JURNAL SENI BUDAYA VOLUME 25 NO. 2 SEPTEMBER 2010
INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2010 i
DEWAN PENYUNTING Jurnal Seni Budaya MUDRA Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departeman Pendidikan Nasional Nomor: 108/DIKTI/Kep/2007. tentang Hasil Akreditasi Jurnal Ilmiah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Tahun 2007 Jurnal Seni Budaya MUDRA diakui sebagai jurnal terakriditasi, dengan peringkat B.
Ketua Penyunting I Wayan Rai S. Wakil Ketua Penyunting Rinto Widyarto Penyunting Pelaksana I Ketut Murdana I Wayan Setem I Gusti Ngurah Seramasara Diah Kustiyanti Ni Made Ruastiti Ni Luh Sustiawati Penyunting Ahli I Wayan Rai S. (ISI Denpasar) Ethnomusicologist Margaret J. Kartomi. (Monash University) Ethnomusicologist Jean Couteau. (Sarbone Francis) Sociologist of Art Ron Jenkins. (Wesleyan University) Theatre Michael Tenzer. (UMBC) Ethnomusicologist ISSN 0854-3461 Alamat Penyunting dan Tata Usaha: UPT. Penerbitan ISI Denpasar Jalan Nusa Indah Denpasar 80235 Telepon (0361) 227316, Fax. (0361) 236100 E-Mail: isidenpasar®yahoo.ac.id. MUDRA diterbitkan oleh UPT. Penerbitan Institut Seni Indonesia Denpasar. Terbit pertama kali pada tahun 1990. Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Persyaratan seperti yang tercantum pada halaman belakang (Petunjuk Untuk Penulis). Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah dan tata cara lainnya Dicetak di Percetakan PT. Percetakan Bali Mengutip ringkasan dan pernyataan atau mencetak ulang gambar atau label dari jurnal ini harus mendapat izin langsung dari penulis. Produksi ulang dalam bentuk kumpulan cetakan ulang atau untuk kepentingan periklanan atau promosi atau publikasi ulang dalam bentuk apa pun harus seizin salah satu penulis dan mendapat lisensi dari penerbit. Jurnal ini diedarkan sebagai tukaran untuk perguruan tinggi, lembaga penelitian dan perpustakaan di dalam dan luar negeri. Hanya iklan menyangkut sains dan produk yang berhubungan dengannya yang dapat dimuat pada jumal ini. Permission to quote excerpts and statements or reprint any figures or tables in this journal should be obtained directly from the authors. Reproduction in a reprint collection or for advertising or promotional purposes or republication in any form requires permission of one of the authors and a licence from the publisher. This journal is distributed for national and regional higher institution, institutional research and libraries. Only advertisements of scientific or related products will be allowed space in this journal.
iii
ISSN 0854-3461
JURNAL SENI BUDAYA VOLUME 25
SEPTEMBER 2010
Nomor 2
1.
Multikulturalisme dalam Diskursus Memperkuat Kebinekaan dan Kemejemukan di Indonesia Anak Agung Gede Rai ........................................................................................................ 101
2.
Multikulturalisme dan Pariwisata Bali Ni Made Ruastiti ................................................................................................................ 108
3.
Eksistensi Desa Pakraman dalam Pelestarian Adat dan Budaya Bali I Wayan Suarjaya ................................................................................................................. 120
4.
Kebudayaan dan Kebijakan Keruangan : Esensi Budaya dalam Pengaturan Batas Ketinggian Bangunan Bali Gusti Ayu Made Suartika .................................................................................................... 131
5.
Reklamasi Pantai Sanur dalam Perspektif Ekonomi dan Sosial Budaya Masyarakat Bali I Made Darma Oka ............................................................................................................ 150
6.
Estetika Hindu : Rasa sebagai Taksu Seni Sastra I Wayan Suka Yasa .............................................................................................................. 159
7.
Penerapan Konsep Joged Mataram dakam Tari Supriyanto ........................................................................................................................... 172
8.
Pragmatik Imperatif dalam Dialog Lakon ”Semar Mbangun Gedhong Kencana” Sajian Ki Mujaka Jaka Raharja S. Hesti Heriwati................................................................................................................. 185
v
Pragmatik Imperatif dalam Dialog... (S. Hesti Heriwati)
PRAGMATIK IMPERATIF DALAM DIALOG LAKON “SEMAR MBANGUN GEDHONG KENCANA” SAJIAN KI MUJAKA JAKA RAHARJA S. Hesti Heriwati Jurusan Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Surakarta, Indonesia Abstrak Pertunjukan wayang kulit purwa Jawa tetap eksis dalam era globalisasi karena tidak dilihat dari visualnya saja atau dari aspek estetis tetapi di balik pertunjukkan wayang itu terdapat makna yang dalam, sehingga wayang bagi masyarakat Jawa berfungsi sebagai tontonan, tuntunan dan tatanan. Sajian wayang diharapkan dapat menyampaikan pesan yang dapat memotivasi timbulnya pengalaman estetis yang memuaskan, di samping tujuan-tujuan lain seperti untuk penerangan, propaganda, kritik sosial, hiburan dan sebagainya. Berkaitan dengan permasalahan di atas dalam pertunjukkan wayang terdapat naskah lakon, yang pada gilirannya naskah akan dicermati melalui dialog antar tokoh. Adapun keberadaan naskah lakon akan dianalisis percakapannya dengan dimensi kebahasaan dalam hal ini bidang pragmatik khususnya dari segi imperatif, pemakaian bahasa antar tokoh. menganalisis percakapan alami melalui data-data yang direkam dan ditranskripsikan. Mereka mentranskripsikan percakapan bukan hanya sekedar memberikan nuansa fonetis untuk mendeskripsikan dan mengklasifikasikan fonem dan variasinya, tetapi sebagai teknik yang mampu membantu mengidentifikasi cara-cara orang membangun ‘aturan lalu lintas’dalam berbicara menggunakan perangkat bahasa. Analisis percakapan berbeda dan cabang sosiologi lain karena bukan hanya menganalisis aturan sosial saja, analisis percakapan mencari untuk menemukan cara/metode yang digunakan anggota masyarakat untuk menghasilkan makna aturan sosial. Percakapan merupakan sebuah sumber dan berbagai makna aturan sosial memproduk beberapa kekhasan yang mendasari arti peran sosial kata. Perwujudan makna pragmatik imperatif diuraikan secara terperinci dalam kaitannya dengan cerita pada naskah lakon pedalangan “Semar mBangun Gedhong Kencana”, yang dilakonkan oleh seorang dalang bernama Mujaka Raharaja, dia adalah dalang papan atas selain juga terdapat nama-nama dalang lainnya. Kajian teks di dalam tuturan / dialog antar tokoh dapat dianalisis tuturannya karena mengandung unsur imperatif, dan akan dikaji dari dimensi pragmatik. Adapun tuturan yang dikaji adalah tuturan yang mengandung unsur-unsur imperatif (perintah, suruhan, permintaan, permohonan, desakan, bujukan, imbauan, persilakan, ajakan, izin, larangan, harapan, umpatan, pemberian ucapan, anjuran, ngelulu).
Pragmatic Imperatives in the Dialogs of Semar Mbangun Gedhong Kencana Story Performed by Ki Mujaka Jaka Raharja Abstract The Javanese shadow puppet theater is still existed in the globalization era because it is not only seen from the visual or aesthetic aspects but also from the deep meaning beyond the performance so that wayang, for Javanese people, becomes tontonan (entertainment), tuntunan (teachings), and tatanan (rules). Wayang performance is expected to convey message which can motivate the emergence of satisfying aesthetic experience and also other purposes like explanation, propaganda, social critics, etc. In relation to the matter, there is a script of lakon which will be analyzed through the dialogues between the characters. The conversation in the script will be analyzed by language dimension that is the use of language between characters especially in pragmatics in case of imperative use. The natural conversation will be analyzed through recorded and transcript data. The conversation transcription is not only aimed to give phonetic nuance 185
MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 185-197
and to describe as well as to classify phoneme and its variation but also to become a technique which is able to identify the ways how people construct ‘traffic rules’ in conversation using language instruments. Conversational analysis is different from other sociological branch because it does not only analyzing social rules but also seeking and finding the ways or methods used by the member of society to produce meaning of social rules. Conversation becomes a source and the various meanings of social rules produce some characteristics which underlie the meaning of words social roles. The realization of pragmatic imperative meaning is described in detail in relation to the story of lakon “Semar mBangun Gedhong Kencana” presented by dalang Mujaka Raharja, one of the popular dalang. The utterance of the dialogues can be analyzed because it contains imperative elements and it will be analyzed from pragmatic dimension. So the utterance which will be analyzed is the utterance which contains imperative element (order, delegate, request, pressure, persuasion, appeal, welcome, invitation, permission, prohibition, hope, curse, greetings, suggestion, ngelulu. Keywords: conversational analysis, pragmatics, imperative
