JURNAL SENI BUDAYA VOLUME 25 NO. 2 SEPTEMBER 2010
INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2010 i
DEWAN PENYUNTING Jurnal Seni Budaya MUDRA Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departeman Pendidikan Nasional Nomor: 108/DIKTI/Kep/2007. tentang Hasil Akreditasi Jurnal Ilmiah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Tahun 2007 Jurnal Seni Budaya MUDRA diakui sebagai jurnal terakriditasi, dengan peringkat B.
Ketua Penyunting I Wayan Rai S. Wakil Ketua Penyunting Rinto Widyarto Penyunting Pelaksana I Ketut Murdana I Wayan Setem I Gusti Ngurah Seramasara Diah Kustiyanti Ni Made Ruastiti Ni Luh Sustiawati Penyunting Ahli I Wayan Rai S. (ISI Denpasar) Ethnomusicologist Margaret J. Kartomi. (Monash University) Ethnomusicologist Jean Couteau. (Sarbone Francis) Sociologist of Art Ron Jenkins. (Wesleyan University) Theatre Michael Tenzer. (UMBC) Ethnomusicologist ISSN 0854-3461 Alamat Penyunting dan Tata Usaha: UPT. Penerbitan ISI Denpasar Jalan Nusa Indah Denpasar 80235 Telepon (0361) 227316, Fax. (0361) 236100 E-Mail: isidenpasar®yahoo.ac.id. MUDRA diterbitkan oleh UPT. Penerbitan Institut Seni Indonesia Denpasar. Terbit pertama kali pada tahun 1990. Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Persyaratan seperti yang tercantum pada halaman belakang (Petunjuk Untuk Penulis). Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah dan tata cara lainnya Dicetak di Percetakan PT. Percetakan Bali Mengutip ringkasan dan pernyataan atau mencetak ulang gambar atau label dari jurnal ini harus mendapat izin langsung dari penulis. Produksi ulang dalam bentuk kumpulan cetakan ulang atau untuk kepentingan periklanan atau promosi atau publikasi ulang dalam bentuk apa pun harus seizin salah satu penulis dan mendapat lisensi dari penerbit. Jurnal ini diedarkan sebagai tukaran untuk perguruan tinggi, lembaga penelitian dan perpustakaan di dalam dan luar negeri. Hanya iklan menyangkut sains dan produk yang berhubungan dengannya yang dapat dimuat pada jumal ini. Permission to quote excerpts and statements or reprint any figures or tables in this journal should be obtained directly from the authors. Reproduction in a reprint collection or for advertising or promotional purposes or republication in any form requires permission of one of the authors and a licence from the publisher. This journal is distributed for national and regional higher institution, institutional research and libraries. Only advertisements of scientific or related products will be allowed space in this journal.
iii
ISSN 0854-3461
JURNAL SENI BUDAYA VOLUME 25
SEPTEMBER 2010
Nomor 2
1.
Multikulturalisme dalam Diskursus Memperkuat Kebinekaan dan Kemejemukan di Indonesia Anak Agung Gede Rai ........................................................................................................ 101
2.
Multikulturalisme dan Pariwisata Bali Ni Made Ruastiti ................................................................................................................ 108
3.
Eksistensi Desa Pakraman dalam Pelestarian Adat dan Budaya Bali I Wayan Suarjaya ................................................................................................................. 120
4.
Kebudayaan dan Kebijakan Keruangan : Esensi Budaya dalam Pengaturan Batas Ketinggian Bangunan Bali Gusti Ayu Made Suartika .................................................................................................... 131
5.
Reklamasi Pantai Sanur dalam Perspektif Ekonomi dan Sosial Budaya Masyarakat Bali I Made Darma Oka ............................................................................................................ 150
6.
Estetika Hindu : Rasa sebagai Taksu Seni Sastra I Wayan Suka Yasa .............................................................................................................. 159
7.
Penerapan Konsep Joged Mataram dakam Tari Supriyanto ........................................................................................................................... 172
8.
Pragmatik Imperatif dalam Dialog Lakon ”Semar Mbangun Gedhong Kencana” Sajian Ki Mujaka Jaka Raharja S. Hesti Heriwati................................................................................................................. 185
v
MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 120-130
EKSISTENSI DESA PAKRAMAN DALAM PELESTARIAN ADAT DAN BUDAYA BALI I Wayan Suarjaya Program Pasca Sarjana, Universitas Ngurah Rai Denpasar, Indonesia
Abstrak Desa pekraman adalah organisasi tradisional masyarakat Bali, dan organisasi ini, pada saat yang sama, merujuk kepada adanya masyarakat. Bentuk struktur organisasinya beragam dan pengalaman pasang surut berawal dari zaman Bali kuna, zaman kerajaan di Bali, zaman kolonial, hingga zaman reformasi. Penggunaan istilah ini sebagai identitas organisasi tradisional pertama kali disebut sebagai wanua pada zaman Bali kuna, kraman pada masa kerajaan, desa adat pada zaman penjajahan Belanda. Istilah desa adat masih digunakan pada masa kemerdekaan; dan, setelah zaman reformasi desa pakraman desa, sesuai dengan Perda (Peraturan Pemerintah) No.3 Tahun 2003, digunakan. istilah desa pakraman yang menjadi tulang punggung bagi kelangsungan kehidupan adat, budaya dan agama Hindu di Bali. Tugas pokoknya adalah melaksanakan upacara panca yadnya yang dilaksanakan oleh desa/kelurahan berdasarkan awig-awig (aturan masyarakat), permasalahn politik yang mempengaruhi kehidupan orang Bali, maupun susunan desa pakraman. Juga, pengaruh yang bersifat positif atau negatif; khusus yang negatif dipandang bisa merangsang sumber konflik antar anggota desa pakraman desa.
The Existence of Desa Pakraman in Preserving Bali’s Tradition and Culture Abstract Desa Pekraman is the traditional organization of Bali’s society, its attendance at the same time with existence of the society. The structure form of organization varies and experience of ebb started from the ancient Bali epoch, monarchic epoch in Bali, colonial epoch, until the reform epoch. The use of the term as a traditional organization identity was first referred to as Wanua in the ancient Bali epoch, kraman in the empire period, desa adat (custom village) in the epoch the Dutch colonization. The term desa adat (custom village) still used in the independence period; and after the reform epoch the term desa pakraman, as according to Perda (Government Rule) No.3 Year 2003, has been used. Desa pakraman has become the backbone of continuity for the customary life, cultural and Hinduism in Bali. Its fundamental duty is to execute the panca yadnya ritual which is carried out by the desa/village based on the awig-awig (society’s rule). Political issues influence the life of the Balinese as well the arrangement of the desa pakraman. The influence an be either positive or negative; the negative one stimulates the source of conflicts within members of the desa pakraman. Keywords : Desa pakraman and culture of Bali
Satuan masyarakat hukum adat di Indonesia yang menyelenggarakan pemerintahan desa, telah ada sejak zaman sebelum masuknya pemerintah Belanda di Indonesia dengan berbagai nama. Satuan masyarkat hukum tersebut dengan berbagai bentuk organisasi, maupun struktur pemerintahannya, misalnya Marga di Sumatera Selatan, Nagari di Sumatera Barat, Hutta di Tapanuli, Gampong di Aceh, Hureiya di Batak, Dasan di Lombok, Desa 120
untuk Jawa Bali dan Temukung di NTT. Semua daerah di Indonesia mempunyai ciri khas yang unik sesuai dengan daerahnya masing-masing. Sedangkan di Bali ciri khasnya disebut dengan Desa Pakraman. Satuan-satuan masyarakat hukum dengan berbagai nama tersebut disebut oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan istilah Inlandsche Gemeenten. Satuan masyarakat hukum Adat tersebut terdapat baik dalam swapraja maupun di Wilayah yang
Eksistensi Desa Pakraman Dalam... (I Wayan Suarjaya)
dikuasai langsung oleh Belanda (direct gebied) (Walhof, 1960: 284). Masing-masing Desa Adat yang telah disebutkan tadi pada mulanya tidak seragam seperti yang diatur berdasarkan ketentuan IGO (Inlandsche Gemeente Ordonnantie), stb 1906 No. 3 yang berlaku untuk Jawa dan Madura dan IGOB (Inladsche Gemeente Ordennantie Buitengeweten), stb1938 No. 490 jo stb 681 yang berlaku untuk luar Jawa dan Madura (Supomo, 1980: 77). Bentuk-bentuk Desa Adat yang beragam ini memberikan pelayanan kepada masyarakat, sesuai dengan arah dan tujuan dibentuknya Desa Adat tersebut. Sehingga satupun tidak ada yang sama persis dalam bentuk, susunan kepengurusannya, tugas pokok dan fungsinya. Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2003, memberikan batasan pengertian Desa Pakraman merupakan kesatuan masyarakat hukum adat, yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat bagi umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga, mempunyai wilayah tertentu dan penduduk sebagai Krama Desa yang beragama Hindu, mempunyai sumber dana sendiri dan berhak mengatur rumah tangganya sendiri (Perda No 3 Th 2003 Pasal 1 (4) ). Konsep dasar terbentuknya Desa Pakraman, berlandasakan pada Konsep Tri Hita Karana, yaitu 1) Parhyangan (tempat suci dalam bentuk Kahyangan Tiga); 2) Pawongan (anggota masyarakat yng disebut dengan kerama desa); dan 3) Palemahan (unsur wilayah desa). Pada saat pertama kali terbentuknya Desa Pakraman tugas pokok dan fungsinya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat di lingkungannya masing-masing di bidang agama, adat, budaya dan gotong royong yang dilandasi semboyan hidup sagilik saguluk salunglung sabayan taka maksudnya suka dan duka dipikul bersama-sama. (Surpha, 2004: 18). Tugas pokok dan fungsi Desa Pakraman, dari semula sampai saat ini, berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat setempat, perkembangan dan kemajuan teknologi. Dalam tulisan ini akan disajikan Eksistensi Desa Pakraman dari Zaman Bali Kuno Sampai dengan Zaman Reformasi.
