masyarakat sehingga proses menambahkan bahwa dalam pemahaman pada tataranTahap perangkat fisika seperti suara dan berbagaimenjadi semosisdapat dibagidilakukan menjadi tiga tahapan. pertama keduafrekuensi, nilai etis warna dan filosofi masyarakat unsur di dalamnya. Analisis komponen dilakukan dalam dalam dualisme audio-visual, adalah menganalisis kelengkapan struktural musik fisika hal yang mendasar memberikan pemahaman sebuah obyek audio dirubah dalam obyek visual untuk memperdalam, mempermudah dimana hal tersebut dapat dilakukan pada tataran mengenai sebuah obyek berada di dalam masyarakat. analisis musik. warna suara dan perangkat fisika struktural seperti frekuensi, Tahap ketiga adalah mempresentasikan melalui berbagai unsur di dalamnya. Analisis komponen proses kognitif serta perceptual yang digunakan Tahap kedua adalah mengkaji latar belakang budaya dan membangun konteks darisebuah perbedaan fisika dilakukan dalam dualisme audio-visual, ketika seseorang pemahaman, struktural musikal yang dapat di intepretasikan oleh para sejarawan dan musikolog sebuah obyek audio dirubah dalam obyek visual terjadi dalam tataran psikologi. Nilaidalam subjektifitas dengan penerimaan analisis norma-norma standar yang ada.dalam Nattiez untuk kaitannya memperdalam, mempermudah dan serta obyektifitas dipertukarkan memahami menambahkan bahwa dalam pemahaman tahap kedua nilai etis dan filosofi masyarakat struktural musik. sebuah obyek. menjadi hal yang mendasar dalam memberikan pemahaman mengenai sebuah obyek berada di dalam masyarakat. Tahap ketiga adalah mempresentasikan melalui proses kognitif serta perceptual yang digunakan ketika seseorang membangun sebuah pemahaman, terjadi dalam tataran psikologi. Nilai subyektifitas dan obyektifitas 4 dipertukarkan dalam memahami sebuah obyek.
NGUMBANG NGISEP GENDER WAYANG BALI
Volume 30, 2015
MUDRA Jurnal Seni Budaya
NGUMBANG NGISEP GENDER WAYANG BALI Ngumbang ngisep gender wayang Bali merupakan tanda yang mempunyai berbagai tingkatan intepretasi karena tidak hanya berposisi sebagai sebuah bunyi dengan strukturnya tetapi berkaitan erat dengan konsep filosofi masyarakat keseimbangan dualisme Rwa Bhineda dan keunikan bunyinya yang mampu sebagai sebuah stimulus dalam memberikan rangsang terhadap sistem persepsi. Ngumbang ngisep sebagai sebuah fenomena bunyi merupakan tanda yang memerlukan pendekatan visual dan audio-visual. Secara visual, bunyi ngumbang ngisep gender wayang merupakan intepretasi yang bersifat imajiner karena tanda fisik yang diperoleh oleh indera penglihatan berupa konstruksi pengumbang-pengisep gender wayang Bali.
Pada tataran audio-visual, bunyi ngumbang ngisep gender wayang Bali merupakan tanda fisik nyata yang mewakili obyek yaitu pengumbang pengisep. Struktur bunyi yang didengar melalui sistem audiotori bersifat kompleks dan subyektif sehingga diperlukan transformasi visual untuk menguraikan komponen-komponen penyusun bunyi agar memperoleh intepretasi yang obyektif mengenai bunyi ngumbang ngisep gender wayang Bali. Transformasi audio-visual melalui pengukuran bunyi ngumbang, ngisep dan ngumbang-ngisep instrumen gender wayang Bali laras slendro memperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan pada frekuensi fundamental nada-nada pengumbang dengan pengisep dan durasi yang diperlukan untuk bunyi ngumbang ngisep teredam. Untuk melihat hasil pengukuran dapat dilihat pada Tabel 1. dan Gambar 1, 2, 3 di bawah ini.
Tabel 1. Frekuensi Fundamental (fo). Wilah
fo ngisep (Hz)
fo ngumbang (Hz)
fo ngumbang ngisep (Hz)
1 2 3 5 6 1 2 3 5 6
172 201 234 266 308 357 415 476 541 629
166 195 228 260 302 350 408 470 535 622
166 dan 172 195 dan 201 228 dan 234 260 dan 266 302 dan 308 350 dan 357 408 dan 415 470 dan 476 535 dan 541 622 dan 629
Gambar 2. Transformasi visual dan analisis struktur bunyi ngumbang gender wayang.
Gambar 2 merupakan proyeksi visual bunyi ngumbang dan analisis struktur bunyi pada nada
telu yang mempunyai durasi teredam 13,824 detik dengan frekuensi fundamental yaitu 470 Hz.
5
Ary Nugraha Wijayanto, dkk. (Bunyi Ngumbang Ngisep Gender Wayang...)
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Gambar 3. Transformasi visual dan analisis bunyi ngisep gender wayang.
Gambar 3 merupakan proyeksi visual bunyi ngisep gender wayang dan analisis struktur bunyi pada
nada telu yang mempunyai durasi teredam 14,471 detik dengan frekuensi fundamental yaitu 478 Hz.
Gambar 4. Transformasi visual dan analisis bunyi ngumbang ngisep gender wayang.
Gambar 4. merupakan proyeksi visual bunyi ngumbang ngisep gender wayang dan analisis struktur bunyi pada nada telu yang mempunyai durasi teredam 7,829 detik dengan dua frekuensi fundamental yaitu 470 Hz dan 478 Hz. Transformasi audio-visual yang berfungsi untuk menganalisis perangkat struktural bunyi menunjukkan bahwa terdapat node-antinode sebagai tanda pada bunyi ngumbang ngisep gender wayang sehingga menyebabkan bunyi mampu diintepretasikan bergelombang atau “ombak”. Timbulnya node-antinode bunyi ngumbang ngisep gender wayang Bali disebabkan oleh kecilnya selisih frekuensi nada instrumen pengumbang dengan pengisep dimana frekuensi fundamental ngumbang lebih rendah 6-7 Hz dari pada frekuensi fundamental ngisep. Dualisme frekuensi nada pengumbang-pengisep memberikan kontribusi terhadap hadirnya elemen frekuensi non-harmoni yang menyusun warna suara ngumbang ngisep gender wayang baik dalam 6
wilayah subsonik, sonik maupun ultrasonik sehingga jangkauan bunyi yang dihasilkan yaitu lebih lebar dan memberikan dampak pelayangan bunyi. Selain itu dualisme frekuensi pengumbang-pengisep memperpendek durasi bunyi yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa bunyi ngumbang ngisep gender wayang Bali sebagai sebuah indek yang mewakili obyek instrumen pengumbang-pengisep disebabkan oleh dualisme frekuensi. Eksistensi dualisme frekuensi nada pengumbangpengisep tidak lepas dari konsep filosofi Rwa Bhineda dan fungsinya dalam aktivitas masyarakat. Sebagai sebuah tanda yang mewakili dualisme Rwa Bhinedda, dualisme frekuensi nada pengumbangpengisep gender wayang Bali mempunyai makna bahwa dua hal yang berbeda tidak harus bersifat destruktif tapi konstruktif dan saling mengisi untuk mewujudkan sebuah makna keteraturan bunyi. Makna ‘keteraturan bunyi” sebagai sebuah intepretasi dari dualisme frekuensi nada mempunyai nilai ganda yaitu nilai yang berhubungan dengan
Volume 30, 2015
MUDRA Jurnal Seni Budaya
akustik dan psikososial. Nilai keseimbangan akustik merupakan sebuah tanda yang mampu menjadi mempunyai makna bahwa, dualisme frekuensi sebuah stimulus bagi sistem indera dan persepsi bersifat konstruktif terlihat dari proporsi akustik yang memberikan semangat. Hal ini memberikan frekuensi yang merata pada masing-masing wilayah suara sedangkan keseimbangan yang menunjukkan persebaran komponen elemen intepretasi bahwanilai bunyi ngumbang ngisep gender psikososial mempunyai makna bahwa dualisme frekuensi merupakan sebuah tanda yang frekuensi yang merata pada masing-masing wilayah wayang Bali merupakan simbol keseimbangan dan menjadi stimulus psikososial bagi sistem indera dan persepsi yang memberikan suara mampu sedangkan nilai sebuah keseimbangan semangat. semangat. Hal ini memberikan intepretasi bahwa bunyi ngumbang ngisep gender wayang mempunyai makna bahwa dualisme frekuensi Bali merupakan simbol keseimbangan dan semangat. Pengumbangpengisep gender wayang Bali
Bunyi ngumbang ngisep gender wayang bali
Sistem indera dan persepsi
Rwa bhinedda
Dualitas frekuensi nada-nada
Keteraturan bunyi dalam ruang
Simbol keseimbangan dan semangat
Bagan 1. Proses semiosis bunyi ngumbang ngisep gender wayang Bali. Bagan 1. Proses semiosis bunyi ngumbang ngisep gender wayang Bali.
SIMPULAN SIMPULAN
Danesi, Marcel. (2010), Pesan, Tanda dan Makna, Jala Sutra, Yogyakarta. BunyiBunyi ngumbang ngisep Bali mempunyai tingkatan intepretasi. Ditinjau ngumbang ngisepgender genderwayang wayang Bali mempunyai tingkatan intepretasi. Ditinjaubunyi daringumbang Nattiez, Jean.dihasilkan (1990), Music Discourse: Toward dari struktur merupakan indek karena ngisep oleh and dualitas struktur merupakan indek karena bunyi ngumbang a Semiology of Music, Princeton University Press, frekuensi nada yang sama pengumbang-pengisep, jika dikaitkan dengan latar belakang ngisepdan dihasilkan oleh dualitas frekuensi nada yang New Jersey. persepsi intepretant maka bunyi ngumbang ngisep gender wayang merupakan simbol sama keseimbangan pengumbang-pengisep, jika dikaitkan dengan dan semangat latar belakang dan persepsi intepretant maka bunyi Tolbert, Elizabeth. (2001), Music and Meaning: DAFTAR ngumbang ngisepRUJUKAN gender wayang merupakan simbol An Evolution Story, Peabody of Conservatory John Alperson, Philip. (1994), The Philosophy of Music: Formalism and USA. Beyond, tanpa keseimbangan dan semangat Hopkins University, penerbit. DAFTAR RUJUKAN Tsun Hui, Hung. (2011), One music? Two music? Ardana, I Ketut. (2011), “Gending Gesuri Karya I Wayan Beratha: Sebuah Lelambatan How many music cognitive etnomusicologial, Tradisional Bali”, dalam Mudra Jurnal Seni Budaya, Volume 26. No. 2 Juli UPT.on vocal and Alperson, Philip. (1994), The Philosophy of Music: bahavioural and fMRI2011, study Penerbitan Institut Seni Indonesia Denpasar, Denpasar. Formalism and Beyond, tanpa penerbit. instrumental rhythim processing (Disertasi Program Magister S2), State University, Ohio. Bandem, I Made. (1986), Prakempa: Sebuah Lontar Gambelan Bali, Akademi Seni Tari Ardana, I Ketut. (2011), “Gending Gesuri Karya I Indonesia Denpasar, Denpasar. Wayan Beratha: Sebuah Lelambatan Tradisional Vasilakis, Nestor. (2001), Perceptual and physical Bali”,Danesi, dalam Marcel. Mudra (2010), Jurnal Seni Budaya, Volume properties of amplitude fluctuation and their Pesan, Tanda dan Makna, Jala Sutra, Yogyakarta. 26. No. 2 Juli 2011, UPT. Penerbitan Institut Seni musical significance (Disertasi Program Magister Indonesia Denpasar, Denpasar. S2),a University Los Angeles. Nattiez, Jean. (1990), Music and Discourse: Toward Semiology of of California, Music, Princeton University Press, New Jersey. Bandem, I Made. (1986), Prakempa: Sebuah Lontar Gambelan Akademi Seni Music Tari Indonesia Tolbert,Bali, Elizabeth. (2001), and Meaning: An Evolution Story, Peabody of Denpasar, Denpasar.John Hopkins University, USA. Conservatory
8
7
VolumeMUDRA 30, Nomor 1, Pebruari 2015 Jurnal Seni Budaya p 8 - 17
I Ketut Yasa (Aspek Organologis Grnder Wayang) ISSN 0854-3461
Aspek Organologis Gender Wayang I KETUT YASA Jurusan Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indononesia Surakarta, Indonesia. E-mail:
[email protected]
Gender wayang adalah salah satu perangkat gamelan Bali yang termasuk golongan tua atau kuno. Perangkat ini terdiri dari dua pasang instrumen gender wayang. Masing-masing Instrumen memiliki sepuluh bilah dan lima nada dengan laras slendro. Dimainkan oleh seorang penabuh dengan kedua tangan menggunakan dua buah panggul sambil memukul dan menutup sekaligus. Aspek organologi gender wayang meliputi bahan, teknik, proses dan atau kronologi pembuatan. Komponen gender wayang terdiri dari: bilah, telawah/ pelawah (rancakan), dan panggul. Juga dipaparkan tentang tangga nada dan frekuensi yang terdapat dalam suara yang dihasilkan gender wayang.
Organology Aspect of Gender Wayang Instrument Gender wayang is one of the Balinese ensamble which is included as old instrument. This ensamble is consists of two pairs of instruments. Each of them have 10 parts and tones with selendro sound. It is performed by a player by two hands used two panggul while hitting dan pressing directly. The aspect of organology of Gender Wayang covers material, technique, process and creating chronology. The gender wayang component consists of: parts, telawah/pelawah, rancakan, and panggul. It is also described about the tones dan frequencies within voices of Gender Wayang. Keywords: Gender Wayang, two pairs of instruments and organology.
Perangkat gamelan Bali yang termasuk golongan tua atau kuno adalah gender wayang adalah salah satu perangkat gamelan perunggu yang memiliki jumlah instrumen yang relatif sedikit, yaitu sepasang gender gede (pamade), dan sepasang gender barangan (kantil). Bentuk dan bagian-bagian instrumennya hampir sama, hanya saja ukurannya yang berbeda yaitu gender pamade ukurannya sedikit lebih besar dari gender kantil, sehingga disebut gender gede. Membicarakan pengertian gender, Hastanto (1995/1996: 8) mengemukakan bahwa gender adalah jenis instrumen pukul yang sumber bunyinya berbentuk bilah terbuat dari bahan perunggu, logam ataupun besi digantung berjajar dengan tali khusus pada rancakan setiap bilahnya diberi resonator berwujud tabung terbuat dari bambu terletak tepat di bawah masing-masing bilah. Instrumen ini 8
dimainkan dengan menggunakan dua alat pukul oleh seorang penabuh. Bandem (1983: 18) dalam Ensiklopedi Gambelan Bali mengemukakan bahwa gender adalah metallophonees yang bilahnya dibuat dari krawang perunggu digantung di atas resonator bambu yang ditopang dengan tumpuan besi agar tidak bersentuhan satu sama lainnya. Gender pada mulanya memakai 1-15 bilah yang dipukul dengan sebuah panggul, tangan kanan memukul dan tangan kiri menutupnya. Ada pula gender rambat dimainkan dengan kedua tangan, sambil memukul dan menutup sekaligus. Gender itu dibuat berpasangan dan berfungsi sebagai pembawa melodi gending. Apa bila dicermati kedua pendapat tersebut di atas masing-masing memiliki titik penekanan, yakni
Volume 30, 2015
pendapat pertama yang ditekankan adalah gender dalam pengertian yang dikhususkan pada gender wayang, sedangkan pendapat yang kedua adalah pengertian gender secara umum. Dalam arti gender tidak hanya gender wayang namun juga gender rambat, instrumen gangsa (pamade dan kantil) dalam kebyar maupun angklung. Instrumen bilah (pamade dan kantil) ini memang dipukul dengan sebuah alat pemukul (panggul), bukan sepasang. Perlu diinfomasikan, bahwa untuk resonator sekarang ini ada juga yang menggunakan dari bahan paralon seperti gender wayang warga putra Bali di Sala. Begitu pula tumpuan (cagak) tidak terbatas dengan bahan besi, namun ada yang dari bambu atau kayu. Apalagi dalam instrumen gender wayang, tidak memungkinkan menggunakan cagak berbahan besi, karena dalam instrumen tersebut cara pemasangannya secara khusus, yaitu dicencang secara menggantung di sela-sela tabung (bagian bibir), sehingga dapat diatur sedemikian rupa. Seperti misalnya jikalau para penggender menginginkan agak tinggi (agar bilah-bilah gender tidak bersentuhan dengan rancakan) cagak tersebut dinaikkan. Begitu pula sebaliknya jika ingin agak rendah (agar tangan tidak terganggu ketika menabuh), cagak tersebut dilorotkan. Dengan demikian yang dimaksud dengan gender dalam tulisan ini adalah jenis instrumen pukul yang sumber bunyinya berbentuk bilah terbuat dari kerawang atau campuran dari tembaga dan timah. Bilah-bilah tersebut digantung berjajar secara horizontal dengan tali (jangat) lewat lubanglubang bilah tepat di atas masing-masing resonator berwujud tabung-tabung terbuat dari bambu dan atau paralon yang telah dipasang dalam rancakan. Untuk menahan jangat agar tidak lepas, setiap lubang bilah diganjal dengan sepotong bambu kecil yang disebut juluk. Di sela-sela dua bilah ditopang dengan tumpuan (cagak) dari bahan bambu dan atau kayu, agar bilah-bilah tidak bersentuhan satu sama lain, atau tidak bersentuhan dengan masingmasing resonator yang berada di bawahnya. Bilah berjumlah 10 dan berlaras slendro, dimainkan oleh seorang pengrawit dengan menggunakan dua buah panggul, sehingga di dalam memainkannya si pengrawit memukul dan menutup sekaligus
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Di dalam setiap penampilannya gender gede (pamade) maupun gender barangan selalu ditata secara berpasangan, bisa dengan cara berhadaphadapan maupun secara berdampingan. Karena setiap pasangan, pengerawitnya harus selalu mengadakan kontak, lebih-lebih ketika sedang memainkan gending yang penuh dengan jalinan baik lewat tangan kanan maupun tangan kiri. Salah satu pengrawit akan memainkan tabuhan polos (on beat), sedangkan pasangannya akan memainkan tabuhan sangsih (off beat), sehingga akan menghasilkan jalinan yang sangat rumit dan harmonis. Pada gending-gending tertentu permainan off beat bisa terjadi pada pengrawit yang memainkan tabuhan polos. Di samping itu gender yang berpasangan antara gender satu dengan yang lainnya menurut Wayan Beratha memiliki frekuensi sedikit berbeda yaitu yang satu sedikit lebih tinggi disebut dengan suara pengisep dari pasangannya yang disebut suara pengumbang. Khusus mengenai getaran nadanadanya, gender wayang memiliki ombak sedikit lebih pelan dibanding dengan ombak suara nadanada gamelan Bali lainnya (wawancara dengan Wayan Beratha pada 8 Juli 1997). Perbedaan getaran ini menurut Nyoman Rembang (wawancara dengan Nyoman Rembang pada 7 Juli 1997) ada hubungannya atau disesuaikan dengan suara dalang yang pada umumnya memiliki ombak yang relatif pelan. Salah satu fungsi dari perangkat gender wayang adalah untuk karawitan pertunjukan wayang kulit parwa, yaitu pertunjukan wayang yang menggunakan lakon Maha Bharata. Jika untuk Karawitan Drama Tari Wayang Wong dan atau Wayang Kulit yang memakai lakon Ramayana, perangkat yang terdiri dari dua pasang gender tersebut, ditambah dengan berbagai alat perkusi di antaranya: sepasang kendang krumpungan (lanang,wadon), sebuah kempur, cēngcēng, kajar, klenang, dan sebuah instrumen tiup yaitu suling. Perangkat ini kemudian lebih dikenal dengan nama gamelan batēl atau bebatēlan. Disebut gamelan batel atau bebatelan, karena di dalam pertunjukan Ramayana (kulit/wong) lebih banyak mengunakan perbendaharaan gendinggending batel. Gending-gending ini dinilai sangat
9
I Ketut Yasa (Aspek Organologis Grnder Wayang)
cocok untuk mengiringi wayang tokoh raksasa dan kera. Seperti dimaklumi dalam lakon Ramayana lebih banyak diperankan oleh wayang tokoh raksasa dan kera. Adapun kharakter gending batel adalah bentuknya paling pendek dan digarap dengan tempo cepat dan volume keras, serta dimainkan secara berulang-ulang. Untuk keperluan karawitan pertunjukan wayang, seperti telah disinggung di depan, bahwa yang digunakan adalah sepasang gender gede (pamade) dan sepasang gender barangan. Oleh karena itu, dalam pemaparan berikutnya tidak dibahas tentang instrumen-instrumen selain gender wayang. Khusus di Buleleng, dalam pertunjukan wayang bahkan hanya menggunakan satu pasang gender yaitu gender gede (pamade). Karena di daerah tersebut ada sistem adokar (satu andong). Untuk keperluan mengangkut seluruh peralatan wayang termasuk dalang dan pemain lainnya boleh dikatakan tempatnya sangat terbatas. Perangkat gender wayang dalam pengklasifikasian gamelan Bali, digolongkan ke dalam gamelan tua yang diperkirakan sudah ada sebelum abad XIV (Rembang, 1977: 1). Namun kapan tepatnya atau abad ke berapa kehadiran gender wayang belum dapat diketahui secara pasti. Hanya ada sebuah sumber yang menyatakan bahwa istilah gender wayang semula dikenal dengan istilah Selonding Wayang (Rembang, wawancara 7 Juli 1997). Juga, dalam kakawin Bharatayuda disebutkan istilah Selonding Wayang seperti yang ditulis oleh Japp Kunst (1968: 77). Dalam tulisan ini, sesuai dengan judulnya akan dibahas gender wayang dari aspek organologisnya yang meliputi: bilah, rancakan, dan panggul. Bagianbagian ini, dibahas tentang bahan, bentuk, proses dan atau kronologi pembuatannya. Khusus dalam proses pembuatan, bilah dan rancakan memiliki tahapan yang hampir sama. Artinya pembuatannya dapat dimulai dari bagian mana saja. Misalnya pembuatan bilah dapat dimulai dari nada/bilah yang mana saja (wawancara I Wayan Pager pada 11 Juli 1997). Karena dalam pelarasan (mencari nada yang tepat), bilah tersebut dilaras berdasarkan petuding
10
MUDRA Jurnal Seni Budaya
yang telah ditentukan. Petuding berasal dari akar kata “tuding” yang artinya petunjuk. Dalam kaitannya dengan pelarasan gamelan petuding adalah petunjuk nada dibuat dari bambu santong atau jelepung yang benar-benar kering, agar suara petuding bisa stabil (Rai, 1997: 4). Demikian pula mengenai rancakan dapat dimulai dari bagian mana saja. Misalnya mulai dari bagian adeg-adeg dan sebagainya. Jadi tidak harus berurutan mulai dari bagian-bagian tertentu. Misalnya harus mulai dari bagian rancakan yang paling atas dan sebaliknya. Berbeda dengan pembuatan pencon khususnya dalam instrumen trompong, harus dibuat dari ukuran terkecil atau nada tertinggi. Data-data digali lewat studi pustaka, pengamatan dan wawancara. Studi pustaka dilakukan sebelum terjun ke lapangan. Pengamatan dilakukan di tempat-tempat pembuatan atau pande gamelan yang ada di Bali khususnya di Gianyar dan Klungkung. Pengamatan juga dilakukan di tempat-tempat pembuatan rancakan dan panggul di Abiankapas, Denpasar. Selanjutnya wawancara dilakukan ketika dalam pengamatan memerlukan penjelasan lebih lanjut. ASPEK ORGANOLOGIS GENDER WAYANG Secara garis besar, dalam instrumen gender wayang terdapat tiga komponen yaitu (1) bilah, (2) rancakan, dan (3) panggul. Masing-masing komponen ini akan dibahas mengenai bentuk, ukuran, bahan, proses pembuatan, dan daerah/ tempat pembuatan. Bilah Bilah gamelan dalam bahasa Bali disebut don gamelan, memiliki dua jenis bentuk yakni (1) belahan penyalin, dan (2) kalor. Bilah belahan penyalin bentuknya mirip dengan penyalin yang dibelah dua atau bambu yang dibelah dua, sehingga juga dikenal dengan sebutan belahan tiying. Bilahan kalor bentuknya mirip dengan atap rumah yang semua sisi bagian atap rumah diberi atap. Atap rumah seperti ini disebut dengan bentuk ngelimas, sehingga bentuk kalor dalam bilah gamelan juga dikenal dengan bentuk ngelimas.
Volume 30, 2015
MUDRA Jurnal Seni Budaya
proses peleburan krawang dan pembentukan bilah memerlukan bara api dari arang. Kayu yang baik untuk dijadikan bahan arang adalah yang berasal dari pohon kamboja (jepun). Selain itu boleh juga dipakai kayu-kayu yang lainnya seperti pohon kopi, dan pohon cemara.
Gambar1. Bilah ngelimas gender wayang.
Pemasangan kedua bentuk bilah tersebut dalam rancakan memiliki sedikit perbedaan yaitu bilah berbentuk kalor dipasang dengan cara digantung dengan tali khusus yang disebut jangat, sedangkan bilah berbentuk belahan penjalin dipasang dengan cara dipaku (Bali: dipacek) lewat lubang yang telah disediakan pada bilah. Seperti halnya pemasangan bilah-bilah saron dalam gamelan Jawa. Kedua bentuk bilah gamelan seperti yang diterangkan di depan, itu berlaku untuk gamelan Bali. Sementara untuk instrumen gender wayang pada umumnya menggunakan bilah berbentuk kalor yang dipasang dengan cara digantung. Mengingat dalam musikalitas gender wayang sangat dibutuhkan suara “ngrumpyung” sebagai ciri khas utama gender wayang. Ngrumpyung (ngeriung) adalah suara getaran (reng) yang muncul dari bilah gender setelah ditabuh atau dipukul dengan alat yang disebut panggul. Suara ini muncul karena ada sedikit jeda antara dipukul dengan dipitet atau ditutup. Bilah-bilah gender wayang dibuat dari bahan krawang. Jenis krawang yang baik untuk bahan bilah-bilah gender maupun gamelan Bali lainnya menurut beberapa pandē gamelan adalah krawang yang dicampur dari timah dan tembaga yang selisih campurannya satu berbanding tiga. Akan lebih baik lagi apabila dicampur sedikit emas paling sedikit sepersepuluh timah atau satu berbanding sepuluh. Krawang yang merupakan pecahan dari instrumen gong, kempur, kajar dan sebagainya dapat dibeli di pasar-pasar dan/atau toko-toko di Bali. Di dalam
1. Proses pembuatan bilah Pembuatan bilah termasuk bilah-bilah gender wayang dilakukan melalui proses dengan dua tahap yaitu pembuatan dalam prapen dan di luar prapen. Seperti yang dilakukan di perusahan pembuatan gamelan milik Made Gableran yang berlokasi di Blahbatuh Gianyar. Demikian pula proses pembuatan gamelan Jawa seperti yang dilakukan oleh Panji Gamelan Temtrem Sarwanto di Ledoksari Solo. Tempat pengikiran dan prapen dipisahkan menjadi dua bangunan. Pengerjaan dalam prapen, pertama-tama yang dilkukan adalah peleburan krawang atau campuran tembaga dan timah menjadi lempengan dengan mempergunakan alat penyinggen (penyangkan). Lempengan ini kemudian dibentuk bilahan ngelimas. Dalam proses pembentukan ini dikerjakan oleh tiga pemalu (tukang palu) dan seorang penglamus. Bilah yang telah terbentuk rapi ini selanjutnya diserahkan ke bagian pengikiran yang pengerjaannya dilakukan di luar prapēn. Di tempat pengikiran (bangunan di luar prapen), bilah-bilah tadi dikikir, kemudian dipanggur. Pengikiran dilakukan oleh seorang pengikir dan pangguran juga dilakukan oleh seorang pemanggur. Dari hasil pengikiran dan pemangguran, bilah tersebut selanjutnya dilaras untuk mencari nada yang tepat berdasarkan petuding yang telah ditentukan. Tahap selanjutnya bilah yang nadanya dianggap sudah sesuai dengan petuding, diperhalus dengan pasir atau serbuk dari batu bata dan batu apung. Urut-urutan dalam pembuatan bilah-bilah tidak harus mulai dari nada yang terkecil sebagaimana dalam pembuatan pencon trompong. Menurut Wayan Pager seorang pande gamelan dari Blahbatuh Gianyar Bali, bahwa bilah gender bisa mulai dari yang mana saja, artinya bisa dari yang terkecil, menengah ataupun dari nada terbesar. Berat bahan yang standar masing-masing bilah gender adalah 10 ons. Tetapi ada juga pemesan yang membuat 11
I Ketut Yasa (Aspek Organologis Grnder Wayang)
bilah gender yang bahannya lebih dari sepuluh ons, sehingga daun (bilah) gender kelihatan agak besar (lebar dan panjang) dan atau agak tebal. Hal ini sangat bergantung kepada selera para pemesan (wawancara dengan Wayan Pager pada 11 Juli 1997). Bilah-bilah gender yang berukuran sedang (umum) seperti yang terdapat di STSI (ISI) Surakarta dan di Pura Agung Saraswati UNS Surakarta, yang memiliki ukuran seperti berikut. Gender Gede (pamade): bilah terbesar (nada terendah memiliki panjang 30 cm, lebar tujuh setengah cm dan tebal setengah cm, sedangkan bilah gender gede terkecil (nada tertinggi) panjang 20 cm, lebar lima setengah cm, dan tebal satu cm. Gender Barangan: bilah terbesar (nada terendah), panjang 24 cm, lebar enam cm, dan tebal hampir satu cm, sedangkan bilah gender barangan terkecil (nada tertinggi): panjang 17,5 cm, lebar empat cm, dan tebal hampir dua cm. Tempat pembuatan gender wayang tidak merupakan tempat khusus, artinya tidak ada pande yang khusus hanya membuat gender wayang. Seperti yang terdapat di Blahbatuh Gianyar milik Pande Made Gableran (ada dua prapen), selain membuat gender wayang juga membuat gamelan Bali lainnya seperti gong kebyar, semara pagulingan, angklung, bebarongan, dan sebagainya. 2. Laras, nada, dan simbol Dalam seni karawitan Bali mengenal dua sistem laras yaitu slendro dan pelog. Masing-masing laras digunakan secara terpisah dan menyendiri baik dalam seni vokal maupun suara instrumental. Gender wayang menggunakan laras slendro yang susunan nada-nadanya dalam satu gembyangan memiliki jarak yang hampir sama rata, yang selisih jarak-jaraknya tidak mencolok. Berbicara mengenai laras slendro Hastanto (1991: 75) mengemukakan:
Laras slendro mempunyai sub laras yang disebut slendro miring. Karena gamelan telah tertentu frekuensinya maka yang dapat melagukan slendro miring hanyalah rebab (instrumen gesek dan vokal. Slendro miring sebagai sub-laras slendro kerap digunakan dalam rebab dan vokal. Biasanya sublaras ini bila disajikan memberikan sentuhan rasa sedih.
12
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Bertitik tolak dari pendapat di atas, dalam Karawitan Bali juga ada hal semacam itu. Misalnya ketika rebab dan suling mengiringi tembang yang dilantunkan oleh penari arja. Namun hingga kini belum ada yang mengenal dengan istilah sub-laras slendro yang disebut dengan slendro miring. Padahal sesungguhnya laras slendro dalam karawitan Bali cukup banyak macamnya. Ada slendro angklung, gerantang (untuk gending-gending joged bumbung), dan ada laras gender wayang, laras gēnggong, yang masing-masing memiliki laras slendro yang berbeda. Supanggah (1991: 33) mengemukakan, perbedaan pelarasan dari masing-masing perangkat yang berlaras slendro di atas, dalam karawitan disebut dengan konsep embat. Seperti telah disinggung di depan, bahwa gender wayang memiliki sepuluh bilah. Ke sepuluh bilah tersebut menggunakan lima nada yang masingmasing memiliki simbol dan nama. Di dalam notasi dingdong nada-nada tersebut menggunakan simbol Sandang Aksara Bali (peganggon) yang masingmasing diberi nama tedong dibaca ndong; talēng dibaca ndēng; suku dibaca ndung; carik dibaca ndang; dan ulu dibaca nding. Di dalam notasi Kepatihan menurut Hastanto (1991: 74) nada-nada tersebut diberi simbol angka Arab seperti berikut. Nama nada : penunggul gulu dhadha lima nem Singkatan : pn gl dd lm nm Simbol : 1 2 3 5 6 Urutan nada-nada gender wayang tersusun dari kiri ndong ndeng ndung ndang nding ndong ndēng ndung ndang nding (2 3 5 6 1 2 3 5 6 1). Pengambilan wilayah nada-nada antara gender wayang gedē dengan barangan ada sedikit perbedaan. Pengambilan wilayah nada-nada gender wayang barangan dimulai dari gembyang atas (gembyang kedua). Contoh. Gender wayang gede: 2 3 5 6 1 2 3 5 6 1 Gender wayang barangan: 2 3 5 6 1 2 3 5 6 1 Dengan demikian, nada-nada gender wayang barangan satu gembyang lebih tinggi dari nadanada gender wayang gede.
Volume 30, 2015
Di samping itu, antara perangkat gender wayang yang satu dengan perangkat gender wayang lainnya ada juga yang patutan (titilarasnya) berbeda yaitu ada yang nadanya besar/rendah, sedang dan kecil/tinggi, ini sangat tergantung dengan selera pemiliknya. Sugriwa et. al. (1978: 18) mengemukakan bahwa dalam gender wayang ada tiga patutan yaitu 1) Segarawera; 2) Pudak Setegal; dan 3) Sekar Kamoning. Segarawera memiliki patutan yang terbesar, Pudak Setegal memiliki patutan menengah, dan Sekar Kamoning mempunyai patutan terkecil. Menurut Nyoman Rembang (wawancara pada 9 Juli 1997) bahwa gender wayang memiliki patutan : Pudak Setegal, Sekar Kamoning, dan Asep Menyan. Pudak Setegal patutan gender wayang yang suaranya paling besar, Sekar Kamoning yang suaranya sedang (menengah) dan Asep Menyan suara terkecil. Dengan demikian, apabila kedua pendapat di atas digabung atau disusun kembali, maka di dalam gender wayang akan terdapat empat jenis patutan yaitu 1) Segarawera; patutan terbesar; 2) Pudak Setegal; patutan besar (sedikit lebih kecil dari Segarawera); 3) Sekar Kamoning; patutan menengah (sedang); dan 4) Asep Menyan; patutan yang terkecil atau tertinggi. Dalam pengantar juga telah disinggung bahwa setiap pasang gender wayang selalu ada perbedaan frekuensi antara nada gender yang satu (pengumbang) dengan gender pasangannya (pengisep). Adanya perbedaan frekuensi antara pengumbang dengan pengisep untuk setiap pasangan dalam gamelan tersebut, akan menimbulkan suara “ombak” atau pelayangan. Ombak ini merupakan salah satu karakteristik dari gamelan Bali termasuk gender wayang). Menurut Rai (1997: 6), ada tiga istilah yang sering dipergunakan untuk menentu- kan perbedaan frekuensi antara pengumbang dengan pengisep yaitu (1) a pengejer, (2) a pengumbang bulus, dan (3) a pengumbang lambat. A pengejer artinya ombak suaranya cepat, karena perbedaan frekuensi antara pengisep dengan pengumbang sangat besar. Selanjutnya a pengumbang bulus artinya ombak suara dari gamelan itu sedikit lebih lambat dari a penjejer. Terakhir, a pengumbang lambat artinya ombak dari gamelan itu betul-betul lambat karena selisih frekuensinya sangat kecil.
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Mengenai jenis “ombak suara” yang dipilih dalam satu perangkat gamelan sangat tergantung dari keinginan pembuatnya dan selera pemesan gamelan tersebut. Khusus untuk perangkat gender wayang seperti telah disinggung di depan, pemilihan “ombak” ada hubungannya atau disesuaikan juga dengan suara dalang. Dalang-dalang di Bali pada umumnya memiliki “ombak suara” yang relatif pelan. 3. Pelawah Pelawah juga disebut dengan Telawah/Selawah atau dalam bahasa Jawa rancakan, (istilah berikutnya penulis gunakan rancakan). Instrumen gender wayang menggunakan dua macam rancakan yaitu 1) rancakan yang memakai alas (duplak); dan 2) rancakan tanpa alas. Rancakan memakai alas yaitu resonatornya berupa tabung diberi alas terbuat dari kayu. Sementara rancakan yang tanpa alas, resonatornya tidak diberi alas, sehingga lengsung menyentuh tanah atau lantai. Agar dapat dijelaskan secara lebih lengkap, maka dalam paparan berikutnya akan dipaparkan yang memakai duplak. Nama bagian-bagian rancakan yang memakai duplak adalah seperti berikut. a. Adeg-adeg, terdiri dari dua buah yang dipasang pada samping kiri dan kanan\ b. Kuping, dipasang pada masing-masing adegadeg bagian atas. c. Resonator, berjumlah sebuluh buah tabung dari bambu dan atau paralon, dipasang persis di bawah masing-masing bilah. d. Penyela, dipasang antara tabung yang satu dengan lainnya, dibuat dari kayu atau bambu. e. Pengenceng, besi berukuran 3mm yang ditusukkan pada bagian atas tabung-tabung. f. Jejuluk, ada dua macam yaitu (1) terbuat dari kawat sebesar paku reng bambu berbentuk lingkeran kecil, dipasang pada kuping untuk cantelan jangat gantungan bilah; (2) potongan bambu kecil-kecil, untuk mengganjal jangat di bawah lubang bilah. g. Cagak, terbuat dari kayu dan atau bambu sebagai tumpuan antara bilah satu dengan lainnya agar tidak saling bersentuhan. h. Jangat, tali terbuat dari kulit sapi untuk gantungan bilah-bilah gender dan gantungan cagak.
13
I Ketut Yasa (Aspek Organologis Grnder Wayang)
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Proses pembuatan rancakan, dapat dimulai dari bagian apa saja, artinya tidak harus mulai dari adeg-adeg, atau dari duplak dan seterusnya. Apabila bagian-bagian yang disebut tadi telah selesai dikerjakan seluruhnya, maka pembuatannya dilanjutkan pada tahap merakit. Kemudian, apabila rancakan yang telah dirakit akan diukir, maka rakitan tersebut dibongkar kembali (sementara) untuk keperluan pengukiran.
Gambar 2. Gender Wayang
Adapun motif-motif ukiran yang digunakan antara lain: patra kuta mesir, mas-masan, batun timun, kakulan, seg-seg, krurok, karangan saē, dan karangan manuk guwak (gagak). Menurut Made Sija (wawancara, 9 Juli 1997), bahwa pada mulanya pada adeg-adeg bagian atas hanya menggunakan karangan gajah, karena binatang gajah melambangkan suatu kekuatan.
Ukuran rancakan antara gender gede dengan gender barangan ada sedikit perbedaan. Seperti misalnya gender milik warga Putra Bali di Surakarta, memiliki ukuran yakni gender gede: panjang 95 cm, lebar 12 cm, dan tinggi 58 cm. Gender barongan: panjang 80 cm, lebar 12 cm, dan tinggi 54 cm. Begitu pula setiap perangkat gender wayang memiliki ukuran yang bervariasi, karena tergantung besar-kecil bilah yang digunakan. Rancakan gender wayang (bagian duplak dan adeg-adeg), dibuat dari bahan pohon nangka yang didatangkan dari daerah Banyuwangi, Malang, dan Pekalongan. Rancakan gender wayang bagian kuping (yang dipasang pada adeg-adeg) dibuat dari bahan kayu eben dan ada juga dari bahan tanduk. Bahan ini didatangkan dari pulau Sumbawa (wawancara dengan Made Tegug pada 8 Juli 1997). Bambu (bumbung) untuk resonator didapatkan dari daerah pedesaan di Klungkung, sedangkan resonator dari paralon mudah didapat di toko-toko di Bali.
Gambar 3. Ukiran Rancakan Gender Wayang bagian duplak, adeg-adeg (atas), dan adeg-adeg (sudut bawah)
14
Volume 30, 2015
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Panggul Alat untuk menabuh (memainkan) gamelan Bali khususnya gender wayang disebut dengan panggul. Dalam memainkan gender wayang menggunakan sepasang panggul yang bentuknya serupa (kembar). Panggul gender dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu (1) bungane; (2) katik; dan (3) anteg-anteg.
Gambar 4. Ukiran Rancakan Gender Wayang bagian adeg-adeg, penyela, dan duplak.
Sebelum dirakit untuk kedua kalinya, bagian ukiran dan bagian lainnya (yang tidak diukir) diperhalus (digosok dengan ambril). Selanjutnya dicat (biasanya dengan bagian-bagian warna merah, diselingi warna biru dan hitam), serta dicat warna emas (prada) pada terukir). Tahap selanjutnya adalah membuat bumbung untuk resonator. Tiap resonator harus dilaras sesuai nada bilah gender yang diberi resonator. Oleh karena itu, pembuatan resonator dilakukan dengan sangat hati-hati dan seksama. Setelah resonator selesai dibuat dengan hasil memuaskan, kemudian daun (bilah) gender dan resonatornya dipasang pada rancakan masingmasing. Proses terakhir, adalah menyatukan suara dari seluruh instrumen yang membangun gamelan itu sendiri. Untuk keperluan ini, tukang laras bisa saja melakukan pelarasan kembali agar gender wayang suaranya betul-betul menyatu.
Bunganē (bunganya) adalah bagian panggul yang langsung bersentuhan dengan bilah gender. Bentuknya bulat pipih dan dibuat dari kayu yang keras misalnya bentawas, pucuk putih (kembang sepatu), kayu pakel, kayu sotong (jambu biji), dan pohon kemliling. Sealanjutnya katik adalah tangkai panggul bagian yang dipegang oleh kedua tangan pemain (pengrawit). Bentuknya bulat panjang (menyerupai betis) dengan ukuran panjang sekitar 15 cm sampai 20 cm, dan lebar dengan garis tengah sekitar tiga cm. Dibuat dari kayu eben. Terakhir anteg-anteg, adalah bagian dari panggul yang terletak antara katik dan bungane. Bentuknya menyerupai baong capung (leher binatang capung), dan dibuat dari bahan tanduk kerbau dan atau kijang. Anteganteg dipasang secara longgar antara bunganē dan tangkai untuk mendapatkan suara gemericik yang diakibatkan sentuhan baik dengan tangkai maupun bungane. Anteg-anteg ini dipasang secara longgar pada tangkai panggul sehingga menimbulkan suara gemericik. Adapun maksud dan tujuan dari anteganteg ini adalah agar mendapatkan nuansa suara lain, selain suara gender itu sendiri. Rembang mengemukakan, bahwa suara yang ditimbulkan oleh anteg-anteg ini, untuk mewakili suara cēngcēng (cimbal), agar nuansa menjadi lebih ramai (wawancara, 7 Juli 1997). Ukuran panggul gender wayang gede dengan panggul gender barangan ada sedikit perbedaan, yaitu tangkai panggul gender wayang barangan sedikit lebih pendek. Panggul gender wayangbiasanya juga untuk memainkan gender rambat, dan gender barangan yang terdapat pada perangkat gamelan palegongan, smara pagulingan, bebarongan, dan gong kebyar yang menggunakan instrumen gender. Di dalam pembuatan panggul gender, semua bagian-bagiannya (bunganē, anteg-anteg, dan katik) dibuat dengan menggunakan mesin bubut agar hasil garapannya kelihatan rapi dan simetris. Setelah bagian-bagian tersebut selesai, selanjutnya 15
I Ketut Yasa (Aspek Organologis Grnder Wayang)
diperhalus dengan cara digosok mengunakan ambril, kemudan bagian bunganē dicat merah. Pada bagian depan bungane dibuat lukisan bunga pucuk (kembang sepatu) dengan cat emas (prada) agar kelihatan menarik.
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Pengambilan wilayah nada gender wayang gede/ pamade dengan gender wayang barangan, ada sedikit perbedaan yaitu gender gede/pamade menggunakan wilayah nada satu gembyang di bawah nada terendah dari gender barangan. Di samping itu, antara perangkat gender wayang yang satu dengan perangkat gender wayang lainnya juga ada yang patutannya (titilarasnya) berbeda. Ada yang menggunakan titilaras yang sangat rendah/ besar, besar, menengah (sedang), dan titilaras yang tinggi/kecil. Hal ini sangat tergantung dengan selera (masyarakat) pemiliknya. Yang terbesar dinamakan patutan segara wera, yang besar disebut dengan patutan pudak setegal, yang menengah patutan sekar kamoning, dan yang kecil/tinggi disebut dengan asep menyan. DAFTAR RUJUKAN
Gambar 5. Panggul Gender wayang.
SIMPULAN Dalam penyajiannya, instrumen gender wayang selalu ditata secara berpasangan. Mengingat antara gender yang satu dengan lainnya memiliki frekuensi nada yang sedikit berbeda yaitu yang satu sedikit lebih tinggi yang disebut dengan suara pengisep dari pasangannya yang disebut dengan suara pengumbang. Adanya perbedaan freuensi frekuensi antara pengumbang dengan pengisep untuk setiap pasangan dalam gamelan tersebut akan menimbulkan suara “ombak” atau pelayangan. Ombak ini merupakan salah satu karakteristik penting gamelan Bali termasuk gender wayang. Ada tiga istilah yang sering dipergunakan untk menentukan perbedaan frekuensi antara pengumbang dengan pengisep yakni (1) A pengejer, artinya ombank suaranya cepat, (2) A pengumbang bulus, artinya ombang suaranya sedang (menengah), dan (3) A pengumbang lambat, artinya gamelan tersebut ombak suaranya lambat. Untuk keperluan gender wayang, menggunakan ombak pelan atau lambat, karena disesuaikan dengan suara dalang, yang pada umumnya mempunyai suara yang berombak pelan.
16
Bandem, I Made. (1983), Ensiklopedi Gamelan Bali, Proyek Penggalian Pembinaan, Pengembangan Seni Klasik/Tradisional/ dan Kesenian Baru Pemerintah Daerah I Bali, Denpasar. Hastanto, Sri. (1995/1996), Rekaman Musik Tradisional Indonesia (Laporan Proyek Pem buatan Master), Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Jakarta. Rai, I Wayan S. “Peranan Sruti dalam Pepatutan Gamelan Semar Pagulingan Saih Pitu”, Orasi Ilmiah pada Dies Natalis ke XXX dan Wisuda Sarjana ke IX, Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar 2 April 1997, Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Denpasar. Rembang, I Nyoman. (1977), “Daftar Klasifikasi Gamelan Bali”, dalam Kertas Sarasehan Karawitan Bali, diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan Kebudayaan Jawa Tengah, Agustus 1977. Sugriwa, I Gusti Bagus (Eds.) (1978), Aneka Pewayangan Bali, Yayasan Pewayangan Daerah Bali, Denpasar. Supanggah, Rahayu. (1990), “Balungan” dalam Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Masyarakat Musikologi Indonesia, Tahun I No. 1, 1990, Yayasan Masyarakat Masyarakat Musikologi Indonesia, Surakarta.
Volume 30, 2015
Yasa, I Ketut. (2003), “Trompong Kebyar Kajian Aspek Organologis dan Latar Belakang Budaya” dalam Bheri Jurnal Ilmiah Musik Nusantara Volume 2, No. 1 September 2003, Jurusan Seni Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar, Denpasar. Nara Sumber: Beratha, I Wayan. (71 th.), Mpu Karawitan Bali, wawancara pada 8 Juli 1997 di rumahnya Banjar Abian Kapas, Denpasar.
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Rembang, I Nyoman. (70 th.), Mpu Karawitan Bali, wawancara pada 7 Juli 1997 di rumahnya Desa Sesetan, Denpasar. Pager, I Wayan. (35 th.), Pande Gamelan Bali, wawancara 11 Juli 1997 di rumahnya Desa Blahbatuh, Gianyar. Sija, I Made. (65 th.), Seniman Dalang, wawancara 11 Juli 1997 di rumahnya Desa Bona, Gianyar, Bali.
Tegug, I Made. (70 th.), Pengrajin Panggul, wawancara 11 Juli 1997 di rumahnya Banjar Abian Kapas, Denpasar.
17
Andar Indra Sastra (Estetika Hegemoni Talempong Pacik di Sumatra Barat) ISSN 0854-3461
VolumeMUDRA 30, Nomor 1, Pebruari 2015 Jurnal Seni Budaya p 18 - 36
Estetika Hegemoni Talempong Pacik di Sumatra Barat ANDAR INDRA SASTRA Jurusan Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Padangpanjang, Indonesia. E-mail:
[email protected].
Munculnya konsep talempong pacik di Sumatra Barat tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dan kekuasaan para tokoh-tokoh pendidikan yang mempunyai latar belakang pendidikan musik Barat. Pengaruh dan kekuasaan tersebut mulai dapat dirasakan ketika munculnya konsep talempong pacik pada awal tahun 1970-an melalui mata kuliah di Jurusan Minangkabau Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Padangpanjang. Talempong pacik (pegang) yang dipelajari di antaranya adalah lagu Cak Dindin, dan lagu Tupai Bagaluik. Lagu Cak Dindin menggunakan 5 (lima) buah talempong, dan lagu Tupai Bagaluik dengan 6 (enam) buah talempong. Keduanya mengalami tekstualitas oleh kebudayaan modern – hegemoni; baik talempong sebagai satu sistem musik maupun sebagai sistem musikal. Talempong sebagai sistem musik ditata dengan instrumen musik diatonis, dan talempong sebagai sistem musikal merupakan penjelmaan dari konsep harmoni musik melalui penggalan akor. Penelitian ini bermaksud mengkaji fenomena tersebut dalam penyajiannya di Sumatera Barat. Mengkaji fenomena tersebut menggunakan teori bentuk estetis dengan metode kualitatif yang dibantu oleh data kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa talempong pacik yang dipelajari oleh para mahasiswa di kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Seni – dulunya SMKI, dan sanggar-sanggar seni di Sumatra Barat tidak sesuai dengan konsep talempong renjeang anam salabuhan yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau secara umum.
Hegemony aesthetical of Talempong Pacik in West Sumatra The emergence of the concept of talempong pacik in West Sumatra cannot be separated from the influence and authority of educational leaders with a background in Western music. This influence and authority began to be felt when the concept of talempong pacik first appeared at the beginning of the 1970s through one of the subjects taught in the Minangkabau Department at Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), Padangpanjang. The talempong pacik (in which the instruments are held in the players’ hands) that was studied included the pieces Cak Dindin and Tupai Bagaluik. Cak Dindin uses 5 talempong and Tupai Bagaluik uses 6 talempong. Both have been textualized by modern culture – hegemony; both talempong as a music system and as a musical system. As a music system, talempong uses diatonically tuned instruments, and as a musical system, talempong is the manifestation of the concept of musical harmony through fragments of chords. The goal of this research is to study these phenomena in the performance of talempong in West Sumatra. The phenomena are studied using a theory of aesthetical form with a qualitative method, assisted by qualitative data. The results of the research show that the talempong pacik that is studied by students on the campus of Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, at the specialist art school Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Seni – formerly SMKI, and in various art groups in West Sumatra does not correspond to the concept of talempong renjeang anam salabuhan that belongs to the Minangkabau community in general. Keywords: Aesthetics, hegemony, and talempong pacik.
18
Volume 30, 2015
Estetika berasal dari bahasa Yunani aisthetika berarti hal-hal yang dapat diserap oleh pancaindera. Oleh karena itu estetika sering diartikan sebagai persepsi indera (sence of perception) serta berbagai macam perasaan yang ditimbulkannya (Ali, 2011: 1-2, Pramono, 2009: 1). Dharsono mengatakan bahwa estetika kini tidak lagi semata-mata menjadi permasalahan falsafi, di dalamnya menyangkut bahasan ilmiah berkaitan dengan karya seni (Dharsono, 2007: 3). Estetika berarti mempelajari seni sebagai obyek keindahan – menyenangkan – yang dapat dicermati panca indera dengan segala kompleksitasnya. Kata obyek dan keindahan pada dasarnya tidak terlepas dengan subyek yang berperan memberi nilai. Antara obyek dan subyek merupakan sesuatu yang mutlak untuk melihat persoalan estetika. Estetika tidak hanya menyangkut persoalan nilai indah atau tidak indah, melainkan persoalan rasa. Kapan sesuatu itu punya nilai rasa menyenangkan? Ketika terjadi interaksi dan kepentingan antara obyek dan subyek dengan segala ciri keindahan yang melekat padanya. Interaksi antara manusia dengan gejala yang menyenangkan merupakan hubungan dialogis karena ada kepentingan atas nilai. Rasa menyenangkan tidak hanya terletak pada benda sebagai obyek, keindahan juga tidak terletak pada subyek yang mempunyai kepentingan akan keindahan. Keindahan merupakan fenomena dialektis antara obyek dan subyek yang berkepentingan. Subyek yang berkepentingan dalam topik yang dibicarakan berkaitan dengan hegemoni. Hegemoni merupakan pengaruh kekuasaan atas suatu kelompok dengan ideologi yang dianutnya dengan cara sistematis (Sugono, 2009: 516). Edward Said dalam bukunya Orientalisme menegaskan bahwa hegemoni merupakan suatu pandangan bahwa gagasan tertentu lebih berpengaruh dari gagasan yang lain sehingga kebudayaan tertentu lebih dominan dari kebudayaan lain. Pada hakikatnya tak lebih sebagai bentuk legitimasi atas superioritas kebudayaan Barat terhadap inferioritas terhadap kebudayaan Timur (Said, 2010: x). Estetika hegemoni berati membicarakan subyek yang berkepentingan terhadap obyek yang secara musikal mampu memberi kepuasan estetis, yakni talempong. Talempong adalah salah satu jenis perkusi ritmis di Minangkabau (Sumatra Barat) yang terdiri dari enam momong (pencon). Talempong dimainkan
MUDRA Jurnal Seni Budaya
oleh tiga orang pemain dan masing-masing pemain memegang dua buah talempong. Talempong direnjeang (direnjeng atau ditenteng) dengan tangan kiri dan diguguah (ditabuh) dengan tangan kanan menggunakan pangguguah (pemukul) khusus dan membentuk alur melodi pendek khas talempong Minangkabau – kaum akademisi menyebutnya talempong pacik. Boestanoel Arifin Adam mengatakan bahwa istilah talempong di Minangkabau mengacu pada jenis instrumen idiophone yang memiliki banyak bentuk, ukuran, dan jenis bahan yang dimainkan dengan cara dipukul. Dalam pengertian yang paling umum, talempong adalah alat berbentuk gong kecil terbuat dari campuran logam dan dimainkan dengan cara dipukul (Adam, 1986/1987: 9-10). Talempong renjeang termasuk dalam pengertian yang paling umum sebagaimana dimaksud Adam. Talempong renjeang – tradisi – dengan talempong pacik merupakan dua fenomena berbeda dari padangan subyek yang berkepentingan. Tradisi biasanya digunakan untuk menggantikan kata yang berkaitan dengan masa lalu, seperti kepercayaan, kebudayaan, nilai-nilai, perilaku atau pengetahuan yang diturunkan secara turun temurun (Suyono, 1995: 5). Tradisi merupakan milik suatu kelompok pendukung kebudayaan tertentu; demikian tradisi, maka tradisional berkaitan dengan kebiasaan yang diwariskan dari generasi dengan segala ciri yang melekat dengannya (Sedyawati, 1981: 39). Tradisi adalah keseluruhan benda material dan gagasan yang berasal dari masa lalu namun benar-benar masih ada kini, belum dihancurkan, dirusak, dibuang, atau dilupakan. Melalui pernyataan Shils (1981: 12), Sztompka mempertegas bahwa tradisi berarti segala sesuatu yang disalurkan atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini (Sztompka, 2008: 69-70). Artinya, talempong tradisi adalah produk budaya yang diwariskan dari masa lalu ke masa kini. Talempong renjeang lebih bersifat membumi dari sudut pandang yang berkepentingan, artinya talempong renjeang sebagai produk budaya digunakan atas dasar adanya kepentingan yang melekat dengan kehidupan sosial masyarakat Minangkabau. Dari pandangan yang berkepentingan, talempong pacik muncul sebagai fenomena baru dalam tradisi akademis. Hanefi dkk mengatakan bahwa istilah [talempong] telempong pacik mulai diperkenalkan oleh para pengajar musik tradisional di Konservatori Karawitan (KOKAR) 19
Andar Indra Sastra (Estetika Hegemoni Talempong Pacik di Sumatra Barat)
Padangpanjang yang sekaligus menjadi pengajar di Akademi Seni Karawitan (ASKI) Padangpanjang sekitar tahun 1965 sampai 1970. Melalui kesepakatan bersama dari para pengajarnya seperti Irsyad Adam, Akhyar Adam, Murad St. Saidi, Datuak Jo Labiah dan Beostanoel Arifin Adam selaku Direktur ASKI Padangpanjang pada masa itu. Tujuan utama penamaan ini adalah untuk keperluan penelitian dan kelancaran proses belajar mengajar di lingkungan lembaga pendidikan kesenian KOKAR dan ASKI Padangpanjang (Hanefi, dkk, 2002: 11). Kebaruan tersebut dilandasi atas kepentingan nilai yang dianut oleh para tokoh yang juga berkepentingan, yang secara tidak sadar telah terjadi pemkasaan ideologi musik yang dianutnya terhadap talempong tradisi – dalam artikel ini disebut estetika hegemoni. Estetika hegemoni tidak hanya berhenti pada talempong pacik, tetapi juga berlanjut pada talempong kreasi dan dalam perkembangan selanjutnya disebut talempong goyang. Hajizar mengatakan bahwa Talempong kreasi merupakan bentuk baru dalam penyajian talempong yang memadukan talempong pacik dengan talempong melodi. Talempong melodi membawakan vokabuler dendang (vocal) ritmis Minangkabau, dan talempong pacik berperan sebagai ritme pengiringnya. Dalam perkembangan selanjutnya, talempong kreasi digunakan untuk mengiringi tari-tari kreasi Minangkabau, seperti tari piriang, tari rantak, tari bagurau dan lain-lain. Talempong kreasi pertama membawakan lagu Andam Oi dan ditampilkan pertama kali tahun 1968 di kator Gubenur Sumatra Barat (Hajizar, wawancara 12-10-2013). Talempong goyang adalah transpormasi dari talempong kreasi dalam bentuk orkestrasi, melodi talempong sudah dilengkapi dengan nada-nada kromatik, baik talempong pembawa melodi maupun talempong pengiring. Orkestrasi talempong goyang mampu membawakan berbagai macam jenis dendang (vokal) atau lagu, baik yang berasal dari pop Minang, Indonesia, dangdut dan lain-lain. Hal tersebut disebabkan oleh instrumentasi musik – talempong – sudah ditata dalam bentuk orkestrasi musik, serta dimainkan bersama instrument musik lainnya, seperti orgen, gitar bass, set drum, seruling, bansi dan saluang. Bansi dan saluang merupakan jenis alat musik tiup Minangkabau yang nadanya distandarisasi menurut konsep musik diatonis – Barat. Bagaimana estetika
20
MUDRA Jurnal Seni Budaya
hegemoni itu muncul dalam talempong pacik di Sumatra Barat, dan bagaimana dengan talempong tradisional milik kelompok masyarakat, akan dianalisis dari sudut pandang estetika hegemoni. Membedah masalah tersebut penulis menggunakan teori bentuk estetis. Menurut Parker dalam The Liang Gie, bentuk estetik dapat terwujud jika memperhatikan enam azas, yaitu (1) The principle of organic unity (azas kesatuan). Nilai suatu karya seni tergantung pada hubungan timbal balik dari setiap unsur; (2) The principle of theme (azas tema). Dalam karya terdapat, suatu ide induk atau peran tunggal berupa bentuk, warna, irama, obyek, dan makna yang menjadi pusat perhatian sebagai kunci pemahaman orang; (3) The principle of thematic variation (azas variasi menurut tema). Tema dari suatu karya seni harus disempurnakan dan diperbagus dengan terusmenerus, agar tidak menimbulkan kebosanan; (4) The principle of balance (azas keseimbangan). Keseimbangan meruakan kesamaan dari unsurunsur yang berlawanan atau bertentangan; (5) The principle of evolution (azas perkembangan). Proses awal sebagai penentu proses selanjutnya dan bersama-sama menciptakan suatu makna yang menyeluruh; (6) The principle of hierarchy (azas tata jenjang). Dalam karya yang rumit, perlu adanya suatu unsur yang memegang kedudukan pemimpin secara tegas tema demi kepentingan yang lebih besar (Gie, 1983: 48). Metode yang digunakan adalah metode kualitatif yang dibantu dengan data kualitatif, sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan studi kasus. Metode kualitatif dirasa tepat dalam penelitian ini karena penulis ingin memahami secara baik masalah yang ada melalui pengamatan langsung dan wawancara mendalam dengan para informan. Studi kasus dipilih karena penulis sudah memilki gambaran umum mengenai talempong di Minangkabau dan ingin mengkaji tentang kasus spesifik yang terjadi pada talempong pacik di Sumatera Barat. Kasus tersebut diteliti secara komprehensif dengan mewawancarai pihakpihak terkait, antara lain tokoh-tokoh akademisi, pemain talempong dan para informan lainnya yang memahami tentang talempong tradisional sebagai bahan perbandingan.
Volume 30, 2015
MUDRA Jurnal Seni Budaya
TALEMPONG PACIK
e, f, g, a dan B, c, d, e, f, g. Penyebutan struktur nada yang dimulai dari nada C diurut dengan sebutan do, re, mi, fa, sol, la – 1, 2, 3, 4, 5, 6. Struktur nada yang dimulai dari nada B dibaca dengan sebutan si, do, re, mi, fa, sol -7, 1, 2, 3, 4, 5. Mangkoan bunyi talempong dengan menggunakan sistem musik diatonis pada umumnya dilakukan oleh kaum akademisi di perguruan tinggi seni, sekolah menengah kejuruan (SMK) seni serta sanggarsanggar seni yang dibentuk oleh para alumni dan orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang musik diatonis di Sumatra Barat. Mangkoan bunyi dengan menggunakan prinsip diatonis tersebut dapat dibedakan menjadi dua model – sebut saja model A, dan model B. Sistem mangkoan bunyi talempong kedua model tersebut dapat dilihat pada bagan berikut.