Pertunjukkan wayang kulit sering dipandang sebagai bahasa simbol dari kehidupan yang bersifat rohaniah daripada lahiriah maka bagi masyarakat pendukung pewayangan, pertunjukan wayang mengandung konsepsi yang tidak jarang digunakan sebagai pedoman sikap dan perbuatan dari kelompok masyarakat tertentu. Konsepsi-konsepsi itu tersirat dalam pergelaran wayang, sikap pandangan terhadap hakikat hidup, asal dan tujuan hidup, hubungan manusia dengan Khaliknya, hubungan manusia dengan manusia, serta hubungan manusia dengan alamnya. Oleh karena itu pertunjukan wayang kulit merupakan sumber nilai apabila sajiannya dapat mengungkapkan isi secara artistik-estetik. Nilai-nilai yang terkandung dalam pertunjukan wayang, merupakan nilai esensial dalam kehidupan manusia dengan harapan bahwa nilai itu dapat diresapi serta diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Soetarno, 1994: 45). Pertunjukan wayang kulit purwa yang mengambil cerita dari Mahabarata bukan bernilai historis , tetapi lebih bernilai etis atau merupakan ajaran moral. Dengan demikian dalam Pertunjukan wayang kulit purwa Jawa tetap eksis dalam era globalisasi karena tidak dilihat dari visualnya saja atau dari aspek estetis tetapi di balik pertunjukan wayang itu terdapat makna yang dalam, sehingga wayang bagi masyarakat Jawa berfungsi sebagai tontonan, tuntunan dan tatanan. Sebagian masyarakat pendukung pewayangan dalam menghayati lakon dalam pertunjukan wayang, mereka memahami bahwa cerita yang disajikan itu adalah mengiaskan perilaku watak manusia dalam mencapai tujuan hidup baik lahir maupun batin. Pemahaman kias itu tidak semata-mata dilakukan dengan akal pikiran melainkan dengan seluruh ciptarasa-karsa tergantung kedewasaan masing-masing (Ciptoprawiro, 1986: 31). Pengalaman dan 186
penghayatan manusia untuk mencapai kesatuan hakiki (ngudi kasampurnan) tidak dipaparkan dengan kata-kata langsung, tetapi diejawantahkan dengan kata-kata kias lewat pertunjukan wayang kulit. Misalnya salah satu cerita kias yang sangat popular dan meresap di hati sanubari para pemerhati wayang adalah cerita Bimasuci atau Dewaruci, yang mengisahkan tokoh Bima dalam mencari tirta pawitra atau air hidup. Atas petunjuk gurunya yaitu Pendeta Durna , Bima diperintahkan untuk menuju ke laut selatan dan masuk ke dasar laut. Karena kegigihan dan keteguhan hatinya, maka Bima dapat menemukan apa yang dicarinya. Budaya Jawa ada ungkapan “sapa sing tekun golek teken bakal tekan sedyane” Itulah yang dilakukan tokoh Bima sehingga dapat mencapai kesempurnaan hidup atau mencapai kasampurnaning ngaurip/ sangkan paraning dumadi. Pandangan hidup masyarakat pendukung budaya Jawa telah diejawantahkan dalam bentuk seni pertunjukan wayang. Kita sadari bahwa cerita wayang berasal dari India, tetapi terdapat perbedaan yang hakiki dalam pertunjukan wayang. Cerita Mahabarata di India dianggap benar-benar terjadi dalam jalur mitos, legenda dan sejarah, sedangkan di Indonesia cerita Mahabarata atau Ramayana mengiaskan perilaku watak manusia dalam mencapai tujuan hidup, baik lahir maupun batin. Untuk itu pada tahun 2003 wayang Jawa atau Indonesia mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai karya agung dunia yang non bendawi. Dengan demikian dalam pertunjukan wayang tidak hanya penampilan luarnya atau visualnya saja , tetapi yang paling hakiki adalah nilai –nilai yang tersirat atau tersurat dalam pertunjukan wayang yang disampaikan oleh dalang, dan seberapa jauh nilai-nilai itu dapat ditangkap oleh penonton atau penghayat. Nilai-nilai itu bilamana dapat
Pragmatik Imperatif dalam Dialog... (S. Hesti Heriwati)
dihayati, terjadilah komunikasi sambung rasa antara penonton dan penyaji, terjadilah komunikasi estetis yang dapat mengangkat harkat dan martabat manusia dan pada gilirannya akan meningkatkan kualitas hidup serta memperkaya pengalaman jiwa dan memperluas persepsi serta dapat meningkatkan kedewasaanya. Pertunjukkan wayang kulit di dalamnya terdapat makna yang bersentuhan dengan merasa, berpikir, dan bertindak manusia, baik pada tataran realitas personal maupun realitas sosiokultural. Rasa hayatan menurut penulis bahwa pada setiap sajian wayang kulit yang menampilkan lakon tertentu harus menyampaikan nilai-nilai. Pertunjukan wayang yang baik hendaknya mengacu pada nilai-nilai kehidupan, dan bentuk pakeliran yang bermutu bukanlah tiruan langsung kehidupan, melainkan merupakan interpretasi terhadap kehidupan yang kemudian diaktualisasikan lewat medium seni pedalangan. Dengan demikian garapan pakeliran tidak lain adalah kehidupan dalam keseluruhannya. Oleh karena itu dalam pertunjukan wayang dijumpai sekumpulan nilai, baik yang terkait dengan berbagai hal yang terwujud dalam bentuk nyata maupun yang terkait dengan kebiasaan atau adat istiadat masyarakat. Di samping itu setiap sajian wayang diharapkan dapat menyampaikan pesan yang dapat memotivasi timbulnya pengalaman estetis yang memuaskan, di samping tujuan-tujuan lain seperti untuk penerangan, propaganda, kritik sosial, hiburan dan sebagainya. Berkaitan dengan permasalahan di atas dalam pertunjukkan wayang terdapat naskah lakon, yang pada gilirannya naskah akan dicermati melalui dialog antar tokoh. Adapun keberadaan naskah lakon akan dianalisis percakapannya dengan dimensi kebahasaan dalam hal ini bidang pragmatik khususnya dari segi imperatif pemakaian bahasa antar tokoh. Analisis percakapan (AP) menawarkan sebuah ancangan wacana yang dinyatakan oleh sosiolog, diawali oleh Harold Garfinkel yang telah mengembangkan ancangan yang dikenal sebagai etnometodologi (terpengaruh oleh fenomenologinya Alfred Schutz), dan diterapkan khusus pada percakapan dengan ditokohi oleh Harvey Sacks, Emanuel Scheg loff, dan Gail Jefferson. Analisis percakapan berbeda dan cabang sosiologi lain karena bukan hanya menganalisis aturan sosial saja, analisis percakapan mencari untuk menemukan cara/metode
yang digunakan anggota masyarakat untuk menghasilkan makna aturan sosial. Percakapan merupakan sebuah sumber dan bebagai makna aturan sosial, misalnya: percakapan memproduk beberapa kekhasan yang mendasari arti peran sosial kata (Ciccourel, dalam Syukur 2007). Percakapan memperlihatkan aturan dan memanifestasikan memiliki makna struktur yang dimiliki. PRAGMATIK IMPERATIF DALAM DIALOG LAKON “SEMAR MBANGUN GEDHONG KENCANA” SAJIAN KI MUJAKA JAKA RAHARJA Analisis Percakapan Percakapan adalah manifestasi penggunaan bahasa untuk berinteraksi. (Mey, dalam Syukur 2007) berpendapat bahwa wujud penggunaan bahasa tersebut dapat dilihat dari dua aspek. Aspek pertama adalah isi, yaitu aspek yang memperhatikan hal-hal seperti topik apa yang didiskusikan dalam percakapan; bagaimana topik disampaikan dalam percakapan: apakah secara eksplisit, melalui presuposisi, atau diimplisitkan dengan berbagai macam cara; jenis topik apa yang mengarah pada topik lain dan apa alasan yang melatarbelakangi hal semacam ini terjadi, dsb. Selain itu, fokus lain dari aspek ini adalah organisasi topik dalam percakapan dan bagaimana topik dikelola, baik disampaikan dengan cara terbuka maupun dengan manipulasi secara tertutup: biasanya dalam bentuk tindak ujar taklangsung. Kedua adalah aspek formal percakapan. Fokus utama dalam aspek kini adalah hal-hal seperti bagaimana percakapan bekerja; aturan-aturan apa yang dipatuhi; dan bagaimana sequencing ‘keberurutan’ dapat dicapai (memberikandan memperoleh giliran atau mekanisme turn-taking, jeda, interupsi, overlap,dll.). Bila dilihat dari sudut pandang historis, analisis percakapan muncul ditengah-tengah kebingungan teoretis setelah munculnya revolusi linguistik yang digagas oleh Chomsky di akhir tahun 50-an dan di awal tahun 60-an. Selanjutnya Syukur menjelaskan bahwa analisis percakapan ini diprakarsai oleh sekelompok orang pemerhati bahasa nonprofesional (para sosiolog seperti Sacks, Schegloff, dan Jefferson). Mereka melihat bahwa contoh-contoh bahasa yang diberikan oleh para linguis profesional seringkali tidak alami,
187
MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 185-197
bahkan sebagian dari contoh-contoh ujaran tersebut tidak muncul dalam percakapan yang alamiah. Kemudian, mereka pun menemukan bahwa aturanaturan yang dipatuhi dalam percakapan lebih mirip dengan aturan-aturan yang dipakai masyarakat dalam aktivitas sosial daripada dengan aturan-aturan yang terdapat dalam linguistik. Aturan-aturan tersebut pun hampir sama dengan aturan yang ditemui oleh para peneliti dari bidang sosiologi dan antropologi. Oleh karena itu, munculah metode ethnomethodology yang digunakan untuk mengkaji percakapan. Topik yang menjadi pusat perhatian para ahli analisis percakapan tersebut adalah organisasi dan struktur percakapan. Mereka menganalisis percakapan alami melalui data-data yang mereka rekam dan transkripsikan. Mereka mentranskripsikan percakapan bukan hanya sekedar memberikan nuansa fonetis untuk mendeskripsikan dan mengklasifikasikan fonem dan variasinya, tetapi sebagai teknik yang mampu membantu mengidentifikasi cara-cara orang membangun ‘aturan lalu lintas’dalam berbicara menggunakan perangkat bahasa . Hal ini berarti bahwa dengan teknik transkripsi, aturan-aturan yang membentuk struktur dan organisasi percakapan dapat diidentifikasi. Aturan-aturan ini penting untuk dipelajari karena dengan memahami aturan-aturan tersebut diharapkan proses produksi verbal partisipan percakapan dapat berjalan lancar atau tidak mengalami hambatan. Dari hasil kerja para ahli analisis percakapan ini, terdapat beberapa temuan yang mendasar. Salah satunya adalah mekanisme turn-taking. Bahasa (dan tindakan melalui bahasa) merupakan produk kaidah dan sistem daripada kekhasan yang lain. Meskipun bahasa merupakan media yang dibentuk dengan menggunakan kategori makna umum (common-sense), makna dan penggunaan istilah khusus (dan batas-batas tidak ditentukan (indeterminate) dan dapat dinegosiasikan hubungan antara kata dan objek adalah sebanyak persoalan dunia hubungan dan aktivitas sosial tempat kata-kata itu digunakan; menjadi dunia objek yang bernama. Dengan cara lain makna sebuah ujaran khusus (termasuk makna istilah yang deskriptif) menunjuk pada konteks dan tujuan tertentu. Kontektualisasi bahasa dalam hal ini mengikuti apa yang menjadi masukan dalam membentuk hubungan antara tindakan dan pengetahuan pembicara yang