HISTORIS DESA PAKRAMAN Peranan Desa Pakraman, dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami pasang surut, sesuai dengan priode yang berlangsung dari masa ke masa. Perkembangan Desa Pakraman dapat dipilah berdasarkan sistem pemerintahan dan perkembangan zaman yang berlaku. Priodisasi Desa Pakraman dapat dipilah menjadi; 1) Zaman Bali Kuno; 2) Zaman Kerajaan Hindu di Bali sampai dengan masuknya pengaruh Kerajaan Majapahit di Bali; 3) Zaman Kolonial Belanda; dan 4) Zaman Kemerdekaan sampai sekarang. Sumber sejarah dan bukti autentik tentang kapan pertama kali terbentuknya Desa Pakraman di Bali, belum banyak diketahui dengan pasti. Berdasarkan teori organisasi, terbentuknya sebuah organisasi berdasarkan tiga jenis; a. Terbentuknya organisasi berdasarkan darah keturunan, yang menjadi ikatan kekeluargaan, kelompok dalam ikatan kekeluargaan sangat kuat kedudukannya. Organisasi terkecil nampak seperti ikatan dalam satu Merajan, Organisasi yang lebih besar dalam ikatan satu Dadia, Paibon, Kawitan serta organisasi yang paling besar adalah organisasi Soroh (Pasek, Arya, Brahmana). b. Berdasarkan, kesamaan wilayah tempat tinggal, seperti wilayah Banjar, Wilayah Desa dan seterusnya. Organisasi ini anggotanya dari berbagai unsur keturunan menjadi satu kesatuan wilayah yang saling ketergantungan, serta mempunyai tujuan yang sama. Dasar pengaturannya berdasarkan hukum tertulis (Awig- Awig), sedangkan hukum tak tertulis dalam bentuk sime, dresta dan perarem. c. Ketiga berdasarkan pada asas kepentingan yang sama, seperti; organisasi: subak, juru boros, sekeha-sekeha yang tumbuh dimasyarakat. Susunan organisasi tradisional ini sangat terbatas, baik ditinjau dari segi tugas pokok dan fungsi dalam kelompok tersebut. Ahli antropologi Koentjaraningrat menyatakan ada empat klasifikasi terbentuknya organisasi tradisional sebagai berikut; 1) terbentuknya organisasi berdasarkan hubungan kekerabatan atau genealogis; 2) berdasarkan prinsip hubungan teritorial tempat tinggal; 3) berdasarkan prinsip kesamaan tujuan; dan
121
MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 120-130
4) prinsip hubungan yang datang dari raja atau pemerintah atasannya (Koentjaraningrat, tt: 348). Pendapat Koentjaraningrat tersebut, berlaku apabila organisasi tradisional itu berdiri setelah adanya kerajaan. Data tentang berdirinya organisasi desa pada masa Bali Kuno, dapat juga diketahui dari peninggalan-peninggalan Purbakala, seperti alat-alat pertanian dari batu, peninggalan sarkopagus, dan tata kehidupan dari jaman batu sampai jaman perunggu, masih banyak di jumpai peninggalannya di Bali, seperti penemuan purbakala di Gilimanuk, Pejeng Gianyar, Goa Slonding, Tegalalang di daerah pegunungan Buleleng, Bangli, Gianyar dan lainlainnya. Peninggalan purba kala ini menunjukkan telah ada bukti-bukti kehidupan dari masyarakat. Keyakinan masyarakat zaman Bali Kuno, sangat percaya dengan kekuatan alam seperti Dewa Gunung, Laut, Danau, Sungai, Matahari, Bulan dan Bintang. Keyakinan kepada Roh Leluhur yang dapat numitis kembali, Ajaran tentang Kanda Empat. Keyakinan ini berlanjut, yang telah mewariskan Adat dan budaya Bali, yang diwarisi sampai sekarang. Berdasarkan teori organisasi yang di kemukakan oleh Mary Jo Hatch, dalam bukunya Organization Theory, menyatakan bahwa tumbuhnya sebuah organisasi apabila ada sejumlah orang yang mempunyai kebutuhan yang sama dan saling ketergantungan satu sama lain, akan tumbuh sebuah organisasi. Pendapat ini senada dengan pendapatnya Henry Mintzberg dalam bukunya The Strukturing of Oerganization, yang menyatakan bahwa dalam organisasi harus ada pembagian tugas dalam memenuhi kebutuhan mereka dalam mencapai tujuan (Mary, 1997: 45) Berdasarkan teori organisasi tersebut, maka organisasi tradisional di Bali yang saat ini disebut dengan Desa Pakraman, berdirinya bersamaan dengan adanya masyarkat Bali. Kehidupan organisasi yang tumbuh pada saat itu tugas pokoknya adalah memberikan perlindungan terhadap anggota kelompok dari gangguan dan serangan kelompok lain, serta perlindungan dari ganasnya kondisi alam. Melaksanakan gotongroyong mengumpulkan makanan untuk kepentingan kelompok. Kehidupan berkelompok tersebut lamakelamaan menjadi organisasi tradisional, yang berkembang menjadi sistem Banjar dan Desa seperti sekarang yang meninggalkan adat dan budaya Bali.
122
Keberadaan Desa Pakraman pada jaman kerajaan di Bali, dapat diketahui dari abad IX, mulai diketemukan prasasti yang menjelaskan tentang adanya masyarakat, dan adanya Raja yang memerintah. Keterangan yang menunjuk tentang adanya kelompok masyarakat yang kemudian di sebut dengan desa dapat diketahui dari prasasti di Desa Sukawana yang berangka tahun 804 Saka atau tahun 882 Masehi, prasasti ini disebut dengan Prasasti Sukawana A. I yang menyebutkan “ Bhiksu Siwakangsi makmit drbya haji... singamandawa ... krama i thani Prasasti lain yang menyebutkan tentang desa dengan istilah wanua dijumpai dalam prasasti Trunyan A I yang berangka tahun 813 Saka atau 819 Masehi... muncul istilah Banwa dan menyebut juga drbya haji dan nama tempat Singamandawa. Berdasarkan peninggalanpeninggalan tertulis dalam prasasi tersebut telah banyak muncul istilah Desa Pakraman, serta Raja yang memerintahnya seperti Raja Sri Kesari Warmadewa, Sri Ugrasena, Sri Dharmodayana Warmadewa dan yang lain-lannya. Eksistensi Desa Pakraman dalam zaman kerajaan telah nampak, hal ini terbukti bahwa Desa Pakraman sangat diperhatikan oleh raja-raja di Bali dengan memberikan, tanah bukti untuk pelaba pura, tanah untuk karang desa. Peranan Desa Pakraman mulai berkembang dan nampak dengan nyata bahwa kehidupan agama adat dan budaya menjadi tanggung jawab Desa Pakraman. Pergeseran tugas pokok dan fungsi Desa Pakraman, yang pada mulanya Zaman Bali Kuno hanya mengurus kepentingan kelompok, melindungi anggota dari gangguan kelompok lain, maupun untuk kepentingan hidupnya, kemudian berkembang dalam membina dan menuntun masyarakat untuk dapat melaksanakan tugas semula, kemudian dikembangkan dengan memberikan pelayanan dibidang keagamaan. Tugas pokok dan fungsi Desa Pakraman, juga melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan oleh raja, untuk memungut utpeti/pajak, serta membela raja dalam hal ekspansi ke kerajaan lain atau menahan serangan dari fihak luar. Tata pemerintahan kerajaan didukung sepenuhnya oleh masyarakakat,. Keyakinan maasyarakat saat itu Raja adalah titisan Dewa, yang memberikan perlindungan dan kesejahtraan kepada rakyat. Pengaruh kerajaan Majapahit ke Bali dapat diketahui melalui Markandya Purana.