Talempong pacik merupakan produk kaum akademisi dilandasi sistem musik diatonis yang ditopang oleh pikiran kebudayaan modern. Asril mengatakan bahwa munculnya kebudayaan modern pada awal abad XX memberi dampak terhadap kehidupan sosial masyarakat Minangkabau. Nilainilai estetika modern – hegemoni – dengan pola konsumerisme mengalami proses tekstualitas oleh kebudayaan Barat. Pada gilirannya estetika modern itu turut mempengaruhi sistem mangkoan bunyi (Gamelan: sistem pelarasan) talempong di Sumatra Barat, seperti munculnya istilah talempong pacik yang secara akademis dijadikan pembenaran untuk kebutuhan penelitian (Muchtar, wawancara pada 12 Pebruari 2014). Sistem mangkoan bunyi diatonis menghasilkan yaitu c, d, Interval No dua bentuk Urutanstruktur Nada nada, Frekuensi (Hz) (Cent) No 1 1 (do) 1 1 (do) 2 (re)
Urutan Nada 2 C + 24 2 C + 24 D - 15
Frekuensi 3 (Hz)
530.83 Hz 3 530.83 Hz 582.08 Hz
2 (re) 3 (mi)
D - 15 E + 10
582.08 Hz 663.19 Hz
3 (mi) 4 (fa)
E + 10 F + 10
663.19 Hz 702.87 Hz
Interval 4 (Cent)
Pasangan Talempong Model Akor Pasangan Talempong 5 Akor Model
4 159.56 Cent
5 Talempong Dasar
159.56 Cent 225.84 Cent
Talempong Dasar
225.84 Cent 100.60 Cent
Talempong Paningkah Talempong Paningkah
100.60 Cent 191.58 Cent F + 10 702.87 Hz G+2 785.12 Hz Talempong Anak 191.58 Cent Satu sistem musik 677.58 Cent 5 (sol) G+2 785.12 Hz Talempong Anak Satu sistem musik 677.58 Cent Bagan 1. Urutan nada dasar, frekuensi, interval, pasangan talempong kaum akademisi model A
4 (fa) 5 (sol)
Bagan 1. Urutan nada dasar, frekuensi, interval, pasangan talempong kaum akademisi model A Bagan 1. Urutan nada dasar, frekuensi, interval, pasangan talempong kaum akademisi model A Urutan Nada Frekuensi Interval Pasangan Talempong No (Hz) (Cent) Model Akor Urutan Nada Frekuensi Interval Pasangan Talempong No (Hz) (Cent) Model5 Akor 1 2 3 4 1 (7) si B4 + 6 495.81 Hz 1 2 3 4 5 118.15 Cent 1 (7) si B4 + 6 495.81 Hz 2 (1) do C5 + 24 530.83 Hz 118.15 Cent Tlp.Paningkah 159.56 Cent 2 (1) do C5 + 24 530.83 Hz 3 (2) re D5 - 15 582.08 Hz Tlp.Paningkah 159.56 Cent Tlp. Anak 225.84 Cent 3 (2) re D5 - 15 582.08 Hz Tlp. Anak 4 (3) mi E5 + 10 663.19 Hz 225.84 Cent 100.60 Cent 4 (3) mi E5 + 10 663.19 Hz Tlp.Dasar 5 (4) fa F5 + 10 702.87 Hz 100.60 Cent Tlp.Dasar 191.58 Cent 5 (4) fa F5 + 10 702.87 Hz 6 (5) sol G5 + 2 785.12 Hz 191.58 Cent Satu sistem musik 795.73 Cent 6 (5) sol G5 + 2 785.12 Hz Satu sistem musik Cent Bagan 2. Urutan nada dasar, frekuensi, interval, 795.73 pasangan talempong kaum akademisi model B Bagan 2. Urutan nada dasar, frekuensi, interval, pasangan talempong kaum akademisi model B Bagan 2. Urutan nada dasar, frekuensi, interval, pasangan talempong kaum akademisi model B
Bagan di atas perlu ada beberapa penjelasan terkait dengan Hz, Cent, akor, dan frekuensi. Hastanto mengatakan bahwa Hz adalah nama singkatan dari seorang ahli fisika Jerman (Dr. Bagan di atas perlu ada beberapa penjelasan terkait dengan Hz, Cent, akor, dan frekuensi. Hertz) yang menemukan sesuatu yang berbunyi disebabkan karena getaran, oleh sebab itu Hastanto mengatakan bahwa Hz adalah nama singkatan dari seorang ahli fisika Jerman (Dr. diberi nama frekuensi artinya beberapa kali. Tinggi rendah nada dengan demikian disebabkan Hertz) yang menemukan sesuatu yang berbunyi disebabkan karena getaran, oleh sebab itu karena perbedaan frekuensi atau jumlah getaran tersebut. Dr. Hertz kemudian mencari diberi nama frekuensi artinya beberapa kali. Tinggi rendah nada dengan demikian disebabkan
21
Andar Indra Sastra (Estetika Hegemoni Talempong Pacik di Sumatra Barat)
Bagan 1 dan 2 perlu ada beberapa penjelasan terkait dengan Hz, Cent, akor, dan frekuensi. Hastanto mengatakan bahwa Hz adalah nama singkatan dari seorang ahli fisika Jerman (Dr. Hertz) yang menemukan sesuatu yang berbunyi disebabkan karena getaran, oleh sebab itu diberi nama frekuensi artinya beberapa kali. Tinggi rendah nada dengan demikian disebabkan karena perbedaan frekuensi atau jumlah getaran tersebut. Dr. Hertz kemudian mencari beberapa kali getaran tersebut di dalam kurun waktu satu detik dalam bahasa Inggrisnya disebut cicles per second disingkat dengan cps. Untuk menghormati penemunya maka satuan tersebut selanjutnya disebut Hertz disingkat dengan Hz (Hastanto, 2012: 60). Dalam hal frekuensi, John Backus mengatakan standar frekuensi picth Amerika dikatakan bahwa frekuensi oktaf C tengah – C4 dan C 5 dengan rincian: C4 = 261.63, Cis = 277.18, D4 293.66, Dis = 311.13, E4 = 329.63, F4 = 349.23, Fis = 369.99, G4 = 392.00, Gis = 415.30, A = 440.00, Ais = 466.16, B4 = 493.88, dan untuk wilayah C5 = 523.25, Cis = 554.37, D5 = 587.33, Dis = 622.25, E5 = 659.26, F5 = 698.46, Fis = 739.99, G5 = 783.99, Gis = 830.61, A5 = 880.00, Ais = 932.23, B5 = 897.77, dan wilayah nada C6 = 1046.50 (Backus, 1977: 134). Wilayah nada talempong pacik – kaum akademisi – berada dalam rentangan B4 dan G5 – lihat yang bercetak tebal hasil identifikasi nada si rendah dan sol. Demikian pula dengan Cent, Hastanto mengatakan bahwa dalam ilmu akustik, jarak antara dua bunyi (interval) mempunyai satuan ukuran yang disebut cent yang diindonesiakan menjadi “sen” (Hastanto, 2012: 20). Kedua satuan ukuran itu dalam penulisan artikel ini digunakan untuk memberikan gambaran konkret tentang tinggi rendahnya bunyi dan jarak antara dua bunyi talempong. Tentang akor, Karl-Edmund Priyer Sj mengatakan bahwa akor satu dalam musik diatonis terdiri dari tiga nada, yaitu 1-3-5, akor dua 2-4-6, dan akor tiga 3-5-7 (Priyer, 1980: 6-12). Sistem mangkoan bunyi (penalaan) kedua model bagan di atas merupakan bentuk hegemoni yang terjadi pada talempong tradisi Minangkabau – mereka menyebutnya talempong pacik. Hegemoni tersebut dapat dirasakan ketika membaca urutan nada mengacu pada sistem ’sol mi sa si’, yaitu pembacaan yang lazim digunakan dalam membaca simbol not-not dalam sistem pengetahuan musik diatonis. Mendiatonisasikan sistem musik pada 22
MUDRA Jurnal Seni Budaya
talempong, secara bertahap namun pasti bahwa cita rasa estetis mulai bergeser mengikuti ideologi musik Barat. John Fiske mengatakan bahwa sistem pengetahuan adalah ideologi. Ideologi bekerja dalam ranah budaya, sehingga membuat sistem kapitalis tersebut tampak begitu alami dan seolah tiada lagi pilihan lain (Fiske, 2011: 17). Mangkoan bunyi talempong pacik mereka lakukan melalui media musik diatonis, seperi key boord, piano, atau recorder. Penggunaan alat musik seperti key boord, piano, atau recorder untuk mangkoan bunyi talempong berarti ikut terseret kalau tidak dapat dikatakan sebagai ”budak” ideologi untuk mengikuti jalan pikiran kebudayaan modern. Secara tersirat Suka Harjana mengatakan kita lebih suka ”menengok dan memasuki kebun orang lain untuk mengambil buah dari tanaman yang kita tidak menanamnya” (Harjana, 2003: 18). Bagi Hastanto, kesan demikian dikatakan sebagai berikut.
Hal itu disebabkan karena sebagian besar anggota masyarakat bangsa ini telah meninggalkan tradisi mereka dan beranggapan telah memasuki budaya baru yang mereka namakan modern. Pada hal itu belum tentu benar, jangan-jangan mereka tidak masuk di dalam budaya modern tetapi tanpa terasa telah menjadi ”gelandangan budaya”, yaitu telah meninggalkan rumah lamanya – budaya tradisinya – tetapi tidak dapat masuk ke rumah baru – budaya modern (Hastanto, 2012: 1).
Baik Harjana maupun Hastanto menekankan terjadinya perubahan ideologi atau mengambil buah dari tanaman yang kita tidak menanamnya atau meninggalkan tradisi mereka, berarti terjadi perubahan citra mental dan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan rasa estetis pada talempong, karena anggota masyarakat mulai meninggalkan tradisi mereka. Sistem pengaturan tinggi rendahnya bunyi yang dilakukan berdasarkan sistem musik diatonis, menurut Peterman ndak masuak tibo diraso atau tidak masuk tiba dirasa (Peterman, wawancara pada 5 Juni 2013). Pandangan yang sama juga diberikan oleh Erwin Dt. Sampono bahwa bunyinyo lai manyarupoi bunyi talempong tapi ndak kanai tibo diraso (bunyinya ada menyerupai bunyi talempong, tetapi tidak mengena tiba diraso (wawancara dengan Dt. Sampono pada 25 Mei 2013). Kedua
wawancara pada 5 Juni 2013). Pandangan yang sama juga diberikan oleh Erwin Dt. Sampono bahwa bunyinyo lai manyarupoi bunyi talempong tapi ndak kanaiMUDRA tibo diraso (bunyinya ada Volume 30, 2015 Jurnal Seni Budaya menyerupai bunyi talempong, tetapi tidak mengena tiba diraso (wawancara dengan Dt. Sampono pada 25 Mei 2013). Kedua informan itu memberi alasan bahwa raso talempong yang menyenangkan tersebut sesuai dengan standar budaya dan kepekaan raso musikal tuo informan itu memberi bahwaKepekaan raso talempong pasanganmenentukan nada si dansecara sol (tetua)alasan talempong. raso musikaltalempong merekalahAnak yangdengan pada akhirnya yang menyenangkan tersebut sesuai dengan standar bunyi,7 pasangan dan 5. Nada si rendahyang dan sol itu dan padawarna prinsipnya kultural tentang tinggi rendahnya talempong tepat suara budaya dan kepekaan raso musikal (tetua) sama dengan pasangan (1) satu, dan 6 yang dikehendaki. Bagituokaum akademisi, di samping perubahantalempng sistem mangkoan bunyi, pasangan talempong mengikuti model akor. Bila dicermati, ada dua model pasangan talempong. Kepekaan raso musikal merekalah yang (enam) dan disingkat T1 dan T6 dalam talempong talempong kaum yaitu 1) tradisi tersamar; dan 2) mengikuti sistem akor. Jantan. pada akhirnya menentukan secaraakademisi, kultural tentang tadisi –mereka menyebutnya talempong tinggi rendahnya bunyi, pasangan talempong yang T 1 sampai dengan T6 adalah singkatan untuk Tradisi Tersamar tepat dan warna suara yang dikehendaki. Bagi kaum penyebutan urutan bunyi talempong tradisional. Tradisi tersamar dimaksudkan bahwa dalam pembentukan pasangan talempong masih dapat akademisi, di samping perubahan sistem mangkoan Pasangan kedua disebut talempong Dasar dengan dilihat rekam jejak konsep pasangan talempong tradisional. Rekam jejak tradisi tersebut bunyi, pasangan talempong mengikuti model akor. nada do dan mi – nada 1 dan 3. Untuk nada do dapat melalui ketiga pasangan – lihat model B pada bagan 2,2mereka Bila dicermati, ada duadiidentifikasi model pasangan talempong dantalempong mi sama dengan pasangan talempong (dua) menyebutnya talempong Anak dengan pasangan nada si dan sol 7 dan 5. Nada si rendah dan kaum akademisi, yaitu 1) tradisi tersamar; dan 2) dan 4 (empat) disingkat T2 dan T4 pada pasangan sol itu pada prinsipnya sama dengan pasangan talempng (1) satu, dan 6 (enam) dan disingkat mengikuti sistem akor. talempong tradisional – disebut juga talempong T1 dan T6 dalam talempong tadisi –mereka menyebutnya talempong Jantan. 1 sampai Paningkah. Talempong Paningkah atau Tpaningkah dengan T6 adalah singkatan untuk penyebutan urutan bunyi talempong tradisional. Pasangan Tradisi Tersamar duo (peningkah dua) dengan pasangan nada 2 dan 4 kedua disebut talempong Dasar dengan nada do dan mi – nada 1 dan 3. Untuk nada do dan Tradisi tersamar dimaksudkan bahwa dalam selanjutnya dibaca re dan fa. Paningkah duo berasal mi sama dengan pasangan talempong 2 (dua) dan 4 (empat) disingkat T2 dan T4 pada pembentukan pasangan talempong masih dapat dari pasangan talempong T3 dan T5 pada talempong pasangan talempong tradisional – disebut juga talempong Paningkah. Talempong Paningkah dilihat rekam jejak konsep pasangan talempong tradidisional – mereka talempong atau paningkah duo (peningkah dua) dengan pasangan nada 2 dan 4menyebutnya selanjutnya dibaca re dan tradisional. Rekam jejak tradisi tersebutdari dapat nada,tradidisional dan kedua fa. Paningkah duo berasal pasangan Pangawinan. talempong T3Perbadingan dan T5 padaurutan talempong diidentifikasi melalui ketiga pasangan talempong konsep pasangan talempong itu dapat bagan – mereka menyabutnya talempong– Pangawinan. Perbadingan urutan nada, dan dilihat kedua konsep lihat model B pada bagan 2, mereka menyebutnya berikut ini. pasangan talempong itu dapat dilihat bagan berikut ini. TalempongAnak Anak Talempong Untka
u
1
2
3
4
5
Talempong Dasar Talempong Paningkah Urutan bunyi, dan Pasangan Talempong Tradisi Talempong Jantan Ubptt
1
2
3
4
5
6
Talempong Paningkah Talempong Pangawinan Keterangan: Untka = Urutan nada talempong kaum akademisi Ubptt = Urutan bunyi pokok talempong tradisi Bagan 4. Perbandingan urutan nada, dan pasangan talempong kaum akademisi dengan 7 pasangan talempong tradisional
Bagan di atas menjelaskan tradisi tersamar pada pasangan talempong kaum akademisi dapat diidentifikasi melalui pasangan talempong tradisi. Artinya bila dipandang dari konsep bunyi pokok, pasangan talempong kaum akademisi sama dengan pasangan talempong tradisi, yang membedakannya
adalah tinggi rendahnya bunyi dan penyebutan urutan nadanya. Konsep nada pokok pada talempong tradisi terdiri dari enam nada – T1, T2, T3, T4, T5 dan T6 (sebuatan untuk urutan bunyi talempong). Bagi kaum akademisi, T1 pada talempong tradisi berada dalam posisi nada B di bawah c natural 23
pokok, pasangan talempong kaum akademisi sama dengan pasangan talempong tradisi, yang membedakannya adalah tinggi rendahnya bunyi dan penyebutan urutan nadanya. Konsep nada pokok pada talempong tradisi terdiri dari enam nada – T1, T2, T3, T4, T5 dan T6 untukHegemoni urutan bunyi taempong). kaum akademisi, T1 pada talempong tradisi Andar Indra(sebuatan Sastra (Estetika Talempong Pacik diBagi Sumatra Barat) MUDRA Jurnal Seni Budaya berada dalam posisi nada B di bawah c natural - nada B disebut juga dengan si rendah. Dasar berfikir demikian menjadikan struktur nada talempong kaum akademisi menjadi B, c, d, e, f, g, dan dibca dengan si - do – re – mi – fa - sol. nada B disebut juga dengan si rendah. Dasar berfikir musik diatonis. Musik diatonis yang dipayungi demikian menjadikan struktur nada talempong kaum oleh kebudayaan modern nilai dan Struktur nada di atas dengan jelas dapat dikatakan telah mengikuti caramengandung berpikir konsep akademisi musik menjadidiatonis. B, c, d, e, f, g, dan dibca dengan kekuatan atau hegemoni untuk mengikuti ideologi Walaupun masih dapat diidentifikasi melalui konsep nada pokok, tetapi si - do – reperubahan – mi – fa -rasa sol. musikal sudah mengikuti arah yang terkandung di dalamnya. konsep estetika musik diatonis.Bagi seniman tradisional, mangkoan bunyi talempong menggunakan sistem musik diatonis dikatakan tidak Struktur nada di atas dengan jelasKarena dapat dikatakan Sistemyang Akor menyentuh raso (rasa). konsep filosofi Mengikuti mangkoan bunyi mereka miliki bertolak telah mengikuti berpikir konsep Mengikuti akorsistem pada prinsipnya belakangcara dengan kepekaan raso musik dalam budaya mereka,sistem dimana mangkoantunduk bunyi pada perantaraan instrumen musik musik diatonis. Musik diatonis. dilakukan Walaupun melalui masih dapat diidentifikasi ilmu harmoni, satu sistem akordiatonis dibentukyang oleh tiga dipayungi kebudayaan modern rasa mengandung kekuatan atau hegemoni untuk nada melalui konsep nada oleh pokok, tetapi perubahan atau nilai empatdan nada yang berbeda. Tiga atau empat mengikuti ideologi yang terkandung di dalamnya. musikal sudah mengikuti arah konsep estetika musik yang berbeda itu, bila dibunyikan secara bersamaan diatonis.Bagi seniman tradisional, mangkoan bunyi akan terdengar bunyi yang indah menurut prinsip Sistem Akor musik diatonis talempongMengikuti menggunakan sistem estetika musik Barat. Pasangan talempong pacik sistem akor prinsipnya harmoni, satu sistem akor dibentuk dikatakan Mengikuti tidak menyentuh rasopada (rasa). Karenatunduk pada yang ilmu diciptakan kaum akademisi mengikuti sistem oleh tiga atau empat nada yang berbeda. Tiga atau empat nada yang berbeda itu, bila konsep filosofi mangkoan bunyi yang mereka miliki akor. Sistem akor dalam pasangan talempong pacik dibunyikan secarakepekaan bersamaan akan terdengar dapat bunyi dilihat yang indah estetika bertolak belakang dengan raso dalam dari menurut pasangan prinsip talempong Dasar, musik Barat. Pasangan talempong pacik yang diciptakan kaum akademisi mengikuti sistemUntuk budaya mereka, dimana sistem mangkoan bunyi talempong Paningkah dan talempong Anak. Sistem akor dalam pasanganmusik talempong lebih pacikjelasnya dapat dilihat dari pasangan talempong dilakukan akor. melalui perantaraan instrumen dapat dilihat bagan berikut. Dasar, talempong Paningkah dan talempong Anak. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat bagan berikut.
T1
T2
T3
T4
T5
Talempong Dasar
Talempong Anak Talempong Paningkah
Bagan 5. Pasangan talempong kaum akademisi Baganpacik 5. Pasangan talempong pacik kaum akademisi
Bagan di atas dengan jelas mengatakan bahwa pasangan talempong Dasar adalah T1 dan T3 lazim disebut do dan mi. Talempong Paningkah dengan pasangan T2 dan T4 dibaca dengan re dan fa, dan untuk nada kelima T5 disebut sol. Konsep pasangan dan penyebutan pasangan nada talempong seperti demikian membentuk satu sistem musik talempong yang dilandasi prinsip akor dalam ilmu harmoni pada sistem musik diatonis. Prinsip musik diatonis tersebut meliputi pengaturan tinggi rendahnya nada talempong, penyebutan urutan nada dengan menggunakan sistem sol mi sa si, dan model pasangan talempong mengikuti penggalan akor. Penggalan akor tersebut bila diteruskan sesuai dengan konsep musik diatonis akan menjadi 1 3 5 untuk sebutan akor satu dan 2 4 6 akor dua, dan begitu juga dengan akor lainnya. Sistem mangkoan bunyi yang diadopsi dari sistem musik diatonis untuk talempong tradisional – mereka 24
menyebutnya talempong renjeang merupakan cikal bakal lahirnya talempong pacik, talempong kreasi 8dan dalam perkembangan selanjutnya menjadi talempong goyang semacam campur sarinya Gamelan Jawa. Terjadinya perubahan sistem mangkoan bunyi dan pasangan talempong tidak lepas dari dinamika perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat di Sumatera Barat. Slamet Suparno mengatakan bahwa perubahan sosial di sebuah wilayah akan menghasilkan gaya seni yang khas, sesuai dengan bentuk masyarakat pada waktu itu (Suparno, 2008: 30). Kekhasan tersebut tidak jarang menimbulkan pro dan kontra dialektika dan pertentangan, dalam kehidupan masyarakat. Pertentangan itu disebabkan oleh perubahan prinsip estetika talempong mengalami tranformasi dari estetika berbasis tradisi ke estetika estetika hegemoni yang dilandasi oleh sistem musik diatonis sebagai produk kebudayaan modern, terutama dalam bidang estetika musik.
Volume 30, 2015
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Model estetika penyajian talempong yang dilandasi oleh prinsip estetika modern disadari atau tidak adanya upaya sistematis untuk merubah sistem bunyi, merubah pasangan, merubah harmoni talempong renjeang anam salabuhan, menimbulkan rasa musikal yang tidak lagi dirasakan batalun dalam budaya masyarakat Luhak Nan Tigo Minangkabau. Batalun merupakan salah satu konsep estetika dalam penyajian talempong tradisional dalam masyarakat Minangkabau. Bagi kaum tradisional pelanggaran terhadap norma-norma estetik tersebut dikiaskan dalam ungkapan adatnya jalan lah dialiah rang lalu, cupak lah diasak rang pangaleh (jalan telah diasak orang lalu, cupak/takaran telah ditukar orang pedagang) atau dianggap penyimpangan budaya (cultural stranger).
menjadi inspirasi diciptakannya lagu talempong oleh para seniman terdahulu. Adapun Lagu-lagu talempong pacik yang dijadikan sampel dalam penulisan artikel ini adalah: (1) Lagu Cak Dindin dan; (2) Lagu Tupai Bagaluik. Dipilihnya Lagu Cak Dindin dan Lagu Tupai Bagaluik untuk mewakili talempong yang menggunakan 5 (lima) nada, dan 6 (enam) nada. Secara musikal, estetika hegemoni dalam penyajian talempong pacik dapat dijelaskan secara berurutan sebagai berikut.
1. Lagu Cak Dindin Lagu Cak Dindin bertemakan kegembiraan dengan danyuik berkiar 105 langkah permenit kategori sedang. Sajian lagu Cak Didin oleh para kaum akademisi menjadi bagian dari mata kuliah perkusi ritmis direkam pada tanggal 30-10-2013 di kampus Kaum akademisi secara formal menyebut guguah ISI Padangpanjang. Dalam sajian ini terdengar suara talempong dengan lagu dan penyebutan untuk setiap talempong kurang sempurna, baik rono-nya talempong renjeang mereka namakan talempong (warna bunyi),Dipilihnya suara sipongangnya, dan durasi ini adalah: (1) Lagu Cak Dindin dan; (2) Lagu Tupai Bagaluik. Lagu Cak Dindin pacik. Lagu talempong pacik yang bunyi panjang-pendeknya bunyi dan Lagu Tupai Bagaluik untukdipelajari mewakili di talempong yangatau menggunakan 5 (lima) nada, dantalempong 6 kampus(enam) ASKI/STSI/ISI Padangpanjang (Sumatra berdengung. Talempong Anak lebih berperan nada. Secara musikal, estetika hegemoni dalam penyajian talempong pacik dapat sebagai Barat) tidak lagi diketahui dari manasebagai asal-usulnya. Di pengatur danyuik ketimbang membawakan tema. dijelaskan secara berututan berikut. samping itu, tema lagu pun tidak didapat penjelasan Tema mereka interpretasikan berdasarkan bunyi filosofis1.ketikaLagu lagu-lagu talempong yang dipelajari. motif pukulan talempong Dasar. Talempong Dasar Cak Dindin Bagaimana pun aspek filosofi perlu diketahui dan memberikan respon dari ajakan talempong Lagu Cak Dindin bertemakan kegembiraan dengan danyuik berkiar 105 langkah permenit Anak, dipahami oleh pemain talempong, keperluan dan selanjutnya talempong Paningkah ikut bermain kategori sedang. Sajian lagu Cak Didin oleh para kaum akademisi menjadi bagian dari mata tersebutkuliah tentunya dengan sesuaididengan pukulan dan Dalam kehadirannya perkusiberkaitan ritmis direkam padafenomena tanggal 30-10-2013 kampus motif ISI Padangpanjang. apa yang terkandung dibalik dapat membentuk satu kalimat lagu. Ketiga sajian ini terdengar suara lagu setiap talempong. talempong kurang sempurna, baik rono-nya (warna bunyi), suara kehidupan sipongangnya, dan durasi bunyi atau panjang-pendeknya bunyi talempong berdengung. Fenomena yang ditransformasikan pasangan talempong tersebut bermain sesuai dengan Anak lebih berperan danyuik ketimbangdan membawakan menjadiTalempong lagu talempong mestilah terkaitsebagai denganpengatur peran masing-masing mereka tidaktema. mempunyai Tema mereka interpretasikan berdasarkan bunyi motif pukulan talempong Dasar. Talempong lingkungan kehidupan alam terkait dengan standar capaian musikal dalam penyajian lagu Dasar memberikanlagu respon dari ajakan Anak,– bagi dan mereka selanjutnya bagaimana diciptakannya talempong. Seting talempong talempong hanyatalempong sekedar bermain Paningkah ikut bermain sesuai dengan motif pukulan dan kehadirannya dapat membentuk sosial tersebut perlu diketahui dan dipahami, agar talempong. Secara visual penjelasan di atas dapat kalimat mendapatkan lagu. Ketiga pasangan talempong sesuaiangka dengan peran masingpemain satu talempong gambaran yang tersebut dilihatbermain pada notasi dan grafik di bawah ini masing dan mereka tidak mempunyai standar capaian musikal dalam penyajian lagu jelas tentang lagu talempong dengan fenomena yang beserta analisis dan penjelasannya. talempong – bagi mereka hanya sekedar bermain talempong. Secara visual penjelasan di atas dapat dilihat pada notasi angka dan grafik di bawah ini berserta analisis dan penjelasannya. (1)
| j5j j 5
TA
: j5j j 5
TD
:
TP
: | 0
| 0
(2)
j5j j 5 j5j j 5 j5j j 5 |
0 jk1kj j1j 0
j5j j 5_: j5j j 5
0 j3j j 1 _: j3j jk3kj 0 j3j j 1 |
0 0 0 jk4kj 4 j0j jk2kj 2 |
j5j j 5
j3j j 1
_: j0j jk4kj 4 j0j jk2kj 2 j0j
25
TA
:
(3) (4) |j5j j 5 j5j j 5 j5j j 5 j5j j 5 j5j j 5 |
j5j j 5
| j5j j 5
j5j j 5
jk4kj 4
j0j jk2kj 2 |
Andar Indra Sastra (Estetika Hegemoni Talempong Pacik di Sumatra Barat)
TA TD
TP
TA
:
:
:
(3) (4) |j5j j 5 j5j j 5 j5j j 5 j5j j 5 j5j j 5 |
j5j j 5
MUDRA Jurnal Seni Budaya
| j5j j 5
j5j j 5
|j3j jk3kj 0
j3j j 1
j3j j 1 jk1kj j1j 0 j3j j 1 | j3j jk3kj 0 jk1kj j1j 0 j3j j 1 |
|j0j jk4kj 4 j0j jk2kj 2 j0j jk4kj 4 j0j jk2kj 2 |j0j jk4kj 4 j0j jk2kj 2 j0j jk4kj 4 j0j jk2kj 2 |
(5) (5) |j5j j 5 j5j j 5 j5j j 5 |TA j5j j 5 j5j j 5 j5j j 5 10 : j5j j: 5j5j:_j 5 :_
TD
j3j jk3kj 0 j3j j |TD j3j | jk3kj 0 j3j j 1 : jk1kj j1j 0 j3j j 1 :_ : jk1kj j1j 0 j3j j 1 :_
TP
:
1
Satulagu kalimat lagu Satu kalimat
j0j jk2kj 2 j0j jk2kj 2 |TPj0j: | jk2kj 2 j0j jk2kj 2 j0j jk2kj 2 j0j jk2kj 2:_ j0j jk2kj 2 j0j jk2kj 2:_ Notasi 1. Lagu Cak1.Dindin (Sumber: Transkrip Yunadi, 05 s.d 102013) 05 s.d 10- 2013) Notasi Lagu Cak Dindin (Sumber: Transkrip Yunadi,
Notasi 1. Lagu Cak Dindin (Sumber: Transkrip Yunadi, 05 s.d 10- 2013)
Penjelasan Notasi Angka: Penjelasan Notasi Angka: Sistem notasi yang digunakan adalah sistemmetode Cheve notasi metode notasi angka untuk musik Barat Sistem notasi yang digunakan adalah sistem Cheve angka untuk musik Barat Huruf Arab 1 berarti bunyi talempong pertama, disebut do Huruf Arab 1 berarti bunyi talempong pertama, disebut do Huruf Arab bunyi 2 berarti bunyi talempong kedua,redisebut re Huruf Arab 2 berarti talempong kedua, disebut Huruf Arab 3 berarti bunyi talempong ketiga,mi disebut mi Huruf Arab 3 berarti bunyi talempong ketiga, disebut Huruf Arab bunyi 4 berarti bunyi talempong Huruf Arab 4 berarti talempong keempat,keempat, disebut fadisebut fa Huruf Arab 5 berarti bunyi talempong kelima, disebut sol Huruf Arab 5 berarti bunyi talempong kelima, disebut sol
_: :_
_:berarti :_ tanda berarti tanda ulang yang digunakan untuk menandai (satusatu siklus) satu ulang yang digunakan untuk menandai saputaransaputaran (satu siklus)
kalimat lagu. kalimat lagu. | : berarti tanda biteh (birama) yang digunakan untuk pedoman dimulainya biteh (birama) yang digunakan untuk pedoman dimulainya penulisanpenulisan | : berarti tanda notasi sesuai dengan motif pukulan talempong. Jarak antara dua tanda biteh notasi sesuai dengan motif pukulan talempong. Jarak antara dua tanda biteh – | …. | – | …. | – digunakan sebagai penyekat antara motifmotif dengan motif berikutnya. – digunakan sebagai penyekat antara satu motifsatu dengan berikutnya. TA : berarti Talempong Anak. TA : berarti Talempong Anak. : berarti Talempong TD : TD berarti Talempong Dasar. Dasar. TP : berarti Talempong Paningkah. TP : berarti Talempong Paningkah. (1), (2), (3) dst: berarti nomor biteh (birama). (1), (2), (3) dst: berarti nomor biteh (birama). di atasdengan terlihatjelas dengan jelasmotif bahwa motif talempong pukulan talempong Anak mengatur Notasi diNotasi atas terlihat bahwa pukulan Anak mengatur danyuik danyuik Notasi di permainan atas terlihattalempong. dengan jelas bahwa motif terbentuknya lagu – saat mulai bergabung pada biteh Talempong Dasar pada masuk pada ketukan ketiga kuat) (aksen permainan talempong. Talempong Dasar masuk ketukan ketiga (aksen dankuat) dan pukulan interaksi talempong Anakmembentuk mengatur danyuiklagu. Talempong kedua – danPaningkah satu kalimatdengan lagu. Pengulangan kalimat motif pukulan interaksi kedunya kedunya membentuk kerangkakerangka lagu. Talempong Paningkah dengan motif pukulan permainanberbeda talempong. Talempong Dasar masuk pada lagu –lagu berikutnya dilakukan dengan cara yang sama. memberi kepastian terbentuknya saat mulai bergabung pada biteh kedua – dan berbeda memberi kepastian terbentuknya lagu – saat mulai bergabung pada biteh kedua – dan satu kalimat lagu. Pengulangan kalimat lagu berikutnya dilakukan dengan cara yang sama. ketukan ketiga (aksen kuat) dan interaksi kedunya Kontur melodi dalam proses pembentukkan satu satu kalimat lagu. Pengulangan kalimat lagu berikutnya dilakukan dengan cara yang sama. Kontur melodi dalam proses pembentukkan satu kalimat lagu dapat dilihat pada grafik membentuk kerangka lagu. Talempong Paningkah kalimat lagu dapat dilihat pada notasi pada Kontur melodi dalam proses pembentukkan satu kalimat lagu dapat dilihat pada notasi grafik padaberikut. bagian berikut. dengan motif pukulan berbeda memberi kepastian bagian berikut. pada bagian
26
Volume 30, 2015
MUDRA Jurnal Seni Budaya
1
UT
.
Do
Re
2
Mi
3
Fa
4
Sol
5
Mi Fa
.
.
1
Re
(3) :_
_: (2)
(1)
UT Do
(3) :_
_: (2)
(1)
0
2
0 0
0
0
0
0
3
0
4
Sol . 5
0
.
.
0
0
0
.. .. ..
.
0 0
0
.
.0
.
.
.0
0
..0
..
.. .. . . . . . ..
..
..
0
.
..
..
0
..
0
0
.
.
. . ..
.
0
0
0..
..
..
.
.
.
0
..
. 0
..
.
.0
0
.0
.
.
0
..
..
.
..
..
.. . . . . . . . . .
..
Notasi Grafik 1. Lagu Cak Dindin 1. Cak Lagu Cak Dindin Notasi Notasi GrafikGrafik 1. Lagu Dindin Penjelasan Notasi
Penjelasan Notasi UT
UT
: berarti urutan talempong yang disusun secara vertikal
: berarti urutan talempong yang disusun secara vertikal : berarti pasangan talempong
: berarti pasangan talempong
(1) , (2), (3) : berarti nomor biteh.
o : berarti : berarti tanda istirahat (1) , (2), (3) nomor biteh. . : berarti motif o : berarti tanda istirahatpukulan satu, dua, dan tiga bunyi dalam satu ketukan _: :_ motif : berarti tandasatu, ulang. . : berarti pukulan dua, dan tiga bunyi dalam satu ketukan berarti jumlah ketukan di antara dua tanda biteh dan juga sebagai penanda nilai : _: :_ : berarti tanda ulang. ketukan dalam lagu talempong.
jumlah ketukan di antara dua tanda biteh dan juga sebagai penanda nilai : berarti: mulai terjadinya interaksi musikal tiga motif pukulan talempong
ketukan dalam lagu talempong. : mulai terjadinya interaksi musikal tiga motif pukulan talempong
Notasi di atas menggambarkan proses terbentuknya satu kalimat lagu. Satu kalimat lagu mulai terbentuk pada biteh (2) dua, dan kelipatan biteh berikutnya dilakukan dengan motif pukulan yang sama untuk setiap talempong Anak, Dasar, Paningkah. Bandingkan Notasididi atas menggambarkan proses terbentuknya satu kalimatdanlagu. Satu lagu yang dimilki Notasi atas menggambarkan proses terbentuknya Bandingkan dengan Guakalimat Cak Dindin dengan Gua Cak Dindin yang dimilki oleh masyarakat, baik dari segi sistem musik maupun mulai terbentuk pada biteh (2) dua, dan kelipatan biteh berikutnya dilakukan dengan motif satu kalimat lagu. Satu kalimat lagu mulai terbentuk oleh masyarakat, baik dari segi sistem musik maupun aspek sama musikaluntuk dalamsetiap penyajiaannya. Sistem musik talempong tradisional dapat dijelaskan pukulan talempong Anak, Dasar, dan Paningkah. Bandingkan pada bitehyang (2) dua, dan kelipatan biteh berikutnya aspek musikal dalam penyajiaannya. Sistem musik melalui bagan berikut.
dengan Gua Cak motif Dindinpukulan yang dimilki oleh masyarakat, baik dari segi sistem musik dilakukan dengan yang sama untuk talempong tradisional dapatmaupun dijelaskan melalui aspek talempong musikal dalam Sistem musik talempong tradisional dapat dijelaskan setiap Anak,penyajiaannya. Dasar, dan Paningkah. bagan berikut. melalui bagan berikut. Posisi Bunyi Pokok
Frekuensi (Hz)
Janjang (Cent)
janjang pasangan talempong
1 T1
2 A4 + 13
3 446.36
4
5
T2
B4 – 06
492.05
T3
C#5 – 30
544.64
No
168.71
T4
D5 – 35
575.52
T5
E5 + 19
666.62
T6
F5 + 25 708.92 Satu sistem musik
12
175.79 12 95.47 254.39
Tlp.Pangawinan Tlp. Janttan
Tlp. Paningkah
106.50 800.86
Bagan 6. Posisi bunyi pokok, frekuensi, Janjang, janjang talempong Bagan 6. Posisi bunyi pokok, frekuensi, Janjang, janjang talempong kelompok Ateh Guguak Luhak kelompok Ateh Guguak Luhak Tanah Data Tanah Data
Catatan: 1. Janjang dengan huruf besar di depan kata Janjang berarti interval atau jarak yang terbentuk antara dua tingkatan bunyi talempong, janjang dengan huruf kecil di depan kata janjang adalah jarak antara dua bunyi berdasarkan konsep pasangan talempong.
Perbedaan mendasar antara talempong pacik dan talempong tradisional terletak pada danyuik (tempo), struktur bunyi (nada) dan pasangan talempong. Perbedaan danyuik penyajian talempong yang dimainkan oleh para akademisi dengan kelompok tradisi berbeda. Danyuik penyajian talempong akademisi pada lagu Cak Dindin berkisar 105 LM (langkah permenit) dan termasuk kategori sedang, dan danyuik penyajian talempong tradisi masuk kategori
27
Andar Indra Sastra (Estetika Hegemoni Talempong Pacik di Sumatra Barat)
Catatan: 1. Janjang dengan huruf besar di depan kata Janjang berarti interval atau jarak yang terbentuk antara dua tingkatan bunyi talempong, janjang dengan huruf kecil di depan kata janjang adalah jarak antara dua bunyi berdasarkan konsep pasangan talempong. Perbedaan mendasar antara talempong pacik dan talempong tradisional terletak pada danyuik (tempo), struktur bunyi (nada) dan pasangan talempong. Perbedaan danyuik penyajian talempong yang dimainkan oleh para akademisi dengan kelompok tradisi berbeda. Danyuik penyajian talempong akademisi pada lagu Cak Dindin berkisar 105 LM (langkah permenit) dan termasuk kategori sedang, dan danyuik penyajian talempong tradisi masuk kategori cepat, yaitu berkisar 132 L/M (langkah permenit). Struktur bunyi talempong tradisi tidak (1)
| j6j 6
j6j 6 j6j 6 _:
TJ
:
TP
:
0 jk3jk j3j 0
TPn
:
| 0
j6j 6
| 0
0
_:
0
0
terikat dengan nada dasar, mereka hanya menyebut bunyi pokok, sesuai dengan rasa musikal dan pengalaman musikal yang mereka miliki. Pasangan talempong mengkuti pola akor pada musik diatonis. Bandingkan dengan gua (lagu) Cak Dindin milik salah satu kelompok tradisional berikut ini. Gua Cak Dindin berasal dari daerah budaya Nagari Pitalah Bungo Tanjuang Luhak Tanah Data (Kab. Tanah Data), temanya tentang kegembiraan dengan sajian menggunakan danyuik kategori cepat berkisar sekitar 132 L/M; langkah permenit. Sajian Gua Cak Dindin oleh para tuo (tetua) talempong Dt. Sampono, Hajizar, dan Elizar dinyatakan batalun disajikan oleh kelompok Ateh Guguak direkam pada tanggal 22 Oktober 2013 di Pitalah Bungo Tanjuang. Visualisasi batalun dalam bentuk dan struktur gua Cak Dindin dapat dijelaskan pada notasi berikut ini.
(2) j6j 6 0 0
jk5jk j5j 0
j5j 3
j6j 6
| j5j 3 | 0
| j6j 6
(3) j6j 6
0
0
(4)
TJ
:
TP
: :
TPn TJ
:
TP
:
TPn
:
j6j 6 j6j 6
j6j 6 j6j 6 |
j6j 6
0
| j6j 6
j6j 6
_: (5) j6j 6
jj5j 3 jk5jk j5j 0 j5j 3 jk3jk j3j 0 | j5j 3 jk5jk j5j 0 j5j 3 jk3jk j3j 0 |
j0j jk2kj 2 j0j jk4kj 4 j0j jk2kj 2 j0j jk4kj 4 |j0j jk2kj 2 j0j jk4kj 4 j0j jk2kj 2 j0j jk4kj 4 | (6) (7) j6j 6 j6j 6 j6j 6 j6j 6 | j6j 6 j6j 6 j6j 6 j6j 6 | jj5j 3 jk5jk j5j 0 j5j 3 jk5jk j5j 0 j5j 3 jk3jk j3j 0 j0j jk2kj 2 j0j jk2kj 2 jk0kjk jk2kj 2|j0j jk2kj 2 j0j jk2kj 2 2 j0j jk2kj 2 |
variasi I
28
MUDRA Jurnal Seni Budaya
jk3jk j3j 0 | j5j 3
|
kjk2kjk kjk0kj 2 j0j jk0kjk kjk2kjk kjk0kj
(8) (9) j6j 6 j6j 6 j6j 6 j6j 6 | j6j 6 j6j 6 : TJ j6j 6 j6j 6 | jj5j 3 jk5jk j5j 0 j5j 3 jk3jk j3j 0 | j5j 3 : TP jk5jk j5j 0 j5j 3 jk3jk j3j 0 | j0j jk2kj 2 j0j jk4kj 4 j0j jk2kj 2 j0j jk4kj 4 |j0j : TPn jk2kj 2 j0j jk4kj 4 j0j jk2kj 2 j0j jk4kj 4 | (10) j6j 6 j6j 6 j6j 6 j6j 6 | j6j 6 j6j 6 j6j TJ : 6 j6j 6 :_ 1 KL
TP Volume 30, 2015
TPn
: :
jj5j 3 jk5jk j5j 0 j5j 3 jk5jk j5j 0 j5j 3 jk3jk j3j 0 j0j jk2kj 2 j0j jk2kj 2 jk0kjk jk2kj 2|j0j jk2kj 2 j0j jk2kj 2 2 j0j jk2kj 2 |
jk3jk j3j 0 | j5j 3
|
kjk2kjk kjk0kj 2 j0j MUDRA Jurnal Seni Budaya jk0kjk kjk2kjk kjk0kj
variasi I
(8) (9) j6j 6 j6j 6 j6j 6 j6j 6 | j6j 6 j6j 6 : TJ j6j 6 j6j 6 | jj5j 3 jk5jk j5j 0 j5j 3 jk3jk j3j 0 | j5j 3 : TP jk5jk j5j 0 j5j 3 jk3jk j3j 0 | j0j jk2kj 2 j0j jk4kj 4 j0j jk2kj 2 j0j jk4kj 4 |j0j : TPn jk2kj 2 j0j jk4kj 4 j0j jk2kj 2 j0j jk4kj 4 | (10) j6j 6 j6j 6 j6j 6 j6j 6 | j6j 6 j6j 6 j6j TJ : 6 j6j 6 :_ 1 KL jj5j 3 jk5jk j5j 0 j5j 3 jk3jk j3j 0 | j5j 3 TP : jk5jk j5j 0 j5j 3 jk3jk j3j 0 :_
TP n
j0j jk2kj 2 j0j jk2kj 2jk0kjk kjk2kjk kjk0kj 2j0j : jk2kj 2|j0j jk2kj 2j0j jk2kj 2jk0kjk kjk2kjk kjk0kj 2j0j jk2kj 2 :_
variasi II
Notasi 2. Gua Cak Dindin versi Kaum Tradisional (Sumber: Transkrip Jumaidi Syafi’i 23 s.d 30 -10-2013) Notasi 2. Gua Cak Dindin versi Kaum Tradisional (Sumber: Transkrip Jumaidi Syafi’i 23 s.d 30 -102013)
Kita perhatikan notasi di atas, terlihatlah bahwa dengan motif pukulan berbeda dan tunduk dalam 14 kendali perhatikan notasi di atas,ketegasan terlihatlah bahwa motif pukulan talempong Jantan memberi motif pukulan Kita talempong Jantan memberi danyuik talempong Jantan. Melalui ketegasan terhadap tema walapun hanya satu talempong. Hajizar mengatakan bahwa talempong terhadap tema walapun hanya satu talempong. motif pukulan yang juga berbeda, walaupun hanya satu talempong yang dimainkan oleh pemain talempong Jantan, namun tetap Hajizar mengatakan bahwa walaupun hanya satu Pangawinan bergabung pada biteh (3) tiga, dan mempunyai tugas pokok sebagai imam dan mengatur danyuik pertunjukan. Sebagai imam, talempong yang dimainkan olehJantan pemain talempong interaksi ketiganya mengawali pembentukan melodi pemian talempong harus mampu memberikan stimulus (rasangan) pada dua orang Jantan, namun tetaptalempong mempunyai tugas pokok dan talempong. kesan bagaluik pemain berikutnyaPaningkah Pangawinan. Munculnya Hajizar mengatakan bahwa (bergelut) itu dapatdanyuik mengingatkan gua (ritme) apa yangdisebabkan akan dimainkan oranggaluik pemainatau variasi sebagai imamstimulus dan mengatur pertunjukan. yang oleh dua adanya berikutnya sesuai dengan tugas po kok, fungsi dan kewenangannya masing-masing Sebagai imam, pemian talempong Jantan harus motif pukulan talempong Pangawinan lihat biteh (wawancara dengan(rasangan) Hajizar pada 22 Oktober dengan mampu memberikan stimulus pada dua 2013). (5) Talempong lima dan Paningkah (6) enam,merespon serta biteh 9 (sembilan) motif pukulan berbeda dan tunduk dalam kendali danyuik talempong Jantan. Melalui motif orang pemain pukulan talempong berikutnyaPaningkah dan dan (10) maka penyajian talempong pada yang juga berbeda, talempong Pangawinan bergabung pada biteh (3) tiga, dan gua Cak Pangawinan. interaksi Hajizar mengatakan bahwa pembentukan stimulus Dindin dapat dikatakan batalun. ketiganya mengawali melodi talempong. Munculnya kesan bagaluik itu dapat mengingatkan gua (ritme) apa yang akan galuik atau variasi motif pukulan talempong (bergelut) yang disebabkan oleh adanya Pangawinan lihat biteh (5) lima sesuai dan (6) enam, serta biteh 9 (sembilan) dan (10) maka dimainkan dua orang pemain berikutnya Secara visual, melalui notasi grafik dapat dilihat gua Cak Dindin dapat bagaimana dikatakan batalun. dengan tugas penyajian po kok, talempong fungsi danpada kewenangannya bentuk kontur melodi gua Cak Dindin masing-masing (wawancara dengan Hajizar pada dalam membentuk satu kalimat lagu pada notasi Secara visual, melalui notasi grafik dapat dilihat bagaimana bentuk kontur melodi gua Cak 22 Oktober 2013). Talempong Paningkah merespon berikut ini. ini. Dindin dalam membentuk satu kalimat lagu pada grafik notasi grafik berikut (1)
_: (3)
(2)
UT T1 T2
0
0
0
0
0
0
0
.
T3
0
.
..
0
.. .
0
T4 T5
0
T6
.
0
.
.
0
.
.
.
0
.
.
.
.
..
0
.
.
. .
.
. .
.
.
.
.
0
..
..
0
.
.
29
Andar Indra Sastra (Estetika Hegemoni Talempong Pacik di Sumatra Barat)
(4)
MUDRA Jurnal Seni Budaya
(5)
UT T1 T2
0
.. .
T3 T4 T5
.
T6
.
0
..
0
0
..
.. .
. .
.
.
0
.
.
.. .
0
..
..
0
.
.
.
.
0
..
0
0
..
..
.
.
..
0
.
. .
0
.
.
..
0
.
.
.
.
Bagaluik
Variasi I
(6)
..
0
..
.
..
0
.
.
.
Batalun
(7)
(8)
UT T1 T2
0
..
0
..
0
.
T3
..
0
..
.
..
0
0
.. .
T4 T5
.
T6
.
.
..
0
.
.
.
.
. .
.
.
.
16
30
0
.
.. .
0
..
..
0
.
.
.
.
0
..
0
0
..
.. .
. .
.
.
.
.
0
..
..
0
.
.
Volume 30, 2015
MUDRA Jurnal Seni Budaya
(9)
:_
(10)
UT T1 T2
0
..
0
0
..
0
.
T3 0
..
.
..
0
.
.
.
.
.
T4 T5 T6
..
.
Variasi II
.
..
0
.
.
.
.
..
0
..
.
..
0
0
..
.
.
..
0
.
. .
0
.
Bagaluik
.
..
0
.
.
.
.
..
0
..
.
..
0
.
.
.
Batalun
Notasi Grafik 2. Gua Cak Dindin Notasi Grafik 2. Gua Cak Dindin
Kontur melodi pada grafik di atas dapat menjelaskan Nagari. Kelihaian binatang yang satu ini sering Kontur melodi pada grafik di atas dapat menjelaskan kepada kita bahwa terbentuknya satu kepada kita bahwa terbentuknya satu kalimat lagu menjadi rujukan untuk mengingatkan manusia agar kalimat lagu mulai dari biteh (3) tiga sampai biteh 10 atau 8 (delapan) biteh untuk saputaran. mulai dari biteh (3) tiga sampai biteh 10 atau 8 selalu berhati-hati dalam melakukan pekerjaan. Batalun dapat diidentifikasi ketika munculnya variasi dan kesan bagaluik pada biteh (5) lima (delapan)s.dbiteh untuk saputaran. Batalun dapat Perilaku Tupai itu sebagai referensi dalam ungkapan (6) enam, dan biteh (9) sembilan s.d (10). diidentifikasi ketika munculnya variasi dan kesan adat, yaitu sapandai-pandai Tupai malompek, agak bagaluik Perbedaan pada biteh Lagu (5) lima s.d (6) enam, dan biteh jatuah juo (sepandai-pandai Tupai melompat, Cak Dindin versi kaum akademisisakali dengan Gua Cak Dindin milik masyarakat (9) sembilan s.d (10). agak sekali jatuh jua). Selain dari itu, bagi seniman, terletak pada prinsip nada dasar dan bunyi pokok, danyuik, pasangan talempong, dan rasa perilaku Tupai yang menggelitik Bagalauik dapat musikal. Perbedaan Lagu Cak Dindin versi kaum akademisi berbuah wujud menjadi lagu talempong Tupai Lagu Tupai Bagaluik dengana. Gua Cak Dindin milik masyarakat terletak Bagaluik. Bagaluik dalam hubungan dengan tupai Bagaluik katabunyi cetakpokok, huruf berdiri adalah nama lagufenomena talempong, yaitu Tupai pada prinsip nada dengan dasar dan danyuik, adalah kehidupan duaBagaluik. ekor tupai saling Bagaluik dengan huruf cetak miring berkaitan dengan kesan musikal dari permainan pasangan talempong, dan rasa musikal. bercanda yang ditranformasikan ritme menjadi lagu talempong ketika terjadi interaksi musikal tiga orang pemainTupai sesuai dengan tugas pokok, talempong Bagaluik. fungsi dan kewenangan dalam penyajian talempong renjeang anam salabuhan. Tupai adalah 2. Lagu Tupai Bagaluik sejenis binatang pengeret yang dapat ditemui di sekitar perkampungan penduduk Desa Bagaluik Nagari. dengan kata cetak huruf berdiriyang adalah nama Lagu Tupairujukan Bagaluik yangmengingatkan dipelajari di Jurusan Kelihaian binatang satu ini sering menjadi untuk lagu talempong, yaitu Tupai Bagaluik. Bagaluik Karawitan Institut Seni Indonesia Padangpanjang manusia agar selalu berhati-hati dalam melakukan pekerjaan. Perilaku Tupai itu sebagai dengan huruf cetak miring berkaitan dengan kesan juga tidak diketahui berasal dari daerah budaya referensi dalam ungkapan adat, yaitu: sapandai-pandai Tupai malompek, agak sakali jatuah musikal juo dari(sepandai-pandai permainan ritme talempong ketika dapat yaitu tentang Tupai melompat, agak sekalimana. jatuh Temanya jua). Selain dari diidentifikasi, itu, bagi seniman, terjadi interaksi tiga menggelitik orang pemain sesuai dapatTupai Bagaluik; tanggal 30-10-2013 perilakumusikal Tupai yang Bagalauik berbuah wujud direkam menjadi pada lagu talempong dengan tugas pokok, fungsi dan kewenangan dalam dengan danyuik kategori cepat sekitar 120 langkah penyajian talempong renjeang anam salabuhan. permenit. Visualisasi bentuk dan struktur Lagu Tupai adalah sejenis binatang pengeret yang dapat Tupai bagaluik dapat dijelaskan pada notasi berikut ditemui di sekitar perkampungan penduduk Desa 17 ini.
31
ekor tupai saling bercanda yang ditranformasikan menjadi lagu talempong Tupai Bagaluik. Lagu Tupai Bagaluik yang dipelajari di Jurusan Karawitan Institut Seni Indonesia Padangpanjang juga tidak diketahui berasal dari daerah budaya mana. Temanya dapat Andar Indra Sastra (Estetika Hegemoni Talempong Pacik di Sumatra Barat) MUDRA Jurnal Seni Budaya diidentifikasi, yaitu tentang Tupai Bagaluik; direkam pada tanggal 30-10-2013 dengan danyuik kategori cepat sekitar 120 langkah permenit. Visualisasi bentuk dan struktur Lagu Tupai bagaluik dapat dijelaskan pada notasi berikut ini. (1)
TA
:
TD
:
TP
:
(2)
j0j u j5j u | jk5kj j5j u j5j u jk5kj j5j u j5j u _: k5kj j5j u j5j u kj5jk j5j u j5j u | | j0j 1 jk1kj j1j 3 j3j 1 jk1kj j1j 3 _: j3j 1 jk1kj j1j 3 j3j 1 jk1kj j1j 3 | | 0 0 0 j0j 2 _: j2j 2 kjk2kj j2j 2 kj2kj j2j 0 j0j 4 | (3)
TA
:
TD
:
TP
:
(4 )
| k5kj j5j u
j5j u
j5j u jk5kj j5j u jk5kj j5j u j5j u |
j5j u :_ k5kj j5j u
|j j3j 1
jk1kj j1j 3 j3j 1 jk1kj j1j 3 :_ jj3j 1 jk1kj j1j 3 j3j 1 jk1kj j1j 3 |
| jk4kj j4j 4 kjk2kj j2j 2
j4j 4
kj2kj j2j 0
(5)
: j5j u
TD
:
TP
:
j0j 4 |
(6)
| k5kj j5j u
TA
j2j 2 j0j 2
j5j u jk5kj j5j u jk5kj j5j u j5j u |
|j j3j 1 jk1kj j1j 3 jk1kj j1j 3
j3j 1
j5j u | k5kj j5j u
j3j 1 jk1kj j1j 3 jk1kj j1j 3 |
| jk4kj j4j 4 j4j 4
j2j 2 kj2kj j2j 0
j2j 2
j0j 4 |
:_ j2j 2
|j j3j 1
j0j 2 | j2j 2
1 K L
kjk2kj
Notasi 3. Lagu Tupai Bagaluik (Sumber: Transkrip Junaidi , 05 s.d 10 – 2013). Notasi 3. Lagu Tupai Bagaluik (Sumber: Transkrip Junaidi , 05 s.d 10 – 2013).
Notasi diNotasi atas dapat menjelaskan bahwa talempong ekspresi musikalpermainan permainandengan ritmedanyuik dalam Lagu di atas dapat menjelaskan bahwa talempong Anak memulai Anak memulai permainan dengan danyuik yangajakan permainan Tupai Bagaluik tidak masuk kategori batalun, yang stabil. Talempong Dasar mengikuti talempong Anak, dalam dan masuk pada stabil. Talempong Dasar mengikuti ajakankeduanya permainanmulai membentuk karena komponen-komponen yang motif membentuk ketukan pertama aksen lemah; kerangka melodi. Melalui talempong Anak, berbeda, dan masuk pada ketukan pertama masuksatu sistem musik talempong dibentuk pukulan talempong Paningkah, pada ketukan keempat aksen lemah berdasarkan pada biteh (1) satu. Memasuki biteh (2) dua mulai terbentuk melodi, dan pengulangan berikutnya aksen lemah; keduanya mulai membentuk kerangka sistem musik diatonis – estetika hegemoni. menuju motif pembentukkan satu kalimat lagu. Puncak ekspresi musikal permainan ritme dalam melodi. Melalui pukulan berbeda, talempong Lagumasuk Tupai pada Bagaluik tidak keempat masuk dalam kategoriSecara batalun, karenamelalui komponen-komponen yang dilihat Paningkah, ketukan aksen visual, notasi grafik dapat membentuk musik talempong berdasarkan diatonis lemah pada biteh (1) satu satu. sistem Memasuki biteh (2) dua dibentuk bagaimana bentuksistem konturmusik melodi Lagu– Tupai estetikamelodi, hegemoni. mulai terbentuk dan pengulangan berikutnya Bagaluik dalam proses pembentukkan satu kalimat menuju pembentukkan satu kalimat lagu. Puncak lagu seperti notasi grafik berikut ini.
18
32
VolumeSecara 30, 2015 MUDRA Jurnal Seni Budaya visual, melalui notasi grafik dapat dilihat bagaimana bentuk kontur melodi Lagu
Tupai Bagaluik dalam proses pembentukkan satu kalimat lagu seperti notasi grafik berikut ini.
_: (2)
(1)
N Si
u
Do
1
Re
2
Mi
3
Fa
4
Sol
5
0
.
.
. 0
.
.
.
.. 0
.
(3)
.
.
..
.
.
.
.
.
..
.
.
.
.
..
.
..
. .
..
.
..
.
..
.
.
..
0
. 0
.
.
..
. .
.. .
.
. ..