188
menghasilkan ujaran mengasumsikan bahwa pendengar dapat membuat makna ujarannya dengan bermacam-macam penalaran dan operasi kontekstualisasi metodis yang mereka terapkan pada pelaksanaan hubungan sosial secara umum. Metode dan operasi yang memperbolehkan pelaku maju terus berdasarkan pengalamannya “identik untuk semua tujuan praktis” (Heritage dalam Richards, 1989: 60). Selanjutnya, hal itu menyebabkan pelaku berhasil dalam menggunakan kemajuan serangkaian interaksi untuk menunjukkan pemahamannya terhadap peristiwa dan kaidah-kaidah dunia berbagi pendapat yang telah dicapai dan yang tersedia secara umum untuk analisis. Cukup banyak kiranya batasan atau definisi mengenai pragmatik. Levinson (1987: 1-53), misalnya, membutuhkan 53 halaman hanya untuk menerangkan apakah pragmatik itu dan apa saja yang menjadi cakupannya. Di sini dikutipkan beberapa di antaranya yang dianggap cukup penting. 1) Pragmatik adalah kajian mengenai hubungan antara tanda (lambang) dengan penafsirnya, sedangkan semantik adalah kajian mengenai hubungan antara tanda (lambang) dengan objek yang diacu oleh tanda tersebut. 2) Pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan bahasa, sedangkan semantik adalah kajian mengenai makna. 3) Pragmatik adalah kajian bahasa dan perspektif fungsional, artinya kajian ini mencoba menjelaskan aspek-aspek struktur linguistik dengan mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab nonlinguistik. 4) Pragmatik adalah kajian mengenai hubungan antara bahasa dengan konteks yang menjadi dasar dari penjelasan tentang pemahaman bahasa. 5) Pragmatik adalah kajian mengenai deiksis, implikatur, praanggapan, tindak tutur, dan aspekaspek struktur wacana. 6) Pragmatik adalah kajian mengenai bagaimana bahasa dipakai untuk berkomunikasi, terutama hubungan antara kalimat dengan konteks dan situasi pemakaiannya. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk mendeskripsikan bahasa adalah analisis wacana (discourse analysis). Istilah ini pertama kali digunakan oleh Zellig Harris pada tahun 1952 sebagai nama
Pragmatik Imperatif dalam Dialog... (S. Hesti Heriwati)
untuk sebuah metode dalam menganalisis ujaran (atau tulisan) yang memiliki relasi. Metode ini pada awalnya ditujukan untuk mencari korelasi antara bahasa dan budaya (Malmkkjaer dalam Sumarlam, 1995). Analisis wacana muncul sebagai upaya untuk menghasilkan deskripsi bahasa yang lebih lengkap sebab terdapat fitur-fitur bahasa yang tidak cukup jika hanya dianalisis dengan menggunakan aspek struktur dan maknanya saja. Oleh karena itu, melalui analisis wacana dapat diperoleh penjelasan mengenai korelasi antara apa yang diujarkan, apa yang dimaksud, dan apa yang dipahami dalam konteks tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat (Cutting, dalam Sumarlam 1995), yang mengatakan bahwa analisis wacana merupakan pendekatan yang mengkaji relasi antara bahasa dengan konteks yang melatar belakanginya. Dengan demikian, analisis wacana mampu membawa kita mengkaji latar social dan latar budaya penggunaan suatu bahasa. Tindak ujar Teori tindak ujar dikembangkan oleh seorang filsuf dari Oxford, yaitu J.L.Austin pada tahun 1930-an dan telah dipaparkan secara lebih rinci dalam rangkaian perkuliahan yang diberikan di Harvard University pada tahun 1955. Hasil dari perkuliahan tersebut kemudian dipublikasikan dalam buku yang berjudul ‘How to do Things with Words’ pada (Malmkjaer,). Teori tindak ujar selanjutnya mengalami perkembangan setelah salah seorang muridnya, yang bernama John Searle, mempublikasikan karya yang berjudul Speech Act pada tahun 1969. Mey dalam Sumarlam (1995) secara historis teori tindak ujar telah berhasil membuktikan bahwa bahasa bukan hanya sekedar kumpulan kalimat dan linguistik bukan sekedar berfungsi untuk mendeskripsikan korespondensi makna bunyi. Tindak ujar merupakan cara untuk melakukan sesuatu dengan kata-kata, bahkan dapat dikatakan bahwa kata-kata bekerja untuk manusia di dalam tindak Adapun yang dimaksud dengan wujud pragmatik adalah realisasi maksud imperatif dalam bahasa Indonesia apabila dikaitkan dengan konteks situasi tutur yang melatar belakanginya. Makna pragmatik imperatif tuturan yang demikian sangat ditentukan oleh konteksnya. Konteks yang dimaksud dapat bersifat ekstralinguistik dan dapat pula bersifat intralinguistik. Bagian berikut ini masing-masing wujud makna pragmatik imperatif tersebut diuraikan
secara terperinci dalam kaitannya dengan cerita pada naskah lakon pedalangan “Semar mBangun Gedhong Kencana”, yang dilakonkan oleh seorang dalang bernama Mujaka Raharaja (saat sedang mendalang dalam acara Dies Natalis II, STSI Surakarta) – dia adalah dalang papan atas selain juga terdapat namanama Anom Suroto, Manteb Sudarsono, Purbo Asmoro dsb. Kajian teks di dalam tuturan / dialog antar tokoh dapat dianalisis tuturannya mengandung unsur imperatif, dan akan dikaji dari dimensi pragmatik. Berikut tuturan yang mengandung imperatif (perintah, suruhan, permintaan, permohonan, desakan, bujukan, imbauan, persilakan, ajakan, izin, larangan, harapan, umpatan, pembeiran ucapan, anjuran, ngelulu). 1.
Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif perintah Imperatif langsung yang mengandung makna perintah dapat dilihat, misalnya pada contoh tuturan berikut. Perlu dicatat bahwa untuk membuktikan apakah masing-masing tuturan mengandung makna perintah, tuturan itu dapat dikenakan teknik parafrasa atau teknik ubah ujud seperti yang lazim digunakan dalam analisis linguistik struktural. Berikut contoh pemakaian tuturan yang mengandung tindak imperatif. Petruk
:
Werkudara : Pragota
:
Petruk
:
Petruk
:
Pragota
:
Estunipun dhawuhi kakekno Semar ngaten sinuwun, Truk aturna sawutuhe ing ngersane Iya ngestoke dhawuh, lilanana madal pasilen. Kowe wong loro sumingkira ana Ngamarta. Wis saiki ngene ya Gong, kowe muliha dhisik matura karo kakekne Semar nek mangsa kala iki aku aja diarep-arep ulehku. Ngene ya Gong, sinuwun Mandura nek wis duka pol-pole mung nangani, yen ora tumono terus namake nenggala, ngendi ana uwong kuwat nampani nenggala, lagi lugara wae wis alot, mula kowe matura karo kakekne Semar ma, iki Petruk ora bali gelem bali yen wis mboyong Jamus Kalimasada. Kowe wong loro sumingkiro ana Ngamarta.
189
MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 185-197
Semar
:
Semar
:
Bambang P :
Gareng lan Bagong derekno ndaramu. Lelungseng ndak bakali sesantiku jaya-jaya wijayanti nir ing sambikala, nala Gareng lan Bagong derekna ndara Janaka, Kanastern kariyo raharja aku nedya sumengka marang swarga loka. Gareng, Bagong mrenea tak gendhong.
hanya dapat diketahui makna pragmatiknya melalui konteks situasi tutur yang melatarbelakangi dan mewadahinya. Dengan demikian, jelas bahwa banyak tuturan di sekitar kita yang sebenarnya mengandung makna pragmatik imperatif tertentu, namun wujud konstruksinya bukan tuturan imperatif. Hanya konteks situasi tuturlah yang dapat menentukan kapan sebuah tuturan akan ditafsirkan sebagai imperatif perintah dan kapan pula sebuah tuturan akan dapat ditafsirkan dengan makna pragmatik imperatif yang lain ( R.Kunjana.2008).
Terjemahan: 2.
Petruk
:
Werkudara : Pragota : Petruk
:
Petruk
:
Pragota
:
Semar
:
Semar
:
Bambang P :
Sebenarnya perintah kakek Semar begitu sinuwun, Truk berikan semuanya apa yang diinginkankan. Iya baiklah, relakan Anda berdua minggirlah dari Ngamarta. Sudahlah begini Gong, kamu pulanglah terlebih dahulu berkatalah dengan kakek Semar apabila saat ini jangan berharap tentangku. Beginilah Gong, sinuwun Mandura kalau sudah marah paling-paling hanya memarahi, kalau tidak mempan terus mengandalkan senjata, mana ada orang tahan menerima senjatanya, baru senjatanya saja sudah ulet, makanya Anda berkatalah dengan kakek Semar ma, ini Petruk tidak kembali, akan kembali jika sudah mengusung Jamus Kalimasada. Anda berdua minggirlah dari Ngamarta. Gareng dan Bagong antarkan Pimpinanmu). ....Gareng dan Bagong antarkanlah ndara Janaka,... Gareng, Bagong kemarilah saya gendhong).
Pemakaian bahasa Indonesia dalam keseharian, terdapat beberapa makna pragmatik imperatif perintah yang tidak saja diwujudkan dengan tuturan imperatif seperti contoh di atas, melainkan dapat diwujudkan dengan tuturan nonimperatif. Imperatif yang demikian dapat disebut dengan imperatif tidak langsung yang
190
Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif suruhan Secara struktural, imperatif yang bermakna suruhan dapat ditandai oleh pemakaian penanda kesantunan kata coba seperti dapat dilihat pada contoh tuturan berikut. Kresna
Kresna Kresna
Bagong
Semar
:
Apa sebab cawuh pamirengku apa pancen urang cetha ature siadi mara coba balenana sepisankas Sena pamrih, nanging tyase para sepuh kudu ngenaki ndak tanpa, sembahku tanpanana Sena. : Coba majua rene : Pun kakang saya suwe saya tambah yuswa, ora mokal yen saya pikun, kajaba kekuatan suda, nalarku ringkih, malah kepaea akeh bab-bab ingkang nganti pun kakang wis lali, Arjuna mara coba pun kakang dongengana apa sing wis ndak tindakke ana segara Ngamarta. : Gong muliha dhisik kandakna kakekne aku aja diarep-arep mulihku, marga aku wis saguh dikongkon kakekne Semar, aku gelem mulih yen wis mundhi pusaka Jamus Kalimasada ngono mo. Bareng sinuwun Mandura teka kuwi tenan, Petruk pancakara karo sinuwun Mandura nganti ngetoke pusaka sing landepe telu. : Coba aku tak ngetas rama pukulun Bathara Dewa Ruci apa sebabe biyen aku diturunake marang Marcapadha saguh nanging mawa panyuwun, sing tak emong kudu pepayung ati suci tetekene budi
Pragmatik Imperatif dalam Dialog... (S. Hesti Heriwati)
Dewakahan :
rahayu, mangka ndak semak Pandawa ora singlar saka ing kautaman apa. Genti ngakua wong bagus kowe sapa.