Eksistensi Desa Pakraman Dalam... (I Wayan Suarjaya)
Desa Pakraman seperti sekarang, bentuk organisasi, maupun tugas pokok dan fungsinya, lahir setelah masuknya pengaruh Majapahit ke Bali. Kedatangan Empu Kuturan, dianggap sebagai cikal bakalnya pembentukan Desa Pakraman, yang bercirikan, adanya Kayangan Tiga dalam suatu Desa, merupakan salah satu Syarat berdirinya Desa Pakraman. Berdasarkan Teori Philip Mawhood tentang local Govermment menyatakan bahwa syarat berdirinya pemerintahan Desa adalah: memiliki wilayah, ada penduduk tertentu, mempunyai struktur organisasi, ada sumber dana untuk pembiayaan, serta mempunyai hukum sebagai dasar mengatur masyarakat (Mewhood, 1983: 234). Teori ini diperkuat oleh SS Meenakshisundaram, yang menyatakan bahwa syarat pokok berdirinya pemerintahan Desa, disamping syarat yang telah ditentukan tersebut, harus mendapatkan persetujuan/ pengakuan dari pemerintah atasannya (Meenakchisundaram, 1999: 45). Desa Pakraman terbentuk disamping harus memiliki wilayah dan pensyaratan lainnya seperti dalam teori modern tentang pembentukan pemerintahan desa, konsep Desa Pakraman pembentukannya dilandasi dengan falsapah Tri Hita Karana, (Parhyangan, Pawongan, Palemahan). Mulai saat masuknya pengaruh Majapahit di Bali dirintis pendirian Kayangan Tiga di seluruh Bali. Kehadiran Empu Kuturan ke Bali sangat berjasa dalam mempersatukan aliran-aliran dalam Agama Hindu menjadi satu dalam wadah pemujaan terhadap Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu dan Siwa) yang disebut dengan Kahyangan Tiga, sedangkan pengempon Kayangan Tiga disebut dengan Desa Pakraman. Eksistensi Desa Pakraman mulai mendapat pengaruh dari sistem pemerintahan setelah masuknya pengaruh Kerajaan Majapahit, hal ini dapat dibuktikan bahwa pada abad XIV-XVII pengaruh raja semakin kuat. Desa-desa mulai mendapat pengawasan yang lebih nyata dari raja. Pada bagian awal kekuasaan kerajaan Gelgel, para Pasek dan Bendesa ditugaskan untuk menggerakkan desa, serta untuk mengatur pemerintahan desa. Jika terjadi konflik di desa Raja ikut campur tangan untuk menyelesaikannya, atau menugaskan kepada Perbekel atau Kepala Adat untuk menyelesaikannya sejenis dengan pengadilan Desa.. Tugas pokok dan Fungsi Desa Pakraman yang pada mulanya hanya melayani bidang adat, budaya dan Agama saja,
kemudian dalam penyelesaian konplik pemerintahan raja ikut mencampuri wewenang Desa Pakraman, dengan demikian otonomi Desa mulai mendapat pengawasan dan pengaturan oleh Raja. Desa Pakraman, sebelum masuknya pemerintahan kolonial Belanda, telah mengalami perkembangan tugas pokok dan fungsinya dalam masyarakat, seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam masa Zaman Bali Kuno, hanya menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai pembina dan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat di bidang Sosial kemasyarakatan, budaya dan adat. Sedangkan pada masa kerajaan Bali dan masuknya Pengaruh kerajaan Majapahit, Desa Pakraman telah menjalankan tugas ganda; pertama tugas adat dan budaya sebagai wadah komunitas asli tradisional sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat, Kedua Desa Pakraman menjalankan tugas – tugas yang diberikan oleh Raja, termasuk memungut Utpeti (pajak) sekaligus menjadi pembela kerajaan dari serangan pihak lain. Desa Pakraman pada pemerintahan kolonial Belanda, dimanfaatkan untuk menguatkan kedudukan pemerintahannya di masyarakat, dengan memanfaatkan petugas-petugas kerajaan sebelumnya sebagai bagian dari pemerintahan Belanda. Pemerintahan Desa Pakraman digolongkan dalam Inladsche Gemeenten. Pengakuan Belanda terhadap satuan masyarakat hukum (Desa Adat) di wilayah yang dikuasai Belanda tertuang dalam pasal 71 Regeringsreglement 1854, yang kemudian diubah menjadi pasal 128 Indische ataatsregeling 1924. Pasal tersebut mengakui otonomi satuan masyarakat hukum adat, untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri dengan memperhatikan: a) peraturan Gouverneur Generaal b) Hoofd Van Gewestelijke Bestuur dan c) Peraturan Daerah Otonom yang terbentuk dengan ordonnantie (Wolhof, 1960: 248). Berdasarkan ketentuan tersebut, keberadaan organisasi tradisional yang telah berakar di Bali, masih tetap diakui keberadaannya, dengan diberikan otonomi penuh untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Pengaturan lebih lanjut bagi satuan – satuan masyarakat hukum adat tersebut dilakukan dengan ordonantie yang berbeda-beda. Bagi satuan masyarakat hukum adat di Jawa dan Madura diatur berdasarkan Inlansche Gemeente Ordonantie Java
123
MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 120-130
en Madura Sesuai dengan stb.1906 No. 83 jo stb. 1910 No. 591. Aturan-aturan ini kemudian diganti dengan stb. 1941 No 256 yang disebut dengan Desa Ordonnantie. Ordonnantie tersebut tidk diberlakukan pada saat penjajahan Jepang. Masyarakat hukum Adat di Bali, diatur berdasarkan stb. 1938 No. 490 istilah masyarakat hukum Adat di Bali kemudian disebut dengan Desa Adat. Istilah Desa adat dan pengaturan kedalam (anggota/ kerama) diatur berdasarkan hukum Adat yang telah tumbuh dan berakar di masyarakat. Satuan Masyarakat Hukum Adat di Bali menjadi Desa Adat dapat diterima oleh masyarakat ada dua alasan; pertama alasan politis, karerna bangsa Indonesia dalam kondisi terjajah, ada unsur politik yang masuk kedalam pembentukan Desa tersebut. Alasan yang kedua adalah; Organisasi tradisional sebagai desa Asli diselenggarakan berdasarkan tradisi yang berakar dimasyarakat, yang dikenal dengan hukum Adat atau hukum-hukum tradisi yang menjadi pedoman bermasyarakat (Parimartha, 2003: 16). Desa Adat mulai diperkenalkan oleh pemerintah Balanda. Liefrinck dalam bukunya Bali en Lombok menyatakan bahwa Desa Adat sesungguhnya adalah “ republik kecil” yang memiliki, hukum, aturan adat atau tradisi sendiri, susunan pemerintahan lebih bersifat demokratis, mempunyai wilayah tersendiri dan dana untuk mengatur rumah tangganya sendiri (Liefrinck, 1927: 36). Pada zaman kolonial Belanda tugas pokok dan fungsi Desa Adat dikembalikan pada tugas – tugas semula, sebagai organisasi yang membina, mengembangkan dan melestarikan, adat, budaya dan Agama, serta melayani masyarakat sesuai dengan ketentuan desanya masing-masing. Tugas sebagai pelayan raja di bidang pemerintahan diberikan tugas kepada Dienst (berdinas/ bertugas) yaitu seorang pejabat di desa yang mempunyai tugas untuk memberikan pelayanan pemerintah kolonial dan pelayanan publik. Dienst mempunyai tugas mewakili pemerintahan Hindia Belanda dalam melaksanakan pemerintahan kedinasan di desa. Pada masa kemerdekaan lembaga kedinasan (diens) tersebut tetap dipergunakan dalam pemerintahan desa menjadi Desa Dinas. Pada saat penjajahan Belanda, muncul istilah Desa Adat sebagai organisasi tradisional yang landasan oprasionalnya diatur berdasarkan hukum adat, sedangkan Desa Dinas landasan oprasionalnya diatur berdasarkan peraturan pemerintah (hukum tertulis).
124
Eksistensi Desa Adat setelah zaman kemerdekaan, masih tetap diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia. Upaya penyeragaman dan penggabungan antara Desa Adat dengan Desa Dinas tidak membuahkan hasil yang kongkrit. Karena dua jenis desa tersebut, memang berbeda dari tugas pokok dan fungsinya di masyarakat. Berbeda dari segi wilayah, penduduk/anggota masyarakatnya, dan berbeda dari segi sistem pemerintahannya. Pemerintah menjamin keberadaan Desa Adat dan Desa Dinas, hal ini dapat dilihat dari dasar hukum yang mengaturnya, terutama dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dalam pasal 18 dinyatakan bahwa; Pasal 18 B (1) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan UndangUndang. Pasal 18 B ( 2 ) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang. Pengakuan keberadaan terhadap Desa adat diatur dalam UUD 1945 pasal 18, kemudian diatur kembali berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa; Daerah Negara Republik Indonsia tersusun dalam tiga tingkatan, Propinsi, Kabupaten (kota besar), dan Desa (Kota kecil) yang disebut Nagari, Marga dan sejenisnya, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yang telah berdiri menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 di antaranya Desa, Marga, Nagari dan sebagainya, berjalan terus sampai adanya pembentukan pemerintahan untuk menggabungkan Desa yang satu dengan Desa yang lainnya. Tetapi ide penggabungan desa-desa tersebut sampai sekarang belum bisa dilaksanakan. Penyeragaman tentang desa semakin meluas bergulir, dengan diundangkannya UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja. Upaya penyeragaman ini belum dapat dilaksanakan. Terutama penyeragaman Desa Adat. Keberadaan Desa Adat pada masa setelah kemerdekaan, ditinjau dari segi bentuk dan fungsi organisasi tradisional yang disebut dengan Desa Adat, sangat berpariasi dan perbedaannya sangat nampak. Oleh karena demikian keberadaan Desa Adat di Bali dapat diklasifikasikan menjadi; 1) Desa Tua (Desa Bali Age) yang di pegunungan, ciri-cirinya ádalah susunan pengurus
Eksistensi Desa Pakraman Dalam... (I Wayan Suarjaya)