Notasi Grafik 2. Lagu Tupai Bagaluik Notasi Grafik 2. Lagu Tupai Bagaluik
Grafik di atas dapat menjelaskan kepada kita bahwa utuh (Dharsono, 2007: 83). Prinsip kesatuan dalam di atas satu dapatkalimat menjelaskan kepada kita bahwa proses talempong terbentuknya satudibedakan kalimat lagu prosesGrafik terbentuknya lagu terjadi pada penyajian dapat menjadi dua terjadi pada biteh (2) dua. Pengulangan kalimat lagu berikutnya dilakukan dengan yang musikal. biteh (2) dua. Pengulangan kalimat lagu berikutnya aspek, yaitu: (1) aspek fisik, danritme (2) aspek sama. dilakukan dengan ritme yang sama. Dari aspek fisik, berupa rono (warna) bunyi, suaro sipongang (suara berdengung), dan durasi bunyi Baik talempong pacik maupun talempong tradisional secara teknik musikal tidak berbeda, Baik talempong pacik maupun talempong (panjang-pendeknya bunyi) talempong sistem yang membedakannya adalah cita rasa estetis di antara keduanya. Perbedaan rasa estetis itu tradisional secara teknik musikal tidak berbeda, mangkoan bunyi (pelarasan), dan penguasaan disebabkan oleh sistem mangkoan bunyi, dan pasangan talempong yang dirubah menurut yang membedakannya adalah cita rasa estetis teknik. Masing-masing merupakan unsur yang harmoni musik diatonis Barat. Gindo Putiah mengatakan bahwa secara teknik musikal di antara keduanya. Perbedaan rasa estetis itu memerlukan, menanggapi dan menuntut setiap unsur memang tidak berbeda dengan talempong tradisional, tapi di raso indak basobok, artinya disebabkan oleh sistem mangkoan bunyi, dan lainya kesatuan dalam perbedaan. Aspek dirasa tidak ketemu (wawancara dengan Gindo Putiah pada 2 Januari 2014). Tidak ketemu itu musikal pasangan talempong yang dirubah menurut bunyi harmoni pada permainan motif pukulan talempong disebabkan oleh sistem mangkoan tidak lagimerujuk menggunakan raso secara kultural dan musik demikian diatonis juga Barat.dengan Gindopasangan Putiah mengatakan ataua ritme 3 (tiga) pasangan talempong, yaitu talempong sudah dirubah menurut prinsip harmoni dalam bahwabentuk secara teknik musikal memang tidak berbeda talempong Jantan, Paningkah, dan Pangawinan penggalan akor dalam sistem musik diatonis selanjutnya disebut estetika hegemoni. denganAnalisis talempong tradisional, di rasotalempong indak menurut konsep tradisional atau talempong Anak, bentuk estetis daritapi penyajain tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. basobok, artinya dirasa tidak ketemu (wawancara talempong Dasar, dan taempong Paningkah secara dengan Gindo Kesatuan Putiah pada 2 Januari 2014). Tidak akademis. Baik dari aspek fisik maupun musikal, 1. Prinsip Utuh ketemuPrinsip itu disebabkan oleh sistem mangkoan bunyi dibangun dari unsur-unsur sesuai dengan kesatuan utuh dalam penyajian talempongkeduanya dimaksudkan keutuhan dari unsur-unsur tidak lagi menggunakan secara kultural danseni. Dharsono ciri khasnya masing-masing. pendukung sebagairaso suatu bentuk karya mengatakan bahwa Berhasil kesatuan tidaknya merupakan efek yang dicapai dalam suatu susunan pencapaian atau komposisi di antara hubungan unsurpenyajian demikian juga dengan pasangan talempong sudah bentuk estetik dalam pendukung karya, harmoni sehingga dalam keseluruhan tanggapan secara utuh berbagai dirubah menurut prinsip bentuk menampilkan talempongkesan ditandai oleh menyatunya (Dharsono, Prinsipmusik kesatuan dalam penyajian dapat dibedakan menjadi penggalan akor 2007: dalam83). sistem diatonis unsur talempong menciptakan kesatuan, baik fisik maupun dua aspek, yaitu: (1) aspek fisik, dan (2) aspek musikal. Nilai Dari talempong aspek fisik, berupa rono selanjutnya disebut estetika hegemoni. Analisis sebagai suatu karya seni suaro sipongang (suara berdengung), durasi bunyipenyajian (panjang-pendeknya bentuk(warna) estetis bunyi, dari penyajain talempong tersebut ataudan dalam bentuk talempong sebagai dapat dijelaskan sebagai berikut. keseluruhan tergantung dari hubungan timbal balik dari unsur-unsur yang membentuknya. 19 1. Prinsip kesatuan utuh Prinsip kesatuan utuh dalam penyajian talempong 2. Prinsip tema dimaksudkan keutuhan dari unsur-unsur pendukung Penyajian talempong renjeang anam salabuhan sebagai suatu bentuk karya seni. Dharsono sebagai karya seni tetap memiliki sebuah tema. mengatakan bahwa kesatuan merupakan efek yang Hajizar mengatakan bahwa tema dalam penyajian dicapai dalam suatu susunan atau komposisi di talempong renjeang merujuk pada motif pukulan antara hubungan unsur pendukung karya, sehingga talempong Jantan. Talempong Jantan menjadi keseluruhan menampilkan kesan tanggapan secara pemusatan nilai dari keseluruhan talempong 33
Andar Indra Sastra (Estetika Hegemoni Talempong Pacik di Sumatra Barat)
sebagai karya seni. Tema itu menjadi kunci dan mengiring imajinasi bagi dua penyaji berikutnya. Pemusatan nilai secara musikal mampu mengiring imajinasi untuk pemain talempong Paningkah dan Pangawinan untuk melakukan tugas, fungsi dan kewenangannya (wawancara dengan Hajizar pada 24 Oktober 2013). Secara keseluruhan, prinsip tema juga menjadi dasar penilaian untuk keutuhan penyajian talempong. Tema menjadi titik sentral bagai penghargaan dan pemahaman penikmat dan pengamat pernyajian talempong. Tema-tema yang ada dalam penyajian talempong terkait langsung dengan kisah cerita dari setiap guguah talempong yang dimainkan. 3. Prinsip variasi menurut tema Prinsip variasi menurut tema disempurnakan selama penyajian talempong berlangsung agar tidak menimbulkan kebosanan. Secara musikal penyempurnaan dilakukan melalui teknik improvisasi dan secara tradisional mereka menyebutnya galuik (variasi). Jufri mengatakan bahwa galuik dapat memberikan pelbagai variasi – penonjolan – motif pukulan menurut tema. Variasi tidak hanya berfungsi untuk menjadikan penyajian lebih dinamis dan menarik, lebih dari itu peran yang dilakukannya berfungsi untuk memberi kepastian terhadap keutuhan tema (wawancara dengan Jufri pada 2 Oktober 2013). Djelantik mengatakan bahwa penonjolan dapat dicapai dengan perubahan ritme [motif pukulan]. Perbuatan yang sengaja ini membuat kejutan, dan pada umunya kejutan itu menarik perhatian (Djelantik, 1990: 41). Variasi menurut tema galuik, merupakan penonjolanpenonjolan melalui perubahan motif pukulan yang dilakukan pemain talempong Pangawinan. Prinsip variasi menurut tema, secara musikal dapat menjadi indikator untuk mengkategorikan penyajian talempong batalun atau malacak batang. Malacak batang masuk pada kategori penyajian talempong yang tidak mencapai kualitas estetik secara musikal. 4. Prinsip keseimbangan Prinisp keseimbangan adalah kesamaan dari unsurunsur yang berlawanan atau bertentangan. Dalam penyajian talempong walapun unsur-unsurnya tampak bertetangan tetapi sesungguhnya saling memerlukan, karena bersama-sama menciptakan suatu kebulatan (Gie, 1983: 47). Kesamaan memberi 34
MUDRA Jurnal Seni Budaya
penekanan adanya kesetaraan dalam realitas yang berbeda. Realitas yang berbeda dalam talempong renjeang anam salabuhan merupakan bagian dari sistem musikal yang dibangun 3 (tiga) pasangan talempong. Secara musikal, ketiganya sengaja dipertentangkan guna membangun keutuhan melodi. Kesamaan nilai-nilai yang bertentangan dalam penyajian talempong terdapatlah keseimbangan secara estetis yang dapat menimbulkan efek menyenangkan secara tradisional disebut batalun. 5. Prinsip perkembangan Prinsip perkembangan dimaksudkan bahwa proses bagian awal menentukan bagian-bagian selanjutnya dan bersama menciptakan suatu makna yang menyeluruh. Bagian awal dimulai dari motif pukulan talempong Jantan atau talempong Anak yang berperan meletakkan kerangka dasar melodi sesuai dengan tafsir penyaji pada tema. Hajizar mengatakan bahwa kerangka dasar melodi melalui motif pukulan talempong Jantan dapat mengarahkan imajinasi pemain talempong Paningkah dan pemain talempong Pangawinan dalam menentukan motif pukulan mereka masing-masing (wawancara dengan Hajizar pada 24 Oktober 2013). Ketiganya merupakan sebuah tindakan musikal yang dilandasi oleh hubungan sebab dan akibat atau berjalin berkelindan dalam membentuk makna keseluruhan untuk mencapai kepuasan estetis. Kepuasan estetis dalam penyajian talempong muncul dalam dua rasa yang berbeda, yaitu rasa estetis yang dihasilkan oleh produk tradisi, dan rasa estetis dengan sentuhan eststika hegemoni. 6. Prinsip tata jenjang Kalau prinsip variasi menurut tema, prinsip keseimbangan dan perkembangan mendukung prinsip utama kesatuan utuh, maka prinsip terakhir disebut prinsip tata jenjang. Hajizar mengatan bahwa secara musikal prinsip tata jenjang (tata janjang) merupakan penyusunan alur penyajian talempong yang dimulai dari talempong Jantan, Paningkah dan Pangawinan. Bajanjang adalah tingkatan musikal ketika talempong dimainkan sesuai dengan tingkatannya (wawancara dengan Hajizar pada 24 Oktober 2013). Artinya dalam penyajian talempong dikenal prinsip janjang dan bajanjang. Talempong Jantan atau talempong Anak dikatakan sebagai janjang pertama, talempong Paningkah janjang kedua dan talempong Pangawinan sebagai janjang
Volume 30, 2015
ketiga inilah yang dimaksud bajanjang secara musikal. Bajanjang secara musikal menggambarkan adanya hirarki (tingkatan) musikal dalam upaya membentuk melodi talempong. Melodi talempong dibangun sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan setiap pasangan talempong. Secara prisip musikal, para akademisi mampu menyajikan talempong dengan baik, namun mereka belum memahami apa dan bagaimana tugas, fungsi, dan kewenangan ketika talempong dimainkan. Oleh sebab itu, galuik atau variasi yang dapat memunculkan kesan bagaluik tidak ditemukan dalam penyajian talempong pacik. Secara estetis, bentuk penyajian talempong pacik dapat memenuhi kualifikasi bentuk estetis, tentunya dengan standar rasa berbeda. Rasa berbeda disebakan oleh sistem musikal talempong tradisi dengan talempong pacik hadir dalam relitas yang berbeda pula. SIMPULAN Estetika dapat diartikan sebagai persepsi indera (sence of perception) serta berbagai macam perasaan yang ditimbulkannya dari obyek seni yang diamati, seperti dalam kasus talempong pacik. Konsep talempong pacik di Sumatra Barat muncul dari kalangan akademisi beriringan dengan berdirinya Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Padangpanjang tahun 1966. Melalui para tokoh yang mempunyai latar belakang pendidikan musik Barat, talepong pacik resmi menjadi bagian dari mata kuliah yang harus dipelajari mahasiswa pada waktu itu masih bernama Jurusan Minangkabau. Melalui para alumni, konsep talempong pacik mulai diperkenalkan melalu tingkatan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederjat menyebar ke seluruh daerah di Sumatra Barat. Tanpa disadari, konsep talempong pacik telah menggunakan estetika hegemoni dengan ideoligi musik yang dianutnya bertentangan dengan konsep talempong tradisional di Minangkabau. Pertentangan itu disebabkan beberapa hal, yaitu 1) sistem mangkoan bunyi; 2) konsep pasangan talempong dan; 3) penggarapan musikal. Sistem mangkoan bunyi talempong pacik menggunakan prinsip nada dasar, dan tangga nadanya mengkuti
MUDRA Jurnal Seni Budaya
sistem sol mi sa si, dan talempong kelompok tradisional berpedoman pada bunyi pokok, tanpa mempersoalkan apa nada dasarnya. Konsep pasangan talempong pacik mengikuti sistem akor pada ilmu harmoni musik diatonis, sementara itu, pasangan talempong tardisional memilki rumus tersendiri. Demikian pula penggarapan musikal, pemain talempong pacik kurang memperhatikan azas tema, tidak mengenal fungsi dan kewenangan masing-masing pemain dalam pengarapan melodi talempong. Mereka tidak mampu menghadirkan galuik (variasi) yang dapat memberikan kesan bagaluik seperti dalam penyajian talempong tradisi. Sebagai ilustrasi, penyajian talempong traidisi dapat dilihat gambar pada halaman berikut. DAFTAR RUJUKAN Adam, Boestanuel Arifin. (1986/1987), Talempong Musik Tradisional Minangkabau, (Laporan Penelitian). ASKI Padangpanjang, Padangpanjang. Ali, Matius. (2011), Estetika Pengantar Filsafat Seni, Sanggar Luxor, Yogyakarta. Backus, John. (1977), The Acoustical Fondation of Music, W.W Norton & Company Inc., Cambridge New York. Darsono (Soni Kartika). (2007), Estetika, Rekayasa Sain, Bandung. Djelantik, A.A.A., (1990), Pengantar Dasar Ilmu Estetika Instrumental, Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar, Denpasar. Fiske, John. (2011), Memahami Budaya Populer, Jalsutra, Yogyakarta. Hanefi, dkk.( 2004), Talempong Minangkabau Bahan Ajar Musik dan Tari, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional Universitas Pendidikan Indonesia (P4ST UPI), Bandung. Hardjana, Suka. (1983), Estetika Musik, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Hastanto, Sri. (2012), Ngeng & Reng: Persandingan Sistem Pelarasan Gamelan Ageng Jawa dan Gong Kebyar Bali, ISI Surakarta Press, Surakarta. 35
Andar Indra Sastra (Estetika Hegemoni Talempong Pacik di Sumatra Barat)
Sedyawati, Edy. (1981), Perkembangan Seni Pertunjukan Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta. Sugono, Dendy. (2008), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Suparno, T. Slamet. (2008), Seni sebagai Produk Masyarakat Ataukah Masyarakat sebagai Produk Seni, Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Sosiologi Seni, Institut Seni Indonesia Surakarta, Surakarta.
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Said, Edward W. (2010), Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur Sebagai Subjek, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Sztompka, Piotr. (2008), Sosiologi Perubahan Sosial, terj. Alimandan, Prenada Media Group, Jakarta. The Liang Gie. (1983), Garis Estetik -Filsafat Keindahan, Super Sukses, Yogyakarta.
Suyono, Haryono. (1995), Kamus Antropologi, Akademika Presindo, Jakarta.
Nara Sumber: Dt. Sampono (58 th). Wiraswasta, Tuo (tetua) telempong Nagari Pitalah Bungo Tanjuang Kabupaten Tanah Data (Sumatra Barat).
Pramono, Kartini. (2009), Horizon Estetika, Kahfi Offset Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Hajizar, (56 th). Magister Seni, Pengamat seni, Pengajar Program Seni Karawitan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang.
Prier Sj, Karl-Edmund. (2009), Kamus Musik, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta.
Peterman, (48 th), Ahli Madia, Pengkarya, Pengamat seni, Alumni ASKI Padangpanjang.
36
Volume 30, 2015
Jurnal Seni Budaya VolumeMUDRA 30, Nomor 1, Pebruari 2015 p 37 - 46
ISSN 0854-3461
Menguak Ideologi di Balik Kehadiran Mabarung Seni Pertunjukan di Kabupaten Buleleng I NYOMAN CHAYA Jurusan Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Surakarta, Indonesia. E-mail:
[email protected]
Mabarung seni pertunjukan adalah warisan budaya masyarakat Bali Utara yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap perkembangan seni budaya Bali. Ajang mabarung seni pertunjukan memberikan peluang bagi seniman dalam mengembangkan potensi kreativitasnya. Representasi budaya, yang teraktualisasi ke dalam mabarung seni pertunjukan, muncul dari ide atau gagasan masyarakat arus bawah (grass-root) Buleleng. Ini berarti bahwa kehadiran mabarung seni pertunjukan dilandasi oleh sistem nilai kehidupan masyarakat setempat yang menyangkut persoalan ideologi. Fenomena yang terungkap ke dalam mabarung seni pertunjukan mencerminkan suatu pencitraan diri melalui tindakan majengah-jengahan, tampil beda, dan ungkapan sifat ajum (kebanggaan diri). Sehubungan dengan itu, dapat diidentifikasi bahwa representasi budaya yang melahirkan tradisi mabarung seni pertunjukan di Kabupaten Buleleng dilandasi oleh ideologi kebebasan dan ideologi eksistensi diri.
Reveals the Ideology Behind the Presence of Mabarung Performance Arts Buleleng Regency Mabarung performing arts is a cultural heritage of North Bali which has enormous influence on the development of art culture. The mabarung performing arts event provides opportunities for artists to develop creative potential. A cultural representation, which is actualized into mabarung performing arts, comes from the idea of the grass-root of Buleleng citizen. This means that the presence of the mabarung performing arts system is based on the value of lives of the local people who issue the ideology. The phenomenon which is revealed in a mabarung performing art reflects a self-image through action majengahjengahan, look different, and expression of the ajum nature (pride). Accordingly, it can be identified that cultural representations of mabarung performing arts tradition spawned in Buleleng regency is based on the ideology of freedom and the ideology of self-existence. Keywords: Mabarung, performing art, and ideology.
Buleleng sebagai wilayah etnis Bali Utara memiliki identitas budaya yang telah membumi menjadi bagian dari kearifan lokal (local genious) sekaligus menjadi kebanggaan bagi masyarakat Bali Utara. Dibia (2009: 4) mengatakan bahwa beberapa hal yang patut menjadi kebanggaan budaya masyarakat Bali Utara antara lain dapat dilihat pada keunggulan budaya daerah ini dengan identitasnya yang kuat, kompleksitas nilai dan kearifan lokal (local genius) yang terkandung di dalamnya, dan besarnya kontribusi seni budayanya terhadap perkembangan
budaya Bali, Indonesia, dan bahkan budaya dunia. Identitas tersebut di antaranya tercermin dalam budaya mabarung yang terpresentasikan ke dalam aktivitas mabarung seni pertunjukan. Kegiatan mabarung seni pertunjukan di daerah Bali Utara ditandai oleh peristiwa kesenian yang mempersandingkan dua kelompok (sekaa) Gong Kebyar dengan menampilkan komposisi tabuh baru, yang kemudian dikenal dengan Mabarung Gong Kebyar (MGK). Peristiwa tersebut terjadi pada 37
I Ketut Yasa (Aspek Organologis Grnder Wayang)
tahun 1915 (McPhee, 1966: 328; Goris, tt: 150, Simpen, 1979: 1). Kegiatan ini kemudian tumbuh subur menjadi kegemaran masyarakat Buleleng sehingga mampu membangun sebuah tradisi seni budaya yang berkembang menjadi bagian dari identitas etnis kehidupan masyarakat Bali Utara. Bupati Kepala Daerah Kabupaten Buleleng dengan tegas mengatakan ketika menyampaikan pidatonya pada acara pembukaan “Konferensi dan Festival Internasional Budaya Bali Utara 2009”, bahwa tradisi mabarung dalam kehidupan seni-budaya (MGK) merupakan salah satu ciri khas budaya Bali Utara yang seyogyanya ditempatkan sebagai bagian dari identitas budaya (kearifan lokal) masyarakat daerah Kabupaten Buleleng. Budaya MGK di Buleleng justeru tumbuh dan berkembang menjadi tulang punggung kepopuleran gong kebyar yang menurut sejarah terlahir di daerah ini pada awal abad XX. Tradisi MGK sangat berarti bagi perkembangan seni dan budaya karena kontribusinya dalam melahirkan karya-karya inovatif. Hal ini dijiwai oleh hakikat mabarung, yaitu ajang kehidupan kompetitif (majengah-jengahan) untuk dapat menjadi yang terbaik sehingga tiap-tiap pembarung selalu berusaha mempresentasikan kualitas penampilan secara optimal. Dengan nuansa kompetitifnya yang tinggi, setiap mabarung seni senantiasa menghasilkan hasil penilaian bentuk suatu kemajuan. Oleh karena itu, mabarung mempunyai peran sangat penting dan strategis karena terbukti telah mampu mendorong masyarakat Buleleng untuk menjadi kreatif dan inovatif. Ketika MGK tumbuh segar menjadi tradisi dalam pola penampilan seni pertunjukan, beberapa jenis kesenian yang berkembang di Bali terbawa arus semangat mabarung. Oleh sebab itu, kegiatan kompetisi (mabarung) dalam seni pertunjukan yang semula hanya pada gong kebyar kemudian merebak pada bentuk kompetisi jenis seni pertunjukan lainnya. Namun, di antara peristiwa bebarungan seni yang terjadi di Bali yang paling populer adalah Mabarung Gong Kebyar (MGK). Aktivitas mabarung seni pertunjukan di Buleleng berkembang pesat menjadi bagian dari representasi kehidupan sosial di bidang seni budaya. Dapat dipahami bahwa dalam kegiatan kompetisi selalu 38
MUDRA Jurnal Seni Budaya
muncul semangat untuk dapat lebih unggul dari pada lawan, sehingga selalu pula tumbuh kiatkiat untuk meningkatkan kualitas. Dalam hal ini, kegiatan mabarung seni pertunjukan niscaya memberi peluang kebebasan para seniman dalam mengembangkan potensi kesenimanannya untuk menampilkan karya-karya baru dalam ajang mabarung. Tumbuh-kembangnya tradisi mabarung seni pertunjukan di daerah Buleleng didasari oleh ideide yang muncul dari masyarakat arus bawah (grass-root). Hal ini memberi arti bahwa di balik representasi budaya, yang teraktualisasi ke dalam aktivitas mabarung seni pertunjukan tersebut, dan tercermin suatu ideologi yang tertanam dalam alam pikiran warga masyarakat Bali Utara. Ideologi (ideology) itu sendiri merupakan sistem kepercayaan dan sistem nilai serta representasinya dalam berbagai media dan tindakan sosial yang dianggap wajar melengkapi pencapaian tujuan tertentu. Ideologi adalah segala yang sudah tertanam dalam diri individu sepanjang hidupnya, menjangkau pada seluruh praktik kehidupan, pada tindakan kecil dan besar, pada pikiran awam dan ilmiah, pada percakapan tentang cuaca dan iklim politik suatu negeri (Althusser, 2005: 39-42; Takwin, 2003: 16; Piliang, 2003: 18). Bertitik tolak dari hal-hal tersebut, maka perlu diungkap keberadaan mabarung seni pertunjukan di Kabupaten Buleleng sebagai sebuah representasi seni budaya yang dapat memberikan ciri kearifan lokal (local genious). Lebih mendasar lagi perlu diungkap ideologi yang melandasi lahirnya tradisi mabarung seni pertunjukan di Kabupaten Buleleng. BENTUK MABARUNG SENI PERTUNJUKAN Sejak kelahirannya di daerah Bali Utara kegiatan kompetisi (mabarung) seni mendapat perhatian yang luar biasa dari warga setempat. Kegiatan tersebut terungkap pada suatu peristiwa seni pertunjukan yang menampilkan dua kelompok kesenian (gong kebyar) secara bersanding di dalam satu areal panggung, dan oleh masyarakat Buleleng dikenal dengan sebutan gong-mabarung (pertandingan gamelan).
Volume 30, 2015
Fenomena sosial budaya dalam bentuk-bentuk kegiatan yang bersifat kompetitif sejatinya telah lama berkembang dalam kehidupan masyarakat tradisional di Bali Utara, dan masing-masing memiliki istilah tersendiri. Misalnya: mapalu (pada peristiwa sabung ayam atau tajen, adu jangkrik atau pun perkelahian antar hewan lainnya); mabalap (adu kecepatan); makepung (seperti pesta adu kerbau di Jembrana); mapeksi (adu kebolehan burung gelatik); makorot atau mabandung (adu layang-layang); mamed-medan (tarik tambang); dan lain-lainnya. Mabarung seni pertunjukan mulai populer di masyarakat Buleleng sejak munculnya gong kebyar yang kemudian melahirkan Mabarung Gong Kebyar (MGK). Pola kompetisi (mabarung) yang dilahirkan melalui MGK inilah mengawali tumbuhkembangnya aktivitas mabarung seni pertunjukan di Kabupaten Buleleng. Sebagai wilayah aktivitas yang terbingkai dalam ranah kehidupan seni, permasalahan mabarung seni pertunjukan menerpa ke ranah dunia artistik-estetika. Ini berarti bahwa mabarung seni pertunjukan berada dalam wilayah pemaknaan dunia kesenian, yang melibatkan persoalan garap, dan serta sifat dari suatu pertunjukan (kesenian). Panorama pertunjukan dibagi menjadi dua golongan besar. Pertama, perilaku manusia (performative behaviior) yang disebut sebagai budaya pertunjukan. Kedua, pertunjukan budaya (cultural performance) yang mencakup antara lain pertunjukan seni, olah raga, ritual, festival, dan berbagai bentuk keramaian lainnya (Murgiyanto, 1996: 155-167). Dalam konteks pembahasan di sini lebih mengarah pada golongan yang ke dua. Sebab, ekspresi kesenian hadir melalui proses penciptaan, yang berpangkal dari pengalaman yang bersumber pada persepsi, baik persepsi alamiah-faktual lewat daya indera dan daya khayali maupun persepsi khayali yang semata-mata menggerakkan daya angan-angan (Hardjana, 1983: 14). Mabarung seni pertunjukan sebagai ungkapan seni budaya berdiri sebagai simbol ekspresi. Hal ini mengacu pada teori tentang kebudayaan sebagai sistem simbol, yang oleh Talcott Parson dikemukakan bahwa, kebudayaan sebagai suatu sistem simbol masing-masing memiliki fungsi tersendiri bagi manusia-manusia yang bersangkutan dalam tindakan antar mereka. Keempat perangkat simbol tersebut yaitu 1) simbol-simbol konstitutif
MUDRA Jurnal Seni Budaya
yang terbentuk sebagai kepercayaan-kepercayaan, dan biasanya merupakan inti dari agama; 2) simbolsimbol kognitif yang membentuk ilmu pengetahuan; 3) simbol-simbol penilaian moral yang membentuk nilai-nilai dan aturan-aturan; dan 4) simbol-simbol pengungkapan perasaan atau simbol-simbol ekspresi (Bachtiar dalam Alfian, 1995: 66). Dalam kaitan ini, filsuf Susanne K. Langer mengidentifikasi simbol seni sebagai sebuah simbol yang hidup (living-form). Karakteristik nilai seni terletak pada sifat representasionalnya yang mampu menghadirkan sebuah pesan. Menurutnya, nilai seni bukanlah terletak pada masalah arti (meaning) untuk dimengerti, tetapi kehadiran sebuah pesan (import) untuk diresapkan yang terkait dengan nilai-nilai kehidupan membudaya (Sastrapratedja, 1982: 77) Titik tolak berkesenian adalah ekspresi kebudayaan manusia sangat terkait dengan “pandangan jagat/ dunia” orang-orang dari kebudayaan masyarakat tersebut. Suatu pandangan tentang dunia tempat orang-orang mengartikan hidup, mengambil nilai, dan mencari dasar untuk terus dapat hidup mencakup pada endapan-endapan mengenai apa yang indah, apa yang baik, apa yang benar. Endapanendapan ini adalah nilai-nilai. Dengan demikian ungkapan seni menyentuh lapisan budaya yang paling dalam (ethico-mythical nucleus), yakni suatu ungkapan budaya yang menggarap tentang nilainilai kehidupan (Kleden, 1998: 5; Sutrisno, 1993: 6; Triguna, 1993: xv). Parker (tt: 22) mengatakan: “kesenian adalah disengaja, dicipta, berhubung an dengan tradisi dan kebudayaan; ungkapan seni dibuat dan dinilai pada dirinya sendiri, jadi tidak untuk keperluan lain”.
Mabarung seni pertunjukan, seperti yang terjadi dalam MGK, dapat dipastikan selalu menghadirkan garapan-garapan baru, terutama dalam bidang tabuh-tabuh kakebyaran. Mereka (para seniman kreatif) akan merasa tidak puas apabila dalam suatu mabarung tidak menyajikan garapan baru. Mereka selalu ingin tampil beda dengan apa yang telah ada sebelumnya. Terkait dengan hal ini, Putu Sumiasa (77 tahun), seniman (pengendang) kawakan yang sarat dengan pengalaman MGK mengatakan:
“Pokokne asal mekire mabarung, pasti ngae gending anyar apang sing ada ane nawang tur nengkejutin”. Pokoknya setiap akan mabarung, pasti membuat gending yang baru supaya tidak ada yang menduga
39
I Ketut Yasa (Aspek Organologis Grnder Wayang)
dan mampu membikin kejutan (Wawancara dengan Putu Sumiasa pada 12 Nopember 2008).
Hal ini berarti bahwa kebebasan serta kebaruan (kreativitas seni) merupakan hal yang paling dikedepankan ketika para seniman menampilkan garapan seni mereka dalam MGK. Hal ini sesungguhnya merupakan gambaran kehidupan berkesenian yang sesuai dengan sifat kesenian itu sendiri, yaitu sebuah perilaku budaya yang mengandung unsur-unsur kreatif, subyektif, dan inovatif. Pada peristiwa MGK terungkap ciri khas penampilan tersendiri yang menyertai kemantapan artistik-estetika, sehingga penyajiannya selalu menjadi sebuah tontonan yang sangat memikat. Hal ini sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan penampilan bentuk seni pertunjukan gong kebyar pada umumnya yang hadir secara tunggal. Dengan pola mabarung juga dapat mendorong kemajuan di bidang seni budaya, khususnya perkembangan seni gaya kebyar yang kemudian mampu melahirkan genre tari-tari kakebyaran atau tari-tari lepas (Chaya, 1990: 133-134).
MUDRA Jurnal Seni Budaya
tesebut menunjuk pada suatu pencitraan diri, yang terungkap dalam tindakan majengah-jengahan, tampil beda, dan ungkapan sifat ajum (kebanggaan diri). Majengah-jengahan pada dasarnya adalah semangat untuk bersaing (competitive pride). Sifat jengah yang melekat pada orang Bali pada umumnya selalu menjiwai tindakan-tindakan dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan. Jengah mengejawantah ke dalam fenomena mabarung ketika para pembarung berusaha menunjukkan survivalitas serta eksistensi diri. Biasanya, kelompok pembarung akan melakukan pembenahan (meningkatkan diri) apabila mereka merasa sajiannya kurang mendapatkan sambutan meriah dari penonton, atau sebaliknya merasa sajian yang disuguhkan oleh pihak lawan jauh lebih memukau penonton.
Selain menghadirkan pola-pola garapan kreasi baru, penampilan MGK disertai pula oleh ulah para pembarung yang mampu mengundang daya tarik tersendiri. Sajian MGK pada masa lalu terkadang diselingi pula dengan sajian di luar konteks kreativitas seni, berupa penampilan akrobatik atau atraksi permainan sulap. Misalnya, di sela-sela jalannya sajian MGK, satu sekaa membubuhinya dengan mendemonstrasikan kehebatan seseorang sedang melakukan adegan mengerikan, dengan menusuk pipi kirinya hingga menembus pipi kanannya dengan menggunakan kawat. Ada juga yang mendemonstrasikan adegan menjahit mulut dengan jarum karung (Sudyatmaka, dalam Dibia, 2008: 75).
Sikap tampil beda terungkap melalui penciptaan karya-karya baru dan juga dalam ekspresi penyajian MGK. Penciptaan menunjuk pada tindakan kreativitas seniman (pencipta) dalam menghasilkan karya-karya seni baru, yang tampil pada setiap kegiatan MGK. Kehadiran seniman pencipta dalam fenomena mabarung seni pertunjukan, juga dalam kehidupan kesenian pada umumnya, memiliki peran sangat sentral. Sebab, dari tangan-tangan merekalah lahir berbagai karya kreatif-inovatif yang mengakibatkan mabarung menjadi ajang kehidupan yang sangat dramatis dalam dinamika kemajuan seni budaya. Sikap tampil beda ini terkait dengan identifikasi Balyson (1934) yang mengatakan orang Buleleng memiliki karakter “cepat bosan” sehingga otomatis berimplikasi pada upayaupaya pembaharuan dalam kekaryaan seni. Kiat pembaharuan ini selalu melekat pada sikap anggota sekaa gong yang nota-bene ingin menunjukkan eksistensi diri mereka. Oleh karena itu, dalam setiap peristiwa mabarung pasti muncul garapan baru.
Hal yang patut digarisbawahi dalam bentuk ma barung seni pertunjukan (MGK) adalah terbukanya peluang kebebasan (kreativitas) para seniman ketika mereka mengekpresikan kemampuannya, baik dalam wujud ekspresi artistik maupun non-artistik. Semangat mabarung (kompetitif) menumbuhkan kiat-kiat untuk tampil terbaik, sedapat mungkin mencapai tingkat kemasyuran tertentu. Kiat-kiat
Ajum adalah rasa bangga yang menjelma sebagai ungkapan aktualisasi diri melalui tindakan-tindakan mempertunjukkan (pamer) potensi pribadi atau kelompok untuk dapat membangun rasa percaya diri. Sifat ajum yang terungkap dalam peristiwa MGK pada dasarnya dijiwai oleh niat positif. Artinya, tindakan mempertunjukkan diri tersebut dilakukan semata-mata untuk memperoleh kepuasan
40
Volume 30, 2015
diri tanpa harus mengorbankan pihak lain atau lawan. Sifat ajum biasanya muncul dalam tingkahpolah para pembarung ketika melakukan aksi dalam penampilannya untuk dapat menarik penonton, misalnya yang dilakukan oleh seorang penabuh terompong seperti terlihat dalam gambar di bawah ini.
Gambar 1. Penabuh sedang mendemonstrasikan permainan terompong (Sumber: Dokumen Nyoman Chaya, 2008).
Bahkan kadang kala muncul pula atraksi yang “anehaneh”, misalnya seorang pengendang memainkan kendangnya sambil melambai-lambaikan tangan seakan menari-nari dan berputar-putar dalam posisi duduk memangku kendang. Ada juga yang sambil bediri mendemonstrasikan permainan kendang yang dipegang dengan cara menggigitnya (biasanya digantungkan di leher). Mabarung sebagai Representasi Ideologi Masyarakat Buleleng Lahirnya tradisi mabarung dalam seni pertunjukan di Buleleng merupakan sebuah representasi budaya yang berakar pada suatu ideologi yang tertanam dalam masyarakat daerah “Den Bukit”. (Piliang, 2003: 21) memberikan pengertian tentang representasi (representation) sebagai “suatu tindakan menghadirkan atau mempresentasikan sesuatu lewat sesuatu yang lain di luar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol”. Sebagai ajang kompetisi, aktivitas mabarung senantiasa menghadirkan penampilan yang mencerminkan semangat kreatif-inovatif. Melalui ajang mabarung terbangun motivasi dan kiat-kiat yang berorientasi pada pemaknaan dari perilaku kehidupan masyarakat yang kompetitif
MUDRA Jurnal Seni Budaya
dan dinamis. Dengan demikian, tumbuhnya tradisi mabarung dalam seni pertunjukan di Kabupaten Buleleng mengisyaratkan hadirnya sebuah konsep dari suatu representasi budaya dalam bentuk percaturan makna-makna kehidupan, yang pada gilirannya memberikan karakteristik pada suatu pandangan hidup (world-view) dalam bingkai lokus budaya etnis. Hal yang disebut terakhir menggiring persoalan ke arah pemahaman terhadap ideologi mabarung seni pertunjukan di Kabupaten Buleleng. Ideologi adalah keberadaan suatu “ide” yang menjadi suatu keyakinan individu atau kelompok sosial teraktualisasi dalam rangka pencapaian tujuan tertentu. “Secara umum dapat dikatakan bahwa ideologi adalah “ide” yang dipegang bersama oleh kelompok sosial dalam kehidupan sehari-harinya” (Thwaites, 2009: 234). Ia merupakan sistem kepercayaan dan sistem nilai serta representasinya dalam berbagai media dan tindakan sosial (Piliang, 2003: 18). Ini berarti bahwa ideologi sangat lekat dengan pandangan hidup seseorang atau kelompok sosial yang terbingkai dalam sistem nilai budaya. Nilai budaya melibatkan keyakinan umum tentang cara bertingkah laku yang diinginkan dan yang tidak diinginkan serta tujuan atau keadaan akhir yang diinginkan atau yang tidak diinginkan. Nilai merupakan suatu keyakinan yang relatif stabil tentang model-model perilaku spesifik yang diinginkan dan keadaan akhir eksistensi yang lebih diinginkan secara pribadi atau sosial dari pada model perilaku atau keadaan akhir eksistensi yang berlawanan atau sebaliknya (Lonner dan Malpass, 1994: 49). Sehubungan dengan hal tersebut, maka untuk mengungkap permasalahan ideologi yang melandasi kehadiran fenomena mabarung seni pertunjukan di Kabupaten Buleleng diperlukan suatu penafsiran dengan mendudukkan mabarung sebagai sebuah teks budaya. Artinya, penjelasan terhadap fenomena mabarung didasarkan pada kemampuan dan tindakan interpretasi terhadap suatu gejala kehidupan sosial melalui pendekatan budaya, di antaranya adalah dengan memperhatikan nilai, simbol, saling ketergantungan antara pola-pola budaya dan kepribadian individual. Dalam hal ini fenomena mabarung seni pertunjukan dipandang sebagai sebuah simbol dari suatu kebudayaan. 41
I Ketut Yasa (Aspek Organologis Grnder Wayang)
Pendekatan ini mengacu pada teori Talcott Parson yang menyebutkan kebudayaan sebagai suatu sistem simbol. Tentu hal ini tidak lepas dari konteks, kondisi, dan situasi jiwa zaman yang mengitarinya, yang dalam perkembangannya pasti akan terbawa oleh dinamika sosiokultural dalam bingkai kontinuitas serta kesangupannya untuk berubah (Soedjatmoko, 1983: 60). Pola-pola kelakuan dalam suatu masyarakat merupakan aktualisasi dari nilainilai kehidupan membudaya yang berada dalam suatu sistem simbol yang mempunyai arti bagi orang-orang yang menggunakannya. Menurut Parson, sebagaimana diungkapkan Bachtiar (1995), ada empat perangkat simbol kebudayaan yang masing-masing memiliki fungsi tersendiri bagi manusia-manusia yang bersangkutan dalam tindakan antar mereka. Keempat perangkat simbol tersebut yaitu 1) simbol-simbol konstitutif yang terbentuk sebagai kepercayaan-kepercayaan dan biasanya merupakan inti dari agama; 2) simbolsimbol kognitif yang membentuk ilmu pengetahuan; 3) simbol-simbol penilaian moral yang membentuk nilai-nilai dan aturan-aturan; dan 4) simbol-simbol pengungkapan perasaan atau simbol-simbol ekspresi (Bachtiar dalam Alfian, 1995: 66). Dalam kaitan ini, mabarung seni pertunjukan termasuk dalam kategori simbol ekspresi. Sebagai produk budaya, aktivitas mabarung hadir sebagai bagian dari perwujudan suatu kebudayaan, yang menyentuh di antara wilayah tiga ranah kebudayaan meliputi fakta mental (mantifact), fakta sosial (sociofact), dan akhirnya pada tataran benda-benda yang dihasilkan manusia (artifact). Kebudayaan mewujud ke dalam 1) kompleksitas ideide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya; 2) kompleksitas aktivitas kelakuan berpola manusia dalam masyarakat; dan 3) bendabenda hasil karya manusia (Koentjaraningrat, 1993: 2). Terkait dengan hal ini, Kleden (1998: 5) memberikan gambaran tentang kebudayaan dengan menyitir pikiran Paul Ricoeur, yang menjelaskan tiga lapis pengertian kebudayaan seperti berikut. Pada lapis pertama, kebudayaan dapat dipandang sebagai kumpulan benda-benda yang dihasilkan oleh sekelompok orang yang hidup bersama dalam suatu masyarakat: rumah, sawah, tenunan, puri, perahu, dan sebagainya. Pada lapisan yang lebih dalam kita menemukan sistem nilai, lambang-lambang, pola
42
MUDRA Jurnal Seni Budaya
tingkah laku, tradisi, pranata sosial yang mengatur cara hidup suatu masyarakat. Pada lapisan yang terdalam setiap kebudayaan memiliki apa yang disebut ‘ethico-mythical nucleus’ yaitu kompleksitas nilai-nilai yang paling asasi yang menjadi ‘central point of reference’ bagi orang-orang yang hidup dalam satu lingkup kebudayaan dan serentak menjadi sumber inspirasi bagi kreativitasnya .
Hal itu berarti bahwa inti atau sentral dari segala ekspresi dalam kehidupan membudaya pada hakikatnya dijiwai oleh sistem nilai budaya yang berlaku dalam ruang dan waktu. Sebagai suatu landasan dalam kehidupan sosiokultural, sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat, yaitu mengenai hal-hal yang dianggap amat bernilai dalam hidup manusia. Dengan demikian, mabarung seni pertunjukan, bagaimanapun juga adalah perwujudan dari kebudayaan masyarakat Bali Utara yang berpangkal dari lapisan terdalam (ethico-mythical nucleus), yakni tatanan nilai yang tertanam dalam kehidupan budaya setempat. Tradisi mabarung dalam seni pertunjukan merupakan sebuah produk seni budaya yang tumbuh seiring dengan semangat jiwa zaman dalam suatu tatanan nilai-nilai yang mengitarinya. Sedyawati (2007) mengatakan “di antara semua unsur kebudayaan, kesenian paling menonjol dalam memberikan kesan serentak mengenai ciri khas, tata nilai, dan selera suatu bangsa yang memiliki kebudayaan yang bersangkutan”, sehingga kesenian merupakan cermin budaya. Oleh karena itu, representasi budaya dalam bentuk aktivitas mabarung seni pertunjukan yang lahir di daerah Kabupaten Buleleng, niscaya merupakan ungkapan nilai-nilai yang berlaku pada situasi dan kondisi sosial-budaya setempat yang notabene memberikan pengaruh terhadap intensitas gagasan ideologis yang terbangun dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam kaitan ini, Pitirim Sorokin (dalam Johnson, 1986: 96-02) menyatakan bahwa kunci untuk memahami kenyataan sosial-budaya, di antaranya adalah dengan memperhatikan nilai, simbol, saling ketergantungan antara pola-pola budaya dengan kepribadian individual, serta mengidentifikasi tema-tema yang mendasar yang tercermin dalam pelbagai bidang kreativitas budaya dan tindakan manusia lainnya. Sebagai simbol ekspresi budaya masyarakat Buleleng secara simultan mabarung seni
memberikan pengaruh terhadap intensitas gagasan ideologis yang terbangun dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam kaitan ini, Pitirim Sorokin (dalam Johnson, 1986: 96-02) menyatakan bahwa kunci Volume 30, 2015 memahami kenyataan sosial-budaya, di antaranya adalah dengan memperhatikan MUDRA Jurnal Seni untuk nilai,Budaya simbol, saling ketergantungan antara pola-pola budaya dengan kepribadian individual, serta mengidentifikasi tema-tema yang mendasar yang tercermin dalam pelbagai bidang kreativitas budaya dan tindakan manusia lainnya yang penting. pertunjukan terkait dengan simbol-simbol budaya pentingnya penempatan ideologi dalam konteks
lainnya di bawah payung tatanan nilai yang tertanam sosial historisnya, sebab “studi ideologi tidak dapat simbol ekspresi budaya masyarakat Buleleng secara seni pertunjukan melalui Sebagai proses pembentukan suatu kebudayaan. dipisahkan darisimultan analisismabarung sosial historis terhadap terkait dengan simbol-simbol budaya lainnya di bawah payung tatanan nilai yang tertanam melalui proses Proses ini otomatis membangun iklim kehidupan bentuk-bentuk dominasi yang terangkum dalam pembentukan suatu kebudayaan. Proses ini otomatis membangun iklim kehidupan yang kemudian menjadi yang kemudian menjadi referensi terciptanya makna” (Thompson, 2007: 207). Upaya identifikasi referensi terciptanya berbagai produk budaya dalam bentuk-bentuk simbolis, baik dalam tataran konstitutif, berbagai produk budaya dalam bentuk-bentuk terhadap landasan ideologi yang menjelma ke kognitif, evaluatif, maupun dalam bentuk simbol ekspresi, seperti yang teraktualisasikan dalam aktivitas simbolis,mabarung baik dalamseni tataran konstitutif, kognitif, aktivitaspenempatan mabarung ideologi seni pertunjukan dapat sosialpertunjukan. Dengan demikian,dalam pentingnya dalam konteks evaluatif,historisnya, maupun dalam digambarkan dalamsosio model sepertiterhadap tersaji dalam sebabbentuk “studi simbol ideologiekspresi, tidak dapat dipisahkan dari ke analisis historis bentuk-bentuk seperti yang teraktualisasikan dalam aktivitas skema berikut ini. dominasi yang terangkum dalam makna” (Thompson, 2007: 207). Upaya identifikasi terhadap landasan mabarungideologi seni pertunjukan. Dengan demikian, yang menjelma ke dalam aktivitas mabarung seni pertunjukan dapat digambarkan ke dalam model seperti tersaji dalam skema berikut ini. Proses pembentukan kebudayaan
aan
Tatanan nilai budaya dalam masyarakat Buleleng
Budaya masyarakat Buleleng dalam sistem simbol
Ideologi mabarung seni pertunjukan
Mabarung seni pertunjukan
Skema Komponenbudaya budayadalam dalamproses prosesrepresentasi representasiideologi ideologimasyarakat masyarakatKabupaten KabupatenBuleleng Bulelengke ke dalam mabarung Skema 1.1.Komponen seni pertunjukan. dalam mabarung seni pertunjukan.
Analisis terhadap rangkaian fenomena yang melatarbelakangi kehadiran budaya mabarung seni pertunjukan Analisis terhadap rangkaian fenomena yang bahwa tekanan politik penjajahan kolonial tentu di Kabupaten Buleleng dilakukan melalui tindakan interpretasi dengan metode analisa ideologi sebagaimana melatarbelakangi kehadiran budaya semangat masyarakat Buleleng dikemukakan Thompson (2007:mabarung 207-208), yaknimembangkitkan tiga fase dasar analisis ideologi, meliputi: analisis sosialseni pertunjukan di Kabupaten Buleleng dilakukan untuk mencita-citakan suatu kebebasan. historis, analisis wacana, dan tindakan interpretasi. melalui tindakan interpretasi dengan metode analisa ideologi Secara sebagaimana dikemukakan Thompson Menurut sejarah, Buleleng adalah sosial-historis dapat diungkap bahwa proses tumbuh dan berkembangnya tradisiwilayah mabarung seni (2007: 207-208), yakni tigadifase dasarterkait analisis di Balikelahiran yang pertama kali mengibarkan pertunjukan (MGK) Buleleng langsungkerajaan dengan sejarah Gong Kebyar di Buleleng sekitar ideologi, tahun meliputi: sosial-historis, analisis semangat melawan penjajah Belanda untuk politik 1915.analisis Adapun situasi kehidupan sosial budaya padaperang masa itu diwarnai oleh sistem kekuasaan wacana, dan tindakan interpretasi. membebaskan diri dari tekanan politik kolonialisme. kolonial Belanda dimana Buleleng menjadi pusat administrasi pemerintahan. Dapat dipahami bahwa tekanan Hal semangat ini ditandaimasyarakat dengan peristiwa Perang politik penjajahan kolonial tentu membangkitkan Buleleng untukBuleleng mencita-citakan Secara sosial-historis dapat diungkap bahwa proses yang berakhir dengan jatuhnya benteng pertahanan suatu kebebasan. tumbuh dan berkembangnya tradisi mabarung seni di Desa Jagaraga pada tanggal 19 April 1849, dan Menurut sejarah, Buleleng adalah wilayah kerajaan di Bali yangtanggal pertama25kali mengibarkan pertunjukan (MGK) di Buleleng terkait langsung di Desa Banjar September 1868semangat dengan perang melawan penjajah Belanda memebebaskan diri dari tekanan politik kolonialisme. Haljauh ini ditandai dengan sejarah kelahiran Gong Kebyaruntuk di Buleleng kemenangan di pihak Belanda. Selain itu, sekitar tahun 1915. Adapun situasi kehidupan sosial sebelumnya, Buleleng telah mengalami proses budaya pada masa itu diwarnai oleh sistem kekuasaan mobilisasi kehidupan sosiokultural yang mencirikan politik kolonial Belanda dimana Buleleng menjadi tentang sikap keterbukaan warga masyarakatnya pusat administrasi pemerintahan. Dapat dipahami untuk memperoleh kebebasan. Hal ini terungkap dalam Sejarah Bali (1980) yang menyebutkan
43
I Ketut Yasa (Aspek Organologis Grnder Wayang)
bahwa kerajaan Buleleng sebagai salah satu kerajaan di Bali yang pertama-tama ingin memisahkan diri dari wilayah pusat kekuasaan raja-raja di Bali yang berada di istana kerajaan Klungkung (Team, 1980: 68-85). Pada umumnya tekanan sosial yang terjadi dalam suatu kehidupan masyarakat melahirkan tindakantindakan responsif (sebagaimana diklaim dalam teori challenge and respond) sehingga muncul suatu gagasan yang mengarah pada nilai kebebasan. Upaya-upaya untuk menemukan kebebasan ini teraktualisasi di antaranya ke dalam bentuk aksi sosial berupa gerakan atau tindakan pragmatis seperti halnya yang terjadi ketika meletusnya peristiwa Perang Buleleng dan Perang Banjar melawan Belanda. Dalam nuansa kehidupan yang sama, tidak menutup kemungkinan munculnya ungkapan pengalaman bathiniah yang tertuang ke dalam bentuk ekspresi seni budaya. Oleh karenanya, tindakan kreatifinovatif yang melahirkan seni gaya kebyar, menyusul aktualisasinya ke dalam aktivitas mabarung seni pertunjukan (Gong Kebyar) dapat diinterpretasikan sebagai ungkapan nilai yang bernafaskan suatu “pemberontakan” dalam rangka mengusung citacita kebebasan. Ini berarti, landasan ideologi lahirnya tradisi mabarung seni pertunjukan di Buleleng terkait dengan sikap masyarakat Buleleng yang ingin menunjukkan eksistensi dirinya melalui kegiatan seni budaya dengan mengusung citra kebebasan. Keberadaan ekspresi budaya dalam wujud mabarung seni pertunjukan di Buleleng telah membangun suatu wacana tentang sikap masyarakat yang bermukim di daerah “Den Bukit” (Bali Utara). Dalam kaitan ini, Balyson (1934) menyebut bahwa masyarakat Buleleng berpenyakit “Caprice bulelengais” dengan menunjuk masyarakat “Den Bukit” cepat bosanan sehingga selalu menginginkan segala sesuatu yang bersifat aneh dan baru. Balyson mengatakan:
Seorang-orang ataoe soeatoe barang atau kedjadian bersifat capricieus, kalaoe sifatnja pada tiap-tiap waktoe selaloe berlainan, lekas bersalin kemaoean (orang Bali membilang: “djani kene njanan keto, toesing enteg, tjeliak-tjelioek, ngelioenang bikas” dsb). Publiek di negeri Boeleleng agak bersifat capricieus; oleh karena karangan ini mengenai hal muziek, penoelis sebutkan djenis penjakit ini “caprice
44
MUDRA Jurnal Seni Budaya
boelelengais” artinja caprice, dari, ataoe kepoenjaan negeri Boeleleng sebagai sindiran (Balyson, 1934: 191).
Hal ini dapat ditafsirkan sebagai suatu wacana yang memberi makna tentang nilai-nilai kebebasan. Nilai kebebasan tergambarkan ketika Balyson menyinggung tentang sifat orang Buleleng yang berubah-ubah, jani kene nyanan keto (sekarang begini nantinya begitu), tusing enteg (tidak tetap pendirian), celiak-celiuk (berbelak-belok kesanakemari), ngeliunang bikas (bertingkah yang anehaneh). Balyson juga menginformasikan tentang penampilan sekaa-gong dari Desa Bubunan (pada zamannya) sengaja membuat pola-pola ke luar dari aturan-aturan atau hitungan gending yang sudah ada, seperti dinyatakan sebagai berikut.
Penonton di Boeleleng amat heran oleh karena gong ini terlampaoe koeat tentang karang-mengarang, gong-gong yang lain meniroe tabiatnja... Segala apa dikemoekakan, dan dipandang bagoes olehnja, ditiroe oleh teman-temannja, tidak dengan sedikit kritik djoeapoen. Si poeblik asik mendengarnja, ditarik hatinja dengan sekeras-kerasnja oleh tabiat si Boeboenan jang penghabisan; memang adjaib benar kedengaran soeara boenji-boenjian jang bergantiganti dimainkan. Akan tetapi lambat laoen, entah apa sebabnja si poeblik Boeleleng (oleh sebab penjakit bosan?) memalingkan moekanja dari pada djenis “mode” ini, ...tidak setoedjoe lagi dengan djenis muziek jang berazas perhitoengan (Balyson, 1934: 195).
Di kalangan pemerhati seni di daerah Buleleng termasuk para senimannya, rata-rata melontarkan wacana tentang watak masyarakat Buleleng yang memiliki sifat ajum. Predikat ajum selalu melekat ketika para seniman Buleleng tampil di ajang mabarung, seperti diungkapkan oleh I Made Toya (81 tahun) dan I Made Teken (60 tahun) sebagai berikut. “Lamon tusing ngelah keneh ajum, lakar tusing nyidaang mangunang gong, apa buin lakar anggon mabarung” (kalau tidak punya rasa ajum, tidak akan bisa membangun atau menghidupkan kegiatan (kesenian) gong, apalagi akan digunakan untuk mabarung). “Lamon mabarung, mesti metelahtelahan ngedengang ajum” (kalau tampil sebagai peserta mabarung, harus habis-habisan menunjukkan suatu kebanggaan diri atau ajum) (Wawancara tanggal 25 Juli 2010 dan 17 Oktober 2008).
Volume 30, 2015
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Berdasarkan analisis sosial-historis dan analisis wacana sebagaimana dipaparkan di atas dapat diinterpretasikan hadirnya suatu makna.Tentu hasilnya adalah sebuah hasil interpretasi, yang dalam konteks pembahasan ini diupayakan dapat terangkum butir-butir yang menjadi gagasan ideologis lahirnya tradisi mabarung seni pertunjukan di Buleleng. Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa lahirnya mabarung seni pertunjukan di Buleleng berpangkal pada ideologi kebebasan dan ideologi eksistensi diri. SIMPULAN Mabarung seni pertunjukan terbangun dalam bentuk kompetisi yang menampilkan dua atau lebih kelompok/grup kesenian masing-masing berpacu untuk tampil terbaik, sedapat mungkin mencapai tingkat kemasyhuran tertentu. Representasi budaya yang terungkap ke dalam penampilan mabarung seni pertunjukan di Buleleng dapat diidentifikasi sebagai suatu pencitraan diri, terungkap dalam tindakan majengah-jengahan, tampil beda, dan ungkapan sifat ajum (kebanggaan diri) yang melekat pada sikap masyarakat Buleleng pada umumnya.. Ideologi yang melandasi lahirnya tradisi budaya dalam aktivitas mabarung seni pertunjukan di Buleleng adalah ideologi kebebasan dan eksistensi diri. Ideologi kebebasan menunjuk pada peluang kebebasan seniman dalam merepresentasikan diri, baik melalui ekspresi artistik maupun non artistik. Ideologi eksistensi diri menunjuk pada kemampuan (kreativitas) yang terepresentasikan ke dalam tindakan majengah-jengahan, tampil beda, dan ungkapan sifat ajum. Kini, eskalasi perkembangan dunia modern telah menyeret segala aspek sosiokultural menuju ke suatu pola integrasi kehidupan yang bernaung dalam bingkai kesejagatan sebagaimana dikenal dengan era globalisasi. Tentu, hal ini membawa dampak terhadap perkembangan seni dan budaya sehingga tidak menutup kemungkinan landasan ideologi yang diterapkan dalam aktivitas mabarung seni pertunjukan pun terbawa arus perubahan seiring dengan situasi tuntutan jiwa zaman.
DAFTAR RUJUKAN Alfian (Eds.). (1995), Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan, PT Gramedia, Jakarta. Althusser, Louis. (2005), Tentang Ideologi, Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis dan Cultural Studies (terjemahan dari Essay on Ideology), Jalasutra, Yogyakarta. Balyson. (1934), “Gong-Gede (Kebjar)” dalam majalah Bhawanagara No. 11-12, terbitan AprilMei 1934. Barker, Chris. (2005), Cultural Studies: Teori dan Praktik, PT. Bentang Pustaka, Bandung. Chaya, I Nyoman. (1990), I Mario, Printis Pembaharuan Tari Bali (Tesis Program Magister S-2), Program Studi Sejarah Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora, Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. _______________. (2002), “Kebyar Trompong: Menguak Citra Kebebasan Individual dalam Kehidupan Kreativitas Tari Bali” dalam Jurnal Dewaruci Volume I, No. 2 Oktober 2002, Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta, Surakarta. Dibia, I Wayan (Eds.). (2008), Seni Kakebyaran, Bali Mangsi Foundation, Denpasar. _____________. (2009), “Seni dan Budaya Buleleng, Kebanggaan atau Beban Masyarakat?”, dalam Konferensi dan Festival Internasional Budaya Bali Utara 2009, 30 Juli sampai dengan 2 Agustus 2009 di Buleleng. Goris, R. (tt). Bali, Atlas Kebudayaan, Pemerintah Republik Indonesia. Hardjana, Andre. (1983), Kritik Sastra Sebuah Pengantar, PT. Gramedia, Jakarta. Johnson, Doyle Paul. (1986), Teori Sosiologi Klasik dan Modern, PT Gramedia, Jakarta.
45
I Ketut Yasa (Aspek Organologis Grnder Wayang)
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Kleden, Leo. (1998), “Mencari Wajah Indonesia dalam Pergeseran Paradigma Kebudayaan”, dalam Seminar Seni Pertunjukan Indonesia 1998-2001 Seri I, bulan Nopember 1998 di Kampus Institut Seni Indonesia Surakarta, Surakarta.
Sukerta, Pande Made. (2004), Perkembangan Gong Kebyar di Kabupaten Buleleng, Perubahan dan Kontinuitasnya (Disertasi Program Doktor S-3) Program Studi Kajian Budaya, Universitas Udayana Denpasar, Denpasar.
Koentjaraningrat. (1993), Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, PT Gramedia, Jakarta.
Sutrisno, Mudji SJ, Fx. dan Christ Verhaak SJ. (1993), Estetika, Filsafat Keindahan, Kanisius, Yogyakarta.
Lonner, W.J. dan Malpass, R. (1994), Psychology and Culture, Allyn and Bacon, Inc., Boston. McPhee, Colin. (1966), Music In Bali, A Study of Form and Instrumental Organization in Balinese Orchestral Music, Yale University Press, New Haven and London. Murgiyanto, Sal. (1996). “Cakrawala Pertunjukan Budaya, Mengkaji Batas dan Arti Pertunjukan” dalam Seni Pertunjukan Indonesia. Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI), Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta. Parker, De Witt H. (tt). Dasar-Dasar Estetik, ASKI Surakarta, Surakarta. Piliang, Yasraf Amir. (2003), Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasura, Yogyakarta. Sastrapratedja (Eds.). (1982), Manusia Multidimensional, Sebuah Renungan Filsafat. PT. Gramedia, Jakarta. Simpen AB, I Wayan. (1979), Sejarah Perkembangan Gong Gede (Stensilan), Denpasar, 19 Desember 1979. Sedyawati, Edi. (2007), Keindonesiaan dalam Budaya, Wedatama Widya Sastra, Jakarta. Soedjatmoko. (1983), Dimensi Manusia dalam Pembangunan, LP3ES, Jakarta.
46
Takwin, Bagus. (2003), Akar-Akar Ideologi, Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato Hingga Bourdieu, Jalasutra, Yogyakarta. Team Penyusun Naskah dan Pengadaan Buku Sejarah Bali, (1980). Sejarah Bali. Pemerintah Daerah Tk. I Bali, Denpasar. Thompson, John B. (2007), Analisis Ideologi, Kritik Wacana Ideologi-Ideologi Dunia, IRCiSoD, Jogjakarta. Triguna, Ida Bagus Gde Yudha. (1993), Estetika Hindu dan Pembangunan Bali, Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia, Widya Dharma, Denpasar. Thwaites, Tony, Lloyd Davis, Warwick Mules. (2009), Introducing Cultural and Media Studies: Sebuah Pendekatan Semiotik, Jalasutra, Yogyakarta dan Bandung. Nara Sumber: Teken, I Made. (60 th.), Pengrawit, wawancara tanggal 25 Juli 2010 di rumahnya, Desa Kalisada, Seririt, Buleleng, Bali. Toya, I Made. (81 th.). Penari, wawancara tanggal 17 Oktober 2008 di rumahnya, Desa Lokapaksa, Seririt, Buleleng, Bali. Sumiasa, I Putu. (77 th.), Pengrawit, wawancara tanggal 12 Nopember 2008 di rumahnya, Desa Kedis, Busungbiu, Buleleng, Bali.
Volume 30, 2015
Jurnal Seni Budaya VolumeMUDRA 30, Nomor 1, Pebruari 2015 p 47 - 56
ISSN 0854-3461
Estetika Randai Analisis Tekstual dan Kontekstual SRI RUSTIYANTI Jurusan Seni Tari, Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung, Indonesia. E-mail:
[email protected]
Tulisan ini mengungkap tekstual dan kontekstual Randai, di antaranya, analisis terhadap gerak galombang randai, analisis karakter tokoh anak randai, dan sebagai akhir dari rangkaian penelitian ini, mengungkapkan nilai-nilai yang terdapat pada Randai sebagai realitas budaya, yang pada prinsipnya merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari eksistensi masyarakat Minangkabau sebagai penyangga kebudayaan. Ragam gerak yang digunakan dalam gerak galombang randai itu kiranya tidak hanya sekedar hiasan keindahan gerak belaka (tangibel), namun ia dapat diterjemahkan, sekaligus merupakan simbol atau lambang yang bermakna mendidik (intangibel), dan dapat menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat adat di Minangkabau.
The Analysis Textual and Contextual af Aesthetic Randai This paper reveals textual and contextual Randai, among other things, an analysis of Gerak Galombang Randai, an analysis of the character of Anak Randai, and at the end of the study series, to reveal the values contained in Randai is a cultural reality, which in principle is an inseparable part of the existence of Minangkabau communuty as the cultural support. The variety of motion used in Gerak Galombang Randai is not only a decoration of the motion beauty (tangibel), but it also can be translated, as well as a symbol or emblem that has educational meanings (intangibel), and can be an example of the daily life of the indigenous Minangkabau society. Keywords: Aesthetic, Minang dance, Randai, and textual-contextual analysis.
Analisis tekstual, pembahasan unsur-unsur suatu kesenian yang dapat menerangkan bahwa keseluruhan arti dan makna simbol dapat dibedakan, namun arti dan makna simbol-simbol itu tidak dapat dipisahkan. Manusia dapat membedakan arti dan makna simbol melalui kebudayaan (Liliweri, 2011: 4). Begitu pula dengan kesenian Randai secara tekstual berkaitan dengan segi-segi teknik yang menentukan ciri-ciri Randai dan bagi yang menonton memberikan sesuatu pengalaman melihat yang bersifat kesenirupaan. Antara lain: seni tari, seni musik, seni vokal, seni drama, seni sastra, dan seni rupa. Analisis kontekstual terhadap seni tari artinya fenomena seni itu dipandang dengan disiplin ilmu
lain yang didominasi ilmu antropologi. Sesuai dengan bidangnya bersifat humaniora, yaitu ilmu yang ingin memahami segala aktivitas manusia dalam hubungannya sosial budaya, maka ciri pendekatannya besifat holistik (Hadi, 2007: 97). Analisis kontekstual, pembahasan yang terbangun dari susunan tekstual yang dapat menggambarkan makna dan simbolik yang dapat dianalisis dari aspek latar belakang budaya Minangkabau, aspek keberadaan agama Islam di Minangkabau, aspek sejarah Minangkabau, aspek kesenian Minangkabau, dan sebagainya. Makna dalam pemahaman kontektual adalah sesuatu yang terjadi dalam interaksi subjek dan objek, sehingga ditemukan hal-hal baru setelah pengamatan secara mendalam sebagai ‘pengayaan makna’ (Gadamer, 2004: 27).
47
Sri Rustiyanti (Estetika Randai Analisis Tekstual dan Kontekstual)
MUDRA Jurnal Seni Budaya
ESTETIKA RANDAI Analisis Tekstual 1. Seni tari (pencak silat) Masyarakat Minangkabau, menyebutkan kata tari diartikan sebagai laku olah gerak dan rasa, yang dikenal dengan sebutan pamenan (permainan) yang memiliki akar gerak ilmu beladiri pancak (Sedyawati, 1998: 72; Murgiyanto, 1991: 276; Maryono, 1998: 9; Nor, 1986: 26). Motif-motif gerak dalam Randai mencakup gerak tari, gerak pencak, dan gerak silat. Randai memiliki unsur-unsur dan ciri-ciri tari, meskipun dengan cara penyajian yang berbeda. Adapun ciri-ciri umum yang terkandung dalam tari, antara lain: (1) ekspresi manusia secara artistik, (2) gerak yang dilakukan oleh manusia, (3) gerak yang berpola dan berbentuk, (4) gerak stilasi, (5) mengandung ritme, (6) di dalam ruang, (7) mempunyai simbol atau arti, dan (8) menyampaikan pesan. Seringkali pengertian ini tidak terlepas adanya unsur cerita, dialog, nyanyian, akrobatik, demonstrasi kekebalan (Sedyawati, 1981: 69, dan Kapita Selekta, 1984: 111). Penggunaan gerak dalam gerak gelombang Randai adalah pencak silat dengan penekanan aspek bentuk dasarnya pada sikap dan unsur gerak kaki. Sedangkan aspek dinamik dan kualitas gerak mengalami perubahan sesuai dengan tujuan. Sebuah gerak pencak dapat menjadi lebih keras, tajam, dan cepat apabila digunakan dalam bersilat, sebaliknya menjadi lemah dan tidak terlalu tajam apabila dipakai dalam tari. Berdasarkan filsafat alam (alam berkembang jadi guru), semua tingkah laku hewan dapat diambil sebagai nama-nama gerak, yaitu aliran silat Kucing Siam, Harimau Campo, Kambing Hitam, dan Anjing Mualim (Jamal, 1985: 17). Selain aliran silat tersebut, ada beberapa inti silat Minangkabau, yaitu langkah tigo, langkah ampek, dan langkah sambilan. Dari dasar silat ini muncul beberapa macam gaya silat menurut daerah masingmasing dengan menyebutkan nama-nama daerah di mana silat itu berkembang, di antaranya silat Lintau, silat Pangian, silat Kumango, silat Sitaralak, silat Gunuang, silat Pariaman, dan silat Pesisir.
48
Gambar 1. Gerakan serang tangkis yang sering digunakan dalam gerak galombang randai (Sumber: koleksi Sri Rustiyanti, 2002)
Gambar 2. Gerak sauek dan gerak sudueng untuk menangkis dan menyerang (Sumber: koleksi Sri Rusti yanti, 2002).
Dengan dasar-dasar silat tersebut, setelah mengalami proses penggarapan muncul gerak silat sebagai dasar bagi seniman Minangkabau untuk menata menjadi suatu bentuk susunan tari. Pencak mempunyai dua pengertian, yaitu sebagai tarian dan sebagai permainan. Pencak sebagai tarian merupakan gerak tari yang diwarnai pencak yang pelaksanaannya seirama dengan karawitan, sedangkan pencak sebagai permainan dilakukan oleh dua orang dengan melakukan perkelahian bergaya silat, secara fisik pemain berhadapan satu lawan satu dengan gerak saling menyerang, tetapi tidak bersinggungan atau tidak bersentuhan, sehingga lebih ditentukan oleh penyesuaian dengan gerakan lawan yang sedang dihadapi.
diwarnai pencak yang pelaksanaannya seirama dengan karawitan, sedangkan pencak sebagai permainan dilakukan pemainJurnal berhadapan satu Volume 30, oleh 2015 dua orang dengan melakukan perkelahian bergaya silat, secara fisik MUDRA Seni Budaya lawan satu dengan gerak saling menyerang, tetapi tidak bersinggungan atau tidak bersentuhan, sehingga lebih ditentukan oleh penyesuaian dengan gerakan lawan yang sedang dihadapi.