Terjemahan: Kresna
:
Kresna Kresna
: :
Semar
:
Dewakahan :
Apakah pendengaranku memang kurang jelas apa yang dikatakan oleh siadi cobalah ulangi sekali lagi Sena, namun jelasnya para orangtua harus lebih mengenakan saya terima, rasa hormatku terimalah Sena. Cobalah maju kemari. Iyalah kakak, semakin lama semakin bertamah umur, tidaklah heran jika aya pikun, kecuali berkurang kekuatan, pikiranku lemah, malah bab-bab yang cukup penting pun sudah lupa, Arjuna kemari cobalah kakak ceritakan apa yang sudah dilaksanakan di negara Ngamarta. Cobalah saya akan mengetes rama pukulun Bathara Dewa Ruci apa sebabnya dulu ketika diturunkan di Marcapadha sanggup namun dengan permintaan yang dulu saya dampingi harus berpayungkan hati yang suci dengan permintaan budi pekerti Pandawa ... Berganti jujurlah orang bagus kamu siapa.
3.
Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif permintaan Bagian depan sudah disampaikan bahwa pada tuturan imperatif yang mengandung makna permintaan lazimnya terdapat ungkapan penanda kesantunan tolong atau frasa lain yang bermakna minta. Makna imperatif permintaan yang lebih halus diwujudkan dengan penanda kesantunan mohon seperti dapat dilihat pada tuturan. Baladewa
:
Werkudara :
Njaluk tulung balenana ping satus engkas, Werkudara mung pisan malah kowe bola-bali. Keparenge mbarep kakangku kepriye.
Puntadewa :
Menawi mekaten kula aturi nampi wujuting pusaka Jamus. Kresna : Inggih yayi sesampunipun kula ngaturaken genging panuwun. Keparenga ingkang raka nyuwun pamit wangsul dhateng nagari Dwarawati Kresna : Yayi katuna sekeca wonten praja kalilanana pun kakang jumangkah dateng Karang Kadampel langkung rumiyen yayi. Kananstren : Mugi kadangua lelampahan ingkang kasandang dening putra andika kyai. Semar : Welinge Petruk wutuhna piye. Semar : Yen mengkono apa kepareng andum gawe Semar : Yen mengkono lelakon iki ndak pasrahke marang sinuwun Dwarawati, baline pustaka Jamus mangsa bodhoa sinuwun Dwarawati. Dara Janaka ndak aturi nganging-angin kabar sak temene sapa sing gawe perkara kang dadi unjere anjalari petenging negara Ngamarta. Kresna : Banjur keparengo kakang Semar apa ingkang bakal diayahi. Bambang P. : Njaluk tulung apa, kon goleke Kalimasada ta. Dewaningrat : Menawi namun mekaten kepareng paduka mangga sinuwun kula aturi nampi pusaka Jamus Kyai Kalimasada. Puntadewa : Mula yayi waspadhakna kang pratitis aja nganti pakartining liyan kang nedya ambebidung apirowang. Bagong : Gong muliha dhisik kandakna kakekne aku aja diarep-arep mulihku, marga aku wis saguh dikongkon kakekne Semar, aku gelem mulih yen wis mundhi pusaka Jamus Kalimasada ngono mo. Bareng sinuwun Mandura teka kuwi tenan, Petruk pancakara karo sinuwun Mandura nganti ngetoke pusaka sing landepe telu.
191
MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 185-197
Terjemahan : Baladewa
Minta tolong ulangi satu kali lagi, Werkudara hanya sekali justru Anda beberapa kali. Werkudara : Perkenannya sulung kakaku bagaimana. Puntadewa : Kalau begitu saya mohon menerima wujudnya pusaka Jamus. Kresna : Iyalah yayi sesudahnya saya menghaturkan terimaksih. Perkenankan raka mohon pamit kembali ke negeri Dwarawati. Kresna : Adinda dipersilakan dengan sejenak berada di praja ikhlaskanlah kakak melangkah ke Karang Kadampel terlebih dahulu Adinda. Kananstren : Semogalah kisah yang baik selalu bersanding dengan adik putra Kyai. Semar : Pesannya Petruk wjudkanlah bagimana. Semar : Kalau begitu apa diperbolehkan bagi pekerjaan Semar : Kalau begitu kisah ini akan diserahkan ke sinuwun Dwarawati, kembalinya pustaka Jamus terserahlah siunuwun Dwarawati. Dara Janaka saya suruh memberikan kabar yang sebenarnya yang menjadikan perkara yang menyebabkan ricuhnya negara Ngamarta. Kresna : Banjur keparengo kakang Semar apa ingkang bakal diayahi. Bambang P. : Minta tolong apa, suruh mencarikan Kalimasada. Dewaningrat : Kalau begitu perkenankan, marilah sinuwun saya mohon menerima Pusaka Jamus Kyai Kalimasada. Puntadewa : Makanya Adinda waspadalah yang benar, agar jangan sampai membuat yang lain menjadi lebih merugikan. Bagong : Gong pulanglah terlebih dauhulu berceriteralah ke pada kakek, agar saya jangan diharapkan pulangku, karena saya sudah sanggup disuruh kakek Semar, saya bersedia pulang apabila sudah mengambil pusaka Jamus Kalimasada begitu ya.
192
Bersamaan dengan sinuwun Mandura, Petruk pancakara dengan sinuwun Mandura sampai mengeluarkan pusaka yang tajamnya tiga.
:
Tuturan yang disampaikan misalnya dalam “Njaluk tulung balenana ping satus engkas, Werkudara mung pisan malah kowe bola-bali” terjemahan : “Minta tolong ulangi satu kali lagi, Werkudara hanya sekali justru Anda beberapa kali”, kalimat ini dapat diparafrasa menjadi “Saya minta tolong supaya sekali lagi....” Demikian pula pada tuturan-tuturan lainnya dapat diubah ujudkan menjadi “Ah, saya minta tolong supaya engkau satu kali lagi melakukan sesuatu yang saya sarankan” Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tuturan-tuturan tersebut merupakan imperatif permintaan. 4.
Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif permohonan Secara struktural, imperatif yang mengandung makna permohonan, biasanya, ditandai dengan ungkapan penanda kesantunan mohon. Selain ditandai dengan hadirnya penanda kesantunan itu, partikel-lah juga lazim digunakan untuk memperhalus kadar tuntutan imperatif permohonan. Sebagai ilustrasi, dapat dicermati dan dipertimbangkan tuturan berikut. Kresna
:
Kresna
:
Inggih yayi mugi andadosna kawuningan bilih ing ngajeng sampun kula aturaken bilih Ndadosna kawuningan yayi, wutawis dwi candra rikalenggahan mangke negari Dwarawati
Terjemahan : Kresna
:
Kresna
:
Iyalah yayi semoga menjadikan kemengertianmu apabila di depan sudah kuberitahukan.. Jadilah kemengertainmu yayi, sementara dwi candra di kala santai nantinya di negari Dwarawati.
Sebagaimana dipaparkan pada bentuk-bentuk imperarif lainnya, dalam kegiatan bertutur, sesungguhnya makna pragmatik imperatif permohonan tidak selalu dituangkan dalam konstruksi imperatif.
Pragmatik Imperatif dalam Dialog... (S. Hesti Heriwati)
5.
Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif desakan Lazimnya imperatif dengan makna desakan menggunakan kata ayo atau mari sebagai pemarkah makna. Selain itu, kadang-kadang digunakan juga kata harap atau harus untuk memberi penekanan maksud desakan tersebut. Intonasi yang digunakan untuk menuturkan imperatif jenis ini, lazimnya, cenderung lebih keras dibandingkan dengan intonasi pada tuturan imperatif yang lainnya. Tipe imperatif tersebut itu dapat dilihat pada tuturan-tuturan berikut. Kresna
:
Petruk : Puntadewa :
Sena sembahmu lahir batin ndak tampa pangestuku gelem ora gelem tampanana. Kondhoa sak karepmu. Yayi percaya marang kang akarya jagad, ana tembung kridhaning ati tan bangkit mbedhah kuthaning pasthi, budidayaning manungsa ngalahake garising kawasa, luwih ana tembung utang nyaur, nyilih ngulihke. Sena, kaka prabu kepareng mundhut ngampil adile kang nyilihke mesthi bakal ngulihke lan percaya lamun sing disilih mesthi bakal diulihke.
Terjemahan: Kresna
Semar
:
Wis balia nyang negaramu, balamu kabeh jaken mulih nyang Setra gandamayit
Terjemahan: Semar
:
Sudahlah kembalilah ke negaramu, semua anggotamu ajaklah kembali ke Setragandamayit.
7.
Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif persilaan Imperatif persilaan dalam bahasa Indonesia, lazimnya digunakan dengan penanda kesantunan silakan. Seringkali digunakan pula bentuk pasif dipersilakan untuk menyatakan maksud pragmatik imperatif persilaan itu. Bentuk yang kedua cenderung lebih sering digunakan pada acara-acara formal yang sifatnya protokoler. Tuturan sampai dengan tuturan berikut dapat dipertimbangkan untuk memperjelas hal ini. Puntadewa :
:
Petruk : Puntadewa :
6.
imperatif jenis ini sering digunakan bersama dengan ungkapan penanda kesantunan harap dan mohon seperti tampak pada contoh tuturan berikut.
Sena salammu lahir batin diterima, terimalah doaku mau tidak mau terimalah..‘ Kondhoa sak karepmu. Yayi percayalah dengan yang menciptakan dunia, ada pepatah segala sesuatu yang telah diciptakan dan dikehendaki Sang Pencipta, manusia tiada daya, lebih lagi ibarat ada hutang mesti harus membayarnya. Sena, kakaku, perkenankan untuk mengembalikan yang dipinjam dan percayalah akan sesuatu yang dipinjam pada sutu ketika mesti dikembalikan.
Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif imbauan Imperatif yang mengandung makna imbauan, lazimnya, digunakan bersama partikel-lah. Selain ini,
Ya iya Petruk kepenakna anggonmu lungguh. Kresna : Ya….iya tak tampa, kepenakna anggonmu lungguh. Petruk : Sinuwun sekecakne wonten praja kalilanana keng abdi medal pasilan. Kresna : Inggih yayi, pun kakang mboten nedya cidra ing janji. Samangga sampun purna jejibahan ingkang kula sangkul pusaka Jamus tumunten kula kunduraken ing ngarsa paduka yayi prabu. Gathutkaca : Inggih sendika ngestokaken dhawuh. Gareng : Inggih matur nuwun, dhasar nyekel duwit nyang mripat padhing pancen ana tembung harta daya, nyang pikiran bening nyang awak enthing nggo mlaku mak nying-nying, dipun sekecakaken sinuwun. Majua genti le Gong.
193
MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 185-197
Terjemahan: Puntadewa : Kresna
:
Petruk
:
Kresna
:
Gathutkaca : Gareng :
Ya Petruk persilakan dudukmu dengan nyaman Ya….sudah saya terima salam hormatmu, duduklah yang nyaman. Sinuwun siap melaksanakan, ada praja perkenankan abdi keluar. Iyalah yayi, adapun kakak tidak mengingkari akan janji. Inilah sudah selesai akan kewajiban saya untuk mengembalikan pusaka dan sudah saya serahkan kembali kepada yayi Parabu Y iyalah siap melaksanakan. Ya terima kasih, dasar sedang memegang uang di matapun jernih, ada pepatah “harya daya/kekuatan”, dipikiranpun bening, di badan terasa ringan ,berjalan bagaikan di awan, nyamankanlah sinuwun. Majulah gantian Gong..
8.
Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif ajakan Imperatif dengan makna ajakan, biasanya, ditandai dengan pemakaian penanda kesantunan mari atau ayo. Kedua macam penanda kesantunan itu masingmasing memiliki makna ajakan. Pemakaian penanda kesantunan itu di dalam tuturan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut. Limbuk : Monggo bu kula nyuwun lagu Nurlela coba koyo ngopo, men arep digarap kaya ngopo monggo. Petruk : Lha sumonggo, kancaku yo ora adil, nggowo konco ko ngomah tekan kene, tak rewangi gembrobos kok ora ngetokngetok. Gong-Bagong. Petruk : Mari kesini Bagong : Mbok ya wis, ayo muleh wa ta Truk. Janaka : Mangga kula derekaken.
Petruk : Bagong : Janaka :
Mari kesini Sudahlah, ayo pulang saja paman Truk Marilah saya kawal/antarkan.
9.
Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif permintaan izin Imperatif dengan makna permintaan izin, biasanya, ditandai dengan penggunaan ungkapan penanda kesantunan terdapat unsur makna yang tersirat adalah makna mari dan diperboleh. Tuturan berikut dapat dicermati, untuk memperjelas hal ini dapat dilihat tuturan di antara Puntadewa dengan Pragota atau Sadewa dengan Gathutkaca, dan seterusnya. Puntadewa :
Puntadewa : Puntadewa : Kembar
:
Pragota
:
Sadewa
:
Gathutkaca : Janaka : Werkudara :
Rohanira Petruk, kaka prabu uga kepareng ngampil pusaka Jamus Kyai Jimat Kalimasada. Menapa mboten kepareng kula derekaken manjing datulaya. Badhe kula derekaken kembol bujana Andra wina. Kawula nuwun inggih ngestokaken dhawuh. E…e….e…..e keparenga nyadong dhawuh lo, kula abdi bitan saking Mandura patih Pragota nyandong dhawuh nok-nok, he….. he kula ngaturaken her mina kateda, her…..toya mila ulam kata pangucap, he…..he….he ulam, alit kesraambah toya agung nungsung pakabaran kula nok-nok nun. Inggih semanten kang rayi pun Sadewa cumadong keparenga kanjeng kaka prabu. Inggih wo sendika ngestokaken dhawuh. Wonten kepareng menapa Keparenge mbarep kakangku kepriye.
Terjemahan: Terjemhan: Puntadewa : Limbuk :
Petruk
194
:
Marilah Bu, saya minta lagu Nurlela, cobalah seperti apa? Akan diarrans seperti apa dipersilakan. Lha terserahlah, sahabatku ya tidak adil, membawa teman dari rumah, sampai di sini saya menunggunya kok tidak muncul. Gong Bagong
Puntadewa : Puntadewa :
Petruk, Kaka Prabu mari diperkenankan meminjam pusaka Jamus Kyai Jimat Kalimasada. Apakah tidak diperbolehkan saya antarkan. Akankah saya boleh mengantarkan untuk makan besar bersama.
Pragmatik Imperatif dalam Dialog... (S. Hesti Heriwati)
Kembar
:
Pragota
:
Sadewa
:
Gathutkaca : Janaka : Werkudara :
Permisi. Siap melaksanakan perintah E…e….e…..e boleh diperkenankan mendapat perintah, saya adalah abdi dari Mandura, Mandura patih Pragota minta petunjuk... Yalah cukuplah adik Sadewa menurut perintah kanjeng kaka prabu. Iya siap melaksanakan perintah. Izinkanlah Perkenannya kakaku yang Sulung, bagaimana?
10. Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif larangan Imperatif dengan makna larangan dalam bahasa Indonesia, biasanya, ditandai oleh pemakaian kata jangan, kata “jangan” mempunyai unsur makna tidak boleh dilakukan terhadap sesuatu, seperti dapat dilihat pada contoh tuturan berikut antara tuturan Kresna dengan Baladewa dan Cangik dengan Kresna dan seterusnya. Kresna Kresna Baladewa
: : :
Puntadewa :
Cangik
:
Kresna
:
Kresna
:
Kowe aja ngringkihke tembungku Aja miring kesaguhanmu. Aja blawanan kowe matur ana ngarepe para ratu. Mangsa bodhoa yayi anggonira mranata para wadya miwah para nayakaning praja, aja nganti ana kang lirwa ing wajib. Aduh ndhuk aja ndhuk, STSI iki gudange dalang sing ampuh-ampuh lha ndhuk kowe arep nyumbang neng kana ki pawitane apa. Aja paninggal anggonmu maspadhakake pun kakang, mripat batinmu esthine Arjuna, yen liyane Arjuna pun kakang bakal maido nanging yen Arjuna pun kakang kumendel, kadeling rasaku merga ing sira ana ingsun, jroningsun ana sira gage waspadakna sing ngampil pusaka Jamus pun kakang ada dudu. Kakang Semar, aja kurang pamengku menapa sowanku aku mung arep ngaturake luput mbok menawa kakang Semar wis ora kekilapan lelakon ing Ngamarta ora
Mega Janaka
: :
Bambang P. :
perlu ndak aturake sawutuhe ndah kira Bagong wis matur. Aja ugal-ugalan. Aja gumampang kowe bisa ngucap ngrebut Aja samar mangsa kalaho lembut hayo ndak kanthi
Terjemahan : (Secara singkat tuturan di atas yang mengandung kata “aja” yang berartikan “jangan”, sengaja tidak diterjemahkan kalimat demi kalimat, akan tetapi mengambil langsung kata “aja” saja. ( Kata “Aja” diartikan dengan kata dalam bahasa Indonesia adalah Jangan). 10. Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif harapan Imperatif yang menyatakan makna harapan, biasanya, ditunjukkan dengan penanda kesantunan terdapat unsur makna harap dan semoga. Kedua macam penanda kesantunan itu di dalamnya mengandung makna harapan. Berkenaan dengan makna pragmatik imperatif harapan itu, tuturan sampai dengan tuturan berikut berturut-turut dapat dipertimbangkan. Puntadewa
: Kapundi paduka mustaka dadosa jajimat paring pangestu paduka kanjeng kaka prabu, amuwahana katentreman ing praja Ngamarta sumrebah kawula dasih, tumenteng keparenga pryogi lenggah sampun ngantos ngemu raos awet sarta pakawet. T. Ganggeng : Kawula amit pasang kaliman tabih ilo-ilo ing muni tinibihna ing ilo dumi, dumawaha ing tawang towang linepatna tolak manu dene kang abdi marak ngarsa nata mboten katimbalan kawula nuwun-nuwun. Terjemahan: Puntadewa : ...... jadikanlah sebagai syafaat .... T. Ganggeng : ..... jauhkanlah....
195
MUDRA VOLUME 25 NO.2 SEPTEMBER 2010: 185-197
11. Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif umpatan Imperatif jenis ini relatif banyak ditemukan dalam pemakaian bahasa Indonesia pada komunikasi keseharian. Sebagai ilustrasi tentang makna pragmatik imperatif yang demikian, perlu dicermati tuturan berikut. Werkudara : Ora sudi nampani pengestumu.
Puntadewa :
Puntadewa :
Puntadewa :
Menawi pancen mekaten namun nyumanggakaken kepareng paduka njeng kaka prabu. Kula sumanggakaken kaka prabu, mangsa borong amis bacine lelamapahan Menawi mekaten kula namung nyumanggakaaken keparenging kaka prabu.
Terjemahan : Terjemahan: Werkudara :
Tidak sudi menerima hormatmu. Baladewa
12. Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif pemberian ucapan selamat Imperatif jenis ini cukup banyak ditemukan di dalam pemakaian hahasa Indonesia sehari-hari. Telah menjadi bagian dan budaya masyarakat Indonesia bahwa dalam peristiwa-peristiwa tertentu, biasanya, anggota masyarakat bahasa Indonesia saling menyampaikan ucapan salam atau ucapan selamat kepada anggota masyarakat lain. Salam itu dapat berupa ucapan selamat, seperti dapat dilihat pada tuturan-tuturan berikut. Puntadewa :
Terjemahan : Puntadewa :
Kaka prabu ing Mandura dereng dangu rawuh paduka nuwun ngaturaken pambagya rawuh sarta sembah pangabekti mugi konjuk.
Kakak prabu di Mandura belum lama hadirnya Paduka, menghaturkan sembah salam atas kehadiranmu semoga salam hormatku diterima di hadapanmu.
13. Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif anjuran Secara struktural, imperatif yang mengandung makna anjuran biasanya ditandai dengan penggunaan kata hendaknya dan sebaiknya. Contoh-contoh tuturan berikut dapat dipertimbangkan untuk memperjelas hal ini. Baladewa
196
:
Sembahe wong doso kadok kodo iki tumuli tampanana, yen ora ndok tampane geger.
:
Puntadewa : Puntadewa :
Puntadewa :
Sembahnya orang doso kadok kodo ini dengan seiring terimalah jika tidak akan ramailah. Apabila harus begitu terserahlah paduka njeng kaka prabu. Saya serahkan kaka prabu, terserah dengan segala keadaan yang ada. Kalau begitu saya hanya menyerahkan sepenuhnya kepada kaka prabu.
14. Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif “ngelulu” Tuturan yang memiliki makna pragmatik “ngelulu” terdapat di dalam bahasa Indonesia. Kata “ngelulu” berasal dan bahasa Jawa, yang bermakna seperti menyuruh mitra tutur melakukan sesuatu namun sebenarnya yang dimaksud adalah melarang melakukan sesuatu. Makna imperatif melarang, lazimnya diungkapkan dengan penanda kesantunan jangan seperti disampaikan pada bagian terdahulu. Imperatif yang bermakna “ngelulu” di dalam bahasa Indonesia lazimnya tidak diungkapkan dengan penanda kesantunan itu melainkan berbentuk tuturan imperatif biasa. Contoh-contoh tuturan berikut dapat dipertimbangkan untuk memperjelas hal tersebut. Cakil
:
Midera sumbarmu sajake kaya mentas meguru anyar nadyan kowe kendhita oyot nimang kadango dewa mangsa gondora sepiro, adoh balang prebatang cedhak dening tangan panggul pundhak drijimu pengapit tatap pening kemudo rontok drijimu pengapit tatap paning kemudo rontok wandamu wong bagus.
Pragmatik Imperatif dalam Dialog... (S. Hesti Heriwati)
Terjemahan: Cakil
: Berkilah apapun bagaikan baru saja dari mencari ilmu baru, walaupun dirimu bersabuk akar, berbelit saudara dewa, jauh dari segala rintangan, dekat dengan tangan di pundhak jarimu mengapit...gugurlah jemarimu...gugurlah auramu orang Bagus.
SIMPULAN Pertunjukan wayang kulit purwa Jawa tetap eksis dalam era globalisasi sehingga wayang bagi masyarakat Jawa berfungsi sebagai tontonan, tuntunan dan tatanan. Sajian wayang diharapkan dapat menyampaikan pesan yang dapat memotivasi timbulnya pengalaman estetis yang memuaskan, di samping tujuan-tujuan lain seperti untuk penerangan, propaganda, kritik sosial, hiburan dan sebagainya. Sebuah pertunjukan wayang tidak terlepas dari hadirnya naskah lakon, berangkat dari naskah telah dikaji dari dimensi pragmatik (imperatif). Perwujudan makna pragmatik imperatif diuraikan secara terperinci dalam kaitannya dengan cerita pada naskah lakon pedalangan “Semar mBangun Gedhong Kencana”, yang dilakonkan oleh seorang dalang bernama Mujaka Raharaja. Kajian teks di dalam tuturan / dialog antar tokoh dapat dianalisis tuturannya karena mengandung unsur imperatif menghasilkan kesimpulan yang mengandung unsur-unsur imperatif (perintah, suruhan, permintaan, permohonan, desakan, bujukan, imbauan, persilakan, ajakan, izin, larangan, harapan, umpatan, pembeiran ucapan, anjuran, ngelulu).
Syukur Ibrahim, Abd.(2007), Ancangan Kajian Wacana, Yogyakarta:, Pustaka Pelajar Soetarno. (1994), “Pengalaman Estetika dalam Seni Pedalangan Kaitannya dengan Kesejahteraan Seniman Dalang”, Makalah dalam Rangka Sarasehan Dalang Ganasidi di Jawa Tengah. Sumarlam. (1995), “Skala Pragmatik dan Derajat Kesopansantunan dalam Tindak Tutur Direktif”. Dalam Komunikasi Ilmiah Linguistik dan Sastra (KLITIKA). No. 2 Th. II, Agustus 1995. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, FKIP Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo.
DAFTAR RUJUKAN Ciptoprawiro, Abdullah. (1986), Filsafat Jawa, Jakarta, Balai Pustaka. Richards, Jack dkk. (1989), Longman Dictionary of Applied Linguistics, Longman: Longman Group UK Limited. Levinson, Stephen C. (1987), Pragmatics, Cambridge, Cambridge University Press.
197
Indeks Pengarang Jurnal Seni Budaya MUDRA Volume 25 No. 2 SEPTEMBER 2010
Darma Oka, I Made., 150 Gede Rai, Anak Agung., 101 Herawati, S. Hesti., 185 Ruastiti, Ni Made., 108 Suarjaya, I Wayan., 120 Suartika, I Gusti Ayu Made., 131 Suka Yasa, I Wayan., 159 Supriyanto., 172
198
Daftar Nama Mitra Bestari sebagai Penelaah Ahli Tahun 2010 Untuk Penerbitan Volume 25 No. 1 JANUARI 2010 dan Volume 25 No. 2 SEPTEMBER 2010 semua naskah yang disumbangkan kepada Jurnal Seni Budaya Mudra telah ditelaah oleh para mitra bestari (peer reviewers) berikut ini
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
I Wayan Rai S. (Institut Seni Indonesia Denpasar) ethnomusicologist Sardono W. Kusumo (Institut Kesenia Jakarta) dance Sal Margianto (Institut Seni Indonesia Yogjakarta) dance Ron Jenkins (Wesleyan University-USA) theatre I Nyoman Sirtha (Universitas Udayana Denpasar) sastra Ni Luh Sutjiati Beratha (Universitas Udayana Denpasar) sastra Soegeng Toekio M (Institut Seni Indonesia Surakarta) visual arts M. Dwi Maryanto (Institut Seni Indonesia Yogjakarta) visual arts Jean Couteau (Pengamat Seni tinggal di Bali) sociologist of art I Wayan Geria (Universitas Udayana Denpasar) anthropology I Made Suastika (Universitas Udayana Denpasar) sejarah Ida Bagus Gde Yudha Triguna (Universitas Hindu Denpasar) religion Ketut Subagiasta (Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar) religion Jean Couteau (Pengamat seni tinggal di Bali)
Penyunting Jurnal Seni Budaya Mudra menyampaikan peng-hargaan setinggi-tingginya dan terima kasih sebesarbesarnya kepada para mitra bestari tersebut atas bantuan mereka.
PETUNJUK UNTUK PENULIS JUDUL NASKAH (all caps, 14 pt, bold, centered) (kosong satu spasi tunggal, l4 pt) Penulis Pertamal, Penulis Kedua2, dan Penulis Ketiga3 (12 pt) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt) 1. Nama Jurusan, Nama Fakultas, Nama Universitas, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara (10 pt) 2. Kelompok Penelitian, Nama Lembaga, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara (10 pt) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt) E-mail: penulis@ address. com (10 pt, italic) (kosong dua spasi tunggal, 12 pt) TITLE (All caps, 14 pt, bold, centered) (Blank, one single space of 14 pt) First Authorl, Second Author2, and Third Author3 (12 pt) (Blank, one single space of 12 pt) 1. Department’s Name, Faculty’s Names, University’s Name, Address, City, Postal Code, Country (10 pt) 2. Reseach Group, Institution’s Name, Address, City, Postal Code, Country (10 pt) (Blank, one single space of l2 pt) E-mail: writer@ address. com (10 pt, italic) (Blank, two single spaces of 12 pt) Abstrak (12 pt, bold) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt) Abstrak harus dibuat dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa Inggris. Abstrak bahasa Indonesia ditulis terlebih dahulu lalu diikuti abstrak dalam bahasa Inggris. Jenis huruf yang digunakan Times New Roman, ukuran 10 pt, spasi tunggal. Abstrak sebaiknya meringkas isi yang mencakup tujuan penelitian, metode penelitian, serta hasil analisis. Panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata. (kosong dua spasi tunggal, l2 pt) Title in English (12 pt, bold) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt) Abstrak1 (12 pt, bold) (Blank, one single space of 12 pt) Abstract should be written in Indonesian and English. An English abstract comes after an Indonesian abstract. The abstract is written in Times New Roman font, size 10 pt, single spacing. Please translate the abstract of manuscript written in English into Indonesian. The abstract should summarize the content including the aim of the research, research method, and the results in no more than 250 words. (blank, one single space of 12 pt) Keywords: maximum of 4 words in English (10 pt, italics) (blank, three single spaces of 12 pt)
PENDAHULUAN (12 pt, bold) (satu spasi kosong, 10 pt)
Introduction (12 pt, bold) (blank, one single space of 10 pt)
Naskah ditulis dengan Times New Roman ukuran 11 pt, spasi tunggal, justified dan tidak ditulis bolak-balik pada satu halaman. Naskah ditulis pada kertas berukuran A4 (210 mm x 297 mm) dengan margin atas 3,5 cm, bawah 2,5 cm, kiri dan kanan masingmasing 2 cm. Panjang naskah hendaknya tidak melebihi 20 halaman termasuk gambar dan tabel. Jika naskah jauh melebihi jumlah tersebut dianjurkan untuk menjadikannya dua naskah terpisah. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Jika ditulis dalam bahasa Inggris sebaiknya telah memenuhi standar tata bahasa Inggris baku. Judul naskah hendaknya singkat dan informatif serta tidak melebihi 20 kata. Keywords ditulis dalam bahasa Inggris diletakkan akhir abstrak.
The manuscript should be printed with Times New Roman font, size 11 pt, single spaced, justified on each sides and on one side of an A4 paper (210 mm x 297 mm). The margins are 3.5cm from the top, 2.5 cm from below and 2 cm from each side. The manuscript must not exceed 20 pages including pictures and tables. When the manuscript go far beyond that limit the contributors are advised to make it into two separate papers. The manuscript is written in Indonesian or English. When English is used strict adherence to English grammatical rules must be applied. The title should be short and informative, and does not go over 20 words. Keywords are in English and presented at the end of the abstract.