masih murni menggunakan istilah-istilah dalam trdiri Bali Kuno, sistem keagamaannya masih kuat pengaruh kepercayaan Bali Kuno, Sangat yakin terhadap Roh Leluhur, Dewa-Dewa kekuatan alam, (Gunung, Danau, Laut, Bumi, Matahari, Bulan, Bintang, Hutan dll). 2) Desa Apanaga, (Bali madya), ciri - cirinya, tugas pokok dan susunan pengurusnya diwarnai oleh sistem kerajaan daerahnya masingmasing. Tata keagamaannya telah dipengaruhi dengan sistem Hindu Jawa, munculnya strata masyarakat dalam bentuk soroh-soroh. 3) Desa Anyar (Bali modern) ciri-cirinya desa yang telah dilengkapi dengan dasar hukum tertulis dalam bentuk Awig-Awig, hukum tak tertulis dalam bentuk perarem, tata organisasi dan tata kerjanya telah dipengaruhi oleh sistem Organisasi modern. Masing -masing jenis desa tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda yang dilandasi dengan prinsip (Desa , Kala, Patra). Masa Orde Baru, kebijakan penyeragaman desa makin ditingkatkan, melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1979, tentang pemerintahan desa, dibangun hubungan yang jelas antara Pemerintah Desa dengan Pemerintah Pusat. Pada masa pengaturan desa secara sentralistik melalui penyeragaman desa, Desa Adat kurang mendapatkan forsi dalam pelayanan Publik, sedangkan Desa Dinas mempunyai peranan yang lebih besar dalam pengaturan rumah tangga di desa. Reformasi yang melanda Indonesia Sejak 1998 mengakibatkan pergeseran paradigma dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Paradigma penyeragaman otonomi daerah, berubah menjadi paradigma kemajemukan penyelenggaraan otonomi daerah melalui perubahan UU No. 5 Tahun 1979 menjadi UU No 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah. Istilah Desa dalam UU No. 22 Tahun 1999, disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat seperti Nagari, Kamping, Huta, Bari dan Marga. Pengertian desa dalam Undang-Undang ini ádalah Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai satu kesatuan masyarakat hukum, yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa. Landasan pemikiran mengenai desa ádalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Kebijakan yang tertuang dalam UU No. 22 Tahun 1999 disempurnakan lagi dalam UU No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang pemerintahan desa, dari 1945 sampai 2005 memberikan posisi eksistensi Desa Pakraman, mengalami pasang surut, hal ini terbukti mulai dari Indonesia merdeka sampai saat ini, kedudukan Desa Pakraman di Negara Kesatuan Republik Indonesia masih tetap eksís. Kedudukan dan peranan Desa Pakraman, telah diakomodir dalam dua Peraturan Daerah Bali. Pertama dalam Peraturan Daerah Bali No. 6 Tahun 1986 tentang kedudukan, fungsi dan peranan Desa Adat . Kedua dalam Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2003 tentang perubahan atas Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman. Perubahan Peraturan Daerah No. 6 Tahun 1986 yang disempurnakan dalam Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2003. Perlu dimaklumi bahwa Pengertian Desa Adat menurut Peraturan Daerah tersebut tidaklah berarti mengubah kedudukan, fungsi dan peranan Desa Adat sebagaimana yang telah berjalan sebelumnya. Perubahan yang nampak ádalah perubahan istilah dari Desa Adat menjadi Desa Pakraman, serta penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi saat ini dalam rangka menyikapi arus reformasi dan globalisasi yang terjadi secara dinamis di masyarakat. Berdasarkan rumusan Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2003 yang dimaksud dengan Desa Pakraman adalah; kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa, yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut jelas nampak bahwa unsur-unsur yang menjadi syarat pokok berdirinya sebuah Desa Pakraman ádalah sebagai berikut; 1) Kesatuan masyarakat Hukum Adat di Provinsi Bali. 2) Mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun. 3) Mempunyai ikatan Kahyangan Tiga (Pura Puseh, Dalem, Desa). 4) Mempunyai wilayah tertentu. 5) Mempunyai harta kekayaan sendiri. 6) Berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Sebagai kesatuan masyarakat Hukum Adat, berarti Desa Pakraman/Desa Adat, diikat oleh Adat istiadat atau hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat setempat. Hukum Adat yang tumbuh dari masyarakat dikenal dengan Awig-Awig, 125
MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 120-130
yang dijadikan landasan tertulis dalam pengaturan rumah tangga sendiri. PELESTARIAN ADAT DAN BUDAYA Para pakar telah memberikan difinisi yang berbedabeda, sesuai dengan sudut pandang dan kepakarannya masing-masing. Yan Breman meyatakan bahwa adat berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Adat adalah kebiasaan sikap dan prilaku pribadi seseorang, yang dianggap sebagai status kepatutan, diwarisi secara turun temurun, diyakini sebagai norma hukum, sehingga wajib dipatuhi oleh masyarakat. Pakar hukum Adat menyatakan bahwa Adat adalah tradisi yang diwarisi secara turun temurun yang dijadikan hukum tidak tertulis, yang Sangat dipatuhi oleh masyarakatnya, pelanggaran dari Adat ini, sangsinya dalam bentuk sangsi sosial. Pengertian adat, diperkenalkan oleh Belanda di Bali, sebagai tradisi yang kuat dan melekat dalam kehidupan bermasyarakat, berkembang sesuai dengan tuntutan masyarakatnya. Kemudian muncullah istilah hukum Adat. Desa Pakraman yang pada mulanya sebagai organisasi tradisional, yang mempunyai tugas pokok dan fungís melayani dan melaksanakan Upacara Keagamaan, sering disebut dengan Upacara Adat. Organisasi tradisional yang melaksanakan Upacara keagamaan, kemudian disebut dengan Desa Adat. Penggunaan istilah Desa Adat sangat berakar di masyarakat, sehingga sebutan untuk upacara Agama disebut juga dengan Upacara Adat. Sejak zaman Reformasi penggunaan istilah Adat, diluruskan kembali, istilah Desa Adat di kembalikan menjadi Desa Pakraman, dan upacara adat diganti menjadi Upacara Agama. Kehidupan Adat Budaya dan Agama Hindu di Bali, merupakan satu kesatuan yang utuh, tidak bisa dipisahkan. Adat dan Budaya dijiwai oleh filsafat Agama, sedangkan pelaksanaan Upacara keagamaan dikemas melalui Adat dan Budaya, tak ubahnya bagaikan sebutir telor, ada kulit, putih dan kuning telur, Kelihatannya bisa dibedakan, tetapi ketiganya saling melengkapi dan ketergantungan, salah satunya rusak maka telur tersebut tidak bisa menetas. Pada mulanya nilai-nilai luhur adat dan budaya tersebut adalah dipersembahkan untuk Agama. Contoh riil, seni ukir, tari, tabuh, tata kemasyarakatan dipersembahkan untuk kepentingan Agama di Pura,
126
sehingga muncul seni Sakral. Seni yang khusus untuk kepentingan tata keagamaan, kemudian berkembang sesuai dengan perkembangan dan kemampuan manusia, beralih dari sakral menjadi propan, seperti bangunan rumah menyerupai bentuk pura, tarian sakral dipentaskan sebagai pertunjukan hiburan, Pelestarian Adat dan Budaya di Bali sangat besar peranannya Desa Pakraman, dengan melibatkan dari berbagai pihak yang terkait. Adat dan Budaya pada awalnya tumbuh dilingkungan Desa Pakraman, terutama di Banjar – Banjar tumbuh dan berkembang berbagai jenis Budaya, kini bukan tumbuh dan berkembang di Desa Pakraman saja, melainkan disemua lini, termasuk di lembaga Pendidikan, Instansi Pemerintah maupun Swasta. Konflik dan Pengaruh Partai Politik Perkembangan Desa Pakraman dari masa-kemasa, telah menunjukkan peranannya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam bidang Upacara keagamaan, serta pelayanan dalam bidang sosial kemasyarakatan, yang diwujudkan melalui konsep menyama braya, segilik – seguluk, selunglung sayantaka . Perkembangan lebih lanjut kebersamaan dan keharmonisan hidup dalam konteks Desa Pakraman, dilandasi oleh falsapah Tri Hita Karana.. Peranan Desa Pakraman dianggap sebagai benteng menjaga tetap tegak dan kokoh berdirinya Agama Hindu di Bali. Konsep menyama braya, tercermin sikap kekeluargaaan, yang merasakan sesama umat manusia ádalah bersaudara, semua umat manusia ádalah sama-sama ciptaan Tuhan, sesuai dengan konsep Tattwam Asi, yang memberikan inspirasi bahwa kodrat manusia ádalah sama. Manusia menjadi berbeda, karena kelahiran, pendidikan, sifat dan prilakunya yang berbeda. Perbedaan tersebut mengkristal menjadi kelompok-kelompok dalam masyarakat sesuai dengan jati dirinya masing-masing. Gilik Saguluk memberikan pedoman kepada masyarakat agar bersatu, saling bantu-membatu menumbuhkan rasa gotong-royong yang kuat, sesuai dengan profesinya masing-masing. Sedangkan Selulunglung sabayantaka menumbuhkan rasa kebersamaan dalam tanggung jawab bersama dalam menghadapi suka maupun duka dalam kehidupan masyarakat. Peranan Desa Pakraman adalah mengemban wacana kebersamaan dari segi
Eksistensi Desa Pakraman Dalam... (I Wayan Suarjaya)
pelaksanaan ajaran agama, serta dalam kehidupan berbudaya sebagai potensi menguatkan peranan agama, adat dan budaya menjadi satu kesatuan yang utuh. Desa Pakraman juga berfungsi sebagai benteng pelestarian budaya dan adat Bali.
adanya pandangan yang berbeda dari sekelompok masyarakat yang membawa nama atau mengatasnamakan Desa Pakraman; 2) konflik dari unsur Pawongan. Salah satu sumber konflik dibidang pawongan adalah pengaruh partai politik.
Arus globalisasi yang terjadi saat ini membawa dampak yang signifikan terhadap perkembangan Adat di Bali. Ditengah kemajuan intlektual masyarakat Bali disertai dengan perkembangan modernisasi, justru banyak kasus adat yang mencuat. Konflik perbatasan, kasus perebutan kuburan, pemekaran Desa Pakraman dan kasus kesepekang. Permasalah yang muncul ini memperlihatkan rasa Sagilik – saguluk paras paros sarpanaya , hidup berdampingan kian makin rapuh. Ketahanan masyarakat tradisional yang memperkuat ajeg Bali, makin rapuh. Perkembangan peranan Desa Pakraman, lambat laun tentu ada suka dan duka yang dihadapi, sesuai dengan konsep rwa bhineda dua unsur yang selalu berdampingan. Peranan Desa Pakraman dalam membina dan memberikan pelayanan kepada masyarakat, sering muncul bibit konflik di masyarakat, baik konflik individu dengan individu, maupun individu dengan masyarakat. Konflik diartikan sebagai perbedaan, pertentangan dan perselisihan.
Tatanan kehidupan Politik, melekat pada masyarakat. Partai Politik dalam mencari anggota, terutama dukungan dalam Pemilihan Umum, selalu melibatkan masyarakat. Para elit politik, mencari dukungan melalui tokoh-tokoh masyarakat, tokoh Agama, tokoh adat, untuk menyampaikan visi dan missinya, selanjutnya melibatkan anggota masyarakat termasuk Kerama Desa Pakraman. Kegiatan Partai Politik banyak yang mempengaruhi pengurus Desa Pakraman, serta melibatkan anggota (Kerama). Berdasarkan hasil penelitian diketemukan bahwa mulai zaman kerajaan Bali Kuno, pengaruh politik telah masuk ke Desa Pakraman. Perintah raja dijadikan dasar dalam mengatur tata kehidupan bermasyarakat, beragama dan berbudaya. Munculnya pengelompokan masyarakat berdasarkan atas wangsa/kasta di Bali, sangat dipengaruhi oleh Politik Pemerintahan pada saat itu. Pada zaman sebelum masuknya pengaruh kerajaan terutama pengaruh raja-raja Jawa, di Bali belum dikenal Catur Wangsa/ Kasta, Hal ini dapat dibuktikan desa-desa tua di Bali tidak dikenal istilah catur wangsa/Kasta.