2. musik (alat-alat karawitan) galembong (tepuk pada celana yang mempunyai 2. Seni Seni musik (alat-alat karawitan) Pada dasarnya Randai dapat diiringi alat-alat musik pisak yang tepuksekali. tangan, tepukRandai, paha, tepuk Pada dasarnya Randai dapat diiringi alat-alat musik tradisional atau lebar), tidak sama Dalam alattradisional atau tidak sama sekali. Dalam Randai, kaki, tepuk siku, petik jari, dan hentakan kaki. alat musik tradisional dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu musik internal dan musik eksternal. Musik alat-alat tradisional dibagi menjadi dua tubuh Musik eksternal yaitu alat-alat musik galembong tradisional internal musik yaitu musik yangdapat dilahirkan oleh anggota manusia, seperti bunyi dari tapuak bagian, yaitucelana musikyang internal dan musik eksternal. sepertipaha, saluang, talempong, (tepuk pada mempunyai pisak yang lebar), Minangkabau, tepuk tangan, tepuk tepukbansi, kaki, tepuk siku, Musik internal yaitu musik yang dilahirkan oleh alat-alat canang, danMinangkabau, rabab. petik jari, dan hentakan kaki. Musik eksternal yaitu musikgandang, tradisional seperti saluang, bansi, talempong, canang,seperti gandang, dandari rabab. anggota tubuh manusia, bunyi tapuak 1
2
3
4 8
5 6 7
Keterangan : Keterangan : 1. Talempong melodi; 2.Talempong dasar; 3. Talempong tinggi; 4. Canang dasar; 5. Canang tinggi; 6. Gandang 1; 7. Gandang 1. Talempong melodi; 2.Talempong dasar; 3. Talempong tinggi; 2; 8. Bansi.
4. Canang dasar; 5. Canang tinggi; 6. Gandang 1; Gandang instrumen 2; 8. Bansi. Gambar 3. 7.Komposisi musik Talempong kreasi (ilustrasi: Ardipal, 2011). Gambar 3. Komposisi instrumen musik Talempong kreasi (ilustrasi: Ardipal, 2011).
Peranan alat musik dalam Randai pada hakikatnya adalah sebuah komposisi bunyi yang cukup sederhana dengan strukturnya, dan tidak semua alat musik dapat sesuai dan dipakai sebagai musik pengiring Randai. Kalau diamati hubungan dan musik pada sebuah musik Randai,tersebut maka musik sebagai berikut: 1) Peranan alat musik dalamgerak Randai pada hakikatnya terdiri berperan dari seorang peniup sarunai, Musik sebagai Randai,bunyi yaitu memberikan meloditalempong, yang sesuai tuntutan adalah sebuahpartner komposisi yang cukup pola-pola tiga ritme orangdan pemukul dandengan sepuluh orang gerak gelombang; 2) Musik yang melatarbelakangi gerak tokoh lakon cerita; dan 3) Musik yang memberikan sederhana dengan strukturnya, dan tidak semua pemukul tambur (masing-masing pemukul tambur ilustrasi sesuai dengan dalam cerita Randai. alat musik dapat sesuaiaspek-aspek dan dipakaidramatis sebagai yang musikterdapatmembawa sebuah tambur yang mempunyai ukuran yang berbeda-beda). pengiring Randai. Kalau diamati hubungan gerak dan Kehadiran musik tradisional memang tidak mutlak meskipun cukup penting untuk pemberi semangat musik padabunyi sebuah Randai, maka musik berperan dalam gelombang Randai, sehingga menjadi lebih hidup dan bergairah. Selain difungsikan untuk mengiringi 3. Seni vokal (dendang/lagu) sebagai berikut: 1) Musik sebagai partner Randai, gerak gelombang, juga berperan untuk membuka dan menutup acara pertunjukan Randai. Alat musik yaitu memberikan pola-pola ritme dan melodi yang Secara umum, dendang dapat dibagi menjadi dua pemanggil dalam pertunjukan Randai sebagai pemberitahu bahwa saat itu akan diadakan pertunjukan sesuai dengan tuntutan gerak gelombang; 2) Musik jenis, yaitu dendang ratok dan dendang gembira. Randai. Pemain musik tersebut terdiri dari seorang peniup sarunai, tiga orang pemukul talempong, dan dari bentuk melodinya, dendang ratok yang melatarbelakangi tokoh lakon cerita; dan sepuluh orang pemukulgerak tambur (masing-masing pemukul Dilihat tambur membawa sebuah tambur yang mempunyai termasuk dendang yang berirama bebas, sedangkan 3) Musik yang memberikan ilustrasi sesuai dengan ukuran yang berbeda-beda). kalau dilihat dari unsur syair atau isi pantunnya, aspek-aspek dramatis yang terdapat dalam cerita terlihat bahwa dendang ratok berisi ungkapan Randai. 3. Seni vokal (dendang/lagu) perasaan yangratok gundah sedih,gembira. yang meratapi Secara umum, dendang dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu dendang dan dan dendang Dilihat nasib sambil berdendang (maratok). Dendang Kehadiran bunyi musik tradisional memang tidak dari bentuk melodinya, dendang ratok termasuk dendang yang berirama bebas, sedangkan kalau dilihat dari mutlak meskipun penting untukbahwa pemberi merupakan ungkapan unsur syair atau isicukup pantunnya, terlihat dendang gembira ratok berisi ungkapan perasaankegembiraan, yang gundahsyair dan atau pantun-pantun yang dilantunkan, semangat gelombang Randai,berdendang sehingga (maratok). sedih, yangdalam meratapi nasib sambil Dendang gembira merupakan umumnya ungkapan berisi ungkapan menjadi lebih dan bergairah. Selain kegembiraan, syairhidup atau pantun-pantun yang dilantunkan, umumnya berisi sukacita. ungkapan sukacita. difungsikan untuk mengiringi gerak gelombang, Dendang berarti lagu, berdendang berarti bernyanyi.3 juga berperan untuk membuka dan menutup acara pertunjukan Randai. Alat musik pemanggil dalam Dendang termasuk salah satu seni musik tradisi Minangkabau yang berbentuk vokal (suara yang pertunjukan Randai sebagai pemberitahu bahwa dihasilkan oleh manusia). Dendang adalah suara saat itu akan diadakan pertunjukan Randai. Pemain
49
Sri Rustiyanti (Estetika Randai Analisis Tekstual dan Kontekstual)
yang dilagukan manusia dan sangat berfungsi dalam pelaksanaan sebuah Randai. Suara dendang itu untuk memberi batas peralihan dari adegan satu ke adegan berikutnya dan untuk menjelaskan jalan cerita Randai yang tidak begitu penting untuk didialogkan antara para tokoh lakon cerita, sehingga dengan dendang jalan cerita tidak terputus dan dapat diikuti melalui syair dendang yang dinyanyikan oleh pendendang (orang yang melagukan dendang). Namun ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa kehadiran dendang dalam Randai berfungsi sebagai pengatur cerita dari satu adegan ke adegan berikutnya. Jenis dendang yang digunakan dalan Randai tergantung dari jumlah legaran (adegan) cerita Randai. Sekarang sudah menjadi kesepakatan bagi seluruh seniman Randai, bahwa dendang yang digunakan akan selalu dimulai dengan dendang Dayang Daini sebagai dendang persembahan, kemudian dilanjutkan dendang Simarantang untuk legaran (adegan) pertama. Dendang untuk legaranlegaran di tengah menggunakan dendang bebas, sesuai menurut suasana cerita itu sendiri, dan legaran terakhir menggunakan dendang Palayaran. Bentuk penampilan dendang dalam Randai untuk menyampaikan sesuatu, misalnya menyampaikan keadaan dalam perjalanan, keadaan suasana, perpindahan legaran, mengatur langkah gerak. Selain pendendang yang mengalunkan dendang yang dibawakannya, juga diikuti oleh anak Randai (penari gelombang) pada setiap baris akhir dendang secara bersama-sama. Dendang dalam Randai tidak selalu dibarengi dengan karawitan, karena untuk pengatur gerak langkah dapat diiringi dengan dendang saja. 4. Seni drama (akting dan dialog) Kedudukan drama dalam Randai merupakan satu hal yang sangat penting. Randai tidak akan terwujud tanpa kehadiran drama, karena seni drama diantaranya menyangkut masalah akting dan dialog sebagaimana Randai. Drama merupakan genus/ genre, yaitu jenis sastra yang mempunyai bentuk tersendiri (Tambayong, 1981: 15), dan sastra ini termasuk drama kalau sudah diperankan dengan melibatkan tokoh pelaku yang sesuai dengan naskah cerita. Drama termasuk jenis sastra yang langsung berhubungan dan menggambarkan kehidupan 50
MUDRA Jurnal Seni Budaya
daripada bentuk sastra yang lain (Brahim, 1968: 47). Menurut Ommaney, bahwa akting merupakan keselarasan yang sempurna antara suara dan tubuh untuk menciptakan suatu lakon. Suara ketika melontarkan berbagai macam dialog dan tubuh melahirkan berbagai macam gerak, semua itu selaras dan memberi gambaran seorang tokoh yang dibawakan (Hamzah, 1985: 64). Penokohan adalah proses penampilan tokoh sebagai pemeran dalam suatu cerita, sedangkan pelaku yang melakukan peran tokoh pelaku. Tokoh atau karakter merupakan bahan baku yang paling aktif sebagai penggerak jalan cerita, menjalin alur cerita, dan pembentuk alur cerita (Soedirosatoto, 1989: 39). Oleh karena itu, seseorang dalam memainkan karakter harus mampu menampilkan citra tokoh seorang pelaku dalam memerankan karakter tokoh tidak akan terlepas dari ekspresi yang bersifat kejiwaan dan kejasamanian (Anirun, 1978: 11). Kedua ekspresi itu untuk menampilkan dan mengungkapkan karakternya. Dalam menampilkan perwujudan karakter yang nyata, seorang pelaku dituntut satu kemampuan untuk menyatukan dan mendayagunakan ekspresinya. 5. Seni sastra (gurindam dan kaba) Sebagai seni sastra, Randai adalah cerita yang unik, bukan saja untuk dibaca, melainkan juga untuk dipertunjukkan sebagai tontonan. Salah satu bentuk sastra Minangkabau yang paling populer yaitu pantun. Pantun sering digunakan untuk percakapan (dialog) dalam cerita Randai, percakapan sehari-hari, hiasan berpidato, syair dendang, dan sebagainya. Pantun dalam Randai terdiri dari beberapa baris dengan jumlah selalu genap. Separuh dari permulaan merupakan sampiran dan separuh bagian berikutnya adalah isi pantun yang sebenarnya. Bentuk pantun bermacam-macam, ada yang hanya terdiri dari dua baris, ada pula yang terdiri enam sampai dua belas baris. Dendang dalam Randai pada umumnya berbentuk pantun, syair, talibun, seloka, dan prosa liris, yang secara keseluruhan disebut dengan istilah gurindam randai. Kelima bentuk gurindam tersebut dipakai dalam dendang randai. 6. Seni rupa (tata busana dan ragam hias) Tata busana dalam Randai pada umumnya hampir sama dengan busana tari Minang atau busana adat
Volume 30, 2015
Minangkabau. Selanjutnya dalam uraian ini akan dibahas busana untuk penari gelombang dan busana untuk tokoh lakon cerita. Perlengkapan busana penari gelombang (anak Randai) lebih sederhana daripada busana tokoh lakon. Anak Randai selalu menggunakan celana galembong, celana yang dipakainya merupakan busana khas dalam Randai. Celana galembong berwarna hitam dan mempunyai pisak yang lebar tidak membatasi langkah gerak (pencak silat) yang mempunyai ruang gerak yang besar, sehingga dapat bebas melakukan gerak dengan sempurna. a. Busana Niniak Mamak Dalam masyarakat Minangkabau seorang penghulu/ niniak mamak merupakan pemimpin kaumnya, orang yang mengatur sanak keluarga yang terhimpun dalam kaum tersebut. Pada setiap unsur pakaian yang dipakai seorang niniak mamak, itu membayangkan pemikiran, pendirian, perbuatan, dan tanggung jawab dari niniak mamak sebagai penghulu itu sendiri. Oleh karena itulah, seorang niniak mamak mempunyai pakaian kebesaran yang terdiri atas: 1) Saluak atau deta, sebagai penutup kepala melambangkan aturan hidup masyarakat Minangkabau; 2) Baju hitam longgar, melambangkan keterbukaan pemimpin dan lapang dada dalam menghadapi berbagai cobaan; 3) Kain kaciak/kain sandang; 4) Keris, senjata penghulu sebagai senjata kebesaran bagi seorang penghulu; 5) Cawek/ikat pinggang, pengikat baju dan celana yang sudah melekat di badan, dengan tujuan supaya pemakainya kuat luar dalam, 6) Kain Sampieng; 7) Tongkat, melambangkan keberanian, tetapi dengan maksud tidak mencari musuh; dan 8) Sarawa/ celana, merupakan celana yang lapang (besar) yang melambangkan langkah yang cepat, untuk menjaga segala kemungkinan yang ada.
Gambar 4. Busana Niniak Mamak (Sumber: foto Dt. Endang Kuniang nan Kayo, 2012).
MUDRA Jurnal Seni Budaya
b. Busana Bundo Kanduang Adapun Busana Bundo Kanduang mempunyai makna sebagai berikut: 1) Tangkuluak tanduak, melambangkan tanggung jawab dan kepercayaan yang diberikan kepada bundo kanduang yang harus dijunjung tinggi; 2) Baju kurung, melambangkan demokrasi tetapi tetap pada batas-batas tertentu. Baju kurung melambangkan bahwa si pemakai terkurung oleh aturan yang sesuai dengan adat dan agama; 3) Kaduik jombak batali, melambangkan setiap perjalanan mempunyai maksud tertentu; 4) Kodek, melambangkan bahwa bundo kanduang harus mempunyai rasa periksa, malu, dan menjaga kesopanan; 5) Tarompah, sandal atau selop yang digunakan untuk alas kaki; 6) Salempang, melambangkan tanggung jawab yang harus dipikul dalam melanjutkan keturunan.
Gambar 5. Busana Bundo Kanduang (Sumber: foto Dt. Endang Kuniang nan Kayo, 2012).
c. Busana Urang Tuo dan Urang Mudo Secara umum pakaian harian di Minangkabau yang dipakai perempuan golongan tua (berumur) yaitu baju kurung dengan lengan panjang. Bahan dasar kain tidak harus beludru seperti pada bundo kanduang, tetapi dapat bermacam-macam tergantung dari kemampuan si pemakai. Kodek (sarung) juga disesuaikan kemampuannya. Ada yang memakai kain songket, kain batik, atau kain bugis. Selendang yang dipakai pada umumnya agak pendek dan dililitkan di kepala dengan kedua ujungnya ke belakang.
51
Sri Rustiyanti (Estetika Randai Analisis Tekstual dan Kontekstual)
Sedangkan busana laki-laki, terdiri atas celana galembong, baju longgar, sampieng, saluak. Secara garis besar hampir sama dengan pakaian niniak mamak, hanya bentuk dan bahannya yang lebih sederhana. Dengan demikian, busana orang tua, laki-laki maupun perempuan hampir sama dengan busana niniak mamak dan bundo kanduang tetapi sifatnya lebih sederhana, baik bahan kain maupun bentuk dan perlengkapannya. Busana anak muda tidak banyak macamnya, satusatunya yang sering dipakai oleh pemuda Minang yaitu busana yang terdiri: 1) Celana batik, 2) Baju putih gunting cina, 3) Peci/kopiah, dan 4) Sarung bugis. Adapun busana perempuan muda hampir sama dengan perempuan berumur, hanya bentuk dan variasinya yang membedakan. Busana perempuan muda terdiri atas: 1) Hiasan kepala, baik yang berbentuk suntiang besar atau suntiang berderai, 2) Baju kurung, 3) Sarung songket, 4) Salendang kain balapak, 5) Slop/sandal, dan 6) Perhiasan, seperti kalung, gelang, cincin, dan subang.
MUDRA Jurnal Seni Budaya
karakteristik yang membedakan satu dengan yang lainnya, sebagaimana identitas asal, seperti kalimat Holt: “Tunjukkan bagaimana engkau menari, dan saya akan mengetahui dari mana asalmu…” (Soedarsono, 1991: 115). Petikan kalimat tersebut merupakan ungkapan yang sangat menarik, akibat dari akrabnya dengan genre tari yang ada di berbagai wilayah di Indonesia, ia bahkan berani menantang setiap orang untuk menari atau hanya bergerak satu dua sekuen saja. Dalam hal ini terlihat tingkat pemahamannya akan gerak dari satu kelompok komunitas masyarakat yang sangat karakteristik dibandingkan dengan kelompok yang lain di tengah fenomena kemajemukan berbagai suku di Indonesia. Dengan demikian tari merupakan kompleksitas dari seluruh kehidupan manusia. Dalam mengkaji suatu pertunjukan secara konstektual dapat dianalisis dari aspek sejarah dan fungsinya (Soedarsono, 2000: 104 dan 120).
Analisis Kontekstual Jakob Sumardjo dalam Orasi Ilmiah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Sejarah Kebudayaan, Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung pada 11 September 2003 yang berjudul Indonesia Mencari Dirinya, bahwa manusia tidak dapat menolak di kebudayaan mana ia dibesarkan, meskipun setelah dewasa ia dapat mengingkari budaya asalnya dan memasuki budaya lain, manusia tetap terbebani dengan budaya asalnya. Dalam masyarakat, menakar identitas dapat dipantau melalui tiga bentuk, yaitu identitas budaya, identitas sosial, dan identitas pribadi (Liliweri, 2002: 95).
1. Perspektif sejarah Pembahasan dari perspektif sejarah tidak hanya terfokus pada sejarah politik dan sosial, karena secara historis Randai memiliki peran besar dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Membaca sejarah Minangkabau, maka akan ditemukan berbagai kekayaan adat dan budaya negeri tersebut. Kearifan adat dan budaya Minangkabau yang dilandasi dengan nilai-nilai keislaman telah menjadi ciri khas daerahnya. Maka salah satu falsafah yang dikenal dari masyarakat Minangkabau adalah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato, adat mamakai. Falsafah ini seolah telah mengukuhkan eksistensi Islam dalam kehidupan sosial bermasyarakatnya, dan menjadi hal yang tidak terpisahkan dalam keseharian orang Minang.
Identitas budaya muncul karena seseorang itu merupakan anggota dari sebuah kelompok etnik tertentu, sedangkan identitas sosial adalah akibat dari keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok kebudayaan. Identitas sosial dapat berdasarkan umur, gender, pekerjaan, kelas sosial, dan agama. Adapun identitas pribadi lebih berdasarkan pada keunikan karakteristik pribadi seseorang. Identitas pribadi dan identitas sosial seseorang yang terbentuk tidak akan lepas oleh identitas budayanya. Hal ini diperkuat juga oleh seorang antropolog peneliti pertunjukan di Indonesia Holt yang senada dengan pernyataan tersebut, bahwa identitas itu memberikan ciri dan
Sumber gerak galombang dalam kesenian Randai yaitu Pencak, sebagai sarana pendidikan tradisional Minangkabau. Pada awal keberadaannya gerak Pencak sebagai ilmu beladiri, boleh dikata sulit didapat karena tidak banyak data tertulis yang ditemukan. Akan tetapi salah satu asumsi yang dapat diterima menyatakan bahwa Pencak Silat India masuk ke Sumatra pada abad VIII, yaitu pada waktu Kerajaan Sriwijaya berkuasa. Pada masa itu, saudagar-saudagar kaya India sering datang membawa dagangannya ke Sumatera, dan mereka diterima sebagai tamu terhormat oleh raja dan kalangan istana. Saudagar-saudagar tersebut tidak
52
Volume 30, 2015
hanya datang membawa barang dagangan saja, tetapi juga sebagai penyebar agama dan pengembang kebudayaan bangsa asal mereka (Mansoer, 1970: 41). Para saudagar tersebut membawa banyak dagangan dan sangat berharga, serta membawa misi sebagai penyebar agama dan pengembang kebudayaan. Bahkan mereka juga membawa para ahli beladiri untuk melakukan tindakan pengamanan bagi kelancaran usahanya. Para ahli beladiri ini kemudian menyebarkan pengetahuan dan keahlian ilmu beladirinya kepada masyarakat setempat untuk keperluan pengamanan dagangan mereka serta kelancaran misi budayanya. Dari asumsi ini, sangat mungkin terjadi adanya Pancak (silat) di Minangkabau berawal dari kedatangan saudagarsaudagar dari India tersebut. Pada masa lalu Pamenan dan Pancak, terbina sebagai materi ajar pendidikan tradisional Minangkabau pada surau-surau yang ada di berbagai pelosok daerah budaya Minangkabau. Materi ajar ini diajarkan sejalan dengan materi ajar lainnya, yaitu pengajaran agama Islam (baca Al-Qur’an beserta seluruh ajaran yang mengikutinya), pengajaran tentang pengetahuan adat istiadat Minangkabau, dan pengajaran-pengajaran praktis lainnya. Semua bentuk pengajaran itu menuju kepada sasaran untuk membentuk manusia Minangkabau siap menghadapi tantangan hidup yang semakin kompleks tanpa harus meninggalkan identitasnya sebagai orang Minangkabau. Minangkabau sebagai salah satu suku yang ada di Indonesia, merupakan satu-satunya suku yang menganut sistem matrilineal. Setiap anak yang lahir secara langsung akan menjadi anggota keluarga suku ibu, karena di Minangkabau garis keturunan ditarik berdasarkan keluarga ibu, maka anak lakilakin yang sudah dewasa tinggal di surau dan anak perempuan tinggal di rumah. Selain dikenal dengan sistem matrilinialnya, ada beberapa ciri khas lain yang melekat bagi suku Minangkabau, di antaranya adalah kebiasaan merantau yang telah membudaya di kalangan orang Minang, dan juga mereka dikenal sebagai muslim yang taat. Penampilan Randai biasanya dilakukan pada malam hari setelah sholat Isya’ sangat cocok saatnya bagi tatanan kehidupan masyarakat. Sebagai masyarakat agraris masyarakat Minangkabau tentu merasa terisi kebutuhannya yang lain dalam kehidupannya,
MUDRA Jurnal Seni Budaya
dengan adanya penampilan Randai, masyarakat dapat menikmati adanya hiburan. Pada siang hari masyarakat sibuk dengan pekerjaanya masingmasing, baik sebagai petani maupun nelayan. Pada malam harinya mereka berbondong-bondong pergi menyaksikan penampilan Randai yang biasanya dilaksanakan di arena terbuka dengan penerangan beberapa lampu petromak. 2. Perspektif agama Masyarakat Minangkabau adalah penganut agama Islam, bahkan sebagian penganutnya dapat dikatakan sebagai golongan fanatik. Agama ini telah diterima dan menyatu dengan budaya (adat istiadat) berabadabad yang lampau, sehingga dalam kehidupan masyarakat dituntun oleh norma agama dan adat yang tak dapat dipisahkan. Sebelum agama Islam masuk ke Minangkabau, masyarakat telah menganut paham ke Tuhanan. Hal ini tergambar dari pepatah yang berbunyi ‘alam takambang jadi guru’ (alam terkembang jadikan guru) yang merupakan landasan dalam membentuk pribadi seseorang dalam agama Islam. Pepatah ini menuntut masyarakat supaya senantiasa mempelajari alam sekelilingnya seraya kebesaran Sang Khalik Maha Pencipta. Dalam ajaran agama Islam dikatakan, bagi orang yang pandai membaca akan memperoleh banyak pelajaranpelajaran yang terdapat pada alam. Dalam Kitab Suci Al-Quran banyak ditemukan ayat-ayat yang menyuruh manusia menyelidiki dan mempelajari alam, salah satunya adalah : ِلْيَّللا ِفَالِتْخاَو ِضْر َألْاَو ِتاَوَمَّسلا ِقْلَخ يفَِّنِإ ِراَهَّنلاَو َنارمع لا( ِباَبْلَألْا ىِلوُألِ ٍتاَيَأل: 190).
Artinya: “Sesungguhnya pada kejadian langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bagi orang yang memperhatikannya adalah tanda-tanda bagi orang yang berakal” (Ali Imran:190).
Ajaran dasar adat Minangkabau mempunyai persamaan dengan ajaran agama Islam. Kekuatan adat dan agama, seperti yang diungkapkan dalam pepatah ‘adat bersandi syarak, syarak bersandi kitabullah’. Adat dan agama merupakan pandangan bagi masyarakat Minangkabau yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam kegiatan keagamaan perlu juga adanya kesenian untuk memeriahkan pelaksanaannya. Tujuan kesenian untuk amar makruf nahi munkar, yang 53
Sri Rustiyanti (Estetika Randai Analisis Tekstual dan Kontekstual)
artinya mengajak, melakukan perbuatan yang baik, dan mencegah perbuatan yang tercela. Randai pada masa lalunya berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan ajaran agama Islam, yang dimainkan oleh kaum laki-laki saja sebanyak sembilan orang, yang kemudian dikenal dengan nama Tari Bujang Sambilan (Wawancara dengan Dt. Indo Marajo, 58 th, Pimpinan Randai di Nagari Tambangan Padang Panjang). Pada tahun 1926 Randai menjadi milik masyarakat surau dan itu berarti kegiatan Randai mendapat dukungan sepenuhnya dari para alim ulama. Sejak 1928 mulai berkembang di luar surau dan sudah mengalami pergeseran nilai dan fungsi. Kaum agama tidak campur tangan lagi dalam pengembangan Randai. Bahkan sampai sekarang tidak pernah disebutkan lagi, bahwa Randai pada mulanya adalah milik kaum agama untuk salah satu media dakwah di masa lampau. Agama tidak mengikat kepada anggota pemain Randai, mereka tidak harus beragama Islam yang taat beribadah. Randai hanya merupakan perkumpulan kesenian yang digemari masyarakat Minangkabau. Akan tetapi karena di Minangkabau pada umumnya mayoritas penduduknya pemeluk Islam, maka tidak mustahil kalau perkumpulan Randai anggotanya beragama Islam semua. Dengan didasari agama yang sudah melekat, maka sering juga diselipkan isi cerita yang bernafaskan keagamaan. Randai pada mulanya mempunyai arti secara etimologis: ra’yanda’i, merupakan salah satu alat untuk menyiarkan agama. Akan tetapi bukan berarti Randai merupakan bentuk ritual yang ditujukan kepada Tuhan, melainkan tetap merupakan bentuk kesenian yang ditujukan kepada sesama manusia. Dalam agama, kesenian (keindahan) sangat diperlukan, seperti dalam salah satu hadist riwayat Quran, bahwa Tuhan cinta akan keindahan dan kesenian. )ثيدحلا( َلاَمَجْلا ُّبِحُي ٌلْيِمَج َهللا َّنِإ Artinya: “Sesungguhnya Allah Mahaindah dan Dia suka akan keindahan”.
3. Perspektif adat Norma adat Minangkabau dibentuk oleh tali tigo sapilin yaitu alua-patuik, anggo-tanggo, dan raso-pareso. Norma ini terkristalisasi dalam adat 54
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Minangkabau, dan digunakan dalam berbagai pertimbangan adat. Ketiga hal ini merupakan ‘tungku’ bagi pemasakan adat, sedangkan ‘apinya’ adalah para pemangku adat. Setiap penghulu adat hendaknya memahami dan menguasai ketiga norma tersebut, sehingga kepemimpinan adat yang dimilikinya dapat menanak ‘rasa keadilan’ dan kesejahteraan terhadap kaum yang dipimpinnya. Sedangkan bagi anak Minangkabau pada umumnya, pemahaman alua-patuik, anggo-tanggo, dan rasopareso memiliki fungsi untuk menumbuhkan jatidiri dan memahami batasan-batasan hidup dalam bermasyarakat. Randai merupakan salah satu kesenian Minangkabau yang dikenal dengan sebutan Pamenan Anak Nagari. Adat Minangkabau meriah dengan adanya berbagai macam bentuk kesenian. Oleh karena itu, adat akan menyediakan segala sesuatunya untuk perkembangan kesenian. Di kampung-kampung jarang ditemui kelompok masyarakat yang tidak memiliki kesenian, baik Tari, Randai, atau Silat. Apabila kesenian ditiadakan, maka akan terasa sepi dan hambar. Dari uraian ini, dapat diketahui bahwa Randai merupakan salah satu bentuk kesenian Minangkabau yang sudah menyatu dengan masyarakatnya dan tidak dapat dipisahkan. Hal ini dapat dilihat dari fungsi Randai baik pendukung maupun penikmatnya, antara lain: 1) Fungsi, hiburan, 2) Fungsi edukatif, dan 3) Fungsi sosial. 4. Perspektif sosial masyarakat Secara umum masyarakat Minangkabau hampir tidak mengenal sistim strata sosial, karena tata kehidupan bernagari telah dipengaruhi oleh normanorma agama Islam yang mensyariatkan kehidupan sederajat dalam lingkungan masyarakatnya. Dalam ajaran Islam manusia sama di sisi Allah, tanpa ada perbedaan satu sama lainnya, namun demikian secara tradisional masih ada penggolongan atau pengelompokan orang berdasarkan fungsinya dalam masyarakat. Pengelompokan ini semata-mata diberikan oleh masyarakat sebagai penghargaan terhadap individu-individu yang mempunyai kemampuan di bidang masing-masing. Perbedaan golongan (penggolongan) seseorang menurut peranan sosial dan posisi sosial ke dalam kelas-kelas secara bertingkat didasarkan pada
Volume 30, 2015
MUDRA Jurnal Seni Budaya
potensi dan posisinya dalam masyarakat. Biasanya orang-orang tersebut mempunyai kemampuan mempengaruhi orang lain, dan mempunyai peranan yang menentukan dalam kelompok sosial itu. Dalam tata kehidupan masyarakat tradisi kelompok ninik mamak, pemangku adat, alim ulama, cadiak pandai bekerja sama saling bahu membahu dalam memimpin masyarakat. Mereka disebut ‘tali tigo sapilin, tungku nan tigo sajarangan (tali tiga sepilin tungku tiga sejarangan). Eksistensinya dalam kehidupan masyarakat dikatakan ‘suluah bendang dalam nagari’ (suluh terang dalam nagari). Jadi para pemimpin tersebutlah yang memberi bimbingan pendidikan dan arahan kepada masyarakat untuk memperoleh kehidupan yang tenteram baik di dunia dan di akhirat. Proses dinamika perkembangan kehidupan sosial Minangkabau, sedikit banyak akan membawa efek terhadap proses perkembangan keseniannya. Dengan kata lain, kehidupan masyarakat, struktur sosial, dan tata nilai juga akan mempengaruhi perkembangan kehidupan Randai. Perkembangan yang menyangkut masalah struktur, bentuk, dan hubungan Randai dengan masyarakatnya, menunjukkan bahwa perjalanan kehidupan manusia tidak statis, akan tetapi terus mengalami perubahan sesuai dengan proses dinamika budaya lingkungannya. Dengan demikian, dalam kehidupan manusia, budaya berlangsung dinamis yang secara terus menerus mengalami pembentukan dan pembaharuan. Oleh karena itu, kebudayaan sebagai totalitas pikiran, rasa, dan hasil karya manusia akan tetap mengikuti pada suatu gerakan dinamika kehidupan manusia, sehingga semua bentuk kebudayaan adalah dalam gerak perubahan (Koentjaraningrat, 1974:11). Karya seni direalisasikan sebagai ekspresi dari jiwa seseorang atau kelompok untuk dinikmati penghayatnya, sehingga tidak mustahil hasil yang diungkapkan akan menimbulkan rasa senang dan tidak senang dari masyarakat. Karya seni dalam hal ini Randai, lahir, tumbuh dan berkembang dari dan oleh masyarakat Minangkabau. SIMPULAN Penjelasan Randai secara holistik, dengan menjabarkan secara umum tentang Randai dianalisis dari segi bentuk secara fisik atau tekstual, maupun
kontekstualnya dengan ilmu pengetahuan yang lain. Analisis tari dipandang dari bentuk atau teks dapat dilakukan dengan menganalisis bentuk struktur, teknik, dan gaya secara koreografis, beserta aspekaspek keberadaan bentuk tari (musik, tata rias, kostum, pentas, setting, dan tata lampu). Selanjutnya lebih menyempit lagi, dipahami secara kontekstual mengkaitkan keberadaannya dengan ilmu pengetahuan lain seperti konteksnya dari perspektif sejarah, agama, adat, dan sosial masyarakat. Temuan dari hasil penelitian-penelitian Randai terdahulu, pada umumnya membahas, mengkaji, dan menganalisis Randai dari bentuk dan struktur Randai secara umum. Adapun yang menggabungkan antara filosofi, seni, dan budaya, serta bahasan perihal ‘Bagaimana konsep estetik Tari Minang’, belum dibahas secara khusus. Oleh karena itu, unsur-unsur estetik Randai sebagai objek penelitian dapat menjadi temuan yang bermanfaat dalam perkembangan ilmu pengetahuan (Ilmu Estetika). Randai sebagai pamenan anak nagari terdiri atas unsur pokok yang tidak dapat ditinggalkan; sedangkan unsur penunjang sifatnya hanya menambah, dan tidak menjadi tuntutan atau persyaratan yang harus dipersiapkan. Apabila Randai tidak dilengkapi dengan unsur penunjang Randai masih tetap dapat ditampilkan dengan keempat unsur pokoknya. Randai yang semula sebagai pamenan anak nagari kini menjadi sebuah nomor pertunjukan yang telah dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi pertunjukan yang lebih menarik, inovatif, dan kreatif. Pengemasan yang dilakukan selain pemadatan waktu pertunjukan dari semalam suntuk menjadi kira-kira tiga jam, juga penyatupaduan antara unsur pokok yang terdiri atas: pelaku, cerita, dendang, dan gelombang; sedangkan unsur penunjang terdiri atas: pentas, busana, make up, setting, lighting, tarian, karawitan, dan penonton. Namun perubahan yang terjadi tersebut tidak menjadikan konflik, karena mereka menyadari perkembangan Randai mengikuti dinamika kehidupan masyarakat. Hal ini mengemukakan bahwa perjalanan kehidupan manusia tidak statis tetapi selalu berubah dalam mengembangkan karya cipta seni untuk mencari idiom-idiom baru.
55
Sri Rustiyanti (Estetika Randai Analisis Tekstual dan Kontekstual)
DAFTAR RUJUKAN
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Liliweri, Alo. (2011), Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Anis, Mohd MD Nor. (1986), ”Randai Dance of Minangkabau Sumatera with Labanotation Scores”, dalam Jurnal Tirai Panggung, Universiti Malaya, Kuala Lumpur.
_________ . (2002), Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya, Lkis, Yogyakarta.
Maryono, Oong. (1998), Pencak Silat Merentang Waktu, Galang Press, Yogyakarta.
Brahim. (1986), Drama dalam Pendidikan, Gunung Agung, Jakarta.
Soedarsono, RM. (1999), Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, MSPI, Yogjakarta.
Sedyawati, Edi. (1999), Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, Bandung.
Murgiyanto, Sal. (2004), Mencermati Seni Pertunjukan: Perspektif Kebudayaan, Ritual, Hukum, Kerjasama Ford Foundation dan Program Pascasarjana Institu Seni Indonesia Surakarta, Surakarta.
_________________ . (1986), Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Sinar Harapan, Jakarta. dan
_____________ . (2002), Kritik Tari: Bekal dan Kemampuan Dasar, Ford Foundation dan MSPI, Jakarta.
Tambayong, Japi. (1981), Dasar-Dasar Dramaturgi, Pustaka Prima, Bandung.
Soedirosatoto. (1989), Pengkajian Drama I, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Jamal, MID. (1985), Filsafat dan Silsilah AliranAliran Silat Minangkabau, Akademi Seni Karawitan Indonesia Padang Panjang, Padang Panjang.
Sumdandiyo, Hadi Y. (2007), Kajian Tari: Teks dan Konteks, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta.
Gadamer, Hans-Georg. (2004), Kebenaran Metode, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
56
Volume 30, 2015
Jurnal Seni Budaya VolumeMUDRA 30, Nomor 1, Pebruari 2015 p 57 - 64
ISSN 0854-3461
Kebangkitan Pasantian di Bali pada Era Globalisasi I KOMANG SUDIRGA1, I GDE PARIMARTHA2, I WAYAN DIBIA3, I MADE SUASTIKA4. Program Doktor, Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar, Indonesia. 2, 4, Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar, Indonesia. 3, Jurusan Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar, Indonesia. E-mail:
[email protected] 1,
Penelitian ini mengkaji kebangkitan pasantian di Bali pada era Globalisasi. Sebagai sebuah penelitian kajian budaya, permasalahan yang diangkat berkaitan dengan fenomena isu-isu pasantian diteropong melalui perspektif wacana kritis. Hal ini dicermati melalui pengamatan pasantian pada masa lampau yang bersifat istana sentris. Akan tetapi, kini tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat, mencair menembus batas dalam ruang dan waktu serta terbebas dari sekat-sekat ke-wangsa-an dan kewarna-an. Sebelum mengalami fase kebangkitannya, pasantian juga pernah mengalami dinamika pasang surut. Keterpurukan pasantian sebagai akibat tradisi kultural serta situasi sosial politik yang tidak stabil. Dalam tradisi kultural, kuatnya hegemoni kalangan elite tradisional melegitimasi pemertahanan status quo terhadap kaum jaba melalui konsep “siwa-sisya” dan “kaula-gusti”. Berbagai persoalan tersebut menjadi fokus perhatian penulis untuk mendalami lebih jauh tentang aktivitas pasantian. Bahkan, perhatian tidak hanya difokuskan pada keterpinggiran pasantian sejak masa lalu, tetapi juga persoalan wacana yang pro dan kontra. Dalam hal ini mereka yang kontra memandang kebangkitan pasantian sebagai topeng pengumbar hasrat, sedangkan mereka yang pro memandang kebangkitan pasantian bertuah pujian, yakni sebagai pengawal dan benteng tradisi. Konsekuensinya pasantian terjebak dalam anomali antara dicemoohkan dan dipentingkan. Hasil kajian ini menunjukkan tiga hal. Pertama,tahapan dan bentuk-bentuk kebangkitan pasantian dapat dikategorikan ke dalam tiga periode, yaitu (1) Tahapan Kebangkitan Awal (1979-1990) dengan tonggak-tonggak: berdirinya Lembaga Widyasabha, bentuknya mabebasan, makidung; even Pesta Kesenian Bali (PKB); bentuknya sandyagita (gegitaan), taman penasar, Arja negak; even Utsawa Dharma Gita bentuknya Lomba Nyastra; (2) Tahapan Kebangkitan Kedua (1991-1998) dengan tonggak Dagang Gantal bentuknya gegitaan interaktif, mageguritan; (3) Tahapan Kebangkitan Puncak (Tahun 1999-2010an) bentuknya kidung interaktif dipelopori siaran gegirang TVRI Denapsar, gita shanti Bali TV, tembang guntang Dewata TV, dan mageguritan BMC TV.
The Rise of Balinese Pasantian During the Era of Globalization This study examines the rise of Balinese pasantian during the era of globalization. Through a cultural studies approach, issues raised here relate to the phenomenon surrounding pasantian and are examined through critical discourse. It can be observed through the observation of pasantian in the past it was clearly court-centric, but now it has grown and developed out into the lives of the community, melding boundaries in space and time and freeing barriers of dynasty and caste (ke-warna-an). Before its resurgence, pasantian experienced dynamic changes in its recent past. Pasantian’s downturn was the result of turbulent transformations of cultural traditions and unstable socio-political conditions. Through the concept of “Siwa-sisya” (teacher/student) and “kaula-gusti” (servant/master) the cultural elites maintained their strong cultural hegemony, legitimizing their status in the eyes of the commoners. These issues not only focus on the marginalization of pasantian in the past, but explore the critiques and praise in contemporary discourse. While those who praise its revival, see it as a ‘mask’ of false aspirations, while those who praise pasantian spiritual revivification of worship and a guardian of tradition. As a consequence, pasantian is an anomaly wedged between being scorned on the one hand and praised on the other. The results of this study demonstrate
57
I Komang Sudirga, dkk. (Kebangkitan Pasantian di Bali...)
MUDRA Jurnal Seni Budaya
three outcomes. First, the periods and numerous forms of pasantian revivalism can be catagorized into three main groups such as (1) the Initial Revival Period (1979-1990) founded by organizational establishments of Widyasabha with pertinent forms including Mabebasan and Makidung; Bali Arts Festival with the embodiment of Sandyagita (Gegitaan) and Taman Penasar; as well as Utsawa Dharma Gita forwarding diverse arrangements; (2) the Second Revival Period (1991-1998) with Dagang Gantal as pillar activity giving rise to Interactive Gegitaan and Mageguritan; and (3) the Peak Revival Period (1999-2010) with particular forms such as Interactive Kidung, Gita Shanti, Arja Negak, and Tembang Guntang. Keywords: Revivalism, pasantian, creativity, and globalization
Di Bali, membaca dan menembangkan hasil karya sastra secara resitatif, lazim disebut mabebasan, dan sejak tahun 1980-an lebih dikenal dengan pasantian. Aktivitas mabebasan ini pada masa lampau lebih bersifat istana sentris. Pelakunya kebanyakan dari kalangan bangsawan, terutama dari kaum triwangsa dan orang-orang tertentu dari kalangan jaba yang mempunyai talenta khusus dalam bidang sastra tradisional sehingga terkesan elite dan ekslusif. Demikian pula penguasaan terhadap naskah tradisional terbatas pada golongan elite tertentu (Rubinstein, 1992). Kondisi ini menimbulkan kesenjangan aktivitas pasantian di masyarakat. Kesenjangan ini disebabkan beberapa alasan seperti terbatasnya sarana dan prasarana pembelajaran, tersumbatnya kebebasan berekspresi, serta tradisi kultural dengan konsep aja were yang begitu kuat. Hal ini menyebabkan komunitas pasantian tumbuh dan berkembang dalam jumlah terbatas. Terpasungnya kebebasan berekspresi membuat masyarakat secara umum kurang kritis melakukan reinterpretasi, reorientasi, dan relokasi terhadap tatanan pasantian yang telah ada. Kondisi ini berlangsung sampai tahun 1970-an, menyebabkan pasantian ketika itu lebih banyak berkembang di pusat-pusat kebudayaan tradisional, seperti geria, puri, dan kalangan elite tradisional lainnya. Kaum elite dari golongan triwangsa telah menjadikan pengetahuan tradisional ini sebagai gaya hidup, sehingga praktik-praktik penyelenggaraan pasantian mendapat ruang yang lebih baik dibandingkan dengan kaum jaba. Perbedaan perlakuan dalam bidang ini tampaknya sangat dipengaruhi oleh konsep “dewa raja”. Geertz (1980: 109) menyatakan bahwa puri sebenarnya hampir sama dengan pura. Munandar (2005: 13) juga menyatakan bahwa raja dalam sistem kerajaan di Bali adalah sosok yang 58
dihormati dan dimuliakan. Puri tempat tinggal sang raja dianggap sebagai tempat bertemunya dewadewa dengan masyarakat, antara penguasa dan bangsawan lainnya. Pandangan yang medewakan raja menyebabkan pola pikir masyarakat tercekoki secara nirsadar, seolah-olah menerima kondisi dengan berbagai situasi sosialnya secara alamiah. Kondisi seperti ini oleh Gramsci disebut dengan hegemoni, yaitu persetujuan spontan yang diberikan oleh masyarakat luas terhadap tujuan umum tentang kehidupan sosial yang diintroduksisasi oleh kelompok yang betul-betul dominan (Tester, 2009: 16). Bennet juga mencermati bagaimana kelas yang berkuasa menyubordinasi kelompok sosial supaya menyetujui berjalannya hubungan yang ada dan melakukannya dengan menawarkan sebuah harga kepada kelompok subordinan dalam status quo. Dengan demikian sesungguhnya yang disetujui adalah sebuah versi negoisasi ideologi dan budaya kelas berkuasa (Tester, 2009: 14). Berdasarkan pandangan Gramsci hegemoni yang telah beroperasi di kalangan elite tradisional, tidak saja menyuburkan praktik-praktik sosial yang menindas rakyat secara halus melalui pembodohan, tetapi juga mampu membangun kesadaran palsu masyarakat bawah. Tujuan kelas berkuasa sebagaimana dinyatakan Bennet, yakni untuk menikmati kekuasaan moral, sosial, dan intelektual terhadap seluruh masyarakat (Tester, 2009: 11). Di balik semua itu ada upaya penanaman ideologi yang mendasarkan pada konsep totalitarianisme atau absolutisme Hegel yang menyatakan bahwa negara adalah konsep ide sempurna dalam kenyataan, sehingga setiap individu harus mengabdikan diri pada negara. Dengan demikian negara berhak memaksakan kehendaknya terhadap individu. Dalam konteks yang demikian maka dominasi kelas dominan terhadap kelas subdominan melalui
Volume 30, 2015
implementasi konsep siwa-sisya dan konsep kaula-gusti mendapatkan legitimasinya. Wacana seperti ini berkembang begitu lama di masyarakat. Implikasinya, pengetahuan tradisional ketika itu menjadi suatu yang sangat berharga, sehingga sangat sulit untuk dapat diakses oleh orang kebanyakan. Kelahiran Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, berupaya membangun citra pemerintahan dan memulihkan situasi ekonomi yang kacau balau pascakrisis dan tragedi politik tahun 1965. Dalam waktu bersamaan Soeharto juga berupaya memperkuat wibawa negara dan meredam gejolakgejolak dan dendam politik yang bersifat laten (Picard, 2006: 60-61). Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka digalakkan sektor pembangunan. Dalam kaitan inilah pembinaan seni budaya, khususnya pasantian, sebagai produk budaya Bali yang unik dan sarat dengan nilai kehidupan mendapat perhatian lebih serius. Kini, seiring dengan dinamika perubahan sosial dan tumbuhnya kesadaran kritis masyarakat, pasantian telah berkembang pesat ke seluruh pelosok Pulau Bali. Banyak ahli yang melihat fenomena ini sebagai era kebangkitan sastra klasik Bali di Pulau Dewata, padahal dalam beberapa dekade sebelumnya nyaris terlupakan. Belum pernah terjadi dalam sejarah perkembangan kesenian Bali, pertumbuhan olah seni suara vokal seperti yang terjadi sekarang ini. Hampir tidak ada kegiatan upacara adat dan agama Hindu di Bali yang diselenggarakan tanpa pasantian. Fenomena kebangkitan pasantian ini merupakan suatu fenomena budaya yang menarik untuk dikaji. Apalagi pasantian memasuki dialektika, pergulatan budaya, tarik menarik antara nilai-nilai tradisi dan nilai-nilai arus globalisasi. Sosok budaya pasantian menjadi penting dicermati dalam konteks dinamika perubahan sosial masyarakat yang kini tampak semakin kritis. Di tengah-tengah kesemarakan pertumbuhannya, pasantian bukannya tanpa persoalan, banyak kalangan yang melakukan ”cibiran” terhadap aktivitas pasantian ini. Bahkan tidak jarang suatu kondisi yang dilematis yang mesti ditanggungnya, yakni pasantian antara dicemoohkan dan dipentingkan. Demikian kompleksitas persoalan yang muncul dalam pasantian akan tetapi di tengah hiruk
MUDRA Jurnal Seni Budaya
pikuknya, tradisi budaya ini belum mendapat perhatian sebagaimana mestinya dari kalangan peneliti seni budaya. Sebagai fenomena yang sedang aktual, topik ini menginspirasi penulis untuk mendalami lebih jauh melalui aktivitas penelitian. Berdasarkan fenomena tersebut, ada tiga permasalahan yang dijadikan fokus kajian penelitian ini, yaitu 1) Bagaimanakah tahapan dan bentuk kebangkitan pasantian di Bali pada era Globalisasi?, 2) Mengapa terjadi kebangkitan pasantian di Bali pada era Globalisasi?, dan 3) Apa sajakah dampak dan makna kebangkitan pasantian di Bali pada era Globalisasi? Penelitian dilakukan dengan menggunakann metode kualitatif dengan pendekatan kajian budaya (culture studies). Penentuan informan dilakukan secara purposif, sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian. Kebangkitan pasantian sebagai objek formal penelitian ini dikaji berdasarkan fenomena yang menunjukkan gejala perubahan-perubahan, baik secara makro maupun mikro. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, wawancara mendalam, studi dokumen, dan kepustakaan. Jenis data yang digali dalam kajian ini terdiri atas data kualitatif dan kuantitaif yang bersifat melengkapi. Sumber data primer adalah informan dan rekaman langsung, sedangkan sumber data sekunder adalah dokumen. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan interpretatif, dengan melalui tahapan reduksi data, penyajian data, serta penarikan simpulan akhir yang bersifat utuh. Analisis bersifat terbuka, tidak kaku dan statis. Hasil analisis data disajikan secara informal dan formal. Dalam hal ini secara informal data disajikan dalam bentuk narasi, dan ungkapan kata-kata, sedangkan secara formal data disajikan dalam bentuk tabel, gambar, metrik, bagan, dan peta. Landasan berpijak dalam rangka memecahkan permasalahan di atas, digunakan teori Dekonstruksi, teori Praktik, dan Estetika Post-modernisme. Pemilihan teori Dekonstruksi untuk menjawab permasalahan secara umum didasari atas pertimbangan bahwa dalam realitas pasantian selalu memunculkan oposisi biner, ada pusat dan ada pinggiran. Orientasi penyajian pasantian pada masa lalu berpusat di kalangan elite (triwangsa) dan masyarakat sebagai pihak yang termarjinalkan. 59
I Komang Sudirga, dkk. (Kebangkitan Pasantian di Bali...)
Pelakunya laki-laki dan perempuan sebagai kaum yang terpinggirkan. Materi penyajian yang pada masa lalu lebih dominan dari produk tradisi besar didekonstruksi dengan materi macapat yang lebih sederhana, dari tradisi kecil. Teori ini digunakan membedah baik bentuk, faktor, dampak, maupun makna kebangkitan pasantian pada era Globalisasi; teori Praktik untuk menjawab faktorfaktor pemengaruh kebangkitan pasantian pada era Globalisasi, dan teori Estetika Post-modernisme untuk menjawab permasalahan bentuk, dampak, serta makna kebangkitan pasantian pada era Globalisasi. Ketiga teori tersebut saling mendukung dan dibantu teori-teori kritis lainnya secara eklektik. KEBANGKITAN PASANTIAN PADA ERA GLOBALISASI Tahapan dan Bentuk-Bentuk Kebangkitan Pasantian Tahapan dan Bentuk Kebangkitan Awal (19791990) dengan tonggak-tonggak: berdirinya Lembaga Widyasabha. Orde Baru yang lahir di tengah krisis tahun 1965, dalam beberapa tahun berhasil menancapkan dan memperoleh pengesahan kekuasaan mereka. Di bawah kepemimpinan Soeharto, Orde Baru berupaya membangun citra pemerintahan dan memulihkan situasi ekonomi yang kacau balau pascakrisis dan tragedi politik tahun 1965. Dalam waktu bersamaan Soeharto juga berupaya memperkuat wibawa negara dan meredam gejolak-gejolak dan dendam politik yang bersifat laten. Protes-protes politik dilarang karena distigma sebagai sumber konflik yang dapat mengganggu gerak maju negara ke arah modernisasi dan pembangunan (Picard, 2006: 60-61). Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka digalakkan sektor pembangunan. Terlebih motto pembangunan yang digalakkan adalah “pembangunan manusia Indonesia seutuhnya” dalam konteks ini pembangunan tidak saja berorientasi pada pembangunan fisik semata tetapi juga pembangunan mental rohaniah juga mendapatkan perhatian. Selain itu pembangunan sektor pariwisata juga memberikan angin segar bagi pertumbuhan potensi seni budaya lokal yang unik. Dalam kaitan inilah pembinaan seni budaya khususnya pasantian sebagai produk budaya Bali yang unik dan sarat dengan nilai kehidupan mendapat perhatian lebih serius. Kebijakan pemerintah dalam hal ini adalah melakukan proyek penggalian, 60
MUDRA Jurnal Seni Budaya
pembinaan, dan pengembangan sastra daerah melalui lembaga Widyasabha. Hasil kegiatan ini mampu menggairahkan aktivitas sastra tradisional dalam bentuk tradisi nyastra, mabebasan, dan makidung. Tonggak dalam rentang waktu bersamaan (1979) adalah Pesta Kesenian Bali (PKB) dengan berbagai bentuk pembinaan dan pengembangan kebudayaan Bali juga mampu menggairahkan aktivitas tembang dalam konteks seni pertunjukan berbentuk sandyagita (gegitaan), arja negak, dan taman penasar. Selanjutnya tonggak berikutnya melalui kebijakan penyelenggaraan Utsawa Dharma Gita (1985) berhasil membangkitkan sastra klasik Bali melalui aktivitas berbentuk perlombaan-perlombaan nyastra. Tahapan dan Bentuk Kebangkitan Kedua (19911998) dicirikan masuknya aktivitas pasantian di media radio, dengan tonggak program Dagang Gantal RRI Stasiun Denpasar yang mampu membangun kelompok pecinta tembang Bali (tembang mania) dengan wadah “Pasuwitran Dagang Gantal” yang dengan cepat memengaruhi pola siaran radio-radio pemerintah dan radio swasta lainnya di Bali. Aktivitas siaran berbentuk gegitaan interaktif, mageguritan mampu memotivasi gairah masyarakat dalam aktivitas pasantian di panggung elektronik, kemudian berdampak luas di masyarakat. Tahapan dan Bentuk Kebangkitan Puncak (19992010-an) dicirikan dengan tampilnya aktivitas pasantian di ruang media audio visual (televisi) dipelopori oleh program siaran gegirang TVRI Denpasar Tahun 1999, bentuknya kidung interaktif (on air) ada juga berbentuk rekaman. Program ini kemudian diikuti oleh Bali TV (2003) dengan acara gita shanti,kemudian Dewata TV dengan acara tembang guntang (2008), dan BMC TV dengan acara mageguritan (2010). Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kebangkitan Pasantian Faktor eksternal sebagai pemicu kebangkitannya, sementara faktor internal sebagai pemicu kesuburan dan inovasinya. Adapun faktor-faktor tersebut secara internal yaitu faktor budaya masyarakat Bali yang meliputi (a) tradisi nyastra sebagai modal budaya yang telah terwarisi menjadi modal utama untuk membangkitkannya, (b) budaya kompetitif
Volume 30, 2015
melalui semangat bersaing, (ideologi jengah, ajum) adalah modal spiritual yang mampu membakar emosi positif untuk memajukan potensi seni dan budaya masyarakatnya, (c) semangat kreativitas adalah modal intelektual yang mampu membangun inovasi-inovasi secara dinamis, sehingga melahirkan bentuk kreativitas pasantian yang memiliki genre secara variatif. Faktor eksternal terdiri atas 1) Faktor teknologi (teknologi komputerisasi dan media elektronik) telah memberikan pengaruh besar terhadap digitalisasi sastra klasik ke dalam bentuk buku cetakan yang mampu mempermudah sistem pembelajaran dan sebagai media pendokumentasian, di samping memberikan ruang baru terhadap aktivitas pasantian sebagai bagian dari budaya pop. 2) Faktor politik dan ekonomi, yang meliputi (a) Pembangunan ekonomi pariwisata dalam hal ini di samping meningkatkan devisa negara juga berimbas terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. McKean (dalam Picard, 2006: 173) melalui kajiannya yang disebut involusi budaya melihat bagaimana kemampuan orang Bali dalam melestarikan warisan budaya dan mempertegas identitas budayanya dari serangan wisatawan yang membanjirinya. Bahkan ia menyatakan bahwa pariwisata sebagai pelindung budaya Bali telah mempunyai andil yang besar dalam pelestarian dan renaisannya karena berperan rangkap sebagai sumber keuntungan dan sumber prestise bagi orang Bali. Dalam konteks masyarakat yang mapan secara ekonomi maka pembangunan mental spiritual mendapat perhatian. Modal ekonomi yang dibangun melalui pariwisata tidak diragukan lagi telah mampu menyuburkan praktik berkesenian di Bali. Sebaliknya potensi seni sebagai modal budaya lokal mampu digerakkan untuk mendukung politik pariwisata budaya yang berbasis kebudayaan Bali. (b) Politik pembanguan Bali berwawasan budaya bahwa kebudayaan Bali sebagai bagian dari kebudayaan nasional berfungsi sebagai potensi dasar yang melandasi segala gerak dan langkah pembangunan, baik pembangunan sektoral, regional maupun pembangunan sumber daya. Ideologi pembangunan tersebut secara timbal balik berorientasi melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Bali yaitu kebudayaan yang dijiwai oleh agama Hindu. Dengan demikian antara kebudayaan dan pembangunan (sektoral, regional, dan sumber daya) terbina suatu hubungan interaksi
MUDRA Jurnal Seni Budaya
yang bersifat dinamik dan positif (Oka, 1993: 1). Dalam konteks inilah pasantian menjadi salah satu pilar yang dianggap penting dalam pembangunan harkat dan martabat manusia, yang berkepribadian dan memiliki jati diri yang kuat. (c) Faktor politik identitas, dalam hal ini pariwisata budaya Bali yang diikuti dengan penguatan identitas etnis menyertai perkembangan pariwisata. Secara bersama-sama pariwisata, kebudayaan dan kekuasaan mereproduksi identitas etnis dan hak milik kebudayaan. Hal ini diwujudkan dengan klaim dan citra bahwa “budaya Balilah yang paling eksotis dan asli”. Selanjutnya ketika politik identitas dengan wacana ajeg Bali menyusup dan menanamkan pengaruhnya lewat politik informasi media (Pliang, 2004: 138) secara tersembunyi (tidak terlihat dan halus) dapat mengubah pandangan setiap orang secara tidak sadar. Berdasarkan politik informasi media tersebut, ideologi ajeg Bali yang diwacanakan kelas berkuasa diekspresikan melalui mekanisme opini publik dapat diterima secara tidak sadar oleh masyarakat Bali. Dengan daya sihirnya, Bali TV mampu menanamkan ideologinya bahwa menonton Bali TV bagi masyarakat Bali seolah menemukan kembali jati diri mereka sendiri. Ketika masyarakat Bali yang terbius oleh wacana ajeg Bali bangkit, jengah untuk nindihin Bali, mereka berlomba-lomba tampil mengisi acara pasantian di media, dan ketika itu pula agen kapitalis media memanfaatkan untuk meraih keuntungan. Termotivasi oleh mesin hasrat untuk tampil di layar kaca dengan membayarpun tidak menjadi persoalan. Dampak dan makna kebangkitan pasantian di Bali pada era globalisasi menunjukkan hal-hal sebagai berikut. 1. Dampak kultural Dampak kultural yang meliputi (a) memperkokoh ketahanan budaya, dalam hal ini menunjukkan bahwa semarak aktivitas pasantian pada era Globalisasi dewasa ini secara realitas telah ikut menguatkan sendi-sendi tradisi seni dan budaya Bali. Sendi-sendi yang dimaksud di antaranya penguatan lembaga tradisonal dalam bentuk sekaa santi, tradisi bertembang, pembacaan aksara dan bahasa Bali, penguatan jati diri dan solidaritas sosial melalui tradisi ngayah, pelestarian seni tari dan tabuh (tabuh geguntangan, dramatari arja), serta mendukung kontinuitas pelaksanaan elemen61
I Komang Sudirga, dkk. (Kebangkitan Pasantian di Bali...)
elemen tradisi upacara adat dan keagamaan; (b) menghidupkan kembali sastra Bali tradisional, dalam kaitan ini sastra Bali klasik yang pernah mengalami keterpurukan kini dapat direvitalisasi. Semangat untuk menggeluti dunia sastra tradisional semakin bergairah; (c) sekularisasi pasantian, hal yang tak dapat dihindari dari fenomena kebangkitan pasantian ini adalah mencairnya konsep “aja were” yang pada masa lampau sangat disakralkan, dianggap tenget, kini terbebas dari ikatan ruang dan waktu. Kini, pasantian tidak hanya di puri dan geria, tidak pula hanya di ranah upacara dengan berbagai atributnya yang rumit (sesajen, pakaian adat, dan yang lainnya). Media telah menyediakan waktu hampir setiap hari dengan berbagai kemudahannya. 2. Dampak sosial Dampak sosial yaitu (a) aktivitas pasantian mampu menumbuhkan kepercayaan diri dalam memperkuat identitas ke-Bali-an. Mereka tidak lagi merasa malu ketika menyajikan budaya tradisinya yang dianggap arkais, tetapi justru merasa bangga ketika mampu tampil dengan tembang Bali; (b) merevitalisasi modal sosial melalui aktivitas pasantian mampu membangun jejaring sosial yang dijadikan wahana membangun sentimen rasa kekeluargaan dan rasa persaudaraan, untuk saling memberikan dukungan dan bantuan, baik pada saat suka maupun duka. Untuk mempertahankan rasa sentimen tersebut diperlukan penanaman modal sosial (social capital) bagi setiap orang dengan berperilaku jujur, tulus ikhlas, dan bertanggung jawab. Hal ini penting untuk membangun kepercayaan seseorang dari orang lain. Kepercayaan itu akan mampu membangun sentimen individu untuk mempererat relasi dan hubungan sosial antar warga tanpa memandang sekat-sekat unsur ke-wangsa-an atau pun ke-warna-an. Tradisi undang mengundang dan kunjung mengunjungi antar jejaring anggota pasantian dalam suatu hajatan upacara adalah contoh nyata solidaritas sosial yang terbentuk tanpa melihat sekat-sekat geografis, geneologis, status, dan profesi; (c) mampu menumbuhkan semangat kreativitas, terutama kebangkitan pasantian kerap kali menjadi motivasi para pelaku dan penggiat pasantian melakukan inovasi-inovasi baik dalam tataran bentuk, isi, dan penampilannya. Proses kreatif ini mampu mereproduksi kebudayaan (pembiakan kultural) secara kontinu sesuai dinamika estetika yang berkembang; (d) sumringah gairah penyajian 62
MUDRA Jurnal Seni Budaya
pasantian dewasa ini menunjukkan kecenderungan menguatnya budaya pamer. Dalam kaitan ini kegairahan baik tampil di panggung ritual maupun panggung elektronik sarat oleh keinginan aktualisasi diri lebih dominan, hal ini tampak dari kecenderungan menguatnya penyajian pasantian menuju presentasi estetis; (e) dampak psikologis dalam hal ini berkorelasi ketika seseorang telah terjun ke dunia pasantian, maka dipundaknya telah terbebani berbagai ekspektasi yang berkonotasi seorang yang dianggap mempunyai nilai keistimewaan. Beban psikologis ini berhubungan dengan pandangan masyarakat yang memetaforakan anggota santi tidak ubahnya sebagai seorang misionaris, penjaga nilainilai luhur, pengawal tradisi, dan benteng moralitas. Akibatnya, tindak tanduk anggota santi cenderung menjadi perhatian publik. Konsekuensinya, kiprah sekaa santi dalam aktivitas sosialnya sering kali mengundang sanjungan dan sekaligus cibiran. Tidak sedikit anggota masyarakat yang menjadikan pasantian sebagai wahana pelarian untuk mencapai ketenangan jiwa ketika aktivitas lainnya tidak memberikan solusi. Pasantian menjadi terapi untuk menghilangkan stres, kebiasaan mabuk, dan keluar pada malam hari. 3. Dampak ekonomi Dampak ekonomi meliputi: (a) meningkatnya produksi kerajinan gamelan. Salah satu pihak yang menikmati keuntungan secara ekonomis dari semarak aktivitas pasantian adalah industri kerajinan gamelan. Di tengah-tengah pertumbuhan sekaa santi yang semakin menjamur, industri budaya gamelan juga semakin marak. Semakin banyaknya tumbuh sekaa santi dengan iringan geguntangan, semakin meningkat produksi dan usaha industri gamelan Bali. Setidaknya kebangkitan pasantian telah memberikan nilai tambah bagi para pengerajin gamelan, sehingga dapat meningkatkan omset penjualan gamelan geguntangan dari tahun ke tahun; (b) sebagai sumber pendapatan baru masyarakat. Berkembangnya pasantian yang semarak dewasa ini bagaimanapun memberikan peluang bagi penggiat pasantian untuk menjadikannya sebagai sumber pendapatan baru, di luar pendapatan rutinnya. Pertumbuhan sekaa santi yang semarak dengan berbagai formatnya memberikan peluang bagi mereka yang ahli gamelan geguntangan dan ahli tembang untuk membina sekaa pasantian hingga ke desa-desa. Konvensasi modal pengetahuan yang
Volume 30, 2015
diberikan dapat dipertukarkan dengan material, seperti dikatakan Bourdieu, pertukaran modal budaya dengan modal ekonomi dapat dilihat dari hasil yang diterima pembina pasantian tidak sematamata berupa uang, tetapi juga berupa material seperti gula, kopi, hasil panen berupa beras, kopi, pepaya, sayur mayur dan sebagainya. Selain itu, para penembang profesional baik secara individu maupun kelompok yang tergabung dalam sekaa santi atau sanggar, tentu akan memiliki peluang besar menikmati honorarium dari pentas-pentas yang bersifat komersial. Sementara itu, makna kebangkitan pasantian pada era globalisasi, yakni (a) makna pendidikan bahwa pasantian menjadi salah satu pilar pewarisan nilai-nilai budaya kepada masyarakat yang dapat menumbuhkan kecerdasan baik kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosional yang sangat bermakna dalam kehidupan; (b) makna hiburan dapat dicermati melalui penampilan pasantian di panggung ritual lebih berorientasi pada penggapaian ketenangan dan kesenangan, sedangkan di panggung elektronik lebih pada kepentingan untuk menghibur diri, meringankan beban hidup baik dari efek ketegangan psikologis maupun fisik; (c) makna politik pencitraan dalam hingar bingar aktivitas pasantian tersembunyi hasrat-hasrat yang bermakna simbolis. Makna-makna simbolis dengan citra gaya hidup mewah untuk meningkatkan status sosial, prestise diri, serta popularitas menjadi hasrat para pelaku pasantian. Mereka terjebak pada pola ruang konsumsi yang menurut Bakhtin (dalam Piliang, 2003: 300) sebagai carnivalism, yaitu sebuah ajang permainan tanda, permainan gaya, dan permainan makna. Kecenderungan ini juga sejalan dengan pandangan Maslow (dalam Suryana, 2008: 54) bahwa manusia memiliki lima tingkatan kebutuhan, dua di antaranya yaitu 1) kebutuhan akan harga diri (esteem needs) yang pada umumnya tercermin dari pemakaian simbol-simbol status; dan 2) aktualisasi diri (self actualisation) yakni tersedianya peluang dan kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang ada pada dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata; (d) makna hipermoralitas, dalam kaitan ini mengacu pada pandangan Bataille (dalam Piliang, 2004: 146) menyebut istilah hipermoralitas dengan pengertian suatu kondisi, yakni ukuran-ukuran moralitas yang ada tidak dapat dipegang lagi, wacana dalam terkait
MUDRA Jurnal Seni Budaya
aktivitas pasantian tidak lagi dikendalikan oleh kendali-kendali aturan, tabu, moral, keagamaan, tetapi oleh mesin hasrat itu sendiri, sehingga muncul berbagai penyimpangan perilaku; dan (e) makna pemertahanan nilai-nilai sosial budaya dapat dicermati melalui upaya mendukung ketahanan sistemik yang dalam pasantian tampak dari keterkaitan pasantian dengan unsur-unsur kebudayaan Bali lainnya, seperti religi, bahasa, peralatan, dan organisasi sosial, seperti sekaa, banjar, desa pakraman, sanggar, dan lain-lain. Kerekatan antara unsur-unsur budaya terefleksi dari integrasi antar unsur kebudayaan yang membangun totalitas dan keutuhan sehingga menjadi penyangga ketahanan budaya secara umum. Selanjutnya, temuan penelitian ini menunjukkan hal-hal sebagai berikut. a). Pasantian telah berkembang dari resitasi karya sastra yang bersifat pasif menjadi pertunjukan karya sastra yang performatif. Dengan kata lain, penyajian pasantian yang awalnya sebagai seni pendukung kegiatan ritual, tetapi kini menjadi aktivitas seni menuju presentasi estetis. b). Pasantian menjadi salah satu pilar alternatif untuk sebuah sistem edukasi tentang nilai-nilai kehidupan yang kompleks, yakni menyangkut pendidikan seni, agama, estetika, moral dan filsafat. c). Aktivitas pasantian telah menunjukkan sebuah proses pembiakan kultural sebagai agen reproduksi budaya. Hal ini dapat dicermati dari kegiatan bertembang yang melahirkan bentuk pasantian yang variatif seperti gita shanti, kemudian melahirkan pasantian arja negak, sampai pada pementasan dramatari arja. d). Walaupun globalisasi berpotensi menghancurkan kebudayaan lokal akan tetapi kebudayaan Bali dalam kasus pasantian mampu bertahan. Bahkan masyarakat Bali mampu membangun komunikasi estetisnya lewat penanda-penanda budaya global seperti radio, televisi, dan arus teknologi komunikasi yang canggih sehingga dapat menimbulkan glokalitas, di samping mampu menggairahkan semangat aktivitas pasantian secara antusias. Dalam hal ini di satu sisi globalisasi telah menimbulkan transnasionalisasi, tetapi di sisi lain lokalitas dan etnisitas juga berkembang. Kondisi ini sejalan dengan pendapat Robertson (dalam Barker, 63
I Komang Sudirga, dkk. (Kebangkitan Pasantian di Bali...)