Penulisan heading dan subheading diawali huruf besar dan diberi nomor dengan angka Arab. Sistematika penulisan sekurang-kurangnya mencakup Pendahuluan, Metode Penelitian, Analisis dan Interpretasi Data, Simpulan , serta Daftar Rujukan. Ucapan Terima Kasih/Penghargaan (jika ada) diletakkan setelah Simpulan dan sebelum Daftar Rujukan. Headings dalam bahasa Inggris disusun sebagai berikut: Introduction, Method, Results and/ or Discussion, Conclusion. Acknowledgement (jika ada) diletakkan setelah Conclusion dan sebelum Reference. Sebaiknya, penggunaan subsubheadings dihindari. Jika diperlukan, gunakan numbered outline yang terdiri dari angka Arab. Jarak antara paragraf satu spasi tunggal.
The beginnings of headings and subheadings should be capitalized and given Arabic numbering. The parts of the manuscript should at least include an Introduction, Method, Results and/or Discussion, Conclusion and References. When there is an acknowledgment, it should be put after the conclusion but before references. Usage of sub-subheadings should be avoided. When needed, use numbered outline using Arabic numbers. The distance between one paragraph to the next is one single space.
Singkatan/Istilah/Notasi/Simbol Penggunaan singkatan diperbolehkan, tetapi harus dituliskan secara lengkap pada saat pertama kali disebutkan, lalu dibubuhkan singkatannya dalam tanda kurung. Istilah/kata asing atau daerah ditulis dengan huruf italic. Notasi, sebaiknya, ringkas dan jelas serta konsisten dengan cara penulisan yang baku. Simbol/ lambang ditulis dengan jelas dan dapat dibedakan, seperti penggunaan angka 1 dan huruf 1 (juga angka 0 dan huruf O).
Abbreviations/Terms/Symbols Abbreviations are allowed, but they should be written in full when mentioned for the first time, followed by the abbreviations inside the brackets. Foreign and ethnic terms should be italicized. Notation must be compact and clear, and consistently follows the accepted standard. Symbols are written clearly and easily distinguished, such as number 1 and the letter l (or number 0 and the letter O).
Tabel ditulis dengan Times New Roman berukuran 10 pt dan diletakkan berjarak satu spasi tunggal di bawah judul tabel. Judul tabel ditulis dengan huruf berukuran 9 pt (bold) dan ditempatkan di atas tabel dengan format seperti terlihat pada contoh. Penomoran tabel menggunakan angka Arab. Jarak tabel dengan paragraf adalah satu spasi tunggal. Tabel diletakkan segera setelah perujukkannya dalam teks. Kerangka tabel menggunakan garis setebal 1 pt. Jika judul pada setiap kolom tabel cukup panjang dan rumit, maka kolom diberi nomor dan keterangannya diberikan di bagian bawah tabel.
Tables are written with Times New Roman size 10pt and put one single space down below the tables’ titles. The titles are printed bold in the size of 9 pt as theyare shown in the example. The tables are numbered with Arabic numbers. The distance of a table with the preceding paragraph is one single space. The tables are presented after they are being referred to in the text. 1 pt thick lines should be used to outline the tables. If the titles for the columns are long and complicated, the columns should be numbered and the explanation of each number should be put below the table.
(kosong satu spasi, 10 pt)
(blank, one single space of 10 pt)
Wacana Estetika Posmodern Idealisme Mitologi Mimesis Imitasi Katarsis Transeden Estetika Pencerahan Teologisme Relativisme Subjektivisme Positivisme
Wacana Estetika Modern Rasionalisme Realisme Humanisme Universal Simbolisme Strukturalisme Semiotik Fenomenologi Ekoestetik Kompleksitas Etnosentris Budaya Komoditas
Wacana Estetika Postmodern Poststrukturalisme Global-Lokal Intertekstual Postpositivisme Hiperrealita Postkolonial Oposisi biner Dekonstruksi Pluralisme Lintas Budaya Chaos
Tabel 1. Wacana Estetika (sumber: Agus Sochari, 2002: 9) (Two single spaces of 10 pt)
Gambar diletakkan simetris dalam kolom halaman, berjarak satu spasi tunggal dari paragraf. Gambar diletakkan segera setelah penunjukkannya dalam teks. Gambar diberi nomor urut dengan angka Arab. Keterangan gambar diletakkan di bawah gambar dan berjarak satu spasi tunggal dari gambar.
Pictures are put in the center of page, one single space from the preceding paragraph. A picture is presented after it is pointed out in the text. Pictures are numbered using Arabic numbers. Information on the picture is put one single space down below the picture.
Penulisan keterangan gambar menggunakan huruf berukuran 9 pt, bold dan diletakkan seperti pada contoh. Jarak keterangan gambar dengan paragraf adalah dua spasi tunggal. Gambar yang telah dipublikasikan oleh penulis lain harus mendapat ijin tertulis penulis dan penerbitnya. Sertakan satu gambar yang dicetak dengan kualitas baik berukuran satu
The information should be written with the size of 9 pt and in bold according to the example. The information is two single spaces of 10 pt above the following paragraph. Permissions should be obtained from the authors and publishers for previously published pictures. Attached a full page of the picture with a good printing quality, or electronic file with
halaman penuh atau hasil scan dengan resolusi baik dalam format {nama file}.eps, {nama file} jpeg atau {nama file}.tiff. Jika gambar dalam format foto, sertakan satu foto asli. Gambar akan dicetak hitamputih, kecuali jika memang perlu ditampilkan berwarna. Font yang digunakan dalam pembuatan gambar atau grafik, sebaiknya, yang umum dimiliki setiap pengolah kata dan sistem operasi seperti Simbol, Times New Romans dan Arial dengan ukuran tidak kurang dari 9 pt. File gambar dari aplikasi seperti Corel Draw, Adobe Illustrator dan Aldus Freehand dapat memberikan hasil yang lebih baik dan dapat diperkecil tanpa mengubah resolusinya.
either formats: {file name}.jpeg, {file name}.esp or {file name}.tiff. If the picture is a photograph, please attach one print. Pictures will be printed in black and white, unless there is a need to have them in colors. It is advisable that the fonts used in creating pictures or graphics are recognized by most word processors and operation systems, such as Symbols, Times New Romans, and Arial with minimum size of 9 pt. Picture files from applications such as Corel Draw, Adobe Illustrator and Aldus Freehands have better quality and can be reduced without changing the resolution. (blank, one single space of 10 pt)
Kutipan dalam naskah menggunakan sistem kutipan langsung. Penggunaan catatan kaki (footnote) sedapat mungkin dihindari. Kutipan yang tidak lebih dari 4 (empat) baris diintegrasikan dalam teks, diapit tanda kutip, sedangkan kutipan yang lebih dari 4 (empat) baris diletakkan terpisah dari teks dengan jarak 1,5 spasi tunggal, berukuran 10 pt, serta diapit oleh tanda kutip.
The journal prefers direct quotation. The usages of footnotes should be avoided wherever possible. Quotations of no more than 4 lines should be integrated in the text and in between quotation marks. When the citation exceeds 4 lines, it should be put separately 1.5 single spaces away of 10 pt from the main text and put between quotation marks.
Setiap kutipan harus disertai dengan nama keluarga/ nama belakang penulis. Jika penulis lebih dari satu orang, yang dicantumkan hanya nama keluarga penulis pertama diikuti dengan dkk. Nama keluarga atau nama belakang penulis dapat ditulis sebelum atau setelah kutipan. Ada beberapa cara penulisan kutipan. Kutipan langsung dari halaman tertentu ditulis sebagai berikut (Grimes, 2001: 157). Jika yang diacu adalah pokok pikiran dari beberapa halaman, cara penulisannya adalah sebagai berikut (Grimes, 2001: 98-157), atau jika yang diacu adalah pokok pikiran dari keseluruhan naskah, cara penulisannya sebagai berikut (Grimes, 2001).
Every quotation must be followed by the family name of its author. When there is more than one author, only the first author’s family name is printed followed by et alia. The name or family name of the author can be mentioned before or after the quotation. There are some ways of writing quotations. Direct citation from a specific page is written as follows: (Grimes, 2001:15). When a reference is made to the main idea of a couple of pages, the following should be used: (Grimes, 2001: 98–157). When a reference is made to a text in general, the following should be used (Grimes, 2001).
Daftar Rujukan (kosong satu spasi tunggal, 10 pt)
List of References (Blank, one single space of 10 pt)
Penulisan daftar acuan mengikuti format APA (American Psychological Association). Daftar acuan harus menggunakan sumber primer (jurnal atau buku). Sebaiknya, acuan juga menggunakan naskah yang diterbitkan dalam jurnal MUDRA edisi sebelumnya. Daftar acuan diurutkan secara alfabetis berdasarkan nama keluarga/nama belakang penulis. Secara umum, urutan penulisan acuan adalah nama penulis, tanda titik, tahun terbit yang ditulis dalam dalam kurung, tanda titik, judul acuan, tempat terbit, tanda titik dua, nama penerbit. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak tiga orang. Jika lebih dari empat orang, tuliskan nama penulis utama dilanjutkan dengan dkk. Nama keluarga Tionghoa dan Korea tidak perlu dibalik karena nama keluarga telah terletak di awal. Tahun terbit langsung diterakan setelah nama penulis agar memudahkan penelusuran kemutakhiran bahan acuan. Judul buku ditulis dengan huruf italic. Judul naskah jurnal atau majalah ditulis dengan huruf regular, diikuti dengan nama jurnal atau majalah dengan huruf italic. Jika penulis yang diacu menulis dua atau lebih karya dalam setahun, penulisan tahun
The journal adheres to the APA format when it comes to list of references. Primary sources should be used (journals and books). It is wise to include previous works published in MUDRA. The references are listed alphabetically according to the authors’ family names. In general, the order of writing is the following: author’s name, period, title, place of publication, colon, publisher. The maximum number of authors mentioned for each reference is 3. When there are 4 authors, mention the main author followed by et.al. Chinese and Korean names do not need to be reversed because the family names are at the beginning. Year of publication should be printed right after the author to make it easier to note how up-todate the sources are. Titles are written in italics. Journal and magazine articles’ titles are written in regular letters, followed by the names of the journal or magazine in italics. If two or more cited works of the same author were published in the same year, the publishing years are followed by the letters a, b etc. For example: Miner, JB. (2004a), Miner, J.B. (2004b).
terbit dibubuhi huruf a, b, dan seterusnya agar tidak membingungkan pembaca tentang karya yang diacu, misalnya: Miner, J.B. (2004a), Miner, J.B. (2004b). Contoh penulisan daftar acuan adalah sebagai berikut:
namanya, dan pada tahun penerbitan ditambah huruf latin kecil sebagai penanda urutan penerbitan. Greenberg, Josepth H. (1957), Essays in Linguistics, University of Chicago Press, Chicago
Acuan dari buku dengan satu satu, dua, dan tiga pengarang Reference from books with one, two and three authors Anderson, Beneditct R.O.G. (1965), Mythology and the Tolerance of the Javanese, Southeast Asia Program, Departement of Studies, Cornell University, Ithaca, New York.