Berdasarkan hasil pemantauan menunjukkan bahwa sumber konflik di Bali sangat banyak baik ditinjau dari segi idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya, Suku, Agama dan Ras (Sara) karena terjadi perbedaan pandangan, pemahaman, serta persaingan yang sangat ketat. Konflik yang terjadi dalam lingkungan Desa Pakraman, teori konflik yang dinyatakan oleh Daniel Webster, ada unsur positipnya karena konflik di Desa Pakraman lebih dominan konflik individu, konplik politik, dibawa ke masyarakat, kedalam kancah Desa Pakraman, Pengaruh Politik praktis pada saat kampanye, berdampak terjadinya konplik di masyarakat, yang berpengaruh juga dalam tata kehidupan Desa Pakraman. Perbedaan aspirasi politik oleh anggota masyarakat, pada saat mencari pengikut dan dukungan suara pada saat pemilihan umum, Pilkada, Pilkades, mengakibatkan dendam politik. Ini menunjukkan kesadaran masyarakat berdemokrasi belum matang. Tidak disadari perbedaan itu indah. Konflik yang muncul di Desa Pakraman dapat digolongkan menjadi tiga jenis konplik yaitu 1) konflik dari unsur Parhyangan, Konflik ini muncul akibat
Belanda memanfaatkan kondisi masyarakat untuk memecah belah persatuan dan kesatuan masyarakat di Bali untuk menanamkan kekuasaannya menjajah Bali. Raja-raja dukuasai satu persatu, dengan demikian sistem pemerintahannya berpengaruh pula terhadap tatanan Desa Pakraman. Pengaruh Politik terhadap Desa Pakraman berkelanjutan sampai zaman kemerdekaan hingga sekarang. Hal ini terbukti, bahwa setiap terjadi perubahan kondisi politik, berpengaruh juga terhadap tatanan dalam Desa Pakraman. Bukti menunjukkan bahwa pada masa Kampanye menjelang Pemilihan Umum, Pemilihan Kepala Daerah, maupun pemilihan Kepala desa, suhu politik semakin memanas. Untuk mendapatkan pendukung yang kuat, ada usaha-usaha untuk melaksanakan persembahyangan bersama, memanfaatkan Kerama Desa, untuk menyatakan ketetapan hati aspirasi politiknya, dengan melaksanakan sumpah bersama untuk memilih partai politik tertentu. Model partai politik semacam ini, berkelanjutan sampai sekarang. Para elit politik
127
MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 120-130
melaksanakan dharma Suaka, Sima Krama ke desa Pakraman, dengan berbagai jenis janji yang akan diberikan jika memilih Partai Politiknya dalam kegiatan Pemilu/Pilkada/Pilperes. Kasus banyak muncul, elit politik yang telah memberikan sesuatu kepala desa Pakraman, jika tidak mendapatkan suara yang dikehendaki dalam Pemilihan, maka bantuan yang dulu telah diberikan ditarik kembali, sehingga sering berdampak konflik di masyarakat. Konflik akibat ketidak harmonisan diantara kerama, akibat dari melanggar ketentuan awig-awig, dengan sangsi paling berat yaitu kesepekang. Sangsi kesepekang sudah diupayakan oleh Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali agar tidak diberlakukan lagi. Konflik dari unsur Palemahan, seperti masalah kuburan, pelaba pura, tanah ayahan desa, tapal batas desa dan yang sejenisnya Tidak dapat dipungkiri bahwa didalam kehidupan manusia. konflok selalu muncul baik dalam kehidupan berumah tangga, pribadi, kelompok, bermasyarakat, bahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konflik yang lebih luas lagi antar negara di dunia, sebagai bagian dari peradaban umat manusia. Konflik muncul sebagai konsekwensi dari interaksi sosial. Kenyataan di lapangan kita jumpai berbagai konflik dikalangan Desa Pakraman yang telah disebutkan tadi. Jika direnungkan secara hati nurani, semestinya masalah kuburan tidak semestinya dijadikan konflik, kuburan di Bali sistemnya tidak sama dengan di Jawa, sebab dengan sitem Setra, dipergunakan untuk Ngaben. Kuburan/setra sepanjang masa tidak akan habis-habisnya. Tapal batas desa, dijadikan konflik, jika dikaji lebih mendalam, yang menjadikan konflik tersebut salah satu unsurnya adalah masalah penghasilan atau keuntungan dari wilayah tersebut. Konflik tentang pemekaran Kahyangan Tiga, semestinya tidak perlu dipermasalahkan, karena pemekaran tersebut tidak mengambil hak-haknya dalam Desa Pakraman asalnya, sedangkan mereka rela membangun sendiri sesuai dengan persyaratan berdirinya sebuah Desa Pakraman. Pengembangan Desa Pakraman, dianggap wajar-wajar saja, mengingat perkembangan wilayah dan jumlah kerama desa yang semakin meningkat, agar dapat memberikan kesempatan dan berbuat yang lebih baik dalam melaksanakan Swadharmanya dalam melaksanakan ajaran agamanya masing-masing.
128
Perkembangan Desa Pakraman di Bali berdasar data dari tahun 2000 jumlah Desa Pakraman 1376, sedangkan pada tahun 2008 tercatat 1.453 berarti telah berkembang 123 desa Pakraman yang baru,berarti ada kenaikan pemekaran desa menjadi 5,3%. Pemekaran Kahyangan Tiga yang berdampak pemekaran Desa Pakraman, suatu hal yang positif, yang perlu disikapi dengan langkah yang arif dan bijaksana, hendaknya dilakukan dengan keterbukaan dengan musyawarah untuk mupakat. Konplik diantara anggota banjar atau kerama desa, kebanyakan sumbernya adalah dendam pribadi, selisih pendapat atau sikap dalam kehidupan sehari-hari di bawa ketingkat Desa. Secara esensial konflik antar warga ini diakibatkan oleh sikap seseorang yang melanggar awig-awig, yang diakibatkan oleh berbagai faktor, ekonomi, politik, lapangan kerja. Salah satu contoh anggota masyarakat yang mencari pekerjaan dirantauan, sehingga tidak mungkin bisa ngaturang ayah di Desa, disisi lain mereka diwajibkan turun ke desa ngaturang ayah-ayahan desa. Teknik Penyelesaian Konflik Konflik merupakan pertentangan hubungan kemanusiaan, baik secara intrapersonal maupun extrapersonal yang diibaratkan bagaikan api yang dapat membakar dan menjalar kemana-mana. Jika api sudah membesar maka sulit akan di padamkan, sedangkan pada saat kopek api disulutkan orang, jika cepat dimatikan maka dengan mudah bisa di padamkan. Demikian pula halnya dengan konflik di masyarakat jika berlarut-larut, akan timbul rasa dendam yang berkempanjangan pada akhirnya bisa meledak membakar sedesa. Proses terjadinya konflik bermula dari tekanan frustrasi/kekecewaan, kemudian ditumpahkan dalam bentuk emosi kepada orang lain, untuk memperkuat dan mendukung perasaan tersebut, mencari pelampiasan emosionalnya kepada orang lain dan membentuk kelompok. Perasaan frustrasi dalam diri, yang tak terkendalikan akan menimbulkan konflik terbuka. Sedangkan tekanan batin yang terkendalikan dan diikuti dengan kesadaran akan bahaya yang timbul, maka salah satu jalan untuk menyelesaikan konflik, adalah kesadaran hati nurani, serta kesabaran mengendalikan emosi. Para pakar manajemen konflik, banyak cara yang ditawarkan untuk penyelesaian konflik, salah satu
Eksistensi Desa Pakraman Dalam... (I Wayan Suarjaya)
diantaranya Nadder Todd, dalam Pusat Kerukunan Umat beragama Departemen Agama RI menyatakan bahwa penyelesaiaan konflik dapat dilakukan dengan beberapa cara; 1) Bersabar (lumping) Suatu tindakan yang merujuk kepada dua belah pihak untuk sabar, serta menyadari konflik akan membahayakan kehidupan, serta menjauhi sikap konflik semua permasalahan diselesaikan dengan sikap yang sabar, jangan emosional, jauhi kekerasan. 2) Menghindar, yaitu suatu tindakan untuk menghindar dari bentrok fisik. Keputusan untuk meninggalkan konflik didasarkan pada pertimbangan bahwa konplik yang terjadi atau yang dibuat tidak memiliki kekuatan secara sosial, ekonomi dan emosional. 3) Menjalankan sikap yang tegas (keras/paksa), tindakan yang diambnil harus tegas sesuai dengan ketentuan Awig-Awig ,dengan mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan. 4) Negosiasi (negotiation) tindakan penyelesaian konflik dapat dilakukan bersama-sama oleh orang-orang yang berkonflik, melaksanakan negosiasi mencari solusi terbaik tanpa ngandap kasor (tanpa ada perasaan menang dan kalah). 5) Mediasi, yakni penyelesaian konflik dengan melibatkan orang ketiga sebagai mediator, untuk dapat penyelesaian dengan sebaikbaiknya. Pihak ketiga ini bisa dilaksanakan oleh Pemerintah atau bisa dipilih oleh pihak-pihak yang berkonflik. 6) Arbitrase, maksudnya kedua belah pihak setuju kehadiran pihak ketiga yang memiliki otoritas hukum, mereka sebelumnya harus setuju dan menerima atas keputusan yang diambil oleh pihak ketiga tersebut. 7) Penyelesaian terakhir melalui meja perundingan atau diselesaikan lewat pengadilan, penyelesaian ini adalah jalan terakhir apabila jalur lain tidak bisa di tempuh. Berdasarkan teori penyelesaiaan konflik tersebut di atas, dapat dilakukan dengan berbagai teori. Teori penyelesaian konflik tidak dapat dilihat dari satu sisi saja, tetapi harus dilihat dari berbagai dimensi, dari akar permasalahan, sampai munculnya koflik. Tradisi di Bali penyelesaian konflik yang arif dan bijaksana, lebih banyak dilakukan secara musyawarah mufakat dalam sangkep Desa/Banjar. Duduk bersama- sama untuk memahami, mengikuti prosedur awig-awig dan dresta yang berlaku Pemerintah Daerah Bali maupun Kabupaten/Kota dengan melibatkan yang terkait pwmbinn Desa Pakraman, telah banyak melakukan pembinaan dalam rangka peningkatan kualitas
pelayanan, serta memperkecil volume konflik di masyarakat. Langkah pembinaan yang diambil melalui penyuluhan ke masyarakat, serta mempercepat penyelesaian penulisan Awig-Awig, bagi desa yang belum memiliki awig-awig. Pembinaan yang rutin dilaksanakan melalui kegiatan lomba Desa Pakraman, disamping kegiatan tersebut, juga mendapatkan bantuan secara berkala tiap tahun baik untuk Lembaga Perkreditan Desa, maupun untuk rehab bangunan pura.Pembinaan telah dilaksanakan, tetapi konflik masih saja tumbuh di masyarakat, karena kesadaran untuk mengendalikan diri dari sifat emosional belum tumbuh dengan baik. SIMPULAN Berdasarkan uraian tentang Eksistensi Desa Pakraman dari zaman Bali Kuno sampai dengan zaman reformasi dapat disimpulkan sebagai berikut: munculnya organisasi tradisional di Bali, mulai sejak adanya masyarakat di Bali. Pada zaman Bali Kuno, telah ada desa yang sejenis dengan Desa Pakraman. Tugas pokok dan fungsinya adalah menjaga kesinambungan hidup masyarakat dari gangguan pihak lain dan kerasnya gangguan alam, memberikan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakatnya. Istilah Desa Pakraman tetap dipergunakan pada saat kerajaan sampai dengan masuknya pengaruh Majapahit di Bali. Eksistensi Desa Pakraman, semakin berkembang, karena dipercaya oleh Raja, disamping tugas pokoknya di bidang agama, budaya dan adat, juga diberikan tugas-tugas pemerintahan kerajaan. Desa Pakraman diganti istilahnya menjadi Desa Adat sejak pemerintahan kolonial Belanda. Tugas pokoknya dikembalikan pada semula, yakni pelayanan dan pembinaan kepada masyarakat, khusus dibidang Agama Hindu, Adat dan budaya. Tugas untuk melayani pemerintahan Belanda, dibentuk Dienst (pejabat yang berdinas melayani pemerintah) kemudian setelah Indonesia merdeka menjadi Desa Dinas. Pada zaman Republik Indonesia, eksistensi Desa Pakraman mengalami pasang surut. Pada awalnya eksistensi Desa Pakraman sangat kuat dalam memberikan pelayanan publik. Pada saat penyeragaman pemerintahan desa di Indonesia, Desa Pakraman dimarginalkan, Desa Dinas yang lebih dominan dalam kedudukannya di masyarakat.