2005: 158) menyatakan bahwa globalisasi itu sekaligus juga lokalisasi. Globalisasi juga menyebabkan semakin intensnya hubungan antara dimensi budaya global dengan budaya lokal atau etnis. Konsep glokalisasi untuk menerangkan suatu proses bahwa yang lokal diproduksi secara global dan lokalisasi yang global. SIMPULAN Kebangkitan pasantian di Bali pada era globalisasi merupakan sebuah kesadaran baru masyarakat Bali dalam memanfaatkan penanda-penanda budaya baru (TV, radio, dan HT) sejak era tahun 1970-an, untuk membangun komunikasi estetis dalam konteks tradisionalisasi pada era modernisasi dan Balinisasi pada era globalisasi, yakni dengan mengangkat pasantian sebagai akar kebudayaan Bali ke dalam pertarungan lokal-global untuk memperkuat identitas ke-Balian-nya. Sinergitas ideologi, politik, ekonomi, dan pemanfaatan kemajuan teknologi komunikasi secara sinergis menjadi faktor utama kebangkitan pasantian. Inovasi yang dilakukan adalah untuk membangkitkan pasantian secara dinamis seiring dengan perubahan zaman dan perkembangan selera estetika masyarakat. Demikin pula dekonstruksi terkait dengan aktivitas pasantian dapat dimaknai sebagai sikap kritis terhadap tatanan pasantian yang ada yakni melalui reinterpretasi, reorientasi dan relokasi menuju perkembangan pasantian yang lebih dinamis, humanis, egaliter, dan multikultural. Kebangkitan pasantian tidak saja berdampak secara kultural, tetapi juga sosial, dan ekonomi. Pemaknaan yang dapat digali dari kebangkitan pasantian dalam penelitian ini mencakup makna pendidikan, hiburan, politik pencitraan, hipermoralitas dan pemertahanan nilai-nilai sosial budaya. Dari temuan dan simpulan yang telah dirumuskan di atas, dapat disampaikan beberapa saran, yang dapat dijadikan bahan kajian bagi pengambil kebijakan dan penelitian selanjutnya. Adapun saran dimaksud yaitu 1) Dalam hal ini diperlukan komitmen berbagai pihak, terutama para pengambil kebijakan di tingkat birokrasi dan para pengendali otoritas di desa pakraman untuk memberikan ruang dan perhatian yang lebih besar. 2) Pemerintah perlu
64
MUDRA Jurnal Seni Budaya
lebih mengevaluasi peran lembaga Widyasabha Dharmagita, dan membangun institusi (sanggar, pasraman) yang mampu mewadahi minat anak-anak dan generasi muda dalam kegiatan pasantian secara berkelanjutan. 3) Diperlukan gerakan membangun agent of change melalui berbagai komponen sumber daya manusia sebagai inspirator, kreator, dan pelopor, yakni selaku garda depan sosialisasi nilai-nilai yang mampu menjadi inspirasi, panutan, dan suri teladan acuan perilaku. DAFTAR RUJUKAN Barker, Chris. (2005), Culture Stdudies: Teori dan Praktik (Edisi Keenam), Bentang, Yogyakarta. Picard, Michel. (2006), Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta. Piliang, Yasraf Amir. (1997), “Realitas-realitas Semu Masyarakat Konsumer: Estetika Hiperrealitas dan Politik Konsumerisme” dalam Life Style Ecstasy: Kebudayan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, Jalasutra, Yogyakarta. _______________. 2003. Hiper Semiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna.Yogyakarta: Jalasutra. _______________. (2004a), Postrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Postmetafisika, Jalasutra, Yogyakarta. _______________. (2004b), Dunia yang Berlari Mencari Tuhan-tuhan Digital, PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia, Jakarta. Rubinstein, R. (1992), “Pepaosan Callengges and Change” dalam Danker Schaareman (Eds.) Balinese Music in Context. Frankfurt, Amadeus. Suryawan, I Ngurah. (2009), Bali Pascakolonial: Jejak Kekerasan dan Sikap Kajian Budaya, Kepel Press, Yogyakarta. Tester, Keith. (2009), Immor(t)alitas Media: Menelisik Moralitas dalam Jejaring Industri Media, Juxtapose, Yogyakarta.
Volume 30, 2015
Jurnal Seni Budaya VolumeMUDRA 30, Nomor 1, Pebruari 2015 p 65 - 75
ISSN 0854-3461
Implikasi Pragmatik Bahasa Ungkap Tari Bondhan MARYONO Jurusan Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Surakarta, Indonesia. E-mail:
[email protected]
Penelitian ini pada dasarnya untuk mengkaji implikasi pragmatik bahasa ungkap tari Bondhan. Metodologi penelitiannya bersifat kualitatif dengan menggunakan rujukan teori pragmatik yang mencakup: implikatur, tindak tutur, prinsip kerja sama dan strategi kesantunan. Adapun teknik pengumpulan datanya melalui: observasi, studi pustaka, dan wawancara. Teknik analisisnya menggunakan paradigma kualitatif yaitu dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data dan secara khusus pada bagian akhir data-data simpulan yang bersifat sementara dikaji dengan teknik analisis kualitatif interpretatif. Hasil temuan penelitian ini dapat dipaparkan sebagai berikut. Tari Bondhan sebagai bahasa komunikasi seniman terhadap penonton pada dasarnya merupakan sebuah sistem lambang atau simbol untuk menyampaikan pesan dengan strategi implikatur. Dalam perspektif pragmatiknya seniman dalam menyampaikan pesan tersebut tidak dengan cara mengungkapkan proposisi tuturannya secara eksplisit, namun makna tuturan atau pesan yang dikehendaki disampaikan melalui cara implikatur yaitu dengan menggunakan bahasa ungkapan seni. Berdasarkan teoriteori pragmatik, kajian bahasa ungkap Tari Bondhan secara verbal dan nonverbal dapat ditarik implikasi pragmatiknya bahwa gambaran rasa sayang, kemesraan, dan keharmonisan seorang kakak terhadap adik merupakan bentuk keteladanan nilai-nilai kasih sayang. Presentasinya nilai-nilai kasih sayang tersebut layak dan perlu dijadikan pendidikan dalam rangka membentuk karakteristik anak dan para remaja.
The Pragmatic Implications of the Language of Expression in the Bondhan Dance The goal of this research is essentially to discover the pragmatic implications of the language of expression in the Bondhan dance. The research methodology is qualitative in nature and makes reference to pragmatic theories, including implicature, speech acts, principles of cooperation, and strategies of politeness. The techniques used for data collection are observation, a library study, and interviews. The technique for analysis uses a qualitative paradigm and is carried out together with the data collection, and specifically in the final section, the temporary data presented in the conclusion is studied with an interpretative qualitative analysis technique. The results of the research findings can be outlined as follows. The Bondhan dance, as a means of linguistic communication between the artist and the audience, is essentially a system of symbols for presenting a message using a strategy of implicature. From a pragmatic perspective, when presenting the message, the artist does not express the speech propositions in an explicit manner, but rather the meaning of the speech or the message he wishes to convey is presented in the way of implicature by using artistic language of expression. Based on pragmatic theories, in the study of the verbal and nonverbal language of expression in the Bondhan dance, the pragmatic implication can be drawn, that an illustration of the affection, compassion, and harmony between two siblingsis an example of the true value of love. The presentation of this value of love should be used to educate and form the characteristics of children. Keywords: Bondhan dance, implicature, love, and characteristics of children.
65
Maryono (Implikasi Pragmatik Bahasa Ungkap Tari Bondhan)
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Bahasa merupakan media komunikasi yang memegang peranan sangat penting dalam kehidupan manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan orang lain sebagai mitra komunikasi dalam rangka mempertahankan kehidupannya. Secara mendasar manusia menggunakan dua cara berkomunikasi, yaitu lewat bahasa verbal dan nonverbal (Lamuddin, 2005: 2). Setidaknya dua cara komunikasi bahasa baik verbal dan nonverbal maupun campuran dari keduanya akan memberikan salah satu solusi dalam menjaga sistem kemitraan manusia. Pertimbangan yang mendasar yang harus mendapatkan fokus perhatian adalah bagaimana pesan yang hendak disampaikan penutur dapat diterima petutur/mitra tutur tanpa berpotensi face threatening act. Untuk itu langkah penutur dalam menyampaikan maksudnya harus dilakukan secara implikatur agar pesan tersebut dapat diterima mitra tutur dengan nyaman dan tidak face threatening act. Penyampaian pesan dengan strategi implikatur yang demikian itu dalam ranah linguistik yang disebut implikasi pragmatik.
seniman untuk menyampaikan pesan dengan strategi implikatur. Dasar pemahamannya bahwa seniman dalam menyampaikan pesan tidak dilakukan dengan cara berbicara langsung, namun menggunakan Tari Bondhan sebagai bahasa komunikasinya. Dalam perspektif pragmatiknya seniman dalam menyampaikan pesan tersebut tidak dengan cara mengungkapkan proposisi tuturannya secara eksplisit, namun makna tuturan atau pesan yang dikehendaki disampaikan melalui cara implikatur yaitu dengan menggunakan bahasa ungkapan seni. Bagi masyarakat Jawa rupanya lambang atau simbol memiliki peranan sangat penting, sebab simbolisme sangat menonjol peranannya dalam tradisi adat Jawa. Menurut Clifford Geertz (1992: 6), ‘simbol’ tampak terbatas pada sesuatu yang mengungkapkan secara tidak langsung, sehingga perlu perantara yang berwujud simbol-simbol dalam puisi bukan dalam bentuk pengetahuan. Simbolisme semacam ini tampak pada tari Bondhan yang digunakan seniman untuk berkomunikasi terhadap masyarakat terutama bagi anak-anak.
Menurut Grice bahwa implikatur (implicature) adalah derivasi kata implicate yang bermakna menyiratkan secara kebahasaan (1981). Secara aplikatif dalam percakapan implikatur merupakan inferensial yang muncul dan dapat ditarik sebagai sebuah simpulan makna (Gunarwan, 2006: 1). Pandangan itu menunjukkan bahwa dalam berkomunikasi secara implikatur penutur berupaya untuk menyampaikan pesannya itu tidak secara apa adanya, namun dengan pertimbangan sandi. Merujuk dari teori Grice tersebut dapat kita aplikasikan pada tari Bondhan.
Kelayakan tari Bondhan sebagai sasaran penelitian dapat saya tunjukkan dari segi kualitas dan kuantitas, bahwasanya tari tersebut telah digunakan sebagai materi lomba PORSENI dari tingkat karesidenan hingga provinsi Jawa Tengah tahun 1990-an (wawancara dengan Dwi Rahmani pada Desember 2014). Setidaknya hingga kini Tari Bondhan merupakan materi pembelajaran yang diberikan kepada para siswi pada sanggar-sanggar tari di Surakarta, seperti: Pawiyatan Karaton Kasunanan Surakarta, Surya Sumirat di Mangkunegaran, Metta Budaya, dan Sarwiretno Budaya (wawancara dengan Nanik pada Oktober 2014). Selain itu tari tersebut juga hadir sebagai bentuk pertunjukan yang tampil pada acara-acara: resepsi perkawinan, khitanan dan perayaan-perayaan lainnya. Secara kuantitas semakin tampak meluas penyebarannya ketika musik tari Bondhan direkam dalam bentuk kaset gending beksan yang berlogo Penari Bondhan.
Tari Bondhan merupakan salah jenis bahasa pragmatik yang memiliki dua komponen sekaligus, yaitu verbal dan nonverbal. Ketika Tari Bondhan dipertunjukkan atau dipentaskan itu merupakan media bahasa seniman sebagai penutur untuk menyampaikan pesan terhadap masyarakat sebagai mitra tutur atau petutur. Kehadiran Tari Bondhan dalam kehidupan masyarakat merupakan bahasa komunikasi seniman terhadap audien yang bersifat sandi, mengingat di balik aktualisasi bahasa visual tari Bondhan terdapat makna yang tersirat sebagai pesan utama dari seniman. Tari sebagai bahasa komunikasi pada dasarnya merupakan sebuah sistem lambang atau simbol yang digunakan 66
Bentuk kajian penelitian ini bersifat kualitatif, namun langkah-langkah yang ditempuh juga menggunakan cara-cara kuantitatif seperti memeriakan jenisjenis tindak tutur yang bersifat verbal dan caracara pokok kualitatif untuk penjabaran dan analisis baik bahasa verbal dan hubungannya dengan bahasa nonverbal sebagai finalisasi jawaban untuk
Volume 30, 2015
menemukan kualitas makna yang sesungguhnya. Adapun metode pengumpulan data lewat: observasi, studi pustaka, dan wawancara merupakan langkahlangkah penting yang dilakukan penulis. Kajian terhadap implikatur pertunjukan tari Bondhan ini merupakan ranah linguistik pragmatik yang secara simultan perhatiannya mengarah pada ungkapan bahasa yang bersifat verbal dengan dukungan bahasa nonverbal, untuk itu teori-teori maupun konsep-konsep sebagai rujukan analisisnya lebih bertumpu pada teori pragmatik. Adapun jenis-jenis teori pragmatik yang digunakan untuk menganalisis bahasa ungkap tari Bondhan bertumpu pada teori-teori: tindak tutur, prinsip kerja sama, strategi kesantunan, dan implikatur. IMPLIKASI PRAGMATIK BAHASA UNGKAP TARI BONDHAN
Tari Bondhan merupakan jenis tari putri tunggal gaya Surakarta untuk anak-anak seusia Sekolah Dasar (SD). Pada mulanya tari Bondhan diciptakan oleh S.Ngaliman tahun 1961 dengan nama Bondhan Mardisiwi yang musiknya menggunakan gendhing ladrang Mugirahayu dan jineman Mijil slendro manyuro (Haryono, 1997: 98). Dalam perkembangan selanjutnya ketika rekaman pada tahun 1978 tari Bondhan Mardisiwi berubah nama menjadi tari Bondhan dan musiknya diganti dengan gendhing Ayak-ayakan, ladrang Ginonjing dan jineman Ledhung-ledhung yang secara musikal tampak lebih dinamis sehingga kesan ceria dan gembira tampak lebih tebal. Kelayakan Tari Bondhan sebagai tarian yang diperuntukkan bagi anak-anak ini salah satunya merujuk pada Pekan Olah Raga dan Seni (PORSENI) tingkat SD yang menggunakan tari Bondhan sebagai materi lombanya pada tahun 1990-an. Selain itu tari Bondhan banyak diminati terutama anak-anak putri yang belajar disanggar-sanggar seperti: Pawiyatan Karaton Kasunanan, Surya Sumirat, Metta Budaya dan Sarwiretna Budaya. Ketertarikan anak-anak remaja putri tersebut rupanya berkait dengan digunakannya properti payung dan boneka bayi yang biasa digunakan sebagai mainannya. Karakteristik Tari Bondhan lebih mengarah pada jenis madya antara sikap luruh dan lanyap pada genre tari putri.
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Bentuk bahasa verbal pada Tari Bondhan merupakan jenis-jenis teks yang bersifat kebahasaan yang berbentuk tembang. Jenis-jenis teks tembang tersebut secara substantif fungsional dimanfaatkan untuk menggambarkan kejadian peristiwa yang sedang berlangsung dalam sebuah adegan yang bertumpu pada teks gerongan ladrang Ginonjing laras slendro pathet manyura. Selain itu juga terdapat jenis tembang yang digunakan penari sebagai bahasa ekspresi secara langsung untuk bertutur. Aktualisasinya penari menyanyikan tembang Jawa yaitu teks jineman Ledhung-ledhung laras slendro pathet manyura. Secara keseluruhan ungkapan bahasa verbal yang terdapat pada tari Bondhan yang berbentuk sastra tembang tersebut memiliki keterikatan dengan irama, lagu, guru lagu dan guru wilangan. Masing-masing teks gérongan akan dikaji tentang jenis-jenis tindak tutur, konteks, realisasi prinsip kerja sama dan implikatur atau makna yang tersirat dalam teks. Menurut Yule, bahwa jenisjenis tindak tutur (TT) yang terdapat dalam sebuah komunikasi setidaknya dapat diklasifikasikan menjadi lima macam, yaitu deklarasi, representatif, ekspresif, direktif, dan komisif (2006: 92-94). Berdasarkan teori tindak tutur yang dinyatakan Yule, jenis-jenis bahasa verbal yang terdapat dalam tari Bondhan akan dikaji secara menyeluruh. Teks gerongan Kinanthi laras slendro pathet manyura Bait 1. Pindha pakartiné ibu, Ing siang pantara ratri, Kasoking katresnanira, Dumateng putrani rèki, Linéla kinudang-kudang, Dadiya janma utami (Sumber: kaset Tari Bondhan; wawancara Suparsih 2014). Bait 2. Lagi nggulawenthah sampun, Pinadusan toya wening, Ginanti busana nira, Pinupuran wedhak wangi, Kalisa ing sambékala, Salira subur lestari (Sumber: kaset Tari Bondhan; wawancara Suparsih 2014).
67
Maryono (Implikasi Pragmatik Bahasa Ungkap Tari Bondhan)
Terjemahan. Bait 1. Sepertilah kasih sayang seorang ibu Setiap waktu baik siang maupun malam Seluruh kasing sayang yang diberikan tidak terhingga Terhadap anaknya Ia selalu mengharapkan Supaya menjadi manusia yang baik akhlak dan sikap perilakunya.
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Bait 2. Dalam ranah pendidikan Dimandikan dengan air jernih Diberi pakaian Diberi bedak harum Supaya terhindar dari malapetaka Sehat jasmani-rohani selamanya.
Tabel 1. Jenis-jenis tindak tutur (TT) yang melekat pada teks gerongan Kinanthi laras slendro pathet manyura dan pemarkah.
No
Penutur
1.1
Vokalis putra dan putri Vokalis putra dan putri Vokalis putra dan putri Vokalis putra dan putri Vokalis putra dan putri Vokalis putra dan putri Vokalis putra dan putri Vokalis putra dan putri Vokalis putra dan putri Vokalis putra dan putri Vokalis putra dan putri Vokalis putra dan putri
1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 1.10 1.11 1.12
Teks verbal gerongan Kinanthi laras slendro pathet manyura Pindha pakartiné ibu,
Jenis-jenis TT
Pemarkah
Direktif permintaan
Pindha
Ing siang pantara ratri,
Representatif
siang-ratri
Kasoking katresna nira,
Representatif
kasoking
Dumateng putrani rèki,
Direktif permintaan
dumateng
Linéla kinudang-kudang,
Direktif harapan
kinudang
Dadiya janma utami.
Direktif harapan
dadiya
Lagi nggulawenthah sampun,
Representatif
lagi nggulawenthah
Pinadusan toya wening,
Representatif
pinadusan
Ginanti busana nira,
Representatif
ginanti
Pinupuran wedhak wangi,
Representatif
pinupuran
Kalisa ing sambékala,
Direktif harapan
kalisa
Salira subur lestari.
Direktif harapan
lestari
Konteks adalah sebuah konsep yang dinamis, bukan pertuturan terjadi dalam sebuah rumahtangga. Teks verbal gerongan Kinanthi laras slendro No Konteks Penutur dipahami sebagai sebuah lingkungan Jenis-jenis TT tidak formal. Pemarkah Identifikasi statis. Situasi tutur: situasi pathet manyura yang selalu berubah yang memungkinkan peserta pelaku diungkapkan oleh seorang penari anak sing bagus Ekspresif Adiku sing bagus-bagus dhéwé, Vokalis putri 1.1 tutur berinteraksi dan yang membantu mereka putri berbusana tradisi Jawa dengan memakai memahami ungkapan-ungkapan kebahasaan yang kemben, kain jarit dan sehelai sampur/selendang, atak lédhung boneka Atak lédhung-lédhung, Vokalis putridalam suatu 1.2 mereka gunakan proses komunikasi membawa Ekspresif payung sambil menggendong (Yule, 1998). Peserta tutur: vokalis putra dan putri anak. Dukungan musik yang berirama sedang (penutur/pn). Penari merespon dengan gerak dan dengan suasana dinamis dan lincah terasa menyatu ayo Direktif permintaan, Ayo mèlu aku waé, Vokalis putri 1.3 audien (petutur/pt). Tema: nasihat kasih sayang. dengan bahasa ungkap gerak yang semangat, riang ajakan Tujuan: memberikan pendidikan terhadap anakdan gembira. Ekspresif atak lédhung Atakseorang lédhung-lédhung, Vokalis kasih putri sayang 1.4 tentang anak kakak wanita terhadap adik laki-laki. Status sosial: seorang kakak Bahasa nonverbal diungkapkan dengan gerak-gerak yang baik dan sayang terhadap adiknya. Tempat: tradisi yangRepresentatif dimaksudkan untuk bahasa simbolis lagi olah-olah Ibu lagi olah-olah kanggo kowé Vokalis putri 1.5 68
Volume 30, 2015
dari reaktualisasi ekspresi seniman supaya pesan yang dikehendaki dapat ditangkap dan diserap maknanya oleh audien/penonton sebagai petutur. Penari bergerak lumaksana lembehan, srisik dan sembahan menggambarkan bahwa seseorang untuk memulai suatu aktivitas perlu hening sejenak untuk berdoa memohon terhadap Yang Maha Esa agar mendapat keselamatan dan kesuksesan. Ungkapan bahasa nonverbal yang meliputi gerak-gerak laku enjeran, ngilo kaca, entrag, penthangan tangan, dan laras ukel karna merepresentasikan tentang kegembiraan dan keceriaan seorang anak perempuan yang mendapatkan kesempatan untuk bermain. Bentuk ungkapan bahasa nonverbal berupa jenisjenis gerak laku batangan, laku lamba sambil membawa payung, sindhet ukel karno, laku telu dan srisik merupakan ungkapan kegembiraan anak perempuan dengan bermain payung. Berikutnya adalah ungkapan bahasa nonverbal gerak ngedusi, nyalini, medhaki, ngumbahi dan mèpèni merupakan gambaran aktual kasih sayang seorang kakak terhadap adik. Prinsip kerja sama berdasarkan bahasa verbal pada teks gerongan Kinanthi laras slendro pathet manyura dapat diungkap sebagai berikut. 1. Maksim kuantitas dilanggar, karena tuturan teks verbal gerongan Kinanthi laras slendro pathet manyura terdiri dari dua bait tembang. Selain itu bahasa verbal gerongan Kinanthi tersebut pada presentasinya terikat dua garap lagu yaitu gerongan dan sindhénan. Pelanggaran maksim kuantitas juga terdapat pada keterikatan guru wilangan atau jumlah suku kata setiap baris pada bahasa verbal gerongan Kinanthi yang setiap baitnya terdiri dari: 6 baris, masingmasing baris terbagi: 8 suku kata. Sumbangan informasi tidak seinformatif yang dibutuhkan karena bahasa verbal Kinanthi terikat guru lagu atau huruf hidup pada akhir setiap baris, baris 1: u, baris 2: i, baris 3: a, baris 4: i, baris 5: a, dan baris 6: i. 2. Maksim cara dilanggar, karena dalam menyampaikan tuturan, seniman menggunakan bahasa tembang berupa teks verbal gerongan Kinanthi laras slendro pathet manyura yang sulit dimengerti petutur, mengingat banyak kata-kata yang samar yang bersifat arkhais, di antaranya: rèki, janma, kalis, sambékala,
MUDRA Jurnal Seni Budaya
dan salira. selain itu terdapat kata-kata yang mengandung ketaksaan, seperti: kasoking, linéla, dan kinudang-kudang. Pernyataannya tidak dapat ringkas karena dipresentasikan dalam bentuk tembang Kinanthi yang terikat: irama gerongan yang dinamis, lagu gerongan cenderung lugas dan sederhana, lagu sindhenan yang banyak wiled (banyak garap lagu yang rumit), guru wilangan dan guru lagu. 3. Maksim kualitas dipatuhi, dimaksudkan untuk menggambarkan kegembiraan, keceriaan dan rasa sayang seorang kakak terhadap adiknya. 4. Maksim hubungan dipatuhi, dimaksudkan untuk menjaga kerja sama antara penutur dengan petutur, masing-masing memberikan kontribusi yang relevan. Bentuk kontribusinya, vokalis sebagai penutur mengekspresikan teks verbal gerongan Kinanthi laras slendro pathet manyura kemudian penari merespon dengan gerak gerak laku enjeran, ngilo kaca, entrag, penthangan tangan, laras ukel karna, sindhet ukel karno, laku telu, srisik, gerak ngedusi, nyalini, medhaki, ngumbahi dan mèpèni sesuai maksud penutur berdasarkan teks tersebut dan petutur mengamati dan memahami dengan menghayati. Levinson berpendapat implikatur percakapan adalah “the notion of conversational implicature is one of the single most important ideas in pragmatics” (1983: 97). Secara ringkas implikatur dapat dinyatakan sebagai sebuah makna yang disiratkan dalam sebuah percakapan. Kajian implikatur bahasa verbal gerongan Kinanthi laras slendro pathet manyura yang mencakup bait 1 dan 2 lebih mengarah pada pemaknaan tuturan-tuturan yang kontekstual. Implikatur bahasa verbal gerongan Kinanthi laras slendro pathet manyura pada bait ke-1 baris ke-1 tuturan: Pindha pakartiné ibu yang secara kontekstual adalah bentuk ungkapan permintaan seorang kakak terhadap adik untuk meneladani sikap dan perilaku seorang ibu. Sikap dan kasih sayang seorang ibu terhadap anak yang diminta untuk diteladani adalah bentuk cinta kasih sayang yang tidak terbatas dan tidak pernah terputus sepanjang masa, seperti tercermin pada tuturan bait ke-1 baris ke-2: Ing siang pantara ratri, tuturan baris ke-3: Kasoking katresnanira dan ungkapan cinta 69
Maryono (Implikasi Pragmatik Bahasa Ungkap Tari Bondhan)
MUDRA Jurnal Seni Budaya
kasihnya yang terfokus hanya untuk anak adalah Kinanthi merupakan tuturan pendidikan yang tuturan baris ke-4: Dumateng putrani rèki. Selain bersifat jasmani. Wujud pendidikan kasih sayang itu kasih sayang seorang ibu juga berupa harapan seorang kakak berikutnya adalah mengarah pada dan berdoa agar anaknya menjadi manusia yang peningkatan secara rohaniah yang diungkapkan pada No Penutur Teks verbal gerongan Kinanthi laras Jenis-jenis TT Pemarkah memiliki budi pekerti yang baik dan luhur yang tuturan baris ke-5: Kalisa ing sambékala, baris ke-6: slendro pathet manyura tercermin pada tuturan Salira subur lestari yang dikandung 1.1 Vokalis putra tembang PindhaKinanthi pakartinébait ibu,ke-1 Direktif permintaan Pindhamaksud supaya baris ke-5:dan Linéla kinudang-kudang dan baris ke-6 adiknya selamat terhindar dari segala malapetaka putri yang Dadiya dan dapat hidup hingga akhir hayatnya. 1.2berbunyi: Vokalis putra janma Ingutami. siang pantara ratri, Representatif siang-ratri dan putri
1.3 implikatur Vokalis putra Kasoking katresna nira, Adapun bait ke-2 teks verbal gerongan dan putri Kinanthi tersebut adalah ungkapan kasih sayang 1.4 Vokalis putra Dumateng putrani rèki, seorang kakak terhadap adik. Bentuk kasih sayang dan putri seorang kakak diungkapkan dengan tuturan yang 1.5 Vokalis putra Linéla kinudang-kudang, mengandung dan makna putri pendidikan yang tersurat dan tersirat tuturan ke-2 baris 1.6 pada Vokalis putra bait Dadiya janmake-1: utami. Lagi dan putrisampun. Pada tuturan-tuturan nggulawenthah 1.7 ke-2, Vokalis putra4 berikutnya Lagi nggulawenthah sampun, baris 3, dan secara parsial dan putri merupakan bentuk realisasi cara-cara mendidik 1.8 Vokalis putra Pinadusan toya wening, yang dimaksudkan dari tuturan bait ke-2 baris dan putri ke-1, tuturannya secara busana berurutan 1.9 adapun Vokalis putra Ginanti nira, baris ke-2: Pinadusan dan putritoya wening (memandikan), baris ke-3: Ginanti busana busanawangi, yang 1.10 Vokalis putranira (mengganti Pinupuran wedhak danbaris putri ke-3: Pinupuran wedhak wangi bersih) dan 1.11 supaya Vokalis tampak putra Kalisa ing sambékala, (merias cantik). Bait ke-2 baris dan putri ke-1, ke-2, ke-3 dan ke-4 teks verbal gerongan
Representatif Teks jineman Ledhung-ledhungkasoking laras slendro pathet manyura. Direktif permintaan dumateng Adiku sing bagus-bagus dhéwé, AtakDirektif lédhung-lédhung, harapan kinudang Ayo mèlu aku waé, AtakDirektif lédhung-lédhung, harapan dadiya Ibu lagi olah-olah kanggo kowé (kaset tari Representatif lagi nggulawenthah Bondhan; wawancara Nartutik 2014). Representatif
pinadusan
Terjemahan. Adikku yang paling tampan, Representatif ginanti Yang tersayang, MariRepresentatif bersama kakak, pinupuran Yang tersayang, harapan untuk makan kalisa kamu. Ibu Direktif baru memasak
Vokalis putra Salira subur lestari. Direktif harapan lestari dan putri Tabel 2. Jenis-jenis tindak tutur (TT) yang melekat pada teks jineman Ledhung-Ledhung laras slendro pathet manyura dan pemarkah. 1.12
No
Penutur
Teks verbal gerongan Kinanthi laras slendro pathet manyura
Jenis-jenis TT
Pemarkah
1.1
Vokalis putri
Adiku sing bagus-bagus dhéwé,
Ekspresif
sing bagus
1.2
Vokalis putri
Atak lédhung-lédhung,
Ekspresif
atak lédhung
1.3
Vokalis putri
Ayo mèlu aku waé,
Direktif permintaan, ajakan
ayo
1.4
Vokalis putri
Atak lédhung-lédhung,
1.5
Vokalis putri
Ibu lagi olah-olah kanggo kowé
Peserta tutur: vokalis putri (penutur/pn). Penari merespon dengan gerak dan audien (petutur/ pt). Tema: kasih sayang. Tujuan: memberikan pendidikan terhadap anak-anak tentang kasih sayang seorang kakak wanita terhadap adik laki-laki. Status sosial: seorang kakak yang baik dan sayang terhadap adiknya. Tempat: pertuturan terjadi dalam sebuah 70
Ekspresif Representatif
atak lédhung lagi olah-olah
rumahtangga. Situasi tutur: situasi tidak formal. Identifikasi pelaku diungkapkan oleh seorang penari anak putri berbusana tradisi Jawa dengan memakai kemben, kain jarit dan sehelai sampur/selendang sambil menggendong boneka anak. Dukungan musik yang berirama sedang dengan suasana dinamis dan lincah terasa menyatu dengan bahasa ungkap gerak yang riang dan gembira.
Volume 30, 2015
MUDRA Jurnal Seni Budaya
dhéwé. Pernyataannya tidak dapat ringkas karena dipresentasikan dalam bentuk tembang jineman yang terikat: irama, lagu jineman yang banyak wiled, guru wilangan, dan guru lagu. 3. Maksim kualitas dipatuhi, dimaksudkan untuk menggambarkan kegembiraan, keceriaan dan rasa sayang seorang kakak terhadap adiknya. 4. Maksim hubungan dipatuhi, dimaksudkan untuk menjaga kerja sama antara penutur dengan petutur, masing-masing memberikan kontribusi yang relevan. Bentuk kontribusinya, vokalis sebagai penutur mengekspresikan teks verbal jineman Ledhung-ledhung laras slendro pathet manyura kemudian penari merespon dengan gerak laku miring, srisik, dan lumaksana lémbéhan sesuai maksud penutur berdasarkan teks tersebut dan petutur mengamati dan memahami dengan menghayati.
Ungkapan bahasa nonverbal tampak diaktualisasikan seorang penari anak wanita menimang-nimang boneka dengan berputar-putar sambil bersenandung tembang Jawa jineman Ledhung-ledhung laras slendro pathet manyura. Adapun bahasa nonverbal gerak yang digunakan penari untuk mengungkapkan kesan kegembiraan dan rasa sayang seorang kakak terhadap adik tampak sangat sederhana yaitu gerak laku miring sambil berputar-putar yang sesekali berhenti sambil mencium boneka dan srisik dengan irama dinamis. Berakhirnya permainan ini, suasana kembali menjadi tenang dan damai, dimana penari bergegas dengan menggendong boneka dan membawa payung sambil lumaksana lémbéhan yang diiringi musik ayak-ayakan. Prinsip Kerja Sama berdasarkan bahasa verbal pada teks jineman Ledhung-ledhung laras slendro pathet manyura dapat diungkap sebagai berikut. 1. Maksim kuantitas dilanggar, karena jumlah informasinya tidak tepat terkait dengan bentuk tuturan yang berupa teks verbal jineman Ledhung-ledhung laras slendro pathet manyura yang terikat irama dan lagu. Pelanggaran maksim kuantitas juga terdapat pada keterikatan guru wilangan atau jumlah suku kata setiap baris pada bahasa verbal jineman Ledhung-ledhung yang baris 1: 10 suku kata, baris 2: 6 suku kata, baris 3: 8 suku kata, baris 4: 6 suku kata, baris 5: 12 suku kata. Sumbangan informasi tidak seinformatif yang dibutuhkan karena bahasa verbal jineman terikat guru lagu, baris 1: é, baris 2: u, baris 3: é, baris 4: u dan baris 5: é. 2. Maksim cara dilanggar, karena dalam menyampaikan tuturan, seniman menggunakan bahasa tembang berupa teks verbal jineman Ledhung-ledhung laras slendro pathet manyura. Terdapat kata-kata yang mengandung ketaksaan, seperti: Ledhung-ledhung dan bagus-bagus
Implikatur yang disiratkan pada teks verbal jineman Ledhung-ledhung laras slendro pathet manyura adalah bentuk ungkapan kasih sayang seorang kakak terhadap adik. Ungkapan kasih sayang yang diekspresikan seorang kakak merupakan ungkapan sanjungan yang tulus dari sanubari yang paling dalam yang tercermin pada jineman Ledhungledhung laras slendro pathet manyura pada tuturan baris ke-1: Adiku sing bagus-bagus dhéwé dan baris ke-2 serta baris ke-4 yang berbunyi: Atak lédhunglédhung. Selain itu juga terdapat sebuah pendidikan yang lebih mengarah pada pembimbingan seorang kakak yang sifatnya memberi pengertian terhadap adik agar bersikap lebih kooperatif agar seluruh kegiatan sehari-hari seorang ibu dapat berjalan lancar dan nyaman. Hal ini tercermin pada tuturan jineman Ledhung-ledhung laras slendro pathet manyura pada baris ke-3: Ayo mèlu aku waé dan baris ke-5 yang berbunyi: Ibu lagi olah-olah kanggo kowé.
Tabel 3. Rekapitulasi jenis-jenis TT pada bahasa verbal Tari Bondhan. No
Jenis TT
Teks gerongan Kinanthi laras slendro pathet manyura
Teks jineman Ledhung-ledhung laras slendro pathet manyura
Jumlah
1
Representatif
6
1
7
2
Ekspresif
-
3
3
3
Direktif
6
1
7
4
Deklaratif
-
-
-
5
Komisif
-
-
-
6
Jumlah total
17
No 1
Jenis-jenis TT pada bahasa verbal tari Bondhan 7 : 17 X 100
Jumlah 41.18 %
Representatif
2
Ekspresif
3 : 17 X 100
17.64 %
3
Direktif
7 : 17 X 100
41.18 %
71
2
Ekspresif
-
3
3
3
Direktif
6
1
7
4
Deklaratif
-
-
-
-
- Seni Budaya MUDRA Jurnal
Komisif 5 Maryono (Implikasi Pragmatik Bahasa- Ungkap Tari Bondhan) 6
Jumlah total
17
Tabel 4. Persentase jenis-jenis TT pada bahasa verbal tari Bondhan. No 1
Representatif
2
Ekspresif
3 : 17 X 100
17.64 %
3
Direktif
7 : 17 X 100
41.18 %
4
Deklaratif
-
-
5
Komisif
-
-
6
Jenis-jenis TT pada bahasa verbal tari Bondhan 7 : 17 X 100
Jumlah total
Menurut Grice bahwa implikatur (implicature) adalah derivasi kata implicate yang bermakna menyiratkan secara kebahasaan (1981). Kehadiran tari Bondhan dalam kehidupan masyarakat adalah salah satu bahasa komunikasi seniman terhadap masyarakat. Dalam perspektif linguistik pragmatik tari Bondhan merupakan bahasa ungkap yang digunakan seniman sebagai penutur untuk menyampaikan pesannya secara implikatur. Bahasa ungkap tersebut terdiri dari bahasa yang bersifat verbal dan nonverbal. Secara kuantitatif pembagian jenis-jenis tindak tutur yang terdapat pada bahasa verbal teks gerongan Kinanthi laras slendro pathet manyura dan teks jineman Ledhung-ledhung laras slendro pathet manyura, terdapat jenis-jenis tindak tutur yang dominan yaitu representatif dan direktif. Capaian secara keseluruhan TT representatif dan TT direktif pada teks-teks gerongan Kinanthi dan jineman Ledhung-ledhung, perolehan secara prosentase masing-masing mencapai: 41.18%. Menurut Yule (1996), TT representatif secara fungsional digunakan penutur untuk memberikan informasi. Merujuk bahasa verbal tari Bondhan dominasi TT representatif adalah menginformasikan tentang adanya kasih sayang seorang ibu yang tidak terhingga terhadap anak pada tuturan gerongan Kinanthi bait 1 baris ke-2: Ing siang pantara ratri baris ke-3: Kasoking katresnanira. Selain itu juga terdapat informasi tentang bentuk pendidikan dan sekaligus bentuk kasih sayang seorang kakak yang terdapat pada tuturan gerongan Kinanthi bait 2 baris ke-1: Lagi nggulawenthah sampun, baris ke-2 Pinadusan toya wening, baris ke-3 Ginanti busana nira dan baris ke-4: Pinupuran wedhak wangi. Secara fungsional TT direktif merupakan TT yang dipakai penutur untuk menyuruh orang lain 72
Jumlah 41.18 %
100 %
melakukan sesuatu, sedangkan TT representatif merupakan TT yang dipakai penutur untuk menyampaikan informasi. Secara fungsional tuturan direktif tersebut meliputi: permintaan dan harapan. Sejalan dengan pernyataan Yule, bentukbentuk TT direktif yang berfungsi sebagai bentuk permintaan yang terdapat dalam teks gerongan Kinanthi pada bait ke-1 tuturan: pindha pakartiné ibu, dan dumateng putrani rèki, dimaksudkan penutur meminta supaya audien sebagai petutur untuk dapat menteladani sikap dan kasih sayang seorang ibu terhadap anak. Adapun jenis-jenis TT direktif yang berarti harapan yang tercermin dalam teks gerongan Kinanthi pada bait ke-1 tuturan: linéla kinudang-kudang dan dadiya janma utami, serta bait ke-2 tuturan: kalisa ing sambékala dan salira subur lestari merupakan harapan terhadap Tuhan yang berarti bentuk doa yang dimaksudkan supaya anak yang dibimbing menjadi manusia yang baik budi pekerti, terhindar dari segala malapetaka dan dapat hidup hingga akhir hayatnya. Untuk mengupayakan agar kandungan makna yang dikehendaki penutur dapat ditangkap dan sampai pada petutur, penutur memandang perlu menerapkan prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan secara selektif dalam bahasa verbal teks-teks sastra tembang gerongan Kinanthi dan jineman Ledhungledhung. Menurut Grice prinsip kerja sama dalam pertuturan dibagi menjadi empat maksim yaitu maksim kuantitas, maksim cara, maksim kualitas, dan maksim hubungan (dalam Leech, 1993: 11). Maksim kuantitas yang diharapkan memberikan informasi yang tepat sesuai yang dibutuhkan dan jangan melebihi yang dibutuhkan, realisasi pada bahasa verbal tembang gerongan Kinanthi dan jineman Ledhung-ledhung dilanggar karena informasi yang dibutuhkan tidak sesuai, melebihi yang dibutuhkan karena kedua jenis bahasa verbal
Volume 30, 2015
tembang tersebut pada presentasinya masingmasing terikat lagu, jumlah suku kata setiap baris (guru wilangan) dan huruf hidup pada akhir setiap baris (guru lagu). Pelanggaran maksim kuantitas ini dimaksudkan seniman sebagai penutur agar pesannya dapat diterima petutur dengan penuh rasa estetik. Realisasi maksim cara agar mengusahakan informasi mudah dimengerti, menghindari pernyataan yang samar, menghindari ketaksaan dan mengusahakan agar ringkas pada teks verbal gerongan Kinanthi dan jineman Ledhung-ledhung, dilanggar karena dalam menyampaikan tuturan, penutur menggunakan bahasa tembang yang sulit diterima petutur, mengingat banyak kata-kata yang samar yang bersifat arkhais, seperti: rèki, janma, kalis, sambékala, dan salira. Terdapat kata-kata yang mengandung ketaksaan, seperti: kasoking, linela, sambékala, kinudang-kudang, Ledhungledhung dan bagus-bagus dhéwé. Pernyataannya tidak dapat ringkas karena dipresentasikan dalam bentuk tembang Kinanthi dan jineman Ledhungledhung yang terikat: irama gerongan yang dinamis, lagu gerongan cenderung lugas dan sederhana, lagu sindhenan yang banyak wiled (banyak garap lagu yang rumit), lagu jineman Ledhung-ledhung yang cenderung dinamis dan gembira, guru wilangan dan guru lagu. Pelanggaran maksim cara penutur dimaksudkan supaya pesan yang hendak disampaikan terhadap petutur dapat diterima dengan penuh rasa estetik. Realisasi maksim kualitas pada bahasa verbal tembang gerongan Kinanthi dan jineman Ledhung-ledhung agar mengusahakan sumbangan informasi anda benar pada prinsipnya dipatuhi. Bentuk kepatuhan dapat ditunjukkan pada makna bahasa verbal tembang gerongan Kinanthi dan jineman Ledhung-ledhung yang secara linear menggambarkan kasih sayang seorang kakak terhadap adik yang diawali dengan memberi nasehat tentang kasih sayang ibu yang tercermin pada baris ke-1: pindha pakartiné ibu, baris ke-2: ing siang pantara ratri, baris ke-3: kasoking katresnanira, dan baris ke-4: dumateng putrani rèki, dan doanya yang tercermin pada baris ke-5: linéla kinudangkudang, dan baris ke-6: dadiya janma utami bait 1 tembang gerongan Kinanthi. Dilanjutkan bentuk pendidikan jasmani yang tercermin pada baris
MUDRA Jurnal Seni Budaya
ke-1: lagi nggulawenthah sampun, baris ke-2: pinadusan toya wening, baris ke-3: ginanti busana nira, dan baris ke-4: pinupuran wedhak wangi, dan pendidikan rohani yang bersifat doa yang tercermin pada baris ke-5: kalisa ing sambékala dan 6: salira subur lestari bait ke 2 tembang gerongan Kinanthi. Berakhir dengan bentuk bimbingan seorang kakak dengan penuh perhatian yang tercermin pada bahasa verbal tembang jineman Ledhung-ledhung baris ke-1: adiku sing bagus-bagus dhéwé, baris ke-2: atak lédhung-lédhung, baris ke-3: ayo mèlu aku waé, baris ke-4: atak lédhung-lédhung, dan baris ke-5: ibu lagi olah-olah kanggo kowé. Maksud dipatuhinya maksim kualitas ini adalah untuk menggambarkan kegembiraan, keceriaan dan kasih sayang seorang kakak terhadap adik. Maksim hubungan dipatuhi, dimaksudkan untuk menjaga kerja sama antara penutur dengan petutur supaya masing-masing memberikan kontribusi yang relevan. Bentuk kontribusinya, penutur mengungkapkan tuturannya lewat bahasa verbal tembang gerongan Kinanthi dan jineman Lédhunglédhung laras slendro pathet manyura yang berisi tentang kasih sayang seorang kakak terhadap adik disajikan oleh vokalis kemudian penari merespon dengan bahasa nonverbal berupa gerak laku miring sambil berputar-putar yang sesekali berhenti sambil mencium boneka dan srisik dengan irama dinamis yang menggambarkan seorang kakak dengan penuh rasa kasih sayang sedang menimang adik sesuai maksud penutur berdasarkan bahasa verbal tembang tersebut dan petutur/audien mengamati dan memahami dengan cara menghayati. Prinsip kesantunan berdasarkan bahasa verbal gerongan Kinanthi dan jineman Ledhung-ledhung laras slendro pathet manyura dilakukan dengan strategi kesantunan muka positif dan tidak langsung. Strategi penutur menggunakan kesantunan muka positif yaitu dengan tuturan-tuturan yang bersifat: sanjungan, kasih sayang, perintah yang bersifat halus, dan disampaikan secara tidak langsung karena dikemas dalam bentuk tembang. Tuturan sanjungan, seperti: Adiku sing bagus-bagus dhéwé; tuturan kasing sayang, seperti: Atak lédhunglédhung; tuturan perintah ajakan yang bersifat rayuan: Ayo mèlu aku waé; tuturan perintah permintaan yang bersifat halus, seperti: Pindha pakartiné ibu, ing siang pantara ratri, kasoking 73
Maryono (Implikasi Pragmatik Bahasa Ungkap Tari Bondhan)
katresnanira, dan dumateng putrani rèki. Selain itu bentuk tuturan perintah yang bersifat harapan, seperti: Linéla kinudang-kudang, dadiya janma utami, kalisa ing sambékala dan salira subur lestari. Hal itu dimaksudkan penutur supaya petutur dapat menerima pesan yang disampaikannya dengan baik tanpa berpotensi face threatening act. Pesan penutur berupa nasihat tentang kemesraan, keharmonisan dan kasih sayang seorang kakak terhadap adik yang disampaikan dalam bentuk ungkapan yang penuh estetis tersebut dapat diterima dan dipahami petutur secara nyaman dan mantap. Menurut Leech, bahwa semua implikatur bersifat probabilistik, karena apa yang dimaksud oleh si penutur dengan tuturannya tidak pernah dapat diketahui dengan pasti (1993: 45). Dalam hal ini mitra tutur berupaya merujuk pada kondisi-kondisi yang dapat diamati, bentuk tuturan, dan konteks yang kemudian membuat simpulan yang paling mungkin dari seluruh interpretasi evidensi yang ada, sehingga langkah-langkah heuristik akan dapat menarik makna utama sebagai implikasi pragmatiknya. Berdasarkan bahasa verbal gerongan Kinanthi laras slendro pathet manyura pada bait 1 baris ke-1 tuturan: Pindha pakartiné ibu yang secara kontekstual adalah bentuk ungkapan permintaan seorang kakak terhadap adik untuk menteladani sikap dan perilaku seorang ibu. Sikap dan kasih sayang seorang ibu terhadap anak yang diminta untuk diteladani adalah bentuk cinta kasih sayang yang tidak terbatas dan tidak pernah terputus sepanjang masa, seperti tercermin pada tuturan baris ke-2: Ing siang pantara ratri, tuturan baris ke-3: Kasoking katresnanira dan ungkapan cinta kasihnya yang terfokus hanya untuk anak adalah tuturan baris ke-4: Dumateng putrani rèki. Selain itu kasih sayang seorang ibu juga berupa harapan dan berdoa agar anaknya menjadi manusia yang baik akhlak maupun sikap perilakunya yang tercermin pada tuturan tembang Kinanthi baris ke-5: Linéla kinudang-kudang dan baris ke-6 yang berbunyi: Dadiya janma utami. Makna implikaturnya permintaan seorang kakak agar adiknya dapat meneladani sikap, perilaku, dan kasih sayang seorang ibu. Merujuk pada bait 2 teks verbal gerongan Kinanthi tersebut adalah ungkapan kasih sayang seorang kakak terhadap adik. Bentuk kasih sayang seorang kakak diungkapkan dengan tuturan yang mengandung 74
MUDRA Jurnal Seni Budaya
makna pendidikan yang tersurat dan tersirat pada tuturan baris ke-1: Lagi nggulawenthah sampun. Pada tuturan-tuturan baris ke-2, 3, dan 4 berikutnya secara parsial merupakan bentuk realisasi cara-cara mendidik yang dimaksudkan dari tuturan bait ke-2 baris ke-1, adapun tuturannya secara berurutan baris ke-2: Pinadusan toya wening (memandikan), baris ke-3: Ginanti busana nira (mengganti busana yang bersih) dan baris ke-3: Pinupuran wedhak wangi (merias supaya tampak cantik). Bait ke-2 baris ke-1, ke-2, ke-3 dan ke-4 teks verbal gerongan Kinanthi merupakan tuturan pendidikan yang bersifat jasmani. Wujud pendidikan kasih sayang seorang kakak berikutnya adalah mengarah pada peningkatan secara rohaniah yang diungkapkan pada tuturan baris ke-5: Kalisa ing sambékala, baris ke-6: Salira subur lestari yang dikandung maksud supaya adiknya selamat terhindar dari segala malapetaka dan dapat hidup hingga akhir hayatnya. Makna implikaturnya bentuk pendidikan kasih sayang seorang kakak terhadap adik. Secara bahasa nonverbal tari Bondhan adalah penggambaran figur seorang penari perempuan yang menimang boneka anak dengan dukungan: tema, gerak, busana, rias, properti dan musik rupanya telah menunjukkan kualitasnya. Tema yang dipilih adalah kasih sayang seorang kakak terhadap adik. Bentuk sajian visualnya tari Bondhan lebih banyak didominasi jenis-jenis gerak yang bersifat representatif yang menggambarkan seorang kakak wanita yang sedang mengasuh adik laki-laki dalam suasana riang dan gembira, seperti jenis-jenis gerak: laku enjeran, ngilo kaca, entrag, penthangan tangan, laku batangan, laku lamba sambil membawa payung, sindhet ukel karno, laku telu, srisik, ngedusi, nyalini, medhaki, ngumbahi dan mèpèni merupakan gambaran aktual kasih sayang seorang kakak terhadap adik. Penari perempuan berbusana tradisi Jawa dengan memakai kemben, kain jarit dan sehelai sampur/selendang, membawa payung sambil menggendong boneka anak. Dukungan musik yang berirama sedang dengan suasana dinamis dan lincah terasa menyatu dengan bahasa ungkap gerak yang semangat, riang dan gembira. Akumulasi dari beragam unsur-unsur: penari, tema, gerak, busana, rias, dan musik yang terdapat pada bahasa nonverbal telah menunjukkan bahwa secara visual tari Bondhan merupakan bentuk simbolisasi kemesraan dan kasih sayang seorang kakak terhadap
Volume 30, 2015
MUDRA Jurnal Seni Budaya
adik yang tampil dengan kualitas mantap. Pandangan Langer, bahwa ekspresi seni bukan ekspresi diri semata namun untuk dikomunikasikan agar karya seni menjadi lebih bermakna, sehingga karya seni bersifat edukatif (dalam Kutha Ratna, 2007: 16). Bentuk edukasi yang dapat dicermati dari peristiwa pertunjukan tari Bondhan tersebut, adalah bentuk keteladanan kasih sayang dan kemesraan seorang kakak terhadap adik. SIMPULAN Berdasarkan kajian bahasa ungkap tari Bondhan secara verbal dan nonverbal dapat ditarik implikasi pragmatiknya bahwa gambaran rasa sayang, kemesraan dan keharmonisan seorang kakak terhadap adik merupakan bentuk keteladanan nilainilai kasih sayang yang perlu dijadikan pendidikan dalam rangka membentuk karakteristik anak. Rasa kasih sayang anak yang divisualisasikan tersebut rupanya merupakan manifestasi keteladanan sikap, perilaku dan kasih sayang dari seorang ibu. Nilainilai kasih sayang itu sangat penting bagi kehidupan kita, untuk itu penutur meminta pada mitra tutur dalam hal ini masyarakat untuk menteladani nilai universal dimaksud sebagai pembentukan jiwa anak. Dengan demikian kehadiran tari Bondhan dalam visualisasinya tidak terlepas sebagai bentuk hiburan yang tepat untuk memberikan apresiasi nilai-nilai kasih sayang yang sangat berguna dalam membentuk karakteristik anak dan para remaja. DAFTAR RUJUKAN Finoza, Lamuddin. (2005), Komposisi Bahasa Indonesia, Diksi Insan Mulia, Jakarta. Gunarwan, Asim. (2006), Implikatur Percakapan: Perspektif Grice dan Perspektif Sperber & Wilson, tanpa penerbit, Jakarta. Geertz, Clifford. (1992), Kebudayaan dan Agama, Kanisius, Yogyakarta.
Grice, H.P. (1975), “Logic and Conversation”, dalam Prinsip-prinsip Pragmatik, G. Leech (Eds.), UI Press, Jakarta. Grice, H.P. (1981), Presupposition and Conver sational Implicature, Academic Press, New York. Haryono. (1997), S. Ngaliman Tjondropangrawit: dari Seorang Pengrawit Menjadi Empu Tari: sebuah Biografi (Tesis Program Magister S2) Pengkajian Seni Pertunjukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Leech, Geoffrey. (1993), Prinsip-prinsip Pragmatik (Penerjemah: M.D.D Oka), Universitas Indonesia, Jakarta. Levinson, Stephen C. (1983), Pragmatics, Cambridge University Press, London. Langer, Susanne K. (1953), “Feeling and Form: a Theory of Art”, dalam Kutha Ratna (2007), Estetika Sastra dan Budaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Ngaliman, S. (1976), “Bondhan, Gendhing Beksan”, Lokananta Surakarta. Yule, George. (1998), Pragmatics, National Institute of Education, Singapore. Nara Sumber: Suparsih. (46 th.), sinden, wawancara tanggal 25 oktober 2014 di Studio Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Surakarta. Nartutik. (52 th.), pengrawit, wawancara tanggal 21 Oktober 2014 di SMK 8/ SMKI Surakarta. Nanik. (59 th.), guru tari wawancara tanggal 21 Oktober 2014 di Karaton Kasunanan Surakarta. Rahmani, Dwi. (52 th.), penari, wawancara tanggal 21 Oktober 2014 di kampus ISI Surakarta.
75
VolumeMUDRA 30, Nomor 1, Pebruari 2015 Jurnal Seni Budaya p 76 - 82
Mahdi Bahar (Menyikapi Seni Pertunjukan Tradisional... ) ISSN 0854-3461
Menyikapi Seni Pertunjukan Tradisional sebagai Media Pengembangan Bangsa MAHDI BAHAR Jurusan Seni Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Padangpanjang, Indonesia. E-mail:
[email protected]
Seni pertunjukan tradisional merupakan khazanah seni budaya bangsa yang tumbuh pada zamannya di masa lampau. Kelangsungan hidupnya lazim bersifat kontekstual, apakah berkaitan dengan religi, upacara adat, ritual-ritual atau tradisi di lingkungan masyarakat penyangganya, sehingga kelangsungan hidup seni tradisional melekat dan diperuntukkan terutama pada konteks mana seni pertunjukan itu menjadi bagian dari kehidupan yang lebih luas. Apabila secara estetika sebagian seni pertunjukan tradisional rakyat cenderung bersifat sederhana dan menggunakan media verbal bersifat lokal, maka peranannya sebagai media dalam konteks pembangunan bangsa Indonesia secara masif meniscayakan pensikapan kreatif yang mengantarkan pada pencapaian estetik mengkini dan verbalisasi mengIndonesia.
Responding Traditional Art Show Media Development As a Nation Traditional performing arts is a treasure of art and culture of the nation that grew in the past. Survival prevalent contextual, whether related to religion, ceremonies, rituals or traditions in society buffer, so the survival of traditional arts inherent and intended primarily on the context where the performing arts become part of the broader life. If the aesthetics of traditional folk performing arts in part tend to be simple and use verbal media is local, then the role is as media in the context of nation building massive Indonesia necessitates creative attitude was delivered on achieving Indonesia aesthetic and verbalize. Keywords: Traditional performing arts, Creativity, and Indonesia.