_________________. (1966a), Language of Africa, Indiana University Press, Bloomington.
Bandem, I Made & Frederik Eugene DeBoer. (1995), Balinese Dance in Transition, Kaja and Kelod, Oxford University Press, Kuala Lumpur. Kartodirjo, Sartono, Mawarti Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. (1997), Sejarah Nasional Indonesia, Jilid I, Balai Pustaka, Jakarta. Acuan bab dalam buku Reference from a book chapter Markus, H.R., Kitayama, S., & Heiman, R.J. (1996). Culture and basic psychological principles. Dalam E.T. Higgins & A.W. Kruglanski (Eds.); Social psychology: Handbook of basic principles. The Guilford Press, New York. Buku Terjemahan Translated Books Holt, Claire. (1967), Art in Indonesia: Continuities and Change atau Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, terjemahan R.M. Soedarsono. (2000), MSPI, Bandung. Read, Herber. (1959), The Meaning of Art atau Seni Rupa Arti dan Problematikanya, terjemahan Soedarso Sp. (2000), Duta Wacana Press, Yogyakarta. Beberapa buku dengan pengarang sama dalam tahun yang sama. A couple of books with similar authors in the same year Dalam hal ini nama pengarang untuk sumber kedua cukup diganti dengan garis bawah sepanjang
_________________. (1966b), “Language Universals”, Current Trends in Linguistics (Thomas A. Sebeok, ed.), Mounton, The Hangue, Artikel dalam Ensiklopedi dan Kamus Articles from Encyclopedia and Dictonary Milton, Rugoff. (tt), “Pop Art”, The Britannica Encylopedia of American Art, Encylopedia Britannica Educational Corporation, Chicago. Hamer, Frank & Janet Hamer. (1991), “Terracotta”, The potter’s Dictionary of Material and Technique, 3 Edition, A & B Black, London. Acuan naskah dalam jurnal, koran, dan naskah seminar Reference on a text in a journal, newspaper, and conference paper Hotomo, Suripan Sandi. (April 1994), “Transformasi Seni Kendrung ke Wayang Krucil”, dalam SENI, Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, IV/02, BP ISI Yogyakarta, Yogyakarta. Kwi Kian Gie. (4 Agustus 2004), “KKN Akar Semua Permasalahan Bangsa” Kompas. Buchori Z., Imam. (2-3 Mei 1990), “Aspek Desain dalam Produk Kriya”, dalam Seminar Kriya 1990 ISI Yogyakarta, di Hotel Ambarukmo Yogyakarta. Acuan dari dokumen online (website/internet) Reference from online document Goltz, Pat. (1 Mei 2004), Sinichi Suzuki had a Good Idea, But… http/www. Seghea com/homescool/ Suzuki.htlm Wood, Enid. (1 Mei 2004), Sinichi Suzuki 1889-1998: Violinist, Educator, Philosoper and Humanitarian, Founder of the Suzuki Method, Sinichi Suzuki Association. http/www. Internationalsuzuki.htlm
Acuan dari jurnal online Reference from online journal Jenet, B.L. (2006). A meta-analysis on online social behavior. Journal of Internet Psychology, 4. Diunduh 16 November 2006 dari http://www. Journalofinternet psychology. om/archives/volume4/ 3924.htm1 Naskah dari Database Text from database Henriques, J.B., & Davidson, R.J. (1991) Left frontal hypoactivation in depression. Journal of Abnormal Psychology, 100, 535-545. Diunduh 16 November 2006 dari PsychINFO database Acuan dari tugas akhir, skripsi, tesis dan disertasi Reference from final projects, undergraduate final essay, thesis and dissertation Santoso, G.A. (1993). Faktor-faktor sosial psikologis yang berpengaruh terhadap tindakan orang tua untuk melanjutkan pendidikan anak ke sekolah lanjutan tingkat pertama (Studi lapangan di pedesaan Jawa Barat dengan analisis model persamaan struktural). Disertasi Doktor Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta. Acuan dari laporan penelitian Reference from research report Villegas, M., & Tinsley, J. (2003). Does education play a role in body image dissatisfaction?. Laporan Penelitian, Buena Vista University. Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. (2006). Survei nasional penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba pada kelompok rumah tangga di Indonesia, 2005. Depok: Pusat Penelitian UI dan Badan Narkotika Nasional. Daftar Nara Sumber/Informan Dalam hal ini yang harus disajikan adalah nama dan tahun kelAhiran/usia, profesi, tempat dan tanggal diadakan wawancaara. Susunan data narasumber diurutkan secara alfabetik menurut nama tokoh yang diwawancarai.
Erawan, I Nyoman (56th.), Pelukis, wawancara tanggal 21 Juni 2008 di rumahnya, Banjar Babakan, Sukawati, Gianyar, Bali. Rudana, I Nyoman (60 th.), pemilik Museum Rudana, wawancara tanggal 30 Juni 2008 di Museum Rudana, Ubud, Bali.
Lampiran (kosong satu spasi tunggal, 10 pt)
Appendices (blank, one single space of 10 pt)
LampiranlAppendices hanya digunakan jika benarbenar sangat diperlukan untuk mendukung naskah, misalnya kuesioner, kutipan undang-undang, transliterasi naskah, transkripsi rekaman yang dianalisis, peta, gambar, tabel/bagian hasil perhitungan analisis, atau rumus-rumus perhitungan. Lampiran diletakkan setelah Daftar Acuan/Reference. Apabila memerlukan lebih dari satu lampiran, hendaknya diberi nomor urut dengan angka Arab.
Appendices are used when they are really needed to support the text, for example questionnaires, legal citations, manuscript transliterations, analyzed interview transcription, maps, pictures, tables containing results of calculations, or formulas. Appendices are put after the references and numbered using Arabic numbers.
2. Naskah Hasil Penciptaan
2. Result of Creative Work
JUDUL NASKAH (all caps, 14 pt, bold, centered) (kosong satu spasi tunggal, l4 pt)
TITLE (all caps, 14 pt, bold, centered) (blank, one single space of l4 pt)
Penulis Pertamal, Penulis Kedua2, dan Penulis Ketiga3 (12 pt) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
First authorl, Second author2, and Third author3 (12 pt) (blank, one single space of 12 pt)
1. Nama Jurusan, Nama Fakultas, Nama Universitas, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara (10 pt) 2. Kelompok Pencipta, Nama Lembaga, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara (10 pt) (kosong satu spasi tunggal,l2 pt)
1. Department’s name, Faculty’s name, University’s name, Address, City, Postal Code, Country (10 pt) 2. Group of creator, Institution’s name, Address, City, Postal code, Country (10 pt) (blank, one single space of l2 pt)
E-mail: penulis@ address. com (10 pt, italic) (kosong dua spasi tunggal, 12 pt)
E-mail: author@ address. com (10 pt, italic) (blank, two single spaces of 12 pt)
Abstrak (12 pt, bold) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Abstrak (12 pt, bold) (blank, one single space of 12 pt)
Abstrak harus dibuat dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa Inggris. Abstrak bahasa Indonesia ditulis terlebih dahulu lalu diikuti abstrak dalam bahasa Inggris. Jenis huruf yang digunakan Times New Roman, ukuran 10 pt, spasi tunggal. Abstrak sebaiknya meringkas isi yang mencakup tujuan penciptaan, metode penciptaan, serta wujud karya. Panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata. (kosong dua spasi tunggal, l2 pt)
Abstract should be written in Indonesian and English. An English abstract comes after an Indonesian abstract. The abstract is written in Times New Roman font, size 10 pt, single spacing. Please translate the abstract of manuscript written in English into Indonesian. The abstract should summarize the content including the aim of the research, research method, and the results in no more than 250 words. (blank, one single space of 12 pt)
Keywords: maksimum 4 kata kunci ditulis dalam bahasa Inggris (10 pt, italic) (kosong tiga spasi tungga1, 12 pt)
Keywords: maximum of 4 words in English (10 pt, italics) (blank, three single spaces of 12 pt)
PENDAHULUAN (12 pt, bold) (satu spasi kosong,10 pt)
INTRODUCTION (12 pt, bold) (blank, one single space of 10 pt)
Naskah ditulis dengan Times New Roman ukuran 11 pt, spasi tunggal, justified dan tidak ditulis bolak-balik pada satu halaman. Naskah ditulis pada kertas berukuran A4 (210 mm x 297 mm) dengan margin atas 3,5 cm, bawah 2,5 cm, kiri dan kanan masingmasing 2 cm. Panjang naskah hendaknya tidak melebihi 20 halaman termasuk gambar dan tabel.
The manuscript should be printed with Times New Roman font, size 11 pt, single spaced, justified on each sides and on one side of an A4 paper (210 mm x 297 mm). The margins are 3.5cm from the top, 2.5 cm from below and 2 cm from each side. The manuscript must not exceed 20 pages including pictures and tables.
Penulisan heading dan subheading diawali huruf besar dan diberi nomor dengan angka Arab. Sistematika penulisan sekurang-kurangnya mencakup pendahuluan, metode penciptaan, proses perujudan, wujud karya, Kesimpulan , serta Daftar Rujukan. Ucapan Terima Kasih/Penghargaan (jika ada) diletakkan setelah Kesimpulan dan sebelum Daftar Acuan.
The beginnings of headings and subheadings should be capitalized and given Arabic numbering. The parts of the manuscript should at least include an Introduction, Creative Method, Conclusion and References. When there is an acknowledgment, it should be put after the conclusion but before references. Usage of sub-subheadings should be avoided. When needed, use numbered outline using Arabic numbers. The distance between paragraphs is one single space.
Lebih lanjut mengenai singkatan/istilah/notasi/simbol dan daftar rujukan sama dengan naskah dari hasil Penelitian.
The directions on abbreviations/terms/notations/symbols and references follow the directions for the research manuscript.