129
MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 120-130
Berdasarkan perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi otonomi daerah, kembali eksistensi Desa Pakraman lebih berakar di masyarakat. Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi Desa Pakraman, tidak bisa dihindari banyak konflik yang terjadi, terutama dalam unsur Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan. Pengaruh Politik praktis pada saat kampanye, berdampak terjadinya konflik di masyarakat, yang berpengaruh juga dalam tata kehidupan Desa Pakraman. Pengaruh politik terhadap tatanan kehidupan, melekat pada masyarakat. Partai Politik dalam mencari anggota, terutama dukungan dalam Pemilihan Umum, selalu melibatkan masyarakat. Para elit politik, mencari dukungan melalui tokoh-tokoh masyarakat, tokoh Agama, tokoh adat, untuk menyampaikan visi dan missinya, selanjutnya melibatkan anggota masyarakat termasuk kerama desa Pakraman. Kegiatan Partai Politik banyak yang mempengaruhi pengurus Desa Pakraman, serta melibatkan anggota (Kerama). Perbedaan aspirasi politik oleh anggota masyarakat, pada saat mencari pengikut dan dukungan suara pada saat Pemilihan Umum, Pilkada, Pilkades, mengakibatkan dendam politik sehingga menimbulkan konflik. Ini menunjukkan kesadaran masyarakat berdemokrasi belum matang. Tidak disadari perbedaan itu indah. Maka dengan demikian hendaknya dihindari menggunakan lembaga Agama, simbul-simbul Agama dalam kegiatan Partai Politik. Rekomendasi untuk penyelesaian konflik, hendaknya dapat ditempuh melalui musyawarah dengan mengedepankan unsur ajaran Agama Hindu, untuk mencapai keharmonisan dalam beragama, keharmonisan dalam bermasyarakat, dan keharmonisan antara manusia dengan lingkungan. Pemerintah Daerah baik di Provinsi dan Kabupaten Kota, telah banyak memberikan kontribusinya dalam rangka penyelesaiaan kasus-kasus, melalui pembinaan dan bantuan baik moril maupun matriil. Salah satu upaya dalam pembinaan tersebut adalah melalui Pembinaan dan Lomba Desa Pakraman, yang dilaksanakan secara berkala. Dalam rangka menjaga keutuhan eksistensi Desa Pakraman dalam mengemban vissi dan missi sebagai benteng pembinaan dan perlindungan terhadap umat Hindu di Bali, hendaknya semua pihak memberikan konteribusi yang memadai. kepada Desa Pakraman,
130
terutama Pemerintah Daerah, Majelis Desa Pakraman, Parisada Hindu dharma, bersama-sama dengan komponen lainnya, ikut bertanggungjawab keutuhan dan kelangsungan Desa Pakraman. DAFTAR RUJUKAN Mary Jo, Hatch. (1997), Organization Theory, Modern, Symbolic, and Postmodern Perspectives, Oxford University Press, London. Koentjaraningrat. (tt), Masyaraka Desa di Indonesia masa ini, Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Liefrinck, F. A. (1927), Bali en Lombok, J.H Bussy, Amsterdam. Meenakshisundaram, SS. (1999), Decentralization in Devloping Countries, New Delhi. Parimartha, I Gede. (2003), Memahami Desa Adat, Desa Dinas dan Desa Pakraman,, Denpasar, Universitas Udayana, Denpasar. Peraturan Daerah No. 6 Tahun 1986, Tentang Desa Adat, Denpasar, Proyek Pemerintah Daerah Propinsi Bali Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2003 , Tentang Desa Pakraman, Proyek Dinas Kebudayaan Propinsi Bali, Denpasar Mewhood, Phililip. (1983), Local Government in the Third World; The Experience of Tropical Africa, Jhon Welly and Sons, New York. Surpha, I Wayan. (2004), Eksistensi Desa Adat dan desa Dinas di Bali, Pustaka Bali Post, Denpasar. Walholf. (l960), Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Timun Mas, Jakarta.
Indeks Pengarang Jurnal Seni Budaya MUDRA Volume 25 No. 2 SEPTEMBER 2010
Darma Oka, I Made., 150 Gede Rai, Anak Agung., 101 Herawati, S. Hesti., 185 Ruastiti, Ni Made., 108 Suarjaya, I Wayan., 120 Suartika, I Gusti Ayu Made., 131 Suka Yasa, I Wayan., 159 Supriyanto., 172
198
Daftar Nama Mitra Bestari sebagai Penelaah Ahli Tahun 2010 Untuk Penerbitan Volume 25 No. 1 JANUARI 2010 dan Volume 25 No. 2 SEPTEMBER 2010 semua naskah yang disumbangkan kepada Jurnal Seni Budaya Mudra telah ditelaah oleh para mitra bestari (peer reviewers) berikut ini
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
I Wayan Rai S. (Institut Seni Indonesia Denpasar) ethnomusicologist Sardono W. Kusumo (Institut Kesenia Jakarta) dance Sal Margianto (Institut Seni Indonesia Yogjakarta) dance Ron Jenkins (Wesleyan University-USA) theatre I Nyoman Sirtha (Universitas Udayana Denpasar) sastra Ni Luh Sutjiati Beratha (Universitas Udayana Denpasar) sastra Soegeng Toekio M (Institut Seni Indonesia Surakarta) visual arts M. Dwi Maryanto (Institut Seni Indonesia Yogjakarta) visual arts Jean Couteau (Pengamat Seni tinggal di Bali) sociologist of art I Wayan Geria (Universitas Udayana Denpasar) anthropology I Made Suastika (Universitas Udayana Denpasar) sejarah Ida Bagus Gde Yudha Triguna (Universitas Hindu Denpasar) religion Ketut Subagiasta (Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar) religion Jean Couteau (Pengamat seni tinggal di Bali)
Penyunting Jurnal Seni Budaya Mudra menyampaikan peng-hargaan setinggi-tingginya dan terima kasih sebesarbesarnya kepada para mitra bestari tersebut atas bantuan mereka.
PETUNJUK UNTUK PENULIS JUDUL NASKAH (all caps, 14 pt, bold, centered) (kosong satu spasi tunggal, l4 pt) Penulis Pertamal, Penulis Kedua2, dan Penulis Ketiga3 (12 pt) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt) 1. Nama Jurusan, Nama Fakultas, Nama Universitas, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara (10 pt) 2. Kelompok Penelitian, Nama Lembaga, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara (10 pt) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt) E-mail: penulis@ address. com (10 pt, italic) (kosong dua spasi tunggal, 12 pt) TITLE (All caps, 14 pt, bold, centered) (Blank, one single space of 14 pt) First Authorl, Second Author2, and Third Author3 (12 pt) (Blank, one single space of 12 pt) 1. Department’s Name, Faculty’s Names, University’s Name, Address, City, Postal Code, Country (10 pt) 2. Reseach Group, Institution’s Name, Address, City, Postal Code, Country (10 pt) (Blank, one single space of l2 pt) E-mail: writer@ address. com (10 pt, italic) (Blank, two single spaces of 12 pt) Abstrak (12 pt, bold) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt) Abstrak harus dibuat dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa Inggris. Abstrak bahasa Indonesia ditulis terlebih dahulu lalu diikuti abstrak dalam bahasa Inggris. Jenis huruf yang digunakan Times New Roman, ukuran 10 pt, spasi tunggal. Abstrak sebaiknya meringkas isi yang mencakup tujuan penelitian, metode penelitian, serta hasil analisis. Panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata. (kosong dua spasi tunggal, l2 pt) Title in English (12 pt, bold) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt) Abstrak1 (12 pt, bold) (Blank, one single space of 12 pt) Abstract should be written in Indonesian and English. An English abstract comes after an Indonesian abstract. The abstract is written in Times New Roman font, size 10 pt, single spacing. Please translate the abstract of manuscript written in English into Indonesian. The abstract should summarize the content including the aim of the research, research method, and the results in no more than 250 words. (blank, one single space of 12 pt) Keywords: maximum of 4 words in English (10 pt, italics) (blank, three single spaces of 12 pt)
PENDAHULUAN (12 pt, bold) (satu spasi kosong, 10 pt)
Introduction (12 pt, bold) (blank, one single space of 10 pt)
Naskah ditulis dengan Times New Roman ukuran 11 pt, spasi tunggal, justified dan tidak ditulis bolak-balik pada satu halaman. Naskah ditulis pada kertas berukuran A4 (210 mm x 297 mm) dengan margin atas 3,5 cm, bawah 2,5 cm, kiri dan kanan masingmasing 2 cm. Panjang naskah hendaknya tidak melebihi 20 halaman termasuk gambar dan tabel. Jika naskah jauh melebihi jumlah tersebut dianjurkan untuk menjadikannya dua naskah terpisah. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Jika ditulis dalam bahasa Inggris sebaiknya telah memenuhi standar tata bahasa Inggris baku. Judul naskah hendaknya singkat dan informatif serta tidak melebihi 20 kata. Keywords ditulis dalam bahasa Inggris diletakkan akhir abstrak.
The manuscript should be printed with Times New Roman font, size 11 pt, single spaced, justified on each sides and on one side of an A4 paper (210 mm x 297 mm). The margins are 3.5cm from the top, 2.5 cm from below and 2 cm from each side. The manuscript must not exceed 20 pages including pictures and tables. When the manuscript go far beyond that limit the contributors are advised to make it into two separate papers. The manuscript is written in Indonesian or English. When English is used strict adherence to English grammatical rules must be applied. The title should be short and informative, and does not go over 20 words. Keywords are in English and presented at the end of the abstract.