Seni merupakan bagian dari kebutuhan naluriah manuisa, oleh karena itu eksis dalam kehidupan dan terlahir dalam berbagai wujud seni, selaras dengan dinamika kehidupan manusianya. Di antara wujud seni, ialah seni pertunjukan (performing arts). Bangsa Indonesia mewarisi berbagai wujud seni pertunjukan tradisional. Sebagaimana esensi seni pertunjukan dalam kehidupan pada dasarnya adalah sebagai media, baik personal maupun sosial, dan bahkan merupakan “sarana ritual yang peminatnya adalah kekuatan-kekuatan yang tidak kasat mata”, maka pada entitas seni pertunjukan ada dua hakikat yang bersinergi, ialah aspek estetik dan non-estetik. Aspek estetik adalah kemungkinan berbagai wujud 76
dan bentuk seni pertunjukan, sedangkan aspek nonestetik adalah hal-hal apa saja yang mendukung terwujudnya entitas seni, dan pada hakikatnya ia berada di luar objek seni itu sendiri. Dua aspek ini menyatu dalam satu kesatuan kehidupan entitas seni pertunjukan dan di antara kehidupan tradisi seni pertunjukan tradisional adalah sifatnya kontekstual, baik tradisi seni pertunjukan rakyat maupun tradisi seni pertunjukan istana. Secara tradisional kehadiran seni pertunjukan melekat dengan konteks budaya atau tradisi tertentu masyarakat pendukung. Ini menunjukkan eksistensi seni pertunjukan tradisi memberikan arti dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Fenomena seperti demikian adalah
Volume 30, 2015
bersifat lokal, jika dilihat secara masif dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bangsanya terdiri atas aneka budaya. Menyikapi kehidupan seni pertunjukan tradisional bangsa Indonesia bersifat lokal dengan segala tradisi lingkungannya yang seperti demikian sebagai media untuk membangun bangsa secara masif, maka niscaya ada beberapa hal yang patut dicermati. Percermatannya mutlak dalam perspektif holistik dan menstrukturkannya ke dalam beberapa bagian pokok, yaitu aspek kreativitas seni, media verbal, dan sponsor. KREATIVITAS SENI Seni adalah produk kreativitas manusia dan secara teoritis ia berada pada ranah estetika. Seni pertunjukan tradisional masyarakat-masyarakat yang menjadi bangsa Indonesia saat ini, pada dasarnya adalah produk kreativitas estetika di masa lalu dan bersifat lokal. Ia hidup menjadi bagian dari dan untuk kelangsungan budaya atau tradisi masyarakatnya. Namun meskipun demikian ekseistensinya ada yang bertahan dan adakalanya tidak bertahan dan lalu mati. Dalam hal ini, ketahan hidup seni pertunjukan tradisional pada suatu masyarakat dapat dicermati secara struktural dan kontekstual dari beberapa sisi, yaitu apakah ia merupakan bagian dari: (1) sistem relegi; (2) sistem upacara budaya (adat); dan atau (3) kelaziman dalam konteks suatu tradisi. Keterkaitan seni pertunjukan tradisional dalam konteks nomor (1) dan (2) bersifat normatif, sedangkan pada konteks nomor (3) bersifat anjuran atau sebaiknya dilakukan. Keberadaan lebih mengarah pada pencapaian nilai yang tidak normatif. Ketiga sisi ini merupakan ruang tempat berlangsungnya kehidupan seni pertunjukan tradisional di lingkungan masyarakat pendukungnya, selain masih ada kemungkinanan ruang-ruang lain bersifat insental untuk mempertunjukkan. Kehadiran seni pertunjukan yang seperti demikian dapat dijelaskan berdasarkan pandangan sistematik yaitu keutuhan bentuk (konteks) upacara dan atau tradisi dalam bingkai budaya lokal masyarakat bersangkutanlah pada hakikatnya yang memerlukan kehadiran seni pertunjukan. Seni tersebut merupakan bagian independen dari bagian lain yang membentuk
MUDRA Jurnal Seni Budaya
upacara budaya atau suatu tradisi. Oleh karena itu kehidupan seni dapat berlangsung sejalan dengan kelangsungan hidup bentuk tradisi atau bentuk upacara budaya itu sendiri. Misalnya menghadirkan seni pertunjukan teater tutur Tupai Jenjang dalam konteks upacara perkawinan pada masyarakat Sulak, Kabupaten Kerinci, Jambi (Barkah, 2007) atau Bakaba dengan musik Rabab Pasisia sekaitan dengan helat pernikahan bagi orang Padang. Kesenian tersebut hidup sejalan dengan kehidupan tradisi masyarakat yang bersangkutan. Meskipun demikian, dari sisi “amatan” sekarang (contemporary) tidak jarang terjadi bahwa aspek estetika adakalanya menjadi kurang penting daripada menghadirkan seni pada konteks upacara budaya tradisi. Terutama adalah pada kelangsungan hidup tradisi seni pertunjukan rakyat. Bagi mereka, menghadirkan suatu bentuk genre seni pertunjukan tertentu merupakan hal yang amat penting karena ia turut menentukan keutuhan bentuk upacara budaya atau tradisi. Sebaliknya, jika suatu bentuk seni tidak dihadirkan dalam konteks budaya atau relegi, maka keutuhan upacara budaya atau penyelenggaraan relegi akan terganggu. Dalam kerangka seperti itu kelangsungan hidup seni pertunjukan lazim tidak amat tergantung pada kualitas estetika yang dapat diberikan oleh seni itu sendiri. Secara umum James Brandon melihat aspek estetika tradisi seni pertunjukan rakyat “Theatre forms tend to be relatively simple and the artisticlevel of performance may be low (though this is not always the case) (Brandon, 1967: 8). Sejalan dengan itu, bagi pemain pertunjukan tersebut lebih diartikan sebagai hobi atau pretise di tengah kehidupan mereka. Oleh karena itu, kelangsungan hidup seni pertunjukan tradisional rakyat sesungguhnya didukung atau disponsori langsung oleh masyarakatnya, sejalan dengan kelangsungan budaya atau tradisi mereka. Sementara itu kelangsungan tradisi seni pertunjukan istana didukung langsung oleh keluarga keraton. Berbagai bentuk estetik seni pertunjukan tradisional yang kelangsungan hidupnya tergambar di atas, pada suatu sisi merupakan hasil kreativitas seni di masa lalu dan pada satu sisi hidup dalam konteks budaya atau tradisi masyarakatnya. Kelangsungan hidupnya disponsori oleh mereka sendiri. Oleh karena itu ia bersifat lokal dan diperuntukkan 77
Mahdi Bahar (Menyikapi Seni Pertunjukan Tradisional... )
kebutuhan lokal, baik seni pertunjukan rakyat maupun seni pertunjukan istana. Apabila dicermati lebih jauh aspek estetika seni pertunjukan tradisional rakyat pada sisi lain, yaitu kelangsungan hidupnya di luar konteks budaya atau tradisinya, maka seyogyanya dipertimbangkan apa yang disampaikan Bruno Nettle seperti demikian. “As we have just indicated, a folk song must be accepted or it will he had forgotten and die. There is another alternative: if it is not accepted by, its audience, it may be changed to,fit the needs and desires of the people who perform and hear it” (Nettl, 1973).
Nettle dengan tegas menyatakan, bahwa pada satu sisi, nyanyian rakyat harus diterima. Pandangan ini menyiratkan pengertian bahwa seni pertunjukan yang melekat sebagai bagian normatif dalam kehidupan masyarakat, apakah terkait dengan religi, upacara budaya, atau tradisi-tradisi tertentu, harus diterima apa adanya oleh penonton atau pendengar. Pengertian sebaliknya ialah, apabila entitas seni pertunjukan (musik) semata mengandalkan aspek estetis untuk mempertahankan kelangsungannya, niscaya ia harus mampu memenuhi kualitas estetika tertentu yang mengkini (contemporary), dan bahkan relatif berubah lebih cepat (Kostelanetz, 1978: 19-35). Apalagi ia harus mampu “berkompetisi” dengan genre seni lain yang pada saat ini banyak pilihan dan mudah diperoleh. Oleh karena itu, Nettle selanjutnya menjelaskan, kalau ia tidak mampu lagi bertahan, pastilah genre seni tersebut akan dilupakan dan lalu mati. Demikian pula hal serupa dapat terjadi pada seni pertunjukan tradisional masyarakat-masyarakat di negeri ini. Meskipun demikian, kalau seni pertunjukan tradisonal yang seperti itu akan tetap diberdayakan, maka haruslah seni tersebut diubah (changed) untuk memenuhi keperluan dan harapan, baik untuk masyarakat lokal maupun bangsa Indonesia secara keseluruhan. Jika dihubungkan pemikiran di atas dengan permasalahan “mencari format baru media pertunjukan rakyat sebagai tontonan yang bersifat pragmatis atau tuntunan yang sarat nilai”, maka konsep tradisi seni pertunjukan tradisional rakyat atau pun istana yang pada dasarnya bersifat lokal, tentu tidak relevan jika diperuntukkan secara langsung dalam kerangka bangsa Indonesia yang majemuk. Meskipun dapat kita ketahui, bahwa seni 78
MUDRA Jurnal Seni Budaya
pertunjukan tradisional di negeri ini, selain sifatnya menghibur, dapat dipastikan pada dasarnya ia sarat dengan kandungan nilai-nilai ideal kehidupan masyarakat pendukung yang bersifat pragmatis atau pun sebagai tuntunan hidup. Oleh karena itu, dalam pemikiran mencari format baru seperti yang dimaksud, niscaya terlebih dulu perlu komitmen yang tinggi dengan penuh kesadaran untuk melakukan perubahan. Dalam menyikapi hal tersebut tidak salah jika kita melihat pada satu sisi bagaimana bangsa Eropa mengubah kehidupannya dari bangsa yang pasif (undeveloped state) pada masa “abad-abad gelap” (dark ages) kurang lebih seribu tahun (abad V - XV) menjadi bangsa modern dengan segala kemajuan yang mendunia. Sebagaimana dikemukakan Eugene F.Rice, Jr., sesungguhnya bangsa Eropa modern dibangun oleh tiga pilar mendasar, yaitu the new method combined three procedures, one logical, one experimental, and one mathematical (Eugene, 1970: 18). Sinergisme dari tiga prosedur ini melahirkan perubahan, dan intinya adalah tumbuh kesadaran dan kemauan untuk mengubah. Apalagi pandangan atau sikap mental perubahan itu sampai ke tingkat melembaga dengan segala kebijakan operasionalnya. Salah satu dari objek perubahan ialah seni pertunjukan tradisional dilihat sebagai potensi untuk kebutuhan dan memenuhi harapan bangsa dan negara menuju kemajuan yang tak terhingga. Dalam hal ini, kehadiran seni pertunjukan tidak saja hanya sekedar pemenuhi kebutuhan non seni manusia, apakah identitas, atribut kedaerahan, atau sekedar menghargai, dsb., tetapi adalah kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan akan keindahan yang kandungannya adalah nilai-nilai luhur untuk pembangunan manusia seutuhnya. Dalam kerangka perubahan seni pertunjukan seperti yang dimaksud, dapat dipertimbangkan dua aspek sinergisme, yaitu kesinambungan (continuity) dan perubahan (changes). Kesinambungan adalah berperspektif memelihara, melanjutkan, dan bahkan mengembangkan nilai-nilai luhur yang mendasari (basic rule) kehidupan masyarakat-masyarakat Indonesia. Seiring dengan itu, dalam kata perubahan terkandung arti adanya tindakan kreatif dan dinamis membuat atau menemukan sesuatu yang “baru”,
Volume 30, 2015
dapat ditujukan, baik untuk memenuhi kebutuhan maupun untuk menciptakan kebutuhan (terutama) bangsa Indonesia secara masif, seiring dengan perjalanan dan dinamika kehidupan. Dalam pensiasatan kreativitas seni itu banyak kemungkinan yang dapat dilakukan dari sisi estetika, terutama pada aspek aturan permukaan (surface rule) sebagaimana ada pada potensi seni pertunjukan tradisional yang diacu. Seperti misalnya dalam format musik populer genre Dangdut, telah dilakukan H. Rhoma Irama tindakan kreatif melaui orkes Soneta-nya dalam bentuk menyinambungkan (continuity) dan mengubah (changes): dalam format drama telah dilakukan pula antara lain misalnya dalam bentuk kemasan “Ketoprak Humor” atau “Unyil”, dsb. Embrio Orkes Soneta berasal dari kehidupan Orkes Musik Melayu, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, sedangkan “Ketoprak Humor” berbasis pada tradisi seni pertunjukan Ketoprak masyarakat Jawa; dan teater boneka “Unyil” merupakan transformasi dari Wayang Golek, dsb. Ketiga contoh produk seni ini, masing-masing memuat aspek yang bersinambung dan aspek yang berubah. Aspek yang bersinambung antara lain masih terlihat pada bentuk dan struktur masingmasing seni tersebut, sedangkan aspek yang berubah antara lain terlihat dari kreativitas pengemasan (komposisi) dan penggunaan media verbal nasional, yaitu Bahasa Indonesia. Tiga model produk seni (perubahan) ini, di samping “menghibur”, juga sarat dengan hal-hal yang pragmatis atau tuntunan yang sarat nilai. Namun, tidak semua pertunjukan musik Dangdut dapat dijadikan tuntunan sarat nilai, tetapi sebaliknya ada yang melunturkan nilai-nilai ideal suatu masyarakat Berdasarkan pandangan aspek kreativitas seni sebagaimana dikemukan di atas ada beberapa hal pokok yang dapat ditarik sebagai pertimbangkan dalam rangka “mencari format baru media pertunjukan rakyat sebagai tontonan yang bersifat pragmatis atau tuntunan yang sarat nilai” seperti demikian. Pembentukan kesadaran (consciousness) akan perubahan, seyogyanya dijadikan keniscayaan dan diposisikan sebagai sesuatu yang bernilai; sikap ini merupakan pembalikan dari pandangan tradisional yang pasif. Seni pertunjukan tradisional tertentu (rakyat) patut dilihat sebagai potensi dan dapat disinambungkan serta diubah, baik dalam
MUDRA Jurnal Seni Budaya
konteks lokal maupun berkapasitas nasional. Pengubahan dan penyinambungan dapat dilakukan dalam berbagai bentuk (komposisi) format estetika. Tindakan ini sejalan dengan memperhitungkan secara substansial, cermat, dan cerdas kontens yang menyinambungkan basic rule, sejalan dengan upaya menyikapi secara kreatif hal-hal yang bersifat surface rule (aspek estetika: visual maupun audio) dalam berbagai bentuk atau wujud seni yang menarik. Sementara itu, dari sisi teknis dan praktis kreativitas seni, banyak kemungkinan yang dapat dilakukan, terutama oleh seniman yang piawai. Pelembagaan kreativitas seni pertunjukan, yang menghasilkan produk seni bertujuan untuk mampu berperan sebagai tontonan yang bersifat pragmatis atau tuntunan yang sarat nilai, merupakan faktor kunci dan perlu diwujudkan. MEDIA VERBAL Tidak sedikit macam seni pertunjukan tradisional menjadikan media verbal sebagai bagian dari komposisinya. Di antara kegunaannya adalah sebagai media penyampaian pesan dalam berbagai kemungkinan arti (meaning) atau makna (meaning of meaning). Adakalanya media verbal dikemas dan berperan sebagai sarana informasi, dan ada pula yang menghadirkannya sebagai sarana komunikasi, baik antara pelaku seni, sesama pelaku seni pada satu grup, maupun komunikasi antara dua grup seni yang disandingkan atau dipertandingkan, dan ada pula berupa komunikasi antara pelaku seni dan penonton. Sebagaimana misalnya dalam masyarakat Gayo ada Didong; masyarakat Banjarmasin ada Madihin; masyarakat Minang ada Salawat Talam; masyarakat Melayu pada umumnya ada tradisi berbalas pantun, dsb. Di antara tradisi pertunjukan seni-seni tersebut ialah “dipertandingkan” antara grup (sejenis) yang satu dengan grup yang lain dalam suatu konteks pertunjukan. Substansi yang dipertandingkan pada dasarnya adalah kepekaan dan kemampuan pemain pada masing-masing grup, mencerna, mengolah, serta saling menyampaikan pesan dalam kemasan seni vokal, baik dalam bentuk jawaban maupun dalam bentuk pertanyaan antara grup yang bertanding. Berdasarkan fakta budaya atau tradisi pertunjukan rakyat yang seperti demikian dapat dicermati, sesungguhnya telah tercipta suatu 79
Mahdi Bahar (Menyikapi Seni Pertunjukan Tradisional... )
bentuk model sistem informasi dan atau komunikasi bersifat lokal. Sifat lokalnva antara lain disebabkan oleh karena media verbal yang digunakan adalah bahasa lokal mereka. Oleh karena itu, apapun yang disampaikan melalui pertunjukan seni tersebut mereka dapat memahami sebagaimana kehidupan di lingkungan setempat. Selain kandungan teks yang disampaikan bersifat hiburan, juga tidak sedikit teks-teks yang dinyanyikan atau disampaikan memuat arti atau makna bersifat pragmatis atau tuntunan yang sarat nilai bagi kehidupan masyarakat sekitar. Dalam konteks yang begini, sesungguhnya tidak perlu mencari format baru media pertunjukan rakyat yang berperan sebagai tontonan bersifat pragmatis atau tuntunan yang sarat nilai. Seni pertunjukan tradisional yang seperti demikian masih hidup dalam masyarakat-masyarakat pendukung di seantero negeri ini. Sebaliknya, tidak akan tercipta informasi atau terjalin komunikasi apabila seni pertunjukan tradisional yang bersifat lokal tersebut dipertunjukkan di lingkungan masyarakat berbeda bahasa. Sebagaimana misalnya pertunjukan Didong ditonton oleh masyarakat Betawi yang tidak mengerti bahasa Gayo, dsb. Dalam pertunjukan yang begini tidak akan tercipta informasi atau terjalin komunikasi antara pelaku pertunjukan dengan penonton. Oleh karena itu, perlu jadi pertimbangan unsur media verbal untuk menjadikan seni pertunjukan rakyat dapat dinikmati sebagai tontonan yang bersifat pragmatis atau tuntunan yang sarat nilai, apabila pertunjukan diperuntukkan secara masif bagi segenap bangsa. Terkecuali adalah seni pertunjukan tradisional masyarakat-masyarakat Melayu, yang menggunakan bahasa Melayu sebagai media verbal. Oleh karena itu, niscaya diperlukan berbagai upaya kreatif untuk menggunakan unsur bahasa Indonesia “yang baik dan benar” sebagai media verbal dalam format baru media pertunjukan rakyat agar dapat dinikmati oleh segenap bangsa, sehingga pada masanya nanti dapat tercipta beragam model seni pertunjukan bernuansa lokal, akan tetapi bercitra nasional. Dalam konteks pemikiran ini, tidak berarti seni pertunjukan itu hanya dipertunjukkan dalam bentuk tayangan rekaman di televisi yang bisa diberi teks terjemahan ke dalam bahasa Indonesia. Begitu pula misalnya pada pertunjukan langsung (live performance) diberi terjemahan ke dalam bahasa 80
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Indonesia melalui selebaran yang diberikan kepada penonton. Memang dengan cara-cara seperti demikian dapat dimengerti atau dipahami maksud yang disampaikan secara verbal dalam pertunjukan seni tersebut oleh penonton yang membaca terjemahan. Namun begitu, cara yang seperti ini bukanlah merupakan bagian dari suatu kesatuan bentuk seni pertunjukan yang dibingkai oleh nilai-nilai estetika dalam ikatan suatu perhitungan komposisi. Sementara bagian komposisi itu, adalah media verbal yang diolah (garap), baik sisi kemungkinan aspek bunyi maupun aspek isi, atau pun aspek sastra, sehingga kehadirannya merupakan bagian dari satu kesatuan keutuhan karya seni tersebut. Berdasarkan pada pandangan di atas dapat dijelaskan, bahwa pemikiran konseptual keutuhan suatu karya seni, perlu menjadi pertimbangan dalam mewujudkan produk seni pertunjukan. Di antara keutuhan itu ialah menempatkan media verbal penyatuan bangsa yaitu Bahasa Indonesia, sebagai bagian integral dari satu kesatuan bentuk komposisi (produk) seni tersebut. Penempatan itu hendaklah menjadi keniscayaan dalam mencari format baru media pertunjukan rakyat sebagai tontonan yang bersifat pragmatis atau tuntunan yang sarat nilai untuk pembangunan bangsa. SPONSOR Karya seni adalah produk ciptaan manusia. Oleh karena itu, manusia adalah sponsor kehidupan seni itu sendiri. Pensponsoran dapat dilihat secara mendasar melalui terciptanya sebuah produk seni oleh pencipta, penyelenggara, atau pelaku seni yang niscaya meluangkan waktu atau menggunakan waktu sejalan dengan jasa yang diberikan untuk mewujudkan atau menyelenggarakan suatu seni. Pemberian jasa pada hakikatnya merupakan investasi atau pengorbanan yang diberikan sebagai realita dari sebuah bentuk sponsor. Sementara itu, dalam tindakan sponsor, menjadi keniscayaan ada maksud-maksud tertentu yang bertujuan untuk mendapatkan atau meraih sesuatu yang diinginkan, baik bagi pelaku atau penyelenggara, maupun pencipta seni itu sendiri. Dalam konteks sistem religi misalnya, bertujuan untuk mendapatkan anugerah Sang Ilahi yang
Volume 30, 2015
menjadi objek sembahan; dalam konteks upacara adat atau tradisi, mungkin saja untuk (mengutamakan) mendapat nilai prestise; dan dalam dunia industri atau kehidupan profesional lebih lazim bersifat komersial. Oleh karena itu, penyelenggaraan atau penciptaan sebuah seni pertunjukan, pada dasarnya memerlukan sponsor. Sejalan dengan pandangan ini Brandon berpendapat, bahwa:
“Folk theatre is primarily connected with village life.... Expenses attendant upon performance are provided by the community or a local .sponsor.... Performers of court theatre were court retainers; they lived at court, were supported by the sovereign, and were responsive to his desires (Brandon, 1967: 80-81).
Pada dasarnya, atas sponsor seperti demikian kehidupan seni pertunjukan tradisional dapat berlangsung, baik seni pertunjukan rakyat mapun seni pertunjukan istana. Sebagaimana telah disinggung di muka, bahwa seni pertunjukan tradisional rakyat atau pun istana, sampai saat ini masih hidup di lingkungan masingmasing sesuai dengan tradisi kehidupannya. Seni itu hidup disponsori oleh masyarakat atau orang di lingkungan setempat sebagaimana ia mereka perlukan. Oleh karena itu, seni pertunjukan tradisional dalam konteks masyarakatnya, tidak bermasalah dalam kaitannya dengan keperluan sebagai tontonan yang bersifat pragmatis atau tutunan yang sarat nilai. Kandungan isi atau nilai seperti yang dimaksud melekat dalam kehidupan tradisi seni pertunjukan itu sendiri. Yang patut dipertanyakan sehubungan dengan “mencari format baru media pertunjukan rakyat sebagai tontonan yang bersifat pragmatis atau tuntunan yang sarat nilai” adalah, untuk keperluan siapa “format baru” yang dimaksud, dan siapa yang diharapkan sebagai sasarannya. Apabila sasarannya adalah segenap bangsa Indonesia, maka berarti kita menuju pada perancangan dan penciptaan hal (tradisi) “baru” dalam kehidupan seni pertunjukan, yaitu mengembangkan konteks seni pertunjukan tradisional dalam ranah kehidupan berbangsa, dan tidak lagi ia hanya hidup dalam ranah masyarakat lokal semata.
MUDRA Jurnal Seni Budaya
pihak yang memerlukan, sehingga seni tersebut dapat di.jadikan sebagai bagian dari sistem informasi dan komunikasi dalam penyebaran “kebijakan” pemerintah pada segenap bangsa. Oleh karena itu, seyogiyanya lembaga pemerintah mensponsori kehidupan seni pertunjukan secara praktis, sehingga perwujudan seni yang mampu berperan sebagai tontonan bersifat pragmatis atau tuntunan yang sarat nilai secara masif bagi segenap bangsa ini, dapat terealisasi dan sekaligus dapat dikendalikan dinamika perkembangannya. Hal begini sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru di Nusantara, sebagaimana kita ketahui bahwa keraton sebagai pusat pemerintahan kerajaan, melembagakan seni (pangrawit, bedayan, wayang, dsb.) (Soeratman, 1989: 57-58) sebagai bagian dari sistem pemerintahannya. Meskipun tidak tertutup kemungkinan, yaitu ada pihak tertentu non pemerintah yang consern dengan mempertunjukkan seni bermuatan sebagai tontonan bersifat pragmatis atau tuntunan yang sarat nilai. Namun demikain, intensitas dan jumlahnya secara kuantitatif tidak begitu banyak jika dibandingkan dengan populasi kehidupan seni pertunjukan berskala nasional. Adapun pada umumnya karya mereka lebih dirorientasikan pada pemenuhan selera pasar (populer). Oleh karena itu, tidak jarang mereka mengutamakan aspek hiburan daripada aspek pragmatis atau tontonan sarat nilai. Sebabnya ialah karena produk seni tersebut lebih diminati penonton dan melalui berbagai kemungkinan cara ia akan berkonsekuensi komersial, baik bagi pelaku seni maupun bagi penyelenggara. SIMPULAN Berdasarkan uraian dan pandangan di atas dapat dikemukan beberapa hal yang bisa dijadikan sebagai postulat dan pemikiran dalam kaitan “mencari format baru media pertunjukan rakyat sebagai tontonan bersifat pragmatis atau tuntunan yang sarat nilai”, adalah seperti demikian. Pada hakikatnya seni (seni pertunjukan) adalah media. Oleh karena itu, entitas seni pertunjukan dapat dijadikan sebagai media informasi dan komunikasi, terutama bentuk seni pertunjukan yang menjadikan media verbal sebagai bagian komposisinya.
Jika maksudnya adalah seperti demikian, maka lembaga pemerintahlah yang paling tepat sebagai 81
Mahdi Bahar (Menyikapi Seni Pertunjukan Tradisional... )
Seni pertunjukan adalah entitas yang berubah dan pengubahnya adalah manusia. Oleh karena itu, manusia dapat melakukan pengubahan yang antara lain melihat eksistensi seni pertunjukan tradisional sebagai potensi. Padanya dapat dilakukan, baik sisi pengubahan (changes) maupun sisi kesinambungan (continuity), sesuai dengan kemauan dan kemampuan pengubah. Dalam hal ini, bermacam cara dan konsep, serta beragam pendekatan praktis dapat dilakukan, baik berdimensi kualitatif maupun berdimensi kuantitatif. Seni pertunjukan tradisional rakyat atau pun istana yang tumbuh dalam kehidupan masyarakatmasyarakat di Indonesia pada hakikatnya adalah cerminan kehidupan lokal dari dan untuk masyarakat setempat, sehingga ia bertahan dalam berbagai pemaknaan yang dapat memenuhi kebutuhan atau harapan mereka. Untuk menjadikan seni pertunjukan khazanah budaya lokal tersebut mampu berperan sebagai tontonan bersifat pragmatis atau tuntunan yang sarat nilai selain jadi hiburan secara masif bagi segenap bangsa, niscaya ia perlu diubah. Perubahan selain aspek estetika adalah perubahan media verbalnya dengan “menggunakan” unsur Bahasa Indonesia bagi yang memerlukan. Kelangsungan hidup seni memerlukan sponsor. Oleh karena itu, kelangsungan hidup seni pertunjukan dalam segala aspeknya, meliputi kemungkinan penciptaan, pengolahan, pertunjukan, sarana atau pun prasarana yang terkait dengan itu, memerlukan sponsor. Dalam kaitannya dengan menjadikan seni pertunjukan tradisional sebagai media dalam kebijakan sistem informasi dan komunikasi bersifat masif di negeri ini, maka diperlukan kelembagaan yang mensponsorinya. Lembaga sponsor yang paling utama adalah lembaga pemerintah sesuai dengan jajarannya. Di samping itu, tidak tertutup kemungkinan pihak manapun yang mensponsori. DAFTAR RUJUKAN Bahar, Mahdi. (2009), “Bagi Umat Islam, Kesenian adalah Keniscayaan”, dalam Madina, Majalah No. 18 Th. II Juli 2009. Barkah, Hendri Juhadul. (2007), “Tupai Jenjang Teater Tutur Masyarakat Siulak Kerinci Jambi”, (Tesis Program Magister S-2), Program Studi 82
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Bidang Ilmu Humaniora, Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Becker, Judith. (1980), Traditional Music in Modern Jav, The University Press of Hawaii, Honolulu. Brandon, James R. (1967), Theatre in Southeast Asia, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts. Kostelanetz, Richard (Eds.), Esthetics Contem porary, Prometheus Books, New York. Nettl, Bruno. (1973), Folk and Traditional Music of the Western Continents (second edition), PrenticeHall, Inc., New Jersey. Rice, Jr., Eugene F. (1970), The Foundations of Early Modern Europe, W.W. Norton & Company, New York. Soedarsono, R.M. (1997), Wayang Wong Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta. Gadjah Mada University Press, Yogayakarta. ______________. (1999), Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, (cetakan pertama), Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, Yogyakarta. Soeratman, Darsiti. (1989), Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939, Taman Siswa, Yogyakarta. Titon, Jeff Todd (Eds.). (1992), Worlds of Music, Schirmer Books, New York. Tony, Made dkk. (1996), “Bius Sosial di Balik Goyang Dangdut”, dalam Basis Majalah Kebudayaan, No. 03-04, Tahun ke-45, Mei - Juni, 1996.
Volume 30, 2015
Jurnal Seni Budaya VolumeMUDRA 30, Nomor 1, Pebruari 2015 p 83 - 90
ISSN 0854-3461
Idiologi Estetik Dalang Wayang Topeng Malang ROBBY HIDAJAT Program Studi Pendidikan Seni Tari dan Musik, Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, Indonesia. E-mail:
[email protected]
Dalang Wayang Topeng memiliki orientasi idiologi estetik atas dasar pengalaman estetik. Idiologi estetik itu tumbuh dari interaksi sosial dan lingkungan, kemudian membentuk pengetahuan, pengalaman dan kemampuan komperhensif sebagai seorang dalang. Kata ‘dalang’ adalah kekuatan estetik yang diterapkan sebagai bentuk hubungan sosial dan spiritual. Penerapan idiologi estetik itu menjadi kuasa simbolik. yaitu menyimpan sugesti yang dahsyat dalam membentuk pola imajinasi masyarakat penyangga seni pertunjukan. Pertanyaan penelitian 1) Apa idiologi estetik dalang Wayang Topeng di Malang, 2) Bagaimana idiologi estetik dalang Wayang Topeng ditransformasikan sebagai kuasa simbol dalam seni pertunjukan. Penelitian kualitatif ini menggunakan data wawancara dan observasi yang dianalisis menggunakan interpretasi. Metode penelitian fenomenologi seni, kajian kuasa estetik yang menggunakan data hasil wawancara dan observasi pertunjukan Wayang Topeng di Malang Jawa Timur. Hasil penelitian adalah (a) diskripsi kuasa estetik dalam mentransformasikan unsur-unsur yang membuat penampilan Artistik. (b) Kuasa esteik dalang diwujudkan melalui aspek teknis dan spiritual.
Aesthetic Ideology Mastermind Puppet Mask Malang Mastermind (dalang) Puppet Mask has orentasi aesthetic ideology on the basis of aesthetic experience . Aesthetic ideology that grew out of the social interaction and the environment , then the form of knowledge , experience and ability konperhensif as a puppeteer . The word ‘dalang’ is the aesthetic force that is applied as a form of social and spiritual relationships. The application of the aesthetic idiology become symbolic power. ie save a terrible suggestion in shaping public image buffer performing arts. Research questions 1) What is the dalang of aesthetic ideology Puppet Mask in Malang, 2) How does the aesthetic ideology dalang Puppet Mask is transformed as a symbol of the power of the performing arts . This qualitative study using observation and interview data were analyzed using interpretation. Phenomenological research methods of art , the aesthetic power of the study using data from interviews and observations show Wayang Topeng in Malang, East Java. The results of the study are (a) the description of the transforming power of the aesthetic elements that make an appearance Artistic. (b) Authorization eesthetic dalang realized through the technical aspects and spirutal. Keywords: Performing arts, dalang, artistic, and mask.
Kata ‘Dalang’ melekat dengan kata ‘wayang.’ istilah itu kini menjadi predikat profesional seseorang yang menggeluti bidang seni pertunjukan Jawa. Bahkan pada akhir-akhir ini juga digunakan untuk predikat narator dari komedi televisi Overa van Java (OVJ). Istilah dalang pada masa lalu berhubungan dengan religiusitas masyarakat etnik, termasuk dalam masyarakat etnik Jawa. Perluasan kata itu juga digunakan sebagai analogi bagi otak pelaku kasus tertentu.
Istilah dalang dianggap sebagai unsur asli seni pertunjukan di Jawa. Sebuah tradisi bercerita yang diwarisi secara turun-temurun (Clara, 1987: 6). Tradisi dalang yang bersifat genetika itu menjadikan para dalang menjadi profesi yang bersifat khusus, bahkan ada peluang untuk menekuni jika ada bakat khusus. Para dalang tua tampak enggan meloloskan orang-otang tertentu yang tidak terkait dengan keturunan dalang. Jika ada keinginan yang sangat
83
Robby Hidajat (Idiologi estetik Dalang Wayang..)
kuat dari seseorang, proses pembelajaran sistem cantrik harus ditempuh dalam waktu yang lama. Masyarakat suku yang meyakini kekuatan gaib dari roh dan alam menyebut dalang sebagai Samman (dukun). Keyakinan para peneliti seni pertunjukan, bahwa dalang merupakan bentuk evolusi dari Samman. Sudah barang tentu, dalang diasumsikan tidak hanya seniman, namun lebih dipandang sebagai sesepuh atau pinisepuh yaitu orang yang dituakan dalam sebuah komunitas. Namun memiliki peran ganda dalam masyarakat, satu sisi sebagai orang yang memiliki otoritas spiritual dan sisi lain memiliki otoritas seni pertunjukan. Peran ganda itu tentu satu sama lain saling memberikan pengaruh yang besar terhadap idiologi estetik. istilah Idiologi estetik yang digunakan di sini adalah bersandarkan pada pikiran klasik, yaitu ‘ide’ atau gagasan yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman serta transformasi budaya Jawa. Dari pada itu, penelitian ini mempertanyakan dua aspek yang dianggap konseptual, yaitu 1) Apa idiologi estetik dalang Wayang Topeng di Malang; 2) Bagaimana idiologi estetik dalang Wayang Topeng yang ditransformasikan pada pendukungnya. Tujuan penelitian ini adalah mendiskripsikan kuasa estetik dalam mentransformasikan unsur-unsur yang membuat penampilan pagelaran Wayang Topeng. Selain itu juga mendiskripsikan Kuasa esteik dalang yang terwujud melalui berupa tata aturan teknis dalam pengelolaan penyajian seni pertunjukan. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, karena objek yang diteliti adalah fenomenologi seni dari gejala sosial dari dalang Wayang Topeng di Malang. Gejala sosial seseorang dalam berinteraksi dengan masyarakat serta lingkungan tidak dapat diukur dengan menggunakan cara statistik, sehingga penelitian dilakukan secara holistik dan bersifat konseptual. IDIOLOGI ESTETIK DALANG WAYANG TOPENG MALANG Data yang dikumpulkan adalah bersumber dari wawancara mendalam dan observasi partisipatoris. Sumber data lisan diperoleh dari M. Dahlan (53 th.), Kamituwa Desa Kedungmangga, Kasnam (67 th.) dalang Wayang Topeng Asmarabangun dari Desa Kedungmangga dan M.Soleh AP. (63 th.) dalang dari Padepokan Seni Mangundharmo Tumpang, 84
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Suparjo (53 th.) ketua Wayang Topeng Wirabakti dari Desa Jabung. Suroso (43 th.) penari dari Desa Kedungmonggo. Sumantri (60 th.) Pengendang Wayang Topeng dan komposer musiki tradisional Malang Observasi dilakukan pada penyajian Wayang Topeng pada Bersih Desa di Pijiombo, Ruwatan Wayang Topeng di Nduwet Tumpang, dan penyajian Suguh Pundhen di Desa Kedungmangga setiap bulan pada hari Senin legi. Analisis data menggunakan teori kekuasaan. Teori ini mengisyaratkan tentang besar kecil dari kekuasaan yang dimiliki individu. Kekuasan yang diterima karena aspek keturunan atau pelimpahan yang dimandatkan dari sebuah komunitas. Ekspresi kekuasaan simbol adalah kekuatan membujuk dan memaksa untuk mengikuti ide-ide seniman (Fashri, 2007: 92). Kuasa simbol yang diterapkan dalam komunitasnya digunakan oleh Daryusti, untuk meneliti kuasa Penghulu pada Budaya Minangkabau (Daryusti, 2006: 34). Tindakan yang diekspresikan para dalang diinterpretasikan dan dimaknai berdasarkan reaksi serta relasi yang ditimbulkan atas respon dari orang-orang tertentu, dalam hal ini adalah para Anak Wayang. Wayang Topeng di Kabupaten Malang pada tahun 1930-an tesebar di berbagai desa. Masyarakat memfungsikan Wayang Topeng sebagai Suguh Pundhen pada saat Bersih Desa. Pada dasawarsa awal abad XI ini, desa-desa yang masih melestarikan Suguh Pundhen dengan menggelar Wayang Topeng adalah Desa Kedungmonggo di Kecamatan Pakisaji, Desa Pijiombo di Kecamatan Wonosari, dan Desa Jatiguwi di Kecamatan Sumberpucung. Tradisi pementasan pada Ritual Bersih Desa merupakan upaya untuk memperingati siklus pembukaan lahan pemukiman, masyarakat di Malang menyebut dengan istilah Bedah Kerawang. Bedah Kerawang yang dimaksud adalah orang yang dianggap memiliki jasa membuka pemukiman. tempat sakral yang digunakan untuk memperingati keberadaan Bedah Kerawang seringkali ditandai adanya Watu Kulumpang (batu berbentuk lumpang). Tempat-tempat yang memiliki perlengkapan Watu Kulumpang pada masa Jawa Kuna digunakan untuk ritual Manusuk Sima. Ritual untuk mengukuhkan pembebasan tanah dari kewajiban membayar pajak. Daerah yang mandiri ini diberikan beban oleh
Volume 30, 2015
kerajaan menyelenggarakan ritual-ritual tradisional (Boechari, 2012: 277-278). Rama-Rama sebagai pimpinan adat dan sekaligus pimpinan komunitas mempunyai kewajiban menyelenggarakan peringatan hari penetapan Sima setiap tahun. Tradisi itu menjadi model dalam memperingati para Bedah Kerawang yang dianggap roh-rohnya masih bersemayam di tempatnya. Roh Bedah Kerawang oleh kebanyakan masyarakat di Jawa disebut sebagai Dahnyang Desa. Di ketiga desa itu ketika menyelenggarakan ritual Suguh Pundhen selalu berkoordinasi dengan seorang dalang, melalui M. Dahlan, seorang Kamituwa Desa Kedungmangga selalu bertindak sebagai koordinator. Kamituwa bertugas sebagai menyedia sarana prasarana ritual, termasuk yang mengupayakan dana. Tugas ini dilakukan atas dasar tradisi secara turun-temurun. Pada semula ayah M. Dahlan juga jadi Karituwa di desanya. Bahkan tugasnya lebih berat, selain menggalang dana sosial juga dibebani tugas untuk memimpin doa yang disebut Suguh setiap bulan, pada hari Senin Legi. Sekarang tugas ritual itu sudah diambil alih oleh dalang, bahkan setiap bulan tidak hanya suguh dengan membuat sesaji dan membakar kemenyan di pundhen Belik Kurung. Sekarang juga disertai pertunjukan Wayang Topeng (wawancara dengan Dahlan pada 3 Januari 2014). Masyarakat di Malang masih meyakini dalang sebagai orang yang memiliki kaweruh (pengetahuan) spiritual, di samping sebagai seniman. Dalang sebagai pimpinan ritual mempunyai tugas membacakan doa-doa (mantra) permohonan keselamatan, kelimpahan berkah, dan tolak balak. Tugas ini sama dengan yang dilakukan oleh Mandakat, yang membaca mantra dan menyempurnakan kurban, berupa memecahkan telur ayam ke dalam Watu Kulumpang dan meneteskan darah ayam yang disembelih. Di samping itu juga menyampaikan sejarah tanah perdikan (mendongeng) dan menutup dengan sapatah (kutukan). Bentuk sapatah itu sama dengan pesan moral yang harus dipatuhi. Spiritualitas yang dipelajari oleh seorang dalang adalah menjadi syarat yang menertai dalam belajar teknik-teknik seni pertunjukan. Rasimen, seorang dalang dari Desa Kedungmonggo selalu membaca melakukan ritual mandi kramas (menyucikan
MUDRA Jurnal Seni Budaya
diri dengan cara mandi) dan membaca mantra khusus ketika terang bulan. Ritual itu dilakukan untuk membuat kemampuan mengingat tetap kuat. Apabila akan melaksanakan pentas, Rasimin melakukan ritual puasa dan tidak tidur semalam suntuk. Tujuannya agar pertunjukan berjalan lancar dan penonton tidak pulang sebelum pertunjukan selesai. Ritual yang dilakukan oleh Rasimin itu juga dijalankan oleh Karimoen, pimpinan Wayang Topeng Asmarabangun dari Desa Kedungmonggo (wawancara dengan Suroso pada 21 Mei 2013). Para Anak Wayang (anggota) selalu disarankan untuk puasa kalau belajar menari. Bahkan jika telah mampu menari dan pentas untuk pertama kali. Karimun mengharuskan penari itu untuk melakukan selamatan yang disebut telasan (mengakhiri). M. Soleh Adipramono, seorang dalang Wayang Topeng dari Desa Kemulan. Selalu mengadakan puasa jika akan mengadakan pertunjukan, terlebih untuk pertunjukan ritual. Bahkan Ki Soleh selalu memeriksa dengan cermat berbagai sajen yang disediakan si empunya hajat. Menutut Ki Soleh, sesaji yang disedikan untuk ritual jika kurang akan berakibat pada penyajian pertunjukan Wayang Topeng. Di Desa Pijiombo, Kecamatan Wonosari pernah terjadi ada penari yang kerasukan roh. Topengnya tidak dapat dilepaskan dari mukanya. Setelah diteliti, ternyata Kapur Sirih tidak tersedia (wawancara dengan Adipramono pada 5 Desember 2013). Karimun juga pernah menceritakan, bahwa dalang Wayang Topeng harus mempunyai kekuatan spiritual. Karena pergelaran analoginya seperti maju ke medan perang. Semua Anak Wayang sangat bergantung pada dalang. Kelancaran pentas dan juga keselamatan ditentukan oleh besar kecilnya kekuatan dalang. Dalang yang tidak memiliki kekuatan spiritual terkadang dapat diganggu oleh orang-orang yang ilmunya lebih tinggi, selain dari pada itu juga kadang diganggu oleh roh-roh penunggu Pundhen Desa. Beberapa penari pernah tidak sedar diri dan topeng yang dipakai tidak dapat dilepas. Setelah dalang memeriksa kelengkapan sesaji, ternyata tidak disertakan kapur sirih dan badek tape ketan hitam. Setelah kekurang sesaji diperintahkan untuk disediakan, anak wayang yang kesurupan segera dapat disadarkan.
85
Robby Hidajat (Idiologi estetik Dalang Wayang..)
Kasnam dalang Wayang Topeng dari Desa Kesamben meyakini kekuatan roh penunggu desa yang disebut Danyang Desa. Roh penunggu itu akan marah jika waktu menggelar pertunjukan Wayang Topeng untuk Ritual Ruwatan. Dalang yang disyaratkan untuk Ritual Ruwatan sangat berat. Dalang itu harus memiliki pengetahuan dan pengalaman spiritual yang mendalam, bahkan disyaratkan juga berasal dari keturunan dalang. M. Soleh Adipramono meyakini bahwa dia adalah keturunan dalang, kakeknya yang bernama Rosman adalah dalang ruwat. Sebagai cucu seorang dalang, ada tanggung jawab spiritual untuk mewarisi sebagai dalang ruwat. Jika diminta meruwat di suatu tempat, terlebih dahulu dilakukan suguh di pundhen desa tempat menggelar Wayang Topeng. Seminggu sebelumnya sudah menyucikan diri dengan cara berpuasa atau tidak tidur sore hari. Anak Wayang diperintahkan untuk menyiapkan mental dan spiritual dengan cara membersihkan diri dengan mandi kramas, tidak banyak berbicara pada waktu persiapan pentas, meletakan topeng-topeng pada tempat yang lebih tinggi dari tempat duduk (wawancara dengan Adipramono pada 4 Januari 2014). Hasil analisis berdasarkan teori kekuasaan, yaitu melihat seseorang dari besar kecilnya potensi kewenangan menentukan dan memutuskan sesuatu untuk melakukan tindakan atau mempengaruhi masyarakat. Dalang sebagai orang yang dipercaya memainkan anak wayang dan juga mempunyai kewenangan untuk memimpin ritual tradisional, Ruwatan, Nadhar, atau Suguh Pundhen pada waktu Ritual Bersih Desa. Kekuatan-kekuatan yang dimiliki secara kualitas menjadi keyakinan yang mampu memaksakan pada orang lain. Idiologi Dalang Dalang-dalang Wayang Topeng di Malang pada umumnya bukan dalang komersial seperti dalang Wayang Purwa. Seperti Rasimin dan Kasnam, dalang Wayang Topeng Asmarabangun dari Desa Kedungmongo atau Wiji, dalang Wayang Topeng dari Desa Kopral. Mereka tidak menggantungkan hidup sebagai seniman. Mereka tidak mempunyai pekerjaan tetap. Hidupnya ditopang oleh masyarakat, karena dianggap sebagai ‘orang tua’ atau ada yang menyebut ‘orang pintar.’ Kadang diundang untuk membaca doa pada Kenduri pada selamatan orang meninggal dunia, mencari hari 86
MUDRA Jurnal Seni Budaya
baik menyelenggarakan hajatan atau membangun rumah. Bahkan ada yang meminta jasa mereka untuk mengembalikan istri atau suami yang meninggalkan rumah tanpa pamit. Jika ada orang yang sedang menyelenggarakan hajatan, para dalang diminta secara khusus untuk menjaga agar tamu yang diundang datang semua atau mencegah turunnya hujan. Karimun, selain sebagai seorang dalang juga menjadi pimpinan aliran kepercayaan yang disebut Kaweruh Kasunyatan. Pada masa hidupnya, Karimun selalu mentakbiskan pengikutnya dengan ritual khusus yang disebut mijeni. Mijeni berasal dari istilah ‘wiji’ artinya benih. Pengikut aliran kepercayaan itu ditakbiskan dengan harapan dapat menyemaikan diri seperti benih yang disemaikan. Umumnya para Anak Wayang mendapatkan ajaran yang diyakini Karimoen. Kayakinan itu dianggap sebagai sarana penyerahan diri, mengendalikan hawa nafsu, dan mengalirkan segala sesuatu sebagaimana adanya. Anak Wayang dijadikan tokoh tertentu dikarenakan atas kesesuaian antara fisik dengan kemauannya. Fisiknya sesuai, namun kalau kemauannya tidak ada. Anak Wayang itu tentu tidak akan jadi tokoh yang dikehendaki oleh dalang. Dalang itu adalah orang yang sekedar menggerakkan wayang. Dia tidak mempunyai kewenangan untuk memastikan sesuatu yang terjadi, karena sesuatu yang dialami seseorang tergantung dari sesuatu yang disebut ‘kapesten’ (takdir). Kata itu seolah-oleh tidak ada pilihan bagi Anak Wayang yang menginkan sesuatu menurut hasratnya, sehingga yang dapat dilakukan adalah mengikuti nasihat dalang untuk menjadi yang terbaik. Jadi prajurit kalau sangat trampil, merupakan pencapaian tertinggi. Jakimin, salah satu penari Wayang Topeng dari Desa Gelagahdawa. Sejak belajar menari dia tidak pernah menarikan tokoh. Dia hanya merupakan penari spesialis tari prajurid, yaitu Tari Grebeg. Chattam AR, Salah satu murid Karimun menggali pengetahuan dan pengalaman pada dalang Wayang Topeng, seperti Karimoen, Wiji, Rusman, Kangsen, dan Rusnadi. Chattam AR mengemukakan, bahwa Kaweruh (pengetahuan) dalang adalah ‘Kasunyatan’ (realitas). Pengertian Kasunyatan adalah ‘apa adanya.’ Hal ini sejalan dengan pengertian yang disebutkan oleh para peneliti Wayang, bahwa dalang
Volume 30, 2015
itu adalah orang yang mengemukakan realitas, yaitu ‘kesejatian dari sesuatu.’ Para tokoh dan lakon yang dimainkan itu adalah Kaweruh kesejatian atau yang disebut dengan Kasunyatan Jati. Oleh karena itu, para dalang selalu menekankan, bahwa Lakon itu adalah ‘laku.’ (tindakan) yang harus ‘dilakoni.’ (dijalankan). Wayang itu adalah laku yang dilakoni (dijalankan). Di sini dapat ditegaskan, bahwa dalang itu memang orang yang bertugas ‘menjalankan titah’ (menjalankan perintah), wayang itu adalah lakune titak. Kehidupan yang digelar adalah Kasunyatan. Pada kitab Arjuna Wiwaha (Empu Kanwa). Diceritakan ada orang yang menangis ketika menyaksikan pertunjukan wayang (Hazeu 1979: 41). Idiologi Estetik Idiologi estetik dalang dalam berkesenain tampak pada peranannya dalam seni pertunjukan, yaitu seniman yang memainkan Anak Wayang, dalam hal ini pemain topeng. Penari-penari Topeng di Dusun Kedungmonggo sudah terbiasa menerima intruksi dari dalang. Mereka hanya mengkondisikan gerak tari dari tokoh-tokoh yang diperankan. Struktur tari dari tokoh untuk semua penampilan pada umumnya sama. Hubungan hirarkis ini bersifat patriaki. Para Anak Wayang menaruh hormat dan mematuhi berbagai instruksi dalang. Oleh karena itu, dalang merupakan sumber referensi dari kualitas Anak Wayang. Kasnam selalu menunjuk Handoyo yang bertubuh tinggi besar, penampilannya tenang, tenaganya kuat dan tegas sebagai tokoh Klana Sewandana, Bagus yang berperawakan sedang agak kurus, tenaganya yang kuat, serta gerakannya yang patah-patah dipercaya sebagai penari Bapang. Pola ini tidak terlalu istimewa, sebab para dalang Wayang Topeng pada umumnya paham terhadap karakteristik Wayang Purwa. Oleh karena itu, postur penari Wayang Topeng pada umumnya menggunakan referensi dari tokoh-tokoh Wayang Purwa. Klana Sewandana seperti Dasamuka, Panji Asmarabangun seperti Arjuna, Gunungsari seperti Samba, Bapang seperti tokoh Cakil (sungguhpun wataknya seperti Dursasana). Idiologi estetik yang diterapkan pada Wayang Topeng adalah berdasarkan pola yang disebut referensial. Pengetahuan referensial dalang dari Wayang Purwa adalah moral, Arjuna yang lemah lembut merupakan orang yang sangat kuat. Secara phisik mengarahkan pada pandangan bahwa
MUDRA Jurnal Seni Budaya
bukan ukuran phisik untuk menjadi kuat, namun kehalusan budi perkerti yang luhur umumnya berada pada phisik-phisik yang kecil, gerak yang lembut, dan tidak emosional. Tafsir-tafsir lakon ada di tangan dalang. Karimun adalah salah satu dalang yang seringkali banyak memasukan pengalaman hidupnya dalam lakon. Penghayatannya terhadap ketentraman, kesuburan, dan perdamaian masyarakat dibentuk dalam wujud penyajian. Lakon mbalike pusaka gedhong semara denok yang digunakan sebagai penampilan bersih desa di Desa Kedungmangga. Lakon itu menceritakan bahwa ‘wanita.’ yang diistilahkan ‘denok.’ adalah pusaka yang dipertahankan oleh komunitas masyarakat yang mengidamkan keselamatan. M. Soleh Adipramono juga salah satu dalang muda yang memaksakan gerak dinamika lakon Panji sebagai kekuatan pemersatu bangsa, sehingga Panji Nusantara adalah salah satu karya yang menjadi obsesi kuasa estetiknya (wawancara dengan Adipramono pada Januari 2014). M.Soleh Adipramono juga merasa yakin, bahwa Panji adalah nenek moyang raja-raja di Jawa Timur, Setidaknya dapat dilacak melalui eyang Darmawangsa Teguh yang menurunkan kekuatan dewata penjaga ketentraman dunia, yaitu Erlangga, yaitu Wisnu. Panji sebagai pemersatu nusantara adalah pengejawaantahan Dewa Wisnu. Transformasinya dalam kehidupan di perdesaan hadir sebagai dalang sejati. sementara pasangan Betari Sri hadir sebagai bentuk tumbuh-tumbuhan yang memberikan berkah kesuburan. Maka Kuasa estetik dari Wayang Topeng lakon Panji adalah lakon tentang kesuburan. Paham kesuburan secara transformatif terkait dengan kedudukan dalang. Dalang bukan individu profesional yang hanya sebagai ‘tukang seni.’ Dalang memiliki koneksitas diakronis dengan syaman; pemimpin ritual kuno; berdasarkan ritual Hindu memilik koneksitas diakronis dengan Resi; menurut falsafah ritual Hindu Jawa memiliki konesitas diakronis dengan manguyu, berdasarkan sistem pemerintahan Hindu, dalang setara dengan makundur, dan pada sistem pemerintahan Islam setara dengan modin/kaum, dan ritual seni pertunjukan WTM ditemukan kedudukan dalang.
87
Robby Hidajat (Idiologi estetik Dalang Wayang..)
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Tabel 1. Transformasi dalang
Ritual Kuno/ prasejarah
Ritual Hindu
Falsafah Ritual Hindu Jawa
Syaman
Resi
Manguyu/ Jangga
Anak Wanua
Brahmacarin
Kaki dan Endang
Selain dari pada itu ditemukan fungsi Juru Mandakat secara khusus disebut pahawuhawu; petugas yang berkuasa untuk hiburan atau tempat pertunjukan, dalang; petugas untuk pemain dagelan atau pelawak, atapukan: petugas yang mengurus Wayang Kulit, abanwal: pelawak atau badut, haluwarak: petugas pengurus gamelan (Haryono, 2008: 32-37). Jika dianalisis secara transformatif, bahwa dalang yang dianggap sebagai eksistensi Wisnu adalah memiliki pasangan oposisional yaitu ‘Kamituwa,’ yaitu pamong desa. Dalam penampilan Wisnu tampil sebagai Panji dan Kamituwa tampil sebagai Semar. Pasangan opisisional ini bertugas untuk menjaga ketentraman dan keselamatan masyarakat agraris. M. Soleh Adipramono setiap menyelenggarkan ruwatan. Lakon Murwakala sebagai sarana menolak balak anak-anak sukerto, yaitu anak yang terancam kekuatan magis dari Betara Kala karena kelahiran atau perbuatan yang diangap salah. Panji Asmarabangun selalu digunakan sebagai Dalang Kondobuwono. Dalang sebagai pengejawentahan dari Dewa Wisnu bertanggung jawab menentramkan dunia, selain dari pada itu para anak-anak yang telah dibebaskan itu menjadi anak angkat dari para dalang ruwat. Ini membuktikan, bahwa dalang memiliki kuasa. Kehadiran dalang dalam komunitasnya bersifat fungsional, sehingga tindakannya selalu diperhitungkan oleh masyarakat. Oleh karena kepercayaan masyarakat yang begitu besar, M. Soleh Adipramono selalu bertindak hati-hati dalam menelenggarakan ruwatan, termasuk memeriksa sesaji yang disyaratkan. Pemain yang memerankan Panji Asmarabangun dan Betara Kala diperintahkan untuk berpuasa sehari sebelum pentas. Perintah itu umumnya di patuhi oleh penari yang diberikan kepercayaan 88
Masa Pemerintahan Hindu Makudur
Masa Pemerintahan Islam Modin/ Kyai
Ritual Seni Pertunjukan Wayang Topeng
Juru Mandakat
Kaum
Pengrawit/ anak wayang/ Sinden
Dalang
memerankannya. Ide tirakat dengan cara berpuasa itu tidak ada pakem khusus, akan tetapi atas dasar tanggung jawab dan sikap menjaga keselamatan dari semua yang terlibat di dalamnya. Dalang memiliki kedudukan sentral, bahkan avatar dari Wisnu juga menjadi bagian integral dari pribadinya, yaitu Sebagai Dalang Purbasejati. Sehingga dalang merupakan pribadi yang memiliki kewenangan atas segala hal, termasuk melepaskan pengaruh buruk dalam kehidupan manusia. Anakanak yang telah dibebaskan dari ancaman Betara Kala itu secara langsung telah menjadi ‘anak angkat.’ Oleh karena itu ‘kuasa’ dalang menjelma sebagai ‘bapak.’ atau ‘Rama’ (tetua desa) yang selalu melindungi masyarakat dan menjaga atas berbagai ancaman marabahaya yang sewaktuwaktu mengancam, termasuk wabah penyakit dan kelaparan. Misi ini yang membuat dalang mengambil kuasa ‘Wisnu’ agar sebagai pribadi pelindung kesejahteraan alam raya. Kuasa estetik dalang meliputi ‘keindahan murni’ dan ‘keindahan etika.’ Perpaduan itu menempatkan dalang sebagai sumber tata nilai dari komunitasnya. Karena dalam beberapa sumber sastra Jawa menempatkan dalang sebagai ‘guru sejati.’ Guru yang mengajar melalui berbagai bentuk wacana yang disebut sebagai ‘pasemon.’ sindiran. Baik disampaikan sebagai tuntuan, tontonan, dan hasil akhir yang diharapkan adalah sebuah tatanan struktur masyarakat yang idial, yaitu masyarakat yang besifat tata, tenterem, karto lan rahajo. gemah ripah, loh jinawi. Kata-kata dalang yang dilantukan melalui janturan itu adalah mantra, jampi-jampi yang membangun spirit masyarakat untuk membangun mentalitasnya. Sebagai petani yang setiap hari dihadapkan dengan
Volume 30, 2015
MUDRA Jurnal Seni Budaya
kuasa alam, tanah dan lumpur-lumpur yang akan menentukan tumbuhnya benih. Kegagalan penanaman merupakan ancaman, namun sepirit yang dilantunkan oleh dalang ketika memulai masa tanam menjadi harapan masa depan yang penuh dengan kemakmuran, bahkan ditekankan dengan harapan seger, waras, slamet. SIMPULAN Dalang adalah kata asli yang terkait dengan seni pertunjukan Jawa. Transsformasi istilah dan fungsi dalang hingga saat ini terkait dengan kehidupan sosial masyarakat agraris, yaitu dianggap sebagai sesepuh atau pinisepuh. Orang yang memiliki peran penting disamping para pamong desa. Oleh karena itu keberadaan dalang dan pamong desa hadir sebagai bentuk oposisi yang dijelaskan perannya dalam lakon Panji, yaitu dualitas antara Panji Asmabangn dan Semar Surodibonggo. Kedua tokoh ini menunjukkan adalah pola struktur yang sekarang masih diyakini yaitu peran Kamituwa dan Modin. Keberadaan modin yang terkait dengan legalitas pernikahan dan penyempurnaan kematian adalah bentuk kuasa yang ditransformasikan oleh dalang yang semula adalah samman. Karena dalam komunitas selalu ada posisi yang memiliki ruang sosial berupa kepemimpinan formal dan spiritual. Pada mulanya menjadi satu, Tetua adat atau kuasa Rama, namun perkembangan secara atministratif kuasa itu dibagi, sehingga dalang menjadi orang yang hanya memiliki wilayah kuasa pada Anak Wayang. Dalang sudah tidak lagi mengambil posisi spiritual, namun telah bertransformasi sebagai sutradara atau ketua organisasi pertunjukan. Perannya lebih banyak memikirkan tentang ideide teknis dari penyajian pertunjukan. Kuasanya lebih banyak pada upaya meningkarkan kualitas estetik. Sementara kemampuan sepiritual hanya untuk kepentingan pribadi, bahwa dalam sebuah pementasan ibaratnya sedang maju ke medan laga. Dalang harus menyiapkan diri dengan berbagai kekuatan yang handal, di samping upaya sosial berupa sopan santun. Meminta ijin secara remi atau secara spritual pada pundhen desa disetiap tempat yang akan digunakan untuk pagelaran. Kata-kata dalang yang dilantunkan melalui janturan masih diharapkan mampu membangun mentalitas, yaitu
kuasa dalang dapat menjadi tuntunan, tontonan (aspek menghibur), dan tatanan (terbentuknya struktur sosial). DAFTAR RUJUKAN Boechari. (2012), Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, Gramedia, Jakarta. Brahmantyo, Goenadi. (1997), Perwara Sejarah, IKIP Malang, Malang. Clara, Victoria, van Groendendael. (1987), Dalang di Balik Wayang, Pustaska Utama Grafiti, Jakarta. Dahana, Radhar Panca. (2001), Ideologi Politik dan Teater Modern Indonesia, Indonesia Tera, Magelang. Daryusti. (2006), Hegemoni Penghulu dalam Perspektif Budaya, Pustaka, Yogyakarta. Fashri, Fauzi. (2007), Plere Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbol, Jalasutra, Yogyakarta. Harini, Ninik. (2012), “Transformasi Tari Topeng Malang dalam Pertunjukkan Dramatari Tradisional di Daerah Kabupaten Malang”, dalam Jurnal Media, Seni, Desain dan Pengajarannya, Tahun ketiga, No. 1, April 2012. Jurusan Seni dan Desain Universitas Negeri Malang, Malang. Haryono, Timbul. (2008), Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologi Seni, ISI Press Solo, Surakarta. Hazeu, G.A.J. (1978), Kawruh Asalipun Ringgit Sarta Gegepokanipun Kaliyan Agami Ing Jaman Kino, Proyek Pengembangan Buku Bacaan Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta. Hidajat, Robby. (2008), Wayang Topeng Malang, Gantargumelar, Malang. _____________. (2013), “Transformasi Simbolis Empat Tokoh Sentral Seni Pertunjukan Wayang Topeng Malang di Jawa Timur”, dalam Jurnal Seni Budaya Mudra, Volume 28, No. 1, Januari 2013, UPT Penerbitan Institut Seni Indonesia Denpasar, Denpasar. 89
Robby Hidajat (Idiologi estetik Dalang Wayang..)
Mustansyir, Rizal. (2007), Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Raffles, Thomas Stamford. (2008), The History of Java, Narasi. Yogyakarta. Simatupang, Lono. (2013), Pergelaran Sebuah Mozaik Penelitian Seni Budaya, Jalasutra. Yogyakarta. Susanto, Budi. (2000), Imajinasi Penguasa dan Identitias Postkolonia, Kanisius, Yogyakarta. Zaimar, Kusuma Sumantri. (2014), Semiotika dalam Analisis Karya Sastra, Komodo Books, DepokJakarta.
90
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Nara Sumber: Adipramono, M. Soleh. (63 th.), Ketua Padepokan Seni Mangundarmo Tumpang, wawancara 5 Desember 2013 di rumahnya Jl. Gading 14 a, Desa Tulus Sayu-Tulus Besar, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Dhalan, Muhammad. (55 th.), Kamitowo Desa Karangpandan, wawancara 3 Januari 2014 di rumahnya Jl. Prajurid Slamet, RT 17/RW 07, Dusun Kedungmonggo, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang. Suroso. (43 th.), Anggota Wayang Topong Dusun Kedungmonggo, wawancara 21 Mei 2013 di rumahnya Jl. Prajurid Selamet, Desa Kedungmonggo, Keluarahan Karangpandang, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang.
Volume 30, 2015
Jurnal Seni Budaya VolumeMUDRA 30, Nomor 1, Pebruari 2015 p 91 - 104
ISSN 0854-3461
Analisa Struktur Komposisi Si Bongkok dengan Sulingnya Karya Amir Pasaribu dan Sumatran Fiesta Karya Ben Pasaribu ANCE JULIET PANGGABEAN Program Studi Seni Musik, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas HKBP Nommensen Medan, Indonesia. E-mail:
[email protected]
Tulisan ini menjelaskan beberapa aspek musik modern yang terdapat dalam komposisi Si Bongkok dengan Sulingnya dan Sumatran Fiesta serta gaya atau kecirikhasan kedua komponis, Amir Pasaribu dan Ben Pasaribu. Struktur dan konsep yang dipergunakan dalam komposisi musik Modern dari segi bentuk modifikasi dari bentuk-bentuk tradisional, penggunaaan serialisme dalam melodi dan harmoni, ritme yang dipergunakan semakin kompleks dan sifatnya lebih unik dan asimetris seperti 5/8, 7/8, 11/4, serta metrum yang berubah-ubah, dan lain-lain. Dengan cara membuat analisa struktur musik yang dipergunakan dalam komposisi musik dari mulai bentuk, tangga nada, ritme dan harmoni. Penulis juga menjelaskan konsep kekaryaan dari karya Sumatran Fiesta yang diciptakan oleh komponis Indonesia: Ben,M. Pasaribu. Keunikan dari kedua karya ini adalah memasukkan beberapa aspek yang terdapat dalam musik Modern ditinjau dari segi era, kronologi, dasar skala, dasar ritme, dasar harmoni dan bentuk.
Structural Analysis Si Bongkok dengan sulingnya Composed by Amir Pasaribu and Sumatran Fiesta composed by Ben Pasaribu This topic entitled about described some aspects of modern music composition contained in The Hunchback with flute and Sumatran style or Specific identify of and the two composers, Amir Pasaribu and Ben Pasaribu . Structures and concepts that are used in Modern Music composition in terms of a modified form of the traditional forms, the use of the melody and harmony serialisme, which used more complex rhythms and is more unique and asymmetrical as 5/8, 7/8, 11/4, and metrum fickle , and others. By making music structure analysis used in musical composition based on forms, scales, rhythm and harmony. The author also explains the concept of that created by Fiesta Sumatran Indonesian composer: Ben, M. Pasaribu. The second peculiarity of this work is the inclusion of some aspects contained in the terms of modern music era, chronology, basic scales, basic rhythm, harmony and form the basis. Keywords: Analysis, the structure of music, melody, rhythm, and harmony.
Analisa merupakan bagian yang terpenting dari teori musik, yaitu bagian yang ditujukan kearah pemahaman musikal. Untuk bisa menuju kearah pemahaman tersebut seseorang harus belajar, mendengar dengan persepsi yang lebih luas (mendengar aktif), bermain dengan pengertian yang luas, berlatih dengan waktu yang seefisien mungkin, atau mempelajari perbedaan macam-macam periode
dan gaya dari musik (Brant dalam Hananto, 2011: 121). Bagi musisi baik pencipta, penyanyi, pendengar maupun pengamat musik, pengetahuan akan bentuk dan analisa dirasa sangat perlu karena pada hakikatnya musik bukanlah sekedar rakitan nada, ritme, tempo, dinamik, warna suara, dan unsur91
Ance Juliet Panggabean (Analisa Struktur Komposisi...)
MUDRA Jurnal Seni Budaya
unsur musik lainnya. Secara lebih mendasar, musik adalah perwujudan ide-ide atau emosi. Karena musik disebut sebagai perwujudan ide maupun emosi, pengertian tersebut akan mengandung konsekuensi bahwa musik sebenarnya memiliki makna (Budilinggono, 1993: 1).
Musik adalah hasil kerja manusia. Didalam berkarya sang seniman harus melibatkan segenap potensi yang ada dalam dirinya sebagai satu kesatuan pribadi yang utuh. Ben Pasaribu dan Amir Pasaribu adalah komposer Indonesia. Kedua komposer Indonesia tersebut telah banyak berpartisipasi dan berjasa dalam meletakkan dasar bangunan dunia musik kita di Indonesia.
Menurut Remer (dalam Pekerti, 2010: 2-3) musik dibangun oleh unsur-unsur ritme, melodi, harmoni, tekstur, bentuk yang dibungkus oleh kualitas musik yaitu unsur warna bunyi atau warna nada dan kekuatan (volume atau intensitas) atau dinamika bunyi. Pandangan-pandangan mengenai musik semakin berubah, musik bukan lagi hanya berupa bunyibunyi indah tetapi juga bunyi-bunyi tidak indah. Untuk mengekspresikan dan mengangkat semua itu, para komponis tidak lagi membatasi diri pada musik tonal tetapi mulai lebih bebas dalam bentuk musik atonal bahkan bunyi apa saja digunakan secara sengaja dalam konteks musikal. Perkembangan musik sangatlah bergantung pada usaha dan kerja keras dari para senimannya untuk menghadapi tantangan perkembangan zaman. Hasil dari kerja keras para senimannya dapat dipandang sebagai usaha para seniman yang tidak habis-habisnya di dalam menuangkan ide dan kreatifitasnya secara maksimal. Kerja keras bagi para seniman musik yang berpikir jauh ke depan, merupakan tujuan untuk mencari kemungkinankemungkinan baru dan usaha-usaha baru yang seluas-luasnya, yang sebelumnya bentuk dan aturan penyajian musik sudah terasa tidak mencukupi lagi untuk menuangkan ide-ide dan kreatifitas para seniman musik untuk masa mendatang. Usahausaha yang dilakukan oleh para seniman musik untuk mencari kemungkinan baru tetap tidak akan terlepas dari hakikat musik itu sendiri. Manusia berekspresi melalui cara yang berbeda-beda sesuai dengan bakat dan kemampuannya masingmasing. Musik adalah suatu hasil karya seni yang mengekspresikan ide. Ide yang dimaksud adalah sesuatu yang dapat dirasa, difikir dan dikhayal serta sesuatu yang menggetarkan jiwa sebagai kesatuan potensi.
92
Beberapa aspek musik modern terdapat pada ke dua karya ini. Kedua komposisi ini telah diciptakan dengan teknik-teknik tertentu yang sangat beragam. Dalam menganalisa karya dari kedua komposer ini merupakan langkah yang paling efektif dalam upaya untuk mempelajarinya. Dalam karya-karya ini penulis akan menganalisa dengan beberapa aspek di dalamnya yang merupakan sisi penting dari sebuah komposisi, yaitu kronologi, dasar tangga nada, dasar harmoni, dasar ritme dan bentuk. Berdasarkan latar belakang di atas ada beberapa hal yang perlu untuk dikaji dalam penelitian ini, yaitu bagaimanakah gaya atau kecirikhasan yang terdapat pada ke dua komposisi tersebut?, dan bagaimanakah analisa dari segi struktur musik pada kedua komposisi tersebut? Metode dasar yang akan diterapkan di dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Dengan kata lain, penelitian ini dimaksudkan untuk membuat deskripsi atau gambaran secara lengkap, faktual dan teliti mengenai fakta-fakta, sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Selanjutnya, metode ini akan mendasari penelitian ini khususnya di dalam hal pengumpulan data maupun penganalisaan data. Seleksi data dilakukan dalam rangka memilih dan merangkum data sesuai dengan kebutuhan penelitian tentang Analisa Struktur Komposisi Si Bongkok dengan Sulingnya karya Amir Pasaribu dan Sumatran Fiesta Karya Ben Pasaribu. Data interpretasi berusaha mencari hubungan antara fakta-fakta yang ditemukan dan memberikan pemahaman yang jelas mengenai Analisa Struktur Komposisi Si Bongkok dengan Sulingnya karya Amir Pasaribu dan Sumatran Fiesta Karya Ben Pasaribu.
Volume 30, 2015
MUDRA Jurnal Seni Budaya
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Budilinggono (1993), bila musik ditinjau dari proses penciptaannya, yang pertama sekali muncul adalah ide. Kemudian, ide tersebut diformulasikan menjadi musik melalui gambaran bentuk. Akan tetapi, dalam proses analisis musik justru menghendaki arah yang sebaliknya. Analisis musik baru akan sampai kepada ide kalau sudah melalui tahap analisa bentuk. Proses penciptaan dan proses analisis dapat digambarkan sebagai berikut.
Karya musik belum dapat memberi arti apa-apa jika masih berupa notasi diatas kertas. Dengan demikian secara jelas mengartikan bahwa sebuah karya harus dimainkan, sehingga sekumpulan ide musikal dari komponis pada sebuah karya musik dapat ditangkap serta dirasakan oleh pendengar. Dalam memainkan sebuah komposisi ada sejumlah persyaratan yang harus dimiliki, diantaranya yaitu diperlukan kemampuan/skill dalam bermain alat musik Proses penciptaan disebut dengan kemampuan teknis, kemampuan memahami serta mendekati secara apresiatif agar Ide bentuk music dapat membawakan sekaligus mengungkap ide-ide musikal yang terkandung dalam karya musik itu Proses analisa diperlukan untuk menganalisis komposisi tersebut (Hananto, 2011: 120). Dengan demikian secara umum Dengan demikian unsur-unsur musik secara unsur-unsur umum dapatmusik dikelompokkan dalam tiga maca dapat dikelompokkan dalam tiga macam, yaitu komponennya, Menurut Prier (1996), sebuah beserta karya musik dapat melodi, irama dan harmoni. bunyi beserta komponennya, melodi, irama dan dipandang sebagai sejumlah nada yang tersusun harmoni. ANALISA KOMPOSISI dalam ruang-ruang birama. Sedangkan ilmuSTRUKTUR analisis musik ‘memotong’ dan memperhatikan detail AnalisaKeseluruhan Struktur Musik ANALISA STRUKTUR KOMPOSISI keseluruhan dari sebuah karya musik. Pengertian analisis dalam musik adalah suatu studi untuk menemukan hubungan elem berarti: memandang awal dan akhir dari sebuah lagu musik. Sedangkan analisis struktural dalam musik adalah suatu studi untuk menemu Analisa Struktur Musik dengan kata lain dari segi struktur lagu. elemen-elemen dari musikPengertian yang meliputi melodi, ritme,musik dan harmoni. analisis dalam adalah Pada suatuumumnya unt unsur tersebut dapat dibuktikan dengan langkah awal mencari unit-unit terbesar studi untuk menemukan hubungan elemen-elemen kemudian Pengetahuan sejarah musik merupakan salah unit-unit yang terkecil secara daribertahap. musik. Sedangkan analisis struktural dalam satu persiapan utama bagi pendekatan kearah musik adalah suatu studi untuk menemukan pemahaman musikal. Mengerti Pada akan dasarnya, alat bangunan analisis musik disatuelemen-elemen pihak menentukan menghubungkan hubungan dari dan musik yang meliputi persamaan-p dalam idiomatika musik seperti ada,harmoni, dan padairama, pihak lain mencari perbedaan-perbedaan yang ada. Defenisi melodi, ritme, dan harmoni. Pada umumnya untukdan garis bes melodi walaupun dalam ilmu teori dan komposisi bentuk sebenarnya merupakan persiapan dan pengenalan yang hanya baru bisa b menemukan unsur tersebut dapat dibuktikan dengan musik dipisah-pisah pengertiannya, tetapi analisis. keliru Bentuk mempelajari dan isi adalah dua aspek dari suatu identitas tunggal. O langkah awal mencari unit-unit terbesar kemudian bilamana dalam hubungan ciptaan seni, bahan-bahan analisis akan terbukti sangat berarti apabila tujuannya semata-mata bukan hanya penelit beralih kepada unit-unit yang terkecil secara itu secara estetis dianggap bukan satulebih keseluruhan tetapi merupakan sintesa dimana analisis hanya merupakan suatu pembukaan y bertahap. yang utuh dan lengkap (Pasaribu, 1986:pemahaman 12). kearah musikal. Hal ini akan bisa dicapai apabila suatu komposisi yang
mempunyai hubungan dengan: 1) Bentuk khusus dari sebuah komposisi; 2) Suatu p analisis disatu dari pihak Pada dasarnya, analisis musik disatudari pihak modifikasi suatu polaPada yang dasarnya, telah mapan; 3) Gayamusik dan estetika suatu masa dim menentukan dan menghubungkan persamaanmenentukan dan menghubungkan tersebut persamaandiciptakan; 4) Komposisi-komposisi dan gaya khusus dari komponisnya; dan 5) persamaan yang ada, dan pada pihak lain mencari dasar yang dicontohkan (Stein, 1979: 146). persamaan yang ada, dan pada struktur pihak lain mencari perbedaan-perbedaan yang ada. Defenisi dan garis perbedaan-perbedaan yang ada sehingga, suatu dari bentuk-bentuk sebenarnya merupakan dapat dilihat dari segi strukturnya. Struktur lagu adalah pola s komposisi yang ada dianggap Sebuah memilikikomposisi hubunganmusik besar persiapan dan pengenalan yang hanya baru bisa proses ya bagian yang membentuk suatu lagu. Sebuah komposisi tercipta tidak dengan dengan bentuk khusus dari sebuah komposisi, suatu berguna setelah mempelajari analisis. Bentuk dan langsung menjadi dari bagian ya permulaan atau modifikasi dari suatu pola yang telahkomposisi yang utuh, namun dilakukan dengan dimulai isi adalah dua aspek dari suatu identitas tunggal. atau sederhana. Proses menyusun bagian-bagian musik menjadi karya yang utuh dila mapan, gaya dan estetika dari suatu era atau masa berbagai teknik yang dipilih sesuai kebutuhan. Struktur dan konsep yang dipergunakan da Oleh karena itu analisis akan terbukti sangat komposisi tersebut diciptakan, gaya khusus atau Si Bongkok dengan Sulingnya dan Sumatran Fiesta merupakan struktur dan konsep yang berarti apabila tujuannya semata-mata bukan hanya kecirikhasan dari komponisnya terhadap komposisi dalam struktur komposisi Musik Modern, ditinjau bentuk, penggunan sintesa tone row (serialisme penelitian musikdari saja,segi tetapi lebih merupakan yang telah diciptakan, prinsip-prinsip dasar harmoni, dan ritme. Beberapa aspek yang penting dalam penganalisaan ke dua komposisi i dimana analisis hanya merupakan suatu pembukaan yang dicontohkan (Stein,1979: 146). segi: kronologi, bentuk, yang dasardiperlukan melodi, dasar dasar musikal. tangga nada, kearahritme, pemahaman Hal inidan dasar ha penjelasan tentang dasar-dasar teknik komposisi pada zaman Modern oleh Dieter Mack ( akan bisa dicapai apabila suatu komposisi yang ada menyatakan bahwa: dianggap mempunyai hubungan dengan: 1) Bentuk
“sejajar dengan perkembangan harmoni, bentuk-bentuk dan genre-genre musik dapat diubah para komposer Modern antara lain suka kembali kepada berbagai model tradisional, mode 93 kombinasi ba dipakai secara mutlak, melainkan sebagai titik tolak untuk variasi-variasi dan meninggalkan berbagai bentuk tertentu. Hal ini disebabkan oleh kekuatiran komposer ja seorang “epigon” (ketinggalan zaman) yang bekerja secara skematis saja.
Beberapa aspek yang penting dalam musik Modern secara lebih khusus dan terpe
Ance Juliet Panggabean (Analisa Struktur Komposisi...)
MUDRA Jurnal Seni Budaya
khusus dari sebuah komposisi; 2) Suatu permulaan atau modifikasi dari suatu pola yang telah mapan; 3) Gaya dan estetika dari suatu masa dimana komposisi tersebut diciptakan; 4) Komposisi-komposisi dan gaya khusus dari komponisnya; dan 5) Prinsipprinsip struktur dasar yang dicontohkan (Stein, 1979: 146).
nada, melodi sebagai variasi nada dalam waktu, nada yang terus-menerus. Dasar Harmoni : memainkan secara bersama dan sekaligus akord yang terdiri dari nada-nada dengan interval sekunda, penerapan polifoni yang lebih kompleks, bunyi-bunyi baru, tekstur, kekuatankekuatan luar dari bunyi. Dasar Ritme: bebas, kompleks, pecahan pola-pola ritme yang lebih kompleks, notasi-notasi yang sebanding. Bentuk : musik elektronis, bentuk sebagai proses, bentuk yang sama dan terus-menerus serta bebas, bentuk yang tidak tertentu, musik minimal, bentuk-bentuk yang menggunakan modul, bentuk yang merupakan kesatuan dari beberapa media, bentuk dalam seksi-seksi yang terbuka.
Sebuah komposisi musik dapat dilihat dari segi strukturnya. Struktur lagu adalah pola susunan bagian-bagian yang membentuk suatu lagu. Sebuah komposisi tercipta tidak dengan proses yang serta merta langsung menjadi komposisi yang utuh, namun dilakukan dengan dimulai dari bagian yang paling kecil atau sederhana. Proses menyusun bagian-bagian musik menjadi karya yang utuh dilakukan dengan berbagai teknik yang dipilih sesuai kebutuhan. Struktur dan konsep yang dipergunakan dalam komposisi Si Bongkok dengan Sulingnya dan Sumatran Fiesta merupakan struktur dan konsep yang dipergunakan dalam komposisi Musik Modern, ditinjau dari segi bentuk, penggunan tone row (serialisme), tangga nada, harmoni, dan ritme. Beberapa aspek yang penting dalam penganalisaan ke dua komposisi ini, ditinjau dari segi: kronologi, bentuk, dasar melodi, dasar ritme, dasar tangga nada, dan dasar harmoni. Seperti penjelasan tentang dasar-dasar teknik komposisi pada zaman Modern oleh Dieter Mack (1995: 43) yang menyatakan bahwa:
“sejajar dengan perkembangan harmoni, bentukbentuk dan genre-genre musik dapat diubah juga. Walaupun para komposer Modern antara lain suka kembali kepada berbagai model tradisional, model-model itu tidak dipakai secara mutlak, melainkan sebagai titik tolak untuk variasi-variasi dan kombinasi baru, bahkan untuk meninggalkan berbagai bentuk tertentu. Hal ini disebabkan oleh kekuatiran komposer janganlah menjadi seorang “epigon” (ketinggalan zaman) yang bekerja secara skematis saja.
Beberapa aspek yang penting dalam musik Modern secara lebih khusus dan terperinci, menurut pembagian yang diberikan oleh Leon Stein (Stein,1979: 237) seperti diuraikan sebagai berikut. Kronologi : 1950 Dasar tangga nada : dua belas nada dengan penerapan secara bebas, penggunaan tangga nada lebih kecil dari setengah 94
Beberapa aspek yang penting dalam musik modern digunakan dalam kedua komposisi ini. Dari aspek bentuk, dasar tangga nada, dasar harmoni, dasar ritme dan kronologinya. Komposisi Musik Si Bongkok dengan Sulingnya Karya Amir Pasaribu Amir Pasaribu adalah seorang komponis, kritikus musik, pendidik musik, ahli bahasa dan pejuang kemerdekaan. Bakat musik yang dimilikinya merupakan perpaduan dari bakat alam dan akademisi. Melalui pergumulan yang sangat hebat dalam menggembleng diri menjadi pemusik profesional. Pada tahun 1950 an prestasinya diakui dunia internasional. Amir Pasaribu tumbuh menjadi pemusik cendikia Indonesia yang sangat berjasa dalam meletakkan dasar bangunan dunia musik kita. Sebagai komponis yang memusatkan diri untuk menciptakan karya-karya musik instrumental, dan juga komponis yang mempelopori terciptanya musik seriosa instrumental di Indonesia. Beberapa karya piano solo Amir Pasaribu yaitu Impressi Langgar, Variasi Sriwijaya, Indyhiang, The Juggler’s Meeting, Suite Villgeoise, Tjapung Ketjipung di Tjikapundung, Puisi Bagor, Sonata no.II, Sampaniara, Si Bongkok dengan Sulingnya, Mazurka (Raden, 1997: 51-60). Si Bongkok dengan Sulingnya merupakan salah satu karya yang diciptakan pada tahun 1949 dan
Volume 30, 2015
MUDRA Jurnal Seni Budaya
komposisi ini memiliki bentuk lagu tiga bagian (ternary form). Gaya atau kecirikhasan dari Komposisi Si Bongkok dengan Sulingnya adalah Komposisi Amir Pasaribu bertolak dari unsur pentatonik yang mirip laras pelog yang diharmonisir dengan elemen-elemen harmoni tonal barat.
1). Melodi. Melodi adalah lagu; lagu pokok (Banoe, 2003: 270). Melodi yang terdapat dalam komposisi bagian pertama ini dibawakan dalam tangga nada Es Mayor. Terdiri dari tiga tema, yaitu Tema A terdapat pada birama 1-21.
Notasi 1. Tema A
Sedangkan tema B dimulai dari birama 24-33
Notasi 2. Tema B
Tema C terdapat pada birama 34-43
Notasi 3. Tema C
Karya ini dibawakan dalam tangga nada Es Mayor. Diantara tema A dan tema B terdapat sebuah transisi pada birama 23 dengan metrum bebas. Transisi dibentuk dari pecahan akord-akord dalam not perenambelasan. Setelah transisi masuk tema B yang dimainkan secara unisono antara melodi dan bass, dengan interval 8 th (oktaf) dan tema B diakhiri dengan tanda fermata. Sedangkan tema C masuk pada birama 34-43 dengan motif yang tertulis di atas.
2). Ritme. Ritme adalah derap, langkah teratur; langkah ritmik (Banoe, 2003: 358). Dalam musik Modern, ritmeritme yang digunakan semakin kompleks walaupun ada banyak juga yang masih menggunakan ritmeritme yang biasa. Kesemuanya ini tergantung dari ide dan gaya yang akan disajikan dalam satu komposisi (Stein, 1979). Tema A masuk dengan pola ritme:
Notasi 4. Ritme tema A
Tema B masuk dengan pola ritme:
Notasi 5. Ritme tema B
95
Ance Juliet Panggabean (Analisa Struktur Komposisi...)
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Tema C masuk dengan pola ritme:
Notasi 6. Ritme tema C
3). Harmoni. Harmoni merupakan ilmu pengetahuan tentang harmoni, cabang ilmu pengetahuan musik yang membahas dan membicarakan perihal keindahan komposisi musik (Banoe, 2003: 180). Menurut Christine Ammer (1972) dalam bukunya Harper’s Dictionary of Music, bahwa istilah harmoni mengandung dua makna, yaitu a) Pola-pola dari interval dan akord pada sebuah komposisi musik;
dan b) Studi tentang akord dan interval, termasuk mempelajari fungsi dan hubungan akord dan interval. Harmoni berfungsi sebagai penyangga melodi. Tema A dimulai dengan tangga nada Es Mayor (birama 1-12) progresi harmoni dalam tingkat I-III ( Es Mayor dan G Mayor).
Pada birama 9-21 dengan pola iringan dengan memakai teknik akord yang dipecah.
Pada birama 13-22 terdapat modulasi ke C minor dengan didahului oleh akord pivot, yaitu akord
96
tingkat VI dalam tangga nada Es Mayor menjadi akord tingkat I dalam C minor.
Volume 30, 2015
Progresi akordnya I-IV-I-V. Tema A diakhiri dengan akord ‘Imperfect cadence’ (kadens I-IV). Bagian transisi terdapat akord tingkat II yang disuspensi yaitu D-G-A (II Sus).
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Tema B dimulai dengan modulasi pada tingkat III dari Es mayor, yaitu G minor dan diakhiri dengan akord D Mayor.
Tema C terjadi modulasi dari C minor- As MayorCes Mayor- Es Mayor. Dari birama 34-43.
Kadens yang terdapat pada lagu ini terdiri dari: 1) Kadens Perfect V-I (birama 12-13); 2) Kadens Imperfect I-V(birama 21-22); dan 3) Kadens Perfect V-I (birama 33). Kadens tanda yang mengakhiri sebuah frase. Sesuai dengan fungsinya kadens bisa menimbulkan kesan “berhenti sementara’ dan bisa
menimbulkan kesan “selesai” (Budilinggono, 1991: 11). Adapun meter/metrum yang terdapat dalam komposisi ini adalah, sebagai berikut: 1) Tema A dengan birama 2/4; 2) Tema B dengan birama 97
Ance Juliet Panggabean (Analisa Struktur Komposisi...)
MUDRA Jurnal Seni Budaya
3/4; dan 3) Tema C dengan birama 4/4. Textur komposisi ini adalah komposisi disusun dengan jalinan homofoni.
dengan tempo cepat (MM=80); (2) Bagian kedua, birama 47-54 dengan tempo lambat(MM=96); dan (3) Bagian ketiga, birama 55-117 dengan tempo cepat (MM=80).
Komposisi Musik Sumatran Fiesta Karya Ben Pasaribu Secara formal menyelesaikan program pendidikan musik di IKIP Medan (1980), Sarjana Etnomusikologi dari USU Medan (1985) dan Master of Musical Arts untuk bidang komposisi musik eksperimental di Wesleyen University, CT, USA (1990), disamping itu beberapa pendidikan khusus di Marymont college, New York dan Gaudeamus Centrum Hedendaagse Muziek, Amsterdam. Sebagai pemusik, dia berpartisipasi di sejumlah events, diantaranya: 1) Ethnic Music Festival di Erisbane, Australia; 2) WOMAD Festival dan Indian Ocean Music Festival London; 3) Indonesicher Kulturabend di Frankfurt dan sejumlah konser di USA. Pendidikan musiknya di bawah pengarahan John Cage, Christian Wolff, Gordon Monahan, John Zorn, James Tenney, Deborah Hay, Alvin Lucier, dan Ron Kuivila. Dari beberapa karya Ben Pasaribu, penulis tertarik untuk menganalisa karya Sumatran Fiesta. Sumatran Fiesta yang diciptakannya pada tahun 1989 yang terdiri dari tiga gerakan dimana komponis menekankan pola ritme yang diangkat dari pola ritme Gordang Sambilan yang merupakan ansambel masyarakat Mandailing. Sumatran Fiesta, karya ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) Bagian pertama, birama 1-46
98
Gaya atau kecirikhasan dari komposisi Ben Pasaribu adalah komposisi diciptakan berlatar belakang budaya Indonesia dan budaya barat tetapi dengan suatu pendekatan dan tujuan yang sangat unik. Unsur musik dalam komposisinya merupakan unsur concept art dengan materi musik yang selalu sangat terbatas dan sangat menonjol. Konsep Ben Pasaribu dapat disebut semacam Neo ritualisme. Materi yang terbatas dan sangat abstrak, digunakan bentuk suatu proses ‘ritualisasi’ melalui cara atau praktik penerapannya. Bagian pertama, 1) Melodi. Dimulai dengan intro (birama 18), melodi dengan memakai konsep serialisme, (konsep dua belas nada) (Gordon, 1973) dimainkan oleh violin dan flute sebagai counter. Kemudian pada birama 32 terdapat pengulangan dan unsur melodi dibawakan flute hanya dengan empat nada yaitu: A-BESG-F. Keempat nada tersebut disusun dengan jalan melangkah (interval sekunda) maupun dengan jalan melompat (interval ters, kuart, dan oktaf). Pada birama 33-36 terdapat unsur kontras terhadap bagian sebelumnya (birama 9-32) dimana konsep serialisme kembali lagi dimainkan oleh flute. Keseluruhan bagian ini, melodi disusun dengan pola ritme yang berbeda namun mempunyai keterikatan dengan bagian yang lainnya (seperti pada cello dan contra bass).
Volume 30, 2015
MUDRA Jurnal Seni Budaya
2) Harmoni. Dalam karya ini harmoni bukan sebagai penyangga harmoni, tetapi lebih dekat sebagai ’warna suara’ yang meniru bunyi Gordang Sambilan. Harmoni yang dipakai lebih bersifat perkusif. Ini dapat dilihat
dari pemakaian interval sekunda, kuint dan cluster. Contohnya pada birama 10, nada ES-B (violin), nada D-AS (cello) dengan interval kuint namun jika dimainkan bersamaan maka hasilnya sangat perkusif.
interval kuint dan cluster
Interval kuint
Pada violin terdapat teknik yang dimainkan dengan teknik pizzicato pada birama 16 ketukan ke dua, interval yang digunakan adalah kuint, bunyi yang
dihasilkan selain perkusif juga menghasilkan nuansa ‘kering’ sifatnya. Jelas terlihat di sini ritme harmonik sangat berpengaruh.
Ritme harmonik dengan memakai interval kuint G-D, D-A, A-E
3). Ritme Ritme bagian pertama, banyak meniru ritme dari Gordang Sambilan dan ini dapat dilihat pada birama
15-28, dimana flute dan cello memainkan pola ritme sebagai berikut.
Pola ritme Gordang Sambilan pada birama 1528 dan contra bass memainkan pola ritme sebagai berikut.
99
Ance Juliet Panggabean (Analisa Struktur Komposisi...)
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Contra bass memainkan nada C dan G saja yang meniru efek gong dari Gordang Sambilan birama 15, violin pada birama 16 memainkan pola ritme
dengan teknik dipukul dengan jarak atau interval kuint (birama 16-32) sebagai berikut.
Bagian kedua, 1). Melodi Melodi disusun dengan konsep serialisme yang dimainkan dengan sebuah motif yang diulang secara
bergantian oleh masing-masing instrumen. Motif tersebut sebagai berikut.
Dengan nada GES-AS-D_ES. Ritme ini juga merupakan melodi pokok sedangkan yang lainnya sebagai counter melodi. Menurut Delamont Gordon (1973: 5) dalam bukunya “Modern Twelve Tone Technique” menyatakan bahwa musik serialisme juga mempunyai bermacam-macam corak dalam penulisan melodi. Misalnya karakter tematis yang tradisional pada melodi yang menjadi dasar melodi dari bermacam-macam perbedaan. Karakter melodi ini diciptakan tergantung pada ciri atau kekhasan para komponis-komponis dan penentuan corak ini ada pada pembentuk ritme. (Contoh melodi: G# - A - D - C# - E - G - C - F - Eb - F# - B – Bb). Teknik Serialisme diciptakan oleh komponis Arnold
Schoenberg pada tahun 1920 an dan paling banyak digunakan dalam komposisi masa Modern. Sistem ini pada hakikatnya adalah sumber komposisi yang disusun berdasarkan suatu deretan keduabelas nada dalam satu oktaf yang spesifik, yang disebut dengan istilah ‘tone row’ atau deretan nada. Deretan duabelas nada yang disusun telah mencakup melodi, harmoni, dan kontrapung yang disusun berdasarkan deretan nada (Griffiths, 1980: 162).
100
2) Harmoni. Harmoni disusun secara kontrapung dan masingmasing bagian mempunyai peranan yang sama pentingnya.
Volume 30, 2015
MUDRA Jurnal Seni Budaya
3) Ritme. Dalam musik Modern, ritme-ritme yang digunakan semakin kompleks walaupun ada banyak juga yang masih menggunakan ritme-ritme yang biasa.
Kesemuanya ini tergantung dari ide dan gaya yang akan disajikan dalam satu komposisi (Stein, 1979).
Sedangkan metrum pada bagian kedua ini memakai change meters (metrum yang berubah-ubah) mulai
dari metrum 3/8, 6/8, 7/8, 5/8
Bagian ketiga, 1) Melodi. Melodi disusun dengan konsep serialisme tetapi unsur melodi tidak begitu menonjol. Ini karena unsur
ritme yang lebih dominan dan melodi terdengar sebagai counter saja. Melodi tampak jelas pada bagian pembukaan (birama 55-58) yang dibawakan flute; pada birama 99-110 dibawakan contra bass.
Keseluruhan bagian kedua ini dipersatukan oleh ritme sebagai berikut.
101
Ance Juliet Panggabean (Analisa Struktur Komposisi...)
MUDRA Jurnal Seni Budaya
2). Harmoni. Unsur harmoni sebagai warna suara. Pada birama 59-61 terdapat interval septim dan birama 6269 terdapat I nterval kuint pada contra bass yang
meniru efek drone, kemudian efek drone ini muncul lagi pada birama 85-97 juga dibawakan oleh contra bass.
Efek drone dengan interval kuint (D-A)
Efek drone dengan interval septim (C-B)
Efek drone dengan interval septim (F-E) 3). Ritme. Ritme pada bagian ketiga ini menirukan ritme talempong, dibawakan oleh violin dan cello.
102
Volume 30, 2015
MUDRA Jurnal Seni Budaya
(birama 60-73) Pada birama 74-81 terdapat pola ritme yang dimainkan secara hocket antara flute, violin,
cello dan contra bass. Pola ritme tersebut sebagai berikut.
Kemudian pada birama 75-110 terdapat pola ritme talempong yang diulang, seperti terlihat di bawah ini:
Pada birama 111-117 merupakan akhir komposisi. Pada akhir komposisi terdapat tempo cepat dengan mengambil motif ritme dari bagian ketiga. Pada birama 116 merupakan puncak dari komposisi ini, dimana terdapat keunikan pada setiap alat saling
bersahutan dan sampai pada birama 117 komposisi ini berakhir dengan tanda fff (fortisisisimo) yaitu sangat keras sekali. Pola ritme akhir komposisi tersebut sebagai berikut.
103
Ance Juliet Panggabean (Analisa Struktur Komposisi...)
SIMPULAN Setelah menganalisis struktur musik dari kedua karya tersebut, penulis melihat bahwa kedua komposisi ini mengandung beberapa aspek yang penting dalam musik modern. Seperti ciri dari pemakaian melodi, harmoni, ritme maupun tonalitas. Komposisi Amir Pasaribu bertolak dari unsur pentatonik yang mirip laras pelog yang diharmonisir dengan elemenelemen harmoni tonal barat. Komposisi Ben Pasaribu komposisi diciptakan berlatar belakang budaya Indonesia dan budaya barat tetapi dengan suatu pendekatan dan tujuan yang sangat unik. Unsur musik dalam komposisinya merupakan unsur concept art dengan materi musik yang selalu sangat terbatas dan sangat menonjol. Konsep Ben Pasaribu dapat disebut semacam Neo ritualisme. Materi yang terbatas dan sangat abstrak, digunakan bentuk suatu proses ‘ritualisasi’ melalui cara atau praktik penerapannya.
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Christ William and Delone Richard. (1975), Introduction to Materials and Structure of Music, Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs, New Jersey. Delamot, Gordon. (1973), Modern Twelve-ToneTechnique Kendor Music, Inc. Delevan, New York. Griffiths, Paul. (1980), Serialism. The New grove Dict. of Music. Hananto, Paulus Dwi. (2011), Jurnal Ilmiah Musik, vol. 2 no.2 Salatiga: Program Studi Musik Fakultas Seni Pertunjukan Universitas Kristen Satya Wacana. Mack, Dieter. (1995), Sejarah Musik ( jilid 3), Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta. Pasaribu, Amir. (1986), Analisis Musik Indonesia, PT. Pantja Simpati, Jakarta.
DAFTAR RUJUKAN
Pekerti, Widia, dkk. (2010), Metode Pengembangan Seni, Universitas Terbuka, Jakarta.
Ammer, Christine. (1972), Harper’s Dictionary of Music, Harper & Row Publishers, New York.
Prier, Karl-Edmund Sj. (tt), Ilmu Bentuk Musik, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta.
Banoe, Pono. (2003), Kamus Musik, Kanisius, Yogyakarta.
Raden, Frangky. (1997), “Amir Pasaribu”, dalam majalah Gatra No.16. tahun III, 8 Maret 1997.
Budilinggono, I. (1993), Bentuk dan Analisis Musik, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Stein, Leon. (1979), Structure and Style Princetown, Summy Bichard Music, New Jersey.
104
Volume 30, 2015
Jurnal Seni Budaya VolumeMUDRA 30, Nomor 1, Pebruari 2015 p 105 - 113
ISSN 0854-3461
Strategi Pengembangan Manajemen Pesta Kesenian Bali Berbasis Sinergisitas Kearifan Lokal, Budaya Nasional, dan Pengetahuan Global I NYOMAN SUARKA1. I WAYAN RAI S. 2, I NYOMAN DHANA3, NI MADE WIASTI4. Jurusan Sastra Jawa Kuno, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana Denpasar, Indonesia. 2, Jurusan Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar, Indonesia. 3, 4. Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana Denpasar, Indonesia. E-mail:
[email protected]
1,
Pesta Kesenian Bali dirancang agar memiliki peran ganda. Di satu pihak, Pesta Kesenian Bali berperan menanamkan keluhuran nilai-nilai budaya warisan leluhur yang berfungsi membentengi masyarakat Bali dari pengaruh luar. Di sisi lain, Pesta Kesenian Bali dirancang sebagai pertunjukan kesenian yang mampu menarik perhatian para penikmat, terutama wisatawan dalam dan luar negeri, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bali. Peran ganda tersebut membutuhkan strategi pengembangan manajemen untuk dapat memenuhinya. Tulisan ini menawarkan strategi manajemen Pesta Kesenian Bali berbasis sinergisitas kearifan lokal, budaya nasional, dan pengetahuan global. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas Pesta Kesenian Bali, termasuk membangun kreativitas seni budaya para seniman dan masyarakat Bali di tengah-tengah pengaruh globalisasi tanpa tercerabut dari akar budayanya. Permasalah strategi manajemen dalam tulisan ini dipecahkan melalui pendekatan kualitatif dengan menggunakan pemilihan strategi didasarkan pada prinsip dual concern model yang mempostulasikan bahwa pilihan strategis ditentukan oleh kekuatan dua kepedulian, yaitu kepedulian terhadap hasil yang diterima sendiri dan kepedulian terhadap hasil yang diterima orang lain serta mempertimbangkan persepektif persepsi fisibilitas. Hasil pemilihan strategi manajemen Pesta Kesenian Bali yang ditawarkan diharapkan dapat dilaksanakan serta bisa diterima para manajemen dan para pemangku kepentingan (stakeholders).
Strategi Pengembangan Manajemen Pesta Kesenian Bali Berbasis Sinergisitas Kearifan Lokal, Budaya Nasional, dan Pengetahuan Global Pesta Kesenian Bali dirancang agar memiliki peran ganda. Di satu pihak, Pesta Kesenian Bali berperan menanamkan keluhuran nilai-nilai budaya warisan leluhur yang berfungsi membentengi masyarakat Bali dari pengaruh luar. Di sisi lain, Pesta Kesenian Bali dirancang sebagai pertunjukan kesenian yang mampu menarik perhatian para penikmat, terutama wisatawan dalam dan luar negeri, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bali. Peran ganda tersebut membutuhkan strategi pengembangan manajemen untuk dapat memenuhinya. Tulisan ini menawarkan strategi manajemen Pesta Kesenian Bali berbasis sinergisitas kearifan lokal, budaya nasional, dan pengetahuan global. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas Pesta Kesenian Bali, termasuk membangun kreativitas seni budaya para seniman dan masyarakat Bali di tengah-tengah pengaruh globalisasi tanpa tercerabut dari akar budayanya. Permasalah strategi manajemen dalam tulisan ini dipecahkan melalui pendekatan kualitatif dengan menggunakan pemilihan strategi didasarkan pada prinsip dual concern model yang mempostulasikan bahwa pilihan strategis ditentukan oleh kekuatan dua kepedulian, yaitu kepedulian terhadap hasil yang diterima sendiri dan kepedulian terhadap hasil yang diterima orang lain serta mempertimbangkan persepektif persepsi fisibilitas. Hasil pemilihan strategi manajemen Pesta Kesenian Bali yang ditawarkan diharapkan dapat dilaksanakan serta bisa diterima para manajemen dan para pemangku kepentingan (stakeholders). Kata kunci: strategi, sinergisitas, kearifan lokal, budaya nasional, pengetahuan global
105
I Nyoman Suarka, dkk. (Strategi Pengembangan Manajemen...)
Hasil penelitian Suarka dkk (2012; 2013) menunjukkan bahwa aktivitas Pesta Kesenian Bali sejak awal berkecenderungan untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtera melalui pengembangan aneka bidang seni budaya secara kreatif berbasis kearifan lokal, budaya nasional, dan pengetahuan global. Pesta Kesenian Bali memang diakui telah menunjukkan keberhasilan cukup signifikan, namun harus diakui pula masih memerlukan pembenahan yang menyangkut permasalahan yang terkait dengan berbagai aspek: manajemen pengelola, pembenahan substansi, media promosi yang kurang maksimal, prasarana, sarana, dan pendanaan yang belum memadai; sistem evaluasi yang tidak menyeluruh, komitmen pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat Bali dalam mendukung peningkatan mutu Pesta Kesenian Bali belum optimal. Lebih jauh Suarka dkk. (2012; 2013) mengemukakan bahwa berdasarkan analisis SWOT terhadap manajemen Pesta Kesenian Bali, baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasinya, selain mengandung kekuatan dan peluang juga mengandung kelemahan dan ancaman, sehingga pembenahan manajemen Pesta Kesenian Bali tetap perlu dilakukan. Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah strategi apa saja yang diperlukan dalam pengembangan Pesta Kesenian Bali agar membuahkan hasil sesuai dengan cita-cita yang diharapkan dalam Perda Bali nomor 4 Tahun 2006 bahwa Pesta Kesenian Bali merupakan suatu kegiat an budaya yang memiliki fungsi budaya, pendidikan, dan ekonomi, yang perlu diselenggarakan secara terorganisasi dan berkelanjutan dengan tujuan memelihara, membina, melestarikan, dan mengembangkan seni budaya; mengkaji konsepkonsep dan masalah-masalah kesenian Bali; menggali, mendorong dan mengembangkan kreasi dan kegiatan seni budaya yang tidak bertentangan dengan kepribadian masyarakat dan bangsa. Permasalahan tersebut didekati melalui pendekatan kualitatif (Mulyana, 2006; Miles, M.B. dan A.M. Huberman, 1992). Penentuan informan dilakukan dengan metode purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui metode wawancara mendalam terhadap para informan yang terlibat 106
MUDRA Jurnal Seni Budaya
dalam kegiatan Pesta Kesenian Bali, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi. Di samping itu, pengumpulan data juga diperoleh dari observasi terhadap penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali 2012-2014. Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif-analitik. Pemilihan strategi didasarkan pada prinsip dual concern model yang mempostulasikan bahwa pilihan strategis ditentukan oleh kekuatan dua kepedulian, yaitu kepedulian terhadap hasil yang diterima sendiri dan kepedulian terhadap hasil yang diterima orang lain. Namun demikian, pemilihan strategi juga mempertimbangkan keterlaksanaannya atau perspektif persepsi fisibilitas .Persepsi fisibilitas problem solving dipilih berdasarkan pertimbangan adanya persepsi alasan bersama (perceived common ground) yang cukup terbuka dalam upaya pengembangan manajemen Pesta Kesenian Bali. Perceived common ground adalah pernilaian suatu pihak atas kemungkinan untuk menemukan alternatif yang memuaskan kedua belah pihak (Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, 2004). KECENDERUNGAN ARAH PESTA KESENIAN BALI KE DEPAN Suarka (2005) menjelaskan bahwa sejak digagas oleh Prof. Dr. Ida Bagus Mantra pada tahun 1979, Pesta Kesenian Bali dirancang sebagai sebuah bentuk kegiatan menggali, menampilkan, dan mengembangkan seni budaya Bali. Dalam perkembangannya, setidaknya melalui Lokakarya Pesta Kesenian Bali Tahun 2005 Pesta Kesenian Bali kemudian dirancang dalam alur visi yang merefleksikan kontinuitas, kekokohan teks, dan relevansi konteks, serta keseimbangan lokalitas dan universalitas, keseimbangan budaya, agama, dan sains dengan ide dasar yang menempatkan fungsi Kebudayaan Bali yang dijiwai agama Hindu Bali sebagai potensi dasar (kapital kultural) masyarakat Hindu Bali tetap utuh dan lentur dalam menghadapi berbagai peluang dan tantangan global. Pilar utama Kebudayaan Bali, yaitu religiustitas, etika, estetika, logika, dan kreativitas dijadikan etos kehidupan publik dalam meningkatkan serta mengembangkan aktivitas berkesenian masyarakat Bali. Dalam konteks idealisme seperti itu, akhirnya dirancang visi PKB sebagai kelanjutan dan perluasan visi awal, yakni mewujudkan Pesta Kesenian Bali
Volume 30, 2015
yang lebih berkualitas sebagai ajang kreasi seni dan apresiasi budaya yang kokoh dalam jatidiri dengan fungsi-fungsi pendidikan, ekonomi, dan kemajuan adab yang terbuka secara lokal, nasional, internasional. Berdasarkan visi tersebut kemudian dirancang misi Pesta Kesenian Bali sebagai wadah pengkajian, penggalian, pelestarian, pengembangan, dan networking (Suarka, 2005). Berdasarkan visi dan misi di atas, tujuan Pesta Kesenian Bali dirancang lebih lanjut untuk memelihara, membina, melestarikan, dan me ngembangkan seni budaya; mengkaji konsep-konsep dan masalah-masalah kesenian Bali; menggali, mendorong, mengembangkan kreasi dan kegiatan seni budaya yang tidak bertentangan dengan kepribadian masyarakat dan bangsa; mendorong, memberikan kesempatan perkembangan promosi usaha-usaha di bidang seni budaya dan kerajinan rakyat; serta memberikan hiburan yang sehat kepada masyarakat (Suarka, 2005). Berdasarkan hasil evaluasi Tim Pengawas Pe nyelenggaraan Pesta Kesenian Bali XXXIV Tahun 2012, dijelaskan bahwa dalam perkembangannya Pesta Kesenian Bali diarahkan sebagai jendela budaya dan jembatan-jembatan keindahan (bridges of beauty to glorious global future) yang dapat berkembang menuju lintas budaya dan lintas bangsa sehingga para seniman, budayawan, dan masyarakat luas berinteraksi harmonis menuju masa depan yang jaya. Pesta Kesenian Bali dipandang sebagai solusi masalah-masalah global dan kehidupan bersama yang diidealkan masyarakat dunia, seperti equal global relation, peace, frienship and solidarity. Lebih jauh, Pesta Kesenian Bali dipandang telah memberikan manfaat, setidaknya tiga manfaat penting, yaitu Pesta Kesenian Bali berfungsi sebagai pertahanan dan penguatan budaya yang mampu memberikan kebahagiaan spiritual kepada banyak pihak; Pesta Kesenian Bali memiliki dampak ekonomi untuk mensejahterakan masyarakat yang dipupuk melalui kreativitas seni dan pariwisata budaya; serta sebagai pengembangan soft power diplomacy dalam percaturan global dengan memacu dan memicu kreativitas seni budaya yang tiada henti. Jika demikian halnya, tentu Pesta Kesenian Bali menuntut peningkatan mutu manajemen yang
MUDRA Jurnal Seni Budaya
lebih profesional dan berkelanjutan. Atas dasar itu pula Pesta Kesenian Bali dipertahankan sebagai ajang gelar seni budaya terbesar setiap tahun guna menampilkan karya-karya para seniman lokal, nasional, dan internasional. Pada masa mendatang upaya untuk memperjelas fungsi Pesta Kesenian Bali sebagai media pendidikan masyarakat perlu ditingkatkan. Dengan menggali dan mengangkat kearifan lokal sebagai tema diharapkan Pesta Kesenian Bali mampu mencerdaskan masyarakat. Pesta Kesenian Bali perlu diupayakan sebagai strategi pembangunan karakter bangsa mengingat fungsi seni sebagai sarana memperhalus budi. Hal ini sangat dibutuhkan masyarakat, bangsa, dan negara saat ini yang tampak telah mengalami kerapuhan karakter dengan munculnya berbagai konflik, kekerasan, korupsi, degradasi moral. Untuk mencapai tujuan tersebut tentu bukan merupakan usaha yang mudah, diperlukan pemikiran-pemikiran cerdas dibarengi dengan tindakan nyata berupa kerja keras, dilandasi semangat keikhlasan, kejelian, kesabaran, serta semangat mengabdi yang tinggi dalam menangani berbagai aktivitas dan persoalan yang ada dalam Pesta Kesenian Bali. Dalam perjalanannya, kehadiran dan pelaksanaan Pesta Kesenian Bali ke depan cendrung: 1) dipahami sebagai festival budaya yang besar, ajang pergulatan multiseni yang mampu melahirkan berbagai bentuk seni unggulan dan ciptaan seni inovasi, telah diapresiasi secara luas, dipandang sebagai kegiatan lintas budaya yang semakin menasional dan mengglobal, yang melibatkan lintas generasi, dari anak-anak, remaja, dewasa, tua, serta seniman lakilaki dan perempuan. Hal ini dibuktikan berdasarkan data Pesta Kesenian Bali XXXIV Tahun 2012 yang mampu menampilkan 334 grup kesenian dengan 21 materi, melibatkan 15.000 orang seniman, dan diikuti oleh grup kesenian lokal, nasional, dan internasional; 2) mengalami peningkatan dan pengembangan fungsi pendidikan, ekonomi, dan sebagai ajang strategis diplomasi kebudayaan. Hal ini dibuktikan oleh keberadaan Pesta Kesenian Bali sebagai objek studi para seniman, mampu menambah pundi-pundi finansial masyarakat lokal dan luar daerah, serta mampu menjembatani para seniman, budayawan, dan masyarakat lokal, nasional, internasional berkembang menuju lintas budaya dan lintas bangsa dalam interaksi harmonis; 3) diposisikan dalam suatu konteks makro107
I Nyoman Suarka, dkk. (Strategi Pengembangan Manajemen...)
mikro yang memiliki sifat kebertahanan tinggi melalui aktualisasi kearifan lokal sebagai prinsip kehidupan dalam berkesenian. Hal ini dibuktikan oleh perancangan tema Pesta Kesenian Bali yang digagas dan digali dari sumber-sumber budaya Bali disesuaikan dengan delapan faktor, seperti (a) faktor historis, (b) faktor kecenderungan, (c) faktor momentum lokal, nasional, internasional, (d) faktor teks filosofis, (e) faktor makna humanis, (f) faktor kualitas, (g) faktor transformatif, dan (h) faktor estetika-inspiratif; dan 4) memiliki peluang untuk dikerjasamakan antara Pemerintah Daerah Bali dengan berbagai pihak dalam dan luar negeri, baik dalam penganggaran maupun manajemen pengelolaan, mengingat Pesta Kesenian Bali sebagai benteng pengawalan aneka kearifan lokal, pendalaman wawasan kebudayaan lokal, nasional, internasional, serta pemantapan pendidikan karakter berbasis kebudayaan dalam upaya meningkatkan bobot karakteristik dan humanisme pembangunan daerah dan nasional (lihat Rumusan Hasil Sarasehan Pesta Kesenian Bali Tahun 2012). MENYINERGIKAN KEARIFAN LOKAL, BUDAYA NASIONAL, DAN PENGETAHUAN GLOBAL SEBAGAI BASIS PENGEMBANGAN MANAJEMEN PESTA KESENIAN BALI Perumusan tema yang dijadikan landasan dasar dalam menggelar Pesta Kesenian Bali merupakan bagian integral dalam perencanaan Pesta Kesenian Bali setiap tahun, baik melalui sarasehan, FGD, maupun rapat-rapat. Sejak Tahun 2006 hingga tahun 2015 telah dirumuskan tema payung untuk periode lima tahun dan tema pokok Pesta Kesenian Bali setiap tahun sebagai berikut. Suarka (2005, 2010) menawarkan rumusan Tema Payung Pesta Kesenian Bali 2006-2010 dan Pesta Kesenian Bali 20011-2015, yaitu Manawa ka Madawa (Pendakian Nilai Kemanusiaan Menuju Kedewaan Berlandaskan Keluhuran Budi). Tema payung tersebut kemudian dijabarkan ke dalam tema-tema pokok Pesta Kesenian Bali Tahun 2006, yaitu Swabhawaning Iděp (Pancaran Keluhuran Budi); Tahun 2007 yakni Śūra Dhīra Jayeng Rāt (Aktualisasi Kepahlawanan Menuju Kesejahteraan Masyarakat); Tahun 2008 yakni Citta Wrětti Nirodha (Pengendalian Diri Memperkokoh Semangat 108
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Kebangkitan Bangsa); Tahun 2009 yakni Mulat Śarīra (Kembali ke Jati diri Menuju Kemuliaan Bangsa dan Negara); dan Tahun 2010 mengangkat tema Śuddhamala (Mendalami Kemurnian Nurani). Rumusan Tema Payung Pesta Kesenian Bali Tahun 2011-2015 adalah Sagara Giri (Menapak Jejak Kehidupan). Tema payung tersebut lebih lanjut dijabarkan ke dalam tema-tema pokok, yaitu Desa, Kala, Patra (Adaptasi Diri dalam Multikultur) untuk tema pokok Pesta Kesenian Bali Tahun 2011, Paras-paros (Dinamika dalam Kebersamaan) untuk tema pokok Pesta Kesenian Bali Tahun 2012, Taksu (Membangkitkan Daya Kreatif dan Jati Diri) untuk tema Pesta Kesenian Bali Tahun 2013, Kertamasa (Keajegan Rasa Menuju Ketertiban Semesta) untuk tema Pesta Kesenian Bali Tahun 2014, serta Jagadhita (Memperkokoh Kesejahteraan Masyarakat) sebagai tema Pesta Kesenian Bali Tahun 2015. Kearifan lokal yang dijadikan tema Pesta Kesenian Bali bersumber pada teks-teks sastra tradisional sebagai bagian integral kebudayaan Bali. Konsepkonsep, nilai-nilai, norma-norma, dan pengetahuanpengetahuan tradisional yang terkandung dalam sastra tradisional merupakan kearifan lokal, sebagai ide sentral kebudayaan Bali. Nilai-nilai esensial yang berupa ungkapan kearifan lokal tersebut yang telah diangkat sebagai tema-tema Pesta Kesenian Bali, antara lain “swabhawaning iděp” (keluhuran budi), “sūra dhīra jayeng rāt” (kepahlawanan/ patriotisme), “citta wrětti nirodha” (pengendalian diri), “mulat sarīra” (jati diri), “suddhamala” (kemurnian nurani), “desa, kala, patra” (adaptif), “parasparos” (toleran), “taksu” (daya kreatif murni), “kertamasa” (ketertiban semesta), “jagadhita” (kesejahteraan) pada hakikatnya bernilai universal, ada di mana-mana, serta dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dunia. Karena itu, kearifal lokal tersebut dapat disinergikan dengan budaya nasional, seperti Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika atau pengetahuan global, seperti toleransi, keharmonisan, perdamaian, kelestarian lingkungan, dan lain-lain. Dengan demikian, karya cipta seni Bali yang digelar dalam ajang Pesta Kesenian Bali tetap berakar kuat pada tradisi tetapi mampu berterima secara nasional dan global.Hal ini sesuai dengan prinsip kepedulian dan fisibilitas dalam teori pemilihan strategi (Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, 2004), di mana masyarakat
Volume 30, 2015
Bali dan masyarakat luar Bali menerima hasil pagelaran karya seni yang dipentaskan dalam Pesta Kesenian Bali sebagai bagian dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Upaya pemberdayaan kearifan lokal sebagai tema Pesta Kesenian Bali merupakan hal positif dan tepat karena dapat memberikan dorongan semangat dan motivasi kepada para seniman serta budayawan khususnya ataupun masyarakat luas umumnya untuk terus berkreasi dan mencipta agar seni dan budaya bangsa tetap dapat dilestarikan serta dikembangkan, sebagaimana diakui Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada saat berpidato dalam pembukaan Pesta Kesenian Bali XXXV Tahun 2013. Kearifan lokal itu harus tetap disinergikan dengan budaya nasional dan pengetahuan global agar mampu memberikan imbas konstruktif terhadap iklim berkesenian di kalangan masyarakat Bali, mampu mengangkat prestise dan prestasi seni budaya Bali, serta mempertebal jatidiri dan kepercayaan diri masyarakat Bali di tengah era globalisasi. Dengan demikian Pesta Kesenian Bali akan mampu menguatkan citra Bali sebagai pulau seni dan memantapkan fungsi kesenian sebagai bahasa universal ataupun media diplomasi budaya. Perencanaan Pesta Kesenian Bali ke depan harus tetap memperhatikan kearifan lokal agar tercipta citra kebesaran Pesta Kesenian Bali yang bernuansa lokal tetapi terbuka secara nasional dan internasional. Dalam perencanaan itu harus ditentukan tematema Pesta Kesenian Bali setiap tahunnya yang bersumber pada kearifan lokal. Banyak kearifan lokal yang tertuang dalam konsep-konsep yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan tradisional, seperti bhuwanakretih (konsep pelestarian alam), kangin-kauh (konsep keseimbangan/harmoni), karmaphala (etika), nitisastra (politik), sri-laksmi (kesejahteraan), awor tan patepi (globalisasi), rare angon (fauna), sarwa tumuwuh (flora), dan lainlain. Kearifan lokal tersebut layak diangkat sebagai tema Pesta Kesenian Bali pada masa mendatang disesuaikan dengan fenomena kehidupan nasional dan internasional. Sebenarnya kearifan lokal tersebut tercermin dalam empat pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika yang merekat dan menginspirasi.Pengetahuan global di bidang
MUDRA Jurnal Seni Budaya
teknologi informasi harus diadopsi dan dimaknai dalam upaya memperluas wawasan kreativitas seni budaya Bali. Dengan demikian, seni dan budaya yang digelar dalam Pesta Kesenian Bali akan mampu merepresentasikan keragaman seni budaya Bali yang kontekstual dengan fenomena kehidupan bangsa dan negara serta kehidupan dunia global. Seni budaya nasional dan pengetahuan global tetap diberi wadah dan peluang secara terbuka dalam perencanaan Pesta Kesenian Bali. Spirit penggalian, pelestarian, pemanfaatan dan pengembangan seni budaya tradisional, modern, dan kontemporer akan secara kuat berjalan berdampingan menjamin keberlangsungan habitus kreatif berbasis budaya, teknologi, dan ekonomi kreatif yang telah menjadi kekuatan modal budaya masyarakat Bali (lihat Laporan Tim Pengawas Penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali XXXV Tahun 2013). Dalam pelaksanaannya Pesta Kesenian Bali harus tetap berbasis sinergisitas kearifan lokal, budaya nasional, dan pengetahuan global yang diimplementasikan ke dalam enam bidang kegiatan, yaitu pawai, pagelaran, parade, pameran, sarasehan, dan dokumentasi. Pawai akan merepresentasikan seni budaya Bali yang agung berdampingan dengan seni budaya nasional dan internasional. Pameran akan merepresentasikan produk seni budaya Bali yang khas, unik, kreatif, dan prospektif yang diminati oleh masyarakat lokal, nasional, dan internasional. Pagelaran akan merepresentasikan keragaman seni pertunjukan Bali dari yang bernuansa klasik, rekonstruksi, kreasi/inovasi, hingga kolaborasi diperluas dan diperkaya oleh seni budaya nasional dan internasional. Lomba menyajikan kegiatan seni budaya yang dijiwai semangat berkompetensi secara sehat dan beradab di tengah persaingan nasional dan global. Sarasehan akan membahas dan menghasilkan konsep, pemikiran, gagasan, ide visioner untuk mengembangkan berbagai aspek Pesta Kesenian Bali pada tahun-tahun mendatang melalui penggalian kearifan lokal, pencermatan budaya nasional, serta kepekaan terhadap budaya global. Dokumentasi seni budaya Bali harus dilakukan seiring dengan kemajuan multimedia era global. Evaluasi Pesta Kesenian Bali mesti dilaksanakan secara holistik dengan tetap mempertimbangkan sinergisitas kearifan lokal, budaya nasional, dan 109
I Nyoman Suarka, dkk. (Strategi Pengembangan Manajemen...)
pengetahuan global. Selama ini, evaluasi terhadap penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali dilakukan oleh Tim Pengawas Penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali yang dibentuk Gubernur Bali melalui Surat Keputusan dengan tugas pokok melakukan pengawasan penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali di antaranya membicarakan kewenangan dan out put pengawasan terhadap berbagai kemajuan yang perlu ditingkatkan, kekurangan yang perlu dibenahi, ataupun rekomendasi yang perlu diusulkan. Tujuan dibentuknya tim pengawas tersebut sangat jelas, yaitu agar terealisasinya aktivitas berkesenian yang tertib, efektif dan berbudaya; teraktualisasinya dengan baik makna utama Pesta Kesenian Bali sebagai media seni, pendidikan, hiburan, kreasi, ekonomi, pariwisata dan diplomasi budaya; terselenggaranya Pesta Kesenian Bali dengan manajemen yang efektif, progresif, dan profesional. Demikian pula, manfaat yang diharapkan dari kinerja Tim Pengawas sangat mulia dan ideal, yaitu mampu mewujudkan Pesta Kesenian Bali sebagai ajang seni, ekonomi, edukasi yang kaya kreasi, inspirasi, partisipasi, dan probudaya; penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali mampu memberi kontribusi bagi pengayaan budaya, media pembangun karakter dan integrasi bangsa; di samping Pesta Kesenian Bali mampu menguatkan citra Bali sebagai pulau seni dan memantapkan fungsi kesenian sebagai bahasa universal dan media diplomasi budaya. Keanggotaannya hanya terdiri atas akademisi seni, sastra, dan agama di samping unsur Pimpinan Pemerintah Daerah sebagai pelindung (lihat SK Gubernur Bali Nomor 1.024/03-H/HK/2013 tertanggal 17 April 2013 tentang Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Tim Pengawas Penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali).
110
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Tim pengawas memang telah melaksanakan tugas pengawasan secara maksimal mulai dari perencanaan Pesta Kesenian Bali pada awal tahun (Januari) hingga pelaksanaan dan evaluasi pada Juni sampai dengan Juli. Dengan sumber daya manusia yang hanya berasal dari kalangan akademisi, baik akademisi seni, akademisi sastra, maupun akademisi agama maka laporan hasil pengawasan yang dihasilkan belum maksimal, terutama jika dikaitkan dengan tujuan dan manfaat yang diharapkan atas terbentuknya tim pengawas tersebut. Sebaiknya, keanggotaan tim pengawas tersebut dikembangkan dengan merangkul seniman, budayawan, agamawan, politisi seni dan budaya, akademisi seni dan budaya, kritikus seni dan budaya, guru seni dan budaya, wirausahawan seni dan budaya, pariwisatawan, pakar teknologi informasi, serta pakar manajemen seni dan budaya. Dengan sumber daya manusia yang berasal dari berbagai bidang dan sektor tersebut disertai pola kinerja berbasis sinergisitas kearifan lokal, budaya nasional, dan pengetahuan global tentu akan menghasilkan hasil evaluasi yang lebih komprehensif, progresif, dan profesional. Strategi, Tujuan, dan Indikator Pengembangan Manajemen Pesta Kesenian Bali Berdasarkan paparan analisis SWOT (Suarka dkk, 2013), dapat dijelaskan bahwa Pesta Kesenian Bali berada pada posisi kuadran I, yakni memiliki kekuatan lebih besar daripada kelemahan dan memiliki peluang lebih tinggi daripada ancaman. Sehubungan dengan itu, strategi pengembangan manajemen Pesta Kesenian Bali diarahkan kepada perluasan atau pengembangan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi sebagai berikut.
No 1
Strategi Sosialisasi dan promosi visi, misi, tujuan, dan sasaran Pesta Kesenian Bali secara terintegrasi dan intensif, baik kepada masyarakat lokal, nasional, maupun masyarakat internasional dengan memanfaatkan sistem teknologi informasi
Tujuan Para partisipan yang terlibat dalam Pesta Kesenian Bali memiliki kesamaan persepsi dalam memaknai visi, misi, tujuan, dan sasaran Pesta Kesenian Bali
No 2
Strategi Pengembangan personalia, fungsi, dan tugas pokok Panitia Pesta Kesenian Bali dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, monitoring serta evaluasi pelaksanaan Pesta Kesenian Bali
Tujuan Pemerataan dalam tugas dan fungsi Panitia secara proporsional dan profesional
3
Pengembangan manajemen melalui regulasi yang memungkinkan organisasi profesional di bidang pertunjukan tampil sebagai produsen serta memfasilitasinya dalam menjalankan prinsip-prinsip pasar
Memperluas manajemen dengan merekrut organisasi professional dalam meningkatkan fungsi-fungsi Pesta Kesenian Bali sebagai sumber kesejahteraan para
Indikator Terwujudnya sosialisasi dan promosi visi, misi, tujuan, dan sasaran Pesta Kesenian Bali secara terintegrasi dan intensif, baik kepada masyarakat lokal, nasional, maupun masyarakat internasional dengan memanfaatkan sistem teknologi informasi Indikator Terwujudnya pengembangan struktur kepanitiaan Pesta Kesenian Bali berdasarkan kompetensi dan profesi Terwujudnya peran organisasi professional dalam struktur kepanitiaan Pesta Kesenian Bali
tujuan, dan sasaran Pesta Kesenian Bali secara terintegrasi dan intensif, baik kepada masyarakat lokal, nasional, maupun masyarakat Volume 30, 2015 internasional dengan memanfaatkan sistem teknologi informasi
No
Strategi
dalam Pesta Kesenian Bali memiliki kesamaan persepsi dalam memaknai visi, misi, tujuan, dan sasaran Pesta Kesenian Bali
Tujuan
promosi visi, misi, tujuan, dan sasaran Pesta Kesenian Bali secara terintegrasi dan intensif, baik kepada masyarakat lokal, nasional, MUDRA Jurnal Seni Budaya maupun masyarakat internasional dengan memanfaatkan sistem teknologi informasi Indikator
2
Pengembangan personalia, fungsi, dan tugas pokok Panitia Pesta Kesenian Bali dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, monitoring serta evaluasi pelaksanaan Pesta Kesenian Bali
Pemerataan dalam tugas dan fungsi Panitia secara proporsional dan profesional
Terwujudnya pengembangan struktur kepanitiaan Pesta Kesenian Bali berdasarkan kompetensi dan profesi
3
Pengembangan manajemen melalui regulasi yang memungkinkan organisasi profesional di bidang pertunjukan tampil sebagai produsen serta memfasilitasinya dalam menjalankan prinsip-prinsip pasar dan penawaran dengan tetap berpegang pada pelestarian, pengembangan, dan cita-cita apresiasi seni budaya Bali secara luas
Memperluas manajemen dengan merekrut organisasi professional dalam meningkatkan fungsi-fungsi Pesta Kesenian Bali sebagai sumber kesejahteraan para seniman dan masyarakat
Terwujudnya peran organisasi professional dalam struktur kepanitiaan Pesta Kesenian Bali
4
Pengembangan perencanaan program Pesta Kesenian Bali melalui penyusunan pemetaan seni dan Data Base Kesenian Bali sebagai dasar dalam perencanaan program Pesta Kesenian Bali serta memanfaatkan hasil evaluasi internal dan eksternal secara berkelanjutan
Mengembangkan perencanaan program Pesta Kesenian Bali yang dinamik guna meningkatkan kualitas Pesta Kesenian Bali secara utuh dan menyeluruh
Terwujudnya perencanaan program Pesta Kesenian Bali yang akurat, kreatif, dan inovatif
5
Pengembangan sistem seleksi grup kesenian calon peserta dan karyakaryanya yang akan digelar pada Pesta Kesenian Bali melalui jalur, prosedur, dan pedoman yang jelas
Meningkatkan kualitas dan bobot estetika dan kreativitas para seniman yang digelar dalam Pesta Kesenian Bali
Tersedianya sistem seleksi grup kesenian dan karyakarya yang dipentaskan dalam Pesta Kesenian Bali berdasarkan prosedur dan pedoman yang jelas.