Penulisan heading dan subheading diawali huruf besar dan diberi nomor dengan angka Arab. Sistematika penulisan sekurang-kurangnya mencakup Pendahuluan, Metode Penelitian, Analisis dan Interpretasi Data, Simpulan , serta Daftar Rujukan. Ucapan Terima Kasih/Penghargaan (jika ada) diletakkan setelah Simpulan dan sebelum Daftar Rujukan. Headings dalam bahasa Inggris disusun sebagai berikut: Introduction, Method, Results and/ or Discussion, Conclusion. Acknowledgement (jika ada) diletakkan setelah Conclusion dan sebelum Reference. Sebaiknya, penggunaan subsubheadings dihindari. Jika diperlukan, gunakan numbered outline yang terdiri dari angka Arab. Jarak antara paragraf satu spasi tunggal.
The beginnings of headings and subheadings should be capitalized and given Arabic numbering. The parts of the manuscript should at least include an Introduction, Method, Results and/or Discussion, Conclusion and References. When there is an acknowledgment, it should be put after the conclusion but before references. Usage of sub-subheadings should be avoided. When needed, use numbered outline using Arabic numbers. The distance between one paragraph to the next is one single space.
Singkatan/Istilah/Notasi/Simbol Penggunaan singkatan diperbolehkan, tetapi harus dituliskan secara lengkap pada saat pertama kali disebutkan, lalu dibubuhkan singkatannya dalam tanda kurung. Istilah/kata asing atau daerah ditulis dengan huruf italic. Notasi, sebaiknya, ringkas dan jelas serta konsisten dengan cara penulisan yang baku. Simbol/ lambang ditulis dengan jelas dan dapat dibedakan, seperti penggunaan angka 1 dan huruf 1 (juga angka 0 dan huruf O).
Abbreviations/Terms/Symbols Abbreviations are allowed, but they should be written in full when mentioned for the first time, followed by the abbreviations inside the brackets. Foreign and ethnic terms should be italicized. Notation must be compact and clear, and consistently follows the accepted standard. Symbols are written clearly and easily distinguished, such as number 1 and the letter l (or number 0 and the letter O).
Tabel ditulis dengan Times New Roman berukuran 10 pt dan diletakkan berjarak satu spasi tunggal di bawah judul tabel. Judul tabel ditulis dengan huruf berukuran 9 pt (bold) dan ditempatkan di atas tabel dengan format seperti terlihat pada contoh. Penomoran tabel menggunakan angka Arab. Jarak tabel dengan paragraf adalah satu spasi tunggal. Tabel diletakkan segera setelah perujukkannya dalam teks. Kerangka tabel menggunakan garis setebal 1 pt. Jika judul pada setiap kolom tabel cukup panjang dan rumit, maka kolom diberi nomor dan keterangannya diberikan di bagian bawah tabel.
Tables are written with Times New Roman size 10pt and put one single space down below the tables’ titles. The titles are printed bold in the size of 9 pt as theyare shown in the example. The tables are numbered with Arabic numbers. The distance of a table with the preceding paragraph is one single space. The tables are presented after they are being referred to in the text. 1 pt thick lines should be used to outline the tables. If the titles for the columns are long and complicated, the columns should be numbered and the explanation of each number should be put below the table.
(kosong satu spasi, 10 pt)
(blank, one single space of 10 pt)
Wacana Estetika Posmodern Idealisme Mitologi Mimesis Imitasi Katarsis Transeden Estetika Pencerahan Teologisme Relativisme Subjektivisme Positivisme
Wacana Estetika Modern Rasionalisme Realisme Humanisme Universal Simbolisme Strukturalisme Semiotik Fenomenologi Ekoestetik Kompleksitas Etnosentris Budaya Komoditas
Wacana Estetika Postmodern Poststrukturalisme Global-Lokal Intertekstual Postpositivisme Hiperrealita Postkolonial Oposisi biner Dekonstruksi Pluralisme Lintas Budaya Chaos
Tabel 1. Wacana Estetika (sumber: Agus Sochari, 2002: 9) (Two single spaces of 10 pt)
Gambar diletakkan simetris dalam kolom halaman, berjarak satu spasi tunggal dari paragraf. Gambar diletakkan segera setelah penunjukkannya dalam teks. Gambar diberi nomor urut dengan angka Arab. Keterangan gambar diletakkan di bawah gambar dan berjarak satu spasi tunggal dari gambar.
Pictures are put in the center of page, one single space from the preceding paragraph. A picture is presented after it is pointed out in the text. Pictures are numbered using Arabic numbers. Information on the picture is put one single space down below the picture.
Penulisan keterangan gambar menggunakan huruf berukuran 9 pt, bold dan diletakkan seperti pada contoh. Jarak keterangan gambar dengan paragraf adalah dua spasi tunggal. Gambar yang telah dipublikasikan oleh penulis lain harus mendapat ijin tertulis penulis dan penerbitnya. Sertakan satu gambar yang dicetak dengan kualitas baik berukuran satu
The information should be written with the size of 9 pt and in bold according to the example. The information is two single spaces of 10 pt above the following paragraph. Permissions should be obtained from the authors and publishers for previously published pictures. Attached a full page of the picture with a good printing quality, or electronic file with
halaman penuh atau hasil scan dengan resolusi baik dalam format {nama file}.eps, {nama file} jpeg atau {nama file}.tiff. Jika gambar dalam format foto, sertakan satu foto asli. Gambar akan dicetak hitamputih, kecuali jika memang perlu ditampilkan berwarna. Font yang digunakan dalam pembuatan gambar atau grafik, sebaiknya, yang umum dimiliki setiap pengolah kata dan sistem operasi seperti Simbol, Times New Romans dan Arial dengan ukuran tidak kurang dari 9 pt. File gambar dari aplikasi seperti Corel Draw, Adobe Illustrator dan Aldus Freehand dapat memberikan hasil yang lebih baik dan dapat diperkecil tanpa mengubah resolusinya.
either formats: {file name}.jpeg, {file name}.esp or {file name}.tiff. If the picture is a photograph, please attach one print. Pictures will be printed in black and white, unless there is a need to have them in colors. It is advisable that the fonts used in creating pictures or graphics are recognized by most word processors and operation systems, such as Symbols, Times New Romans, and Arial with minimum size of 9 pt. Picture files from applications such as Corel Draw, Adobe Illustrator and Aldus Freehands have better quality and can be reduced without changing the resolution. (blank, one single space of 10 pt)
Kutipan dalam naskah menggunakan sistem kutipan langsung. Penggunaan catatan kaki (footnote) sedapat mungkin dihindari. Kutipan yang tidak lebih dari 4 (empat) baris diintegrasikan dalam teks, diapit tanda kutip, sedangkan kutipan yang lebih dari 4 (empat) baris diletakkan terpisah dari teks dengan jarak 1,5 spasi tunggal, berukuran 10 pt, serta diapit oleh tanda kutip.
The journal prefers direct quotation. The usages of footnotes should be avoided wherever possible. Quotations of no more than 4 lines should be integrated in the text and in between quotation marks. When the citation exceeds 4 lines, it should be put separately 1.5 single spaces away of 10 pt from the main text and put between quotation marks.
Setiap kutipan harus disertai dengan nama keluarga/ nama belakang penulis. Jika penulis lebih dari satu orang, yang dicantumkan hanya nama keluarga penulis pertama diikuti dengan dkk. Nama keluarga atau nama belakang penulis dapat ditulis sebelum atau setelah kutipan. Ada beberapa cara penulisan kutipan. Kutipan langsung dari halaman tertentu ditulis sebagai berikut (Grimes, 2001: 157). Jika yang diacu adalah pokok pikiran dari beberapa halaman, cara penulisannya adalah sebagai berikut (Grimes, 2001: 98-157), atau jika yang diacu adalah pokok pikiran dari keseluruhan naskah, cara penulisannya sebagai berikut (Grimes, 2001).
Every quotation must be followed by the family name of its author. When there is more than one author, only the first author’s family name is printed followed by et alia. The name or family name of the author can be mentioned before or after the quotation. There are some ways of writing quotations. Direct citation from a specific page is written as follows: (Grimes, 2001:15). When a reference is made to the main idea of a couple of pages, the following should be used: (Grimes, 2001: 98–157). When a reference is made to a text in general, the following should be used (Grimes, 2001).
Daftar Rujukan (kosong satu spasi tunggal, 10 pt)
List of References (Blank, one single space of 10 pt)
Penulisan daftar acuan mengikuti format APA (American Psychological Association). Daftar acuan harus menggunakan sumber primer (jurnal atau buku). Sebaiknya, acuan juga menggunakan naskah yang diterbitkan dalam jurnal MUDRA edisi sebelumnya. Daftar acuan diurutkan secara alfabetis berdasarkan nama keluarga/nama belakang penulis. Secara umum, urutan penulisan acuan adalah nama penulis, tanda titik, tahun terbit yang ditulis dalam dalam kurung, tanda titik, judul acuan, tempat terbit, tanda titik dua, nama penerbit. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak tiga orang. Jika lebih dari empat orang, tuliskan nama penulis utama dilanjutkan dengan dkk. Nama keluarga Tionghoa dan Korea tidak perlu dibalik karena nama keluarga telah terletak di awal. Tahun terbit langsung diterakan setelah nama penulis agar memudahkan penelusuran kemutakhiran bahan acuan. Judul buku ditulis dengan huruf italic. Judul naskah jurnal atau majalah ditulis dengan huruf regular, diikuti dengan nama jurnal atau majalah dengan huruf italic. Jika penulis yang diacu menulis dua atau lebih karya dalam setahun, penulisan tahun
The journal adheres to the APA format when it comes to list of references. Primary sources should be used (journals and books). It is wise to include previous works published in MUDRA. The references are listed alphabetically according to the authors’ family names. In general, the order of writing is the following: author’s name, period, title, place of publication, colon, publisher. The maximum number of authors mentioned for each reference is 3. When there are 4 authors, mention the main author followed by et.al. Chinese and Korean names do not need to be reversed because the family names are at the beginning. Year of publication should be printed right after the author to make it easier to note how up-todate the sources are. Titles are written in italics. Journal and magazine articles’ titles are written in regular letters, followed by the names of the journal or magazine in italics. If two or more cited works of the same author were published in the same year, the publishing years are followed by the letters a, b etc. For example: Miner, JB. (2004a), Miner, J.B. (2004b).
terbit dibubuhi huruf a, b, dan seterusnya agar tidak membingungkan pembaca tentang karya yang diacu, misalnya: Miner, J.B. (2004a), Miner, J.B. (2004b). Contoh penulisan daftar acuan adalah sebagai berikut:
namanya, dan pada tahun penerbitan ditambah huruf latin kecil sebagai penanda urutan penerbitan. Greenberg, Josepth H. (1957), Essays in Linguistics, University of Chicago Press, Chicago
Acuan dari buku dengan satu satu, dua, dan tiga pengarang Reference from books with one, two and three authors Anderson, Beneditct R.O.G. (1965), Mythology and the Tolerance of the Javanese, Southeast Asia Program, Departement of Studies, Cornell University, Ithaca, New York.