6
Peningkatan pengelolaan mutu Pesta Kesenian Bali secara internal melalui FGD, Dialog Budaya, Sarasehan, monitoring, serta mekanisme balikan bagi panitia dan seniman secara periodik
Meningkatkan pengelolaan mutu Pesta Kesenian Bali melalui pengkajian secara holistik aspek-aspek pokok kearifan lokal dalam pengimplementasian visi kehidupan untuk pembaharuan bangsa dan landasan dasar pembangunan Bali yang berbudaya
Tersedianya pengelolaan mutu Pesta Kesenian Bali
7
Pengembangan mitra kerja dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi Pesta Kesenian Bali dengan memanfaatkan potensi keberadaan dan keunggulan Pesta Kesenian Bali untuk menarik simpati instansi terkait yang ada di dalam negeri dan luar negeri
Mengembangkan mitra kerja dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi Pesta Kesenian Bali agar mampu bersaing secara nasional dan internasional
Terwujudnya networking atau kerjasama dalam skala nasional dan internasional
8No
Strategi Peningkatan budaya mencipta serta menunjukkan karya cipta seni budaya dan produk lain yang dihasilkan para seniman lokal, nasional, internasional kepada masyarakat luas untuk mencitrakan Pesta Kesenian Bali layak dijadikan pilihan oleh masyarakat
Tujuan Meningkatkan kreativitas dan kompetensi para seniman Bali serta memperluas pencitraan Pesta Kesenian Bali sebagai ajang promosi karya seni lokal, nasional, internasional
Indikator Tersedianya ruang penciptaan dan promosi karya seni budaya lokal, nasional, internasional
9
Pengembangan pelayanan untuk para seniman melalui bantuan informasi, pembinaan, dan pelatihan
Mengembangkan layanan kepada para seniman dalam memperoleh bantuan informasi, pembinaan, dan pelatihan
Tersedianya pelayanan kepada para seniman dalam bentuk sumber informasi, kegiatan pembinaan, dan pelatihan
111
7
Pengembangan mitra kerja dalam Mengembangkan mitra kerja perencanaan, pelaksanaan, dan dalam perencanaan, evaluasi Pesta Kesenian Bali dengan pelaksanaan, dan evaluasi keberadaanManajemen...) Pesta Kesenian Bali agar I Nyoman Suarka,memanfaatkan dkk. (Strategipotensi Pengembangan dan keunggulan Pesta Kesenian Bali mampu bersaing secara untuk menarik simpati instansi nasional dan internasional terkait yang ada di dalam negeri dan luar negeri Strategi No Tujuan
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Indikator
8
Peningkatan budaya mencipta serta menunjukkan karya cipta seni budaya dan produk lain yang dihasilkan para seniman lokal, nasional, internasional kepada masyarakat luas untuk mencitrakan Pesta Kesenian Bali layak dijadikan pilihan oleh masyarakat
Meningkatkan kreativitas dan kompetensi para seniman Bali serta memperluas pencitraan Pesta Kesenian Bali sebagai ajang promosi karya seni lokal, nasional, internasional
Tersedianya ruang penciptaan dan promosi karya seni budaya lokal, nasional, internasional
9
Pengembangan pelayanan untuk para seniman melalui bantuan informasi, pembinaan, dan pelatihan
Mengembangkan layanan kepada para seniman dalam memperoleh bantuan informasi, pembinaan, dan pelatihan
Tersedianya pelayanan kepada para seniman dalam bentuk sumber informasi, kegiatan pembinaan, dan pelatihan
10
Pengembangan peluang bagi para seniman untuk mengembangkan diri, memperoleh pengetahuan dan pemahaman materi khusus sesuai dengan minat dan bakat kesenimanannya yang diorientasikan ke arah karir serta peningkatan profesinya
Mengembangkan peluang para seniman dalam meningkatkan kompetensi dan profesi
Tersedianya peluang bagi para seniman untuk mengembangkan diri dalam kompetensi dan profesi
11
Pengembangan materi Pesta Kesenian Bali yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal, nasional, dan internasional, serta kepentingan internal pemerintah dan masyarakat Bali
Tersedianya materi Pesta Kesenian Bali yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, baik lokal, nasional, maupun internasional
12
Pengembangan sistem alokasi dana, pengelolaan dan akuntabilitas penggunaan dana, serta keberlanjutan pengadaan dan pemanfaatan dana
Mengembangkan materi Pesta Kesenian Bali sesuai kebutuhan masyarakat lokal, nasional, internasional serta kepentingan internal pemerintah dan masyarakat Bali Mengembangkan sistem alokasi dana, pengelolaan, dan akuntabilitas, serta keberlanjutan pengadaan dan pemanfaatan dana
13
Pengembangan tempat penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali ke seluruh kabupaten/kota di Bali setiap tiga tahun sekali atau lima tahun sekali
No
Memperluas implikasi penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali dalam rangka pemerataan hasil-hasil pembangunan seni budaya bagi masyarakat Bali
Strategi
SIMPULAN Pesta Kesenian Bali memiliki kecenderungan berkembang yang dinamik. Hal itu disebabkan arus perubahan yang mempengaruhi kesenian Bali. Perubahan tersebut tidak dapat dihindari, namun perlu diantisipasi dengan mempersiapkan para seniman Bali mampu menghadapi perubahanperubahan yang terus menerus dengan cara membangkitkan kesadaran para seniman Bali untuk mengetahui lebih dalam lagi dasar-dasar inti kebudayaan Bali, yakni kearifan lokal Bali sebagai 112
Terwujudnya networking atau kerjasama dalam skala nasional dan internasional
Tujuan
Tersedianya sistem alokasi dana, pengelolaan dan akuntabilitas penggunaan dana, serta keberlanjutan pengadaan dan pemanfaatan dana Terselenggaranya Pesta Kesenian Bali di berbagai tempat yang ada di kabupaten/kota di Bali
Indikator
ide sentral yang memberikan pengaruh bentuk luar yang dapat berubah-ubah tetapi tidak terlepas dari ide sentralnya. Hal itu dapat dilaksanakan melalui reinterpretasi, reintegrasi, dan adaptasi dengan menyinergikan kearifan lokal sebagai dasar pijakan dengan budaya nasional dan pengetahuan global, menjadi strategi pengembangan yang memperkuat kreativitas berkesenian masyarakat Bali di tengahtengah dinamika perubahan akibat gempuran arus globalisasi dan kapitalisme. Perubahan itu tidak akan memperlemah seni tradisi Bali, tetapi justru dengan perubahan itulah kesenian tradisi diperkuat
Volume 30, 2015
lagi karena tetap dijiwai oleh ide sentral kebudayaan Bali, yakni kearifan lokal budaya Bali. DAFTAR RUJUKAN Mantra, Ida Bagus. (1995), “Budaya Bali: Strategi dan Realitas”, dalam Usadi Wiryatnaya dan Jean Counteau (Eds.), Bali di Persimpangan Jalan1, Nusa Data Indo Budaya, Denpasar. Miles, M.B. dan A.M. Huberman. (1992), Analisis Data Kualitatif Buku Sumber Tentang MetodeMetode Baru, Universitas Indonesia, Jakarta. Mulyana, Deddy. (2006), Metodologi Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Suarka, I Nyoman, I Wayan Rai S., I Nyoman Dhana, Ni Made Wiasti. (2012), Mengembangkan manajemen Pesta Kesenian Bali: membangun kreativitas seni (Laporan Hasil Penelitian Strategi Nasional Tahun I), Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar. ________________. (2013), Mengembangkan manajemen Pesta Kesenian Bali: membangun kreativitas seni (Laporan Hasil Penelitian Strategi Nasional Tahun II) Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar. Supartha, I Gusti Ngurah Oka, I Ketut Sumartha, I Wayan Suarya, I Made Mertha. (1997), Pesta Kesenian Bali, Percetakan Bali, Denpasar.
Pruiit, Dean G, Jeffrey Z. Rubin. (2004), Teori Konflik Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Tim Pengawas Independen Pesta Kesenian Bali. (2012), Laporan Hasil Tim Pengawas Independen Pesta Kesenian Bali 2012. Denpasar.
Suarka, I Nyoman. (2005), ”Tema Payung dan Tema Pokok Pesta Kesenian Bali 2005-2010”, dalam Lokakarya Pesta Kesenian Bali di Denpasar.
Tim Perumus Sarasehan Pesta Kesenian Bali. (2012), Rumusan Hasil Sarasehan Pesta Kesenian Bali Tahun 2012. Denpasar.
113
VolumeMUDRA 30, Nomor 1, Pebruari 2015 Jurnal Seni Budaya p 114 - 119
I Ketut Gde Asnawa (Testimoni I Wayan Beratha: Seniman...) ISSN 0854-3461
Obituari
Testimoni I Wayan Beratha: Seniman Alam yang Kreatif dan Lumbung Keilmuan I KETUT GDE ASNAWA Universitas Illinois, Urbana-Champaign. E-mail:
[email protected]
I Wayan Beratha dedicadit his long life to studying and promoting the musical art as a perfomer, mentor, composer, choreografer, tuner, and gamelan maker. Recognized as a pioneer (tokoh) of kebyar musical art (seni kekebyaran) and a master of the art Balinese tradisional music (empu seni kerawitan Bali), he is considered one of the most inspiring avant-garde creators of his time. This article, 1) examines the work of the late I wayan Beratha along with his many accomplishments as a remarkable composer, and 2) functions as a tetstimony of my appreciation and respect for him based on my observations and our many interactions together. Keywords: Recognized as a pioneer, tetstimony, and kebyar musical art.
I Wayan Beratha di mata saya adalah seorang seniman luar biasa milik Bali dengan spesifikasi bidang keahlian seni karawitan Bali, khususnya seni musik gamelan dan tarian Bali. Trah keseniannya mengalir dari sang kakek I ketut Keneng, seorang
114
seniman puri/istana ahli karawitan pegambuhan dan juga dari sang ayah I Made Regog, pemain gamelan yang mahir dan kompuser dengan karya monumentalnya “Kebyar Ding Surapati” tahun 1928 (Bandem, 2014: 1).
Volume 30, 2015
Kedua tokoh inilah yang membentuk kepribadiannya sebagai seniman hingga akhir hayatnya. Tidak seperti seniman lainnya yang sezaman, I Wayan Beratha mempunyai keistimewaan yakni tidak saja sebagai pengerawit mumpuni di bidang seni klasik pegambuhan, pelegongan, smara pegulingan, bebarongan, pegongan, dan lainnya tetapi juga seorang guru (PNS) atau pensiunan pendidik yang disegani, seorang komposer kreatif dan super produktif, kreografer, pelaras gamelan jitu, pengerajin gamelan yang terkenal, dan penggagas gamelan (ensambel) baru. Seniman Alam Kendatipun terbentuk dari dan sebagai seniman alam hanya menyelesaikan tingkat pendidikan kelas V (lima) Sekolah Rakyat, namun Beratha sangat genius, kreatif, terbuka dan berwawasan ke depan. Ia sekaliber dengan I Gde Manik, tokoh pembaharuan gong kebyar Bali Utara. Interaksi kedua tokoh inilah yang menjembatani terjadinya transformasi musical style antara gong kebyar Bali Utara dan Bali Selatan (Yudartha, 2010: 1). I Wayan Beratha identik dengan tokoh pembaharuan, inspirator, motivator, dan kreator di bidangnya. Hal ini terbukti dari kiprahnya dalam “seni kekebyaran” yang melambungkan namanya sebagai tokoh sentral dalam perkembangan gong kebyar di era 1960-an. Pada era itu gong kebyar menjadi panggung seni pertunjukan di Bali (Dibia dalam Asnawa, 2008: 97). Dari pemikiran kreatifnya, telah tercipta puluhan bahkan ratusan pola-pola gending yang tersusun dalam sebuah komposisi. Karakteristik dari komposisinya sangat kental dengan nuansa pembaharuan pakem tradisi yang dibalut dengan kemampuan estetika kontemporer. Artinya konseptualisasi pembaharuannya berjalan mapan dan sempurna tidak merusak akar tradisinya. Hasilnya tumbuh karya-karya baru yang enak dinikmati dan dirasakan. Tidak mengherankan banyak para komposer lainya menjadikannya sebagai model pengembangan dalam komposisinya. Karya-karya beliau tersebar di seantero jagat dan tidak lekang dimakan zaman.
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Lima Katagori Karya-karyanya dapat dibedakan menjadi lima katagori, yaitu 1) tahuh kreasi baru; 2) tari kreasi baru; 3) iringan tari/sendratari; 4) aransementasi tabuh pepanggulan; dan 5) penggagas gamelan/ ensambel baru. Karya tabuh kreasinya meliputi tabuh Palguna Warsa, Kosalya Arini, Swa Bhuana Paksa, Jaya Semara, Purwa Pascima, Muni Dwara Murti, Kokar Jaya, Kebyar Dang Citta Utsawa, dan banyak lagi yang lainnya. Ciptaan tari dan iringan tari meliputi: Tari Yudha Pati, Tari Tani, Tari KupuKupu, Tari Panyembrama, Tari Gabor, Tari Nawa Saangga Jayengrana. Dialah yang membidangi sendratari Jayaprana, Raja Pala, Ramayana, Mayadenawa, Nara Kusuma, Pemutaran Mandara Giri, bahkan sebagai perancang dan penata iringan sendratari kolosal Ramayana (7 kanda) dan Mahabharata (18 parwa) produksi pemerintah provinsi Bali dalam Pesta Kesenian Bali. Karya aransementasi pepanggulan yang diciptakan adalah Tabuh Gesuri, Tabuh Pisan Bangun Anyar, Tabuh Pisan Gegancangan, Tabuh Dua Galang Kangin, Tabuh Telu Trisula, Tabuh Pat Gari, Tabuh Nem Galang Kangin, Tabuh Kutus Pelayon, dan yang lainya. Karyanya yang berupa ensambel baru termasuk Gamelan Genta Pinara Pitu dan Gamelan Semara Dana. Sedikit Bicara Banyak Kerja I Wayan Beratha adalah seniman sedikit bicara tetapi banyak kerja, dengan kata lain beliau tidak banyak berteori namun ketika dikupas makna dari karyakaryanya ternyata semua terkonsep secara jelas. Saya mencatat beberapa hal penting bagaimana karya-karya beliau diproses. Berawal dari proses ekplorasi yang dilakukannya melalui perenungan yang disebut “ngungkab rasa” yaitu membangun dan menghidupkan rasa sensitivitas dan imajinasi sebagai upaya mewujudkan “bantang gending” atau ide musikal sesuai dengan tematik gending yang digarap. Kemudian ide musikal yang dibayangkan diartikulasikan lewat cara menyanyi dalam hati hingga dirasakan pas dengan estetika rasa yang ada pada dirinya, sembari melakukan pencatatan dalam notasi supaya tidak lupa. Setelah ide-ide terakumulasi dengan baik baru dipresentasikan dalam tahapan pembentukan atau pelatihan.
115
I Ketut Gde Asnawa (Testimoni I Wayan Beratha: Seniman...)
Adapun hasilnya dari tahapan pelatihan akan mengkristal pada tahapan penghalusan di mana tahapan ini sangat penting sebagai tahapan akhir untuk mendapatkan “rasa” atau sinkronisasi antara ide, aransementasi, tematik atau ekspresi musikal (irama, dinamika, dan tempo) sehingga menjadi bagian-bagian yang harmonis dan menyatu dalam komposisi. Saya juga memahami beberapa hal berkenaan dengan penataan atau garap karya-karyanya. Dalam hal tabuh kreasi baru misalnya, karyakarya yang diciptakannya sangat khas dan terdiri dari jajar pageh atau struktur gending yang baku (fized structure) berdasarkan konsepsi “sikut awak”, artinya berkaca pada bentuk tubuh kita sendiri (bhuana alit) dikenal dengan konsep “tri angga”, yang terdiri dari bagian kepala, badan, dan kaki. Sebagai kepala dipresentasikan berupa ritmik progresif yang disebut gineman. Bagian ini merupakan kawitan atau introduksi yang ditata dengan ritmikal rumit dan sambung-menyambung dari fase ke fase yang lainnya sehingga membentuk perangai dengan konfigurasi ritmikal menarik dan indah. Setelah adanya tranmisi, gineman membentuk bagian pokok (main body) daripada gending-gending yang disebut pengawak berupa melodi gegenderan yang melodius dielaborasi dengan teknik kotekan variatif. Pada bagian ini sudah terwujud mekanisme dan fungsional instrument secara formal mengikuti tematik gending yang ditata sedemikian rupa menariknya, rumit namun unik sehingga menjadi roh atau jiwa dari pada komposisi garapannya. Bagian berikutnya adalah bebapangan atau bagian penonjolan instrumen di mana setiap kelompok instrumen diporsikan bermain solo dalam tempo cepat dan energetik. Biasanya dimotori oleh reyong solo dilanjutkan oleh melodi pokok dimainkan secara ostinoto kemudian gangsa, kendang reyong menimpali dengan permainan elaboratif secara bersautan (call and respond). Bagian ini merupakan klimaks menuju bagian pengecet atau pekaad yang diisi dengan ragam-ragam gending gegangsaran atau gegambangan yang bernuansa ceria atau dinamis.
116
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Adapun karakteristik hasil ciptaan tabuh kreasi barunya adalah terletak pada keindahan melodi yang dibalut dengan ornamentasi ritmis. Namun, yang paling menggungah perasaan saya untuk mempelajari dan mendalami karya-karya beliau adalah berupa aransementasi tabuh pepanggulan. Karya ini merupakan musikal pengembangan yang ditata berdasarkan bantang gending klasik lelambatan pegongan dimainkan dalam gong kebyar dan diaransementasi atau digubah dalam nuansa kekinian yang dikenal dengan tabuh lelambatan kreasi. “Gesuri” Karya Monumental Sedikit beda dengan tabuh kreasi baru, di sini permainan kendang memakai panggul (mallets) dan digunakan instrumen terompong sebagai leanding melody, yang menjadi ciri khasnya. Kalau dirunut keberadaannya, tabuh gesuri adalah cikal bakalnya. Tabuh yang diciptakan tahun 1964 ini, menurut saya adalah karya beliau yang sangat monumental, karena kelahirannya pada saat Presiden Soekarno mencetuskan jargon politiknya yang disebut Genta Suara Revolusi Indonesia yang disingkat Gesuri. Sebagai langkah responsif dari seorang Beratha bersama sekaa Gong Belaluan Sadmerta berhasil menciptakan gending aransementasi pepanggulan yang diberi nama Gesuri. Karya ini dipentaskan secara perdana saat sekaa Gong Belaluan Sadmerta berada di New York dalam rangka New York Words Fair (Bandem, 2013: 155). Adapun aransementasi garapan Gesuri berpola dari tabuh telu yang dipadukan dengan gegilakan dengan tematik garapan menggambarkan semangat menuju perubahan. Sedangkan struktur komposisinya diawali dengan ginem pengrangrang dengan pola saut menyaut antara gangsa terompong, dan reyong. Kendang awit-awit solo yang diumpamakan sebagai dentum senjata perang muncul berikutnya diikuti dengan pemalpal menuju pengawak yang bernuansa agung, gagah, dan berwibawa. Dari sini dinamika dan tempo berubah cepat sebagai bentuk transisi ke pengecet yang bernuansa semangat, bergairah dan menyiratkan kemenangan dan diakhiri dengan pola gegilakan sebagai klimaks bahwa misi perjuangan telah tergapai. Disinilah nampak sensitivitas musikal seorang Beratha teruji dan ternyata mampu memberikan sentuhan musikalitas sesuai dengan gelora suara revolusi itu.
Volume 30, 2015
Saya sendiri sangat terkesan dan bangga atas karya Gesuri ini yang hingga kini masih hidup di masyarakat. Ketika menjadi konsultan Parade Gong Kebyar se Bali dalam rangka PKB tahun 2002, saya sempat menjadikan model karya Gesuri ini sebagai materi lomba di bawah kategori tabuh kreasi pepanggulan sebagai pengganti tabuh lelambatan kreasi. Tahun 1968 beliau mengembangkan model aransemen Gesuri menjadi karya lelambatan kreasi di mana katagori tabuh nem Galang Kangin dijadikan bantang gending. Di sini beliau secara fantastik dapat mengubah gending klasik pegongan menjadi warna dan tekstur musikalitas kekinian tanpa mengubah kebakuannya. Diawali dengan ginem pengrangrang yang ditata secara eksklusif. Kemudian kawitan gending berlanjut sebagai pemalpal yang dimainkan secara periring, yaitu merupakan pemampatan bagian pengawak yang dikemas dengan ornamentasi kotekan atau ubitubitan yang semarak. Bagian pengawak sebagai bagian utama gending dengan pepayasan mengikuti dan kemudian disandingkan dengan bagian pengisep yang digarap lebih dinamis. Bagian pengecet muncul setelahnya adalah terdiri dari prase bebaturan, ngembat, batu-batu, dan diakhiri dengan tabuh telu atau versi gegilakan, di mana semua prase ini diporsikan untuk mendapatkan sentuhan kreativitas lebih rumit, elaboratif, dan variatif. Karya-karya Beratha dalam katagori ini telah mendapat pengakuan dari masyarakat sebagai karya terbaik karena dianggap memenuhi estetika rasa adung, lengut, manis, dan wayah. Pada suatu hari beliau mengingatkan saya bahwasannya menggarap gending lelambatan kreasi adalah perkara “aluhaluh sukeh”, artinya gampang tetapi sukar. Gampangnya karena sudah ada bantang gending yang dipakai acuan, tetapi sukarnya adalah memberi payasan gending supaya serasi, menyatu, dan tidak membunuh karakter gending aslinya. Saya bersyukur atas dorongan dan bimbingan beliau saya sudah mengaransemen beberapa karya-karya lelambatan kreasi dan sudah mendapat pengakuan dari beliau dan kata teman-teman seniman bahwa karya-karya saya seperti Windu Segara, Kalingga, Tapuk Manggis, Wari Drawa, Batur Sakti, Semara Metu, Berare, dan lainya setingkat dengan
MUDRA Jurnal Seni Budaya
karya Beratha namun tidak sama tetapi mampu menghasilkan estetika arasementasi yang mapan dan berspiritkan Beratha. Gamelan Semara Dana Satu hal lagi yang perlu diungkap dari pemikiran beliau adalah keberadaan gamelan “Semara Dana”. Gamelan yang diperkenalkan 1987 ini adalah berawal dari pemekaran gamelan Genta Pinara Pitu (GPP) yang digarap sebelumnya. Gamelan GPP yang sekarang menjadi milik Mantle Hood, seorang etnomusikolog senior dari Amerika yang hanya sempat diproduksi satu unit saja, karena dirasakan ada kendala dalam permainan, maka gamelan ini disempurnakan lalu diberi nama gamelan “Semara Dana”, “Semara” artinya cinta dan “Dana” artinya dermawan (lihat lebih jauh Andrew McGraw: 2538). Sesungguhnya gamelan ini merupakan kombinasi dari gamelan gong kebyar dan semara pegulingan dengan bantang nada (range tone); kebyar (panca nada) pada urutan nada rendah dan semara pegulingan (sapta nada) pada urutan nada tinggi. Wujud atau ensambelisasinya didesain menurut tipikal gong kebyar. Secara praktikal gamelan ini bisa memainkan lagu kebyar dan juga lagu klasik semara pegulingan, bahkan lagu gamelan angklungpun bisa dimainkan dengan memilih patet rentangan nada sapta nada. Mengapa beliau menggagas gamelan itu? Tiada lain berawal dari kegelisahannya membidangi sendratari kolosal Ramayana dan Mahabharata untuk konsumsi stage Ardha Candra di arena PKB. Garapan ini tidak saja melibatkan ratusan penari tapi juga melibatkan beberapa barungan gamelan untuk mendukung karakter atau penokohan dalam cerita tersebut dan juga membutuhkan banyak penabuh gamelan. Beberapa eksprimen telah dicoba sebelumnya, yaitu dengan menggabungkan barungan gong kebyar dengan semara pegulingan, gong kebyar dengan gong gede, gong gede dengan semara pegulingan. Tampak semuanya terkesan megah dan kolosal, tetapi suatu saat beliau berpikir rasanya kurang efesien dan praktis, terutama kalau dipentasulangkan di lokasi terbatas. Sebagai pengerajin gamelan dan pelaras, beliau antisipasi dengan memadukan paket gamelan gong kebyar dan semara pegulingan menjadi satu unit gamelan dan jadilah gamelan “Semara Dana”. 117
I Ketut Gde Asnawa (Testimoni I Wayan Beratha: Seniman...)
Adapun visi dan misi beliau menggagas ini adalah didasarkan atas keinginannya untuk selalu berkarya dan sejalan dengan penamaan gamelan itu sendiri yang diartikan kecintaan dan kedermawanan. Jika kecintaannya merangsuk dalam diri maka kita termotivasi untuk berbuat atau berkarya. Jika rasa kedermawanan tumbuh maka kita cenderung ingin berbagi rasa. Artinya dengan gamelan ini akan memberi ruang yang lebih luas khususnya para komposer untuk bereksperimen agar menghasilkan karya-karya baru baik yang berpola transisi maupun kontemporer. Kini gamelan ini telah tersebar, tidak saja lokal di Bali tapi sudah merambah ke mancanegara. Mengagumi Sejak Remaja Setelah menguraikan karya-karya besar Beratha seperti di atas, berikut disajikan tentang interaksi saya dengan beliau dari masa ke masa. Sesungguhnya saya mengagumi beliau sejak saya masih remaja, saat berumur 13 tahun. Kala itu saya menyaksikan sendiri bagaimana beliau mempersiapkan sekeha Gong Belaluan Sadmertha dalam rangka Merdangga Utsawa atau Festival Gong Kebyar se-Bali tahun 1968. Karena dorongan rasa seni saya mengikuti latihan-latihan sekeha ini dengan serius yang diadakan di halaman Jero Sadmerta. Saat itu saya sempat terkesima atas kepiawaian beliau bermain kendang berpasangan dengan anak sulungnya I Wayan Sudama (alm). Tidak itu saja dua karya yang beliau ciptakan saat itu, yaitu Tabuh Lelambatan, Kreasi Tabuh Nem (Galang Kangin), dan Tabuh Kreasi Baru (Palguna Warsa) saya rasakan sangat luar biasa dan mengesankan. Dari kesaksian itu saya terobsesi ingin menjadi juru gamel (seniman) sehebat beliau dan akhirnya termotivasi untuk memilih Sekolah Seni Konservatori Kerawitan (KOKAR) Bali yang sekarang menjadi SMK. Ternyata obsesi saya terkabul menjadi anak didik beliau di KOKAR Bali yang berlokasi di Jl. Ratna Denpasar. Di KOKAR beliau sangat disegani dan juga ditakuti oleh murid-murid karena karisma dan wibawanya. Sebagai guru beliau punya sensitifitas tinggi bagaimana mengarahkan dan memberikan perhatian pada anak didiknya terutama yang punya talenta tinggi. Kebetulan saya adalah salah satu dari teman-teman yang mendapatkan perhatian khusus 118
MUDRA Jurnal Seni Budaya
dari beliau. Beberapa kekhususan yang saya rasakan adalah dipilihnya saya sebagai pengendang wadon dalam penabuh inti di sekolah. Ketika pelajaran praktek di kelas saya sering didaulat sebagai asistennya dan ketika beliau tidak bisa datang di kelas saya ditunjuk sebagai penggantinya. Istimewanya lagi saat istirahat saya sering dipanggil untuk diberikan pengarahan sekitar bagaimana meningkatkan kemampuan teknik saya bermain kendang dan hal-hal lain yang bersifat mendewasakan kepribadian saya sebagai seniman. Dengan perhatian dan bimbingan seperti itu membuat diri saya termotivasi dan ingin belajar lebih banyak dari sang guru. Asisten Guru Praktek Setelah tamat dari KOKAR saya melanjutkan ke ASTI Denpasar. Pada suatu saat saya diusulkan oleh beliau menjadi asisten guru praktek (AGP) di KOKAR yang menantinya akan dianggkat menjadi PNS. AGP ini adalah program magang untuk mempersiapkan calon guru sebelum resmi sebagai PNS. Dalam program ini Beratha adalah salah satu mentor saya sehingga saya mendapatkan kesempatan untuk mempelajari ilmu beliau dengan lebih baik dan terarah. Akhirnya saya diangkat sebagai PNS di KOKAR dan status saya sejajar dengan beliau sebagai guru, tapi interaksi keilmuan tetap berjalan secara alamiah dan saya menganggap beliau itu adalah guru besar saya atau Sang Nabe. Seiring dengan perjalanan waktu interaksi saya semakin intens tidak saja sebatas hubungan antara guru dan murid tetapi menjadi bagian dari keluarganya bahkan sudah dianggap sebagai anaknya sendiri. Oleh karena itu dalam keseharian maka saya memanggil beliau sebagai bape/ayah. Hubungan emosional merasakan bahwa transmisi keilmuan berdasarkan pedagogi meguru panggul antara bape dan anak berlangsung lebih efektif dan bernilai guna, tidak saja sebatas keterampilan seni tetapi lebih jauh saya dapat menangkap spirit atau taksu-nya Sang Guru. Atas kepercayaan bape, saya sering diutus untuk melatih sekaa-sekaa gong di desa, mewakili beliau sebagai juri, dan sudah tentu dari pengalaman itu semua sangat berfaedah untuk menambah wawasan dan sekaligus mendewasakan kesenimanan saya.
Volume 30, 2015
Pertemuan Terakhir dan Tiga Pesan Sekitar tahun 2013 saya dan keluarga sempat ngobrol di bale delod rumahnya saat itu bape sudah kelihatan lesu karena sudah umur. Saya berbincang-bincang dalam kegalauan masa tuanya, dan tidak terkira bahwa itu pertemuan saya terakhir. Wayan Beratha wafat 9 Mei 2014 saat itu saya tidak berada disekitarnya karena berdomisili di Amerika menjalani swadharma sebagai music professor di University of Illinois At Urbana-Champaign. Dari belahan bumi Amerika, saya dan keluarga merasa sangat kehilangan saat bape tutup usia. Sebagai murid anak dan perpanjangantangan sang bape saya merasa berhutang budi karena kedewasaan rasa musikal dan predikat kesenimanan saya terbina berkat perhatian dan arahannya yang lebih menekankan pada kepribadian, kepekaan, dan kemampuan baik teknik maupun wiweka sebagai seniman. Ada tiga pesan penting dari bape yang selalu saya ingat, yaitu pertama, salurkan inspirasimu sesuai dengan bidang seni yang ditekuni dan berkaryalah sebanyak mungkin tanpa pamrih. Kalau karyakaryamu banyak dimainkan atau berkembang di masyarakat secara luas maka di sanalah dirimu dihargai. Kedua, tuntunlah adik-adikmu atau muridmuridmu berkarya seni yang baik berdasarkan rasa, etika, dan logika. Ketiga, bahwasannya dengan berkarya seni atau berkomposisi berarti kita memperdalam dan memperkaya seni tetabuhan Bali itu sendiri, Sang bape adalah seorang penggiat seni yang mumpuni di bidang keahlianya. “Hampir tiada hari tanpa seni” adalah julukan sangat tepat pada dirinya. Rumahnya di Jl. Pucuk 11 Denpasar, menjadi bukti nyata tempatnya berkiprah sedangkan lembaga seni seperti KOKAR/SMKI, ASTI/STSI (ISI) adalah media beliau menetaskan emberio-emberio kesenimanan. Banyak pakar seni seperti Made Bandem, Wayan Dibia, Wayan Rai S., Komang Astita, Nyoman Catra dan yang lainya adalah muridmurid kebanggaan sang bape. Berbagai penghargaan telah diterimanya diantaranya, yaitu Kerti Budaya (Kabupaten/Kota), Dharma Kusuma (Provinsi Bali), Anugrah Seni Nasional (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI), dan gelar Empu Kerawitan Bali (dianugrahkan
MUDRA Jurnal Seni Budaya
oleh ISI Denpasar). Belum terhitung jumlah apresiasi dan regognisi dari masyarakat khusunya dan para seniman yang sangat membanggakan dan menjadikan Wayan Beratha sebagai referensi pada setiap event-event kesenian. Lumbung Keilmuan Setelah wafat rumah kediamannya terasa sunyi, suasananya menyisakan kenangan mendalam, ada sebuah patung kayu sebagai atribusi Pemkot Denpasar dipajang di serambi depan bale daja. Pada bale inilah biasanya menerima tamu-tamu, murid, sekaa-sekaa yang hendak berguru seni. Bengkel kerja Wayan Beratha sudah tiada, namun atas inspirasinya anak wungsunya Sutjiati Beratha kini di lokasi tersebut telah dibangun bale jineng (lumbung padi) dengan penataan yang artistik. Ketika saya mengikuti upacara pemelaspas bangunan tersebut, saya sempat berimajinasi bahwa jineng itu adalah sebuah simbol lumbung keilmuan Sang Empu (Wayan Beratha) yang setiap saat bisa digali, dipelajari, dan dikembangkan oleh siapapun. DAFTAR RUJUKAN Asnawa, I Ketut Gede. (2008), “Ngebyar di Luar Bahasa Akademis”, dalam Seni Kekebyaran (Dibia (Eds.)), Balimangsi Foundation, Denpasar. Bandem, I Made. (2013), Gamelan Bali di Atas Panggung Sejarah, Balai Penerbit STIKOM Bali, Denpasar. _____________ . (2014), I Wayan Beratha: Arsitek Gong Kebyar Abad XX, (tidak dipublikasikan) College of Holy Cross. McGraw, Andrew. (1998), The Gamelan Semara Dana of Banjar Kaliungu Kaja, Denpasar, Bali, Indonesia, (Thesis Program Doktoral S3) Tufts University. Yudartha, I Gede. (2010), “Sekaa Gong Sadmerta Eksistensi dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Seni Kekebyaran di Bali”, dalam http://blog.isi-dps. ac.id.
119
Volume 30, 2015
Jurnal Seni Budaya VolumeMUDRA 30, Nomor 1, Pebruari 2015
ISSN 0854-3461
INDEKS PENGARANG VOLUME 30 NO. 1 PEBRUARI 2015
Asnawa, I Ketut Gde., 114.
Rustiyanti, Sri., 47.
Bahar, Mahdi., 76.
Sastra, Andar Indra., 18.
Chaya, I Nyoman., 37.
Suarka, I Nyoman., 105.
Dhana, I Nyoman., 105.
Suastika, I Made., 57.
Dibia, I Wayan., 57.
Sudirga, I Komang., 57.
Hidajat, Robby., 83.
Sumerjana, Ketut., 1.
Maryono., 65.
Wiasti, Ni Made., 105.
Panggabean, Ance Juliet., 91.
Wijayanto, Ary Nugraha., 1.
Parimartha, I Gde., 57.
Yasa, I Ketut., 8.
Rai S., I Wayan., 105.
1
Petunjuk Petunjuk Penulisan Penulisan
MUDRA Budaya MUDRA Jurnal Jurnal Seni Seni Budaya
PETUNJUK UNTUK PENULIS Judul Naskah (Capitalize each word, 16 pt, bold, centered) (kosong satu spasi tunggal, 16 pt) Penulis Pertamal, Penulis Kedua2, dan Penulis Ketiga3 (12 pt) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt) 1. Nama Jurusan, Nama Fakultas, Nama Universitas, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara (10 pt) 2. Kelompok Penelitian, Nama Lembaga, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara (10 pt) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt) E-mail: penulis@ address. com (10 pt, italic) (kosong dua spasi tunggal, 10 pt) Title (Capitalize each word, 14 pt, bold, centered) (Blank, one single space of 14 pt) First Authorl, Second Author2, and Third Author3 (10 pt) (Blank, one single space of 12 pt) 1. Department’s Name, Faculty’s Names, University’s Name, Address, City, Postal Code, Country (10 pt) 2. Reseach Group, Institution’s Name, Address, City, Postal Code, Country (10 pt) (Blank, one single space of l0 pt) E-mail: writer@ address. com (10 pt, italic) (Blank, two single spaces of 10 pt) Abstrak (10 pt) (kosong satu spasi tunggal, 10 pt) Abstrak harus dibuat dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa Inggris. Abstrak bahasa Indonesia ditulis terlebih dahulu lalu diikuti abstrak dalam bahasa Inggris. Jenis huruf yang digunakan Times New Roman, ukuran 10 pt, spasi tunggal. Abstrak sebaiknya meringkas isi yang mencakup tujuan penelitian, metode penelitian, serta hasil analisis. Panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata. (kosong dua spasi tunggal, 12 pt) Title in English (14 pt, bold) (kosong satu spasi tunggal, 14 pt) Abstrak1 (10 pt) (Blank, one single space of 10 pt) Abstract should be written in Indonesian and English. An English abstract comes after an Indonesian abstract. The abstract is written in Times New Roman font, size 10 pt, single spacing. Please translate the abstract of manuscript written in English into Indonesian. The abstract should summarize the content including the aim of the research, research method, and the results in no more than 250 words. (blank, one single space of 10 pt) Keywords: maximum of 4 words in English (10 pt, italics) (blank, three single spaces of 10 pt)
Volume29, 30,2014 2015 Volume
MUDRA Seni Budaya Budaya MUDRA Jurnal Jurnal Seni
PENDAHULUAN (11 pt, bold) (satu spasi kosong, 11 pt)
Introduction (11 pt, bold) (blank, one single space of 11 pt)
Naskah ditulis dengan Times New Roman ukuran 11 pt, spasi tunggal, justified dan tidak ditulis bolak-balik pada satu halaman. Naskah ditulis pada kertas berukuran A4 (210 mm x 297 mm) dengan margin atas 3,5 cm, bawah 2,5 cm, kiri dan kanan masingmasing 2 cm. Panjang naskah hendaknya tidak melebihi 20 halaman termasuk gambar dan tabel. Jika naskah jauh melebihi jumlah tersebut dianjurkan untuk menjadikannya dua naskah terpisah. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Jika ditulis dalam bahasa Inggris sebaiknya telah memenuhi standar tata bahasa Inggris baku. Judul naskah hendaknya singkat dan informatif serta tidak melebihi 20 kata. Keywords ditulis dalam bahasa Inggris diletakkan akhir abstrak.
The manuscript should be printed with Times New Roman font, size 11 pt, single spaced, justified on each sides and on one side of an A4 paper (210 mm x 297 mm). The margins are 3.5cm from the top, 2.5 cm from below and 2 cm from each side. The manuscript must not exceed 20 pages including pictures and tables. When the manuscript go far beyond that limit the contributors are advised to make it into two separate papers. The manuscript is written in Indonesian or English. When English is used strict adherence to English grammatical rules must be applied. The title should be short and informative, and does not go over 20 words. Keywords are in English and presented at the end of the abstract.
Penulisan heading dan subheading diawali huruf besar dan diberi nomor dengan angka Arab. Sistematika penulisan sekurang-kurangnya mencakup Pendahuluan, Metode Penelitian, Analisis dan Interpretasi Data, Simpulan , serta Daftar Rujukan. Ucapan Terima Kasih/Penghargaan (jika ada) diletakkan setelah Simpulan dan sebelum Daftar Rujukan. Headings dalam bahasa Inggris disusun sebagai berikut: Introduction, Method, Results and/ or Discussion, Conclusion. Acknowledgement (jika ada) diletakkan setelah Conclusion dan sebelum Reference. Sebaiknya, penggunaan subsubheadings dihindari. Jika diperlukan, gunakan numbered outline yang terdiri dari angka Arab. Jarak antara paragraf satu spasi tunggal.
The beginnings of headings and subheadings should be capitalized and given Arabic numbering. The parts of the manuscript should at least include an Introduction, Method, Results and/or Discussion, Conclusion and References. When there is an acknowledgment, it should be put after the conclusion but before references. Usage of sub-subheadings should be avoided. When needed, use numbered outline using Arabic numbers. The distance between one paragraph to the next is one single space.
Singkatan/Istilah/Notasi/Simbol Penggunaan singkatan diperbolehkan, tetapi harus dituliskan secara lengkap pada saat pertama kali disebutkan, lalu dibubuhkan singkatannya dalam tanda kurung. Istilah/kata asing atau daerah ditulis dengan huruf italic. Notasi, sebaiknya, ringkas dan jelas serta konsisten dengan cara penulisan yang baku. Simbol/ lambang ditulis dengan jelas dan dapat dibedakan, seperti penggunaan angka 1 dan huruf 1 (juga angka 0 dan huruf O).
Abbreviations/Terms/Symbols Abbreviations are allowed, but they should be written in full when mentioned for the first time, followed by the abbreviations inside the brackets. Foreign and ethnic terms should be italicized. Notation must be compact and clear, and consistently follows the accepted standard. Symbols are written clearly and easily distinguished, such as number 1 and the letter l (or number 0 and the letter O).
Petunjuk Petunjuk Penulisan Penulisan
MUDRA Budaya MUDRA Jurnal Jurnal Seni Seni Budaya
Tabel ditulis dengan Times New Roman berukuran 10 pt dan diletakkan berjarak satu spasi tunggal di bawah judul tabel. Judul tabel ditulis dengan huruf berukuran 9 pt (bold) dan ditempatkan di atas tabel dengan format seperti terlihat pada contoh. Penomoran tabel menggunakan angka Arab. Jarak tabel dengan paragraf adalah satu spasi tunggal. Tabel diletakkan segera setelah perujukkannya dalam teks. Kerangka tabel menggunakan garis setebal 1 pt. Jika judul pada setiap kolom tabel cukup panjang dan rumit, maka kolom diberi nomor dan keterangannya diberikan di bagian bawah tabel.
Tables are written with Times New Roman size 10pt and put one single space down below the tables’ titles. The titles are printed bold in the size of 9 pt as theyare shown in the example. The tables are numbered with Arabic numbers. The distance of a table with the preceding paragraph is one single space. The tables are presented after they are being referred to in the text. 1 pt thick lines should be used to outline the tables. If the titles for the columns are long and complicated, the columns should be numbered and the explanation of each number should be put below the table.
(kosong satu spasi, 10 pt)
(blank, one single space of 10 pt)
Tabel 1. Wacana Estetika (Two single spaces of 10 pt) Wacana Estetika Posmodern Idealisme Mitologi Mimesis Imitasi Katarsis Transeden Estetika Pencerahan Teologisme Relativisme Subjektivisme Positivisme
Wacana Estetika Modern Rasionalisme Realisme Humanisme Universal Simbolisme Strukturalisme Semiotik Fenomenologi Ekoestetik Kompleksitas Etnosentris Budaya Komoditas
Wacana Estetika Postmodern Poststrukturalisme Global-Lokal Intertekstual Postpositivisme Hiperrealita Postkolonial Oposisi biner Dekonstruksi Pluralisme Lintas Budaya Chaos
(sumber: Agus Sochari, 2002: 9)
Gambar diletakkan simetris dalam kolom halaman, berjarak satu spasi tunggal dari paragraf. Gambar diletakkan segera setelah penunjukkannya dalam teks. Gambar diberi nomor urut dengan angka Arab. Keterangan gambar diletakkan di bawah gambar dan berjarak satu spasi tunggal dari gambar.
Pictures are put in the center of page, one single space from the preceding paragraph. A picture is presented after it is pointed out in the text. Pictures are numbered using Arabic numbers. Information on the picture is put one single space down below the picture.
Penulisan keterangan gambar menggunakan huruf berukuran 9 pt, bold dan diletakkan seperti pada contoh. Jarak keterangan gambar dengan paragraf adalah dua spasi tunggal. Gambar yang telah dipublikasikan oleh penulis lain harus mendapat ijin tertulis penulis dan penerbitnya. Sertakan satu gambar yang dicetak dengan kualitas baik berukuran satu
The information should be written with the size of 9 pt and in bold according to the example. The information is two single spaces of 10 pt above the following paragraph. Permissions should be obtained from the authors and publishers for previously published pictures. Attached a full page of the picture with a good printing quality, or electronic file with
Volume29, 30,2014 2015 Volume
halaman penuh atau hasil scan dengan resolusi baik dalam format {nama file}.eps, {nama file} jpeg atau {nama file}.tiff. Jika gambar dalam format foto, sertakan satu foto asli. Gambar akan dicetak hitamputih, kecuali jika memang perlu ditampilkan berwarna. Font yang digunakan dalam pembuatan gambar atau grafik, sebaiknya, yang umum dimiliki setiap pengolah kata dan sistem operasi seperti Simbol, Times New Romans dan Arial dengan ukuran tidak kurang dari 9 pt. File gambar dari aplikasi seperti Corel Draw, Adobe Illustrator dan Aldus Freehand dapat memberikan hasil yang lebih baik dan dapat diperkecil tanpa mengubah resolusinya.
MUDRA Seni Budaya Budaya MUDRA Jurnal Jurnal Seni
either formats: {file name}.jpeg, {file name}.esp or {file name}.tiff. If the picture is a photograph, please attach one print. Pictures will be printed in black and white, unless there is a need to have them in colors. It is advisable that the fonts used in creating pictures or graphics are recognized by most word processors and operation systems, such as Symbols, Times New Romans, and Arial with minimum size of 9 pt. Picture files from applications such as Corel Draw, Adobe Illustrator and Aldus Freehands have better quality and can be reduced without changing the resolution. (blank, one single space of 10 pt)
Petunjuk Penulisan Penulisan Petunjuk
MUDRA Seni Budaya Budaya MUDRA Jurnal Jurnal Seni
Kutipan dalam naskah menggunakan sistem kutipan langsung. Penggunaan catatan kaki (footnote) sedapat mungkin dihindari. Kutipan yang tidak lebih dari 4 (empat) baris diintegrasikan dalam teks, diapit tanda kutip, sedangkan kutipan yang lebih dari 4 (empat) baris diletakkan terpisah dari teks dengan jarak 1,5 spasi tunggal, berukuran 10 pt, serta diapit oleh tanda kutip.
The journal prefers direct quotation. The usages of footnotes should be avoided wherever possible. Quotations of no more than 4 lines should be integrated in the text and in between quotation marks. When the citation exceeds 4 lines, it should be put separately 1.5 single spaces away of 10 pt from the main text and put between quotation marks.
Setiap kutipan harus disertai dengan nama keluarga/ nama belakang penulis. Jika penulis lebih dari satu orang, yang dicantumkan hanya nama keluarga penulis pertama diikuti dengan dkk. Nama keluarga atau nama belakang penulis dapat ditulis sebelum atau setelah kutipan. Ada beberapa cara penulisan kutipan. Kutipan langsung dari halaman tertentu ditulis sebagai berikut (Grimes, 2001: 157). Jika yang diacu adalah pokok pikiran dari beberapa halaman, cara penulisannya adalah sebagai berikut (Grimes, 2001: 98-157), atau jika yang diacu adalah pokok pikiran dari keseluruhan naskah, cara penulisannya sebagai berikut (Grimes, 2001).
Every quotation must be followed by the family name of its author. When there is more than one author, only the first author’s family name is printed followed by et alia. The name or family name of the author can be mentioned before or after the quotation. There are some ways of writing quotations. Direct citation from a specific page is written as follows: (Grimes, 2001:15). When a reference is made to the main idea of a couple of pages, the following should be used: (Grimes, 2001: 98–157). When a reference is made to a text in general, the following should be used (Grimes, 2001).
Daftar Rujukan (kosong satu spasi tunggal, 11 pt)
List of References (Blank, one single space of 11 pt)
Penulisan daftar acuan mengikuti format APA (American Psychological Association). Daftar acuan harus menggunakan sumber primer (jurnal atau buku). Sebaiknya, acuan juga menggunakan naskah yang diterbitkan dalam jurnal MUDRA edisi sebelumnya. Daftar acuan diurutkan secara alfabetis berdasarkan nama keluarga/nama belakang penulis. Secara umum, urutan penulisan acuan adalah nama penulis, tanda titik, tahun terbit yang ditulis dalam dalam kurung, tanda titik, judul acuan, tempat terbit, tanda titik dua, nama penerbit. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak tiga orang. Jika lebih dari empat orang, tuliskan nama penulis utama dilanjutkan dengan dkk. Nama keluarga Tionghoa dan Korea tidak perlu dibalik karena nama keluarga telah terletak di awal. Tahun terbit langsung diterakan setelah nama penulis agar memudahkan penelusuran kemutakhiran bahan acuan. Judul buku ditulis dengan huruf italic. Judul naskah jurnal atau majalah ditulis dengan huruf regular, diikuti dengan nama jurnal atau majalah dengan huruf italic. Jika penulis yang diacu menulis dua atau lebih karya dalam setahun, penulisan tahun
The journal adheres to the APA format when it comes to list of references. Primary sources should be used (journals and books). It is wise to include previous works published in MUDRA. The references are listed alphabetically according to the authors’ family names. In general, the order of writing is the following: author’s name, period, title, place of publication, colon, publisher. The maximum number of authors mentioned for each reference is 3. When there are 4 authors, mention the main author followed by et.al. Chinese and Korean names do not need to be reversed because the family names are at the beginning. Year of publication should be printed right after the author to make it easier to note how up-todate the sources are. Titles are written in italics. Journal and magazine articles’ titles are written in regular letters, followed by the names of the journal or magazine in italics. If two or more cited works of the same author were published in the same year, the publishing years are followed by the letters a, b etc. For example: Miner, JB. (2004a), Miner, J.B. (2004b).
Volume29, 30,2014 2015 Volume
MUDRA Seni Budaya Budaya MUDRA Jurnal Jurnal Seni
terbit dibubuhi huruf a, b, dan seterusnya agar tidak membingungkan pembaca tentang karya yang diacu, misalnya: Miner, J.B. (2004a), Miner, J.B. (2004b). Contoh penulisan daftar acuan adalah sebagai berikut:
namanya, dan pada tahun penerbitan ditambah huruf latin kecil sebagai penanda urutan penerbitan. Greenberg, Josepth H. (1957), Essays in Linguistics, University of Chicago Press, Chicago
Acuan dari buku dengan satu satu, dua, dan tiga pengarang Reference from books with one, two and three authors Anderson, Beneditct R.O.G. (1965), Mythology and the Tolerance of the Javanese, Southeast Asia Program, Departement of Studies, Cornell University, Ithaca, New York.
_________________. (1966a), Language of Africa, Indiana University Press, Bloomington.
Bandem, I Made & Frederik Eugene DeBoer. (1995), Balinese Dance in Transition, Kaja and Kelod, Oxford University Press, Kuala Lumpur. Kartodirjo, Sartono, Mawarti Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. (1997), Sejarah Nasional Indonesia, Jilid I, Balai Pustaka, Jakarta. Acuan bab dalam buku Reference from a book chapter Markus, H.R., Kitayama, S., & Heiman, R.J. (1996). Culture and basic psychological principles. Dalam E.T. Higgins & A.W. Kruglanski (Eds.); Social psychology: Handbook of basic principles. The Guilford Press, New York. Buku Terjemahan Translated Books Holt, Claire. (1967), Art in Indonesia: Continuities and Change atau Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, terjemahan R.M. Soedarsono. (2000), MSPI, Bandung. Read, Herber. (1959), The Meaning of Art atau Seni Rupa Arti dan Problematikanya, terjemahan Soedarso Sp. (2000), Duta Wacana Press, Yogyakarta. Beberapa buku dengan pengarang sama dalam tahun yang sama. A couple of books with similar authors in the same year Dalam hal ini nama pengarang untuk sumber kedua cukup diganti dengan garis bawah sepanjang
_________________. (1966b), “Language Universals”, Current Trends in Linguistics (Thomas A. Sebeok, ed.), Mounton, The Hangue, Artikel dalam Ensiklopedi dan Kamus Articles from Encyclopedia and Dictonary Milton, Rugoff. (tt), “Pop Art”, The Britannica Encylopedia of American Art, Encylopedia Britannica Educational Corporation, Chicago. Hamer, Frank & Janet Hamer. (1991), “Terracotta”, The potter’s Dictionary of Material and Technique, 3 Edition, A & B Black, London. Acuan naskah dalam jurnal, koran, dan naskah seminar Reference on a text in a journal, newspaper, and conference paper Hotomo, Suripan Sandi. (April 1994), “Transformasi Seni Kendrung ke Wayang Krucil”, dalam SENI, Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, IV/02, BP ISI Yogyakarta, Yogyakarta. Kwi Kian Gie. (4 Agustus 2004), “KKN Akar Semua Permasalahan Bangsa” Kompas. Buchori Z., Imam. (2-3 Mei 1990), “Aspek Desain dalam Produk Kriya”, dalam Seminar Kriya 1990 ISI Yogyakarta, di Hotel Ambarukmo Yogyakarta. Acuan dari dokumen online (website/internet) Reference from online document Goltz, Pat. (1 Mei 2004), Sinichi Suzuki had a Good Idea, But… http/www. Seghea com/homescool/ Suzuki.htlm Wood, Enid. (1 Mei 2004), Sinichi Suzuki 1889-1998: Violinist, Educator, Philosoper and Humanitarian, Founder of the Suzuki Method, Sinichi Suzuki Association. http/www. Internationalsuzuki.htlm
Penulisan Petunjuk Penulisan
Acuan dari jurnal online Reference from online journal Jenet, B.L. (2006). A meta-analysis on Online Social Behavior. Journal of Internet Psychology, 4. Diunduh 16 November 2006 dari http://www. Journalofinternet psychology. om/archives/volume4/ 3924.htm1 Naskah dari Database Text from database Henriques, J.B., & Davidson, R.J. (1991) Left frontal Hypoactivation in Depression, Journal of Abnormal Psychology, 100, 535-545. Diunduh 16 November 2006 dari PsychINFO database Acuan dari tugas akhir, skripsi, tesis dan disertasi Reference from final projects, undergraduate final essay, thesis and dissertation Santoso, G.A. (1993). Faktor-faktor Sosial Psikologis yang Berpengaruh Terhadap Tindakan Orang Tua untuk Melanjutkan Pendidikan Anak ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (Studi Lapangan di Pedesaan Jawa Barat dengan Analisis Model Persamaan Struktural). Disertasi Doktor Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta. Acuan dari laporan penelitian Reference from research report Villegas, M., & Tinsley, J. (2003). Does Education Play a Role in Body Image Dissatisfaction?, (Laporan Penelitian), Buena Vista University. Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. (2006). Survei Nasional Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba pada Kelompok Rumah Tangga di Indonesia, Pusat Penelitian UI dan Badan Narkotika Nasional, Depok. Daftar Nara Sumber/Informan Dalam hal ini yang harus disajikan adalah nama dan tahun kelahiran/usia, profesi, tempat dan tanggal diadakan wawancaara. Susunan data narasumber diurutkan secara alfabetik menurut nama tokoh yang diwawancarai.
MUDRA Budaya MUDRA Jurnal Seni Budaya
Erawan, I Nyoman (56th.), Pelukis, wawancara tanggal 21 Juni 2008 di rumahnya, Banjar Babakan, Sukawati, Gianyar, Bali. Rudana, I Nyoman (60 th.), pemilik Museum Rudana, wawancara tanggal 30 Juni 2008 di Museum Rudana, Ubud, Bali.
Volume29, 30,2014 2015 Volume
MUDRA Seni Budaya Budaya MUDRA Jurnal Jurnal Seni
Lampiran (kosong satu spasi tunggal, 11 pt)
Appendices (blank, one single space of 11 pt)
Lampiran hanya digunakan jika benar-benar sangat diperlukan untuk mendukung naskah, misalnya kuesioner, kutipan undang-undang, transliterasi naskah, transkripsi rekaman yang dianalisis, peta, gambar, tabel/bagian hasil perhitungan analisis, atau rumus-rumus perhitungan. Lampiran diletakkan setelah Daftar Acuan/Reference. Apabila memerlukan lebih dari satu lampiran, hendaknya diberi nomor urut dengan angka Arab.
Appendices are used when they are really needed to support the text, for example questionnaires, legal citations, manuscript transliterations, analyzed interview transcription, maps, pictures, tables containing results of calculations, or formulas. Appendices are put after the references and numbered using Arabic numbers.
2. Naskah Hasil Penciptaan
2. Result of Creative Work
Judul Naskah (all caps, 16 pt, bold, centered) (kosong satu spasi tunggal, 16 pt)
Title (all caps, 16 pt, bold, centered) (blank, one single space of 16 pt)
Penulis Pertamal, Penulis Kedua2, dan Penulis Ketiga3 (10 pt) (kosong satu spasi tunggal, 10 pt)
First authorl, Second author2, and Third author3 (10 pt) (blank, one single space of 10 pt)
1. Nama Jurusan, Nama Fakultas, Nama Universitas, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara (10 pt) 2. Kelompok Pencipta, Nama Lembaga, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara (10 pt) (kosong satu spasi tunggal,10 pt)
1. Department’s name, Faculty’s name, University’s name, Address, City, Postal Code, Country (10 pt) 2. Group of creator, Institution’s name, Address, City, Postal code, Country (10 pt) (blank, one single space of l0 pt)
E-mail: penulis@ address. com (10 pt) (kosong dua spasi tunggal, 10 pt)
E-mail: author@ address. com (10 pt, italic) (blank, two single spaces of 10 pt)
Abstrak (10 pt) (kosong satu spasi tunggal, 10 pt)
Abstrak (10 pt, bold) (blank, one single space of 10 pt)
Abstrak harus dibuat dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa Inggris. Abstrak bahasa Indonesia ditulis terlebih dahulu lalu diikuti abstrak dalam bahasa Inggris. Jenis huruf yang digunakan Times New Roman, ukuran 10 pt, spasi tunggal. Abstrak sebaiknya meringkas isi yang mencakup tujuan penciptaan, metode penciptaan, serta wujud karya. Panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata. (kosong dua spasi tunggal, 10 pt)
Abstract should be written in Indonesian and English. An English abstract comes after an Indonesian abstract. The abstract is written in Times New Roman font, size 10 pt, single spacing. Please translate the abstract of manuscript written in English into Indonesian. The abstract should summarize the content including the aim of the research, research method, and the results in no more than 250 words. (blank, one single space of 10 pt)
Petunjuk Penulisan Penulisan Petunjuk
MUDRA Seni Budaya Budaya MUDRA Jurnal Jurnal Seni
Keywords: maksimum 4 kata kunci ditulis dalam bahasa Inggris (10 pt, italic) (kosong tiga spasi tungga1, 10 pt)
Keywords: maximum of 4 words in English (10 pt, italics) (blank, three single spaces of 10 pt)
PENDAHULUAN (11 pt, bold) (satu spasi kosong,11 pt)
INTRODUCTION (11 pt, bold) (blank, one single space of 11 pt)
Naskah ditulis dengan Times New Roman ukuran 11 pt, spasi tunggal, justified dan tidak ditulis bolak-balik pada satu halaman. Naskah ditulis pada kertas berukuran A4 (210 mm x 297 mm) dengan margin atas 3,5 cm, bawah 2,5 cm, kiri dan kanan masingmasing 2 cm. Panjang naskah hendaknya tidak melebihi 20 halaman termasuk gambar dan tabel.
The manuscript should be printed with Times New Roman font, size 11 pt, single spaced, justified on each sides and on one side of an A4 paper (210 mm x 297 mm). The margins are 3.5cm from the top, 2.5 cm from below and 2 cm from each side. The manuscript must not exceed 20 pages including pictures and tables.
Penulisan heading dan subheading diawali huruf besar dan diberi nomor dengan angka Arab. Sistematika penulisan sekurang-kurangnya mencakup pendahuluan, metode penciptaan, proses perujudan, wujud karya, Kesimpulan, serta Daftar Rujukan. Ucapan Terima Kasih/Penghargaan (jika ada) diletakkan setelah Kesimpulan dan sebelum Daftar Acuan.
The beginnings of headings and subheadings should be capitalized and given Arabic numbering. The parts of the manuscript should at least include an Introduction, Creative Method, Conclusion and References. When there is an acknowledgment, it should be put after the conclusion but before references. Usage of sub-subheadings should be avoided. When needed, use numbered outline using Arabic numbers. The distance between paragraphs is one single space.
Lebih lanjut mengenai singkatan/istilah/notasi/simbol dan daftar rujukan sama dengan naskah dari hasil Penelitian.
The directions on abbreviations/terms/notations/symbols and references follow the directions for the research manuscript.
V O L U M E
30
N O.
1
PEBRUARI
2 0 1 5
Bunyi Ngumbang Ngisep Gender Wayang Bali dalam Kajian Semiotika
Ary Nugraha Wijayanto, Ketut Sumerjana
1
Aspek Organologis Gender Wayang
I Ketut Yasa
8
Estetika Hegemoni Talempong Pacik di Sumatra Barat
Andar Indra Sastra
18
Menguak Ideologi di Balik Kehadiran Mabarung Seni Pertunjukan di Kabupaten Buleleng
I Nyoman Chaya
37
Estetika Randai Analisis Tekstual dan Kontekstual
Sri Rustiyanti
47
Kebangkitan Pasantian di Bali pada Era Globalisasi
I Komang Sudirga, I Gde Parimartha, I Wayan Dibia, I Made Suastika
57
Implikasi Pragmatik Bahasa Ungkap Tari Bondhan
Maryono
65
Menyikapi Seni Pertunjukan Tradisional sebagai Media Pengembangan Bangsa
Mahdi Bahar
76
Idiologi Estetik Dalang Wayang Topeng Malang
Robby Hidajat
83
Analisa Struktur Komposisi Si Bongkok dengan Sulingnya Karya Amir Pasaribu dan Sumatran Fiesta Karya Ben Pasaribu
Ance Juliet Panggabean
91
Strategi Pengembangan Manajemen Pesta Kesenian Bali Berbasis Sinergisitas Kearifan Lokal, Budaya Nasional, dan Pengetahuan Global
I Nyoman Suarka, I Wayan Rai S., I Nyoman Dhana, Ni Made Wiasti
105
Testimoni I Wayan Beratha: Seniman Alam yang Kreatif dan Lumbung Keilmuan
I Ketut Gde Asnawa
114
Media Komunikasi Seni dan Budaya Diterbitkan oleh : UPT. Penerbitan, Institut Seni Indonesia Denpasar Terbit tiga kali setahun