_________________. (1966a), Language of Africa, Indiana University Press, Bloomington.
Bandem, I Made & Frederik Eugene DeBoer. (1995), Balinese Dance in Transition, Kaja and Kelod, Oxford University Press, Kuala Lumpur. Kartodirjo, Sartono, Mawarti Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. (1997), Sejarah Nasional Indonesia, Jilid I, Balai Pustaka, Jakarta. Acuan bab dalam buku Reference from a book chapter Markus, H.R., Kitayama, S., & Heiman, R.J. (1996). Culture and basic psychological principles. Dalam E.T. Higgins & A.W. Kruglanski (Eds.); Social psychology: Handbook of basic principles. The Guilford Press, New York. Buku Terjemahan Translated Books Holt, Claire. (1967), Art in Indonesia: Continuities and Change atau Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, terjemahan R.M. Soedarsono. (2000), MSPI, Bandung. Read, Herber. (1959), The Meaning of Art atau Seni Rupa Arti dan Problematikanya, terjemahan Soedarso Sp. (2000), Duta Wacana Press, Yogyakarta. Beberapa buku dengan pengarang sama dalam tahun yang sama. A couple of books with similar authors in the same year Dalam hal ini nama pengarang untuk sumber kedua cukup diganti dengan garis bawah sepanjang
_________________. (1966b), “Language Universals”, Current Trends in Linguistics (Thomas A. Sebeok, ed.), Mounton, The Hangue, Artikel dalam Ensiklopedi dan Kamus Articles from Encyclopedia and Dictonary Milton, Rugoff. (tt), “Pop Art”, The Britannica Encylopedia of American Art, Encylopedia Britannica Educational Corporation, Chicago. Hamer, Frank & Janet Hamer. (1991), “Terracotta”, The potter’s Dictionary of Material and Technique, 3 Edition, A & B Black, London. Acuan naskah dalam jurnal, koran, dan naskah seminar Reference on a text in a journal, newspaper, and conference paper Hotomo, Suripan Sandi. (April 1994), “Transformasi Seni Kendrung ke Wayang Krucil”, dalam SENI, Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, IV/02, BP ISI Yogyakarta, Yogyakarta. Kwi Kian Gie. (4 Agustus 2004), “KKN Akar Semua Permasalahan Bangsa” Kompas. Buchori Z., Imam. (2-3 Mei 1990), “Aspek Desain dalam Produk Kriya”, dalam Seminar Kriya 1990 ISI Yogyakarta, di Hotel Ambarukmo Yogyakarta. Acuan dari dokumen online (website/internet) Reference from online document Goltz, Pat. (1 Mei 2004), Sinichi Suzuki had a Good Idea, But… http/www. Seghea com/homescool/ Suzuki.htlm Wood, Enid. (1 Mei 2004), Sinichi Suzuki 1889-1998: Violinist, Educator, Philosoper and Humanitarian, Founder of the Suzuki Method, Sinichi Suzuki Association. http/www. Internationalsuzuki.htlm
Acuan dari jurnal online Reference from online journal Jenet, B.L. (2006). A meta-analysis on online social behavior. Journal of Internet Psychology, 4. Diunduh 16 November 2006 dari http://www. Journalofinternet psychology. om/archives/volume4/ 3924.htm1 Naskah dari Database Text from database Henriques, J.B., & Davidson, R.J. (1991) Left frontal hypoactivation in depression. Journal of Abnormal Psychology, 100, 535-545. Diunduh 16 November 2006 dari PsychINFO database Acuan dari tugas akhir, skripsi, tesis dan disertasi Reference from final projects, undergraduate final essay, thesis and dissertation Santoso, G.A. (1993). Faktor-faktor sosial psikologis yang berpengaruh terhadap tindakan orang tua untuk melanjutkan pendidikan anak ke sekolah lanjutan tingkat pertama (Studi lapangan di pedesaan Jawa Barat dengan analisis model persamaan struktural). Disertasi Doktor Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta. Acuan dari laporan penelitian Reference from research report Villegas, M., & Tinsley, J. (2003). Does education play a role in body image dissatisfaction?. Laporan Penelitian, Buena Vista University. Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. (2006). Survei nasional penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba pada kelompok rumah tangga di Indonesia, 2005. Depok: Pusat Penelitian UI dan Badan Narkotika Nasional. Daftar Nara Sumber/Informan Dalam hal ini yang harus disajikan adalah nama dan tahun kelAhiran/usia, profesi, tempat dan tanggal diadakan wawancaara. Susunan data narasumber diurutkan secara alfabetik menurut nama tokoh yang diwawancarai.
Erawan, I Nyoman (56th.), Pelukis, wawancara tanggal 21 Juni 2008 di rumahnya, Banjar Babakan, Sukawati, Gianyar, Bali. Rudana, I Nyoman (60 th.), pemilik Museum Rudana, wawancara tanggal 30 Juni 2008 di Museum Rudana, Ubud, Bali.
Lampiran (kosong satu spasi tunggal, 10 pt)
Appendices (blank, one single space of 10 pt)
LampiranlAppendices hanya digunakan jika benarbenar sangat diperlukan untuk mendukung naskah, misalnya kuesioner, kutipan undang-undang, transliterasi naskah, transkripsi rekaman yang dianalisis, peta, gambar, tabel/bagian hasil perhitungan analisis, atau rumus-rumus perhitungan. Lampiran diletakkan setelah Daftar Acuan/Reference. Apabila memerlukan lebih dari satu lampiran, hendaknya diberi nomor urut dengan angka Arab.
Appendices are used when they are really needed to support the text, for example questionnaires, legal citations, manuscript transliterations, analyzed interview transcription, maps, pictures, tables containing results of calculations, or formulas. Appendices are put after the references and numbered using Arabic numbers.
2. Naskah Hasil Penciptaan
2. Result of Creative Work
JUDUL NASKAH (all caps, 14 pt, bold, centered) (kosong satu spasi tunggal, l4 pt)
TITLE (all caps, 14 pt, bold, centered) (blank, one single space of l4 pt)
Penulis Pertamal, Penulis Kedua2, dan Penulis Ketiga3 (12 pt) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
First authorl, Second author2, and Third author3 (12 pt) (blank, one single space of 12 pt)
1. Nama Jurusan, Nama Fakultas, Nama Universitas, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara (10 pt) 2. Kelompok Pencipta, Nama Lembaga, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara (10 pt) (kosong satu spasi tunggal,l2 pt)
1. Department’s name, Faculty’s name, University’s name, Address, City, Postal Code, Country (10 pt) 2. Group of creator, Institution’s name, Address, City, Postal code, Country (10 pt) (blank, one single space of l2 pt)
E-mail: penulis@ address. com (10 pt, italic) (kosong dua spasi tunggal, 12 pt)
E-mail: author@ address. com (10 pt, italic) (blank, two single spaces of 12 pt)
Abstrak (12 pt, bold) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Abstrak (12 pt, bold) (blank, one single space of 12 pt)
Abstrak harus dibuat dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa Inggris. Abstrak bahasa Indonesia ditulis terlebih dahulu lalu diikuti abstrak dalam bahasa Inggris. Jenis huruf yang digunakan Times New Roman, ukuran 10 pt, spasi tunggal. Abstrak sebaiknya meringkas isi yang mencakup tujuan penciptaan, metode penciptaan, serta wujud karya. Panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata. (kosong dua spasi tunggal, l2 pt)
Abstract should be written in Indonesian and English. An English abstract comes after an Indonesian abstract. The abstract is written in Times New Roman font, size 10 pt, single spacing. Please translate the abstract of manuscript written in English into Indonesian. The abstract should summarize the content including the aim of the research, research method, and the results in no more than 250 words. (blank, one single space of 12 pt)
Keywords: maksimum 4 kata kunci ditulis dalam bahasa Inggris (10 pt, italic) (kosong tiga spasi tungga1, 12 pt)
Keywords: maximum of 4 words in English (10 pt, italics) (blank, three single spaces of 12 pt)
PENDAHULUAN (12 pt, bold) (satu spasi kosong,10 pt)
INTRODUCTION (12 pt, bold) (blank, one single space of 10 pt)
Naskah ditulis dengan Times New Roman ukuran 11 pt, spasi tunggal, justified dan tidak ditulis bolak-balik pada satu halaman. Naskah ditulis pada kertas berukuran A4 (210 mm x 297 mm) dengan margin atas 3,5 cm, bawah 2,5 cm, kiri dan kanan masingmasing 2 cm. Panjang naskah hendaknya tidak melebihi 20 halaman termasuk gambar dan tabel.
The manuscript should be printed with Times New Roman font, size 11 pt, single spaced, justified on each sides and on one side of an A4 paper (210 mm x 297 mm). The margins are 3.5cm from the top, 2.5 cm from below and 2 cm from each side. The manuscript must not exceed 20 pages including pictures and tables.
Penulisan heading dan subheading diawali huruf besar dan diberi nomor dengan angka Arab. Sistematika penulisan sekurang-kurangnya mencakup pendahuluan, metode penciptaan, proses perujudan, wujud karya, Kesimpulan , serta Daftar Rujukan. Ucapan Terima Kasih/Penghargaan (jika ada) diletakkan setelah Kesimpulan dan sebelum Daftar Acuan.
The beginnings of headings and subheadings should be capitalized and given Arabic numbering. The parts of the manuscript should at least include an Introduction, Creative Method, Conclusion and References. When there is an acknowledgment, it should be put after the conclusion but before references. Usage of sub-subheadings should be avoided. When needed, use numbered outline using Arabic numbers. The distance between paragraphs is one single space.
Lebih lanjut mengenai singkatan/istilah/notasi/simbol dan daftar rujukan sama dengan naskah dari hasil Penelitian.
The directions on abbreviations/terms/notations/symbols and references follow the directions for the research manuscript.